22
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir) 417 Jurnal KBP Volume 1 - No. 3, Desember 2013 ANTECEDENTS DAN CONSEQUENCES DARI PERCEIVED VALUE PADA BANK BNI CABANG HARMONI Muhammad Tahir STIE”KBP” Padang ([email protected]) ABSTRACT The objectives of this research was : (a) the positive effect of service quality to perceived value, (b) the positive effect of service quality to loyalty to the firm, (c) the positive effect of perceived value to loyalty to the firm, (d) the positive effect of service perceived value to customer satisfaction, (e) the positive effect of service quality to customer satisfaction, (f) the positive effect of customer satisfaction to loyalty to the employee, (g) the positive effect of service encounter to service quality, (h) the positive effect of service encounter to customer satisfaction, (i) the positive effect of loyalty to the employee to loyalty to the firm. The design of this research applies a survey toward unit of analysis on BNI Bank to interview the customers for testing hypothesis. Meanwhile the required data consist of eight variables; service encounter, and service quality attribute as independent variables, perceived value as intervening variable and customer satisfaction, loyalty to the employee, and loyalty to the firm as dependent variable. The aggregate numbers of customer being respondent of the study are 185. Data analysis used in this research was consists of Structural Equation Method by LISREL 8.7 as software. The result of this research conclude that variable of service encounter, and service quality attribute had a positive effect to perceived value, and variable perceived value had positive effect to customer satisfaction, loyalty to the employee, and loyalty to the firm. Keywords: service quality, loyalty, employee loyalty to the firm, service perceived value, customer satisfaction, dan service encounter PENDAHULUAN Pengetahuan mengenai bagaimana pelanggan membuat konsep, memahami, dan mengevaluasi jasa saat ini sedang berkembang. Peneliti dan praktisi sekarang lebih memahami tentang bagaimana kualitas pelayanan dievaluasi (Brady dan Cronin, 2001;Parasuraman et al, 1988.), bagaimana pelanggan memperoleh nilai dari layanan yang menawarkan (Fornell et al, 1996;. Ostrom dan Iacobucci, 1995), apa yang mendorong kepuasan pelanggan (Choi et al, 2005.; Fournier dan Mick, 1999), dan faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas terhadap penyedia layanan (Gupta dan Zeithaml, 2006). Akibatnya, persepsi mengenai pentingnya pertemuan layanan semakin diakui (Namasivayam dan Hinkin, 2003). Bitner et al. (1994) mencatat bahwa dari titik pandang pelanggan, bukti kualitas pelayanan terjadi dalam perjumpaan layanan. Mereka menyebut

ANTECEDENTS DAN CONSEQUENCES PERCEIVED VALUE PADA …akbpstie.ac.id/cmsz/medias/file/9. MUHAMMAD TAHIR.pdftentang bagaimana kualitas pelayanan dievaluasi (Brady dan Cronin, 2001;Parasuraman

Embed Size (px)

Citation preview

Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)

417

Jurnal KBP

Volume 1 - No. 3, Desember 2013

ANTECEDENTS DAN CONSEQUENCES DARI

PERCEIVED VALUE PADA BANK BNI CABANG HARMONI

Muhammad Tahir

STIE”KBP” Padang

([email protected])

ABSTRACT

The objectives of this research was : (a) the positive effect of service quality to

perceived value, (b) the positive effect of service quality to loyalty to the firm, (c) the

positive effect of perceived value to loyalty to the firm, (d) the positive effect of service

perceived value to customer satisfaction, (e) the positive effect of service quality to

customer satisfaction, (f) the positive effect of customer satisfaction to loyalty to the

employee, (g) the positive effect of service encounter to service quality, (h) the positive

effect of service encounter to customer satisfaction, (i) the positive effect of loyalty to

the employee to loyalty to the firm.

The design of this research applies a survey toward unit of analysis on BNI Bank to

interview the customers for testing hypothesis. Meanwhile the required data consist of

eight variables; service encounter, and service quality attribute as independent

variables, perceived value as intervening variable and customer satisfaction, loyalty to

the employee, and loyalty to the firm as dependent variable. The aggregate numbers of

customer being respondent of the study are 185. Data analysis used in this research

was consists of Structural Equation Method by LISREL 8.7 as software.

The result of this research conclude that variable of service encounter, and service

quality attribute had a positive effect to perceived value, and variable perceived value

had positive effect to customer satisfaction, loyalty to the employee, and loyalty to the

firm.

Keywords: service quality, loyalty, employee loyalty to the firm, service perceived

value, customer satisfaction, dan service encounter

PENDAHULUAN

Pengetahuan mengenai bagaimana

pelanggan membuat konsep,

memahami, dan mengevaluasi jasa saat

ini sedang berkembang. Peneliti dan

praktisi sekarang lebih memahami

tentang bagaimana kualitas pelayanan

dievaluasi (Brady dan Cronin,

2001;Parasuraman et al, 1988.),

bagaimana pelanggan memperoleh nilai

dari layanan yang menawarkan (Fornell

et al, 1996;. Ostrom dan Iacobucci,

1995), apa yang mendorong kepuasan

pelanggan (Choi et al, 2005.; Fournier

dan Mick, 1999), dan faktor-faktor

yang mempengaruhi loyalitas terhadap

penyedia layanan (Gupta dan Zeithaml,

2006). Akibatnya, persepsi mengenai

pentingnya pertemuan layanan semakin

diakui (Namasivayam dan Hinkin,

2003). Bitner et al. (1994) mencatat

bahwa dari titik pandang pelanggan,

bukti kualitas pelayanan terjadi dalam

perjumpaan layanan. Mereka menyebut

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438

418

interaksi pelanggan semacam ini

dengan “Moment of the Truth “.

Layanan pertemuan dapat menjadi

bagian integral dari image yang

pelanggan lihat dari perusahaan dan,

pada gilirannya, akan memainkan peran

yang berpengaruh dalam menentukan

keberhasilan perusahaan (Bitner, 1990;

Bitner et al,. 1990). Secara lebih

spesifik, Hartline et al. (2003)

berpendapat bahwa dasar evaluasi dari

pelanggan ada pada persepsi mereka

terhadap layanan pertemuan.

Meskipun para bagian pemasaran

akademik dan praktisi telah lama

tertarik pada sifat hubungan antar

bisnis-ke-bisnis (Dwyer et al., 1987),

ulasan dalam artikel-artikel

menyebutkan bahwa layanan

perjumpaan dalam bidang ini

didominasi oleh pekerjaan memeriksa

oleh konsumen ritel (Kong dan Mayo,

1993; Westbrook dan Peterson, 1998).

Seperti yang diamati oleh

Jayawardhena et al. (2007), kualitas

layanan pertemuan dalam konteks

bisnis ke bisnis cenderung diabaikan di

tingkat manajerial (Bitran dan Lojo,

1993) dan masih diteliti (Brown et al,

1994;. Chumpitaz dan Paparoidamis,

2004; Hartline dan Jones, 1996).

Dengan adanya bukti ini, dapat

dibayangkan bahwa penelitian lebih

lanjut dari peran kualitas layanan

pertemuan dalam bidang bisnis akan

memiliki tema lain yang signifikan

untuk diteliti. Konteks bisnis ke bisnis

memiliki sejumlah karakteristik yang

membuatnya cukup berbeda dari

konteks bisnis ke konsumen. Ditandai

dengan hubungan yang lebih dekat dan

lebih dalam ketimbang sekedar

hubungan konsumen (Mehta dan

Durvasula, 1998).

TINJAUAN PUSTAKA

Service Encounters

Hasil Penelitian di bidang pemasaran

menawarkan sejumlah definisi dari

Service Encounterss. Pengertian awal

adalah bahwa Service Encounterss

adalah

suatu kesatuan peran pertunjukan di

mana kedua pelanggan serta penyedia

layanan memiliki peran untuk saling

ber-aksi (Czepiel dkk, 1985). Masih

dalam pembahasan yang sama,

Surprenant dan Salomo (1987)

mendefinisikan Service Encounterss

sebagai dual interaksi antara pelanggan

dan penyedia layanan.

Service Encounters merupakan suatu

interaksi langsung antara konsumen

dengan karyawan, termasuk fasilitas

fisik yang dapat menggantikan fungsi

personel. Interaksi ini sangat penting,

karena saat pertemuan ini merupakan

saat yang menentukan kualitas jasa di

benak konsumen, apakah akan

memberikan kesan positif ataukah

sebaliknya. Interaksi ini disebut sebagai

“a moment of truth”, yang tidak hanya

menyangkut peranan kontak personel

dalam saat dan waktu yang tepat, juga

menyangkut beberapa pemahaman

tentang seberapa efektif pemasangan

tanda-tanda, pemberian petunjuk-

petunjuk maupun informasi dilihat dari

aspek jarak dan penempatannya, dan

termasuk sejauh mana pengaruh

konsumen terhadap kualitas dari

Service Encounters, terutama pada

kontak pertama (Farida Jasfar, 2005).

Dibanyak jasa, Service Encounters

merupakan kritikal dalam mencapai

kepuasan kosumen ( Jones dan Suh,

2000; Svensson, 2006). Dimana dalam

penerapannya tidak hanya melibatkan

karyawan tetapi juga organisasi serta

konsumen. Tentunya untuk dapat

menciptakan kualitas kinerja karyawan

tidak lepas dari bagaimana organisasi

mampu menetapkan prosedur dan

peraturan-peraturan yang terkadang

bisa mengurangi kebebasan karyawan

dalam hal ini kontak personel.

Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)

419

Definisi dari evaluasi Service

Encounterss meneurut Ching-Jui Keng

(2007) adalah suatu periode waktu di

mana seorang pelanggan langsung

berinteraksi dengan suatu layanan.

Interaksi antara seorang pelanggan dan

seorang pegawai perusahaan dapat

dianggap sebagai sebuah “encounter”

atau sebagai suatu hubungan.

