Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PREFERENSI KONSUMEN
TERHADAP MULTIATRIBUT PRODUK FILM
(STUDI KASUS: KONSUMEN PENGUNJUNG BIOSKOP CINEMA XXI)
Ryandra Arya Kharisma
Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana konsumen menggunakan atribut-atribut
yang berbeda ketika mengevaluasi alternatif film yang akan ditonton di bioskop. Analisis konjoin
digunakan untuk mengetahui tingkat kepentingan relatif atribut film dan utilitas level-level atribut
film. Individu-individu yang memiliki struktur preferensi yang mirip kemudian dikelompokkan ke
dalam beberapa segmen dengan menggunakan analisis kluster. Atribut-atribut yang digunakan
dalam penelitian ini adalah genre, symbolism, country of origin, actor, director, information
sources dan pricing strategy. Hasil analisis konjoin secara agregat menunjukkan bahwa genre
merupakan atribut terpenting. Atribut terpenting berikutnya setelah genre adalah country of origin
dan pricing strategy. Hasil analisis kluster menunjukkan bahwa individu-individu dapat
dikelompokkan ke dalam tiga segmen yang berbeda berdasarkan tingkat kepentingan relatif atribut.
Setiap segmen paling tidak memiliki satu hingga dua atribut yang membedakannya dengan segmen
lain. Interpretasi, implikasi manajerial, dan keterbatasan akan dijelaskan lebih jauh.
Kata kunci: preferensi konsumen, pemasaran film, bioskop, konjoin, segmentasi
Abstract
The purpose of this study is to understand how consumers use different attributes when evaluating
movie alternatives at the cinema. The study uses conjoint analysis to identify the relative
importance of movie attributes and the utilities of the levels of movie attributes. Individuals with
similar preference structures are then grouped into some segments using cluster analysis. The
attributes selected in this study are genre, symbolism, country of origin, actor, director, information
sources, and pricing strategy. The results of aggregate conjoint analysis show that genre is the most
important attribute. Second most important is country of origin, followed closely by pricing
strategy. The results of cluster analysis show that individuals can be grouped into three different
segments based on their relative importances. Each segment has at least one or two attributes that
distinguish it from other segments. Interpretations, managerial implications, and limitations are
discussed further.
Keywords: Consumer preference, motion picture marketing, cinema, conjoint, segmentation
1. Pendahuluan
Film tidak hanya dilihat sebagai karya seni melainkan juga sebagai salah satu produk kreatif
yang berpotensi mendatangkan keuntungan ekonomi. Produksi dan distibusi film menyumbang Rp
1,9 triliun atau 3% dari total PDB ekonomi kreatif (Oxford Economics, 2011). Meskipun
kontribusinya relatif kecil, peluang untuk tumbuh masih terbuka lebar. Hal ini dapat dilihat dari
peningkatan penonton film nasional dari tahun ke tahun. Tahun 2010, penonton film nasional
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
2
mencapai 46 juta, kemudian meningkat menjadi 62 juta di tahun 2011 (Kemenparekraf, 2012a).
Peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan produksi film nasional. Tahun 2010, produksi film
nasional mencapai 77 film, kemudian meningkat menjadi 82 film di tahun 2011 (Kemenparekraf,
2012b).
Bioskop adalah saluran distribusi film yang menghasilkan pendapatan per satuan waktu
paling tinggi dan sumber pendapatan film dalam jangka pendek (Eliashberg et al., 2006).
Pendapatan box-office dalam jangka pendek berpengaruh positif terhadap pendapatan box-office
dalam jangka panjang (Hennig-Thurau et al., 2007) Dengan kata lain, kesuksesan pemutaran film di
bioskop merupakan syarat utama untuk mencapai kesuksesan di semua saluran distribusi
(Eliashberg et al., 2006). Akan tetapi, product life cycle film di bioskop relatif pendek dan tidak
mudah bagi sebuah film untuk bersaing dengan film-film lain yang diputar secara bersamaan di
bioskop (Hennig-Thurau et al., 2001). Pemutaran film yang gagal akan kehilangan perhatian media,
penonton, dan bioskop (Eliashberg et al., 2006). Itulah sebabnya diperlukan strategi pemasaran
yang efektif agar film-film yang diputar di bioskop dapat mendatangkan banyak penonton.
Strategi pemasaran yang efektif tercipta jika pemasar telah sepenuhnya memahami
konsumen dan pasar tempatnya beroperasi, kemudian menentukan konsumen mana yang akan
disasar dan bagaimana menciptakan value proposition (Kotler dan Armstrong, 2010). Pemasaran
film harus dilakukan tidak hanya sebatas promosi pada saat pemutaran perdana melainkan jauh
sebelum film itu dibuat. Proses pemasaran film dapat dimulai dengan mengidentifikasikan apa saja
kriteria evaluatif yang digunakan konsumen dalam mengevaluasi alternatif film di bioskop.
Konsumen mungkin menggunakan kriteria evaluatif yang sama dalam mengevaluasi
alternatif produk, namun tidak akan membeli produk yang sama jika tingkat kepentingan yang
diberikan konsumen terhadap setiap atribut berbeda (Hawkins et al., 2004). Permasalahan yang
ingin dijawab dalam penelitian ini adalah mengetahui bagaimana konsumen menilai tingkat
kepentingan atribut-atribut produk film, kemudian mengelompokkan konsumen ke dalam beberapa
segmen berdasarkan kemiripan struktur preferensi mereka. Pemahaman tentang preferensi
konsumen ini diharapkan dapat membantu pemasar film dalam mengembangkan strategi pemasaran
yang efektif.
Cinema XXI dipilih sebagai studi kasus penelitian ini atas dasar pertimbangan berikut.
Pertama, persebaran layar bioskop di Indonesia terkonsentrasi di wilayah Jabodetabek dan
perkembangannya didominasi oleh Grup 21 sebagai pemimpin pasar (Oxford Economics, 2011;
Noven dan Aji 2013). Kedua, Cinema XXI adalah jaringan bioskop yang berada di bawah naungan
Grup 21 dan sebagian besar gerainya tersebar di wilayah Jabodetabek (Theatres, 2012). Terakhir,
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
3
target pasar yang dibidik Cinema XXI berbeda dengan Cinema 21 yang masih satu grup. Hal ini
dapat dilihat dari harga tiket, lokasi, dan fasilitas yang ditawarkan (Theatres, 2012).
