21
MODEL PENDEKATAN RESTRUKTURISASI INDUSTRI KEHUTANAN NASIONAL DAN UPAYA PENDALAMAN INDUSTRI YUDO E B ISTOTO * Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta Pendahuluan Setelah industri kayu lapis mengalami penurunan peran sebagai penghasil devisa sejak tahun 1990, kayu olahan setelah 1994, mebel mengalami rebound pada tahun 1999 namun cenderung menurun sejak tahun 2002 dan pada periode yang hampir sama tahun 2002 pulp dan kertas serta kayu gergajian meningkat (Suhermanto, 2004), Departemen Kehutanan melalui RPJP 2006-2025 dan serangkaian kebijakan yang terkait restrukturisasi industri kehutanan bertekad mewujudkan struktur industri kehutanan yang kompetitif dan ramah lingkungan. Salah satu cara mencapainya dengan mengembangkan struktur industri yang optimal berdasarkan kriteria kelayakan jumlah dan jenis industri kehutanan, kemampuan pemenuhan bahan baku dalam negeri dan luar negeri, perkembangan teknologi, permodalan, serta peluang pasar. Mewujudkan struktur industri yang optimal tidak menutup kemungkinan akan membatasi jumlah dan komposisi / jenis industri pada lokasi tertentu. Kebijakan ini sejalan dengan kenyataan tidak efisiennya industri pengolahan kayu dari hutan alam seperti dinyatakan Sumitro (2005) bahwa dalam sidang pemberi utang (CGI) di Jakarta tahun 2000 Indonesia harus sepakat melakukan pengecilan produksi dan menyusun kembali struktur industri kehutanan.

artikel industri.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: artikel industri.doc

MODEL PENDEKATAN RESTRUKTURISASI INDUSTRI KEHUTANAN NASIONAL DAN UPAYA PENDALAMAN INDUSTRI

YUDO E B ISTOTO *

Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta

Pendahuluan

Setelah industri kayu lapis mengalami penurunan peran sebagai penghasil devisa sejak tahun

1990, kayu olahan setelah 1994, mebel mengalami rebound pada tahun 1999 namun cenderung

menurun sejak tahun 2002 dan pada periode yang hampir sama tahun 2002 pulp dan kertas serta

kayu gergajian meningkat (Suhermanto, 2004), Departemen Kehutanan melalui RPJP 2006-2025

dan serangkaian kebijakan yang terkait restrukturisasi industri kehutanan bertekad mewujudkan

struktur industri kehutanan yang kompetitif dan ramah lingkungan. Salah satu cara mencapainya

dengan mengembangkan struktur industri yang optimal berdasarkan kriteria kelayakan jumlah

dan jenis industri kehutanan, kemampuan pemenuhan bahan baku dalam negeri dan luar negeri,

perkembangan teknologi, permodalan, serta peluang pasar. Mewujudkan struktur industri yang

optimal tidak menutup kemungkinan akan membatasi jumlah dan komposisi / jenis industri pada

lokasi tertentu. Kebijakan ini sejalan dengan kenyataan tidak efisiennya industri pengolahan kayu

dari hutan alam seperti dinyatakan Sumitro (2005) bahwa dalam sidang pemberi utang (CGI) di

Jakarta tahun 2000 Indonesia harus sepakat melakukan pengecilan produksi dan menyusun

kembali struktur industri kehutanan.

Ketidakjelasan arah restrukturisasi industri kehutanan telah menimbulkan pelbagai pendapat

antara lain menurut In-house Experts Working Group/IEWG (2007) diartikan sebagai salah satu

strategi revitalisasi industri kehutanan. Pendapat lainnya restrukturisasi selalu berkonotasi

pengurangan kapasitas (downsize) dan penutupan (closure) khususnya bagi industri yang tidak

efisien dan atau yang menggunakan kayu tidak legal (Nugraha dan Iskandar, 2004). Dalam arah

yang sama telah dibentuk suatu badan untuk melakukan restrukturisasi dan menguji legalitas

bahan baku, mencegah tercampurnya kayu legal dengan kayu illegal sebagai bahan pertimbangan

penutupan industri yaitu Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK).

