26
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN HUTAN MANGROVE PANTAI PASURUAN (Environment’s Factors Analysis of Mangrove Forest In Pasuruan Coastal) Oleh : Chatarina Muryani FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta, E-mail [email protected] ABSTRACT The aim of this research is to know the differences of environmental factors toward the thickness of mangrove forest. Samples chosen were the mangrove forest which had various thickness. Semare Village was chosen to represent west part of research area, Bugul Kidul District was chosen to represent middle part of research area, Penunggul Village and Kedawang Village at Nguling District were chosen to represent east part of the research area. For each thickness of mangrove forest, there were made 3 line transects from the mangrove forest land edge to the mangrove forest sea edge, upright the shore line. There were determined 3 plot samples to represent “less thick” mangrove forest, 6 plot samples to represent “middle thick” mangrove forest, and 9 plot samples to represent “high thick” mangrove forest. The results of this research showed that there were differences environment factors especially in organic matter of water and soils, soil texture, on the thickness mangrove forest. Based on MANOVA analysis (simultaneous) there were differences on the environment factors on the thickness of mangrove forest. PENDAHULUAN Hutan mangrove seringkali juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Disebut hutan pantai karena hutan mangrove hanya dapat ditemui di 1

ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGANHUTAN MANGROVE PANTAI PASURUAN

(Environment’s Factors Analysis of Mangrove ForestIn Pasuruan Coastal)

Oleh : Chatarina Muryani

FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta, E-mail [email protected]

ABSTRACT

The aim of this research is to know the differences of environmental factors toward the thickness of mangrove forest. Samples chosen were the mangrove forest which had various thickness. Semare Village was chosen to represent west part of research area, Bugul Kidul District was chosen to represent middle part of research area, Penunggul Village and Kedawang Village at Nguling District were chosen to represent east part of the research area. For each thickness of mangrove forest, there were made 3 line transects from the mangrove forest land edge to the mangrove forest sea edge, upright the shore line. There were determined 3 plot samples to represent “less thick” mangrove forest, 6 plot samples to represent “middle thick” mangrove forest, and 9 plot samples to represent “high thick” mangrove forest.

The results of this research showed that there were differences environment factors especially in organic matter of water and soils, soil texture, on the thickness mangrove forest. Based on MANOVA analysis (simultaneous) there were differences on the environment factors on the thickness of mangrove forest.

PENDAHULUAN

Hutan mangrove seringkali juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

hutan payau, atau hutan bakau. Disebut hutan pantai karena hutan mangrove

hanya dapat ditemui di kawasan pantai; disebut hutan pasang surut karena

pertumbuhan vegetasi mangrove sangat tergantung pada pasang surut air laut

dan disebut dengan hutan payau karena pada umumnya hutan mangrove

tumbuh dan berkembang pada sekitar muara sungai dengan karakteristik khas

air payau. Bakau sendiri merupakan nama lokal dari salah satu tumbuhan yang

menyusun hutan mangrove, yaitu Rhizopora spp., dan hutan mangrove sudah

ditetapkan sebagai nama baku untuk mangrove forest. Dari definisi di atas sudah

menunjukkan bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh pada keberadaan

dan pertumbuhan hutan mangrove.

1

Page 2: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

Kathiresan (2000) menyatakan bahwa lingkungan hutan mangrove

mempunyai sifat fisik dan kimia khusus baik salinitas, arus pasang surut, angin,

temperatur tinggi dan tanah berlumpur. Sedangkan menurut Bengen (2000)

secara umum karakteristik habitat hutan mangrove digambarkan sebagai berikut

Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,

berlempung atau berpasir,

Daerahnya tergenangi air laut secara berkala baik setiap hari maupun

hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensei genangan

menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove

Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat,

Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, air

bersalinitas payau (2 – 22 ‰) hingga asin (38 ‰).

Sedangkan menutut English, et. al (1993) beberapa faktor lingkungan

mempengaruhi diversitas dan produktifitas ekosistem hutan mangrove, yaitu

iklim, geomorfologi, besarnya pasang surut, input air tawar dan karakteristik

tanah (English, et. al., 1993).

Menurut Aksornkoae ( 1993), baik struktur maupun fungsi dari ekosistem

hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan sebagai

berikut : (a) Fisiografi pantai, (b) Curah hujan, (c) Pasang Surut, (d) Ombak dan

gelombang (e) Salinitas, (f) Oksigen terlarut, (g) tanah, (h) Nutrien.

