14
ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal Ilmiah Arsitektur dan Lingkungan Binaan ISSN:1693-3680 (PRINT) E- ISSN:2580-2976 (ONLINE) https://jurnal.uns.ac.id/Arsitektura DOI: http://dx.doi.org/10.20961/arst.v16i1.16350 ARABIC ETHNIC HOUSES IN KAMPUNG ARAB PASAR KLIWON AS THE PRODUCT OF ACCULTURATION RUMAH TUA ETNIK ARAB DI KAMPUNG ARAB PASAR KLIWON SEBAGAI HASIL AKULTURASI Najmi Muhamad Bazher * MENARA, Study and Research Center of Arab Ancestry in Indonesia Email : [email protected] * Abstract The wave of migration to Indonesia cause multiculturalism in their communities. Acculturation happened when the imigrant’s culture meet and blend with the native’s culture. Hadhrami immigrants came and stayed in Indonesia, bringing their original culture from Yaman. Islam as their religion became the important part of their life and effecting the culture, wherever they live. Adapting to the native culture and local condition was needed when they chose to settle in Indonesia. Dutch colonization at that time effected Indonesian society’s way of life, so are the immigrants. Socio-cultural dynamics will influence and expressed by architecture form. The objective of this study was to identify acculturation between Arab, Islam, Indonesia, and Dutch culture on architecture of Arab’s antique houses in Kampung Arab Pasar Kliwon. Research method used in this study is qualitative-explorative and using descriptive as analysis method. Acculturation between Arab, Islam, Indonesia, and Dutch cultures on the Arab’s an tique houses in Kampung Arab Pasar Kliwon, found through the existence of Arab vernacular architecture, islamic concept architecture, tropical-humid architecture, and Dutch colonial architecture on the design program, interior elements, and exterior elements. Keywords: acculturation, Arab-Indonesian, antique house, kampung Arab, Pasar Kliwon. 1. PENDAHULUAN Sejak dulu, Indonesia memiliki kontak dagang dengan bangsa asing, khususnya India, Arab, Cina, dan Eropa (Usman, 2009). Gelombang migrasi dari luar negeri ke nusantara menye- babkan keberagaman budaya (multikulturalis- me) (Ashworth dkk, 2007). Imigran berke- budayaan tertentu tersebut mengalami kontak sosial dengan kebudayaan asing di tempat baru, hingga terjadi penyesuaian budaya yang disebut akulturasi (Koentjaraningrat, 1985). Berbeda dengan warga timur asing lainnya, yaitu Cina dan India yang relatif terpisah de- ngan kaum pribumi, imigran Arab (mayoritas dari Hadhramaut, Yaman) sejak semula me- nyatu dengan pribumi (Kesheh, 2007). Hal ini dikarenakan adanya persamaan kepercayaan yaitu agama Islam (Kesheh, 2007). Imigran Arab tersebut tidak hanya datang ke Indonesia untuk berdagang, namun juga untuk menyebar-kan agama. Ajaran dari agama tersebut mem-bentuk kebudayaan Islam yang melebur dengan kebudayaan Arab yang dibawa oleh kaum Hadhrami (warga dari Hadhramaut). Persama-an agama juga mendorong terjadinya perkawi-nan antara imigran Hadhrami dengan wanita pribumi (Kesheh, 2007) hingga terjadi pen-campuran budaya Arab dengan Indonesia. Hal lain yang menyebabkan persatuan antara kaum Hadhrami dengan pribumi adalah perju-angan melawan penjajahan dari Belanda (Ke-sheh, 2007). Keberadaan penjajah Belanda memberikan pengaruh pada pola hidup masya- rakat di Indonesia seperti dalam hal bermukim. Pihak koloni menerapkan politik wijkenstelsel

ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38

Jurnal Ilmiah Arsitektur dan Lingkungan Binaan ISSN:1693-3680 (PRINT) E- ISSN:2580-2976 (ONLINE)

https://jurnal.uns.ac.id/Arsitektura DOI: http://dx.doi.org/10.20961/arst.v16i1.16350

ARABIC ETHNIC HOUSES IN KAMPUNG ARAB

PASAR KLIWON AS THE PRODUCT OF ACCULTURATION

RUMAH TUA ETNIK ARAB DI KAMPUNG ARAB

PASAR KLIWON SEBAGAI HASIL AKULTURASI

Najmi Muhamad Bazher* MENARA, Study and Research Center of Arab Ancestry in Indonesia

Email : [email protected]*

Abstract

The wave of migration to Indonesia cause multiculturalism in their communities. Acculturation

happened when the imigrant’s culture meet and blend with the native’s culture. Hadhrami

immigrants came and stayed in Indonesia, bringing their original culture from Yaman. Islam

as their religion became the important part of their life and effecting the culture, wherever they

live. Adapting to the native culture and local condition was needed when they chose to settle in

Indonesia. Dutch colonization at that time effected Indonesian society’s way of life, so are the

immigrants. Socio-cultural dynamics will influence and expressed by architecture form. The

objective of this study was to identify acculturation between Arab, Islam, Indonesia, and Dutch

culture on architecture of Arab’s antique houses in Kampung Arab Pasar Kliwon. Research

method used in this study is qualitative-explorative and using descriptive as analysis method.

Acculturation between Arab, Islam, Indonesia, and Dutch cultures on the Arab’s antique

houses in Kampung Arab Pasar Kliwon, found through the existence of Arab vernacular

architecture, islamic concept architecture, tropical-humid architecture, and Dutch colonial

architecture on the design program, interior elements, and exterior elements.

Keywords: acculturation, Arab-Indonesian, antique house, kampung Arab, Pasar Kliwon.

1. PENDAHULUAN

Sejak dulu, Indonesia memiliki kontak dagang

dengan bangsa asing, khususnya India, Arab,

Cina, dan Eropa (Usman, 2009). Gelombang

migrasi dari luar negeri ke nusantara menye-

babkan keberagaman budaya (multikulturalis-

me) (Ashworth dkk, 2007). Imigran berke-

budayaan tertentu tersebut mengalami kontak

sosial dengan kebudayaan asing di tempat

baru, hingga terjadi penyesuaian budaya yang

disebut akulturasi (Koentjaraningrat, 1985).

