Upload
dinhnga
View
243
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS POTENSI DAN GIZI PEMANFAATAN BEKATUL DALAM PEMBUATAN COOKIES
Oleh :
A’immatul Fauziyah
I14062863
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ABSTRACT
A’IMMATUL FAUZIYAH. Analysis of Potency and Nutrition Content of Rice Bran Cookies. Under direction of YAYUK FARIDA BALIWATI and SRI ANNA MARLIYATI
Rice bran, by product of rice milling, has a good nutrition content and potential as source of carbohydrate. The utilization of rice bran for human consumption is still limited. So far, it is used merely as feed. The objectives of this research were (1) to investigate the potency of rice bran,i.e. its availability and as source of carbohydrate, (2) to find the best formula of cookies, (3) to analyze nutrition content, fibre content, and antioxydant capacity of the best formula of cookies, and (4) to analyze cost production of cookies making . In 2009, rice bran availability in Indonesia was 8.700.290 ton or equal to 1.271.368 ton carbohydrate. The formula of cookies that accepted organoleptically is the cookies made by mixed of wheat flour : rice bran were 65 : 35%. Water, ash, protein, fat, and carbohydrate content (wet basis) of the best formula of cookies that made by substitution of wheat flour with conventional and functional rice bran were 3.21 and 2.94, 3.02 and 2.92. 7.32 and 6.46, 28.88 and 28.24, 56.26 and 58.31, respectively, and not different statistically except for carbohydrate content. Fibre content of both cookies formula were not significantly different and each was 9.78 and 10.53 (wet basis). Antioxydant capacity of its were 70.87% and 69.03%. AEAC of both formula of cookies was not significantly different and each was 27.06 and 32.13 mg. The price of its were Rp 58,837/kg and Rp 54,851/kg.
Keywords : Rice bran, cookies, potency, fibre content, capacity of antioxydant
RINGKASAN A’IMMATUL FAUZIYAH. Analisis Potensi dan Gizi Pemanfaatan Bekatul dalam Pembuatan Cookies. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI dan SRI ANNA MARLIYATI
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi dan gizi pemanfaatan bekatul dalam pembuatan cookies. Tujuan khususnya adalah : 1) mengetahui ketersediaan bekatul sebagai pangan sumber energi, 2) menentukan formula pembuatan cookies yang disubstitusi tepung bekatul konvensional dan fungsional, 3) mengetahui kandungan kimia formula cookies terpilih, 4) melakukan analisis ekonomi pembuatan cookies bekatul.
Desain penelitian yang digunakan adalah experimental study. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Kimia Pangan, Laboratorium Pengolahan Pangan dan Laboratorium Uji Organoleptik, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) IPB, serta di Laboratorium Pilot Plan, SEAFAST CENTER, Bogor. Adapun waktu pelaksanaan penelitian pada bulan September - November 2010.
Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi bahan dan alat dalam pembuatan tepung bekatul, analisis kandungan gizi tepung bekatul dan uji organoleptik. Selain itu, juga dilakukan penelusuran data terkait ketersediaan bekatul dan analisis ekonomi pembuatan cookies bekatul.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap satu faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang diteliti yaitu pengaruh konsentrasi substitusi tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional terhadap sifat kimia cookies. Ketersediaan bekatul dan analisis ekonomi pembuatan cookies juga dilakukan untuk mengetahui harga jual cookies bekatul konvensional dan fungsional.
Data hasil analisis sifat kimia cookies bekatul pada dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA). Jika hasil sidik ragam berpengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil pengujian organoleptik tepung bekatul dianalisis menggunakan sidik ragam. Data Hasil analisis kompisisi kimia dianalisis dengan menggunakan sidik ragan dan uji lanjut Duncan.
Produksi padi dan bekatul di Indonesia secara keseluruhan dari tahun 2006 sampai tahun 2009 cenderung mengalami peningkatan. Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menghasilkan bekatul lebih dari 1 juta ton per tahun. Produksi bekatul menggambarkan ketersediaan bekatul yang besar. Ketersediaan bekatul yang besar tidak dapat dianggap sebagai bahan pangan, tetapi limbah dari hasil penggilingan padi karena masyarakat umumnya tidak mengonsumsi bekatul sebagai makanan. Peluang pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan masih besar karena pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan serta produk inovasinya masih sangat terbatas. Pembuatan cookies bekatul konvensional dan fungsional dilakukan dengan metode krim (creaming method), yaitu semua bahan tidak dicampur secara bersamaan. Margarin, mentega dan gula dicampur terlebih dahulu kemudian bahan yang lain. Uji organoleptik cookies bekatul dilakukan melalui uji mutu hedonik dan uji kesukaan (hedonik) terhadap 30 panelis semi terlatih untuk warna, aroma, rasa dan tekstur dari cookies bekatul konvensional dan fungsional dengan lima tingkat substitusi tepung bekatul, yaitu 25% (F1), 30% (F2), 35% (F3), 40% (F4) dan 45% (F3), serta kontrol atau substitusi 0% (F0).
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan tingkat substitusi tepung bekatul konvensional pada cookies tidak berpengaruh nyata
(α>0,05) terhadap mutu warna, aroma, rasa dan tekstur cookies. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan tingkat substitusi bekatul fungsional berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap warna, aroma dan rasa cookies tetapi tidak berpengaruh nyata untuk tekstur.
Hasil uji sidik ragam menunjukkan perbedaan tingkat substitusi bekatul konvensional terhadap cookies tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap tingkat kesukaan t warna dan tekstur tetapi berpengaruh nyata untuk tingkat kesukaan terhadap aroma, rasa dan keseluruhan. Formula cookies bekatul konvensional terpilih adalah cookies F3. Hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan tingkat substitusi tepung bekatul fungsional berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap tingkat kesukaan warna, rasa dan keseluruhan cookies tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan pada aroma dan tekstur.
Kadar air, abu, protein, lemak, kerbohidrat, total serat pangan, AEAC, kapasitas antioksidan cookies bekatul konvensional terpilih adalah 3,21% bb, 3,12% bk, 7,56% bk, 29,84% bk, 56,26% bk, 10,10% bk dan 33,19% bb. Kadar air, abu, protein, lemak, kerbohidrat, total serat pangan, AEAC, kapasitas antioksidan cookies bekatul fungsional terpilih adalah 2,94% bb, 3,01% bk, 7666% bk, 29,09% bk, 58,31% bk, 10,85% bk dan 32,64% bb. Kandungan energi per 100 gram cookies bekatul konvensional dan fungsional terpilih masing masing adalah 519 Kal dan 518 Kal.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan jenis tepung yang digunakan dalam pembuatan cookies tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap kadar air dan protein, tetapi berpengaruh nyata terhadap kadar abu, lemak, karbohidrat, serat pangan serta kapasitas antioksidan cookies. Cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional memenuhi kriteria sebagai pangan tinggi atau kaya serat. Analisis pembuatan biaya yang digunakan menggunakan skala industri kecil yang didasarkan atas jumlah pegawai yang berjumlah 15 orang. Harga cookies bekatul fungsional lebih mahal Rp. (58.837,00 /kg) dari pada cookies kontrol (Rp 47.519,02/kg) dan cookies bekatul konvensional (Rp 54.851,40/kg) karena harga bahan baku tepung bekatul fungsional yang lebih mahal dari pada tepung terigu dan tepung bekatul konvensional. Harga serat per gram cookies bekatul konvensional lebih mahal dari pada cookies bekatul fungsional dengan selisih Rp 0,77/gram.
ANALISIS POTENSI DAN GIZI PEMANFAATAN BEKATUL DALAM PEMBUATAN COOKIES
Oleh : A’immatul Fauziyah
I14062863
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
Judul :Analisis Potensi dan Gizi Pemanfaatan Bekatul dalam Pembuatan
Cookies.
Nama : A’immatul Fauziyah
NIM : I14062863
Disetujui,
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus:
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si NIP. 19600205 198903 2 002
Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS NIP. 19630312 198703 2 001
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak
Ahmad dan Ibu Siti Muyasaroh. Penulis dilahirkan di Rembang, sebuah
kabupaten di Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 21 Oktober 1988. Pendidikan
penulis dimulai dari SDN Pamotan 7 di Rembang pada tahun 1994 sampai tahun
2000, dilanjutkan di SLTPN 1 Pamotan Rembang sampai tahun 2003, pada
tahun 2003-2006 penulis melanjutkan di SMAN 1 Rembang.
Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur
USMI dan pada tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi
mahasiswa di Departemen Gizi Masyarakat, penulis aktif di organisasi seperti
staf divisi Klub Kulinari dan Organoleptik Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi
(HIMAGIZI) periode 2007/2008, anggota Klub Kulinari dalam Divisi Keprofesian
HIMAGIZI periode 2008/2009 dan sekretaris II Organisasi Mahasiswa Daerah
(OMDA), yaitu Himpunan Keluarga Rembang di Bogor (HKRB). Selain itu,
penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan HIMAGIZI,
BEM FEMA dan Departemen Gizi Masyarakat baik tingkat perguruan tinggi
maupun nasional.
Penulis pernah mengikuti Kuliah Kerja Profesi di desa Sukajadi,
kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor pada tahun 2009. Selain itu, penulis
pernah mengikuti Internship Dietetic (ID) di RS Karya Bhakti Bogor dengan topik
“Studi Kasus Bedah Batu Ginjal (Nefrolitiotomi), Diabetes Mellitus Komplikasi
Gagal Jantung Kongestif dan Infeksi Saluran Pernafasan Atas komplikasi Diare. Penulis juga pernah mengajar kursus mata pelajaran Kimia kelas XI di SMA Dwi
Warna, Parung, Bogor pada tahun 2010. Penulis pernah menjadi asisten mata
kuliah, yaitu Ilmu Gizi Dasar periode 2009/2010 dan 2010/2011 (koordinator) dan
mata kuliah Ekologi Pangan dan Gizi. Beasiswa yang pernah penulis dapatkan
adalah beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) pada tahun 2007 sampai
2010.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis
Potensi dan Gizi Pemanfaatan Bekatul dalam Pembuatan Cookies”. Banyak
pihak yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan skrispsi ini. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ayah, Ibu dan adik-adikku (Nuriyana A dan Nala KH) yang sudah mendoakan
dan menyemangati penulis selama ini.
2. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS dan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si selaku
dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan
waktu dan pikirannya, memberikan arahan, kritikan, semangat dan dorongan
untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
3. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen penguji skrispi dan dosen pemandu
seminar.
4. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis selama kegiatan belajar mengajar.
5. Bapak Mashudi selaku teknisi yang dengan sabar membantu penulis dalam
melaksanakan penelitian.
6. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M. Si yang telah memperbolehkan menggunakan
ide penelitian tentang penggunaan tepung bekatul konvensional dan
fungsional dalam pembuatan cookies
7. Teman-teman “Koplag” (Eva, Tika, Irni, Yulaika, Risti, Dudung, Fitri, Reti,
Mbak Ganesh, Dhita, Desy) atas semangat, saran, dan bantuannya.
8. Teman-teman “Wisma Seroja” (Ari, Wulan, Aci, Icha, Mbak Yesi, Dana) atas
semangat, doa dan bantuannya.
9. Seluruh teman-teman GM angkatan 43, 41,42, 44 dan 45 yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk
kesempurnaan dalam penulisan. Penulis berharap penelitian ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Maret 2011
A’immatul Fauziyah
v
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................... v DAFTAR TABEL ........................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR........................................................................................ vii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... viii PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 Latar Belakang ....................................................................................... 1 Tujuan ................................................................................................... 2 Kegunaan Penelitian .............................................................................. 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3 Bekatul (Rice Bran) ................................................................................ 3 Diversifikasi Pangan ............................................................................... 9 Cookies ................................................................................................... 10 Pangan Fungsional.................................................................................. 14 Antioksidan .............................................................................................. 15 Analisis Biaya Pembuatan ....................................................................... 16 METODE …. ……………………………………………………………………. 22 Desain, Waktu, dan Tempat ................................................................... 22 Bahan dan Alat ....................................................................................... 22 Tahapan ................................................................................................. 24 Rancangan Percobaan ........................................................................... 27 Pengolahan dan Analisis Data ................................................................ 28 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 29 Ketersediaan Bekatul Sebagai Bahan Pangan Alternatif Sumber Karbohidrat .............................................................................................. 32 Pembuatan Cookies Bekatul ................................................................... 29 Karakteristik Organoleptik Cookies Bekatul ............................................ 33 Kandungan Zat Gizi, Serat Pangan dan Kapasitas Antioksidan Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional …………………………………..… 43 Analisis Biaya Pembuatan Cookies ......................................................... 50 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 56 Kesimpulan .............................................................................................. 56 Saran ................................................................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 58 LAMPIRAN .................................................................................................. 62
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi Kimia Bekatul menurut Berbagai Penelitian ........................... 4
2 Komposisi Asam Amino Bekatul, tepung Terigu dan Beras (g/16gN) ..... 6
3 Syarat Mutu Cookies Menurut SNI No. 01-2973-1992 ............................ 10
4 Formula Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional ....................... 25
5 Produksi Padi dan Bekatul Nasional ................................................. ….. 29
6 Perkiraan Produksi Padi dan Bekatul Setiap Propinsi di Indonesia ........ 30
7 Hasil Uji Organoleptik Mutu Hedonik Cookies Bekatul Konvensional ..... 34
8 Hasil Uji Organoleptik Mutu Hedonik Cookies Bekatul Fungsional ......... 37
9 Hasil Uji Organoleptik Hedonik Cookies Bekatul Konvensional .............. 39
10 Hasil Uji Organoleptik Hedonik Cookies Bekatul Fungsional .................. 41
11 Kandungan Gizi, Serat Pangan dan Kapasitas Antioksidan Cookies
per 100 gram ........................................................................................... 43
12 Kadar Komponen Serat Pangan Cookies ................................................ 47
13 Ringkasan Analisis Biaya Pembuatan Cookies ....................................... 51
14 Daftar Perbandingan Harga Cookies ...................................................... 53
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Penampang Membujur Biji Gabah ........................................................... 3
2 Diagram Alir Tahapan Penelitian ............................................................. 24
3 Diagram Alir Pembuatan Cookies Bekatul .............................................. 26
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Proses Pembuatan Tepung Bekatul Konvensional dan Fungsional ......... 62
2 Formulir Uji Organoleptik Cookies Bekatul ............................................. 63
3 Prosedur Analisis Sifat Kimia ................................................................... 65
4 Hasil Sidik Ragam dan Uji Duncan Data Uji Organoleptik ...................... 70
5 Hasil Sidik Ragam dan Uji Duncan Data Proksimat ................................. 74
6 Hasil Analisis Biaya Pembuatan Cookies Bekatul ................................... 76
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Perkembangan teknologi menyebabkan terjadinya perubahan pada
berbagai aspek kehidupan manusia, salah satunya adalah aspek informasi.
Kemudahan dalam mengakses informasi tentang kesehatan berdampak pada
kesadaran tentang pentingnya kesehatan juga semakin meningkat. Salah satu
informasi yang sering beredar di masyarakat adalah informasi tentang pangan
yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan tersebut dapat berupa pangan kaya
serat, pangan kaya antioksidan, pangan rendah kolesterol serta pangan dengan
indeks glikemik yang rendah. Salah satu bahan pangan yang kaya serat adalah
bekatul.
Bekatul (rice bran) merupakan salah satu hasil samping dari proses
pengolahan padi menjadi beras. Pemanfaatan bekatul adalah bentuk re-use
(penggunaan kembali) hasil samping pengolahan padi. Pemanfaatan bekatul
dapat berupa penggunaan kembali sebagai pangan fungsional alternatif
disamping sebagai pakan ternak. Pemanfaatan sebagai pangan fungsional
alternatif merupakan salah satu bentuk upaya diversifikasi pangan. Bekatul
merupakan campuran lapisan pericarp dan aleuron yang terlepas selama proses
penggilingan padi. Menurut Damardjati (1988) proses penggilingan padi
menghasilkan bekatul sebesar 13,51%. Produksi gabah kering giling (GKG) pada
tahun 2009 sebesar 64,40 juta ton, maka dapat dihitung produksi bekatul tahun
2009 adalah sebesar 8,70 juta ton. Pemanfaatan bekatul terbatas sebagai pakan
ternak dengan nilai ekonomis yang rendah. Pemanfaatan bekatul masih belum
optimal jika dibandingkan dengan produksinya tersebut.
Bekatul mempunyai kandungan gizi karbohidrat, protein, lemak, vitamin
dan mineral (Luh 1991). Bekatul juga mengandung senyawa fitokimia khususnya
antioksidan sehingga bekatul berpotensi menjadi pangan sumber antioksidan.
Gamma-oryzanol berfungsi sebagai antioksidan tubuh. Senyawa lainnya, yaitu
senyawa fenolik tricin dan tokoferol dapat berfungsi sebagai penghambat kanker.
Kandungan gizi serta manfaat yang baik dari bekatul belum diiringi
dengan pemanfaatan yang optimal karena bekatul mudah rusak (tengik). Metode
untuk mengatasi kelemahan bekatul tersebut sebenarnya sudah tersedia
sehingga dapat diperoleh tepung bekatul dengan sifat yang tidak mudah tengik.
Pemanfaatan tepung bekatul ini dapat berupa substitusi bahan baku beberapa
produk pangan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat, misalnya cookies. Jenis
2 makanan berupa cookies sebagai makanan kesehatan dipilih karena praktis
(mudah dibawa), mempunyai daya simpan yang lama dan sering dikonsumsi
oleh masyarakat.
Penggunaan bekatul sebagai bahan substitusi dalam pembuatan cookies
merupakan salah satu upaya peningkatan nilai ekonomi bekatul yang merupakan
hasil samping hasil pertanian. Penggunaan bekatul dalam pembuatan cookies
akan meningkatkan kadar dietary fiber yang bermanfaat untuk kesehatan.
Penelitian ini difokuskan pada upaya pemanfaatan bekatul sebagai bahan
substitusi tepung terigu dalam pembuatan cookies sehingga akan mengurangi
penggunaan tepung terigu dan meningkatkan kadar kandungan gizi cookies.
Ketergantungan terhadap terigu diharapkan dapat dikurangi. Bekatul yang
digunakan adalah bekatul fungsional dan bekatul konvensional.
Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis potensi dan
gizi pemanfaatan bekatul dalam pembuatan cookies.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis potensi ketersediaan dan ekonomi bekatul sebagai bahan
pangan alternatif sumber karbohidrat
2. Menentukan formula pembuatan cookies yang disubstitusi tepung bekatul
konvensional dan fungsional
3. Menganalisis kandungan zat gizi, serat pangan dan kapasitas antioksidan
cookies
4. Menganalisis biaya pembuatan cookies
Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai pemanfaatan tepung bekatul konvensional dan fungsional sebagai
sumber serat dalam pembuatan cookies sebagai pangan fungsional. Selain itu,
hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi untuk Departemen Pertanian
mengenai potensi pemanfaatan tepung bekatul, terutama untuk meningkatkan
nilai ekonomis bekatul yang merupakan hasil samping pengolahan padi dalam
rangka diversifikasi pangan. Penelitian ini juga dapat memberikan informasi
tentang pengembangan produk bagi industri pangan.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Bekatul Karakteristik bekatul
Bekatul adalah lapisan luar dari beras yang terlepas saat proses
penggilingan padi. Menurut FAO dalam Houston (1972), bekatul adalah hasil
samping dari penggilingan padi yang sebenarnya merupakan selaput inti biji padi.
Bekatul terdiri atas lapisan pericarp, seed coat, nucellus, dan aleurone. Proses
penggilingan padi menjadi beras menghasilkan beras sebanyak 60-65%. Bekatul
yang diperoleh dari penggilingan padi adalah 8-12%. Menurut catatan Pusat
Penelitian dan Pengembangan pertanian Bogor dalam Nursalim dan Razali
(2007), kegiatan penyosohan beras dapat mengikis 7,5% dari bobot beras awal
berupa bekatul yang memiliki kadar selulosa dan hemiselulosa yang paling tinggi
dibandingkan dengan beras. Bekatul merupakan dedak yang paling halus
dengan komponen utamanya dalah endosperm. Penampang bujur biji gabah
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Penampang membujur biji gabah
Menurut David (2008), dedak dihasilkan pada proses penyosohan
pertama, sedangkan bekatul pada proses penyosohan kedua. Proses
penyosohan merupakan proses penghilangan dedak dan bekatul dari bagian
endosperma beras. Menurut Damardjati (1988) proses penggilingan padi
menghasilkan bekatul sebesar 13,51%. Tujuan penyosohan untuk menghasilkan
beras yang lebih putih dan bersih. Makin tinggi derajat sosoh, semakin putih dan
4 bersih penampakan beras, tapi semakin miskin zat gizi. Pada penyosohan beras
dihasilkan dua jenis hasil samping, yaitu dedak dan bekatul.
Komposisi Kimia dan Kegunaan Bekatul Bekatul mengandung air, protein, lemak, abu, serat kasar dan selulosa.
Komposisi kimia bekatul beragam tergantung pada varietas, proses penggilingan,
kondisi lingkungan, penyebaran kandungan kimia dalam butir padi, ketebalan
lapisan luar, ukuran dan bentuk butiran padi, ketahanan butir terhadap kerusakan
dan metode analisa zat gizi yang digunakan. Jenis padi dan lokasi berpengaruh
signifikan terhadap komposisi zat gizi bekatul (Houston 1972). Kisaran
kandungan zat gizi makro dan mikro serta komponen kimia lainnya pada bekatul
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia bekatul menurut beberapa penelitian Komponen Juliano & Bechtel (1985) Luh (1991)
Protein (%) 11.3-14.9 12.0-15.6 Lemak (%) 15.0-19.7 15.0-19.7 Serat kasar (%) 7.0-11.4 7.0-11.4 Karbohidrat (%) 34.1-52.3 34.1-52.3 Abu (%) 6.6-9.9 6.6-9.9 Kalsium (mg/g) - 0.3-1.2 Magnesium (mg/g) - 5.0-13.0 Fosfor (mg/g) - 11.0-25.0 Silika (mg/g) - 5.0-11.0 Seng (μg/g) - 43.0-258.0 Thiamin (μg/g) - 12.0-24.0 Riboflavin (μg/g) - 1.8-4.0 Tokoferol (μg/g) - 149-154
Karbohidrat yang terdapat pada bekatul berupa selulosa, hemiselulosa
dan pati. Kandungan pati yang terdapat pada bekatul diperoleh dari bagian
endosperma yang terbawa pada proses penyosohan (Hargrove 1994).
Damayanthi et al. (2007) menambahkan, kandungan pati tersebut akan
meningkat dengan semakin banyaknya tahap penyosohan yang dilakukan.
