18

Click here to load reader

Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tugas Diskusi Issu Terpilih Kajian Kebijakan PublikDiklatpim Tingkat II Angkatan XXXI Kelas B,Jakarta 2011

Citation preview

Page 1: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

Analisis Kebijakan Penguatan

Kemandirian Daerah dan Akselerasi

Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

Tri Widodo W. Utomo

NDH 53

Dik

latp

im T

ing

ka

t II

An

gk

ata

n X

XX

I K

ela

s B

,

Jak

art

a 2

01

1

DIT

In

div

idu

al

Ka

jia

n K

eb

ija

ka

n P

ub

lik

Page 2: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

1

LAPORAN INDIVIDUAL ISU TERPILIH KAJIAN KEBIJAKAN PUBLIK

“Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi

Pembangunan Sosial Ekonomi”

DAFTAR ISI Daftar Isi ………………………………………………………………………………. 1

A. Judul Isu Terpilih …………………………………………………………………. 2

B. Deskripsi Isu Terpilih ……………………………………………………………… 2

C. Masalah Pokok …………………………………………………………………….. 3

D. Analisis dan Pemecahan Masalah ……………………………………………….. 4

1. Identifikasi Masalah Berdasarkan Teori Gunung Es (Iceberg Theory) …… 4 2. Agenda Setting …………………………………………………………………. 6 3. Analisis Sistem Kebijakan …………………………………………………….. 8 4. Perumusan Masalah / Pengkajian Persoalan ………………………………. 9 5. Penetapan Tujuan dan Peramalan Kebijakan Publik …………………….. 11 6. Perumusan Aternatif, Penentuan Kriteria, dan Penilaian Alternatif ……… 12 7. Sinergi Antar Instansi Pemerintah Dalam Kebijakan Penguatan

Kemandirian Daerah …………………………………………………………… 14

E. Simpulan dan Rekomendasi ……………………………………………………… 15

1. Simpulan ……………………………………………………………………….. 15 2. Rekomendasi ………………………………………………………………….. 16

Daftar Pustaka …………………………………………………………………………. 16

Page 3: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

2

LAPORAN INDIVIDUAL ISU TERPILIH

KAJIAN KEBIJAKAN PUBLIK

NAMA PESERTA : Tri Widodo Wahyu Utomo

NDH : 53

KELAS/KELOMPOK : B / B-3

INSTANSI : Lembaga Administrasi Negara

A. JUDUL ISU TERPILIH:

“Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan

Sosial Ekonomi Daerah”

B. DESKRIPSI ISU TERPILIH

Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah seluas-luasnya (pasal 1 UU No.

32/2004) telah berjalan lebih dari satu dekade. Namun tujuan kebijakan untuk

meningkatkan kemandirian daerah guna mengakselerasi pembangunan sosial

ekonomi nampaknya belum dapat diwujudkan. Fenomena empirik justru

menunjukkan gejala sebaliknya, yakni semakin tingginya tingkat ketergantungan

pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota) terhadap pusat. Kajian Suhendra

dan Amir (2006) atau Hirawan (2007), misalnya, menunjukkan bahwa rata-rata

ketergantungan kabupaten/kota terhadap dana perimbangan dari pusat sebesar 85

hingga 90 persen, sedangkan rata-rata ketergantungan provinsi sebesar 55 sampai

dengan 70 persen.

Ada 2 (dua) kemungkinan skenario yang terjadi sebagai akibat dari fakta

adanya ketergantungan finansial daerah terhadap pusat tersebut.

Pertama, pemerintah daerah menggali sumber-sumber pendapatan yang

potensial untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, seperti hutang luar negeri,

lobby ke kementerian tertentu untuk mendapatkan kucuran dana, atau menetapkan

pungutan-pungutan baru. Ekses atau side effect dari orientasi jangka pendek ini

Page 4: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

3

adalah pragmatisme kebijakan di daerah. Ketika mereka melakukan perjanjian

hutang, sering tidak didahului oleh kajian mendalam mengenai kemampuan

membayar dan pemanfaatan hutang secara produktif. Demikian pula ketika mereka

menetapkan kebijakan pungutan baru, juga tidak dipertimbangkan dampak

negatifnya seperti high-cost economy atau melemahnya ekonomi sektor riil di

daerah. Kebijakan seperti ini, meskipun nampaknya efektif sebagai upaya income

generation, namun dalam jangka panjang tidak akan mampu membangun

fundamental ekonomi yang kokoh di daerah.