2. Tinjauan Pustaka
Keputusan konsumen melibatkan evaluasi terhadap kinerja suatu produk pada satu atau
lebih dimensi (Hawkins et al., 2004). Menurut Hennig-Thurau et al. (2001), ada dua jenis
karakteristik produk, yakni search quality dan experience quality. Perbedaan keduanya didasarkan
pada kemampuan konsumen dalam menilai kinerja suatu produk. Search quality adalah atribut-
atribut yang dapat dievaluasi konsumen tanpa perlu mengonsumsi sendiri suatu penawaran pasar.
Sementara itu, experience quality adalah atribut-atribut produk yang harus dirasakan sendiri oleh
konsumen sebelum ia mampu memberikan penilaian. Produk jasa pada umumnya didominasi
experience quality sehingga membatasi kemampuan konsumen dalam mengevaluasi alternatif
penawaran sebelum pembelian.
Salah satu produk yang sangat sulit dievaluasi sebelum dibeli konsumen adalah pemutaran
film di bioskop (Liu, 2006). Menurut Hennig-Thurau et al. (2001), ada dua cara yang dapat
digunakan konsumen untuk mengatasi permasalahan ini. Pertama, konsumen dapat bersandar pada
sumber informasi netral dari orang-orang yang pernah menonton sendiri film tersebut. Kedua,
konsumen dapat memanfaatkan atribut-atribut film yang dapat dievaluasi di awal, atau disebut juga
sebagai atribut quasi-search. Disebut demikian karena atribut ini mengubah experience quality
menjadi search quality.
Faktor-faktor yang digunakan sebagai atribut dan level atribut penelitian ini dibangun
berdasarkan model penelitian Gazley et al. (2011). Tema cerita film (genre), simbolisme
(symbolism), negara asal, (country of origin), aktor (actor), sutradara (director), harga tiket (pricing
strategy) adalah beberapa faktor yang digunakan konsumen dalam mengevaluasi alternatif film
yang akan ditonton di bioskop (Gazley et al., 2011).
2.1. Genre
Genre adalah rangkuman jalan cerita film secara umum (Gazley et al., 2011). Ekspektasi
konsumen terhadap suatu film salah satunya didasarkan pada pengalaman yang pernah mereka
rasakan saat menonton film bergenre sejenis (Desai dan Basuroi, 2005). Austin dan Gordon (1987)
dalam Desai dan Basuroy (2005) menyatakan bahwa genre adalah faktor yang dipertimbangkan
pertama kali dan dianggap paling penting oleh konsumen saat mengevaluasi alternatif film.
Menurut Furstenau (1995), tidak ada elemen tunggal yang berfungsi sebagai pedoman
utama dalam mengelompokan film ke dalam beberapa genre. Aspek tertentu mungkin saja diisolasi
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
4
atau dimasukkan dalam prosesnya, tergantung aspek mana yang ingin diberikan penekanan.
Walaupun begitu, konsumen menggunakan pola estetis dan alur emosi dalam sebuah cerita untuk
mengklasifikasikan film-film secara kasar (Hennig-Thurau et al., 2001). Rasheed dan Shah (2002)
membagi genre film menjadi horor, komedi, action, dan drama.
2.2. Symbolism
Symbolism adalah potensi suatu film untuk dikategorikan ke dalam kategori kognitif di mana
konsumen sudah memiliki asosiasi positif (Hennig-Thurau et al., 2001). Symbolism juga dapat
didefinisikan sebagai film-film yang diangkat berdasarkan kekayaan intelektual yang ada
(Eliashberg et al., 2006; Skilton, 2009). Menurut Hennig-Thurau et al. (2001), elemen utama
symbolism film adalah hubungannya dengan karya-karya sebelumnya. Misalnya, novel, pertunjukan
drama, serial televisi, sekuel, atau permainan komputer. Film-film adapated screenplay memiliki
kepastian yang lebih besar di pasar daripada film-film original screenplay karena konsumen sudah
memiliki pre-existing awareness (Gazley et al., 2011).
2.3. Country of Origin
Konsumen cenderung menggunakan country of origin (COO) sebagai petunjuk ekstrinsik
ketika petunjuk-petunjuk intrinsik suatu produk sangat sulit dievaluasi sebelum dibeli (Cattin et al.,
1982, dikutip dari Elliot dan Cameron, 1994, p. 51). COO yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah negara yang dijadikan lokasi produksi film (Gazley et al., 2011). Film dari beberapa negara
diasosiasikan memiliki gaya atau narasi yang khas sehingga menjadi lebih atau kurang atraktif bagi
konsumen (Hennig-Thurau et al., 2001),. Hasil penelitian Gazley et al. (2011) menunjukkan bahwa
konsumen lebih menyukai film Hollywood daripada film dari negara lain (Gazley et al., 2011)
2.4. Actor
Menurut Hennig-Thurau et al. (2001), sebagian ekspektasi konsumen terhadap suatu film
didasarkan pada nama-nama individu yang terlibat di dalamnya. Informasi kehadiran seorang
bintang berfungsi sebagai pencitraan merek (branding) yang membantu mengurangi ketidakpastian
konsumen. Film yang melibatkan aktor yang pernah membintangi beberapa film berpendapatan
tertinggi memperoleh pendapatan box-office lebih besar (Basuroy et al. 2003; Karniouchina, 2008).
2.5. Director
Menurut Hennig-Thurau et al. (2001), proses pembuatan film juga melibatkan orang-orang
yang bekerja di balik layar atau tidak kasat mata sehingga cukup beralasan apabila ekspektasi
konsumen tidak hanya didasarkan pada nama-nama aktor yang kasat mata. Salah satu orang di balik
layar yang dianggap memiliki daya tarik tersendiri bagi konsumen adalah sutradara. Sutradara
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
5
adalah orang di balik layar yang cenderung lebih mudah disalahkan atau diberikan penghargaan
oleh konsumen atas kegagalan atau keberhasilan suatu film (Skilton, 2009).
2.6. Information Sources
Sumber informasi netral dapat berasal dari teman dekat dan kritikus film (Gazley et al,
2011). Sumber informasi netral dipersepsikan lebih dapat dipercaya oleh konsumen karena orang-
orang yang menyampaikan informasi tidak diuntungkan secara finansial dengan menyampaikan
informasi tersebut kepada orang lain (Mohr, 2007). Pendekatan keduanya dalam menilai kualitas
film juga bisa dibilang berbeda. Menurut Schindler et al. (1989) dalam Hennig-Thurau et al. (2001),
ada dua pendekatan dalam menilai kualitas estetis, yakni subjektif dan objektif. Pendekatan
subjektif menganggap selera setiap orang berbeda. Sementara itu, pendekatan objektif menganggap
terdapat kriteria absolut atau universal yang membuat beberapa karya seni secara inheren lebih
indah atau berkualitas. Kritikus film menggunakan pendekatan yang terakhir (Holbrook, 1999).
