34
NASAB ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASKA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-IIIV/2010 TANGGAL 27 PEBRUARI 2012 MENURUT TEORI FIKIH DAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh DRS. H. SYAMSUL ANWAR, S.H., M.H. 1 DRS. ISAK MUNAWAR, M.H. 2 I PENDAHULUAN. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 lahir karena adanya permohonan yudisial review yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mokhtar dan anaknya yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana Moerdiono sebagai seorang suami yang telah beristri 3 menikah kembali dengan istrinya yang kedua bernama Hj. Aisyah Mokhtar secara syari’at Islam dengan tanpa dicatatkan dalam register Akta Nikah, oleh karena itu ia tidak memiliki Buku Kutipan Akta Nikah, dan dari pernikahan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad Iqbal Ramdhan Bin Moerdiono. Dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)) Undang-Undung Nomor 1 Tahun 1974 tersebut maka Hj. Aisyah Mokhtar dan Muhammad Iqbal Ramdhan hak-hak konstitusinya sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan, karena status perkawinannya menjadi tidak sah, demikian juga terhadap anak yang dilahirkannya menjadi tidak sah. 4 Dan berakibat hilangnya status perkawinan antara Moerdiono dengan Hj. Aisyah serta status Muhammad Iqbal Ramdhan sebagai anak Moerdiono 5 . Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan “ perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” ayat (2) -nya menyatakan “tiap-tiap perkawinan dicatat 1 Ketua pada Pengadilan Agama Kelas I A Majalengka. 2 Hakim pada Pengadilan Agama Kelas I A Majalengka. 3 A. Mukti Arto, Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-IIIV/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Tentang Perubahan Pasal 43 UUP, (Bahan Diskusi Hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon Bersama Pejabat Kepanitreaan pada tangal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon) halaman 1 4 Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 halaman 4-5 5 Putusan MK ibid halaman 6

Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

artikel

Citation preview

Page 1: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

NASAB ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASKA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 46/PUU-IIIV/2010 TANGGAL 27 PEBRUARI 2012

MENURUT TEORI FIKIH DAN PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh

DRS. H. SYAMSUL ANWAR, S.H., M.H.1

DRS. ISAK MUNAWAR, M.H.2

I PENDAHULUAN.

Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27

Pebruari 2012 lahir karena adanya permohonan yudisial review yang diajukan oleh

Hj. Aisyah Mokhtar dan anaknya yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin

Moerdiono terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana Moerdiono sebagai

seorang suami yang telah beristri3 menikah kembali dengan istrinya yang kedua

bernama Hj. Aisyah Mokhtar secara syari’at Islam dengan tanpa dicatatkan dalam

register Akta Nikah, oleh karena itu ia tidak memiliki Buku Kutipan Akta Nikah,

dan dari pernikahan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad

Iqbal Ramdhan Bin Moerdiono.

Dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)) Undang-Undung

Nomor 1 Tahun 1974 tersebut maka Hj. Aisyah Mokhtar dan Muhammad Iqbal

Ramdhan hak-hak konstitusinya sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh

Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan,

karena status perkawinannya menjadi tidak sah, demikian juga terhadap anak yang

dilahirkannya menjadi tidak sah.4 Dan berakibat hilangnya status perkawinan antara

Moerdiono dengan Hj. Aisyah serta status Muhammad Iqbal Ramdhan sebagai anak

Moerdiono5. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan “

perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu” ayat (2)-nya menyatakan “tiap-tiap perkawinan dicatat

1 Ketua pada Pengadilan Agama Kelas I A Majalengka.

2 Hakim pada Pengadilan Agama Kelas I A Majalengka.

3 A. Mukti Arto, Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-IIIV/2010

Tanggal 27 Pebruari 2012 Tentang Perubahan Pasal 43 UUP, (Bahan Diskusi Hukum hakim PTA

Ambon dan PA Ambon Bersama Pejabat Kepanitreaan pada tangal 16 Maret 2012 di Auditorium

PTA Ambon) halaman 1

4 Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 halaman

4-5 5 Putusan MK ibid halaman 6

Page 2: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

2

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 43 ayat (1) Undang-

Undang Perkawinan menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Undang-

Undang Dasar RI 1945 Pasal 28 B ayat (1) yang menyatakan “setiap orang berhak

membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”,

Pasal 28 B ayat (2) menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan

hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi”, dan Pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan “setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama di hadapan hukum”.

Atas permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai

ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan

bahwa sesuai penjelasan umum angka 4 huruf b UU Nomor 1 Tahun 1974

Mahkamah Konstitusi menyimpulkan (1) pencatatan perkawinan bukan faktor yang

menentukan sahnya perkawinan (2) pencatatan merupakan kewajiban administrasi

yang diwajibkan berdasarkan perundang-undangan. Kewajiban kewajiban

administrasi tersebut dapat dilihat dari dua prespektif, yaitu ; pertama dari prespektif

negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka memenuhi fungsi negara

untuk memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan

hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara

dan harus dilakukan sesuai prinsif negara hukum sebagaimana yang dimuat pada

Pasal 281 ayat 4 dan ayat (5) UUD 1945. Sekiranya pencatatan tersebut dianggap

pembatasan, maka pembatasan yang demikian tidak bertentangan dengan ketentuan

konstitusi karena pembatasan dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan

serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Kedua pencatatan secara

administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan sebagai

perbuatan hukum penting yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat

luas, dan dikemudian hari perkawinan itu dapat dibuktikan dengan bukti yang

sempurna dengan suatu akta autentik. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi

berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak bertentangan

dengan konstitusi6

. Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai anak yang

dilahirkan di luar perkawinan yang dikonklusikan dengan anak yang tidak sah.

Menurut Mahkamah Konstitusi secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan

hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dengan spermatozoa baik melalui

hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi

yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu tidak tepat dan tidak adil

manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena

hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan

tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum

6 Putusan MK ibid halaman 33-34

Page 3: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

3

membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan

terjadi kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai

seorang bapak. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan

yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan

seorang laki-laki adalah hubungan hukum yang didalamnya terdapat hak dan

kewajiban secara bertimbal balik yang subjek hukumnya adalah anak, ibu dan

bapak. Dengan demikian hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak

tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan akan tetapi dapat juga

didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki

tersebut sebagai bapak. Kemudian Mahkama Konstitusi menyimpulkan bahwa Pasal

43 ayat (1) tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 19457. Oleh karena

itu Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon dengan salah satu

diktumnya me-review ketentuan Pasal 43 ayat (1) tersebut menjadi “anak yang

dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut

hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga

ayahnya”.

Putusan Mahkama Konstitusi tersebut adalah suatu putusan final yang

berkaitan dengan uji materil undang-undang, yang dalam hal ini Pasal 43 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Oleh karena itu Putusan MK ini berlaku

sebagai undang-undang sehingga substansinya general, tidak individual dan tidak

kasuistik8, sesuai ketentuan Pasal 56 ayat ((3) jo Pasal 57 ayat (1) UUMK. Dan oleh

karena itu pula putusan MK ini menjadi norma hukum yang berlaku untuk seluruh

warga negara Indonesia tentang hubungan hukum antara anak dengan kedua orang

tuannya beserta segala konsekwensinya, baik anak itu adalah anak yang dilahirkan

oleh seorang perempuan yang dihamili seorang laki-laki tanpa ikatan perkawinan

(anak zina), dan setelah anak itu lahir kedua orang perempuan dan laki-laki ini tidak

pernah mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan yang sah maupun setelah anak

tersebut lahir kemudian kedua orang perempuan dan laki-laki itu mengikatkan diri

dalam ikatan perkawinan yang sah (anak di luar perkawinan), atau anak tersebut

lahir dari seorang perempuan yang dihamili seorang laki-laki dalam ikatan

perkawinan yang tidak memiliki kepastian dan tidak memiliki kekuatan hukum,

karena peristiwa perkawinannya tidak sesuai dengan perundang-undangan yang

berlaku (perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan).

Putusan Mahakamah Konstitusi tersebut memiliki kekuatan mengikat terhadap

seluruh masyarakat Indonesia sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum

pada tanggal 27 Pebruari Tahun 2012 sesuai Pasal 47 UUMK dan dengan terbitnya

7 Putusan MK halaman 35-36

8 A. Mukti Arto, ibid halaman 12-13

Page 4: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

4

putusan MK ini, maka ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 100 KHI tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat.9

II PEMBAHASAN

Poligami di bawah tangan dan konsekwensi hukumnya.

Apabila dicermati kasus posisi tersebut bahwa almarhum Moerdiono selama

hidupnya telah melakukan poligami di bawah tangan dengan istri keduanya bernama

Hj. Aisyah dan dari istri keduanya itu dikaruniai seorang anak yang bernama

Muhammad Iqbal Ramadhan, setelah Moerdiono meninggal dunia anak dari istri

keduanya ini berkeinginan melegalisasikan statusnya sebagai bagian dari keluarga

almarhum Moerdiono10

, akan tetapi terjegal oleh ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.

Yang menjadi persoalan dalam kasus ini sebenarnya adalah bagaimana status

hukum anak yang dilahirkan dari poligami di bawah tangan ? hal mana persoalan ini

tidak secara langsung berkaitan dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan

sebagaimana yang ditunjuk Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

itu.

Poligami di bawah tangan yang dilakukan Moerdiono dan istrinya tersebut

jelas-jelas melanggar ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 dan oleh karena itu pula tidak akan pernah memenuhi ketentuan Pasal 2

ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan. Pasal 4 UU

Nomor 1 Tahun 1974 adalah ketentuan yang bersifat perintah secara imperatif

(wajib) terhadap suami yang akan berpoligami untuk memperoleh izin dari

pengadilan, sedangkan Pasal 5 UU Nomor 1 Tahun 1974 berkaitan dengan syarat-

syarat poligami yang harus dipenuhi dan dapat dibuktikan kebenarannya dalam

persidangan. Perkawinan yang melanggar ketentuan ini adalah termasuk

perkawinan yang tidak dapat dilakukan sesuai Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 “seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak

dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4

Undang-Undang ini”.

Status perkawinan poligami tersebut menurut Hukum Islam yang dimuat

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), walaupun terdapat larangan hukum sesuai

Pasal 9 UUP tersebut kecuali diizinkan oleh pengadilan, akan tetapi apabila

perkawinan itu memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu” hal mana hukum agama bagi orang-

orang Islam Indonesia adalah Hukum Islam yang dimuat pada Pasal 14 KHI tentang

9 A. Mukti Arto, ibid halaman 22

10 Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010

Page 5: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

5

rukun-rukun materil perkawinan dan pasal-pasal lain yang berkaitan dengan syarat-

syarat yang harus dipenuhi, serta tidak ada larangan syara’ untuk melakukan

perkawinan haruslah dianggap sah menurut hukum. Hukum hanya memandang

perwakinan poligami seperti ini tidak memiliki kekuatan hukum sesuai ketentuan

Pasal 56 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam. Artinya perkawinan poligami ini tidak

dapat dibuktikan kebenarannya secara hukum, maka konsekwensi dari perkawinan

tersebut apabila tidak ada pihak-pihak yang keberatan terhadap perkawinan ini atau

tidak ada hal lain yang membutuhkan bukti hukum tentang adanya perkawinan

maka kehidupan sebagai suami istri dapat tetap berlangsung walaupun status

perkawinannya tidak dapat dilindungi oleh negara, dan konsekwensi lain dari

perkawinan poligami di bawah tangan ini adalah tentang status anak yang

dilahirkannya.

Dalam memecahkan masalah ini dapat diperhatikan ketentuan tentang

pembatalan perkawinan. Pasal 24 UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan “barang

siapa karena perkawinanya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak

dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan

yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-

Undang ini. Demikian pula ketentuan Pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam

menyatakan “perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan

poligami tanpa izin Pengadilan Agama”

Apabila permohonan pembatalan perkawinan tersebut dapat dibuktikan secara

hukum di hadapan sidang pengadilan, kemudian pengadilan menjatuhkan putusan

dengan amar membatalkan perkawinannya, maka putusan tersebut sesuai ketentuan

Pasal 28 ayat (2) huruf (a) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang senada dengan ketentuan

Pasal 75 huruf (b) KHI tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari

perkawinan tersebut. Artinya walaupun ikatan perkawinannya telah dinyatakan batal

secara hukum tetapi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak

secara serta merta menghapuskan hubungan nasab dengan kedua orang tuanya.

