22
PENGELOLAAAN KAWASAN HUTAN MANGROVE YANG BERKELANJUTAN Oleh : Mangrove Information Centre 1. Ekosistem Mangrove 1.1 Sumber Daya Mangrove dan Pesisir Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada ai laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (sedimentasi ) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dirawat oleh kedua pengaruh darat dan laut. Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir di sebagian besar-walaupun tidak semua-wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan benda-benda lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata.

Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

PENGELOLAAAN KAWASAN HUTAN MANGROVE YANG

BERKELANJUTAN

Oleh : Mangrove Information Centre

1. Ekosistem Mangrove

1.1 Sumber Daya Mangrove dan Pesisir

Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan.

Mangrove tergantung pada ai laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber

makanannya serta endapan debu (sedimentasi ) dari erosi daerah hulu sebagai

bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air

sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove

tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dirawat

oleh kedua pengaruh darat dan laut.

Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir

di sebagian besar-walaupun tidak semua-wilayah Indonesia. Fungsi mangrove

yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan

lautan. Tumbuhan, hewan benda-benda lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer

ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai

filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan lingkungan utama,

dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika

mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata.

Habitat mangrove sendiri memiliki keanekaragaman hayati yang rendah

dibandingkan dengan ekosistem lainnya, karena hambatan bio-kimiawi yang ada

di wilayah yang sempit diantara darat laut. Namun hubungan kedua wilayah

tersebut mempunyai arti bahwa keanekaragaman hayati yang berada di sekitar

mangrove juga harus dipertimbangkan, sehingga total keanekaragaman hayati

ekosistem tersebut menjadi lebih tinggi. Dapat diambi suatu aksioma bahwa

pengelolaan mangrove selalu merupakan bagian dari pengelolaan habitat-habitat

di sekitarnya agar mangrove dapat tumbuh dengan baik.

Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama yaitu hasil

hutan, perikanan estuarin dan pantai (perairan dangkal), serta wisata alam. Selain

itu mangrove memainkan peranan penting dalam melindungi daerah pantai dan

Page 2: Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

memelihara habitat untuk sejumlah besar jenis satwa, jenis yang terancam punah

dan jenis langka yang kesemuanya sangat berperan dalam memelihara

keanekaragaman hayati di wilayah tertentu.

Karena tekanan pertambahan penduduk terutama didaerah pantai,

mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumber daya

alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis

dan rusak di seluruh daerah tropis. Kebutuhan yang seimbang harus dicapai

diantara memenuhi kebutuhan sekarang untuk pembangunan ekonomi di suatu

pihak, dan konservasi sistem pendukung lingkungan di lain pihak. Tumbuhnya

kesadaran akan fungsi perlindungan, produktif dan socio-ekonomi dari ekosisitem

mangrove di daerah tropika, dan akibat semakin berkurangnya sumber daya alam

tersebut, mendorong terangkatnya masalah kebutuhan konservasi dan

kesinambungan pengelolaan terpadu sumber daya-sumber daya bernilai

tersebut.Mengingat potensi multiguna sumber daya alam ini, maka merupakan

keharusan bahwa pengelolaan hutan mangrove didasarkan pada ekosistem

perairan dan darat, dalam hubungan dengan perencanaan pengelolaan wilayah

pesisir terpadu.

Menipisnya hutan mangrove menjadi perhatian serius negara-negara

berkembang, termasuk Indonesia dalam masalah lingkungan dan ekonomi.

Perhatian ini berawal dari kenyataan bahwa antara daerah antara laut dan darat

ini, mangrove memainkan peranan penting dalam menjinakkan banjir pasang

musiman (saat air laut pasang pada musim penghujan) dan sebagai pelindung

wilayah pesisir. Selain itu, produksi primer mangrove berperan mendukung

sejumlah kehidupanseperti satwa yang terancam punah, satwa langka, bangsa

burung (avifauna) dan juga perikanan laut dangkal. Dengen demikian, kerusakan

dan pengurangan sumber daya vita tersebut yang terus berlangsung akan

mengurangi bukan hanya produksi dari darat dan perairan, serta habitat satwa liar,

dan sekaligus mengurang keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak stabilitas

lingkungan hutan pantai yang mendukung perlindungan terhadap tanaman

pertanian darat dan pedesaan.

