Upload
dinhdieu
View
282
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI TEKNIS
USAHATANI BAYAM JEPANG (HORENSO) KELOMPOK
TANI AGRO SEGAR KECAMATAN PACET KABUPATEN
CIANJUR JAWA BARAT
SKRIPSI
DECY EKANINGTIAS
H34070068
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis
Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Horenso Kelompok Tani Agro
Segar Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur Jawa Barat “ adalah karya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2011
Decy Ekaningtias
H34070068
RINGKASAN
DECY EKANINGTIAS. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Teknis Usahatani
Bayam Jepang (Horenso) Kelompok Tani Agro Segar Kecamatan Pacet
Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan HENY
KUSWANTI DARYANTO).
Hortikultura adalah satu subsektor pertanian yang memiliki pengaruh
besar bagi perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari kontribusi PDB
hortikultura yang terus meningkat setiap tahunnya. Salah satu komoditi
hortikultura yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat adalah sayuran. Usaha
sayuran terutama sayuran eksklusif Jepang mulai berkembang dewasa ini, baik
pada on farm maupun pada industri olahannya. Banyaknya jumlah restoran
Jepang di wilayah Jabodetabek menjadi peluang besar bagi para petani sayuran
eksklusif di wilayah sekitar Jabodetabek untuk menjadi pemasok kebutuhan
restoran-restoran Jepang tersebut. Salah satu komoditas sayuran eksklusif Jepang
yang banyak dikonsumsi masyarakat dan kini mulai menarik minat petani
budidaya hortikultura adalah horenso. Kelompok Tani Agro Segar merupakan
salah satu kelompok tani di wilayah Cianjur yang menjadi wadah atau
perkumpulan bagi para petani sayuran dan merupakan kelompok tani pertama di
Cianjur yang menjadikan sayuran eksklusif Jepang sebagai komoditas
unggulannya. Hal ini disebabkan hasil yang diperoleh petani dari sayuran
eksklusif Jepang lebih menguntungkan dibanding komoditas lainnya dan
permintaan dari restoran dan hotel di wilayah Jabodetabek akan sayuran eksklusif
Jepang pun cukup tinggi. Permintaan horenso yang mencapai 80 kg per hari
membutuhkan pasokan yang memadai setiap harinya. Kapasitas produksi yang
dapat dihasilkan oleh Kelompok Tani Agro Segar adalah 60-70 kg per hari. Hal
ini dikarenakan tingkat produktivitas petani anggota kelompok tani yang belum
seragam.
Luas lahan yang terbatas serta perkembangan horenso yang potensial
namun produksinya masih terbatas membutuhkan metode produksi yang efisien
agar mampu mengoptimalkan hasil panen untuk setiap satuan luas lahan. Hal
tersebut juga bertujuan untuk memaksimalkan pendapatan usahatani yang
diperoleh. Selain itu Badan Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Pacet
Kabupaten Cianjur pada tahun 2011 berencana untuk menyusun buku tentang
panduan budidaya aneka sayuran Jepang dengan meminta bantuan kepada
Kelompok Tani Agro Segar. Dalam penyusunan panduan budidaya sayuran
Jepang tersebut diperlukan adanya komposisi faktor-faktor produksi yang sesuai
serta efisien agar petani yang membudidayakan sayuran eksklusif Jepang tersebut
dapat memperoleh hasil panen yang optimal dengan sumber daya yang ada.
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk (1) menganalisis
tingkat pendapatan usahatani horenso di Kelompok Tani Agro Segar Kecamatan
Pacet Kabupaten Cianjur, (2) menganalisis efisiensi teknis usahatani horenso di
Kelompok Tani Agro Segar Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur, dan (3)
menganalisis faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi tingkat efisiensi
teknis usahatani horenso yang dilakukan Kelompok Tani Agro Segar Kecamatan
Pacet Kabupaten Cianjur
Analisis pendapatan yang dilakukan terdiri dari analisis pendapatan,
analisis R/C dan analisis BEP. Hasil analisis pendapatan usahatani horenso
menunjukkan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total lebih
besar dari nol. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani horenso pada lokasi
penelitian dapat memberi keuntungan kepada petani responden. Hasil analisis R/C
juga menunjukkan usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro Segar
menguntungkan untuk diusahakan, tercermin dari nilai R/C atas biaya tunai
maupun atas biaya total lebih besar dari satu. Hasil analisis BEP menunjukkan
bahwa harga jual yang digunakan petani dan jumlah produksi horenso di lokasi
penelitian lebih besar dari nilai BEP harga dan BEP unit. Hal ini berarti harga jual
yang digunakan petani dan jumlah produksi horenso memberikan keuntungan
bagi petani horenso pada Kelompok Tani Agro Segar.
Analisis efisiensi teknis usahatani horenso dilakukan melalui dua tahap,
yaitu tahap pertama menggunakan metode OLS dan tahap kedua menggunakan
metode MLE. Metode OLS dilakukan untuk mengetahui keberadaan autokorelasi
dan multikorelasi pada model. Hasil pendugaan model dengan metode OLS
menunjukkan bahwa tidak tedapat autokorelasi maupun multikolinearitas pada
model, sedangkan hasil pendugaan model fungsi produksi Cobb-Douglas
Stochastic Frontier horenso dengan metode MLE menunjukkan bahwa nilai rata-
rata efisiensi teknis usahatani horenso adalah 0,876 atau 87,6 persen dari produksi
maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani horenso pada Kelompok Tani
Agro Segar sudah efisien, tercermin dari nilai rata-rata efisiensi teknis yang lebih
besar dari 0,7. Namun masih terdapat peluang meningkatkan produksi sebesar
12,4 persen untuk mencapai produksi horenso maksimum. Variabel-variabel yang
berpengaruh nyata dan positif terhadap produksi horenso pada Kelompok Tani
Agro Segar adalah variabel lahan, tenaga kerja, pupuk organik dan pupuk
anorganik. Variabel bibit dan pestisida berpengaruh nyata namun negatif terhadap
produksi horenso. Hal ini disebabkan oleh penggunaan bibit dan pestisida yang
berlebihan oleh petani responden. Sedangkan variabel yang berpengaruh nyata
dan positif terhadap efek inefisiensi teknis usahatani horenso adalah variabel
pengalaman. Variabel pendidikan formal berpengaruh nyata dan negatif terhadap
efek inefisiensi teknis usahatani horenso. Variabel-variabel lainnya seperti umur,
dummy penyuluhan dan dummy status kepemilikan lahan berpengaruh positif
namun tidak berpengaruh nyata.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang
dapat diberikan untuk peningkatan produksi dan efisiensi teknis serta pendapatan
usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro Segar, yaitu : (1) ekstensifikasi
lahan produksi horenso di Kecamatan Pacet wilayah sekitar Kelompok Tani Agro
Segar, (2) penambahan penggunaan tenaga kerja, pupuk organik dan pupuk
anorganik, (3) penyuluh pertanian lebih mendalami teknik budidaya yang tepat
dan melakukan teknik pendekatan yang sesuai kepada petani, dan (4) penelitian
lebih lanjut terkait efisiensi usahatani horenso, khususnya efisiensi alokatif dan
efisiensi ekonomis yang belum dibahas pada penelitian ini.
ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI TEKNIS
USAHATANI BAYAM JEPANG (HORENSO) KELOMPOK
TANI AGRO SEGAR KECAMATAN PACET KABUPATEN
CIANJUR JAWA BARAT
DECY EKANINGTIAS
H34070068
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Proposal : Analisis Pendapatan dan Efisiensi Teknis Usahatani Bayam
Jepang (Horenso) Kelompok Tani Agro Segar Kecamatan
Pacet Kabupaten Cianjur Jawa Barat
Nama : Decy Ekaningtias
NRP : H34070068
Menyetujui,
Pembimbing
Dr. Ir. Rr. Heny Kuswanti Daryanto, M.Ec
NIP. 19610916 198601 2 001
Mengetahui
Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir Nunung Kusnadi, MS
NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pendapatan
dan Efisiensi Produksi Usahatani Horenso Kelompok Tani Agro Segar Kecamatan
Pacet Kabupaten Cianjur Jawa Barat”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
pendapatan usahatani dan efisiensi produksi horenso Kelompok Tani Agro Segar
Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur Jawa Barat.
Tak ada gading yang tak retak, begitu pula karya tulis ini masih memiliki
beberapa kekurangan dan keterbatasan. Namun demikian penulis mengharapkan
penulisan penelitian ini tetap memberi manfaat bagi para pembaca.
Bogor, September 2011
Decy Ekaningtias
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 9 Desember 1989. Penulis
adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Ayahanda Sunarto dan
Ibunda Ratnawati Putri (Alm). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD
Negeri Pucang II pada tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan
pada tahun 2004 di SLTP Mardi Waluya Bogor. Pendidikan lanjutan menengah
atas di SMA Negeri 1 Bogor diselesaikan pada tahun 2007.
Penulis diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai
pengurus Himpunan Profesi HIPMA pada Departemen Komunikasi dan Informasi
periode tahun 2008-2010.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................... 7
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 10
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 11
II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 12
2.1. Karakteristik Horenso ...................................................................... 12
2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 13
III KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................. 22
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................ 22
3.1.1. Konsep Usahatani ................................................................... 22
3.1.2. Konsep Pendapatan Usahatani ............................................... 25
3.1.3. Konsep Fungsi Produksi ......................................................... 26
3.1.4. Fungsi Produksi Stochastic Frontier ...................................... 29
3.1.5. Konsep Efisiensi dan Inefisiensi ............................................ 33
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ..................................................... 35
IV METODE PENELITIAN ...................................................................... 39
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 39
4.2. Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel ........................ 39
4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 40
4.3.1. Spesifikasi Model Fungsi Produksi Stochastic Frontier ........ 40
4.3.2. Analisis Efisiensi dan Inefisiensi Teknis ............................... 42
4.3.3. Uji Hipotesis ........................................................................... 43
4.3.4. Analisis Pendapatan Usahatani ............................................... 45
4.4. Definisi Operasional ........................................................................ 45
V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN ....................... 47
5.1. Gambaran Umum Kabupaten Cianjur ............................................. 47
5.2. Profil Kelompok Tani Agro Segar ................................................... 48
5.3. Karakteristik Petani Responden ....................................................... 49
5.4. Usahatani Horenso ........................................................................... 51
5.4.1. Pembibitan .............................................................................. 51
5.4.2. Pengolahan Lahan ................................................................... 52
5.4.3. Penanaman .............................................................................. 53
5.4.4. Penyiangan ............................................................................. 53
5.4.5. Pemupukan ............................................................................. 53
5.4.6. Pengendalian Hama dan Penyakit .......................................... 54
5.4.7. Pemanenan .............................................................................. 55
xi
VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI HORENSO .................... 57
6.1. Penerimaan Usahatani Horenso ....................................................... 57
6.2. Biaya Usahatani Horenso ................................................................ 58
6.3. Pendapatan Usahatani Horenso ....................................................... 61
VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI .......................... 64
7.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usahatani Horenso .. 65
7.2. Tingkat Efisiensi Produksi dan Inefisiensi Produksi ....................... 70
7.3. Implikasi Penelitian ......................................................................... 75
VIII KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 78
8.1. Kesimpulan ...................................................................................... 78
8.2. Saran ................................................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 81
LAMPIRAN ..................................................................................................... 83
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perkembangan PDB Hortikultura di Indonesia Periode 2005-2009 ............ 1
2. Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Sayuran di Indonesia Periode
2004-2008 .................................................................................................... 2
3. Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Sayuran di Jawa Barat Periode
2004-2008 .................................................................................................... 3
4. Komoditi Hortikultura Unggulan di Kabupaten Cianjur ............................. 4
5. Luas Lahan, Produksi, dan Produktivitas Sayuran Eksklusif Jepang di
Desa Ciherang Tahun 2011 .......................................................................... 5
6. Volume Rata-Rata Permintaan Komoditas Sayuran Eksklusif Jepang
terhadap Kelompok Tani Agro Segar pada Tahun 2011 ............................. 7
7. Jenis Komoditi yang Dibudidayakan oleh Kelompok Tani Agro Segar ...... 8
8. Beberapa Studi Empiris Efisiensi Produksi Menggunakan Pendekatan
Stochastic Production Frontier dan Analisis Pendapatan Usahatani .......... 14
9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Usahatani ........................... 20
10. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Usia pada Tahun 2011 ................. 49
11. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...................... 50
12. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Keikutsertaan Penyuluhan ........... 50
13. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani Horenso .. 51
14. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan........... 51
15. Persentase Pemupukan Petani Responden pada Tahun 2011 ...................... 54
16. Persentase Penggunaan Obat-obatan Petani Responden pada Tahun 2011. 55
17. Persentase Cara Panen Petani Responden pada Tahun 2011 ....................... 56
18. Penerimaan Usahatani Horenso per Hektar di Kelompok Tani Agro Segar
Periode April-Juni 2011 ............................................................................... 57
19. Biaya Usahatani Horenso per Hektar pada Kelompok Tani Agro
Segar Periode April-Juni 2011 ..................................................................... 58
20. Perhitungan Pendapatan dan Rasio Penerimaan Terhadap Biaya (R/C)
Usahatani Horenso per Hektar pada Kelompok Tani Agro Segar Periode
April-Juni 2011 ............................................................................................ 62
21. Perhitungan Break Even Point (BEP) Usahatani Horenso per Hektar
pada Kelompok Tani Agro Segar Periode April-Juni 2011 ......................... 63
22. Pendugaan Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas Stochastic
Frontier Horenso dengan Metode OLS tahun 2011 .................................... 65
23. Pendugaan Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas Stochastic
Frontier Horenso dengan Metode MLE tahun 2011 ................................... 66
24. Ringkasan Statistik Bebas Variabel Model Inefisiensi Produksi ................ 70
25. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Produksi
Usahatani Horenso pada Kelompok Tani Agro Segar Tahun 2011 ............ 71
26. Pendugaan Parameter Efek Inefisiensi Fungsi Produksi Stochastic
Frontier Horenso pada Kelompok Tani Agro Segar Tahun 2011 ............... 72
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kurva Produksi Total, Produk Rata-rata dan Produk Marginal ................... 28
2. Fungsi Produksi Stochastic Frontier. .......................................................... 32
3. Efisiensi Teknis, Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomis ...................... 32
4. Efisiensi Teknis dan Alokatif ....................................................................... 34
5. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................................ 38
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Kuesioner Penelitian ............................................................................ 84
2. Daftar Restauran Jepang di Jakarta ...................................................... 91
3. Luas Lahan dan Produksi Petani Responden Musim Tanam Mei – Juli
Tahun 2011 ............................................................................................ 93
4. Sebaran Status Lahan Petani Responden Musim Tanam Mei – Juli
Tahun 2011 ............................................................................................ 94
5. Hasil Olahan Minitab 14 ...................................................................... 94
6. Hasil Olahan Program Frontier 4.1 ...................................................... 95
7. Tabel Kodde dan Palm ......................................................................... 99
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertanian merupakan salah satu kegiatan paling mendasar yang dilakukan
sebagian besar penduduk Indonesia. Sektor pertanian secara luas terdiri dari
beberapa subsektor, seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
peternakan, dan perikanan. Salah satu subsektor pertanian yang memiliki
pengaruh besar bagi perekonomian Indonesia adalah hortikultura. Hal ini dapat
dilihat dari kontribusi PDB hortikultura yang tinggi dan terus meningkat setiap
tahunnya (Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura di Indonesia Periode 2005-2009
No Komoditi Nilai PDB (Milyar Rupiah) Rata-
Rata 2005 2006 2007 2008 2009*)
1. Buah-buahan 31.694 35.448 42.362 47.060 50.595 41.432
2. Sayuran 22.630 24.694 25.587 28.205 29.005 26.024
3. Tanaman Hias 4.662 4.734 4.741 4.960 5.348 4.889
4. Biofarmaka 2.806 3.762 4.105 3.853 4.109 3.727
Hortikultura 61.792 68.639 76.795 84.078 89.057 76.072
Keterangan : *) Angka Sementara
Sumber: Ditjen Hortikultura, 2010 (diolah)
Pada Tabel 1 dijelaskan bahwa nilai PDB hortikultura secara keseluruhan
terus meningkat dengan rata-rata peningkatan sebesar tujuh triliyun rupiah setiap
tahunnya. Hal ini menggambarkan bahwa subsektor hortikultura memiliki
kontribusi yang tinggi bagi perekonomian Indonesia. Tabel 1 juga menunjukkan
bahwa komoditi sayuran menempati peringkat kedua setelah buah-buahan dalam
kontribusi PDB hortikultura dengan peningkatan yang signifikan selama periode
2005-2009. Sementara itu, komoditi tanaman hias dan biofarmaka mengalami
peningkatan nilai PDB yang berkelanjutan pada periode tersebut. Pada dasarnya
komoditi hortikultura memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan prospektif untuk
2
dikembangkan mengingat potensi serapan pasar yang terus meningkat1. Hal ini
sangat terkait dengan terus meningkatnya jumlah populasi penduduk di Indonesia.
Sayuran adalah salah satu komoditi hortikultura yang banyak dikonsumsi
oleh masyarakat. Tingginya kandungan vitamin dan mineral pada sayuran
membuat komoditi ini dinilai sangat bermanfaat bagi kesehatan. Di sisi lain,
sayuran juga memiliki potensi terkait dengan nilai ekonomi dan kemampuan
menyerap tenaga kerja yang baik. Kelebihan-kelebihan tersebut menyebabkan
produksi sayuran terus dilakukan bahkan produksi sayuran di Indonesia
mengalami peningkatan pada beberapa tahun terakhir.
Tabel 2. Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Sayuran di Indonesia Periode
2004-2008
Tahun Produksi
(ton)
Pertum-
buhan
(%)
Luas Areal
(ha)
Pertum-
buhan
(%)
Produktivitas
(ton/ha)
Pertum-
buhan
(%)
2004 9.059.676 - 977.552 - 9,27 -
2005 9.101.987 0,47 944.695 -3,36 9,63 3,88
2006 9.527.463 4,67 1.007.839 6,68 9,45 -1,87
2007 9.455.464 -0,76 1.001.606 -0,62 9,44 -0,11
2008 9.563.075 1,14 990.915 -1,07 9,65 2,22
Sumber: Ditjen Hortikultura, 2010 (diolah)
Tabel 2 menunjukkan bahwa produksi sayuran di Indonesia terus
meningkat setiap tahunnya secara kontinu. Namun pada tahun 2007 terlihat
adanya penurunan produksi sebesar 0,76 persen. Hal ini bukan disebabkan
menurunnya produksi sayuran secara keseluruhan, melainkan pada tahun tersebut
terjadi penurunan yang cukup signifikan pada beberapa komoditi, yaitu cabai,
wortel, dan daun bawang. Luas areal pada periode 2004-2008 cukup fluktuatif
bahkan banyak terjadi penurunan sekitar satu hingga tiga persen, peningkatan luas
areal hanya terjadi pada tahun 2006. Produktivitas sayuran mengalami
peningkatan pada tahun 2005 dan 2008 namun cenderung konstan pada kisaran
9,5 ton/ha.
1 www.deptan.go.id. 2010. Pengembangan Agribisnis Hortikultura di Jawa Timur. [Diakses : 6
Mei 2011]
3
Jawa Barat merupakan wilayah di Indonesia yang memiliki berbagai jenis
dataran, dari mulai dataran rendah hingga dataran tinggi. Kondisi lahan dan iklim
yang mendukung pada daerah ini menjadikan Jawa Barat sebagai propinsi yang
banyak memproduksi sayuran dan memiliki banyak sentra komoditi hortikultura
terutama sayuran. Adapun produksi, luas areal dan produktivitas sayuran di Jawa
Barat akan ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Sayuran di Jawa Barat
Periode 2004-2008
Tahun Produksi
(ton)
Pertum-
buhan
(%)
Luas Areal
(ha)
Pertum-
buhan
(%)
Produktivitas
(ton/ha)
Pertum-
buhan
(%)
2004 2.929.585 - 181.583,8 - 15,44 -
2005 3.202.413 9,31 183.480,8 1,04 18,22 18,01
2006 2.944.388 -8,06 182.215,9 -0,69 16,17 -11,25
2007 2.990.769 1,58 184.143,9 1,06 15,37 -4,95
2008 3.368.371 12,63 170.097,3 -7,63 20,62 34,16
Sumber: Dinas Pertanian Jawa Barat, 2009
Pada Tabel 3 terlihat bahwa produksi sayuran di Jawa Barat fluktuatif
sedangkan luas arealnya cenderung stabil. Pada tahun 2006 terjadi penurunan
pada seluruh aspek, baik produksi maupun luas areal. Hal ini berdampak pada
penurunan nilai produktivitas yang cukup signifikan. Namun pada tahun 2008
terjadi suatu fenomena dimana luas areal sayuran mengalami penurunan namun di
lain sisi produksi sayuran mengalami peningkatan yang cukup besar. Hal ini
menyebabkan nilai produktivitas sayuran pada tahun 2008 meningkat drastis.
Kabupaten Cianjur terkenal sebagai wilayah pegunungan yang sejuk dan
subur serta memiliki keanekaragaman sumber daya alam yang sangat potensial2.
Selain sebagai sentra beras nasional, Kabupaten Cianjur juga merupakan salah
satu sentra sayuran nasional yang sebagian besar hasil panennya dipasok ke
wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tabel 4 akan menguraikan beberapa jenis
komoditi hortikultura yang menjadi unggulan di Kabupaten Cianjur serta potensi
dan peluang yang dimiliki komoditi-komoditi tersebut.
2 www.puncakview.com. 2010. Profil Daerah Kabupaten Cianjur. [Diakses : 6 Mei 2011]
4
Tabel 4. Komoditi Hortikultura Unggulan di Kabupaten Cianjur
Komoditi Daya
Dukung
SDM
Daya
Dukung
SDA
Peluang
Cabai Merah ++ ++ Nilai ekonomi relatif tinggi dan
komoditi ekspor.
Buah Tropika ++ ++ Memiliki keunggulan komparatif
Aneka Sayuran
Jepang
+ ++ Nilai ekonomi relatif tinggi, pangsa
pasar domestik dan pasar ekspor
relatif besar.
