94
i ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska ) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Fanny Fadlina NIM. E0006124 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

i

ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN

PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor:

14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/

PN.Ska )

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh

Fanny Fadlina

NIM. E0006124

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2010

Page 2: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN

BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska

dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska )

Oleh

Fanny Fadlina

NIM. E0006124

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Januari 2010

Dosen Pembimbing

HARJONO, S.H., M.H.

NIP. 196101041986011001

Page 3: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum Skripisi

ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN

BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska

dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska )

Oleh

Fanny Fadlina

NIM. E0006124

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan

Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada:

Hari : Selasa

Tanggal : 19 Januari 2010

DEWAN PENGUJI

1. Soehartono, S.H., M.Hum : ..........................................................

Ketua

2. Syafrudin Yudowibowo, S.H.: ..........................................................

Sekretaris

3. Harjono, S.H., M.H : ..........................................................

Anggota

Mengetahui

Dekan,

Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum

NIP. 19610930 198601 1 001

Page 4: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

iv

PERNYATAAN

Nama : Fanny Fadlina

NIM : E0006124

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:

ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN

BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska

dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska ) adalah betul-betul karya

sendiri. Hal-hal yang bukan karya sya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi

tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari

terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi

akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya

peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Januari 2010

Yang membuat pernyataan

Fanny Fadlina

NIM. E0006124

Page 5: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

v

ABSTRAK

FANNY FADLINA, E.0006124. 2010. ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pengajuan dan pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama, dasar pertimbangan hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis data primer dan jenis data sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara, yaitu dengan mengadakan wawancara langsung dengan Hakim dan Panitera Pengadilan Negeri Surakarta dan menggunakan metode studi pustaka yaitu dengan cara mengumpulkan bahan yang berupa buku-buku, peraturan perundangundangan, dan bahan pustaka lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Analisis data yang digunakan merupakan analisis data kualitatif, yaitu apa yang dilakukan oleh responden secara tetulis atau lisan, dan perilaku yang nyata dan diteliti yang dipelajari sebagai suatu yang nyata dan utuh.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa proses pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama sama dengan prosedur pengajuan gugatan biasa, sedangkan mengenai proses pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama bersifat sepihak karena hanya menyangkut kepentingan Pemohon. Kemudian terdapat beberapa dasar yang digunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan penetapan perkawinan beda agama, dimana alasan mengabulkan permohonan tersebut antara lain adalah untuk menghindarkan dan mencegah perilaku asusila dalam masyarakat (kumpul Kebo atau hamil di luar nikah), kemudian didasarkan pula pada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945, Pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 6 ayat (2) Stbl 1898 No. 158 dan Pasal 10 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975. Sedangkan alasan menolak permohonan perkawinan beda agama tersebut adalah Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan perkawinan yang sah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan. Penetapan perkawinan beda agama yang diberikan oleh hakim bersifat mengikat bagi kedua belah pihak yang mengajukan permohonan penetapan perkawinan beda agama, dan mempunyai kekuatan pembuktian.

Kata kunci: perkawinan beda agama, permohonan, pertimbangan hakim,

penetapan.

Page 6: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

vi

ABSTRACT

FANNY FADLINA, E.0006124. 2010. A Juridical analysis on the plea of different religions-marriage (A Case Study on the Provision Number: 14/Pdt.P/2008/PN. Ska and the Decision Number: 01/ Pdt.P/ 2009/PN.Ska). Law Faculty of Sebelas Maret University.

This research aims to find out the procedure of application and examination of different religions-marriage plea as well as the legal power of the different religion-marriage decision.

This study belongs to an empirical law research. The data type employed was primary and secondary data. Techniques of collecting data used were interview method, that was, to conduct direct interview with the Judge and the Registrars of the Surakarta First Instance Court, and literary study method by collecting the materials in the form of books, legislation, and other literatures relevant to the problem studied. The data analysis was done using a qualitative data analysis in which what the respondents do in written or orally, and their real behavior were explored and studied as a real and intact unit.

Based on the result of research it can be concluded that the application process of application of different religion-plea is similar to the common accusation filing, while the process of examination of different religion-plea is unilateral in nature because it concerns the Requester’s interest. Then, there are several rationales the Judge uses in sentencing the decision of different religion-marriage, in which the reasons of request granting are among others: to avoid the amoral behavior within the society (live together out of matrimony or unmarried pregnant), and based on the Article 29 clause (2) of 1945 Constitution, Article 28B clause (1) of Second Amendment of 1945 Constitution, Article 8 of Act number 1 of 1974, Article 6 clause (2) Stbl 1898 No. 158 and Article 10 clause (3) PP No.9 of 1975. Meanwhile the rationale of rejecting the different religion-marriage plea is Article 1 Clause (1) Act No.1 of 1974 about the Marriage stating that the legal marriage is done based on the religion and belief law. The decision of different religion marriage given by the judge is bonding for both parties applying the different religion-marriage plea, and has the verification power.

Keywords: different religion-marriage, plea, judge deliberation, decision.

Page 7: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat

rahmat dan karuniaNya semata sehingga penulisan hukum (skripsi) dengan judul

”Analisis Yuridis Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama (Studi

Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/

Pdt.P/ 2009/ PN.Ska)” dapat Penulis selesaikan.

Penulisan hukum ini membahas tentang prosedur pengajuan dan

pemeriksaan permohonan penetapan perkawinana beda agama, kemudian dasar

pertimbangan hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan

perkawinan beda agama, serta kekuatan hukum penetapan perkawinan beda

agama tersebut.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena

itu segala kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan

guna memperbaiki dan memperkaya ilmu yang penulis miliki.

Dalam menyelesaikan penulisan hukum ini Penulis telah mendapat

bantuan yang sangat besar dari berbagai pihak, yang dengan tulus telah membantu

penulisan yang dimulai dari pengarahan skripsi hingga terwujudnya skripsi. Maka

dengan segala kerendahan hati dan pada kesempatan ini Penulis ingin

mengucapkan terima kasih, terutama kepada :

1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan

kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Harjono, S.H., M.H., selaku Pembimbing penulisan hukum ini yang

telah menyediakan waktu dan pemikirannya untuk memberikan bimbingan

dan arahan dalam penyusunan penulisan hukum ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum

Page 8: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

viii

khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan

hukum ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam kehidupan penulis.

5. Keluargaku tercinta terimakasih atas doa, semangat, pengorbanan dan semua

hal terbaik yang senantiasa diberikan kepada Penulis.

6. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan hukum ini

yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

Demikian, semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi

kita semua, terutama bagi Penulis, kalangan akademi, praktisi serta masyarakat

umum.

Surakarta, Januari 2010

Penulis

Page 9: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................iii

HALAMAN PERNYATAAN................................................................................iv

ABSTRAK ..............................................................................................................v

KATA PENGANTAR............................................................................................vi

DAFTAR ISI.........................................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................3

C. Tujuan Penelitian........................................................................................ 3

D. Manfaat Penelitian.......................................................................................4

E. Metode Penelitian........................................................................................5

F. Sistematika Penulisan Hukum.....................................................................9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori...........................................................................................11

1. Tinjauan tentang Hukum Acara Perdata ............................................11

2. Proses Pemeriksaan Perkara Perdata...................................................15

3. Pengertian Perkawinan........................................................................20

4. Perkawinan Beda Agama....................................................................25

5. Tujuan Perkawinan..............................................................................30

6. Asas dan Prinsip Perkawinan .............................................................32

7. Syarat Sahnya Perkawinan..................................................................32

8. Syarat-syarat Perkawinan....................................................................35

9. Tatacara Perkawinan...........................................................................36

10. Pemberitahuan dan Pencatatan Perkawinan........................................38

11. Larangan Perkawinan..........................................................................41

Page 10: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

x

12. Akta Perkawinan.................................................................................44

B. Kerangka Pemikiran...................................................................................46

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian .........................................................................................50

B. Pembahasan................................................................................................66

1. Prosedur Pengajuan dan Pemeriksaan Permohonan Penetapan

Perkawinan Beda Agama....................................................................66

a. Prosedur Pengajuan Permohonan Penetapan

Perkawinan Beda Agama...............................................................66

b. Prosedur Pemeriksaan Permohonan Penetapan

Perkawinan Beda Agama...............................................................69

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan atau

Menolak Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama..............70

a. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan

Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama.........................70

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menolak

Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama........................72

3. Kekuatan Hukum Penetapan Perkawinan beda Agama.....................77

a. Kekuatan Mengikat.......................................................................77

b. Kekuatan Pembuktian...................................................................78

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ...................................................................................................79

B. Saran .........................................................................................................82

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................83

Page 11: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting

dalam kehidupan manusia dan dalam kehidupan bermasyarakat, yang merupakan

sebuah usaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mengaktualisasi dirinya dalam

sebuah ikatan yang sah antara seorang pria dan seorang wanita. Dengan hidup

bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi utama bagi

pembentukan negara dan bangsa.

Mengingat pentingnya peranan hidup bersama, maka pengaturan mengenai

perkawinan juga diatur di dalam hukum, agama, adat, tradisi dan juga institusi

negara yang tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan

masyarakatnya. “Aturan tata tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat

sederhana yang dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka

masyarakat adat dan atau para pemuka agama” (Hilman Hadi Kusuma, 2003: 1).

Di sini, negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara seorang pria

dan wanita.

Indonesia merupakan salah satu negara multikultur dan multiagama

dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku, ras dan agama. Dalam

kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara

kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda yang kemudian berlanjut pada

hubungan perkawinan. Sehingga perkawinan yang terjadi di masyarakat pun tidak

selamanya seragam.

Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi

semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, banyak masalah yang

terjadinya mengenai perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan

bermasyarakat. Sebagai contoh adalah perkawinan campuran, perkawinan sejenis,

kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan

(agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda-

agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama

Page 12: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xii

perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-agama. Hal ini

disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama.

Namun kasus mengenai perkawinan beda agama ini menjadi halangan tersendiri,

karena perkawinan beda agama dipersulit secara hukum. Padahal, dengan semakin

berkembangnya zaman, sudah sulit untuk mencari pasangan yang seragam dengan

kita. Memiliki pasangan yang seragam pun tidak menjamin suksesnya pernikahan.

Hukum perkawinan di Indonesia mempersulit terjadinya perkawinan yang

dilakukan antara pihak yang berlainan agama, bukan memfasilitasi warga

negaranya yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama. Menurut Pasal 2

ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa

pernikahan sah jika dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan

dicatatkan, sementara hukum tiap agama berbeda-beda. Jika demikian, proses

pencatatannya pun menjadi masalah baru lagi. Selain permasalahan yang

berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan atau

agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan beda agama

seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari. Misalnya saja,

pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta

ataupun masalah warisan. Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti

berkembangnya gaya hidup kumpul kebo atau hidup tanpa pasangan yang

terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda-agama. Dengan

uraian di atas sudah jelas bahwa masalah perkawinan beda agama di tengah-

tengah masyarakat menimbulkan pro-kontra pendapat. Sehingga dewasa ini

terjadi beberapa kasus perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dengan adanya

suatu penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri terlebih dahulu, sesuai

dengan Pasal 35 Undang-undang Np. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan juncto Pasal 21 Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Seperti yang

tercatat dalam Pengadilan Negeri Surakarta yang selama ini telah banyak

menerima pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama. Dimana

dalam pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut,

terdapat beberapa permohonan yang ditolak namun cukup banyak pula yang

dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Surakarta.

Page 13: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xiii

Menurut hukum agama yang ada di Indonesia, perkawinan yang

dilaksanakan oleh pihak yang berlainan agama itu dilarang. Sehingga

menimbulkan fenomena hukum yang menarik untuk dikaji bersama di masa

modern dan kontemporer ini, yaitu terjadinya kontroversi yang cukup fenomenal

atas sah atau tidaknya perkawinan beda agama dilihat dari sudut pandang

perundang-undangan di Indonesia. Kemudian mengenai prosedur pengajuan dan

proses pemeriksaan permohonan perkawinan beda agama, serta mengenai dasar

pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau menolak permohonan perkawinan

beda agama dan bagaimanakah kekuatan hukum penetapan Hakim Pengadilan

Negeri tentang permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka Penulis tertarik untuk

menuliskannya dalam bentuk skripsi dengan judul : ”ANALISIS YURIDIS

PERMOHONAN PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi

Kasus Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/

Pdt.P/ 2009/ PN.Ska)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penulisan hukum ini, maka rumusan

masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah prosedur pengajuan dan pemeriksaan permohonan penetapan

perkawinan beda agama?

2. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau menolak

permohonan penetapan perkawinan beda agama?

3. Bagaimanakah kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan sarana untuk memperkuat, membina serta

menegembangkan ilmu pengetahuan. Sehingga di dalamnya dirumuskan tujuan

penelitian secara deklaratif, dan merupakan pernyataan-pernyataan tentang apa

yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut. Berdasarkan rumusan masalah

Page 14: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xiv

yang telah dikemukakan, berikut akan disampaikan tujuan penelitian, yang

meliputi :

1. Tujuan Obyektif :

a. Untuk mengetahui prosedur pengajuan dan pemeriksaan permohonan

penetapan perkawinan beda agama.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau

menolak permohonan penetapan perkawinan beda agama.

c. Untuk mengetahui kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama.

2. Tujuan Subyektif :

a. Untuk memperoleh data yang lengkap dan jelas sebagai bahan penyusunan

skripsi, guna memenuhi persyaratan wajib dalam meraih gelar sarjana di

bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah, memperluas, dan mengembangkan pengetahuan hukum

yang berhubungan dengan permohonan penetapan perkawinan beda

agama.

D. Manfaat Penelitian

Selain adanya tujuan dalam suatu penelitian, maka perlu diketahui pula

apa manfaat yang akan diperoleh dari penelitian tersebut. Adapun beberapa

manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada

umumnya, khususnya bagi pekembangan Hukum Acara Perdata di

Indonesia.

b. Sebagai upaya untuk menambah pengetahuan mengenai permohonan

penetapan perkawinan beda agama.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk mengetahui dengan jelas mengenai prosedur pengajuan dan proses

pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama, dasar

pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau menolak permohonan

Page 15: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xv

perkawinan beda agama dan kekuatan hukum penetapan perkawinan beda

agama.

b. Meningkatkan pengetahuan Penulis tentang masalah-masalah yang

dibahas dalam penelitian ini.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian hukum empiris yaitu

penelitian yang dilakukan terhadap efektifitas hukum (Soerjono Soekanto,

2007: 51), khususnya mengenai ketentuan Pasal 35 Undang-undang No. 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto Pasal 21 Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana dalam ketentuan

tersebut dijelaskan bahwa perkawinan antara pihak yang berlainan agama dapat

dicatatkan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setelah

mendapatkan penetapan Pengadilan Negeri.

2. Sifat penelitian

Penelitian hukum empris ini bersifat deskriptif, yaitu untuk memberikan

data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.

Dalam hal ini yang dideskripsikan adalah mengenai prosedur pengajuan dan

pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama yang disertai

dengan dasar pertimbangan Hakim dalam mengabulkan atau menolak

permohonan penetapan perkawinan beda agama dan dideskripsikan pula

mengenai kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama sebagai produk

yang dihasilkan oleh Hakim atau pengadilan.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (Case

Approach), dalam hal ini yang perlu dipahami adalah alasan-alasan hukum

yang digunakan oleh Hakim untuk sampai pada keputusannya (Peter Mahmud

Marzuki, 2009: 119). Berdasarkan hasil analisis terdapat dua kasus mengenai

permohonan penetapan perkawinan beda agama yang didasari pertimbangan

Hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan tersebut.

Page 16: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xvi

4. Jenis Data Penelitian

Jenis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Data Primer

Data yang diperoleh secara langsung dari sumber data pertama atau

pihak yang langsung menjadi obyek dari penelitian. Data ini berupa

keterangan dan informasi mengenai kasus permohonan perkawinan beda

agama. Dalam penelitian ini data primer berupa hasil wawancara langsung

dengan Hakim dan Panitera Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu Bapak

Susanto Isnu Wahjudi dan Bapak Hendra Bayu Broto Kuntjoro.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sejumlah fakta, dari

berbagai dokumen yang digunakan untuk mendukung data primer. Dalam

penelitian ini data sekundernya berupa, Berkas Penetapan Pengadilan

Negeri Surakarta Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor:

01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska, serta data yang diperoleh secara tidak langsung

atau data yang terlebih dahulu dibuat seseorang dalam suatu kumpulan

data, seperti dokumen, buku, peraturan perundang-undangan yang terkait,

hasil penelitian terlebih dahulu dan sebagainya.

