Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ARSITEKTURA Vol 16, No.1, 2018; halaman 25-38
Jurnal Ilmiah Arsitektur dan Lingkungan Binaan ISSN:1693-3680 (PRINT) E- ISSN:2580-2976 (ONLINE)
https://jurnal.uns.ac.id/Arsitektura DOI: http://dx.doi.org/10.20961/arst.v16i1.16350
ARABIC ETHNIC HOUSES IN KAMPUNG ARAB
PASAR KLIWON AS THE PRODUCT OF ACCULTURATION
RUMAH TUA ETNIK ARAB DI KAMPUNG ARAB
PASAR KLIWON SEBAGAI HASIL AKULTURASI
Najmi Muhamad Bazher* MENARA, Study and Research Center of Arab Ancestry in Indonesia
Email : [email protected]*
Abstract
The wave of migration to Indonesia cause multiculturalism in their communities. Acculturation
happened when the imigrant’s culture meet and blend with the native’s culture. Hadhrami
immigrants came and stayed in Indonesia, bringing their original culture from Yaman. Islam
as their religion became the important part of their life and effecting the culture, wherever they
live. Adapting to the native culture and local condition was needed when they chose to settle in
Indonesia. Dutch colonization at that time effected Indonesian society’s way of life, so are the
immigrants. Socio-cultural dynamics will influence and expressed by architecture form. The
objective of this study was to identify acculturation between Arab, Islam, Indonesia, and Dutch
culture on architecture of Arab’s antique houses in Kampung Arab Pasar Kliwon. Research
method used in this study is qualitative-explorative and using descriptive as analysis method.
Acculturation between Arab, Islam, Indonesia, and Dutch cultures on the Arab’s antique
houses in Kampung Arab Pasar Kliwon, found through the existence of Arab vernacular
architecture, islamic concept architecture, tropical-humid architecture, and Dutch colonial
architecture on the design program, interior elements, and exterior elements.
Keywords: acculturation, Arab-Indonesian, antique house, kampung Arab, Pasar Kliwon.
1. PENDAHULUAN
Sejak dulu, Indonesia memiliki kontak dagang
dengan bangsa asing, khususnya India, Arab,
Cina, dan Eropa (Usman, 2009). Gelombang
migrasi dari luar negeri ke nusantara menye-
babkan keberagaman budaya (multikulturalis-
me) (Ashworth dkk, 2007). Imigran berke-
budayaan tertentu tersebut mengalami kontak
sosial dengan kebudayaan asing di tempat
baru, hingga terjadi penyesuaian budaya yang
disebut akulturasi (Koentjaraningrat, 1985).
Berbeda dengan warga timur asing lainnya,
yaitu Cina dan India yang relatif terpisah de-
ngan kaum pribumi, imigran Arab (mayoritas
dari Hadhramaut, Yaman) sejak semula me-
nyatu dengan pribumi (Kesheh, 2007). Hal ini
dikarenakan adanya persamaan kepercayaan
yaitu agama Islam (Kesheh, 2007). Imigran
Arab tersebut tidak hanya datang ke Indonesia
untuk berdagang, namun juga untuk
menyebar-kan agama. Ajaran dari agama
tersebut mem-bentuk kebudayaan Islam yang
melebur dengan kebudayaan Arab yang
dibawa oleh kaum Hadhrami (warga dari
Hadhramaut). Persama-an agama juga
mendorong terjadinya perkawi-nan antara
imigran Hadhrami dengan wanita pribumi
(Kesheh, 2007) hingga terjadi pen-campuran
budaya Arab dengan Indonesia. Hal lain yang
menyebabkan persatuan antara kaum
Hadhrami dengan pribumi adalah perju-angan
melawan penjajahan dari Belanda (Ke-sheh,
2007). Keberadaan penjajah Belanda
memberikan pengaruh pada pola hidup masya-
rakat di Indonesia seperti dalam hal bermukim.
Pihak koloni menerapkan politik wijkenstelsel
Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 25-38
26
atau passen stelsel dibuat untuk mengisolasi
warga timur asing (termasuk Hadhrami) dari
pribumi melalui penempatan pada kawasan
tersendiri (Kesheh, 2007). Kawasan tempat di
mana orang Arab tersebut tinggal selanjutnya
dikenal sebagai kampung Arab. Menurut F.
Christian (1992), dinamika sosial-budaya akan
sangat mempengaruhi dinamika arsitektur.
Sehingga proses akukturasi yang ter-jadi dapat
diidentifikasi melalui obyek arsitek-tur.
Arsitektur rumah di Jazirah Arab sebagai hasil
budaya Arab, arsitektur rumah islami yang
mewujudkan konsep ajaran Agama Islam,
arsitektur bangunan kolonial dengan pengaruh
Belanda, dan arsitektur tropis dengan
pengaruh budaya serta konteks tropis
Indonesia yang masing-masing memiliki
karakter.
Solo merupakan salah satu kota tua di Indone-
sia yang menyimpan berbagai peninggalan
kebudayaan dari bermacam etnik (Himawan,
2001). Oleh karena itu, Solo dirasa tepat digu-
nakan sebagai lokasi penelitian untuk melacak
sejarah akulturasi etnis Arab. Etnis Arab di
Solo bermukim di Kampung Arab Pasar Kli-
won. Obyek arsitektur sebagai obyek
penelitian yang dipilih adalah bangunan
berumur di atas 50 tahun (sesuai kriteria
konservasi) yang be-lum terkena arus
globalisasi, sehingga akar bu-dayanya masih
dapat terlacak. Elemen fisik yang signifikan
membentuk suasana atau sense of place
Kampung Arab Pasar Kliwon adalah rumah
tua milik etnis Arab (Bazher dkk, 2017).
Bangunan tersebut dipilih sebagai obyek studi
karena sesuai dengan kriteria obyek penelitian.
Menurut Amos Rapoport (1981), arsitektur
adalah ruang tempat hidup manusia yang lebih
dari sekedar fisik, tapi juga menyangkut prana-
ta-pranata budaya dasar. Dikatakan oleh Clyde
Kluckhohn (1953) bahwa arsitektur tergolong
peralatan dan perlengkapan hidup manusia
yang termasuk dalam tujuh unsur kebudayaan
universal. Kebudayan seseorang dapat terlihat
pada arsitektur rumah tinggalnya. Dalam kasus
ini, rumusan masalahnya adalah sejauhmana
peleburan kebudayaan Arab, Islam, Indonesia,
dan Belanda pada arsitektur rumah tua etnis
Arab di Kampung Arab Pasar Kliwon?
