Upload
dinapurplelovers
View
23
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
community health nursing
Citation preview
BAB III
ANALISIS KASUS
3.1 Layanan Kesehatan dan Tuntutan Perubahan Sosial
Di dalam kasus disebutkan bahwa keluarga masih enggan memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang dibuktikan dengan ibu yang sedang hamil tidak pernah
melakukan Ante Natal Care (ANC) dan membiarkan anaknya yang berusia 2 tahun
yang sedang batuk pilek selama lima hari. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman
mereka terhadap pentingnya pemanfaatan layanan kesehatan sangatlah kurang.
Sebagai tenaga kesehatan, kita dituntut untuk dapat mengubah perilaku keluarga
tersebut menjadi lebih baik. Menurut Blum (1974), perilaku itu memiliki peranan yang
besar dalam menentukan pemanfaatan sarana kesehatan. Dengan merubah
perilaku yang salah pada keluarga tersebut, akan mampu meningkatkan derajat
kesehatan mereka.
Menurut saya, hal yang paling mendasar dan harus diubah dari keluarga
tersebut dalam hal kesehatan yaitu yang paling pertama adalah mindset atau pola
pikir keluarga itu sendiri yang masih terkesan meremehkan pentingnya kesehatan.
Dalam kasus dijelaskan bahwa keluarga tidak memahami pentingnya ANC dan
anggapan yang keliru mengenai “banyak makan di saat hamil sudah bisa
memastikan bahwa janin yang dikandung pasti sehat” serta membiarkan anaknya
sakit batuk pilek selama lima hari.
Dalam hal ini, tenaga kesehatan perawat dapat berkontribusi untuk
mengubah pola pikir tersebut agar dapat memperbaiki tingkat kesehatan keluarga
tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penyuluhan langsung ke rumah
keluarga atau dengan pengiklanan dan lain sebagainya.
Kasus pada makalah ini merupakan sebagian kecil permasalahan yang nyata
pada masyarakat Indonesia saat ini. Masalah kesehatan masyarakat Indonesia
sebenarnya dapat dicegah secara teoritis atau diintervensi dengan upaya sederhana
dan terjangkau, namun kenyataannya berbagai masalah masih muncul akibat
rendahnya pelayanan pencegahan kesehatan. Rendahnya pelayanan pencegahan
kesehatan ini disebabkan oleh rendahnya pendidikan kesehatan yang diberikan
praktisi kesehatan hingga mencapai berbagai tingkatan populasi masyarakat.
Kurangnya pendidikan kesehatan yang diterima masyarakat ini menyebabkan
masyarakat memiliki tingkat pengetahuan yang rendah sehingga perilakunya jauh
dari kategori perilaku sehat. Oleh karenanya, tenaga kesehatan dituntut untuk dapat
memberikan pelayanan kesehatan yang prima, efektif dan memuaskan.
Menurut Blum (1974) dalam Electrical Sensitivity: Gangguan Kesehatan
Akibat Radiasi Elektromagnetik (2005), derajat kesehatan manusia dipengaruhi oleh
empat faktor, meliputi (1) lingkungan, (2) perilaku, (3) pelayanan kesehatan, dan (4)
keturunan. Oleh karena itu, dalam RPJP-K 2005 sampai 2025, visi program
Indonesia sehat juga mengarah pada faktor-faktor ini. Sehingga, upaya-upaya yang
dapat dilakukan untuk meingkatkan derajat kesehatan juga mengarah pada faktor-
faktor tersebut. Pertama, aspek lingkungan yang diharapkan adalah lingkungan yang
kondusif untuk mendukung tercapainya derajat kesehatan setinggi-tingginya. Kedua,
aspek perilaku masyarakat yang diharapkan adalah perilaku sehat yang mampu
memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah risiko penyakit. Ketiga,
diharapkan masyarakat memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan
yang bermutu dan juga memperoleh jaminan kesehatan, yaitu masyarakat
mendapatkan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya.
3.2 Variasi Layanan Pengobatan Alternatif
Pada kasus disebutkan bahwa, keluarga hanya mengobati anaknya yang
sudah lima hari mengalami batuk pilek dengan campuran kecap dan jeruk nipis
tanpa dibawa ke layanan pengobatan. Hal tersebut dapat dikarenakan berbagai
macam penyebab. Penyebab utamanya adalah dikarenakan masih kuatnya
kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap khasiat ramuan alami sebagai bagian
dari warisan budaya turun menurun. Warisan tersebut sampai saat ini masih
dilestarikan dan dianggap benar adanya. Penyebab yang lain adalah karena
kurangnya pengetahuan masyarakat serta krisis ekonomi yang melanda Indonesia
yang berpengaruh terhadap meningkatnya biaya kesehatan individu.
