17
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012 | ARSITEKTUR DAN ETIKA 1 ARSITEKTUR DAN ETIKA (MENURUT PENDAPAT PRIBADI) “Kalau kita berbicara tentang ‘Arsitek’ maka yang kita bicarakan adalah manusia kompleks yang berprofesi sebagai arsitek atau manusia yang telah menerima pendidikan arsitektur dan menerapkan apa yang telah diterimanya di dunia pendidikan ke dunia profesional walaupun pengalamannya untuk menjadi seorang arsitek sejati (profesional) belumlah sempurna. Sedangkan kalau kita berbicara tentang ‘Arsitektur’ maka yang kita bicarakan adalah sebuah entitas tunggal yang merupakan cerminan dari gabungan banyak entitas. Namun kalau kita kalau kita berbicara tentang ‘Etika’ maka kita bicarakan adalah diri sendiri dan yang kita hadapi juga diri sendiri.” ARSITEK IDEAL DAN KENYATAAN Arsitek adalah seorang yang telah menerima pendidikan disiplin ilmu tentang perencanaan, perancangan, pengetahuan tentang struktur dan teknis bangunan dan segala hal yang berkaitan tentang lingkungan binaan, mulai dari sosial budaya masyarakat, agama bahkan sampai satuan terkecil yaitu psikologi manusia. Namun setelah seseorang menyelesaikan pendidikan di Arsitektur, ia belumlah bisa dianggap sebagai Arsitek yang profesional melainkan ia harus menjalani terlebih dahulu sejumlah pelatihan yang sebagaian besar didapatnya dari dunia profesional. Dimana arsitek yang baru selesai (junior) dan bekerja pada sebuah Biro Arsitektur, ia akan ditempatkan oleh pimpinan biro itu di bawah seorang arsitek senior. Arsitek junior bisa jadi mengerjakan sebuah proyek mandiri namun tetap di bawah pengawasan dan bimbingan arsitek senior. Ketika proses ini berjalan dengan baik dan arsitek junior dinilai sudah dapat menyerap profesionalitas dari dan oleh arsitek senior, maka ia dapat mengerjakan proyek mandiri tanpa lagi diawasi lagi oleh arsitek senior, bahkan ia juga dapat membuka biro arsitektur sendiri. Pendidikan dan proses menjadi profesional ini memang sangat diperlukan untuk membentuk dari manusia yang kompleks menjadi manusia sebagai Arsitek yang seutuhnya. Tidak hanya di dunia pendidikan, bahkan dalam proses penurunan ilmu itu dapat berjalan dengan baik jika hubungan antara arsitek junior dan senior berjalan dengan harmonis. Kalau kita mengkaji makna “hubungan harmonis” maka kita akan menemui makna kata “Etika”.

Arsitektur Dan Etika

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 1

ARSITEKTUR DAN ETIKA

(MENURUT PENDAPAT PRIBADI)

“Kalau kita berbicara tentang ‘Arsitek’ maka yang kita bicarakan adalah manusia kompleks yang

berprofesi sebagai arsitek atau manusia yang telah menerima pendidikan arsitektur dan menerapkan

apa yang telah diterimanya di dunia pendidikan ke dunia profesional walaupun pengalamannya

untuk menjadi seorang arsitek sejati (profesional) belumlah sempurna. Sedangkan kalau kita

berbicara tentang ‘Arsitektur’ maka yang kita bicarakan adalah sebuah entitas tunggal yang

merupakan cerminan dari gabungan banyak entitas. Namun kalau kita kalau kita berbicara tentang

‘Etika’ maka kita bicarakan adalah diri sendiri dan yang kita hadapi juga diri sendiri.”

ARSITEK IDEAL DAN KENYATAAN

Arsitek adalah seorang yang telah menerima pendidikan disiplin ilmu tentang perencanaan,

perancangan, pengetahuan tentang struktur dan teknis bangunan dan segala hal yang berkaitan

tentang lingkungan binaan, mulai dari sosial budaya masyarakat, agama bahkan sampai satuan

terkecil yaitu psikologi manusia. Namun setelah seseorang menyelesaikan pendidikan di Arsitektur, ia

belumlah bisa dianggap sebagai Arsitek yang profesional melainkan ia harus menjalani terlebih

dahulu sejumlah pelatihan yang sebagaian besar didapatnya dari dunia profesional. Dimana arsitek

yang baru selesai (junior) dan bekerja pada sebuah Biro Arsitektur, ia akan ditempatkan oleh

pimpinan biro itu di bawah seorang arsitek senior. Arsitek junior bisa jadi mengerjakan sebuah

proyek mandiri namun tetap di bawah pengawasan dan bimbingan arsitek senior. Ketika proses ini

berjalan dengan baik dan arsitek junior dinilai sudah dapat menyerap profesionalitas dari dan oleh

arsitek senior, maka ia dapat mengerjakan proyek mandiri tanpa lagi diawasi lagi oleh arsitek senior,

bahkan ia juga dapat membuka biro arsitektur sendiri.

Pendidikan dan proses menjadi

profesional ini memang sangat

diperlukan untuk membentuk dari

manusia yang kompleks menjadi manusia

sebagai Arsitek yang seutuhnya. Tidak

hanya di dunia pendidikan, bahkan dalam

proses penurunan ilmu itu dapat berjalan

dengan baik jika hubungan antara arsitek

junior dan senior berjalan dengan

harmonis. Kalau kita mengkaji makna

“hubungan harmonis” maka kita akan

menemui makna kata “Etika”.

Page 2: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 2

Kenyataan yang ada sekarang ini kita bisa merasakan dan sangat mungkin pernah menjadi bagian

dari proses itu. Ada yang berjalan dengan baik bahkan juga ada yang berjalan dengan tidak baik.

Bagaimana kita melihat ketika orang atau kita berebut proyek, bagaimana kita bersama melihat

ketika orang atau kita berusaha mengambil alih lembaga yang mengatur profesionalitas untuk

kepentingan diri sendiri. Merasa lebih senior, lebih profesional, sehingga makna junior dan senior

tidak ada lagi selain untuk membedakan kasta. Bisa saja orang mengatakan profesional itu tak bisa

diukur dengan umur tetapi dengan apa yang telah dikerjakannya, namun jika hal itu membuat diri

menjadi sombong dan tidak menurunkan ilmu tersebut ke arsitek junior maka lama-lama

profesionalitas itu sendiri akan hilang.

ETIKA MURID DAN GURU ARSITEK

a. Murid Arsitek

“Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang

anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang

bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah

melakukan suatu yang mungkar". (QS. Al Kahfi 18:74).