“Nafsu” memproduksi Peraturan Daerah tentang beraneka ragam pungutan,

ironisnya, bukannya semakin hilang, namun justru semakin menjadi-jadi. Data

Kementerian Dalam Negeri sebagaimana terlihat pada Tabel 1 dibawah ini

mengilustrasikan fenomena excessive regulation (pengaturan yang berlebihan)

tersebut.

Table 3 Jumlah Perda yang Dibatalkan Pemerintah Pusat Berdasarkan Tahun

Tahun Jumlah Perda

yang Dibatalkan

Tahun Jumlah Perda yang

Dibatalkan

2002 19 2007 173

2003 105 2008 229 2004 236 2009 876

2005 126 2010 407 2006 114 2011 (Maret) 114

Sumber: Kementerian Dalam Negeri (2011, diolah)

Skenario kedua, pemerintah daerah lebih memilih untuk melakukan efisiensi

anggaran dengan membatasi pembentukan SKPD (Satuan Kerja Pemerintah

Daerah), melakukan rekrutmen seperlunya, serta membuat skala prioritas yang

ketat dalam kebijakan alokasi dan distribusi anggaran. Selain itu, dilakukan juga

upaya pembenahan sistem perijinan yang ramah investasi (investment friendly) dan

tidak menimbulkan moral hazard terhadap kelestarian lingkungan. Dengan berbagai

upaya seperti ini, sesungguhnya pemerintah daerah tersebut tengah menyiapkan

prakondisi yang kuat untuk membangun daya saing daerah sekaligus menciptakan

iklim yang kondusif bagi tumbuhnya mesin-mesin ekonomi pada jangka panjang.

Page 5: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

4

Sayangnya, fenomena empiris menunjukkan bahwa sebagian besar daerah

yang mengalami masalah keterbatasan kemampuan anggaran, lebih memilih

skenario pertama.

C. MASALAH POKOK

Masalah pokok yang dihadapi adalah rendahnya kemandirian pemerintah

daerah yang mengakibatkan lambatnya akselerasi pembangunan sosial ekonomi

daerah.

D. ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH

1. Identifikasi Masalah Berdasarkan Teori Gunung Es (Iceberg Theory)

Dalam rangka memecahkan masalah pokok diatas, akan digunakan

analisis kebijakan berdasarkan teori William Dunn dan Mustopadidjaja. Berikut

adalah perbandingan langkah-langkah analisis kebijakan menurut tiga ahli

kebijakan, yakni William Dunn, Mustopadidjaja, dan James Anderson.

Tabel 1. Perbandingan Tahapan Analisis Kebijakan

Model William Dunn

Model Mustopadidjaja

Model James Anderson

Perumusan Masalah Pengkajian Persoalan Agenda Setting

Peramalan Penentuan Tujuan Formation

Rekomendasi Perumusan Alternatif Adoption

Pemantauan Penyusunan Model Implementation

Evaluasi Penentuan Kriteria Evaluation

Penilaian Alternatif

Perumusan Rekomendasi

Namun sebelum masuk pada tahapan analisis tersebut, penulis terlebih

dahulu akan membuat analisis berdasarkan teori gunung es (Iceberg Theory)

Page 6: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

5

yang dikembangkan oleh Maani and Canava (2000). Teori ini sangat penting

untuk memberikan pemahaman tentang masalah yang dihadapi sebuah

organisasi, apakah termasuk masalah simptomatik yang berada di permukaan,

ataukah masalah fundamental yang sulit dikenali karena hanya menampakkan

gejala saja. Dengan memahami jenis-jenis masalah, maka akan dapat ditentukan

jenis tindakan yang diperlukan untuk merespon masalah tersebut, apakah

dibutuhkan tindakan yang bersifat reaktif, responsif, generatif, ataukah

fundamental. Selain itu, dengan kemampuan untuk membedakan antara gejala

dengan masalah yang sesungguhnya, maka akan dapat dilakukan pemecahan

masalah yang efektif sekaligus dihindari kemungkinan terjadinya “kesalahan tipe

ketiga”, yakni memecahkan masalah yang salah.