Berbeda dengan warga timur asing lainnya,

yaitu Cina dan India yang relatif terpisah de-

ngan kaum pribumi, imigran Arab (mayoritas

dari Hadhramaut, Yaman) sejak semula me-

nyatu dengan pribumi (Kesheh, 2007). Hal ini

dikarenakan adanya persamaan kepercayaan

yaitu agama Islam (Kesheh, 2007). Imigran

Arab tersebut tidak hanya datang ke Indonesia

untuk berdagang, namun juga untuk

menyebar-kan agama. Ajaran dari agama

tersebut mem-bentuk kebudayaan Islam yang

melebur dengan kebudayaan Arab yang

dibawa oleh kaum Hadhrami (warga dari

Hadhramaut). Persama-an agama juga

mendorong terjadinya perkawi-nan antara

imigran Hadhrami dengan wanita pribumi

(Kesheh, 2007) hingga terjadi pen-campuran

budaya Arab dengan Indonesia. Hal lain yang

menyebabkan persatuan antara kaum

Hadhrami dengan pribumi adalah perju-angan

melawan penjajahan dari Belanda (Ke-sheh,

2007). Keberadaan penjajah Belanda

memberikan pengaruh pada pola hidup masya-

rakat di Indonesia seperti dalam hal bermukim.

Pihak koloni menerapkan politik wijkenstelsel

Page 2: ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 25-38

26

atau passen stelsel dibuat untuk mengisolasi

warga timur asing (termasuk Hadhrami) dari

pribumi melalui penempatan pada kawasan

tersendiri (Kesheh, 2007). Kawasan tempat di

mana orang Arab tersebut tinggal selanjutnya

dikenal sebagai kampung Arab. Menurut F.

Christian (1992), dinamika sosial-budaya akan

sangat mempengaruhi dinamika arsitektur.

Sehingga proses akukturasi yang ter-jadi dapat

diidentifikasi melalui obyek arsitek-tur.

Arsitektur rumah di Jazirah Arab sebagai hasil

budaya Arab, arsitektur rumah islami yang

mewujudkan konsep ajaran Agama Islam,

arsitektur bangunan kolonial dengan pengaruh

Belanda, dan arsitektur tropis dengan

pengaruh budaya serta konteks tropis

Indonesia yang masing-masing memiliki

karakter.

Solo merupakan salah satu kota tua di Indone-

sia yang menyimpan berbagai peninggalan

kebudayaan dari bermacam etnik (Himawan,

2001). Oleh karena itu, Solo dirasa tepat digu-

nakan sebagai lokasi penelitian untuk melacak

sejarah akulturasi etnis Arab. Etnis Arab di

Solo bermukim di Kampung Arab Pasar Kli-

won. Obyek arsitektur sebagai obyek

penelitian yang dipilih adalah bangunan

berumur di atas 50 tahun (sesuai kriteria

konservasi) yang be-lum terkena arus

globalisasi, sehingga akar bu-dayanya masih

dapat terlacak. Elemen fisik yang signifikan

membentuk suasana atau sense of place

Kampung Arab Pasar Kliwon adalah rumah

tua milik etnis Arab (Bazher dkk, 2017).

Bangunan tersebut dipilih sebagai obyek studi

karena sesuai dengan kriteria obyek penelitian.

Menurut Amos Rapoport (1981), arsitektur

adalah ruang tempat hidup manusia yang lebih

dari sekedar fisik, tapi juga menyangkut prana-

ta-pranata budaya dasar. Dikatakan oleh Clyde

Kluckhohn (1953) bahwa arsitektur tergolong

peralatan dan perlengkapan hidup manusia

yang termasuk dalam tujuh unsur kebudayaan

universal. Kebudayan seseorang dapat terlihat

pada arsitektur rumah tinggalnya. Dalam kasus

ini, rumusan masalahnya adalah sejauhmana

peleburan kebudayaan Arab, Islam, Indonesia,

dan Belanda pada arsitektur rumah tua etnis

Arab di Kampung Arab Pasar Kliwon?

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji hubu-

ngan antara budaya dengan elemen arsitektur

dan mengidentifikasikan peleburan antara ke-

budayaan Arab, Islam, Indonesia, dan Belanda

pada arsitektur rumah tua etnis Arab di Kam-

pung Arab Pasar Kliwon, Surakarta. Untuk

mencapai tujuan tersebut, maka sasaran dalam

penelitian ini adalah mengidentifikasi elemen

arsitektur Arab (khususnya Yaman), arsitektur

Islam, arsitektur tropis Indonesia, dan

arsitektur kolonial Belanda di Indonesia pada

pola ruang, interior, dan eksterior rumah tua

etnis Arab di Kampung Arab Pasar Kliwon,

Surakarta. Menurut E. B. Tylor, kebudayaan

adalah kom-pleks yang mencakup

pengetahuan, kepercaya-an, moral, hukum,

kesenian, adat, dan kebiasaan yang didapatkan

oleh manusia sebagai anggota dari masyarakat.

Fenomena yang timbul seba-gai hasil, jika

kelompok-kelompok manusia dengan

kebudayaan yang berbeda bertemu dan

mengadakan kontak secara langsung dan terus-

menerus, yang kemudian menimbulkan

peruba-han dalam pola kebudayaan yang

original dari salah satu kelompok atau pada

keduanya, dise-but akulturasi (Harsojo, 1984).

Proses akultura-si diawali dengan fase

akomodasi yaitu saat suatu kelompok dengan

kelompok lain saling berkompromi/bersepakat

terhadap suatu hal sehingga menimbulkan

perdamaian (Koentara-ningrat, 1985). Fase

selanjutnya adalah asimi-lasi yaitu suatu

proses sosial yang telah lanjut (berlangsung

lama), ditandai oleh kurangnya perbedaan

antar individu dan antar kelompok, serta

makin eratnya persatuan aksi, sikap, dan

proses mental yang berhubungan dengan

kepentingan bersama (Harsojo, 1984). Guy T.

Petherbridge (1989) menyatakan bah-wa

prinsip rumah tinggal masyarakat Arab antara

lain adanya pembagian ruang publik dan ruang

privat, adanya pintu samping, dan kebe-radaan

courtyard. Edward T. Hall (1966) men-

jelaskan bahwa pembagian ruang dilakukan

karena budaya yang berkembang di

masyarakat Arab tentang persepsi publik dan

privat, bukan karena agama. Ruang publik

biasanya diperun-tukkan bagi ruang laki-laki

(birun) untuk menerima tamu dan bekerja.

Sedangkan ruang privat diperuntukkan bagi

wanita (anderun/ha-rem) seperti ruang tidur,

ruang keluarga, ruang makan, dan dapur.

Pemisahan ruang tersebut didukung dengan

Page 3: ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

Najmi Muhamad Bazher, Arabic Ethnic Houses…

27

pemberian akses masuk un-tuk wanita menuju

ke ruang privat berupa pintu samping. Di

belakang rumah terdapat halaman/ courtyard

(Berg, 1989) sebagai respon iklim Arab yang

panas kering di siang hari. L.W.C. van den

Berg (1989) mengatakan bahwa pera-bot

orang kaya maupun miskin di Yaman sangat

sederhana; orang duduk di lantai yang ditutup

permadani atau tikar dengan bantal. Klen

besar patrilineal (keturunan keluarga) amat

jelas eksistensinya pada orang Arab di mana

pun dia berada dan gambaran ini meru-pakan

karakteristik yang dominan dari orang Arab di

tanah asal mereka, Hadhramaut. Ma-syarakat

Hadhramaut hidup dalam kelompok-kelompok

yang dinamakan qabilah yaitu kelompok

patrilineal (Shahab, 2005). Kebang-gaan dan

kepedulian sebagai anggota satu klen tampak

pada kepedulian mereka untuk menge-tahui

dan menyimpan silsilah keluarga. Meru-pakan

hal yang biasa di rumah orang Arab memiliki

silsilah keturunan yang dijadikan hiasan

dinding di rumahnya (Shahab, 2005).

