112
ANALISIS STRUKTUR, KINERJA DAN KLUSTER INDUSTRI LOGAM DASAR BESI DAN BAJA DI INDONESIA OLEH MEGA DARMAYANTI H14103044 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

ANALISIS STRUKTUR, KINERJA DAN KLUSTER INDUSTRI LOGAM ... · sumber energi gas yang harganya semakin meningkat dalam proses produksinya ... logam dasar besi dan baja di Indonesia

  • Upload
    leanh

  • View
    226

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ANALISIS STRUKTUR, KINERJA DAN KLUSTER INDUSTRI LOGAM DASAR BESI DAN BAJA DI INDONESIA

OLEH MEGA DARMAYANTI

H14103044

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

RINGKASAN

MEGA DARMAYANTI. Analisis Struktur, Kinerja dan Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia (dibimbing oleh BUNGARAN SARAGIH).

Industri logam dasar besi dan baja merupakan industri strategis karena sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi suatu negara dan sebagai bahan baku vital bagi industri-industri secara keseluruhan. Permasalahan yang paling utama terjadi pada industri besi baja Indonesia yaitu industri ini memiliki ketergantungan impor bahan baku yang sangat tinggi. Hal ini karena industri besi baja nasional belum mampu menciptakan atau mengembangkan teknologi untuk pengolahan bijih besi lokal menjadi bahan mentah yang digunakan sebagai bahan baku untuk industri besi baja tersebut. Saat ini mulai terjadi krisis baja dunia akibat adanya permintaan besi baja yang sangat besar dari negara-negara seperti China, Irak, dan Rusia. Industri besi baja nasional ini pun masih menggunakan sumber energi gas yang harganya semakin meningkat dalam proses produksinya menyebabkan teknik pengolahannya pun menjadi kurang efisien. Berdasarkan permasalahan ini mencerminkan bahwa industri besi baja Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar baja internasional sehingga sedikit saja terjadi guncangan perekonomian yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga bahan baku baja sangat berpengaruh buruk terhadap struktur dan kinerja industri besi baja Indonesia.

Guncangan perekonomian seperti yang terjadi di pertengahan tahun 1997 yaitu adanya krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia termasuk juga Indonesia yang menyebabkan kenaikan harga-harga yang tajam, termasuk kenaikan harga bahan baku baja. Hal ini tentu berdampak pada struktur pasar besi baja dan juga mempengaruhi kinerja industrinya. Pada akhirnya dapat berdampak pula pada daya saing produk yang dihasilkan industri ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa struktur pasar dan juga kinerja industri logam dasar besi dan baja di Indonesia, serta mengidentifikasi kabupaten-kabupaten yang merupakan kluster (pengelompokan) industri besi baja di Indonesia.

Untuk menganalisa struktur pasar industri besi baja dilakukan analisis struktur industri dengan menggunakan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4). Untuk menganalisa kinerja industrinya maka dilakukan analisis kinerja yang dilihat berdasarkan pertumbuhan output dan nilai tambah; kontribusi industri besi baja terhadap industri manufaktur dari sisi tenaga kerja, unit usaha, dan nilai tambah yang dihasilkan; efisiensi; serta keuntungannya. Untuk melihat daya saing industri dilakukan dengan melihat kluster-kluster yang ada pada industri tersebut. Maka dalam penelitian ini dilakukan analisis kluster industri untuk melihat bagaimana kluster atau sebaran geografis industri logam dasar besi dan baja. Analisis kluster ini menggunakan alat analisis Sistem Informasi Geografis (SIG), skala, dan indeks spesialisasi. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder time series tahun 1995-2004, sumber data Badan Pusat Statistik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur industri logam dasar besi dan baja Indonesia adalah oligopoli ketat dengan CR4 sebesar 71,15 persen. Krisis ekonomi telah melemahkan struktur industrinya karena sejak krisis ekonomi nilai rasio konsentrasinya terus mengalami penurunan sehingga keuntungan yang diperoleh semakin menurun. Saat krisis ekonomi, terjadi pertumbuhan output dan nilai tambah yang negatif pada industri besi baja Indonesia. Ini karena adanya kenaikan biaya input produksi yang sangat besar akibat kenaikan harga bahan baku baja impor. Pertumbuhan output dan nilai tambah yang negatif juga terjadi setelah krisis ekonomi, dimana pada tahun 2002 pertumbuhan negatif tersebut karena industri besi baja nasional menghadapi serangan dari produk-produk baja impor dimana hampir sebagian besar produk baja impor tersebut adalah produk dengan harga dumping dan ilegal sehingga hal ini mematikan perusahaan-perusahaan baja dalam negeri karena adanya persaingan yang tidak sehat. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan terpaksa menutup usahanya sehingga menurunkan output industri besi baja.

Isu terjadinya kelangkaan bahan baku besi baja yang menyebabkan kenaikan harga bahan baku dunia pada tahun 2003 menyebabkan pertumbuhan output dan nilai tambah yang negatif pula. Kondisi-kondisi yang mengancam industri besi baja Indonesia tersebut menyebabkan kinerja industri besi baja nasional sangat terganggu sehingga menurunkan kontribusi industri besi baja terhadap industri manufaktur dalam penyerapan tenaga kerja, nilai tambah,dan jumlah unit usahanya; menurunkan efisiensi dan juga keuntungan yang diperoleh perusahaannya. Dari analisis sebaran geografis dapat disimpulkan bahwa sampai tahun 2004 diindikasikan terdapat satu kluster terbesar industri logam dasar besi dan baja di Indonesia yaitu terletak di kabupaten Cilegon Propinsi Banten. Hal ini terbukti karena industri logam dasar besi dan baja di Cilegon memberikan sumbangan cukup besar baik pada penyerapan tenaga kerja maupun nilai tambahnya. Kabupaten-kabupaten dengan nilai indeks spesialisasi lebih dari satu cukup potensial untuk dibangun dan dikembangkan menjadi kluster-kluster industri logam dasar besi baja yang kuat sehingga dampaknya dapat meningkatkan daya saing industrinya.

Berdasarkan penelitian ini, peran pemerintah dapat membuat kebijakan yang mengatur dan mengontrol terlaksananya program pengolahan bijih besi lokal dengan memprioritaskan dana-dana untuk tujuan tersebut agar ketergantungan impor bahan baku baja dapat berkurang. Untuk meningkatkan daya saing produk yang tinggi, peran yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan kebijakan pengembangan kluster-kluster industri terutama kluster industri besi baja Indonesia yang kuat.

ANALISIS STRUKTUR, KINERJA DAN KLUSTER INDUSTRI LOGAM DASAR BESI DAN BAJA DI INDONESIA

Oleh

MEGA DARMAYANTI H14103044

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,

Nama Mahasiswa : Mega Darmayanti

Nomor Registrasi Pokok : H14103044

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Struktur, Kinerja dan Kluster

Industri Logam Dasar Besi dan Baja di

Indonesia

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian

Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. NIP. 130 350 045

Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S.

NIP. 131 846 872

Tanggal kelulusan :

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA

PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2007

Mega Darmayanti H14103044

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Mega Darmayanti lahir pada tanggal 31 Juli 1985 di

Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang berada di Provinsi Banten. Penulis

anak keempat dari empat bersaudara, dari pasangan Dharma Sastra dan Rani

Susanti. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari menamatkan sekolah di TK dan

SD Mardi Yuana Labuan, kemudian melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri 1

Labuan dan lulus pada tahun 2000. Setelah itu, kembali melanjutkan sekolah ke

SMU Mardi Yuana Serang dan lulus pada tahun 2003.

Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih

tinggi. Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), akhirnya penulis

diterima sebagai mahasiswi Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan

Manajemen Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di

organisasi Keluarga Mahasiswa Buddhis Adhithana (KMBA) serta berperan aktif

dalam kepanitiaan-kepanitiaan acara di kampus.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga

penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah

“Analisis Struktur, Kinerja dan Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja

di Indonesia”. Topik struktur, kinerja dan kluster terutama terhadap industri

logam dasar besi dan baja di Indonesia sangat menarik untuk dianalisis. Selain

karena masih sedikitnya analisis ekonomi yang dilakukan kepada industri logam

dasar besi dan baja Indonesia, hal ini juga karena ada beragam permasalahan yang

terjadi pada industri tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang struktur, kinerja dan kluster pada industri ini. Di samping hal

tersebut, penulisan skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan

Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis

sampaikan kepada :

1. Papa (Dharma Sastra) dan Mama (Rani Susanti) atas kasih sayang, doa,

semangat dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis. Ko Ahaw, Ko

Cun-cun, Ko Ayong yang selalu membantu dan melindungiku. Semoga

selalu berbahagia.

2. Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. yang banyak membantu dalam

membimbing penulis baik secara teknis dan teoritis serta baik moril dan

materil dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan.

3. Ir. Tanti Novianti, M.Si yang telah bersedia menguji dan memberikan

masukan yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.

Widyastutik, M.Si sebagai penguji dari komisi pendidikan yang juga telah

memberikan masukan dalam perbaikan tata cara penulisan skripsi ini.

4. Syamsul Hidayat Pasaribu, S.E, M.Si sebagai pembimbing akademik yang

telah bersedia memberikan bimbingan dalam proses akademik selama

perkuliahan.

5. Bapak Marsel sebagai guru di SMU. Mardi Yuana serang yang telah

memperkenalkan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB kepada penulis.

Terima kasih kepada keluarga besar Departemen Ilmu Ekonomi yang

banyak membantu. Guru-guru tercinta di SMU Mardi Yuana Serang, SLTP.

N. 1 Labuan, TK/SD Mardi Yuana Labuan atas bekal pendidikan yang

penulis dapatkan.

6. KMBA 40 (Linda, Hudar, Beni, Hansen, Rika, Herni, dan Hendri) sebagai

teman yang selalu membawa keceriaan dan semangat. KMBA 39 (Ci Fany,

Ko Edi.C, Ko Pocil, Ko Andi, Ko Edi. S) yang telah memberikan semangat

luar biasa bagi penulis. KMBA 41, 42, 43, dan 44. Semoga kalian

berbahagia.

7. Ci Hanie (IE 39) yang selalu meminjamkan buku-buku perkuliahan dan juga

memberikan segala masukan yang bermanfaat dalam proses akademik.

Teman-teman IE 40, terutama Ria Lubis, Dewi Sondari, dan Mukti Asih atas

persahabatan yang telah terjalin selama ini. Rina, Erni, Dian Timor, dan

Winsih atas bantuan yang diberikan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak

kekurangan, tetapi semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain

yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2007

Mega Darmayanti H14103044

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... viii

I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2. Perumusan Permasalahan .................................................................... 6

1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 7

1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 7

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .................... 9

2.1. Tinjauan Teori ..................................................................................... 9

2.1.1. Definisi Industri ....................................................................... 9

2.1.2. Struktur Pasar ........................................................................... 10

2.1.3. Kinerja Industri ........................................................................ 13

2.1.4. Teori Lokasi ............................................................................. 15

2.1.5. Kluster Industri ........................................................................ 18

2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 19

2.3. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 22

III. METODE PENELITIAN ........................................................................... 25

3.1. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 25

3.2. Metode Analisis .................................................................................. 25

3.2.1. Analisis Struktur Industri .......................................................... 26

3.2.2. Analisis Kinerja Industri ........................................................... 26

3.2.3. Analisis Kluster Industri ........................................................... 27

IV. GAMBARAN UMUM .............................................................................. 32

4.1 Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia .................................. 32

4.2 Sejarah Perkembangan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ............................................................................................. 33

4.2.1. Periode Antara 1950-1960 ........................................................ 33

4.2.2. Periode Antara 1960-1965 ........................................................ 34

4.2.3. Periode Antara 1965-1997 ........................................................ 35

4.2.4. Periode Antara 1997-2007 ........................................................ 36

4.3. Regulasi Pemerintah Terhadap Industri Logam Dasar Besi dan Baja ...................................................................................... 38

4.4. Produksi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia .................. 41

4.5. Perkembangan Ekspor dan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ..................................................................... 43

V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 45

5.1. Analisis Struktur Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ............................................................................................. 45

5.2. Analisis Kinerja Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ............................................................................................. 50

5.2.1. Pertumbuhan Output Produksi dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ....................... 50

5.2.2. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap Industri Manufaktur .................................................... 54

5.2.3. Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ........ 58

5.2.4. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ................................................................................. 62

5.3. Analisis Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ...... 66

5.4. Rekomendasi Kebijakan .................................................................... 77

VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 81

6.1. Kesimpulan ........................................................................................ 81

6.2. Saran ................................................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 83

LAMPIRAN ........................................................................................................ 86

vi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Sektor Tahun 1993 dan 2006 Triwulan I (persen) .................................................. 2

1.2. Nilai Ekspor dan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2001-2004 (US $ juta) .................................................... 3

2.1. Contoh Tipe Pasar mulai dari Monopoli Murni sampai Persaingan Murni ....................................................................................... 10

3.1. Prosedur dan Aktifitas Utama dalam SIG .................................................. 28

4.1. Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan Indonesia Tahun 1996-2000 ....................................................................................... 37

4.2. Perkembangan Volume Produksi Beberapa Produk Besi Baja Indonesia Tahun 2002-2004 (ribu ton) ...................................................... 42

4.3. Perkembangan Ekspor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2000-2005 ....................................................................... 43

4.4. Perkembangan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2000-2005 ....................................................................... 44

5.1. CR4 Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004 ....................................................................................... 45

5.2. Pertumbuhan Output dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004 (persen) ................................. 51

5.3. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap Industri Manufaktur 1995-2004 (persen) .................................... 55

5.4. Tingkat Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia Tahun 1995-2004 (persen) ......................................................................... 59

5.5. Efisiensi Industri Penggilingan Baja Indonesia, tahun 1998 ..................... 60

5.6. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia .................... 63

5.7. Rasio Skewness dan Kurtosis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 dan 2004 ................................................................ 69

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1. Konsumsi Baja Dunia Tahun 2003 ............................................................ 4

2.1. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 24

5.1. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Jawa ................................................................................................. 67

5.2. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Kalimantan ....................................................................................... 68

5.3. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Sumatera .......................................................................................... 68

5.4. Histogram Distribusi Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 .............................................. 70

5.5. Histogram Distribusi Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 .............................................. 70

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Nilai Tambah, Output, Tenaga Kerja, dan Input Industri Logam Dasar Besi dan Baja Per Kabupaten Indonesia Tahun 1995 ...................... 87

2. Data Nilai Tambah, Output, Tenaga Kerja, dan Input Industri Logam Dasar Besi dan Baja Per Kabupaten Indonesia Tahun 2004 ...................... 89

3. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004 ....................................................................................... 91

4. Peringkat Kabupaten/Kota Menurut Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi Baja Indonesia Tahun 1995 .... 92

5. Peringkat Kabupaten/Kota Menurut Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi Baja Indonesia Tahun 2004 .... 93

6. Daerah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Berdasarkan

Subsektor Tahun 2004 ............................................................................... 94

7. Indeks Spesialisasi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia 2004 ........................................................................................... 95

8. Indeks Spesialisasi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia 1995 ........................................................................................... 96

9. Hasil Analisis Frequencies Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 ................................................................................ 97

10. Hasil Analisis Frequencies Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 ................................................................................ 98

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa perubahan yang

sangat cepat bagi dunia perekonomian. Dampak yang sangat dirasakan yaitu

semakin ketatnya persaingan sektor industri di berbagai negara. Oleh karena itu,

agar sektor industri ini mampu berkembang dalam ketatnya persaingan dunia pada

saat ini maka industri harus mampu meningkatkan perekonomian yang berdaya

saing tinggi. Hal ini juga yang hendaknya dimiliki oleh sektor industri di

Indonesia agar mampu bertahan dalam perekonomian dunia. Dengan demikian,

banyak tantangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia dalam membangun sektor

industrinya.

Adanya industrialisasi mengakibatkan transformasi struktural di Indonesia,

ditandai dengan terjadinya penurunan kontribusi sektor pertanian (sektor primer)

dan peningkatan di sektor sekunder atau tersier. Kinerja suatu industri, dapat

dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun

1993 sampai 2006, sektor industri manufaktur atau industri pengolahan telah

menjadi penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB dibandingkan sektor-

sektor lainnya. Pada tahun 1993, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap

PDB sebesar 22,30 persen, dan pada tahun 2006, kontribusi industri pengolahan

telah mencapai 28,72 persen (Tabel 1.1). Bila dibandingkan dengan sektor

pertanian bahwa pada tahun 1993, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB

sebesar 17,88 persen dan di tahun 2006, kontribusi sektor pertanian menurun

2

menjadi 13,36 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor industri telah

menggeser sektor pertanian dalam pembangunan.

Tabel 1.1. Kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) menurut Sektor Tahun 1993 dan 2006 Triwulan I (persen)

Kontribusi PDB Sektor / Lapangan Usaha 1993 2006

1. Pertanian 17,88 13,362. Pertambangan 9,55 10,513. Industri Pengolahan 22,30 28,724. Listrik, Gas, Air bersih 1,00 0,875. Konstruksi 6,83 6,436. Perdagangan, Hotel dan Restoran 16,77 14,977. Pengangkutan dan Komunikasi 7,05 7,048. Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 8,51 8,329. Jasa-jasa 10,30 9,78 PDB 100,00 100,00

Sumber : BPS, Pendapatan Nasional Indonesia, 1993 dan 2006 (Triwulan I)

Perkembangan ekspor industri nasional menunjukkan adanya

ketergantungan ekspor andalan pada sepuluh komoditi industri. Kesepuluh

industri andalan tersebut adalah tekstil dan produk tekstil; pengolahan kayu; kulit,

barang kulit, dan sepatu/alas kaki; pengolahan karet; elektronika; logam dasar besi

dan baja; mesin dan automotif; pengolahan kelapa/kelapa sawit; pulp dan kertas;

makanan dan minuman; pengolahan tembaga dan lainnya. Dari sepuluh komoditas

andalan tersebut, terdapat tiga komoditas andalan yang padat modal yaitu industri

elektronika, industri logam dasar besi dan baja serta industri mesin dan automotif.

Pada tahun 1995, kontribusi kesepuluh komoditas ekspor andalan tersebut

terhadap nilai total ekspor nonmigas yakni sebesar 72,08 persen

(ElektoIndonesia,2006).

Kasus yang menarik terjadi pada industri logam dasar besi dan baja adalah

walaupun industri logam dasar besi dan baja menjadi salah satu ekspor andalan

3

tetapi penerimaan industri ini masih tetap defisit karena nilai impornya masih

lebih besar daripada nilai ekspor (Tabel 1.2). Industri logam dasar besi dan baja

nasional mempunyai ketergantungan yang sangat besar pada impor bahan

bakunya. Padahal, Indonesia dikenal kaya akan sumber daya alamnya tetapi masih

harus mengimpor hampir 100 persen pellet (bahan baku baja) dan 60 sampai 70

persen scrap (potongan) baja untuk keperluan industri bajanya (Ikhsan,2005).

Sementara itu, untuk mendapatkan impor baja ini pun, Indonesia harus bersaing

dengan negara-negara lain yang juga mengkonsumsi baja lebih banyak daripada

Indonesia seperti China, Irak dan Rusia.

Tabel 1.2. Nilai Ekspor dan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2001-2004 (US $ juta)

Tahun Nilai Ekspor Nilai Impor 2001 451 1.5472002 476 1.6952003 578 1.7382004 883 3.400

Sumber : Departemen Perindustrian, 2001-2004 Pada tahun 2003, konsumsi baja China sebesar 246,5 juta ton atau sebesar

28,5 persen dari konsumsi baja dunia (Gambar 1.1). Namun, China juga

merupakan salah satu produsen baja terbesar di dunia dengan produksi 220 juta

ton pada tahun 2003. Produksinya terus meningkat hingga menjadi 300 juta ton

pada 2004. Pada tahun 2005, angkanya meningkat menjadi 350 juta ton tetapi hal

ini tetap belum mampu memenuhi peningkatan kebutuhan baja negara tersebut

(Ikhsan,2005). Meningkatnya jumlah permintaan baja oleh negara-negara seperti

China, Irak, Rusia, dan negara-negara lainnya dalam jumlah cukup besar, dapat

menyebabkan terjadinya peningkatan harga baja di pasar internasional. Hal ini

dapat mengakibatkan terjadinya eksploitasi besi baja terutama eksploitasi bijih

4

besi sebagai bahan baku pembuatan besi baja untuk memenuhi permintaan yang

besar terhadap besi baja tersebut.

Gambar 1.1 Konsumsi Baja Dunia Tahun 2003 Sumber : Warta Ekonomi, 2006

Eksploitasi besi baja saat ini menduduki peringkat pertama diantara barang

tambang logam lainnya, melingkupi hampir 95 persen dari produk berbahan

logam (Rochman,2003). Dengan adanya eksploitasi ini, dalam jangka panjang

dikhawatirkan dapat menyebabkan kelangkaan besi baja di dunia. Hal ini juga

sangat mengkhawatirkan keberlanjutan aktivitas produksi industri logam dasar

besi baja di Indonesia yang sebagian besar bahan bakunya diimpor. Permasalahan

lainnya pada industri besi baja nasional adalah industri ini masih menggunakan

teknologi pengolahan baja yang kurang efisien karena masih menggunakan

sumber energi gas yang harganya semakin meningkat dan kondisi mesin produksi

yang sudah tua pada beberapa pabrik sehingga memberikan skala produksi yang

terbatas dan tingkat efisiensi rendah.

Pokok permasalahan bagi industri besi baja nasional adalah adanya

ketergantungan impor bahan baku yang tinggi, ini menunjukkan bahwa aktivitas

5

produksi industri besi baja nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi

di pasar internasional sehingga sedikit saja terjadi guncangan perekonomian di

pasar internasional sangat mempengaruhi kondisi industri besi baja nasional.

