Upload
others
View
14
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS HAMBATAN PEMENUHAN JAMINAN
SOSIAL PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN
INDONESIA (PPMI) DI MALAYSIA
PERIODE 2016-2018
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Halida Maulidia
11151130000078
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
v
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis hambatan pelaksanaan jaminan sosial untuk
Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) di Malaysia tahun 2016-2018.
Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan hambatan apa yang ada di Indonesia dan
Malaysia mengenai pemenuhan aspek jaminan sosial terhadap Perempuan Pekerja
Migran Indonesia. Penelitian menggunakan metodologi penelitian kualitatif
melalui wawancara dan studi pustaka sebagai sumber data primer dan sekunder.
Kerangka teoritis yang digunakan dalam skripsi ini adalah Feminisme dari J. Ann
Tickner lalu dikhususkan lagi dalam kerangka feminis sosialis dari Rosemarie
Tong dan menggunakan teori konsep kebijakan luar negeri feminis.
Dari hasil analisa menggunakan teori tersebut ditemukan bahwa Malaysia
belum baik dalam mengakomodir kebutuhan-kebutuhan dan pengalaman-
pengalaman PPMI selama bekerja di Malaysia. Dengan didorong untuk terus
menjaga perekonomian negaranya, Malaysia dilihat masih megabaikan aspek
perlindungan terhadap pekerja migran perempuan. Di dalam penelitian ini
ditemukan bahwa hambatan-hambatan pemberian jaminan sosial terhadap PPMI
di Malaysia ada pada tiga masalah yaitu hambatan hukum yang belum
mengakomodir kebutuhan-kebutuhan PPMI. Kedua, tata kelola migrasi Indonesia
yang belum aman untuk bekerja ke luar negeri. Terakhir, kebijakan imigrasi
Malaysia yang mengarah pada pengelompokkan pekerjaan berdasarkan gender
dan ras yang mengakibatkan minimnya perlindungan pada sektor yang ditempati
oleh PPMI.
Kata kunci: Jaminan sosial, PPMI, feminisme, feminisme sosialis, kebijakan luar
negeri feminis.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puji dan syukur selalu penulis ucapkan
kepada Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tak lupa dihanturkan kepada
Nabu Muhammad SAW.
Dalam pengerjaan skripsi ini, penulis melibatkan beberapa pihak yang
sangat membantu dalam banyak hal. Oleh sebab itu, disini penulis sampaikan rasa
terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1. Keluarga penulis, ayahanda Mas Ahmad Yani dan ibunda Zainah, kakak
penulis Anisa Rahmadani, Mas Ahmad Rizaluddin Sidqi, adik penulis
Anya Talita Azra yang selalu memberikan doa, dukungan, semangat,
nasehat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;
2. Bapak Ahmad Al Fajri, M.A. selaku Ketua Program Studi Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sekaligus Dosen Pembimbing yang telah
membimbing, mengarahkan, dan memberi masukan untuk penyusunan
skripsi ini;
3. Dosen-dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta Bapak Irfan
Hutagalung, Bapak Taufiqqurahman, Bapak Febri Dirgantara, Ibu Eva
Mushoffa, Ibu Riana Mardila, dan dosen-dosen HI lainnya. Terima kasih
atas segala ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan;
4. Terkasih yang senantiasa menemani penulis sampai penulis menyelesaikan
skripsi ini, yaitu kepada Affan Muzhaffar yang setia menemani.
5. Sahabat-sahabat penulis yang senantiasa menemani dalam keadaan suka
maupun duka yaitu teman-teman seperjuangan Nurul Fazriah Ramadhan,
Ismi Azizah, Vivien Sevira, Nisrina N. Nafisah, Fathi Rizky, Dea Rizky,
Adinda Putri, Addini Zahra, Pamela Muzdhalifah, Nadia Mahadmi;
6. Teman-teman HI angkatan 2015 Achmad Zulfani, Fadhly Nurman, Mawar
Fatmala, Adinda N. Layla, Nur Asmarani, Ruella Salsabila, Syahnaz
Risfa, Muthia Aljufri, serta keluarga besar “Revolutioner Class” 2015,
vii
teman-teman HMI HI Kelas B dan teman-teman HI lainnya yang tidak
tersebut yang telah menemani dan membantu penulis selama belajar di HI
UIN Jakarta;
7. Kawan-kawan senior penulis yaitu Fadel Muhammad, Zsahwa Maula,
Indra Surya, Zahra Yusuf, Ade Mulyawan, Refi Marlina, dan Rizka;
8. Teman-teman KKN Parahita yang telah membantu penulis untuk belajar
tentang hidup yaitu Sundari Aryanti, Nadine Ayunigtyas, Chairunnisa
Kartika Azza, Iwan Hidayat, Priska Fatma, Alfi Ubaidillah, Alfia Rahmah,
Siti Naza Rayani, Dimas Dwi Cahyo, dan teman-teman lainnya;
9. Seluruh sahabat organisasi penulis, HMI Komfisip, CLF A1 & A2,
HIMAHI terima kasih atas pengalaman dan pembelajaran organisai yang
telah diberikan;
10. Narasumber dalam skripsi ini yang membantu memberikan data primer,
yaitu Ibu Nunik Nurjanah, Ibu Temmy, Ibu Shintia Dewi Harkrisnowo,
Bapak Bobi Anwar, Mr. Adrian Pereira, Ibu Castirah, dan Ibu Sofi Gayuh.
Penulis berharap segala dukungan dan bantuan ini mendapatkan balasan dari
Allah SWT. terakhir, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat dan menambah wawasan bagi setiap pembacanya dan bagi
perkembangan studi Hubungan Internasional.
Jakarta, 22 Juli 2019
viii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ......................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ..................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Pernyataan Masalah ..................................................................................... 1
B. Pertanyaan Masalah ..................................................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 9
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
E. Kerangka Teori........................................................................................... 14
1. Feminisme .............................................................................................. 14
a. Konsep Kebijakan Luar Negeri Feminis ............................................ 16
F. Metodologi Penelitian ................................................................................ 18
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 21
BAB II PENDAHULUAN .................................................................................. 24
A. Jaminan Sosial ............................................................................................ 24
1. Tunjangan Kesehatan ............................................................................. 27
2. Tunjangan Sakit ...................................................................................... 27
3. Tunjangan Pengangguran ....................................................................... 27
4. Jaminan Hari Tua ................................................................................... 28
5. Jaminan Kecelakaan Kerja ..................................................................... 28
6. Tunjangan Keluarga ............................................................................... 29
7. Tunjangan Kehamilan ............................................................................ 29
8. Jaminan Ketidakmampuan Kerja ........................................................... 29
ix
9. Tunjangan Kematian .............................................................................. 30
B. Kerangka Hukum mengenai Tenaga Kerja Migran dan Jaminan Sosial yang
Ada di Indonesia dan Malaysia ......................................................................... 31
1. Kerangka Hukum Indonesia Mengenai Perlindungan dan Jaminan Sosial
Perempuan Pekerja migran indonesia (PPMI) ............................................... 31
2. Kerangka Hukum Perlindungan Tenaga Migran di Malaysia ................ 36
C. Kerjasama Bilateral dan Multilateral Indonesia dan Malaysia Mengenai
Jaminan Sosial Tenaga Kerja Migran................................................................ 39
BAB III IMPLEMENTASI PEMENUHAN JAMINAN SOSIAL
PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA (PPMI) DI MALAYSIA,
ANTARA TAHUN 2016 – 2018 ......................................................................... 49
A. Jaminan Sosial yang Diterima PPMI Indonesia di Malaysia, antara tahun
2016 – 2018 ....................................................................................................... 49
B. Implementasi Jaminan Sosial untuk Perempuan Pekerja Migran Indonesia
(PPMI) Indonesia di Malaysia antara tahun 2016 – 2018 ................................ 54
C. Permasalahan dalam Pemenuhan Jaminan Sosial yang Dihadapi Perempuan
Pekerja Migran Indonesia (PPMI) di Malaysia antara tahun 2016 – 2018 ....... 64
BAB IV ANALISIS HAMBATAN PEMENUHAN JAMINAN SOSIAL
UNTUK PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA (PPMI) DI
MALAYSIA, PERIODE 2016 – 2018 ................................................................ 72
A. Hambatan Hukum ...................................................................................... 72
B. Tata Kelola Migrasi Indonesia ................................................................... 86
C. Kebijakan Imigrasi Malaysia ..................................................................... 91
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 98
A. Kesimpulan ................................................................................................ 98
B. Saran ......................................................................................................... 100
Daftar Pustaka ................................................................................................... 101
x
DAFTAR TABEL
Tabel III.B.1. Jaminan Sosial yang Diberikan di Negara ASEAN,
Berdasarkan Status Kewarganegaraan ............................. 55
Tabel IV.C.1. Rekrutmen Pekerja Migran berdasarkan Negara Asal
dan Sektor ........................................................................ 93
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar III.1. Pengetahuan Menganai Hak-Hak Pekerja .......................... 65
Gambar III.2. Jam Kerja Pekerja Domestik di Malaysia .......................... 69
xii
DAFTAR SINGKATAN
ACMW ASEAN Committee on the Implementation of the ASEAN
Declaration on the Protection and Promotions of the Rights of
Migrant Workers
ASEAN Association of Southeast Asian Nations
BNP2TKI Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia
BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
EPF Employment Provident Fund
FWCS Foreign Workers Compensation Scheme
FWHS Foreign Workers Hospitalization & Surgical Scheme
FWIG Foreign Workers Insurance Guarantee
GDP Gross Domestik Product
HIV Human Immunodeficiency Virus
ILO International Labour Organization
IOM International Organization for Migration
JTF Joint Task Force
KBRI Kedutaan Besar Republik Indonesia
KTT Konfrensi Tingkat Tinggi
MOU Memorandum of Understanding
NGO Non-Governmental Organization
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
PHK Pemutus Hubungan Kerja
PLRT Penata Laksana Rumah Tangga
PMI Pekerja Migran Indonesia
PPMI Perempuan Pekerja Migran Indonesia
PRA Pekerja Rumah Tangga Asing
PRT Pembantu Rumah Tangga
PPTKIS Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta
SBMI Serikat Buruh Migran Indonesia
SLOM Senior Labour Official Meeting
SKHPPA Skim Kemasukan Hospital dan Pembedahan Pekerja Asing
SOCSO Social Security Organization
SPIKPA Skim Perlindungan Insurans Kesihatan Pekerja Asing
TBC Tuberculosis
TKI Tenaga Kerja Indonesia
UN United Nations
UU Undang-Undang
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Di kawasan Asia Tenggara selama dua dekade terakhir, pekerja migran
menjadi salah satu pemicu pertumbuhan ekonomi. Para pekerja migran dari
negara-negara di kawasan ini bermigrasi karena dua faktor utama. Pertama,
perbedaan keadaaan ekonomi dan sosial di setiap negara. Kedua, perbedaan
demografi di kawasan Asia Tenggara. Banyaknya usia muda dan besarnya
angkatan kerja di negara pengirim dan lebih besarnya populasi usia tua dan
kecilnya angka kelahiran di negara tujuan membuat permintaan dan kebutuhan
antara negara pengirim dan penerima tinggi. Dua faktor penentu tersebut disadari
menjadi alasan mengapa migrasi dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan.1
Isu migrasi pada beberapa negara muncul sebagai permasalahan sosial
baru, terutama di negara berpendapatan tinggi. Hal ini terjadi karena
permasalahan akses terkait jaminan sosial para pekerja migran yang
diselenggarakan oleh negara tujuan. Sebagian negara tujuan, terutama negara
dengan tingkat pendapatan tinggi dan merupakan welfare state, memperketat
akses terhadap jaminan sosial adalah salah satu cara untuk mencegah tingkat
imigras bertambah.2
1 Benjamin Harkins, Daniel Lindgren, dan Tarinee Suravoranon, Risk and rewards: Outcomes of
Labour Migration in South-East Asia (Thailand: International Labour Organization and
International Organization for Migration, 2017), 1. 2 Wouter van Ginneken, “Social Protection for Migrant Workers: National and International Policy
Challanges,” European Journal of Social Security, Vol. 15, No. 2 (2013):210.
2
Jaminan sosial sudah diatur sebagai dasar Hak Asasi Manusia dalam
ILO’s Declaration of Philadelipia tahun 1944 dan instrumen dasar Hak Asasi
Manusia dari PBB. Jaminan sosial itu sendiri dapat didefinisikan sebagai sebuah
perlindungan yang disediakan untuk masyarakat, melalui organisasi atau badan
dimana anggota dari organisasi atau masyarakat itu tidak dapat memperoleh
jaminan atau bentuk perlindungan yang diupayakan oleh mereka sendiri seperti
untuk memperoleh akses yang layak terhadap kesehatan, dan memperoleh
jaminan upah seperti dana pensiun, upah ketika pemberhentian kerja, sakit,
kecelakaan kerja, dan cuti melahirkan.3 Dengan kata lain konsep jaminan sosial
itu sendiri adalah program jaminan untuk memastikan pembagian yang adil dan
merata dalam kaitannya untuk menjaga para pekerja dari kecelakaan atau dari
risiko bekerja yang tidak bisa mereka tanggung sendiri.4
Pada cangkupan kawasan regional Asia Tenggara melalui ASEAN, sudah
ada aturan mengenai pelaksanaan jaminan sosial dan perlindungan terhadap
tenaga kerja migran ASEAN yang dirumuskan dalam Deklarasi Cebu (Cebu
Declaration on the Protection and Promotion of the Rghts of Migrant Workers).
Deklarasi ini sebagai hasil dari KTT ASEAN ke-12 di Filipina pada 13 Januari
2007. Salah satu isi dari Deklarasi Cebu adalah untuk menegaskan kewajiban dari
negara penerima tenaga kerja migran untuk menegakkan kesejahteraan bagi
tenaga kerja migran dan untuk memfasilitasi akses untuk jaminan sosial sebaik
3 ILO, Facts on Social Security, [database on-line]; tersedia
di https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---
dcomm/documents/publication/wcms_067588.pdf. 4 Deepak Bhatnagar, Labour Welfare and Social Security Legislation in India [buku on-line] (New
Delhi: Deep & Deep Publications, 1984); tersedia di
http://shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603/95236/7/07_chapter%202.pdf; Internet.
3
mungkin dan berjalan sesuai dengan prosedur legislasi yang ada di negara
penerima, juga untuk menyediakan persyaratan, peraturan, dan kebijakan baik
bilateral maupun multilateral sesuai dengan hukum yang berlaku di negara
penerima.5
Indonesia sendiri adalah negara dengan pekerja migran kedua terbesar di
ASEAN. Pekerja migran yang biasa didatangkan dari Indonesia adalah pekerja
dengan tingkat keterampilan rendah dan umumnya adalah perempuan.6 Dihimpun
dari data yang dikeluarkan oleh BNP2TKI pada 2018, perempuan pekerja migran
Indonesia berjumlah lebih banyak daripada pekerja migran laki-laki. Selanjutnya,
penempatan pekerja Indonesia dari tahun 2016 sampai tahun 2018 masih tinggi
dalam sektor informal. Lebih lanjut, data BNP2TKI menunjukkan bahwa
Malaysia adalah negara penempatan utama pekerja migran Indonesia dalam kurun
waktu 2016–2018. 7
Sejalan dengan data yang dikeluarkan oleh BNP2TKI, pemerintah
Malaysia tahun 2017 juga mengeluarkan data jumlah pekerja asing berdasarkan
negara asal, sektor kerja dan jenis kelamin. Dari data ini didapat informasi bahwa
tenaga kerja asing paling banyak berasal dari Indonesia. Pekerja migran asal
Indonesia, khususnya perempuan paling banyak menempati sektor PRA atau
5 Edward Tamagno, Strengthening Social Protection for ASEAN Migrant Workers through Social
Security Agreements (ILO: ILO Asian Regional Programme on Governance of Labour Migration
Working Paper No. 10, 2008) [database on-line]; tersedia di
https://www.ilo.org/asia/publications/WCMS_160332/lang--en/index.htm 6 Aswatini Rahatrto dan Mita Noveria, “Advocacy Group for Indonesian Women Migrant
Workers,” Jurnal Kependudukan Indonesia Vol. VII, No.1, 2012 [jurnal on-line]; tersedia di
http://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id/index.php/jki/article/download/80/72; Internet; diunduh
pada 18 September 2018. 7 BNP2TKI, Data Penempatan dan Perlindungan PMI periode bulan September 2018 [database
on-line]; tersedia di http://portal.bnp2tki.go.id/read/14133/Data-Penempatan-dan-Perlindungan-
TKI-Periode-Tahun-2018.html.
4
Pekerja Rumah Tangga Asing.8 PRA ini berjumlah 92.142 dari total PPMI yang
berjumlah 262.627.9 Tenaga kerja Indonesia sendiri adalah pemasok sumber daya
manusia utama untuk kebutuhan pembangunan ekonomi dan industrialisasi di
Malaysia. Sebagian besar tenaga kerja migran Indonesia di Malaysia adalah
wanita dan bekerja dalam sektor informal. Sebagian dari mereka bekerja di sektor
manufaktur, sektor jasa, dan pembantu rumah tangga.10
Permasalahan mengenai Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI)
banyak datang dari pembantu rumah tangga yang secara umum sering mengalami
diskriminasi di tempat bekerja dan secara psikologi sering mengalami kekerasan,
menjadi korban dari eksploitasi ekonomi dan seksual. Sebagai tambahan, tempat
dimana mereka bekerja yaitu di dalam rumah dan bekerja untuk sebuah keluarga
(umumnya menjadi kegitan tertutup) membuat hal itu sulit untuk diawasi dan
rentan terhadap kekerasan. Permasalahan tersebut diperburuk dengan fakta bahwa
Undang-Undang Tenaga Kerja di beberapa negara tujuan tidak menjamin hak
yang cukup bagi para pembantu rumah tangga (domestic workers). Oleh karena
itu, para PPMI yang sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga
hanya dapat menuntut sedikit dari hak mereka.11
Sebagai negara pengirim pekerja migran perempuan dan umumnya tenaga
kerja unskilled, Indonesia telah meluncurkan instrumen yang diharapkan mampu
8 “Pembantu Rumah Asing;” Jabatan Imigresen Malaysia [database on-line]; Diunduh 8 April
2019 http://www.imi.gov.my/index.php/ms/pembantu-rumah-asing.html#. 9 “Jumlah Pekerja Asing (PLKS Aktif) Mengikuti Jantina dan Negara Sumber,” 2017, Data
Terbuka Malaysia [database on-line] http://www.data.gov.my/data/ms_MY/dataset/jumlah-
pekerja-asing-plks-aktif-mengikut-jantina-dan-negara-sumber. 10
Devi Rahayu & Ahmad Agus Ramdhany, “Responsibility of Protection Indonesian Female
Migrant Workers” International Journal of Business, Economics and Law, Vol. 10, Issue 4,
Agustus 2016 [jurnal on-line] tersedia di https://www.ijbel.com/wp-
content/uploads/2016/09/K10_42.pdf; Internet; diunduh pada 20 Oktober 2018. 11
Rahayu dan Ramdhany, Responsibility of Protection Indonesian Female Migrant Workers.
5
untuk mengupayakan pemenuhan jaminan sosial mereka, yaitu Undang-Undang
Pemerintah Indonesia No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, diikuti oleh Undang-Undang No. 18
tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran. Selain itu, terdapat juga
pedoman dan arahan tambahan yang diluncurkan oleh Kementerian Tenaga Kerja
tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.12
Lebih lanjut,
karena selama ini para pekerja migran Indonesia menyerahkan asuransi mereka
kepada pihak swasta namun terhitung dari tahun 2017 jaminan sosial pekerja
migran Indonesia sekarang sudah mulai diintegrasikan ke Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Pengintegrasian jaminan sosial pekerja
migran Indonesia ke BPJS Ketenagakerjaan diatur dalam Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2017 tentang Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia.13
Namun dalam pelaksanaannya BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja
migran belum berfungsi secara maksimal. Hal ini karena pekerja migran yang
terlindungi jaminan sosial baru berjumlah 365.250 orang dari total 3 juta
warganegara Indonesia yang tinggal di luar negeri, dimana 90% dari mereka
adalah pekerja migran. Sebagian besar dari pekerja migran Indonesia bekerja di
sektor domestik di Malaysia, Arab Saudi dan Taiwan. Dirut Badan
12
International Organization for Migration (IOM), Labour Migration from Indonesia: An
Overview of Indonesian Migration to Selected Destinations in Asia and The Middle East, (Jakarta:
IOM, 2010) [database on-line]; tersedia di
https://www.iom.int/jahia/webdav/shared/shared/mainsite/published_docs/Final-LM-Report-
English.pdf. 13
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 7 tahun 2017 tentang Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Indonesia [database on-line]; tersedia di
https://jdih.kemnaker.go.id/data_puu/KEPMENAKER%20NO%20206%20TAHUN%202017.pdf.