Penulis mencoba mengutip dan mengeluarkan makna

yang terkandung dalam surah Al Kahfi ayat 74, di

dalamnya terdapat pelajaran etika yang dapat diambil

kebaikannya melalui analogi-analogi. Bukan bermaksud

untuk melebihkan sebagian agama dengan agama yang

lain namun kisah tersebut juga terdapat di kitab-kitab

yang lain. Pada prinsipnya semua agama samawi adalah

sama, hanya karena berlainan penafsiran dari setiap

pemeluknya sehingga tercipta perbedaan. Namun

perbedaan itu sebaiknya harus diterima dengan positif

bukan malah negatif. Bagaimana kita dapat saling

mengenal jika perbedaan itu dianggap adalah sesuatu

hal yang negatif? Perbedaan arsitek junior dan arsitek

senior salah satunya adalah keahlian, jika arsitek junior

tidak dapat mengenali perbedaan dirinya dengan arsitek

senior maka ilmu dan keahlian arsitek senior tidak akan dapat diserapnya dengan baik.

Sebaliknya jika arsitek senior tidak bisa mengenali perbedaan dirinya dengan arsitek junior maka

arsitek junior tidak akan diterima pada biro dimana arsitek senior bekerja.

Dalam kisahnya, Nabi Musa diperintahkan untuk pergi belajar ilmu kepada Nabi Khidir karena

kesombongan Nabi Musa yang merasa ia adalah manusia yang paling pintar di muka bumi ini.

Ketika ia berjumpa dengan Nabi Khidir, beliau berkata bahwa Nabi Musa tidak akan sanggup

menerima pelajaran dari beliau. Nabi Musa memaksa dan akhirnya Nabi Khidir menerima tapi

dengan syarat tidak boleh mengomentari apa yang beliau lakukan. Namun pada akhirnya Nabi

Musa mengomentari juga dan Nabi Musa tidak bisa mendapatkan ilmu dari Nabi Khidir.

Page 3: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 3

Ini adalah sepenggal garis besar kisah Nabi Musa yang berusaha kita ambil hikmah dan makna

etika yang terkandung didalamnya. Hendaknya seorang murid tidak pantas memprotes terhadap

apa yang dilakukan seorang guru dalam menurunkan ilmunya. Bagaimana pun buruk etika

guru/arsitek senior bisa jadi ilmu yang dikuasainya sangat tinggi. Jika orang masa kini

memandang Nabi Khidir dan jika orang itu tidak bisa memandang jauh ke dalam jiwa Nabi Khidir

maka ia akan menganggap Nabi Khidir adalah tidak lebih dari seorang pembunuh berdarah

dingin, sama dengan Nabi Musa dalam memandang Nabi Khidir.

Pada akhirnya dengan prasangkanya yang buruk, Nabi Musa tidak mendapatkan ilmu yang tinggi

dari Nabi Khidir. Begitu juga sebagai murid/arsitek junior, hendaknya mereka bisa mengambil

hikmah atas kisah itu untuk dapat membentuk dan mengubah cara mereka berlaku dalam

belajar kepada seorang guru/arsitek senior.

b. Guru Arsitek

“Guru kencing berdiri, murid kencing berlari (pepatah). Guru adalah cerminan dari

murid dan murid adalah cerminan dari guru, walaupun ada perbedaan antara berdiri

dengan berlari, namun sama-sama kencing.”

Coba cermati pada pepatah di

atas, walaupun terminologi dari

“kencing” mungkin saja buruk,

namun kita dapat memaknai

“kencing” sebagai “amal” atau

apa yang dilakukan atau

dihasilkan manusia. Air “kencing”

atau kata yang lebih sopannya

lagi adalah air seni, bisa saja

merugikan kesehatan manusia

jika diminum langsung, namun

sangat bermanfaat bagi tumbuh-

tumbuhan. Ketika seorang murid

berhasil menemukan suatu

formula yang dapat mengubah air “kencing” menjadi air “seni” bukankah seorang guru juga

akan merasakan nikmat dari air “seni” itu juga?

Proses penurunan ilmu adalah guru yang bertugas dan bertanggung jawab, namun ketika makna

“kencing” itu menjadi makna yang buruk, apakah semua guru bisa menerima “kencing” murid

yang buruk itu adalah cerminan dari mereka sendiri? Apa etika seorang guru yang ternyata

muridnya “kencing” sembarangan? Tidakkah Nabi Musa yang dulunya pernah membunuh

adalah cerminan Nabi Khidir (yang juga membunuh anak kecil) dan sebaliknya? Perbedaannya

adalah Nabi Musa membunuh karena marah sedangkan Nabi Khidir membunuh karena

perintah.

Page 4: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 4

Semua guru juga tahu hukuman adalah yang paling tepat, namun tidak semua guru bisa

menyadari bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk memberikan kesadaran kepada

muridnya yang “kencing” sembarangan bahwa sebuah hukuman bukanlah penghakiman.

Hukuman juga adalah bagian dari proses pendidikan dan hendaknya bersifat mendidik yang

bukan atas dasar kasihan atau atas dasar yang lain. Maksud hukuman bukan atas dasar kasihan

adalah tidak adanya pengurangan hukuman melainkan seorang guru harus bertanggung jawab

untuk membuat psikologi seorang terhukum itu menerima hukumannya dengan baik dan dapat

menganggap hukuman tersebut adalah sebuah bagian dari proses pendidikannya atau bagian

dari kehidupan. Ketika seorang murid yang terhukum dapat menerima hukumannya dengan baik

maka sebenarnya semua dari pelajaran etika sudah diterima sang murid, bahkan setengah dari

profesionalisme sudah diterimanya. Setengahnya lagi ia akan dapatkan dari dunia profesional

yang akan ia tempuh lagi setelah menjalani hukuman atau sanksi.

Bahkan jika hukuman atau sanksi yang akan murid terima sampai membuatnya keluar dari dan

tidak bisa masuk lagi ke dalam sistem karena kesalahannya sudah sangat fatal, seorang

guru/arsitek senior masih mempunyai kewajiban untuk memberikan kesadaran dan keyakinan

kepada murid/arsitek junior bahwa tidak hanya di dunia Arsitektur saja yang bisa membuat

murid/arsitek junior bisa survive, mungkin sudah bukan jodohnya. Bisa jadi dalam dunia yang

lebih terhormat daripada Arsitektur mereka bisa diterima namun tetap saja etika harus menjadi

pegangan.