Perbedaan tergantung jika pelanggan

berjanji untuk mengulang kontak

dengan seorang pegawai secara spesifik

(suatu hubungan) atau berinteraksi

tidak secara khusus dengan beberapa

perwakilan organisasi (encounter).

Bagaimanapun, banyak dari literatur

pada Service Encounters telah berfokus

kepada hasil dari sebuah proses bukan

berdasarkan prosesnya (Mckechnie,

2007). Service Encounters terjadi di

setiap waktu, dimana seorang

pelanggan berinteraksi dengan sebuah

perusahaan. Para pelanggan dapat

berinteraksi dengan perusahaan-

perusahaan dengan berbagai cara baik

personal atau melalui teknologi

(Heinonen, 2008).

Selanjutnya Joana (2000) menyatakan,

bahwa Service Encounterss adalah

kontak sosial yang terjadi tiap hari di

mana berbagai barang dan/atau jasa

telah tersedia. Meskipun internet dan

saluran belanja menjamur, tetapi

kebanyakan konter-konter ini tetap

dibutuhkan seperti yang selalu ada

seperti departemen store, agen

perjalanan dan restauran. Institusi-

institusi ini berinteraksi relatif lebih

berstruktur dan umumnya mereka

mempunyai sebuah alokasi peran yang

tetap, termasuk (paling sedikit) seorang

pelanggan dan seorang pelayan.

Para akademisi dalam jasa pemasaran

sering berfokus kepada interaksi

personal karena membuat services

encounters lebih disukai karena dapat

memperkecil risiko yang diterima yang

dihubungkan dengan pembelian sebuah

jasa dan pengembangan pengalaman

dalam berbelanja (Julian dan

Ramaseshan, 1994).

Pengaruh dari Service Encounterss

dapat dibagi menjadi dua komponen

yaitu : interaksi pribadi dengan

penyedia jasa dan lingkungan fisik dari

pengecer (Bitner 1990 ; Harris

et.,al.2003). Interaksi pertemuan

pribadi dapat dianggap sebagai periode

waktu sepanjang seorang konsumen

berinteraksi dengan penyedia jasa

(Bitner, 1990). Dimana kualitas dari

interaksi tersebut menurut Chandon et

al., (1997) dapat dinilai berdasarkan

kompetensi, kemampuan mendengar

dan tingkat dedikasinya.

Coye (2004) juga menemukan bahwa

perilaku penyedia jasa dalam hal

penyampaian sangat mempengaruhi

harapan konsumen terhadap pemberian

jasa. Sementara itu, pertemuan

lingkungan fisik diartikan sebagai suatu

periode waktu dimana seorang

pelanggan berinteraksi dengan fasilitas

fisik dan elemen fisik lainnya dalam

lingkungan jasa (Bitner,1990). (Ching-

Jung Keng, 2007) menyatakan bahwa

konsumen dalam 4 industri jasa yang

berbeda memperhatikan lingkungan

pelayanan-lokasi dimana Service

Encounterss terjadi-yang disadari

sebagai evaluasi dari kualitas

pelayanan. Serta Lingkungan fisik

memegang peranan penting dalam hal

perhatian konsumen dan hasrat untuk

merekomendasikannya kepada orang

lain.

Kepuasan Service Encounters adalah

merupakan suatu transaksi yang

khusus. Kepuasan service encouter

sangat berhubungan dengan kepuasan

konsumen secara keseluruhan. Hal ini

sangatlah penting, karena biar

bagaimanapun, untuk dapat

mengingatnya perbedaan konstruksi

tersebut dikarenakan faktor-faktor yang

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438

420

mempengaruhinya berbeda pula

(Shanker et al., dalam Schijins,2002).

Kepuasan konsumen secara

menyeluruh adalah suatu hubungan

yang sangat spesifik, yang merupakan

efek kumulatif dari Service Encounters

yang berbeda atau transaksi dengan

service provider selama suatu periode

waktu (Bitner dan Hubbert dalam

Schijins, 2002). Kepuasan konsumen

merupakan hal yang sangat dibutuhkan

tapi bukanlah merupakan syarat yang

cukup agar konsumen loyal (Schijins,

2002).

Service Quality

Kualitas pelayanan pada umumnya

dipandang sebagai hasil keseluruhan

sistem pelayanan yang diterima

konsumen, dan pada prinsipnya, bahwa

kualitas pelayanan berfokus pada upaya

pemenuhan kebutuhan dan keinginan

pelanggan, serta adanya tekad untuk

memberikan pelayanan sesuai dengan

harapan pelanggan. Duffy (1998),

berpendapat bahwa kualitas pelayanan

berkaitan dengan persepsi pelanggan

terhadap pelayanan yang akan diterima

dari perusahaan. Lebih jauh Duffy

menambahkan bahwa kualitas

pelayanan dapat diukur melalui

perbedaan antara persepsi terhadap

kualitas pelayanan yang diterimanya,

dengan harapan pelanggan terhadap

pelayanan yang akan diterimanya.

Sedangkan menurut Kotler (1991),

kualitas pelayanan pada prinsipnya

mengandung pengertian bahwa kualitas

harus dimulai dari kebutuhan dan

keinginan pelanggan, dan berakhir pada

persepsi pelanggan. Hal ini berarti

bahwa citra kualitas yang baik bukan

dilihat dari persepsi perusahaan,

melainkan berdasarkan pada persepsi

pelanggan. Persepsi pelanggan

terhadap kualitas pelayanan,

merupakan penilaian yang menyeluruh

atas keunggulan suatu produk atau jasa.

Kualitas pelayanan dibentuk oleh

perbandingan antara kondisi ideal dan

persepsi dari kinerja dimensi kualitas

(Oliver, 1997). Sehingga dapat

dikatakan bahwa kualitas produk atau

jasa merupakan penilaian pelanggan

terhadap kesempurnaan performansi

atas produk atau jasa yang dikonsumsi

(Mowen, 1995).

Parasuraman et al (1985) menyatakan

ada dua fakor utama yang

mempengaruhi kualitas jasa, yaitu

expective service (pelayanan yang

dupayiharapkan) dan perceived service

(pelayanan yang diterima). Karena

kualitas pelayanan berpusat pada

upaya pemenuhan dan keinginan

pelanggan serta ketepatan penyampaian

untuk mengimbangi harapan

pelanggan, untuk itu maka, zeithamal

(1996) mendefinisikan bahwa

pelayanan adalah penyampaian secara

excelen atau superior dibandingkan

dengan harapan konsumen.

Dalam perkembangan Parasuraman dkk

(dalam zeithaml dan bitner 1996)

menyatakan bahwa konsumen dalam

melakukan penilaian terhadap kualitas

jasa ada lima dimensi yang perlu

diperhatikan :

a. Tangible, yaitu meliputi fasilitas

fisik, perlengkapan, pegawai dan

sarana komunikasi.

b. Emphaty, yaitu meliputi

kemudahan dalam melakukan

hubungan, komunikasi yang baik,

perhatian pribadi dan memahami

kebutuhan pelanggan.

c. Responsivenes, keinginan para staf

untuk membatu konsumen dan

memberikan pelayanan dengan

tanggap.

d. Reabilty, kemampuan memberikan

layanan yang dijanjikan dengan

segera, akurat, kehandalan

danmemuaskan.

e. Asurance, mencakup pengetahuan,

kemampuan kesopanan, dan sifat

Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)

421

yang dapat dipercaya.

Tjiptono (1991) menyimpulkan, bahwa

citra kualitas layanan yang baik

bukanlah berdasarkan sudut

pandang/persepsi penyedia jasa,

melainkan berdasarkan sudut pandang/

persepsi konsumen. hal ini disebabkan

oleh konsumenlah mengkonsumsi serta

menikmati jasa layanan.

Customer Satisfaction

Teori yang paling umum digunakan

untuk menjelaskan kepuasan pelanggan

adalah teori Expectancy-

Disconfirmation. Teori ini menjelaskan

bahwa konsumen memiliki harapan

akan produk atau jasa sebelum

melakukan tindakan konsumsi atau

pembelian. Setelah konsumen membeli

dan/atau menggunakan produk atau

jasa tersebut, kemudian konsumen

mengevaluasi pengalaman dan bentuk

penampilan dari produk atau jasa yang

berkaitan dengan harapan awal mereka.

Hasil dari evaluasi ini adalah sikap

yaitu suatu keputusan apakah mereka

puas atau tidak. Apabila evaluasi dan

sikap yang muncul sesuai dengan

harapan konsumen, maka terjadilah

keadaan kepuasan. Keadaan kepuasan

ini merujuk pada sikap positif terhadap

pengalaman membeli, produk dan /

atau jasa, serta dapat secara positif

mempengaruhi niat membeli di masa

depan (Carpenter, 2008).

Akan tetapi, para peneliti menyatakan

bahwa kepuasan konsumen meliputi

penilaian kognitif dan reaksi afektif

selama proses konsumsi. Bahkan

kepuasan meliputi suatu evaluasi dari

emosi konsumsi yang datang dari

penggunaan atau pemakaian produk

atau jasa. Jooyeon dan Jang (2010)

mengutip dari Oliver menganggap

kepuasan konsumen sebagai tanggapan

pemenuhan konsumen, sejauh mana

tingkat pemenuhan tersebut

menyenangkan atau tidak

menyenangkan, menunjukan bahwa

kepuasan merefleksikan akibat dari

performa terhadap keadaan emosi

konsumen. Untuk memahami kepuasan

pelanggan lebih jauh, penelitian

terdahulu telah mengidentifikasikan

anteseden-anteseden serta konsekuensi

dari kepuasan. Kotler dan Keller (2006)

mendefinisikan kepuasan konsumen

adalah perasaan konsumen, baik berupa

kepuasan atau ketidakpuasan yang

timbul dari membandingkan

penampilan sebuah produk dengan

harapan konsumen atas produk

tersebut. Apabila penampilan produk

yang diharapkan oleh konsumen tidak

sesuai dengan kenyataan yang ada

maka dapat dipastikan konsumen akan

merasa tidak puas, namun apabila

penampilan produk sesuai dengan atau

lebih baik dari yang diharapkan

konsumen maka kepuasan atau

kesenangan akan dirasakan oleh

konsumen.