Untuk mencapai restrukturisasi industri kehutanan seperti yang diharapkan, pemerintah antara

lain memberikan penguatan berupa kebijakan dan peraturan terkait bahan baku seperti PP

No.3/2008 pasal 38 ayat 1 dan Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 yang memayungi

penerapan “multisistem silvikultur” dan PP No.3/2008 pasal 38 ayat 2 yang memberi ruang bagi

kegiatan “pengolahan” dalam pemanfaatan hasil hutan kayu. Pertanyaan yang kemudian muncul

Page 2: artikel industri.doc

dan membutuhkan jawaban adalah apakah model pendekatan restrukturisasi dari Departemen

Kehutanan yang didukung oleh hasil kajian tim IEWG serta dilandasi oleh road map kebijakan

industri nasional sampai tahun 2010 dari Departemen Perindustrian (Anonim,2006) akan

menghasilkan pendalaman atau justru pelebaran struktur industri?. Untuk mendapatkan jawaban

atas pertanyaan tersebut tulisan ini berupaya mengkaji data sekunder antara lain meliputi

dokumen-dokumen kebijakan dari Departemen Kehutanan, hasil kajian Tim IEWG, data ekspor-

impor komoditi kehutanan tahun 2003-2007 yang terkait dengan penerapan model pendekatan

restrukturisasi yang digunakan. Relevansi kajian pendalaman industri kehutanan diperlukan

sebagai masukan penentuan prioritas restrukturisasi dalam rangka revitalisasi industri kehutanan,

di samping agar kontribusi industri pengolahan hasil hutan kayu dalam perekonomian lokal dapat

ditopang oleh struktur yang lebih kuat dan memiliki ketahanan menghadapi goncangan

perekonomian global.

Dinamika Struktur Industri dan Daya saing

Menurut Kuncoro (2007) struktur industri merupakan cerminan struktur pasar suatu

industri, dalam konteks ekonomi adalah sifat permintaan dan penawaran barang dan jasa. Struktur

industri manufaktur dicontohkan oleh Thee Kian Wie (1996) mencakup susunan jenis-jenis

industri manufaktur yang memperlihatkan arti penting relatif nilai tambah dan penyerapan tenaga

kerja di industri-industri besar, menengah dan kecil. Struktur industri primer hasil hutan kayu

sesuai PP.No.6 tahun 2007 meliputi sawn timber, plywood, LVL, veneer, wood chip. Dari kajian

dokumen industri manufaktur berbasis kayu sulit dijumpai keseragaman pengertian tentang

struktur industri kehutanan baik dalam bentuk maupun susunannya. Departemen Perindustrian

menstruktur industri pengolahan kayu terdiri dari sawmill, plywoodmill, woodworking/prossed,

handycraft. Sementara furniture, moulding, flooring dan particle board termasuk dalam

kelompok woodworking. Sedang Tim IEWG untuk memetakan permasalahan industri kehutanan

mengelompokkan industri menjadi kayu gergajian dan woodworking, kayu lapis dan panel kayu

lainnya, pulp dan kertas, permebelan dan kerajinan.

Menurut A.R. Soehoed dalam Thee Kian Wee (1996) pada masa Repelita I dan II

industrialisasi subsidi impor hanya memperlebar struktur dengan penganekaragaman industri

bukan memperdalam struktur industri. Industri-industri manufaktur bertambah banyak tetapi

tumbuh terlepas satu sama lain, dan malahan dalam beberapa kasus saling bersaing dan secara

umum tidak saling memperkokoh. Kaitan antar industri ke belakang maupun ke depan umumnya

tidak begitu kuat. Pergeseran paradigma struktur industri manufaktur dari pelebaran (tahap

pertama strategi subsidi impor) ke arah pendalaman (tahap ke dua) baru terjadi mulai Repelita IV

Page 3: artikel industri.doc

melalui industrialisasi promosi ekspor. Pendalaman industri termasuk industri kehutanan

dimaksudkan untuk memperkuat struktur industri melalui penciptaan kaitan antar industri saling

mendukung dan menguntungkan antara industri besar, menengah dan kecil, selain juga antara

industri hulu dan hilir. Tujuan pendalaman berdasarkan argumen Soehoed (1981) mengurangi

ketergantungan eksternal dan kerapuhan Indonesia dengan membuat sektor industri berakar

menghunjam dalam perekonomian Indonesia. Namun menurut Gray dalam Thee Kian Wee

(1996) karena kebanyakan sumberdaya alam yang akan diolah terdapat di pulau-pulau di luar

Jawa, pendirian aneka macam industri pengolahan sumber alam di daerah-daerah juga dipandang

merupakan cara efektif memperbaiki ketidakseimbangan regional yang menempatkan Jawa

sebagai penerima bagian penanaman modal yang tidak sebanding.