Apabila pembatalan perkawinan tidak dapat dilakukan, karena tidak ada bukti

tertulis tentang peristiwa perkawinannya sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1)

Kompilasi Hukum Islam karena tidak ada bukti akta nikah, maka konsekwensi

terhadap anak-anak yang dilahirkannya juga merupakan anak-anak yang memiliki

hubungan nasab dengan kedua orang tuannya itu, selama tidak ada pihak-pihak yang

keberatan atau tidak ada hal lain yang memerlukan bukti hukum yang menunjukan

status anak tersebut. Persoalan krusial akan muncul ketika ada pihak yang keberatan

terhadap status anak tersebut, maka dalam hal ini memerlukan pembuktian secara

formal yaitu akta kelahiran, dan apabila akta kelahiran tersebut menyebutkan

hubungan nasab anak terhadap kedua orang tuanya maka syarat pokok dari akta

tersebut adalah adanya Buku Kutipan Akta Nikah kedua orang tuanya, dan

seandainya akta kelahiran anak itu tidak dapat diterbitkan maka status hukumnya

Page 6: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

6

adalah adanya anak itu sama saja dengan tidak ada secara hukum, sehingga anak itu

nasabnya tidak dapat dihubungkan dengan ayahnya. Sesuai pasal 27 UU Nomor 23

Tahun 2006 bahwa pencatatan kelahiran berasaskan peristiwa kelahiran yang

apabila orang tua anak tersebut tidak dapat menyerahkan bukti perkawinannya,

maka secara otomatis akan tertulis pada akta kelahiran anak dari seorang ibu saja11

dan dalam hal inilah titik singgung antara konsekwensi anak yang dilahirkan dari

poligami di bawah tangan dengan konsekwensi anak yang dilahirkan di luar

perkawinan, dimana kedua peristiwa itu memiliki substansi yang berbeda akan

tetapi berakibat hukum yang sama.

Persoalan perkawinan poligami di bawah tangan kualitas permasalahannya

lebih rumit dari pada perkawinan monogami di bawah tangan, sebab perkawinan

monogami di bawah tangan bagi masyarakat Islam statusnya dapat memiliki

kepastian dan kekuatan hukum setelah mendapatkan isbat dari pengadilan sesuai

ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Kompilasi Hukum Islam. Kebolehan isbat

nikah pada ketentuan ini dibatasi ayat (3) huruf (e) yang menyatakan “perkawinan

yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”. Halangan dimaksud adalah larangan kawin

sesuai Pasal 8 UU Nomor 1 Tahun 1974 dan perkawinan yang tidak dapat dilakukan

sesuai Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu berkaitan dengan poligami tanpa izin

pengadilan. Mengenai pencatatan poligami seperti ini juga di larang oleh undang-

undang sebagaima Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang

menyatakan “pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan pencatatan

perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin

pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43” Oleh karena itu perkawinan

poligami di bawah tangan menurut undang-undang adalah perkawinan yang

melanggar prosudur undang-undang dan keberadaannya tidak dapat dilakukan

toleransi.

Walaupun demikian ketatnya aturan yang mengatur perkawinan poligami di

bawah tangan dan perkawinan monogami di bawah tangan, akan tetapi izin

pengadilan dan pencatatan perkawinan substansinya berkaitan dengan prosudur dan

administrasi tentang perkawinan. Dengan pelanggaran terhadap prosudur dan

administrasi ini undang-undang tersebut tidak menyatakan berakibat substansi

perkawinannya menjadi tidak sah, dan demikian pula akibat hukum terhadap anak

yang dilahirkannya tidak dapat dikatagorikan sebagai anak tidak sah atau anak di

luar perkawinan. Oleh karena itu pemecahan masalah agar anak yang dilahirkan dari

perkawinan yang demikian agar mendapatkan status hukum dapat ditempuh sesuai

ketentuan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan

“bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan

11

Website Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta

Page 7: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

7

dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan

pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat”. Bukti-

bukti dalam hal ini harus dikembalikan kepada asas umum pembuktian sesuai Pasal

284 Rbg dan 164 HIR untuk membuktikan adanya perkawinan yang sah ditambah

bukti lain berupa bukti hasil pemeriksaan tes DNA untuk membuktikan bahwa anak

tersebut benar-benar dilahirkan dari suami istri itu. Solusi ini juga sebenarnya

mengandung konsekwensi apabila seorang anak dinyatakan sebagai anak sah dari

hasil perkawinan poligami di bawah tangan tersebut, walaupun tidak dinyatakan

secara tegas, akan berakibat secara tersirat pengadilan telah mengakui adanya

perkawinan yang menurut undang-undang terdapat halangan.

Dari gambaran tersebut menunjukan bahwa setiap peristiwa perkawinan yang

tidak memenuhi prosudur hukum yang berlaku baik yang berkaitan dengan materi

hukum maupun yang berkaitan dengan legalitas formal adalah akan menimbulkan

persoalan yang krusial dan seolah-olah lahirnya keturunan sebagai akibat

perkawinan tersebut bila tidak dilindungi oleh hukum maka prosudur hukum itu

yang disalahkan.

Peristiwa perkawinan yang mumpuni dan dapat dipertanggungjawabkan

secara hukum selain harus memenuhi rukun syar’iy juga harus memenuhi rukun

tautsiqy.

Satria Effendi (Allah yarham)12

mencatat fatwa Syekhul Azhar (Guru Besar)

yang pada waktu itu dijabat oleh DR. Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, fatwa tersebut

menyatakan bahwa al-jiwaz al-‘urf adalah sebuah pernikahan yang tidak tercatat

sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syakh

Jaad al-haq mengklasifikasikan ketentuan pernikahan kepada dua katagori, yaitu

rukun syar’iy dan rukun yang bersifat al-tawstiqi.

Rukun syar’iy adalah rukun yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah

pernikahan. Rukun ini adalah rukun yang ditetapkan Syari’at Islam seperti yang

telah dirumuskan dalam Kitab-kitab Fikih dari berbagai madzhab yang pada intinya

adalah kemestian adanya ijab dan kabul dari masing-masing dua orang yang berakad

(wali dan calon suami) yang diucapkan pada majles yang sama, dengan

menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadinya ijab dan kabul yang

diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk

melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang saksi yang

telah baligh berakal lagi beragama Islam, dimana dua orang saksi itu disyaratkan

mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab kabul tersebut. Dua orang saksi

tersebut mengerti tentang isi ijab dan kabul itu serta syarat-syarat lainnya seperti

12

Prof. DR. H. Satria Effendi M.Zein, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam

Kontenporer,(Jakarta: Prenada Media, cet. II 2006) halaman 33-37

Page 8: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

8

yang telah dibentangkan dalam kajian fikih, dan tidak terdapat larangan hukum

syara’.

Oleh Ulama Besar ini, rukun-rukun tersebut dianggap sebagai unsur-unsur

pembentuk akad nikah. Apabila unsur-unsur pembentuknya seperti diatur dalam

Syari’at Islam itu telah secara sempurna terpenuhi, maka menurutnya akad nikah itu

secara syar’i telah dianggap sah, sehingga halal bergaul sebagaimana layaknya

suami istri yang sah dan anak dari hubungan suami istri itu sudah dianggap sebagai

anak yang sah.

Rukun yang bersifat tawutsiqy adalah rukun tambahan dengan tujuan agar

pernikahan di kalangan ummat Islam tidak liar, tetapi tercatat pada buku register

Akta Nikah yang dibuat oleh pihak yang berwenang untuk itu yang diatur dalam

peraturan perundangan administrasi negara. Kegunaannya agar sebuah lembaga

perkawinan yang merupakan tempat yang sangat penting dan strategi dalam

masyarakat Islam dapat dilindungi dari adanya upaya-upaya negative dari pihak-

pihak yang tidak bertanggungjawab. Misalnya sebagai upaya antisipasi dari adanya

pengingkaran akad nikah oleh seorang suami di kemudian hari, meskipun pada

dasarnya dapat dilindungi dengan adanya para saksi, tetapi sudah tentu akan lebih

dapat dilindungi lagi dengan adanya pencatatan resmi di lembaga yang berwenang

untuk itu. Menurut Undang-undang perkawinan Republik Arab Mesir Nomor 78

Tahun 1931 menyatakan tidak akan didengar suatu pengaduan tentang perkawinan

atau tentang hal-hal yang didasarkan atas perkawinan, kecuali berdasarkan adanya

dekumen resmi pernikahan. Namun demikian menurut fatwa Jad al-Haq Ali Jaad al-

Haq, tanpa memenuhi peraturan perundang-undangan itu, secara syar’iy nikahnya

sudah dianggap sah, apabila telah melengkapi segala syarat dan rukun seperti diatur

dalam Syari’at Islam.

Fatwa Syekh Al-Azhar tersebut, tidak bermaksud agar seseorang boleh dengan

seenaknya saja melanggar undang-undang di suatu negara, sebab dalam fatwa beliau

tetap mengingatkan pentingnya pencacatan nikah, beliau mengingatkan agar

pernikahan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga

menegaskan bahwa perauran perundangan yang mengatur pernikahan adalah hal

yang mesti dilaksanakan setiap muslim yang mengadakan perkawinan, sebagai

antisipasi bilamana diperlukan berurusan dengan lembaga peradilan. Misalnya jika

dikemudian hari salah satu dari suami istri mengingkari perkawinan atau

pengingkaran itu muncul ketika akan membagi harta warisan di antara ahli waris.

Lebih jelas lagi Wahbah Al-Zulaily dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islami Wa

Adillatuhu13

, secara tegas membagi syarat nikah yang harus dipenuhi, menjadi

13

DR. Wahbah Al-Zuhaily, Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, (Bairut: Dar Al-fikr 1985) Juz VIII

halaman 36

Page 9: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

9

syarat syar’iy dan syarat tautsiqy. Syarat syar’iy maksudnya suatu syarat dimana

keabsahan suatu peristiwa hukum tergantung kepadanya, yang dalam hal ini adalah

rukun-rukun pernikahan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Sedangkan

syarat tautsiqy adalah suatu yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti

kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai upaya antisipasi adanya ketidak jelasan

di kemudian hari. Syarat tausiqi tidak berhubungan dengan syarat sahnya suatu

perbuatan, tetapi sebagai bukti adanya perbuatan itu. Misalnya hadirnya dua orang

saksi dalam setiap bentuk transaksi adalah merupakan syarat tautsiqy, kecuali

kehadiran dua orang saksi itu dalam perikatan pernikahan adalah merupakan syarat

syar’iy, karena merupakan unsur pembentuk prosesi pernikahan itu dan yang

menentukan pula sah atau tidak sahnya suatu peristiwa pernikahan, disamping

sebagai syarat tautsiqy. Contoh syarat tautsiqy dalam al-Qur’an adalah syarat

pencatatan jual beli dengan tidak secara tunai, sebagaimana ditegaskan dalam Surat

al-Baqarah ayat 282, “Ya ayyuhalladzina aamanuu idza tadayantum bidaidin illa

ajalin musamma faktubuh” dan pada ayat setelahnya dinyatakan “wa in kuntum ‘ala

safarin wa lam tajidu katiban farihanumm maqbuudlah” Apabila penggalan dua

ayat ini, dipahami secara tektual belaka tanpa mengaitkannya dengan ajaran pada

ayat berikutnya, maka kesimpulan yang segera diperoleh adalah adanya kemestian

pencatatan utang piutang dan kewajiban memberikan barang tanggungan sebagai

jaminan utang. seolah-olah utang-piutang tidak dianggap sah apabila tidak

dicatatkan dan atau tidak ada barang jaminan. Pemahaman seperti ini tidak sejalan

dengan pemahaman para ulama yang ahli dibidangnya. Sebab menurut kesimpulan

para ulama, kedudukan pencatatan dan barang jaminan, hanyalah sebagai alat bukti

belaka dan sebagai jaminan bahwa utang tersebut akan dibayar sesuai waktu yang

dijanjikannya. Kesimpulan para ulama tersebut adalah karena pemahaman ayat di

atas dihubungkan dengan ayat setelahnya “fa in amina ba’dlukun ‘ala ba’dlin

falyuaddi alladzi u’tumina amanatahu” ayat terakhir ini menunjukan pancatatan dan

barang jaminan adalah alat tautsiq, apabila tautsiq atau kepercayaan itu telah ada

pada masing-masing pihak, maka pencatatan dan barang jaminan itu tidak

diperlukan lagi dan utang piutang merupakan amanah yang wajib dibayar.

Dari hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas, penulis berkesimpulan

bahwa hukum materil dari suatu peristiwa perkawinan, sebagaimana juga pada

peristiwa hukum yang lainnya adalah aturan hukum yang menentukan unsur unsur

pembentuk dari peristiwa hukum itu, sah atau tidak sahnya suatu perbuatan itu

adalah merupakan berbuatan hukum, tergantung pada aturan hukum materil

tersebut, tidaklah tergantung pula pada aturan hukum yang berdimensi hukum

pembuktian. Misalnya sah atau tidak sahnya jual beli tergantung pada aturan materil

tentang terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur jual beli itu, ada pembeli ada penjual,

ada barang yang dijualbelikan dan ada uang sebagai ukuran harga barang yang telah

disepakati bersama antara penjual dan pembeli, penjual dan pembeli mengadakan

Page 10: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

10

perikatan jual beli. apabila unsur-unsur tersebut telah terpenuhi maka secara hukum

jual beli tersebut adalah sah secara materil tanpa harus memperhatikan hukum

pembuktiannya, begitu pula dalam pernikahan untuk menetukan sah atau tidak

sahnya suatu pernikahan tergantung pada unsur-unsur pembentuk pernikahan itu

sendiri yang telah ditentukan oleh hukum yang dalam hal ini sebagaimana ketentuan

Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan suatu perkawinan

adalah sah apabila dillakukan berdasarkan hukum agama masing-masing dan

kepercayaannya itu. Ketentuan pasal ini menunjukan unsur-unsur peristiwa

perkawinan tergantung pada hukum agama masing-masing yang akan melaksanakan

perkawinan itu. Oleh karena itu unsur unsur pembentuk suatu peristiwa perkawinan

di Indonesia akan berbeda-beda, untuk ummat Islam harus sesuai dengan ketentuan

Hukum Islam yang dalam hal ini Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam dan tidak

terdapat larangan hukum sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 39 sampai

dengan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. Suatu perkawinan menurut hukum Islam

adalah sah apabila unsur-unsur tersebut telah terpenuhi dengan tanpa harus

memasukan hukum formilnya, dengan batasan tidak terdapat larangan syara’ untuk

melangsungkan perkawinan itu.

