Upload
others
View
28
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PERJANJIAN PEMBIAYAAN DALAM SKEMA PEER TO
PEER LENDING (P2PL) SYARIAH
PADA LEMBAGA FINTECH SYARIAH
(STUDI KASUS PT. DANA SYARIAH INDONESIA)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
FERDIAN MAHMUDA
11140460000009
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
v
ABSTRAK
Ferdian Mahmuda. NIM 11140460000009. ANALISIS PERJANJIAN
PEMBIAYAAN DALAM SKEMA PEER TO PEER LENDING (P2PL)
SYARIAH PADA LEMBAGA FINTECH SYARIAH (STUDI KASUS PT.
DANA SYARIAH INDONESIA). Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1440/2019.
xi + 71 halaman 1 lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mekanisme pembiyaan
pada PT. Dana Syariah Indonesia pada produk peer to peer lending (P2PL)
dengan menggunakan akad murabahah berdasarkan peraturan yang berlaku.
Sebelum dilaksanakannya pembiayaan, PT. Dana Syariah Indonesia wajib
mencari pihak investor yang ingin memberikan pembiayaan kepada pihak
penerima pembiayaan berdasarkan dengan skema peer to peer lending (P2PL)
yang mengacu kepada Fatwa DSN MUI No. 117 Tahun 2018 Tentang Layanan
Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah.
Penerapan pembiayaan berbasis teknologi oleh PT. Dana Syariah Indonesia
meliputi mekanisme, pengajuan pembiaayan, pengajuan dana investasi dan
penyaluran dana investasi kepada pihak penerima pembiayaan.
Jenis penelitian pada penulisan skripsi ini menggunakan penelitian
deskriptif-kualitatif, berdasarkan pendekatan hukum empiris normatif serta
sumber data yang digunakan ialah data primer dan data sekunder dengan teknik
pengumpulan data berupa studi pustaka, studi lapangan dan studi dokumentasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pembiayaan pada
produk peer to peer lending (P2PL) dengan menggunakan akad murabahah belum
sesuai dengan peraturan mengenai pembiayaan berbasis teknologi yang berlaku di
Indonesia. Pembiayaan yang dilakukan dengan menggunakan akad murabahah
belum sepenuhnya dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah. Hal ini di dukung
dengan adanya ketentuan mengenai riba dalam term and condition yang dibuat
oleh pihak PT. Dana Syariah Indonesia mengenai ketentuan untuk menjadi
penerima pembiayaan. Serta adanya ketidaksesuaian pembuataan akad murabahah
dengan Fatwa DSN MUI No. 04 Tahun 2000 Tentang Murabahah.
Kata Kunci : FINTECH, Peer to Peer Lending, Akad, Murabahah,
Peraturan BI, Peraturan OJK, Fatwa MUI, Undang-
Undang
Dosen Pembimbing : Mu'min Roup, M.A. dan Dr. Alimin, M.Ag.
Daftar Pustaka : 1988 s.d 2019.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan curhatan rahmat dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini sebagai tanda akhir dari studi S1 yang penulis tempuh
dengan judul “Analisis Perjanjian Pembiayaan Murabahah dalam Skema Peer to
Peer Lending (P2PL) Syariah pada Lembaga Fintech Syariah (Studi Kasus PT
Dana Syariah Indonesia)”.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan
tanpa dukungan, do’a dan semangat dari berbagai pihak yang telah membantu dan
berkontribusi. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi terutama
kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak AM. Hasan Ali, MA., dan Bapak Abdurrouf, Lc., MA., selaku
Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Mu'min Roup, M.A dan bapak Dr. Alimin, M.Ag selaku Dosen
Pembimbing skripsi yang baik hati dan sabar serta ikhlas dalam
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis agar dapat
menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Pengajar yang telah mendidik penulis dengan baik, ikhlas,
dan sabar serta dengan penuh dedikasi.
5. Kepada pihak PT. Dana Syariah Indonesia, terutama kepada bagian PPID
yang telah rela meluangkan waktunya kepada penulis untuk dapat
memberikan data yang diperlukan.
6. Keluarga tercinta, terutama Chairuddin Sauman (Papa), Sri Hartati (Ibu)
dan Fariz Maulana (Kakak) yang tiada hentinya memberikan do’a,
kepercayaan serta ridho dalam setiap aktivitas yang penulis lakukan
selama menempuh pendidikan di ranah rantau.
vii
7. Kakak-kakak yang tidak pernah lelah memberikan saran serta solusi
kepada penulis yakni Bang Qari, Bang Abeng, Bang Zaky, Kak Kevin,
Kak Aslam, Kak Diaz, Kak Cena, Kak Aam, Kak Matin, Kak Dendi, dan
Kak Nurul.
8. Sahabat seperjuangan selama kuliah dan dalam berorganisasi Faa Izah,
Amalia Karim Seknun, Syifa Conita, Richad, Ammar Wibowo, Aziiz
Barianto, Bakrie Ahmad Fa’ada, Rizki, Naufal Nadir, Daffa, dan
Fahrurrozi. Terima kasih kepada kalian yang telah memberikan do’a,
dukungan serta bantuan kepada penulis selama menempuh pendidikan.
9. Teman-teman di tempat penulis berhimpun Keluarga HMI dan Komfaksy,
HMPS Hukum Ekonomi Syariah, SENAT Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Terima kasih untuk setiap pengalaman serta
pembelajaran yang telah kalian semua berikan kepada penulis.
Terima kasih atas semua dukungan yang telah diberikan oleh orang-orang
yang telah hadir di dalam kehidupan penulis, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan
dukungan yang telah kalian berikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, hal ini dikarenakan kurangnya
pengalaman serta pengetahuan yang dimiliki. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca
umumnya. Terima kasih.
Jakarta, 13 Agustus 2019
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Pembatasan Masalah .......................................................................... 5
C. Rumusan Masalah .............................................................................. 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 5
E. Kerangka Teori dan Konseptual ........................................................ 6
F. Metode Penelitian ............................................................................. 11
G. Review Studi Terdahulu ................................................................... 15
H. Sistematika Penulisan ........................................................................ 19
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD DALAM FINANCIAL
TECHNOLOGY (FINTECH)
A. Akad ................................................................................................... 21
1. Pengertian Akad ......................................................................... 21
2. Unsur – unsur Akad ................................................................... 23
3. Prinsip – prinsip Akad ................................................................ 23
4. Macam – macam Akad ............................................................... 25
x
B. Finance Technology (Fintech) ........................................................ 28
1. Pengertian Fintech .................................................................... 28
2. Fungsi dan Manfaat Fintech ...................................................... 29
3. Klasifikasi Fintech ..................................................................... 31
4. Syarat Pendirian Fintech ............................................................ 32
5. Skema Fintech ............................................................................ 33
6. Aturan Terkait Fintech ............................................................... 35
BAB III GAMBARAN UMUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN
MURABAHAH PADA PT. DANA SYARIAH INDONESIA
A. Sejarah dan Visi-Misi PT. Dana Syariah Indonesia ......................... 36
1. Sejarah Berdirinya PT. Dana Syariah Indonesia ........................ 36
2. Visi dan Misi .............................................................................. 36
B. Tugas, Fungsi dan Skema Produk pada PT. Dana Syariah
Indonesia ............................................................................................ 37
1. Tugas PT. Dana Syariah Indonesia ............................................ 37
2. Fungsi PT. Dana Syariah Indonesia ............................................ 37
3. Skema Produk PT. Dana Syariah Indonesia ............................. 38
BAB IV ANALISIS KONTRAK AKAD MURABAHAH DALAM SKEMA
PEER TO PEER LENDING (P2PL) SYARIAH PADA PT. DANA
SYARIAH INDONESIA
A. Analisis Penerapan Akad Murabahah dalam Perjanjian
Pembiayaan pada Produk Peer to Peer Lending (P2PL) Syariah di
PT. Dana Syariah Indonesia .............................................................. 48
B. Analisis Mekanisme Sistem Akad Murabahah dalam Skema Peer
to Peer Lending (P2PL) Syariah pada PT. Dana Syariah Indonesia .. 64
xi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 67
B. Rekomendasi .................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 69
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Mekanisme pembiayaan berbasis teknologi di Indonesia
berdasarkan peraturan yang berlaku ................................................. 14
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat penetrasi
layanan perbankan yang rendah. Indonesia tergolong tertinggal dalam hal
inklusi keuangan, dibandingkan negara berkembang lainnya. Indeks
literasi keuangan pada tahun 2013 sebesar 21.8% mengalami peningkatan
menjadi 29,7% pada tahun 2016. Hal yang sama juga ditunjukkan indeks
inklusi keuangan tahun 2013 sebesar 59,7 % menjadi 67,8 % di tahun
2016. Walaupun terjadi peningkatan baik indeks literasi keuangan maupun
indeks inklusi keuangan namun Indonesia masih tertinggal jika
dibandingkan Negara-Negara di Asia dan Pasifik. Strategi Nasional
Keuangan Inklusif (SNKI) yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor
82 tahun 2016, ditargetkan pencapaian indeks inklusi keuangan sebesar
75% ditahun 2019. Literasi keuangan bertujuan meningkatkan pemahaman
masyarakat tentang keuangan, sehingga terjadi peningkatan kualitas
pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan demi terwujudnya
kesejahteraan. Dan Inklusi Keuangan memberikan gambaran akses setiap
personal ke lembaga, layanan dan produk keuangan. Inklusi keuangan
menjadi perhatian pemerintah sebab peran inklusi keuangan Nasional
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Nasional yang berkelanjutan,
mengurangi kesenjangan (inequality), rigiditas low income trap, dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga baik literasi keuangan
maupun keuangan inklusi sangat penting bagi pencapaiaan tujuan jangka
panjang SNKI.1
Salah satu cara untuk memperluas inklusi keuangan maupun
meningkatkan literasi keuangan secara cepat adalah dengan memanfaatkan
digitalisasi perbankan dan financial technology (Fintech). Penggunaan
1 Pipit Buana Sari, “Prospek Finansial Technology (Fintech) di Sumatera Utara Dilihat Dari
Sisi Literasi Keuangan, IinklusiKeuangan dan Kemiskinan”, Jurnal Kajian Akuntansi Universitas Islam Bandung, Vol. 19 No. 2, 2018, h. 9.
2
telepon selular atau smartphone sangat membantu terlaksananya
digitalisasi perbankan dan Fintech. Penetrasi telepon selular memberikan
hasil yang sangat timpang dibandingkan angka rekening bank. Survey we
are social menyebutkan, 91% penduduk Indonesia memiliki ponsel.
Sedangkan pemilik smartphone sebesar 47%. Pengguna kartu ponsel
bahkan lebih besar dari populasi Indonesia, yaitu 371,4 juta atau 142%
dari populasi. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII) tahun 2016, pengguna internet di Indonesia sebesar 132,7 juta jiwa
dimana Sumatera mencapai sebesar 15,7%. Tahun 2017 terjadi
peningkatan jumlah pengguna internet sebesar 143,26 juta jiwa atau
54,68% dari total populasi Indonesia, dimana pengguna di wilayah
Sumatera naik cukup tinggi sebesar 47,20%.2
Teknologi Finansial menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
19 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial Pasal 1 ayat
1 adalah penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat
berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau
efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.
Fintech saat ini dibagi menjadi dua bagian yaitu fintech konvensional dan
fintech syariah. Fintech konvensional adalah penggunaan teknologi dalam
sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau
model bisnis dengan menggunakan aturan atau hukum positif yang
berlaku. Sedangkan fintech syariah adalah penggunaan teknologi dalam
system keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan /
atau model bisnis dengan menggunakan syariat Islam yang berlaku dan
mengikuti perkembangan zaman. Dimana fintech konvensional
menggunakan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 13 Tahun
2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan dan
POJK No. 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
2 Pipit Buana Sari, “Prospek Finansial Technology (Fintech) di Sumatera Utara Dilihat Dari
Sisi Literasi Keuangan, IinklusiKeuangan dan Kemiskinan”, Jurnal Kajian Akuntansi Universitas Islam Bandung, Vol. 19 No. 2, 2018, h. 10.
3
Berbasis Teknologi Informasi. Sedangkan untuk fintech syariah dalam hal
mekanisme akadnya berpatokan kepada Fatwa DSN MUI No. 117 Tahun
2018 Tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi
Berdasarkan Prinsip Syariah, Fatwa DSN MUI No. 4 Tahun 2000Tentang
Murabahah, No. 10 Tahun 2000 Tentang Wakalah.
Dalam fintech terdapat beberapa skema yang digunakan yaitu
Crowdfunding dan Peer to Peer Lending (P2PL). Istilah crowdfunding
merupakan derivasi dari istilah crowdsourcing. Crowdsourcing adalah
pelibatan yang tidak terbatas dan tanpa memandang latar belakang
pendidikan, kewarganegaraan, agama, pekerjaan, bagi setiap orang yang
ingin memberikan kontribusinya atau solusinya atas suatu permasalahan
yang dilemparkan oleh individu, perusahaan, institusi, baik dibayar
maupun secara Cuma-cuma. Crowdsourcing memiliki bentuk yang
berbeda-beda, salah satunya Crowdfunding. Crowdfunding terdiri dari 2
(dua) akar kata yakni crowd dan funding, Crowd berarti “keramaian atau
kerumunan” dan funding berarti “pembiayaan atau pendanaan”, maka
crowdfunding dapat diartikan pendanaan beramai-ramai yang berasal dari
konsep gotong royong.3
Saat ini dalam crowdfunding itu sendiri sudah ada 4 jenis produk
yaitu equity crowdfunding (berbasis permodalan/kepemilikan saham),
lending crwodfunding (berbasis kredit/utang piutang), reward
crowdfunding (berbasis hadiah), donation crowdfunding (berbasis donasi).
Donation crowdfunding (berbasis donasi) adalah produk yang lebih tenar
dikalangan masyarakat Indonesia saat ini. 4
Lalu yang selanjutnya adalah Peer to Peer lending (P2PL), yang
dimana P2PL ini adalah kegiatan pinjam-meminjam antar perseorangan.
P2PL ini pun dibagi menjadi dua, yaitu P2Pl Konvensional dan P2PL
3 Iswi hariyani, “Perlindungan Hukum Sistem Donation Based Crowdfunding pada
Pendanaan Industri Kreatif di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 12 No. 4, tahun 2015, h. 353.
4 Iswi hariyani, “Perlindungan Hukum Sistem Donation Based Crowdfunding pada
Pendanaan Industri Kreatif di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 12 No. 4, tahun 2015, hal. 354.
4
Syariah. Seperti yang kita tahu bahwa P2PL Konvensional berpacuan
kepada hukum positif yang berlaku di Indonesia, sedangkan P2PL Syariah
adalah jenis kegiatan pinjam-meminjam antar perseorangan yang
menggunakan prinsip etis sesuai syariah Islam. Sistem yang dibangun
berdasarkan pada Islamic Finance dengan segala aturan dan larangan.
Peluang investasi pada konsep ini dipandu oleh nilai-nilai moral dan etika,
semisal tidak mendukung kegiatan yang tidak halal seperti terlibat dalam
perjudian, senjata atau yang menyebabkan kerusakan lingkungan. P2PL
syariah ini lebih berpacu kepada fatwa yang dikeluarkan oleh DSN MUI
dan POJK yang bersinggungan dengan fintech.5
Menarik untuk ditelaah terkait P2PL syariah yang dimana
mekanisme maupun aturan dasarnya harus berpacu kepada fatwa maupun
aturan hukum positif yang sesuai dengan prinsip syariah juga. Fatwa DSN
MUI No. 117 Tahun 2018 Tentang Layanan Pembiayaan Berbasis
Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah menyebutkan beberapa
persyaratan di dalam ketentuan umunya termasuk akad yang digunakan
dalam praktek fintech untuk skema P2PL syariah. Akad yang disebutkan
antara lain Akad Jual Beli, Akad Ijarah, Akad Musyarakah, Akad
Mudharabah, Akad Qardh, Akad Wakalah, Akad Wakalah bil
Ujrah.disebutkan juga di dalam fatwa tesebut bahwa akad yang digunakan
oleh para pihak dalam penyelenggaraan Layanan Pembiayaan berbasis
teknologi informasi dapat berupa akad-akad yang selaras dengan
karakteristik layanan pembiayaan.
Berangkat dari latar belakang di atas, maka penulis merasa tertarik
untuk membahas terkait apakah landasan hukum yang telah ada sudah
diterapkan atau belum terhadap skema Peer to Peer Lending (P2PL) pada
lembaga fintech dengan mengambil judul : “Analisis Perjanjian
Pembiayaan Murabahah dalam Skema Peer to Peer Lending (P2PL)
5 Miriam Segal, “Peer to Peer Lending: A Financing Alternative for Small Business”, tahun
2015, h. 10.
5
Syariah pada Lembaga Fintech Syariah (Studi Kasus PT Dana
Syariah Indonesia)”.
B. Pembatasan Masalah
Setelah latar belakang dan identifikasi masalah diuraikan, untuk
membuat penelitian ini menjadi lebih terarah, pembatasan masalah perlu
dilakukan. Untuk memfokuskan penelitian dan memudahkan proses
analisis, maka penelitian ini disudutkan pada analisis aturan yang berlaku
dalam hukum positifnya yaitu ada pada POJK No. 13 Tahun 2018 Tentang
Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan dan POJK No. 77
Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi. Sedangkan untuk aturan hukum islamnya ada pada
Fatwa DSN MUI No. 117 Tahun 2018 Tentang Layanan Pembiayaan
Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah, Fatwa DSN
MUI No. 4 Tahun 2000 Tentang Murabahah, dan fatwa DSN MUI No. 10
Tahun 2000 Tentang Wakalah.
C. Rumusan Masalah
Berikut merupakan perumusan masalah penelitian yang dirincikan
dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan akad murabahah dalam Perjanjian Pembiayaan
pada produk P2PL di PT Dana Syariah Indonesia?
2. Apakah mekanisme sistem operasional produk Peer to Peer Lending
(P2PL) Syariah di PT Dana Syariah Indonesia sudah sesuai dengan
aturan yang berlaku?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan bertujuan untuk:
1. Mengetahui bagaimana akad murabahah dalam perjanjian pembiayaan
pada produk Peer to Peer Lending (P2PL) di PT Dana Syariah
Indonesia.
6
2. Mengetahui apakah mekanisme sistem operasional produk Peer to
Peer Lending (P2PL) Syariah di PT Dana Syariah Indonesia sudah
sesuai aturan atau belum.
Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini
adalah:
1. Akademisi
Untuk menambah khazanah pengetahuan, melengkapi dan
memberikan informasi yang berharga mengenai sesuai atau tidaknya
mekanisme akad murabahah dan wakalah pada produk Peer to Peer
Lending (P2PL) di PT Dana Syariah Indonesia.
2. Praktisi
Menambah rujukan kepada praktisi di PT Dana Syariah Indonesia
dalam mengevaluasi perkembangan peraturan yang sesuai untuk
menjadi landasan hukum lembaga fintech syariah khususnya pada
produk Peer to Peer Lending (P2PL).
3. Mayarakat
Menambah pengetahuan masyarakat, serta memberikan informasi
yang bermanfaat dalam bidang fintech syariah khususnya pada produk
Peer to Peer Lending (P2PL).
E. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kerangka teori berisi uraian telaahan teori dan hasil penelitian
terdahulu yang terkait. Koentjaraningrat menyatakan untuk
menampilkan mengapa dan bagaimana teori hasil penelitian para pakar
terdahulu digunakan peneliti dalam penelitiannya, termasuk dalam
merumuskan asumsi-asumsi dalam penelitiannya.
Kerangka teori merupakan hal yang sangat penting, karena
didalamnya memuat teori-teori yang relevan untuk penjelasan
penelitian yang sedang dilakukan. Kerangka teori ini digunakan
7
sebagai landasan teori atau dasar pemikiran dalam sebuah penelitian.
Karena itu sangat dianggap penting bagi seorang peneliti untuk
menyusun kerangka teori yang berisi pokok-pokok pemikiran yang
menggambarkan dari sudut mana suatu masalah akan disorot.
Kerangka teori yang dipakai adalah teori hukum Gustav Radbruch,
yang lebih dikenal sebagai tiga nilai dasar hukum yang meliputi
keadilan (filosofis), kepastian hukum (juridis), kemanfaatan bagi
masyarakat (sosiologis).12
Bahwa harus ada ketiga nilai dasar yang
dikemukakan oleh Gustav Radbruch diantara nasabah dengan lembaga
fintech yang bersangkutan.
Teori yang dipakai juga ada dalam aspek syariah yaitu pada
qawaid fikih, yaitu kaidah: “Tidak boleh ada mudharat (kerugian) dan
tidak boleh ada yang dirugikan”. Kaidah ini menjelaskan bahwa tidak
boleh ada subjek yang saling merugikan antara satu dengan yang lain,
termasuk dalam hubungan jual beli, khusunya antara penjual dan
pembeli, produsen dan konsumen, lembaga keuangan dan nasabah.
Fungsi kerangka teori tersebut untuk pengembangan penelitian
yang direncanakan, pengembangan konsep dan variable,
pengembangan hipotesis, pengembangan definisi operasional, dan
pengembangan instrumen pengumpulan data. Dengan adanya kerangka
teori ini pembaca dapat melihat batasan-batasan dari penelitian dan
variable yang menjadi pembahasan dalam penelitian. Adapun kerangka
teori yang akan penulis jelaskan dalam skripsi ini, yaitu yang
membahas tentang perjanjian pembiayaan murabahah, fintech
konvensional dan syariah, Landasan Hukum fintech konvensional dan
syariah, pengertian umum P2PL konvensional dan syariah, landasan
hukum P2PL konvensional dan syariah:
a) Fintech menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 19 Tahun
2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial Pasal 1 ayat 1
12
Muslih, Negara Hukum Indonesia dalam Perspektif Teori Hukum Gustav Radbruch, Jurnal
Legalitas, Vol.04. (Jakarta: 2013), h. 143.
8
adalah pengunaan teknologi dalam sistem keuangan yang
menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis
baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas
sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan
keandalan sistem pembayaran. Maka fintceh syariah adalah
penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan
produk, layanan, teknologi dan/atau model bisnis baru serta dapat
berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan,
dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem
pembayaran dalam prinsip syariah;
b) Landasan hukum yang dijadikan acuan utama dalam pelaksanaan
produk dalam fintech adalah POJK No. 13 Tahun 2018 Tentang
Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan dan POJK No.
77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi. Sedangkan dalam fintech syariah
digunakan satu acuan utama selain aturan yang telah disebutkan
yaitu fatwa DSN MUI No. 117 Tentang Layanan Pembiayaan
Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah;
c) Peer to Peer lending (P2PL) adalah kegiatan pinjam-meminjam
antar perseorangan. P2PL ini pun dibagi menjadi dua, yaitu P2Pl
Konvensional dan P2PL Syariah. Seperti yang kita tahu bahwa
P2PL Konvensional berpacuan kepada hukum positif yang berlaku
di Indonesia, sedangkan P2PL Syariah adalah jenis kegiatan
pinjam-meminjam antar perseorangan yang menggunakan prinsip
etis sesuai syariah Islam. Sistem yang dibangun berdasarkan pada
Islamic Finance dengan segala aturan dan larangan. Peluang
investasi pada konsep ini dipandu oleh nilai-nilai moral dan etika,
semisal tidak mendukung kegiatan yang tidak halal seperti terlibat
dalam perjudian, senjata atau yang menyebabkan kerusakan
lingkungan. P2PL syariah ini lebih berpacu kepada fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN MUI dan POJK yang bersinggungan dengan
9
fintech.Akad yang berbasis investasi (provit) atau biasa disebut
equity crowdfunding syariah, biasanya menggunakan akad
musyarakah, murabahah bil wakalah, dan mudharabah
muqayyadah;14
d) Landasan hukum dari P2PL konvensional adalah tetap merujuk
kepada POJK No. 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, sedangkan untuk
P2PL syariah dalam hal mengenai mekanismenya lebih merujuk
kepada fatwa DSN MUI No. 117 Tahun 2018 Tentang Layanan
Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip
Syariah.
14
Miriam Segal, “Peer to Peer Lending: A Financing Alternative for Small Business”, tahun 2015, hal. 10.
10
2. Konseptual
Gambar 1.1 Mekanisme pembiayaan berbasis teknologi di Indonesia
berdasarkan peraturan yang berlaku
11
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan ini peneliti menggunakan pendekatan
hukum normatif empiris. Pendekatan hukum normatif empiris ialah
metode yang dipergunakan dalam penelitian hukum yang
dilakukan dengan meneliti daftar pustaka yang ada serta
berdasarkan data studi lapangan yang diperoleh dengan melakukan
observasi berupa data-data di lapngan serta data hasil wawancara
yang dilakukan.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan deskriptif – kualitatif.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk
melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu.15
Selanjutnya,
metode kualitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme/enterpretif, digunakan
untuk meneliti obyek yang alamiah, hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna daripada generalisasi.16
Dengan metode ini penulis mengumpulkan dan
memaparkan data yang diperoleh dengan melakukan studi
lapangan (Field research) dan penelitian kepustakaan dengan
mengadakan wawancara, yang kemudian hasil penelitian tersebut
akan dipaparkan oleh penulis dalam bentuk kata-kata tanpa
menggunkan data angka.
3. Data Penelitian
Data penelitian yang dipakai pada penulisan skripsi ini
adalah kontrak perjanjian pembiayaan Murabahah pada skema
produk Peer to Peer Lending (P2PL) yang ada di PT. Dana Syariah
15
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
h.8. 16
Sugiyono, Metode Penelitian Manajemen, (Bandung: Alfabeta, 2014), h.347.
12
Indonesia (DSI) sebagai lembaga Financial Technology (Fintech)
yang berbasis syariah. Adapun kriteria dan sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini adalahsebagai berikut:
a. Data primer, merupakan data utama untuk menjadikan
keabsahan dari skripsi ini, berupa data observasi dengan
cara melakukan wawancara kepada PT Dana Syariah
Indonesia sebagai lembaga financial technology syariah
yang menggunakan produk P2PL.
b. Data sekunder, merupakan data yang bersumber dari
literatur kepustakaan yakni dari sumber Al-Qur’an, Hadist,
buku-buku ilmiah, kitab-kitab, makalah-makalah, dan
bahan bacaan lainnya yang berkaitan erat dengan skripsi
ini. Serta data hukum primer atau bahan hukum lainnya
yang bersifat mengikat dan hukum sekunder yaitu bahan
hukum yang melengkapi data hukum primer seperti
rancangan perundang-undangan. Adapun bahan hukum
tersier yaitu bahan hukum yang berupa informasi yang
tersaji melalui media.
4. Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini ialah POJK No. 13 Tahun
2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan,
POJK No. 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi, PBI No. 07 Tahun 2005
Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,
PBI No. 19 Tahun 2017 Tentang Penyelenggara Teknologi
Finansial, PBI No. 16 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Konsumen Jasa dan Sistem Pembayaran, fatwa DSN MUI No. 117
Tahun 2018 Tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi
Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah, fatwa DSN MUI NO. 4
13
Tahun 2000 Tentang Murabahah, fatwa DSN MUI No. 17 Tahun
2000 Tentang Ta’zir (Denda). Serta data observasi yang diperoleh
melalui wawancara dan pengumpulan data yang didapatkan dari
pihak PT Dana Syariah Indonesia yang berlaku sebagai lembaga
fintech syariah yang memakai produk Peer to Peer Lending
(P2PL) di Indonesia.
5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhan
dalam penelitian ini, penulis melakukan kajian dengan cara:
a. Studi Pustaka, adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan
mencatat serta mengolah bahan penelitian.17
Dengan teknik
pengumpulan studi pustaka ini digunakan untuk mendapatkan
acuan teori dalam mempelajari serta melengkapi data yang
akan digunakan dalam penulisan skripsi. Data-data yang
digunakan diperoleh dari mempelajari berbagai macam teori
yang diperoleh dari membaca dan mempelajari beberapa
literatur, buku-buku, dan catatan yang sesuai dengan
pembahasan yang akan diteliti.
b. Studi lapangan, adalah studi yang dilakukan langsung oleh
penulis untuk mendapatkan data yang akurat. Studi ini
dilakukan bertujuan untuk mendapatkan data primer yang
merupakan data utama dalam penelitian ini. Studi lapangan
yang dilakukan penulis berupa upaya observasi dengan
melakukan wawancara dengan pihak terkait serta dengan
melakukan pengumpulan data-data yang diperoleh langsung
dari studi lapangan yang dilakukan.
17
Mestika Zed. Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia),
2008, h.3.
14
c. Studi dokumentasi, adalah suatu teknik pengumpulan data
melalui cara mempelajari dokumen yang terkait dengan bahan
penelitian. Tujuan dari studi dokumentasi ini ialah untuk
mendapatkan data atau informasi yang berhubungan dengan
rumusan masalah yang telah dirumuskan. Sudi dokumentasi ini
dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data pendukung
yang berkaitan dengan data utama pada penelitian ini, yakni
berupa data yang ditulis oleh lembaga terkait, catatan, buku,
surat kabar, laporan tahunan lembaga, dan lain sebagainnya.
d. Triangulasi, diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang
bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan
data dan sumber data yang telah ada. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan teknik triangulasi teknik, yang berarti
penulis menggunakan tenik pengumpulan data yang berbeda-
beda untuk mendapatkan dari data sumber yang sama. Penulis
menggunakan observasi partisipatif, wawancara, dan
dokumentasi untuk sumber data yang sama secara bersamaan.18
6. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam tulisan ini adalah mekanime
penerapan landasan hukum Islam yang dipakai lembaga fintech
syariah dalam produk P2PL. Berdasarkan sumber penelitian pada
tulisan ini yang menggunakan data sekunder berupa hukum primer
yaitu Fatwa DSN No. 117 Tahun 2018 Tentang Layanan
Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip
Syariah serta Fatwa DSN No. 04 Tahun 2000 Tentang Murabahah
dan juga hukum positif seperti POJK Nomor 77 Tahun 2016
Tentang Layanan Pinjan Meminjam Uang berbasis Teknologi
18
Sugiyono, Metode Penelitin Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta,
2011). h 241.
15
Informasi serta POJK No, 13 Tahun 2018 Tentang Inovasi
Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan.
7. Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan kegiatan pendahuluan dari
analisis. Data yang diperoleh melalui pustaka/dokumen/literatur
berbeda halnya dengan data melalui wawancara dan pengamatan. Jika
pustaka/dokumen/literatur adalah data yang siap pakai atau data yang
sudah jadi, sedangkan data wawancara dan observasi harus diolah
sedemikian rupa melalui berbagai tahap pengelolaan data.
8. Metode Analisis Data
Pada penelitian ini, analisis data yang diunakan oleh
penulis dalam penelitian ini adalah analisis nonstatistik dengan
menggunakan analisi secara indeksi, yaitu memulai dari data-data
yang konkrit, kemdan dihubungkan dengan dalil-dalil umum,
postulat, atau paradigm tertentu yang dianggap sudah benar dan
sesuai dengan data-data yang konkrit.
9. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penulisan penelitian, penulis
menggunakan metode penulisan yang terdapat pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
G. Review Studi Terdahulu
Dari sekian banyak literatur yang dibaca oleh penulis, penulis
mengambil beberapa literaturseperti jurnal dan skripsi untuk melakukan
beberapa perbandingan antara lain:
16
Menurut Ratna Hartanto dan Juliyani Purnama Ramli dalam
jurnalnya yang berjudul, Hubungan Hukum Para Pihak dalam Peer to
Peer Lending, dijelaskan bahwa Sistem peer to peer lending pertama kali
dikenal di Inggris melalui perusahaan Zopa pada tahun 2005 yang
kemudian diikuti di Amerika. Para pengguna pada awalnya tertarik dengan
konsep peer to peer lending karena dampak krisis financial 2008. Pada saat
itu bank menutup penyaluran kredit baru dan memberikan suku bunga
yang mendekati 0% kepada para deposan uang. Karena itu peminjam harus
mencari sumber pendanaan alternatif dan pemilik dana aktif mencari
investasi dengan imbal hasil yang lebih tinggi.19
Di Indonesia, sebelum Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut
OJK) menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi, platform peer to peer lending sejatinya telah ada
dalam masyarakat. Sebagai contoh platform uangteman.com yang telah
dikenal di Indonesia sejak 2015.
OJK menerbitkan POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi pada 28 Desember
2016. Berdasarkan peraturan tersebut, yang dimaksud dengan layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi adalah
penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi
pinjaman dengan penerima pinjaman dalam mata uang rupiah secara
langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
Namun ada yang janggal dalam penerapan sistem P2PL yaitu pada
hubungan hukum antara para pihak didalamnya. Dapat diambil kesimpulan
yaitu hubungan hukum antara para pihak dalam peer to peer lending
(layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi) haruslah
dibedakan dengan hubungan hukum antara para pihak dalam sistem
perbankan agar tidak melanggar ketentuan perizinan usaha di bidang
19
Ratna Hartanto dan Juliyani Purnama Ramli, Hubungan Hukum Para Pihak dalam
Peer to Peer Lending, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol.25. (Jakarta: UII, 2018), h.10.
17
perbankan yang dapat berimplikasi pada penyelenggaraan bank gelap
(shadow banking). Oleh karena itu, hubungan antara pemberi pinjaman
dan penyelenggara peer to peer lending haruslah bukan hubungan
penyimpanan dana melainkan hubungan hukum yang lahir atas perjanjian
pemberian kuasa. Di sisi lain, penerima pinjaman dalam peer to peer
lending secara yuridis seharusnya memiliki hubungan hukum dengan
pemberi pinjaman dan bukan dengan penyelenggara peer to peer lending.
Hubungan hukum antara penerima pinjaman dan pemberi pinjaman dalam
hal ini merupakan hubungan pinjam meminjam uang sebagaimana diatur
pada KUHPerdata.
Lalu literatur yang kedua adalah jurnal milik Ade Bagus Riadi
yang berjudul, Aspek Hukum dalam Menjalankan Perusahaan Fintech
Lending di Indonesia. Dijelaskan dalam jurnal tersebut bahwa Sejauh ini
regulasi yang mengatur langsung mengenai fintech masih sedikit dan
belum dibahas secara menyeluruh. Dari sudut pandang peraturan
perundang-undangan, belum ada aturan selevel undang-undang yang
mengatur secara khusus fintech ini. Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dan Bank Indonesia (BI) sesuai dengan kewenangannya yang mengatur
dan mengawasi industri jasa keuangan telah menerbitkan beberapa
regulasi untuk mengatur fintech yang sedang berkembang pesat ini. Ada
beberapa peraturan yang mengawasi dan mencakup jasa layanan usaha
fintech antara lain: 1) POJK No. 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi; 2) PBI No. 18 Tahun
2016 Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran; 3)
PBI No. 19 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Ketidaktaatan pada penerapan program ini, bagi lembaga jasa
keuangan termasuk fintech dapat mengakibatkan sanksi, yaitu antara lain :
mendapat teguran tertulis, membayar penalti, penurunan tingkat kesehatan
bahkan sampai pembekuan kegiatan usaha tertentu oleh OJK. Oleh karena
itu penyelenggara Fintech harus betul betul memahami regulasi hukum
18
dalam menjalankan usaha agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
khususnya terkait masalah pelanggaran hukum.20
Setelah itu jurnal yang ketiga yang dibuat oleh Ade Bagus Riadi
juga dengan judul, Urgensi Undang-undang Perlindungan Data Pribadi di
Indonesia. Bahwa didalam jurnal tersebut dijelaskan belum adanya
peraturan yang menjaga kerahasiaan dari data pribadi para pihak yang
bersangkutan dalam lemabaga fintech khusunya dalam produk P2PL.
Misalnya, dalam bidang perbankan, pengakuan kewajiban perlindungan
data nasabah ditemukan dalam UU Perbankan dan UU Perbankan Syariah.
Setelah kehadiran UU Otoritas Jasa Keuangan, kewajiban Bank Indonesia
untuk melindungi data nasabah digantikan oleh lembaga independen OJK.
Tapi UU tersebut belum menjelaskan mekanisme pemulihan jika terjadi
pelanggaran. Hal itu juga belum diatur dalam UU Perlindungan
Konsumen, yang seharusnya mengakomodasi kerugian konsumen dalam
hal kebocoran data.
Proyek e-KTP dari pemerintah yang mengumpulkan hampir
seluruh jenis data pribadi dari warga negara, bahkan sampai dengan ciri-
ciri khusus biometriknya, melalui perekaman data retina mata. Sedangkan,
pemerintah sendiri hingga saat ini tidak pernah bisa secara baik
menjelaskan mengenai prosedur pengelolaan, pengolahan, penyimpanan,
dan perlindungan data pribadi warga negara yang telah dikumpulkan.
Peraturan Presiden No. 67/2011 yang menjadi rujukan proyek ini sendiri,
tidak sekalipun mengatur mengenai mekanisme perlindungan data pribadi
yang terkait e-KTP. Demikian pula dalam konteks data pribadi secara viral
di Internet. Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) sebagai salah satu regulasi hukum Internet juga belum
memberikan perlindungan data pribadi. Pasal 26 UU ITE memberikan
gambaran umum mengenai persyaratan persetujuan pemilik data dalam
segala akses data pribadi di media elektronik, tapi tidak mengatur secara
20 Ade Bagus Riadi, Urgensi Undang-undang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia,,
Jurnal Hukum Fintech, Teknologi, Telekomunikasi & Perbankan Syariah, Vol. 1. (Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia, 2018), h. 27.
19
jelas mengenai mekanisme internal yang harus dilakukan pengumpul data
dan tindakan setelah terjadinya pelanggaran.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa Indonesia masih absen
dalam perlindungan data pribadi. Dampaknya, mekanisme pengumpulan
dan pengelolaan data yang dilakukan oleh swasta ataupun negara tidak
memiliki kepastian hukum dan berpotensi membuka ruang
kesewenangwenangan. Alhasil, warga kembali dirugikan karena data
privasinya tidak dapat dilindungi. Berbeda dengan negara-negara tetangga
yang sudah memiliki regulasi mengenai perlindungan data pribadi,
Indonesia jelas telah ketinggalan karena belum mempunyai regulasi atau
paying hukum Perlindungan Data Pribadi. Apalagi dengan terbongkarnya
skandal kebocoran data pengguna Facebook yang disalahgunakan oleh
Pihak Ketiga, semakin menegaskan pentingnya memiliki suatu Undang-
Undang mengenai Perlindungan Data Pribadi.21
H. Sistematika Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi
pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam
mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika
penulisan ini sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan pendahuluan, yang memuat latar belakang
masalah, pembahasan dan perumusan masalah,tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, review studi
terdahulu dan sistematika penulisan
21 Ade Bagus Riadi, Aspek Hukum dalam Menjalankan Perusahaan Fintech Lending di
Indonesia, Jurnal Hukum Fintech, Teknologi, Telekomunikasi & Perbankan Syariah, Vol. 1. (Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia, 2018), h. 4.
20
BAB II LANDASAN TEORI
Membahas konsep Akad pada umumnya, konsep Akad
secara Syariah, macam-macam akad secara Syariah, lalu
konsep Fintech Syariah khususnya dalam produk Peer to
Peer Lending (P2PL), dari mulai pengertian Fintech
Syariah dan P2PL, mekanisme Fintech Syariah khususnya
produk P2PL, produk-produk Fintech Syariah, dan hukum
serta aturan terkait dengan Fintech Syariah khusunya
produk P2PL.
BAB III GAMBARAN UMUM FINANCIAL TECHNOLOGY
SYARIAH
Dari latar belakang berdirinya Fintech Syariah, tugas dan
fungsi Fintech Syariah, visi dan misi Fintech Syariah,
produk-produk Fintech Syariah dan Skema Produk PT
Dana Syariah Indonesia.
BAB IV PEMBAHASAN
Dari pembahasan mengenai status badan hukum dan
pengawasan Fintech Syariah yaitu PT Dana Syariah
Indonesia apakah sesuai atau tidak mekanismenya dengan
peraturan yang berlaku di Indonesia.
BAB V KESIMPULAN
Pada bab ini penulis akan menguraikan kesimpulan dari
hasil penulisan yang telah dilakukan di PT Dana Syariah
Indonesia sebagai lembaga Fintech Syariah khususnya
produk P2PL, serta memberikan saran atas permasalahan
dari masalah rumusan masalah yang telah dipaparkan.
21
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD DALAM FINANCIAL
TECHNOLOGY (FINTECH)
A. Akad
1. Pengertian Akad
Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau
simpulan baik ikatan yang nampak (hissy) maupun tidak nampak
(ma‟nawy). Kamus al-Mawrid, menerjemahkan al-„Aqd sebagai contract
and agreement atau kontrak dan perjanjian.1 Adapun akad atau kontrak
menurut istilah adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik
lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki
implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya.2 Subhi
Mahmasaniy mengartikan kontrak sebagai ikatan atau hubungan di antara
ijab dan qabul yang memiliki akibat hukum terhadap hal-hal yang
dikontrakkan.3 Terdapat juga pakar yang mendefinisikan sebagai satu
perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan kesepakatan
atau kerelaan bersama.4
Adapun ayat Quran mengenai akad terdapat pada Surat Al-maidah ayat
1 yang berbunyi:
1 Munir al-Ba‟labakiyy (1990), Qamus al-Mawrid. (Beirut: Dar al-„Ilm al-Malayyin),
h.770. 2 Muhammad Salam Madkur (1963). Al - Madkhal al – fiqh al – Islamiyy. (ttp : Dar al -
Nahdah al - „Arabiyyah), h.506. 3 Subhiyy Mahmasaniy (1948). Al - Nazariyyat al-„Ammah li al - Mujibat wa al-„Uqud fi
al-Shari‟ah al-Islamiyyah. (Mesir: Dar al-Kitab al-„Arabiyy), h. 210. 4 Hasbi al-Shiddieqiyy (1974). Pengantar Fiqh Mu‟amalah. (Jakarta: Bulan Bintang),
h.34.
22
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.
Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan
kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum
sesuai yang Dia kehendaki.”
Sehubungan dengan pengertian Hukum Kontrak dalam literatur Ilmu
Hukum, terdapat berbagai istilah yang sering dipakai sebagai rujukan di
samping istilah ”Hukum Perikatan” untuk menggambarkan ketentuan
hukum yang mengatur transaksi dalam masyarakat. Ada yang
menggunakan istilah ”Hukum Perutangan”, ”Hukum Perjanjian” ataupun
”Hukum Kontrak”. Masing-masing istilah tersebut mempunyai artikulasi
yang berbeda satu dengan lainnya.5
Istilah hukum perutangan biasanya diambil karena suatu transaksi
mengakibatkan adanya konsekuensi yang berupa suatu peristiwa tuntut-
menuntut. Hukum perjanjian digunakan apabila melihat bentuk nyata dari
adanya transaksi. Hal ini mengacu kepada pengertian perjanjian menurut
Subekti, yaitu suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Apabila pengaturan hukum tersebut mengenai perjanjian dalam bentuk
tertulis sering disebut Hukum Kontrak.6
Penggunaan Hukum Perikatan untuk menggambarkan bentuk abstrak
dari terjadinya keterikatan para pihak yang mengadakan transaksi tersebut,
yang tidak hanya timbul dari adanya perjanjian antara para pihak, namun
juga dari ketentuan yang berlaku di luar perjanjian tersebut yang
menyebabkan terikatnya para pihak untuk melaksanakan tindakan hukum
tertentu. Di sini tampak bahwa Hukum Perikatan memiliki pengertian
yang lebih luas dari sekadar Hukum Perjanjian.7
5 Gemala Dewi dkk (2006). Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cetakan ke-2. (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group), h. 1. 6 I.G. Rai Widjaya (2003). Merancang Suatu Kontrak: Teori dan Praktik. (Jakarta:
Kesaint Blanc), h. 3. 7 Subekti (2001). Hukum Perjanjian. (Jakarta: Intermasa), h.1.
23
2. Unsur – unsur Akad
Dalam sebuah akad ataupun kontrak, dipastikan harus memiki sebuah
unsur agar akad atau kontrak tersebut bisa dikatakan sah dan terdapat
kepastian hukum di dalamnya. Adapun unsur – unsur yang terdapat dalam
sebuah akad atau kontrak adalah:8
a. Adanya kaidah hukum;
b. Adanya subjek hukum;
c. Adanya prestasi;
d. Adanya kata sepakat;
e. Adanya akibat hukum.
Pada unsur – unsur di atas terdapat beberapa hal atau bagian penting di
dalamnya, seperti subjek hukum yaitu orang atau suatu badan hukum yang
sudah cakap hukum, karena jika subjek hukum ini tidak cakap dalam
hukum maka tidak sah akad atau kontrak yang dijalankannya. Terdapat
juga akibat hukum dalam unsur akad atau kontrak agar ketika salah satu
subjek hukum tidak menjalankan prestasinya, maka ada sebuah sanksi
yang dikenakan terhadap subjek hukum tersebut agar menjadi suatu
peringatan kepada subjek hukum tersebut untuk menjalankan prestasi atau
kewajibannya.
3. Prinsip Akad
Prinsip ataupun asas dalam suatu akad atau kontrak secara umum
terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang memberikan
berbagai asas-asas umum yang merupakan pedoman atau patokan serta
menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang
akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatanyang berlaku bagi para
pihak. Adapun asas-asas hukum perjanjian yang merupakan asas-asas
umum (principle) yang harus diindahkan oleh setiap yang terlibat di dalam
suatu perjanjian itu.
8 Salim H. S (2006), Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cetakan ke-
4. (Jakarta: Sinar Grafika), h. 4-5.
24
Ada 7 asas penting dalam suatu kontrak atau perjanjian: asas
kebebasan berkontrak (sistem terbuka), asas konsensualitas, asas
mengikatnya perjanjian atau pacta sunt servanda, dan asas itikad baik, asas
personalitas, asas force majeur, asas exceptio non adimpleti contractus.
Sedangkan pada akad atau kontrak syariah terdapat beberapa prinsip atau
akad yang lain yaitu:
a. Persaudaraan (ukhuwah), transaksi syariah menjunjung tinggi nilai
kebersamaan dalam memperoleh manfaat, sehingga seseorang tidak
boleh mendapatkan keuntungan di atas kerugian orang lain. Prinsip ini
didasarkan atas prinsip saling mengenal (ta‟aruf), saling memahami
(tafahum), saling menolong (ta‟awun), saling menjamin (takaful),
saling besinergi dan saling berafiliasi (tahaluf).
b. Keadilan („adalah), selalu menempatkan sesuatu hanya pada yang
berhak, dalam realitas prinsip ini sesuai aturan muamalah yaitu
melarang adannya unsur: Riba/bunga; Kezaliman terhadap diri sendiri,
orang lain atau lingkungan; Maisir/judi atau bersikap spekulatif dan
tidak berhubungan dengan produktivitasnnya; Ghahar/unsur
ketidakjelasan, manipulsi dan eksploitasi informasi serta tidak adannya
kepastian pelaksanaan akad; dan Haram.
c. Kemaslahatan (maslahah), yaitu segala bentuk kebaikan dan manfaat
yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, meterial dan spiritual, serta
individual dan kelektif. Kemaslahatan harus memenuhi dua unsur
yaitu: halal (patuh terhadap ketentuan syariah) dan thayib (membawa
kebaikan dan bermanfaat).
d. Keseimbangan (tawazun), yaitu keseimbangan antara aspek material
dan spiritual, antara aspek privat dan publik, antara sektor keuangan
dan sektor rill, antara bisnis dan sosial serta antara aspek pemanfaatan
serta pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya memperhatikan
kepentingan pemilik semata tetapi memperhatikan kepentingan semua
pihak sehingga dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan
ekonomi tersebut.
25
e. Universalisme (syumuliah), dimana esensinya dapat dilakukan oleh,
dengan dan untuk semua pihak yang berkepentingan tanpa
membedakan suku, agama, ras, dan golongan, sesuai dengan semangat
kerahmatan semesta (rahmatan li alamin).
f. Kerelaan, (al-Ridhâ). Berdasarkan asas ini maka semua bentuk akad
yang dibuat harus dilakukan karena kerelaan diri, bukan karena
keterpaksaan atau dipaksa. Dengan demikian bila asas ini tidak
terpenuhi, maka akad dapat dianggap batal atau tidak sah, dan bila
keadaan itu tetap dilangsungkan maka sama artinya dengan memakan
sesuatu dengan cara yang batil (al-akl bi al-bâthil). Singkatnya, asas
ini mengharuskan tidak adanya paksaan dari pihak manapun dalam
proses transaksi.
g. Persamaan atau kesetaraan (al-musāwah). Kedua belah pihak yang
sedang melakukan suatu akad perjanjian mempunyai kedudukan yang
sama dan setara. Sehingga, pada saat menentukan hak dan kewajiban
masing-masing didasarkan pada asas almusāwah ini.9
4. Macam – macam Akad Syariah
Suatu akad dalam Islam dibagi menjadi beberapa macam, yaitu dari
segi keabsahannya menurut syariat dan dari segi penamaannya. Dari segi
keabsahannya menurut syariat, dibagi menjadi dua:
a. Akad shahih, yaitu yang telah memenuhi rukun dan syaratnya;
b. Akad yang tidak shahih, yang terdapat kekurangan pada rukun dan
syaratnya.10
Fikih muamalah, telah mengidentifikasi dan menguraikan macam-
macam jual beli, termasuk jenis-jenis jual beli yang dilarang oleh Islam.
Macam atau jenis jual beli tersebut ialah:
9 Abdurrauf. “Penerapan Teori akad pada perbankan syariah”. Al-Iqtishad, Vol.IV, No.
(Jakarta: UIN-Syarif Hidayatullah, 1, Januari 2012), h.23. 10
Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
2001, jilid 1 h. 67-68.
26
a. Bai‟ al mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan
uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Jual-beli semacam ini
menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang
didasarkan atas prinsip jual-beli;
b. Bai‟ al muqayyadah, yaitu jual beli dimana pertukaran terjadi
antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual beli semacam
ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang
tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). karena itu
dilakukan pertukaran barang dengan barang yang dinilai dalam
valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut Counter trade;
c. Bai‟ al sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran antara satu mata uang
asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah dengan
dolar, dolar dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang
diperjualbelikan itu dapat berupa uang kartal (bank notes) ataupun
bentuk uang giral (telegrafic transfer atau mail transfer);
d. Bai‟ al murabahah adalah akad jual beli barang tertentu. Dalam
transaksi jual beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas
barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan
keuntungan yang diambil;
e. Bai‟ al musawamah adalah jual-beli biasa, dimana penjual tidak
memberitahukan haga pokok dan keuntungan yang didapatnya;
f. Bai‟ al muwadha‟ah yaitu jual beli dimana penjual melakukan
penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar
atau dengan potongan (discount). penjualan semacam ini biasanya
hanya dilakukan untuk barang-barang atau aktiva tetap yang nilai
bukunya sudah sangat rendah;
g. Bai‟ as-salam adalah akad jual beli di mana pembeli membayar
uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan
spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan
diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai‟ as
27
salam biasanya dilakukan untuk produk-produk pertanian jangka
pendek;
h. Bai‟ al-istishna hampir sama dengan bai‟ as salam, yaitu kontrak
jual-beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi
dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang
disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan
diserahkan kemudian.11
Pada kali ini penulis hanya menitikberatkan pada akad murabahah
yaitu jual beli barang tertentu yang dimana si Penjual menyebutkan
dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan
keuntungan yang diambil. Ditinjau dari segi namanya, murabahah
mengandung arti memberikan sebuah kelebihan yang artinya adalah
memberikan keuntungan atau laba diantara yang beraqad atau orang yang
melakukan persekutuan.12
Sedangkan menurut terminologi murabahah
adalah penjualan barang seharga pembelian disertai dengan keuntungan
yang diberikan oleh pembeli.13
Karena akad ini yang digunakan untuk
perjanjian pembiayaan skema P2PL Syariah pada PT Dana Syariah
Indonesia. Akad murabahah menjadi pilihan favorit produk pembiayaan
dan sangat berkembang di Lembaga Keuangan Syariah (LKS), yang
dimana mekanisme pelaksanaan murabahah yaitu antara nasabah dengan
lembaga pembiayaan melakukan perjanjian murabahah, dan pada saat
yang sama pihak lembaga pembiayaan mewakilkan untuk membelikan
barang yang akan dibeli oleh nasabah. Daa lalu dikredit ke rekening
nasabah dan nasabah menandatangani tanda terima uang.14
Akad
11
Zainul Arifin. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Pustaka Alfabet, 2012,
h. 26-27. 12
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan, Bandung: Pustaka Setia, 2011, h. 263. 13
Atang Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Islam, Bandung: Refika Aditama, 2011, hlm.
226. 14
Fahadil Amin Al-Hasan, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah di Lembaga Mikro
Keuangan Syariah (BMT), (Bandung: UIN Bandung, 28, Maret 2018), h. 60.
28
murabahah juga di tujukan secara berkelanjutan yaitu untuk modal kerja
yang pada hakikatnya murabahah adalah kontrak jangka pendek.15
B. Financial Technology (Fintech)
1. Pengertian Fintech
Secara bahasa, Fintech berasal dari bahasa Inggris yaitu perpaduan
antara Financial dan Technology. Financial yang berarti “keuangan” dan
Technology yang berarti “teknologi” atau disingkat menjadi layanan
keuangan berbasis teknologi. Secara istilah banyak yang mengartikan
Fintech, beberapa diantara didefinisikan sebagai aplikasi teknologi digital
untuk masalah-masalah intermediasi keuangan (Aaron, et al, 2017).
Selanjutnya pada pengertian yang lebih luas, Fintech didefinisikan
sebagai industri yang terdiri dari perusahaan-perusahaan yang
menggunakan teknologi agar sistem keuangan dan penyampaian layanan
keuangan lebih efisien (World Bank, 2016). Fintech juga didefinisikan
sebagai inovasi teknologi dalam layanan keuangan yang dapat
menghasilkan model-model bisnis, aplikasi, proses atau produk-produk
dengan efek material yang terkait dengan penyediaan layanan keuangan
(FSB, 2017).
Peraturan Bank Indonesia No.19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial, menjelaskan Teknologi Finansial
adalah penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan
produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat
berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau
efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.
Peratuaran Otoritas Jasa Keuangan No.77/POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
menjelaskan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk
mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam
rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah
15
Syafii Antonio, Bank Syariah., h. 106.
29
secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan
internet.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 117/DSN-MUI/II/2018 tentang
Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip
Syariah, menjelaskan Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi
Berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyelenggaraan layanan jasa
keuangan berdasarkan prinsip syariah yang mempertemukan atau
menghubungkan pemberi pembiayaan dengan penerima pembiayaan
dalam rangka melakukan akad pembiayaan melalui sistem elektronik
dengan menggunakan jaringan internet.
2. Fungsi dan Manfaat Fintech
Fungsi penyelenggara teknologi finansial dikategorikan ke dalam
bagian sebagai berikut:16
a. Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran mencakup otorisasi, kliring, penyelesaian akhir
dan pelaksaan pembayaran. Contoh penyelenggaraan teknologi
finansial pada kategori system pembayaran antara lain penggunaan
teknologi blockchain atau distributed ledger untuk
penyelenggaraan transfer dana, uang elektronik, dan mobile
payments.
b. Pendukung Pasar
Bahwa teknologi finansial yang menggunakan teknologi informasi
dan/atau teknologi elektronik untuk memfasilitasi pemberian
informasi yang lebih cepat atau lebih murah terkait dengan produk
atau layanan jasa keuangan kepada masyarakat.
c. Manajemen Investasi dan Manajemen Resiko
Kategori manejemen investasi dan manajemen resiko antara lain
penyediaan produk investasi online dan asuransi online.
16
Tri Inda Fadhila Rahma, “Persepsi Masyarakat Kota Medan Terhadap Penggunaan
Financial Technology (Fintech)”, Jurnal At-Tawassuth, Vol. III No. 1, 2018, h. 648.
30
d. Pinjaman (lending), Pembiayaan (financing atau funding), dan
Penyediaan modal (capital raising)
Kategori tersebut antara lain layanan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending) serta
pembiayaan atau penggalangan dana berbasis teknologi informasi
(crowd-funding).
e. Jasa Finansial lainnya
Jasa financial lainnya berupa selain sistem pembayaran,
pendukung pasar, manajemen investasi dan manajemen risiko,
serta pinjaman, pembiayaan dan penyediaan modal.
Teknologi finansial yang akan diimplementasikan dalam lembaga
perbankan di Indonesia memiliki analisis kekuatan atau manfaat sebagai
berikut:17
a. Kemudahan dalam memanfaatkan akses data layanan perbankan dalam
ukuran besar dan kemudahan untuk melakukan transaksi kapan saja dan
di mana saja;
b. Kemampuan untuk menjangkau kelompok masyarakat yang tidak
terlayani oleh kantor cabang lembaga perbankan, khususnya di daerah 3T.
c. Lebih hemat biaya operasional dan biaya pemasaran karena lembaga
perbankan cukup berkolaborasi dengan penyedia jasa teknologi finansial
dalam menawarkan produk perbankan kepada masyarakat.
d. Varian produk lembaga perbankan yang telah banyak dikenal luas oleh
masyarakat, termasuk aplikasi layanan 24 jam, seperti mobile banking,
internet banking, sms banking, dan call banking (Rahadi & Zanial 2015).
Meskipun layanan perbankan ini belum banyak dimaksimalkan
penggunaannya, namun ketika lembaga perbankan berkolaborasi dengan
penyedia jasa teknologi finansial, maka masyarakat akan semakin mudah
mengakses produk layanan perbankan yang dimaksud.
17
Imanuel Aditya Wulanata Chrismastianto, “Analisis SWOT Implementasi Teknologi
Finansial Terhadap Kualitas Layanan Perbankan di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis,
Volume 20 No. 1, April 2017, h. 140.
31
3. Klasifikasi Fintech
Mengikuti perkembangan zaman, Fintech mengalami pembagian
terhadap macam-macamnya, yaitu ada Fintech Konvensional dan Fintech
Syariah. Fintech konvensional adalah penggunaan teknologi dalam system
keuangan yang menggunakan landasan hukum positif dalam praktek dan
implementasinya. Fintech dengan layanan keuangan seperti crowdfunding,
mobile payments, dan jasa transfer uang menyebabkan revolusi dalam
bisnis startup. Dengan crowdfunding, bisa memperoleh dana dari seluruh
dunia dengan mudah, bahkan dari orang yang belum pernah ditemui
sekalipun Fintech juga memungkinkan transfer uang secara global atau
internasional. Jasa pembayaran seperti PayPal otomatis mengubah kurs
mata uang, sehingga yang berada di Amerika bisa membeli barang dari
Indonesia dengan mudahnya.18
Sedangkan Fintech Syariah adalah penggunaan teknologi dalam
system keuangan yang memakai landasan hukum serta akad-akad yang
berasal dari hukum Islam. Dengan penduduk yang 88%-nya adalah
muslim mempengaruhi muncul dan berkembangnya Fintech Syariah yaitu
Fintech yang kegiatan usahanya berlandaskan prinsip-prinsip syariah,
yang saat ini penggunanya bukan hanya muslim saja namun juga non
muslim. Perkembangan Fintech Syariah juga semakin baik melihat
semakin meningkatnya pemataman dan kebutuhan masyarakat terhadap
ekonomi syariah, serta sudah banyak bermunculan Fintech yang
menggunakan prinsip syariah dalam kegiatan usahanya dan saat ini telah
terbentuk Asosiasi Fintech Syariah Indonesia yaitu suatu asosiasi yang
keanggotaannya terdiri dari para pelaku Fintech Syariah di Indonesia yang
salah satu fungsinya adalah membina dan mengawasi jalannya kegiatan
usaha Fintech Syariah.19
18
Irma Muzdalifa,”Peran Fintech dalam Meningkatkan Keuangan Inklusif pada UMKM
di Indonesia (Pendekatan Keuangan FIntech”, Jurnal Masharif al-Syariah, Vol. 3, No. 1, 2018, h.
7. 19
Sasmita Flouridaningrum, “Mengapa Memilih Fintech Syariah”, Prihatwono Law
Research, Vol. 1, 1 Juni 2018, h. 7.
32
4. Syarat Pendirian Fintech
Menurut POJK No. 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi informasi, pada Bab II dijelaskan
mengenai syarat pendirian Lembaga Fintech. Pertama-tama penyelenggara
yang akan melakukan kegiatan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi mengajukan permohonan pendaftaran kepaa OJK. Bagi
penyelenggara yang sudah melakukan kegiatan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi informasi sebelum adanya peraturan ini harus
mengajukan permohonana pendaftaran kepada OJK paling lambat 6
(enam) bulan setelah peraturan OJK ini berlaku. Permohonan pendaftaran
ini disampaikan oleh Direksi kepada Kepala Eksekutif Pengawas
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya dengan menggunakan formulir 1 yang terlampir di
POJK bersangkutan. Persetujuan atas pendaftaran penyelenggara
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak
diterimanya dokumen permohonan tersebut.
Penyelenggara yang telah terdaftar wajib menyampaikan laporan
secara berkala setiap 3 (tiga) bulan untuk periode yang berakhir pada
tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember kepada OJK
dengan informasi yang paling sedikit memuat:
a. Jumlah pemberi pinjaman dan penerima pinjaman;
b. Kualitas pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman berikut
dasar penilaian kualitas pinjaman, dan;
c. Kegiatan yang telah dilakukan setelah terdaftar di OJK.
Laporan berkala setiap 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud disampaikan
kepada OJK paling almbat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak jatuh
tempo tanggal pelaporan.
Penyelenggara yang telah terdaftar di OJK, wajib mengajukan
permohonan izin sebagai Peyelenggara dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun sejak tanggal terdaftardi OJK. Bagi penyelenggara yang telah
mendapatkan surat tanda bukti terdaftar dan tidak menyampaikan
33
permohonan perizinan, atau tidak memenuhi persyaratan perizinan, surat
tanda bukti terdaftar penyelenggara dinyatakan batal. Penyelenggara yang
surat tanda bukti terdaftarnya dinyatakan batal, maka harus menyelesaikan
hak dan kewajiban pengguna sesuai dala surat pernyataan rencana
penyelesaian atau tidak dapat lagi menyampaikan pendaftaran kepada
OJK.
Dalam POJK tersebut juga dijelaskan bahwa pendiri juga harus warga
negara Indonesia atau badan hukum Indonesia atau warga negara asing
dan/atau badan hukum asing. Kepemilikan saham penyelenggara oleh
warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud
paling banyak sebesar 85%.
Pada Pasal 4 di Bab yang sama, penyelenggara berbentuk badan
hukum perseoran terbatas dan koperasi wajib memiliki modal disetor
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) pada saat
pendaftaran. Sedangkan pada proses pengajuan permohonan perizinan,
penyelenggara yang berbadan hukum perseroan terbatas maupun koperasi
wajib memiliki modal disetor sebesar Rp2.500.000.000,00 (dua miliar
lima ratus juta rupiah).
Dalam POJK tersebut dijelaskan juga mengenai batas maksimum
pemberian pinjaman dana yaitu sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah), dan ojk juga dapat melakukan peninjauan kembali atas batas
maksimum total pemberian pinjaman dana.
5. Skema dalam Fintech
Fintech mempunyai beberapa konsep atau skema yang dijalankan,
diantara yang paling dipakai adalah Crowdfunding dan Peer to Peer
Lending (P2PL). Konsep inti dari pengembangan fintech ini adalah konsep
peer-to-peer (P2P) yang sebenarnya sudah digunakan terlebih dahulu oleh
Napster untuk music sharing di tahun 1999. Di Indonesia sendiri, fintech
mulai berkembang pesat dan menjadi tren di tahun 2016 hingga tahun
2017. Pelopor booming nya fintech di Indonesia adalah perusahaan Go-Jek
34
yang berdiri di tahun 2010 dan menjadi tren setelah 4-5 tahun Go-Jek
berdiri. Dengan berdirinya Go-Jek, banyak perusahaan-perusahaan lain
yang mengadaptasi fintech sebagai basis dari perusahaan mereka.20
Istilah crowdfunding bagi banyak kalangan masih menjadi istilah yang
asing, terutama di Indonesia. Istilah ini baru ramai diberitakan sejak
kemunculan situs donation based crowdfunding pertama di Indonesia
yakni wujudkan.com, sejak itulah masyarakat mengidentikkan
crowdfunding dengan pendanaan industry kreatif. Padahal, donation based
crowdfunding lebih luas dari bidang industri kreatif. Donation based
crowdfunding merupakan salah satu dari 4 (empat) bentuk crowdfunding
yang bisa diterapkan di beberapa bidang, oleh sebab itu memahami istilah
ini berarti harus mampu memahami terlebih dahulu tentang istilah
crowdfunding.21
Donation based crowdfunding secara sederhana diartikan
crowdfunding yang berbasis pada donasi (sumbangan sukarela). Donation
based crowdfunding merupakan kegiatan penggalangan dana massal
dimana orang-orang memberikan uangnya untuk aktivitas yang ditawarkan
oleh pelaku usaha kreatif, dunia hiburan ataupun organisasi tertentu.
Donation based crowdfunding menawarkan kemudahan yakni luasnya
jangkauan pemberitaan kepada masyarakat melalui internet, murahnya
biaya publikasi, cepatnya memperoleh donasi seiring pula dengan
meningkatnya pamor sebuah karya kreatif.22
20
Ade Bagus Riadi, “Aspek Hukum dalam Menjalankan Perusahaan Fintech Lending di
Indonesia”, Prihatwono Law Research, Vol. 1, Juni 2018, h. 1. 21
Iswi Hariyani & Cita Yustisia Serifiyani, “Perlindungan Hukum Sistem Donation
Based Crowdfunding Pada Pendanaan Industri Kreatif di Indonesia”, Jurnal Legislasi Indonesia
Vol. 12 No. 04, Desember 2015, h. 355. 22
Iswi Hariyani & Cita Yustisia Serifiyani, “Perlindungan Hukum Sistem Donation
Based Crowdfunding Pada Pendanaan Industri Kreatif di Indonesia”, Jurnal Legislasi Indonesia
Vol. 12 No. 04, Desember 2015, h. 355.
35
7. Aturan Terkait Fintech
Dalam Fintech juga terdapat beberapa aturan main secara hukum
positif maupun hukum Islamnya. Diantara aturan dalam hukum positif
yaitu:
a. Undang – undang Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen;
b. POJK No. 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Program Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi;
c. POJK No. 13 Tahun 2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital di
Sektor Jasa Keuangan;
d. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 07 Tahun 2005 Tentang
Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang
Melaksanakan Prinsip Syariah;
e. PBI No. 19 Tahun 2017 Tentang Penyelenggara Teknologi
Finansial;
f. PBI No. 16 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Konsumen Jasa
Sistem Pembayaran.
Sedangkan di dalam hukum Islamnya, Fintech juga mempunyai aturan
sendiri yaitu:
a. Fatwa DSN MUI No. 117 Tahun 2018 Tentang Layanan
Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip
Syariah;
b. Fatwa DSN MUI No. 04 Tahun 2000 Tentang Murabahah;
c. Fatwa DSN MUI No. 17 Tahun 2000 Tentang Ta‟zir (Denda);
d. Fatwa DSN MUI No. 10 Tahun 2000 Tentang Wakalah.
36
BAB III
GAMBARAN UMUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAH
PADA PT. DANA SYARIAH INDONESIA
A. Sejarah dan Visi-Misi PT. Dana Syariah Indonesia
1. Sejarah Berdirinya PT. Dana Syariah Indonesia
PT. Dana Syariah Indonesia merupakan badan hukum yang didirikan
berdasarkan ketentuan POJK No. 77 Tahun 2016 tentang layanan program
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi, sebagai perusahaan yang
menyediakan layanan pinjam memimjam antara pihak yang memberikan
pinjaman dan pihak yang membutuhkan pinjaman meliputi pendanaan dari
individu, organisasi maupun badan hukum tertentu.
Dalam mekanisme pelaksanaannya Dana Syariah hanya menyediakan
platform untuk memfasilitasi prosesnya, administrasi pihak pemberi pinjaman
dan pihak peminjam. Dana Syariah mengeluarkan skema produk pembiayaan
berbasis syariah, yaitu crowdfunding syariah dan peer-to-peer lending syariah
dengan pelaksanaan yang mengacu kepada keputusan POJK No. 77 Tahun
2016 tentang layanan program pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi. dan Fatwa DSN-MUI No. 117 tahun 2018 tentang layanan
pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah.
2. Visi dan Misi
Di sisi lain dalam menjalankan kinerjaanya PT. Dana Syariah
Indonesia memiliki acuan untuk menjalankan tugas dan fungsi yang dimiliki
oleh perusahaan. Berikut ini merupakan paparan visi dan misi yang di jadikan
sebagai acuan dalam menjalankan tugas dan fungsi yang ada dari PT. Dana
Syariah Indonesia.
37
a. Visi
Mengajak masyarakat untuk melaksanakan kegiatan ekonomi sesuai
syariat Islam, agar bisa diperoleh rezeki yang halal dan barokah demi
kesejahteraan dunia akhirat.
b. Misi
Menjadi wadah dan pusat kegiatan ekonomi syariah yang bisa
mempermudah masyarakat, untuk melaksanakan kegiatan ekonomi sesuai
syariat Islam.
B. Tugas, Fungsi dan Skema Produk pada PT. Dana Syariah Indonesia
1. Tugas PT. Dana Syariah Indonesia
Dana Syariah Indonesia ialah perusahaan yang bertugas
menyediakan layanan interfacing sebagai penghubung pihak yang
memberikan pinjaman dan pihak yang membutuhkan pinjaman meliputi
pendanaan dari individu, organisasi, maupun badan hukum kepada
individu atau badan hukum tertentu.
Dana Syariah Indonesia merupakan sebuah marketplace finansial
yang juga bertugas menyediakan layanan perantara untuk proses crowd
funding dan peer-to-peer lending. Dana Syariah disini tidak berpartisipasi
dalam aktivitas pinjam meminjam, akan tetapi Dana Syariah hanya
menyediakan platform untuk memfasilitasi prosesnya, administrasi akun
borrower dan lender.1
2. Fungsi PT. Dana Syariah Indonesia
Dalam menjalankan tugasnya PT. Dana Syariah Indonesia
menyediakan tiga fungsi utama yang dapat dijadikan sebagai acuan
masyarakat untuk melaksanakan pembiayaan yang berasaskan syariat
Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum. Berikut ini
merupakan fungsi utama PT. Dana Syariah, ialah:
1 http://www.danasyariah.id/, diakses pada Kamis, 07 Maret 2019, pukul 20.47 WIB.
38
a. Layanan Investasi Syariah
Menyediakan layanan investasi syariah dan pembiayaan syariah
bagi pemilik usaha ataupun perorangan, dengan tujuan medapatkan
manfaat dan bagi hasil yang halal serta terhindar dari unsur maisir,
gharar, dan riba.
b. Pengamanan Investor
Tim Dana Syariah akan mewakili pemilik dana akan melakukan
kebijakan dan penyaringan yang komprihensif dan hati-hati terhadap
proyek bisnis maupun perorangan yang akan di berikan pembiayaan.
Bukan hanya penilaian dari aspek syariahnya saja, tapi juga dari aspek
perhitungan terhadap kelayakan bisnis yang bisa berpengaruh pada
besaran manfaat dan bagi hasil yang akan diterima pemberi dana
investasi serta manfaatnya bagi penerima dan investasi.
c. Layanan Zakat
Sebagai layanan untuk membantu perhitungan zakat dan
penyalurannya, sehingga memberi Dana Syariah lebih mudah dalam
menjalankan kewajiban zakatnya.2
3. Skema Produk pada PT. Dana Syariah Indonesia
Selanjutnya terdapat beberapa skema produk yang di tawarkan oleh
pihak PT. Dana Syariah Indonesia, diantaranya ialah:
a. Investasi secara halal melalui crowdfunding syariah
Crowdfunding adalah skema pembiayaan yang dijuluki sebagai
“pendanaan demokratis”, karena konsep dari crowdfunding adalah
mengumpulkan dana dalam skala yang sangat kecil tetapi berasal dari
jumlah masyarakat yang besar sehingga terkumpul dana yang
signifikan.
2 http://www.danasyariah.id/tentang-kami/tim-kami, diakses pada Kamis, 07 Maret 2019,
pukul 18.08 WIB.
39
b. Investasi secara halal melalui peer to peer landing syariah
Peer-to-peer Lending adalah penyelenggaraan layanan jasa
keuangan berbasis syariah untuk mempertemukan pemberi pinjaman
dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam
meminjam melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan
internet.3
c. Pengajuan pendanaan pembelian lahan dengan skema murabahah
Dana Syariah dalam menjalankan mekanisme pembiayaan dengan
Skema Murabahah dilakukan dengan cara Dana Syariah membeli
lahan tersebut untuk kemudian dijual kembali kepada calon pembeli
lahan dengan tambahan Margin yang di sepakati. Kemudian, pembeli
melakukan pembayaran dengan cara mengangsur maksimal selama 24
bulan.
Untuk sementara lokasi lahan yang bisa dilayani dengan skema ini
di seputar Jabodetabek ,Banten dan Jawa Barat serta kota-kota besar di
Jawa dengan nilai total pinjaman maksimal 2 milyar dalam waktu
maksimal 24 bulan.
Persyaratan untuk bisa mendapatkan pendanaan Murabahah ini
antara lain adalah:
1) Lokasi lahan cukup strategis secara sosial dan ekonomi. Dimana
lahan yang bersangkutan dekat dengan akses kendaraan umum,
pusat kegiatan ekonomi dan sosial dan juga akses jalan bisa di lalui
untuk mobil dari dua arah berlawanan.
2) Kondisi fisik lahan tidak ada hambatan teknis yang ekstrim
meliputi bentuk area lahan secara teknis tidak ada kendala serta
bebas banjir dan hambatan alam lainnya seperti sungai dll.
3) Surat legalitas kepemilikan tanah dalam kondisi clean & clear
artinya adalah sertifikat Hak Milik (SHM atau SHGB) asli tidak
3 https://id.wikipedia.org/wiki/P2P_Lending, diakses pada Kamis, 07 Maret 2019, pukul
21.04 WIB.
40
sedang dijaminkan atau sengketa. Serta pemilik sah dari lahan itu
benar akan menjualnya, dibuktikan dengan Surat Penawaran.
4) Rencana pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukan lahan dan
perizinan yang di perlukan. Artinya adalah tidak ada hambatan
aturan RW dan RT (Rencana Wilayah dan Rencana Tata Ruang)
dan tidak ada hambatan soal izin sosial dan lingkungan sekitar
lahan.
5) Harga penawaran lahan, sesuai dengan perhitungan rencana dan
anggaran pembelian lahan.
6) Proposal rencana pemanfaatan lahan, perkiraan aliran dana untuk
pembayaran cicilan.
7) Dinyatakan layak dari hasil survey yang dilakukan oleh Tim Dana
Syariah.
Apabila telah memenuhi persyaratan diatas, maka Tim Dana
Syariah akan memberikan Surat Penawaran kepada calon pembeli
yang di dalamnya ada informasi seperti:
1) Harga penawaran lahan, nilai angsuran dan jangka waktu angsuran.
2) Biaya Akad Murabahah dan Biaya Akad Jual Beli Notarial.
3) Persyaratan administratif untuk akad jual beli Murabahah yang
meliputi data identitas calon pembeli (Copy KTP, KK, Surat
Nikah), data identitas penjual (Copy KTP, KK, Surat Nikah) dan
rekening koran selama 6 bulan terakhir.
4) Persyaratan lain yang di perlukan, sesuai dengan hasil survey Tim
Dana Syariah.
Setelah semua persyaratan terpenuhi maka mulai dilakukan tahap
penggalangan dana di Platform danasyariah.id. Tim Dana Syariah akan
membuatkan informasi yang bisa dibaca oleh calon Investor dana
syariah yang mungkin tertarik untuk mengivestasikan dananya secara
syariah, untuk pembiayaan pembelian lahan tersebut. Penggalangan
dana dilakukan selama 30 hari melalui platform aplikasi Dana Syariah
41
dan dapat di perpanjang jika diperlukan, sehingga dana terkumpul
sejumlah yang dibutuhkan.
Setelah dana terkumpul sesuai jumlah yang diharapkan, maka
sebelum dana dibayarkan kepada pemilik lahan, dilakukan
penandatanganan akad Murabahah dengan pihak yang mengajukan
pembelian lahan.
Untuk menjamin agar dana investasi itu bisa dibayarkan kembali
sesuai kesepakatan angsuran yang ada, maka dibuatkan rekening join
operation yang dikendalikan bersama antara pemilik proyek dengan
perwakilan dari Dana Syariah. Demikian seterusnya pihak pemilik
proyek dibantu oleh perwakilan tim Dana Syariah, memastikan agar
angsuran bisa di bayarkan sesuai nilai dan waktu jatuh temponya,
sampai semua terlunasi sesuai tenor jangka waktunya.
d. Pengajuan dana untuk bangun sarana prasarana
Terdapat beberapa persyaratan untuk sarana dan prasarana yang
dibiayai, yaitu:
1) Lokasi lahan cukup strategis secara sosial dan ekonomi, yang
dimana lokasi tersebut dekat dengan Akses Kendaraan Umum,
Pusat Kegiatan Ekonomi dan Sosial dan akses jalan bisa di lalui
untuk mobil dari dua arah berlawanan.
2) Kondisi Fisik Lahan tidak ada hambatan teknis yang ekstrim
meliputi bentuk area lahan secara teknis tidak ada kendala serta
bebas banjir dan hambatan alam lainnya seperti sungai dll.
3) Surat legalitas kepemilikan tanah dalam kondisi clean & clear.
Dimana Sertifikat Hak Milik (SHM atau SHGB) Asli tidak sedang
di jaminkan atau sengketa, Kecuali Pembelian lahan juga
menggunakan skema Murabahah dari Dana Syariah.
4) Rencana pemanfaatan lahan sesuai dengan Peruntukan Lahan dan
Perijinan yang di perlukan, serta tidak ada hambatan aturan RWRT
(Rencana Wilayah dan Rencana Tata Ruang) dan tidak ada
hambatan soal ijin sosial dan lingkungan sekitar lahan.
42
5) Harga Penawaran Pembangunan, sesuai dengan Perhitungan
Rencana dan Anggaran (RAB).
6) Proposal Rencana Pemanfaatan Lahan, Perkiraan Aliran Dana
untuk Pembayaran Cicilan.
7) Dinyatakan Layak dari Hasil Survey yang di lakukan oleh Tim
Dana Syariah.
Apabila telah memenuhi persyaratan diatas, maka Tim Dana
Syariah akan memberikan Surat Penawaran kepada calon pemilik
proyek yang di dalamnya ada informasi sebagai berikut:
1) Harga Penawaran Pembangunan (Murabahah), Nilai angsuran dan
jangka waktu angsuran.
2) Biaya Akad Murabahah dan Biaya Akad Jual Beli Notarial.
3) Persyaratan Administratif untuk akad jual beli Murabahah, yaitu
identitas pemilik proyek (KTP, KK, Surat Nikah) dan Rekening
Koran selama 6 bulan terakhir.
4) Persyaratan lain yang di perlukan, sesuai dengan hasil survey Tim
Dana Syariah.
Setelah semua persyaratan terpenuhi maka mulai di lakukan tahap
penggalangan dana di Platform danasyariah.id. Tim Dana Syariah akan
membuatkan informasi yang bisa dibaca oleh calon investor dana
syariah yang mungkin tertarik untuk mengivestasikan dananya secara
syariah, untuk pembiayaan pembangunan sarana prasarana tersebut.
Penggalangan dana di lakukan selama 30 hari melalui platform
aplikasi Dana Syariah dan dapat diperpanjang jika diperlukan,
sehingga dana terkumpul sejumlah yang dibutuhkan.
Setelah dana terkumpul sesuai jumlah yang diharapkan, maka
sebelum dana dibayarkan kepada pemilik proyek, dilakukan
penandatanganan akad Murabahah dengan pihak Dana Syariah.
Untuk menjamin agar dana investasi itu bisa dibayarkan kembali
sesuai kesepakatan angsuran yang ada, maka dibuatkan rekening join
43
operation (JO) yang dikendalikan bersama antara pemilik proyek
dengan perwakilan dari Dana Syariah. Rekening itu digunakan untuk
menampung dana yang masuk hasil penggalangan dana di Dana
Syariah, dan untuk mengendalikan dana yang keluar untuk
kepentingan pembangunan agar sesuai dengan amanah yang diberikan
oleh para investor syariah. Demikian seterusnya Pihak pemilik proyek
dibantu oleh perwakilan tim Dana Syariah, memastikan agar angsuran
bisa dibayarkan sesuai nilai dan waktu jatuh temponya, sampai semua
terlunasi sesuai tenor jangka waktunya.
e. Pengajuan dana untuk bangun unit rumah
Pada pengajuan dana untuk bangun unit rumah digunakan Skema
Murabahah, dimana Pihak Dana Syariah yang menjual Jasa konstruksi
pembangunan Unit Rumah ( misalnya senilai 10 juta) kepada Pemilik
Proyek dengan Margin yang telah di sepakati (misalnya margin 2 juta).
Pelaksana Pembangunan adalah pihak JO (Join Operation) yang
dibentuk dan berasal dari pihak Dana Syariah dan Pemilik Proyek.
Pihak JO inilah menerima Dana 10 juta dan melaksanakan
Pembangunan sesuai nilai Kontrak 10 juta.
Kemudian Setelah Bangunan selesai, di serahkan kepada Pembeli
(Pemilik Proyek) , Pemilk Proyek selanjutnya akan membayar senilai
12 juta ( 10 juta di tambah 2 juta margin) dengan cara mengangsur
maksimal selama 24 bulan. Jaminan dari Pendanaan ini adalah Rumah
itu sendiri yang sudah bersertifikat SHM atau SHGB dan sudah
melalui survey verifikasi Tim Dana Syariah.
Untuk sementara lokasi lahan yang bisa dilayani dengan skema ini
di seputar Jabodetabek ,Banten dan Jawa Barat serta kota-kota besar di
Jawa dengan nilai total pinjaman maksimal 2 milyar dalam waktu
maksimal 24 bulan.
Persyaratan untuk bisa mendapatkan pendanaan Murabahah ini
adalah sebagai berikut:
44
1) Lokasi lahan cukup strategis secara sosial dan ekonomi. Yaitu
dekat dengan akses kendaraan umum, pusat kegiatan ekonomi dan
social dan akses jalan bisa di lalui untuk mobil dari dua arah
berlawanan.
2) Kondisi fisik lahan tidak ada hambatan teknis yang ekstrim
meliputi bentuk area lahan secara teknis tidak ada kendala serta
bebas banjir dan hambatan alam lainnya seperti sungai dll.
3) Surat legalitas kepemilikan tanah dalam kondisi clean & clear
artinya Sertifikat Hak Milik (SHM atau SHGB) asli tidak sedang
dijaminkan atau sengketa dan pemilik sah dari lahan itu benar akan
menjualnya, dibuktikan dengan Surat Penawaran.
4) Rencana pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukan lahan dan
perizinan yang di perlukan. Bahwa tidak ada hambatan aturan RW
dan RT (Rencana Wilayah dan Rencana Tata Ruang) dan tidak ada
hambatan soal izin sosial dan lingkungan sekitar lahan.
5) Harga penawaran lahan, sesuai dengan perhitungan rencana dan
anggaran pembelian lahan.
6) Proposal rencana pemanfaatan lahan, perkiraan aliran dana untuk
pembayaran cicilan.
7) Dinyatakan layak dari hasil survey yang dilakukan oleh Tim Dana
Syariah.
Apabila telah memenuhi persyaratan diatas, maka Tim Dana
Syariah akan memberikan Surat Penawaran kepada calon pembeli
yang di dalamnya ada informasi terkait harga penawaran lahan, nilai
angsuran dan jangka waktu angsuran, biaya akad Murabahah dan
Biaya Akad Jual Beli Notarial, persyaratan administratif untuk akad
jual beli Murabahah yang meliputi data identitas calon pembeli (Copy
KTP, KK, Surat Nikah), data identitas penjual (Copy KTP, KK, Surat
Nikah). Terdapat juga Rekening koran selama 6 bulan terakhir, dan
45
juga persyaratan lain yang di perlukan, sesuai dengan hasil survey Tim
Dana Syariah.
Setelah semua persyaratan terpenuhi maka mulai dilakukan tahap
penggalangan dana di Platform danasyariah.id. Tim Dana Syariah akan
membuatkan informasi yang bisa dibaca oleh calon Investor dana
syariah yang mungkin tertarik untuk mengivestasikan dananya secara
syariah, untuk pembiayaan pembelian lahan tersebut. Penggalangan
dana dilakukan selama 30 hari melalui platform aplikasi Dana Syariah
dan dapat di perpanjang jika diperlukan, sehingga dana terkumpul
sejumlah yang dibutuhkan.
Setelah dana terkumpul sesuai jumlah yang diharapkan, maka
sebelum dana dibayarkan kepada pemilik proyek, dilakukan
penandatanganan akad Murabahah dengan pihak Dana Syariah.
Untuk menjamin agar dana investasi itu bisa dibayarkan kembali
sesuai kesepakatan angsuran yang ada, maka dibuatkan rekening join
operation yang dikendalikan bersama antara pemilik proyek dengan
perwakilan dari Dana Syariah. Rekening itu digunakan untuk
menampung dana yang masuk hasil penggalangan dana di Dana
Syariah, dan untuk mengendalikan dana yang keluar untuk
kepentingan pembangunan agar sesuai dengan amanah yang dibeerikan
oleh para investor syariah.
Demikian seterusnya pihak pemilik proyek dibantu oleh
perwakilan tim Dana Syariah, memastikan agar angsuran bisa di
bayarkan sesuai nilai dan waktu jatuh temponya, sampai semua
terlunasi sesuai tenor jangka waktunya.
f. Pengajuan dana untuk jual beli properti.
Skema ini cocok untuk pelaku pemasar property yang punya
kesempatan mendapatkan harga beli yang lebih kompetitif dengan cara
membelinya terlebih dahulu dari skema murabahah Dana Syariah dan
baru kemudian menjualnya kembali ke konsumen akhir. Dimana
persyaratannya adalah lokasi lahan cukup strategis secara sosial dan
46
ekonomi, yang mencakup dekat dengan Akses Kendaraan Umum,
Pusat Kegiatan Ekonomi dan Sosial dan akses jalan bisa di lalui untuk
mobil dari dua arah berlawanan. Kedua adalah kondisi fisik lahan tidak
ada hambatan teknis yang ekstrim meliputi bentuk area lahan secara
teknis tidak ada kendala serta bebas banjir dan hambatan alam lainnya
seperti sungai dll. Ketiga adalah Surat legalitas kepemilikan tanah
dalam kondisi clean & clea, dimana di dalamnya terdapat Sertifikat
Hak Milik (SHM atau SHGB) Asli tidak sedang di jaminkan atau
sengketa kecuali Pembelian lahan juga menggunakan skema
Murabahah dari Dana Syariah. Keempat yaitu rencana pemanfaatan
lahan sesuai dengan Peruntukan Lahan dan Perijinan yang di perlukan,
yang tidak ada hambatan aturan RWRT (Rencana Wilayah dan
Rencana Tata Ruang) dan tidak ada hambatan soal ijin sosial dan
lingkungan sekitar lahan. Kelima harga Penawaran Pembangunan,
sesuai dengan Perhitungan Rencana dan Anggaran (RAB). Keenam
adalah Proposal Rencana Pemanfaatan Lahan, Perkiraan Aliran Dana
untuk Pembayaran Cicilan serta ketujuh ketika dinyatakan Layak dari
Hasil Survey yang di lakukan oleh Tim Dana Syariah.
Apabila telah memenuhi persyaratan diatas, maka Tim Dana
Syariah akan memberikan Surat Penawaran kepada calon pemilik
proyek yang di dalamnya ada informasi yaitu harga penawaran
pembangunan (Murabahah), Nilai angsuran dan jangka waktu
angsuran., lalu biaya akad Murabahah dan biaya akad Jual Beli
Notarial, serta persyaratan administratif untuk akad jual beli
Murabahah, yaitu Identitas Pemilik proyek (KTP, KK, Surat Nikah),
Rekening Koran selama 6 bulan terakhir, dan persyaratan lain yang di
perlukan, sesuai dengan hasil survey Tim Dana Syariah.
Setelah semua persyaratan terpenuhi maka mulai di lakukan tahap
penggalangan dana di Platform danasyariah.id. Tim Dana Syariah akan
membuatkan informasi yang bisa dibaca oleh calon investor dana
syariah yang mungkin tertarik untuk menginvestasikan dananya secara
47
syariah, untuk pembiayaan pembangunan sarana prasarana tersebut.
Penggalangan dana di lakukan selama 30 hari melalui platform
aplikasi Dana Syariah dan dapat diperpanjang jika diperlukan,
sehingga dana terkumpul sejumlah yang dibutuhkan.
Setelah dana terkumpul sesuai jumlah yang diharapkan, maka
sebelum dana dibayarkan kepada pemilik proyek, dilakukan
penandatanganan akad Murabahah dengan pihak Dana Syariah.
Untuk menjamin agar dana investasi itu bisa dibayarkan kembali
sesuai kesepakatan angsuran yang ada, maka dibuatkan rekening join
operation (JO) yang dikendalikan bersama antara pemilik proyek
dengan perwakilan dari Dana Syariah. Rekening itu digunakan untuk
menampung dana yang masuk hasil penggalangan dana di Dana
Syariah, dan untuk mengendalikan dana yang keluar untuk
kepentingan pembangunan agar sesuai dengan amanah yang diberikan
oleh para investor syariah. Demikian seterusnya Pihak pemilik proyek
dibantu oleh perwakilan tim Dana Syariah, memastikan agar angsuran
bisa dibayarkan sesuai nilai dan waktu jatuh temponya, sampai semua
terlunasi sesuai tenor jangka waktunya.
48
BAB IV
ANALISIS KONTRAK AKAD MURABAHAH DALAM SKEMA PEER TO
PEER LENDING (P2PL) SYARIAH PADA PT. DANA SYARIAH
INDONESIA
A. Analisis penerapan akad murabahah dalam perjanjian pembiayaan pada
produk Peer to Peer Lending (P2PL) di PT. Dana Syariah Indonesia
PT. Dana Syariah Indonesia menggunakan akan perjanjian pembiayaan
murabahah dalam menjalankan perjanjian pembiayaan pada produk Peer to
Peer Lending (P2PL) bersama dengan penerima pembiayaan.1 Dalam
ketentuan yang tertulis di dalam akad tersebut penulis menemukan beberapa
ketidaksesuaian antara akad dengan peraturan-peraturan yang digunakan oleh
PT. Dana Syariah Indonesia, diantaranya ialah:
1. Pada Pasal 3 tentang pelaksanaan prinsip murabahah ayat 4,
diputuskan bahwasannya penyelenggara dengan akad ini mewakilkan
secara penuh kepada penerima pembiayaan untuk membeli dan
menerima barang dari pemasok. Dalam poin tersebut terdapat
ketidaksesuaian isi akad dengan ketentuan yang telah di tetapkan
dalam Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang akad
murabahah, yang dimana pada ketentuan umum poin keempat
dinyatakan bahwasannya pihak penyelenggara membeli barang yang
diperlukan oleh penerima pembiayaan atas nama penyelenggara sendiri
dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.2Sedangkan, pada
prakteknya pihak penyelenggara tidak membeli barang yang
diperlukan penerima pembiayaan atas nama penyelenggara, melainkan
pihak penerima pembiayaan melakukan pembelian sendiri dengan atas
nama penerima pembiayaan. Jadi mekanisme yang terdapat pada
kontrak pembiayaan murabahah tersebut tidak sesuai dengan ketentuan
yang telah disebutkan dalam Fatwa DSN MUI No. 04 karena pihak
1 https://www.danasyariah.id/tentang-kami/khazanah, diakses pada Minggu, 05 Mei
2019, pukul 23.19 WIB. 2 Fatwa DSN MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah
49
penyelenggara memberikan kekuasaan penuh untuk penerima
pembiayaan dalam membeli barang yang diinginkan oleh penerima
pembiayaan. Dalam literatur lain juga menyebutkan bahwa pihak
pemberi pembiayaan yang membelikan barang yang diinginkan oleh
penerima pembiayaan setelah terjadinya proses negosiasi dan
terjadinya kesepakatan diantara pemberi pembiayaan dengan penerima
pembiayaan. Lalu setelah barang dibelikan oleh pemberi pembiayaan
maka kepemilikan barang baru berpindah melalui akad yang telah
disepakati diawal dengan penerima pembiayaan. Setelah kepemilikan
barang telah berpindah tangan ke penerima pembiayaan, proses
pengiriman barang tersebut akan langsung dilakukan oleh supplier
kepada penerima pembiayaan.3 Seharusnya mekanisme pembiayaan
murabahah yang dilakukan intansi pembiayaan syariah adalah
penerima pembiayaan mengajukan permohonan pebelian barang
kepada pemberi pembiayaan, setelah itu pemberi pembiayaan
memelajari pengajuan tersebut, lalu pemberi pembiayaan menawarkan
barang dan spesifikasi yang diminta dan penerima pembiayaan harus
membelinya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, barulah
pemberi pembiayaan memenuhi barang yang dibutuhkan oleh
penerima pembiayaan dan setelah itu penerima pembiayaan membayar
kewajibannya kepada pemberi pembiayaan sesuai kesepakatan yang
ada.4 Dari beberapa literasi tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa
pada seharusnya mekanisme pembiayaan murabahah adalah pemberi
pembiayaan yang membeli barang sesuai kebutuhan dan pengajuan
penerima pembiayaan bukan penerima pembiayaan yang membeli
barang yang dibutuhkan.
3 Bagya Agung Prabowo. “Konsep Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah (Analisis
Kritis Terhadap Aplikasi Konsep Akad Murabahah di Indonesia dan Malaysia)”, Jurnal Hukum, No. 1, Vol. 16, (Yogyakarta: UII, 16, Januari 2009), H. 115.
4 Lely Shofa Imama, “Konsep dan Implementasi Murabahah Pada Produk Pembiayaan
Bank Syariah”, Jurnal Iqtishadia, No. 1, Vol. 2, (Pamekasan: STAIN Pamekasan, Desember 2014), h. 234.
50
2. Pada pasal 11 tentang jaminan dan pengikatnya pada ayat 1
menjelaskan bahwa penerima pembiayaan wajib menyerahkan barang
yang dibiayai sebagai jaminan, serta menyerahkan bukti-bukti
kepemilikian jaminan yang asli dan sah untuk diikat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun berasal
dari madzhab Maliki objek jaminan dapat berbentuk mteri, atau
manfaaat, dimana keduanya merupakan harta menurut jumhur ulama.
Benda yang dijadikan barang jaminan (agunan) tidak harus diserahkan
secara actual tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti
menjadikan sawah sebagai jaminan, yang diserahkan adalah surat
jaminannya (sertifikat sawah). Berbeda dengan definisi sebelumnya,
menurut ulama Syafi‟iyah da Hambali, ar-rahn adalah menjadikan
materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar
utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya
tersebut. Definisi ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh
dijadikan jaminan utang itu hanya yang bersifat materi, tidak termasuk
manfaat sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama madzhab Maliki.5
Kesimpulannya adalah bahwa poin pada pasal ini hanya ingin
menyarankan agar yang menjadi jaminan tidaklah selalu barang yang
bersangkutan akan tetapi boleh juga surat atau sertifikat barang yang
bersangkutan yang dijadikan jaminan karena tidak semua barang bisa
berpindah tempt seperti sawah, tanah, bangunan karena yang berlaku
hanyalah sertifikatnya saja.
3. Pasal 12 tentang pemeliharaan barang ayat 2 poin c, menyatakan
bahwa penerima pembiayaan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu
dari penyelenggara dialarang untuk menyewakan, menjual atau
mengijinkan penempatan atau penggunaan maupun menguasakan harta
tersebut kepada pihak lain. Sedangkan berdasarkan Fatwa MUI No. 04
/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah pada bagian keempat
5 Satya Haprabu, “Penjualan Lelang Barang Jaminan Hak Tanggungan Menurut Perspetif
Hukum Islam”, Jurnal Repertorium, Vol. 4, No. 1, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, Januari-Juni 2017), hal. 54.
51
mengenai utang murabahah ayat 2 menjelaskan bahwasannya penerima
pembiayaan tidak dipermasalahkan menjual barang tersebut sebelum
masa angsuran berakhir selama penerima pembiayaan tetap
melaksanakan kewajibannya untuk menyelesaikan utangnya kepada
pihak penyelenggara.6 Padahal yang memikul atau bertanggung jawab
atas barang yang dibiayai tersebut adalah penerima pembiayaan dan
barang yang bersangkutan boleh untuk disewakan ataupun dijual selagi
penerima pembiayaan melaksanakan haknya kepada pemberi
pembiayaan, tapi dalam kontrak pembiayaan murabahah yang dibuat
oleh DSN bahwa barang yang dibiayai oleh pemberi pembiayaan
kepada penerima pembiayaan tidak boleh untuk disewakan ataupun
dijual.7 Seperti contoh lainnya yaitu apabila sebelum hutang penerima
pembiayaan terhadap pemberi pembiayaan atas barang yang telah
dibelikan lunas, penerima pembiayaan menjual barang yang dibeli atas
perjanjian murabahah dengan pemberi pembiayaan, maka penjualan
tersebut sah karena barang tersebut telah menjadi milik penerima
pembiayaan. Akan tetapi penerima pembiayaan tetap harus
menyelesaikan kewajibannya kepada pemberi pembiayaan.8 Maka
dengan adanya mekanisme yang sudah dijadikan aturan baku telah
dilanggar oleh pihak pemberi pembiayaan padahal jelas mekanismenya
adalah barang yang dibiayakan boleh untuk disewakan ataupun dijual
asalkan penerima penerima pembiayaan menyelesaikan tanggung
jawabnya terhadap pemberi pembiayaan.
4. Dalam akad murabahah ini hanya terdapat aturan yang mengatur
mengenai wanprestasi pihak penerima pembiyaan tanpa adanya aturan
yang mengatur wanprestasi pihak penyelenggara. Sehingga dalam
6 Fatwa DSN MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah
7 Bagya Agung Prabowo. “Konsep Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah (Analisis
Kritis Terhadap Aplikasi Konsep Akad Murabahah di Indonesia dan Malaysia)”, Jurnal Hukum, No. 1, Vol. 16, (Yogyakarta: UII, 16, Januari 2009), h. 116.
8 Lely Shofa Imama, “Konsep dan Implementasi Murabahah Pada Produk Pembiayaan
Bank Syariah”, Jurnal Iqtishadia, No. 1, Vol. 2, (Pamekasan: STAIN Pamekasan, Desember 2014), h. 240.
52
pelaksanaan akad ini terdapat ketimpangan atau ketidakadilan
mengenai wanprestasi dalam akad murabahah. Hal ini sangat tidak
sesuai dengan prinsip akad syariah yaitu mengenai prinsip keadilan.
Sedangkan dalam akad kita ketahui ada aspek keadilan (‘adalah) dan
juga ada aspek persamaan atau kesetaraan (al-Ridha).9 Aspek keadilan
yang dimaksud adalah menempatkan sesuatu hanya pada yang berhak,
dimana dalam aturan muamalah yaitu salah satunya melarang ada
unsur kezaliman terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.
Lalu aspek persaaan atau kesetaraan yaitu bahwa semua bentuk akad
yang dibuat harus dilakukan berimbang dan tidak boleh ada
ketimpangan yang membebankan salah satu diantara dua belah pihak.
Bisa dibilang bahwa akad yang dimasukkan dalam kontrak yang dibuat
oleh pihak pemberi pembiayaan telah melanggar aspek dalam suatu
akad dan menyebabkan adanya ketimpangan yang akhirnya
membebankan salah satu pihak yang berakad. Dalam KUH Perdata
pasal 1320 pun dapat diketahui bahwa segala sesuatu yang
diperjanjikan haruslah sesuatu yang jelas dan halnya tertentu. Sehingga
dalam pelaksanaannya ada pedoman agar tidak terjadi kesalah
pahaman antara kedua belah pihak yang berjanji. Oleh sebab itu segala
sesuatunya harus diperhatikan sesuai dengan prosedut yang berlaku.
Pasal 1365 KUH Perdata pun menyebutkan bahwa: “tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.10
Kerugian tersebut muncul sebagai
akibat dari ingkar janji (wanprestasi) yang dilakukan oleh salah satu
pihak. Yaitu tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat.
9 Abdurrauf. “Penerapan Teori akad pada perbankan syariah”. Al-Iqtishad, Vol.IV, No.
(Jakarta: UIN-Syarif Hidayatullah, 1, Januari 2012), h.23.
10
Yuni Harlina dan Hellen Lastfitriani, “Kajian Hukum Islam Tentang Wanprestasi (Ingkar Janji) Pada Kosumen Yang Tidak Menerima Sertifitkat Kepemilikan Pembelian Rumah”, Jurnal Hukum Islam, No. 1, Vol. 17, (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 1 Juni 2017), hal. 3.
53
Wanprestasi terdapat dalam pasal 1243 KUH Perdata, yang
menyatakan bahwa: “penggantian biaya, rugi dan bunga karean tidak
dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai, diwajibkan, apabila si
berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu harus diberikan atau dibuatnya, hanya
dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya. Kelalaian dalam Hukum Islam untuk memenuhi
kewjiban memberikan hak orang lain tergolong perbuatan yang
dilarang, dimana sebelumnya telah diketahui adanya suatu perjnjian
diantara mereka, maka selanjutnya bagi mereka yang melakukan
pelanggaran/cidera janji karena tidak melakukan prestasinya, maka
dikenakan sanksi kepadanya berupa pembaaran ganti rugi kepada
pihak kreditur dan atau penahanan yang enjadi hak miliknya sebagai
suaatu jaminan dari sejumlah yang dijanjikannya.11
Padahal suatu
kontrak yang sudah ada pemberian sanksi kepada pihak yang
wanprestasi masih terdapat pelanggaran, bagaimana jika suatu kontrak
yang justru tidak ada pemberian sanksi terhadap pihak yang telah
melakukan wanprestasi. Seperti firman Allah dalam surat An-nisa ayat
40 yang berbunyi:
را ا ن ه ي ل ص ن وف س ف ا م ل وظ ا ن وا د ع ك ل ذ ل ع ف ي ن ن وم ا وكك ذ ى ل ل له ع ل ي ا س اي
Artinya: “Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak
dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka.
Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah SWT.”
Ketika di dalam sebuah kontrak jual beli yang dibuat dengan berat
sebelah, maka ada salah satu pihak yang akan terdzalimi padahal di
dalam ajaran Islam, tidak boleh ada ketidakseimbangan salah satunya
11
Yuni Harlina dan Hellen Lastfitriani, “Kajian Hukum Islam Tentang Wanprestasi (Ingkar Janji) Pada Kosumen Yang Tidak Menerima Sertifitkat Kepemilikan Pembelian Rumah”, Jurnal Hukum Islam, No. 1, Vol. 17, (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 1 Juni 2017), hal. 4.
54
dalam praktek jual beli, seperti firman Allah dalam surat Al-Furqan
ayat 19 yang berbunyi:
Artinya: “maka sesungguhnya mereka (yang disembah itu) telah
mendustakan kamu tentang apa yang kamu katakan maka kamu tidak
akan dapat menolak (azab) dan tidak (pula) menolong (dirimu), dan
barang siapa di antara kamu yang berbuat zalim, niscaya Kami rasakan
kepadanya azab yang besar.”
Ayat diatas menjelaskan maksud dari tindak kedzaliman yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam kegiatan apapun khususnya
dalam perilaku jual beli dalam Islam. Maka dalam satu akad yang
terdapat dalam kontrak khususnya kontrak syariah haruslah
memasukkan sanksi atas wanprestasi yang telah dilakukan baik oleh
penerima pembiayaan maupun oleh pemberi pembiayaan, jikalau tidak
ada pasal didalam kontrak yang tidak menyebutkan terkait wanprestasi
yang dilakukan oleh pemberi pembiayaan, maka kontrak itu bisa jadi
batal demi hukum dikarenakan telah bertentangan dengan aturan yang
dibuat menurut hukum syar‟i dan hukum normatif yang berlaku.
5. Pada pasal 15 tentang tanggung jawab para pihak ayat 2 menyatakan
apabila kemudian hari diketahui atau timbul cacat, kekurangan atau
keadaan/masalah apapun yang menyangkut barang dan atau
pelaksanaan akad/akta jual beli barang dan tanah, jual beli mana
seluruh atau sebagian dibiayai dengan pembiayaan penyelenggara,
maka segala risiko sepenuhnya menjadi tanggung jawab penerima
pembiayaan. Ketentuan tertulis tersebut sama sekali tidak sesuai
dengan Fatwa MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah
pada bagian pertama mengenai ketentuan umum murabahah dalam
bank syariah pada ayat 8 yang menyatakan bahwa untuk mencegah
55
terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank
dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.12
Kemudian
dalam Fatwa MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh
menetapkan bahwasannya dalam akad murabahah pihak yang
melaksanakan ganti rugi adalah pihak yang dengan sengaja atau karena
kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad
dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.13
Selain itu pasal ini juga
tidak sesuai dengan peraturan POJK No. 77 tentang fintech yakni pada
pasal 37 yang menyatakan bahwa penyelenggara wajib bertanggung
jawab atas kerugian pengguna yang timbul akibat kesalahan dan atau
kelalaian, direksi, dan atau pegawai penyelenggara.14
Pada pasal ini
menunjukkan bahwasannya pihak penyelenggara sama sekali tidak
akan bertanggung jawab terhadap kerusakan yang menyangkut barang
dan hal ini sangat tidak sesuai dengan peraturan Fatwa DSN
No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah dan POJK No. 77
tentang fintech. Permasalahan yang satu ini menyambung dari
kesalahan yang sebelumnya yaitu tidak adanya sanksi terhadap pihak
pemberi pembiayaan ketika melakuka wanprestasi dalam kontrak yang
telah dibuat. Kelanjutan dengan tidak adanya sanksi yang ditujukan
kepada pemberi pembiayaan ketika melakuka wanprestasi di dalam
kontrak, maka akan memberikan pemberi pembiayaan keleluasaan
dalam bertindak karena tidak ada aturan khusus yang dibuat untuk
mengatur tindakan pemberi pembiayaan. Ketika penerima pembiayaan
yang wanprestasi ataupun membuat kecacatan terhadap barang yang
dibiayakan maka jelas aturannya bahwa penerima pembiayaan yang
bertanggung jawab atas wanprestasi ataupun kecacatan yang dibuatnya
tersebut. Namun, jika pemberi pembiayaan yang melakukan
wanprestasi ataupun yang membuat cacat barang yang dibiayakan,
maka seharusnya pemberi pembiayaan lah yang mengganti rugi atas
12 Fatwa MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah
13 Fatwa MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh
14 POJK No. 77 tentang fintech
56
barang tersebut. Karena kita ketahui dalam asas akad ada yang
dinamakan asas persaudaraan (ukhuwah) yang dimana transaksi
syariah menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh
manfaat, sehingga seseorang tidak boleh mendapatkan keuntungan di
atas kerugian orang lain.15
Hukum normatif di Indonesia pun mengatur
tentang hal yang berkaitan dengan kekurangan seperti ini, seperti
dalam pasal 1505 KUH Perdata menjelaskan secara tersirat
bahwasanya jika barang yang bersangkuktan terdapat kerusakan yang
dilakukan oleh salah satu pihak maka yang menanggung beban
kerusakan barang tersebut adalah pihak yang secara sengaja ataupun
tidak sengaja merusak barang tersebut. Masing-masing pihak termasuk
penerima pembiayaan dan pemberi pembiayaan dalam melaksanakan
praktek jual beli dengan skema murabahah otomatis akan mendapatkan
perlindungan hukum yaitu perlindungan akan hak dan martabat serta
pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek
hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai
kumpulan peratruan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal
dari hal lainnya.16
Dengan kata lain penerima pembiayaan bisa
dikategotrikan sebagai konsumen yang memakai jasa dari pemberi
pembiayaan dalam skema jual beli murabahah tersebut yang dimana
hukum memberikan perlindungan penuh terhadap hak-hak konsumen
atau penerima pembiayaan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak
terpenuhinya hak-hak tersebut. Kunci pokok perlindungan hukum bagi
konsumen adalah bahwa konsumen (penerima pembiayaan) dan pelaku
usaha (pemberi pembiayaan) saling membutuhkan. Produksi tidak ada
artinya kalau tidak ada yang mengkonsumsinya dan atau
memergunakannya dan produk yang dikonsumsi secara aman dan
memuaskan, pada gilirannya akan merupakan promosi gratis bagi
16 Desy Ary Setyawati, Dahlan dan M. Nur Rasyid, “Perlindungan Bagi Hak Konsumen dan
Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Perjanjian Transaksi Elektronik”, Jurnal Hukum Syiah Kuala, Vol. 1, (Aceh: Universitas Syiah Kuala, Desember 2017), hal. 36.
57
pelaku usaha (pemberi pembiayaan). Hak dan kewajiban yang timbul
dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukm, sehingga
masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini
menunjukan bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu
pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan
apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya sehingga yang
bersangkutan merasa aman.17
Kekurangan dalam kontrak ini adalah
salah satu bentuk dari ketidak adilan salah satu pihak atau bisa dibilang
bahwa kekurangan ini adalah bentuk dari kedzaliman salah satu pihak
terhadap pihak yang lain yang bersangkutan.
6. Selanjutnya terdapat ketidaksesuaian pada pasal 16 tentang penagihan
seketika seluruh hutang murabahah dan penyerahan/pengosongan
barang ayat 1 poin b bagian 2 yang menjelaskan bahwa penerima
pembiayaan telah dinyatakan pailit atau tidak mampu membayar atau
telah dikeluarkan perintah oleh pejabat yang berwenang untuk
menunjuk wakil atau kuratornya. Pada pasal ini terdapat
ketidaksesuaian dengan peraturan Fatwa MUI No.04/DSN-
MUI/IV/2000 tentang murabahah pada bagian keenam tentang
bangkrut dalam murabahah yang menjelaskan jika nasabah (penerima
pembiayaan) dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya,
bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup
kembali, atau berdasarkan kesepakatan.18
Namun, pada ketentuan yang
ada di dalam akad tersebut pihak penyelenggara mengakhiri jangka
waktu pembiayaan dan menagih pelunasan sekaligus atas seluruh sisa
hutang dan penerima pembayaran wajib membayar dengan seketika
dan sekaligus melunasi hutang yang ditagih oleh penyelenggara. Hal
ini juga diperkuat pada pasal 16 ayat 2 yang menjelaskan bahwa pihak
penyelenggara hanya memberikan peringatan kepada pihak penerima
17
Desy Ary Setyawati, Dahlan dan M. Nur Rasyid, “Perlindungan Bagi Hak Konsumen dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Perjanjian Transaksi Elektronik”, Jurnal Hukum Syiah Kuala, Vol. 1, (Aceh: Universitas Syiah Kuala, Desember 2017), hal. 37.
18 Fatwa DSN MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah
58
pembiayaan tanpa adanya penundaan tagihan hutang sampai pihak
penerima pembiayaan menjadi sanggup kembali.19
Padahal sudah jelas
sekali Hadits Nabi SAW yang berbunyi:
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu
menghalalkan harg diri dan pemberian sanksi kepadanya”.
Bahwa kesimpulan yang bisa diambil dari Hadits tersebut adalah
ketika seseorang yang mempunyai harta untuk bisa melaksanakan
kewajibannya membayar utang namun kewajiban itu tidak
dilaksanakan maka hukumnya boleh untuk diberikan sanksi kepada
orang tersebut. Fatwa DSN No. 04 tentang Murabahah juga
menjelaskan bahwa dalam penundaan utang ketika orang yang
bersangkutan mampu membayar utang tersebut namun tidak
dilaksanakan juga, maka pihak penyelenggara atau pihak pemberi
pembiayaan boleh untuk mengajukan penyelesaian kasus tersebut ke
Badan Arbitrase Syariah. Hadits Nabi SAW yang lain juga
diriwayatkan oleh At Tirmidzi berbunyi:
“Jiwa seseorang mukmin tergantun karena hutangnya, sampai hutang
itu dilunaskan.”
Syaikh Abul „Ala Al-Mubarfkakuri rahimahullah menjelaskan hadits
diatas bahwa orang tersebut tertahan untuk mencapai tempatnya yang
mulia. Sementara Imam Al‟Iraqi mengatakan urusan orang tersebut
terhenti (tidak diapa-apakan) sehingga tidak bisa dihukumi sebagai
orang yang selamat atau binasa, sampaii ada kejelasan nasib utangnya
itu sudah dibayar. Kesimpulan dari hadits diatas beserta penjelasannya
adalah bahwa jika seseorang yang mempunyai utang maka setelah
wafat, maka jiwanya akan menggantung tidak jelas apakah akan
dimasukkan ke dalam surga ataupun neraka sampai utang yang
bersangkutan tersebut dilunaskan. Namun jika seseorang yang
mempunyai utang tersebut memang dalam kondisi yang tidak
memungkinkan dalam melunasi utangnya, seharusnya utang tersebut
19
Akad Pembiayaan Murabahah
59
ditangguhkan sampai dia bisa membayar utang tersebut. Padahal dalam
kontrak pembiayaan Murabahah yang dijadikan pembahasan memuat
tentang adanya jaminan yang diberikan oleh penerima pembiayaan
kepada penerima pembiayaan untuk menandakan bahwa penerima
pembiayaan serius dalam hal mengajukan pembiayaan Murabahah
yang disepakati. Seharusnya barang jaminan tersebut yang di eksekusi
terlebih dahulu untuk bisa menanggulangi permasalahan penunggakan
pembayaran, berbeda jika jaminan yang terkait rusak atau hilang
karena kelalaian masing-masing pihak. Kalau kita berkaca pada aturan
hukum positif yang berlaku di Negara kita pun pada Undang-undang
(UU) No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, tidak seenaknya saja pihak yang
dirugikan itu menagih pihak yang berutang begitu saja, tetap ada
mekanisme yang dilakukan salah satunya dengan cara melaporkan ke
badan atau instansi terkait untuk selanjutnya dicarikan solusi dan
konklusinya. Secara hukum normatif, terdapat 2 tahapan dalam proses
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pertama adalah
PKPU Sementara, yaitu pendahuluan yang akan diberikan oleh
Pengadilan ketika adanya permohonan PKPU, baik permohonan
tersebut diajukan oleh kreditor atau debitor itu sendiri. PKPU
Sementara memberikan waktu selama 45 hari bagi pihak yang
mempunyai hutang untuk melunasi kewajibannya dengan cara
perdamaian atau yang lainnya, jika telah lewat 45 hari tersebut dan
pihak yang berutang belum melunasi kewajibannya atau belum ada
kesepakatan perdamaian dengan pihak yang memberikan utang maka
masuk ke tahapan kedua yaitu PKPU Tetap. Tahapa PKPU Tetap
memberikan waktu selama 270 hari bagi kedua belah pihak dalam
menentukan konklusi perdamaian yang akan disepakati, jika belum
juga terdapat kesepakatan perdamaian selama 270 hari, maka
pengadilan berhak memutuskan bahwa pihak yang berutang telah
pailit. Barulah ketika pengadilan telah menetapkan pihak yang
60
berutang sudah dalam keadaan pailit, pihak yang dirugikan berhak
menuntut haknya secara hukum melalui pengadilan. Mekanisme yang
dijelaskan diatas juga diatur dalam Fatwa No. 04 Tahun 2000 Tentang
Murbahah pada poin keenam tentang penundaan pembayaran
kewajiban karena kepailitan.
7. Kemudian pada pasal 16 ini tidak dilengkapi dengan ketentuan yang
mengatur mengenai penundaan pembayaran dalam murabahah.
Sehingga apabila dalam pelaksanaannya terjadi penundaan
pembayaran yang dilakukan oleh pihak penerima pembayaran, maka
pihak penyelenggara tidak bisa memberikan sanksi kepada pihak
penerima pembayaran dan penyelenggara dapat memperoleh kerugian.
Sebenarnya permasalahan ini seirama dengan permasalahan
sebelumnya, perbedaannya adalah hanya pada tidak adanya
mekanisme yang mengatur secara sistematis tentang bagaimana jika
penerima pembiayaan tidak bisa melunasi kewajibannya. Kontrak yang
dipermasalahkan hanya memuat tentang bagaimana jika penerima
pembiayaan tidak dapat melunasi utang tetapi tidak memuat tentang
bagaimana proses yang akan dilaksanakan ketika penerima
pembiayaan menunggak dalam penyelesaian kewajibannya.
Maksudnya adalah kenapa di dalam kontrak hanya tiba-tiba
memberikan penjelasan mengenai penagihan, penyerahan dan atau
pengosongan barang ketika terjadi penunggakan pembayaran oleh
penerima pembiayaan, tidak menentukan skema atau mekanisme
sebelum adanya penyerahan atau pengosongan barang tersebut. Dapat
disimpulkan bahwa dalam kontrak ini kembali lagi ditemukan ketidak
adilan atau keberpihakan yang hanya menguntungkan salah satu pihak
saja.
8. Dalam pasal 16 ayat 1 poin c dan poin f terjadi pengulangan ketentuan
peraturan yang sama di dalam akad. Ketentuan dalam akad tersebut
yakni berupa barang dipergunakan untuk hal-hal yang melanggar
prinsip syariah, yang seharusnya ketentuan tersebut hanya di tulis satu
61
kali tanpa ada pengulangan kembali pada poin selanjutnya. Hal ini
menunjukkan bahwasannya pembuatan akad murabahah tersebut tidak
memperlihatkan adanya penulisan akad yang efektif. Karena jika ada
salah satu pasal ataupun poin saja yang sama, tidak menafikkan juga
akan ada esensi yang berkurang dalam kontrak tersebut. Bisa jadi akan
ada kekurangan-kekurangan yang timbul kembali dan memberikan
beban yang berlebih kepada penerima pembiayaan. Jika hal seperti ini
dibiarkan nantinya akan menjadi konflik atau perselisihan dalam suatu
perjanjian, karena memungkinkan juga pembuat kontrak akan
membuat redaksi yang samar-samar sehingga akan membuat penerima
pembiayaan semakin terbebani.
9. Pada pasal 17 mengenai Penguasaan dan Penjualan (Eksekusi) Barang
Jaminan, dapat diketahui bahwa ketika penerima pembiayaan tidak
sanggup untuk melunaskan kewajibannya, maka pemberi pembiayaan
dapat mengeksekusi barang jaminan dari penerima pembiayaan.
Memang dalam hukum syariah maupun hukum normatif yang berlaku
diperbolehkan untuk dapat mengeksekusi barang jaminan jika terdapat
wanprestasi dari pihak penerima pembiayaan namun juga harus
dilakukan dengan cara yang seharunsya dan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Dalam pasal 17 poin satu dapat kita lihat bahwa
pengeksekusian barang jaminan dilakukan dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, namun tidak dijelaskan
menggunakan aturan yang mana secara jelas. Islam mengajarkan
kegiatan tentang barang jaminan yang dieksekusi atau dilelang, jika
memang penerima pembiayaan telah melakukan wanprestasi atau
cidera janji secara sengaja maka pemegang hak tanggungan berhak
menjual barang jaminan melalui pelelangan umum atas barang yang
dijaminkan menurut ketentuan perundang-undangan yang
62
bersangkutan.20
Fatwa DSN No. 25 Tahun 2002 Tentang Rahn
menjelaskan pada bagian ketentuan umum poin 5 bahwa pihak yang
diberikan barang jaminan dapat menjual paksa melalui lelang sesuai
syariah jadi tidak harus melewati mekanisme yang berbleit namun
langsung dieksekusi secara langsung. Sedangkan menurut UU No. 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang penjelasan mengenai barang jaminan yang
dilelangkan harus melalui proses yang cukup panjang namun
sistematis yaitu penerima pembiayaan harus dikatakan pailit dan tidak
sanggup untuk membayar utang sama sekali dan kepailitan tersebut
harus melalui pengadilan dan tidak bisa tiba-tiba barang jaminan yang
bersangkutang langsung di eksekusi. Jika pelelangan yang dilakukan
oleh pihak pemberi pembiayaan menggunakan skema yang tertera
pada hukum syariah yang berlaku, maka harus dijelaskan pada poin di
dalam kontrak yang bersangkutan bahwa pelelangan menggunakan
aturan syariah, namun jika pelelangan dilakukan dengan menggunakan
hukum normatif yang berlaku, maka hal ini akan bertentangan dengan
poin ketiga pada pasal yang sama, karena pada poin tiga tersebut
berbunyi: “……Penyelenggara (pemberi pembiayaan) berhak untuk
setiap saat melaksnakan hak eksekusinya atas penjualan barang
jaminan yang dipegangnya menurut cara dan harga yang dianggap baik
oleh penyelenggara….”. dapat disimpulkan bahwa jika meggunakan
aturan secara hukum normatif makan pihak pemberi pembiayaan harus
lah melewati mekanisme yang berlaku jika ingin melakukan lelang
terhadap barang jaminan yaitu membawa perkara ke Badan Arbitrase
Syariah. Namun jika pelelangan menggunakan hukum syariah maka
harus dipertegas kembali pada poin pertama agar tidak terjadi
kekosongan hukum dalam kontrak tersebut.
20
Satya Haprabu, “Penjualan Lelang Barang Jaminan Hak Tanggungan Menurut Perspetif Hukum Islam”, Jurnal Repertorium, Vol. 4, No. 1, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, Januari-Juni 2017), hal. 56.
63
10. Pasal 22 tentang hukum yang berlaku poin tiga dan empat menjelaskan
bahwa bilamana musyawarah tidk menghasilkan kata sepakat
mengenai penyelesaian perselisihan, maka semua sengketa, yang
timbul dari akad ini akan diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan
Agama yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang
bersengketa, sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir. Tetapi
jika kita melihat beberapa fatwa rujukan seperti Fatwa No. 04 tahun
2000 tentang Murabahah dan Fatwa No. 43 tahun 2004 tentang
Ta‟widh menjelaskan kepada kita bahwa setiap timbul permasalahan
diantara kedua belah pihak maka cara penyelesaian yang pertama
adalah dengan cara musyawarah, jika tidak terdapat kesepakatan antara
kedua belah pihak padahal sudah melalui musyawarah maka
penyelesaian selanjutnya adalah dengan melalui Badan Arbitrase
Syariah. Tidak dengan alasan bahwa di dalam fatwa menganjurkan
bahwa setiap ada permasalahan maka diarahkan kepada Badan
Arbitrase Syariah bukan ke Pengadilan Agama langsung, walaupun
memang yang memutuskan pada akhirnya adalah Pengadilan Agama.
Namun Badan Arbitrase Syariah juga memiliki peran yang sangat
penting dalam menyelesaikan masalah khususnya permasalahan
pembiayan Murabahah, karena Badan Arbitrase Syariah memiliki
beberapa kelebihan daripada Pengadilan Agama sendiri yaitu
penyelesaian masalah yang lebih cepat dan mempunyai target hari
untuk memutuskan permasalahan daripada Pengadilan Agama itu
sendiri. Setidaknya pelaksanaan kasus di Badan Arbitrase Syariah
lebih bisa efisien dan lebih cepat dalam memutuskan tinggal nantinya
akan dibawa ke Pengadilan Agama untuk diputuskan dan dilaksanakan
jika ada pengeksekusian barang jaminan.
Berdasakan ketidaksesuaian yang terdapat dalam akad murabahah pada
perjanjian pembiayaan yang ada pada PT. Dana Syariah Indonesia dengan
64
pihak penerima pembiayaan dapat disimpulkan bahwasannya terdapat
beberapa pasal yang ada dalam akad tersebut yang tidak sesuai dengan
peraturang-peraturan yang dijadikan sebagai acuan oleh pihak PT. Dana
Syariah Indonesia. Ketidaksesuaian tersebut menimbulkan kerugian yang
akan dialami oleh pihak penyelenggara maupun pihak penerim
pembiayaan. Oleh karena itu perlu adanya perubahan dalam beberapa
pasal yang ada dalam akad pembiayaan murabahah tersebut agar
timbulnya kesesuaian dengan peraturan-peraturan yang ada.
B. Analisis mekanisme sitem operasional produk Peer to Peer Lending
(P2PL) di PT. Dana Syariah Indonesia
Dalam menganalisis mekanisme sistem operasional produk Peer to
Peer Lending (P2PL) syariah pada PT. Dana Syariah Indonesia, digunakan
teori hukum Gustav Radbruch yaitu dikenal sebagai tiga nilai dasar hukum
yang meliputi keadilan (filosofis), kepastian hukum (juridis) dan
kemanfaatan bagi masyarakat (sosiologis). Dalam aspek syariah pun
dipakai qawaid fikih yaitu kadiah: “Tidak boleh ada mudharat (kerugian)
dan tidak boleh ada yang dirugikan”. Keduanya tersebut dipakai untuk
menganalisis mekanisme operasional pada PT Dana Syariah Indonesia
apakah sudah sesuai atau belum dengan aturan yang dan juga agar bisa
diketahui adil atau tidaknya perjanjian pembiayaan murabahah bagi kedua
belah pihak.
PT. Dana Syariah Indonesia dalam menjalan sistem operasional
pada produk Peer to Peer Lending (P2PL) mengacu pada peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 13 Tahun 2018 tentang Inovasi
Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, POJK No. 77 Tahun 2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi,
Fatwa DSN MUI No. 117 Tahun 2018 tentang Layanan Pembiayaan
Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah, Fatwa DSN
MUI No. 4 Tahun 2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN MUI No. 10
Tahun 2000 tentang Wakalah. Peraturan-peraturan tersebut digunakan agar
65
PT. Dana Syariah Indonesia dalam menjalankan mekanisme sistem
operasional sesuai dengan peraturan-peraturan tersebut.
Selanjutnya, PT. Dana Syariah Indonesia membuat produk
pembiayaan salah satunya yang akan di bahas berupa produk peer to peer
lending (P2PL) yang berbasis syariah. Produk peer to peer lending (P2PL)
ini merupakan salah satu produk yang paling banyak diminati oleh
masyarakat dalam melakukan investasi ataupun pembiayaan. Dalam
menjalankan sistem operasional pada produk ini, pihak PT. Dana Syariah
Indonesia membuat perjanjian keanggotaan dana syariah yang berlaku
antara PT. Dana Syariah Indonesia dan anggota. Perjanjian keanggotaan
dana syariah tersebut terdiri dari 3 ketentuan dan syarat-syarat yang ada
didalamnya yaitu disclaimer, kebijakan privasi dan term of use dana atau
term and condition.21
Dalam perjanjian keanggotaan dana syariah tersebut terdapat
beberapa ketentuan dan syarat-syarat yang tidak sesuai dengan prinsip
syariah dan peraturan yang berlaku mengenai fintech syariah. Hal tersebut
ditemukan pada dokumen term and condition yang ada pada perjanjian
keanggotaan dana syariah tersebut yang diantaranya ialah mengenai
penerima pinjaman harus mempertimbangkan tingkat bunga.
Dalam perjanjian tersebut dengan jelas pihak PT. Dana Syariah
Indonesia membuat persyaratan bahwa penerima pinjaman harus
mempertimbangkan tingkat bunga saat menjadi keanggotaan dana syariah.
Persyaratan tersebut menunjukkan bahwasannya dokumen perjanjian
keanggotaan dana syariah yang dibuat oleh pihak PT. Dana Syariah
Indonesia mengandung unsur riba sehingga perjanjian tersebut tidak sesuai
dengan ketentuan prinsip syariah. Persyaratan tersebut bertentangan
dengan Fatwa DSN MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah,
21
https://www.danasyariah.id/termcondition, diakses pada Jum’at 03 Mei 2019, pada pukul 23.21 WIB.
66
yakni pada ketentuan umum poin pertama yang memutuskan bahwa Bank
dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. 22
22
Fatwa DSN MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang sudah penulis kemukakan pada bab
sebelumnya dengan menggunakan teori hukum Gustav Radbruch dan kaidah
fikih, serta merujuk pada rumusan masalah yang terdapat di bab pendahuluan,
maka simpulan dari penelitian ini adalah pelaksanaan perjanjian pembiayaan
akad murabahah pada produk peer to peer lending (P2PL) di PT. Dana
Syariah Indonesia belum sepenuhnya menerapkan peraturan-peraturan yang
mengatur mengenai fintech dan akad murabahah. Hal ini dapat di lihat pada
uraian di bawah ini:
1. Akad pembiayaan murabahah yang ada pada produk peer to peer lending
(P2PL) di PT. Dana Syariah Indonesia, terdapat beberapa isi kontrak
perjanjian yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku
yakni POJK No. 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi, Fatwa DSN MUI No. 117 Tahun 2018
tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan
Prinsip Syariah, Fatwa DSN MUI No. 4 Tahun 2000 tentang Murabahah,
Fatwa MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh. Ketidaksesuaian
yang terdapat dalam akad pembiayaan murabahah tersebut menimbulkan
adanya ketidakadilan dalam pelaksanaan akad murabahah tersebut pada
produk peer to peer lending (P2PL) di PT. Dana Syariah Indonesia dan
ketidakadilan ini sangat cocok dengan teori hukum Gustav Radbruch
terkait keadilan antara para pihak dan kaidah fikih yaitu tidak boleh ada
kerugian dan tidak boleh ada yang dirugikan.
2. PT. Dana Syariah Indonesia dalam mekanisme sistem operasional produk
baik itu pada produk peer to peer lending (P2PL) atau pada produk
crowdfunding syariah, belum sepenuhnya menerapkan prinsip pembiayaan
yang bebas dari riba padahal menurut kaidah fikih yaitu tidak boleh ada
kerugian dan yang dirugikan berarti tidak boleh ada yang berbau riba
68
dalam transaksi keuangan apapun dalam syariah. Hal ini terlihat dari
ketentuan umum yang dibuat oleh pihak PT. Dana Syariah Indonesia
kepada pihak penerima pembiaayan yang masih terdapat bunga dalam
penentuan pembiayaan pada produk-produk yang ada. Ketentuan tersebut
yakni terdapat pada bagian term and condition yang ada di dalam
ketentuan umum PT. Dana Syariah Indonesia.
B. Rekomendasi
1. Mekanisme sistem operasional pembiayaan pada fintech syariah
khususnya produk Peer to Peer Lending (P2PL) syariah seharusnya lebih
dikembangkan lagi dikarenakan belum adanya landasan hukum yang pasti
yang mengatur terkait skema produk diatas. Aturan-aturan yang telah
dibuat hanya memuat tentang fintech konvensional saja sedangkan aturan
yang mengatur tentang fintech syariah hanya terdapat pada Fatwa DSN
yang sifatnya tidak mengikat atau masih bisa terdapat celah untuk
terjadinya praktik riba.
2. Dalam kontrak perjanjian pembiayaan akad murabahah yang dibuat oleh
PT. Dana Syariah Indonesia yaitu pada produk Peer to Peer Lending
(P2PL) syariah seharusnya lebih ditelaah dan teliti lagi dalam membuat
kontrak tersebut. Karena ada beberapa pasal dan poin di dalam kontrak
tersebut yang memang kurang adil bagi nasabah dan juga ada pengulangan
pasal dalam kontrak tersebut yang bisa mengakibatkan berkurangnya nilai
pada kontrak tersebut dan bisa jadi timbul kekurangan di pasal dan poin
yang lain karena kecerobohan dan tidak telitinya pembuat kontrak.
3. Dalam mekanisme sistem operasional pembiayaan pada PT. Dana Syariah
Indonesia yaitu pada produk Peer to Peer Lending (P2PL) syariah maupun
produk Crowdfunding syariah, sebaikanya PT. Dana Syariah Indonesia
perlu untuk melakukan sosialisasi dengan berbagai cara yang dibutuhkan
agar maysarakat tahu tentang produk-produk fintech syariah maupun akad-
akad syariah. Karena sangat dibutuhkan sekali keilmuan tentang produk-
produk lembaga keuangan syariah dikalangan masyarakat khususnya pada
masyarakat kelas menengah ke bawah.
69
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan dan Undang-Undang
Republik Indonesia.2018. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tentang
Fintance Technology; Jakarta.
Republik Indonesia. 2000. Fatwa DSN MUI Nomor 4 Tahun 2000 Tentang
Murabahah. Jakarta;
Republik Indonesia. 2000. Fatwa MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang
ta‟widh. Jakarta.
Buku
Al-Ba‟labakiyy, Munir. Qamus al-Mawrid. (Beirut: Dar al-„Ilm al-Malayyin),
1990.
Al-Shiddieqiyy, Hasbi. Pengantar Fiqh Mu‟amalah. Jakarta: Bulan Bintang.1974.
Antonio, Syafii. Bank Syariah, Jakarta: Gema Insani.2001.
Arifin, Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Pustaka
Alfabet.2012.
Dewi, Gemala. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cetakan ke-2. (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group).2006.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
jilid 1. 2006.
70
Hakim, Atang Abdul. Fiqh Perbankan Islam, Bandung: Refika Aditama.2011.
Hariri, Wawan Muhwan. Hukum Perikatan, Bandung: Pustaka Setia.2011.
Madkur, Muhammad Salam.. Al - Madkhal al – fiqh al – Islamiyy. Dar al -
Nahdah al - „Arabiyyah.1963.
Mahmasaniy, Subhiyy . Al - Nazariyyat al-„Ammah li al - Mujibat wa al-„Uqud fi
al-Shari‟ah al-Islamiyyah. (Mesir: Dar al-Kitab al-„Arabiyy. 1948.
Salim H. S. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cetakan ke-
4. Jakarta: Sinar Grafika.2006.
Subekti. Hukum Perjanjian. akarta: Intermasa.2001.
Sugiyono, Metode Penelitian Manajemen,Bandung: Alfabeta. 2014.
Sugiyono, Metode Penelitin Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Bandung: Alfabeta.
2011.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika.
2008.
Widjaya, I.G. Rai. Merancang Suatu Kontrak: Teori dan Praktik. Jakarta: Kesaint
Blanc.2003.
Zed , Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
2008.
71
Jurnal, Skripi dan Disertasi
Abdurrauf. “Penerapan Teori akad pada perbankan syariah”. Al-Iqtishad, Vol .IV,
Jakarta: UIN-Syarif Hidayatullah, 1.2012.
Al-Hasan, Fahadil Amin. “Analisis Pelaksaaan Akad Murabahah di Lembaga
Mikro Keuangan Syariah (BMT)”, Bandung: UIN Bandung, 2018.
Chrismastianto, Imanuel Aditya Wulanata. “Analisis SWOT Implementasi
Teknologi Finansial Terhadap Kualitas Layanan Perbankan di
Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol.20, No. 1. 2017.
Flouridaningrum, Sasmita. “Mengapa Memilih Fintech Syariah”, Prihatwono
Law Research, Vol. 1. 2018.
Hariyani, Iswi. “Perlindungan Hukum Sistem Donation Based Crowdfunding
pada Pendanaan Industri Kreatif di Indonesia, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 12 No. 4, tahun 2015.
Haprabu, Satya. “Penjualan Lelang Barang Jaminan Hak Tanggungan Menurut
Perspetif Hukum Islam”, Jurnal Repertorium, Vol. 4, No. 1. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret. 2017.
Harlina, Yuni dan Hellen Lastfitriani, “Kajian Hukum Islam Tentang Wanprestasi
(Ingkar Janji) Pada Kosumen Yang Tidak Menerima Sertifitkat
Kepemilikan Pembelian Rumah”, Jurnal Hukum Islam, No. 1. Vol. 17.
Riau: UIN Sultan Syarif Kasim Riau. 2017.
Hartanto, Ratna dan Juliyani Purnama Ramli, Hubungan Hukum Para Pihak
dalam Peer to Peer Lending, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol.25.
Jakarta: UII. 2018.
72
Imama, Lely Shofa. “Konsep dan Implementasi Murabahah Pada Produk
Pembiayaan Bank Syariah”, Jurnal Iqtishadia, No. 1, Vol. 2.
Pamekasan: STAIN Pamekasan. 2014.
Muzdalifa, Irma.”Peran Fintech dalam Meningkatkan Keuangan Inklusif pada
UMKM di Indonesia (Pendekatan Keuangan FIntech”, Jurnal
Masharif al-Syariah, Vol. 3, No. 1. 2018.
Rahma, Tri Inda Fadhila. “Persepsi Masyarakat Kota Medan Terhadap
Penggunaan Financial Technology (Fintech)”, Jurnal At-Tawassuth,
Vol. III, No. 1. 2018.
Riadi, Ade Bagus. Aspek Hukum dalam Menjalankan Perusahaan Fintech
Lending di Indonesia, Jurnal Hukum Fintech, Teknologi,
Telekomunikasi & Perbankan Syariah, Vol. 1. Sekolah Tinggi
Ekonomi Islam Tazkia. 2018.
Sari, Pipit Buana, “Prospek Finansial Technology (Fintech) di Sumatera Utara
Dilihat Dari Sisi Literasi Keuangan, IinklusiKeuangan dan
Kemiskinan”, Jurnal Kajian Akuntansi Universitas Islam Bandung,
Vol. 19 No. 2, 2018.
Segal, Miriam. “Peer to Peer Lending: A Financing Alternative for Small
Business”, tahun 2015.
Setyawati, Desy Ary, Dahlan dan M. Nur Rasyid. “Perlindungan Bagi Hak
Konsumen dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Perjanjian
Transaksi Elektronik”, Jurnal Hukum Syiah Kuala, Vol. 1. Aceh:
Universitas Syiah Kuala, Desember 2017.
73
Prabowo, Bagya Agung. “Konsep Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah
(Analisis Kritis Terhadap Aplikasi Konsep Akad Murabahah di
Indonesia dan Malaysia)”, Jurnal Hukum, No. 1, Vol. 16. Yogyakarta:
UII. 2009
Internet
http://www.danasyariah.id/, diakses pada Kamis, 07 Maret 2019, pukul 20.47
WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/P2P_Lending, diakses pada Kamis, 07 Maret 2019,
pukul 21.04 WIB.
http://www.danasyariah.id/tentang-kami/tim-kami, diakses pada Kamis, 07 Maret
2019, pukul 18.08 WIB.
https://www.danasyariah.id/termcondition, diakses pada Jum‟at 03 Mei 2019,
pada pukul 23.21 WIB.
https://www.danasyariah.id/tentang-kami/khazanah, diakses pada Minggu, 05 Mei
2019, pukul 23.19 WIB.
Republik Indonesia.2011. Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas
Jasa Keuangan. Jakarta;
Republik Indonesia.2016. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun
2016 Tentang Layanan Pinjam-meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi. Jakarta;