Paprika + ++ Nilai ekonomi relatif tinggi
Aneka Bunga + ++ Nilai ekonomi relatif tinggi dan
pangsa pasar cenderung meningkat Keterangan :
+ : sedang
++ : tinggi
Sumber : Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Cianjur3, (diolah)
Komoditi yang pada beberapa tahun terakhir mulai diminati para petani di
subsektor hortikultura adalah sayuran eksklusif Jepang. Jenis sayuran ini dinilai
sangat prospektif karena harganya yang tinggi bahkan berkali-kali lipat dari
sayuran lokal, serta didukung oleh kondisi alam yang sesuai untuk budidaya, usia
panen yang singkat, dan teknik budidaya yang relatif mudah. Selain itu, restoran
Jepang yang beberapa tahun terakhir banyak didirikan di kota-kota besar terutama
wilayah Jabodetabek menjadi peluang besar bagi petani sayuran eksklusif Jepang
untuk menjadi pemasok restoran-restoran tersebut dengan mengembangkan
budidaya sayuran eksklusif Jepang. Adapun komoditi yang termasuk ke dalam
jenis sayuran eksklusif Jepang adalah edamame, gobo, kyuuri, horenso, zukini,
daikon, nasubi, dan sebagainya.
Pada Tabel 4 terlihat bahwa sayuran eksklusif Jepang merupakan salah
satu komoditi hortikultura unggulan di Kabupaten Cianjur. Dilihat dari daya
dukung sumber daya alamnya yang tinggi, komoditi sayuran eksklusif Jepang di
Kabupaten Cianjur mampu dibudidayakan dengan baik sehingga dapat
berkembang pesat. Namun daya dukung sumber daya manusia yang dimiliki
masih kurang jika dibandingkan komoditi lainnya, seperti cabai merah dan buah
tropika. Hal tersebut disebabkan komoditi sayuran Jepang masih tergolong baru
dibudidayakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyuluhan maupun
3 http://cianjurkab.go.id. 2010. Prospek Investasi Sektor/Sub Sektor : Pertanian Tanaman Pangan
dan Hortikultura. [Diakses : 30 Mei 2011]
5
pembelajaran secara intensif untuk membina sumber daya manusia yang tersedia
agar dapat mengembangkan komoditi potensial tersebut.
Desa Ciherang adalah salah satu wilayah di Kabupaten Cianjur yang
mampu mengembangkan bahkan menjadi sentra sayuran eksklusif Jepang di
wilayah Cianjur dengan luas areal dan tingkat produksi yang tinggi. Tabel 5
menjelaskan rata-rata luas lahan, rata-rata produksi dan produktivitas dari
komoditi sayuran eksklusif Jepang yang dibudidayakan di desa tersebut.
Tabel 5. Rata-Rata Luas Lahan, Rata-Rata Produksi, dan Produktivitas Sayuran
Eksklusif Jepang di Desa Ciherang Tahun 2011
Komoditi Luas Lahan
(m2)
Produksi
(kg)
Produktivitas
(kg/m2)
Altari 150 1500 10
Zukini 211 3000 14,2
Gobo 100 1800 18
Horenso 150 3000 20
Lettuce Head 100 600 6
Pakchoy 150 600 4
Sawi Baby 326 1800 5,5
Timun Jepang 341 3000 8,8
Timun Acar 100 900 9
Tale 150 600 4
Tespong 214 1500 7
Ubi Jepang 150 600 4
Youlmu Korea 651 1200 1,8
Terung Jepang 100 450 4,5
Knip 90 450 5
Sumber : Laporan BPP Kecamatan Cianjur, 2011
Pada Tabel 5 terlihat bahwa produktivitas komoditi sayuran eksklusif
Jepang di Desa Ciherang sangat beragam. Komoditi pakchoy, tale dan ubi Jepang
memiliki produktivitas paling rendah yaitu 4 kg/m2, sedangkan produktivitas
paling tinggi sebesar 20 kg/m2 dimiliki oleh horenso. Horenso merupakan salah
satu komoditi sayuran eksklusif Jepang sejenis bayam. Sayuran ini banyak
6
diminati konsumen di Indonesia karena rasanya yang enak, lunak, memberikan
rasa dingin di perut, dan melancarkan pencernaan. Selain itu, horenso yang juga
dikenal sebagai bayam Jepang ini memiliki manfaat yang baik bagi kesehatan
karena sangat kaya akan kandungan zat gizi yaitu vitamin dan mineral.
Hingga saat ini horenso masih sulit dijumpai di pasar bebas. Hanya
beberapa supermarket dengan segmen pasar menengah ke atas yang menjual
sayuran horenso tersebut. Di Indonesia, sayuran ini banyak dikonsumsi oleh turis
Jepang ataupun masyarakat Indonesia yang gemar masakan Jepang. Hal ini
menyebabkan permintaan sayuran horenso sangat dipengaruhi oleh jumlah
restoran Jepang yang kini semakin meningkat. Untuk wilayah Jakarta, jumlah
restoran Jepang yang telah didirikan mencapai lebih dari 35 gerai4. Horenso
sendiri selalu dikonsumsi hampir di seluruh gerai restoran Jepang tersebut. Tidak
hanya untuk konsumsi dalam negeri, horenso juga diminati oleh pasar ekspor.
Oleh karena itu dibutuhkan pasokan horenso yang kontinu dari petani yang
membudidayakan sayuran eksklusif tersebut.
Salah satu kelompok tani yang membudidayakan serta memproduksi
horenso di Desa Ciherang adalah Kelompok Tani Agro Segar. Pada dasarnya
Kelompok Tani Agro Segar bergerak di bidang budidaya sayuran yang menanam
berbagai jenis sayuran lokal hingga herba. Namun kelompok tani ini memilih
sayuran eksklusif untuk menjadi komoditi unggulannya. Selain menjadi salah satu
pusat pemasok kebutuhan sayur mayur untuk wilayah Jabodetabek, Kelompok
Tani Agro Segar juga menjadi salah satu pilot project agro industri di Kabupaten
Cianjur. Dengan predikat tersebut, Kelompok Tani Agro Segar membantu dan
memfasilitasi para petani baik dalam hal pembelajaran maupun alih teknologi
melalui pelatihan dan praktek magang5. Hal tersebut sangat membantu petani
untuk dapat menghasilkan produk sayuran eksklusif Jepang yang sesuai dengan
kebutuhan pasar. Hasil panen dari kelompok tani ini kemudian dipasok ke
berbagai supermarket dan restoran Jepang di wilayah Jabodetabek. Hingga saat
ini Kelompok Tani Agro Segar telah memasok sayuran eksklusif Jepang ke
sekitar 25 supermarket dan restoran Jepang di Jabodetabek. Volume rata-rata
4 www.jepang.net. 2009. Daftar Restoran Jepang. [Diakses : 4 Juni 2011]
5 http://cianjurkab.go.id. 2010. Poktan Agro Segar Cigombong Kec. Pacet Cianjur Tembus Pasar
Luar Negeri. [Diakses : 25 Juni 2011]
7
permintaan komoditi sayuran eksklusif Jepang terhadap Kelompok Tani Agro
Segar akan ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Volume Rata-Rata Permintaan Komoditi Sayuran Eksklusif Jepang
terhadap Kelompok Tani Agro Segar pada Tahun 2011
Komoditi Volume rata-rata permintaan per
bulan (kg)
Altari 600
Caisim 300
Zuchini 2100
Daun Knip 450
Gobo 1200
Horenso 2400
Pakchoy 450
Timun Jepang 2100
Youlmu 1800
Sumber : Kelompok Tani Agro Segar, 2011
Volume rata-rata permintaan sayuran eksklusif Jepang terhadap
Kelompok Tani Agro Segar tergolong tinggi. Tabel 6 menunjukkan bahwa
horenso merupakan komoditi yang memiliki volume rata-rata permintaan tertinggi
dari supermarket dan restoran Jepang yang dipasok oleh kelompok tani tersebut.
Tingginya permintaan akan komoditi horenso merupakan peluang besar bagi
Kelompok Tani Agro Segar terutama terkait dengan pendapatan petani anggota
kelompok tani. Oleh karena itu, untuk dapat terus memenuhi permintaan horenso
yang relatif tinggi tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya guna meningkatkan
produksi baik dalam hal kualitas maupun kuantitas.
1.2 Perumusan Masalah
Usaha sayuran terutama sayuran eksklusif Jepang mulai berkembang
dewasa ini, baik pada on farm maupun pada industri olahannya. Hal ini
disebabkan oleh prospek sayuran eksklusif Jepang yang cukup menjanjikan.
Banyaknya jumlah restoran Jepang di wilayah Jabodetabek menjadi peluang besar
bagi para petani sayuran eksklusif di wilayah sekitar Jabodetabek untuk menjadi
8
pemasok kebutuhan restoran-restoran Jepang tersebut. Hal ini disebabkan masih
terbatasnya petani yang mengusahakan sayuran eksklusif Jepang.
Horenso sebagai salah satu komoditi sayuran eksklusif Jepang yang
banyak dikonsumsi masyarakat, kini mulai menarik minat petani budidaya
hortikultura. Dengan teknik budidaya yang tidak terlalu rumit dan usia panen yang
relatif singkat, petani dapat menjual hasil panen horenso tersebut dengan harga
Rp5.000-Rp12.000 per kg.
Kelompok Tani Agro Segar merupakan salah satu kelompok tani yang
berada di Cianjur yang menjadi wadah atau perkumpulan bagi para petani
sayuran. Namun dari berbagai jenis sayuran yang dikelola, kelompok tani ini
memilih sayuran eksklusif Jepang termasuk horenso untuk menjadi komoditi
unggulannya. Adapun daftar komoditi yang dikelola Kelompok Tani Agro Segar
tercantum pada Tabel 7.
Tabel 7. Jenis Komoditi yang Dibudidayakan oleh Kelompok Tani Agro Segar
Jenis Sayuran Yang Dibudidayakan Jenis Herb
(Herbal) Lokal Jepang
Bayam Daikon Shigemsi Mint
Kangkung Nasubi Kowari Majoram
Caysim Satsuma imo Altari Sage
Pakchoy Sato imo Yolmu Oregano
Selada kriting Gobo Gogo masum Mitsuba
Selada Merah Edamame Knip Rosmerry
Daun Bw.Silfa Kyuuri Knip son Taragon
Terung Zukini Zukini Time
Brokoli Horenso Olgari Basil
Sumber : Kelompok Tani Agro Segar
Tabel 7 menunjukkan bahwa sayuran eksklusif Jepang adalah jenis yang
paling banyak dibudidayakan. Hal ini disebabkan hasil yang diperoleh petani dari
sayuran eksklusif Jepang lebih menguntungkan dibanding komoditi lainnya dan
permintaannya pun cukup tinggi. Horenso yang merupakan salah satu komoditi
sayuran eksklusif Jepang yang memiliki tingkat permintaan tertinggi mencapai 80
9
kg per hari, membutuhkan pasokan horenso yang memadai setiap harinya. Selama
ini kapasitas produksi horenso di Kelompok Tani Agro Segar adalah sebesar 60-
70 kg per hari. Jumlah tersebut masih belum dapat memenuhi permintaan horenso
terhadap kelompok tani tersebut. Hal ini dikarenakan produktivitas petani anggota
kelompok tani yang belum seragam. Beberapa petani memiliki tingkat
produktivitas yang tinggi sedangkan beberapa petani lainnya masih memiliki
tingkat produktivitas yang rendah. Ketidakseragaman produktivitas ini
dikarenakan oleh berbagai faktor dan menyebabkan kapasitas produksi horenso
tidak maksimal.
Hingga saat ini Kelompok Tani Agro Segar sering menolak permintaan
horenso yang dibutuhkan pasar karena keterbatasan produksi. Hal ini akan sangat
berpengaruh pada pendapatan usahatani para petani horenso. Oleh karena itu,
perlu dilakukan analisis pendapatan usahatani horenso untuk mengetahui tingkat
pendapatan petani horenso dengan kapasitas produksi yang masih terbatas dan
penolakan beberapa permintaan horenso yang dilakukan Kelompok Tani Agro
Segar. Selain itu, dengan luas lahan garapan yang terbatas serta prospek horenso
yang potensial namun produksinya masih terbatas, dibutuhkan teknik budidaya
yang efisien agar mampu mengoptimalkan hasil panen untuk setiap satuan luas
lahan. Hal tersebut juga bertujuan untuk memaksimalkan pendapatan usahatani
horenso yang diperoleh para petani.
Badan Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur
pada tahun 2011 berencana untuk menyusun buku tentang panduan budidaya
aneka sayuran Jepang dengan meminta bantuan kepada Kelompok Tani Agro
Segar sebagai kelompok tani pelopor yang menjadikan sayuran eksklusif Jepang
sebagai komoditi unggulannya. Dalam penyusunan panduan budidaya sayuran
Jepang tersebut diperlukan adanya komposisi faktor-faktor produksi yang sesuai
serta efisien agar petani yang membudidayakan sayuran eksklusif Jepang tersebut
dapat memperoleh hasil panen yang optimal dengan sumber daya yang ada. Hal
ini akan berdampak pada pendapatan usahatani sayuran eksklusif Jepang tersebut.
Pendapatan usahatani dan efisiensi teknis merupakan hal yang saling
berkaitan. Pendapatan usahatani yang diterima petani akan digunakan untuk
membeli faktor-faktor produksi yang akan berpengaruh terhadap efisiensi teknis.
10
Begitu pula efisiensi teknis yang dicapai oleh petani akan mempengaruhi besar
kecilnya pendapatan yang didapat petani tersebut. Maka dari itu diperlukan
informasi mengenai pendapatan usahatani dan faktor-faktor yang mempengaruhi
efisiensi teknis. Tingkat pendapatan usahatani dan efisiensi teknis yang dijalankan
dapat digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan untuk kombinasi
input usahatani yang optimal dan kebijakan pertanian untuk masa datang.
Mengacu pada permasalahan yang telah diuraikan, perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani horenso di Kelompok Tani Agro
Segar Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur?
2. Apakah usahatani horenso yang dilakukan Kelompok Tani Agro Segar Desa
Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur sudah efisien secara teknis?
3. Faktor-faktor sosial ekonomi apa saja yang mempengaruhi tingkat efisiensi
teknis usahatani horenso yang dilakukan Kelompok Tani Agro Segar Desa
Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan
untuk :
1. Menganalisis tingkat pendapatan usahatani horenso di Kelompok Tani Agro
Segar Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur
2. Menganalisis efisiensi teknis usahatani horenso di Kelompok Tani Agro
Segar Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.
3. Menganalisis faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi tingkat
efisiensi teknis usahatani horenso yang dilakukan Kelompok Tani Agro Segar
Desa Ciherang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur
11
1.4 Manfaat
Dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
berbagai pihak :
1. Petani horenso sebagai bahan masukan dan tambahan informasi dalam upaya
peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani pada pengelolaan
usahatani horenso di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.
2. Pemerintah daerah sebagai tambahan informasi dan masukan dalam upaya
penyusunan strategi dan kebijakan pertanian yang lebih baik dan peningkatan
kesejahteraan petani horenso di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.
3. Sebagai informasi dan literatur bagi para peneliti yang akan melakukan
penelitian lebih lanjut pada bidang yeng berkaitan dengan penelitian ini.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Horenso
Horenso atau sering juga disebut sebagai bayam Jepang merupakan
sayuran yang termasuk ke dalam genus Spinacia. Sayuran ini hanya dikonsumsi
bagian daunnya dan sering dijumpai di masakan Jepang. Berbeda dengan bayam
lokal (Amaranthus), horenso kurang cocok dibudidayakan di daerah panas. Hal ini
dikarenakan tanaman sayur tersebut akan cepat berbunga dan tidak menumbuhkan
banyak daun.
Bayam berasal dari Amerika dan Selandia Baru. Di Eropa dan Australia,
awalnya bayam adalah tanaman hias. Baru ditahun 1960-an penduduk Australia
mulai mengenal bayam sebagai bahan makanan. Dua jenis bayam yang dikenal di
Indonesia adalah bayam cabut/bayam sekul/bayam putih dan bayam tahun/bayam
skop/bayam kakap. Bayam cabut disukai karena enak, lunak, memberikan rasa
dingin di perut, dan melancarkan pencernaan. Bayam tahun memiliki ciri utama
daun lebar1.
Sama dengan jenis bayam lokal, horenso juga kaya akan kandungan zat
gizi yaitu vitamin dan mineral. Vitamin yang banyak terkandung dalam bayam
Jepang adalah vitamin K, A, C, B1, B2, B6, asam folat, dan vitamin E. Secangkir
bayam rebus merupakan sumber vegetable mangan, magnesium, besi, kalsium,
kalium, tembaga, fosfor, dan seng. Horenso merupakan sumber vitamin K yang
baik, dimana vitamin ini sangat berperan dalam pengaktifan berbagai jenis protein
yang terlibat dalam proses pembekuan darah. Beberapa riset menunjukkan
vitamin K yang terkandung dalam horenso berperan sebagai antipenuaan,
mencegah penyakit jantung dan stroke, dan bertindak sebagai racun dalam sel-sel
kanker, tetapi tidak membahayakan sel-sel yang sehat. Sayuran ini juga
merupakan sumber vitamin A yang sangat baik yang dapat bermanfaat untuk
organ penglihatan, kekebalan tubuh, pembentukan serta pemeliharaan sel-sel
kulit, saluran pencernaan, dan selaput kulit. Selain itu horenso merupakan sumber
zat besi yang baik dan sangat berguna bagi penderita anemia. The journal of
1 www.madhealth.net/tags/kanker/ [ Diakses pada tanggal : 7 Maret 2011]
13
Experimental Neurology juga menyebutkan bahwa horenso mengandung 13
senyawa Flavonoid yang berfungsi sebagai anti oksidan dan anti kanker .
Rasa yang enak dan manfaat yang berlimpah bagi kesehatan menjadikan
horenso sebagai komoditas sayuran eksklusif yang mulai berkembang dan banyak
diminati konsumen. Konsumen tidak segan membeli sayuran horenso ini dengan
harga yang relatif tinggi, yaitu sekitar Rp12.000 per kg untuk horenso non organik
dan Rp28.000 per kg untuk horenso organik.
Teknik budidaya horenso cukup sederhana. Hal pertama yang harus
dilakukan adalah menentukan lahan yang sesuai, yaitu lahan yang memiliki pH
tanah 5,5-6,5; suhu udara 20-30° C; kelembaban 60-90% dan bebas dari limbah
pencemaran. Kemudian lahan dibedeng dan diberi pupuk dasar berupa pupuk
kandang. Setelah dua minggu, bibit sudah dapat ditanam dengan cara ditebar.
Untuk penanaman pada musim hujan, lahan yang ditanami horenso perlu ditutup
dengan plastik atau mulsa untuk menghindari pembusukan pada tanaman.
Sedangkan penyiraman hanya dilakukan pada penanaman di musim kemarau.
Setelah itu dilakukan pemupukan, penyiangan dan pengendalian HPT secara
bekala hingga waktu panen. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat memanen
horenso adalah sekitar 1,5-2 bulan. Hasil panen horenso dapat langsung dijual ke
pasar ataupun melalui kelompok tani.
2.2. Penelitian Terdahulu
Pada kegiatan usahatani, efisiensi teknis dan analisis pendapatan usahatani
merupakan salah satu topik yang menarik untuk dianalisis. Hal ini dikarenakan
petani selalu menginginkan hasil yang optimal dari penggunaan sumberdaya input
yang ada guna mendapatkan pendapatan yang maksimal. Dalam upaya pencapaian
produksi yang optimal, perlu dilakukan analisis terkait faktor-faktor yang
mempengaruhi kegiatan usahatani tersebut. Selain itu, analisis pendapatan juga
perlu dilakukan sebagai salah satu indikator kinerja usahatani yang dilakukan oleh
petani. Oleh karena itu, banyak penelitian yang dilakukan terkait dengan efisiensi
teknis dan analisis pendapatan usahatani. Tabel 8 menjelaskan secara singkat
mengenai beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan efisiensi
teknis dan analisis pendapatan usahatani.
14
Tabel 8. Beberapa Studi Empiris Efisiensi teknis Menggunakan Pendekatan
Stochastic Production Frontier dan Analisis Pendapatan Usahatani
Nama Peneliti Judul Alat Analisis
Adhiana
(2005)
Analisis Efisiensi Ekonomi Usahatani
Lidah Buaya (Aloe Vera) di Kabupaten
Bogor : Pendekatan Stochastic Frontier
- OLS
- MLE
Ainul Haq
Daulay
(2007)
Sistem Usahatani dan Pemasaran
Bayam Jepang (Peleng) di Kabupaten
Karo
- Regresi Berganda
- R/C Rasio
Maryono
(2008)
Analisis Efisiensi Teknis dan
Pendapatan Usahatani Padi Program
Benih Bersertifikat : Pendekatan
Stochastic Production Frontier (Studi
Kasus di Desa Pasirtalaga, Kecamatan
Telagasari, Kabupaten Karawang)
- MLE
- R/C Rasio
Theresia Lidia
Pinondang
Hutauruk
(2008)
Analisis Efisiensi Usahatani Padi Benih
Bersubsidi di Kecamatan Telagasari,
Kabupaten Karawang, Jawa Barat :
Pendekatan Stochastic Production
Frontier
- OLS
- MLE
Rosana
Podesta S
(2009)
Pengaruh Penggunaan Benih Sertifikat
terhadap Efisiensi dan Pendapatan
Usahatani Padi Pandan Wangi
- OLS
- MLE
- R/C Rasio
Hadi Nugraha
(2010)
Analisis Efisiensi teknis Usahatani
Brokoli
- Analisis Regresi
- R/C Rasio
Husnul
Khotimah
(2010)
Analisis Efisiensi Teknis dan
Pendapatan Usahatani Ubi Jalar di
Kecamatan Cilimus Kabupaten
Kuningan Jawa Barat
- OLS
- MLE
- R/C Rasio
Julianto
Efendy Sitepu
(2010)
Analisis Pendapatan Usahatani dan
Saluran Pemasaran Jamur Tiram Putih
di Kecamatan Tamansari Kabupaten
Bogor
- R/C Rasio
Penelitian yang dilakukan oleh Adhiana (2005) bertujuan untuk
mengetahui dan menganalisis efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomis pada
usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Analisis dilakukan dengan menggunakan data cross section
dari hasil survei pada 35 petani. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis
tentang supply chain usahatani lidah buaya. Model fungsi produksi stochastic
frontier yang digunakan menggunakan enam variabel penjelas.