Hukum pembuktian dalam suatu peristiwa perkawinan adalah ketentuan

hukum yang berfungsi untuk menegakan hukum materil tentang perkawinan itu,

ketika terjadi persengketaan, keraguan adanya perkawinan atau hal-hal lain yang

memerlukan bukti perkawinan. Oleh karena itu pelanggaran prosudur berpoligami

yang berakibat bermasalah terhadap pencatatan perkawinan tidaklah relepan bila

dinyatakan menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan, sebab prosudur

poligami dan pencatatan perkawinan tidak termasuk unsur-unsur pembentuk

perkawinan itu menurut hukum. Terpenuhinya prosudur poligami sehingga dapat

dilakukan pencatatan perkawinan berkaitan dengan hukum formil tentang

pembuktian untuk mengabadikan peristiwa perkawinan poligami itu. Dengan

demikian pencatatan perkawinan poligami tidak menentukan sah atau tidak sahnya

suatu perkawinan, melainkan dengan pencacatan perkawinan poligami menentukan

terbukti adanya perkawinan atau tidak terbukti adanya. Apabila suatu perkawinan

poligami terdapat cacatan dalam Akta Nikah, maka secara hukum perkawinan

tersebut harus dinyatakan ada, dan sebaliknya apabila perkawinan poligami tidak

tercatat dalam Akta Nikah, maka secara hukum perkawinan tersebut harus

dinyatakan dianggap tidak terbukti adanya dan perkawinan yang demikian tidak

memiliki kekuatan hukum.

Oleh karena itu tidak dicatatnya poligami di bawah tangan, karena tidak

dilakukan sesuai prosudur hukum, dalam hukum Islam tidak mempengaruhi

substansi sah atau tidak sahnya perkawinan poligami itu, pergaulan antara suami

istri dalam perkawinan yang demikian tidak dapat dikatagorikan perzinaan,

demikian pula akibat hukum terhadap anak-anak yang dilahirkannya tidak dapat

Page 11: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

11

dinyatakan sebagai anak zina yang identik dengan anak di luar perkawinan,

melainkan sebagai anak yang sah dengan segala konsekwensi hukumnya, seperti

akibat pekawinan poligami itu menyebabkan anak-anak yang dilahirkan nasabnya

dihubungkan kepada kedua orang tuanya itu, demikian pula hak dan kewajiban

orang tua terhadap anak-anak seharusnya berjalan sebagai mana mestinya, di antara

mereka dapat saling mewarisi satu dengan yang lainnya dan apabila anak yang

dilahirkan itu perempuan, maka ayahnya berhak menjadi wali anak perempuannya.

Akan tetapi hak dan kewajiban orang tua terhadap anak tersebut hanya berlaku

secara natural (alamiyah) saja.

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan.

Hukum Islam (syari’at Islam) sesuai karakteristiknya memiliki dimensi al-

mashlahah bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat ummat manusia secara

menyeluruh sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai khalifah yang bertugas

untuk melestarikan bumi ini (Al-Qur’an Surat Hud ayat 61)14

Menurut Lahmudin Nasutioan 15

Al-Mashlahah berasal dari Bahasa Arab yang

jamaknya al-mashaalih, merupakan kata sinomin dengan kata manfaat (keuntungan)

dan lawan kata (akronim) dengan mafsadat (kerusakan). Secara majazi, kata

tersebut dapat dipergunakan untuk suatu tindakan yang mengandung manfaat. Kata

manfaat sendiri selalu diartikan dengan ladzah (rasa enak) dan selalu diupayakan

untuk mendapatkan atau mempertahankannya.

Dalam kajian Hukum Islam, mashlahah memiliki pengertian yang khusus

walaupun tidak terlepas dari pengertian aslinya, yaitu Jalb al-manfa’at wa daf’u al-

madlar artinya menarik manfaat dan menolak kemadaratan.16

Ulama fikih sepakat

bahwa terbentuknya syari’ah (fikih) yang merupakan turunan dari al-Qur’an dan al-

Hadis (wahyu) terkandung tujuan utama yang disebut dengan mashlahah yang

merupakan penjelmaan rahmah Allah terhadap ummat manusia secara umum, agar

dapat menjalani tatanan kehidupannya sebagai mana mestinya dan terhindar dari

segala hal yang merusak tatanan kehidupan itu.

Maashlahah dilihat dari segi objek dan kekuatannya, terdapat tiga macam

mashlahah, yaitu mashlaha dlaruriyah, mashlahah hajjiyah dan mashlahah

tahsiniyah.

Mashlahah dlaruriyah menurut Abu Zahrah disebut juga dengan

mashlahah haqiqiyah adalah mashlahah yang keberadaannya berhubungan langsung

dengan kebutuhan esaensi (pokok/primer) manusia, yaitu yang berhubungan dengan

pemeliharaan dan perlindungan agama (hafdhu al-diin), pemeliharaan dan

14

Al-Qur’an Surat Hud ayat 61 “hua ansyaa’akum min al-ardhi wa ista’marakum fiiha”

artinya Dia (Allah) yang menumbuhkembangkan kamu dari bumi, dan kamu diminta untuk

mema’murkan bumi. 15

Lahmudin Nasutioan, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’I, (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2001), halaman 127 16

Abd Al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiq (Barirut: Dar al-Fikr. 1991), halaman 176

Page 12: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

12

perlindungan jiwa (hafdhu al-nafs), pemeliharaan dan perlindungan akal (hafdhu al-

aql), pemeliharaan dan perlindungan keturunan (hidhu al-nasl) , dan pemeliharaan

dan perlindungan harta (hifdhu al-mal).17

Pemeliharaan dan perlindungan agama adalah melindungi seseorang untuk

beragama sesuai dengan kepercayaannya dengan adanya larangan memfitnah dan

melecehkan agama, larangan sesat dari agama yang dianut, larangan menistakan

agama, larangan selalu berbuat anarhis dan berbuat kerusakan.18

pemeliharaan dan

perlindungan terhadap agama sebagai esensi pokok yang diwujudkan dalam bentuk

syari’ah adalah agar ummat manusia tidak melepaskan diri hubungannya dengan

Sang Khalik Allah SWT sebagai hubungan religius transendental. Oleh karena itu

setiap hukum yang dibentuk harus sesuai dengan nilai-nilai yang dikandung dalam

wahyu baik yang bersifat qauliyah (al-Qur’an), maupun yang bersifa ma’nawiyah

(al-hadis), sebab bila manusia telah melepaskan diri hubungannya dengan Allah

SWT, akan berimplikasi negatif pada kehidupan bermasyarakat secara umum.

Pemeliharaan dan perlindungan terhadap jiwa adalah pemeliharaan dan

perlindungan terhadap segala hak hidup yang layak, yang diantaranya pemeliharaan

dan perlindungan kebebasan berbuat, kebebasan berfikir, kebebasan berbicara,

kebebasan bertempat tinggal dan lain sebagainya yang berhubungan dengan hak

asasi manusia19

. Pemeliharaan dan perlindungan terhadap akal adalah memelihara

dan melingdungi akal dari segala hal yang akan berakibat kerusakan akal. Oleh

karena itu Hukum Islam mengharamkan khamr dan segala bentuk narkoba.20

Pemeliharaan terhadap keturunan adalah pemeliharaan dan perlindungan bagi setiap

anak dengan status yang jelas, harus diperlakukan sebagai bagian dari masyarakat

yang harus tumbuh dan berkembang disekitar orang tuannya, baik sisi jasmaninya

maupun ruhaninya.21

Untuk menjamin terpeliharaanya keturunan ini dalam hukum

Islam diharamkan melakukan hubungan suami istri diluar ikatan perkawinan, dan

terbentuknya lembaga perkawinan yang disyari’atkan. Dan pemeliharaan dan

perlindungan terhadap harta adalah memelihara dan melindungi harta dari segala

bentuk-bentuk dlalim, pencurian, penipuan dan penghancuran.22

Apabila kepentingan-kepentingan tersebut tidak dipelihara dan tidak

dilindungi oleh hukum, maka tatanan kehidupan manusia akan mengalami ketidak

nyamanan, dan kehancuran, karena unsur-unsur pokok yang membentuk kehidupan

ini telah tidak ada.

Mashlahah hajjiyah adalah mashlahah yang berhubungan dengan pemenuhan

kebutuhan sekunder (tidak esensial) kehidupan manusia manusia, sedangkan

mashlahah tahsiniyat adalah mashlahah yang berhubungan dengan kebutuhan

manusia yang bersifat estetika

17

Imam Al-Sayuthi, Al-Isybah Wa al-Nadha’ir, (Bairut: al-Maktabah, 1989). halaman 397 18

Imam Al-Suyuthi, Ibid. 19

Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Bairut: Dar Al-fikr, 198) halaman 278. 20

Abu Zahrah, Ibid. halaman 279 21

Abu Zahrah, Ibid. halaman 280 22

Abu Zahrah, Ibid.

Page 13: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

13

Suatu ketentuan perundang-undangan atau hukum yang dibentuk berdasarkan

mashlahah, esensinya untuk menciptakan kebaikan, ketertiban, keselamatan dan

kebahagian hidup manusia, atau terhindar dari hal-hal yang dapat merusak tatanan

kehidupan secara umum. Mashlahah dalam hal ini terbagi kepada tiga macam23

yaiu

Mashlahah al-mu’tabarah, yaitu mashlahah yang ditunjuk Syara’ baik secara

langsung maupun tidak langsung dan berfungsi sebagai dalil dalam pembentukan

suatu hukum, Mashlahah al-mulgha, yaitu mashlahah yang secara rasional dianggap

baik, akan tetapi tidak diperhatikan dalam nash, dan ada petunjuk nash yang

menolaknya dan Mashlahah al-mursalah, disebut juga dengan istilah al-ishtislah,

yaitu suatu mashlahah yang dipandsang baik oleh akal pikiran, sejalan dengan

tujuan hukum Syara’ dalam menetapkan hukum, akan tetapi tidak ada nash Syara’

yang menunjuknya dan tidak ada pula yang menolaknya.

Mashlahah dalam bentuk yang terakhir adalah salah satu teori yang dapat

dijadikan pijakan dalam mewujudkan kebaikan, yang dibutuhkan manusia agar

terhindar dari kemadaratan yang akan terjadi. Mashlahah mursalah menurut

Wahbah al-Zuhaili24

adalah beberapa sifat yang melekat (al-mulaimah) pada

tindakan dan selaras dengan tujuan Syara’, tetapi tidak ada dalil tertentu yang

membenarkannya atau menolaknya. Hukum yang dibangun berdasarkan mashlahah

mursalah ini akan mencapai kemaslahatan yang sejati dan terhindar dari kerusakan.

Sedangkan menurut Muhammad Sa’id al-Ramdan al-Buti yang dikutif Abdul

Manan25

bahwa hakikat mashlahah al-mursalah adalah setiap manfaat yang

tercakup dalam jiwa syari’ah dengan tanpa ada dalil yang membenarkan atau

membatalkannya. Kemudian Abdul manan menyimpulkan bahwa maslahah

mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat

mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan, apa yang lebih baik menurut

akal itu juga selaras dan sejalan dengan jiwa syari’ah dalam merekontruksi

bangunan hukum, kebaikan dan keselarasan tersebut tidak terdapat dalil yang

mengakuinya.26

Syari’ah (hukum Islam) dalam bentuk nilai-nilai dasar berdimensi absolut,

abstrak, abadi dan universal, ia bersifat transendental karena bersumber wahyu

ilahiyah, sedangkan syari’ah dalam bentuk asas-asas umum dan asas-asas hukum

praktis yang berfungsi sebagai jembatan antara nilai-nilai dasar yang harus

dipertimbangkan dengan norma hukum praktis, baik dalam bentuk fikih maupun

perundang-undangan.27

Syari’ah dalam bentuk berupa peraturan hukum konkrit baik

yang dimuat dalam doktrin hukum (fikih) maupun perundangan yang berlaku dalam

suatu negara tertentu substansinya konkrit, relatif, temporer, dan lokal. Ia bersifat

dinamis logis transendental. Dinamis berimplikasi bahwa norma hukum yang

diciptakan disesuaikan dengan kebutuhan kemaslahatan (elastisitas atau harakah)

23

DR. H. Abdul Manan, SH, SIP, M.Hum, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2006) halaman 17 24

Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Bairut Dar al-Fikr al-Muasir, 1986),

halaman 757 25

DR. H. Abdul Manan, SH, SIP, M.Hum, op.cit. halaman 266 26

Abdul Manan, Ibid, halaman 267. 27

A. Mukti Arto, loc. Cit. halaman 12-13

Page 14: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

14

yang tidak berhenti pada suatu titik tertentu, melainkan terus menerus berkembang

sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi. Terhadap peraturan hukum yang

konkrit ini berlaku kaidah-kaidah hukum “al-hukmu yadurru ma’a illatihi wujuudan

wa ‘adaman, taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkan wa al-azminah, al-hukm

manuuthun bi a-mashlahah al-mu’tabarah” logis berarti hukum tersebut sesuai

dengan kebenaran yang rasional dan transendental berarti hukum itu harus berpijak

pada nilai-nilai dasar syari’ah yang ditetapkan dalam wahyu ilaahi, agar

menghasilkan kebenaran ilaahiyah28

Berdasarkan hal tersebut, maka syari’ah (hukum Islam) memiliki daya

elastisitas dan elaktibilitas yang selalu selaras dengan perkembangan kondisi dan

situasi, baik lokal maupun global.

