Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Analisis Kasus Koreksi Pajak Keluaran Pada Proses
Reimbursement Atas Klaim Garansi Dari Transaksi
Jual Beli Otomotif: Sebuah Studi Kasus PT X
Yolanda Inge Tjahyadi
Dahlia Sari
S1 Reguler Akuntansi
Fakultas Ekonomi
ABSTRAK
Pertumbuhan penjualan otomotif di Indonesia terus mengalami peningkatan. Dalam penjualan
otomotif, garansi merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan transaksi.
Dari segi perpajakan, praktik klaim garansi ini seringkali menimbulkan koreksi pada transaksi
perusahaan. Misalnya, pure reimbursement garansi dari Dealer kepada Perusahaan atas klaim
garansi dari konsumen seringkali dianggap sebagai penyerahan jasa sehingga menimbulkan
koreksi pajak keluaran. Mengingat transaksi penjualan otomotif akan semakin terus meningkat di
masa yang akan datang, maka diperlukan adanya analisis kasus nyata akan reimbursement atas
klaim garansi pada perusahaan otomotif yang dapat digunakan sebagai benchmark praktik
perpajakan yang benar.
Growth in auto sales in Indonesia continues to increase. In auto sales, warranty is an inseparable
part of the overall transaction. In terms of taxation, warranty claims practices often lead to a
correction in corporate transactions. For example, warranty pure reimbursement to the company
from the delaer for warranty claims from consumers is often considered as the delivery of
services, thus giving rise to the tax output correction. Given automotive sales transactions will
continue to increase in the future, it would require the analysis of the real case of reimbursement
claim warranty on auto companies that can be used as a correct tax practice benchmark.
Kata Kunci: jasa; garansi; reimbursement; pajak keluaran; substance over form.
Keyword: services; warranty; reimbursement; output tax; substance over form.
PENDAHULUAN
Walaupun sekarang kondisi perekonomian dunia khususnya Eropa sedang tidak stabil,
namun ternyata efek tersebut tidak cukup untuk melemahkan pertumbuhan sektor otomotif di
Indonesia. Pada tahun 2011, penjualan mobil meningkat 17% dari tahun 2010 (yang berarti
menghasilkan hampir 900.000 kendaraan baru), dan sebesar 11% year-on-year pada kuartal
pertama 2012 (“Penjualan Mobil”, 2012). Padahal di China, salah satu negara dengan
pertumbuhan ekonomi terbaik, penjualan mobil hanya tumbuh 2,6% dari 2010 dan 2011. The
Economist pun melaporkan bahwa pembelian kendaraan di Indonesia jauh lebih tinggi
dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
2
Satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari penjualan otomotif di Indonesia adalah garansi
yang ditawarkan sehubungan dengan pembelian otomotif tersebut. Bagi perusahaan otomotif
pemberi jasa garansi, biasanya Dealer selaku penjual langsung yang menalangi dahulu semua
biaya terkait proses penggantian. Proses ini disebut sebagai reimbursement / penggantian. Sistem
reimbursement ini seharusnya tidak menimbulkan dampak PPN sama sekali. Namun sistem
reimbursement berantai tersebut seringkali tidak memenuhi persyaratan sebagai “pure
reimbursement” sehingga menimbulkan dampak koreksi khususnya pada Pajak Keluaran pada
perusahaan manufaktur/distibutor besar, bahkan perusahaan lain yang terkait keseluruhan proses
transaksi, tidak terkecuali perusahaan induk.
Fakta munculnya koreksi Pajak Keluaran yang salah dan koreksi-koreksi positif lain dari
Direktur Jenderal Pajak (atau selanjutnya disebut DJP) memperburuk masalah kesalahan esensi
pada sistem penjualan perusahaan otomotif, khususnya pada saat klaim reimbursement garansi
terjadi. Kasus serupa diprediksi akan semakin meningkat mengingat pertumbuhan perusahaan
otomotuif di Indonesia sangat pesat. Pengetahuan akan sistem reimbursement garansi dan
implikasi perpajakannya khususnya terkait koreksi pajak akan sangat memengaruhi perusahaan
dalam mengambil keputusan sistem penjualan otomotif.
Masalah yang dapat difokuskan pada penelitian ini adalah mengenai analisis koreksi
Pajak Keluaran atas proses reimbursement yang muncul setelah klaim garansi terjadi pada
kegiatan jual beli otomotif dari PT X. Sengketa kasus serupa memang seringkali muncul pada
tahap koreksi perhitungan PPN perusahaan. Hal inilah yang akan dianalisis lebih lanjut pada PT
X sebagai objek studi, khususnya mengenai analisis kedua belah pihak (DJP dan PT X) dan
analisis kasus dari pihak netral (analisis Penulis), dilanjutkan dengan saran penyelesaian sengketa
dari kasus ini. Tujuan yang ingin dicapai dari tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis akurasi argumentasi PT X dan pihak DJP atas kasus,
2. Memberikan analisis yang netral terkait dengan koreksi Pajak Keluaran pada PT X,
3. Memberikan saran berupa argumentasi tambahan kepada PT X dari segi pembelaan kasus,
dan pencegahan kesalahan yang sama di masa yang akan datang.