15
Hasil yang diperoleh dari analisis ini menunjukkan bahwa rata-rata petani
di daerah penelitian sudah cukup efisien secara teknis dan alokatif, namun belum
efisien secara ekonomis dengan kontribusi pengaruh efisiensi teknis terhadap
produksi rata-rata petani sebesar 0,984. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan efisiensi teknis dan sisanya sebesar 0,016 disebabkan oleh faktor
stochastic seperti serangan hama, cuaca dan iklim serta kesalahan permodelan.
Sedangkan hasil analisis supply chain menunjukkan bahwa supply chain pada
usahatani lidah buaya belum berjalan efisien. Adapun saran yang diberikan
peneliti adalah petani di daerah penelitian diharapkan dapat saling berbagi
pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang dimiliki untuk mengurangi
kesenjangan efisiensi antar individu. Sedangkan untuk meningkatkan efisiensi
ekonomi, disarankan petani di daerah penelitian meningkatkan pendidikan,
keterampilan dan pengalaman berusahatani serta menghemat biaya input dengan
cara menggunakan input secara proporsional dan memanfaatkan potensi inout
yang ada di daerah penelitian.
Penelitian sistem usahatani bayam Jepang dilakukan oleh Daulay (2007)
dengan tujuan untuk mengetahui sistem usahatani bayam Jepang di lokasi
penelitian, mengetahui produktivitas bayam Jepang di lokasi penelitian,
mengetahui input produksi yang berpengaruh terhadap produktivitas bayam
Jepang di lokasi penelitian dan mengetahui pendapatan usahatani bayam Jepang di
lokasi penelitian. Alat analisis yang digunakan adalah regresi berganda dan R/C
rasio.
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa produktivitas bayam
Jepang di Desa Rumah Berastagi adalah 12,44 ton/ha dan input produksi yang
berpengaruh terhadap produktivitas bayam Jepang adalah bibit, luas lahan, tenaga
kerja, pupuk dan pestisida. Untuk hasil analisis pendapatan yang dilakukan
diperoleh hasil bahwa komponen biaya yang dominan dalam total biaya produksi
adalah biaya tenaga kerja yaitu sebesar Rp 671.770,83 per petani per musim
tanam dan Rp 2.838.859,33 per hektar per musim tanam. Usahatani bayam Jepang
di lokasi penelitian tergolong usahatani yang menguntungkan dilihat dari jumlah
pendapatan bersih rata-rata per ha per musim tanam sebesar Rp 16.525.331,72 dan
nilai R/C rasio sebesar 3,89. Dilihat dari tingkat investasi diperoleh nilai ROI
16
sebesar 289,25 persen yang berarti bahwa usahatani bayam Jepang di lokasi
penelitian efisien untuk dilaksanakan. Analisis BEP juga dilakukan pada
penelitian ini dan diperoleh hasil BEP harga sebesar Rp 459,25 per kg dan BEP
unit sebesar 170,03 kg.
Penelitian terkait efisiensi teknis dilakukan oleh Maryono (2008) dengan
tujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan teknologi baru dalam program benih
bersertifikat, menganalisis efisiensi teknis petani sebelum dan setelah program,
dan menganalisis struktur biaya dan pendapatan usahatani padi sebelum dan
setelah program. Berdasarkan hasil analisis pelaksanaan teknologi usahatani
ditunjukkan bahwa petani yang menggunakan pupuk organik dalam usahataninya
hanya sebanyak 9,68 persen dan petani yang melaksanakan penggunaan pupuk
sesuai anjuran hanya sebesar 45,16 persen responden. Berdasarkan hasil
perhitungan fungsi produksi stochastic frontier, pada masa tanam II terjadi
penurunan tingkat efisiensi teknis petani responden. Hal ini ditunjukkan dengan
angka rata-rata tingkat efisiensi teknis pada masa tanam I sebesar 0,966 dengan
nilai terendah 0,805 dan nilai tertinggi adalah 0,994. Sedangkan pada masa tanam
II nilai rata-rata efisiensi teknis 0,899 dengan nilai terndah 0,732 dan nilai
tertinggi 0,990. Berdasarkan angka-angka tersebut dapat diketahui bahwa dengan
adanya program benih bersertifikat ini justru menurunkan efisiensi teknis rata-rata
sebesar 6,935 persen. Berdasarkan uji statistik berbeda nyata (signifikan) pada
selang kepercayaan 99 persen atau α sebesar 1 persen.
Hasil pendugaan efek inefisiensi teknis menunjukkan bahwa pada masa
tanam I variabel yang berpengaruh nyata terhadap efisiensi teknis adalah dummy
bahan organik dan dummy legowo, sedangkan pada masa tanam II faktor-faktor
yang nyata berpengaruh dalam menjelaskan inefisiensi teknis di dalam proses
produksi petani responden adalah pengalaman, pendidikan dan rasio urea-TSP.
Hasil analisis pendapatan menunjukkan bahwa R/C rasio atas biaya tunai sebelum
program sebesar 4,97 dan setelah program nilai nominalnya sebesar 7,09 dan nilai
riilnya sebesar 5,74. R/C rasio atas biaya total setelah program secara nominal
menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan sebelum program, namun secara
riil mengalami penurunan. R/C rasio atas biaya total sebelum program sebesar
1,64 sedangkan setelah program nilai nominalnya sebesar 1,91 dan nilai riilnya
17
sebesar 1,62. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa program benih bersertifikat
yang dilakukan dapat meningkatkan pendapatan petani di lokasi penelitian secara
nominal. Namun untuk pendapatan secara riil, perlu adanya faktor lain yang
mendukung program tersebut agar mampu meningkatkan pendapatan petani
secara riil.
Hutauruk (2008) melakukan penelitian terkait efisiensi usahatani dengan
tujuan untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi produksi padi di
Kecamatan Telagasari, menganalisis efisiensi teknis petani dan menganalisis
pembiayaan usahatani padi. Penelitian dilakukan dengan membandingkan hasil
pada musim tanam dimana petani menggunakan benih unggul bersubsidi dan
musim tanam sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis, faktor-faktor yang
berpengaruh pada musim tanam dengan menggunakan benih sendiri adalah lahan,
benih/lahan, pupuk KCL/lahan, pupuk NPK/lahan, tenaga kerja luar
keluarga/lahan dan tenaga kerja dalam keluarga/lahan. Sedangkan pada musim
tanam dengan benih bantuan pemerintah adalah lahan, pupuk KCL/lahan dan
tenaga kerja luar keluarga/lahan. Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan
bahwa terjadi penurunan efisiensi teknis sesudah penggunaan benih program
bersubsidi dibandingkan dengan sebelum penggunaan benih program bersubsidi.
Hal tersebut dipengaruhi oleh efek inefisiensi teknis yaitu umur bibit. Selain itu,
nilai efisiensi alokatif dan ekonomis juga menurun pada saat penggunaan benih
program bersubsidi. Hal ini terjadi karena kekakuan petani mengubah penggunaan
faktor produksi akibat perubahan harga. Perubahan input yang tidak berubah
akibat kenaikan harga menyebabkan efisiensi alokatif dan ekonomis turun.
Podesta (2009) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis
tingkat efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis usahatani padi Pandan Wangi benih
sertifikat dan benih non sertifikat di Kabupaten Cianjur, menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi efisiensi usahatani padi Pandan Wangi di Kabupaten
Cianjur, dan menghitung pendapatan petani usahatani padi Pandan Wangi benih
sertifikat dan benih non sertifikat di Kabupaten Cianjur. Penelitian ini
menggunakan tujuh variabel independen penduga dalam fungsi produksi, yaitu
luas lahan (X1), benih (X2), pupuk N (X3), pupuk P (X4), pupuk K (X5), obat cair
(X6) dan tenaga kerja (X7). Sedangkan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi
18
tingkat inefisiensi teknis usahatani padi Pandan Wangi meliputi usia, pendidikan
formal, pengalaman, umur bibit dan dummy status usahatani serta dummy
pendidikan non formal. Dari hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa
rata-rata tingkat efisiensi teknis petani pandan wangi benih sertifikat adalah 0,967
sedangkan petani pandan wangi benih non sertifikat adalah 0,713 dengan
frekuensi tersebar. Hasil analisis pendapatan menunjukkan bahwa pendapatan atas
biaya tunai dan biaya total usahatani padi Pandan Wangi baik benih sertifikat
maupun benih non sertifikat pada musim tanam II mengalami peningkatan jika
dibandingkan pada saat musim tanam I. nilai R/C rasio atas biaya tunai usahatani
padi Pandan Wangi benih non sertifikat musim tanam II lebih besar dibandingkan
R/C rasio yang lain yakni sebesar 7,54.
Penelitian efisiensi teknis juga dilakukan Nugraha (2010) dengan tujuan
untuk menganalisis keragaan usahatani brokoli di Desa Cibodas, Kecamatan
Lembang ditinjau dari pendapatan usahataninya dan faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi brokoli dan menganalisis efisiensi teknis brokoli di Desa
Cibodas, Kecamatan Lembang. Berdasarkan hasil analisis pendapatan usahatani,
produksi brokoli dari sejumlah petani responden di Desa Cibodas bisa dikatakan
menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio
atas biaya total usahatani brokoli di Desa Cibodas masing-masing yaitu 1,77 dan
1,31. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa faktor produksi yang memiliki
pengaruh nyata dan positif pada selang 99 persen adalah benih, dan faktor
produksi yang memiliki pengaruh nyata dan positif pada taraf 95 persen adalah
pupuk kandang, pupuk kimia, dan tenaga kerja. Penambahan jumlah benih dan
pupuk kimia yang digunakan akan meningkatkan jumlah produksi brokoli secara
signifikan. Pestisida padat dan pestisida cair merupakan faktor produksi yang
berpengaruh positif namun tidak nyata terhadap produksi brokoli. Usahatani
brokoli di Desa Cibodas secara ekonomis belum efisien secara ekonomis.
Khotimah (2010) melakukan penelitian dengan tujuan untuk menganalisis
keragaan usahatani ubi jalar di Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan,
menganalisis fungsi produksi stochastic frontier dan efisiensi teknis usahatani ubi
jalar di Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya, dan menganalisis tingkat pendapatan usahatani ubi jalar di
19
Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan. Hasil analisis menunjukkan bahwa
variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi ubi jalar adalah variabel lahan,
benih/lahan, tenaga kerja/lahan, pupuk P/lahan, dan pupuk K/lahan, sedangkan
variabel pupuk N/lahan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi ubi jalar.
Semua variabel yang diestimasi berpengaruh positif terhadap produksi ubi jalar.
Tingkat efisiensi teknis rata-rata usahatani ubi jalar adalah 0,75 atau 75 persen
dari produksi maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani ubi jalar di
Kecamatan Cilimus telah cukup efisien. Sedangkan hasi dari analisis pendapatan
usahatani ubi jalar menunjukan pendapatan usahatani atas biaya tunai maupun
biaya total lebih besar dari nol. Hal ini menunjukan bahwa usahatani ubi jalar di
lokasi penelitian menguntungkan. Hasil analisis menggunakan R/C juga
menunjukan usahatani ubi jalar di Kecamatan Cilimus menguntungkan untuk
diusahakan karena nilai R/C atas biaya tunai maupun atas biaya total lebih besar
dari satu.
Penelitian yang dilakukan Sitepu (2010) bertujuan untuk menganalisis
pendapatan usahatani jamur tiram putih di daerah penelitian, mengetahui bentuk
saluran pemasaran jamur tiram putih di daerah penelitian, dan menganalisis
efesiensi pemasaran jamur tiram putih di daerah penelitian. Berdasarkan analisis
pendapatan, diperoleh R/C rasio total sebesar 1,57 yang artinya untuk setiap biaya
total yang dikeluarkan petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,57.
Sedangkan R/C rasio untuk biaya tunai adalah sebesar 1,84 yang artinya untuk
setiap biaya total yang dikeluarkan petani akan memperoleh penerimaan sebesar
Rp 1,84. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa usahatani jamur tiram tersebut
menguntungkan karena R/C rasio lebih dari satu dan layak untuk dikembangkan.
Tabel 9 menunjukkan bahwa pada penelitian-penelitian terdahulu terdapat
beberapa faktor yang diduga mempengaruhi inefisiensi suatu usahatani. Namun
dari hasil penelitian diperoleh bahwa faktor-faktor tersebut ada yang berpengaruh
positif maupun negatif terhadap inefisiensi usahatani.
20
Tabel 9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Usahatani
Peneliti
(Tahun) Judul
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Inefisiensi
Usahatani
Adhiana
(2005)
Analisis Efisiensi Ekonomi
Usahatani Lidah Buaya (Aloe
Vera) di Kabupaten Bogor :
Pendekatan Stochastic Frontier
- Umur (-) d
- Pendidikan (-) b
- Pengalaman (-) a
- Manajemen (+)
- Pendapatan luar usahatani (+)
Theresia
Lidia
Pinondang
Hutauruk
(2008)
Analisis Efisiensi Usahatani
Padi Benih Bersubsidi di
Kecamatan Telagasari,
Kabupaten Karawang, Jawa
Barat : Pendekatan Stochastic
Production Frontier
- Pengalaman (+)
- Pendapatan di luar usahatani
(+)
- Pendidikan (+)
- Jarak tanam (-)
- Status kepemilikan lahan (-)
- Umur Bibit (+) b
Rosana
Podesta S
(2009)
Pengaruh Penggunaan Benih
Sertifikat terhadap Efisiensi
dan Pendapatan Usahatani
Padi Pandan Wangi
- Umur (-)
- Pendidikan Formal (-)
- Pengalaman (+)
- Umur bibit (-)
- Dummy status usahatani (+)
- Dummy pendidikan non
formal (-)d
Husnul
Khotimah
(2010)
Analisis Efisiensi Teknis dan
Pendapatan Usahatani Ubi
Jalar di Kecamatan Cilimus
Kabupaten Kuningan Jawa
Barat
- Umur (-) b
- Pengalaman (+) c
- Pendidikan (-) d
- Lama kerja di luar usahatani
(+) c
- Pendapatan di luar usahatani
(-) a
- Status kepemilikan lahan (+) d
- Penyuluhan (-) Keterangan : a = nyata pada α = 0,01 c = nyata pada α = 0,10
b = nyata pada α = 0,05 d = nyata pada α ≥ 0,15
Pada Tabel 9 ditunjukkan bahwa faktor-faktor inefisiensi dapat
berpengaruh positif maupun negatif terhadap inefisiensi suatu kegiatan usahatani.
Adapun faktor yang sebagian besar berpengaruh positif terhadap inefisiensi
usahatani dari hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah pengalaman,
pendapatan di luar usahatani, manajemen dan status kepemilikan lahan.
Sedangkan faktor dugaan lainnya seperti umur, lama bekerja di luar usahatani,
penyuluhan, umur bibit, pendidikan, dan sebagainya memiliki pengaruh yang
berbeda-beda di setiap penelitian. Faktor-faktor penyebab inefisiensi yang
digunakan pada penelitian-penelitian terdahulu kemudian menjadi pertimbangan
21
peneliti untuk menentukan variabel yang digunakan untuk menganalisis
inefisiensi suatu usahatani horenso. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, faktor
pengalaman, pendapatan di luar usahatani dan status kepemilikan lahan akan
dijadikan variabel untuk menganalisis inefisiensi usahatani pada penelitian ini.
Analisis pendapatan usahatani juga banyak dilakukan oleh peneliti untuk
mengetahui tingkat pengembalian dari suatu kegiatan usahatani. Analisis
pendapatan usahatani yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya
menunjukkan bahwa secara keseluruhan kegiatan usahatani yang dilakukan sudah
menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari nilai R/C rasio yang lebih besar dari
satu. Oleh karena itu, kegiatan usahatani layak untuk terus dilakukan dan
dikembangkan.
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Usahatani
Ilmu usahatani menurut Soekarwati (2002) adalah ilmu yang mempelajari
bagaimana cara-cara petani memperoleh dan mengkombinasikan sumberdaya
(lahan, tenaga kerja, modal, waktu dan pengolahan) yang terbatas untuk mencapai
tujuannya. Sedangkan Suratiyah (2008) menjelaskan bahwa ilmu usahatani adalah
ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan dan mengkoordinir
faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga
memberikan manfaat yang sebaik-baiknya.
Keberhasilan dalam suatu usahatani dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu faktor-faktor pada usahatani itu sendiri (faktor internal) dan faktor-faktor di
luar usahatani (faktor eksternal). Faktor-faktor internal usahatani terdiri dari
petani pengelola, tanah usahatani, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, jumlah
keluarga, dan kemampuan petani dalam mengaplikasikan penerimaan keluarga.
Sedangkan faktor eksternal terdiri dari sarana transportasi dan komunikasi, harga
output, harga faktor produksi, fasilitas kredit, dan penyuluhan bagi petani.
Hernanto (1996) diacu dalam Khotimah (2010) menjelaskan bahwa
terdapat empat unsur pokok faktor-faktor produksi dalam usahatani, yaitu :
1) Lahan
Lahan merupakan faktor yang relatif langka dibanding dengan faktor
produksi lain serta distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Oleh
karena itu, lahan memiliki beberapa sifat, di antaranya adalah : luasnya relatif
atau dianggap tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan, dan dapat
dipindahtangankan atau diperjualbelikan. Lahan usahatani dapat diperoleh
dengan cara membeli, menyewa, membuka lahan sendiri, wakaf, menyakap
atau pemberian negara.
2) Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan pelaku dalam usahatani yang bertugas
menyelesaikan berbagai macam kegiatan produksi. Dalam usahatani, tenaga
kerja dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : tenaga kerja manusia, tenaga
kerja ternak, dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia digolongkan
23
menjadi tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat
mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani didasari oleh tingkat
kemampuannya. Kualitas kerja manusia sangat dipengaruhi oleh umur,
pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan, dan lain-lain. Oleh
karena itu, dalam kegiatan usahatani digunakan satuan ukuran yang umum
untuk mengatur tenaga kerja yaitu jumlah jam dan hari kerja total. Ukuran ini
menghitung seluruh pencurahan kerja mulai dari persiapan hingga pemanenan
dengan menggunakan inventarisasi jam kerja (1 hari = 7 jam kerja) lalu
dijadikan hari kerja total (HK total). Tenaga kerja manusia dapat diperoleh
dari dalam dan luar keluarga. Tenaga kerja ternak sering digunakan untuk
pengolahan tanah dan angkutan. Begitu pula dengan tenaga kerja mekanik
sering digunakan untuk pengolahan tanah, penanaman, pengemdalian hama,
serta pemanenan.
3) Modal
Modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor
produksi lain dan tenaga kerja serta manajemen menghasilkan produk
pertanian. Menurut sifatnya modal dibedakan menjadi dua yaitu modal tetap
yang meliputi tanah bangunan dan modal tidak tetap yang meliputi alat-alat,
bahan, uang tunai, piutang di bank, tanaman, ternak, ikan di kolam.
Penggunaan modal berfungsi untuk membantu meningkatkan produktivitas
dan menciptakan kekayaan serta pendapatan usahatani. Modal dalam suatu
usahatani untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan
usahatani berlangsung. Sumber modal dapat diperoleh dari milik sendiri,
pinjaman atau kredit (kredit bank, kerabat, dan lain-lain), warisan, usaha lain,
atau kontrak sewa.
4) Manajemen
Manajemen usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan,
mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi dengan sebaik-
baiknya sehingga mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang
diharapkan. Dengan demikian, pengenalan secara utuh faktor yang dimiliki
dan faktor yang dikuasai akan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan.
24
Sementara itu Suratiyah (2008) mengklasifikasikan usahatani menurut
corak dan sifat, organisasi, pola dan tipe usahataninya.
1. Corak dan Sifat
Berdasarkan corak dan sifat, usahatani dibagi menjadi usahatani subsisten dan
usahatani komersil. Usahatani subsisten adalah usahatani yang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan usahatani komersil adalah usahatani
yang dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, melainkan juga
untuk memperoleh keuntungan.
2. Organisasi
Berdasarkan organisasinya, usahatani dibagi menjadi usahatani individual,
kolektif dan kooperatif. Usahatani individual merupakan usahatani yang seluruh
prosesnya dilakukan oleh petani sendiri beserta keluarganya mulai dari
perencanaan, mengolah tanah, hingga pemasaran ditentukan sendiri. Usahatani
kolektif merupakan usahatani yang seluruh proses produksinya dikerjakan
bersama oleh suatu kelompok kemudian hasilnya dibagi dalam bentuk natura
maupun keuntungan. Sedangkan usahatani kooperatif merupakan usahatani yang
setiap prosesnya dikerjakan secara individual, namun kegiatan yang penting
dikerjakan oleh kelompok, seperti : pembelian saprodi, pemberantasan hama,
pemasaran hasil, dan pembuatan saluran.
3. Pola
Berdasarkan polanya, usahatani dibagi menjadi usahatani khusus, tidak
khusus dan campuran. Usahatani khusus merupakan usahatani yang hanya
mengusahakan satu cabang usahatani saja, seperti : usahatani peternakan,
perikanan, dan tanaman pangan. Usahatani tidak khusus merupakan usahatani
yang mengusahakan beberapa cabang usaha bersama-sama namun terdapat batas
yang tegas. Usahatani campuran merupakan usahatani yang mengusahakan
beberapa cabang secara bersama-sama dalam sebidang lahan tanpa batas yang
tegas, seperti tumpang sari dan mina padi.