Selain zat gizi makro, bekatul juga mengandung zat gizi mikro seperti
vitamin dan mineral. Vitamin yang terkandung dalam bekatul antara lain karoten
(4,2 μg/g), thiamin (10,1-27,9 μg/g), riboflavin (1,7-3,4 μg/g), niacin (236-590
μg/g), piridoksin (10,3-32,1 μg/g), asam pantotenat (27,7-71,3 μg/g), biotin (0,16-
0,60 μg/g), inositol (4,62-9,27 μg/g), kolin (1,28-1,70 μg/g), asam folat (0,5-1,46
μg/g), vitamin B12 (0,005 μg/g) dan tokoferol (149,2 μg/g) (Houston 1972).
5 Bekatul adalah sumber vitamin B kompleks dan tokoferol, tetapi rendah vitamin A
dan vitamin C. Sebagian besar vitamin yang ada dalam padi terdapat pada
bagian aleuron dan lembaga. Hal ini menjadikan bekatul sebagai bahan yang
kaya akan kandungan vitamin. Vitamin B kompleks dan vitamin E (tokoferol)
banyak ditemukan di dalam bekatul (220-320 ppm), sedangkan vitamin A (0.9-1.6
ppm) dan vitamin C hanya sedikit jumlahnya (Barber dan Barber 1980).
Bekatul mengandung komponen antioksidan lebih dari 100 jenis, di
antaranya gamma oryzanol (2200-3000 ppm), tokoferol dan tokotrienol (220-320
ppm), fitosterol (2230-4400 ppm), karotenoid (0.9-1.6 ppm), vitamin B (tiamin, 22-
31 ppm) (Helal 2005). Tokoferol (vitamin E) berperan sebagai antioksidan
dengan mencegah kerusakan dinding sel sehingga mampu mencegah hemolisis
(kerapuhan) sel darah merah. Oryzanol merupakan fraksi tidak tersabunkan dari
minyak bekatul yang dapat membantu sirkulasi darah dan memicu sekresi
hormon (Kahlon et al. 1994).
Bakatul mempunyai sifat fungsional penurun kolesterol yang disebut efek
hipokolesterolemik. Mekanisme yang mendasari penurunan kolesterol adalah
kemampuan serat menyerap lipid pada jalur saluran pencernaan dan
peningkatan ekskresi asam empedu (Kahlon et al. 1994). Selain itu, bekatul
mampu menurunkan tekanan darah melalui penghambatan kerja enzim
angiotensin I-converting enzyme (ACE), suatu enzim yang bertanggung jawab
terhadap peningkatan tekanan darah (Ardiansyah 2004).
Bekatul juga mengandung zat anti-gizi dan enzim yang sangat merugikan.
Zat anti-gizi dapat menghambat metabolisme tubuh, sedangkan keberadaan
enzim menyebabkan ketengikan bekatul. Zat anti-gizi di dalam bekatul meliputi
fitin, tripsin inhibitor, dan hemaglutinin. Zat anti-gizi tersebut mempunyai aktivitas
yang rendah dan dapat diinaktifkan melalui pemanasan. Fitin yang terdapat pada
lapisan aleuron merupakan garam fitin-fosfor sebanyak 2.3-2.6%, sedangkan
fitinnya sebesar 1.8%. Tripsin inhibitor berupa protein albumin yang larut dalam
air, tetapi tidak menghambat kimotripsin, pepsin dan papain. Hemaglutinin adalah
zat yang mampu mengaglutinisasi sel-sel darah merah tipe A, B, AB, dan O
(Juliano 1985).
Kandungan lemak dalam bekatul cukup tinggi. Minyak bekatul
mengandung asam-asam lemak tidak jenuh mencapai 80% (Ciptadi dan
Nasution 1979). Kandungan lemak yang tinggi menyebabkan mudahnya
terjadinya ketengikan dalam beberapa jam setelah penggilingan. Ketengikan ini
6 disebabkan karena hidrolisis oleh enzim lipase pada lapisan biji dan melintang
pada gabah serta ketengikan oksidatif. Enzim lipase dapat menghidrolisis lemak
menjadi asam lemak dan gliserol. Jika enzim lipase tidak diinaktifkan maka asam
lemak bebas akan meningkat satu persen setiap jam pada suhu kamar (Luh
1980). Enzim lipoksigenase mengoksidasi asam lemak bebas menjadi peroksida
kemudian menjadi keton dan aldehid. Ketengikan akan mempengaruhi
penerimaan bekatul sebagai bahan makanan.
Kandungan protein dalam bekatul dapat mencapai 15,4% (Houston
1972). Protein dedak padi mempunyai asam amino esensial yang lengkap
sehingga mempunyai nilai gizi yang tinggi. Nilai gizi protein dedak ternyata tidak
berbeda jauh dengan nilai gizi protein pada kacang kedelai (Ciptadi dan Nasution
1979). Komposisi asam amino esensial bekatul lebih baik dibandingkan tepung
terigu. Komposisi asam amino esensial bekatul disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi Asam Amino Bekatul, Tepung Terigu dan Beras (g/16 g N)
No Asam amino Bekatul (Juliano 1985)
Tepung Terigu (Suarni & Patong
1999)
Beras (Juliano 1985)
1 Alanin 6,5-7,0 0,49 5,6 2 Arginin 8,6-9,1 0,73 9,3 3 Glisin 5,8-6,2 0,56 4,6 4 Isoleusin 2,9-4,5 0,43 4,1 5 Leusin 7,6-8,4 0,88 8,2 6 Lisin 5,3-6,0 0,38 3,9 7 Fenilalanin 4,9-5,3 0,61 5,1 8 Prolin 4,6-6,1 1,51 4,7 9 Serin 5,1-6,0 0,32 5,1
10 Threonin 4,2-4,6 0,36 9,2 11 Tirosin 3,5-3,8 0,39 5,2 12 Valin 5,4-6,6 0,55 5,8
Bekatul mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi mencapai 20,9%.
Kandungan serat pangan pada bekatul dapat mencapai empat kali lipat serat
kasarnya. Serat pangan sebagian besar terdiri atas karbohidrat antara lain
selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Serat ini tidak dapat dihidrolisa oleh
enzim pencernaan. Bahan yang mengandung banyak serat akan mempercepat
transit time sisa makanan di dalam usus sehingga menjadi lebih pendek. Selain
itu serat pangan juga dapat menurunkan kolesterol dalam darah.
Bahan pangan yang mempunyai serat yang tinggi juga cenderung
mempunyai indeks glikemik yang rendah. Indeks glikemik adalah tingkatan
7 pangan menurut efeknya terhadap peningkatan kada gula darah. Pangan
dengan indeks glikemik yang tinggi cepat menaikkan kadar gula darah
(Rimbawan dan Siagian 2004). Serat dalam bentuk utuh bertindak sebagai
penghambat fisik pada pencernaan sehingga indeks glikemik cenderung rendah.
Serat dapat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan
menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan menjadi lambat.
Dengan demikian respon glukosa darah juga lambat.
Bekatul mempunyai beberapa manfaat bagi kesehatan. Penelitian pada
binatang dan manusia, bekatul dan fraksi bekatul menunjukkan potensi efek
penurunan level kolesterol. Beberapa senyawa yang mempunyai aktivitas
menurunkan kadar koleseterol antara lain orizanol, hemiselulosa, fraksi serat,
protein dan komponen lemak tidak jenuh ganda dan tunggal (Saunder dalam
Malekian F et.al 2000).
Pemanfaatan Bekatul Penggunaan bekatul sangat bervariasi, mulai dari bahan bakar sampai
bahan makanan, termasuk pupuk, pharmaceutical, sabun dan makanan. Minyak
bekatul kasar dapat digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam
olet dan asam stearat dan sabun (Salvador B dan Carmen BB 1980).
Pemanfaatan bekatul antara lain sebagai bahan bakar, makanan, pupuk, obat-
obatan, sabun dan pakan (Barber S dan Barber CB 1980). Selain itu, bekatul
juga dapat digunakan untuk minyak salad, bahan baku kosmetik dan suplemen
kesehatan (Nursalim dan Razali 2007).
Pangan Bekatul dapat digunakan sebagai bahan baku pangan. Bekatul dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pencapur pada pembuatan biskuit dan kue.
Pemanfaatan bekatul yang diawetkan dengan ekstruder antara lain dimanfaatkan
sebagai sarapan sereal. Perbandingan antara tepung bekatul dengan tepung
beras adalah 90:10 sampai dengan 30:70 yang dicampur kemudian diekstruksi
pada kadar air 21%. Hasilnya adalah ekstrudat yang terbagi menjadi dua jenis,
yaitu irregular round untuk kadar bekatul sedang (10-30%) dan oblonglong
rectangular untuk kadar bekatul tinggi (50-70%). Peningkatan penambahan
bekatul sampai 30% akan menurunkan viskositas awal, indeks penyerapan air,
sebaliknya meningkatkan indeks air larut dan densitas kamba (Damardjati dan
Luh dalam damayanthi 2002).
8
Substitusi tepung bekatul padi varietas IR 64 sebesar 45% terhadap
tepung terigu atau tepung beras pada bolu kukus memiliki penerimaan yang baik
sedangkan substitusi pada risoles, nagasari dan cucur masing-masing sebesar
55% juga dapat diterima dengan baik (Damayanthi 2002). Substitusi sebesar
15% pada tepung terigu dilaporkan memberikan hasil yang optimal terhadap
penerimaan cookies dan roti manis metode dough sponge dan metode straight
dough. Substitusi ini meningkatkan kandungan serat makanan (hemiselulosa,
selulosa dan lignin) dan niasin pada produk (Muchtadi et al. Dalam Damayanthi
2002). Bekatul juga dapat dikonsumsi dalam bentuk minuman bekatul. Minuman
bekatul tersebut terdiri atas campuran bekatul 14 gram dan air sebanyak 220 ml
(Damayanthi 2002).
Penemuan lembaga Eykman Jakarta, dedak padi dapat diekstrak menjadi
sumber vitamin B. Penggunaan bekatul secara komersial di luar negri baru pada
pengekstrakan dedak untuk minyak goreng dan bahan pembuatan sabun
(Tangenjaya dalam Damayanthi 2002). Minyak murni yang diekstraksi dari
bekatul dapat digunakan untuk memasak. Bekatul juga dapat dikonsumsi secara
langsung sebagai minuman dan campuran sup (Nursalim dan Razali 2007).
Bekatul juga digunakan sebagai sumber vitamin B15 yang dapat dikonsumsi
dalam bentuk kapsul.
Pakan Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai pakan hewan ternak. Penggunaan
bekatul sebagai pakan dapat dikombinasikan dengan pakan lain. Bekatul
mempunyai berbagai kelemahan sebagai pakan. Kelemahan tersebut antara lain
kandungan serat yang tinggi, kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi,
proporsi Kalsium dan Fosfor berbeda dari yang disarankan sebagai pakan,
kandungan gizi yang bervariasi antar jenis bekatul dan tingkat kestabilan yang
rendah (Barber S dan Barber CB 1980).
Industri lainnya Bekatul dapat digunakan dalam berbagai industri yaitu, industri kosmetik,
sabun, pupuk, obat-obatan dan pembuatan kertas karbon. Minyak bekatul yang
tidak termurnikan dapat dimanfaatkan untuk produksi sabun dari asam lemak.
Minyak bekatul murni dapat digunakan sebagai pupuk pengganti insektisida.
Minyak bekatul murni juga dapat dimanfaatkan dalam industri tekstil dan kulit.
Produk sisa ekstraksi minyak bekatul yang berupa malam (wax) dapat digunakan
dalam pembuatan kertas karbon (Nursalim dan Razali 2007).
9
Diversifikasi Pangan Undang-undang No. 7 tahun 1996 yang diatur pelaksanaanya di dalam
peraturan pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan
menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan yang terus
berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan
mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya,
kelembagaan dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan,
mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan
prasarana produksi pangan serta mempertahankan dan mengembangkan lahan
produktif.
Dalam kaitannya dengan diversifikasi pangan, dianjurkan untuk menggali
potensi tanaman lokal yang sudah biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat.
Selain itu, juga dianjurkan untuk menggali potensi diversifikasi pangan yang
dikonsumsi golongan miskin dengan tetap memperhatikan kandungan gizi
(Soekartawi 1993 dalam Antara 2001). Salah satu potensi yang dapat digali
adalah bekatul. Bekatul mempunyai nilai ekonomi yang rendah tetapi memiliki
kandungan gizi yang cukup tinggi dan komponen bioaktif oryzanol sehingga para
peneliti merekomendasikan untuk mengembangkan pangan dari bekatul yang
memiliki palatabilitas tinggi (Damardjati dalam Damayanthi 2002).
Penganekaragaman konsumsi pangan sampai saat ini belum mencapai
kondisi yang optimal, yang dicirikan oleh skor pola pangan harapan (PPH) yang
belum sesuai harapan (75,7 pada tahun 2009), dan belum optimalnya peran
pangan lokal dalam mendukung penganekaragaman konsumsi pangan.
Peraturan presiden No. 22 tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal menjadi acuan bagi pemerintah
dan pemerintah daerah dalam melakukan perencanaan, penyelenggaraan,
evaluasi dan pengendalian percepatan penganekaragaman konsumsi pangan
berbasis sumber daya lokal. Padi termasuk sumber daya lokal dengan hasil
samping salah satunya adalah bekatul. Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pangan fungsional alternatif pengganti berbagai jenis tepung termasuk
tepung terigu.
Kebijakan, strategi dan rencana program aksi diversifikasi pangan
dilaksanakan dengan tujuan menyadarkan masyarakat agar dengan sukarela
dan atas dasar kemampuannya sendiri melaksanakan diversifikasi pangan dan
meningkatkan kemampuannya. Selain itu juga bertujuan untuk mengurangi
10 ketergantungan terhadap beras dan impor pangan dengan meningkatkan
konsumsi pangan baik nabati maupun hewani dengan meningkatkan produksi
pangan lokal dan olahannya. Diversifikasi pangan dilakukan dengan
mempercepat implementasi teknologi pasca panen dan pengolahan pangan lokal
yang telah diteliti ke dalam industri. Dukungan dari sektor peraatan, mesin dan
kredit penting pada saat tarnsformasi dari skala laboratorium menjadi skala
industri agar proses produksi berjalan lebih efisien (Suryana 2005).
Menururt Andyana (2005) diversifikasi pangan memiliki dua dimensi
pokok, yaitu keragaman pola konsumsi pangan dimana terdapat
keanekaragaman bahan pangan yang dikonsumsi sehingga memenuhi
kebutuhan gizi yang bermutu dan simbang serta keanekaragaman sumber bahan
pangan untuk masing-masing jenis zat gizi, sumber protein dari hewan, ikan
maupun nabati dan bersifat spesifik lokal. Menurut Suharjo (1998) menyebutkan
bahwa diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang slaing
berkaitan, yaitu diversifikasi produksi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan
dan diversifikasi konsumsi pangan.
Diversifikasi produksi pangan adalah usaha penganekaragaman
usatatani, baik secara vertikal maupun horizontal. Diversifikasi secara horizontal
adalah imbangan pengembangan antar berbagai komoditi dan wilayah.
Diversifikasi secara vertikal adalah pengembangan produksi setelah panen
termasuk kegiatan pengolahan hasil dan hasil samping pertanan yang
merupakan inti industrialisasi pertanian (Antara 2001). Diversifikasi konsumsi
pangan (derivasi diversifikasi vertikal) mempunyai peranan penting dalam
mengurangi beban sumberdaya untuk memproduksi satu atau dua komoditas
pangan. Diversifikasi vertikal mempunyai keuntungan tersedianya
keanekaragaman berbagai jenis pangan yang dapat meningkatkan nilai bahan
pangan tersebut serta merubah selera konsumen. Menurut Effendi yang diacu
dalam Antara (2001), salah satu hal yang harus diperhatikan dalam diversifikasi
konsumsi pangan adalah penyempurnaan teknologi pangan dapat meghasilkan
pangan non beras yang dapat merubah status komoditas pangan dari pangan
yang sebelumnya tidak disukai (inferior) menjadi bagian dari pola makan sehari-
hari (superior) khususnya kalangan menengah ke atas.
Cookies Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar
lemak tinggi, relatif renyah dan apabila dipatahkan penampang potongannya
11 bertekstur padat (BSN 1992). Menurut Departemen Perindustrian (1990) Biskuit
didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang
adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak, dan pengembang, dengan
atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan lain
yang diizinkan. Biskuit merupakan produk makanan kering yang mudah dibawa
karena volume beratnya kecil dan umur simpannya relatif lama (Whiteley 1971).
Biskuit dibuat dengan bahan dasar tepung (Vail et al 1978). Proses
pemanggangan dilakukan sampai kadar air tidak lebih dari 5%. Kadang-kadang
pada bahan dasar diberi beberapa bahan tambahan untuk memperbaiki cita rasa
dan penampakan. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya
konvensional relatif tinggi, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan
mudah dibawa dalam perjalanan, karena volume dan beratnya yang relatif ringan
akibat adanya proses pengeringan (Whiteley 1971). Menurut Vail et al (1978)
mutu cookies tergantung pada komponen pembentuknya dan penanganan
bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu produk akhir
dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara
pembuatan yang tepat. Syarat mutu cookies menurut SNI No. 01-2973-1992
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Syarat Mutu Cookies Menurut SNI No. 01-2973-1992
Komponen Syarat Mutu
Keadaan (bau, rasa, warna, dan tekstur)
Normal, tidak tengik
Air (% b/b) Maksimum 5,0 Lemak (% bb) Minimum 9,5 Protein (% bb) Minimum 9,0 Abu (%bb) Minimum 1,5 Karbohidrat (%bb) Minimum 1,5 Kalori (kal/100 g) Maksimum 70 Kadar cemaran logam berbahaya Minimum 400 Cemaran mikroba Negatif TPC (koloni/g) Maksimum 104
Coliform (APM/g) Maksimum 20E.coli (APM/g) <3 Kapang (koloni/g) Maksimum 102
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992)
Bahan Baku Cookies
Thelen dalam Matz (1978) membagi mengelompokkan bahan pembuatan
cookies menjadi dua kelompok, yaitu bahan pengikan dan pelembut. Bahan
pengikat, yaitu bahan pembentuk adonan yang kompak antara lain tepung, air,
12 susu, putih telur, dan air. Bahan yang termasuk dalam kategori bahan pelembut
yaitu gula, lemak, leavening agent, dan kuning telur. Bahan pelembut berfugsi
untuk melembutkan adonan.
Tepung Tepung berperan dalam membentuk struktur cookies (Matz 1978).
Tepung yang biasa digunakan dalam pembuatan cookies adalah tepung terigu
(Sunaryo 1985). Tepung terigu dengan kandungan protein 8-10% (tepung terigu
lunak) tepat digunakan untuk pembuatan cookies. Semakin tinggi kadar protein
tepung yang digunakan, maka semain banyak shortening dan gula yang
diperlukan untuk mendapatkan tekstur yang diterima. Karbohidrat pada tepung
berperan dalam meningkatkan cita rasa, mengikat air, dan membentuk tekstur
(Parker 2003).
Lemak
Fungsi lemak dalam pembuatan cookies adaah memperbaiki struktur fisik
seperti memperngaruhi volume pengembangan, tekstur dan kelembutan, dan
memberi flavor (Matz 1978). Lemak yang digunakan dalam pembuatan cookies
dapat berupa margarin (lemak nabati) dan mentega (lemak hewani). Lemak
nabati lebih banyak digunakan karena dapat memberikan tekstur yang lembut
dan halus. Lemak nabati juga memberikan penampakan yang baik.
Kuning Telur Kuning telur mengandung lesitin yang berperan sebagai emulsifier dalam
pembuatan cookies. Emulsifier adalah bahan aktif yang mempengaruhi
pembentukan dan stabilisasi emulsi. Lesitin dalam pembuatan cookies berperan
mempengaruhi konsistensi cookies. Lesitin juga membuat adonan menjadi tidak
lengket ketika dicampurkan. Lesitin mempercepat disperse lemak dan komponen
cairan didalam adonan cookies.Selain didalam kuning telur, lesitin juga terdapat
didalam kedelai. Produk yang menggunakan coklat memerlukan lesitin lebih
banyak (Matz 1978).
Gula Gula termasuk dalam kategori bahan pelembut karena membuat susunan
dan butiran cookies menjadi halus dan lembut. Selain itu gula juga memberikan
rasa manis. Fungsi gula yang lain adalah mengontrol penyebaran (Matz 1978).
Gula yang baik untuk pembuatan cookies adalah gula halus karena tidak
menyebabkan pelebaran cookies yang terlalu besar. Komposisi gula dalam
adonan harus tepat. Jika gula yang ditambahkan terlalu banyak maka adonan
13 akan menjadi lengket, menempel pada cetakan dan membuat warna coklat.
Selain itu, cookies akan menjadi lebih keras dan terlalu manis.
Garam Garam berfungsi untuk membangkitkan cita rasa bahan yang lain didalam
adonan cookies. Sebagian besar formula biscuit termasuk cookies menggunakan
garam dengan persentase 1% atau kurang. Penggunaan garam juga disarankan
3% dari berat lemak (Matz 1978). Jumlah garam yang ditambahkan sebenarnya
tergantung jenis tepung yang dipakai dan kompleksitas bahan yang digunakan
dalam pembuatan cookies. Garam digunakan lebih banyak pada adonan yang
menggunakan tepung dengan kadar protein yang rendah karena diperlukan
untuk memperkuat protein dalam tepung.
Bahan Pengembang (Leavening Agent) Bahan pengebang yang umum dipakai dalam pembuatan cookies adalah
baking powder. Bahan pengembang menghasilkan gas karbondioksida yang
menyebakan adonan mengembang. Baking powder berasal dari campuran
Natrium bikarbonat dengan asam tartarat atau garam fosfat. Pembentukan gas
karbondioksida dipengaruhi oleh PH (Matz 1978). PH adonan biasanya adalah
berkisar antara 5 sampai 6 sehingga optimum untuk pembentukan gas
karbondioksida. Jika PH adonan basa maka pembentukan gas akan berkurang
sehingga biasanya juga ditambahkan asam bersama dengan pengembang.
Susu Susu digunakan untuk memperbaiki warna, aroma, menahan penyerapan
air, sebagai bahan pengisi dan meningkatkan nilai gizi cokies. Penggunaan susu
yang disarankan adalah 5% dari tepung (Matz 1978). Komponen protein dalam
susu mengikat air dan membuat adonan lebih kaku dan lengket. Penggunaan
susu dalambentuk bubuk lebih menguntungkan daripada susu cair.
Proses Pembuatan Cookies Pembuatan cookies dikelompokkan menjadi dua berdasarkan metode
dasar pencampuran adonan, yaitu metode krim (creaming method) dan metode
all in. Pembuatan cookies dengan metode krim dilakukan dengan mencampurkan
lemak dan gula terlebih dahulu kemudian ditambahkan pewarna dan essens.