Salah satu perwujudan ajaran Islam pada

rumah tinggal adalah mengaplikasikan hijab.

Hijab/tabir adalah penutup atau sesuatu yang

memisahkan/membatasi baik berupa tembok,

bilik, korden, kain dan lain-lain (Mulhandy

dkk, 1992). Islam mengharamkan patung

sebagai dekorasi di dalam rumah orang Islam.

Konsep rumah dalam peradaban Islam antara

lain memiliki tabhane yaitu ruang utama seba-

gai tempat menerima tamu dan courtyard yaitu

taman di dalam rumah (Susanti, 2014).

Arsitektur Tropis adalah suatu konsep bangu-

nan yang mengadaptasi kondisi iklim tropis.

Indonesia memiliki iklim yang tergolong iklim

topis panas lembap. Faktor iklim yang mempe-

ngaruhi kenyamanan pada bangunan antara

lain radiasi matahari, curah hujan, temperatur,

ke-lembapan, dan gerakan udara. Penggunaan

tritisan, atap miring, dan warna cat terang

merupakan respon dari terik matahari dan

curah hujan yang tinggi. Sinar matahari dapat

dimanfaatkan sebagai pencahayaan alami

dengan respon bangunan berupa penggunaan

bukaan (jendela, pintu, bouvenlight) berjumlah

banyak dan melalui orientasi serta bentuk

denah bangunan. Pengha-waan alami pada

bangunan didukung dengan penggunaan dan

peletakan bukaan (jendela, pintu, lubang

angin) untuk memungkinkan terjadinya

ventilasi silang. (Rahim, 2012)

Arsitektur kolonial adalah arsitektur

cangkokan dari negeri induknya Eropa ke

daerah jajahan-nya, dan arsitektur kolonial

Belanda adalah arsitektur Belanda yang

dikembangkan di Indo-nesia (Soekiman,2011).

Arsitektur kolonial Belanda adalah gaya

desain yang dipopularkan oleh Belanda,

memiliki ciri antara lain tampak simetris,

material dari batu bata atau kayu tanpa

pelapis, entrance mempunyai dua daun pintu,

pintu masuk terletak di samping bangu-nan,

denah simetris, jendela besar berbingkai kayu,

dan terdapat dormer/bukaan pada atap

(Wardani, 2009). Elemen arsitektur lainnya

yang sering digunakan pada arsitektur kolonial

adalah gavel (gable), dinding tebal, ornament

dekoratif (ragam hias), dan jendela tinggi.

Gaya bangunan kolonial empire style diterap-

kan pada bangunan rumah tinggal yang disebut

landhuis. Landhuis berasal dari kata landhui-

zen yaitu gaya hidup yang berasal dari akultu-

rasi budaya Belanda dengan pribumi yang cu-

kup mampu meniru tata cara hidup Belanda,

dalam hal ini adalah style rumah tinggalnya

(Soekiman, 2000). Ciri-ciri gaya ini adalah de-

nah simetri, beratap perisai, berkesan terbuka,

terdapat pilar di serambi depan dan belakang,

di dalam rumah terdapat serambi tengah atau

lorong menuju ke ruang tidur. Serambi bela-

kang sering digunakan sebagai ruang makan

yang terhubung ke daerah servis yang terpisah

dari massa utama. Organisasi ruang rumah

landhuis dapat dilihat pada gambar 1. Sekitar

tahun 1920, arsitek kolonial Belanda melaku-

kan penyesuaian dengan iklim tropis

Indonesia. Aliran gaya seni Eropa seperti art

and craft, art nouveau, dan art deco yang

menjadi tren pada periode tertentu

berpengaruh pada gaya arsitektur kolonial

yang dibangun di Indonesia.

Gambar 1. Organisasi rumah kolonial

Sumber : Frick, 1997.

Page 4: ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 25-38

28

2. METODE

Penelitian mengenani fenomena peleburan

budaya yang terjadi pada arsitektur rumah tua

etnis Arab tergolong penelitian kualitatif.

Menurut Moleong (2007), penelitian kualitatif

adalah penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami

oleh subjek penelitian secara holistik, dan de-

ngan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata

dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang

alami-ah dan dengan memanfaatkan berbagai

metode alamiah. Studi dilakukan dengan

melihat ele-men-elemen pada bangunan, yang

disebut se-bagai penelitian eksploratif

(penjajagan). Menurut Irawan (2007),

penelitian eksploratif adalah penelitian yang

digunakan untuk me-ngumpulkan data-data

awal tentang sesuatu. Identifikasi elemen

arsitekur dilakukan dengan metode deksriptif.

Masih menurut Irawan (2007), metode

deskriptif digunakan untuk mengkaji sesuatu

seperti apa adanya atau pola hubungan antara

dua atau lebih variabel. Sumber studi berupa

data primer yang didapat dari observasi

lapangan untuk melakukan pe-ngamatan fisik

rumah dan melalui wawancara, serta data

sekunder yang didapat dari studi kepustakaan.

Pengumpulan data bangunan menggunakan

metode purposive sampling, ka-rena data

rumah yang diambil sebagai sampel hanya

rumah tua etnis Arab yang sesuai dengan

kriteria bangunan cagar budaya dan berada di

kawasan Kampung Arab Pasar Kliwon.

Eksplorasi dilakukan pada tiga rumah (gambar

2) sebagai sampel untuk dieksplorasi pada stu-

di identifikasi hasil akulturasi budaya melalui

elemen rumah tua etnis Arab di Kampung

Arab Pasar Kliwon. Bangunan yang dipilih

merupa-kan rumah yang berusia lebih dari 50

tahun dengan pemilik beretnis Arab yang

berada di kawasan Kampung Arab Pasar

Kliwon.

A. Rumah I Rumah milik Bapak Umar Arfan (beretnis

Arab) berada di Jalan Kapten Mulyadi, Kam-

pung Gurawan. Bangunan ini awalnya hanya

berfungsi sebagai hunian, namun kini rumah

bagian depan dikembangkan untuk aktivitas

ekonomi menjadi toko gorden dan busana

mus-lim. Perubahan fungsi mengakibatkan

adanya perubahan penggunaan ruang, elemen

interior, dan tampilan eksterior bangunan pada

bagian depan. Diketahui dari pemilik rumah

bahwa rumah ini berusia lebih dari enam

puluh tahun.

