Upload
nugroho-sulistyanto
View
65
Download
20
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Analisa jaminan kesehatan nasional
Citation preview
TUGAS MATA KULIAH ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN
ANALISIS KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
(JKN)
DISUSUN OLEH:
RAHMAT ALYAKIN DAKHI NIM. 148111002
PROGRAM DOKTOR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2014
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1.2. Pilar Pendekatan Kesejahteraan Penduduk 1.3. Tujuan Analisis Kebijakan
BAB II : ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN
2.1. Kebijakan Kesehatan 2.2. Bentuk dan Proses Kebijakan 2.3. Teori Analisis Easton
BAB III : PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)
1.1. Input 1.2. Proses 1.3. Output 1.4. Feed Back
BAB IV : KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)
4.1. Legalitas dan Landasan Filosofi 4.2. Prinsip dan Esensi 4.3. Pilar
BAB V : ANALISIS TEORITIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) BAB VI : JAMINAN SOSIAL DI BERBAGAI NEGARA
6.1. Pengantar 6.2. Konsep Badan Penyelnggara 6.3. Sistem Jaminan Sosial di Delapan Negara
BAB VII : P E N U T U P
BAB I
PENDAHULUAN
1.5. Latar Belakang
Kesehatan adalah salah satu hak azasi manusia sehingga kesehatan
merupakan kewajiban pemerintah kepada warga negaranya terutama terhadap
warga negara yang kurang memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang
bermutu karena pengaruh ketidakmampuan secara ekonomi. Pada tahun 2000,
untuk pertama kalinya kata-kata kesehatan tercantum dalam UUD 1945 pada
pasal 28H yang merupakan hasil amandemen tahun 2000 setiap penduduk
berhak atas pelayanan kesehatan. Hal ini tentu saja merupakan jaminan hak-hak
kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan deklarasi Hak Asasi
Manusia oleh PBB pada tahun 1947.
Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan selama ini telah
mengalami kemajuan yang cukup berarti bagi peningkatan derajat kesehatan
masyarakat Indonesia. Walaupun demikian, jika dibandingkan dengan status
kesehatan penduduk negara-negara tetangga misalnya maka status kesehatan
penduduk Indonesia masih jauh tertinggal yang ditunjukkan dengan masih
tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI)
dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Laporan World Health
Organization (WHO) tahun 2000 menunjukkan bahwa angka kematian bayi di
Indonesia pada tahun 1998 masih 48 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian
bayi tersebut jauh lebih tinggi dari angka kematian bayi di Muangtai (29), Filipina
(36), Srilanka (18) dan Malaysia (11). Berbagai studi, termasuk yang dilaporkan
dalam World Health Report 2000, menunjukkan bahwa rendahnya angka
kematian bayi dan kinerja sistem kesehatan lainnya mempunyai korelasi yang
kuat dengan pembiayaan kesehatan. Laporan WHO tersebut menempatkan
kinerja sistem kesehatan Indonesia pada urutan ke-92, yang jauh lebih rendah
dari kinerja sistem kesehatan negara tetangga seperti Malaysia (urutan ke 49),
Muangtai (urutan ke 47) dan Filipina (urutan ke 60). Secara rata-rata, laporan
tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan Indonesia menurut nilai
tukar yang berlaku pada tahun 1997 adalah US$ 18 per kapita per tahun.
Sementara negara-negara tetangga seperti Filipina, Malaysia dan Muangtai sudah
menghabiskan berturut-turut sebesar US$ 40, US$ 110, dan US$ 133.
Pengeluaran kesehatan perkapita Indonesia tidak sampai separuh dari yang
dikeluarkan masyarakat Filipina tahun 1997, sedangkan pendapatan per kapita
Filipina tahun 2001 sebesar US$ 1.069 tidak lebih dari dua kali lipat dari PDB per
kapita Indonesia yaitu US$ 670 (WHO, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
investasi Indonesia memang jauh lebih rendah dari tingkat investasi negara
tetangga tersebut, sehingga dapat dimaklumi jika tingkat kesehatan Indonesia
juga jauh di bawah. Pengeluaran kesehatan Indonesia yang rendah tersebut, baik
yang bersumber dari masyarakat maupun yang bersumber dari pemerintah,
diduga tidak mengalami kenaikan berarti selama ini. Banyak laporan
menyampaikan bahwa pemerintah mempunyai kontribusi sebesar 20-30% dari
pembiayaan kesehatan secara keseluruhan. Sementara pembiayaan kesehatan
oleh sektor swasta, yang pada umumnya merupakan pengeluaran yang
dibayarkan langsung dari kantong sebdiri (out of pocket) kepada pemberi
pelayanan kesehatan (PPK) mencapai 60%-70% (Depkes, 2002). Tingginya
pengeluaran out of pocket ini bersifat regresif, yakni semakin berat dirasakan oleh
mereka yang berpendapatan rendah dibandingkan dengan mereka yang
berpendapatan tinggi. Sistem pembiayaan yang regresif ini dikenal sebagai sistem
pembiayaan yang tidak adil (unfair) dalam konsep equity egalitarian karena justru
memberatkan penduduk golongan bawah. Penelitian yang dilakukan Thabrany
dan Pujiyanto (2000) menunjukkan bahwa penduduk 10% terkaya mempunyai
akses rawat inap di rumah sakit yang 12 kali lebih besar dari penduduk 10%
termiskin. Keadaan ini sudah berlangsung lebih dari satu dekade dan tanpa upaya
yang sistematik dan serius, kesenjangan tersebut akan terus berlangsung. Untuk
melihat tingkat keadilan pembiayaan ini, WHO mengembangkan indeks keadilan
pembiayaan kesehatan (fairness in health care financing). Dalam indeks inilah
Indonesia berada jauh di bawah negara-negara tetangga yang memang telah
memiliki infrastruktur pembiayaan kesehatan yang jauh lebih baik. Berbagai
Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan (inequity) dapat diperkecil
dengan memperbesar porsi pembiayaan publik atau asuransi kesehatan publik.
Sayangnya, cakupan asuransi kesehatan yang sustainable di Indonesia masih
rendah yaitu berkisar pada 16% penduduk (Thabrany, 2002).
Kebutuhan biaya pelayanan kesehatan cenderung terus mengalami kenaikan
sehingga kemampuan daya beli kesehatan masyarakat cenderung menurun. Hal
ini menyebabkan jika jatuh sakit penghasilannya akan habis untuk biaya
kesehatan dan terampas kesejahteraan minimum. Untuk itulah, diperlukan sistem
yang menjamin kesehatan masyarakat miskin pada khususnya dan seluruh
masyarakat pada ummnya. Melalui jaminan kesehatan masyarakat keterbatasan
khususnya akses dan kemampuan membayar akan dapat berkurang sehingga
status kesehatan akan meningkat (Mukti, 2009).
Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan,
sejak tahun 1998 pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan
kesehatan penduduk miskin. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998,
menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang sangat mahal. Hal ini menyebabkan
warga miskin mengalami kesulitan untuk mengakses kesehatan. Program Jaring
Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) merupakan program terobosan
dari pemerintah untuk menolong rakyat miskin dari kesakitan. Pada tahun 2005
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin diselenggarakan dalam mekanisme
asuransi kesehatan yang dikenal dengan Program Asuransi Kesehatan bagi
Masyarakat Miskin (Askeskin). Atas pertimbangan pengendalian biaya kesehatan,
peningkatan mutu, transparansi dan akuntabilitas dilakukan perubahan
mekanisme pada tahun 2008 yang dikenal dengan Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas).
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional merupakan kebijakan baru di bidang jaminan sosial di Indonesia
yang bertujuan untuk menggantikan program-program jaminan sosial yang ada
sebelumnya seperti ASKES, JAMSOSTEK, TASPEN, DAN ASABRI dan
mencakup seluruh penduduk. Sebagai program baru tentu saja diperlukan analisis
yang baik agar pada tataran impelementasinya tujuan yang diharapkan dapat
tercapai secara optimal yang pada gilirannya akan meningkatnya kesejahteraan
penduduk termasuk di bidang kesehatan melalu Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN).
1.6. Pilar Pendekatan Kesejahteraan Penduduk
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk sehubungan dengan
JKN, sedikitnya terdapat tiga-pilar pendekatan yang saling melengkapi namun
berbeda pola penyelenggaraannya, yaitu :
1) Menggunakan mekanisme bantuan sosial (social assistance) kepada
penduduk yang kurang mampu untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan. Pembiayaan dapat bersumber dari Anggaran Negara dan / atau
dari Masyarakat. Mekanisme bantuan sosial ini biasanya diberikan kepada
keluarga miskin dan tidak mampu yaitu masyarakat yang benar-benar
membutuhkan pelayanan kesehatan namun secara finansial tidak memiliki
kemampuan untuk itu. Di lain pihak, Pemerintah berkewajiban mendorong
meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan
guna memenuhi kesejahteraannya dengan menumbuhkan iklim yang baik dan
berkembang, antara lain dengan memberi insentif untuk dapat diintegrasikan
dalam sistem jaminan sosial nasional.
2) Menggunakan mekanisme jaminan/asuransi sosial yang bersifat wajib atau
compulsory insurance, yang dibiayai dari kontribusi atau iuran yang dibayarkan
oleh peserta. Dengan kewajiban menjadi peserta, sistem ini dapat
terselenggara secara luas bagi seluruh rakyat dan terjamin kesinambungannya
dan profesionalisme penyelenggaraannya. Dalam hal peserta adalah tenaga
kerja di sektor formal, iuran dibayarkan oleh setiap tenaga kerja atau pemberi
kerja atau secara bersama-sama sebesar prosentase tertentu dari upah.