Input penting dalam produkstifitas hutan mangrove adalah air ( terutama

keseimbangan antara air tawar dan air asin), substrat dan nutrien (baik yang ada

di substrat maupun di dalam air (Franks and Falcover, 1999). Salah satu sumber

nutrien di ekosistem hutan mangrove berasal dari sedimen yang terperangkap

oleh vegetasi mangrove tersebut. Sedimen yang berasal dari darat dan

mengandung banyak nutrien dibawa oleh aliran sungai ke laut, dan oleh arus

pasang surut sedimen tersebut dibawa kembali ke pantai dan ditangkap

kemudian diendapkan di dasar vegetasi mangrove (Kamaruzzaman et al., 2001).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor lingkungan di sekitar

hutan mangrove Pantai Pasuruan dan mengkaitkanya dengan struktur hutan

mangrove pada daerah yang bersangkutan’

2

Page 3: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

METODE PENELITIAN

Penelitian di lakukan di sepanjang Pantai Pasuruan, dengan alasan di

daerah ini banyak dijumpai muara sungai sebagai habitat hutan mangrove dan

hutan mangrove di daerah ini mempunyai ketebalan yang bervariasi.

Lokasi sampel ditentukan berdasarkan kriteria :

- mewakili daerah bagian barat, bagian tengah dan bagian timur daerah

penelitian

- mempunyai ketebalan , kerapatan dan diversitas hutan mangrove yang

bervariasi

- mempunyai kondisi geografis yang hampir sama

Pengambilan sampel dalam ekosistem hutan mangrove menggunakan

metode plot garis transek ( Transect Line Plots). Pada setiap lokasi dibuat

transek memanjang dari tepi laut ke arah darat (Romimohtarto dan Sri Juwana,

1999). Metode yang dipakai untuk pengambilan sampel adalah metode kuadrat

dengan penentuan stand secara sistematik reguler. Plot kuadrat untuk pohon 10

x 10 m, untuk anak pohon 5 x 5 m dan untuk herba 1 x 1 m (Oosting, 1956).

Penentuan lokasi transek dan plot sampel adalah sebagai berikut :

- untuk masing-masing kriteria ketebalan hutan mangrove ditentukan 3 (tiga)

buah garis transek,

- penentuan jumlah plot sampel adalah sebagai berikut :

Untuk ketebalan hutan mangrove kategori “tipis” masing-masing garis

transek ditentukan satu plot sampel

Untuk ketebalan hutan mangrove kategori “sedang” masing-masing garis

transek ditentukan dua plot sampel

Untuk ketebalan hutan mangrove kategori “tebal” masing-masing garis

transek ditentukan tiga plot sampel

Plot sampel terletak di kanan atau kiri garis transek yang lokasinya ditentukan

secara acak.

Gambaran penentuan garis transek dan plot sampel adalah sebagai berikut :

Mangrove Tipis Mangrove Sedang Mangrove Tebal

3

Page 4: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

Keterangan :

: garis transek : plot sampel

Plot sampel terletak di kanan atau kiri garis transek yang lokasinya ditentukan

secara acak.

Alat-alat yang diperlukan untuk penelitian di lapangan adalah :

Global Positioring System (GPS) Receiver dan Kompas , digunakan untuk

penentuan posisi dan arah suatu tempat di lapangan

pH meter untuk mengukur tingkat keasaman tanah dan air

Termometer untuk mengukur suhu air

Refractometer untuk penentuan kadar garam substrat dan air laut

Botol sampel, untuk mengambil sampel air

Oxymeter untuk mengukur oksigen terlarut (DO) air laut

Meteran dan tali untuk pembuatan transek

Sedangkan faktor-faktor lingkungan yang diamati meliputi kondisi pantai, kualitas

air dan kualitas tanah yang diduga berpengaruh terhadap ekosistem hutan

mangrove.

Jenis data yang dikumpulkan dan metode pengumpulan data dapat dilihat pada

Tabel 1 berikut :

Tabel 1. : Parameter penelitian dan metode/alat yang digunakan

No Parameter Metode/Alat Satuan Pelaksanaan

123456789

IklimTopografi pantaiKedalaman sedimenTekstur tanah/sedimenTotal C OrganikSuhu AirSalinitas air + tanahpH air + tanahDO airBO air (TOM)

Data sekunderClinometerTiang pengukurFeeling meth + LabPembakaranTermometer Hand RefractometerpH stickOxymeterTitrasi

-%cm%%oC‰-

mg/lmg/l

Di lapanganDi lapanganDi lapanganDi Lap + LabDi laboratorium Di lapanganDi lapanganDi lapanganDi lapanganDi Laboratorium

HASIL PENELITIAN

1. Letak dan Luas

Daerah penelitian termasuk pada dua wilayah administrasi, yaitu

Kabupaten Pasuruan dan Kota Pasuruan. Daerah penelitian membujur dari

barat ke timur, di sebelah barat dibatasi oleh Sungai Porong yang merupakan

4

Page 5: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

batas antara Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Sidoarjo; sedangkan di

sebelah timur dibatasi oleh sungai Laweyan yang merupakan batas antara

Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo.