4. Tipe
Berdasarkan tipenya, usahatani dibagi menjadi usahatani berdasarkan
komoditas yang diusahakan, seperti : usahatani ayam, usahatani kambing, dan
usahatani jagung. Setiap komoditas dapat menjadi tipe usahatani.
25
3.1.2. Konsep Pendapatan Usahatani
Pendapatan usahatani merupakan hasil pengurangan antara penerimaan
total dari kegiatan usahatani dengan biaya usahatani, dimana besar pendapatan
sangat tergantung pada besarnya penerimaan dan biaya usahatani tersebut dalam
jangka waktu tertentu. Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengetahui
keberhasilan usahatani dilihat dari pendapatan yang diterima. Pendapatan yang
semakin besar mencerminkan keberhasilan petani yang semakin baik. Dengan
dilakukannya analisis tersebut, petani dapat melakukan perencanaan kegiatan
usahatani yang lebih baik di masa yang akan datang.
Soekartawi et al. (2002) menjelaskan bahwa terdapat beberapa istilah
yang dipergunakan dalam menganalisis pendapatan usahatani, yaitu :
1. Penerimaan tunai usahatani merupakan nilai yang diterima dari penjualan
produk usahatani.
2. Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk
pembelian barang dan jasa bagi usahatani.
3. Pendapatan tunai usahatani adalah produk usahatani dalam jangka waktu
tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.
4. Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua yang habis terpakai
atau dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang
diperhitungkan.
5. Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan kotor
usahatani dengan pengeluaran total usahatani.
Dalam melakukan analisis usahatani, diperlukan data-data yang terkait
dengan penerimaan dan biaya usahatani selama jangka waktu tertentu.
Penerimaan usahatani adalah hasil perkalian antara jumlah produksi yang
diperoleh dengan harga jual dari hasil produksi tersebut selama jangka waktu
tertentu. Sedangkan biaya usahatani adalah total pengeluaran petani yang
dikeluarkan untuk kegiatan usahatani selama jangka waktu tertentu.
Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : biaya tetap (fixed
cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya
yang jumlahnya tetap dan dikeluarkan terus menerus tanpa terpengaruh oleh
26
faktor-faktor produksi yang digunakan dan jumlah produk yang dihasilkan. Salah
satu contoh dari biaya tetap adalah pajak. Sementara biaya variabel didefinisikan
sebagai biaya yang jumlahnya dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi yang
digunakan dan jumlah produk yang dihasilkan. Salah satu contoh dari biaya
variabel adalah biaya untuk tenaga kerja, dimana penggunaan tenaga kerja yang
lebih banyak akan menyebabkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi.
Pendapatan usahatani terbagi menjadi pendapatan tunai usahatani dan
pendapatan total usahatani. Pendapatan tunai usahatani merupakan selisih antara
penerimaan usahatani dengan biaya tunai usahatani. Sedangkan pendapatan total
usahatani mengukur pendapatan kerja petani dari seluruh biaya usahatani yang
dikeluarkan. Pendapatan bersih usahatani diperoleh dari selisih penerimaan
usahatani dengan biaya total usahatani.
Analisis R/C rasio merupakan salah satu metode yang dapat digunakan
untuk mengetahui pendapatan usahatani. Dengan dilakukannya analisis R/C rasio,
maka akan diketahui besar penerimaan usahatani yang diperoleh petani untuk
setiap satuan biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani. Nilai R/C rasio
yang dihasilkan dapat bernilai lebih satu atau kurang dari satu. Jika nilai R/C rasio
lebih besar dari satu, maka setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya
tersebut. Sebaliknya jika nilai R/C rasio lebih kecil dari satu, maka setiap
tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang
lebih kecil daripada tambahan biaya tersebut. Sedangkan jika nilai R/C rasio sama
dengan satu, maka tambahan biaya yang dikeluarkan akan sama besar dengan
tambahan penerimaan yang didapat, sehingga diperoleh keuntungan normal. Pada
dasarnya semakin besar nilai R/C rasio yang didapat menggambarkan semakin
besarnya penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap satuan biaya yang
dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usahatani tersebut layak dan
menguntungkan untuk dilakukan.
3.1.3. Konsep Fungsi Produksi
Pada suatu proses produksi, terdapat istilah hubungan input dengan output
yang merupakan hubungan antara tingkat penggunaan faktor-faktor produksi
dengan produk yang diperoleh. Produk yang dihasilkan oleh suatu proses produksi
27
tergantung pada kuantitas dan jenis faktor produksi yang digunakan pada proses
produksi tersebut. Hubungan antara faktor produksi dan produksi yang dihasilkan
ini dapat dilihat pada fungsi produksi.
Soekaratawi et al (2002) menjelaskan bahwa fungsi produksi merupakan
hubungan fisik antara masukan dan produksi. Masukan seperti tanah, pupuk,
tenaga kerja, modal, iklim, dan sebagainya itu mempengaruhi besar-kecilnya
produksi yang diperoleh. Misalkan Y adalah produksi dan Xi adalah masukan i,
maka besarnya Y akan tergantung pada besarnya X1, X2, X3, ..., Xm yang
digunakan pada fungsi tersebut. Secara aljabar, hubungan Y dan X dapat ditulis
sebagai berikut :
Y = f(X1, X2, X3, ..., Xm) ........................................................................ (3.1)
dimana :
Y : produksi/output
X1, X2, X3, ..., Xm : faktor produksi/input
Jika bentuk fungsi produksi tersebut diketahui, maka informasi harga dan
biaya dapat dimanfaatkan untuk menentukan kombinasi masukan terbaik maupun
mengetahui pengaruh kebijakan pemerintah terhadap penggunaan masukan dan
terhadap produksi. Namun hal ini sulit dilakukan oleh petani. Hal ini disebabkan
oleh :
1. Adanya faktor ketidaktentuan terkait cuaca, hama, dan penyakit tanaman.
2. Data yang digunakan untuk pendugaan fungsi produksi mungkin tidak benar.
3. Pendugaan fungsi produksi hanya dapat diartikan sebagai gambaran rata-rata
suatu pengamatan.
4. Data harga dan biaya yang diluangkan (opportunity cost) mungkin tidak dapat
diketahui secara pasti.
5. Setiap petani dan usahataninya mempunyai sifat yang khusus.
Pada dasarnya fungsi produksi dapat dinyatakan secara sistematis maupun
dengan kurva produksi. Kurva tersebut menggambarkan hubungan fisik faktor
produksi dan hasil produksinya, dengan asumsi hanya satu produksi yang berubah
dan faktor produksi lainnya dianggap tetap (cateris paribus).
28
Selain hubungan input dan output suatu proses produksi, fungsi produksi
juga menggambarkan Marginal Product (MP) dan Average Product (AP).
Pengertian dari Marginal Product (MP) adalah tambahan produksi per kesatuan
tambahan input. Sedangkan Average Product (AP) adalah produksi per kesatuan
input. Adapun kurva produksi digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Kurva Produksi Total, Produk Rata-rata dan Produk Marginal Sumber : Doll dan Orazem (1984)
Pada Gambar 1 dijelaskan bahwa berdasarkan elastisitas produksinya,
kurva produksi terbagi menjadi tiga daerah, yaitu daerah I dimana terjadi
29
peningkatan AP, daerah II dimana terjadi penurunan AP saat MP positif, dan
daerah III dimana terjadi penurunan AP saat MP negatif.
Daerah I berada di sebelah kiri titik AP maksimum dengan nilai elastisitas
produksi lebih besar dari satu (ε > 1). Hal ini berarti bahwa penambahan faktor
produksi sebesar satu satuan akan menyebabkan penambahan produksi lebih besar
dari satu satuan. Kondisi tersebut dapat terjadi saat nilai MP lebih besar dari nilai
AP. Pada kondisi elastisitas produksi yang lebih besar dari satu, keuntungan
maksimum belum tercapai karena produksi masih dapat ditingkatkan. Oleh karena
itu, daerah ini disebut daerah irrasional atau inefisien.
Daerah II berada di antara AP maksimum dan MP=0 dengan nilai
elastisitas produksi antara nol dan satu (0 < ε < 1). Hal ini berarti bahwa
penambahan faktor produksi sebesar satu satuan akan menyebabkan penambahan
produksi paling besar satu satuan dan paling kecil nol satuan. Pada daerah ini
terjadi penambahan hasil produksi yang semakin menurun, namun penggunaan
faktor-faktor produksi tertentu di daerah ini dapat memberikan keuntungan
maksimum. Oleh karena itu, daerah ini disebut daerah rasional atau efisien.
Daerah III berada di sebelah kanan MP=0 dengan nilai elastisitas produksi
kurang dari nol (ε < 0). Hal ini berarti bahwa setiap penambahan satu satuan input
akan menyebabkan penurunan produksi. Pada daerah ini, penggunaan faktor
produksi sudah tidak efisien. Oleh karena itu, daerah III disebut daerah irrasional.
3.1.4. Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Seinford dan Trail (1990) diacu dalam Coelli et al (1998) menjelaskan
bahwa terdapat dua metode pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur
tingkat efisiensi relatif suatu usahatani. Metode yang pertama adalah metode
stochastic frontier yang berkaitan dengan pengukuran kesalahan acak dimana
keluaran dari usahatani merupakan fungsi dari faktor produksi, kesalahan acak,
dan inefisiensi. Sementara metode yang kedua adalah teknik linear programming
(Data Envelopment Analysis) yang tidak mempertimbangkan adanya kesalahan
acak, sehingga efisiensi teknis tersebut bisa menjadi bias.
Menurut Greene (1993) dalam Sukiyono (2005), model produksi frontier
memungkinkan untuk menduga atau memperkirakan efisiensi relatif usahatani
30
tertentu yang didapatkan dari hubungan antara produksi dan potensi produksi
yang dapat dicapai. Selain itu Van Dijk dan Szirmai (2002) dalam Sirait (2007)
juga menyebutkan bahwa stochastic frontier (SF) lebih baik daripada metode
DEA. Hal ini dikarenakan metode stochastic frontier dapat digunakan secara
langsung untuk menguji hipotesa yang terkait dengan model produksi. Namun
walaupun begitu, model stochastic frontier masih jauh dari kenyataan riil, karena
pencapaian best practice perusahaan banyak dipengaruhi oleh gaya
kepemimpinan, pengalaman dan skala perusahaan (Alvarez dan Inespi 2003,
dalam Sirait 2007).
Giannakas, et al, 2003 diacu dalam Sukiyono, 2005 menjelaskan bahwa
karakteristik model produksi frontier untuk menduga efisiensi teknis adalah
adanya pemisahan dampak dari goncangan peubah eksogen terhadap keluaran
melalui kontribusi ragam yang menggambarkan efisiensi teknis. Hal ini
memungkinkan metode ini digunakan untuk menduga ketidakefisienan suatu
proses produksi tanpa mengabaikan error term (galat) dari modelnya. Jika fungsi
produksi frontier diketahui maka dapat diestimasi inefisiensi teknis melalui
perbandingan posisi aktual relatif terhadap batasnya (Adiyoga 1999, dalam Hutauruk
2008).
Aigner, Lovell dan Schmidt (1977) serta Meeusen dan van den Broeck
(1977) dalam Coelli et al (1998) menjelaskan bahwa fungsi stochastic frontier
merupakan perluasan dari model asli deterministik untuk mengukur efek-efek
yang tidak terduga (stochastic frontier) di dalam batas produksi. Dalam fungsi
produksi ini ditambahkan random error (vi) ke dalam variabel acak non negatif
(non-negative random variable) (ui) seperti dirumuskan dalam persamaan sebagai
berikut :
Yi = Xi+ (vi - ui) .................................................................................. (3.2)
dimana :
Yi : Produk yang dihasilkan pada waktu ke-t
Xi : Vektor input yang digunakan pada waktu ke-t
Vektor parameter yang akan diestimasi
vi : Random error atau variabel acak yang bebas dan secara identik
terdistribusi normal (independent-identically distributed atau i.i.d)
31
ui : Variabel acak setengah normal (half-normal variables) yang
diasumsikan sebagai i.i.d eksponensial.
Variabel vi pada persamaan di atas berfungsi untuk menghitung error dan
faktor random lainnya, seperti : cuaca, pemogokan di dalam nilai variabel output,
yang bersamaan dengan efek kombinasi dari variabel input yang tidak terdefinisi
di fungsi produksi. Variabel vi tersebut memiliki nilai rataan sebesar nol dan
ragamnya konstan, yaitu : ζv2 atau n(0, ζv
2). Sedangkan variabel ui pada
persamaan di atas berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi teknis.
Model yang dijelaskan pada persamaan (3.2) diatas disebut sebagai fungsi
produksi stochastic frontier. Hal ini disebabkan nilai output dibatasi oleh variabel
acak (stochastic) yaitu nilai harapan dari xi+ vi atau exp(xi+ vi). Random error
yang ditunjukkan oleh variabel vi dapat bernilai positif maupun negatif. Begitu
pula dengan output stochastic frontier bervariasi sekitar bagian tertentu dari
model frontier (exp(xi+ vi)).
Gambar 2 akan menjelaskan tentang struktur dasar dari model stochastic
frontier, dimana sumbu X mewakili input dan sumbu Y mewakili output.
Komponen deterministik dari model frontier, Y=exp(xi), digambarkan sesuai
dengan asumsi diminishing return to scale. Penjelasan Gambar 2 diinterpretasikan
oleh dua petani yaitu petani i dan petani j. Petani i menggunakan input sebesar xi
dan menghasilkan output sebesar yi. Nilai dari output stochastic frontier adalah
yi*, dimana nilai ini berada di atas fungsi produksi yaitu f(xi;β). Hal tersebut bisa
terjadi karena kegiatan produksi petani i dipengaruhi oleh kondisi yang
menguntungkan dimana random error atau variabel vi bernilai positif. Sementara
petani j menggunakan input sebesar xj dan menghasilkan output sebesar yj. Output
stochastic frontier-nya sebesar yj* yang berada di bawah fungsi produksi. Hal ini
disebabkan kegiatan produksi petani j dipengaruhi oleh kondisi yang tidak
menguntungkan dimana random error atau variabel vi bernilai negatif. Hal
tersebut menyebabkan output stochastic frontier tidak dapat diamati karena nilai
random error tidak teramati. Bagian deterministik dari model stochastic frontier
terlihat diantara ouput stochastic frontier. Output yang diamati dapat menjadi
lebih besar dari bagian deterministik dari frontier apabila random error yang
sesuai lebih besar dari efek inefisiensinya (misalnya yi > exp (xjβ) jika vj> uj)
32
(Coelli et al, 1998). Kurva fungsi produksi stochastic frontier pada Gambar 2
menggambarkan produksi maksimum yang dapat dihasilkan oleh sejumlah faktor
produksi yang digunakan pada kegiatan produksi.
Gambar 2. Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sumber : Coelli et al (1998)
Gambar 3 akan menunjukkan garis produksi TP1 dan TP2 dengan
garis rasio harga. Kondisi efisiensi alokatif ditunjukkan pada titik A dimana garis
harga bersinggungan dengan garis produksi total. Sedangkan efisiensi teknis tidak
terjadi pada titik A tersebut. Hal ini dikarenakan jumlah output yang dihasilkan
lebih kecil dibanding jumlah output yang berada pada TP2. Dengan kata lain,
terdapat cara lain yang lebih baik untuk menghasilkan output yang lebih banyak.
Pada titik C ditunjukkan terjadinya efisiensi teknis dan titik D tidak menunjukkan
adanya efisiensi alokatif maupun efisiensi teknis. Sedangkan titik B menunjukkan
kedua kondisi baik efisiensi alokatif dan teknis.
Gambar 3. Efisiensi Teknis, Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomis Sumber : Doll dan Orazem (1984)
33
3.1.5. Konsep Efisiensi dan Inefisiensi
Dalam suatu kegiatan usahatani, proses produksi yang dilakukan tidak
hanya bertujuan untuk menghasilkan produk dengan jumlah besar, melainkan juga
untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan faktor-faktor produksi. Efisiensi
merupakan perbandingan antara produk yang dihasilkan dengan faktor-faktor
produksi yang digunakan dalam proses produksi, dimana asumsi dasarnya adalah
produksi untuk mencapai keuntungan maksimum dengan biaya minimum. Petani
yang rasional akan menggunakan faktor produksi selama nilai tambah yang
dihasilkan oleh tambahan faktor produksi tersebut sama atau lebih besar dengan
tambahan biaya yang diakibatkan oleh tambahan faktor produksi tersebut.
Menurut Soekartawi (2002), konsep efisiensi terbagi menjadi efisien
teknis (technical efficiency), efisiensi harga (price/allocative efficiency), dan
efisiensi ekonomis (economic efficiency). Efisiensi teknis merupakan
pengalokasian faktor produksi yang sedemikian rupa sehingga menghasilkan
produksi dalam jumlah yang besar. Efisiensi harga dapat dicapai pada kondisi
dimana petani dapat memperoleh keuntungan yang tinggi dari kegiatan usahatani
yang dilakukan. Sedangkan efisiensi ekonomis dapat dicapai pada kondisi dimana
penggunaan faktor produksi sudah dapat menghasilkan keuntungan maksimum.
Dengan demikian apabila petani menerapkan efisiensi teknis dan efisiensi harga
maka produktivitas akan semakin tinggi.
Sementara Farrel (1957) dalam Coelli et al (1998) menjelaskan bahwa
efisiensi terdiri dari dua komponen yaitu efisiensi teknis dan efisiensi alokatif.
Efisiensi teknis memperlihatkan kemampuan usahatani untuk memperoleh hasil
maksimal dari penggunaan sejumlah faktor produksi tertentu. Efisiensi alokatif
memperlihatkan kemampuan usahatani untuk menggunakan proporsi faktor
produksi optimal sesuai dengan harganya dan teknologi produksi yang
dimilikinya untuk mencapai keuntungan maksimum. Sedangkan penggabungan
dari efisiensi teknis dan efisiensi alokatif akan menjadi efisiensi ekonomi.
Farrel (1957) juga menjelaskan bahwa terdapat dua pendekatan dalam
perhitungan efisiensi, yaitu pendekatan input dan pendekatan output. Pendekatan
input akan dijelaskan melalui kurva sebagai berikut:
34
Gambar 4. Efisiensi Teknis dan Alokatif Sumber : Coelli et al (1998)
Pada kurva di atas digambarkan bahwa kurva AA’ menunjukkan kurva
isocost dan BB’ menunjukkan kurva isoquant. Jika usahatani menggunakan faktor
produksi pada titik P, maka jarak sepanjang SP adalah inefisiensi teknis yang
merupakan jumlah faktor produksi yang dapat dikurangi tanpa mengurangi jumlah
produk yang dihasilkan. Titik S pada kurva merupakan titik yang efisien secara
teknis karena titik tersebut berada pada kurva isoquant. Secara matematis, nilai
efisiensi teknis ditulis sebagai berikut :
TEi = 0S/0P = 1-SP/0P ........................................................................... (3.3)
Notasi i menunjukkan nilai efisiensi teknis dengan pendekatan orientasi input.
Nilai TEi menunjukkan derajat efisiensi teknis yang dapat dicapai dimana besaran
nilainya berkisar antara 0 dan 1. Sedangkan efisiensi alokatif dapat dihitung jika
rasio harga input ditunjukkan oleh kurva isocost AA’. Jarak sepanjang RS pada
kurva adalah inefisiensi alokatif yang menunjukkan biaya yang dapat dikurangi
untuk mencapai efisiensi alokatif. Adapun nilai efisiensi alokatif dirumuskan
sebagai berikut :
AEi = 0R/0S ........................................................................................... (3.4)
Efisiensi ekonomis pada akhirnya ditunjukkan oleh titik S’ yang
merupakan perpaduan antara efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Selain itu
kurva SS’ juga merupakan kurva isoquant yang menunjukkan kondisi efisien
secara penuh. Secara matematis efisiensi ekonomis dirumuskan sebagai berikut :
EEi = TEi x AEi = (0S/0P) x (0R/0S) = 0R/0P ....................................... (3.5)
35
Daryanto (2002) diacu dalam Khotimah (2010) menjelaskan bahwa
terdapat dua pendekatan alternatif untuk menguji sumber-sumber inefisiensi
teknis. Pendekatan yang pertama adalah prosedur dua tahap. Tahap pertama
merupakan pendugaan terhadap skor efisiensi (efek inefisiensi) bagi individu
perusahaan, dan tahap kedua merupakan pendugaan terhadap regresi dimana skor
efisiensi (inefisiensi dugaan) dinyatakan sebagai fungsi dari variabel sosial
ekonomi yang diasumsikan mempengaruhi efek inefisiensi. Sedangkan
pendekatan yang kedua adalah prosedur satu tahap dimana efek inefisiensi dalam
stochastic frontier dimodelkan dalam bentuk variabel yang dianggap relevan
dalam menjelaskan inefisiensi dalam proses produksi.
Pada penelitian ini, model inefisiensi yang digunakan mengacu pada
model Coelli et al (1998). Dalam perhitungan inefisiensi teknis, digunakan
variabel ui yang diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan N
(µ, ζ2). Nilai parameter distribusi (µ) efek inefisiensi teknis dapat diperoleh
melalui perhitungan sebagai berikut :
μ = δ0 + Zitδ + wit ................................................................................... (3.6)
Zit pada perhitungan tersebut adalah variabel penjelas yang merupakan faktor
dengan ukuran (1xM) yang nilainya konstan, δ adalah parameter skalar yang
dicari nilainya dengan ukuran (1xM).
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Horenso kini mulai banyak dikonsumsi oleh masyarakat di kota-kota besar
khususnya kalangan menengah ke atas. Hal ini disebabkan keunggulan kandungan
gizi dan nutrisi yang dimiliki oleh sayuran ini. Banyaknya restauran Jepang yang
didirikan di kota-kota besar khususnya Jabodetabek pada beberapa tahun terakhir
mendukung berkembangnya komoditi yang berasal dari Jepang ini. Tidak hanya
itu, manfaat serta prestise yang dirasa oleh konsumen jika mengkonsumsi horenso
menjadikan komoditi ini memiliki harga yang tinggi dibanding harga sayuran
lokal. Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki, potensi pasar untuk horenso
menjadi semakin terbuka lebar.
