105
ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA NUSANTARA ATAS KATA KUFR DALAM AL-QURAN Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Muhammad Asy’war Saleh NIM. 11140340000011 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M

ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

  • Upload
    vucong

  • View
    231

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA

NUSANTARA ATAS KATA KUFR DALAM AL-QURAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Muhammad Asy’war Saleh

NIM. 11140340000011

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

Page 2: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-
Page 3: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-
Page 4: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-
Page 5: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

i

ABSTRAK

Muhammad Asy’war Saleh

Antara Teks Dan Konteks: Penafsiran Ulama Nusantara Atas Kata Kufr

Dalam al-Quran

Kajian ini mendiskusikan tentang penafsiran ulama nusantara atas kata kufr

dalam Q.s. al-Nisā’/4: 112-114 dan Q.s. al-An‘ām/6: 27-29 dengan melihat realitas

yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

tafsir Indonesia atas persoalan kafir dengan menggunakan pendekatan semantik-

historis belum banyak dilakukan.

Dalam mendiskusikan fokus kajian di atas, penulis mengimplementasikan

tahap-tahap semantik-historis sebagai berikut:

1. Menentukan makna dasar yang menjadi tolak ukur dalam menjelaskan

kata kufr. Maka dari itu penulis menetapkan dua makna dasar yaitu

‘tidak berterima kasih’ dan ‘tidak percaya’ yang dapat mewakili medan

semantik dari kata kufr.

2. Menganalisa sejarah kedua makna di atas dengan menggunakan analisis

semantik historis yaitu masa pra-Islam, masa al-Quran diturunkan dan

pasca al-Quran.

3. Melihat relevansi penafsiran Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish

Shihab dengan realitas yang terjadi saat mereka menuliskan kitab

tafsirnya. hal ini untuk melihat bahwa penafsiran yang dilakukan oleh

mufassir Indonesia sesuai dengan realitas pada zamannya.

Penulis menemukan konteks sosio-historis memberikan pengaruh yang

cukup spesifik dalam memahami teks al-Quran, khususnya makna kufr. Dalam

mendiskusikan makna kufr, Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab melihat

konteks realita sosial yang terjadi pada masanya (menafsirkan kafir dengan melihat

perilaku dan keseharian masyarakat di Indonesia). Selain itu, menurut penulis

Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab ketika mendiskusikan kufr sebagai

‘tidak berterima kasih’, mereka berangkat dari realita dan mengesampingkan

sejarah kata kufr pra-Islam. Oleh karena itu, penafsiran yang mereka lakukan

bersifat parsial dalam merujuk kepada ayat-ayat al-Quran, pendefinisian terhadap

term kufr juga subyektif dan terkesan kasuistik.

Subyektif, karena penafsiran Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab

pada ayat yang lain memaknai kufr bukan sekedar dekadensi moral melainkan sikap

ketidak percayaan ditunjukkan melalui perbuatannya yang menolak Allah, Rasul-

Nya, Kitab-Nya dan segala yang terkait eskatologis. Akibatnya pemaknaan yang

dihasilkan tidak lagi bersifat umum, namun kāfir sudah menunjuk kepada mereka

yang non-Muslim. Kasuistik, karena penafsiran yang dihasilkan berdasarkan

kejadian tertentu dan mereka lahir di negara Indonesia yang memiliki beragam

kepercayaan dan penganutnya sehingga rawan terjadi konflik, baik itu internal

(sesama Islam) maupun eksternal (selain Islam). Terlebih lagi penafsiran mereka di

motivasi oleh masyarakat untuk membuat kitab tafsir yang sesuai dengan

perkembangan zaman.

Kata kunci: Teks, Konteks, Tafsir Nusantara, Kufr, Semantik Historis.

Page 6: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

ii

KATA PENGANTAR

Alḥamdulillāh adalah kata yang pantas untuk mengawali pengantar ini,

karena Allah adalah Tuhan satu-satunya yang telah memberikan karunia dan nikmat

tak terhingga baik itu penglihatan, pendengaran, napas, akal untuk berpikir,

sehingga penulis dapat diberikan kesempatan untuk belajar dan menyelesaikan

studi strata satu. Penulis sekali lagi mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga

atas karunia dan rahmat-Nya yang tidak terbatas dan tidak akan pernah bisa habis

terhitung dengan keterbatasan akal manusia. Ṣalawat serta salam kita kirimkan

kepada Rasulullah Saw., sosok yang menjadi tauladan bagi keluarga, sahabat,

tabi’in dan generasi setelahnya yang menjadi pengikut hingga akhir zaman.

Tanpa izin dan nikmat yang telah diberikan Allah maka skripsi ini tidak

akan selesai tepat pada waktunya. Penyelesaian skripsi ini juga melibatkan banyak

pihak yang tanpanya karya ini akan banyak mengalami keterlambatan dan

kesalahan. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih

yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansur, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para staf

pembantu dekan.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur’an

dan Tafsir dan ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris Program

Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.

4. Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA., selaku dosen pembimbing skripsi yang

selalu memberikan dedikasinya kepada penulis, bersabar memberikan ilmu dan

arahan selama penulis berada di bawah bimbinannya. Beliau juga telah

memberikan saran dan nasehat yang sangat berarti bagi penulis dan bisa

diaplikasikan ke masyarakat.

5. Segenap jajaran dosen dan civitas akademik Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu tanpa mengurangi

rasa hormat, khususnya program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang ikhlas,

Page 7: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

iii

tulus dan sabar untuk mendidik kami agar menjadi manusia yang berakhlak

mulia dan berintelektual.

6. Kedua orang tuaku tercinta, ayahanda Muhammad Saleh Kasau dan ibunda

Arisminah yang mendukung dan menyemangati anaknya dari tanah rantau

yang jauh, bahkan jarang berkumpul bersama. Tanpa do’a dan dukungan dari

keduanya maka penulis tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal.

7. Saudara-saudariku, Muhammad Asy’ari Saleh, Tri Anggryani Saleh,

Muhammad Asy’min Saleh dan Muhammad Asy’mar Saleh yang selalu

memberikan motivasi dan kebahagiaan untuk selalu semangat dalam menuntut

ilmu.

8. Seluruh teman-teman Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014, terutama

IQTAF A dan KKN Bringin yang setia mendukung serta memberikan do’anya

kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

9. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan, baik secara langsung

maupun tidak, tanpa mengurangi rasa hormat penulis mengucapkan terima

kasih yang sebanyak-banyaknya untuk membantu pengerjaan skripsi ini.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat

banyak kekurangan, bahkan kesalahan dan kekeliruan dalam penelitian ini

memungkinkan untuk terjadi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan

saran yang sifatnya konstruktif, bukan dengan tujuan destruktif atau menjatuhkan

penulis agar penulisan karya ilmiah ke depannya menjadi lebih baik. Harapan

penulis semoga skripsi ini menjadi bermanfaat bagi pembaca untuk menambah

wawasan dan semoga Allah Swt. memberikan riḍa-Nya dan balasan yang berlipat

ganda atas kebaikan seluruh pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi

ini.

Āmīn yā Rabb al-‘Ālamīn.

Ciputat, April 2018

Muhammad Asy’war Saleh

Page 8: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ........................................................................... 7

C. Perumusan dan Pembatasan Masalah................................................. 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 9

E. Metodologi Penelitian ...................................................................... 10

F. Kajian Pustaka .................................................................................... 11

G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 14

BAB II TEKS, KONTEKS DAN TAFSIR

A. Menelusuri Teks ................................................................................. 16

B. Memahami Konteks .......................................................................... 17

C. Tafsir Sebagai Penghubung Teks dan Konteks .................................. 19

BAB III GAMBARAN UMUM KONSEP KUFR

A. Definisi Kufr ...................................................................................... 24

B. Macam-Macam Kafir ......................................................................... 30

C. Sikap Terhadap Orang-Orang Kafir ................................................... 37

BAB IV TAFSIR ULAMA NUSANTARA

A. Selayang Pandang Tafsir Qur’an Karīm ............................................ 43

1. Biografi Mahmud Yunus ............................................................. 43

Page 9: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

v

2. Karya-Karya Tulis Mahmud Yunus ............................................. 44

B. Selayang Pandang Tafsir al-Azhar ..................................................... 46

1. Biografi Buya Hamka .................................................................. 46

2. Karya-Karya Tulis Buya Hamka .................................................. 47

C. Selayang Pandang Tafsir al-Miṣbāḥ .................................................. 50

1. Biografi M. Quraish Shihab ......................................................... 51

2. Karya-Karya Tulis Quraish Shihab .............................................. 52

BAB V KONTEKSTUALISASI PENAFSIRAN ULAMA NUSANTARA

ATAS MAKNA KAFIR

A. Makna Kufr Sebelum Islam ............................................................... 55

B. Makna Kufr Pada Sistem al-Quran dan Pasca al-Quran .................... 56

C. Penafsiran Ulama Nusantara atas Q.s. al-Nisā’/4: 112-114 ............... 67

D. Penafsiran Ulama Nusantara atas Q.s. al-An‘ām/6: 27-29 ................ 72

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 80

B. Saran ................................................................................................... 83

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 84

Page 10: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih

aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga

konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.

Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja

oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen,

khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol dalam

penerapan dan konsistensinya.

Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara

lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementian Agama dan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,

kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan

digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New

Roman, atau Times New Arabic.

Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulisan tugas akhir,

penulis menggunakan Pedoman Penulisan: Bahasa Indonesia, Transliterasi dan

Pembuatan Notes Dalam Karya Ilmiah, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, (Agustus 2011).

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan أ

Page 11: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

vii

b Be ب

t Te ت

th te dan es ث

j Je ج

ḥ h dengan titik di bawah ح

kh ka dan ha خ

d De د

dh de dan ha ذ

r Er ر

z Zet ز

s Es س

sh es dan ye ش

ṣ es dengan titik di bawah ص

ḍ de dengan titik di bawah ض

ṭ te dengan titik di bawah ط

Page 12: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

viii

ẓ zet dengan titik di bawah ظ

‘ ع

koma terbalik di atas hadap ke

kanan

gh ge dan ha غ

f Ef ف

q Ki ق

k Ka ك

l El ل

m Em م

n En ن

w We و

h Ha ھ

Koma atas hadap ke kiri ’ ء

y Ye ي

Page 13: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

ix

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal

tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin

Keterangan

A Fatḥah ــــــ

I Kasrah ــــــ

U Ḍammah ــــــ

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin

Keterangan

ي ــــــ īy i dengan garis di atas

ي ــــــ ay a dan y

و ــــــ aw a dan w

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam

bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin

Keterangan

ā a dengan garis di atas ـــا

ـيــ á a dengan apostrof di atas

ī i dengan garis di atas ـــي

ū u dengan garis di atas ـــو

Page 14: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

x

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah

maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl, al-dīwān bukan ad-

dīwān.

5. Shaddah (tashdīd)

Shaddah atau tashdîd yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan sebuah tanda ( ــــ ـ ) dalam alih aksara ini

dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi

tanda shaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang

menerima tanda shaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti

oleh huruf-huruf shamsiyyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-Ḍarūrah

melainkan al-Ḍarūrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbūtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbūtah terdapat pada

kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf

/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbūtah

tersebut diikuti oleh kata sifat (na‘at) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf

ta marbūtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No. Kata Arab Alih Aksara

Ṭarīqah طريقة 1

Al-Jāmi’ah al-islāmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2

Page 15: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

xi

Waḥdat al-wujūd وحدة الوجود 3

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam

alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti

ketentuan yang berlaku dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia

(PUEBI) 2015, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal,

nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain. Jika nama diri didahului

oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal

nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abū

Hāmid al-Ghazālī bukan Abū Hāmid Al-Ghazālī, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan

dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)

atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak

miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang

berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan

meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis

Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-

Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-Rānīrī.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism), maupun huruf

(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara

Page 16: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

xii

atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-

ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

dhahaba al-ustādhu ذهب األستاذ

thabata al-ajru ث بت األجر

al-ḥarakah al-‘aṣriyyah احلركة العصرية

ه إال الل أشهد أن ال إل ashhadu an lā ilāha illā Allāh

Maulānā Malik al-Ṣāliḥ موالان ملك الصالح

yu’aththirukum Allāh ي ؤثركم الل

al-maẓāhir al-‘aqliyyah املظاهر العقلية

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.

Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu

dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nūr Khālis Majīd;

Mohamad Roem, bukan Muhammad Rūm; Fazlur Rahman, bukan Faḍl al-

Rahmān.

Page 17: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai teks bahasa, al-Quran dapat disebut sebagai teks sentral dalam

sejarah peradaban Arab. Oleh karena itu, Nasr Hamid Abu Zayd mengatakan

bahwa peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks. Artinya bahwa dasar-

dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri di atas landasan dimana

teks sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan.1 Pesan Tuhan pun tidak dipahami

sama dari waktu ke waktu, melainkan ia senantiasa dipahami selaras dengan

realitas serta kondisi sosial yang berjalan seiring dengan berlalunya zaman.

Dengan kata lain, wahyu Tuhan dipahami secara sangat variatif sesuai dengan

kebutuhan umat sebagai konsumennya.2 Dengan begitu, pada dasarnya

bukanlah teks yang membangun peradaban tetapi cara manusia berdialog

dengan teks di satu pihak serta dialektikanya dengan realitas di pihak lain.3

Pada dasarnya, proses pemaknaan sebuah kata, tidak dapat terlepas dari

studi bahasa dari kata tersebut. Dalam hal ini al-Quran memiliki bahasa

tersendiri dalam mengungkap sebuah makna yang terkadang berbeda dengan

kosakata yang dipahami oleh masyarakat Arab sebelumnya. Seperti kata

kafara, sebagai kata baru dalam medan semantik al-Quran, karena kata tersebut

memiliki makna yang tidak benar-benar sama dengan kata kafara yang

dipahami masyarakat Arab sebelum turun al-Quran. Ia diposisikan sebagai

lawan kata dari amana yang berarti beriman atau percaya.

Pemaknaan yang dilakukan oleh Izutsu di atas, menggunakan ilmu

semantik, yaitu kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa

dengan suatu pandangan bahasa tertentu. Pandangan ini bukan saja sebagai alat

bicara, tetapi lebih penting lagi pengkonsepan dan penafsiran dunia yang

melingkupinya.

1 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Quran,

diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), h. 1. 2 M. Nur Kholis Setiawan, “Urgensi Tafsir Dalam Konteks Keindonesiaan dan Pola

Pendekatan Tematik Kombinatif,” Tasamuh, vol. 4, no. 2 (2012); h. 2. 3 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Quran, h. 1.

Page 18: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

2

Dari sejumlah istilah-istilah kunci yang dijelaskan Izutsu yang terdapat

dalam al-Quran, kafir merupakan salah satu contoh kata yang memiliki banyak

derivasi kata dan makna yang beragam. Hal itu diperkuat dengan bukti yang

tercatat di dalam al-Quran sebanyak 525 kali.4 Lebih dari itu, kafir bukan

sekedar lingkaran poros (forms the very pivot round) yang mengelilingi

keseluruhan sifat-sifat negatif lainnya, akan tetapi kafir menempati posisi yang

sangat penting pada seluruh sistem etika al-Quran. Oleh karena itu, memahami

kata kafir secara terstruktur dan sistematis melalui semantik bisa dikatakan

merupakan prasyarat (prerequisite) bagi sebuah penilaian yang tepat sebagian

besar sifat-sifat positif.5

Misalnya dalam Q.s. al-Baqarah/2: 152 dimana kata kufr diletakkan

secara jelas berlawanan dengan kata shukr yang berarti ‘berterima kasih’:

أذكركم وٱشكروا . لي ول تكفروني فٱذكروني

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)

kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu

mengingkari (nikmat)-Ku.”

Kemudian dalam Q.s. al-Baqarah/2: 109 menunjukkan kata kufr

sebagai lawan dari iman ‘percaya’:

هيم عيندي م ين اٱلكيتبي لو ي ردونكم م ين ب عدي إيينيكم كفارا حسد أهلي م ين ود كثيري م ين أنفسي ما ب عدي مريهيۦ إي لم ت بي بي ٱلل تي

فٱعفوا وٱصفحوا حت ي

ع ٱلق .قدييرلى كل ي شيء ن ٱلل

“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat

mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena

dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi

mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai

Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa

atas segala sesuatu.”

Dalam Q.s. al-An‘am/6: 1 kufr digandengkan jelas dengan istilah

‘mempersekutukan’:

تي وٱلرض و تي وٱلنور ث ٱلمد لليي ٱلذيي خلق ٱلسم ٱلذيين كفروا بيره ييم وجعل ٱلظلم .ي عديلون

4 Muḥammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī’. Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Quran al-Karīm

(Bayrūt: Dār al-Fikr, 1992), h. 605-613. 5 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts In The Quran (Canada: McGill University

Press, 1966), h. 119.

Page 19: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

3

“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi dan

mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir

mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.”

Untuk memahami hubungan dari ketiga makna di atas maka perlu di

ingat bahwa tanda atau ayat Allah dipahami sebagai nikmat atau karunia-Nya

kepada manusia. Tanda-tanda tersebut kemudian memiliki konsekuensi bagi

manusia. Mereka yang membangkitkan kekaguman dan kehebatan Allah

sebagai Sang Pemilik tanda-tanda tersebut mempercayai akan Tuhan,

sedangkan yang mengingkarinya dikatakan kafir.6 Dengan demikian, dua

aspek di atas akan berakhir dengan penolakan terhadap Keesaan Allah atau

yang dikenal dengan istilah Politeisme, yaitu mereka yang menyembah berhala

dan dewa-dewa yang disebut sebagai anak Tuhan. Istilah yang paling umum

politeisme dikenal sebagai shirk.7

Akan tetapi, cara terbaik untuk memahami suatu kosakata adalah

dengan menguraikan kategori semantik dari sebuah kata menurut kondisi

pemakaian kata itu. Keadaan lingkungan apakah yang diperlukan apabila kata

tersebut dipergunakan secara tepat untuk menggambarkan peristiwa tertentu.

Dengan menjawab hal itu, maka pemahaman akan kosakata sampai kepada

makna yang benar mengenai sebuah kata tertentu.8

Saat ini telah banyak pemikir muslim yang mencoba untuk menafsirkan

al-Quran dan mencoba untuk menjawab permasalahan umat Islam di zaman

ini, baik itu sarjana dari Timur maupun Barat, bahkan para ulama Nusantara

mencoba melakukan pendekatan modern ke dalam kitab tafsirnya. Hal itu

diperkuat berdasarkan sejumlah penelitian yang dilakukan oleh sarjana-sarjana

di bidang tafsir. Islah Gusmian misalnya, dalam penelitiannya mengemukakan

bahwa tradisi penulisan tafsir di Indonesia dasawarsa 1990-an telah melahirkan

berbagai wacana yang beragam. Dari segi tema yang diangkat, terlihat bahwa

karya tafsir di Indonesia dasawarsa 1990-an sangat terkait dengan wacana dan

problem-problem pemikiran yang sedang berkembang di tengah masyarakat.9

6 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts In The Quran, h. 124. 7 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts In The Quran, h. 130. 8 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts In The Quran, h. 13. 9 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi

(Yogyakarta: LkiS, 2013), h. 377-378.

Page 20: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

4

Dalam segi corak penafsiran misalnya, Mahmud Yunus menggunakan adābi

al-ijtimā‘ī dengan mengaitkan kejadian sosial kemasyarakatan yang terjadi

pada waktu itu dan kitab Tamshiah al-Muslimin juga menggunakan corak

adābi al-ijtimā‘ī untuk menjawab persoalan sosial yang terjadi saat itu.10

Artinya, penafsiran ulama Nusantara dipengaruhi oleh fenomena sosial yang

terjadi saat mereka menuliskan kitab tafsirnya.

Di Indonesia, karya tafsir al-Quran yang lahir, juga berasal dari ruang

sosio-kultural yang memiliki keragaman. Sejak era Abdurrauf Singkil pada

abad ke-17 hingga Quraish Shihab pada awal abad ke-21, karya-karya tafsir

nusantara lahir di tangan para intelektual Muslim dengan basis sosial yang

beragam. Bahkan peran yang dimainkan pada masanya beragam, seperti

penasehat pemerintah, guru, kiai di pesantren, surau atau madrasah. Oleh

karena itu, peran-peran mereka itu mencerminkan basis sosial dimana mereka

mendedikasikan hidupnya untuk agama dan masyarakat khususnya

perkembangan khazanah keilmuan dalam bidang tafsir.11

Howard M. Federspiel telah menelisik lebih jauh terhadap khazanah

tafsir di Indonesia. Ia membuat pembagian kemunculan dan perkembangan

tafsir al-Quran di Indonesia yang didasarkan ke dalam tiga generasi yang

kemudian ditambahkan oleh Islah Gusmian.12 Periode pertama yaitu pada

permulaan abad ke-20 hingga tahun 1960-an dimana tradisi penafsiran

bergerak dalam model yang masih sederhana. Di antara tafsir yang masuk

dalam periode pertama yaitu Tafsir Quran Karim13 karya Mahmud Yunus dan

Al-Furqan: Tafsir al-Quran14 karya Ahmad Hassan. Periode kedua antara

tahun 1970-an hingga 1980-an yang masih menggunakan model teknis

penyajian dan obyek tafsir dalam periode pertama. Karya tafsir yang masuk ke

periode ini yaitu Tafsir al-Azhar15 karya Haji Abdul Malik Abdul Karim

10 Rifa Roifa, dkk., “Perkembangan Tafsir di Indonesia (Pra Kemerdekaan 1900-1945),”

al-Bayan: Jurnal Studi al-Quran dan Hadis, vol. 2, no. 1 (Juni 2017); h. 35. 11 Islah Gusmian, “Tafsir al-Quran di Indonesia: Sejarah dan Dinamika,” Nun, vol. 1, no. 1

(2015); h. 4. 12 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi, h. 59. 13 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 2002). 14 Ahmad Hassan, Al-Furqan: Tafsir al-Quran (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah, 1956). 15 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982).

Page 21: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

5

Abdullah dan Tafsir Rahmat16 karya H. Oemar Bakry. Periode ketiga yaitu

dasawarsa 1990-an terjadi proses kreatif dalam penulisan tafsir. Di antara kitab

tafsir yang masuk ke periode ini adalah Tafsir al-Miṣbāḥ: pesan, kesan dan

keserasian al-Quran17 karya M. Quraish Shihab.

Salah satu fenomena persoalan sosial di Indonesia yang selalu

diperbincangkan di tengah masyarakat adalah masalah kafir atau takfīr (kafir-

mengkafirkan. Sepanjang sejarah Nusantara, atau wilayah sekarang yang

dikenal dengan sebutan Indonesia, kontestasi dan perebutan otoritas

keagamaan telah muncul seiring dengan bersemainya beragam gagasan dan

penafsiran teks-teks keagamaan oleh kelompok penafsir dengan

kecenderungan yang terkadang saling berhadapan.18

Oleh karena itu, di satu sisi sebagian penafsir yang kemudian menjadi

kelompok mayoritas diidentifikasi sebagai kaum ortodoks yang

mempraktikkan doktrin serta ritual keagamaan yang diyakini ‘benar.

Sementara di sisi lain, kelompok minoritas, diidentifikasi sebagai heterodoks

karena dianggap berbeda dengan norma-norma yang diyakini kebenarannya

oleh kelompok mayoritas di atas.19

Di Indonesia, istilah kafir telah digunakan pada masa Nuruddin ar-

Raniri, seorang ulama ortodoks yang lebih mementingkan pengalaman syariah,

dengan mengeluarkan fatwa bahwa doktrin wujudiyyah yang diajarkan oleh al-

Sumatrai dan pendahulunya, Hamzah Fansuri telah menyimpang dari akidah

Islam, sehingga mereka yang tidak mau bertobat dan menolak meninggalkan

paham tersebut, dapat dianggap kafir dan dijatuhi hukuman mati.20

Konflik keagamaan antara Muslim ortodoks yang berpegang dengan

aspek legal formal syariat dengan para penganut paham mistik Islam juga

terjadi di Jawa. Tahun 1726 yaitu Peristiwa di Desa Cebolek, Tuban, Jawa

16 Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (Jakarta: Mutiara, 1984). 17 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran (Jakarta:

Lentera Hati, 2012). 18 Oman Fathurrahman, “Sejarah Pengkafiran dan Marginalisasi Paham Keagamaan di

Melayu dan Jawa,” Analisis, vol. 11, no. 2 (Desember 2011); h. 448. 19 Oman Fathurrahman, “Sejarah Pengkafiran dan Marginalisasi Paham Keagamaan di

Melayu dan Jawa, h. 448. 20 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII

dan XVIII (Bandung: Penerbit Mizan, 1994), cet. 2, h. 182.

Page 22: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

6

Timur (1726-1749), KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak diadili karena tuduhan

melanggar syariat dan karena mengklaim menjadi satu-satunya ulama yang

‘ālim dan ‘ādil. Dia mengatakan bahwa menurut syariat, semua pernikahan

yang diselenggarakan oleh penghulu adalah haram, karena mereka ini adalah

pejabat-pejabat pemerintah kafir. Demikian pula, salat jum‘at yang dilakukan

di masjid lain selain dari masjidnya adalah haram, karena tidak memenuhi

rukun yang diwajibkan.21 Tahun 1950-an, ketika gerakan DI/TII yang

dipelopori oleh S. M. Kartosoewirjo, secara tegas ia menyatakan bahwa bentuk

konkret kekuasaan itu adalah al-Jumhūriyyah al-Indūnisīyah yang dikenal

dengan Darul Islam yang memiliki kekuatan dari segi militer yaitu Tentara

Islam Indonesia (TII). Kartosoewirjo memproklamirkan Negara Islam

Indonesia (NII) pada 7 agustus 1949 di Malambong, Jawa Barat. Kelompok

Islam ini melontarkan tuduhan: “Republik Indonesia (itu) kafir.” Kelompok

Islam ini ingin membubarkan Republik Indonesia dan menggantinya dengan

Darul Islam (DI) tahun 1950-an. Kartosoewirjo memimpin Darul Islam di Jawa

Barat, Kahar Mudzakar di Sulawesi Selatan, Ibnu Hajar mengomandani

pemberontakan di Kalimantan Selatan.22 November 2017, kata kafir kembali

digunakan oleh seorang anak usia belia yang duduk di bangku sekolah PAUD

dan mengatakan pada ibunya tidak ingin pergi ke mal karena itu milik orang

kafir. Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) menyebut jika ideologi

terorisme di Indonesia telah merambah hingga ke anak di bawah umur. Kepala

BNPT, Suhardi Alius, mendapatkan kabar dari pengamat terorisme, Solahudin,

bahwa radikalisme sudah masuk ke anak PAUD.23 Dengan demikian,

penggunaan kafir pertama kali ditujukan kepada mereka yang non-muslim atau

beragama selain Islam.

Demikianlah sejarah ortodoksi dan heterodoksi paham keagamaan di

Nusantara. Satu sisi telah melahirkan teks-teks sastra dan keislaman yang

cukup kaya, sehingga turut memperkaya tradisi aksara dan intelektual Islam,

21 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991) ,h. 123. 22 Cornelis Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Diterjemahkan oleh J.

Moeliono (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), h. 84. 23 Harry Siswoyo, “Bocah PAUD Tolak ke Mal Karena Anggap Milik Kafir,” artikel

diakses pada 18 Januari 2018 dari https://www.viva.co.id/berita/nasional/978007-bocah-paud-tolak-

ke-mal-karena-anggap-milik-kafir

Page 23: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

7

baik di Melayu maupun Jawa. Akan tetapi di sisi lain, pertentangan tersebut

tidak jarang menghadirkan marginalisasi bahkan penghukuman satu pihak

terhadap pihak lain.

Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang kafir

diperlukan sebuah pendekatan yang relevan sebagai upaya untuk memahami

makna atau pesan teks. Al-Quran hadir dalam bentuk ungkapan yang metaforis

dan lahir pada kondisi historis tertentu yang kemudian muncul berbagai kitab

tafsir yang menjelaskan al-Quran. Sejalan dengan meningkatnya taraf

kemampuan daya pikir manusia, sehingga mempunyai pengaruh nyata dari

cara penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi sosio-kultural

mufassir, baik mufassir klasik maupun modern.24

Bila saat ini terjadi kondisi sosio-historis yang berbeda dengan saat

Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab menyusun kitab tafsirnya, apakah

kerja mereka pun akan sama. Untuk itulah, upaya penelitian ini menjadi

penting agar bisa melihat heterogenitas makna pada satu konsep dan tidak serta

merta mengambil kesimpulan bahwa makna atas konsep tersebut adalah

tunggal. Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih

lanjut mengenai “Antara Teks dan Konteks: Penafsiran Ulama Nusantara

atas Kata Kufr Dalam al-Quran.”

B. Identifikasi Masalah

Beberapa masalah yang dapat teridentifikasi dari latar belakang di atas adalah:

1. Pada dasarnya bukanlah teks yang membangun peradaban tetapi cara

manusia berdialog dengan teks di satu pihak serta dialektikanya dengan

realitas di pihak lain. Pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar

konteks mempengaruhi teks-teks al-Quran?

2. Kata kafir yang selalu dikatakan oleh sebagian masyarakat Indonesia sering

disalahgunakan dan kurang akan bacaan. Al-Quran menyebutkan kata kafir

sebagai orang yang menyekutukan, durhaka, ingkar kepada Allah Swt., dan

24 Muhammad Hasdin Has, “Metodologi Tafsir al-Munir Karya Wahbah Zuhaily,” Al-

Munzir, vol. 7, no. 2 (November 2014): h. 42.

Page 24: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

8

Rasul-Rasul-Nya. Akan tetapi di ayat lain, kafir memiliki arti yang berbeda.

Siapakah sesungguhnya yang dikategorikan sebagai kafir?

3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh para sarjana ditemukan bahwa

penafsiran yang ditulis oleh mufassir Nusantara memiliki peran masing-

masing dalam menjawab persoalan sosial yang terjadi saat mereka

menuliskan kitab tafsirnya. apakah hasil penafsiran mereka akan sama jika

penulisan kitab tafsirnya dilakukan di zaman sekarang?

C. Perumusan dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka

penelitian skripsi ini akan dibatasi pada masalah poin ke-3 terkait bagaimana

penafsiran ulama Nusantara terhadap ayat-ayat kafir di dalam al-Quran dengan

menggunakan periodesasi Federspiel yang disempurnakan oleh Islah Gusmian.

Oleh karena itu kitab tafsir yang menjadi rujukan penelitian ini kitab tafsir

kontemporer di antaranya Tafsir Quran Karim karya Mahmud Yunus

merupakan representasi tafsir Indonesia modern yang menampilkan pola baru

penulisan tafsir, Tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Abdul Karim

Abdullah yang merepresentasikan kitab tafsir dari hasil tulisan dan rubrik yang

terpublikasikan di majalah-majalah dan Tafsir al-Miṣbāḥ: pesan, kesan dan

keserasian al-Quran karya M. Quraish Shihab yang merepresentasikan kitab

tafsir populer.

Kemudian agar pembahasan dalam penelitian ini tidak melenceng dan

lebih terarah, maka penulis membatasi pembahasan dalam skripsi ini pada ayat

al-Quran yang secara tegas menekankan kufr sebagai antitesa bagi shukr ‘tidak

berterima kasih (Q.s. al-Nisā’/4: 112-114) dan īmān ‘tidak percaya’ (Q.s. al-

An‘ām/6: 27-29). Pembatasan tersebut dipilih dengan alasan sebagai berikut:

1. Setelah mengklasifikasikan ayat-ayat al-Quran yang terkait dengan

kata kufr dalam al-Quran, maka penulis berkesimpulan bahwa ‘kata

fokus’ kufr selalu memiliki keterkaitan dengan kedua makna dasar

di atas.

2. Pemilihan Q.s. al-Nisā’/4: 112-114 dalam skripsi ini karena ayat ini

dengan jelas merepresentasikan langsung kufr sebagai antitesa dari

Page 25: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

9

kata shukr ‘berterima kasih’. Kata ini juga merupakan langkah awal

untuk mencapai kata ‘percaya’ atau ‘yakin’ yaitu dengan

memahami bahwa fenomena alam yang tampak bukanlah hiasan

biasa melainkan manifestasi-manifestasi kebaikan Ilahi dan

hendaklah berterima kasih kepada-Nya untuk semua itu.

3. Dalam Q.s. al-An‘ām/6: 27-29 tidak hanya menjelaskan makna kufr

sebagai sikap tidak percaya tetapi lebih dari itu, ada pembelajaran

yang ditawarkan oleh al-Quran terhadap kehidupan baik di dunia

maupun di akhirat.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis mengambil

rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana Peran Konteks Dalam Tafsir

Ulama Nusantara Kontemporer Tentang Kufr?

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah ditetapkan, maka penelitian ini

bertujuan untuk memberikan sebuah pemahaman yang utuh tentang konsep

keyakinan terhadap Pencipta yang terdapat pada ayat-ayat tentang kafir dalam

kitab tafsir tafsir karya ulama-ulama Nusantara. Di antara tujuan penelitian

sebagai berikut:

1. Untuk membandingkan penafsiran ayat-ayat kafir dalam tafsir Nusantara

dari masa ke masa.

2. Untuk mengetahui apakah konteks selalu mempengaruhi pemikiran para

mufassir kontemporer di Indonesia.

3. Untuk berpartisipasi dan berkontribusi pada perdebatan masalah kufr.

4. Mendeskripsikan pemikiran ulama Nusantara kontemporer tentang

wacana kufr.

Adapun signifikansi penelitian ini terlihat dari segi teoritis dan

praktisnya:

1. Dalam aspek teoritis

a. Memberikan wawasan tambahan mengenai tokoh Islam Nusantara

yang memiliki corak penafsiran berbeda dari mufassir di dunia Timur.

b. Memberikan wawasan terkait persoalan kafir di dalam al-Quran.

Page 26: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

10

c. Memberikan pemahaman yang komprehensif tentang kafir dalam al-

Quran menurut ulama Nusantara kontemporer.

2. Dalam aspek praktis

a. Penelitian ini akan berguna bagi mahasiswa yang hendak menambah

keilmuannya dan menjadi referensi dalam memberikan proses belajar-

mengajar di Fakultas masing-masing, terutama untuk mata kuliah

Metode Tafsir dan Literatur Tafsir Indonesia serta menjadi

perbandingan terhadap penelitian-penelitian yang membahas tentang

tafsir Nusantara.

E. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan

Al-Quran dalam kenyataannya berselimutkan sejarah, sehingga

untuk memahaminya maka perlu digunakan pendekatan historis.

Pentingnya budaya pada kosakata al-Quran dalam sejarah Arab dan

pengambilan sudut pandang kosakata yang digunakan harus

dipertimbangkan karena satu dan kata yang sama biasanya

mengasumsikan nilai semantik yang berbeda. Oleh karena itu, penulis

mengambil metode semantik historis yang ditawarkan Izutsu.

Semantik historis bukan sekedar pelacakan sejarah terhadap kata-

kata individual belaka untuk melihat bagaimana kata-kata tersebut berubah

maknanya karena perjalanan sejarah. Akan tetapi, semantik historis

dimulai dengan melakukan pengkajian terhadap sejarah kata-kata

berdasarkan seluruh sistem statis, dengan kata lain, dengan

membandingkan dua permukaan atau lebih dari satu bahasa yang sama,

sehingga menghasilkan tahapan-tahapan sejarah yang berbeda, yang satu

sama lain dipisahkan oleh interval waktu.25

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode sinkronik dan

diakronik Toshihiko Izutsu yang disederhanakan ke dalam tiga periode,

yaitu: Pre-Quranic, Quranic dan post-Quranic.

25 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Quran,

diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 34.

Page 27: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

11

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini ditulis dengan menggunakan model penelitian

kualitatif dengan cara mengadakan penelusuran terhadap tiga karya ulama

Nusantara. Di antara tafsir yang dijadikan penulis sebagai rujukan ialah

Tafsir Quran Karim, Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-Miṣbāḥ, berikut hasil

karya-karya ilmiah yang terkait dengan pembahasan makna kufr. Dengan

kata lain jenis penelitian ini adalah library research (studi kepustakaan).

3. Sumber Data

Untuk penelitian ini, penulis mengambil empat kitab tafsir karya

ulama Nusantara sebagai rujukan primer (primary resources), yaitu: Tafsir

Quran Karim, Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-Miṣbāḥ. Kemudian yang

menjadi rujukan sekunder (secondary resources) adalah tulisan-tulisan

mufassir Nusantara yang terkait dengan pembahasan di atas serta buku-

buku ilmiah, jurnal, artikel, skripsi, tesis, dengan pokok pembahasan

dalam penelitian ini dan dianggap penting untuk dikutip dan dijadikan

informasi tambahan.

4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan

metode dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dari sumber-

sumber bahan atau kepustakaan yang berkaitan dengan tema penelitian ini.

F. Kajian Pustaka

Penelitian mengenai makna kafir telah banyak dijelaskan dalam

berbagai tulisan-tulisan dan karya-karya, baik secara ringkas maupun detail,

sehingga secara sinkronik dan diakronik terjadi pergeseran makna yang

signifikan. Begitupun berbagai penelitian yang telah dilakukan juga memiliki

perbedaan yang mendasar, seperti beberapa kajian pustaka sebagai berikut:

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Moh. Farid Chair tahun 2015

mengenai Makna Kafir Dalam Kajian Hadis (Sebuah Kajian Tematik Dalam

Shahih al-Bukhari) menyimpulkan bahwa makna kafir dalam hadīth

Rasulullah Saw dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, dapat bermakna orang murtad,

pendusta, pembunuh, pemfitnah, orang yang ingkar nikmat Allah dan orang

Page 28: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

12

yang tamak akan dunia. Secara umum dapat dimaknai sebagai penolakan

terhadap Allah dan Rasulullah Saw., sementara hukum bagi mereka yang

dikatakan sebagai orang kafir adalah diperangi dengan syarat mereka memulai

peperangan sebelum umat Islam atau mereka melanggar janji yang telah

disepakati.26

Penelitian yang dilakukan oleh Zulkifli Wahab tahun 2016 mengenai

Iman dan Kufr (Kajian Tahlili Terhadap QS. al-Kahfi/18: 29). Peneliti

menyimpulkan bahwa hakikat kufr adalah orang yang ẓālim karena mereka

telah melawan dan mengingkari kebenaran (haq). Padahal kebenaran datang

dari Allah dan mereka melawan akal murninya sendiri. Artinya mereka

menganiaya diri mereka sendiri. Faktor yang mempengaruhi seseorang itu kafir

adalah dasar dari pemikiran mereka karena akal menjadikan kita dapat

membedakan yang baik dan buruk.27

Penelitian dalam bentuk tesis yang dilakukan oleh Hilal Akbar

mengenai Mafhum al-Kafir fi al-Quran: Dirasah Tahliliyah Dalaliyah

Tarihiyah. Dalam penelitiannya, penulis menyimpulkan bahwa penelisikan

terhadap jaring-jaring interpretasi terminologi kafir sarat dengan nuansa politis

daripada ideologis. Al-Quran mengangkat terminologi ini

mengklasifikasikannya dalam enam kategori. Yaitu kafir inkar, kafir juhūd,

kafir ‘inad, kafir nifāq, kafir ni‘mat dan kafir riddah. Namun dalam tafsiran era

klasik dan kontemporer terminologi kafir berkembang menjadi sesuatu yang

terkait erat dengan pelaku dosa besar dan wacana jahiliyah. Di era kontemporer

ini, terminologi kafir berkembang merujuk kepada sesuatu yang berasal dari

dunia barat yang begitu massif menyerang dunia Islam. Perkembangan ini

terkait dengan faktor-faktor eksternal yang berkaitan dengan kecenderungan

pembacanya ataupun situasi politik budaya di masanya. Dalam kedua era ini

terminologi kufr memiliki relasi yang kuat dengan kekuasaan. Realitas ini

memberikan asumsi bahwa terminologi kafir berubah menjadi alat kepentingan

politik. Wacana keagamaan dan terminologi kafir menjadi bungkus untuk

26 M. Farid Chair, “Makna Kafir dalam Kajian Hadis (Sebuah Kajian Tematik dalam Shahih

al-Bukhari),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015). 27 Zulkifli Wahab, “Iman dan Kufr (Kajian Tahlili terhadap QS. al-Kahfi/18: 29),” (Skripsi

S1 Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar, 2016).

Page 29: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

13

menyelimuti kepentingan-kepentingan yang pada dasarnya politis bukan murni

ideologis. Hal ini dibuktikan dengan pergeseran pemaknaannya yang keluar

jauh dari sumber otentiknya yakni teks al-Quran.28

Penelitian Lies Maysaroh dalam bentuk skripsi mengenai

Pengingkaran Kepada Tuhan (Konsep dan Makna Kufr menurut Toshihiko

Izutsu dan M. Quraish Shihab). Penulis menyimpulkan bahwa Izutsu dan

Quraish Shihab menjelaskan kata kufr dan derivasi dengan membagi dua aspek

yaitu makna religius dan non-religius. Metode semantik Izutsu menghasilkan

pengertian kufr bahwa jika seseorang melakukan perbuatan kufr maka ia

disebut dengan kafir yang sejajar dengan kata dhālim dan fāsiq. Sementara

Quraish Shihab melahirkan pemahaman bahwa jika seseorang melakukan kufr

maka ia tidak sejajar dengan istilah yang lainnya karena kata-kata tersebut

memiliki esensi dan eksistensi tersendiri.29

Penelitian dalam bentuk skripsi oleh Rudi Rahmat mengenai

Perumpamaan orang-orang kafir menurut Ibn Katsir dalam Tafsir al-Quran

al-Adhim. Penulis menyimpulkan bahwa perumpamaan orang yang

mengingkari ayat-ayat Allah seperti orang yang menjulurkan lidah ketika

dihalau atau tidak. Perumpamaan amal orang-orang kafir adalah orang

mengumpulkan abu pada saat angin kencang. Perumpamaan orang yang

berlindung selain Allah adalah orang yang berpegang di jaring laba-laba.

Semua ayat tersebut sesuai dengan kondisi dan maksud ayat.30

Penelitian dalam bentuk jurnal oleh Ahmad Zaki Hj. Abdul Latif

mengenai Isu Kafir-Mengkafir dan Implikasinya dalam Perkembangan Politik

dan Sosial Masyarakat Melayu. Penulis menyimpulkan Isu takfir adalah salah

satu bentuk fitnah kepada umat Islam. Hal itu adalah fitnah yang ditimbulkan

oleh musuh Islam yang sengaja menimbulkan kebencian terhadap para

pendakwah. Mereka yang melakukan takfir kemungkinan terdiri dari orang-

orang yang kuat akan keislamannya dan menjalankan syari’at secara ikhlas.

28 Hilal Akbar, “Mafhum al-Kafir fi al-Quran: Dirasah Tahliliyah Dalaliyah Tarihiyah,”

(Skripsi S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009). 29 Lies Maysaroh, “Pengingkaran Kepada Tuhan (Konsep dan Makna Kufr menurut

Toshihiko Izutsu dan M. Quraish Shihab),” (Skripsi S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008). 30 Rudi Rahmat, “Perumpamaan Orang-orang Kafir menurut Ibn Katsir dalam Tafsir al-

Quran al-Adhim,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2015).

Page 30: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

14

Namun ketika mereka melihat kemaksiatan atau perilaku murtad maka mereka

langsung memvonis mereka kafir dengan menggunakan pendekatannya. Niat

baik mereka digunakan tanpa ilmu yang dalam dan membuat orang-orang anti-

Islam menuduh mereka sebagai seorang radikal dan ekstrem.31

Penelitian dalam bentuk skripsi oleh Fathur Romdhoni mengenai

Penafsiran Sayyid Qutb atas Kafir dalam Tafsir fi Ẓilal al-Quran. Penulis

menyimpulkan Sayyid Quṭb lebih cenderung menggunakan pendekatan

tekstualis sehingga menyebabkan penafsiran yang tegas dan keras. Sayyid

Quṭb melarang dengan tegas orang Islam untuk memilih pemimpin orang kafir.

Beliau mengeneralisir semua orang non-muslim atau kafir sebagai orang jahat

dan memusuhi Islam sampai kapan dan dimanapun sehingga sampai hari

kiamat pun larangan ini akan berlaku. Karena menurut Sayyid Quṭb Nasrani,

Yahudi dan kafir zaman dulu sama hingga sekarang.32

Dalam beberapa karya yang telah penulis tinjau, penulis belum

menemukan tulisan yang menyinggung mengenai makna atau interpretasi dari

kata kufr yang menggunakan pendekatan historis dalam Q.s. al-Nisā’/4: 112-

114 dan Q.s. al-An‘ām/6: 27-29. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis akan

menggunakan analisis historis dalam mengkaji dinamika tafsir di Indonesia

khususnya tafsir kontemporer, seperti Tafsir Quran Karim, Tafsir al-Azhar dan

Tafsir al-Miṣbāḥ.

G. Sistematika Penulisan

Agar penulisan tersusun secara sistematis dan rapi sesuai dengan

pedoman penulisan skripsi. Maka penulis menyusun sistematika penulisan

sebagai berikut:

Bab pertama, berisikan pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang

masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka,

metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

31 Ahmad Zaki Hj. Abdul Latif, “Isu Kafir-Mengkafir dan Implikasinya dalam

perkembangan Politik dan Sosial Masyarakat Melayu,” Jurnal Ushuluddin, vol. 17 (2003). 32 Fathur Romdhoni, “Penafsiran Sayyid Qutb atas Kafir dalam Tafsir fi Ẓilal al-Quran,”

(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017).

Page 31: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

15

Bab kedua, berisi tentang pembahasan teks, konteks dan tafsir yang

terbagi dalam tiga sub bab yaitu menelusuri teks, memahami konteks, tafsir

sebagai penghubung teks dan konteks

Bab ketiga, berisi tentang gambaran umum konsep kufr yang terdiri dari

tiga sub bab, yaitu: definisi kafir, macam-macam kafir dan sikap terhadap

orang kafir.

Bab keempat, berisi uraian tentang kitab tafsir ulama Nusantara. Dalam

bab ini penulis membagi ke dalam empat subbab yaitu: selayang pandang

Tafsir Quran Karim, Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-Miṣbāḥ yang kemudian,

masing-masing dibagi ke dalam sub bab yaitu biografi, karya-karya, latar

belakang penafsiran serta corak penafsiran.

Bab kelima, menjelaskan tentang kontekstualisasi penafsiran ulama

Nusantara atas makna kafir yang terdiri dari empat sub bab yaitu: makna kafir

pra-Islam, penafsiran ulama Nusantara atas makna kafir secara umum,

penafsiran ulama Nusantara atas Q.s. al-Nisā’/4: 112-114 dan penafsiran ulama

Nusantara atas Q.s. al-An‘ām/6: 27-29.

Bab keenam, berisikan penutup, yang terdiri dari kesimpulan, yaitu

jawaban dari pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah serta berisi

saran-saran mengenai penelitian yang dapat dilakukan untuk mengisi

kekosongan dan kekurangan pada penelitian yang terkait.

Page 32: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

16

BAB II

TEKS, KONTEKS DAN TAFSIR

A. Menelusuri Teks

Paul Ricoeur memberikan definisi teks sebagai wacana yang telah

ditetapkan dengan bentuk lisan.1 Komaruddin Hidayat mendefinisikan teks

sebagai fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk

tulisan.2 Teks dalam bahasa Arab disebut dengan istilah naṣ. Kata naṣ

menunjukkan berbagai makna yang dapat dilihat dari empat segi. Pertama,

mengangkat, meninggikan dan memperlihatkan. Kedua, konsistensi dan

reliabilitas. Ketiga, berakhir pada sesuatu dan terakhir, konstruksi dan

gerakan.3 Ibn Manẓūr mengatakan bahwa teks berarti mengangkat,

meninggikan atau menjadikan tampak, sehingga dari kata ini muncul kata al-

minaṣṣah (mimbar atau podium), berada pada posisi tertinggi agar dapat dilihat

oleh audiens.4

Karena itu, al-Jurjānī mendefinisikan teks (naṣ) sesuatu yang

membuat makna semakin jelas terhadap yang tampak pada mutakallim; teks

mengantarkan pembicaraan pada (kejelasan) makna.5 Dalam perspektif ‘ilm al-

Ushul, teks (naṣ) dipahami sebagai lafaẓ yang terdapat dalam al-Quran dan al-

Sunnah yang dijadikan sebagai dalil untuk penetapan hukum suatu masalah.

Teks itu adalah ẓahir (aspek luar) dari redaksi ayat atau hadīth Nabi Saw.6

Dalam linguistik modern, teks dipahami sebagai serangkaian kalimat

yang saling berkaitan; atau setiap kalimat yang saling bertautan dan unsur-

unsurnya memiliki relasi satu sama lain.7 Teks mengandung arti wacana atau

alinea tertulis maupun verbal (diucapkan) dengan ketentuan merupakan satu

1 Paul Ricoeur, Hermeneutics and Human Sciences (New York: Cambridge University

Press, 1981), h. 145. 2 Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju: 2004), h. 42. 3 Maḥmūd Ḥasan al-Jāsim, Ta’wīl al-Naṣ al-Qurānī wa Qaḍāyā al-Naḥw, (Damaskus: Dār

al-Fikr al-Mu‘āshir, 2010), h. 40 4 Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab () jilid 7,

h. 97 5 ‘Alī ibn Muḥammad al-Sayyid al-Sharīf al-Jurjānī, Mu‘jam al-Ta‘rīfāt, Taḥqīq Ṣiddīq al-

Minshāwī (Kairo: Dār al-Faḍīlah, 2004), h. 202. 6 Ibn Ḥazm, al-Ihkām fi Ushūl al-Ahkām, (Bayrūt: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1400 H), Jilid

1, h. 42. 7 Raddat Allah, Dalālah al-Siyāq (Mekkah: Jāmi‘ah Umm al-Qura, 2003), h.255.

Page 33: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

17

kesatuan yang utuh. Wacana adalah organisasi bahasa di atas kalimat atau di

atas klausa. Wacana merupakan seperangkat preposisi yang saling

berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi

penyimak atau pembaca. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang

utuh (novel, buku, ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata

yang membawa amanat yang lengkap.8

Eksistensi teks pada dasarnya meniscayakan makna yang progresif.

Karena teks selalu terbuka untuk dimaknai. Teks itu bermakna dinamis, karena

relasi antara teks dengan makna bukan hubungan statis, dan pasti. Menurut

Heideger, dan Gadamer teks bahasa tidak memiliki dalālah (penunjukan

makna) tunggal, karena bahasa tidak mesti menunjuk sesuatu.9 Karena itu, teks-

teks, tidak mesti menunjuk sesuatu, dan makna tertentu.

Memahami teks-teks agama, pada dasarnya memiliki kemiripan dalam

memahami teks-teks pada umumnya sebagai sistem simbol (tanda). Simbol-

simbol bahasa menunjuk kepada pandangan, pemahaman dan pikiran dalam

komunitas tertentu, sehingga bahasa berada dalam ranah budaya sebagai sub-

sistem dari budaya itu sendiri.10 Pada tataran inilah pemahaman teks al-Quran

perlu dikaitkan dengan aspek sosial-budaya di mana teks tersebut lahir dan

dikonstruksi. Asbab al-Nuzul dan sistem sosial budaya yang mengitari teks al-

Quran menjadi penting ditelusuri guna memperoleh pemaknaan dan

pemahaman yang lebih kontekstual.

B. Memahami Konteks

Konteks dalam bahasa Arab disebut siyāq yang mengandung arti:

keberturutan, keberlanjutan (al-Tawāliy) atau kehadiran (al-Tawarud). Dengan

kata lain, konteks meniscayakan kehadiran unsur-unsur bahasa yang dilihat

secara berlanjut dan menyeluruh. Menurut Tammām, konteks dapat dilihat dari

dua aspek. Pertama, keberlanjutan unsur-unsur yang menjadikan struktur dan

kohesi itu terjadi. Inilah yang disebut dengan konteks teks (siyāq al-naṣ).

8 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 208 9 Naṣr Hāmid Abū Zayd, Ishkāliyāt al-Qirāah wa Āliyāt al-Ta’wīl (Bayrūt: al-Markaz al-

Tsaqāfī al-‘Arabī, 1999), Cet. 5, h. 42. 10 Azmi Islam, Mafhum al-Ma‘na (Kuwait: Universitas Kuwait, 1986), h. 18.

Page 34: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

18

Kedua, keberlanjutan dan kehadiran peristiwa yang menyertai penggunaan

bahasa dan mempunyai relasi dengan komunikasi. Inilah yang disebut dengan

konteks situasi (sosial) atau siyāq al-mawqif. Kedua konteks tersebut

mempunyai relasi seperti relasi umum dan khusus, yang disebut dalālah al-naṣ

(penunjukan atau makna teks) atau qarīnah al-naṣ (indikator teks).11

Konteks (siyāq) tidak dapat dipisahkan dari struktur bahasa. Struktur

linguistik al-Quran pada umumnya mengandung multi-interpretasi. Namun

demikian, pemahaman terhadap konteks redaksi ayat memungkin kita

menyingkap makna yang lebih mendekati kebenaran. Dengan kata lain,

pemahaman konteks membuat interpretasi ayat-ayat al-Quran tidak

terkungkung oleh arti leksikal (ma‘na mu‘jami) suatu lafaẓ atau ungkapan.

Pengalihan arti leksikal ke arah makna kontekstual mutlak dipengaruhi oleh

pemahaman pembaca teks al-Quran. Transformasi makna sedemikian sangat

penting karena al-Quran memang diturunkan dan ditransmisikan dengan

makna dan lafaẓ sekaligus dari satu generasi ke generasi berikutnya.12

Dalam kajian linguistik modern, pemahaman terhadap konteks

dilandasi oleh sebuah asumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu

sama lain di antara unsur atau unit-unitnya, dan selalu mengalami perubahan

dan perkembangan. Karena itu, dalam menentukan makna, diperlukan adanya

penentuan berbagai konteks yang melingkupinya. Teori yang dikembangkan

oleh Wittgenstein ini mengemukakan bahwa makna suatu kata dipengaruhi

oleh empat konteks, yaitu: (a) konteks kebahasaan, (b) konteks emosional, (c)

konteks situasi dan kondisi, dan (d) konteks sosio-kultural.13

Mengutip pendapat John Rupert Firth, seorang linguis tahun 1930,

mengenai konteks situasi dalam analisis makna. Teori kontekstual sejalan

dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik. Makna sebuah kata

terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu tersebut.

teori kontekstual mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol ujaran tidak

11 Tammām Hassān, Maqālāt fī al-Lughah wa al-Adab (Kairo: ‘Ālam al-Kutub, 2006), juz

2, h. 65 12 Muhbib Abdul Wahab, Pemikiran Linguistik Tamam Hassan dalam Pembelajaran

Bahasa Arab (Jakarta: UIN Press dan CeQDA), h. 228. 13 Zaid Umar ‘Abdullah, “al-Siyāq al-Qurānī wa Atsāruhu fī al-Kashfi ‘an al-Ma‘ānī”

Majalah Universitas al-Malik Su‘ud, 26 Februari 2007, diakses dari www.alukah.net/sharia/0/431/

Page 35: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

19

mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks. Namun demikian, ada yang

berpendapat bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang

terlepas dari konteks situasi. Kedua kata itu baru mendapatkan makna sekunder

sesuai dengan konteks situasi. Singkatnya, hubungan makna itu, bagi Firth,

baru dapat ditentukan setelah masing-masing kata berada dalam konteks

pemakaian melalui beberapa tataran analisis, seperti leksikal, gramatikal, dan

sosio-kultural.14

C. Tafsir Sebagai Penghubung Teks dengan Konteks

Menurut Muhammad A.S Abdel Haleem, seorang guru besar di

Universitas London jurusan Studi Islam (Islamic Studies), bahwa tanpa

perhatian terhadap teks bisa dipastikan seorang penafsir akan mendapatkan

pengertian dan kesan yang salah sehingga penjelasannya terhadap ayat akan

keliru atau setidaknya ia akan membuat kesimpulan yang tidak berdasar.

