Upload
selvieinandita
View
357
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya, merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap
lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung mempunyai beberapa fungsi antara
lain sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalansi agar dapat digunakan paru-
paru, mempengaruhi reflek tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara.
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung
perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar
atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta
fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu
diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung.
1.2 Tujuan
Setelah mempelajari embriologi, anatomi, fisiologi, pemeriksaan hidung serta
dua penyakit terbanyak dari hidung diharapkan dokter muda dapat menjelaskan
mengenai mekanisme penyakit-penyakit yang tersering guna menambah pengetahuan
dokter muda sehingga mudah dalam menangani kasus yang ada.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi dan Embriologi Hidung
Pada embriologi hidung yang berasal dari neural crest cell minggu ke-4, terletak
di daerah muka tengah bagian bawah (caudal midface) dimana membentuk 2
placodes yang berkembang simetris yaitu :
- medial (septum, philtrum, dan premaxilla)
- lateral (sisi hidung)
- inferior (stomodeum)
- Nasobucalè choane pada minggu ke 10
Koane merupakan pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian belakang yang
menghubungkan dengan nasofaring.
Selama minggu keenam, lubang hidung makin bertambah dalam sehingga
karena pertumbuhan tonjolan-tonjolan hidung sekitarnya dan sebagian lagi
karena penembusan ke dalam mesenkim di sekitarnya. Pada mulanya membrana
oronasalis memisahkan lubang hidung dari rongga mulut sederhana, tetapi
setelah selaput ini pecah, bilik – bilik hidung sederhana bermuara ke dalam
rongga mulut melalui lubang – lubang yang baru terbentuk, yaitu choana
sederhana. Choanae ini terletak pada sisi kanan dan kiri garis tengah dan tepat
di belakang langit primer. Kelak dengan terbentuknya langitan sekunder dan
perkembangan bilik – bilik hidu ng sederhana selanjutnya, choanae tetap terletak
pada peralihan antara ronga hidung dan pharynx.
Sinus paranasalis berkembang sebagai divertikula dinding lateral
hidung dan meluas ke dalam tulang maxilla, ethmoidalis, frontalis dan
sphenoidalis. Sinus – sinus ini mencapai luas maksimumnya pada masa pubertas
dan dengan demikian sangat mendukung bentuk wajah yang tetap.
2
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1) Pangkal hidung (bridge),
2) Dorsum nasi,
3) Puncak hidung,
4) Ala nasi,
5) Kolumela dan
6) Lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung
(os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal,
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior
kartilago septum.
3
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina
perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os
palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.
Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah
konka. Yang terbesar dan letaknya
4
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka
media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka mediaterdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
2.2. Perdarahan Hidung
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
5
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang
disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada
anak.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
2.3. Persarafan Hidung
6
Ganglion sfenopalatinum, memberikan persarafan sensoris, dan juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Dia
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
2.4. Histologi Hidung
7
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut
lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat
pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia
yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan
tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan
pada anyaman kapiler perigalnduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari
anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang
dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya
sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan
darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan
demikian mukosa hidung menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil,
yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi
pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.
Palut lendir di dalam sinus dibersihkan oleh silia dengan gerakan
menyerupai spiral ke arah ostium. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseusostratified columnar non
ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang,
sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan.
2.5. Fisiologi Hidung
8
Fungsi hidung ialah untuk jalan
napas, alat pengatur kondisi udara
(air conditioning), penyaring udara,
sebagai indra penghidu, untuk
resonansi suara, turut membantu
proses bicara dan refleks nasal.
Silia/reseptor berdiri diatas
tonjolan mukosa yang dinamakan
vesikel olfaktorius dan masuk ke
dalam lapisan sel-sel reseptor olfaktoria. Diantara sel-sel reseptor (neuron)
terdapat banyak kelenjar Bowman penghasil mukus (mengandung air,
mukopolisakarida, antibodi, enzim, garam-garam dan protein pengikat bau (G-
protein). Sel-sel reseptor satu-satunya neuron sistem saraf pusat yang dapat
berganti secara reguler ( 4-8 mgg) (tempat transduksi). Kecepatan aliran udara
pada saat inspirasi sebesar 250 ml/sec. Inspirasi dalam menyebabkan molekul
udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius dan sensasi bau tercium.
syarat zat-zat yang dapat menyebabkan perangsangan penghidu :
- Harus mudah menguap mudah masuk ke liang hidung
- Sedikit larut dalam air mudah melalui mukus
- mudah larut dalam lemaksel-sel rambut olfaktoria dan
ujung luar sel-sel olfaktoria td dari zat lemak .
Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus
yang berada pada permukaan membran. Pada inspirasi, udara masuk melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke
bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau
arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan
9
yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara
memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke
belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan
sebelumnya.
Mengatur suhu. fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara
setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC. Fungsi hidung sebagai pengatur
kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam
alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan
mengatur suhu.
Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir
(mucous blanket).
Menyaring udara berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu
dan bakteri dandilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia,
serta palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah
enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh
lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah. Hidung juga
bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
10
dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat.
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
2.6. Sinus Paranasal
Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila
dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari
dari sinus etmoid anterior pada anak yang
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi
sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun
dan berasal dari bagian postero-superior
rongga hidung. Sinu-sinus ini umumnya
mencapai besar maksila 15-18 tahun.
2.7. Kompleks Ostio-Meatal
Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal
dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks
ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang
11
prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.
2.8. Fungsi Sinus Paranasal
Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Beberapa pendapat:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah
karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus
dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi
dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu (termal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
c. Membantu keseimbangan kepala
Bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak
bermakna.
d. Membantu resonansi suara
Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak
12
ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan
tingkat rendah.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mukus
Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung,
namun efektif untuk membersihkan partikel..
2.9 Pemeriksaan hidung dan Sinus Paranasal
Ada 8 cara yang dapat kita lakukan untuk memeriksa keadaan hidung dan
sinus paranasalis, yaitu :Pemeriksaan dari luar : inspeksi, palpasi, & perkusi.
o Rinoskopia anterior.
o Rinoskopia posterior.
o Transiluminasi (diaphanoscopia).
o X-photo rontgen.
o Pungsi percobaan.
o Biopsi.
Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin, bakteriologi, serologi, &
sitologi.
2.9.1. Pemeriksaan Hidung & Sinus Paranasalis dari Luar
13
Ada 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan inspeksi
hidung & sinus paranasalis, yaitu :
o Kerangka dorsum nasi (batang hidung).
o Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial.
o Bibir atas.
Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita
temukan pada inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu :
- Lorgnet pada abses septum nasi.
- Saddle nose pada lues.
- Miring pada fraktur.
- Lebar pada polip nasi.
- Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem
di tempat tersebut.
Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat melakukan
inspeksi hidung & sinus paranalis. Maserasi disebabkan oleh sekresi yang
berasal dari sinusitis dan adenoiditis. Ada 4 struktur yang penting kita
perhatikan saat melakukan palpasi hidung & sinus paranasalis, yaitu :
- Dorsum nasi (batang hidung).
- Ala nasi.
- Regio frontalis sinus frontalis.
- Fossa kanina.
- Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung)
dapat kita temukan pada palpasi hidung. Deformitas
dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os nasalis.
14
Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda
ini dapat kita temukan pada furunkel vestibulum nasi. Ada 2 cara kita melakukan
palpasi pada regio frontalis sinus frontalis, yaitu : Kita menekan lantai sinus frontalis
ke arah mediosuperior dengan tenaga optimal dan simetris (besar tekanan sama antara
sinus frontalis kiri dan kanan). Palpasi kita bernilai bila kedua sinus frontalis tersebut
memiliki reaksi yang berbeda. Sinus frontalis yang lebih sakit berarti sinus tersebut
patologis. Kita menekan dinding anterior sinus frontalis ke arah medial dengan tenaga
optimal dan simetris. Hindari menekan foramen supraorbitalis. Foramen
supraorbitalis mengandung nervus supraorbitalis sehingga juga menimbulkan reaksi
sakit pada penekanan. Penilaiannya sama dengan cara pertama diatas. Palpasi fossa
kanina kita peruntukkan buat interpretasi keadaan sinus maksilaris. Syarat dan
penilaiannya sama seperti palpasi regio frontalis sinus frontalis. Hindari menekan
foramen infraorbitalis karena terdapat nervus infraorbitalis.
