Upload
rizalfadli
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MODEL PENDEKATAN RESTRUKTURISASI INDUSTRI KEHUTANAN NASIONAL DAN UPAYA PENDALAMAN INDUSTRI
YUDO E B ISTOTO *
Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta
Pendahuluan
Setelah industri kayu lapis mengalami penurunan peran sebagai penghasil devisa sejak tahun
1990, kayu olahan setelah 1994, mebel mengalami rebound pada tahun 1999 namun cenderung
menurun sejak tahun 2002 dan pada periode yang hampir sama tahun 2002 pulp dan kertas serta
kayu gergajian meningkat (Suhermanto, 2004), Departemen Kehutanan melalui RPJP 2006-2025
dan serangkaian kebijakan yang terkait restrukturisasi industri kehutanan bertekad mewujudkan
struktur industri kehutanan yang kompetitif dan ramah lingkungan. Salah satu cara mencapainya
dengan mengembangkan struktur industri yang optimal berdasarkan kriteria kelayakan jumlah
dan jenis industri kehutanan, kemampuan pemenuhan bahan baku dalam negeri dan luar negeri,
perkembangan teknologi, permodalan, serta peluang pasar. Mewujudkan struktur industri yang
optimal tidak menutup kemungkinan akan membatasi jumlah dan komposisi / jenis industri pada
lokasi tertentu. Kebijakan ini sejalan dengan kenyataan tidak efisiennya industri pengolahan kayu
dari hutan alam seperti dinyatakan Sumitro (2005) bahwa dalam sidang pemberi utang (CGI) di
Jakarta tahun 2000 Indonesia harus sepakat melakukan pengecilan produksi dan menyusun
kembali struktur industri kehutanan.
Ketidakjelasan arah restrukturisasi industri kehutanan telah menimbulkan pelbagai pendapat
antara lain menurut In-house Experts Working Group/IEWG (2007) diartikan sebagai salah satu
strategi revitalisasi industri kehutanan. Pendapat lainnya restrukturisasi selalu berkonotasi
pengurangan kapasitas (downsize) dan penutupan (closure) khususnya bagi industri yang tidak
efisien dan atau yang menggunakan kayu tidak legal (Nugraha dan Iskandar, 2004). Dalam arah
yang sama telah dibentuk suatu badan untuk melakukan restrukturisasi dan menguji legalitas
bahan baku, mencegah tercampurnya kayu legal dengan kayu illegal sebagai bahan pertimbangan
penutupan industri yaitu Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK).
Untuk mencapai restrukturisasi industri kehutanan seperti yang diharapkan, pemerintah antara
lain memberikan penguatan berupa kebijakan dan peraturan terkait bahan baku seperti PP
No.3/2008 pasal 38 ayat 1 dan Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 yang memayungi
penerapan “multisistem silvikultur” dan PP No.3/2008 pasal 38 ayat 2 yang memberi ruang bagi
kegiatan “pengolahan” dalam pemanfaatan hasil hutan kayu. Pertanyaan yang kemudian muncul
dan membutuhkan jawaban adalah apakah model pendekatan restrukturisasi dari Departemen
Kehutanan yang didukung oleh hasil kajian tim IEWG serta dilandasi oleh road map kebijakan
industri nasional sampai tahun 2010 dari Departemen Perindustrian (Anonim,2006) akan
menghasilkan pendalaman atau justru pelebaran struktur industri?. Untuk mendapatkan jawaban
atas pertanyaan tersebut tulisan ini berupaya mengkaji data sekunder antara lain meliputi
dokumen-dokumen kebijakan dari Departemen Kehutanan, hasil kajian Tim IEWG, data ekspor-
impor komoditi kehutanan tahun 2003-2007 yang terkait dengan penerapan model pendekatan
restrukturisasi yang digunakan. Relevansi kajian pendalaman industri kehutanan diperlukan
sebagai masukan penentuan prioritas restrukturisasi dalam rangka revitalisasi industri kehutanan,
di samping agar kontribusi industri pengolahan hasil hutan kayu dalam perekonomian lokal dapat
ditopang oleh struktur yang lebih kuat dan memiliki ketahanan menghadapi goncangan
perekonomian global.