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji hubu-
ngan antara budaya dengan elemen arsitektur
dan mengidentifikasikan peleburan antara ke-
budayaan Arab, Islam, Indonesia, dan Belanda
pada arsitektur rumah tua etnis Arab di Kam-
pung Arab Pasar Kliwon, Surakarta. Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka sasaran dalam
penelitian ini adalah mengidentifikasi elemen
arsitektur Arab (khususnya Yaman), arsitektur
Islam, arsitektur tropis Indonesia, dan
arsitektur kolonial Belanda di Indonesia pada
pola ruang, interior, dan eksterior rumah tua
etnis Arab di Kampung Arab Pasar Kliwon,
Surakarta. Menurut E. B. Tylor, kebudayaan
adalah kom-pleks yang mencakup
pengetahuan, kepercaya-an, moral, hukum,
kesenian, adat, dan kebiasaan yang didapatkan
oleh manusia sebagai anggota dari masyarakat.
Fenomena yang timbul seba-gai hasil, jika
kelompok-kelompok manusia dengan
kebudayaan yang berbeda bertemu dan
mengadakan kontak secara langsung dan terus-
menerus, yang kemudian menimbulkan
peruba-han dalam pola kebudayaan yang
original dari salah satu kelompok atau pada
keduanya, dise-but akulturasi (Harsojo, 1984).
Proses akultura-si diawali dengan fase
akomodasi yaitu saat suatu kelompok dengan
kelompok lain saling berkompromi/bersepakat
terhadap suatu hal sehingga menimbulkan
perdamaian (Koentara-ningrat, 1985). Fase
selanjutnya adalah asimi-lasi yaitu suatu
proses sosial yang telah lanjut (berlangsung
lama), ditandai oleh kurangnya perbedaan
antar individu dan antar kelompok, serta
makin eratnya persatuan aksi, sikap, dan
proses mental yang berhubungan dengan
kepentingan bersama (Harsojo, 1984). Guy T.
Petherbridge (1989) menyatakan bah-wa
prinsip rumah tinggal masyarakat Arab antara
lain adanya pembagian ruang publik dan ruang
privat, adanya pintu samping, dan kebe-radaan
courtyard. Edward T. Hall (1966) men-
jelaskan bahwa pembagian ruang dilakukan
karena budaya yang berkembang di
masyarakat Arab tentang persepsi publik dan
privat, bukan karena agama. Ruang publik
biasanya diperun-tukkan bagi ruang laki-laki
(birun) untuk menerima tamu dan bekerja.
Sedangkan ruang privat diperuntukkan bagi
wanita (anderun/ha-rem) seperti ruang tidur,
ruang keluarga, ruang makan, dan dapur.
Pemisahan ruang tersebut didukung dengan
Najmi Muhamad Bazher, Arabic Ethnic Houses…
27
pemberian akses masuk un-tuk wanita menuju
ke ruang privat berupa pintu samping. Di
belakang rumah terdapat halaman/ courtyard
(Berg, 1989) sebagai respon iklim Arab yang
panas kering di siang hari. L.W.C. van den
Berg (1989) mengatakan bahwa pera-bot
orang kaya maupun miskin di Yaman sangat
sederhana; orang duduk di lantai yang ditutup
permadani atau tikar dengan bantal. Klen
besar patrilineal (keturunan keluarga) amat
jelas eksistensinya pada orang Arab di mana
pun dia berada dan gambaran ini meru-pakan
karakteristik yang dominan dari orang Arab di
tanah asal mereka, Hadhramaut. Ma-syarakat
Hadhramaut hidup dalam kelompok-kelompok
yang dinamakan qabilah yaitu kelompok
patrilineal (Shahab, 2005). Kebang-gaan dan
kepedulian sebagai anggota satu klen tampak
pada kepedulian mereka untuk menge-tahui
dan menyimpan silsilah keluarga. Meru-pakan
hal yang biasa di rumah orang Arab memiliki
silsilah keturunan yang dijadikan hiasan
dinding di rumahnya (Shahab, 2005).
Salah satu perwujudan ajaran Islam pada
rumah tinggal adalah mengaplikasikan hijab.
Hijab/tabir adalah penutup atau sesuatu yang
memisahkan/membatasi baik berupa tembok,
bilik, korden, kain dan lain-lain (Mulhandy
dkk, 1992). Islam mengharamkan patung
sebagai dekorasi di dalam rumah orang Islam.
Konsep rumah dalam peradaban Islam antara
lain memiliki tabhane yaitu ruang utama seba-
gai tempat menerima tamu dan courtyard yaitu
taman di dalam rumah (Susanti, 2014).
Arsitektur Tropis adalah suatu konsep bangu-
nan yang mengadaptasi kondisi iklim tropis.
Indonesia memiliki iklim yang tergolong iklim
topis panas lembap. Faktor iklim yang mempe-
ngaruhi kenyamanan pada bangunan antara
lain radiasi matahari, curah hujan, temperatur,
ke-lembapan, dan gerakan udara. Penggunaan
tritisan, atap miring, dan warna cat terang
merupakan respon dari terik matahari dan
curah hujan yang tinggi. Sinar matahari dapat
dimanfaatkan sebagai pencahayaan alami
dengan respon bangunan berupa penggunaan
bukaan (jendela, pintu, bouvenlight) berjumlah
banyak dan melalui orientasi serta bentuk
denah bangunan. Pengha-waan alami pada
bangunan didukung dengan penggunaan dan
peletakan bukaan (jendela, pintu, lubang
angin) untuk memungkinkan terjadinya
ventilasi silang. (Rahim, 2012)
Arsitektur kolonial adalah arsitektur
cangkokan dari negeri induknya Eropa ke
daerah jajahan-nya, dan arsitektur kolonial
Belanda adalah arsitektur Belanda yang
dikembangkan di Indo-nesia (Soekiman,2011).