Guncangan perekonomian seperti krisis ekonomi yang melanda beberapa negara

Asia termasuk juga Indonesia di pertengahan tahun 1997 menyebabkan fluktuasi

kenaikan harga-harga yang tajam, begitu pula dengan kenaikan harga bahan baku

baja yang meningkat. Kenaikan harga bahan baku baja selain akibat pengaruh

krisis ekonomi juga akibat kelangkaan baja di dunia dapat mempengaruhi output

produksi besi baja Indonesia. Selain itu, tantangan lain bagi industri besi baja

Indonesia yaitu masuknya produk-produk baja impor dengan harga dumping atau

ilegal, inefisiensi produksi, hingga tidak kondusifnya iklim persaingan di dalam

negeri. Semua ini akan berpengaruh pada struktur pasar dan kinerja industri besi

baja nasional serta berpengaruh pula pada daya saing produknya.

Dengan demikian, baja dengan nilai ekonomi tinggi dan berfungsi vital

dalam pembangunan industri perlu mendapatkan perhatian yang baik agar produk-

produk industri besi baja nasional mampu berkompetisi dengan produk dari

negara lain baik dalam hal harga, jumlah produksi, kualitas, dan ketepatan waktu

penyebaran karena besi baja merupakan bahan baku vital untuk industri-industri

keseluruhan. Porter (1990) berpendapat bahwa derajat pengelompokan industri

secara geografis dalam suatu negara memainkan peranan penting dalam upaya

meningkatkan daya saing produk yang berkelanjutan. Porter (1990) mengatakan

bahwa kluster industri yang ditandai dengan konsentrasi geografis dari

perusahaan-perusahaan, lembaga dan industri-industri yang saling berkaitan satu

6

sama lain pada suatu bidang tertentu lebih produktif untuk meningkatkan daya

saing produk suatu industri.

1.2. Perumusan Permasalahan

Banyaknya permasalahan pada industri logam dasar besi dan baja di

Indonesia seperti ketergantungan impor bahan baku industri yang sangat tinggi,

adanya permintaan besi baja yang sangat besar dari negara-negara di dunia

menyebabkan industri besi baja nasional harus bersaing untuk mendapatkan bahan

baku tersebut dengan harga bahan baku yang tinggi pula, dan adanya teknologi

pengolahan baja yang kurang efisien, serta masuknya berbagai produk baja impor

dengan harga dumping dan ilegal sangat mengganggu kondisi industri besi baja

nasional.

Adanya permasalahan ini juga sangat mengkhawatirkan keberlanjutan

proses produksi industri ini kedepannya. Apalagi dipicu oleh kondisi

perekonomian yang kacau dan tidak menentu, seperti yang terjadi pada

pertengahan tahun 1997 yaitu saat terjadi krisis ekonomi yang melanda beberapa

negara Asia termasuk Indonesia yang menyebabkan kenaikan harga bahan baku

baja di pasar internasional. Hal ini tentu saja mempengaruhi struktur industri dan

kinerja industri besi baja Indonesia. Berdampak pula pada daya saing produk

industri besi baja tersebut. Salah satu pendekatan yang dikemukakan oleh Porter

(1990) untuk melihat daya saing industri adalah dengan menciptakan dan

mengembangkan kluster-kluster yang kuat pada industri tersebut. Bila suatu

industri memiliki kluster-kluster industri yang kuat maka diharapkan industri

tersebut mampu menciptakan produk yang berdaya saing tinggi.

7

Berdasarkan uraian tersebut, ada beberapa perumusan masalah yang akan

di jawab dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana struktur pasar industri logam dasar besi dan baja di Indonesia ?

2. Bagaimana kinerja industri logam dasar besi dan baja yang dihasilkan ?

3. Apakah terdapat pengelompokan (pengklusteran) industri logam dasar besi

dan baja di suatu area tertentu ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisa kondisi yang terjadi

pada industri baja di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh kondisi

perekonomian internasional. Berdasarkan pada perumusan masalah yang telah

diungkapkan sebelumnya, maka tujuan spesifik dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisa struktur pasar industri logam dasar besi dan baja di

Indonesia.

2. Menganalisa kinerja industri logam dasar besi dan baja yang dihasilkan.

3. Mengidentifikasi pengelompokan (pengklusteran) industri logam dasar

besi dan baja di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah agar dapat memberikan informasi

mengenai kondisi pada industri logam dasar besi dan baja di Indonesia. Manfaat

penelitian ini secara lebih khusus adalah sebagai berikut :

1. Merekomendasikan wilayah-wilayah yang potensial untuk dibangun dan

dikembangkan kluster industri besi baja berdasarkan analisis kluster

8

industri agar industri mampu menghasilkan daya saing produk yang

berkelanjutan.

2. Bagi para pelaku pasar, semoga penelitian ini bisa memberikan tambahan

informasi atas kondisi yang terjadi pada industri logam dasar besi dan baja

Indonesia sehingga menjadi motivasi untuk meningkatkan kinerja

industrinya dan mencari solusi untuk mengurangi ketergantungan impor

bahan bakunya.

3. Bagi penulis, penelitian ini sebagai proses belajar dalam menganalisa

suatu permasalahan yang ada dan tentunya memberikan tambahan ilmu

pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui serta membuka pemahaman

untuk mencari jawaban atas perumusan masalah.

9

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teori

2.1.1. Definisi Industri

Dumairy (1995) mengatakan ada dua pengertian industri. Pertama, industri

adalah himpunan perusahaan sejenis. Kedua, industri diartikan sebagai suatu

sektor ekonomi yang didalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah

bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi.

Industri logam dasar besi dan baja merupakan salah satu dari berbagai

macam industri manufaktur yang ada. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik)

(1999), industri manufaktur adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan

kegiatan mengubah suatu barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi dan

barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dan

sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir secara mekanis, kimia, atau dengan

tangan.

Menurut BPS (1999), sektor industri digolongkan menjadi empat golongan

berdasarkan banyaknya pekerja, yaitu :

1. Industri Besar, dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih.

2. Industri Sedang, dengan tenaga kerja antara 20 sampai 99 orang.

3. Industri Kecil, dengan tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang.

4. Indusri Rumah tangga, dengan tenaga kerja satu sampai empat orang.

BPS mempunyai sistem klasifikasi standar industri yang terperinci yang

biasa dikenal sebagai International Standard Industrial Classification (ISIC) atau

10

Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI). Sistem penggolongan ISIC ini

ditetapkan oleh Organisasi Industri pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO).

2.1.2. Struktur Pasar

Salah satu ukuran yang digunakan untuk mengetahui struktur pasar suatu

industri adalah rasio konsentrasi. Nilai rasio konsentrasi ini merupakan intensitas

kompetisi yang terjadi diantara perusahaan-perusahaan dan industri (BPS,1999).

Kondisi utama dari tipe struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Contoh Tipe Pasar mulai dari Monopoli Murni sampai Persaingan Murni

Tipe Pasar Kondisi Utama Contoh Sehari-hari

Monopoli Murni Perusahaan yang dominan (dominant firm) Oligopoli ketat Oligopoli longgar Persaingan monopolistik Persaingan murni

Suatu perusahaan memiliki 100 persen dari pangsa pasar Suatu perusahaan yang memiliki 50-100 % dari pangsa pasar dan tanpa pesaing yang kuat. Penggabungan 4 perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar 60-100 %. Kesepakatan di antara mereka untuk menetapkan harga relatif mudah. Penggabungan 4 perusahaan terkemuka yang memiliki 40% atau kurang, kesepakatan di antara mereka untuk menetapkan harga sebenarnya tidak mungkin. Banyak pesaing yang efektif, tidak satupun yang memiliki lebih dari 10 % pangsa pasar. Lebih dari 50 pesaing yang mana tidak satu pun yang memiliki pangsa pasar yang berarti.

PLN, Telkom, PAM. Surat kabar lokal/nasional, film kodak, batu bateray. Perbankan lokal, siaran TV, bola lampu, sabun, toko buku, rokok kredit dan semen. Kayu, pekakas rumah, mesin-mesin kecil, perangkat keras, majalah, batu bateray, obat-obatan. Pedagang eceran, pakaian. Sapi dan unggas

Sumber : Stepherd dalam Jaya, 2001

Menurut Shaw dan Sutton (1976) dalam Jaya (2001), ada dua pengertian

struktur industri. Pertama, struktur menggambarkan karakteristik dan komposisi

11

pasar atau industri di suatu ekonomi. Kedua, struktur juga berarti jumlah dan

ukuran distribusi perusahaan di suatu ekonomi secara keseluruhan.

Struktur industri juga berhubungan dengan karakteristik dan pentingnya

pasar tertentu (individual) di dalam ekonomi. Dalam hal ini, struktur pasar

menggambarkan lingkungan dimana suatu pasar beroperasi. Elemen-elemen

struktur pasar antara lain pangsa pasar (market share), konsentrasi, dan hambatan

untuk memasuki pasar (barrier to entry).

a. Pangsa Pasar (market share)

Menurut Jaya (2001), yang menjadi landasan posisi pasar perusahaan

adalah pangsa pasar yang diraihnya. Pangsa pasar dalam praktek bisnis

merupakan tujuan atau motivasi perusahaan. Perusahaan dengan pangsa pasar

yang besar akan menikmati keuntungan dari penjualan produknya. Peranan

pangsa pasar, seperti halnya elemen struktur pasar yang lain adalah sebagai

sumber keuntungan bagi perusahaan.

Jika skala ekonomi besar, maka tingkat keuntungan yang diraih akan

semakin tinggi karena pangsa pasar yang naik. Pangsa pasar yang kuat biasanya

menandakan kekuatan pasar yang besar, sebaliknya pangsa pasar perusahaan yang

kecil berarti perusahaan tidak mampu bersaing dalam tekanan persaingan.

b. Konsentrasi

Konsentrasi (pemusatan) merupakan kombinasi pangsa pasar dari

perusahaan-perusahaan “oligopolis” dan adanya saling ketergantungan. Kelompok

perusahaan ini terdiri dari 2 sampai 8 perusahaan. Kombinasi pangsa pasar ini

akan membentuk suatu tingkat pemusatan dalam pasar. Bain dalam Jaya (2001)

12

mengatakan bahwa antara tingkat konsentrasi dengan penghasilan terdapat tingkat

korelasi yang rendah. Penerimaan rata-rata industri yang terkonsentrasi akan lebih

tinggi daripada penghasilan jenis industri yang kurang terkonsentrasi. Weiss

dalam Jaya (2001) dengan mengunakan suatu regresi berganda mendapatkan suatu

hubungan yang positif antara keuntungan (profit) dengan produk-produk yang

berkonsentrasi tinggi. Ada hubungan positif antara keuntungan dengan tingkat

konsentrasi mengindikasikan adanya halangan masuk yang besar bagi perusahaan

baru, karena dengan keuntungan yang besar maka perusahaan tersebut akan terus

berusaha untuk meningkatkan lagi konsentrasinya (Jaya, 2001).

c. Hambatan Untuk Masuk (Barrier to entry)

Segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan, kesempatan

atau kecepatan masuknya pesaing baru merupakan hambatan untuk masuk.

Hambatan-hambatan ini mencakup seluruh cara dengan menggunakan perangkat

tertentu yang sah seperti paten, hak mineral, dan franchise.

Ada beberapa hal umum mengenai hambatan memasuki suatu pasar.

Pertama, hambatan-hambatan timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak

hanya dalam bentuk perangkat yang legal atau dalam bentuk kondisi-kondisi yang

berubah dengan cepat. Kedua, hambatan dibagi dalam tingkatan mulai dari tanpa

hambatan sama sekali (bebas masuk), hambatan rendah, sedang sampai tingkatan

tinggi di mana tidak ada lagi yang masuk. Ketiga, hambatan merupakan sesuatu

yang kompleks.

13

2.1.3. Kinerja Industri

Menurut Caves (1982) dalam Marbun (2004), kinerja adalah seberapa baik

hasil yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan oleh perusahaan dalam

mencapai tujuan perekonomian dimana tujuan perekonomian adalah untuk

memaksimumkan kesejahteraan ekonomi yang meliputi :

1. Penggunaan faktor produksi secara efisien, dimana efisiensi ini dapat diukur

melalui return (profit) yang dihasilkan atau dari struktur biayanya.

2. Progresifitas yang meliputi peningkatan kualitas produksi, jenis produk dan

peningkatan teknik produksi.

3. Tingkat tenaga kerja penuh (full employment) dan kestabilan harga.

4. Pemerataan.

Menurut Shepperd (1990) bahwa kinerja didefinisikan dan diakibatkan

dari nilai yang dihasilkan oleh perilaku pasar. Kinerja berhubungan dengan

pencapaian atau hasil akhir dari fungsi pasar. Secara sederhana dapat dikatakan

bahwa kinerja berhubungan dengan seberapa baik (how well) pasar berfungsi.

Menurut Jaya (2001) dikatakan bahwa kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi

memiliki banyak aspek, namun hanya dipusatkan pada tiga aspek pokok yaitu

efisiensi, kemajuan teknologi dan keseimbangan dalam distribusi.

1. Efisiensi dalam Pengalokasian Sumber Daya

Efisiensi adalah menghasilkan suatu nilai output maksimum dengan

menggunakan sejumlah input tertentu, secara kuantitas fisik maupun nilai

ekonomis (harga). Dengan kata lain, sejumlah input yang boros dapat dihindarkan

sehingga tidak ada sumber daya yang tidak digunakan dan terbuang. Efisiensi

14

digolongkan dalam dua kategori yaitu efisiensi internal dan efisiensi

pengalokasian.

a. Efisiensi Internal

Efisiensi Internal diperoleh melalui pengelolaan yang baik dalam perusahaan.

Para manager menggunakan segala macam cara untuk memacu para pekerja,

menekan segala macam biaya dan mengawasi pelaksanaan-pelaksanaan yang

menyimpang.

b. Efisiensi Alokasi

Alokasi yang efisien terjadi pada saat output berada pada tingkat dimana

marginal cost (MC) sama dengan harga (P) dari masing-masing produk setiap

perusahaan di dalam perekonomian secara keseluruhan.

2. Kemajuan Teknologi

Melalui penemuan dan pembaharuan teknologi, seseorang dapat membuat

suatu karya yang baru serta dapat meningkatkan produktivitas suatu produksi

barang yang telah ada. Jika kemajuan teknologi bekerja dengan baik, produksi-

produksi baru ditawarkan, biaya-biaya menurun dan harga-harga yang turun akan

memperbesar keuntungan konsumen.

3. Keadilan (equity)

Keadilan adalah keseimbangan dalam distribusi. Keadilan memiliki tiga

dimensi yaitu kesejahteraan, pendapatan, dan kesempatan (oportunity).

Kesejahteraan dan pendapatan berhubungan dengan nilai uang sedangkan

kesempatan berhubungan dengan keinginan atau kemampuan seseorang untuk

memperoleh kesejahteraan, pendapatan dan kedudukan ekonomi lainnya di masa

15

depan. Keseimbangan mempengaruhi etika dan terdapat kriteria etika yang harus

dikombinasikan yaitu equity (kesamarataan), effort (upaya), dan contribution

(kontribusi) atau produktivitas (Sheppred, 1990).

2.1.4. Teori Lokasi

Menurut Djojodipuro (1992) bahwa dalam usaha untuk meminimumkan

biaya, maka suatu perusahaan berusaha untuk memilih lokasi yang tepat. Barang

yang diproduksi memerlukan bahan mentah dan tenaga kerja yang tidak jarang

harus diperoleh dari berbagai tempat yang berbeda, yang memerlukan biaya

angkutan untuk mendatangkannya. Pada umumnya biaya angkutan bagi bahan

mentah akan makin rendah bila ia menentukan tempat usahanya mendekati tempat

bahan mentah tersebut, sebaliknya akan makin tinggi bila menjauhi lokasi maupun

pasar tempat menjual hasilnya. Oleh karena itu, penting untuk menentukan lokasi

sehingga diperoleh biaya angkutan total yang minimum.

Djojodipuro (1992) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi lokasi industri. Adapun faktor yang mempengaruhinya adalah

sebagai berikut :

1. Factor endowment

Tersedianya faktor produksi secara kualitatif maupun kuantitatif di suatu

negara atau daerah. Factor endowment meliputi tanah, tenaga kerja dan modal.

Makin banyak factor endowment yang dimiliki suatu negara atau daerah maka

makin banyak pula yang harus diperhatikan dalam menentukan lokasi suatu

industri.

16

2. Pasar dan Harga

Suatu daerah yang berpenduduk banyak secara potensial merupakan pasar

yang perlu diperhatikan pengusaha. Bila daerah ini disertai pendapatan per

kapita yang tinggi, maka pasar tersebut akan menjadi efektif. Gejala ini makin

meningkat, bila distribusi pendapatan merata.

3. Bahan baku dan Energi

Proses produksi merupakan usaha untuk mentransformasikan bahan baku ke

dalam hasil akhir yang mempunyai nilai lebih tinggi. Proses transformasi ini

terjadi dengan mempergunakan energi dalam berbagai bentuk. Bahan baku

yang dipergunakan dapat merupakan bahan mentah atau barang setengah jadi.

Minyak bumi, biji besi, dan kayu gelondongan merupakan bahan mentah,

sedangkan besi baja, kayu lapis dan bebagai sekrup atau baut merupakan

barang setengah jadi.

4. Aglomerasi, Kaitan antar Industri dan Penghematan Ekstern

Kota-kota besar biasanya sering dijadikan sebagai lokasi industri sehingga

kota mudah terjadi gejala aglomerasi. Berkumpulnya berbagai jenis industri

mengakibatkan timbulnya penghematan eksternal, dalam hal ini merupakan

penghematan aglomerasi. Penghematan ini terjadi karena faktor-faktor luar

yang dinikmati oleh semua industri yang ada di kota tersebut. Terdapat dua

jenis penghematan aglomerasi, yaitu :

1. Penghematan yang diperoleh industri sejenis atau industri yang mempunyai

hubungan satu sama lain.

17

2. Penghematan yang diperoleh perusahaan individual yang berlokasi di daerah

perkotaan. Penghematan ini terutama didapat karena adanya infrastruktur di

daerah perkotaan yang telah berkembang pesat. Infrastruktur meliputi jalan

yang lebar dan licin, pelabuhan laut dan udara, sarana telekomunikasi, daerah

pertokoan, lembaga pendidikan dan latihan, lembaga penelitian dan jasa

lainnya.

5. Kebijaksanaan Pemerintah

Pemerintah dapat menentukan lokasi industri, kebijakan ini dapat merupakan

dorongan atau hambatan dan larangan untuk industri berlokasi di tempat

tertentu.

6. Kebijakan Pengusaha

Dalam hal ini menyangkut penentuan lokasi cabang suatu perusahaan oleh

pusat perusahaannya. Lokasi cabang ini ditentukan sesuai dengan fungsinya

sebagai unit produksi, unit distribusi atau unit penjualan. Bila cabang

berfungsi sebagai unit produksi maka masalah bahan baku maupun pasar akan

masuk dalam pertimbangan, sebaliknya bila cabang berfungsi sebagai unit

distribusi maka lokasi persimpangan jalan raya akan menarik karena

memungkinkan penggunaan sarana angkutan ke berbagai arah. Cabang yang

berfungsi sebagai unit pemasaran akan berlokasi mendekati konsumen yaitu di

kota-kota besar.

18

2.1.5. Kluster Industri

Kluster (pengelompokan) menurut teori lokasi tradisional terjadi karena

adanya minimisasi biaya transportasi atau biaya produksi. Pemilihan lokasi suatu

industri merupakan upaya dari industri tersebut untuk menguasai areal pasar

terluas melalui maksimisasi penjualan. Kluster industri pada dasarnya merupakan

kelompok aktifitas produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya

berspesialisasi pada satu atau dua industri saja (Kuncoro,2002).

Perusahaan-perusahaan atau industri tersebut memiliki persamaan

kebutuhan terhadap tenaga kerja, teknologi dan infrastruktur. Perusahaan-

perusahaan atau industri yang termasuk dalam kluster tersebut saling berkompetisi

antar sesama anggota kluster, membeli bahan baku, atau bergantung pada layanan

jasa sesama anggota untuk mengoperasikan bisnisnya masing-masing. Kluster

industri yang dikelola atau terorganisir dengan baik akan memberikan sumbangan

kesejahteraan bagi daerah tersebut karena dapat meningkatkan sumber daya

manusia melalui pelatihan terprogram atau tidak terprogram bagi tenaga kerjanya,

pembangunan infrastruktur yang diperlukan daerah tersebut dan penelitian di

berbagai universitas.

Porter (1990) telah meneliti tentang kluster industri di tingkat kota atau

kabupaten, propinsi, dan internasional. Berdasarkan penelitiannya, ia

mengembangkan “diamond of advantage”, yaitu suatu model yang menawarkan

pemahaman tentang apa yang terjadi di dalam kluster maupun tentang persaingan

yang terjadi didalamnya. Porter (1990) berpendapat bahwa daerah akan

mengembangkan suatu keunggulan kompetitif berdasarkan kemampuan inovasi,

19

dan vitalitas ekonomi yang merupakan hasil langsung dari persaingan industri

lokal.

Berbagai faktor yang memicu inovasi dan pertumbuhan kluster

diantaranya :

1. Faktor : misalnya tenaga kerja terampil yang dibutuhkan, infrastruktur khusus

yang tersedia dan hambatan-hambatan tertentu.

2. Permintaan sektor rumah tangga, atau pelanggan-pelanggan lokal yang

mendorong perusahaan-perusahaan untuk berinovasi.

3. Dukungan industri terkait, industri-industri pemasok lokal yang kompetitif

yang menciptakan infrastruktur bisnis dan memacu inovasi.

4. Strategi, struktur, dan persaingan. Tingkat persaingan antar industri lokal lebih

memberikan motivasi dibanding persaingan dengan pihak luar negeri, dan

“budaya” lokal yang mempengaruhi perilaku masing-masing industri dalam

melakukan persaingan dan inovasi.

Porter (1990) juga menyertakan peran pemerintah dan peluang. Peristiwa

historis dan campur tangan pemerintah cenderung berperan pula secara signifikan

dalam pembangunan kluster industri.