Dinamika Struktur Industri dan Daya saing
Menurut Kuncoro (2007) struktur industri merupakan cerminan struktur pasar suatu
industri, dalam konteks ekonomi adalah sifat permintaan dan penawaran barang dan jasa. Struktur
industri manufaktur dicontohkan oleh Thee Kian Wie (1996) mencakup susunan jenis-jenis
industri manufaktur yang memperlihatkan arti penting relatif nilai tambah dan penyerapan tenaga
kerja di industri-industri besar, menengah dan kecil. Struktur industri primer hasil hutan kayu
sesuai PP.No.6 tahun 2007 meliputi sawn timber, plywood, LVL, veneer, wood chip. Dari kajian
dokumen industri manufaktur berbasis kayu sulit dijumpai keseragaman pengertian tentang
struktur industri kehutanan baik dalam bentuk maupun susunannya. Departemen Perindustrian
menstruktur industri pengolahan kayu terdiri dari sawmill, plywoodmill, woodworking/prossed,
handycraft. Sementara furniture, moulding, flooring dan particle board termasuk dalam
kelompok woodworking. Sedang Tim IEWG untuk memetakan permasalahan industri kehutanan
mengelompokkan industri menjadi kayu gergajian dan woodworking, kayu lapis dan panel kayu
lainnya, pulp dan kertas, permebelan dan kerajinan.
Menurut A.R. Soehoed dalam Thee Kian Wee (1996) pada masa Repelita I dan II
industrialisasi subsidi impor hanya memperlebar struktur dengan penganekaragaman industri
bukan memperdalam struktur industri. Industri-industri manufaktur bertambah banyak tetapi
tumbuh terlepas satu sama lain, dan malahan dalam beberapa kasus saling bersaing dan secara
umum tidak saling memperkokoh. Kaitan antar industri ke belakang maupun ke depan umumnya
tidak begitu kuat. Pergeseran paradigma struktur industri manufaktur dari pelebaran (tahap
pertama strategi subsidi impor) ke arah pendalaman (tahap ke dua) baru terjadi mulai Repelita IV
melalui industrialisasi promosi ekspor. Pendalaman industri termasuk industri kehutanan
dimaksudkan untuk memperkuat struktur industri melalui penciptaan kaitan antar industri saling
mendukung dan menguntungkan antara industri besar, menengah dan kecil, selain juga antara
industri hulu dan hilir. Tujuan pendalaman berdasarkan argumen Soehoed (1981) mengurangi
ketergantungan eksternal dan kerapuhan Indonesia dengan membuat sektor industri berakar
menghunjam dalam perekonomian Indonesia. Namun menurut Gray dalam Thee Kian Wee
(1996) karena kebanyakan sumberdaya alam yang akan diolah terdapat di pulau-pulau di luar
Jawa, pendirian aneka macam industri pengolahan sumber alam di daerah-daerah juga dipandang
merupakan cara efektif memperbaiki ketidakseimbangan regional yang menempatkan Jawa
sebagai penerima bagian penanaman modal yang tidak sebanding.
Lebih jauh menurut Thee Kian Wee (1996) pendirian industri hulu yang lebar rentang
macamnya hanya dengan perhatian sedikit terhadap efisiensi ekonomi mungkin dapat berjalan
baik, andaikata tidak terjadi kemerosotan tajam ekonomi akibat anjoknya harga minyak. Sebagai
akibat anjloknya pendapatan ekspor minyak bumi pemerintah Indonesia mulai dengan program
ambisius menggalakkan ekspor non-migas. Namun mengingat produk-produk industri
manufaktur tidak mempunyai daya saing di pasar internasional, pemerintah harus menilai
kembali kebijakan untuk terus melanjutkan proses industrialisasi substitusi impor yang
berorientasi ke dalam yang selama ini menopang berdirinya industri manufaktur yang pada
umumnya tidak efisien dan tidak berdaya saing. Kebijakan industrialisasi fokus pengembangan
industri substitusi impor dengan pendalaman masih berlanjut sampai periode Hartarto dengan
fokus kedua penguasaan teknologi pesawat terbang, mesin dan perkapalan serta fokus ketiga
pengembangan industri berorientasi ekspor (Kuncoro,2007). Situasi seperti diuraikan
melatarbelakangi kondisi industri kehutanan mungkin hingga saat ini - yang menurut Anonim
(2006) sampai akhir tahun 2003 kinerja produksi industri hasil hutan Indonesia secara global
kurang dari 10% atau di bawah negara-negara penghasil kayu seperti Amerika Serikat, Brazil,
Canada dan Finland, bahkan untuk jenis panel produksi Indonesia jauh di bawah Malaysia dan
Republik Korea.