Menurut teori dialektika Hegel, thesa bisa kita andaikan dengan guru/senior arsitek maka sebagai

antitesa adalah murid/junior arsitek. Menurut Hegel, jika salah satu komponen yang dominan maka

komponen lain akan lenyap atau tersingkir. Bagaimanapun antara arsitek junior pada posisinya

sebagai junior belumlah dapat dikatakan sepadan dengan senior. Jika kita terlalu menuruti seperti

apa yang dikatakan oleh Hegel maka dengan sendirinya arsitek junior akan hilang, lenyap tak

berbekas. Hal itu berlaku juga sebaliknya pada arsitek senior. Maka tidak akan terjadi yang namanya

sintesa seperti yang terjadi pada masa penyatuan Mesir Utara dan Selatan. Pada masa Mesir kuno,

masing masing thesa dan antithesa mempunyai kekuatan yang sama sehingga terjadi sintesa, namun

dalam hal ini sulit terjadi antara senior dan junior.

Lalu dimanakah letak etika berkaitan dengan pemunculan super tungggal thesa/antitesa dalam hal

untuk menghasilkan sintesa? Hegel mengisyaratkan pemecahan dalam teorinya yaitu dominasi dari

salah satu komponen juga adalah sintesa, lebih tepat suatu bentuk apologis terhadap apa yang telah

terjadi. Namun dalam etika yang terkandung dalam agama tidak menghendaki terjadi yang seperti

itu, contohnya memperlakukan tawanan perang apakah harus dibunuh atau dibebaskan setelah

perang usai dan salah satu pihak menyerah tanpa syarat, dimana letak perlakuan yang adil, arif dan

bijaksana oleh pemenang terhadap pihak yang kalah.

Page 5: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 5

ARSITEKTUR DAN ETIKA

“How green they will be, how expensive they are. So some people doesn't have anything

can sleep in the urban forrest for free. Then, the soul of the afford people's feels envy that

will actuate their mind and act to chase and evict even arrest those grubby for put them

into green environment that other afford people’s design. Everyone get their green, the

only different is: THE OTHER ONE PAYS, OTHERS NOT.”

Ketika kita sudah dapat menyerap makna etika dari person-person yang terlibat di atas, barulah kita

dapat membahas kaitan arsitektur dan etika. Arsitektur adalah sebuah budaya manusia, maka secara

tidak langsung “Arsitektur yang beretika?” padanannya adalah “budaya yang beretika?”, maknanya

menjadi bias. Budaya adalah artefak yang dihasilkan manusia, benda mati, tidak ada jiwa, lalu

bagaimana bisa dianggap benda mati dapat beretika? Maka sebenarnya semuanya kembali lagi ke

diri masing-masing, murid/junior dan guru/arsitek senior. Tidak ada kaitan secara langsung antara

Arsitektur dengan Etika melainkan manusia saja sebagai perantaranya.

Apa saja yang dihasilkan manusia adalah cerminan dari dirinya sendiri, sehingga orang lain bisa saja

menganggap seakan-akan benda itu memiliki jiwa. Dapat kita lihat contoh seperti itu pada lukisan

Raden Saleh yang dapat membuat gurunya menangis dengan gambar Raden Saleh seperti terlihat

gantung diri. Lukisan tersebut dipasang Raden Saleh pada sebuah lorong gelap yang sering dilalui

gurunya sehingga gurunya “menyangka” Raden Saleh telah gantung diri. Atau dari karyanya yang

berjudul “Penyerahan Diri Diponegoro” yang membuat seorang Jendral Hindia Belanda menaruh rasa

hormat dan membuat rakyat pada masa itu menangis ketika melihat lukisan itu.

Lukisan oleh Raden Saleh: “Penyerahan Diri Diponegoro” – 1857

Hegel menamakan jiwa ini sebagai “geist” yang dapat dirasakan, keluar dari dalam lukisan melewati

bingkainya memancarkan nilai-nilai yang tertangkap oleh indera psikologis manusia yang

merasakannya. Jadi makna “geist” yang ada pada lukisan bukanlah jiwa seperti jiwanya manusia.

Kalau pun seseorang yang memperhatikan lukisan dan merasakan sesuatu seperti memiliki jiwa,

maka sebenarnya adalah berasal dari jiwa si pencipta. Bisa jadi lukisan menggambarkan sesuatu hal

yang mungkin saja tidak ada kaitan dengan si pencipta, namun pada akhirnya pandangan pengamat

Page 6: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 6

tetap kembali kepada si pencipta. Semua yang diciptakan oleh seseorang selalu kembali kepada

dirinya sendiri.

Seorang Arsitek yang tajam rasa seninya akan dapat menangkap nilai-nilai keindahan yang terpancar

dari sebuah karya Arsitektur sebagai cerminan dari si penciptanya. Begitu juga dengan etika karena

hal ini berkaitan dengan pengalaman rasa. Maka sebaiknya seorang arsitek yang profesional

hendaknya sebelum berkarya harus bisa membaca situasi sosial masyarakat yang sedang berlangsung

sekarang ini. Tidaklah mungkin membangun suatu kompleks pelacuran di mana situasi dan kondisi

masyarakatnya selalu menganggap PSK adalah sampah yang harus segera dimusnahkan sementara

pemerintah bermaksud untuk dapat mengendalikan AID’S, yang memang tidak cukup jika hanya itu

saja. Hal itu terjadi kala Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Ali Sadikin.

Namun kalau kita melihat dari kaca mata filsafat dekonstruksi, hal itu sah-sah saja dilakukan.

Dekonstruksi jika diterapkan dalam arsitektur bukanlah berbentuk tampilan-tampilan yang tidak

biasa saja dan “seakan-akan” melanggar prinsip-prinsip struktur. Dikatakan “seakan-akan” berarti

tidak sepenuhnya dilanggar, melainkan masih terikat dengan hukum gravitasi. Prinsip struktur selalu

berhubungan dengan gravitasi, tidaklah air hujan itu jatuhnya ke langit kecuali saat kiamat. Maka

dalam kaca mata dekonstruksi, kompleks pelacuran bisa jadi bertujuan baik, bilamana mereka para

PSK yang masuk ke dalam kompleks itu dapat menerima pendidikan yang baik tentang agama dan

diajarkan keahlian sebagai bekal untuk hidup sehingga setelah mereka keluar dari kompleks

pelacuran, mereka tidak akan berprofesi sebagai PSK lagi.

Dengan konsep seperti ini bisa saja desain kompleks itu dibuat dan dibangun jika saja masyarakat

pada umumnya memahami dan menerima paham filsafat dekonstruksi. Memang “seakan-akan”

membangun kompleks pelacuran itu melanggar hukum agama, namun pada akhirnya menghasilkan

“mantan-mantan” WTS. Konsep seperti ini tidak akan dapat diterima masyarakat selama masyarakat

masih menganggap WTS adalah sampah, namun yang dimaksud juga bukanlah menghormati mereka

dengan menganggap pelacuran adalah sebuah profesi namun menghormati mereka sebagai

manusia. Coba saja kita mendiskursuskan keberadaan penjara, apakah dengan adanya penjara dunia

ini semakin aman? Justru dalam keadaan kondisi penjara saat ini kelihaian penjahat semakin

meningkat bukannya menurun. Lalu apakah keberadaan penjara ini sebaiknya dihapuskan?