B. Rumah II Rumah ke-2 adalah milik Bapak Shahab Mula-

hela (beretnis Arab) yang berada di Jalan Ibu

Pertiwi, Kampung Gurawan. Bangunan ini du-

lu berfungsi sebagai hunian. Kini rumah terse-

but digunakan sebagai tempat menginap bagi

para tamu Bapak Shahab. Rumah ini dibangun

pada tahun 1950 dan diwariskan kepada putra-

nya oleh sang ayah, Abdul Kadir Mulahela.

Beliau adalah kerabat dan wakil imam dari

Habib Alwi Al-Habsyi di Masjid Riyadh.

Beliau lebih dari 20 tahun menjadi imam dan

wakil imam di Masjid Riyadh. Saat beliau

masih hidup, rumah ini sering digunakan

untuk kegiatan agama, seperti majlis taklim

dan san-tunan, serta sebagai tempat singgah

dan ber-kumpul teman dan kerabat. Kegiatan

keagama-an di rumah ini masih sering

dilakukan hingga sekarang. Perubahan pada

bangunan terjadi pada plafon dan lantai massa

utama. Massa zona servis (ruang belakang)

telah dibangun ulang dengan pintu jendela

yang masih asli, serta tampilan yang mirip

dengan aslinya.

C. Rumah III Rumah ke-3 juga berada di Jalan Ibu Pertiwi,

Kampung Gurawan. Pemiliknya adalah Bapak

Gambar 2. Sampel rumah tua etnis Arab di

Kampung Arab Pasar Kliwon.

Page 5: ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

Najmi Muhamad Bazher, Arabic Ethnic Houses…

29

Umar Baraja yang beretnis Arab. Bangunan ini

berfungsi sebagai rumah tinggal yang dihuni

oleh lima orang dan seorang asisten rumah

tangga. Massa terpisah di depan dulu

berfungsi sebagai wadah aktivitas ekonomi,

namun kini tidak difungsikan lagi. Rumah ini

berusia lebih dari 60 tahun dan diwariskan

oleh ayah kepada anaknya. Bangunan ini tidak

mengalami peru-bahan signifikan pada bagian

fisik, sehingga keaslian bangunan masih dapat

dinikmati.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Elemen bangunan yang dibahas adalah yang

masih asli dan atau direkonstruksi seperti asli.

3.1 Pola Ruang

A. Organisasi ruang

Ketiga rumah memiliki organisasi ruang yang

hampir sama, yaitu rumah terbagi menjadi

massa utama dan massa zona servis (kecuali

rumah III dengan tambahan massa toko) (lam-

piran 1). Massa utama terdiri dari ruang untuk

aktivitas ekonomi dan atau menerima tamu pa-

da bagian depan, dilanjutkan dengan kamar-

ka-mar yang dihubungkan lorong atau serambi

te-ngah, dan serambi belakang untuk ruang

ma-kan. Zona servis seperti dapur, kamar

mandi, ruang cuci, dan kamar tidur pembantu

berada di belakang dan terpisah dari massa

utama. Peruangan ini menyerupai organisasi

ruang rumah kolonial seperti ilustrasi pada

gambar 2.

B. Bentuk denah

Denah ketiga rumah memiliki bentuk tipis dan

memanjang (lampiran 1). Bentuk ini memung-

kinkan tiap ruang untuk mendapat

pencahayaan dan penghawaan alami,

memanfaatkan iklim tropis Indonesia. Bentuk

bangunan yang terli-hat langsing dan kurus

(streamline) juga meru-pakan karakter gaya

art deco yang diadaptasi pada bangunan

kolonial Belanda di Indonesia.

C. Pembatas zona

Terdapat aturan tidak tertulis mengenai

pemba-gian zona pada rumah etnis Arab.

Ruang bagi-an depan seperti ruang ekonomi

dan ruang ta-mu merupakan zona publik yang

diperuntukan bagi pria. Ruang bagian

belakang seperti ruang keluarga, kamar tidur,

dapur, dan ruang makan merupakan zona

privat yang diperuntukkan bagi wanita. Hal ini

sama dengan kondisi ru-mah di Arab yaitu di

antara zona tersebut biasa diberi pembatas

yang tegas seperti pintu atau tirai. Pada ketiga

kasus rumah digunakan pem-batas berupa

pintu (lampiran 2). Pintu ini ber-fungsi sebagai

hijab untuk menutupi kegiatan di dalam

rumah, sesuai prinsip arsitektur Islam.

D. Pintu samping

Side entrance sebagai pintu masuk kedua

beru-pa pintu samping terlihat pada ketiga

rumah ini. Rumah I dan rumah II memiliki

pintu samping yang sejajar dengan bagian

depan massa uta-ma, tersambung ke zona

servis melalui lorong. Sedangkan pintu

samping pada rumah III me-nempel pada

massa zona servis yang dapat diakses dari

halaman samping. Pintu samping berfungsi

sebagai akses masuk untuk wanita menuju ke

ruang privat. Keberadaan pintu sam-ping

adalah respon dari adanya pembagian zo-na

publik dan privat yang merupakan karakter

dari arsitektur di Arab. Posisi pintu samping

dapat dilihat pada lampiran 1, sedangkan tam-

pilannya dapat dilihat pada lampiran 3.

E. Courtyard

Kesamaan lain ditemukan pada ketiga rumah

yaitu keberadaan taman di dalam rumah/court-

yard pada bagian belakang rumah (lampiran 1

dan 4). Keberadaan courtyard di belakang

rumah sesuai dengan karakter rumah di Yaman

dan konsep rumah dalam peradaban Islam.

F. Pintu butulan

Pintu butulan adalah pintu tembusan dari sam-

ping atau belakang rumah. Pintu semacam ini

ditemukan di ketiga rumah untuk

menghubung-kan rumahnya dengan rumah

tetangganya. Pin-tu butulan pada rumah I

berada di koridor ru-ang belakang; pintu

butulan pada rumah II berada di courtyard

ruang belakang (kini hanya bekasnya);

sedangkan pada rumah III berada di halaman

samping (lampiran 1 dan 5). Penggu-naan

pintu ini diperkirakan karena terbawanya

karakter orang Yaman yang suka hidup dalam

kelompok patrilineal. Saat berhijrah ke

Indone-sia, masyarakat Hadhramaut yang

berhubungan keluarga maupun tidak,

semuanya merasa saling bersaudara karena

adanya kesamaan asal tanah air. Sehingga

dibuatlah pintu butulan antarrumah etnis Arab

yang bertetangga.

Page 6: ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 25-38

30

G. Ruang kegiatan ekonomi

Mata pencaharian sebagai pedagang merupa-

kan bagian dari kebudayaan etnis Arab. Hal ini

didukung pula anjuran dalam Agama Islam

untuk berdagang. Kegiatan perdagangan pada

masyarakat etnis Arab menyebabkan hunian

mereka juga merangkap sebagai tempat

terjadi-nya transkasi jual beli, sehingga

terdapat ruang untuk kegiatan ekonomi.

