17
Politik dan Keputusan Politik Senin, 23 Februari 2015 | 15:09 WIB KOMPASIlustrasi Oleh: Ignas Kleden JAKARTA, KOMPAS - Pada Rabu (18/2/2015) siang, tepat sehari sebelum tahun baru Imlek 2566, Presiden Joko Widodo mengumumkan keputusannya tentang kontroversi mengenai KPK dan persoalan Kepala Polri yang sudah menggantung selama sebulan lebih. Keputusan Presiden itu sudah diketahui oleh publik saat ini. Peristiwa ini dapat dijadikan kesempatan untuk meninjau kedudukan dan watak suatu keputusan politik oleh eksekutif tertinggi serta dampaknya bagi pemerintah dan masyarakat. Dalam retrospeksi masih bisa diingat bahwa salah satu alasan menunda keputusan yang baru-baru ini diumumkan ialah bertumpuknya masalah yang harus diurai satu per satu, yaitu masalah hukum, masalah politik, dan perubahan APBN. Alasan Presiden itu hendaknya diterima sebagai alasan politik, yang kebenarannya sebaiknya diterima sebagai kebenaran politik, dalam kadar yang ditentukan oleh risiko politik dan kemungkinan-kemungkinan dalam dinamika politik serta efeknya terhadap para pendukung kebijakan presiden dan para lawan politik. Bahan pembelajaran Hal yang dapat menjadi bahan pembelajaran bagi semua anggota komunitas politik ialah pertanyaan mengenai bagaimana seorang pemimpin menyusun prioritas dalam pengambilan keputusan, apakah ada kriteria dalam menentukan prioritas, dan adakah sifat khusus tiap keputusan politik yang dibuat. Ambillah tiga contoh yang telah disebut presiden, yaitu masalah politik, masalah hukum, dan perubahan anggaran belanja negara. Kita tahu masalah anggaran belanja negara mencakup kepentingan sangat luas karena langsung berhubungan dengan berfungsinya pemerintahan dan akibatnya pada kehidupan seluruh rakyat. Di samping itu, keputusan mengenai anggaran tak dapat dibuat

Artikel Mkdu

Embed Size (px)