Kabupaten Pasuruan terletak antara 112o30’ – 113o30’ BT dan 7o30’ –

8o30’ LS (Peta Rupa Bumi Indonesia Th 2000 skala 1 : 25.000) , luasnya adalah

1474 km2 atau 147401,5 hektar, terdiri atas 24 kecamatan, 341 Desa dan 24

Kelurahan. Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Pasuruan yang mempunyai

pantai (berbatasan dengan Selat Madura) adalah Kecamatan Bangil ( 4460 Ha),

Kecamatan Kraton ( 5075 Ha), Kecamatan Rejoso ( 3700 Ha), Kecamatan Lekok

(4657 Ha) dan Kecamatan Nguling (4260 Ha).

Kota Pasuruan secara astronomis terletak antara 112o40’’ – 112o50’’

Bujur Timur dan 7o35’’ – 7o45’’ Lintang Selatan (Peta RBI tahun 2000 skala 1 :

25.000 lembar Pasuruan), terdiri atas 3 Kecamatan dan memiliki 34 Kelurahan.

Kelurahan-kelurahan di Kota Pasuruan yang mempunyai pantai (berbatasan

dengan Selat Madura) adalah Desa Blandongan, Desa Kepel, Kelurahan

Mandaranrejo, Kelurahan Panggungrejo (Kecamatan Bugul Kidul), Desa

Ngemplakrejo (Kecamatan Purworejo), Desa Tambaan dan Desa Gadingrejo

(Kecamatan Gadingrejo)

2. Bentuk Pantai

Secara umum pantai Pasuruan merupakan pantai datar dengan

ketinggian sekitar 0 – 5 meter di atas muka air laut. Ombak di sepanjang pantai

kecil dan ditambah dengan banyaknya sungai yang bermuara di daerah ini serta

keberadaan hutan mangrove di daerah pantai, menjadikan bentuk pantai

merupakan pantai sedimentasi (bukan pantai abrasi). Keseluruhan wilayah Kota

Pasuruan sendiri merupakan dataran rendah dengan kemiringan kurang dari 3 %

dan ketinggian tempat antara 0 – 10 meter dari muka air laut.

Alih fungsi lahan pesisir misalnya penebangan hutan mangrove menjadi

tambak, daerah permukiman, lokasi wisata dan sebagainya dapat mengubah

bentuk pantai dari pantai sedimentasi menjadi pantai abrasi. Di Kecamatan

Nguling bagian barat (Watuprapat) dan Kecamatan Lekok bagian timur (Wates

dan Semedusari) bentuk pantai agak terjal. Jika tidak dikelola, abrasi pantai di

daerah ini dapat menyebabkan lahan pantai menjadi semakin mundur.

Sebaliknya upaya rehabilitasi hutan mangrove ternyata dapat mengubah pantai

5

Page 6: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

abrasi menjadi pantai sedimentasi. Di Desa Penunggul Kecamatan Nguling

misalnya, lahan bertambah ke arah pantai cukup luas akibat penanaman hutan

mangrove.

Berdasarkan hasil analisis Sistem Informasi Geografi (SIG) dari tumpang

susun antara Peta Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan tahun 1981,

tahun 1994 dan tahun 2008 terdapat perubahan bentuk pantai yang cukup nyata

di sepanjang pantai Pasuruan selama kurun waktu tahun 1981 sampai tahun

2008.

Tumpang susun (overlay) antara Peta Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota

Pasuruan tahun 1981 dan tahun 1994 menunjukkan terjadinya perubahan garis

pantai yang cukup nyata. Di Beberapa tempat terjadi penambahan pantai (garis

pantai maju) cukup besar antara lain di Desa Gerongan dan Desa Pulokerto

Kecamatan Kraton, Desa Blandongan (Kota Pasuruan), Desa Patuguran

(Kecamatan Rejoso), Desa Jatirejo (Kecamatan Lekok), Desa Watuprapat dan

Kedawang (Kecamatan Nguling). Sedangkan di beberapa tempat terjadi

pengurangan pantai (garis pantai mundur) cukup nyata antara lain terjadi di

Desa Semare dan Desa Kalirejo (Kecamatan Kraton), Kelurahan Tambaan

(Kecamatan Gadingrejo Kota Pasuruan, Kelurahan Panggungrejo dan

Mandaranrejo (Kecamatan Bugul Kidul, Kota Pasuruan), Desa Wates

(Kecamatan Lekok). Penambahan pantai (garis pantai maju) menunjukkan

terjadinya sedimentasi sedangkan pengurangan pantai (garis pantai mundur)

menunjukkan terjadinya abrasi. Kemungkinan hal ini berkaitan erat dengan

pengurangan dan penambahan luas hutan mangrove pada suatu wilayah. (Lihat

Peta Bentuk Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan Tahun

1981 – Tahun 1994 ).