Beberapa tahun lalu dilakukan renovasi pada

ruang-ruang depan di rumah I untuk adaptasi

ruang sebagai wadah kegiatan ekonomi.

Ruang-ruang tersebut di-fungsikan sebagai

toko untuk tempat berda-gang pakaian muslim

dan tirai/gorden. Wadah kegiatan ekonomi

juga ditemukan pada rumah III. Terdapat

massa terpisah di bagian depan tapak yang

dulunya berfungsi sebagai toko.

H. Ruang menerima tamu

Rumah I dan II memiliki ruang keluarga yang

cukup luas. Selain sebagai tempat bersantai

bagi penghuni, ruang ini biasa digunakan

untuk menerima tamu keluarga dekat dan atau

tempat penghuni wanita menerima tamu

wanita (lam-piran 1 dan 6). Ruang dengan

fungsi seperti itu kini tidak ada pada rumah III

karena perubahan fungsi ruang tersebut

menjadi kamar tidur. Ruang ini sesuai dengan

konsep rumah dalam peradaban Islam yang

memiliki tabhane yaitu ruang utama sebagai

tempat menerima tamu.

3.2 Elemen Interior Ruang

A. Posisi pintu dan jendela

Pintu dan jendela pada ketiga rumah diposisi-

kan sedemikian rupa agar memungkinkan

terja-dinya ventilasi silang pada tiap bagian

bangu-nan untuk memanfaatkan pencahayaan

dan penghawaan alami. Ketiga rumah

memiliki jumlah jendela yang cukup banyak.

Hampir tiap ruang terpasang jendela (lampiran

1). Pintu dan jendela pada ketiga rumah

merupakan adaptasi dari iklim tropis di

Indonesia.

B. Lubang angin

Hampir setiap ruang pada ketiga rumah meng-

aplikasikan lubang angin, sebagai ventilasi

udara untuk memungkinkan sirkulasi keluar

masuknya udara. Lubang angin pada ketiga

rumah memiliki tampilan yang bervariasi

(lampiran 7). Penggunaan lubang angin

merupakan respon terhadap iklim tropis.

C. Bovenlicht

Bovenlicht merupakan bukaan yang posisinya

lebih tinggi dibanding pintu dan atau jendela.

Rumah I dan III menggunakan bovenlicht yang

dipasang menyatu di atas beberapa pintu beru-

pa lubang dengan terali vertikal dan

horizontal. Ruang tanpa jendela di rumah I

menggunakan bovenlicht berlubang yang

terpisah dari pintu (lampiran 8). Bovenlicht

berlubang tersebut memungkinkan

pencahayaan dan penghawaan alami masuk ke

dalam ruang, sebagai respon untuk

memanfaatkan iklim tropis. Kedua rumah

tersebut juga menggunakan bovenlicht bentuk

lengkung dengan penutup kaca (lampiran 9).

Elemen tersebut mirip dengan bovenlicht di

Eropa yang berfungsi memasukkan cahaya

matahari dan menjaga ruang dari suhu dingin.

D. Kaca patri

Kaca patri digunakan sebagai material boven-

licht pada rumah I dan III . Kaca ini juga digu-

nakan sebagai ornamen pada pintu di rumah I

dan II (lampiran 9). Penggunaan kaca patri

pada ketiga rumah dikarenakan mengikuti tren

arsitektur pada masa kolonial yang diperkenal-

kan Belanda saat masuk ke Indonesia.

E. Tegel

Lantai di rumah I dan III menggunakan

materi-al tegel berukuran 20x20 cm. Berdasar

hasil wawancara, rumah II dulu juga

menggunakan material lantai yang sama,

namun sudah dire-novasi dan diganti

menggunakan keramik. Penggunaan tegel pada

rumah II masih dapat dilihat pada reruntuhan

bekas dapur dan kamar anak. Tegel adalah

jenis lantai yang terbuat dari bahan dasar

berupa campuran pasir dan semen. Tegel yang

digunakan pada rumah I adalah tegel dengan

motif flora bervariasi dan tegel polos yang

ditata dengan pola tertentu. Sedangkan pada

rumah III digunakan tegel polos berwarna abu-

abu dan kuning yang ditata membentuk pola

tertentu (lampiran 10). Peng-gunaan tegel

diperkenalkan oleh Belanda dan menjadi

karakter dari bangunan kolonial. Permukaan

tegel memberi efek dingin dan tidak

memantulkan panas karena tidak licin,

sehingga dapat menjaga suhu di dalam rumah

dan sesuai dengan iklim tropis di Indonesia.

Page 7: ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

Najmi Muhamad Bazher, Arabic Ethnic Houses…

31

F. Dinding tebal

Massa utama pada ketiga rumah memiliki

dinding dengan tebal 30 cm. Dinding tebal

seperti ini merupakan salah satu karaker dari

arsitektur bangunan kolonial.

G. Plafon

Massa utama pada rumah I dan III mengguna-

kan triplek sebagai material plafon. Plafon

pada rumah II direnovasi dan diganti menggu-

nakan plafon gypsum. Ruang makan rumah I

dan massa utama rumah III menggunakan

plafon triplek dengan balok kayu vertikal dan

horizontal yang diekspos (lampiran 11). Plafon

seperti ini termasuk karakter dari gaya art

deco dan art nouveau yang merupakan tren

gaya bangunan kolonial Belanda di Indonesia. H. Perabot

Ruang keluarga pada rumah I menggunakan

perabot berupa amben dan bantal, sedangkan

pada rumah II menggukan karpet (lampiran 6).

Perabot seperti ini sama dengan perabot yang

digunakan pada rumah di Yaman.

I. Foto keluarga

Pada ruang tamu rumah I dan III ditemui foto

orang tua pemilik rumah yang berasal dari Ha-

dhramaut (lampiran 12). Penggunaan silislah

keluarga sebagai hiasan dinding di rumah

mirip dengan kondisi di Yaman. Kasus

berbeda dite-mui pada rumah II yaitu hiasan

dinding berupa foto habib (lampiran 12).

Dituliskan oleh Sha-hab (2005) bahwa foto

ulama sering digunakan sebagai hiasan

dinding di rumah maupun di tempat kerja oleh

masyarakat Arab di Indone-sia. Hal ini

dikarenakan habib dianggap seba-gai panutan,

terutama oleh golongan sayid.

J. Dekorasi islami

Kaligrafi berupa tulisan potongan ayat Al-

Qur’an atau simbol Allah dan Muhammad,

serta foto Masjid al-Haram digunakan sebagai

dekorasi pada beberapa ruang di ketiga rumah.