Dalam konteks judul laporan ini, maka pemetaan masalah dari masalah

pokok tersebut diatas dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 1 Identifikasi Masalah Berdasarkan Teori Gunung Es (Iceberg Theory)

Dari analisis gunung es tersebut dapat dibedakan tindakan mana yang

dapat dilakukan untuk mengatasi masalah simptomatik, yakni banyaknya Perda

Page 7: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

6

yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi,

dan tindakan apa yang harus ditempuh untuk mengatasi masalah mendasar

yang menjadi biang atas munculnya masalah-masalah simptomatik.

2. Agenda Setting

Dari analisis gunung es diatas, selanjutnya dilakukan proses pencarian

dan penentuan agenda kebijakan (agenda setting). Agenda setting atau agenda

formation sendiri pada hakekatnya memuat masalah kebijakan, untuk kemudian

ditetapkan menjadi masalah institusional (istilah Anderson) atau masalah formal

(istilah Dunn). Gambar dibawah ini mengilustrasikan adanya kemiripan tahapan

dalam analisis masalah model Anderson dan model Dunn.

Gambar 2

Perbandingan Tahap Perumusan Masalah Menurut James Anderson dan William Dunn

Menurut Anderson, proses agenda setting dimulai dengan

mengidentifikasi masalah individual (private problem) yang dilanjutkan dengan

mengidentifikasi masalah kolektif (public problem). Private problem sendiri

didefinisikan sebagai problems that have a limited effect, being of concern only to

one or a few persons who are directly involved; sedangkan public problem

diartikan sebagai those that have a broad effect, including consequences for

persons not directly involved. Selanjutnya, public problems ini dikonversikan ke

Page 8: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

7

dalam Issue, yakni suatu kondisi perbedaan pendapat yang ditemui di tengah

masyarakat tentang solusi dalam menangani masalah. Dari issue, masalah

kebijakan mengalir ke systemic agenda dan terakhir ke dalam institutional

agenda. Systemic agenda adalah semua issu yang dirasakan oleh masyarakat,

yang patut mendapat perhatian publik dan issu tersebut memang berada dalam

yurisdiksi kewenangan pemerintah.

Dalam kaitan dengan fokus pembahasan pada laporan ini, maka agenda

setting dapat dirumuskan sebagai berikut:

Gambar 3 Agenda Setting Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi

Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

Dari gambar diatas terlihat bahwa agenda institutional atau masalah

formal yang harus dijadikan sebagai agenda kebijakan adalah penguatan

kemandirian daerah dan akselerasi pembangunan sosial ekonomi daerah. Hal ini

sesusai dengan masalah fundamental yang telah diidentifikasi sebelumnya

melalui analisis gunung es (Iceberg Theory). Selanjutnya, untuk memperkuat

hasil analisis, penulis akan menggunakan model perumusan masalah dari

William Dunn, dengan harapan dapat diperoleh hasil yang lebih obyektif.

Page 9: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

8

3. Analisis Sistem Kebijakan

Sebagai konsekuensi dari sebuah sistem, maka masalah-masalah yang

dirumuskan diatas pada hakekatnya memiliki keterkaitan dengan elemen

kebijakan lainnya seperti pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan, kelompok

sasaran, serta kebijakan publik itu sendiri. Artinya, masalah institusional yang

telah berhasil dirumuskan pada dasarnya hidup dalam sebuah milieu atau

lingkungan kebijakan yang sangat dinamis.