Arsitektur kolonial Belanda adalah gaya
desain yang dipopularkan oleh Belanda,
memiliki ciri antara lain tampak simetris,
material dari batu bata atau kayu tanpa
pelapis, entrance mempunyai dua daun pintu,
pintu masuk terletak di samping bangu-nan,
denah simetris, jendela besar berbingkai kayu,
dan terdapat dormer/bukaan pada atap
(Wardani, 2009). Elemen arsitektur lainnya
yang sering digunakan pada arsitektur kolonial
adalah gavel (gable), dinding tebal, ornament
dekoratif (ragam hias), dan jendela tinggi.
Gaya bangunan kolonial empire style diterap-
kan pada bangunan rumah tinggal yang disebut
landhuis. Landhuis berasal dari kata landhui-
zen yaitu gaya hidup yang berasal dari akultu-
rasi budaya Belanda dengan pribumi yang cu-
kup mampu meniru tata cara hidup Belanda,
dalam hal ini adalah style rumah tinggalnya
(Soekiman, 2000). Ciri-ciri gaya ini adalah de-
nah simetri, beratap perisai, berkesan terbuka,
terdapat pilar di serambi depan dan belakang,
di dalam rumah terdapat serambi tengah atau
lorong menuju ke ruang tidur. Serambi bela-
kang sering digunakan sebagai ruang makan
yang terhubung ke daerah servis yang terpisah
dari massa utama. Organisasi ruang rumah
landhuis dapat dilihat pada gambar 1. Sekitar
tahun 1920, arsitek kolonial Belanda melaku-
kan penyesuaian dengan iklim tropis
Indonesia. Aliran gaya seni Eropa seperti art
and craft, art nouveau, dan art deco yang
menjadi tren pada periode tertentu
berpengaruh pada gaya arsitektur kolonial
yang dibangun di Indonesia.
Gambar 1. Organisasi rumah kolonial
Sumber : Frick, 1997.
Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 25-38
28
2. METODE
Penelitian mengenani fenomena peleburan
budaya yang terjadi pada arsitektur rumah tua
etnis Arab tergolong penelitian kualitatif.
Menurut Moleong (2007), penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian secara holistik, dan de-
ngan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata
dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alami-ah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah. Studi dilakukan dengan
melihat ele-men-elemen pada bangunan, yang
disebut se-bagai penelitian eksploratif
(penjajagan). Menurut Irawan (2007),
penelitian eksploratif adalah penelitian yang
digunakan untuk me-ngumpulkan data-data
awal tentang sesuatu. Identifikasi elemen
arsitekur dilakukan dengan metode deksriptif.
Masih menurut Irawan (2007), metode
deskriptif digunakan untuk mengkaji sesuatu
seperti apa adanya atau pola hubungan antara
dua atau lebih variabel. Sumber studi berupa
data primer yang didapat dari observasi
lapangan untuk melakukan pe-ngamatan fisik
rumah dan melalui wawancara, serta data
sekunder yang didapat dari studi kepustakaan.
Pengumpulan data bangunan menggunakan
metode purposive sampling, ka-rena data
rumah yang diambil sebagai sampel hanya
rumah tua etnis Arab yang sesuai dengan
kriteria bangunan cagar budaya dan berada di
kawasan Kampung Arab Pasar Kliwon.
Eksplorasi dilakukan pada tiga rumah (gambar
2) sebagai sampel untuk dieksplorasi pada stu-
di identifikasi hasil akulturasi budaya melalui
elemen rumah tua etnis Arab di Kampung
Arab Pasar Kliwon. Bangunan yang dipilih
merupa-kan rumah yang berusia lebih dari 50
tahun dengan pemilik beretnis Arab yang
berada di kawasan Kampung Arab Pasar
Kliwon.
A. Rumah I Rumah milik Bapak Umar Arfan (beretnis
Arab) berada di Jalan Kapten Mulyadi, Kam-
pung Gurawan. Bangunan ini awalnya hanya
berfungsi sebagai hunian, namun kini rumah
bagian depan dikembangkan untuk aktivitas
ekonomi menjadi toko gorden dan busana
mus-lim. Perubahan fungsi mengakibatkan
adanya perubahan penggunaan ruang, elemen
interior, dan tampilan eksterior bangunan pada
bagian depan. Diketahui dari pemilik rumah
bahwa rumah ini berusia lebih dari enam
puluh tahun.
B. Rumah II Rumah ke-2 adalah milik Bapak Shahab Mula-
hela (beretnis Arab) yang berada di Jalan Ibu
Pertiwi, Kampung Gurawan. Bangunan ini du-
lu berfungsi sebagai hunian. Kini rumah terse-
but digunakan sebagai tempat menginap bagi
para tamu Bapak Shahab. Rumah ini dibangun
pada tahun 1950 dan diwariskan kepada putra-
nya oleh sang ayah, Abdul Kadir Mulahela.
Beliau adalah kerabat dan wakil imam dari
Habib Alwi Al-Habsyi di Masjid Riyadh.
Beliau lebih dari 20 tahun menjadi imam dan
wakil imam di Masjid Riyadh. Saat beliau
masih hidup, rumah ini sering digunakan
untuk kegiatan agama, seperti majlis taklim
dan san-tunan, serta sebagai tempat singgah
dan ber-kumpul teman dan kerabat. Kegiatan
keagama-an di rumah ini masih sering
dilakukan hingga sekarang. Perubahan pada
bangunan terjadi pada plafon dan lantai massa
utama. Massa zona servis (ruang belakang)
telah dibangun ulang dengan pintu jendela
yang masih asli, serta tampilan yang mirip
dengan aslinya.
C. Rumah III Rumah ke-3 juga berada di Jalan Ibu Pertiwi,
Kampung Gurawan. Pemiliknya adalah Bapak
Gambar 2. Sampel rumah tua etnis Arab di
Kampung Arab Pasar Kliwon.
Najmi Muhamad Bazher, Arabic Ethnic Houses…
29
Umar Baraja yang beretnis Arab. Bangunan ini
berfungsi sebagai rumah tinggal yang dihuni
oleh lima orang dan seorang asisten rumah
tangga. Massa terpisah di depan dulu
berfungsi sebagai wadah aktivitas ekonomi,
namun kini tidak difungsikan lagi. Rumah ini
berusia lebih dari 60 tahun dan diwariskan
oleh ayah kepada anaknya. Bangunan ini tidak
mengalami peru-bahan signifikan pada bagian
fisik, sehingga keaslian bangunan masih dapat
dinikmati.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Elemen bangunan yang dibahas adalah yang
masih asli dan atau direkonstruksi seperti asli.
