12
ANEMIA 2.1 Definisi Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah mass eritrosit (red cellmass sehingga tidakdapat memenuhi fungsin!a untuk memba"a oksigen dalam jumlah !ang cukup ke jaringan perifer. 2.2 #riteria $arameter !ang paling umum untuk menunjukkanpenurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin% disusul oleh hematokrit dan hitung eri &arga normal hemoglobin sangat ber'ariasi secara fisiologis tergan kelamin% usia% kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. 2. #lasifikasi Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. #lasifikasi morfologi didasarkan pada ukuran dan kandunganhemoglobin. Menurut etiologin!a% anemia dapat diklasifikasikan menjadi macam !aitu gangguan produksi sel darah merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi% gangguan pematangan sel darah merah (eritropoiesis !ang tidak efe penurunan "aktu hidup sel darah merah (kehilangan darah atau hemolisis. 1. &ipoproliferatif &ipoproliferatif merupakan pen!ebab anemia !ang terban!ak. Anemia hipoproliferatif ini dapat disebabkan karena) a. #erusakan sumsum tulang #eadaan ini dapat disebabkan oleh obat*obatan% pen!akitinfiltratif (contohn!a) leukemia% limfoma% dan aplasia sumsum tulang. b. Defisiensi besi c. +timulasi eritropoietin (E$, !ang inadekuat% #eadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjal d. +upresi produksi E$, !ang disebabkan oleh sitokin inflamasi (m interleukin 1

Anemia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jenis

Citation preview

ANEMIA2.1 Definisi Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. 2.2 Kriteria Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologis tergantung jenis kelamin, usia, kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. 2.3 Klasifikasi Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin. Menurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu gangguan produksi sel darah merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi), gangguan pematangan sel darah merah (eritropoiesis yang tidak efektif), dan penurunan waktu hidup sel darah merah (kehilangan darah atau hemolisis). 1. Hipoproliferatif Hipoproliferatif merupakan penyebab anemia yang terbanyak. Anemia hipoproliferatif ini dapat disebabkan karena: a. Kerusakan sumsum tulang Keadaan ini dapat disebabkan oleh obat-obatan, penyakit infiltratif (contohnya: leukemia, limfoma), dan aplasia sumsum tulang. b. Defisiensi besic. Stimulasi eritropoietin (EPO) yang inadekuat, Keadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjald. Supresi produksi EPO yang disebabkan oleh sitokin inflamasi (misalnya: interleukin 1) e. Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada keadaan hipotiroid) Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun dapat pula ditemukan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada defisiensi besi ringan hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan tersebut dapat dibedakan melalui pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat besi. 2. Gangguan pematanganPada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang rendah, gangguan morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang abnormal. Gangguan pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu: a. Gangguan pematangan inti Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik. Penyebab dari gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme DNA (seperti metotreksat, alkylating agent), dan myelodisplasia. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan ini lebih disebabkan oleh defisiensi asam folat. b. Gangguan pematangan sitoplasma Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan hipokromik. Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah defisiensi besi yang berat, gangguan sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan gangguan sintesa heme (misalnya pada anemia sideroblastik) 3. Penurunan waktu hidup sel darah merah Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada kedua keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan retikulosit yang bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya peningkatan eritropoietin dan proliferasi sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis gambarannya akan menyerupai anemia defisiensi besi. Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun kronis. Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan karena keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi yang ditimbulkan oleh pemecahan sel darah merah dalam jangka waktu lama, seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara episodik (self limiting)

Gambar 1: klasifikasi anemia berdasarkan indeks eritrosit5. Pemeriksaan Sumsum Tulang a. Aspirasi - E/G ratio - Morfologi sel - Pewarnaan Fe b.Biopsi - Selularitas - Morfologi

I. Pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) Kriteria apakah seseorang menderita anemia dapat dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokritnya. Selain itu, indeks eritrosit dapat digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sintesa hemoglobin. Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila > 100 dapat disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin (hipokromia) II. Sediaan Apus Darah Tepi (SADT) SADT akan memberikan informasi yang penting apakah ada gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis menunjukkan ukuran eritrosit yang bervariasi, sedangkan poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit yang beraneka ragam. III. Hitung Retikulosit Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi anemia. Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari sumsum tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam waktu 24-36 jam (waktu hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal retikulosit 1-2% yang menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8-1% dari jumlah sel darah merah di sirkulasi. Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematokrit pasien berdasarkan usia, gender, sarta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu hidup dari retikulosit prematur lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolah- olah tinggi.