Jawabannya “tidak”, jika yang diproduksi penjara-penjara adalah “mantan” penjahat. Lalu apa

bedanya penjara dengan kompleks pelacuran?

Hampir sama dengan bagaimana proses terciptanya lukisan “Penyerahan Diri Diponegoro”,

terjadinya penangkapan Diponegoro sendiri tidaklah disaksikan secara langsung oleh Raden Saleh.

Untuk bisa menuangkan “geist” yang sebenarnya maka Raden Saleh melakukan survey ke lokasi dan

berbaur dengan masyarakat serta ikut merasakan kesedihan, kemudian barulah Raden Saleh

menuangkannya ke dalam bentuk lukisan sehingga hasilnya menjadi maksimal dan kena sasaran,

membuat seorang Jendral Hindia Belanda angkat topi dan membuat rakyat pada masa itu menangis

ketika menyaksikan lukisan tersebut. Coba kita bandingkan dengan lukisan dengan judul yang sama

namun dilukis oleh seorang pelukis dari Belanda. Bisa jadi lukisan itu akan dibakar oleh rakyat

Diponegoro ketika mereka melihatnya sementara para pembesar Hindia Belanda memuji lukisan itu.

Page 7: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 7

Lukisan oleh Nicolaas Pieneman: “Penyerahan Diri Diponegoro” – 1822

Dalam Arsitektur ada sebuah konsep yang bernama “Green”. Dimana konsep green ini bertujuan

untuk meminimalisir kerusakan yang telah dan yang akan dilakukan manusia untuk kelangsungan

hidupnya, sebagai utopia dari para pengusung etika kelangsungan hidup. Maka para arsitek memakai

konsep ini dalam setiap karyanya untuk mengantisipasi kerusakan yang lebih besar yang mungkin

saja timbul dan berusaha membuat suatu desain yang memberi value kepada lingkungan. Namun jika

dilihat lebih dalam lagi, untuk membuat lingkungan yang green atau menerapkan konsep green ini

pada sebuah bangunan dibutuhkan biaya yang sangat besar. Jika diandaikan biaya finishing dari

sebuah gedung 2 kali lipat biaya konstruksi maka bisa jadi penerapan konsep green dapat menelan

biaya 3 s/d 4 kali (bahkan lebih) dari biaya konstruksi. Pertanyaannya adalah, darimana asalnya uang

yang dipergunakan untuk membiayai pembuatan lingkungan dan bangunan green tersebut? Jika

uangnya berasal dari penebangan hutan atau eksplorasi bumi yang berlebihan apa itu bisa

dinamakan green? Sama saja dengan bunga bank yang tak jelas dananya darimana apakah dari

perdagangan narkoba atau tidak. Lalu dimana letak etika orang-orang yang berduit (yang

kekayaannya berasal dari perusakan bumi) ketika membeli atau membuat dan memakai fasilitas

green tersebut? Akan lebih pantas penggunanya adalah gembel-gembel jalanan dan orang gila yang

tidur di lingkungan green tersebut karena mereka adalah manusia yang paling sedikit dalam hal

merusak bumi ini.

Memang, setiap konsep dan desain tidak ada yang sempurna, namun yang dinilai bukanlah value

kesempurnaan melainkan bagaimana orang bisa menerima ketidak-sempurnaan sebagai suatu

proses besar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Tetapi dari pembahasan tentang konsep

Page 8: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 8

Arsitektur yang berkaitan dengan etika di atas dapat terlihat bahwa etika tidak hanya sekedar kulit

atau tampilan luar saja namun lebih luas lagi.

Green High Rise Building Concepts.

Dengan tidak mengecilkan usaha para arsitek yang telah menemukan konsep ideal dalam

mempertahankan kelangsungan hidup manusia sebagai etika tanggung jawab mereka terhadap

masnusia yang akan datang. Namun yang paling penting sebenarnya adalah etika yang diterapkan

pada diri sendiri, bukan kepada orang lain. Jika kita sudah bisa menghormati diri sendiri dengan baik,

maka kita bisa menghormati orang lain dengan dasar menyadari kekurangannya masing-masing. Di

dalam usaha menghormati diri sendiri maka kita harus menemukan jati diri dan itu hanya diajarkan

dalam agama.

KESADARAN BER-ETIKA

Kita bisa mencirikan tingkat kesadaran beretika dalam beberapa kategori dan tingkatan:

1. Pernah membaca atau mendengar namun tidak mengerti.

2. Membaca atau mendengar, mengerti namun tidak memahami

3. Membaca atau mendengar, mengerti, memahami namun tidak menerapkan.

4. Ada yang menguasai semuanya termasuk penerapan namun psikomotorik etikanya masih belum

sempurna.

5. Ada yang tidak pernah membaca namun memahami yang disimpulkan dari dapat

menerapkannya.

6. Penguasaan dari tingkat kesadaran di atas termasuk psikomotorik (kebiasaan) yang menyertai

dalam setiap langkah dan tindakannya.

Page 9: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 9

Dari tingkatan kesadaran beretika di atas dapatlah mengira-ngira dimana kesadaran kita berada.

Penilaian pribadi terhadap posisi saat ini atau yang akan datang hendaknya dilakukan berulang-ulang

tanpa henti dan merupakan bagian dari proses introspeksi diri sendirinya manusia. Selain itu

prasangka-prasangka buruk terhadap orang lain juga haruslah dilepaskan dalam setiap hubungan

profesionalism karena akan menjadi penghalang dalam usahanya yang paling penting, yaitu

introspeksi diri sendiri. Ada yang cukup unik pada tingkatan 5, dimana seseorang yang belum pernah

menerima pelajaran tentang etika profesi namun etika agama namun dari setiap langkah dan

pergerakannya dalam dunia profesional ternyata sangat baik.

Schopenhauer pernah mengatakan, “Seniman sejati adalah orang yang banyak menguasai ilmu

namun sedikit dalam hasrat pribadi”. Dari kalimat ini kira-kira apakah bisa seseorang berkeinginan

untuk menjadi seniman sejati, sedangkan keinginan itu diidentifikasikan sebagai hasrat. Yang kita bisa

ambil nilai kebaikan dari perkataan Schopenhauer itu adalah menguasai banyak ilmu merupakan

kewajiban manusia. Namun yang sulit adalah untuk membedakan atau membaca pergerakan jiwa,

apakah atas dasar kewajiban ataukah hasrat pribadi. Pengenalan pergerakan jiwa ini penting karena

akan menentukan dalam setiap langkah pergerakan arsitek profesional yang berkaitan dengan

etikanya. Jika penguasaan banyak ilmu itu hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, maka akan

bersinggungan dengan kepentingan orang lain bahkan bisa jadi masyarakat.