Kepuasan pelanggan telah menjadi

tujuan utama dalam industri jasa karena

hal tersebut membawa manfaat /

keuntungan bagi organisasi (Ranaweera

dan Prabhu, 2003). Pentingnya

kepuasan pelanggan berasal dari

filosofi yang diterima secara umum

bahwa suatu bisnis untuk menjadi

sukses dan menguntungkan harus dapat

memuaskan pelanggan, karena melalui

kepuasan pelanggan, organisasi dapat

meningkatkan keuntungan dengan

memperluas bisnis mereka dan

memperoleh pangsa pasar yang lebih

tinggi serta bisnis yang berulang dan

referensi (Shin dan Elliott, 2001).

Untuk meraih tingkat kepuasan

konsumen yang lebih tinggi dari, maka

pihak penyedia jasa diharapkan dapat

menyampaikan dan memberikan

pelayanan dengan tingkat yang lebih

tinggi karena kualitas jasa dianggap

sebagai anteceden dari kepuasan

konsumen (Cronin et al., 2000).

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438

422

Kepuasan pelanggan harus disertai

dengan pemantauan terhadap

kebutuhan dan keinginan yang bisa

dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Seperti yang diungkap oleh Cravens

(dalam Wulansari, 2007) ada beberapa

faktor yang dapat mempengaruhi

kepuasan pelanggan yaitu: (1) adanya

sistem pengiriman. Memindahkan

produk atau menyampaikan jasa dari

produsen ke pelanggan atau pemakai

akhir dalam bisnis biasanya meliputi

saluran distribusi dari para pemasok,

pabrikan dan para perantara. Untuk

dapat memuaskan pelanggan, jaringan

ini harus berfungsi sebagai unit yang

terpadu dan terkoordinir, di mana

semua karyawannya mengerti dan

menanggapi kebutuhan dan keinginan

pelanggan; (2) adanya performa dan

keunggulan suatu produk atau jasa

sangatlah penting dalam mempengaruhi

kepuasan pelanggan, yang bisa disebut

sebagai hal utama dalam bersaing; (3)

adanya citra dan merek perusahaan

yang baik merupakan keunggulan

bersaing yang mempengaruhi tingkat

kepuasan pelanggan dari sudut positif.

Terbentuknya citra merek (brand

image) dan nilai merek (brand equity)

adalah pada saat pelanggan

memperoleh pengalaman yang

menyenangkan dengan produk atau

jasa yang dikonsumsinya; (4) Adanya

hubungan harga-nilai. Pelanggan

mengiginkan nilai yang ditawarkan dari

suatu merek produk atau jasa sesuai

dengan harga yang diberikan, oleh

karenanya terdapat hubungan yang

menguntungkan antara harga dan nilai.

Merek dipromosikan oleh perusahaan

sebagai suatu nilai yang unik sesuai

harganya. Di lain pihak, manajemen

memutuskan untuk bersaing atas dasar

harga rendah di antara merek-merek di

mana para pembeli sudah menetapkan

nilai yang seimbang; (5) adanya kinerja

atau prestasi karyawan Kinerja dari

suatu produk atau jasa dan sistem

pengiriman tergantung pada bagaimana

semua bagian organisasi bekerjasama

dalam proses pemenuhan kepuasan

pelanggan. Setiap orang dalam

organisasi mempengaruhi pelanggan,

baik hal-hal yang menyenangkan atau

pun yang tidak menyenangkan; (6)

adanya persaingan. Kelemahan dan

kekuatan para pesaing juga

mempengaruhi kepuasan pelanggan

dan merupakan peluang untuk

memperoleh keunggulan bersaing.

Pesaing yang spesifik menimbulkan

dampak baik atau buruk dalam rangka

memenuhi keinginan segmentasi pasar.

Mengetahui kesenjangan (gap) antara

keinginan pembeli dengan tawaran

yang diberikan para pesaing merupakan

peluang untuk meningkatkan kepuasan

pelanggan.

Blackwell, & Miniard (1993)

menyatakan kepuasan konsumen

merupakan respon efektif terhadap

pengalaman melakukan konsumsi atau

suatu evaluasi kesesuaian atau

ketidaksesuaian yang dirasakan antara

harapan sebelumnya dan kinerja aktual

produk setelah pemakaian. Menurut

Fornell (1992), kepuasan pelanggan

akan mempengaruhi perilaku membeli,

dimana pelanggan yang puas

cenderung menjadi pelanggan yang

loyal.

Harapan pelanggan mempunyai

peranan yang besar dalam menentukan

kualitas produk jasa dan kepuasan

pelanggan. Dalam konteks kepuasan

pelanggan, umumnya harapan

merupakan perkiraan/keyakinan

pelanggan tentang apa yang akan

diterimanya (Zeithmal, et al. 1993).

Perceived Value

Penentuan, penyampaian, dan

pengkomumkasian Customer value

merupakan hal yang sangat penting

dalam setiap kesatuan organisasional.

Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)

423

Ketiga aspek tersebut merupakan

bagian dari inti proses rancangan

strategis dan pada akhirnya

menentukan daya saing dan

kelangsungan hidup jangka panjang

suatu organisasi (Kotler, 1991; Narver

dan Slater, 1990; Woodruff, Locander,

dan Bamaby,1991). Customer value

yang unggul mengacu kepada

penciptaan berkesinambungan

pengalaman bisnis yang melampaui

pengharapan pelanggan. Value

merupakan suatu kendali strategis yang

diterapkan oleh setiap perusahaan

untuk membedakan did mereka dari

apa yang kebanyakan ada di benak

pelanggan (Weinstein dan Johnson,

1999). Pemahaman mengenai

Customer value akan menjadi

bertambah penting bagi institusi-

institusi pendidikan tinggi seiring

dengan semakin kentaranya langkah

cepat perubahan lingkungan.

Kecenderungan sosial, demografis,

teknologi, ekonomi, dan legislatif

lantas dipadukan dengan cara-cara

yang akan menjadikan universitas-

universitas sukses kelak dapat tampil

beda di abad ke-21 dibandingkan

dengan apa yang mereka dapatkan saat

ini (Boyer, 1987; Naisbitt dan

Aburdence, 1990).

Customer value berkaitan erat dengan

konsekuensi yang dapat berupa

keuntungan atau pengorbanan,

konsumsi atau penggunaan (Woodruff

dan Gardial di Cathey (1995).

Konsekuensi merupakan dampak yang

dirasakan individu atau suatu kelopok

sebagai akibat dari adanya konsumsi

barang/jasa, sebagai kebalikan dari

peraberian sifat dari barang itu sendiri

(Reynold dan Gutman, 1988). Hal ini

dapat berarti positif atau negatif

(Cathey, 1995). Teori nilai

menganjurkan bahwa cara orang

berhubungan dengan barang/produk

dan jasa dapat digambarkan secara

hirarki (Cathey, 1995). Saat ini para

pelanggan dihadapkan pada

melimpahnya serbuan produk serta

pilihan, harga, dan penyedia merek

(Kotler, 1996). Perkiraan pelanggan,

yang dapat menawarkan, akan

menghasilkan nilai yang paling utama.

Pelanggan merupakan nilai yang haras

dimaksimalkan dalam batasan-batasan

biaya penelusuran dan pengetahuan

yang terbatas, pemasukan, dan

mobilitas (Kotler, 1996). Pelanggan

akan mendapatkan dari perusahaan

kenyataan bahwa mereka merasa

menawarkan nilai tertinggi (Kotler,

1996 a). Pelanggan akan membentuk

suatu pengharapan akan nilai dan

bertindak untuk mendapatkannya. Pada

akhirnya, hal tersebut akan

mempengaruhi kepuasan pelanggan

dan peluang pembelian kembali oleh

pelanggan (Kotler, 1996). Nilai yang

diperoleh merupakan perihal yang

berkaitan dengan persepsi dan

penilaian dari pelanggan, tidak

berkaitan dengan harga moneter yang

dibayarkan atau biaya moneter (Kotler,

1995). Dibalik latar belakang

pendidikan, kekayaan finansial, dan

cita-cita pribadi pelanggan, kini

pelanggan memburu keuntungan yang

besar dari investasi pendidikan.

Pelanggan mendambakan pendidikan

yang terbaik (Institut Pendidikan

Tinggi di Universitas Pennsylvania,

1993).

Untuk dapat bersaing dengan baik

dalam suatu lingkungan yang sadar

nilai, para penjual harus menekankan

pada nilai penawaran mereka. Strategi

berbasis-nilai satu melibatkan

penekanan pada nilai pemerolehan

produk (yaitu, nilai perolehan) (Monroe

dan Chapman, 1987). Para penjual

dapat meningkatkan persepsi nilai

perolehan dengan meningkatkan

persepsi pembeli akan kualitas produk

atau keuntungan yang berkaitan dengan

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438

424

harga penjualan (Bolton dan Drew,

1991; Dodds, Monroe, dan Grewal,

1991; Monroe dan Krisnan, 1985;

Zeithalm,1988). Perusahaan dapat

memilih salah satu dari tiga strategi

pemosisisan berbasis-nilai berikut:

kualitas tinggi/harga tinggi, kualitas

rendah/harga rendah, atau

penyeimbangan-penyeimbangan

kualitas terhadap harga Perusahaan

juga dapat membandingkan nilai

penjualan yang lebih rendah dengan

nilai rujukan dari iklan yang lebih

tinggi untuk meningkatkan persepsi

nilai pembeli. Strategi orientasi nilai

ini ditujukan pada peningkatan persepsi

yang disetujui oleh pembeli (nilai

transaksi). Meaurut Weinstein dan

Johnson (1999), value diberikan kepada

pelanggan dengan salah satu cara

berikut ini: (1) perusahaan dapat

memilih untuk mendapatkan produk

yang terbaik (kepemimpinan produk);

(2) Biaya total yang terbaik

(keunggulan operasional); (3) Solusi

total terbaik (keintiman pelanggan).