Lebih jauh menurut Thee Kian Wee (1996) pendirian industri hulu yang lebar rentang

macamnya hanya dengan perhatian sedikit terhadap efisiensi ekonomi mungkin dapat berjalan

baik, andaikata tidak terjadi kemerosotan tajam ekonomi akibat anjoknya harga minyak. Sebagai

akibat anjloknya pendapatan ekspor minyak bumi pemerintah Indonesia mulai dengan program

ambisius menggalakkan ekspor non-migas. Namun mengingat produk-produk industri

manufaktur tidak mempunyai daya saing di pasar internasional, pemerintah harus menilai

kembali kebijakan untuk terus melanjutkan proses industrialisasi substitusi impor yang

berorientasi ke dalam yang selama ini menopang berdirinya industri manufaktur yang pada

umumnya tidak efisien dan tidak berdaya saing. Kebijakan industrialisasi fokus pengembangan

industri substitusi impor dengan pendalaman masih berlanjut sampai periode Hartarto dengan

fokus kedua penguasaan teknologi pesawat terbang, mesin dan perkapalan serta fokus ketiga

pengembangan industri berorientasi ekspor (Kuncoro,2007). Situasi seperti diuraikan

melatarbelakangi kondisi industri kehutanan mungkin hingga saat ini - yang menurut Anonim

(2006) sampai akhir tahun 2003 kinerja produksi industri hasil hutan Indonesia secara global

kurang dari 10% atau di bawah negara-negara penghasil kayu seperti Amerika Serikat, Brazil,

Canada dan Finland, bahkan untuk jenis panel produksi Indonesia jauh di bawah Malaysia dan

Republik Korea.

Pengembangan struktur industri kehutanan yang optimal, kompetitif dan ramah

lingkungan sesuai definisi Departemen Kehutanan yang didasarkan pada kriteria dalam RPJP

2006-2025 meskipun dalam istilah berbeda namun masih senada dengan pengertian PP.No.6

tahun 2007 tentang Tata hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan hutan serta Pemanfaatan

hutan adalah pengembangan struktur industri primer hasil hutan untuk tujuan meningkatkan

efisiensi, nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, produktif, berdaya saing tinggi, ramah

lingkungan dan mengamankan sumber bahan baku dalam rangka pengelolaan hutan lestari.

Page 4: artikel industri.doc

Model pengembangan struktur industri yang bersifat multi tujuan seperti ini cenderung dapat

dianggap sebagai model pendekatan restrukturisasi yang akan lebih menghasilkan pelebaran

struktur industri dari pada pendalaman industri kehutanan. Hal ini memang sejalan dengan

kenyataan persoalan terbesar bangsa ini adalah pengangguran di mana industri mampu

menciptakan lapangan kerja, namun itu tidak sejalan dengan tuntutan memaksimumkan efisiensi,

nilai tambah dari bahan baku kayu yang semakin berkurang jumlahnya dan ketersediaanya tidak

terjamin. Pada akhirnya faktor efisiensi dan nilai tambah pada struktur industri yang tidak

memiliki kedalaman dapat menyebabkan daya saing industri tidak berkelanjutan.

Strategi Industrialisasi dan Pendalaman Industri

Dalam analisis industri dikenal salah satu model strategi untuk mencapai keunggulan

kompetitif yaitu model Organisasi Industri (I/O). Model ini menempatkan industri mencapai

above average return sangat ditentukan oleh karakteristik di luar perusahaan dan fokus pada

struktur industri atau daya tarik lingkungan eksternal (Kuncoro, 2007) Dalam model I/O sering

digunakan pendekatan SCP (Structure-Conduct-Performance) dan kluster industri. Sehubungan

dengan analisis I/O, Anonim (2006) dalam RPJP 2006-2025 membuat deskripsi daya tarik

lingkungan eksternal-yang tidak lagi menjadi “daya tarik” ( istilah dan kursif dari penulis)

sebagai penyebab yang membuat industri kehutanan tidak berjalan sebagaimana mestinya antara

lain :

1. Pengelolaan hutan yang kurang benar sehingga tidak dapat menjamin ketersediaan bahan

baku secara lestari

2. Keterlambatan memulai hutan tanaman

3. Masalah tenurial dengan penduduk setempat

4. Rente usaha yang tinggi sehingga melemahkan daya saing secara global

5. Infrastruktur pendukung industri lemah

Penting dicatat bahwa di masa lalu faktor penyebab industri tidak berjalan sebagaimana mestinya,

tidak dirasakan karena bahan baku masih terjamin ketersediaannya. Sudah banyak data tentang

pasokan bahan baku yang tidak cukup dan over kapasitas industri yang menunjukkan kondisi

industri primer kehutanan dilihat dari sisi penawaran memang tidak lagi menarik

Perilaku industri yang over kapasitas, tidak efisien, daya saing dan nilai tambahnya yang

rendah dan kenyataannya menurut Anonim (2006) hanya menghasilkan kinerja produksi industri

hasil hutan Indonesia secara global kurang dari 10%. Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB

nasional tidak lebih dari 2%, di dalamnya industri kayu & produk lain hanya 1,00% (BPS, 2007)

seperti memperlihatkan struktur industri primer dan industri sekunder kehutanan masih

Page 5: artikel industri.doc

merupakan peninggalan rezim strategi industrialisasi subsidi impor yang melebar, tumbuh

terlepas satu sama lain, dalam beberapa kasus saling bersaing - misalnya dalam hal penggunaan

bahan baku antara industri plywoodmill dan pulpmill atas kayu dari hutan alam ataupun hutan

tanaman, kaitan antar industri ke belakang maupun ke depan umumnya juga tidak begitu kuat.