Perkusi pada regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita lakukan
apabila palpasi pada keduanya menimbulkan reaksi hebat. Syarat-syarat perkusi sama
dengan syarat-syarat palpasi.
2.9.2 Rinoskopia Anterior
Ada 5 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior, yaitu :
- Cermin rinoskopi posterior.
- Pipa penghisap.
- Aplikator.
- Pinset (angulair) dan bayonet (lucae).
- Spekulum hidung Hartmann.
- Spekulum hidung Hartmann bentuknya unik.
15
Cara kita memakainya juga unik meliputi cara memegang, memasukkan dan
mengeluarkan.
Cara kita memegang spekulum hidung Hartmann sebaiknya menggunakan
tangan kiri dalam posisi horisontal. Tangkainya yang kita pegang berada di lateral
sedangkan mulutnya di medial. Mulut spekulum inilah yang kita masukkan ke dalam
kavum nasi (lubang hidung) pasien.
Cara kita memasukkan spekulum hidung Hartmann yaitu mulutnya yang
tertutup kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Setelah itu kita
membukanya pelan-pelan di dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.
Cara kita mengeluarkan spekulum hidung Hartmann yaitu masih dalam
kavum nasi (lubang hidung), kita menutup mulut spekulum kira-kira 90%. Jangan
menutup mulut spekulum 100% karena bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut
keluar.
Ada 5 tahapan pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang akan kita
lakukan, yaitu :
- Pemeriksaan vestibulum nasi.
- Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah.
- Fenomena palatum mole.
- Pemeriksaan kavum nasi bagian atas.
- Pemeriksaan septum nasi.
- Pemeriksaan Vestibulum Nasi pada Rinoskopia Anterior
Sebelum menggunakan spekulum hidung pada pemeriksaan vestibulum
nasi, kita melakukan pemeriksaan pendahuluan lebih dahulu. Ada 3 hal yang penting
kita perhatikan pada pemeriksaan pendahuluan ini, yaitu :
- Posisi septum nasi.
- Pinggir lubang hidung. Ada-tidaknya krusta dan adanya warna merah.
- Bibir atas. Adanya maserasi terutama pada anak-anak.
- Cara kita memeriksa posisi septum nasi adalah mendorong ujung hidung pasien
dengan menggunakan ibu jari.
16
Spekulum hidung kita gunakan pada pemeriksaan vestibulum nasi berguna
untuk melihat keadaan sisi medial, lateral, superior dan inferior vestibulum nasi. Sisi
medial vestibulum nasi dapat kita periksa dengan cara mendorong spekulum ke arah
medial. Untuk melihat sisi lateral vestibulum nasi, kita mendorong spekulum ke arah
lateral. Sisi superior vestibulum nasi dapat terlihat lebih baik setelah kita mendorong
spekulum ke arah superior. Kita mendorong spekulum ke arah inferior untuk melihat
lebih jelas sisi inferior vestibulum nasi.
Saat melakukan pemeriksaan vestibulum nasi menggunakan spekulum
hidung, kita perhatikan ada tidaknya sekret, krusta, bisul-bisul, atau raghaden.
Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah pada rinoskopia anterior. Cara kita
memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian bawah yaitu dengan mengarahkan
cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) yang searah dengan
konka nasi media.
Ada 4 hal yang perlu kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi (lubang
hidung) bagian bawah, yaitu :
Warna mukosa dan konka nasi inferior.
Besar lumen lubang hidung.
Lantai lubang hidung.
Deviasi septi yang berbentuk krista dan spina.
Fenomena Palatum Mole Pada Rinoskopia Anterior
Cara kita memeriksa ada tidaknya fenomena palatum mole yaitu dengan
mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam dinding belakang nasofaring secara
tegak lurus. Normalnya kita akan melihat cahaya lampu yang terang benderang.
Kemudian pasien kita minta untuk mengucapkan “iii”.
17
Selain perubahan dinding belakang nasofaring menjadi lebih gelap akibat
gerakan palatum mole, bayangan gelap dapat juga disebabkan cahaya lampu kepala
tidak tegak lurus masuk ke dalam dinding belakang nasofaring.