TINJAUAN TEORITIS
Menurut Nasution dan Ahsyarul (2007) PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
3
bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN
termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang)
yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak
menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Dalam bukunya, Djuanda (2011) menjelaskan mengenai Objek PPN yang terbagi menjadi
2 bagian besar yaitu Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak. Yang dimaksud dengan Barang Kena
Pajak menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 adalah semua barang pada
prinsipnya merupakan Barang Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali yang ditentukan lain oleh
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan Jasa Kena
Pajak berdasarkan pendapat Nasution dan Mahsyarul (2007) yang juga didasarkan pada UU
Nomor 18 Tahun 2000 Ps 1 angka 5, 302/KMK.04/1989, adalah setiap kegiatan pelayanan
berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang/ fasilitas/
kemudahan/ hak tersedia untuk dipakai, termasuk menghasilkan barang berdasarkan pesanan
dengan bahan dan petunjuk pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Menurut Waluyo (2008) Pajak Keluaran adalah PPN Terutang yang wajib dipungut oleh
Perusahaan Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena
Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak. Sedangkan Pajak Masukan menurut Muljono (2010)
adalah PPN seharusnya sudah dibayar oleh PKP berkaitan dengan perolehan BKP, penerimaan
JKP, pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean, pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar daeras Pabean, dan impor barang kena Pajak. Djuanda (2011) berkata bahwa Pajak
Masukan dapat dikreditkan.
Menurut Wahyudi (2012), salah satu hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
1 Tahun 2012 adalah masalah PPN atas pemakaian sendiri. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Peraturan
Pemerintah tersebut. Yang dimaksud dengan “Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak” adalah
pemakaian Barang Kena Pajak untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau
karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Sedangkan yang
dimaksud dengan “Pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak” adalah pemakaian Jasa Kena Pajak untuk
kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya. Pemakaian sendiri untuk tujuan
produktif adalah pemakaian BKP/JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi
selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
4
manajemen. Pemakaian sendiri untuk tujuan produktif tidak dilakukan pemungutan PPN atau
PPnBM, kecuali pemakaian sendiri digunakan untuk penyerahan yang tidak terutang PPN, atau
mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan. Sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan, tidak
dilakukannya pemungutan PPN untuk pemakaian sendiri tujuan produktif dimaksudkan untuk
kemudahan administrasi karena PPN atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif nantinya
dapat dikreditkan kembali.
Menurut Subekti (2012), penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya
yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak,
ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang no.42 Tahun 2009 tentang
PPN dan PPnBM dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa
uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean. Sedangkan reimbursement menurut Sulistyono (2006) adalah suatu jumlah yang ditagih
oleh Pemberi Jasa kepada Penerima Jasa yang berasal dari tagihan Pihak Ketiga (Supplier). Pada
praktik perpajakan, penggantian dikenakan PPN sedangkan reimbursement bebas PPN.
Menurut Fitriyadi (2011), Dalam kehidupan sehari-hari, praktik menalangi pembayaran
atas nama orang lain atau badan usaha lain untuk mendapatkan penggantian di kemudian hari
sangat lazim terjadi. Selain karena praktis, penyebab sering dilakukannya praktik yang dikenal
dengan reimbursement ini adalah karena dinilai tidak memiliki implikasi yang negatif oleh
sebagian pihak. Secara pajak berdasarkan beberapa surat dari Dirjen Pajak, transaksi
reimbursement ternyata tidak hanya berdasarkan substansinya saja. Dirjen pajak membatasi
bahwa untuk dapat diakui oleh kantor pajak, menurut Surat DJP nomor S-1047/pj.322/2004
tentang penjelasan pengertian penggantian dan reimbursement, suatu transaksi reimbursement
harus memenuhi serangkaian persyaratan sebagai berikut:
1. Terdapat perjanjian yang mengatur tentang reimbursement;
2. Bukti tagihan atas nama penanggung beban yang sesungguhnya;
3. Bukti tagihan diserahkan kepada penanggung beban sesungguhnya; dan
4. Tidak ada mark up/down nilai atau harga.
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
5
Andai saja salah satu persyaratan tidak terpenuhi, transaksi yang terjadi tidak dapat diakui
sebagai transaksi reimbursement. Konsekuensinya, pihak yang menalangi pembayaran dapat
dianggap memberikan jasa kepada penanggung beban yang sesunggungnya, sehingga terdapat
administrasi perpajakan yang perlu ditunaikan lebih lanjut oleh pihak yang menalangi maupun
yang sesungguhnya menanggung beban.