Faktor koreksi untuk:Ht 35% : 1,5Ht 25% : 2,0Ht 15% : 2,5Keterangan: RI < 2-2,5% : produksi atau pematangan eritrosit yang tidak adekuat RI > 2,5% : penghancuran eritrosit yang berlebihan

IV. Persediaan dan Penyimpanan Zat Besi Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC dikali 100 (N: 25-50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pk 09.00 dan pk. 10.00. Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun, feritin juga merupakan suatu reaktan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat.

V. Pemeriksaan Sumsum Tulang Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada sumsum tulang misalnya myelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel (myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dari hitung jenis sel-sel berinti pada suumsum tulang (ratio eritroid dan granuloid).

Anemia Defisiensi Besi Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan terutama di negara berkembang. Penyebabnya antara lain: Faktor nutrisi: rendahnya asupan besi total dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat, rendah daging, dan rendah vitamin C). Kebutuhan yang meningkat, seperti pada bayi prematur, anak dalam pertumbuhan, ibu hamil dan menyusui. Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, colitis kronik, atau achlorhydria. Kehilangan besi akibat perdarahan kronis, misalnya: perdarahan tukak peptik, keganasan lambung/kolon, hemoroid, infeksi cacing tambang, menometrorraghia, hematuria, atau hemaptoe.

A. Metabolisme Besi Total besi dalam tubuh manusia dewasa sehat berkisar antara 2 gram (pada wanita) hingga 6 gram (pada pria) yang tersebar pada 3 kompartemen, yakni 1). Besi fungsional, seperti hemoglobin, mioglobin, enzim sitokrom, dan katalase, merupakan 80 % dari total besi yang terkandung jaringan tubuh. 2). Besi cadangan, merupakan 15-20% dari total besi dalam tubuh, seperti feritin dan hemosiderin. 3). Besi transport, yakni besi yang berikatan pada transferin. Sumber besi dalam makanan terbagi ke dalam 2 bentuk: 1. Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi (25% dari kandungan besinya dapat diserap) karena tidak terpengaruh oleh faktor penghambat. 2. Besi non-heme, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tingkat absorpsi rendah (hanya 1-2% dari kandungan besinya yang dapat diserap). Mekanisme absorpsinya sangat rumit dan belum sepenuhnya dimengerti. Absorpsi sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pemacu absorpsi (meat factors, vitamin C) dan faktor penghambat (serat, phytat, tanat). Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase: Fase Luminal: besi dalam makanan diolah oleh lambung (asam lambung menyebabkan heme terlepas dari apoproteinnya) hingga siap untuk diserap. Fase Mukosal: proses penyerapan besi di mukosa usus. Bagian usus yang berperan penting pada absorpsi besi ialah duodenum dan jejunum proksimal. Namun sebagian kecil juga terjadi di gaster, ileum dan kolon. Penyerapan besi dilakukan oleh sel absorptive yang terdapat pada puncak vili usus. Besi heme yang telah dicerna oleh asam lambung langsung diserap oleh sel absorptive, sedangkan untuk besi nonheme mekanisme yang terjadi sangat kompleks. Setidaknya terdapat 3 protein yang terlibat dalam transport besi non heme dari lumen usus ke sitoplasma sel absorptif. Luminal mucin berperan untuk mengikat besi nonheme agar tetap larut dan dapat diserap meskipun dalam suasana alkalis duodenum. Agar dapat memasuki sel, pada brush border sel terjadi perubahan besi feri menjadi fero oleh enzim feri reduktase yang diperantarai oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membrane difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT-1 atau Nramp-2). Sesampainya di sitoplasma sel usus, protein sitosol (mobilferrin) menangkap besi feri. Sebagian besar besi akan disimpan dalam bentuk feritin dalam mukosa sel usus, sebagian kecil diloloskan ke dalam kapiler usus melalui basolateral transporter (ferroportin atau IREG 1). Besi yang diloloskan akan mengalami reduksi dari molekul fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase, kemudian berikatan dengan apotransferin dalam kapiler usus.