3.1 Pola Ruang
A. Organisasi ruang
Ketiga rumah memiliki organisasi ruang yang
hampir sama, yaitu rumah terbagi menjadi
massa utama dan massa zona servis (kecuali
rumah III dengan tambahan massa toko) (lam-
piran 1). Massa utama terdiri dari ruang untuk
aktivitas ekonomi dan atau menerima tamu pa-
da bagian depan, dilanjutkan dengan kamar-
ka-mar yang dihubungkan lorong atau serambi
te-ngah, dan serambi belakang untuk ruang
ma-kan. Zona servis seperti dapur, kamar
mandi, ruang cuci, dan kamar tidur pembantu
berada di belakang dan terpisah dari massa
utama. Peruangan ini menyerupai organisasi
ruang rumah kolonial seperti ilustrasi pada
gambar 2.
B. Bentuk denah
Denah ketiga rumah memiliki bentuk tipis dan
memanjang (lampiran 1). Bentuk ini memung-
kinkan tiap ruang untuk mendapat
pencahayaan dan penghawaan alami,
memanfaatkan iklim tropis Indonesia. Bentuk
bangunan yang terli-hat langsing dan kurus
(streamline) juga meru-pakan karakter gaya
art deco yang diadaptasi pada bangunan
kolonial Belanda di Indonesia.
C. Pembatas zona
Terdapat aturan tidak tertulis mengenai
pemba-gian zona pada rumah etnis Arab.
Ruang bagi-an depan seperti ruang ekonomi
dan ruang ta-mu merupakan zona publik yang
diperuntukan bagi pria. Ruang bagian
belakang seperti ruang keluarga, kamar tidur,
dapur, dan ruang makan merupakan zona
privat yang diperuntukkan bagi wanita. Hal ini
sama dengan kondisi ru-mah di Arab yaitu di
antara zona tersebut biasa diberi pembatas
yang tegas seperti pintu atau tirai. Pada ketiga
kasus rumah digunakan pem-batas berupa
pintu (lampiran 2). Pintu ini ber-fungsi sebagai
hijab untuk menutupi kegiatan di dalam
rumah, sesuai prinsip arsitektur Islam.
D. Pintu samping
Side entrance sebagai pintu masuk kedua
beru-pa pintu samping terlihat pada ketiga
rumah ini. Rumah I dan rumah II memiliki
pintu samping yang sejajar dengan bagian
depan massa uta-ma, tersambung ke zona
servis melalui lorong. Sedangkan pintu
samping pada rumah III me-nempel pada
massa zona servis yang dapat diakses dari
halaman samping. Pintu samping berfungsi
sebagai akses masuk untuk wanita menuju ke
ruang privat. Keberadaan pintu sam-ping
adalah respon dari adanya pembagian zo-na
publik dan privat yang merupakan karakter
dari arsitektur di Arab. Posisi pintu samping
dapat dilihat pada lampiran 1, sedangkan tam-
pilannya dapat dilihat pada lampiran 3.
E. Courtyard
Kesamaan lain ditemukan pada ketiga rumah
yaitu keberadaan taman di dalam rumah/court-
yard pada bagian belakang rumah (lampiran 1
dan 4). Keberadaan courtyard di belakang
rumah sesuai dengan karakter rumah di Yaman
dan konsep rumah dalam peradaban Islam.
F. Pintu butulan
Pintu butulan adalah pintu tembusan dari sam-
ping atau belakang rumah. Pintu semacam ini
ditemukan di ketiga rumah untuk
menghubung-kan rumahnya dengan rumah
tetangganya. Pin-tu butulan pada rumah I
berada di koridor ru-ang belakang; pintu
butulan pada rumah II berada di courtyard
ruang belakang (kini hanya bekasnya);
sedangkan pada rumah III berada di halaman
samping (lampiran 1 dan 5). Penggu-naan
pintu ini diperkirakan karena terbawanya
karakter orang Yaman yang suka hidup dalam
kelompok patrilineal. Saat berhijrah ke
Indone-sia, masyarakat Hadhramaut yang
berhubungan keluarga maupun tidak,
semuanya merasa saling bersaudara karena
adanya kesamaan asal tanah air. Sehingga
dibuatlah pintu butulan antarrumah etnis Arab
yang bertetangga.
Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 25-38
30
G. Ruang kegiatan ekonomi
Mata pencaharian sebagai pedagang merupa-
kan bagian dari kebudayaan etnis Arab. Hal ini
didukung pula anjuran dalam Agama Islam
untuk berdagang. Kegiatan perdagangan pada
masyarakat etnis Arab menyebabkan hunian
mereka juga merangkap sebagai tempat
terjadi-nya transkasi jual beli, sehingga
terdapat ruang untuk kegiatan ekonomi.
Beberapa tahun lalu dilakukan renovasi pada
ruang-ruang depan di rumah I untuk adaptasi
ruang sebagai wadah kegiatan ekonomi.
Ruang-ruang tersebut di-fungsikan sebagai
toko untuk tempat berda-gang pakaian muslim
dan tirai/gorden. Wadah kegiatan ekonomi
juga ditemukan pada rumah III. Terdapat
massa terpisah di bagian depan tapak yang
dulunya berfungsi sebagai toko.
H. Ruang menerima tamu
Rumah I dan II memiliki ruang keluarga yang
cukup luas. Selain sebagai tempat bersantai
bagi penghuni, ruang ini biasa digunakan
untuk menerima tamu keluarga dekat dan atau
tempat penghuni wanita menerima tamu
wanita (lam-piran 1 dan 6). Ruang dengan
fungsi seperti itu kini tidak ada pada rumah III
karena perubahan fungsi ruang tersebut
menjadi kamar tidur. Ruang ini sesuai dengan
konsep rumah dalam peradaban Islam yang
memiliki tabhane yaitu ruang utama sebagai
tempat menerima tamu.
3.2 Elemen Interior Ruang
A. Posisi pintu dan jendela
Pintu dan jendela pada ketiga rumah diposisi-
kan sedemikian rupa agar memungkinkan
terja-dinya ventilasi silang pada tiap bagian
bangu-nan untuk memanfaatkan pencahayaan
dan penghawaan alami. Ketiga rumah
memiliki jumlah jendela yang cukup banyak.