Langkah awal yang tidak boleh diabaikan dalam penafsiran al-Quran

adalah memahami teks, yakni melihatnya dalam aspek kebahasaannya, yaitu

bahasa Arab. Tidak kurang dari sembilan kali al-Quran menyebut bahwa alat

komunikasi yang dipakainya adalah bahasa Arab.15

Keberadaan teks sendiri tidak dapat dipisahkan dari kondisi realitas.

Sebuah teks sangat dipengaruhi oleh historisitas dan subyektifitas yang

mengitarinya, termasuk teks al-Quran. Sejak awal proses pewahyuan, al-Quran

telah bersentuhan dengan bangsa Arab dan bahasa budaya mereka. Setiap ayat

yang turun tidak dipahami sebagai kalimat-kalimat yang tersendiri, melainkan

berkaitan dengan kenyataan sehari-hari.16

Karakter dan corak suatu teks akan senantiasa menggambarkan dan

merefleksikan struktur budaya dan alam pikiran tempat teks tersebut dibentuk.

Demikian juga dengan al-Quran, kondisi sosio-kultural masyarakat Arab atau

kerangkan kebudayaan bangsa Arab saat itu banyak berpengaruh pada

14 Jos Daniel Parera, Teori Semantik, diedit oleh Ida Syafrida dan Yati Sumiharti (Jakarta:

Erlangga, 2004), h. 47-48. 15 Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qurani (Yogyakarta: Qalam, 2007), h. 83. 16 Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Tematis M. Baqir al-Shadr: Mendialogkan Realitas

dengan Teks (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), h. 26.

Page 36: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

20

pembentukan teks al-Quran.17 Peristiwa pewahyuan sebagai titik awal lahirnya

al-Quran merupakan kata kunci untuk menyatakan bahwa ketika wahyu Ilahi

tersebut diwahyukan kepada manusia dengan menggunakan bahasa kaum

tertentu yaitu bahasa Arab, maka hal itu menandakan sifat kesejarahannya.18

Posisi Rasulullah bukan sekedar penyampai wahyu tetapi juga

penjelasnya atau mufassirnya, bukan sekedar membacakannya secara tekstual

tetapi juga menjelaskan kandungan maknanya. Penafsiran yang dilakukan oleh

nabi Muhammad merupakan upaya mendekatkan teks al-Quran dengan realitas

masyarakatnya. Wahyu Ilahi yang pada waktu itu belum terkodifikasi tidak

akan dipahami oleh realitas masyarakat Arab jika tidak ada upaya untuk

menginterpretasikannya. Sebaliknya, teks tersebut tidak akan memiliki makna

jika tidak dimaknai atau ditafsirkan oleh Rasulullah. Inilah yang dimaksud

dengan keberadaan tafsir adalah sebagai penghubung antara teks dan realitas.19

Proses dialektika antara teks al-Quran dengan realitasnya mengalami

perubahan pasca Rasulullah wafat. Setelah proses pewahyuan dan tidak ada

lagi figur yang dipercaya paling memahami kandungan makna al-Quran, maka

teks al-Quran tidak lagi berdialog langsung menghampiri audiensnya melalui

sosok Rasulullah Saw., tidak lagi datang secara berangsur-angsur dan tidak lagi

menyesuaikan diri dengan bahasa audiensnya. Dampak dari perubahan ini

antara lain hubungan dialog yang telah dibangun oleh al-Quran pada masa

turunnya berubah menjadi monologis. Artinya, al-Quran sudah tidak lagi aktif

berdialog tetapi menunggu untuk diajak berdialog atau cenderung dipahami

secara doktrinal.20

Tantangan kultural dan sosiologis yang tengah dihadapi oleh bangsa

saat ini berbeda dari tantangan yang pernah dihadapi oleh bangsa sebelum kita

sekitar beberapa abad yang lalu. Jawaban terhadap tantangan itu tentu berbeda-

beda sesuai dengan perbedaan dalam menyikapi realitas. Bahkan jawaban

17 J. Brugman, An introduction to History of Modern Arabic Literature in Egypt (Leiden:

Ej Brill, 1984), h. 338-340. 18 Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Tematis M. Baqir al-Shadr: Mendialogkan Realitas

dengan Teks, h. 27. 19 Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Tematis M. Baqir al-Shadr: Mendialogkan Realitas

dengan Teks, h. 30. 20 Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Tematis M. Baqir al-Shadr: Mendialogkan Realitas

dengan Teks, h. 31.

Page 37: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

21

tersebut berbeda sesuai dengan kesadaran sarjana terhadap problematika

realitas dan klasifikasi yang dilakukannya terhadap problem tersebut sesuai

dengan skala prioritas yang ada dalam benaknya.21

Pelbagai diskursus, peristiwa dan konteks yang melingkupi turunnya al-

Quran tidak akan terulang sama persis pada saat ini. Kondisi fisik dan mimik

Nabi Saw., tatkala menerima wahyu sekaligus cara beliau menafsirkannya dan

mengaplikasikannya dalam sebuah prilaku juga tidak akan dapat dirasakan oleh

umat Islam sekarang dan masa yang akan datang. Fakta ini menunjukkan

bahwa ada rentang waktu yang sangat panjang antara al-Quran sekaligus nabi

Muhammad dengan umat Islam yang hidup dalam dunia modern sekarang.

Inilah problem tafsir yang harus dihadapi oleh mufassir, sehingga mereka dapat

menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandungan makna al-Quran

yang telah diwahyukan pada masa lalu tetapi harus tetap bisa dijadikan

pedoman hidup sampai akhir masa. Realitas yang melingkupi turunnya al-

Quran otomatis tidak akan sama dengan realitas generasi-generasi sesudahnya

termasuk realitas masa kini.22

Dalam khazanah klasik, khususnya dalam penafsiran teks keagamaan

terdapat pemisahan antara apa yang disebut dengan tafsir bi al-ma’tsur dan

tafsir bi al-ra’yi atau ta’wil. Asumsinya adalah bahwa tafsir model pertama

bertujuan mencapai makna teks melalui sejumlah dalil historis dan kebahasaan

yang membantu pemahaman teks secara obyektif, yakni seperti yang dipahami

oleh mereka yang sezaman dengan turunnya teks al-Quran melalui berbagai

gejala kebahasaan yang terkandung dalam teks dan dipahami oleh sejumlah

orang. Para pendukung kecenderungan pertama ini disebut sebagai ahl al-

sunnah dan salaf al-ṣalih. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi dipandang atas dasar

bahwa tafsir ini bukan tafsir yang obyektif, karena mufassir tidak mulai dari

fakta-fakta historis dan gejala kebahasaan, melainkan dari sikap aslinya, lalu

berupaya mencoba menemukan sandaran sikapnya ini dalam al-Quran.

Pendukung kelompok dua adalah para filosof, Mu’tazilah, Syi’ah dan para sufi

21 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Quran, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta:

IRCiSoD, 2016), h. 7. 22 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Quran, h. 10-11.

Page 38: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

22

yang dipandang secara negatif bahkan dalam beberapa kasus sampai pada

tingkat pengkafiran dan pembakaran buku-buku.23

Sebuah tafsir haruslah sesuai dengan zamannya agar tidak terkesan

usang dan dapat diaplikasikan oleh masyarakat zamannya. Upaya

menyesuaikan bahasa penafsiran atau problem utama penafsiran dengan

realitas sosial yang ada merupakan upaya mengkontekstualisasikan ayat.24 Al-

Quran diturunkan memang bukan untuk menjauh dari konteksnya tetapi justru

reaktif terhadap situasi masyarakat yang terus berubah. Oleh karena itu, al-

Quran menyebut dirinya sebagai kitab revolusi yaitu sebuah kitab yang

mengarah pada proses untuk keluar dari kegelapan menuju alam yang penuh

dengan cahaya Ilahi, sebagaimana yang disebutkan dalam Q.s. al-Baqarah/2:

257.25

Semangat pembaharuan masyarakat inilah yang mendorong para

pembaharu untuk mengkontekstualisasikan al-Quran agar sesuai dengan

kebutuhan masyarakat modern atau upaya untuk modernisasi tafsir. Meski

diyakini bahwa penafsiran Rasulullah adalah yang terbaik, namun bukan

berarti seluruhnya bersifat lintas zaman. Menurut Quraish Shihab penafsiran

Rasûlullah dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pertama, penafsiran terhadap

masalah yang bukan dalam wilayah nalar, misalnya tentang ajaran tauhīd,

ibadah dan lain-lain. Kedua, masalah-masalah yang masuk dalam wilayah

nalar, misalnya masalah sosial kemasyarakatan. Kategori kedua inilah yang

harus didudukkan pada proporsinya yang tepat sehingga meniscayakan adanya

perubahan-perubahan dalam penafsiran teks al-Quran.26

Keadaan atau konteks yang mengitari teks al-Quran pada masa

pewahyuan tidak akan sama persis dengan konteks pembaca al-Quran saat ini.

Al-Quran diwahyukan di Jazirah Arab yang adat istiadatnya berbeda dengan

masyarakat lain. Problema yang mereka hadapi tidak akan sama dengan

23 Nasr Hamid Abu Zayd, Hermeneutika Inklusif:Mengatasi Problematika Bacaan dan

Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, terj. Khoiron Nahdliyyin (Jakarta: ICIP, 2004),

h. 6. 24 Nurcholish Madjid, “Pendahuluan” dalam Budhy Munawar Rahman (editor),

Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995 M.), h. xxiii. 25 Rashīd Riḍā, Tafsīr al-Quran al-Hakīm (Mesir: Dār al-Manār, 1367 H), juz 3, h. 40. 26 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat

(Bandung: Mizan Media Utama, 2007), h. 95.

Page 39: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

23

generasi-generasi pasca pewahyuan juga tidak akan sama dengan kondisi

masyarakat di luar Arab. Oleh karena itu, perhatian terhadap konteks inilah

yang seharusnya dipertahankan dalam upaya pemaknaan dan pemahaman al-

Quran, sehingga sampai kapanpun al-Quran senantiasa diposisikan sebagai

petunjuk atau panduan kehidupan yang juga mampu menjawab problematika

kehidupan dan menciptakan sebuah perubahan masyarakat.

Perbedaan suku dan budaya sangat berpengaruh pada cara mereka

menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an termasuk mengaplikasikannya dalam bentuk

ritual-ritual agamis, sehingga muncullah istilah “Islam Mesir”, “Islam Iran”,

"Islam Amerika", “Islam Indonesia” dan lain-lain. Istilah-istilah tersebut

menunjukkan bahwa di dalam Islam terdapat ajaran-ajaran yang bersifat

universal tetapi penafsiran tetapi cara pelaksanaan ajaran universal tersebut

berbeda-beda. Seorang mufassir Indonesia tidak akan sama penafsiran,

pemahaman dan cara penerapannya dengan mufassir Amerika, karena secara

logika problem realitasnya pasti berbeda. Konteks yang mengitari lahirnya teks

tafsir di Amerika tidak akan sama persis dengan konteks yang mengiringi

lahirnya teks tafsir di Indonesia. Keadaan seperti ini diistilahkan oleh Quraish

Shihab dengan logika prioritas.27

Melalui logika ini, sangat tidak layak mufassir masa kini masih

berpegang teguh sepenuhnya dengan model penafsiran ratusan tahun yang lalu.

Dengan semangat "pembumian tafsir al-Quran" mufassir tidak mungkin hanya

mentransfer ulang pemikiran mufassir-mufassir sebelumnya, karena kondisi

realitas dan ”kegelisahan” masyarakat Indonesia pasti berbeda dengan realitas

masyarakat luar. Inilah pekerjaan utama kita warga Indonesia yang sering

bersentuhan dengan penafsiran ayat-ayat al-Quran.

27 Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: al-Quran dan Dinamika Kehidupan Masyarakat

(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 97.

Page 40: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

24

BAB III

GAMBARAN UMUM KONSEP KUFR

A. Definisi Kafir

Kata kafir berasal dari bahasa arab kafara-yakfuru-kufran-kufūran-

kufrānan yang berarti satara wa ghaṭṭa (menyembunyikan dan menutupi).1 Ibn

Fāris menyebutkan bahwa kafara memiliki makna yaitu al-Satr wa al-

Taghaṭiyyah (menyembunyikan atau menutupi), sedangkan kata al-kufr adalah

lawan kata dari al-iman (keimanan). Dikatakan demikian karena taghṭiyyah al-

Haqq (menyembunyikan kebenaran).2 Begitu juga dengan Ibn al-Athīr

menerangkan bahwa “Asal makna kufr adalah menutupi sesuatu dengan rapat

(taghṭiyyah al-say’ taghṭiyyah tastahlukuh).”3

Al-Ṭahir Ahmad al-Rāzi dalam Qamus al-Muḥīṭ menjelaskan kata

kafara bermakna satara atau ghaṭṭā, yang berarti menutupi. Al-kufr (dengan

harakat Ḍammah) bermakna ḍid al-Īmān (lawan dari keimanan). Dan kāfir

adalah al-jāḥid li an’um Allāh (orang yang mengingkari nikmat-nikmat Allah

Swt.).4 Arti menutupi ini kemudian dipakai juga oleh al-Rāgib al-Asfahānī,

dalam Mu’jam Mufradāt Alfāẓ al-Quran.5 Sedangkan Munīr Ba’albakī dalam

al-Mawrid mengartikan kāfir dengan unbeliever (seseorang yang tidak beriman

atau kafir).6

Demikian halnya di dalam Ensiklopedi Islam, Kāfir juga berarti

menghapuskan atau menutupi, yaitu menyembunyikan sesuatu yang

bermanfaat. Kāfir juga berarti “ungrateful” tidak berterima kasih. Pengertian

tersebut banyak ditemukan di syair-syair Arab yang lama dan dalam al-Quran,

seperti dalam Q.s. Ibrāhīm/13: 7 dan Q.s. al-Rūm/30: 34, bahwa mereka tidak

1 Louis Ma‘lūf, al-Munjid fī al-Lughah (Bayrūt: al-Maktabah Kāthūlīkiyyah, 1956), h. 691. 2 Al-Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariya, Mu’jam Maqāyīs al-Lughah (Bayrūt: Dār al-

Fikr, 1979), Jilid 5, h. 191 3 Abū al-Sa‘ādāti al-Mubārak ibn Muḥammad al-Jazarī ibn al-Athīr, al-Nihāyah fi Gharīb

al-Hadīs wa al-Athar (Riyaḍ: Dār Ibn al-Jauzi, 1421 H), h.807. 4 Al-Ṭahir Ahmad al-Rāzi, Qamus al-Muḥīṭ (Riyāḍ: Dār ‘Alam al-Kutub, 1996), cet. 4,

Jilid IV, h. 64. 5 Al-‘Allāmah al-Rāghib al-Aṣfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Quran (Damaskus: Dār al-Qalam,

2009), Cet. 4, h. 714. 6 Munīr Ba‘albakī, al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary (Bayrūt: Dār al-‘Ilm

al-Malayin, 1980), h. 1006.

Page 41: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

25

berterima kasih atas nikmat yang Allah berikan. Term kafara awalnya

ditujukan kepada orang-orang kafir Mekkah (unbelieving Meccans) yang

selalu berusaha untuk menyangkal dan mencerca Rasulullah Saw.7

Dalam bahasa Arab, kata kufr digunakan untuk berbagai arti, namun

semuanya kembali kepada satu makna di atas. Sedangkan penggunaan dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kafir berarti orang yang tidak percaya

kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya.8 Sedangkan kufur adalah sikap tidak

percaya kepada Allah dan Rasul-Nya.9

Kata kufr juga digunakan untuk mengungkapkan makna debu; karena

dia menutupi apa yang di bawahnya. Juga digunakan untuk mengecat kapal;

karena warnanya hitam dan dipakai untuk menutupi.10

Kata kafir juga bisa bemakna air atau minyak. makna ini hanya terdapat

dalam satu ayat yaitu pada Q.s. Al-Insan/76: 5.

س أربون من كأ رار يشأ ب أ كافورا مزاجها كان إن ٱلأ

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas

(berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur.”

(Q.s. al-Insān/76: 5)

Syekh Nawawī al Bantanī mendeskripsikan mengenai maksud air di

sini yakni khamr tersebut dicampur dengan air dari mata air kāfūr. Kapur

adalah nama sebuah sumber air di dalam surga yang airnya lebih putih dari

kapur, baunya harum dan airnya sejuk, akan tetapi rasa dan efek samping yang

berbahaya bagi kafur tidak terkandung di dalamnya, tidak sebagaimana kafur

di dunia.11

Air kapur yang dijelaskan di dalam al-Quran memiliki kemiripan

dengan kapur (CaCO3) yang ada di dunia (Barus, Sumatera Utara) walaupun

kandungan yang ada pada keduanya berbeda. kata kafur atau kapur barus

7 E. Van Donzel, et. al., The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1978), Vol. 4, h.

407. 8 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa (Jakarta: Gramedia

Pustakan Utama, 2008), cet 1, ed. 4, h. 601. 9 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa, h. 751. 10 Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim ibn Manẓūr al-Miṣr, Lisān al-‘Arab

(Bayrūt: Dār al-Ṣadr, t.th), Jilid 5, h. 147. 11 Muhammad ibn ‘Umar Nawawī al-Jāwī, Marāḥ Labīd li Kashf Ma‘na al-Quran al-Majīd

(Bayrūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), Juz 2, h. 587.

Page 42: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

26

berasal dari asal kata kafr, artinya menutupi atau membasmi. Menurut ilmu

kedokteran kapur barus baunya harum, dingin dan menyegarkan. Tetapi makna

kafur di sini ditunjukkan pada makna kedua yaitu membasmi.12

Saat itu kapur barus atau kamper merupakan barang komoditas di

sebagian besar dunia. Mengenai asal usul kapur barus sangat sulit dilacak,

karena banyaknya sumber tertulis yang berbeda-beda. Namun yang tampak

masuk akal adalah kesimpulan Claude Guillot13, seorang sarjana perancis yang

pernah melakukan penelitian kapur barus. Penelitian pertama berisi teks

prasasti berbahasa Tamil. Kedua, pembahasan sebuah perjalanan maritim di

Asia Timur jauh berbahasa Armenia pada awal abad ke-12. Ketiga, sumber-

sumber Tionghoa lama.

Tulisan dari para ilmuwan dari Abad ke Abad menunjukkan bahwa

kapur digunakan sebagai obat-obatan dan wewangian. Misalnya, hampir semua

buku ilmu kedokteran mencatat bahwa kamper kering dan dingin pada tahap

ketiga. Misalnya, sebuah buku ilmu kedokteran tentang sifat obat-obatan yang

ditulis oleh Ibn Sarabiyūn pada abad 10 M, mengatakan bahwa kamper

bermutu tinggi (al-riyaḥī) adalah suatu bahan alami merupakan jenis kamper

terbaik, paling ringan, paling putih, paling murni dan peling mengkilat.14

Kemudian dalam buku Ibn Baytar bahwa kamper dapat dipakai untuk

mengobati panas dan obat sakit kepala akibat penyakit liver. Begitu pula yang

dituliskan oleh al-Kindi dan Avicenna, bahwa kamper dapat mendinginkan

suhu tubuh yang tinggi, memiliki efek yang menguatkan dan menenangkan

disertai dengan efek harumnya.15

12 Maulana Muhammad Ali, The Holy Quran: Arabic Text, English Translation and

Commentary (Lāhūr: Aḥmadiyyah Anjuman Isha‘at Islām, 1973), h. 1126. 13 Claude Guillot, Lobu Tua: Sejarah Awal Barus, diterjemahkan oleh Daniel Perret

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), h. 22. 14 Claude Guillot, Lobu Tua: Sejarah Awal Barus, h. 228. 15 Claude Guillot, Lobu Tua: Sejarah Awal Barus, h. 229-230.

Page 43: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

27

Ibn Ḥazm16 mendefinisikan kufr secara istilah syariat, “kufr adalah

mengingkari ketuhanan dan mengingkari kenabian salah seorang nabi yang

telah sah kenabiannya dalam al-Quran.”17

Al-Qarāfi menerangkan, “Asal makna kufr adalah pelecehan khusus

terhadap kehormatan rubūbiyyah18, baik itu kejahilannya akan keberadaan sang

Pencipta atau sifat-sifat-Nya yang mulia. Kufr juga bisa berwujud perbuatan,

seperti melempar muṣḥaf al-Quran ke dalam kotoran atau sujud kepada berhala

atau berulang kali datang ke gereja dengan mengenakan pakaian khas orang-

orang Nasrani di saat perayaan-perayaan keagamaan mereka atau mengikuti

ritual keagamaan mereka. atau mengingkari sesuatu yang telah ditetapkan

sebagai bagian dari ajaran pokok agama (ma‘lūm min al-dīn bi al-ḍarūrah).19

Toshihiko Izutsu dalam karyanya Ethico-Religious Concepts in the

Quran menjelaskan struktur konsep kufr. Ia menjelaskan kata kafara,

berdasarkan ilmu filologi memiliki arti tutup atau penutup. Menurut konteks,

kata tersebut pada hakikatnya bermakna menutupi yakni mengabaikan dengan

sengaja, kenikmatan yang telah diperolehnya kemudian tidak berterima kasih.

Kemudian sikap tidak berterima kasih berkenaan dengan rahmat dan kebaikan

Tuhan ini direfleksikan dengan cara yang paling radikal dan positif melalui

takdhīb yakni mendustakan Tuhan, Rasul-Nya dan wahyu ilāhi yang

disampaikannya.20

Oleh sebab kufr menurut dua aspeknya yang penting, ‘tidak berterima

kasih dan tidak percaya’, hanyalah akan berakhir dengan penolakan terhadap

Keesaan Tuhan, pada dasarnya ada suatu hal yang dapat disamakan dengan

16 Nama lengkapnya ‘Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Ḥazm ibn Galib ibn Ṣalih ibn Khalaf

ibn Ma‘dan ibn Sufyān ibn Yazid ibn Abi Sufyān ibn Harb ibn ‘Umayyah ibn ‘Abd Shams al-Umawi

dikenal dengan ibn Ḥazm lahir di daerah tenggara kota Cordova pada hari terakhir Ramadan 384

H/7 November 994 M sebelum terbitnya matahari dan ketika sang imam salat subuh selesai

mengucapkan salam. Lihat Mahmūd ‘Ali Himāyah, Ibn Ḥazm wa Manhajuhu fi Dirāsah al-Adyān,

(Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1983), h. 41. 17 Al-Imām Abū Muḥammad ‘Ali ibn Aḥmad Ibn Ḥazm al-Dhāhiri, al-Fiṣal fi al-Milal wa

al-Ahwa’ wa al-Nihal, (Bayrūt: Dār al-Jail, 1996), Jilid 3, 253. 18 Tauhid Rububiyah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara: penciptaan,

kepemilikan dan pengaturan. Lihat Shaykh al-Islām ibn Taimiyah, Sharḥ al-‘Aqīdah al-Wāsiṭiyah,

disyarah oleh Muḥammad al-Ṣālih al-‘Uthaimīn (Riyāḍ: Dār ibn al-Jauzī, 1421 H), jilid 1, h. 21. 19 Abū al-‘Abbās Ahmad ibn Idrīs al-Shanhājī al-Qarāfi, al-Furūq: Anwār al-Burūq fi

Anwā’ al-Furūq (Bayrūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), Jilid 4, h. 258. 20 Toshihiko Izutsu, Ethico Religious Concepts In The Quran (Canada: McGill University

Press, 1966), h. 119-120

Page 44: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

28

Politeisme atau istilah yang paling umum mengenai bentuk Politeisme adalah

syirik.21

Farid Esack dalam Quran, Liberation and Pluralism: An Islamic

Perpective of Interreligious Solidarity against Oppression memulai penjelasan

kufr dengan mengambil Q.s. Āli ‘Imrān/3: 21-22, bahwa teks tersebut

menggabungkan yang doktrinal (kufr) dengan sosio-politis (keadilan) lebih

jauh daripada wacana liberal. Bukan hanya mencela kufr dan orang-orang yang

menghalangi keadilan, teks ini bahkan menjanjikan bagi mereka “siksaan yang

pedih” dan hilangnya dukungan.22

Kufr dalam al-Quran dan wacana Muslim telah menjadi istilah yang

paling penuh dengan segala celaan bagi kaum lain yang tertolak. Kata ini telah

diserap ke dalam bahasa Turki hingga Perancis. Yang lebih relevan di sini, kata

bentukannya, kaffir, telah masuk ke dalam wacana rasialis Afrika Selatan

sebagai ekspresi paling menghina bagi mayoritas kulit hitam. Leonard

Thompson, Sejarawan Afrika Selatan, mengisahkan bahwa mereka disebut

Cafres karena diyakini bahwa “tidak dijumpai tanda-tanda keyakinan atau

kepercayaan di antara mereka.”23

Al-Quran menggambarkan kufr sebagai perilaku tidak bersyukur yang

bersifat aktif dan dinamis, yang mengarah pada penolakan atas kebenaran dan

karunia Tuhan secara sengaja, dan secara intrinsik terkait dengan itu, suatu pola

tingkah laku arogan dan menindas. Dimana orang-orang kafir umumnya

menindas kaum lemah (Q.s. al-Nisā’/4: 168; Q.s. Ibrāhīm/14: 13).24

Ketika meninjau sisi doktrinal kufr di dalam al-Quran, ada beberapa hal

penting yang mesti diperhatikan untuk menghindari perlakuan tidak adil

terhadap mereka yang tak berlabel “Muslim”. Pertama, ketika al-Quran

mengaitkan kufr dengan doktrin, itu dilakukan dalam konteks sosio-historis

yang real dan yakin bahwa kepercayaan yang tulus pada keesaan Tuhan dan

21 Toshihiko Izutsu, Ethico Religious Concepts In The Quran, h. 130. 22 Farid Esack, Quran, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious

Solidarity Against Oppression (England: Oneworld Publications, 1998), h. 134 23 Farid Esack, Quran, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious

Solidarity Against Oppression, h. 135. 24 Farid Esack, Quran, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious

Solidarity Against Oppression, h. 137.

Page 45: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

29

pertanggungjawaban akhir kepada-Nya akan membawa pada terwujudnya

masyarakat yang adil. Kedua, al-Quran menggambarkan orang kafir sebagai

sosok orang yang mengetahui keesaan Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai

utusan-Nya namun memilih untuk menolak mengakuinya. Ketiga, yang

dijelaskan al-Quran sebagai kufr adalah perilaku bermusuhan terhadap Islam

dan Muslim. Keempat, al-Quran juga spesifik soal motif keputusan kuffar

untuk memegang keyakinan tertentu.25

Dari sekian banyak definisi, menurut hemat penulis, makna kafir tidak

terlepas dari makna asalnya yaitu menutup. Hal tersebut dapat dilihat ketika al-

Quran menjelaskan petani dengan menggunakan kata kuffār yaitu dalam Q.s.

al-Ḥadīd/57: 20.

