Upload
ria-aviani
View
68
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
antibiotika
Citation preview
57
PERBANDINGAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKAPADA PENGOBATAN PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIHYANG MENJALANI RAWAT INAP DI SALAH SATU RSUD
DI YOGYAKARTA TAHUN 2004 DAN 2006
Saepudin, Rihal Yulia Sulistiawan, Suci Hanifah
Fakultas MIPA Jurusan Farmasi, Universitas Islam Indonesia, YogyakartaKorespondensi : [email protected]
ABSTRACT
Data of antibiotics quantity used for treatment of infectious diseases are needed indeveloping antibiotic use policy. This research was aimed at knowing the shift of antibiotics use fortreatment of hospitalized patients with urinary tract infections during year 2004 and 2006 at a publichospital in Yogyakarta. Data of antibiotics use were collected from patients’s medical record and quantity of antibiotics use was calculated as the number of defined daily dose (DDD) per 100 beddays (BD) based on ATC/DDD (Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily Dose) systemreleased by WHO Collaborating Centre for Drug Statistics Methodology. There was no differencein antibiotics utilization for treatment of hospitalized patients at year 2004 and 2006 based on totalantibiotic quantity and number of antibiotic agents used. Antibiotics which were used at year 2004included amoxicillin, ciprofloxacin, levofloxacin, ceftriaxone, and cefotaxime with quantity inDDD/100 BD is 43,75; 50,1; 2,08; 9,02; 0,34 respectively. Antibiotics agents which were used atyear 2006 are not different from year 2006 with quantity in DDD/100 BD is 43,29; 48,17; 4,26;10,06; 1,52 respectively.
Key words : Antibiotic, urinary tract infections, ATC/DDD
PENDAHULUAN
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering
ditemukan dalam praktek klinik. Lebih dari 25 % perempuan akan mengalami paling tidak satu
kejadian ISK selama masa kehidupannya. Kebanyakan kasus ISK tidak menimbulkan masalah
yang berat, dalam artian tidak mengancam nyawa dan tidak menimbulkan suatu kerusakan yang
bersifat irreversible. Namun demikian, risiko kerusakan ginjal yang irreversible dan juga
peningkatan risiko bakteremia akan terjadi ketika ISK mengenai ginjal (Hvidberg et al., 2000).
Bakteri patogen penyebab ISK sering kali dapat diperkirakan, dan E.Coli merupakan
bakteri patogen utama baik pada pasien rawat jalan maupun rawat inap (Sahm, et al., 2001).
Staphylococcus saprophyticus, Klebsiella spp., Proteus spp., Enterococcus spp. dan Enterobacter
spp., merupakan patogen lain yang menjadi penyebab ISK, namun jarang ditemukan (Sahm, et al.,
2001).
Idealnya antibiotika yang dipilih untuk pengobatan ISK harus memiliki sifat-sifat sebagai
berikut : dapat diabsorpsi dengan baik, ditoleransi oleh pasien, dapat mencapai kadar yang tinggi
dalam urin, serta memiliki spektrum terbatas untuk mikroba yang diketahui atau dicurigai. Di dalam
pemilihan antibiotika untuk pengobatan ISK juga sangat penting untuk mempertimbangkan
peningkatan resistensi E.coli dan patogen lain terhadap beberapa antibiotika. Resistensi E.coli
terhadap amoksisilin dan antibiotika sefalosporin diperkirakan mencapai 30%. Secara
keseluruhan, patogen penyebab ISK masih sensitif terhadap kombinasi trimetoprim-
sulfametoksazol walaupun kejadian resistensi di berbagai tempat telah mencapai 22%. Pemilihan
58
antibiotika harus disesuaikan dengan pola resistensi lokal, disamping juga memperhatikan riwayat
antibiotika yang digunakan pasien (Coyle and Prince, 2005).
Permasalahan resistensi bakteri pada penggunaan antibiotika merupakan salah satu
masalah yang berkembang di seluruh dunia. WHO dan beberapa organisasi telah mengeluarkan
pernyataan mengenai pentingnya mengkaji faktor-faktor yang terkait dengan masalah tersebut,
termasuk strategi untuk mengendalikan kejadian resistensi (Bronzwaer, et al., 2002).