2.7. Pricing Strategy
Harga tiket adalah salah satu faktor yang mempengaruhi preferensi konsumen untuk
menonton film di bioskop (Gazley et al., 2011). Konsumen lebih menyukai harga tiket yang lebih
murah daripada harga tiket yang lebih mahal (Gazley et al., 2011). Hal ini boleh jadi juga berlaku di
Indonesia karena harga tiket bioskop tidak dibedakan berdasarkan biaya produksi sebuah film atau
siapa nama besar aktor yang terlibat (event price), sebagaimana dijelaskan Eliashberg et al. (2006).
Hair et al. (2006) menyarankan agar level atribut harga yang digunakan memiliki rentang yang agak
lebih besar dari rentang harga di pasar, namun tidak terlalu besar. Penggunaan level atribut ini
mungkin dapat menurunkan kepercayaan responden terhadap tugas evaluasi, namun penggunaannya
dapat meningkatkan kekuatan parameter yang diestimasikan (Hair et al., 2006).
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka atribut dan level atribut penelitian ini adalah
sebagai berikut.
Tabel 2.1 Atribut dan Level Atribut Penelitian
Atribut Level Atribut
Genre Komedi / Horor/ Action / Drama
Symbolism Adapted screenplay / Original screenplay
Country of origin Amerika / Indonesia / Asing (selain AS dan Indonesia)
Actor Box-office hit/ Non Box-office hit
Director Box-office hit / Non Box-office hit
Information sources Direkomendasikan teman / Direkomendasikan kritikus
Pricing strategy Rp 35.000,00 / Rp 70.000,00
Sumber: Gazley et al. (2011) telah diolah kembali
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
6
3. Metode Penelitian
3.1. Desain Penelitian
Desain penelitian ini dapat disebut sebagai kombinasi desain penelitian deskriptif dan
eksperimental. Disebut deskriptif karena penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan suatu objek
atau fenomena, biasanya karakteristik atau fungsi pemasaran (Malhotra, 2010). Disebut
eksperimental karena metode analisis data yang digunakan adalah analisis konjoin, di mana objek
yang diamati diberikan sejumlah stimuli yang terdiri dari kombinasi faktor (variabel independen)
yang nilai-nilainya (level) telah ditetapkan oleh peneliti (Hair et al., 2006).
3.2. Pengumpulan Data dan Sampling
Pengumpulan data primer dilakukan melalui penelitian lapangan (survey) dengan
menggunakan kuisioner yang diisi sendiri oleh responden. Responden diberikan sejumlah profil
film yang terdiri dari kombinasi level atribut film ysng berbeda kemudian responden diminta untuk
menyatakan seberapa besar minat mereka untuk menonton masing-masing profil film di bioskop.
Data yang terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan analisis statistik.
Responden penelitian ini adalah mahasiswa aktif S1 FEUI yang pernah menonton film di
bioskop Cinema XXI dalam tiga bulan terakhir. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
convenience sampling, di mana elemen populasi dipilih karena mereka berada di waktu dan tempat
yang tepat (Malhotra, 2010). Penyebaran kuisioner dilakukan di beberapa titik yang biasa dijadikan
tempat berkumpul mahasiswa di kampus FEUI.
3.3. Analisis Data
3.3.1. Analisis Konjoin
Analisis konjoin digunakan untuk mengetahui tingkat kepentingan relatif atribut produk dan
utilitas level-level atribut produk (Malhotra, 2010). Teknik analisis konjoin dipilih karena teknik ini
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan teknik self-explicated biasa dalam memahami struktur
preferensi konsumen. Salah satunya dapat mengatasi bias yang disebabkan oleh pertanyaan yang
ambigu, double counting, dan redundancy antar atribut (Green dan Krieger, 1991). Teknik analisis
konjoin tradisional dipilh dalam penelitian ini karena jumlah atribut yang teridentifikasi tidak lebih
dari 9 atribut (Hair et al., 2006).
Stimuli disajikan kepada responden dalam bentuk full-profile. Pendekatan ini dipilih karena
lebih realistis sehingga responden memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang suatu produk
(Hair et al., 2006). Fractional factorial design digunakan agar jumlah stimuli yang dihasilkan lebih
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
7
sedikit, namun orthogonality antar level dan estimasi part-worth tetap terjaga (Hair et al., 2006).
Stimuli dihasilkan secara otomatis melalui peranti lunak SPSS 17. Stimuli ini terdiri 16 estimation
set dan 4 holdout set. Total stimuli adalah dua kali lipat dari jumlah parameter yang diestimasikan,
sebagaimana disarankan Hair et al. (2006) untuk mendapatkan estimasi part-worth yang stabil. Data
input rating dipilih karena responden akan terbebani jika harus mengurutkan 20 stimuli, yang
masing-masing terdiri dari 7 atribut. Skala 1-11 digunakan untuk mengukur seberapa besar minat
responden untuk menonton masing-masing profil film di bioskop.
Pengujian reliabilitas dan validitas dilakukan dengan melihat nilai korelasi Pearson’s R,
Kendall’s tau, dan Kendall’s tau for 4 holdouts. Pearson’s R digunakan untuk menilai seberapa
baik goodness of fit model konjoin dan Kendall’s tau digunakan untuk menilai validitas internal
(Malhotra, 2010). Angka signifikansi korelasi Pearson’s R dan Kendall’s tau yang kurang dari 5%
mengindikasikan bahwa model konjoin memiliki goodness of fit yang baik dan validitas internal
tinggi (Shepherd et al., 2002, dikutip dari Hamin dan Elliot, 2006, p. 83). Sebagai tambahan,
Kendall’s tau for 4 holdouts digunakan untuk menilai validitas eksternal (Hair et al., 2006).