Setelah pasien mengucapkan “iii”, palatum mole akan kembali bergerak ke
bawah sehingga benda gelap akan menghilang dan dinding belakang nasofaring akan
terang kembali.
Fenomena palatum mole positif bilamana palatum mole bergerak saat pasien
mengucapkan “iii” dimana akan tampak adanya benda gelap yang bergerak ke atas
dan dinding belakang nasofaring berubah menjadi lebih gelap. Sebaliknya, fenomena
palatum mole negatif apabila palatum mole tidak bergerak sehingga tidak tampak
adanya benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang nasofaring tetap
terang benderang.
Fenomena palatum mole negatif dapat kita temukan pada 4 kelainan, yaitu:
Paralisis palatum mole pada post difteri.
Spasme palatum mole pada abses peritonsil.
hipertrofi adenoid
Tumor nasofaring : karsinoma nasofaring, abses
retrofaring, dan adenoid.
Pemeriksaan Kavum Nasi Bagian Atas pada Rinoskopia
Anterior
Cara kita memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian atas yaitu dengan
mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) bagian atas
pasien.
Ada 4 hal yang penting kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi
(lubang hidung) bagian atas, yaitu :
Kaput konka nasi media.
Meatus nasi medius : pus dan polip.
Septum nasi bagian atas : mukosa dan deviasi septi.
Fissura olfaktorius.
18
Deviasi septi pada septum nasi bagian atas bisa kita
temukan sampai menekan konka nasi media pasien.
Pemeriksaan Septum Nasi pada Rinoskopia Anterior
Kita dapat menemukan septum nadi berbentuk krista, spina dan huruf S.
2.9.3 Rinoskopia Posterior
Prinsip kita dalam melakukan rinoskopia posterior adalah menyinari koane
dan dinding nasofaring dengan cahaya yang dipantulkan oleh cermin yang kita
tempatkan dalam nasofaring.
Syarat-syarat melakukan rinoskopia posterior, yaitu :
Penempatan cermin. Harus ada ruangan yang cukup luas dalam nasofaring
untuk menempatkan cermin yang kita masukkan melalui mulut pasien. Lidah pasien
tetap berada dalam mulutnya. Kita juga menekan lidah pasien ke bawah dengan
bantuan spatula (spatel). Penempatan cahaya harus ada jarak yang cukup lebar antara
uvula dan faring milik pasien sehingga cahaya lampu yang terpantul melalui cermin
dapat masuk dan menerangi nasofaring.
Cara bernapas. Hendaknya pasien tetap bernapas melalui hidung.
Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :
Cermin kecil.
Spatula.
Lampu spritus.
Solusio tetrakain (- efedrin 1%).
Teknik-teknik yang kita gunakan pada rinoskopia posterior,
yaitu :
Cermin kecil kita pegang dengan tangan kanan. Sebelum memasukkan dan
menempatkannya ke dalam nasofaring pasien, kita terlebih dahulu memanaskan
punggung cermin pada lampu spritus yang telah kita nyalakan.
Minta pasien membuka mulutnya lebar-lebar. Lidahnya ditarik ke dalam mulut,
19
jangan digerakkan dan dikeraskan. Bernapas melalui hidung.
Spatula kita pegang dengan tangan kiri. Ujung spatula kita tempatkan pada punggung
lidah pasien di depan uvula. Punggung lidah kita tekan ke bawah di paramedian
kanan lidah sehingga terbuka ruangan yang cukup luas untuk menempatkan cermin
kecil dalam nasofaring pasien. Masukkan cermin kedalam faring dan kita tempatkan
antara faring dan palatum mole kanan pasien. Cermin lalu kita sinari dengan
menggunakan cahaya lampu kepala.
Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita masukkan spatula, kita berikan lebih
dahulu tetrakain 1% 3-4 kali dan tunggu ± 5 menit.