Kenyataan menunjukkan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang urutan
penyakit-penyakit utama nasional masih di tempati oleh berbagai penyakit infeksi yang memerlukan
terapi antibiotika, sehingga amplifikasi permasalahan dengan sendirinya akan terjadi bilamana
penggunaan antibiotika yang tidak tepat akan memboroskan dana yang tersedia baik milik
pemerintah maupun pasien sendiri (Nelwan, 2006).
Banyak faktor yang mempengaruhi munculnya kuman resisten terhadap antibiotika.
Faktor yang penting adalah faktor penggunaan antibiotika dan pengendalian infeksi. Oleh karena
itu, penggunaan antibiotika secara bijaksana merupakan hal yang sangat penting disamping
penerapan pengendalian infeksi secara baik untuk mencegah berkembangnya kuman-kuman
resisten tersebut ke masyarakat (Hadi, 2006).
Setiap wilayah perlu mengembangkan suatu kebijakan penggunaan antibiotika sesuai
prevalensi resistensi setempat. Situasi penggunaan antibiotika memang harus dievaluasi dari
waktu ke waktu dan disesuaikan dengan hasil monitoring kepekaan kuman yang mutakhir serta
masukan yang dapat diberikan oleh klinikus (Nelwan, 2006).
Data yang akurat berkenaan dengan kuantitas penggunaan antibiotika sangat diperlukan.
Data-data tersebut akan lebih bernilai jika dikumpulkan, dianalisis, serta disajikan dengan suatu
sistem atau metode yang terstandar. Kebutuhan akan adanya suatu metode yang terstandar untuk
mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotika dan juga untuk menetapkan ketepatan penggunaan
antibiotika telah nampak dengan begitu jelas (Nouwen, 2006).
Sistem ATC/DDD (ATC = Anatomical Therapeutic Chemical, DDD = Defined Daily Dose)
merupakan sistem klasifikasi dan pengukuran penggunaan obat yang saat ini telah menjadi salah
satu pusat perhatian dalam pengembangan penelitian penggunaan obat. Sistem ini pertama kali
dikembangkan di negara-negara Skandinavia dan dengan cepat dikembangkan pula di hampir
seluruh negara Eropa. Pada tahun 1996 WHO menyatakan sistem ATC/DDD sebagai standar
pengukuran internasional untuk studi penggunaan obat, sekaligus menetapkan WHO Collaborating
Centre for Drug Statistics Methodology untuk memelihara dan mengembangkan sistem ATC/DDD
(Birkett, 2002).
Dengan menggunakan metode ATC/DDD, hasil evaluasi penggunaan obat dapat dengan
mudah dibandingkan. Adanya perbandingan penggunaan obat di tempat yang berbeda sangat
bermanfaat untuk mendeteksi adanya perbedaan substansial yang akan menuntun untuk
dilakukannya evaluasi lebih lanjut ketika ditemukannya perbedaan yang bermakna, yang pada
akhirnya akan mengarahkan pada identifikasi masalah dan perbaikan sistem penggunaan obat
(Bergman, et al., 2004; Jankgnet,et al., 2000).
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perubahan penggunaan
antibiotika untuk pengobatan pasien ISK yang dirawat inap di rumah sakit. Hasil penelitian yang
59
diperoleh diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam melalukan evaluasi kualitas penggunan
antibiotika pada pengobatan pasien ISK. Hasil evaluasi penggunaan antibiotika pada pengobatan
pasien ISK diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan untuk mengembangkan upaya
peningkatan kualitas hasil terapi pada pengobatan pasien ISK.