يا لعب ن أ ي وة ٱلد ا ٱلأ لموا أن نكمأ وت فاخر وزينة ولأوٱعأ لد كمثل ف تكارو ب ي أ وأ ل وٱلأ و مأ ٱلأفر كفار ن باتهۥ ث يهيج فتىه مصأ جب ٱلأ ث أعأ خرة عذاب وف حطما يكون ث اغيأ ٱلأ

فرة شديد ن م ن ومغأ و ن أ وما ٱلل ورضأ ي وة ٱلد غر ٱلأ ع ٱلأ .ور يا إل مت“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah

permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-

megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya

harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan

para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat

warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada

azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keriḍaan-Nya. Dan

kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”

(Q.s. al-Ḥadīd /57: 20)

Hal itu dipertegas oleh Hamka bahwa kafir di sini berarti menimbun

dalam Q.s. al-Baqarah/2: 6, sebab kata tersebut merupakan makna asli daripada

kufur yaitu menimbuni atau menyembunyikan, sehingga tidak kelihatan lagi.

Ayat ini mengilustrasikan Petani yang takjub serta mengharapkan sesuatu

disertai kecemasan. Sebab apabila hujan telah turun, tanaman itu akan subur,

yang telah layu karena kekeringan akan menghijau kembali serta diharapkan

kelak akan memberikan hasil yang baik. Kemudian setelah itu kering dan

kersang, karena terik matahari yang berhari berbulan lamanya.26

25 Farid Esack, Quran, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious

Solidarity Against Oppression, h. 138-139 26 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 27, h. 296

Page 46: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

30

Akan tetapi, dalam penggunaannya terhadap kitab suci al-Quran, kata

itu memiliki variasi makna sesuai konteks yang dimaksud oleh ayat tersebut.

Boleh jadi kafir yang dimaksud oleh al-Quran berbeda dengan apa yang

dimaksud oleh kita yang membaca atau menginterpretasinya. Oleh karena itu,

karena itu, penulis berupaya menguraikan keragaman pemaknaan itu pada

pembahasan sendiri secara rinci dan detail di bawah ini.

B. Macam-Macam Kafir

Dalam kamus Lisān al-‘Arab, Ibn Manẓūr mengemukakan kata Kufr ke

dalam delapan jenis, di antaranya27:

1. Kufr al-Inkār

Yakni mengingkari Tuhan dengan hati dan lisan serta tidak

mengenal ketauhidan. Kufr al-Inkār adalah kekafiran dalam arti

pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, Rasul-Rasul-Nya dan seluruh

ajaran yang mereka bawa. Melalui sudut pandang akidah, orang kafir jenis

ini adalah mereka yang tidak percaya sama sekali dengan Tuhan sebagai

pencipta, pemelihara, pengatur alam semesta ini. Mereka pun mengingkari

rasul-rasul, mendustakan ayat-ayat Tuhan, menolak semua yang bercirikan

gaib, seperti malaikat, kiamat, kebangkitan, surga, neraka dan

sebagainya.28

Mereka yang mengingkari pokok-pokok akidah di atas dapat

dikategorikan sebagai penganut ateisme29, materialisme dan naturalisme.

Orang-orang kafir jenis ini, pada hakikatnya, hanya mempercayai hal-hal

yang bersifat material, alamiah, empiris dan mekanistis. Kalaupun ada di

antara mereka yang mempercayai hal-hal yang inmaterial, seperti

paranormal, telepati, telekinesis dan semacamnya, namun mereka selalu

27 Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim ibn Manẓūr al-Miṣr, Lisān al-‘Arab,

h. 144. 28 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), cet 1, h. 105. 29 Ateisme adalah suatu kepercayaan atau paham yang mengingkari adanya keberadaan

Tuhan (Disbelief or lack of belief in the existence of God or gods). Joseph McCabe, Atheism: The

Logic of Disbelief (Arizona, See Sharp Press, 2006), h.8-10.

Page 47: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

31

beranggapan bahwa hal demikian dapat dijelaskan dengan penjelasan yang

ilmiah dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan.30

Dalam al-Quran dijelaskan bahwa orang-orang kafir seperti itu

menganggap bahwa proses kehidupan di dunia ini berlangsung secara

alamiah murni tanpa adanya intervensi dari luar. Kehidupan yang nyata

dan riil hanya ada di dunia ini dan tidak ada kehidupan setelah kehidupan

dunia ini. Yang menghidupkan dan mematikan mereka hanya waktu (al-

Dahr).31

ر وما ل لكنا إل ٱلدهأ يا وما ي هأ يا نوت ونأ ن أ ل وقالوا ما هي إل حيات نا ٱلد م بذم إنأ همأ إل يظنون .منأ علأ

“Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah

kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada

yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-

kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain

hanyalah menduga-duga saja.”

(Q.s. al-Jāthiyah/45: 24).

Ciri yang sangat menonjol dari orang-orang kafir jenis ini adalah

orientasi mereka yang selalu mengarah kepada dunia saja. Seluruh waktu,

tenaga, pikiran dan umur mereka dihabiskan untuk mencari kenikmatan

dunia. Dalam Q.s. al-Baqarah/2: 212, dijelaskan bahwa kehidupan dunia

ini memang dijadikan indah dan sangat menggiurkan dalam pandangan

mereka yang kafir.32

وٱلذين ٱت خرون من ٱلذين ءامنوا يا ويسأ ن أ ي وة ٱلد زي ن للذين كفروا ٱلأ ق همأ ي وأ ا ف وأ وقوأ

حسابٱلأ زق من يشاء بغيأ ي رأ مة وٱلل .وقي“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang

kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman.

Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada

mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-

orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”

(Q.s. al-Baqarah/2: 212).

30 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 106. 31 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 107. 32 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 107.

Page 48: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

32

Kecintaan yang berlebihan terhadap kehidupan dunia adalah

konsekuensi logis dari ketidakpercayaan terhadap kehidupan di balik

kehidupan dunia ini. Karena tidak mempercayai kehidupan akhirat, maka

perhatian mereka tertumpu sepenuhnya pada kehidupan dunia. Dengan

demikian, orang-orang kafir sesungguhnya terdiri atas pribadi-pribadi

yang materialistis dan hedonistis, yang hanya menghargai sesuatu yang

bersifat material serta mendatangkan kenikmatan duniawi yang berwujud

material dan jasmaniah.33

2. Kufr al-Juhūd

Kufr al-Juhūd diambil dari term juhūd yang terdapat di dalam al-

Quran. Menurut Ibn Manẓūr, kafir jenis ini adalah orang yang mengakui

dengan hati (kebenaran dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh rasul) tetapi

mengingkari dengan lisan mereka.34 Di antara mereka yang termasuk

dalam kategori ini adalah Fir‘aun. Dalam al-Quran, dijelaskan bahwa

Fir‘aun dan sekutu-sekutunya meyakini bahwa ayat-ayat yang dibawa oleh

Nabi Mūsā As. adalah kebenaran. Akan tetapi, karena keangkuhan dan

kesombongan mereka, keyakinan itu tidak diwujudkan dalam bentuk kata

dan perbuatan. Sebaliknya, mereka memperlihatkan permusuhan dan

pembangkangan.35

مأ ءاي صرة ف لما جاءتأ ر ق ت نا مبأ ذا سحأ ها أنفسه . مبنيالوا ه وقن ت أ ت ي أ مأ وجحدوا با وٱسأم سدين ف وعلو ا اظلأ مفأ وقبة ٱلأ ف كان ع .ٱنظرأ كيأ

“Maka tatkala mukjizat-mukjizat Kami yang jelas itu sampai kepada

mereka, berkatalah mereka: "Ini adalah sihir yang nyata". Dan mereka

mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal

hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa

kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”

(Q.s. al-Naml/27: 13-14).

33 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 107. 34 Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim ibn Manẓūr al-Miṣr, Lisān al-‘Arab,

h. 144. 35 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 122.

Page 49: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

33

Di zaman Rasulullah Saw., orang-orang kafir jenis ini umumnya,

terdapat di kalangan Arab Mekkah dan orang-orang Yahudi di Madinah.

Terhadap orang-orang Yahudi, sikap juhūd mereka diungkap oleh al-

Quran. Dalam Q.s. al-Baqarah/2: 89, dijelaskan bahwa mereka,

sebenarnya mengetahui dengan jelas lewat kitab suci mereka (Taurat)

bahwa Muhammad adalah rasul yang dijanjikan oleh Tuhan kepada

mereka. akan tetapi, setelah melihat kenyataan bahwa rasul yang diutus itu

bukan dari golongan dan bangsa mereka, maka timbullah kecemburuan,

kedengkian dan keangkuhan yang berujung pada pengingkaran terhadap

Muhammad Saw.36

Dengan demikian timbulnya kufr al-juhūd bukanlah karena

ketidaktahuan dan ketidakpercayaan terhadap kebenaran, melainkan

karena adanya faktor-faktor tertentu yang menghalangi seseorang

mewujudkan kepercayaan dalam bentuk kata dan perbuatan.37

Iblīs adalah contoh yang gamblang dari kufr al-juhūd. Ia

sebenarnya tahu dan yakin akan keberadaan Tuhan. Bahkan ia sempat

berdialog dengan Tuhan sebagaimana yang diungkapkan dalam beberapa

ayat al-Quran, misalnya ketika iblīs diperintahkan untuk sujud kepada

Adam. karena ia dikuasai oleh rasa dengki, cemburu, sombong, angkuh

dan semacamnya, ia pun membangkang kepada Tuhan dan terjerumus

dalam kekafiran (juhūd).38

3. Kufr al-Mu‘anadāh

Yaitu mengenal Tuhan dengan hati, mengakui Allah dengan lisan

tetapi tidak mau menjadikannya sebagai suatu keyakinan karena adanya

rasa permusuhan, dengki atau semacamnya. Kufur inilah yang juga

dilakukan oleh iblīs, Abū Ṭālib dan para pemuka Quraisy pada masa

Rasulullah Saw.

4. Kufr al-Nifāq

36 Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi, Asbāb al-Nuzūl (Bayrūt: Dār al-

Fikr, 1994), h. 16. 37 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 123. 38 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 123.

Page 50: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

34

Yaitu mengakui (Tuhan, Rasul serta ajaran-ajarannya) dengan

lisan mereka tetapi mengingkari dengan hati. Al-Bagawī

mendefinisikannya, “Kufr al-Nifāq adalah pengikraran dengan lisan,

namun tidak diiringi keyakinan hati”.39 Ibn al-Qayyim memaparkan

pendefinisiannya, “menampakkan keimanan dengan lisan, namun

menyembunyikan pendustaan dalam hati.”40

Ibn Taymiyyah menjelaskan, “akar nifāq adalah dusta. Seorang

munafik, pasti berbeda antara yang dia tutupi dan dia tampakkan, juga

antara lahir dan batinnya.”41 Ibn al-Qayyim menerangkan, “tanaman nifāq

tumbuh di atas dua batang; batang dusta dan batang riya’. Keduanya

bersumber dari lemahnya hati dan lemahnya tekad. Apabila keempat hal

ini telah menyatu, maka saat itu tanaman nifāq dan bangunannya akan

menguat.”42

5. Kufr al-Shirk

Kufr al-Shirk dalam arti mempersekutukan Tuhan dengan

menjadikan sesuatu, selain diri-Nya, sebagai sembahan, obyek pemujaan

dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan, termasuk dalam

kategori kufr. Shirk digolongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu

mengingkari keesaan Tuhan yang berarti mengingkari Tuhan sebagai dhat

yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna.43

Dalam al-Quran, orang-orang musyrik memang terkadang ditunjuk

dengan term kafir disamping term musyrik sendiri. Yang banyak disoroti

oleh al-Quran adalah jenis syirik besar dalam bentuk paganisme atau

keberhalaan. Nabi Nuh sebagai rasul pertama yang menemukan berhala

saat dipuja oleh umatnya. Di antara berhala-berhala itu adalah Wudd,

39 Imam Abi al-Hasan Muhammad ibn al-Husain al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi: Ma’alim

al-Tanzil (Riyāḍ: Dār Ṭayyibah, 1409 H), Jilid 1, h. 64. 40 Al-Imam ibn al-Qayyim al-Jauziyyah Muhammad ibn Abi Bakr al-Zar’i al-Dimashqi,

Madārij al-Sālikīn: Baina Manāzil Iyyāka Na’budu wa Iyyāka Nasta’in (Riyaḍ: Dār al-Ṣamī’ī), h.

909. 41 Ahmad ibn ‘Abd al-Halim Ibn Taymiyyah, Sharh Hadith Jibril,: fi al-Islām wa al-Imān

wa al-Ihsān (t.t: Dār Ibn al-Jauzi, t.th), h. 576. 42 Al-Imam ibn al-Qayyim al-Jauziyyah Muhammad ibn Abi Bakr al-Zar’i al-Dimashqi,

Madārij al-Sālikīn: Baina Manāzil Iyyāka Na’budu wa Iyyāka Nasta’in, h. 931. 43 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 135.

Page 51: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

35

Suwā’, Yagūth, Ya‘ūq dan Nasr (Q.s. Nūh/71:23). Sedangkan Nabi Hūd

mendapati kaumnya, ‘Ād, menyembah tuhan-tuhan yang banyak (Q.s.

Hūd/11: 53) dan Nabi Ibrāhīm As., merupakan putra seorang pemahat,

penjual sekaligus penyembah patung berhala (Q.s. al-An‘ām/6: 74; Q.s. al-

Anbiyā’/21: 52). Sampai pada periode Nabi Muhammad, aktivitas

keberhalaan masih menjadi agenda Nabi untuk menghabiskan sisa-sisa

kejahilan.44

Jadi, kemusyrikan dalam bentuk keberhalaan, tampaknya

merupakan ciri dari masyarakat yang masih tradisional seperti halnya umat

para Nabi dan Rasul di atas.45

6. Kufr al-Ni‘mah

Yaitu kufur karena tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan

Allah Swt. Para ahli sependapat bahwa alam ini merupakan satu sistem

atau kesatuan yang saling terkait. Bumi dan sekitarnya adalah satu sub

sistem dari sistem alam raya. Sedangkan manusia yang mendiami bumi

dapat dianggap sebagai sub sistem dari bumi karenanya ia merupakan sub-

sub sistem dari alam raya secara keseluruhan.46 Kemudian al-Quran

menyatakan bahwa bumi dan isinya dicipta untuk kepentingan manusia

(Q.s. al-Baqarah/2: 29). Maka sangatlah tepat bila dikatakan bahwa semua

yang ada di alam ini, yang di atur oleh dhat yang Maha Kuasa, yang tidak

menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada, merupakan

nikmat bagi manusia.47

Akan tetapi ada beberapa makhluk yang membangkang dan tidak

berterima kasih akan nikmat yang diberikan. Kufur nikmat merupakan

kecenderungan yang sangat kuat pada diri manusia. Misalnya, ungkapan

44 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 137. 45 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 138. 46 N. J. Greenwood, J. M. B. Edwards, Human Environments and Natural Systems

(Massachusetts: Duxbury Press, 1979), h.18. 47 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 145.

Page 52: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

36

ẓalūm kaffār dalam Q.s. Ibrāhīm /14: 34 dan kafūr mubīn yang terulang

sebanyak sepuluh kali dalam al-Quran.48

Kufur nikmat, dalam arti penyalahgunaan nikmat-nikmat Tuhan,

sebenarnya, telah dilakukan secara langsung oleh orang-orang yang

tergolong kafir (kafir ingkar, kafir juhūd, musyrik dan munafik). Mereka

terlibat dalam penyalahgunaan nikmat karena-nikmat Tuhan karena tidak

menggunakan nikmat Tuhan pada tempat yang sewajarnya dan diridai oleh

Tuhan.49

7. Kufr al-Irtidād (murtad), yakni kembali menjadi kafir sesudah beriman

atau keluar dari Islam. istilah irtidad merupakan berasal dari kata radd

yang berarti berbalik kembali. Murtad adalah keluar dari Islam menjadi

kafir, baik dengan niat, ucapan atau perbuatan yang menyebabkan

seseorang dikategorikan kafir.50

8. Kufr al-Barā’ah, yakni membersihkan diri atau berlepas diri atau

menyelamatkan diri dari sesuatu. Sikap ini lebih mengarah kepada sikap

berlepas diri dari tanggung jawab seperti yang dilakukan shayṭān. Hal ini

sejalan dengan firman Allah Q.s. Ibrāhīm/14 :22.

ط وقال ٱ ر إن الشيأ مأ ق ووعدت ن لما قضي ٱلأد ٱلأ تكمأ وما ٱلل وعدكمأ وعأ لفأ كمأ فأخأ

ط ك كم م ن سلأ تمأ ل فل ت لوم اان ل عليأ تجب أ تكمأ فٱسأ أن دعوأ و ولوموا أنفسكم ن إلرخي ما رخكمأ وما أنتم بصأ تمون أن بصأ ركأ ت با أشأ كفرأ ل إن ٱ إ لمني الظ من ق بأ

.لمأ عذاب أليم“Dan berkatalah shayṭān tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan:

"Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang

benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku

menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu,

melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi

seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi

cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu

dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya

aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku

48 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 146. 49 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 148. 50 Muhammad Mutawalli, “Murtad: Antara Hukuman Mati dan Kebebasan Beragama,”

OSF, (Oktober 2017), diakses pada tanggal 15 April 2018 di https://osf.io/hsmkc/.

Page 53: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

37

(dengan Allah) sejak dahulu". Sesungguhnya orang-orang yang

zalim itu mendapat siksaan yang pedih.”

(Q.s. Ibrāhīm/14 :22).

C. Sikap Terhadap Orang-Orang Kafir

Pluralitas diyakini sebagai sunnatullah yang dikehendaki-Nya.

Keadaan plural yang meliputi berbagai macam golongan dan kelompok

menyebabkan masyarakat harus dapat hidup berdampingan dalam satu

lingkungan. Ketika hidup bermasyarakat tersebut, tentunya ada yang menjadi

golongan mayoritas dan minoritas. Kerap terjadi, kelompok mayoritas bersikap

intoleran terhadap minoritas, sehingga terjadi penganiayaan atau pelanggaran

hak asasi manusia.51 Untuk itu al-Quran turun menawarkan berbagai solusi

dalam menyikapi pluralitas yang sering menjadi tanda tanya. Berikut penulis

paparkan pada pembahasan selanjutnya.

1. Sikap Keagamaan

Sikap toleransi dalam hal keyakinan dan menjalankan peribadahan

mengundang banyak tanya oleh umat muslim, khususnya di Indonesia.

Konspe terpenting dalam toleransi Islam adalah menolak sinkretisme.

Yaitu kebenaran itu hanya ada pada Islam dan selain Islam adalah batil.

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.s. Āli ‘Imrān/3: 19.

Kaum muslimin dilarang rida atau bahkan ikut serta dalam segala

bentuk peribadatan dan keyakinan orang-orang kafir dan musyrikin

sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah Q.s. al-Kāfirūn/109: 1-

6.

Hendaklah seorang muslim untuk membebaskan diri dari

mengikuti orang-orang kafir dalam semua hal yang ada pada mereka,

karena seorang penyembah harus memiliki sembahan yang ia sembah

dengan cara tertentu.52

Lalu bagaimana persoalan mengucapkan selamat natal kepada

umat Nasrani? Pada tahun 2012, Dār al-Iftā’ Mesir menyatakan ucapan

51 Samsul Hadi Untung dan Eko Adhi Sutrisno, “Sikap Islam Terhadap Minoritas Non-

Muslim,” Jurnal Kalimah, vol. 12, no. 1 (Maret 2014), h. 27. 52 Muhammad Yasir, “Makna Toleransi Dalam al-Quran,” Jurnal Ushuluddin, vol. 22, no.

2 (Juli 2014), h. 172-173

Page 54: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

38

selamat natal boleh ditujukan kepada kaum Nasrani. Ucapan tersebut

merupakan bentuk interaksi sosial dan hadiah. Namun, ia memberikan

cacatan agar berhati-hati dalam pemberian selamat tersebut tetap dalam

koridor dan tidak keluar dari akidah Islam.53

Pada tanggal 7 Maret 1981, Hal yang sama pernah dilakukan oleh

Hamka yang menentang pemerintah dengan mengeluarkan fatwa

haramnya mengucapkan selamat Natal oleh umat Islam.54 Kemudian

Quraish Shihab menjelaskan hal tersebut dengan mengawali penafsirannya

terhadap Q.s. Maryam/19: 33 bahwa kalaupun non-muslim memahami

ucapan itu sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena

seorang muslim yang mengucapkannya memahami ucapannya sesuai pula

dengan keyakinannya.55 Artinya ucapan selamat natal merupakan ajaran

al-Quran sebagai bentuk penghormatan terhadap Nabi. Adapun larangan

pengucapan selamat Natal oleh MUI menurutnya lebih banyak ditujukan

kepada mereka yang khawatir akan hilangnya akidah.56

Dari hasil uraian di atas, penulis memahami bahwa ucapan natal

tidak seharusnya di ucapkan kepada orang kafir. Hal itu tidak akan

mengurangi rasa toleransi kita terhadap mereka. Sebab, sikap toleransi

dengan tidak mengganggu dan mencaci-maki ibadah dan keyakinan

mereka.

2. Interaksi Sosial

Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap manusia sangat

membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya agar nalurinya sebagai

makhluk sosial dapat tersalurkan. Di dalam al-Quran dijelaskan bahwa

manusia adalah makhluk sosial yang berasal dari satu jenis (Q.s. al-

Nisā’/4: 1), kemudian berkembang biak melalui perkawinan yang

53 Nasih Nasrullah, “Ini Sikap Lembaga Fatwa Timur Tengah Soal Natal,” artikel diakses

pada tanggal 20 Maret 2018 dari http://m.republika.co.id/berita/dunia-

islam/fatwa/13/12/24/myau5b-ini-sikap-lembaga-fatwa-timur-tengah-soal-natal. 54 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar (Jakarta: Penamadani, 2004),

h. 54 55 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran (Jakarta:

Lentera Hati, 2003), vol. 8, h. 184. 56 Daniel Prima, “Penafsiran Ucapan Selamat Natal Dan Prinsip-Prinsip Toleransi

Beragama Dalam Tafsir al-Miṣbāḥ,” Analytica Islamica, vol. 4, no. 1 (2015), h. 8.

Page 55: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

39

membentuk keluarga kecil hingga keluarga besar (Q.s. al-Furqān/25: 54),

kemudian berkembang menjadi suku, ras dan bangsa (Q.s. al-Ḥujurāt/49:

13) dan menjalin interaksi sosial dalam berbagai bidang kehidupan (Q.s.

al-Zukhrūf/43: 32). 57

Jalinan interaksi ini tidak saja dapat dibina antara sesama Muslim,

tetapi juga dapat menembus batas dan sekat keluarga, kelas, suku, rasial,

bangsa dan agama sekalipun. Dengan kata lain, al-Quran sama sekali tidak

menghalangi umat Islam untuk membina hubungan sosial dengan orang-

orang non-Islam, termasuk orang-orang kafir. Hal demikian dapat terjadi

selama tidak merusak atau menggangu kehidupan agama masing-

masing.58

Dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang memberikan

kelonggaran kepada orang-orang Islam, baik tersurat maupun tersirat,

untuk membina hubungan sosial yang konstruktif dengan orang-orang

selain Islam. Sebagaimana firman Allah dalam Q.s. al-Mumtaḥanah dan

Q.s. al-Ḥujurāt.59

رجوكم م ن دي ين ولأ يأ تلوكمأ ف ٱلد هىكم ٱلل عن ٱلذين لأ ي وق

ركمأ أن تروهمأ ل ي ن أسطني موقأ إن ٱلل يب ٱلأ

همأ سطوا إليأ .وت وقأ“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap

orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)

mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-

orang yang berlaku adil.”

(Q.s. al-Mumtaḥanah/60: 8).

نكم م ن ذكر ي ها ٱلناس إن خلوقأ كمأ ى وأنث ي ن وق بائل وابشع وجعلأ

رمك أ إن لت عارف وا مأ كأ

إن ٱلل عليم خبيوقىكمأ .عند ٱلل أت أ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa

dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya

orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang

paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi

Maha Mengenal.”

57 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 208. 58 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 208. 59 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 209.

Page 56: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

40

(Q.s. al-Ḥujurāt/49: 13).

Pada ayat terakhir, Tuhan secara eksplisit menyebutkan bahwa

perbedaan warna kulit dan suku adalah realitas yang disengajakan oleh-

Nya. Akan tetapi, perbedaan itu sendiri tidaklah dimaksudkan agar

manusia diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan warna kulit, suku

dan bahasanya. Perbedaan itu hanyalah merupakan petanda-petanda

Tuhan di alam ini.60

Dengan demikian, perbedaan agama dan keyakinan tidak dapat

dijadikan dalih oleh seorang Muslim untuk menjauhi atau memusuhi orang

lain. Dalam Q.s. Luqmān/13: 14-15, justru memerintahkan manusia agar

senantiasa tunduk dan patuh kepada orang tua, meskipun keduanya

musyrik.61

3. Kritik Sosial

Meskipun Rasulullah tidak diperintahkan untuk mengislamkan dan

memukminkan seluruh umat manusia secara paksa, namun prinsip dakwah

Islam menggariskan bahwa kemungkaran, penyelewengan, penyimpangan

dan perbuatan-perbuatan jahat lainnya, harus dihilangkan. Paling tidak,

kejahatan-kejahatan itu harus diperangi dengan berbagai cara.

Menghilangkan berbagai bentuk kejahatan dan ketimpangan yang

dimaksud, juga merupakan upaya yang harus ditempuh untuk mencapai

salah satu tujuan Islam yaitu menciptakan tata sosial moral yang

egalitarian dan berkeadilan.62

Upaya-upaya yang disebutkan di atas merupakan bagian dari

makna jihad dalam Islam. Jihad, pada dasarnya, adalah perjuangan dengan

mengerahkan segala kesungguhan dan daya upaya untuk mencapai tujuan

dalam melawan musuh atau dalam mempertahankan kebenaran, kebaikan

60 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 209. 61 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 210. 62 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 216.

Page 57: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

41

dan keluhuran. Meskipun demikian, jihad tidak selalu diidentikkan dengan

perang.63

Dalam al-Quran perintah berjihad diterangkan secara gamblang

terhadap orang-orang kafir. Hal itu diterangkan dalam firman Allah Q.s.

al-Taubah dan Q.s. al-Furqān.

ها ياهمأ و ي لظأ عليأ منافوقني وٱغأ كفار وٱلأ همأ جهنم وبئأ ٱلنب جاهد ٱلأ وى

أمصي.مأ س ٱلأ

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-

orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat

mereka ialah jahannam. Dan itu adalah tempat kembali yang

seburuk-buruknya.”

(Q.s. al-Tawbah/9: 73).

ك هم بهۦ جهادا كبيا افرين وج افل تطع ٱلأ .هدأ“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan

berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang

besar.”