Tumpang susun (overlay) Peta Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota

Pasuruan tahun 1994 dan tahun 2008 menunjukkan terjadi penambahan pantai

(garis pantai maju) di sepanjang pantai utara Kabupaten dan Kota Pasuruan

selama kurun waktu 14 tahun terakhir. Penambahan pantai yang nyata (cukup

besar) terjadi di daerah-daerah Desa Raci (Kecamatan Bangil), Desa Pulokerto

dan Desa Semare (Kecamatan Kraton), Desa Blandongan (Kota Pasuruan),

Desa Patuguran (Kecamatan Rejoso), dan Desa Penunggul (Kecamatan

Nguling). (Lihat Peta Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan

tahun 1994 – tahun 2008).

6

Page 7: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

Dari Peta Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan th

1981 – th 1994 dan Peta Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota

Pasuruan th 1994 – th 2008 dapat diidentifikasi bahwa penambahan pantai (garis

pantai maju) terutama terjadi di muara-muara sungai besar di sepanjang pantai.

Hal ini menunjukkan sedimentasi yang besar dari material-material yang dibawa

oleh arus sungai-sungai tersebut. Fenomena ini juga menunjukkan adanya

peningkatan erosi di daerah hulu yang mungkin disebabkan adanya pembalakan

hutan, pertambangan atau usaha pertanian yang kurang memperhatikan

konservasi lingkungan.

3. Iklim

Indonesia termasuk salah satu negara yang mempunyai hutan mangrove

luas dengan keanekaragaman vegetasi yang tinggi di dunia. Salah satu faktor

adalah iklim Indonesia yang mendukung untuk pertumbuhan vegetasi mangrove.

Sebagian besar pantai-pantai di Indonesia mempunyai iklim tropika basah dengan

ciri-ciri temperatur tinggi, curah hujan tahunan tinggi, kelembaban udara tinggi.

Suhu dan curah hujan merupakan faktor iklim yang paling dominan yang

berpengaruh terhadap berbagai kehidupan wilayah pantai.

Menurut Kartawinata, dkk. (1977) jumlah, lama dan distribusi curah

hujan merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan dan distribusi

vegetasi mangrove. Hutan mangrove di Indonesia berkembang dengan tipe curah

hujan A, B, C, dan D dengan nilai Q yang bervariasi mulai 0 sampai 73,7%

menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson. Sedangkan menurut Aksornkoae

et.al., (1984) vegetasi mangrove umumnya tumbuh baik di daerah dengan curah

hujan rata-rata 1.500 – 3.000 mm per tahun.

Berdasarkan data iklim Kabupaten Pasuruan dan Kota Pasuruan dapat

disimpulkan bahwa suhu rata-rata tahunan 24oC – 32oC , besarnya rata-rata

curah hujan di daerah penelitian adalah antara 1300 – 1800 mm per tahun,

dengan jumlah hari hujan antara 80 – 100 hari per tahun. Analisis iklim Schmidt

dan Ferguson berdasarkan tipe hujan menunjukkan bahwa daerah penelitian

termasuk tipe C.

7

Page 8: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

4. Pasang Surut Air Laut

Dalam hubungannya dengan pasang surut, komunitas pada ekosistem

hutan mangrove banyak dipengaruhi oleh lama penggenangan air laut.

Berdasarkan pola penggenangan hutan mangrove di Cilacap, de Haan (1931)

dalam SEAMEO BIOTROP (1989) mengklasifikasikan ada 4 tipe penggenangan

di ekosistem hutan mangrove, yaitu :

Klas 1 : tergenang satu atau dua kali dalam sehari atau setidaknya tergenang 20

hari dalam satu bulan

Klas 2 : tergenang 10 – 19 kali dalam sebulan,

Klas 3 : tergenang 9 kali atau kurang dalam sebulan,

Klas 4 : tergenang hanya beberapa hari dalam sebulan

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pasang surut di Pantai

Pasuruan antara 1 – 2 m dan kebanyakan hutan mangrove di daerah ini

termasuk dalam klas 1, yaitu tergenang satu atau dua kali dalam sehari atau

setidaknya tergenang 20 hari dalam satu bulan

5. Salinitas air laut

Dari banyak faktor lingkungan, salinitas mempunyai pengaruh besar pada

perkembangan hutan mangrove (SEAMEO BIOTROP ,1989). Pada umumnya

salinitas air di sepanjang pantai di Indonesia berkisar antara 31 ‰ sampai 33 ‰.

Variasi salinitas di daerah estuaria menentukan organisme yang berada dan

berkembang biak di daerah tersebut. Hewan-hewan yang hidup di perairan

payau (salinitas 0,5 – 30 ‰) biasanya mempunyai toleransi terhadap kisaran

salinitas yang lebih besar (Supriharyono, 2003)

Hasil pengukuran salinitas air laut di ketiga stasiun yaitu Semare, Kota

Pasuruan dan Nguling untuk ketiga kategori yaitu ”tipis”, ”sedang” dan ”tebal”

tidak menunjukkan variasi yang berarti, yaitu sekitar 37 ‰ atau 37,5 ‰. Hal ini

menunjukkan bahwa salinitas air di ekosistem mangrove hampir sama untuk

ketiga stasiun yang disebabkan daerah penelitian merupakan suatu hamparan

pantai yang kondisi geografisnya hampir sama, pola pasang surutnya juga

hampir sama, sehingga kualitas air laut hampir sama untuk masing-masing

daerah.