3.3.2. Analisis Kluster
Analisis kluster dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan relatif yang diberikan responden
terhadap setiap atribut. Standardisasi data tidak dilakukan karena skala data sama. Prosedur analisis
kluster yang digunakan adalah Hierarchical dan K-means. Alasannya karena Malhotra (2010)
menyarankan penggunaan kedua prosedur tersebut secara tandem. Peneliti terlebih dahulu
menggunakan prosedur Hierarchical untuk menentukan jumlah kluster yang ideal. Dalam
penelitian ini, teknik ward’s method dan ukuran squared euclidean distance digunakan untuk
mengelompokan objek. Dari Agglomeration Schedule yang ditampilkan SPSS 17 dapat diketahui
pada tahapan ke berapa distance coefficient mengalami lompatan besar. Selisihnya dengan jumlah
responden kemudian ditetapkan sebagai jumlah kluster yang akan dibentuk oleh prosedur K-Means.
4. Hasil Penelitian dan Diskusi
Peneliti terlebih dahulu melakukan pretest terhadap 10 orang responden. Setelah hasilnya
dinyatakan valid dan reliable dan tidak ada lagi bagian kuisioner yang tidak dimengerti responden,
kuisioner segera diperbanyak dan disebarkan secara masal. Penyebaran kuisioner dilakukan selama
satu minggu yang dimulai sejak minggu pertama bulan Desember 2012. Total terkumpul 117
kuisioner dari 120 kuisioner yang disebarkan. Tiga kuisioner sisanya tidak dikembalikan setelah
melewati batas waktu yang ditentukan. Tidak semua data yang terkumpul diproses lebih lanjut.
Sembilan kuisioner dieliminasi dari analisis karena tidak memenuhi syarat.
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
8
Hasil pengujian reliabilitas dan validitas analisis konjoin secara agregat menunjukkan bahwa
terdapat korelasi kuat antara hasil estimasi dan hasil aktual. Hal ini berarti model konjoin memiliki
ketepatan prediksi tinggi dalam memprediksikan preferensi aktual responden terhadap 16 estimation
set dan preferensi aktual responden terhadap 4 holdout set. Berikut ini adalah hasil analisis konjoin
108 orang responden yang kuisionernya diproses lebih lanjut.
Tabel 4.1 Tingkat Kepentingan Relatif dan Utilitas Level-Level Atribut secara Agregat
Atribut Level Atribut
Tingkat
Kepentingan
(%)
Utilitas
Genre
Action
30,31
,756
Komedi ,270
Drama ,001
Horor -1,027
Country of
origin
Amerika
19,26
,711
Asing ,012
Indonesia -,724
Pricing Rp35.000
16,44 ,714
Rp70.000 -,714
Actor Box-office hit
11,53 ,554
Non Box-office hit -,554
Director Box-office hit
9,79 ,399
Non Box-office hit -,399
Information
sources
Kritikus 6,89
,198
Teman -,198
Symbolism Adapted
5,78 ,126
Original -,126
Pearson’s R = 0,989*
Kendall’s Tau =0,917*
Kendall’s Tau for 4 Holdouts = 0,667**
*Signifikan pada angka 0,05
**Signifikan pada angka 0,1
Sumber: Hasil olahan peneliti
Genre adalah atribut terpenting pertama yang memiliki tingkat kepentingan 31%. Austin dan
Gordon (1987) dalam Desai dan Basuroy (2005) menyatakan bahwa genre adalah faktor yang
dipertimbangkan pertama kali dan dianggap paling penting oleh konsumen saat mengevaluasi
alternatif film. Responden secara berurutan lebih menyukai film bergenre action, komedi, drama,
dan horor. Hasil penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa konsumen cenderung lebih
menyukai film-film bergenre tertentu (Gazley et al., 2011).
Country of origin (COO) adalah atribut terpenting kedua yang memiliki tingkat kepentingan
relatif 19,26%. Tingginya tingkat kepentingan atribut ini boleh jadi disebabkan karakteristik produk
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
9
film itu sendiri yang bersifat intangible dan experiential. Cattin et al. (1982) dalam Elliot dan
Cameron (1994) menyatakan bahwa konsumen cenderung menggunakan COO sebagai petunjuk
ekstrinsik dalam mengevaluasi suatu produk ketika petunjuk-petunjuk intrinsik produk tersebut
sangat sulit dievaluasi sebelum dibeli. Responden secara berurutan lebih menyukai film yang
berasal dari negara Amerika Serikat, Asing (selain AS), dan Indonesia. Gazley et al. (2011)
berpendapat film-film Hollywood lebih disukai karena mendapat penerimaan luas dan konsumen
lebih aware dengan bentuk pengalaman yang akan diterima.
Pricing strategy adalah atribut terpenting ketiga yang memiliki tingkat kepentingan 16,44%.
Relatif tingginya tingat kepentingan atribut ini mengindikasikan bahwa intensi responden untuk
menonton film di bioskop juga dipengaruhi oleh atribut eksternal yang tidak terkait langsung
dengan konten film. Bagaimanapun, responden lebih menyukai harga tiket bioskop Rp 35.000,00
yang lebih murah daripada harga tiket bioskop Rp 70.000,00 yang lebih mahal. Teori penetapan
harga menyatakan bahwa, apabila semua hal tetap sama, konsumen lebih menyukai harga tiket
bioskop yang lebih murah daripada harga tiket bioskop yang lebih mahal (Schotte, 2001; Begg et
al., 2003, dikutip dari Gazley et al., 2011, p. 856). Itulah sebabnya harga yang lebih mahal memiliki
efek negatif terhadap utilitas responden secara keseluruhan.
Responden lebih menyukai film yang melibatkan aktor yang pernah membintangi film box-
office terlaris. Seperti judul film, informasi kehadiran seorang bintang berfungsi sebagai pencitraan
merek (branding) yang membantu mengurangi ketidakpastian konsumen (Hennig-Thurau et al.,
2001). Walaupun begitu, aktor bukan merupakan atribut terpenting bagi responden. Tingkat
kepentingan atribut ini adalah 11,53% atau lebih rendah dari dua atribut eksternal yang tidak terkait
langsung dengan konten film (country of origin dan pricing strategy). Padahal, siapa nama bintang
yang akan terlibat sering dijadikan sebagai salah satu dasar untuk meloloskan suatu film ke tahap
produksi aktual (Eliashberg et al., 2006).