Perbuatan zina atau persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan di luar ikatan perkawinan adalah perbuatan nista dan tidak dibenarkan

oleh aturan manapun, oleh agama apapun dan oleh negara apapun, walaupun dalam

katagori yang sedikit berbeda. Dalam Islam berpuatan zina dengan segala bentuknya

baik dilakukan suka-sama suka, maupun tidak, dilakukan oleh orang yang belum

berkeluarga maupun telah berkeluarga adalah terlarang dan termasuk perbuatan dosa

besar, bahkan pelakunya harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan

hukuman rajam atau jilid29

.

Demikian tegasnya hukum Islam terhadap pelaku zina, karena apabila

perzinaan dibiarkan dan menjadikannya sebagai perbuatan yang biasa dilakukan,

akan berakibat kehidupan manusia yang seharusnya berada pada tatanan kehidupan

terhormat sesuai martabat manusia itu sendiri, dengan merebaknya perzinaan akan

berakibat menghancurkan tatanan kehidupan manusia itu dan akan mengganggu

bangunan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegana (social socity)30

apabila perzinaan diperbolehkan dan dibiarkan dalam masyarakat, maka kehidupan

manusia sama saja dengan kehidupan binatang yang bebas dari nilai-nilai. Akibat

28

Ibid, halaman 13 29

Abd Al-Rahman Al-Jaziiry, menyatakan fazzina min al-asbaabi alati taqwidhu da’aima al-

umami wa tuhaddimu majdaha wa tajlibu lahaa al-dzilla wa al-isti’maara li’annahu mu’athilun

linnasli al-qawiy al-shalihi al-mutanaashiri, wa qaatili linnakhwati wa al-syahaamati wa mumayyitu

liljar’ati wa al-syaja’ah wa qaathi’u lirrahmi allati turabbitu baina al-naas wa allati ‘ala

nidhaamiha wa taqdiiriha tbna’ kaafahtu al-rawaabith al-insaniyah min al-ubuwwah wa al-

bunuwwah wa al-ukhuwwah wa saa’iri al-qarabah artinya perzinaan adalah merupakan salah satu

sebab robohnya dan hancurnya pondasi bangunan kehidupan ummat manusia dalam bermasyarakat

yang layak dan bermartabat, dengan melegalkan zina akan membawa masyarakat kejurang kehinaan

dan kenistaan, karena dengan perbuatan zina akan menyia-nyiakan keturunannya, sebagai unsur

utama pembentuk masyarakat manusia itu, perzinaan berakibat membunuh semangat dan

kemandirian dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, dengan perzinaan berakibat memutuskan

mata rantai silah al-rahmi (hubungan silaturrahmi) melalui ikatan al-ubuwwah wa al-bunuwwah wa

al-ukhuwwah wa saa’iri al-qarabah yang seharusnya terjalin sebagai pengikat antar ummat manusi

dalam membangun hubungan antar satu individu dengan individu yang lain secara menyeluruh. Abd

Al-Rahman Al-Jaziiry, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzaahib Al-Arba’ah, Jilid V (Mesir: Al-Maktabah

Al-Tijariyah Al-Kubra’, tt) halaman 57 30

Muhammad Aly Al-Shabuny, Rawa’i al-Bayan bi tafsiir ayat al-Ahkam min Al-Qur’an, Juz

II, halaman 52

Page 15: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

15

lain dari perbuatan zina ini adalah berakibat langsung menelantarkan anak-anak

yang dilahirkannya, sebab seorang laki-laki melakukan hubungan badan dengan

seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan dan berakibat melahirkan anak, laki-

laki dan perempuan itu tidak terikat hubungan hukum dan demikian pula dengan

anak yang dilahirkannya itu. Oleh karena itu di antara mereka tidak terikat hak dan

kewajiban. Dengan demikian Islam memandang bahwa zina dengan segala

bentuknya adalah merupakan tindak pidana umum yang disyari’atkan untuk

menjaga stabilitas masyarakat dan menghindari kemadaratan yang akan dialami

anak-anak yang dilahirkannya31

Demikian pula hukum Perkawinan merupakan salah satu hukum yang

ditetapkan oleh Allah SWT demi kemaslahatan seluruh umat manusia, guna

menyalurkan kodrat manusia dalam menyalurkan nafsu birahi secara benar dan

pemeliharaan keturunan yang dilahirkannya, disamping mewujudkan suasana rumah

tangga yang sakinah, mawaddah dan ramah, sebagaimana yang dikandung dalam

Q.S. al-Ruum ayat 21, yang artinya ;

• Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu

isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram

kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.

(Qs. Ar-Rum (30) : 21)

Di Indonesia, peraturan tentang (hukum) perkawinan diatur dalam UU Nomor

I Tahun 1974 yang selanjutnya secara rinci dilengkapi oleh Kompilasi Hukum Islam

(KHI) yang keberlakuannya diatur dalam INPRES Nomor 1 Tahun 1991.

Pembicaraan perkawinan dan segala permasalahannya tentu tidak lepas

dengan status anak yang dilahirkan, baik yang dilahirkan sebagai akibat hubungan

suami isteri yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang terikat tali

perkawinan yang sah maupun hubungan suami isteri di antara laki-laki dan

perempuan yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah. Untuk kasus yang

pertama tidaklah menjadi pembahasan di sini, yang menjadi bahasan di sini adalah

kasus yang kedua.

Pengertian Anak Di luar Nikah dan Dasar Hukumnya

Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara khusus dan pasti tentang

pengelompokan jenis anak, sebagaimana pengelompokan yang terdapat dalam

hukum perdata umum. Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang

kriteria anak sah (yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana

yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi bahwa

anak yang sah adalah :

1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

31

Muhammad Aly Al-Shabuny, ibid halaman 53

Page 16: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

16

2. Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri

tersebut.

Juga dikenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, seperti yang

tercantum dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa “anak yang lahir di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga

ibunya”. Di samping itu dijelaskan juga tentang status anak dari perkawinan seorang

laki-laki dengan perempuan yang dihamilinya sebelum pernikahan. Sebagaimana

yang tercantum pada Pasal 53 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam :

• “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak

diperlukan perkawinan setelah anak yang dikandung lahir”.

Begitu juga dalam Pasal 75 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam menjelaskan

tentang status anak dari perkawinan yang dibatalkan, yang berbunyi “Keputusan

pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari

perkawinan tersebut.

Sedangkan dalam Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang

status anak li’an (sebagai akibat pengingkaran suami terhadap janin dan/atau anak

yang dilahirkan isterinya). Dengan demikian, jelas bahwa Kompilasi Hukum Islam

tidak ada mengelompokkan pembagian anak secara sistematis yang disusun dalam

satu Bab tertentu, sebagaimana pengklasifikasian yang tercantum dalam UU Nomor

1 Tahun 1974. Dalam pasal 42 Bab IX UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menjelaskan

bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat

perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah :

1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah.

2. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawainan dengan

tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan

melahirkan bayi.

3. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya

kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya

oleh suami.

Karena itu untuk mendekatkan pengertian “anak di luar nikah” akan diuraikan

pendekatan berdasarkan terminology yang tertera dalam kitab fikih32

yang

dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera dalam

pasal-pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Ulama fikih

membuat terminology anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari

hubungan suami isteri yang tidak sah.-Hubungan suami isteri yang tidak sah

sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang

32

Lihat Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwaal al-Syakhshiyah, (Bairut: Dar Alfikr al-‘Araby

1957) halaman 404, lihat juga Wahbah al-Zuhaily, fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Bairut: Dar al-Fikr,

1984) Juz VII halaman 675

Page 17: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

17

yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah

yang telah ditentukan. Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut,

dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang

dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah

“anak zina” merupakan istilah yang popular dan melekat dalam kehidupan

masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk

dijadikan sebagai istilah khusus di dalamnya.-Hal tersebut mungkin bertujuan agar

“anak” sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan

masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu

kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus untuk

menunjukan identitas Islam tidak mengenal adanya dosa warisan. Untuk lebih

mendekatkan makna yang demikian, pasal 44 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974

hanya menyatakan “seorang suami dapat menyengkal sahnya anak yang dilahirkan

oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan

kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.

Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina”

sebagaimana definisi yang dikemukaan oleh ulama fikih di atas, adalah istilah “anak

yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada

pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di

luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga

ibunya” Semakna dengan ketentuan tersebut, pasal 186 Kompilasi Hukum Islam

menyatakan :

• “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling

mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.

• Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang

dimaksudkan dengan anak zina dalam pembahasan ini adalah anak atau janin yang

pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan

di luar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina. Pendekatan istilah “anak

zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”, berbeda dengan

pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata umum, sebab dalam

perdata umum, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua

orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, di mana salah seorang atau

kedua-duanya terikat satu perkawinan dengan orang lain. Karena itu anak luar nikah

yang dimaksud dalam hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di

luar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina.-Perbedaan

anak zina dengan anak luar kawin menurut hukum perdata adalah :

1. Apabila orang tua salah satu atau keduannya masih terikat dengan

perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan

melahirkan anak, maka anak tersebut disebut anak zina.

2. Apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama bujang (jejaka,

perawan, duda dan janda), mereka mengadakan hubungan seksual dan

melahirkan anak maka anak itu disebut anak luar kawin.

Page 18: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

18

• Dengan demikian sejalan dengan pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974

yang rumusannya sama dengan pasal 100 KHI, adalah : “anak yang lahir di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga

ibunya”. Yang termasuk anak yang lahir di luar pernikahan adalah :

1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan

yang sah dengan pria yang menghamilinya.

2. Anak Yang dilahirkan oleh wanita akibat korban perkosaan oleh satu orang

pria atau lebih.

3. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dili’an (diingkari) oleh suaminya.

4. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang

(salah sangka), disangka suami ternyata bukan.

5. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan

yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau saudara

sepesusuan.

Angka 4 dan 5 di atas dalam hukum Islam disebut anak Subhat yang apabila diakui

oleh Bapak subhatnya, nasabnya dapat dihubungkan kepadanya. Sedangkan angka

1, 2 dan 3 adalah termasuk dalam kelompok anak zina’

Penetapan Nasab Anak Menurut Fikih.

Ikatan perkawinan adalah suatu ikatan yang sangat kuat antara calon

mempeplai laki-laki dan calon mempelai perempuan. Kekuatan ikatan perkawinan

tersebut yang terikat bukan saja lahiriyahnya saja, melainkan juga terikat

batiniyahnya antar suami istri itu dan antar suami istri dengan masing-masing orang

tuannya. Akibat hukum adanya ikatan perkawinan yang sah menurut hukum,

melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bukan saja antar suami istri itu,

melainkan juga dengan pihak lain yaitu adanya hak-hak yang harus diterima anak-

anak yang dilahirkannya.

Hak anak yang paling pertama yang dilahirkan dari orang tuannya adalah

hak nasab bagi anak, hak mendapatkan penyusuan, hak mendapatkan pengasuhan,

hak memperloh perwalian, hak menerima biaya hidup dan hak kewarisan.

Nasab Anak-anak Terhadap Orang Tuanya.

Dalam pembahasan tentang nasab anak tersebut terdapat tiga kaidah hukum

yang harus dijadikan patokan, yaitu:

1. Masa kehamilan anak dalam kandungan ibunya batas minimalnya 6 bulan

setelah masa perkawinan.

Pada masa sekarang, dimana kecanggihan teknologi semakin pesat dalam

berbagai bidang ilmu pengatehuan, termasuk dalam bidang ilmu kebidanan yang

mempelajari tentang embriologi dalam kandungan seorang ibu, melalui perhitungan

exsakta janin yang ada dalam kandungan itu dapat diketahui kapan seorang ibu

Page 19: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

19

mulai mengandung janin itu dan dapat diketahui pula kapan ibu hamil itu akan

melahirkan anaknya. Dengan ilmu exsakta ini pada masa sekarang akan lebih

meyakinkan pembuktian untuk menghubungan nasab anak kepada kedua orang

tuanya, dari pada diukur dengan ukuran 6 bulan setelah perkawinan, yang dihasilkan

dari kebiasaan-kebiasaan seorang ibu dapat melahirkan. Walaupun demikian kaidah

ini masih dapat digunakan sebagai bukti awal bahwa anak yang dilahirkan kurang

dari 6 bulan setelah masa perkawinannya diduga bukan anak yang dihasilkan dari

perkawinan yang sah menurut hukum dan sebagai bukti yang lengkap dan

meyakinkan dalam hal ini menurut penulis adalah buklti keterangan ahli.