Hampir tiap ruang terpasang jendela (lampiran
1). Pintu dan jendela pada ketiga rumah
merupakan adaptasi dari iklim tropis di
Indonesia.
B. Lubang angin
Hampir setiap ruang pada ketiga rumah meng-
aplikasikan lubang angin, sebagai ventilasi
udara untuk memungkinkan sirkulasi keluar
masuknya udara. Lubang angin pada ketiga
rumah memiliki tampilan yang bervariasi
(lampiran 7). Penggunaan lubang angin
merupakan respon terhadap iklim tropis.
C. Bovenlicht
Bovenlicht merupakan bukaan yang posisinya
lebih tinggi dibanding pintu dan atau jendela.
Rumah I dan III menggunakan bovenlicht yang
dipasang menyatu di atas beberapa pintu beru-
pa lubang dengan terali vertikal dan
horizontal. Ruang tanpa jendela di rumah I
menggunakan bovenlicht berlubang yang
terpisah dari pintu (lampiran 8). Bovenlicht
berlubang tersebut memungkinkan
pencahayaan dan penghawaan alami masuk ke
dalam ruang, sebagai respon untuk
memanfaatkan iklim tropis. Kedua rumah
tersebut juga menggunakan bovenlicht bentuk
lengkung dengan penutup kaca (lampiran 9).
Elemen tersebut mirip dengan bovenlicht di
Eropa yang berfungsi memasukkan cahaya
matahari dan menjaga ruang dari suhu dingin.
D. Kaca patri
Kaca patri digunakan sebagai material boven-
licht pada rumah I dan III . Kaca ini juga digu-
nakan sebagai ornamen pada pintu di rumah I
dan II (lampiran 9). Penggunaan kaca patri
pada ketiga rumah dikarenakan mengikuti tren
arsitektur pada masa kolonial yang diperkenal-
kan Belanda saat masuk ke Indonesia.
E. Tegel
Lantai di rumah I dan III menggunakan
materi-al tegel berukuran 20x20 cm. Berdasar
hasil wawancara, rumah II dulu juga
menggunakan material lantai yang sama,
namun sudah dire-novasi dan diganti
menggunakan keramik. Penggunaan tegel pada
rumah II masih dapat dilihat pada reruntuhan
bekas dapur dan kamar anak. Tegel adalah
jenis lantai yang terbuat dari bahan dasar
berupa campuran pasir dan semen. Tegel yang
digunakan pada rumah I adalah tegel dengan
motif flora bervariasi dan tegel polos yang
ditata dengan pola tertentu. Sedangkan pada
rumah III digunakan tegel polos berwarna abu-
abu dan kuning yang ditata membentuk pola
tertentu (lampiran 10). Peng-gunaan tegel
diperkenalkan oleh Belanda dan menjadi
karakter dari bangunan kolonial. Permukaan
tegel memberi efek dingin dan tidak
memantulkan panas karena tidak licin,
sehingga dapat menjaga suhu di dalam rumah
dan sesuai dengan iklim tropis di Indonesia.
Najmi Muhamad Bazher, Arabic Ethnic Houses…
31
F. Dinding tebal
Massa utama pada ketiga rumah memiliki
dinding dengan tebal 30 cm. Dinding tebal
seperti ini merupakan salah satu karaker dari
arsitektur bangunan kolonial.
G. Plafon
Massa utama pada rumah I dan III mengguna-
kan triplek sebagai material plafon. Plafon
pada rumah II direnovasi dan diganti menggu-
nakan plafon gypsum. Ruang makan rumah I
dan massa utama rumah III menggunakan
plafon triplek dengan balok kayu vertikal dan
horizontal yang diekspos (lampiran 11). Plafon
seperti ini termasuk karakter dari gaya art
deco dan art nouveau yang merupakan tren
gaya bangunan kolonial Belanda di Indonesia. H. Perabot
Ruang keluarga pada rumah I menggunakan
perabot berupa amben dan bantal, sedangkan
pada rumah II menggukan karpet (lampiran 6).
Perabot seperti ini sama dengan perabot yang
digunakan pada rumah di Yaman.
I. Foto keluarga
Pada ruang tamu rumah I dan III ditemui foto
orang tua pemilik rumah yang berasal dari Ha-
dhramaut (lampiran 12). Penggunaan silislah
keluarga sebagai hiasan dinding di rumah
mirip dengan kondisi di Yaman. Kasus
berbeda dite-mui pada rumah II yaitu hiasan
dinding berupa foto habib (lampiran 12).
Dituliskan oleh Sha-hab (2005) bahwa foto
ulama sering digunakan sebagai hiasan
dinding di rumah maupun di tempat kerja oleh
masyarakat Arab di Indone-sia. Hal ini
dikarenakan habib dianggap seba-gai panutan,
terutama oleh golongan sayid.
J. Dekorasi islami
Kaligrafi berupa tulisan potongan ayat Al-
Qur’an atau simbol Allah dan Muhammad,
serta foto Masjid al-Haram digunakan sebagai
dekorasi pada beberapa ruang di ketiga rumah.
Dekorasi tersebut digantung di dinding (lampi-
ran 13). Penggunaan dekorasi islami sesuai
dengan konsep rumah dalam peradaban Islam
yang tidak memakai patung sebagai dekorasi.
3.3 Elemen Eksterior Bangunan
A. Tampilan Pintu
Ketiga rumah menggunakan tipe pintu kayu
dengan dua daun pintu. Pintu tersebut berpanel
dengan pola geometris dan bermotif garis
lurus (lampiran 14). Pola geometris dan
streamline sesuai dengan karakter art deco
yang menjadi salah satu tren bangunan
kolonial di Indonesia.
B. Tampilan Jendela
Salah satu tipe jendela pada rumah I menggu-
nakan krepyak (jalusi) yang memungkinkan
udara dan cahaya masuk ke dalam ruang walau
jendela dalam keadaan tertutup, serta
menurun-kan perambatan panas ke dalam
ruang (lampi-ran 15). Jendela krepyak sering
ditemui pada rumah tua etnis Arab di
Kampung Arab Pasar Kliwon. Jendela ini
diperkirakan diperkenalkan oleh Belanda
karena jendela tersebut sering ditemui pada
bangunan tua di Eropa dan ba-ngunan kolonial
Belanda di Indonesia. Jendela krepyak sesuai
dengan iklim tropis Indonesia.