Strategi promosi ekspor berhasil mengurangi dampak strategi ke dalam, walaupun belum

meniadakan sama sekali “kecenderungan anti-ekspor” kebijakan industri dan rezim

perdagangannya ( Thee Kian Wie, 1996). Menurutnya kebijakan penyesuaian struktural terhadap

industri masih akan terus berlangsung, namun tidak jelas apakah negara akan menempuh kembali

strategi berpandangan ke dalam jika harga minyak bumi akan naik kembali.

Mengacu kepada dokumen kebijakan restrukturisasi yang akan dan sedang dijalankan

oleh Departemen Kehutanan sebagaimana tertuang pada RPJP 2006-2025 prioritas peningkatan

kinerja dan struktur industri diletakkan pada industri kayu gergajian, panel, moulding, mebel,

kayu lapis, pulp dan kertas. Semetara itu road map Revitalisasi Industri Kehutanan (2007) pada

grand strategy pengembangan industri pengolahan kayu di butir permasalahan, sasaran dan

strategi pada periode restrukturisasi (2007-2014) dapat dikatakan cenderung diarahkan untuk

mengembalikan kinerja industri kehutanan yang terpuruk. Pilihan strategi diarahkan untuk

mengatasi ancaman pasokan bahan baku industri kayu lapis, wood working dan mebel dan re-

tooling pada industri kayu lapis serta industri lanjutan fokus pada produk bernilai tambah tinggi,

sementara pada industri pulp direkomendasikan menempuh strategi ekspansi dan diversifikasi

produk. Meskipun tidak diungkapkan secara jelas industri pulp dan kertas dalam kasus ini seperti

diprioritaskan perluasan kapasitasnya dan sekaligus melakukan pendalaman dalam arti

keterkaitan ke belakang diperkuat dan keterkaitan ke depan atau diversifikasi produk juga

diperkuat. Pertanyaannya mengapa pada industri kayu gergajian, kayu lapis, kayu olahan, mebel

dan kerajinan yang diproyeksikan pada tahun 2014 sepenuhnya berbasis hutan tanaman tropis dan

telah didukung oleh aturan P.23/ Menhut-II/2005 yang berisi perluasan cakupan pembangunan

HTI tidak diperlakukan sama. Penguatan terhadap pemenuhan bahan baku industri primer hasil

hutan melalui aturan ini sesunggguhnya merupakan faktor pemungkin dilakukan pendalaman

industri melalui keterkaitan ke belakang untuk memperkuat akar bagi penggunaan bahan baku

lokal dan kemudian mendorong keterkaitan ke depan untuk menghasilkan nilai tambah lebih

tinggi dan berdaya saing.

Page 6: artikel industri.doc

Tabel 1. Perkembangan keterkaitan sektoral dan konsentrasi industriKelompok Industri Kriteria 1980 1985 1990 Keterangan

Industri kayu & rotan Keterkaitan ke depanKeterkaitan ke belakang

Tinggi rendah rendahTinggi tinggi rendah

Ke hilir -subsektor outputKe hulu -subsektor input

Tingkat konsentrasiIndustri kayu

0.191 0.133 0.144 Persaingan meningkat

Tingkat konsentrasiIndustri mebel

0.275 0.199 0.165 Persaingan meningkat

Industri barang dari kertas

Keterkaitan ke depanKeterkaitan ke belakang

Tinggi tinggi tinggiTinggi tinggi tinggi

Ke hilir - subsektor outputKe hulu -subsektor input

Tingkat konsentrasi 0.597 0.561 0.577 Persaingan meningkatSumber : diolah dari Kuncoro, at al.(1986)

Tabel 1. menunjukkan kelompok industri kayu & rotan, tanpa dibedakan apakah industri

kayu lapis, kayu olahan atau mebel dari kayu sejak periode tahun 1990 cenderung tidak memiliki

kedalaman dengan pola keterkaitan ke depan dan ke belakang yang rendah namun tingkat

persaingan meningkat. Rendahnya kaitan ke belakang menunjukkan dampak perubahan terhadap

subsektor input pada industri lebih hulu boleh jadi mendasari alasan terbitnya P.23/

Menhut-II/2005, namun aturan ini menjadi terkesan tidak prioritas ketika upaya peningkatan

investasi pada hutan tanaman untuk kayu perkakas diproyeksikan hanya 40% dari 9 juta hektar

sementara investasi di subsektor input hutan tanaman kayu pulp lebih dikembangkan atau 60%

dari 9 juta hektar. Sedang keterkaitan ke depan yang rendah menunjukkan tidak dapat diandalkan

untuk menumbuhkan subsektor pada industri sekunder atau hilir lebih disebabkan oleh

ketergantungannya pada bahan baku yang berasal dari hutan alam. Tingkat konsentrasi yang

menurun memperlihatkan tingkat persaingan yang meningkat. Hal ini boleh jadi karena relatif

banyak jumlah perusahaan dalam industri tersebut. Meningkatnya persaingan terhadap akses

subsektor input disebabkan antara lain semakin terbatasnya ketersediaan bahan baku dari hutan

alam sementara hutan tanaman mengalami keterlambatan memulainya.