Jamu merupakan ramuan tradisional Indonesia yang telah dibuat sejak
dahulu kala oleh leluhur kita. Tidak dapat dimungkiri bahwa Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM) mengklasifikasikan jamu bukan sebagai obat yang bernilai
secara ilmiah karena standardisasi kandungan kimianya belum dipersyaratkan.
Regulasi BPOM ini menganggap khasiat jamu belum sepenuhnya teruji di
laboratorium, lebih berdasar pada khasiat empiris yang diyakini turun-temurun.
Tidak semua jamu nyatanya dapat memberikan manfaat yang baik bagi
tubuh. Bahkan terdapat tanaman yang dimanfaatkan sebagai jamu atau obat
tradisional yang mempunyai efek toksisitas bagi tubuh. Beberapa laporan penelitian
menyebutkan penggunaan obat tradisional dalam jangka lama secara terus-menerus
terutama yang mengandung tanaman dengan efek diuretik ataupun tanaman yang
mengandung zat nefrotoksik seperti aristolochic acid, dapat menyebabkan gangguan
elektrolit, kerusakan/kelainan ginjal, gangguan metabolisme dll (Rotblatt, 2002).
Beberapa studi mengungkapkan adanya hubungan yang kuat antara terjadinya
urothelial carcinoma dan interstitial renal fibrosis yang makin memburuk dengan
cepat akibat konsumsi ramuan pelangsing herbal Cina (Chang, 2001). Demikian
juga, tanaman yang bersifat toksik terhadap hati dapat menyebabkan gangguan
pada fungsi hati.Pada titik inilah upaya saintifikasi jamu menjadi niscaya. Oleh
karenanya, pengujian efektivitas obat tradisional sangatlah diperlukan. Saintifikasi
jamu adalah penelitian berbasis pelayanan, yaitu pembuktian ilmiah atas manfaat
dan keamanan jamu. Tujuannya, memberikan landasan ilmiah penggunaan jamu
secara empiris sehingga baik masyarakat maupun profesi kesehatan menjadi yakin
untuk memanfaatkan jamu sebagai bagian dari pengobatan resmi.
Informasi dan edukasi kepada masyarakat diperlukan, dalam hal ini tenaga
kesehatan seyogyanya dapat mengambil inisiatif dalam menciptakan peluang untuk
mendiskusikan efektivitas obat tradisional. Konseling, sebagai salah satu bentuk
interaksi, dapat memperbaiki pengetahuan dan perilaku konsumen dalam
menggunakan obat tradisional yang lebih rasional. Pasien harus memahami bahwa
obat tradisional kemungkinan tidak atau belum terbukti keefektifannya dan
kemungkinan menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki, baik intrinsik
ataupun ekstrinsik.
3.3 Model-model Perubahan Perilaku Kesehatan
Menurut Soekidjo Notoatmojo dengan memerhatikan bentuk respons
terhadap terhadap stimulus, perilaku keluarga tersebut dalam kesehatan termasuk
perilaku tertutup (covert behavior), hal ini ditunjukkan dalam bentuk perhatian,
persepsi, pengetahuan/kesadaran dan reaksi lainnya yang kurang terhadap
kesehatan.
Menurut model pengelolaan rasa sakit yang diungkapkan Daldiyono (2007:
16), persepsi keluarga tentang sakit adalah sakit adalah jika mulai terganggunya
aktivitas dan fungsi pokok individu, misalnya: makan, minum, buang air, tidur, dan
aktivitas sehari-hari lainnya. Selama mereka masih mampu melakukan aktivitas dan
fungsi pokoknya masih berjalan optimal, maka mereka tidak merasakan sakit dan
cenderung untuk mengabaikan pentingnya memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Menurut Lehndorff, faktor utama yang menunjang kemajuan derajad
kesehatan pasien adalah keinginan dan kehendak yang besar untuk mengalami
kemajuan. Dalam pandangan Lehndorff dan Tracy (2005: xii) sikap optimis itu dapat
diwujudkan dengan: (a) yaitu memiliki rasa ingin menjadi lebih baik, (b) memiliki
harapan untuk menjadi lebih baik, (c) mau berusaha untuk menjadi lebih baik, dan
(d) mereka belajar metode-metode cepat untuk memotivasinya. Faktor-faktor
penunjang tersebut nampaknya masih kurang dirasakan oleh keluarga tersebut.