Director adalah atribut terpenting kelima yang memiliki tingkat kepentingan 9,79 % atau
lebih rendah dari atribut actor. Rendahnya tingkat kepentingan atribut ini boleh jadi disebabkan
keberadaan sutradara yang tidak kasat mata sebagaimana aktor di depan layar. Menurut Hennig-
Thurau et al. (2001), kinerja sutradara lebih sulit dievaluasi oleh khalayak dibandingkan kinerja
aktor yang kasat mata. Walaupun begitu, responden lebih menyukai film yang melibatkan sutradara
yang pernah menyutradarai film box-office terlaris. Seperti nama aktor, informasi nama sutradara
berfungsi sebagai pencitraan merek (branding) yang membantu mengurangi ketidakpastian
konsumen. Kinerja sutradara di film sebelumnya dapat dijadikan sebagai indikator untuk menilai
kualitas film berikutnya (Hennig-Thurau et al., 2001).
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
10
Responden lebih menyukai film yang direkomendasikan kritikus daripada film yang
direkomendasikan teman. Rekomendasi kritikus lebih disukai boleh jadi disebabkan status
profesional dan akses yang dimiliki kritikus untuk memperoleh informasi film terbaru sehingga
menjadikan mereka sebagai mata rantai utama dalam proses difusi (West dan Broniarczyk, 1998).
Walaupun begitu, tingkat kepentingan atribut information sources hanya 6,89%. Hal ini
mengindikasikan responden tidak begitu mementingkan pendapat orang lain dalam mengevaluasi
alternatif film.
Responden lebih menyukai film adapted screenplay daripada film original screenplay. Hal
ini membenarkan pendapat Gazley et al. (2011) yang menyatakan bahwa film adapted screenplay
memiliki kepastian lebih besar di pasar daripada film original screenplay. Favoritisme sebagian
produsen film untuk memproduksi film adapted screenplay, sebagaimana dijelaskan Eliashberg et
al. (2006), tampaknya cukup beralasan. Walaupun begitu, keputusan produsen untuk memberikan
“lampu hijau” produksi sebuah film sebaiknya tidak hanya didasarkan pada adapted screenplay atau
original screenplay saja. Hal ini disebabkan atribut symbolism adalah atribut yang dianggap paling
tidak penting oleh responden.
Langkah selanjutnya adalah mengelompokan responden ke dalam beberapa segmen dengan
menggunakan analisis kluster. Analisis kluster ini dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan relatif
yang diberikan responden kepada setiap atribut. Berikut ini adalah tingkat kepentingan relatif
atribut pada ketiga final cluster yang terbentuk.
Tabel 4.2 Final Cluster (Importance)
Atribut Kluster
1 2 3
Genre 22,586 52,581 20,821
Symbolism 6,366 4,774 5,960
Country of origin 22,979 13,886 19,491
Actor 15,159 8,587 9,908
Director 14,007 7,321 7,109
Information sources 11,192 3,883 4,549
Pricing 7,711 8,969 32,163
Jumlah responden 41 orang 30 orang 37 orang
Sumber: Hasil olahan peneliti
Responden terbanyak berada di kluster pertama namun jumlahnya hanya sedikit lebih
banyak dari dua kluster lainnya. Setiap kluster paling tidak memiliki satu hingga dua preferensi
atribut yang membedakannya dengan kluster lain. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besar atau
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
11
rendah tingkat kepentingan yang diberikan setiap kluster terhadap suatu atribut. Satu-satunya atribut
yang tidak dapat dijadikan sebagai pembeda antar kluster adalah symbolism karena angka
signifikansinya lebih dari 0,05, sebagaimana ditunjukkan tabel ANOVA di bawah ini.
Tabel 4.3 ANOVA Satu Arah Final Cluster
Atribut F Sig.
Genre 123,072 ,000
Symbolism 1,008 ,369
Country of origin 8,262 ,000
Actor 8,728 ,000
Director 7,346 ,001
Information sources 16,018 ,000
Pricing strategy 100,720 ,000
Sumber: Hasil olahan peneliti
Hasil olahan data SPSS memungkinkan peneliti untuk mengetahui siapa saja responden
yang menjadi anggota kluster tertentu. Data kluster ini kemudian diolah kembali menggunakan
analisis konjoin untuk mengetahui nilai utilitas level-level atribut setiap segmen.
Tabel 4.4 Utilitas Level-Level Atribut secara Segmen
Atribut Level Atribut Segmen 1 Segmen 2 Segmen 3
Genre
Komedi ,104 ,575 ,206
Horor -,567 -2,167 -,611
Action ,512 1,800 ,179
Drama -,049 -,208 ,226
Symbolism Adapted ,171 ,067 ,125
Original -,171 -,067 -,125
Country of origin
Amerika ,984 ,539 ,550
Indonesia -,907 -,415 -,771
Asing -,077 -,124 ,222
Actor Box-office hit ,726 ,429 ,466
Non Box-office hit -,726 -,429 -,466
Director Box-office hit ,616 ,342 ,206
Non Box-office hit -,616 -,342 -,206
Information
sources
Teman -,384 -,088 -,081
Kritikus ,384 ,088 ,081
Pricing Rp35.000 ,284 ,346 1,490
Rp70.000 -,284 -,346 -1,490
Constant. 5,681 5,440 5,089
Sumber: Hasil olahan peneliti
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
12
Berdasarkan tingkat kepentingan relatif dan nilai utilitas, maka karakteristik segmen yang
terbentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Segmen 1 – Highly-Involved Moviegoers
Segmen ini diberi nama Highly-Involved Moviegoers karena menggunakan lebih banyak
atribut dalam mengevaluasi alternatif film di bioskop. Hal ini dapat dilihat dari relatif meratanya
tingkat kepentingan atribut country of origin, genre, actor, director, dan information sources
segmen ini dibandingkan dua segmen lainnya yang cenderung mementingkan salah satu atribut saja.
Salah satu ciri lainnya dari segmen ini adalah tidak begitu sensitif terhadap perubahan harga tiket
bioskop. Hal ini dapat dilihat dari relatif rendahnya tingkat kepentingan atribut pricing strategy.
Country of origin dan genre merupakan dua atribut terpenting yang memiliki tingkat
kepentingan yang relatif hampir sama, di mana level atribut Indonesia dan horor berdampak besar
terhadap penurunan utilitas segmen ini. Hal ini bukan berarti produsen film Indonesia tidak dapat
sepenuhnya menjangkau segmen ini. Relatif meratanya tingkat kepentingan atribut segmen ini
memungkinkan produsen film untuk mengimbangi penurunan utilitas yang disebabkan level atribut
Indonesia dengan peningkatan utilitas dari level-level atribut lain. Sebagai contoh, melibatkan
aktor/sutradara ternama atau memperoleh kritik positif.