PROFIL PERUSAHAAN STUDI KASUS
PT X sendiri merupakan anak perusahaan dari Induk Limited yang bergerak di bidang
yang sama di Indonesia. Hanya saja di Indonesia, PT X hanya berperan sebagai pemasar dan
distributor besar mobil ke Dealer yang akan meneruskannya ke customer akhir. Untuk memenuhi
tantangan pasar di Indonesia, PT X merumuskan strategi yang sejalan dengan Induk Limited
beserta seluruh grupnya dengan dua sasaran yaitu menjadi perusahaan yang profitable dan untuk
meningkatkan nilai jangka panjang dalam jangka panjang. Hal ini juga berlaku untuk aspek
teknologi, struktural serta budaya perusahaan PT X.
Skema Transaksi dari Induk Limited hingga Konsumen
Sumber: olahan sendiri
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
6
ANALISIS KASUS
Analisis akan dimulai dari deskripsi kasus secara keseluruhan mulai dari impor hingga
reimbursement akan dibahas pada paragraf berikut disertai dengan gambar yang terlampir. Pada
saat penjualan, Induk Limited mengekspor perangkat-perangkat mobil dan spareparts kepada PT
Importir (1). PT Importir lalu merakit perangkat tersebut menjadi mobil dan menjualnya kepada
PT X sebagai distributor tunggal mobil berkaitan. Di samping itu, PT Importir juga menjual
spare parts kepada PT X. Harga jual yang dikenakan oleh PT Importir kepada PT X. PT Importir
telah memungut PPN atas harga jual tersebut (2). Setelah itu PT X mendistribusikan mobil dan
spare parts yang didapatkan dari PT Importir kepada Dealer sebesar Harga Pokok Pembelian
(HPP) ditambah margin PT X (3). Pada akhirnya, Dealer-lah yang menjual mobil dan spare parts
langsung kepada pembeli akhir (4). Pada saat pembeli akhir menemukan terdapat kerusakan /
cacat yang mengakibatkan pembeli harus menggunakan hak garansi mobil mereka, maka pembeli
akan berhubungan langsung dengan Dealer. Pembeli melakukan klaim penggantian kerusakan /
cacat atas mobil yang dibelinya (5). Dealer lalu mencocokan data mobil yang diklaim dengan
menggunakan daftar rincian data konsumen dan Dealer baru akan menerima klaim penggantian
spare parts sehubungan dengan garansi apabila data mobil memang termasuk dalam daftar.
Dalam hal ini, Dealer membayarkan terlebih dahulu biaya klaim garansi konsumen, di mana
setelah semua pembetulan selesai, Dealer akan menagih biaya tersebut kepada PT X. Tagihan
kepada PT X tersebut adalah sebesar harga beli Dealer atas spare parts dari PT X di mana di
dalam harga beli terkandung margin PT X (6). Sesaat setelah PT X menerima tagihan
penggantian dari Dealer, PT X akan meneruskan tagihan Dealer tersebut ke Induk Limited (7);
Induk Limited akan melakukan pembayaran hanya sebesar LC tanpa menanggung mark up
margin PT X (8); PT X kemudian melakukan pembayaran kepada Dealer atas penggantian spare
parts tersebut (LC + Margin PT X) (9).
Pada gambar di bawah juga diilustrasikan bahwaharga jual dan margin serta PPN yang
mengikuti transaksinya. Dari flow di bawah juga terlihat bahwa dari pihak perusahaan
menggabungkan harga mobil dan garansi menjadi 1 paket harga jual, sehingga pada saat
melakukan klaim garansi, pihak perusahaan tidak dapat membuat list terpisah dari harga jual
mobil dan harga jual garansi. Berikut merupakan gambar dari deskripsi di atas ditambah dengan
diagram contoh arus uang mulai dari pembelian barang hingga reimbursement garansi:
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
7
Flow Reimbursement Garansi PT X
Sumber : olahan sendiri
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
8
Flow Sampel Arus Uang Harga Pokok dan Klaim Garansi Serta Reimbursement
Sumber : olahan sendiri
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
9
Dalam kasus ini, dari pihak DJP mengutarakan beberapa alasan mengapa mereka
memutuskan untuk melakukan koreksi terhadap Pajak Keluaran PT X. Pihak DJP menyatakan
bahwa program garansi dan paket servis yang termasuk di dalam fungsi distribusi tersebut
diselenggarakan oleh Induk Limited untuk pelanggan/pembeli mobil merk terkait di Indonesia.