DESCRIPTION

mkdu

Citation preview

Politik dan Keputusan PolitikSenin, 23 Februari 2015 | 15:09 WIBKOMPASIlustrasi

Oleh: Ignas KledenJAKARTA, KOMPAS- Pada Rabu (18/2/2015) siang, tepat sehari sebelum tahun baru Imlek 2566, Presiden Joko Widodo mengumumkan keputusannya tentang kontroversi mengenai KPK dan persoalan Kepala Polri yang sudah menggantung selama sebulan lebih.Keputusan Presiden itu sudah diketahui oleh publik saat ini. Peristiwa ini dapat dijadikan kesempatan untuk meninjau kedudukan dan watak suatu keputusan politik oleh eksekutif tertinggi serta dampaknya bagi pemerintah dan masyarakat.Dalam retrospeksi masih bisa diingat bahwa salah satu alasan menunda keputusan yang baru-baru ini diumumkan ialah bertumpuknya masalah yang harus diurai satu per satu, yaitu masalah hukum, masalah politik, dan perubahan APBN. Alasan Presiden itu hendaknya diterima sebagai alasan politik, yang kebenarannya sebaiknya diterima sebagai kebenaran politik, dalam kadar yang ditentukan oleh risiko politik dan kemungkinan-kemungkinan dalam dinamika politik serta efeknya terhadap para pendukung kebijakan presiden dan para lawan politik.Bahan pembelajaranHal yang dapat menjadi bahan pembelajaran bagi semua anggota komunitas politik ialah pertanyaan mengenai bagaimana seorang pemimpin menyusun prioritas dalam pengambilan keputusan, apakah ada kriteria dalam menentukan prioritas, dan adakah sifat khusus tiap keputusan politik yang dibuat. Ambillah tiga contoh yang telah disebut presiden, yaitu masalah politik, masalah hukum, dan perubahan anggaran belanja negara.Kita tahu masalah anggaran belanja negara mencakup kepentingan sangat luas karena langsung berhubungan dengan berfungsinya pemerintahan dan akibatnya pada kehidupan seluruh rakyat. Di samping itu, keputusan mengenai anggaran tak dapat dibuat secara sepihak oleh Presiden, tetapi perlu persetujuan DPR. Dibutuhkan waktu untuk pembicaraan dan konsultasi antara eksekutif dan legislatif. Konsultasi ini dilakukan agar dana yang tersedia dapat dialokasikan secara tepat sasaran. Sifat tepat sasaran ini amat perlu karena anggaran yang terbatas harus membiayai kebutuhan yang seakan tak terbatas sehingga penggunaan anggaran harus bersifatcost-effective.Kalau masalah anggaran menuntut keputusan yang tepat sasaran, maka masalah politik sering kali meminta keputusan yang tepat waktu. Dalam bisnis berlaku semboyan waktu adalah uang, tetapi kenyataan politik menunjukkan waktu adalah perubahan. Suatu masalah politik yang tak dibereskan pada waktunya dapat mengundang masalah lain, yang mungkin lebih besar dan lebih rumit daripada masalah semula. Di samping itu, karena waktu adalah perubahan, sebuah masalah politik yang tertunda diputuskan dapat berubah sifat menjadi masalah lain yang lebih kompleks.Sebagai contoh soal masalah yang dihadapi Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) adalah status hukum seorang individu yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, setelah yang bersangkutan diusulkan sebagai Kepala Polri oleh PresidenJokowike DPR. Tertunda-tundanya penetapan Kepala Polri telah mengubah sifat masalah yang semula hanya menyangkut seorang individu menjadi ketegangan dan konflik di antara dua lembaga negara. Masalah yang semula bersifat individual berubah sifat menjadi konflik antar-institusi, yang membawa serta langkah-langkah dari pihak polisi yang dianggap mengakibatkan kriminalisasi terhadap KPK.Pada tahapan sekarang, masalahnya jadi jauh lebih besar daripada masalah semula. Seandainya keputusan mengenai Kepala Polri dibuat lebih awal oleh Presiden, maka masalah-masalah susulan yang mempersulit kerja KPK dapat dihindari atau diperkecil dampaknya. Kita dapat bersyukur bahwa Presiden Jokowi akhirnya membuat keputusan yang amat dinanti-nantikan itu pada 18 Februari 2015, tetapi