(Q.s. al-Furqān/25: 52)

Perintah jihad terhadap orang kafir dapat meliputi semua bentuk

jihad. Pada ayat kedua di atas, perintah berjihad terhadap orang-orang kafir

adalah dengan menggunakan al-Quran. Ini berarti bahwa jihad terhadap

mereka tidak selalu harus berkonotasi perang fisik tetapi juga meliputi

perjuangan moral dan spritual. Meskipun demikian, harus diakui bahwa

makna jihad terhadap orang-orang kafir yang dimaksud dalam al-Quran,

seringkali berkonotasi perang. Di samping itu, terdapat ayat-ayat lain yang

berisi perintah untuk melakukan qitāl (menghilangkan nyawa dari badan)

dalam arti perang, terhadap orang-orang kafir.64

Misalnya, dalam Q.s. al-Baqarah/2: 190-193 yang menyebutkan

bahwa Perintah “perangilah di jalan Allah” menjelaskan bolehnya

melakukan perang selama peperangan itu di jalan Allah, yakni untuk

menegakkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa serta kemerdekaan dan

kebebasan yang sejalan dengan tuntutan agama.Ayat ini juga menjelaskan

63 Muhammad Rashīd Riḍa, Tafsir al-Quran al-Hakīm (Miṣr: Dār al-Manār, 1367 H), Jilid

6, h. 370. 64 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 218.

Page 58: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

42

kapan peperangan dimulai, yakni saat diketahui secara pasti bahwa

ada “orang-orang yang memerangi”, yakni sedang mempersiapkan

rencana dan mengambil langkah-langkah untuk memerangi kaum

muslimin atau benar-benar telah melakukan agresi. Ini dipahami dari

penggunaan bentuk kata kerja masa kini (muḍāri’) yang mengandung

makna sekarang dan akan datang pada kata yuqaatilunakum (mereka

memerangi kamu). Dengan demikian ayat ini juga menuntun kita agar

tidak berpangku tangan menanti sampai musuh memasuki wilayah atau

mengancam ketentraman dan perdamaian.65

Baik ayat-ayat yang memerintahkan jihad maupun ayat-ayat qitāl

terhadap orang-orang kafir, semuanya menunjukkan bahwa tindakan

kekerasan, memang sewaktu-waktu dilakukan terhadap mereka. Akan

tetapi harus dicatat bahwa tindakan keras itu hanya dapat dilakukan bila

ada alasan-alasan kuat yang mendasarinya. Islam melarang umatnya

melakukan agresi dan intervensi terhadap umat lain. Prinsip Islam adalah

membela dan mempertahankan diri dari atau membalas secara setimpal

atas, setiap perbuatan agresi pihak lain.66

Demikianlah bentuk tindakan atau pun jihad yang dapat dilakukan

terhadap orang-orang kafir. Dari uraian itu, terlihat bahwa yang dapat

ditindak secara tegas hanyalah orang-orang yang benar-benar kafir, dalam

arti menyatakan kekafiran mereka secara terang-terangan dan mengadakan

agresi yang mengancam keamanan dan eksistensi negara dan umat Islam.67

Sikap kita terhadap orang yang beridentitas kafir tidak selamanya

berbentuk kekerasan. Akan tetapi, perbedaan agama dan keyakinan

dijadikan sebagai kesempatan untuk mengenal ciptaan Allah yang

diciptakan berbeda. Berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang

non-Muslim, atas dasar kemanusiaan, adalah perilaku etis yang bercirikan

Islami.

65 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Quran, (Tangerang: Lentera Hati, 2000), Jilid 1, h. 392. 66 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 218-219. 67 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis Dengan

Pendekatan Tafsir Tematik, h. 226.

Page 59: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

43

BAB IV

KITAB TAFSIR ULAMA NUSANTARA

Pemahaman atas ayat-ayat al-Quran bergerak secara dinamis seiring

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Begitu pula penafsiran yang

dilakukan oleh para mufassir, khususnya di Indonesia, mereka menafsirkan al-

Quran karena banyaknya tantangan dari internal maupun eksternal serta untuk

menjawab polemik-polemik baru yang tidak ditemukan di zaman Rasulullah,

Sahabat maupun Tābi‘īn.

Penulis mengambil periodesasi Islah Gusmian yang mengklasifikasikan

tafsir Nusantara ke dalam tiga generasi (Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud

Yunus, Tafsir al-Azhar karya Hamka dan Tafsir al-Miṣbāḥ karya Quraish Shihab).

Berikut penulis paparkan mengenai biografi, karya-karya mereka, corak

penafsirannya dan latar belakang penulisan kitab tafsirnya:

A. Selayang Pandang Tafsir Qur’an Karim

Sebelum menjelaskan kitab tafsir yang ditulis oleh Mahmud Yunus,

terlebih dahulu penulis akan menelusuri latar belakang beliau, baik sebelum

maupun setelah menulis kitab tafsirnya, seperti yang akan dijelaskan sebagai

berikut:

1. Biografi Mahmud Yunus

Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1899 M.

Bertepatan dengan tanggal 29 Ramaḥan 1316 H di Desa Sungayang, Batu

Sangkar, Sumatera Barat. Tahun kelahirannya bersamaan dengan

dicetuskannya politik etis atau dikenal oleh masyarakat dengan zaman

politik balas jasa dari pemerintah kolonial Belanda.1

Mahmud Yunus di waktu kecil dikenal sangat kuat hafalannya.

Jika beliau mendengarkan suatu cerita maka beliau dapat mengulangi

cerita tersebut secara utuh, dari awal sampai akhir. Ketika berumur 7 tahun

beliau telah menunjukkan minta untuk memperdalam dalam belajar

1 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 58.

Page 60: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

44

membaca al-Quran di bawah bimbingan kakeknya, M. Thahir yang dikenal

dengan nama Engku Gadang.2

Saat itu, di Minangkabau, kebijakan politik pendidikan kolonial

Belanda (politik etis) didasari karena rasa takut mereka akan Islam. Di

mata kolonial Belanda, Islam dipandang sebagai ancaman sehingga

mereka banyak mendirikan sekolah-sekolah.3 Akan tetapi, hal itu tidak

membuat semangat Mahmud Yunus untuk mengembangkan pendidikan

Islam di Indonesia. Alhasil banyak karya-karya beliau yang berhasil

direalisasikan kepada masyarakat pribumi bahkan masih digunakan

sampai sekarang. Adapun karya-karya beliau, penulis cantumkan

dipembahasan selanjutnya.

2. Karya-Karya Tulis Mahmud Yunus

Mahmud Yunus di masa hidupnya dikenal sebagai seorang

pengarang yang produktif. Aktivitasnya dalam melahirkan karya tulis

tidak kalah penting dari aktivitasnya dalam lapangan pendidikan. Pada

perjalanan hidupnya, beliau telah menghasilkan buku-buku karangannya

sebanyak 82 buku. Berikut ini di antara buku-buku karya Mahmud Yunus:

a. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Buku ini menjelaskan tujuan

pendidikan Islam serta metode pengajarannya dalam upaya

mendekatkan diri kepada Allah Swt., dan berbakti kepada bangsa dan

tanah air.4

b. Pelajaran Bahasa Arab I-IV.

c. Al-Tarbiyah wa al-Ta’lim atau kitab pendidikan dan pengajaran. Kitab

ini adalah kitab yang secara umum membicarakan tentang masalah

pendidikan. Kitab ini terdiri dari beberapa juz yaitu, juz awal, tsani

dan tsalis. Setiap bagian-bagiannya mengajarkan tahapan tahapan

dalam konsep tarbiyah.5

2 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 61. 3 Mardjani Martamin, dkk. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat,

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), h. 46-47 4 Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama (Jakarta: Hidakarya Agung, 1999). 5 Mahmud Yunus dan Qosim Bakri, al-Tarbiyah wa al-Ta‘lim (Bukittinggi: Nusantara,

1953).

Page 61: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

45

d. Durus al-Lughah al-‘Arabiyah ‘ala al-Ṭariqah al-Hadīṡah I dan II.

Buku pelajaran bahasa Arab yang tersusun secara sistematis mulai

dari penjelasan kosakata, bacaan, percakapan dan tata bahasa,

sehingga memudahkan bagi orang Indonesia untuk mempelajari

bahasa Arab.6

e. Kamus Arab Indonesia.7 Kamus yang tersusun sesuai dengan urutan

huruf mu’jam (alfabetis) yang dilengkapi dengan gambar pada

halaman awal dan beberapa pelajaran bahasa arab (tasrif) di halaman

belakang sehingga memudahkan orang-orang Pribumi bagi yang

hendak mempelajari bahasa Arab.

f. Tafsir Qur’an Karim. Kitab tafsir al-Quran, 1 jilid, yang bentuk

tafsirnya menggunakan footnote (catatan kaki) dan berisi penjelasan

yang ringkas dan jelas.

g. Do’a-do’a Rasulullah.

h. Fiqh al-Waḍih, kitab fikih yang dijadikan sebagai bahan ajar

Madrasah Ibtidaiyah. Silabus buku ini dimulai dari pembahasan

Tahārah sampai jenazah.

Dari banyaknya karya tulis yang telah dihasilkannya, penulis melihat

kecenderungan karya-karya tulis beliau banyak mengomentari tentang

pendidikan Islam di Indonesia khususnya dalam metode pengajaran dan bahasa

Arab. Selain itu, penulis melihat beliau tetap mempertahankan sisi kebahasaan

ketika menulis, dengan kata lain beliau menggunakan corak lughawī (bahasa),

seperti kitab Tafsir Qur’an Karim merupakan salah satu kitab yang masih

dijadikan sebagai bahan bacaan bahkan telah mengalami pencetakan berulang

kali.8

Pada tahun 1922, di Indonesia, sebelum beliau menulis kitab tafsirnya,

Mahmud Yunus melakukan kegiatan penerjemahan al-Quran dan diterbitkan

tiga Juz dengan huruf Arab-Melayu. Hal tersebut dilakukan untuk memberi

6 Mahmud Yunus, Durus al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘ala al-Ṭariqah al-Hadithah (Jakarta:

Hidakarya Agung, 1927), Jilid I dan II. 7 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Ciputat: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010) 8 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 69-72.

Page 62: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

46

pemahaman bagi masyarakat yang belum begitu paham terhadap bahasa Arab.

Akan tetapi, pada waktu itu, mayoritas ulama Islam mengatakan haram

menerjemahkan al-Quran, akan tetapi beliau tidak mendengarkan bantahan itu.

Kemudian usahanya itu berhenti, karena beliau ingin meneruskan studinya ke

Mesir. Sepulang menuntut ilmu, tepatnya pada bulan Ramaḍan tahun 1354 H

(Desember 1935), beliau mulai kembali menerjemahkan al-Quran serta tafsir

ayat-ayat penting yang diberi nama “Tafsir Qur’an Karim”. Berkat pertolongan

Allah Swt. akhirnya pada bulan April 1938, beliau berhasil menerjemahkan

dan menafsirkan al-Qur’ān sampai 30 Juz.9

Menurut hemat penulis, Tafsir Qur’an Karim di dalam penulisannya

cenderung menggunakan corak penafsiran lughawī (bahasa). Hal itu dapat

dideteksi oleh pembaca, ketika beliau menafsirkan Q.s. al-Baqarah/2: 46

dengan mengambil يظنون (yaẓunnūn) sebagai kata kunci untuk menjelaskan

ayat tersebut. kemudian di dalam Q.s. al-Baqarah/2: 102, beliau menjelaskan

satu kata kunci yang dimaksud di dalam ayat tersebut yaitu kata سحر (sihr).10

B. Selayang Pandang Tafsir al-Azhar

Sebelum menjelaskan kitab tafsir yang ditulis oleh Haji Abdul Malik

Karim Amrullah atau yang kerap kali disapa Buya Hamka, terlebih dahulu

penulis akan menelusuri latar belakang beliau, baik sebelum maupun setelah

menulis kitab tafsirnya, seperti yang akan dipaparkan di bawah ini:

1. Biografi Buya Hamka

Nama Hamka merupakan singkatan dari H. Abdul Malik Karim

Amrullah, dimana nama itu didapatkannya sesudah beliau menunaikan

ibadah haji pada 1927 dan mendapat tambahan gelar Haji. Beliau

dilahirkan di Desa Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang, di tepi Danau

Maninjau, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908 M bertepatan dengan

14 Muharram 1326 H.11

9 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 74 10 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 2002), h. 21-22. 11 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 170.

Page 63: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

47

Hamka mengawali pendidikan membaca al-Quran di rumah orang

tuanya ketika mereka sekeluarga memutuskan pindah ke Padang Panjang

tahun 1914. Sepanjang perjalanan intelektualnya beliau banyak belajar di

madrasah-madrasah dan guru-guru yang mumpuni dalam bidangnya,

sehingga ilmu yang beliau dapatkan sangat berperan dalam perkembangan

pendidikan di Indonesia saat itu.12

Alhasil, beliau memperoleh kedudukan istimewa, baik di

pemerintah jepang maupun masyarakat Indonesia itu sendiri, dan pernah

menjabat sebagai Ketua Umum MUI pertama sejak tahun 1975, walaupun

pada akhirnya mengundurkan diri karena masalah perayaan “natal

bersama” antara umat Kristen dan agama lain.13

Oleh karena itu, dalam penulisan kitab tafsir dan karya-karya

lainnya, lingkungan sosial di sekitar Hamka memiliki peran penting ketika

beliau menuangkan gagasan-gagasan serta ide-idenya. Berikut akan

dicantumkan beberapa tulisan-tulisan beliau selama hidupnya.

2. Karya-Karya Tulis Buya Hamka

Hamka telah banyak menulis karya-karya dalam bentuk fiksi,

sejarah, doktrin Islam, etika, tasawuf, politik, adat Minangkabau dan tafsir.

Yang sudah dibukukan tercatat lebih kurang 118 buah, belum termasuk

karangan-karangan panjang dan pendek yang dimuat di berbagai media

massa dan disampaikan dalam beberapa kesempatan kuliah atau ceramah

ilmiah. Di antara karya-karya Hamka adalah sebagai berikut:

a. Di Bawah Lindungan Ka’bah, sebuah novel sekaligus karya sastra

klasik yang mengisahkan tentang percintaan Hamid dan Zainab yang

saling mencintai kemudian terpisah karena perbedaan latar belakang

sosial.14

b. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sebuah novel yang

menceritakan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan

12 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 171. 13 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 176. 14 Haji Abdul Malik Karim Abdullah, Di Bawah Lindungan Ka’bah (Bulan Bintang, 1938)

Page 64: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

48

perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta

sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian.15

c. Falsafah Hidup, buku ini menjelaskan rahasia kehidupan dan perilaku

manusia.16

d. Tasawuf Modern, buku ini menguraikan tentang tasawuf.17

e. Pandangan Hidup Muslim, buku ini berasal dari tulisan-tulisan

Hamka dalam rubrik Majalah Panji Masyarakat (sejak 1959-1960).

Buku ini memaparkan bahasan yang memberikan sajian diksi yang

begitu menarik. Disisipkannya beberapa pembahasan yang bukan saja

hanya dari sudut pandang Islam, melainkan juga dari sisi keilmuan,

keindahan, kebudayaan, dan lain sebagainya.18

f. Kedudukan Perempuan Dalam Islam, buku yang menceritakan

tentang wanita ini merupakan salah satu dari sekian banyak karya

Hamka. Buku ini juga menjelaskan bagaimana sesungguhnya

kedudukan dan hak-hak istimewa perempuan dalam islam.19

g. Tafsir al-Azhar.20 Merupakan kitab tafsir lengkap 30 juz yang

tersusun dengan menggunakan tartīb muṣḥafi (urutan muṣḥaf).21

Melalui pembacaan terhadap karya-karya beliau di atas, penulis melihat

kepiawaian Hamka dalam bidang kesusasteraan dan lihai dalam

mengungkapkan sesuatu dengan indah. Bahkan dalam kitab tafsirnya,

terkadang beberapa sajak, syair atau berbagai pantun Melayu diselipkan dalam

penafsirannya, seperti dalam Q.s. al-Baqarah/2: 265.22 Maka tepatlah jika

penulis mengatakan bahwa corak penafsiran dari tafsir al-Azhar adalah adabi

al-Ijtimā’ī.

15 Haji Abdul Malik Karim Abdullah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Bulan Bintang,

1928) 16 Haji Abdul Malik Karim Abdullah, Falsafah Hidup (Jakarta: Republika, 2015) 17 Haji Abdul Malik Karim Abdullah, Tasawuf Modern (Jakarta: Republika, 2015) 18 Haji Abdul Malik Karim Abdullah, Pandangan Hidup Muslim (Jakarta: Gema Insan

Press, 2016) 19 Haji Abdul Malik Karim Abdullah, Kedudukan Perempuan Dalam Islam (Jakarta:

Pustaka Panjimas, 1996) 20 Shobahussurur, “Buya Hamka: Tokoh Modernis Karismatik,” Jurnal Refleksi, Vol. 9,

no. 1 (2009), h. 87-88. 21 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983). 22 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 3.

Page 65: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

49

Sebelum penulis menjelaskan corak penafsiran yang digunakan dalam

kitab tafsirnya, maka hal yang perlu diketahui adalah latar belakang penulisan

kitab tafsir tersebut.

Ketika Buya Hamka hendak menuliskan tafsir ini, ada beberapa faktor

yang mendorongnya untuk segera menyelesaikan tulisannya ini. Hal tersebut

dapat dipahami ketika membaca pendahuluan kitab tafsir ini pada juz pertama.

Adapun faktor-faktor itu, pertama, tingginya minat angkatan muda Islam di

tanah air Indonesia dan di daerah-daerah yang berbahasa Melayu untuk

mengetahui dan mendalami isi al-Quran di zaman sekarang. Sedangkan mereka

tidak mempunyai kemampuan mempelajari bahasa Arab. Sekian banyak

angkatan muda Islam yang mencurahkan minat mereka kepada agama karena

menghadapi rangsangan dan tantangan dari luar dan dalam. 23

Kedua, golongan peminat Islam yang disebut muballigh atau ahli

dakwah. Kadang-kadang mereka pun ada mengetahui banyak atau sedikit

bahasa Arab, tetapi kurang pengetahuan umumnya, sehingga merekapun agak

canggung menyampaikan dakwahnya. Masyarakat mulai berani membantah

keterangan agama yang disampaikan apabila tidak masuk akal. Kalaulah

mereka diberi keterangan berdasarkan al-Qur’ān secara langsung, maka

dapatlah mereka lepas dari dahaga jiwa. Maka kitab tafsir ini merupakan suatu

alat penolong bagi mereka untuk menyampaikan dakwah itu.24

Melalui latar belakang itulah, kecenderungan corak penafsiran akan

jelas mengungkapkan dirinya sendiri tanpa kita mencari tahu. Adapun corak

penafsiran yang dapat ditemukan dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān,

yaitu:

a. Corak Adabi al-Ijtimā’ī

Hamka adalah salah seorang mufassir Indonesia yang

menggunakna corak adabi al-Ijtimā’ī atau kitab tafsir yang

berorientasi pada sastra, budaya dan sosial kemasyarakatan. Tafsir

Hamka banyak menonjolkan ketelitian redaksi ayat al-Quran,

dengan menggunakan bahasa Indonesia yang mudah dipahami. Hal

23 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 1, h. 4. 24 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 1, h. 4.

Page 66: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

50

tersebut dapat kita lihat pada penafsirannya Q.s. al-Ḥujurāt/49: 11-

13.25

b. Corak ‘Ilmi

Ketika menafsirkan beberapa ayat-ayat al-Quran, beliau

menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat yang mengisyaratkan

kepada ilmiah. Upaya ini dimaksudkan untuk agar menjawab

tantangan masyarakat yang hendak mengetahui al-Quran serta

relevansinya pada kehidupan sekarang. Hal tersebut dapat dilihat

pada penafsirannya terhadap Q.s. al-Naml/27: 18-19 tentang semut26

dan Q.s. al-Qaṣaṣ/28: 71 tentang keteraturan alam raya.27

c. Corak Hida’i

Corak hida’i adalah corak yang dilatarbelakangi oleh

pemikiran untuk menjadikan hidayah atau akhlak al-Quran sebagai

poros dari usaha untuk menafsirkan kitab suci al-Quran. Hamka

menjelaskan hidayah-hidayah di dalam al-Quran karena banyaknya

ayat-ayat aqidah yang berisikan hidayah serta kenyataan di

masyarakat muslim yang membutuhkan tuntunan al-Qur’ān.

Kecenderungannya terhadap corak hida’i ini dapat

ditemukan pada penafsirannya seputar “tuntunan akhlak bagi

seorang muslim dengan sub tema khidmah kepada ibu dan bapak,

kaum keluarga dan fakir miskin, larangan zina, kejujuran berniaga

dan ayat-ayat lainnya.28

C. Selayang Pandang Tafsir al-Miṣbāḥ

Sepeninggal Nabi Muhammad Saw., tradisi penafsiran tidak

mengalami stagnasi, melainkan bergerak dinamis dan menunjukkan geliat yang

kuat di tangan para sahabat, tabi‘in, tabi‘ tabi‘in dan generasi setelahnya

25 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 27. 26 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, juz 19, h. 197-198. 27 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, juz 20, h. 121-122. 28 Faizah Ali Syibromalisi, “Perempuan Dalam Tradisi Tafsir Kontemporer Di Indonesia:

Studi Perbandingan Pemikiran Hamka Dalam Tafsir al-Azhar dan Quraish Shihab dalam Tafsir al-

Misbah,” Laporan Penelitan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2014), h. 19.

Page 67: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

51

dengan ditandai menjamurnya kitab tafsir yang diproduksi dan tersebar ke

berbagai penjuru dunia Islam.29

Namun sebagaimana kita ketahui, bahwa kitab tafsir itu sangat

dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis di mana mereka menulis tafsirnya.

Dalam konteks keindonesiaan, tentu saja mereka juga banyak dipengaruhi oleh

keadaan sosial kemasyarakatan yang menuntut adanya perkembangan

penafsiran. Pada titik inilah, mufassir kontemporer, M. Quraish Shihab

mengalami hal yang sama. Sudah tentu sangat menarik jika digali dan elaborasi

pemikiran dan karya tafsirnya dalam khazanah penafsiran al-Qur’ān,

khususnya di Indonesia.30 Berikut akan penulis jelaskan secara jelas sosok

ulama yang masyhur di kalangan masyarakat Indonesia serta karya-karya

beliau:

1. Biografi M. Quraish Shihab

M. Quraish Shihab, lahir di Rappang atau Kabupaten Sidenreng

Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944,

dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim yang taat. Beliau adalah

seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu al-Qur’ān. Ayahnya

Abdurrahman Shihab adalah seorang penggagas sekaligus pendiri

Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar. pada awal tahun 1958,

beliau berangkat ke Kairo, Mesir untuk meneruskan pendidikannya di

Universitas al-Azhar. Tahun 1967, beliau memperoleh gelar Lc pada

jurusan Tafsir Hadis dan dua tahun setelahnya mendapatkan gelar Master

of Arts (MA) di Fakultas yang sama pada tahun 1969.

Karena kepiawaiannya dan kecerdasan intelektualnya, beliau

dipercaya oleh orang banyak untuk memegang beberapa jabatan. Misalnya

tahun 1995, beliau dipercaya sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat (sejak 1984), anggota

Lajnah Pentashih al-Qur’ān Departemen Agama (sejak 1989), Menteri

Agama di bawah pemerintahan Presiden Suharto (1998), Duta Besar

Indonesia di Mesir (1991).

29 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 268. 30 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 269.

Page 68: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

52

Oleh karena itu, banyak karya-karya yang berhasil dibukukan dan

dicetak ulang karena bahasanya yang mudah dipahami dan dimengerti oleh

masyarakat luas. Di antara karya-karya beliau, penulis akan

mencantumkan pada pembahasan selanjutnya.

2. Karya-Karya Tulis Quraish Shihab

Quraish Shihab yang merupakan seorang pemikir dan mufassir

yang cerdas, juga aktif sebagai penulis. Di harian umum Pelita, pada setiap

Rabu beliau menulis dalam rubrik “Pelita Hati.” Beliau juga mengasuh

rubrik “Tafsir al-Amanah” dalam majalah dua mingguan yang terbit di

Jakarta.

Adapun beberapa hasil karya tulis beliau yang dihasilkan antara

lain:

1. Membumikan al-Qur’an (1992), buku ini berisi lebih dari 60 tulisan.

Buku ini membicarakan mengenai dua tema besar yaitu tafsir dan ilmu

tafsir serta beberapa tema pokok ajaran-ajaran al-Quran.31

2. Lentera Hati (1994), buku yang disusun dengan pembahasan yang

ringkas tentang berbagai hikmah dalam Islam. Buku ini akan mengajak

para pembaca untuk memahami dan mengamalkan ajaran yang

terkandung dalam al-Quran.

3. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat

(1996), buku ini menjelaskan berbagai permasalahan yang dibagi ke

dalam tema-tema tertentu yaitu keimanan, muamalah, manusia dan

masyarakat, aspek kegiatan manusia dan soal-soal penting umat.32

4. Mukjizat al-Qur’ān (1997), buku ini mencoba menampilkan sisi

kemukjizatan al-Quran dari aspek kebahasaan, isyarat ilmiah dan

pemberitaan gaib al-Quran.33

31 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2013) 32 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan

Umat (Bandung: Mizan, 1996) 33 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997).

Page 69: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

53

5. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an (2000), buku ini

merupakan kumpulan makalah yang telah terbit di berbagai media

cetak. Buku ini memiliki kemiripan dengan Wawasan al-Qur’an hanya

saja dibuat lebih ringkas sehingga pembaca lebih rileks ketika

membacanya.34

6. Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān (2000),

merupakan kitab tafsir yang monumental dan memuat penafsiran al-

Quran lengkap 30 juz.35

7. Kaidah Tafsir (2013) buku ini berisi penjelasan tentang syarat-syarat,

ketetapan dan aturan yang patut diketahui bagi siapa yang hendak

memahami pesan-pesan al-Quran secara benar dan akurat. Dan masih

banyak lagi karya-karya beliau yang masih belum dikemukakan oleh

penulis.36

Berdasarkan karya-karya beliau di atas, penulis menemukan bahwa

Quraish Shihab cenderung menggunakan pendekatan bahasa dan metode

mauḍū‘ī ketika menulis karya-karyanya. Selain itu fokus dalam penulisan

karyanya terkait dengan studi-studi al-Quran. Hal itu kemudian

mempengaruhi penulisannya ketika beliau menulis karya tafsirnya.

Sebelum penulis menguraikan corak yang mempengaruhi penafsirannya,

perlu diketahui bahwa dalam penulisan karya tafsirnya, ada faktor

pendorong yang melatarbelakangi sehingga kitab tersebut berhasil

dibukukan dan tersebar ke seluruh Nusantara. Di antara faktor pendorong

dalam penulisan kitab tafsirnya sebagai berikut:

a. Memberikan langkah-langkah yang mudah bagi umat Islam dalam

memahami isi dan kandungan ayat-ayat al-Quran dimulai dengan

menjelaskan secara rinci pesan-pesan al-Quran dengan menggunakan

tema yang terkait dalam perkembangan masyarakat modern.

34 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an (Bandung:

Mizan, 2000) 35 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta:

Lentera Hati, 2002). 36 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Jakarta: Lentera Hati, 2013).

Page 70: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

54

b. Adanya dorongan dari umat Islam Indonesia yang menggugah hati

dan membulatkan tekad Quraish Shihab untuk menulis kitab tafsir.

c. Obsesi dan semangatnya untuk menghadirkan karya tafsir al-Quran

kepada masyarakat. selain itu, fenomena melemahnya kajian al-Quran

di masyarakat sehingga al-Quran tidak lagi jadi pedoman hidup

menambah semangat untuk segera menuliskan kitab tafsir.37

Adapun Corak penafsiran yang mendominasi dalam tafsir al-

Misbah adalah corak adabi al-Ijtimā’ī yaitu corak sosial kemasyarakatan.