Mekanisme jaminan/asuransi sosial merupakan tulang punggung pendanaan
jaminan sosial di hampir semua negara. Mekanisme ini merupakan upaya
negara untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal penduduk dengan
mengikut-sertakan mereka secara aktif melalui pembayaran iuran. Besar iuran
dikaitkan dengan tingkat pendapatan atau upah masyarakat (biasanya
prosentase tertentu yang tidak memberatkan peserta) untuk menjamin bahwa
semua peserta mampu mengiur. Kepesertaan wajib merupakan solusi dari
ketidak-mampuan penduduk melihat risiko masa depan dan ketidak-disiplinan
penduduk menabung untuk masa depan. Dengan demikian sistem jaminan
sosial juga mendidik masyarakat untuk merencanakan masa depan. Karena
sifat kepesertaan yang wajib, pengelolaan dana jaminan sosial dilakukan
sebesar-besarnya untuk meningkatkan perlindungan sosial ekonomi bagi
peserta. Karena sifatnya yang wajib, maka jaminan sosial ini harus diatur oleh
UU tersendiri. Di berbagai negara yang telah menerapkan sistem jaminan
sosial dengan baik, perluasan cakupan peserta dilakukan secara bertahap
sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat dan pemerintah serta
kesiapan penyelenggaraannya. Tahapan biasanya dimulai dari tenaga kerja di
sektor formal (tenaga kerja yang mengikatkan diri dalam hubungan kerja),
selanjutnya diperluas kepada tenaga kerja di sektor informal, untuk kemudian
mencapai tahapan cakupan seluruh penduduk. Upaya penyelenggaraan
jaminan sosial sekaligus kepada seluruh penduduk akan berakhir pada
kegagalan karena kemampuan pendanaan dan manajemen memerlukan
akumulasi kemampuan dan pengalaman. Kelompok penduduk yang selama ini
hanya menerima bantuan sosial, umumnya penduduk miskin, dapat menjadi
peserta program jaminan sosial, dimana sebagian atau seluruh iuran bagi
dirinya dibayarkan oleh pemerintah. Secara bertahap bantuan ini dikurangi
untuk menurunkan ketergantungan kepada bantuan pemerintah. Untuk itu
pemerintah perlu memperhatikan perluasan kesempatan kerja dalam rangka
mengurangi bantuan pemerintah membiayai iuran bagi penduduk yang tidak
mampu.
3) Menggunakan mekanisme asuransi sukarela (voluntary insurance) atau
mekanisme tabungan sukarela yang iurannya atau preminya dibayar oleh
peserta (atau bersama pemberi kerja) sesuai dengan tingkat risikonya dan
keinginannya. Pilar ketiga ini adalah jenis asuransi yang sifatnya komersial,
dan sebagai tambahan setelah yang bersangkutan menjadi peserta asuransi
sosial. Penyelenggaraan asuransi sukarela dikelola secara komersial dan
diatur dengan UU Asuransi.
Kebijakan JKN sesuai Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional mengintegrasikan ketiga pilar tersebut di atas dimana
mekanisme bantuan sosial (social assistance) oleh negara diberlakukan bagi
penduduk yang kurang mampu, seluruh penduduk pada saatnya nanti akan
menjadi peserta JKN karena kepesertaan JKN adalah wajib bagi seluruh
penduduk Indonesia (compulsory insurance) yang dilakukan secara bertahap dan
JKN juga menggunakan mekanisme asuransi sukarela (voluntary insurance)
dalam hal besarnya iuran atau premi yang dibayar oleh peserta (atau bersama
pemberi kerja) sesuai dengan tingkat risikonya dan keinginannya.
1.7. Tujuan Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan JKN ini bertujuan untuk:
a. Mendapatkan pemahaman proses kebijakan JKN yang dikembangkan dan
diimplementasikan.
b. Mengetahui tujuan dan motivasi di balik adanya kebijakan JKN.
c. Memahami area-area yang potensial untuk diintervensi dalam proses
kebijakan JKN. Dalam hal ini untuk mendapatkan efek pemantapan dalam
pengembangan kebijakan dan proses implementasi JKN.
BAB II
ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN
2.1. Kebijakan Kesehatan
Kebijakan secara sederhana dapat didefenisikan sebagai suatu proses atau
serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan
oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu
demi kepentingan seluruh rakyat. Menurut UU No. 36, tahun 2009 tentang
Kesehatan disebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,
mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomis. Oleh sebab itu Kebijakan Kesehatan dapat
didefenisikan sebagai proses tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau
tidak dilaksanakan pemerintah yang mempunyai tujuan tercapainya keadaan
sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan
seluruh rakyat untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Kebijakan JKN merupakan suatu kebijakan yang ditetapkan dan
dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tercapainya keadaan sehat
sebagaimana defenisi kesehatan di atas dengan aspek intervensi pada
pembiayaan pelayanan kesehatan khususnya jaminan pelayanan kesehatan. Oleh
sebab itu JKN merupakan salah satu bentuk Kebijakan Kesehatan.
Sebagai suatu kebijakan kesehatan, kebijakan JKN memiliki karakteristik
sebagai berikut:
1. Bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui
penyediaan jaminan pelayanan kesehatan
2. Merupakan kebijakan yang berisi tindakan atau pola tindakan pemerintah di
bidang kesehatan
3. Merupakan kebijakan yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah bersama
aparaturnya terutama organisasi pelayanan kesehatan.
4. Bersifat posistif dalam arti bahwa JKN dilakukan semata-mata untuk memberi
manfaat bagi seluruh penduduk untuk memperoleh hak yang sama dalam
pelayanan kesehatan.
5. Kebijakan JKN didasarkan pada peraturan atau perundang-undangan yang
bersifat mengikat.
2.2. Bentuk dan Proses Kebijakan
Ada banyak bentuk kebijakan publik yang pernah dikemukakan oleh para
ahli, namun secara umum bentuk kebijakan publik dapat dibedakan atas:
1) BENTUK KEBIJAKAN PUBLIK yang TERKODIFIKASI, yaitu kebijakan dalam
bentuk tertulis seperti: Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan
Pemerintah
2) BENTUK KEBIJAKAN PUBLIK yang tidak TERKODIFIKASI berupa
pernyataan-pernyataan lisan pejabat publik dengan mengatasnamakan
lembaga yang dipimpinnya.
Dalam hal ini, kebijakan JKN termasuk dalam kategori bentuk kebijakan publik
yang terkodifikasi karena kebijakan tersebut tertuang dalam Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditindaklanjuti
dengan ditetapkannya Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran
Jaminan Kesehatan, Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 71 Tahun 2013
tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.
Secara sederhana, proses kebijakan dimulai dari adanya isu kebijakan yang
kemudian dilanjutkan dengan penyusunan kebijakan untuk kemudian
diimplementasikan sebagaimana pada gambar berikut:
Proses tersebut dapat lebih diperinci sebagaimana pada gambar berikut:
Selain itu, menurut Smith proses kebijakan dapat juga digambarkan sebagai
berikut:
Berdasarkan hal tersebut di atas, secara umum ada beberapa langkah dalam
proses kebijakan JKN sebagai berikut:
1) Agenda setting / agenda kebijakan, yaitu proses agar masalah
ketidakmampuan ekonomi penduduk memperoleh pelayanan kesehatan dan
keadilan dalam hal memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu telah
mendapat perhatian pemerintah, terbangunnya persepsi yang sama di
kalangan stakeholders, tersusunnya batasan masalah, memoblisasi dukungan
agar masalah tadi masuk pada agenda pemerintah.
2) Policy formulation / perumusan kebijakan, yaitu proses perumusan pilihan-
pilihan kebijakan oleh pemerintah dalam penyelesaian masalah
ketidakmampuan ekonomi penduduk memperoleh pelayanan kesehatan dan
keadilan dalam hal memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu .
3) Decision making / penetapan kebijakan, yaitu proses memilih alternatif terbaik
sehubungan dengan kriteria yang harus dipenuhi guna menyelesaikan
masalah ketidakmampuan ekonomi penduduk memperoleh pelayanan
kesehatan dan keadilan dalam hal memperoleh pelayanan kesehatan yang
bermutu
4) Policy implementation / pelaksanaan kebijakan, yaitu proses pelaksanaan JKN,
siapa yang melaksanakan program JKN, strategi JKN, dan isi kebijakan JKN
yang ditetapkan.
5) Policy evaluation / evaluasi kebijakan, yaitu proses memonitor dan menilai
hasil atau kinerja kebijakan JKN apakah sesuai dengan output, outcome dan
impact yang diharapkan.
Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut::
Analisis terhadap kebijakan JKN dapat juga dilakukan dengan menggunakan
pendekatan sistem yang terdiri dari input, proses, output dan feedback. Dalam hal
implementasinya, beberapa faktor yang perlu dianalisis adalah sebagaimana yang
digambarkan oleh William Dunn sebagai berikut:
2.3. Teori Analisis Easton
Secara konteks keilmuan, Easton menghendaki adanya suatu teori umum
yang mampu mengakomodasi bervariasinya lembaga, fungsi, dan karakteristik
sistem politik untuk kemudian merangkum keseluruhannya dalam satu penjelasan
umum. Proses kerja sistem politik dari awal, proses, akhir, dan kembali lagi ke
awal harus mampu dijelaskan oleh satu kamera yang mampu merekam seluruh
proses tersebut. Layaknya pandangan fungsionalis atas sistem, Easton
menghendaki analisis yang dilakukan atas suatu struktur tidak dilepaskan dari
fungsi yang dijalankan struktur lain. Easton menghendaki kajian sistem politik
bersifat menyeluruh, bukan parsial.
Easton juga memandang sistem politik tidak dapat lepas dari konteksnya.
Sebab itu pengamatan atas suatu sistem politik harus mempertimbangkan
pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan ini disistematisasi ke dalam dua jenis
data, psikologis dan situasional. Kendati masih abstrak, Easton sudah
mengantisipasi pentingnya data di level individu. Namun, level ini lebih
dimaksudkan pada tingkatan unit-unit sosial dalam masyarakat ketimbang perilaku
warganegara sebagaimana dalam pendekatan behavioralisme. Easton
menekankan pada motif politik saat suatu entitas masyarakat melakukan kegiatan
di dalam sistem politik. Menarik pula dari Easton ini yaitu antisipasinya atas
pengaruh lingkungan anorganik seperti lokasi geografis ataupun topografi wilayah
yang ia anggap punya pengaruh tersendiri atas sistem politik, selain tentunya
lingkungan sistem sosial (masyarakat) yang terdapat di dalam ataupun di luar
sistem politik. Easton juga menghendaki dilihatnya penempatan nilai dalam
kondisi disequilibriun (tidak seimbang). Ketidakseimbangan inilah yang merupakan
bahan bakar sehingga sistem politik dapat selalu bekerja.
Dengan keempat asumsi di atas, Easton paling tidak ingin membangun suatu
penjelasan atas sistem politik yang jelas tahapan-tahapannya. Konsep-konsep
apa saja yang harus dikaji dalam upaya menjelaskan fenomena sistem politik,
lembaga-lembaga apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk
pengalokasian nilai di tengah masyarakat, merupakan pertanyaan-pertanyaan
dasar dari kerangka pikir ini.
Easton mengidentifikasi empat atribut yang perlu diperhatikan dalam setiap
kajian sistem politik, yang terdiri atas:
1. Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik
Sama dengan dengan paradigma fungsionalisme, dalam kerangka kerja
sistem politik pun terdapat unit-unit yang satu sama lain saling berkaitan dan
saling bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja sistem politik. Unit-unit ini
adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem
politik seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat
sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam batasan sistem politik,
misalnya dalam cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan
sejenisnya.