Setelah adonan tercampur kemudian ditambahkan susu dan yang terakhir adalah
bahan kimia untuk aerasi (Whiteley 1971). Pembuatan cookies dengan metode
all in berbeda dengan metode krim. Metode all in dilakukan dengan
mencampurkan semua bahan yang digunakan untuk membuat cookies dengan
14 tepung terigu. Adonan dicampur sampai mengembang (Whiteley 1971). Setelah
adonan mengembang kemudian cookies dicetak dengan cetakan dan
dipanggang. Pemanggangan cookies dapat dilakukan pada suhu 2200C selama
12-15 menit (Sultan 1983).
Pangan Fungsional Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau
lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi
fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan
(BPOM 2005). Menurut Drummond (2007) dan DeBruyne (2008), pangan
fungsional adalah pangan yang memberikan keuntungan bagi kesehatan karena
kontribusi zat gizi yang dikandungnya. Makanan utuh, makanan fortifikasi, dan
makanan yang dimodifikasi termasuk ke dalam pangan fungsional.
Pangan fungsional (functional food) mempunyai kaitan yang erat dengan
meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan dan gaya hidup sehat.
Pangan fungsional atau Food for Specified Health Use (FOSHU), didefinisikan
sebagai makanan yang berdasarkan pengetahuan (bukti riset ilmiah) tentang
hubungan antara makanan atau komponen makanan dan kesehatan yang
diharapkan mempunyai manfaat kesehatan tertentu. Karena sebagai makanan,
maka pangan fungsional harus memiliki karakteristik sebagai makanan (sensori,
warna, tekstur, citarasa, dan mempunyai zat gizi) (Ardiansyah 2004).
Departemen Kesehatan Jepang mendefinisikan pangan fungsional
sebagai Foods for Spesified Health Use (FOSHU), yaitu pangan yang diharapkan
mempunyai pengaruh khusus terhadap kesehatan karena adanya suatu
komponen di dalam pangan serta jenis pangan yang zat alergen di dalamnya
telah dihilangkan (Arai et al 2001). Ichikawa (1994) dalam Diana (2010)
menyatakan suatu pangan dikatakan sebagai pangan fungsional jika dapat
memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Dapat digunakan sebagai makanan dan memiliki fungsi untuk kesehatan
2. Manfaatnya bagi kesehatan dan pemenuhan gizi harus berdasarkan data
ilmiah
3. Jumlah yang dikonsumsi setiap hari harus ditentukan dan diizinkan oleh ahli
kesehatan dan gizi
4. Aman dalam diet yang seimbang
5. Memiliki karakteristik sifat fisik dan kimia disertai metode analisa yang jelas,
serta sifat kuantitatif dan kualitatif di dalam bahan pangan dapat ditentukan
15 6. Tidak mengurangi nilai gizi pangan
7. Dikonsumsi dengan cara yang wajar
8. Tidak dikonsumsi dalam bentuk tablet, kapsul, ataupun serbuk
9. Berasal dari bahan-bahan alami
Antioksidan Antioksidan adalah komponen dengan berat molekul kecil yang dapat
menghambat atau menekan terjadinya proses oksidasi pada bahan yang mudah
teroksidasi. Pokorny et al. (2008) menyebutkan bahwa berdasarkan sumbernya,
antioksidan dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik dan
antioksidan alami. Antioksidan sintetik adalah antioksidan yang diperoleh dari
sintesa menggunakan reaksi kimia. Antioksidan alami di dalam makanan dapat
berasal dari senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen
makanan yang terbentuk dari reaksi selama proses pengolahan atau berasal
antioksidan yang diisolasi dari sumber alami lain dan ditambahkan ke makanan
sebagai bahan tambahan pangan.
Fungsi antioksidan dalam makanan yang mengandung lemak adalah
meminimalkan ketengikan, menghambat pembentukan produk hasil oksidasi
yang beracun, dan menjaga mutu gizi makanan serta meningkatkan shelf life
makanan yang mengandung lemak (Jadhav et al. 1996). Pangan yang
mengandung lemak tidak jenuh rentan terhadap proses autooksidasi yang
diinisiasi oleh radikal bebas. Lama periode autooksidasi sensitif terhadap
keberadaan antioksidan dna komponen prooksidan.
Menurut Jadhav et al. (1996), proses autooksidasi lemak yang
disebabkan oleh radikal bebas terdiri dari tiga tahap utama, yaitu inisiasi,
propagasi dan terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan senyawa
radikal yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu
atom hidrogen (reaksi 1). Autooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal
bebas. Pembentukan radikal R* (reaksi 1.1) biasanya diperantarai oleh
komponen logam, radiasi cahaya dan panas. Hidroperoksida lemak yang
jumlahnya kecil juga membentuk antioksidan (reaksi 1.2 dan 1.3). Reaksi yang
terjadi adalah sebagai berikut :
Inisiasi : RH R* + H* (1.1)
: ROOH RO* + HO* (1.2)
: 2ROOH RO* + ROO* + H2O (1.3)
Propagasi : R* + O2 ROO* (2.1)
16 : ROO* + RH ROOH + R* (2.2)
Terminasi : ROO* + ROO* ROOR +O2 (3.1)
: R* + ROO* ROOR (3.2)
: R* + R* R R (3.3) Radikal bebas yang terbentuk pada reaksi inisiasi terbentuk menjadi
radikal bebas bentuk yang lain pada tahap propagasi. Radikal asam lemak akan
bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi (reaksi 2.1). ROO* yang
terbentuk menginisiasi reaksi berantai dengan molekul lain sehingga terbentuk
hidroperoksida dan radikal bebas dari lemak. Reaksi yang terjadi berulang kali
dapat menyebabkan akumulasi radikal bebas dan akan terus berlangsung
sampai asam lemak tidak jenuh habis. Jika asam lemak jenuh habis, maka
radikal bebas akan saling berikatan sehingga membentuk senyawa non radikal
yang stabil dan reaksi rantai berakhir. Reaksi ini adalah reaksi terminasi dari
reaksi oksidasi berantai. Tanpa adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan
mengalami terminasi dengan membentuk kompleks radikal bebas.
Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil kemudian terdegradasi lebih
lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida,
keton dan alkohol.
Salah satu metode yang banyak digunakan untuk menentukan kapasitas
antioksidan suatu bahan adalah metode DPPH. DPPH (2,2-dyphenyl-1-
picrylhydrazil) merupakan senyawa radikal bebas yag stabil dalam larutan
metanol yang berwarna ungu tua. Mekanisme reaksi yang terjadi adalah proses
reduksi seyawa DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan pengurangan
intensitas warna dari larutan DPPH. Pemudaran warna akan mengakibatkan
penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer. Reaksi yang
terjadi adalah pembentukan α, α-diphenyl-β-picrylhydrazine, melalui kemampuan
antioksidan menyumbang hidrogen. Semakin pudarnya warna DPPH setelah
direaksikan dengan antioksidan menunjukkan kapasitas antioksidan yang
semakin besar pula (Benabadji et al. 2004)
Analisis Biaya Pembuatan Bartono (2005) menyatakan bahwa setiap kegiatan usaha yang dilakukan
berusaha untuk meningkatkan aktivitasnya sehingga didapatkan revenue yang
diharapkan. Pendapatan atau revenue mengandung profit tertentu. Profit
diperoleh karena prosuk dijual dengan harga tertentu. Harga jual merupakan inti
dari kegiatan usaha sehingga harga jual perlu untuk ditentukan. Penentuan
17 harga jual suatu produk pangan perlu memperhatikan total harga seluruh
komponen bahan yang dipakai untuk membuat produk pangan, biaya produksi
selama memproses bahan, kebijakan food cost yang ditentukan oleh manajemen
sebagai faktor pembagi dalam perhitungan cost dan harga pokok penjualan serta
harus meperhatikan nilai tertentu yang mungkin harus ditambahkan pada harga
pokok penjualan, misalnya pajak (government tax).
Biaya Produksi Biaya adalah pengorbanan yang rasional yang seharusnya dapat diduga
lebih dahulu dan tidak dapat dihindarkan yang dapat dihitung dengan nilai uang
dan yang berhubungan dengan produksi barang dan jasa (Sriyadi 1995). Biaya
produksi adalah seluruh faktor produksi yang dikorbankan selama produksi
berlangsung. Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikorbankan untuk
menghasilkan produk sehingga produk tersebut sampai di pasar atau sampai di
konsumen. Dengan demikian, iaya penyimpanan, biaya iklan, pajak juga
termasuk dalam biaya produksi (Ahman 2004)
Nicholson (1990) menyatakan Biaya ekonomi adalah pembayaran yang
diperlukan untuk mempertahankan masukan itu dalam penggunaannya saat ini.
Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan produksi.
Biaya produksi produk pangan timbul karena pemakaian energi seperti listrik,
gas, steam, tenaga, da lainnya (Bartono 2005). Biaya produksi ini adalah total
biaya (total cost) yang dikeluarkan untuk memproduksi produk pangan. Biaya
total adalah hasil penjumlahan antara biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel
(variable cost).
Menurut Sriyadi (1995), biaya dapat dibedakan menjadi biaya langsung
(direct cost) dan biaya tak langsung (indirect cost). Biaya langsung adalah biaya
yang langsung dapat dihitung atau dapat langsung dibebankan pada produk
(barang atau jasa). Sedangkan biaya tak langsung adalah biaya yang
pembebanannya pada produk harus lebih dahulu melalui perhitungan sehingga
ada beberapa cara pembebanan biaya tak langsung. Dalam hubungannya
dengan produk, biaya langsung ini disebut dengan biaya produksi langsung,
sedangkan biaya tak langsung disebut dengan biaya produksi tidak langsung
atau biaya overhead pabrik.
Menurut Haryanto (2002), biaya produksi dalam suatu perusahaan dapat
dikategorikan menjadi:
1. Biaya Tetap (Fixed Cost)
18
Biaya tetap merupakan biaya yang dalam kurun waktu tertentu jumlahnya
tetap. Biaya ini tidak tergantung jumlah output yang dihasilkan. Contoh biaya
tetap adalah biaya gaji pegawai tetap, manajer, sewa tanah, penyusutan mesin,
bunga pinjaman bank. Biaya tetap ini dibedakan menjadi dua macam yaitu :
a. Biaya tetap total (total fixed cost), merupakan jumlah keseluruhan biaya yang
dikeluarkan dalam jumlah tetap dalam jangka waktu tertentu.
b. Biaya tetap rata-rata (average fixed cost), merupakan biaya tetap yang
dibebankan pada setiap satuan output yang dihasilkan.
2. Biaya Variabel (Variabel Cost)
Biaya variabel adalah biaya pengeluaran yang jumlahnya tidak tetap atau
berubah sesuai dengan jumlah output yang dihasilkan. Dalam hal ini, semakin
banyak jumlah produk yang dihasilkan, semakin besar pula biaya variabelnya.
Contoh biaya variabel adalah biaya bahan baku, bahan pembantu, bahan bakar,
dan upah tenaga kerja langsung. Biaya variabel ini dibedakan menjadi dua
macam, yaitu :
a. Biaya variabel total (total variabel cost), merupakan seluruh biaya yang harus
dikeluarkan selama masa produksi output dalam jumlah tertentu.
b. Biaya variabel rata-rata (average variabel cost), merupakan biaya variabel
yang dikeluarkan untuk setiap unit output.
3. Biaya Total (Total Cost)
Biaya total merupakan jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
memproduksi semua output, baik barang maupun jasa. Biaya ini dapat dihitung
dengan menjumlahkan biaya tetap total dengan biaya variabel total.
4. Biaya Rata-rata (Average Cost)
Biaya rata-rata merupakan biaya total yang dikeluarkan untuk setiap unit output.
5. Biaya Marginal (Marginal Cost)
Biaya marginal merupakan kenaikan dari biaya total yang diakibatkan oleh
diproduksinya tambahan satu unit output.
Klasifikasi Industri Menurut Daud (2009) Industri adalah semua kegiatan manusia dalam
bidang ekonomi yang sifatnya produktif dan komersial. Istilah industri sering
disebut sebagai manufaktur (manufacturing). Istilah industri juga diidentikkan
dengan kegiatan yang mengolah barang mentah atau barang baku menjadi
barang setengah jadi atau barang jadi. Pada umumnya semakin maju
19 perkembangan industri di dalam suatu negara, maka semakin banyak macam
dan jumlah industrinya serta sifat kegiatan dan usahanya semakin kompleks.
Pengklasifikasian industri dapat didasarkan pada criteria tertentu, yaitu
bahan baku, tenaga kerja, pangsa pasar, modal, atau jenis teknologi yang
digunakan. Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara juga
menentukan keanekaragaman industri. Semakin besar dan kompleks kebutuhan
masyarakat yang harus dipenuhi, maka semakin beraneka ragam jenis
industrinya. Klasifikasi industri berdasarkan kriteria masing-masing adalah
sebagai berikut.
Klasifikasi Industri Berdasarkan Bahan Baku Industri membutuhkan bahan baku sesuai produk yang akan dihasilkan.
Berdasarkan bahan baku yang digunakan, industri dapat diklasifikasikan menjadi
tiga kategori, yaitu:
1. Industri ekstraktif, yaitu industri yang bahan bakunya diperoleh langsung dari
alam. Contoh industri ini adalah industri hasil pertanian, industri hasil
perikanan dan industri hasil kehutanan.
2. Industri nonekstraktif, yaitu industri yang mengolah lebih lanjut hasil dari
industri lain. Contoh industri nonekstraktif adalah industri kain dan industri
pemintalan.
3. Industri fasilitatif atau industri tersier, yaitu industri yang kegiatannya adalah
menjual jasa layanan untuk kepentingan pihak lain. Contoh industri tersier
adalah industri perbankan, industri perdagangan, industri angkutan dan
pariwisata.
Klasifikasi Industri Berdasarkan Tenaga Kerja Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan, industri dapat
dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu:
1. Industri Rumah Tangga. Industri rumah tangga adalah industri yang
menggunakan tenaga kerja kurang dari empat orang. Industri ini juga
mempunyai modal yang terbatas. Tenaga kerja biasanya berasal dai
keluarga pemilik atau pengelola industri. Contoh industri rumah tangga
antara lain industri temped an tahu, industri makanan ringan dan industri
kerajinan.
2. Industri kecil. Industri kecil memiliki tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang.
Ciri lainnya adalah industri kecil memiliki modal yang relatif kecil. Tenaga
kerja yang digunakan biasanya berasal dari lingkungan sekitar atau masih
20
mempunyai hubungan saudara dengan pemilik industri. Contoh industri ini
adalah industri genteng, industri batubara dan industri pengolahan rotan.
3. Industri sedang. Industri sedang memiliki tenaga kerja sekitar 20 sampai 99
orang. Industri sedang menggunakan modal yang cukup besar. Tenaga kerja
yang digunakan memilki keterampilan tertentu dan pimpinan perusahaan
memiliki kemampuan manajerial tertentu, contohnya adalah industri
konveksi, industri border dan industri keramik.
4. Industri besar. Industri besra meiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang.
Industri besar memiliki modal yang besar yang dihimpun secara kolektif
dalam bentuk pemilikan saham. Tenaga kerja harus memiliki keahlian
khusus dan pemimpin perusahaan dipilih melalui uji kemampuan dan
kelayakan, contohnya industri tekstil, industri mobil dan industri pesawat
terbang.
Klasifikasi Industri Berdasarkan Proses Produksi Berdasarkan proses produksi, industri dapat dikategorikan menjadi dua jenis,
yaitu:
1. Industri hulu. Industri hulu adalah industri yang hanya mengolah bahan
mentah menjadi barang setengah jadi. Industri hulu menyediakan bahan
baku untuk industri lain, misalnya industri kau lapis, industri pemintalan dan
industri baja.
2. Industri hilir. Industri hilir mengolah barang setengah jadi menjadi barang
atau bahan yang dapat langsung dipakai atau dimanfaatkan oleh onsumen,
misalnya industri pesawat terbang, industri otomotif dan industri konveksi.
Klasifikasi Industri Berdasarkan Modal yang Digunakan Berdasarkan modal yang digunakan, industri dapat dikategorikan menjadi
tiga kategori, yaitu:
1. Industri dengan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Industri ini
memperoleh modal dari pengusaha atau pemerintah nasional (dalam
negeri), misalnya industri kerajinan, industri pariwisata dan industri makanan.
2. Industri dengan penanaman modal asing (PMA). Industri ini memperoleh
modal dari penanaman modal asing, misalnya industri komunkasi, industri
perminyakan dan industri pertambangan.
3. Industri dengan modal patungan (Joint Venture). Industri ini memperoleh
modal dari kerja sama antara PMDN dan PMA, misalnya adalah industri
otomotif dan industri tarnsportasi.
21 Klasifikasi Industri Berdasarkan Subjek Pengelola
Berdasarkan subjek pengelolanya, industri dapat dikategorikan menjadi dua
kategori, yaitu:
1. Industri Rakyat, yaitu industri yang dikelola dan merupakan milik rakyat,
misalnya industri kerajinan dan industri makanan tradisional.
2. Industri Negara, yaitu idustri yang dikelola dan merupakan milik negara atau
dikenal dengan istilah badan usaha milik negara (BUMN), misalnya industri
baja, industri pertambangan dan industri transportasi.
22
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September
sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan
Analisis Makanan serta Laboratorium Penilaian Organoleptik, Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelusuran
data ketersediaan bekatul, data harga bahan pembuatan cookies bekatul, data
harga cookies dan data harga alat pembuatan cookies dilakukan di perpustakaan
IPB, Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan Bahan yang digunakan untuk pembuatan tepung bekatul konvensional
adalah bekatul. Bahan yang diperlukan untuk pembuatan tepung bekatul
fungsional adalah tepung bekatul konvensional, aquadest dan asam askorbat.
Bahan yang diperlukan dalam pembuatan cookies adalah tepung terigu,
margarin, mentega, tepung bekatul konvensional, tepung bekatul fungsional,
leavening agent, susu skim, bubuk coklat, kayu manis, gula halus, kuning telur
dan bubuk vanili. Bahan yang digunakan untuk uji organoleptik adalah cookies
dengan campuran bekatul sesuai dengan formula yang ditetapkan.
Uji proksimat yang dilakukan adalah uji kadar abu, kadar air, kadar
protein, kadar karbohidrat by difference dan kadar lemak. Bahan yang digunakan
untuk uji kadar air dan uji kadar abu adalah sampel yang akan diteliti. Bahan
yang digunakan untuk uji kadar protein sampel yang akan diteliti adalah
campuran selenium (selenium mix), larutan H2SO4, larutan indikator PP 1%,
larutan indikator BCG.MM (5:1), larutan NaOH 30%, larutan H3BO3 2%, larutan
HCl 0,01 N, dan air suling. Bahan yang digunakan untuk uji kadar lemak adalah
sampel yang akan diteliti, larutan heksana, air suling, larutan HCl 25% dan kertas
pH. Bahan yang diperlukan untuk uji kapasitas antioksidan adalah sampel yang
akan dianalisis, larutan DPPH dan methanol 95%. Bahan yang diperlukan untuk
uji kadar serat pangan adalah sampel bebas lemak, kapas bebas lemak, enzim
pepsin, enzim pankreatin, larutan heksana, air suling, ethanol 96% dan aseton.
23 Alat
Peralatan yang digunakan untuk pembuatan tepung bekatul konvensional
adalah autoklaf, oven, discmill dan ayakan 60 mesh. Peralatan yang diperlukan
untuk pembuatan tepung bekatul fungsional adalah autoklaf, oven, discmill,
ayakan 60 mesh dan tray oven. Peralatan yang diperlukan dalam pembuatan
cookies adalah mixer, oven, cetakan, sendok dan loyang. Peralatan yang
digunakan untuk uji kadar air antara lain botol cawan aluminium, desikator, oven
dan neraca analitik yang terkalibrasi dengan ketelitian 0,001 gram.
Peralatan yang digunakan untuk uji kadar abu antara lain cawan
porselen, tanur, pemanas listrik, neraca analitik yang terkalibrasi dengan
ketelitian 0,001 gram, desikator, sudip, dan pipet tetes. Peralatan yang
digunakan untuk uji kadar protein adalah neraca analitik yang terkalibrasi dengan
ketelitian 0,001 gram, labu destruksi, tabung destilasi, pipet Mohr 10 mL, alat
destruksi, erlenmeyer 250 mL, Kjeltec, buret shelbach 50 mL, labu semprot,
sudip, pipet tetes, gelas ukur 100 mL, batu didih, labu ukur 250 mL, corong, dan
pipet volumetrik 25 mL.
Peralatan yang digunakan untuk analisis lemak antara lain neraca analitik
yang terkalibrasi dengan ketelitian 0,001 gram, desikator, pinggan lemak,
soxhlet, timbel ekstraksi, oven, kapas bebas lemak, kertas saring, corong,
erlenmeyer 250 mL, gelas ukur 50 mL, batu didih, pemanas listrik, kaca arloji
besar, pengaduk, labu semprot dan sudip. Peralatan yang digunakan untuk uji
kapasitas antioksidan adalah spektrofotometer, pipet mikro, rotavorator, dan
sentrifuge. Peralatan yang dibutuhkan untuk menganalisis kadar serat pangan
adalah pompa vakum dan penyaringnya, sudip, water bath, soxhlet, alu, mortar,
neraca analitik yang terkalibrasi dengan ketelitian 0,001 gram dan labu lemak.
24
Tahapan Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan penelitian
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian
1. Analisis Ketersediaan Bekatul Sebagai Sumber Karbohidrat Analisis ketersediaan bekatul dilakukan dengan cara penelusuran data
produksi padi dan kemudian dikonversi menjadi data produksi bekatul. Data yang
dibutuhkan adalah data produksi padi dan data penggunaan bekatul. Data
penggunaan bekatul tidak tersedia sehingga ketersediaan bekatul diasumsikan
dari produksi gabah kering giling (GKG) dengan faktor konversi 13,51%
Formulasi cookies tepung bekatul konvensional
Formulasi cookies tepung bekatul fungsional
Formula cookies kontrol
Formula cookies Bekatul I
Formula cookies Bekatul
II
Formula cookies Bekatul
III
Formula cookies Bekatul
IV
Formula cookies
Bekatul V
Uji organoleptik
Formula terpilih
Analisis zat gizi, serat pangan dan kapasitas
antioksidan
Analisis Biaya pembuatan
cookies
Pembuatan Tepung Bekatul konvensional dan fungsional
Analisis ketersediaan bekatul
25 (Damardjati 1988). Produksi energi dari bekatul dihitung dengan mengkonversi
energi yang dihasilkan dari karbohidrat, lemak dan protein bekatul. Metode
pembuatan tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional disajikan
pada Lampiran 1.