Berdasarkan model Suchman, analisis perilaku sakit ditunjukkan dengan melakukan
pengobatan sendiri (self medication). Menurut paradigma Suchman, sekuensi
peristiwa medis dibagi atas 5 tingkat, yaitu: (1) pengalaman dengan gejala penyakit;
(2) penilaian terhadap peran sakit; (3) kontak dengan perawatan medis; (4) jadi
pasien; dan (5) sembuh atau masa rehabilitasi. Pada setiap tingkat, setiap orang
harus mengambil keputusan-keputusan dan melakukan perilaku-perilaku tertentu
yang berkaitan dengan kesehatan. Berdasarkan kasus, peristiwa medis yang dialami
oleh anak tahap satu yakni pengalaman dengan gejala penyakit. Anak menunjukkan
berbagai kondisi klinis yang ditandai dengan adanya tanda dan gejala penyakit batuk
pilek. Tahap dua yakni penilaian terhadap peran sakit sebagai penekanan
pentingnya anak tersebut mendapat perhatian khusus, mengingat ibunya sedang
hamil dan akanmendapatkan adik. Baginya, salah satu cara pelepasannya dilakukan
dengan melalui peran sakit.
3.4 Perilaku Masyarakat dalam Mencari Pengobatan
Berdasarkan kasus, menurut Notoatmodjo (1993), perilaku pencarian
pengobatan pada keluarga tersebut sangat kurang. Hal ini dapat dibuktikan dengan
perilaku keluarga untuk enggan melakukan atau mencari pengobatan anaknya yang
sedang sakit batuk pilek dan pemeriksaan ANC.
Menurut Notoatmodjo (2003), respons keluarga tersebut terhadap ibu hamil
dengan tidak melakukan pemeriksaan ANC termasuk respons tidak bertindak atau
tidak melakukan kegiatan apa-apa (no action). Dengan alasan jika makan banyak,
janin pasti sehat. Sedangkan respons keluarga terhadap anak yang sedang batuk
pilek termasuk respons tindakan mengobati sendiri (self treatment), dengan alasan
karena keluarga tersebut sudah percaya dengan diri sendiri, dan merasa bahwa
berdasarkan pengalaman yang lalu usaha pengobatan sendiri sudah dapat
mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian obat keluar tidak
diperlukan.
Pemanfaatan pelayanan kesehatan pada keluarga tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya yaitu rendahnya pengetahuan keluarga dan perpesi
keluarga terhadap sakit. Di dalam menggunakan pelayanan kesehatan, seseorang
dipengaruhi oleh perilakunya yang terbentuk dari pengetahuannya. Seseorang
cenderung untuk bersikap tidak menggunakan jasa pelayanan kesehatan
disebabkan karena adanya kepercayaan dan keyakinan bahwa jasa pelayanan
kesehatan tidak dapat menyembuhkan penyakitnya. Misalnya pada kasus ditandai
dengan hanya memberikan jeruk-kecap pada anak tanpa harus membawa ke
pelayanan kesehatan. Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) menyebutkan
bahwa persepsi berhubungan dengan motivasi individu untuk melakukan kegiatan,
bila persepsi seseorang telah benar tentang sakit maka ia cenderung memanfaatkan
pelayanan kesehatan bila mengalami sakit. Berdasarkan kasus, keluarga
menganggap masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari tanpa ada gangguan,
sehingga mereka mengambil keputusan untuk menunda pergi ke pelayanan
kesehatan. Namun jika individu dalam keluarga tersebut tidak mampu melakukan
kegiatan sehari-hari, barulah mereka memiliki inisiatif mencari pengobatan dengan
memanfaatkan pelayanan kesehatan.
3.5 Peran Petugas Kesehatan dalam Konteks Sosial
Proses penyembuhan penyakit tidak hanya ditangani oleh dokter. Dengan
meningkatnya variasi penyakit dan kerumitan teknologi kedokteran, diperlukan
bantuan tenaga lain, seperti perawat, bidan, penata roentgen, ahli gizi,dsb. Yang
kesemuanya bergabung menjadi tim petugas kesehatan.
Berdasarkan kasus, semua tenaga kesehatan memiliki peranan penting
dalam rangka mengubah perilaku keluarga tersebut untuk menjadi lebih baik.
Misalnya pada ibu hamil, perawat dan bidan dapat melakukan perawatan ANC.
Dokter dapat melakukan USG untuk melihat perkembangan janin yang lebih akurat.
Pada anak yang sedang mengalami batuk pilek, dokter dan farmasist mampu
memberikan obat yang tepat bagi pasien. Serta perawat mampu melaksanakan
asuhan keperawatan untuk mengatasi masalah batu pilek pasien.