Rumah I dan III memiliki tipe jendela berlapis
tiga (lapis I jendela kaca; lapis II jendela kayu
tertutup sebagian; lapis III jendela kayu tertu-
tup penuh) yang memberi fleksibilitas peng-
gunaan jendela, menyesuaikan kondisi cuaca
dan penggunaan ruang (lampiran 15). Sedang-
kan jendela pada rumah II terdiri dari 2 lapis
(lapis I jendela kaca; lapis II jendela kayu).
Jendela berlapis diperkirakan diperkenalkan
oleh Belanda karena sering ditemui pada ba-
ngunan di Eropa, yang berfungsi
menyesuaikan cuaca pada empat musim.
Jendela ketiga rumah memiliki kesamaan yaitu
tiap bingkai jendela terdiri dari dua panel, atas
dan bawah, yang dapat dibuka-tutup secara
ter-pisah (lampiran 15). Jendela tersebut
banyak di-temui pada rumah tua di Surakarta.
Diperkira-kan penggunaan jendela tipe ini di
ketiga rumah dikarenakan tren pada periode
tersebut. Jendela ini sesuai dengan iklim
tropis. Bila sinar mata-hari terik, panel atas
ditutup untuk menghalangi panas, dan angin
masuk dari panel bawah.
C. Terali
Jendela pada ketiga rumah dilengkapi dengan
terali besi. Terali digunakan sebagai pengaman
dan hiasan. Penggunaan material logam
berupa besi sebagai terali diperkenalkan oleh
Belanda. Terali ketiga rumah berpola sama
berupa susu-nan besi vertikal dengan besi
horizontal yang membagi bagian tengahnya
(lampiran 15). Pola geometris dan streamline
terali tersebut sesuai dengan karakter art deco,
Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 25-38
32
yang menjadi salah satu tren bangunan
kolonial di Indonesia.
D. Dekorasi dinding
Ketiga rumah memiliki dekorasi dinding dari
beton pada eksterior bangunan. Dekorasi yang
digunakan berupa streamline dan bentuk geo-
metris (lampiran 16). Pola seperti itu sesuai
dengan karakter art deco yang menjadi salah
satu tren dari bangunan kolonial di Indonesia.
E. Gavel / Gable
Gable adalah bentuk segitiga atau bentuk lain-
nya mengikuti konstruksi atap yang berada
pada ujung bangunan (Sumalyo, 1993).
Terlihat ga-vel yang mengikuti bentuk atap
pelana pada bagian belakang atap massa utama
rumah I dan bagian depan atap massa toko
rumah III (lam-piran 17). Keduanya dihiasi
pola geometris yang sama berupa garis yang
membentuk segi-tiga dengan lingkaran di
dalamnya. Sedangkan pada bagian depan atap
massa utama rumah I menggunakan stepped
gable, yaitu gable yang berundak. Gable
tersebut tidak mengikuti ben-tuk atap dan
hanya digunakan sebagai dekorasi.
Penggunaan gable/gavel merupakan salah satu
karakter dari bangunan kolonial Belanda.
F. Warna
Ketiga rumah menggunakan warna pastel te-
rang. Rumah I berwarna biru muda; rumah II
berwarna putih; rumah 3 berwarna krem (lam-
piran 16). Penggunaan warna pastel sesuai de-
ngan karakter art nouveau dari Eropa yang
menjadi salah satu tren bangunan kolonial di
Indonesia. Di sisi lain, penggunaan warna te-
rang juga sesuai dengan karakter arsitektur tro-
pis. Warna terang memiliki penyerapan radiasi
matahari yang kecil, jadi rumah tidak panas.
Warna cat pada bagian toko rumah 1 diganti
warna kuning-krem agar lebih menarik.
G. Bentuk Atap
Atap yang digunakan pada ketiga rumah
adalah atap miring yang sesuai untuk daerah
berikilim tropis dengan curah hujan yang
cukup tinggi. Atap miring berfungsi untuk
mengalirkan air hujan. Kemiringan atap tidak
terlalu curam se-perti di Eropa yang berfungsi
agar salju turun dengan cepat. Kemiringan
atap digunakan un-tuk menyimpan panas
antara atap dan plafon, sehingga panas tidak
langsung masuk ke ruang di bawahnya. Rumah
I beratap pelana pada massa utama dan beratap
sandar pada zona ser-vis; rumah II beratap
limasan pada massa uta-ma dan beratap sandar
pada zona servis; rumah III beratap pelana
pada massa toko dan beratap limasan pada
massa utama (lampiran 17).
H. Teritis
Teritis atau tritisan (overstek, awning)
merupa-kan bagian dari bangunan atap
tambahan yang berdiri sendiri atau berupa
perpanjangan dari atap utama (Sukawi, 2008).
Ketiga rumah me-makai teritis sebagai
perpanjangan atap dengan panjang ±80 cm
(lampiran 17). Penggunaan te-ritis sesuai
dengan iklim tropis Indonesia. Teri-tis dapat
melindungsi dari tempias air hujan serta
mengalirkan air hujan. Selain itu, teritis juga
dapat menjadi pembayang sinar matahari.
I. Genteng Tanah Liat
Ketiga rumah menggunakan genteng tanah liat
sebagai material penutup atap (lampiran 17).
Penggunaan genteng tanah liat di Indonesia di-
galakan oleh pemerintah Belanda pada masa
penjajahan, dengan alasan kesehatan. Genteng
tanah liat sesuai dengan iklim tropis Indonesia
karena dapat menyesuaikan kondisi cuaca,
yaitu membuat ruang sejuk saat cuaca panas
dan memberi kehangatan saat cuaca dingin.
J. Selasar
Ruang-ruang pada zona servis di ketiga rumah
diakses melalui selasar (lampiran 18). Selain
sebagai sirkulasi, selasar juga berfungsi meng-
halau sinar matahari yang masuk sehingga
temperatur ruangan lebih rendah. Penggunaan
selasar sesuai dengan iklim tropis Indonesia.
K. Tampilan Ruang Belakang
Ruang belakang ketiga rumah terpisah dari
massa utama. Pada rumah I dan II, tampilan
ru-ang belakang terdiri dari selasar dan atap
san-dar yang ditopang kolom-kolom kayu
(lampi-ran 18). Tampilan yang demikian
menyerupai tampilan arsitektur lokal di Jawa.