2. Penentuan Formula Cookies Bekatul Penentuan formula cookies bekatul dilakukan setelah semua bahan baku
yang diperlukan untuk membuat cookies bekatul tersedia lengkap. Penetapan
formula cookies bekatul dari bekatul konvensional dan bekatul fungsinal
dilakukan secara trial and error, yaitu mencari perbandingan komposisi tepung
terigu dan tepung bekatul yang tepat, sehingga diperoleh perbandingan yang
paling disukai oleh panelis (konsumen). Penambahan tepung bekatul ke dalam
formula cookies juga disesuaikan dengan kebutuhan serat pada orang dewasa,
yaitu 20-30 gram per hari (Almatsier 2004). Formula cookies dengan lima tingkat
substitusi disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Formula Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional
Bahan
Jumlah (gram)
Kontrol (F0)
Substitusi 25% (F1)
Substitusi 30% (F2)
Substitusi 35% (F3)
Substitusi 40% (F4)
Substitusi 45% (F5)
Tepung bekatul 0 25 30 35 40 45 Tepung terigu 100 75 70 65 60 55 Gula halus 60 60 60 60 60 60 Margarin 50 50 50 50 50 50 Mentega 25 25 25 25 25 25 Kuning telur 20 20 20 20 20 20
Susu skim 13 13 13 13 13 13 vanili 1 1 1 1 1 1 Soda kue 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 Bubuk coklat 5 5 5 5 5 5
Bubuk kayu manis
2 2 2 2 2 2
Jumlah (g) 276,5 276,5 276,5 276,5 276,5 276,5 Batas atas dan bawah ditetapkan berdasarkan trial and error . Kandungan
serat yang tinggi pada tepung bekatul dapat mempengaruhi tekstur cookies.
Berdasarkan hasil trial and eror yang dilakukan, diperoleh tingkat substitusi
maksimum yang dapat digunakan dalam pembuatan cookies bekatul, yaitu
sebesar 45%. Substitusi tepung bekatul yang melebihi 45% dari tepung terigu
26 memberikan aftertaste pahit yang berlebihan. Cookies yang dihasilkan juga
menjadi lebih keras dan sukar dibentuk. Oleh karena itu, digunakan lima tingkat
substitusi cookies bekatul yaitu 25%, 30%, 35%, 40% dan 45%.
Proses pembuatan cookies bekatul terdiri dari beberapa tahap, yaitu
penimbangan bahan, pencampuran bahan (mixing), pencetakan adonan,
pemanggangan dengan oven, pendinginan (cooling) dan pengemasan (packing).
Pencampuran bahan dilakukan dengan mixer. Pemanggangan dilakukan pada
suhu 1600C selama 15 menit. Adapun skema proses pembuatan cookies bekatul
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Diagram alir pembuatan cookies bekatul (Modifikasi Saputra 2008)
3. Uji Organoleptik Cookies Bekatul Formula Cookies bekatul yang telah dibuat kemudian diuji organoleptik. Uji
organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu hedonik dan uji kesukaan (hedonik)
kepada 30 orang panelis yang agak terlatih (semi terlatih). Uji mutu hedonik tidak
dapat menggunakan panelis konsumen karena bukan merupakan uji preferensi.
Uji ini dilakukan untuk mengetahui penilaian panelis terhadap produk cookies
margarin, mentega, gula halus, kuning telur
tepung bekatul, tepung terigu
dicampur dengan mixer
soda kue, susu skim, bubuk coklat, bubuk
kayu manis
dicampur dengan mixer
dipanggang 1600C, 15 menit
dicetak
didinginkan
cookies bekatul
27 bekatul yang dihasilkan. Uji mutu hedonik dan uji hedonik dilakukan terhadap
warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan pada cookies bekatul. Kedua uji ini
dilakukan menggunakan skala garis 1-9. Formulir uji organoleptik yang
digunakan dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil uji hedonik digunakan untuk
menentukan formula (produk) terpilih berdasarkan nilai rata-rata dan persentase
penerimaan dari masing masing komponen rasa, warna, aroma, dan tekstur.
Hasil formula terpilih akan digunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya, yaitu
analisis zat gizi dan analisis ekonomi cookies formula terpilih.
4. Analisis Zat Gizi, Serat Pangan dan Kapasitas Antioksidan Cookies Bekatul
Formula cookies bekatul yang terpilih dari substitusi tepung bekatul
konvensional dan tepung bekatul fungsional dianalisis secara kimia. Sifat kimia
yang dianalisis meliputi kadar air dengan metode oven, kadar abu dengan
metode pengabuan kering, kadar lemak dengan metode soxhlet, serat pangan
dengan metode enzimatis, kadar protein metode mikrokjedahl dan analisis
aktivitas antioksidan dengan metode DPPH. Prosedur analisis disajikan pada
Lampiran 3.
5. Analisis Biaya Pembuatan Cookies
Analisis biaya pembuatan cookies dilakukan untuk menentukan harga jual
cookies formula terpilih. Analisis ini dilakukan untuk skala industri kecil. Analisis
biaya pembuatan membutuhkan data harga bahan baku pembuatan cookies,
harga kemasan, upah tenaga kerja dan harga alat untuk pembuatan cookies
beserta kapasitas alat tersebut.
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan yaitu substitusi
tepung bekatul, baik tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional.
Terdapat dua jenis cookies, yaitu cookies tepung bekatul konvensional dan
cookies bekatul fungsional yang dianalisis secara terpisah. Peubah respon yang
diamati adalah warna, aroma, tekstur dan rasa dari cookies bekatul. Secara
sistematis, bentuk umum dari rancangan tersebut adalah sebagai berikut:
Yij = μ + τi + εij
Yij :peubah respon akibat perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j
μ :nilai rata-rata umum
28 τi :pengaruh tingkat substitusi tepung terigu dengan masing-masing tepung
bekatul konvensional atau fungsional pada taraf ke-i
εij :galat unit percobaan akibat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i :banyak taraf tingkat substitusi tepung bekatul terhadap tepung terigu
(i=0%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45%)
j :banyak ulangan (j=1, 2..)
Pengolahan dan Analisis Data
Kandungan energi cookies ditentukan dengan cara menjumlahkan [(kadar
karbohidrat (g) x 4 + (kadar protein (g) x 4) + (kadar lemak (g) x 9)]. Hasil uji
organoleptik dianalisis secara deskriptif menggunakan nilai rata-rata dan tingkat
kesukaan panelis terhadap formula cookies. Analisis pengaruh masing-masing
jenis formula terhadap mutu hedonik dan tingkat kesukaan panelis terhadap
cookies bekatul konvensional dan fungsional dilakukan dengan uji Analysis of
Variance (ANOVA). Apabila hasil analisis ANOVA menunjukkan adanya
pengaruh perlakuan yang nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple
Comparison. Masing masing cookies dengan substitusi jenis tepung bekatul yang
berbeda dianalisis statistik secara terpisah. Analisis biaya pembuatan dilakukan
untuk menentukan harga cookies bekatul konvensional dan fungsional.
29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketersediaan Bekatul Sebagai Bahan Pangan Alternatif Sumber Karbohidrat
Produksi padi di Indonesia secara keseluruhan dari tahun 2006 sampai
tahun 2009 cenderung mengalami peningkatan. Hal ini berarti produksi bekatul
juga mengalami peningkatan. Produksi padi pada tahun 2004 mencapai
54.088.468 ton atau menghasilkan bekatul sebesar 7.307.352 ton. Produksi ini
terus mengalami penigkatan di tahun berikutnya. Hasil produksi padi dan bekatul
dari tahun 2006-2009 serta angka pertumbuhannya disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5 Produksi Padi dan Bekatul Nasional
Tahun Produksi Padi (ton)
Produksi Bekatul (ton)
Laju Pertumbuhan Produksi Bekatul
(%) 2005 54.151.097 7.315.813 0,11 2006 54.454.937 7.356.862 0,56 2007 57.157.435 7.721.970 4,96 2008 60.325.925 8.150.032 5,54 2009 64.398.890 8.700.290 6,75
Sumber: Departemen Pertanian (2010)
Tabel 5 menunjukkan bahwa produksi bekatul cenderung mengalami
peningkatan. Peningkatan yang cukup signifikan dimulai pada tahun 2007
dibandingkan pada tahun 2006 dan tahun 2005. Angka pertumbuhan produksi
bekatul pada tahun 2007 adalah sebesar 4,96%. Angka tersebut meningkat pada
tahun 2008 (5,54%) dan meningkat lagi pada tahun 2009 (6,75%). Potensi
pemanfaatan bekatul masih sangat besar karena produksi bekatul cukup tinggi di
Indonesia. Angka produksi bekatul juga cenderung meningkat setiap tahun
sehingga peluang pemanfaatan bekatul juga sangat besar. Pemanfaatan bekatul
sebagai bahan pangan masih sangat terbatas padahal bekatul bermanfaat bagi
kesehatan karena mengandung komponen fitokimia tokoferol (vitamin E) yang
penting untuk menjaga kesehatan manusia serta bersifat antioksidan sehingga
dapat melindungi dari kerusakan oksidatif.
Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menghasilkan bekatul
lebih dari 1 juta ton per tahun. Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur juga
merupakan sentra produksi padi di pulau Jawa dengan jumlah produksi padi
mencapai lebih dari 10 juta ton per tahun. Daerah diluar pulau jawa, khususnya
Sulawesi selatan, Sumatera selatan dan Sumatera utara juga mempunyai
produksi padi dan bekatul yang cukup besar. Produksi bekatul yang besar
30 menggambarkan ketersediaan bekatul yang besar. Ketersediaan bekatul yang
besar tidak dapat dianggap sebagai bahan pangan, tetapi hasil samping dari
penggilingan padi. Masyarakat umumnya tidak mengonsumsi bekatul sebagai
makanan tetapi menggunakannya sebagai bahan pakan ternak. Perkiraan
produksi bekatul di berbagai propinsi di Indonesia disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Perkiraan Produksi Padi dan Bekatul Setiap Propinsi di Indonesia Tahun 2010
No Nama Propinsi Produksi Padi (ton)
Produksi Bekatul (ton)
Energi* (juta Kal)
1 Nanggroe Aceh Darussalam 1.627.545,00 219.881,00 368.042,00
2 Sumatera Utara 3.586.861,00 484.585,00 811.109,003 Sumatera Barat 2.192.288,00 296.178,00 495.749,004 Riau 545.541,00 73.703,00 123.366,005 Jambi 658.271,00 88.932,00 148.856,006 Sumatera Selatan 3.249.334,00 438.985,00 734.783,007 Bengkulu 512.212,00 69.200,00 115.829,008 Lampung 2.701.699,00 365.000,00 610.945,009 Bangka Belitung 25.534,00 3.450,00 5.775,00
10 Kepulauan Riau 1.009,00 136,00 228,0011 DKI Jakarta 11.760,00 159,00 266,0012 Jawa Barat 11.650.160,00 1.573.937,00 2.634.491,0013 Jawa Tengah 10.079.212,00 1.361.702,00 2.279.248,0014 DI Yogyakarta 830.545,00 112.207,00 187.815,0015 Jawa Timur 11.375.779,00 1.536.868,00 2.572.444,0016 Banten 2.048.152,00 276.705,00 463.155,0017 Bali 846.896,00 114.416,00 191.512,0018 Nusa Tenggara Barat 1.779.187,00 240.368,00 402.333,0019 Nusa Tenggara Timur 540.771,00 73.058,00 122.286,0020 Kalimantan Barat 1.358.292,00 183.505,00 307.155,0021 Kalimantan Tengah 644.781,00 87.110,00 145.807,0022 Kalimantan Selatan 1.944.888,00 262.754,00 439.804,0023 Kalimantan Timur 580.654,00 78.446,00 131.305,0024 Sulawesi Utara 589.238,00 79.606,00 133.246,0025 Sulawesi Tengah 986.126,00 133.226,00 222.997,0026 Sulawesi Selatan 4.273.767,00 577.386,00 966.442,0027 Sulawesi Tenggara 455.200,00 615,00 1.029,0028 Gorontalo 255.215,00 34.480,00 57.713,0029 Sulawesi Barat 364.670,00 4.927,00 8.247,0030 Maluku 78.761,00 10.641,00 17.811,0031 Papua 102.861,00 13.897,00 23.261,0032 Maluku Utara 47.593,00 6.430,00 10.763,0033 Papua Barat 35.868,00 4.846,00 8.111,00
Total 65.980.670,00 8.807.339,00 14.741.923,00Sumber: Departemen Pertanian (2010) Keterangan: *)Dihitung dari kandungan karbohidrat, protein dan lemak bekatul
Produksi bekatul untuk propinsi di pulau Kalimantan dan Papua lebih kecil
daripada di pulau Jawa. Propinsi Kalimantan Selatan menghasilkan bekatul
31 paling besar daripada propinsi lainnya di pulau Kalimantan. Pemanfaatan bekatul
masih terbatas pada penggunaannya sebagai bahan pakan untuk hewan ternak.
Bekatul sebagai bahan pakan ternak, harganya masih relatif murah, yaitu Rp.
1500,00 per kg. Data penggunaan bekatul belum tersedia karena bekatul
merupakan produk sisa atau hasil samping dalam produksi beras. Secara umum
penggunaan bekatul adalah sebagai bahan pakan ternak. Salah satu
penggunaan bekatul sebagai bahan pangan yang diketahui adalah penggunaan
bekatul sebagai bahan pangan fungsional berupa tepung bekatul yang
bermanfaat untuk kesehatan dengan pusat produksi di Bandung, Jawa Barat.
Produksi bekatul yang besar juga menggambarkan potensi bekatul yang
besar juga untuk dimanfaatkan selain sebagai pakan. Peluang pemanfaatan
bekatul sebagai bahan pangan masih besar karena pemanfaatan bekatul
sebagai bahan pangan serta produk inovasinya masih sangat terbatas. Hal ini
disebabkan asumsi masyarakat yang masih menganggap bekatul sebagai bahan
pakan ternak. Pengetahuan masyarakat tentang manfaat bekatul bagi kesehatan
masih terbatas. Dengan demikian pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan
juga sebaiknya diiringi dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
manfaat bekatul bagi kesehatan melalui berbagai media sehingga lebih efektif.
Data penggunaan bekatul sebagai bahan pangan fungsional juga masih sangat
terbatas.
Bekatul apabila dimanfaatkan sebagai bahan pangan juga dapat
memberikan sumbangan energi yang cukup besar. Sumbangan energi dari
bekatul untuk seluruh propinsi di Indonesia dapat mencapai 14.741.923,00 juta
Kal. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar 237.556.363 (BPS
2010). Sumbangan energi dari bekatul per kapita untuk tahun 2010 adalah
62.056,00 Kal/kapita/tahun. Kandungan energi beras giling dan tepung terigu
masing-masing adalah 360 Kal/100gram dan 365 Kal/100gram (DKBM 2004).
Sumbangan energi dari bekatul per tahun dapat menggantikan 40.950,00 ton
beras per tahun atau 40.405,27 ton tepung terigu per tahun. Angka tersebut
menggambarkan potensi bekatul yang cukup besar sebagai bahan pangan
sumber karbohidrat pengganti beras atau tepung terigu.
Substitusi tepung terigu dari cookies sebesar 35% terhadap tepung terigu
atau 12,66% terhadap seluruh total adonan dapat menyumbang energi per hari
32,04 Kal/hari untuk tepung bekatul konvensional atau 30,42 Kal/hari untuk
tepung bekatul fungsional. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa seluruh
32 kontribusi makanan selingan diperoleh dari cookies bekatul konvensional atau
cookies bekatul fungsional. Sumbangan energi tepung bekatul baik tepung
bekatul konvensional maupun tepung bekatul fungsional yang diperoleh dari
cookies per hari jika diaplikasikan ke dalam konsep pola pangan harapan (PPH),
maka dapat menyumbang energi sebesar 3,20% untuk tepung bekatul
konvensional atau 3,04% untuk tepung bekatul fungsional terhadap skor PPH
ideal. Hal ini didasarkan pada asumsi, skor PPH untuk golongan serealia
idealnya adalah 50 atau setara dengan energi 1000Kal/hari.
Pembuatan Cookies Bekatul Pembuatan cookies bekatul konvensional dan fungsional dilakukan
dengan metode krim (creaming method). Pada metode krim, semua bahan tidak
dicampur secara bersamaan. Margarin, mentega dan gula dicampur terlebih
dahulu kemudian bahan yang lain. Adonan yang dibentuk dengan metode krim
lebih lembut daripada menggunakan metode all-in. Metode all-in mempunyai
keunggulan lebih mudah dan cepat dilakukan daripada metode krim.
Pemanggangan cookies dilakukan pada suhu 1600C selama 15 menit dengan
indikator cookies sudah harum dan keras.
Tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional digunakan
sebagai bahan substitusi tepung terigu. Tepung bekatul yang digunakan untuk
mensubstitusi tepung terigu adalah tepung bekatul konvensional dan tepung
bekatul fungsional 60 mesh. Ukuran ini lebih besar daripada ukuran tepung
terigu, yaitu 100 mesh sehingga tepung bekatul tidak dapat tercampur dengan
rata karena ukuran partikel yang berbeda. Tingkat subtstitusi yang digunakan
dalam pembuatan cookies bekatul konvensional dan fungsional ada 5 taraf, yaitu
25%(F1), 30%(F2), 35%(F3), 40%(F4) dan 45%(F5). Penentuan tingkat
substitusi ini dilakukan dengan trial and error. Substitusi tepung terigu yang
melebihi 45% menyebabkan rasa cookies menjadi sangat pahit dan teksturnya
pecah dan keras.
Bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies bekatul adalah tepung
terigu, tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional, gula halus,
margarin, mentega, kuning telur, susu skim, vanili, soda kue, bubuk coklat dan
bubuk kayu manis. Pada pembuatan cookies tidak dilakukan penambahan air.
Vanili (0,4%), bubuk coklat (1,8%) dan bubuk kayu manis (0,7%) ditambahkan
dengan tujuan untuk mengurangi aftertaste pahit dari tepung bekatul yang
digunakan.
33 Tahapan pertama pembuatan cookies bekatul adalah pencampuran
bahan penyusunnya. Lemak (margarin dan mentega) dan gula dicampur lebih
dahulu dengan menggunakan mixer kemudian ditambahkan susu skim, soda
kue, coklat bubuk, vanili. Setelah tercampur rata maka dapat ditambahkan
tepung terigu dan tepung bekatul yang sebelumnya dicampur lebih dahulu.
Adonan siap untuk dicetak kemudian dicetak dengan menggunakan cetakan
dengan ketebalan yang seragam (0,50 cm). Ketebalan yang berbeda membuat
cookies menjadi tidak seragam sehingga tidak matang secara bersamaan atau
merata. Pada saat pencetakan, semakin tinggi tingkat substitusi tepung bekatul,
maka adonan akan semakin keras dan sukar dicetak. Hal ini disebabkan karena
kandungan serat yang tinggi pada tepung bekatul sehingga membuat adonan
menjadi lebih mudah pecah.
Tahap selanjutnya adalah tahap pemanggangan dengan menggunakan
oven. Suhu yang digunakan adalah 1600C selama 15 menit. Setelah matang,
cookies diangkat dan didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, cookies
dikemas agar tidak terjadi reaksi dengan oksigen luar. Selain waktu juga
digunakan parameter lain untuk menentukan kematangan cookies, yaitu
kekerasan cookies dan aroma. Penambahan cookies bekatul berpengaruh
terhadap waktu pemanggangan. Cookies yang disubstitusi tepung bekatul
konvensional memiliki waktu pemanggangan yang lebih lama dibandingkan
cookies kontrol dan cookies bekatul fungsional. Hal ini disebabkan karena kadar
air cookies bekatul konvensional jauh lebih tinggi (9,97%) dibandingkan tepung
bekatul fungsional (2,34%) dan tepung terigu (1,9%).
Karakteristik Organoleptik Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional Uji organoleptik cookies bekatul dilakukan melalui uji mutu hedonik dan uji
kesukaan (hedonik) panelis terhadap mutu warna, mutu aroma, mutu rasa dan
mutu tekstur cookies bekatul konvensional dan fungsional dengan lima tingkat
substitusi tepung bekatul, yaitu 25% (F1), 30% (F2), 35% (F3), 40% (F4) dan
45% (F5), serta kontrol atau substitusi 0% (F0). Panelis berjumlah 30 orang,
yang semuanya berprofesi sebagai mahasiswa. Panelis mahasiswa ini termasuk
dalam panelis semi atau agak terlatih. Hal ini didasarkan pada seringnya panelis
menjadi panelis uji organoleptik. Uji organoleptik dilakukan menggunakan skala
garis, 1 sampai 9. Makna dari masing-masing skala tersebut diasjikan pada
Lampiran 2. Uji hedonik juga dilakukan untuk menentukan formula terpilih
terutama dengan menggunakan tingkat kesukaan panelis secara keseluruhan.
34 Jenis cookies yang akan dipilih adalah cookies bekatul konvensional dan
fungsional dengan tingkat substitusi tepung bekatul konvensional dan fungsional
paling besar yang tidak berbeda nyata dengan cookies kontrol secara statistik.
Uji mutu hedonik digunakan untuk mengetahui pengaruh substitusi tepung
bekatul konvensional maupung tepung bekatul fungsional terhadap mutu warna,
aroma, rasa dan tekstur cookies.
Mutu Hedonik Cookies Bekatul Konvensional Pada uji mutu hedonik parameter yang diuji meliputi warna, aroma, rasa
dan tekstur cookies. Pada parameter warna digunakan skala 1=amat sangat
coklat hingga 9=amat sangat kuning, untuk aroma digunakan skala 1=amat
sangat apek (berbau bekatul) hingga 9=amat sangat harum, parameter rasa
menggunakan skala 1=amat sangat pahit (terasa bekatul) 9=amat sangat terasa
manis dan untuk parameter tekstur menggunakan skala 1=amat sangat keras
hingga 9=amat sangat renyah. Nilai rata-rata hasil uji mutu hedonik cookies
bekatul konvensional untuk parameter warna, aroma, rasa manis dan rasa asin
serta tekstur pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil Uji Organoleptik Mutu Hedonik Cookies Bekatul Konvensional
Formula Uji Mutu Hedonik Cookies Bekatul Konvensional Warna Aroma Rasa Tekstur
F0 3,93a 6,29a 6,11a 6,69a
F1 3,57a 5,74a 5,56a 6,37a
F2 3,86a 5,00a 5,44a 6,44a
F3 3,09a 5,26a 5,45a 6,15a
F4 3,75a 5,09a 4,56a 4,87a
F5 2,46a 4,72a 4,91a 5,02a
Keterangan : Warna 1=amat sangat coklat 9=amat sangat kuning; Aroma:1=amat sangat apek 9=amat sangat harum; Rasa 1=amat sangat pahit 9=amat sangat manis; Tekstur 1=amat sangat keras 9=amat sangat renyah Nilai rata-rata sekolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0,05)
Warna. Warna adalah variabel yang mempengaruhi penampilan suatu
produk. Warna adalah kesan pertama yang muncul dalam penilaian produk
pangan. Warna pada cookies bekatul ditentukan oleh komposisi bahannya.