sekarang dibutuhkan lebih banyak usaha dan kesabaran untuk menciptakan rekonsiliasi politik antarlembaga, dengan tidak mengorbankan lingkup wewenang dan tanggung jawab tiap-tiap pihak. Terlihat di sini bahwa masalah politik, dalam banyak kasus, membutuhkan keputusan yang bersifat time-effective.Masalah hukum, seperti yang selalu kita dengar, berhubungan dengan dasar atau alasan yang dapat membenarkan suatu tindakan. Pertanyaan para ahli hukum: apa dasar hukumnya? Setiap tindakan dalam politik tak cukup dibenarkan kalau hanya punya tujuan yang baik, tetapi harus memiliki suatu dasar dalam UU yang membenarkan tindakan tersebut. Dalam konteks hukum, tindakan yang benar merupakan pelaksanaan UU dan tindakan yang salah melanggar UU, sementara tindakan yang tak jelas dasar hukumnya dapat dipersoalkan. Kalau masalah politik menuntut keputusan yang tepat waktu, maka masalah hukum menuntut keputusan yang tepat dasarnya.Dengan demikian, perdebatan para ahli hukum akan berputar sekitar dua soal utama, yaitu ada tidaknya dalil dalam UU yang dijadikan dasar dalam membenarkan suatu tindakan, dan apakah tafsir mengenai kutipan dari pasal UU itu dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai contoh yang masih aktual, perbedaan tafsir itu berhubungan dengan soal bagaimana mengartikan keadaan kekosongan hukum yang diakibatkan oleh belum adanya UU yang mengatur suatu tindakan. Hakim Sarpin yang memimpin praperadilan kasus BG berpendapat bahwa ada kekosongan hukum dalam status tersangka BG karena KUHAP tidak mengatur status tersangka. Dengan anggapan bahwa seorang hakim tidak boleh menolak perkara meskipun belum ada hukum yang mengaturnya, hakim Sarpin berpendapat dirinya dapat memutuskan soal status tersangka ini dalam sidang praperadilan dengan menggali keadilan dalam masyarakat.Di pihak lain, ahli hukum tata negara Refly Harun menunjuk dengan jelas bahwa tidak ada kekosongan hukum seperti yang didalilkan hakim Sarpin. Sebab, KUHAP secara eksplisit menyebutkan masalah apa saja yang dapat dibawa ke praperadilan, yaitu 1) sah tidaknya penangkapan atau penahanan; 2) sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; dan 3) ganti rugi dan rehabilitasi yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Apa yang dilakukan hakim Sarpin bukanlah mengisi kekosongan hukum, melainkan memperluas wewenangnya sebagai hakim praperadilan melampaui wewenang yang diatur dalam KUHAP (Kompas, 17 Februari 2015).Perdebatan seperti ini akan selalu berulang di antara para ahli hukum karena hukumsebagaimana didefinisikan oleh para ahli filsafat hukum dan politikmerupakan suatu instansi yang melakukan mediasi sosial di antara fakta dan norma, di antara faktisitas dan validitas. Akan selalu ada silang pendapat tentang apa itu fakta dan ada tidaknya fakta tersebut serta bagaimana suatu norma dihubungkan dengan fakta termaksud.Dalam teori wacana tentang hukum dan negara hukum, norma yang didalilkan itu, untuk mencapai validitasnya, harus memenuhi syarat yang dituntut dari empat dimensi. Pertama, hubungan dalil dengan bahasa (suatu dalil harus diungkapkan dalam rumusan yang memenuhi syarat kebahasaan yang benar sehingga memungkinkan pengertian yang dapat dipegang bersama oleh pihak yang berdebat). Kedua, hubungan dalil itu dengan kenyataan obyektif (dan bukan dengan kenyataan subyektif atau kenyataan fiktif). Ketiga, hubungan dalil dengan orang yang mengucapkannya (dalil harus menyatakan apa yang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya dan bukannya menyembunyikan apa yang dipikirkannya). Keempat, hubungan dalil dengan norma-norma kemasyarakatan (dalil tak boleh bertentangan dengan norma yang diterima masyarakat) (Lihat: Juergen Habermas,Faktizitaet und Geltung, 1992, atau edisi bahasa InggrisBetween Facts and Norms, 1996). Dalam praperadilan tentang kasus