6
Penyelenggaraan Jaminan sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Agus Susanto
menyatakan bahwa “Kami menyadari angka ini tentu masih jauh dari jumlah
pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Kami terus berusaha agar
mereka nantinya dapat bekerja dengan tenang dan terlindungi oleh BPJS
Ketenagakerjaan.”14
Pemerintah Malaysia sebagai negara penerima Perempuan Pekerja Migran
Indonesia terbanyak, juga sudah mempunyai kerangka hukum untuk mengatur
tenaga kerja migran. Kerangka hukum ini mengatur tentang pekerjaan dan kondisi
bekerja tenaga buruh. Kerangka hukum ini adalah Konstitusi Federal Malaysia,
UU Ketenagakerjaan (Employment Act), UU Keselamatan Kerja (Workmen
Compensation Act), UU Dana Pensiun (Employees Provident Fund Act), UU
Hubugan Industri (Industrial Relations Act) dan UU Serikat Buruh (Trade Union
Act) yang dapat diaplikasikan untuk tenaga migran. Sejalan dengan prinsipnya
kerangka hukum ini menyediakan pelayanan pekerjaan yang setara tenaga migran
dalam kaitannya dengan upah, jam kerja, hari libur, non-diskriminasi, kebebasan
berserikat, dan akses terhadap pelayanan sosial. Namun dalam praktiknya
kerangka hukum ini belum baik diimplementasikan dalam kasus pekerja migran.15
Sebagai contoh Konstitusi Federal Malaysia menjamin hak asasi setiap
orang yang tinggal di Malaysia. Namun, beberapa kematian yang terjadi pada para
pekerja migran menjadi bukti belum kuatnya konstitusi ini bekerja. UU
14
Satrio Widianto, “Masih Minim, Pekerja Migran yang Dilindungi Jaminan Sosial,” 23 Desember
2018 [databse on-line]; diakses di https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2018/12/23/masih-
minim-pekerja-migran-yang-dilindungi-jaminan-sosial. 15
Benjamin Harkins, Review of Labour Migration Policy in Malaysia, (Bangkok: International
Labour Organization (ILO), 2016) [database on-line]; tersedia di
http://apmigration.ilo.org/resources/review-of-labour-migration-policy-in-
malaysia/at_download/file1
7
Ketenagakerjaan yang menyatakan non diskiriminasi, manfaat, dan hak-hak bagi
pekerja migran, juga dirasa belum cukup melindungi para pekerja migran. Hal ini
dikarenakan masih kurang kuatnya pengawasan dari pihak yang berwenang untuk
melaksanakan UU ini. Selanjutnya, UU Perserikatan Tenaga Kerja yang tidak
memperbolehkan pekerja di sektor domestik untuk mengikuti Serikat Buruh
sedikit banyak membawa dampak terhadap kurangnya sosialiasa mengenai hak
dan kewajiban mereka selama bekerja sebagai pekerja migran.16
Selain itu terdapat UU Kompensasi untuk jaminan sosial pekerja pada
masa pensiun dan UU Keselamatan kerja yang memberikan kerangka hukum
mengenai perlindungan kepada pekerja dari kecelakaan yang terjadi selama masa
kerja atau penyakit akibat kerja. Namun dalam kedua UU ini, terdapat perbedaan
kompensansi yang diberikan untuk tenaga kerja migran dan tenaga kerja lokal. 17
Selanjutnya UU Keselamatan Kerja yang didalamnya terdapat Foreign Workers
Compensation Act tidak mengikutsertakan pekerja migran pembantu rumah
tangga dalam skema asuransi ini.18
Lebih lanjut, walaupun PPMI di Malaysia
yang bekerja di sektor domestik dapat tercover dalam skema asuransi Domestik
Workers Insurance namun skema asuransi ini tidak secara utuh melindungi
pekerja migran. Dimana domestik workers itu sendiri banyak dikerjakan oleh
buruh migran perempuan namun didalamnya tidak termuat jaminan kesehatan
16
Zuraini Ab Hamid et. Al, “Rights of Migrant Workers under Malaysian Employment Law,”
Journal of East Asia and International Law, November 2018 [jurnal on-line]; tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/329325161_Rights_of_Migrant_Workers_under_Malays
ian_Employment_Law; Internet; diunduh pada 12 Februari 2019. 17
Hamid et. Al, Rights of Migrant Workers under Malaysian Employment Law, 370-371. 18
Marius Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN: Development, Challanges,
and Prospects, (Thailand: International Labour Organization (ILO), 2018: 60.
8
untuk kebutuhan reproduksi seksual mereka seperti biaya atau pengobatan untuk
kehamilan dan melahirkan.19
Permasalahan dalam pemenuhan jaminan sosial untuk PPMI diatas
didukung dengan data dari BNP2TKI. Laporan dari BNP2TKI memperlihatkan
pengaduan tenaga kerja Indonesia dari tahun 2016 sampai tahun 2018 yang
terbanyak masih datang dari Malaysia. Di tahun 2016 pengaduan sebesar 1.535, di
tahun 2017 sebesar 1.625, dan tahun 2018 sebesar 2877. Kenaikan jumlah
pengaduan dari tahun 2016-2018, khusunya pengaduan pada masa penempatan
menjadi perhatian karena data ini diambil setelah pencabutan moratorium yang di
keluarkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2011 terhadap Malaysia. Data
yang dihimpun BNP2TKI dari tahun 2016 sampai 2018 menunjukkan negara
penempatan pekerja migran dan pengaduan masalah menurut negara masih
tertinggi di Malaysia.20
B. Pertanyaan Masalah
Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah di atas mengenai jaminan
sosial dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang menjadi salah
satu isu prioritas politik luar negeri Indonesia, maka pertanyaan yang akan
diajukan adalah Mengapa Terdapat Hambatan Pemenuhan Jaminan Sosial
Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) di Malaysia periode 2016-2018?
19
Chubb, Product Disclosure Sheet-Domestic Help Insurance [database on-line]; tersedia di
https://www.chubb.com/my-en/_assets/documents/domestic-help_eng.pdf` 20
BNP2TKI, Data Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia tahun 2016 [database
on-line]; tersedia di http://portal.bnp2tki.go.id/read/12024/Data-Penempatan-dan-Perlindungan-
TKI-Periode-Tahun-2016.html.
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini diantaranya adalah:
1. Menjelaskan permasalahan apa saja yang dihadapi PPMI dalam hal
pemenuhan jaminan sosial.
2. Mengidentifikasi apa saja yang belum terpenuhi dalam pemberian jaminan
sosial Perempuan Pekerja Migran Indonesia.
3. Menjelaskan hambatan apa yang ada di Indonesia dan Malaysia mengenai
aspek pemenuhan jaminan sosial terhadap Perempuan Pekerja Migran
Indonesia.
Manfaat dari penelitian ini untuk:
1. Menambah referensi isu-isu kontemporer tentang jaminan sosial sebagai
hak pekerja wanita.
2. Memberikan kontribusi akademis bagi studi Hubungan Internasional
khususnya mengenai pemenuhan jaminan sosial untuk Perempuan Pekerja
Migran Indonesia yang kiranya akan memberi manfaat bagi penelitian
selanjutnya.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka penelitian ini adalah pertama Jurnal yang berjudul Social
Preotection for Migrant Workers: National and Internasional Policy
Challanges karya Wouter van Ginneken.21
Dalam jurnalnya, Ginneken
menjelaskan standar jaminan kerja untuk para tenaga kerja migran dan keluarga
yang ditinggalkan. Dalam jurnalnya, ia menjelaskan bagaimana negara dalam
21
Ginneken, Social Protection for Migrant Workers, 210.
10
tingkat ekonomi apa pun berperan untuk memberikan jaminan sosial untuk para
tenaga kerja, memberikan penilaian terhadap kebijakan negara dalam pemenuhan
jaminan sosial bagi masyarakatnya yang berdampak bagi migrasi regional
maupun internasional, serta menjelaskan bagaimana efek yang ada dari
diratifikasinya Internasional Labour Organization (ILO) dan United Natons (UN)
Conventions on Migrant Workers.
Menurut Ginneken, negara dengan pedapatan tinggi cenderung untuk
membuka pasar bagi para tenaga kerja asing tanpa melihat aspek human security
yang harus dipenuhi. Selain itu, negara dengan pendapatan tinggi menutup semua
aspek kesejahteraan sosial karena merasa bahwa pekerja migran adalah ancaman
bagi masyarakat sosialnya. Ia juga menilai negara dengan pendapatan tinggi
cenderung lebih terbuka untuk mempekerjakan pekerja migran sementara
daripada permanen karena tidak membutuhkan banyak perhatian pemerintah
negara penerima buruh asing.
Perbedaan penelitian ini dengan jurnal karya Ginneken adalah penelitian ini
fokus terhadap pemenuhan jaminan sosial terhadap pekerja migran wanita
Indonesia tanpa melihat apakah pekerja tersebut merupakan reguler atau irreguler
workers. Penelitian ini juga menjelaskan bagaimana upaya Indonesia dalam
memenuhi jaminan sosial bagi para pekeja untuk mengurangi dampak
permasalahan pekerja migran Indonesia di negara tujuan. Dalam jurnal karya
Ginneken, ia memfokuskan pada tenaga kerja irreguler dan bagaimana negara
tujuan dengan tingkat ekonomi tinggi dalam memenuhi aspek jaminan sosial para
pekerja. Selain itu, dalam jurnalnya. Ginneken juga melihat pengaruh dari ILO
11
dan UN Convention on Migrant Workers bagi negara peratifikasi yang umumnya
negara maju, apakah sudah dapat memenuhi konvensi ini atau belum.
Tinjauan pustaka kedua adalah tesis yang berjudul Negara dan Buruh
Migran Perempuan: Kebijakan Perlindungan Buruh Migran Perempuan
Indonesia Masa Pemerintahan Susilo bambang Yudhoyono 2004-2010 karya
Ana Sabhana Azmy.22
Dalam penelitian ini, Ana Sabhana Azmy menunjukkan
bahwa kualitas kebijakan perlindungan terhadap buruh migran Indonesia,
khususnya perempuan di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
2004-2010 belum berperspektif perlindungan. penelitian ini menggunakan teori
representasi dan partisipasi politik perempuan dalam kebijakan dari Joni
Lovenduski dan teori feminisme sosialis dari Iris Young sebagai teori utama.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, sedangkan tipe
penelitian adalah deskriptif analisis dan menggunakan purposive sampling untuk
mewawancarai buruh migran perempuan yang bekerja dan pernah bekerja di
Malaysia.
Dalam penelitian ini menjelaskan bagaimana partisipasi gerakan buruh
migran perempuan, dan kelompok buruh migran seperti LSM, Serikat Buruh, dan
Asosiasi buruh kurang diperhatikan oleh pemerintahan SBY. Penelitian ini
mempunyai persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu dengan
22
Ana Sabhana Azmy, Negara dan Buruh Migran Perempuan: Kebijakan Perlindungan Buruh
Migran Perempuan Indonesia Masa Pemerintahan Susilo bambang Yudhoyono 2004-2010 (UI:
Departemen Ilmu Politik, Program Pasca Sarjana, 2012) [database on-line]; tersedia di
https://buruhmigran.or.id/wp-content/uploads/RUUTKI/digital_20271494-T29287-
Negara%20dan%20buruh.pdf.
12
melihat kebijakan perlindungan terhadap buruh migran perempuan Indonesia di
Malaysia. Selanjutnya, penelitian ini juga menggunakan teori feminis sosialis.
Namun, perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan
adalah penelitian ini hanya menjelaskan mengenai kebijakan perlindungan dan
bukan terhadap aspek jaminan sosial. Kedua, perbedaan periode pada penelitian.
Penelitian karya Ana khusus menjelaskan para periode pemerintahan SBY 2004-
2010 sementara penelitian yang akan dilakukan pada periode 2016- 2018. Ketiga
penggunaan teori, walaupun sama-sama menggunakan teori feminis sosialis
namun Ana juga menjelaskan menggunakan perspektif teori lain yaitu Teori
Politik Kebijakan Publik. Sehingga hasil penelitian Ana tidak sedikit
menggambarkan peran sebuah instansi masyarakat atau pemerintah yang
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik.
Tinjauan yang ketiga adalah artikel dalam jurnal yang berjudul Is Working
an Empowerment Tool for Women? Case Study Indonesian Migrant Workers in
Malaysia? Karya Amorisa Wiratri.23
Di dalam artikel ini Amorisa Wiratri
berupaya menjelaskan sejauh mana bekerja sebagai pekerja domestik dapat
memberdayakan wanita Indonesia melalui perspektif feminisme. Lebih lanjut,
studi ini menemukan bahwa bekerja sebagai pekerja domestik tidak sepenuhnya
menuju pada pemberdayaan tapi juga tidak sepenuhnya mengarah pada
eksploitasi. Studi ini menitikberatkan pada pencapaian yang diperoleh oleh
perempuan yang bekerja di luar negeri tidak begitu saja diiringi oleh perubahan
23
Amorisa Wiratri, “Is Working an Empowerment Tool for Women? Case Study Indonesian
Migrant Workers in Malaysia,” Journal Masyarakat Indonesia Vol. 39, Issue, 1 Juni 2016 [jurnal
on-line]; tersedia di http://jmi.ipsk.lipi.go.id/index.php/jmiipsk/article/view/292; Internet; di unduh
pada 20 Oktober 2018.
13
norma-norma budaya, terutama dengan kaitannya dengan gender. Penelitian ini
menggunakan metodologi proses dialetiktik yaitu dengan mendengarkan
pengalaman-pengalaman tenaga kerja wanita yang ada di Malaysia.
Dalam artikel ini dijelaskan bagaimana feminisme menjadi konsep dasar
dalam menjelaskan mengapa pekerjaan domestik itu hakikatnya dikerjakan oleh
wanita. Sejalan dengan poin yang diangkat oleh feminisme, artikel ini
menjelaskan apakah bekerja itu dapat memberdayakan para perempuan melalui
pengalaman pekerja domestik Indonesia yang ada di Malaysia. Selain itu, artikel
ini juga membahas tentang kondisi pekerja domestik mulai dari proses prekrutan
sampai dengan pulang kembali ke Indonesia. Terdapat persamaan dalam artikel
ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu sama-sama melihat kondisi
bekerja para pekerja domestik perempuan Indonesia seperti melihat keadaan
bekerja sebagai pekerja domestik, kebebasan pagi para pekerja, jam bekerja dan
tempat mereka bekerja. Selain itu, artikel ini juga menganalisis permasalahan
melalui perspektif feminisme.
Perbedaan artikel ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu terletak
pada sudut pandang. Artikel ini menitikberatkan bekerja sebagai alat untuk
memberdayakan perempuan sementara penelitian yang akan dilakukan akan
melihat pemenuhan aspek jaminan sosial untuk PPMI. Di dalam artikel ini juga
cukup menjelaskan mengenai proses pekerja wanita bekerja dari proses perekrutan
sampai mereka pulang kembali ke Indonesia. Sementara, penelitian yang akan
dilakukan hanya melihat proses sebelum dan saat bekerja di negara tujuan.
14
E. Kerangka Teori
1. Feminisme
Feminisme adalah sebuah pemahaman bahwa perempuan mempunyai hak
yang sama dengan laki-laki dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan intelektual.
Feminis mengandung beberapa poin yang secara umum menitikberatkan kepada
perempuan. Feminis memberi perhatian terhadap perbedaan gender yang
memberikan pengarahan terhadap ketidakesetaraan bagi kepentingan dan hak
perempuan.24
Penggambaran HI sebagai sebuah politik tinggi secara implisit
membuat gender tidak dihiraukan dan akibatnya kekuasaan publik ada tanpa
memperhatikan peran perempuan.25
HI yang sebelumnya didominasi oleh
kekuatan, kekuasaan, serta konflik mengalami pergeseran ketika para ilmuwan
yang terpengaruhi oleh pemikiran Marxisme masuk dan menghadirkan suatu
permasalahan baru yaitu kesetaraan dan keadilan yang selama ini menjadi ranah
yang terpinggirkan.26
Feminis memberikan beberapa kontribusi dalam ranah HI berupa metodologi.
J. Ann Tickner, melihat analisis HI selama ini masih mengesampingkan
pengalaman-pengalaman perempuan. Ia menegaskan pula bahwa pemahaman HI
yang selama ini gender netral dan objektif membuat persepsi berdasarkan gender
itu sendiri tersembunyi. Feminis melihat perlunya proses dialektik yang diartikan
untuk mendengarkan dan memahami pengalaman-pengalaman hidup perempuan
24
Greda Lerner, The Creation of Feminist consciusness. From The Middle Ages to Eighteen-
Seventy [buku on-line] (New York: Oxford University Press, 1993, diunduh pada 20 Oktober
2018); tersedia di https://doi.org/10.1086/ahr/98.4.1193; Internet. 25
Seema Narain, “Gender in International Relations: Feminist Perspectives of J. Ann Tickner,”
Indian Journal of Gender Studies, 10 Juni 2014 [jurnal on-line]; tersedia di
https://doi.org/10.1177/0971521514525085; Internet; diunduh 2 November 2018. 26
Narain, Gender in International Relations: Feminist Perspectives of J. Ann Tickner, 191.
15
yang berbeda dengan makna yang selama ini ada dalam masyarakat luas. Dengan
melihat pergerakan perempuan, feminis berusaha untuk melihat hieraki gender itu
dan bertujuan untuk mengubah hal tersebut. 27
Feminis bekerja menggunakan ontologi dari hubungan sosial, dimana
didalamnya terdapat konstruksi sosial dan analisis variabel. Semua hal itu dapat
terbentuk melalui sejarah ketidaksetaraan dalam politik, ekonomi, dan struktur
sosial.28
Feminis meminta agar memperhatikan lebih dalam terhadap kerentanan
perempuan di dalam negeri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hubungan
hierarki gender dalam politik internasional. Sebagai contoh kekerasan domestik
tidak dipertimbangkan sebagai perhatian negara dan kebanyakan dari tindakan
tersebut tidak mempunyai sanksi hukum..29
Dalam bukunya yang berjudul Gender in Interntiional Relations: Feminist
perspectives on Achieving Global Security, J. Ann Tickner mengakterorikan
feminis ke dalam beberapa bagian yaitu; feminis liberalis, feminis marxis, feminis
sosialis dan feminis radikal.30
Dalam hal permasalahan tenaga kerja dalam struktur
negara yang kapitalis akan tepat jika dikaji melalui pandangan sosialis feminis.
Sosialis feminis mencoba menghasilkan sintesis kreatif tentang apa yang
menyebabkan tekanan bagi perempuan. Tekanan ini bukan hanya disebabkan oleh
sistem yang ada yang menjadikan perempuan sebagai kaum yang subordinat,
melaikan karena ada perpaduan sistem yang menekan perempuan yang
27
Narain, Gender in International Relations: Feminist Perspectives of J. Ann Tickner, 187. 28
Narain, Gender in International Relations: Feminist Perspectives of J. Ann Tickner,188. 29
Narain, Gender in International Relations: Feminist Perspectives of J. Ann Tickner, 191. 30
A Very Short Summary of Socialist Feminist Theory and Practice Socialist Feminist, (30 April
2012) [database on-line]; tersedia di
https://www.oakton.edu/user/4/ghamill/Socialist_Feminism.pdf.
16
dipengaruhi oleh faktor ras, kelas sosial, gender, seksualitas, dan bangsa.
