Upload
lynhan
View
246
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO HABITUS HABIB
KARYA DWIANTO WIBOWO PADA MAJALAH TEMPO
EDISI 13-19 SEPTEMBER 2010
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Ahmad Algifari
NIM : 1110051100074
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Ahmad Algifari
1110051100074
Analisis Semiotika Terhadap Foto Habitus Habib Karya Dwianto Wibowo
Pada Majalah Tempo Edisi 13-19 September 2010
Sosok habib yang dikenal sangat religius serta bertalian langsung dengan
Rasulullah SAW menjadikannya begitu diagungkan oleh para jamaah. Identitas
tersebut menjadi pembeda antara masyarakat dengan habib itu sendiri, sehingga
berhasil menarik simpati ribuan jamaahnya. Hal tersebut membuktikan bahwa
konstruksi identitas secara budaya berhasil diterapkan habib kepada para
jamaahya. Konstruksi identitas yang dilakukan oleh habib itulah yang kemudian
coba dibekukan ke dalam media fotografi oleh fotografer harian lepas Tempo
yaitu Dwianto Wibowo. Dengan tajuk Habitus Habib, Dwianto mencoba
mengabadikan setiap momen pengagungan yang dilakukan jamaah kepada sosok
habib itu sendiri.
Berdasarkan latar belakang di atas untuk mengetahui bagaimana kontruksi
identitas yang dilakukan habib kepada jamaahnya, maka munculah pertanyaan bagaimana makna denotasi, konotasi, serta mitos dalam foto Habitus Habib karya
Dwianto Wibowo?
Penelitian yang digunakan menggunakan paradigma konstruktivis dengan
pendekatan kualitatif. Foto yang dianalisis menggunakan metode penelitian
semiotika Roland Barthes. Dengan metode Roland Barthes dalam menganalisis
foto ditekankan pada makna yang terurai antara makna denotasi, konotasi dan
mitos. Selanjutnya, penulis menambahkan dengan temuan-temuan makna yang
mengarah kepada konstruksi identitas sosok habib.
Setelah melakukan pengkajian makna dengan menggunakan analisis
semiotika Roland Barthes, penulis menemukan bahwa adanya pengagungan yang
dilakukan jamaah kepada sosok habib. Pengagungan itu sendiri terlihat dari
jamaah yang begitu antusias dalam mengikuti berbagai rangkaian kegiatan yang
dipimpin oleh sosok habib.
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sosok habib berhasil
melakukan konstruksi identitasnya secara budaya, yang mengakibatkan para
jamaah mengagungkan sosok habib itu sendiri. Pengagungan tersebut didasarkan
atas pertalian habib dengan Rosul, sehingga jamaah meyakini bahwa sosok habib
sebagai sosok yang religius serta memiliki kesamaan prilaku dengan Rosulullah
SAW. Hal tersebut membuktikan bahwa betapa fotografi memberikan informasi
yang tidak hanya tersurat namun juga tersirat.
Kata Kunci : Habib, Konstruksi Identitas, semiotika, fotografi jurnalistik
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah Subhanahu wata’alaa, yang telah memberikan hidayah, nikmat,
serta pertolongan yang terus menerus dipertunjukan kepada penulis. Sehingga
terselesaikannya skripsi ini. Shalawat serta salam terhaturkan kepada Pemimpin
Agung Al-Mustafa Sayyidina Muhammad SAW, beserta keluarga dan para
sahabatnya yang telah membawa ajaran kebaikan dan cinta kepada umatnya.
Setelah beberapa semester lamanya menimba ilmu di kampus tercinta,
akhirnya skripsi yang berjudul “Analisis Semiotika Terhadap foto Habbitus
Habib Karya Dwianto Wibowo Pada Majalah Tempo Edisi 13-19 September
2010” dapat terselesaikan. Penulis menyadari, karya ini belum mencapai
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka dengan lebar kritik dan saran
para pembaca. Penulisan karya ini juga tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.
Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Suparto, M,Ed, Ph,D selaku Wakil Dekan I Bidang
Akademik, Dr. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang
Administrasi Umum, dan Dr. Suhaimi, M.Si selaki Wakil Dekan III
Bidang Kemahasiswaan.
2. Ketua Prodi Jurusan Jurnalistik, Kholis Ridho, M. Si. Sekertaris
Konsesntrasi Jurnalistik Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A. yang telah
vi
meluangkan waktu untuk berkonsultasi dan meminta bantuan dalam hal
perkuliahan.
3. Ade Rina Farida M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan
waktu, pengetahuan, dan nasihat selayaknya ibu sendiri dalam masa
bimbingan, sehinggga dapat memotivasi penulis dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
4. Terima kasih kepada seluruh dosen, Karyawan, dan Staf Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu-ilmunya kepada penulis selama menimba ilmu dari
semester awal hingga saat ini.
5. Terima kasih kepada segenap staf Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi.
6. Terima kasih kepada fotografer Tempo Dwianto Wibowo selaku
narasumber yang telah meluangkan waktu untuk wawancara serta berbagi
wawasan dan pengalaman kepada penulis.
7. Secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada Alm. H. Ahmad
Nahrowi dan Ibu Hj. Lili Suryani selaku orang tua terbaik dan motivasi
tertinggi dalam hidup, yang senantiasa melapangkan jalan kehidupan
penulis dengan do’a, perhatian dan kasih sayang. Terima kasih telah
bersabar.
8. Terima kasih kepada kakak serta adik penulis, Syahrul Mubarok, Ahmad
Hadadi, S.S., Nurul Fikri Almufid, Fatimah Azzahra, Rohmaniyati,
vii
S.Pd.I., dan Mimi Muthmainnah, S.Pd.I., yang tiada hentinya memberi
dukungan baik yang bersifat moril mapun materil.
9. Terima kasih kepada Tsuaibatul Aslamiyah yang telah banyak memberi
semangat dan kasih sayang kepada penulis.
10. Terima kasih kepada sahabat-sahabat Jurnalistik UIN 2010, Rizki
Solehudin, Irvan Ramadhan, Isye Naisila, Anastasia Nur Pramesti, Ika
Suci Agustin, Annisa Haismaida, Farhan Kamal, Rijuan Hartadian,
Ardiansyah Pratama, Miftah Farid, Fakhri Hermansyah, Hanggi Tyo,
Khoirul Imam Ghozali, Nur Hakim, Yoga Anarki, Aulia Rahmi, Kristanti,
Latifa Sofyan, Athifa Rahma, Weldania, Diyah Halim, Hetty Choiriyah,
Damar Yudhistira, Fajar Yugaswara, Dwiyan Pratiyo, Rahmaidah
Hasibuan, Kenwal, Ambar, Ahmad Syahyunas, Erna, Nurviki Hidayati,
serta seluruh sahabat Jurnalistik B dan khususnya yang selalu memberikan
semangat serta pencerahan dalam melakukan penelitian. Tidak lupa
mahasiswa Jurnalistik dari seluruh angkatan, semoga tali silaturahmi kita
akan terus abadi. Amin
11. Terima kasih kepada keluarga besar LPM Journo Liberta yang telah
mengajarkan penulis tentang betapa pentingnya menjadi manusia yang
bermanfaat bagi manusia lainnya, terlebih dalam memberikan ilmu serta
pengalaman di bidang kejurnalistikan.
12. Terima kasih kepada keluarga besar DPR, Dimaz Qumz, Abdurrachman,
Afrizal Putra Arafat, Ali Reza Assegap, Alvian Delingga, Asep Azhari,
Basyaria Al Yunatan, Bill, Manggala, Deaz Hendry, Fanhari Nugroho,
Fathur Rohman, Fikri Febrina, Fitriadi Fauzan, Gilang Adhitya, Hakim
viii
Husein, Hendri Bagong, Ilham Renzia, Jentel Chairnosia, Kahfi Ibrahim,
Kiting, Kun, Mahesa Agung, Mario Chaisar, Matley, Maulana Fitrah,
Norhalim, Mukhlas, Rahmat Darmawan, Reza Fadhila, Reza, Ridho, Rifky
Vahrizal, Rirqi Irsyad, Tri Saputra, Wildan, Yogi Bilowo, dan Aisyah
Zhafira yang selalu memberi ruang, waktu, inspirasi dan imaji kepada
penulis.
13. Terima kasih kepada keluarga besar Sophiart Photo, Al-Atqia, FKMA,
Galeri Watoe Ireng, JB Techne, Teater Korek dan Komunitas Matahari
Hujan.
14. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang membantu
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bekasi, 10 Juli 2017
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ………………………. ii
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………… iii
ABSTRAK …………………………………………………………....... iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………. v
DAFTAR ISI …………………………………………………………... ix
DAFTAR TABEL …………………………………………………....... xii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………….. 1
B. Batasan Dan Rumusan Masalah …………………..
1. Batasan Masalah ……………………………...
2. Rumusan Masalah ……………………………
7
7
8
C. Tujuan Penelitian ………………………………… 8
D. Manfaat Penelitian ………………………………..
1. Manfaat Akademis …………………………...
2. Manfaat Praktis ………………………………
8
8
9
E. Metodologi Penelitian ……………………………
1. Paradigma Penelitian …………………………
2. Pendekatan Penelitian ………………………..
3. Metode Penelitian …………………………….
4. Sumber Data ………………………………….
5. Teknik Analisis Data …………………………
9
9
10
10
10
11
x
6. Subjek dan Objek Penelitian ………………… 12
F. Tinjauan Pustaka ………………………………… 12
G. Sistematika Penulisan ……………………………. 13
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi ……………...
1. Pengertian Fotografi …………………………
2. Sejarah Fotografi ……………………………..
3. Aliran-aliran Fotografi ……………………….
15
15
16
18
B. Tinjauan Umum Tentang Fotografi Jurnalistik
1. Pengertian Fotografi Jurnalistik ……………..
2. Sejarah Fotografi Jurnalistik ………………...
3. Jenis-jenis Fotografi Jurnalistik …………...…
4. Etika Fotografi Jurnalistik ……………………
22
22
23
27
28
C. Tinjauan Umum Tentang Semiotika ……………..
1. Semiotika Ferdinand De Saussure …………...
2. Semiotika Roland Barthes …………………...
3. Semiotika Charles Sanders Peirce …………...
30
31
33
39
D. Tinjauan Umum Tentang Konstruksi Identitas …...
1. Konsep Diri …………………………………...
2. Lingkuan Sosial ………………………………..
40
42
44
E. Tinjauan Umum Tentang Habib ………………… 45
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Profil Majalah Tempo ……………………………
B. Profil Dwianto Wibowo ………………………….
49
52
xi
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Analisis Data Foto 1 ……………………………...
1. Tahap Denotasi ……………………………….
2. Tahap Konotasi ………………………………
3. Tahap Mitos …………………………………..
58
58
59
64
B. Analisis Data Foto 2 ……………………………...
1. Tahap Denotasi ……………………………….
2. Tahap Konotasi ………………………………
3. Tahap Mitos …………………………………..
66
66
66
70
C. Analisis Data Foto 3 ……………………………...
1. Tahap Denotasi ……………………………….
2. Tahap Konotasi ………………………………
3. Tahap Mitos …………………………………..
72
72
73
76
D. Analisis Data Foto 4 ……………………………...
1. Tahap Denotasi ……………………………….
2. Tahap Konotasi ………………………………
3. Tahap Mitos …………………………………..
77
77
78
80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………
1. Tahap Denotasi ……………………………...
2. Tahap Konotasi ……………………………...
3. Tahap Mitos …………………………………
81
82
82
83
B. Saran …………………………………………….. 84
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 86
LAMPIRAN-LAMPIRAN ……………………………………………. 89
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Peta Tanda Roland Barthes …………………………………… 34
Tabel 2 : Pemaknaan photogenia dalam menganalisis foto …………….. 36
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat modern di seluruh dunia, mempunyai kecenderungan
materialistis dan sekular termasuk di kota-kota besar seperti Jakarta, materi
menjadi tolak ukur segalanya, kesuksesan dan kebahagiaan ditentukan oleh
materi. Orang-orang berlomba mendapatkan materi sebanyak-banyaknya dan
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, akibatnya manusia sering
lepas kontrol. Nilai-nilai kemanusiaan semakin surut, toleransi sosial,
solidaritas serta ukhuwah Islamiyah sesama umat Islam semakin memudar,
manusia semakin individual. Di tengah suasana seperti itu, manusia
merasakan kerinduan akan nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai ilahi, nilai-nilai
yang dapat menuntun manusia kepada fitrahnya. Oleh karena itu, manusia
mulai tertarik untuk mempelajari tashawuf-tarikat dan berusaha untuk
mengamalkannya. Hal ini terlihat dengan tumbuhnya majlis-majlis tasawuf-
tarikat dengan segala amalan-amalan dan dzikir-dzikirnya.1
Sementara di Indonesia, terutama di saat penyiaran agama Islam yang
dilaksanakan oleh para wali dahulu, juga mempergunakan majelis taklim
sebagai penyampaian dakwah. Itulah sebabnya, untuk Indonesia, majelis
taklim dapat disebut sebagai lembaga dakwah dan pendidikan tertua. Barulah
kemudian seiring dengan perkembangan ilmu dan pengembangan
manajemen pendidikan, di samping majelis taklim yang bersifat non formal,
1 Sri Mulyati, (et.al) Mengenal dan Memahami Tarikat-Tarikat Muktabarah di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2000), hal. 5.
2
tumbuh pula lembaga pendidikan yang bersifat formal seperti pesantren,
madrasah dan sekolah.2
Menurut undang-undang Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan
majelis taklim termasuk dalam kategori pendidikan non formal. Pendidikan
non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan
layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau
pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang
hayat.3 Sebagai pendidikan non formal majelis taklim lebih berorientasi pada
penanaman nilai-nilai islam tanpa mengesampingkan etika sosial dan
moralitas sosial. 4
Dengan berkembangnya majelis taklim yang dipimpin para habib di
Jakarta memang berhasil menarik simpati warga pinggiran kota. Kopiah
putih, gamis yang dibalut jaket hitam dengan sulaman benang emas di
punggung bertuliskan Majelis Rasulullah, serta sorban dan bendera, seolah
menjadi identitas tetap bagi jamaah pengajian majelis itu. Pengajian Majelis
Rasulullah (MR) yang diasuh Habib Mundzir bin Fuad Almusawa serta
majelis Shalawat dan Zikir Nurul Musthofa (NM) yang dipimpin Habib
Hasan bin Jafar Assegaf. Dua pengajian itu diklaim memiliki jamaah terbesar
nomor wahid di Ibu Kota. MR mengklaim memiliki 50 ribu jamaah, NM
mengaku menggaet 20 ribu orang. Menariknya peserta pengajian kebanyakan
anak-anak muda. Seolah menguatkan pandangan orang-orang di perkotaan
2 Muhammad Yusuf Purungan "Peranan Majelis Taklim dalam Keluarga Sakinah
Masyarakat Muslim di Kota Padangsidimpuan", Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN
Padangsidimpuan Volume 9 No.1, 2014, hal. 123. 3 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, (Jakarta: Depdiknas, 2003), hal. 18.
4 A. Qodri A. Azizy, “Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial”, (Semarang:
Aneka Ilmu, 2003), hal. 23.
3
khususnya anak muda mengalami kekeringan nilai-nilai spiritual. Julia Day
Howell dan tokoh lainnya yang berbicara urban priority. Mereka
berbicara bahwa masyarakat perkotaan dengan tingkat individualistik tinggi,
alienasi masyarakat terhadap hal-hal lebih luhur menyebabkan
kekeringan dan dahaga luar biasa. Ismail F. Alatas, Dosen Universitas
Indonesia menambahkan bahwa praktek-praktek keagamaan di kota yang
manampakkan aspek rasional dari agama. Sehingga aspek emosional dan
eksperiensial hilang. Sedangkan majelis-majelis MR dan NM ini justru
mengedepankan aspek eksperiensial dan emosional. Mereka memainkan
hadrah, membaca maulid Nabi, bershalawat bersama, memakai gendang,
membuat orang mendapatkan pengalaman spiritual yang tidak didapatkan
dalam instruksi keberagamaan yang kering.5 Hal tersebut tidak terlepas dari
sosok seorang Habib sebagai motor penggerak majelis taklim. Peran Habib di
majelis taklim sangatlah sentral, semua kegiatan yang dilakukan oleh majelis
taklim berada dibawah keputusan dan pengawasan Habib, tentunya dengan
didasarkan kepada Al-qur’an dan Hadis.
Melihat pemaparan di atas, fenomena habib belakangan ini sangat
digandrungi oleh masyarakat khususnya kaum muda. Bahkan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan bela sungkawa ketika melayat
di kediaman pimpinan majelis Rosululloh, Habib Munzir Al-Musawa. Dalam
pidatonya SBY mengucapkan berduka dan berkabung atas wafatnya
almarhum habib Munzir yang dinilai sebagai ulama yang sangat ia dan
5 Merdeka.com, “Ismail F. Alatas (2): Majelis wadah eksistensi warga pinggiran”,
diakses dari https://www.merdeka.com/khas/ismail-f-alatas-2-majelis-wadah-eksistensi-warga-
pinggiran.html, pada tanggal 1 Februari 2017
4
masyarakat cintai. Serta mendoakan almarhum agar diberikan tempat yang
mulia di sisi Allah SWT.6
Menurut Quraish Shihab dalam Mistik, Seks dan Ibadah (2004),
'habib' dalam bahasa Arab artinya dicintai. Siapa pun boleh pakai nama itu
selama ia dicintai oleh masyarakat. Sementara, menurut masyarakat muslim
Indonesia terlebih masyarakat Betawi, gelar habib disematkan bagi orang
saleh dan berbudi luhur serta memiliki garis keturunan hingga Rasulullah.
Istilah habib sama dengan istilah sayid atau Husainy dan Hasany. Di
Indonesia, baik istilah habib atau sayid identik keturunan Nabi. Menurut
Habib Zein bin Umar bin Smith, ketua umum dewan pimpinan pusat
Rabithah Alawiyah, ada perbedaan antara habib dan sayid. Seorang sayid
belum tentu habib. Sebaliknya, orang yang bergelar habib sudah pasti
keturunan Nabi. Ia mengisahkan bagaimana keturunan sayid ini hijrah ke
Hadramaut, sebuah lembah di Yaman. Hijrahnya para sayid ini dikarenakan
ingin menjaga anak dan keturunannya agar dapat memegang ajaran agama
yang murni dan tidak terkontaminasi segala macam masalah politik, sebab
Hadramaut pada kala itu adalah negeri yang miskin, kering kerontang, dan
tidak ada apa-apa. Mereka ini kemudian menyebar ke Asia Tenggara
termasuk ke Indonesia.7
Seorang habib yang dikenal sebagai sosok yang religius menjadikan
dirinya sebagai model bagi para pengikutnya. Dan kemudian para
6 Liputan6.com, “Habib Munzir Meninggal, SBY Sampaikan Duka Mendalam”, diakses
dari http://news.liputan6.com/read/693808/habib-munzir-meninggal-sby-sampaikan-duka-
mendalam, pada tanggal 1 Februari 2017 7 Tirto.id, ”Seluk Beluk Para Habib Mereka datang ke Nusantara Demi Cincin Sulaiman
“, diakses dari https://tirto.id/mereka-datang-ke-nusantara-demi-cincin-sulaiman-chdg#, pada
tanggal 1 Februari 2017
5
pengikutnya mengamati pesan, tingkah laku, dan cara berpakaian yang
ditampilkan oleh sosok habib sebagai cerminan dari sikap Rasululah SAW.