Dekorasi tersebut digantung di dinding (lampi-

ran 13). Penggunaan dekorasi islami sesuai

dengan konsep rumah dalam peradaban Islam

yang tidak memakai patung sebagai dekorasi.

3.3 Elemen Eksterior Bangunan

A. Tampilan Pintu

Ketiga rumah menggunakan tipe pintu kayu

dengan dua daun pintu. Pintu tersebut berpanel

dengan pola geometris dan bermotif garis

lurus (lampiran 14). Pola geometris dan

streamline sesuai dengan karakter art deco

yang menjadi salah satu tren bangunan

kolonial di Indonesia.

B. Tampilan Jendela

Salah satu tipe jendela pada rumah I menggu-

nakan krepyak (jalusi) yang memungkinkan

udara dan cahaya masuk ke dalam ruang walau

jendela dalam keadaan tertutup, serta

menurun-kan perambatan panas ke dalam

ruang (lampi-ran 15). Jendela krepyak sering

ditemui pada rumah tua etnis Arab di

Kampung Arab Pasar Kliwon. Jendela ini

diperkirakan diperkenalkan oleh Belanda

karena jendela tersebut sering ditemui pada

bangunan tua di Eropa dan ba-ngunan kolonial

Belanda di Indonesia. Jendela krepyak sesuai

dengan iklim tropis Indonesia.

Rumah I dan III memiliki tipe jendela berlapis

tiga (lapis I jendela kaca; lapis II jendela kayu

tertutup sebagian; lapis III jendela kayu tertu-

tup penuh) yang memberi fleksibilitas peng-

gunaan jendela, menyesuaikan kondisi cuaca

dan penggunaan ruang (lampiran 15). Sedang-

kan jendela pada rumah II terdiri dari 2 lapis

(lapis I jendela kaca; lapis II jendela kayu).

Jendela berlapis diperkirakan diperkenalkan

oleh Belanda karena sering ditemui pada ba-

ngunan di Eropa, yang berfungsi

menyesuaikan cuaca pada empat musim.

Jendela ketiga rumah memiliki kesamaan yaitu

tiap bingkai jendela terdiri dari dua panel, atas

dan bawah, yang dapat dibuka-tutup secara

ter-pisah (lampiran 15). Jendela tersebut

banyak di-temui pada rumah tua di Surakarta.

Diperkira-kan penggunaan jendela tipe ini di

ketiga rumah dikarenakan tren pada periode

tersebut. Jendela ini sesuai dengan iklim

tropis. Bila sinar mata-hari terik, panel atas

ditutup untuk menghalangi panas, dan angin

masuk dari panel bawah.

C. Terali

Jendela pada ketiga rumah dilengkapi dengan

terali besi. Terali digunakan sebagai pengaman

dan hiasan. Penggunaan material logam

berupa besi sebagai terali diperkenalkan oleh

Belanda. Terali ketiga rumah berpola sama

berupa susu-nan besi vertikal dengan besi

horizontal yang membagi bagian tengahnya

(lampiran 15). Pola geometris dan streamline

terali tersebut sesuai dengan karakter art deco,

Page 8: ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 25-38

32

yang menjadi salah satu tren bangunan

kolonial di Indonesia.

D. Dekorasi dinding

Ketiga rumah memiliki dekorasi dinding dari

beton pada eksterior bangunan. Dekorasi yang

digunakan berupa streamline dan bentuk geo-

metris (lampiran 16). Pola seperti itu sesuai

dengan karakter art deco yang menjadi salah

satu tren dari bangunan kolonial di Indonesia.

E. Gavel / Gable

Gable adalah bentuk segitiga atau bentuk lain-

nya mengikuti konstruksi atap yang berada

pada ujung bangunan (Sumalyo, 1993).

Terlihat ga-vel yang mengikuti bentuk atap

pelana pada bagian belakang atap massa utama

rumah I dan bagian depan atap massa toko

rumah III (lam-piran 17). Keduanya dihiasi

pola geometris yang sama berupa garis yang

membentuk segi-tiga dengan lingkaran di

dalamnya. Sedangkan pada bagian depan atap

massa utama rumah I menggunakan stepped

gable, yaitu gable yang berundak. Gable

tersebut tidak mengikuti ben-tuk atap dan

hanya digunakan sebagai dekorasi.

Penggunaan gable/gavel merupakan salah satu

karakter dari bangunan kolonial Belanda.

F. Warna

Ketiga rumah menggunakan warna pastel te-

rang. Rumah I berwarna biru muda; rumah II

berwarna putih; rumah 3 berwarna krem (lam-

piran 16). Penggunaan warna pastel sesuai de-

ngan karakter art nouveau dari Eropa yang

menjadi salah satu tren bangunan kolonial di

Indonesia. Di sisi lain, penggunaan warna te-

rang juga sesuai dengan karakter arsitektur tro-

pis. Warna terang memiliki penyerapan radiasi

matahari yang kecil, jadi rumah tidak panas.

Warna cat pada bagian toko rumah 1 diganti

warna kuning-krem agar lebih menarik.

G. Bentuk Atap

Atap yang digunakan pada ketiga rumah

adalah atap miring yang sesuai untuk daerah

berikilim tropis dengan curah hujan yang

cukup tinggi. Atap miring berfungsi untuk

mengalirkan air hujan. Kemiringan atap tidak

terlalu curam se-perti di Eropa yang berfungsi

agar salju turun dengan cepat. Kemiringan

atap digunakan un-tuk menyimpan panas

antara atap dan plafon, sehingga panas tidak

langsung masuk ke ruang di bawahnya. Rumah

I beratap pelana pada massa utama dan beratap

sandar pada zona ser-vis; rumah II beratap

limasan pada massa uta-ma dan beratap sandar

pada zona servis; rumah III beratap pelana

pada massa toko dan beratap limasan pada

massa utama (lampiran 17).

H. Teritis

Teritis atau tritisan (overstek, awning)

merupa-kan bagian dari bangunan atap

tambahan yang berdiri sendiri atau berupa

perpanjangan dari atap utama (Sukawi, 2008).

Ketiga rumah me-makai teritis sebagai

perpanjangan atap dengan panjang ±80 cm

(lampiran 17). Penggunaan te-ritis sesuai

dengan iklim tropis Indonesia. Teri-tis dapat

melindungsi dari tempias air hujan serta

mengalirkan air hujan. Selain itu, teritis juga

dapat menjadi pembayang sinar matahari.

I. Genteng Tanah Liat

Ketiga rumah menggunakan genteng tanah liat

sebagai material penutup atap (lampiran 17).

Penggunaan genteng tanah liat di Indonesia di-

galakan oleh pemerintah Belanda pada masa

penjajahan, dengan alasan kesehatan. Genteng

tanah liat sesuai dengan iklim tropis Indonesia

karena dapat menyesuaikan kondisi cuaca,

yaitu membuat ruang sejuk saat cuaca panas

dan memberi kehangatan saat cuaca dingin.