Perpaduan sistem ini lebih lanjut sebagai sistem kombinasi dari budaya patriarki
dan kapitalisme.31
a. Konsep Kebijakan Luar Negeri Feminis
Kebijakan luar negeri feminis oleh Judith Butler didefinisikan sebagai
rumusan aksi yang dilakukan terhadap pihak diluar batas suatu negara yang
didasari oleh komitmen untuk mewujudkan kesetaraan gender dan mencari solusi
untuk masalah dominasi pria.32
Konsep ini digunakan untuk melihat absennya
keterlibatan perempuan dan permasalahan gender di ranah HI.33
Feminis dalam HI
memberikan perhatian terhadap bagaimana posisi wanita dalam agenda
pembuatan kebijakan luar negeri yang dilihat sebagai kelompok yang rentan dan
butuh perlindungan dari negara yang dianggap maskulin.34
Posisi wanita dilihat
dari representasi dan keterlibatan mereka dalam aktivitas politik yang memiliki
peran dalam perumusan kebijakan luar negeri.35
Kebijakan luar negeri yang selama ini dirumuskan dengan
mempertimbangkan keamanan nasional dan kepentingan nasional menurut
Tickner dianggap masih sangat ekslusif sebagai ranah laki-laki atau “hegemoni
31
A Very Short Summary of Socialist Feminist Theory and Practice Socialist Feminist
32 Christine Alwan dan S. Laurel Weldon, “What is Feminist Foreign Policy? An Exploratory of
Feoreign Policy in OECD Countries, Sagepub Journal [jurnal on-line]; tersedia di
https://ecpr.eu/Filestore/PaperProposal/05def9c8-34c6-4415-8df1-55144d2fd016.pdf; diunduh
pada 29 Juli 2019. 33
Karin Aggestam, Annika Bergman Rosamond, dan Annica Kronsell, “Theorising Feminist
Foreign Policy,” Internasional Relations Vol. 33(I) 23-39, 2019 [jurnal on-line]; tersedia di
https://doi.org/10.1177%2F0047117818811892; Internet; diunduh pada 26 Juli 2019. 34
Juanita Elias, “Foreign Policy and The Domestic Worker: The Malaysia-Indonesia Domestic
Worker Dispute,” International Feminist Journal of Politic Vol. 15, Issue 3, 23 Juli 2013 [jurnal
on-line]; tersedia di
https://www.academia.edu/2239194/Foreign_Policy_and_the_Domestic_Worker_The_Malaysia-
Indonesia_Domestic_Worker_Dispute; Internet; diunduh pada 19 April 2019. 35
Elias, Foreign Policy and The Domestic Worker, 17.
17
maskulinitas” yang merupakan suatu hal yang sulit dijangkau oleh perempuan.
Sebagai hasilnya, perempuan hanya hidup di dalam ranah domestik, mempunyai
peran dan profesi sekunder dalam ranah sosial. Tickner mendefinisikan keamanan
harus memperhatikan bahwa hierarki gender yang ada adalah sumber dari
dominasi dan oleh karena itu menjadi penghambat dalam mendefiniskan apa arti
keamanan yang sebenarnya. Selanjutnya keamanan individu sebagai definisi
keamanan baru menurut Tickner penting karena menantang asumsi sebelumnya
tentang keunggulan keamanan nasional dalam kebijakan luar negeri. 36
Dalam kaitannya dengan permasalahan PPMI di Malaysia, pertama yang
harus dilihat adalah sistem budaya patriarki dan kapitalisme yang ada di Malaysia.
Semenjak tahun 1990an Malaysia mengeluarkan peraturan mengenai sektor-
sektor spesifik untuk tenaga kerja asing namun kebijakan ini mengarah kepada
pembedaan pembagian kerja berdasarkan gender. Tenaga kerja migran laki-laki
menempati sektor konstruksi, agrasis atau perkebunan, dan jasa sementara pekerja
migran perempuan menempati sektor jasa manufaktur, jasa seperti sektor
kebersihan dan perhotelan dan sebagai pelayan domestik.37
Terdapat hubungan kuat antara feminisasi kekuatan migran di Malaysia dan
munculnya kebijakan terkait lowongan kerja khusus gender di Malaysia.
Kebijakan ketenagakerjaan yang bias gender dari negara tertentu telah
menyebabkan kesempatan kerja yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk
pekerja perempuan semi terampil dan tidak trampil dan telah mengkonsolidasikan
36
Narain, Gender in International Relations: Feminist Perspectives of J. Ann Tickner, 191. 37
Amarjit Kaur, Migration and Integration in Europe, Southeast Asia, and Australia, [buku on-
line] (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2015 diunduh pada 22 Oktober 2018); tersedia di
https://www.oapen.org/download?type=document&docid=644208; Internet.
18
munculnya hubungan migrasi perempuan tertentu antara Indonesia dan
Malaysia.38
Kondisi tersebut sejalan dengan apa yang feminis sosialis asumsikan
mengenai tekanan sosial terhadap perempuan yaitu perpaduan sistem yang
menekan perempuan yang dipengaruhi oleh faktor ras, kelas sosial, gender, dan
bangsa.
Selanjutnya karena posisi perempuan yang subordinat dalam sistem
kapitalis membawa mereka menghadapi tantangan yang besar dalam hal
pembagian kerja, upah kerja, dan kekerasan seksual. Sebagai salah satu negara
penerima investasi besar, Malaysia mengalami kekurangan tenaga kerja buruh di
dekade 1970-1980 dan karena perbedaan upah kerja yang cukup tinggi dengan
negara tetangga, banyak tenaga kerja buruh atau semi-skilled, unskilled labour
datang, tak terkecuali dari Indonesia. Dari identifikasi tersebut, terlihat bahwa
bentuk gender dan nasionalisme ekonomi yang bekerja karena ada ide-ide seperti
peran perempuan dalam mendukung pengejaran ekonomi nasional dan atau
mengurangi kemiskinan disajikan dalam kebijakan imigrasi Malaysia.39
F. Metodologi Penelitian
Menurut Gary King et.al. dalam bukunya berjudul Designing Social Inquiry
terdapat dua metodologi pe nelitian yaitu kualitatif dan kuantitatif. Perbedaan dari
kedua metode tersebut terdapat dari cara dan teknik penelitian. Penelitian ini
menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang mana mencakup berbagai
38
Mashitah Hamidi,”Indonesian Female Factory Workers: The Gendered Migration Policy in
Malaysia,” People: International Journal of Social Science, 14 Desember 2016) [jurnal on-line];
tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/311662779_INDONESIAN_FEMALE_FACTORY_W
ORKERS_THE_GENDERED_MIGRATION_POLICY_IN_MALAYSIA; Internet; diunduh pada
22 September 2018. 39
Elias, Foreign Policy and The Domestic Worker, 18.
19
pendekatan yang tidak bergantung pada pengukuran numerik. Suatu penelitian
kualitatif cenderung untuk fokus terhadap satu atau beberapa kasus, melakukan
wawancara yang intensif, atau melakukan analisa mendalam mengenai sejarah
suatu masalah, menjadi lebih memperhatikan secara menyeluruh tentang
pentingnya suatu permasalahan dan dapat menyimpulkan dengan logis.40
Penelitian kualitatif harus mempunyai beberapa karakteristik penelitian
ilmiah. Pertama, mempunyai tujuan berupa dugaan atau kesimpulan. Dengan kata
lain penelitian ilmiah dibuat sebagai kesimpulan deskriptif dan eksplanasi sebagai
dasar informasi empiris mengenai dunia. Kedua, prosedur penelitian bersifat
publik guna menilai apakah metode dan analisis data yang digunakan dalam suatu
penelitian kualitatif valid atau tidak. Ketiga, kesimpulan bersifat tidak pasti
dengan tujuan menggunakan data kualitatif sebagai cara untuk mempelajari
tentang dunia yang menghasilkan data tersebut. Dengan kata lain hasil penelitian
bersifat tidak pasti, dimana peneliti harus terus mencari tahu dan memahami betul
kesimpulan yang ada. Keempat, isi dari suatu penelitian adalah metode dimana
penelitian ilmiah itu manganut suatu set aturan dugaan yang validitasnya
tergantung.41
Untuk pengumpulan data, penelitian ini akan menggunakan metode
wawancara dan studi pustaka. Neumann menjelaskan bahwa data primer adalah
40
Gary King, Robert Keohane,dan Sidney Verba, Designing Social Inquiry: Scientific Inference in
Qualitative Research [buku on-line] (New Jersey: Princeton University Press, 1994); tersedia di
https://epdf.tips/download/designing-social-inquiry-scientific-inference-in-qualitative-
research5641ccc634d837fe8c8a238f07db3d5b14575.html; Internet. 41
Gary King et.al., Designing Social Inquiry, 7-9.
20
data langsung yang diperoleh dari sumber data pertama.42
Data primer dalam
penelitian ini berasal dari wawancara yang akan dilakukan dan informasi dari
website resmi kementerian dan badan terkait. Wawancara yang mendalam
dilakukan pada beberapa pihak yang berhubungan dengan penelitian ini seperti
UN Women Indonesia, ILO Indonesia, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI),
North South Initiatives Malaysia, dan dua PPMI yang bekerja dalam kurun waktu
2016-2018.
Selanjutnya data sekunder adalah data yang telah diolah dalam penelitian
sebelumnya yang dipakai oleh penulis. Dengan menggunakan teknik studi pustaka
(library research), yaitu pengumpulan data dengan memanfaatkan beberapa
referensi seperti hasil penelitian dari Dr. Wouter van Ginneken yang berjudul
Social Preotection for Migrant Workers: National and Internasional Policy
Challanges43
, penelitian Negara dan Buruh Migran Perempuan: Kebijakan
Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia Masa Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono 2004-2010 karya Ana Sabhana Azmy44
dan penelitian karya
Amorisa Wiratri Is Working an Empowerment Tool for Women? Case Study
Indonesian Migrant Workers in Malaysia?.45
42
Lawrence W. Neumann, Social Research Method:qualitative and quantitative approaches, 3rd
ed. [buku on-line] (USA: Allyn and Bacon, 1997, diunduh pada 22 September 2018); tersedia di
http://letrunghieutvu.yolasite.com/resources/w-lawrence-neuman-social-research-methods_-
qualitative-and-quantitative-approaches-pearson-education-limited-2013.pdf; Internet. 43
Ginneken, Social Protection for Migrant Workers, 210. 44
Azmy, Negara dan Buruh Migran Perempuan. 45
Wiratri, Is Working an Empowerment Tool for Women.
21
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan terdiri dari lima bab dengan pembahasan yang berbeda-
beda dalam tiap bab. Untuk memudahkan pemahaman mengenai skripsi ini,
adapun penulisan skripsi akan tersusun dalam sistematika sebagai berikut.
BAB I Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan. Latar belakang bermula dari definisi
mengenai kondisi tenaga kerja migran, konsep jaminan sosial, keterkaitan tenaga
migran dengan jaminan sosial, dan pelaksanaan kebijakan jaminan sosial dari
Indonesia dan Malaysia. Masalah penelitian sendiri berisi pertanyaan penelitian
yang akan menanyakan Apa Hambatan Implementasi Jaminan Sosial Perempuan
Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Indonesia di Malaysia periode 2016-2018?
yang akan dijawab dari teknik pengumpulan data wawancara dan studi pustaka
yang akan dilakukan.
Kerangka teori berupa penjabaran teori feminis sebagai konsep analisis dan
kerangka berpikir untuk menganalisi fenomena yang diteliti. Terakhir, metodologi
dan sistematika penulisan berisi metode atau cara serta alur penelitian guna
membangun kerangka berpikir untuk mencapai hasil yang maksimal dari
penelitian ini.
Bab II Kerangka Jaminan Sosial bagi Perempuan Pekerja Migran Indonesia
(PPMI) di Malaysia, antara tahun 2016-2018
22
Bab ini menjelaskan secara umum mengenai apa itu jaminan sosial lalu
dilanjutkan dengan produk jaminan sosial apa yang dibutuhkan oleh tenaga kerja
migran. Lebih lanjut pada bab ini juga akan menjabarkan mengenai kerangka
hukum di Indonesia dan Malaysia terkait pemberian jaminan sosial terhadap
buruh migran. Dilanjuti dengan perjanjian atau kesepakatan regional maupun
internasional mengenai jaminan sosial baik yang Indonesia dan Malaysia sudah
tandatangani dan ratifikasi.
Bab III Implementasi Pemenuhan Jaminan Sosial Perempuan Pekerja
Migran Indonesia (PPMI) di Malaysia, antara tahun 2016-2018
Bab ini berisi keadaan terkini mengenai jaminan sosial yang sudah diberikan
oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia khususnya terhadap tenaga kerja migran
perempuan. Di bab ini juga akan dijelaskan mengenai bagaimana implementasi
pemenuhan jaminan sosial untuk PPMI itu sendiri. Bagian terakhir pada bab ini
juga akan membahas mengenai permasalahan yang kerap dihadapi oleh PPMI
ketika ingin dan dalam mengakses jaminan sosial mereka.
Bab IV Analisis Hambatan Pelaksanaan Jaminan Sosial Perempuan Pekerja
Migran Indonesia Indonesia Di Malaysia Periode 2016- 2018.
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor apa saja yang menjadi
penghambat pemenuhan jaminan sosial untuk PPMI di Malaysia. Faktor-faktor
penghambat ini selanjutnya akan dielaborasi dengan teori feminis yang di pakai.
Dalam bab ini akan terlihat mengenai permasalahan baik dari Indonesia dan
Malaysia yang menghambat PPMI untuk mengakses jaminan sosial mereka.
Sesuai dengan apa yang feminis sosialis katakan, sistem patriarki dan sistem
23
kapitalis bersama-sama dalam menekan perempuan. Untuk melihat hal itu, pada
bab ini juga akan dijelaskan bagaimana kebijakan migrasi di Malaysia mendorong
untuk adanya feminisasi migrasi di Malaysia.
Bab V Penutup
Berisi kesimpulan penelitian dan saran yang merupakan hasil dari runtutan
aktifitas penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian. Kesimpulan juga hasil
analisis dari metodologi penelitian kualitatif seperti pengumpulan data dan
wawancara praktisi dan akademisi yang memahami fenomena yang diangkat
dalam penelitian.
24
BAB II
KERANGKA JAMINAN SOSIAL BAGI PEREMPUAN PEKERJA
MIGRAN INDONESIA (PPMI) DI MALAYSIA
Pada bab ini akan dijabarkan mengenai kerangka jaminan sosial bagi
Perempuan Pekerja migran indonesia (PPMI) di Malaysia. Dimulai dari
penjelasan secara umum mengenai jaminan sosial baik yang dikemukakan oleh
beberapa tokoh maupun dari Organisasi Tenaga Kerja Internasional atau
Internasional Labour Organization (ILO). Pada sub-bab selanjutnya akan
dijabarkan mengenai kerangka hukum terkait jaminan sosial yang ada di
Indonesia dan Malaysia. Selanjutnya pada bagian akhir bab ini akan dijelaskan
pula mengenai kerangka hukum terkait pemberian jaminan sosial di tingkat
Internasional atau multilateral yang Indonesia dan Malaysia sudah ratifikasi untuk
diberikan kepada pekerja migran di negara mereka. Dengan penjelasan yang
sistematis makan tujuan dari bab ini untuk memberikan penjelasan mengenai
kerangka jaminan sosial bab PPMI di Malaysia.
A. Jaminan Sosial
Jaminan sosial dapat dilihat sebagai alat untuk memenuhi sekurang-
kurangnya beberapa kebutuhan dasar manusia. Saat ini, jaminan sosial telah
diterima hampir secara universal, baik sebagai alat penanggulangan kemiskinan
maupun pencegah kemiskinan. Bahkan perlindungan sosial juga tercantum dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) dari Perserikatan Bangsa- Bangsa
(PBB), menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat perlindungan apabila
mencapai hari tua, menderita sakit, menganggur, mengalami cacat dan meninggal
25
dunia. Perlindungan sosial sebagai bagian dari kebijakan ekonomi makro juga
merupakan salah satu komponen hak asasi manusia yang berdimensi luas bagi
harkat dan martabat manusia. Dalam pelaksanaannya perlindungan sosial
berkaitan dengan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya. Dengan
demikian pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan penyelenggaraannya
dan ikut serta membiayainya.46
Terkait dengan prinsip hukum internasional, negara mempunyai tanggung
jawab kepada warganegaranya yang bekerja diluar negeri. Hal dasar yang harus
diberikan oleh negara setidaknya adalah perlindungan diplomatis.47
Selain hal
tersebut, hal lain yang menjadi perhatian beberapa negara, termasuk diantaranya
negara-negara di Asia adalah perlindungan pekerja migran, salah satunya dalam
hal pemenuhan jaminan sosial. Dalam kaitannya dengan pekerja, jaminan sosial
dapat diartikan sebagai sistem perlindungan untuk masyarakat secara individu
atau keluarga untuk mendapatkan akses terhadap kesehatan dan melindungi
penghasilan ekonomi mereka. Instrumen ini juga berperan penting untuk melawan
kemiskinan dan kerentanan yang dimiliki masyarakat dengan tingkat ekonomi
rendah. Hal ini karena jaminan sosial berperan sebagai alat investasi perdamaian
46
Stella Aleida Hutagalung dan Veto Tyas Indrio, Laporan Tematik Studi Midline Tema 3: Akses
Perempuan Buruh Migran Luar Negeri terhadap Layanan Perlindungan,” (Smeru Research
Institute, 2018) [database on-line]; tersedia di http://smeru.or.id/id/content/laporan-tematik-studi-
midline-tema-3-akses-perempuan-buruh-migran-luar-negeri-terhadap. 47
Marius Oliver, Social Protection for Migrant Workers Abroad: Addressing the Deficit via
Country-of-origin Unilateral Measures? (Geneva: International Organizatioon for Migration
(IOM), 2017) [database on-line]; tersedia di
https://publications.iom.int/system/files/pdf/social_protection.pdf.
26
sosial yang diperlukan untuk mencapai pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan.48
Michael von Hauff dalam “The Relevance of Social Security for Economic
Development49
mengutip kesepakatan dari the World Summit for Social
Development di Kopenhagen tahun 1995, yang menyatakan bahwa sistem
jaminan sosial merupakan komponen esensial dari perluasan pembangunan sosial
dan dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Lebih lajut Barrietos dan Shepherd
menjelaskan bahwa jaminan sosial lebih sempit dibandingkan perlindungan sosial.
Jaminan sosial umumnya dihubungkan dengan hal-hal yang menyangkut
kompensasi dan program kesejahteraan yang lebih bersifat „statutory schemes‟.50
Merujuk pada Konvensi ILO No.10251
terdapat 9 kategori jaminan sosial
yaitu jaminan kesehatan, tunjangan saat sakit, tunjangan pengangguran, jaminan
hari tua, jaminan keselamatan kerja, tunjangan keluarga, manfaat kehamilan,
tunjangan invaliditas, dan tunjangan keluarga. Jaminan- jaminan tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut :
48
Social Security for All (Geneva: International Labour Organization (ILO), 2009) [database on-
line]; tersedia di https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---
nylo/documents/genericdocument/wcms_226903.pdf. 49
Michael von Hauff, The Relevance of Social Security for Economic Development Social
Protection in Southeast and East Asia [database on-line] tersedia di http://library.fes.de/pdf-
files/iez/01443002.pdf. 50
Armando Barrietos dan David Hulme, “Chronic Poverty and Social Protection,” European
Journal of Development Research, Maret 2005) [jurnal on-line]; tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/233136267_Chronic_Poverty_and_Social_Protection_In
troduction/references, diunduh pada 1 April 2019. 51
Konvensi ILO No. 102 tentang Jaminan Sosial (Standard Minimum), 1952 [database on-line];
tersedia di
https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_INSTRUMENT
_ID:312247.
27
1. Tunjangan Kesehatan
Tunjangan ini diberikan mencakup keadaan sakit apapun. Tujuan
diberikannya tunjangan ini untuk menjaga, memulihkan atau meningkatkan
kesehatan orang-orang yang dilindungi dan kemampuan mereka untuk bekerja
dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Orang-orang yang mendapatkan
perlindungan ini adalah orang yang aktif dalam kegiatan ekonomi, dalam hal ini
pekerja dan keluarganya. Orang-orang yang mendapatkan tunjangan ini dapat
mengakses fasilitas kesehatan berupa praktek kesehatan umum, perawatan
kesehatan spesialis, kebutuhan obat, dan perawatan rumah sakit jika diperlukan.52
2. Tunjangan Sakit
Tunjangan saat sakit diberikan ketika pekerja tidak mampu untuk bekerja
karena kondisi kesehatan yang memburuk dan termasuk didalamnya penangguhan
penghasilan. Tunjangan ini berupa pemberian uang saat tidak dapat bekerja karena
sakit. Tunjangan ini diberikan dibawah pengawasan untuk tujuan pemulihan
kesehatan. Bentuk tunjangan ini antara lain uang tunai untuk kebutuhan
pengobatan. Jika terjadi hal yang tidak diinginkan seperti kematian, tunjangan ini
juga dapat dijadikan tunjangan kematian untuk keluarga yang ditinggalkan. 53
3. Tunjangan Pengangguran
Tunjangan ini diberikan ketika terjadi penangguhan atau kehilangan
pendapatan karena ketidakmampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai
dimana orang tersebut mampu untuk mendapatkan pekerjaan yang tersedia.
Terkait hal ini, ILO dalam Konvensi No. 168 menganjurkan negara peratifikasi
52
Konvensi ILO, No. 102 bagian II. Medical Care. 53
Konvensi ILO, No. 102 bagian III. Sickness Benefit.