Ditambah lagi dengan tujuan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT,
membuat para pengikutnya tanpa keraguan mengikuti atau meniru tingkah
laku yang menjadi identitas yang melekat pada sosok habib itu sendiri.
Identitas yang dikenalkan oleh habib kepada para jamaahnya menjadi
pembeda bagi masyarakat dan habib itu sendiri. Menurut Chris Barker
identitas adalah soal persamaan dan perbedaan tentang aspek personal dan
sosial, tentang kesamaan individu dengan sejumlah orang dan apa yang
membedakan individu dengan orang lain. Dilihat dari bentuknya ada tiga
faktor yang mempengaruhi identitas tersebut yaitu identitas budaya, sosial,
dan pribadi. Sementara pengertian kontruksi identitas menurut Chris Barker
adalah bangunan identitas diri, memperlihatkan siapa diri kita sebenarnya dan
kesamaan kita dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan kita dari
orang lain.8
Konstruksi Identitas yang dilakukan habib sangat berpengaruh atas
perubahan pola tingkah laku, ajaran keagamaan, dan yang paling telihat
adalah dari segi berpakaian para jamaah majelis. Habib sudah menjadi sosok
yang diidolakan oleh jamaah, semua tingkahlaku, perbuatan sudah mencapai
tahap pengimitasian. Artinya konstruksi identitas habib itu sendiri sudah
diterima dengan tangan terbuka oleh para jamaahnya.
Menyiarkan Islam atau berdakwah yang melibatkan habib belakangan
seperti menjadi tren, fenomena terbaru belakangan ini munculnya tokoh-
8 Chris Barker, Cultural, Studies, Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004),
hal. 172.
6
tokoh habib muda berusia 30-40 tahunan yang merupakan lulusan sekolah
agama di Yaman atau negara timur lainnya. Para habib dalam pemberitaan di
Tempo mendeskripsikan habib sebagai sosok yang sangat digandrungi oleh
kaum muda, 9
Dalam pemberitaan Tempo yang berjudul Malam Minggu Bersama
Habib mempunyai maksud dan tujuan tersendiri. Penulis menafsirkan Tempo
yang dalam hal ini diwakilkan oleh fotografer Dwianto Wibowo mempunyai
maksud ingin melihat mengapa para habib bisa memikat ribuan orang, dan
seberapa jauh pengaruh mereka terhadap pengikutnya. Untuk mengetahui
maksud dan tujuan tersebut dibutuhkan suatu analisis. Dalam hal ini penulis
menggunakan analisis semiotika untuk mengetahui makna yang tersirat dan
tersurat dalam foto Habitus Habib Karya Dwianto wibowo dalam Majalah
Tempo.
Dwianto menerangkan dalam narasinya,10
bagaimana kehadiran habib
di Indonesia mampu membentuk kebiasaan, sifat yang baik, atau penampilan,
yang telah menjadi prilaku mendarah daging. Seperti halnya dalam
berpakaian, bagaimana budaya ini telah menyatu dalamgaya hidup mereka
dan menjadi sebuah habitus yang dapat dikatakan positif di zaman modern
ini.
Sebagai pemimpin dan penyebar agama Islam, seorang keturunan
Arab dapat lebih diandalkan. Saat ini di Jakarta sendiri dikenal (Alm) Habib
Munzir al-Musawa (Majelis Rosulullah) dan Habib Hasan bin Ja’far Assegaf
9 Tempo.co, Karnaval Habib Kota, artikel diakses dari
https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201211020018/karnaval-habib-kota#.WWiQboUxXYU,
pada tanggal 1 Mei 2017 10
Dwianto Wibowo, Habitus Habib, artikel diakses dari
http://pictorialismdewe.blogspot.co.id/search?=Habitus+habib&m=1, pada tanggal 1 Mei 2017
7
(Majelis Nurul Mustofa), yang rutin melakukan pengajian di halaman
Monumen Nasional. Dimana sebagian besar pengikut mereka adalah pemuda
asli Jakarta dari tingkat ekonomi menengah perkotaan yang lebih rendah.
Dwianto menambahkan kehadiran Habib di Indonesia berhasil
menggeser kebiasaan pemuda kota dari hal yang negatif kepada positif
dengan kegiatan keagamaan rutin di malam hari. Dwianto menilai dengan
massa yang banyak majelis taklim justru dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan politis.
Dengan dasar pemikiran di atas, maka penulis memutuskan untuk
melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS SEMIOTIKA
TERHADAP FOTO HABITUS HABIB KARYA DWIANTO WIBOWO
PADA MAJALAH TEMPO EDISI 13-19 SEPTEMBER 2010”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Pembahasan pada penelitian ini difokuskan pada karya
Dwianto Wibowo berjudul Habitus Habib pada Majalah Tempo.
Karya Dwianto Wibowo tersebut bercerita tentang fenomena habib
yang kian digandrungi oleh masyarakat, penulis melihat adanya
bentuk lain dari kecintaan kepada habib yang diekspresikan pada diri
para jamaah melalui kontruksi identitas pada habib itu sendiri, dengan
menggunakan pakaian serta kosmetik yang dipercaya mendekatkan
mereka kepada Allah SWT dan Rosulullah SAW. Penulis mengambil
empat dari 15 foto yang terdapat dalam Majalah Tempo edisi 13-19
September 2010.
8
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apa makna denotasi dalam foto Habitus Habib karya Dwianto
Wibowo pada Majalah Tempo?
b. Apa makna konotasi dalam foto Habitus Habib karya Dwianto
Wibowo pada Majalah Tempo?
c. Apa makna mitos dalam foto Habitus Habib karya Dwianto
Wibowo pada Majalah Tempo?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami makna denotasi dalam foto Habitus
Habib karya Dwianto Wibowo pada Majalah Tempo.
2. Untuk mengetahui dan memahami makna konotasi dalam foto Habitus
Habib karya Dwianto Wibowo pada Majalah Tempo.
3. Untuk mengetahui dan memahami makna mitos dalam foto Habitus
Habib karya Dwianto Wibowo pada Majalah Tempo.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:
1. Manfaat Akademisi
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat berupa
wawasan dan pengetahuan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai
9
referensi bagi studi-studi fotografi dan jurnalistik, khususnya bagi
mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalitik UIN Jakarta.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para
penggiat fotografi, khususnya yang menekuni fotografi dan jurnalistik,
juga agar dapat menambah ilmu untuk menafsirkan makna foto
jurnalistik, khusunya foto cerita bagi mahasiswa Fakultas Dakwah dan
Ilmu Komunikasi Jurusan Konsentrasi Jurnalistik.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Dalam penelitian ini paradigma yang digunakan adalah
paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis berlawanan arah
dengan paradigma positifis yang memisahkan subjek dan objek
komunikasi. Konstruktivis justru menganggap subjek sebagai faktor
sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan- hubungan
sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap
maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Paradigma ini
memandang realitas sosial bukan berdasarkan sesuatu yang natural,
tetapi terbentuk dari sebuah hasil konstruksi. Penulis menggunakan
paradigma konstruktivis karena penulis ingin mendapatkan
pemahaman dari makna suatu kejadian.
10
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Menurut Ronny Kontur dalam buku Metode
Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis mengungkapkan bahwa
pendekatan ini merupakan hasil temuan berupa berbentuk narasi atau
gambar-gambar yang dideskripsikan lalu ditinjau untuk dianalisis dari
pengamatan peneliti di lapangan. Melalui pendekatan kualitatif ini
peneliti bertujuan untuk menjelaskan bagaimana Dwianto Wibowo
mengkonstruksi identitas sososk habib dengan pengumpulan data dan
analisis yang mendalam.
3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
analisis semiotika dari Roland Barthes. Dalam mendeskripsikan
sebuah tanda di dalam objek, Barthes membaginya kedalam tiga
makna, yaitu makna denotasi, konotasi, dan mitos.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan
menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan
pengalaman kultur penggunanya, interaksi antar konvensasi dalam
teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.
Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi dua yaitu sumber data
primer dan sekunder. Sumber data primer merupakan sasaran utama
11
dalam penelitian ini sedangkan sumber data sekunder merupakan
pengaplikasian dari sumber data primer dimana sumber data ini
sebagai pendukung dan penguat dalam penelitian.
Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil foto
yang dipilih peneliti sesuai dengan objek penelitian. Peneliti lebih
memfokuskan pada empat foto Habitus Habib karya Dwianto Wibowo
pada Majalah Tempo. Karena menurut peneliti foto-foto tersebut
mewakili apa yang ingin disampaikan oleh fotografer secara
menyeluruh.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari wawancara dengan
fotografer yang karyanya akan diteliti, yaitu Dwianto Wibowo serta
menambahkan beberapa referensi yang berkaitan dengan penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes
yaitu mengetahui makna denotasi, konotasi dan mitos di dalam foto
Habitus Habib karya Dwianto Wibowo pada majalah Tempo yang
bercerita tentang fenomena habib yang kian digandrungi oleh
masyarakat, peneliti melihat Dwianto Wibowo mempunyai maksud
dari fotonya tersebut, bahwa adanya bentuk lain dari kecintaan kepada
habib yang diekspresikan pada diri para jamaah melalui kontruksi
identitas pada habib itu sendiri.
12
6. Subjek, Objek, Tempat Penelitian dan Narasumber
Subjek dari penelitian ini adalah foto Habitus Habib karya
Dwianto Wibowo yang terdapat pada majalah Tempo. Sedangkan
objek penelitiannya adalah empat foto Habitus Habib karya Dwianto
Wibowo, karena foto-foto tersebut mewakili bagaimana Dwianto
Wibowo mengkonstruk identitas habib.
Tempat penelitian akan dilakukan di kediaman atau tempat
pertemuan dengan Dwianto Wibowo. Narasumber utama penelitian ini
adalah Dwianto Wibowo, fotografer Tempo.
F. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian ini peneliti juga menggunakan skripsi yang memiliki
beberapa persamaan dengan penelitian ini. Adapun beberapa judul penelitian
yang peneliti dapatkan adalah sebagai berikut:
Pertama, Analisis Semiotika Foto Konflik-Konflik Timor- Timur
Karya Eddy Hasby Pada Buku The Long And Winding Road, East Timor
oleh Irvan Ramadhan jurusan Konsentrasi Jurnalistik UIN Jakarta 2015.
Skripsi tersebut memiliki kesamaan pada metode penelitian yaitu analisis
semiotika Roland Barthes. Perbedaanya adalah pada subjek dan objek
penelitian.
Kedua, Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Romi Perbawa
Berjudul The Riders of Destiny Pada Ajang Pameran The Jakarta
International Photo Summit Tahun 2014, oleh M. Hendartyo Hanggi W
jurusan Konsentrasi Jurnalistik UIN Jakarta tahun 2015. Skripsi tersebut
13
memiliki kesamaan pada metode penelitian yaitu analisis semiotika Roland
Barthes. Perbedaannya terletak pada subjek dan objek penelitian.
Ketiga, skripsi yang berjudul Analisis Semiotika Foto Pada Buku
Jakarta Estetika Banal Karya Erik Prasetya, oleh Marifka Wahyu Hidayat
jurusan Konsentrasi Jurnalistik UIN Jakarta tahun 2014. Skripsi tersebut
memiliki kesamaan pada metode penelitian yaitu analisis semiotika Roland
Barthes. Perbedaannya terletak pada subjek dan objek penelitian.
G. Sistematika Penulisan
BAB I : Pembahasan mengenai berbagai dasar tentang penelitian yang
berisi pendahuluan yang mana di dalamnya terdapat latar
belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan
pustaka, dan sistematika penulisan yang seluruhnya mendasari
penelitian “ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO
HABITUS HABIB KARYA DWIANTO WIBOWO PADA
MAJALAH TEMPO EDISI 13-19 SEPTEMBER 2010”.
BAB II : Penjabaran mengenai landasan teori yang digunakan untuk
penelitian ini, yaitu berisi tentang tinjauan umum mengenai
fotografi (pengertian fotografi, sejarah dan aliran fotografi),
tinjauan umum tentang fotografi jurnalsitik (pengertian, sejarah,
jenis-jenis, dan etika fotografi jurnalsitik), tinjauan umum
tentang semiotika, tinjauan umum tentang konstruksi identitas,
serta tinjauan umum tentang konstruksi sosial.
14
BAB III : Pemaparan mengenai gambaran umum tentang habib, dan
biodata atau profil Dwianto Wibowo.
BAB IV : Pemaparan data dan analisis tentang foto Habitus Habib karya
Dwianto Wibowo dengan menggunakan analisis semiotika
Roland Barthes.
BAB V : Penutup penelitian yang berisi kesimpulan dan saran.
15
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi
1. Pengertian Fotografi
Pengertian fotografi adalah proses pengambilan gambar dengan
cahaya yang setelah itu lalu dituangkan ke dalam sebuah media yang
mampu menyimpan cahaya.1 Dengan kata lain fotografi adalah aktifitas
pembuatan sebuah gambar dengan cahaya menggunakan sebuah alat
perekam cahaya yang kemudian dituangkan ke dalam benda yang biasa
disebut kertas film.
Secara etimologis, fotografi berasal dari bahasa Inggris
photography, yang diadaptasi dari bahasa Yunani, yakni photos yang
berarti cahaya dan graphein yang berarti gambar atau menggambar.2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) fotografi adalah seni dan
penghasilan gambar dan cahaya pada film atau permukaan yang
dipekakan.3 Dengan demikian, secara harfiah, fotografi bermakna
menggambar dengan cahaya. Maka dari itu, kegiatan fotografi dengan
berbagai teknik hanya dapat dilakukan ketika ada cahaya. Tanpa cahaya,
tidak mungkin dapat dihasilkan sebuah foto.4
Pada dasarnya fotografi adalah kegiatan merekam dan
memanipulasi cahaya untuk mendapatkan hasil yang kita inginkan.
1 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR (Yogyakarta: Pustaka
Baru Press), hal. 2. 2 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2013), hal. 7. 3 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 421. 4 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 7.
16
Fotografi dapat dikategorikan sebagai teknik dan seni, fotografi sebagai
teknik adalah mengetahui cara-cara memotret dengan benar, mengetahui
cara-cara mengatur pencahayaan, mengetahui cara-cara pengolahan
gambar yang benar dan semua yang berkaitan dengan fotografi sendiri.
Sedangkan fotografi sebagai karya seni mengandung nilai estetika yang
mencerminkan pikiran dan perasaan dari fotografer yang ingin
menyampaikan pesannya melalui gambar atau foto.5
2. Sejarah Fotografi
Pada 1558 ilmuan Italia, Giambasista Della Forta menyebut
camera obscura pada sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap
bayangan gambar. Suatu fakta bahwa fotografi lahir sebagai upaya
menyempurnakan karya seni visual dan bentuk prototif sebuah kamera
yang disebut camera obscura. Meski percobaan alat rekam gambar
sudah mencapai taraf yang menguntungkan dan perkembangan dari
waktu ke waktu semakin berhasil, tetap saja belum bisa disebut proses
fotografi karena media perekam gambarnya masih belum bisa membuat
gambar permanen.6
Sedangkan peralatan modern dalam bentuk Kodak dan gulungan
film seperti yang digunakan sekarang, baru mulai ditemukan oleh
George Eastman pada 1877, di New York. Ketika itu dia sedang bekerja
sebagai seorang karyawan bank di Rochester, New York. Eastman
kemudian mengembangkan temuannya itu, hingga pada 1889 ia
membuka usaha dalam bidang fotografi yang lebih modern. Ketika itu ia
5 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 7.
6 Ray Bachtiar, Ritual Fotografi, Chip foto video edisi spesial, hal.8.
17
memperkenalkan film transparan dalam bentuk flexibel film. Bentuk
kamera kecil mulai populer di Amerika pada 1920-an.7
Fotografi yang berkembang saat ini jauh berbeda dengan
fotografi di awal era kemunculannya, hal ini terlihat dari pandangan
secara teknis kamera dan bentuk kamera. Bayangkan saja seseorang
dapat duduk, berbaring, bahkan berdiri selama 10 detik lebih untuk
menghasilkan sebuah foto diri atau selfie yang saat ini sedang menjadi
trend di Indonesia bahkan di dunia. Hal tersebut diperjelas Erik Prasetya
dalam bukunya yang berjudul On Street Photography, bahwa hingga
abad ke-19 fotografi tidak bekerja dengan cepat, melainkan baru abad
ke-20 lah fotografi cepat yang lebih kecil, mudah dibawa dan mudah
ditemukan.8 Dalam buku tersebut juga disisipkan hasil foto cetak
pertama di dunia yang dibuat oleh fotografer berkebangsaan Prancis,
Joseph Nicephore Niepce pada 1826.
Di Indonesia, Yudhi Soerjoatmodjo dalam bukunya berjudul
IPPHOS mencatat, Mendur bersaudara, Alex Impurung (1907-1984) dan
Frans Soemarto (1913-1971) adalah dua orang yang berpengaruh dalam
perkembangan fotografi di Indonesia, di mana mereka merekam
peristiwa sebelum dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia.
7 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan teori dan praktek, (Jakarta: logos Wacana
Ilmu, 1999), hal. 100.
8 Erik Prasetya, On Street Photography, (Jakarta: KPG[Kepustakaan Populer Gramedia],
2014.), hal.17
18
3. Aliran-aliran Fotografi
Bagas Dharmawan dalam bukunya yang berjudul Belajar
Fotografi dengan Kamera DSLR membagi aliran-aliran fotografi ke
dalam tiga belas bagian, diantaranya:9
1. Journalism Photography atau biasa disebut foto jurnalistik adalah
foto yang terdapat niai berita dan unsur 5W+1H di dalamnya, sebuah
karya foto dapat disebut foto jurnalistik apabila dalam foto itu
terdapat nilai sebuah berita. Tidak hanya itu saja, dalam foto itu juga
harus mengandung keterangan apa, siapa, kapan, di mana, kenapa,
dan bagaimana.
2. Potrait Photography adalah dimana sang fotografer menunjukan
penuh bagian muka objek atau subjek yang diambil bahkan hampir
tanpa latar belakang, tujuan dari aliran foto ini adalah untuk atau dari
subjek yang difoto. Aliran ini juga menggambarkan kondisi perasaan
manusia dengan mengambil bagian besar raut wajah subjek, dengan
menghadap ke depan kamera.
3. Comercial Advertising photography ditujukan untuk promosi sebuah
produk atau iklan, peran komputer untuk mengolah foto cukup
penting dalam aliran ini, karena dalam prosesnya aliran ini
dibutuhkan banyak elemen guna keperluan iklan. Jadi bisa dikatakan
fotografer yang berkecimpung di dunia commercial advertising ini
tidak hanya mahir dalam bidang fotografi, namun juga mahir dalam
olah digital di dalam komputer.
9 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR (Yogyakarta: Pustaka
Baru Press), hal. 80.