Penentuan batas minimal 6 bulan masa kehamilan setelah terjadi hubungan

suami istri yang nyata menurut Mayoritas ulama dan setelah adanya akad

perkawinan menurut ulama al-Hanafiyah33

, yang dijadikan sandaran ahli hukum

Islam secara mayoritas adalah didasarkan pada hadis “qaala Rasulullah SWA al-

walad lilfirasy wa lil’aahir al-hijru”34

maksud hadis ini menurut Wahbah al-

Zuhaily adalah bahwa seorang anak nasabnya dapat dihubungkan terhadap ayahnya

hanya dalam perkawinan yang sah, yang dimaksud al-firasy dalam hadis tersebut

adalah seorang perempuan menurut pandangan kebanyakan ulama, adapun

perzinaan tidak dapat dijadikan sebab adanya hubungan nasab antara ayah pezina

dengan anak zinanya, sebab seorang pezina berhak menerima hukuman rajam atau

dilempar dengan batu. Seorang perempuan tidak dapat dinyatakan dengan firasy

kecuali perempuan itu memungkinkan dapat melakukan hubungan suami istri.

Adapun batas maksimum seorang ibu mengandung janin, terjadi perbedaan

pendapat menurut Imam Malik selama lima tahun, menurut Imam Syafi’iy selama

empat tahun, menurut Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah dua tahun, sesuai yang

dinyatakan ‘Aisyah ra bahwa seorang perempuan hamil tidak melebihi dua tahun.

Muhammad bin al-hakm menjelaskan bahwa seorang perempuan hamil paling lama

satu tahun hijriah dan menurut Dhahiriyah selama sembilan bulan tidak lebih dari

itu.

Abu Zahrah35

dalam hal ini menegaskan bahwa penentuan waktu lamanya

hamil seorang ibu, tidak didasarkan pada nash, melainkan berdasarkan kebiasaan

suatu daerah, menurut penelitian yang dilakukan sekarang diperkirkirakan masa

maksimun kehamilan adalah sembilan bulan, ditambah satu bulah untuk kehati-

hatian menjadi sepuluh bulan, begitu pula menurut Ibnu Rusyd dalam masalah ini

dikembalikan kepada kebiasaan suatu daerah dan ilmu kedokteran. Menurut

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1929 tentang hukum perkawinan yang berlaku di

Mesir, batas maksimum masa kehamilan adalah satu tahun Masehi atau 365 hari,

penentuan ini diperlukan untuk mengantisipasi gugatan nafkah iddah dan gugatan

yang berkaitan dengan nasab (hubungan darah) untuk menetapkan hak kewarisan

dan menetapkan wasiat bagi anak yang dikandung itu.

2. Penyebab penetapan nasab dalam akad yang fasid terhadap anak adalah

adanya hubungan sexsual suami istri secara nyata.

33

Wahbah Al-Zuhaily, ibid halaman 676 34

Hadis ini diriwayatkan al-Jama’ah selain al-Turmudzy 35

Muhammad Abu Zahrah, ibid halaman 452

Page 20: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

20

Seorang anak dapat dihubungkan nasabnya kepada orang tuanya, bilamana

orang tua tersebut telah melakukan hubungan badan secara nyata dan apabila orang

tua itu belum melakukan hubungan suami istri secara nyata, maka anak tersebut

tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada orang tuanya. Yang dimaksud hubungan

suami istri secara nyata dalam hal ini adalah terjadinya pembuahan ovum (induk

telor) seorang istri oleh spermatozoid suaminya, baik pembuahan itu terjadi dalam

vagina maupun diluar vagina istri, suami istri yang telah melakukan hubungan

badan, kemudian istri mengandung janin dan usia kandungannya berjalan enam

bulan atau lebih, maka anak tersebut nasabnya dihubungkan kepada kedua orang

tuannya. Masa kehamilan tersebut diperhitungkan sejak terjadinya hubungan suami

istri, bukan dari akad perkawinannya, karena penyebab adanya nasab dalam hal ini

adalah adanya hubungan badan.

Adapun akad yang sah menurut hukum, ulama sepakat adalah sebagai

penyebab penetapan nasab anak yang lahir dalam ikatan perkawinannya, dengan

demikian kelahiran anak yang bukan sebagai akibat perkawinan yang sah, baik

dilakukan sebelum adanya perkawinan itu, maupun yang dilahirkan dalam

perkawinan yang pembuahannya terjadi sebeluam adanya perkawinan, maka anak

itu tidak dapat dinasabkan kepada orang tuanya. Imam Abu Hanifah berpendapat

bahwa hanya dengan adanya akad perkawinan yang sah saja yang menyebabkan

adanya nasab bagi anak, walaupun suami istri itu setelah akad perkawinan tidak

pernah bertemu, misalnya seorang istri berada di wilayah Timur dan suaminya

berada di wilayah Barat dan pernikahannya itu melalui utusan atau tulisan. Imam

Ahmad, Imam al-Syafi’iy dan Imam Malik berpendapat bahwa seorang anak dapat

ditetapkan nasabnya yang disebabkan akad perkawinan yang sah dan lahir ditengah-

tengah kehidupan berumah tangga atau dalam iddah, apabila memungkinkan

terjadinya hubungan badan antara suami istri itu, apabila tidak mungkin karena

berjauhan atau sama sekali tidak pernah bertemu, maka nasab anak itu tidak dapat

ditetapkan, pendapat ini juga dipegang oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Imam

Ahmad ra mengisyaratkan dalam riwayat harb, bahwa ia telah menentukan

ketentuan hukum dalam periwayatannya tentang seorang yang menthalak istrinya

sebelum membina rumah tangga, dan istrinya itu melahirkan dan suaminya itu

mengingkari anak tersebut, beliau menyatakan anak itu nasabnya ditiadakan dari

suaminya itu, dengan selain li’an.36

3. Perzinaan tidak berakibat adanya nasab.

Kaidah ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang menyatakan “al-waladu

lilfiraasy wa al-‘ahiir lilhijr artinya anak bagi pemilik tempat tidur (perempuan) dan

pezina harus dihukum rajam37

. Karena tetapnya nasab merupakan ni’mah (anugrah),

36

Abu Zahrah, ibid halaman 453, menurut beliau karena syarat li’an adalah adanya

pengingkaran anak yang dilahirkan istrinya atau menuduh istrinya berbuat zina, kedua dalil tersebut

tidak ada dalam kasus itu, melainkan dengan lahirnya anak sebelum membina rumah tangga dalam

satu rumah adalah satu-satunya dalil bahwa istrinya itu telah melakukan perbuatan zina. 37

Hadis ini diriwayatkan al-Jama’ah dari Aby Hurairah ra. Redaksi hadis ini dalam riwayat

al-Bukhary adalah al-walad lishahib al-firasy. Ulama al-Syafi’iyah, al-Malikiyah dan al-Hanabilah

menyatakan bahwa yang dimaksud firasy dalam hadis ini adalah nama seorang perempuan, dan

dalam kamus firasy itu adalah istrinya seorang laki-laki (Abd Al-Rahman Al-Jaziiry, loc.cit. halaman

120.

Page 21: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

21

sedangkan tindak pidana bukanlah ni’mah melainkan berhak menerima hukuman.

Perzinaan yang tidak berakibat adanya nasab adalah setiap perbuatan melakukan

hubungan badan diluar ikatan perkawinan yang sah, dan tidak termasuk hubungan

badan yang syubhat yang menggugurkan hukuman had, sebab apabila hubungan

badan itu merupakan hubungan badan yang syubhat sehingga menghapuskan sifat-

sifat tindak pidana atau menggugurkan hukuman had, maka apabila dari hubungan

badan itu melahirkan anak, menurut pendapat yang lebih raajih38

anak tersebut

dapat ditetapkan nasabnya, akan tetapi apabila seorang menda’wakan (mengangkat)

nasab anak yang dilahirkan seperti kelahiran yang lainnya, walaupun sebenarnya

tidak diketahui nasabnya, maka nasab anak itu dihubungkan terhadap orang itu

dengan syarat tidak disebutkan anak itu sebagai hasil zina, apabila tidak demikian

anak itu tidak dapat ditetapkan nasabnya. Dan nasab yang seperti ini dinamakan

nasab bi al-da’wah (pengakuan nasab anak).39

Madzhab Malikiyah menyatakan penetapan nasab dengan pengakuan, tidak

cukup hanya tidak menyebutkan bahwa anak itu hasil zina, melainkan mesti tidak

diketahui kedustaannya dengan beberapa tanda-tanda, misalnya seoarang anak

temuan dan tidak menjelaskan pengakuan nasabnya secara akal atau ibu dari anak

tersebut adalah istri dari suami yang lain.

Ibnu al-Qasim40

menyatakan apabila anak itu diketahui sebagai anak temuan

atau anak pungut, pengakuan nasab anak tersebut tidak dapat ditetapkan kecuali

dengan bukti-bukti, berbeda dengan seorang perempuan yang mengakui seorang

nasab anak, pernyataan perempuan itu dapat diterima walaupun anak tersebut hasil

zina, karena anak zina nasabnya dihubungkan kepada ibunya.

Kaidah-kaidah tersebut adalah merupakan asas pokok yang berkaitan dengan

ketentuan hukum penetapan nasab anak dalam keadaan yang berbeda-beda, yaitu

adanya anak atau kelahiran anak itu setelah suami istri menjalankan kehidupan

berumah tangganya atau ketika istri menjalankan masa iddah, maupun sebagai

akibat dari hubungan badan yang subhat pada akad perkawinan yang fasid atau yang

lainnya.

Seandainya kelahiran anak itu sebagai akibat hubungan badan yang subhat,

dan anak itu dilahirkan dalam keadaan hidup, akan tetapi masa kandungannya

kurang dari enam bulan yang dihitung sejak berhubungan badan setelah perkawinan,

maka nasabnya tidak dapat ditetapkan, karena diyakini awal kehamilan istri tersebut

terjadi sebelum melakukan hubungan suami istri. Dan apabila kelahiran anak itu

setelah enam bulan, maka nasab anak itu ditetapkan sebagai anaknya dan

keberadaan anak itu tidak dapat disangkal walaupun dengan cara li’an, karena

terjadinya li’an hanya berlaku dalam perkawinan yang sah menurut hukum dan

perempuan itu dinyatakan sebagai istrinya yang sah, sedangkan dalam perkawinan

yang subhat seorang perempuan itu tidak dapat dinyatakan sebagai istri dalam

berbagai keadaan.

38

Pendapat yang lebih rajiih maksudnya pendapat yang dipilih ulama dari segi keuatan

dalilnya. 39

Abu Zahrah, ibid 40

Ibnu Qayyim, I’lam al-Muaqi’in

Page 22: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

22

Seorang anak dapat ditetapkan nasabnya sebagai akibat dari perkawinan

yang sah dan masa kelahirannya enam bulan atau lebih setelah perkawinan, harus

memenuhi tiga syarat, Yaitu:

1. Suami memungkinkan dapat menghamili istrinya.

Apabila seorang suami masih anak-anak, dan tidak mungkin dapat

menghamili istrinya, maka anak tersebut tidak dapat ditetapkan nasabnya, karena

keadaan suami yang masih anak-anak adalah merupakan qarinah yang pasti, bahwa

kehamilan istri bukan dari suaminya itu. Ulama sepakat bahwa syarat yang menjadi

dasar adanya berbagai hubungan nasab adalah adanya pembuahan ovum oleh

spermatozoid dari suami yang telah matang, suatu hal yang tidak mungkin anak

lahir dari suami yang masih anak-anak.

2. Tidak ada pengingkaran suami terhadap anak yang dilahirkan.

Untuk adanya penetapan nasab anak, tidak terjadi adanya pengingkaran dari

pihak suami terhadap anak yang dilahirkan dengan terjadinya li’an. Seorang suami

yang me-li’an istri dengan cara mengingkari anak yang dilahirkan istrinya dapat

dibenarkan apabila mengingkaran tersebut tidak didahului dengan pengakuan baik

secara tegas maupun tidak secara tegas, sebab penetapan nasab melalui pengakuan

pihak suami, pengakuan itu mengikat suami dan menggugurkan haknya untuk

mengingkari, pengakuan dengan tidak tegas misalnya suami mempersiapkan segala

keperluan yang dibutuhkan untuk kelahiran anaknya dan menerimanya dengan kasih

sayang dan lain sebagainya. Pengakuan secara tegas adalah suami mengakui

kehamilan istrinya itu dari suami tersebut sebelum melahirkan, walaupun masa

kehamilan istrinya kurang dari enam bulan antara pengakuan dan kelahiran, sebab

pengakuan dalam hal ini berlaku bagi anak yang dilahirkan dan menggugurkan

haknya untuk mengingkari.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengingkaran anak,

berlaku apabila memenuhi dua syarat, yaitu tidak didahului dengan pengakuan dan

terjadinya li’an. Apabila telah terjadi li’an maka anak tersebut tidak dapat ditetapkan

nasabnya terhadap suami yang mengingkari itu, hal ini sebagaimana telah dijelaskan

dalam li’an.