Mengacu pada Pasal 1 angka 5 UU PPN tentang definisi jasa, DJP menganggap bahwa
terbukti PT X melakukan kegiatan yang menyebabkan fasilitas atau kemudahan atau hak atas
program garansi dan servis tersedia dipakai oleh Induk Limited untuk diberikan kepada
pelanggan/pembeli di Indonesia. Sengketa perpajakan yang terjadi adalah adanya tagihan
dari pihak PT X (Wajib Pajak/WP) kepada Induk Limited yang disebutkan oleh Wajib
Pajak sebagai reimbursement dan tidak terutang PPN tetapi oleh pemeriksa dianggap ada
penyerahan jasa kena pajak dalam transaksi tersebut sehingga dikenakan PPN. Pada saat
DJP melakukan pemeriksaan, DJP juga menemukan bahwa PT X ternyata telah
mengkreditkan Pajak Masukan yang diterbitkan oleh Dealer atas program garansi dan servis,
maka PT X juga sebenarnya wajib menerbitkan Faktur Pajak Keluaran atas penggantian
kepada Induk Limited karena PT X bukan pemikul beban pajak (PPN) sesungguhnya, dan
yang memikul beban PPN sesungguhnya seharusnya adalah konsumen akhir.
PT X selaku Pemohon Banding juga mengeluarkan pembelaannya tersendiri atas
koreksi yang dilakukan oleh DJP terkait PPN Keluaran atas reimbursement yang dianggap
terdapat penyerahan Jasa Kena Pajak di mana PT X tidak setuju dengan pendapat DJP yang
menyatakan bahwa “PT X melakukan kegiatan yang menyebabkan fasilitas atau kemudahan
atau hak atas program garansi dan servis untuk dipakai oleh Induk Limited untuk diberikan
kepada pelanggan”. PT X menjelaskan bahwa tidak terdapat jasa yang diberikan oleh PT X
kepada Induk Limited berkaitan dengan garansi program atau paket servis oleh karena PT X
tidak memberikan kegiatan pelayanan atau fasilitas atau kemudahan atau hak apapun
dalam hal ini. Selain daripada itu perlu juga dipahami secara menyeluruh bahwa klaim
kerusakan spare parts (garansi program) atau kerusakan rutin (paket servis) merupakan
transaksi yang tidak dapat dipisahkan dari penjualan mobil PT X kepada pelanggan.
Sebagaimana diketahui bahwa pelanggan pada waktu membeli mobil PT X telah membayar
sejumlah harga tertentu di mana pelanggan diberi hak untuk melakukan pengeklaiman jika
terdapat kerusakan spare parts (garansi program) atau kerusakan rutin (paket servis) pada
kondisi tertentu. Atas dasar ini jika terdapat kerusakan tentunya fasilitas yang menerima
adalah pelanggan yang diberikan oleh Induk Limited. Kegiatan pelayanan atau pemberian
fasilitas dalam hal perbaikan mobil PT X sepenuhnya dilakukan oleh Dealer. PT X juga tidak
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
10
setuju dengan pendapat DJP yang mengaitkan pengkreditan PPN Masukan dengan kewajiban
menerbitkan faktur pajak keluaran karena tidak ada dasar hukum sah-nya.
Dalam kasus kali ini, analisis materi secara keseluruhan akan dibagi ke dalam
beberapa aspek sebagai berikut:
1. Kasus menurut aspek penyerahan jasa,
2. Kasus menurut aspek pajak masukan dan pajak keluaran,
3. Kasus menurut teori reimbursement,
4. Analisis netral akan kesalahan perusahaan dan DJP.
Dari aspek penyerahan jasa, kasus ini dapat dianalisis melalui 3 argumentasi yang
berbeda, yaitu: (1) argumentasi bahwa pandangan “jasa” antara DJP dan PT X adalah 2 hal
yang berbeda, (2) argumentasi penggunaan jasa dari luar ke dalam daerah pabean, dan (3)
argumentasi bahwa pembelaan DJP pada surat keberatan/banding adalah benar; yaitu bahwa
PT X melakukan jasa yang mendatangkan manfaat bagi Induk Limited.
Argumentasi pertama bergerak berdasarkan indikator adanya anggapan penyerahan
jasa dari reimbursement disebabkan karena adanya perbedaan persepsi penyerahan jasa kena
pajak antara pihak DJP dan pihak perusahaan. Apabila dilihat dari segi prasyarat JKP, jasa
garansi memang seharusnya dikenakan pajak. Akan tetapi, DJP mengemukakan
argumentasinya melalui “kemudahan” yang seharusnya dikenakan pajak. Tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan Jasa Kena Pajak selain dari UU
PPN Pasal 1 angka (5). Pasal 1 angka (5) yang dijadikan patokan bagi DJP dalam menentukan
bahwa jasa tersebut merupakan Jasa Kena Pajak pun tidak cukup kuat karena tidak
menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan “kemudahan” di sini sehingga
suatu kegiatan dapat digolongkan menjadi suatu jasa.