Cookies bekatul berwarna coklat karena warna bubuk coklat yang digunakan
dalam pembuatan cookies.
Hasil uji mutu hedonik terhadap mutu warna cookies bekatul konvensional
berkisar antara 2,46-3,93. Nilai ini berkisar amat coklat sampai agak coklat. Nilai
yang semakin rendah menunjukkan mutu warna cookies yang semakin coklat.
Cookies kontrol (F0) memiliki warna coklat mendekati agak coklat. Cookies yang
35 disubstitusi tepung bekatul konvensional 20% (F1), 25% (F2), 30% (F3) berwarna
coklat sampai agak coklat. Cookies dengan substitusi tepung bekatul
konvensional 35% (F4) memiliki warna sangat coklat. Warna coklat pada cookies
kontrol (F0) dan cookies dengan substitusi tepung bekatul konvensional
disebabkan oleh penambahan bubuk coklat. Warna sangat coklat pada cookies
bekatul konvensional dengan substitusi 35% (F4) disebabkan karena
penambahan tepung bekatul konvensional yang paling besar komposisinya
dibandingkan dengan formula yang lain. Tepung bekatul konvensional
menyebabkan warna coklat semakin tua.
Aroma. Aroma adalah bau yang ditimbulkan rangsangan kimia yang
tercium olah syaraf-syaraf olfaktori dalam rongga hidung. Bekatul mempunyai
aroma yang khas, yaitu apek. Aroma produk pangan ditimbulkan dari bahan
pembuatannya. Cookies bekatul memiliki aroma yang khas, yaitu aroma kayu
manis (harum) dan aroma dari lemak margarin dan mentega. Kayu manis juga
ditambahkan untuk menutupi aroma apek pada bekatul.
Hasil uji mutu hedonik terhadap parameter aroma menunjukkan bahwa
nilai rata-rata mutu aroma cookies bekatul konvensional adalah 4,72-6,29 atau
berada pada kisaran agak berbau apek sampai harum. Peningkatan substitusi
tepung bekatul konvensional menyebabkan aroma apek bekatul semakin
tercium. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan tingkat
substitusi tepung bekatul konvensional adalah tidak berpengaruh nyata (α>0,05)
terhadap mutu aroma cookies bekatul konvensional. Nilai rata-rata mutu aroma
tertinggi (6,29) yaitu pada kisaran agak harum dimiliki oleh cookies kontrol (F0).
Hal ini mengindikasikan bahwa menurut panelis, cookies F0 mempunyai aroma
paling harum dibandingkan formula lainnya. Nilai rata-rata mutu aroma terendah
dimiliki oleh formula cookies bekatul konvensional F5 yang mempunyai tingkat
substitusi tepung bekatul konvensional yang paling tinggi. Hal ini
mengindikasikan bahwa menurut panelis, cookies F5 mempunyai aroma bekatul
paling kuat dibandingkan dengan formula lainnya.
Rasa. Rasa adalah faktor penting yang menyebabkan makanan diterima
atau ditolak dalam penilaian. Tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul
fungsional yang digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu mempengaruhi
rasa cookies. Tepung bekatul konvensioal dan fungsional mempunyai aftertaste
pahit.
36
Hasil penilaian mutu organoleptik terhadap parameter rasa cookies
bekatul konvensional berada pada kisaran 4,91-6,11, yaitu pada kisaran agak
pahit sampai agak manis. Nilai rata-rata mutu rasa terendah (4,91) dimiliki
cookies F5 dan nilai rata-rata mutu rasa tertinggi dimiliki oleh cookies bekatul
konvensional formula F0. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa
tingkat substitusi tepung bekatul konvensional tidak berpengaruh nyata (α>0,05)
terhadap mutu rasa.
Tekstur. Tekstur adalah variabel yang berpengaruh terhadap penerimaan
produk pangan. Tekstur makanan yang dapat dinilai dapat berupa kekerasan,
kerenyahan dan keelastisan. Penilaian terhadap mutu tekstur cookies yang
dilakukan adalah kekerasan cookies. Substitusi tepung bekatul konvensional
maupun tepung bekatul fungsional memberikan pengaruh terhadap tekstur
cookies karena tepung bekatul konvensional dan fungsional mempunyai serat
yang lebih tinggi dibandingkan tepung terigu.
Hasil penilaian organoleptik mutu tekstur cookies berkisar antara 4,87-
6,69 atau berada pada kisaran agak keras sampai agak renyah. Nilai mutu
tekstur rata-rata terendah dimiliki oleh cookies bekatul konvensional F4, yaitu
4.87 atau berada dikisaran agak keras mendekati biasa (keras tidak renyah pun
tidak). Nilai mutu rata-rata tertinggi dimiliki oleh cookies bekatul konvensional F0
(6,69) atau berada pada kisaran agak renyah mendekati renyah. Hasil sidik
ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan tingkat substitusi tepung
bekatul konvensional tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap mutu tekstur
cookies. Nilai rata-rata mutu tekstur cookies menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat substitusi tepung bekatul konvensional maka mutu tekstur cenderung
semakin rendah (semakin keras). Hal ini disebabkan karena kandungan serat
yang tinggi pada tepung bekatul konvensional, yaitu 26.5% (Nurhayati 2009).
Serat terdiri atas komponen serat pangan larut dan serat pangan tidak larut.
Kandungan serat pangan berupa hemiselulosa mempunyai struktur yang kokoh
sehingga membuat tekstur cookies menjadi lebih keras.
Mutu Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Pada uji mutu hedonik cookies bekatul fungsional parameter yang diuji
meliputi mutu warna, aroma, rasa dan tekstur cookies. Pada parameter warna
digunakan skala 1=amat sangat coklat hingga 9=amat sangat kuning, untuk
aroma digunakan skala 1=amat sangat apek (berbau bekatul) hingga 9=amat
sangat harum, parameter rasa menggunakan skala 1=amat sangat pahit (terasa
37 bekatul) 9=amat sangat terasa manis dan untuk parameter tekstur menggunakan
skala 1=amat sangat keras hingga 9=amat sangat renyah. Nilai rata-rata hasil uji
mutu hedonik cookies bekatul konvensional untuk parameter warna, aroma, rasa
manis dan rasa asin serta tekstur pada setiap formula disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil Uji Organoleptik Mutu Hedonik Cookies Bekatul Fungsional
Formula Uji Mutu Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Warna Aroma Rasa Tekstur
F0 4,76b 5,64b 5,65bc 4,97a
F1 4,21b 4,72ab 5,07abc 5,18a
F2 4,23b 5,12b 5,51bc 4,74a
F3 4,27b 6,02ab 5,76c 5,11a
F4 3,41a 5,70ab 4,84ab 5,05a
F5 2,93a 5,15a 4,30a 5,31a
Keterangan : Warna 1=amat sangat coklat 9=amat sangat kuning; Aroma:1=amat sangat apek 9=amat sangat harum; Rasa 1=amat sangat pahit 9=amat sangat manis; Tekstur 1=amat sangat keras 9=amat sangat renyah Nilai rata-rata sekolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0,05)
Warna. Uji mutu hedonik terhadap parameter warna cookies bekatul
fungsional berkisar antara 2,93-4,76. Nilai ini berkisar sangat coklat sampai agak
coklat. Nilai yang semakin rendah menunjukkan mutu warna cookies yang
semakin coklat. Cookies F0 memiliki warna agak coklat. Cookies yang
disubstitusi tepung bekatul fungsional 45% berwarna sangat coklat mendekati
coklat. Warna cookies bekatul fungsional F5 memiliki warna coklat paling tua.
Cookies dengan substitusi bekatul fungsional 20% (F1), 25% (F2) dan 30% (F3)
memiliki warna agak coklat.
Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan tingkat
substitusi bekatul fungsional berpengaruh sangat nyata (α<0,01) terhadap mutu
warna cookies bekatul fungsional. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 4)
menunjukkan bahwa mutu warna formula cookies bekatul fungsional F0, F1, F2,
F3 adalah tidak berbeda nyata, sedangkan mutu warna cookies F0 adalah
berbeda nyata dengan cookies bekatul fungsional F4 dn F5. Demikian pula
warna cookies F1, F2 dan F3 adalah berbeda nyata dengan warna cookies F4
dan F5. Mutu warna cookies F4 dan F5 adalah tidak berbeda nyata.
Aroma. Hasil uji mutu hedonik terhadap parameter aroma cookies bekatul
fungsional menunjukkan bahwa nilai rata-rata mutu aroma cookies adalah 4,72-
6,02 atau berada pada kisaran agak berbau apek sampai agak harum.
Peningkatan substitusi tepung bekatul fungsional menyebabkan aroma cookies
semakin apek. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan
38 tingkat substitusi tepung bekatul fungsional berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap
mutu aroma cookies. Nilai rata-rata mutu aroma tertinggi (6,02) yaitu pada
kisaran agak harum dimiliki oleh cookies kontrol (F0). Hal ini mengindikasikan
bahwa menurut panelis, cookies F0 mempunyai aroma paling harum
dibandingkan formula lainnya. Nilai rata-rata mutu aroma terendah dimiliki oleh
cookies F5 yang mempunyai tingkat substitusi tepung bekatul konvensional yang
paling tinggi yang mengindikasikan bahwa aroma cookies paling apek
dibandingkan formula lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa menurut panelis,
cookies F5 mempunyai aroma bekatul yang paling kuat dibandingkan dengan
formula lainnya. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa mutu
aroma cookies bekatul fungsional formula F0, F1, F2, F3, dan F4 adalah tidak
berbeda nyata, sedangkan mutu aroma cookies bekatul fungsional F5 adalah
berbeda nyata dengan cookies formula F0 (kontrol).
Rasa. Hasil uji mutu hedonik terhadap mutu rasa cookies bekatul
fungsional berada pada kisaran 4,30-5,84, yaitu pada kisaran agak pahit sampai
biasa (pahit tidak manis pun tidak). Nilai mutu rata-rata terendah dimiliki oleh
cookies F5 (4,30) yaitu pada kisaran agak pahit. Nilai mutu rasa tertinggi dimiliki
oleh cookies F3. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tingkat
substitusi tepung bekatul fungsional adalah berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap
mutu rasa cookies. Cookies bekatul fungsional formula F0, F1, F2, F3 dan F4
adalah tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 4). Cookies
bekatul fungsional F5 adalah berbeda nyata dengan cookies bekatul fungsional
F3 dan F0.
Tekstur. Hasil penilaian organoleptik mutu tekstur cookies bekatul
fungsional berkisar antara 4,74-5,31 atau berada pada kisaran agak keras
sampai biasa. Nilai mutu rata-rata terendah dimiliki oleh cookies F2, yaitu 4,74
atau berada dikisaran agak keras. Nilai mutu rata-rata tertinggi dimiliki oleh
cookies F5 (5,31) atau berada pada kisaran biasa (keras tidak renyah pun tidak).
Hasil sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perbedaan tingkat substitusi
tepung bekatul fungsional tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap mutu
tekstur cookies.
Hedonik (kesukaan) Cookies Bekatul Konvensional Pada uji hedonik cookies bekatul konvensional, parameter yang diuji
adalah warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan (overall) cookies. Skala
yang digunakan berkisar antara 1 sampai 9, yaitu berkisar antara amat sangat
39 tidak suka sampai amat sangat suka. Hasil uji hedonik cookies bekatul
konvensional disajikan secara rinci pada Tabel 9.
Tabel 9 Hasil Uji Organoleptik Hedonik Cookies Bekatul Konvensional
Formula Uji Hedonik Cookies Bekatul Konvensional Warna Aroma Rasa Tekstur Keseluruhan
F0 6,07a 6,44a 6,35a 6,27a 6,54a
F1 6,07a 5,95ab 6,13a 6,60a 6,51a
F2 5,94a 5,78ab 5,95a 6,35a 6,23a
F3 5,37a 6,06ab 5,55a 6,24a 5,85a
F4 5,35a 5,20b 4,32a 3,81a 4,40b
F5 5,22a 5,31b 4,55a 5,08a 5,04b
Keterangan :Warna 1=amat sangat coklat 9=amat sangat kuning; Aroma:1=amat sangat apek 9=amat sangat harum; Rasa 1=amat sangat pahit 9=amat sangat manis; Tekstur 1=amat sangat keras 9=amat sangat renyah Nilai rata-rata sekolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0,05)
Warna. Hasil penilaian organoleptik menunjukkan bahwa nilai rata-rata
tingkat kesukaan panelis terhadap parameter warna cookies bekatul
konvensional berkisar antara 5,22-6,07 atau berada pada kisaran biasa sampai
agak suka. Cookies bekatul konvensional F0 dan F1 memiliki nilai kesukaan
terhadap warna tertinggi (6,07) atau pada kisaran agak suka. Cookies bekatul
konvensional F5 memiliki nilai kesukaan terendah (5,22) yaitu pada kisaran
biasa. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan tingkat
substitusi bekatul konvensional terhadap cookies adalah tidak berpengaruh nyata
(α>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis untuk parameter warna pada cookies
bekatul konvensional.
Aroma. Penilaian organoleptik tingkat kesukaan panelis terhadap aroma
cookies bekatul konvensional memiliki nilai rata-rata 5,31-6,44 atau berada pada
kisaran biasa sampai agak suka. Cookies bekatul konvensional F0 mempunyai
tingkat kesukaan tertinggi (6,44) sedangkan cookies bekatul konvensional F5
mempunyai tingkat kesukaan aroma terendah (5,31). Hasil sidik ragam
(Lampiran 4) menunjukkan bahwa tingkat substitusi tepung bekatul konvensional
adalah berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap tingkat kesukaan aroma pada
cookies bekatul konvensional. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 4) menunjukkan
bahwa cookies bekatul konvensional F0, F1, F2, F3, F4 adalah tidak berbeda
nyata sedangkan cookies bekatul konvensional F5 adalah berbeda nyata
dengan cookies bekatul konvensional F0.
Rasa. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa cookies
bekatul konvensional adalah 4,32-6,35 aau agak tidak suka sampai dengan agak
40 suka. Cookies bekatul konvensional F4 memiliki nilai kesukaan terendah yaitu
4,32 atau agak tidak suka sedangkan cookies F0 memiliki nilai kesukaan tertinggi
yaitu 6,35 atau agak suka. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa
perbedaan tingkat substitusi tepung bekatul konvensional adalah tidak
berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap tingkat kesukaan terhadap rasa cookies
bekatul konvensional
Tekstur. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur cookies
bekatul konvensional adalah 3,81-6,60 atau berkisar tidak suka sampai dengan
agak suka. Nilai kesukaan terhadap tekstur terendah dimiliki oleh cookies bekatul
konvensional F4 (3,81) atau tidak suka. Nilai kesukaan tertinggi dimiliki oleh
cookies F1 (6,60) atau agak suka. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 4)
menunjukkan tingkat substitusi tepung bekatul konvensional tidak berpengaruh
nyata (α>0,05) terhadap tingkat kesukan panelis terhadap tekstur cookies bekatul
konvensional. Keseluruhan. Variabel keseluruhan adalah penilaian panelis yang yang
berupa kombinasi variabel penerimaan panelis terhadap parameter warna,
aroma, rasa dan tekstur. Nilai kesukaan terhadap keseluruhan adalah acuan
yang digunakan untuk menentukan formula terpilih. Nilai rata-rata tingkat
kesukaan panelis terhadap keseluruhan cookies bekatul konvensional berada
pada kisaran 4,04-6,54 atau pada kisaran agak tidak suka sampai agak suka.
Cookies bekatul konvensional F0 memiliki nilai kesukaan tertinggi (6,54) secara
keseluruhan sedangkan cookies F4 memiliki nilai kesukaan terendah (4,40).
Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan tingkat substitusi tepung bekatul
konvensional adalah berpengaruh nyata (α<0,05) terhadap tingkat kesukan
panelis secara keseluruhan cookies bekatul konvensional. Hasil uji lanjut
Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tingkat kesukaan terhadap cookies
bekatul konvensional F0, F1, F2 dan F3 adalah tidak berbeda nyata tetapi
keempat formula tersebut adalah berbeda nyata dengancookies formula F4 dan
F5. Cookies bekatul konvensional F5 dan F4 adalah tidak berbeda nyata.
Hedonik (kesukaan) Cookies Bekatul Fungsional Parameter yang diuji hedonik adalah tingkat kesukaan terhadap warna,
aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan cookies bekatul fungsional. Skala yang
digunakan juga berkisar antara 1 sampai 9. Keterangan skala tersebut disajikan
pada Lampiran 2. Parameter 1 sampai 9 berkisar antara amat sangat suka
sampai amat sangat tidak suka. Hasil uji hedonik digunakan untuk melihat
41 penerimaan panelis terhadap cookies dan digunakan untuk menentukan formula
cookies terpilih. Hasil uji hedonik cookies bekatul fungsional disajikan pada Tabel
10.
Tabel 10 Hasil Uji Organoleptik Hedonik Cookies Bekatul Fungsional
Formula Uji Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Warna Aroma Rasa Tekstur Keseluruhan
F0 6,13a 5,75a 5,71ab 4,12a 4,93a
F1 5,48ab 5,40a 5,16abc 4,30a 4,83ab
F2 5,70ab 5,35a 4,83bc 4,12a 4,47ab
F3 5,79ab 6,08a 5,79a 4,86a 5,75ab
F4 5,66ab 5,54a 5,02abc 4,53a 5,15ab
F5 5,10b 4,92a 4,75c 4,10a 4,71b
Keterangan : Warna 1=amat sangat coklat 9=amat sangat kuning; Aroma:1=amat sangat apek 9=amat sangat harum; Rasa 1=amat sangat pahit 9=amat sangat manis; Tekstur 1=amat sangat keras 9=amat sangat renyah Nilai rata-rata sekolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0.05)
Warna. Hasil uji hedonik terhadap mutu warna cookies bekatul fungsional
berkisar antara 5,10-6,13. Cookies F0 mempunyai nilai rata-rata kesukaan
tertinggi (6,13) atau pada skala agak suka sedangkan F5 memiliki nilai rata-rata
kesukaan terendah (5,10) atau biasa. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 6)
menunjukkan perbedaan tingkat substitusi tepung bekatul fungsional
berpengaruh sangat nyata (α<0,01) terhadap tingkat kesukaan warna cookies.
Uji lanjut Duncan (Lampiran 6) menunjukkan F0, F1, F2, F3 adalah tidak berbeda
nyata, sedangkan F4 dan F5 adalah berbeda nyata dengan F0 (α<0,05).
Aroma. Hasil penilaian organoleptik tingkat kesukaan panelis terhadap
aroma cookies bekatul fungsional memiliki nilai rata-rata 4,92-6,08 atau berada
pada kisaran agak tidak suka sampai agak suka. Nilai rata-rata tertinggi (6,08)
atau agak suka dimiliki cookies F3. Cookies bekatul fungsional F5 memiliki
tingkat kesukaan rata-rata terendah (4,92) atau berada pada kisaran agak tidak
suka. Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tingkat substitusi
tepung bekatul fungsional adalah tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap
tingkat kesukaan mutu aroma cookies bekatul fungsional.
Rasa. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa cookies
bekatul fungsional adalah 4,75-5,79. Nilai kesukaan terendah dimiliki oleh
cookies F5 (4,75) atau agak tidak suka. Nilai kesukaan tertinggi (5,79) dimiliki
cookies F3 atau biasa. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa
tingkat substitusi tepung bekatul fungsional adalah berpengaruh nyata (α<0,05)
terhadap tingkat kesukaan panelis. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa
42 tingkat kesukaan terhadap cookies bekatul fungsional F0, F1, F2 dan F3 adalah
tidak berbeda nyata. Tingkat kesuaan cookies bekatul fungsional F4 adalah tidak
berbeda nyata dengan cookies bekatul fungsional F0 tetapi berbeda nyata
dengan tingkat kesukaan cookies bekatul fungsional F3. Tingkat kesukaan
cookies bekatul fungsional F5 adalah berbeda nyata dengan cookies bekatul
fungsional F3 dan F0.
Tekstur. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur cookies
bekatul fungsional adalah 4,10-4,86 atau pada kisaran tidak suka. Nilai
kesukaan tertinggi dimiliki cookies F3 sedangkan nilai kesukaan terendah dimiliki
oleh cookies F5. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan tingkat
substitusi tepung bekatul fungsional tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap
tingkat kesukan panelis pada tekstur cookies bekatul fungsional. Cookies bekatul
fungsional cenderung memiliki tekstur yang lebih keras daripada cookies bekatul
konvensional. Hal ini disebabkan oleh kandungan air tepung bekatul fungsional
yang rendah tetapi memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga membuat
teksturnya menjadi lebih keras. Meskipun bekatul mempunyai kandungan protein
yang tinggi, tetapi tidak membuat tekstur cookies lebih mengembang dan lunak
karena jenis proteinnya bukan gluten seperti pada tepung terigu. Protein yang
berpengaruh terhadap pengembangan adonan cookies adalah gluten.
Keseluruhan. Variabel keseluruhan adalah penilaian panelis yang
berupa kombinasi variabel penerimaan panelis terhadap parameter warna,
aroma, rasa dan tekstur. Nilai kesukaan terhadap keseluruhan adalah acuan
yang digunakan untuk menentukan formula terpilih. Formula terpilih ditentukan
berdasarkan hasil sidik ragam yang tidak berbeda nyata dengan cookies F0
tetapi memiliki tingkat substitusi tepung bekatul fungsional yang teringgi.
Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan cookies
bekatul fungsional berada pada kisaran 4,47-5,75 atau pada kisaran agak tidak
suka sampai agak suka. Cookies bekatul fungsional F3 memiliki nilai kesukaan
tertinggi (5,75) secara keseluruhan sedangkan cookies bekatul fungsional F2
memiliki nilai kesukaan terendah (4,47). Hasil sidik ragam (Lampiran 4)
menunjukkan tingkat substitusi tepung bekatul konvensional berpengaruh nyata
(α<0,05) terhadap tingkat kesukan panelis secara keseluruhan. Hasil uji lanjut
Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tingkat kesukaan cookies bekatul
fungsional F0, F1, F2, F4 dan F5 adalah tidak berbeda nyata. Cookies bekatul
43 fungsional F3 dan F4 berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 4) adalah tidak
berbeda nyata.