28
untuk berupaya memperluas pemberian tunjangan kepada pengangguran parsial,
atau orang yang diputus kerja sementara, dan menyediakan tunjangan kepada
pekerja paruh waktu yang sedang mencari pekerjaan.54
4. Jaminan Hari Tua
Jaminan ini mencakup manfaat untuk pekerja yan berumur di atas 65
tahun. Manfaat yang diberikan antara lain standar hidup yang layak untuk sisa
hidup si pendapat tunjangan, pembayaran secara berkala sampai penerima
manfaat meninggal. ILO menganjurkan untuk setiap negara menetapkan usia
minimum oenerima jaminan hari tua dan memastikan berapa tunjangan yang akan
diterima selama pensiun. Hal ini karena para pensiunan sangat rentan terhadap
tingkat inflasi, terutama jika jaminan ini hanya satu-satunya pendapatan ketika
sudah pensiun.55
5. Jaminan Kecelakaan Kerja
Keadaan yang menjadi tanggungan jaminan ini adalah kondisi sakit,
ketidakmampuan untuk bekerja, dan kehilangan kemampuan untuk bekerja yang
disebabkan karena kecelakaan di tempat kerja. Tunjangan ini juga diberikan
kepada keluarga pekerja ketika pekerja meninggal karena kecelakaan kerja.
Jaminan ini mencakup perlindungan untuk pekerja, termasuk orang yang bekerja
tidak tetap baik di sektor umum atau swasta. Tunjangan ini berupa uang jika si
pekerja mengalami kecacatan atau meninggal dan tunjangan kesehatan untuk
pemeulihan dan pengembalian keadaan pasca kecalakaan di tempat bekerja.56
54
Konvensi ILO, No. 102 bagian IV. Unemployment Benefit. 55
Konvensi ILO, No. 102 bagian V. Old-Age Benefit. 56
Konvensi ILO, No. 102 bagian VI. Employment Injury Benefit
29
6. Tunjangan Keluarga
Tunjangan ini diberikan kepada keluarga pekerja yaitu diberikan untuk anak
dibawah umur 15 tahun. Tunjangan ini berupa 3% gaji dari Pekerja yang
diberikan ke setiap anak. Tunjangan ini berupa uang atau barang, atau kombinasi
dari keduanya.57
7. Tunjangan Kehamilan
Tunjangan berupa perawatan medis yang dibutuhkan dimasa kehamilan,
persalinan, dan setelah persalinan serta perawatan rumah sakit jika diperlukan.
Perempuan yang mendapatkan cuti kehamilan harus diberikan tunjangan
kehamilan berupa uang untuk memastikan mereka dapat merawat diri mereka
ketika masa kehamilan dan bayi yang ada di dalam kandungan mereka. Dalam
kaitannya dengan manfaat ini, negara harus mengambil kebijakan untuk
melindungi wanita hamil dan menyusi untuk tidak wajib melakukan pekerjaan
mereka yang akan merugikan kesehatan ibu dan anak. 58
8. Jaminan Ketidakmampuan Kerja
jaminan ini mencakup ketidakmampuan untuk bekerja dalam aktivitas
yang dapat menghasilkan keuntngan dimana ketidakmampuan tersebut cenderung
permanen atau sementara. Tunjangan ini berupa pembayaran secara berkala untuk
keluarga. Dibutuhkan pula layanan rehabilitas yang dirancang untuk
mempersiapkan orang- orang cacat untuk memulai kembali kegiatan mereka
sebelumnya atau untuk kegiatan lain yang sesuai dengan kemampuan mereka.59
57
Konvensi ILO, No. 102 bagian VII. Family Benefit. 58
Konvensi ILO, No. 102 bagian VIII. Maternity Benefit. 59
Konvensi ILO, No. 102 bagian IX. Invalidity Benefit.
30
9. Tunjangan Kematian
Tunjangan ini diberikan kepada keluarga yang kehilangan pencari nafkah.
Tunjangan untuk anak diberikan untuk anak dibawah 15 tahun dan tunjangan
untuk pasangan sesuai kriteria umur diberikan karena ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup pribadi. Namun, jika suami/istri yang ditinggalkan
membesarkan anak dalam kondisi sakit maka tidak ada kriteria umur yang harus
dipenuhi. Manfaat ini berupa tunjangan secara berkala (pasangan yang
ditinggalkan dan dua orang anak) dan harus memenuhi sekurang-kurangnya 40%
dari standar upah yang ditetapkan.60
Kedua negara, baik negara pengirim dan negara penerima wajib
memastikan bahwa para pekerja mereka dapat mengakses jaminan sosial.
Sembilan kriteria jaminan sosial yang sesuai dengan Konvensi ILO No. 102
diatas, tidak sepenuhnya wajib diadopsi oleh masing- masing negara. Baik negara
penerima maupun negara pengirim boleh mengambil hanya beberapa bentuk
manfaat dari jaminan sosial sesuai dengan seberapa besar negara itu dapat
menanggung. Namun, pemberian jaminan sosial untuk pekerja migran ini harus
mempunyai standar minimum, seperti harus adanya, kurang lebih, jaminan hari
tua dan tunjangan kesehatan.61
60
Konvensi ILO, No. 102 bagian X. Surviviors’ Benefit. 61
Mauricio M. Rivera, “Social Security Protection of Migrant Workers,” Asian And Pacific
Migration Joirnal Vo. 1 No. 3-4, 1 September 1992 [jurnal online]; tersedia di
https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/011719689200100305, diunduh pada 20 April 2019.
31
B. Kerangka Hukum mengenai Tenaga Kerja Migran dan Jaminan
Sosial yang Ada di Indonesia dan Malaysia
Berkaitan dengan kerangka hukum untuk mengatur serta menjamin
pemenuhan akses jaminan sosial terhadap PPMI, Indonesia dan Malaysia sudah
mempunyai beberapa kerangka hukum nasional yang mengatur pemberian serta
bentuk jaminan sosial yang diberikan untuk pekerja migran.
1. Kerangka Hukum Indonesia Mengenai Perlindungan dan Jaminan
Sosial Perempuan Pekerja migran indonesia (PPMI)
Dikutip dari Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia, Indonesia sudah
memiliki beberapa peraturan hukum mengenai perlindungan tenaga kerja dan
akses terhadap jaminan sosial. Peraturan-peraturan ini diantaranya adalah
Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Undang-Undang No. 18 tahun 2017
tentang Perlindungan Pekerja Indonesia serta peraturan turunan yaitu Peraturan
Kemenaker (Menteri Tenaga Kerja) No. 7 tahun 2010, No. 1 tahun 2012, dan No.
7 tahun 2017 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia.62
a. Undang- Undang (UU) No. 39 tahun 2004
UU ini mengatur tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri. Dalam UU ini termuat bentuk perlindungan untuk
tenaga kerja migran Indonesia berupa terjaminnya pemenuhan hak-hak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama dan sesudah
62
Direktorat Jendral PHI & Jamsos Kemnaker Republik Indonesia [database on-line]; tersedia di
http://phijsk.kemnaker.go.id/page/peraturan_perundangan.
32
bekerja.63
Untuk menjamin perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia
pemerintah mempunyai beberapa tanggung jawab. Dalam pasal 5 ayat 1 UU ini
menyatakan bahwa pemerintah bertugas untuk mengatur, membina,
melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan
pekerja migran Indonesia di luar negeri.64
Selanjutnya di pasal 6 pemerintah
bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan pekerja migran
Indonesia di luar negeri.65
Dalam peraturan perundang-undangan ini menjelaskan pula bahwa
penempatan pekerja migran Indonesia di luar negeri hanya dapat dilakukan ke
negara yang sudah membuat perjanjian tertulis dengan Indonesia. Dengan kata
lain, pengiriman pekerja migran Indonesia harus dengan negara yang sudah
mempunyai perjanjian bilateral mengenai tenaga kerja asing.66
Selain itu,
dijelaskan pula mengenai pembentukan Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang mempunyai tugas antara
lain untuk memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan
pengawasan mengenai peningkatan kesejahteraan pekerja migran Indonesia.67
Selain itu pada pasal 68 UU ini juga mengatur mengenai asuransi yang didapatkan
63
Undang- Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri, Pasal 1 [database on-line]; tersedia di
https://pih.kemlu.go.id/files/uu%20No%2039%20Tahun%202004%20Tentang%20Penempatan%2
0dan%20Perlindungan%20TKI.pdf. 64
Undang- Undang No. 39 tahun 2004, Pasal 5. 65
Undang- Undang No. 39 tahun 2004, Pasal 6. 66
Undang- Undang No. 39 tahun 2004, Pasal 27. 67
Undang- Undang No. 39 tahun 2004, Pasal 94- 95.
33
oleh pekerja migran Indonesia Indonesia, namun asuransi ini diatur lebih rinci
dalam Peraturan Menteri No. 7 tahun 2010.68
Aspek perlindungan selama bekerja di negara tujuan masih terbatas dalam
UU ini. Misalnya, Pasal 1 UU ini menyatakan bahwa peraturan ini hanya
mencakup warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk bekerja ke
luar negeri dengan periode tertentu. Pekerja migran Indonesia ilegal tidak
tercakup dalam UU ini dan tidak memperoleh perlindungan.69
Dalam UU ini
belum terdapat juga instrumen khusus terkait jaminan sosial sebagai bentuk
perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia di luar negeri. Perlindungan
pekerja migran Indonesia di luar negeri baru sebatas menetapkan jabatan Atase
Ketenagakerjaan pada perwakilan Indonesia di luar negeri dan melakukan
pembinaan serta pengawasan terhadap Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta (PPTKIS) dan pekerja migran Indonesia yang ditempatkan di
luar negeri.70
b. Undang- Undang (UU) No. 18 tahun 2017
UU ini mengatur tentang perlindungan pekerja migran indonesia yang
diselenggarakan dari Aparatur Desa sampai Pemerintah Pusat. Dalam UU ini
termuat definisi dari perlindungan pekerja migran indonesia sebagai upaya untuk
melindungi kepentingan calon pekerja migran Indonesia pekerja migran Indonesia
dan keluarganya dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak dalam
68
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7 tahun 2010 tentang Asuransi Tenaga
Kerja Indonesia [database on-line]; tersedia di http://www.mitraPekerja migran
indonesia.com/MitraPEKERJA MIGRAN
INDONESIA/attachment/PERATURAN%20MENTERI%20TENAGA%20KERJA%20DAN%20
TRANSMIGRASI%0REPUBLIK%20INDONESIA%20NOMOR%20PER.07_MEN_V_2010.pdf 69
International Organization for Migration (IOM), Labour Migration from Indonesia, 13. 70
Undang- Undang No. 39 tahun 2004, Pasal 81.
34
keseluruhan kegiatan sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja dalam
aspek hukum, ekonomi, dan sosial.71
Pekerja migran Indonesia yang akan ikut dan mempunyai nomor
kepesertaan jaminan sosial harus terdaftar. Dengan kata lain, pekerja migran
Indonesia yang mempunyai jaminan sosial hanyalah pekerja migran yang legal.72
Dalam UU ini pekerja migran Indonesia berhak untuk memperoleh pelayanan
yang profesional dan manusiawi tanpa perlakuan diskriminastif saat sebelum,
selama dan sesudah bekerja. Beberapa bentuk perlindungan untuk pekerja migran
Indonesia antara lain adalah informasi mengenai upah kerja, perlindungan dan
bantuan hukum, ketetapan untuk memegang dokumen pribadi, dan kebebasan
berserikat.73
Selain perlindungan teknis berupa jaminan sosial, di dalam UU ini juga
tercangkup kondisi dan syarat kerja yang meliputi jam kerja, upah dan tata cara
pembayaran, hak cuti dan waktu istirahat, serta fasilitas jaminan sosial atau
asuransi.74
Pengintegrasian dan pengkoordinasian peran pemerintah juga
tercangkup dalam UU ini dimulai dari pemerintah desa yang bertugas salah
satunya untuk menerima dan memberikan informasi dan permintaan pekerjaan
dari instansi ketenagakerjaan lalu dilanjutkan oleh pemerintah kabupaten atau kota
71
Undang- Undang No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Pasal 1,
ayat 5 [database on-line]; tersedia di
https://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/175351/UU%20Nomor%2018%20Tahun%202017.pdf 72
Undang- Undang No. 18 tahun 2017, Pasal 5 (d). 73
Undang- Undang No. 18 tahun 2017, Pasal 6. 74
Undang- Undang No. 18 tahun 2017, Pasal 15.
35
lalu ke pemerintah daerah provinsi sampai ke pemerintah pusat yang melakukan
upaya secara optimal untuk melindungi PMI.75
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Peraturan turunan UU mengenai jaminan sosial tertuang dalam beberapa
Peraturan Menteri Tenaga Kerja. Peraturan ini diantaranya adalah Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permeketrans) nomor
PER.07/MEN/V/2010 yang kemudian diamandemen menjadi Permeketrans No. 1
tahun 2012 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia. Dalam Peraturan ini
program asuransi pekerja migran Indonesia diselenggarakan oleh Konsorisum
Asuransi Tenaga Kerja Indonesia yang mendapat persetujuan Menteri Tenaga
Kerja. Konsorsium ini terdiri dari minimal 10 perusahaan asuransi kerugian dan
asuransi jiwa.76
Dalam peraturan ini asuransi untuk calon pekerja migran Indonesia dibagi
kedalam 3 tahapan yaitu asuransi pra penempatan, selama penempatan, dan purna
penempatan. Berkaitan dengan Asuransi PPMI di Malaysia, pemerintah Indonesia
melalui peraturan ini mengeluarkan jenis program asuransi pekerja migran
Indonesia selama penempatan yaitu auransi kematian, sakit dan cacat, kecelakaan
kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK), upah tidak dibayar, pemulangan pekerja
migran Indonesia bermasalah, risiko menghadapi masalah hukum, risiko
kekerasan fisik dan seksual, risiko kejiwaan, dan risiko yang terjadi dalam hal
75
Undang- Undang No. 18 tahun 2017, Pasal 39-42. 76
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7 tahun 2010, ketentuan umum, pasal 3,
pasal 7.
36
pekerja migran Indonesia dipindahkan ke tempat kerja atau tempat lain yang tidak
sesuai dengan perjanjian penempatan.77
Lalu pada tahun 2017 dikeluarkan kembali pembaharuan peraturan
mengenai program jaminan sosial tenaga kerja Indonesia No. 7 tahun 2017 yang
merupakan peraturan turunan dari UU No. 18 tahun 2017 yang memuat tentang
jaminan sosial untuk PMI dari sebelum mereka bekerja, selama mereka bekerja di
negara tujuan dan sampai pulang ke tanah air. Melalui peraturan ini asuransi
pekerja migran Indonesia diintegrasikan ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Ketenagakerjaan. Pada Pasal 2 ayat 2 Peraturan disebutkan bahwa jenis
jaminan sosial yang diterima oleh para PMI berupa Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN); Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK); Jaminan Kematian (JKM); dan Jaminan
Hari Tua (JHT).78
2. Kerangka Hukum Perlindungan Tenaga Migran di Malaysia
Sebagai negara penerima tenaga kerja Indonesia terbanyak, Malaysia sudah
mempunyai beberapa kerangka hukum terkait perlindungan dan jaminan sosial
untuk seluruh tenaga kerja. Di dalam kerangka hukum tersebut sudah terdapat
beberapa isi mengenai hak asasi dasar tenaga migran dan perlindungan terhadap
mereka.79
Beberapa peraturan hukum itu diantaranya adalah:
77
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7 tahun 2010, Pasal 23, ayat (3). 78
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 7 tahun 2017 tentang Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Indonesia [database on-line]; tersedia di
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2017/bn441-2017.pdf. 79
Hamid et. Al, Rights of Migrant Workers under Malaysian Employment Law, 364.
37
a. Konstitusi Federal
Konstitusi Federal Malaysia mempunyai dasar hak asasi manusia terhadap
semua orang yang hidup dan tinggal di Malaysia. Pasal 8 Konstitusi ini
menyatakan bahwa semua orang sama di mata hukum, dan dilindungi oleh
hukum, maka dari itu tidak ada diskriminasi terhadap seseorang dari segi agama,
ras, keturunan, tempat lahir, jenis kelamin di peraturan hukum apapun atau dalam
perjanjian kerja apapun. Setiap orang harus diperlakukan setara terlepas dia adalah
warganegara Malaysia atau bukan warganegara Malaysia. Oleh karena itu,
siapapun yang tinggal di Malaysia berhak dan wajib untuk mematuhi dan
menjalankan hukum tertinggi Malaysia, Konstitusi Federal. Tidak ada seorang
pun yang diperlakukan secara tidak adil di dalam bentuk ketenagakerjaan apapun
terlebas ia warganegara Malaysia atau bukan warganegara Malaysia.80
b. Undang- Undang Ketenagakerjaan (Employment Act) 1955
UU Ketenagakerjaan Malaysia tidak mendiskriminasi tenaga kerja asing.
Dalam UU ini, terdapat ketetapan mengenai tunjangan minimum tenaga kerja
migran seperti cuti tahunan, cuti sakit, tunjangan kehamilan dan kerja lembur. Bab
60A menyatakan jam maksimum untuk pekerja adalah 8 jam per hari termasuk
waktu istirahat, 48 jam per minggu, dan setiap tambahan waktu bekerja yang
melewati 48 jam harus dihitung sebagai lembur yang mewajibkan pemberi kerja
untuk membayar gaji lebih.81
80
Malaysia Federal Constitution, pasal 8 (2) [database on-line]; tersedia di
http://www.agc.gov.my/agcportal/uploads/files/Publications/FC/Federal%20Consti%20(BI%20tex
t).pdf 81
Employment Act 1955, bagian 60A [database on-line]; tersedia di
https://www.ilo.org/dyn/travail/docs/1496/Employment%20Act%201955.pdf.
38
Bab 60L menyatakan bahwa tindakan diskriminasi dilarang dan kesamaan
perlakuan harus dilakukan oleh pemberi kerja kepada seluruh tenaga kerja baik ia
warganegara Malaysia atau bukan warganegara Malaysia.82
Bab 91 dan 92
menjelaskan mengenai hukuman untuk pemberi kerja jika tidak membayarkan
gaji lebih dari sebulan dan mereka dapat diadili atas tuduhan tersebut.83
c. Undang-Undang Dana Penyedia Tenaga Kerja (Employees Provident
Fund Act) 1991
UU ini dibuat untuk menyediakan jaminan sosial berupa jaminan pensiun
untuk tenaga kerja. Jika tenaga kerja migran ingin mendapatkan jaminan pensiun
mereka harus mendaftarkan diri dan gaji mereka akan dipotong 11% untuk
membayar jaminan ini. Jika gaji yang diberikan oleh pemberi kerja tidak sama
antara tenaga kerja Malaysia dan non-Malaysia, tenaga kerja migran tidak
diperbolehkan untuk mengikuti jaminan pensiun ini. Namun, jaminan ini tidak
wajib dikenakan kepada tenaga kerja migran.84
d. Undang-Undang Kompensasi Pekerja (Workmen Compensation Act)
1952
UU ini diberlakukan untuk memberikan perlindungan kepada karyawan dari
kecelakaan yang terjadi dalam selama masa kerja atau penyakit akibat kerja.
Tujuan dari UU ini adalah memberikan kompensasi kepada pekerja yang
mengalami kecelakaan di tempat kerja. UU ini hanya diberlakukan untuk tenaga
kerja asing. Pemberi kerja mempunyai kewajiban untuk memberi kompensasi
82
Employment Act 1955, pasal 60L. 83
Employment Act 1955, pasal 91 dan 92. 84
Hamid et. Al, Rights of Migrant Workers under Malaysian Employment Law, 370.
39
kepada tenaga kerja migran asing apakah dalam bentuk biaya pengobatan dan
rehabilitasi. Pekerja asing berhak atas setengah dari upah bulanan mereka atau
RM165 untuk kecelakan sementara yang mereka alami.85
Namun di dalam UU
ini, pekerja migran domestik dikecualikan dari pemberian jaminan kecelakaan
kerja.86
e. Undang- Undang Hubungan Indurtri (Industrial Relation Act) 1967
Tujuan dari UU ini adalah (i) mempromosikan dan menjaga keharmonisan
industri; (ii) menyediakan suatu bentuk pengaturan hubungan antara pengusaha,
pekerja, dan serikat pekerja; (iii) mencegah atau menyelesaikan perbedaan atau
perselisihan yang timbul dari hubungan industri; (iv) secara umum menangani
perselisihan dagang dan hal- hal yang timbul dari hubungan industi.87
C. Kerjasama Bilateral dan Multilateral Indonesia dan Malaysia Mengenai
Jaminan Sosial Tenaga Kerja Migran
Kerjasama mengenai pemberian jaminan sosial untuk PPMI Indonesia di
Malaysia sebenarnya sudah tertuang ke dalam beberapa kerjasama bilateral dan
multilateral. Kerjasama bilateral ini berupa MoU mengenai perlindungan pekerja
domestik, lalu kerja sama tingkat multilateral di dalam beberapa kesepakatan
internasional maupun regional.