Quraish Shihab memulai pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Quran,

berusaha menyoroti permasalahan-permasalahan sosial kemasyarakatan

yang terjadi saat itu. Kemudian polemik-polemik yang terjadi akan

dijawab dengan mendialogkannya dengan al-Quran. Beliau berusaha

untuk menampakkan kemukjizatan al-Quran dalam menawarkan solusi

terhadap permasalahan yang terjadi.

Contoh konkret untuk menunjukkan corak adabi al-Ijtimā’ī pada

penafsiran Quraish Shihab dengan melihat Q.s. al-Ḥujurāt/49: 13. Beliau

menjelaskan bahwa ayat tersebut menekankan untuk saling mengenal.

Perkenalan itu dibutuhkan untuk menarik pelajaran dan pengalaman pihak

lain serta menjaga silaturrahmi. Akan tetapi, perbedaan ras, kulit, bahasa,

negara dan lainnya seringkali membuat orang enggan berinteraksi dengan

yang lain.38

Dengan demikian, nyatalah bahwa hasil penafsiran para ulama Nusantara

cenderung dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang berbeda saat mereka

menulis kitab tafsir. Terlebih lagi adanya dorongan dari masyarakat yang

membutuhkan pedoman sebagai umat muslim yang mayoritas, khususnya di

Indonesia, membuat mereka (mufassir Nusantara) lebih semangat untuk

mengerahkan dan menuangkan setiap fragmen-fragmen penafsiran mereka ke

dalam lembaran-lembaran yang penuh akan pengalaman dan pembelajaran.

37 Faizah Ali Syibromalisi, “Perempuan Dalam Tradisi Tafsir Kontemporer Di Indonesia:

Studi Perbandingan Pemikiran Hamka Dalam Tafsir al-Azhar dan Quraish Shihab dalam Tafsir al-

Misbah,” Laporan Penelitan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2014), h. 24. 38 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta:

Lentera hati, 2002), vol. 13, h. 262.

Page 71: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

55

BAB V

KONTEKSTUALISASI PENAFSIRAN ULAMA NUSANTARA ATAS

MAKNA KAFIR

A. Makna Kufr Sebelum Islam

Pada pembahasan ini, penulis akan mendeskripsikan perbedaan

esensial struktur bagian luar kata kufr. Kata kāfir dalam bahasa Arab adalah

unit struktur bebas yang tidak dapat dianalisa ke dalam unsur-unsur komponen.

Kesamaan kata dalam bahasa Inggris terdiri dari dua bagian yaitu unsur yang

menyatakan negatif (mis-, dis- dan un-) dan sisi material dari pengertian kufr

yaitu believer. Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bahwa kategori semantik

kata kafir dalam bahasa Arab mengandung unsur penting dari kata belief.1

Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa kata di atas bukanlah bukan

merupakan unsur pokok kata semantik yang dasar, bukan pula kata yang asli.

Penelitian terhadap literatur pra-Islam menyingkap bahwa inti yang sebenarnya

dari struktur semantik sama sekali bukan unbelief, tetapi lebih kepada

ingratitude atau unthankfulness yaitu lawan kata dari shākir (orang yang

berterima kasih).2

Pada masa pra-Islam, kata kafir memiliki hubungan semantik dengan

kata jahil. Tampaknya perlu pembahasan terkait kata Jahil untuk bisa

memahami kata kafir itu sendiri. Ignaz Goldziher mengumpulkan sejumlah

besar contoh penggunaan aktual dari asal kata jahil dalam puisi pra-Islam dan

memperoleh kesimpulan yang luar biasa bahwa pandangan tradisional biasa

yang memaknai jahiliyah dengan ‘ilm keliru.3

Dalam Q.s. al-Fatḥ ayat 26 kata kafir digandengkan dengan jāhiliyyah.

Jāhiliyyah yang dimaksud di sini mengacu kepada sikap ketakaburan kesukuan

yang menguasai dan menjadi kebanggaan serta ciri karakteristik orang Arab

kuno penyembah berhala. Prof. A. J. Arberry mengatakan bahwa semangat

perlawanan yang takabur terhadap semua yang mengancam dasar kehidupan

1 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam al-Quran, terj. Mansuruddin Djoely (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1993), h. 40. 2 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam al-Quran, h. 40. 3 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam al-Quran, h. 43.

Page 72: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

56

suku, yang memenuhi nafsu kesombongan disebabkan oleh pertumbuhan darah

di padang pasir yang tak terbilang banyaknya pada masa-masa sebelumnya,

kini mendorong orang-orang Arab penyembah berhala melakukan penyiksaan

tanpa belas kasih terhadap Muhammad dan pengikutnya. Hal tersebut

melukiskan tindakan yang sejenis jāhil, yaitu kelakuan orang-orang kafir.4

Di antara berbagai gagasan yang mencirikan zaman jāhiliyah adalah

keduniaannya dan tribalismenya. Keabadian yang sering diceritakan dalam

puisi masa pra-Islam merupakan problem yang paling serius dalam masyarakat

Arab penyembah berhala. Hal itu terekam dalam kesusasteraan jāhiliyyah yang

menggambarkan kekayaan sebagai suatu hal yang amat penting di dunia karena

memberikan keabadian.5

Di dalam al-Quran, jāhiliyyah merupakan istilah religius dengan

pengertian negatif karena merupakan landasan tempat kata kufr. Sesungguhnya

semangat kebebasan, kesombongan dan perasaan mulia yang menolak untuk

tunduk di hadapan penguasa manapun, baik Tuhan maupun manusia itulah

yang mendorong orang-orang kafir untuk menentang agama baru yang di

datangkan oleh Muhammad atau lebih tepatnya kejahilan adalah akar dan

sumber kufr.6

B. Makna Kufr pada Sistem al-Quran dan Pasca al-Quran

Setelah mengetahui makna kufr periode pertama, penulis selanjutnya

akan mendiskusikan periode sistem al-Quran dan pasca al-Quran yang menjadi

titik penting dalam penelitian ini. Pada sistem ini, kosakata al-Quran banyak

digunakan dalam sistem pemikiran Islam yang berbeda seperti Teologi,

Hukum, Filsafat, Politik dan Tasawuf. Masing-masing sistem ini

mengembangkan konseptualnya sendiri, tidak hanya di dunia Timur dan Barat

bahkan di Indonesia terjadi perkembangan pemaknaan terhadap al-Quran.

Pada tahap sistem al-Quran (periode Quranik) kata kufr mengalami

perubahan makna yang ditempatkan secara berlawanan dengan iman.

4 A. J. Arberry, The Seven Odes (London: George Allen & Unwin LTD, 1957), h. 263. 5 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam al-Quran, h. 63. 6 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Quran,

terj. Agus Fahri Husein dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 227

Page 73: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

57

Perlawanan konseptual kemudian berlanjut dalam sistem setelah al-Quran

diturunkan. Secara ringkas, konsep kafir telah kehilangan stabilitas dan

kepastian denotatifnya, sehingga menjadi sesuatu yang berubah-ubah, yang

siap ditimpakan bahkan kepada seorang Muslim yang taat bila saat itu mereka

melakukan tindakan tertentu.7

Sebelum penulis masuk lebih dalam pada makna pasca al-Quran,

berikut penulis paparkan beberapa makna kufr secara umum di dalam kitab

tafsir Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab.

1. Tafsir Quran Karim

Dalam mengungkapkan makna kata kafir8, Mahmud Yunus

menggunakan beberapa kata kunci dan penjelasan ringkas yang

diungkapkan dalam tafsirnya yang berbentuk footnote (catatan kaki).

Berikut pengkategorian yang telah dibuat oleh penulis berdasarkan

pembacaan atas tafsirnya:

a. Kafir Sebagai Penyekutuan Terhadap Allah

Pada Q.s. al-Baqarah/2: 102, Mahmud Yunus menjelaskan bahwa

orang kafir ialah orang yang menggunakan sihir karena mengikuti setan

bukan Nabi Sulaymān As. Penggunaan sihir posisinya sama dengan

meminta pertolongan kepada setan dan mengabdi kepadanya dengan

memuja dan mantera-mantera untuk merusak orang. Maka sihir9 seperti

itulah hukum adalah haram, bahkan beliau mengkafirkan orang-orang yang

7 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Quran,

h. 52. 8 Dalam Q.s. al-Nisā’/4: 89, menjelaskan bahwa orang-orang kafir terhadap kamu orang-

orang Islam ada tiga macam.

Pertama, al-Muharibun, yaitu orang-orang kafir yang memerangi kamu, karena kamu

memeluk agama Islam. Maka hendaklah kamu memerangi mereka sebagaimana mereka memerangi

kamu, karena mempertahankan agama Allah.

Kedua, al-Muwahidun yaitu orang-orang kafir yang telah berjanji dengan kamu, bahwa

tidak akan mengadakan peperangan. Orang kafir ini tidak boleh dibunuh atau diperangi kecuali jika

mereka melanggar perjanjian itu.

Ketiga, al-Musalimun yaitu orang-orang kafir yang datang kepadamu, sambil mengatakan

neutral (tidak akan memerangi kamu dan tidak pula memerangi orang kafir al-Muharibun). Orang

kafir ini tidak boleh dibunuh atau diperangi. Lihat Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 125. 9 Mahmud Yunus menjelaskan bahwa yang juga dikategorikan sebagai sihir adalah tiap-

tiap sesuatu yang aneh bin ajaib tidak diketahui musabbabnya oleh umum, menipu mata orang dan

mengkhayalkan sesuatu yang bukan sebenarnya, seperti orang main sunglap dan perkataan yang

indah, manis, menarik hati pendengarnya, sehingga mereka terpesona mengikut perkataan itu.

Page 74: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

58

melakukan perbuatan tersebut karena telah mempersekutukan Allah dengan

shayṭān.10

Penting untuk diperhatikan bahwa dari sudut pandang monoteisme

Islam yang menyeluruh, doktrin Kristen tentang Trinitas merupakan contoh

yang merefleksikan politeisme. Demikian pula dengan penuhanan Yesus

Kristus. Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa ajaran pokok Kristen

tanpa terkecuali dipandang sebagai perbuatan orang kafir.11 Hal ini

tercantum dalam Q.s. al-Mā’idah/5: ayat 72-7312.

Mahmud Yunus menegaskan bahwa yang dimaksud dengan orang

kafir ialah orang yang mengatakan bahwa Allah itu adalah al-Masih anak

Maryam, karena al-Masih anak Maryam itu adalah manusia, bukan Tuhan.

Kalaulah Allah hendak membinasakan al-Masih anak Maryam dan ibunya

serta orang-orang di muka bumi, niscaya binasalah semua. Oleh sebab itu,

hendaklah mereka mengatakan bahwa Allah adalah Tuhan satu-satunya dan

al-Masih anak Maryam adalah seorang Rasul yang diutus Allah ke muka

bumi.13

b. Kafir Sebagai Tidak Berterima Kasih

Makna selanjutnya yaitu ‘tidak berterima kasih’. Dalam Q.s. al-

Naḥl/16: 11214, beliau menggunakan nuansa Indonesia dalam menafsirkan

ayat tersebut. Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menunjukkan suatu

contoh kepada manusia. Sebenarnya contoh ini banyak terlihat di negeri-

negeri yang mempunyai kebun karet. Mengutip perkataan Mahmud Yunus

bahwa “Waktu harga karet mahal tempoh-dahulu adalah penduduk negeri

itu mendapat kekayaan dan rezeki yang tiada ternilai banyaknya. Tetapi

karena mereka tidak berterima kasih kepada Allah, sehingga kekayaan itu

disia-siakannya dan uang banyak itu dibuang-buangnya, lalu Allah

10 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 2002), h. 21-22. 11 Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Quran, penerjemah Agus Fahri

Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993), h. 156. 12 Lihat pula Q.s. al-Ḥashr/59: 16; Q.s. Ghāfir/40: 12; Q.s. Āli ‘Imrān/3: 151. 13 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 150. 14 Lihat pula Q.s. al-Naml: 40; Q.s. Luqmān: 12; Q.s. Ibrāhīm: 7, 34.

Page 75: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

59

menurunkan siksaan kepada mereka. tidak berapa lamanya harga karet itu

jatuh, mereka ditimpa kemiskinan, kelaparan dan ketakutan”.15

c. Kafir Sebagai Ingkar

Makna selanjutnya adalah ingkar. Hal ini juga telah dijelaskan pada

pembahasan sebelumnya. Di dalam Q.s. al-Naḥl/16: 10616, Mahmud Yunus

menjelaskan bahwa orang yang ingkar terhadap Allah sesudah beriman

dengan kemauannya sendiri maka dia termasuk kafir, kecuali orang yang

dipaksa menyebut kata-kata kekafiran dengan lisannya, sedangkan hatinya

tetap dalam keimanan seperti ‘Ammar pada masa Rasulullah, maka hal yang

demikian tidak tergolong orang kafir.17

Hal yang sama dijelaskan dalam Q.s. al-Baqarah/2: 6 bahwa orang-

orang kafir (ingkar) tidak menerima kebenaran karena hati, pendengaran

dan pandangan mereka telah tertutup. Oleh sebab itu mereka tidak sekali

pun memperhatikan alam semesta yang begitu luas agar mereka mengetahui

bahwa di atas segala kekuatan yang ada di alam semesta, terdapat Sang

Pengatur dan Maha Kuasa atas segala sesuatu, yaitu Allah.18

d. Kafir Sebagai Pemecah Belah Umat

Nuansa keindonesiaan kembali nampak dalam penafsirannya

terhadap Q.s. al-Tawbah/9: 107.

ل من المؤمني وإرصادٱ ي ب وت فريقا وكفرا ضرارا اوٱلذين ٱتذوا مسجد وليحلفن إن أردن إل ٱلسنى و حارب

ورسولهۥ من ق بل م ٱٱلل يشهد إن لل .ذبون الك

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang

mendirikan masjid untuk menimbulkan kemuḍaratan (pada orang-

orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara

orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang

yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka

Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain

kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka

itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).”

15 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 397. 16 Lihat pula Q.s. Āli ‘Imrān/3: 97; Q.s. al-Mā’idah/5: 12; Q.s. Ibrāhīm/14: 9; Q.s. al-

Isrā’/17: 69; Q.s. al-Kahfi/18: 37; Q.s. Maryam/19: 77; Q.s. Gāfir/40: 84; Q.s. Fuṣṣilat/41: 52; Q.s.

al-Aḥqāf/46: 10. 17 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 396 18 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 4.

Page 76: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

60

(Q.s. al-Tawbah/9: 107)

Ayat di atas menjelaskan bahwa orang kafir di sini adalah orang

yang mendirikan mesjid dengan niat untuk memecah belah atau

mengadakan golongan-golongan di antara Umat Islam. Hal tersebut tidak

hanya terjadi di masa Rasulullah Saw., akan tetapi di zaman modern pun

perilaku tersebut terulang. Mahmud Yunus mengatakan bahwa “Kita boleh

melihat, umpamanya setengah negeri bermesjid dua: mesjid yang lama,

kemudian diperbuat orang mesjid yang baru, sehingga terjadi perpecahan

antara kaum Muslimin di tempat itu. ketika diselidiki sebabnya karena

perselisihan faham tentang perkara-perkara sunnah, umpamanya karena

khutbahnya dalam bahasa Arab atau Indonesia. Artinya, perbuatan yang

dilakukan oleh Arab Jahiliyyah dilakukan kembali oleh Masyarakat

Indonesia dalam bentuk lebih modern19

2. Tafsir al-Azhar

Tafsir selanjutnya adalah Tafsir al-Azhar yang akan memberikan

corak berbeda dalam penafsiran khas Nusantara. Dalam mengungkapkan

makna kata kafir, Prof Dr. Hamka menggunakan beberapa kata yang

ditemukan oleh penulis ketika membaca kitab tafsirnya, di antaranya:

a. Kafir Sebagai Menutup

Kafir diartikan oleh Hamka sebagai menimbun dalam Q.s. Al-

Baqarah/2: 6, sebab kata tersebut merupakan makna asli daripada kufur

yaitu menimbuni atau menyembunyikan, sehingga tidak kelihatan lagi. Al-

Quran sendiri yang menyebutkan kata tersebut dalam Q.s. al-Hadid/57: 20.

Ayat ini diilustrasikan Hamka bahwa “Petani20 yang takjub serta

mengharapkan sesuatu disertai kecemasan. Sebab apabila hujan telah

turun, tanaman itu akan subur, yang telah layu karena kekeringan akan

menghijau kembali serta diharapkan kelak akan memberikan hasil yang

19 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 283. 20 Peladang yang menugalkan benih, menanamkan benih lalu menimbunnya dengan tanah,

sehingga benih itu terbenam di dalam tanah dinamai kuffar.

Page 77: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

61

baik. Kemudian setelah itu kering dan kersang, karena terik matahari yang

berhari berbulan lamanya.”21

b. Kafir Sebagai Sikap Pembangkangan

Makna ini jelas nampak pada penafsiran Hamka atas Q.s. al-

Baqarah/2: 34. Malaikat dan Iblis yang diperintahkan untuk sujud kepada

Adam. Sujud yang dimaksud di sini bukanlah sebagaimana yang dilakukan

oleh manusia, tetapi sujud yang terkandung sikap hormat dan memuliakan.

Akan tetapi iblis yang pada dasarnya berbuat kufur, enggan dan

menyombongkan dirinya sebab dirinya diciptakan dari api sementara Adam

dari Tanah.22

c. Kafir Sebagai Ketidakpercayaan

Dijelaskan dalam Q.s. al-Baqarah/2: 264-265, Hamka

menggambarkan perilaku menyimpang dari orang-orang yang berpura-pura

beriman. Sikap mereka memberikan sedekah dengan riyā’, mengungkit dan

menyakiti hati si penerima, adalah sikap yang menunjukkan

ketidakpercayaan terhadap Allah dan Hari akhirat, sebab mereka bukan

mengharapkan pahala dari Allah melainkan pujian dari manusia. maka hal

itu sama saja keadaannya dengan orang yang kafir walaupun mereka

mengaku beragama Islam.23

d. Kafir Sebagai Tidak Mensyukuri Nikmat

Dalam Q.s. Hūd/11: 9, Hamka mengartikan kata Kafūr di

penghujung ayat ini dengan ‘tidak berterima kasih’. Tidak berterima kasih

ialah sebahagian dari kafir. Yaitu kafir atas nikmat. Hanya mengomel

karena kekurangan saja, tidak ingat akan anugerah Ilahi.24

e. Kafir Sebagai Menolak Kebenaran

Makna selanjutnya adalah mereka yang menolak kebenaran.

Dijelaskan di dalam Q.s. Āli ‘Imrān/3: 97 bahwa kufur ialah menolak

kebenaran dengan tidak ada alasan yang jitu; yang kebanyakan hanya

21 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 27, h. 296 22 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 1, h. 214. 23 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 1, h. 63-65. 24 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 12, h. 22.

Page 78: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

62

karena hawa nafsu belaka. Misalnya awak mengaku Islam, badan sihat,

harta cukup bahkan melimpah, perhubungan zaman modern ke Mekkah pun

sudah sangat mudah, tidak sesulit dahulu lagi, namun tidak juga mau

menunaikan haji. Orang ini adalah kufur, sekurang-kurangnya kufur nikmat.

Dan adapula yang ditimpa penyakit kebangsaan, bahwa haji itu hanya

memperkaya orang Arab. Padahal mereka sendiri melawat ke Eropa atau

Amerika.25

Pada ayat lain, dijelaskan pula dengan makna yang sama yaitu dalam

Q.s. Al-Mā’idah/5: 17. Hamka mendefinisikan kafir sebagai orang yang

menolak kebenaran. Pertama, mereka kafir sebab tidak pernah Tuhan Allah

mengajarkan yang demikian itu kepada seorang Nabi pun sejak Adam

sampai kepada Isa al-Masih sendiri. Tidak ada kepercayaan yang demikian

di dalam kitab-kitab perjanjian lama. Sedangkan di perjanjian baru,

Yohannes misalnya, mengatakan Isa mengaku dirinya Allah bukan berasal

dari sumber Agama Tauhid yang diwahyukan Allah, melainkan agama-

agama kuno dari bangsa Yunani atau agama Hindu atau Filsafat Filo di

Iskandariyah.26

f. Kafir Sebagai Ingkar

Makna kafir selanjutnya adalah firman Allah Swt. dalam Q.s. Āli

‘Imrān/3: 106. Ayat tersebut menjelaskan bahwa pada mulanya mereka

telah menerima keterangan dari ayat-ayat Allah. Setelah keterangan datang

lalu mereka langgar, lalu mereka mencari pecah-belah dan perselisihan.

Karena itu mereka memilih jalan yang gelap sesudah merasakan terang-

benderang. Dengan ayat ini dapatlah kita memahamkan bahwa kafir itu

bukan saja karena tidak mengakui Allah atau tidak mempercayai Nabi

Muhammad dan hari akhirat, bahkan kelalaian mengadakan dakwah,

sehingga menimbulkan perpecahan yang mengakibatkan kelemahan ummat

adalah termasuk macam kufur.27

g. Kafir Sebagai Kedurhakaan Terhadap Tuhan

25 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 2. 26 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 6, h. 188. 27 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 4, h. 47.

Page 79: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

63

Makna kafir selnajutnya adalah durhaka. Hamka menggunakan kata

durhaka untuk menjelaskan kafir dalam beberapa ayat al-Quran. Misalnya,

dalam Q.s. al-Ḥashr/59: 16, beliau menggambarkan perbuatan ‘Abdullah

ibn Ubay dan kawan-kawannya yang menyuruh Bani Naḍir bertahan dalam

kekafirannya dan durhaka kepada Tuhan.28 Kemudian Q.s. al-Nisā’/4: 131,

menjelaskan bahwa jika seseorang tidak mau bertakwa kepada Allah dan

tidak mau percaya akan kebesaran-Nya, artinya walaupun manusia durhaka,

tidak mau peduli akan tuntunan Tuhan, maka kekayaan dan kemuliaan

Tuhan tidaklah akan berkurang karena kedurhakaan manusia.29

h. Kafir Sebagai Rasa tidak puas

Di dalam Q.s. Ibrāhīm/14: 7-8, dijelaskan bahwa Timbulnya kufur,

yaitu rasa tidak puas, rasa tidak mengenal terima kasih dan menghitung

sesuatu dari kekurangannya saja, adalah siksa bagi jiwa sendiri. Orangnya

akan memandang hidup ini dengan suram dan tidak akan ada yang dapat

dikerjakannya. Maka jika seseorang memiliki sifat tidak pernah puas akan

sesuatu hal, baik itu harta, keturunan maupun segala yang ada dunia, maka

hidupnya yang serba tidak puas itu tidaklah mengurangi kekayaan dan

kebesaran Allah.30

i. Kafir Sebagai Penyekutuan Terhadap Allah

Makna selanjutnya adalah menyekutukan Allah. Makna tersebut

banyak tercantum di dalam al-Quran berupa kisah-kisah kaum terdahulu dan

kejadian itu terulang kembali di zaman sekarang dengan bentuk yang lebih

modern. Misalnya dalam Q.s. Maryam/19: 83, dijelaskan bahwa Nabi Saw.

diperintahkan Tuhan untuk memperhatikan bahwa kelak shayṭān-shayṭān

akan mempengaruhi orang-orang untuk mempersekutukan Tuhan dengan

selain-Nya. Hal itu banyak terjadi pada abad ke-20 dengan adanya berbagai

gerakan yang menyeleweng terhadap Islam. Seperti gerakan kaum

“Kebatinan” di Indonesia; mengutip perkataan Hamka bahwa “Satu dukun

satu pula peribadatannya. Satu kyai satu pula pemujaannya, sehingga

Kantor Penyelidik Kepercayaan-kepercayaan yang berbagai macam itu

28 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 28, h. 70-71. 29 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 5, h. 313. 30 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 13, h. 123

Page 80: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

64

mencatat tidak kurang dari 200 macam kepercayaan, baru di Tanah Jawa

saja”.31

Ketika melihat penafsiran Hamka pada ayat di atas, penulis melihat

bahwa penafsiran yang ditulis olehnya mengikuti realitas atau konteks

dimana beliau hidup. Artinya, permintaan dari masyarakat saat itu dijawab

oleh Hamka dan berhasil terpenuhi melalui karya Tafsir al-Azhar ini.

3. Tafsir al-Miṣbāḥ

Kata kafir biasa dipahami dalam arti siapa yang tidak memeluk

agama Islam.32 makna ini tidak keliru akan tetapi kata kufur dalam

penggunaan al-Quran mempunyai aneka makna. Antara lain dalam arti

durhaka, kikir tidak mensyukuri nikmat, dan tidak percaya pada ajaran

Islam. Apabila dia tidak mengakui kewajiban haji, dia kafir dalam arti tidak

percaya pada ajaran Islam. Tetapi bila dia mengakui kewajiban haji, tetapi

enggan melaksanakannya maka dia durhaka, dan bila dia mencari dalih

untuk menunda-nundanya, dia adalah seorang yang tidak mensyukuri

nikmat Allah.33 Oleh karena itu, dalam mengungkapkan makna kata kafir,

Prof. M. Quraish Shihab menggunakan beberapa kata untuk menjelaskan

kafir34, di antaranya:

a. Kafir Sebagai Menutup

Makna kafir selanjutnya adalah menutup. Dalam Q.s. al-Baqarah/2:

6, orang kafir dimaknai sebagai orang yang menutupi tanda-tanda kebesaran

31 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 16, h. 96-97 32 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.2, h.

72 33 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.2, h.

198. 34 Al-Quran menggunakan istilah kufur untuk berbagai makna. Sementara ulama

menguraikan lima macam kekufuran:

1. Kufr juhud: terdiri dari dua macam, Mereka yang tidak mengakui wujud Allah, seperti

halnya para ateis dan orang-orang komunis; Mereka yang mengetahui kebenaran tetapi

menolaknya antara lain karena dengki dan iri hati kepada pembawa kebenaran itu.

2. Kufr ni’mah dalam arti tidak mensyukuri nikmat Allah. Q.s. Ibrāhīm/14: 7.

3. Kufur dengan meninggalkan atau tidak mengerjakan tuntunan agama kendati tetap percaya.

Q.s. al-Baqarah/2: 85.

4. Kufr Barā’ah dalam arti tidak merestui dan berlepas diri, seperti firman Allah Swt.,

mengabadikan ucapan Nabi Ibrāhīm As. kepada kaumnya Q.s. al-Mumtaḥanah/60: 4. Lihat

dalam M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran,

Vol.1, h. 118.

Page 81: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

65

Allah dan kebenaran yang terhampar dengan jelas di alam raya ini. Ayat ini

membicarakan orang kafir yang kekufurannya telah mendarah daging dalam

jiwa mereka sehingga tidak mungkin lagi beriman.35 Makna yang sama juga

digunakan dalam Q.s. al-Baqarah/2: 161 bahwa kata kafir untuk menunjuk

mereka yang menyembunyikan kebenaran.36

b. Kafir Sebagai Ahli Sihir

Dimulai pada Q.s. al-Baqarah/2: 102, Quraish Shihab menjelaskan

bahwa Sulaiman pada kasus di sini tidak kafir dan tidak juga menggunakan

sihir, akan tetapi setanlah yang kafir dan menggunakan sihir. Kata sihir

(siḥr) terambil dari kata Arab (saḥara) yaitu akhir waktu malam dan awal

terbitnya fajar. Saat itu bercampur antara gelap dan terang sehingga segala

sesuatu menjadi tidak jelas atau tidak sepenuhnya jelas. Demikian itulah

sihir, terbayang oleh seseorang sesuatu padahal sesungguhnya ia tidak

demikian.37

Ulama berbeda pendapat mengenai definisi, hukum mempelajarinya

dan mengamalkannya, akan tetapi kita dapat berkata dengan penuh

keyakinan, melalui sihir, setan memperdaya manusia khususnya apa yang

disebut dengan Black Magic, bahkan tidak mustahil setan memperbodoh

dan memperdaya manusia dengan apa yang dinamai White Magic.