Dalam hal ini, lingkungan kebijakan dicirikan oleh banyaknya

permasalahan di daerah baik dalam bidang pengembangan SDM, pelambatan

ekonomi, tarik menarik kepentingan antar actor, rendahnya kualitas pelayanan

publik, dan sebagainya. Dengan karakter lingkungan seperti itu, maka pelaku

kebijakan (policy actor) harus benar-benar dapat mencermatinya, agar dapat

dihasilkan kebijakan publik yang akurat.

Disini, kebijakan publik yang dianggap tepat untuk mengatasi masalah

formal berupa rendahnya kemandirian daerah dalam mengakselerasi

pembangunan sosial ekonomi daerah, adalah pengembangan desentralisasi

fiskal serta peningkatan kapasitas SDM (capacity building).

Gambar 5 Program Peningkatan Kemandirian Daerah Dalam Perspektif Sistem Kebijakan

Page 10: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

9

4. Perumusan Masalah / Pengkajian Persoalan

Analisis kebijakan model Dunn sering dikenal sebagai analisis yang

berpusat pada masalah (problem centric). Tahap perumusan masalah menyita

porsi yang cukup besar dari keseluruhan rangkaian proses analisis kebijakan.

Itulah sebabnya, tidak mengherankan jika kemudian muncul sebuah adagium

bahwa jika perumusan masalah benar, maka 50% pemecahan masalah telah

tercapai.

Langkah awal dalam perumusan masalah adalah dengan mengenali

situasi atau mengenali masalah. Pengenalan situasi ini akan menghasilkan

situasi masalah. Dari situasi masalah kemudian dikembangkan dengan proses

pencarian masalah yang lebih detil dan membentuk sebuah meta masalah.

Dengan demikian, meta masalah adalah masalah diatas masalah, atau dikenal

juga sebagai “tumpukan masalah yang belum terstruktur”. Dari meta masalah ini

dilakukan pendefinisian atau pengklasifikasian masalah, sehingga menghasilkan

masalah substantif. Dari sejumlah masalah substantif yang ada, kemudian

ditentukan beberapa masalah yang akan segera ditangani sesuai dengan

kemampuan pemerintah.

Dalam bentuk siklus, model perumusan masalah William Dunn dapat

dilihat sebagai berikut.

Gambar 4 Tahap/Teknik Perumusan Masalah (William Dunn)

Page 11: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

10

Dalam konteks substansi pembahasan judul dari laporan ini, maka rincian

permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah dengan menggunakan model

analisis Willian Dunn dilihat sebagai berikut.

Tabel 2. Perumusan Masalah

Situasi Masalah

Meta Masalah Masalah Substantif Masalah Formal

Terhambatnya pembangunan daerah

• Banyaknya Perda bermasalah dan dibatalkan Pusat;

• Banyaknya pungutan baru berupa pajak dan retribusi;

• Terbatasnya sumber PAD dan rendahnya rasio antara PAD dengan APBD;

• Besarnya alokasi APBD untuk biaya aparatur, dan rendahnya alokasi untuk belanja publik;

• Rendahnya daya kreasi dan inovasi kebijakan;

• Lemahnya kapasitas SDM;

• Ketergantungan daerah yang amat tinggi thd dana perimbangan;

• Tarik menarik kepenti-ngan Pusat & Daerah;

• High-cost economy di daerah;

• Pertumbuhan ekonomi daerah yang rendah;

• Masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran;

• Rendahnya kualitas pelayanan publik;

• Lemahnya visi kepemimpinan dan kurang tajamnya strategi pembangunan.

Aspek Ekonomi Keuangan:

• Terbatasnya sumber PAD dan rendahnya rasio antara PAD dengan APBD;

• Besarnya alokasi APBD untuk biaya aparatur, dan rendahnya alokasi untuk belanja publik;

• Ketergantungan daerah yang amat tinggi thd dana perimbangan;

• High-cost economy di daerah;

• Pertumbuhan ekonomi daerah yang rendah;

• Tingginya angka kemiskin-an & pengangguran.