3. Antara suami istri setelah menikah pernah hidup bersama.

Apabila suami istri setelah akad perkawinannya pernah hidup bersama,

walaupun hanya satu malam, dan setelah itu suaminya, pergi merantau jauh ke luar

daerah, setehun kemudian sumainya baru pulang dan ternyata telah ada anak yang

dilahirkan istrinya, maka dalam hal ini gugur hak suami untuk mengingkari anak

yang dilahirkan istrinya.41

41

Kitab Undang-Undang Hukum Suria Pasal 129 menyatakan seorang anak dapat

dihubungkan nasabnya terhadap orang ayah kandungnya dengan ketentuan :

1. Anak yang dilahirkan setiap istrinya dalam ikatan perkawinan yang sah dengan dua syarat:

a. Dilahirkan setelah lewat akad perkawinan dengan masa kehamilan batas minimal.

b. Antara suami istri selama ikatan perkawinannya pernah hidup bersama sebagai suami istri

atau suami istri itu tidak pernah berpisah selama kehamilan istrinya dengan batas maksimal.

2. Apabila syarat-syarat pada ayat 1 tidak terpenuhi, maka nasab anak itu tidak dapat dihubungkan

terhadap suaminya, kecuali adanya pengakuan dari suaminya.

Page 23: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

23

Penetapan Nasab Anak Dalam Masa Iddah

Seorang istri yang sedang menjalankan masa iddah kemudian melahirkan

anak, masa kandungannya kurang dari enam bulan dari perkawinannya, maka anak

tersebut tidak dapat dihubungkan nasabnya kecuali dengan pengangkatan anak,

karena anak itu telah menjelma sebagai janin sebelum enam bulan dari

perkawinannya, hal ini menunjukan bahwa kehamilan perempuan tersebut terjadi

sebelum perkawinan, akan tetapi sah dihubungkan nasabnya dengan pengakuan

anak, sebagaimana anak yang tidak diketahui nasabnya, dengan syarat anak itu

jelas-jelas bukan hasil zina, sebagaimana menurut Madzhab Abu Hanifah.

Ketentuan tersebut juga berlaku dalam kasus seorang perempuan melahirkan, masa

kehamilannya kurang dari enam bulan sejak melakukan hubungan suami istri dalam

pernikahan yang fasid atau pada hubungan suami istri yang syubhat, karena

kehamilan tersebut sebelum adanya nasab.

Apabila kelahiran anak tersebut setelah enam bulan atau lebih ketentuan

hukumnya berbeda sesuai dengan perbedaan masa iddah.

Seorang istri yang sedang menjalankan masa iddah dari thalak dengan tiga

kali sucian, apabila menurut pengakuannya telah selesai masa iddahnya dan terlihat

tidak dalam keadaan hamil, setelah itu ternyata perempuan tersebut melahirkan

anak, apabila masa kehamilannya kurang dari enam bulan sejak adanya pengakuan,

maka nasab anak tersebut ditetapkan kepadanya, karena adanya kedustaan pada

pengakuannya dengan meyakinkan, karena jelas ketika dia menyatakaan

pengakuannya sedang ia dalam keadaan hamil dan apabila masa kehamilannya

enam bulan atau lebih sejak adanya pengakuan, maka anak itu tidak dapat

ditetapkan nasabnya, karena tidak dapat dipastikan dustanya, karena pengakuan

dapat dijadikan bukti sebelum dapat dibuktikan keduastaannya, dan bukti tersebut

tidak ada.

Dan apabila perempuan tersebut tidak mengakui telah selesai masa

iddahnya, dan thalaknya termasuk thalak ba’in, ternyata setelah itu melahirkan anak

dengan batasan waktu lebih dari dua tahun setelah jatuh thalak, maka anak itu tidak

dapat ditetapkan nasabnya, karena batas maksimal kehamilan adalah selama dua

tahun, maka apabila melebihi dua tahun dan ketika perempuan itu dijatuhi thalak

tidak dalam keadaan hamil berdasarkan keyakinan, maka anak tersebut tidak dapat

ditetapkan nasbnya kedapa mantan suami yang menthalaknya itu. Pada ketentuan

perundang-undangan Mesir Nomor 25 Tahun 1929 menyatakan gugatan tentang

status anak atau asal usul anak dari seorang perempuan yang sedang menjalankan

masa iddah, baik iddah wafat maupun iddah thalak, bila kelahiran anak itu melebihi

dua tahun Masehi atau sama dengan 395 hari, maka gugatan seperti ini harus

dinyatakan ditolak. Aturan ini berdasarkan penelitian ilmu kebidanan yang

menyatakan janin tidak mungkin ada dalam kandungan ibunya melebihi dua tahun

lamanya.

Dan apabila seorang perempuan yang sedang menjalani masa iddah thalak

raj’iy, kemudian ternyata melahirkan seorang anak, maka nasab anaknya dapat

3. Apabila kedua syarat sebagaimana tersebut pada ayat (1) di atas terpenuhi, nasab anak terhadap

suaminya melekat dan tidak dapat diingkari kecuali dengan cara li’an.

Page 24: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

24

ditetapkan kepada kedua orang tuanya, kapan saja kelahiran anak itu, selagi

iddahnya tidak berpindah menjadi iddah dengan bulan, hal ini disebabkan pada

masa iddah tersebut suami dapat meruju’nya kembali kapan saja jika dikehendaki

dankarena thalak raj’iy tidak menghilangkan kepemilikan atas ikatan

perkawinannya.

Dari gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang anak dapat

dihubungkan nasabnya terhadap orang tuanya harus terpenuhi tiga aspek secara

komulatif, yaitu anak tersebut dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah, bukan

hasil dari hubungan badan di luar ikatan perkawinan (zina), suami istri telah

melakukan hubungan badan secara nyata dan anak tersebut berada dalam kandungan

ibunya minimal 6 bulan, terhimpunya ketiga aspek tersebut juga disyaratkan suami

memungkinkan dapat menghamili istrinya, antara suami sitri telah pernah hidup

bersama dalam satu ranjang dan suami tidak pernah mengingkari anak yang

dilahirkannya. Dengan demikian apabila hal-hal tersebut tidak terpenuhi, maka

seorang anak nasabnya tidak dapat dihubungkan terhadap suami dari ibunya itu.

Teori-teori fikih yang dikemukakan ulama tersebut menunjukan bahwa

adanya ikatan nasab42

antara orang tua (ayah dan ibu) dengan anak-anaknya,

melahirkan doktrin hukum yang berbeda-beda, tergantung pada keadaan ikatan

perkawinannya, kelahiran anak itu masih dalam ikatan perkawinan yang masih utuh

atau ketika istri menjalani masa iddah atau disebabkan hubungan badan yang

syubhat dalam akad yang dinyatakan fasid atau yang lainnya. Oleh karena itu yang

menjadi kaidah umum adanya ikatan nasab antara anak dengan orang tuanya

(ayahnya) adalah adanya ikatan perkawinan yang sah dan diukur dari masa

kehamilan ibunya minimal 6 bulan setelah adanya akad perkawinan dalam ikatan

perkawinan yang sah menurut hukum, atau istri telah selesai menjalankan masa

iddah raj’iy, dan masa kehamilannya kurang dari 6 bulan yang dihitung mulai dari

selesai masa iddah, atau istri selesai menjalankan masa iddah thalak ba’in dengan

masa kehamilan kurang dari enam bulan, kecuali akad perkawinannya menjadi

fasid, maka adanya ikatan nasab didasarkan pada adanya hubungan badan secara

nyata dan kehamilan istrinya lebih dari 6 bulan setelah hubungan badan itu. Dari

kaidah umum ini melahirkan konsekwensi bahwa anak yang dilahirkan oleh seorang

perempuan yang tidak ada ikatan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya,

maka anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya.

Dan oleh karena itu ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “anak yang

dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya” telah sejalan dengan teori fikih yang bersifat universal.

Kemudian persoalan yang timbul adalah, apakah ketentuan tersebut

bertentangan dengan Konstitusi Negara RI, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 Pasal

28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat (1) ?.

42

Nasab adalah terminologi fikih yang melambangkan ikatan antara an ak dengan orang tua

atau orang tua dengan anak secara timbal balik (hubungan perdata yang disebabkan kelahiran dalam

ikatan perkawinan.

Page 25: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

25

Norma-norma hukum yang dimuat pada UUD 45 tersebut harus dibaca

sesuai kronologisnya, Pasal 28 B ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak

membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.

Pasal 28 B ayat (2) menyatakan “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi” dan Pasal 28 D ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum”.

Ketentuan ketentuan tersebut yang menjadi kata kunci adalah “melalui

perkawinan yang sah” sebagaimana terdapat pada Pasal 28 B ayat (1) UUD 45,

yang dimaksud perkawinan yang sah disini harus dibaca sesuai ketentuan Pasal 2

ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu “perkawinan adalah sah,

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

itu”. Norma dasar ini menghendaki bahwa setiap orang diberikan hak untuk

mendapatkan keturunan yang dibenarkan, yaitu keturunan yang diperoleh dari

perkawinan yang sah menurut hukum agamanya, dan tidak melegalisasikan hak

untuk mendapatkan keturunan dari perkumpulan seorang laki-laki dan seorang

perempuan tanpa ikatan perkawinan yang sah atau kumpul kebo. Oleh karena itu

pula menurut UUD 45 ini keturunan (baca anak) yang sah adalah keturunan yang

dilahirkan dari perkawinan yang sah yang berarti pula tidak melegalisasikan

keturunan yang sah dari perkumpulan seorang laki-laki dan seorang perempuan

tanpa ikatan perkawinan (kumpul kebo). Pasal 28 B ayat (2) UUD 45 adalah

turunan dari ayat sebelumnya, dalam ayat ini menunjukan hak-hak anak yang

merupakan kewajiban orangtuanya yang sah untuk memberikan segala sesuatu demi

kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak, demikian pula negara

berkewajiban melindungi anak dari kekerasan (dalam rumah tangga) dan

diskriminasi. Sedangkan Pasal 28 D ayat (1) menunjukan kewajiban negara terhadap

setiap orang sebagai warga negara diharuskan mendapatkan pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum. Setiap orang dalam ayat ini kaitannya dengan anak adalah setiap anak baik

yang dilahirkan dari perkawinan yang sah maupun yang dilahirkan di luar

perkawinan, termasuk di dalamnya anak-anak terlantar yang asal usulnya tidak

diketahui atau tidinggalkan orang tuanya atau anak yang dibuang oleh ibunya,

walaupun setatus dan identitas diantara mereka berbeda-beda.

Ketentuan tersebut bila diterapkan dalam kasus misalnya A (perempuan)

dan B (laki-laki), sebelum adanya ikatan perkawinan, mereka pernah berkumpul

dalam satu ranjang, sehingga A melahirkan anak C, setelah itu A dan B menikah

dan setahun setelah menikah lahirlah anak yang kedua D. Dengan demikian A dan B

memiliki dua anak C dan D, C sebagai anak yang lahir di luar perkawinan (hasil

kumpul kebo) dan D sebagai anak yang lahir dari perkawinan yang sah. C dan D

sebagai anak yang statatusnya berbeda menurut hukum karena penyebab

kelahirannya berbeda, C hanya memiliki hubungan nasab dengan A sebagai ibunya,

sedangkan hubungannya dengan B hanya sebagai ayah biologis, bukan ayah yang

sah secara hukum oleh karena itu menurut UUD 45 B tidak memiliki hak untuk

mengakui C sebagai anaknya, sedangkan D memiliki hubungan nasab baik dengan

A sebagai ibunya maupun dengan B sebagai ayahnya. Membedakan setatus C dan D

Page 26: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

26

dihadapan hukum bukanlah perlakukan diskriminasi, melainkan adanya dua

peristiwa hukum yang berbeda yang mengharuskan statusnya berbeda, walaupun C

dan D statusnya berbeda, kedua-duanya oleh negara harus diperlakukan sama.

Apabila status C dan D status nasabnya disamakan, maka persamaan status ini akan

bertentangan dengan Pasal 28 B ayat (1) UUD 45 sebagaimana tersebut di atas,

sebab seorang diberikan hak oleh hukum untuk mendapatkan keturunan “hanya”

melalui perkawinan yang sah, arti kebalikan (mafhum mukhalafah) dari pasal ini

adalah seorang tidak diberikan hak untuk mendapatkan keturunan dari hubungan

badan seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan yang

sah.

Dari penelaahan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, selain sejalan dengan teori

fikih, juga sejalan atau paling tidak, tidak bertentangan dengan UUD 1945

khususnya Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat (1), nampaknya

kesimpulan ini berbeda dengan pendapat Mahkamah Konstitusi yang menyatakan

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bertentangan dengan UUD

1945, karena menutup hak anak yang lahir di luar perkawinan atas adanya hubungan

perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya43

.

Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi me-review ketentuan Pasal 43 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi “anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya” menjadi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki

sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan

darah, termasuk hubngan perdata dengan keluarga ayahnya”44

Tujuan perombakan (review) Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tersebut sebagaimana yang dikutif A. Mukti Arto45

adalah:

1. Memberi legalitas hukum hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya

yang semula hanya merupakan sebuah realitas menjadi hubungan hukum,

sehingga memilki akibat hukum.

2. Memberi perlindungan hukum atas hak-hak dasar anak baik terhadap ayahnya

dan keluarga ayahnya maupun lingkungannya.

3. Memberi perlakuan yang adil terhadap setiap anak yang dilahirkan meskipun

perkawinan orang tuanya tidak (belum) ada kepastian.

4. Menegaskan adanya hubungan perdata setiap anak dengan ayah biologisnya dan

keluarga ayahnya menurut hukum sebagaimana hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya.

5. Menegaskan adanya kewajiban ayah menurut hukum (legal custady) memelihara

setiap anak yang dilahirkan dari darahnya.

43

Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 halaman 36 44

Putusan MK ibid halaman 37 45

A. Mukti Arto, loc.cit. halaman 5-6

Page 27: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

27

6. Melindungi hak waris anak dari ayahnya karena adanya hubungan darah, hak

dan tanggung jawab satu sama lain.

7. Menjamin masa depan anak sebagaimana anak-anak pada umumnya.

8. Menjamin hak-hak anak untuk mendapat pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan

dan biaya penghidupan, perlindungan dan lain sebagainya dari ayahnya

sebagaimana mestinya.

9. Memberi ketegasan hukum bahwa setiap laki-laki harus bertanggung jawab atas

tindakannya dan akibat yang timbul karena perbuatannya itu, dalam hal

menyebabkan lahirnya anak, mereka tidak dapat melepaskan diri dari tanggung

jawab tersebut.

Tujuan-tujuan perombakan (review) Pasal 43 ayat (1) tersebut terlihat

sangat erat kaitannya dengan hifdhu al-nasl yang merupakan salah satu tujuan

pokok dari lembaga hukum perkawinan dalam hukum Islam. Oleh karena itu untuk

meraih tujuan-tujuan itu dapat diraih secara benar dan pasti, bukanlah dengan

merombak Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut, melaikan dengan cara me-review

Undang-Undang Perkawinan secara keseluruhan yang selama ini dirasakan madul

dan tidak tegas serta tidak memberikan sanksi apapun terhadap orang yang

melanggarnya. Selain itu tujuan-tujuan tersebut tidak secara jelas menunjuk pada

keadaan anak yang di atur dalam Pasal 43 ayat (1) itu, karena substansi yang diatur

dalam pasal ini adalah tentang anak yang lahir di luar ikatan perkawinan atau anak

yang lahir dari seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan dengan

laki-laki yang menghamilinya. Sedangkan kasus yang menjadi dasar permohonan

yudisial review ini adalah kasuk anak Moerdiono dari istri sirinya yang bernama Hj.

Aisyah Mokhtar. Kasus anak Moerdiono ini tidak dapat dikatagorikan anak di luar

perkawinan sebagaimana yang ditunjuk Pasal 43 tersebut, melainkan anak yang

lahir dari perkawinan poligami di bawah tangan sebagaimana telah di jelaskan di

atas.

Agar kasus ini tidak terulang, maka pasal-pasal tentang prosudur poligami

dalam undang-undang perkawinan tersebut perlu ditinjau ulang, yang sebenarnya

kasus-kasus seperti ini sangat banyak terjadi di masyarakat, hanya saja mereka tidak

mempermasalahkannya dan atau tidak keberatan atas poligami tersebut, kehidupan

diantara mereka tetap berlangsung dengan damai, hak dan kewajiban di antara

mereka berjalan sebagai mana lazimnya.

Apabila orentasi perombakan pasal ini ditujukan terhadap legalisasi nasab

anak yang dilahirkan di luar ikatan perkawinan yang sah, maka implikasi negatifnya

akan lebih dominan dari pada manfaat jaminan terhadap anak yang akan di raih.

Implikasi negatif dalam contoh kasus di atas, tidak akan terlihat, karena ibu dan

ayah biologis dari anak itu telah bersatu dalam ikatan perkawinan, akan tetapi pada

kasus-kasus yang lain akan terlihat dengan jelas, misalnya A (istri) dan B (suami) di

anatara mereka telah terjalin ikatan perkawinan dan telah memilik dua orang anak,

yaitu C dan D, di pihak lain E (istri) dan F (suami) juga telah terjalin ikatan

perkawinan dan telah memiliki dua orang anak, yaitu G dan H. Secara diam-diam F

dan A menjalin hubungan intim sampai melakukan hubungan badan dan kemudian

A melahirkan satu orang anak dari F yang bernama I, demikian pula B dan E

Page 28: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

28

menjalin hubungan intim sampai melakukan hubungan badan dan E melahirkan

seorang anak dari B yang bernama J, yang berarti I adalah anak dari ibunya A yang

ayahnya F, berarti orang tua I itu adalah A dan F yang tidak memiliki hubungan

ikatan perkawinan, demikian pula orang tua J adalah B dan E yang tidak memiliki

hubungan ikatan perkawinan. Yang berarti dua keluarga ini akan membentuk empat

keluarga secara silang. Masalah lain misalnya A (istri) B (suami) telah terikat

perkawinan akan tetapi tidak memiliki anak, kerena B mandul, di pihak lain C (istri)

dan D (suami) telah terikat perkawinan akan tetapi juga tidak memiliki anak, karena

C mandul. Agar kedua keluarga ini sama-sama memiliki anak, maka terjadi kerja

sama antara A dan D dengan melakukan hubungan badan, kemudian A melahirkan

anak tiga orang yaitu E, F dan G, ketiga anak ini adalah anak silang yang dilahirkan

A bukan dari suaminya, ayahnya adalah D yang tidak dilahirkan dari istrinya.

Tatanan kehidupan pembentukan keluarga seperti ini pernah berlaku pada zaman

jahiliyah dengan melegalisasikan nasab anak yang dilahirkan oleh seorang

perempuan yang dihamili seorang laki-laki yang tidak memiliki hubungan ikatan

perkawinan yang kemudian dibatalkan oleh Islam46

hal-hal yang demikian akan

berakibat pencemaran lembaga hukum perkawinan itu sendiri, mengacaukan silsilah

keturunan, tidak terjamin adanya ketertiban umum dan akan melenyapkan sendi-

sendi tatanan kehidupan manusia yang layak dan bermartabat.

Mukti Arto, menyatakan bahwa adanya hubungan nasab antara ayah dan ibu

dengan anaknya adalah karena semata-mata adanya hubungan darah sebagai akibat

dari hubungan badan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, walaupun

tanpa ikatan perkawinan yang sah, dengan alasan sesuai pandangan ulama al-

Hanafiyah bahwa dengan hubungan badan semata, telah menimbulkan hubungan

mahram47

Argumentasi tersebut, tidak sesuai dengan teori fikih yang dibangun ulama

terdahulu, karena hubungan mahram antara dua orang terdapat tiga penyebab, yaitu

adanya hubungan badan (mushaharah), adanya hubungan nasab dan adanya

hubungan sesusuan48

Muhammad Abu Zahrah49

menjelaskan perempuan-perempuan yang haram

dinikahi untuk selama-lamanya adalah melalui tiga sebab, yaitu disebabkan adanya

hubungan kekerabatan (nasab), disebabkan adanya hubungan mushaharah dan

disebabkan adanya hubungan sepersusuan. Yang dimaksud adanya hubungan

mushaharah adalah istri-istri orang tua dan seterusnya ke atas, istri-istri dari anak

cucu (keturunan), orang tua (para leluhur) dari istrinya dan anak cucu dari istri.

Mukti Arto, menyatakan bahwa Abu Hanifah menafsirkan nikah yang

dimuat dalam Surat al-Nisa ayat 22 dengan hubungan badan. Penafsiran yang

demikian berakibat siapa saja perempuan yang telah disetubuhi orang tua baik

dalam ikatan perkawinan, maupun di luar ikatan perkawinan adalah diharamkan

untuk dinikahi oleh anaknya. Kebanyakan ulama mufassirin mengartikan an

nakaaha dalam ayat itu adalah al-‘aqd ay nikaahu abaa’ikum al-faasid al-mukhalifu

46

Lihat Wahbah Al-Zuhaily, loc.cit halaman 675 47

Mukti Arto, loc. Cit. Halaman 15 yang dikutif dari Putusan MK halaman 35 48

Lihat Wahbah Al-Zuhaily, Op. Cit. Halaman 132 49

Muhammad Abu Zahrah, loc. Cit. Halaman 71-83

Page 29: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

29

lidiinillah artinya akad ya’ni ikatan perkawinan ayah kamu yang fasiid yang

bertentangan dengan agama Allah (Islam).50

Demikian pula pengertian kalimat

dakhaltum dalam Surat al-Nisa ayat 23: wa rabaa’ibukun allati fi hujuurikum min

nisaa’ikum alllati dakhaltuim bihinna. Pengertian dakhaltum dalam ayat ini adalah

ada sebagian ulama yang menduga syarat keharaman mushaharah dalam hal ini

adalah hubungan badan baik yang dilakukan dengan istri-istrinya maupun dengan

anak-anak tiri dari istrinya itu secara bersamaan. Penafsiran ini adalah penafsiran

yang berasal dari khilasun dari ‘Aly bin Aby Thalib. Ibnu ‘Abas Jabir dan Zaid bin

Tsabit, dan Mujaahid menyatakan hubungan badan pada kedua tempat itu

(maksudnya istri dan anak). Jumhur Mufassirin menafsirkan ayat ini dengan tafsir

yang berbeda yaitu dengan pengertian nikah yang sah, dan menurut Imam Syafi’iy

keharaman mereka itu disebabkan adanya akad perkawinan yang sah, keharaman

dalam ayat tersebut tidak sampai mengharamkan yang halal. 51

Mukti Arto 52

menegaskan bahwa analog dengan pendapat Abu Hanifah

tersebut, maka hubungan darah menjadi dasar adanya hubungan perdata, yaitu

hubungan nasab, hubungan mahram, hubungan hak dan kewajiban, hubungan

kewarisan dan hubungan perwalian. Dengan demikian menurut Mukti Arto hanya

dengan hubungan badan menjadikan dasar adanya hubungan keperdataan, yaitu

adanya hubungan nasab dan seterusnya.. padahal ayat al-Qur’an yang dibicarakan

tersebut di atas, sebagaimana yang ditafsirkan oleh para ulama, bertemakan

mengenai hubungan mahram sebagai akibat adanya al-mushaharah, suatu hal yang

tidak relevan akibat adanya al-mushaharah menjadi dasar adanya hubungan nasab.

Tidak dimuat dalam teori fikih seorang yang karena adanya hubungan mushaharah,

misalnya antara ibu tiri dengan anak tirinya, atau seorang menantu dengan ibu

mertuanya, menjadikan mereka memiliki hubungan nasab, sehingga di antara

mereka saling mewarisi.

Kemudian Mukti Arto, mengutif ayat al-Qur’an Surat Al-Najm ayat 45-48,

dan berdasarkan ayat al-Qur’an tersebut, Mukti Arto berkesimpulan bahwa dengan

adanya hubungan darah akan berakibat menimbulkan hubungan hukum53

kesimpulan ini adalah kesimpulan yang kurang tepat, sebab pada ayat ini tidak

membicarakan hubungan darah menjadi penyebab adanya hubungan hukum,

melainkan Allah mengkhabarkan tentang kekuasaan-Nya yang berhubungan dengan

asal penciptaan atau asal kejadian manusia, kemudian manusia itu akan

dikembalikannya lagi seperti sedia kala.54

Nilai-nilai yang dimuat hukum Islam yang bersifat universal dan berlaku

global adalah nilai-nilai yang dapat diterima oleh semua pihak, karena nilai-nilai itu

berkaitan dengan prinsif hidup dan kehidupan secara menyeluruh demi menjunjung

50

Lihat Al-Qurthuby, Al-Jamii’ Liahkaam Al-Qur’an (Bairut: Ihya al-Turats, 1985) Juz V

halaman 103 51

Al-Qurthuby ibid halaman 106 52

Mukti Arto, loc. Cit. Halaman 16 53

Mukti Arti, ibid halaman 17 54

Ibnu Katsiir, menjelaskan bahwa Allah Kuasa menciptakan pasangan laki-laki dan

perempuan yang berasal dari air mani, kemudian dia meninggal dunia, setelah ia menyatu menjadi

tanah, Allah Kuasa mengembalikannya seperti dalam keadaan semula, Ibnu Kasiir Tafsiir Al-Qur;an

Al-‘Adhiim (Semarang, Maktabah wa Mathba’ah Toko Futra, tt) Juz VI halaman 259

Page 30: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

30

tinggi harkat dan martabat manusia dimanapun dan kapanpun berada, ia tidak akan

terpengaruh oleh apapun juga, tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi, tidak

terpengaruh oleh keragaman budaya, ia tidak terpengaruh dengan kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Di antara nilai-nilai yang berkaitan dengan nasab anak

adalah prilaku prostitusti, kumpul kebo, atau sex bebas tidak dapat dibenarkan oleh

aturan manapun, karena prilaku itu adalah pergaulan tanpa ikatan secara sah

menurut hukum, oleh karena itu segala akibat dari pergaulan itu menjadi bebas nilai

hukum, kedua belah pihak sebagai pelaku tidak akan berakibat adanya hak dan

kewajiban, demikian pula terhadap sederetan akibat yang ditimbulkannya secara

logis akan bebas nilai hukum pula, tidak akan pernah ada hak dan kewajiban.