Pengembangan struktur industri kehutanan yang optimal, kompetitif dan ramah
lingkungan sesuai definisi Departemen Kehutanan yang didasarkan pada kriteria dalam RPJP
2006-2025 meskipun dalam istilah berbeda namun masih senada dengan pengertian PP.No.6
tahun 2007 tentang Tata hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan hutan serta Pemanfaatan
hutan adalah pengembangan struktur industri primer hasil hutan untuk tujuan meningkatkan
efisiensi, nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, produktif, berdaya saing tinggi, ramah
lingkungan dan mengamankan sumber bahan baku dalam rangka pengelolaan hutan lestari.
Model pengembangan struktur industri yang bersifat multi tujuan seperti ini cenderung dapat
dianggap sebagai model pendekatan restrukturisasi yang akan lebih menghasilkan pelebaran
struktur industri dari pada pendalaman industri kehutanan. Hal ini memang sejalan dengan
kenyataan persoalan terbesar bangsa ini adalah pengangguran di mana industri mampu
menciptakan lapangan kerja, namun itu tidak sejalan dengan tuntutan memaksimumkan efisiensi,
nilai tambah dari bahan baku kayu yang semakin berkurang jumlahnya dan ketersediaanya tidak
terjamin. Pada akhirnya faktor efisiensi dan nilai tambah pada struktur industri yang tidak
memiliki kedalaman dapat menyebabkan daya saing industri tidak berkelanjutan.
Strategi Industrialisasi dan Pendalaman Industri
Dalam analisis industri dikenal salah satu model strategi untuk mencapai keunggulan
kompetitif yaitu model Organisasi Industri (I/O). Model ini menempatkan industri mencapai
above average return sangat ditentukan oleh karakteristik di luar perusahaan dan fokus pada
struktur industri atau daya tarik lingkungan eksternal (Kuncoro, 2007) Dalam model I/O sering
digunakan pendekatan SCP (Structure-Conduct-Performance) dan kluster industri. Sehubungan
dengan analisis I/O, Anonim (2006) dalam RPJP 2006-2025 membuat deskripsi daya tarik
lingkungan eksternal-yang tidak lagi menjadi “daya tarik” ( istilah dan kursif dari penulis)
sebagai penyebab yang membuat industri kehutanan tidak berjalan sebagaimana mestinya antara
lain :
1. Pengelolaan hutan yang kurang benar sehingga tidak dapat menjamin ketersediaan bahan
baku secara lestari
2. Keterlambatan memulai hutan tanaman
3. Masalah tenurial dengan penduduk setempat
4. Rente usaha yang tinggi sehingga melemahkan daya saing secara global
5. Infrastruktur pendukung industri lemah
Penting dicatat bahwa di masa lalu faktor penyebab industri tidak berjalan sebagaimana mestinya,
tidak dirasakan karena bahan baku masih terjamin ketersediaannya. Sudah banyak data tentang
pasokan bahan baku yang tidak cukup dan over kapasitas industri yang menunjukkan kondisi
industri primer kehutanan dilihat dari sisi penawaran memang tidak lagi menarik
Perilaku industri yang over kapasitas, tidak efisien, daya saing dan nilai tambahnya yang
rendah dan kenyataannya menurut Anonim (2006) hanya menghasilkan kinerja produksi industri
hasil hutan Indonesia secara global kurang dari 10%. Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB
nasional tidak lebih dari 2%, di dalamnya industri kayu & produk lain hanya 1,00% (BPS, 2007)
seperti memperlihatkan struktur industri primer dan industri sekunder kehutanan masih
merupakan peninggalan rezim strategi industrialisasi subsidi impor yang melebar, tumbuh
terlepas satu sama lain, dalam beberapa kasus saling bersaing - misalnya dalam hal penggunaan
bahan baku antara industri plywoodmill dan pulpmill atas kayu dari hutan alam ataupun hutan
tanaman, kaitan antar industri ke belakang maupun ke depan umumnya juga tidak begitu kuat.
Strategi promosi ekspor berhasil mengurangi dampak strategi ke dalam, walaupun belum
meniadakan sama sekali “kecenderungan anti-ekspor” kebijakan industri dan rezim
perdagangannya ( Thee Kian Wie, 1996). Menurutnya kebijakan penyesuaian struktural terhadap
industri masih akan terus berlangsung, namun tidak jelas apakah negara akan menempuh kembali
strategi berpandangan ke dalam jika harga minyak bumi akan naik kembali.