2.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu mengenai analisis struktur, kinerja dan kluster telah

dilakukan oleh Sumarno dan Kuncoro (2003). Penelitian ini dilakukan terhadap

industri rokok kretek di Indonesia pada periode 1996-1999. Tujuan penelitian

tersebut untuk mengetahui apakah struktur dan kinerja industri rokok kretek

Indonesia mengalami perubahan pada periode sebelum dan selama krisis ekonomi

20

serta untuk mengetahui dimana lokasi kluster industri rokok Indonesia. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa industri rokok kretek Indonesia merupakan

industri yang berstruktur oligopoli dimana pada saat krisis ekonomi industri ini

tidak mengalami perubahan secara drastis. Kinerja industrinya juga mengalami

pertumbuhan walaupun kondisi perekonomian mengalami krisis. Daerah kluster

industri rokok kretek Indonesia terdapat di Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang.

Terdapat penelitian lain yaitu dilakukan pada industri elektronika

Indonesia oleh Kuncoro dan Salamun (2005). Tujuan dari penelitian yang

dilakukannya adalah untuk mengetahui struktur kinerja industri elektronika di

Indonesia pada periode 1990 hingga 1999; dan untuk mengetahui kluster industri

elektronika yang digunakan alat analisis SIG, skala industri, keanekaragaman

industri, dan spesialisasi serta melihat apakah variabel tersebut mampu

mempercepat pertumbuhan industri pada suatu wilayah. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa struktur industri elektronika di Indonesia dari tahun 1990

hingga 1999 secara umum berbentuk oligopoli dengan tingkat konsentrasi

tergolong tinggi. Tingginya rasio konsentrasi berdampak buruk bagi kinerja

ekspornya. Jabotabek EIA dan Bandung EIA dapat diindikasikan sebagai kluster

industri elektronika di Indonesia.

Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian yang membahas tentang

analisis struktur, perilaku, dan kinerja terhadap berbagai jenis industri. Salah

satunya oleh Safitri (2006), ia melakukan penelitian mengenai struktur, perilaku,

dan kinerja industri besi baja Indonesia. Hasil dari penelitiannya bahwa struktur

pasar pada industri besi baja adalah oligopoli ketat, namun tetap ada persaingan

21

dalam merebut pangsa pasar antara perusahaan. Analisis kinerja dilakukan dengan

melihat kemampuan industri besi baja dalam meminimumkan biaya input

produksi. Hasil yang didapatkan bahwa industri besi baja menerima margin

keuntungan atas biaya langsung (PCM) rata-rata sebesar 36,68 persen dan

efisiensi-X yang dicapai (XEF) rata-rata sebesar 71,70 persen. Nilai tersebut

menunjukkan bahwa adanya kemampuan industri besi baja dalam

meminimumkan biaya input produksinya. Selain itu, ia melakukan penelitian

tentang adanya hubungan struktur pasar dengan kinerja pada industri tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh nyata pada taraf 10 persen dari

seluruh variabel bebas yang digunakan, dimana CR4 dan XEF berhubungan

positif terhadap PCM, sedangkan variabel lain (MES, GROWTH, dan DUMMY)

berpengaruh negatif terhadap PCM.

Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Safitri

terhadap industri besi baja Indonesia, penelitian ini menggunakan konsep analisis

yang telah dilakukan oleh Sumarno dan Kuncoro (2003) terhadap industri rokok

kretek Indonesia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Safitri (2006) yaitu

pada analisis kinerja dan kluster industrinya. Analisis kinerja yang digunakan

dalam penelitian ini menggunakan indikator kinerja yaitu pertumbuhan output dan

nilai tambah, kontribusi industri besi baja terhadap industri manufaktur, efisiensi,

dan tingkat keuntungan, sedangkan analisis kinerja yang dilakukan Safitri adalah

dengan melihat kemampuan industri besi baja dalam meminimumkan biaya

produksi dan tingkat efisiensi yang dihasilkan, serta menganalisa faktor-faktor

yang mempengaruhi kinerja industrinya. Safitri tidak melakukan analisis kluster

22

melainkan analisis perilaku industrinya, sedangkan penelitian ini melakukan

analisis kluster industri. Dalam penelitian ini dilakukan pada industri logam dasar

besi dan baja (ISIC 271), juga terhadap subsektor industri lima digitnya yaitu

industri besi dan baja dasar (ISIC 27101), industri penggilingan baja (ISIC

27102), dan industri pipa dan sambungan dari besi dan baja (ISIC 27103).

2.3. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan yang terdapat pada

Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia, antara lain yang disebabkan oleh

meningkatnya harga bahan baku baja dan kelangkaan baja di pasar internasional

akibat banyaknya permintaan yang sangat besar dari negara-negara yang sedang

melakukan program pembangunan negaranya seperti China, Rusia dan Irak. Di

lain pihak, industri besi baja Indonesia masih memiliki ketergantungan yang

sangat besar terhadap impor bahan baku bajanya. Hal ini tentu akan berdampak

pada kondisi industri logam dasar besi dan baja Indonesia. Masalah lainnya dari

industri ini yaitu adanya teknologi pengolahan baja yang kurang efisien karena

masih menggunakan sumber energi gas yang harganya semakin meningkat serta

penggunaan mesin-mesin produksi yang sudah tua .

Adanya krisis ekonomi dipertengahan tahun 1997 juga dipastikan turut

mempengaruhi struktur dan kinerja industri tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa

struktur industri logam dasar besi dan baja Indonesia masih rapuh karena industri

besi baja sangat dipengaruhi oleh pasar baja di pasar internasional dan akan

berdampak kepada kinerja industrinya sehingga dapat melemahkan daya saing

produk industri logam dasar besi dan baja.

23

Berdasarkan latar belakang tersebut mendorong peneliti untuk melakukan

penelitian terkait dengan industri logam dasar besi dan baja Indonesia dengan

melihat struktur, kinerja dan juga kluster industri tersebut pada periode 1995

sampai 2004. Analisis struktur dilakukan dengan melihat rasio konsentrasi

industri, menggunakan salah satu metode yakni metode CR4 (rasio konsentrasi

empat perusahaan besar). Dari analisis struktur ini akan dilanjutkan dengan

analisis kinerja industrinya karena struktur industri mempunyai pengaruh terhadap

kinerja suatu industri.

Analisis kinerja industri dilakukan dengan melihat bagaimana kontribusi

tenaga kerja, nilai tambah, dan jumlah unit usaha industri logam dasar besi dan

baja Indonesia terhadap total industri manufaktur di Indonesia; menganalisa

pertumbuhan output produksi dan nilai tambah; efisiensi; serta melihat kinerjanya

dari sisi profit (keuntungan) yang diperoleh industri tersebut.

Struktur industri yang lemah dapat menyebabkan lemahnya daya saing

industrinya sehingga mengacu pada pendekatan yang dikemukakan oleh Porter

(1990) bahwa untuk melihat daya saing industri dilakukan dengan melihat kluster-

kluster yang ada pada industri tersebut. Bila suatu industri memiliki kluster-

kluster industri yang kuat maka diharapkan industri tersebut mampu menciptakan

produk yang berdaya saing tinggi maka dalam penelitian ini dilakukan analisis

kluster industri untuk melihat bagaimana kluster atau sebaran geografis industri

logam dasar besi dan baja yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Analisis kluster

ini dilakukan dengan alat analisis yang dikenal dengan Sistem Informasi

Geografis (SIG), skala, dan indeks spesialisasi. Dengan analisis kluster, hasilnya

24

dapat dijadikan suatu rekomendasi kepada pemerintah untuk menunjukkan

daerah-daerah mana saja yang potensial untuk dikembangkan menjadi kluster

industri besi baja di Indonesia sehingga dapat memperkuat daya saing produknya.

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia (Isic 271): • Industri Besi dan Baja Dasar (Isic 27101) • Industri Penggilingan Baja (Isic 27102) • Industri Pipa dan Sambungan Pipa dari Besi

Baja

Bahan baku vital yang menunjang industri-industri secara keseluruhan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

• Ketergantungan impor bahan baku tinggi. • Teknologi pengolahan baja kurang efisien. • Permintaan bahan baku baja dunia meningkat. • Masuknya produk dengan harga dumping dan

ilegal

Struktur industri terganggu

Penurunan kinerja Daya saing menurun

Analisis Kinerja Analisis Struktur Analisis Kluster

• Pertumbuhan output dan nilai tambah.

• Kontribusi Industri besi baja terhadap industri menufaktur.

• Efisiensi • Keuntungan.

Metode : Rasio Konsetrasi (CR4)

Metode : SIG, skala, dan indeks spesialisasi.

Keterangan :

Analisis Metode Analisis

Pengaruh

Rekomendasi Kebijakan

25

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder time

series dari tahun 1995 sampai 2004. Data ini berupa data industri logam dasar besi

dan baja Indonesia yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS). Data ini

menggunakan sistem penggolongan industri, yang disebut dengan nama

International Standard Industrial Classification (ISIC). Data yang digunakan

adalah nilai output, nilai input atau biaya antara, jumlah tenaga kerja, nilai

tambah, dan daerah kabupaten maupun propinsi yang mempunyai industri logam

dasar besi dan baja.

3.2. Metode Analisis

Penelitian ini menganalisa struktur, kinerja dan kluster industri logam

dasar besi dan baja Indonesia. Analisis struktur industri akan digunakan metode

rasio konsentrasi empat (CR4). Analisis kinerja hanya melihat bagaimana

kontribusi tenaga kerja, nilai tambah, dan jumlah unit usaha industri baja nasional

terhadap total industri manufaktur di Indonesia; menganalisa pertumbuhan output

produksi dan nilai tambah; dan efisiensi industri besi baja, serta melihat

kinerjanya dari sisi profit (keuntungan) yang diperolah industri baja tersebut.

Analisis kluster akan digunakan metode SIG (Sistem Informasi Geografi), skala,

dan indeks spesialisasi.

26

3.2.1. Analisis Struktur Industri

Struktur industri digunakan untuk menganalisa seberapa jauh konsentrasi

perusahaan terbesar dalam industri logam dasar besi dan baja Indonesia. Untuk

mengetahui struktur industri ini digunakan metode analisis rasio konsentrasi.

Rasio konsentrasi yang umum digunakan adalah CR4, yang menunjukkan pangsa

pasar empat perusahaan terbesar dalam industri (Church dan Ware, 2000 dalam

Kuncoro dan Salamun,2005), yang dirumuskan sebagai berikut :

∑=

=4

14

tMSiCR ;

OtOiMSi = .....................................................................(1)

Dimana : CR4 = Rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar dalam industri

MSi = Pangsa pasar perusahaan ke-i

Oi = Nilai output perusahaan ke-i

Ot = Nilai output seluruh perusahaan dalam industri

Berdasarkan analisis struktur dalam ekonomi industri, struktur industri

dikatakan berbentuk oligopoli bila empat perusahaan terbesar menguasai minimal

40 persen pangsa pasar penjualan dari industri yang bersangkutan

(Kuncoro,2002).

3.2.2. Analisis Kinerja Industri

Analisis kinerja industri dalam penelitian ini dapat diamati dari kontribusi

tenaga kerja, nilai tambah, dan jumlah unit usaha industri logam dasar besi dan

baja Indonesia terhadap total industri manufaktur; dan menganalisa pertumbuhan

output produksi dan nilai tambah; efisiensi industri besi baja; selain itu kinerja

industri ini juga dilihat dari sudut profit (keuntungan) yang diperoleh.

27

3.2.3. Analisis Kluster Industri

Analisis kluster dilakukan untuk melihat daerah sebaran geografis industri

logam dasar besi dan baja yang ada di seluruh wilayah kabupaten atau kota di

Indonesia. Analisis dilakukan pada daerah industri logam dasar besi dan baja,

apakah industri mengelompok di suatu area atau tidak, mengukur besarnya skala

kluster industri, dan konsentrasi kluster industrinya. Lokasi wilayah sebaran

industri dianalisis dengan mengaplikasikan Sistem Informasi Geografi (SIG),

konsentrasi kluster industri dianalisis dengan melihat spesialisasi industri, dan

besarnya skala industri dianalisis dengan melihat skala tenaga kerja dan nilai

tambah pada lokasi sebaran (Kuncoro,2002)

• Sistem Informasi Geografi (SIG)

Dalam menganalisa sebaran geografis dan kluster industri baja di

Indonesia, digunakan metode analisis Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG

merupakan alat analisis yang bermanfaat untuk mengidentifikasi lokasi industri

dan untuk mengidentifikasi di daerah mana mereka cenderung mengelompok

secara spasial (Kuncoro,2002).

Menurut Kuncoro (2002), SIG dapat mentransformasikan data menjadi

informasi dengan mengintegrasikan sejumlah data yang berbeda, menerapkan

analisis fokus, dan menyajikan output dalam rangka mendukung pengambilan

keputusan. Kemampuan SIG dalam penyimpanan, analisis, pemetaan dan

membuat model mendorong aplikasi yang luas dalam berbagai disiplin ilmu, dari

teknologi informasi hingga sosial ekonomi maupun analisis yang berkaitan

dengan populasi. Beberapa prosedur standar dalam merancang dan menggunakan

28

SIG, yaitu pengumpulan data, pengolahan data awal, konstruksi basis data,

analisis dan kajian spasial, dan penyajian grafis. Prosedur dan aktivitas utama

dalam Sistem Informasi Geografi dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Prosedur dan Aktivitas Utama dalam SIG Prosedur Aktivitas

Memperoleh data • Pemberian keterangan pada peta-peta dan dokumen-dokumen termasuk juga pengkodean data, verifikasi data, dan pengkoreksian kesalahan.

• Menjelaskan sekumpulan data yang telah ada, khususnya yang berasal dari survey industri yang dipublikasikan tahunan oleh BPS.

Persiapan Pengolahan data • Menginterpretasikan atau mengklasifikasikan data yang dapat dari survey

• Menyusun struktur data digital untuk memilih model-spasial/ ruang (berdasarkan objek, jaringan, dan lapangan)

• Mentransformasikan atau mengubah menjadi koordinat biasa/ umum.

Pengkontruksian data dasar atau database (penyimpanan data dan pemanggilan kembali data)

• Membuat mode dari konsep data • Menetapkan struktur data base • Menetapkan prosedur terbaru • Mengirim data ke database

Penelitian spasial/lokasi/wilayah beserta analisanya

• Pemanggilan data berdasarkan lokasi • Pemanggilan data berdasarkan kelas atau atribut • Menemukan lokasi yang paling cocok berdasarkan kriteria • Mencari pola, kelompok, jalur dan interaksi • Membuat model dan menstimulasikan pada fenomena fisik dan

sosial.

Tampilan secara grafik (visualisasi dan interaksi)

• Menciptakan peta • Menggali data • Menciptakan tampilan tiga dimensi • Membuat laporan

Sumber : Jones dalam Kuncoro, 2002

SIG merupakan alat yang bermanfaat untuk mengidentifikasikan dimana

suatu industri cenderung mengumpul atau membentuk kluster. SIG pada dasarnya

adalah suatu tipe sistem informasi, yang memfokuskan pada penyajian dan

analisis realitas geografis. Titik beratnya adalah mengelola dan menganalisa data

spasial dengan suatu sistem informasi.

29

• Indikator Skala (size)

Menurut Kuncoro (2002), indikator skala (size) sangat penting karena

tidak hanya untuk memahami perbedaan skala kluster industri secara spasial,

namun juga dapat digunakan untuk membedakan antara kluster dan aglomerasi.

Pada pembahasan indikator ini, industri logam dasar besi dan baja dikelompokkan

dalam daerah industri utama yang diperluas (EIA atau Extended Industrial Areas).

Indikator skala menggunakan data penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah.

• Indeks Spesialisasi

Spesialisasi digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi industri di

suatu kluster industri. Mengikuti metode yang dirintis oleh Glaeser, et all. (1992)

dalam Kuncoro (2002), indeks spesialisasi menunjukkan seberapa jauh

spesialisasi industri dalam suatu kluster dibandingkan apabila industri tersebut

tersebar secara random di seluruh Indonesia. Perhitungan indeks spesialisasi,

sebagai berikut :

Ѕirt = EitEir ................................................................................................(2)

Dimana : Sirt = rasio indeks spesialisasi suatu industri

Eir = tenaga kerja yang diserap industri i dibagi dengan total

penyerapan tenaga kerja dalam daerah tersebut.

Eit = tenaga kerja yang diserap industri i untuk seluruh daerah di

Indonesia dibagi dengan total penyerapan tenaga kerja

untuk seluruh daerah di Indonesia.

Dengan ketentuan bahwa jika Sirt lebih dari 1, artinya industri tersebut

memiliki pangsa yang lebih besar dalam penciptaan kesempatan kerja di daerah

30

tersebut daripada pangsa industri itu di Indonesia. Sebaliknya, bila nilai Sirt lebih

kecil daripada 1, artinya suatu daerah tidak memiliki spesialisasi atas suatu

industri karena industri itu memiliki pangsa tenaga kerja yang lebih rendah di

daerah tersebut daripada rata-rata pangsa industri tersebut di Indonesia. Bila

terdapat kenaikan Sirt untuk suatu daerah maka hal ini mencerminkan adanya

kenaikan spesialisasi industri tersebut di daerah itu. Hal ini didasarkan atas suatu

asumsi bahwa spesialisasi yang tinggi pada suatu industri di suatu daerah akan

mempercepat pertumbuhan industri tersebut di daerah itu.

• Analisis frequencies

Analisis frequencies dengan menggunakan SPSS versi 13.0 merupakan

analisis yang digunakan untuk memberikan deskripsi statistika data tentang

prosentase, prosentase kumulatif, rata-rata, median, sum, standar deviasi, variasi,

range, minimum dan maksimum, sesatan rata-rata, skewness dan kurtosis, kuartil,

serta diagram dalam berbagai bentuk. Dalam penelitian ini melihat nilai skewness

dan kurtosis yang dihasilkan dari industri logam dasar besi dan baja dengan

menggunakan data tenaga kerja dan nilai tambah untuk melihat distribusi

sebarannya.

Skewness merupakan ukuran kemencengan suatu data. Untuk mengukur

kenormalan distribusi data maka akan digunakan rasio skewness (RS) dengan

rumus sebagai berikut : RS = sdarskewnesssesa

Skewnesstantan

................................ (3)

Dianggap mengikuti distribusi normal jika memenuhi syarat bahwa -2<RS<2.

31

Kurtosis merupakan ukuran keruncingan suatu data. Untuk mengukur

kenormalan distribusi data maka akan digunakan rasio kurtosis (RK) dengan

rumus sebagai berikut : RK = sdarkurtosisSesa

Kurtosistantan

............................. (4)

Dianggap mengikuti distribusi normal jika memenuhi syarat bahwa -2<RK<2.

32

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Industri Logam Dasar Besi dan Baja

Industri logam dasar besi dan baja biasa dikenal dengan sebutan industri

besi baja merupakan industri yang memfokuskan dalam memproduksi besi baja.

Besi baja digunakan sebagai bahan baku dasar bagi industri-industri lainnya,

mulai dari industri peralatan dapur, transportasi, generator pembangkit listrik,

kerangka gedung, dan juga jembatan semuanya menggunakan bahan dasar baja.

Besi pertama kali ditemukan dalam bentuk pasir-pasir besi dan besi ini

tidak digunakan dalam keadaan murni tetapi biasanya digunakan dalam bentuk

persenyawaan atau campuran, salah satunya yang disebut Cast Iron. Cast Iron

merupakan suatu campuran Fe (besi) dengan C sebanyak 3-4 persen dan beberapa

elemen seperti Si, Mn dan sebagainya tetapi bila C sebanyak 2 persen, inilah yang

dinamakan baja. Dengan kata lain, baja merupakan paduan logam yang tersusun

dari besi sebagai unsur utama dan karbon sebagai unsur penguat. Unsur karbon ini

berperan dalam peningkatan performan. Adanya perlakuan panas terhadap baja

dapat mengubah baja dari lunak seperti kawat menjadi baja keras seperti pisau

karena perlakuan panas mengubah struktur mikro besi yang berubah-ubah dari

susunan kristal berbentuk kubik berpusat menjadi kubik berpusat sisi atau

heksagonal.

Menurut Rochman (2003), saat ini dalam proses pembuatan baja bahwa

besi kasar diproduksi dengan menggunakan blast furnace (dapur bijih besi) yang

berisi kokas pada lapisan paling bawah kemudian batu kapur dan bijih besi. Kokas

terbakar dan menghasilkan gas CO yang naik ke atas sambil mereduksi oksida

33

besi. Besi yang telah tereduksi melebur dan terkumpul dibawah tanur menjadi besi

kasar yang biasanya mengandung C, Si, Mn, P, dan S. Kemudian leburan besi

dipindahkan ke tungku lain (converter) dan diembuskan gas oksigen untuk

mengurangi kandungan karbon. Melalui cara ini dapat diproses besi kasar menjadi

baja sebanyak kurang lebih 300 ton dalam waktu 15 sampai 20 menit. Untuk

menghilangkan kandungan oksigen dalam baja cair dapat ditambahkan Al, Si, dan

Mn, proses ini dinamakan dioksidasi. Setelah dioksidasi, baja cair dialirkan dalam

mesin cetakan kontinu berupa slab atau dicor dalam cetakan berupa ingot. Slab

dan ingot diproses dengan penempaan panas, rolling panas, penempaan dingin,

perlakuan panas, pengerasan permukaan dan lain-lain untuk dibentuk menjadi

sebuah produk atau kerangka dasar dari sebuah produk.

4.2. Sejarah Perkembangan Industri Logam Dasar Besi dan Baja

Indonesia 4.2.1. Periode Antara 1950-1960

Perkembangan industri masih berat sebelah karena perindustrian masih

berorientasi pada barang-barang konsumsi yang sebagian besar bahan baku atau

penolong masih harus di impor dari luar negeri. Pertumbuhan industri di sektor

pembuatan barang-barang modal (capital goods atau mesin-mesin) atau

perindustrian kimia dasar dilakukan untuk membantu mengurangi ketergantungan

dari luar negeri, namun hal ini kurang mendapat perhatian yang semestinya.

Akibatnya pertumbuhan industri tidak terarah dan tidak seimbang sehingga impor

bahan baku, penolong atau mesin-mesin masih dirasakan sebagai beban yang

berat (kurang lebih 35 persen dari devisa untuk impor).