19
4. Wedding Photography adalah aliran yang dilakukan oleh fotografer
yang sudah ahli atau professional karena dalam aliran ini dibutuhkan
kecepatan dan ketepatan disetiap momen-momennya yang penting
serta bersejarah. Seperti namanya aliran ini ada disegala macam
aktifitas pernikahan, tantangan dalam aliran ini yaitu mampu
mendapatkan momen-momen sakral saat proses pernikahan terjadi
karena momen tersebut tidak dapat diulang kembali.
5. Fashion photography hampir mirip dengan aliran commercial
advertising photography yaitu untuk mempromosikan produk atau
perlengkapan-perlengkapan berbusana. Yang membedakan dalam
aliran ini adalah barang yang ditampilkan adalah barang-barang
fasion seperti pakaian dan barang-barang perlengkapan yang
dikenakan oleh model. Fasion photography menggunakan model
sebagai pemanis dan penunjang produk tersebut.
6. Food photography adalah aliran fotografi yang dibutuhkan untuk
iklan sebuah makanan atau minuman serta pengemasannya. Dalam
pengambilan foto food photography dibutuhkan alat dan
keterampilan yang lebih karena tujuan dari aliran ini membuat siapa
saja yang melihat tertarik dan ingin mencoba hidangan tersebut,
selain berfungsi sebagai promosi sebuah hidangan, foto aliran ini
juga sering dijumpai di dalam menu-menu untuk memudahkan
konsumen dalam memilih hidangan.
7. Landscape photography adalah aliran fotografi yang menunjukan
keindahan-keindahan alam, aliran ini dikategorikan menjadi empat
20
bagian, yaitu foto landscape yang menampilkan pemandangan alam
di daratan, foto seascape yang menampilkan pemandangan lautan,
skyscape yang menampilkan pemandangan langit, dan terakhir
cityscape yang menampilkan foto pemandangan di kota atau di desa.
Kategori ini banyak diminati oleh beberapa fotografer dan penikmat
foto itu sendiri, karena dalam foto ini pembaca bisa menikmati
keindahan alam tanpa harus berpergian jauh ke suatu tempat.
8. Cinemagraph photograpy adalah aliran yang menampilkan foto yang
mampu bergerak. Dalam aliran ini perlu keahlian khusus dalam
pengambilan serta mengolah fotonya, dalam pengolahannya foto
diolah menjadi file GIF yang membuat gambar mampu bergerak
seperti layaknya video.
9. Wildlife photography merupakan aliran yang menampilkan foto-foto
aktivitas hewan dalam keseharian baik pagi maupun malam, aliran
ini tergolong berbahaya karena objek fotonya adalah binatang-
binatang yang menarik di alam bebas. Lensa tele (zoom) menjadi
lensa yang sering dipakai dalam aliran ini, karena memudahkan
fotografer mengambil gambar dari jarak yang cukup jauh untuk
alasan keamanan.
10. Street photography biasanya aliran ini mengambil gambar secara
diam-diam atau biasa dikenal dengan snapshoot. Lokasi
pengambilan gambar bisa dimana saja, tentunya di luar ruangan.
Foto aliran ini biasanya berisi mengenai kehidupan di jalanan dan
sekitarnya, untuk mendapatkan hasil yang baik seorang fotografer
21
dalam aliran ini harus mampu mengambil gambar tanpa diketahui
oleh objek, agar gambar dihasilkan natural.
11. Underwater photography menampilkan foto-foto di bawah laut.
Aliran ini memiliki dua golongan yaitu macro photography yang
menggambarkan keadaan laut secara dekat dan detail seperti ikan,
siput, rumput laut, dan biota laut lainnya. Sedangkan wide angle
photography yang menampilkan keindahan pemandangan bawah
laut secara luas. Fotografi aliran ini terbilang cukup menguras biaya
jika ingin mendapatkan hasil yang maksimal, karena untuk
kameranya harus menggunakan pelapis anti air, serta perangkat
lainnya seperti lampu sebagai penerangan di bawah laut yang juga
harus memakai lampu pelindung anti air, dimana kedua aksesoris
tersebut tergolong cukup mahal.
12. Infra red photography agak sulit dilakukan karena tidak semua
kamera bisa melakukannya dan harus ada perubahan-perubahan
pengaturan di dalam kamera yang memiliki sensitif pada cahaya
inframerah. Foto yang dihasilkan akan berbeda dengan warna aslinya
karena yang tampil dari hasil foto tersebut akan palsu warna atau
hitam putih.
13. Macro photography yaitu aliran yang menampilkan foto-foto dengan
jarak sangat dekat serta sangat detail pada bagian tertentu dari
sebuah objek. Dalam aliran ini diperlukan lensa khusus yang biasa
disebut dengan lensa makro.
22
B. Fotografi Jurnalistik
1. Pengertian Fotografi Jurnalistik
Dalam sebuah media, baik cetak maupun online sering kali kita
menemukan foto di dalamnya. Selain pelengkap berita, foto dalam
sebuah media juga sebagai penarik pembaca agar tidak jenuh melihat
kumpulan-kumpulan teks saja. Menurut Wijaya dalam bukunya
menjelaskan, foto jurnalistik adalah foto yang berisikan nilai berita dan
menarik untuk dibaca dan informasi tersebut disampaikan secara singkat
pada khalayak.10
Kobre dalam bukunya yang berjudul Photojournalism The
Professionals Approach menjelaskan bahwa sebuah foto jurnalistik
merupakan laporan yang mempergunakan kamera untuk menghasilkan
bentuk visual. Seorang jurnalis foto hendaklah mampu menggabungkan
antara keahlian membuat laporan investigasi dan membedakan dengan
penulisan feature.11
Dengan demikian kobre menegaskan bahwa foto
jurnalistik adalah pelaporan visual yang menginterpretasikan berita lebih
baik dibanding tulisan. Sederhanya yang dimaksud foto jurnalistik adalah
foto yang bernilai berita atau foto yang menarik bagi pembaca tertentu,
dan informasi tersebut disampaikan kepada masyarakat sesingkat
mungkin.12
Hal tersebut menjelaskan bahwa ada pesan tertentu yang terdapat
dalam foto, sehingga layak untuk disiarkan kepada masyarakat. Secara
10
Rita Gani & Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 5. 11
Kenneth Kobre, Photojournalism The Professionals Approach (Burlington, USA:
Focal Press Elsevier, 1991), hal. Viii. 12
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), hal. 17.
23
umum, foto jurnalistik merupakan gambar yang dihasilkan lewat proses
fotografi untuk menyampaikan suatu pesan, informasi, cerita suatu
peristiwa yang menarik bagi publik dan disebarluaskan lewat media
massa.13
2. Sejarah Foto Jurnalistik
Pertama kali foto muncul di dalam sebuah media yaitu pada
tanggal 16 April 1877 di surat kabar harian The Daily Graphic, New York.
Saat itu gambar yang muncul dalam media tersebut adalah sketsa
peristiwa kebakaran sebuah salon dan hotel. Seorang fotografer adalah
seorang seniman karena dalam pembuatan foto dibutuhkan keterampilan
khusus.14
Perkembangan foto jurnalistik kian melesat sejak saat itu hingga
masuk ke era foto jurnalistik modern yang dikenal dengan golden age
(1930-1950). Saat itu terbitan seperti Sports Illustrated, Vu, dan Life
menunjukan eksistensinya dengan tampilan foto-foto yang menawan. Pada
era itu muncul nama-nama jurnalis foto seperti Robert Capa, Alfred
Eisenstaedt, Margaret Bourke-White, David Seymour, dan W. Eugene
Smith. Lalu Henri Cartier-Bresson dengan gaya candid dan
dokumenternya.15
Carter-Bresson, bersama Robert Capa, David Seymour, dan George
Rodger kemudian mendirikan Magnum Photos pada tahun 1947. Magnum
13
Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 47. 14
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 1. 15
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 4-5.
24
adalah agensi foto berita pertama yang menyediakan foto jurnalistik dari
berbagai isu dan belahan dunia.16
Sementara di Indonesia sendiri kemunculan foto jurnalistik diawali
oleh Kassian Cephas, seorang pribumi anak angkat pasangan dari Belanda
dengan foto pertama yang diidentifikasi bertahun 1875. Kemudian pada
tahun 1942 munculah nama Alex Mendur17
yang bekerja sebagai kepala
divisi foto, di kantor berita Domei. Alex Mendur, Frans Soemarto Mendur,
JK Umbas, FF Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda kemudian
mendirikan IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) pada 2 oktober
1946 di Jakarta.18
Perkembangan foto jurnalistik di Indonesia semakin konsisten dan
berkelanjutan setelah kantor berita Antara mendirikan Galeri Foto
Jurnalistik Antara (GFJA) tahun 1992, galeri pertama yang fokus pada foto
jurnalistik. Dengan kelas fotografinya Antara menjadi katalis lahirnya
jurnalis foto muda.19
Kelahiran foto jurnalistik tidak dapat dipisahkan oleh rasa
keingintahuan manusia. Apalagi salah satu keunggulan foto, yaitu
dianggap tidak dapat berbohong dan dapat menangkap setiap detail
16
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 5. 17
Karya fenomenal yang dibuat oleh Mendur bersaudara yaitu Alex dan Frans Mendur
adalah imaji proklamasi 17 agustus 1945, saat presiden Soekarno sedang membacakan teks
proklamasi. Tentara Jepang yang mengetahui adanya pendokumentasian peristiwa proklamasi
kemudian merampas dan menghancurkan negatif milik Alex Mendur. Namun Frans lebih
beruntung, ia berhasil menguburkan negatif miliknya sebelum digeledah oleh tentara Jepang.
Berkat karya Frans inilah, sehingga kini masyarakat Indonesia mempunyai bukti nyata bahwa
Indonesia pernah merdeka. (Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 10.) 18
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 8-9. 19
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 13.
25
peristiwa yang disajikan sehingga bisa menggambarkan perkembangannya
dengan cepat.20
Menurut Frank P. Hoy, dari sekolah Jurnalistik dan
Telekomunikasi Walter Cronkite, Universitas Arizona, pada bukunya yang
berjudul Photojournalism The Visual Approach, terdapat delapan karakter
foto jurnalistik, yaitu:21
1. Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto
(communication photography). Komunikasi yang dilakukan akan
mengekspresikan pandangan wartawan terhadap suatu subjek, tetapi pesan
yang disampaikan bukan merupakan ekspresi pribadi, 2. Medium foto
jurnalistik adalah media cetak koran atau majalah, dan media kabel atau
satelit juga internet seperti kantor berita (wire services), 3. Kegiatan foto
jurnalistik adalah kegiatan melaporkan berita, 4. Foto jurnalistik adalah
paduan dari foto dan teks foto, 5. Foto jurnalistik mengacu pada manusia.
Manusia adalah subjek, sekaligus pembaca foto jurnalistik, 6. Foto
jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak (mass audiences). Ini
berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan harus segera diterima
orang yang beraneka ragam, 7. Foto jurnalistik juga merupakan hasil kerja
editor foto, 8. Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak
penyampaian informasi kepada sesama, sesuai amendemen kebebasan
berbicara dan kebebasan pers (freedom of speech and freedom of press).
Foto Jurnalistik setidaknya harus mempunyai sifat-sifat yang sama
seperti halnya berita tulis yaitu memuat unsur-unsur apa (what), siapa
(who), di mana (where), kapan (when), dan mengapa (why). Bedanya
20
Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, hal. 92. 21
Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 4.
26
dalam bentuk visual, foto berita mempunyai kelebihan dalam
menyampaikan unsur (how), yaitu bagaimana kejadian itu berlangsung.
Meskipun dalam suatu peristiwa itu unsur (how) bisa terjawab dalam
tulisan (berita tulis) tetapi dalam sebuah foto, unsur how lebih dapat
menguraikan secara lebih baik lagi.22
Audy Mirza Alwi menjelaskan bahwa foto jurnalistik terbagi
menjadi dua kategori yaitu foto berita dan foto feature.23
Foto berita adalah
foto yang harus sesegera mungkin disampaikan kepada pembaca. Tema
foto berita umumnya meliputi informasi yang selalu ingin diketahui
perkembangannya dari waktu ke waktu oleh pembaca, seperti berita
politik, kriminal, olahraga, dan ekonomi. Sementara itu foto feature adalah
foto yang dalam penyiarannya dapat ditunda kapan saja. Tema berita yang
terdapat dalam foto feature pada umumnya lebih kepada masalah ringan
yang menghibur dan tidak membutuhkan pemikiran yang mendalam bagi
pembacanya serta mudah dicerna.24
22
Atok Sugiarto, Jurnalisme Pejalan Kaki, hal. 23. 23
Wilson Hicks Editor majalah Life mengatakan bahwa unit dasar dari foto jurnalistik
adalah foto tunggal dengan teks yang menyertainya yang disebut single picture. Foto tunggal bisa
berdiri sendiri serta dapat menyertai suatu berita atau feature. Selain foto tunggal terdapat pula
foto seri atau foto essay. Foto seri atau esai adalah foto-foto yang terdiri atas lebih dari satu foto
tetapi masih dalam satu tema pemberitaan. Baik foto seri atau esai pembuatanya memakan waktu
yang cukup lama. Namun, keduanya memudahkan fotografer dalam menjelaskan suatu peristiwa
ke dalam beberapa foto. Baik foto berita maupun foto feature bisa disiarkan dalam bentuk satu
foto tunggal disertai teks yang disebut foto tunggal (single picture), dan foto seri/foto esai (photo
story/photo essay). (Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke
Media Massa, hal. 6.) 24
Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, hal. 5.
27
3. Jenis-jenis Fotografi Jurnalistik
Mengacu pada Badan Foto Jurnalistik Dunia (World Press Photo
Foundation), Audy Mirza Alwi membagi jenis foto Jurnalistik kedalam
sembilan kategori, diantaranya:25
a. Spot Photo
Spot Photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal
atau tidak terduga yang diambil oleh fotografer langsung di lokasi
kejadian. Misalnya, foto peristiwa kecelakaan, kebakaran, perkelahian,
dan perang. Karena dibuat dari peristiwa yang jarang terjadi dan
menampilkan konflik serta ketegangan, foto spot harus segera
disiarkan.
b. General News Photo
General news photo adalah foto-foto yang diabadikan dari peristiwa
yang terjadwal, rutin, dan biasa. Pada umumnya bertemakan politik,
ekonomi, dan humor
c. People in the News Photo
Prople in the news photo adalah foto tentang orang atau masyarakat
dalam suatu berita, yang ditampilkan merupakan pribadi atau sosok
orang yang menjadi berita itu.
d. Daily Life Photo
Daily life photo adalah tentang kehidupan sehari-hari manusia
dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).
25
Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, hal. 7.
28
e. Portrait
Portrait adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close
up. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang dimiliki
atau kekhasan lainnya.
f. Sport Photo
Sport photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa olahraga.
g. Science and Technology Photo
Science and technology photo adalah foto yang diambil dari peristiwa-
peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
h. Art and Culture Photo
Art and culture photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan
budaya.
i. Social and Environment
Social and environment adalah foto tentang kehidupan sosial
masyarakat serta lingkungan hidupnya.
4. Etika Fotografi Jurnalistik
Dalam membuat foto jurnalistik terdapat etika-etika yang harus
dipatuhi. Walaupun jadi seorang wartawan memiliki izin yang luas tapi
seorang wartawan diharuskan mempunyai sopan santun dalam setiap
aktifitas meliput dan bentuk liputan. Etika ini dimaksudkan untuk
mendapatkan respon yang baik dan menghasilkan hal positif dari
hasil liputan yang disajikan.
Dalam urusan etika, kadang foto jurnalistik dikaitkan dengan hal-
hal etis seperti kesopanan dan pantas atau tidak pantasnya sebuah foto itu
29
ditayangkan.26
Tidak hanya bersikap, dalam penampilan foto pun harus
diperhatikan masalah kesopanan foto itu sendiri, sebenarnya tidak ada
larangan dalam menampilkan sebuah foto tapi terdapat hal-hal pantas
dan tidak pantas yang dibutuhkan kebijakan fotografer untuk
memilihnya sebelum naik cetak.
Dengan adanya etika diharapkan fotografer bisa membatasi dirinya
saat bekerja dilapangan dan saat mengolah gambar tersebut.27
Sebagai
seseorang yang bekerja untuk media yang menaunginya seorang
wartawan foto harus bekerja profesional, tapi tidak jarang aksi
profesionalnya melewati batas kesopanan demi mendapatkan foto yang
diinginkan oleh fotografer atau media itu sendiri. Setelah fotografer
mendapatkan gambar barulah ia memilih dan mengolah ulang foto
tersebut, dalam mengolah doto ini pun harus diperhatikan mengenai
kejujuran fotografer agar tidak memalsukan hasil fotonya.
Salah satu yang tidak diizinkan seorang wartawan foto yaitu
mengambil gambar yang berhubungan dengan perlindungan, misalnya foto
pekerja seks, pelaku kejahatan anak, korban tindak asusila dan aksi bunuh
diri untuk menghindari kesan yang berkelanjutan dikemudian hari.28
Mengenai pantas atau tidak pantasnya foto seorang wartawan foto tidak
seharusnya mengangkat foto-foto vulgar dan sadis seperti korban dari
kecelakaan atau pembunuhan, hal ini akan membuat jijik pembaca dan
menjadi sebuah permasalahn untuk media yang mengangkatnya.
Kita
ambil contoh saja pada diri kita apabila kita sedang makan dan membaca
26
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 83. 27
Rita Gani & Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu, hal. 158. 28
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 84.
30
berita di salah satu media yang memperlihatkan gambar-gambar sadis
seperti darah dan hal sadis lainnya, tentu saja kita akan merasa mual dan
kehilangan selera makan. Media-media yang tetap mengangkat gambar-
gambar seperti ini biasanya menyiasatinya dengan mengaburkan gambar
atau menjadikannya hitam putih.29
C. Tinjauan Umum Tentang Semiotika
Kata Semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu semion yang berarti
tanda, atau seme yang berarti penafsir tanda.30
Dalam prakteknya semiotika
berfungsi sebagai ilmu atau metode analisis yang digunakan untuk mengkaji
tanda.31
Seperti pada penelitian ini, peneliti menggunakan semiotika sebagai
alat untuk mengkaji tanda-tanda dalam foto karya Dwianto Wibowo yang
berjudul Habitus Habib, guna melihat makna yang tersirat dan tersurat dalam
foto tersebut.
Dalam sejarah linguistik, selain istilah semiotika dan semiologi
terdapat pula istilah semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada
bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang.
Sesungguhnya kedua isltilah semiotika dan semiologi mengandung
pengertian yang sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah
tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya. Mereka yang
bergabung dengan Pierce menggunakan kata semiotika, sedangkan mereka
yang tergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi. Namun ada
kecendrungan, istilah semiotika lebih popular daripada istilah semiologi
29
Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, hal. 85. 30
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 16. 31
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 15.
31
sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya. Baik
semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling
menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu
tentang tanda. Satu-satunya perbedaan antara keduannya, adalah bahwa
istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sementara semiotika
cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris. Dengan kata lain,
penggunaan kata semiologi menunjukan pengaruh kubu Saussure, sedangkan
semiotika lebih tertuju pada kubu Pierce.32
Mengacu kepada penjelasan di atas, pada penelitan ini penulis akan
menggunakan kata semiotika dalam penulisan selanjutnya, karena selain
memiliki arti yang sama, istilah semiotika juga lebih populer ketimbang
semiologi, sehingga penelitian ini akan mudah dicerna oleh para pembaca.