Segmen 2 – Genre-Enthusiast Moviegoers
Segmen ini diberi nama Genre-Enthusiast Moviegoers karena genre adalah atribut yang
dianggap paling penting oleh segmen ini dalam mengevaluasi alternatif film. Bahkan, tingkat
kepentingannya jauh melebihi tingkat kepentingan enam atribut lainnya sehingga harga tiket
bioskop yang lebih murah atau partisipasi aktor dan sutradara ternama belum tentu menarik minat
anggota segmen ini untuk menonton film-film yang tidak sesuai dengan preferensi genre mereka.
Upaya untuk memperoleh kritik positif juga kontra produktif karena tingkat kepentingan atribut
information sources relatif sangat rendah dan tidak sebanding dengan penurunan utilitas yang
diakibatkan perubahan level atribut genre.
Atribut terpenting setelah genre adalah country of origin. Meskipun segmen ini lebih
menyukai film Hollywood, nilai utilitas level atribut Indonesia segmen ini relatif lebih tinggi dari
dua segmen lainnya. Tingkat kepentingan atribut country of origin yang berada jauh di bawah
atribut genre memungkinkan produsen film untuk mengimbangi penurunan utilitas yang disebabkan
level atribut Indonesia dengan menghasilkan film yang sesuai dengan preferensi genre segmen ini.
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
13
Segmen 3 – Price-Sensitive Moviegoers
Segmen ini diberi nama Price-Sensitive Moviegoers karena sangat sensitif terhadap
perubahan harga tiket bioskop. Hal ini dapat dilihat dari tingginya tingkat kepentingan atribut
pricing strategy. Segmen ini juga tidak begitu memedulikan penilaian yang diberikan orang lain
dalam mengevaluasi alternatif film. Hal ini dapat dilihat dari relatif rendahnya tingkat kepentingan
atribut information sources. Berbeda dengan segmen sebelumnya, peningkatan utilitas yang
disebabkan partisipasi aktor ternama di segmen ini relatif lebih tinggi. Sebaliknya, peningkatan
utilitas yang disebabkan partisipasi sutradara ternama di segmen ini relatif lebih rendah.
Atribut terpenting berikutnya setelah pricing strategy adalah genre dan country of origin.
Preferensi genre segmen ini berbeda dari dua segmen lainnya. Segmen ini lebih menyukai film
bergenre drama atau komedi dibandingkan film bergenre action. Selain itu, segmen ini memiliki
nilai utilitas level atribut negara Asing yang positif meskipun nilainya masih lebih rendah dari film
Hollywood. Walaupun lebih menyukai film Hollywood, harga tiket bioskop yang lebih murah dapat
menarik minat anggota segmen ini untuk menonton film-film selain produksi Hollywood.
Profil responden di setiap segmen pada dasarnya tidak banyak berbeda. Perbedaan paling
mencolok hanya terlihat di segmen 3 yang didominasi responden berjenis kelamin perempuan. Hal
ini berbeda dengan dua segmen lainnya yang memiliki komposisi jenis kelamin relatif hampir sama,
di mana responden laki-laki hanya sedikit lebih banyak daripada responden perempuan.
Tabel 4.5 Profil Responden di Setiap Segmen
Segmen 1 Segmen 2 Segmen 3
41 responden 30 responden 37 responden
Jenis Kelamin Laki-laki 56,1% 53,3% 35,1%
Perempuan 43,9% 46,7% 64,9%
Pengeluaran
untuk aktivitas
hiburan
di bawah 200.000 19,5% 16,7% 21,6%
200.001 - 400.000 43,9% 40% 45,9%
400.001 - 600.000 19,5% 16,7% 18,9%
600.001 - 800.000 2,4% 6,7% 2,7%
di atas 800.000 14,6% 20% 10,8%
Frekuensi
kunjungan
bioskop
1 - 3 kali 68,3% 70% 73%
4 - 6 kali 22% 23,3% 24,3%
7 - 9 kali 7,3% 3,3% 2,7%
di atas 9 kali 2,4% 3,3% 0%
Waktu yang
dihabiskan untuk
menonton film
kurang dari 5 jam 31,7% 30% 24,3%
6 - 10 jam 41,5% 40% 54,1%
11 - 15 jam 12,2% 16,7% 5,4%
16 - 20 jam 12,2% 6,7% 5,4%
di atas 20 jam 2,4% 6,7% 10,8%
Sumber: Hasil olahan peneliti
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
14
Film yang paling banyak ditonton semua segmen adalah film Hollywood. Namun film yang
paling banyak ditonton berikutnya di segmen 3 adalah film Korea, bukan film Indonesia dan film
Inggris sebagaimana segmen 1 dan segmen 2. Hal ini sangat beralasan mengingat anggota segmen
ini didominasi responden berjenis kelamin perempuan dan lebih menyukai film-film bergenre
drama. Dibandingkan dua segmen lainnya, anggota segmen 3 juga lebih banyak menonton film
yang berasal dari Korea, Jepang, Thailand, dan India. Di sisi lain, film-film Eropa lebih banyak
ditonton oleh anggota segmen 1.
Tabel 4.5 Profil Responden di Setiap Segmen (lanjutan)
Segmen 1 Segmen 2 Segmen 3
41 responden 30 responden 37 responden
Film yang
ditonton dalam 3
bulan terakhir
Amerika 100% 100% 97,3%
Cina 12,2% 10% 8,1%
India 7,3% 6,7% 10,8%
Indonesia 48,8% 46,7% 32,4%
Inggris 48,8% 43,3% 27%
Italia 4,9% 3,3% 0%
Jepang 19,5% 16,7% 21,6%
Jerman 4,9% 10% 2,7%
Korea 31,7% 23,3% 40,5%
Perancis 19,5% 10% 10,8%
Thailand 7,3% 6,7% 18,9%
Lainnya 2,4% 0% 2,7%
Informasi film
terbaru
Cetak 51,2% 36,7% 27%
Televisi 39% 26,7% 32,4%
Radio 12,2% 6,7% 0%
Outdoor 14,6% 10% 8,1%
Internet 85,4% 80% 89,2%
Teman 26,8% 53,3% 45,9%
Sumber: Hasil olahan peneliti
Semua responden di setiap segmen paling banyak mendapatkan informasi film terbaru dari
media Internet. Hal ini berarti pemasar tidak perlu repot mencari media khusus untuk menyasar
segmen tertentu. Namun sumber informasi film terbaru terbanyak berikutnya di segmen 1 bukan
teman, melainkan media cetak. Hal ini sangat beralasan mengingat anggota segmen ini menaruh
perhatian yang lebih besar terhadap komentar kritikus. Di sisi lain, media radio dan media outdoor
adalah sumber informasi yang paling sedikit dipilih oleh semua segmen.