Tampilan ruang belakang pada rumah III
berbeda dikare-nakan terdiri dari dua lantai.
L. Pagar
Pagar pada rumah II berupa kombinasi beton
dan bambu yang tertutup dengan tinggi ± 2m.
Sedangkan pagar pada rumah III berupa kom-
binasi beton dan terali besi yang tidak masif
dengan tinggi ± 2m. Pagar tinggi tertutup ini
dikarenakan adanya konflik antara etnis Arab
dengan masyarakat pribumi pada masa lalu.
Najmi Muhamad Bazher, Arabic Ethnic Houses…
33
Politik adu domba Belanda terhadap antar
etnis di Indonesia memberikan akibat
meskipun te-lah merdeka dari Belanda.
Beberapa kali kon-flik terjadi pada tahun
1970-an, antara komuni-tas etnis Arab dengan
pribumi di Surakarta, akibat perasaan saling
curiga (Hastuti, 2008). Diperkeruh lagi oleh
peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Solo dengan
kaum etnis minoritas menjadi korbannya.
Rumah I kini tidak mem-punyai pagar karena
adanya renovasi rumah menjadi toko. Dulu
rumah ini memakai pagar beton rendah. Pagar
rendah tersebut sama kon-disinya dengan
masyarakat Jawa pada umum-nya yang
memfungsikan pagar hanya sebagai pembatas
rumah. Pagar seperti ini terlihat pada beberapa
rumah tua etnis Arab di Pasar Kliwon.
4. KESIMPULAN
Rumah tinggal sebagai wadah terjadinya
kegia-tan sehari-hari seseorang, selalu
diwarnai oleh karakteristik kebudayaan
penghuninya. Pele-buran budaya (akulturasi)
Arab, Islam, Indone-sia, dan Belanda
ditemukan pada elemen arsi-tektur rumah tua
etnis Arab di Kampung Arab Pasar Kliwon.
Hal tersebut dapat terlihat dari adanya
eklektisme (percampuran) elemen arsi-tektur
rumah tinggal Arab (khususnya Yaman),
arsitektur rumah islami, arsitektur tropis Indo-
nesia, dan arsitektur kolonial Belanda pada po-
la ruang, elemen interior, dan eksterior rumah.
Budaya dalam berkehidupan sehari-hari Ha-
dhrami dibawa saat bermigrasi ke Indonesia
dan diterapkan pada perancangan dan
penataan rumah tinggal. Karakter arsitektur
rumah ting-gal di Arab, khususnya Yaman,
terlihat melalui keberadaan pintu samping,
courtyard, perabot berupa karpet atau amben,
dan foto keluarga pada rumah tua etnis Arab di
Kampung Arab Pasar Kliwon. Adapun elemen
arsitektur yang muncul akibat karakter budaya
etnis Arab di Indonesia yaitu adanya pintu
butulan, ruang kegiatan ekonomi, dan foto
ulama/habib.
Kepercayaan atau agama merupakan unsur ke-
budayaan yang menjadi dasar dan paling susah
untuk berubah. Konsep agama diterapkan oleh
imigran Hadhrami yang beragama Islam pada
perancangan dan penataan rumah tinggal. Ka-
rakter arsitektur berkonsep Islam terlihat
dengan keberadaan pembatas fisik antara zona
publik dan privat, courtyard, ruang menerima
tamu (tabhane), dan dekorasi islami pada
rumah tua etnis Arab di Kampung Arab Pasar
Kliwon. Budaya Islam juga terlihat dengan
adanya ru-ang kegiatan ekonomi untuk
berdagang.
Adaptasi perlu dilakukan saat makhluk hidup
menempati habitat baru. Begitu pula imigran
Hadhrami yang menetap dan bertempat
tinggal di Indonesia. Adaptasi terhadap iklim
tropis lembab di Indonesia dilakukan pada
peranca-ngan rumah tua etnis Arab di
Kampung Arab Pasar Kliwon yang
menggunakan jendela dan pintu untuk
ventilasi silang, lubang angin, bovenlicht
berlubang, berdenah tipis, genteng tanah liat,
berwarna terang, atap miring, teritis, dan
selasar. Kondisi dan budaya lokal juga ber-
pengaruh pada tampilan ruang belakang,
jende-la 2 panel (atas-bawah), dan ketinggian
pagar.
Keberadaan penjajah Belanda memberikan pe-
ngaruh pada pola hidup masyarakat di Indone-
sia seperti dalam hal bermukim. Aliran seni
Eropa menjadi tren gaya bangunan yang diper-
kenalkan oleh arsitek-arsitek Belanda dan
dike-nal sebagai arsitektur kolonial.
Bangsawan dan saudagar kaya seringkali
meniru gaya tersebut untuk rumah tinggalnya
yang disebut rumah landhuis. Begitu pula
orang keturunan Arab yang pada masa itu
sudah banyak yang bersta-tus ekonomi tinggi.
Karakter arsitektur kolonial Belanda pada
rumah tua etnis Arab di Kam-pung Arab Pasar
Kliwon terlihat pada organi-sasi ruang, kaca
patri, dinding tebal, plafon, tampilan pintu,
terali besi, dekorasi dinding eksterior, dan
gavel/gable. Adapun elemen arsitektur
kolonial Belanda pada rumah tua etnis Arab
yang sesuai dengan kondisi iklim tropis yaitu
jendela krepyak, jendela berlapis, tegel,
berdenah tipis, bovenlict kaca, berwarna pastel
terang, dan genteng tanah liat.
DAFTAR PUSTAKA
Ashworth, G.J, B.J. Graham, J.E. Tunbridge.
(2007). Pluralising Pasts: Heritage,
Identity and Place in Multicultural
Societies. London : Pluto.
Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 25-38
34
Bazher, Najmi Muhamad, Kusumaningdyah
Nurul Handayani, Tri Yuni Iswati.
(2017). Penerapan Sense of Place
sebagai Upaya Konservasi Kawasan :
Studi Kasus pada Kampung Arab Pasar
Kliwon. Arsitektura, Vol.15, No. 2.
http://dx.doi.org/10.20961/arst.v15i2.
15204 Christian, F. (1992). Wujud Arsitektur sebagai
Ungkapan Sosial Budaya Manusia.
Yogyakarta : Universitas Atmajaya.
Frick, Heinz. (1997). Pola Struktural dan
Teknik Bangunan di Indonesia.