Terdapat tiga tokoh besar dalam ilmu Semiotika, yaitu: (1) Ferdinand de
Saussure; (2) Roland Barthes; (3) Charles Sanders Pierce.
1. Semiotika Ferdinand de Saussure
Saussure dilahirkan di Jenewa pada tahun 1857, semasa
hidupnya ia berada dalam satu zaman dengan Sigmund Freud dan Emile
Durkheim. Saussure hidup dalam keluarga yang sangat terkenal di kota
Jenewa karena keberhasilan mereka dalam bidang ilmu. Selain sebagai ahli
linguistik, ia juga adalah seorang spesialis bahasa-bahasa Indo-Eropa dan
sansakerta yang menjadi sumber pembaruan intelektual dalam bidang ilmu
sosial dan kemanusiaan.33
32
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 11-12. 33
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 45.
32
John Lyons mengatakan:
“Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik
modern dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de
Saussure”. 34
Dalam definisi Saussure, semiotika merupakan sebuah ilmu yang
mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat serta menjadi
bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukan
bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang
mengaturnya.35
Menurutnya bahasa itu adalah suatu tanda, dan setiap tanda itu
tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda).
Bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Suara-suara, baik suara
manusia, binatang, atau bunyi-bunyian, hanya bisa dikatakan sebagai
bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bilamana suara atau bunyi tersebut
mengekspresikan, menyatakan, atau menyampaikan ide-ide, dan
pengertian-pengertian tertentu.36
Tanda adalah kesatuan dari bentuk penanda dengan sebuah ide atau
petanda. Penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang
bermakna. Dengan kata lain, penanda adalah aspek material dari bahasa,
apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.
Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Dengan
kata lain, petanda adalah aspek mental dari bahasa.37
Jadi bisa diartikan ke
dalam bentuk yang sederhana bahwa, penanda adalah bentuk dari tanda itu
34
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 43. 35
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 12. 36
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 46. 37
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 46.
33
sendiri. Sedangkan petanda adalah orang yang memaknai bentuk dengan
pengetahuan yang ia miliki sesuai norma yang berlaku di masyarakat.
2. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis
yang sering mempraktekkan model linguistik dan semiotik Saussurean. Ia
juga intelektual dan kritikus sastra prancis yang ternama, eksponen
penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra.38
Dalam teori
semiotikanya Barthes telah mengembangkan pendekatan struktural untuk
membaca sebuah fenomena gambar yang mengandung tahapan-tahapan
dan pendekatan lain yang dapat digunakan untuk membedah penandaan
dalam karya fotografi.
Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah
Protestan di Cherbourg. Ayahnya, adalah seorang perwira angkatan laut
yang gugur dalam pertempuran di Laut Utara sebelum usia Barthes
menginjak satu tahun. Sepeninggalan ayahnya, ia kemudian diasuh oleh
ibu, kakek, dan neneknya. Di usia sembilan tahun ia pindah ke Paris
bersama ibunya yang bergaji kecil sebagai penjilid buku. Menginjak
dewasa, Barthes menderita penyakit tuberkulosa (TBC). Di tengah-tengah
masa pemulihannya, Barthes menghabiskan waktu untuk membaca banyak
hal, dan menerbitkan beberapa artikel. Dari masa itulah karir Barthes terus
berkembang hingga namanya menjadi populer bersama karya-karyanya.39
Bagi Barthes perspektif semiotika adalah semua sistem tanda,
entah apapun substansinya serta batasannya (limit), yakni berupa: gambar,
38
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63. 39
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 64.
34
gerak tubuh, bunyi, melodi, benda-benda, dan berbagai kompleks yang
tersusun oleh substansi yang merupakan sistem signifikasi (pertandaan),
kalau bukan merupakan ‘bahasa’ (language).40
Barthes menyempurnakan teori semiotik Saussure yang hanya
berhenti pada pemaknaan penanda dan petanda saja (denotasi). Barthes
mengembangkan dua tingkatan pertandaan (two way of signification), yang
memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat,
yaitu tingkat denotasi dan konotasi.41
Tabel 2.1 : Peta Tanda Roland Barthes42
1. Signifier
(penanda)
2. Signified
(petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. Connotative signifier
(penandaan konotatif)
5. Connotative
signified
(petandaan
konotatif)
6. Connotative sign (tanda konotatif)
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri
atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda
denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut
merupakan unsur material.43
Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak
40
Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal. 3. 41
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 69. 42
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 69. 43
Paul Cobley dan Litza Jansz, Introducing Semiotics (New York: Icon Books-Totem
Books, 1999), hal. 51.
35
sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.44
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas
yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Sedangkan
konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dengan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang
implisit, tidak langsung dan tidak pasti, artinya terbuka terhadap berbagai
kemungkinan. Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk
ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti
perasaan, emosi atau keyakinan.45
Barthes menjelaskan untuk memaknai konotasi yang terkandung
dalam sebuah foto, harus melewati prosedur-prosedur sebagai berikut,
diantaranya:46
a. Trick effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang
berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.
b. Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam
mengambil foto berita, seorang wartawan foto akan memilih objek
yang sedang diambil.
c. Object, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke
dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI)
pada sebuah gambar/foto.
44
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 69. 45
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna
(Bandung: Jalasutra, 2003), hal. 261. 46
Roland Barthes, Imaji Musik Teks (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal. 7.
36
d. Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar.
Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring
(keburaman), Panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze
(efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek), dan
sebagainya.
Tabel 2.2: Pemaknaan photogenia dalam menganalisis foto47
TANDA MAKNA KONOTASI
Photogenia Teknis Fotografi
Pemilihan
Lensa
Normal Normalitas keseharian
Lebar Dramatis
Tele Tidak personal, voyeuritis
Shot size Close up Intimate, dekat
Medium up Hubungan personal dengan
subjek
Full shot Hubungan tidak personal
Long shot Menghubungkan subjek dengan
konteks, tidak personal
Sudut pandang High angle Membuat subjek tampak tidak
berdaya didominasi, dikuasai,
kurang otoritas
Eye level Khalayak tampil sejajar dengan
subjek, memberi kesan sejajar,
47
M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal.
43.
37
kesamaan, sederajat
Low angle Menambah kesan subjek
berkuasa, mendominasi, dan
memperlihatkan otoritas
Pencahayaan High key Kebahagiaan, cerah
Low key Suram, muram
Datar Keseharian, realistis
Penempatan
subjek/objek
pada bidang
foto
Atas Memberi kesan subjek berkuasa
Tengah Subjek penting
Bawah Subjek tidak penting
Pinggir Subjek tidak penting
e. Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar
secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.
f. Syntax, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya
berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat
membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Adapun fungsi
caption itu sendiri selain untuk membatasi pokok pikiran pesan yang
ingin disampaikan, juga berfungsi supaya maksud dari pesan itu cepat
tersampaikan.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi,
yang disebutkannya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan
dan memberikan pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam
38
suatu periode tertentu.48
Dalam pandangan Barthes mitos adalah
pengkodean makna dan nilai-nilai sosial sebagai sesuatu yang dianggap
alamiah.49
Mitos juga dapat diartikan sebagai sesuatu hasil dari tahap
konotasi yang telah sangat dipercayai dan menyebar dalam masyarakat.50
Mitos juga merupakan hasil dari kelas sosial yang sudah memiliki
dominasi dan hal ini berkaitan dengan realitas atau gejala alam.51
Sehingga
dapat dikatakan mitos adalah tahapan pencarian makna berdasarkan
ideologi atau pemikiran yang sedang berkembang di masyarakat.
Pada zaman dahulu contoh mitos yang berkembang dalam
masyarakat tentang kehidupan atau kematian, tentang dewa-dewa, atau
kepercayaan, hal ini jelas berbeda dengan mitos yang berkembang dalam
masyarakat zaman ini yaitu tentang ilmu pengetehuan, kesuksesan, gender,
dan hal semacan itu.52
Mitos bukanlah seperti apa yang kita pahami selama ini. Mitos
bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan
irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur.
Tetapi menurut Barthes mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya
bicara) seseorang. Mitos digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang
tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala
kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan
48
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 71. 49
Tommy Christomy, Semiotika Budaya (Depok: Universitas Indonesia), hal. 94. 50
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Universitas
Indonesia, 2008), hal. 5. 51
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media,
2011), hal. 17. 52
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, hal. 22.
39
menggunakan analisis mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang
tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar).53
3. Semiotika Charles Sanders Peirce
Charles Sanders Pierce adalah seorang filsuf Amerika yang paling
orisinal dan multidimensional, selain itu Pierce juga dikenal sebagai
seorang pemikir yang argumentatif. Pierce lahir di keluarga intelektual
pada tahun 1839. Ayahnya Benjamin adalah seorang professor matematika
di Harvard.54
Sumbangan pemikiran Pierce pada ilmu logika filsafat dan
matematika khususnya semiotika, berpendapat bahwa teori semiotikanya
hingga karyanya tentang tanda adalah hal yang tidak terpisahkan dari
logika.55
Pierce menjelaskan bahwa tanda adalah hal yang mewakili sesuatu
bagi seseorang.56
Dengan kata lain tanda yang diciptakan oleh sesorang
adalah bentuk lain dari media penyampai pesan, yang mewakili informasi
yang ingin di sampaikan kepada orang lain.
Pierce Membedakan tipe-tipe tanda menjadi tiga bentuk, antara
lain:57
a. Ikon
Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda
itu mudah dikenali oleh para pemakainya. Di dalam ikon biasanya
sesorang cukup dengan ‘melihat’ saja, agar dapat mengartikan makna
53
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012), hal. 127. 54
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 39. 55
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 40. 56
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hal. 39. 57
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, hal. 14.
40
dalam sebuah tanda. Contohnya adalah bentuk dari rambu lalu lintas
yang memiliki kesamaan dengan objek yang sebenarnya.
b. Indeks
Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan antara penanda dengan
petanda, atau bisa dikatakan memiliki hubungan sebab akibat. Di
dalam indeks seseorang harus memprkirakan suatu hubungan sebab
akibat, agar dapat memaknai sebuah tanda. Contohnya adalah adanya
asap karena api.
c. Simbol
Simbol merupakan jenis tanda yang dihasilkan dari kesepakatan oleh
sejumlah orang atau masyarakat. Di dalam simbol seseorang harus
mempelajari terlebih dahulu tanda tersebut, agar dapat memaknai
sebuah tanda. Contohnya adalah rambu-rambu lalu lintas yang sudah
bersifat simbolik, atau sudah dikenal oleh masyarakat luas. Rambu-
rambu lalu lintas tersebut sudah dapat dikatakan simbol.
Pada penelitian ini, penulis akan memakai teori semiotika Roland
Barthes dengan memaknai sebuah tanda melalui tiga tahapan, yaitu
denotasi, konotasi, dan mitos. Selain itu, semiotika Barthes juga dapat
memaknai tanda-tanda di dalam sebuah foto secara lebih mendalam
dengan memakai batasan-batasan seperti, efek tiruan, pose, objek,
fotogenia, estetisme dan sintaksis.
D. Konstruksi Identitas
Pengertian identitas sendiri menurut Chris Barker adalah soal
kesamaan dan perbedaan tentang aspek personal dan sosial, tentang
41
kesamaan dan perbedaan tentang aspek personal dan sosial, tentang
kesamaan individu dengan sejumlah orang dana apa yang membedakan
individu dengan orang lain.58
Dilihat dari bentuknya, setidaknya ada tiga bentuk identitas. Pertama,
identitas budaya merupakan ciri yang muncul karena seseorang itu
merupakan anggota dari sebuah etnik tertentu. Itu meliputi pembelajaran
tentang penerimaan tradisi, sifat bawaan, agama, dan keturunan dari suatu
kebudayaan. Kedua, identitas sosial terbentuk akibat dari keanggotaan
seseorang itu dalam suatu kelompok kebudayaan. Tipe kelompok itu antara
lain, umur, gender, kerja, agama, kelas sosial, dan tempat, identitas sosial
merupakan identitas yag diperoleh melalui proses pencarian dan pendidikan
dalam jangka waktu lama. Ketiga, identitas pribadi didasar kan pada
keunikan karakteristik pribadi seseorang. Seperti karakter, kemampuan,
bakat, dan pilihan..
Sementara pengertian konstruksi identitas menurut Chris Barker
adalah bangunan identitas diri, memperlihatkan siapa diri kita sebenarnya
dan kesamaan kita dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan kita
dari orang lain.59
Sedangkan menurut Stuard & Sundeen konstruksi identitas adalah
kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian,
yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu
kesatuan utuh. Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat
maka akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik dan tidak
58
Chris Barker, Cultural Studies, Teori Dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004)
, hal. 172. 59
Chris Barker, Cultural Studies, Teori Dan Praktik, hal. 172.
42
ada duanya. Individu yang memiliki identitas diri yang kuat akan
memandang dirinya sebagai suatu kesatuan yang utuh dan terpisah dari orang
lain dan individu tersebut akan mempertahankan identitasnya walau dalam
kondisi sesulit apapun.60
Adapun dalam mengkonstruk identitasnya seseorang harus melewati
beberapa tahapan, yaitu:
1. Konsep Diri
Konsep diri atau self concept dapat diartikan sebagai (a) persepsi
keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya, (b) kualitas
pensifatan individu tentang dirinya, (c) suatu sistem pemaknaan individu
dan pandangan orang lain tentang dirinya.
Selft concept ini mempunyai tiga komponen, yaitu: (a) perceptual
atau physical self concept, citra seseorang tentang penampilan dirinya
(kemenarikan tubuhnya), seperti: kecantikan, keindahan atau kemolekan
tubuhnya; (b) conceptual atau psychological self concept, konsep
seseorang tentang kemampuan (keunggulan) dan tidakmampuan
(kelemahan) dirinya, dan masa depannya, serta meliputi juga kualitas
penyesuaian hidupnya: honesty, self confidence, indepedence, dan
couragie; dan (c) attitudinal, yang menyangkut perasaan seseorang
tentang dirinya, sikapnya terhadap keberhargaan, kebanggaan, dan
keterhinaannya. Apabila seseorang sudah masuk masa keyakinan, nilai-
nilai, idealitas, aspirasi, dan komitmen terhadap filsafat hidupnya.
60
Ismail Marzuki, Konstruksi Indentitas Dahlan Iskan Dalam Manufacturing Hope
Harian Jawa Pos. (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2014), hal. 23.
43
Dilihat dari jenisnya, self concept ini terdiri atas beberapa jenis,
yaitu sebagai berikut:
a. The basic self-concept, James menyebutnya “real-self” yaitu konsep
seseorang tentang dirinya, jenis ini meliputi persepsi seseorang
tentang dirinya, jenis ini meliputi persepsi seseorang tentang
penampilan dirinya, kemapuan dan ketidak mampuannya, peranan
danb status dalam kehidupannya, dan nilai-nilai, keyakinan, serta
aspirasinya.
b. The transitory self-concept. Ini artinya bahwa seseorang
memilki “self concept” yang pada suatu saat di memegangnya,
tetapi pada saat lain dia akan melepaskannya. “self concept” ini
mungkin menyenagkan, tetapi juga tidak menyenangkan.
Kondisinya sangat sitiasional, sangat dipengaruhi oleh suasana
perasaan (emosi), atau pengalaman yang telah lalu.61
c. The social self-concept. Jenis ini berkembang berdasarkan cara
individu mempercayai orang lain yang mempersepsikan
dirinya, baik melalui perkataan maupun tindakan. Jenis ini
sering juga dikatakan sebagai “mirror image”. Contoh: jika
kepada seseorang secara terus menerus dikatakan bahwa
dirinya nakal, maka dia akan mengembangkan konsep dirinya
sebagai anak yang nakal. Perkembangan konsep diri seseorang
dipengaruhi oleh jenis kelompok sosial tempat dia hidup, baik
keluarga, sekolah, teman sebaya, atau masyarakat. Jersild
61
Syamsu ln & Nurihsan Juntika, Teori Kepribadian (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2008), hal. 7.
44
mengatakan, apabila seseorang diterima, dicintai, dan dihargai oleh
orang-orang yang berarti baginya, maka seseorang tersebut
akan mengembangkan sikap untuk menerima dan menghargsi
dirinya sendiri. Namaun apabila orang-orang yang berarti
(significant people) itu menghina, menyalahkan, dan
menolaknya, maka ia akan mengem-bangkan sikap-sikap yang tidak
menyenagankan bagi dirinya sendiri.
d. The ideal selft-concept, konsep diri ideal merupakan persepsi
seseorang temtang apa yang diinginkan menegenai dirinya, atau
keyakinan tentang apa yang seharusnya mengenai dirinya. Konsep
ini diri ideal ini semakin berkembang seiring bertambahnya umur
seseorang.62
2. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial sangat mempengaruhi terhadap identitas
seseorang, seperti yang dikatakan J.M Baldwin, ia menyebutkan bahwa,
“Self” sendiri sebagai “an actively origanized concept” yang artinya
“self” itu sebagai konsep yang tersusun rapi. Selanjutnya ia
mengemukakan bahwa:
.Pada dasarnya, anak-anak bukanlah konsep atas diri sendiri,
namun konsep yang berkembang satu persatu seiring dengan
perkembangan konsepsi orang lain.
Robert E. L. Faris, berkata.
Manusia tidak dilahirkan dengan sendirinya atau dengan
kesadaran atas dirinya sendiri, setiap orang menjadi objek
untuk dirinya sendiri berdasarkan proses aktif penemuan-
penemuan material untuk membangun konsepsi diri yang
62
Syamsu ln & Nurihsan Juntika, Teori Kepribadian, hal. 8-9.
45
diperoleh dalam proses interaksi dengan orang lain, diri itu
ditentukan dalam reaksi terhadap orang lain.
Dua pendapat diatas, menunjukkan bahwa “self” tidak ada atau
belum ada pada saat manusia dilahirkan, atau pada waktu masih
anak-anak. “Self” selanjutnya akan lahir dan terbentuk sebagai hasil dari
interaksi dengan lingkungan sosialnya, Misalnya: ibunya, ayahnya,
kakaknya dan sebagainya dengan siapa dia selalu berhubungan tiap hari.
Dengan kata lain “self” adalah produk daripada sosial.63
Maka, individu tidak akan menemukan identitas dirinya tanpa
adanya benturan atau interaksi dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan
sosial berpengaruh besar terhadap identitas individu tersebut. Karena,
Melalaui interaksi-interaksi dengan lingkungan tersebut ia senantiasa
selalu mengkonstruk identitasnya seperti apa yang ia hasilkan dari
interaksi dengan lingkungan sosial sekitar.
E. Tinjauan Umum Tentang Habib
Habib adalah seseorang yang memiliki keturunan langsung dengan
Nabi Muhammad. Pendataan silsilahnya harus dilakukan melalui sejumlah
tahapan, jika ditelisik dalam perspektif antropologis, munculnya habib
merupakan fenomena penghormatan terhadap keturunan Nabi Muhammad.