Mungkin cara terbaik untuk

mendefinisikan nilai ialah dengan

melihatnya dari sudut pandang

pelanggan sebagai suatu perniagaan

antara keuntungan yang diperoleh

versus harga yang dibayarkan

(Weinstein dan Johnson, 1999).

Dodds, Monroe, dan Grewal (1991);

Zeithalm, (1998) telah mendefinisikan

nilai perolehan yang dirasakan sebagai

keuntungan bersih yang diterima

dikaitkan dengan produk atau jasa yang

didapatkan. Nilai perolehan yang

dirasakan dari suatu produk secara

positif akan dipengaruhi oleh

keutungan yang diyakini oleh pembeli

bisa ia dapatkan dengan cara

memperoleh dan mempergunakan

produk tersebut, dan secara negatif

dipengaruhi oleh uang yang hams

dibayarkan untuk membeli produk itu.

Beberapa peneliti telah

mengkonseptualisasikan nilai

perolehan dengan cara ini, istilah

lainnya yaitu "bargain value" (Keon,

1980), "Perceived Value" (Dodds,

Monroe, dan Krisnan, 1985; Urbany,

Bearden, dan Weil baker, 1988), "harga

yang dirasakan" (Szybillo dan Jacoby,

1974), 'faedah perolehan" (Thaler,

1985), dan "kesadaran akan nilai"

(Lichtenstein, Netemeyer, dan Burton,

1990; Lichtenstein, Ridgeway, dan

Netemeyer, 1993).

Pola respon dari kajian penelitian yang

dilakukan oleh Zeithalm (1988)

menetapkan empat defmisi konsumen

terhadap value: (1) nilai ialah harga

yang rendah, (2) nilai ialah apapun

yang aku inginkan dalam suatu produk,

(3) nilai ialah kualitas yang aku

dapatkan dari harga yang aku bayarkan,

dan (4) nilai ialah apapun yang aku

dapatkan dari apa yang telah aku

berikan. Schechter (1984)

mendefinisikan value sebagai semua

faktor, yang kualitatif dan kuantitatif,

yang subyektif dan obyektif, yang

dapat memuaskan pengalaman

berbelanja yang lengkap. Definisi value

yang ketiga: ialah kualitas yang aku

dapatkan dari harga yang aku

bayarkan" selaras dengan pendapat dari

peneliti-peneliti lain yang terdapat

dalam kepustakaan (Bishop, 1984;

Dodds dan Monroe, 1984; Doyle, 1984;

Shapiro dan Rekan-rekan, 1985).

Definisi yang keempat sejalan dengan

Sawyer dan Dickson (1984) yang

mengkonseptualisasikan value sebagai

suatu perbandingan nilai yang melekat

yang lebih diberatkan oleh hasil

evaluasinya. Hal ini juga senada

dengan ukuran faedah per dolar suatu

nilai yang digunakan oleh Hauser dan

Urban (1986), Hauser dan Shugan

(1983). Zeithalm (1988)

mendefinisikan Perceived Value

sebagai penilaian konsumen secara

keseluruhan akan faedah dari suatu

Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)

425

produk berdasarkan persepsi mengenai

apa yang telah mereka terima dan apa

yang telah mereka berikan. Apa yang

diiginkan oleh konsumen sangat

beragam (misalnya, beberapa orang

menginginkan jumlah, kualitas yang

tinggi, atau kenyamanan) dan apa yang

diberikan oleh konsumen juga beragam

(contohnya, beberapa orang hanya

mengurusi uang yang mereka habiskan,

sementara yang lainnya memperhatikan

masalah waktu dan nilai) (Zeithalm,

1988). Jika Perceived Value

dianalogikan dengan konsep nilai

produk yang dirasakan, maka Zeithalm

menyarankan bahwa nilai jasa dapat

dianggap melibatkan perniagaan antara

evaluasi pelanggan akan keuntungan-

keuntungan dari penggunaan jasa dan

biaya yang dikeluarkan untuknya.

Penilaian pelanggan akan suatu nilai

bergantung pada pengorbanan (yaitu,

biaya moneter dan non-moneter yang

berkaitan dengan penggunaan suatu

jasa) dan kerangka rujukan dari sang

pelanggan (Zeithalm, 1988). Pasti

terdapat perbedaan pada penilaian

pelanggan akan nilai jasa akibat adanya

perbedaan biaya moneter, biaya non-

moneter, selera pelanggan, dan watak

pelanggan (Bolton dan Drew, 1991).

Terdapat beberapa literatur penelitian

yang telah mengukur hubungan antara

Perceived Value dan Customer

Satisfaction. Pandangan konsumen

terhadap nilai ini dijelaskan sebagai (1)

nilai adalah harga yang murah, (2) nilai

adalah apapun yang saya inginkan

didalam sebuah produk, (3) nilai adalah

mutu yang saya dapatkan sesuai dengan

harga yang telah saya bayarkan, dan (4)

nilai adalah apa yang saya dapatkan

sesuai dengan apa yang telah saya

berikan (Zeithaml, 1988). Zeithaml

(1988) sebagaimana dikutip oleh Zhan

(Sandy) Chen dkk (2003) pada

pembahasan Consumers Value

Perception off an E-Store and Impact

on E-store Loyalty Intention

mendefinisikan Perceived Value adalah

kemudahan secara menyeluruh dari

penggunaan sebuah produk yang

didasarkan pada apa yang telah mereka

terima dan apa yang diberikan kepada

mereka. Perceived Value merupakan

hal yang sangat penting yang

menentukan intensitas loyalitas

konsumen (Parasuraman 1997;

Woodruff 1997).

Menurut Susila yang dikutip dari

(Andreassen dan Lindestad 1998)

mendefinisikan Perceived Value adalah

pengukuran yang dilakukan konsumen

terhadap utilitas produk berdasarkan

persepsi tentang apa yang diperoleh

dan pengorbanan yang dilakukan

konsumen.

Menurut Harjati yang dikutip dari

(Kotler 2000) menyatakan bahwa

Perceived Value adalah perbandingan

antara total benefit yang diterima

pelanggan dan total biaya yang

dikeluarkannya. Sementara Woodruff

dan Gardial (2000) menyatakan

Perceived Value menguraikan

hubungan antara produk dan pelanggan

yaitu pemahaman pelanggan mengenai

apa yang mereka inginkan dengan

produk/jasa yang ditawarkan dalam

memenuhi kebutuhannya,

dibandingkan dengan biaya yang

dikeluarkannya. Penting dipahami

bahwa nilai pelanggan ditekankan pada

penelitian oleh pelanggan, sehingga

dapat terjadi perusahaan

mengembangkan kualitas produk

sebaik-baiknya tanpa input dari

pelanggan, setelah dihasilkan produk

kualitas tinggi menurut versi

perusahaan akhirnya harus menerima

kenyataan ditolak oleh

pasar/pelanggan, karena tidak memiliki

nilai yang tinggi, jika sesuai dengan

pelanggan. Jadi produk dikatakan

memiliki nilai yang tinggi, jika sesuai

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438

426

dengan kebutuhan, keinginan dan

permintaan pelanggan.

Model ACSI (Indeks Kepuasan

Konsumen AS) di dalam penelitian

yang telah dilakukan oleh Fornell dan

rekan-rekan (1996) menunjukkan

bahwa kepuasan adalah sesuatu yang

dihasilkan dari quality dan bukan oleh

harga, namun Perceived Value juga

akan mempengaruhi kepuasan

konsumen. Selanjutnya, Cronin dan

rekan-rekan (2000) mendukung

pandangan tersebut dengan cara

menunjukkan bahwa Perceived Value

adalah sebuah faktor prediktor atau

penilaian yang sangat penting dari

kepuasan.

Customer Loyalty

Foster dan Cadogan (2000)

mengungkap adanya hubungan

kausalitas antara kepercayaan

konsumen dan loyalitas. Kepercayaan

merupakan salah satu kunci dalam

keberhasilan relationship marketing.

Loyalitas pelanggan merupakan suatu

bentuk perilaku konsumen yang

mengarah pada kemungkinan

pembelian ulang, meningkatnya

loyalitas pada harga, dan memberikan

rekomendasi pada pihak lain (Foster

dan Cadogan, 2000). Ketiga hal

tersebut juga merupakan indikator yang

membangun loyalitas pelanggan.

Sirdesmukh et al., (2002) menyatakan

bahwa meskipun kepuasan konsumen

sangat dibutuhkan untuk setiap bisnis

yang berhasil, namun kepuasan

tidaklah cukup untuk membangun

loyalitas pelanggan. Mungkin saja pada

tahun 1980-an kepuasan konsumen

merupakan kata kunci dari setiap

bisnis, sehingga setiap perusahaan

berusaha untuk menyenangkan

konsumen dengan memenuhi harapan

tersebut. Karena perusahaan percaya

bila mereka mampu memberikan

kepuasan kepada konsumen, maka

konsumen akan melakukan pembelian

ulang. Tetapi kenyataannya bahwa

tingkat kepuasan konsumen yang tinggi

bukanlah merupakan jaminan bagi

seorang konsumen untuk mengulangi

pembelian, sehingga dapat

meningkatkan penjualan bagi pihak

perusahaan. Ada empat kategori

konsumen dikatakan loyal atau setia

apabila : (1) melakukan pembelian

ulang yang teratur; (2) melakukan

pembelian terhadap lini produk / jasa

lainnya; (3) melakukan pemberian

referensi kepada orang lain; (4)

memperlihatkan adanya kekebalan

terhadap produk-produk dari para

pesaing.