5. Sumber Data Penelitian

a. Sumber Data Primer

1) Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu Bapak Susanto Isnu

Wahjudi;

2) Panitera Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu Bapak Hendra Bayu Broto

Kuntjoro.

b. Sumber Data Sekunder

1) Berkas Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 14/ Pdt.P/

2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska;

2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;

Page 17: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xvii

4) Undang-undang No. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak

dan Rujuk jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954;

5) Undang-undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi

Kependudukan;

6) Staatsblad 1898 No. 158 Tentang Peraturan Perkawinan

Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR);

7) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam;

8) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan teknik untuk mengumpulkan data

dari salah satu atau beberapa sumber data yang ditentukan. Untuk memperoleh

data-data yang lengkap dan relevan, maka penulis menggunakan teknik

pengumpulan data sebagai berikut:

a. Wawancara / interview

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan cara

peneliti mengadakan wawancara secara langsung dengan Hakim dan

Panitera Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu yaitu Bapak Susanto Isnu

Wahjudi dan Bapak Hendra Bayu Broto Kuntjoro.

b. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan dengan mempelajari buku-buku

referensi perpustakaan, yaitu berupa peraturan perundang-undangan,

dokumen-dokumen dan hasil penelitian yang ada relevansi kuat dengan

masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini penulis mempelajari berkas

perkara permohonan perkawinan beda agama dan Penetapan Pengadilan

Negeri Surakarta Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska dan Penetapan Nomor:

01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska, literatur-literatur yang terkait dengan masalah

yang penulis teliti dan berbagai peraturan perundang-undangan yang

terkait, antara lain Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974, Petaturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Page 18: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xviii

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang No.

22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk jo Undang-

undang No. 32 Tahun 1954, Undang-undang No. 23 Tahun 2006 Tentang

Administrasi Kependudukan, Staatsblad 1898 No. 158 Tentang Peraturan

Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR),

serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam.

7. Teknik Analisis Data

Penulis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.

“Analisa kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data

deskriptif analitis, yaitu apa yang dilakukan oleh responden secara tetulis atau

lisan, dan perilaku yang nyata dan diteliti yang dipelajari sebagai suatu yang

nyata dan utuh” (Soerjono Soekanto, 2007: 250), maka analisis data yang

digunakan adalah analisis data kualitatif. Adapun tahapan-tahapan dalam

analisis data ini adalah:

a. Reduksi Data

Kegiatan ini bertujuan untuk mempertegas, memperpendek,

membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari

catatan pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus menerus sampai

laporan akhir penulisan selesai.

b. Penyajian Data

Dalam hal ini digunakan cara, yaitu menyajikan data-data yang

berkaitan dengan permohonan perkawinan beda agama dalam sitem

Peradilan Perdata di Indonesia.

c. Penarikan Kesimpulan

Merupakan upaya menarik kesimpulan dari semua hal yang

terdapat dalam reduksi data dan penyajian data, di mana sebelumnya data

telah diuji agar kesimpulannya menjadi lebih kuat. Setelah memahami arti

dari berbagai hal yang ditemui dengan berbagai cara baik dengan

Page 19: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xix

pencatatan, atau alur sebab-akibat, maka Penulis dapat menarik

kesimpulan (H.B. Sutopo, 2002: 96).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dari skripsi yang akan

disusun, maka dalam sistematika penulisan hukum ini Penulis akan memaparkan

substansi masing-masing bab dari rancangan skripsi ini, sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menguraikan pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan tentang materi-materi dan teori-teori yang

berhubungan dengan permohonan perkawinan beda agama, yang dapat

lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang berkaitan

dengan permohonan perkawinan beda agama. Tinjauan Pustaka terbagi

atas dua bagian yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka

teori membahas tentang pemeriksaan hukum acara perdata,

pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan Negeri, tinjauan tentang

perkawinan dan tinjauan tentang perkawinan beda agama. Sedangkan

dalam kerangka pemikiran menggambarkan logika hukum untuk

menjawab permasalahan tentang permohonan perkawinan beda agama.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan tentang

prosedur pengajuan dan pemeriksaan permohonan penetapan

perkawinan beda agama, dasar pertimbangan hakim dalam menolak

atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama, dan

juga mengenai kekuatan hukum penetapan perkawinan beda agama.

Page 20: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xx

BAB IV : PENUTUP

Bab ini diuraikan mengenai simpulan serta saran-saran yang terkait

dengan masalah permohonan penetapan perkawinan beda agama.

DAFTAR PUSTAKA

Page 21: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Hukum Acara Perdata

a. Pengertian Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya

hukum materiil perdata serta diikuti dengan perantaraan hakim. Dengan

kata lain merupakan peraturan hukum yang menentukan bagaimana

caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Dimana obyek

dari hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan yang bertujuan

melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata

materiil dengan perantaraan kekuasaan negara (Sudikno Mertokusumo,

1998: 2). Perantaraan negara dalam hal ini terjadi dengan peradilan yang

melaksanakan hukum secara konkrit dengan adanya tuntutan hak, fungsi

mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh

negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara

memberikan putusan yang bersifat mengikat.

Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau pelaksanaan. Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada putusannya. Sedangkan dalam tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan daripada putusan (Sudikno Mertokusumo, 1998: 5).

b. Asas-asas Hukum Acara Perdata

Menurut Soedikno Mertokusumo, asas-asas dari Hukum Acara

Perdata adalah sebagai berikut:

1) Nemo Yudex Sine Actor (Hakim Bersifat Menunggu)

Pelaksanaannya berasal dari inisiatif para pihak yang

berkepentingan. Sedangkan hakim hanya bersikap menunggu

datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya. Hakim tidak boleh

Page 22: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxii

menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara sekalipun hukum

tidak mengatur atau kurang jelas (Pasal 10 ayat (1) Undang-undang

No. 48 Tahun 2009). Hal ini disebabkan karena seorang hakim

dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Kalau sekiranya

hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis, maka hakim wajib

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di

dalam masyarakat.

2) Verhandlungsmaxime (Hakim Pasif)

Hakim dalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif.

Dimana ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan

kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh pihak

yang berperkara dan bukan oleh hakim. Jadi seorang hakim tidak

menentukan luas daripada pokok perkaranya dan tidak boleh

menambah atau menguranginya. Tetapi selaku pemimpin sidang,

hakim harus bersifat aktif memimipin pemeriksaan perkara dan tidak

hanya sekedar sebagai alat dari para pihak yang mengajukan perkara.

3) Openbaarheid Van Rechtpraak

Pada asasnya pemeriksaan suatu perkara di muka

persidangan harus dilakukan secara terbuka untuk umum. Tujuanya

adalah untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia

dalam bidang peradilan serta untuk menjamin obyektifitas peradilan

dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang tidak memihak

serta putusan yang adil (Pasal 19 ayat 1 Undang-undang No. 4 tahun

2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Namun terdapat

pengecualian di dalam undang-undang, yakni dalam pemeriksaan

perkara perceraian atau perjinahan. Dalam perkara yang demikian,

maka persidangan dilakukan dengan pintu tertutup. Setiap

persidangan harus dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum

terlebih dahulu sebelum dinyatakan tertutup.

Page 23: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxiii

4) Audi et Alteram Partem

Kedua belah pihak yang bersengketa harus diperlakukan

sama dan tidak memihak. Dalam hal ini hakim tidak boleh menerima

keterangan dari salah satu pihak saja sebagai pihak yang benar. Hal

itu juga berarti bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka

sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.

5) Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan

Setiap putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan

sebagai pertanggungjawaban hakim daripada putusannya kepada

para pihak, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu

hukum, sehingga oleh karenanya memiliki nilai obyektif.

6) Beracara Dikenakan Biaya

Pada asasnya untuk mengajukan perkara ke Pengadilan harus

dikenakan biaya. Biaya ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya

untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai.

Namun bagi mereka yang tidak memilki biaya, maka dapat

mengajukan perkara dengan cuma-cuma (pro deo). Dengan

mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala

polisi. Tetapi di dalam prakteknya, surat itu cukup dibuat oleh camat

daerah tempat yang berkepentingan tinggal.

7) Tidak Ada Keharusan Mewakilkan

Proses pemeriksaan perkara di persidangan, dapat terjadi

secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan

dengan tujuan dapat diketahui lebih jelas persoalannya. Akan tetapi

para pihak dapat diwakilkan oleh kuasanya jika dikehendaki, tetapi

wewenang untuk mengajukan gugatan secara lisan tidak berlaku bagi

kuasa.

8) Pemeriksaan Perkara Secara Sederhana, Cepat, Biaya Ringan

Pemeriksaan perkara dilakukan dengan acara yang jelas,

mudah dipahami, tidak berbelit-belit dan tidak terlalu banyak

Page 24: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxiv

formalitas, serta dengan biaya perkara yang dapat terjangkau oleh

rakyat. Namun dalam prakteknya asas ini belum menjadi kenyataan.

9) Ne Bis in Idem

Untuk perkara yang sama dengan pihak yang sama, dan

mengenai hal yang sama, tidak dapat diperiksa dan diputus untuk

kedua kalinya oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya.

10) Actor Sequitor Forum Rei

Pada pokonya gugatan diajukan ke pegadilan dimana tergugat

bertempat tinggal. Karena gugatan penggugat belum tentu benar atau

belum tentu dikabulkan, sehingga hak pihak tergugat harus

dilindungi.

c. Pengertian Permohonan

Permohonan merupakan “permasalahan perdata yang diajukan

dalam bentuk permohonan ke pengadilan negeri yang ditandatangani

oleh pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan

Negeri” (M. Yahya Harahap, 2007: 29). Ciri khas dari permohonan

adalah:

1) Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the

benefit of one party only)

a) Murni untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tentang

permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hukum;

b) Pada prinsipnya yang dipermasalahkan pemohon tidak

bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain.

2) Permasalah yang dimohon penyesuaian kepada PN, pada prinsipnya

tanpa sengketa dengan pihak lain (without disputes or difference with

another party).

Tidak dibenarkan mengajukan permohonan tentang

penyelesaiaan sengketa hak atau pemilikan maupun penyerahan serta

pembayaran sesuatu oleh orang lain atau pihak ketiga.

Page 25: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxv

3) Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan,

tetapi bersifat ex-parte

Permasalahan hukum yang diajukan dalam kasus

permohonan tersebut, hanya untuk kepentingan sepihak dan

melibatkan satu pihak saja.

d. Landasan Hukum Menyelesaikan Permohonan

Landasan hukum kewenangan untuk menyelesaikan permohonan

merujuk kepada ketentuan Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No. 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana dijelaskan bahwa

peradilan umum berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus

perkara pidana maupun perdata sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Pengajuan permohonan termasuk pada perkara

perdata, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikannya adalah

Pengadilan Negeri. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tugas pokok

Pengadilan Negeri selain memeriksa dan memutus perkara yang bersifat

sengketa juga berwenang memeriksa perkara yang termasuk dalam ruang

lingkup yurisdiksi voluntair atau permohonan. Tetapi dalam hal ini

disertai dengan syarat, dimana jangan sampai memutus perkara

permohonan yang mengandung sengketa secara partai yang harus diputus

secara contentious.

2. Proses Pemeriksaan Perkara Perdata

a. Proses Pemeriksaan Permohonan

Menurut M. Yahya Harahap, proses pemeriksaan terhadap

permohonan yang diajukan ke Pengadian Negeri adalah sebagai berikut

(M. Yahya Harahap, 2007: 38):

1) Jalannya Proses Pemeriksaan secara Ex-Parte

Karena pihak yang terlibat hanya sepihak, maka dalam proses

pemeriksaan permohonan hanya dilakukan secara sepihak juga atau

bersifat ex-parte, dan yang hadir dalam proses pemeriksaan di muka

Page 26: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxvi

sidang hanya pihak pemohon atau kuasanya. Pada prinsipnya proses

ex-parte bersifat sederhana:

a) Hanya mendengar pernyataan dari pihak pemohon atau

kuasanya sehubungan dengan permohonan;

b) Memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon, dan

c) Tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan.

2) Diperiksa di Sidang hanya Keterangan dan Bukti Pemohon

Dalam proses ini yang diperiksa di pengadilan hanya

keterangan dan bukti-bukti yang berasal dari pemohon. Pemeriksaan

tidak berlangsung secara contradictoir, maksudnya bahwa di dalam

pemeriksaan tidak terdapat bantahan dari pihak lain karena hanya

melibatkan satu pihak saja.

3) Tidak Dipermasalahkan Penegakan Seluruh Asas Persidangan

Dalam proses pemeriksaan yang bersifat ex-parte, tidak

ditegaskan seluruh asas pemeriksaan persidangan. Namun tidak pula

sepenuhnya disingkirkan.

a) Tetap Ditegakkan

(1) Asas Kebebasan Peradilan (Yudicial Independency)

(a) Tidak boleh dipengaruhi siapapun;

(b) Tidak boleh ada direktiva dari pihak manapun.

(2) Asas Fair Trial (Peradilan yang Adil)

(a) Tidak bersifat sewenang-wenang (arbitrary);

(b) Pemeriksaan sesuai dengan asas due process of law

(sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku);

(c) Member kesempatan yang layak (to give an

appropriate opportunity) kepada pemohon untuk

membela dan mempertahankan kepentingannya.

b) Tidak Perlu Ditegakkan

(1) Asas Audi Alteram Partem

Tidak mungkin dalam proses pemeriksaan yang

bersifat ex-parte ditegakkan asas mendengar jawaban atau

Page 27: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxvii

bantahan pihak lawan, karena hanya melibatkan satu pihak

dan tidak terdapat pihak lawan. Sehingga asas ini tidak

relevan untuk ditegakkan dalam proses permohonan.

Karena untuk mengambil suatu keputusan atau penetapan

atas suatu permohonan, yang didengar semata-mata

pemohon saja.

(2) Asas Memberi Kesempatan yang Sama

Demikian pula asas memberikan kesempatan yang

sama kepada para pihak, sangan tidak mnungkin ditegakkan

dalam proses pemeriksaan suatu permohonan, karena dalam

permohonan tersebut yang terlibat hanya satu pihak saja

yaitu pemohon.

b. Putusan Permohonan

1) Bentuk Penetapan

Suatu putusan atas pengajuan permohonan berisi suatu

pertimbangan dan dictum penyelesaiaan yang dituangkan dalam

bentuk penetapan, dan namanya juga disebut sebagai penetapan atau

ketetapan (beschikking, decree). Bentuk ini berbeda dengan

penyelesaiaan yang dijatuhkan pengadilan dalam gugatan

contentiosa, dimana dalam gugatan yang bersifat partai

penyelesaiaan yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis

(award).

2) Dictum Bersifat Deklarator

a) Diktumnya bersifat penegasan atas suatu pernyataan atau

deklarasi hukum tentang hal yang dimohonkan;

b) Pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum condemnatoir

(yang mengandung hukuman) terhadap siapapun;

c) Pengadilan juga tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu yang

menciptakan suatu keadaan baru, seperti membatalkan

Page 28: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxviii

perjanjian, menyatakan sebagai pemilik atas suatu barang, dan

sebagainya (M. Yahya Harahap, 2007: 40-41).

c. Kekuatan Pembuktian Penetapan

1) Penetapan sebagai Akta Otentik

Setiap produk yang dikeluarkan oleh hakim atau pengadilan

dalam menyelesaikan suatu permasalah yang diajukan kepadanya,

dengan sendirinya merupakan akta otentik yaitu merupakan akta

resmi yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (Pasal 1868

KUHPerdata). Dengan demikian sesuai dengan pasal 1870

KUHPerdata, pada diri putusan itu melekat nilai ketentuan

pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bindende

bewijskracht).

2) Nilai Kekuatan Pembuktian yang Melekat pada Penetapan

Permohonan Hanya Terbatas kepada Diri Pemohon

Meskipun suatu penetapan yang dikeluarkan oleh hakim atau

pengadilan bersifat akta otentik, tetapi nilai kekuatan pembuktian

yang melekat pada penetapan tersebut, berbeda dengan yang terdapat

pada putusan yang bersifat contentiosa. Nilai kekuatan pembuktian

yang melekat dalam pemeriksaan yang bersifat ex-parte atau

sepihak, sama dengan sifat ex-parte itu sendiri, dalam arti:

a) Nilai kekuatan pembuktiannya hanya mengikat pada diri

pemohon saja;

b) Tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada orang lain atau

kepada pihak ketiga.