Kandungan Zat Gizi, Serat Pangan dan Kapasitas Antioksidan Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional
Kandungan gizi, serat pangan dan kapasitas antioksidan cookies kontrol
dan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional formula terpilih
disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Kandungan Gizi, Serat Pangan dan kapasitas Antioksidan Cookies F0 dan Cookies Bekatul Konvensional dan Fungsional Terpilih
Komponen Cookies F0 Cookies Bekatul Konvensional
Cookies Bekatul Fungsional SNI*
%bb %bk %bb %bk %bb %bk Air 2,36a - 3,21a - 2,94a - Maks 5 Abu 1,75 1,79a 3,02 3,12b 2,92 3,01b Maks 1,5 Protein 6,99 7,16a 7,32 7,56a 6,46 6,66a Min 9 Lemak 26,14 26,78a 28,88 29,84a 28,24 29,09a Min 9,5 Karbohidrat - 61,91b - 56,26a - 58,31a Maks 70 Total Serat Pangan 3,30 3,38a 9,78 10,10b 10,53 10,85b -
AEAC 27,06 27,71a 32,13 33,19b 31,68 32,64b - Kapasitas antioksidan 60,58 - 70,87 - 69,03 - -
Energi (kkal) - 518,50 - 527,30 - 517,80 Min 400
Keterangan : * SNI 01-2973-1992 (biskuit) bb = basis basah; bk = basis kering
Nilai rata-rata sebaris yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (uji Duncan p=0,05)
Nilai gizi suatu produk rentan terhadap perubahan perlakuan sebelum,
selama dan sesudah proses pengolahan. Selama proses pengolahan terjadi
kerusakan zat gizi dalam pangan. Kadar zat gizi yang dianalisis adalah kadar air,
kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Selain itu, juga dianalisis kadar serat
pangan dan kapasitas antioksidan. Kadar karbohidrat ditentukan dengan
mengurangkan nilai 100% dengan kadar air, kadar protein, kadar abu, kadar
lemak dan kadar serat pangan. Kandungan zat gizi tersebut dibandingkan
dengan SNI untuk biskuit yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional.
Analisis proksimat juga digunakan untuk menentukan kandungan energi cookies.
Kadar air Kadar air yang terdapat dalam produk pangan akan mempengaruhi
penampakan, tekstur dan cita rasa. Kadar air cookies bekatul konvensional dan
cookies bekatul fungsional masing-masing adalah 3,21% bb dan 2,94% bb. Hasil
44 uji sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa substitusi tepung terigu dengan
tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional dalam pembuatan
cookies tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap kadar air cookies. Kadar air
kedua jenis cookies ini masih memenuhi SNI, yaitu maksimum 5%. Kadar air
pada cookies bekatul konvensioal dan fungsional cenderung lebih tinggi daripada
kadar air cookies kontrol (2,36% bb). Hal ini disebabkan karena kadar air tepung
bekatul konvensional dan fungsional yang digunakan untuk substitusi tepung
terigu lebih tinggi daripada tepung terigu itu sendiri (Nurhayati 2010).
Kadar air menentukan kerenyahan cookies sehingga akan mempengaruhi
penerimaan konsumen. Kandungan air yang tinggi akan membuat cookies
menjadi tidak renyah. Kadar air yang berkisar antara 3-7% akan mencapai
kestabilan optimum sehingga pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia yang
merusak bahan dapat dikurangi (Winarno 1997). Kadar air umumnya berbanding
lurus dengan aw, yaitu semakin kecil kadar air, maka semakin kecil aw sehingga
semakin awet bahan pangan tersebut. Nilai aw yang rendah akan menghambat
pertumbuhan mikroba pada bahan pangan sehingga bahan pangan menjadi
lebih awet (Winarno 1997). Aktivitas air adalah jumlah air bebas yang dapat
dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Istilah aktivitas air digunakan
untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang
dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi (Syarief & Khalid 1992)..
Kadar Abu Abu merupakan bahan anorganik (mineral) dalam suatu bahan pangan.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa kadar abu cookies F0 adalah 1,79%
bk. Kadar abu cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional lebih
tinggi daripada cookies bekatul kontrol, yaitu masing-masing 3,12% bk dan
3,01% bk karena mineral pada tepung bekatul lebih tinggi dibandingkan dengan
tepung terigu. Berdasarkan hasil uji sidik ragam (Lampiran 5), penambahan
tepung bekatul memberi pengaruh sangat signifikan (α<0,01) terhadap kadar abu
cookies yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5) menunjukkan
bahwa cookies kontrol berbeda nyata (α<0,05) dengan cookies bekatul
konvensional dan cookies bekatul fungsional terpilih, sedangkan kadar abu
cookies bekatul konvensional tidak berbeda nyata (α>0,05) dengan cookies
bekatul fungsional.
Kadar abu cookies kontrol dengan Kadar abu cookies bekatul fungsional
sedikit lebih rendah daripada cookies bekatul konvensional. Hal ini sesuai
45 dengan penelitian Nurhayati (2010) yang menunjukkan bahwa kandungan abu
pada tepung bekatul konvensional lebih tinggi daripada tepung bekatul
fungsional. Kadar abu cookies bekatul konvensional dan fungsional lebih tinggi
daripada batas SNI maksimum, yaitu 1,5% bb karena kadar abu tepung bekatul
konvensional dan fungsional lebih tinggi daripada tepung terigu.
Kadar Protein Kadar protein cookies bekatul konvensional (7,56% bk) dan cookies
bekatul fungsional (6,66% bk), berdasarkan uji lanjut duncan adalah tidak
berbeda nyata (α>0,05). Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 5), Substitusi
tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional terhadap tepung
terigu adalah tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein cookies. Hasil
penelitian Nurhayati (2010) menunjukkan bahwa kadar protein tepung bekatul
konvensional adalah juga tidak berbeda nyata dengan tepung bekatul fungsional.
Kadar protein cookies kontrol, cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul
fungsional lebih rendah dari standar yang ditetapkan BSN (Badan Standarisasi
Nasional), yaitu minimum 9%. Nurhayati (2010) mengungkapkan bahwa kadar
protein tepung bekatul konvensional adalah 13,50% bk sedangkan tepung
bekatul fungsional adalah 12,72% bk. Kedua tepung ini mempunyai kadar
protein yang lebih tinggi daripada tepung terigu yang digunakan dalam
pembuatan cookies , yaitu tepung terigu jenis soft flour dengan kadar protein
10%.
Adanya bahan lain selain tepung terigu dan tepung bekatul konvensional
dan fungsional yang digunakan dalam pembuatan cookies dengan proporsi
63,83% berpengaruh terhadap penurunan kadar protein. Hal tersebut
disebabkan karena adanya reaksi Maillard, yaitu reaksi antara karbohidrat
khususnya gula pereduksi dengan amina primer (Winarno 2008). Hal ini
diperkuat oleh hasil penelitian Rosenberg dan Rohdenburg (1951) yang
menunjukkan bahwa pemanggangan dengan oven berpengaruh terhadap
berkurangnya kadar asam amino lisin pada produk akhir. Asam amino lisin
jumlahnya terbatas pada prosuk serealia. Penambahan susu skim (susu tanpa
lemak) ke dalam adonan cookies dapat menyebabkan asam amino lisin semakin
berkurang karena meningkatnya reaksi Maillard sebagai akibat dari tingginya
konsentrasi gula pereduksi laktosa. Dengan demikian kadar protein dapat
berkurang akibat pemanggangan dengan oven.
Kadar Lemak
46
Kadar lemak cookies kontrol (26,78% bk) cenderung lebih rendah
daripada cookies bekatul konvensional (29,84% bk) dan cookies bekatul
fungsional (29,09% bk). Berdasarkan sidik ragam (Lampiran 5), substitusi tepung
bekatul tidak berpengaruh nyata (α>0,05) terhadap kadar lemak cookies. Kadar
lemak cookies bekatul konvensional adalah tidak berbeda nyata (α>0,05)
dengan cookies bekatul fungsional. Kadar lemak cookies bekatul konvensional
cenderung lebih tinggi daripada cookies bekatul fungsional. Hal ini sesuai dengan
penelitian Nurhayati (2010) yang mengungkapkan bahwa kadar lemak tepung
bekatul konvensional adalah lebih tinggi (20,25% bk) sedangkan tepung bekatul
fungsional lebih rendah, yaitu 17,35% bk. Kadar lemak cookies bekatul
fungsional dan bekatul konvensional memenuhi standar SNI, yaitu minimum
9,50%.
Kadar Karbohidrat Kadar karbohidrat dihitung secara by difference, yaitu dengan
memperhitungkan jumlah karbohidrat dari pengurangan komponen total (100%)
terhadap kadar air, lemak, protein dan abu. Kadar karbohidrat pada cookies
bekatul kontrol (61,91% bk) lebih tinggi daripada cookies bekatul konvensional
(56,26% bk) dan cookies bekatul fungsional (58,31% bk). Kadar karbohidrat
cookies kontrol berbeda nyata dengan kadar karbhidrat cookies bekatul
konvensional dan fungsional.
Hasil sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa substitusi tepung
bekatul konvensional dan fungsional terhadap tepung terigu berpengaruh nyata
(α<0,05) terhadap kadar karbohidrat cookies. Kadar karbohidrat cookies F0
adalah tidak berbeda nyata dengan cookies bekatul konvensional terpilih. Kadar
karbohidrat cookies bekatul konvensional terpilih adalah berbeda nyata dengan
cookies bekatul fungsional terpilih. Hal ini disebabkan oleh kadar air tepung
bekatul konvensional (9,97%) lebih besar daripada tepung bekatul fungsional
(2,34%).
Kadar karbohidrat cookies kontrol, cookies bekatul konvensional dan
fungsional memenuhi standar SNI untuk cookies, yaitu maksimum 70%. Kadar
karbohidrat cookies bekatul fungsional terpilih lebih tinggi daripada cookies
bekatul konvensional terpilih. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Nurhayati
(2010) yang menyebutkan bahwa kadar karbohidrat tepung bekatul konvensional
(44,85% bk) lebih rendah daripada tepung bekatul fungsional (58,07% bk).
47 Menurut Ramesh (1999), kandungan karbohidrat cenderung stabil dibandingkan
dengan komponen lain ketika dilakukan pemanasan.
Kadar Serat Pangan Kadar serat pangan total dihitung berdasarkan kandungan serat larut air
dan serat tak larut air pada pangan. Kadar total serat pangan cookies kontrol
(6,65%bk) lebih rendah daripada serat pangan pada cookies bekatul
konvensional (10,10% bk) dan cookies bekatul fungsional (10,85% bk). Hal ini
disebabkan karena kandungan serat pada tepung bekatul konvensional (29,15%
bk) dan tepung bekatul fungsional (33,87% bk) yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tepung terigu. Kandungan serat pangan pada cookies bekatul
konvensional lebih rendah daripada cookies bakatul fungsional.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa substitusi tepung bekatul
konvensional dan tepung bekatul fungsional adalah berpengaruh nyata terhadap
kadar serat pangan total. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5) menunjukkan
bahwa kandungan serat pangan total cookies kontrol berbeda nyata (α<0,05)
dengan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional.
Kandungan serat pangan total cookies bekatul konvensional adalah tidak
berbeda nyata (α>0,05) dengan cookies bekatul fungsional. Kadar komponen
serat pangan disajikan dalam Tabel 12.
Tabel 12 Kadar Komponen serat pangan Cookies (%) Komponen Serat
Pangan Cookies Kontrol Cookies Bekatul Konvensional
Cookies Bekatul Fungsional
Serat tak larut air 3,26 7,58 8,59 Serat larut air 3,39 2,52 2,26
Total serat pangan 6,65 10,10 10,85
Serat pangan total terbagi menjadi dua, yaitu serat pangan larut (soluble
dietary fiber) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber). Serat pangan
larut terdiri atas glukan, pektin, dan musilase, sedangkan serat pangan tidak larut
terdiri atas selulosa, lignin, dan beberapa hemiselulosa. Serat larut mudah
difermentasi oleh mikroflora dalam usus besar dan berhubungan dengan
metabolisme karbohidrat dan lipid. Sementara serat tidak larut bekontribusi
terhadap volume feses dan menurunkan waktu transit sisa makanan di dalam
usus. Selulosa tidak larut di dalam air serta tahan hidrasi dan pengembangan.
Sebaliknya, pektin siap larut di air dan memiliki kemampuan yang tinggi mengikat
ion. Lignin dan hemiselulosa menyerap asam empedu, sedangkan selulosa
sendiri memiliki kapasitas yang sangat rendah untuk penyerapan garam empedu.
48 Pengikatan garam empedu akan mengganggu penyerapan lemak di usus
(Damayanthi et al. 2007).
Hasil analisis serat pangan menunjukkan bahwa kandungan serat tak
larut pada cookies kontrol lebih rendah daripada serat tak larut cookies bekatul
konvensional dan cookies bekatul fungsional. Serat pangan tidak larut terdiri atas
selulosa, lignin, dan beberapa hemiselulosa. Cookies bekatul fungsional
mempunyai kandungan serat tak larut yang lebih tinggi daripada cookies bekatul
konvensional. Hal ini disebabkan kandungan serat tak larut tepung bekatul
fungsional (29,77% bk) lebih tinggi daripada serat tak larut tepung bekatul
konvensional (26,81% bk).
Kapasitas antioksidan Bekatul mengandung komponen antioksidan lebih dari 100 jenis (Helal
2005) sehingga perlu dilakukan pengujian analisis kapasitas antioksidan pada
cookies tepung bekatul konvensional dan cookies tepung bekatul fungsional yang
memiliki komposisi tepung bekatul masing-masing 35% dari tepung terigu.
Metode yang digunakan dalam penetapan kapasitas antioksidan adalah metode
DPPH (Kubo et al. 2002). DPPH (2,2-dyphenyl-1-picrylhydrazil), dengan berat
molekul 394,33 merupakan senyawa radikal bebas yang stabil dalam larutan
metanol yang berwarna ungu tua. Mekanisme reaksi yang terjadi adalah proses
reduksi seyawa DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan pengurangan
intensitas warna dari larutan DPPH. Reaksi yang terjadi adalah pembentukan α,
α-diphenyl-β-picrylhydrazine, melalui kemampuan antioksidan menyumbang
hidrogen. Semakin pudarnya warna DPPH setelah direaksikan dengan
antioksidan menunjukkan kapasitas antioksidan yang semakin besar pula
(Benabadji et al. 2004).
Hasil analisis menunjukkan bahwa cookies bekatul konvensional memiliki
aktivitas antioksidan yang paling tinggi (70, 87% bb) atau setara dengan aktivitas
33,19 mgvitamin C/100g cookies dibandingkan dengan cookies kontrol (setara
27,71 mg vitamin C) dan cookies bekatul fungsional (setara 32,64 mgvitamin
C/100g cookies). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5) menunjukkan bahwa
kapasitas antioksidan cookies kontrol berbeda nyata dengan cookies bekatul
konvensional dan cookies bekatul fungsional. Substitusi tepung bekatul
konvensional dan tepung bekatul fungsional berpengaruh nyata terhadap
kapasitas antioksidan cookies. Hal ini disebabkan oleh kandungan antioksidan
49 yang lebih besar pada tepung bekatul konvensional dan fungsional dibandingkan
dengan tepung terigu.
Kapasitas antioksidan cookies bekatul konvensional tidak berbeda nyata
dengan cookies bekatul fungsional. Kapasitas antioksidan cookies bekatul
konvensional sebsar 70,87% berarti komponen antioksidan dalam cookies
bekatul konvensional mampu menangkal 70,87% radikal bebas yang
mengoksidasinya. Nilai ini setara dengan 33,19 mg vitamin C/100 g yang berarti
jumlah antioksidan dalam cookies bekatul konvensional setara dengan vitamin C
33,19 mgvitamin C/100g cookies. AEAC (Ascorbic Acid Equivalent Antioxidant
Capacity) adalah kesetaraan jumlah antioksidan sampel dalam berat vitamin C
(mg). Menurut Nurhayati (2010), Tepung bekatul konvensional dan tepung
bekatul fungsional memiliki kapasitas antioksidan yang cukup tinggi, yaitu
sebesar 77.21% yang berarti komponen antioksidan dalam tepung bekatul
konvensional mampu menangkal 77.21% radikal bebas yang mengoksidasinya.
Nilai ini setara dengan AEAC 170.40 mgvitamin C/100g tepung bekatul
konvensional.
Kandungan Energi Kandungan energi dihitung berdasarkan kandungan protein, lemak dan
karbohidrat. Sumber energi terbesar adalah lemak yang menghasilkan 9 Kal
energi per gram lemak. Karbohidrat dan protein masing-masing menghasilkan 4
Kal energi per gram. Berdasarkan hasil analisis kandungan zat gizi (Tabel 11),
nilai energi pada cookies kontrol adalah 519 Kal per 100 gram cookies.
Kandungan energi pada cookies bekatul konvensional sebesar 527 Kal dan
cookies bekatul fungsional sebesar 518 Kal per 100 gram cookies. Kandungan
energi tersebut memenuhi standar SNI untuk cookies, yaitu minimum 400 Kal
energi per 100 gram cookies.
Saran penyajian untuk makanan selingan adalah 20% dari kebutuhan
energi sehari. Asumsi kebutuhan energi sehari rata-rata untuk orang Indonesia
adalah 2000 Kal. Dengan demikian, kebutuhan energi dari makanan selingan
dalam sehari adalah sebesar 400 Kal. Saran konsumsi cookies per hari setara
400 Kal adalah 77 gram per hari untuk cookies kontrol, 76 gram per hari untuk
cookies tepung bekatul konvensional dan 77 gram per hari untuk cookies tepung
bekatul fungsional.
Klaim Kesehatan
50
Klaim kesehatan harus memenuhi kriteria tertentu (Rolfes 2009). Klaim
untuk kesehatan cookies bekatul dapat dilihat dari segi manfaat serat pangan
untuk kesehatan. Lembaga kanker Amerika menganjurkan makan 20-30 gram
serat per hari (Almatsier 2004). Kontribusi yang diharapkan dari makanan
selingan adalah 20% dari anjuran konsumsi serat per hari, yaitu 4-6 gram.
Cookies bekatul konvensional mengandung serat sebesar 10,10 gram/100 gram
cookies atau mengandung 7,68 gram serat per serving size (76 gram). Cookies
bekatul fungsional mengandung serat pangan sebesar 10,85 gram/100 gram
cookies atau mengandung 8,35 gram serat pangan per serving size (77 gram).
Rolfes (2009) menyatakan bahwa kontribusi minimum 20% termasuk dalam
kategori “tinggi” atau “kaya” zat gizi. Cookies bekatul konvensional dan cookies
bekatul fungsional memenuhi kriteria sebagai pangan tinggi atau kaya serat
berdasarkan kriteria tersebut.
Analisis Biaya Pembuatan Cookies
Analisis biaya pembuatan produk dilakukan untuk mengetahui harga jual
produk cookies kontrol, cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul
fungsional. Analisis biaya pembuatan dilakukan berdasarkan harga masing-
masing komponen penyusun, peralatan yang digunakan, jumlah pekerja dan
kapasitas produksi . Profit atau laba diperoleh karena produk dijual dengan harga
tertentu. Dengan demikian, harga jual merupakan inti dari seluruh kegiatan usaha
(Bartono 2005). Sebelum dilakukan biaya pembuatan cookies maka perlu
dilakukan analisis ekonomi untuk mengetahui harga tepung bekatul konvensional
dan tepung bekatul fungsional. Berdasarkan analisis, harga untuk tepung bekatul
konvensional adalah Rp 54.360,00/kg sedangkan harga untuk tepung bekatul
fungsional adalah Rp 56.530/kg.
Total biaya produksi adalah total biaya bahan per kg produk (biaya
variabel) dan total biaya dasar produksi. Biaya seluruh bahan baku meliputi biaya
tepung terigu, tepung bekatul, margarin, mentega, gula halus, telur, bubuk coklat,
bubuk kayu manis, vanili, soda kue, susu skim. Biaya dasar produksi adalah
penjumlahan dari total biaya penyusutan alat, harga sumber energi, upah
pekerja, biaya pengangkutan per produk dan over head dalam satuan per kg
produk. Biaya penggunaan peralatan meliputi biaya untuk pembelian oven, roller,
pisau, loyang, kuas, dan gunting. Dalam penggunaan peralatan, terdapat
perawatan, penyusutan alat sehingga juga perlu dipertimbangkan. Biaya untuk
sumber energi yang digunakan adalah biaya pengeluaran untuk listrik dan gas.
51 Jenis profesi yang diperlukan dalam proses produksi adalah direktur, manajer,
supervisor, QC (Quality control), operator, bagian produksi, supir, keamanan,
sales dan cleaning service.
Upah pekerja ditentukan berdasarkan upah minimum regional daerah
yang bersangkutan, yang dalam hal ini ditetapkan adalah daerah Bogor, Jawa
Barat untuk masing-masing jenis tingkat pendidikan. Upah pekerja untuk direktur
diasumsikan dengan gaji sebesar Rp 12.500.000,00/bulan, manajer diasumsikan
dengan gaji sebesar Rp 7.500.000,00/bulan, supervisor, sales, QC dan security
diasumsikan dengan gaji sebesar Rp 1.750.000,00/bulan, operator produksi
sebesar Rp 1.150.000,00/bulan, bagian produksi diasumsikan dengan gaji
sebesar Rp 910.000,00/bulan, cleaning service dan supir diasumsikan dengan
gaji sebesar Rp 800.000,00/bulan.
Selain itu juga diperlukan perkiraan untuk biaya pengangkutan dan biaya
lain-lain yang kemungkinan muncul diluar biaya yang diperkirakan. Kapasitas
produksi ditetapkan berdasarkan kapasitas alat utama, yaitu oven. Oven yang
digunakan adalah oven dengan kapasitas produksi 160 kg. Persentase
keuntungan perusahaan ditetapkan sebesar 30% dari biaya total produksi. Harga
dasar atau harga pokok penjualan adalah penjumlahan dari biaya total produksi
dan keuntungan perusahaan. Harga yang digunakan sebagai perbandingan
terhadap cookies komersial adalah harga dasar. Tabel perhitungan analisis biaya
pembuatan secara rinci terlampir (Lampiran 6). Perhitungan analisis biaya
pembuatan secara ringkas disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Ringkasan Analisis Biaya Pembuatan Cookies
Jenis Biaya Cookies Kontrol
Cookies Bekatul Konvensional
Cookies Bekatul Fungsional
Harga bahan dasar per kg 17.197,2 21.888,8 24.433,6
Biaya dasar produksi 13.131,7 13.131,7 13.131,7
Total biaya produksi 30.339,2 35.020,5 37.131,3 Keuntungan perusahaan 9.101,7 10.506,1 11.269,6
Harga dasar per kg 39.440,9 45.526,6 48.834,9 Harga sesuai rendemen/kg 47.519,2 54.851,4 58.837,2
Harga per 100 gram 4.752 5.485 5.884
Harga untuk cookies kontrol adalah Rp. 5.063 per kemasan 100 gram.
Selain harga cookies komersil, harga cookies kontrol dijadikan acuan atau
52 patokan perbandingan dengan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul
fungsional. Harga cookies kontrol menjadi lebih murah dibandingkan cookies
bekatul konvensional atau cookies bekatul fungsional karena harga bahan baku
tepung terigul lebih murah daripada tepung bekaul konvensional dan fungsional.
Berdasarkan perhitungan, diperoleh harga cookies bekatul konvensional
berdasarkan rendemen per kemasan 100 gram adalah Rp 5.485/kg. Harga ini
merupakan harga dasar sesuai dengen rendemen cookies. Harga ini lebih mahal
jika dibandingkan dengan harga produk cookies kontrol, yaitu 4.752 rupiah.
Selisih dari kedua harga ini sebesar 733 rupiah per 100 gram atau dengan kata
lain 7330 rupiah per kg. Harga dari komposisi bahan yang berbeda adalah pada
harga tepung bekatul yang digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu. Harga
tepung bekatul konvensional per kg adalah Rp. 47.251. Harga ini jauh lebih
mahal dibandingkan harga tepung terigu, yaitu Rp. 11.000 ditingkat pengecer.
Harga tepung bekatul konvensional yang jauh lebih mahal disebabkan
karena rendemen pengolahan bekatul menjadi tepung bekatul konvensional
adalah kecil (40,27%) (Nurhayati 2010). Selain itu, proses pengolahan bekatul
menjadi tepung bekatul konvensional membutuhkan rangkaian proses yang
panjang dan membutuhkan peralatan khusus seperti ayakan 60 mesh, autoklaf,
oven serta kemasan. Bekatul yang diolah menjadi tepung bekatul konvensional
juga harus berupa bekatul segar dari penggilingan padi. Bekatul mempunyai
kandungan lemak yang tinggi sehingga mudah tengik dalam beberapa jam
setelah penggilingan. Ketengikan ini disebabkan oleh enzim lipase yang dapat
menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak akan
dioksidasi oleh enzim lipoksigenase menjadi peroksida, keton dan aldehid yang
menyebabkan bekatul menjadi tengik (Juliano 1985).
Tepung bekatul memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi jika diolah lebih
lanjut daripada hanya digunakan sebagai pakan ternak. Harga bekatul awal
adalah Rp 1500,00/kg sedangkan jika diolah menjadi tepung bekatul
konvensional harganya menjadi Rp 47.251,00/kg. Tepung Bekatul fungsional
lebih mahal daripada tepung bekatul konvensional da tepung terigu. Harga
tepung bekatul fungsional berdasarkan analisis adalah Rp 56.527,00/kg Setelah
diolah menjadi tepung bekatul, bekatul menjadi lebih mudah diolah menjadi
produk makanan lain dan mempunyai lebih banyak manfaat karena lebih praktis
digunakan sebagai bahan pangan yang siap dikonsumsi. Selain itu, tepung
53 bekatul juga dapat digunakan sebagai bahan untuk mensubstitusi tepung terigu
dalam produk makanan.
Harga cookies bekatul fungsional adalah Rp. 5.884,00 per kemasan 100
gram atau Rp. 58.837,00 /kg. Harga cookies ini lebih mahal daripada cookies
kontrol (Rp 47.519,02/kg) dan cookies bekatul konvensional (Rp 54.851,40/kg)
karena harga bahan baku tepung bekatul fungsional yang lebih mahal daripada
tepung terigu dan tepung bekatul konvensional. Harga cookies bekatul
konvensional dan cookies bekatul fungsional tidak berbeda terlalu besar. Harga
tepung bekatul bekatul fungsional juga tidak berbeda terlalu besar per kg.
Substitusi tepung bekatul yang dilakukan adalah sampai 35% dari komposisi
tepung terigu atau 35 gram dari 100 gram tepung terigu. Substitusi yang tidak
terlalu besar tidak menyebabkan harganya banyak meningkat. Selisih harga
cookies bekatul fungsional dengan cookies kontrol adalah 1132,00/100 gram
atau 11.320,00/kg sedangkan selisih cookies bekatul konvensional dengan
cookies bekatul fungsional adalah Rp 7330,00/kg. Daftar perbandingan harga
cookies disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Daftar Perbandingan Harga dan Harga Serat Cookies
Produk Setengah Takaran
Saji
Harga Serat/g
(Rp)
Harga Cookies per Takaran saji (Rp)
Harga Cookies per gram (Rp)
Cookies F0 7 keping (39 g)
1.405,92 1.853,28 47,52
Cookies bekatul fungsional F3
7 keping (38 g)
543,07 2.235,92 58,84
Cookies bekatul konvensional F3
7 keping (39 g)
542,30 2.139,15 54,85
Biskuit Komersil A
5 keping (25 g)
309,52 928,57* 37,14
Biskuit Komersil B
9 keping (36 g)
3466,67 3466,67* 96,30
Keterangan: *) berdasarkan survei di pasaran
Cookies bekatul fungsional dan cookies bekatul konvensional memiliki
harga yang lebih mahal dibandingkan cookies komersil A tetapi lebih murah
daripada cookies komersil B. Alat yang digunakan untuk membuat tepung
bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional cukup mahal sehingga
harga cookies bekatul lebih mahal daripada cookies komersil. Biskuit komersil A
termasuk biskuit komersil dengan harga murah. Biskuit komersil A adalah biskuit
dengan komposisi bahan dari gandum utuh atau disebut biskuit gandum. Biskuit
komersil B termasuk biskuit komersil dengan harga relatif mahal. Biskuit komersil
54 B juga termasuk dalam kategori biskuit gandum. Harga serat biskuit komersil B
jauh lebih mahal karena kandungan serat pada biskuit komersil B lebih rendah
atau komposisi tepung gandum utuhnya lebih rendah.
Harga serat per gram cookies bekatul konvensional lebih mahal daripada
cookies bekatul fungsional padahal harga cookies bekatul konvensional lebih
murah dar pada cookies bekatul fungsional. Hal ini disebabkan karena
kandungan serat pada cookies bekatul fungsional lebih tinggi daripada cookies
bekatul konvensional. Selisih harga serat cookies bekatul konvensional dan
cookies bekatul fungsional adalah Rp 770/kg.
Selisih harga per takaran saji antara biskuit komersil A dengan cookies
bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional cukup besar. Biskuit
komersil A mempunyai harga yang jauh lebih murah daripada cookies bekatul
konvensional dan cookies bekatul fungsional. Selisih harga cookies bekatul
konvensional dengan biskuit komersil A adalah sebesar Rp 17,71/gram. Selisih
cookies bekatul fungsional dengan biskuit komersil A adalah Rp 21,70/gram.
Biskuit komersil A dan B adalah biskuit yang menggunakan tepung whole wheat
atau tepung gandum utuh. Harga serat cookies bekatul konvensional dan cookies
bekatul fungsional juga lebih mahal dibandingkan biskuit komersil A. Harga serat
biskuit komersil A adalah Rp 309,52/gram. Harga ini lebih murah dibandingkan
harga cookies bekatul konvensional (Rp 542,30/gram) dan cookies bekatul
fungsional (Rp 543,07/gram).
Biskuit komersil B mempunyai harga yang lebih mahal dibandingkan
dengan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul fungsional. Selisih
harga cookies bekatul fungsional dengan cookies komersil B adalah Rp
37,46/gram. Selisih harga cookies bekatul konvensional dengan cookies komersil
B adalah Rp 41,45/gram. Harga serat biskuit komersil B jauh lebih mahal
dibandingkan harga serat cookies bekatul konvensional, cookies bekatul
fungsional dan biskuit komersil A. Hal ini disebabkan karena kandungan serat
biskuit komersil B juga jauh lebih rendah dibandingkan ketiga jenis biskuit
tersebut. Biskuit komersil B juga terbuat dari tepung gandum utuh tetapi diduga
proporsinya kecil sehingga kandungan seratnya juga rendah.
Selisih harga cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul
fungsional dengan biskuit komersil A lebih besar karena harga biskuit komersil A
lebih murah daripada biskuit komersil B. Ukuran serving size biskuit komersil A
lebih kecil daripada biskuit komersil B serta cookies bekatul konvensional dan
55 cookies bekatul fungsional. Hal ini juga mempengaruhi harga per takaran saji
karena kuantitas cookies berbeda.
Analisis pembuatan biaya yang digunakan menggunakan skala industri.
Jenis industri yang digunakan termasuk dalam kategori industri kecil. Kategori
industri tersebut didasarkan atas jumlah pegawai yang berjumlah 15 orang.
Berdasarkan jumlah pegawainya, maka industri tersebut termasuk dalam
kategori industri kecil. Klasifikasi industri berdasarkan bahan mentah yang
digunakan, maka industri pembuatan cookies yang dibuat termasuk dalam
industri pertanian karena menggunakan bahan mentah dari hasil pertanian.
Berdasarkan proses produksi, maka industri pembuatan cookies termasuk dalam
kategori industri hilir karena memproduksi bahan yang sudah siap dikonsumsi
oleh konsumen. Berdasarkan subjek pengelola, maka industri tersebut termasuk
dalam kategori industri rakyat karena dimiliki dan dikelola oleh rakyat.
Kadar serat dan antioksidan cookies bekatul konvensional dan cookies
bekatul fungsional tidak berbeda nyata. Harga cookies bekatul konvensional dan
cookies bekatul fungsional juga tidak jauh berbeda. Dari segi kandungan gizi
serat dan antioksidan menunjukkan bahwa cookies bekatul konvensional lebih
efisien karena komponen biaya dari pembuatan tepung bekatul konvensional
lebih murah dibandingkan tepung bekatul fungsional.
56
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Bekatul masih mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan
sebagai bahan pangan. Produksi bekatul dari pendekatan produksi padi di
Indonesia tergolong cukup besar dan cenderung mengalami pertumbuhan setiap
tahunnya. Kontribusi energi dari bekatul dapat mencapai 62.056,00
Kal/kapita/tahun pada tahun 2010. Kontribusi energy tersebut dapat
menggantikan 40.950,00 ton beras per tahun atau 40.405,27 ton tepung terigu
per tahun.
Formula pembuatan cookies bekatul konvensional dan cookies bekatul
fungsional ada 6 formula, yaitu F1 (substitusi 25%), F2 (substitusi 30%). F3
(substitusi 35%), F4 (substitusi 40%), F5 (substitusi 45%) dan F0 (cookies
kontrol). Formula cookies yang terpilih adalah cookies F3, masing-masing untuk
cookies yang disubstitusi tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul
fungsional.
Kadar air, abu, lemak, karbohidrat, serat pangan total, AEAC dan
kapasitas antioksidan cookies bekatul konvensional dan fungsional formula
terpilih masing-masing adalah 3,21% bb, 3,12% bk, 7,56% bk, 29,84% bk,
56,26% bk, 10,10% bk, 33,19 mg, 70,87% bb dan 2,94% bb, 3,01% bk, 6,66%
bk, 29,09% bk, 58,31% bk, 10,85% bk, 32,64 mg, 69,03% bb. Kadar air, abu,
lemak, karbohidrat, serat pangan dan kapasitas antioksidan cookies bekatul
konvensional dan cookies bekatul fungsional tidak berbeda nyata kecuali kadar
protein. Kadar protein, karbohidrat, serat pangan dan kapasitas antioksidan
cookies kontrol berbeda nyata dengan cookies bekatul konvensional dan cookies
bekatul fungsional. Secara umum, cookies bekatul konvensional dan cookies
bekatul fungsional memiliki kadar serat dan kapasitas antioksidan yang lebih baik
(lebih tinggi) daripada cookies kontrol.
Harga cookies bekatul fungsional lebih mahal daripada cookies bekatul
konvensional, cookies kontrol dan biskuit komersil dengan harga murah (biskuit
komersil A). Cookies bekatul konvensional lebih mahal daripada cookies kontrol
dan cookies komersil harga murah. Hal ini diiringi dengan peningkatan kadar
serat dan kapasitas antioksidan pada cookies bekatul konvensional dan cookies
bekatul fungsional.
57
Saran Tingkat kesukaan panelis dari segi warna aroma dan tekstur cookies
bekatul baik konvensional maupun fungsional perlu ditingkatkan melalui
penambahan essence, toping serta bentuknya dibuat lebih menarik. Penggunaan
tepung bekatul konvensional dan tepung bekatul fungsional memberikan
perbedaan yang nyata dari sisi kandungan protein, serat dan kapasitas
antioksidan jika dibandingkan cookies kontrol. Oleh karena itu diperlukan
penelitian lanjutan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan terhadap
kandungan gizi. Selain itu, perlu dilakukan uji penerimaan konsumen di pasaran
sebelum produk siap dijual ke pasaran.
58
DAFTAR PUSTAKA
Ahman E. 2004. Ekonomi. Bandung : Grafindo Media Pratama. Almatsier S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Edisi ke-5. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. Andyana MO. 2005. Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan
terlanjutkan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Anonim. 2009. Kebangkitan Pangan Lokal Dalam Rangka Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan. http://ngawikab.go.id//. [28 Maret 2011].
Antara M. 2001. Orientasi Penelitian Pertanian: Memenuhi Kebutuhan Pangan dalam Era Globalisasi. Media SOCA (Sosio Economic of Agriculture and Agribusiness).
Apriantono A, D Fardiaz, N Puspitasari, S Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Bogor: IPB Press.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis, 16th. AOAC International. Gaithersburg: Maryland.
Arai et al. 2001. A Mainstay of Functional Food Science in Japan-History,
Present Status, anf Future Outlook. Biosci.Biotechnol, Biochem. 65 (1): 1-13
Ardiansyah. 2005. Pangan Fungsional. http://ardiansyah.multiply.com/journal/
pangan_fungsional [8 April 2010].
Astawan M. 2003. Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang Optimal. Kompas, 22 Maret hal 36.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk 00.05.52.0685 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional. Jakarta: BPOM. www.pom.go.id. [19 Februari 2010].
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Jumlah penduduk Indonesia 2010. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. . www.bps.go.id. [29 Maret 2010].
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit (SNI No. 01-2973-1992). Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Barber S dan Carmen BB. 1980. Rice Bran: Chemistry and Technology. Di dalam: Luh BS. Rice: Production and Utilization. Wesport, USA: The Avi Publishing Company, Inc
59 Benabadji SH, Wen R, Zheng JB, Dong XC, dan Yuan SG. 2004.
Anticarcinogenic and Antioxidant Activity of Diindolylmethane Derivatives. J. Acta Pharmacologica Sinica. 25 (5): 666-671.
Damayanthi E. 2001. Rice Bran Stabilization and γ-Oryzanol Content of Two Local Paddy Varieties “IR 64” and “Cisadane Muncul”. J Teknologi dan Industri Pangan XV (1) : 11-19
. 2002. Karakteristik Bekatul Padi (Oryza sativa) Awet Serta Aktivitas Antioksidan dan Penghambatan Proliferasi Sel Kanker secara In Vitro dari Minyak dan Farksinya. [Tesis]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
,Tjing LT dan Arbianto L. 2007. Rice Bran. Depok : Panebar
Swadaya. Daud S. 2009. Klasifikasi Industri. http://organisasi.org/. [19 Februari 2010]. David. 2008. Mengenal Manfaat Bekatul. http:// forum.dudung.net//. [28 Maret
2011].
Diana. 2010. Aktivitas Anti-Hiperglikemik dari Minuman Fungsional Berbasis Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus BI. Miq) secara In Vitro dan ex Vivo. [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
[DKBM] Daftar Komposisi Bahan Makanan. 2004. Jakarta: LIPI Gordon MH. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action In Vitro. Hudson BJF
(ed). Food Antioxidant. London : Elsevier Applied Science.
Hargrove KL. 1994. Processing and utilization of rice bran in the united state. Di dalam Marshall, Wayne E, dan James I. Wadsworth (Ed). Rice science and technology. New York : Marcel Dekker Inc.
Helal AM. 2005. Rice bran in egypt. Cairo : Kaha for Environmental and Agricultural Projects.
Harris RS dan Endel K. Nutritional Evaluation of Food Processing. 1975. Westport Connecticut: Avi Publishing Company
Houston DF. 1972. Rice Chemistry and Technology. St. Paul, Minnesota, USA: American Association of Cereal Chemists, Inc.
Jadhav et. al. 1996. Food Antioxidants. New York: Marcel Dekker, Inc.
Juliano B O. 1985. Rice : Chemistry and Technology 2nd ed. St. Paul Minnesota: AACC.
Kubo I, Masuda N, Xiao P, dan Haraguchi H. 2002. Antioxidant activity of deodecyl gallat. J Agriculture Food Chemistry. 50 : 3533-3539.
60 Luh BS, Barber S dan Barber CB. 1991. Rice, Production and Utilization. The Avi
Publishing Company: Westport Connecticut.
Matz SA dan TD Matz. 1978. Cookies and Cookies Technology. Texas: The AVI Publishing Co., Inc.
Malekian F, Ramu MR, Witoon P, Wayne EM, Marlene W dan Mohammed A. 2000. Lipase and Lipoxigenase Activity, Functionality, and Nutrient Losses in Rice Bran During Storage. Bulletin number 870, Lousiana State University Agricultural Center.
Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB.
Mulyadi. 1992. Akuntansi Biaya. Yogyakarta: STIE YKPN Nicholson W. 1991. Teori Mikroekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan edisi ke-5.
Amherst, Massachussets: Binarupsa Aksara. Nurhayati E. 2010. Optimasi Perendaman Asam Askorbat terhadap Tingkat
Kecerahan dan Kandungan Vitamin C Tepung Bekatul Fungsional. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Nursalim Y dan Razali ZY. 2007. Bekatul Makanan yang Menyehatkan. Jakarta:
PT Agro Media Pustaka. Pokorny J, Yanishlieva, dan Gordon M. 2008. Antioxidants in Food : Practical
Application. London : Woodhead Publishing Limited.
Ramesh MN. 1999. Food Presevation by Heat Treatment. Di dalam Handbook of Food Preservation. Rahman MS. Ed. 1999. New York : Marcell Dekker Inc.
Rolfes SR, Kathryn P, dan Ellie W. 2009. Understanding Normal and Clinical Nutrition 8th edition. USA: Wadsworth
Rimbawan dan Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih
Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya: 2004. Saputra I. 2008. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Cookies dan Donat
Tepung Terigu yang Disubstitusi Parsial dengan Tepung Bekatul. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sriyadi. 1995. Pengantar Ilmu Perusahaan Modern. Jakarta: Dirjen Dikti. Suarni. 2004. Pemanfaatan Tepung Sorgum untuk Produk Olahan. Jurnal
Litbang Pertanian. 23(4): 146.
61 Sultan WJ. 1983. Modern Pastry Chef. Westport: The Avi Publishing Co. Inc Sunaryo E. 1985. Pengolahan Produk dan Biji-bijian. Bogor: Jurusan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Suryana. 2005. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional.
Syarief R dan Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Bogor: PAU Rekayasa Proses Pangan, IPB.
Vail GE, JA Philips, LO Rust, RM Griswold, dan M Justin. 1978. Foods 7th edition. Boston: Houghton Mifflin Company.
Whiteley PR. 1971. Biscuit Manufacture Fundamental of In-live Production. London: Applied Science Publishers.
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
.2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
LAMPIRAN
62 Lampiran 1
Proses Pembuatan Tepung Bekatul Konvensional dan Fungsinal Proses Pembuatan Tepung Bekatul Konvensional
Gambar 1 Diagram alir pembuatan tepung bekatul konvensional (Nurhayati 2010)
Proses Pembuatan Tepung Bekatul Fungsional
Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung bekatul fungsional (Nurhayati 2011)
Bekatul segar
Pengayakan 60 mesh
Autoklaf 1210C, 5 menit
Pengeringan 1050C, 1 jam
Tepung bekatul konvensional
Tepung bekatul konvensional
Perendaman asam askorbat 1000 ppm, 1 jam
Disentrifuse 3000 rpm, 15 menit
Dipisahkan filtratnya
Residu dikeringkan dalam oven tray suhu 600C,
Penggilingan dan penyaringan 60 mesh
Bekatul Fungsional
63 Lampiran 2
Formulir Uji Organoleptik Produk Cookies bekatul
Nama Panelis : Tgl Pengujian : Jenis Kelamin : L/P Nama Produk : cookies bekatul Dihadapan saudara/i disajikan sampel produk cookies bekatul. Saudara diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Berikan tanda garis vertikal ( I ) pada titik antara skala 1-9 di bawah ini yang tepat berdasarkan persepsi Saudara/i.
2. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Saudara/i menilai sampel berikutnya.
3. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Saudara/i melakukan penilaian.
4. Komentar WAJIB diisi. Mutu Hedonik
Warna
Aroma
Rasa
Tekstur
Keseluruhan
Komentar:……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..…TERIMAKASIH
1 Amat sangat kuning
9 5Biasa (krem) Amat sangat coklat
1
Amat sangat harum
9 5harum Amat sangat apek
(berbau bekatul)
1
amat sangat manis
9 5biasa amat sangat terasa
bekatul
1 Amat sangat renyah 9 5
Biasa Amat sangat keras
1
Biasa Amat sangat tidak enak
Amat sangat enak
9 5
64
Formulir Uji Organoleptik Produk Cookies bekatul
Nama Panelis : Tgl Pengujian : Jenis Kelamin : L/P Nama Produk : cookies bekatul Dihadapan saudara/i disajikan sampel produk cookies bekatul. Saudara diminta untuk menilai sampel tersebut dengan ketentuan sebagai berikut:
5. Berikan tanda garis vertikal ( I ) pada titik antara skala 1-9 di bawah ini yang tepat berdasarkan persepsi Saudara/i.
6. Silahkan untuk berkumur atau minum terlebih dahulu sebelum Saudara/i menilai sampel berikutnya.
7. Mohon tidak membandingkan antar sampel saat Saudara/i melakukan penilaian.
8. Komentar WAJIB diisi. Hedonik
Warna
Aroma
Rasa
Tekstur
Keseluruhan
Komentar:……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..…TERIMAKASIH
1 Amat sangat suka
9 5Biasa Amat sangat tidak
suka
1
Amat sangat suka
9 5biasa Amat sangat tidak
suka
1
Amat sangat suka
9 5biasa Amat sangat tidak
suka
1 Amat sangat suka 9 5
Biasa Amat sangat tidak suka
1
Biasa Amat sangat tidak suka
Amat sangat suka
9 5
65 Lampiran 3
Prosedur Analisis Zat Gizi, Serat Pangan dan Kapasitas Antioksidan
1. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995)
Analisis kadar air dengan metode oven (AOAC 1995) dilakukan dengan
mengoven cawan alumunium dalam oven bersuhu 1000C. Cawan kemudian
didinginkan dalam desikator selama satu jam dan kemudian ditimbang sampai
beratnya tetap. Sejumlah sampel (kurang lebih 3 g) dimasukan ke dalam cawan
yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta sampel dimasukan ke dalam oven
bersuhu 100°C selama tiga jam. Cawan berisi sampel kemudian didinginkan
dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan dilakuakan sampai diperoleh bobot
konstan. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus:
Keterangan :
a = berat sampel awal (g)
b = berat cawan (g)
c = berat cawan dan sampel akhir (g)
2. Analisis Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (AOAC 1995) Kadar abu dianalisis dengan mengeringkan cawan porselendalam tanur
bersuhu 400-600°C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang
sampai beratnya tetap. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang dan dimasukan ke
dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dibakar dengan pembakar bunsen
sampai tidak berasap lagi. Sampel yang sudah dibakar kemudian diabukan
dengan tanur listrik bersuhu 400-600°C selama 4-6 jam atau sampai terbentuk
abu berwarna putih. Sampel selanjutnya didinginkan dalam desikator dan
ditimbang.
Keterangan:
a = berat sampel awal (g)
b = berat cawan (g)
c = berat cawan dan sampel akhir (g)
3. Analisis Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldhal (AOAC 1995) Analisis kadar protein dengan metode mikro-kjeldahl dilakukan dengan
menimbang sampel sekitar 0.1 gram dan diletakan dalam labu kjeldhal 30 ml.
100%a
b)(caair(%bb)Kadar ×−−
=
%100)(% ×−
=a
bcbbAbuKadar
66 Sampel ditambahkan selenium mix dan H2SO4. Sampel didestruksi selama 1-1.5
jam sampai cairan menjadi jernih.
Sampel yang sudah didestruksi kemudian dimasukan ke dalam alat
destilasi, dibilas dengan akuades dan ditambahkan larutan NaOH. Gas NH3 yang
dihasilkan dari reaksi dalam alat destilasi ditangkap oleh H3BO3 dalam
erlenmeyer yang telah ditambahkan 3 tetes indikator (campuran 2 subset merah
metil 0.2% dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah
larutan H3BO3. Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan HCl yang sudah
diketahui kadar (normalitas)nya sampai berubah warna menajadi abu-abu.
Penetapan blanko dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti
penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus:
Kadar N (%) = (ml HCl sampel – HCl blanko) x N HCl x 14.007 x 100
mg sampel Kadar Protein (% bb) = %N x faktor konversi (6.25)
4. Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995) Labu lemak yang akan digunakan untuk analisis lemak metode ini
dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110°C kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang sampai beratnya tetap. Sampel dalam bentuk halus
(sudah dihomogenisasi) ditimbang sebanyak 5 gram, dibungkus dengan kertas
saring dan dimasukan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut
(heksan). Alat soxhlet dinyalakan untuk melakukan refluks selama 5 jam
(minimum) atau sampai larutan heksan berwarna putih. Selanjutnya labu lemak
yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100°C
selama satu jam dan didinginkan dalam desikator serta ditimbangsampai
beratnya konstan.
Keterangan:
a = berat sampel awal (g)
b = berat labu kosong (g)
c = berat labu dan sampel akhir (g)
5. Analisis serat pangan, metode multienzim (Asp et al 1983) Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 25
ml larutan buffer Na-fosfat 0,1 M pH 6 dan dibuat menjadi suspensi kemudian diaduk.
Selanjutnya ditambahkan 0,1 ml enzim termamyl, erlenmeyer kemudian ditutup
%100)(% ×−
=c
babbLemakKadar
67 dengan alumunium foil, dan diinkubasi dalam penangas air bersuhu 1000C selama
15 menit sambil sesekali diaduk.
Sampel diangkat dan didinginkan lalu ditambahkan 20 ml air destilata, pH
diatur 1,5 dengan menggunakan HCl 4 M. Selanjutnya ditambahnkan 100 mg enzim
pepsin, erlenmeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang bersuhu
400C selama 60 menit. Kemudian ditambahkan 20 ml air destilata, pH diatur menjadi
6,8 dengan NaOH lalu tambahkan 100 mg pankreatin, tutup erlenmeyer dan
inkubasikan dalam penangas air bergoyang pada suhu 400C selama 60 menit.
Kemudian pH diatur menjadi 4,5 menggunakan HCl. Larutan sampel disaring melalui
crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 1) dan ditambahkan 0,5
gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan pencucian
dengan 2x10 ml air destilata.
Residu (serat tidak larut)
Cuci dengan 2x10 ml etanol 95% dan 2x10 ml aseton. Kemudian dikeringkan
pada suhu 1050C sampai mencapai berat konstan (semalam). Setelah
didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (D1). Diabukan pada suhu
5500C selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam desikator, ditimbang (I1).
Filtrat (serat larut)
Volume filtrat diatur menjadi 100 ml. Kemudian ditambahkan 400 ml etanol
95% hangat (600C). Biarkan mengendap selama 1 jam. Disaring dengan
crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan
0,5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Dicuci dengan 2x10 ml etanol
78%, 2x10 ml etanol 95%, dan 2x10 ml aseton. Dikeringkan pada suhu 1050C
sampai mencapai berat konstan (semalam). Setelah didinginkan dalm
desikator kemudian ditimbang (D2). Diabukan pada suhu 5500C selama 5 jam.
Setelah didinginkan dalam desikator, ditimbang I2).
Blanko
Blanko diperoleh dengan cara seperti prosedur untuk sampel tetapi tanpa
sampel (B1 & B2). Perhitungan :
% Serat tidak larut (IDF) = (D1-I1-B1) x 10F0 Berat sampel
% Serat larut (SDF) = (D2-I2-B2) x 10F0 Berat sampel % Serat pangan (TDF) = %IDF + SDF
Keterangan :
D = berat setelah pengeringan
I = berat setelah pengabuan
B = berat blanko bebas abu
28
68
6. Analisis aktivitas antioksidan (Kubo et al. 2000) Langkah-langkah meode analisis aktivitas antioksidan disajikan dalam
diagram alir berikut.
2,5 g sampel
Ditambah methanol 25 ml
Vortex selama 2 jam
Simpan selama 24 jam
Sentrifuse 4000 rpm, 10 menit
Filtrat Residu
+ Ditambah 25 ml methanol
Vortex selama 2 jam 4 X
Filtrat Sentrifuse 4000 rpm, 10 menit
Residu
Pemekatan
Kering
Ditambah 1 ml DPPH 10 mM
Ditambah deionized water (∼ 5 ml)
Diamkan 30 menit, T = 370C
Dibaca λ = 517 nm
Gambar 3 Diagram alir analisis aktivitas antioksidan
29
69
Persentase aktivitas antioksidan dihitung dengan rumus:
% aktivitas antioksidan = (abs. blanko-abs sampel) X 10F0
Abs. blanko
AEAC (Ascorbic Acid Equivalent Antioxidant Capacity) masing-masing ekstrak
sampel yaitu kesetaraan jumlah antioksidan sampel dalam berat vitamin c (mg).
rumus perhitungannya adalah:
AEAC (mg vit C/100ml) =
[(% aktivitas antioksidan – b) X faktor pengenceran] X . 1 X 100 a 1000 BS
y = ax-b a = 28.76 b = -0.166 faktor pengenceran = 250 Langkah-langkah pembuatan standar vitamin C adalah sebagai berikut:
10 ml aquabides + 0.05 gram vitamin C murni bubuk kemudian dikocok dan dimasukkan ke kulkas
↓
Buat konsentrasi vitamin C (0, 10, 20, 30, 40, 50, 75, 100, 150, 200) ppm
↓
Ambil masing2 100 µL kemudian masukkan ke tabung reaksi
Kemudian tambahkan DPPH 3.9 ml pada masing-masing perlakuan
↓
Di vortex dan diamkan 30 menit
↓
Baca spektrofotometer dengan panjang gelombang 517 nm
Gambar 4 Diagram alir pembuatan standar vitamin C
70 Lampiran 4
Hasil Sidik Ragam dan Uji Duncan Data Uji Organoleptik a. Hasil Analisis Statistik mutu hedonik cookies bekatul kovensional Tabel 1 Hasil Uji Sidik Ragam Mutu Hedonik Cookies Bekatul Konvensional
Jumlah kuadrat df Kuadrat tengah Fhitung Signifikansi
Warna Perlakuan 15.151 5 3.030 1.411 .224
Galat 322.238 150 2.148 Total 337.389 155
Aroma Perlakuan 19.821 5 3.964 2.078 .071
Galat 286.173 150 1.908 Total 305.994 155
Rasa Perlakuan 25.560 5 5.112 2.092 .069
Galat 366.502 150 2.443 Total 392.062 155
Tekstur Perlakuan 12.055 5 2.411 1.230 .298
Galat 294.007 150 1.960 Total 306.062 155
b. Hasil Analisis Statistik hedonik cookies bekatul Konvensional Tabel 2 Hasil Uji Sidik Ragam Hedonik Cookies Bekatul Konvensional
Jumlah kuadrat df Kuadrat tengah Fhitung Signifikansi
warna Perlakuan 21.286 5 4.257 1.843 .108
Galat 360.398 156 2.310 Total 381.684 161
aroma Perlakuan 29.573 5 5.915 2.514 .032
Galat 366.958 156 2.352 Total 396.531 161
rasa Perlakuan 97.707 5 19.541 8.362 .000
Galat 364.569 156 2.337 Total 462.276 161
tekstur Perlakuan 156.161 5 31.232 13.206 .000
Galat 368.940 156 2.365 Total 525.101 161
keseluruhanPerlakuan 101.877 5 20.375 9.843 .000
Galat 322.917 156 2.070 Total 424.794 161
71 Tabel 3 Hasil Uji Lanjut Duncan Tingkat Kesukaan Terhadap Aroma Cookies
Bekatul Konvensional
Perlakuan N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 Cookies F4 27 5.2037 Cookies F5 27 5.3148 Cookies F2 27 5.7778 5.7778 Cookies F1 27 5.9537 5.9537 Cookies F3 27 6.0556 6.0556 Cookies F0 27 6.4444 Signifikansi .070 .149
Tabel 4 Hasil Uji Lanjut Duncan Tingkat Kesukaan Terhadap Rasa Cookies
Bekatul Konvensional
Perlakuan N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 Cookies F4 27 4.3241 Cookies F5 27 4.5463 Cookies F3 27 5.5463 Cookies F2 27 5.9537 Cookies F1 27 6.1296 Cookies F0 27 6.3519 Signifikansi .594 .078
Tabel 5 Hasil Uji Lanjut Duncan Tingkat Kesukaan Terhadap Tekstur Cookies
Bekatul Konvensional
Perlakuan N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 3 Cookies F5 27 3.8148 Cookies F4 27 5.0833 Cookies F3 27 6.2407Cookies F0 27 6.2685Cookies F2 27 6.3519Cookies F1 27 6.6019Signifikansi 1.000 1.000 .440
72 Tabel 6 Hasil Uji Lanjut Duncan Tingkat Kesukaan Secara Keseluruhan Cookies
Bekatul Konvensional
Perlakuan N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 Cookies F4 27 4.3981 Cookies F5 27 5.0370 Cookies F3 27 5.8519 Cookies F2 27 6.2315 Cookies F1 27 6.5093 Cookies F0 27 6.5370 Signifikansi .105 .113
c. Hasil Analisis Statistik Mutu Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Tabel 7 Hasil Uji Sidik Ragam Mutu Hedonik Cookies Bekatul Fungsional
Jumlah kuadrat df Kuadrat tengah Fhitung Signifikansi
warna Perlakuan 57.853 5 11.571 6.845 .000
Galat 253.565 150 1.690 Total 311.418 155
aroma Perlakuan 29.545 5 5.909 2.455 .036
Galat 360.969 150 2.406 Total 390.514 155
rasa Perlakuan 41.008 5 8.202 3.894 .002
Galat 315.945 150 2.106 Total 356.953 155
tekstur Perlakuan 4.906 5 .981 .453 .811
Galat 325.108 150 2.167 Total 330.014 155
Tabel 8 Hasil Uji Lanjut Duncan Mutu Warna Cookies Bekatul Fungsional
perlakuan N Subset untuk alfa = 0.05 1 2
Cookies F5 26 2.9327 Cookies F4 26 3.4135 Cookies F1 26 4.2115 Cookies F2 26 4.2308 Cookies F3 26 4.2692 Cookies F0 26 4.7596 Signifikansi .184 .170
73 Tabel 9 Hasil Uji Lanjut Duncan Mutu Aroma Cookies Bekatul Fungsional
Perlakuan N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 Cookies F5 26 4.7212 Cookies F4 26 5.1154 5.1154Cookies F3 26 5.1538 5.1538Cookies F1 26 5.6442 5.6442Cookies F2 26 5.7019
F0 26 6.0192Signifikansi .050 .062
Tabel 10 Hasil Uji Lanjut Duncan Mutu Rasa Cookies Bekatul Fungsional
Perlakuan N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 3 Cookies F5 26 4.2981 Cookies F4 26 4.8365 4.8365 Cookies F1 26 5.0673 5.0673 5.0673Cookies F2 26 5.5096 5.5096Cookies F0 26 5.6538 5.6538Cookies F3 26 5.7596Signifikansi .072 .065 .119
d. Hasil Analisis Statistik Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Tabel 11 Hasil Uji Sidik Ragam Hedonik Cookies Bekatul Fungsional Analisis
Jumlah kuadrat df Kuadrat tengah Fhitung Signifikansi
warna Perlakuan 15.151 5 3.030 1.411 .224
Galat 322.238 150 2.148 Total 337.389 155
aroma Perlakuan 19.821 5 3.964 2.078 .071
Galat 286.173 150 1.908 Total 305.994 155
rasa Perlakuan 25.560 5 5.112 2.092 .069
Galat 366.502 150 2.443 Total 392.062 155
tekstur Perlakuan 12.055 5 2.411 1.230 .298
Galat 294.007 150 1.960 Total 306.062 155
keseluruhanPerlakuan 25.470 5 5.094 2.598 .028
Galat 294.053 150 1.960 Total 319.522 155
74 Tabel 12 Hasil Uji Lanjut Duncan Tingkat Kesukaan Secara Keseluruhan (overall)
Cookies Bekatul Fungsional
Perlakuan N Subset untuk alfa = 0.05 1 2
Cookies F2 26 4.4712 Cookies F5 26 4.7115 Cookies F1 26 4.8269 Cookies F0 26 4.9327 Cookies F4 26 5.1538 5.1538 Cookies F3 26 5.7500 Signifikansi .121 .127
Lampiran 5
Hasil Sidik Ragam dan Uji Duncan Analisis Proksimat Cookies Bekatul Tabel 13 Hasil Uji Sidik Ragam Proksimat Cookies Bekatul Jenis Analisis Jumlah
kuadrat dfKuadrat tengah Fhitung Signifikansi
Kadar air perlakuan .748 2 .374 7.681 .066Galat .146 3 .049 Total .894 5
Kadar abu (% bk)
Perlakuan 2.192 2 1.096 625.839 .000Galat .005 3 .002 Total 2.198 5
Kadar protein (% bk)
Perlakuan .824 2 .412 .445 .677Galat 2.776 3 .925 Total 3.600 5
Kadar lemak (% bk)
Perlakuan 10.198 2 5.099 8.415 .059Galat 1.818 3 .606 Total 12.016 5
Karbohidrat (% bk)
Perlakuan 32.717 2 16.358 15.522 .026Galat 3.162 3 1.054 Total 35.879 5
SM total (% bk) Perlakuan 20.090 2 10.045 18.542 .020Galat 1.625 3 .542 Total 21.715 5
AEAC (% bb) Perlakuan 36.396 2 18.198 19.720 .019Galat 2.768 3 .923 Total 39.164 5
75 Tabel 14 Hasil Uji Lanjut Duncan kadar Abu Cookies Bekatul
Perlakuan N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 cookies F0 2 1.7877
Cookies bekatul fungsional F3 2 3.0072 Cookies bekatul konvensional F3 2 3.1246
Signifikansi 1.000 .067 Tabel 15 Hasil Uji Lanjut Duncan kadar Karbohidrat (% bk) Cookies Bekatul
Perlakuan N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 cookies F0 2 56.2649
cookies bekatul fungsional F3 2 58.3046 cookies bekatul konvensional F3 2 61.9127
Signifikansi .141 1.000 Tabel 16 Hasil Uji Lanjut Duncan Kadar Serat Makanan Total (% bk) Cookies
Bekatul
Perlakuan N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 cookies F0 2 6.6506
cookies bekatul konvensional F3 2 10.1013 cookies bekatul fungsional F3 2 10.8532
Signifikansi 1.000 .382 Tabel 17 Hasil Uji Lanjut Duncan Kadar AEAC (% bb) Cookies Bekatul
Perlakuan N Subset untuk alfa = 0.05
1 2 cookies F0 2 27.7133
cookies bekatul fungsional F3 2 32.6408 cookies bekatul konvensional F3 2 33.1914
Signifikansi 1.000 .607
76 Lampiran 6
Analisis Biaya Pembuatan Cookies Bekatul a. Analisis Biaya Pembuatan Cookies F0 untuk Skala Industri kecil
Tabel 17 Biaya Bahan Dasar Pembuatan Cookies F0
No. Bahan
Berat Dalam
Formula
Persentase (Komposisi)
Harga per Kg
Harga Bahan Per kg Produk
Gram % Rupiah Rupiah 1 Terigu 100,0 26,6 11.000,0 3.123,82 tepung bekatul 0 0 0 03 magarin 50,0 13,3 16.000,0 2.337,34 mentega 25,0 6,6 35.000,0 2.556,45 gula halus 60,0 15,9 12.000,0 2.103,66 telur *) 120,0 31,9 14.000,0 4.908,47 bubuk coklat 5,0 1,3 20.000,0 292,28 bubuk kayu manis 2,0 0,5 140.000,0 818,19 vanili 1,0 0,3 120.000,0 350,6
10 soda kue 0,5 0,1 80.000,0 116,911 susu skim 13,0 3,5 82.500,0 500,012 kemasan 480.000,00 1.920,0
Jumlah 376,5 100,0 1.374.502,0 17.197,2
Tabel 18 Biaya Dasar Produksi dalam Pembuatan Cookies F0
No Rincian Biaya per hari
Kapasitas Produksi
Biaya Dasar Produksi/kg
1 Biaya Susut Alat/kg 28.336,3 160 177,10
2 Biaya energi/kg 825.000,0 160 5156,25
3 Biaya Tenaga Kerja/kg
880.769,2 160 5.504,8
4 Biaya Pengangkutan/kg 40.000,0 160 250,00
5 Biaya Over head/kg 349.187,2 160 2182,42
Jumlah 13.131,7
Harga Pabrik (Industri) atau Harga Pokok Produk (HPP) sesuai rendemen
= (Rendemen/100) x (∑ harga bahan /kg + ∑ biaya susut alat/kg + ∑ biaya
tenaga kerja/kg + ∑ biaya energy/kg + ∑ biaya transportasi/kg + ∑ biaya over
head/kg) + laba))
=(83/100) X (17.197,2 + 13.131,7 + 9.101,7) = 39.440,9 /kg
77 b. Analisis Biaya Pembuatan Cookies Bekatul Konvensional Terpilih untuk
Skala Industri kecil
Tabel 19 Biaya Bahan Dasar Pembuatan Cookies Bekatul Konvensional Terpilih
No. Bahan
Berat Dalam
Formula
Persentase (Komposisi)
Harga per Kg
Harga Bahan Per kg Produk
Gram % Rupiah Rupiah 1 Terigu 65,0 17,3 11.000,0 2.089,02 tepung bekatul 35,0 9,3 31.127,0 3.183,03 magarin 50,0 13,3 16.000,0 2.337,34 mentega 25,0 6,6 35.000,0 2.556,45 gula halus 60,0 15,9 12.000,0 2.103,66 telur *) 120,0 31,9 14.000,0 4.908,47 bubuk coklat 5,0 1,3 20.000,0 292,28 bubuk kayu manis 2,0 0,5 140.000,0 818,19 vanili 1,0 0,3 120.000,0 350,6
10 soda kue 0,5 0,1 80.000,0 116,911 susu skim 13,0 3,5 82.500,0 500,012 kemasan 480.000,00 1.920,0
Jumlah 376,5 100,0 1.041.627,0 21.888,8
Tabel 20 Biaya Dasar Produksi dalam Pembuatan Cookies Bekatul Konvensional Terpilih
No Rincian Biaya per hari
Kapasitas Produksi
Biaya Dasar Produksi/kg
1 Biaya Susut Alat/kg 28.336,3 160 177,10
2 Biaya energi/kg 825.000,0 160 5156,25
3 Biaya Tenaga Kerja/kg
880.769,2 160 5.504,8
4 Biaya Pengangkutan/kg 40.000,0 160 250,00
5 Biaya Over head/kg 349.187,2 160 2182,42
Jumlah 13.270,6
Harga Pabrik (Industri) atau Harga Pokok Produk (HPP) sesuai rendemen
= (Rendemen/100) x (∑ harga bahan /kg + ∑ biaya susut alat/kg + ∑ biaya
tenaga kerja/kg + ∑ biaya energy/kg + ∑ biaya transportasi/kg + ∑ biaya over
head/kg) + laba))
=(83/100) X (21.888,8 + 13.131,7 + 10.506,1)
= 54.851,4 /kg
78 c. Analisis Biaya Pembuatan Cookies Bekatul Fungsional Terpilih untuk Skala
Industri kecil
Tabel 21 Biaya Bahan Dasar Pembuatan Cookies Bekatul Fungsional Terpilih
No. Bahan
Berat Dalam
Formula
Persentase (Komposisi)
Harga per Kg
Harga Bahan Per kg Produk
Gram % Rupiah Rupiah 1 Terigu 65,0 17,3 11.000,0 2.089,02 tepung bekatul 35,0 9,3 37.237,0 3.807,83 magarin 50,0 13,3 16.000,0 2.337,34 mentega 25,0 6,6 35.000,0 2.556,45 gula halus 60,0 15,9 12.000,0 2.103,66 telur *) 120,0 31,9 14.000,0 4.908,47 bubuk coklat 5,0 1,3 20.000,0 292,28 bubuk kayu manis 2,0 0,5 140.000,0 818,19 vanili 1,0 0,3 120.000,0 350,6
10 soda kue 0,5 0,1 80.000,0 116,911 susu skim 13,0 3,5 82.500,0 500,012 kemasan 480.000,00 1.920,0
Jumlah 376,5 100,0 1.041.627,0 21.800,1 Tabel 22 Biaya Dasar Produksi dalam Pembuatan Cookies Bekatul Fungsional
Terpilih
No Rincian Biaya per hari
Kapasitas Produksi
Biaya Dasar Produksi/kg
1 Biaya Susut Alat/kg 28.336,3 160 177,10
2 Biaya energi/kg 825.000,0 160 5156,25
3 Biaya Tenaga Kerja/kg
880.769,2 160 5.504,8
4 Biaya Pengangkutan/kg 40.000,0 160 250,00
5 Biaya Over head/kg 349.187,2 160 2182,42
Jumlah 13.131,7
Harga Pabrik (Industri) atau Harga Pokok Produk (HPP) sesuai rendemen
= (Rendemen/100) x (∑ harga bahan /kg + ∑ biaya susut alat/kg + ∑ biaya
tenaga kerja/kg + ∑ biaya energy/kg + ∑ biaya transportasi/kg + ∑ biaya over
head/kg) + laba))
=(83/100) X( 21.800,1 + 13.131,7 + 10.479,5)
= 54.712,5 /kg