Gambar 4: proses absorbsi besi Fase corporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel yang membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh. Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam bentuk logam bebas, melainkan berikatan dengan suatu glikoprotein (-globulin) pengikat besi yang diproduksi oleh hepar (transferin). Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas dan dapat merusak jaringan. Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang membutuhkan terutama sel progenitor eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang. Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin yang afinitasnya sangat tinggi terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke dalam sel melalui proses endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan baku pembentukan hemoglobin. Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks besi- apoferitin) dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum tulang, dan otot skelet. Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan tersimpan pada sel parenkimnya, sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama terdapat pada sel fagosit mononuklear (makrofag monosit) dan berasal dari pembongkaran eritrosit. Bila jumlah total besi melebihi kemampuan apoferitin untuk menampungnya maka besi disimpan dalam bentuk yang tidak larut (hemosiderin). Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat mudah dilepaskan dari feritin, tidak demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah yang sangat kecil terdapat dalam plasma, bila kadar ini dapat terdeteksi menunjukkan cukupnya cadangan besi dalam tubuh.

Gambar 5: distribusi besi dalam tubuh

Gejala Anemia defisiensi besi Digolongkan menjadi 3 golongan besar:

1. Gejala Umum anemia (anemic syndrome) Dijumpai bila kadar hemoglobin turun dibawah 7 gr/dl. Berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, dan mata berkunang-berkunang. Pada anemia defisiensi besi penurunan Hb terjadi secara bertahap sehingga sindrom ini tidak terlalu mencolok. 2. Gejala khas defisiensi besi, antaralain: Koilonychia (kuku seperti sendok, rapuh, bergaris-garis vertikal) Atrofi papil lidah Cheilosis (stomatitis angularis) Disfagia, terjadi akibat kerusakan epitel hipofaring sehingga terjadi pembentukan web Atrofi mukosa gaster, sehingga menyebabkan aklorhidria. Kumpulan gejala anemia hipokrom-mikrositer, disfagia, dan atrofi papil lidah, disebut Sindroma Plummer Vinson atau Paterson Kelly.

3. Gejala akibat penyakit dasar Misalnya gangguan BAB pada anemia karena Ca-colon

E. Pemeriksaan Laboratorium Kelainan laboratorium yang dapat dijumpai adalah: 1. Kadar hemoglobin dan indek eritrosit: Anemia hipokrom mikrositer (penurunan MCV dan MCH) MCHC menurun pada anemia defisiensi besi yang lebih berat dan berlangsung lama Bila pada SADT terdapat anisositosis, merupakan tanda awal terjadinya defisiensi besi Pada anemia hipokrom mikrositer yang ekstrim terdapat poikilositosis (sel cincin, sel pensil, sel target)

ANEMIA MEGALOBLASTIK) A. Definisi Anemia megaloblastik adalah anaemia yang disebabkan abnormalitas hematopoesis dengan karakteristik dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel mieloid dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA.1 B. Etilogi 1. Defisiensi asam folat a. Asupan Kurang - Gangguan Nutrisi : Alkoholisme, bayi prematur, orang tua, hemodialisis, anoreksia nervosa.1 - Malabsorbsi : Alkoholisme, celiac dan tropical sprue, gastrektomi parsial, reseksi usus halus, Crohns disease, skleroderma, obat anti konvulsan (fenitoin, fenobarbital, karbamazepin), sulfasalazine, kolestiramin, limfoma intestinal, hipotiroidisme.1 ,2 b. Peningkatan kebutuhan : Kehamilan, anemia hemolitik, keganasan, hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa, eritropoesis yang tidak efektif (anemia pernisisosa, anemia sideroblastik, leukemia, anemia hemolitik, mielofibrosis).1, 2 c. Gangguan metabolisme folat : penghambat dihidrofolat reduktase (metotreksat, pirimetamin, triamteren, pentamidin, trimetoprin), akohol, defisiensi enzim.1,2 d. Penurunan cadangan folat di hati : alkoholisme, sirosis non alkohol, hepatoma.1 e. Obat-obat yang mengganggu metabolisme DNA : antagonis purin (6 merkaptopurin, azatioprin, dll), antagonis pirimidin (5 flourourasil, sitosin arabinose, dll), prokarbazin, hidroksiurea, acyclovir, zidovudin. - Dewasa : Anemia pernisiosa, gastrektomi total/prsial, gastritis atropikan, tropikal sprue, blind loop syndrome (operasi striktur, divertikel, reseksi ileum), Crohn's disease, parasit (Diphyllobothrium latum), limfoma intestinal, skleroderma, obat-obatan (asam para amino salisilat, kolkisin, neomisin, etanol, KCl). - Anak-anak: Anemi pernisiosa, ganguan sekresi faktor intrinsik lambung, Imerslund-Grasbeck syndrome. c. Gangguan metabolisme seluler : defisiensi enzim, abnormalitas protein pembawa kobalamin (defisiensi transkobalamin II), paparan NO yang berlangsung lama