Menurut Zeithaml dan Bitner (2003),

loyalitas pelanggan dinyatakan dalam

berbagai cara, sebagai contoh

keinginan untuk merekomendasikan

suatu penyedia jasa kepada konsumen

lainnya, komitmen untuk kembali

menggunakan dan berlangganan di

suatu penyedia jasa tertentu, dalam

keinginan untuk membayar suatu

premium price. Sedangkan menurut

Ting Pong Lu dan Tang Oui Yee

(2001), loyalitas pelanggan juga

dipandang sebagai suatu komitmen

yang kuat terhadap suatu pelayanan

penyedia jasa. Loyalitas pelanggan

terhadap suatu provider juga dapat

meningkatkan hubungan dengan

penyedia jasa yang bersangkutan.

Seorang konsumen yang loyal tentunya

akan berulang kali menggunakan jasa

dari suatu penyedia jasa dan biasanya

selalu berusaha untuk mencari titik

temu kepuasan yang diperoleh dari

pengalaman dengan suatu penyedia

jasa tersebut. Dalam kaitannya antara

hubungan kepuasan dan loyalitas, jika

seorang loyal customer memiliki

pengalaman yang buruk dan menjadi

kecewa dengan suatu penyedia jasa,

kemungkinan mereka akan berfikir

bahwa lebih baik bagi mereka untuk

Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)

427

berpindah (switching) kepada penyedia

jasa yang baru. Dengan demikian,

bisnis yang terkait tidak hanya tentang

menarik dan memuaskan pelanggan,

tetapi juga mengembangkan hubungan

jangka panjang dengan pelanggan

(Sirdesmukh et al., 2002). Sehingga

perusahaan harus bekerja keras untuk

mengembangkan hubungan dengan

pelanggan yang loyal.

Dalam hubungannya dengan loyalitas

terhadap perusahaan tidak terlepas pula

masalah pentingnya citra perusahaan,

yang merupakan bagian penting dalam

menilai pelayanan yang diberikan

kepada konsumen. Karena perusahaan

yang memiliki citra positif akan sangat

mempengaruhi penilaian terhadap hal-

hal lainnya. Perusahaan jasa tidak dapat

menyembunyikan identitasnya, karena

nama perusahaan atau distributor dapat

dikenal konsumen. Suatu perusahaan

mempunyai citra yang kuat apabila

namanya dikenal luas dan perusahaan

tersebut mempunyai reputasi yang luar

biasa. Apabila suatu perusahaan sangat

terkenal tetapi tidak dipercaya, maka

perusahaan tersebut tidak akan

memiliki citra yang luas. Sama halnya,

apabila perusahaan tidak mempunyai

citra yang kuat namun sangat dipercaya

walaupun hanya sekelompok kecil

orang.

Selain itu Kotler dan Keller (2007) pun

mengatakan konsumen memiliki

tingkat kesetiaan (loyalty) yang sangat

beragam terhadap merek, toko, dan

perusahaan tertentu. Oliver

mendefinisikan kesetiaan (loyalty)

sebagai suatu komitmen yang dipegang

kuat untuk membeli lagi atau

berlangganan lagi pada produk atau

jasa tertentu di masa depan meskipun

ada pengaruh situasi dan usaha

pemasaran yang berpotensi

menyebabkan peralihan perilaku.

Berdasarkan tinjauan di atas, maka

hipotesis penelitian adalah sebagai

berikut:

H1. Service Quality berhubungan

secara positif dengan perceived

value.

H2. Service quality berpengaruh secara

positif terhadap loyalty to the

firm.

H3. Perceived value berhubungan

secara positif dengan loyalty to the

firm.

H4. Perceived value berpengaruh

secara positif dengan customer

satisfaction

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini mengacu kepada

penelitian yang dilakukan oleh

Jayawerdhana (2010), yang

menerapkan metode survey untuk

menguji hipotesis, yaitu suatu

penelitian yang dilakukan dengan

tujuan untuk menjelaskan pengaruh

Service Encounter, Service Quality,

dan Perceived Value terhadap

Customer Satisfaction, Loyalty to the

Firm, dan Loyalty to the employee.

Dalam penelitian ini, akan diuji

beberapa hipotesis yang muncul

didalam pengaruh yang terjalin antara

Service Encounter, Service Quality dan

Perceived Value terhadap Customer

Satisfaction, Loyalty to the Firm, dan

Loyalty to the emloyee, seperti yang

telah dijelaskan pada bagian perumusan

hipotesis.

Variabel dan pengukuran

Service Encounter diperoleh dari

Jayawardhena et al. (2007), yaitu :

1. Membangun hubungan yang baik

dengan Anda.

2. Sopan dalam berinteraksi.

3. Informatif dalam berinteraksi.

4. Membangun hubungan yang baik.

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438

428

5. Menampilkan keakraban dalam

melayani.

Service Quality diperoleh dari Cronin

and Taylor, (1992), (1994); dan

Parasuraman et al., (1988) yaitu :

1. Karyawan Bank ini memahami

kebutuhan spesifik saya.

2. Saya merasa aman melakukan

bisnis dengan karyawan Bank ini.

3. Perilaku karyawan Bank ini

menanamkan kepercayaan pada

saya

4. Saya cukup mendapat perhatian

khusus dari karyawan Bank ini.

5. Karyawan Bank ini mampu

menjawab pertanyaan saya

Customer Satisfaction diperoleh dari

Cronin dan Taylor,( 1992) dan

Zeithaml et al., (1996), yaitu :

1. Saya merasa puas dengan layanan

yang saya terima dari Bank ini.

2. Saya bahagia dengan layanan yang

saya terima dari Bank ini.

3. Saya sangat senang dengan layanan

yang saya terima dari Bank ini.

Perceived Value diperoleh dari

Zeithaml’s (1988) dan Grewal et al.

(1998), yaitu :

1. Layanan produk Bank ini memiliki

nilai yang sangat baik.

2. Dengan Bank ini anda

mendapatkan banyak sekali untuk

uang anda.

3. Apa dan biaya yang dapatkan dari

Bank ini, membuatnya menjadi

nilai yang besar.

Loyalty to the firm diperoleh dari

Mowday et al., (1979), yaitu :

1. Saya bersedia untuk memasukkan

upaya tambahan untuk menerima

layanan dari Bank ini.

2. Bank ini mendorong saya untuk

membeli jasa dari Bank ini

berulang kali.

3. Bagi saya, Bank ini adalah

perusahaan terbaik untuk membeli

jasa dari Bank ini.

4. Saya bangga untuk memberitahu

orang lain bahwa saya membeli

pelayanan jasa dari Bank ini.

Loyalty to employee diperoleh dari

Mowday et al., (1979), yaitu :

1. Nilai-nilai saya dan nilai-nilai

kontak saya saat ini sangat mirip.

2. Saya sangat senang bahwa saya

memilih orang kontak saya saat ini

atas lain.

3. Aku benar-benar peduli tentang

nasib orang kontak saya saat ini.

Metode penilaian diatas menggunakan

skala likert 5-point, yaitu :

5 : Sangat Setuju

4 : Setuju

3 : Biasa

2 : Tidak setuju

1 : Sangat tidak setuju

Sampel dan Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan

dalam penelitian ini diperoleh dengan

cara penyebaran kuesioner kepada para

pelanggan Bank BNI Cabang Harmoni.

Metode pengumpulan data yang

digunakan adalah Non-probability

sampling dengan teknik purposive,

dikarenakan jumlah populasi yang

tidak diketahui jumlahnya dan hanya

bagi kalangan yang telah memiliki

pengalaman terhadap pelayanan Bank

BNI. Dalam hal ini harapannya adalah

responden dapat memberikan

respon/tanggapan terhadap pertanyaan

yang diajukan secara langsung. Untuk

itu penyebaran kuesioner disebarkan

langsung oleh peneliti kepada

pelanggan yang pernah mengalami

proses pelayanan, kemudian

menerangkan maksud penelitian dan

membuat perjanjian waktu dengan

responden.

Penyebaran kuesioner kepada

pelanggan Bank BNI dilakukan untuk

mengumpulkan data. Selama penelitian

jumlah kuesioner yang disebarkan

Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)

429

kepada responden adalah 200 set

kuesioner sesuai dengan pendapat Hair

(1998), sedangkan yang kembali adalah

185 set kuesioner. Jumlah ini menurut

Hair (1998) sudah cukup memadai.

Data yang diperoleh melalui kuesioner,

menunjukan bahwa mayoritas

responden konsumen (58.38 % dari

total responden konsumen) yang

didapat dari penelitian ini adalah pria,

yaitu sebanyak 108 orang. Sedangkan

77 orang (41,62%) sisanya responden

konsumen adalah pria. Responden yang

berusia antara 30

sampai 39 tahun

merupakan kelompok usia terbanyak

yang ditemui, yaitu sebanyak 76 orang

(41,08% dari total responden yang

ada), kelompok usia yang lebih tua,

yaitu 40 sampai 49 tahun terdiri dari 35

orang (18,92 % dari seluruh responden

pada penelitian ini). Responden yang

berusia antara 20 sampai 29 tahun

sebanyak 25 orang atau 13,51% dari

total responden. Dan responden yang

lebih muda lagi, yakni 15 sampai 19

tahun sebanyak 10 orang atau 5,41%

dari seluruh total responden yang ada.