Mengacu kepada dokumen kebijakan restrukturisasi yang akan dan sedang dijalankan
oleh Departemen Kehutanan sebagaimana tertuang pada RPJP 2006-2025 prioritas peningkatan
kinerja dan struktur industri diletakkan pada industri kayu gergajian, panel, moulding, mebel,
kayu lapis, pulp dan kertas. Semetara itu road map Revitalisasi Industri Kehutanan (2007) pada
grand strategy pengembangan industri pengolahan kayu di butir permasalahan, sasaran dan
strategi pada periode restrukturisasi (2007-2014) dapat dikatakan cenderung diarahkan untuk
mengembalikan kinerja industri kehutanan yang terpuruk. Pilihan strategi diarahkan untuk
mengatasi ancaman pasokan bahan baku industri kayu lapis, wood working dan mebel dan re-
tooling pada industri kayu lapis serta industri lanjutan fokus pada produk bernilai tambah tinggi,
sementara pada industri pulp direkomendasikan menempuh strategi ekspansi dan diversifikasi
produk. Meskipun tidak diungkapkan secara jelas industri pulp dan kertas dalam kasus ini seperti
diprioritaskan perluasan kapasitasnya dan sekaligus melakukan pendalaman dalam arti
keterkaitan ke belakang diperkuat dan keterkaitan ke depan atau diversifikasi produk juga
diperkuat. Pertanyaannya mengapa pada industri kayu gergajian, kayu lapis, kayu olahan, mebel
dan kerajinan yang diproyeksikan pada tahun 2014 sepenuhnya berbasis hutan tanaman tropis dan
telah didukung oleh aturan P.23/ Menhut-II/2005 yang berisi perluasan cakupan pembangunan
HTI tidak diperlakukan sama. Penguatan terhadap pemenuhan bahan baku industri primer hasil
hutan melalui aturan ini sesunggguhnya merupakan faktor pemungkin dilakukan pendalaman
industri melalui keterkaitan ke belakang untuk memperkuat akar bagi penggunaan bahan baku
lokal dan kemudian mendorong keterkaitan ke depan untuk menghasilkan nilai tambah lebih
tinggi dan berdaya saing.
Tabel 1. Perkembangan keterkaitan sektoral dan konsentrasi industriKelompok Industri Kriteria 1980 1985 1990 Keterangan
Industri kayu & rotan Keterkaitan ke depanKeterkaitan ke belakang
Tinggi rendah rendahTinggi tinggi rendah
Ke hilir -subsektor outputKe hulu -subsektor input
Tingkat konsentrasiIndustri kayu
0.191 0.133 0.144 Persaingan meningkat
Tingkat konsentrasiIndustri mebel
0.275 0.199 0.165 Persaingan meningkat
Industri barang dari kertas
Keterkaitan ke depanKeterkaitan ke belakang
Tinggi tinggi tinggiTinggi tinggi tinggi
Ke hilir - subsektor outputKe hulu -subsektor input
Tingkat konsentrasi 0.597 0.561 0.577 Persaingan meningkatSumber : diolah dari Kuncoro, at al.(1986)
Tabel 1. menunjukkan kelompok industri kayu & rotan, tanpa dibedakan apakah industri
kayu lapis, kayu olahan atau mebel dari kayu sejak periode tahun 1990 cenderung tidak memiliki
kedalaman dengan pola keterkaitan ke depan dan ke belakang yang rendah namun tingkat
persaingan meningkat. Rendahnya kaitan ke belakang menunjukkan dampak perubahan terhadap
subsektor input pada industri lebih hulu boleh jadi mendasari alasan terbitnya P.23/
Menhut-II/2005, namun aturan ini menjadi terkesan tidak prioritas ketika upaya peningkatan
investasi pada hutan tanaman untuk kayu perkakas diproyeksikan hanya 40% dari 9 juta hektar
sementara investasi di subsektor input hutan tanaman kayu pulp lebih dikembangkan atau 60%
dari 9 juta hektar. Sedang keterkaitan ke depan yang rendah menunjukkan tidak dapat diandalkan
untuk menumbuhkan subsektor pada industri sekunder atau hilir lebih disebabkan oleh
ketergantungannya pada bahan baku yang berasal dari hutan alam. Tingkat konsentrasi yang
menurun memperlihatkan tingkat persaingan yang meningkat. Hal ini boleh jadi karena relatif
banyak jumlah perusahaan dalam industri tersebut. Meningkatnya persaingan terhadap akses
subsektor input disebabkan antara lain semakin terbatasnya ketersediaan bahan baku dari hutan
alam sementara hutan tanaman mengalami keterlambatan memulainya.