2. Input-output
Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input
yang masuk dari masyarakat ke dalam sistem politik dapat berupa tuntutan
dan dukungan. Tuntutan secara sederhana dapat disebut seperangkat
kepentingan yang alokasinya belum merata atas ejumlah unit masyarakat
dalam sistem politik. Dukungan secara sederhana adalah upaya masyarakat
untuk mendukung keberadaan sistem politik agar terus berjalan. Output
adalah hasil kerja sistem politik yang berasal baik dari tuntutan maupun
dukungan masyarakat. Output terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan yang
biasanya dilakukan oleh pemerintah. Keputusan adalah pemilihan satu atau
beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan atau dukungan yang masuk.
Sementara itu, tindakan adalah implementasi konkrit pemerintah atas
keputusan yang dibuat.
3. Diferensiasi dalam sistem
Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi (pembedaan dan pemisahan)
kerja. Di masyarakat modern yang rumit tidak mungkin satu lembaga dapat
menyelesaikan seluruh masalah.
4. Integrasi dalam sistem
Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai
tujuan bersama.
Hasil pemikiran tahap pertama Easton adalah sebagai berikut:
Skema Kerja Sistem Politik Easton
Pada gambar di atas, Easton memisahkan sistem politik dengan masyarakat
secara keseluruhan oleh sebab bagi Easton sistem politik adalah suatu sistem
yang berupaya mengalokasikan nilai-nilai di tengah masyarakat secara otoritatif.
Alokasi nilai hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan
yang legitimate (otoritatif) di mata warganegara dan konstitusi. Suatu sistem politik
bekerja untuk menghasilkan suatu keputusan (decision) dan tindakan (action)
yang disebut kebijakan (policy) guna mengalokasikan nilai.
Unit-unit dalam sistem politik menurut Easton adalah tindakan politik (political
actions) yaitu kondisi seperti pembuatan UU, pengawasan DPR terhadap
Presiden, tuntutan elemen masyarakat terhadap pemerintah, dan sejenisnya.
Dalam awal kerjanya, sistem politik memperoleh masukan dari unit input.
Input adalah pemberi makan sistem politik. Input terdiri atas dua jenis: tuntutan
dan dukungan. Tuntutan dapat muncul baik dalam sistem politik maupun dari
lingkungan intrasocietal maupun extrasocietal. Tuntutan ini dapat berkenaan
dengan barang dan pelayanan (misalnya pelayanan kesehatan), berkenaan
dengan regulasi, ataupun berkenaan dengan partisipasi dalam sistem politik.
Tuntutan yang sudah terstimulasi kemudian menjadi garapan aktor-aktor di
dalam sistem politik yang bersiap untuk menentukan masalah yang penting untuk
didiskusikan melalui saluran-saluran yang ada di dalam sistem politik. Di sisi lain,
dukungan (support) merupakan tindakan atau orientasi untuk melestarikan
ataupun menolak sistem politik. Jadi, secara sederhana dapat disebutkan bahwa
dukungan memiliki dua corak yaitu positif (forwarding) dan negatif (rejecting)
kinerja sebuah sistem politik.
Setelah tuntutan dan dukungan diproses di dalam sistem politik, keluarannya
disebut sebagai output, yang menurut Easton berkisar pada dua entitas yaitu
keputusan (decision) dan tindakan (action). Output ini pada kondisi lebih lanjut
akan memunculkan feedback (umpan balik) baik dari kalangan dalam sistem
politik maupun lingkungan. Reaksi ini akan diterjemahkan kembali ke dalam
format tuntutan dan dukungan, dan secara lebih lanjut meneruskan kinerja sistem
politik. Demikian proses kerja ini berlangsung dalam pola siklis.
BAB III
PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)
Berikut ini adalah proses perumusan kebijakan JKN dengan pendekatan
menurut teori Easton, yang meliputi input, proses, output, dan feed back.
3.1. INPUT
Analisis terhadap input meliputi: demand, resources, dan support
3.1.1. Demands
Sistem Kesehatan Indonesia harus memihak rakyat. Saat ini sistem
pembayaran jasa per pelayanan (fee for service) yang diterapkan
Indonesia, meskipun pelayanan tersebut disediakan di RS publik. Rakyat
yang membayar lebih banyak mendapat pelayanan yang lebih banyak atau
lebih baik mutunya, you get what you pay for. Padahal, di seluruh dunia,
prinsip keadilan yang merata (setara) atau equity yang digunakan adalah
equity egalitarian, yang pada prinsipnya menjamin bahwa setiap penduduk
mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya (you get what
you need), dan bukan sesuai kemampuannya membayar.
3.1.2. Resources
Sumber daya adalah asset yang dimiliki oleh Pemerintah untuk memenuhi
demand yang telah diajukan. Dalam hal ini sumber daya tersebut adalah
1) Adanya badan usaha milik negara yang sudah menyelenggarakan
jaminan sosial terbatas seperti PT Jamsostek, PT. ASABRI, PT.
ASKES, PT. Taspen sebagai modal infrastruktur awal.
2) Kemampuan negara dalam hal keuangan dan sumber daya manusia.
3.1.3. Support
1) Sistem politik yang kondusif.
2) Dukungan masyarakat, akademisi, kelompok profesi, partai politik dan
kelompok kepentingan lain
3) Institusi pengembangan SDM kesehatan, mencakup pendidikan,
pelatihan, dan penelitian.
4) Insitusi Pemberi Layanan Kesehatan mulai dari layanan dasar sampai
rujukan.
3.2. PROSES
Proses pembuatan JKN adalah sebagai berikut
3.2.1. Proses Legislasi dan Litigasi
Proses legislasi dan litigasi terdiri dari:
1. Riset
2. Membangun Argumentasi
3. Membuat Konsep Tanding
Proses ini akan menghasilkan isi kebijakan (Content of Law)
1. Riset
a. Status kesehatan penduduk Indonesia, dan perbandingannya dengan
negara lain. Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2005
menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Indonesia masih 46 per
1.000 kelahiran hidup, sementara di Muangtai 29, Filipina 36, Srilanka
18, dan Malaysia 11 per 1.000 kelahiran hidup.
b. Korelasi status kesehatan dengan kinerja sistem kesehatan, khususnya
pendanaan kesehatan. Anggaran kesehatan seharusnya minimal 5
persen dari APBN.
c. Sekitar 10% rumah tangga termiskin harus menghabiskan 230%
penghasilannya sebulan untuk membiayai sekali rawat inap anggota
keluarganya. Sementara keluarga 10% terkaya hanya menghabiskan
120% penghasilan keluarga sebulan untuk membiayai satu kali rawat
inap anggota keluarganya. Akibatnya akses terhadap pelayanan rumah
sakit menjadi sangat tidak adil, karena penduduk miskin tidak mampu
membiayai perawatan.
d. Sekitar 83% rumah tangga mengalami pembayaran katastropik ketika
satu anggota rumah tangga membutuhkan rawat inap. Artinya, sebuah
rumah tangga akan jatuh miskin (sadikin, sakit sedikit jadi miskin),
karena harus berhutang atau menjual harta benda untuk biaya berobat
di RS, bahkan di rumah sakit publik.
2. Membangun Argumentasi
a. Aspek hukum dan hak asasi manusia, yaitu Deklarasi PBB tentang HAM
Tahun 1948 dan Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952. Di Indonesia,
jaminan sosial diamanatkan dalam UUD Tahun 1945 dan perubahannya
Tahun 2002, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3), serta pasal 34 ayat (1) dan ayat (2).
b. Kondisi sistem kesehatan Indonesia yang sangat tidak memihak kepada
rakyat. Hal ini tercermin dari sistem pembayaran jasa per pelayanan
(fee for service) yang diterapkan Indonesia, meskipun pelayanan
tersebut di sediakan di RS publik. Sehingga rakyat Indonesia
menghadapi ketidak-pastian (uncertainty) dalam memperoleh pelayanan
kesehatan. Di rumah sakit publik sekalipun, rakyat tidak tahu berapa
biaya yang harus dibayarnya jika ia atau seorang keluarganya dirawat,
sampai ia keluar dari rumah sakit. Tidak jarang jika kemudian akhirnya
rakyat mencari pengobatan tradisional atau tidak berobat karena
ketiadaan uang, yang berakhir dengan tingginya angka kematian dan
rendahnya usia harapan hidup.
c. Sistem kesehatan di Indonesia jauh dari cita-cita keadilan sosial bagi
seluruh rakyat. Rakyat kecil sangat terbebani dengan sistem kesehatan
yang diperdagangkan. Rakyat yang membayar lebih banyak mendapat
pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik mutunya, you get what you
pay for. Padahal, di seluruh dunia, prinsip keadilan yang merata (setara)
atau equity yang digunakan adalah equity egalitarian, yang pada
prinsipnya menjamin bahwa setiap penduduk mendapat pelayanan
sesuai dengan kebutuhan medisnya (you get what you need), dan
bukan sesuai kemampuannya membayar.
d. Berbagai Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan
(inequity, ketidakadilan / ketidaksetaraan) hanya dapat diperkecil
dengan memperbesar porsi pendanaan publik, baik melalui APBN (tax
funded) maupun melalui sistem asuransi kesehatan sosial. Sayangnya,
pendanaan kesehatan bersumber pemerintah sangat kecil dan cakupan
asuransi kesehatan yang sustainable di Indonesia masih sangat rendah.
e. Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang
diselenggarakan negara guna menjamin warga negaranya untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, sebagaimana dalam
Deklarasi PBB tentang HAM Tahun 1948 dan Konvensi ILO No. 102
Tahun 1952. Di Indonesia, jaminan sosial diamanatkan dalam UUD
Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20,
Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta pasal 34 ayat (1) dan
ayat (2).
3. Membuat Konsep Tanding
a. Tahun 1990-an, muncul konsep JPKM.
b. Tahun 2000-an, dikembangkan program Jamkesmas dan Jampersal
c. Membuat usulan Strategi Pendanaan Jaminan Kesehatan Indonesia
dalam bentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.