Aspek SDM:

• Lemahnya kapasitas SDM;

• Rendahnya daya kreasi dan inovasi kebijakan.

Aspek Regulasi:

• Banyaknya Perda bermasalah dan dibatalkan Pusat;

• Banyaknya pungutan baru berupa pajak dan retribusi.

Aspek Kelembagaan:

• Tarik menarik kepentingan Pusat dan Daerah;

• Rendahnya kualitas pelayanan publik;

• Lemahnya visi kepemimpinan dan kurang tajamnya strategi pembangunan

• Ketergantungan daerah yang amat tinggi thd dana perimbangan;

• Lemahnya kapasitas SDM;

• Banyaknya Perda bermasalah dan dibatalkan Pusat;

• Lemahnya visi kepemimpinan dan kurang tajamnya strategi pembangunan.

Page 12: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

11

5. Penetapan Tujuan dan Peramalan Kebijakan

Dari masalah formal yang telah ditemukan melalui teknik perumusan

masalah model William Dunn, kemudian ditentukan kebijakan publik yang

diyakini mampu memecahkan masalah tersebut serta tujuan yang diharapkan

atau target yang harus dicapai dengan ditempuhnya kebijakan tersebut. Selain

itu, seiring dengan tujuan yang ditetapkan, perlu pula dirumuskan ramalan masa

depan dan dampak yang mungkin timbul dari diimplementasikannya kebijakan

publik tersebut.

Tabel dibawah ini menggambarkan secara sistemik antara masalah formal

dan penuangannya dalam tujuan kebijakan serta ramalan masa depan dan

dampak kebijakan.

Tabel 3. Penetapan Tujuan dan Peramalan Kebijakan Publik

No Masalah Formal

Kebijakan Publik

Tujuan KP Ramalan Masa

Depan KP Dampak

Kebijakan

1 2 3 4 5 6

1 Ketergantungan daerah yang amat tinggi thd dana perimbangan

Penguatan kapasitas fiskal

Meningkatnya kemandirian pemda dalam hal kapasitas anggaran

Kemandirian pemda akan meningkat dan mengurangi ketergantungan kepada pusat

Pembangunan daerah dapat dilakukan secara lebih cepat.

2 Lemahnya kapasitas SDM

Peningkatan kapasitas SDM

Meningkatnya kapasitas SDM baik dalam hal knowledge maupun skill.

Kemampuan SDM relatif meningkat seiring meningkatnya program pengembangan SDM

Pada jangka panjang akan memberi efek meningkatkan produktivitas organisasi, namun pada jangka pendek membutuhkan investasi besar

3 Banyaknya Perda bermasalah dan dibatalkan Pusat

Evaluasi dan penataan regulasi

Terciptanya Perda yang ramah usaha dan dapat memacu iklim usaha yang kondusif

Masih cukup banyak Perda yg bermasalah hingga ketergantungan Pemda dapat ditekan

Mengendalikan jumlah Perda yang bermasalah dan menjaga iklim usaha tetap kondusif

Page 13: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

12

4 Lemahnya visi kepemimpinan dan kurang tajamnya strategi pembangunan daerah.

Penajaman visi dan strategi pembangunan daerah

• Terbentuknya OPD yang ramping & efektif.

• Tersusunnya rencana pembangu-nan yang sesuai kebutuhan masyarakat & kemampuan APBD.

Masih sulit mewujudkan OPD yang ramping & efektif karena kendala jumlah pegawai & orientasi jabatan

Dapat meningkatkan penghematan anggaran, sehingga dapat dilakukan realokasi pada sektor2 yang lebih prioritas

6. Perumusan Aternatif, Penentuan Kriteria, dan Penilaian Alternatif

Setelah teridentifikasi tujuan dan peramalan atas 4 (empat) kebijakan

publik terpilih, maka dilakukan pembobotan untuk mengetahui mana diantara ke-

4 kebijakan publik tersebut yang harus mendapat prioritas untuk dilaksanakan.