Dari analisis pada paragraf di atas akan muncul banyak pertanyaan tak terjawab. Jasa
yang dimaksud DJP adalah “kemudahan”. Pertanyaannya, apakah benar PT X memberikan
“kemudahan” bagi Induk Limited? Apa bentuk kemudahannya? Bukankah yang mendapat
kemudahan sebenarnya konsumen yang mengklaim garansi? PT X hanya meneruskan klaim
garansi dari Dealer kepada Induk Limited dan adalah logis apabila PT X menganggap tidak
ada penyerahan jasa sama sekali pada saat klaim reimbursement dilakukan.
Dilihat dari analisis DJP, DJP melihat kegiatan pemberian garansi yang dilakukan oleh
PT X terhadap konsumen dalam negeri sebagai dasar pengenaan pajak keluaran PT X atas
penggantian uang dari Induk Limited ke PT X. Pemberian kewajiban garansi saat itu dianggap
sebagai pemberian kegiatan servis. Di sini, Induk Limited seolah-olah dianggap sebagai
konsumen yang menerima kemudahan, dan yang membayarkan uang atas jasa garansi
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
11
tersebut. Dari sekian paragraf di atas, hal ini menyimpulkan bahwa argumentasi pertama ini
cukup benar adanya bahwa memang terdapat perbedaan persepsi antara DJP dan PT X
sehingga menimbulkan koreksi; baik dari segi jasa yang muncul karena “kemudahan”, juga
tentang pemberi dan penerima manfaat.
Argumentasi kedua bergerak atas dasar adanya kemungkinan bahwa DJP dapat
mengacu pada Pasal 4 UU PPN huruf (d) di mana PPN dinyatakan dikenakan pada
pemanfaatan jasa dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean. Dalam hal ini,
diasumsikan PT X menggunakan jasa dari Induk Limited untuk melakukan servis garansi
langsung di Indonesia, karena itu jasa yang ada dapat dikenakan PPN di mana PPN over
warranty memang pada kenyataannya telah dipungut dan telah diterbitkan Faktur Pajaknya.
Namun argumen ini juga tidak dapat dipakai mengingat pada kenyataannya, yang melakukan
servis garansi di Indonesia sendiri adalah Dealer, bukan dari Induk Limited, dan Induk Limited
hanya mengganti biaya spare parts yang ditagihkan kepada Induk Limited melalui PT X di
Indonesia. Karena itu argumentasi kedua pun tidak dapat dibuktikan keberannya dan tidak
dapat menguatkan posisi DJP sebagai Terbanding.
Argumentasi ketiga dianalogikan bahwa jika pandangan dari DJP memang
dibenarkan, di mana PT X memang melakukan penyerahan jasa terhadap konsumen di
Indonesia namun untuk ‘kemudahan’ atau ‘manfaat’ Induk Limited, maka sebenarnya yang
terjadi adalah penyerahan jasa dari PT X kepada Induk Limited yang jelas-jelas berada di Luar
Daerah Pabean. Merujuk pada PMK 144/PMK.011/2000 dan UU PPN nomor 18 tahun 2000,
kegiatan penyerahan jasa yang dilakukan di Luar Daerah Pabean atau ekspor jasa kepada
Foreign Entity belum diatur pengenaan PPN-nya dan dapat diasumsikan bahwa ekspor jasa
tidak dikenakan PPN.
Flow Penyerahan Jasa ke Luar Daerah Pabean
Sumber: olahan sendiri
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
12
Berdasarkan semua argumentasi di atas, tidak ada satupun argumentasi yang
menguatkan posisi DJP sebagai terbanding dari sisi penyerahan jasa dikarenakan semua
argumentasi tersebut tidak cukup kuat atau dapat dipatahkan kebenarannya. Hal ini menjadi
indikator sementara bahwa secara esensi, memang tidak ada penyerahan jasa yang terjadi atas
klaim reimbursement yang diterima oleh PT X dari Induk Limited.
Dalam aspek pajak masukan dan pajak keluaran, PT X sebagai distributor ke Dealer
dan Dealer sebagai penjual akhir telah memungut PPN sebagaimana mestinya dari konsumen
pada saat penjualan mobil terjadi. Flow dari pajak keluaran yang dipungut penjual dan pajak
masukan dari supplier telah dipenuhi dengan baik. Secara rinci dapat dilihat pada tabel
berikut:
Flow Pajak Keluaran dan Masukan yang Telah Dipungut dan Dikreditkan.