8

Page 9: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

6. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut sangat penting bagi pernafasan makrozoobentos dan

organisme-organisme akuatik lainnya (Odum, 1983). Pada suhu tinggi kelarutan

oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies

biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap

konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan. Biasanya spesies yang

mempunyai kisaran toleransi lebar terhadap oksigen terlarut biasanya

penyebaranya lebih luas dibanding yang kisaran toleransinya sempit.

Pengukuran Oksigen terlarut di perairan hutan mangrove daerah

penelitian digunakan Oxymeter; contoh air diambil di lapangan, pengukuran DO

dilakukan di base camp. Hasil pengukuran DO rata-rata untuk masing-masing

lokasi hutan mangrove adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil pengukuran Oksigen Terlarut (DO) di perairan hutan mangrove

No Kategori’Oksigen terlarut (mg/l)

Semare Kota Nguling1 Tipis 5,46 5,15 4,42 Sedang 5,26 5,19 4,653 Tebal 4,85 5,16 4,77

Histogram dari Oksigen terlarut untuk masing-masing stasiun pengukuran di

hutan mangrove daerah penelitian adalah sebagai berikut :

0

1

2

3

4

5

6

Semare Kota Nguling

Lokasi Hutan mangrove

DO

(m

g/l

)

Tipis

Sedang

Tebal

Gambar 1. Histogram Oksigen Terlarut (DO) di perairan hutan mangrove Semare, Kota Pasuruan dan Nguling

Dari gambar tersebut terlihat bahwa meskipun nilai kadar oksigen

terlarut hampir sama untuk ketiga stasiun, namun Oksigen terlarut di hutan

mangrove Kota Pasuruan dengan struktur paling bagus dilihat dari kerapatan,

9

Page 10: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

diversitas juga nilai INPnya menunjukkan konsisten tinggi, sedangkan DO di

stasiun Nguling menunjukkan nilai yang paling rendah. Dengan demikian dapat

dinyatakan bahwa pada hutan mangrove dengan kerapatan sedang, diversitas

besar dan nilai INP seimbang mempunyai kandungan DO tertinggi dibandingkan

dengan yang lain.

7. Kandungan Bahan Organik (BO) air laut

Kehadiran suatu organisme di suatu perairan didukung oleh kandungan

bahan organik perairan tersebut, namun belum tentu kandungan bahan organik

yang tinggi menjamin kelimpahan organisme, karena faktor lingkungan satu

dengan yang lain saling berkaitan. Hasil pengukuran kandungan bahan organik

perairan di ekosistem hutan mangrove daerah penelitian adalah sebagai berikut :

0

10

20

30

40

50

60

70

Semare Kota Nguling

Lokasi Hutan mangrove

Kan

du

ng

an

BO

air

(m

g/l

)

TipisSedangTebal

Gambar 2: Perbandingan kandungan BO air pada masing-masing ketebalan hutan mangrove

Tabel 3 : Kandungan Bahan Organik (BO) air Hutan Mangrove

Hutan mangrove

Kandungan BO air (mg/l)

Semare Kota NgulingTipis 25,9 25,5 34,9Sedang 31,8 27,8 37,9

Tebal 32,6 29,3 42,6

Data tersebut menunjukkan bahwa untuk masing-masing stasiun

sampel, semakin tebal hutan mangrove semakin tinggi kandungan bahan organik

air lautnya. Disamping itu psds eksistem hutsn msngrovr Nguling menunjukkan

10

Page 11: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

rata-rata kandungan bahan organik lebih tinggi dibanding Semare dan kota

Pasuruan .

8. Kondisi Tanah

1. Kedalaman Sedimen

Kedalaman sedimen dilakukan pada waktu air surut menggunakan tiang

pancang. Untuk akurasi data pengukuran masing-masing plot sampel diulang

tiga kali. Hasil pengukuran kedalaman sedimen adalah :

a. Hutan mangrove Semare

Substrat berlumpur dalam, meskipun kondisi air surut kandungan air

dalam substrat masih tinggi

- Pada daerah yang tidak ada vegetasinya, merupakan lahan rawa

dengan kedalaman lumpur sekitar 80 cm

- Pada hutan mangrove tipis kedalaman lumpur rata-rata 40 cm

- Pada hutan mangrove sedang kedalaman lumpur rata-rata 30 cm

- Pada hutan mangrove tebal kedalaman sedimen rata-rata 20 cm

b. Hutan mangrove Kota Pasuruan

Substrat berlumpur dangkal, bahkan di bagian-bagian tertentu yang

kerapatan vegetasinya tinggi substratnya tidak berlumpur.