Dalam rangka melaksanakan tugasnya masing-masing, setiap petugas
kesehatan harus mampu berkomunikasi dengan baik pada pasien-pasiennya. Dalam
proses komunikasi tersebut terdapat karakteristik hambatan antara lain: perbedaan
status sosial, budaya dan bahasa, harapan masyarakat terhadap kemampuan
petugas, serta kecenderungan sikap otoriter terutama dalam penyebaran penyakit
akut. Untuk itu diperlukan kemauan untuk mempelajari bahasa dan budaya setempat
agar petugas tidak dianggap orang asing oleh penduduk asli dan supaya komunikasi
dengan masyarakat dapat lebih lancar. Namun dalam kasus tidak menyebutkan
bagaimana karakteristik penghambat tersebut.
3.6 Makna Kesehatan dalam Konteks Budaya
Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh
individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku
sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri,
penjagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan bergizi (Sarwono, 1993).
Perilaku sehat diperlihatkan oleh individu yang merasa dirinya sehat
meskipun secara medis belum tentu mereka betul-betul sehat. Sesuai dengan
persepsi tentang sakit dan penyakit maka perilaku sakit dan perilaku sehatpun
subyektif sifatnya. Persepsi masyarakat tentang sehat-sakit ini sangatlah
dipengaruhi oleh unsur pengalaman masalalu di samping unsur sosial budaya.
Sebaliknya petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kreter ia
medis yang obyektif berdasarkan gejala yang tampak guna mendiagnosis kondisi
fisik individu.
Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah
yang satu dengan daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan yang ada
dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang
berlainan dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat; dapat
turun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas.
3.7 Siklus Hidup
a. Ibu hamil
Tingginya harapan (ekspektasi) suami atau anggota keluarga terhadap bayi
yang.ada dalam kandungan, menyebabkan tingginya (malahan
berlebihannya) perlakuan anggota keluarga terhadap ibu hamil. Oleh karena
itu, seorang ibu hamil diposisikan setara dengan orang "sakit", sehingga
peran sosialnya dihapuskan dari tanggung jawab si ibu hamil. Pandangan
Parson mengatakan bahwa peran pasien itu adalah dibebaskan dari tugas-
tugas sosial. Akibat dari kondisi seperti ini, ibu bamil mendapat keistimewaan-
keistimewaan khusus, baik dari sisi pemanjaan diri, kewajiban sosial,
makanan, dan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hal ini kemungkinan juga
terjadi pada keluarga dalam kasus, yang dapat mengakibatkan kecemburuan
anak dan ditampakkan dalam sakitnya. Ibu yang sedang hamil pada kasus
hendaknya melakukan penyapihan secara bertahap. Proses penyapihan
dilakukan dengan cara mengurangi kuantitas memberikan ASI pada anak.
Sebagai gantinya, biasakan anak minum dengan menggunakan botol atau
gelas.
b. Anak usia 2 tahun yang sedang sakit batuk pilek (balita)
Salah satu peran balita adalah peran untuk diakui sebagai bagian dari
anggota masyarakat. Seorang bayi sangat membutuhkan sentuhan halus
anggota keluarga dan perhatian yang saksama dari orang lain. Dalam kasus,
anak balita tersebut nampaknya kurang mendapat perhatian seksama
dariorang tuanya yang mungkin lebih mementingkan kondisi ibunya yang
sedang hamil. Hal ini tercermin pada kondisi anak yang sudah menderita
batuk pilek selama lima hari, namun tidak segera dibawa ke pelayanan
kesehatan dan hanya diberikan obat jeruk kecap saja. Masalah tersebut jika
tidak diatasi terus menerus, akan berdampak terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak.
c. Ayah/ suami
Fungsi yang dijalankan oleh suami meliputi fungsi perlindungan dan fungsi
ekonomis. Fungsi perlindungan dalam keluarga berarti ada upaya untuk
membangun perlindungan antara satu dengan yang lainnya yakni ibu dan
anak. Sedangkan fungsi ekonomis, artinya suami memiliki peran sosial untuk
memberikan layanan kebutuhan ekonomi kepada anggota keluarganya. Dalam
hal ini dapat mempersiapkan biaya persalinan bagi ibu dan pengobatan anak.
Selain itu, dalam proses penyapihan suami juga ikut terlibat dan berpartisipasi.
Jangan hanya ibu yang mendominasi pemberi susu anak. Dalam hal ini,
biasakan anak mendapat susu botol mereka dari ayah atau anggota keluarga
yang lain. Selain akan meningkatkan kemandirian, cara ini akan membuat anak
tidak merasa ketergantungan dengan ibu mereka (Saat hendak minum susu).