Sebutan habib dinisbatkan secara khusus kepada laki-laki keturunan Nabi
Muhammad melalui pernikahan putri Rasul, Fatimah, dengan Ali bin Abi
Thalib. Mereka berputra Hasan dan Husein serta Zainab.
63
Wuryo Karmiran & Sjaifullah Ali, Pengantar Ilmu Jiwa Sosial (Jakarta: Sabdodadi,
1982), hal 38-39.
46
Habib Muhammad bin Alatas menambahkan. “Habib di negara lain
disebut dengan sayid. Ada juga yang menggelari syarif. Yang disebut dengan
syarif banyak di Jordan, Iran, Yaman dan Maroko.” Habib yang juga disebut
alawiyin atau saadah itu terdiri dari 114 marga. Menurut Rabithah Alawiyah,
hanya keturunan laki-laki saja yang berhak menyandang gelar Habib.
Menurut catatan Rabithah Alawiyah, ada sekitar 1,2 juta orang yang berhak
menyandang sebutan habib. Mereka memiliki moyang yang berasal dari
Yaman, khususnya Hadramaut.
Dari merekalah tersusun silsilah yang menjuntai hingga belasan abad,
dari Hadramaut Yaman hingga ke Tanah Air. Yaitu sebuah silsilah keturunan
Nabi Muhammad dari garis keturunan Fatimah yang menikah dengan Ali bin
Abi Thalib.64
Sayyid Zen Umar bin Smith mengisahkan bagaimana keturunan
sayyid ini hijrah ke Hadramaut, sebuah lembah di negara Yaman. Hijrahnya
para sayyid ini bertujuan untuk menjaga anak dan keturunannya agar dapat
memegang ajaran agama yang murni dan tidak terkontaminasi segala macam
masalah politik, sebab Hadramaut pada kala itu adalah negeri yang miskin,
kering kerontang, dan tidak ada apa-apa. Dari Hadramaut kemudian mereka
berkembang dan menyebar ke Asia Tenggara termasuk Indonesia.65
Rabithah Alawiyah adalah organisasi pencatat keturunan Nabi
Muhammad SAW. di Indonesia. Ketua Umum Rabithah Alawiyah Sayyid
Zen Umar bin Smith menyatakan bahwa fenomena tentang habib perlu
64
Kumparan, Jejak Para Habib Sampai di Indonesia, diakses dari
https://kumparan.com/wisnu-prasetyo/jejak-habib-di-indonesia, pada tanggal 26 Juli 2017. 65
Tirto.id, Seluk Beluk Para Habib Mereka datang ke Nusantara Demi Cincin Sulaiman,
diakses dari https://tirto.id/mereka-datang-ke-nusantara-demi-cincin-sulaiman-chdg#, pada tanggal
1 Mei 2017.
47
diluruskan karena banyak terjadi salah kaprah di masyarakat terkait sebutan
habib. Menurutnya, habib secara bahasa berarti keturunan Rasulullah yang
dicintai, sedangkan habaib adalah kata jamak dari habib. Jadi dapat ditarik
kesimpulan bahwa tidak semua keturunan Rasulullah mendapatkan gelar
habib. Keturunan Rasulullah dari Sayyidina Husein disebut sayyid, dan dari
Sayyidina Hasan disebut assyarif. Hasan dan Husein merupakan putra
Sayyida Fatimah binti Muhammad dengan Ali bin Abi Thalib. Di Indonesia
para keturunan Rasullullah banyak yang berasal dari Husein, sehingga banyak
yang disebut sayyid. Sementara keturunan-keturunan Hasan kebanyakan
menjadi raja atau presiden seperti di Maroko, Jordania, dan kawasan Timur
Tengah. Pertama kali ulama-ulama dari Yaman atau Hadramaut masuk ke
Indonesia di beberapa daerah. Karena adanya akulturasi budaya, sebutan
sayyid di Aceh berubah menjadi Said, sementara di Sumatra Barat menjadi
Sidi dan lain sebagainya.66
Menurut Quraish Shihab, habib dalam bahasa Arab artinya dicintai.
Siapa pun boleh pakai nama itu selama ia dicintai oleh masyarakat.
Sementara, menurut masyarakat muslim Indonesia terlebih masyarakat
betawi, gelar habib disematkan bagi orang saleh dan berbudi luhur serta
memiliki garis keturunan hingga Rasulullah.
Rabithah Alawiyah memiliki batasan untuk meligitimasi seseorang
dengan sebutan habib, di antaranya: cukup matang dalam hal umur, harus
memiliki ilmu yang luas, mengamalkan ilmu yang dimiliki, ikhlas terhadap
66
Republika, Salah Kaprah Sebutan Habib di Masyarakat, diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/10/11/nd9vk0-salah-kaprah-sebutan-habib-
di-masyarakat, pada tanggal 1 Mei 2017.
48
apapun, wara atau berhati-hati, bertakwa kepada Allah SWT, serta memiliki
akhlak yang baik.67
Para habaib sangat dihormati oleh masyarakat muslim Indonesia,
karena dianggap sebagai tali pengetahuan yang murni dari garis keturunan
langsung kepada Nabi Muhammad. Hal tersebut mendapat respon negatif dari
kelompok anti-sunnah yang menilai bahwa penghormatan terhadap habib
sesuatu yang bid’ah. Namun sesuai fakta, Habaib di Indonesia sangat banyak
memberikan pencerahan dan pengetahuan tentang agama Islam. Dan sudah
tak terhitung jumlah orang yang akhirnya memeluk agama Islam di tangan
para habaib.68
Namun, majelis taklim yang dipimpin para habib di Jakarta memang
berhasil menarik simpati warga pinggiran kota. Kopiah putih, gamis yang
dibalut jaket hitam dengan sulaman benang emas di punggung bertuliskan
Majelis Rasulullah, serta sorban dan bendera, seolah menjadi identitas tetap
bagi jamaah pengajian majelis itu. Pengajian Majelis Rasulullah (MR) yang
diasuh Habib Mundzir bin Fuad Almusawa serta majelis Shalawat dan Zikir
Nurul Musthofa (NM) yang dipimpin Habib Hasan bin Jafar Assegaf. Dua
pengajian itu diklaim memiliki jamaah terbesar nomor wahid di Ibu Kota.
MR mengklaim memiliki 50 ribu jamaah, NM mengaku menggaet 20 ribu
orang.69
67
Republika, Salah Kaprah Sebutan Habib di Masyarakat, diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/10/11/nd9vk0-salah-kaprah-sebutan-habib-
di-masyarakat, pada tanggal 1 Mei 2017. 68
Satu Islam, Keturunan Nabi Muhammad di Indonesia, diakses dari
https://satuislam.org/humaniora/mozaik-nusantara/keturunan-nabi-muhammad-saw-di-indonesia/,
pada tanggal 1 Mei 2017. 69
Merdeka.com, “Ismail F. Alatas (2): Majelis wadah eksistensi warga pinggiran”,
diakses dari https://www.merdeka.com/khas/ismail-f-alatas-2-majelis-wadah-eksistensi-warga-
pinggiran.html, pada tanggal 1 Februari 2017
49
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Profil Majalah Tempo
Tempo adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pers.
Bersamaan dengan lahirnya PT. Tempo Inti Media Tbk., pada tahun yang
sama (2001), lahirlah Koran Tempo yang diterbitkan perseroan untuk
berkompetisi di lapak media harian. Koran Tempo yang menjadi pionir
sebagai koran dalam format compact di Indonesia ini unggul dalam liputan
pemberantasan korupsi, politik dan ekonomi.1
Tempo memiliki sejarah yang panjang berawal dari tahun 1969,
sekumpulan anak muda berangan-angan membuat sebuah majalah berita
mingguan yang kemuadian lahirlah majalah mingguan tersebut dengan nama
Ekspres. Di antara para pendiri dan pengelola awal, terdapat nama seperti
Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Christianto Wibisono, dan Usamah.
Namun, akibat perbedaan prinsip antara jajaran redaksi dan pihak pemilik
modal utama, terjadilah perpecahan. Goenawan cs keluar dari Ekspres pada
1970. Di sudut Jakarta yang lain, seorang Harjoko Trisnadi sedang
mengalami masalah. Majalah Djaja, milik Pemerintah Daerah Khusus Ibu
Kota (DKI), yang dikelolanya sejak 1962 tidak terbit. Menghadapi kondisi
tersebut, karyawan Djaja menulis surat kepada Gubernur DKI saat itu, Ali
Sadikin, minta agar Djaja diswastakan dan dikelola Yayasan Jaya Raya-
sebuah yayasan yang berada di bawah Pemerintah DKI. Lalu terjadi
rembugan tripartite antara Yayasan Jaya Raya-yang dipimpin Ir. Ciputra,
1 Korporat.Tempo.co, Tentang, Diakses dari https://korporat.tempo.co/tentang#, Pada
tanggal 1 Mei 2017.
50
orang-orang bekas majalah Ekspres, dan orang-orang bekas majalah Djaja.
Disepakatilah berdirinya majalah Tempo di bawah PT. Grafiti Pers sebagai
penerbitnya.2
Kenapa nama Tempo? Menurut Goenawan (Pemimpin Redaksi saat
itu) karena kata ini mudah diucapkan, terutama oleh para pengecer. Cocok
pula dengan sifat sebuah media berkala yang jarak terbitnya longgar, yakni
mingguan. Mungkin juga karena dekat dengan nama majalah berita terbitan
Amerika Serikat, Time, sekaligus sambil berolok-olok yang sudah terkenal.
Edisi perdana majalah Tempo terbit pada 6 Maret 1971.
Dengan rata-rata umur pengelola yang masih 20-an, Tempo tampil
beda dan diterima masyarakat. Dengan mengedepakan peliputan berita yang
jujur dan berimbang, serta tulisan yang disajikan dalam prosa yang menarik
dan jenaka, Tempo diterima masyarakat. Pada tahun 1982, untuk pertama
kalinya Tempo dibredel. Tempo dianggap terlalu tajam mengkritik rezim
Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar. Saat itu tengah dilangsungkan
kampanye dan prosesi Pemilihan Umum. Tapi akhirnya Tempo
diperbolehkan terbit kembali setelah menandatangani semacam "janji" di atas
kertas segel dengan Ali Moertopo, Menteri Penerangan saat itu.
Makin sempurna mekanisme internal keredaksian Tempo, makin
mengental semangat jurnalisme investigasinya. Maka makin tajam pula daya
kritik Tempo terhadap pemerintahan Soeharto yang sudah sedemikian
melumut. Puncaknya, pada 21 Juni 1994. Untuk kedua kalinya Tempo
dibredel oleh pemerintah, melalui Menteri Penerangan Harmoko. Tempo
2 Korporat.Tempo.co, Sejarah, diakses dari https://korporat.tempo.co/tentang/sejarah,
pada tanggal 1 Mei 2017.
51
dinilai terlalu keras mengkritik Habibie dan Soeharto ihwal pembelian kapal-
kapal bekas dari Jerman Timur.
Selepas Soeharto lengser pada Mei 1998, mereka yang pernah bekerja
di Tempo dan tercerai berai akibat bredel berembuk ulang. Mereka bicara
ihwal perlu tidaknya majalah Tempo terbit kembali. Hasilnya, Tempo harus
terbit kembali. Maka, sejak 12 Oktober 1998, majalah Tempo hadir kembali.
Untuk meningkatkan skala dan kemampuan penetrasi ke bisnis dunia
media, maka pada tahun 2001, PT. Arsa Raya Perdana go public dan
mengubah namanya menjadi PT Tempo Inti Media Tbk. (Perseroan) sebagai
penerbit majalah Tempo yang baru. Dana dari hasil go public dipakai untuk
menerbitkan Koran Tempo yang berkompetisi di media harian.
Saat ini, produk-produk Tempo terus muncul dan memperkaya
industri informasi korporat dari berbagai bidang, yaitu penerbitan (majalah
Tempo, Koran Tempo, Koran Tempo Makassar, Tempo English,
Travelounge, Komunika, dan Aha! Aku Tahu), Digital (Tempo.co, Data dan
Riset (Pusat Data dan Analisa Tempo), Percetakan (Temprint), Penyiaran
(Tempo TV dan Tempo Channel), Industri Kreatif (Matair Rumah Kreatif),
Event Organizer (Impressario dan Tempo Komunitas), Perdagangan
(Temprint Inti Niaga), dan Building Management (Temprint Graha Delapan)
Bersama nahkoda Bambang Harymurti sebagai Direktur Utama dan
empat anggota dewan direksi yang lain, Herry Hernawan, Toriq Hadad,
Gabriel Sugrahetty Dian K dan Sri Malela Mahargasarie, Tempo Media
Group siap mengarungi birunya usaha penyedia jasa informasi.
52
Guna menjamin kelancaran tempo sebagai jasa penyedia informasi,
berikut visi misi yang dimiliki tempo. Dalam visinya tempo berusaha menjadi
acuan dalam usaha meningkatkan kebebasan publik untuk berpikir dan
berpendapat serta membangun peradaban yang menghargai kecerdasan dan
perbedaan. Dari visi tersebut tempo menjabarkan misinya sebagai berikut:3
1. Menghasilkan produk multimedia yang independen dan bebas dari segala
tekanan dengan menampung dan menyalurkan secara adil suara yang
berbeda-beda.
2. Menghasilkan produk multimedia bermutu tinggi dan berpegang pada
kode etik.
3. Menjadi tempat kerja yang sehat dan menyejahterakan serta
mencerminkan keragaman Indonesia.
4. Memiliki proses kerja yang menghargai dan memberi nilai tambah
kepada semua pemangku kepentingan.
5. Menjadi lahan kegiatan yang memperkaya khazanah artistik, intelektual,
dan dunia bisnis melalui pengingkatan ide-ide baru, bahasa, dan tampilan
visual yang baik.
6. Menjadi pemimpin pasar dalam bisnis multemedia dan pendukungnya.
B. Profil Dwianto Wibowo
Dwianto Wibowo lahir di Jakarta pada 17 November 1986, pria yang
akrab disapa Anto memulai karirnya sebagai teknisi di perusahaan
percetakan. Pekerjaan ini sesuai dengan jurusan waktu ia kuliah di Trisakti,
3 Korporat.Tempo.co, Visi Misi, diakses dari https://korporat.tempo.co/tentang/visi, pada
tanggal 1 Mei 2017
53
jurusan teknik mesin.4 Pria ini mulai menyukai fotografi, Pada tahun 2008,
dia mulai sering melihat pameran – pameran fotografi di Galeri foto
Jurnalistik Antara.
Dia memulai belajar Fotografi saat di Kampus, bermodalakan kamera
digital pocket. Setelah itu dia mulai menekuni fotografi untuk berkarir, dari
mulai mendokumentasi acara pernikahan, foto produk dan lain-lain, pada saat
yang bersamaan pamannya juga bekerja di media massa di Jakarta, dan
memperkenalkannya pada dunia jurnalistik.5
Setelah mulai memutuskan ingin menjadi fotografer dia magang di
kantor berita Tempo News Room. Pada saat itu Tempo menawarkannya
untuk menjadi stringer pada Tahun 2009 dia memulai karirnya sebagai
pewarta foto. Anto selain memotret untuk kebutuhan koran harian dia juga
ditugaskan untuk membuat foto portrait untuk kebutuhan majalah.
Pada saat di Tempo dia mendapatkan tugas untuk memotret kegiatan
habib serta jamaah pada majelis tersebut, Anto memotret dua majlis
terkemuka di Jakarta yaitu Majlis Rosulullah yang dipimpin oleh Habib
Munzir al-Musawa dan Majlis Nurul Mustofa yang dipimpin oleh Habib
Hasan Assegaf dalam kurun waktu satu bulan lalu memilih 15 foto untuk
diserahkan ke Majalah Tempo. Foto-foto tersebut lalu dimuat pada Majalah
Tempo edisi 21 tahun 2010 yang bertajuk Karnaval Habib Kota dengan sub
judul Malam Minggu Bersama Habib pada halaman 108.6
4 Wawancara pribadi dengan Dwianto Wibowo pada tanggal 10 Mei 2017 di kediaman,
Condet, Jakarta Selatan. 5 Wawancara pribadi dengan Dwianto Wibowo pada tanggal 10 Mei 2017 di kediaman,
Condet, Jakarta Selatan. 6 Wawancara pribadi dengan Dwianto Wibowo pada tanggal 10 Mei 2017 di kediaman,
Condet, Jakarta Selatan.
54
Selama berkarir di dunia fotografi jurnalistik, tercatat beberapa nama
media nasional dan internasional pernah memuat karya Dwianto Wibowo,
diantaranya: TEMPO Megazine, Koran Tempo Daily, U Magz, Travel
Lounge, Jakarta Post, DestinAsian Indonesia, Sydney Morning Herald, The
Age, The New York Times, Forbes Indonesia, Strategic Reviews, serta
Voices +.7
Selain menelurkan beberapa karyanya pada media ternama diatas,
khususnya TEMPO, sederet pencapaian juga telah diraih oleh Dwianto
Wibowo, mulai dari penghargaan di tingkat Nasional dan mengikuti pameran
fotografi dari tingkat Nasional hingga Internasional. Diantaranya: 8
1. Pada Tahun 2010 mengikuti Jakarta International Photo Summit "City of
Interaction" di Galeri Nasional.
2. Tahun 2011, Dwianto terpilih menjadi juara pertama kategori photo esai
Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2010 untuk foto cerita “Sia-sia
Menunggu di Halte Transjakarta”.
3. Tahun 2012 Foto Transit-o transito terpilih menjadi pemenang juara
pertama di “Pesta Media” Aliansi Jurnalistik Independen di Galeri
Nasional, Jakarta.
4. Tahun 2012 Foto Dwianto Wibowo yang berjudul “Transit-o” juga
terpilih sebagai pemenang di “Anugerah pewarta Foto Indonesia tahun
2012”. Dan dipamerkan di Mall Grand Indonesia.
7 Daftar riwayat hidup Dwianto Wibowo.
8 Daftar riwayat hidup Dwianto Wibowo.
55
5. Pada Tahun 2012 foto cerita Transit-O. Karyanya yang lain juga pernah
dimuat di buku Mt. Merapi 10, Summit of Fire bersama 44 jurnalis foto
dari berbagai media nasional dan manca negara
6. Pada tahun 2012 foto Transit-O di pamerkan diacara foto dan seni rupa
“Bhineka itu Indonesia”Komnas Perempuan di Galeri Nasional
7. Pada tahun 2013 fotonya yang bercerita tentang Harapan anak-anak
Transit-O di Lombok dipamerkan di Permata Photo Journalist Grant di
Mall Pacific Place, Jakarta.
56
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Sosok habib yang dikenal sangat religius serta bertalian langsung
dengan Rasulullah SAW menjadikannya begitu diagungkan oleh para jamaah.
Identitas tersebut menjadi pembeda antara masyarakat dengan habib itu
sendiri, sehingga berhasil menarik simpati ribuan jamaahnya. Hal tersebut
membuktikan bahwa konstruksi identitas secara budaya berhasil diterapkan
habib kepada para jamaahya. Konstruksi identitas yang dilakukan oleh habib
itulah yang kemudian coba dibekukan ke dalam media fotografi oleh
fotografer Tempo yaitu Dwianto Wibowo. Dengan tajuk Habitus Habib,
Dwianto mencoba mengabadikan setiap momen pengagungan yang dilakukan
jamaah kepada sosok habib itu sendiri.