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
15
5. Kesimpulan
Faktor-faktor yang digunakan sebagai atribut penelitian ini dibangun berdasarkan model
penelitian Gazley et al. (2011), antara lain tema cerita film (genre), simbolisme (symbolism), negara
asal, (country of origin), aktor (actor), sutradara (director), dan harga tiket (pricing strategy).
Tingkat kepentingan relatif yang diberikan responden terhadap setiap atribut mulai dari yang paling
tinggi sampai dengan yang paling rendah, antara lain genre (30,31%), country of origin (19,26%),
pricing strategy (16,44%), actor (11,53%), director (9,79%), information sources (6,89%) dan
symbolism (5,78%). Responden secara agregat lebih menyukai film yang bergenre action,
diadaptasi dari karya yang pernah dipublikasikan sebelumnya, diproduksi studio film Amerika,
melibatkan aktor/aktris dan sutradara yang pernah berpartisipasi dalam film-film box-office terlaris,
direkomendasikan kritikus film, dan harga tiket bioskop Rp 35.000,00. Responden dapat
dikelompokkan ke dalam tiga segmen berdasarkan tingkat kepentingan relatif atribut. Setiap
segmen paling tidak memiliki karakteristik yang terlihat lebih menonjol dari segmen lainnya.
Segmen 1 diberi nama Highly-Involved Moviegoers karena menggunakan lebih banyak atribut
dalam mengevaluasi alternatif film. Segmen 2 diberi nama Genre-Enthusiast Moviegoers karena
tingkat kepentingan atribut genre jauh melebihi tingkat kepentingan enam atribut lainnya. Segmen 3
diberi nama Price-Sensitive Moviegoers karena sangat senstif terhadap perubahan harga tiket.
6. Implikasi Manajerial
Pelaku industri perfilman Indonesia yang ingin menyasar segmen Highly-Involved
Moviegoers dapat mengembangkan lebih jauh strategi pemasaran berikut. Produsen film perlu
menciptakan diferensiasi dan positioning yang dapat meyakinkan anggota segmen ini bahwa
filmnya tidak kalah bersaing dengan film-film Hollywood. Namun untuk mencapai itu, produsen
film tidak selalu harus mengeluarkan biaya produksi besar sebagaimana film blockbuster
Hollywood. Hal ini dapat dilakukan produsen film dengan melakukan pemutaran di festival-festival
film luar negeri sebelum merilis filmnya secara luas di bioskop tanah air. Setiap komentar positif
yang diberikan kritikus film luar negeri harus ditonjolkan di setiap iklan dan publisitas. Selain itu,
keterlibatan aktor dan sutradara ternama dapat menjadi nilai lebih tersendiri. Importir film dapat
memanfaatkan indeks popularitas atau indeks terkait lainnya yang dipublikasikan media
internasional untuk mengidentifikasikan siapa saja nama aktor/aktris dan sutradara yang memiliki
star power tinggi. Film-film terbaru yang melibatkan nama-nama besar ini dapat dijadikan alternatif
untuk ditawarkan kepada bioskop. Bioskop dapat membebankan harga tiket yang lebih tinggi.
Namun, diskriminasi harga harus didesain sedemikian rupa agar persepsi nilai konsumen tetap
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
16
positif. Hal ini dapat dilakukan dengan menawarkan program-program khusus yang memberikan
perlakuan istimewa kepada konsumen
Pelaku industri perfilman Indonesia yang ingin menyasar segmen Genre-Enthusiast
Moviegoers dapat mengembangkan lebih jauh strategi pemasaran berikut. Produsen film dapat
meniru strategi beberapa produsen film Hollywood yang mengembangkan manajemen portofolio
berdasarkan spesialisasi genre. Upaya produsen film untuk memperoleh kritik positif adalah tidak
produktif. Produsen film sebaiknya berfokus pada aktifitas publisitas seperti wawancara pemain
yang disiarkan stasiun televsi atau ulasan film yang dipublikasikan situs berita online. Konten yang
ditonjolkan dalam ulasan ini nantinya bukan berupa penilaian baik atau buruk melainkan jalan
cerita film secara umum. Produsen film dapat melibatkan aktor pendatang baru. Importir film dapat
mengembangkan manajemen portofolio berdasarkan genre sebagaimana produsen film. Bioskop
dapat sesekali mengadakan event khusus pemutaran film bergenre tertentu. Data pengunjung yang
terkumpul dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengukur seberapa besar potensi keuntungan setiap
genre. Genre yang paling banyak mendatangkan penonton berarti harus diberikan prioritas.
Pelaku industri perfilman Indonesia yang ingin menyasar segmen Price-Sensitive
Moviegoers dapat mengembangkan lebih jauh strategi pemasaran berikut. Bioskop sebaiknya
menawarkan harga tiket yang lebih murah khusus pemutaran film-film asing non Hollywood. Hal
ini berarti sinyal positif bagi importir film untuk memasok film-film asing non Hollywood ke
bioskop. Berdasarkan profil responden, film-film Korea atau Jepang dan bergenre drama atau
komedi adalah yang paling potensial. Produsen film yang ingin menyasar segmen ini sebaiknya
memproduksi film-film bergenre drama yang dibintangi aktor yang pernah berpartisipasi dalam
beberapa film terlaris. Selain itu, upaya produsen film untuk memperoleh kritik positif adalah tidak
produktif, sama seperti produsen film yang ingin menyasar segmen Genre-Enthusiast Moviegoers.
7. Keterbatasan
Penelitian ini tidak mengantisipasi kejenuhan responden selama mengevaluasi 20 profil
film. Penelitian berikutnya sebaiknya memikirkan bagaimana caranya agar responden menjadi tidak
jenuh. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah stimuli yang harus dievaluasi responden
atau menyisipkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak membebani responden secara kognitif setiap
kali responden telah mengevaluasi 5 atau 10 profil film.
Penelitian ini tidak mengakomodasi film-film luar negeri yang telah lama dirilis di negara
asalnya namun baru diputar di bioskop tanah air sesaat setelah mendapatkan penghargaan
bergengsi. Penelitian berikutnya sebaiknya menambahkan faktor awards sebagai atribut penelitian.