Kabupaten Cianjur khususnya Kecamatan Pacet sebagai salah satu sentra
produksi sayuran termasuk horenso, memiliki keunggulan berupa tempat yang
36
strategis. Jika dibandingkan dengan sentra sayuran lain seperti Lembang, wilayah
ini memiliki jarak yang lebih dekat dengan Jakarta, dimana Jakarta memiliki
tingkat konsumsi yang tinggi karena tingginya daya beli serta jumlah penduduk di
daerah tersebut. Hal ini menjadikan hasil produksi sayuran di Kabupaten Cianjur
khususnya Kecamatan Pacet sebagian besar di pasok ke Jakarta. Di Jakarta sendiri
horenso cukup banyak tersedia di restoran Jepang dan swalayan dengan segmen
tertentu. Jumlah restoran Jepang yang cukup tinggi di Jakarta secara langsung
berdampak pada jumlah permintaan horenso. Dengan begitu, pemasok horenso
dituntut untuk berproduksi dalam jumlah besar dan kontinu.
Horenso di Kabupaten Cianjur khususnya Kecamatan Pacet merupakan
komoditi yang tergolong baru dibudidayakan. Namun saat ini sudah cukup banyak
petani yang membudidayakan komoditi tersebut. Hal ini dikarenakan munculnya
Kelompok Tani Agro Segar sebagai kelompok tani pelopor yang
membudidayakan sayuran Jepang pada beberapa tahun lalu. Peluang yang dirasa
bagus oleh petani-petani di Kabupaten Cianjur mendorong mereka untuk
membudidayakan sayuran Jepang. Selain itu, harga yang cukup tinggi dan relatif
stabil membuat para petani memilih horenso untuk dibudidayakan di lahan
mereka. Petani horenso pada Kelompok Tani Agro Segar juga memiliki tingkat
permintaan yang tinggi, tetapi hal ini belum diimbangi dengan hasil produksi yang
mampu memenuhi permintaan tersebut. Hal ini menjadi kendala bagi para petani
horenso pada Kelompok Tani Agro Segar Kabupaten Cianjur dan sangat
berdampak pada tingkat pendapatan para petani tersebut.
Dalam kegiatan usahatani secara umum, ketersediaan dan penggunaan
faktor-faktor produksi serta teknik budidaya sangat berpengaruh pada tingkat
efisiensi teknis. Hal ini juga akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan
pendapatan usahatani. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan model fungsi
produksi Cobb-Douglas Stochastic Frontier untuk menduga input yang
digunakan dalam usahatani horenso. Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana
input-input tersebut mempengaruhi produksi horenso. Input-input yang diduga
adalah luas lahan, bibit, tenaga kerja, pupuk organik, pupuk anorganik dan
pestisida.
37
Pada penelitian ini juga dilakukan analisis inefisiensi teknis. Analisis ini
dilakukan untuk mengetahui ketersediaan efek inefisiensi secara teknis pada
model. Variabel yang diduga mempengaruhi inefisiensi adalah luas lahan, umur
petani, pengalaman usahatani, pendidikan formal, lama kerja di luar usahatani,
pendapatan di luar usahatani, penyuluhan, dan status kepemilikan lahan. Variabel-
variabel ini dipilih dengan alasan beberapa penelitian terdahulu menggunakan
variabel-variabel tersebut untuk menganalisis inefisiensi usahatani. Hasil olahan
ini akan menggambarkan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan inefisensi
usahatani horenso.
Hasil analisis tersebut akan menunjukkan tingkat efisiensi dari masing-
masing petani. Hal ini dapat digunakan untuk pengambilan keputusan terkait
kombinasi faktor-faktor produksi usahatani yang optimal dan melihat faktor
efisiensi teknis yang mempengaruhi usahatani horenso serta faktor-faktor yang
harus segera diperhatikan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan
petani. Tingkat efisiensi teknis dapat juga digunakan untuk pengambilan
kebijakan pertanian di masa mendatang. Jika tingkat efisiensi teknis yang dicapai
sangat tinggi (mendekati frontier), artinya peluang untuk meningkatkan lebih
lanjut tidak optimistik sehingga kebijakan yang ditempuh haruslah mencari
alternatif lain (misalnya melakukan perluasan areal budidaya horenso).
Kinerja (performansi) produksi petani juga dapat dianalisis menggunakan
analisis pendapatan usahatani. Analisis tersebut bisa digunakan untuk
menggambarkan kondisi umum usahatani horenso di Desa Ciherang. Berdasarkan
uraian di atas maka kerangka pemikiran operasional penelitian ini dapat
digambarkan pada Gambar 5.
38
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Operasional
Permintaan horenso yang tinggi dari
subsistem hilir menuntut kontinuitas produksi
Harga horenso tinggi dibanding sayuran lokal
Relatif baru dilakukan budidaya horenso di
Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur
Kondisi alam di Kecamatan Pacet Kabupaten
Cianjur mendukung untuk pembudidayaan
horenso.
Analisis Pendapatan dan Efisiensi
Teknis Usahatani Horenso
Efisiensi Teknis pada Usahatani
Horenso dan Keuntungan Maksimum
bagi Petani Pembudidaya Horenso
Output Produksi Input Produksi
Stochastic Production Frontier
Pendapatan Usahatani
1. Pendapatan bersih
usahatani
2. R/C atas Biaya Tunai
dan R/C atas Biaya
Total
3. BEP Harga dan BEP
Unit
Pendapatan Usahatani Efisiensi Teknis
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi
Produksi Frontier :
lahan, TK, bibit,
pupuk organik,
pupuk anorganik
dan pestisida.
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi
Inefisiensi Usahatani
Horenso : umur,
pengalaman,
pendidikan formal,
penyuluhan dan status
kepemilikan lahan,.
IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelompok Tani Agro Segar di Desa Ciherang
Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Pemilihan Kabupaten Cianjur
khususnya Kecamatan Pacet dilakukan secara purposive dengan pertimbangan
bahwa wilayah ini merupakan salah satu sentra sayuran untuk daerah Jawa Barat
yang memiliki lokasi strategis untuk pemasarannya. Kelompok Tani Agro Segar
di Desa Ciherang juga dipilih secara purposive dengan pertimbangan bahwa
kelompok tani ini adalah salah satu pemasok sayuran eksklusif untuk supermarket
dan restoran jepang di wilayah Jabodetabek yang ingin diketahui efisiensi
teknisnya. Selain itu Kelompok Tani Agro Segar juga telah menjadi salah satu
pilot project Agro industry di Kabupaten Cianjur. Pengambilan data dilakukan
pada bulan Mei sampai Juni 2011.
4.2. Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan di lokasi penelitian dan
wawancara secara langsung dengan petani menggunakan kuisioner. Data primer
yang diperoleh meliputi data karakteristik petani dan data usahatani horenso.
Karakteristik petani meliputi data nama, usia, alamat, pendidikan formal dan non
formal, pengalaman usahatani, status kepemilikan lahan, alasan menanam
horenso, pendapatan rumah tangga, teknis budidaya horenso dan lain-lain. Data
tersebut berguna untuk mengetahui gambaran mengenai kondisi petani horenso di
lokasi penelitian. Data usahatani horenso yang dikumpulkan meliputi luas lahan
yang digunakan untuk usahatani horenso, faktor-faktor produksi yang digunakan
untuk usahatani horenso, dan produksi horenso selama satu musim tanam serta
data lain yang dapat mendukung analisis pendapatan, fungsi produksi stochastic
frontier dalam usahatani horenso.
Data sekunder untuk penelitian diperoleh dari beberapa jurnal, data
internet, dan berbagai instansi yang terkait dengan penelitian ini, antara lain : Biro
Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian, Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur,
Perpustakaan LSI IPB, Perpustakaan FEM IPB, Pemerintah Desa Ciherang dan
40
lain-lain. Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 petani
horenso. Pemilihan jumlah responden dikarenakan jumlah tersebut sudah cukup
kuat untuk menunjukkan keragaman populasi. Pemilihan responden penelitian
dilakukan secara purposive.
4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data primer dan sekunder yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis
dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk
mengetahui keragaan usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro Segar
Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan
untuk mengidentifikasi pendapatan usahatani horenso serta faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap produksi dan efisiensi teknis horenso pada Kelompok Tani
Agro Segar Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.
Pengolahan dan analisis data yang telah diperoleh dilakukan dengan
menggunakan program Microsoft Excel, Minitab 14, dan Frontier 4.1. Dari
pendekatan tersebut diperoleh hasil analisis pendapatan usahatani horenso serta
faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi dan inefisiensi usahatani horenso.
4.3.1. Analisis Pendapatan Usahatani
Dalam melakukan analisis pendapatan usahatani, perlu dilakukan
pencatatan seluruh penerimaan total dan biaya total usahatani dalam satu musim
tanam. Penerimaan total adalah nilai produk total dalam jangka waktu tertentu.
Biaya total adalah nilai semua input yang dikeluarkan untuk proses produksi.
Soekartawi (2002) menjelaskan bahwa pendapatan usahatani dibedakan
menjadi pendapatan atas biaya tunai dan biaya total. Pendapatan atas biaya tunai
adalah pendapatan atas biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh petani.
Sedangkan pendapatan atas biaya total adalah penadapatan dimana semua input
milik keluarga juga diperhitungkan sebagai biaya. Secara matematis, perhitungan
penerimaan total, biaya dan pendapatan dirumuskan sebagai berikut :
TR = Py x Y
TC = TFC + TVC
π tunai = TRtotal - TCtunai
π tunai = TRtotal – ( TCtunai + Bd)
41
dimana :
TRtotal : Total penerimaan tunai usahatani (Rupiah)
TCtunai : Total biaya tunai usahatani (Rupiah)
π : Pendapatan (Rupiah)
Bd : Biaya yang diperhitungkan (Rupiah)
Py : Harga output (Rupiah)
Y : Jumlah output (kg)
TVC : Total biaya variabel (Rupiah)
TFC : Total biaya tetap (Rupiah)
Penerimaan usahatani terbagi atas penerimaan tunai dan penerimaan total.
Penerimaan tunai merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan produk
usahatani, yaitu jumlah produk yang dijual dikalikan dengan harga jual produk.
Penerimaan total usahatani merupakan keseluruhan nilai produksi usahatani baik
dijual, dikonsumsi keluarga dan dijadikan persediaan. Selain itu, biaya usahatani
juga dibagi menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya total. Biaya tunai adalah
jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi kebutuhan
usahatani. Sedangkan biaya total adalah seluruh nilai yang dikeluarkan bagi
usahatani, baik tunai maupun tidak tunai.
Analisis R/C rasio merupakan alat analisis dalam usahatani yang berfungsi
untuk mengetahui kelayakan dari kegiatan usahatani yang dilaksanakan dengan
membandingkan nilai output terhadap nilai inputnya atau dengan kata lain
membandingkan penerimaan usahatani dengan pengeluaran usahataninya.
Analisis R/C rasio dilakukan untuk mengetahui besarnya penerimaan yang
dihasilkan dari setiap rupiah yang dikeluarkan pada suatu kegiatan usahatani. Jika
rasio R/C bernilai lebih dari satu (R/C > 1), maka usahatani layak untuk
dilaksanakan. Sebaliknya jika rasio R/C bernilai kurang dari satu (R/C < 1), maka
usahatani tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Analisis R/C rasio dilakukan
berdasarkan jenis biaya yang dikeluarkan, yaitu biaya tunai dan biaya total.
Adapun rumus R/C rasio atas biaya tunai adalah sebagai berikut :
R/C atas Biaya Tunai =
42
Sedangkan rumus R/C rasio atas biaya total adalah sebagai berikut:
R/C atas Biaya Total =
Suratiyah (2008) menjelaskan bahwa Break Even Point atau BEP terbagi
menjadi dua, yaitu BEP unit dan BEP harga. BEP unit adalah analisis yang
digunakan untuk menentukan dan mencari jumlah barang yang harus dijual pada
harga tertentu untuk menutupi biaya-biaya yang timbul. Sedangkan BEP harga
adalah analisis yang digunakan untuk menentukan harga yang harus didapatkan
petani untuk menutupi biaya-biaya yang timbul. Break Even Point atau BEP
hanya dapat terjadi pada saat nilai total penerimaan sama dengan nilai total biaya
yang dikeluarkan (TR=TC). Perhitungan BEP unit dirumuskan sebagai berikut :
Sedangkan perhitungan BEP harga dirumuskan sebagai berikut :
4.3.2. Spesifikasi Model Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Pada penelitian ini, bentuk fungsi produksi yang digunakan adalah
Stochastic Frontier Cobb-Douglas. Bentuk fungsi produksi ini dipilih karena
tergolong sederhana dan dapat dibuat dalam bentuk fungsi linear. Spesifikasi
model tersebut akan dirumuskan ke dalam persamaan di bawah ini :
ln Y = ln β0 + β1 ln L + β2 ln B + β3 ln TK + β4 ln Po + β5 ln Pa + β6
ln Pest + vi - ui
dimana :
Y : Produksi total horenso (kg)
L : Luas lahan yang digarap (ha)
43
B : Jumlah bibit (kg)
TK : Penggunaan tenaga kerja (HOK)
Po : Jumlah pupuk organik (kg)
Pa : Jumlah pupuk anorganik (kg)
Pest : Jumlah pestisida (kg)
β0 : Intersep
βi : Koefisien Parameter Penduga, dimana i = 1,2,3…9.
0 < βi < 1 (Diminishing Return)
vi - ui : Error term (ui = efek inefisiensi teknis dalam model)
Penyelesaian model dilakukan dengan menggunakan dua tahap. Tahap
yang pertama dilakukan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS)
dan tahap kedua dilakukan menggunakan metode Maximum-Likelihood Estimate
(MLE). Tahap pertama atau OLS dilakukan dengan tujuan untuk melihat
keberadaan autokorelasi dan multikolinearitas pada model. Hal ini perlu
dilakukan karena pada tahap kedua atau MLE, model hanya dapat diolah jika
pada model tidak terdapat autokorelasi maupun multikolinearitas.
4.3.3. Analisis Inefisiensi Teknis
Pada penelitian ini, metode efek inefisiensi teknis yang digunakan didasari
pada model efek inefisiensi teknis yang dikembangkan oleh Battese dan Coelli
(1998). Variabel ui berfungsi untuk menghitung efek inefisiensi teknis. Adapun
nilai parameter distribusi dari inefisiensi teknis pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
µi = δ0 + Z1δ1 + Z2δ2 + Z3δ3 + Z4δ4 + Z5δ5 + wit
dimana :
Z1 : Umur petani (tahun)
Z2 : Pendidikan formal petani (tahun)
Z3 : Pengalaman usahatani (tahun)
Z4 : Dummy penyuluhan
Z5 : Dummy status kepemilikan lahan
44
Terdapat beberapa hipotesis yang digunakan pada model inefisiensi teknis
dalam persamaan di atas, yaitu :
1. Semakin berumur usia petani yang mengusahakan usahatani maka diduga
akan berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis.
2. Semakin lama pendidikan formal petani, diduga akan berpengaruh negatif
terhadap inefisiensi teknis.
3. Semakin lama pengalaman petani dalam kegiatan usahatani maka akan
berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis.
4. Semakin sering petani mengikuti penyuluhan maka diduga akan berpengaruh
negatif terhadap inefisiensi teknis.
5. Status kepemilikan lahan diduga mempengaruhi keseriusan petani dalam
mengolah lahannya dimana petani non penyewa cenderung lebih inefisien
dibanding petani penyewa.
Semua parameter pada fungsi stochastic frontier dan efek inefisiensi
secara simultan diperoleh dengan menggunakan program Frontier 4.1. Pengujian
efek inefisiensi dilakukan dengan metode statistik. Pengujian Frontier 4.1 akan
menghasilkan nilai perkiraan varian dari parameter dalam bentuk berikut ini :
σs2 = σv
2 + σu
2 dan γ = σu
2 / σs
2
Nilai parameter gamma (γ) berkisar antara nol dan satu. Untuk keputusan
penerimaan hipotesa nol (akan dijelaskan dalam bagian uji hipotesa) atau
ditentukan oleh nilai kritis.
Efisiensi teknis petani ke-i adalah nilai harapan dari (-ui) yang dinyatakan
sebagai berikut :
TEi =
TEi adalah efisiensi teknis petani ke-i, dan yi adalah fungsi output deterministic
(tanpa error term). Nilai efisiensi teknis tersebut berbanding terbalik dengan efek
inefisiensi teknis di atas yang juga bernilai di antara nol dan satu. Nilai efisiensi
teknis dalam persamaan di atas digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah
output dan input tertentu (cross section data) dan tidak untuk input yang bersifat
logaritmik (panel data) (Coelli et al, 1998).
45
4.3.4. Uji Hipotesis
Uji hipotesis berfungsi sebagai jawaban awal dari analisis di atas. Adapun
hipotesis yang dibentuk adalah sebagai berikut :
H0 : δ1 = 0
H1 : δ1 ≠ 0
Hipotesis nol memiliki arti bahwa koefisien dari masing-masing variabel
di dalam model efek inefisiensi sama dengan nol. Jika hipotesis ini diterima, maka
masing-masing variabel penjelas dalam model efek inefisiensi tidak memiliki
pengaruh terhadap tingkat inefisiensi di dalam proses produksi.
Uji statistik yang digunakan yaitu :
t-hitung =
t-tabel = t(α, n-k-1)
Kriteria uji :
│t- itung│ > t-tabel t(α, n-k-1) : tolak H0
│t- itung│< t-tabel t(α, n-k-1) : terima H0
dimana : k : Jumlah variabel bebas
n : Jumlah pengamatan (responden)
S (δi) : Simpangan baku koefisien efek inefisiensi.
4.4. Definisi Operasional
Pada penelitian ini, variabel yang diamati adalah data dan informasi
usahatani horenso yang diusahakan oleh petani. Variabel tersebut terlebih dahulu
didefinisikan untuk mempermudah pengumpulan data yang mengacu pada
pengertian di bawah ini :
1. Produksi horenso (Y) adalah horenso yang dihasilkan dalam satu musim
tanam yang diukur dalam satuan kilogram (kg).
2. Luas lahan (L) adalah luas lahan yang digunakan untuk berusahatani horenso
yang diukur dalam satuan ribu meter persegi (000 m2).
3. Bibit horenso (B) adalah jumlah bibit horenso yang digunakan petani untuk
satu kali musim tanam yang diukur dalam satuan kilogram (kg).
46
4. Pupuk organik (Po) adalah jumlah pupuk organik yang digunakan petani
untuk memupuk horenso selama satu kali musim tanam yang diukur dalam
satuan kilogram (kg).
5. Pupuk anorganik (Pa) adalah jumlah pupuk anorganik yang digunakan petani
untuk memupuk horenso selama satu kali musim tanam yang diukur dalam
satuan kilogram (kg).
6. Pestisida (Pest) adalah jumlah pestisida yang digunakan petani untuk
pengendalian hama selama satu musim tanam. Satuan ukuran yang digunakan
adalah liter (lt) untuk pestisida cair dan kilogram (kg) untuk pestisida padat.
7. Tenaga kerja (TK) adalah jumlah tenaga kerja total yang digunakan dalam
proses produksi untuk berbagai kegiatan usahatani selama satu musim tanam.
Tenaga kerja diukur dalam satuan Hari Orang Kerja (HOK) dan mengabaikan
jenis tenaga kerja yang digunakan apakah dari dalam keluarga atau luar
keluarga.
8. Usia petani (Z1) adalah usia petani saat musim tanam horenso yang diukur
dalam satuan tahun.
9. Pendidikan formal (Z2) adalah lamanya pendidikan formal yang pernah
diperoleh petani yang diukur dalam satuan tahun.
10. Pengalaman berusahatani (Z3) adalah lamanya petani dalam mengusahakan
usahatani horenso yang diukur dalam satuan tahun.
11. Penyuluhan (Z4) adalah informasi yang didapat dari penyuluhan dalam
bentuk dummy. Satu untuk petani yang mengikuti penyuluhan dan nol untuk
yang tidak mengikuti penyuluhan.
12. Status kepemilikan lahan (Z5) dalam bentuk dummy. Satu untuk petani yang
memiliki lahan garap sendiri, HGP, dan sakap dan nol untuk petani yang
menyewa.
V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN
5.1 Gambaran Umum Kabupaten Cianjur
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu dari 17 kabupaten di Provinsi
Jawa Barat. Secara geografis wilayah ini terletak pada koordinat 106°42’-107°25’
Bujur Timur dan 6°21’-25° Lintang Selatan. Kabupaten yang berada tepat di
tengah Provinsi Jawa Barat ini memiliki luas sebesar 350.148 km2 yang terdiri
dari 32 kecamatan serta 348 desa, dimana mayoritas penduduk Kabupaten Cianjur
bekerja pada bidang pertanian, yaitu sekitar 52 persen. Sedangkan 23 persen
penduduk lainnya bekerja pada bidang perdagangan.
Secara administratif Kabupaten Cianjur berbatasan dengan wilayah-
wilayah sebagai berikut :
- Sebelah utara : Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta
- Sebelah barat : Kabupaten Sukabumi
- Sebelah selatan : Samudra Indonesia
- Sebelah timur : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut
Kabupaten Cianjur terbagi menjadi tiga wilayah pembangunan secara
geografis, yaitu : wilayah utara, tengah dan selatan.
1. Wilayah Utara
Wilayah utara merupakan daerah yang beriklim tropis sehingga cocok
untuk areal pertanian yang subur seperti sayuran, teh dan tanaman hias. Wilayah
ini terdiri dari dataran tinggi yang terletak di kaki Gunung Gede. Sebagian besar
daerahnya berupa pegunungan dan sebagian lagi berupa dataran yang digunakan
untuk areal perkebunan dan persawahan. Daerah tersebut meliputi 15 kecamatan
yakni Cibeber, Bojong Picung, Ciranjang, Karang Tengan, Cianjur,
Warungkondang, Cugenang, Pacet, Mande, Cikalongkulon, Sukaluyu, Cilaku,
Sukaresmi, Gekbrong dan Cipanas.