J. Selasar

Ruang-ruang pada zona servis di ketiga rumah

diakses melalui selasar (lampiran 18). Selain

sebagai sirkulasi, selasar juga berfungsi meng-

halau sinar matahari yang masuk sehingga

temperatur ruangan lebih rendah. Penggunaan

selasar sesuai dengan iklim tropis Indonesia.

K. Tampilan Ruang Belakang

Ruang belakang ketiga rumah terpisah dari

massa utama. Pada rumah I dan II, tampilan

ru-ang belakang terdiri dari selasar dan atap

san-dar yang ditopang kolom-kolom kayu

(lampi-ran 18). Tampilan yang demikian

menyerupai tampilan arsitektur lokal di Jawa.

Tampilan ruang belakang pada rumah III

berbeda dikare-nakan terdiri dari dua lantai.

L. Pagar

Pagar pada rumah II berupa kombinasi beton

dan bambu yang tertutup dengan tinggi ± 2m.

Sedangkan pagar pada rumah III berupa kom-

binasi beton dan terali besi yang tidak masif

dengan tinggi ± 2m. Pagar tinggi tertutup ini

dikarenakan adanya konflik antara etnis Arab

dengan masyarakat pribumi pada masa lalu.

Page 9: ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

Najmi Muhamad Bazher, Arabic Ethnic Houses…

33

Politik adu domba Belanda terhadap antar

etnis di Indonesia memberikan akibat

meskipun te-lah merdeka dari Belanda.

Beberapa kali kon-flik terjadi pada tahun

1970-an, antara komuni-tas etnis Arab dengan

pribumi di Surakarta, akibat perasaan saling

curiga (Hastuti, 2008). Diperkeruh lagi oleh

peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Solo dengan

kaum etnis minoritas menjadi korbannya.

Rumah I kini tidak mem-punyai pagar karena

adanya renovasi rumah menjadi toko. Dulu

rumah ini memakai pagar beton rendah. Pagar

rendah tersebut sama kon-disinya dengan

masyarakat Jawa pada umum-nya yang

memfungsikan pagar hanya sebagai pembatas

rumah. Pagar seperti ini terlihat pada beberapa

rumah tua etnis Arab di Pasar Kliwon.

4. KESIMPULAN

Rumah tinggal sebagai wadah terjadinya

kegia-tan sehari-hari seseorang, selalu

diwarnai oleh karakteristik kebudayaan

penghuninya. Pele-buran budaya (akulturasi)

Arab, Islam, Indone-sia, dan Belanda

ditemukan pada elemen arsi-tektur rumah tua

etnis Arab di Kampung Arab Pasar Kliwon.

Hal tersebut dapat terlihat dari adanya

eklektisme (percampuran) elemen arsi-tektur

rumah tinggal Arab (khususnya Yaman),

arsitektur rumah islami, arsitektur tropis Indo-

nesia, dan arsitektur kolonial Belanda pada po-

la ruang, elemen interior, dan eksterior rumah.

Budaya dalam berkehidupan sehari-hari Ha-

dhrami dibawa saat bermigrasi ke Indonesia

dan diterapkan pada perancangan dan

penataan rumah tinggal. Karakter arsitektur

rumah ting-gal di Arab, khususnya Yaman,

terlihat melalui keberadaan pintu samping,

courtyard, perabot berupa karpet atau amben,

dan foto keluarga pada rumah tua etnis Arab di

Kampung Arab Pasar Kliwon. Adapun elemen

arsitektur yang muncul akibat karakter budaya

etnis Arab di Indonesia yaitu adanya pintu

butulan, ruang kegiatan ekonomi, dan foto

ulama/habib.

Kepercayaan atau agama merupakan unsur ke-

budayaan yang menjadi dasar dan paling susah

untuk berubah. Konsep agama diterapkan oleh

imigran Hadhrami yang beragama Islam pada

perancangan dan penataan rumah tinggal. Ka-

rakter arsitektur berkonsep Islam terlihat

dengan keberadaan pembatas fisik antara zona

publik dan privat, courtyard, ruang menerima

tamu (tabhane), dan dekorasi islami pada

rumah tua etnis Arab di Kampung Arab Pasar

Kliwon. Budaya Islam juga terlihat dengan

adanya ru-ang kegiatan ekonomi untuk

berdagang.

Adaptasi perlu dilakukan saat makhluk hidup

menempati habitat baru. Begitu pula imigran

Hadhrami yang menetap dan bertempat

tinggal di Indonesia. Adaptasi terhadap iklim

tropis lembab di Indonesia dilakukan pada

peranca-ngan rumah tua etnis Arab di

Kampung Arab Pasar Kliwon yang

menggunakan jendela dan pintu untuk

ventilasi silang, lubang angin, bovenlicht

berlubang, berdenah tipis, genteng tanah liat,

berwarna terang, atap miring, teritis, dan

selasar. Kondisi dan budaya lokal juga ber-

pengaruh pada tampilan ruang belakang,

jende-la 2 panel (atas-bawah), dan ketinggian

pagar.

Keberadaan penjajah Belanda memberikan pe-

ngaruh pada pola hidup masyarakat di Indone-

sia seperti dalam hal bermukim. Aliran seni

Eropa menjadi tren gaya bangunan yang diper-

kenalkan oleh arsitek-arsitek Belanda dan

dike-nal sebagai arsitektur kolonial.

Bangsawan dan saudagar kaya seringkali

meniru gaya tersebut untuk rumah tinggalnya

yang disebut rumah landhuis. Begitu pula

orang keturunan Arab yang pada masa itu

sudah banyak yang bersta-tus ekonomi tinggi.

Karakter arsitektur kolonial Belanda pada

rumah tua etnis Arab di Kam-pung Arab Pasar

Kliwon terlihat pada organi-sasi ruang, kaca

patri, dinding tebal, plafon, tampilan pintu,

terali besi, dekorasi dinding eksterior, dan

gavel/gable. Adapun elemen arsitektur

kolonial Belanda pada rumah tua etnis Arab

yang sesuai dengan kondisi iklim tropis yaitu

jendela krepyak, jendela berlapis, tegel,

berdenah tipis, bovenlict kaca, berwarna pastel

terang, dan genteng tanah liat.

DAFTAR PUSTAKA

Ashworth, G.J, B.J. Graham, J.E. Tunbridge.

(2007). Pluralising Pasts: Heritage,

Identity and Place in Multicultural

Societies. London : Pluto.

Page 10: ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 25-38

34

Bazher, Najmi Muhamad, Kusumaningdyah

Nurul Handayani, Tri Yuni Iswati.

(2017). Penerapan Sense of Place

sebagai Upaya Konservasi Kawasan :

Studi Kasus pada Kampung Arab Pasar

Kliwon. Arsitektura, Vol.15, No. 2.

http://dx.doi.org/10.20961/arst.v15i2.