- Pada daerah yang tidak ada vegetasinya, kedalaman lumpur sekitar

20 cm

- Pada hutan mangrove tipis kedalaman lumpur sekitar 15 cm

- Pada hutan mangrove sedang kedalaman lumpur sekitar 10 cm

- Pada hutan mangrove tebal kedalaman lumpur sekitar 5 cm

c. Hutan mangrove Nguling

Substrat tanah di hutan mangrove Nguling dibagi menjadi dua, yang di

Desa Penunggul substrat tidak berlumpur, sedang di Desa Kedawang

substratnya berlumpur.

- Pada daerah yang tidak ada vegetasinya di Desa Penunggul

kedalaman sedimen sekitar 15 cm

- Pada hutan mangrove tipis kedalaman sedimen sekitar 10 cm

- Pada hutan mangrove sedang kedalaman sedimen sekitar 5 cm

11

Page 12: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

- Pada hutan mangrove tebal di Desa Kedawang kedalaman sedimen

sekitar 50 cm.

Pengukuran kedalaman sedimen semacam ini tidak mencerminkan ketebalan

sedimen yang sesungguhnya, karena pengukuran ketebalan sedimen harus

dengan pembuatan profil tanah. Oleh sebab itu parameter kedalaman sedimen

tidak dikut sertakan dalam perhitungan statistik.

2. Tekstur Tanah

Tanah mangrove terbentuk dari akumulasi sedimen sehingga

karakteristiknya berbeda-beda tergantung darimana sedimen tersebut berasal.

Disamping berpengaruh terhadap komunitas vegetasi mangrove , tekstur

substrat juga mempengaruhi komunitas fauna yang tinggal di ekosistem tersebut.

Bentos yang hidup pada substrat berlumpur tergolong pada ”suspended

feeder”. , yang umum ditemukan adalah kelompok Polychaeta, Bivalvia dan

Crustacea, juga bakteri. Pada substrat berpasir biasanya miskin organisme dan

bentos pada substrat berpasir umumnya mengubur diri dalam substrat.

Hasil pengukuran tekstur tanah di bawah tegakan hutan mangrove

daerah penelitian adalah sebagai berikut :

Tabel 4.: Hasil pengukuran tekstur tanah di ekosistem hutan mangrove

No Lokasi % Pasir % Debu % Liat Kelas Tekstur

1 SemareTipis 30,6 49,8 19,6 Silty ClaySedang 34,1 39,7 26,2 Clay LoamTebal 34,7 40,2 25,2 Clay

2 Kota PasuruanTipis 32,2 48,5 19,4 Silty ClaySedang 34,1 39,7 26,2 Clay LoamTebal 35,0 36,7 30,3 Clay Loam

3 NgulingTipis 45,5 40,1 14,4 Silty ClaySedang 36,0 47,8 16,2 Silty ClayTebal 33,0 37,7 29,3 Clay Loam

Sumber : data primer

12

Page 13: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

3. Bahan organik (C) tanah

Kandungan bahan organik tanah terutama berasal dari dekomposisi serasah baik

dari daun, ranting, bunga , buah, maupun akar vegetasi mangrove. Hasil

pengukuran C organik tanah di daerah penelitian dapat di lihat pada tabel 6.11:

Tabel 5: Kandungan C organik tanah di ekosistem hutan mangrove Pasuruan

Ketebalan mangrove

C organik tanah (%)

Semare Kota NgulingTipis 12,57 14,89 13,90Sedang 16,31 13,98 14,225

Tebal 19,73 15,42 16,07

Sumber : Analisis data primer

0

5

10

15

20

25

Semare Kota Nguling

Lokasi

C o

rgan

ik t

an

ah

( %

)

Tipis

sedang

Tebal

Gambar 3. Perbandingan C organik tanah pada ketebalan Hutan mangrove

Di lapangan, bahan organik tanah ditemui pada tingkatan dekomposisi

yang bervariasi, ada yang masih berupa luruhan daun, ada yang setengah

terdekomposisi dan ada yang sudah bercampur dengan substrat membentuk

tanah. Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk masing-masing lokasi hutan

mangrove , semakin tebal hutan mangrove semakin tinggi kandungan bahan

organiknya. Kadar C organik tanah di Semare relatif lebih tinggi dibanding

dengan yang lain, hal ini kemungkinan karena lokasinya lebih dekat ke muara,

ada penambahan bahan organik yang terangkut oleh sungai.