METODE PENELITIAN
A. Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan di salah satu rumah sakit umum daerah di Yogyakarta dengan
mengambil data pasien ISK yang dirawat inap pada tahun 2004 dan 2006. Data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data penggunaan antibiotika dan jumlah hari rawat saat
pasien menerima terapi antibiotika. Pasien ISK dalam penelitian ini adalah pasien yang dinyatakan
mengalami ISK berdasarkan diagnosa dokter yang tertulis dalam rekam medis, serta tidak terdapat
diagnosa penyakit infeksi lain yang disebabkan oleh bakteri. Kriteria tahun dalam penelitian ini
adalah tahun kalender (1 januari –31 Desember). Data penggunaan antibiotika dikumpulkan dari
catatan rekam medis setiap pasien yang meliputi : jenis, bentuk sediaan, kekuatan, frekuensi
penggunaan perhari, serta lamanya penggunaan. Data jumlah hari rawat merupakan jumlah hari
rawat untuk semua pasien ISK yang dirawat inap dan hari yang dihitung adalah hari dimana pasien
mendapatkan terapi antibiotika.
B. Analisis Data
Kuantitas penggunaan tiap jenis antibiotika dihitung menggunakan metode ATC/DDD
dengan mengacu pada sistem ATC/DDD yang dikeluarkan oleh WHO Collaborating Centre for
Drug Statistics Methodology tahun 2000. Total DDD dari setiap jenis antibiotika diperoleh dengan
jalan menbagi total penggunaan obat yang bersangkutan (yang dinyatakan dengan satuan gram)
dengan DDD untuk obat yang bersangkutan. Total DDD dihitung untuk kurun waktu satu tahun
sesuai tahun kalender (1 Januari –31 Desember). Total DDD dari setiap antibiotika selanjutnya
dinyatakan dalam satuan DDD/100 hari rawat dengan jalan mambagi total DDD antibiotika yang
bersangkutan dengan total hari rawat/100. Total DDD/100 hari rawat setiap jenis antibiotika
selama setahun dibandingkan untuk mengetahui adanya pergeseran penggunaan antibiotika
antara tahun 2004 dan 2006.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari data yang berhasil dikumpulkan diketahui jumlah total pasien ISK yang menjalani
rawat inap pada tahun 2004 dan 2006 adalah sebanyak 68 pasien. Pasien dengan catatan rekam
medis yang lengkap dan memenuhi kriteria data yang diperlukan hanya sebanyak 65 pasien, yaitu
30 pasien pada tahun 2004 dan 35 pasien pada tahun 2006. Profil kuantitas antibiotika yang
digunakan untuk pengobatan pasien ISK yang menjalani rawat inap pada tahun 2004 dan 2006 di
rumah sakit tempat penelitian disajikan pada Tabel 1.
60
Tabel 1. Profil jenis antibiotika dan kuantitas penggunaannya
yang dinyatakan dalam satuan DDD/100 hari rawat yang digunakan pada pengobatan
pasien ISK yang menjalani rawat inap pada tahun 2004 dan 2006
di rumah sakit tempat penelitian
No. Golongan dan jenis Kode ATC
Kuantitas penggunaan
(DDD/100 hari rawat)
2004 2006
1. Penisilin spektrum luas
Amoksisilin J01CA04 43,75 43,29
2. Fluorokuinolon
Siprofloksacin
Levofloksacin
J01MA02
J01MA12
50,00
2,08
48,17
4,26
3. Sefalisporin generasi ke-3
Seftriakson
Sefotaksim
J01DA13
J01DA10
9,02
0,34
10,06
1,52
Total 105,2 107,3
Total kuantitas antibiotika yang digunakan pada tahun 2004 dan 2006 tidak menunjukkan
perubahan yang signifikan. Apabila dikembalikan kepada definisi DDD (defined daily dose), 1 DDD
artinya adalah dosis pemeliharaan rata-rata untuk pengobatan indikasi utama dalam satu hari,
maka penggunaan antibiotika dengan kuantitas 105,2 dan 107,3 DDD/100 hari rawat menunjukkan
kuantitas penggunaan yang masih wajar. Penggunaan sebesar 105,2 DDD/100 hari rawat artinya
bahwa dalam satu hari rawat rata-rata satu orang pasien mendapatkan antibiotika sebesar 1,05
DDD. Kelebihan sebesar 0,05 DDD kemungkinan disebabkan adanya pemberian dosis antibiotika
yang lebih tinggi, yang dapat terjadi pada pemberian untuk penanganan akut. Dengan demikian,
secara kuantitas penggunaan antibiotika untuk pengobatan pasien ISK di rumah sakit tempat
penelitian pada tahun 2004 dan 2006, tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dan
menunjukkan kuantitas penggunaan yang sudah cukup baik.