85
Workmen Compensation Act 1952, pasal 4 (1) [database on-line]; tersedia di
https://asean.org/storage/2016/06/MA4_Workmes-Compensation-Act-1952-Act-273.pdf. 86
Marius Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN: Developments, challanges,
and prospects (Thailand: International Labour Organization (ILO), 60 87
Industrial Relation Act 1967, bagian preambule [database on-line]; tersedia di
https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/48066/99440/F1841123767/MYS48066.pdf.
40
1. Kerjasama Bilateral Indonesia dan Malaysia terkait Jaminan Sosial
PPMI di Malaysia
Kerjasama bilateral antara Indonesia dan Malaysia terkait pekerja migran
sudah terjalin dengan adanya MoU mengenai Perekrutan dan Penempatan Pekerja
Domestik Indonesia pada tahun 2006 dan diperbaharui pada 31 Mei 2011.
Pembaharuan dalam MoU ini antara lain adalah menambahkan Pasal 13 yang
menyatakan adanya Joint Task Force (JTF) atau Satuan Tugas Gabungan baik di
Jakarta maupun Kuala Lumpur. JTF ini berupaya untuk memberikan penyelesaian
yang tepat bagi masalah-masalah terkait pembantu rumah tangga. Lampiran B
MoU 2006 diubah menjadi Pasal 6 (1) yang menyatakan pemberi kerja dapat
memegang paspor pekerja jika diperbolehkan oleh pekerja. Mengganti paragraf 6
Pasal 6 terkait hari libur, bahwa pembantu rumah tangga berhak atas satu hari
libur setiap minggu.88
Dalam kaitannya dengan kerangka hukum untuk PPMI di Malaysia dapat
dikatakan masih kurang atau belum sempurna. Pekerja migran sering secara
hukum dikecualikan untuk mengakses jaminan sosial. Hal ini dapat terjadi karena
status imigrasi khusus pekerja migran yang membuat mereka tidak memenuhi
syarat untuk mengakses manfaat. Walaupun sudah terdapat beberapa peraturan di
dalam negeri masing-masing namun peraturan ini tidak mampu menutupi semua
permasalahan jaminan sosial PPMI di Malaysia.
88
Protokol Perubahan terhadap Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Malaysia mengenai Perekrutan dan Penempatan Pekerja Domestik Indonesia tahun
2011 [database on-line]; tersedia di http://apmigration.ilo.org/resources/mou-between-government-
of-the-republic-of-indonesia-and-the-government-of-malaysia-on-the-recruitment-and-placement-
of-indonesian-domestic-workers/at_download/file1.
41
Kurangnya perjanjian bilateral antara Indonesia dan Malaysia menambah
permasalahan hukum untuk PPMI, hal ini disebabkan karena peraturan yang
dibuat oleh pemerintah Indonesia tidak dapat dilaksanakan diluar wilayah
Indonesia. Walaupun Malaysia sudah mempunyai kerangka hukum untuk tenaga
migran namun tidak ada kerangka hukum khusus untuk pelaksanaan jaminan
sosial. Kerjasama bilateral penting untuk dibuat karena dapat memberikan
kesetaraan antara warganegera dan non-warganegara untuk pemenuhan akses
jaminan sosial yang bermanfaat untuk mereka. Selain itu, kerjasama bilateral ini
umumnya memberikan manfaat dan prinsip koordinasi jaminan sosial lainnya.89
2. Regulasi Kerjasama Internasional dan Regional Indonesia dan
Malaysia terkait Jaminan Sosial PPMI di Malaysia
Kerjasama multilateral Indonesia dan Malaysia terkait jaminan sosial untuk
PPMI tertuang dalam Konvensi atau Perjanjian Regional yang kedua negara sudah
ratifkasi. Namun sayang untuk kerjasama di tingkat internasional baik Indonesia
dan Malaysia belum meratifikasi Konvensi ILO mengenai jaminan sosial.
Konvensi ILO mengenai jaminan sosial terdapat pada Konvensi No. 102
mengenai Jaminan Sosial (standar minimum) tahun 1952,90
Konvensi No. 118
mengenai Persamaan Perlakuan (Jaminan Sosial) tahun 1962,91
serta Konvensi
89
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 26. 90
Konvensi ILO No. 102 tentang Jaminan Sosial (Standard Minimum). 91
Konvensi ILO No.118 tentang Persamaan Perlakuan (Jamninan Sosial) [database on-line];
tersedia di
https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_ILO_CODE:C1
18,
42
No. 157 tentang Pemeliharaan Konvensi tentang Hak-Hak Jaminan Sosial tahun
1982.92
Terlepas dari belum meratifikasinya kedua negara pada ketiga Konvensi
tersebut, namun baik Indonesia dan Malaysia sudah sama-sama meratifikasi
Konvensi ILO No.019 mengenai Perlakuan yang Sama Bagi Pekerja Nasional dan
Asing dalam Hal Tunjangan Kecelakaan Kerja. Kedua negara sudah sama-sama
meratifikasi Konvensi ini. Dalam konvensi ini dikemukakan bahwa setiap negara
yang meratifikasi konvensi ini harus menjamin pekerja nasional maupun asing
mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal mendapatkan tunjangan kecelakaan
kerja. Negara peratifikasi konvensi ini juga menjamin untuk memberikan bantuan
secara timbal balik untuk memudahkan Konvensi ini terlaksana93
Pada tingkat regional, Indonesia dan Malaysia adalah anggota dari
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dimana dalam organisasi
regional ini sudah tertuang beberapa kerangka kebijakan regional mengenai
jaminan sosial untuk tenaga kerja migran. Kerangka kebijakan itu diantaranya
adalah ASEAN Declaration on Strengthening Social Protection and Regional
Framework and Plan of Action, ASEAN Declaration and Consensus on the
Protection and Promotion of the Rights of Migration (Cebu Declaration), dan
ASEAN Labour Ministers’ Work Programme 2016 -2020 and Work Plans of the
92
Konvensi ILO No. 157 tentang Pemeliharaan Jaminan Sosial [database on-line]; tersedia di
https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_ILO_CODE:C1
57 93
Konvensi ILO No. 019 tentang Perlakuan yang Sama bagi Pekerja Nasional dan Asing, pasal 1
dan 4. Tersedia di https://www.ilo.org/wcmsp5/.../---ilo.../wcms_145810.pdf, diakses pada 20
April 2019.
43
Subsidiary Bodies.94
Hak- hak mengenai jaminan sosial dalam ketiga kerangka
kebijakan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. ASEAN Declaration and Consensus on the Protection and Promoting
of the Rights of Migrant Workers
Deklarasi mengenai Perlindungan dan Penegakkan Hak terhadap pekerja
migran ditandatangani oleh kepala negara anggota ASEAN pada tahun 2007 di
Cebu, Filipina. Deklarasi ini menyerukan, dalam ketentuan umum mereka bahwa
semua negara anggota ASEAN, baik itu negara pengirim maupun negara
penerima pekerja migran untuk menguatkan pilar politik, ekonomi, dan sosial
ASEAN guna menegakkaan segala bentuk potensi dan martabat para tenaga kerja
migran. Selain itu, baik negara pengirim dan penerima juga diharuskan untuk
bekerjasama dalam menuntaskan permasalahan tenaga kerja migran secara
manusiawi, baik mereka tenaga kerja terdokumentasi atau bukan. Kedua negara
harus menjamin hak-hak dasar para pekerja migran dan juga keluarga mereka.95
Dalam deklarasi ini juga termuat kewajiban-kewajiban negara penerima dan
negara pengirim. Kewajiban negara penerima diantaranya adalah mengintensifkan
upaya untuk melindungi hak asasi manusia mendasar, menjunjung tinggi martabat
para pekerja migran; mempromosikan perlindungan kerja yang adil dan sesuai
untuk para pekerja migran, baik itu pembayaran upah, akses memadai terhadap
kondisi kerja dan kehidupan yang layak bagi para pekerja migran; menyediakan
akses yang memadai untuk perlindungan hukum jika ada pekerja migran yang
94
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 10-13. 95
ASEAN Declaration and Consensus on the Protection and Promoting of the Rights of Migrant
Workers, General Principles [database on-line]; tersedia https://asean.org/storage/2012/05/16-
ASEAN-Declaration-on-the-Protection-and-Promotion-of-the-Rights-of-Mi....pdf.
44
menjadi korban tindakan diskriminasi, pelecahan, ekploitasi, dan kekerasan; serta
memfasilitasi pelaksanaan fungsi konsuler atau diplomatik negara asal ketika
pekerja migran ditangkap atau melakukan suatu tindakan hukum.96
Selain kewajiban negara penerima, negara pengirim juga mempunyai
kewajiban untuk melindungi pekerja migran. Dalam deklarasi ini negara pengirim
mempunyai kewajiban untuk meningkatkan tindakan yang berkaitan dengan
promosi dan perlindungan hak- hak pekerja migran; menetapkan kebijakan dan
prosedur untuk memfasilitasi aspek migrasi pekerja, termasuk rekrutmen,
persiapan untuk penempatan di luar negeri dan perlindungan terhadap pekerja
migran ketika berada di luar negeri serta repatriasi dan reintegrasi ke negara asal;
menetapkan dan mempromosikan praktik hukum untuk mengatur perekrutan
pekerja migran dan mengadopsi mekanisme untuk menghilangkan malpraktik
perekrutan melalui kontrak yang sah, peraturan dan akreditasi agen perekrutan dan
pengusaha, dan daftar hitam agen yang lalai atau melanggar hukum.97
Dalam deklarasi ini termuat peran dari para negara anggota ASEAN untuk
mempromosikan pekerjaan yang layak, manusiawi, produktif, serta bermartabat
dengan upah yang memadai untuk para pekerja migran. Tugas penting dalam
Deklarasi Cebu untuk badan-badan ASEAN diantaranya untuk mengembangkan
instrumen mengenai perlindungan dan promosi hak-hak pekerja migran.
Instrumen ini tertuang dalam Konsensus ASEAN tentang Perlindungan dan
96
ASEAN Declaration and Consensus on the Protection and Promoting of the Rights of Migrant
Workers, Receiving Countries Obligations. 97
ASEAN Declaration and Consensus on the Protection and Promoting of the Rights of Migrant
Workers, Sending Countries Obligations.
45
Promosi Hak-Hak Pekerja Migran yang ditandatangani oleh para pemimpin
negara anggota ASEAN pada KTT ASEAN. 98
b. ASEAN Declaration on Strengthening Social Protection
Di tahun 2013, negara-negara anggota ASEAN mengadopsi ASEAN
Declaration on Strengthening Social Protection. Tujuan dari deklarasi ini adalah
pertama untuk mengurangi kemiskinan, ketidaksetaraan, kerentanan dan risiko
lainya. Kedua untuk meningkatkan kapasitas dari kelompok yang rentan dan
miskin. Ketiga untuk mencapai inklusi dan menaikkan akses yang adil untuk
orang miskin, berisiko dan kelompok orang-orang rentan termasuk di dalamnya
pekerja migran untuk mendapatkan perlindungan sosial. 99
Dalam deklarasi ini juga termuat beberapa ketentuan mengenai jaminan
sosial untuk pekerja migran diantaranya Ketetapan No.1 dalam Deklarasi ini yang
menyatakan bahwa
“Setiap orang, terutama mereka yang miskin, beresiko, penyandang cacat, orang
tua, remaja putus sekolah, anak-anak, pekerja migran, dan kelompok rentan
lainnya, berhak mendapatkan akses yang adil terhadap perlindungan sosial yang
merupakan hak asasi manusia yang mendasar. dan pada pendekatan siklus hidup
berbasis hak/kebutuhan, dan mencakup layanan-layanan penting yang
diperlukan”.
Dalam ketetapan ini pekerja migran termasuk sebagai kelompok yang rentan.100
Ketetapan-ketepan selanjutnya menerangkan mengenai pemberian jaminan
sosial yang harus berdasarkan prinsip penghargaan terhadap hak asasi manusia,
kebebasan yang fundamental, kemudahan untuk mengakses keadilan sosial, non-
98
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 12. 99
ASEAN Declaration on Strengthening Social Protection, Objectives [database on-line]; tersedia
di https://asean.org/?static_post=asean-declaration-strengthening-social-protection-regional
framework-action-plan-implement-asean-declaration-strengthening-social-protection. 100
ASEAN Declaration on Strengthening Social Protection, ketetapan 1.
46
diskriminasi, dan kesetaraan gender.101
Selanjutnya dalam deklarasi ini juga
termuat cakupan jaminan sosial yang mencakup akses terhadap kesejahteraan dan
pembangunan sosial, akses untuk jaminan sosial, asuransi sosial, bantuan sosial di
negara-negara anggota ASEAN.102
Kerjasama lintas sektoral juga disebutkan
dalam ketetapan ini karena implementasi pelaksanaan jaminan sosial
membutuhkan pendekatan terkoordinasi dan secara menyeluruh antara
pemerintah, swasta, masyarakat, penyedia layanan jaminan sosial, serta sektor-
sektor terkait lainnya.103
Berkaitan dengan Deklarasi ini, pada 21 November 2015 para Kepala
Negara anggota ASEAN mengadopsi Kerangka Kerja Regional dan Rencara Aksi.
Kerangka kerja ini bekerja sebagai tujuan dari pencapaian inklusi dan peningkatan
akses yang adil bagi pekerja migran ke dalam peluang dan perlindungan sosial.
Selain itu kerangka kerja ini menegaskan kembali prinsip-prinsip bahwa setiap
orang, terutama kelompok-kelompok rentan seperti pekerja migran, berhak
mendapatkan akses yang adil terhadap perlindungan sosial sebagai hak asasi
manusia yang mendasar. Terakhir, dibawah definisi perlindungan sosial,
intervensi yang terdiri dari kebijakan dan program yang dirancang untuk
mengurangi kemiskinan, ketidaksetaraan, dan kerentanan dimaksudkan untuk
membantu kelompok-kelompok rentan untuk meningkatkan kapasitas mereka
101
ASEAN Declaration on Strengthening Social Protection, ketetapan No. 4. 102
ASEAN Declaration on Strengthening Social Protection, ketetapan No. 3. 103
ASEAN Declaration on Strengthening Social Protection, ketetapan No. 6.
47
untuk mengelola risiko lebih baik dan meningkatkan akses ke layanan yang
berbasis hak dan kebutuhan mereka.104
c. ASEAN Labour Ministers’ Work Programme 2016 – 2020 and Work
Plans of the Subsidiaries Bodies
ASEAN Labour Ministers’ Work Programme 2016 – 2020 and Work Plans
of the Subsidiaries Bodies adalah kegiatan operasional ASEAN dan rencana aksi
yang mendukung peningkatan perlindungan sosial di ASEAN, termasuk
didalamnya adalah pekerja migran. Kerjasama ASEAN dibidang ketenagakerjaan
diselenggarakan oleh para Menteri Tenaga Kerja yang mengadakan rapat setiap 2
tahun sekali yang diadakan oleh oleh Senior Labour Official Meeting (SLOM)
negara-negar anggota ASEAN. SLOM ini juga membuat 3 badan untuk tenaga
kerja, salah satu diantaranya adalah ASEAN Committee on the Implementation of
the ASEAN Declaration on the Protection and Promotions of the Rights of
Migrant Workers (ACMW).105
Dalam Rencana Aksi Kerja ini, ASEAN telah berkomitmen untuk
mengembangkan rencana nasional dan regional terkait sistem jaminan sosial,
mengadakan lokakarya untuk berbagi pengalaman dan strategi tentang cara
memperluas asuransi sosial ke para pekerja di sektor informal dan swasta, dan
mengadakan seminar tentang asuransi pengangguran. Dalam kaitannya dengan
tenaga kerja migran, ASEAN dibawah ACMW mempunyai tanggung jawab
terhadap program kerja untuk jaminan sosial tenaga kerja migran di ASEAN. 106
104
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 11. 105
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 13. 106
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 13.
48
ACMW mempunyai rencana kerja sebagai berikut:107
Dalam kaitannya
dengan Perlindungan Sosial bagi Pekerja Migran di ASEAN
a. Studi mengenai portabilitas jaminan sosial bagi pekerja migran di seluruh
Negara Anggota ASEAN;
b. Kolaborasi dengan Pertemuan Pejabat Senior tentang Pembangunan
Kesehatan untuk mengatasi risiko kesehatan pekerja migran, termasuk
mereka yang terkena dampak penyakit menular yang muncul.
Dalam kaitannya dengan Perlindungan dan Promosi Hak- Hak Pekerja Migran
a. Finalisasi instrumen ASEAN tentang perlindungan dan promosi hak-hak
pekerja migran (2016–2017);
b. Penelitian tentang hak-hak pekerja migran berdasarkan pada kontrak kerja
standar (2017–2018);
c. Penelitian tentang dimensi gender dari migrasi (termasuk eksploitasi dan
perlakuan buruk) (2018-2019);
d. Seminar atau konferensi untuk mensosialisasikan hasil ke negara-negara
Anggota ASEAN dan di luarnya;
e. Kampanye publik tentang proses bermigrasi yang aman (2017–2019);
f. Repositori peraturan perundang-undangan dan kebijakan tentang pekerja
migran dari Negara-negara Anggota ASEAN (2016– 2020).
107
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 14.
49
BAB III
IMPLEMENTASI PEMENUHAN JAMINAN SOSIAL PEREMPUAN
PEKERJA MIGRAN INDONESIA (PPMI) DI MALAYSIA, ANTARA
TAHUN 2016 – 2018
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai implementasi pemenuhan jaminan
sosial bagi Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) di Malaysia selama
tahun 2016 sampai tahun 2018. Bab ini tersusun dari tiga bagian. Bagian pertama
menjelaskan mengenai jaminan sosial yang diterima PPMI Indonesia di Malaysia
dalam kurun waktu 2016–2018. Bagian selanjutnya menjelaskan mengenai
implementasi pemenuhan jaminan sosial untuk PPMI di Malaysia dalam kurun
waktu 2016–2018. Terakhir bagian tiga menjelaskan mengenai permasalahan
pemenuhan jaminan sosial yang dihadapi PPMI di Malaysia dalam kurun waktu
2016-2018.
A. Jaminan Sosial yang Diterima PPMI Indonesia di Malaysia, antara
tahun 2016 – 2018
Pada bab sebelumnya sudah dijabarkan mengenai peraturan tentang jaminan
sosial untuk PPMI di Malaysia. Dalam kurun waktu 2016–2017 jaminan sosial
untuk PPMI masih merujuk pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Permeketrans) nomor PER.07/MEN/V/2010 yang diperbaharui
menjadi Pemeketrans No.1 tahun 2012 yang didalamnya terdapat program
asuransi untuk Pekerja Migran Indonesia (PMI) termasuk PPMI di negara
penempatan. Program asuransi ini antaran lain mengatur mengenai manfaat
kematian, sakit dan cacat, kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK),
50
upah tidak dibayar, pemulangan PMI bermasalah, risiko menghadapi masalah
hukum, risiko kekerasan fisik dan seksual, risiko kejiwaan, dan risiko yang terjadi
dalam hal tenaga kerja migran dipindahkan ke tempat kerja atau tempat lain yang
tidak sesuai dengan perjanjian penempatan kerja. Prorgam asuransi selama masa
penempatan untuk PMI yang didalamnya termasuk PPMI merupakan program
asuransi swasta dimana diselenggarakan oleh Konsorsium Asuransi TKI yang
mendapat persetujuan Menteri Tenaga Kerja Indonesia.108
Dalam perjalanannya peraturan mengenai asuransi PPMI ini kemudian
diperbaharui lagi pada tahun 2017 oleh Kementerian Tenaga Kerja menjadi
Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 7 tahun 2017 yang mengatur
tentang jaminan sosial untuk PMI termasuk PPMI. Dalam peraturan ini
diperbaharui mengenai program jaminan sosial yang diberikan oleh PPMI, yaitu
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan
Kematian (JKM) dan Jaminan Harti Tua (JHT).109 Keempat program jaminan
sosial PPMI ini terselenggara di bawah BPJS Ketenagakerjaan sebagai badan
penyelenggara jaminan sosial.110
Dengan adanya peraturan baru ini, pemerintah Indonesia secara eksplisit
mengubah kerangka jaminan sosial untuk PPMI dimana peran swasta
diminimalisir, seperti halnya dalam jaminan sosial yang diintegrasikan ke dalam
BPJS Ketenagakerjaan. Namun, program jaminan sosial di atas masih secara
sepihak yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Selain kerangka peraturan
108
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7 tahun 2010, Pasal 23, ayat (3). 109
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 7 tahun 2017, pasal 2. 110
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 7 tahun 2017, pasal 6.