Sumber : olahan sendiri
Dari sisi pemenuhan kewajiban memungut, mengkreditkan dan pembuatan faktur
pajak dari PT Importir, PT X ke Dealer dan akhirnya konsumen sudah berjalan dengan baik
dan dapat dikatakan telah selesai. Hal ini terlihat pada tabel di mana proses Pajak Masukan
dan Pajak Keluaran dari PT X telah selesai. Akan tetapi hal yang menjadi masalah adalah
adanya pengkreditan Pajak Masukan kembali oleh PT X atas klaim garansi konsumen dari
Dealer, yang kemungkinan menjadi dasar koreksi dari DJP bahwa harus ada pajak keluar
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
13
yang melengkapi pajak masukan tersebut. Pada tabel masalah dapat dilihat pada bentuk panah
dan bulat berwarna merah yang menunjukkan dasar argumentasi DJP.
Pada dasarnya, PPN dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu pengenaan PPN atas
kebutuhan produksi dan pengenaan PPN karena pemakaian sendiri. Dalam kasus PT X, servis
yang diberikan atas klaim garansi dari konsumen pun tergolong sebagai proses produksi di
mana Dealer memberikan layanan garansi dengan tujuan untuk mempertahankan dan
memperoleh pendapatan. Bagi Dealer, sekiranya kegiatan ini digolongkan sebagai kegiatan
produksi, maka tidak perlu diterbitkan Faktur Pajak sehingga tidak akan ada Pajak Keluaran.
Maka, bagi PT X pun tidak akan ada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Hal pendukung
lain yang menunjukkan bahwa PT X sebenarnya tidak terekspos kewajiban PPN adalah
bahwa PT X sama sekali tidak melakukan mark-up atas jasa servis yang diberikan ke
pelanggan juga terhadap nilai uang yang diajukan kepada Induk Limited untuk digantikan.
Karena pada hakekatknya PPN dikenakan pada sesuatu yang memiliki “tambahan nilai”,
maka pada saat tidak ada markup sama sekali, seharusnya tidak ada ekspos PPN di sana.
Secara substansi, proses reimburse ini adalah proses pure reimbursement.
Akan tetapi yang terjadi sebenarnya di lapangan adalah, PT X mengkreditkan Pajak
Masukan atas pengajuan reimburse garansi dari Dealer. Hal ini tentu menyulitkan posisi PT X
sebagai Pemohon Banding atas praktik pembuatan Faktur Pajak yang salah. Sehingga dalam
surat uraian bandingnya, WP yaitu PT X melakukan pembelaan bahwa pengkreditan Pajak
Masukan tersebut tidak dapat dijadikan dasar koreksi Pajak Keluaran yang seharusnya
dipungut oleh PT X, dan pembelaan ini cukup beralasan karena memang sejauh ini tidak ada
peraturan yang menyatakan bahwa Pajak Masukan harus diikuti oleh Pajak Keluaran.
Dengan penjabaran di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan sementara, yaitu
(1) Sebenarnya praktik Pajak Keluaran dan Pajak Masukan dari PT X telah benar adanya dan
telah terselesaikan semenjak barang sudah berada di tangan konsumen, (2) PT X tidak
terekspos PPN karena kegiatan servis yang dilakukan Dealer tergolong sebagai kegiatan
produksi (tidak memunculkan PK dan PM) dan PT X tidak melakukan praktik markup, dan
(3) bahwa PT X melakukan pembelaan bahwa Pajak Masukan tidak dapat menjadi dasar dari
koreksi Pajak Keluaran dari DJP. Secara keseluruhan, sisi Pajak Masukan dan Keluaran dari
kasus ini sangat menguatkan posisi PT X sebagai Pemohon Banding.
Dari persyaratan pure reimbursement, DJP mempermasalahkan mengenai
dokumentasi dan margin. Walaupun pada surat uraian argumentasi DJP tidak menyebutkan
sama sekali perihal klasifikasi reimbursement, tapi pada kenyataannya pihak DJP
mempermasalahkan hal mengenai mark-up dari nilai klaim reimbursement. Dari pihak DJP
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
14
sendiri dalam surat SPUH Keberatan telah menyatakan bahwa nilai yang diklaim oleh PT X
terhadap Induk Limited adalah sama. Hal ini dapat menjadi pernyataan terikat bahwa telah
diakui PT X hanya bertindak sebagai tangan pertama / pembayar terdahulu yang selanjutnya
akan mengklaim nilai tersebut kembali kepada Induk Limited. Tidak ada unsur margin di sini.
Lebih lanjut lagi, analisis DJP mengenai adanya penyerahan jasa dari PT X kepada
Induk Limited akan menjadi lemah apabila melihat paket garansi yang ditawarkan secara
keseluruhan. DJP sepertinya melihat bahwa pada saat penyerahan barang dan garansi, jasa
yang menempel pada garansi adalah suatu hal yang terpisah. DJP menghendaki PT X untuk
menyertakan perhitungan terpisah antara jasa servis dan spare parts di mana PT X tidak
memiliki perhitungan yang terpisah antara spare parts dan jasa garansi. Hal ini sangat
menyulitkan PT X apabila DJP memang ingin melakukan uji bukti bahwa nilai
reimbursement yang diajukan tidak ada mark up.