Sebagai latihan beretika kita bisa berdialog dengan diri sendiri seperti yang dicontohkan Michel

Foucault dalam mencari kebenaran dengan metoda diskursusnya (Discourse & The Self). Misalnya,

orang kaya baru yang ingin membangun rumah tinggal besar dan megah serta menginginkan bahan

lantainya dari batu alam yang didapat dari Italy. Ia kemudian menugaskan seorang arsitek profesional

untuk merancangnya dan bersedia membayar mahal untuk desain yang spektakuler, mencengangkan

dan extraordinary. Kebetulan owner ini memiliki sebidang tanah dipinggiran kota dekat lingkungan

kumuh. Tanah ini menurut owner penilaian ekonomisnya sangat murah sehingga ia dulu tertarik dan

membelinya. Jika kita sebagai arsiteknya, apa yang akan dilakukan, menerima pekerjaan ini ataukah

menolaknya.

Buddha melalui Nietzsche pernah mengatakan atau Nietzsche sampai pada pemikiran filsafat Buddha

yaitu An-atman, “Keinginan tanpa keinginan”. Andaikan kita adalah seorang arsitek profesional

menerima tugas di atas. Namun kebetulan arsitek tersebut sedang terlibat hutang yang harus segera

dibayarkannya, apakah mempengaruhi keputusannya untuk menerima atau menolak tugas yang

diberikan? Keinginannya untuk segera keluar dari masalah hutang atau bisa saja sekaligus

memperbaiki keadaan ekonomi pribadi akan sangat berpengaruh terhadap hasil keputusan itu.

Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Schopenhauer, keinginan pribadi adalah hasrat. Belum lagi

misalnya owner ternyata adalah sahabat dekat atau bahkan keluarga, bagaimana bisa menolaknya.

Dua pemisalan di atas kurang lebih sama dengan seperti pada bagian pembahasan “Arsitektur dan

Etika” sebelumnya, perbedaannya adalah lebih halus, tidak berupa tampilan luar, lebih pribadi dan

lebih bersifat pembentukan karakter.

Dan juga dari dua contoh dialog pada diri sendiri di atas sebenarnya cukup sulit untuk bisa

didialogkan dengan orang lain, karena kecenderungan manusia akan mencitrakan dirinya untuk lebih

baik dihadapan manusia yang lain. Maka dialog terhadap diri sendiri bisa diharapkan akan lebih jujur

dan “terbuka”. Dari latihan-latihan seperti ini kita bisa mengharapkan kemajuan untuk beretika

Page 10: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 10

dengan baik dan benar dalam dunia profesional namun tetap dasarnya adalah agama dan kebersihan

hati. Pertanyaannya adalah seberapa seringkah kita berdialog dengan diri sendiri?

PROFESIONALISM ARSITEK DAN ETIKA

Sekelompok orang merasakan etika itu sangat luas, meliputi dari segala aspek kehidupan manusia,

oleh karena itu mereka menyusun atau menyepakati bersama bentuk etika terkait dengan dunia

profesional atau menspesifikasikannya secara khusus. Kelompok dokter merumuskan etika sendiri,

kelompok insinyur merumuskan etika sendiri, kelompok arsitek menyepakati etika sendiri bahkan

kelompok betor (beca bermotor) pun punya etika sendiri. Tidak ada masalah sebenarnya jika etika itu

dicirikan atau dispesifikasikan sesuai dengan profesionalism yang disandang, namun jika itu saja yang

menjadi acuan dan meninggalkan akar dari etika yang telah dikhususkan, maka makna etika itu akan

menjadi sempit.

Makna sempit dari etika yang dikhususkan itu akan bisa kita rasakan. Misalnya, cobalah kita

merumuskan beberapa butir yang menjadi kriteria arsitek senior kemudian kaitkanlah dengan

permasalahan etika. Misalnya:

1. Berdisiplin ilmu Arsitektur

2. Berilmu tinggi

3. Senior pernah membimbing junior sampai menjadi senior mandiri

4. Umur lebih tua

5. Pengalaman proyek lebih banyak

6. Dapat dan sukses menangani proyek mandiri yang besar

7. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Jika salah satu poin dari kriteria di atas hilang masihlah dapat disebut arsitek senior, namun jika

sebahagian besar hilang tidak ada pada diri seseorang apakah masih dapat disebut arsitek senior?

Jawabannya bisa jadi “masih” jika kita menilai dari “sebutan” saja. Namun bagaimana dengan

tindakan atau cara kita bersikap (etika) terhadap orang yang seperti itu, apakah sikap kita masih

mecerminkan orang tersebut adalah senior? Sebaliknya, jika kita yang justru berada pada posisi

senior dan dengan variable-variable di atas sebagian besar hilang, bagaimana kita bersikap? Inilah

yang dimaksud akar dari pencirian etika profesionalism itu, menjadi hilang.

Secara etika yang luas, siapapun, bagaimanapun dan seperti apa orang lain haruslah dihormati,

sebagai akar dari etika dalam menghormati orang lain yang dicirikan secara khusus dengan butir-

butir di atas. Jadi etika itu bukan hanya sekedar orang yang mempunyai ilmu dan tidak

menggunakannya untuk kejahatan komputer misalnya untuk membobol kartu kredit. Disamping itu

manusia memang lebih cenderung untuk mengharapkan penghormatan daripada kewajibannya

untuk menghormati orang lain. Lebih dapat menerapkan standar etika kepada orang lain daripada

diri sendiri.

Dalam dunia profesional, bisa jadi bahwa membangun sebuah rumah super mewah bersebelahan

dengan rumah masyarakat miskin tidak akan menjadi masalah, karena etika profesionalism itu

berlaku pada dirinya sendiri dan owner, bukan berlaku di luar dari sistem. Bisa jadi membangun

tempat ibadah salah satu agama ditempat yang mayoritas agama lain tidak akan menjadi masalah

Page 11: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 11

etika profesional, namun seperti kita ketahui bersama, arsitektur itu bukan hanya masalah

profesionalism tetapi ada didalamnya unsur agama, sosial dan budaya masyarakat yang

menggunakan profesionalism itu.