4. Salinitas substrat

Salinitas substrat tanah dikukur berdasarkan EC tanah dengan satuan

milimos. Hasil pengukuran EC tanah pada masing-masing lokasi hutan mangrove

dan pada variasi ketebalan dapat dilihat pada tabel berikut :

13

Page 14: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

Tabe 6l : Perbandingan EC tanah di hutan mangrove Pantai Pasuruan

Ketebalanmangrove

EC tanah (mmos)

Semare Kota NgulingTipis 3,05 5,26 3,9Sedang 3,61 4,61 4,62Tebal 2,99 3,83 5,12Sumber : analisis data primer

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa untuk parameter EC tanah

variasi nilainya tidak begitu besar dan tidak menunjukkan pola tertentu baik pada

perbedaan lokasi mangrove maupun pada perbedaan ketebalan hutan mangrove

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

Semare Kota Nguling

Lokasi

EC

tan

ah

(m

mo

s)

TipisSedangTebal

Gambar 4. Perbandingan EC tanah pada variasi ketebalan hutan mangrove

PEMBAHASAN

Perbedaan faktor-faktor lingkungan pada ketebalan hutan mangrove

Untuk penelaahan perbedaan faktor-faktor lingkungan pada ketebalan

hutan mangrove daerah penelitian dipakai uji statistik. Parameter faktor-faktor

lingkungan yang dipakai dalam uji statistik adalah Oksigen terlarut (DO) air,

Kandungan bahan organik (BO) air, salinitas (EC) substrat, kandungan C

Organik tanah, Tekstur tanah. Faktor-faktor lingkungan ini yang diduga

berperanan dalam penentuan karakteristik ekosistem hutan mangrove baik

terhadap struktur komunitas hutan mangrove maupun terhadap komunitas fauna

yang tinggal di ekosistem hutan mangrove tersebut.

14

Page 15: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

1. Uji Normalitas

Uji normalitas data untuk faktor-faktor lingkungan menggunakan metode

Kolmogorov Sminov. Hasil uji normalitas data di atas semua nilai signifikansi dari

enam variabel faktor lingkungan ternyata lebih besar daripada 0,05 sehingga

dapat disimpulkan bahwa data-data menyebar secara normal, oleh karenanya

dapat dilakukan analisis statistik parametrik berikutnya.

2. Uji Beda

2.1. Uji MANOVA

Uji beda secara simultan (bersama-sama) untuk mencari perbedaan

faktor-faktor lingkungan terhadap parameter ketebalan hutan mangrove

menggunakan metode Multivariate Analysis of Variance (MANOVA) dengan

menggunakan kaidah : jika nilai signifikansi Wilks Lambda < 0,10 (atau 10 %)

terdapat perbedaan, sedangkan jika nilai signifikansi Wilks Lambda > 0,10 (atau

10 %) maka tidak terdapat perbedaan.

Hasil uji beda dengan metode MANOVA menghasilkan nilai signifikansi

Wilks Lambda Karena nilai signifikansi Wilks Lambda sebesar 0,000 < 0,05

maka dapat disimpulkan bahwa secara multivariate (bersama-sama keenam

variabel parameter lingkungan) maka pada setiap tingkat ketebalan hutan

mangrove memiliki faktor-faktor lingkungan yang berbeda-beda atau terdapat

perbedaan faktor lingkungan pada variasi ketebalan hutan mangrove

2.2. Uji ANOVA

Pada pengujian secara parsial, yaitu pengujian secara sendiri-sendiri

keenam variabel faktor lingkungan, maka metode yang digunakan adalah

Analysis of Variance (ANOVA). Kaidah pengambilan keputusan: jika signifikansi

F < 0,10 (atau 10%) maka terdapat perbedaan, sebaliknya jika nilai signifikansi F

> 0,10 (atau 10%) maka tidak terdapat perbedaan. Dari hasil pengujian dapat

disimpulkan sebagai berikut:

a. Untuk variabel DO Air, nilai signifikansi F sebesar 0,10 = 0,10 maka dapat

disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki DO Air yang

berbeda, atau terdapat perbedaan nilai DO air pada variasi ketebalan hutan

mangrove

15

Page 16: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

b. Untuk variabel BO Air, nilai signifikansi F sebesar 0,000 < 0,10 maka dapat

disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki BO Air yang

berbeda atau terdapat perbedaan nilai BO air pada variasi ketebalan hutan

mangrove.

c. Untuk variabel EC, nilai signifikansi F sebesar 0,526 > 0,10 maka dapat

disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki EC yang sama

atau tidak ada perbedaan nilai EC tanah pada variasi ketebalan hutan

mangrove

d. Untuk variabel C Organik Tanah, nilai signifikansi F sebesar 0,745 > 0,10

maka dapat disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki C

Organik Tanah yang sama atau tidak ada perbedaan nilai C organik tanah

pada variasi ketebalan hutan mangrove.

e. Untuk variabel % Pasir, nilai signifikansi F sebesar 0,280 > 0,10 maka

dapat disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki % Pasir

yang sama atau tidak ada perbedaan nilai % pasir pada variasi ketebalan

hutan mangrove.

f. Untuk variabel % Liat , nilai signifikansi F sebesar 0,019 < 0,10 maka dapat

disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki % Liat yang

berbeda atau terdapat perbedaan nilai % liat pada variasi ketebalan hutan

mangrove.