2. Wilayah Tengah
Wilayah tengah tergolong kedalam daerah perbukitan kecil sehingga
sering terjadi longsor. Hal ini dikarenakan struktur tanah yang labil. Kecamatan
yang tergolong kedalamnya meliputi Tanggeung, Pagelaran, Kadupandak,
Takokak, Sukanagara, Campaka dan Campakamulya. Wilayah tengah cocok
untuk ditanami padi, kelapa dan buah-buahan.
48
3. Wilayah Selatan
Wilayah selatan merupakan dataran rendah dan terdapat bukit-bukit kecil
yang diselingi pegunungan melebar sampai ke daerah pantai Samudra Indonesia.
Seperti halnya wilayah bagian tengah, kondisi struktur tanah di wilayah selatan ini
labil sehingga sering terjadi longsor. Areal perkebunan dan persawahan di
daerah ini juga tidak terlalu luas yang mencakup Kecamatan Agrabinta, Leles,
Sindangbarang, Cidaun, Naringgul, Cibinong, Cikadu dan Cijati. Wilayah selatan
banyak ditanami palawija, teh, padi, kelapa, aren dan coklat. Selain itu wilayah
selatan juga bisa dijadikan objek wisata pantai yang masih alami.
5.2 Profil Kelompok Tani Agro Segar
Kelompok Tani Agro Segar merupakan kelompok tani pelopor yang
pertama kali membudidayakan sayuran Jepang di Kabupaten Cianjur. Kelompok
tani ini fokus pada komoditas sayuran dan buah khususnya pada sayuran Jepang.
Kelompok tani yang beralamat di Jalan Raya Cipanas, Ciherang, Pacet ini berdiri
sejak tahun 2000 dibawah pimpinan Bapak Santoso. Hingga saat ini Kelompok
Tani Agro Segar memiliki anggota sejumlah 43 orang dengan total luas lahan
sebesar 16,83 hektar. Dengan luas lahan yang relatif kecil Kelompok Tani Agro
Segar memiliki kapasitas sayuran dan buah yang cukup tinggi yaitu sekitar 1500
kg per hari. Sayuran dan buah ini yang kemudian akan disalurkan ke supermarket
dan restauran Jepang di wilayah Jabodetabek (Lampiran 1).
Kelompok Tani Agro Segar memiliki visi dan misi yang dijadikan
pedoman bagi kelompok tani tersebut dalam menjalankan kegiatannya. Adapun
visi dan misi Kelompok Tani Agro Segar adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan produk sayuran yang sehat baik sayuran konvensional maupun
organik sesuai dengan prinsip 4K, yaitu ;
Kualitas
Kuantitas
Kontinuitas
Komitmen
2. Memenuhi kebutuhan dan permintaan sayuran Jepang di wilayah Jakarta dan
sekitarnya, baik secara langsung personal, perumahan, maupun melalui
restoran, supermarket, serta perusahaan.
49
3. Meraih dan memanfaatkan peluang dan potensi pasar dengan sebaik-baiknya.
Kelompok Tani Agro Segar memiliki kegiatan-kegiatan usaha yang
dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani anggota
yang terdiri dari : menyediakan sarana produksi berupa bibit, memproduksi
berbagai jenis sayur dan buah, menampung hasil produksi, pengolahan hasil
berupa sortasi dan pengemasan, serta pemasaran hasil panen sayur dan buah para
petani anggota. Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan teknis para petani
anggota, Kelompok Tani Agro Segar memberikan pelatihan-pelatihan dan
pembinaan yang terkait dengan komoditi yang diusahakan oleh kelompok tani
tersebut. Hampir seluruh anggota Kelompok Tani Agro Segar memiliki mata
pencaharian utama sebagai petani. Sedangkan sebagian kecil lainnya memiliki
pekerjaan utama sebagai pedagang dan buruh bangunan.
5.3 Karakteristik Petani Responden
Karakteristik petani responden yang akan dijelaskan dikelompokkan
menurut usia, tingkat pendidikan formal, penyuluhan, pengalaman usahatani dan
status kepemilikan lahan. Keragaman karakteristik tersebut akan mempengaruhi
keputusan petani responden dalam melakukan kegiatan usahatani.
Petani yang menjadi responden memiliki rentang usia antara 20-60 tahun,
namun petani responden didominasi oleh petani dengan usia 45-54. Hal ini
menunjukkan bahwa mayoritas petani telah berada pada usia yang tidak produktif
dimana akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan kemampuan fisik petani
dalam melakukan kegiatan usahatani. Adapun persentase usia petani responden
akan ditunjukkan pada Tabel 10.
Tabel 10. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Usia pada Tahun 2011
Usia (tahun) Jumlah Responden (orang) Persentase (%)
20-24 2 6,67
25-34 7 23,33
35-44 8 26,67
45-54 11 36,67
55-60 2 6,67
Total 30 100
Pendidikan yang dilihat dari petani responden adalah lamanya pendidikan
formal yang dijalani oleh petani responden. Tingkat pendidikan petani responden
50
dapat dilihat dari tingkat pendidikan terakhir yang pernah dijalani. Tabel 11 akan
menunjukkan sebaran tingkat pendidikan formal petani responden dimana
mayoritas petani responden memiliki tingkat pendidikan lulusan SD, yaitu 70
persen. Hal ini akan sangat mempengaruhi pengambilan keputusan usahatani dan
kemampuan adaptasi terhadap teknologi baru yang diperkenalkan guna
peningkatan produksi tanaman.
Tabel 11. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Jumlah Responden (orang) Persentase (%)
Tidak lulus SD 4 13,33
Lulusan SD 21 70
Lulusan SMP 3 10
Lulusan SMA 2 6,67
Sarjana 0 0
Total 30 100
Tabel 12 akan menunjukkan sebaran petani responden berdasarkan
keikutsertaannya dalam penyuluhan-penyuluhan yang diadakan oleh Dinas
Pertanian (BPP) setempat. Sebanyak 14 petani responden pernah mengikuti
penyuluhan. Mengingat petani responden yang berjumlah 30 orang, maka angka
petani responden yang mengikuti penyuluhan masih tergolong kecil karena
belum sampai 50 persen dari jumlah total petani responden. Hal ini sangat terkait
dengan kemampuan teknis petani responden dalam melaksanakan kegiatan
usahatani.
Tabel 12. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Keikutsertaan Penyuluhan
Pernah Mengikuti
Penyuluhan
Jumlah Responden (orang) Persentase (%)
Ya 14 46,67
Tidak 16 53,33
Total 30 100
Sayuran Jepang khususnya horenso merupakan sayuran yang masih
tergolong baru dibudidayakan oleh para petani responden. Rata-rata pengalaman
bertani horenso yang dimiliki petani responden adalah 3-6 tahun. Tabel 13 akan
menunjukkan sebaran petani responden berdasarkan pengalaman usahatani
horenso yang dimiliki.
51
Tabel 13. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani
Horenso
Pengalaman (tahun) Jumlah Responden (orang) Persentase (%)
1-3 12 40
4-6 15 50
7-10 3 10
Total 30 100
Tabel 14 menunjukkan sebaran petani responden berdasarkan status
penguasaan lahan. Perbandingan antara petani responden yang merupakan
pemilik dan non pemilik lahan hampir seimbang yaitu masing-masing 46,67
persen dan 53,33 persen. Petani responden yang merupakan pemilik lahan
menggunakan modal sendiri dalam mengusahakan usahatani, sehingga seluruh
biaya termasuk biaya input dan tenaga kerja berasal dari modal sendiri.
Sedangkan petani yang merupakan non pemilik lahan menggarap lahan dengan
menyewa, bagi hasil (sakap) atau gadai.
Tabel 14. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan
Status Kepemilikan
Lahan
Jumlah Responden (orang) Persentase (%)
Pemilik 14 46,67
Non Pemilik 16 53,33
Total 30 100
Bagi petani responden yang menyewa lahan, petani tersebut membayar
sewa per musim tanam. Sedangkan bagi petani yang melakukan sakap atau bagi
hasil biasanya biaya input ditanggung pemilik, hanya biaya tenaga kerja yang
ditanggung petani penggarap. Terkadang pada awal musim tanam petani
penggarap juga mengeluarkan biaya pembelian input, setelah panen biaya
pembelian input tersebut dikurangi dengan hasil penjualan panen.
5.4 Usahatani Horenso
5.4.1 Pembibitan
Varietas horenso yang dibudidayakan oleh petani responden adalah
varietas Ritoma Hybrid F1 Chinese Spinach. Mayoritas petani responden
menggunakan bibit dengan merk AMS Seeds. Bibit tersebut dapat diperoleh di
Kelompok Tani Agro Segar dengan harga sekitar Rp 65.000,00 per kemasan
berisi 250 gram. Penggunaan bibit dengan merk AMS Seeds tersebut banyak
52
dipilih oleh petani responden karena memiliki beberapa keunggulan di antaranya
pentumbuhannya lebih cepat dan lebih seragam. Adapun jumlah penggunaan
bibit yang dianjurkan adalah 10-15 kg per hektar.
Terdapat dua metode penanaman horenso, yaitu : penanaman dengan
pembibitan terlebih dahulu dan penanaman langsung tebar. Metode penanaman
dengan pembibitan terlebih dahulu harus melalui proses pembibitan. Adapun
proses pembibitan horenso adalah sebagai berikut : bibit direndam di dalam air
selama 30 menit lalu ditiriskan. Kemudian bibit diperam selama tiga hari hingga
berkecambah. Bibit yang telah berkecambah ditanam di kebun semai hingga
berusia dua minggu. Setelah itu bibit dapat ditanam di lahan pertanian yang telah
diolah sebelumnya. Namun seluruh petani responden di lokasi penelitian
menggunakan metode penanaman langsung tebar. Hal ini dikarenakan perbedaan
hasil dari kedua metode tersebut kurang signifikan, sedangkan penanaman
dengan pembibitan terlebih dahulu memerlukan waktu dan usaha yang lebih
besar.
5.4.2 Pengolahan Lahan
Hal pertama yang dilakukan dalam pengolahan lahan adalah
menghaluskan tanah yang masih berupa bongkahan. Kemudian tanah dibentuk
bedengan dengan lebar bedeng sebesar 150 cm dan jarak antar bedeng sebesar
75 cm. Jumlah bedeng disesuaikan dengan luas lahan yang dimiliki petani
responden. Tanah yang telah dibentuk bedengan kemudian dicampur dengan
pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1 dan didiamkan selama dua minggu.
Jika tanah memiliki pH kurang dari 5, maka dapat ditambahkan kapur dengan
dosis rata-rata 3-4 ton per hektar. Seluruh petani responden di lokasi penelitian
melakukan metode yang sama, dimana alat yang digunakan untuk pengolahan
lahan masih berupa alat sederhana yaitu cangkul.
Pengolahan lahan dilakukan dengan tujuan untuk membentuk tanah yang
subur dan memiliki struktur yang mendukung tumbuhnya tanaman khususnya
horenso. Selain itu berfungsi dalam menstabilkan kondisi tanah, memperbaiki
sifat fisik tanah serta memperbaiki pengairan sehingga diharapkan hasil yang
diperoleh maksimal.
53
5.4.3 Penanaman
Penanaman horenso yang dilakukan petani responden tergolong mudah.
Dapat dikatakan demikian karena seluruh petani responden di lokasi penelitian
menggunakan metode penanaman langsung tebar, dimana proses penanaman
tersebut tidak perlu melalui proses pembibitan terlebih dahulu. Pada metode
penanaman langsung tebar, bibit yang telah dibeli dapat langsung ditebar pada
lahan pertanian yang telah tersedia tanpa harus dilakukan perlakuan khusus pada
bibit.
5.4.4 Penyiangan
Penyiangan dilakukan dengan membuang atau mencabut tanaman
pengganggu yang berada di sekitar bedeng ataupun sayuran yang
pertumbuhannya terganggu. Seluruh petani responden menggunakan tenaga
kerja wanita untuk melakukan penyiangan. Penyiangan dilakukan sebanyak 4-6
kali saat usia tanaman telah mencapai 25 hari, dimana pada usia tersebut
pertumbuhan tanaman sedang berada pada tingkat maksimal.
Penyiangan dilakukan oleh petani responden dengan tujuan untuk
mencabut tanaman yang dapat mengganggu pertumbuhan horenso, membuang
tanaman yang dapat menyaingi penyerapan unsur hara, menghindari serangan
hama dan penyakit, dan menggemburkan tanah disekitar tanaman horenso. Pada
kegiatan usahatani horenso yang dilakukan petani responden, penyulaman tidak
dilakukan. Hal ini terkait dengan metode penanaman yang dilakukan oleh petani
responden yaitu metode langsung tebar, sehingga penyulaman tidak perlu
dilakukan.
5.4.5 Pemupukan
Pemupukan penting dilakukan oleh petani responden agar tanaman
horenso yang dibudidayakan dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan hasil
panen yang optimal. Terdapat dua jenis pupuk yang digunakan oleh petani
responden dalam usahatani horenso, yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik.
Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang, sedangkan pupuk
54
anorganik yang digunakan bermacam-macam, seperti : NPK, Phoska, TSP, Urea
dan ZA.
Pupuk organik digunakan untuk pemupukan dasar yang dilakukan satu
kali yaitu pada saat sebelum menebar bibit. Seluruh petani responden melakukan
pemupukan dasar dengan tujuan untuk merangsang peranakan tanaman horenso.
Pupuk anorganik digunakan untuk pemupukan rutin yang dilakukan sekitar dua
kali selama masa tanam. Adapun tahapan untuk pemupukan rutin adalah sebagai
berikut :
a. Pemupukan rutin pertama dilakukan 10-14 hari setelah tebar dengan
komposisi pupuk NPK sebesar 125 kg/ha dan pupuk Phoska sebesar 175
kg/ha.
b. Pemupukan rutin kedua dilakukan 25-30 hari setelah tebar dengan
komposisi pupuk Phoska sebesar 175 kg/ha dan pupuk TSP sebesar 200
kg/ha.
Terdapat beberapa petani responden yang tidak mengikuti anjuran
penggunaan pupuk dengan melakukan pemupukan kurang atau lebih dari tiga
kali. Persentase pemupukan petani responden dijelaskan pada Tabel 15.
Tabel 15. Persentase Pemupukan Petani Responden pada Tahun 2011
Pemupukan Jumlah Persentase (%)
Sesuai anjuran 18 60
Tidak sesuai anjuran 12 40
Total 30 100
Ketidaksesuaian pemupukan yang dilakukan petani responden dengan
anjuran penggunaan pupuk mengakibatkan perbedaan jumlah hasil panen yang
diperoleh oleh petani responden.
5.4.6 Pengendalian Hama dan Penyakit
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan petani responden sesuai
dengan kondisi hama dan penyakit yang menyerang lahan pertanian. Petani
responden sering menggunakan obat cair untuk mengendali hama dan penyakit
pada tanaman horenso seperti curacron, supergrow, score, rohastic, calicron,
bestox, dursban, agrimex dan lain-lain. Selain itu, digunakan juga obat padat
seperti vandozeb, dithane, antracol, dan lain-lain. Jenis obat-obatan yang
55
digunakan oleh petani responden adalah insektisida, fungisida, obat daun dan
perekat. Penggunaan obat-obatan disesuaikan dengan kondisi tanaman. Jenis
hama yang paling sering menyerang tanaman horenso adalah ulat.
Intensitas pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan petani
responden bervariasi, namun rata-rata dilakukan 4-6 kali selama masa tanam.
Adapun persentase pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh petani
responden dijelaskan pada Tabel 16.
Tabel 16. Persentase Penggunaan Obat-obatan Petani Responden pada Tahun
2011
Intensitas per satu musim tanam Jumlah Persentase (%)
3 4 13,33
4 8 26,67
5 5 16,67
6 7 23,33
7 3 10
8 2 6,67
> 8 1 3,33
Total 30 100
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan mencampurkan
beberapa jenis obat menjadi larutan dengan kapasitas tujuh belas liter untuk sekali
pengobatan. Pengobatan dilakukan dengan cara disemprot, oleh karena itu alat
yang diperlukan untuk mendukung kegiatan pengendalian hama dan penyakit
adalah tangki penyemprot obat. Pengobatan dilakukan saat pagi atau sore hari dan
dilakukan hanya oleh satu orang tenaga kerja.
5.4.7 Pemanenan
Pemanenan horenso dilakukan setelah tanaman berusia 45-50 hari. Hal
ini dikarenakan pada usia tersebut tanaman horenso sedang berada pada kondisi
ideal. Bobot ideal untuk horenso yang akan dipanen adalah 50 gram. Cara
memanen horenso adalah dengan mencabut seluruh tanaman tersebut hingga ke
akar. Pencabutan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak merusak tanaman.
Terdapat dua cara panen yang dilakukan oleh petani responden, yaitu
panen sekaligus dan panen bertahap. Hal ini terkait dengan jumlah permintaan di
pasar. Horenso yang merupakan sayuran eksklusif memiliki pasar yang sangat
spesifik. Hal ini membuat permintaan komoditas tersebut belum tetap. Oleh
56
karena itu, sebagian besar petani responden melakukan pemanenan secara
bertahap agar tetap dapat memenuhi kebutuhan pasar namun tidak berlebihan dan
terbuang. Persentase cara panen petani responden dijelaskan pada Tabel 17.
Tabel 17. Persentase Cara Panen Petani Responden pada Tahun 2011
Pemanenan Jumlah Persentase (%)
Panen sekaligus 7 23,33
Panen bertahap 23 76,67
Total 30 100
Metode pemanenan bertahap dianggap petani responden lebih baik
daripada pemanenan sekaligus karena pada pemanenan bertahap petani dapat
menyesuaikan waktu panen dengan harga yang sesuai. Hal ini juga menjadi alasan
petani responden banyak memilih metode panen bertahap.
VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI HORENSO
Analisis pendapatan usahatani horenso yang dilakukan bertujuan untuk
mengetahui tingkat penerimaan dan pengeluaran petani responden serta
perbandingan dari penerimaan dan pengeluaran tersebut. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh petani responden dalam
melakukan kegiatan usahatani horenso. Oleh karena itu, analisis pendapatan
usahatani horenso yang dilakukan terdiri dari analisis penerimaan, analisis biaya,
analisis pendapatan serta analisis R/C rasio usahatani horenso.
6.1 Penerimaan Usahatani Horenso
Penerimaan usahatani horenso yang dihitung hanya terdiri dari penerimaan
tunai. Penerimaan tunai merupakan penerimaan yang langsung diterima oleh
petani responden dalam bentuk uang tunai dari hasil penjualan horensonya.
Penerimaan tidak tunai tidak dimasukkan ke dalam analisis penerimaan karena
seluruh hasil panen yang diperoleh petani responden langsung dijual dan tidak ada
hasil panen yang disimpan untuk konsumsi rumah tangga ataupun untuk konsumsi
bibit.
Penerimaan usahatani horenso dihitung dari hasil perkalian antara jumlah
hasil produksi horenso dengan harga jualnya. Jumlah rata-rata produksi horenso di
lokasi penelitian adalah 888,05 kg dengan harga jual rata-rata sebesar Rp
5.700,00/kg. Penerimaan tunai yang diperoleh petani responden dari hasil
penjualan horenso adalah sebesar Rp 5.061.916,67. Sedangkan penerimaan tidak
tunai bernilai nol karena tidak ada hasil panen horenso yang digunakan untuk
konsumsi RT maupun konsumsi untuk bibit. Adapun penerimaan usahatani
horenso di lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 18.
Tabel 18. Penerimaan Usahatani Horenso per Hektar di Kelompok Tani Agro
Segar Periode April-Juni 2011
Penerimaan Jumlah (kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp)
Horenso 888,05 5.700 5.061.916,67
Penerimaan tunai 5.061.916,67
Penerimaan non tunai 0
Total penerimaan 5.061.916,67
58
6.2 Biaya Usahatani Horenso
Biaya usahatani horenso yang dilakukan terdiri dari dua bagian, yaitu biaya
tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani
responden meliputi biaya bibit, pemupukan, pestisida, biaya tenaga kerja luar
keluarga, sewa lahan dan pajak lahan. Sedangkan biaya yang diperhitungkan
merupakan biaya yang dikeluarkan petani untuk kegiatan produksi yang harus
diperhitungkan sebagai pengeluaran petani untuk usahatani horenso. Biaya yang
diperhitungkan yang dikeluarkan petani responden meliputi biaya tenaga kerja
dalam keluarga dan biaya penyusutan.
Tabel 19. Biaya Usahatani Horenso per Hektar pada Kelompok Tani Agro Segar
Periode April-Juni 2011
Keterangan Jumlah Harga satuan
(Rp) Nilai (Rp)
% atas
biaya
Biaya tunai
Bibit (kg) 0,86 292.667 252.221,76 13,54
Pupuk Kandang (kg) 620,28 441,10 273.604,53 14,69
Pupuk NPK (kg) 26,01 8.538,46 222.109,47 11,93
Pupuk TSP (kg) 30,72 3.340,91 102.631,73 5,51
Pupuk Phoska (kg) 33,23 2.760,00 91.724 4,93
Pupuk Urea (kg) 65,12 1.852,94 120.668,25 6,48
Pupuk ZA (kg) 111,11 1.600,00 177.777,78 9,55
Pestisida (kg) 3,3 62.433,00 206.028,90 11,06
TKLK Pria (HOK) 4,75 21.518,52 96.302,01 5,17
TKLK Wanita (HOK) 5,34 9.966,67 53.183,24 2,86
Sewa lahan (000 m2/
1,5 bulan) 1,3 146.953,13 183.691,40 9,86
Pajak lahan (000 m2/
1,5 bulan) 3,7 8.952,70 33.125 1,78
Total biaya tunai 1.813.068,09 97,35
Biaya diperhitungkan
TKDK Pria (orang) 2,10 21.518,52 45.162,32 2,42
Penyusutan 4.159,99 0,22
Total biaya diperhitungkan 49.322,31 2,65
Total biaya 1.862.390,39 100,00
59
Nilai biaya terbesar pada komponen biaya tunai adalah biaya pupuk
kandang, yaitu sebesar Rp 273.604,53 atau 14,69 persen dari biaya total. Jumlah
rata-rata pupuk kandang yang digunakan adalah 620,28 kg/1000 m2 dengan harga
rata-rata sebesar Rp 441,10. Penggunaan pupuk kandang yang tinggi pada lokasi
penelitian bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah pada lahan produksi
agar tanaman horenso yang dibudidayakan dapat tumbuh secara maksimal.