Yogyakarta : Yayasan Kanisius.
Harsojo. (1984). Pengantar Antropologi.
Bandung : Binacipta.
Hastuti, Fajar Endang. (2008). “Potensi dan
Pengembangan Kampung Etnik
Arabsebagai Aset Wisata di Surakarta”,
Laporan Tugas Akhir. Program Studi
Usaha Perjalanan Wisata FSSR UNS.
Ibn Haj, Mulhany dkk. (1992). Enam Puluh
Satu Tanya Jawab tentang Jilbab.
Bandung : Espe Press
Irawan, Prasetya. (2007). Penelitian Kualitatif
dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial.
Depok:Dep. Ilmu Administrasi FISIP
UI.
Kesheh, Natalie. (2007). Hadhrami
Awakening Kebangkitan Hadhrami
Indonesia. Jakarta : Akbar.
Moleong, Lexy. (2007). Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung:PT Remaja Rosda
Karya
Kluckhohn, Clyde. (1953). Universal
Categories of Culture. Chicago :
University Press.
Koentjaraningrat, (1985). Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta : Aksara Baru.
Petherbridge, Guy T. (1989). Vernacular
Architecture: The House and Society.
Prasetyo, Himawan. (2001). “Wajah Kauman
Surakarta 1910-1930”, Skripsi. Jurusan
Ilmu Sejarah FIB UGM.
Rahim, R. (2012). Fisika Bangunan untuk
Area Tropis. Bogor : IPB Press.
Rapoport, Amos. (1981). Identity and
environment: A Cross-Cultural Perspec-
tive. In Housing and Identity: Cross-
Cultural Perspecrives. Diedit oleh J. S,
Duncan, London: Croom Helm.
Shahab, Yasmine Zaki. (2005). Sistem Kekera-
batan sebagai Katalisator Peran Ulama.
Keturunan Arab di Jakarta dalam
Antropologi Indonesia, Vol. 29, No. 2.
Soekiman, Djoko. (2011). Kebudayaan Indis:
Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi
Jakarta : Komunitas Bambu.
Soekiman, Djoko. (2000). Kebudayaan Indis.
Yogyakarta : Bentang.
Sumalyo, Yulianto. (1993). Arsitektur
Kolonial Belanda di Indonesia.
Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Susanti, Anna. (2014). Membangun Rumah
dengan Perspektif Islam. Bandung :
Oase Buku
T. Hall, Edward. (1966). The Hidden Dimen-
sion. USA : Doubleday & Company.
Usman, S. (2009). Perjalanan Sejarah
Ekonomi Indonesia.
Van den Berg, L.W.C. terjemahan Rahayu
Hidayat. (1989). Hadhramaut dan
Koloni Arab di Nusantara. Jakarta :
INIS.
Wardani, Laksmi Kusuma. (2009). Gaya
Desain Kolonial Belanda Pada Interior
Gereja Katolik Hati Kudus Yesus
Surabaya. Universitas Kristen Petra.
Surabaya.
Najmi Muhamad Bazher, Arabic Ethnic Houses…
35
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pola ruang rumah tua etnis Arab di Kampung Arab Pasar Kliwon yang menjadi kasus studi,
Lampiran 2. Pintu pembatas antara zona publik dan privat pada rumah tua etnis Arab di Kampung Arab
Pasar Kliwon, sebagai hijab untuk menutupi kegiatan privat sesuai prinsip arsitektur Islam,
Lampiran 3. Pintu samping sebagai akses masuk untuk wanita menuju ke ruang privat, mendukung
pembagian zona publik-privat sesuai karakter arsitektur di Arab,
Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 25-38
36
Lampiran 4. Courtyard di belakang rumah sesuai karakter rumah di Arab dan rumah dalam peradaban
Islam,
Lampiran 5. Pintu butulan menghubungkan ke rumah tetangga, sesuai karakter kekeluargaan orang Yaman,
Lampiran 6. Ruang keluarga yang juga digunakan untuk menerima tamu (tabhane), sesuai dengan konsep
rumah dalam peradaban Islam. Perabot berupa amben dilapis karpet dengan bantal seperti perabot di Yaman,
Lampiran 7. Lubang angin sebagai respon terhadap iklim tropis.
Lampiran 8. Bovenlicht berlubang yang sesuai dengan iklim tropis,
Lampiran 9. Penggunaan kaca patri pada pintu dan bovenlicht yang menjadi tren bangunan kolonial
Belanda,
Najmi Muhamad Bazher, Arabic Ethnic Houses…
37
Lampiran 10. Penggunaan tegel diperkenalkan oleh Belanda dan sesuai dengan iklim tropis di Indonesia,
Lampiran 11. Plafon dengan balok kayu vertikal dan horizontal yang diekspos sesuai dengan karakter gaya
art deco dan art nouveau yang merupakan tren dari bangunan kolonial Belanda di Indonesia.
Lampiran 12. Pemasangan foto silsilah keluarga sesuai dengan kebiasaan di Yaman; pemasangan foto habib
sering dilakukan oleh keturunan Arab di Indonesia;
Lampiran 13. Pemasangan dekorasi islami di rumah tu etnis Arab sesuai dengan prinsip Islam ,
Lampiran 14. Pintu dua panel dengan motif geometris dan streamline sesuai dengan karakter gaya art deco
yang menjadi tren bangunan kolonial Belanda di Indonesia,
Arsitektura, Vol. 16, No.1, April 2018: 25-38
38
Lampiran 15. Jendela dan terali besi pada rumah tua etnis Arab dengan pengaruh arsitektur kolonial
Belanda, tren lokal, dan penyesuaian iklim tropis Indonesia,
Lampiran 16. Dekorasi dinding eksterior dengan pola streamline dan geometris sesuai dengan karakter gaya
art deco; warna dinding pastel terang sesuai dengan arsitektur tropis dan karakter gaya art nouveau ,
Lampiran 17. Penggunaan bentuk atap miring, gavel/gable, genteng tanah liat, dan teritis pada rumah tua
etnis Arab dengan pengaruh arsitektur kolonial Belanda dan penyesuaian iklim tropis Indonesia,
Lampiran 18. Tampilan ruang belakang dengan atap miring, selasar, dan kolom kayu serupa dengan
arsitektur vernakular di Jawa dan sesuai dengan iklim tropis,