Sketsa lingkungan kumuh: “Ternyata dengan sketsa bisa membuat lingkungan kumuh menjadi indah”

Kembali lagi dengan perkataan Schopenhauer, “Seniman sejati adalah orang yang banyak menguasai

ilmu namun sedikit dalam hasrat pribadi” dan Nietzsche dengan Buddha-nya, “Keinginan tanpa

keinginan”. Mengapa kita tidak menyadari bahwa ada variable yang penting untuk mengukur

profesionalitas dengan mempertimbangkan apa yang dikerjakan lebih banyak untuk kepentingan

masyarakat atau kepentingan pribadi sebagai analogi dari perkataan Schopenhauer, atau bahkan

memakai analogi dari An-atman yaitu bekerja tanpa pamrih. Kalaulah etika profesional itu hanya

untuk kalangan profesional tertentu saja, lalu bagaimana bisa muncul konsep “green” yang

memikirkan kelangsungan hidup manusia yang akan datang seperti yang sudah dibahas sebelumnya

sementara konsep green itu aslinya bukan berasal dari dunia Arsitektur.

Orang-orang terutama dalam dunia profesional berusaha menghindari pembicaraan agama pada

bagian belahan dunia lain karena sesuatu yang tabu dalam ilmu pengetahuan dan profesionalism

serta merupakan suatu kemunduran, sedangkan di belahan bumi yang lain lagi membicarakan agama

menurut bingkai tempurung otaknya masing-masing atau dalam dunia profesionalnya mereka

menghindari pembicaraan atas agama demi etika itu sendiri, dengan maksud untuk menghargai

agama lainnya dan menghindari perpecahan yang sayangnya akar dari etika itu sendiri adalah agama.

Dalam dunia profesionalism Barat, hal-hal yang berbau agama dan segala sesuatu yang diluar dunia

profesionalnya dikesampingkan dan harus memisahkan kehidupan pribadi dengan profesional karena

Page 12: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 12

menurut mereka hal itu akan menyebabkan kemunduran dan kekacauan. Mereka sangat menjunjung

tinggi profesionalism, bahkan jika keluarganya sendiri melakukan kesalahan dalam pekerjaan akan

diberi sanksi yang tegas. Namun bukannya mereka tidak memiliki etika dalam menjalankan

keprofesionalism mereka. Sebagai salah satu contoh, mereka membuat sistem dimana jika seseorang

membuat kesalahan maka akan diberi peringatan terlebih dahulu, setelah diberi peringatan

beberapa kali namun tidak juga berubah, maka akan dikeluarkan dari perusahaan atau pekerjaan.

Sistem yang mereka terapkan cukup bagus dan terbukti dapat mencetak manusia-manusia yang

handal dalam dunia profesional sekaligus sebagai pembuktian mereka bahwa tanpa unsur-unsur

agama dan sosial masyarakat, mereka dapat berkembang maju khususnya dalam dunia profesional

dan ilmu pengetahuan. Namun kembali lagi ke diri mereka sendiri, pada akhirnya rasa sosial

kemasyarakatan dan kekeluargaan tercerabut dari jiwa mereka dengan dampak kehampaan atau

kesendirian melanda jiwanya, paralel dengan yang telah mengenyampingkan masalah agama. Atau

dengan kata lain mereka yang gagal akan mati sebagai manusia tanpa adanya pertolongan yang

didasari agama dan sosial kemasyarakatan dan kekeluargaan, sebagai konsekuensi dari teori Hegel

dengan dialektikanya, thesa dan antitesa akan membentuk sintesa, namun jika salah satu komponen

mengalahkan yang lain maka komponen yang dominan akan muncul sebagai yang terdepan ataupun

menyingkirkan yang kalah.

Sistem itu diadopsi oleh Indonesia dengan tidak mengenyampingkan terutama elemen sosial

kemasyarakatan sebagai kebanggaan identitas agar tidak seperti bangsa Barat. Namun yang terjadi

malah potensi-potensi yang terdapat dalam elemen sosial kemasyarakatan dan keluarga menjadi

faktor penghambat dalam keprofesionalism karena penerapannya tidak tepat. Penerapan profesional

didasarkan atas antara like dan dislike, agama menurut tempurung masung masing, ras dan suku,

teman serta hubungan keluarga dapat merubah makna profesionalis seketika, belum lagi motif-motif

yang ada dibalik dari semua itu seperti keserakahan dan lain-lain. Justru dengan itu, manusia mati

oleh karena penerapan prinsip-prinsip kemanusiaan atau etika yang salah. Maka kita bisa bayangkan

kira-kira jika hal itu terjadi juga dalam dunia pendidikan.

Menarik memang untuk membicarakan (discourse) profesionalism terkait dengan etika, dari metode

yang demikian kita bisa menelaah lagi dan dapat membayangkan apa kira-kira etika yang sebaiknya

dilakukan. Kita bisa mensimulasikan tentang tidak bolehnya mengambil alih proyek yang sama

dengan kolega. Sesuai dengan kode etik, kolega yang lain tidak boleh mengambil alih proyek yang

telah ditangani koleganya. Namun latar belakang dan kejadiannya bisa bervariasi dan yang berlaku

kelihatannya seperti tidak layaknya beretika. Bagaimana memang ia tidak mampu, bagaimana bila

owner yang memutuskan, lalu kalau penerapannya dibuat kaku, maka kemana lagi owner akan

mencari Arsitek. Misalkan saja owner mencari arsitek lain yang tidak dikenal kolega sang arsitek,

suatu saat mungkin saja antar arsitek itu dan bertemu, berkenalan dan berbagi pengalaman, dan

ternyata terbongkar apa yang pernah ditangani salah satu arsitek dialihkan kepada arsitek yang baru

dikenalnya. Bagaimana arsitek yang tugasnya dialihkan bersikap terhadap yang telah berlalu?

Pada perspektif yang lain, sebenarnya kesalahan dari bangsa ini tidak sepenuhnya ada pada

pemerintahnya karena pemerintah adalah cerminan dari rakyatnya sendiri. Ketika dokter

berbenturan dengan rakyat miskin yang tidak mempunyai biaya, maka terjadi lemparan tanggung

jawab dan itu adalah tanggung jawab pemerintah. Ketika pajak dinaikkan untuk mendapatkan dana

bagi rakyat miskin, seketika itu juga biaya dokter semakin mahal. Jika etika profesional itu

Page 13: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 13

menyentuh kepada dunia yang diluar profesionalism atau dirinya sendiri, maka tidak perlu lagi

pemerintah turun tangan untuk menyelesaikannya sedangkan pemerintah juga mempunyai masalah

sendiri yang sangat besar dan kronis yang bernama korupsi. Menunggu pemerintah selesai dengan

permasalahannya yang tak kunjung selesai adalah sebuah usaha yang sia-sia, alangkah baiknya kita

bergerak turun memakai apapun keahlian kita dengan tanpa pamrih untuk membantu orang yang

benar-benar memerlukannya. Maka kita dapat melihat hubungan “Keinginan tanpa keinginan” An-

atman dengan permasalahan etika, dimana manusia yang memilih untuk menuruti keinginan

pribadinya tak punya waktu untuk melayani sesamanya disebabkan keinginan itu sendiri adalah

hasrat pribadi yang tidak ada habis-habisnya, disamping itu hasrat yang tidak tercapai juga dapat

melahirkan prasangka-prasangka.