Strategi industrialisasi yang ditempuh untuk memperkuat keterkaitan ke belakang

memang merupakan tanggung jawab Departemen Kehutanan. Di dalamnya terdapat juga

tanggung jawab mengembangkan keterkaitan ke depan industri primernya sampai pada batas

tanggung jawab sektor lain yang mengendalikan jumlah dan membina efisiensi pada industri

sekunder. Strategi sektoral yang terpisah antara industri primer dan sekunder akan cenderung

menghasilkan perluasan industri dari pada pendalaman industri. Yang diperlukan sebenarnya

adalah strategi yang terintegrasi agar industri primer hasil hutan kayu misalnya kayu gergajian,

Page 7: artikel industri.doc

kayu lapis menjadi subsektor input bagi industri sekunder seperti mebel dan kerajinan dan

kemudian dapat menciptakan munculnya industri –industri tersier baru di bidang pelayanan jasa.

Memperkuat Struktur Industri Kehutanan

Memperkuat struktur industri dalam pandangan sektoral Departemen Perindustrian dalam

Kuncoro (2007) diwujudkan pada sasaran pembangunan industri jangka panjang mencakup: (1)

kuatnya industri yang memiliki daya saing berkelanjutan, (2) kuatnya struktur industri

manufaktur kecil, menengah dan besar (3) seimbangnya sumbangan industri kecil dan menengah

dibanding industri besar (4) terdistribusinya industri ke seluruh wilayah tanah air. Menurut

Soehoed dalam Thee Kian Wie (1996) memperkuat struktur industri dengan penciptaan pertalian

maksimum ke belakang dan ke depan ‘pendalaman struktur industri’ dapat dicapai untuk

mengurangi ketergantungan eksternal dan kerapuhan Indonesia dengan membuat sektor industri

berakar lebih menghunjam dalam perekonomian Indonesia.

Posisi dan peran ekonomi dalam struktur industri biasanya ditunjukkan oleh besarnya

kontribusi devisa. Pada saat ini kontribusi devisa dari produk kayu gergajian, panel dan kayu

lapis telah digeser oleh produk pulp dan kertas. Dari angka-angka kinerja ekspor memposisikan

industri kayu gergajian, panel dan kayu lapis bukan lagi menjadi penghela pertumbuhan industri,

salah satu penyebabnya sulitnya memperoleh bahan baku sehingga volume ekspornya menurun

dan impornya terus merangkak naik seperti terlihat pada tabel 2. Meskipun demikian dalam nilai

ekspor produk kayu gergajian dan kayu lapis sejak 2004 cenderung meningkat disebabkan oleh

harga produk yang membaik (Suherman,2007). Pada sisi lain nilai ekspor produk mebel kayu

terus mengalami peningkatan. Produk ini bersama produk kerajinan oleh Kadin dikelompokkan

sebagai klaster industri unggulan penggerak pencipta lapangan kerja dan mengurangi angka

kemiskinan. Berdasarkan perkembangan posisi, peran ekonomi, harga produk dan kesulitan

bahan baku yang demikian adalah lebih baik bila dilakukan pendalaman struktur industri kayu

gergajian, panel dan kayu lapis ke belakang yang meminta percepatan pembangunan hutan

tanaman dan hutan rakyat dan ke depan memperkuat struktur industri mebel dan kerajinan.

Alasan pentingnya pendalaman ke arah industri mebel dan kerajinan : (1) dasar pengembangan

industri mebel dan kerajinan pada awalnya adalah berkembangnya industri kayu gergajian, (2)

produk panel dan kayu lapis merupakan bahan substitusi untuk mebel dan kerajinan, (3)

termasuk industri yang mampu bertahan di tengah krisis ekonomi. Sedang alasan-alasan lain

mengapa industri kayu gergajian, panel dan kayu lapis perlu diarahkan ke hilir antara lain :

rendahnya efisiensi akibat teknologi pengolahan, diversifikasi produk dan pengolahan limbah

belum tepat, persaingan akses bahan baku antar industri, jaringan pemasaran belum terintegrasi,

Page 8: artikel industri.doc

masing-masing industri berusaha memperoleh keuntungan, kekurangan bahan baku kayu pada

industri mebel dan kerajinan, peluang meningkatkan daya saing produk dan nilai tambah lebih

tinggi. Adapun alasan memperkuat struktur keterkaitan ke belakang melalui percepatan

pembangunan hutan tanaman dan hutan rakyat adalah batas akhir pemanfaatan hutan alam untuk

industri kayu pertukangan pada tahun 2014, pemakai kayu dari hutan alam yang terbesar adalah

industri kayu lapis, disamping karena diunggulkannya sebagai penggerak penciptaan lapangan

kerja dan mengurangi angka kemiskinan.