3.2.2. Proses Politik dan Birokrasi
Proses politik dan birokrasi terdiri dari:
a) Lobby, mediasi, kolaborasi, dan hearing
b) Membangun opini (melalui media massa dan kampanye)
Proses ini menghasilkan tata laksana hukum (Structure of Law)
Lobby, mediasi, kolaborasi, dan hearing dilakukan dengan DPR sebagai
lembaga legislatif. Proses ini berlanjut dengan :
a. Keluarnya TAP MPR RI No. X/MPR/2001 menugaskan kepada Presiden
RI untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.
b. Tap MPR ini direalisasikan dengan dibentuknya Kelompok Kerja Sistem
Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN) Tahun 2001 oleh Wakil Presiden
RI (Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001), dengan tugas
utama menyiapkan Naskah Akademik (NA) SJSN dan konsep
Rancangan Undang-Undang (RUU) SJSN. Kepseswapres tersebut
diperbaharui dengan Keppres No. 20 Tahun 2002, tanggal 10 April
2002, tentang pembentukan Tim SJSN dengan bentuk penugasan yang
sama.
c. Studi banding, lokakarya, pembahasan informal dengan DPR RI,
sosialisasi, dan masukan dari masyarakat lainnya. Penyusunan NA
SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan RUU SJSN.
d. Naskah Akademik SJSN mengalami perubahan dan penyempurnaan
hingga 8 (delapan) kali dan naskah terakhir dihasilkan tertanggal 26
Januari 2004.NA SJSN secara lengkap diterbitkan terpisah dan
selanjutnya dituangkan dalam konsep RUU SJSN. Perkembangan
pembahasan sejak konsep awal RUU SJSN, 9 Februari 2003, terdiri
dari 11 (sebelas) bab dan 42 (empat puluh dua) pasal, hingga konsep
terakhir, 14 Januari 2004, terdiri dari 12 (dua belas) bab dan 74 (tujuh
puluh empat) pasal, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada
Pemerintah, setelah mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan
penyempurnaan.
e. Kemudian Pemerintah menyerahkan RUU SJSN yang terdiri dari 12
(dua belas) bab dan 80 (delapan puluh) pasal kepada DPR RI pada
tanggal 26 Januari 2004.
f. Selama pembahasan Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI,
RUU SJSN hingga diterbitkannya UU SJSN telah mengalami 3 (tiga)
kali perubahan. Sehingga dalam perjalanannya, konsep RUU SJSN
hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan
penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut
secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN
pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004, terdiri dari 9 bab dan 53 (lima
puluh tiga) pasal.
3.2.3. Proses Sosialisasi, Konsultasi dan Mobilisasi
Proses sosialisasi, konsultasi dan mobilisasi terdiri dari:
a) Pendidikan politik (kritis) masyarakat
b) Pengorganisasian yaitu membangun kesepakatan dan mekanisme
c) Perubahan perilaku
Proses ini akan menghasilkan budaya hukum (Culture of Law)
Proses tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sosialisasi dan pembelajaran politik kepada masyarakat melalui media
massa
b. Konsolidasi dengan akademisi, kelompok profesi, pelaku pembiayaan
kesehatan, dan lain-lain, melalui seminar, lobby dan forum akademis.
Melalui proses ini diharapkan ada perubahan perilaku dan kesiapan
masyarakat dan seluruh stakeholder untuk menerima dan
melaksanakan UU SJSN.
3.3. OUTPUT
Setelah melalui proses panjang, akhirnya UU SJSN (Nomor 40/2004)
diundangkan Presiden Megawati pada hari terakhir beliau berada di Istana.
3.4. FEED BACK
Sebagai feed back terhadap kebijakan SJSN dapat diuraikan sebagai
berikut:
3.4.1. Uji Materi UU SJSN dan Keputusan Mahkamah Konstitusi RI
Dalam kurun waktu kurang lebih 4 bulan sejak disahkan, tepatnya 21
Februari 2005, UU SJSN telah diajukan untuk dilakukan uji materi yang
keputusannya dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31
Agustus 2005. Uji materi diajukan oleh beberapa wakil Pemerintah Daerah
(DPRD Propinsi Jawa Timur, Pengurus Bapel JPKM Propinsi Jawa Timur,
Pengurus Satpel JPKM Kabupaten Rembang dan Pengurus Perbapel
JPKM DKI Jakarta) yang berpendapat bahwa hak dan kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU SJSN.
Penggugat menyatakan bahwa UU SJSN bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara R.I tahun 1945 dan UU Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah serta menyatakan bahwa Pemerintah Pusat
(Departemen Kesehatan) telah menafsirkan UU SJSN secara sepihak
melalui penerbitan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1241 tahun 2005
tentang Penugasan PT ASKES sebagai Pengelola Program Jaminan
Kesehatan Masyarakat Miskin.
Permasalahan tersebut diajukan ke Mahakamah Konstitusi, dan pada
tanggal 31 Agustus 2005 Mahkamah Konstitusi dalam sidang pleno terbuka
untuk umum telah mengucapkan putusan terhadap perkara nomor
007/PUU-III/2005 yaitu perkara pengujian Undang- Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional khususnya Pasal 5
ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) serta pasal 52 terhadap Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945.
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut selengkapnya sebagai
berikut:
1. Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2004
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4456)
bertentangan dengan UUD Negara RI 1945;
2. Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2004
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4456) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menolak permohonan Pemohon terhadap Pasal 5 ayat (1) dan pasal 52;
4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara
sebagaimana mestinya;
5. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan menurut
Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004, wajib dimuat
dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kerja sejak putusan
diucapkan.
Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian:
1. Permohonan pengujian terhadap Pasal 5 ayat (3) dikabulkan dengan
pertimbangan hukum bahwa apabila keberadaan Pasal 5 ayat (3)
tersebut dipertahankan akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian
hukum, karena materinya sudah tertampung dalam Pasal 52.
2. Pasal 5 ayat (2) walaupun tidak dimohonkan dalam petitum namun ayat
ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari ayat (3)
sehingga jika dipertahankan juga akan menimbulkan multitafsir dan
ketidakpastian hukum sebagaimana Pasal 5 ayat (3). Pasal 5 ayat (2)
dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 sangat berpeluang
menimbulkan multi interpretasi, karena terdapat rumusan yang saling
bertentangan dengan ayat lain yang bermuara pada ketidakpastian
hukum, karena itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
3. Permohonan pengujian terhadap Pasal 5 ayat (4) dikabulkan dengan
pertimbangan hukum bahwa Pasal 5 ayat (4) menutup peluang bagi
Pemerintah Daerah untuk membentuk dan mengembangkan badan
penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah dalam kerangka sistem
jaminan sosial nasional.
Menolak permohonan pemohon untuk sebagian, yaitu menolak
permohonan pengujian terhadap Pasal 5 ayat (1) dengan pertimbangan
bahwa pasal tersebut cukup memenuhi kebutuhan pembentukan badan
penyelenggara Jaminan Sosial Nasional di tingkat pusat dan tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Pengujian terhadap pasal 52 juga ditolak dengan alasan untuk mengisi
kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum.
Pengaruh Mahkamah Konstitusi terhadap pelaksanaan UU SJSN adalah
tidak signifikan. UU SJSN telah memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD
RI 1945 karena sistem yang dipilih mencakup seluruh rakyat dengan
maksud untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Lebih lanjut
ditegaskan bahwa dengan sendirinya UU SJSN merupakan penegasan
kewajiban Negara atas Jaminan Sosial sebagai bagian dari hak asasi
manusia, sebagaimana dimaksud Pasal 28 H ayat (3) UUD Negara RI
1945.
3.4.2. Potensi Kelemahan UU SJSN
Selain hal tersebut di atas, ada beberapa potensi kelemahan UU SJSN
sebagai berikut:
a. Undang-Undang SJSN mengharuskan adanya undang-undang lain
mengenai Badan Pelaksana Jaminan Sosial, yang sampai saat ini
belum juga disahkan. Padahal ketentuan peralihan pada undang-
undang ini memberi waktu hanya lima tahun sejak ditetapkan tanggal 19
Oktober 2004, yang berarti sudah melewati batas yang ditentukan sejak
Oktober 2009.
b. Kurangnya political will Pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah
karena Undang- Undang SJSN disahkan oleh Ibu Megawati di hari-hari
akhir periode kepresidenan. Undang-Undang (UU) semacam ini sering
disebut sebagai Midnight Laws. Dapat dipahami bahwa periode
kepresidenen berikutnya kurang merasa memiliki (ownership) UU SJSN.
c. Undang-Undang SJSN tidak bicara banyak mengenai tradisi di sektor
kesehatan, termasuk peran para dokter. Masalah apakah para dokter
akan kekurangan income apabila menjalankan UU SJSN tidak dibahas.
Kenyataannya memang sudah terjadi. Model UU SJSN seperti
Jamkesmas memberikan insentif rendah dibanding dengan pembayaran
out of pocket. Undang-Undang SJSN tidak bicara banyak mengenai
bagaimana meratakan pelayanan kesehatan ke berbagai tempat, juga
mengenai tradisi masyarakat Indonesia yang tidak kenal risiko dan lain-
lain.
d. Undang-Undang SJSN mencakup kesehatan dan berbagai aspek
kesejahteraan dalam hubungan pengusaha dengan buruh. Aspek ini
sangat politis. Berbagai kepentingan dan ideologi yang saling
bertentangan dapat terjadi.
e. Dari isi Undang-Undang SJSN, pada segi kepesertaan ada beberapa
hal yang kurang jelas, karena semua yang akan diikutkan dalam
program ini harus membayar iuran. Iuran ditanggung oleh pemberi
kerja. Bagaimanakah dengan buruh kontrakan, petani, nelayan dan self
employee lainnya?
f. Batasan untuk fakir miskin yang kurang jelas, dikhawatirkan ini akan
menjadi masalah dikarenakan tidak ada parameter yang baku.
Kemudian untuk fakir miskin yang iurannya ditanggung oleh pemerintah
hanya menanggung sampai anggota keluarga kelima, selebihnya kepala
keluarga harus menambah sendiri iurannya.
g. Jika melihat produknya, SJSN ini banyak kemiripan dengan sistem
asuransi multiguna dimana ada bagian proteksi dan bagian
investasinya. Bagian proteksi sudah dibahas sebelumnya. Bagian
investasi disini jika berhasil dilakukan akan bisa digunakan untuk
pembayaran dana pensiun anggota jika mereka sudah tidak bekerja.
Masalah investasi merupakan daerah yang berbahaya. Kalau tidak hati
hati dapat menimbulkan kecurigaan terjadinya tindakan korupsi, kalau
memang mau dilaksanakan harus dengan akuntabilitas yang baik dan
transparansi laporan, setiap bulan anggota harus mendapatkan laporan
pengembangan hasil investasinya.
BAB IV
KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)
4.1. Legalitas dan Landasan Filosofi
Kebijakan JKN merupakan program negara yang bertujuan memberikan
kepastian perlindungan dan kesehatan bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan
tujuan tersebut dibentuklah badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum
berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian,
akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil
pengelolaan dana jaminan kesehatan seluruhnya untuk pengembangan program
kesehatan dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Program JKN merupakan salah satu program dalam Sistem Jaminan Sosial
Nasional yaitu sebuah sistem Jaminan Sosial yang diberlakukan di Indonesia.