Berdasarkan golongan dan jenisnya, antibiotika yang digunakan pada tahun 2004 dan
2006 juga tidak mengalami perubahan. Antibiotika yang digunakan pada kedua tahun tersebut
sama-sama berasal dari 3 golongan, yaitu penisilin spektrum luas, fluorokuinolon, serta
sefalosporin generasi ke-3, dengan jenis yang tidak berubah. Secara kuantitas, penggunaan setiap
jenis antibiotik dari ketiga golongan juga tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Secara
lebih jelas, gambaran perbedaan kuantitas penggunaan tiap jenis antibiotika yang digunakan pada
tahun 2004 dan 2006 dapat dilihat pada Gambar 1.
61
0
10
20
30
40
50
60
penggunaan(DDD/100 hari
rawat)
amoksisilin levofloksacin sefotaksim
jenis antibiotika
2004
2006
Gambar 1. Perbandingan jumlah DDD/100 hari rawat
dari setiap jenis antibiotia yang digunakan untuk pengobatan ISK
pada tahun 2004 dan 2006
di rumah sakit tempat penelitian dilakukan
Apabila merujuk kepada guideline berkenaan dengan penggunaan antibiotika untuk
pengobatan sistitis tanpa kompliasi yang dikeluarkan oleh IDSA (infectious disease society of
America), kombinasi sulfametoksazol (SXT) dan trimetoprim (TMP) merupakan antibiotika yang
direkomnedasikan untuk digunakan dengan catatan resistensi terhadap kombinasi SXT-TMP di
suatu institusi kurang dari 20%. Sementara itu, resistensi E.Coli, sebagai patogen penyebab utama
ISK, terhadap SXT di seluruh dunia telah mencapai angka antara 18-50% (Sahm, et al., 2001).
Resistensi E.Coli terhadap ampisilin juga telah dilaporkan cukup tinggi, yaitu mencapai angka 40%
di beberapa negara Amerika Utara (Gupta, et al., 2001).
Siprofloksacin merupakan antibiotika alternatif yang direkomendasikan apabila kombinasi
SXT-TMP tidak dapat digunakan karena alasan resistensi. Dipaorkan bahwa resistensi E.coli
terhadap siprofloksacin kurang dari 3%. Beberapa ahli mendukung penggunaan siprofloksacin
sebagai alternatif, dan dalam beberapa kasus sebagai lini pertama, untuk pengobatan ISK tanpa
komplikasi. Meskipun efikasi turunan kuinolon sama dengan SXT-TMP, IDSA tidak
merekomendasikan turunan kuinolon sebagai lini pertama karena alasan resistensi dan juga untuk
menjaga efektivitasnya pada pengobatan Isk dengan komplikasi.
Antibiotika golongan sefalosporin seperti sefaleksin dapat digunakan sebagai alternatif,
namum demikian penggunaan antibiotika lain dari golongan sefalosporin ini harus memperhatikan
kadarnya dalam urin. Pada kenyataannya antibiotika golongan sefalosporin yang banyak
digunakan pada pengobatan ISK, seperti halnya juga ditemukan pada penelitian ini, adalah
sefalosporin generasi ke-3 seperti seftriakson dan sefotaksim. Antibiotika golongan sefalosporin
generasi ke-3 telah digunakan secara luas pada pengobatan berbagai penyakit infeksi. Hal ini
disebabkan karena spektrum aktivitas antibakterinya yang cukup luas, mencakup bakteri Gram
62
negatif dan Gram positif. Namun demikian, risiko berkembangnya resistensi akibat penggunaan
yang terlalu luas perlu untuk selalu dipertimbangkan.
Pemberian antibiotika sangat diperlukan untuk pasien yang sudah positif dinyatakan
mengalami ISK. Pemilihan terapi antibiotika yang tepat sangat berpengaruh pada keberhasilan
terapi yang dilakukan. Di samping itu, ketepatan terapi antibiotika sangat diperlukan untuk
meminimalkan resiko terjadinya resistensi yang merupakan masalah besar dalam terapi antibiotika.