Strategi industrialisasi yang ditempuh untuk memperkuat keterkaitan ke belakang
memang merupakan tanggung jawab Departemen Kehutanan. Di dalamnya terdapat juga
tanggung jawab mengembangkan keterkaitan ke depan industri primernya sampai pada batas
tanggung jawab sektor lain yang mengendalikan jumlah dan membina efisiensi pada industri
sekunder. Strategi sektoral yang terpisah antara industri primer dan sekunder akan cenderung
menghasilkan perluasan industri dari pada pendalaman industri. Yang diperlukan sebenarnya
adalah strategi yang terintegrasi agar industri primer hasil hutan kayu misalnya kayu gergajian,
kayu lapis menjadi subsektor input bagi industri sekunder seperti mebel dan kerajinan dan
kemudian dapat menciptakan munculnya industri –industri tersier baru di bidang pelayanan jasa.
Memperkuat Struktur Industri Kehutanan
Memperkuat struktur industri dalam pandangan sektoral Departemen Perindustrian dalam
Kuncoro (2007) diwujudkan pada sasaran pembangunan industri jangka panjang mencakup: (1)
kuatnya industri yang memiliki daya saing berkelanjutan, (2) kuatnya struktur industri
manufaktur kecil, menengah dan besar (3) seimbangnya sumbangan industri kecil dan menengah
dibanding industri besar (4) terdistribusinya industri ke seluruh wilayah tanah air. Menurut
Soehoed dalam Thee Kian Wie (1996) memperkuat struktur industri dengan penciptaan pertalian
maksimum ke belakang dan ke depan ‘pendalaman struktur industri’ dapat dicapai untuk
mengurangi ketergantungan eksternal dan kerapuhan Indonesia dengan membuat sektor industri
berakar lebih menghunjam dalam perekonomian Indonesia.
Posisi dan peran ekonomi dalam struktur industri biasanya ditunjukkan oleh besarnya
kontribusi devisa. Pada saat ini kontribusi devisa dari produk kayu gergajian, panel dan kayu
lapis telah digeser oleh produk pulp dan kertas. Dari angka-angka kinerja ekspor memposisikan
industri kayu gergajian, panel dan kayu lapis bukan lagi menjadi penghela pertumbuhan industri,
salah satu penyebabnya sulitnya memperoleh bahan baku sehingga volume ekspornya menurun
dan impornya terus merangkak naik seperti terlihat pada tabel 2. Meskipun demikian dalam nilai
ekspor produk kayu gergajian dan kayu lapis sejak 2004 cenderung meningkat disebabkan oleh
harga produk yang membaik (Suherman,2007). Pada sisi lain nilai ekspor produk mebel kayu
terus mengalami peningkatan. Produk ini bersama produk kerajinan oleh Kadin dikelompokkan
sebagai klaster industri unggulan penggerak pencipta lapangan kerja dan mengurangi angka
kemiskinan. Berdasarkan perkembangan posisi, peran ekonomi, harga produk dan kesulitan
bahan baku yang demikian adalah lebih baik bila dilakukan pendalaman struktur industri kayu
gergajian, panel dan kayu lapis ke belakang yang meminta percepatan pembangunan hutan
tanaman dan hutan rakyat dan ke depan memperkuat struktur industri mebel dan kerajinan.
Alasan pentingnya pendalaman ke arah industri mebel dan kerajinan : (1) dasar pengembangan
industri mebel dan kerajinan pada awalnya adalah berkembangnya industri kayu gergajian, (2)
produk panel dan kayu lapis merupakan bahan substitusi untuk mebel dan kerajinan, (3)
termasuk industri yang mampu bertahan di tengah krisis ekonomi. Sedang alasan-alasan lain
mengapa industri kayu gergajian, panel dan kayu lapis perlu diarahkan ke hilir antara lain :
rendahnya efisiensi akibat teknologi pengolahan, diversifikasi produk dan pengolahan limbah
belum tepat, persaingan akses bahan baku antar industri, jaringan pemasaran belum terintegrasi,
masing-masing industri berusaha memperoleh keuntungan, kekurangan bahan baku kayu pada
industri mebel dan kerajinan, peluang meningkatkan daya saing produk dan nilai tambah lebih
tinggi. Adapun alasan memperkuat struktur keterkaitan ke belakang melalui percepatan
pembangunan hutan tanaman dan hutan rakyat adalah batas akhir pemanfaatan hutan alam untuk
industri kayu pertukangan pada tahun 2014, pemakai kayu dari hutan alam yang terbesar adalah
industri kayu lapis, disamping karena diunggulkannya sebagai penggerak penciptaan lapangan
kerja dan mengurangi angka kemiskinan.