Ada 4 tahap pemeriksaan yang akan kita lalui saat melakukan rinoskopia posterior,
yaitu :
Tahap 1 : Pemeriksaan Tuba Kanan. Posisi awal cermin berada di
paramedian yang akan memperlihatkan kepada kita keadaan kauda konka nasi media
kanan pasien. Tangkai cermin kita putar kemudian ke medial dan akan tampak margo
posterior septum nasi. Selanjutnya tangkai cermin kita putar ke kanan, berturut-turut
akan tampak konka nasi terutama kauda konka nasi inferior (terbesar), kauda konka
nasi superior, meatus nasi medius, ostium dan dinding tuba.
Tahap 2 : Pemeriksaan Tuba Kiri. Tangkai cermin kita putar ke medial, akan
tampak kembali margo posterior septum nasi pasien. Tangkai cermin terus kita putar
ke kiri, akan tampak kauda konka nasi media kanan dan tuba kanan.
Tahap 3 : Pemeriksaan Atap Nasofaring. Kembali kita putar tangkai cermin
ke medial. Tampak kembali margo posterior septum nasi pasien. Setelah itu kita
memeriksa atap nasofaring dengan cara memasukkan tangkai cermin sedikit lebih
dalam atau cermin agak lebih kita rendahkan.
Tahap 4 : Pemeriksaan Kauda Konka Nasi Inferior. Kita memeriksa kauda
konka nasi inferior dengan cara cermin sedikit ditinggikan atau tangkai cermin sedikit
direndahkan. Kauda konka nasi inferior biasanya tidak kelihatan kecuali mengalami
hipertrofi yang akan tampak seperti murbei (berdungkul-dungkul).
Ada 2 kelainan yang penting kita perhatikan pada rinoskopia posterior, yaitu :
20
Peradangan. Misalnya pus pada meatus nasi medius & meatus nasi
superior, adenoiditis, dan ulkus pada dinding nasofaring (tanda
TBC).
Tumor. Misalnya poliposis dan karsinoma.
Ada 3 sumber masalah pada rinoskopia posterior, yaitu :
- Pihak pemeriksa : tekanan, posisi, dan fiksasi spatula.
- Pihak pasien : cara bernapas dan refleks muntah.
- Alat-alat : bahan spatula dan suhu & posisi cermin.
Tekanan spatula yang kita berikan terhadap punggung lidah pasien haruslah
seoptimal mungkin. Tekanan yang terlalu kuat akan menimbulkan sensasi nyeri pada
diri pasien. Sebaliknya tekanan yang terlalu lemah menyebabkan faring tidak terlihat
jelas oleh pemeriksa.
Posisi spatula hendaknya kita pertahankan pada tempat semula. Gerakan
kepala pasien berpotensi menggeser posisi spatula. Posisi spatula yang terlalu jauh ke
pangkal lidah apalagi sampai menyentuh dinding faring dapat menimbulkan refleks
muntah.
Cara fiksasi spatula memiliki keunikan tersendiri. Ibu jari pemeriksa berada
dibawah spatula. Jari II dan III berada diatas spatula. Jari IV kita tempatkan diatas
dagu sedangkan jari V dibawah dagu pasien.
Kesulitan yang menjadi tantangan buat kita dari pemeriksaan rinoskopia
posterior ini terletak pada koordinasi yang kita jaga antara tangan kanan yang
memegang cermin kecil, tangan kiri yang memegang spatula, kepala dan posisi
cahaya dari lampu kepala yang akan menyinari cermin dalam faring, dan kejelian
mata kita melihat bayangan pada cermin kecil dalam faring.
Cara bernapas yang tidak seperti biasa menjadi kendala tersendiri bagi
pasien. Mereka harus bernapas melalui hidung dengan posisi mulut yang terbuka.
Ada beberapa pasien yang memiliki refleks yang kuat terhadap perlakuan yang kita
buat. Kita bisa memberikannya tetrakain dan efedrin untuk mencegahnya.
21
Bahan spatula yang terbuat dari logam dapat menimbulkan refleks pada
beberapa pasien karena rasa logam yang agak mengganggu di lidah.
Suhu cermin jangan terlalu panas dan terlalu dingin. Cermin yang terlalu
panas menimbulkan rasa nyeri sedangkan cermin yang terlalu dingin menimbulkan
kekaburan pada cermin yang mengganggu penglihatan kita.