Selanjutnya hal yang harus diperhatikan adalah pemenuhan prasyarat di mana praktik
penerbitan invoice klaim seharusnya adalah atas nama penganggung beban, dalam hal ini
adalah Induk Limited. PT X dalam kasus ini memang melakukan kesalahan dalam hal
dokumentasi karena pada saat penerbitan invoice, Dealer yang bersangkutan menerbitkan
invoice atas nama PT X terlebih dahulu, barulah PT X mengklaim kembali kepada Induk
Limited. Dari segi reimbursement, posisi PT X sebenarnya sangat lemah dari segi
dokumentasi. PT X tidak memiliki perhitungan terpisah nilai jasa sebagai pembuktian
markup, dan PT X juga melakukan dokumentasi yang tidak benar dari segi prasyarat pure-
reimbursement.
Menindaklanjuti masalah ini adalah bagaimana perusahaan dapat melakukan
pembelaan secara esensi, bukan hanya dari segi dokumentasi. Secara tidak langsung, asas
Substance over Form ini dapat berlaku di dalam pengajuan pembelaan terhadap kesalahan
dokumentasi pada reimbursement yang diklaim oleh PT X terhadap Induk Limited.
Dokumentasi yang salah bukan berarti terdapat kesalahan dalam hal transaksi sebenarnya,
karena sesungguhnya motivasi PT X melakukan kesalahan bukanlah karena motif
penghindaran pajak, namun karena ketidaklengkapan informasi dan pengetahuan akan sistem
reimbursement. Pembelaan perihal esensi pada kasus sengketa ini akan dilihat dari 2 sisi yaitu
(1) pembahasan mengenai kesalahan baik secara praktik maupun analisis kasus dari
perusahaan dan DJP, serta (2) kaitannya dengan pembelaan substance over form.
DJP, sebagai Terbanding melakukan beberapa kesalahan analisis yang melemahkan
posisinya dalam kasus ini. Kesalahan analisis pertama adalah lemahnya pembelaan DJP atas
dasar pengenaan pajak yang benar. Dilihat dari sisi manapun, baik dari definisi jasa dan
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
15
manfaat yang benar, konsumen sebagai penerima manfaat jasa, atau Induk Limited sebagai
penerima manfaat jasa, ketiga sudut pandang tersebut tidak cukup memberikan ekspos PPN
yang cukup besar terhadap PT X, seperti yang telah dijelaskan pada subbab mengenai aspek
penyerahan jasa sebelumnya. Kesalahan analisis kedua adalah pada penggunaan Pajak
Masukan sebagai dasar kewajiban bagi PT X untuk memungut Pajak Keluaran, yang jelas
sekali tidak ada dasar hukumnya. Di sini kemungkinan DJP hanya mendasarkan analisisnya
pada praktik umum, di mana DJP berlogika bahwa di mana ada penjualan, pasti ada bahan
baku penjualan; di mana ada pajak masukan, pasti ada pajak keluaran. Hal ini adalah analisis
yang lemah dan tidak berdasar.
Dari sisi perusahan sendiri, perusahaan lebih banyak melakukan kesalahan dari segi
praktek perpajakan. Kesalahan pertama adalah tidak adanya pemisahan antara biaya barang
dan biaya garansi. Saat ini, PT X lemah dari segi pembuktian tidak adanya margin yang
dipungut oleh PT X dari klaim reimbursement karena sulitnya membuktikan nilai garansi
secara terpisah (Pembuktian Reimbursement). Kesalahan kedua yang sering terjadi adalah
kekeliruan mengkreditkan Pajak Masukan yang seharusnya tidak dikreditkan. Kesalahan
ketiga yang paling umum adalah masalah dokumentasi reimbursement. Persyaratan
dokumentasi yang telah dijabarkan sebelumnya merupakan persyaratan akumulatif, di mana
salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka suatu transaksi akan tidak dianggap sebagai
reimbursement. Karena Dealer membuat invoice mengatasnamakan PT X di mana seharusnya
Induk Limited, maka secara dokumen transaksi klaim tersebut tidak sah dikatakan sebagai
reimbursement. Cukup sulit untuk mendapatkan pembelaan substance over form mengenai
perihal ini, karena sebenarnya peraturan mengenai dokumentasi sudah cukup jelas dan PT X
tidak memenuhi prasyarat pengajuan reimbursement.
KESIMPULAN
Setelah penulis melakukan analisis pada bab sebelumnya, dapat dikatakan bahwa
ternyata kedua belah pihak yaitu baik PT X maupun DJP sama-sama memiliki kelemahan
dari segi pembelaan. Analisis netral yang dilakukan oleh penulis juga menekankan pada
beberapa kesalahan yang terjadi dari analisis kedua pihak. Hal yang bisa dilakukan
selanjutnya adalah membantu pembelaan serta memberikan saran terkait kasus koreksi ini
untuk transaksi PT X di masa yang akan datang.