Bukankah setan sangat pandai memperindah sesuatu yang buruk.

وٱلذين ٱت قوا ف و يا ويسخرون من ٱلذين ءامنوا ن ة ٱلد م زي ن للذين كفروا ٱلي وى ق هم ي و ٱلقيى

ي رزق من يشاء .بغي حساب وٱلل“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang

kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman.

Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada

mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-

orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”

(Q.s. al-Baqarah/2: 212).

35 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.1, h.

11 36 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.1, h.

443 37 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.1, h.

333

Page 82: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

66

Bukankah al-Quran mengecam sihir melalui kisah Nabi Musa dan

para penyihir Fir‘aun. (Q.s. Ṭāhā/20: 69)?.38

c. Kufur Terhadap Nikmat

Makna selanjutnya adalah kufur nikmat. Dijelaskan dalam Q.s.

al-Baqarah/2: 126, bahwa akan Allah berikan rezeki kepada siapa yang

kafir, yakni diberikan kesenangan yang sebentar dalam kehidupan

dunia saja bahkan boleh jadi lebih senang dari yang beriman.39

d. Kafir Sebagai Bercerai-Berai

Makna kafir boleh juga diartikan sebagai tercerai-berai. Makna

itu dapat ditemukan ketika Quraish Shihab menjelaskan Q.s. al-

Baqarah/2: 253. Ayat tersebut mengandung peringatan kepada kaum

muslimin agar tidak saling bermusuhan atau kafir-mengafirkan. Nabi

Saw. pun mengingatkan kaum muslimin bahwa, “Siapa yang berkata

kepada saudara seagama, ‘wahai si kafir’, maka ia yang wajar

memikulnya.” Karena hal itu menanamkan benih pertengkaran dan

permusuhan.40

Kemudian diperjelas dalam Q.s. Āli ‘Imrān/3: 106, bahwa kafir

adalah mereka yang bercerai berai sesudah bersatu. Hal ini dapat

dipahami jika kita melihat istilah kufur dalam bahasa al-Quran yaitu

segala sesuatu yang bertentangan dengan tujuan agama. Dan tentu saja

salah satu tujuan agama adalah persatuan dan tidak bercerai-berai.41

e. Kufur Berganda

Makna selanjutnya diartikan sebagai kufur berganda.

Misalnya dalam Q.s. al-Baqarah/2: 276 yang mengisyaratkan

kekufuran orang-orang yang mempraktikkan riba, bahkan kekufuran

berganda sebagaimana dipahami dengan penggunaan kata (كف ار)

38 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.1, h.

335 39 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.1, h.

385 40 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.1, h.

656 41 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.2, h.

217

Page 83: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

67

kaffār. Kekufuran berganda itu adalah sekali ketika mereka

mempersamakan riba dengan jual beli sambil menolak ketetapan

Allah, di kali kedua ketika mempraktikkan riba dan di kali ketiga

ketika tidak mensyukuri nikmat kelebihan yang mereka miliki, bahkan

menggunakannya untuk menindas dan menganiaya.42

C. Penafsiran Ulama Nusantara atas Q.s. al-Nisā’/4: 112-114

Sudah lama al-Quran tidak lagi berfungsi sebagai petunjuk untuk

urusan-urusan besar umat Islam, seperti kenegaraan, ekonomi, hubungan

internasional, dan lain-lain. Kitab al-Quran yang masih diimani sebagai Kitab

suci yang tahan bantingan sejarah mulai diabaikan sebagai acuan untuk

memecahkan masalah penting umat Islam. Gejala ini semakin jelas di awal

abad ke-21 yaitu terjadinya polarisasi antara kelompok puritan dan moderat,

istilah Khaled Abou El Fadl.43 Tidak hanya dari orang kafir bahkan umat Islam

juga mulai meragukan agamanya sendiri. Akibatnya terjadi peristiwa saling

kafir-mengkafirkan yang berujung pada caci-maki, konflik dan bunuh-

membunuh.

Mencegah hal-hal di atas, para mufassir kemudian mencoba mencari

titik temu antara teks al-Quran dengan konteks sosio-kultural masyarakat di

Indonesia melalui penulisan penafsirannya terhadap kalam-kalam suci al-

Quran.

Mengutip perkataan Mahmud Yunus dalam Q.s. al-Naḥl/16: 112 bahwa

“Waktu harga karet mahal tempoh-dahulu adalah penduduk negeri itu

mendapat kekayaan dan rezeki yang tiada ternilai banyaknya. Tetapi karena

mereka tidak berterima kasih kepada Allah, sehingga kekayaan itu disia-

siakannya dan uang banyak itu dibuang-buangnya, lalu Allah menurunkan

siksaan kepada mereka. tidak berapa lamanya harga karet itu jatuh, mereka

ditimpa kemiskinan, kelaparan dan ketakutan”.44 Berdasarkan penafsiran di

atas, penulis melihat adanya keterkaitan konteks dengan penafsiran yang

42 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol.1, h.

724 43 Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (USA:

HarperCollins Publisher, 2007), h. 16. 44 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 397.

Page 84: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

68

dilakukan oleh Mahmud Yunus. Berdasarkan dokumen-dokumen sejarah, Saat

itu merupakan masa kejayaan produksi karet, tanaman jenis Hevea, di Jambi

yang terjadi sekitar tahun 1920 hingga 1927 dan 1937. Di tahun-tahun itu

akumulasi pendapatan dari penjualan getah mencapai angka 46 juta gulden.

Produksi yang melimpah dan harga jual yang tinggi menjadikan masyarakat

Jambi makmur sehingga zaman itu dikatakan sebagai “zaman koepon” (the

coupon period). Sebuah angka yang sangat menakjubkan kala itu dan tidak

akan pernah terulang lagi di tahun-tahun berikutnya, seiring berfluktuasinya

harga jual komoditas ini di pasar dunia akibat resesi ekonomi yang terjadi pada

1930 hingga 1940.45 Bencana yang menimpa masyarakat Indonesia karena

sibuk terhadap urusan duniawinya itulah yang menjadikan Allah untuk

menurunkan adhab yang menyebabkan harga karet yang semula melambung

tinggi, turun mencapai titik terendah. Itulah mengapa Mahmud Yunus

mengatakan mengatakan mereka sebagai kafir, sekurang-kurangnya adalah

kufur atas nikmat Allah, sebab perilaku mereka yang tidak pernah merasa puas

dan bersyukur atas karunia Allah Swt.

Hamka dalam tafsirnya kemudian, juga menafsirkan dengan

mengaitkan realitas Indonesia saat itu. pada Q.s. al-Naḥl/16: 112 ditafsirkan

dengan jelas bahwa nikmat yang dikaruniakan Allah atas suatu negeri, yang

aman, sejahtera, subur, makmur serta rezeki yang melimpah dari setiap

penjuru, baik itu dari langit berupa hujan yang teratur, bumi berupa ikan yang

banyak atau dari negeri lain berupa hubungan transaksi perdagangan yang

lancar atau digambarkan Hamka sebagai negeri yang “gemah ripah loh jinawi”

(tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya).46

Jika penduduk dalam suatu negeri telah kufur atau tidak menyambut

dengan sepantasnya nikmat yang diberikan Allah dengan tidak berterima kasih,

bahkan yang dilakukannya hanya menghambur-hamburkan harta, tidak dapat

memelihara sumber nikmat itu dan berlomba-lomba mencari keuntungan untuk

dirinya sendiri. Maka semua nikmat yang telah diberikannya Allah cabut dan

45 Elsbeth Locher-Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of

Dutch Imperialism 1830-1907, diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh Beverley Jackson (Ithaca:

SEAP, 2003), h. 276-279. 46 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 7, h. 307.

Page 85: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

69

datanglah kelaparan serta ketakutan, tanah menjadi kering dan kemarau, hujan

tidak menjadikan tanah subur melainkan banjir, terik matahari tidak membuat

padi menjadi berkualitas sehingga ‘busung lapar’ atau kekurangan asupan gizi

mulai menggerogoti tubuh. Ketika peristiwa di atas terjadi maka keamanan pun

hilang karena mereka yang tidak tahan akan kelaparan berusaha untuk

merampas kepunyaan orang lain. Timbullah rasa takut terhadap perampok.

Mereka yang kuat menganiaya yang lemah sehingga tidak ada lagi tempat

untuk berlindung.47

Di dalam ayat ini Allah menyebutkan kata pakaian disertai dengan

kelaparan. Mengutip perkataan Hamka bahwa “ini adalah satu ungkapan yang

fasih sekali. Merasai pakaian kelaparan! Padahal secara umum pakaian

bukanlah dirasakan melainkan dipakai. Tetapi kalau direnungkan, memang

kelaparan itu bisa dilihat dipakai oleh orang yang menderita. Orang lapar

tidak berketentuan lagi pakaiannya, mukanya pun pucat-lesi. Orang yang

lapar tidak segan-segan lagi memakai karung guni, bagor, kulit kayu terap,

tikar tua, robekan kain kasur dan sebagainya. Peristiwa ini dapat dilihat saat

pendudukan Jepang di Indonesia yang menjadikan kelaparan sebagai pakaian

sehari-hari.”

Penafsiran Hamka di atas berusaha untuk menjelaskan kronologis masa

kependudukan Jepang, Nihon berarti matahari atau negeri matahari terbit, di

Indonesia. Jepang memulai invasinya pada Februari 1942 dengan menerjunkan

unit-unit pasukan payung di Palembang. Dari Palembang kemudian menyebar

ke berbagai arah sehingga pada pertengahan Maret pasukan dalam jumlah

besar telah mendarat di Sumatera. Pada 17 Maret 1942 tentara Jepang pertama

masuk ke kota Padang dan sepuluh hari kemudian Belanda menyerah tanpa

syarat.48 Sekalipun dalam penjajahan Jepang, secara ideal telah berusaha

membentuk berbagai organisasi kemasyarakatan dan melatih para pemuda

dalam pendidikan militer, namun dalam kenyataannya semua praktek yang

dilakukan Jepang sama dengan Belanda. Salah satu program yang terkenal

keganasannya adalah Romusha, yaitu merekrut tenaga kerja paksa untuk

47 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 7, h. 308. 48 Audrey Richey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik

Indonesia, terj. Azmi dan Zulfahmi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 135.

Page 86: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

70

membuat jalan raya, jalan kereta api dan jembatan. ada satu hal yang sangat

erat kaitannya dengan politik ekonomi Jepang yaitu penyerahan padi dan hasil-

hasil panen lainnya secara paksa atau dikenal dengan politik beras.

Penumpukan hasil panen melalui pimpinan tradisional, sementara rakyat

diracuni dengan kemiskinan dan kelaparan akibat hasil panen yang tidak dapat

mereka nikmati.49

Penulis melihat bahwa Hamka berusaha menjelaskan bahwa apa yang

dialami oleh masyarakat Indonesia merupakan balasan dari sikap kekufuran

mereka terhadap nikmat Allah dan penafsirannya tidak ditujukan kepada umat

Islam. Hal itu pada dokumen-dokumen sejarah yang menyatakan bahwa

Hamka, yang diakui sebagai reformis Minangkabau, setelah dibebaskannya

dari pembuangan Belanda di Jawa Barat, dia menjadi tokoh yang secara luar

biasa menarik perhatian bagi propaganda Islam Jepang pada awalnya. Tanpa

rasa takut, Hamka melakukan agitasi bahwa ajaran mereka, penyembahan

kaisar, tidak bisa disatukan dengan ajaran monoteisme Islam. tampaknya sikap

Hamka diwarisi dari ayahnya, Dr. Amrullah, yang juga saat itu tidak siap untuk

menghadapi rezim baru setelah jatuhnya kolonial Belanda seperti yang

dilakukan oleh pejabat-pejabat Indonesia dan para pemimpin nasionalis.50

Kontekstualisasi penafsiran juga dipakai oleh M. Quraish Shihab dalam

karya-karya yang banyak membahas studi keal-Quranan. Dalam

mengungkapkan makna kufr, beliau selalu mengingatkan bahwa kafir di dalam

al-Quran memiliki banyak makna sehingga tidak hanya dalam hal keyakinan

atau peribadatan melainkan orang yang tidak mensyukuri nikmat dari Allah

pun dapat dikategorikan sebagai orang kafir, seperti beberapa contoh yang

telah dijelaskan di atas.

Dalam Q.s. al-Naḥl/16: 112 misalnya,

تيها رزق ها رغدا م ن كل مكان فك فر وضرب ٱلل مثال ق ري كانت ءامن مطمئن ي

لباس ٱلوع وٱلوف با كانوا يصن عون ق ها ٱلل عم ٱلل فأذى . بن

49 Siti Fatimah, “Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Minangkabau pada Masa

Pendudukan Jepang” TINGKAP, vol. 7, no. 1 (2011): h. 85 50 Terdapat sebagian pemimpin Islam, menjadi pejabat-pejabat dan juru bicara penguasa

‘kafir’ dan telah kehilangan penghormatan tradisional dari orang-orang desa terhadap para

pemimpin agamanya. Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa

Pendudukan Jepang, terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1980), h. 155.

Page 87: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

71

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah

negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang

kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya

mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada

mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu

mereka perbuat.”

(Q.s. al-Naḥl/16: 112).

Penduduk suatu negeri yang mengkufuri nikmat dari Allah Swt., artinya

mereka tidak tahu cara berterima kasih, sehingga Allah menjadikan mereka

rasa lapar dan takut. Surah ini turun sebelum Nabi Saw. berhijrah ke Madīnah.

Jika demikian, ayat ini tidak berbicara tentang kota Mekkah secara khusus,

apalagi kata qaryah pada ayat ini berbentuk nakirah yang mengisyaratkan

bahwa ia bukan negeri tertentu.51

Quraish Shihab dalam penafsirannya berusaha menjelaskan mengenai

negeri-negeri yang penduduknya mengkufuri nikmat Allah bahwa mereka akan

mengalami krisis ekonomi dan gangguan keamanan jika mereka melakukan

kedurhakaan-kedurhakaan. Kasus ini kemudian menimpa masyarakat

Indonesia. Pada pertengahan 1997 terjadi krisis nilai tukar Rupiah yang meluas

menjadi krisis ekonomi sehingga menggoncangkan sendi-sendi ekonomi dan

politik nasional. Sepanjang tahun 1998, Rupiah mengalami depresiasi ke angka

yang cukup signifikan hingga lebih dari 70 persen dan mencapai puncaknya

pada bulan Juli 1998 dimana nilai tukar rupiah mencapai 14.700 per US$.

Kemudian krisis ekonomi mencapai puncaknya pada tahun 1998 ketika terjadi

kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar 13, 1 persen.52

Jika dilihat dari proses terjadinya, krisis moneter di Indonesia didahului

oleh suatu euphoria, adanya pertumbuhan yang tinggi dalam kurun waktu yang

lama, yang digambarkan sebagai economic miracle oleh Bank Dunia, timbul

perkembangan yang menampakkan tanda-tanda adanya bubbles seperti

51 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 6,

h. 759. 52 Elly Karmeli dan Siti Fatimah, “Krisis Ekonomi Indonesia,” Journal of Indonesian

Applied Economics, vol. 2, no. 2 (Oktober 2008) h. 164. Bandingkan dengan Badan Pusat Statistik,

Statistik Indonesia 1997, h. 536-568 diakses di

https://www.bps.go.id/publication/1998/07/01/86c5d063774a2324df8bc65c/statistik-indonesia-

1997.html. Lihat pula BAPPENAS dan Badan Pusat Statistik, Bertahan di Tengah Krisis Global

(Jakarta: The World Bank dan SMERU, 2010).

Page 88: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

72

ekspansi real estates yang kelewat besar dan pertumbuhan pasar saham yang

luar biasa bersamaan dengan masuknya dana luar negeri berjangka pendek

secara berlebihan. Dalam keadaan tersebut kemudian timbul gejolak yang

menyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik

(contagion effects)53 menjadi krisis. Krisis tersebut semula terjadi di sektor

keuangan perbankan, kemudian melebar menjadi krisis ekonomi yang secara

sistemik melebar menjadi krisis sosial, politik dan akhimya krisis

kepemimpinan nasional. Ini mungkin lebih tepat untuk digunakan

menggambarkan perkembangan krisis di Indonesia.54

Pemerintah saat itu tidak mampu menghadapi krisis ekonomi global

pada tahun 1997 yang membuat rupiah terpuruk dari 2.500 rupiah per dolar

hingga 17.000 rupiah, utang negara menjadi membengkak, pasar tidak lagi

mampu menyediakan sembilan bahan pokok, masyarakat mengalami rush

dengan mengantre di bank-bank karena isu bank akan ditutup dan penjarahan

toko-toko oleh warga terjadi di banyak pasar. Mahasiswa bergerak di seluruh

Indonesia dan berdemonstrasi menyuarakan perlunya reformasi. Bermodalkan

idealisme, kejujuran pada kepentingan reformasi, komitmen pada nasib negeri,

aksi yang semula tidak jadi karena takut untuk melawan akhirnya meluas dan

serempak di berbagai kota. Pada mei 1998, pemerintahan Orde Baru runtuh,

krisis ekonomi bergeser menjadi krisis multi-dimensi karena bercampur antara

konflik etnis, agama, ras dan politik. Kejadian ini sangat mendekati prediksi

Habermas tentang krisis masyarakat kapitalis, ruang publik, masyarakat sipil

dan transformasi struktural.55

D. Penafsiran Ulama Nusantara atas Q.s. al-An‘ām/6: 27-29.

Dalam Tafsir Quran Karim, karya Mahmud Yunus, pada ayat 27 beliau

menjelaskan keadaan orang-orang kafir yang dimasukkan ke dalam Neraka

53 Contagion Effect adalah peristiwa krisis yang terjadi dalam suatu wilayah dan

berkembang kemudian menjadi krisis domestik. Lihat Sebastian Edwards, Contagion (Los Angeles:

University of California and National Bureau of Economic Research, 2000), h. 5. 54 Elly Karmeli dan Siti Fatimah, “Krisis Ekonomi Indonesia,” h. 166. 55 Ahmad Abrori, “Refleksi Teori Kritis Jurgen Habermas atas Konsensus Simbolik Perda

Syariah” Ahkam, vol. 16, no. 1 (Januari 2016); h. 77

Page 89: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

73

seraya memohon agar dikembalikan ke atas dunia untuk kembali menjalankan

perintah Allah serta masuk kepada golongan orang-orang beriman.

Keadaan yang digambarkan di atas sudah menjadi sifat dasar manusia.

Jika mereka ditimpa cobaan atas perbuatan tangan mereka sendiri mereka maka

dengan segera mengingat Allah. Akan tetapi, jika terlepas dari cobaan atau

kecelakaan yang menimpa mereka, mereka akan kembali mengerjakan

kejahatan. Contoh kasus ini, seseorang yang kesehariannya meminum arak dan

menghisap rokok divonis oleh dokter mengidap penyakit paru-paru yang parah.

Kemudian dokter memberi nasihat dan saran agar tidak melakukannya lagi

dengan rasa penyesalan, bahkan berjanji untuk tidak mendekatinya. Ketika

Allah angkat penyakitnya, mereka kembali melakukan perbuatan yang mereka

sesali itu.

Hal demikian merupakan sifat-sifat manusia yang tidak mau menerima

pelajaran dan nasihat, karena telah biasa mengerjakan kejahatan, sekalipun

mereka tahu bahwa apa yang dilakukannya memiliki banyak kemudaratan.

Mahmud Yunus memberikan nasihat untuk mendidik anak dari kecil agar

meminimalisir segala perbuatan jahat, karena penyesalan tidaklah ada gunanya

jika kecelakaan menimpa mereka (manusia).56

Ayat selanjutnya, Mahmud Yunus mendeskripsikan tingkah laku

orang-orang kafir yang memandang kehidupan dunia sebagai satu-satunya

tempat dan tidak akan dibangkitkan kemudian pada akhir. Kesenangan yang

dilakukan untuk dirinya sendiri dan supaya memperoleh kekayaan dan

kemegahan di atas dunia ini. Melakukan tidak takut untuk menganiaya orang,

mencuri harta dan menggelapkannya, korupsi dan sebagainya. Oleh karena itu,

di negeri-negeri yang kebanyakan penduduknya tidak percaya kepada akhirat,

banyak terjadi kejahatan yang merusak keamanan negara, seperti merampok,

membunuh orang dan perbuatan keji lainnya.57

Penulis melihat bahwa penafsiran yang dilakukan oleh Mahmud Yunus

sedikit bertentangan dengan apa yang ditafsirkan oleh Hamka nantinya.

Mahmud Yunus beranggapan bahwa pendidik harus memperhatikan kondisi

56 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 178-179. 57 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, h. 179.

Page 90: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

74

kejiwaan anak didik. Dalam hal ini Mahmud Yunus mengkritisi anggapan

masyarakat saat itu yang memberikan justifikasi bahwa anak-anak yang

melakukan tindakan kejahatan adalah karena sifat bawaan sejak lahir dan harus

diberikan hukuman berupa pukulan rotan. Pandangan yang demikian menurut

Mahmud Yunus sama dengan mengorbankan masa depan peserta didik dan

kelak akan menjadikannya sebagai manusia yang tidak berharga atau tersisih

di tengah masyarakat.58

Penafsiran Mahmud Yunus yang selalu menekankan pentingnya akhlak

juga merupakan pengaruh kondisi Indonesia saat itu yang sangat memerlukan

pendidikan terutama terkait Islam. pada saat tentara sekutu menduduki kota

Padang, secara beruntun terjadi pertempuran hebat antara pemuda-pemuda

dengan tentara sekutu (Jepang). Tahun 1942, Jepang yang menguasai kota

Padang membuat ketentuan yang tidak memperbolehkan sekolah tinggi di

daerah pemukiman penduduknya. Suasana ini mengakibatkan terancamnya

sekolah-sekolah agama Islam yang ada di Padang. Saat itu banyak guru dan

murid yang mengungsi ke Bukit Tinggi. Berdasarkan kesepakatan Mahmud

Yunus dan para guru akhirnya mereka mendirikan sekolah yang dipimpin

langsung oleh Mahmud Yunus.59

Pandangan Ashgar Ali mengenai kafir juga melabeli mereka sebagai

orang yang melakukan dekadensi moral dan bukan bagian dari status teologi

atau akhlak, bahkan beliau mengatakan bahwa makna ‘tidak percaya’

merupakan terjemahan yang tidak beralasan dan telah tercerabut dari makna

spritual yang al-Quran maksudkan. Kafir juga tidak bisa ditimpakan kepada

suatu komunitas agama akan tetapi semua yang menolak kebenaran apa pun

komunitasnya mereka termasuk kafir. Jadi orang-orang kafir adalah mereka

yang tidak menerima semua Nabi yang diutus Allah dan membeda-bedakan di

antara mereka. Orang-orang kafir sesungguhnya adalah mereka yang

58 Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta: Hidakarya Agung,

1978), h. 6. 59 Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan (Bandung: Angkasa,

2003), h. 375.

Page 91: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

75

menumpuk kekayaan dan terus membiarkan kezaliman dalam masyarakat serta

menghalangi upaya-upaya menegakkan keadilan.60

Berbeda dengan Tafsir al-Azhar, pada permulaan ayat, Hamka

menjelaskan sifat orang Arab yang disebut dengan Tamanni yaitu

menginginkan hal yang tidak bisa kejadian lagi. Misalnya, orang tua yang

menginginkan kembali muda atau anak kecil yang menginginkan kembali ke

dalam kandungan ibu. Pada saat dikumpulkannya seluruh manusia di hadapan

Allah dan tidaklah satu pun berhala-berhala mereka yang menolong, maka

mereka pun menyesal atas kesalahan yang dilakukannya sewaktu di dunia.

Bahkan mereka memohon dengan penuh penyesalan agar dikembalikannya

kembali ke kehidupan dunia agar memperbaiki kesalahan-kesalahannya, tidak

menjadi kafir dan ikut bersama golongan orang-orang beriman.61

Ayat selanjutnya diberikan permisalan apabila mereka benar-benar

dikembalikan ke dunia sebagaimana yang mereka harapkan, maka tidaklah

mereka akan berbuat sebagaimana apa yang mereka janjikan. Janji yang

mereka katakan hanyalah kebohongan belaka karena kekufuran sudah menjadi

sikap jiwa mereka. Hamka berusaha menjelaskan dalam ayat ini bahwa ada

hikmah yang ingin disampaikan Allah kepada manusia. Ayat ini menegaskan

pentingnya membentuk sikap jiwa. Latihan dan pendidikan sejak kecil,

pergaulan yang baik serta lahir dalam kalangan keluarga yang beragama

menjadikan Tauhid sebagai sikap jiwa pada diri manusia. Pendidikan di rumah

tangga memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan karakter anak.

Menarik untuk direnungkan perintah Rasulullah Saw., agar anak yang telah

berusia tujuh tahun hendaklah diperintahkan salat dan jikalau mereka

mengabaikannya, hendaknya orang tua memukul dan memarahinya hingga

salat menjadi sikap jiwa dan kebiasaan yang dilakukan terus-menerus.62

Ayat terakhir menjelaskan bentuk kekafiran terhadap Allah dengan

tidak mempercayai adanya kehidupan setelah mereka diwafatkan. Mereka

60 Asghar Ali Engineer, “On Being Kafir,” Dawn (2010),

https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://iportal.riphah.edu.pk/wp-

content/uploads/data/10/08/130810bk.pdf&ved=2ahUKEwjHlISw8qDcAhUKfisKHVxaDpwQFj

ACegQIARAB&usg=AOvVaw0yhzG5aEHZSLQA0zdexywM 61 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz 6, h. 168. 62 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, h. 169.

Page 92: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

76

mengatakan bahwa hidup di dunia hanyalah sekali dan hari dimana manusia

dibangkitkan kembali hanyalah mitos belaka. Oleh karena itu, dorongan hati

dan hawa nafsu harus dipenuhi sehingga jasmaniah merasa terpuaskan. Inilah

sikap mushrik jahiliyyah zaman Nabi. Mereka memandang bahwa hidup ini

hanya sekali, tidak merasa tanggung jawab terhadap masa depan, berlomba-

lomba dalam hal kemegahan, mereka yang tidak memanfaatkannya akan

dianiaya orang lain. Orang-orang kuat yang memiliki kekayaan dan otoritas

yang tinggi akan menindas yang lemah.63

Model jahiliyyah yang diterapkan pada masa-masa awal Islam tampak

kembali dengan dibungkusi oleh kesan modern atau dikenal sebagai jahiliyah

modern. Berbagai teori tentang susunan masyarakat telah diciptakan oleh

manusia. Kekuasaan telah tersusun, baik yang bersandarkan paham kapitalisme

ataupun yang bersendikan paham sosialisme dan komunisme, mengiming-

imingi mereka dengan negara yang adil dan makmur akan tetapi tidak sama

sekali mereka mempercayai hari kebangkitan. Akibatnya, kekuasaan yang

dipegangnya silih berganti. Dari zaman Feodal kekuasaan raja-raja atau mereka

yang bersekongkol dengan kekuasaan penguasa-penguasa agama, namun yang

lemah tetap tertindas. Kemudian hancurlah kekuasaan Feodal dan berganti

dengan kekuasaan Borjuis. Pemberontakan golongan Proletar terhadap Borjuis

dengan menjadikan buruh dan petani untuk membangkitkan semangat

perlawanan. Kekuasaan Proletar yang diktator kenyataannya membuat

kesenjangan antara buruh-tani dengan partai yang berkuasa.64

Paham-paham di atas sudah nyata tidak akan membawa umat manusia

kepada kebahagiaan melainkan kehancuran mental dan moral, sikap saling

percaya antara sesama manusia terkikis habis, hilangnya nilai-nilai budi dan

jatuhnya manusia dari perikemanusiaan kepada sifat kebinatangan pada

pertengahan Abad ke-20. Peristiwa itu menunjukkan bahwa peradaban yang

tidak percaya kepada hari akhir telah mencapai masa kehancurannya.