Untuk kajian pendalaman industri kehutanan berdasarkan data ekspor-impor komoditi
industri primer kehutanan yang dibandingkan dengan produk olahan lanjutan dari kayu
sebagaimana disajikan pada tabel 2. untuk memeriksa apakah langkah-langkah restrukturisasi
industri dengan model pendekatan restrukturisasi optimal menghasilkan pendalaman atau
pelebaran industri.
Tabel 2. Perkembangan ekspor-impor komoditi industri primer (dalam 1 juta kg) dan sekunder (dalam 1 juta USD)dari kayu tahun 2004-2007 Produk primer 2004 2005 2006 2007
ImporKayu gergajian
120,357 137,809 179,626 175,306
Panel 94,382 134,748 223,335 308,729Kayu lapis 6,561 20,766 58,629 74,341Papan partikel 24,712 39,028 84,435 151,562EksporKayu gergajian
65,268 9,999 43,794 63,770
Panel 2.906,928 2.483,718 2.203,653 2.006,441Kayu lapis 2.603,043 2.214,770 1.979,110 1.774,895Papan partikel 48,133 30,176 11,673 5,616
Produk sekunder 2004 2005 2006 2007ImporKayu olahan
21,866 42,724 68,743 67,069
Mebel kayu 13,359 61,09 26,949 63,07 30,898 44,94 36,828 54,91Bangunan dr kayu 2,864 7,954 8,011 7,842Kayu pertukangan 1,403 2,710 4,423 2,773EksporKayu olahan
1.874,798 2.254,631 3.044,719 3.024,628
Mebel kayu 860,271 45,88 1.150,750 51,03 1.191,240 39,12 1.206,246 39,88Kayu pertukangan 585,809 717,256 585,776 471,578Bangunan dr kayu 2,795 9,769 34,108 21,649Sumber : ditampilkan kembali dari BPS diolah oleh Baplan Departemen Kehutanan
Impor kayu gergajian 3 kali lebih besar dari ekspor dan terus meningkat hampir 1,5 kali selama 4
tahun. Hal ini memberi indikasi terjadi kekurangan bahan baku industri kayu olahan lanjutan
seperti pada industri mebel, bangunan dan kayu pertukangan. Dapat diartikan bahwa nilai ekspor
mebel kayu dan bangunan dari kayu yang terus meningkat kemungkinan sebagian ditopang oleh
peningkatan impor kayu gergajian. Impor mebel juga meningkat diduga disebabkan kebutuhan
domestik akan mebel juga meningkat. Bangunan dari kayu baik impor maupun ekspor cenderung
meningkat nilainya, namun ekspor tetap lebih besar dibanding impor, meskipun nilai ekspornya
masih jauh tertinggal dibanding mebel dan kayu pertukangan.
Nilai ekspor kayu pertukangan tetap lebih besar dibanding impor tetapi angkanya
cenderung menurun. Produk panel, kayu lapis dan papan partikel kondisinya sama, impor terus
meningkat, ekspor menurun, fenomena ini mungkin disebabkan kebutuhan bahan baku untuk
mebel, bangunan dan kayu pertukangan terus meningkat baik untuk pasar ekspor ataupun untuk
pasar domestik. Dapat terjadi substitusi bahan baku kayu dari kayu solid yang sebagian berupa
kayu gergajian ke kayu olahan primer seperti produk panel, kayu lapis dan papan partikel untuk
memroduksi mebel, bangunan dan pertukangan. Sebagai contoh komponen mebel in-door lebih
mudah menyerap bahan substitusi seperti produk panel dan papan partikel daripada mebel out-
door / garden . Demikian juga dapat terjadi pada komponen produk bangunan dari kayu dan
produk kayu pertukangan. Dari data relatif terbatas ini memberi indikasi adanya keterkaitan
antara industri mebel, bangunan dan pertukangan dengan industri kayu gergajian mulai terbangun
ketika harga kayu gergajian meningkat. Akan tetapi industri-industri ini dalam kenyataannya
masih bertumbuh sendiri saling terlepas satu sama lain dan bahkan tidak saling mendukung.
Menarik dikaji adalah pengalaman sejarah yang panjang pada industri panel dan kayu
lapis baik di bidang produksi dan pemasaran yang masih menyimpan potensi besar menghasilkan
kontribusi devisa. Data Release Ditjen BPK triwulan I 2009 menyatakan terbitnya 6 izin baru di
antaranya industri kayu gergajian dan kayu lapis, 3 izin perluasan kapasitas untuk industri yang
sama. Belum lagi izin baru pada periode tahun 2008 sebanyak 164 unit ( Dir.BPPH) serta
pembaruan industri serupa yang disertai perluasan pasar. Hal ini membuktikan bahwa keterkaitan
ke belakang akan meningkat dan perluasan pasar melalui alih bahan baku ke HTI, HTR, HR dan
impor akan membuka jalan keterkaitan ke depan juga meningkat. Demikian pula pada industri
kayu gergajian sebagai penghasil bahan baku kayu olahan seperti bahan bangunan akan
mengalami keterkaitan ke depan yang semakin menguat karena pasar domestik setiap tahun
membutuhkan bahan bangunan untuk membangun rumah sebanyak 800.000 unit / tahun
(Kirmanto & Amron,2009).