Untuk kajian pendalaman industri kehutanan berdasarkan data ekspor-impor komoditi

industri primer kehutanan yang dibandingkan dengan produk olahan lanjutan dari kayu

sebagaimana disajikan pada tabel 2. untuk memeriksa apakah langkah-langkah restrukturisasi

industri dengan model pendekatan restrukturisasi optimal menghasilkan pendalaman atau

pelebaran industri.

Tabel 2. Perkembangan ekspor-impor komoditi industri primer (dalam 1 juta kg) dan sekunder (dalam 1 juta USD)dari kayu tahun 2004-2007 Produk primer 2004 2005 2006 2007

ImporKayu gergajian

120,357 137,809 179,626 175,306

Panel 94,382 134,748 223,335 308,729Kayu lapis 6,561 20,766 58,629 74,341Papan partikel 24,712 39,028 84,435 151,562EksporKayu gergajian

65,268 9,999 43,794 63,770

Panel 2.906,928 2.483,718 2.203,653 2.006,441Kayu lapis 2.603,043 2.214,770 1.979,110 1.774,895Papan partikel 48,133 30,176 11,673 5,616

Produk sekunder 2004 2005 2006 2007ImporKayu olahan

21,866 42,724 68,743 67,069

Mebel kayu 13,359 61,09 26,949 63,07 30,898 44,94 36,828 54,91Bangunan dr kayu 2,864 7,954 8,011 7,842Kayu pertukangan 1,403 2,710 4,423 2,773EksporKayu olahan

1.874,798 2.254,631 3.044,719 3.024,628

Mebel kayu 860,271 45,88 1.150,750 51,03 1.191,240 39,12 1.206,246 39,88Kayu pertukangan 585,809 717,256 585,776 471,578Bangunan dr kayu 2,795 9,769 34,108 21,649Sumber : ditampilkan kembali dari BPS diolah oleh Baplan Departemen Kehutanan

Impor kayu gergajian 3 kali lebih besar dari ekspor dan terus meningkat hampir 1,5 kali selama 4

tahun. Hal ini memberi indikasi terjadi kekurangan bahan baku industri kayu olahan lanjutan

seperti pada industri mebel, bangunan dan kayu pertukangan. Dapat diartikan bahwa nilai ekspor

mebel kayu dan bangunan dari kayu yang terus meningkat kemungkinan sebagian ditopang oleh

Page 9: artikel industri.doc

peningkatan impor kayu gergajian. Impor mebel juga meningkat diduga disebabkan kebutuhan

domestik akan mebel juga meningkat. Bangunan dari kayu baik impor maupun ekspor cenderung

meningkat nilainya, namun ekspor tetap lebih besar dibanding impor, meskipun nilai ekspornya

masih jauh tertinggal dibanding mebel dan kayu pertukangan.

Nilai ekspor kayu pertukangan tetap lebih besar dibanding impor tetapi angkanya

cenderung menurun. Produk panel, kayu lapis dan papan partikel kondisinya sama, impor terus

meningkat, ekspor menurun, fenomena ini mungkin disebabkan kebutuhan bahan baku untuk

mebel, bangunan dan kayu pertukangan terus meningkat baik untuk pasar ekspor ataupun untuk

pasar domestik. Dapat terjadi substitusi bahan baku kayu dari kayu solid yang sebagian berupa

kayu gergajian ke kayu olahan primer seperti produk panel, kayu lapis dan papan partikel untuk

memroduksi mebel, bangunan dan pertukangan. Sebagai contoh komponen mebel in-door lebih

mudah menyerap bahan substitusi seperti produk panel dan papan partikel daripada mebel out-

door / garden . Demikian juga dapat terjadi pada komponen produk bangunan dari kayu dan

produk kayu pertukangan. Dari data relatif terbatas ini memberi indikasi adanya keterkaitan

antara industri mebel, bangunan dan pertukangan dengan industri kayu gergajian mulai terbangun

ketika harga kayu gergajian meningkat. Akan tetapi industri-industri ini dalam kenyataannya

masih bertumbuh sendiri saling terlepas satu sama lain dan bahkan tidak saling mendukung.