Biaya terbesar kedua adalah biaya pembibitan yaitu sebesar Rp 252.221,76
atau 13,54 persen dari biaya total. Besarnya biaya pembibitan di lokasi penelitian
disebabkan tingginya penggunaan bibit yang dilakukan oleh petani responden.
Rata-rata penggunaan bibit horenso di lokasi penelitian adalah sebanyak 3,45
kg/1000 m2 dengan harga rata-rata sebesar Rp 73.166,67. Penggunaan bibit yang
dilakukan para petani responden sudah berlebihan dibandingkan penggunaan bibit
pada lokasi lain yang hanya 2,46 kg/1000 m2.
Komponen biaya pemupukan anorganik terdiri dari biaya pupuk NPK, TSP,
Phoska, Urea dan ZA. Biaya pemupukan terbesar yang dikeluarkan petani
responden adalah biaya untuk pupuk NPK yaitu sebesar Rp 222.109,47 atau 11,93
persen dari biaya total. Jumlah rata-rata pupuk NPK yang digunakan adalah 26,01
kg/1000 m2 dengan harga rata-rata sebesar Rp 8.538,46. Biaya pemupukan
lainnya berdasarkan presentase dari biaya total yang diurutkan dari biaya terbesar
adalah ZA (9,55%), Urea (6,48%), TSP (5,51%), Phoska (4,93%). Komponen
biaya tunai lainnya adalah biaya pestisida yang sebesar Rp 206.028,9 atau 11,06
persen dari biaya total. Persentase biaya pestisida tergolong tinggi disebabkan
harga rata-rata pestisida yang relatif mahal yaitu sebesar Rp 62.433,00. Pestisida
yang digunakan pada lokasi penelitian adalah Curacron, Vandozeb, Score, dan
lain-lain dengan rata-rata penggunaan sebesar 3,3 kg/1000 m2 dengan harga Rp
62.433,00/kg. Penggunaan pestisida per 1000 m2 sangat tinggi karena tanaman
horenso sangat rentan terhadap hama dan penyakit sehingga penggunaan pestisida
yang tinggi dibutuhkan untuk memperoleh tanaman horenso yang sehat.
Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan petani responden terbagi menjadi dua,
yaitu biaya tenaga kerja wanita dan biaya tenaga kerja pria. Biaya tenaga kerja
wanita sebesar Rp 53.183,24 atau 2,86 persen dari biaya total dengan harga Rp
9.966,67 per orang. Sedangkan biaya tenaga kerja pria sebesar Rp 96.302,01 atau
60
5,17 persen dari biaya total usahatani horenso dengan harga Rp 21.528,52 per
orang. Biaya untuk tenaga kerja pria lebih besar daripada biaya untuk tenaga kerja
wanita karena harga untuk tenaga kerja pria lebih tinggi. Tenaga kerja wanita
hanya mengerjakan pekerjaan penyiangan tanaman sedangkan pekerjaan lainnya
dikerjakan oleh tenaga kerja pria.
Biaya tunai sewa lahan dan pajak lahan dihitung dalam jangka waktu satu
musim tanam horenso atau satu setengah bulan. Biaya sewa lahan yang
dikeluarkan petani responden yang menyewa lahan adalah sebesar Rp 183.691,41.
Rata-rata luas lahan yang disewa petani responden adalah seluas 130 m2 dengan
harga Rp 1.469.531,25 per 1000 m2. Sedangkan biaya pajak lahan yang
dikeluarkan petani responden yang merupakan pemilik lahan adalah sebesar Rp
33.125. Jumlah biaya pajak lahan tersebut relatif rendah karena hanya sebagian
kecil petani pemilik lahan yang membayar pajak lahannya.
Komponen biaya diperhitungkan hanya terdiri dari biaya tenaga kerja dalam
keluarga (TKDK) dan biaya penyusutan. Pada komponen biaya diperhitungkan,
biaya terbesar adalah biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) yaitu sebesar Rp
45.162,32 atau 2,42 persen dari biaya total usahatani horenso. Biaya tenaga kerja
dalam keluarga digunakan untuk jenis pekerjaan yang bersifat pemeliharaan
seperti pemupukan, penyiangan dan pengendalian hama penyakit. Komponen
biaya diperhitungkan lainnya adalah biaya penyusutan sebesar Rp 4.159,99 atau
0,22 persen dari biaya total.
Total biaya diperhitungkan adalah sebesar Rp 49.322,31 atau 2,65 persen
dari biaya total. Sedangkan total biaya tunai adalah sebesar Rp 1.813.068,19 atau
sebesar 97,35 persen dari biaya total. Total biaya diperhitungkan jumlahnya lebih
kecil dari biaya tunai. Hal ini menjelaskan bahwa usahatani horenso pada
Kelompok Tani Agro Segar termasuk komersial karena sebagian besar inputnya
dibayar tunai (97,35 persen). Sehingga biaya total usahatani horenso di lokasi
penelitian adalah Rp 1.862.390,39 untuk luas tanam 1000 m2.
61
6.3 Pendapatan Usahatani Horenso
Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani
dengan pengeluaran usahatani. Komponen pendapatan usahatani terdiri dari
pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Analisis R/C rasio
digunakan untuk menunjukan perbandingan antara nilai output terhadap nilai
inputnya sehingga dapat diketahui kelayakan usahatani yang diusahakan petani
horenso pada Kelompok Tani Agro Segar. Penerimaan usahatani horenso di lokasi
penelitian adalah sebesar Rp 5.061.916,67, sedangkan biaya tunai sebesar Rp
1.813.068,09 dan biaya total sebesar Rp 1.862.390,39.
Pendapatan atas biaya tunai usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro
Segar adalah sebesar Rp 3.248.848,58 dan bernilai lebih besar dari nol. Hal ini
menunjukkan bahwa usahatani horenso di lokasi penelitian memberikan
keuntungan sebesar Rp 3.248.848,58 bagi petani atas biaya tunai yang
dikeluarkannya dalam memproduksi horenso seluas satu 1000 m2. Sedangkan
pendapatan atas biaya total yang diperoleh adalah sebesar Rp 3.199.526,27 dan
bernilai lebih besar dari nol. Hal ini menunjukan bahwa usahatani horenso di
lokasi penelitian memberikan keuntungan sebesar Rp 3.199.526,27 bagi petani
atas total biaya yang dikeluarkannya untuk memproduksi horenso seluas 1000 m2.
Namun hampir seluruh petani responden memiliki luas lahan yang kurang dari
1000 m2, sehingga pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya
total yang diperoleh petani responden pun tidak sebesar angka tersebut.
Nilai R/C atas biaya tunai usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro
Segar adalah 2,79. Hal ini menunjukkan bahwa setiap Rp 1.000,00 biaya tunai
yang dikeluarkan petani dalam kegiatan produksi horenso akan menghasilkan
penerimaan sebesar Rp 2.790,00. Sedangkan nilai R/C atas biaya total adalah
2,72. Hal ini menunjukkan bahwa setiap Rp 1.000 biaya total yang dikeluarkan
petani dalam kegiatan produksi horenso akan menghasilkan penerimaan sebesar
Rp 2.720.
Penelitian lain terkait analisis pendapatan usahatani adalah penelitian yang
dilakukan Haris (2007) dimana penelitian ini membahas tentang pendapatan
usahatani komoditas kentang. Hasil analisis menunjukkan bahwa komoditas
kentang memiliki nilai R/C rasio atas biaya tunai sebesar 2,05 dan nilai R/C rasio
62
atas biaya total sebesar 1,26. Sedangkan penelitian Sitepu (2010) membahas
tentang pendapatan usahatani komoditas jamur tiram. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa komoditas jamur tiram memiliki nilai R/C rasio atas biaya
tunai sebesar 1,57 dan nilai R/C rasio atas biaya total sebesar 1,84. Jika melihat
penelitian-penelitian lain yang membahas pendapatan usahatani, hasil analisis
pendapatan usahatani horenso memiliki nilai R/C rasio yang lebih tinggi
dibanding hasil analisis pendapatan usahatani komoditas-komoditas lain.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro
Segar lebih menguntungkan untuk diusahakan. Adapun hasil perhitungan
pendapatan dan rasio penerimaan terhadap biaya (R/C) usahatani horenso pada
Kelompok Tani Agro Segar ditunjukkan pada Tabel 20.
Tabel 20. Perhitungan Pendapatan dan Rasio Penerimaan Terhadap Biaya (R/C)
Usahatani Horenso per 1000 m2 pada Kelompok Tani Agro Segar
Periode April-Juni 2011
Komponen Nilai (Rp)
A. Penerimaan Tunai 5.061.916,67 B. Penerimaan Diperhitungkan - C. Total Penerimaan (A+B) 5.061.916,67 D. Biaya Tunai 1.813.068,09 E. Biaya Diperhitungkan 49.322,31 F. Total Biaya (D+E) 1.862.390,39 Pendapatan Atas Biaya Tunai (C-D) 3.248.848,58 Pendapatan Atas Biaya Total (C-F) 3.199.526,27 R/C atas Biaya Tunai 2,79 R/C atas Biaya Total 2,72
Analisis BEP pada penelitian memberikan hasil perhitungan yang
menunjukkan bahwa BEP harga usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro
Segar dengan produksi rata-rata sebesar 888,05 kg/1000 m2 adalah pada harga jual
Rp 2.097,16/kg. Hal ini berarti petani responden akan mendapatkan keuntungan
jika harga jual horenso berada di atas Rp 2.097,16/kg. Harga jual rata-rata pada
petani responden adalah Rp 5.700,00 dan bernilai lebih tinggi dari nilai BEP harga
63
pada jumlah produksi rata-rata. Hal tersebut menunjukan bahwa harga rata-rata
pada lokasi penelitian memberikan keuntungan bagi petani horenso. Sedangkan
BEP unit usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro Segar dengan harga jual
rata-rata sebesar Rp 5.700,00/kg adalah pada tingkat produksi 326,74 kg/1000 m2.
Hal ini berarti petani responden akan mendapatkan keuntungan jika petani dapat
memproduksi horenso dengan jumlah 326,74 kg/1000 m2 ketika harga jual
horenso sebesar Rp 5.700,00/kg. Jumlah rata-rata hasil panen horenso pada
Kelompok Tani Agro Segar adalah 888,05 kg/1000 m2 dan bermilai lebih tinggi
dari nilai BEP unit pada harga jual rata-rata. Hal tersebut menunjukkan bahwa
usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro Segar memberikan keuntungan pada
petani responden pada musim tanam April-Juni tahun 2011. Adapun perhitungan
Break Even Point (BEP) usahatani horenso di lokasi penelitian dijelaskan pada
Tabel 21.
Tabel 21. Perhitungan Break Even Point (BEP) Usahatani Horenso per 1000m2
pada Kelompok Tani Agro Segar Periode April-Juni 2011
Keterangan Hasil Penelitian (Real) BEP =
TC/P = TC/Q Kesimpulan
Total Cost (TC) Rp 1.862.390,39/1000 m2
Harga (P) Rp 5.700,00/kg Rp 2.097,16/kg Real > BEP = profitable
Unit (Q) 8.880,56 kg/1000 m2 3.267,35 kg/1000 m
2 Real > BEP = profitable
Analisis pendapatan yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari analisis
pendapatan, analisis R/C dan analisis BEP usahatani horenso pada Kelompok
Tani Agro Segar. Hasil analisis pendapatan menunjukkan bahwa usahatani
horenso memberikan keuntungan kepada petani responden. Begitu pun hasil
analisis R/C dan analisis BEP menunjukkan bahwa usahatani horenso
menguntungkan petani. Oleh karena itu, dapat disimpulkan dari hasil analisis
secara keseluruhan bahwa usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro Segar
menguntungkan untuk diusahakan.
VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI
Analisis fungsi produksi yang digunakan pada penelitian ini adalah model
fungsi stochastic production frontier Cobb-Douglas dengan menggunakan
parameter Maximum Likelihood Estimated (MLE). Tujuan dilakukannya analisis
fungsi produksi tersebut adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi fungsi produksi usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro
Segar. Sedangkan metode MLE digunakan untuk menggambarkan hubungan
antara produksi maksimum yang dapat dicapai dengan faktor-faktor produksi
yang digunakan. Adapun penelitian ini menggunakan enam variabel independen
penduga dalam fungsi produksi, yaitu luas lahan (X1), jumlah bibit (X2),
penggunaan tenaga kerja (X3), jumlah pupuk organik (X4), jumlah pupuk
anorganik (X5) dan jumlah pestisida (X6). Seluruh variabel independen pada
fungsi produksi yang dibentuk memiliki nilai VIF di bawah 10. Hal ini
menggambarkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas pada fungsi produksi
tersebut.
Pencarian fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas dilakukan
dengan dua tahap. Pencarian awal fungsi produksi dilakukan dengan metode
Ordinary Least Square (OLS) dan kemudian menggunakan metode Maximum
Likelihood Estimates (MLE) pada tahap kedua. Pendugaan parameter fungsi
produksi Cobb-Douglas dengan metode OLS menunjukkan gambaran kinerja
rata-rata (best fit) dari proses produksi petani pada tingkat teknologi yang ada.
Sedangkan dengan metode MLE menggambarkan kinerja terbaik (best practice)
dari prilaku petani dalam proses produksi.
Pada penelitian ini ditemukan beberapa variabel yang memiliki nilai
koefisien negatif pada tahap analisis menggunakan metode OLS. Keberadaan nilai
koefisien yang negatif ini sebaiknya dihindari untuk dua alasan. Pertama, agar
relevan dengan analisis ekonomi maka nilai koefisien fungsi produksi harus
positif. Ini berlaku asumsi bahwa penggunaan fungsi Cobb-Douglas adalah dalam
keadaan law of diminishing returns untuk setiap input sehingga informasi yang
diperoleh dapat dipakai untuk melakukan upaya agar dapat setiap penambahan
input dapat menghasilkan tambahan output yang lebih besar. Kedua, nilai
koefisien yang negatif menyebabkan penurunan fungsi biaya dual tidak dapat
65
dilakukan. Sehingga dalam penentuan fungsi produksi dipilih fungsi produksi
yang memiliki nilai koefisien keseluruhan yang positif (Coelli 1998). Namun
penelitian ini hanya membahas mengenai efisiensi teknis dan tidak berkaitan
dengan analisis ekonomis maupun fungsi biaya dual. Oleh karena itu, koefisien
yang bernilai negatif tidak perlu dihapus.
7.1 Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usahatani Horenso
Tabel 18 menjelaskan bahwa hasil pendugaan fungsi produksi stochastic
frontier usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro Segar menggunakan enam
variabel independen. Nilai parameter dugaan pada fungsi produksi rata-rata
menunjukkan elastisitas produksi rata-rata dari penggunaan faktor-faktor produksi
yang digunakan. Berikut hasil pendugaan fungsi produksi Cobb-Douglas dengan
metode OLS.
Tabel 22. Pendugaan Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas Stochastic Frontier
Horenso dengan Metode OLS tahun 2011
Variabel OLS
Koefisien t-hitung
Intersep (ln β0) 10,757 4,695
Lahan (β1) 0,763 3,049****
Bibit (β2) -0,854 -2,714***
Tenaga Kerja (β3) 0,199 2,063**
Pupuk Organik (β4) 0,721 0,595
Pupuk Anorganik (β5) 0,393 1,647*
Pestisida (β6) -0,812 -0,563 Keterangan : **** nyata pada α = 0,5 % ** nyata pada α = 5 %
*** nyata pada α = 1 % * nyata pada α = 10 %
Pendugaan fungsi produksi Cobb-Douglas dengan metode OLS diperlukan
untuk mengetahui keberadaan autokorelasi maupun multikolinearitas pada model
yang digunakan. Sebagian besar variabel berpengaruh nyata terhadap produksi
horenso. Namun terdapat satu variabel yang tidak berpengaruh nyata yaitu
variabel pupuk organik.
Hasil dari pendugaan tahap kedua yaitu pendugaan model fungsi produksi
usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro Segar dengan menggunakan metode
MLE dijelaskan oleh Tabel 19. Pada metode MLE dapat diketahui bahwa nilai R2
yang dihasilkan adalah sebesar 84,9 persen. Hal ini berarti keragaman produksi
66
(Y) dapat dijelaskan oleh variabel independen (Xi) sebesar 84,9 persen.
Sedangkan sebesar 15,1 persen keragaman produksi dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain yang tidak termasuk ke dalam model.
Tabel 23. Pendugaan Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas Stochastic Frontier
Horenso dengan Metode MLE tahun 2011
Variabel MLE
Koefisien t-hitung
Intersep (ln β0) 10,944 11,236
Lahan (β1) 0,742 5,218****
Bibit (β2) -0,839 -2,567***
Tenaga Kerja (β3) 0,196 2,387**
Pupuk Organik (β4) 0,715 1,059
Pupuk Anorganik (β5) 0,392 2,227**
Pestisida (β6) -0,838 -1,109
R2
84,9 %
P 0,000
σ2
0,060
Γ 0,831
LR test of one side error 9,783 Keterangan : **** nyata pada α = 0,5 % ** nyata pada α = 5 %
*** nyata pada α = 1 % * nyata pada α = 10 %
Parameter dugaan pada fungsi produksi Cobb-Douglas telah menunjukkan
nilai elastisitas produksi batas dari input-input yang digunakan. Terdapat
perbedaan nilai parameter dugaan fungsi produksi rata-rata dengan fungsi
produksi batas (frontier). Elastisitas yang lebih besar pada fungsi produksi batas
dapat diartikan sebagai peningkatan produksi yang lebih besar pada fungsi
produksi batas dibandingkan fungsi produksi rata-rata.
Berdasarkan metode MLE, model memiliki LR test of one side error sebesar
9,783 yang lebih besar dari χ2
7 pada Tabel Chi Square Kodde dan Palm pada α =
0,25 yaitu 8,461. Hal ini menunjukkan keberadaan inefisiensi teknis pada model.
Adapun model yang digunakan pada penelitian ditunjukkan pada persamaan di
bawah ini.
ln Y = 10,944 + 0,742 ln X1 – 0,839 ln X2 + 0,196 ln X3 + 0,715 ln X4 + 0,392
ln X5 - 0,838 ln X6 + vi - ui
67
Interpretasi Model Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Tabel 19 menjelaskan bahwa terdapat beberapa variabel yang berpengaruh
positif dan berpengaruh negatif terhadap produksi horenso. Variabel yang
berpengaruh positif terhadap produksi horenso adalah lahan, tenaga kerja, pupuk
organik dan pupuk anorganik. Sedangkan variabel lainnya seperti bibit dan
pestisida berpengaruh negatif terhadap produksi horenso pada Kelompok Tani
Agro Segar. Seluruh variabel yang digunakan berpengaruh nyata terhadap
produksi horenso pada Kelompok Tani Agro Segar. Adapun interpretasi dari
masing-masing faktor produksi pada model fungsi produksi stochastic frontier
adalah sebagai berikut :
1. Lahan
Pada Tabel 19 ditunjukkan bahwa variabel lahan berpengaruh positif dan
nyata pada taraf kepercayaan 99,5 persen terhadap produksi horenso pada
Kelompok Tani Agro Segar. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat produksi
berbanding lurus dengan luas lahan. Nilai koefisien variabel lahan pada model
yang menunjukkan elastisitas variabel lahan terhadap produksi horenso adalah
sebesar 0,742. Hal ini berarti peningkatan luas lahan sebesar satu persen akan
mengakibatkan peningkatan produksi horenso sebesar 0,742 persen, cateris
paribus.
Hubungan positif serta pengaruh variabel lahan yang besar terhadap produksi
horenso dapat menjelaskan bahwa ekstensifikasi merupakan salah satu cara yang
tepat untuk meningkatkan produksi horenso di lokasi penelitian. Upaya
ekstensifikasi luas lahan masih memungkinkan dilakukan karena masih terdapat
banyak sumber daya lahan yang belum digunakan.
2. Bibit
Variabel bibit berpengaruh negatif dan nyata terhadap produksi horenso pada
Kelompok Tani Agro Segar pada taraf kepercayaan 99 persen. Nilai elastisitas
variabel bibit pada model adalah sebesar -0,839. Angka tersebut menunjukkan
bahwa peningkatan penggunaan bibit sebesar satu persen akan mengakibatkan
penurunan produksi horenso sebesar 0,839 persen, cateris paribus. Dari hasil
analisis tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan bibit di lokasi penelitian
68
sudah berlebihan sehingga penambahan bibit akan menyebabkan perkembangan
tanaman horenso tidak maksimal. Perkembangan yang tidak maksimal
menyebabkan berat dari masing-masing tanaman horenso kurang dari berat ideal.
Selain itu, dari bibit yang digunakan oleh petani responden, banyak bibit yang
gagal tumbuh. Hal ini yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi horenso
jika dilakukan penambahan penggunaan bibit.
Rata-rata penggunaan bibit horenso di lokasi penelitian adalah 7,79 kg/ha
dengan lebar bedeng 100 cm dan jarak antar bedeng 30 cm. Sedangkan anjuran
penggunaan bibit untuk penanaman satu hektar adalah 2,46 kg/ha dengan lebar
bedeng 100 cm dan jarak antar bedeng 25-35 cm. Terlihat bahwa lebar bedeng
dan jarak antar bedeng pada lahan petani responden sudah sesuai dengan anjuran
namun penggunaan bibit yang dilakukan petani responden sangat berlebihan.
Penggunaan bibit yang berlebihan tersebut dilakukan karena kebiasaan sejak
pertama kali teknik budidaya tanaman horenso diberitahukan ke petani
responden.