34

Bahan baku atau penolong yang diperlukan untuk aktivitas industri besi

baja masih harus di impor dari luar negeri. Hal ini akan mengganggu kontinuitas

produksi karena membutuhkan stok bahan baku atau penolong yang sangat

banyak sedangkan devisa Indonesia masih terbatas. Dengan demikian, pada tahun

1955 pemerintah mulai memikirkan untuk membangun industri besi baja dengan

menunjuk sebuah firma dari Jerman Barat yang bergerak dalam bidang

Engineering dan Consulting untuk mengadakan survey dan mempelajari

kemungkinan didirikannya industri besi baja yang didasarkan pada bahan baku

dalam negeri yang bisa diperoleh.

Hasil yang diperoleh dari penyelidikan-penyelidikan tersebut memberikan

saran-saran untuk mendirikan tiga buah pabrik yang mempunyai keseluruhan hasil

produksi 300.000 ton/tahun dan sebuah tanur tinggi (Blast Furnace) di Lampung

dengan kapasitas produksi 35.000 ton/tahun. Pada periode 1950-1960 telah

didirikan sebuah Reroller (1956) yang mempunyai kapasitas permulaan sebesar

5.000 ton/tahun.

4.2.2. Periode Antara 1960-1965

Setelah pemerintah menerima hasil survey sebuah Firma Jerman Barat

yang bergerak dalam bidang Engineering dan Consulting yang ditunjuk

pemerintah untuk survey dalam mendirikan industri besi dan baja di Indonesia.

Maka pada tahun 1960, terdapat tiga proyek yang direncanakan untuk direalisir

yakni tanur tinggi di Lampung, pabrik baja di Cilegon dan sebuah pabrik integrasi

yang terletak di Kalimantan Selatan dengan menggunakan bahan baku dari dalam

negeri.

35

Tanur tinggi di Lampung, direncanakan untuk menghasilkan 35.000 ton

setiap tahunnya dengan memakai biji besi lokal serta double coke dari batu bara

Bukit Asam sebagai bahan baku. Persiapan telah diadakan pada awal 1960 akan

tetapi proyek ini tidak terealisasikan. Pada tahun 1962, realisasi pembangunan

pabrik besi baja tersebut dilaksanakan dan direncanakan akan selesai pada tahun

1968 tetapi pembangunannya terhenti pada tahun 1965 karena meletusnya

pemberontakan G30S PKI.

4.2.3. Periode Antara 1965-1997

Tahun 1965 merupakan sejarah baru bagi negara dan bangsa Indonesia

karena tumbangnya orde lama dan digantikan oleh orde baru. Tahun 1966

pemerintah menitikberatkan pada rehabilitasi ekonomi, stabilisasi moneter,

produksi pangan dan pembangunan fasilitas-fasilitas infrastruktur untuk

mendukung produksi pangan nasional. Pada tahun 1967, Undang-Undang

Penanaman Modal Asing dikeluarkan dan tahun 1968 dilanjutkan dengan

dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kedua

Undang-Undang tersebut sebagai perangsang bagi pemilik modal untuk

berinvestasi di Indonesia.

Untuk melanjutkan program pembangunan tersebut maka pada tanggal 20

Desember 1967 dikeluarkan Instruksi Presiden untuk merubah Proyek Baja

Trikora menjadi bentuk Perseroan Terbatas (PT) dengan nama PT Krakatau Steel

yang diresmikan pada tanggal 27 Oktober 1971 berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 35 tanggal 31 Agustus 1970. Proyek baja Kalimantan yang telah

diintegrasikan direncanakan untuk memberikan hasil produksi permulaan sebesar

36

250.000 ton baja/tahun. Berbagai penyelidikan dilaksanakan dan beberapa

pengusaha swasta melakukan survey terhadap kemungkinan pembangunan sebuah

pabrik baja.

Pada bulan april 1969, pemerintah memulai Repelita pertama dimana

difokuskan pada produksi pangan terutama produksi beras, meningkatkan ekspor

dan membangun fasilitas-fasilitas infrastruktur yang harus saling menunjang.

Akibatnya pemakaian baja meningkat secara mencolok sehingga terjadi

perkembangan yang pesat di pasaran baja. Hal ini menarik perusahaan-perusahaan

untuk menanamkan modalnya pada sektor ini. Banyaknya jumlah perusahaan

yang bergerak dalam bidang ini dari tahun ke tahun semakin meningkat. Proyek-

proyek pembangunan di dalam telah berjalan dengan baik sehingga terdapat

peningkatan konsumsi besi baja. Oleh karena itu, kondisi industri besi baja

nasional menunjukkan hasil yang baik. Pada tahun 1985, industri besi baja

nasional mulai melakukan ekspor perdana yang dilakukan oleh PT. Krakatau Steel

ke beberapa negara seperti Jepang, Amerika, Inggris, India, China, Timur Tengah,

dan Korea. Hingga tahun 1995, industri besi baja Indonesia terus mengadakan

proyek-proyek perluasan industrinya.

4.2.4. Periode Antara 1997-2007

Tahun 1997 merupakan tahun awal terjadinya krisis ekonomi yang

melanda beberapa negara Asia yang juga melanda Bangsa Indonesia. Krisis

ekonomi berdampak buruk terhadap perkembangan sektor industri terutama

perkembangan industri manufaktur karena kebanyakan berbahan baku impor yang

tinggi sehingga menyebabkan industri ini cukup sulit untuk mempertahankan

37

produksinya. Krisis ekonomi menyebabkan fluktuasi nilai tukar yang tajam, hal

ini mengakibatkan industri mengalami pertumbuhan negatif.

Tabel 4.1. Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan Indonesia Tahun 1996- 2000

Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan Subsektor 1996 1997 1998 1999 2000

Makanan, Minuman, dan Tembakau 17,2 14,9 -3,1 5,3 0,7Tekstil, Barang kulit dan alas kaki 8,7 -4,4 -14,0 8,0 10,5Barang kayu dan hasil hutan lainnya. 3,2 -2,1 -26,0 -13,7 6,1Kertas dan barang cetakan 6,9 9,0 -5,4 3,2 10,2Pupuk Kimia dan Barang dari Karet 9,0 3,4 -15,0 9,8 12,8Semen dan barang galian Non Logam 11,0 4,5 -30,5 5,3 7,3Logam Dasar Besi dan Baja 8,0 -1,4 -25,6 -1,1 16,2Alat angkut, Mesin dan peralatan 4,6 -0,4 -52,6 -10,3 51,5Barang lainnya 9,7 6,0 -34,7 -2,8 8,1Total 11,7 7,4 -14,4 3,8 7,2

Sumber : BPS, 1996-2000

Krisis ekonomi berdampak kurang baik bagi kondisi industri besi baja di

Indonesia karena dengan krisis ekonomi menyebabkan adanya kenaikan biaya-

biaya input produksi yang sangat besar sehingga dengan krisis ekonomi jumlah

perusahaan dan tenaga kerja industri besi baja di Indonesia mengalami penurunan.

Sejak terjadinya krisis ekonomi hingga tahun 1999, kondisi industri besi baja

belum menunjukkan perbaikan yang baik. Di tahun 2000, walaupun terjadi

penurunan jumlah unit usaha akan tetapi kondisi industri besi baja nasional secara

keseluruhan sudah menunjukkan adanya perbaikan ditandai dengan pertumbuhan

ekonomi yang membaik seiring dengan berjalannya proyek-proyek pembangunan

kembali infrastruktur yang rusak. Pada tahun 2001 hingga saat ini, industri besi

baja nasional sangat terancam dengan masuknya produk-produk baja ilegal dan

produk baja dengan harga dumping karena menyebabkan adanya persaingan usaha

yang tidak sehat. Berbagai kasus mengenai adanya produk baja dumping dan

ilegal ini telah ditangani oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).

38

Pada tahun 2003, beberapa negara seperti China, Irak, dan Rusia sedang

giat-giatnya dalam melakukan pembangunan sehingga hampir sebagian besar

bahan baku baja terserap untuk keperluan pembangunan negara tersebut. Menurut

laporan Komite Studi Ekonomi Internasional Iron and Steel Institute (IISI) bahwa

pada tahun 2003, impor besi baja China mencapai 257 juta ton/tahun atau naik

hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2000 yang mencapai 142 juta ton/tahun.

China menyerap sepertiga dari total impor besi baja dunia. Hingga tahun 2004,

konsumsi baja China meningkat kembali menjadi 290 juta ton/tahun (warta

ekonomi, 2006). Hal ini menyebabkan telah terjadi kelangkaan bahan baku baja

untuk keperluan produksi industri besi baja Indonesia. Besarnya permintaan bahan

baku baja menyebabkan terjadinya kenaikan harga bahan baku baja tersebut

sehingga dapat berpengaruh pada aktifitas produksi industri besi baja dalam

negeri yang sebagian besar bahan bakunya impor. Barulah diawal tahun 2006,

China mengalami kelebihan pasokan besi baja hasil produksi yang berlebihan

sehingga banyak produk-produk baja China yang masuk ke Indonesia dan

diketahui ada beberapa produk disalurkan dengan harga dumping. Tahun 2006,

dikabarkan bahwa China mengalami kelebihan pasokan sebanyak 116 juta ton

(Kompas, 2006).

4.3. Regulasi Pemerintah Terhadap Industri Logam Dasar Besi dan Baja

Industri baja sebagai industri strategis yang cukup berpotensi

dikembangkan sehingga pemerintah memandang perlu adanya suatu regulasi guna

mendorong pertumbuhan industri baja ini. Salah satu langkahnya yaitu dengan

memproteksi industri ini. Hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan yang

39

dikeluarkan pemerintah bagi industri baja. Kebijakan-kebijakan proteksi ini

menyangkut tata niaga impor, bea masuk dan bentuk proteksi lainnya yang

diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi industri baja.

Pemerintah mengeluarkan tata niaga impor yang baru dengan

pertimbangan bahwa perlu adanya :

1. Perlindungan terhadap kelanjutan dan perkembangan industri baja hulu serta

peningkatan industri baja hilir di dalam negeri

2. Jaminan kelancaran dan penyederhanaan prosedur pengadaan distribusi besi

baja pada tingkat harga yang terkendali

3. Jaminan standar dan mutu bahan baku industri besi baja di dalam negeri.

Maka pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor. 36 tahun

1979 tentang pengaturan pengadaan besi baja di Indonesia. Pemerintah beberapa

kali mengeluarkan peraturan-peraturan berupa deregulasi disektor industri baja

yang menyangkut tata niaga dan bea masuk. Secara kronologis maka proses

pelaksanaan deregulasi tersebut adalah sebagai berikut :

Tahun 1979 : PT Krakatau Steel sebagai Pusat Pengadaan Besi Baja (PPBB yang

bersumber dari dalam negeri maupun impor).

Tahun 1981 : Merupakan awal pelaksanaan tata niaga pengadaan impor besi

baja, hanya mengatur komoditi bahan baku yaitu billet/ingot,

batang kawat dan besi tua.

Tahun 1985 : Mengatur 117 tarif pos dengan pelaksanaan impor adalah PT KS,

Persero Niaga, PT. Tambang Timah, PT. Giwang Slogam, PT.

Kemas Inti Nusa Bakti atas nama PT. KS.

40

Tahun 1986 : Mengatur 100 tarif pos dengan pelaksanaan impor adalah PT. KS,

PT Kemas Inti Nusa Bakti, PT. Giwang Slogam atas nama PT. KS

dan PT. Tambang Timah.

Tahun 1987 : Dalam tata niaga penyederhanaan ketentuan tata niaga impor

produk baja dimana 108 komoditi menjadi importir umum (IU) dan

sisanya 56 komoditi masih tetap dipegang oleh PT KS sedangkan

untuk bea masuk atau bea masuk tambahan diterapkan tarif bea

masuk (BM) dan Bea Masuk Tambahan (BMT).

Tahun 1988 : - Tata niaga : Perubahan dan tambahan mengenai penyederhanaan

tata niaga impor barang yang semula tata niaga dua puluh enam

komoditi dipegang oleh PT. KS diubah lima belas komoditi

menjadi importir Produsen (IP) dan sebelas menjadi IU.

- BM/BMT : Perubahan tarif BM dan pengenaan BMT atas impor-

impor tertentu sejumlah 9 komoditi ( 7 komoditi dengan BMT

sebesar 30 persen dan 2 komoditi dengan BMT sebesar 20 persen ).

Tahun 1990 : - Tata niaga : Perubahan tata niaga yang semula dipegang oleh PT.

KS menjadi IP sebanyak 35 komoditi dan menjadi IU sebanyak 18

komoditi.

- BM/BMT : Penyempurnaan klasifikasi perubahan BM dan BMT.

Tahun 1991 : Surat Keputusan Menteri Perdagangan mengenai tata niaga

seluruhnya dicabut dan digantikan dengan SK No. 135/KP/6/91

(Paket Juni 1991) yang mengatur bahwa 32 komoditi tetap

41

dipegang oleh PT. KS dan 135 komoditi menjadi Importir

Produsen (IP).

Tahun 1992 : Pelepasan tata niaga dari 32 tarif pos yang diatur melalui PT.KS /

PPBB menjadi Importir Produsen.

Tahun 1994 : Keluarnya paket 27 Juni 1994 yang intinya adalah sebagai berikut :

1) Penetapan kembali IP untuk produk-produk plat baja serta

2) Penghilangan tarif BMT untuk beberapa komoditi tertentu.

Adanya peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah atau adanya

deregulasi terhadap industri besi baja ini, maka dapat dilihat bahwa peranan sektor

industri baja ini harus mendapat perhatian yang besar karena industri besi baja

dapat menunjang industri-industri terkait lainnya.

4.4. Produksi Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia

Industri logam dasar besi dan baja yang merupakan salah satu industri

strategis dan vital harus cukup mendapatkan perhatian dari pemerintah karena

perannya ini sangat dibutuhkan bagi pembangunan industri-industri penting

lainnya. Dampak dari adanya globalisasi ini dapat dirasakan oleh negara-negara di

dunia, berupa adanya pembangunan-pembangunan infrastruktur yang memadai

oleh banyak negara. Dengan banyaknya pembangunan tersebut peran industri besi

baja tidak dapat diabaikan karena tentu saja permintaan besi dan baja ini akan

meningkat. Industri logam dasar besi dan baja harus pula meningkatkan

produksinya.

Kendala sekaligus tantangan yang harus dihadapi oleh industri ini yaitu

adanya ancaman dari negara luar yang menjual produk-produk yang lebih murah

42

daripada produk yang diproduksi di dalam negeri, salah satu contoh terjadi pada

produk tin plate. Perusahaan pembuat tin plate dalam negeri menilai adanya

politik dumping yang dilakukan negara pengimpor karena harga yang ditawarkan

lebih murah di Indonesia dibandingkan harga yang dijual di negaranya sendiri.

Hal ini tentu saja sangat merusak dan dapat mematikan produksi dalam negeri

karena produk dalam negeri akan sulit untuk bersaing.

Tabel 4.2. Perkembangan Volume Produksi Beberapa Produk Besi Baja Indonesia Tahun 2002-2004 (ribu ton) Kelompok Volume Produksi No

2002 2003 2004 1 Besi Spons 1.478,0 1.171,0 1.367,0

2 Slab Baja 1.291,7 1.002,3 1.190,0

3 Billet 976,3 1.042,2 1.198,5

4 Besi Beton 1.141,1 1.212,5 1.423,9

5 Batang Kawat Baja 625,3 578,4 651,1

6 HRC & Plate 2.032,1 1.928,0 2.441,6

7 Pipa Las Lurus/Spiral 405,2 435,6 459,6

8 CRC/Sheet 754,6 680,0 680,0

9 BjLS/warna 437,5 460,5 491,7

10 Tin Plate 88,0 89,6 92,7

Sumber : Departemen Perindustrian dalam Safitri, 2006

Adanya ancaman masuknya produk impor dengan cara dumping dan ilegal

sangat berpengaruh pada produksi industri besi baja Indonesia, karena produk baja

nasional menjadi kalah bersaing dalam hal harga yang dipasarkan. Menurut

catatan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) bahwa KADI pernah menangani

kasus anti dumping pipa baja dari Jepang, China, dan Korea Selatan pada tahun

2001. Kemudian menangani dua kasus antidumping terhadap produk baja impor

yaitu lembaran baja canai panas (HRC) dari India, Rusia, China, dan Ukraina pada

43

tahun 2002. Selain itu, KADI juga menangani kasus anti dumping besi beton wire

rod impor dari India dan Turki pada tahun yang sama (Kompas,2003).

4.5. Perkembangan Ekspor dan Impor Industri Logam Dasar Besi dan

Baja Indonesia

Hasil produksi industri logam dasar besi dan baja Indonesia tidak hanya

dimanfaatkan oleh industri-industri hilir di dalam negeri, tetapi juga telah diekspor

ke negara-negara yang membutuhkan besi dan baja. Berdasarkan data tahun 2000

sampai tahun 2002, volume ekspor baik untuk industri besi dan baja dasar (ISIC

27101), industri penggilingan baja (ISIC 27102), dan industri pipa dan sambungan

dari besi dan baja (ISIC 27103) mengalami penurunan. Khususnya untuk industri

besi dan baja dasar (ISIC 27101) penurunan ekspor cukup besar dimana pada

tahun 2000 ekspornya sebanyak 101.270.174 kg per tahun menurun menjadi

73.709.135 kg per tahun. Namun, di tahun 2003 mulai mengalami peningkatan

kembali terhadap volume ekspornya dan peningkatan ekspor terus terjadi hingga

tahun 2005 tersebut (Tabel 4.3).

Tabel 4.3. Perkembangan Ekspor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2000-2005

Perkembangan Ekspor Industri Logam Dasar Besi dan Baja ISIC 27101 ISIC 27102 ISIC 27103

Tahun

Volume Nilai (US$) Volume Nilai (US$) Volume Nilai (US$) 2000 101.270.174 113.963.142 807.875.285 256.611.100 230.584.229 128.548.116

2001 79.709.135 65.863.368 686.150.984 181.845.563 245.334.502 136.817.237

2002 73.674.224 50.282.896 824.193.810 241.031.791 155.751.826 126.154.922

2003 110.168.960 94.289.174 828.552.068 285.342.201 178.791.972 135.966.610

2004 160.566.415 119.357.741 979.573.659 519.536.515 139.321.988 145.719.347

2005 202.424.282 130.772.275 777.960.641 486.347.622 200.049.819 246.528.236

Sumber : BPS, 2000-2005

Dari data tahun 2001 sampai tahun 2005 baik volume atau nilai ekspor

industri ini mengalami peningkatan tetapi secara keseluruhan ternyata besarnya

44

ekspor diperkirakan hanya sebesar 4 persen saja dari total produk impor yang

masuk. Jadi, pendapatan dari ekspor yang diperoleh tidak sebanding dengan nilai

impornya. Impor tidak selalu berdampak negatif bagi suatu industri, selama daya

saing produk domestik yang dihasilkan lebih baik daripada produk impor atau

apabila produsen dalam negeri tidak sanggup memenuhi kebutuhan baja dalam

negeri.

Tabel 4.4. Perkembangan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2000-2005

Perkembangan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja ISIC 27101 ISIC 27102 ISIC 27103

Tahun

Volume Nilai (US$) Volume Nilai (US$) Volume Nilai (US$) 2000 2.989.830.445 460.682.992 1.618.969.328 783.948.179 517.402.410 365.997.038

2001 2.848.024.786 385.774.627 1.305.634.402 555.427.436 234.622.110 299.568.303

2002 2.878.498.324 413.118.128 1.496.507.379 647.087.516 281.372.849 328.053.090

2003 2.528.721.686 455.257.576 1.500.107.832 697.032.757 239.814.910 254.487.652

2004 3.637.273.905 1.237.303.450 2.101.234.818 1.250.376.271 252.442.382 328.373.007

2005 3.414.466.303 1.232.139.609 2.646.018.785 1.837.219.778 560.628.108 760.205.898

Sumber : BPS, 2000-2005

Bila melihat perkembangan impor industri logam dasar besi dan baja

Indonesia dari tahun 2000 sampai 2005, nilai impornya cenderung mengalami

trend yang meningkat terutama untuk subsektor industri penggilingan baja (ISIC

27102), pada tahun 2005 mengalami kenaikan nilai impor yang begitu melonjak

dari tahun 2004. Untuk volume impor yang sangat tinggi kapasitasnya dialami

oleh industri besi dan baja dasar (ISIC 27101) (Tabel 4.4). Masuknya produk besi

baja impor ke Indonesia terutama produk baja impor dengan harga dumping atau

ilegal menyebabkan industri besi baja Indonesia harus bersaing dalam merebut

pangsa pasarnya. Namun, dalam hal ini persaingan menjadi tidak sehat sehingga

mematikan perusahaan-perusahaan besi baja dalam negeri.

45

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Struktur Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia

Dalam penelitian ini, analisis struktur industri logam dasar besi dan baja di

Indonesia dilakukan dengan menggunakan perhitungan rasio konsentrasi empat

perusahaan terbesar yang menguasai pangsa pasar dalam industri tersebut, yang

dikenal dengan indikator CR4. Hasil perhitungan CR4 untuk industri logam dasar

besi dan baja di Indonesia dapat dilihat dalam Tabel 5.1.

Tabel 5.1. CR4 Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia, Tahun 1995-2004

CR4 Industri Logam Dasar Besi dan Baja Subsektor 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Rata2

Isic 27101 98,74 96,42 96,28 92,90 66,03 68,93 86,24 81,66 75,79 71,33 83,43 Total ∑ Firm 16 12 17 27 21 16 22 16 19 24 Isic 27102 82,52 88,45 83,52 61,64 84,91 85,98 77,56 74,30 64,11 60,74 76,37 Total ∑ Firm 59 57 60 47 48 44 62 54 48 50 Isic 27103 47,92 54,60 56,83 67,18 53,73 51,57 60,68 40,92 53,98 49,03 53,64 Total ∑ Firm 62 55 61 32 38 38 44 49 42 45 CR4 Industri Total ∑ Firm

76,39 (137)

79,82 (124)

78,88 (138)

73,91 (106)

68,22 (107)

68,83 (98)

74,83 (128)

65,63 (119)

64,63 (109)

60,37 (119)

71,15

Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004 Keterangan : Isic 27101 = Industri Besi dan Baja Dasar Isic 27102 = Industri Penggilingan Baja Isic 27103 = Industri Pipa dan Sambungan dari Besi dan Baja

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa rata-rata struktur pasar industri logam dasar

besi baja Indonesia dari tahun 1995 sampai tahun 2004 berbentuk oligopoli ketat

dengan nilai rasio konsentrasi sebesar 71,15 persen. Pada tahun 1995, rata-rata

rasio konsentrasi industri besi baja sebesar 76,39 persen sedangkan tahun 2004

mengalami penurunan rasio konsentrasi menjadi 60,37 persen. Penurunan ini

bukan dikarenakan meningkatnya jumlah perusahaan dalam industri tersebut

tetapi justru karena banyak perusahaan yang keluar dalam industri. Perusahaan

yang keluar itu merupakan perusahaan dengan skala produksi yang rendah.