3) Pada Penetapan Tidak Melekat Asas Ne bis In Idem

Suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,

maka dalam putusan melekat nebis in idem. Tetapi tidak demikian

halnya dengan suatu penetapan. Pada penetapan hanya melekat

kekuatan yang mengikat satu pihak saja yaitu diri pemohon, jadi

tidak mengikat pihak lain. Oleh karena itu, pada suatu penetapan

Page 29: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxix

tidak melekat asas nebis in idem. Setiap orang yang merasa

dirugikan oleh penetapan itu, dapat mengajukan gugatan atau

perlawanan terhadapnya (M. Yahya Harahap, 2007: 41)..

d. Upaya Hukum Terhadap Penetapan

1) Penetapan atas Permohonan Merupakan Putusan Tingkat Pertama

dan Terakhir

Sesuai dengan doktrin dan praktek yang berlaku, suatu

penetapan yang dikeluarkan dalam perkara yang berbentuk

permohonan atau voluntair, pada umumnya merupakan putusan yang

bersifat tingkat pertama dan terakhir.

2) Terhadap Putusan Perdilan Tingkat Pertama yang Bersifat Pertama

dan Terakhir, Tidak Dapat Diajukan Banding

Undang-undang terkadang menyatakan secara tegas, bahwa

penetapan atas permohonan itu bersifat tingkat pertama dan terakhir.

Namun ada kalanya tidak dinyatakan secara tegas. Akan tetapi, ada

juga yang menyatakan secara tegas bahwa penetapan atas suatu

permohonan, tidak tunduk pada peradilan yang lebih tinggi. Sebagai

contoh dikemukakan dalam Pasal 360 jo Pasal 364 KUHPerdata,

yang menerangkan mengenai penetapan atas permohonan

pengangkatan wali yang tidak tunduk pada peradilan lebih tinggi.

3) Upaya Hukum yang Dapat Diajukan, Kasasi

Sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun

2004, permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika permohonan

terhadap perkara sudah menggunakan upaya hukum banding, kecuali

ditentukan lain oleh undang-undang. Dimana pengecualian dalam

pasal ini diadakan karena adanya putusan pengadilan tingkat pertama

yang oleh Undang-undang tidak dapat dimohonkan banding. Oleh

karena itu, penetapan yang dijatuhkan atas suatu permohonan tidak

dapat diajukan banding. Sehingga upaya hukum yang dapat

Page 30: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxx

ditempuh adalah kasasi berdasarkan Pasal 43 ayat (1) jo penjelasan

Pasal 43 ayat (1) (M. Yahya Harahap, 2007: 43).

3. Pengertian Perkawinan

Perkawinan yang dalam istilah agama dengan “nikah” memiliki

pengertian melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri

antara laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara

kedua belah pihak, dengan sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk

mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih

sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah (Ahmad

Azhar Basyir, 2004: 10).

Mengenai pengertian dari perkawinan, memang terdapat banyak

perbedaan pendapat di dalamnya. Tetapi dari semua perumusan tentang

pengertian dari perkawinan ini, terdapat satu unsur yang merupakan

kesamaan dari keseluruhan pendapat, yaitu bahwa nikah itu merupakan suatu

perjanjian perikatan antara laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian yang

dimaksud dalam hal ini adalah perjanjian nikah, yang merupakan perjanjian

yang suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang

wanita.

Berikut pengertian perkawinan menurut hukum nasional dan

pandangan dari beberapa agama yang ada di Indonesia, antara lain:

a. Hukum Nasional

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Menurut ketentuan Pasal 26 KUHPerdata, perkawinan hanya

dipandang sebagai hubungan keperdataan saja. Artinya, tidak ada

campur tangan dari Undang-undang terhadap upacara-upacara

keagamaan yang melangsungkan perkawinan. Undang-undang hanya

mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan

di hadapan seorang pegawai catatan sipil.

Page 31: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxxi

2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pasal ini, tersirat bahwa

perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan antara

seorang pria dan wanita saja.

Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut

disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak.

Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus

dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA)

dan Catatan Sipil. Hal ini dilakukan karena perkawinan dari sudut

pandang budaya maupun agama dianggap sebagai peristiwa yang

bersejarah dan sangat berguna bagi generasi muda, karena kehidupan

setelah perkawinan dapat memberikan pelajaran hidup bagi seseorang

untuk meningkatkan tingkat kedewasaannya.

b. Hukum Agama

1) Hukum Agama Islam

Menurut pendapat Soemiyati, perkawinan menurut pandangan

Islam mengandung 3 aspek, yaitu aspek hukum, aspek sosial, dan aspek

agama. Dimana penjelasan dari ketiga aspek tersebut, adalah sebagai

berikut:

(a) Aspek hukum

Aspek hukum perkawinan merupakan suatu perjanjian, namun

tidak dapat disamakan dengan perjanjian-perjanjian yang lainnya,

seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-lain.

Karena dalam perjajian yang dimaksud sebagai perkawinan, harus

mengandung karakter khusus. Antara lain:

Page 32: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxxii

(1) Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari

kedua belah pihak;

(2) Kedua belah pihak yang mengikat persetujuan perkawinan itu

saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut

berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya;

(3) Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum

mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.

(b) Aspek sosial

Dilihat dari aspek sosial, pada umumnya berpendapat bahwa orang

melakukan perkawinan atau pernah melakukan perkawinan

mempunyai kedudukan yang lebih dihargai. Khusus bagi kaum

wanita dengan perkawinan akan memperoleh kedudukan sosial

yang lebih tinggi.

(c) Aspek agama

Bahwa Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai

basis suatu masyarakat yang baik dan teratur. Dan menurut Islam

perkawinan bukan hanya sebagai suatu persetujuan biasa

melainkan merupakan suatu persetujuan yang suci.

2) Hukum Agama Kristen

Perkawinan itu suci, dimana dipandang sebagai kesetiakawanan

bertiga antara suami, istri di hadapan Allah. Seorang pria dan seorang

wanita membentuk rumah tangga karena dipersatukan oleh Allah.

Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Pada prinsipnya

makna perkawinan dalam agama Kristen (Protestan) memiliki makna

kesamaan, namun dalam ritus dan peraturannya berbeda. Peraturan

perkawinan pada agama Kristen lebih longgar alias tidak seketat dan

serumit dalam perkawinan dalam Katolik.

Page 33: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxxiii

3) Hukum Agama Katolik

Perkawinan adalah persatuan seumur hidup, yang diikat oleh

perjanjian, antara seorang pria dan seorang wanita. Melalui perkawinan

mereka menjadi suami-istri, berbagi kehidupan secara utuh, saling

mengembangkan diri secara penuh dan dalam cinta melahirkan dan

mendidik anak-anak. “Perkawinan menurut Agama Kristen Katolik

adalah perbuatan yang bukan saja merupakan perikatan cinta antara

kedua suami istri, tetapi juga harus bercerminkan sifat Allah yang

penuh kasih dan kesetiaan yang tidak dapat terceraikan. Perkawinan itu

adalah sah apabila kedua mempelai sudah dibaptis” (Hilman

Hadikusuma, 2003: 11).

Sering terjadi perkawinan Katolik gagal dilaksanakan secara sah

karena adanya halangan-halangan nikah seperti umur belum cukup,

impotensi, ikatan perkawinan yang masih ada, tahbisan, kaul kekal

hidup religius yang dilakukan secara publik, hubungan darah dalam

tingkat tertentu.

Perkawinan Katolik hanya sah kalau dilangsungkan di hadapan uskup setempat, pastor paroki, imam atau diakon yang diberi delegasi secara sah. Kalau tidak ada imam atau diakon, awam dapat diberi delegasi hanya kalau diberikan oleh konferensi uskup-uskup. Dalam peneguhan perkawinan harus ada dua saksi yang lain (Hilman Hadikusuma, 2003: 31).

4) Hukum Agama Hindhu

Perkawinan atau pawiwahan ialah ikatan sekala niskala (lahir

batin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan

keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari

neraka put, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut Agama

Hindhu Weda Smurti. Perkawinan ini juga disertai dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya Alaki rabi). Jika

perkawinan tidak dilangsungkan dengan upacara menurut Hukum

Hindu maka perkawinan itu tidak sah (Gde Pudja, 1977: 9).

Page 34: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxxiv

Perkawinan bermakna sebagai tanda dimulainya status

“berumah tangga” dan upacara ini merupakan samskara yang ke-13.

Upacara perkawinan dilaksanakan di sekitar api suci dan penuh dengan

simbol-simbol. Dalam upacara, kedua mempelai berjalan mengelilingi

api suci tujuh langkah sambil bergandengan tangan, dan pada setiap

langkah mereka saling membuat janji. Hukum manu, suatu Kitab Suci,

mengatakan bahwa seorang istri harus selalu mencintai dan

menghormati suaminya, dan umat Hindu Ortodoks tidak mengijinkan

perceraian apa pun alasannya.

5) Hukum Agama Budha

Sesuai dengan ajaran Sang Buddha, maka setiap orang memiliki

kebebasan untuk memilih cara hidupnya masing-masing. Sang Buddha

tidak mewajibkan untuk setiap orang harus mencari pasangan hidupnya.

Demikian pula Sang Buddha tidak melarang bagi mereka yang ingin

hidup membujang, baik pria maupun wanita. Dengan kata lain

kewajiban untuk membangun rumah tangga sebagai suami/istri bukan

merupakan kewajiban beragama yang harus dipatuhi. Mereka yang

hidup membujang tidak melanggar ketentuan dalam agama Buddha.

Tujuan hidup adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahiriah dan

batiniah, baik didunia ini maupun di alam-alam kehidupan lainnya,

sampai tercapainya Nibbana. Oleh karena itu perkawinan menurut

agama Buddha tidak dianggap sebagia sesuatu yang suci ataupun tidak

suci.

Hukum perkawinan Agama Budha menurut keputusan Sangha

Agung tanggal 1 Januari 1977 Pasal 1 dikatakan perkawinan adalah

suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

istri yang berlandaskan cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna) dan

rasa sepenanggungan (madita) dengan tujuan untuk membentuk satu

keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sangyang Adi

Page 35: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxxv

Budha/Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan Bodhi Satwa-

Mahasatwa’.

4. Perkawinan Beda Agama

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak diatur

tentang perkawinan beda agama. Namun dalam pasal 2 UU Perkawinan No.1

Tahun 1974 dijelaskan bahwa, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya

pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus menganut agama yang

sama. Jika kedua-duanya itu berlainan agama, menurut ketentuan dalam UU

Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka perkawinan tidak

dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya ikut menganut agama

pihak lainnya. Walaupun demikian UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak

secara jelas mengatur perkawinan campuran berdasarkan perbedaan agama.

Mengenai dapat/tidak mewujudkan kehidupan rumah tangga, bila

antara si pria dan wanita imannya berbeda, dalam iman Kristiani, perikatan

suami dan isteri harus seiman. Berbeda halnya dengan agama islam, tidak

serta merta dilarang. Seorang muslimat dilarang menikah dengan yang non

muslim. Sebaliknya seorang muslim (calon suami) tidak dilarang menikah

dengan wanita ahli al Kitab. Tentang hal ini ada beda pendapat di antara

ulama. Oleh sebab itu disarankan jika ingin melangsungkan perkawinan beda

agama, berpedoman pada perkawinan campuran Stbl. 1989 No. 158, dalam

hal ini Kantor Catatan Sipil yang melaksanakannya. Dimana hal ini

didasarkan pada Pasal 66 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, yang menerangkan apabila terdapat peraturan mengenai

perkawinan yang belum diatur di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974,

maka dapat diberlakukan peraturan lama. “Dalam Stb. 1898 No. 158 terdapat

adanya suatu ketentuan yang menetralisir perbedaan agama ini, dimana

tercantum dalam Pasal 7 ayat 2 yang menyatakan bahwa perbedaan agama,

bangsa atau asal itu sama sekali tidak merupakan penghalang untuk

melangsungkan perkawinan” (Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978: 25).

Page 36: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxxvi

Beberapa pendapat mengenai perkawinan beda agama, jika ditinjau

dari UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dari sudut pandang agama

yang ada di Indonesia, antara lain sebagai berikut:

a. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal-pasal dan penjelasan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan tidak ditemukan ketentuan yang mengatur secara tegas

mengenai masalah perkawinan antar agama, disamping itu apabila diteliti

maka hanya dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pasalpun baik secara

tersurat maupun tersirat yang melarang dilakukannya perkawinan antar

agama. Hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut tidak menyebut

secara tertulis/tekstual/eksplisit mengenai perkawinan beda agama. Untuk

menjawab ada tidaknya peraturan mengenai perkawinan beda agama,

terdapat dua pasal dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut yang dapat

dijadikan sebagai pedoman, yaitu :

1) Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang

menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan tersebut yaitu perkawinan sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Yang

dimaksud dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu termasuk

juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan

agamanya dan kepercayaannya tersebut sepanjang tidak bertentangan

atau tidak ditentukan lain dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan

Hal ini berarti undang-undang menyerahkan kepada masing-

masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat

pelaksanan perkawinan tersebut disamping cara-cara dan syarat-syarat

yang telah ditentukan oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan

dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi

syarat-syarat atau belum disamping tergantung kepada ketentuan-

Page 37: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxxvii

ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.

2) Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang

menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang

mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku , dilarang kawin.

Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut dapat ditarik kesimpulan

bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas disebutkan

didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan-

peraturan lainnya juga ada larangan-larangan yang bersumber dari

hukum masing-masing agamanya.

Pada garis besarnya ada tiga pandangan tentang perkawinan beda

agama di Indonesia terkait dengan pemahaman terhadap Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu :

1) Perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran

terhadap undang-undang perkawinan berdasarkan pada Pasal 2 ayat

(1) dan pasal 8 huruf (f) yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh

karena itu perkawinan beda agama adalah tidak sah dan batal demi

hukum;

2) Perkawinan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab

itu dapat dilangsungkan, sebab perkawinan tersebut termasuk dalam

perkawinan campuran. Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 1

tentang perkawinan campuran terletak pada “dua orang yang di

Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”. Oleh karena itu pasal

tersebut tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang

memiliki kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur

perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat

ini pelaksanaan perkawinan beda agama dilakukan menurut tata cara

yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran;

Page 38: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxxviii

3) Undang-undang perkawinan tidak mengatur tentang masalah

perkawinan beda agama. Oleh karena itu dengan merujuk Pasal 66

Undang-undang Perkawinan maka peraturan-peraturan lama selama

Undang-undang Perkawinan belum mengaturnya dapat diberlakukan.

Dengan demikian maka masalah perkawinan beda agama harus

berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran.

Sebelum adanya undang-undang perkawinan, perkawinan beda

agama diatur dalam Stbl. 1898 No. 158, yaitu Peraturan Perkawinan

campuran, perkawinan beda agama termasuk dalam perkawinan campuran.

Definisi perkawinan campuran dinyatakan dalam Pasal 1 ialah perkawinan

antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yamg

berlainan. Di samping ketiga pendapat di atas ada pula yang berpandangan

bahwa UU Perkawinan perlu disempurnakan sebab ada kekosongan

hukum tentang perkawinan beda agama. Pentingnya penyempurnaan

Undang-undang tersebut disebabkan karena beberapa hal yaitu:

1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan

beda agama;

2) Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural yang menyebabkan

perkawinan beda agama tidak dapat dihindarkan;

3) Persoalan agama adalah menyangkut hak asasi seseorang, dan

4) Kekosongan hukum dalam bidang perkawinan tidak dapat dibiarkan

begitu saja sebabkan dapat mendorong terjadinya perzinaan

terselubung melalui pintu kumpul kebo.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan

diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada

hukum agama itu sendiri. Pembuat undang-undang agaknya menyerahkan

persoalan tersebut sepenuhnya kepada ketentuan agama masing-masing

pihak.

Page 39: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xxxix

b. Pandangan Beberapa Agama yang Ada di Indonesia

1) Hukum Agama Islam

Perkawinan beda agama merupakan “perkawinan antara pria

muslim dengan wanita bukan muslimah maupun perkawinan antara

perempuan muslimah dengan pria bukan dari kalangan muslim” (Jaih

Mubarok, 2005 : 91).

Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam, ditetapkan seorang pria

yang beragama Islam dilarang menikah dengan wanita karena salah

satu dari tiga alasan, yaitu:

a) Wanita yang bersangkutan masih terikat perkawinan dengan laki-

laki lain;

b) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria

lain;

c) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Selanjutnya dalam Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam

dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan

perkawinan dengan seorang yang tidak beragama Islam. Dengan kata

lain, dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat ketentuan bahwa

seorang pria muslim diharamkam menikah dengan wanita yang bukan

muslimah (termasuk ahli kitab), dan ditetapkan juga bahwa wanita

yang beragama Islam diharamkan menikah dengan pria yang tidak

beragama Islam.