Jaminan sosial ini adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang
diselenggarakan oleh negara Republik Indonesia guna menjamin warga
negaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak. Sebagaimana
dalam deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan konvensi ILO No.102 tahun
1952. Legalitas dan Landasan Filosofi SJSN sebagaimana pada gambar berikut:
UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN menggantikan program-program
jaminan sosial yang ada sebelumnya (Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri)
yang dinilai kurang berhasil memberikan manfaat yang berarti kepada
penggunanya, karena jumlah pesertanya belum mencakup seluruh penduduk,
jumlah nilai manfaat program kurang memadai, dan kurang baiknya tata kelola
manajemen program tersebut.
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang
Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Peraturan Presiden RI Nomor 12
Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan
Nasional.
Program jaminan sosial selama ini hanya mencakup sekitar 72% penduduk
Indonesia yang dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Oleh sebab itu program JKN diharapkan dapat mencakup seluruh rakyat
Indonesia dan ditujukan untuk memberikan manfaat pelayanan kesehatan yang
cukup komprehensif, mulai dari pelayanan preventif seperti imunisasi dan
Keluarga Berencana (KB) hingga pelayanan penyakit katastropik seperti penyakit
jantung dan gagal ginjal. Baik institusi pelayanan kesehatan pemerintah maupun
swasta dapat memberikan pelayanan untuk program tersebut selama mereka
menandatangani sebuah kontrak kerja sama dengan pemerintah.
4.2. Prinsip dan Esensi
Dalam pelaksanaannya, ada 9 (sembilan) prinsip JKN yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Kegotongroyongan adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam
menanggung beban biaya jaminan sosial yang diwujudkan dengan kewajiban
setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingakat gaji, upah atau tingkat
penghasilannya.
2. Nirlaba adalah prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan
hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya dari
seluruh peserta.
3. Keterbukaan adalah prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap,
benar, dan jelas bagi setiap peserta.
4. Kehati-hatian adalah prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan
tertib.
5. Akuntabilitas adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan
yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
6. Portabilitas adalah prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun
peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
7. Kepersertaan bersifat Wajib adalah prinsip mengharuskan seluruh penduduk
menjadi peserta jaminan sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.
8. Dana Amanat adalah bahwa iuran dan hasil pengembangannya merupakan
dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan
peserta jaminan sosial.
9. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta
adalah hasil berupa deviden dan pemegang saham yang dikembalikan untuk
kepentingan peserta jaminan sosial.
Fungsi pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah adalah
sebagai regulator dan fasilitator sehingga penyelenggaraan JKN menjadi
kewenangan BPJS, yang mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan
sistem jaminan sosial yang didanai sendiri oleh masyarakat bukan merupakan
kewenangan pemerintah pusat dan tidak juga menjadi kewenangan pemerintah
daerah. Oleh karena kewenangan BPJS begitu menentukan dalam memberikan
kepastian jaminan sebagaimana mengacu pada amanat pasal 28-h dan pasal 34
UUD 1945, maka penyelenggaraannya secara teori di luar kapasitas BUMN
Persero yang tunduk dengan UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas dalam
artian tanggung jawab pemerintah sebagai pemegang saham menjadi terbatas.
Kemudian penyelenggaraan sistem jaminan sosial terikat dengan kaidah yang
berlaku universal, yaitu pemusatan resiko (pooling of risk) untuk penyebaran
resiko melalui subsidi silang dalam program, antar kepesertaan dan antar
generasi yang terbesar di berbagai daerah. Managing social security is based on
pooling of risk. For what? For the redistribution of income and that is why social
security shall becentrally managed by quasi independent body. Selanjutnya prinsip
jaminan sosial yang hakiki adalah gotong royong, maka dalam pembayaran
manfaat berlaku model anggaran (pay-as-you-go). Karena itu diperlukan
pendanaan bersama antara perusahaan, tenaga kerja dan pemerintah.
Pemerintah perlu menyiapkan anggaran jaminan sosial untuk mengantisipasi
timbulnya krisis ekonomi seperti peristiwa PHK sebelum usia pensiun dan wabah
penyakit.
Oleh sebab itu terdapat 5 (lima) esensi dari JKN, yaitu :
a) Konsep JKN merupakan upaya membuat platform yang sama bagi pegawai
negeri, pegawai swasta, dan pekerja di sektor informal dalam menghadapi
risiko social ekonomi di masa depan. Undang-undang SJSN mengatur agar
setiap penduduk memiliki jaminan hari tua atau pensiun, termasuk sewaktu
menderita disability ataupun jaminan bagi ahli waris jika seseorang pencari
nafkah meninggal dunia
b) Dalam konsep JKN mengubah status badan hukum Badan Penyelenggara
yang ada sekarang, PT. Taspen, PT. Asabri, PT. Askes, dan PT. Jamsostek,
menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak bertujuan
mencari laba untuk kas Negara.
c) JKN memastikan bahwa dana yang terkumpul dari iuran dan hasil
pengembangannya dikelola hanya untuk kepentingan peserta. Iuran,
akumulasi iuran, dan hasil pengembangannya adalah dana titipan peserta dan
bukan penerimaan atau asset badan penyelenggara.
d) JKN memastikan agar pihak contributor atau pengiur atau tripartite (yaitu
tenaga kerja, majikan, dan pemerintah) memiliki kendali kebijakan tertinggi
yang diwujudkan dalam bentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang
diwakili 2 orang serikat pekerja, 2 orang serikat pemberi pekerja, 5 orang wakil
pemerintah, dan 6 orang wakil tokoh masyarakat/ahli. Organ DJSN ini akan
memastikan agar pengelolaan program jaminan social steril dari pengaruh
politik pemerintah.
e) Program jaminan harus berskala nasional untuk menjamin portabilitas dan
seluruh penduduk Indonesia. Jaminan harus portable, hal ini berarti tidak boleh
hilang ketika berada di luar kota tempat tinggalnya.
Manfaat program Jaminan sosial tersebut cukup komprehensif, yaitu meliputi
jaminan hari tua, asuransi kesehatan nasional, jaminan kecelakaan kerja, dan
jaminan kematian. Program ini akan mencakup seluruh warga negara Indonesia,
tidak peduli apakah mereka termasuk pekerja sektor formal, sektor informal, atau
wiraswastawan.
4.3. Pilar
Sistem Jaminan Sosial Nasional dibuat sesuai dengan "Paradigma tiga pilar"
yang direkomendasikan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Pilar-
pilar itu adalah:
1. Program bantuan sosial untuk anggota masyarakat yang tidak mempunyai
sumber keuangan atau akses terhadap pelayanan yang dapat memenuhi
kebutuhan pokok mereka. Bantuan ini diberikan kepada anggota masyarakat
yang terbukti mempunyai kebutuhan mendesak, pada saat terjadi bencana
alam, konflik sosial, menderita penyakit, atau kehilangan pekerjaan. Dana
bantuan ini diambil dari APBN dan dari dana masyarakat setempat.
2. Program asuransi sosial yang bersifat wajib, dibiayai oleh iuran yang ditarik
dari perusahaan dan pekerja. Iuran yang harus dibayar oleh peserta ditetapkan
berdasarkan tingkat pendapatan/gaji, dan berdasarkan suatu standar hidup
minimum yang berlaku di masyarakat.
3. Asuransi yang ditawarkan oleh sektor swasta secara sukarela, yang dapat
dibeli oleh peserta apabila mereka ingin mendapat perlindungan sosial lebih
tinggi daripada jaminan sosial yang mereka peroleh dari iuran program
asuransi sosial wajib. Iuran untuk program asuransi swasta ini berbeda
menurut analisis resiko dari setiap peserta.
Prinsip kepesertaan jaminan sosial bersifat wajib, agar seluruh rakyat
menjadi peserta sehingga dapat terlindungi (UU No. 40 Tahun 2004 pasal 4 huruf
g dan penjelasan pasal 4 huruf g).
Kepesertaan dan iuran antara lain diatur sebagai berikut:
1. Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya
sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sesuai
dengan program jaminan sosial yang diikuti.
2. Pemerintah secara bertahap mendaftarkan Penerima Bantuan Iuran (PBI)
sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) wajib memberikan nomor
identitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya wajib
memberikan informasi tentang hak dan kewajiban kepada peserta untuk
mengikuti ketentuan yang berlaku.
4. Setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang
pelaksanaan program jaminan sosial yang diikuti.
5. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
6. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, yang menjadi
kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) secara berkala.
7. Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu
dibayar oleh Pemerintah. Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud
pada ayat 4 dibayar oleh pemerintah untuk program jaminan kesehatan.
Besar iuran dan bentuk iuran menurut jenis peserta, dapat dilihat pada tabel
berikut:
BAB V
ANALISIS TEORITIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)
Setelah kebijakan JKN ditetapkan, komponen yang perlu dianalisis
berikutnya adalah implementasi JKN itu sendiri. Mazmanian dan Sabatier cit.
Wahab (2002), menggambarkan hubungan antara variabel implementasi
sebagaimana gambar berikut ini:
Berdasarkan gambar di atas, maka analisis terhadap kebijakan JKN dapat
dilakukan dengan pendekatan penelitian korelasional antara variabel bebas dan
variabel terikat.