Apabila dibiarkan tetap terjadi seperti ini, maka apabedanya pergaulan kehidupan

manusia ini dengan pergaulan dalam kehidupan binatang. Perampasan hak

kepemilikan sebidang kebun orang lain tidak akan dibenarkan oleh aturan manapun,

karena perampasan ini adalah pengalihan hak kepemilikan dengan tanpa adanya

perikatan yang sah menurut hukum. Oleh karena itu segala tanaman yang dihasilkan

dari kebun itu, tidak akan pernah menjadi milik perampas walaupun benihnya milik

perampas sendiri.

Akibat adanya hubungan hukum keperdataan antara anak dengan ayah

biologisnya yang di lahirkan di luar perkawinan, yang menurut putusan Mahkamah

Konstitusi diberlakukan secara general baik terhadap anak sebagai akibat perzinaan,

sebagai akibat perkawinan monogami secara di bawah tangan atau sebagai akibat

perkawinan poligami di bawah tangan, memilki akibat hukum lahirnya hak dan

kewajiban menurut hukum antara kedua belah pihak secara timbal balik55

. Yang

berkaitan dengan hak-hak anak menurut hukum adalah :

1. Hak Atas Nafkah56

.

Oleh karena status anak tersebut menurut hukum yang dimuat pada putusan

MK mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan

ayah dan keluarga ayahnya, maka yang wajib memberikan nafkah terhadap anak

tersebut adalah ayahnya dan keluarga ayahnya. Baik sebagai ayah yang memiliki

itakan perkawinan yang sah dengan ibunya maupun ayah/bapak alami (genetik),

kewajiban tersebut adalah kewajiban hukum memberikan nafkah kepada anak.

Karena anak dalam hal ini tidak berbeda dengan anak sah. Dengan demikian

terhadap anak, ayah wajib memberikan nafkah dan penghidupan yang layak seperti

nafkah, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya kepada anak-anaknya, sesuai

dengan penghasilannya, sebagaimana ketentuan Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum

Islam, dalam hal ayah dan ibunya masih terikat tali pernikahan. Apabila ayah dan

ibu anak tersebut telah bercerai, maka ayah tetap dibebankan memberi nafkah

kepada anak-anaknya, sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana maksud Pasal

105 huruf © dan Pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam.

55

Putusan MK halaman 35 56

Yang dimaksud nafkah dalam hal ini adalah nafkah anak, berupa biaya pemeliharaan, biaya

kebutuhan pokok anak, biaya pendidikan anak dan segala biaya yang diperlukan untuk menunjang

kelangsungan dan perkembangan anak sampai dewasa atau mandiri, sesuai Pasal 45 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam.

Page 31: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

31

Pokok pikiran utama yang melandasi putusan Mahkamah Konstitusi yang

merombak ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada

dasarnya adalah “tidak tepat dan tidak adil jika hukum membebaskan laki-laki yang

melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan

kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan

bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki tersebut

sebagai ayahnya” pokok pikiran ini seolah-olah menjadi alasan yang mendasar

bahwa seorang laki-laki yang menghamili seorang perempuan yang kemudian

melahirkan anak, dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) tersebut akan melepaskan

tanggung jawabnya sebagai ayah biologisnya, dengan demikian setelah ketentuan

pasal tersebut di-review, ayah biologis tersebut dipaksa oleh hukum untuk

mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang dilakukannya.

Seandainya putusan Mahkamah Konstitusi hanya berkaitan dengan persoalan

pertanggungjawaban nafkah, menurut penulis sifatnya kasuistik dan akan sejalan

dengan logika hukum Islam, sebab masalah nafkah yang diperlukan untuk

menunjang kehidupan anak, tidak ansih terkait dengan orang yang ada kaitannya

dengan hubungan nasab, seperti apabila anak tersebut diangkat anak oleh orang

lain, maka kewajiban nafkah akan beralih kepada ayah angkatnya, walaupun pada

dasarnya pokok kewajiban itu dibebankan kepada orang yang terkait dengan

hubungan nasab. Maka bila orentasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

bertujuan seperti itu, menurut penulis dapat diterima, akan tetapi langkah terbaik

bukanlah me-review pasal tersebut, melainkan cukup menambahkan satu ayat yang

mebebankan tanggung jawab nafkah terhadap ayah yang menyebabkan anak lahir di

luar perkawinan. Dengan penambahan ayat ini Mahkamah Konstitusi akan terlihat

lebih bijak dan tidak akan mengundang polemik kontropersi yang berkepanjangan

dalam masyarakat.

2. Hak Perwalian.

Eksistensi wali dalam perkawinan sesuai ketentuan dalam Pasal 19 dan Pasal

20 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam :

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi

calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi

syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh.

Kemudian pasal 20 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa wali

nikah terdiri dari dua kelompok, yaitu wali nasab dan wali hakim.

Dari ketentuan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa orang-orang yang

berhak menjadi wali adalah ayah yang memilki hubungan nasab dengan anak

perempuannya, yaitu anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang

sah sesuai Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974, atau dengan kata lain anak

perempuan itu lahir dari seorang perempuan yang dihamili seorang laki-laki dalam

ikatan perkawinan yang sah. Ketentuan pasal ini melahirkan kaidah hukum bahwa

Page 32: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

32

adanya hubungan hukum (nasab) antara seorang anak dengan kedua orang tuanya

dan menyebabkan adanya hak wali terhadap ayahnya adalah disebabkan adanya

ikatan perkawinan yang sah57

dan anak itu lahir dalam ikatan perkawinanya. Dengan

demikian kelahiran anak selain yang ditentukan dalam aturan tersebut tidak

memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, dan berakibat hukum ayah dalam

kondisi seperti ini tidak berhak menjadi wali nikah dalam perkawinan anak

perempuannya, dan hak perwalian anaknya itu berada pada wali hakim.

Karena Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak di-review oleh Mahkamah

Konstitusi, maka ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana tersebut tetap berlaku

dan mengikat semua pihak. Oleh karena itu Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1Tahun

1974 yang telah di-review, menjadi anak di luar perkawinan memiliki hubungan

perdata dengan ibunya dan ayahnya serta dengan keluarga ibu dan ayahnya.

Hubungan perdata dimaksud kecuali dalam hal wali nikah, yang berhak menjadi

wali nikah bagi anak perempuan yang lahir di luar perkawinan adalah wali hakim.

3. Hak Kewarisan.

Kaidah umum yang berlaku dalam hukum kewarisan Islam yang berkaitan

dengan kualifikasi orang sebagai ahli waris yang disepakati ulama adalah orang

yang memiliki hubungan nasabiyah (hubungan hukum keperdataan yang

disebabkan kelahiran dari perkawinan yang sah), hubungan zaujiyah (perkawinan)

dan hubungan al-wala (pelepasan status seseorang dari perbudakan). Berkaitan

dengan hak kewarisan anak dari ayahnya adalah anak yang memiliki hubungan

nasab dengan ayahnya. Oleh karena itu yang dimaksud anak dalam hubungan

kewarisan adalah anak yang ditunjuk dalam Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974

sebagaimana telah dijelaskan tersebut di atas, termasuk di dalamnya anak yang lahir

dalam ikatan perkawinan yang sah dan keabsahannya di akui oleh hukum karena

dilakukan sesuai prosudur hukum, maupun dalam ikatan perkawinan yang sah tapi

keabsahannya tidak diakui oleh hukum karena perkawinannya tidak memenuhi

prosudur hukum, sepanjang keberadaannya tidak ada pihak lain yang keberatan.

Dengan demikian ketentuan Pasla 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang

telah di-review oleh Mahkamah Konstitusi menjadi anak di luar perkawinan

memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan ayahnya serta dengan keluarga ibu

dan ayahnya. Hubungan perdata dimaksud juga dikecualikan dalam hak kewarisan.

III. KESIMPULAN

Dari pembahasan-pembahasan tersebut, penulis dapat mencatat beberapa

kesimpulan, yaitu:

57

Ikatan perkawinan yang sah dimaksud adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan yang dilakukan sesuai hukum masing-

masing agamanya, bagi orang Islam harus sesuai dengan hukum Islam. Oleh karena itu ayah yang

berhak menjadi wali dalam kajian ini adalah ayah yang terikat hubungan perkawinan dengan ibu

yang melahirkan anaknya itu, baik perkawinannya itu memenuhi prosudur hukum yang dalam

perkawinan monogami dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan dalam perkawinan poligami

mendapatkan izin dari pengadilan kemudian dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, maupun tidak

memenuhi prosudur hukum seperti dalam perkawinan monogami di bawah tangan atau perkawinan

poligami di bawah tangan.

Page 33: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

33

1. Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon yang

mengandung cacat hukum. Kasus yang didalilkan Pemohon adalah kasus anak

yang lahir sebagai akibat dari poligami di bawah tangan yang menurut hukum

yang berlaku masih dimungkinkan mendapatkan jaminan hukum, sedangkan

yang dimohonkan adalah me-review ketentuan Pasal 2 ayat (2) juga ketentuan

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang status hukum

anak yang lahir di luar perkawinan.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi menganalogikan anak yang lahir sebagai akibat

dari poligami di bawah tangan dengan anak yang lahir di luar perkawinan,

padahal kedua status anak ini berada pada dua substansi yang berlainan menurut

hukum.

3. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang senada dengan

Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, substansinya tidak bertentangan dan atau

sebenarnya sejalan dengan Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang

Dasar 1945 juga sejalan dengan Syari’at Islam.

4. Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan terutama dengan Pasal 28 B ayat

(1) UUD 45 dan bertentangan dengan Syari’at Islam. Oleh karena itu putusan

MK ini akan mengundang polemik dalam masyarakat muslim yang

berkepanjangan.

5. Putusan Mahkamah Konstitusi melahirkan ketentuan normatif yang tidak

mendorong untuk terciptanya suasana masyarakat yang tertib dan ta’at hukum,

melainkan berupaya melegalisasikan suatu akibat dari perbuatan yang

melanggar hukum.

6. Pasal 43 ayat (1) yang telah di-review oleh putusam Makhama Konstitusi hanya

berlaku dalam hubungan hukum keperdataan antara anak dengan ayah

biologisnya, selain hubungan keperdataan perwalian dalam perkawinan dan

selain hubungan keperdataan dalam kewarisan.

IV DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Rahman Al-Jaziiry, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzaahib Al-Arba’ah, Jilid V

(Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra’, tt) halaman 57

Abd Al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiq (Barirut: Dar al-Fikr. 1991), halaman 176

Aby Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-‘Anshary Al-Qurthuby, Al-Jamii’

Liahkaam Al-Qur’an (Bairut: Ihya al-Turats, 1985) Juz V halaman 103

Al-Imam Al-Jaliil Al-Hafidh Imaad Al-Din Aby Al-Fidaa’ Ismaa’il bin Katsir (Ibnu

Kasiir) Tafsiir Al-Qur;an Al-‘Adhiim (Semarang, Maktabah wa

Mathba’ah Toko Futra, tt) Juz VI halaman 259

DR. Wahbah al-Zuhaily, fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Bairut: Dar al-Fikr, 1984)

Juz VII halaman 675

DR. Wahbah al-Zuhaily, fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Bairut: Dar al-Fikr, 1984)

Juz VII halaman 675

DR. H. Abdul Manan, SH, SIP, M.Hum, Reformasi Hukum Islam di Indonesia,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006) halaman 17

Page 34: Artikel Nasab Anak di Luar Perkawinan

34

Imam Al-Sayuthi, Al-Isybah Wa al-Nadha’ir, (Bairut: al-Maktabah, 1989). halaman

397

Lahmudin Nasutioan, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’I,

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), halaman 127

Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwaal al-Syakhshiyah, (Bairut: Dar Alfikr al-‘Araby

1957) halaman 404.

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Bairut: Dar Al-fikr, 198) halaman 278.

Muhammad Aly Al-Shabuny, Rawa’i al-Bayan bi tafsiir ayat al-Ahkam min Al-

Qur’an, Juz II, halaman 52.

Mukti Arto, Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-

VIII/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Tentang Perubahan Pasal 43

UUP, (Bahan Diskusi Hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon

Bersama Pejabat Kepanitreaan pada tangal 16 Maret 2012 di Auditorium

PTA Ambon) halaman 1

Prof. DR. H. Satria Effendi M.Zein, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam

Kontenporer,(Jakarta: Prenada Media, cet. II 2006) halaman 33-37.

Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Pebruari 2012

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2011.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.