Dalam rangka menemukan opsi kebijakan publik sesuai urutan prioritasnya,

perlu dikembangkan kriteria sebagai tolok ukurnya.

Dalam hal ini, digunakan analisis PETS, yakni Political Viability (kelayakan

secara politis), Economic Feasibility (kelayakan secara ekonomis), Technical

Feasibility (kelayakan secara teknis), serta Administrative Operability (efektivitas

implementasinya secara administratif), yang secara lebih detil dapat dilihat pada

Tabel 4 dibawah ini.

Page 14: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

13

Tabel 4. Kriteria dalam Penetapan Prioritas Kebijakan Publik, serta Skala dan

Bobotnya

NO KRITERIA “PETS”

INTERPRETASI SKALA BOBOT

1 Political Viability

• Acceptability: Apakah alternatif tsb diterima aktor kebijakan & target-group?

• Appropriateness: Apakah alternatif tsb sesuai dengan nilai2 masyarakat?

• Responsiveness: Apakah alternatif tsb sesuai dengan kebutuhan masyarakat?

• Legal suitability: Apakah alternatif tsb didukung oleh perangkat hukum?

• Equity: Apakah efek & dampak kebijakan menjamin aspek keadilan antar kelompok masyarakat?

1 (sangat tidak tepat/sesuai) s/d 4 (sangat tepat/sesuai)

40

2 Economic Feasibility

Efficiency (biaya dan hasil): Apakah biaya yang diperlukan dapat menghasilkan tingkat efektivitas yang diharapkan?

1 (sangat tidak efisien) s/d 4 (sangat efisien)

35

3 Technical Feasibility

Effectiveness (pencapaian tujuan): Apakah alternatif kebijakan mencapai tujuan atau hasil (akibat) yang diharapkan?

1 (sangat tidak efektif) s/d 4 (sangat efektif)

10

4 Administrative Operability

• Apakah tersedia staf yang cukup?

• Apakah instansi terkait akan mendukung implementasi kebijakan?

• Apakah tersedia sarana untuk melaksanakan kebijakan?

• Apakah kebijakan dapat dilaksanakan tepat waktu?

1 (sangat tidak memungkinkan untuk dilaksanakan) s/d 4 (sangat memungkinkan untuk dilaksanakan)

15

Atas dasar kriteria diatas, maka dapat dilakukan pemilihan prioritas

kebijakan publik sebagai berikut:

Page 15: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

14

Tabel 5. Pembobotan Alternatif Kebijakan dan Urutan Prioritanya

Kebijakan Publik

Kelayakan Teknis

Kelayakan Ekonomis

Kelayakan Politis

Implementasi Administratif Total Pilih

Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor

Penguatan kapasitas fiskal

4 40 4 140 3 120 3 45 345 1

Peningkatan kapasitas SDM

3 30 3 105 4 160 3 45 340 2

Evaluasi dan penataan regulasi

2 20 2 70 3 120 4 60 220 4

Penajaman visi dan strategi pembangunan daerah

3 30 3 105 2 80 3 45 260 3

Dari instrumen pembobotan dan prioritasi tersebut telah diketemukan

prioritas kebijakan publik yang perlu diimplementasikan untuk membangun

kemandirian daerah sekaligus mengakselerasi pembangunan sosial ekonomi

daerah. Namun urutan prioritas ini bukan berarti bahwa prioritas ketiga dan

keempat adalah urutan yang tidak penting atau tidak perlu dilaksanakan.

Keempat strategi atau kebijakan publik tersebut harus dilaksanakan secara

simultan, sehingga hasil yang diinginkan dapat terwujud lebih cepat. Selain itu,

alasan mengapa keempat strategi tersebut harus dilasanakan secara bersama-

sama adalah agar masalah yang bersifat simptomatis maupun masalah yang

bersifat fundamental dapat diatasi secara bersama-sama pula, sehingga tidak

menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

8. Sinergi Antar Instansi Pemerintah Dalam Kebijakan Penguatan Kemandirian

Daerah

Aspek yang sangat penting dalam menjamin keberhasilan implementasi

kebijakan adalah adanya sinergi antar pelaku/aktor dan stakeholder kebijakan.