Variabel bebasnya adalah:
1) Mudah tidaknya masalah JKN dikendalikan, dengan sub variabel:
a. Kesukaran-kesukaran teknis dalam implementasi JKN baik pada tahap
perencanaan, pelaksanaan maupun pada tahap pemantauan dan
pengendalian.
b. Keragaman perilaku masyarakat terutama kelompok masyarakat miskin
dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan sehubungan ketersediaan
jaminan kesehatan. Di Kabupaten Nias Selatan sebagai contoh, sejak
diberlakukannya Jaminan Kesehatan daerah (Jamkesda) maka euforia
pelayanan kesehatan gratis menyebabkan tingginya angka kunjungan
Puskesmas dan rujukan ke berbagai Rumah Sakit walaupun secara indikasi
medis tidak memerlukan rujukan ke Rumah Sakit di luar Pulau Nias
misalnya.
c. Prosentase kelompok sasaran terutama masyarakat miskin dibandingkan
dengan jumlah penduduk secara keseluruhan apakah signifikan atau hanya
sekedar program populis atau program pro rakyat
d. Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan. Pengalaman
penerapan Jamkesmas di Kabupaten Nias Selatan justru perubahan
perilaku yang terjadi bertentangan dengan nilai-nilai kesehatan karena
jaminan kesehatan yang tersedia memberikan disinsentif program preventif
karena masyarakat tidak lagi berusaha untuk tidak menjadi sakit sebab
telah tersedia biaya untuk memperoleh pelayanan kesehatan dari
pemerintah. Perubahan perilaku yang lain adalah adanya kecenderungan
masyarakat untuk dimanjakan dan melahirkan disinsentif kemandirian
masyarakat termasuk dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
2) Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, dengan
sub variabel:
a. Kejelasan dan konsistensi tujuan JKN
b. Digunakannya teori kausal yang memadai yang dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah.
c. Ketepatan alokasi sumber dana JKN baik yang bersumber APBN maupun
APBD atau sumber-sumber lainnya
d. Keterpaduan hierarkhi dalam dan di antara lembaga pelaksana JKN
terutama antara Pemerintah, BPJS dan organisasi pelayanan kesehatan
e. Aturan-aturan keputusan dari BPJS termasuk dalam hal penetapan tarif
dengan pendekatan DRGs yang sampai saat ini masih banyak ditentang
oleh Rumah Sakit swasta terutama para tenaga medis. Demikian juga
mekanisme dan jenis penyakit yang dibiayai melalui JKN secara struktural
dan kultural masih mengalami kesimpangsiuran.
f. Rekruitmen pejabat pelaksana
g. Akses formal pihak luar terutama akademisi, LSM, mass media, dan pihak-
pihak lain yang memiliki concern terhadap program JKN
3) Variabel di luar impelementasi yang mempengaruhi proses implementasi,
dengan sub variabel:
a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan teknologi yang digunakan
b. Dukungan publik
c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok-kelompok
d. Dukungan dari pejabat atasan
e. Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana
Variabel terikat / tergantung dalam teori analisis impelementasi ini adalah
tahap-tahap dalam proses implementasi, yaitu:
1) Output kebijakan badan-badan pelaksana, seperti BPJS, Departemen
Kesehatan dan Pemerintah Daerah
2) Kesediaan masyarakat mematuhi kebijakan JKN
3) Dampak nyata output kebijakan JKN
4) Dampak output kebijakan JKN sebagai dipersepsi
5) Perbaikan mendasar dalam peraturan perundang-undangan bidang jaminan
sosial.
Selain itu, Grenn dan Thorogood (1998) mengemukakan bahwa keberhasilan
implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh 2 (dua) variabel besar, yakni isi
kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of
implementation).
Variabel isi kebijakan mencakup, antara lain:
a. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups diakomodir
dalam konten kebijakan; individu atau kelompok yang bersentuhan dalam
implementasi kebijakan mungkin merasa diuntungkan tetapi dapat pula
sebaliknya merasa dirugikan. Dengan demikian, yang merasa dirugikan akan
melakukan perlawanan.
b. Apa saja jenis manfaat yang diterima oleh target groups; Manfaat yang
diperoleh bisa secara kolektif maupun masing-masing. Kebijakan yang
bermanfaat secara kolektif biasanya lebih mudah untuk diimplementasikan.
c. Sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; Derajat
perubahan menyangkut perubahan perilaku dari pihak yang memperoleh
manfaat. Tingkat perubahan perilaku dipengaruhi oleh manfaat kebijakan
maupun waktu untuk mencapai tujuan kebijakan.
d. Apakah letak sebuah program sudah tepat; Kedudukan pengambil keputusan
terkait dengan jabatan organisasi secara struktual.
e. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan pelaksana implementasinya
dengan rinci; Keahlian, keaktifan dan tanggung jawab pelaksana program
menentukan keberhasilan implementasi kebijakan.
f. Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
Variabel lingkungan kebijakan mencakup, antara lain:
a. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para
pelaku yang terlibat dalam implementasi kebijakan, yaitu implementasi
kebijakan melibatkan berbagai pelaku dalam suatu proses administrasi
pengambilan keputusan. Masing-masing pelaku mempunyai posisi dan
kepentingan khusus yang dapat menyebabkan konflik kepentingan melalui
strategi yang digunakan.
b. Bagaimana karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa, yaitu
interaksi dalam persaingan pelaku memperebutkan sumber daya, tanggapan
dari pejabat pelaksana dan elit politik dipengaruhi oleh karakteristik dari
lembaga dan penguasa yang terkait.
c. Responsivitas (daya tanggap) kelompok sasaran, yaitu bentuk partisipasi
masyarakat yang berupa sikap mengerti dan mendukung terhadap program
yang diimplementasikan.
Dari berbagai variabel di atas, secara empiris ada beberapa permasalahan
teknis yang muncul dalam hal kebijakan JKN dalam arti bahwa implementasi JKN
belum sesuai dengan yang diharapkan, antara lain :
a. Data peserta masih belum akurat
b. Sosialisasi yang belum optimal
c. Masih adanya peserta yang tidak menggunakan kartu ketika berobat
d. Masih ada peserta JKN yang mengeluarkan biaya
e. Masih rendahnya mutu pelayanan
BAB VI
JAMINAN SOSIAL DI BERBAGAI NEGARA
6.1. Pengantar
Penyelenggaraan Jaminan Sosial merupakan suatu mekanisme universal di
dalam memelihara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat suatu negara.
Meskipun prinsip-prinsip universalitasnya sama, yaitu pada umumnya berbasis
pada mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial, namun dalam
penyelenggaraanya terdapat variasi yang luas. Variasi program, tingkat manfaat,
dan tingkat iuran serta badan penyelenggara di berbagai negara tidak dapat
dihindari karena beragamnya tingkat sosial ekonomi dan budaya penduduk di
negara tersebut.
Badan penyelenggara yang bervariasi dari yang langsung dikelola oleh
pemerintah sampai yang liberal diserahkan kepada swasta. Variasi tersebut tidak
lepas dari sejarah berkembangnya sebuah sistem jaminan sosial di negara
tersebut. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kelemahan, oleh
karenanya berbagai contoh tersebut perlu disajikan disini sebagai rujukan bagi
penyusunan SJSN.
Dalam bab ini disajikan secara garis besar badan penyelenggara jaminan
sosial di beberapa negara dan sistem jaminan sosial di 8 (delapan) negara
tetangga dan negara maju sebagai perbandingan kebijakan JKN dalam sistem
SJSN di Indonesia.
6.2. Konsep Badan Penyelnggara
Bervariasinya badan penyelenggara jaminan sosial di beberapa negara baik
yang dikelola langsung oleh pemerintah sampai yang liberal yang diserahkan
kepada swasta, dapat dilihat pada tiga alternatif konsep jaminan kesehatan di
bawah ini. Konsep jaminan kesehatan disajikan karena menyangkut kerja sama
dengan fasilitas kesehatan (health care provider) yang lebih kompleks. Sedangkan
untuk program jaminan sosial lain yang kurang kompleks dapat digunakan model
badan penyelenggara yang sama dengan lebih mudah dengan membuang
komponen fasilitas kesehatan. Ketiga alternatif badan penyelenggara adalah
sebagai berikut:
2. Konsep alternatif ke dua
3. Konsep alternatif ke tiga
6.3. Sistem Jaminan Sosial di Delapan Negara
Di bawah ini disajikan beberapa model sistem jaminan sosial di delapan
negara terpilih. Model-model di negara tersebut di bawah ini diasumsikan
merupakan representatif model-model yang sama yang diselenggarakan di
banyak negara lain. Penyajian model di delapan negara merupakan ringkasan
bagi pilihan model yang dapat menjadi perbandingan dengan Kebijakan SJSN di
Indonesia.
6.3.1. Negara Malaysia
Sebagai negara persemakmuran, sistem jaminan sosial di Malaysia
berkembang lebih awal dan lebih pesat dibandingkan dengan perkembangan
sistem jaminan sosial di negara lain di Asia Tenggara. Pada tahun 1951 Malaysia
sudah memulai program tabungan wajib pegawai untuk menjamin hari tua
(employee provident fund, EPF) melalui Ordonansi EPF. Seluruh pegawai swasta
dan pegawai negeri yang tidak berhak atas pensiun wajib mengikuti program EPF.
Ordonansi EPF kemudian diperbaharui menjadi UU EPF pada tahun 1991.
Pegawai pemerintah mendapatkan pensiun yang merupakan tunjangan karyawan
pemerintah. Selain itu, Malaysia juga memiliki sistem jaminan kecelakaan kerja
dan pensiun cacat yang dikelola oleh Social Security Organization (SOCSO). Oleh
karena pemerintah federal Malaysia bertanggung jawab atas pembiayaan dan
penyediaan langsung pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk yang relatif
gratis, maka pelayanan kesehatan tidak masuk dalam program yang dicakup
sistem jaminan sosial di Malaysia. Dengan sistem pendanaan kesehatan oleh
negara, tidak ada risiko biaya kesehatan yang berarti bagi semua penduduk
Malaysia yang sakit ringan maupun berat.
Sektor informal merupakan sektor yang lebih sulit dimobilisasi. Namun
demikian, dalam sistem jaminan sosial di Malaysia, sektor informal dapat menjadi
peserta EPF atau SOCSO secara sukarela. Termasuk sektor informal adalah
mereka yang bekerja secara mandiri dan pembantu rumah tangga. Karyawan
asing dan pegawai pemerintah yang sudah punya hak pensiun juga dapat ikut
program EPF secara sukarela.
Di dalam penyelenggaraannya, masing-masing program dan kelompok
penduduk yang dilayani mempunyai satu badan penyelenggara. Program EPF
dikelola oleh Central Provident Fund (CPF), sebuah badan hukum di bawah
naungan Kementrian Keuangan. Lembaga ini merupakan lembaga tripartit yang
terdiri atas wakil pekerja, pemberi kerja, pemerintah, dan profesional. Untuk tugas-
tugas khusus, seperti investasi, lembaga ini membentuk Panel Investasi.
Penyelenggaraan pensiun bagi pegawai pemerintah dikelola langsung oleh
kementrian keuangan karena program tersebut merupakan program tunjangan
pegawai (employment benefit) dimana pegawai tidak berkontribusi. Program
jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat dikelola oleh SOCSO yang dalam
bahasa Malaysia disebut Pertubuhan Keselamatan Sosial (PERKESO).
Manfaat (benefits) yang menjadi hak peserta terdiri atas: (1) Peserta dapat
menarik jaminan hari tua berupa dana yang dapat diambil seluruhnya (lump-sum)
untuk modal usaha, menarik sebagian lump-sum dan sebagian dalam bentuk
anuitas (sebagai pensiun bulanan), dan menarik hasil pengembangannya saja tiap
tahun sementara pokok tabungan tetap dikelola CPF. (2) Peserta dapat menarik
tabungannya ketika mengalami cacat tetap, meninggal dunia (oleh ahli warisnya),
atau meninggalkan Malaysia untuk selamanya. (3) Peserta juga dapat menarik
dananya untuk membeli rumah, ketika mencapai usia 50 tahun, atau memerlukan
biaya perawatan di luar fasilitas publik yang ditanggung pemerintah. (4) Ahli waris
peserta berhak mendapatkan uang duka sebesar RM 1.000-30.000, tergantung
tingkat penghasilan, apabila seorang peserta meninggal dunia.