Page 3: Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

1.2 Cakupan Sumberdaya Mangrove

a. Satu atau lebih jenis tumbuhan mangrove yang hidupnya hanya di habitat

mngrove

b. Satu atau lebih jenis tumbuhan yang hidup di habitat mangrove, tetapi juga

dapat hidup di habitat selain mangrove

c. Berbagai jenis fauna baik fauna terestris maupun fauna laut yang bersosiasi

dengan habitat mangrove, baik secara permanen maupun secara sementara

d. Semua proses alamiah yang berperan dalam memelihara kberadaan ekosistem

mangrove (mis : sedimentasi)

e. Penduduk yang hidupnya bergantung pada sumber daya mangrove.

1.3 Hutan Mangrove di Indonesia

Hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan di Indonesia di

30 provinsi yang ada. Tetapi sebagian besar terkonsentrasi di Papua, Kalimantan

(Timur dan Selatan) Riau dan Sumatera Selatan.Meskipun wilayah hutan

mangrove yang laus ditemukan di 5 provinsi seperti tersebut di atas, namun

wilayah blok mangrove yang terluas di dunia tidak terdapat di Indonesia,

melainkan di hutan mangrove Sundarbans (660.000 ha) yang terletak di Teluk

Bengal, Bangladesh.

Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun luas total hutan

mangrove yang masih ada di Indonesia belum diketahui secara pasti.Walaupun

mangrove dengan mudah diidentifikasi melalui penginderaan jarak jauh, terdapat

variasi yang nyata diantara data statistik yang dihimpun oleh instansi-instansi di

Indonesia, misalnya yang ada di Departemen Kehutanan, dan yang ada di

organisasi internasional seperti FAO berkisar antara 2,17 dan 4,25 juta hektar

(mangrove dalam kawasan hutan).

Ketidakcocokan ini disebabkan oleh penggunaan data lama yang meluas.

Angka 4,25 juta ha yang dikutip oleh FAO pada 1982 diambil sepenuhnya dari

data tahun 1970-an. Sumber utama lain yang tampk tidak konsisten diantara

sumber-sumber data adalah estimasi untuk Papua, yakni provinsi dengan hutan

mangrove terluas yang berkisar dari 0,97 s/d 2,94 juta ha ( Departemen Kehutanan

Page 4: Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

dan FAO 1990). Kemungkinan angka tersebut mencakup puluhan ribu hektar

hutan rawa sagu (Metroxylon spp) yang terdapat di rawa air tawar pada tepian

zona pantai di Papua.

Data terkhir yang terdapat di Ditjen RLPS Dep. Kehutanan tahun 2001

menunjukkan bahwa terdapat 8,6 juta ha mangrove di Indonesia, terdiri 3,8 juta ha

di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta ha di luar kawasan hutan.

Untuk mengurangi ketidakpastian tentang luas hutan mangrove tersebut

perlu dilakukan Inventarisasi Hutan Mangrove Nasional agar diperoleh kepastian

dan pengelolaan yang lebih baik.

Hutan mangrove di Papua merupakan salah satu wilayah utama mangrove

di Indonesia dan satu dari areal yang terluas di dunia , yang sampai saat ini tidak

mendapat tekanan besar untuk dikonversi menjadi penggunaan lain dan ini

memberi kesempatan khusus bagi Indonesia guna melaksanakan mandat nasional

dan internasional untuk konservasi sumber daya biologi yang bermakna bagi

dunia.

Walaupun angka yang ada tidak akurat, namun yang pasti telah terjadi

adalah penurunan areal luas hutan mangrove secara drastis di Indonesia terutama

di Sumatera Bagian Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa selama kurun waktu 20

tahun terakhir, sebagai akibat dari konservasi untuk penggunaan-penggunaan lain

terutama pengembangan tambak akibat booming harga udang pada tahun 80-an

dan 90-an.