Pada tahun 2010 aktivitas dakwah para habib serta jamaahnya yang
berada di Jakarta berhasil di rangkai ke dalam frame kameranya yang
kemudian di muat ke dalam majalah Tempo, dengan media foto jurnalistik
yang dibuat oleh fotografer Dwianto Wibowo dengan karyanya yang berjudul
Habitus Habib. Penulis menggali makna semiotika pada foto Habitus Habib,
yakni dengan mengeksplorasi makna denotasi, konotasi dan mitos dari foto-
foto tersebut.
Tahap pertama yaitu denotasi, penulis menguraikan secara rinci apa
yang dilihat pada foto tersebut. Pada tahapan ini pesan yang dibuat oleh
57
fotografer bersifat eksplisit, langsung dan pasti.1 Dengan kata lain fotografer
dan pelihat foto akan memiliki pemaknaan yang sama terhadap sebuah foto.
Pada tahapan kedua yaitu konotasi, pada tahapan ini pesan yang
dibuat oleh fotografer bersifat implisit, tidak langsung dan tidak pasti, atau
terbuka terhadap berbagai kemungkinan.2 Dengan kata lain fotografer dan
pelihat foto belum tentu memliki pemaknaan yang sama terhadap sebuah foto,
oleh karena itu Roland Barthes membuat bahasan dalam pemaknaan tahap
kedua ini dengan menguraikan sebuah foto melalui trick effect (manipulasi
gambar), pose, objek, photogenia (teknik foto), aestheticism (komposisi
gambar), syntax (sintaksis).3
Pada tahapan ketiga yaitu mitos, mitos menurut Roland Barthes
sebagai hasil dari tahap konotasi yang telah dipercayai dan menyebar dalam
masyarakat hingga menjadi sebuah ideologi.4 Dari ketiga tahapan tersebut
penulis akan menguraikan konstruksi identitas yang dilakukan oleh habib
dalam foto Habitus Habib karya Dwianto Wibowo.
1 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna
(Bandung: Jalasutra, 2003), hal. 261. 2 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna
(Bandung: Jalasutra, 2003), hal. 261. 3 Roland Barthes, Imaji Musik Teks (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal. 7.
4 Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Universitas Indonesia,
2008), hal. 5.
58
A. Analisis Data Foto 1
Gambar 1. Foto pertama
Sumber: Blog milik Dwianto Wibowo
1. Makna Denotasi
Makna sesungguhnya atau disebut dengan makna denotasi yang
terpancarkan denotasi dalam foto yang ada di atas ini adalah
penggambaran seorang habib/penceramah yang sedang berdiri ke arah
audience atau jama’ah. Dalam gambar ini menggambarkan bahwa
audience yang hadir saat itu cukup banyak, dengan terlihatnya banyak
kepala-kepala yang ada di hadapan habib tersebut. Mengapa langsung
dapat dikatakan habib/penceramah karena dari pakaian yang ia gunakan
sangat terciri menggambarkan seorang yang beragama muslim dan
dikatakan penceramah karena ia berdiri tepat di depan audience/jama’ah
yang terfokus padanya.
59
2. Makna Konotasi
a. Manipulasi Foto
Dilihat dari bentuk acara yang terlihat dalam gambar satu
tidak terlihat sebuah manipulasi foto. Pada dasarnya manipulasi foto
dilakukan saat subjek atau pembuat foto ingin mencapai suatu tujuan
yang ingin dihasilkan. Manipulasi foto biasa digunakan untuk
memunculkan makna tertentu yang diinginkan salah satu pihak,
misalnya memunculkan makna kesedihan atau keceriaan agar para
penikmat foto ikut merasakan hal yang sama dengan makna yang
dimunculkan.
Dapat dikatakan tidak adanya manipulasi foto karena foto
diatas ini merupakan sebuah dokumentasi kegiatan yang ada,
kegiatannya pun berupa kegiatan secara langsung dan tidak bisa
diulang. Maka dari itu penulis dapat menyimpulkan bahwa foto yang
satu ini tidak dimanipulasikan.
b. Pose
Gestur tubuh dan bentuk gaya beberapa subjek dalam foto ini
tidak terlalu beragam, karena subjek pusat dalam foto ini hanya satu
yaitu sang habib/penceramah yang berdiri tegak dengan kedua
tangan menekuk keatas seperti halnya orang sedang bergestur
sebagai penceramah di hadapan umum. Ada pun subjek lain yang
ada yaitu jama’ah yang ada tepat di hadapan sang habib. Jama’ah
pada gambar tersebut walaupun terlihat kabur namun bisa dikatakan
jama’ah dalam posisi duduk dan berdempetan, karena umumnya
60
dalam mendengarkan kotbah para jama’ah duduk di hadapan habib
tersebut dengan khitmat.
c. Objek
Yang menjadi objek atau point of interest dalam foto ini
tentunya adalah orang yang berdiri tepat ditengan foto
membelakangi kamera. Orang ini adalah point of interest atau biasa
disingkat dengan POI utama. Seperti yang sudah dikatakan
sebelumnya orang yang berada tepat di tengah-tengah gambar ini
adalah habib. Selain itu ada pula POI kedua yang akan menjadi
pembantu penguat makna yaitu gambar yang terlihat kabur namun
masih tergambarkan, yaitu jama’ah yang ada di hadapan habib
tersebut.
Sangat jelas alasan habib ini menjadi POI utama karena yang
sangat terlihat dalam foto tersebut yaitu Habib itu sendiri. Maka
dapat dipastikan orang yang berada tepat di bagian tengah foto
berdiri menghadap jama’ah ialah objek utama.
d. Photogenia (tehnik foto)
Terdapat beberapa tehnik foto yang digunakan oleh sang
fotografer yaitu Dwianto Wibowo ini. Yang sangat terlihat jelas pada
foto ini yaitu tehnik DOF sempit. Dengan membesarkan bukaan
diafragma dan menyempitkan titik fokus menjadikan titik fokus yang
ada hanya terpusat pada objek utama. Objek lain yang ada yaitu
jama’ah dibuat seolah kabur karena titik fokus yang sempit
menjadikan bagian jama’ah tersebut tidak fokus.
61
Sedangkan sudut pandang yang digunakan oleh fotografer
yaitu eye view karena foto yang dihasilkan terlihat sejajar lurus
dengan ukuran mata pada umumnya.5 Cahaya yang digunakan oleh
fotografer pun terbilang low light karena hasil gambar yang
dihasilkan pun terbilang lebih gelap, hanya bagian yang terpapar
cahaya yang terlihat lebih jelas, bagian jemaah yang tidak tersinari
lebih terlihat gelap.
e. Komposisi
Porsi terbesar dalam komposisi foto diatas adalah seorang
habib yang berdiri ditengah-tengah bagian foto, habib tersebut
berdiri membelakangi kamera, mengunakan peci berwarna putih dan
tidak lupa sorban putih tergantung di pundaknya. Pakaian yang
dikenakan oleh habib yaitu gamis berwarna hijau tua.
Komposisi di dalam foto ini terlihat begitu padat dengan
sekeliling habib itu berdiri terdapat corak-corak berwarna putih yang
dimana warna putih itu merupakan kepala-kepala jama’ah yang juga
menggunakan peci berwarna putih. Titik fokus yang terpusat pada
habib membuat mata para penikmat foto ini langsung terarahkan
pada bagian inti foto, ditambah vignate hitam yang melingkari
pinggiran bagian foto.
f. Syntax
Pada tahapan syntax yang sudah dijelaskan di bab
sebelumnya menjelaskan pada foto pertama ini sebuah caption tidak
akan banyak mempengaruhi para pembaca foto. Foto yang ada di
5 M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal.
43.
62
atas tidak memiliki banyak interaksi dan makna secara denotasi,
sehingga orang umum yang melihat foto tersebut tidak terlalu
memahami apa arti dari foto tersebut.
Makna yang terpancar jika melihat foto pertama ini seperti
halnya melihat seseorang sedang melakukan kotbah diatas mimbar
atau panggung. Pemberian caption atau keterangan foto diatas dapat
memperjelas kegiatan dan siapa kah orang yang ada di dalam foto.
Sesuai dengan ciri berpakaian yang dikenakan oleh orang tersebut.
Terlihat jelas ia mengenakan sorban, serta gamis, yang mana pakaian
tersebut merupakan ciri berpakaian orang keturunan arab. Seperti
yang penulis jabarkan pada bab 2, habib merupakan seseorang yang
berketurunan dari tanah Arab serta bertalian langsung dengan nabi
Muhammad.6 Sehingga dapat dikatakan yang berada dalam foto
tersebut adalah sosok habib.
Selain itu jamaah yang datang terlihat begitu banyak ditandai
dengan pola peci berwarna putih, yang berkonotasi seperti lautan
manusia. Banyaknya jamaah yang datang ke dalam kegiatan majelis
tersebut dikarenakan sosok habib yang dipercaya sebagai keturunan
dari Nabi Muhammad.7
Penggalian lebih dalam jika tidak terpaku pada caption yang
ada pada foto cukup memiliki makna yang dalam, berbeda dengan
hasil foto yang bisa tergolong dengan aktifitas yang cukup
6 Kumparan, Jejak Para Habib Sampai di Indonesia, diakses dari
https://kumparan.com/wisnu-prasetyo/jejak-habib-di-indonesia, pada tanggal 26 Juli 2017. 7 Satu Islam, Keturunan Nabi Muhammad di Indonesia, diakses dari
https://satuislam.org/humaniora/mozaik-nusantara/keturunan-nabi-muhammad-saw-di-indonesia/,
pada tanggal 1 Mei 2017.
63
sederhana. Makna yang sangat terciri yaitu bahwa banyaknya orang
yang datang sebagai jamaah dalam kegiatan tersebut sangatlah
terfokus pada satu titik pada orang yang berdiri tepat di hadapan
mereka yaitu habib, hal ini bisa kita lihat pada foto yang dihasilkan
oleh fotografer. Dari keseluruhan foto hanya terfokus pada satu titik,
sebaliknya, di titik atau bagian yang lain dari foto ini terlihat kabur.
Pada umumnya dalam berkomunikasi akan menimbulkan
berbagai macam dampak, dampak-dampak yang dihasilkan pun
tergantung pada berbagai macam cara berkomunikasi. Secara teori,
komunikan akan menyerap / menerima informasi dari sang pemberi
informasi atau komunikator. Informasi yang diserap oleh komunikan
akan langsung diproses pada pola pikir penerima informasi, tidak
semua macam informasi dapat langsung diterima oleh komunikasn,
tergantung kepada pemahaman dan sudut pandang masing-masing
komunikan. Bagi mereka yang merasa satu pemikiran dan
menganggap bahwa informasi yang ia terima itu benar maka
informasi tersebut akan langsung mereka pahami dan diproses pada
pola pikir mereka, namun sebaliknya jika informasi yang mereka
anggap salah dan tidak benar makan informasi yang diberikan oleh
komunikator pada komunikan tersebut akan ditolak oleh pola pikir
dan sudut pandang mereka.
Selain hal itu, gambar diatas menunjukan titik fokus pada
habib dapat diartikan bahwa jamaah yang ada saat itu fokus dengan
habib yang sedang berada diatas mimbar, dengan kata lain mereka
64
pasti pula akan fokus terhadapa apa yang habib tersebut utarakan
atau lakukan selama di atas mimbar, dengan fokusnya jamaah pada
apa yang dilakukan dan sampaikan oleh habib maka sedikit banyak
ucapan habib tersebut akan masuk pada pola pikir para jamaah yang
ada.
3. Mitos
Dari penjelasan makna konotasi diatas menimbulkan beberapa
makna mitos yang saling berkesinambungan. Habib dipahami oleh orang-
orang umum adalah seseorang yang sangat dekat dengan agama.
Pengetahuan dan cara pikir sisi keagamaan mereka bisa dikatakan
melebihi orang pada umumnya. Dalam foto ini menjelaskan bahwa orang
yang sedang berdiri ini adalah habib, pakaian gamis berwarna hijau serta
sorban yang digunakan dikepala sudah cukup memberi makna bahwa ia
adalah seseorang yang beragama islam, warna hijau diidentikan dengan
agama islam. Penggunaan peci menambah kuat makna itu dan sebuah
sorban yang digunakan memunculkan makna bahwa orang yang berdiri
pada foto ini adalah seorang habib, hal itu dapat dikatakan karena gaya
berpakaian habib yang ada khususnya di Indonesia seperti itu.
Menurut Dwianto, habib dinilai sebagai pemimpin dan penyebar
agama Islam, seorang keturunan Arab dapat lebih diandalkan.8 Hal ini
membuat citra seorang habib dicap seseorang yang baik dan taat pada
agama. Dari citra yang tercipta menjadikan pemahaman sekelompok
orang dengan makna bahwa habib adalah orang yang sangat dekat
8 Dwianto Wibowo, Habitus Habib, artikel diakses dari
http://pictorialismdewe.blogspot.co.id/search?=Habitus+habib&m=1 , pada tanggal 1 Mei 2017
65
dengan agama dan memiliki sikap yang baik dikarenakan ia adalah sosok
yang mengaplikasikan ajaran-ajaran baik yang dimiliki agama islam.
Sebagaiman layaknya seseorang yang patut dicontoh dan dianggap
penting untuk satu perkumpulan, hal itu menjadikan panutan bagi orang
yang mengidolakannya. Para habaib sangat dihormati oleh masyarakat
muslim Indonesia, karena dianggap sebagai tali pengetahuan yang murni
dari garis keturunan langsung kepada Nabi Muhammad.9
9 Satu Islam, Keturunan Nabi Muhammad di Indonesia, diakses dari
https://satuislam.org/humaniora/mozaik-nusantara/keturunan-nabi-muhammad-saw-di-indonesia/,
pada tanggal 1 Mei 2017.
66
B. Analisis Data Foto 2
Gambar 2. Foto kedua
Sumber: Blog milik Dwianto Wibowo
1. Makna Denotasi
Makna denotasi yang terkandung dalam foto kedua ini yaitu
sedang berlangsungnya acara keagamaan, tepatnya kegiatan agama islam,
di dalam foto ini terlihat banyaknya orang yang sedang melakukan
kegiatan berdoa bersama. Kegiatan ini dilakukan dalam sebuah acara
yang memang ditajukan dengan hal serupa. Terlihat orang-orang yang
berada dalam foto ini berdoa dengan begitu antusiasnya.
2. Makna konotasi
a. Manipulasi Foto
Seperti foto pertama, pada foto kedua ini tidak terjadi
manipulasi foto baik secara digital atau rekayasa adegan yang dibuat
67
oleh fotografer karena acara yang ada pada foto diatas adalah sebuah
foto dokumentasi acara yang berjalan secara langsung. Hal ini bisa
diperkuat dengan beberapa foto yang “shakeing” (shakeing dalam
pemahaman fotografi yaitu saat sebuah foto yang dihasilkan terdapat
bagian gambar yang tidak fokus dikarenakan gambar yang ditangkap
bergerak lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan ranah foto).
b. Pose
Foto pertama yang dibuat oleh fotografer Dwianto Wibowo
ini terdapat banyak subjek di dalamnya, hal ini dikarenakan bentuk
kegiatan yang ada adalah sebuah acara yang memang bisa
mengumpulkan banyak orang dalam satu waktu. Dalam kegiatan
agama semacam ini tidak akan terlalu banyak momen yang
menghasilkan sebuah aktivitas puncak.
Namun yang menarik dalam foto ini yaitu saat momen
berdoa bersama, secara garis besar subjek yang ada membuat sebuah
bentuk pose yang sama. Hampir semua subjek yang ada mengangkat
kedua tangannya ke atas, dengan mimik muka yang beragam.
c. Objek
Hal yang sangat mencuri perhatian dalam foto ini yaitu tentu
subjek-subjek yang ada didalamnya. Subjek yang ada melakukan
pose menarik dan menjadikah hal pendukung untuk dijadikan point
of interest. Orang-orang yang sedang berdoa pada barisan depan foto
adalah bagian terpenting dalam menggali makna yang ada.
68
Mengapa subjek dan pose tersebut dapat menjadi POI
dikarenakan selain karena posenya saja juga jumlah yang ada saat itu
tidak sedikit dan membentuk satu pose yang hampir sama, karena itu
lah hal tersebut dapat menjadi alasan mengapa pose dan subjek dapat
menjadi sebuah point of interest di dalam foto ke dua ini.
d. Photogenia
Dwianto Wibowo sebagai pembuat foto ini menempatkan
dirinya lebih tinggi dibandingkan dengan objek yang ada, hal ini
dimaksudkan untuk dapat mengambil sisi terjauh dari objek foto.
Bukaan diafragma atau titik fokus dibuat lebih besar agar subjek-
subjek yang ada di bagian depan foto ini terlihat lebih fokus. Tehnik
foto terakhir yang fotografer gunakan adalah tehnik freezing, hal ini
ia gunakan untuk mendapatkan momen puncak yang ada dengan
menunggu momen tersebut tiba.
e. Komposisi
Terdapat banyak elemen yang ada di dalam foto kedua ini,
diantaranya adalah banyaknya orang yang ada di dalamnya. Orang
yang ada di dalam foto ini beragam, dari orang dewasa, remaja dan
anak-anak, dapat dilihat dari bagian terdepan foto. Namun jelas
komposisi terbesar berada dibagian tengah foto. Mata akan otomatis
tergiring pada bagian tengah foto karena komposisi terpadat dengan
momen puncak terdapat disana.
69
f. Syntax
Keberadaan caption pada foto ini akan menjelaskan sebuah
acara yang sedang diikuti oleh orang-orang yada ada didalamnya.
Mengenai maksud yang lebih dalam tidak akan didapatkan apa bila
hanya membaca captionnya saja. Namun bagi sebagian orang akan
bertanya-tanya apakah yang sedang dilakukan oleh kebanyakan
orang ini? siapakah sosok dihadapannya hingga orang-orang ini
begitu terlihat histeris.
Penggalian makna pada foto ini dapat bersumber dari
ekspresi muka dan gestur orang terdepan pada foto. Dapat kita lihat
dalam foto ini orang yang berada di bagian depan sedang terlihat
mengangkat tangannya keatas dengan ekspresi muka tampak
antusias dan histeris. Gestur lengan yang ditampilkan orang-orang
dalam foto ini menunjukan sebuah aktifitas seseorang yang sedang
meminta atau memohon akan suatu hal.
Raut muka yang ditampilkan pada foto ini tidak kalah
menarik untuk dibahas menjadi poin penting penggalian makna.
Hampir sebagian besar subjek pada foto ini mengekspresikan jenis
muka berantusias tinggi. Keantusiasan ini dapat disebabkan oleh
berbagai macam sebab diantaranya karena orang tersebut menerima
informasi yang menurut mereka benar dan sependapat. Selain itu
keantusiasan mereka bisa pula disesbabkan karena salah satu tokoh
yang membuat mereka berniat untuk menghadiri acara tersebut,
70
bisanya sosok itu diodalakan oleh orang tersebut atau sangat
dihormati.