3. Tenaga Kerja
Variabel tenaga kerja berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi
horenso pada Kelompok Tani Agro Segar pada taraf kepercayaan 95 persen. Nilai
elastisitas variabel tenaga kerja pada model adalah sebesar 0,196. Angka tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan tenaga kerja sebesar satu persen
akan mengakibatkan peningkatan produksi horenso sebesar 0,196 persen, cateris
paribus. Meskipun pengaruh variabel tenaga kerja relatif kecil karena kemampuan
teknik budidaya yang masih rendah, namun penambahan tenaga kerja diperlukan
untuk intensifikasi pemeliharaan seperti pengendalian hama dan penyakit,
penyiangan dan sebagainya.
Tanaman horenso adalah tanaman yang rentan terhadap hama ulat dan
pembusukan. Oleh karena itu dibutuhkan intensifikasi pemeliharaan untuk
meminimalisir tanaman horenso yang mati atau terserang hama penyakit.
Pemeliharaan yang intensif menjadikan petani perlu menambah penggunaan
tenaga kerja untuk meningkatkan produksi horenso. Dari hasil analisis tersebut
69
dapat diketahui bahwa penggunaan tenaga kerja per satu satuan luas lahan dapat
ditingkatkan untuk memperoleh hasil panen yang lebih tinggi.
4. Pupuk Organik
Pada Tabel 19 ditunjukkan bahwa variabel pupuk organik berpengaruh positif
dan tidak nyata terhadap peningkatan produksi horenso pada Kelompok Tani
Agro Segar. Nilai koefisien variabel pupuk organik pada model adalah sebesar
0,715. Angka tersebut menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan pupuk
organik sebesar satu persen akan mengakibatkan peningkatan produksi horenso
sebesar 0,715 persen, cateris paribus. Penambahan pupuk organik dapat
menyebabkan peningkatan produksi horenso karena pupuk organik dapat
membantu memulihkan kondisi tanah yang kurang subur dan mempengaruhi
tingkat unsur hara dalam tanah yang berfungsi sebagai nutrisi bagi
mikroorganisme tanah. Hal ini dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme
tanah yang baik bagi tanaman. Oleh karena itu, penambahan penggunaan pupuk
organik akan berdampak baik bagi pertumbuhan tanaman.
Rata-rata penggunaan pupuk organik di lokasi penelitian adalah 5490 kg/ha.
Sedangkan penggunaan pupuk organik yang ideal untuk penanaman satu hektar
adalah 7120 kg/ha. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik yang
dilakukan petani responden masih kurang dari penggunaan pupuk organik yang
ideal. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan pupuk
organik per satu satuan luas lahan dapat terus ditingkatkan untuk memperoleh
hasil panen yang lebih tinggi.
5. Pupuk Anorganik
Variabel pupuk anorganik berpengaruh positif dan nyata terhadap
peningkatan produksi horenso pada Kelompok Tani Agro Segar pada taraf
kepercayaan 95 persen. Nilai koefisien variabel pupuk organik pada model adalah
sebesar 0,392. Angka tersebut menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan
pupuk organik sebesar satu persen akan mengakibatkan peningkatan produksi
horenso sebesar 0,392 persen, cateris paribus.
Rata-rata penggunaan pupuk anorganik di lokasi penelitian adalah 1152
kg/ha. Sedangkan penggunaan pupuk anorganik yang ideal untuk penanaman satu
70
hektar adalah 293,9 kg/ha. Walaupun penggunaan pupuk anorganik di lokasi
penelitian melebihi penggunaan ideal, namun penambahan penggunaan pupuk
anorganik berpengaruh positif dan signifikan walaupun kecil. Pengaruh perubahan
yang kecil sebesar 0,057 persen diduga karena penggunaan pupuk anorganik
sudah mendekati jumlah maksimum dari kapasitas lahan.
6. Pestisida
Pada Tabel 19 ditunjukkan bahwa variabel pestisida berpengaruh negatif dan
tidak nyata terhadap peningkatan produksi horenso pada Kelompok Tani Agro
Segar. Nilai koefisien variabel pestisida pada model adalah sebesar -0,838. Angka
tersebut menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan pestisida sebesar satu
persen akan mengakibatkan penurunan produksi horenso sebesar 0,838 persen,
cateris paribus.
Rata-rata penggunaan pestisida di lokasi penelitian adalah 24,6 kg/ha.
Sedangkan penggunaan pestisida yang ideal untuk penanaman satu hektar adalah
1,73 kg/ha. Penggunaan pestisida pada petani responden sudah melebihi
penggunaan pestisida yang ideal. Penggunaan pestisida yang berlebihan dapat
merusak tanaman dan hewan-hewan kecil yang baik bagi tanaman. Oleh karena
itu penggunaan pestisida yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan
produksi horenso di lokasi penelitian.
7.2 Tingkat Efisiensi teknis dan Inefisiensi teknis
Analisis model inefisiensi teknis dilakukan secara simultan dengan
menggunakan model stochastic production frontier. Variabel-variabel independen
yang digunakan dalam model adalah umur, pengalaman, pendidikan formal,
penyuluhan dan status kepemilikan lahan. Tabel 24 menunjukkan ringkasan
statistik dari variabel yang digunakan dalam model efek inefisiensi teknis.
Tabel 24. Ringkasan Statistik Bebas Variabel Model Inefisiensi teknis
Bebas variabel Mean Min Maks
Umur (tahun) 40,7 22 60
Pengalaman (tahun) 4,17 1 10
Pendidikan formal (tahun) 6,5 3 12
Penyuluhan (dummy) - 0 1
Status kepemilikan lahan (dummy) - 0 1
71
Hasil pendugaan tingkat efisiensi teknis menunjukan tingkat efisiensi
teknis petani horenso berada pada range 0,47 sampai 0,98, rata-rata tingkat
efisiensi teknis petani horenso pada Kelompok Tani Agro Segar adalah 0,87 atau
87 persen dari produksi maksimum. Hal ini menunjukan bahwa usahatani horenso
pada Kelompok Tani Agro Segar sudah cukup efisien namun masih terdapat
peluang meningkatkan produksi sebesar 13 persen untuk mencapai produksi
maksimum. Sebaran efisiensi teknis ditunjukkan oleh Tabel 25, sedangkan
efisiensi masing-masing responden dapat dilihat pada Lampiran .
Tabel 25. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi teknis
Usahatani Horenso pada Kelompok Tani Agro Segar Tahun 2011
Tingkat Efisiensi Teknis Jumlah (orang) Presentase (persen)
0 < 0,5 1 3,3
0,5 ≤ TE < 0,60 0 0
0,6 ≤ TE < 0,7 2 6,7
0,7 ≤ TE < 0,8 2 6,7
0,8 ≤ TE < 0,9 8 26,7
TE ≥ 0,9 17 56,6
Total 30 100
Rata-rata TE 0,87
Minimum TE 0,47
Maksimum TE 0,98
Sumaryanto (2001) menjelaskan bahwa petani dikategorikan efisien jika
memiliki tingkat efisiensi lebih dari 0,7. Pada penelitian ini terdapat 27 orang atau
90 persen petani responden yang memiliki tingkat efisiensi teknis di atas 0,7.
Sedangkan 10 persen petani responden masih memiliki tingkat efisiensi di bawah
0,7 atau belum efisien. Petani-petani yang belum efisien tersebut dapat dijadikan
sasaran penyuluhan dalam hal teknis pertanian maupun manajemen usahatani. Hal
ini dikarenakan petani masih memiliki peluang atau potensi maksimum yang
seharusnya dapat dicapai dari penggunaan sumber daya yang ada.
Hasil dari analisis model inefisiensi teknis menunjukan bahwa terdapat
variabel yang berpengaruh positif maupun negatif terhadap inefisiensi teknis.
Variabel yang berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis adalah umur,
pengalaman, dummy penyuluhan dan dummy status kepemilikan lahan, sedangkan
variabel pendidikan formal berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis.
72
Adapun pendugaan parameter Maximum-Likelihood Model Inefisiensi teknis
Horenso pada Kelompok Tani Agro Segar akan ditunjukkan pada Tabel 22.
Tabel 26. Pendugaan Parameter Efek Inefisiensi Fungsi Produksi Stochastic
Frontier Horenso pada Kelompok Tani Agro Segar Tahun 2011
Variabel MLE
Koefisien t-hitung
Konstanta (δ0) -0,023 -0,023
Umur (δ1) 0,062 0,203
Pengalaman (δ2) 0,609 2,134**
Pendidikan formal (δ3) -0,629 -1,317*
Dummy penyuluhan (δ4) 0,168 0,443 Dummy status kepemilikan
lahan (δ5)
0,049 0,106
Keterangan : ** nyata pada α = 2,5 % * nyata pada α = 25 %
Setiap efek inefisiensi teknis memiliki pengaruh yang berbeda-beda.
Pengaruh dari masing-masing efek inefisiensi teknis dijelaskan sebagai berikut:
1. Umur
Faktor umur petani responden berpengaruh positif dan tidak berpengaruh
nyata terhadap efek inefisiensi teknis horenso pada Kelompok Tani Agro
Segar. Koefisien pada faktor umur sebesar 0,062 menunjukkan bahwa
penambahan umur petani sebesar satu tahun akan meningkatkan inefisiensi
sebesar 0,062, cateris paribus. Hasil ini sesuai dengan hipotesis awal dimana
faktor umur dimasukkan dalam model inefisiensi dengan dugaan akan
berpengaruh positif bahwa semakin bertambah umur petani akan terjadi
peningkatan inefisiensi. Hal ini terjadi karena mayoritas umur petani responden
atau 83,3 persen dari petani responden memiliki umur yang berada pada usia
produktif yaitu 20-50 tahun, sehingga kemampuan untuk menyerap ilmu terkait
teknologi dan teknik budidaya baru masih dalam keadaan optimal. Selain itu
kemampuan fisik petani yang masih berada pada usia produktif akan lebih baik
daripada petani yang sudah lebih berumur.
Usahatani horenso sendiri membutuhkan teknik budidaya yang intensif,
dari mulai penanaman hingga pemanenannya, dimana penerapan teknologi atau
teknik budidaya baru akan berpengaruh terhadap produksi horenso. Oleh
karena itu, pada lokasi penelitian penambahan umur petani responden akan
73
meningkatkan inefisiensi karena kurangnya kemampuan untuk menyerap
teknologi maupun teknik budidaya baru, penurunan kinerja dan kemampuan
fisik.
2. Pengalaman
Pengalaman diukur berdasarkan jumlah waktu (tahun) petani responden
menbudidayakan horenso. Faktor pengalaman berpengaruh positif dan nyata
terhadap efek inefisiensi teknis usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro
Segar pada taraf kepercayaan 97,5 persen. Koefisien pada faktor pengalaman
sebesar 0,609 menunjukkan bahwa jika pengalaman petani responden bertambah
satu tahun maka inefisiensi teknis akan bertambah 0,609, cateris paribus. Hasil
ini tidak sesuai dengan hipotesis awal dimana faktor pengalaman diduga akan
menurunkan inefisiensi teknis dari usahatani horenso. Hal ini dikarenakan
pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman dengan menggunakan teknik
budidaya konvensional yang dipahami petani sejak awal dan terbentuk oleh
pengalaman.
Semakin bertambahnya pengalaman petani maka petani akan lebih sulit
untuk merubah kebiasaan teknik budidayanya karena pengalaman telah
membentuk teknik budidaya petani yang kuat. Sedangkan teknik budidaya
horenso membutuhkan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan efisiensi
budidaya. Selain itu, hal ini dikarenakan petani yang lebih berpengalaman enggan
mengikuti inovasi teknik budidaya maupun teknologi yang baru. Selain karena
telah nyaman dengan teknik yang biasa digunakan, petani yang lebih
berpengalaman juga merasa bahwa mereka lebih mengerti mengenai penguasaan
lahan. Sedangkan petani yang kurang berpengalaman lebih terbuka terhadap
teknologi dan inovasi baru dalam berusahatani karena merasa belum menemukan
teknik yang terbaik dalam berusahatani.
3. Pendidikan formal
Pendidikan formal diukur berdasarkan jumlah waktu (tahun) yang ditempuh
petani responden dalam menjalankan masa pendidikan formalnya. Faktor
pendidikan formal berpengaruh negatif dan nyata terhadap efek inefisiensi teknis
usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro Segar pada taraf kepercayaan 75
74
persen. Koefisien pada faktor pengalaman sebesar -0,629 menunjukkan bahwa
jika pendidikan formal petani responden bertambah satu tahun maka inefisiensi
teknis akan menurun 0,629, cateris paribus. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat
pendidikan petani maka inefisiensi teknis usahatani akan semakin rendah.
Sebagian besar petani responden yaitu sebanyak 19 orang mengenyam
pendidikan formal hingga lulus SD, 7 orang melanjutkan pendidikan hingga SMP
atau SMA dan sisanya sebanyak 4 orang belum lulus SD. Petani yang
mendapatkan pendidikan formal memiliki kemampuan membaca, menulis dan
menghitung. Kemampuan ini meskipun sederhana tapi mampu membantu petani
dalam melakukan pengelolaan usahataninya menjadi lebih baik dan efisien. Selain
itu, semakin tinggi tingkat pendidikan formal petani, maka semakin tinggi pula
kemampuan petani tersebut untuk mengikuti teknik budidaya ataupun teknologi
baru yang meningkatkan efisiensi usahatani horenso. Maka dari itu faktor
pendidikan formal di lokasi penelitian berdampak nyata dalam menurunkan
inefisiensi teknis usahatani horenso.
4. Penyuluhan
Penyuluhan berpengaruh positif dan tidak berpengaruh nyata terhadap efek
inefisiensi teknis usahatani horenso pada Kelompok Tani Agro Segar. Hal ini
menunjukan bahwa adanya penyuluhan terkait teknik budidaya dan teknologi
usahatani tidak mempengaruhi tingkat inefisiensi usahatani horenso di lokasi
penelitian, karena sebagian besar petani responden lebih nyaman dengan teknik
budidaya yang telah biasa dikerjakan. Hal ini menyebabkan petani sulit
melakukan perubahan dengan mengadopsi teknik maupun teknologi baru.
Selain itu penyuluhan yang diberikan pun tidak banyak memberi informasi
baru kepada petani responden, karena teknik budidaya ideal bagi horenso belum
diketahui secara pasti oleh penyuluh. Data di lapangan menunjukkan bahwa
terdapat 14 orang petani responden yang telah mengikuti penyuluhan.
75
5. Status kepemilikan lahan
Status kepemilikan lahan diukur dengan dummy lahan sewa = 0 dan lahan
bukan sewa = 1, dan. Status kepemilikan lahan berpengaruh positif dan tidak
berpengaruh nyata terhadap efek inefisiensi teknis usahatani horenso pada
Kelompok Tani Agro Segar. Hal ini menunjukan bahwa kepemilikan lahan petani
responden tidak mempengaruhi tingkat inefisiensi usahatani horenso di lokasi
penelitian. Nilai koefisien status kepemilikan lahan yang positif menunjukkan
bahwa petani yang menyewa lahan membudidayakan horenso dengan lebih
efisien dibandingkan petani yang memiliki lahan sendiri. Hal ini disebabkan rasa
tanggung jawab yang dimiliki oleh petani yang bukan pemilik lahan lebih besar
dibandingkan dengan petani yang memiliki lahannya sendiri. Petani responden
petani sewa lebih termotivasi dalam menjalankan usahataninya karena petani sewa
telah mengeluarkan biaya sewa lahan di awal tahun untuk lahan usahataninya,
sehingga petani tersebut berusaha lebih baik untuk mengejar kembalinya modal
sewa disamping untuk memperoleh keuntungan.
7.3 Implikasi Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian efisiensi teknis horenso pada Kelompok Tani
Agro Segar dapat diketahui tingkat efisiensi teknis dari budidaya horenso di lokasi
penelitian. Hasil dari penelitian ini memberikan beberapa implikasi terhadap
kebijakan perusahaan dan manajerial usahatani yang dapat diterapkan oleh
Kelompok Tani Agro Segar sebagai alternatif pemecahan masalah dan
peningkatan produksi dan efisiensi teknis usahatani horenso. Peningkatan
produksi dapat dicapai dengan cara menggeser production frontier (peningkatan
efisiensi teknis) atau dengan cara memperbaiki tingkat efisiensi dengan
pemakaian teknologi tertentu (bergerak menuju frontier).
Diketahui dari hasil penelitian bahwa variabel yang berpengaruh negatif
terhadap inefisiensi (meningkatkan efisiensi teknis) adalah pendidikan formal.
Sedangkan umur, pengalaman, penyuluhan dan status kepemilikan lahan
berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis (menurunkan efisiensi teknis).
Adapun beberapa implikasi kebijakan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini
adalah :
76
1. Lahan dan pupuk organik memiliki pengaruh positif dan nyata dengan nilai
elastisitas yang tinggi. Sedangkan variabel yang lain walaupun berdampak
positif dan nyata akan tetapi nilai elastisitasnya rendah mendekati nol
(inelastis) atau sudah mendekati frontier, sehingga penambahan input hanya
akan mempengaruhi sedikit penambahan output. Oleh karena itu upaya
peningkatan produksi diprioritaskan kepada variabel lahan dan pupuk
organik. Penambahan lahan dapat dilakukan dengan memperluas lahan
garapan oleh petani responden dengan proporsi penggunaan input yang
konstan. Sedangkan penambahan penggunaan pupuk organik diperlukan
untuk mendukung kesuburan lahan yang akan ditanami horenso.
2. Penambahan penggunaan tenaga kerja dan pupuk anorganik juga mampu
meningkatkan produksi horenso di lokasi penelitian. Upaya penambahan
yang dilakukan dapat berupa penambahan jam kerja maupun penambahan
jumlah pekerja. Hal yang harus diperhatikan adalah upaya penambahan
tenaga kerja harus diimbangi dengan penambahan kualitas dari sumber daya
manusia agar lebih berpengaruh terhadap peningkatan produksi horenso pada
Kelompok Tani Agro Segar. Sedangkan penggunaan pupuk anorganik
diperlukan untuk pemeliharaan tanaman horenso agar tetap sehat dan
mencapai bobot ideal yaitu 40 gram per tanaman.
3. Bibit dan pestisida memiliki pengaruh negatif dan nyata terhadap produksi
horenso di lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa sebaiknya petani
mengurangi penggunaan bibit dan pestisida dalam usahatani horenso. Hal ini
akan berdampak positif, selain tanaman horenso yang dibudayakan akan lebih
besar dan sehat, pengeluaran petani responden pun dapat ditekan karena
pengurangan penggunaan bibit dan pestisida.
4. Pendidikan formal berpengaruh nyata dalam meningkatkan efisiensi teknis
usahatani horenso. Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan sumber daya
manusia melalui pendidikan formal. Upaya tersebut dapat direalisasikan
dengan mempermudah akses keluarga petani terhadap dunia pendidikan di
lokasi penelitian. Kelompok Tani Agro Segar sendiri sudah memiliki divisi
yang mengurus pelatihan pertanian terutama budidaya sayuran Jepang bagi
pemuda-pemuda sekitar yang tertarik akan usahatani sayura Jepang. Namun
77
divisi ini belum berjalan secara maksimal. Selain itu diperlukan upaya untuk
menaikan citra dunia pertanian yang menguntungkan agar menarik minat para
pemuda untuk belajar pertanian, karena sumber daya alam yang ada sangat
mendukung untuk pengembangan pertanian dan agribisnis secara luas.
DAFTAR PUSTAKA
Adhiana. 2005. Analisis Efisiensi Ekonomi Usahatani Lidah Buaya (Aloe Vera) di
Kabupaten Bogor : Pendekatan Stochastic Frontier [skripsi]. Bogor:
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Coelli T, Rao PSD, Battese GE. 1998. An Introduction to Efficiency and Product
Analysis. London: Kluwer Academic Publisher.
Daulay AH. 2007. Sistem Usahatani dan Pemasaran Bayam Jepang (Peleng) di
Kabupaten Karo [skripsi]. Medan: Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara.
[Ditjenhort] Direktorat Jendral Hortikultura. 2010. Pengelolaan Data dan
Informasi Ditjen Hortikultura. www.deptan.go.id/pusdatin/admin/IB/
forumNTB/Ditjen%20Horti.pdf [9 Maret 2011]
Doll Pj, Orazem F. 1984. Production Economics Theory with Applications Second
Edition. Canada: John Wiley and Sons, Inc.
Hutauruk TLP. 2008. Analisis Efisiensi Usahatani Padi Benih Bersubsidi di
Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat : Pendekatan
Stochastic Production Frontier [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Khotimah H. 2010. Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Ubi Jalar
di Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan Jawa Barat : Pendekatan
Stochastic Production Frontier [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Maryono. 2008. Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Padi
Program Benih Bersertifikat : Pendekatan Stochastic Production Frontier
(Studi Kasus di Desa Pasirtalaga, Kecamatan Telagasari, Kabupaten
Karawang) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Nugraha H. 2010. Analisis Efisiensi Produksi Usahatani Brokoli [skripsi]. Bogor:
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Podesta R. 2009. Pengaruh Penggunaan Benih Bersertifikat Terhadap Efisiensi
dan Pendapatan Usahatani Padi Pandan Wangi [skripsi]. Bogor: Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Sirait H. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis
Usaha Kecil dan Usaha Menengah. Jakarta : IBII
82
Sitepu JE. 2010. Analisis Pendapatan Usahatani dan Saluran Pemasaran Jamur
Tiram Putih di Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor:
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Soekartawi, Soeharjo A, Dillon J, Hardaker J. 1986. Ilmu Usahatani dan
Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Dillon JL, Hardaker JB,
Penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari : Farm Management
Research for Small Development.
Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis
Cobb-Douglas. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta : UI Press.
Sukiyono K. 2005. Faktor Penentu Penggunaan Faktor-Faktor Produksi pada
Industri Keramik Hias (Studi Kasus di Desa Anjun, Kec. Plered, Kab.
Purwakarta) [skripsi]. Bandung : FPEB UPI Bandung.
Sumaryanto. 2001. Determinan Efisiensi Teknis Usahatani Padi di Lahan Sawah
Irigasi. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian.
Suratiyah K. 2008. Analisis Usahatani. Yogyakarta : Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.