15204 Christian, F. (1992). Wujud Arsitektur sebagai

Ungkapan Sosial Budaya Manusia.

Yogyakarta : Universitas Atmajaya.

Frick, Heinz. (1997). Pola Struktural dan

Teknik Bangunan di Indonesia.

Yogyakarta : Yayasan Kanisius.

Harsojo. (1984). Pengantar Antropologi.

Bandung : Binacipta.

Hastuti, Fajar Endang. (2008). “Potensi dan

Pengembangan Kampung Etnik

Arabsebagai Aset Wisata di Surakarta”,

Laporan Tugas Akhir. Program Studi

Usaha Perjalanan Wisata FSSR UNS.

Ibn Haj, Mulhany dkk. (1992). Enam Puluh

Satu Tanya Jawab tentang Jilbab.

Bandung : Espe Press

Irawan, Prasetya. (2007). Penelitian Kualitatif

dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial.

Depok:Dep. Ilmu Administrasi FISIP

UI.

Kesheh, Natalie. (2007). Hadhrami

Awakening Kebangkitan Hadhrami

Indonesia. Jakarta : Akbar.

Moleong, Lexy. (2007). Metode Penelitian

Kualitatif. Bandung:PT Remaja Rosda

Karya

Kluckhohn, Clyde. (1953). Universal

Categories of Culture. Chicago :

University Press.

Koentjaraningrat, (1985). Pengantar Ilmu

Antropologi. Jakarta : Aksara Baru.

Petherbridge, Guy T. (1989). Vernacular

Architecture: The House and Society.

Prasetyo, Himawan. (2001). “Wajah Kauman

Surakarta 1910-1930”, Skripsi. Jurusan

Ilmu Sejarah FIB UGM.

Rahim, R. (2012). Fisika Bangunan untuk

Area Tropis. Bogor : IPB Press.

Rapoport, Amos. (1981). Identity and

environment: A Cross-Cultural Perspec-

tive. In Housing and Identity: Cross-

Cultural Perspecrives. Diedit oleh J. S,

Duncan, London: Croom Helm.

Shahab, Yasmine Zaki. (2005). Sistem Kekera-

batan sebagai Katalisator Peran Ulama.

Keturunan Arab di Jakarta dalam

Antropologi Indonesia, Vol. 29, No. 2.

Soekiman, Djoko. (2011). Kebudayaan Indis:

Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi

Jakarta : Komunitas Bambu.

Soekiman, Djoko. (2000). Kebudayaan Indis.

Yogyakarta : Bentang.

Sumalyo, Yulianto. (1993). Arsitektur

Kolonial Belanda di Indonesia.

Yogyakarta : Gadjah Mada University

Press.

Susanti, Anna. (2014). Membangun Rumah

dengan Perspektif Islam. Bandung :

Oase Buku

T. Hall, Edward. (1966). The Hidden Dimen-

sion. USA : Doubleday & Company.

Usman, S. (2009). Perjalanan Sejarah

Ekonomi Indonesia.

Van den Berg, L.W.C. terjemahan Rahayu

Hidayat. (1989). Hadhramaut dan

Koloni Arab di Nusantara. Jakarta :

INIS.

Wardani, Laksmi Kusuma. (2009). Gaya

Desain Kolonial Belanda Pada Interior

Gereja Katolik Hati Kudus Yesus

Surabaya. Universitas Kristen Petra.

Surabaya.

Page 11: ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

Najmi Muhamad Bazher, Arabic Ethnic Houses…

35

LAMPIRAN

Lampiran 1. Pola ruang rumah tua etnis Arab di Kampung Arab Pasar Kliwon yang menjadi kasus studi,

Lampiran 2. Pintu pembatas antara zona publik dan privat pada rumah tua etnis Arab di Kampung Arab

Pasar Kliwon, sebagai hijab untuk menutupi kegiatan privat sesuai prinsip arsitektur Islam,

Lampiran 3. Pintu samping sebagai akses masuk untuk wanita menuju ke ruang privat, mendukung

pembagian zona publik-privat sesuai karakter arsitektur di Arab,

Page 12: ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 25-38

36

Lampiran 4. Courtyard di belakang rumah sesuai karakter rumah di Arab dan rumah dalam peradaban

Islam,

Lampiran 5. Pintu butulan menghubungkan ke rumah tetangga, sesuai karakter kekeluargaan orang Yaman,

Lampiran 6. Ruang keluarga yang juga digunakan untuk menerima tamu (tabhane), sesuai dengan konsep

rumah dalam peradaban Islam. Perabot berupa amben dilapis karpet dengan bantal seperti perabot di Yaman,

Lampiran 7. Lubang angin sebagai respon terhadap iklim tropis.

Lampiran 8. Bovenlicht berlubang yang sesuai dengan iklim tropis,

Lampiran 9. Penggunaan kaca patri pada pintu dan bovenlicht yang menjadi tren bangunan kolonial

Belanda,

Page 13: ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

Najmi Muhamad Bazher, Arabic Ethnic Houses…

37

Lampiran 10. Penggunaan tegel diperkenalkan oleh Belanda dan sesuai dengan iklim tropis di Indonesia,

Lampiran 11. Plafon dengan balok kayu vertikal dan horizontal yang diekspos sesuai dengan karakter gaya

art deco dan art nouveau yang merupakan tren dari bangunan kolonial Belanda di Indonesia.

Lampiran 12. Pemasangan foto silsilah keluarga sesuai dengan kebiasaan di Yaman; pemasangan foto habib

sering dilakukan oleh keturunan Arab di Indonesia;

Lampiran 13. Pemasangan dekorasi islami di rumah tu etnis Arab sesuai dengan prinsip Islam ,

Lampiran 14. Pintu dua panel dengan motif geometris dan streamline sesuai dengan karakter gaya art deco

yang menjadi tren bangunan kolonial Belanda di Indonesia,

Page 14: ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38 Jurnal

Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 25-38

38

Lampiran 15. Jendela dan terali besi pada rumah tua etnis Arab dengan pengaruh arsitektur kolonial

Belanda, tren lokal, dan penyesuaian iklim tropis Indonesia,

Lampiran 16. Dekorasi dinding eksterior dengan pola streamline dan geometris sesuai dengan karakter gaya

art deco; warna dinding pastel terang sesuai dengan arsitektur tropis dan karakter gaya art nouveau ,

Lampiran 17. Penggunaan bentuk atap miring, gavel/gable, genteng tanah liat, dan teritis pada rumah tua

etnis Arab dengan pengaruh arsitektur kolonial Belanda dan penyesuaian iklim tropis Indonesia,

Lampiran 18. Tampilan ruang belakang dengan atap miring, selasar, dan kolom kayu serupa dengan

arsitektur vernakular di Jawa dan sesuai dengan iklim tropis,