3. Mitos
Tidak terlalu banyak makna mitos yang dapat kita gali pada foto
ini. Kerumunan yang menggunakan penutup kepala atau biasa disebut
dengan kopiah dan baju-baju yang digunakan menjelaskan sekali bahwa
yang sedang dihadiri adalah kegiatan keagamaan, khususnya agama
islam. Selain itu gestur tangan dari kebanyakan subjek di dalam foto
menjulur keatas, hal ini ditangkap pada makna mitos bagi seseorang yang
sedang memuja, menyembah, meminta atau memohon. Dilihat dari
pandangan mata dan arah tubuh, mereka sedang berdoa dan memohon
bersama dengan orang yang ada dihadapan mereka.
Pada bagian belakang foto terlihat sebuah bendera putih yang
sedang dikibar-kibarkan. Mengibar-ngibarkan bendera dimaknai oleh
beberapa orang seperti sebuah hiporia kesenangan atau kekuasaan. Dapat
disimpulkan pada makna mitos kali ini penulis menggambarkan bahwa
pemancaran makna foto ini yaitu sejumlah orang yang sedang melakukan
permohonan dengan antusias yang sangat tinggi dan menggebu-gebu.
Hal tersebut senada dengan Julia Day Howell dan tokoh
lainnya yang berbicara urban priority. Mereka berbicara bahwa
masyarakat perkotaan dengan tingkat individualistik tinggi, alienasi
masyarakat terhadap hal-hal lebih luhur menyebabkan kekeringan
dan dahaga luar biasa. Ismail F. Alatas, Dosen Universitas Indonesia
menambahkan bahwa praktek-praktek keagamaan di kota yang
71
manampakkan aspek rasional dari agama. Sehingga aspek emosional dan
eksperiensial hilang. Sedangkan majelis-majelis MR dan NM ini justru
mengedepankan aspek eksperiensial dan emosional. Mereka memainkan
hadrah, membaca maulid Nabi, bershalawat bersama, memakai gendang,
membuat orang mendapatkan pengalaman spiritual yang tidak
didapatkan dalam instruksi keberagamaan yang kering.10
Dengan
demikian dalam seperti yang terlihat dalam foto kedua ini dapat
dikatakan sebagai bagian dari ekspresi emosinal yang dilakukan jamaah
dengan mengibarkan bendera.
10
Merdeka.com, “Ismail F. Alatas (2): Majelis wadah eksistensi warga pinggiran”,
diakses dari https://www.merdeka.com/khas/ismail-f-alatas-2-majelis-wadah-eksistensi-warga-
pinggiran.html, pada tanggal 1 Februari 2017
72
C. Analisis Data Foto 3
Gambar 3. Foto ketiga
Sumber: Blog milik Dwianto Wibowo
1. Tahap Denotasi
Dalam foto ini terlihat seorang wanita yang mengenakan kerudung
atau jilbab berwarna hitam dan penutup wajah (cadar) sedang melihat ke
arah kamera. Wanita tersebut berada di kerumunan orang-orang. Di
samping wanita tersebut, berdiri wanita lainnya yang mengenakan pakaian
serupa.
Makna denotasi yang ingin diperlihatkan fotografer dalam foto ini
adalah pagar pembatas yang dibuat blur sebagai foreground atau latar
depan foto, sedangkan latar belakangnya adalah beberapa orang yang
berkumpul walaupun tidak terlalu jelas terlihat. Dan point of view dari foto
ini, seorang wanita yang berpakaian tertutup.
73
2. Tahap Konotasi
Dalam pandangan Barthes, tahap ini dapat dikemukakan dengan
enam cara membaca foto, yaitu: Trick Effect, Pose, Object, Photogenia,
Aestheticism, dan Syntax.
a. Trick Effect
Foto ini adalah foto reportase yang ditampilkan dalam majalah
Tempo dengan judul Karnaval Habib Kota. Dalam foto ini, fotografer
menggunakan manipulasi foto untuk memperjelas gambar, karena
seperti yang dikatakannya dalam wawancara dengan penulis, foto
tersebut terlihat kurang memiliki ketajaman dan pencahayaan yang
cenderung gelap pada saat pengambilan.11
b. Pose
Dalam foto ini terlihat seorang wanita yang berada dalam
kerumunan, pose seperti gaya, posisi dan sikap jelas terlihat. Wanita
tersebut berdiri menatap fotografer seolah mengetahui akan diambil
gambarnya. Posisi wanita tersebut sedang berdiri di antara beberapa
orang di sekitarnya. Namun, ekspresi dari wanita tersebut tidak
terlihat karena wajahnya tertutup cadar, tetapi dari sudut pandang
matanya seolah dia sedang memperhatikan sesuatu. Meskipun
menurut fotografer wanita bercadar tidak boleh kontak mata dengan
lawan jenis.12
11
Wawancara langsung dengan Dwianto Wibowo pada tanggal 10 Mei 2017 di
kediamannya, Condet, Jakarta Selatan. 12
Wawancara langsung dengan Dwianto Wibowo pada tanggal 10 Mei 2017 di
kediamannya, Condet, Jakarta Selatan.
74
c. Objek
Objek dalam foto ini adalah seorang wanita berpakaian serba
hitam sedang berdiri di antara kerumunan orang. Tepat di sebelah
wanita tersebut juga terlihat wanita lainnya yang berpakaian serupa,
namun fotografer menampilkannya agak sedikit buram atau tidak
fokus, dibandingkan dengan objek utama. Penulis melihat wanita yang
berada di tengah menjadi objek utama karena terlihat lebih kontras
dibandingkan sekitarnya yang dibuat tidak fokus oleh fotografer
walaupun secara warna hampir serupa dengan objek lainnya. Menurut
pandangan fotografer yang diungkapkannya dalam wawancara dengan
penulis, wanita berpakaian tertutup ini merupakan symbol fashion
wanita muslim saat ini.13
d. Photogenia (Teknik Foto)
Teknik foto dalam pengambilan gambar ketiga ini
menggunakan teknik ruang tajam sempit karena fotografer
memfokuskan hanya pada satu objek saja yaitu wanita yang menatap
kamera. Hal tersebut secara tidak langsung mengajak para pembaca
foto untuk lebih memperhatikan objek tersebut. Untuk teknik gerak
atau moving, fotografer tidak memperlihatkannya karena objek dibuat
membeku atau (freeze), angle atau sudut pandang yang digunakan
adalah eye level atau sejajar dengan pandangan mata fotografer. Perlu
diketahui bahwa pemilihan angle akan menentukan makna dari foto
itu sendiri. Angle juga dapat memperlihatkan sudut pandang fotografer
13
Wawancara langsung dengan Dwianto Wibowo pada tanggal 10 Mei 2017 di
kediamannya, Condet, Jakarta Selatan.
75
dalam sebuah foto, eye level memberikan kesan bahwa objek memiliki
kesamaan derajat dengan pelihat foto.14
e. Aestheticism (Komposisi)
Fotografer menempatkan kerumunan orang yang dibuat tidak
fokus sebagai background atau latar belakang. Sedangkan untuk
foreground, fotografer mengambil gambar sebuah pagar pembatas
yang juga dibuat tidak fokus . Dan untuk objek utama, fotografer
memfokuskan hanya pada wanita berpakaian hitam yang berada di
tengah. Sehingga pagar dan wanita bercadar dalam foto ini memiliki
makna konotasi bahwa dalam ajaran islam pakaian wanita harus
dijaga sesuai syariat.
f. Syntax
Dalam foto ini syntax yang dibangun menunjukan bahwa
fotografer ingin para pembaca foto fokus kepada wanita yang
berpakaian serba hitam tersebut. Walaupun di sebelah wanita itu juga
terdapat wanita lain yang berpakaian serupa, fotografer menambahkan
sedikit pencahayaan di sekitar kepala wanita yang berada di tengah
agar pembaca foto tetap fokus pada objek utama.
Setelah penulis amati, foto ketiga ini menunjukkan bagaimana
cara berpakaian seorang wanita muslim. Penulis juga berkaca pada
apa yang dikatakan fotografer dalam wawancara, bahwa ia ingin
memperlihatkan bagaimana fashion wanita muslim saat ini15 yang
14
M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal.
43. 15
Wawancara langsung dengan Dwianto Wibowo pada tanggal 10 Mei 2017 di
kediamannya, Condet, Jakarta Selatan.
76
dalam faktanya, tidak semua wanita muslim menutup aurat hingga
menggunakan cadar seperti yang terlihat dalam foto ketiga ini.
3. Mitos
Melihat dari latar belakang yang dijelaskan penulis sebelumnya,
mitos dalam foto ini lebih mengarah pada bagaimana seorang wanita
menutup auratnya. Menurut ajaran Islam, menutup aurat dari ujung kepala
hingga mata kaki merupakan hal yang wajib bagi seorang wanita. Dalam
majalah Tempo yang menampilkan rangkaian foto reportase yang penulis
teliti ini pun mempelihatkan bagaimana seorang habib dapat
mempengaruhi seseorang hingga apa yang dikenakannya sehari-hari.
Senada dengan penjelasan Dwianto, bahwa kehadiran habib di
Indonesia membentuk budaya yang mendarah daging di dalam masyarakat
Islam. Seperti halnya berpakaian yang menjadi habitus serta bernilai
positif di tengah budaya modern.16
Dengan begitu, konstruksi identitas
secara budaya yang dibawa habib berhasil, sehingga para jamaah
mengikuti segala kebiasaan serta ucapan habib. Mengingat habib bertalian
langsung dengan Rosululloh.17
16
Dwianto Wibowo, Habitus Habib, artikel diakses dari
http://pictorialismdewe.blogspot.co.id/search?=Habitus+habib&m=1, pada tanggal 1 Mei 2017 17
Chris Barker, Cultural Studies, Teori Dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004),
hal. 172.
77
D. Analisis Foto 4
Gambar 4. Foto keempat
Sumber: Blog milik Dwianto Wibowo
1. Tahap denotasi
Makna denotasi yang terdapat dalam foto ini adalah terlihat
sekumpulan habib yang sedang memanjatkan do’a di atas panggung
atau podium. Mereka menadahkan kedua tangan, ada yang menaruh
kedua tangan di atas kaki dan ada pula yang sejajar dengan dada
mereka. Di depan para habib tersebut terlihat jamaah yang serentak
mengangkat gadget mereka untuk mengambil gambar habib yang
sedang memanjatkan do’a tersebut. Beberapa menggunakan telepon
genggam dan yang lainnya menggunakan kamera digital.
78
2. Tahap Konotasi
a. Trick Effect (Manipulasi Foto)
Penulis melihat tidak ada manipulasi foto secara berlebihan
hanya sebatas cropping untuk mempertegas gambar. Saat wawancara
pun fotografer mengatakan hal yang sama. Dia tidak menggunakan
trick effect yang terlalu berlebihan dalam foto ini.
b. Pose
Pose dalam foto keempat ini yaitu, beberapa habib sedang
duduk bersila sambil memanjatkan do’a. Mereka terlihat mengangkat
kedua tangan. Di depan para habib tersebut terdapat jamaah yang
sibuk mengambil gambar dengan menggunakan telepon maupun
kamera digital. Dari pose tersebut memiliki makna konotasi bahwa
meskipun dalam keadaan khusyuk jamaah tetap mengabadikan
momen tersebut.
c. Objek
Fotografer menempatkan objek memenuhi frame pada gambar
keempat ini, yang menjadi objek utama adalah jamaah yang juga
mengangkat kedua tangan mereka namun bukan untuk memanjatkan
doa seperti yang dilakukan para habib, tetapi mereka sibuk
mengabadikan momen objek yang berada di depan mereka.
d. Photogenia (Teknik Foto)
Foto ini diambil menggunakan bukaan rana besar karena
fotografer lebih memfokuskan gambar pada tangan-tangan jamaah
yang memegang telepon genggam dan kamera digital. Sedangkan para
79
habib yang memanjatkan doa dibuat sedikit blur atau buram walaupun
tidak terlalu terlihat keburamannya. Untuk pencahayaan, fotografer
menggunakan cahaya normal, tidak menggunakan cahaya tambahan.18
Dalam foto ini angle yang digunakan adalah eye level atau sejajar
dengan pandangan fotografer. Dari sudut pandang tersebut
memberikan kesan bahwa objek memiliki kesamaan derajat dengan
pelihat foto.19
e. Aestheticism (Komposisi)
Komposisi dalam foto ini terlihat berhasil mengajak pembaca
foto dengan menempatkan objek memenuhi frame namun tetap
terfokus pada gadget yang digunakan jamaah. Sekumpulan habib
dijadikan sebagai latar belakang foto ini karena dibuat sedikit blur
atau buram. Fotografer ingin menyampaikan bagaimana jamaah begitu
mengidolakan para habib, ini terlihat dari banyaknya jamaah yang
mengabadikan momen habib sedang berdoa.
f. Syntax
Meski foto keempat ini tidak menggunakan teks atau caption,
namun menurut penulis foto ini sudah cukup menggambarkan
bagaimana pengaruh seorang habib dimata jamaah. Hal tersebut
terlihat dari foreground atau latar depan yaitu banyaknya gadget yang
mengabadikan para habib sedang berdoa.
Dari beberapa aspek yang telah dijabarkan sebelumnya, makna
konotasi dalam foto keempat adalah bagaimana pengaruh seorang
18
Wawancara langsung dengan Dwianto Wibowo pada tanggal 10 Mei 2017 di
kediamannya, Condet, Jakarta Selatan. 19
M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik, hal. 43.
80
habib pada jamaah. Dari foto keempat ini terlihat sosok habib yang
sangat diidolakan oleh jamaanya, dan fotografer berhasil mengostruksi
habib tersebut sebagai sosok yang diidolakan lewat tangan-tangan
para jamaah yang terlihat sedang mengabadikan apa yang dilakukan
habib.
3. Mitos
Dalam foto keempat ini terlihat sosok habib beserta ulama lainnya
sedang berada di atas penggung mengisi kegiatan rutin majelis taklim.
Beberapa jamaah juga terlihat sedang mendokumentasikan apa yang
sedang dilakukan oleh habib, menggunakan kamera ponsel serta digital.
Habib menjadi gelar mulia bagi banyak orang Indonesia, sehingga
seorang pendakwah bergelar habib mempunyai banyak jamaah, begitu
pula dengan majelisnya yang selalu ramai didatangi para jamaah.20
Sementara menurut Sayyid Zen Umar bin Smith ketua Rabithah Alawiyah,
para habaib sangat dihormati oleh masyarakat muslim Indonesia, karena
dianggap sebagai tali pengetahuan yang murni dari garis keturunan
langsung kepada Nabi Muhammad.21
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada tahapan mitos foto
keempat ini sosok habib sangat diidolakan dan dicintai oleh para
jamaahnya. Terlihat dari begitu antusiasnya para jamaah yang
mengabadikan momen habib yang sedang memanjatkan do’a.
20
Tirto.id, Seluk Beluk Para Habib Mereka datang ke Nusantara Demi Cincin
Sulaiman“, diakses dari https://tirto.id/mereka-datang-ke-nusantara-demi-cincin-sulaiman-chdg#,
pada tanggal 1 Mei 2017. 21
Satu Islam, Keturunan Nabi Muhammad di Indonesia, diakses dari
https://satuislam.org/humaniora/mozaik-nusantara/keturunan-nabi-muhammad-saw-di-indonesia/,
pada tanggal 1 Mei 2017.
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kehausan masyarakat pekotaan akan asupan agama, membuat majelis
taklim yang diketuai oleh sosok habib kian digandrungi di masyarakat Jakarta
khususnya. Selain itu aspek emosional dan ekspresional agama yang ada di
dalam majelis taklim, menambah minat masyarakat yang didominasi kaum
muda untuk ikut terjun mengikuti setiap kegiatan yang digelar oleh majelis
taklim. Sosok habib yang ada di belakang layar mempunyai peran sentral di
mata jamaahnya. Mengingat sejarah habib yang berasal dari tanah Arab serta
bertalian langsung dengan Rosululloh. Tak jarang para jamaah, mengikuti
segala ucapan dan perbuatan yang dilakukan oleh habib, sebagai cerminan
dari apa yang diperintahkan di dalam Al-qur’an dan Sunnah Rosul.
Dwianto Wibowo fotografer Tempo, pada tahun 2010, mengabadikan
antusias jamaah mengikuti kegiatan habib, serta kebiasaan-kebiasaan habib
yang juga di tiru oleh jamaah, seperti halnya cara berpakaian. Keempat foto
yang dipilih oleh penulis dirasa sangat mewakili apa yang ingin di teliti, yaitu
betapa konstruksi identitas yang dilakukan oleh habib diterima dengan baik
oleh jamaah, bahkan menjadi budaya yang mendarah daging.
Oleh karena itu pada bab 5 ini penulis akan memberikan kesimpulan
atas data temuan yang dianalisis melalui semiotika model Roland Barthes.
Berikut kesimpulannya:
82
1. Tahap Denotasi
Makna denotasi dari keempat foto yang dipilih oleh penulis dapat
disimpulkan bahwa tergambar dengan jelas bagaimana keempat foto
tersebut menggambarkan kegiatan majelis taklim yang di pandu oleh
seorang habib, serta masyarakat yang antusias dan larut dalam suasana
sakral kegiatan tersebut. Beberapa foto juga sangat jelas terlihat, betapa
kentalnya budaya yang dikonstruk oleh habibyang kemudian di ikuti oleh
jamaah.
2. Tahap Konotasi
Makna konotasi dari keempat foto yang dipilih oleh penulis dapat
disimpulkan bahwa adanya pengagungan terhadap sosok habib.
Pengagungan tersebut terlihat dari betapa besarnya sosok habib saat
berceramah di depan ribuan jamaahnya. Pengagungan lainnya juga
tergambar dari pengidolaan yang dilakukan jamaah terhadap sosok habib.
Pengidolaan tersebut tergambar dari aktifitas jamaah yang mencoba
mengabadikan momen disaat habib sedang berdoa.
Pengagungan terhadap sosok habib juga dapat terlihat dari
suasana yang sangat emosional ketika acara berlangsung. Dalam
pembacaan doa jamaah menumpahkan segala ekspresinya, dimana aspek
ekpresnsial dalam acara keagamaan menurut Ismail F. Alatas, Dosen
Universitas Indonesia sangat dibutuhkan oleh masyarakat ibu kota.
Pengagungan lainnya juga terlihat dari kepatuhan jamaah untuk
mengikuti cara berpakaian yang dianjurkan oleh Rasulullah kemudian
disampaikan kembali oleh sosok habib. Habib membawa budaya dari
83
tanah kelahirannya dari hal berpakaian. Peleburan budaya yang dilakukan
oleh habib tersebut bertujuan menemukan nilai yang terkandung dalam
suatu budaya, dengan perpaduan budaya tersebut jamaah dapat menerima
serta dijadikan sebuah pandangan hidup dari sisi keagamaan untuk
menciptakan sebuah interaksi.