Pada studi kasus ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa PT X dapat melakukan
pembelaan yang konkrit dan cukup kuat dengan merujuk pada kelemahan analisis DJP dan
pada esensi kebenaran transaksi PT X sendiri. PT X dapat melakukan pembelaan berupa:
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
16
1. Argumentasi bahwa adanya “kemudahan” yang dilakukan oleh PT X ke Induk
Limited adalah salah. PT X dapat menekankan kembali bahwa mereka semata-mata
hanya meneruskan reimbursement klaim garansi dari Dealer, tanpa adanya indikator
penyerahan jasa yang dilakukan oleh PT X kepada customer di Indonesia untuk
“kemudahan” Induk Limited.
2. Argumentasi akan pengenaan PPN yang berada di luar daerah pabean. Apabila
memang “kemudahan” itu diterima oleh Induk Limited, maka jasa yang berlaku
adalah kegiatan penyerahan jasa ke luar daerah pabean, di mana pada tahun 2008,
penyerahan jasa ke luar daerah pabean tersebut tidak dapat dikenakan Pajak Keluaran.
3. Argumentasi bahwa adanya pengkreditan Pajak Masukan tidak bisa menjadi dasar
pengenaan Pajak Keluaran karena tidak ada pasal dalam hukum pajak yang
menyatakan PM harus diikuti oleh PK.
4. Pada argumentasi sebelumnya, juga bisa ditambahkan bahwa kegiatan yang dilakukan
Dealer ke konsumen adalah termasuk kegiatan produksi, sehingga PPN yang berlaku
pun adalah PPN atas kebutuhan produksi di mana pada golongan ini, kegiatan tidak
menimbulkan keharusan penerbitan faktur pajak, dan tidak terkena PPN baik Pajak
Masukan dan Pajak Keluaran.
5. Penekanan kembali bahwa reimbursement yang dilakukan PT X adalah pure
reimbursement di luar dokumentasi yang tidak sempurna. Dalam istilah hukum, lebih
dikenal sebagai istilah substance over form; yang penting adalah esensi kebenaran
(transaksi) yang dilakukan oleh PT X.
Saran konkrit yang dapat diberikan kepada PT X di masa yang akan datang sendiri
adalah terkait dokumentasi yang lebih baik. Dokumentasi yang ada harus memenuhi
prasyarat pure reimbursement dari DJP; baik dari segi pencantuman nama perusahaan pada
dokumen, pemisahan harga jual dan klaim garansi spare parts, dan ketelitian dalam
pengkreditan Pajak Masukan. Dengan dokumentasi yang baik dan analisis pembelaan yang
logis, maka posisi PT X akan semakin menguat dalam proses pengadilan kasus di masa yang
akan datang.
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013
17
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda Irwansyah Lubis, Gustian (2011). Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Atas Penjualan Barang Mewah (Edisi Revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fithriyadi, Ika (2011). “Kenali Reimbursement dan Implikasinya” Cerdas Pajak 5 Agustus
2011. 5 Agustus 2011. < http://jpmi.or.id/2011/08/05/kenali-reimbursement-dan-
implikasinya/>
Hadi Suprapto . “Kalahkan China, Otomotif RI Tumbuh Menggila”. Vivanews Jumat 22 Juni
2012. Jumat 22 Juni 2012. < http://otomotif.news.viva.co.id/news/read/328354-
kalahkan-china--otomotif-ri-tumbuh-menggila>
Hakim Nasution, Lukman & Tony Marsyahrul (2007). Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Jakarta: Grasindo.
Hariyulianto, Tunas (2008). “Perlakuan Perpajakan Atas Reimbursement” 14 Februari 2008.
<http://999-sps02-01:8080/C11/Artikel%20Perpajakan/default.aspx>
Waluyo (2008). Akuntasi Pajak. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Wahyudi, Dudi (2012). “PPN atas Pemakaian Sendiri”. 5 Februari 2012. < http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-pertambahan-nilai/ppn-atas-pemakaian-sendiri.html>
Subekti, Wibowo (2012). “Pengertian Penggantian Dalam PPN Dan PPnBM” 23 Juni 2012.
<http://blogpajak.com/pengertian-penggantian-dalam-ppn-dan-ppnbm/>
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 87/Pj./2002 Tentang Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pemakaian Sendiri
Dan Atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak Dan Atau Jasa Kena Pajak
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 2000 Tentang Jenis Barang Dan
Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis
Jasa Kena Pajak yang Atas Ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai
Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-1047/Pj.322/2004 Tentang Penjelasan Pengertian
Penggantian Dan Reimbursement
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai tahun 1984
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan
Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan
Jasa Dan Pajak Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Analisis kasus...Yolanda Inge Tjahyadi, FE-UI, 2013