BG, hakim Sarpin ternyata telah salah mengartikan bahasa dalil dalam KUHAP tentang praperadilan.KPK perlu dukungan politikTak perlu diuraikan di sini bahwa masalah politik dan masalah hukum perlu dibedakan, tetapi dalam praktik selalu ada zone of intersection, di mana politik dan hukum berpotongan. Ini tak mengherankan karena hukum berfungsi antara lain mengatur kehidupan politik, dan hukum dilaksanakan sesuai politik hukum yang ditetapkan. Yang harus diwaspadai adalah hukum tidak jadi alat politik praktis, yaitu jadi instrumen kekuasaan politik.Dalam semua hubungan itu, baiklah kita ingat kembali bahwa KPK telah didirikan pada tahun 2002 dengan UU No 20/2002 sebagai dasar hukumnya, dan mulai beroperasi sejak 2003. Berdirinya KPK sebagai kebijakan politik Presiden Megawati Soekarnoputri bertujuan memperkuat perjuangan menentang korupsi, khususnya korupsi-korupsi berukuran besar. Kebijakan politik yang harus dilaksanakan KPK ini jelas menghadapi risiko yang tidak kecil dan menuntut keberanian besar. Sebab, pihak-pihak yang diduga melakukan korupsi besar mempunyai dana besar untuk melindungi diri mereka dan dapat membiayai perlindungan politik atas diri mereka.Cukup jelas kiranya bahwa untuk melaksanakan tugas tersebut secara efektif, KPK memerlukan dukungan politik dari masyarakat sipil, dari partai politik, dan terutama dari pemerintah yang telah menugaskan KPK menjalankan suatu misi yang barangkali sulit dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum lain. Ketegangan dan konflik antara KPK dan Polri saat ini adalah kejadian yang mempersulit langkah pemberantasan korupsi karena konflik ini langsung tidak langsung menyedot banyak energi dua lembaga penegak hukum dan menghalangi mereka menjalankan tugasnya masing-masing secara optimal.Buang egosentris kelembagaanKeputusan politik yang dibuat Presiden Jokowi pada 18 Februari 2015 patut dihargai sebagai tindakan yang membawa kita lepas dari keadaan tak menentu. Juga memberi kelegaan karena suhu politik yang tinggi kembali diredam, setelah KPK dan Polri mendapat pimpinan baru. Keputusan Presiden ini, dengan pertimbangan apa pun, jelas keputusan yang tertunda selama lebih dari sebulan, dan memberikan kesempatan bagi langkah-langkah yang memperlemah KPK melalui kriminalisasi.Dalam kaitan ini patut dipertimbangkan proporsi persoalan dan besar kecilnya kepentingan yang dibela. Perjuangan menentang dan mengurangi korupsi besar yang merugikan negara dan rakyat apakah harus dihentikan karena para penyidik KPK tidak memenuhi ketentuan administrasi hukum, seperti tidak punya izin memiliki senjata api (apa pun yang menjadi sebabnya)? Para petugas KPK layak digugat secara hukum, kalau misalnya pimpinan dan stafnya dapat dibuktikan memperkaya diri dalam tugasnya dengan cara-cara ilegal. Dalam hal ini, dengan memperkaya diri secara ilegal, lembaga KPK ini telah mengkhianati misi yang dipercayakan kepadanya melalui UU. Dengan lain perkataan, sekalipun ada bukti dan dasar untuk melakukan suatu gugatan, perlu dipertimbangkan apakah gugatan itu benar-benar tepat sasaran dalam konteksnya dan dalam keadaan sekarang apakah tepat waktunya.Dengan adanya pimpinan baru kedua lembaga, timbul lagi harapan bahwa ketegangan dan konflik dua lembaga negara ini dapat diredam melalui komunikasi dan konsultasi antarpimpinan untuk memulihkan saling pengertian dan memperkuat kolaborasi dalam penegakan hukum oleh lembaga-lembaga yang diserahi tugas tersebut. Tiap lembaga jelas punya tugas dan wewenang sendiri. Adalah suatu harapan yang sah bahwa tugas dan wewenang itu tidak menimbulkan egosentrisme kelembagaan yang cenderung sensitif kalau merasa wewenangnya dilanggar, tetapi tidak sensitif mempertimbangkan apakah kepentingan nasional diselamatkan atau dirugikan oleh apa yang dilakukan tiap-tiap pihak dalam konflik.

Arus Balik Hukuman MatiSenin, 2 Februari 2015 | 17:29 WIB

Oleh: Rafendi DjaminJAKARTA, KOMPAS- Pernyataan Presiden Joko Widodo yang enggan memberikan amnesti kepada terpidana matidan diikuti oleh Kejaksaan Agung yang akan mengeksekusi sejumlah terpidana matibaru-baru ini merupakan langkah mundur bagi Pemerintah Indonesia.Kemunduran ini dapat dilihat secara komparatif dengan pemerintahan sebelumnya, ketika Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa secara tegas menyatakan bahwa melihat kecenderungan masyarakat internasional, Indonesia mengarah pada moratorium hukuman mati.Di masa pemerintahan sebelumnya itu pula, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mampu menghentikan sementara hukuman mati selama empat tahun. Ia juga memberikan grasi kepada sejumlah terpidana, di samping kepentingan Indonesia untuk menyelamatkan sejumlah buruh migran di luar negeri yang juga terancam hukuman mati.Arus balik"Arus balik hukuman mati" digambarkan sebagai kemunduran Pemerintah Indonesia dalam menyikapi arus peradaban penghapusan hukuman mati. Ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan di sini.Dalam semua perdebatan tentang hukuman mati, setidaknya mengarah pada dua pandangan utama, yaitu yang membolehkan hukuman mati dengan syarat yang sangat ketat, baik secara substansi maupun prosedural. Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hukuman mati dapat saja dibatalkan atau diganti dengan hukuman berat lainnya. Dalam konteks ini, hukuman mati adalah pilihan terakhir bagi negara untuk menghukum kejahatan-kejahatan luar biasa.Pandangan kedua melihat bahwa hukuman mati sudah tidak laik lagi dijadikan alternatif hukuman, bahkan untuk kejahatan luar biasa, karena bertentangan dengan keadaban dan peradaban kemanusiaan.Dengan demikian, pendapat kedua cenderung untuk memaknai hukuman sebagai upaya untuk membangun sebuah masyarakat yang lebih beradab dan menitikberatkan pada "efek jera", yang dalam banyak kasus tidak semuanya dapat dicapai dengan hanya memvonis mati kepada terdakwa.Dari dua arus pemikiran di atas, saya membayangkan bagaimana kita dapat menerapkan hukuman mati di tengah sistem peradilan yang masih "bolong- bolong", tidak independen, dan sering kali masih diwarnai dengan praktik suap-menyuap.Hal ini memunculkan pertanyaan lain yang harus dijawab pemerintah dan penegak hukum di Indonesia, yaitu sejauh mana proses pengadilan, penentuan putusan, bahkan proses eksekusi terpidana mati dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan? Apakah ada jaminan proses tersebut telah betul-betul terbebas dari praktik suap-menyuap atau intervensi pihak tertentu yang memang menghendaki hukuman mati itu dilakukan?Untuk itu, di luar jawaban pertanyaan di atas, yang lebih penting saat ini adalah bagaimana pemerintah dan penegak hukum mampu memberikan fase renungan kepada semua elemen bangsa Indonesia sebagai jeda untuk lebih mengintrospeksi kembali apakah hukuman yang diberikan kepada para terdakwa tersebut. Apakah hukuman mati tersebut sebagai upaya "balas dendam" dan "kemarahan" atau lebih maju lagi menitikberatkan hukuman pada pertimbangan kesadaran penuh dan hati nurani.Menurut hemat saya, dengan mengambil sikap moratorium hukuman mati, bangsa Indonesia akan semakin mampu menentukan sikap selanjutnya dalam memperlakukan mereka yang seharusnya mendapatkan hukuman mati, yang pada akhirnya juga memajukan peradaban dan keadaban bangsa Indonesia. Bukan justru berbalik arah, semakin menguatkan hukuman mati sebagai gambaran dari "kemarahan" dan "balas dendam" terhadap mereka yang bersalah.Mengapa harus ditolak?Secara filosofis, hukuman mati tidak cukup menjadi alasan yang kuat untuk membuat efek jera. Sebab, dalam konteks Indonesia, jika hukuman mati efektif memberikan efek jera kepada masyarakat, pasti tidak ada lagi kejahatan-kejahatan serupa yang berlangsung, seperti narkoba. Jika ternyata sebaliknya, sangat dimungkinkan adanya permasalahan dalam penerapan hukuman mati itu sendiri.Hukuman berat tetap penting dilakukan, bahkan harus, tetapi dalam hukuman berat non-mati itu, negara masih memberikan kesempatan kepada pelaku untuk membuka jaringan mafia kejahatan. Untuk itu, efektifnya hukuman berat kepada para pelaku, yang tidak dapat dicapai dengan hukuman mati, harus dihubungkan dengan kemampuan hukuman itu untuk mengungkap seluruh rangkaian kejahatan dan memberantas jaringan mafia yang ada di kejahatan itu.Berdasarkan beberapa cerita dari keluarga terpidana mati, hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa putusan dan eksekusi mati justru didukung oleh mafia besar yang tidak tersentuh hukum dan hendak memutus mata rantai pengungkapan suatu perkara. Dalam beberapa kasus, para terpidana yang hanya bertindak sebagai kurir atau eksekutor lapangan telah dipidana seumur hidup di pengadilan tingkat I dan II, tetapi diberatkan dengan hukuman mati ketika di tingkat akhir pro justitia.Pertanyaannya kemudian, apakah pemberatan ini berangkat dari pertimbangan nurani dan kejernihan pikiran para hakim, hasil refleksi hakim yang menangkap kemarahan publik? Atau malah ada sisi lain, yakni karena kuatnya desakan mafia- mafia kasus yang hendak menghentikan proses pengungkapan kasus hingga ke akar dan pelaku intelektualnya?Secara sosiologis-yuridis, putusan pidana mati tentu memunculkan pula pertanyaan: apakah hukuman ini mampu menertibkan masyarakat karena efek jeranya? Hal ini, setidaknya, mengusik dua hal penting yang harus dipikirkan lebih lanjut.Pertama, keberadaan doktrin agama telah memberikan penekanan bahwa hukuman (mati) ditujukan agar sebuah kejahatan tidak diulang (efek jera). Namun, di sisi lain, agama menyediakan ruang bagi pelanggar yang divonis mati untuk bertobat dan masih terbukanya ruang pemaafan dari korban.Dilihat dari kacamata hukum, pertobatan ini meletakkan korban sebagai pengembang kejahatan yang dikenal dengan justice collaborator.Kedua, secara sosiologis kemasyarakatan, ketika hukuman mati disiarkan kepada khalayak dan efeknya hanya sesaat setelah eksekusi, hal itu menunjukkan bahwa efek jera itu tidak terbangun dalam keadaban sosial masyarakat.Efek jera mendorong masyarakat menjadi lebih tertib dan menaati hukum sehingga jika hukuman mati ternyata gagal untuk mengurangi atau menghilangkan kejahatan serupa, praktik tersebut harus dilihat dan dievaluasi untuk kemudian diubah. Sebab, hukuman yang berat harus dilekatkan dengan kemanfaatan sosial yang jelas dan konkret.Dari sini, hukuman mati sebagai ultimum remedium ternyata tidak cukup membawa dampak positif pada tata laku masyarakat atau bahkan pada perbaikan institusi hukum. Sebaliknya, hukuman mati yang menjadi jalan berliku praktik suap dalam sistem peradilan di Indonesia ini harusnya dapat dihentikan, secara de facto atau de jure, agar doktrin penghukuman yang dianut oleh Indonesia betul-betul dapat membangun sebuah peradaban dan tertib sosial.Dengan kata lain, ia bukan sebagai perpanjangan tangan para pihak yang justru hendak menghentikan proses penegakan dan penyelesaian kasus-kasus kejahatan sampai ke akar-akarnya.

Di Atas DPR Masih Ada RakyatJumat, 3 Oktober 2014 | 15:29 WIB

Oleh: Ikrar Nusa Bhakti

KOMPAS.com- PARA anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 yang baru dilantik pada Rabu, 1 Oktober 2014, mempertontonkan sidang paripurna yang tidak apik untuk ditonton, kalau tidak dapat dikatakan memuakkan.