3. Tahap Mitos
Dari keempat foto yang dipilih oleh penulis dapat disimpulkan
bahwa pada tahap mitos ini makna yang terkandung adalah jamaah
sangat mengagungkan sosok habib, mengingat sosook habib sendiri
memiliki perlakuan yang berbeda-beda disetiap negara. Pengagungan
tersebut didasarkan atas pertalian habib dengan Rosul, sehingga jamaah
meyakini bahwa sosok habib sebagai sosok yang alim serta memiliki
kesamaan prilaku dengan Rosulullah SAW. Hal tersebut membuat sosok
habib berbeda dengan orang kebanyakan, serta berhasil mengonstruk
identitas dirinya secara budaya sebagai orang yang bertalian kepada
Rosul.
Identitas yang dibawa habib tersebut berhasil membuat para
jamaah mengikuti segala ucapan dan tindakan habib sehingga menjadi
sebuah habitus. Mengingat menurut Dwianto jamaah yang berada dalam
majelis tersebut pada umumnya berasal dari masyarakat menengah
kebawah yang haus akan kebutuhan rohani untuk mengimbangi
kecukupan ekonomi mereka.
Maka dari itu sosok habib memiliki ribuan jamaah, selain itu
aspek eksprensial dan emosional yang di praktikan oleh habib pada
84
majlis berhasil menarik simpati masyarakat ibu kota yang kebanyakan
diikuti oleh anak muda. Sehingga berhasil menggeser kebiasaan-
kebiasaan negative anak muda Ibu Kota kearah yang lebih positif dengan
mengikuti kegiatan rutin majelis di malam hari.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang
dapat menjadi saran bagi beberapa pihak, anatara lain:
1. Bahasa visual jurnalisik hadir sebagai bagian yang penting dalam
ranah pemberitaan, pesan yang disampaikan pun akan mudah
dipahami oleh masyarakat, bagian bahasa visual jurnalistik yaitu
fotografi dengan macam-macam alirannya serta kode etik yang
tercantum dalam undang-undang pers membuat peran foto jurnalistik
menjadi bagian penting dan sangat berpengaruh untuk pemberitaan
sekelas internal kampus atau berita nasional, maka di dasari dari itu
harus didukung dengan pendidikan fotografi jurnalistik, dalam
konteks ini adalah Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah yang hanya menyediakan satu semester untuk
mempelajari fotografi dasar dan fotografi jurnalistik, diharapkan ke
depannya mata kuliah fotografi dapat ditambah. Guna agar mahasiswa
dapat benar-benar memahami dasar fotografi dan berbagai wacana
fotografi lainnya yang menjadi bekal penting untuk terjun ke dunia
jurnalistik atau pemberitaan, bahkan dalam pembuatan skripsi.
2. Analisis menggunakan metode semiotika menjadi hal yang banyak
diminati oleh mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
85
Syarif Hidayatullah, hal ini dilihat dari banyaknya mahasiswa yang
membuat skripsi dengan metode tersebut, oleh karena itu penulis
menyarankan agar diadakan mata kuliah semiotika di fakultas ini.
3. Melihat penelitian ini terpaparkan dengan jelas fungsi fotografi dapat
menceritakan suatu gambar secara mendalam, dengan di dukung oleh
teori dari ahli semiotika. Oleh karena itu Kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dapat lebih aktif dalam mendukung kelas atau
seminar fotografi yang secara langsung merangsang minat dan bakat
para mahasiswa khususnya mahasiswa di Fakultas Dakwah Dan Ilmu
Komunikasi.
4. Adapun untuk fotografer TEMPO dalam membuat foto cerita agar
membuat juga deskripsi atau caption pada setiap fotonya, meskipun
dalam foto cerita memiliki kekuatan tersendiri untuk bercerita atau
menyampaikan pesan, ada baiknya bila disertakan pula keterangan
dalam setiap foto, guna memudahkan para pelihat foto dalam
memahami setiap makna yang terkandung di dalamnya.
Maka dengan itu diharapkan penelitian tentang fotografi dan
semiotika yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi dapat terus bekembang dan diikuti dengan berkembangnya juga
pemahaman fotografi sebagai suatu bahasa visual atau bahasa komunikasi.
86
Daftar Pustaka
Alwi, Audy Mirza. Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke
Media Massa. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Azizy, A. Qodri A. Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial.
Semarang: Aneka Ilmu, 2003.
Barker, Chris. Cultural, Studies, Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2004.
Bachtiar, Ray. Ritual Fotografi. Chip foto video edisi spesial.
Barthes, Roland. Imaji Musik Teks (Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Budyatna, M. Jurnalistik, Teori dan Praktik . Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006.
Christomy, Tommy. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia.
Dharmawan, Bagas. Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press.
Gani, Rita dan Ratri Rizki Kusumalestari. Jurnalistik Foto Suatu Pengantar.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2013.
Hoed, Benny H. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Universitas
Indonesia, 2008.
Karmiran, Wuryo & Sjaifullah Ali. Pengantar Ilmu Jiwa Sosial. Jakarta:
Sabdodadi, 1982.
Kobre, Kenneth. Photojournalism The Professionals Approach. Burlington. USA:
Focal Press Elsevier.
Martinet, Jeanne. Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Muhtadi, Asep Saeful. Jurnalistik Pendekatan teori dan praktek. Jakarta: logos
Wacana Ilmu, 1999.
Mulyati, Sri. Mengenal dan Memahami Tarikat-Tarikat Muktabarah di Indonesia.
Jakarta: Prenada Media.
Prasetya, Erik. On Street Photography. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia).
87
Piliang, Yasraf Amir. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya
Makna. Bandung: Jalasutra, 2003.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Syamsu, Ln & Nurihsan Juntika. Teori Kepribadian. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012.
- - - - - - - - -. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009.
Sugiarto, Atok. Jurnalisme Pejalan Kaki. Jakarta: PT Elex Media Komputind
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2011.
Wijaya, Taufan. Jurnalistik Foto. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014
Karya Ilmiah
Marzuki, Ismail. Skripsi “Konstruksi Indentitas Dahlan Iskan Dalam
Manufacturing Hope Harian Jawa Pos”. Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2014.
Purungan, Muhammad Yusuf. “Peranan Majelis Taklim dalam Keluarga Sakinah
Masyarakat Muslim di Kota Padangsidimpuan”. Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan IAIN Padangsidimpuan Volume 9 No. 1, 2014.
Website
Dwianto Wibowo. “Habitus Habib”. Artikel diakses pada tanggal 1 Mei 2017 dari
http://pictorialismdewe.blogspot.co.id/search?=Habitus+habib&m=1.
Kumparan. “Jejak Para Habib Sampai di Indonesia”. Artikel diakses pada tanggal
26 Juli 2017 dari https://kumparan.com/wisnu-prasetyo/jejak-habib-di-
indonesia.
Korporat.Tempo.co. “Tentang”. Artikel diakses pada tanggal 1 Mei 2017 dari
https://korporat.tempo.co/tentang#.
- - - - -.“Sejarah”. Artikel diakses pada tanggal 1 Mei dari
https://korporat.tempo.co/tentang/sejarah.
88
- - - - -. “Visi Misi”. Artikel diakses pada tanggal 1 Mei dari
https://korporat.tempo.co/tentang/visi.
Liputan6.com. “Habib Munzir Meninggal, SBY Sampaikan Duka Mendalam”.
Artikel diakses pada tanggal 1 Februari 2017 dari
http://news.liputan6.com/read/693808/habib-munzir-meninggal-sby-
sampaikan-duka-mendalam.
Merdeka.com. “Ismail F. Alatas: Majelis wadah eksistensi warga pinggiran”.
Artikel diakses pada tanggal 1 Februari 2017 dari
https://www.merdeka.com/khas/ismail-f-alatas-2-majelis-wadah-
eksistensi-warga-pinggiran.html.
Republika. “Salah Kaprah Sebutan Habib di Masyarakat”. Artikel iakses pada
tanggal 1 Mei 2017 dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/10/11/nd9vk0-salah-
kaprah-sebutan-habib-di-masyarakat
Satu Islam. “Keturunan Nabi Muhammad di Indonesia”. Artikel diakses pada
tanggal 1 Mei 2017 dari https://satuislam.org/humaniora/mozaik-
nusantara/keturunan-nabi-muhammad-saw-di-indonesia/.
Tempo.co. “Karnaval Habib Kota”. Artikel diakses pada tanggal 1 Mei 2017 dari
https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201211020018/karnaval-habib-
kota#.WWiQboUxXYU.
Tirto.id. “Seluk Beluk Para Habib Mereka datang ke Nusantara Demi Cincin
Sulaiman”. Artikel diakses pada tanggal 1 Mei 2017 dari
https://tirto.id/mereka-datang-ke-nusantara-demi-cincin-sulaiman-chdg#.
Arsip
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Jakarta: Depdiknas, 2003.
Wawancara
Daftar riwayat hidup Dwianto Wibowo
Wawancara pribadi dengan Dwianto Wibowo pada tanggal 10 Mei 2017 di
kediaman, Condet, Jakarta Selatan.
89
LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA :
Narasumber : Dwianto Wibowo
Jabatan : Fotografer TEMPO
Hari/tanggal : Rabu, 08 Mei 2017
Waktu : 20.00 WIB
Tempat : Kediaman Dwianto Wibowo, Condet, Jakarta Selatan
1. Jelaskan bagaimana Mas Dwianto membuat foto habib?
Karena saya bekerja di majalah kemudian mendapat tugas untuk meliput
kegiatan habib, lalu saya melakukan sedikit riset tentang kegiatan habib di
Monas yang dipimpin Habib Munzir Al Musawa dan Habib Hasan. Awal
saya observasi saya mendapatkan foto wanita bercadar dan banyak hal
baru yang saya dapatkan. Hal baru tersebut saya nilai menarik untuk
story pribadi saya, keseruan memotret di malam pertama yaitu karena
saya lihat hal yang baru dimata saya sehingga menjadikan riset untuk
kedepannya.
2. Jelaskan bagaimana anda memotret foto pertama?
Di atas panggung hanya saya yang memotret habib dari belakang.
Dokumentasi dari internal acara juga lengkap, ada foto dan video namun
orang luar yang motret modar-mandir hanya saya sendiri, all access.
Proses pendekatan untuk mendapatkan izin motret saya mendekati panitia
dan ngobrol tentang habib, mereka mengizinkan dan memberi access
tersebut, dan foto-foto yang kamu pilih sebagai objek penelitian
sebenarnya adalah foto-foto awal saya motret habib jadi penuh dengan
observasi dan riset umum tentang habib, maka untuk hasil yang bagus
saya harus memframingnya dengan baik, jadi dari awal saya
mengerjakannya sangat serius. Situasi di atas panggung banyak orang,
namun yang berdiri hanya habib itu saja, dan posisi habib itu sedang
berdakwah. Entah dakwah atau berdoa saya lupa. Riset awal saya dari
internet namun karena penulis sudah membuat tulisan sebelumnya, jadi
90
saya bisa baca-baca apa yang ingin dituju, atau garis besarnya. Proses
pengerjaan semuanya itu kira-kira satu bulan. Menariknya ini fenomena
yang sudah lama terjadi dan fenomena yang umum adalah pengajian ini
bikin macet lalu lintas dan sebelum saya memotret ini saya berpendapat
umum yaitu kemacetan lalu lintas karena saya merasakan ketika pulang
kerja lewat jalur pancoran dan ketika ingin mengerjakan foto ini saya
berpikir cocok dengan faktanya, saya juga memotret gambaran umum
seperti mereka konvoi berbondong-bondong serta tidak mengenakan helm.
Maka hari pertama saya memotret, itu adalah hari pertama saya
observasi tentang kegiatan habib.
3. Jelaskan bagaimana anda memotret foto kedua? Terlihat jamaah
yang sangat berekspresi dari raut wajah yang ekspresif serta tangan-
tangan yang menjulur ke atas seperti orang sedang berdoa. Apakah
situasi di sana merata seperti itu?
Situasinya dari awal yang saya ingat itu sedang dzikir memang sangat
emosional, menangis. Dan sewaktu mereka beteriak Allahuakbar, sangat
terasa emosi tersebut kepada diri saya. Jadi yang menarik dan yang saya
tahu dari reportase ini bagaimana kelompok-kelompok pengajian
memasuki golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah,
perkampungan kumuh, perkampungan padat penduduk. Pada tahun 1998
habib mulai ramai diketahui banyak masyarakat, dikarenakan banyak
masyarakat yang depresi, tujuan awal masyarakat adalah seperti ingin
melupakan kondisi duniawi, mengapa masyarakat menengah kebawah?
Karena mereka disiram rasa ketidakpuasan terhadap ketimpangan sosial
dan kegiatan-kegiatan spiritual ini dibutuhkan oleh masyarakat apalagi
ketika kondisi ekonominya kacau. Negatifnya kelompok ini dijadikan alat
parpol untuk mengumpulkan suara, lewat habib-habib ini jadi komersil
juga karena kekuatan massa.
4. Apakah Mas dapat memperkirakan banyaknya jamaah yang hadir
pada malam itu?
Ribuan.
91
5. Bendera apakah yang ada di foto kedua?
Untuk bendera yang ada di foto tersebut sebetulnya ada teks yang tertera.
Namun karena fotonya over jadi hanya terlihat warna putih saja. Jika
tidak salah bendera tersebut adalah identitas majelis itu sendiri. Mereka
selalu membawa bendera identitasnya.
6. Dimanakah posisi Mas Dwianto dalam foto kedua ini?
Habib sedang berdiri dan saya ambil foto ini dari tangga panggung, saya
memotretnya agak naik ke tangga panggung dan momen ini tidak saya
tunggu, saya memotretnya dengan ekspresif sepanjang pengajian.
7. Jelaskan perlengkapan foto yang Mas Dwianto gunakan dalam foto
kedua ini?
Menggunakan lensa Wide dengan focal length di angka 17mm, serta
menggunakan flash.
8. Sudah berapa kali memotret Habib atau kegiatan majelis?
Hal ini baru pertama kali saya lakukan dan masih observasi dan saya
pikir jika dari awal berangkat motret sudah penasaran pasti bisa
mendapatkan gambar yang bagus, karena kita ngga tau situasinya sedang
apa, misalnya anda sudah tau bagaimana caranya mungkin tidak dapat
menangkap momen ini atau mungkin dapat gambar tapi tidak seperti ini.
Foto ini bisa dibilang hampir sempurna hanya minus distorsinya saja,
namun buat orang yang sudah pernah dan sudah biasa motret mungkin
akan biasa saja melihat momen pengajian. Tapi karena saya belum
pernah, saya akan berusaha membuat bagus, karena saya ngga tau kapan
peristiwa ini akan terjadi lagi. Saya berpikir hanya punya kesempatan
malam ini saja untuk mendapatkan banyak gambar bagus. Dan distorsi itu
awalnya saya ingin mendapatkan dimensi itu. Jadi kalua dilihat fotonya
itu mereka seperti masuk ke dalam habib. Jadi saya mencari dimensi itu.
Memang foto itu sengaja saya setting seperti itu dan memang jika
menggunakan lensa wide dengan focal length 17mm akan menimbulkan
distorsi agar ekspresinya dapat terlihat secara massive.
92
9. Dimanakah posisi mas Dwianto pada saat mengambil foto ketiga?
Foto ini diambil ketika acara belum mulai dan mereka baru datang. Posisi
saya sedang di dalam halaman monas dan dekat dengan pagar, dia lewat
akhirnya saya foto, dan saya buat framing dari pagar itu. Kalau foto kita
framing maksud dan tujuannya adalah ingin memberitahu bahwa disitu
ada dimensi lain dan ada ruang disitu. Saya memotret ini menggunakan
lensa tele karena kondisi cahaya di sana gelap bahkan mungkin saya tidak
terlihat.
10. Apakah Mas Dwianto menunggu momen seperti ini? Karena yang
saya lihat perempuan tersebut melihat mas.
Momen ini memang saya tunggu, saya bingung mau ambil gambar seperti
apa dan saya lihat perempuan bercadar lewat dan ada pagar lalu saya
foto dengan lensa tele. Tadinya saya hanya memotret gerombolan
perempuan bercadar saja, namun saya lebih memilih foto ini karena
terlihat lebih dramatis karena pada awalnya sebelum saya mengerjakan
project ini sudah ada pemikiran yang membingungkan yaitu hijab berasal
dari budaya atau agama. Jadi pengajian seperti ini akan sangat lekat
dengan budaya Indonesia yang mungkin tidak menyarankan wanitanya
bercadar. Karena saya ingin menggambarkan bahwa acara ini adalah
acara import dari timur tengah. Disitu bukan lagi kiai jawa yang
berkhotbah melainkan habib. Dimana habib sendiri merupakan
perwakilan atau keturunan dari Nabi. Karena saya baru merasakan
situasi seperti ini maka hal-hal yang kental dengan budaya atau fashion,
jadi hal yang saya cari adalah simbol-simbol, contohnya mereka
menggunakan hijab bercadar, lalu menggunakan penghitam mata yang
tidak umum. Salah satu euforia bagaimana habib jadi habitus atau
kebiasaan orang-orang di Jakarta untuk berlabuh. Sayangnya kegiatan ini
disusupi politik, salah satu kemenangan SBY menggunakan pengajian ini
untuk menjadi pendukung partai politiknya sewaktu pilpres kala itu
.
93
11. Apakah banyak perempuan yang menggunakan cadar?
Perempuan atau gerombolan perempuan bercadar seperti memisahkan
diri dari yang lain. Mereka duduk jauh dibelakang dan saya merasa
sangat beruntung dapat memotret ini karena wanita bercadar tidak
diperbolehkan bertatapan mata dengan lawan jenis.
12. Mengapa menggunakan pagar untuk dijadikan frame?
Karena disitu yang ada hanya pagar, serta tidak ada waktu lagi untuk
mencari frame lain.
13. Pesan apa yang ingin Mas Dwianto sampaikan pada foto ini?
Karena ini foto reportase saya tidak dapat memberi pesan. Namun jika
dilihat dari foto ini terlihat perempuan menggunakan cadar dan saya
hanya bisa menginformasikan ini dan hanya untuk mempercantik visual.
Dan ketika kalian melihat foto ini pasti melihat referensi yang berbeda
sehingga memiliki makna yang berbeda pula. Foto ini menggunakan speed
rendah dan iso tinggi karena kondisi cahaya yang gelap.
14. Mengapa Mas tertarik mengambil foto seperti foto keempat?
Garis besar tulisan di Majalah Tempo tertulis bagaimana habib adalah
sosok yang diidolakan dan itu alasan mengapa saya mengambil foto ini.
pesan besar difoto ini adalah habib yang sangat diidolakan dan ada foto
lain yang terlihat orang tua dan anaknya sedang memilih baju
bergambarkan habib, dan adapula foto pedagang sedang menjajakan
kaset DVD berisikan sholawat atau dakwah habib. Hal itu
menggambarkan masyarakat sangat mengidolakan habib.
15. Mengapa Mas Dwianto memfokuskan pada tangan jamaah yang
sedang merekam?
Karena sudah banyak foto habib dan saya kira cukup, sedangkan yang
saya fokuskan bagaimana mereka merekam idola mereka jadi alat
perekamnyalah yang saya fokuskan sedangkan habibnya saya buat sedikit
94
blur. Posisi saya motret persis dibelakang jamaah yang sedang memegang
alat perekam.
Foto penulis bersama narasumber: