111
ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H14094021 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN … · dan puskesmas. Analisis dilakukan dengan menggunakan data 26 provinsi di ... 2.1.5.4 Infrastruktur Kesehatan ... sikap-sikap masyarakat,

  • Upload
    vuongtu

  • View
    226

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP

PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA

OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI

H14094021

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

RINGKASAN

KRISMANTI TRI WAHYUNI. Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan Sosial terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia (dibimbing oleh WIDYASTUTIK).

Pembangunan telah mengalami perluasan makna, namun di dalamnya tetap menganggap pertumbuhan sebagai hal yang penting. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP potensial atau output nasional, yang menentukan tingkat standar hidup negara tersebut. Berdasarkan perbedaan pertumbuhan ekonomi, nilai PDRB provinsi yang bervariasi dan angka IPM yang masih beragam, pembangunan di Indonesia masih belum merata, yang mencerminkan adanya ketimpangan. Upaya mempercepat pembangunan regional dapat dilaksanakan dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat produktivitasnya. Kegiatan ekonomi harus didukung oleh infrastruktur yang memadai sehingga mendorong peningkatan potensi daerah masing-masing secara berkesinambungan. Pertumbuhan potensi daerah akan mendorong proses pertukaran sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan memungkinkan bergeraknya perekonomian daerah sesuai dengan potensinya serta secara bersama-sama menuju proses pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat sesuai dengan kemampuannya yang optimal.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh serta besarnya kontribusi infrastruktur sosial dan ekonomi terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia. Produktivitas ekonomi diperoleh koefisien dari output per tenaga kerja yang diadopsi dari bentuk model pertumbuhan Solow, yang menghubungkan output dengan input faktor produksi. Kapital yang diteliti adalah investasi yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial.

Analisis regresi data panel digunakan untuk melihat besarnya pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia. Infrastruktur yang diteliti meliputi: panjang jalan, energi listrik yang terjual, air bersih yang disalurkan dan sarana kesehatan yang diwakili dengan data jumlah rumah sakit dan puskesmas. Analisis dilakukan dengan menggunakan data 26 provinsi di Indonesia dan pada kurun waktu 13 tahun (1995 – 2007). Pendekatan dilakukan dengan model fixed effects menunjukkan hasil bahwa masing-masing infrastruktur memberikan pengaruh yang positif terhadap produktivitas ekonomi dengan tingkat elastisitas yang berbeda-beda, yaitu infrastruktur sarana kesehatan sebesar 0,65, energi listrik 0,08, panjang jalan 0,07 dan air bersih 0,05. Sarana kesehatan yang merupakan bagian dalam modal manusia yang vital bagi pembangunan, mempunyai tingkat elastisitas yang paling besar memengaruhi produktivitas ekonomi dimana setiap kenaikan 1 persen infrastruktur kesehatan akan meningkatkan produktivitas ekonomi sebesar 0,65 persen.

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP

PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA

OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI

H14094021

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan

Sosial terhadap Produktivitas Ekonomi di

Indonesia

Nama : Krismanti Tri Wahyuni

NRP : H14094021

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian

Bogor.

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

W i d y a s t u t i k, M. S i. NIP. 19751105 200501 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003

Tanggal lulus:

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA

PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Oktober 2009

Krismanti Tri Wahyuni H14094021

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Krismanti Tri Wahyuni lahir pada tanggal 14 Oktober

1981 di Kulon Progo (Daerah Istimewa Yogyakarta). Penulis merupakan anak

ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Kasman Nugroho dan Ibu

Suyanti Magdalena. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 1

Pengasih pada tahun 1994, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP

Negeri 1 Pengasih pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis diterima di

SMUN 1 Wates, Kulon Progo dan lulus pada tahun 2000.

Setelah tamat SMU, pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan ke

Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2004 dengan gelar

Sarjana Sains Terapan (S.ST) dan langsung ditempatkan untuk bekerja pada

kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah

selama lebih kurang 1 tahun. Kemudian penulis dimutasikan ke Badan Pusat

Statistik Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah, yang merupakan

wilayah pemekaran Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala

anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan Sosial

terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia” dengan baik. Infrastruktur

merupakan investasi yang dilakukan pemerintah dan masih sangat penting

ditingkatkan karena berdampak positif terhadap perekonomian. Oleh karena itu,

penulis tertarik melakukan penelitian dengan topik ini. Skripsi ini merupakan

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen

Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak

yang telah membantu penyelesaian penyusunan skripsi ini terutama kepada Ibu

Widyastutik, M.Si., yang memberikan bimbingan baik teknis maupun teoritis

dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan

kepada Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni sebagai dosen penguji yang memberikan

perbaikan-perbaikan skripsi ini. Namun kesalahan yang terjadi dalam penelitian

ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua dan saudara-

saudara penulis yang memberikan dorongan sepenuhnya, juga kepada orang tua,

kakak adik dan sahabat yang sudah penulis anggap sebagai keluarga serta teman-

teman yang memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga karya ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2009

Krismanti Tri Wahyuni H14094021

DAFTAR ISI

I.

II.

III.

DAFTAR ISI ……………………………………………...…………

DAFTAR TABEL …………………………………….……………..

DAFTAR GAMBAR …………………………………….………….

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………...

PENDAHULUAN ……………………………………..…………….

1.1 Latar Belakang ……………………………….…………………

1.2 Perumusan Masalah ………………………….…………………

1.3 Tujuan Penelitian …………………………….…………………

1.4 Kegunaan Penelitian ………………………….………………...

TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………..

2.1 Tinjauan Teori …………………...……………………………...

2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi ……………………………..……

2.1.2 Model Neoklasik Solow ……………….………………...

2.1.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ……………...

2.1.4 Produktivitas Ekonomi …………………………………..

2.1.5 Infrastruktur ……………………………………………...

2.1.5.1 Infrastruktur Jalan ………………………………

2.1.5.2 Infrastruktur Listrik ..……………………………

2.1.5.3 Infrastruktur Air Bersih …………………………

2.1.5.4 Infrastruktur Kesehatan …………………………

2.1.6 Hubungan Antara Investasi Publik dengan Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................

2.2 Penelitian Terdahulu ……………………………………………

2.3 Kerangka Pemikiran Operasional ………………………………

METODOLOGI PENELITIAN …………………..………………..

3.1 Jenis dan Sumber Data ………………………………………….

3.2 Analisis Regresi Data Panel …………………………………….

3.2.1 Fixed Effect Model (FEM) …..………………………….

i

iii

iv

v

1

1

6

7

7

9

9

9

14

16

18

19

24

25

26

28

30

32

36

40

40

41

43

ii

IV.

V.

VI.

3.2.2 Random Effect Model (REM) ………………………….

3.2.3 Hausman Test …………………………………………..

3.3 Model Penelitian Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi ..............................................................

3.4 Definisi Operasional ……………………………………………

GAMBARAN UMUM ………………………………………………

4.1 Pertumbuhan Ekonomi ………………………………………….

4.2 Tenaga Kerja ……………………………………………………

4.3 Pembangunan Infrastruktur Jalan .................................................

4.4 Pembangunan Infrastruktur Listrik ..............................................

4.5 Pembangunan Infrastruktur Air Bersih ........................................

4.6 Pembangunan Infrastruktur Kesehatan ........................................

PEMBAHASAN .................................................................................

5.1 Pemilihan Metode Pendekatan dalam Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi ............................

5.2 Pendugaan Model Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia ...........................................

5.3 Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia ..................................................................

PENUTUP ..........................................................................................

6.1 Kesimpulan ..................................................................................

6.2 Saran ............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................

LAMPIRAN .......................................................................................

48

50

51

53

58

58

61

65

67

69

72

75

75

76

77

84

84

84

86

88

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1 3.1 4.1 5.1

PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa serta Pertumbuhannya, Tahun 2006 – 2007……………………. Data yang Digunakan dalam Penelitian Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan Sosial terhadap Produktivitas Ekonomi Indonesia, Tahun 1995 – 2007………………………………………... Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Provinsi, Tahun 1996 – 2007 (%) .................................................................................... Hasil Estimasi Persamaan Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia ………………………………….

3

40

60

78

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1 2.2 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12

Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi.…………… Kerangka Pemikiran Operasional ………….................................... Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 1996 – 2007 (%) Bagan Tenaga Kerja, Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja Menurut Konsep Labour Force Approach ........................................ Jumlah Tenaga Kerja Indonesia, Tahun 1995 – 2007 (Juta Jiwa) ..... Jumlah Tenaga Kerja Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Juta Jiwa) .......................................................................................... Persentase Panjang Jalan Menurut Kualitasnya di Indonesia, Tahun 2007 (%) ............................................................................................ Panjang Jalan Baik dan Sedang Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Km) ......................................................................................... Energi Listrik yang Terjual di Indonesia, Tahun 1995 – 2007 (GWh) ................................................................................................ Energi Listrik yang Terjual di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (GWh) ....................................................................................... Persentase Pertumbuhan Jumlah Air Bersih yang Disalurkan PDAM di Indonesia, Tahun 1996 – 2007 ......................................... Jumlah Air Bersih yang Disalurkan PDAM di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (m3) ................................................................... Persentase Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia, Tahun 2007 (%) ................................................................................. Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Unit) ..............................................................

20

38

59

62

63

64

65

66

68

69

70

71

72

74

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 2 3 4 5

PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi dan Pertumbuhannya, Tahun 2006 – 2007 ………………………………. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Peringkat Menurut Provinsi Serta Reduksi Shortfall-nya, Tahun 2006 – 2007 …………. Uji Chow pada Model Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia, Tahun 1995 – 2007 ........................................ Uji Hausman pada Model Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia, Tahun 1995 – 2007 .................. Hasil Pengolahan Eviews dengan Metode Fixed Effect ......................

89

90

91

94

98

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Walaupun banyak kritik terhadap pembangunan Indonesia, harus diakui

bahwa perjalanan bangsa Indonesia selama 64 tahun dalam mengisi kemerdekaan

telah memberikan nilai tambah yang sangat signifikan dalam seluruh aspek

kehidupan masyarakat baik fisik maupun non fisik. Kapasitas dari sebuah

perekonomian nasional Indonesia diukur dengan GDP (Gross Domestic Product)

telah mampu dinaikkan menjadi 4.954,03 trilyun rupiah dan dengan pertumbuhan

mencapai 6,06 persen pada tahun 2008. Demikian juga indeks ekonomi lainnya

yang juga sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan

yaitu tingkat pertumbuhan GDP per kapita pada tahun yang sama telah mencapai

21,70 juta rupiah. Angka ini mengukur kemampuan suatu negara untuk

memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat daripada tingkat

pertumbuhan penduduknya (BPS, 2009).

Pembangunan telah mengalami perluasan makna, namun di dalamnya tetap

menganggap pertumbuhan sebagai point yang penting. Menurut Samuelson dan

Nordhaus (2004), pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP potensial

atau output nasional negara, yang menentukan tingkat standar hidup negara

tersebut. Pembangunan secara luas dipandang sebagai suatu proses

multidimensional yang meliputi berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial,

sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar

akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta

2

pengentasan kemiskinan. Guna mencapai sasaran yang diinginkan dalam

pembangunan, maka pembangunan suatu negara dapat diarahkan pada tiga hal

pokok, yaitu: meningkatkan ketersediaan dan distribusi kebutuhan pokok bagi

masyarakat, meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, dan meningkatkan

kemampuan masyarakat dalam mengakses baik kegiatan ekonomi dan kegiatan

sosial dalam kehidupannya (Todaro dan Smith, 2006).

Pembangunan Indonesia memang telah mencapai pertumbuhan yang

meningkat, namun jika dilihat dari tingkat pemerataannya, masih menunjukkan

ketimpangan. Beberapa provinsi yang pertumbuhan Produk Domestik Regional

Bruto-nya masih di bawah 5 persen, menjadi salah satu realitas terciptanya

kesenjangan/disparitas antar daerah dan antar kawasan (Lampiran 1). Hal tersebut

salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endowment dari masing-masing

daerah. Fakta adanya disparitas tersebut tercermin dalam kesenjangan kinerja

pembangunan perekonomian dan kesenjangan kinerja pembangunan antar

provinsi di Indonesia.

Berdasarkan Tabel 1.1, terlihat adanya fenomena disparitas perekonomian

di Indonesia, dimana terjadi pemusatan produksi barang dan jasa di Pulau Jawa.

Pulau yang luasnya hanya mencapai 6,95 persen dari luas Indonesia ini

mendominasi pendapatan nasional sebesar 60,25 persen pada tahun 2006 dan

meningkat menjadi 60,57 persen pada tahun 2007. Sementara itu wilayah-wilayah

di luar Pulau Jawa yang terbagi menjadi 27 provinsi pada tahun 2007 (setelah

terjadi pemekaran provinsi) hanya mampu berproduksi tidak lebih dari 40 persen.

3

Dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan luar Pulau Jawa,

ketimpangan pembangunan akan semakin melebar.

Tabel 1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa serta Pertumbuhannya, Tahun 2006 – 2007

PDRB Atas Dasar Harga

Konstan 2000 (Juta Rupiah) No Uraian 2006 2007

Pertumbuhan(%)

(1) (2) (3) (4) (5)

1 Pulau Jawa 1.071.135.143 1.137.224.181 6,17

2 Luar Pulau Jawa 706.800.621 740.409.944 4,76

Sumber: BPS, 2006 dan 2007 (diolah)

Seperti halnya jika pembangunan dilihat secara ekonomi, pembangunan

manusia secara keseluruhan menunjukkan indikasi masih terdapat disparitas antar

wilayah, yaitu dengan membandingkan nilai IPM provinsi di Indonesia. Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) digunakan untuk menganalisis perbandingan status

pembangunan sosial ekonomi secara sistematis dan komprehensif dalam ukuran

indeks. Luasnya cakupan pembangunan manusia menjadikan peningkatan IPM

sebagai manifestasi dari pembangunan manusia dapat ditafsirkan sebagai

keberhasilan dalam meningkatkan kemampuan dalam memperluas pilihan-pilihan

(enlarging the choices of the people). Dalam ukuran ini diungkapkan bahwa suatu

wilayah dapat berbuat jauh lebih baik dalam pembangunan manusia sekalipun

mempunyai pendapatan (kondisi ekonomi) yang rendah, karena pengukuran

indeks ini juga menekankan pada aspek pendidikan dan kesehatan (BPS,

Bappenas dan UNDP Indonesia, 2004).

4

Perkembangan IPM di Indonesia menunjukkan suatu peningkatan, yang

berarti memberikan indikasi bahwa terjadi peningkatan kinerja pembangunan

manusia. Capaian angka IPM akan menentukan urutan (ranking) antar daerah.

Namun keberhasilan pembangunan manusia di suatu daerah tidak mutlak dilihat

dari posisi (ranking), tetapi juga dilihat berdasarkan besaran nilai reduksi

shortfall. Rata-rata nilai IPM untuk nasional mencapai 70,59 pada tahun 2007,

meningkat dari tahun 2006 sebesar 70,10. Angka ini menutupi variasi nilai IPM

antar provinsi yang beragam dan tidak merata (Lampiran 2). Perbedaan capaian

antara IPM yang tertinggi dan terendah sebesar 13,2 poin, dengan rentang 63,41

untuk Papua dan 76,59 untuk DKI Jakarta. Dibandingkan dengan perbedaan

pencapaian IPM provinsi tahun 2006 yang mencapai 13,6 poin, maka perbedaan

tahun 2007 relatif lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan

IPM provinsi cenderung melambat. Kecepatan pembangunan manusia dilihat

dengan ukuran reduksi shortfall (BPS, 2008).

Ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan ini bila dibiarkan

berlangsung bisa memperlebar tingkat kesenjangan dalam masyarakat sehingga

tujuan pembangunan yang adil dan merata terancam tidak tercapai. Ketimpangan

juga menimbulkan kerawanan ekonomi dan beban sosial yang tinggi karena orang

miskin terlilit dalam lingkaran setan kemiskinan sehingga menurunkan generasi

yang miskin pula. Sementara itu orang kaya akan menjadi semakin kaya jika

ketimpangan yang berkelanjutan ini tidak diantisipasi. Menurut Todaro dan Smith

(2006), pemerataan yang lebih adil di negara berkembang merupakan suatu

kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian,

5

semakin timpang distribusi pendapatan di suatu negara akan berdampak negatif

terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan pendapatan antar daerah

tergantung dari besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap penerima

pendapatan dalam daerah tersebut. Perbedaan jumlah pendapatan yang diterima

itu menimbulkan suatu distribusi pendapatan yang berbeda.

Menurut Nurkse dalam Jhingan (2008), faktor utama dalam pembangunan

ekonomi adalah pembentukan atau pengumpulan modal. Tujuan pokok

pembangunan ekonomi ialah untuk membangun peralatan modal dalam skala

yang cukup untuk meningkatkan produktivitas di bidang pertanian, pertambangan,

perkebunan dan industri. Modal juga diperlukan untuk mendirikan sekolah, rumah

sakit, jalan raya, kereta api, dan sebagainya. Singkatnya, hakikat pembangunan

ekonomi adalah penciptaan overhead sosial dan ekonomi. Hal ini hanya mungkin

jika laju pembentukan modal di dalam negeri cukup cepat, yaitu jika bagian dari

pendapatan atau output masyarakat yang ada, hanya sedikit saja yang

dipergunakan untuk konsumsi dan sisanya ditabung dan diinvestasikan dalam

peralatan modal. Pembentukan modal dalam prakteknya dilaksanakan oleh pihak

swasta dan juga pemerintah. Investasi sarana dan prasarana infrastruktur biasanya

dilakukan oleh pemerintah, hanya sebagaian yang sangat kecil saja yang

dilakukan oleh pihak swasta. Peningkatan prasarana infrastruktur diharapkan

dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat pembangunan ekonomi karena

kegiatan perekonomian akan lebih efisien. Oleh karena itu, dalam upaya

pembangunan ekonomi, diperlukan analisis produktivitas ekonomi yang telah

6

dicapai dan peranan infrastruktur yang mendukung keberhasilan pembangunan

tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi masih terjadi di Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pertumbuhan ekonomi, nilai PDRB provinsi

yang bervariasi dan angka IPM yang masih beragam. Hal ini menunjukkan bahwa

pembangunan Indonesia masih belum merata. Fakta dan indikasi ini perlu

mendapat perhatian agar upaya pembangunan ekonomi di Indonesia terus

mengalami peningkatan yang signifikan dan merata di seluruh wilayah Indonesia.

Upaya mempercepat pembangunan regional dapat dilaksanakan dengan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat produktivitasnya. Efisensi

dalam kegiatan ekonomi harus didukung oleh infrastruktur yang memadai

sehingga mendorong peningkatan potensi daerah masing-masing secara

berkesinambungan. Pertumbuhan potensi daerah akan mendorong proses

pertukaran sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan memungkinkan

bergeraknya perekonomian daerah sesuai dengan potensinya serta secara bersama-

sama menuju proses pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat

sesuai dengan kemampuannya yang optimal.

Walaupun kebijakan pembangunan infrastruktur di Indonesia telah

berlangsung cukup lama dengan biaya yang cukup besar dan kontribusinya dalam

peningkatan pertumbuhan ekonomi cukup signifikan, namun masih banyak

masalah yang dihadapi beberapa wilayah di Indonesia, antara lain perencanaan

7

yang lemah, kuantitas yang belum mencukupi dan kualitas yang masih rendah

(Ikhsan, 2004).

Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan pokok yang akan dibahas

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh infrastruktur ekonomi dan sosial terhadap produktivitas

ekonomi di Indonesia?

2. Seberapa besar pengaruh infrastruktur ekonomi dan sosial terhadap

produktivitas ekonomi di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah:

1. Menganalisis pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di

Indonesia.

2. Menganalisis besarnya pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi

di Indonesia dilihat menurut jenis infrastruktur yang diteliti.

1.4. Kegunaan Penelitian

Secara umum penelitian ini berguna untuk: pertama, memberikan informasi

dan gambaran mengenai dinamika pembangunan ekonomi di Indonesia baik

dilihat dari nilai PDRB-nya maupun pertumbuhan ekonominya; kedua,

memberikan masukan bagi kebijakan pemerintah yang terkait dengan

pembangunan infrastruktur di Indonesia guna peningkatan pembangunan ekonomi

yang dianalisis melalui produktivitas dalam kegiatan ekonomi; ketiga, memberi

8

informasi seberapa besar pengaruh setiap jenis infrastruktur yang perlu disediakan

dalam meningkatkan produktivitas ekonomi di Indonesia, dan keempat, dapat

menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian yang akan

datang, khususnya penelitian yang terkait dengan produktivitas ekonomi dan

infrastruktur.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori

2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi

Kuznets dalam Jhingan (2008) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi

sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk

menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya,

yang tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, penyesuaian kelembagaan dan

ideologis yang diperlukannya. Definisi ini memiliki tiga komponen, yaitu: pertama,

pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-

menerus persediaan barang; kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam

pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam

penyediaan aneka macam barang kepada penduduknya; ketiga, penggunaan

teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang

kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan

secara tepat.

Sementara itu Todaro dan Smith (2006) mendefinisikan pertumbuhan

ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu

perekonomian secara terus-menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu

sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin

lama semakin besar. Ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan

ekonomi, yaitu:

10

1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru

yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya

manusia.

2. Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan

memperbanyak jumlah angkatan kerja.

3. Kemajuan teknologi.

Akumulasi modal akan diperoleh bila sebagian dari pendapatan yang

diterima oleh masyarakat tersebut ditabung dan diinvestasikan kembali dengan

tujuan meningkatkan output dan pendapatan di masa depan. Akumulasi modal ini

dapat dilakukan dengan investasi langsung terhadap stok modal secara fisik

(pengadaan pabrik baru, mesin-mesin, peralatan, dan bahan baku) dan dapat juga

dilakukan dengan investasi terhadap fasilitas-fasilitas penunjang seperti investasi

infrastruktur, ekonomi dan sosial (pembangunan jalan raya, penyediaan listrik, air

bersih, dan sebagainya).

Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja, secara tradisional dianggap

sebagai sebagai faktor positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Jumlah

tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah jumlah tenaga kerja produktif,

walaupun hal ini tergantung kepada kemampuan sistem perekonomian untuk

menyerap dan memekerjakan secara produktif tambahan tenaga kerja tersebut.

Selanjutnya, pertumbuhan penduduk yang besar berarti menambah ukuran pasar

domestik menjadi lebih besar.

Komponen kemajuan teknologi merupakan sumber pertumbuhan ekonomi

yang paling penting. Perkembangan teknologi merupakan dasar atau prakondisi

11

bagi berlangsungnya suatu pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan. Dalam

bentuk yang paling sederhana, kemajuan teknologi dihasilkan dari pengembangan

cara-cara lama atau penemuan metode baru dalam menyelesaikan tugas-tugas

tradisional.

Sukirno (2004) menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah

perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan

pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan

persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu

dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Oleh

karena itu faktor perting dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi disebutkan

sebagai beriktut:

1. Tanah dan kekayaan alam lainnya.

Kekayaan alam suatu negara meliputi luas dan kesuburan tanah, keadaan

iklim dan cuaca, jumlah dan jenis hutan dan hasil laut, serta jumlah dan

jenis kekayaan barang tambang yang terdapat di dalamnya.

2. Jumlah dan mutu dari penduduk dan tenaga kerja.

Penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu dapat menjadi pendorong

maupun penghambat perkembangan ekonomi.

3. Barang-barang modal dan tingkat teknologi.

Barang-barang modal yang bertambah dan teknologi yang modern

memegang peranan penting dalam mewujudkan kemajuan ekonomi.

4. Sistem ekonomi dan sikap masyarakat.

Adat istiadat yang tradisional dapat menjadi penghambat pembangunan.

12

Selanjutnya Jhingan (2008) menyebutkan bahwa proses pertumbuhan

ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor yaitu faktor ekonomi dan

nonekonomi. Faktor ekonomi terdiri dari faktor produksi yang dipandang sebagai

kekuatan utama yang memengaruhi pertumbuhan. Diantaranya adalah:

1. Sumber alam, yang mencakup kesuburan tanah, letak dan susunannya,

kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan, dan sebagainya.

2. Akumulasi modal, yang berarti mengadakan persediaan faktor produksi

yang secara fisik dapat direproduksi. Proses pembentukan modal bersifat

kumulatif dan membiayai diri sendiri serta mencakup tiga tahap yang saling

berkaitan, yaitu:

(a) Keberadaan tabungan nyata dan kenaikannya,

(b) Keberadaan lembaga keuangan dan kredit untuk menggalakkan

tabungan dan menyalurkannya ke jalur yang dikehendaki,

(c) Menggunakan tabungan untuk investasi barang modal.

3. Organisasi, yang terdiri dari para wiraswastawan (pengusaha) dan

pemerintah, yang melengkapi (komplemen) modal, buruh dan yang

membantu produktivitasnya, termasuk dalam menyelenggarakan overhead

sosial dan ekonomi.

4. Kemajuan teknologi, yang berkaitan dengan perubahan di dalam metode

produksi yang merupakan hasil pembaharuan atau hasil dari teknik

penelitian baru sehingga menaikkan produktivitas buruh, modal dan faktor

produksi lainnya.

13

5. Pembagian kerja dan skala produksi, yang menimbulkan peningkatan

produktivitas.

Sedangkan faktor nonekonomi yang memengaruhi kemajuan perekonomian antara

lain:

1. Faktor sosial dan budaya, yang menghasilkan perubahan pandangan,

harapan, struktur dan nilai-nilai sosial.

2. Faktor sumber daya manusia, yang disebut sebagai “pembentukan modal

insani” yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan

kemampuan seluruh penduduk, termasuk di dalamnya aspek kesehatan,

pendidikan dan pelayanan sosial lainnya.

3. Faktor politik dan administratif, termasuk pemerintahan yang baik dengan

menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa dengan berbagai pendapat,

pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan faktor terpenting dalam

pembangunan. Keberhasilan pembangunan suatu negara diukur berdasarkan tinggi

rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya. Pengukuran

pertumbuhan ekonomi secara konvensional biasanya dengan menghitung

peningkatan persentase dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB

merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam

suatu negara/wilayah tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir

yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi selama periode tertentu. Oleh karena

itu, tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara/wilayah dapat diperoleh melalui

tingkat pertumbuhan nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK). Indeks

14

pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan formula

sebagai berikut :

%100)1(

)1( ×−

=−

ti

tiitit PDRB

PDRBPDRBLP .............................(2.1)

Dimana:

LP = laju pertumbuhan ekonomi

i = sektor 1,2,…9

t = tahun t

2.1.2. Model Neoklasik Solow

Model pertumbuhan Solow merupakan pilar yang sangat memberi

kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Model ini memungkinkan

analisis pertumbuhan ekonomi secara dinamis, menjelaskan mengapa pendapatan

nasional tumbuh dan mengapa sebagian perekonomian tumbuh lebih cepat

dibandingkan yang lainnya serta menjelaskan perubahan-perubahan dalam

perekonomian sepanjang waktu. Secara ekonomi, model pertumbuhan Solow

dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal,

pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam

perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa

suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007).

Pada intinya model ini merupakan pengembangan dari model

pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan

teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan (growth equation). Dalam model

pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang

15

terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah,

sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil

tetap (constant returns to scale). Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor

residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dan tinggi

rendahnya pertumbuhan itu diasumsikan bersifat eksogen atau tidak dipengaruhi

oleh faktor-faktor lain (Todaro dan Smith, 2006).

Jhingan (2008) mengemukakan asumsi-asumsi dalam model Solow

sebagai berikut:

1. Ada satu komoditi gabungan yang diproduksi.

2. Yang dimaksud output ialah output netto yaitu sesudah dikurangi biaya

penyusutan modal.

3. Return to scale bersifat konstan (fungsi produksi homogen pada derajat

pertama).

4. Dua faktor produksi tenaga kerja dan modal dibayar sesuai dengan

produktivitas fisik marjinalnya.

5. Harga dan upah fleksibel.

6. Tenaga kerja terpekerjakan secara penuh.

7. Stok modal yang ada juga terpekerjakan secara penuh.

8. Tenaga kerja dan modal dapat disubstitusikan satu sama lain.

9. Kemajuan teknologi bersifat netral.

Dengan menganggap bahwa fungsi produksi adalah dalam bentuk Cobb-

Douglas, maka model pertumbuhan neoklasik Solow dapat ditulis:

αα −= 1LAKY .............................(2.2)

16

dimana:

Y : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),

A : tingkat kemajuan teknologi, yang menentukan produktivitas tenaga

kerja dan pertumbuhannya ditentukan oleh variabel eksogen,

K : stok modal fisik dan modal manusia,

L : tenaga kerja,

α : elastisitas output terhadap modal (persentase kenaikan PDRB yang

bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal

manusia).

Pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan

daerah tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya. Berdasarkan model

pertumbuhan ini, disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah

ditentukan oleh kemajuan teknologi, penambahan modal atau investasi dan

tenaga kerja.

2.1.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Seperti dikemukakan di atas, PDRB merupakan dasar pengukuran atas

nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul

akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. Penghitungan

angka-angka PDRB dapat menggunakan tiga pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Produksi

PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh

berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu

tertentu (biasanya satu tahun).

17

2. Pendekatan Pendapatan

PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor

produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu

tahun).

3. Pendekatan Pengeluaran

PDRB adalah semua komponen permintaan akhir dalam jangka waktu

tertentu (biasanya satu tahun), yang dirinci sebagai berikut:

(a) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba,

(b) konsumsi pemerintah,

(c) pembentukan modal tetap domestik bruto,

(d) perubahan stok, dan

(e) ekspor neto.

Penghitungan PDRB dibedakan menjadi dua yaitu PDRB Atas Dasar

Harga Berlaku (ADHB) dan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK). PDRB

Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) menunjukkan pendapatan yang

memungkinkan dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah serta

menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga

pada tahun yang bersangkutan. Angka ini digunakan untuk menganalisis pola atau

struktur ekonomi di wilayah tersebut. Sedangkan PDRB Atas Dasar Harga

Konstan (ADHK) menggambarkan perkembangan produksi riil barang dan jasa

yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi daerah tersebut. Angka ini digunakan

untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.

18

Tingkat pertumbuhan PDRB dapat digunakan sebagai salah satu indikator

untuk mengukur pertumbuhan ekonomi karena:

1. PDRB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas

produksi di dalam perekonomian. Hal ini berarti peningkatan PDRB juga

mencerminkan balas jasa kepada faktor produksi yang digunakan dalam

aktivitas produksi tersebut.

2. PDRB dihitung atas dasar konsep aliran (flow concept), artinya

perhitungan PDRB hanya mencakup nilai produk yang dihasilkan pada

satu periode tertentu. Perhitungan ini tidak mencakup nilai produk yang

dihasilkan pada periode sebelumnya. Pemanfaatan konsep aliran guna

menghitung PDRB yakni untuk membandingkan jumlah nilai tambah yang

dihasilkan pada tahun ini dengan tahun sebelumnya.

3. Batas wilayah perhitungan PDRB adalah wilayah domestik. Hal ini

memungkinkan kita untuk mengukur sejauh mana kebijakan ekonomi

yang diterapkan pemerintah mampu mendorong aktivitas perekonomian

domestik.

2.1.4. Produktivitas Ekonomi

Menurut Kuznets dalam Jhingan (2008), laju kenaikan produktivitas dapat

menjelaskan hampir keseluruhan pertumbuhan produk per kapita di negara maju.

Pertumbuhan ekonomi modern terlihat dari semakin meningkatnya laju produk per

kapita terutama sebagai akibat adanya perbaikan kualitas input yang meningkatkan

efisiensi atau produktivitas per unit input. Hal ini dapat dilihat dari semakin

besarnya masukan sumber tenaga kerja dan modal atau semakin meningkatnya

19

efisiensi.

Untuk melihat produktivitas ekonomi tidak dapat dilepaskan dari konsep

fungsi produksi yang merupakan konsep sistematis yang menghubungkan output

dengan berbagai kombinasi input faktor produksi (sementara tingkat kemajuan

teknologi dianggap sebagai faktor yang konstan) untuk menjelaskan cara penduduk

menyediakan kebutuhannya (Todaro dan Smith, 2006). Jumlah ouput/produk

barang dan jasa dalam perekonomian di suatu wilayah telah diuraikan dengan

menghitung besarnya PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Selanjutnya

tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi yang berperan dalam proses

produksi, merupakan populasi orang yang bekerja dalam angkatan kerja pada

periode tertentu.

2.1.5. Infrastruktur

Menurut Setyaningrum (1997), infrastruktur adalah bagian dari capital stock

dari suatu negara, yaitu biaya tetap sosial yang langsung mendukung produksi.

Stone dalam Kodoatie (2003) mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas-

fasilitas fisik yang dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk

fungsi-fungsi pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan

limbah, transportasi dan pelayanan-pelayanan lainnya untuk memfasilitasi tujuan-

tujuan ekonomi dan sosial.

Infrastruktur merupakan input penting bagi kegiatan produksi dan dapat

memengaruhi kegiatan ekonomi dalam berbagai cara baik secara langsung maupun

tidak langsung. Infrastruktur tidak hanya merupakan kegiatan produksi yang akan

menciptakan output dan kesempatan kerja, namun keberadaan infrastruktur juga

20

memengaruhi efisiensi dan kelancaran kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya.

Pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dinyatakan oleh Cicilia

dalam Sibarani (2002) seperti pada Gambar 2.2.

Infrastruktur

Pendapatan Rumah Tangga

Pendapatan Dunia Usaha

Peningkatan Kesejahteraan

Pengembangan Pasar

Penurunan Biaya

Pertumbuhan Ekonomi

Sumber: Cicilia dalam Sibarani (2002)

Gambar 2.1. Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Sementara itu The World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi

tiga, yaitu:

1. Infrastruktur ekonomi, merupakan aset fisik yang diperlukan untuk

menunjang aktivitas ekonomi baik dalam produksi maupun konsumsi

final, meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air minum, sanitasi

dan gas), public work (jalan, bendungan, kanal, saluran irigasi dan

21

drainase) serta sektor transportasi (jalan, rel kereta api, angkutan

pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya).

2. Infrastruktur sosial, merupakan aset yang mendukung kesehatan dan

keahlian masyarakat, meliputi pendidikan (sekolah dan perpustakaan),

kesehatan (rumah sakit dan pusat kesehatan), perumahan dan rekreasi

(taman, museum dan lain-lain).

3. Infrastruktur administrasi/institusi, meliputi penegakan hukum, kontrol

administrasi dan koordinasi serta kebudayaan.

Infrastruktur juga dapat digolongkan menjadi infrastruktur dasar dan

pelengkap. Infrastruktur dasar (basic infrastructure), meliputi sektor-sektor yang

mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk

perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat

dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan raya, rel

kereta api, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. Sedangkan

infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) misalnya gas, listrik,

telepon dan pengadaan air minum. Infrastruktur dasar biasanya diselenggarakan

oleh pemerintah karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Namun

dalam penyediaannya pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha sesuai

dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang

Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Perbedaan antara infrastruktur dasar dan pelengkap tidaklah selalu sama dan dapat

berubah menurut waktu. Misalnya pengadaan air minum yang dulunya

digolongkan sebagai infrastruktur pelengkap, sekarang digolongkan sebagai

22

infrastruktur dasar.

Fasilitas infrastruktur bukan hanya berfungsi melayani berbagai kepentingan

umum tetapi juga memegang peranan penting pada kegiatan-kegiatan swasta di

bidang ekonomi. Kebutuhan prasarana merupakan pilihan (preference), dimana

tidak ada standar umum untuk menentukan berapa besarnya fasilitas yang tepat di

suatu daerah atau populasi. Edwin (1998) menguraikan prasarana umum yang

diambil dari Catanese (1992), terdiri dari kategori-kategori dalam fasilitas

pelayanan dan fasilitas produksi. Fasilitas pelayanan meliputi kategori-kategori

sebagai berikut:

1. Pendidikan, berupa Sekolah Dasar, SMP, SMA dan perpustakaan umum.

2. Kesehatan, berupa rumah sakit, rumah perawatan, fasilitas pemeriksaan

oleh dokter keliling, fasilitas perawatan gigi dengan mobil keliling,

fasilitas kesehatan mental dengan mobil keliling, rumah yatim piatu,

perawatan penderita gangguan emosi, perawatan pecandu alkohol dan obat

bius, perawatan penderita cacat fisik dan mental, rumah buta dan tuli, serta

mobil ambulans.

3. Transportasi, berupa jaringan rel kereta api, bandar udara dan fasilitas

yang berkaitan, jalan raya dan jembatan di dalam kota dan antar kota serta

terminal penumpang.

4. Kehakiman, berupa fasilitas penegakan hukum dan penjara.

5. Rekreasi, berupa fasilitas rekreasi masyarakat dan olahraga.

Sedangkan fasilitas produksi meliputi kategori-kategori:

1. Energi, yaitu penyuplai energi langsung.

23

2. Pemadam kebakaran, berupa stasiun pemadam kebakaran, mobil pemadam

kebakaran, sistem komunikasi, suplai air dan penyimpanan air.

3. Sampah padat, berupa fasilitas pengumpulan dan peralatan sampah padat

dan lokasi pembuangannya.

4. Telekomunikasi, berupa televisi kabel, televisi udara, telepon kabel dan

kesiagaan menghadapi bencana alam.

5. Air limbah, berupa waduk dan sistem saluran air limbah, sistem

pengolahan dan pembuangannya.

6. Air bersih, berupa sistem suplai untuk masyarakat, fasilitas penyimpanan,

pengolahan dan penyalurannya, lokasi sumur dan tangki air di bawah

tanah.

Dengan melihat jenis-jenis infrastruktur yang banyak berhubungan dengan

masyarakat, peranan pemerintah sangat penting dalam penyediaannya. Walaupun

pengadaan infrastruktur bisa dilakukan dengan kerja sama dengan badan usaha

yang telah ditunjuk, tidak semua layanan infrastruktur bisa dilaksanakan oleh pihak

swasta karena ada layanan infrastruktur yang memerlukan modal yang besar dengan

waktu pengembalian yang lama dan resiko investasi yang besar.

Pemerintah sebagai pemain utama dalam penyediaan infrastruktur

selayaknya menjaga kesinambungan investasi pembangunan infrastruktur dan

memrioritaskan infrastruktur dalam rencana pembangunan nasional, sehingga

infrastruktur dapat dibenahi baik secara kuantitas maupun kualitas. Selain itu perlu

pendekatan yang lebih terpadu dalam pembangunan infrastruktur guna menjamin

sinergi antar sektor dan wilayah (Bulohlabna, 2008).

24

2.1.5.1.Infrastruktur Jalan

Infrastruktur jalan sebagai salah satu infrastruktur pengangkutan berperan

dalam merangsang pertumbuhan ekonomi karena ketersediaan jalan akan

meminimalkan modal komplementer sehingga proses produksi dan distribusi akan

lebih efisien. Pembangunan prasarana jalan turut akan meningkatkan pertumbuhan

wilayah-wilayah baru dengan meningkatnya volume lalu lintas. Sebaiknya

prasarana jalan yang buruk dan rusak akan menghambat alokasi sumber daya,

pengembangan industri, pendistribusian faktor produksi, barang dan jasa, yang pada

akhirnya akan memengaruhi pendapatan.

Ikhsan (2004) mengemukakan bahwa jalan raya akan memengaruhi biaya

variabel dan biaya tetap. Jika infrastruktur harus dibangun sendiri oleh sektor

swasta, maka biaya akan meningkat secara signifikan dan menyebabkan cost of

entry untuk suatu kegiatan ekonomi menjadi sangat mahal sehingga kegiatan-

kegiatan ekonomi yang sebetulnya secara potensial mempunyai keunggulan

komparatif menjadi tidak bisa terealisasikan karena ketiadaan infrastruktur. Lebih

jauh lagi infrastruktur sangat berpengaruh terhadap biaya marketing. Sebagai

contoh adanya pembukaan dan peningkatan jalan di Sulawesi tidak hanya

menurunkan biaya transportasi, namun juga menjadi faktor penting dalam

memperkuat bargaining power dari petani coklat. Akibatnya, margin yang diterima

petani coklat meningkat dari sekitar 62 persen pada tahun 1980-an menjadi sekitar

90 persen setelah tersedianya Jalan Trans Sulawesi.

Queiroz dalam Sibarani (2002) juga menunjukkan adanya hubungan yang

konsisten dan signifikan antara pendapatan dengan panjang jalan. Negara

25

berpenghasilan lebih dari US$ 6.000/kapita mempunyai rasio panjang jalan ±

10.110 km/1 juta penduduk, sedangkan negara berpenghasilan US$ 545 - US$

6.000/kapita mempunyai rasio panjang jalan ± 1.660 km/1 juta penduduk dan

negara berpenghasilan kurang dari US$ 545/kapita mempunyai rasio panjang jalan

± 170 km/1 juta penduduk. Jika data tersebut dibandingkan, negara yang

berpenghasilan tinggi mempunyai panjang jalan 59 kali lipat dibandingkan dengan

negara berpenghasilan rendah.

2.1.5.2.Infrastruktur Listrik

Dengan semakin majunya suatu wilayah, kebutuhan akan listrik menjadi

tuntutan primer yang harus dipenuhi, tidak hanya untuk rumah tangga namun juga

untuk kegiatan ekonomi terutama industri. Dalam kehidupan masyarakat yang

semakin modern, semakin banyak peralatan rumah tangga, peralatan kantor serta

aktivitas-aktivitas masyarakat yang mengandalkan sumber energi dari listrik.

Peningkatan kegiatan ekonomi dalam produksi dan investasi juga membutuhkan

listrik yang memadai. Oleh karena itu permintaan listrik meningkat dari tahun ke

tahun baik dari segi kuantitasnya maupun kualitasnya.

Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan

Listrik Negara (Persero). Sementara sebagian lagi masih disuplai oleh perusahaan-

perusahaan non PLN. Sampai dengan tahun 2007, belum semua wilayah di

Indonesia telah tersambung dalam jaringan PLN. Oleh karena itu, sebagian

masyarakat mengusahakannya secara swasembada yaitu melalui perusahaan non

PLN yang dikelola Pemda, koperasi maupun perusahaan swasta lainnya.

26

2.1.5.3.Infrastruktur Air Bersih

Air bersih merupakan kebutuhan vital yang mutlak diperlukan dalam

kehidupan manusia sehingga pengadaan sumber daya ini termasuk dalam prioritas

pembangunan. Pengalokasian air bersih yang efisien harus didasarkan pada sifat zat

cair yang mudah mengalir, menguap, meresap dan keluar melalui suatu media

tertentu. Karakteristik sumber daya air dikemukakan oleh Anwar dalam Oktavianus

(2003), yaitu:

1. Mobilitas air, menyebabkan sulitnya penegasan hak-hak (property right)

atas sumber daya air secara ekslusif agar dapat menjadi komoditas ekonomi

yang dapat dipertukarkan dalam sistem ekonomi pasar.

2. Sifat skala ekonomi yang melekat, menyebabkan penawaran air bersifat

monopoli alami (natural monopoly), dimana semakin besar jumlah air yang

ditawarkan, maka biaya per satuan yang ditanggung produsennya semakin

murah.

3. Sifat penawaran air dapat berubah-ubah menurut waktu, ruang dan

kualitasnya sehingga penyaluran air dalam keadaan kekeringan hebat dan

banjir biasanya hanya dapat ditangani oleh pemerintah untuk kepentingan

umum.

4. Kapasitas daya asimilasi dari badan air (water bodies) yang dapat

melarutkan dan menyerap zat-zat tertentu selama daya dukungnya tidak

melampaui, sehingga komoditas air dapat dimasukkan dalam barang umum

(public good) dalam upaya mengurangi pencemaran lingkungan atas air

bersih.

27

5. Penggunaan air bisa dilakukan secara beruntun ketika air mengalir dari

suatu daerah aliran sungai (DAS) sampai ke laut, yang dapat menyebabkan

perubahan kuantitas dan kualitasnya.

6. Penggunaan yang serba guna (multiple use).

7. Berbobot besar dan memakan tempat (bulkiness) sehingga biaya

transportasinya menjadi mahal.

8. Nilai kultur masyarakat yang menganggap bahwa sumber daya air sebagai

anugerah dari Tuhan, dapat menjadi kendala dalam pendistribusiannya

secara komersial.

Penggunaan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi ke dalam

tiga kelompok besar yaitu kebutuhan domestik, irigasi pertanian dan industri.

Kebutuhan domestik untuk masyarakat akan meningkat sejalan dengan

pertambahan penduduk baik di perkotaan maupun pedesaan. Air untuk keperluan

irigasi pertanian juga terus meningkat dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan

penduduk yang terus bertambah. Demikian juga dalam bidang industri, yang kian

mengalami peningkatan karena struktur perekonomian yang mengarah pada

industrialisasi.

Air harus dipandang sebagai barang ekonomi sehingga untuk

mendapatkannya memerlukan pengorbanan baik waktu maupun biaya.

Sebagaimana barang ekonomi lainnya, air mempunyai nilai bagi penggunanya,

yaitu jumlah maksimum yang bersedia dibayarkan untuk penggunaan sumber

daya tersebut, dimana pengguna akan menggunakan air selama manfaat dari

tambahan setiap kubik air yang digunakan melebihi biaya yang dikeluarkan

28

(Briscoe dalam Oktavianus, 2003).

Industrialisasi yang meluas membutuhkan investasi yang besar untuk

menjaga tingkat penyediaan air dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Di

Indonesia, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan air bersih secara

kontinyu terus meningkat dari tahun ke tahun. Infrastruktur air bersih merupakan

salah satu bagian penting dalam infrastruktur dasar yang dapat memberi pengaruh

bagi pertumbuhan output (Bulohlabna, 2008).

2.1.5.4.Infrastruktur Kesehatan

World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

sebuah kondisi kesejahteraan fisik, mental dan sosial, dan bukan sekedar bebas

penyakit dan kelemahan fisik. Dalam prakteknya, pengukuran tingkat kesehatan

yang digunakan antara lain tingkat harapan hidup. Ukuran ini merupakan salah satu

dari tiga komponen dalam penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari pembangunan

nasional karena bidang kesehatan menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan

manusia secara berkesinambungan, yang merupakan suatu rangkaian

pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terarah. Pembangunan ini

merupakan upaya untuk tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup

sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan yang optimal. Melalui

pembangunan kesehatan diharapkan setiap penduduk memiliki kemampuan hidup

sehat sehingga di masa mendatang tercipta generasi penerus yang bermutu sebagai

modal penting dalam pembangunan nasional.

29

Secara ekonomi, masyarakat yang sehat akan menghasilkan tenaga kerja

yang sehat dan merupakan input penting untuk pertumbuhan ekonomi. Negara-

negara yang mempunyai tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah

menghadapi tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan

dibandingkan dengan negara yang lebih baik tingkat kesehatan dan pendidikannya.

Tenaga kerja yang berkualitas akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk

lebih produktif, mempunyai kesempatan kerja yang lebih besar, memperoleh

pendapatan yang lebih tinggi, dan menghasilkan output ekonomi yang lebih besar

juga.

Tujuan pembangunan kesehatan yang tercantum dalam Rencana Strategi

Pembangunan Kesehatan adalah terselenggaranya program atau kegiatan

pembangunan kesehatan yang memberi jaminan tercapainya derajat kesehatan

masyarakat yang setinggi-tingginya sesuai dengan visi “Indonesia Sehat 2010”.

Arah kebijakan pembangunan kesehatan menurut Depkes (2004) adalah:

1. Meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling

mendukung, dengan pendekatan paradigma sehat yang memberikan

prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan, dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai

usia lanjut.

2. Meningkatkan dan memelihara mutu lembaga dan pelayanan kesehatan

melalui pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan dan

sarana prasarana dalam bidang medis, termasuk ketersediaan obat yang

dapat dijangkau oleh masyarakat.

30

Pelayanan kesehatan melalui rumah sakit dan puskesmas serta pelayanan

kesehatan lainnya diharapkan meningkatkan mutu kesehatan yang menjangkau

seluruh masyarakat untuk mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata.

Pengembangan infrastruktur kesehatan, baik secara kuantitas maupun kualitas, akan

mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang merupakan faktor

input pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

2.1.6. Hubungan Antara Investasi Publik dengan Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Sturm dalam Sibarani (2002) ada beberapa cara untuk mencari

hubungan antara investasi publik dengan pertumbuhan ekonomi, diantaranya

adalah:

a. Fungsi Produksi

Modal publik masuk dalam fungsi produksi melalui produktivitas

multifaktor (multifactor productivity) atau sebagai input dalam fungsi

produksi. Kelemahan model ini adalah variabel tenaga kerja dan modal

merupakan variabel eksogen. Beberapa peneliti menggunakan data

regional dalam analisisnya untuk memberikan hasil yang penting terhadap

desain kebijakan pemerintah lokal. Keuntungan penggunaan data regional

adalah teknologi produksi yang sama antar daerah karena adanya

kebebasan teknologi untuk ke luar masuk antar wilayah, hukum dan

institusi politik yang tidak bervariasi terlalu besar antar daerah, serta data

yang ada cukup besar dan dikumpulkan dengan basis yang konsisten.

Kelemahannya adalah faktor mobilitas yang relatif tinggi akibat adanya

keterbukaan ekonomi antar daerah serta perlunya penanganan yang

31

mengabaikan efek spesifik regional akan memberikan hasil yang bias dan

tidak konsisten. Contohnya wilayah yang lebih makmur akan melakukan

investasi yang lebih banyak, sehingga ada korelasi positif antara efek

spesifik daerah dan modal sektor publik.

Studi dengan data agregat nasional umumnya mendapatkan elastisitas

yang lebih besar daripada data disagregat. Hal ini disebabkan adanya

spillover effects dari investasi infrastruktur pada area geografi yang kecil

tidak terlihat dengan baik.

b. Fungsi Biaya/Profit

Stok modal publik diestimasi dengan pendekatan perilaku (behavioural

approach) baik dengan maksimisasi profit atau minimisasi biaya. Dua

perbedaan antara pendekatan ini dengan fungsi produksi yaitu:

1) Penggunaan bentuk fungsional yang fleksibel menghilangkan batasan

pada struktur produksi, sehingga dampak langsung maupun tidak

langsung dari modal publik melalui input swasta dapat ditentukan.

2) Estimasi dengan fungsi produksi dapat menghasilkan persamaan

simultan yang bias sedangkan pada behavioural approach tidak terjadi

bias karena biaya atau keuntungan secara langsung diwakili.

Kekurangan model ini adalah banyaknya parameter yang harus diestimasi

sehingga dapat menimbulkan masalah multikolinearitas dan membutuhkan

data yang banyak. Kelemahan lainnya adalah masalah nonstasioner,

bentuk fungsional yang fleksibel tidak menjamin global concavity dari

fungsi biaya.

32

c. Vector Auto Regression (VAR)

VAR menggunakan sesedikit mungkin batasan dan teori ekonomi. VAR

berorientasi pada data dan juga memperhitungkan dampak tidak langsung

dari modal publik. Keuntungan dari VAR adalah tidak dibutuhkan arah

kausalitas dan tidak perlu mengidentifikasi kondisi yang diturunkan dari

teori ekonomi. Namun pendekatan VAR tidak secara sempurna

menjelaskan proses produksi sehingga sukar untuk mencari nilai

elastisitas.

2.2. Penelitian Terdahulu

Ketersediaan infrastruktur yang memadai sangat penting dalam

perekonomian karena mampu mengefisienkan proses produksi dalam

perekonomian. Semakin tinggi tingkat output perkapita, semakin tinggi pula

produktivitas ekonominya. Dengan demikian, penyediaaan infrastruktur

berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan distribusi

pendapatan antar wilayah.

Sibarani (2002) dalam penelitiannya mengenai kontribusi infrastruktur

terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, menganalisis bahwa kebijakan

pembangunan infrastruktur yang terpusat di Pulau Jawa dan Indonesia Bagian Barat

menimbulkan disparitas pendapatan per kapita di masing-masing daerah Indonesia,

terutama antara Pulau Jawa dengan luar Jawa dan Indonesia Bagian Barat dengan

Indonesia Bagian Timur, meskipun pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi

meningkat. Model yang digunakan merujuk pada model Barro (1990) dengan

33

infrastruktur sebagai input dalam produksi agregat. Asumsi yang digunakan Barro

adalah total faktor produksi mempunyai bentuk log Ait = ai + bt. Pendekatan yang

dipilih dalam analisis ini adalah fixed effects dari masing-masing provinsi dengan

indeks i dan pertumbuhan produktivitas Indonesia secara keseluruhan dengan

indeks t. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa setiap jenis infrastruktur yang

diteliti yaitu jalan, listrik dan telepon, memberikan kontribusi positif dengan

elastisitas yang berbeda.

Prasetyo (2008) yang meneliti pengaruh infrastruktur terhadap

pembangunan ekonomi di Kawasan Barat Indonesia dengan menggunakan data

panel tahun 1995 – 2006, membagi modelnya dengan variabel dependen yang

berbeda yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Pengaruh

infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dianalisis dengan pendekatan fixed

effects, yang menyimpulkan bahwa variabel bebas jalan, listrik, investasi dan

dummy otonomi daerah berhubungan secara positif dengan pertumbuhan

ekonomi. Sedangkan variabel air bersih tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi karena data yang digunakan adalah

kapasitas air bersih yang disalurkan oleh perusahaan air bersih untuk pelanggan,

yang umumnya adalah pelanggan rumah tangga. Sedangkan pengaruh

infrastruktur terhadap pendapatan per kapita dianalisis dengan pendekatan

random effects, dengan hasil yang sama dengan hasil dari estimasi pengaruh

infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu semua variabel bebas jalan,

listrik, investasi dan dummy otonomi daerah berhubungan secara positif dengan

pendapatan per kapita, dan variabel air bersih juga tidak berpengaruh secara

34

signifikan terhadap pendapatan per kapita. Yang membedakan kedua model

tersebut adalah nilai elastisitas masing-masing infrastruktur yang berpengaruh

terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita.

Sedangkan Bulohlabna (2008) meneliti tipologi dan pengaruh infrastruktur

terhadap pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI). Metode

penelitian yang digunakan adalah data panel dengan pendekatan fixed effects untuk

provinsi KTI yang termasuk dalam klasifikasi daerah tertinggal dengan referensi

data tahun 1995 – 2006. Hasil penelitian ini dibagi menjadi empat model yang

perbedaaannya pada variabel dependennya, yaitu output total, output di sektor

primer, output di sektor sekunder dan output di sektor tersier. Analisis data panel

menunjukkan bahwa untuk wilayah KTI yang digolongkan sebagai daerah

tertinggal, kontribusi positif infrastruktur yang paling besar terhadap pertumbuhan

output adalah berasal dari infrastruktur jalan, kemudian listrik dan pendidikan.

Sementara itu, variabel kesehatan dan otonomi daerah memberikan pengaruh

negatif terhadap pertumbuhan output. Hal ini didasarkan pada teori bahwa

kebutuhan akan infrastruktur akan meningkat seiring dengan peningkatan

kemakmurannya. Sehingga infrastruktur dasar akan memberikan produktivitas

yang lebih tinggi dibandingkan dengan infrastruktur lanjutan. Selain itu, dapat

diduga juga bahwa penyebab nilai negatif pada pengaruh infrastruktur ini lebih

disebabkan karena kualitas dan kuantitas layanan yang rendah, sedangkan nilai

negatif pada otonomi daerah lebih disebabkan karena kemampuan pemerintah

daerah untuk menerapkan kebijakan. Kontribusi dari setiap layanan infrastruktur

terhadap pertumbuhan output perekonomian baik secara umum maupun sektoral

35

berbeda. Besarnya kontribusi tersebut menentukan infrastrutur apa yang tepat

dilakukan dalam mengembangkan tiap sektor perekonomian.

Sementara itu Yanuar (2006) menganalisis kaitan infrastruktur terhadap

pertumbuhan output baik dari sektor pertanian maupun industri dengan

menggunakan analisis data panel pendekatan fixed effects. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa modal fisik, infrastruktur jalan, telepon, kesehatan dan

pendidikan memberikan pengaruh terhadap output. Infrastruktur kesehatan dan

pendidikan memberikan kontribusi terbesar pada sektor pertanian sementara

infrastruktur jalan merupakan kontributor terbesar pada sektor industri. Kesenjangan

yang terjadi antar daerah dan wilayah menurut Yanuar dapat disebabkan oleh

kesenjangan stok infrastruktur dan besaran produktivitas infrastruktur terhadap

output.

Walaupun penelitian yang menganalisis mengenai pengaruh

infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi sudah dilakukan oleh beberapa

peneliti, namun penelitian ini masih dirasakan perlu dengan pemikiran bahwa

ada hal-hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian lainnya, antara

lain:

1. Cakupan wilayah yang dianalisis meliputi seluruh Indonesia (sebanyak

26 provinsi). Untuk menjamin data seriesnya, data provinsi-provinsi

pemekaran digabungkan dengan provinsi induknya.

2. Tahun data yaitu dari tahun 1995 sampai dengan 2007 (data series

selama 13 tahun).

3. Variabel-variabel yang digunakan adalah:

36

• Variabel variabel dependen yang digunakan adalah PDRB riil per

tenaga kerja.

• Variabel independen terdiri dari infrastruktur dan investasi swasta.

Infrastruktur yang dikaji meliputi infrastruktur ekonomi yang

meliputi variabel jalan, listrik dan air bersih serta infrastruktur sosial

yang diwakili oleh variabel kesehatan.

2.3. Kerangka Pemikiran Operasional

Keberhasilan pembangunan di Indonesia masih meninggalkan masalah

berupa disparitas wilayah dan pendapatan. Sumber daya yang ada masih belum

merata dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga masih ada daerah

yang termasuk kategori miskin dan yang kaya. Disparitas pembangunan ini bila

dibiarkan berlangsung bisa memperlebar ketimpangan dan tingkat kesenjangan

sehingga peningkatan kegiatan perekonomian tidak dapat mencukupi kebutuhan

seluruh lapisan masyarakat. Ketimpangan juga dapat menimbulkan beban

ekonomi dan sosial yang tinggi. Hal ini disebabkan kemampuan masing-masing

daerah untuk tumbuh dan berkembang yang bervariasi dan sangat ditentukan

oleh berbagai faktor ekonomi yang dimiliki oleh suatu wilayah.

Pembangunan ekonomi suatu wilayah dapat dianalisis melalui tingkat

pertumbuhan ekonominya, dimana perkembangannya ditentukan oleh kapasitas

output produksi yang dihasilkan wilayah tersebut. Sementara itu kapasitas output

produksi sangat ditentukan oleh akumulasi modal atau investasi yang dilakukan,

produktivitas tenaga kerja, serta penggunaan teknologi dalam kegiatan ekonomi.

37

Salah satu bentuk pemanfaatan investasi publik adalah pembangunan

pelayanan infrastruktur yang menunjang kegiatan ekonomi baik infrastruktur

ekonomi, infrastruktur sosial, maupun infrastruktur administrasi. Pembangunan

infrastruktur yang beragam dan bervariasi baik kuantitas maupun kualitasnya di

setiap provinsi di Indonesia membawa pengaruh terhadap produktivitas

ekonomi di masing-masing wilayah, yang bisa digunakan untuk menganalisis

masalah ketimpangan yang terjadi. Untuk itu perlu dilakukan analisis terhadap

pembangunan ekonomi di Indonesia dan melihat besarnya pengaruh

pembangunan infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia.

Infrastruktur yang diteliti terdiri dari infrastruktur yang menunjang kegiatan

ekonomi yaitu: panjang jalan, energi listrik, sumber daya air bersih dan fasilitas

kesehatan.

Tingkat produktivitas tiap infrastruktur dicerminkan oleh nilai elastisitas

dari ketersediaan infrastruktur terhadap perekonomian. Semakin besar nilai

elastisitas menunjukkan infrastruktur tersebut semakin produktif meningkatkan

perekonomian. Layanan infrastruktur yang buruk, dilihat dari kualitas dan

kuantitasnya, berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi, sebaliknya

semakin efektif (optimal) layanan infrastruktur tersebut dimanfaatkan maka

akan memberikan rate of return yang tinggi (Yanuar, 2006). Mengingat layanan

infrastruktur memerlukan modal yang besar dengan waktu pengembalian yang

lama dan beresiko tinggi, maka pembangunan infrastruktur lebih banyak

dilakukan oleh pemerintah.

Dengan kerangka pemikiran tersebut, dapat ditentukan alat analisis yang

38

tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Model yang digunakan adalah

model pertumbuhan neoklasik Solow yang didasarkan pada fungsi produksi

Cobb-Douglas, dimana infrastruktur merupakan bagian dari stok modal yang

dilakukan pemerintah sebagai investasi publik. Produktivitas ekonomi yang

dihasilkan di suatu daerah dianalisis sebagai variabel eksogen yang diteliti dari

input dalam fungsi produksi tersebut. Variabel eksogen diperoleh dari output

per tenaga kerja, sedangkan produktivitas ekonomi merupakan nilai koefisien

dari variabel eksogen yang dianalisis dalam model operasional. Nilai koefisien

dalam model menunjukkan tingkat elastisistas variabel endogen terhadap

variabel eksogen, yang artinya setiap kenaikan satu persen variabel endogen

akan meningkatkan variabel eksogen sebesar nilai koefisien dari model hasil

penelitian.

Alur pemikiran dalam kerangka operasional ini secara sistematis dapat

dilihat pada Gambar 2.2.

39

Teknologi

Pertumbuhan Ekonomi

Produktivitas Output Ekonomi

Tenaga Kerja Kapital

Infrastruktur

Infrastruktur Ekonomi Infrastruktur Sosial

Kesehatan Jalan

Listrik

Air Bersih

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Keterangan:

: variabel yang diteliti.

: variabel yang tidak dimasukkan dalam penelitian karena

dianggap konstan.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai

sumber, yang mencakup kurun waktu 1995 – 2007. Dengan berbagai keterbatasan,

data yang digunakan dalam analisis ini ditunjukkan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Data yang Digunakan dalam Penelitian Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan Sosial terhadap Produktivitas Ekonomi Indonesia, Tahun 1995 – 2007

No Jenis Data Sumber

(1) (2) (3)

1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 1993 seluruh provinsi di Indonesia.

BPS

2.

Tenaga kerja masing-masing provinsi di Indonesia.

BPS

3.

Panjang jalan menurut kondisi jalan di masing-masing provinsi di Indonesia.

Publikasi Statistik Perhubungan BPS

4.

Jumlah energi listrik yang terjual masing-masing provinsi di Indonesia.

PT. PLN

5.

Jumlah air bersih yang disalurkan masing-masing provinsi di Indonesia.

Publikasi Statistik Air

Bersih BPS

6.

Jumlah rumah sakit dan puskesmas masing-masing provinsi di Indonesia.

Publikasi Statistik Indonesia BPS dan

Departemen Kesehatan

41

Selanjutnya data-data tersebut diolah dengan menggunakan software Microsoft

Excel 2007 dan Eviews 5.1.

3.2. Analisis Regresi Data Panel

Data panel adalah gabungan antara data silang (cross section) dengan

data runtut waktu (time series). Analisis secara terpisah memberikan beberapa

kelemahan. Sebagai contoh untuk analisis pertumbuhan ekonomi suatu wilayah

yang dilihat dari pertumbuhan PDRB, tingkat investasi dan tingkat konsumsi.

Jika hanya menggunakan data cross section, yang diamati hanya pada satu titik

waktu, maka perkembangan ekonomi wilayah-wilayah tersebut antar waktu tidak

dapat dilihat. Di sisi lain, penggunaan model time series juga menimbulkan

persoalan tersendiri melalui peubah-peubah yang diobservasi secara agregat dari

satu unit individu sehingga mungkin memberikan hasil estimasi yang bias.

Pendekatan data panel menggunakan informasi dari gabungan kedua pendekatan

tersebut (cross section dan time series) sehingga akan meminimalisir kelemahan

masing-masing pendekatan.

Keuntungan penggunaan model data panel dibandingkan data time series

dan cross section yaitu:

1. Jumlah observasi menjadi lebih besar, sehingga estimasi yang dilihat dari

dua dimensi (individu dan waktu) akan lebih akurat dibandingkan dengan

model lain. Secara teknis, data panel dapat memberikan data yang lebih

banyak dan informasi yang lebih lengkap, mengurangi kolinearitas antar

peubah serta menambah derajat bebas (degree of freedom) sehingga

42

meningkatkan efisiensi.

2. Mengurangi masalah identifikasi karena mampu mengakomodasi tingkat

heterogenitas variabel-variabel yang tidak dimasukkan dalam model

(unobserved heterogeneity), mengindikasikan dan mengukur efek yang

secara sederhana tidak dapat diperoleh dengan data deret waktu murni dan

data silang murni.

Secara umum, persamaan model regresi data panel dapat dituliskan

sebagai berikut:

ititiit Xy εβα ++= .............................(3.1)

dimana, y dan xit it masing-masing merupakan nilai variabel tak bebas dan variabel-

variabel bebas untuk setiap individu i pada periode t. Sedangkan αit merupakan

intersep yang dapat bernilai konstan atau berbeda-beda baik sepanjang periode t

ataupun untuk setiap individu i.

Melalui analisis data panel, kita dapat menangkap perilaku sejumlah

individu yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam suatu rentang

waktu yang terdiri dari unit-unit waktu yang juga berbeda. Heterogenitas antar

individu maupun antar waktu digambarkan dalam model dengan intersep dan

koefisien slope yang berbeda-beda. Nilai intersep dan koefisien slope yang

berbeda-beda ini berasal dari pengaruh variabel yang tidak termasuk dalam

variabel penjelas dalam persamaan regresi biasa.

Berdasarkan asumsi ada tidaknya korelasi antara komponen eror

dengan variabel bebasnya, ada 2 model pendekatan yang diaplikasikan dalam

regresi data panel, yaitu model fixed effect model (FEM), dan random effect

43

model (REM) (Firdaus dan Irawan, 2009).

3.2.1. Fixed Effect Model (FEM)

FEM digunakan bila ada korelasi antara komponen eror dengan variabel

bebasnya. Oleh karena itu, komponen eror dari efek individu (λi) dan efek dari

waktu (μt) dapat menjadi bagian dari intersep. Dengan dua pendekatan, dapat

dinyatakan sebagai berikut:

1. Untuk one way error component sebagai:

ititiiit uXy +++= βλα .............................(3.2)

2. Untuk two way error component sebagai:

itittiiit uXy ++++= βμλα .............................(3.3)

Penduga dalam FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik sebagai

berikut:

1. Pendekatan Pooled Least Square (PLS)

Pendekatan ini menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled),

sehingga terdapat N x T observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit

cross section dan T menunjukkan jumlah series yang digunakan, yang

diregresikan dengan model:

ititiit uXy ++= βα .............................(3.4)

dimana αi bersifat konstan untuk semua observasi, atau αi = α.

Formula perhitungannya adalah:

xy βα ˆˆ −= .............................(3.5)

44

∑∑

∑∑

= =

= == N

i

T

tit

N

i

T

titit

xNT

yxNT

1 1

2

1 1

1

1

β̂ .............................(3.6)

∑∑= =

=N

i

T

titx

NTx

1 1

1 xxx itit −=Dimana dan

Dengan mengkombinasikan semua data cross section dan data time series,

data panel dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat

memberikan hasil estimasi yang lebih efisien, yaitu dengan varian:

∑∑= =

= N

i

T

tit

it

x

u

1 1

2

)var()ˆvar(β .............................(3.7)

Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias.

Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan PLS yang tidak sejajar dengan

garis regresi dari masing-masing individu. Parameter yang bias ini

disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda

pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang

sama pada periode yang berbeda.

2. Pendekatan Within Group (WG)

Pendekatan ini digunakan untuk mengatasi masalah bias pada PLS. Teknik

yang digunakan adalah dengan menggunakan data deviasi dari rata-rata

individu dimana:

∑=

−=T

iityTy

1

1 .............................(3.8)

∑=

−=T

iiti xTx

1

1 .............................(3.9)

45

Dalam hal ini

ititit xxx −=* ...........................(3.10)

ititit yyy −=* ...........................(3.11)

dan

iiii uxy ++= βα ' ...........................(3.12)

Jika yit = α + xi it β + uit , maka diperoleh:

)()()( 'iitiitiiiit uuxxyy −+−+−=− βαα ...........................(3.13)

atau

**'*ititit uxy += β ...........................(3.14)

sehingga,

∑∑

∑∑

= =

= == N

i

T

tit

N

i

T

titit

WG

xNT

yxNT

1 1

2*

1 1

**

1

1

β̂ ...........................(3.15)

Berdasarkan persamaan tersebut, FEM dengan pendekatan WG tidak

memiliki intersep. Kelebihan dari WG ini adalah dapat menghasilkan

parameter β yang tidak bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var (βWG)

cenderung lebih besar dari var (βPLS) sehingga dugaan WG menjadi relatif

lebih tidak efisien. Untuk melihat hal ini dapat dibuktikan dengan:

∑∑= =

−=N

i

T

titxx xxS

1 1

2)( ...........................(3.16)

∑∑= =

−=N

i

T

tiit

wxx xxS

1 1

2)( ...........................(3.17)

46

∑=

−=N

ii

bxx xxTS

1

2)( ...........................(3.18)

sehingga dapat dilihat bahwa:

bxx

wxxxx SSS += ...........................(3.19)

diketahui bahwa:

)var(1)var( *itit u

TTu ⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛ −

= ...........................(3.20)

sehingga varians dari penduga β dengan pendekatan WG adalah:

∑∑= =

N

i

T

tit

it

x

u

1 1

2

* )var()ˆvar( WGβ =

= bxxxx

it

SSu−

)var( *

= bxxxx

it

SS

uT

T

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ − )var(1

...........................(3.21)

Berdasarkan persamaan tersebut dapat dilihat bahwa var(β) pada WG lebih

besar dari var(β) pada PLS. Kelemahan lain dari WG adalah tidak dapat

mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM, seperti terlihat dari

tidak dimasukkannya intersep ke dalam model.

3. Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV)

Metode ini bertujuan untuk dapat merepresentasikan perbedaan intersep,

yaitu dengan dummy variable. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini

misalkan persamaan awal seperti pada persamaan PLS dan kelompok

dummy variable dgit = 1 (g = i):

47

ititiit uxy ++= βα ' ...........................(3.22)

dengan memasukkan sejumlah dgit = 1 (g = i), persamaan awal menjadi:

ititNitNititit uxdddy +++++= βααα '2211 ... ...........................(3.23)

persamaan ini dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga

diperoleh parameter βLSDV.

Kelebihan pendekatan ini (LSDV) adalah dapat menghasilkan dugaan

parameter β yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumlah

unit observasinya besar maka terlihat cumbersome. Untuk menguji apakah

intersep memang signifikan atau tidak dapat menggunakan f-test dengan

hipotesis sebagai berikut:

H : α0 1 = α = α = ..... = α2 3 N dan

H : satu dari α ada yang tidak sama 1

Hipotesis ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih

baik menggunakan PLS atau LSDV. Dasar penolakan terhadap H0 adalah

dengan menggunakan F-statistik yaitu:

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

−−−

−=

11 2

22

NkNNT

RRR

FDV

pDV ...........................(3.24)

dimana:

2DVR : koefisien determinasi LSDV

2pR : koefisien determinasi PLS

k : banyaknya peubah

Jika nilai F hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti

untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga dugaan

48

bahwa α adalah sama untuk semua individu dapat ditolak.

4. Two Way Error Components Fixed Effect Model

Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang fixed effects tidak

hanya berasal dari variasi antar individu (time invariants) tetapi juga

berasal dari variasi antar waktu (time effect) sehingga model dasar yang

digunakan adalah:

itittiit uxy +++= βγα ' ...........................(3.25)

merepresentasikan time effect. Dimana γt

) dan time-effect (γJika masing-masing pengaruh individu (αi t)

diasumsikan berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah zsit = 1

(s = t) peubah dummy akan diperoleh persamaan:

ititTitTitNitNititit uxzzdddy ++++++++= βγγααα '222211 ...... ...(3.26)

Penambahan sejumlah dummy variable ke dalam persamaan menyebabkan

masalah pada penggunaan two way fixed effect yaitu berkurangnya derajat

kebebasan, yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter

yang diestimasi.

3.2.2. Random Effect Model (REM)

REM muncul ketika antara efek individu dan variabel bebas tidak ada

korelasi. Asumsi ini membuat komponen eror dari efek individu dan waktu

dimasukkan ke dalam eror, dimana:

1. Untuk one way error component sebagai:

ititiiit uXy +++= βλα ...........................(3.27)

49

2. Untuk two way error component sebagai:

itittiiit uXy ++++= βμλα ...........................(3.28)

Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM yaitu:

0)/( =iituE τ ...........................(3.29)

22 )/( uiituE στ = ...........................(3.30)

0)/( =iti xE τ ...........................(3.31)

22 )/( τστ =iti xE ...........................(3.32)

0)( =iituE τ ...........................(3.33)

Untuk i ≠ j dan t ≠ s

...........................(3.34) 0)( =jsituuE

Untuk i ≠ j

...........................(3.35) 0)( =jiE ττ

dimana:

Utuk one way error component, τi = λ i

Untuk two way error component, τ =i λ + μi i

Dari semua asumsi tersebut, yang paling penting dalam REM adalah

asumsi bahwa nilai harapan dari x xuntuk setiap τ adalah 0 atau E(τit iti i ) = 0. Untuk

menghitung estimator REM, ada dua jenis pendekatan yang digunakan, yaitu:

1. Pendekatan Between Estimator

Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between

individual), yang ditentukan sebagaimana OLS estimator pada sebuah

regresi dari rata-rata individu y dalam nilai x secara individu. Between

50

estimator konsisten untuk N tak terhingga, dengan asumsi bahwa peubah

bebas dengan eror tidak saling berkorelasi atau E (xit εi = 0) begitu juga

dengan nilai rata-rata eror E (xit εi = 0).

2. Pendekatan Generalized Least Square (GLS)

Pendekatan GLS mengkombinasikan informasi dari dimensi antar dan

dalam (between dan within) data secara efisien. GLS dapat dipandang

sebagai rata-rata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam

sebuah regresi. Bila bobot yang dihitung tersebut tetap, maka estimator

yang diperoleh disebut random effects estimator. Dalam bentuk persamaan

hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

βRE = ωβBetween + (Ik - ω) βWithin ...........................(3.36)

3.2.3. Hausman Test

Dalam memilih apakah fixed atau random effects yang lebih baik,

dilakukan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara variabel bebas

dan efek individu. Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan Hausman Test.

Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H0 : E(τi / xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat

H1 : E(τi / xit) = 0 atau FEM adalah model yang tepat

Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan

membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:

H = (βREM – βfEM )’(MFEM –MREM)-1 (βREM – βfEM ) ~ χ2 (k) .............(3.37)

dimana:

M : matriks kovarians untuk parameter β

51

k : degrees of freedom

Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti

untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah

model fixed effects, begitu juga sebaliknya.

3.3. Model Penelitian Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi

Dalam penelitian ini, model yang digunakan untuk mengestimasi

pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia mengacu

pada model neoklasik dengan pendekatan fungsi produksi Cobb Douglass yang

dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

βαitititit LKAY = ...........................(3.38)

Dimana:

Y : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

A : total faktor produksi

K : modal yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur

L : faktor tenaga kerja

i : indeks provinsi

t : indeks waktu

α : nilai elastisitas terhadap modal (infrastruktur)

β : nilai elastisitas terhadap tenaga kerja

Pada fungsi Cobb Douglass berlaku subsitusi antar faktor sehingga

memungkinkan menduga nilai elastisitas masing-masing faktor (return to

scale). Produksi agregat dikatakan mencapai kondisi pada skala konstan

52

(constant return to scale) pada saat α + β = 1. Apabila α + β < 1 dikatakan

kondisi yang dicapai adalah berada pada skala menurun (decreasing return to

scale), dan jika α + β > 1 maka dikatakan mencapai kondisi pada skala menaik

(increasing return to scale).

Berdasarkan persamaan (3.38), masing-masing variabel dibagi dengan

variabel jumlah tenaga kerja (L) dan kemudian dilogaritmakan sehingga

persamaan dalam bentuk linearnya dapat dituliskan sebagai berikut:

...........................(3.39) itititit ukay ++= lnln α

dimana u merupakan gangguan (error terms/disturbance).

Pada penelitian ini, modal infrastruktur (kit) diagregasi menjadi 4

variabel infrastruktur yaitu panjang jalan (km), energi listrik yang terjual

(KWh), air bersih yang disalurkan (m3) dan fasilitas kesehatan yaitu jumlah

rumah sakit dan puskesmas (unit). Dengan demikian model persamaan (3.39)

dapat dioperasionalkan dalam bentuk :

ln yit = ait + α lnjalan + α lnlistrik1 it 2 it + α lnair3 it +

α lnkes4 it + uit ...........................(3.40)

dimana :

y = PDRB riil per tenaga kerja setiap provinsi, dengan menggunakan

PDRB Atas Dasar Harga Konstan 1993 (yang mencerminkan

produktivitas ekonomi adalah koefisien dari y).

jalan = panjang jalan (km) per tenaga kerja yang tersedia di setiap provinsi.

Panjang jalan yang digunakan adalah gabungan panjang jalan

provinsi, negara dan jalan kabupaten/kota yang berada dalam kondisi

53

baik dan sedang. Jalan yang kondisinya rusak ringan dan rusak berat

tidak digunakan karena keduanya dianggap tidak memiliki nilai

ekonomis yang tinggi terhadap proses produksi dan produktivitas

ekonomi.

listrik = energi listrik yang terjual PLN (KWh) per tenaga kerja di setiap

provinsi.

air = air bersih yang disalurkan oleh PDAM (m3) per tenaga kerja di setiap

provinsi.

kes = jumlah rumah sakit dan puskesmas (unit) per tenaga kerja di setiap

provinsi.

3.4. Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan data series selama 13 tahun yaitu data dari

tahun 1995 sampai dengan 2007 dengan cakupan wilayah meliputi seluruh

Indonesia (sebanyak 26 provinsi). Untuk menjamin data seriesnya, data

provinsi-provinsi pemekaran digabungkan dengan provinsi induknya. Provinsi-

provinsi tersebut adalah:

(a) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

(b) Provinsi Sumatera Utara

(c) Provinsi Sumatera Barat

(d) Provinsi Riau (termasuk Provinsi Kepulauan Riau)

(e) Provinsi Jambi

(f) Provinsi Sumatera Selatan (termasuk Provinsi Kepulauan Bangka

54

Belitung)

(g) Provinsi Bengkulu

(h) Provinsi Lampung

(i) Provinsi DKI Jakarta

(j) Provinsi Jawa Barat (termasuk Provinsi Banten)

(k) Provinsi Jawa Tengah

(l) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

(m) Provinsi Jawa Timur

(n) Provinsi Bali

(o) Provinsi Nusa Tenggara Barat

(p) Provinsi Nusa Tenggara Timur

(q) Provinsi Kalimantan Barat

(r) Provinsi Kalimantan Tengah

(s) Provinsi Kalimantan Selatan

(t) Provinsi Kalimantan Timur

(u) Provinsi Sulawesi Utara (termasuk Provinsi Gorontalo)

(v) Provinsi Sulawesi Tengah

(w) Provinsi Sulawesi Selatan (termasuk Provinsi Sulawesi Barat)

(x) Provinsi Sulawesi Tenggara

(y) Provinsi Maluku (termasuk Provinsi Maluku Utara)

(z) Provinsi Papua (termasuk Provinsi Papua Barat).

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan

sebagai berikut:

55

• Variabel dependen yaitu PDRB riil per tenaga kerja, dihitung dengan

membandingkan nilai tambah bruto dalam kegiatan ekonomi di suatu

wilayah (PDRB) dengan jumlah tenaga kerja di setiap provinsi di

Indonesia. Walaupun publikasi data terbaru menggunakan PDRB Atas

Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 2000, namun dalam penelitian ini

menggunakan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 1993

karena ada data tahun 1995 – 1999, yang tidak tepat kalau dikonversi

dengan tahun dasar sesudah tahun tersebut. Produktivitas ekonomi

dilihat dari koefisien variabel PDRB riil per tenaga kerja, yang

menunjukkan kenaikan variabel dependen jika variabel independen

meningkat sebesar satu satuan.

• Variabel independen (infrastruktur) yang akan dikaji meliputi

infrastruktur ekonomi yang meliputi variabel jalan, listrik dan air bersih

serta infrastruktur sosial yang diwakili oleh variabel kesehatan, dengan

uraian sebagai berikut:

a. Variabel jalan yang digunakan adalah panjang jalan total baik yang

diaspal maupun tidak (kerikil dan tanah), yang meliputi jalan negara,

jalan provinsi dan jalan kabupaten, dengan kondisi baik dan sedang.

Pemilihan ini berdasarkan pemikiran bahwa jalan dengan kondisi

baik dan sedang lebih memiliki sumbangan terhadap produktivitas

ekonomi suatu daerah dibandingkan dengan jalan yang rusak dan

rusak berat. Penelitian ini tidak memisahkan panjang jalan tol yang

dibangun oleh badan usaha tertentu yang telah ditunjuk oleh

56

pemerintah, karena kecilnya jumlah panjang jalan tol keseluruhan

(hanya 0,17 persen pada tahun 2004) dan keberadaannya hanya ada

di perkotaan saja.

b. Variabel listrik yang digunakan adalah keseluruhan energi listrik

yang dijual PLN kepada pelanggan, baik yang disalurkan kepada

rumah tangga, industri, bisnis, sosial, gedung kantor pemerintahan

maupun untuk penerangan umum.

c. Variabel air bersih yang digunakan adalah kapasitas air bersih yang

disalurkan PDAM.

d. Variabel kesehatan yang digunakan yaitu jumlah rumah sakit dan

puskesmas. Jumlah rumah sakit yang dimaksudkan adalah total

jumlah rumah sakit umum dan rumah sakit khusus, misalnya rumah

sakit khusus bersalin, jantung, kanker, gigi dan ibu anak. Penelitian

ini tidak memisahkan pelayanan rumah sakit yang diselenggarakan

pemerintah dan swasta karena ingin melihat akses masyarakat

terhadap fasilitas kesehatan dan kecilnya jumlah rumah sakit

nasional dibandingkan dengan total sarana kesehatan yang dikaji

(jumlah keseluruhan rumah sakit baik pemerintah maupun swasta

hanya berkisar 13 sampai dengan 15 persen dibandingkan dengan

jumlah sarana kesehatan nasional yang diteliti). Penelitian ini

memasukkan puskesmas ke dalam variabel sarana kesehatan dengan

pemikiran bahwa keberadaan puskesmas lebih mudah dijangkau oleh

masyarakat kalangan miskin di daerah-daerah, sehingga diharapkan

57

dapat mewakili fasilitas kesehatan secara representatif.

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia masih

digunakan sebagai ukuran kinerja pembangunan. Ukuran ini dihitung dari PDRB

Atas Dasar Harga Konstan yang menunjukkan peningkatan output ekonomi dari

tahun ke tahun setelah menghilangkan unsur inflasi (kenaikan harga secara terus-

menerus). Pada tahun 2007, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,32

persen secara keseluruhan dan sebesar 6,92 persen jika dihitung tanpa minyak dan

gas.

Peningkatan output dari aktivitas ekonomi di Indonesia dalam jangka

panjang berfluktuasi sesuai dengan kondisi politik dan ekonomi yang

memengaruhinya. Selama kurun waktu 1996 – 2007, perekonomian Indonesia

pernah mengalami kontraksi karena masa krisis moneter pada tahun 1997 – 1999

yang berdampak di seluruh wilayah Indonesia walaupun dengan intensitas yang

berbeda-beda. Secara nasional, pertumbuhan ekonomi turun hingga mencapai

puncaknya sebesar -11,08 persen pada tahun 1998 yang ditunjukkan dengan grafik

yang mengalami penurunan cukup curam sebagaimana pada Gambar 4.1.

Goncangan krisis moneter baru bisa dipulihkan dalam dua tahun pada tahun 2000.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif meningkat secara signifikan dan stabil

pada tahun-tahun selanjutnya sampai dengan tahun 2007.

59

‐15.00

‐10.00

‐5.00

0.00

5.00

10.00

96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

Pertumbuhan PDRB Riil

Tahun 

Sumber: BPS (diolah), 1996 – 2007 Gambar 4.1. Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 1996 – 2007 (%)

Pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi selama tahun 1996 – 2007 juga

mengalami fluktuasi seperti yang terjadi dalam skala nasional. Penurunan

pertumbuhan ekonomi bukan berarti terjadinya penurunan kegiatan perekonomian

(output ekonomi), namun memberikan informasi adanya perlambatan laju

kegiatan perekonomian dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan output

ekonomi ditunjukkan oleh angka pertumbuhan ekonomi yang negatif, yang bisa

disebabkan oleh krisis moneter, pemekaran wilayah sehingga sebagian sumber

daya di wilayah induk harus dipisahkan dengan wilayah pemekarannya, bencana

alam, dan krisis-krisis lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang bernilai negatif

dialami oleh semua provinsi di Indonesia pada tahun 1999 pada saat krisis

moneter melanda Indonesia (Tabel 4.1).

60

Tabel 4.1. Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Provinsi, Tahun 1996 – 2007 (%)

Pertumbuhan PDRB Riil (%)

Provinsi 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)

1. Nanggroe Aceh Darussalam 2.47 -0.16 -9.26 -4.19 -8.25 1.19 0.38 3.39 -9.63 -10.12 1.56 -2.79

2. Sumatera Utara 9.01 5.70 -10.90 2.59 4.83 3.72 4.07 4.42 5.74 5.48 6.20 6.90 3. Sumatera Barat 7.87 5.09 -6.73 1.59 3.84 3.63 4.31 4.48 5.47 5.73 6.14 6.34 4. Riau (termasuk

Kepulauan Riau) 14.56 3.50 -4.04 3.32 6.45 4.36 4.43 4.70 3.83 5.57 5.46 4.43

5. Jambi 8.81 3.91 -5.41 2.90 5.43 5.87 4.39 4.46 5.38 5.57 5.89 6.82 6. Sumatera Selatan

(termasuk Kepulauan Bangka Belitung)

-5.65 4.85 -6.78 0.83 3.34 2.39 3.76 4.52 4.63 4.84 5.20 5.84

7. Bengkulu 5.72 3.07 -6.27 2.88 3.93 4.03 4.32 5.12 5.38 5.82 5.95 6.03 8. Lampung 7.95 4.15 -6.95 3.54 3.40 3.61 5.17 5.71 5.07 4.02 4.98 5.79 9. DKI Jakarta 9.10 5.11 -17.49 -0.29 4.33 3.64 3.99 4.39 5.65 6.01 5.95 6.44 10. Jawa Barat

(termasuk Banten) 9.75 5.28 -18.35 -5.63 4.24 4.79 4.20 4.61 4.97 5.67 5.91 6.32

11. Jawa Tengah 7.30 3.03 -11.74 3.49 3.93 3.33 3.48 4.07 5.13 5.35 5.33 5.59

12. Daerah Istimewa Yogyakarta 7.74 3.51 -11.18 0.99 4.01 3.37 4.02 4.09 5.12 4.73 3.69 4.28

13. Jawa Timur 8.65 4.15 -11.21 1.21 3.26 3.33 3.41 4.11 5.83 5.84 5.80 6.11

14. Bali 8.16 5.81 -4.04 0.67 3.05 3.39 3.15 3.65 4.62 5.56 5.28 5.92 15. Nusa Tenggara

Barat 8.11 5.26 -3.07 4.24 28.80 8.99 3.78 3.10 2.63 -1.65 1.93 -0.77

16. Nusa Tenggara Timur 8.56 5.62 -2.73 2.73 4.17 5.10 5.96 5.87 3.50 -2.44 3.95 -2.10

17. Kalimantan Barat 10.75 7.53 -4.71 2.71 2.95 1.87 2.01 2.95 2.37 2.22 0.85 -0.62 18. Kalimantan

Tengah 11.85 6.29 -6.92 0.98 1.50 2.72 3.27 4.86 0.20 0.86 2.27 -1.31

19. Kalimantan Selatan 9.95 4.69 -5.53 4.53 4.33 3.74 3.83 4.85 6.09 -0.83 -1.29 1.84

20. Kalimantan Timur 8.29 4.45 -0.76 4.90 4.02 5.05 4.72 2.39 2.87 -0.31 0.97 -1.37 21. Sulawesi Utara

(termasuk Gorontalo)

9.01 5.53 -2.16 36.52 5.79 4.50 4.51 5.57 5.81 0.60 -0.94 1.40

22. Sulawesi Tengah 8.78 22.94 -3.96 2.80 4.21 5.19 5.41 6.26 7.79 -1.27 -0.92 -0.48 23. Sulawesi Selatan

(termasuk Sulawesi Barat)

8.31 4.01 8.62 2.83 4.89 4.97 4.61 5.39 -0.67 6.56 -1.61 -0.90

24. Sulawesi Tenggara 6.01 5.32 -5.78 2.55 5.27 5.63 6.49 7.19 7.84 -0.86 -2.19 0.98 25. Maluku (termasuk

Maluku Utara) 6.59 3.89 -24.95 -22.72 -4.01 -0.31 2.67 3.34 2.84 1.08 -0.22 0.62

26. Papua (termasuk Papua Barat) 13.92 7.16 21.49 -3.48 2.16 -1.63 8.70 2.96 0.90 2.94 0.63 -2.42

Sumber: BPS (diolah), 1995 – 2007

61

4.2. Tenaga Kerja

Masalah ketenagakerjaan merupakan bagian dari fenomena

kependudukan, yang menjadi bagian dalam permasalahan sosial. Namun

masalah ini tidak bisa dilepaskan dalam kegiatan perekonomian karena dengan

bertambahnya jumlah penduduk, konsekuensi logis yang akan dihadapi adalah

bertambahnya jumlah penduduk usia kerja, yang merupakan faktor produksi.

Bertambahnya penduduk usia kerja tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan

penduduk karena ketersediaan lapangan kerja yang terbatas. Munculnya usia kerja

yang tidak bekerja inilah yang sering menimbulkan masalah yang kompleks, yaitu

pengangguran. Oleh karena itu ukuran tenaga kerja secara agregat sangat

berkaitan dengan produktivitas perekonomian. Bagan tentang ketenagakerjaan

dapat ditunjukkan pada Gambar 4.2 dengan menggunakan konsep pendekatan

angkatan kerja (labour force approach).

Persentase penduduk usia kerja yang termasuk dalam angkatan kerja

merupakan indikator penting perekonomian yang disebut TPAK (Tingkat

Partisipasi Angkatan Kerja). Angkatan kerja yang bekerja merupakan tenaga

kerja yang menjadi faktor produksi yang penting dalam kegiatan perekonomian,

sedangkan angkatan kerja yang tidak bekerja disebut pengangguran, yang

terdiri dari pengangguran terpaksa dan pengangguran terselubung. Beban sosial

dan tingkat ketergantungan ekonomi yang tinggi dapat dilihat dengan semakin

kecilnya jumlah tenaga kerja di suatu wilayah.

62

Penduduk Usia Kerja

Bukan Angkatan Kerja Angkatan Kerja

Mengurus rumah tangga

Alasan lainnya

Sekolah

Bekerja Pengangguran

Under utilized Fully utilized

Under utilized by hour

Under utilized by mismatch

Under utilized by income

Sumber: BPS, 2008 Gambar 4.2. Bagan Tenaga Kerja, Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan

Kerja Menurut Konsep Labour Force Approach

Penduduk yang besar sebenarnya dapat menjadi modal pembangunan yang

potensial apabila kualitasnya baik. Sebaliknya, jumlah penduduk yang terlalu

besar dan tidak diimbangi dengan kemampuan produktivitas yang tinggi akan

menimbulkan dampak yang kompleks di segala bidang karena beban

ketergantungan yang tinggi. Beban ketergantungan ini dapat dikurangi jika

63

persentase penduduk yang bekerja semakin bertambah. Oleh karena itu jumlah

tenaga kerja perlu dipantau perkembangannya sehingga masalah-masalah

ekonomi yang diakibatkan fenomena kependudukan ini dapat diantisipasi.

Berdasarkan trend jumlah tenaga kerja per tahun, terlihat bahwa jumlah

tenaga kerja Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun

kecuali pada tahun 2003 justru menurun cukup tajam secara nasional.

Penurunan ini dapat dipulihkan pada tahun-tahun berikutnya, bahkan pada

tahun 2007 terjadi peningkatan yang cukup tinggi hingga jumlahnya mencapai

hampir seratus juta pekerja (99,93 juta jiwa).

Sumber: BPS, 1995 – 2007

Gambar 4.3. Jumlah Tenaga Kerja Indonesia, Tahun 1995 – 2007 (Juta Jiwa)

Jumlah tenaga kerja Indonesia ternyata tidak merata tersebar di seluruh

provinsi. Populasi terbesar berada di Propinsi Jawa Barat (termasuk Banten),

Jawa Timur dan Jawa Tengah, dengan jumlah tenaga kerja mencapai lebih dari

64

54 persen total tenaga kerja Indonesia. Hal ini disebabkan berdirinya pusat-

pusat industri besar padat karya yang terkonsentrasi di provinsi-provinsi

tersebut. DKI Jakarta sebagai pusat perekonomian hanya mempunyai jumlah

tenaga kerja sebesar 3,84 juta (3,85 persen). Tenaga kerja di provinsi-provinsi

lainnya tidak ada yang mencapai lima juta jiwa kecuali Provinsi Sumatera Utara

(5,08 juta tenaga kerja). Data ini mengindikasikan bahwa penyebaran kegiatan

perekonomian di Indonesia masih belum merata di seluruh provinsi.

Sumber: BPS, 1995 – 2007

Gambar 4.4. Jumlah Tenaga Kerja Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Juta Jiwa)

Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan 

Bangka Belitung) 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur 

 14. Bali 15. Nusa Tenggara Barat 16. Nusa Tenggara Timur 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur 21. Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) 22. Sulawesi Tengah 23. Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi 

Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat) 

65

4.3. Pembangunan Infrastruktur Jalan

Ketersediaan infrastruktur jalan sangat penting dalam perekonomian

karena pelayanan dan kapasitas jalan berkaitan dengan kelancaran

pengangkutan barang dan jasa yang menggerakkan perekonomian serta

mempermudah mobilitas penduduk yang sangat berperan dalam kemajuan suatu

daerah.

Secara umum, kualitas jalan di Indonesia masih kurang memadai karena

masih banyak jalan yang rusak ringan dan rusak berat seperti ditunjukkan pada

gambar 4.5, yaitu sebesar 32,83 persen. Hal ini perlu mendapat perhatian karena

jalan yang rusak dan tidak berkualitas akan meningkatkan biaya sosial dalam

kegiatan ekonomi di wilayah tersebut.

Sumber: BPS, 2007

Gambar 4.5. Persentase Panjang Jalan Menurut Kualitasnya di Indonesia, Tahun 2007 (%)

66

Jika dilihat menurut jenisnya, ternyata jalan yang paling panjang

merupakan jalan kabupaten yaitu sebesar 81,03 persen. Kemudian disusul jalan

provinsi sebesar 9,71 persen dan yang terakhir jalan negara sebesar 9,27 persen.

Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan infrastruktur jalan memerlukan

perhatian daerah terutama Daerah Tingkat II (BPS, 2008).

Sumber: BPS, 2007

Gambar 4.6. Panjang Jalan Baik dan Sedang Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (Km)

Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan 

Bangka Belitung) 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur 

 14. Bali 15. Nusa Tenggara Barat 16. Nusa Tenggara Timur 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur 21. Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) 22. Sulawesi Tengah 23. Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi 

Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat) 

67

Penyebaran jalan di Indonesia juga tidak merata di seluruh provinsi.

Jalan yang kondisinya baik dan sedang dari yang paling panjang masing-masing

berada di Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat),

Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Papua (termasuk Papua Barat). Penyebaran ini

tidak representatif sesuai dengan luas wilayah dan jumlah penduduk sehingga

distribusi barang dan jasa serta transportasi untuk mobilitas penduduk masih

terpusat di provinsi-provinsi yang kegiatan ekonominya telah maju.

4.4. Pembangunan Infrastruktur Listrik

PT. PLN merupakan perusahaan yang memenuhi sebagian besar

kebutuhan listrik di Indonesia, walaupun masih belum menjangkau seluruh

wilayah nusantara karena belum semua wilayah di Indonesia tersambung dalam

jaringan PLN. Secara operasional, produksi listrik PLN disalurkan melalui

pembagian dalam 11 wilayah, 4 daerah distribusi, 4 pembangkitan serta

pembangkit dan penyalur (kitlur) daerah Sumatera bagian Utara dan Sumatera

bagian Selatan.

Secara nasional, penjualan energi listrik terus meningkat dari tahun ke

tahun walaupun dengan kecepatan yang tidak sama untuk setiap tahunnya.

Peningkatan penjualan energi listrik tertinggi terjadi pada tahun 1996 yang

pertumbuhannya mencapai 14,44 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan

yang terendah terjadi pada tahun 1998 yang pertumbuhannya mencapai 1,47

persen. Penjualan energi listrik pada tahun 2007 mencapai 114,69 ribu GWh,

68

meningkat sebesar 1,85 persen dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 112,61

ribu GWh.

Sumber: BPS, 1995 – 2007

Gambar 4.7. Energi Listrik yang Terjual di Indonesia, Tahun 1995 – 2007 (GWh)

Dilihat dari sisi pengguna, energi listrik yang terjual paling banyak

dimanfaatkan untuk keperluan industri yaitu sebesar 42,91 persen. Keperluan

masyarakat untuk rumah tangga menempati urutan kedua sebesar 38 persen.

Penggunaan berikutnya adalah untuk keperluan bisnis sebesar 13,48 persen,

keperluan sosial sebesar 2,17 persen, untuk gedung kantor pemerintahan sebesar

1,84 persen dan yang terakhir untuk penerangan jalan umum sebesar 1,60 persen.

Pelanggan yang menggunakan energi listrik terbesar berada Jawa Barat (termasuk

Banten), selanjutnya DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal ini

disebabkan penggunaan listrik yang paling banyak dimanfaatkan untuk industri

dan rumah tangga yang berada di provinsi-provinsi tersebut.

69

Sumber: BPS, 1995 – 2007

 14. Bali 15. Nusa Tenggara Barat 16. Nusa Tenggara Timur 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur 21. Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) 22. Sulawesi Tengah 23. Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi 

Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat) 

Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan 

Bangka Belitung) 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur 

Gambar 4.8. Energi Listrik yang Terjual di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (GWh)

4.5. Pembangunan Infrastruktur Air Bersih

Pembangunan infrastruktur air bersih yang digunakan dalam penelitian

ini adalah ketersediaan air bersih yang diselenggarakan oleh PDAM di seluruh

70

wilayah Indonesia dan disalurkan oleh 502 perusahaan dengan jumlah tenaga

kerja sebanyak 47.960 pekerja. Fakta yang menunjukkan masih banyaknya

masyarakat terutama di pedesaan yang mencukupi kebutuhan air dengan sumur,

pompa, mata air ataupun sumber lainnya, mengindikasikan bahwa pemenuhan

kebutuhan air bersih ini belum memadai di seluruh Indonesia. Secara nasional,

jumlah air bersih yang disalurkan pada tahun 2007 mengalami peningkatan

sebesar 2,35 persen dibandingkan tahun 2006 yaitu dari 2,21 juta m3 menjadi

2,26 m3. Namun, pertumbuhan jumlah air bersih yang disalurkan PDAM di

Indonesia selama tahun 1996 – 2007 sangat berfluktuatif seperti disajikan pada

Gambar 4.9.

Sumber: BPS, 1995 – 2007

Gambar 4.9. Persentase Pertumbuhan Jumlah Air Bersih yang Disalurkan PDAM di Indonesia, Tahun 1996 – 2007 (%)

Jika dilihat menurut provinsi, DKI Jakarta merupakan pengguna air

bersih PDAM terbesar yaitu sebesar 31,34 persen, disusul Jawa Timur sebesar

71

12,88 persen dan Jawa Barat (termasuk Banten) sebesar 11,18 persen. Hal ini

menunjukkan bahwa prasarana air bersih yang disediakan oleh PDAM masih

didominasi oleh masyarakat di Pulau Jawa dalam hal pemanfaatannya. Provinsi

yang paling sedikit mendistribusikan air bersih dari PDAM adalah Sulawesi

Tenggara (0,41 persen), selanjutnya Maluku (0,43 persen), Bengkulu dan

Lampung masing-masing sebesar 0,46 persen.

0

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Air Bersih yang Salurkan (KM3)

Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan 

Bangka Belitung) 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur 

 14. Bali 15. Nusa Tenggara Barat 16. Nusa Tenggara Timur 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur 21. Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) 22. Sulawesi Tengah 23. Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi 

Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat) 

Sumber: BPS, 2007

Gambar 4.10. Jumlah Air Bersih yang Disalurkan PDAM di Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2007 (m3)

72

4.6. Pembangunan Infrastruktur Kesehatan

Sarana dan prasarana kesehatan yang memadai mencerminkan kualitas

sumber daya manusia dalam wilayah tersebut. Keberadaan tenaga medis

menjadi tolok ukur kepedulian pemerintah dalam upaya menyehatkan

masyarakat. Walaupun kualitas sarana kesehatan merupakan hal yang penting,

namun karena keterbatasan data, maka penelitian ini hanya menganalisis

pembangunan infrastruktur kesehatan secara kuantitatif berdasarkan jumlah

rumah sakit dan puskesmas. Karena fasilitas rumah sakit pada umumnya hanya

didirikan di daerah perkotaan atau ibukota kabupaten saja, dalam penelitian ini

dimasukkan juga variabel jumlah puskesmas dengan harapan akan lebih tepat

menggambarkan ketimpangan pelayanan kesehatan masyarakat yang

sesungguhnya.

15.41%

84.59%

Rumah Sakit Puskesmas

Sumber: BPS, 2007 Gambar 4.11. Persentase Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia,

Tahun 2007 (%)

73

Gambar 4.11 menunjukkan bahwa keberadaan puskesmas jauh lebih

banyak dibandingkan dengan rumah sakit. Walaupun kapasitasnya juga di

bawah kemampuan rumah sakit dalam menangani masalah kesehatan

masyarakat, namun keberadaan puskesmas sangat penting meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat, karena harganya lebih terjangkau untuk masyarakat

miskin dan keberadaannya yang lebih mudah diakses oleh masyarakat di

pedesaan.

Penyebaran sarana kesehatan di Indonesia tidak merata di setiap

provinsi, baik rumah sakit maupun puskesmas (Gambar 4.12). Urutan

keberadaan rumah sakit dari yang paling banyak yaitu di Jawa Tengah, Jawa

Timur, Jawa Barat (termasuk Banten), Sumatera Utara dan DKI Jakarta.

Sedangkan untuk puskesmas, terbanyak berada di Jawa Barat (termasuk

Banten), selanjutnya di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan

Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat). Perbedaan ini disebabkan wilayah

kerja rumah sakit dan puskesmas. Puskesmas didirikan di setiap kecamatan di

Indonesia, sedangkan rumah sakit di setiap kabupaten/kota kecuali rumah sakit

khusus dan rumah sakit yang dikekola swasta. Semakin maju suatu wilayah,

persentase jumlah rumah sakit cenderung lebih besar. Persentase perbandingan

rumah sakit dan puskesmas terbesar adalah DKI Jakarta (26,59 persen), disusul

Sumatera Utara (24,76 persen), Bali (22,76 persen), Daerah Istimewa

Yogayakarta (21,94 persen) dan Riau (21,86 persen).

74

 14. Bali 15. Nusa Tenggara Barat 16. Nusa Tenggara Timur 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur 21. Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) 22. Sulawesi Tengah 23. Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi 

Barat) 24. Sulawesi Tenggara 25. Maluku (termasuk Maluku Utara) 26. Papua (termasuk Papua Barat) 

Keterangan: 1. Nanggroe Aceh Darussalam 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5. Jambi 6. Sumatera Selatan (termasuk Kepulauan 

Bangka Belitung)   

8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat (termasuk Banten) 11. Jawa Tengah 12. Daerah Istimewa Yogyakarta 13. Jawa Timur 

7. Bengkulu

Sumber: BPS, 2007 Gambar 4.12. Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia Menurut

Provinsi, Tahun 2007 (Unit)

V. PEMBAHASAN

5.1. Pemilihan Metode Pendekatan dalam Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data panel

yang akan mengkaji pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi di

Indonesia. Sebelum melakukan analisis data panel, maka yang perlu dilakukan

pertama kali adalah melakukan pemilihan terhadap metode pendekatan yang akan

digunakan. Uji Chow dilakukan untuk memilih antara model Pooled Least Square

atau fixed effect (Lampiran 3), sedangkan uji Hausman digunakan untuk memilih

antara model fixed effect atau random effect (Lampiran 4).

Hasil uji Chow menunjukkan bahwa model Pooled Least Square ditolak,

sedangkan uji Hausman tidak memberikan hasil yang baik. Oleh karena itu

pemilihan metode dilakukan dengan melihat karakteristik dari unit-unit observasi.

Menurut Hsiao dalam Sibarani (2002), ketika uji pemilihan fixed effect atau

random effect tidak dapat ditentukan secara teoritis maka sebaiknya menggunakan

metode random effect jika data diambil dari sampel individu atau beberapa

individu yang dipilih secara acak untuk menarik kesimpulan tentang populasinya.

Namun, jika evaluasi meliputi beberapa individu dengan penekanan pada

individu-individu tersebut maka lebih baik menggunakan metode fixed effect.

Karena penelitian ini dilakukan terhadap keseluruhan dari populasi provinsi di

Indonesia, maka metode yang dipilih adalah metode fixed effect dengan

pendekatan two way error components agar dapat melihat heterogenitas antar

propinsi dan antar waktu. Model ini mengasumsikan bahwa dalam berbagai

76

kurun waktu, pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen di setiap

provinsi dan di setiap tahun berbeda-beda. Perbedaan tersebut dicerminkan oleh

nilai intersep pada model estimasi.

5.2. Pendugaan Model Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia

Sebelum melakukan estimasi terhadap model, dilakukan pengujian secara

statistik. Kriteria statistik dipenuhi jika nilai uji t dan uji F menunjukkan nilai

yang signifikan pada tingkat kepercayaan tertentu, sehingga memberikan arti

bahwa variabel-variabel bebas, baik secara parsial maupun bersama-sama

mempengaruhi variabel tak bebasnya. Berdasarkan nilai R2 dan adjusted R2-nya,

dapat dijelaskan tentang seberapa besar pengaruh model dan variabel-variabel

bebas mampu menjelaskan variabel tak bebasnya. Hasil pengolahan penelitian ini

menunjukkan bahwa nilai uji t dan uji F pada penelitian ini memenuhi nilai yang

signifikan pada taraf nyata 99 persen dan 95 persen. Selanjutnya nilai adjusted R2-

nya juga menunjukkan nilai yang cukup besar, yaitu mencapai 0,9762 artinya

bahwa setelah melihat kesesuaian model terbaik dan memperhatikan derajat

bebasnya. Model yang diperoleh dalam penelitian ini (persamaan 5.1) mampu

menjelaskan variabel dependennya sebesar 97,62 persen, sedangkan sisanya

sebesar 2,38 persen dijelaskan oleh variabel dari luar model.

Secara ekonometri, penggunaan analisis data panel dengan metode fixed

effect telah memenuhi asumsi-asumsi mengenai autokorelasi dan heteroskedastik.

Karena semua variabelnya signifikan, hubungan antara variabel dependen dan

variabel independen sesuai dengan teori dilihat dari koefisiennya,

77

multikolinearitas dapat dikurangi.

Secara ekonomi, penggunaan fungsi produksi neoklasikal yang dinyatakan

dalam bentuk model pertumbuhan Solow, menjadi dasar pembentukan model

analisis dalam penelitian ini, dan dapat dinyatakan sebagai berikut:

ln pdrb = 22.44395 + uit it + 0.069066 lnjalan + 0.083688 lnlistrikit it +

0.051436 lnairit + 0.654881 lnkesit .............................(5.1)

Nilai koefisien menunjukkan elastisitas dari variabel independen terhadap

variabel dependen.

5.3. Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia

Pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi dalam penelitian

ini ditunjukkan oleh ouput yang dihasilkan tiap tenaga kerja. Estimasi persamaan

pengaruh infrastruktur terhadap produktivitas ekonomi menunjukkan bahwa

semua variabel bebas yakni jumlah energi listrik yang terjual dan sarana kesehatan

yang dilihat dari jumlah rumah sakit dan puskesmas berhubungan secara

signifikan dengan produktivitas ekonomi pada tingkat kepercayaan 99 persen,

sedangkan panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, dan air bersih yang

disalurkan berhubungan secara signifikan dengan produktivitas ekonomi pada

tingkat kepercayaan 95 persen. Ringkasan hasil pengolahannya dapat dilihat pada

Tabel 5.1.

78

Tabel 5.1. Hasil Estimasi Persamaan Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia

           

Variabel tak bebas: PDRB adhk 1993 per tenaga kerja Variabel Bebas

Koefisien Nilai Statistik t Prob. (1) (2) (3) (4)

C 22.44395 26.15853 0.0000 Panjang jalan 0.069066 2.351656 0.0193** Energi listrik yang terjual 0.083688 2.679704 0.0078* Air bersih yang disalurkan 0.051436 2.214584 0.0276** Sarana kesehatan 0.654881 6.507973 0.0000* Fixed Effects (Cross) _NAD--C 0.153529 _SUMUT--C 0.218120 _SUMBAR--C -0.055032 _RIAU--C 1.194139 _JAMBI--C -0.330691 _SUMSEL--C 0.115811 _BENGKULU--C -0.686518 _LAMPUNG--C -0.095868 _DKI--C 1.215948 _JABAR--C 0.440431 _JATENG--C 0.069264 _DIY--C -0.107717 _JATIM--C 0.263073 _BALI--C 0.230186 _NTB--C -0.168760 _NTT--C -0.850745 _KALBAR--C -0.007144 _KALTENG--C -0.071690 _KALSEL--C -0.085843 _KALTIM--C 1.261359 _SULUT--C -0.370710 _SULTENG--C -0.650604 _SULSEL--C -0.373107 _SULTRA--C -0.822440 _MALUKU--C -0.640259 _PAPUA--C 0.155268

Sumber: Lampiran Keterangan: * : nyata pada α = 1% ** : nyata pada α = 5%

79

Berdasarkan variabel-variabel yang signifikan tersebut, yang paling besar

pengaruhnya terhadap produktivitas perekonomian yaitu sarana kesehatan.

Variabel sarana kesehatan dengan tingkat elastisitas sebesar 0,65 artinya setiap

kenaikan sarana kesehatan sebesar 1 persen akan meningkatkan produktivitas

ekonomi sebesar 0,65 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan di

bidang kesehatan sangat memengaruhi output yang dihasilkan. Angka ini

tergolong cukup besar. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam Todaro dan

Smith (2006) bahwa kesehatan merupakan prasyarat bagi peningkatan

produktivitas. Kesehatan dilihat sebagai salah satu komponen pertumbuhan dan

pembangunan yang vital yaitu sebagai input fungsi produksi agregat. Peran ganda

kesehatan sebagai input dan output dalam pembangunan ekonomi menyebabkan

variabel ini sangat penting pengaruhnya.

Kesehatan merupakan bagian dalam modal manusia dalam perekonomian

yang perlu mendapat perhatian tersendiri karena menyangkut semua tahapan

dalam kehidupan manusia, mulai dari awal kehidupan sampai dengan akhir

kehidupan. Generasi yang sehat akan lebih berprestasi dan dapat menghasilkan

output yang lebih efisien, mampu menggunakan pendidikan yang diperolehnya

secara produktif di setiap waktu dalam kehidupannya. Selanjutnya biaya ekonomi

dan sosial dapat ditekan seminimal mungkin dan beban ketergantungan akan

menurun. Harapan hidup yang tinggi akan meningkatkan pengembalian atas

investasi dari biaya yang telah dikeluarkan di bidang kesehatan dan peningkatan

modal manusia.

80

Tingkat elastisitas kesehatan yang tinggi terhadap produktivitas ekonomi

sangat dimungkinkan dalam penelitian ini karena data yang digunakan untuk

mengukur variabel kesehatan memasukkan jumlah puskesmas yang mana didasari

pemikiran bahwa jumlah puskesmas merupakan pelayanan kesehatan yang

memasyarakat sampai di daerah terpencil (tidak seperti rumah sakit yang secara

relatif hanya berada di kota atau ibukota kabupaten saja), maka penggunaan data

jumlah puskesmas dalam variabel ini dapat mewakili jumlah fasilitas kesehatan

secara representatif di seluruh Indonesia. Hal ini berbeda dengan beberapa

penelitian sebelumnya yang hanya menggunakan jumlah rumah sakit atau jumlah

tempat tidur rumah sakit.

Varibael energi listrik yang terjual mempunyai pengaruh terhadap

produktivitas ekonomi dengan elastisitas 0,08 artinya setiap kenaikan energi

listrik yang terjual sebesar 1 persen akan meningkatkan produktivitas ekonomi

sebesar 0,08 persen. Dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kegiatan produksi,

energi listrik mempunyai peranan penting. Oleh karena itu peningkatan

produktivitas ekonomi dipengaruhi oleh pasokan energi listrik. Data yang

digunakan lebih mendekati kenyataan yaitu jumlah energi listrik total yang terjual,

tidak hanya energi listrik yang digunakan oleh industri dan bisnis, mengingat

pengguna listrik terbesar di Indonesia masih didominasi oleh rumah tangga (38

persen pada tahun 2007). Pemilihan variabel listrik menggunakan jumlah energi

listrik yang dijual didasari oleh pemikiran bahwa infrastruktur listrik yang

disediakan untuk pelayanan kepada masyarakat tidak tepat bila hanya dilihat dari

jumlah pelanggannya saja, karena jumlah pelanggan listrik di beberapa daerah

81

yang jumlahnya sama banyak belum tentu menggunakan jumlah energi listrik

yang sama. Misalnya, satu pelanggan yang menggunakan listriknya untuk industri

akan membutuhkan lebih banyak energi listrik dibandingkan dengan rumah

tangga.

Variabel panjang jalan dengan tingkat elastisitas sebesar 0,07 artinya

setiap kenaikan panjang jalan sebesar 1 persen akan meningkatkan produktivitas

ekonomi sebesar 0,07 persen. Panjang jalan mempunyai peranan yang cukup

penting dalam kegiatan perekonomian. Distribusi faktor produksi maupun barang

dan jasa hasil produksi sangat tergantung dari keberadaan infrastruktur jalan.

Secara spasial, mobilitas manusia dan hasil produksi ini menentukan kemajuan

suatu wilayah karena interaksi dan keterbukaan dengan wilayah lain

meningkatkan pangsa pasar baik faktor produksi maupun hasil produksi.

Pemilihan variabel jalan yang digunakan dalam penelitian ini lebih mendekati

kenyataan karena hanya menggunakan jalan yang kondisinya baik dan sedang,

dengan pemikiran bahwa keadaan jalan yang rusak ringan dan rusak berat kurang

berpengaruh terhadap produktivitas ekonomi di suatu wilayah.

Variabel infrastruktur yang terakhir dalam penelitian ini adalah jumlah air

bersih yang disalurkan. Tingkat elastisitas variabel ini paling kecil dalam model

yang dihasilkan, yaitu sebesar 0,05. Variabel air bersih yang disalurkan dengan

tingkat elastisitas sebesar 0,05 artinya setiap kenaikan air bersih yang disalurkan

sebesar 1 persen akan meningkatkan produktivitas ekonomi sebesar 0,05 persen.

Penggunaan air bersih yang diselenggarakan oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air

Minum) memang masih belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini

82

ditunjukkan dengan data jumlah air bersih yang disalurkan pada tahun 2007

sebagian besar hanya digunakan di Pulau Jawa (64,54 persen). Fakta ini

mengindikasikan adanya ketimpangan penggunaan air bersih yang

diselenggarakan oleh pemerintah di masing-masing daerah. Berdasarkan data

sumber penggunaan air minum, masih banyak penduduk yang tidak menggunakan

air ledeng (dari PDAM). Bahkan sumber air minum yang dominan digunakan

adalah sumur (30,07 persen) dan pompa (17,62 persen) pada tahun 2007.

Pemanfaatan air dari PDAM (air ledeng) secara nasional hanya menempati urutan

ketiga, yaitu sebesar 16,19 persen. Sisanya masih menggunakan sumur tidak

terlindung (10,32 persen), mata air terlindung (7,86 persen), air dalam kemasan

(7,18 persen), mata air tidak terlindung (4,77 persen) dan air sungai (3,02 persen),

bahkan masih ada yang memanfaatkan air hujan sebagai sumber air minum,

sebesar 2,57 persen.

Uraian pengaruh keempat infrastruktur yang diteliti terhadap produktivitas

ekonomi di Indonesia menunjukkan bahwa semua infrastruktur berpengaruh

secara positif. Hal ini sesuai dengan teori bahwa ketersediaan infrastruktur secara

merata akan meningkatkan kemampuan ekonomi suatu wilayah. Seperti

dikemukakan Ikhsan (2004) bahwa secara langsung, pembangunan infrastruktur

sendiri merupakan kegiatan produksi yang menciptakan output dan kesempatan

kerja. Secara tidak langsung, ketersediaan infrastruktur yang memengaruhi

perkembangan sektor-sektor ekonomi yang lain, terutama infrastruktur dasar yang

memberikan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan infrastruktur

lanjutan. Selain itu juga perlu diperhatikan tingkat pemerataan pembangunan

83

infrastruktur karena pelayanan sarana dan prasarana yang mudah dijangkau

masyarakat akan lebih bermanfaat dan memberikan pengaruh yang lebih besar

terhadap produktivitas ekonomi di wilayah tersebut.

VI. PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kesimpulan yang dapat

diambil untuk menjawab permasalahan yang diteliti, yaitu:

1. Ketersediaan infrastruktur ekonomi dan sosial yang dikaji dalam penelitian

ini semuanya memengaruhi produktivitas ekonomi di Indonesia secara

signifikan.

2. Secara parsial, ketersediaan infrastruktur yang berpengaruh secara positif

terhadap produktivitas ekonomi yaitu: sarana kesehatan, energi listrik yang

terjual, panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, serta air bersih

yang disalurkan PDAM. Sarana kesehatan mempunyai pengaruh yang

paling besar terhadap produktivitas ekonomi di Indonesia, selanjutnya

listrik, panjang jalan dan yang terkecil pengaruhnya adalah air bersih.

Besarnya elastisitas masing-masing infrastruktur terhadap produktivitas

ekonomi cenderung dipengaruhi oleh tingkat aksesibilitas masyarakat

terhadap pelayanan sarana dan prasarana infrastruktur.

6.2. Saran

Sesuai dengan kesimpulan hasil penelitian, dapat diajukan saran yang

dapat dipakai sebagai rekomendasi kebijakan, yaitu:

1. Pembangunan infrastruktur secara signifikan memengaruhi produktivitas

ekonomi sehingga ketersediaan infrastruktur perlu mendapat perhatian

85

serius dari pemerintah dengan memberikan tambahan dana untuk

pembangunan infrastruktur agar ketersediaannya lebih merata dinikmati

seluruh masyarakat di Indonesia.

2. Infrastruktur yang memberikan kontribusi yang maksimal terhadap

perekonomian yaitu sarana dan prasarana kesehatan. Oleh karena itu

ketersediaan rumah sakit dan puskesmas perlu mendapatkan prioritas

dalam penyelenggaraannya sehingga tingkat aksesibilitas masyarakat

meningkat dan seluruh masyarakat dapat menjangkaunya dan

pembangunan infrastruktur tersebut tepat sasaran baik wilayah maupun

kegunaannya.

3. Listrik sebagai sumber energi perlu ditingkatkan produksinya agar

kapasitas listrik yang disalurkan lebih besar lagi guna merangsang

penggunaan listrik untuk bidang industri dan bisnis khususnya di luar

Pulau Jawa.

4. Karena infrastruktur jalan mampu meningkatkan produktivitas ekonomi,

pembangunan jalan baru dan perbaikan jalan yang rusak ringan maupun

rusak berat perlu dilakukan terutama oleh pemerintah daerah khususnya

jalan kabupaten/kota.

5. Ketersediaan air bersih juga perlu mendapat perhatian serius dalam hal

pemerataan dan penggunaannya khususnya di luar Pulau Jawa dengan

meningkatkan kapasitas air bersih PDAM sehingga masyarakat bisa

dengan mudah mendapatkan air bersih dengan harga yang terjangkau.

DAFTAR PUSTAKA

BPS, Bappenas dan UNDP Indonesia. 2004. Ekonomi dari Demokrasi Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia [Laporan Pembangunan Indonesia]. BPS, Jakarta.

Bulohlabna, C. 2008. Tipologi dan Pengaruh Infrastruktur terhadap

Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Timur Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Edwin. 1998. Analisis Sikap Pemukim terhadap Prasarana Umum di Daerahnya

[Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Firdaus, M. dan T. Irawan. 2009. Ekonometrika untuk Data Panel (Aplikasi

Eviews dan Stata. Modul Worshop IRSA Institute, Bogor. Ikhsan. 2004. Hubungan Antara Infrastruktur dengan Pertumbuhan Ekonomi dan

Pembangunan. LPEM, Jakarta. Jhingan, M. L. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta. Kodoatie, R. J. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Pustaka Pelajar,

Yogyakarta. Mankiw, N. G. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta. Murad, E. 2002. Pengaruh PDRB Riil, Tingkat Suku Bunga Riil dan Infrastruktur

Jalan terhadap Investasi Domestik di Propinsi Bengkulu [Tesis]. Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Oktavianus, E. 2003. Analisis Keinginan Membayar Penduduk Perkotaan

terhadap Pelayanan Air Bersih [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Prasetyo, R. B. 2008. Ketimpangan dan Pengaruh Infrastruktur terhadap

Pembangunan Ekonomi Kawasan Barat Indonesia (KBI) [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Samuelson, P. A. dan W. D. Nordhaus. 2004. Ilmu Makroekonomi. PT. Media

Global Edukasi, Jakarta.

87

Setiadi, E. 2006. Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Dasar terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional (8 Propinsi di Pulau Sumatera) [Tesis]. Program Pascasarjana Magister Sains Universitas Indonesia, Jakarta.

Setiorini. 2006. Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian 30 Propinsi

di Indonesia Tahun 1998 dan 2003 [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi IPB, Bogor.

Setyaningrum, E. 1997. Analisis Pembiayaan Infrastruktur Perkotaan Studi Kasus

Dati II Kabupaten Sleman DIY [Tesis]. Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Sibarani, M. H. M. 2002. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan

Ekonomi Indonesia [Tesis]. Program Pascasarjana Magister Sains Universitas Indonesia, Jakarta.

Soetopo, R. W. S. 2009. Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di

Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sukirno, S. 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. PT RajaGrafindo Persada,

Jakarta. The World Bank. 1994. World Development Report: Infrastructure for

Development. Oxford University Press, New York. Todaro, M. P. dan S. C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi kesembilan.

Erlangga, Jakarta. Widarjono, A. 2005. Ekonometrika Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis.

Ekonosia, Yogyakarta. Yanuar, R. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Output

serta Dampaknya terhadap Kesenjangan di Indonesia [Tesis]. Magister Sains Program Pascasarjana IPB, Bogor.

89

Lampiran 1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi dan Pertumbuhannya, Tahun 2006 – 2007

PDRB Atas Dasar Harga Konstan

2000 (Juta Rupiah) No Provinsi 2006 2007

Pertumbuhan (%)

(1) (2) (3) (4) (5) 1 NAD 36.853.869 35.826.623 -2,79 2 Sumatera Utara 93.347.404 99.792.273 6,90 3 Sumatera Barat 30.949.945 32.912.969 6,34 4 Riau 83.370.867 86.213.259 3,41 5 Kepulauan Riau 32.441.003 34.713.814 7,01 6 Jambi 13.363.621 14.275.161 6,82 7 Sumatera Selatan 52.214.848 55.262115 5,84 8 Bangka Belitung 9.053.906 9.465.062 4,54 9 Bengkulu 6.610.626 7.008.965 6,03 10 Lampung 30.861.360 32.648.066 5,79 11 DKI Jakarta 312.826.713 332.971.263 6,44 12 Jawa Barat 257.499.446 273.995.145 6,41 13 Banten 61.341.659 65.046.776 6,04 14 Jawa Tengah 150.682.655 159.110.254 5,59 15 DI Yogyakarta 17.535.354 18.285.620 4,28 16 Jawa Timur 271.249.317 287.815.123 6,11 17 Kalimantan Barat 24.768.375 26.260.648 6,02 18 Kalimantan Tengah 14.853.726 15.754.509 6,06 19 Kalimantan Selatan 24.452.265 25.922.288 6,01 20 Kalimantan Timur 96.612.842 97.803.248 1,23 21 Sulawesi Utara 13.532.072 14.407.302 6,47 22 Gorontalo 2.175.815 2.339.218 7,51 23 Sulawesi Tengah 12.671.549 13.683.882 7,99 24 Sulawesi Selatan 38.867.679 41.332.426 6,34 25 Sulawesi Barat 3.321.147 3.567.816 7,43 26 Sulawesi Tenggara 8.643.330 9.331.720 7,96 27 Bali 22.184.679 23.497.047 5,92 28 NTB 15.543.810 16.242.003 4,49 29 NTT 10.368.505 10.904.483 5,17 30 Maluku 3.440.114 3.633.475 5,62 31 Maluku Utara 2.359.483 2.501.175 6,01 32 Papua 18.388.879 19.176.080 4,28 33 Papua Barat 5.548.901 5.934.316 6,95

Sumber: BPS (diolah), 2006 dan 2007

90

Lampiran 2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Peringkat Menurut Provinsi Serta Reduksi Shortfall-nya, Tahun 2006 – 2007

IPM Peringkat Semua Provinsi No Provinsi

2006 2007 2006 2007

Reduksi Shortfall

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 NAD 69,41 70,35 18 17 3,06 2 Sumatera Utara 72,46 72,78 8 8 1,16 3 Sumatera Barat 71,65 72,23 9 9 2,05 4 Riau 73,81 74,63 3 3 3,12 5 Kepulauan Riau 72,79 73,68 7 6 3,27 6 Jambi 71,29 71,46 10 12 0,61 7 Sumatera Selatan 71,09 71,40 13 13 1,06 8 Bangka Belitung 71,18 71,62 12 10 1,51 9 Bengkulu 71,28 71,57 11 11 1,03 10 Lampung 69,38 69,78 19 20 1,30 11 DKI Jakarta 76,33 76,59 1 1 1,11 12 Jawa Barat 70,32 70,71 14 15 1,32 13 Banten 69,11 69,29 21 23 0,60 14 Jawa Tengah 70,25 70,92 15 14 2,24 15 DI Yogyakarta 73,70 74,15 4 4 1,72 16 Jawa Timur 69,18 69,78 20 19 1,94 17 Kalimantan Barat 67,08 67,53 28 29 1,37 18 Kalimantan Tengah 73,40 73,49 5 7 0,34 19 Kalimantan Selatan 67,75 68,01 26 26 0,82 20 Kalimantan Timur 73,26 73,77 6 5 1,91 21 Sulawesi Utara 74,37 74,68 2 2 1,20 22 Gorontalo 68,01 68,83 24 24 2,58 23 Sulawesi Tengah 68,85 69,34 22 22 1,57 24 Sulawesi Selatan 68,81 69,62 23 21 2,59 25 Sulawesi Barat 67,06 67,72 29 28 1,99 26 Sulawesi Tenggara 67,80 68,32 25 25 1,60 27 Bali 70,07 70,53 16 16 1,52 28 NTB 63,04 63,71 32 32 1,81 29 NTT 64,83 65,36 31 31 1,50 30 Maluku 69,69 69,96 17 18 0,87 31 Maluku Utara 67,51 67,82 27 27 0,95 32 Papua 62,75 63,41 33 33 1,76 33 Papua Barat 6608 67,28 30 30 3,54

Sumber: BPS, 2006 dan 2007

91

Lampiran 3. Uji Chow pada Model Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia, Tahun 1995 – 2007

Redundant Fixed Effects Tests Pool: POOL Test cross-section and period fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 158.737312 (25,295) 0.0000Cross-section Chi-square 902.748847 25 0.0000Period F 5.875991 (12,295) 0.0000Period Chi-square 72.441327 12 0.0000Cross-Section/Period F 116.177937 (37,295) 0.0000Cross-Section/Period Chi-square 927.958853 37 0.0000

Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 23.54738 0.428859 54.90703 0.0000JALAN? 0.265141 0.024863 10.66426 0.0000

LISTRIK? 0.520867 0.027829 18.71638 0.0000AIR? 0.193843 0.017832 10.87032 0.0000KES? 0.254749 0.053981 4.719250 0.0000INV? 0.028435 0.003826 7.433036 0.0000

Effects Specification

Period fixed (dummy variables)

R-squared 0.702415 Mean dependent var 15.29108Adjusted R-squared 0.686606 S.D. dependent var 0.615405S.E. of regression 0.344514 Akaike info criterion 0.758418Sum squared resid 37.98070 Schwarz criterion 0.962012Log likelihood -110.1727 F-statistic 44.43078Durbin-Watson stat 0.166301 Prob(F-statistic) 0.000000

92

Lampiran 3. Lanjutan

Period fixed effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 20.93830 0.612030 34.21123 0.0000JALAN? 0.109445 0.046515 2.352884 0.0193

LISTRIK? 0.204423 0.019764 10.34335 0.0000AIR? 0.055920 0.018219 3.069229 0.0023KES? 0.362502 0.056409 6.426334 0.0000INV? 0.003180 0.002875 1.106032 0.2696

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.974488 Mean dependent var 15.29108Adjusted R-squared 0.971994 S.D. dependent var 0.615405S.E. of regression 0.102987 Akaike info criterion -1.621190Sum squared resid 3.256155 Schwarz criterion -1.270556Log likelihood 304.9811 F-statistic 390.8772Durbin-Watson stat 0.420546 Prob(F-statistic) 0.000000

Cross-section and period fixed effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)

93

Lampiran 3. Lanjutan

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 23.41928 0.406591 57.59913 0.0000JALAN? 0.210702 0.023740 8.875528 0.0000

LISTRIK? 0.461489 0.024550 18.79825 0.0000AIR? 0.220869 0.014485 15.24784 0.0000KES? 0.312253 0.048880 6.388203 0.0000INV? 0.028437 0.003283 8.661654 0.0000

R-squared 0.679371 Mean dependent var 15.29108Adjusted R-squared 0.674542 S.D. dependent var 0.615405S.E. of regression 0.351082 Akaike info criterion 0.761998Sum squared resid 40.92184 Schwarz criterion 0.829863Log likelihood -122.7777 F-statistic 140.6928Durbin-Watson stat 0.175845 Prob(F-statistic) 0.000000

94

Lampiran 4. Uji Hausman pada Model Pengaruh Infrastruktur terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia, Tahun 1995 – 2007

Correlated Random Effects - Hausman Test Pool: POOL Test cross-section and period random effects

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 0.000000 4 1.0000Period random 0.000000 4 1.0000Cross-section and period random 0.000000 4 1.0000

* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero. * Period test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

JALAN? 0.094237 0.089908 -0.000106 NALISTRIK? 0.178544 0.199342 -0.000052 NA

AIR? 0.061950 0.075377 -0.000062 NAKES? 0.444760 0.421101 0.000002 0.0000

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel EGLS (Period random effects) Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 21.45802 0.827410 25.93395 0.0000JALAN? 0.094237 0.028881 3.262970 0.0012

LISTRIK? 0.178544 0.022496 7.936776 0.0000AIR? 0.061950 0.022405 2.765016 0.0060KES? 0.444760 0.091128 4.880588 0.0000

Effects Specification S.D. Rho

95

Lampiran 4. Lanjutan

Cross-section fixed (dummy variables) Period random 0.021284 0.0479Idiosyncratic random 0.094855 0.9521

Weighted Statistics

R-squared 0.976248 Mean dependent var 15.29109Adjusted R-squared 0.974011 S.D. dependent var 0.613524S.E. of regression 0.098906 Sum squared resid 3.012972F-statistic 436.5262 Durbin-Watson stat 0.356658Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.973948 Mean dependent var 15.29109Sum squared resid 3.324958 Durbin-Watson stat 0.376387

Period random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

JALAN? 0.069029 0.089908 -0.000091 NALISTRIK? 0.142930 0.199342 0.000319 0.0016

AIR? 0.073875 0.075377 -0.000043 NAKES? 0.543500 0.421101 0.000103 0.0000

Period random effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338 Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 21.98524 0.787264 27.92613 0.0000JALAN? 0.069029 0.029140 2.368855 0.0184

LISTRIK? 0.142930 0.029617 4.825960 0.0000AIR? 0.073875 0.022815 3.238048 0.0013KES? 0.543500 0.091683 5.928010 0.0000

96

Lampiran 4. Lanjutan

Effects Specification S.D. Rho

Cross-section random 0.349378 0.9313Period fixed (dummy variables) Idiosyncratic random 0.094855 0.0687

Weighted Statistics

R-squared 0.425756 Mean dependent var 15.29109Adjusted R-squared 0.397134 S.D. dependent var 0.128519S.E. of regression 0.099788 Sum squared resid 3.196373F-statistic 14.87476 Durbin-Watson stat 0.279011Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.305291 Mean dependent var 15.29109Sum squared resid 88.66573 Durbin-Watson stat 0.010058

Cross-section and period random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

JALAN? 0.069066 0.089908 -0.000078 NALISTRIK? 0.083688 0.199342 0.000417 0.0000

AIR? 0.051436 0.075377 -0.000024 NAKES? 0.654881 0.421101 0.001823 0.0000

Cross-section and period random effects test equation: Dependent Variable: PDRB? Method: Panel Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 22.44395 0.857997 26.15853 0.0000JALAN? 0.069066 0.029369 2.351656 0.0193

LISTRIK? 0.083688 0.031230 2.679704 0.0078AIR? 0.051436 0.023226 2.214584 0.0276KES? 0.654881 0.100628 6.507973 0.0000

97

Lampiran 4. Lanjutan

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables) Period fixed (dummy variables)

R-squared 0.979133 Mean dependent var 15.29109Adjusted R-squared 0.976243 S.D. dependent var 0.615405S.E. of regression 0.094855 Akaike info criterion -1.757097Sum squared resid 2.663261 Schwarz criterion -1.282044Log likelihood 338.9494 F-statistic 338.7571Durbin-Watson stat 0.315300 Prob(F-statistic) 0.000000

98

Lampiran 5. Hasil Pengolahan Eviews dengan Metode Fixed Effect Dependent Variable: PDRB? Method: Pooled Least Squares Sample: 1995 2007 Included observations: 13 Cross-sections included: 26 Total pool (balanced) observations: 338

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 22.44395 0.857997 26.15853 0.0000JALAN? 0.069066 0.029369 2.351656 0.0193

LISTRIK? 0.083688 0.031230 2.679704 0.0078AIR? 0.051436 0.023226 2.214584 0.0276KES? 0.654881 0.100628 6.507973 0.0000

Fixed Effects (Cross) _NAD--C 0.153529

_SUMUT--C 0.218120 _SUMBAR--C -0.055032

_RIAU--C 1.194139 _JAMBI--C -0.330691

_SUMSEL--C 0.115811 _BENGKULU--C -0.686518 _LAMPUNG--C -0.095868

_DKI--C 1.215948 _JABAR--C 0.440431

_JATENG--C 0.069264 _DIY--C -0.107717

_JATIM--C 0.263073 _BALI--C 0.230186 _NTB--C -0.168760 _NTT--C -0.850745

_KALBAR--C -0.007144 _KALTENG--C -0.071690 _KALSEL--C -0.085843 _KALTIM--C 1.261359 _SULUT--C -0.370710

_SULTENG--C -0.650604 _SULSEL--C -0.373107 _SULTRA--C -0.822440 _MALUKU--C -0.640259 _PAPUA--C 0.155268

99

Lampiran 5. Lanjutan

Fixed Effects (Period) 1995--C -0.075257 1996--C -0.037413 1997--C -0.006624 1998--C -0.083547 1999--C -0.083070 2000--C -0.046172 2001--C -0.033075 2002--C 0.000576 2003--C 0.030870 2004--C 0.060153 2005--C 0.070298 2006--C 0.097716 2007--C 0.105545

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables) Period fixed (dummy variables)

R-squared 0.979133 Mean dependent var 15.29109Adjusted R-squared 0.976243 S.D. dependent var 0.615405S.E. of regression 0.094855 Akaike info criterion -1.757097Sum squared resid 2.663261 Schwarz criterion -1.282044Log likelihood 338.9494 F-statistic 338.7571Durbin-Watson stat 0.315300 Prob(F-statistic) 0.000000