KESIMPULAN

1. Hasil pengukuran parameter lingkungan menunjukkan perbedaan yang tipis

antara kualitas lingkungan hutan mangrove di beberapa lokasi dan beberapa

kategori. Namun demikian untuk suatu lokasi ada kecenderungan semakin ke

arah darat kandungan bahan organik tanah dan air mengalami peningkatan,

sedangkan semakin ke arah timur menunjukkan % liat (clay) yang semakin

keci (tanah semakin kasar)

2. Hasil kajian statistik menunjukkan bahwa secara bersama-sama terdapat

perbedaan nilai parameter lingkungan pada ketebalan, kerapatan, dan

diversitas hutan mangrove yang berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA

16

Page 17: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

Aksornkoae, S. 1993 . Ecology and Management of Mangroves . IUCN . Bangkok Thailand.

Bengen, DG. 2000 . Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangove . PKSPL – IPB Bogor.

Bunt, JS and WT. Williams . 1981 . Vegetation Relationships in The Mangrove Forest of Tropical Australia. Marine Ecology – Progress Series . 4 : 349 – 359

Chapman, VJ. 1977 . Wet Coastal Ecosystem . Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam.

Dahuri, R, J. Rais, SP Ginting dan M.J. Sitepu . 2001 . Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu . Pradnya Paramita . Jakarta . 305 hal.

English, S , C. Wilkinson and V Baker . 1993 . Survey Manual for Tropical Marine Resources . ASEAN-Australia Marine Science Project : Living Coastal Resources. Bangkok.

Garcia, P.R. , J.L Blanco. , and D Ocaffa. 1997 . Mangrove Vegetation Assessment in The Santiago River Mouth Mexico, by Means of Supervised Classification Using landsat TM imagery . Elsevier : Forest Ecology and Management (105) : 217 – 229

Hardjowigeno, S. 1988 . Mangrove Soil in Indonesia . BIOTROP Speciall Publication , 37 : 257 -264

Kamaruzzaman, B.Y. , Mohd-Lokman H. , Sulong I., and Razanudin I . 2001. Sedimentation Rates on the Mangrove Forests of Pulau Che Wan Dagang, Kemaman Terengganu . The Malaysian Forester 64 (1) : 6 – 13

Mann, K.H . 1982. Ecology of Coastal Water, A. Syatem Approach . Black Well Scientific Publication . Oxford . 322 p.

Mustafa, M . 1982 . Hasil Penelitian Sifat Fisik dan Kimia Tanah Di Bawah Tegakan Mangrove . Lingkungan dan Pembangunan . 97 - 118

Oosting, HJ . 1956 . The Study of Plant Communities, An Introduction to Plant Ecology . Second Edition , WH Freeman and Co . San Fransisco.

Pariwono, JI. 1985 . Tides and Tidal Phenomena in Asean Region . Australian Cooperative Programmes in Marine Sciences . Prelim. Rep . FIAM, South Australia.

Pirzan Marsanbuana, Suharyanto, Rohama Daud dan Burhanuddin . 2002 . Pengaruh Keberadaan Mangrove terhadap Kesuburan Tanah di

17

Page 18: ARTIKEL FAKTOR LINGK HUTAN MANGROVE

Tambak Sekitarnya . Jurnal Penelitian Perikanan . Vol 8 No 4 Th 2002.

Saenger, P . 1999 . Sustainable Management of Mangroves . Proc. Of International Symposium Integrated Coastal and Marine Resource Management. . National Institute of Technology (ITN) Malang in Association with BAKOSURTANAL and Proyek Pesisir.

Samingan , MT . 1980 . Notes on Vegetation of The Tidal Area of South Sumatera Indonesia with Special Reference of Karang Agung. International Social Tropical Ecology . Kuala Lumpur , 1107 – 1112

Sasekumar, A , VC Chong, MU Leh , and RD D’Cruz . 1992 . Mangroves as a Habitat For Fish and Prawns . Hydrobiologia : 247 : 195 – 207

Soemarno . 2004 . Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan . Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya , Malang

Soemodihardjo, S and I. Soerianegara . 1989 . The Status of Mangrove Forest in Indonesia dalam Mangrove Management : Its Ecological and Economic Consideration . BIOTROP Special Publication . No 37

Sugiharto,A and N. Polunin . 1982 . The Marine Environment of Indonesia. Dept. Zoology University of Cambridge . 257 p.

Suprayogo D, Sri Sudaryanti . Edy Dwi Chahyono dan Sudarmanto . 1996 . Pembangunan dan Konservasi Hutan Mangrove di Kabupaten Bangkalan, Madura . Jurn. Univ. Brawijaya . 8 (2) : 77 – 92

Supriharyono . 2002 . Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Wilayah Pesisir Tropis . Gramedia Pustaka Utama . 246 hal.

Tam NFX and Wong YS . 1998 . Variation of Soil Nutrient and Organic Matter Content In Subtropical Mangrove Ecosystem . Water, Air and Soil Polution . (103) : 245 – 261.

18