Posisi cermin jangan terlalu jauh masuk ke dalam apalagi sampai
menyentuh faring pasien. Refleks muntah dapat timbul akibat kecerobohan kita ini.
2.9.4. Transiluminasi (Diaphanoscopia).
Syarat melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) adalah
adanya ruangan yang gelap. Alat yang kita gunakan berupa lampu listrik bertegangan
6 volt dan bertangkai panjang (Heyman).
Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) kita gunakan untuk
mengamati sinus frontalis dan sinus maksilaris. Cara pemeriksaan kedua sinus
tersebut tentu saja berbeda.
Cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus frontalis
yaitu kita menyinari dan menekan lantai sinus frontalis ke mediosuperior. Cahaya
yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus frontalis
normal bilamana dinding depan sinus frontalis tampak terang.
Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada
sinus maksilaris, yaitu :
Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada
margo inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup
dengan tangan kiri. Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum durum
homolateral berwarna terang.
Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah
diselubungi dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien kemudian
kita tutup. Cahaya yang memancar dari mulut dan bibir atas pasien, kita tutup
22
dengan tangan kiri. Hasilnya dinding depan dibawah orbita tampak bayangan terang
berbentuk bulan sabit.
Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan adanya
perbedaan sinus kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak terang, menandakan
keduanya normal. Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa menandakan adanya
cairan karena tipisnya tulang mereka. Jika kedua sinus tampak gelap, menandakan
keduanya normal. Khusus pasien pria, kedua sinus yang gelap bisa akibat pengaruh
tebalnya tulang mereka.
2.9.5. X-Photo Rontgen
Untuk melihat sinus maksilaris, kita usulkan memakai posisi Water pada X-
photo rontgen. Hasil foto X dengan sinus gelap menunjukkan patologis. Perhatikan
batas sinus atau tulang, apakah masih utuh ataukah tidak.
2.9.6. Pungsi Percobaan
Pungsi percobaan hanya untuk pemeriksaan sinus maksilaris dengan
menggunakan troicart. Kita melakukannya melalui meatus nasi inferior. Hasilnya
jika keluar nanah atau sekret mukoid maka kita melanjutkannya dengan tindakan
irigasi sinus maksilaris.
2.9.7. Biopsi
Jaringan biopsi kita ambil dari sinus maksilaris melalui lubang pungsi di
meatus nasi inferior atau menggunakan Caldwell-Luc.
2.9.8. Sinoskopi
Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop
dimasukkan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fosa krania.
Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip,
jaringan granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah
ostiumnya terbuka.
23
2.10 PENYAKIT TERBANYAK
2.10.1. RINITIS ALERGI
A. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh Ig E.
B. Epidemiologi
Penyakit ini merupakan masalah kesehatan global yang menyerang
kira-kira 10-50% penduduk dunia, yang dapat mengganggu kualitas hidup,
kualitas pendidikan di sekolah dan produktvitas kerja. (atopi). RA merupakan
penyakit umum dan sering dijumpai. Prevalensi penyakit RA pada beberapa
Negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah penduduk dan di Amerika,
merupakan 1 diantara deretan atas penyakit umum yang sering dijumpai.
Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya mulai
menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria
dengan kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi
genetik kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi, akan memberi
kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua
menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya.
24
C. Patofisiologi Rinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kom-plek peptida
MHC kelas II (Major Histo-compatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan ThO untuk
berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya
di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga ke dua sei ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecah-nya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama his-tamin. Selain
25
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin
D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,
GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menim-bulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3,
IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbul-nya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
26
D. Gambaran histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular
bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang inter-seluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung.
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus
menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya
tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis), kecoa,
serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda
grass ) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepting dan kacang-
kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan iebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang
memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi.
27
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang
secara garis besar terdiri dari :
1. Respons primer :
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons
sekunder.
2. Respons sekunder :
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan
ialah sistem imunitas selular atau humoral atau kedua-nya di bangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih
ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respons tertier.
3. Respons tertier:
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh.
Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergan-tung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu
1. tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersentitivity),
2. tipe 2, atau reaksi sitotoksik/sitolitik,
3. tipe 3, atau reaksi kompleks imun dan
4. tipe 4, atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang
THT adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.