1.4 Ancaman Terhadap Hutan Mangrove di Indonesia

Hutan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman yang meningkat dari

berbagai pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat

yang terdapat di seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Konsevasi

kemanfaatan lain seperti untuk budidaya perairan, infrastruktur pantai termasuk

pelabuhan, industri, pembangunan tempat perdagangan dan perumahan, serta

pertanian, adalah penyebab berkurangnya sumber daya mangrove dan beban berat

bagi hutan mangrove yang ada. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada

Page 5: Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

mangrove melalui pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan

terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya.

Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan

DAS yang serampangan, dan meningkatnya pencemar hasil industri dan domestik

(rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hdrologi. Hasil yang terjadi dari erosi

tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen yang

diendapkan di lingkungan mangrove adalah kematian masal (dieback) mangrove

yang tidak terhindarkan lagi karena lentisel-nya tersumbat oleh sedimen tersebut.

Polusi dari limbah cair dan limbah padat berpengaruh serius pada perkecambahan

dan pertumbuhan mangrove.

Ancaman langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya

diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan

udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa

tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para

petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk

pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya

kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak

dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka

akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga

sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen , dan

akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai.

Di seluruh Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh

eksploitasi produk kayu sangat beragam, tetapi secar keseluruhan biasanya terjadi

karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau

industri pembuat arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove

sangat jarang yang berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu

mangrove tersebut biasanya dibuat untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan

baku pembuat arang untuk diekspor keluar negeri.

Pada umumnya jenis-jenis magrove dimanfaatkan secara lokal untuk kayu

bakar dan bahan bangunan lokal. Komoditas utama kayu mangrove untuk

Page 6: Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

diperdagangkan secara internasional adalah arang yang berasal dari Rhizophora

spp., yang mempunyai nilai kalori sangat tinggi.

Barangkali ancaman yang palingserius bagi mangrove adalah persepsi di

kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang

menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya

cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian

besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa

lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah

daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru

tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga

mangrove dunia akan menjadi sangat suram.

2. Justifikasi Perlunya Ekosistem Mangrove Dikelola Secara Berkelanjutan

Beberapa justifikasi untuk mengelola ekosistem mangrove secara berkelanjutan adalah

:

2.1 Mangrove merupakan SDA yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flow

resources yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis).

Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan mangrove merupakan penyedia

berbagai keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal. Selain itu sesuai dengan

perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai jenis sumber daya

sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai

ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara. Secara garis besar, manfaat

ekonomis dan ekologis mangrove adalah :

a. Manfaat ekonomis, terdiri atas :

1) Hasil berupa kayu (kayu konstruksi, tiang/pancang, kayu bakar, arang,

serpihan kayu (chips) untuk bubur kayu)

2) Hasil bukan kayu

Hasil hutan ikutan (tannin, madu, alcohol, makanan, obat-obatan, dll)

Jasa lingkungan (ekowisata)

Page 7: Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

b. Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindung lingkungan, baik

bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagaia jenis

fauna, diantaranya :

Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang

Pengendali intrusi air laut

Habitat berbagai jenis fauna

Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai

jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.

Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi

Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)

Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibandingkan tipe

hutan lain.

2.2. Mangrove mempunyai nilai produksi primer bersih (PPB) yang cukup tinggi,

yakni : biomassa (62,9-398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan

riap volume (20 ton/ha/th, 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun).

Besarnya nilai produksi primer ini cukup berarti bagi penggerak rantai pangan

kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan ehidupan masyarakat

pesisir itu sendiri.

2.3 Dalam skala internasional, regional dan nasional, hutan mangrove luasnya relatif

kecil bila dibandingkan, aik dengan luas daratan maupun luasan tipe hutan

lainnya, padahal manfaatnya (ekonmis dan ekologis) sangat penting bagi

kelangsungan kehidupan masyarakat (khususnya masyarakat pesisir), sedangkan

dipihak lain ekosistem mangrove bersifat rentan (fragile) terhadap gangguan dan

cukup sulit untuk merehabilitasi kerusakannya.