Tingkat iuran untuk program EPF, dalam prosentase upah, bertambah dari
tahun ke tahun seperti disajikan dalam tabel berikut. Jumlah iuran tersebut
ditingkatkan secara bertahap untuk menyesuaikan dengan tingkat upah dan
tingkat kemampuan penduduk menabung. Dalam program EPF di Malaysia, sekali
seseorang mengikuti program tersebut, maka ia harus terus menjadi peserta
sampai ia memasuki usia pensiun yang kini masih 55 tahun (Kertonegoro, 1998).
6.3.2. Negara Filipina
Filipina memulai pengembangan program Jaminan Sosial (JS) sejak tahun
1948 akan tetapi UU Jaminan Sosialnya (Republic Act 1161) baru disahkan pada
tahun 1954. Dibutuhkan enam tahun sejak ide awal pengembangan jaminan sosial
dicetuskan oleh Presiden Manuel A. Roxas di tahun 1948. Namun demikian, UU
tersebut ditolak oleh kalangan bisnis Filipina sehingga dilakukan amendemen UU
tersebut dan diundangkan kembali pada tahun 1957. Barulah UU JS tersebut
mulai diterapkan untuk pegawai swasta. Pada tahun 1980 beberapa kelompok
pekerja sektor informal atau pekerja mandiri mulai diwajibkan mengikuti program
JS. Kemudian pada tahun 1992 semua pekerja informal yang menerima
penghasilan lebih dari P1.000 (sekitar Rp 200.000) wajib ikut. Selanjutnya di tahun
1993 pembantu rumah tangga yang menerima upah lebih dari P1.000 sebulan
kemudian juga diwajibkan untuk mengikuti program JS. Program JS tersebut
dikenal dengan Social Security System (SSS). Pada saat ini, SSS mempunyai
anggota sebanyak 23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50% dari angkatan kerja,
termasuk diantaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal (Purwanto dan
Wibisana, 2002). Khusu pegawai negeri, pemerintah Filipina menyelenggarakan
program tersendiri yang disebut sebagai Government Service Insurance System
(GSIS) yang dimulai lebih awal yaitu di tahun 1936 dan kini memiliki anggota
sebanyak 1,4 juta pegawai negeri. Angkatan Bersenjata dan Polisi memiliki sistem
jaminan sosial tersendiri yang dibiayai dari anggaran pemerintah. Kedua program
jaminan sosial pegawai pemerintah, termasuk tentara, lebih tepat dikatakan
sebagai program tunjangan pegawai (employment benefit) dibandingkan sebagai
program jaminan sosial menurut defisini universal.
Pada awalnya program jaminan sosial tersebut menyelenggarakan program
jaminan hari tua (old-age) kematian, cacat, maternitas, kecelakaan kerja dan
kesehatan. GSIS memberikan berbagai pelayanan ekstra, selain pelayanan
tersebut, seperti program pemberdayaan ekonomi dan asuransi umum (Purwanto
& Wibisana, 2002). Namun demikian, di tahun 1995 Pemerintah Filipina
mengeluarkan Undang-Undang Asuransi Kesehatan National (RA7875) yang
memisahkan program asuransi kesehatan dari kedua lembaga (SSS dan GSIS)
menjadi satu dibawah pengelolaan the Philippine Health Insurance Corporation
(PhilHealth), suatu badan publik yang bersifat nirlaba (SSS, 2001). PhilHealth
bukanlah suatu badan usaha yang di Indonesia kita kenal sebagai BUMN.
Manfaat yang diberikan kepada peserta SSS dan GSIS adalah (1) uang tunai
selama peserta menderita sakit dan tidak bisa bekerja paling sedikit 4 (empat)
hari, baik dirawat di rumah sakit dan di rumah sendiri. (2) Untuk peserta wanita
yang hamil, keguguran, atau melahirkan diberikan uang tunai sebesar antara
P24.000-P31.200 (antara Rp 4,4 juta- Rp 6,2 juta). Manfaat lain (3) yang menjadi
hak peserta adalah uang tunai yang dibayarkan secara lump-sum atau bulanan
bagi peserta yang menderita cacat tetap, baik parsial maupun total yang bukan
disebabkan oleh kecelakaan kerja. Manfaat selanjutnya (4) adalah jaminan hari
tua (baik lump-sum maupun pensiun bulanan) ketika memasuki masa pensiun (60
tahun). Peserta juga berhak mendapatkan jaminan kematian (5) berupa uang
tunai atau bulanan yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal
dunia. Dan yang terakhir (6) adalah jaminan kecelakaan kerja yang dibayarkan
apabila terjadi kecelakaan kerja. Manfaat jaminan kecelakaan kerja ini dapat
diterima bersamaan dengan manfaat program yang lain. Untuk setiap manfaat
yang berhak diterima, peserta harus memenuhi persyaratan kepesertaan tertentu
(qualifying conditions). Selain manfaat definitif, peserta juga dapat diberikan
fasilitas kredit (loan) untuk menutupi kebutuhan uang tunai yang mendesak
dengan bunga 6% setahun untuk pinjaman di bawah P15.000 dan 8% setahun
untuk pinjaman lebih dari P15.000.
Iuran jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah 8,4% sebulan (tidak
termasuk iuran untuk asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja) yang dibayar
bersama antara majikan (5,04%) dan pegawai (3,36%). Batas maksimum upah
untuk perhitungan iuran adalah P12.000 (Rp 2,4 juta) sebulan. Iuran untuk
jaminan kecelakaan kerja adalah 1% dengan maksium iuran sebesar P1.000 per
karyawan yang hanya dibayar oleh pemberi kerja. Sedangkan besarnya iuran
untuk tenaga kerja informal diperhitungkan berdasarkan besarnya pendapatan
yang dinyatakan oleh calon peserta pada waktu pendaftaran dengan batas
minimum sebesar P1.000. Untuk pekerja Filipina di luar negeri, yang
dikelompokan sebagai pekerja membayar sendiritidak melalui pemberi kerja,
batas minimum penghasilan adalah P3.000 sebulan. Untuk memudahkan
perhitungan iuran, SSS mengembangkan 24 kelompok upah dan besarnya iuran
untuk masing-masing kelompok upah. Iuran untuk asuransi kesehatan adalah
2,5% upah sebulan untuk menjamin biaya rawat inap saja (rawat jalan tidak
dijamin). Dengan demikian total iuran menjadi 10,9% (tanpa kecelakaan kerja) dan
11,9% (dengan kecelakaan kerja). Sedangkan pada GSIS, tingkat iuran lebih
tinggi yaitu 12% dari pemberi kerja (pemerintah) dan 9% dari pekerja (Purwanto &
Wibisana, 2002).
Phil-Health merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional yang kini
memiliki keanggotaan lebih dari 39 juta jiwa (lebih dari 50% penduduk Filipina).
Anggota Phil-Health terdiri atas 55% pegawai swasta, 24% pegawai pemerintah,
9% penduduk tidak mampu, 11% peserta sukrela (informal), dan 2% adalah
peserta khusus yang tidak membayar iuran. Manfaat yang menjadi hak peserta
adalah jaminan rawat inap di rumah sakit pemerintah maupun swasta dengan
standar pembayaran yang sama. Pembayaran ke rumah sakit didasarkan pada
sistem biaya jasa per pelayanan (fee for service) mengingat cara inilah yang kini
diterima oleh rumah sakit. Pelayanan rawat jalan sementara ini belum dijamin,
karena diasumsikan penduduk mampu membayar sendiri biaya rawat jalan yang
tidak menjadi beban berat rumah tangga. Besarnya iuran adalah maksimum 3%
dari gaji yang diperhitungkan maksimum P10.000 (sekitar Rp 2 juta). Namun
demikian, iuran yang kini dikumpulkan adalah sebesar 2,5% yang ditanggung
bersama antara pemberi kerja dan tenaga kerja, bagi sektor formal. Sedangkan
bagi sektor informal, iuran ditanggung sepenuhnya oleh peserta dan bagi
penduduk miskin, iuran ditanggung pemerintah pusat dan daerah (Purwanto &
Wibisana, 2002). Pada tahun 2003 ini, PhilHealth menerima banyak sekali
permintaan dari pemberi kerja untuk memperluas jaminan dengan mencakup
jaminan rawat jalan. Para pemberi kerja akan menambahkan iuran guna
memperluas jaminan tersebut (Dueckue, 2003). Iuran jaminan sosial di Filipina
cukup beragam sebagaimana ditampilkan oleh tabel berikut.
6.3.3. Negara Thailand (Muangtai)
Program Jaminan Sosial di Thailand terdiri atas program jaminan bagi
pegawai pemerintah, pegawai swasta, dan program kesehatan. Program yang
diatur oleh UU Jaminan Sosial di Thailand dimulai pada tahun 1990 Pemerintah
Thailand mengeluarkan UU Jaminan Sosial, namun demikian implementasinya
baru dimulai enam bulan kemudian, yaitu pada bulan Maret 1991. Dana yang
terkumpul dikelola oleh suatu badan tripartit, Dewan Jaminan Sosial, yang terdiri
dari 15 orang yang mewakili pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja masing-
masing 5 (lima) orang. Kantor Jaminan Sosial (Social Security Office, SSO)
berada di bawah Departemen Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Mula-mula
program tersebut wajib bagi pemberi kerja dengan 20 karyawan atau lebih, yang
kemudian secara bertahap diwajibkan kepada pemberi kerja yang lebih kecil.
Sejak 31 Mei 2002, seluruh tenaga kerja dengan satu atau lebih karyawan wajib
menjadi peserta. Kini jumlah peserta SSO adalah 6,59 juta tenaga kerja di
Thailand, seluruh tenaga kerja formal telah menjadi peserta. Pegawai pemerintah
mendapat jaminan yang dibiayai oleh anggaran belanja negara tanpa ada iuran
sama sekali dari pekerja. Jaminan yang ditanggung meliputi jaminan kesehatan,
pensiun dan dana lump-sum pada waktu memasuki masa pensiun. Untuk pekerja
sektor informal dan kelompok penduduk lain yang belum termasuk peserta SSO
atau CSMBS, Pemerintah Thailand mengembangkan program National Health
Security yang dikenal dengan kebijakan 30 Baht. Dalam program ini, seluruh
penduduk sektor informal dan anggota keluarga tenaga kerja swasta diwajibkan
mendaftar ke salah satu rumah sakit dimana mereka akan berobat jika mereka
sakit. Atas dasar penduduk yang terdaftar itu, pemerintah kemudian membayar
rumah sakit secara kapitasi sebesar 1.204 Baht per kepala per tahun. Penduduk
yang terdaftar akan membayar sebesar 30 Baht (kira-kira Rp 6.000) sekali berobat
atau sekali perawatan di rumah sakit. Biaya yang dibayar itu sudah termasuk
segala pemeriksaan, obat, pembedahan, dan perawatan intensif jika diperlukan.