2) Hukum Agama Kristen

Menurut agama Kristen, perkawinan dianggap suatu hubungan

yang suci. Hal ini dikarenakan suatu perkawinan sejak awal

merupakan penetapan dari Allah, sehingga gereja menganjurkan

umatnya untuk mencari pasangan untuk menikah yang seagama,

karena gereja berpendapat bahwa kebahagiaan dalam suatu

perkawinan akan sulit tercapai apabila kedua pihak tidak seiman.

Page 40: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xl

Perbedaan agama dalam ikatan perkawinan dianggap sebagai

sumber konflik yang paling utama, karena memiliki pengaruh yang

kuat bagi hubungan suami dan istri. Pengaruhnya adalah karena lebih

membawa faktor negatif dari pada faktor positif dalam kehidupan

perkawinan yang menyebabkan perkawinan kehilangan keutuhan dan

kesuciannya, dan hanya dalam Kristuslah perkawinan itu memperoleh

kembali keutuhan dan kesucianya.

3) Hukum Agama Katolik

Menurut ajaran agama Katolik mengenai perkawinan beda

agama bukanlah hal yang ideal terjadi dalam kehidupan manusia. Jika

tetap ingin melangsungkan suatu perkawinan beda agama, maka harus

ada izin Uskup kalau seorang Katolik ingin menikah dengan orang

yang beda agama. Selain itu masih harus memenuhi syarat-syarat,

antara lain:

a) Perkawinan dilakukan secara Katolik;

b) Pihak bukan Katolik bersedia menjauhkan pihak Katolik dari

bahaya murtad;

c) Mempelai harus sepakat bahwa anak-anak akan dibaptis secara

Katolik dan dididik dalam iman Katolik, dan pihak Katolik harus

bersedia berupaya sebisanya untuk ini.

Adanya beberapa syarat tersebut untuk melakukan suatu perkawinan

beda agama, maka dapat dinilai bahwa yang paling ideal ialah

menikah dengan sesama Katolik.

5. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut Islam adalah untuk memenuhi tuntutan

hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam

rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan rasa cinta dan kasih

sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan

Page 41: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xli

mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’ah (Soemiyati,

1986: 12). Dari rumusan di atas, Filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan

dan faedah perkawinan kepada lima hal, sebagai berikut:

a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan

serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.

Tujuan ini merupakan tujuan yang pokok dari suatu perkawinan,

dimana mengandung dua segi kepentingan yaitu kepentingan untuk diri

pribadi dan kepentingan yang bersifat umum (universal). Sehingga

bahwa adanya anak dalam suatu perkawinan merupakan penolong, baik

dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat kelak bagi diri ibu dan

bapak yang bersangkutan.

b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.

Tuhan menciptakan manusia itu dengan jenis kelamin yang

berbeda, sehingga sudah menjadi kondratnya bahwa antara kedua jenis

itu saling mengandung daya tarik. Dilihat dari segi biologis daya tarik itu

adalah kebirahian atau seksuil, yang merupakan tabiat kemanusiaan.

Sehingga dengan perkawinan, maka pemenuhan tuntutan tabiat

kemanusiaan itu dapat disalurkan dengan sah.

c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

Salah satu faktor manusia mudah terjerumus ke dalam kejahatan,

ialah pengaruh hawa nafsu dan seksuil. Dengan tidak adanya saluran

yang sah untuk memenuhi kebutuhan seksuilnya, biasanya manusia baik

laki-laki maupun perempuanakan mencari jalan yang tidak halal. Dengan

melangsungkan perkawinan, maka akan diperoleh jalan yang sah untuk

memenuhi kebutuhan seksuilnya sehingga baik pihak laki-laki maupun

perempuan terhindar dari kejahatan dan kerusakan.

d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari

masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.

Ikatan perkawinan merupakan ikatan yang paling teguh dan yang

paling kuat di dalam masyarakat. Dan cara untuk memperkokoh ikatan

perkawinan adalah dengan membentuk rumah tangga yang didasari

Page 42: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xlii

dengan rasa cinta dan kasih sayang yang kemudian akan dikaruniai anak,

kemudian bertambah luas menjadi rumpun keluarga demikian seterusnya

sehingga tersusun masyarakat besar.

e. Setelah melangsungkan perkawinan, maka baik pihak laki-laki maupun

perempuan, mulai menyadari akan tanggung jawab dalam

mengemudikan rumah tangga. Sehingga pihak suami mulai berfikir untuk

mencari rezeki yang halal untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan istri

juga berusaha memikirkan cara mengatur kehidupan dalam rumah

tangga. Menumbuhkan pula kesungguhan berusaha mencari rezeki

penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.

6. Asas dan Prinsip Perkawinan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut

asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Perkawinan membentuk keluarga bahagia dan kekal (Pasal 1);

b. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya

dan kepercayaanya itu (Pasal 2 ayat (1));

c. Perkawinan harus dicatat menurut hukum perundangan (Pasal 2 ayat (2));

d. Perkawinan berasas monogami terbuka (Pasal 3);

e. Calon suami isteri harus sudah masak jiwa raganya untuk melangsungkan

perkawinan (Pasal 6);

f. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16

tahun (Pasal 7 ayat (1));

g. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan

(Pasal 39);

h. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang (Pasal 31 ayat (1)).

7. Syarat Sahnya Perkawinan

a. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Menurut Pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika

dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Page 43: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xliii

Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Jadi perkawinan yang sah menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah

perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang

berlaku di dalam masing-masing agama yang ada di Indonesia, antara

lain agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Budha. Hukum masing-masing

agama yang berlaku adalah agama dari masing-masing pihak calon

mempelai atau keluarga.

b. Menurut Hukum Agama

Syarat sahnya perkawinan menurut hukum agama adalah sebagai

berikut (Hilman Hadikusuma, 2003: 28-33):

1) Hukum Agama Islam

a) Ijab dan kabul dalam bentuk akad nikah

b) Wali dari calon mempelai perempuan, dengan syarat-syarat:

(1) Beragama Islam

(2) Sudah dewasa (baligh)

(3) Berakal sehat

(4) Berlaku adil

c) Ada 2 (dua) orang saksi, dengan syarat-syarat:

(1) Beragama Islam

(2) Sudah dewasa (baligh)

(3) Berakal sehat

(4) Dapat melihat, mendengar, dan memahami tentang akad

nikah

(5) Berlaku adil

d) Mahar

e) Akad nikah harus dilaksanakan dengan lisan dan tidak boleh

dengan tulisan saja

2) Hukum Agama Kristen/Katolik

Perkawinan yang sah menurut agama Kristen/Katolik apabila

dilaksanakan dihadapan Pastur yang dihadiri oleh dua orang saksi.

Page 44: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xliv

Saat sahnya perkawinan ialah pada saat perkawinan itu telah

diteguhkan oleh Imam/Pastur dengan mengucapkan janji bersatu.

Menurut Hilman Hadikusuma, syarat sahnya perkawinan menurut

agama Kristen/katolik antara lain:

a) Kedua mempelai harus sudah dibabtis;

b) Ada kesepakatan antara kedua mempelai;

c) Tidak ada kekeliruan tentang diri orangnya;

d) Tidak ada paksaan;

e) Telah berumur 16 tahun bagi pria dan 14 tahun bagi wanita;

f) Salah satu atau kedua calon mempelai tidak terikat perkawinan

sebelumnya;

g) Perkawinan dilakukan dihadapan Pastur dan disaksikan oleh dua

orang saksi.

3) Hukum Agama Hindu

Perkawinan itu sah apabila dilakukan dihadapan Brahmana

atau pendeta atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk

melakukan itu. Perkawinan tersebut juga harus dilaksanakan

menururt Hukum Hindu, jadi kedua calon suami istri harus

menganut agama Hindu. Jika perkawinan itu dilakukan antara calon

suami istri yang memilki keyakinan berbeda, maka perkawinan itu

tidak dapat disahkan.

4) Hukum Agama Buddha

Menurut Hilman Hadikusuma, syarat sahnya perkawinan

menurut Hukum Agama Buddha adalah sebagai berikut:

a) Kedua mempelai harus saling menyetujui dan cinta mencintai;

b) Satu bulan sebelum perkawinan harus mengikuti penataran yang

diberikan Pandita;

c) Umur kedua mempelai sudah 21 tahun atau ada izin orang tua

mereka jika belum berumur 21 tahun.

Page 45: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xlv

8. Syarat-syarat Perkawinan

a. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Mengenai syarat-syarat perkawinan di dalam UU No. 1 tahun

1974 diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7, yang pada pokonya adalah

sebagai berikut:

1) Perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai,

artinya bahwa perkawinan itu harus dilaksanakan berdasarkan

kehendak bebas kedua mempelai untuk melangsungkan perkawinan

tersebut. Hal ini merupakan syarat yang penting sekali untuk

membentuk suatu keluarga yang kekal dan sejahtera;

2) Untuk melangsungkan perkawinan bagi calon mempelai yang belum

mencapai umur 21 ( dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari

kedua orang tua atau wali (pasal 6 ayat (2));

3) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia, maka yang berhak

memberikan izin sesuai dengan pasal 6 ayat (3), (4) dan (5) adalah:

Jika kedua orang tua masih hidup maka yang berhak memberikan

izin adalah keduanya, sedangkan apabila salah satu telah meninggal

dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya

maka yang berhak memberikan izin adalah salah satu dari keduanya

yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan

kehendak;

4) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau keduanya tidak

mampu menyatakan kehendaknya, maka yang berhak memberikan

izin adalah:

a) Wali yang mempelihara calon mempelai;

b) Atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis

keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam

keadaan dapat menyatakan kehendaknya (pasal 6 ayat (4));

c) Apabila ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang

disebutkan dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini, atau salah

seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan

Page 46: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xlvi

pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat

tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas

permintaan orang tersebut dapat memberikan izin. Izin dari

pengadilan ini diberikan atas permintaan:

5) Pihak yang hendak melangsungkan perkawinan.

6) Setelah lebih dulu pengadilan mendengarkan sendiri orang-orang

yang disebut oleh ayat (2), (3), dan (4) pasal 6 tersebut.

7) Batas umur untuk melangsungkan perkawinan adalah sekurang-

kurangnya 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon istri

(pasal 7 ayat (1)). Namun UU perkawinan memberikan kelonggaran

untuk terjadinya perkawinan yang tidak sesuai dengan ketentuan

tersebut, asal ada dispensasi dari pengadilan berdasarkan permontaan

dari orang tua kedua belah pihak yang akan melangsungkan

perkawinan (pasal 7 ayat (2)).

b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material

absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia

pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus

300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Syarat material

relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di

dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk

kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan

memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat

waktu 1 tahun.

9. Tatacara Perkawinan

Secara umum mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan pada saat

ini sudah diatur pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dalam pasal 10

sampai dengan pasal 12. Khusus bagi yang beragama Islam, sesuai dengan

penjelasan pada pasal 12, maka mereka dalam pelaksanaan perkawinannya

Page 47: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xlvii

tetap mengikuti ketentuan yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1946 jo UU

No. 32 tahun 1954. Dan pelaksanaan selanjutnya UU No. 32 tahun 1954 ini

telah diatur dengan Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1955.

Adapun mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan yang diatur

didalam Peraturan Pemerintah No. 9 yahun 1975 dan UU No. 32 tahun 1954

pada dasarnya adalah sebagai berikut:

a. Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun1975, tata cara

perkawinan adalah:

1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak

pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat;

2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaanya itu;

3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan

dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua

orang saksi.

b. Undang-undang No. 32 tahun 1954

1) Pihak yang akan melangsungkan pernikahan harus membawa surat

keterangan dari Kepala Kampung atau Kepala Desa masing-masing

(pasal 3 P. Menag No. 1/1955);

2) Pihak yang melakukan pernikahan itu menyampaikan kehendak

mereka selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum akad nikah

kepada Pegawai Pencatatan Nikah di wilayah akan

dilangsungkannya pernikahan;

3) Pemberitahuan itu dapat dilakukan dengan lisan oleh calon suami

dan calon istri atau oleh wakil mereka yang sah;

4) Pegawai Pencatat Nikah kemudian membuat pengumuman tentang

pemberitahuan kehendak untuk melaksanakan pernikahan, yang

kemudian ditempelkan pada tempat yang mudah dibaca orang.

Dimana lama berlakunya penempelan tersebut tidak boleh kurang

dari 10 hari;

Page 48: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xlviii

5) Pegawai Pencatat Nikah kemudian memeriksa calon suami-istri dan

wali yang bersangkutan tentang kemungkinan adanya larangan atau

halangan nikah dilangsungkan;

6) Pegawai Pencatat Nikah tidak boleh melangsungkan akad nikah

sebelum hari ke sepuluh terhitung dari tanggal pemberitahuan;

7) Akad nikah dilakukan di muka Pegawai Pencatat Nikah dan calon

suami serta wali harus hadir sendiri pada saat akad nikah

dilangsungkan;

8) Akad nikah dilakukan dengan ijab kabul di hadapan Pegawai

Pencatat Nikah, harus diahadiri dua orang saksi laki-laki muslim dan

sehat akalnya. Kemudian pihak Pegawai Pencatat Nikah harus

meneliti tentang pembayaran maharnya dan harus membacakan atau

memeriksa persetujuan tentang taklik talak. Kemudian setelah

selesai akad nikah Pegawai Pencatat Nikah mencatat petnikahan

tersebut dalam buku daftar nikah.

10. Pemberitahuan dan Pencatatan Perkawinan

a. Pemberitahuan Perkawinan

Sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) PP No. 9 tahun 1975, menyatakan

bahwa pihak yang akan melangsungkan perkawinan harus

memberitahukan kehendaknya itu kepada pejabat pendaftaran/pencatat

perkawinan dimana tempat perkawinan itu akan dilangsungkan.

Kemudian dalam pasal 4 PP tersebut, menjelaskan bahwa pemberitahuan

dapat dilakukan oleh calon mempelai atau oleh orang tua dari calon

mempelai. Jika pemberitahuan dilakukan oleh orang tua calon mempelai

atau wali, maka harus disertakan surat kuasa, yang dapat berupa surat

kuasa otentik maupun di bawah tangan. Namun jika dibandingkan dengan

pasal 50 BW atau pasal 19 ayat (1) Ordonansi Perkawinan Indonesia

Kristen yang dengan tegas menyatakan pemberitahuan itu dilakukan oleh

kedua calon mempelai. Kiranya karena pemberitahuan kehendak untuk

menikah itu juga harus dianggap sebagai pelaksanaan UUP yang

Page 49: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xlix

menegaskan bahwa perkawinan harus atas persetujuan kedua calon

mempelai (pasal 6 ayat (1)).

Pemberitahuan dapat dilakukan baik secara lisan maupun tertulis.

Bila dilakukan secara tertulis, maka dibuat sesuai dengan pedoman atau

contoh menurut P.M.A No. 4/1975. Bila dilakukan secara lisan tidak ada

aturan secara tertulis tentang caranya, dimana hal ini dilakukan jika

pemberitahuan secara tertulis tidak mungkin dilakukan (pasal 6 ayat (2)

PMA No. 3/1975).

b. Pencatatan Perkawinan

Sahnya suatu perkawinan jika ditinjau hanya dari segi

keperdataannya saja, bila perkawinan tersebut telah dicatat/didaftarkan

pada Kantor Catatan Sipil. Selama perkawinan belum dicatat, tetap

dinyatakan tidak sah menurut ketentuan hukum sekalipun sudah memenuhi

prosedur dan tata cara menurut ketentuan agama. Sebelum berlakunya

UUP dijumpai beragam peraturan tentang pencatatan perkawinan, anatara

lain:

1) Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Eropa (Stb. 1849 No. 25);

2) Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan China (Stb. 1917 No. 130 jo.

Stb. 1919 No. 81);

3) Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Kristen Indonesia (Stb. 1933

No. 75 jo. Stb. 1936 No. 607);

4) Ordonansi Catatan Sipil untuk perkawinan campuran (Stb. 1904 No.

279);

Menurut ketentuan di atas pelaksanaan pencatatan perkawinan dan catatan

sipil, pada umumnya didasarkan pada perbedaan golongan penduduk

(golongan Eropah, golongan Timur Asing/Cina, dan golongan

Pribumi/Kristen). Hal demikian tidak seharusnya dipertahankan, sehingga

selanjutnya Kantor-kantor Catatan Sipil di Indonesia terbuka bagi seluruh

Page 50: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

l

rakyat Indonesia dan hanya dibedakan antara warganegara Indonesia dan

orang asing.

1) Undang-undang No. 22 tahun 1946 jo UU No. 32 tahun 1954

Bagi orang Indonesia yang beragama Islam pencatatan

perkawinannya atas dasar ketentuan UU No. 22 tahun 1946 tentang

Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sebagaimana kemudian dengan

UU No. 32 tahun 1954 yang dinyatakan berlaku untuk seluruh

Indonesia. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 22 tahun 1946,

perkawinan yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh

Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama. Jadi

fungsi pencatat hanya mengawasi perkawinan. Dengan tujuan agar

perkawinan itu benar-benar dilaksanakan menurut ketentuan Hukum

islam.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 terdapat

beberapa ketentuan yang mengatur tentang pencatatan perkawinan,

antara lain dalam Pasal 2, antara lain:

a) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai

Pencatatan Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau

Pegawai yang ditunjuk olehnya, sebagaimana diatur dalam Pasal

2 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang

pencatatan nikah, talak dan rujuk;

b) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain

agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Perkawinan pada Kantor

Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-

undangan mengenai pencatatan perkawinan;

c) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus

berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan dilakukan

Page 51: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

li

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai Pasal 9 Peraturan

Pemerintah ini.

Adanya Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, maka

pencatatan perkawinan dilakukan oleh 2 (dua) instansi, yaitu:

a) Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, bagi mereka yang

beragama Islam sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 tahun

1946 jo UU No. 32 tahun 1954;

b) Kantor Catatan Sipil atau Instansi yang membantunya, bagi

mereka yang bukan beragama Islam, sebagaimana diatur dalam

berbagai peraturan perundang-undangan Catatan Sipil.

Kesimpulannya adalah, bahwa pencatatan perkawinan bukan

merupakan syarat sah suatu perkawinan, tetapi pencatatan perkawinan

memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan

untuk diakui oleh negara.

11. Larangan Perkawinan

a. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Menurut pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, perkawinan yang dilarang ialah:

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun

ke atas;

2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara dan orang tua dan antara

seorang dengan saudara neneknya;

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan

ibu/bapak tiri;

4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara

susuan, dan bibi/paman susuan;

Page 52: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lii

5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari

seorang;

6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku dilarang kawin.

Selanjutnya ditambah dengan larangan dalam Pasal 9 dan Pasal 10

Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:

1) Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain yang

tidak dapat kawin lagi, kecuali Pengadilan dapat memberi izin

kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila

dikendaki oleh pihak-pihak bersangkutan (Pasal 9 jo Pasal 3 ayat

(2)) dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah

tempat tinggal (Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974);

2) Suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dan yang lain dan

bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh

melakukan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak

menentukan lain (Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974)

b. Hukum Agama

1) Hukum Agama Islam

Menurut hukum Islam larangan perkawinan dibedakan antara

yang dilarang untuk selama-lamanya dan larangan untuk sementara

waktu:

a) Dilarang selamanya

(1) perkawinan yang dilakukan karena hubungan darah;

(2) hubungan semenda;

(3) hubungan susuan;

(4) karena sumpah Li’an.

Page 53: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

liii

b) Dilarang sementara waktu

(1) mengawini dalam waktu yang sama wanita bersaudara,

baik saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu

maupun saudara sepersusuan;

(2) wanita yang masih dalam masa idah, baik iddah karena

kematian maupun karena perceraian;

(3) wanita yang ada dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki

lain;

(4) kawin lebih dari empat wanita dalam waktu yang sama;

(5) isteri yang telah ditalak tiga kali, maka tidak halal dinikahi

kembali oleh mantan suaminya kecuali telah kawin

dengan laki-laki lain yang kemudian dicerai dan habis

masa idahnya;

(6) perkawinan orang yang sedang ihram;

(7) kawin dengan pezina, kecuali setelah masing-masing

menyatakan bertaubat.

2) Hukum Agama Katolik

“Menurut Hukum Gereja Katolik halangan perkawinan dalam

Hukum Agama Katolik dapat dilihat dari segi perjanjian, agama,

dosa, dan persaudaraan” (Hilman Hadikusuma, 2003: 67), yaitu

sebagai berikut:

a) Belum mencapai umur 16 tahun bagi pria dan 15 tahun bagi

wanita (Kanon, 1083: 1). Mereka boleh bersetubuh lebih dulu;

b) Pria atau wanita impoten bersifat tetap, kecuali diragukan atau

kemandulan (Kanon, 1084: 1-3);

c) Terikat perkawinan sebelumnya (Kanon, 1085: 1);

d) Salah satu tidak dibabtis (Kanon, 1086: 1);

e) Telah menerima tahbisan suci (Kanon 1078), yaitu klerus;

f) Kaul keperawanan (Kanon 1088), biarawan/biarawati;

Page 54: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

liv

g) Penculikan wanita (raptus), belarian, kecuali si wanita bebas

menyatakan persetujuannya, atau memang disetujuinya (Kanon

1098);

h) Pembunuh teman perkawinan (crimen) (Kanon, 1090: 1-2);

i) Kelayakan publik (publica honestas), misalnya pria dengan ibu

atau dengan anak wanitanya, wanita dengan bapak atau anak

prianya (Kanon 1093);

j) Pertalian darah (Kanon, 1091: 1-4), dalam garis keturunan ke

atas ke bawah, ke samping, tidak dihitung rangkap, ke samping

tingkat kedua;

k) Hubungan periparan atau semenda (Kanon 1092);

l) Hubungan adopsi (Kanon 1094), termasuk hubungan susuan.

12. Akta Perkawinan

Setelah perkawinan menurut hukum masing-masing agama telah

dilaksanakan, kemudian kedua mempelai menandatangani akta perkawinan

yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang telah

berlaku. Dimana dalam akta perkawinan tersebut juga ditandatangani oleh

kedua orang saksi dan pegawai pencatat yang hadir dalam perkawinan. Bagi

yang melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, di dalam akta

perkawinan tersebut ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang

mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan tersebut maka

perkawinan itu telah tercatat secara resmi (Pasal 11 Ayat (1 sampai 3)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun1975). Akta perkawinan tersebut

memuat:

a. Nama, tanggal, tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat

kediaman sumi istri. Jika pernah kawin disebutkan juga nama

suami/isteri terdahulu;

b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua

mereka;

Page 55: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lv

c. Izin kedua orang tua mereka bagi yang melangsungkan perkawinan

belum mencapai umur 21 tahun, atau dari wali atau dari pengadilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (2 sampai 5) UU Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan;

d. Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua

orang tua, bagi yang melakukan perkawinan dibawah umur 19 tahun bagi

pria, dibawah 16 tahun bagi wanita;

e. Izin pengadilan bagi seorang suami yang akan melangsungkan

perkawinan lebih dari seorang isteri;

f. Izin dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hankam/Pangab bagi anggota

ABRI;

g. Perjanjian perkawinan, jika ada;

h. Nama, umur, agama/kepercayaan, perkerjaan, dan tempat kediaman para

saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam;

i. Nama, umur, agama/kepercayaan, perkerjaan, dan tempat kediaman

kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

Adapun prosedur dalam pembuatan akta perkawinan ini adalah

sebagai berikut:

a. Para calon mempelai menghubungi petugas di Kantor Catatan Sipil;

b. Para calon mempelai menerima formulir model 1 dan 2 (Formulir

permohonan perkawinan dan data calon mempelai);

c. Para calon mempelai mengisi formulir 1 dan 2 tersebut, dan ditanda

tangani pula oleh Ketua Majelis Gereja/Lembaga Keagamaan dimana

para mempelai diberkati dengan maksud agar pimpinan agama turut

mengetahui dan menyetujui tanggal dan waktu perkawinan;

d. Para calon mempelai mengembalikan formulir model 1 dan 2 tersebut

bersama segala persyaratan sesuai ketentuan;

e. Petugas Catatan Sipil meneliti kelengkapan administrasi yang diterima;

Page 56: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lvi

f. Apabila dalam penelitian tidak ternyata tidak terdapat kekurangan atau

kesalahan maka diadakan pendaftaran perkawinan pada agenda

perkawinan;

g. Selanjutnya berdasarkan data permohonan yang telah memenuhi syarat

dibuat pengumuman pada kantor Pegawai Pencatat Sipil dan diumumkan

juga pada jemaat gereja/paroki wilayah dimana para mempelai

berdomisili;

h. Apabila tidak keberatan/sanggahan atas pengumuman perkawinan dan

ternyata benar-benar tidak ada halangan untuk dilangsungkan perkawinan

dimaksud, maka penulisan regsiter dapat dilaksanakan setelah biaya

perkawinan dibayar;

i. Perkawinan dapat dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan pada

model 1 (Pendeta/imam) didepan pegawai pencatatan sipil (Pasal 10 PP

nomor 9/1975);

j. Sesaat setelah berlangsungnya perkawinan menurut hukum agama maka

perkawinan tersebut dicatat secara resmi;

k. Selanjutnya Akta Perkawinan diproses untuk diberikan kepada pariwisata

mempelai;

l. Para mempelai menerima Akta Perkawinan yang sudah ditanda tangani

oleh Kepala Kantor Catatan Sipil.

B. Kerangka Pemikiran

Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia dalam kehidupannya selalu

hidup bersama dengan manusia lainnya didalam suatu pergaulan hidup, dengan

tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat jasmani maupun

bersifat rohani. Sehingga pada masa tertentu bagi seorang pria maupun sorang

wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya yang

berlainan jenis kelamin dalam ikatan perkawinan yang diikuti dengan syarat-

syarat tertentu.

Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita dalam ikatan

perkawinan mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik

Page 57: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lvii

terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota

masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mangatur

tentang perkawinan tersebut. Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari

wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama sebagai sebuah institusi

maupun negara memiliki kepentingan untuk mengadakan pengaturan. Agama

sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga,

sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting

dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara itu

negara, sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam

mengatur dan menciptakan tertib warganya.

Perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau

kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani

tetapi juga mengandung unsur batin atau rohani, disamping itu pula perkawinan

mempunyai peranan yang penting, terlebih-lebih sejak berlakunya Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana didalam pasal 2 ayat (1)

dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya. Dengan demikian peranan agama dan kepercayaan semakin lebih

diteguhkan didalam hukum positif. Dengan adanya pasal 2 ayat (1) tersebut

pelaksanaan menurut agama dan kepercayaan masing-masing telah merupakan

syarat mutlak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.

Mengingat di Indonesia diakui berbagai macam agama dan kepercayaan,

maka sering dijumpai adanya perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama

atau kepercayaan. Meskipun perkawinan beda agama ini dipersulit, tetapi banyak

pihak yang mengajukan permohonan izin perkawinan beda agama ke Pengadilan

Negeri setempat, seperti yang terjadi pada Pengadilan Negeri Surakarta. Setelah

pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut, maka

diperlukan dasar pertimbangan Hakim dalam proses pemeriksaan permohonan

penetapan perkawinan beda agama yang diajukan. Dasar pertimbangan yang

digunakan oleh Hakim dapat ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 1

Tahun 1974 dan dapat pula ditinjau dari segi Hukum Agama dan Kepercayaan.

Dengan demikian pertimbangan hakim tersebut dapat digunakan sebagai dasar

Page 58: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lviii

untuk menyusun suatu penetapan atas Permohonan Penetapan Perkawinan Beda

Agama baik yang ditolak atau dikabulkan, yang memilki kekuatan hukum

mengikat bagi pihak yang mengajukan permohonan (pihak suami dan istri yang

akan melangsungkan perkawinan beda agama) dan juga bagi pihak yang terkait

(Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil), serta memilki pula kekuatan hukum

pembuktian yang dapat digunakan sebagai alat bukti atas sah atau tidaknya

pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut.

Untuk lebih memperjelas kerangka pikir di atas, maka Penulis membuat

skema sebagai berikut:

Page 59: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lix

Bagan Kerangka Pemikiran

Pihak A Pihak B

Perkawinan

Kekuatan Hukum

Ditolak

Prosedur Pemeriksaan Permohonan

Penetapan Perkawinan Beda Agama

Penetapan

Prosedur Pengajuan Permohonan Penetapan

Perkawinan Beda Agama

Dikabulkan

Pertimbangan Hakim

Pengadilan Negeri

Permohonan

Kantor Dinas Kependudukan

dan Catatan Sipil

BERBEDA AGAMA

DITOLAK

Page 60: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lx

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Dalam hal ini penetapan yang dianalisis adalah Berkas Penetapan Nomor:

14/ Pdt.P/ 2008/PN. Ska dan Berkas Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN. Ska,

mengenai permohonan izin perkawianan beda agama. Untuk lebih memperjelas

maka akan penulis paparkan datanya sebagai berikut:

1. Berkas Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN. Ska (Permohonan yang

Ditolak)

a. Pihak-pihak yang Mengajukan Permohonan

Pemohon I

Nama : TK

Tempat/ tanggal lahir : Madiun, 28 Januari 1951

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Tegal Mulyo RT. 02 RW. 04 Kelurahan

Nusukan Kecamatan Banjarsari, Kota

Surakarta

Pemohon II

Nama : PN

Tempat/ tgl lahir : Yogyakarta, 13 September 1960

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen

Alamat : Tegal Mulyo RT. 02 RW. 04 Kelurahan

Nusukan Kecamatan Banjarsari, Kota

Surakarta

b. Duduk Perkara

Pemohon telah mengajukan permohonan yang diterima dan

didaftar di Kepeniteraan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 23 Januari

Page 61: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxi

2008 No. 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska, yang dimaksudnya sebagaimana dapat

dilihat dalam berkas perkara dan berita acara persidangan perkara ini, yang

pada pokoknya bermaksud dan bertujuan sebagai berikut:

1) Para Pemohon telah sepakat satu sama lain untuk melaksanakan

perkawianan yang rencananya dilangsungkan dihadapan Pegawai

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta;

2) Pada tanggal 22 Januari 2008 Para Pemohon telah memberitahukan

kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta

tentang akan dilaksanakanya perkawinan tersebut tetapi oleh karena

beda agama yaitu Pemohon I beragama Islam, sedangkan Pemonon II

beragama Kristen maka oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil Kota Surakarta permohonan Para Pemohon tersebut ditolak,

dengan alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal 21 Undang-undang

No. 1 Thaun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 35 Undang-undang No.

23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, perkawinan

tersebut dapat dicatatkan setelah mendapatkan penetapan Pengadilan

Negeri;

3) Para Pemohon masing-masing tetap pada pendiriannya untuk

melakukan perkawinan dengan tetap pada kepercayaannya masing-

masing, dengan cara mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan

Negeri Surakarta yang mengacu pada Pasal 21 Ayat (3) dan (4)

Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 35 huruf

(a) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan beserta penjelasannya (vide Surat Keterangan Rekes

dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta tanggal 22

Januari 2008 No.474.2/ 58/ 2008);

4) Asas hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia pada

prinsispnya perbedaan agama tidaklah menjadikan halangan untuk

melakukan perkawinan.

Page 62: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxii

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemohon mohon pada

Ketua Pengadilan Negeri Surakarta untuk berkenan menerima, memeriksa

serta memberikan penetapan sebagai berikut:

1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon;

2) Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan

perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil Surakarta;

3) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang Perkawinan Beda

Agama Para Pemohon tersebut di atas ke dalam Register Pencatatan

Perkawinan yang digunakan untuk itu;

4) Membebankan biaya perkara ini kepada pemohon.