2.4 Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun bersama dengan ekosistem

padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu

ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun biologis.

2.5 Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi yang

saat ini sebagaian besar manfaatnya belum diketahui.

3. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan

Page 8: Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

3.1 Landasan Filosofi Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan

Tindakan pengelolaan SDA mempunyai tujuan utama untuk menciptakan

ekosistem yang produktif dan berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan

pengelolaannya. Oleh karena itu pengelolaan SDA harus diarahkan agar :

a. Praktek pengelolaan SDA harus meliputi kegiatan eksploitasi dan pembinaan

yang tujuannya mengusahakan agar penurunan daya produksi alam akibat

tindakan eksploitasi dapat diimbangi dengan tindakan peremajaan dan

pembinaan. Maka diharapkan manfaat maksimal dari SDA dapat diperoleh

secara terus menerus.

b. Dalam pengelolaan SDA yang berkelanjutan, pertimbangan ekologi dan

ekonomi harus seimbang, oleh karena itu pemanfaatan berbagai jenis produk

yang diinginkan oleh pengelola dapat dicapai dengan mempertahankan

kelestarian SDA tersebut dan lingkungannya.

Dengan demikian secara filosofis, pengelolaan SDA berkelanjutan

dipraktekan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dari pengelola, dengan tanpa

mengabaikan pemenuhan kebutuhan bagi generasi yang akan datang, baik dari

segi keberlanjutan hasil maupun fungsi.

3.2 Permasalahan Utama dan Tujuan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan

Sebagai suatu ekosistem hutan, mangrove sejak lama telah diketahui

memiliki berbagai fungsi ekologis, disamping manfaat ekonomis yang bersifat

nyata, yaitu menghasilkan kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Sebagaimana

halnya dalam pengelolaan SDA lain yang bermanfaat ganda, ekonomis dan

ekologis, masalah utama yang dihadapi dalam pengelolaan hutan mangrove

adalah menentukan tingka pengelolaan yang optimal, dipandang dari kedua

bentuk manfaat (ekonomi dan ekologi tersebut).

Dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove

memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan

peranannya dalam ekosistem SDA, yaitu :

a. Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas

yang terbatas pula.

Page 9: Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

b. Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda

dengan peran ekosistem hutan lainnya.

c. Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi.

Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan

dalam memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam

keadaannya yang asli dengan manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama

pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai berikut :

a. Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem

mangrove dengan menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip

kelestarian hasil dan fungsi ekosistem yang bersangkutan.

b. Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak.

c. Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang

kondusif bagi penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik.

3.3 Kendala dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove

a. Kendala Aspek Teknis

1) Kondisi habitat yang tidak begitu ramah, yakni tanah yang anaerob dan

labil dengan salinitas yang relatif tinggi apabila dibandingkan dengan tanah

mineral, adanya pengaruh pasang surut dan sedimentasi serta abrasi pada

berbagai lokasi tertentu.

2) Adanya pencampuran komponen ekosistem akuatik (ekosistem laut) dan

ekosistem daratan, yang mengakibatkan pengelolaannya menjadi lebih

kmpleks. Hal ini mengharuskan kecermatan yang tinggi dalam menerapkan

pengelolaan mengingat beragamnya sumber daya hayati yang ada pada

umumnya relatif peka terhadap gangguan, dan adanya keterkaitan antara

ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem produktif lainnya di suatu

kawasan pesisir (padang lamun, terumbu karang, estuaria).

3) Kawasan pantai dimana mangrove berada umumnya mendukung populasi

penduduk yang ccukup tinggi, tetapi dengan tingkat kesejahteraan dan

tingkat pendidikan yang rendah.

b. Kendala Aspek Kelembagaan

Page 10: Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

Dalam pengelolaan wilayah pesisir beberapa kendala aspek kelembagaan

diantaranya adalah :

1) Tata ruang kawasan pesisir di banyak lokasi belum tersusun secara baik,

bahkan ada yang belum sama sekali.

2) Status kepemilikan bahan dan tata batas yang tidak jelas.

3) Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan kawasan dan sumber daya

mangrove

4) Belum jelasnya wewenng dan tanggung jawab berbagai stake holder yang

terkait

5) Masih lemahnya law enforcement dari peraturan perundangan yang sudah

ada

6) Masih lemahnya koordinasi di antara berbagai instansi yang berkompeten

dalam pengelolaan mangrove

7) Praktek perencanaan, pelaksanaa dan pengendalian dalam pengelolaan

mangrove belum banyak mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat

yang berkepentingan dengan kawasan tersebut.

3.4 Bentuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Pengelolaan ekosistem (hutan) mangrove hendanya mencakup tiga benruk

kegiatan pokok, yakni :

a. Pengusahaan hutan mangrove yang kegiatanna dapat dikendalikan dengan

penerapan sistem silvikultur dan pengaturan kontrak (pemberian konsensi).

b. Perlindungan dan pelestarian hutan mangrove yang dilakukan dengan cara

menunjuk, menetapkan dan mengukuhkan hutan mangrove menjadi hutan

lindung, hutan konservasi (Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya,

Hutan Wisata, dll) dan kawasan lindung lainnya (Jalur hijau, sempadan

pantai/sungai, dll)

c. Rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak sesuai dengan tujuan

pengelolaannya dengan pendekatan pelaksanaan dan penggunaan iptek yang

tepat guna.

Page 11: Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

3.5 Kriteria Umum Penetapan Kawasan Hutan Mangrove Berdasarkan Fungsinya

Dalam rangka menetapkan suatu kawasan hutan mangrove ke dalam

ktegori kawasan hutan produksi (kawasan budidaya) dan kawasan hutan yang

dilindungi (kawasan lindung) harus ditetapkan arahan kriterianya secara nasional.

Untuk keperluan tersebut beberapa atribut yang dapat dijadikan kriteria antara lain

adalah :

a. Kondisi fisik areal hutan

Ukuran relatif pulau dimana mangrove tumbuh

Luas areal hutan

Kondisi tanah

b. Keunikan, kelangkaan, keterwakilan dan kekhasan, baik pada level ekosistem

maupun pada level sumber daya (jenis flora/fauna).

c. Kerawanan fungsi lindung terhadap lingkungan

d. Ketergantungan penduduk lokal terhadap hutan

e. Stok tegakan beserta regenerasinya dan hasil hutan bukan kayu, baik yang

sudah ada peluang pasarnya maupun yang belum ada peluang pasarnya.

Berdasarkan tingkat pembobotan dari atribut-atribut tersebut di atas, maka

dapat dilakukan scoring sebagai batas penetapan kawasan hutan mangrove

berdasarkan fungsinya di suatu daerah.

Selain itu, penetapan suatu kawasan hutan mangrove menjadi kawasan

lindung (hutan lindung dan hutan konservasi) dapat dilakukan tanpa sistem

scoring apabila kondisi fisik areal hutan dan potensi sumber daya hayatiya

dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan, misal :

a. Mangrove yang tumbuh di tanah berkoral atau tanah pasir podsol atau tanah

gambut

b. Mangrove yang tumbuh pada kawasan pesisir yang arus air lautnya deras

c. Mangrove tempat bertelur penyu atau tempat berkembang biak/mencari

makan/memijah jenis ikan yang langka/hampir punah/endemic

d. Kawasan lainnya yang dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan.

Page 12: Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Mangrove Produksi Lestari

Sampai saat ini kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam mangrove produksi

secara lestari belum disusun secara formal. Pada tahun 1999 LPP Mangrove (Yayasan

Mangrove) mengadakan Workshop Penyempurnaan Kriteria Indikator Pengelolaan Hutan

Alam Mangrove Produksi Lestari. Beberapa Kriteria dan Indikator hasil workshop

tersebut yang mungkin dapat dijadikan acuan antara lain adalah :

Kriteria 1 : Kelestarian fungsi produksi

Indikator :

1) Kepastian penggunaan lahan sebagai kawasan hutan

2) Perencanaan dan implementasi penataan hutan menurut fungsi dan tipe hutan

3) Besaran perubahan penutupan lahan hutan akibat perambahan dan alih fungsi

kawasan hutan dan gangguan lainnya

4) Pemilihan dan penerapan sistem silvikultur yang sesuai dengan ekosistem hutan

setempat

5) Macam dan jumlah hasil hutan non kayu terjamin

6) Investasi untuk penataan dan perlindungan hutan

7) Realisasi dana yang dialokasikan untuk pengelolaan kawasan dilindungi dan

keanekaragaman hayati, termasuk spesies endemic, langka dan dilindungi.