28
E. Klasifikasi Rinitis Alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever,polinosis).
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat
ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak
ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang
paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan
alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah
(indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering
merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala
alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan
golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya
lebih sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi
dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari , 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.
29
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
F. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering-kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,
terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar
debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-
kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali
gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena
30
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic
shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,
karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai
allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan
lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi-geligi (fades adenoid). Dinding posterior faring tampak
granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding Jateral faring
menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
G. Pemeriksaan penunjang :
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula peme-riksaan IgE total (prist-paper radio immuno-sorbent
test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada
pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya se-!ain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE
spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbent /Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, .walaupun
tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
31
pelengkap. Ditemukannya eosinofil daiam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin disebabkan
alergi makanan, sedang-kan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya
infeksi bakteri.
In vivo :
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal~atau berseri .Skin End-
point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan aiergen dalam berbagai konsentrasi yang ver-tingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain aiergen penyebab juga derajat alergi
serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-skhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus ^rovocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun
sebagai baku emas dapat dilakukan dengan ;iet eliminasi dan provokasi
("Challenge Test").
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari.
Karena itu pada "Challenge Test", makanan yang dicurigai; berikan pada
pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada
diet eliminasi, jenis makanan setiap kali : hilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.
32
H. Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
aiergen pe-nyebabnya (avoidance) dan eliminasi
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini
pertama pengobatan rinitis alergi, Pem-berian dapat dalam kombinasi
atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan. yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Anti-
histamin generasi-1 bersifat lipofilik, se-hingga dapat menembus sawar
darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai
efek kolinergik. Yang ter-masuk kelompok ini antara lain adalah
difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang
dapat di-berikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin generasi-2
bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat
selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek anti-
kolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif).
Antihistamin di-absorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif
untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin,
gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada
fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan
menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan
terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap
jantung tersebut disebabkan repolarisasi jan-tung yang tertunda dan dapat
menye-babkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian
mendadak (sudah diterik dari peredaran). Kelompok kedua adalah
loratadin, setirisin, fexofenadin, deslora tadin dan levosetirisin.
33
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh
untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan
hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat
lain.Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mo-metason furoat dan triamsinolon).
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini me-
nyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan
alergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium
kromoglikat topikal bekerja men-stabilkan mastosit (mungkin
menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat.
Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi
dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil
terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,
bermanfaat untuk me-ngatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor.
Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast / montelukast), anti IgE, DMA rekombinan.
34
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka
inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty
perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNOS 25% atau triklor
asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada, inhalan dengan gejala yang
berat sudah berlangsung lama serta pengobatan cara lain tidak memberi
hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan
IgG blc: antibody dan penurunan IgE. Ada 2 imunoterapi yang umum
dilakukan intradermal dan sublingual.
I. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif utama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
35
36
2.10.2 SINUSITIS
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal,
dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan
bila mengenai semua sinus paranasal disebut pan sinusitis.
a. Etiologi
(1) Rinitis akut
(2) Infeksi faring, seperti faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut
(3) Infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3, serta P1 dan P2 (dentogen)
(4) Berenang dan menyelam
(5) Trauma dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal
(6) Barotrauma dapat menyebabkan nekrosis mukosa.
b. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran
klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu
mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi
sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak
dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan
tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi
atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya
cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh
tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini
akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret
akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang
37
membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa
berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang.
Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid
atau pembentukan polip dan kista.
c. Faktor Predisposisi
Deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta
tumor di dalam rongga hidung merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis.
Selain itu rinitis kronis serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus
serta menghasilkan lendir yang banyak, yang merupakan media untuk tumbuhnya
bakteri. Sebagai faktor predisposisi lain ialah lingkungan berpolusi, udara dingin serta
kering, yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia.
d. Gejala Subyektif
Gejala sistemik ialah demam dan rasa lesu. Lokal pada hidung terdapat ingus
kental yang kadang – kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan
hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah sinus yang terkena, serta kadang – kadang
dirasakan juga ditempat lain karena nyeri alih (referred pain).