Penurunan rasio konsentrasi juga karena perusahaan-perusahaan yang bertahan

46

dalam industri ini tidak mampu berproduksi menyamai atau melebihi produksi

pada saat sebelum krisis ekonomi dan akibat permasalahan eksternal lainnya yang

menghambat aktifitas produksi industri besi baja di Indonesia. Permasalahan

eksternal terberat bagi industri besi baja nasional yaitu adanya serbuan produk

impor besi baja yang menggunakan harga dumping atau impor ilegal, selain itu

juga kendala bahan bakar gas dan pasokan listrik dengan harga yang semakin

meningkat dan kurang mencukupi untuk produksi sehingga industri mengalami

kendala untuk meningkatkan penjualan output produksinya.

Subsektor yang mempunyai rasio konsentrasi terbesar adalah industri besi

baja dasar dengan nilai CR4 sebesar 83,43 persen dan struktur pasarnya berbentuk

oligopoli ketat. Subsektor industri penggilingan baja memiliki nilai CR4 sebesar

76,37 persen, industri ini juga termasuk tipe oligopoli ketat sedangkan industri

pipa dan sambungan pipa dari besi baja memiliki nilai CR4 lebih rendah

dibandingkan kedua subsektor industri tersebut. Industri pipa dan sambungan pipa

dari besi baja termasuk tipe struktur pasar oligopoli moderat dengan nilai CR4

sebesar 53,64 persen. Tingginya rasio konsentrasi yang terdapat pada industri besi

baja menunjukkan bahwa pangsa pasar yang dihasilkan perusahaan-perusahan

pada industri ini cukup besar sehingga keuntungan perusahaan yang dapat

diperoleh juga besar.

Tingginya rasio konsentrasi perusahaan juga mengindikasikan adanya

hambatan masuk yang besar bagi perusahaan-perusahaan baru untuk masuk dalam

industri tersebut. Begitu pula yang terjadi pada industri logam dasar besi baja di

Indonesia yang mempunyai rasio konsentrasi cukup besar, ini berarti ada

47

hambatan masuk bagi perusahaan pada industri besi baja Indonesia. Hambatan

masuk yang besar pada industri besi baja ini bukan disebabkan oleh adanya

larangan atau adanya kebijakan pemerintah yang membatasi masuknya

perusahaan-perusahaan dalam industri ini tetapi hambatan masuk itu lebih

disebabkan karena adanya skala ekonomi yang besar untuk membangun

perusahaan tersebut agar perusahaan dapat berproduksi dengan efisien, juga

hambatan dari besarnya modal yang harus dimiliki untuk mendirikan industri ini.

Perusahaan-perusahaan yang ingin masuk dalam industri ini mengalami kendala-

kendala tersebut karena bila tidak memiliki skala ekonomi yang besar atau modal

yang besar, perusahaan akan tidak efisien dalam berproduksi sehingga perusahaan

akan kalah bersaing dan sulit mempertahankan keberlanjutan proses produksinya.

Krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia termasuk juga

Indonesia menyebabkan harga-harga meningkat dengan tajam terutama untuk

harga bahan baku baja di pasar internasional sehingga memberikan dampak

negatif bagi proses produksi industri besi baja nasional sebab industri ini masih

menggunakan bahan baku yang sebagian besar adalah impor. Adanya

ketergantungan impor bahan baku besi baja yang sangat tinggi membuat industri

besi baja nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di pasar

internasional seperti saat terjadi krisis ekonomi tersebut. Dampaknya, telah

mempengaruhi struktur pasar industri besi baja nasional yang ditunjukkan dengan

menurunnya rasio konsentrasi industrinya.

Menurunnya rasio konsentrasi pada saat terjadi krisis ekonomi ini, bukan

karena meningkatnya jumlah perusahaan yang masuk dalam industri ini atau

48

meningkatnya persaingan. Hampir semua subsektor industri besi baja di Indonesia

terkena pengaruh krisis ekonomi yang diperkirakan terjadi dari tahun 1997 sampai

1999, yaitu berupa penurunan jumlah unit usaha terutama perusahaan-perusahaan

dengan skala usaha yang kecil. Hal ini karena unit usaha yang berskala kecil

kurang memiliki efisiensi sehingga banyak unit usaha tidak mampu bertahan

dalam persaingan ketika terjadi kenaikan harga bahan baku atau kenaikan biaya

input produksinya. Meningkatnya biaya input produksi tersebut juga berdampak

pada penurunan output produksi perusahaan-perusahaan terbesarnya. Jadi,

menurunnya rasio konsentrasi pada saat krisis ekonomi disebabkan oleh dua hal

yaitu karena penurunan output produksi empat perusahaan terbesar dalam industri

tersebut dan juga karena banyaknya jumlah unit usaha berskala kecil dengan

kapasitas produksi yang rendah keluar dalam industri tersebut.

Walaupun bentuk struktur pasar pada industri besi baja di Indonesia adalah

oligopoli ketat dengan rasio konsentrasi yang tinggi tetapi persaingan antar

perusahaan-perusahaan pada industri ini cukup besar, selain itu persaingan juga

terjadi dengan produk-produk impor besi baja yang masuk dari negara lain. Ada

beberapa negara yang diindikasikan melakukan praktek dumping dalam

memasarkan produknya atau adanya produk baja ilegal sehingga dapat

menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini tentu saja sangat

mengancam kondisi industri besi baja dalam negeri. Namun, beberapa perusahaan

pada industri besi baja nasional yang memiliki efisiensi baik dalam berproduksi

masih mampu bertahan dalam persaingan tersebut sehingga masih mendapatkan

pangsa pasar yang besar di pasar domestiknya walaupun pangsa pasar cenderung

49

menurun. Justru, yang menjadi kekhawatiran bagi keberlanjutan industri besi baja

nasional adalah karena industri ini sangat bergantung terhadap impor bahan baku

besi bajanya. Ditambah lagi, muncul permasalahan bahwa telah terjadi krisis baja

dunia atau kelangkaan bahan baku baja di dunia akibat besarnya permintaan besi

baja dari negara seperti China, Rusia, dan Irak pada tahun 2003. Hal ini tentu saja

mempengaruhi struktur pasar pada industri besi baja Indonesia dan juga

berpengaruh pula terhadap kinerja industrinya sebab adanya kelangkaan tersebut

menyebabkan kenaikan harga bahan baku di dunia.

Kondisi tersebut menyebabkan pada tahun 2003 sampai 2004, struktur

pasar industri ini semakin memiliki rasio konsentrasi yang rendah. Penurunan ini

terjadi akibat naiknya harga bahan baku baja dunia sehingga dengan adanya

kenaikan harga bahan baku baja ini menyebabkan banyak perusahaan besi baja

Indonesia yang mengurangi output industrinya dan banyak perusahaan dengan

skala produksi kecil terpaksa keluar dari industri besi baja karena tidak mampu

berproduksi dengan efisien. Penurunan pangsa pasar industri besi baja Indonesia

diperkirakan masih akan terus terjadi karena China telah mengalami kelebihan

produksi besi bajanya di tahun 2006. Hal ini menyebabkan membanjirnya produk-

produk besi baja China di negara-negara berkembang, salah satunya ke pasar

Indonesia mengingat proteksi untuk bea masuk impor dan hambatan non tarif besi

baja Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lainnya seperti

Malaysia atau Thailand. Oleh karena itu, adanya permasalahan baik internal dan

eksternal yang terjadi pada industri besi baja Indonesia menyebabkan lemahnya

50

struktur industri besi baja Indonesia karena pangsa pasar yang diraih industri ini

semakin berkurang sehingga mengganggu pula kinerja industrinya.

5.2. Analisis Kinerja Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia

Kinerja industri logam dasar besi dan baja Indonesia dapat dilihat dari

pertumbuhan output produksi dan nilai tambah; besarnya kontribusi industri

logam dasar besi dan baja terhadap total industri manufaktur di Indonesia dari sisi

total penyerapan tenaga kerja, nilai tambah, dan penyediaan lapangan usaha atau

unit usaha yang tersedia. Selain itu, kinerja industri dilihat dari efisiensi, dan

besarnya keuntungan yang diperoleh oleh setiap perusahaan pada industri besi

baja ini.

5.2.1. Pertumbuhan Output Produksi dan Nilai Tambah Industri Logam

Dasar Besi dan Baja Indonesia.

Untuk melihat pertumbuhan output dan nilai tambah industri besi baja di

Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.2. Pertumbuhan output industri besi baja

Indonesia sebelum terjadi krisis ekonomi sebesar 39,16 persen, pada saat itu

kondisi perekonomian nasional dan dunia masih stabil. Akan tetapi, pada saat

terjadi krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia termasuk juga

Indonesia dipertengahan tahun 1997 menyebabkan pertumbuhan output produksi

industri besi baja Indonesia mengalami pertumbuhan yang negatif. Hal ini karena

adanya kenaikan biaya produksi yang sangat besar sehingga banyak perusahaan

mengurangi output produksinya bahkan menghentikan produksinya. Oleh karena

itu, pada saat terjadi krisis ekonomi banyak perusahaan berskala kecil keluar dari

industri tersebut, begitu pula dengan perusahaan yang berskala besar juga

51

menurunkan output produksinya sehingga berdampak pada penurunan rasio

konsentrasinya. Penurunan output karena kenaikan biaya input tersebut, juga

menyebabkan pertumbuhan nilai tambah yang negatif pada saat terjadi krisis.

Tabel 5.2. Pertumbuhan Output dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004 (persen)

Output Nilai Tambah Tahun 27101 27102 27103 271 27101 27102 27103 271

1995 - - - - - - - - 1996 19,88 41,86 33,93 39,16 13,43 93,46 41,83 83,971997 - 11,62 - 25,29 -30,56 - 25,05 - 2,43 - 59,70 - 35,39 - 55,931998 479,08 - 74,79 - 60,37 - 30,14 141,35 - 63,40 - 69,47 - 49,731999 - 84,71 135,72 34,41 - 12,73 - 48,71 7,47 39,89 - 9,172000 46,83 0,65 39,61 9,77 55,42 7,67 46,56 21,042001 92,45 72,87 232,13 96,17 - 20,68 69,46 416,30 93,582002 - 77,09 - 29,00 58,48 - 17,18 - 39,39 - 11,36 0,18 - 10,072003 - 8,51 27,02 - 12,54 9,19 - 61,93 - 41,57 - 5,83 - 28,812004 - 64,02 12,22 - 36,06 - 6,40 - 65,04 - 2,51 - 40,88 - 24,84

Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004 Keterangan : ISIC 271 = Industri Logam Dasar Besi dan Baja

ISIC 27101 = Industri Besi dan Baja Dasar ISIC 27102 = Industri Penggilingan Baja ISIC 27103 = Industri Pipa dan Sambungan dari Besi dan Baja

Krisis ekonomi cukup berpengaruh terhadap aktifitas produksi industri

besi baja nasional karena sebagian besar bahan baku untuk industri besi bajanya

adalah impor. Impor bahan baku yang besar ini karena industri besi baja Indonesia

tidak memiliki mesin-mesin untuk pengolahan bijih besi (bahan baku baja) yang

ada di Indonesia, padahal Indonesia memiliki kandungan bijih besi yang sangat

banyak. Seandainya industri besi baja nasional mampu mengolah sendiri bijih besi

tersebut maka adanya kenaikan harga bahan baku besi baja dapat memberikan

peluang keuntungan yang besar bagi industri besi baja Indonesia sehingga dapat

meningkatkan kinerja industrinya dan pengaruh krisis ekonomi tidak terlalu besar

mempengaruhi aktivitas produksinya.

52

Adanya krisis ekonomi yang menyebabkan kondisi perekonomian tidak

stabil, mengakibatkan segala proyek-proyek pembangunan mulai terhenti

sehingga konsumsi besi baja pun mengalami penurunan. Tahun 2000, masa

setelah krisis ekonomi industri besi baja mulai mengarah pada usaha pemulihan

sehingga industri ini memberikan pertumbuhan output dan nilai tambah yang

positif. Hingga tahun 2001, kondisi industri besi baja secara keseluruhan mulai

mengalami perbaikan karena perekonomian nasional mulai membaik sehingga

konsumsi besi baja mulai meningkat ditandai dengan berbagai proyek

pembangunan mulai berjalan kembali seperti proyek jalan tol, jembatan,

apartemen, pusat perbelanjaan, maupun permintaan industri lain yang

menggunakan produk baja sebagai bahan baku industrinya juga meningkat. Oleh

karena itu, terjadi peningkatan output produksi besi baja nasional. Namun, hal itu

tidak berarti industri besi baja nasional tidak mengalami tantangan lagi.

Pada tahun 2002, industri besi baja nasional kembali menghadapi

tantangan yang besar karena industri ini mengalami persaingan yang besar dengan

produk baja impor. Pada tahun tersebut, banyak produk baja impor yang masuk

terutama produk besi baja impor dengan harga dumping dan ilegal sehingga

menyebabkan kinerja industri besi baja nasional terganggu. Oleh karena itu,

terjadi pertumbuhan output dan nilai tambah yang negatif pula.

Menurut data dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) (2002)

menunjukkan bahwa pada tahun 2002 ada beberapa kasus dumping produk baja

impor yang ada di Indonesia yaitu berupa produk lembaran canai panas (hot rolled

coil/ HRC) dari India, Rusia, Turki, dan Ukraina; serta adanya kasus dumping

53

besi beton wire rod impor dari India dan Turki (Kompas, 2003). Hal tersebut

menyebabkan persaingan yang tidak sehat pada industri besi baja nasional.

Dampaknya, adanya produk-produk impor tersebut banyak mematikan

perusahaan-perusahaan besi baja dalam negeri yang kurang efisien. Perusahaan

dengan efisiensi produksi yang kurang terpaksa menutup usahanya karena tidak

mampu bertahan dalam persaingan tersebut sehingga di tahun tersebut industri

besi baja nasional mengalami penurunan jumlah unit usaha dan menyebabkan

penurunan output produksinya sebesar 17,18 persen, juga penurunan nilai

tambahnya sebesar 10,07 persen.

Sejak tahun 2003, terjadi kelangkaan bahan baku baja di dunia karena

adanya kenaikan konsumsi besi baja yang sangat besar untuk negara-negara

seperti China, Irak, dan Rusia. Besarnya konsumsi baja China ini karena pesatnya

pertumbuhan ekonomi China dan adanya rencana pembangunan stadion olimpiade

yang diselenggarakan di China pada tahun 2008. Irak pun meningkatkan

konsumsi baja untuk memperbaiki infrastruktur yang hancur akibat perang. Begitu

pula dengan Rusia, besarnya konsumsi baja karena seiring dengan semakin

membaiknya kondisi negaranya. Saat itu, Rusia juga mulai mengurangi ekspor

bahan baku besi baja karena untuk memenuhi sendiri kebutuhan bajanya

(Ikhsan,2005).

Kondisi tersebut menyebabkan bahan baku baja lebih banyak terserap

untuk negara-negara yang mengkonsumsi baja dalam jumlah besar sehingga

menyebabkan harga bahan baku baja mengalami kenaikan. Hal ini tentu

berdampak pada aktivitas produksi dan kinerja industri besi baja Indonesia.

54

Industri besi baja Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain untuk

mendapatkan bahan baku baja yang harganya meningkat sehingga industri besi

baja nasional mengalami kenaikan biaya input produksi yang besar. Ini

menyebabkan terjadi pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Pada tahun 2003,

pertumbuhan nilai tambah menurun sebesar 28,81 persen dan di tahun 2004

terjadi penurunan output produksi sebesar 6,40 persen serta penurunan nilai

tambah sebesar 24,84 persen. Dengan demikian, kinerja industri besi baja nasional

sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi perekonomian dunia yang tidak menentu.

Hal ini sangat mengkhawatirkan keberlanjutan proses produksi industri besi baja

di masa yang akan datang sehingga menghambat pula perannya dalam

memberikan sumbangan atau kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik

Bruto (PDB) Indonesia.

5.2.2. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap

Industri Manufaktur

Kontribusi industri besi baja Indonesia terhadap industri manufaktur dapat

dilihat pada Tabel 5.3. Kinerja suatu industri dapat dilihat juga dari berapa besar

kontribusinya dalam pembentukan PDB. Industri logam dasar besi baja

merupakan salah satu industri manufaktur, untuk itu dalam penelitian ini melihat

kinerja industri besi baja dari kontribusi yang diberikannya kepada industri

manufaktur yang secara tidak langsung juga memberikan sumbangan terhadap

PDB Indonesia.

55

Tabel 5.3. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap Industri Manufaktur 1995-2004 (persen)

Nilai Tambah Tenaga kerja Unit Usaha Tahun 27101 27102 27103

Rata2 27101 27102 27103

Rata2 27101 27102 27103

Rata2

1995 0,35 5,82 0,72 1,91 0.091 0.595 0.363 0.350 0,074 0,274 0,288 0,212 1996 0,32 8,92 0,80 2,12 0.093 0.589 0.361 0.348 0,052 0,246 0,265 0,188 1997 0,34 3,92 0,57 1,73 0.103 0.632 0.311 0.349 0,076 0,268 0,246 0,197 1998 0,88 1,54 0,19 1,22 0.313 0.325 0.116 0.252 0,126 0,219 0,149 0,165 1999 0,41 1,51 0,24 1,06 0.170 0.378 0.176 0.241 0,095 0,218 0,172 0,162 2000 0,56 1,30 0,23 0,99 0.168 0.369 0.165 0.234 0,072 0,198 0,072 0,114 2001 0,40 2,17 1,42 1,71 0.108 0.471 0.279 0.286 0,103 0,290 0,206 0,199 2002 0,23 1,80 1,33 1,26 0.010 0.505 0.309 0.305 0,076 0,255 0,232 0,188 2003 0,09 1,09 1,30 1,57 0.113 0.433 0.317 0.288 0,094 0,236 0,207 0,179 2004 0,04 1,32 0,95 1,71 0.065 0.495 0.310 0.290 0,116 0,242 0,218 0,192 Total 0,36 2,94 0,77 1,36 0,132 0,479 0,271 0,294 0,088 0,245 0,205 0,179

Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004

Besarnya kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri

manufaktur dari tahun 1995 sampai tahun 2004 sebesar 1,36 persen. Pada tahun

2004, kontribusi nilai tambah yang diberikan industri besi baja nasional sebesar

1,71 persen. Tahun 1996 merupakan kondisi sebelum terjadinya krisis ekonomi,

kontribusi yang diberikan industri besi baja cukup besar yaitu sebesar 2,12 persen

kepada industri manufaktur. Namun, setelah terjadi krisis ekonomi pada

pertengahan tahun 1997 sampai 1999 kontribusi nilai tambahnya mengalami

penurunan yang cukup besar. Hal ini karena pada saat krisis ekonomi, terjadi

kenaikan harga bahan baku besi baja yang diimpor sehingga menyebabkan

naiknya biaya-biaya input produksinya. Banyak perusahaan terutama perusahaan

berskala kecil terpaksa menghentikan proses produksinya, sedangkan perusahaan

berskala besar yang masih bertahan terpaksa juga harus menurunkan kapasitas

produksinya. Hal ini mengakibatkan terjadi penurunan nilai tambah industrinya

sehingga mengurangi kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri

manufaktur.

Rata-rata kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri

manufaktur paling besar disumbangkan oleh subsektor industri penggilingan baja

56

yaitu sebesar 2,94 persen. Hal ini karena nilai tambah yang dihasilkan oleh

industri penggilingan baja cukup besar tetapi belum mampu memberikan

kontribusi nilai tambah yang menyamai atau melebihi kontribusi pada saat

sebelum krisis ekonomi yaitu sebesar 8,92 persen kepada industri manufaktur.

Kontribusi nilai tambah terendah diberikan oleh subsektor industri besi dan baja

dasar. Rata-rata industri ini memberikan kontribusi sebesar 0,36 persen dari tahun

1995 sampai 2004. Hal ini karena jumlah unit usaha yang terdapat pada subsektor

ini masih relatif lebih sedikit dibandingkan jumlah unit usaha dari subsektor

industri besi baja yang lain sehingga nilai tambah yang dihasilkan rendah tetapi

industri ini mampu menciptakan pangsa pasar terbesar pada industri besi baja di

Indonesia.

Dampak dari krisis ekonomi ini menyebabkan industri logam dasar besi

dan baja sulit untuk memperbaiki bahkan meningkatkan produksinya sehingga

mengakibatkan pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Sejak krisis ekonomi

tahun 1997, kinerja industri logam dasar besi dan baja mengalami penurunan dari

tahun ke tahun dalam memberikan sumbangan nilai tambah terhadap total industri

manufaktur di Indonesia.

Bila dilihat dari kontribusi yang diberikan industri logam dasar besi dan

baja Indonesia terhadap industri manufaktur dari sisi penyerapan tenaga kerja

menunjukkan bahwa sektor ini merupakan industri yang padat modal karena

penyerapan tenaga kerja industri ini rendah. Rata-rata kontribusi total penyerapan

tenaga kerja terhadap industri manufaktur selama periode tahun 1995 sampai

tahun 2004 hanya sebesar 0,294 persen. Angka ini sangat rendah bila

57

dibandingkan dengan kontribusi sektor industri manufaktur lainnya, seperti

industri rokok kretek. Pada tahun 1999, kontribusi penyerapan tenaga kerja

industri rokok kretek terhadap industri manufaktur sebesar 4,65 persen (Sumarno

dan Kuncoro, 2003) sedangkan untuk tahun yang sama kontribusi penyerapan

tenaga kerja industri logam dasar besi dan baja hanya sebesar 0,291 persen.