Sedangkan hanya 28 orang atau 15,14

% dari total responden yang mengaku

berusia sampai 59 tahun untuk umur

diatas 60 tahun hanya 11 orang atau

5,94 %. Sekitar 35.14 % (65 orang)

dari keseluruhan responden

berpendidikan S1 sebagai mayoritas

dari jawaban responden pada latar

belakang pendidikan. Terdapat 2.70 %

(5 orang) dari responden yang berlatar

pendidikan SMP. Untuk yang berlatar

belakang pendidikan SMA terdapat 35

orang atau 18,92 % dari total

responden. Kelompok pendidikan

diploma dijawab oleh responden

dengan jumlah 55 orang (29,73 %) dan

yang berlatar belakang lainnya terdapat

13.51% (25 orang).

Berdasarkan jenis pekerjaan, mayoritas

responden adalah PNS, yaitu sebanyak

48 orang (25,95% dari seluruh

responden). Sedangkan kelompok

kedua terbanyak dari responden ini

adalah jenis pekerjaan wiraswasta yang

terdiri dari 45 orang atau 24.32 % dari

total responden. Sebanyak 12 orang

(6.49 % dari total responden ) yang

mengaku sebagai pelajar. Sedangkan

42 orang atau 22,70% dari total

responden dengan status sebagai

karyawan swasta. Untuk kelompok

jenis pekerjaan sebagai mahasiswa

hanya terdapat 12,43% (23 orang

mahasiswa dari total responden).

Sedangkan 15 orang atau 8,11% dari

total responden mengaku mempunyai

pekerjaan lainnya.

Sekitar 93 orang menjawab bahwa rata

– rata jumlah pendapatan mereka tiap

bulannya adalah berkisar Rp. 2.500.000

– Rp. 5.000.000. (50,27% dari total

responden). Sedangkan 13 orang

menjawab bahwa rata – rata jumlah

pendapatan mereka tiap bulannya >

Rp. 5.000.000. (7,03% dari total

responden). Responden yang

berpenghasilan tiap bulannya berkisar

antara Rp.1.000.000 – Rp.2.500.000

terdapat 72 orang atau 38.92 % dari

total responden, sedangkan hanya 7

orang atau 3,78% dari total responden

yang berpenghasilan < Rp.1.000.000.

Mayoritas responden menjawab bahwa

jumlah frekuensi kunjungan mereka

sebanyak 1 kali dalam sebulan adalah

21 orang (11,34% dari total responden

yang ada), sedangkan jumlah frekuensi

kunjungan sebanyak 2 kali dalam

sebulan adalah 17,84% (33 orang dari

total responden). Untuk jumlah

frekuensi kunjungan sebanyak 3 kali

dalam sebulan sebanyak 47 orang

(25,41% dari total responden) dan

responden yang menjawab > 3 kali

dalam sebulan sebanyak 84 orang atau

45,41% dari total responden.

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438

430

Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini terdiri dari analisis SEM

(Structural Equation Modelling)

dengan menggunakan program statistic

LISREL 8.7. Berdasarkan penganah

antar variabel sebagaimana dinyatakan

pada kerangka konseptual, proseduser

untuk meneliti penganah antar variabel

menggunakan model LISREL dengan

persamaan struktural, secara matematis

adalah sebagai berikut:

Menurut Bendesa (2006) prosedur

SEM dapat dilakukan dengan dua cara

yaitu:

1. Melalui hubungan kausalitas yang

direpresentasikan oleh serangkaian

persamaan structural (misalnya,

regresi)

2. Hubungan structural ini dapat

dibuat dalam bentuk model gambar

agar diperoleh konseptualisasi yang

lebih jelas atas persoalan yang

diteliti.

Analisis factor yang digunakan dalam

SEM ini adalah confirmatory factor

analysis (CFA) dimana orde kedua

digunakan untuk memeriksa nilai

penting dimensi service quality. Indeks

goodness-of-fit (kebaikan kecocokan)

mendukung diterimanya mode

pengukuran service quality.

Berdasarkan hubungan antar teoritical

variabel, scbagaimana yang

dicantumkan dalam kerangka berpikir/

Teorilitcal Frame Work, penelititi

menggunakan tata cara untuk meneliti

pengaruh an Structural Equation

Modeling (SEM) adalah dengan

mempertimbangkan :

1. SEM memberikan kelayakan

dan teknis estimasi yang paling

efisien. Pengukuran

mengijinkan peneliti untuk

menggunakan beberapa variabel

untuk satu variabel yang

independent atau variabel

dependent.

2. SEM dapat membedakan secara

Explicit antara varibel laten dan

variabel terukur, sehingga

peneliti dapat menguji berbagai

jenis hipotesis.

3. SEM memungkirikan peneliti

untuk melakukan berbagai jenis

test yang signillkan (IKG

Bendesa,2004. Hair etal, 1998).

Pengambilan keputusan untuk

pengujian hipotesis dengan ketentuan

sebagai berikut :

a. Jika p-value < 0,05 maka H0

ditolak. Dengan Lisrel dilihat t

Value <t tabel (1,96).

b. Jika p-value > 0,05 maka H0

diterima. Dengan Lisrel dilihat t

value >t tabel (1.96)

Uji kesesuaian Model Persamaan

Struktural

Penelitian bertujuan untuk

menguji apakah model yang diusulkan

dalam diagram jalur (model teoritis)

sesuai atau cocok (fit) dengan data.

Evaluasi terhadap Service Quality (SQ)

model dilakukan secara menyeluruh

(overall test). Dengan kata lain

penelitian ini bertujuan untuk menguji

model Service Quality (SQ), yang

berpengaruh terhadap Perceived Value

(PV), Loyalty to the Firm (LTF) dan

Customer Satisfaction (CS). Perceived

Value (PV), Loyalty to the Employee

(LTE) yang berpengaruh terhadap

Loyalty to the Firm (LTF). Service

Ecounter (SE) dan Perceived Value

(PV) yang berpengaruh terhadap

Customer Satisfaction (CS). Serta

Service Ecounter (SE) yang

berpengaruh terhadap Service Quality

(SQ).

Hubungan struktural yang diuji

pada penelitian ini mengasumsikan

bahwa Service Quality (SQ) akan

berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Perceived Value (PV), Loyalty

to the Firm (LTF) dan Customer

Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)

431

Satisfaction (CS). dan Perceived Value

(PV), Loyalty to the Employee (LTE)

berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Loyalty to the Firm (LTF).

dan Purchase Intention (PI). Service

Ecounter (SE) dan Perceived Value

(PV) yang berpengaruh positif dan

signifikan terhadap Customer

Satisfaction (CS). Serta Service

Ecounter (SE) yang berpengaruh positif

dan signifikanterhadap Service Quality

(SQ).

Hasil analisis terhadap model

persamaan structural pada model

menghasilkan nilai Degree of Freedom

(DF) = 221, Chi-square (χ2) = 767,00

Goodness of Fit Index (GFI) = 0,80,

Root Mean Square Residual (RMR) =

0,15 Root Mean Square Residual

Error of Approximation (RMSEA) =

0,12; Adjusted Goodness of Fit Index

(AGFI) = 0,77; Normed Fit Index (NFI)

= 0,89 ; Parsimony Goodness of Fit

Index (PGFI) = 0,59

Merujuk pada tabel …. Tentang

standar ukuran Goodness of Fit (GOF),

maka sebuah model bisa dikatakan fit

atau terdapat kesesuaian antara model

teoritik dengan data yang dikumpulkan,

maka nilai-nilai yang didapat dari

masing-masing perhitungan uji

kesesuaian model harus memenuhi

nilai standar GOF.

Berdasarkan hasil output dan

gambar di atas model ini sudah sesuai

dengan standar GOF yang ditetapkan.

Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa ada pengaruh yang positif dan

signifikan antara variabel eksogen

Service Ecounter (SE), dengan variabel

endogen Service Quality (SQ), yang

berpengaruh terhadap Perceived Value

(PV), Loyalty to the Firm (LTF) dan

Customer Satisfaction (CS). Perceived

Value (PV), Loyalty to the Employee

(LTE) yang berpengaruh terhadap

Loyalty to the Firm (LTF). Service

Ecounter (SE) dan Perceived Value

(PV) yang berpengaruh terhadap

Customer Satisfaction (CS). Serta

Service Ecounter (SE) yang

berpengaruh terhadap Service Quality

(SQ).

Tabel 1.

Hasil Uji Kecocokan Keseluruhan Model

Ukuran

GOF

Target-Tingkat

Kecocokan Hasil Estimasi

Tingkat

Kecocokan

Chi-Square

P

Nilai yang kecil

p > 0.05

Χ2 = 767.00

(p = 0.00)

Kurang Baik

NCP

Interval

Nilai yang kecil

Interval yg sempit

546.00

(465.46 – 634.11)

Kurang Baik

RMSEA RMSEA ≤ 0.08 0.12 Kurang Baik

ECVI Nilai yang kecil

dan dekat dengan ECVI

saturated

M* = 4.77

S* = 3.00

I* = 49.29

Baik (Good Fit)

AIC Nilai yang kecil dan dekat

dengan AIC saturated

M* = 877.00

S* = 552.00

I* = 9068.55

Baik (Good Fit)

CAIC Nilai yang kecil dan dekat

dengan CAIC saturated

M* = 1109.11

S* = 1716.82

I* = 9165.62

Baik (Good Fit)

NFI NFI ≥ 0.90 0.89 Marginal Fit

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438

432

Ukuran

GOF

Target-Tingkat

Kecocokan Hasil Estimasi

Tingkat

Kecocokan

NNFI NNFI ≥ 0.90 0.90 Baik (Good Fit)

CFI CFI ≥ 0.90 0.91 Baik (Good Fit

IFI IFI ≥ 0.90 0.91 Baik (Good Fit)

RFI RFI ≥ 0.90 0.87 Marginal Fit

CN CN ≥ 200 51.78 Kurang Baik

RMR Standardized RMR ≤ 0.05 0.15 Kurang Baik

GFI GFI ≥ 0.90 0.80 Marginal Fit

AGFI AGFI ≥ 0.90 0.77 Kurang Baik *M = Model; S = Saturated; I = Independence

Dari Hasil Uji Kecocokan

Keseluruhan Model ini adalah baik

karena lebih banyak mencapai

target/tingkat kecocokan yang

diharapkan dan hipotesis nolnya

ditolak.