Menarik dikaji adalah pengalaman sejarah yang panjang pada industri panel dan kayu

lapis baik di bidang produksi dan pemasaran yang masih menyimpan potensi besar menghasilkan

kontribusi devisa. Data Release Ditjen BPK triwulan I 2009 menyatakan terbitnya 6 izin baru di

antaranya industri kayu gergajian dan kayu lapis, 3 izin perluasan kapasitas untuk industri yang

sama. Belum lagi izin baru pada periode tahun 2008 sebanyak 164 unit ( Dir.BPPH) serta

pembaruan industri serupa yang disertai perluasan pasar. Hal ini membuktikan bahwa keterkaitan

ke belakang akan meningkat dan perluasan pasar melalui alih bahan baku ke HTI, HTR, HR dan

impor akan membuka jalan keterkaitan ke depan juga meningkat. Demikian pula pada industri

kayu gergajian sebagai penghasil bahan baku kayu olahan seperti bahan bangunan akan

mengalami keterkaitan ke depan yang semakin menguat karena pasar domestik setiap tahun

membutuhkan bahan bangunan untuk membangun rumah sebanyak 800.000 unit / tahun

(Kirmanto & Amron,2009).

Memperhatikan tabel 2. nilai ekspor mebel terus meningkat dari tahun – ke tahun tetapi

proporsi ekspor mebel terhadap total ekspor terus menurun, boleh jadi masih terdapat persaingan

bahan baku dengan industri kayu pertukangan yang relatif menurun nilai ekspornya. Sementara

ekspor produk bangunan dari kayu meskipun nilainya kecil berkecenderungan mengalami

peningkatan. Volume ekspor produk panel, kayu lapis dan papan partikel selama kurun waktu itu

Page 10: artikel industri.doc

terus menurun, namun diimbangi oleh meningkatnya nilai ekspor mebel dan produk bangunan

dari kayu. Hal ini memperkuat dugaan kemungkinan sebagian produk panel, kayu lapis dan papan

partikel digunakan sebagai bahan baku mebel dan bangunan dari kayu. Apalagi bila permintaan

pasar domestik pada mebel dan bangunan dari kayu secara relatif akan terus meningkat sejalan

dengan peningkatan jumlah penduduk yang membutuhkan.

Restrukturisasi industri kehutanan untuk memperkuat industri pada dasarnya adalah

membangun kembali kinerja industri yang sudah terpuruk yang juga membutuhkan pendalam

struktur industri. Departemen kehutanan juga tidak ketinggalan telah berusaha membangun pilar-

pilar industri kehutanan masa depan antara lain melalui 3 aspek yang dapat dipandang penting

artinya bagi pendalaman industri. Tiga aspek penting tersebut dapat berperan sebagai faktor

pemungkin dilakukannya pendalaman industri primer kehutanan seperti industri kayu gergajian

dan kayu olahan, kayu lapis dan panel, antara lain : (1) aspek bahan baku : penerapan multisistem

silvikultur, realisasi tanam Silin yang telah mencapai 72,9%, HTI kayu perkakas sampai tahun

2006 telah mencapai 1,3 juta Ha tiap tahun diproyeksikan 75.000 Ha. (2) aspek industri : terhadap

industri yang ada diseleksi administratif, kontinuitas produksi, struktur sumber BBI, RPBI 5 th

yang akan dating, terhadap ijin industri baru harus efisien.(3) aspek pasar : pemberlakuan aturan

legalitas kayu. Namun demikian aspek-aspek yang bersifat sektoral dan vertikal tersebut perlu

diwujudkan dengan tindakan spasial dan horisontal berbasis klaster sehingga benar-benar akan

menjadi faktor pemungkin terjadinya pendalaman industri.

Penutup

Kajian yang telah diuraikan di muka pada akhirnya membimbing pada sebuah arah

jawaban atas pertanyaan di awal tulisan ini apakah model pendekatan restrukturisasi optimal akan

menghasilkan pendalaman atau pelebaran industri. Berdasarkan kajian kebijakan dan data

perkembangan komoditi ekspor dan impor tahun 2004-2007 diperoleh indikasi belum terjadi

pendalaman industri, namun proses perubahan struktur industri telah terjadi secara parsial dengan

pengalihan bahan baku / substitusi dari papan partikel, panel. Struktur industri kehutanan masih

berpotensi akan melebar sehingga belum dapat dikatakan telah menghasilkan pendalaman

struktur industri. Peluang pendalaman industri kayu gergajian dan kayu olahan kecil dan

menengah, industri panel dan kayu lapis yang umumnya industri besar perlu didorong terintegrasi

ke arah industri mebel dan kerajinan yang sebagian besar industri kecil dan menengah masih

terbuka. Sedang industri kayu lapis besar perlu dikendalikan pengembangannya ke arah

menghasilkan produk berdaya saing dan bernilai tambah tinggi. Tujuan dan sasaran-sasaran

industri yang turunkan dari arah kebijakan yang bersifat sektoral dan vertikal harus didukung

Page 11: artikel industri.doc

penuh oleh tindakan-tindakan spasial, horisontal dan lintas sektoral berbasis klaster sesuai

spesialisasi daerah untuk menghasilkan produk yang efisien, kompetitif dan ramah lingkungan.