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI ETIKA

“Tanda masih terlihat jelas walau pelan meranggas, sedangkan sang penanda sudah

musnah tertebas zaman, tewas”

Kearifan lokal dipercaya dari berbagai disiplin ilmu dan profesional adalah sebuah warisan yang

sangat berharga dan harus dipertahankan. Seperti kata Prof. Eko Budihardjo, “Banyak sekali kearifan

lokal yang dimiliki bangsa Indonesia, mulai bidang budaya, ekonomi, lingkungan, politik, hingga

arsitektur. Namun, sekarang ini sudah mulai hilang”. Dengan pemikiran seperti ini para arsitek

Indonesia mulai dari dunia pendidikan sampai profesional menyadari pentingnya kearifan lokal

sebagai suatu asset yang berharga dengan cara mempertahankan bangunan-bangunan bersejarah.

Kita juga harus mengkaji, apa yang

dimaksud dengan kearifan lokal itu.

Apakah kearifan lokal itu hanya sekedar

mandi dengan memakai gayung yang

notabene adalah warisan budaya

Indonesia lebih efisien daripada mandi

dengan bathup sedangkan rakyat

zaman dahulu yang bahkan putri-putri

raja mandinya di sungai, kolam dan

dipancuran yang airnya terus mengalir,

yang pada saat ini bisa jadi mandi di

sungai Deli atau mandi di kolam Deli

adalah suatu bentuk ketotolan lokal sementara terdapat rumah mewah di dekat sungai Deli lengkap

dengan fasilitas kolam renang private yang berbiaya tinggi.

Sebagai catatan, ketika kita menilai kearifan lokal itu adalah sebuah kegiatan atau lebih banyak

bentukan yang terlihat jelas dengan mata maka akan terjadi anakronis makna. Mandi dengan gayung

adalah sebuah kegiatan yang merupakan warisan adat istiadat salah satu suku di Indonesia dan

bukan warisan pemikiran efisiensi penghematan air. Dalam adatnya mandi dengan memakai gayung

adalah bagian dalam sebuah prosesi suatu acara adat, misalnya perkawinan, selamatan dan lain-lain.

Entitas dari budaya masyarakat terlihat jelas disini dan jelas value-nya dalam pandangan adat dan

secara tidak sadar diikuti oleh sebahagian besar oleh masyarakat Indonesia.

Page 14: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 14

Zaman dahulu air bersih sangat melimpah dan jika kita padankan dengan penemuan gayung sebagai

sebuah hasil pemikiran zaman itu dan menjadi solusi atau cara penghematan air, tentunya sangat

naif jadinya dan akan menjadi anakronis, apalagi dengan meninggikan nilai satu aktifitas penggunaan

alat saja sebagai sebuah asset dari kearifan lokal namun melupakan dan menyembunyikan kenyataan

yang lainnya. Bangsa barat belakangan ini sudah menemukan cara memanfaatkan dan mengolah air

seni untuk bisa diminum kembali, bahkan bangsa Jepang sudah bisa mengubah najis manusia

menjadi barbeque. Lalu manakah yang dapat disebut kearifan lokal? Bisa jadi kearifan lokal itu sendiri

sudah mati dan yang tersisa hanya tanda-tanda peninggalannya saja yang belum tentu sesuai dengan

perkembangan sosial budaya masyarakat.

Kolam Pemandian Raja-Raja Majapahit – Komples Candi Tikus, Dukuh Dinuk Desa Temon, Kecamatan Trowulan,

Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Kearifan lokal yang sejati bukanlah terletak pada benda-benda atau sebuah bentuk kegiatan yang

terlihat dengan mata, karena itu hanyalah bentuk luar saja, namun kearifan lokal itu ada pada diri

sendiri yang memikirkan usaha penghematan air dengan memakai gayung, usaha melahirkan konsep

green bahkan usaha mengubah najis menjadi makanan. Kearifan itu selamanya akan tetap ada di

mana saja, di Barat dan Timur, di Utara dan Selatan, di setiap zaman, mulai dari zaman dahulu,

sekarang, sampai yang akan datang, selama masih ada manusia yang memikirkan dan berusaha

bukanlah untuk dirinya sendiri melainkan untuk kepentingan orang banyak.

Kearifan lokal (pribadi) ini tidaklah dapat menjadi sebuah keinginan pribadi dalam konteks hasrat

karena jika gayung adalah warisan kearifan lokal maka benarlah jadinya tidak ditemukan catatan

siapa penemunya. Bagaimana mungkin orang-orang arif penemu gayung berbangga diri terhadap apa

yang dilakukannya, muncul ke khalayak ramai secara khusus memperkenalkan gayung sebagai alat

untuk efisiensi air agar tercatat dalam sejarah terkecuali ada orang lain yang mencatatnya. Namun

Page 15: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 15

dengan melihat dari kolam pemandian yang telah ditinggalkan sejarah sungguh sangat berlainan

dengan kearifan lokal sejati pada masa itu walaupun adat istiadat sudah memberikan isyarat yang

sesuai gambaran tentang kearifan lokal. Atau dengan kata lain, kolam pemandiankah yang harus

dipertahankan ataukah gayungnya?

Sudah pasti bukan kolam pemandiannya yang arif, juga bukan gayungnya, melainkan orang yang

menemukan gayung dan orang yang menggunakannya secara sadar. Karena bisa jadi orang yang

cukup 5 cidukan gayung sudah selesai mandi lebih arif daripada orang yang 100 gayung menyamai

bahkan melebihi volume bathup, juga tak selesai-selesai mandi. Anehnya, adat istiadat tidak

memberikan gambaran yang tepat dengan kegiatan efisiensi. Karena cukup beberapa cidukan gayung

maka acara mandi adat itu sudah selesai tanpa ada yang menyampaikan pesan dengan jelas bahwa

terdapat sebuah pemikiran tentang efisiensi air melainkan hanya masalah prosesi adat semata.

Kolam Pemandian Putri Raja Syailendra – Kompleks Candi Umbul, Kabupaten Magelang Jawa Tengah.