Pada sinusitis maksila nyeri dibawah kelopak mata dan kadang – kadang
menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan
didepan telinga.
Rasa nyeri pada sinusitis ethmoid di pangkal hidung dan kantus medius.
Kadang – kadang dirasakan nyeri di bola mata atau dibelakangnya, dan nyeri akan
bertambah bila mata digerakkan. Nyeri alih dirasakan di pelipis (parietal). Pada
sinusitis frontal rasa nyeri terlokalisasi di dahi atau dirasakan nyeri diseluruh kepala.
Rasa nyeri pada sinusitis sfenoid di verteks, oksipital, dibelakang bola mata dan
didaerah mastoid.
38
e. Gejala Obyektif
Pembengkakan pada sinusitis maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah,
pada sinusitis frontal di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang
timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi. Pada rinoskopi anterior tampak
mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan
sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan
pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari
meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal
drip).
f. Diagnosis
Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:
1. Kriteria Mayor :
- Sekret nasal yang purulen
- Drenase faring yang purulen
- Purulent Post Nasaldrip
- Batuk
- Foto rontgen (Water’sradiograph atau air fluid level) : Penebalan lebih
50% dari antrum
- Coronal CT Scan : Penebalan atau opaksifikasi dari mukosa sinus
2. Kriteria Minor :
- Sakit kepala - Edem periorbital
- Nyeri di wajah - Sakit gigi
- Nyeri telinga Sakit tenggorok - Nafas berbau
- Bersin-bersin bertambah sering - Demam
- Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil dan bakteri
- Ultrasound
39
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika :
Gejala dan tanda : 2 mayor, 1 minor dan ≥ 2 kriteria minor
g. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga
tampak lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal. Pemeriksaan radiologik
yang dibuat adalah posisi Waters, PA dan lateral. Posisi Waters terutama untuk
melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi posterior
anterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal,
sphenoid dan etmoid.
Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal
adalah pemeriksaan CT-scan.
h. Pemeriksaan Mikrobiologi
Sebaiknya untuk pemeriksaan mikrobiologik diambil sekret dari meatus
medius atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam – macam bakteri yang
merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti Pneumococcus,
Streptococcus, Stphylococcus dan Haemophylus influeanzae. Selain itu mungkin juga
ditemukan virus atau jamur.
i. Terapi
Medikamentosa berupa antibiotika selama 10 – 14 hari, meskipun gejala
klinik telah hilang. Antibiotika yang diberikan adalah golongan penisilin. Diberikan
juga obat dekongestan lokal berupa tetes hidung, untuk memperlancar drainase sinus.
Boleh diberikan analgetika untuk menghilangkan rasa nyeri. Terapi pembedahan pada
sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau
intrakranial; atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
40
j. Komplikasi Sinusitis
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat
infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus
rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
1. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,
namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada
anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis
sering kali merekah pada kelompok umur ini.
Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi
isi orbita namun pus belum terbentuk.
Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang
tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga
proptosis yang makin bertambah.
Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.
41
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a. Oftalmoplegia.
b. Kemosis konjungtiva.
c. Gangguan penglihatan yang berat.
Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan
dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut
sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis kista ini dapat membesar
dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat
bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat
menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan
diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
3. Komplikasi Intra Kranial
42
Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah
meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang
saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding
posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel
udara ethmoidalis.
Abses dural adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi
komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara
bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran
infeksi.
4. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis
adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala
sistemik berupa malaise, demam dan menggigil
DAFTAR PUSTAKA
43
1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3
2. Ghorayeb B. Sinusitis. Dalam Otolaryngology Houston. Diakses dari
www.ghorayeb.com/AnatomiSinuses.html
3. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku
Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI,
Jakarta 2002, 115 – 119.
4. Wikipedia. Sinusitis. Diakses dari www.wikipedia.org/wiki/sinusitis
5. Adam,Boies, Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta,1997
6. Guyton,AC, Hall,JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997, editor: irawati
setiawan, ed. 9, 1997, Jakarta: EGC
7. Spanner, Spalteholz, Atlas Anatomi Manusia, Bagian ke II, edisi 16, Hipokrates,
Jakarta,1994.
8. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher edisi 5, FK UI, 2006.
44