8) Pengorganisasian kawasan yang menjamin kegiatan produksi yang kontinyu yang

dituangkan dalam berbagai tingkat rencana dan diimplementasikan

9) Produksi tahunan sesuai dengan kemampuan produktivitas hutan

10) Efisiensi pemanfaatan hutan

11) Tingkat kerusakan pohon induk

12) Keabsahan sistem lacak balak dalam hutan

13) Kelancaran dan keteraturan pendanaan untuk kegiatan perencanaan, produksi dan

pembinaan hutan.

14) Kesehatan perusahaan

15) Peran bagi pembangunan ekonomi wilayah

16) Sytem informasi manajemen

Page 13: Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

17) Satuan Pemeriksaan Internal (SPI)

18) Tersedianya tenaga profesional untuk perencanaan, perlindungan, produksi,

pembinaan hutan dan manajemen bisnis

19) Investasi dan reinvestasi untuk pengelolaan hutan

20) Peningkatan modal hutan

Kriteria 2 : Kelestarian fungsi ekologis

Indikator :

1) Proporsi luas kawasan dilindungi yang berfungsi baik terhadap total kawasan

yang seharusnya dilindungi serta telah dikukuhkan dan atau keberadaannya diakui

pihak terkait.

2) Propoprsi luas kawasan dilindungi yang tertata baik terhadap total kawasan yang

seharusnya dilindungi dan sudah ditata batas di lapangan

3) Intensitas gangguan terhadap kawasan dilindungi

4) Kondisi kenekaragaman spesies flora dan/atau fauna di dalam kawasan dilindungi

pada berbagai formasi/ tipe hutan yang ditemukan di dalam unit manajemen

5) Intensitas kerusakan struktur hutan dan komposisi spesies tumbuhan

6) Efektifitas penyuluhan mengenai pentingnya pelestarian ekosistem hutan sebagai

sistem penyangga kehidupan , dampak aktivitas lewat panen terhadap ekosistem

hutan dan pentingnya pelestarian spesies dilindungi/endemic/langka

7) Intensitas dampak kegiatan kelola produksi terhadap satwa liar

endemic/langka/dilindungi dan habitatnya

8) Pengamanan satwa liar endemic/langka/dilindungi dan habitatnya

Kriteria 3 : Kelestarian fungsi Sosial

Indikator :

1) Batas antara kawasan konsesnsi dengan kawasan komunitas setempat terdeliniasi

secara jelas dan diperoleh melalui persetujuan antar pihak yang terkait di

dalamnya.

2) Akses dan kontrol penuh masyarakat secara lintas generasi terhadap kawasan

hutan adat terjamin.

Page 14: Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove (1)

3) Akses pemanfaatan hasil hutan oleh komunitas secara lintas generasi di dalam

kawasan konsensi terjamin

4) Digunakannya tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang tepat

terhadap pertentangan klaim atas hutan yang sama

5) Sumber-sumber ekonomi komunitas minimal tetap mampu mendukung

kelangsungan hidup komunitas secara lintas generasi

6) Komunitas mampu mengakses kesempatan kerja dan peluang berusaha yang

terbuka

7) Modal domestik berkembang

8) Peninjauan berkala terhadap kesejahteraan karyawan

9) Minimasi dampak unit manajemen pada integrasi sosial dan kultural

10) Kerjasama dengan otoritas kesehatan

11) Keberadaan dan pelaksanaan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)

12) Pelaksanaan Upah Minimum Regional / Provinsi dan Struktur gaji yang adil

13) Terjaminnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Sumber : Seminar Pengelolaan Hutan Mangrove Denpasar, Bali 8 September 2003