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
17
Penelitian ini tidak mengakomodasi konvergensi atribut sumber informasi, di mana suatu
film mungkin saja direkomendasikan teman namun tidak direkomendasikan kritikus atau
sebaliknya. Akan tetapi, peneliti berikutnya harus berhati-hati jika ingin membuat atribut teman dan
kritikus secara terpisah. Hal ini disebabkan ketidaksimetrisan fungsi utilitas, di mana kerugian $1
menghasilkan ketidakpuasan yang lebih besar daripada kepuasan yang dihasilkan dari keuntungan
$1 (Kahneman dan Tversky, 1979, dikutip dari Basuroy et al., 2003, p. 106). Salah satu cara yang
dapat dipertimbangkan kembali oleh peneliti berikutnya adalah membuat superattributes,
sebagaimana disarankan Hair et al. (2006).
Penelitian ini tidak mempertimbangkan model interaksi. Penelitian berikutnya sebaiknya
menambahkan juga model interaksi untuk melihat apakah ada efek interaksi antar variabel. Tingkat
kepentingan atribut genre dan country of origin yang selalu tinggi di setiap segmen memunculkan
dugaan bahwa kedua variabel ini saling berinteraksi. Namun, dugaan ini masih perlu diuji
kebenarannya.
Karakteristik segmen yang terbentuk masih kurang tereksplorasi baik urutan maupun
komposisinya secara demografis. Penelitian berikutnya dapat menambahkan aplikasi VALS dan
analisis diskriminan untuk mengeksplorasi karakteristik segmen secara psikografis, sebagaimana
dilakukan Astuti (2002) terhadap pengguna telepon genggam.
Daftar Pustaka
Astuti, R.D. (2002). Aplikasi VALS 2 untuk Segmentasi Mahasiswa Pengguna Telepon Selular di
Jakarta. Skripsi Sarjana. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Basuroy, S., Chatterjee, S., & Ravid, S.A. (2003). How Critical Are Critical Reviews? The Box
Office Effects of Film Critics, Star Power, and Budgets. Journal of Marketing, 67 (4), 103-
117.
Desai, K.K. & Basuroy, S. (2005). Interactive Influence of Genre Familiarity, Star Power, and
Critics’ Reviews in the Cultural Goods Industry: The Case of Motion Pictures. Psychology
& Marketing, 22 (3), 203-223.
Eliashberg, J., Elberse, A., & Leenders, M.A.A.M. (2006). The Motion Picture Industry: Critical
Issues in Practice, Current Research, and New Research Directions. Marketing Science, 25
(6), 638-661.
Elliott, G.R. and Cameron, R.S. (1994). Consumer Perception of Product Quality and the Country-
of-Origin Effect. Journal of International Marketing, 2 (2), 49-62.
Furstenau, M. (1995). Film Genre: The Pragmatics of Classification. Department of Comparative
Literature and Film Studies. University of Alberta.
Gazley, A., Clark, G., & Sinha, A. (2011). Understanding preferences for motion pictures. Journal
of Business Research, 64, 854-861.
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
18
Green, P.E. & Krieger, A.M. (1991). Segmenting Markets with Conjoint Analysis. Journal of
Marketing, 55 (4), 20-31.
Hair, J.F. Jr., Rolph E. Anderson, Robert L. Tatham and William C. Black (2006). Multivariate
Data Analysis. 6th ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Hamin & Elliott, G. (2006). A less-developed country perspective of consumer ethnocentrism and
“country of origin” effects: Indonesian evidence. Asia Pasific Journal of Marketing and
Logistics, 18 (2), 79-91.
Hawkins, D.I., Best, R.J., Coney, K.A. (2004). Consumer Behavior: Building Marketing Strategy.
9th ed. New York: McGraw-Hill.
Hennig-Thurau, T., Walsh, G., Wruck, O. (2001). An Investigation into the Factors Determining the
Success of Service Innovations: The Case of Motion Pictures. Academy of Marketing
Science Review, 6, 1-23.
Hennig-Thurau, T, Houston, M.B., & Walsh, G. (2007) Determinants of motion picture box office
and profitability: an interrelationship approach. Department of Media Research. Buhaus-
University of Weimar Germany.
Holbrook, M.B. (1999). Popular Appeal versus Expert Judgements of Motion Pictures. Journal of
Consumer Research, 26, 144-155
Karniouchina, E.V. (2008). Empirical Essays on Marketing Issues in Motion Pictures. David Eccles
School of Business. The University of Utah.
Kemenparekraf (2012a, March 30). Kemdikbud dan Kemenparekraf Akan Bersinergi Untuk
Merealisasikan Potensi Perfilman di Indonesia. Diakses 3 September 2012 di
http://www.budpar.go.id/budpar/asp/
Kemenparekraf (2012b, August 13). Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2011 Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Diunduh 1 September 2012 di
http://www.budpar.go.id/budpar/asp/
Kotler, P. & Armstrong, G. (2010). Principles of Marketing. 13th ed. Pearson Education. New
Jersey.
Liu, Y. (2006). Word of Mouth for Movies: Its Dynamics and Impact on Box Office Revenue.
Journal of Marketing, 70 (3), 74-89.
Malhotra, N. (2010). Marketing Research An Applied Orientation. 6th ed. New Jersey: Pearson
Prentice Hall..
Mohr, I. (2007). Buzz marketing for movies. Business Horizons, 50, 395-403.
Oxford Economics. (2011). The Economic Contribution of the Film and Television Industries in
Indonesia. Diunduh 1 September 2012 dari MPA Asia Pasific dari: http://mpa-
i.org/index.php/research_statistics
Noven, L.M. & Aji, R.S. (2013, January 6). Merajut Rantai Industri Film Indonesia. Fortune
Indonesia, 53, 50.
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013
19
Rasheed, Z. & Shah, M. (2002). Movie Genre Classification by Exploiting Audio-Visual Features
of Previews. Computer Vision Lab. University of Central Florida.
Skilton, P.F. (2009). Knowledge based resources, property based resources and supplier bargaining
power in Hollywood motionn picture projects. Journal of Business Research, 62, 834-840.
Theatres. Diakses 3 September 2012 di http://www.21cineplex.com/theaters
West, M. & Broniarczyk, S.M. (1998). Integrating Multiple Opinions: The Role of Aspiration Level
on Consumer Response to Critic Consensus. Journal of Consumer Research, 25 (1), 38-51.
Analisis preferensi..., Ryandra Arya Kharisma, FE UI, 2013