Pada hari persidangan yang ditentukan Para Pemohon datang

menghadap sendiri, kemudian setelah surat permohonan Para Pemohon

tertanggal 23 Januari Agustus 2008 tersebut dibacakan oleh Hakim Para

Pemohon menyatakan bahwa permohonannya tersebut telah benar dan

tidak ada perubahan serta tetap pada permohonannya. Untuk permohonnya

Para Pemohon mengajukan surat-surat bukti yang telah dibacakan

dipersidangan dimana Para Pemohon menyatakan tidak keberatan,

kemudian setelah fotocopy surat-surat bukti yang bermaterai cukup dan

telah dilegalisir tersebut dicocokkan dengan aslinya ternyata kedapatan

cocok sehingga dapat diterima sebagai alat bukti yang sah dan selanjutnya

surat-surat bukti tersebut dikembalikan kepada Para Pemonon, surat-surat

bukti mana berupa:

1) Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran atas nama TK, No. 331/ TP/ 2008

yang dikeluarkan pada tanggal 17 Januari 2008; (bukti P1);

2) Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran atas nama PN, No. 332/ TP/ 2008

yang dikeluarkan pada tanggal 17 Januari 2008; (bukti P2);

3) Fotocopy kartu keluarga No. 3772050702542 yang dikeluarkan pada

tanggal 15 Januari 2008; (bukti P3);

Page 63: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxiii

4) Surat Keterangan dari Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari,

Kota Surakarta, atas nama TK; (bukti P4);

5) Surat Keterangan dari Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari,

Kota Surakarta, atas nama PN; (bukti P5);

6) Surat Pernyataan belum pernah menikah atas nama TK tertanggal 18

Januari 2008; (bukti P6);

7) Surat Pernyataan belum pernah menikah atas nama PN tertanggal 18

Januari 2008; (bukti P7);

8) Surat Keterangan untuk Rekes dari Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil Kota Surakarta No. 474.2/ 58/ 2008 tertanggal 22 Januari 2008;

(bukti P8);

Selain mengajukan bukti-bukti tertulis di persidangan Pemohon

juga mengajukan saksi-saksinya yang memberi keterangan di bawah

sumpah di persidangan, masing-masing bernama:

1) ES

Lahir di Surakarta, 07 Desember 1962, jenis kelamin laki-laki,

Kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Jl. Tarakan No. 15 RT. 01 RW.

06 Kelurahan Kestalan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, agama

Katolik, pekerjaan sebagai pedagang, yang pada pokoknya

menerangkan sebagai berikut:

a) Bahwa saksi adalah adik ipar Pemohon II;

b) Bahwa Para Pemohon mengajukan permohonan untuk pengesahan

perkawinan agar dapat dicatat di Kantor Catatan Sipil;

c) Bahwa Para Pemohon akan melangsungkan perkawinan beda

agama, namun Catatan Sipil menolak untuk mengesahkan

perkawinan mereka;

d) Bahwa Para Pemohon belum menikah secara agama;

e) Bahwa menurut saksi Para Pemohon lebih baik melangsungkan

perkawinan beda agama dari pada Para Pemohon melakukan

kumpul kebo atau hamil di luar nikah;

Page 64: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxiv

f) Bahwa rencana perkawinan tersebut atas dasar kesepakatan mereka

berdua yang didasari rasa cinta dan kasih sayang dari mereka

berdua.

2) EW

Lahir di Surakarta, 17 Juni 1963, jenis kelamin perempuan,

Kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Jl. Tarakan No. 15 RT. 01 RW.

06 Kelurahan Kestalan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, agama

Katolik, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, yang pada pokoknya

menerangkan sebagai berikut:

a) Bahwa saksi adalah adik dari Pemohon II;

b) Bahwa menurut Pemohon I, mereka telah menikah siri di Jawa

Timur;

c) Bahwa perkawinan Para Pemohon belum dicatatkan di Kantor

Catatan Sipil;

d) Bahwa menurut saksi Para Pemohon lebih baek melangsungkan

perkawinan beda agama dari pada Para Pemohon melakukan

kumpul kebo atau hamil di luar nikah;

e) Bahwa rencana perkawinan tersebut atas dasar kesepakatan mereka

berdua yang didasari rasa cinta dan kasih sayang dari mereka

berdua tanpa adanya paksaan dari siapapun.

c. Tentang Hukumnya

1) Maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon adalah sebagaimana

tersebut di atas;

2) Pemohon berkehendak melangsungkan perkawinan tetapi Para

Pemohon berlainan agama, dimana Pemohon I beragama Islam dan

Pemohon II beragama Kristen, dan Para Pemohon telah

memberitahukan rencana perkawinannya kepada Dinas Kependudukan

dan Catatan Sipil Kota Surakarta dan memohon agar perkawinan

mereka dicatat dalam perekawinan di instansi tersebut;

Page 65: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxv

3) Permohonan Para Pemohon ditolak oleh Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Kota Surakarta;

4) Alasan penolakan pencatatan perkawinan oleh Kepala Kantor Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta adalah karena belum

mendapatkan penetapan dari Pengadilan Negeri Surakarta (mengacu

pada Pasal 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan jo Pasal 21 Undang-undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan);

5) Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974,

perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayannya itu;

6) Menurut perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu sesuai dengan

UUD 1945, yang dimaksud dengan hukum agama dan kepercayaannya

itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi

golongan agamanya dan kepercayannya itu sepanjang tidak

bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini

(penjelasan pasal demi pasal Undang-undang No. 1 Tahun 1974);

7) Berdasarkan penjelasan pasal tersebut menunjukkan bahwa

perkawinan harus dilaksanakan terlebih dahulu menurut hukum

agamanya Para Pemohon, apakah akan dilaksanakan menurut tatacara

hukum agama Islam atau tatacara hukum agama Kristen;

8) Berdasarkan bukti-bukti yang ada ternyata pemohon belum pernah

melaksanakan perkawinan menurut hukum salah satu agama Para

Pemohon, karena Para Pemohon tetap berprinsip pada agamanya

masing-masing;

9) Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974,

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku;

Page 66: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxvi

10) Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah

jelas bahwa setelah perkawinan dilaksanakan maka harus dicatatkan

untuk memperoleh bukti tentang keabsahan perkawinan tersebut;

11) Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,

pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai

Pencacatan sebgaimana dimaksudkan dalam Undang-undang No. 32

Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk, sedangkan

menurut ayat (2) pencatatan perkawinan bagi mereka yang

melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu

selain agama Isalam dilakukan oleh Pegawai Pencatata Perkawinan

pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam perundang-

undangan mengenai pencatatan perkawinan;

12) Selama ini belum ada peraturan yang menunjuk suatu lembaga yang

mengesahkan perkawinan dari calon mempelai yang berbeda agama;

13) Menurut ketentuan Pasal 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2006,

pengadilan diberi wewenang untuk menetapkan perkawinan, namun

pengadilan bukan lembaga yang diberikan wewenang untuk

mengesahkan perkawinan, dan menurut Pasal 36 Undang-undang No.

23 Tahun 2006 penetapan pengadilan hanya sebatas dalam hal

perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan;

14) Para Pemohon dalam permohonan ini belum pernah melangsungkan

perkawinan yang sah, dan tidak ternyata pula bahwa ada lembaga yang

mengesahkan perkawinan Para Pemohon;

15) Dari uraian di atas Pengadilan Negeri Surakarta tidak/bukan instansi

yang berwenang untuk mengesahkan perkawinan Para Pemohon dan

dengan demikian tidak berwenang untuk memerintahkan kepada

Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta untuk

melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama Para Pemohon

tersebut;

16) Dengan demikian maka permohona Para Pemohon harus ditolak ;

Page 67: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxvii

17) Karena permohonan Para Pemohon ditolak maka Para Pemohon

dibebani pula untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam

permohonan ini.

MENETAPKAN

1) Menolak permohonan Para Pemohon;

2) Menghukum Para Pemohon untuk membayar ongkos perkara yang

timbul dalam permohonan ini sebanyak Rp. 49.000,- (empat puluh

sembilan ribu rupiah).

2. Berkas Penetapan No. 01/ Pdt.P/ 2009/ PN. Ska (Permohonan yang

Dikabulkan)

a. Pihak-pihak yang Mengajukan Permohonan

Pemohon I

Nama : ST

Tempat/ tanggal lahir : Pulau Sambu, 12 September 1970

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Baloi Blok VI RT. 001 RW. 003

Kelurahan Batu Selicin, Kecamatan Lubuk

Baja, Kota Batam

Pemohon II

Nama : SM

Tempat/ tgl lahir : Surakarta, 01 Maret 1970

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen

Alamat : Danukusuman RT.003 RW. 002

Kelurahan Danukusuman, Kecamatan

Serengan Kota Surakarta

Page 68: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxviii

b. Duduk Perkara

Pemohon telah mengajukan permohonan yang diterima dan

didaftar di Kepeniteraan Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 05 Januari

2009 No. 01/ Pdt.P/ 2009/ PN.Ska, yang dimaksudnya sebagaimana dapat

dilihat dalam berkas perkara dan berita acara persidangan perkara ini, yang

pada pokoknya bermaksud dan bertujuan sebagai berikut:

1) Para Pemohon telah sepakat satu sama lain untuk melaksanakan

perkawianan yang rencananya dilangsungkan dihadapan Pegawai

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta;

2) Pada tanggal 31 Desember 2008 Para Pemohon telah memberitahukan

kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta

tentang akan dilaksanakanya perkawinan tersebut tetapi oleh karena

beda agama yaitu Pemohon I beragama Islam, sedangkan Pemonon II

beragama Kristen maka oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil Kota Surakarta permohonan Para Pemohon tersebut ditolak,

dengan alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal 35 Undang-undang

No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan jo Pasal 21

Undang-undang No. 1 Thaun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan

tersebut dapat dicatatkan setelah mendapatkan penetapan Pengadilan

Negeri;

3) Para Pemohon masing-masing tetap pada pendiriannya untuk

melakukan perkawinan dengan tetap pada kepercayaannya masing-

masing, dengan cara mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan

Negeri Surakarta yang mengacu pada Pasal 21 Ayat (3) dan (4)

Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 35 huruf

(a) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan beserta penjelasannya (vide Surat Keterangan Rekes

dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta tanggal 31

Desember 2008 No. 474.2/ 1104/ 2008);

Page 69: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxix

4) Asas hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia pada

prinsispnya perbedaan agama tidaklah menjadikan halangan untuk

melakukan perkawinan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemohon mohon pada

Ketua Pengadilan Negeri Surakarta untuk berkenan menerima, memeriksa

serta memberikan penetapan sebagai berikut:

1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon;

2) Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan

perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil Surakarta;

3) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang Perkawinan Beda

Agama Para Pemohon tersebut di atas ke dalam Register Pencatatan

Perkawinan yang digunakan untuk itu;

4) Membebankan biaya perkara ini kepada pemohon.

Pada hari persidangan yang ditentukan Para Pemohon datang

menghadap sendiri, kemudian setelah surat permohonan Para Pemohon

tertanggal 05 Januari 2009 tersebut dibacakan oleh Hakim Para Pemohon

menyatakan bahwa permohonannya tersebut telah benar dan tidak ada

perubahan serta tetap pada permohonannya. Untuk permohonnya Para

Pemohon mengajukan surat-surat bukti yang telah dibacakan

dipersidangan dimana Para Pemohon menyatakan tidak keberatan,

kemudian setelah fotocopy surat-surat bukti yang bermaterai cukup dan

telah dilegalisir tersebut dicocokkan dengan aslinya ternyata kedapatan

cocok sehingga dapat diterima sebagai alat bukti yang sah dan selanjutnya

surat-surat bukti tersebut dikembalikan kepada Para Pemonon, surat-surat

bukti mana berupa:

1) Asli Surat Keterangan untuk Rekes No. 474.2/ 1104/ 2008 tertanggal

31 Desember 2008, (bukti P I.1);

Page 70: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxx

2) Fotocopy Surat Keterangan Imunisasi TT bagi calon pengantin No.

000843 tertanggal 30 Desember 2008, (bukti P I.2);

3) Fotocopy Surat Keterangan untuk menikah (ST) No. 184/ 474.2/ 001/

XII/ 2008 tertanggal 11 Desember 2008, (bukti P I.3);

4) Fotocopy Surat Keterangan Asal Usul, No. 184./ 474.2/ 001/ XII/ 2008

tertanggal 11 Desember 2008, (bukti P I.4);

5) Fotocopy Surat Keterangan tentang Orang Tua No. 184/ 474.2/ 001/

XII/ 2008 tertanggal 11 Desember 2008, (bukti P I.5);

6) Fotocopi Surat Rekomendasi Pindah Nikah atas nama ST tertanggal 15

Desember 2008, (bukti P I.6);

7) Fotocopy Surat Pernyataan belum pernah menikah atas nama ST

tertanggal 15 Desember 2008, (bukti P I.7);

8) Fotoopy Surat Pernyataan Persetujuan orang tua (ST) tertanggal 15

Desember 2008; (bukti P I.8);

9) Fotocopy Surat Permohonan Rekes, tertanggal 31 Desember 2008,

(bukti P I.9);

10) Fotocopy Surat Keterangan Kematian, No. 09/ 474.3/ 11/ 2007

teretanggal 17 Februari 2007, (bukti P I.10);

11) Fotocopy Kartu Keluarga No. 21.71.06.001/ 09/ 538 tertanggal 04

September 2006, (bukti P I.11);

12) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atas nama ST, nomor KTP No.

21.71.96.001.12.09.70.99810 tertanggal 04 September 2006, (bukti P

I.12);

13) Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran atas nama ST, No. 9365/ DISP/

1988 tertanggal 30 November 1988, (bukti P I.13);

14) Fotocopy surat keterangan/pengantar (SM), No. 000/ 560 tertanggal 04

Desember 2008, (bukti P II.1);

15) Fotoopy Surat Pernyataan Persetujuan orang tua (SM) tertanggal 15

Desember 2008, (bukti P II.2);

16) Fotocopy Surat Pernyataan belum pernah menikah atas nama SM

tertanggal 15 Desember 2008, (bukti P II.3);

Page 71: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxi

17) Fotocopy Surat Keterangan Kematian (PM), No. 474.3/ 71, (bukti P

II.4);

18) Fotocopy Kutipan Akta Kematian (SR), No. 254/ 1995 tertanggal 2

Desember 1995, (bukti P II.5);

19) Fotocopy Kartu Keluarga No. 3372020305212 tertanggal 31 Oktober

2008, (bukti P II.6);

20) Fotocopy Akta Kelahiran atas nama SM, No. In. 76/ 1970 tertanggal

13 April 1970, (bukti P II.7);

21) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk atas nama SM, No.

33.7202.410370.0002 tertanggal 09 Oktober 2006, (bukti P II.8).

Selain mengajukan bukti-bukti tertulis di persidangan Pemohon

juga mengajukan saksi-saksinya yang memberi keterangan di bawah

sumpah di persidangan, masing-masing bernama:

1) SY (saksi P I)

Lahir di Bloro, 23 Desember 1969, jenis kelamin laki-laki,

Kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Cemani RT.005/015 Kel.

Cemani Kec. Grogol Kab. Sukoharjo, agama Islam, pekerjaan swasta,

yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

a) Bahwa saksi adalah sepupu pemohon I;

b) Bahwa pemohon I belum pernah menikah;

c) Bahwa pemohon I meminta izin untuk menikah dengan pemohon

II dan saksi tidak keberatan baik lahir maupun batin;

d) Bahwa saksi mengetahui pemohon II beragama Kristen;

e) Bahwa pemohon I dan pemohon II telah lama berpacaran;

f) Bahwa saksi mengetahui pemohon I dan pemohon II akan

melangsungkan perkawinan dan tidak ada paksaan untuk ikut salah

satu agama yang dianutnya;

g) Bahwa perkawinan akan dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil

Kota Surakarta dengan adanya penetapan dari Pengadilan negeri

Surakarta.

Page 72: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxii

2) DW (saksi P II)

Lahir di Surakarta, 16 Nopember 1947, jenis kelamin laki-laki,

Kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Kadipiro Baru RT. 004/010 Kel.

Bejen Kec. Karanganyar Kab. Karanganyar, agama Katholik,

pekerjaan sebagai PNS, yang pada pokoknya menerangkan sebagai

berikut:

a) Bahwa saksi adalah kakak kandung dari Pemohon II;

b) Bahwa orang tua dari pemohon II telah meninggal dunia;

c) Bahwa pemohon II belum pernah menikah;

d) Bahwa pemohon II meminta izin untuk menikah dengan pemohon

I dan saksi tidak keberatan baik lahir maupun batin

e) Bahwa saksi mengetahui pemohon I beragama Islam;

f) Bahwa pemohon I dan pemohon II telah lama berpacaran;

c. Tentang Hukumnya

1. Maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon adalah sebagaimana

tersebut di atas;

2. Diperoleh fakta-fakta hukum dari adanya bukti-bukti surat dan

keterangan saksi-saksi, anatar lain:

a) Antara pemohon I dan pemohon II telah sepakat bersama untuk

melangsungkan perkawinan berdasarkan cinta dan kasih sayang

diantara keduanya, walaupun diantara Para Pemohon ada

perbedaan agama;

b) Para Pemohon telah mengajukan Permohonan Pencatatan

Perkawinan secara beda agama di Kantor Dinas Kependudukan

dan Catatan Sipil Kota Surakarta tetapi ditolak karena belum ada

penetapan dari Pengadilan Negeri Surakarta;

c) Para saksi serta pihak keluarga Para Pemohon telah mengetahui

dan menyetujui serta memberi izin kepada Para Pemohon untuk

melangsungkan perkawinan dengan cara beda agama;

Page 73: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxiii

d) Untuk melakukan perkawinan dengan cara beda agama harus ada

penetapan dari Pengadilan Negeri;

e) Para Pemohon tetap mempertahankan keyakinan agamanya

masing-masing;

f) Pemohon I tidak mau melakukan prosesi perkawinan berdasarkan

agama Islam dan pemohon II tidak mau melakukan prosesi

perkawinan berdasarkan agama Kristen;

g) Ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat perkawinan dalam

Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 1 telah

terpenuhi.

3. Perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan

perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 Undang-

undang No. 1 Tahun 1974, maka sudahlah tepat apabila persoalan

permohonan perkawinan beda agama adalah menjadi wewenang

Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan;

4. Pemohon I dan Pemohon II sebagai Warga Indonesia dan Warga

Dunia adalah berhak untuk mempertahankan keyakinan agamanya

termasuk beribadah membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh

dua calon yang beda agama, hal mana sebagaimana dimaksud dalam

UUD 1945 dan Piagam PBB Tahun 1984 tentang kebebasan memeluk

keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

5. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 8 yang

mengatur larangan untuk melangsungkan perkawinan tidak diatur

larangan yang dilaksanakan oleh dua calon mempelai yang berbeda

agama dan secara tegas juga tidak mengatur perkawinan calon

mempelai yang berbeda agama;

6. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam Bab XIV

ketentuan penutup Pasal 66 menyatakan: Untuk perkawinan dan segala

sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-

undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini, ketentuan

diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata HOCI Stbl 1993

Page 74: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxiv

No. 74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan

Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl

1898 No. 158) dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang

perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan

tidak berlaku;

7. Karena Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak secara

tegas mengatur tentang perkawinan yang dilaksanakan oleh umat yang

berlainan agama maka ketentuan-ketentuan dalam Stbl 1898 No. 158

tentang Peraturan Perkawinan Campuran dapat diterapkan dalam

perkara antara pemohon I (ST) dan pemohon II (SM) yang masing-

masing bersikukuh tetap mempertahankan agamanya (Yurisprudensi

MA No. 245 K/ SIP/ 1953 dalam Perkara pemohon: (SS);

8. Syarat-syarat materiil untuk melangsungkan perkawinan antara

pemohon I dan Pemohon II menurut Undang-undang Perkawinan No.

1 Tahun 1974 Pasal 6 telah terpenuhi dan menurut Hukum Agama

Para Pemohon tidak mungkin dilakukan proses perkawinan dengan

umat yang berbeda keyakinan/agama dan Para Pemohon sudah saling

mencintai dan sudah lama berpacaran serta Para Pemohon sudah

sepakat untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan cinta kasih maka Hakim menganggap Para Pemohon

melepaskan keyakinan agamanya yang melarang adanya perkawinan

beda agama dan oleh karena Undang-undang pantas untuk

mengabulkan permohonan Para Pemohon tersebut dalam point 2;

9. Ketentuan Pasal 6 Stbl 1898 No. 158 ditentukan pelaksanaan

perkawinan campuran c.q beda agama maka pelaksanaan perkawinan

ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi suaminya dengan tidak

mengurangi persetujuan yang selalu dipersyaratkan, bahwa apabila

hukum suami agama Islam tidak menentukan cara-cara pelaksanaan

perkawinan agama dihadapan siapa perkawinan dilaksanakan dan

ternyata hukum suami (Islam) tidak mengatur perkawinan beda agama,

maka dengan merujuk ketentuan Pasal 6 ayat (2) Stbl 1898 No. 158

Page 75: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxv

Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama antara Pemohon I dan Pemohon

II, Hakim menunjuk Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

Kota Surakarta untuk melaksanakan perkawinan mereka Para

Pemohon, sebagaimana disebut dalam petitum point 3;

10. Meskipun permohonan Para Pemohon dikabulkan adalah hal yang

tidak dapat dihindarkan perekawinan Para Pemohon adalah tidak sah

menurut agama (baik Islam maupun Kristen) sesuai ketentuan Pasal 2

ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, maka oleh karena dari sudut agama dinilai tidak sah

tentang dosa hubungan antara Pemohon I dan Pemohon II sebagai

calon suami istri adalah merupakan tanggung jawab Para Pemohon

kepada Tuhan YME, Negara melalui Peraturan Perundang-undangan

Nasional yang hanya memberi solusi bagi perkawinan antara kedua

calon mempelai yang masing-masing mempertahankan keyakinan

agamanya;

11. Para Pemohon memohonkan agar diberi perintah seperlunya agar

perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II tersebut didaftarkan

menurut ketentuan yang berlaku, permohonan mana karena beralasan

dan menurut hukum dapatlah dikabulkan;

12. Karena permohonan Para Pemohon dikabulkan maka semua biaya

yang timbul karena permohonan ini dibebankan kepada Pemohon;

13. Memperhatikan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 jo pasal

135 huruf (a) Undang-undang No. 23 Tahun 2006 Stbl 1898 No. 158

serta ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain yang

bersangkutan.

MENETAPKAN

1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon;

2) Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan

perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil kota Surakarta;

Page 76: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxvi

3) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

Kota Surakarta untuk melangsungkan perkawinan antara Pemohon I

sebagai calon suami dan Pemohon II sebagai calon istri;

4) Memerintahkan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda

agama Para Pemohon tersebut di atas, ke dalam Register Pencatatan

Perkawinan yang digunakan untuk itu;

5) Membebankan biaya permohonan kepada Para Pemohon yang sampai

saat ini diperhitungkan sebesar Rp. 86.000,- (delapan puluh enam ribu

rupiah).

B. Pembahasan

1. Proses Pengajuan dan Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda

Agama

a. Proses Pengajuan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama

Berdasarkan hasil wawancara dengan Panitera PN Surakarta, yaitu

Bapak Hendra Bayu Broto Kuntjoro maka prosedur pengajuan

permohonan penetapan perkawinan beda agama adalah sebagai berikut:

1) Pihak yang akan melangsungkan perkawinan beda agama datang ke

Pengadilan Negeri Surakarta dan menghadap petugas Meja Pertama

untuk mengajukan permohonan penetapan perkawinan beda agama,

dengan menyerahkan surat permohonan, minimal 2 (dua) rangkap.

2) Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap

perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan Pihak Pemohon dan

menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat

Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara

diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara

tersebut.

Catatan :

a) Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo

(cuma-cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan

Page 77: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxvii

melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa

setempat yang dilegalisasi oleh Camat.

b) Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp.

0,00 dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM),

didasarkan pasal 237 – 245 HIR.

c) Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau

berperkara secara prodeo. Perkara secara prodeo ini ditulis dalam

surat gugatan atau permohonan bersama-sama (menjadi satu)

dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau

permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk

berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.

3) Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat permohonan

kepada Pemohon disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar

(SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).

4) Pihak Pemohon menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat

permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).

5) Pemegang kas menandatangani Surat Kuasa Untuk Membayar

(SKUM), membubuhkan nomor urut perkara dan tanggal penerimaan

permohonan dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan dalam

surat permohonan.

6) Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar

(SKUM) kepada pemohon sebagai dasar penyetoran panjar biaya

perkara ke bank.

7) Pihak Pemohon datang ke loket layanan bank dan mengisi slip

penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank

tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), seperti

nomor urut dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian Pemohon

menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar

yang tertera dalam slip bank tersebut.

8) Setelah Pemohon menerima slip bank yang telah divalidasi dari

petugas layanan bank, pihak berperkara menunjukkan slip bank

Page 78: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxviii

tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)

kepada pemegang kas.

9) Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan

kembali kepada Pemohon. Pemegang kas kemudian memberi tanda

lunas dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan menyerahkan

kembali kepada pihak berperkara asli dan tindasan pertama Surat

Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat permohonan yang

bersangkutan.

10) Pihak Pemohon menyerahkan kepada petugas Meja Kedua surat

permohonan serta tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar

(SKUM).

11) Petugas Meja Kedua mendaftar/mencatat surat permohonan dalam

register bersangkutan serta memberi nomor register pada surat

permohonan tersebut yang diambil dari nomor pendaftaran yang

diberikan oleh pemegang kas.

12) Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat

permohonan yang telah diberi nomor register kepada Pihak Pemohon.

13) Para Pemohon akan dipanggil oleh jurusita/jurusita pengganti untuk

menghadap ke persidangan setelah ditetapkan Susunan Majelis Hakim

(PMH) dan Panitera Pengganti yang ditunjuk langsung oleh Ketua

Pengadilan Negeri Surakarta, serta penetapan hari sidang pemeriksaan

perkaranya (PHS) oleh Hakim Pemeriksa.

14) Pada saat hari sidang yang telah ditentukan, Para Pemohon hadir

sendiri dengan membawa bukti-bukti surat dan saksi-saksi.

Pada dasarnya prosedur pengajuan permohonan penetapan

perkawinan beda agama sama dengan prosedur pengajuan gugatan perkara

perdata biasa. Kesamaan lainnya adalah dalam hal pengajuan gugatan

biasa dan permohonan penetapan perkawinan beda agama adalah sama-

sama dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa untuk membuat,

menandatangani, mengajukan atau menyampaikan gugatan atau

Page 79: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxix

permohonan tersebut kepada Pengadilan Negeri. Namun dalam pengajuan

gugatan biasa dikenal adanya pengajuan gugatan secara lisan, tetapi tidak

demikian dengan pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda

agama yang hanya dapat diajukan secara tertulis.

b. Proses Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama

Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri

Surakarta, yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi dan berdasarkan Berkas

Permohonan Perkawinan Beda Agama No. 14/ Pdt. P/ 2008/ PN. Ska dan

Berkas Permohonan Perkawinan Beda Agama No. 01/ Pdt.P/ 2009/

PN.Ska, maka proses pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan

beda agama adalah sebagai berikut:

1) Setelah sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum, kemudian

Para Pemohon datang sendiri dan menghadap ke muka persidangan;

2) Hakim membacakan permohonan Para Pemohon yang terdaftar di

Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surakarta;

3) Untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon mengajukan

bukti-bukti surat yang bermaterai cukup serta telah dilegalisir dan

menghadirkan pula saksi-saksi;

4) Setelah dilakukannya pemeriksaan terhadap bukti-bukti surat dan

saksi-saksi, Para Pemohon menerangkan sudah cukup dan memohon

penetapan;

5) Selanjutnya hakim mempertimbangkan segala sesuatu yang terjadi di

persidangan sebagai dasar untuk menyusun suatu penetapan;

6) Kemudian Hakim membacakan penetapan di muka persidangan yang

terbuka untuk umum.

Jika dibandingkan antara proses pemeriksaan permohonan

penetapan perkawinan beda agama dengan proses pemeriksaan pada

gugatan biasa, maka terdapat perbedaan diantara keduanya. Dimana

perbedaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

Page 80: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxx

a. Proses pemeriksaan permohonan penetapan perkawinan beda agama

1) Pihak yang diperiksa pada proses persidangan hanya Pemohon

atau kuasanya, karena yang terlibat hanya sepihak yaitu Pemohon

sendiri dan tidak ada pihak lawan;

2) Dalam persidangan hanya mendengar keterangan Pemohon atau

kuasanya dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh

Pemohon berupa surat atau saksi;

3) Pemeriksaan tidak berlangsung secara contradictoir, maksudnya

bahwa dalam pemeriksaan permohonan tidak ada bantahan dari

pihak lain;

4) Tidak ada tahap replik, duplik dan kesimpulan.

b. Proses pemeriksaan gugatan biasa

1) Pihak yang dipanggil dan diperiksa dalam persidangan adalah

pihak penggugat dan tergugat, karena pada prinsipnya

pemeriksaan tidak boleh dilakukan secara sepihak;

2) Proses pemeriksaan berlangsung secara contradictoir, dimana

diberikan hak dan kesempatan kepada Tergugat untuk membantah

dalil Penggugat, serta sebaliknya Penggugat juga berhak untuk

melawan bantahan Tergugat;

3) Terdapat replik, duplik maupun konklusi, karena pemeriksaan

perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah.

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan atau Menolak Pengajuan

Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama

a. Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Penetapan

Perkawinan Beda Agama

Berdasarkan Berkas Penetapan Nomor: 01/ Pdt.P/ 2009/ PN. Ska,

dan hasil wawancara dengan Hakim pada Pengadilan Negeri Surakarta

yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi, Penulis mendapatkan beberapa data

mengenai dasar pertimbangan Hakim dalam mengabulkan Permohonan

Perkawinan Beda Agama. Dimana antara lain bahwa permohonan ini

Page 81: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxxi

dikabulkan untuk menghindari dan mencegah perilaku asusila Para

Pemohon di dalam masyarakat, dalam hal ini dapat diartikan sebagai

‘kumpul kebo’ maupun terjadinya hamil di luar nikah.

Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga tidak secara

tegas mengatur tentang perkawinan yang dilaksanakan oleh umat yang

berlainan agama, maka ketentuan-ketentuan dalam Stbl 1898 No. 158

tentang Peraturan Perkawinan Campuran dapat diterapkan dalam perkara

antara pemohon I (ST) dan pemohon II (SM) yang masing-masing

bersikukuh tetap mempertahankan agamanya. Ketentuan Pasal 6 Stbl

1898 No. 158 ditentukan pelaksanaan perkawinan campuran c.q beda

agama maka pelaksanaan perkawinan ditentukan oleh hukum yang

berlaku bagi suaminya dengan tidak mengurangi persetujuan yang selalu

dipersyaratkan, bahwa apabila hukum suami (Islam) tidak menentukan

cara-cara pelaksanaan perkawinan agama dihadapan siapa perkawinan

dilaksanakan dan ternyata hukum suami (Islam) tidak mengatur

perkawinan beda agama, maka dengan merujuk ketentuan Pasal 6 ayat (2)

Stbl 1898 No. 158 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama antara Pemohon

I dan Pemohon II, Hakim menunjuk Kantor Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Kota Surakarta untuk melaksanakan perkawinan beda

agama antara Para Pemohon. Kemudian didasarkan pula pada Pasal 7

ayat (2) Stbl. 1898 No. 158, yang menjelaskan bahwa perbedaan agama

bukan menjadi halangan untuk dilangsungkannya suatu perkawinan.

Sedangkan jika ditinjau dari segi yuridisnya, dasar pertimbangan

Hakim dalam mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda

agama tersebut antara lain berdasarkan pada Pasal 8 Undang-undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang larangan perkawinan, dimana

mengenai perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk

melangsungkan perkawinan, maka sudahlah tepat apabila persoalan

perkawinan beda agama merupakan wewenang Pengadilan Negeri untuk

memeriksa dan memutuskan. Serta didasarkan pula pada Pasal 29 Ayat

(2) Undang-undang Dasar 1945 dimana dijelaskan bahwa setiap warga

Page 82: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxxii

negara mendapat jaminan oleh negara dalam memeluk dan menjalankan

agamanya tersebut, sehingga Para Pemohon berhak untuk

mempertahankan keyakinan dari agamanya termasuk beribadah

membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh dua calon yang berbeda

agama.

Perkawinan beda agama yang sudah dilegalkan oleh Pengadilan

Negeri (PN) Surakarta, tidak berarti pasangan beda agama tersebut

menikah di Pengadilan Negeri Surakarta. Jadi, wewenang pengadilan

negeri di sini hanya mengizinkan bukan menikahkan pasangan beda

agama karena kapasitas pengadilan bukan untuk itu. Selain itu,

berdasarkan pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 ditegaskan

kalau setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan

keturunan melalui perkawinan yang sah. Begitupula pada pasal 10 ayat

(3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ditegaskan dengan

mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum

agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan

Pegawai Pencatat dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Pencatatan ini

dapat dilakukan segera setelah Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil

Surakarta menerima salinan penetapan dari Pengadilan Negeri Surakarta

untuk mencatat perkawinan antara pasangan beda agama pada buku

register setelah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut Undang-

Undang.

b. Pertimbangan Hakim dalam Menolak Permohonan Penetapan Perkawinan

Beda Agama

Berdasarkan Berkas Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska

dan wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta yaitu bapak

Susanto Isnu Wahjudi, beberapa dasar pertimbangan yang digunakan

Hakim untuk menolak permohonan perkawinan beda agama adalah

sebagai berikut:

Page 83: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxxiii

1) Aspek Sosial

a) Perkawinan pada dasarnya harus dilaksanakan sesuai dengan

hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya, sehingga

tidak ada perkawinan yang dilaksanakan di luar hukum masing-

masing agama yang disebabkan karena pihak yang akan

melangsungkan perkawinan memilki keyakinan/agama yang

berbeda;

b) Perkawinan yang dilakukan antara pihak yang memilki keyakinan

berbeda tidak sah menurut agama manapun, dan hubungan mereka

sebagai suami isteri yang tetap berbeda agama akan menimbulkan

dosa yang menjadi tanggung jawab pihak yang melangsungkan

perkawinan karena secara agama bisa dikatakan sebagai perbuatan

yang haram, dan apa yang dilakukan sama dengan perzinahan.

c) Jika pihak suami dan istri yang melangsungkan perkawinan beda

agama ini mempunyai keturunan, maka status anak dari para

pihak ini dapat dikatakan sebagai “anak haram”, karena dilahirkan

dari hubungan yang dilarang dan haram pula menurut hukum

agama.