Untuk mencapainya dipersyaratkan pendalaman industri yang memperkuat struktur industri

kehutanan dan ditopang oleh kebijakan yang integratif dan koordinasi yang kuat antar

Departemen Kehutanan, Departemen Perindustrian dan Pemerintah Daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata

Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan..

Anonim. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang

Perubahan atas PP No.6 tahun 2007.

Anonim 2009. Data Release Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Triwulan I 2009.

Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

Departemen Kehutanan.2006. Rencana Pempangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006-

2025. Departemen Kehutanan RI.Jakarta.

Departemen Kehutanan.2007. Road map Revitalisasi Industri Kehutanan Indonesia.In-house

Experts Working Group Revitalisasi Industri Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Departemen Perindustrian. 2006. Profil Industri Furniture dari Kayu. Direktorat Jenderal Industri

Agro dan Kimia. Jakarta

Kadin Indonesia. 2007. Visi 2030 dan Roadmap 2010 Industri Nasional. Ringkasan Eksekutif

Rekomendasi Kadin Indonesia. Diakses dari : www.kadin –indonesia.or.id/report.pdf

(1/15/2007)

Kirmanto, Djoko dan M.Amron. 2009. Sambutan Pengarahan dan Pembukaan Seminar Nasional

MAPEKI XII Bandung, 23 Juli 2009. Puslitbang Permukiman dan MAPEKI.

Kuncoro, Mudrajad. 2007. Ekonomika Industri Indonesia, Menuju Negara Industri Baru 2030?.

Penerbit Andi. Yogyakarta.

Nugraha, Agung dan Iskandar. 2004. Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Isuue dan Agenda

Mendesak. Debut Press. Yogyakarta.

Suherman, Herry. 2008. Pengaruh Pasar Terhadap Industri Kehutanan Nasional.Direktorat

Kehutanan dan Konservasi Sumber daya air. Kementerian Negara PPN/Bapennas. Diakses

dari : www.bapennas.go.id/get-file-server/node.pdf (2/26/2005)

Sumitro, Achmad. 2005. Ekonomi Sumber Daya Hutan Analisi Kebijakan Revitalisasi Hutan di

Indonesia. Debut Press. Yogyakarta.

Thee Kian Wie. 1996. Industrialisasi di Indonesia Beberapa Kajian. LP3ES. Jakarta

Page 12: artikel industri.doc

Intisari

Industri kehutanan nasional sedang didorong membangun struktur industri yang kompetitif dan

ramah lingkungan. Kebijakan dan langkah-langkah restrukturisasi yang dibuat dan dilaksanakan

merupakan model pendekatan restrukturisasi industri kehutanan. Model ini dalam perumusan dan

implementasi menjadi strategi revitalisasi industri kehutanan banyak memperoleh masukan dan

pengaruh kebijakan industri dan rezim perdagangan. Strategi subsidi impor atau promosi ekspor,

tuntutan memaksimumkan efisiensi, nilai tambah di satu sisi dan penyerapan tenaga kerja di sisi

lain pada akhirnya akan menghasilkan pendalaman atau pelebaran industri. Struktur industri

kehutanan masih berpotensi melebar, sementara yang lebih diperlukan ketahanan dan daya saing

industri yang berkelanjutan. Hal itu mungkin terjadi pada struktur industri yang memiliki

kedalaman. Upaya pendalaman struktur industri penting dilakukan karena efisiensi industri, nilai

tambah dan daya saing produk masih rendah. Upaya tersebut mensyaratkan perlunya kebijakan

integratif dan koordinasi yang kuat antar Departemen Kehutanan, Departemen Perindustrian dan

Pemerintah Daerah.

Abstract

National wood industries has been pushing to develop the competitive and eco-friendly industrial

structure. This is a restructuring approach model that will be a part of The Ministry of Forestry

Policy especially on wood industry revitalization. National industrial policy and trade regime

have influence the wood industrialization strategic formulation. Export promotion or import

substitution strategy, maximizing efficiency, added value of wood products on one side,

meanwhile job opportunities on the other side. There are strategies will be producing the depth of

structure or broad of structure industry. In fact, the wood industries structure still have a potential

to get broaden, meanwhile industries should have endurance and sustainable competitiveness. It

can be created if the structure of industry have a depth. To deepen structure of industry is an

important effort to counter several problems such as inefficiecy, low added value and low

competitiveness. Subsequently, it is need integrative policy and forceful institution coordination

among Ministry of Forestry, Ministry of Industry, and Local Government.

Keywords : industry, restructuring approach model, competitiveness _______________________* penulis untuk korespondensi, Telp:0274-881307,E-mail : [email protected]

Page 13: artikel industri.doc