Besarnya penyerapan tenaga kerja industri rokok kretek dikarenakan industri

tersebut merupakan industri yang padat karya atau padat tenaga kerja sehingga

total penyerapan tenaga kerjanya pun cukup besar.

Industri yang padat modal cenderung pada penggunaan mesin-mesin

berteknologi tinggi sehingga penyerapan tenaga kerjanya cenderung pada tenaga

kerja yang terampil dan terdidik yang menguasai teknologi produksi besi dan baja.

Berbeda dengan industri yang padat modal, industri padat tenaga kerja

memberikan kinerja yang baik dalam penyerapan tenaga kerja industrinya

sehingga memberikan peluang kesempatan kerja yang banyak untuk para pekerja.

Hal ini dapat membantu mengatasi masalah pengangguran yang banyak

diperbincangkan.

Kontribusi industri logam dasar besi dan baja terhadap total industri

manufaktur Indonesia dilihat dari sisi kontribusi jumlah unit usaha dari tahun

1995 sampai tahun 2004 secara rata-rata yaitu sebesar 0,179 persen. Nilai

kontribusinya rendah karena jumlah unit usaha pada industri logam dasar besi dan

baja Indonesia sangat sedikit dibandingkan industri-industri lain yang termasuk

dalam industri manufaktur. Selama sepuluh tahun terakhir mulai dari tahun 1995

hingga tahun 2004, rata-rata kontribusi jumlah unit usaha terhadap industri

58

manufaktur untuk industri besi dan baja dasar hanya sebesar 0,088 persen, industri

penggilingan baja memberikan kontribusi sebesar 0,245 persen, sedangkan

industri pipa dan sambungan pipa dari besi baja memberikan kontribusi sebesar

0,205 persen. Kontribusi jumlah unit usaha terendah adalah industri besi dan baja

dasar. Pengaruh dari krisis ekonomi memberikan kontribusi unit usaha industri

besi baja terhadap industri manufaktur semakin rendah karena saat krisis banyak

unit usaha yang menutup usahanya.

Fluktuasi nilai mata uang rupiah terhadap dolar yang berlebihan pada masa

krisis ekonomi, yang diikuti oleh peningkatan harga-harga yang sangat tinggi

telah membawa kinerja yang kurang baik pada dunia usaha terutama juga yang

dialami oleh industri logam dasar besi dan baja. Adanya krisis ekonomi

menyebabkan banyak dunia usaha dalam industri ini tidak mampu

mempertahankan proses produksinya sehingga banyak unit usaha yang terpaksa

tutup akibat fluktuasi harga tersebut. Fluktuasi harga yang tajam ini menyebabkan

harga bahan baku yang di impor mengalami peningkatan harga yang cukup tinggi.

Kondisi setelah terjadi krisis ekonomi, juga mengancam bahkan mematikan unit

usaha besi baja nasional yaitu karena masuknya produk-produk baja impor yang

menggunakan harga dumping atau bahkan merupakan produk baja ilegal.

5.2.3. Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia

Salah satu indikator yang juga digunakan untuk melihat kinerja suatu

industri adalah dari tingkat efisiensi yang dihasilkan oleh industri tersebut.

Efisiensi menunjukkan kemampuan suatu perusahaan atau industri untuk

59

meminimumkan biaya produksi yang dikeluarkan. Tabel 5.4 menunjukkan tingkat

efisiensi industri logam dasar besi baja di Indonesia.

Tabel 5.4. Tingkat Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia Tahun 1995-2004 (persen)

Tingkat Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Tahun ISIC 27101 ISIC 27102 ISIC 27103 ISIC 271

1995 44,34 94,09 58,14 83,861996 40,98 195,05 63,76 151,861997 47,25 55,43 56,81 54,921998 15,45 107,41 38,71 34,271999 81,38 30,91 40,94 36,152000 86,02 28,86 37,81 35,812001 24,34 32,90 90,12 40,632002 107,45 44,10 42,78 45,362003 27,48 16,58 47,63 25,722004 26,50 14,09 42,51 19,65Total 50,12 61,94 51,92 52,82

Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004

Kemampuan industri besi baja Indonesia meminimumkan biaya produksi

yang dikeluarkan selama sepuluh tahun terakhir dari tahun 1995 sampai 2004

yaitu sebesar 52,82 persen. Bila dibandingkan dengan kondisi sebelum terjadinya

krisis ekonomi yaitu di tahun 1996 menunjukkan bahwa tingkat efisiensi industri

besi baja nasional cukup besar yaitu sebesar 151,86 persen. Hal ini berarti bahwa

sebelum krisis ekonomi, kemampuan industri besi baja dalam menekan biaya

produksi sangat baik sehingga menunjukkan industri besi baja berproduksi secara

efisien dan memberikan kinerja industri yang cukup baik pula. Dengan demikian,

industri besi baja mampu memberikan keuntungan yang besar. Hal ini juga dapat

dilihat dari besarnya rasio konsentrasi yang dimiliki industri besi baja pada saat

sebelum krisis ekonomi.

Pada masa krisis ekonomi yang terjadi dipertengahan tahun 1997, efisiensi

yang dihasilkan oleh industri besi baja semakin menurun dibandingkan sebelum

60

terjadi krisis ekonomi. Hal ini karena banyak perusahaan pada industri besi baja

yang berproduksi kurang efisien karena adanya kenaikan harga-harga bahan baku

besi baja yang sangat tinggi. Di tahun 1998, industri penggilingan baja

mempunyai efisiensi yang besar yaitu sebesar 107,41 persen. Ini karena ada

sebagian wilayah tempat berproduksinya industri tersebut, mampu menekan biaya

input produksinya sehingga perusahaan tersebut efisien dalam berproduksi. Hal

inilah yang menyebabkan tingkat efisiensi industri penggilingan baja secara

keseluruhan cukup besar. Wilayah yang mampu meminimumkan biaya produksi

yaitu industri penggilingan baja yang terletak di kabupaten Surabaya, Bekasi,

Serang, dan Jakarta Utara (Tabel 5.5).

Tabel 5.5. Efisiensi Industri Penggilingan Baja Indonesia, Tahun 1998 Kabupaten Nilai Tambah

(ribu rupiah) Nilai Input

(ribu rupiah) Efisiensi (persen)

Medan 24198609 45558501 53,12Jaktim 100335769 130319203 76,99Jakut 54046981 42856109 126,11Bogor 86565 20586512 0,42Karawang 716659 4778378 14,99Bekasi 109109369 83168959 131,19Tanggerang 2920088 12486954 23,39Serang 18361749 7940793 231,23Semarang 49878726 164460567 30,33Sidoarjo 131180054 132809098 98,77Gresik 2475458 9989607 24,78Surabaya 639801121 360372798 177,54Pontianak 7471640 16126604 46,33Ujung Pandang 4652844 34763301 13,38

Sumber : Diolah dari data BPS, 1998

Saat terjadinya kelangkaan bahan baku baja di tahun 2003 akibat

meningkatnya permintaan baja oleh negara-negara yang sedang melakukan

proyek pembangunan besar-besaran yang menyebabkan kenaikan harga bahan

baku baja di pasar dunia, juga mempengaruhi kinerja industri besi baja di

61

Indonesia sehingga industri besi baja nasional memiliki efisiensi produksi yang

rendah. Di tahun 2003 tersebut, nilai efisiensinya hanya sebesar 25,72 persen dan

efisiensi terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu dengan nilai efisiensi sebesar

19,65 persen.

Adanya kelangkaan bahan baku baja menyebabkan kenaikan harga bahan

baku baja di pasar internasional sehingga mempengaruhi efisiensi produksi bagi

ketiga subsektor industri besi baja nasional. Hal tersebut memberikan

pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Ini berarti bahwa adanya ketergantungan

impor bahan baku yang sangat besar untuk industri besi baja Indonesia

menjadikan industri besi baja Indonesia sangat tergantung atau terpengaruh dari

kondisi yang terjadi di pasar internasionalnya sehingga berdampak kurang baik

bagi kinerja industri besi baja Indonesia.

Dalam teori ekonomi industri, dinyatakan bahwa semakin tinggi rasio

konsentrasi maka dapat menyebabkan semakin tidak efisien industri tersebut

berproduksi karena tingginya rasio konsentrasi menunjukkan perusahan dalam

industri tersebut tidak bersaing sempurna. Perusahaan pada pasar persaingan

sempurna cenderung efisien dalam mengalokasikan sumber dayanya. Namun,

kondisi tersebut berbeda dengan yang terjadi pada industri logam dasar besi baja.

Misalnya, walaupun industri besi baja mempunyai konsentrasi rasio yang cukup

besar saat sebelum terjadi krisis ekonomi tetapi industri ini menunjukkan tingkat

efisiensi yang cukup besar. Akan tetapi, setelah terjadi krisis ekonomi

mengakibatkan ada sebagian besar perusahaan pada industri ini berproduksi

kurang efisien sehingga memberikan rasio konsentrasi yang menurun. Oleh

62

karena itu, tingginya rasio konsentrasi tidak selalu berpengaruh buruk atau

merugikan karena ada industri yang harus berproduksi dengan skala ekonomi

yang besar atau membutuhkan modal yang sangat besar untuk berproduksi dengan

efisien. Bila industri tersebut dipaksa untuk mengurangi atau menurunkan rasio

konsentrasinya justru akan membuat perusahaan tersebut kurang efisien.

Besarnya rasio konsentrasi sering diidentikkan dengan tingkat persaingan

yang rendah. Untuk industri besi baja, tingginya rasio konsentrasi yang dihasilkan

bukan karena tidak ada persaingan diantara perusahaannya tetapi karena adanya

kemampuan perusahaan untuk meminimumkan biaya input untuk menghasilkan

output yang optimal. Persaingan yang ada pada industri ini cukup besar, baik

persaingan antar perusahaan di dalam industri tersebut ataupun persaingan dengan

produk-produk baja impor.

5.2.4. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia

Tabel 5.6 memperlihatkan kinerja industri logam dasar besi dan baja

Indonesia dilihat dari sisi keuntungan (profit) yang dihasilkan pada tahun 1995

dan 2004. Dari Tabel 5.6 dapat dilihat bahwa kinerja industri logam dasar besi dan

baja dari sisi keuntungan yang diperoleh mengalami penurunan baik untuk

industri besi dan baja dasar, industri pengilingan baja, dan industri pipa dan

sambungan pipa dari besi dan baja. Pada tahun 1995, industri besi dan baja dasar

mempunyai keuntungan per perusahaan sebesar 1,92 persen sedangkan pada tahun

2004 menurun menjadi 0,87 persen. Hal ini berarti adanya hubungan yang negatif

dengan jumlah perusahaan yang masuk sehingga semakin banyak perusahaan

63

yang masuk maka keuntungan per perusahaan menjadi semakin kecil dan

memiliki korelasi positif dengan rasio konsentrasi industri.

Tabel 5.6. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Keuntungan/output

(persen) Keuntungan/perusahaan

(persen) CR4 (persen) Jumlah

perusahaan Isic 1995 2004 1995 2004 1995 2004 1995 200427101 30,72 20,95 1,92 0,87 98,74 71,33 16 2427102 48,48 12,35 0,82 0,25 82,52 60,74 59 5027103 36,76 29,83 0,59 0,66 47,92 49,03 62 45

Sumber : Diolah dari Data BPS, 1995 dan 2004

Keuntungan per perusahaan industri penggilingan baja pada tahun 1995

sebesar 0,82 persen kemudian pada tahun 2004 menjadi 0,25 persen. Namun

mempunyai korelasi yang positif dengan jumlah perusahaan yang ada. Hal ini

berarti bahwa jumlah perusahaan yang keluar dari industri hanyalah perusahaan-

perusahaan dengan skala usaha kecil atau sedang, juga terjadi penurunan output

produksi disebagian besar perusahaan-perusahaan yang ada pada industri tersebut

sehingga tidak mampu meningkatkan rasio konsentrasinya.

Pada tahun 1995, industri pipa dan sambungan pipa dari besi dan baja

mempunyai keuntungan per perusahaan sebesar 0,59 persen dengan jumlah

perusahaan sebanyak 62 unit sedangkan pada tahun 2004 keuntungan per

perusahaan sebesar 0,66 persen dengan penurunan jumlah perusahaan yang sangat

besar sebanyak 17 perusahaan yang keluar dari industri ini. Penurunan jumlah

perusahaan yang banyak ini hanya meningkatkan keuntungan per perusahaan

sebesar 0,07 persen, kenaikannya hanya sedikit dibandingkan banyaknya jumlah

usaha yang keluar. Ini juga berarti bahwa banyaknya jumlah perusahaan yang

keluar tersebut merupakan perusahaan dengan skala usaha yang kecil. Begitu pula

dengan rasio konsentrasi yang meningkat hanya sebesar 1,11 persen saja,

64

seharusnya secara teori bahwa semakin banyak perusahaan yang keluar maka

semakin besar rasio konsentrasinya dan keuntungan per perusahaan yang dapat

diperoleh juga besar.

Pada saat terjadi krisis ekonomi, jumlah perusahaan pada industri besi baja

semakin sedikit dan keuntungan yang diterima perusahaan juga semakin menurun

karena nilai rasio konsentrasinya juga mengalami penurunan. Jadi, pada saat krisis

ekonomi terdapat korelasi yang positif baik antara jumlah unit usaha, rasio

konsentrasi dengan keuntungan per perusahaannya. Saat krisis ekonomi,

banyaknya perusahaan yang keluar disertai dengan penurunan keuntungan yang

diterima perusahaan dalam industri tersebut dan juga menurunnya rasio

konsentrasi menyebabkan penurunan keuntungannya.

Dilihat dari keuntungan per output industri logam dasar besi dan baja

Indonesia mengalami penurunan, dimana untuk industri besi dan baja dasar pada

tahun 2004 terjadi penurunan sebesar 9,77 persen dibandingkan pada tahun 1995,

industri penggilingan baja tahun 2004 mengalami penurunan sebesar 36,13 persen

dibanding tahun 1995, dan untuk industri pipa dan sambungan pipa dari besi dan

baja mengalami penurunan sebesar 6,9 persen pada tahun 2004 bila dibandingkan

tahun 1995.

Dengan demikian bahwa secara teori, bertambah atau berkurangnya

jumlah perusahaan mempengaruhi pangsa pasar industri logam dasar besi dan baja

di Indonesia dan mempengaruhi pula nilai rasio konsentrasi industrinya serta

akhirnya mempengaruhi keuntungan yang diperoleh tiap perusahaan. Adanya

krisis ekonomi pada pertengahan 1997 dengan fluktuasi mata uang rupiah yang

65

sangat tajam disertai dengan stabilitas politik dan keamanan yang sangat kacau

telah membawa dampak negatif bagi kinerja industri logam dasar besi dan baja

karena secara keseluruhan telah mengurangi total produksinya, juga mengurangi

penyerapan tenaga kerja dan penciptaan nilai tambah serta jumlah unit usahanya.

Praktek dumping dan masuknya impor besi baja yang sangat besar di pasar

dalam negeri terutama pula impor baja illegal, menurut Direktur Utama PT.

Krakatau Steel berdampak sangat signifikan terhadap penjualan baja nasional

karena penjualan baja menurun tajam (Tempointetaktif,2007). Hal ini karena,

harga baja yang diproduksi dalam negeri lebih tinggi daripada baja impor yang

djual dengan cara dumping tersebut sehingga keuntungan yang dihasilkan oleh

industri besi baja nasional menjadi semakin menurun, berdampak pula pada

penurunan kinerja industrinya.

Hal pokok yang juga mempengaruhi terjadinya penurunan kinerja industri

besi baja nasional sehingga mengganggu proses produksinya adalah karena

adanya ketergantungan impor bahan baku baja yang sangat besar dan berpengaruh

pula pada daya saing produk besi baja yang dihasilkan. Sangat sulit untuk

menjadikan industri besi baja nasional tumbuh menjadi industri yang kuat jika

bahan baku utamanya masih tergantung pada impor. Apalagi, adanya kenaikan

gas dan energi listrik yang tinggi. Oleh karena itu, pemerintah harus menjadikan

industri besi baja nasional tumbuh dan kuat dengan memanfaatkan potensi

tambang bijih besi lokal dan juga membangun industri besi baja nasional menjadi

kluster-kluster industri yang menghasilkan produk berdaya saing tinggi.

66

5.3. Analisis Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia

Adanya kluster suatu industri memberikan banyak keuntungan bagi

industri atau perusahaan-perusahaan yang ada dalam industri tersebut karena

dengan pengembangan kluster diharapkan memberikan penghematan-

penghematan biaya baik biaya transportasi, biaya produksi, pemasaran dan

sebagainya. Adanya kluster dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi

industri bersangkutan, salah satunya karena industri dengan mudah memiliki

akses yang efisien terhadap bahan baku, tenaga kerja, informasi, industri terkait,

industri pendukung dan sebagainya. Dengan meningkatnya produktivitas dan

efisiensi maka daya saing industri dapat meningkat pula.

Industri besi dan baja merupakan industri yang memiliki keterkaitan yang

sangat erat antar sektor industri lainnya, baik dengan industri hulu atau industri

hilirnya. Secara geografis, industri logam dasar besi dan baja ini amat

terkonsentrasi pada sebagian wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, masing-

masing perusahaan dalam wilayah tersebut dapat berperan dalam tumbuh dan

berkembangnya kluster industri logam dasar besi dan baja yang dapat

menciptakan keunggulan kompetitif bagi industri tersebut.

Pemilihan suatu lokasi industri logam dasar besi dan baja sangat

tergantung pada beberapa faktor yang mendukung, diantaranya bahwa lokasi

tersebut merupakan daerah bahan baku atau bahan pendukung, memiliki daerah

pemasaran yang cukup baik, adanya atau dekat dengan pelabuhan dan prasarana

yang mendukung, tersedianya tanah yang cukup luas, tersedia air yang cukup

banyak untuk keperluan produksinya, kondisi politis daerah yang baik, serta

67

adanya tenaga kerja yang banyak. Faktor inilah yang cukup menunjang untuk

didirikannya industri logam dasar besi dan baja serta potensial untuk dibangun

dan dikembangkan suatu kluster industrinya.

Berdasarkan analisis sebaran geografis diperoleh bahwa daerah atau lokasi

industri logam dasar besi dan baja di Indonesia terdapat di empat pulau Indonesia

yaitu Pulau Jawa (Gambar 5.1), Sumatera (Gambar 5.2), Kalimantan (Gambar5.3)

dan Sulawesi. Dari empat pulau tersebut, industri logam dasar besi dan baja

Indonesia terdapat di 25 kabupaten/kota yang ada. Pulau Jawa merupakan daerah

utama industri logam dasar besi dan baja karena industri logam dasar besi dan

baja hampir keseluruhan berada di Pulau Jawa yakni terdapat di 18 kabupaten dan

kabupaten sisanya terdapat di luar Pulau Jawa. Berdasarkan analisis SIG

ditunjukkan bahwa terdapat konsentrasi spasial untuk industri logam dasar besi

dan baja, industri cenderung mengelompok di suatu daerah terutama daerah yang

memiliki bahan baku atau bahan penolong dan dekat dengan sarana transportasi

seperti pelabuhan-pelabuhan. Konsentrasi spasial lebih jelas terlihat di bagian

barat Pulau Jawa.

Gambar 5.1. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Jawa

Sumber : Diolah dari Peta BPS

68

Gambar 5.2 menunjukkan peta sebaran geografis industri logam dasar besi

dan baja di Pulau Kalimantan. Daerah utama industri besi baja di Pulau

Kalimantan, tepatnya berada di Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.

Industri besi baja yang terdapat di Kabupaten Pontianak ini hanya terdapat satu

subsektor industri yaitu industri penggilingan baja. Pada tahun 1995, jumlah

tenaga kerja yang diserap oleh industri penggilingan baja di Kabupaten Pontianak

hanya sebanyak 66 tenaga kerja, sedangkan pada tahun 2004, jumlah tenaga kerja

yang diserap meningkat menjadi 89 tenaga kerja (Lampiran 1 dan 2).

Gambar 5.2. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Kalimantan

Sumber : Diolah dari Peta BPS

Industri logam dasar besi dan baja di Pulau Sumatera terletak di beberapa

daerah yaitu di Kabupaten Asahan, Deli Serdang, Medan, Musi Banyuasin, dan

Batam (Gambar 5.3). Sebagian besar subsektor industri besi baja di Pulau

Sumatera lebih banyak berspesialisasi pada subsektor industri penggilingan baja

dan pada industri pipa dan sambungan pipa dari besi baja. Pada tahun 1995, hanya

terdapat empat kabupaten di Pulau Sumatera sebagai tempat industri besi baja

beroperasi yaitu terletak di Kabupaten Dairi, Medan, Batam, dan Musi Banyuasin.

69

Pada tahun 2004, industri besi baja di Pulau Sumatera terletak di lima kabupaten,

akan tetapi industri di kabupaten Dairi sudah tidak beroperasi lagi.

Gambar 5.3. Peta Sebaran Geografis Indsutri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Sumatera

Sumber : Diolah dari Peta BPS

Tabel 5.7 menunjukkan hasil analisis frequencies dengan menggunakan

SPSS Versi 13 yang memperlihatkan distribusi tenaga kerja dan nilai tambah

industri logam dasar besi dan baja di Indonesia. Hasil dari uji tersebut

memperlihatkan bahwa pada tahun 1995 dan 2004, distribusi tenaga kerja dan

nilai tambah industri logam dasar besi dan baja tidak merata yang dilihat dari hasil

uji nilai skewness dan kurtosis dimana rasio skewness dan rasio kurtosis tidak

berada diantara -2 dan 2. Distribusi dikatakan normal jika rasio skweness maupun

kurtosis berada diantara -2 dan 2.

Tabel 5.7. Rasio Skewness dan Kurtosis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 dan 2004

Tenaga Kerja Nilai Tambah Rasio Tahun 1995 Tahun 2004 Tahun 1995 Tahun 2004

Skewness 4,085 3,983 8,658 5,282 Kurtosis 3,392 4,053 18,256 7,795

Sumber : Diolah dari data BPS, 1995 dan 2004.