Memperhatikan tabel 2. nilai ekspor mebel terus meningkat dari tahun – ke tahun tetapi
proporsi ekspor mebel terhadap total ekspor terus menurun, boleh jadi masih terdapat persaingan
bahan baku dengan industri kayu pertukangan yang relatif menurun nilai ekspornya. Sementara
ekspor produk bangunan dari kayu meskipun nilainya kecil berkecenderungan mengalami
peningkatan. Volume ekspor produk panel, kayu lapis dan papan partikel selama kurun waktu itu
terus menurun, namun diimbangi oleh meningkatnya nilai ekspor mebel dan produk bangunan
dari kayu. Hal ini memperkuat dugaan kemungkinan sebagian produk panel, kayu lapis dan papan
partikel digunakan sebagai bahan baku mebel dan bangunan dari kayu. Apalagi bila permintaan
pasar domestik pada mebel dan bangunan dari kayu secara relatif akan terus meningkat sejalan
dengan peningkatan jumlah penduduk yang membutuhkan.
Restrukturisasi industri kehutanan untuk memperkuat industri pada dasarnya adalah
membangun kembali kinerja industri yang sudah terpuruk yang juga membutuhkan pendalam
struktur industri. Departemen kehutanan juga tidak ketinggalan telah berusaha membangun pilar-
pilar industri kehutanan masa depan antara lain melalui 3 aspek yang dapat dipandang penting
artinya bagi pendalaman industri. Tiga aspek penting tersebut dapat berperan sebagai faktor
pemungkin dilakukannya pendalaman industri primer kehutanan seperti industri kayu gergajian
dan kayu olahan, kayu lapis dan panel, antara lain : (1) aspek bahan baku : penerapan multisistem
silvikultur, realisasi tanam Silin yang telah mencapai 72,9%, HTI kayu perkakas sampai tahun
2006 telah mencapai 1,3 juta Ha tiap tahun diproyeksikan 75.000 Ha. (2) aspek industri : terhadap
industri yang ada diseleksi administratif, kontinuitas produksi, struktur sumber BBI, RPBI 5 th
yang akan dating, terhadap ijin industri baru harus efisien.(3) aspek pasar : pemberlakuan aturan
legalitas kayu. Namun demikian aspek-aspek yang bersifat sektoral dan vertikal tersebut perlu
diwujudkan dengan tindakan spasial dan horisontal berbasis klaster sehingga benar-benar akan
menjadi faktor pemungkin terjadinya pendalaman industri.
Penutup
Kajian yang telah diuraikan di muka pada akhirnya membimbing pada sebuah arah
jawaban atas pertanyaan di awal tulisan ini apakah model pendekatan restrukturisasi optimal akan
menghasilkan pendalaman atau pelebaran industri. Berdasarkan kajian kebijakan dan data
perkembangan komoditi ekspor dan impor tahun 2004-2007 diperoleh indikasi belum terjadi
pendalaman industri, namun proses perubahan struktur industri telah terjadi secara parsial dengan
pengalihan bahan baku / substitusi dari papan partikel, panel. Struktur industri kehutanan masih
berpotensi akan melebar sehingga belum dapat dikatakan telah menghasilkan pendalaman
struktur industri. Peluang pendalaman industri kayu gergajian dan kayu olahan kecil dan
menengah, industri panel dan kayu lapis yang umumnya industri besar perlu didorong terintegrasi
ke arah industri mebel dan kerajinan yang sebagian besar industri kecil dan menengah masih
terbuka. Sedang industri kayu lapis besar perlu dikendalikan pengembangannya ke arah
menghasilkan produk berdaya saing dan bernilai tambah tinggi. Tujuan dan sasaran-sasaran
industri yang turunkan dari arah kebijakan yang bersifat sektoral dan vertikal harus didukung
penuh oleh tindakan-tindakan spasial, horisontal dan lintas sektoral berbasis klaster sesuai
spesialisasi daerah untuk menghasilkan produk yang efisien, kompetitif dan ramah lingkungan.