Pada Rabu malam hingga Kamis (2/10) dini hari itu, hujan interupsi dan teriakan begitu membahana, hanya untuk menentukan apakah sidang berlanjut malam itu atau ditunda keesokan harinya. Semua ini terkait dengan jadwal sidang untuk memilih pimpinan DPR dalam satu paket yang harus disetujui oleh paling sedikit lima fraksi yang berbeda.

Sidang Paripurna DPR dini hari itu akhirnya dimenangi koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta yang menyebut dirinya Koalisi Merah Putih (KMP) ditambah Fraksi Partai Demokrat yang menyapu bersih semua posisi pimpinan di DPR.Kelima pimpinan DPR periode 2014-2019 tersebut adalah Ketua Setya Novanto (Fraksi Partai Golkar), Agus Hermanto (Demokrat), Taufik Kurniawan (PAN), Fahri Hamzah (PKS), dan Fadli Zon (Gerindra). Ini berarti koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta yang kalah pada Pemilu Presiden 2014 memenangi pertarungan politik di Dewan yang dapat dikatakan the loser takes all.

Pertanyaan yang muncul di benak kita adalah, pertama, tidak adakah lagi prinsip kebersamaan (togetherness), kebijaksanaan (wisdom), dan musyawarah mufakat dalam politik Indonesia masa kini dan mendatang?

Kedua, apakah politik Indonesia lebih ditentukan oleh personalisasi, adu kekuatan, dan balas dendam politik antar-aktor yang memiliki hegemoni dan dominasi kekuasaan di partai atau koalisi partai?

Ketiga, tidakkah kepentingan bangsa, rakyat, dan negara seharusnya lebih didahulukan ketimbang kepentingan individu, kelompok, dan partai seperti sumpah dan janji para anggota DPR yang terhormat?

Keempat, apakah pemerintahan Jokowi-JK akan menjadi pemerintahan yang bagaikan Bebek Lumpuh (lame-duck government) dalam lima tahun ke depan?

Kelima, masih adakah titik terang dari jalan buntu politik dalam hubungan eksekutif dan legislatif ke depan?

Personalisasi politik

Pada siang harinya, sebenarnya Partai Demokrat (PD) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sama posisinya dengan koalisi empat partai pendukung Jokowi-JK, yakni PDI-P, PKB, Partai Nasdem, dan Partai Hanura, yang menginginkan agar rapat pemilihan paket pimpinan Dewan dilaksanakan pada Kamis, 2 Oktober 2014. PPP akhirnya berubah sikap dan kembali ke koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta, sementara PD juga mendesak rapat dilanjutkan malam itu juga.

Posisi PD ini terjadi akibat gagalnya pertemuan antara Ketua Umum PD Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang sedianya akan dilakukan di Hotel Sultan pada Rabu (1/10) malam.

Di satu sisi, Presiden SBY yang juga Ketua Umum PD membuat pernyataan pers yang menyayangkan gagalnya pertemuan antara dirinya dan Megawati. Padahal, jika pertemuan tersebut terjadi, kedua pemimpin itu dapat duduk bersama untuk membicarakan bagaimana menyelamatkan bangsa ini dari situasi pemerintahan yang terbelah ini.

Di sisi lain, politisi senior PDI-P, Pramono Anung, menyatakan kepada pers bahwa Megawati mau bertemu dengan SBY pada Rabu malam itu asalkan didahului kerja sama antara PD dan PDI-P beserta koalisinya dalam mengegolkan paket pimpinan Dewan versi koalisi partai pendukung Jokowi-JK.

Prasyarat ini sebagai ujian apakah SBY benar-benar serius untuk menata bangsa ini ke depan ataukah SBY akan kembali menelikung di tengah jalan seperti dialami Megawati pada pilpres langsung pertama 2004.

Politik balas dendam

Kita juga tahu bahwa terlepas adanya bantahan dari partai koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta, masih ada dendam politik akibat kekalahannya pada Pilpres 2014 lalu sehingga sulit bagi koalisi itu untuk melakukan musyawarah mufakat dengan koalisi partai pendukung Jokowi-JK dalam segala hal di parlemen.

Koalisi Prabowo-Hatta secara kebetulan merupakan partai mayoritas di parlemen sehingga dapat melakukan politik sapu bersih atas jabatan pimpinan Dewan dan posisi-posisi di alat-alat kelengkapan Dewan.

Sebelumnya koalisi ini seminggu sebelumnya juga berjaya dalam mengegolkan RUU Pilkada menjadi UU yang mengubah pilkada langsung menjadi pilkada melalui DPRD. Ini berarti ada kelanjutan arah kebijakan politik yang dilakukan koalisi Prabowo-Hatta pada DPR periode 2009-2014 dan DPR 2014-2019.