70

Gambar 5.4 dan 5.5 memperlihatkan histogram distribusi tenaga kerja dan

nilai tambah industri logam dasar besi dan baja pada tahun 1995 dan 2004 untuk

seluruh kabupaten di Indonesia, dimana menunjukkan adanya kecondongan positif

dan memiliki sebaran tidak normal. Kecondongan positif menunjukkan bahwa ada

beberapa kabupaten atau kota mempunyai tingkat kepadatan industri logam dasar

besi dan baja yang tinggi dilihat dari jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang

dihasilkan, tetapi ada juga kabupaten yang memiliki kepadatan industri besi baja

yang rendah. Jadi, dari hasil uji frequencies dapat diindikasikan bahwa terdapat

kluster industri logam dasar besi dan baja pada beberapa wilayah di Indonesia.

Gambar 5.4 Histogram Distribusi Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995

Gambar 5.5 Histogram Distribusi Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2004

71

Untuk membedakan kabupaten yang memiliki tingkat kepadatan industri

yang tinggi atau rendah pada industri besi baja ini, maka dibuat suatu kriteria

“tinggi”, ”sedang”, dan “rendah” berdasarkan penyerapan tenaga kerja dan nilai

tambah yang dihasilkan. Penentuan kriteria untuk menentukan daerah kepadatan

industri dalam penelitian ini mengikuti kriteria yang digunakan oleh Kuncoro

(2002). Kriteria-kriteria tersebut sebagai berikut :

1. Tinggi, untuk tenaga kerja bila memiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 6.000

pekerja, sedangkan untuk nilai tambah bila memiliki nilai lebih dari Rp. 100

miliyar.

2. Sedang, untuk tenaga kerja bila memiliki tenaga kerja antara 1.000 sampai

6.000 pekerja, sedangkan untuk nilai tambah bila memiliki nilai antara Rp.15

miliyar sampai Rp. 100 miliyar.

3. Rendah, untuk tenaga kerja bila memiliki jumlah tenaga kerja kurang dari

1.000 pekerja, sedangkan untuk nilai tambah bila memiliki nilai kurang dari

Rp. 15 miliyar.

Diasumsikan bahwa ciri daerah industri besi baja utama adalah daerah

yang memiliki kepadatan industri yang tinggi atau sedang, yang diterapkan secara

bersamaan baik untuk tenaga kerja dan nilai tambahnya. Dapat dilihat pada

lampiran 4 dan 5, kabupaten-kabupaten yang merupakan daerah industri besi baja

utama di Indonesia pada tahun 2004 terdapat di 9 kabupaten. Kabupaten Cilegon

sebagai daerah industri besi baja yang memiliki tingkat kepadatan industri yang

tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan

dibandingkan kabupaten lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa Cilegon dapat

72

dianggap sebagai daerah kluster industri logam dasar besi baja di Indonesia.

Kabupaten lain yang juga merupakan daerah industri logam dasar besi baja di

Indonesia adalah Bekasi, Sidoarjo, Surabaya, Semarang, Batam, Medan,

Tanggerang dan Jaktim. Daerah-daerah tersebut juga potensial untuk dapat

dikembangkan menjadi kluster industri besi baja di Indonesia.

Pada tahun 2004, penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah terbesar pada

industri logam dasar besi dan baja Indonesia berada di kabupaten Cilegon.

Sebelum otonomi daerah, Cilegon termasuk ke dalam kabupaten Serang, tetapi

setelah otonomi daerah tahun 2001, Cilegon membentuk kabupaten sendiri yaitu

kabupaten Cilegon. Hal ini berarti bahwa mulai dari tahun 1995 hingga tahun

2004 penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah terbesar untuk industri logam

dasar besi dan baja paling besar disumbangkan oleh daerah Cilegon karena Serang

sendiri setelah otonomi daerah hanya menduduki kelas “rendah” sehingga tidak

dianggap sebagai daerah utama industri besi baja sebab di kabupaten Serang

terdapat industri lain yang lebih berperan dalam memberikan nilai tambah dan

menyerap tenaga kerjanya.

Pada tahun 2004, Cilegon yang termasuk dalam kelas “tinggi” memiliki

jumlah unit usaha sebanyak 7 unit usaha pada industri logam dasar besi dan baja.

Jumlah unit usaha terbanyak berada di kabupaten Bekasi dengan unit usaha

sebanyak 18 unit usaha. Hal ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan logam

dasar besi dan baja beroperasi di daerah tersebut daripada di daerah lain sehingga

dapat disimpulkan terdapat pengelompokan industri besi baja dan dapat

diindikasikan ada kluster pada daerah tersebut. Menurut Marshall (1919) dalam

73

Kuncoro (2002), kluster industri terjadi karena adanya konsentrasi pekerja yang

terampil, berdekatan dengan pemasok spesialis dan tersedianya fasilitas untuk

mendapatkan pengetahuan sehingga membuat perusahaan-perusahaan dalam satu

industri cenderung mengelompok.

Untuk mengetahui perbedaan skala kluster industri dapat digunakan

indikator skala. Indikator skala dihitung dengan menggunakan total penyerapan

tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan oleh industri tersebut. Dalam

pembahasan ini, diasumsikan bahwa industri logam dasar besi dan baja

dikelompokkan menjadi kluster-kluster industri dengan cara menggabungkan

daerah-daerah industri baja yang saling berdekatan secara geografis menjadi

daerah industri besi baja utama yang diperluas (Extended Industrial Areas).

Kelompok industri yang diperluas tersebut terdiri dari Serang EIA (Serang dan

Cilegon), Jabotabeka EIA (Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi, dan Karawang),

Bandung, Semarang EIA (Semarang dan Klaten), Surabaya EIA (Pasuruan,

Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Gresik), Medan EIA (Asahan, Deli Serdang

dan Medan), Batam, Musi Banyuasin, Pontianak, dan Ujung Pandang.

Lampiran 6 menunjukkan daerah industri logam dasar besi dan baja

Indonesia dilihat dari sisi skala, daerah yang paling menonjol adalah Jabotabeka

EIA dan Serang EIA baik dalam penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah yang

dihasilkan. Namun, Serang EIA menghasilkan nilai tambah yang lebih besar

daripada Jabotabeka EIA. Hal ini berarti Serang EIA merupakan daerah perluasan

industri logam dasar besi dan baja terbesar di Indonesia, setelah itu barulah

74

Jabotabeka EIA sebagai daerah perluasan industri logam dasar besi dan baja

kedua terbesar.

Terdapat ketimpangan distribusi aktivitas industri logam dasar besi baja

antara Pulau Jawa dengan pulau lainnya dalam hal penyerapan tenaga kerja dan

nilai tambah. Rata-rata kontribusi tenaga kerja dan nilai tambah yang terdapat di

kabupaten di Pulau Jawa memberikan kontribusi lebih tinggi dibandingkan

kabupaten yang ada di luar Pulau Jawa. Penyerapan tenaga kerja industri besi baja

di Pulau Jawa pada tahun 2004 sebesar 84,86 persen terhadap total tenaga kerja

industri besi baja di Indonesia, sedangkan untuk kontribusi nilai tambah

kabupaten di Pulau Jawa sebesar 78,83 persen, sisanya untuk industri di luar

Pulau Jawa. Oleh karena itu, kluster industri logam dasar besi dan baja di

Indonesia lebih terkonsentrasi secara spasial di Pulau Jawa. Daerah-daerah

industri utama besi baja di Jawa lebih banyak terdapat di daerah bagian barat dan

timur Pulau Jawa.

Konsentrasi industri dalam suatu kluster dapat diukur dengan

menggunakan salah satu ukuran yang dinamakan indeks spesialisasi. Indeks

spesialisasi juga digunakan untuk mengukur kemampuan suatu daerah dalam

menciptakan kesempatan kerja (Kuncoro, 2002). Lampiran 7 dan 8

memperlihatkan indeks spesialisasi untuk kabupaten atau kota industri logam

dasar besi dan baja di Indonesia. Pada tahun 1995, secara rata-rata indeks

spesialisasi industri logam dasar besi dan baja di Indonesia sebesar 2,13

sedangkan tahun 2004 nilai indeks spesialisasinya sebesar 3,61. Nilai indeks

spesialisasi yang melebihi satu berarti bahwa daerah tersebut mampu menciptakan

75

kesempatan kerja yang sangat besar. Hal ini berarti, industri logam dasar besi dan

baja di Indonesia cenderung memberikan kesempatan pangsa tenaga kerja yang

besar hingga tahun 2004, terkecuali pada saat terjadi krisis ekonomi dipertengahan

tahun 1997 karena pada saat krisis banyak tenaga kerja yang di PHK.

Pada tahun 1995, Kabupaten Serang masih tergabung dengan propinsi

Jawa Barat memberikan nilai indeks spesialisasi terbesar dibandingkan dengan

daerah lainnya yaitu sebesar 16,38. Kemudian pada tahun 2004, setelah otonomi

daerah Banten memisahkan diri dari Jawa barat dan membentuk propinsi sendiri

ternyata kabupaten Cilegonlah yang mempunyai nilai indeks spesialisasi yang

sangat tinggi yaitu sebesar 44,61. Daerah-daerah yang memberikan sumbangan

tenaga kerja dan nilai tambah yang besar atau yang termasuk dalam kelas “tinggi”

ternyata mempunyai indeks spesialisasi yang lebih dari satu.

Menurut Kuncoro (2002) dikatakan bahwa indeks spesialisasi yang tinggi

pada suatu industri diasumsikan akan mempercepat pertumbuhan industri yang

terdapat di daerah tersebut. Tingginya indeks spesialisasi yang dimiliki Cilegon

mengindikasikan ada keunggulan komparatif yang dimiliki daerah tersebut

dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Artinya bahwa industri logam dasar

besi dan baja di Cilegon memiliki pangsa tenaga kerja yang besar.

Daerah-daerah yang memiliki indeks spesialisasi kurang dari satu

menunjukkan bahwa daerah tersebut kurang atau tidak memiliki keunggulan

komparatif. Pada tahun 1995, daerah industri besi dan baja di Indonesia yang

memiliki indeks spesialisasi terendah adalah industri di kabupaten Malang

sehingga tahun 2004 industri di kabupaten malang sudah tidak beroperasi lagi

76

akibat rendahnya keunggulan komparatif yang dimiliki. Pada tahun 2004, indeks

spesialisasi terendah berada di kabupaten Pasuruan karena pangsa tenaga kerja

industri besi baja di daerah tersebut sangat rendah.

Dari analisis sebaran geografis dapat diindikasikan bahwa sampai tahun

2004 hanya ada satu daerah kluster industri utama logam dasar besi dan baja di

Indonesia yaitu terletak di kabupaten Cilegon Propinsi Banten. Hal ini terbukti

karena industri logam dasar besi dan baja di Cilegon memberikan sumbangan

cukup besar baik pada penyerapan tenaga kerja maupun nilai tambahnya

dibandingkan dengan industri logam dasar besi dan baja yang terdapat di

kabupaten lain (Lampiran 5). Kabupaten Cilegon pun mempunyai indeks

spesialisasi yang besar, oleh karena itu industri besi baja yang ada di Cilegon

diharapkan akan mempercepat pertumbuhan industri maupun kesejahteraan

masyarakat di daerah tersebut karena memberikan kesempatan pangsa tenaga

kerja yang besar.

Cilegon diindikasikan sebagai kluster bagi industri logam dasar besi dan

baja karena lokasi Cilegon strategis yaitu dekat dengan pelabuhan Merak sehingga

memudahkan untuk mendatangkan bahan baku dan memasarkan produknya;

terdapat universitas yang menyediakan banyak tenaga kerja terampil dan terdidik;

dekat dengan para pemasok besi baja seperti industri seng, pipa, kaleng dan

sebagainya; adanya sarana dan prasarana pendukung seperti infrastruktur jalan

yang baik dan sebagainya; selain itu dukungan dari pemerintah daerah setempat.

77

5.4. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan analisis struktur, kinerja, dan kluster pada industri logam

dasar besi baja maka terdapat beberapa kebijakan yang diajukan dari hasil

penelitian ini. Pertama, peran pemerintah dan juga pihak-pihak terkait untuk

menciptakan strategi dalam rangka meningkatkan atau memulihkan kembali

kinerja industri besi baja. Kinerja industri besi baja nasional yang menurun lebih

disebabkan karena adanya ketergantungan impor bahan baku besi baja yang

sangat besar sehingga menyebabkan aktivitas produksi industri besi baja nasional

sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar baja internasional. Sedikit saja terjadi

guncangan perekonomian seperti krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997

mempengaruhi kinerja industri baja nasional. Ketergantungan impor bahan baku

ini dikarenakan industri besi baja Indonesia belum mampu menciptakan dan

mengembangkan teknologi pengolahan bijih besi lokal yang digunakan sebagai

bahan baku besi baja.

Pemerintah dapat membuat kebijakan yang mengatur dan mengontrol

terlaksananya program pengolahan bijih besi lokal dengan memprioritaskan dana-

dana untuk tujuan tersebut karena dana yang berkaitan dengan riset untuk

pengembangan teknologi pengolahan bijih besi lokal sangat sedikit bahkan tidak

ada, selain itu mendorong pihak-pihak terkait lainnya untuk mensukseskan

program tersebut seperti peneliti atau lembaga penelitian dan pihak industri itu

sendiri. Penciptaan teknologi pengolahan besi baja berbasis sumber daya lokal ini

dapat mengurangi ketergantungan impor bahan baku industri besi baja nasional

yang sangat besar sehingga industri tersebut tidak lagi terpengaruh oleh kondisi

78

pasar internasional yang tidak menentu. Oleh karena itu, industri besi baja

nasional diharapkan mampu memiliki efisiensi yang tinggi sehingga dapat

menciptakan nilai tambah yang besar dan memiliki produk yang berdaya saing

tinggi di pasar domestik maupun internasional.

Kedua, untuk mengatasi persoalan mengenai masuknya produk-produk

baja ilegal atau produk impor dengan harga dumping, kebijakan yang harus

ditempuh adalah kebijakan yang mengharuskan penggunaan standard nasional

(SNI) bagi produk-produk baja yang masuk ke Indonesia atau dengan kata lain

memproteksi industri besi baja melalui hambatan non tarif. Hal ini karena

hambatan non tarif untuk melindungi industri dalam negeri masih sangat kurang.

Selain hambatan non tarif, pemerintah juga perlu melakukan harmonisasi tarif bea

masuk agar antara industri hulu dan hilir sama-sama tidak dirugikan. Olah karena

itu, untuk perlindungan industri dalam negeri harus dilakukan dengan kebijakan

tarif dan non tarif sebab kebijakan tarif saja tidak akan cukup. Selain itu pula,

pemerintah perlu menetapkan kebijakan adanya izin impor anti dumping bagi

produk baja impor dari negara-negara pengimpor.

Mengatasi permasalahan produk dumping yang masuk ke Indonesia,

sebaiknya pemerintah memberikan dukungan untuk menjadikan Komite Anti

Dumping Indonesia (KADI) sebagai lembaga independen yang benar-benar

mengatasi kasus dumping tersebut beserta menetapkan sanksinya dan tidak lagi

menjadi lembaga yang hanya sekedar melaporkan atau merekomendasikan kasus

dumping kepada pemerintah. Akan tetapi, memberikan wewenang sepenuhnya

kepada KADI untuk menuntaskan dan membuat keputusan terhadap kasus

79

tersebut. Untuk mengatasi masalah impor ilegal, hal ini benar-benar perlu

pengawasan yang ketat oleh pemerintah seperti pengawasan di sejumlah

pelabuhan dan juga pengecekan ulang terhadap dokumen-dokumen impor yang

ada sebab tidak menutup kemungkinan adanya pemalsuan dokumen impor

tersebut. Misalnya, dengan memasukkan nilai baja impor yang lebih rendah dari

seharusnya pada dokumen tersebut sehingga bea masuk impor yang dikenakan

menjadi lebih kecil.

Ketiga, untuk meningkatkan daya saing produk yang tinggi, peran yang

dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan kebijakan pengembangan kluster-kluster

industri terutama kluster industri besi baja Indonesia yang kuat. Kebijakan umum

yang diperhatikan dalam upaya pembentukan kluster industri yang kuat adalah

dengan memperkuat industri-industri yang terdapat dalam rantai nilai mencakup

industri inti, industri pendukung, dan industri-industri terkait sehingga dapat

mendorong keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Berdasarkan

analisis kluster industri, ada beberapa kabupaten sebagai daerah utama industri

besi baja dengan mempunyai indeks spesialisasi lebih dari satu.

Daerah yang memiliki indeks spesialisasi lebih dari satu menunjukkan

bahwa daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif sehingga sangat potensial

untuk dikembangkan menjadi kluster-kluster industri yang kuat. Kabupaten-

kabupaten yang memiliki nilai indeks spesialisasi lebih dari satu meliputi

Kabupaten Bekasi, Sidoarjo, Surabaya, Semarang, Batam, Medan, Jakarta Timur,

dan Cilegon sehingga berdasarkan analisis kluster ini dapat menjadi rekomendasi

kepada pemerintah untuk mengembangkan daerah-daerah tersebut menjadi

80

kluster-kluster industri logam dasar besi baja yang kuat dan berkembang agar

industri besi baja Indonesia mampu menciptakan daya saing yang tinggi diantara

produk-produk baja dari negara lainnya. Namun, inti permasalahan yang harus

diatasi oleh pemerintah adalah dengan mengatasi secepat mungkin ketergantungan

impor bahan baku baja bagi industri besi baja Indonesia agar dapat meningkatkan

efisiensi sehingga tidak mengkhawatirkan keberlanjutan industri besi baja

nasional kedepannya dan kemudian membangun dan mengembangkan menjadi

kluster-kluster industri besi baja yang kuat.

81

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil analisis mengenai struktur, kinerja dan kluster industri logam

dasar besi dan baja Indonesia, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Struktur industri logam dasar besi dan baja Indonesia adalah oligopoli

ketat (CR4= 71,15 persen). Tingginya rasio konsentrasi menunjukkan

adanya hambatan masuk pada industri ini. Hambatan masuk yang besar

pada industri besi baja ini bukan disebabkan oleh adanya larangan atau

adanya kebijakan pemerintah yang membatasi masuknya perusahaan-

perusahaan dalam industri ini tetapi hambatan masuk itu karena adanya

skala ekonomi yang besar agar dapat berproduksi dengan efisien.

2. Kinerja industri logam dasar besi baja di Indonesia secara keseluruhan

kurang memberikan kinerja usaha yang memuaskan terutama saat terjadi

krisis ekonomi dan setelah munculnya beberapa permasalahan pada

industri tersebut ditandai dengan pertumbuhan output dan nilai tambah

yang negatif, selain itu terjadi penurunan kontribusi nilai tambah, unit

usaha dan tenaga kerja industri logam dasar besi baja terhadap industri

manufaktur. Pada saat terjadinya kelangkaan bahan baku baja pada tahun

2003 akibat meningkatnya permintaan baja dunia, juga diindikasikan

mempengaruhi kinerja industri besi baja Indonesia sehingga efisiensi yang

dihasilkan rendah dan memberikan keuntungan yang menurun.

3. Pada tahun 2004 diindikasikan terdapat satu kluster terbesar industri

logam dasar besi dan baja di Indonesia yaitu terletak di kabupaten Cilegon

82

Propinsi Banten. Hal ini terbukti karena industri logam dasar besi dan baja

di Cilegon memberikan sumbangan cukup besar baik pada penyerapan

tenaga kerja maupun nilai tambahnya. Kabupaten-kabupaten dengan nilai

indeks spesialisasi lebih dari satu cukup potensial untuk dibangun dan

dikembangkan menjadi kluster-kluster industri logam dasar besi baja yang

kuat sehingga dampaknya dapat meningkatkan daya saing industrinya.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka ada

beberapa saran yang diajukan yaitu sebagai berikut :

1. Mendorong dan mengembangkan teknologi-teknologi pengolahan untuk

mengolah bahan baku baja lokal yang diperlukan industri logam dasar besi

dan baja Indonesia yang selama ini masih diimpor karena kandungan bijih

besi yang ada di Indonesia tidak bisa diolah dengan menggunakan teknik

pengolahan bijih besi yang konvensional. Dengan menciptakan teknologi

pengolahan bijih besi tersebut sehingga dapat mengurangi ketergantungan

impor yang tinggi di masa yang akan datang.

2. Perlu dukungan pihak-pihak terkait dalam upaya pengembangan kluster

industri yang kuat sehingga diharapkan dapat menghasilkan produk yang

berdaya saing tinggi. Dengan daya saing produk yang tinggi maka akan

meningkatkan kinerja industri besi baja kedepannya.

83

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistika. 1995-2004. Statistika Industri Besar dan Sedang. BPS, Jakarta.

----------------------------. 1995-2004. Direktori Industri Pengolahan. BPS, Jakarta. ----------------------------. 1995-2004. Indikator Industri Besar dan Sedang. BPS,

Jakarta. ----------------------------. 1995-2004. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB).

BPS, Jakarta Barus, B dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografi Sarana

Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Departemen Perindustrian. 2005. Profil Industri Logam. Departemen

Perindustrian, Jakarta. Djojodipuro, M. 1992. Teori Lokasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI,

Jakarta. Dumairy. 2000. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Elektro Indonesia. 2006. “Mempertanyakan Struktur Industri Manufaktur

Nasional”. http://www.elektroindonesia.com/elektro/khusus4a.html [Desember 1996]

Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri : Persaingan, Monopoli, dan Regulasi.

LP3ES, Jakarta. Ikhsan. A. 2005. “Kebutuhan Bahan Baku Baja Masih Terus Meningkat”. BEI

NEWS Edisi 28 Thn. V. Jaya, W. K. 2001. Ekonomi Industri. PT.BPFE, Jogyakarta. Kompas. 2006. “Industri Baja Diminta ke Kalsel”. [Kompas Online].

http://kompas.com/kompas-cetak/0603/24/ekonomi/2536494.htm [24 Maret 2006]

----------- 2003. “Industri Baja Tak Sekuat Baja itu Sendiri”. [Kompas Online].