Uji Hubungan Antar Variabel Laten

dengan Variabel Indikatornya

Untuk mengetahui hubungan

antar variabel laten dengan

indikatornya maka dapat diperiksa nilai

t dari mautan-muatan factor atau

koefisien-koefisien yang ada didalam

model. Nilai t suatu muatan faktor atau

koefisien yang tinggi merupakan bukti

bahwa variabel-variabel terukur atau

actor-faktor mewakili konstruk-

konstruk yang mendasarinya. Nilai t

setiap muatan harus melebihi nilai

kritis yaitu 1,96 dengan tingkat

signifikansi 0,05, atau 2,58 untuk

tingkat signifikansi 0,01.

Dalam penelitian ini nilai t yang

dipakai adalah 1,96. Nilai t hasil yang

melebihi nilai kritis menunjukkan

bahwa variabel yang bersangkutan

secara signifikan mempunyai hubungan

dengan indikator konstruk yang terkait

dan juga sebagai verifikasi hubungan

antar variabel dan indikator yang telah

didefinisikan.

Berikut disajikan gambar output Lisrel

Model berdasarkan T-Valuenya.

Berdasarkan gambar di atas nilai t

variabel dan indikator-indikatornya

lebih dari nilai yang disayaratkan oleh

SEM sebesar 1,96, oleh karena itu

variabel dan indikator-indikatornya

signifikan.

Berikut disajikan tabel

hubungan antar variabel laten dengan

variabel indikatornya.

Tabel 2.

Hasil Uji Hubungan Antar Variabel Laten dengan Indikatornya

No Indikator Std.

Loading

Error

Loading

Std.

Loading2 thitung

1. SE1 0,30 0,91 0,09 3,75

2. SE2 0,78 0,39 0,61 11,05

3. SE3 0,55 0,69 0,30 7,30

4. SE4 0,69 0,53 0,48 9,46

5. SE5 0,62 0,61 0,38 8,40

SE 2,94 3,13 1,86

6. SQ1 0,84 0,30 0,71 0,00

Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)

433

No Indikator Std.

Loading

Error

Loading

Std.

Loading2

7. SQ2 0,92 0,15 0,85 16,54

8. SQ3 0,90 0,18 0,81 15,98

9. SQ4 0,76 0,42 0,58 12,22

10. SQ5 0,53 0,72 0,28 7,65

SQ 3,95 1,77 3,22

11. CS1 0,95 0,09 0,55 0,00

12. CS2 0,94 0,13 0,71 23,81

13. CS3 0,81 0,35 0,79 16,10

CS 2,70 0,57 2,44

14. PV1 0,78 0,39 0,79 0,00

15. PV2 0,90 0,19 0,85 13,10

16. PV3 0,88 0,23 0,85 12,79

PV 2,56 0,81 2,19

17. LTF1 0,79 0,37 0,62 0,00

18. LTF2 0,84 0,29 0,71 12,64

19. LTF3 0,83 0,31 0,69 12,36

20. LTF3 0,79 0,37 0,62 11,64

LTF 3,25 1,34 2,64

21. LTE1 0,90 0,19 0,81 0,00

22. LTE2 0,93 0,13 0,86 20,36

23. LTE3 0,93 0,14 0,86 20,06

LTE 2,76 0,46 2,54

Nilai loading pada model ini

untuk masing-masing variabel latennya

yaitu: (1) SE: 2,54 (2) SQ: 3,95. (3)

CS: 2,70. (4) PV: 2,56 (5) LTF: 3,25

dan (6) LTE: 2,76. Sedangkan jumlah

error dari loadingnya untuk variabel

laten masing-masing adalah : (1) SE:

3,13 (2) SQ: 1,77. (3) CS: 0,57. (4)

PV: 0,81 (5) LTF: 1,34 dan (6) LTE:

0,46.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis data diperoleh dari hasil

pengujian terhadap hipotesis. Tujuan

dari pengujian hipotesis adalah untuk

menolak hipoetsis nol (H0) sehingga

hipotesis alternative (Ha) bias diterima.

Hal ini dapat dilakukan dengan melihat

signifikansi tiap-tiap hubungan.

Adapun batas toleransi kesalahan yang

digunakan adalah 5%. Apabila t <

alpha atau t > 0,05 maka terdapat

pengaruh yang signifikan antara

variable x terhadap variable y. Pada

Tabel 12 merupakan penjelasan dari

hasil pengujian hipotesis yaitu sebagai

berikut:

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438

434

Tabel 3.

Hasil Pengujian Hipotesis

Hipotesis

Koefisien

Parameter t value t Tab Keputusan

H 1 Service Quality-Perceived Value 0,41 5,15 1,96

H1

Diterima

H 2 Service Quality-Loyalty to the firm 0,21 3,57 1,96

H2

Diterima

H 3 Perceived Value-Loyalty to the firm 0,39 5,98 1,96

H3

Diterima

H 4 Perceived Value-Customer Satisfaction 0,39 5,71 1,96

H4

Diterima

Hipotesa 1

Hipotesa pertama menguji apakah

Service Quality mempunyai pengaruh

terhadap Perceived Value. Berikut ini

adalah penyusunan hipotesis null (Ho)

dan hipotesis alternatifnya (Ha) :

Ho1: Service Quality tidak mempunyai

pengaruh terhadap Perceived Value

Ha1: Service Quality mempunyai

pengaruh terhadap Perceived Value

Berdasarkan dari hasil pengujian data

untuk hipotesis pertama diperoleh

nilai t-value 5,15 > 1,96 menunjukkan

bahwa Ha1 mendukung yang berarti

Service Quality mempunyai pengaruh

terhadap Perceived Value. Sedangkan

untuk hasil nilai koefisien parameter

sebesar 0,41 menunjukkan bahwa

Service Quality memiliki hubungan

yang positif dan searah terhadap

Perceived Value.

Hipotesa 2

Hipotesa kedua menguji apakah

Service Quality mempunyai pengaruh

terhadap Loyalty to the firm. Berikut ini

adalah penyusunan hipotesis null (Ho)

dan hipotesis alternatifnya (Ha) :

Ho2: Service Quality tidak mempunyai

pengaruh terhadap Loyalty to the firm

Ha2: Service Quality mempunyai

pengaruh terhadap Loyalty to the firm

Berdasarkan dari hasil pengujian data

untuk hipotesis kedua diperoleh nilai t-

value 3,57 > 1,96 menunjukkan bahwa

Ha2 mendukung yang berarti Service

Quality mempunyai pengaruh terhadap

Loyalty to the firm. Sedangkan untuk

hasil nilai koefisien parameter sebesar

0,21 menunjukkan bahwa Service

Quality memiliki hubungan yang

positif dan searah terhadap Loyalty to

the firm.

Hipotesa 3

Hipotesa ketiga menguji apakah

Perceived Value mempunyai pengaruh

terhadap Loyalty to the firm. Berikut ini

adalah penyusunan hipotesis null (Ho)

dan hipotesis alternatifnya (Ha) :

Ho3: Perceived Value tidak

mempunyai pengaruh terhadap Loyalty

to the firm

Ha3: Perceived Value mempunyai

pengaruh terhadap Loyalty to the firm

Berdasarkan dari hasil pengujian data

untuk hipotesis ketiga diperoleh nilai t-

value 5,98 > 1,96 menunjukkan bahwa

Ha3 mendukung yang berarti Perceived

Value mempunyai pengaruh terhadap

Loyalty to the firm. Sedangkan untuk

hasil nilai koefisien parameter sebesar

0,39 menunjukkan bahwa Perceived

Value memiliki hubungan yang positif

dan searah terhadap Loyalty to the firm.

Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)

435

Hipotesa 4

Hipotesa keempat menguji apakah

Perceived Value mempunyai pengaruh

terhadap Customer Satisfaction.

Berikut ini adalah penyusunan

hipotesis null (Ho) dan hipotesis

alternatifnya (Ha) :

Ho4: Perceived Value tidak

mempunyai pengaruh terhadap

Customer Satisfaction

Ha4: Perceived Value mempunyai

pengaruh terhadap Customer

Satisfaction

Berdasarkan dari hasil pengujian data

untuk hipotesis keempat diperoleh nilai

t-value 5,71 > 1,96 menunjukkan

bahwa Ha4 mendukung yang berarti

Perceived Value mempunyai pengaruh

terhadap Customer Satisfaction.

Sedangkan untuk hasil nilai koefisien

parameter sebesar 0,39 menunjukkan

bahwa Perceived Value memiliki

hubungan yang positif dan searah

terhadap Customer Satisfaction.

Pembahasan

Berdasarkan hasil pengujian hipotesa

pada Tabel 14 diatas, dari sembilan

hipotesa yang digunakan, variabel

service encounter, service quality,

perceived value mempunyai pengaruh

terhadap customer satisfaction, loyalty

to the firm, dan loyalty to the employee.

Adapun pembahasan keempat hipotesa

yang digunakan adalah sebagai berikut:

Hipotesa 1

Berpengaruhnya service quality

terhadap perceived value menunjukkan

bahwa Bank BNI berupaya agar service

quality yang telah terbentuk dapat

dijalankan dengan benar. Hal ini

menjadi prioritas utama perusahaan

dalam memberikan nilai yang lebih

yang akan diterima oleh nasabah.

Dengan menjaga service quality

tersebut perusahaan akan terus menjaga

apa yang sudah diberikan kepada para

pelangganya sehingga berusaha untuk

memberikan nilai yang lebih yang akan

diterima oleh nasabah. Penelitian ini

sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Jayawardhena (2010)

dimana Service quality memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap

perceived value.