Pada perspektif yang lain, bangunan-bangunan kolonial dipertahankan sebagai yang disebut

“kearifan lokal”. Maka lembaga-lembaga swadaya masyarakat mempertahankannya dengan

sedemikian gencarnya dengan pemerintah yang sungkan-sungkan untuk melayaninya. Namun esensi

etika dari mempertahankan bangunan bersejarah itu sendiri tidak jelas. Sebagian orang beralasan

bangunan sejarah juga sebagai identitas bangsa. Identitas yang bagaimana? Apakah identitas dari

bangsa yang pernah terjajah yang sekarang ini sepertinya dijajah oleh bangsa sendiri sedangkan yang

membangun bangunan tersebut adalah bangsa penjajah dengan memberdayakan rakyat jajahannya.

Memang, dengan menghancurkannya untuk menghapuskan simbol-sombol penjajahan juga tidak

dapat dibenarkan karena dendam tidaklah dapat disebut “kearifan lokal”.

Ada juga yang menilainya sebagai kenangan di masa lalu, toh yang paling banyak berkunjung adalah

bangsa-bangsa bekas penjajah yang sedang santai makan dan minum di restoran Tip-Top. Akhirnya

Page 16: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 16

konsep mendaya guna kembali dan ekonomis jualah yang menang yaitu dengan cara memfungsikan

kembali dan membuat suatu kegiatan yang bernilai ekonomis yang ada nilai baliknya untuk

perawatan bangunan bersejarah dengan tanpa memerlukan esensi etika dari orang-orang yang

santai di bangunan tersebut. Lalu yang manakah kearifan lokal itu? Bangunannya kah atau orang

yang memikirkan agar bangunan itu agar tetap bertahan ataukah pengunjung bangunan bersejarah?

Namun akan lebih arif lagi bila kita menghargainya dan mempertahankannya dengan perspektif

bahwa kita pernah terjajah dan maksud mempertahankan bangunan itu adalah supaya dimasa depan

akan menjadi pengingat bagi kita agar tidak terjajah dan menjajah lagi.

Seperti dalam teks proklamasi, “Segala bentuk penjajahan di muka bumi harus dihapuskan”. “Segala

bentuk penjajahan” itulah yang harus di eliminir, termasuk menghapus penjajahan yang dilakukan

oleh bangsa sendiri sebagai analogi dari segala bentuk keserakahan harus dihapuskan, sebagai

analogi dari segala bentuk hasrat harus dihapuskan, sebagai analogi “tingkat dua” dari Buddha

dengan An-atma-nya, “keinginan tanpa keinginan”. Sebagai catatan, penjajah-penjajah masa kini

tidak akan bisa mencapai “kearifan lokal” seperti yang dimaksud.

Memang, dengan tidak menafikan pentingnya sejarah serta peninggalannya, kompleks pemandian

raja-raja dan bangunan kolonial, dipertahankan sebagai identitas dan perjalanan sejarah bangsa

Indonesia dapat disebut sebagai cerminan dari etika orang-orang “terkini” yang memiliki “kearifan”

lokal untuk menelusuri kembali demi menemukan suatu formula yang tepat di dalam menjalani

perkembangan dan perubahan zaman dengan tanpa harus kehilangan identitas seperti yang dialami

bangsa-bangsa Barat. Dan dengan tanpa mengabaikan “kearifan” tadi, akan lebih arif lagi bila orang-

orang “terkini” berusaha untuk mencetak orang-orang atau pribadi yang arif selagi “kearifan yang

lain” mengumpulkan sisa-sisa kearifan yang hanya terlihat pada benda-benda yang sedikit demi

sedikit menghilang. Karena hanya orang-orang yang ariflah yang dapat menerima pesan dari kearifan

orang-orang terdahulu dari peninggalan-peninggalannya dan hasilnya tentu akan lebih inovatif dan

bervariasi dimasa yang akan datang.

Sang Luwak dengan pandangan heran berkata: “Bisa-bisanya najisku dikatakan terlezat dan termahal di dunia”

Page 17: Arsitektur Dan Etika

Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012

| ARSITEKTUR DAN ETIKA 17

Perubahan dan perkembangan sosial dan budaya masyarakat baik itu karena masuknya arus Barat

maupun arus-arus yang lain tidaklah dapat sepenuhnya dibendung, namun tetaplah pribadi diri

sendiri yang menjadi benteng pertama dan terakhir akan menentukan bagaimana ia harus bersikap

dan bertindak. Yaitu bagaimana seseorang itu berusaha memikirkan untuk masa depan dan untuk

kepentingan orang banyak maka itulah yang dimaksud dengan kearifan lokal. Bentuk usaha

“memikirkan” itu yang tidak terlihat sebagai bentuk intangible dari etika sedangkan bentuk yang

dapat dilihat bisa berupa apa saja, tidak harus sama dengan masa lalu dan bisa saja berbentuk

seperti daging barbeque yang nikmat dan lezat berbahan dasar dari olahan najis sepanjang orang-

orang tidak muntah untuk mengkonsumsinya.

PENUTUP

Penulis berusaha mengkaji etika lebih dalam lagi dari berbagai sudut pandang, baik itu dari prilaku,

sosial dan budaya, adat istiadat, agama dan filsafat karena etika yang sejati tidak lepas dari hal-hal

semacam itu walaupun sudah dikhususkan sesuai dengan jenis profesional masing-masing, yang jika

tidak ada seperangkat alat tersebut plus dengan hukum modern, atau dapat dikatakan kebebasan

yang tidak terkendali, maka tidak bakalan ada yang namanya Arsitektur.

Dengan didasari atas kesadaran akan kelemahan diri penulis sendiri dan menerima kelemahan orang

lain serta mengakui kelebihan orang lain, membuang segala purba sangka, marilah sama-sama

menggali dan membangun kearifan lokal yang ada tersembunyi dalam jiwa masing-masing demi

kepentingan orang banyak, siapapun dan apapun latar belakangnya. Maka kesabaran dan keikhlasan

jualah yang menjadi jembatan penyeberangan untuk tidak jatuh ke dalam jurang kehancuran yang

dalam demi menuju kemajuan dunia profesionalism yang lebih baik lagi dan khususnya untuk

kemajuan Arsitektur. Selebihnya adalah kembali ke analogi “tingkat satu” Buddha dengan An-atma-

nya, “Keinginan tanpa keinginan”, yaitu berserah diri.

Dengan memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Esa dan meminta maaf kepada pembaca bila

ada kalimat-kalimat dan pemikiran yang menyinggung perasaan ataupun yang salah, penulis

mengharapkan masukan dari semua pihak. Terima kasih.