Jika ini benar-benar terjadi, tampak jelas kita akan menyaksikan pemerintahan yang terbelah dalam lima tahun mendatang jika tidak ada perubahan peta koalisi dalam setahun mendatang, ketika beberapa partai di koalisi Prabowo-Hatta ada yang harus melakukan musyawarah nasional seperti Golkar atau muktamar seperti PPP.

Jika di kedua partai itu tak terjadi perubahan rezim, bukan mustahil pemerintahan yang terbelah ini menjadi kenyataan karena pemerintahan Jokowi-JK hanya didukung koalisi minoritas di parlemen (DPR).

Pimpinan partai di kedua kubu koalisi itu tentu masih memiliki hegemoni politik untuk memengaruhi cara pandang atau langkah politik partainya. Kelompok mayoritas di parlemen juga akan terus berupaya untuk tetap menjadi kekuatan hegemoni dan dominan di parlemen.

Ini yang menimbulkan jalan buntu di parlemen dalam setiap persidangan jika tidak ada perubahan peta koalisi atau paling tidak niat baik untuk membangun bangsa dan negara ini secara bersama.

Sinar di ujung terowongan gelap

Kita masih menunggu apakah ego personal antara SBY dan Megawati akan luluh ketika PDI-P dan PD sama-sama mendukung dua perppu yang diajukan SBY untuk mempertahankan pilkada langsung terus bertahan di negeri ini.

Sebetulnya, SBY tidak perlu menandatangani UU Pilkada yang baru karena yang menyetujui RUU itu menjadi UU hanya 226 anggota dari 496 anggota yang hadir, yang berarti kurang dari 50 persen dan harus batal demi hukum.

Jika kerja sama itu benar-benar terwujud, bukan mustahil ini adalah awal kerja sama yang baik kedua partai demi masa depan bangsa dan demokrasi di negeri ini. Di tengah berbagai kebuntuan politik, sesungguhnya masih ada sinar di ujung terowongan gelap.

Jika ini terjadi, berarti kepentingan rakyat, bangsa, dan negara benar-benar diperjuangkan. Jika tidak, rakyat sebagai pemilik kedaulatan bukan mustahil akan membentuk parlemen jalanan.

Itukah warisan politik yang ditinggalkan SBY? Ini juga taruhan politik bagi pemerintahan SBY yang harus menjawab berbagai pertanyaan peserta asing yang akan menghadiri Bali Democracy Forum, 10 Oktober mendatang, apakah kita mengalami kemunduran demokrasi atau akan mematangkan demokrasi kita.

Soal Eksekusi Mati, Jokowi Instruksikan Jaksa Agung Perhatikan Permintaan AustraliaRabu, 4 Maret 2015 | 20:59 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengungkapkan, Presiden Joko Widodo menyadari adanya ketegangan yang terjadi antara Indonesia dan Australia terkait pelaksanaan hukuman mati. Oleh karena itu, Presiden sudah menginstruksikan Jaksa Agung HM Prasetyo untuk memperhatikan secara serius permintaan dari pihak Australia."Saya pikir Pemerintah Australia sudah berinteraksi dengan pemerintah kita, dengan Ibu Menlu, dan juga dengan Presiden kita. Dalam sidang kabinet kita barusan, Presiden memberi tahu Jaksa Agung untuk memperhatikan apa yang menjadi perhatian Pemerintah Australia secara serius," ujar Andi di Istana Kepresidenan, Rabu (4/3/2015).Presiden Jokowi, kata Andi, menyadari bahwa isu hukuman mati ini membuat hubungan Indonesia dan Australia semakin tegang. Ketegangan yang sama juga sempat dirasakan Indonesia dengan Belanda dalam isu yang sama."Jadi, kami memperhatikan apa yang menjadi perhatian negara tetangga baik kami secara serius. Jadi, Presiden meminta Jaksa Agung untuk berkoordinasi dengan Menlu dalam memproses eksekusi ini," ucap dia.Kejaksaan Agung memindahkan para terpidana mati ke LP Nusakambangan. Total ada 10 terpidana mati yang akan menjalani eksekusi tahap II. Setidaknya sudah ada sembilan terpidana mati yang berada di Lapas Nusakambangan. Tiga terpidana mati yang baru tiba pagi tadi adalah dua anggota kelompok "Bali Nine", Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (warga Australia), dan Raheem Agbaje Salami (warga Nigeria). (Baca:Duo "Bali Nine" Tiba, 9 Terpidana Mati Sudah Berada di Nusakambangan)Sementara itu, enam terpidana mati lainnya dalam kasus narkoba yang telah berada di Nusakambangan adalah Zainal Abidin (Indonesia), Serge Areski Atlaoui (Perancis), Rodrigo Gularte (Brasil), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa (Nigeria), Martin Anderson alias Belo (Ghana), dan Okwudili Oyatanze (Nigeria).Jika mengacu pada daftar nama terpidana mati yang akan dieksekusi berdasarkan rilis Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu, hingga saat ini masih ada satu terpidana mati yang belum dipindahkan ke Nusakambangan, yakni Mary Jane Fiesta Veloso (warga negara Filipina), yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan, Yogyakarta.Penolakan terhadap eksekusi hukuman mati terus dilakukan dunia internasional. Paling gencar dilakukan oleh Pemerintah Australia. Perdana Menteri Australia Tony Abbott bahkan berang saat mengetahui Pemerintah Indonesia tidak mengindahkan lobi-lobi yang dilakukan pihaknya.