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/13/ekonomi/309106.htm [13 Mei 2003]

84

Kuncoro, M. 2002. Analisis Spasial dan Regional Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. AMP YKPN, Jogyakarta.

Kuncoro, M dan A. Salamun. 2005. “Analisis Struktur Kinerja dan Kluster

Industri elektronika Indonesia 1990-1999”. Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol 1 No.2.

Marbun, S.I. 1994. Dampak Proteksi Bagi Industri Dasar Besi dan Daja di

Indonesia: Analisis Tabel I-O 1990 [tesis]. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Fakultas Ekonomi: Universitas Indonesia.

Porter, M.E. 1990. The Competitive Adventage Of Nation. Free Press, New York. Prahasta, E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografi. CV

Informatika, Bandung. PT. Krakatau Steel. 1973. Sejarah Berdirinya Pabrik Baja Indonesia (P.T

Krakatau Steel). PT. Krakatau Steel, Cilegon. Razif, M.2005. Aglomerasi Industri Besar dan Sedang di Jabodetabek [tesis].

Sekolah Pasca Sarjana : IPB, Bogor. Rochman, N.T. 2003. “Baja dan Baja Super, Pilar Masyarakat Berbasis Industri”.

[Kompas Online]. www.nano.lipi.go.id/utama.artikel&1112532268&1. [20 Februari 2006].

Safitri, S. 2006. Analisis Struktur Perilaku Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia

[skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor.

Shepherd, W. G. 1990. The Economics of Industrial Organization. Third Edition.

Prentice-Hall.Inc, New Jersey. Simatupang, E.P. 2006. Dampak Efisiensi Lokasi Industri Terhadap Nilai Tambah

Sektor Industri Manufaktur di Kabupaten Bogor [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor.

Sumarno,S.B dan Mudrajad. K. 2003. “Struktur Kinerja dan Kluster Industri

Rokok Kretek Indonesia 1996-1999”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 18, No.1 : 61-87.

Tempointeraktif. 2007. “30 Persen Perusahaan Baja Kolaps”.

http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/06/27/brk,20070627-102616,id.html [27 Juni 2007]

85

Wartaekonomi. 2006. “Industri Baja: Defisit Mengancam”. http://www.wartaekonomi.com/indikator.asp?aid=7211&cid=25 [12 Juni 2006]

Yuliawati. 2007. “Kadin Memuat Sepuluh Kluster Industri Dalam Road Map

2010”.[tempointeratif].http://www.tempointeratif.com/hg/ekbis/2007/03/26/brk,20070326-96404,id.html [26 Maret 2007].

86

LAMPIRAN

87

Lampiran 1. Data Nilai Tambah, Output, Tenaga kerja dan Input Industri Logam Dasar Besi Baja Per Kabupaten Indonesia Tahun 1995

Kabupaten Nilai Tambah Tenaga Kerja Output Input

27101 27102 27103 27101 27102 27103 27101 27102 27103 27101 27102 27103

Dairi 82786.687 1292937.72 1167241.28 25 308 241 193343.278 6520675.928 13612424.02 110556.591 5227738.21 12445182.73

Medan 31273009.5 12002832.4 3582 716 238880523 29782195.6 207607514 17779363.23

Batam 93920975.2 1145 117487860.3 23566885.14

Musi. B 3176220.4 120 23396233.45 20220013.1

Jaksel 2636168.19 325 5188145.627 2551977.438

Jakarta Timur 14684671 270940841 30094852.7 884 3631 2704 132935495 805030061.5 155536553.2 118250824 534089221 125441700.5

Jakarta Barat 587134.07 50 856450.681 269316.614

Jakarta Utara 10875155 157198619 8242476.23 648 1090 181 127601940 401911303.4 11985828.83 116726785 244712684 3743352.601

Bogor 7697962.89 604 13677184.41 5979221.518

Karawang 6111441.36 142 13337850.08 7226408.73

Bekasi 27807025 33450501.6 1528 1170 375308528.8 145599849.9 347501504 112149348.3

Tanggerang 2157526.6 3588595 100314924 420 334 380 7073856.05 78113484.06 176424090.1 4916329.48 74524889.1 76109165.58

Serang 377875.26 2222288140 29893610.9 89 7252 1412 1306824.54 4033558723 119202124.7 928949.282 1811270583 89308513.89

Bandung 2071246.5 770575.238 175 26 10693378.71 2443819.69 8622132.2 1673244.453

Tanggerang 5845192.1 3391546.71 4255544.47 451 275 561 50848871.9 33865095.1 38190109.08 45003679.8 30473548.4 33934564.61

Klaten 561380.757 274 2637522.842 2076142.085

Karang Anyar 25554.7268 23 462381.13 436826.4031

Pati 28398.2845 23 89041.5812 60643.29666

Tegal 126960.656 45 438842.066 311881.4097

Semarang 53849428.5 16946846 978 2164 239825915.5 156963470.1 185976487 140016624.1

Malang 38131.6427 20 92620.73466 54489.09193

Pasuruan 117208160 861 136288633.2 19080473.62

Sidoarjo 209653065 103445546 13232005.4 1184 2648 1139 474763799 283741270.7 55261008.76 265110735 180295724 42029003.36

Gresik 221004.102 796145.814 85 60 3051929.89 1643017.9 2830925.79 846872.0865

Pasuruan 33753.4962 22 64764.12456 31010.62838

88

Lampiran 1. Lanjutan. Surabaya 298479.4 1077145285 20103913.9 35 2118 969 594407.048 1590602690 155010707.6 295927.652 513457404 134906793.8

Pontianak 29611131.8 66 43528347.01 13917215.2

Bitung 4650881.04 88 23060369.2 18409488.2

Ujungpandang 15095434.5 475629.312 426 86 73849245.76 5674177.699 58753811.3 5198548.387

244561884 4013158334 494024545 3786 24846 15151 796174988 8278275625 1343756373 551613104 4265117291 849731828.3 Sumber : Diolah dari data BPS,1995

89

Lampiran 2. Data Nilai Tambah, Output, Tenaga kerja dan Input Industri Logam Dasar Besi Baja Per Kabupaten Indonesia Tahun 2004

Kabupaten

Nilai Tambah

Tenaga Kerja

Output

Input

2004 27101 27102 27103 27101 27102 27103 27101 27102 27103 27101 27102 27103

Asahan 6902.6062 20 22574.7115 15672.1053 Deli Serdang 7622784.21 941337.283 177 248 70099684.43 4137738.946 62476900.2 3196401.663

Medan 83204627.7 1584017.58 1932 190 765155878.7 8739040.873 681951251 7155023.291

Musi. B 233717.541 127 5515913.38 5282195.84

Batam 263374428 2313 491870056.9 228495628.4 Jakarta Timur 967143.64 85194621.5 60 947 4583389.55 544570170.1 3616245.91 459375549 Jakarta Barat 364996.06 63 854016.865 489020.807 Jakarta Utara 483571.82 32101154.8 2977972.34 30 788 130 2291694.9 217817582.7 17816692.15 1808123.07 185716428 14838719.81

Bogor 1408958.94 9712771.31 359 424 4708873.892 58109826.57 3299914.96 48397055.25

Karawang 18542103.4 235122.19 618 77 94933049.38 299336.3751 76390946 64214.18504

Bekasi 140774919 11614092.1 3191 507 1232605182 69485099.02 1091830263 57871006.9

Bandung 8139583.14 189 74852205.63 66712622.5

Bekasi 20302564.7 71958250.4 508 686 89199705.69 191627895.4 68897141 119669645

Klaten 162745.276 145 620751.5348 458006.2588

Semarang 31155186.7 50201250.3 860 2070 283793484.1 196976718.4 252638297 146775468.1

Pasuruan 40863.811 20 66876.3288 26012.5176

Sidoarjo 17691615 140805326 45733644.2 1112 1702 1437 83561808.6 608775458.1 202461147.6 65870193.5 467970132 156727503.4

Mojokerto 1212091 1040020.31 173 230 7455626.96 3860560.665 6243535.99 2820540.36

Gresik 7065035.2 2409109.91 4991037.48 606 365 381 33063659.3 27641144.74 16530815.8 25998624 25232034.8 11539778.31

Surabaya 73059459.2 152947701 1311 2553 401503615.5 738300577.6 328444156 585352876.4

Tanggerang 3659026.8 4214487.71 5994705.81 227 360 270 17340490.9 17681837.75 38506721.29 13681464.1 13467350 32512015.48

Serang 29371405.8 682 270101609.4 240730204

Tanggerang 1833809 3499040.16 7742186.52 493 221 209 9844580.87 27021993.02 43728259.72 8010771.84 23522952.9 35986073.19

90

Lampiran 2. Lanjutan Cilegon 390230766 184579693 6412 1503 4287143024 650425206 3896912257 465845512.8

Pontianak 55875435.4 89 83737130.03 27861694.7 Ujung Pandang 5755838.13 458149.59 580 20 72787635.51 2741029.598 67031797.4 2282880.008

33325055 1133901091 816249126 2804 21418 13393 159084719 9179645178 2736237474 125759664 8045744088 1919988349 Sumber : Diolah dari data BPS,1995

91

Lampiran 3. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004. Keuntungan per Output Keuntungan per Perusahaan (%) Tahun

27101 27102 27103 27101 27102 27103 1995 0.307171021 0.484781918 0.367644429 1.919818883 0.821664268 0.5929748861996 0.290657915 0.661079393 0.38933418 2.422149292 1.159788408 0.6279583551997 0.320873394 0.356628471 0.362265979 1.887490552 0.594380785 0.5938786531998 0.133730613 0.517865472 0.279088277 0.495298568 1.10184143 0.8721508671999 0.448683628 0.236092412 0.290464427 2.136588704 0.491859192 0.764380072000 0.474943276 0.252557258 0.304922348 2.968395476 0.573993767 0.8024272312001 0.195745309 0.247578171 0.474006227 0.889751405 0.399319631 1.0772868792002 0.517965602 0.309102127 0.29964354 3.237285011 0.572411347 0.6115174282003 0.215553052 0.142189622 0.322636157 1.134489746 0.29622838 0.7681813262004 0.209479925 0.123523412 0.298310776 0.872833023 0.247046823 0.662912837

Sumber : Diolah dari Data BPS.

92

Lampiran 4. Peringkat Kabupaten/Kota Menurut Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Pada Industri Logam Dasar Besi Dan Baja Indonesia Tahun 1995.

Kelas Propinsi Kabupaten Unit Usaha

TK Kelas Propinsi Kabupaten Nilai Tambah (000 Rupiah)

Tinggi Jabar Serang 9 8753 Tinggi Jabar Serang 2.252.559.626 DKI Jakarta Jaktim 16 7219 Jatim Surabaya 1.097.547.679 Sedang Jatim Sidoarjo 12 4971 Jatim Sidoarjo 326.330.616,30 Sumut Medan 9 4298 DKI Jakarta Jaktim 315.720.364,50 Jateng Semarang 7 3142 DKI Jakarta Jakut 176.316.250,20 Jatim Surabaya 9 3122 Jabar Tanggerang 119.553.329,30 Jabar Bekasi 9 2698 Jatim Pasuruan 117.241.913,10 Jabar Tanggerang 13 2421 Sedang Riau Batam 93.920.975,20 DKI Jakarta Jakut 8 1919 Jateng Semarang 70.796.274,47 Riau Batam 7 1145 Jabar Bekasi 61.257.526,57 Rendah Jatim Pasuruan 2 883 Sumut Medan 43.275.841,88 Jabar Bogor 5 604 Kalbar Pontianak 29.611.131,83 Sumut Dairi 4 574 Sulsel Ujung P 15.571.063,77 Sulsel Ujung P. 5 512 Rendah Jabar Bogor 7.697.962,89 DKI Jakarta Jaksel 1 325 Jabar karawang 6.111.441,36 Jateng Klaten 6 274 Sulut Bitung 4.650.881,04 Jabar Bandung 2 201 Sumsel Musi. B 3.176.220,40 Jatim Gresik 3 145 Jabar Bandung 2.841.821,74 Jabar Karawang 1 142 DKI Jakarta Jaksel 2.636.168,19 Sumsel Musi. B 1 120 Sumut Dairi 2.542.965,69 Sulut Bitung 1 88 Jatim Gresik 1.017.149,92 Kalbar Pontianak 1 66 DKI Jakarta Jakbar 587.134,07 DKI Jakarta Jakbar 2 50 Jateng Klaten 561.380,76 Jateng Tegal 1 45 Jateng Tegal 126.960,66 Jateng Karanganyar 1 23 Jatim Malang 38.131,64 Jateng Pati 1 23 Jateng Pati 28.398,28 Jatim Malang 1 20 Jateng Karanganyar 25.554,73

Sumber : Diolah dari data BPS, 1995

93

Lampiran 5. Peringkat Kabupaten/Kota Menurut Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Pada Industri Logam Dasar Besi Dan Baja Indonesia Tahun 2004.

Kelas Propinsi Kabupaten Unit Usaha TK Kelas Propinsi Kabupaten Nilai Tambah (000 Rupiah)

Tinggi Banten Cilegon 7 7915 Tinggi Banten Cilegon 574.810.459,60Sedang Jabar Bekasi 18 4892 Riau Batam 263.374.428,50 Jatim Sidoarjo 9 4251 jabar Bekasi 244.649.826,30 Jatim Surabaya 8 3864 Jatim Surabaya 226.007.160,40 Jateng Semarang 6 2930 jatim Sidoarjo 204.230.585,50 Riau Batam 11 2313 Sedang DKI jakarta Jaktim 86.161.765,13 Sumut Medan 4 2122 Sumut Medan 84.788.645,28 Banten Tanggerang 11 1780 Jateng Semarang 81.356.437,02 Jatim Gresik 10 1352 Kalbar Pontianak 55.875.435,37 DKI Jakarta Jaktim 5 1007 DKI Jakarta Jakut 35.562.698,93Rendah DKI Jakarta jakut 6 948 Banten serang 29.371.405,84 Jabar Bogor 3 783 Banten Tanggerang 26.943.256,01 Jabar Karawang 4 695 Jabar karawang 18.777.225,58 Banten Serang 2 682 Rendah Jatim gresik 14.465.182,63 Sulsel Ujung P 4 600 Jabar Bogor 11.121.730,25 Sumut Deli S 4 425 Sumut Deli S 8.564.121,50 Jatim Mojokerto 3 403 Jabar bandung 8.139.583,14 Jabar bandung 1 189 Sulsel Ujung P 6.213.987,72 Jateng klaten 2 145 Jatim mojokerto 2.252.111,27 Sumsel Musi B 127 DKI Jakarta Jakbar 364.996,06 Kalbar Pontianak 89 Sumsel Musi B 233.717,54 DKI Jakarta Jakbar 2 63 Jateng klaten 162.745,28 jatim Pasuruan 1 20 Jatim Pasuruan 40.863,81 Sumut Asahan 1 20 Sumut Asahan 6.902,61

Sumber : Diolah dari data BPS, 2004.

94

Lampiran 6. Daerah Utama Industri Logam Dasar Besi Dan Baja Utama Indonesia Berdasarkan Subsektor Tahun 2004. EIA TK Nilai tambah (Juta Rupiah)

27101 % 27102 % 27103 % Total 27101 % 27102 % 27103 % Total Serang tda 0 7094 18,86 1503 3,99 8597 tda 0 419602 21,1 184579 9,30 604181

Jabotabeka 873 2,32 6992 18,59 2303 6,12 10168 7308 0,37 306037 15,4 110235 5,55 423581 Bandung tda 0 189 0,50 tda 0 189 tda 0 8139 0,41 tda 0 8139

Semarang tda 0 860 2,29 2215 5,89 3075 tda 0 31155 1,57 50363 2,54 81519 Surabaya 1911 5,08 3378 8,98 4601 12,2 9890 26009 1,31 216273 10,9 204712 10,32 446995

Medan 20 0,05 2109 5,61 438 1,16 2567 6,9 0,00035 90827 4,58 2525 0,13 93359 Batam tda 0 tda 0 2313 6,15 2313 tda 0 tda 0 263374 13,27 263374

Musi B tda 0 127 0,34 tda 0 127 tda 0 234 0,01 tda 0 234 Pontianak tda 0 89 0,24 tda 0 89 tda 0 55874 2,82 tda 0 55875

Ujung P tda 0 580 1,54 20 0,05 600 tda 0 5755 0,29 458 0,023 6214 EIA (Jawa) 2784 18513 10622 31919 33318 981208 549891 1564418

Industri Baja

2804 7,45 21418 56,94 13393 35,6 37615 33325 1,68 1134901 57,19 816249 41,13 1984475

Sumber : Diolah dari data BPS, 2004.

95

Lampiran 7. Indeks Spesialisasi Industri Logam dasar besi dan Baja Indonesia 2004. Propinsi Kabupaten TK

Industri Besi Baja

TK Industri Manufaktur

Eir Eit Sirt

Sumut Asahan 20 14419 0,00139 0,00869 0,15995 Deli Serdang 425 49162 0,00864 0,00869 0,99425 Medan 2122 41650 0,05095 0,00869 5,86306Riau Batam 2313 102278 0,02261 0,00869 2,60184Sumsel Musi B 127 2442 0,05201 0,00869 5,98504DKI Jakarta

Jaktim 1007 97036 0,01038 0,00869 1,19448

Jakbar 63 61370 0,00102 0,00869 0,11738 Jakut 948 196314 0,00483 0,00869 0,55581Jabar Bogor 783 164145 0,00477 0,00869 0,54891 Karawang 695 79514 0,00874 0,00869 1,00575 Bekasi 4892 272751 0,01794 0,00869 2,06444 Bandung 189 92721 0,00204 0,00869 0,23475Jateng Klaten 145 15125 0,00959 0,00869 1,10357 Semarang 2930 82520 0,03551 0,00869 4,08631Jatim Pasuruan 20 87916 0,00023 0,00869 0,02647 Sidoarjo 4251 149267 0,02848 0,00869 3,27733 Mojokerto 403 30436 0,01324 0,00869 1,52359 Gresik 1352 81116 0,01667 0,00869 1,91829 Surabaya 3864 156101 0,02475 0,00869 2,84810Banten Tanggerang 1780 214752 0,00829 0,00869 0,95397 Serang 682 71740 0,00951 0,00869 1,09436 Cilegon 7915 20417 0,38767 0,00869 44,61105Kalbar Pontianak 89 21848 0,00407 0,00869 0,46835Sulsel Ujung P 600 19804 0,03029 0,00869 3,48562Sumber : Diolah dari data BPS.

96

Lampiran 8. Indeks Spesialisasi Industri Logam dasar besi dan Baja Indonesia 1995. Propinsi Kabupaten TK

Industri Besi Baja

TK Industri Manufaktur

Eir Eit Sirt

Sumut Dairi 574 56252 0,01020 0,01049 0,97235 Medan 4298 54531 0,07882 0,01049 7,51382 Riau Batam 1145 56483 0,02027 0,01049 1,93232 Musi B 120 20311 0,00591 0,01049 0,56339 DKI Jakarta

Jaksel 325 20059 0,01620 0,01049 1,54433

Jaktim 7219 138671 0,05206 0,01049 4,96282 Jakbar 50 78801 0,00063 0,01049 0,06006 Jakut 1919 196999 0,00974 0,01049 0,92850 Jabar Bogor 604 223987 0,00269 0,01049 0,25643 Karawang 142 45731 0,00311 0,01049 0,29647 bekasi 2698 185930 0,01451 0,01049 1,38322 Bandung 201 256333 0,00078 0,01049 0,07436 Tanggerang 2421 178994 0,01353 0,01049 1,28979 Serang 8753 50938 0,17184 0,01049 16,38131 Jateng Klaten 274 21826 0,01255 0,01049 1,19638 Karanganyar 23 38706 0,00059 0,01049 0,05624 Pati 23 15596 0,00147 0,01049 0,14013 Tegal 45 10378 0,00434 0,01049 0,41373 Semarang 3142 43690 0,07192 0,01049 6,85605 Jatim Malang 20 34659 0,00058 0,01049 0,05434 Pasuruan 883 68047 0,01298 0,01049 1,23737 Sidoarjo 4971 180568 0,02753 0,01049 2,62440 Gresik 145 67359 0,00215 0,01049 0,20496 Surabaya 3122 159295 0,01959 0,01049 1,86749 Kalbar Pontianak 66 25898 0,00255 0,01049 0,24309 Sulut Bitung 88 5033 0,01748 0,01049 1,66635 Sulsel Ujung P 512 18095 0,02829 0,01049 2,69685 Sumber : Diolah dari data BPS.

97

Lampiran 9. Hasil Analisis Frequencies Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995.

Tenaga Kerja Nilai Tambah Valid 27 27 N Missing 0 0

Mean 1621.5926 175990546.7959

Std. Error of Mean 447.68859 90333349.70915

Median 512.0000 7697962.8900 Std. Deviation 2326.25818 469385853.94

240 Variance 5411477.097 22032307988

1231800.000 Skewness 1.830 3.879 Std. Error of Skewness .448 .448 Kurtosis 2.958 15.919 Std. Error of Kurtosis .872 .872 Range 8733.00 2252534071.2

7 Minimum 20.00 25554.73 Maximum 8753.00 2252559626.0

0 10 23.0000 36184.9680 25 88.0000 1017149.9200 50 512.0000 7697962.8900

Percentiles

75 2698.0000 117241913.1000

Sumber : Diolah dari data BPS

98

Lampiran 10. Hasil Analisis Frequencies Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2004. Tenaga Kerja Nilai Tambah

Valid 24 24 N Missing 0 0

Mean 1567.2917 82644802.9696

Std. Error of Mean 400.00760 27470945.67948

Median 739.0000 22860240.7950

Std. Deviation 1959.62903 134579599.33289

Variance 3840145.955 18111668556600940.000

Skewness 1.880 2.493 Std. Error of Skewness .472 .472 Kurtosis 3.721 7.156 Std. Error of Kurtosis .918 .918 Range 7895.00 574803556.99 Minimum 20.00 6902.61 Maximum 7915.00 574810459.60

10 41.5000 101804.5450 25 156.0000 3242580.3825 50 739.0000 22860240.795

0

Percentiles

75 2265.2500 85818485.1675

Sumber : Diolah dari data BPS.