51
tersebut, perlu juga dilihat jaminan sosial apa yang dikeluarkan oleh negara tujuan
unutk para pekerja migrannya.111
Malaysia sendiri sudah mempunyai beberapa skema perlindungan sosial
berupa asuransi untuk pekerja migran. Skema ini antara lain mengatur mengenai
jaminan sosial yang diberikan untuk tenaga migran, tak terkecuali PPMI. Asuransi
untuk PPMI di Malaysia ini antara lain Foreign Workers Insurance Guarantee
(FWIG), Foreign Workers Hospitalization & Surgical Scheme (SPIKPA/ FWHS/
SKHPPA), Foreign Workers Compensation Scheme (FWCS), dan Maid
Insurance/Domestic Workers Insurance.112
Foreign Workers Insurance Guarantee (FWIG) adalah asuransi yang
dibutuhkan oleh Departemen Imigrasi dibawah Peraturan Imigrasi No. 21 untuk
pekerja asing di berbagai sektor, kecuali pekerja domestik. Asuransi ini
diperlukan oleh majikan apabila mereka hendak membuat pembaharuan izin
kerja pekerja asing. Durasi pertanggungan yang ditetapkan oleh Departemen
Imigrasi adalah 18 bulan. Asuransi ini juga dibutuhkan oleh Departemen Imigrasi
Malaysia sebagai jaminan pekerja asing ketika akan dipulangkan ke negara
asalnya. Masa dan premi pekerja asing untuk mengikuti asuransi ini tergantung
dari negara asal pekerja asing.113
111
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 51- 52.. 112
Nasrikah Sarah, Mengenal Asuransi bagi Buruh Migran di Malaysia, (Pusat Sumber daya
Buruh Migran, 28 Juni 2016) [database on-line]; tersedia di
https://buruhmigran.or.id/2016/06/28/mengenal-asuransi-bagi-buruh-migran-di-malaysia/. 113
Foreign Workers Insurance Guarantee (MSIG Insurance) [database on-line]; tersedia di
http://apmigration.ilo.org/resources/mou-between-government-of-the-republic-of-indonesia-and-
the-government-of-malaysia-on-the-recruitment-and-placement-of-indonesian-domestic-
workers/at_download/file1.
52
Asuransi ini berfungsi ketika pekerja migran melakukan pelanggaran
Undang-Undang Imigrasi seperti melakukan kegiatan ilegal dan terlarang, sebagai
contoh mengedarkan narkoba dan melakukan pekerjaan tidak bermoral dan jika
majikan tidak mampu membiayai kepulangan para pekerja migran mereka.
Asuransi ini digunakan oleh Departemen Imigrasi sebagai jaminan untuk
menutupi biaya pemulangan jika pekerja asing diminta oleh pihak berwenang
untuk dipulangkan ke negara asalnya.114
Semua pekerja asing diwajibkan untuk mengambil asuransi Skim
Kemasukan Hospital dan Pembedahan Pekerja Asing (SKHPPA) atau Skim
Perlindungan Insurans Kesihatan Pekerja Asing (SPIKPA) dengan jumlah
perlindungan asuransi kesehatan sebanyak RM10,000 setahun dan bayaran
premium asuransi sebanyak RM120 per tahun bagi pekerja asing. Asuransi
kesehatan untuk pekerja asing di Malaysia dilaksanakan mulai 1 Januari 2011.
Pemerintah Malaysia melalui kebijakan ini memutuskan setiap pemberi kerja
wajib memberikan asuransi kesehatan bagi para pekerja asing mereka baik itu
untuk sektor perladangan maupun pekerja rumah. Pekerja asing yang dilindungi
oleh asuransi ini dapat mengklaim asuransi mereka di rumah sakit nasional dan
jika biaya pengobatan lebih besar dari RM 10.000 maka pekerja asing diharuskan
membayar sendiri sisanya. Dalam mempermudah akses asuransi ini, pemerintah
Malaysia juga sudah bekerja sama dengan asuransi swasta untuk
menyelenggarakan asuransi kesehatan bagi pekerja asing.115
114
4 Type Foreign Worker Insurance in Malaysia [database on-line]; tersedia di
https://onlineinsurance2u.com/blog/4-type-foreign-worker-insurance-in-malaysia/. . 115
Kaedah Pelaksanaan Skim Perlindungan Insurans Kesihatan Pekerja Asing (27 Januari 2011)
[database on-line]; tersedia di http://www.moh.gov.my/index.php/pages/view/369.
53
Foreign Workers Compensation Scheme (FWCS) adalah asuransi yang
menyediakan perlindungan kepada pekerja asing dari kecelakaan kerja dan biaya
pemulangan dari tempat kerja selama dan di luar waktu kerja. Asuransi ini adalah
bentuk dari pelaksanaan Workmen’s Compensation Act 1952 bagian 26 (2)
dimana menyatakan bahwa semua pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja
asing didalamnya wajib untuk mendaftarkan pekerja mereka dalam skema
asuransi ini. Oleh karena itu, semua biaya asuransi akan ditanggung oleh pemberi
kerja yang memuat diantaranya risiko kematian, kecacatan permanen, kehilangan
gaji akibat kecacatan sementara, biaya perawatan medis, dan kepulangan pekerja
asing ke negara asal yang disebabkan oleh kematian dan kecacatan permanen.116
Domestic Workers Insurance adalah salah satu bentuk perlindungan sosial
terhadap pekerja rumah tangga di Malaysia. Perlindungan sosial yang berbentuk
asuransi ini diberikan kepada para pekerja domestik yang mengalami kecelakaan
kerja yang tidak disengaja, kecelakaan kerja yang menyebabkan kecacatan dan
perawatan medis akibat kecelakaan kerja. Selain itu skema asuransi ini juga
memberikan biaya untuk pemulangan pekerja ke negara asal yang tidak
ditanggung oleh FWIG. Terlepas dari manfaat yang diberikan, terdapat beberapa
syarat dan konsekuensi dari asuransi in. Seperti batas maksimal pekerja yang
mengikuti asuransi berumur 55 tahun dan asuransi ini tidak melindungi biaya atau
pengobatan untuk kehamilan, melahirkan, keguguran, dan sebagainya.117
116
Sarah, Mengenal Asuransi bagi Buruh Migran di Malaysia.. 117
Chubb, Product Disclosure Sheet-Domestic Help Insurance.
54
B. Implementasi Jaminan Sosial untuk Perempuan Pekerja Migran
Indonesia (PPMI) Indonesia di Malaysia antara tahun 2016 – 2018
Dalam kaitannya dengan pemenuhan akses terhadap jaminan sosial,
dibutuhkan beberapa beberapa prinsip dasar mengenai jaminan sosial. Prinsip itu
diantaranya perlakuan yang sama antara warganegara dan non-warganegara dan
pemeliharaan akses terhadap jaminan sosial. Selain itu dibutuhkan pula kerjasama
bilateral atau multilateral untuk memperkuat kerjasama antar kedua negara baik
dalam bentuk perjanjian atau konvensi yang diratifikasi bersama. Dalam
kerjasama ini dapat diatur didalamnya prinsip- prinsip dasar untuk mengakses
jaminan sosial.118
Beberapa prinsip dasar untuk para pekerja migran dalam pemenuhan jaminan
sosial mereka diantaranya persamaan perlakuan, jaminan sosial yang mudah di
akses, dan bantuan atau kemudahan proses administrasi. Perlakuan yang sama
adalah bentuk dari tidak adanya diskriminasi antara jaminan sosial yang
diperuntukan untuk tenaga kerja lokal dan tenaga kerja asing.119
Dalam hal ini
negara pengirim dan penerima sebaiknya membuat perjanjian bilateral terkait
pemenuhan hak, manfaat, dan keutamaan jaminan sosial untuk pekerja migran.
Kedua, jaminan sosial yang mudah di akses yaitu tunjangan akan dibayarkan
meskipun pekerja ada di negara asal ataupun negara tempat bekerja. Hal ini
menjamin pemberian manfaat kepada pekerja atau keluarga pekerja dimanapun
118
Rivera, Social Security of Migrant Workers, 520. 119
Martine Humblet dan Rosinda Silva, Standards fot the XXIst Century: Social Security (Austria:
International Labour Organization (ILO), 2002) [database on-line]; tersedia di
https://www.ilo.org/global/standards/information-resources-and-
publications/publications/WCMS_088019/lang--en/index.htm.
55
mereka tinggal. Terakhir adalah kemudahan dalam proses administrasi.
Kemudahan dapat diwujudkan hanya apabila kedua negara mempunyai bantuan
administrasi timbal balik dalam pengarsipan, permasalahan hukum dan
pembayaran tunjangan.120
Tabel III.B.1. Jaminan Sosial yang Diberikan di Negara ASEAN,
Berdasarkan Status Kewarganegaraan
Sumber : Prof. Marius Oliver, “Social Protection for Migrant Workers in ASEAN:
Development, Challanges, and Prospects,” Internasional Labour Organization (ILO), (2018):
32.
Pada tabel di atas memperlihatkan jaminan sosial yang diberikan oleh
Malaysia kepada warganegara dan non-warganegara. Pertama dapat dilihat dalam
pemberiaan tunjangan kesehatan dan sakit, baik warganegara dan non-warga
negara mendapatkan kedua tunjangan ini. Namun syarat pemberian tunjangan ini
120
Rivera, Social Security of Migrant Workers, 519.
56
beda untuk non-warganegra. Untuk mendapatkan tunjangan kesehatan non-
warganegara dibuatkan skema asuransi yang berbeda, atau dalam hal ini masuk ke
dalam Foreign Workers Hospitalization & Surgical Scheme (SPIKPA/ FWHS/
SKHPPA). Tidak berbeda jauh dengan tunjangan kesehatan, tunjangan sakit juga
diberikan namun tunjangan ini ditanggung oleh pemberi kerja.121
Untuk tunjangan pengangguran, Malaysia tidak memberikan baik untuk
warganegara ataupun non-warganegaranya. Selanjutnya untuk dana pensiun atau
jaminan hari tua, Malaysia memberikan kepada warganegara dan non-
warganegara namun melalui skema yang berbeda.122 Tunjangan pemberian hari
tua di Malaysia disebut Skema Penyedia Dana Tenaga Kerja atau Employment
Provident Fund (EPF). Perbedaan skema yang dimaksud adalah berapa premi
yang dibayarkan dan keikkutsertaan dalam EPF. EPF ini adalah tabungan wajib
untuk pekerja lokal dan tidak wajib untuk pekerja migran. Jika pekerja migran
ingin ikut serta gaji mereka harus dipotong 11% untuk membayar jaminan sosial
ini. 123
Selanjutnya adalah tunjangan kecelakaan kerja dimana Malaysia
memberikan tunjangan ini untuk warga negara dan non-wagranegara namun
dengan skema yang berbeda. Perbedaan ini didasari dalam kerangka hukum yaitu
Workmen Compensation Act 1952 yang ditujukan hanya untuk pekerja asing saja
sedangkan pekerja lokal dilindungi oleh SOCSO.124 UU Kompensasi Pekerja ini
melahirkan Foreign Workers Compensation Scheme yang diantaranya memuat
121
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 32. 122
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 32. 123
Hamid et. Al, Rights of Migrant Workers under Malaysian Employment Law, 370. 124
Hamid et. Al, Rights of Migrant Workers under Malaysian Employment Law, 370.
57
mengenai tunjangan atau manfaat yang pekerja asing terima ketika mereka
mengalami kecelakaan kerja.125 Selanjutnya karena pekerja domestik dikecualikan
dalam UU Kompensasi Pekerja Malaysia terdapat skema berbeda kepada pekerja
migran domestik yaitu Domestic Workers Insurance.126
Perbedaan dalam pemberiaan tunjangan kecelakaan kerja di Malaysia
terdapat pada premi atau uang yang dibayarkan. Dalam kasus kecelakaan kerja
yang berakibat pada kecacatan sementara pekerja migran diberikan setengaj gaji
mereka untuk asuransi ini sementara pekerja lokal dikenakan RM10 dan maksimal
RM 78.67 per hari. Untuk kecelakaan kerja yang berakibat pada kecacatan
permanen, pekerja migran juga diberikan kompensasi sampai RM 23,000
tergantung dari berapa umur mereka. sedangkan pekerja lokal akan diberikan
kompensasi untuk kecelakaan kerja yang berakibat pada kecacatan permanen
sebesar RM10 dan maksimum RM 88.50 per hari.127
Di Malaysia baik pekerja lokal dan pekerja migran mendapatkan
perlakuan yang sama untuk tidak diberikan tunjangan untuk keluarga mereka.
Tidak adanya tunjangan untuk keluarga pekerja migran tidak sejalan dengan
ASEAN Declaration and Consensus on the Protection and Promoting of the
Rights of Migrant Workers yang negara-negara ASEAN tandatangani, termasuk
Malaysia. Dalam deklarasi yang ditandatangani tahun 2007 ini, terdapat
125
Workmen’s Compensation Act 1952, bagian 26 (2). 126
Chubb, Product Disclosure Sheet-Domestic Help Insurance. 127
Hamid et. Al, Rights of Migrant Workers under Malaysian Employment Law, 371.
58
pernyataan yang menyatakan baik negara pengirim dan negara penerima harus
menjamin hak-hak dasar para pekerja migran dan keluarga mereka.128
Untuk tunjangan kehamilan baik pekerja migran dan pekerja lokal
diberikan dengan skema yang berbeda. Untuk pekerja migran terdapat peraturan
mengenai tunjangan kehamilan yang ada dalam Employment Act 1955 yaitu
manfaat cuti kehamilan untuk semua pekerja terlepas dari jumlah gaji mereka.129
Namun pada praktiknya, pemberian manfaat kehamilan tidak sejalan dengan
Employment Act 1955. Hal ini karena sebelum bekerja di Malaysia, pekerja asing
harus melaksanaan tes kesehatan untuk membuktikan bahwa mereka terbebas dari
kehamilan, HIV, dan tuberkolosis. Untuk pekerja migran perempuan, termasuk
PPMI jika mereka positif hamil mereka tidak boleh diizinkan untuk bekerja di
Malaysia.130
Tidak adanya manfaat kehamilan bagi PPMI juga didukung dengan
dikecualikan pekerja migran domestik dari Employment Act 1955. Mereka
dikecualikan dari bagian IX Employment Act 1955 mengenai jaminan
kehamilan.131 Hal ini sangat berpengaruh karena sebagian besar PPMI di Malaysia
bekerja pada sektor domestik.132 Terlebih jaminan sosial khusus untuk pekerja
128
ASEAN Declaration and Consensus on the Protection and Promoting of the Rights of Migrant
Workers, General Principles. 129
Social Security and Maternity Protection for Female Workers: Laws and Practices in ASEAN
[database on-line]; tersedia di https://www.asean.org/wp-
content/uploads/images/2015/August/ASEAN-Labour-Ministerial-Meeting-
document/maternity%2012_3_2014.pdf. 130
Hamidi, Indonesian Female Factory Workers, 659. 131
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 62. 132
Statistik Pekerja Asing Terkini Mengikut Negeri dan Sektor [database on-line]; tersedi di
http://www.data.gov.my/data/ms_MY/dataset/statistik-pekerja-asing-terkini-mengikut-negeri-dan-
sektor.
59
domestik yaitu Domestic Workers Insurance juga mengecualikan manfaat
kehamilan di dalamnya.133
Dalam menjalankan prinsip equality treatment untuk tenaga kerja migran,
Malaysia belum dikatakan baik karena beberapa skema pemberian asuransi untuk
tenaga kerja baik lokal maupun asing masih dibedakan. Hal ini sangat
disayangkan karena Malaysia adalah salah satu negara yang meratifikasi
Konvensi ILO No. 19 tentang Perlakuan yang Sama bagi Pekerja Nasional dan
Asing dalam Hal Tunjangan Kecelakaan Kerja. Pembedaan skema asuransi ini
juga tidak sejalan dengan Konsitusi Federal yang menyatakan bahwa baik
warganegara ataupun pekerja baik asing maupun lokal adalah sama di mata
hukum.134 Lebih lanjut Employment Act Malaysia juga menyatakan bahwa
tindakan diskriminasi dilarang dan kesamaan perlakuan harus diberikan untuk
pekerja lokal maupun asing.135
Prinsip selanjutnya untuk pemenuhan jaminan sosial untuk pekerja migran
adalah kemudahan untuk mengakses jaminan sosial (portability). Negara
penerima tenaga kerja dapat digolongkan ke dalam rezim negara pemberi jaminan
sosial. Rezim I (portability) adalah jaminan sosial yang mudah untuk di akses dan
tidak ada perbedaan antara tenaga kerja lokal dan tenaga kerja migran. Rezim II
(exportability) dimana tenaga kerja lokal mendapatkan beberapa jaminan yang
tenaga kerja migran tidak dapatkan. Rezim III (Access Exclusion) yaitu tidak ada
jaminan sosial yang diberikan untuk tenaga kerja migran. Sebagian besar negara
133
Chubb, Product Disclosure Sheet-Domestic Help Insurance. 134
Malaysian Federal Constitution, pasal 8 (2). 135
Employment Act Malaysia 1955, Bagian XIIb pasal 60L.
60
penerima tenaga kerja migran di ASEAN menjadi negara di rezim II.136 Prinsip ini
dilaksanakan untuk memastikan implementasi pemberian jaminan sosial yang
setara antara warganegara dan non-warganegara. Prinsip ini memungkinakan
pekerja migran untuk menerima manfaat yang menjadi hak mereka dari suatu
negara.137
Malaysia tergolong ke dalam rezim exportability hal ini karena pekerja
migran memiliki akses ke perawatan medis, tunjangan hari tua, dan kecelakaan
kerja namun tunjangan keluarga dan kehamilan yang berlaku untuk pekerja
perempuan lokal tidak tersedia untuk migran.138 Terkait dengan prinsip
kemudahan akses yang termuat dalam prinsip jaminan sosial dan ASEAN
Declaration on Strengthening Social Protection, Malaysia belum menjalankan
prinsip ini sepenuhnya. Pembedaan pemberian skema asuransi untuk pekerja asing
dan lokal menjadi salah satu faktor penghambat pekerja migran untuk mengakses
jaminan sosial di Malaysia.139
Belum berlakunya kedua prinsip tersebut diakui oleh Sofi Gayuh, PPMI
yang bekerja di sektor manufaktur. Ia mengatakan bahwa cuti atau tunjangan
kehamilan memang tidak diberikan kepada pekerja migran di Malaysia.
Tunjangan ini hanya khusus diberikan kepada warganegara Malaysia saja, dimana
mereka dapat cuti hamil 3 bulan. Sofi menjelaskan bahwa PPMI tidak diberi
asuransi untuk kehamilan. Mereka yang hamil harus dipulangkan jadi tidak bisa
136
Women Migrant Workers in the ASEAN Economic Community (Thailand: UN Women Asia
Pacific, 2017) [database on-line]; tersedia di https://asean.org/storage/2012/05/AEC-Women-
migration-study.pdf. 137
Humblet Silva, Social Security XXIst Century, 42-43. 138
Women Migrant Workers in the ASEAN, 50. 139
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 60.
61
jika bekerja dan melahirkan di Malaysia. Perbedaan pemberian tunjangan
kehamilan ini juga tidak sejalan dengan prinsip portability atau pemeliharaan hak
yang diperoleh dan pemberian manfaat di luar negeri.140
Prinsip ini dijalankan
oleh negara-negara yang bersangkutan. Oleh karena peraturan nasional Indonesia
memberikan tunjangan kehamilan untuk para pekerja termasuk pekerja migran.
Jika Malaysia tidak memberikan tunjangan ini maka akses pekerja migran
terhadap manfaat melahirkan tidak dapat terlaksana di negara penempatan atau
dalam kata lain tidak ada persamaan pemberian manfaat antara negara pengirim
dan negara penerima.141
Prinsip terakhir dalam memberikan jaminan sosial untuk pekerja migran
adalah kemudahan proses administrasi. Proses administrasi berupa bantuan timbal
balik dalam pengarsipan, ajudikasi, dan pembayaran tunjangan. Seorang pekerja
migran yang telah kembali ke negara tempat tinggalnya dapat mengajukan klaim
atas tunjangan di negara tempat tinggalnya. Negara yang menerima klaim
memberikan bantuan dengan meneruskan klaim ke negara pihak lainnya, yang
akan menerima, mengadili, dan membayar dengan cara yang sama seolah-olah
diajukan di negara itu.142
Jika berbicara mengenai proses administrasi jaminan sosial untuk pekerja
migran, tentu merujuk pada skema asuransi yang ada. Untuk PPMI di Malaysia
baik Indonesia maupun Malaysia memang sudah mempunyai skema asuransi
namun belum sepenuhnya terimplementasi dengan baik. Serikat Buruh Migran
140
Humblet Silva, Social Security XXIst Century, 42. 141
Wawancara dengan PPMI, Sofi Gayuh yang bekerja sebagai Pekerja Pabrik (Manufaktur) yang
bergerak di bidang pembuatan harddisk di Malaysia dari tahun 2014-2019. 142
Rivera, Social Security of Migrant Workers, 519.