Untuk mencapainya dipersyaratkan pendalaman industri yang memperkuat struktur industri
kehutanan dan ditopang oleh kebijakan yang integratif dan koordinasi yang kuat antar
Departemen Kehutanan, Departemen Perindustrian dan Pemerintah Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan..
Anonim. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas PP No.6 tahun 2007.
Anonim 2009. Data Release Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Triwulan I 2009.
Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Departemen Kehutanan.2006. Rencana Pempangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006-
2025. Departemen Kehutanan RI.Jakarta.
Departemen Kehutanan.2007. Road map Revitalisasi Industri Kehutanan Indonesia.In-house
Experts Working Group Revitalisasi Industri Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Perindustrian. 2006. Profil Industri Furniture dari Kayu. Direktorat Jenderal Industri
Agro dan Kimia. Jakarta
Kadin Indonesia. 2007. Visi 2030 dan Roadmap 2010 Industri Nasional. Ringkasan Eksekutif
Rekomendasi Kadin Indonesia. Diakses dari : www.kadin –indonesia.or.id/report.pdf
(1/15/2007)
Kirmanto, Djoko dan M.Amron. 2009. Sambutan Pengarahan dan Pembukaan Seminar Nasional
MAPEKI XII Bandung, 23 Juli 2009. Puslitbang Permukiman dan MAPEKI.
Kuncoro, Mudrajad. 2007. Ekonomika Industri Indonesia, Menuju Negara Industri Baru 2030?.
Penerbit Andi. Yogyakarta.
Nugraha, Agung dan Iskandar. 2004. Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Isuue dan Agenda
Mendesak. Debut Press. Yogyakarta.
Suherman, Herry. 2008. Pengaruh Pasar Terhadap Industri Kehutanan Nasional.Direktorat
Kehutanan dan Konservasi Sumber daya air. Kementerian Negara PPN/Bapennas. Diakses
dari : www.bapennas.go.id/get-file-server/node.pdf (2/26/2005)
Sumitro, Achmad. 2005. Ekonomi Sumber Daya Hutan Analisi Kebijakan Revitalisasi Hutan di
Indonesia. Debut Press. Yogyakarta.
Thee Kian Wie. 1996. Industrialisasi di Indonesia Beberapa Kajian. LP3ES. Jakarta
Intisari
Industri kehutanan nasional sedang didorong membangun struktur industri yang kompetitif dan
ramah lingkungan. Kebijakan dan langkah-langkah restrukturisasi yang dibuat dan dilaksanakan
merupakan model pendekatan restrukturisasi industri kehutanan. Model ini dalam perumusan dan
implementasi menjadi strategi revitalisasi industri kehutanan banyak memperoleh masukan dan
pengaruh kebijakan industri dan rezim perdagangan. Strategi subsidi impor atau promosi ekspor,
tuntutan memaksimumkan efisiensi, nilai tambah di satu sisi dan penyerapan tenaga kerja di sisi
lain pada akhirnya akan menghasilkan pendalaman atau pelebaran industri. Struktur industri
kehutanan masih berpotensi melebar, sementara yang lebih diperlukan ketahanan dan daya saing
industri yang berkelanjutan. Hal itu mungkin terjadi pada struktur industri yang memiliki
kedalaman. Upaya pendalaman struktur industri penting dilakukan karena efisiensi industri, nilai
tambah dan daya saing produk masih rendah. Upaya tersebut mensyaratkan perlunya kebijakan
integratif dan koordinasi yang kuat antar Departemen Kehutanan, Departemen Perindustrian dan
Pemerintah Daerah.
Abstract
National wood industries has been pushing to develop the competitive and eco-friendly industrial
structure. This is a restructuring approach model that will be a part of The Ministry of Forestry
Policy especially on wood industry revitalization. National industrial policy and trade regime
have influence the wood industrialization strategic formulation. Export promotion or import
substitution strategy, maximizing efficiency, added value of wood products on one side,
meanwhile job opportunities on the other side. There are strategies will be producing the depth of
structure or broad of structure industry. In fact, the wood industries structure still have a potential
to get broaden, meanwhile industries should have endurance and sustainable competitiveness. It
can be created if the structure of industry have a depth. To deepen structure of industry is an
important effort to counter several problems such as inefficiecy, low added value and low
competitiveness. Subsequently, it is need integrative policy and forceful institution coordination
among Ministry of Forestry, Ministry of Industry, and Local Government.
Keywords : industry, restructuring approach model, competitiveness _______________________* penulis untuk korespondensi, Telp:0274-881307,E-mail : [email protected]