Page 16: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

15

Demikian pula dalam konteks kebijakan penguatan kemandirian daerah dan

akselerasi pembangunan sosial ekonomi, terdapat banyak institusi yang

berkepentingan dan turut bertanggungjawab untuk melaksanakan dengan penuh

konsistensi.

Gambar 6 dibawah ini memperlihatkan institusi yang harus mengambil

peran terbesar dalam setiap kebijakan publik yang telah ditetapkan. Namun,

bukan berarti bahwa hanya institusi yang disebutkan yang paling

bertanggungjawab atas keberhasilan kebijakan termaksud. Diluar institusi

tersebut, tentu masih banyak stakeholder yang harus dilibatkan, baik pada

tataran implementasi maupun dalam konteks pengawasannya.

Gambar 6

Sinergi Antar Instansi Pemerintah Dalam Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

E. SIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Simpulan

a. Dari paparan sejak latar belakang hingga analisis diatas, dapat disimpulkan

bahwa permasalahan yang terjadi terkait dengan maraknya kebijakan daerah

(Perda) yang dibatalkan sesungguhnya memiliki akar masalah yang lebih

dalam dan lebih rumit. Untuk itu, strategi atau kebijakan publik yang

dibutuhkan tidak cukup hanya untuk memecahkan masalah jangka pendek

Page 17: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

16

dan simptomatis, pada saat yang sama juga harus dirumuskan kebijakan

yang berorientasi jangka panjang untuk memecahkan masalah

fundamentalnya.

b. Dari hasil analisis, dihasilkan 2 (dua) kebijakan yang berorientasi jangka

pendek dan dimaksudkan untuk mengatasi masalah simptomatis, yakni

evaluasi dan penataan regulasi, serta penajaman visi dan strategi

pembangunan daerah. Selain itu, dihasilkan pula 2 (dua) kebijakan yang

berorientasi jangka panjang dan dimaksudkan untuk mengatasi masalah

fundamental, yakni peningkatan kapasitas SDM aparatur, serta penguatan

desentralisasi fiskal. Dengan kebijakan tersebut, diyakini dapat mengatasi

masalah pokok yakni rendahnya kemandirian pemerintah daerah yang

mengakibatkan lambatnya akselerasi pembangunan sosial ekonomi daerah.

2. Rekomendasi

a. Kebijakan yang baik hanya dapat efektif jika baik dalam tahap

implementasinya. Oleh karena itu, adanya sinergi yang harmonis antar

pelaku/actor kebijakan dan seluruh stakeholdernya menjadi syarat mutlak

(condition sine qua non) yang harus dipenuhi. Agar sinergi ini dapat berjalan

optimal, maka masing-masing instansi harus memahami tanggungjawabnya

serta melakukan pemantauan dan pengukuran kinerja terhadap bidang tugas

yang menjadi wewenangnya.

DAFTAR BACAAN / REFERENSI

Dunn, William N., 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Terjemahan, Edisi 2, Cet.

Ke-5, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Hirawan, Susiyati Bambang, 2007, Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu Upaya

Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik Bagi Orang Miskin di Indonesia,

Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Ekonomi, Universitas Indonesia.

LAN, 2011, Kajian Kebijakan Publik, Modul 2 Diklat Kepemimpinan Tingkat II, Pusdiklat

SPIMNAS Bidang Kepemimpinan.

Page 18: Analisis Kebijakan Penguatan Kemandirian Daerah dan Akselerasi Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah

17

Suhendra, Maman, dan Hidayat Amir, 2006, Fiscal Decentralization in Indonesia:

Current Status and Future Challenges, dalam Jurnal Keuangan Publik,

Kemenetrian Keuangan. http://mashidayat.files.wordpress.com/2008/04/08-fiscal-

decentralization-in-indonesia-current-status-and-future-challengges-jkp-sept-20061.pdf