Pemilihan antibiotika seharusnya mempertimbangkan kejadian resistensi yang sudah terjadi di
rumah sakit dan juga mempertimbangkan kejadian resistensi yang kemungkinan selanjutnya akan
terjadi.
Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mencegah berkembangnya resistensi bakteri
terhadap antibiotika, karena hal ini akan menyulitkan pengobatan berbagai penyakit infeksi
termasuk ISK. Upaya untuk mengetahui pola kepekaan kuman di rumah sakit sangat diperlukan
untuk digunakan sebagai acuan dalam penggunaan antibiotika. Dalam kasus ISK, resistensi E.coli
terhadap berbagai antibiotika perlu diteliti untuk mengetahui antibiotika apa yang masih efektif
untuk digunakan pada pengobatan ISK. Diketahuinya pola kepekaan kuman juga sangat
bermanfaat untuk menetapkan kebijakan perputaran penggunaan antibiotika (antibiotics cycling)
sebagai salah satu upaya meminimalkan kejadian resistensi. Perubahan penggunaan antibiotika
untuk pengobatan suatu infeksi sangat mungkin dan bahkan harus dilakukan dengan catatan
dilakukan atas dasar pertimbangan pola kepekaan setempat. Dengan demikian terapi antibiotika
diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal.
KESIMPULAN
Penggunaan antibiotika untuk pengobatan pasien ISK yang menjalani rawat inap pada
tahun 2004 dan 2006 di rumah sakit tempat penelitian dilakukan tidak mengalami perubahan
secara signifikan baik dari sisi jenis maupun kuantitas penggunaannya, dan antibiotik yang paling
banyak digunakan pada dua tahun tersebut adalah siprofloksacin.
DAFTAR PUSTAKA
Bergman, U., Risinggard, H., Palcevski, VV., Ericson, O., Use of Antibiotics at Hospitals in
Stockholm : a Benchmarking project using internet, Pharmacoepidemiology and Drug
safety (2004) 13 : 465-471
Birkett, DJ., The Future of ATC/DDD and Drug Utilization Research, WHO Drug Information 16
(2002) 3 : 238-239)
Bronzwaer, SL., Cars, O., Buchhols, U., Molstad, S., Goettsch, W., et al., A European Study on The
Relationship between Antimicrobial Use and Antimicrobial Resistance, Emerging
Infectious Disease (2002) 8 : 278-282
63
Coyle,EA., and Prince,R.A., 2005, Urinary Tract Infections and Prostatitis, Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach, DiPiro, J.T., et al., (eds) McGraw-Hill Mudical Publishing
Division
Gupta, K., Hooton, TM., Stamm, WE., Increasing Antimicrobial Resistance and the Management of
Uncomplicated Community-Acquired Urinary Tract Infections, Annals of Internal Medicine
(2001)135 : 41–50
Hadi, U., Resistensi Antibiotik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006, Pusat Penerbitan departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jakarta
Hvidberg, H., Struve, C., Krogfelt, KA., Development of a Long-Term Ascending Urinary Tract
Infection Mouse Model For Antibiotic Treatment study, Antimicrobial Agent and
Chemotherapy (2000) 44 : 156-163
Jankgnet, R., Lashof, A.O., Gould, I.M., Van der Meer, J.W.M, Antibiotic Use in Dutch Hospital
1991-1996, Journal of Antimicrobial Chemotherapy (2000) 45 ; 251-256
Nelwan, R.H.H, Pemakaian Antimikrobia Secara rasional di Klinik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
2006, Pusat Penerbitan departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jakarta
Nouwen, JL., Controlling Antibiotic Use and Resistance, Clinical Infectious Disease (2006) 42 : 776-
777
Sahm, DF., Thornsberry, C., Mayfield, DC., et al., Multidrug-resistant Urinary Tract isolates of
Eschericia coli : Prevalence and Patient Demographics in the United States in 2000,
Antimicrobial Agent and Chemotherapy (2001) 45 : 1402-1406