Hamka dalam penafsiran mengajak pembaca agar mengetahui

bagaimana kejamnya sistem yang digunakan oleh para penjajah di Indonesia.

63 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, h. 169. 64 Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, h. 170.

Page 93: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

77

bagi bangsa Indonesia, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada periode 1945-

1949 merupakan revolusi yang dipandang sebagai manifestasi tertinggi dari

tekad nasional, lambang kemandirian suatu bangsa dan bagi mereka yang

terlibat di dalamnya maka revolusi adalah pengalaman emosional luar biasa

dengan rakyat yang berpartisipasi langsung.65 Karl Marx pernah

mengasumsikan bahwa kapitalisme akan memunculkan kesejahteraan dan

penderitaan. Kesejahteraan dalam kelas borjuis semakin mengecil dan

penderitaan dalam kelas buruh kian membesar. Ketegangan antara borjuis dan

proletariat akan mendorong kaum proletariat untuk bersatu dan sadar-kelas.

Ketegangan yang mengarah pada revolusi inilah yang disebut dengan revolusi

sosial.66 Kemudian dibantah oleh seorang sejarawan, Michel Foucault, bahwa

“petani-petani kepemilikan menjadi suatu yang bersifat absolut: semua ‘hak’

yang ditoleransi, yang telah diperoleh atau dipelihara oleh kaum petani

selama ini... sekarang ditolak.”67

Adapun dalam Tafsir al-Miṣbāḥ, penjelasan mengenai ayat ini tidak

jauh berbeda dengan apa yang telah dijelaskan oleh Mahmud Yunus dan

Hamka bahwa ketika mereka telah dihadapkan kepada dosa-dosa mereka,

spontan keluar dari lisan mereka “yā laitanā (aduhai seandainya) kami

dikembalikan ke dunia” dengan maksud agar mereka taat kepada Allah, tidak

mendustakan ayat-ayat Tuhan Pemelihara dan senantiasa melakukan amal

kebaikan.68

Kejahatan yang dahulu mereka sembunyikan seperti kekufuran,

kedurhakaan serta penolakan ajaran yang disampaikan Rasulullah Saw. Para

tokoh-tokoh musyrik melarang orang-orang awam untuk mendengarkan ayat-

ayat suci Allah, walaupun sebenarnya mereka tekun mendengar al-Quran akan

tetapi merupakan sikap seorang kafir yang telah mendarah daging sehingga

65 J. D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sutan

Sjahrir, terj. Hasan Basri (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), h. 1. 66 Zulkarnain, Jalan Meneguhkan Negara: Sejarah Tata Negara Indonesia (Yogyakarta:

Pujangga Press, 2012), h. 59 67 Michel Foucault, Discipline and Punish: the Birth of Prison (New York: Pantheon,

1978), h. 85. 68 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 4,

h. 60.

Page 94: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

78

ketika mereka berkata akan menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka tetapi tidak

akan beriman dan tetap dalam kedurhakaan.69

Sikap di atas masih terjadi pada zaman sekarang. Quraish Shihab

mengambil contoh bahwa sebagian orientalis yang mempelajari al-Quran,

bahkan melampaui kecerdasan orang-orang Islam, tekun dalam memahami

setiap isinya tetapi dengan tujuan untuk mencari kelemahan-kelemahan yang

ada pada al-Quran. Itulah mengapa di ayat 31 ditutup dengan kata afalā

ta‘qilūn, dimana akal dalam bahasa Arab berarti tali yang mengikat. Sedangkan

dalam konteks al-Quran ialah potensi pada diri manusia yang mengikat atau

menghalanginya untuk tidak melakukan hal-hal yang buruk. Artinya, mereka

orang-orang kafir memiliki kercedasan yang luar biasa tetapi tidak dapat

menggunakan akalnya.70

Berdasarkan analisa di atas penulis menilai bahwa Mahmud Yunus,

Hamka dan Quraish Shihab memaknai kufr berdasarkan realita sosial pada

zamannya sehingga perbedaan penafsiran terlihat jika dibandingkan dengan

mufassir di dunia Timur.

Selain itu, menurut penulis Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish

Shihab ketika mendiskusikan kufr sebagai ‘tidak berterima kasih’, mereka

berangkat dari realita dan mengesampingkan sejarah kata kufr pra-Islam. Hal

ini dapat dilihat argumen Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab yang

menganggap kafir bagi mereka yang melakukan dekadensi moral, baik itu

Muslim maupun non-Muslim. Walaupun secara etimologi, orang yang ‘tidak

berterima kasih’ bisa dikategorikan sebagai kafir. Akan tetapi, secara semantik-

historis, makna ini telah mengalami perubahan makna secara semantik akibat

dari pengaruh teologi, filsafat, politik, tasawuf dan lain-lain. Oleh karena itu,

penafsiran yang mereka lakukan bersifat parsial dalam merujuk kepada ayat-

ayat al-Quran, pendefinisian terhadap term kufr juga subyektif dan terkesan

kasuistik.

69 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, h. 60-61. 70 Simpan Sehat, “1431 H Surat #6 al An’aam ayat 25-32 - Tafsir Al Misbah MetroTV

2010” YouTube Video, 40:43, diakses pada tanggal 02 Februari 2014,

https://m.youtube.com/watch?v=1l6949Hti48&t=854s.

Page 95: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

79

Subyektif, karena penafsiran Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish

Shihab pada ayat yang lain memaknai kufr bukan sekedar dekadensi moral

melainkan sikap ketidak percayaan ditunjukkan melalui perbuatannya yang

menolak Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya dan segala yang terkait eskatologis.

Akibatnya pemaknaan yang dihasilkan tidak lagi bersifat umum, namun kāfir

sudah menunjuk kepada mereka yang non-Muslim. Kasuistik, karena

penafsiran yang dihasilkan berdasarkan kejadian tertentu dan mereka lahir di

negara Indonesia yang memiliki beragam kepercayaan dan penganutnya

sehingga rawan terjadi konflik, baik itu internal (sesama Islam) maupun

eksternal (selain Islam). Terlebih lagi penafsiran mereka di motivasi oleh

masyarakat untuk membuat kitab tafsir yang sesuai dengan perkembangan

zaman.71

71 Lihat kembali pembahasan pada bab IV tentang Kitab Tafsir Ulama Nusantara.

Page 96: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

80

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di bab-bab sebelumnya mengenai penafsiran

Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab tentang kufr, penulis berpendapat

bahwa konteks sosio-historis memberikan pengaruh yang cukup spesifik dalam

memahami teks al-Quran, khususnya makna kufr. Dalam mendiskusikan

makna kufr, Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab melihat konteks

realita sosial yang terjadi pada masanya (menafsirkan kafir dengan melihat

perilaku dan keseharian masyarakat di Indonesia).

Penulis melihat bahwa makna kafir pada masa awal sebelum Islam

datang (pre-Islam) dimaknai dengan ‘tidak berterima kasih’. Hal ini sejalan

dengan perilaku masyarakat Arab jahiliyyah yang mengkultuskan dunia dan

terjebak dalam paham tribalismenya. Hal itu terekam dalam kesusasteraan

jahiliyyah yang menggambarkan kekayaan sebagai suatu hal yang amat penting

di dunia karena memberikan keabadian. Barulah pada tahap sistem al-Quran

(periode Quranik) kata kufr mengalami perubahan makna yang ditempatkan

secara berlawanan dengan iman. Perlawanan konseptual kemudian berlanjut

dalam sistem setelah al-Quran diturunkan (periode pasca Quranik). Tidak ada

perbedaan yang tampak antara iman dan kufr dengan periode sebelumnya,

namun bila meneliti lebih cermat, maka telah terjadi perubahan penekanan

yang amat tipis. Dengan kata lain, perbedaan iman dan kufr sekalipun secara

lahiriah sama, namun tidak lagi membawa makna yang. Hal itu terjadi karena

perubahan situasi kultural yang dialami oleh masyarakat itu sendiri. Pada

periode pasca Quranik inilah kosakata al-Quran banyak digunakan dalam

sistem pemikiran Islam seperti Teologi, Hukum, Politik, Filsafat dan Tasawuf.

Masing-masing sistem ini mengembangkan konseptualnya sendiri, tidak hanya

di dunia Timur dan Barat bahkan di Indonesia terjadi perkembangan

pemaknaan terhadap al-Quran.

Setelah melakukan proses semantik historis, penulis melihat dan

menemukan bahwa ketiga tafsir di atas mensejajarkan realitas dengan teks al-

Page 97: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

81

Quran. Artinya konteks realita sosial memiliki pengaruh yang cukup signifikan

dalam penulisan tafsir di Indonesia. Pada Q.s. al-Nisā’/4: 112-114 Mahmud

Yunus, Hamka dan Quraish Shihab sepakat dengan melihat kufr sebagai orang

yang tidak mau berterima kasih atas nikmat yang Allah berikan. Penafsiran

mereka terlihat berbeda saat berusaha mengkontekstualisasikan al-Quran

dengan masyarakat Indonesia karena kasus yang dihadapi berbeda setiap

zamannya. Mahmud Yunus berada di masa harga karet melambung tinggi dan

bahkan peristiwa itu hanya terjadi sekali dalam sejarah Indonesia. Berbeda

dengan Hamka yang hidup di zaman penjajahan Jepang sehingga melihat

masyarakat Indonesia dibayang-banyangi oleh ketakutan dan kelaparan.

Kemudian Quraish Shihab melihat krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997,

merupakan krisis ekonomi terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Sementara

pada Q.s. al-An‘ām/6: 27-29 penulis melihat semua mufassir juga sepakat

bahwa kufr yang dimaksud oleh kosakata al-Quran adalah mereka yang tidak

percaya kepada Allah dan ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw.

Mahmud Yunus melihat pendidikan Islam saat itu yang terancam akibat dari

aturan pemerintahan Jepang yang melarang sekolah-sekolah di pemukiman

setempat membuat penafsiran ayat ini mengarah kepada pembentukan akhlak

bagi anak-anak khususnya orang tua atau guru sebagai pendidik. Hamka yang

juga hidup di zaman penjajahan Jepang dan turut berpartisipasi dalam dunia

politik membuat penafsirannya terhadap ini bernuansa politik (kekuasaan

feodal, borjuis dan proletariat). Jika kedua mufassir di atas hidup di zaman

kependudukan Jepang, Quraish Shihab hidup dimana penjajahan dalam bentuk

kekerasan fisik berubah menjadi penjajahan dalam bentuk pikiran seperti yang

telah dilakukan oleh sebagian orientalis dalam mencari kekurangan al-Quran.

Penulis menilai bahwa Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab

memaknai kufr berdasarkan realita sosial pada zamannya sehingga perbedaan

penafsiran terlihat jika dibandingkan dengan mufassir di dunia Timur. Selain

itu, menurut penulis Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab ketika

mendiskusikan kufr sebagai ‘tidak berterima kasih’, mereka berangkat dari

realita dan mengesampingkan sejarah kata kufr pra-Islam. Hal ini dapat dilihat

argumen Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish Shihab yang menganggap kafir

Page 98: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

82

bagi mereka yang melakukan dekadensi moral, baik itu Muslim maupun non-

Muslim. Walaupun secara etimologi, orang yang ‘tidak berterima kasih’ bisa

dikategorikan sebagai kafir. Akan tetapi, secara semantik-historis, makna ini

telah mengalami perubahan makna secara semantik akibat dari pengaruh

teologi, filsafat, politik, tasawuf dan lain-lain. Oleh karena itu, penafsiran yang

mereka lakukan bersifat parsial dalam merujuk kepada ayat-ayat al-Quran,

pendefinisian terhadap term kufr juga subyektif dan terkesan kasuistik.

Subyektif, karena penafsiran Mahmud Yunus, Hamka dan Quraish

Shihab pada ayat yang lain memaknai kufr bukan sekedar dekadensi moral

melainkan sikap ketidak percayaan ditunjukkan melalui perbuatannya yang

menolak Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya dan segala yang terkait eskatologis.

Akibatnya pemaknaan yang dihasilkan tidak lagi bersifat umum, namun kāfir

sudah menunjuk kepada mereka yang non-Muslim. Kasuistik, karena

penafsiran yang dihasilkan berdasarkan kejadian tertentu dan mereka lahir di

negara Indonesia yang memiliki beragam kepercayaan dan penganutnya

sehingga rawan terjadi konflik, baik itu internal (sesama Islam) maupun

eksternal (selain Islam). Terlebih lagi penafsiran mereka di motivasi oleh

masyarakat untuk membuat kitab tafsir yang sesuai dengan perkembangan

zaman.

Pada akhirnya, perlu dicatat bahwa Mahmud Yunus, Hamka dan

Quraish Shihab dalam menafsirkan kata kufr mereka membawa konteks

realitas sosial untuk memahami lebih dalam teks-teks al-Quran. Sehingga

konteks yang memiliki peranan penting dalam mengkonstruk pemikiran ulama

Nusantara kontemporer.

B. Saran

Penelitian terhadap tafsir karya ulama Nusantara sudah banyak

diperhatikan oleh para sarjana, baik Muslim atau non-Muslim, orang Indonesia

atau Barat, semuanya melakukan kajian yang dapat menambah wawasan dan

menumbuhkan kembali khazanah keilmuan tafsir di Indonesia.

Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, perlu kajian yang mendalam

terkait karya-karya ulama Nusantara ini, sebab penelitian ini banyak memiliki

Page 99: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

83

kekurangan, baik dari sistematis penulisan, pembahasan, maupun referensi-

referensi yang penulis gunakan. Harapan besar bagi penulis agar penelitian-

penelitian ini diteruskan dengan pembahasan yang sama. Penulis menyarankan

untuk membahas bagaimana semiotik dari kata kufur sendiri atau mengambil

tafsir yang menggunakan bahasa lokal dari berbagai daerah dan bagaimana

hubungannya dengan kearifan lokal, sehingga kekurangan di atas dapat

ditutupi dan dilengkapi.

Page 100: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

84

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdullah, Haji Abdul Malik Karim. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Bulan Bintang,

1938.

_______. Falsafah Hidup. Jakarta: Republika, 2015.

_______. Kedudukan Perempuan Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996.

_______, Haji Abdul Malik Karim. Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: Gema Insan

Press, 2016.

_______. Tasawuf Modern. Jakarta: Republika, 2015.

_______. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Bulan Bintang, 1928.

Ali, Maulana Muhammad. The Holy Qur’ān: Arabic Text, English Translation and

Commentary. Lāhūr: Aḥmadiyyah Anjuman Isha‘at Islām, 1973.

Amin, Samsul Munir. Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani.

Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009.

Amir, Mafri, Literatur Tafsir Indonesia. Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013.

Al-Aṣfahānī, al-‘Allāmah al-Rāghib. Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān. Damaskus: Dār al-

Qalam, 2009.

al-Athīr, Abū al-Sa‘ādāti al-Mubārak ibn Muḥammad al-Jazarī. al-Nihāyah fi

Gharīb al-Hadīs wa al-Athar. Riyaḍ: Dār Ibn al-Jauzi, 1421 H.

Ba‘albakī, Munīr. al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary. Bayrūt: Dār

al-‘Ilm al-Malayin, 1980.

Al-Baghawi, Imam Abi al-Hasan Muhammad ibn al-Husain. Tafsīr al-Baghawī:

Ma‘ālim al-Tanzīl. Riyaḍ: Dār Ṭayyibah, 1409 H.

Bakry, Oemar. Tafsir Rahmat. Jakarta: Mutiara, 1984.

Al-Baqi’, Muhammad Fu’ad ‘Abd. Mu‘jam Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān. Bayrūt:

Dār al-Fikr, 1992.

Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr dalam al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis dengan

Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta, Bulan Bintang, 1991.

Dijk, C. Van. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Diterjemahkan oleh J.

Moeliono. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.

Page 101: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

85

Al-Dimasyqi, Al-Imām ibn al-Qayyim al-Jauziyyah Muḥammad ibn Abi Bakr al-

Zar’i. Madārij al-Sālikīn: Bayna Manāzil Iyyāka Na‘budu wa Iyyāka

Nasta‘in. Riyaḍ: Dār al-Ṣamī’ī, t. th.

Donzel, E. Van, dkk. The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E. J. Brill, 1978.

Al-Dzāhiri, al-Imām Abū Muḥammad ‘Ali ibn Aḥmad Ibn Ḥazm. al-Fiṣal fi al-

Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal. Bayrūt: Dār al-Jail, 1996.

Edwards, Sebastian. Contagion. Los Angeles: University of California and National

Bureau of Economic Research, 2000.

El Fadl, Khaled Abou. The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. USA:

HarperCollins Publisher, 2007.

Elsbeth Locher-Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the

Rise of Dutch Imperialism 1830-1907, diterjemahkan dari bahasa Jerman

oleh Beverley Jackson (Ithaca: SEAP, 2003).

Esack, Farid, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of

Interreligious Solidarity Against Oppression. England: Oneworld

Publications, 1998.

Gobée, E. dan C. Adriaanse. Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa

Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda. Diterjemahkan oleh

Sukarsi. Jakarta: INIS, 1995.

Greenwood, N. J. dan J. M. B. Edwards, Human Environments and Natural

Systems. Massachusetts: Duxbury Press, 1979.

Guillot, Claude, Lobu Tua: Sejarah Awal Barus. Diterjemahkan oleh Daniel Perret.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.

Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi

(Yogyakarta: LkiS, 2013).

Hassan, Ahmad. Al-Furqan: Tafsir al-Qur’an. akarta: Dewan Dakwah Islamiyah,

1956.

Himāyah, Mahmūd ‘Ali. Ibn Ḥazm wa Manhajuhu fi Dirāsah al-Adyān. Kairo: Dār

al-Ma‘ārif, 1983.

Izutsu, Toshihiko. Ethico Religious Concepts In The Qur’an. Canada: McGill

University Press, 1966.

_______. Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’ān. penerjemah Agus Fahri

Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993.

Page 102: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

86

Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991.

Ma‘luf, Louis. al-Munjid fi al-Lughah. Bayrūt: al-Maktabah Kāthūlīkiyyah, 1956.

Martamin, Mardjani, dkk. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat.

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.

McCabe, Joseph. Atheism: The Logic of Disbelief. Arizona, See Sharp Press, 2006.

Michrob, Halwany dan Mudjahid Chudari. Catatan Masa Lalu Banten. Serang:

Saudara, 1993.

Al-Miṣr, Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim ibn Manẓūr. Lisān al-

‘Arab. Bayrūt: Dār al-Ṣadr, t.th.

Al-Naisāburi, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wahidi. Asbāb al-Nuzūl. Bayrūt:

Dār al-Fikr, 1994.

al-Qarāfi, Abū al-‘Abbās Ahmad ibn Idrīs al-Shanhājī. al-Furūq: Anwār al-Burūq

fi Anwā’ al-Furūq. Bayrūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998.

Quṭb, Sayyid. fī Ẓilāl al-Qur’ān. Bayrūt: Dār al-Shurūq, 2003.

Al-Rāzi, al-Ṭahir Ahmad. Qamus al-Muḥīṭ. Riyāḍ: Dār ‘Alam al-Kutub, 1996.

Riḍa, Muhammad Rashīd, Tafsīr al-Qur’ān al-Hakīm. Miṣr: Dār al-Manār, 1367

H.

al-Sha‘rāwī, Muḥammad Mutawallī. Tafsīr al-Sha‘rāwī. Miṣr: Akhbār al-Yaum,

1991.

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Jakarta: Lentera Hati, 2013.

______, M. Quraish. Mukjizat al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1997.

______, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2013.

______, M. Quraish. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an. Bandung:

Mizan, 2000.

______, M. Quraish. Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.

Jakarta: Lentera Hati, 2012.

______, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai

Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.

Page 103: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

87

Al-Shaibani, Abu Abdullah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal. Taḥqīq oleh

Syu’aib al-Arnauth, Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal. Bayrūt: Muassasah al-

Risālah, 2001.

Al-Sijistāni, Abū Dāud Sulaymān ibn al-Ash’ath al-Azdī. Sunan Abī Dāud.

Damaskus: Dār al-Risālah al-‘Ālamiyyah, 2009.

Sugono, Dendy., dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2008.

al-Ṭabarī, Abu Ja’far Muḥammad ibn Jarīr. Tafsīr al- Ṭabarī: Jāmi’ al-Bayān ‘an

Ta’wīl Ay al-Qur’ān. Taḥqīq ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Muhsin. Kairo: Dār

Hajr li al-Tabā‘ah wa al-Nasyr, 2001.

al-Tabātabā’ī, Muhammad Husain, al-Mīzān fī al-Tafsīr al-Qur’ān. Bayrūt:

Muassasah al-A‘lamī li al-Maṭbū’āt, 1997.

Ibn Taymiyyah, Ahmad ibn ‘Abd al-Halim, Sharḥ al-‘Aqīdah al-Wāsiṭiyah,

disyarah oleh Muḥammad al-Ṣālih al-‘Utsaimīn. Riyāḍ: Dār ibn al-Jauzī,

1421 H.

Ibn Taymiyyah, Ahmad ibn ‘Abd al-Halim. Sharh Hadits Jibril,: fi al-Islām wa al-

Imān wa al-Ihsān. t.t: Dār Ibn al-Jauzi, t. th.

Yunus, Mahmud dan Qosim Bakri. al-Tarbiyah wa al-Ta’lim. Bukittinggi:

Nusantara, 1953.

______. Durus al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘ala al-Ṭariqah al-Hadithah. Jakarta:

Hidakarya Agung, 1927.

______. Kamus Arab Indonesia. Ciputat: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010.

______. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: Hidakarya Agung, 1999.

______. Tafsir Qur’ān Karīm. Jakarta: Hidakarya Agung, 2002.

Yusuf, M. Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Jakarta: Penamadani,

2004.

Ibn Zakariya, al-Ḥusain Aḥmad ibn Fāris. Mu’jam Maqāyīs al-Lughah. Bayrūt: Dār

al-Fikr, 1979.

Zayd, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an.

terj. Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta: IRCiSoD, 2016.

al-Zuḥailī, Wahbah. al-Tafsīr al-Munīr fi al-‘Aqīdah wa al-Sharī‘ah wa al-Manhaj.

Damaskus: Dār al-Fikr, 2009.

Page 104: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

88

Skripsi, Tesis dan Disertasi:

Akbar, Hilal. “Mafhum al-Kafir fi al-Qur’an: Dirasah Tahliliyah Dalaliyah

Tarihiyah.” Skripsi S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.

Chair, M. Farid. “Makna Kafir dalam Kajian Hadis (Sebuah Kajian Tematik dalam

Shahih al-Bukhari).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2015.

Maysaroh, Lies. “Pengingkaran Kepada Tuhan (Konsep dan Makna Kufr menurut

Toshihiko Izutsu dan M. Quraish Shihab).” Skripsi S1 UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2008.

Rahmat, Rudi. “Perumpamaan Orang-orang Kafir menurut Ibn Katsir dalam Tafsir

al-Qur’an al-Adzim.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif

Kasim Riau, 2015.

Romdhoni, Fathur. “Penafsiran Sayyid Qutb atas Kafir dalam Tafsir fi Dzilal al-

Qur’an.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2017.

Wahab, Zulkifli. “Iman dan Kufr (Kajian Tahlili terhadap QS. al-Kahfi/18: 29).”

Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin

Makassar, 2016.

Jurnal:

Gusmian, Islah. “Tafsir al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika,” Nun 1, no.

1 (2015).

Has, Muhammad Hasdin. “Metodologi Tafsir al-Munir Karya Wahbah Zuhaily.”

Al-Munzir 7, no. 2 (November 2014).

Latif, Ahmad Zaki Hj. Abdul. “Isu Kafir-Mengkafir dan Implikasinya dalam

perkembangan Politik dan Sosial Masyarakat Melayu.” Jurnal Ushuluddin

17 (2003).

Mahfud, Choirul. “The Power of Syukur: Tafsir Kontekstual Konsep Syukur dalam

al-Qur’an.” Epistemé 9, no.2 (Desember 2014).

Prima, Daniel. “Penafsiran Ucapan Selamat Natal Dan Prinsip-Prinsip Toleransi

Beragama Dalam Tafsir al-Miṣbāḥ.” Analytica Islamica 4, no. 1 (2015).

Roifa, Rifa, dkk. “Perkembangan Tafsir di Indonesia (Pra Kemerdekaan 1900-

1945).” al-Bayan: Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadis 2, no. 1 (Juni 2017).

Setiawan, M. Nur Kholis. “Urgensi Tafsir Dalam Konteks Keindonesiaan dan Pola

Pendekatan Tematik Kombinatif.” Tasamuh 4, no. 2 (2012).

Page 105: ANTARA TEKS DAN KONTEKS: PENAFSIRAN ULAMA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · yang terjadi pada masa mufassir hidup. Fokus kajian yang mendiskusikan tafsir-

89

Shobahussurur, “Buya Hamka: Tokoh Modernis Karismatik,” Jurnal Refleksi 9, no.

1 (2009).

Shuhaimi, Irwan Hadi Mohamad, dkk. “Wasatiyah Dalam Menanggapi Isu Takfir.”

Wasat, no. 2 (2015).

Untung, Samsul Hadi dan Eko Adhi Sutrisno, “Sikap Islam Terhadap Minoritas

Non-Muslim,” Jurnal Kalimah 12, no. 1 (Maret 2014).

Yasir, Muhammad. “Makna Toleransi Dalam al-Qur’an.” Jurnal Ushuluddin 22,

no. 2 (Juli 2014).

Laporan:

BAPPENAS dan Badan Pusat Statistik. Bertahan di Tengah Krisis Global. Jakarta:

The World Bank dan SMERU, 2010.

Syibromalisi, Faizah Ali. “Perempuan Dalam Tradisi Tafsir Kontemporer Di

Indonesia: Studi Perbandingan Pemikiran Hamka Dalam Tafsir al-Azhar

dan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah.” Laporan Penelitan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta (2014).

Website:

Karmeli, Elly dan Siti Fatimah, “Krisis Ekonomi Indonesia,” Journal of Indonesian

Applied Economics, vol. 2, no. 2 (Oktober 2008) h. 164. Bandingkan dengan

Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 1997, h. 536-568 diakses di

https://www.bps.go.id/publication/1998/07/01/86c5d063774a2324df8bc65

c/statistik-indonesia-1997.html.

Nasrullah, Nasih, “Ini Sikap Lembaga Fatwa Timur Tengah Soal Natal,” artikel

diakses pada tanggal 20 Maret 2018 dari

http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/13/12/24/myau5b-ini-sikap-lembaga-fatwa-timur-tengah-soal-natal.

Siswoyo, Harry, “Bocah PAUD Tolak ke Mal Karena Anggap Milik Kafir,” artikel

diakses pada 18 Januari 2018 dari

https://www.viva.co.id/berita/nasional/978007-bocah-paud-tolak-ke-mal-

karena-anggap-milik-kafir.