Jelang UN, Presiden Jokowi Didesak Revisi PP tentang Ujian NasionalRabu, 4 Maret 2015 | 20:19 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com- Hingga saat ini,standard operating procedur(SOP) ujian nasional (UN) belum juga dikeluarkan. Sementara, pelaksaan UN sudah tinggal satu bulan lagi. Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) menyayangkan hal ini.

Dengan belum juga dikeluarkannya SOP UN tersebut, Sekretaris Jenderal FGII, Iwan Hermawan, menilai, PresidenJokowidan Wapres JK setengah hati untuk tidak menjadikan UN sebagai penentu kelulusan siswa. Hal itu terbukti hingga kini mereka belum merevisi Pasal 72 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 jo PP 32 tahun 2013 tentang kelulusan siswa ditentukan oleh UN.

"Padahal UN tinggal 1 bulan lagi, sekarang saja sudah mulai praktik. Jadinya, sekolah kebingungan," kata Iwan Hermawan saat ditemui di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Rabu (4/3/2015).

Oleh karena itu, Iwan mendesak Presiden Jokowi segera merevisi PP 19/2005 yang menyebutkan bahwa kelulusan siswa ditentukan oleh hasil Ujian Nasional (UN).

Iwan mengatakan, sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan sudah menyampaikan ke publik bahwa UN tidak dijadikan penentu kelulusan, namun sampai sekarang aturannya belum terbit. Saat dikonfirmasi, kata Iwan, Menteri Anies mengatakan bahwa PP tersebut akan segera direvisi namun waktunya belum dipastikan.

"Kemarin sudah kita sampaikan kepada Menteri Anies secara lisan, tapi jawaban Menteri, katanya, tunggu. Kita enggak bisa nunggu, karena ini, sekolah kebingungan soalnya UN tinggal sebentar lagi tetapi SOP UN belum keluar," sesalnya.

Kriminolog Melihat Motif Begal Lebih HedonisRabu, 4 Maret 2015 | 20:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com- Aksi komplotan begal yang terjadi sekarang ini tidak hanya karena faktor ekonomi. Motif tersebut berkembang menjadi ekonomi plus.

Kriminolog Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin mengatakan, meskipun jika dikaji secara akarnya adalah ekonomi, namun sekarang ini berubah menjadi motif ekonomi plus.

"Artinya, begal bukan kejahatan yang dilakukan utk memenuhi kebutuhan pokok, seperti membeli makan untuk diri pelaku atau keluarganya. Tetapi sudah berkaitan dengan kebutuhan yang hedonis," kata Iqrak saat dihubungi olehKompas.com, Rabu (4/3/2015).

Iqrak menjelaskan, perilaku hedonis ini mengarah pada murni kesenangan. Beberapa kesenangan di antaranya seperti pada kebutuhan narkotika dan mengonsumsi alkohol.

Belum mengkhawatirkan

Iqrak menilai fenomena begal beberapa pekan terakhir ini harus dilibat secara proposional. Dia menyarankan aksi begal tidak perlu ditanggapi berlebihan.

Sebab, kata dia, data jenis kejahatan ini belum dianggap mengkhawatirkan. "Saya sendiri lebih cenderung menganjurkan agar kita tidak terlalu memandang berlebihan soal begal ini, karena datanya ini belum bisa dikatakan sangat mengkhawatirkan," ucap Iqrak.

Meski belum bisa dianggap mengkhawatirkan, Iqrak menganggap masyarakat tidak boleh meremehkan kejahatan jenis ini.

"Saya tidak sedang mengatakan kita bisa meremehkan, karena kualitas kejahatan ini tentu berbeda karena melibatkan penggunaan kekerasan," ucapnya.

Dia menganjurkan agar masyarakat melihat kasus begal dalam lonteks kejahatan yang serupa seperti pencurian dengan kekerasan.