62
Indonesia (SBMI) menjelaskan bahwa dalam kurun waktu 2015 – 2017, klaim
asuransi menjadi masalah untuk para pekerja migran, tidak terkecuali PPMI.
Terdapat 300 kasus mengenai klaim asuransi, 240 kasus merupakan PHK sepihak,
10 kasus meninggal dunia, 1 kasus klaim asuransi bantuan hukum, 33 klaim
asuransi sakit, dan 9 klaim asuransi PHK atau gaji tidak dibayar bagi pekerja
rumah tangga migran.143
UN Women dan ILO Indonesia dalam penelitian ini mengemukakan
pentingnya klaim asuransi yang harus dipahami oleh PPMI. Programme
Coordinator untuk Safe and Fair Labour Migration in ASEAN, Sinthia Dwi
Harkrisnowo, menyatakan bahwa klaim asuransi di negara tujuan harus diatur
serinci mungkin dan di buat mudah. Mulai dari syarat- syarat klaim, dokumen apa
yang harus dibawa dan dilengkapi. Hal ini sangat penting karena sebagian besar
PPMI, khusunya yang bekerja di sektor domestik, dokumen mereka ditahan oleh
para majikan.144
Lebih lanjut UN Women juga melihat permasalahan proses administrasi
masih ada karena masih ada mekanisme koordinasi yang kurang baik dan
pencatatan yang tidak sinkron dari pihak Indonesia. Terlebih UU No.18 tahun
2017 dimana BPJS Ketenagakerjaan sekarang yang mengatur pelaksanaan
jaminan sosial, dalam kurun waktu 2016-2018 belum melakukan kerjasama
dengan negara penerima pekerja migran Indonesia terkait pemenuhan jaminan
sosial. Ibu Nunik mengatakan bahwa:
143
SBMI Tangani 1500 Kasus BMI Periode 2015 – 2017 (DPN SBMI, 2018) [database on-line];
tersedia di http://sbmi.or.id/2018/12/sbmi-tangani-1500-kasus-bmi-periode-2015-2017/. 144
Wawancara dengan Ibu Shintia Harkrisnowo, Indonesia Programme Coordinator for Safe and
Fair Labour Migration in ASEAN, pada 5 April 2019, di Kantor ILO Jakarta.
63
“Untuk mendapatkan informasi kadang calon PPMI harus jalan sehari dulu baru
dapat informasi. Ketika sudah sampai di Kantor Desa masih di oper ke sana sini
untuk medical check-up dan sebagainya. Hal ini rumit karena akan keluar uang
banyak. Proses administrasi harus dipermudah agar para calon PPMI ini bekerja
dengan jalur legal dan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengurus
dokumen.”145
Dari sisi negara penerima PPMI, Malaysia, permasalahan terkait proses
administrasi muncul karena sebagian besar tenaga kerja Indonesia yang ada di
Malaysia adalah ilegal atau undocumented. North South Initiatives sebagai salah
satu NGO di Malaysia yang fokus terhadap tenaga kerja migran menyebutkan
klaim di Malaysia tidak dapat diajukan jika mereka tidak punya izin kerja atau
work permit. Lebih lanjut, ia mengatakan “most of Indonesian workers are
undocumented so they don’t have work permit thus cannot claim the basic
insurance such as SPIKPA and FWCS.146 Ada sekitar 4.000 pekerja migran
Indonesia yang masuk ke Malaysia tanpa izin per Maret 2018147 sebagian besar
dari mereka bekerja di sektor konstruksi dan rumah tangga.148
145
Wawancara dengan Ibu Nunik Nurjanah dan Ibu Temmy, National Programme Officer,
EVAW, and Migration, pada 28 Maret 2019 di UN Women Jakarta. 146
“Jika tidak ada work permit PPMI tidak dapat mengakses SPIKPA dan FWCS.” Dikutip dari
wawancara dengan Mr. Adrian Pereira, Executive Director of North South Initaitves Malaysia
pada 3 Mei 2019. 147
Hadi Maulana, Malaysia Tahan 4.000 TKI Illegal [database on-line]; tersedia di
https://regional.kompas.com/read/2018/03/21/22015791/malaysia-tahan-4000-tki-ilegal, di akses
pada 8 Mei 2019. 148
Rohmatin Bonasir, Malaysia Razia Tenaga Kerja Ilegal, sebagian TKI bermalam di hutan dan
kontainer [database on-line]; tersedia di https://www.bbc.com/indonesia/dunia-44742422, di akses
pada 8 Mei 2019.
64
C. Permasalahan dalam Pemenuhan Jaminan Sosial yang Dihadapi
Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) di Malaysia antara
tahun 2016 – 2018
Dalam kaitannya dengan Indonesia sebagai negara pengirim tenaga kerja
perempuan terbesar ke Malaysia, PPMI sering menghadapi permasalahan ketika
harus memenuhi jaminan sosial mereka.149 Wawancara yang dikumpulkan dari
berbagai stakeholders termasuk PPMI menyebutkan bahwa permasalahan PPMI
untuk mengakses jaminan sosial terdiri dari empat masalah. Permasalahan itu
adalah tidaktahuan mereka mengenai hak-hak mereka, kontrak kerja, masalah
terkait dokumen, dan kondisi bekerja.150
Permasalahan pertama diawali dengan pengetahuan mengenai hak-hak
PPMI selama bekerja di negara tujuan. Menurut Mr. Adrian Pereira Direktur dari
Northsouth Initiatives Malaysia menyebutkan bahwa permasalahan dasar datang
juga dari PPMI. Ia mengatakan :
“Lot of workers, they don’t have knowledge for their rights So it is easy for the
employer to manipulate or exploit them. So if they don’t understand enough their
rights, they just get enough sub-skills then the employers can get angry and trying
to exploit them. If they join the union, they have better knowledge of their rights,
better compensation, the overtime work is monitored but many unions in Malaysia
is very small so still not covered under unions. So in Malaysia because domestic
workers are excluded from the laws so they don’t have rights to join or to form the
union. If the Indonesia female migrant workers can join the trade union and hence
they can also promote their rights to the social protection.” 151
149
International Organization for Migration (IOM), Labour Migration from Indonesia, 45. 150
Wawancara dengan UN Women Indonesia, ILO Indonesia, dan North South Initiatives
Malaysia. 151
“Banyak dari PPMI yang datang ke Malaysia tidak mengetahui mengenai hak- hak mereka.
Sangat disayangkan jika pola pengiriman PPMI akan berjalan terus seperti ini. Hal ini dapat
menyebabkan mereka sangat mudah untuk dimanipulasi dan di eksploitasi oleh pemberi kerja
mereka. Sangat disayangkan juga karena sebagian PPMI bekerja di sektor domestik dimana
mereka dikecualikan untuk berserikat jadi mereka tidak dapat mengetahui hak-hak mereka juga.
Permasalahan hukum mengenai serikat buruh menjadi penting karena jika para PPMI dapat
bergabung dalam serikat buruh mereka akan mendapatkan pengetahuan mengenai hak-hak mereka
yang lebih baik,” dikutip dari wawancara dengan North South Initiatives Malaysia.
65
Gambar III.1. Pengetahuan Menganai Hak-Hak Pekerja
sumber: Arisman dan Ratnawati Kusumajaya, “Protection of Human Rights
and Labour Migration for Employment Purposes Across ASEAN,” Center
for Southeast Asian Studies, 2018, 77.
Dalam grafik diatas terlihat presentase mengenai pengetahuan PPMI di
Johor Bahru, Malaysia. Sebanyal 28,8% menyatakan netral atau tidak
memberikan penilaian terhadap hak mereka. Pemberian informasi mengenai
hak-hak mereka sebenarnya sudah dilakukan dalam pembekalan kerja sebelum
keberangkatan. Namun proses ini nyatanya tidak digunakan dengan baik oleh
para PPMI. Pekerja migran Indonesia, termasuk PPMI didalamnya selalu
diberikan pelatihan dan wawasan mengenai hak dan kewajiban mereka namun
mereka tidak ambil serius dengan proses ini. KBRI di Kuala Lumpur
mengatakan ketika memberikan pelatihan untuk PPMI, “mereka asyik dengan
diri mereka. Mereka terlalu sibuk berbicara dengan sesama pekerja sehingga
tidak memperhatikan apa isi dari pelatihan ini.”152
152
Wawancara dengan KBRI di Kuala Lumpur, Malaysia dalam Arisman dan Ratnawati
Kusumajaya, Protection of Human Rights and Labour Migration for Employment Purposes Across
ASEAN (Jakarta: CSEAS, 2018), 77.
66
Masalah mengenai hak- hak PPMI sebenarnya dapat diatasi jika mereka
dapat mengikuti serikat kerja. Serikat kerja dirasa mampu dan merupakan
tempat yang paling bagus untuk PPMI mendapatkan informasi mengenai hak-
hak mereka, jaminan sosial, serta membantu mereka mengubah cara pandang
mereka mengenai hak untuk mendapatkan jaminan sosial. Namun di Malaysia
serikat pekerja tidak banyak, bahkan jarang dari PPMI yang bisa tergabung
dalam serikat bekerja.153 Hal ini dikarenakan PPMI yang ada di Malaysia
sebagian besar bekerja di sektor rumah tangga, dimana mereka dikecualikan
dari Trade Union Act untuk berserikat di Malaysia.154
Permasalahan selanjutnya adalah kontrak kerja. Sebagian besar PPMI
yang bekerja di Malaysia berada pada sektor informal. Di Malaysia agensi
buruh swasta diberikan izin untuk mengatur dan menangani aplikasi bekerja
mereka sebelum aplikasi pekerja mereka dibawa ke Departemen Imigrasi.155
Terkait dengan hal ini perlu dilihat pula tingkat pendidikan mereka. Menurut
data dari BNP2TKI dari tahun 2016–2018 pekerja migran Indonesia umumnya
hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama.156
ILO Indonesia menyebutkan bahwa sebagian besar PPMI yang dikirim
bekerja ke luar negeri berpendidikan rendah. Terkadang mereka tidak dapat
menulis dan membaca. Hal itu sangat sangat disayangkan karena membuat
mereka tidak mengerti dengan kontrak kerja. Banyak pengetahuan-
pengetahuan teknis yang setidaknya mereka harus tahu harus mereka pahami
153
Wawancara dengan UN Women Indonesia. 154
Wawancara dengan North South Initiatives Malaysia. 155
Arisman dan Kusumajaya,Protection of Human Rights and Labour Migration, 34. 156
BNP2TKI. Data Penempatan dan Perlindungan PMI periode bulan September 2018.
67
untuk tinggal dan bekerja di luar negeri. Jika mereka bisa baca kontrak kerja,
mereka seharusnya tahu mengapa mereka harus dipotong gaji. Minimal
mereka mengetahui kalau potong gaji itu masalah. Pelanggaran kontrak kerja
itu juga bisa menjadi pelanggaran hak untuk mereka.157
Lebih lanjut UN Women Indonesia juga mengatakan bahwa sering ada
perubahan kontrak kerja di negara tujuan.
“Kenapa para PPMI tidak mendapat jaminan sosial? Ada isu bahwa kontrak yang
ada di Indonesia, memakai bahasa Indonesia dan dibaca oleh PPMI dirubah setelah
sampai di Malaysia. Kontrak mereka diubah dengan bahasa lain, bahasa inggris
dan terkadang juga sudah diubah beberapa item yang tidak berpihak kepada
PPMI.”158
UN Women menambahkan bahwa seharusnya semua item-item yang ada di
kontrak kerja harus dipertegas. Kontrak kerja harus dibuat dan disahkan oleh
Kementerian Tenaga Kerja dan BNP2TKI. Tidak boleh ada pengubahan dan
harus dipahami oleh PPMI itu sendiri.159
Permasalahan lain yang datang adalah terkait dokumen. Merujuk pada
MoU Indonesia dan Malaysia pada tahun 2011 pasal 6 yang menyatakan
bahwa pengguna jasa pekerja domestik Indonesia di Malaysia dapat
menyimpan paspor mereka demi alasan keamanan.160 Hal ini menempatkan
PPMI dalam posisi rentan karena mereka dapat kehilangan status legal mereka
jika melarikan diri dari majikan yang melakukan tindakan kekerasan. Terlebih
jika mereka meninggalkan majikan karena ada masalah. Jika mereka pergi
157
Wawancara dengan ILO Indonesia. 158
Wawancara dengan UN Women Indonesia. 159
Wawancara dengan UN Women Indonesia 160
Protokol Perubahan terhadap Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Malaysia Malaysia mengenai Perekrutan dan Penempatan Pekerja Domestik
Indonesia 2011, pasal 6.
68
tanpa dokumen mereka harus membuat visa khusus dengan biaya RM 100 tiap
bulannya.161
Permasalahan makin menjadi rumit jika paspor mereka ditahan dan
majikan tidak bertanggung jawab untuk menyediakan jaminan sosial bagi
PPMI. Ketika mereka lari dan kehilangan status legal, mereka menjadi
undocumented migrant workers dan pekerja ini tidak dilindungi dengan
jaminan sosial. Hal ini membuat mereka susah untuk mengklaim jaminan
sosial ketika mereka tidak terbukti berdokumen kerja. Terlebih jika majikan
mereka dimintai pertanggungjawaban. Para pemberi kerja dapat memanipulasi
PPMI untuk terhindar dari menanggung jaminan sosial mereka. Majikan dapat
dengan mudah mengatakan “mereka tidak bekerja untuk kami” “mereka
bukan pekerja kami”.162
Permasalahan terakhir adalah kondisi bekerja mereka. Beberapa
permasalahan terkait keadaan bekerja PPMI diantaranya adalah jam kerja,
beban kerja, dan waktu istirahat/hari libur.163 Dalam Report ILO164 tahun 2016,
didapatkan data mengenai jam kerja tenaga migran perempuan yang berprofesi
sebagai pembantu rumah tangga.
161
International Organization for Migration (IOM), Labour Migration from Indonesia, 43. 162
Wawancara dengan North South Initiatives Malaysia. 163
Arisman dan Kusumajaya, Protection of Human Rights and Labour Migration,59-61. 164
Bridget Anderson, Worker, helper, auntie, maid? Working conditions and attitudes exprienced
by migrant domestik workers in Thailand and Malaysia (Bangkok: ILO, 2016) [database on-line];
tersedia di https://www.ilo.org/asia/publications/WCMS_537808/lang--en/index.htm.
69
Gambar III.2. Jam Kerja Pekerja Domestik di Malaysia
Sumber : Bridget Anderson, ”Worker, helper, auntie, maid? Working
conditions and attitudes exprienced by migrant domestic workers in
Thailand and Malaysia,” Internasional Labour Organization (ILO)
(2016).
Gambar diatas menunjukkan jam kerja rata-rata pekerja migran rumah
tangga di Malaysia berdasarkan negara asal. PPMI Indonesia menduduki
peringkat kedua sebaga tenaga kerja yang bekerja melebihi standar jam kerja.
Pengaturan standar jam kerja di Malaysia adalah 8 jam/hari untuk semua
pekerja165, terkecuali pembantu rumah tangga. Di dalam Employment Act
Malaysia, pembantu rumah tangga tidak secara hukum disebut sebagai pekerja
melainkan sebagai pelayan. Oleh karena itu mereka tidak diwajibkan untuk
bekerja hanya 8 jam/hari.166 Pembantu rumah tangga di Malaysia bekerja melebihi
waktu yang ditetapkan. Pada gambar diatas PPMI Indonesia yang bekerja sebagai
pembantu rumah tangga bekerja rata- rata 14,82 jam per hari. Hasil penelitian ini
165
Employment Act Malaysia 1955, pasal 60A. 166
Jennifer Whelan et al. “Abused and Alone :Legal Redress For Migrant Domestic Workers In
Malaysia,” Indonesia Law Review, 2016 [jurnal on-line]; tersedia di
http://ilrev.ui.ac.id/index.php/home/article/view/171; Internet; diunduh pada 22 April 2019.
70
sesuai dengan penemuan ILO bahwa pembantu rumah tangga di Malaysia bekerja
paling lama jika dibandingkan dengan negara lain.167
Di Malaysia, pembantu rumah tangga adalah tanggungan dari pemberi
kerja karenanya beberapa manfaat yang dirasakan oleh pekerja lain tidak ikut
dirasakan oleh mereka, salah satunya adalah libur 1 hari per minggu. Kesempatan
bagi pembantu rumah tangga untuk libur 1 hari per minggu oleh pemberi kerja
didapati bahwa hari libur dianggap sebagai suatu bonus atau imbalan dan bukan
hak yang harus diberikan untuk para pekerja. Besarnya angka untuk tidak
mengizinkan pembantu rumah tangga keluar ketika hari libur menjadi salah satu
masalah bagi para pembantu rumah tangga.168
Kondisi kerja PPMI yang umumnya sebagai pekerja domestik sangat
rentan terhadap tindakan kekerasan. Mereka bekerja di dalam rumah yang tertutup
yang terkadang kita tidak mengetahui kondisi bekerja mereka bagaimana.169 UN
Women menambahkan PPMI yang bekerja di sektor domestik sangat sulit
mengakses jaminan sosial mereka karena mereka tidak diberikan pengawasan atau
monitoring oleh pemerintah setempat.170 Pembantu rumah tangga yang dianggap
sebagai pelayan dan bukan pekerja banyak sekali dikecualikan dari peraturan-
peraturan perundangan, termasuk diantaranya pengawasan oleh monitoring
committee Malaysia. Hal ini membuat para pekerja domestik rentan terhadap
keamanan bekerja.171
167
Anderson, Worker, helper, auntie, maid?, 57-58. 168
Anderson, Worker, helper, auntie, maid?, 63.. 169
Wawancara dengan ILO Indonesia. 170
Wawancara dengan UN women Indonesia. 171
Wawancara dengan North South Initiatives Malaysia.
71
Selain dari sektor domestik permasalahan mengenai jam kerja dan beban
kerja juga datang dari sektor manufaktur. PPMI yang bekerja di sektor manufaktur
sering bekerja lebih dari 48 jam/minggu. Hal ini menimbulkan perhatian khusus
karena kemampuan bekerja perempuan terkadang tidak mencukupi untuk bekerja
lebih dari 48 jam/minggu. Selain itu perusahaan manufaktur terkadang juga
memperbolehkan PPMI untuk bekerja lembur dan pada waktu malam (night shift).
Kondisi ini dirasa menimbulkan kekhawatiran karena tidak ada yang dapat
menjamin keamanan mereka. Tidak ada pengawasan untuk mereka ketika mereka
pulang bekerja.172
172
Hamidi, Indonesia Female Factory Workers, 657
72
BAB IV
ANALISIS HAMBATAN PEMENUHAN JAMINAN SOSIAL UNTUK
PEREMPUAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA (PPMI) DI MALAYSIA,
PERIODE 2016 – 2018
Bab ini menjelaskan mengenai analisis hambatan pelaksanaan jaminan
sosial untuk Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) di Malaysia dalam
periode 2016 – 2018. Bab ini tersusun dari dua bagian. Bagian pertama
menjelaskan mengenai hambatan pemenuhan jaminan sosial PPMI dari segi
hukum. Bagian selanjutnya menjelaskan hambatan dari sesi migrasi yaitu tata
kelola migrasi Indonesia. Bagian terakhir menganalisa kebijakan imigrasi
malaysia melalui perspektif feminis dalam kebijakan luar negeri. Hambatan-
hambatan ini akan dianalisi menggunakan teori feminis. Dimana pada bagian
pertama akan dimasukan beberapa metodologi yang feminis berikan dalam
hubungan internasional. Dilanjutkan dengan analisis terakhir yang akan dikaji
melalaui perspektif feminis sosialis dan kebijakan luar negeri feminis.
A. Hambatan Hukum
Hambatan pertama untuk pekerja migran mengakses jaminan sosial adalah
hambatan hukum. Dari wawancara yang dilakukan dengan beberapa pihak terkait
seperti UN Women Indonesia, ILO Indonesia, Serikat Buruh Migran Indonesia
(SBMI), North South Initiatives Malaysia serta dua PPMI terdapat beberapa
permasalahan dalam kerangka hukum yang menjadi hambatan untuk pemenuhan
jaminan sosial bagi PPMI di Malaysia. Hambatan terkait permasalahan hukum
antara lain pengecualian beberapa kategori pekerja migran dari Undang-Undang
73
yang mengatur tentang jaminan sosial di Malaysia, permasalahan pada
Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dan Malaysia mengenai
Perekrutan dan Penempatan Pekerja Domestik Indonesia yang masih minim
perlindungan dan sudah kadaluarsa, serta minimnya penegakkan hukum terkait
jaminan sosial untuk PPMI di Malaysia.