2) Aspek Agama

a) Agama manapun melarang terjadinya perkawinan antara pihak

yang memilki keyakinan berbeda. Jika hal ini tetap terjadi, maka

perkawinan tersebut dianggap suatu perbuatan yang haram dan

akan menimbulkan dosa besar bagi pihak yang melangsungkan

perkawinan beda agama tersebut. Berikut penjelasan mengenai

perkawinan beda agama menurut masing-masing agama:

(1) Pandangan agama Islam terhadap masalah perkawinan antar

pemeluk agama Islam dengan orang-orang yang bukan agama

Islam, yaitu :

(a) Melarang perkawinan umat Islam dengan orang-orang

yang beragama menyembah berhala, polytheisme, agama-

Page 84: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxxiv

agama yang tidak mempunyai kitab suci, dan dengan

kaum atheis;

(b) Melarang perkawinan antara wanita Islam dengan pria

bukan Islam;

(c) Mengenai perkawinan antara laki-laki muslim dengan

wanita bukan muslim yang ahli kitab, terdapat tiga

macam pendapat yaitu :

(i) Melarang secara mutlak;

(ii) Memperkenankan secara mutlak;

(iii)Memperkenankan dengan syarat yaitu apabila pria

muslim itu kuat imannya serta rajin ibadahnya.

(2) Agama Kristen

Menurut Agama Kristen (Protestan) perkawinan beda agama

tidak dapat dilakukan. Alasan apapun yang mendasarinya,

dalam agama ini perkawinan beda agama dilarang. (I Korintus

6 : 14-18).

(3) Agama Katolik

Bagi agama Katholik, pada prinsipnya perkawinan beda

agama katolik tidaklah dapat dilakukan, hal ini dikarenakan

karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai

sakramen. Namun kemudian pada tiap gereja katolik pasti ada

proses dispensasi yang memungkinkan terjadinya perkawinan

beda agama.

(4) Agama Buddha

Menurut Agama Buddha sebenarnya perkawinan beda agama

tidaklah terlalu bermasalah. Hanya saja, memang disarankan

untuk satu agama. Hal ini disebabkan pertimbangan kehidupan

nantinya dalam perkawinan itu sendiri.

Page 85: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxxv

(5) Agama Hindu

Agama Hindu tidak mengenal adanya perkawinan beda

agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus

dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah

seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia

diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau

calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih

dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan (Ketentuan

Seloka V89 kitab Manawadharmasastra).

b) Berdasarkan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor :

4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama,

yang berisi, antara lain sebagai berikut:

(1) Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah;

(2) Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab,

menurut Qaul Mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.

3) Aspek Yuridis

a) Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974, perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu;

b) Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tiap-tiap

perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku untuk memperoleh bukti tentang keabsahan

perkawinan tersebut. Namun hingga saat ini belum ada instansi

yang ditunjuk untuk mencatatkan perkawinan beda agama;

c) Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun

1975, pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai

Pencacatan sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang No.

32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk,

Page 86: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxxvi

sedangkan menurut ayat (2) pencatatan perkawinan bagi mereka

yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan

kepercayaannya itu selain agama Isalam dilakukan oleh Pegawai

Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana

dimaksud dalam perundang-undangan mengenai pencatatan

perkawinan;

d) Menurut ketentuan Pasal 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2006,

pengadilan diberi wewenang untuk menetapkan perkawinan,

namun pengadilan bukan lembaga yang diberikan wewenang

untuk mengesahkan perkawinan, dan menurut Pasal 36 Undang-

undang No. 23 Tahun 2006 penetapan pengadilan hanya sebatas

dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan Akta

Perkawinan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri

Surakarta, yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi dan berdasarkan Berkas

Penetapan Nomor: 14/ Pdt.P/ 2008/ PN.Ska, dasar pertimbangan Hakim

dalam menolak permohonan penetapan perkawinan beda agama yang

lainnya adalah karena Pemohon yang mengajukan permohonan

penetapan perkawinan beda agama tersebut terlebih dahulu telah

melakukan perkawinan siri. Dimana perkawinan siri dapat dinyatakan

sah ditinjau dari segi agama, sehingga pemohon dirasa tidak perlu lagi

mengajukan permohonan penetapan perkawinan beda agama ke

Pengadilan Negeri Surakarta karena Para Pemohon telah sah dalam

ikatan perkawinan dan hanya tinggal mencatatkan perkawinan tersebut.

Sehingga penetapan yang dikeluarkan oleh Hakim adalah menolak

permohonan penetapan perkawinan beda agama yang diajukan oleh Para

Pemohon.

Page 87: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxxvii

3. Kekuatan Hukum Penetapan Perkawinan Beda Agama

Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri

Surakarta yaitu Bapak Susanto Isnu Wahjudi, setiap penetapan yang telah

ditetapkan dalam persidangan oleh Hakim adalah bersifat mengikat bagi para

pihak yang terkait di dalam perkara tersebut baik secara langsung maupun

tidak langsung dan juga memiliki kekuatan pembuktian. Penetapan tersebut

mempunyai kekuatan hukum yang pasti atau tetap selama para pihak tidak

mengajukan upaya hukum yang lain.

Penetapan Hakim atas Permohonan Perkawinan Beda Agama

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan sebagai kekuatan

pembuktian, dimana penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Kekutan Mengikat (bindende kracht)

Bedasarkan keterangan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu

Bapaka Susanto Isnu Wahjudi, bahwa penetapan perkawinan beda agama

dengan sendirinya merupakan akta otentik, karena merupakan produk

yang diterbitkan oleh Hakim atau pengadilan dalam menyelesaikan

persoalan mengenai pelaksanaan perkawinan beda agama. Dengan adanya

suatu penetapan perkawinan beda agama yang merupakan akta otentik,

dengan demikian dapat dilaksanakannya perkawinan antara pihak yang

berbeda agama atas dasar permohonan perkawinan beda agama kepada

Pengadilan Negeri Surakarta. Oleh karena itu Para Pemohon harus taat dan

tunduk pada penetapan, sebagaimana layaknya Undang-undang yang harus

dilaksanakan oleh semua pihak. Jadi penetapan perkawinan beda agama

ini mempunyai kekuatan hukum mengikat (bindende kracht).

Ketika penetapan telah memilki kekuatan hukum yang tetap dan

pasti, yaitu selama Para Pemohon tidak mengajukan upaya hukum lain,

maka penetapan perkawinan beda agama tersebut telah mengikat Para

Pemohon yang melangsungkan perkawinan beda agama serta pihak lain

yang terkait dengan pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda

agama tersebut, yaitu pihak Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil.

Dimana setelah adanya penetapan, maka Hakim menunjuk Kantor

Page 88: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxxviii

Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta untuk melaksanakan

perkawinan beda agama antara Para Pemohon, yang didasarkan pada

ketentuan Pasal 6 ayat (2) Stbl 1898 No. 158 dan juga memerintahkan

untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama ke dalam

Register Pencatatan Perkawinan.

b. Kekutan Pembuktian (bewijzende kracht)

Penetapan perkawinan beda agama yang dikeluarkan oleh Hakim

secara tertulis merupakan akta otentik dengan tujuan untuk dapat

digunakan sebagai alat bukti bagi Para Pemohon dan juga mempunyai

kekuatan bukti terhadap Pihak Ketiga (pihak luar). Dimana penetapan

dapat digunakan sebagai alat bukti bagi Para Pemohon saat akan

mengajukan upaya hukum atau pelaksanaan penetapan tersebut. Kekuatan

pembuktian dalam penetapan ini maksudnya adalah apabila ada pihak

ketiga yang menyangkal tentang sahnya perkawinan beda agama yang

dilakukan oleh Para Pemohon, maka Para Pemohon yang melangsungkan

perkawinan beda agama tersebut sudah mempunyai alat bukti tentang

sahnya perkawinan beda agama tersebut yang dapat dilihat dari penetapan

perkawinan beda agama yang telah dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan

Negeri Surakarta. Setelah adanya penetapan atas permohonan perkawinan

tersebut, maka para pihak dapat mencatatkan perkawinan tersebut pada

Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang kemudian para

pihak yang melakukan perkawinan secara otomatis mendapatkan Akta

Perkawinan, yang dapat menjadi alat bukti bahwa para pihak telah sah

melakukan perkawinan.

Page 89: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

lxxxix

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Proses Pengajuan dan Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda

Agama

a. Proses Pengajuan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama

Pada dasarnya proses pengajuan Permohonan Penetapan

Perkawinan Beda Agama pada Pengadilan Negeri, sama dengan proses

pengajuan gugatan biasa. Dimana proses pengajuannya adalah sebagai

berikut:

1) Pihak yang akan melangsungkan perkawinan beda agama datang ke

Pengadilan Negeri Surakarta untuk mengajukan permohonan

penetapan perkawinan beda agama, dengan menyerahkan surat

permohonan dan juga membayar panjar biaya perkara;

2) Surat permohonan didaftar atau dicatat ke dalam register serta

memberi nomor register pada surat permohonan tersebut;

3) Ketua Pengadilan Negeri Surakarta menunjuk Hakim tunggal dan

Panitera Pengganti;

4) Hakim pemeriksa menetapkan hari sidang;

5) Para Pemohon akan dipanggil oleh jurusita/jurusita pengganti

dengan membawa bukti-bukti berupa surat-surat dan saksi-saksi.

b. Proses Pemeriksaan Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama

Proses pemeriksaan pada pengajuan permohonan penetapan

perkawinan beda agama hanya bersifat sepihak saja, karena pihak yang

terlibat dalam pengajuan permohonan penetapan perkawinan beda agama

tersebut juga hanya sepihak. Sehingga yang hadir dalam proses

pemeriksaan di persidangan hanya pihak Pemohon atau kuasanya, karena

hanya keterangan dan bukti berupa surat maupun saksi dari pihak

Pemohon yang diperiksa dalam proses persidangan. Di dalam proses

yang bersifat sepihak ini, pemeriksaan tidak berlangsung secara

Page 90: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xc

contradictoir, yaitu dalam proses pemeriksaannya tidak ada bantahan

dari pihak lain.

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan atau Menolak Pengajuan

Permohonan Penetapan Perkawinan Beda Agama

a. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Penetapan

Perkawinan Beda Agama

Pada dasarnya permohonan penetapan perkawinan beda gama

yang dikabulkan oleh Hakim adalah didasarkan pada ketentuan Pasal 29

Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua UUD

1945, dimana dijelaskan bahwa setiap warga negara mendapat jaminan

oleh negara dalam memeluk dan menjalankan agamanya tersebut,

sehingga Para Pemohon berhak untuk mempertahankan keyakinan

agamanya termasuk beribadah membentuk rumah tangga dan

melanjutkan keturunan yang dilakukan oleh dua calon yang berbeda

agama. Kemudian didasarkan pula pada Pasal 8 Undang-undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang larangan perkawinan, dimana

mengenai perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk

melangsungkan perkawinan, maka persoalan perkawinan beda agama

menjadi wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan

memutuskan. Karena di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tidak

mengatur perkawinan beda agama, maka Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat

(2) Stbl. 1898 No. 158 tentang Perkawinan Campuran digunakan sebagai

dasar untuk mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda

agama.

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menolak Permohonan Penetapan

Perkawinan Beda Agama

1) Agama manapun melarang terjadinya perkawinan antara pihak yang

memilki keyakinan berbeda. Jika hal ini tetap terjadi, maka

perkawinan tersebut dianggap suatu perbuatan yang haram dan akan

Page 91: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xci

menimbulkan dosa besar bagi pihak yang melangsungkan

perkawinan beda agama tersebut;

2) Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974, perkawinan adalah

sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya.

3. Kekuatan Hukum atas Penetapan Perkawinan Beda Agama

a. Kekuatan Mengikat

Ketika tidak ada upaya hukum yang lain, maka penetapan telah

memilki kekuatan hukum yang tetap dan pasti, sehingga penetapan

tersebut telah mengikat Para Pemohon yang melangsungkan perkawinan

beda agama dan juga pihak lain yang terkait dengan pengajuan

permohonan penetapan perkawinan beda agama tersebut. Dalam

permohonan penetapan perkawinan beda agama ini, penetapan memilki

kekuatan hukum mengikat terhadap Para Pemohon yang mengajukan

permohonan penetapan perkawinan beda agama dan juga berlaku pula

bagi Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil. Dimana setelah adanya

penetapan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka Hakim

menunjuk Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta untuk

melaksanakan perkawinan beda agama antara Para Pemohon, yang

didasarkan pada ketentuan Pasal 6 ayat (2) Stbl 1898 No. 158 dan juga

memerintahkan untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda

agama ke dalam Register Pencatatan Perkawinan.

b. Kekuatan Pembuktian

Penetapan perkawinan beda agama yang dibuat secara tertulis yang

merupakan akta otentik mempunyai kekuatan hukum pembuktian,

bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi Para Pemohon

dan juga pihak ketiga. Maka Para Pemohon yang melangsungkan

perkawinan beda agama mempunyai alat bukti tentang sahnya

perkawinan beda agama yang dapat dilihat dari penetapan perkawinan

beda agama yang telah dikeluarkan oleh Hakim PN Surakarta.

Page 92: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xcii

B. Saran

1. Perlu adanya revisi terhadap Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, dengan ditetapkannya suatu peraturan yang menyangkut tentang

masalah perkawinan beda agama ini sebagai ketentuan pelaksanaan dari

Undang-undang Perkawinan tersebut, karena dalam Undang-undang No. 1

Tahun 1974 belum jelas dan tuntas dalam mengatur perkawinan antar agama

dengan tujuan memberikan jaminan kepastian hukum bagi seluruh

warganegara;

2. Perkawinan hendaknya dilaksanakan antara pihak yang memilki keyakinan

atau agama yang sama. Karena tidak ada satupun agama yang

memperbolehkan terjadinya perkawinan dengan pihak yang berbeda agama,

serta pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut juga akan menemui

kendala-kendala baik pada saat akan melaksanakannya maupun setelah

perkawinan beda agama tersebut dilaksanakan.

Page 93: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xciii

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid. Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Islam. http://asnawiihsan.blogspot.com> [30 Agustus 2009 pukul 15.00].

Abdurrahman dan Riduan Syahrani. 1978. Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Alumni.

Ahmad Azhar Basyir. 2004. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. Al-hud. Kawin Beda Agama. http://al-hudaz.blogspot.com/2009/04/kawin-beda-

agama-i.html> [30 Agustus 2009 pukul 15.00]. Gde Pudja. 1977. Hukum Kewarisan Hindu yang Diresepir ke Dalam Hukum

Adat di Bali dan Lombok. Jakarta: CV. Junasco. H.B. Soetopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : Sebelas Maret

University Press. Hilman Hadi Kusuma. 2003. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar

Maju. Jaih Mubarok. 2005. Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung:

Pustaka Bani Quraisy. M. Yahya Harahap. 2007. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

(Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan). Yogyakarta: Liberty.

Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press Soedikno Mertokusumo. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:

Liberty. Tajid Yakub. Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Islam.

http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/209/perkawinan-beda-agama-dalam-perspektif-islam.html> [5 September 2009 pukul 09.00].

Zulkarnaini. Perkawinan Sempurna Menurut Islam. http://[email protected]>

[5 September 2009 pukul 09.00].

Page 94: ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PENETAPAN …/Analisis... · hakim dalam menolak atau mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama serta kekuatan hukum penetapan perkawinan

xciv

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk

jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954. Undang-undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

(adminduk). Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Ketentuan Pelaksanaan dari UU

No. 1 Tahun 1974. Staatsblad 1898 Nomor 158. Tentang Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling

op de Gemengde Huwelijken (GHR). Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 4/ Munas VII/ MUI/ 8/ 2005

Tentang Perkawinan beda agama