Hipotesa 2

Berpengaruhnya service quality

terhadap loyalty to the firm

menunjukkan bahwa kualitas jasa

sangat diperhatikan oleh Bank BNI.

Kemudian tercipta kepuasan yang

diterima oleh para nasabah Bank BNI.

Sehingga membuat nasabah loyal

terhadap Bank BNI. Logikanya disini

adalah bahwa semakin besar persepsi

Service Quality secara keseluruhan,

semakin besar kemungkinan pelanggan

akan terlibat dalam perilaku bermanfaat

bagi perusahaan, misalnya, loyalitas

kepada perusahaan. Penelitian ini

sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Jayawardhena (2010)

dimana Service quality memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap

loyalty to the firm.

Hipotesa 3

Berpengaruhnya perceived value

terhadap loyalty to the firm

menunjukkan bahwa Bank BNI sangat

menjaga kualitas jasa sehingga nilai

yang tercipta harus sesuai dengan nilai

yang dikeluarkan oleh nasabah.

Nasabah menunjukkan perilaku

ketertarikan terhadap penyedia jasa

selama hubungan relasi yang ada

memberikan nilai unggul. Nilai dari

suatu produk Bank BNI juga sangat

baik sehingga menjadikan nasabah

loyal terhadap Bank BNI. Penelitian ini

sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Jayawardhena (2010)

dimana perceived value memiliki

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438

436

pengaruh yang signifikan terhadap

loyalty to the firm.

Hipotesa 4

Berpengaruhnya perceived value

terhadap customer satisfaction

menunjukkan Bank BNI sangat

menjaga kualitas jasa sehingga nilai

yang tercipta harus sesuai dengan nilai

yang dikeluarkan oleh nasabah. Hal ini

terlihat kepuasan nasabah merupakan

konsekuensi dari nilai yang dirasakan.

Nasabah menekankan bahwa penentu

pertama dari keseluruhan kepuasan

pelanggan adalah persepsi kualitas

yang diterima yang kedua sebagai

penentu kepuasan pelanggan secara

keseluruhan dianggap adalah nilai yang

dirasakan. Nilai dari suatu produk Bank

BNI juga sangat baik sehingga

menjadikan nasabah puas akan layanan

Bank BNI. Penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh

Jayawardhena (2010) dimana perceived

value memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap customer

satisfaction.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil temuan dari penelitian ini pada

industri jasa Bank BNI dengan jelas

memperlihatkan hasil untuk hipotesis

H1 bahwa service quality mempunyai

pengaruh yang signifikan terhadap

perceived value. Kondisi ini didukung

dengan hubungan positif dan signifikan

dari keseluruhan dimensi service

quality terhadap perceived value.

Sedangkan untuk hipótesis H2 bahwa

service quality mempunyai pengaruh

terhadap loyalty to the firm. Kondisi ini

didukung dengan hubungan positif dan

signifikan dari keseluruhan dimensi

service quality terhadap loyalty to the

firm. Kemudian hipótesis H3 bahwa

perceived value mempunyai pengaruh

terhadap loyalty to the firm. Kondisi ini

didukung dengan hubungan positif dan

signifikan dari keseluruhan dimensi

perceived value terhadap loyalty to the

firm. Selanjutnya untuk hipótesis H4

bahwa perceived value mempunyai

pengaruhnya terhadap customer

satisfaction. Kondisi ini didukung

dengan hubungan positif dan signifikan

dari keseluruhan dimensi perceived

value terhadap customer satisfaction.

Saran Untuk Penelitian Selanjutnya Penelitian ini hanya dilakukan di Bank

BNI cabang Harmoni dan hanya

mengambil sampel sebanyak 185

responden. Perlu juga objek penelitian

ini dilakukan dengan membedakan

jenis bank dengan memperbanyak

jumlah responden yaitu sebanyak 300-

500 responden sehingga dapat

teridentifikasi karateristik konsumen

dari berbagai macam industri jasa

tersebut. Untuk penelitian selanjutnya,

dapat dimasukkan variabel – variable

lainnya seperti word of mouth, firm

reputation, dan lainnya sehingga

indikator terhadap service quality

ataupun customer satisfaction ada

beberapa macam sehingga semuanya

itu bisa diterapkan dan diapplikasikan

dalam sebuah perusahaan yang

bertujuan untuk membina hubungan

baik dengan para pelanggannya.

DAFTAR PUSTAKA

Bitner, M.J. (1990), “Evaluating

service encounters: the

effects of physical

surrounding on employee

responses”, Journal of

Marketing, Vol. 54 No. 2,

pp. 69-82.

Bitner, M.J., Booms, B.H. and Mohr,

L.A. (1994), “Critical

service encounters: the

employees’ viewpoint”,

Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)

437

Journal of Marketing, Vol.

58, pp. 95-106.

Bitner, M.J., Booms, B.H. and Tetrault,

M.S. (1990), “The service

encounter: diagnosing

favorable and unfavorable

incidents”, Journal of

Marketing, Vol. 54, pp. 71-

84.

Brady, M.K. and Cronin, J.J. Jr (2001),

“Some new thoughts on

conceptualizing perceived

service quality: a

hierarchical approach”,

Journal of Marketing, Vol.

65 No. 3, pp. 34-49.

Cronin, J.J. Jr and Taylor, S.A. (1992),

“Measuring service quality

– a re-examination and

extension”, Journal of

Marketing, Vol. 56, pp. 55-

68.

Cronin, J.J. Jr and Taylor, S.A. (1994),

“SERVPERF Versus

SERVQUAL: reconciling

performance-based and

perceptions-minus-

expectations measurement

of service quality”, Journal

of Marketing, Vol. 58, pp.

125-31.

Cronin, J.J. Jr, Brady, M.K. and Hult,

G.T. (2000), “Assessing the

effects of quality, value, and

customer satisfaction on

consumer behavioral

intentions in service

environments”, Journal of

Retailing, Vol. 76 No. 2, pp.

193-218.

Choi, K.-S., Hanjoon, L., Chankon, K.

and Sunhee, L. (2005), “The

service quality dimensions

and patient satisfaction

relationships in South

Korea: comparisons across

gender, age and types of

service”, Journal of Services

Marketing, Vol. 19 No. 3,

pp. 140-9.

Czepiel, J.A. (1990), “Service

encounters and service

relationships: implications

for research”, Journal of

Business Research, Vol. 20

No. 1, pp. 13-21.

Dwyer, F.R., Schurr, P.H. and Oh, S.

(1987), “Developing buyer-

seller relationships”, Journal

of Marketing, Vol. 51,

April, pp. 11-27.

Fornell, C., Johnson, M.D., Anderson,

E.W., Cha, J. and Bryant,

B.E. (1996), “The American

customer satisfaction index:

nature, purpose, and

findings”, Journal of

Marketing, Vol. 60 No. 4,

pp. 7-18.

Fournier, S. and Mick, D.G. (1999),

“Rediscovering

satisfaction”, Journal of

Marketing, Vol. 63, pp. 5-

24.

Grewal, D., Krishnan, R., Baker, J. and

Borin, N. (1998), “The

effect of store name, brand

name and price discounts on

consumers’ evaluations and

purchase intentions”,

Journal of Retailing, Vol. 74

No. 3, pp. 331-52.

Gupta, S. and Zeithaml, V.A. (2006),

“Customer metrics and their

impact on financial

performance”, Marketing

Science, Vol. 25 No. 6, pp.

718-39.

Hartline, M.D., Woolridge, B.R. and

Jones, K.C. (2003), “Guest

perceptions of hotel quality:

determining which

employee groups count

most”, Cornell Hotel and

Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438

438

Administration Quarterly,

Vol. 44 No. 1, pp. 43-53.

Hermawan, A (2003) Pedoman praktis

metodologi bisnis cetakan I

LPFE. Universitas Trisakti.

Jakarta.

Jasfar F (2005). Manajemen jasa:

pendekatan terpadu Cetakan

I Ghalia Indonesi. Bogor

Jayawardhena, C., Souchon, A.L.,

Farrell, A.M. and Glanville,

K. (2007), “Outcomes of

service encounter quality in

a business-to-business

context”, Industrial

Marketing Management,

Vol. 36 No. 5, pp. 575-88.

Mowday, R.T., Steers, R.M. and Porter,

L.W. (1979), “The

measurement of

organizational

commitment”, Journal of

Vocational Behavior, Vol.

14, pp. 224-47.

Namasivayam, K. and Hinkin, T.R.

(2003), “The customer’s

role in the service

encounter: the effects of

control and fairness”,

Cornell Hotel and

Restaurant Administration

Quarterly, Vol. 44 No. 3,

pp. 26-34.

Oliver, R.L. (1997), Satisfaction: A

Behavioral Perspective on

the Consumer, McGraw

Hill, New York, NY.

Parasuraman, A. and Grewal, D.

(2000), “The impact of

technology on the quality-

value-loyalty chain: a

research agenda”, Journal of

the Academy of Marketing

Science, Vol. 28 No. 1, pp.

168-74.

Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and

Berry, L.L. (1985), “A

conceptual model of service

quality and its implications

for future research”, Journal

of Marketing, Vol. 49, pp.

41-50.

Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and

Berry, L.L. (1986),

SERVQUAL: A Multiple-

Item Scale for Measuring

Customer Perceptions of

Service Quality, Report,

Marketing Science Institute

No. 86-108, August.

Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and

Berry, L.L. (1988),

“SERVQUAL: a multiple-

item scale for measuring

consumer perceptions of

service quality”, Journal of

Retailing, Vol. 64 No. 1, pp.

12-40.

Parasuraman, A., Zeithaml, V.A, &

Berry, L. (1994),

Reassessment of

Expectations as a

Comparison Standard in

Measuring Service Quality:

Implications for Further

Research. Journal of

Marketing, 58 (January),

111-124.