Manfaat program jaminan sosial pekerja swasta dan pekerja informal meliputi
jaminan kesehatan, bantuan biaya persalinan, jaminan uang selama menderita
cacad, santunan kematian, dana untuk anak-anak, kecelakaan kerja, dan jaminan
hari tua. Jaminan kesehatan hanya diberikan kepada tenaga kerjanya, sedangkan
anggota keluarga tenaga kerja dijamin melalui program 30 Baht. Manfaat
program jaminan sosial pegawai swastapun dimulai dengan menjamin pelayanan
kesehatan, baru secara bertahap pelayanan lain seperti jaminan uang waktu
cacad dan jaminan hari tua diberikan kemudian. Sementara pegawai pemerintah
memang menikmati manfaat yang lebih baik, karena mereka sudah mendapat
jaminan hari tua terlebih dahulu dan jaminan kesehatan komprehensif. Untuk
jaminan kesehatan, dikenal dengan program CSMBS, yang dijamin bukan saja
pegawai, pasangan dan anaknya, orang tua pegawaipun dijamin. Jaminan yang
diberikan komprehensif sehingga peserta tidak perlu lagi membayar apabila
mereka memanfaatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan yang sudah
ditentukan. Tentu saja, jika mereka mencari pelayanan dari fasilitas kesehatan
dan di kelas perawatan di luar ketentuan, masyarakat harus membayar sendiri.
Besarnya iuran untuk prgram jaminan sosial pegawai swasta ditanggung
bersama antara pekerja, pemberi kerja dan pemerintah. Disinilah keunikan sistem
jaminan sosial Thailand, karena pemerintahpun ikut membayar iuran bagi pekerja
swasta dan sektor informal. Besarnya iuran dipisahkan untuk masing-masing
program yang total berjumlah 18,5% yang terdiri atas iuran pekerja dan pemberi
kerja masing-masing sebesar 7,5% dan iuran pemerintah sebesar 3,5%. Selain
itu, pemberi kerja masih memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan
kecelakaan kerja yang besarnya bervariasi dari 0,2% - 1%; tergantung dari tingkat
risiko masing-masing usaha (SSO, 2003). Besarnya upah yang diperhitungkan
untuk jaminan sosial ini ditetapkan sampai jumlah maksimum Pegawai pemerintah
dan pegawai sektor informal tidak membayar iuran, seluruh biaya ditanggung
anggaran belanja pemerintah. Yang menarik dari pembayaran iuran jaminan
sosial di Thailand adalah bahwa besarnya iuran untuk kesehatan dan persalinan
diturunkan dari tadinya 4,5% (masing-masing 1,5%) menjadi 3% (masing-masing
pihak mengiur 1%) karena telah terjadi akumulasi dana yang besar karena
penyelenggaraan yang bersifat nirlaba dan setiap dana yang tidak digunakan
diakumulasi. Gambaran lengkap iuran terlihat pada tabel berikut:
6.3.4. Negara Korea Selatan
Seperti yang dilakukan Jepang, Jerman, dan banyak negara lain di dunia,
Korea Selatan memulai jaminan sosialnya dengan mengembangkan asuransi
kesehatan wajib di tahun 1976 setelah selama 13 tahun gagal mengembangkan
asuransi kesehatan sukarela. Asuransi kesehatan wajib dimulai dari pemberi kerja
yang memiliki jumlah pekerja banyak terus diturunkan. Pada tahun 1989 seluruh
penduduk sudah memiliki asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh lebih
dari 300 lembaga nirlaba. Kini seluruh badan penyelenggara dijadikan satu badan
penyelenggara yaitu National Health Insurance Corporation (NHIC) suatu lembaga
semipemerintah yang independen dengan cakupan praktis seluruh penduduk
(Park, 2002). Sedangkan jaminan pensiun atau hari tua baru dilaksanakan 1988
dengan wewajibkan pemberi kerja dengan 10 karyawan atau lebih mengiur untuk
jaminan pensiun. Baru pada tahun 2003 ini, seluruh pemberi kerja dengan satu
atau lebih pegawai diwajibkan ikut program pensiun yang dikelola oleh National
Pension Corporation (NPC). Kedua lembaga NHIC dan NPC berada di bawah
pengawasan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan dan bukan badan usaha
yang di Indonesia kita kenal sebagai BUMN. Berbeda dengan NHIC yang
mengelola seluruh penduduk, kecuali militer aktif dan penduduk miskin yang
hanya berjumlah 3% dari seluruh penduduk, NPC hanya mengelola pensiun bagi
pegawai swasta dan sektor informal. Pensiun untuk pegawai pemerintah, tentara,
guru sekolah, pekerja tambang, dan petani dikelola terpisah dari NPC (Ha-Young
and Hun-Sang, 2003).
Manfaat yang diberikan oleh NHIC adalah jaminan kesehatan komprehensif
mencakup pelayanan kesehatan, medical check up, penggantian uang tunai pada
kondisi tertentu seperti dalam keadaan darurat, santunan penguburan, dan
penggantian biaya protese. Setiap peserta harus membayar copayment yang
besarnya bervariasi antara jenis pelayanan, fasilitas kesehatan, dan kelompok
peserta. Rata-rata besarnya co-payment bisa mencapai 40-50% dari biaya
berobat, kecuali penduduk tertentu (tua, tidak mampu, atau di daerah terpencil).
Pelayanan kesehatan diberikan melalui fasilitas kesehatan pemerintah maupun
swasta (lebih dari 90%) dengan sistem klaim. Klaim harus diperiksa oleh suatu
lembaga independen lain, HIRA Health Insurance Review Agency, sebelum NHIC
membayar fasilitas kesehatan. Manfaat program pensiun bervariasi sesuai dengan
lamanya mengiur yang diatur dengan formula tertentu (defined benefits) dengan
maksimum pensiun sebesar 60% dari upah terkahir untuk yang sudah mengiur
selama 40 tahun. Selain pensiun karena mancapai usia pensiun, NPC juga
membayarkan pensiun cacad, pensiun ahli waris, dan pembayaran lump-sum bagi
peserta yang belum memilki masa kualifikasi pensiun (10 tahun).
Iuran untuk program kesehatan bagi tenaga kerja di sektor formal ditetapkan
sebesar 3,63% yang ditanggung bersama antara pekerja dan pemberi kerja.
Sedangkan untuk sektor informal, UU mengatur tingkattingkat penghasilan untuk
masing-masing kelompok dan besarnya iuran ditetapkan tersendiri untuk tiap-tiap
kelompok penghasilan. Sedangkan iuran untuk program pensiun kini sebesar 9%
dari upah yang dibayar bersama-sama antara pemberi kerja dan pekerja masing-
masing sebesar 4,5%. Pada tahap awal iuran besarnya hanya 3%, kemudian
secara bertahap ditingkatkan sehingga kini mencapai 9%. Selain pekerja, NPC
juga melayani penduduk yang secara sukarela, secara perorangan atau pekerja
sektor informal, mendaftar diri dengan iuran saat ini sebesar 7%, akan tetapi juga
akan ditingkatkan sehingga tahun 2005 akan mengiur sebesar 9%.
6.3.5. Negara Perancis
Jaminan sosial di Perancis telah diselenggarakan lebih dari satu abad
dengan diawali dengan jaminan kesehatan. Jaminan sosial pertama dilaksanakan
pada tahun 1898 tatkala Perancis masih didominasi oleh ekonomi pertanian. Pada
saat ini sistem jaminan sosial di Perancis masih diselenggarakan oleh berbagai
badan penyelenggara yang berbagai kelompok peserta seperti pegawai negeri,
pekerja swasta, petani, pekerja sektor informal dan tentara. Program jaminan
sosial mencakup program jaminan kesehatan (CNAM), jaminan pensiun atau hari
tua (CNAV), jaminan pembiyaaan keluarga (CNAF), dan jaminan perlindungan
PHK (ARE). Program tersebut merupakan program jaminan dasar. Pengumpulan
iuran dilakukan secara terpadu dan terpusat oleh semacam Badan Administrasi
yang disebut ACOSS. Selain program jaminan dasar, masih ada program jaminan
tambahan yang juga bersifat wajib untuk berbagai sektor. Berbeda dengan
program jaminan sosial di banyak negara lain, di Perancis pembiyaan jaminan
sosial lebih banyak bersumber dari pemberi kerja. Untuk program kesehatan,
kecelakaan, dan cacad; pekerja hanya mengiur sebesar 2,45% dari upah
sedangkan pemberi kerja mengiur sebesar 18,2%. Sementara untuk program
pensiun, pekerja mengiur 6,55% sedangkan pemberi kerja mengiur sebesar 8,2%.
Secara keseluruhan, pekerja mengiur sebesar 9% dan pemberi kerja mengiur
sebesar 26,4% sehingga seluruh iuran menjadi 35,4% dari upah sebulan.
6.3.6. Negara Jerman
Jerman dikenal sebagai pelopor dalam bidang asuransi sosial yang
merupakan tulang punggung dari sebuah jaminan sosial modern. Asuransi sosial
pertama yang diselenggarakan di Jerman pada tahun 1883 menanggung
penghasilan yang hilang apabila seorang pekerja menderita sakit. Sehingga
dengan demikian, asuransi sosial kesehatan menjadi pintu gerbang
penyelenggaraan jaminan sosial. Undang-undang mengatur tata cara
penyelenggaraan asuransi kesehatan sedangkan penyelenggaraan asuransi
kesehatan diserahkan kepada masyarakat, yang awalnya terkait dengan tempat
kerja. Jumlah badan penyelenggara yang disebut sickness funds tidak dibatasi
sehingga pada awalnya mencapai ribuan, yang semuanya bersifat nirlaba. Namun
demikian, karena rumitnya masalah asuransi kesehatan dan perlunya angka besar
untuk menjamin kecukupan dana, maka terjadi merjer atau perpindahan peserta
karena badan penyelenggara bangkrut. Kini jumlahnya tinggal 355 saja.
Sistem yang digunakan Jerman adalah dengan mewajibkan penduduk yang
memiliki upah di bawah 45.900 Euro per tahun untuk mengikuti program asuransi
sosial wajib. Sedangkan mereka yang berpenghasilan diatas itu, boleh membeli
asuransi kesehatan dari perusahaan swasta, akan tetapi sekali pilihan itu diambil,
ia harus seterusny