Pertama hambatan datang dari adanya pengecualian beberapa kategori
pekerja migran dari Undang-Undang jaminan sosial di Malaysia. Kategori yang
dikecualikan itu antara lain pekerja rumah tangga, pekerja di sektor informal dan
pekerja illegal atau tidak berdokumen.173
Pengecualian kategori pembantu rumah
tangga terdapat dalam Employment Act, Workmen Compensation Act, Employees
Provident Fund Act, dan Trade Union Act.174
Selain itu PRT juga dikecualikan
dari beberapa bagian Employment Act seperti minimum gaji dan jam kerja.175
Pengecualian PRT dari beberapa UU Tenaga Kerja di Malaysia membawa
permasalahan yakni tidak dilindunginya mereka dengan jaminan sosial dan tidak
adanya pengawasan di tempat mereka bekerja.176
Dalam Employment Act pekerja domestik tidak secara hukum diakui sebagai
pekerja melainkan sebagai “servant” atau pelayan. Bagian 2 (1) UU ini
menyebutkan bahwa “domestic servants” atau PRT adalah seseorang yang
dipekerjakan sehubungan dengan pekerjaan rumah tinggal pribadi dan tidak ada
hubungannya dengan perdagangan, bisnis, atau profesi apa pun yang dijalankan
173
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 26. 174
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 60. 175
Wawancara dengan North South Initiatives Malaysia. 176
Wawancara dengan UN Women Indonesia.
74
oleh majikan di rumah tempat tinggal tersebut.177
Sehubungan dengan hal
tersebut, PRT tidak mendapatkan garansi minimum kondisi bekerja mereka. First
Schedule dalam UU ini mengecualikan PRT dalam beberapa perlindungan pekerja
diantaranya seksi 12 pemberhentian kontrak, seksi 14 pemberhentian kontrak
karena alasan khusus,seksi 16 minimum hari bekerja dalam sebulan, seksi 22
pembatasan uang muka kepada pekerja, seksi 61 kewajiban untuk terdaftar, dan
seksi 64 kewajiban untuk menampilan papan pengumuman serta bagian IX
Jaminan Kehamilan, bagian XII mengenai hari libur, waktu bekerja, libur dan
kondisi bekerja lainnya serta bagian XIIA mengenai pemberhentian,
pemberhentian sementara, dan tunjangan pensiun.178
Pengecualian PPMI PRT dalam Workmen Compensation Act dimana
mereka tidak dibuatkan skema asuransi khusus seperti pekerja migran di sektor
lainnya. PRT tidak terlindungi dari mendapatkan akses untuk kecelakaan kerja
mereka karena dikecualikan dalam Workmen Compensation Act179
, maka dari itu
tidak diikutsertakan dalam skema asuransi Foreign Workers Compensation
Scheme (FWCS). Selanjutnya dalam Employees Provident Fund Act pekerja
rumah tangga juga dikecualikan untuk mendapatkan jaminan pensiun karena
mereka adalah salah satu kategori yang dianggap bukan pekerja. Pengecualian ini
memang ada dalam First Schedule Employees Provident Fund Act yang secara
langsung dan tidak langsung mengecualikan beberapa kategori diantaranya adalah
pekerja rumah tangga.180
177
Employment Act 1955, Section 2 (1) tentang “domestic servants”. 178
Whelan et al., Abused and Alone :Legal Redress, 6. 179
Workman Compensation Act, Bagian I, Seksi 2 mengenai Arti dari “workman”. 180
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 60.
75
Pengecualian ini sama seperti pengalaman PPMI, Castirah, yang bekerja
sebagai pekerja rumah tangga yang diwawancara, ia mengatakan bahwa :
“Awalnya saya dikasih asuransi kesehatan dari agen. Namun karena saya lari dari
agen dan majikan karena gaji saya tidak dikasih sebelumnya. Sekarang saya tidak
mengikuti asuransi lagi. Sekarang memang sudah kerja lagi dengan dokumen
namun majikan saya tidak menyuruh saya untuk ikut asuransi.”181
Selanjutnya adalah dalam Trade Union Act. Walaupun di dalam UU ini
tidak mengatur mengenai jaminan sosial namun keikutsertaan para buruh terlebih
PPMI dalam serikat buruh dapat membantu pemahaman mereka mengenai hak
dan kewajiban mereka. Dalam wawancara yang dilakukan dengan UN Women
Indonesia, mereka melihat pentingnya serikat buruh untuk pemenuhan jaminan
sosial PPMI. “Penting untuk diketahui jika Trade Union atau Serikat Buruh ini
adalah wadah yang paling baik untuk tenaga kerja migran bersosialisasi
mengenai hak dan kewajiban mereka, termasuk untuk mengetahui jaminan sosial
apa yang mereka seharusnya dapatkan”.182
Lebih lanjut Castirah juga
menegaskan dalam wawancara bahwa penting sebagai pekerja migran untuk
mengikuti serikat buruh.
“Kalau hari minggu diperbolehkan keluar dan bisa berorganisasi kita tahu hak-hak
kita sebagai pekerja. Kita harus begini kita harus begitu. Kalau orang- orang yang
tidak bisa keluar rumah, tidak kenal sama orang- orang, tidak bisa sosialisasi jadi
tidak tahu apa-apa. Seolah-olah tidak tahu kalau diperlakukan tidak manusiawi
oleh majikannya, mereka pun hanya bisa diam saja tidak tahu harus melapor
kemana.”183
Pengecualian selanjutnya adalah pekerja migran yang ada di sektor
informal. Sektor informal sendiri dapat didefinisikan sebagai pekerjaan yang tidak
berbadan hukum, dimana perusahaan atau pekerjaannya tidak terdaftar serta
181
Wawancara dengan PPMI, Ibu Castirah yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di
Malaysia dari tahun 2016 sampai sekarang. 182
Wawancara dengan UN Women Indonesia . 183
Wawancara dengan Ibu Castirah, PPMI.
76
pekerjanya juga tidak terdaftar secara hukum.184
Di Malaysia sektor informal
terbagi dalam industri perkhidmatan (jasa), konstruksi, sektor informal dalam
industri manufaktur, kegiatan perdagangan, industri layanan seperti bengkel,
sektor penyedia makanan dan minuman, kegiatan kemanusiaan dan sosial, serta
sektor pekerja domestik.185
Sektor-sektor ini tidak terdaftar di Foreign Workers
Insurance Guarantee (FWIG) di bawah Departemen Imigrasi Malaysia yang
mengurus tentang izin kerja,186
mereka juga dikecualikan dari Foreign Workers
Compensation Scheme (FWCS) asuransi dari Workmen’s Compensation Act.187
Menurut ILO Indonesia, pengecualian sektor domestik dari beberapa produk
hukum jaminan sosial karena tidak ada pengakuan sebagai pekerja pada sektor
informal. “Tantangan secara umum, jika pekerja ada dalam sektor informal maka UU
di negara asal atau negara tujuan belum mengatur secara spesifik bahkan belum
mengakui bahwa pekerja di sektor informal adalah pekerja dan merupakan suatu
tantangan untuk menerapkan jaminan sosial.”188
Lebih lanjut, ILO juga
menambahkan bahwa untuk pekerja domestik mengapa masih sulit karena mereka
masih dianggap sebagai helper sehingga tidak diikutsertakan dalam produk- produk
hukum terkait jaminan sosial. Dalam pemenuhan jaminan sosial, PPMI Indonesia
banyak bekerja di sektor rumah tangga yang merupakan pekerjaan informal. Hal ini
184
International Labour Organization (ILO), Informal Economy [database on-line]; tersedia
di https://www.ilo.org/ilostat-files/Documents/description_IFL_EN.pdf. 185
Laporan Survei Guna Tenaga Sektor Informal, Malaysia, 2017 [database on-line]; tersedia di
https://www.dosm.gov.my/v1/index.php?r=column/pdfPrev&id=UWJYY1pWSVdkaHk0aXZzdm
xtZkJZUT09. 186
MSIG Insurance (Malaysia), Foreign Workers Insurance Guarantee (FWIG) [database on-
line]; tersedia di https://www.msig.com.my/pdf/pds/fwig_pds_2015.pdf. 187
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 60. 188
Wawancara dengan ILO Indonesia.
77
harus menjadi fokus karena kondisi bekerja mereka yang rentan dan tidak ada
produk-produk atau mekanisme hukum untuk mereka di Malaysia.189
Terakhir status pekerja yang tidak berdokumen. Pekerja migran dapat
diklasifikasikan ke dalam 2 jenis, pertama pekerja migran legal atau berdokumen.
Jenis pekerja ini memliki kelengkapan dokumen yang valid sebelum bekerja di
negara tujuan. Berbeda dengan pekerja migran legal, pekerja migran illegal atau
yang seharusnya disebut irregular migrant workers adalah pekerja yang tidak
punya kelengkapan dokumen valid sebelum bekerja di negara tujuan atau mereka
yang dokumennya sudah kadaluarsa atau mereka yang dokumennya dirampas.190
Pekerja ini memang secara umum tidak terdaftar untuk mengikuti jaminan sosial.
Namun mereka juga tidak dapat dihindarkan dari kecelakaan kerja atau sakit.191
UN Women sendiri menaruh perhatian khusus untuk tenaga kerja tidak
berdokumen. Mereka berpendapat penting untuk pekerja migran ini mendapatkan
jaminan sosial karena jumlah mereka sangat banyak dan tidak tercatat. Mereka
menambahkan sebagian besar kasus PPMI yang selama ini ada adalah kasus PRT
yang bekerja secara illegal. Terkait dengan banyaknya kasus PPMI tidak
berdokumen, UN Women beranggapan penting untuk dipikirkan pemberian
jaminan sosial untuk mereka yang tidak berdokumen.192
Sejalan dengan permasalahan mengenai status mereka, kedua negara baik
Indonesia dan Malaysia memberikan jaminan sosial karena ada persyaratan
dokumen artinya mereka harus tercatat secara legal sebagai pekerja. UN Women
189
Wawancara dengan ILO Indonesia. 190
Hamid et. Al, Rights of Migrant Workers under Malaysian Employment Law, 360 -361. 191
Oliver, Social Protection for Migrant Workers in ASEAN, 26. 192
Wawancara dengan UN Women Indonesia.
78
membenarkan hal ini karena jika berbicara mengenai jaminan sosial maka erat
erat kaitannya dengan pekerja migran berdokumen. Hal ini karena pekerja migran
yang bekerja dengan legal, mereka mempunyai dokumen dan kelengkapan
administratif untuk memperoleh jaminan sosial. Mereka yang memperoleh
jaminan sosial harus mempunyai identifikasi yang benar dan tercatat di
Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Luar Negeri atau rekrutmen agensi.193
Permasalahan hukum selanjutnya adalah terkait dengan Memorandum of
Understanding (MoU) antara Indonesia dan Malaysia mengenai Perekrutan dan
Penempatan Pekerja Domestik Indonesia. Permasalahan pertama adalah masih
minim perlindungan dalam beberapa poin di dalamnya. Sebagai contoh dalam
pemegangan dokumen, upah minimum serta libur perminggu. Pada Pasal 5,
bagian 5.6 (b) menjelaskan bahwa paspor dapat dipegang oleh pengguna jasa
PLRT untuk tujuan keamanan. Pemegangan dokumen berupa paspor memang
disebutkan dipegang oleh pekerja migran rumah tangga namun pemberi kerja juga
dapat memegang paspor jika pekerja rumah tangga tersebut mengizinkan.194
Lebih lanjut dalam MoU ini, libur perminggu dapat diganti dengan upah
lembur. Pada Pasal 5 bagian bagian 5.7 (c) Dalam hal PLRT menyetujui untuk
bekerja pada hari libur, PLRT wajib dibayarkan upah dalam jumlah tertentu yang
diperhitungkan secara proporsional.195
Namun dalam MoU ini tidak ada indikasi
193
Wawancara dengan UN Women Indonesia. 194
Protokol Perubahan terhadap Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Malaysia mengenai Perekrutan dan Penempatan Pekerja Domestik Indonesia 2011,
pasal 5.6. 195
Protokol Perubahan terhadap Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Malaysia mengenai Perekrutan dan Penempatan Pekerja Domestik Indonesia 2011,
pasal 5.7.
79
mengenai apa yang dianggap upah lembur dan bagaimana upah itu harus dihitung.
Terakhir, MoU ini juga tidak mengatur mengenai standar gaji minimum.196
Permasalahan lainnya adalah MoU ini tidak mengikat kedua negara,
Indonesia dan Malaysia. Hal tersebut karena MoU tidak dibarengi dengan
mekanisme penegakkan ataupun mekanisme pengawasan. Oleh karena pekerja
rumah tangga dikecualikan dari beberapa undang-undang ketenagakerjaan
Malaysia, beban untuk menegakkan dan menjalani isi MoU menjadi tanggung
jawab pemberi kerja, yang seringkali bahkan tidak mengetahui isi dari MoU
tersebut. Hal ini juga diperburuk dengan tidak dikenakan hukuman apa pun
kepada pemberi kerja karena kegagalan untuk mematuhi MoU itu. Sebagai
hasilnya, ada ketidaksinambungan yang signifikan antara isi dari MoU dengan apa
yang sebenarnya terjadi pada pekerja di dalam rumah.197
North South Initiatives Malaysia menyebutkan bahwa ketidaktahuan si
pemberi kerja mengenai MoU ini karena pemerintah Malaysia tidak
mempublikasikan MoU secara umum baik kepada pemberi kerja ataupun NGO.
Mr. Adrian dari North South Initiatives dalam wawancaranya menyebutkan
bahwa :
“In Malaysia, the government don’t share the MoU with Civil Society (in regard
with this CSO/Civil Society organization). So we don’t know about what inside the
MoU. So since we don’t know what inside the MoU is very difficult to promote
their rights according to the MoU.” 198
196
Whelan et al., Abused and Alone :Legal Redress, 17. 197
Whelan et al., Abused and Alone :Legal Redress, 17. 198
“MoU yang Malaysia tandatangani dengan negara lain biasanya bersifat rahasia. Di Malaysia,
pemerintah tidak membagikan MoU kepada masyarakat sipil, seperti NGO atau CSO. Jadi kita
sebagai NGO tidak mengetahui apa isi dari MoU yang Indonesia dan Malaysia tandatangani. Oleh
karena itu, menegakkan hak untuk melindungi para pekerja migran seperti yang ada dalam MoU
sangat sulit untuk dilakukan,” Dikutip dari wawancara dengan North South Initiatives Malaysia.
80
Permasalahan dalam MoU ini selanjutnya adalah Indonesia dan Malaysia
belum memperbaharui MoU yang berakhir pada tahun 2016. Belum terlihat
adanya kesepakatan dari kedua negara untuk memperbaharui MoU terkait dengan
perlindungan pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia.199
Belum
diperbaharunya MoU ini dilihat oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
sebagai salah satu faktor penghambat untuk PPMI mengakses jaminan sosial
mereka. Hal ini karena jika belum ada lagi perjanjian bilateral antar kedua negara
terlebih MoU ini khusus untuk pekerja domestik yang banyak dikecualikan dalam
beberapa UU di Malaysia, lalu nanti bagaimana jika ada perjanjian-perjanjian
lainnya, seperti perjanjian agen atau perusahaan perekrut. Hal ini menyulitkan
karena tidak ada standar untuk mengatur pernjanjian kerja.200
Permasalahan hukum yang terakhir adalah kurangnya penegakkan
hukum.201
Penting untuk adanya penegakkan hukum ketika ada pemberi kerja dan
agen rekrutmen yang tidak memberikan jaminan sosial kepada pekerja. Dengan
adanya penegakkan hukum, agen rekrutmen dan pemberi kerja dapat diberikan
sanksi atau dihukum.202
Tidak diberikannya akses terhadap jaminan sosial untuk
PPMI di Malaysia juga sempat dialami oleh Castirah. Ia menuturkan adanya
hambatan untuk mengakses jaminan sosial dari agen rekrutmen dan pemberi
kerja:
“Saya dapat asuransi kesehatan saja. Itupun dikasih hanya fotocpyan kartunya saja.
Kartu asuransi kesehatan saya entah dimana di agen atau di PT. Waktu itu saya
pernah sakit kaki sampai bengkak, saya butuh berobat saya minta majikan untuk di
199
Wawancara dengan ILO Indoneisa. 200
Wawancara dengan Bapak Bobi Anwar, Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia
(SBMI), pada 2 Mei 2019 di Jakarta. 201
Wawancara dengan North South Initiatives Malaysia. 202
Wawancara dengan UN Women Indonesia.
81
potong dari gaji untuk berobat katanya tidak bisa karena gaji saya sudah
dibayarkan semua ke agen. Ketika saya minta ke agen, mereka bilang besok besok
tapi tidak diberikan kartu asuransi saya sama sekali”.203
Lebih lanjut ILO memberikan gambaran akan pentingnya penegakkan
hukum karena akan ada pengawasan terhadap pekerja migran tak terkecuali PPMI.
Namun karena ada kategori yang dikecualikan dalam UU, seperti PRT, jadi tidak
bisa melakukan pengawasan karena pekerjaan mereka belum diakui jadi tidak ada
tanggung jawab untuk penegakkan hukum. Jika ada pengawasan tapi mereka tidak
ditugasi untuk mengawasi PRT maka mereka tidak lakukan itu karena tidak ada
dalam prosedur pekerjaan mereka. Sehingga jika terjadi masalah mekanisme
untuk mengkriminalisasi majikan itu belum ada. Hal ini sangat rentan karena tidak
ada tindakan tegas untuk majikan maupun agen yang memanfaatkan kerentanan
para PPMI PRT ini.204
Lebih lanjut, North South Initiatives juga memberikan pandangan bahwa di
Malaysia tidak ada jaminan untuk pekerja migran mengakses hukum melalui
institusi manapun. Mr. Adrian mengatakan bahwa Malaysia membuat sistem yang
dilegalkan secara hukum baik melalui UU atau peraturan hukum lainnya untuk
meminimalisirkan perlindungan terhadap buruh migran. Maka dari itu dapat
dikatan akses hukum pekerja migran termasuk PPMI masih sangat minim.205
Hambatan dalam hukum yang PPMI hadapi seperti dikecualikannya
beberapa kategori dalam UU terkait jaminan sosial, permasalahan dalam MoU,
serta penegakkan hukum yang masih minim dapat dianalisa dengan memasukan
beberapa pemahaman teori feminis dalam hubungan internasional. Penelitian ini
203
Wawancara dengan Ibu Castirah, PPMI. 204
Wawancara dengan ILO Indonesia. 205
Wawancara dengan North South Initiatives Malaysia.
82
menggunakan perspektif feminis yang dikemukakan oleh J. Ann Tickner dalam
bukunya yang berjudul Gender in International Relations: Feminist Perspectives
on Achieving Global Security.206
Dalam bukunya ini, Tickner menjelaskan bahwa
feminis membutuhkan proses dialektika dimana memahami makna subjektif dari
pengalaman-pengalam hidup para perempuan yang berbeda dengan makna yang
diinternalisasi dalam masyarakat pada umumnya.207
Teori feminis yang secara umum mengangkat mengenai pengalaman
prempuan yang berbeda-beda yang dapat memberikan pemahaman baru mengenai
perilaku negara dan kebutuhan pemahaman mengenai individu yang selama ini
termarjinalkan. Teori feminis tidak hanya memasukan pengalaman-pengalaman
perempuan ke dalam beberapa disiplin ilmu dan konsep-konsep utama HI
mengenai kekuasaan, kedaulatan, serta keamanan. Lebih dalam lagi feminis
menginginkan adanya pengalaman perempuan yang masuk dalam konsep dan
disiplin ilmu tersebut untuk kemudian mengubah apa yang sebelumnya hanya
dikaitakan dengan ranah maskulinitas saja. Teori feminis juga mempunyai asumsi
dasar yaitu hierarki gender. Menurut perspektif feminis, paradigma ilmu HI yang
selama ini maskulin dapat diubah dan dibuka dengan menentang hierarki
gender.208
Castirah memberikan pengalaman yang ia dan teman-teman PPMI alami
mengenai permasalahan hukum yang jadi penghambat untuk mengakses jaminan
206
J. Ann Tickner, Gender in International Relations: Feminist Perspectives on Achieving Global
Security [buku on-line] (Columbia University Press, 1992, diunduh pada 22 Mei 2019); tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/31737856_Gender_in_International_Relations_Feminist
_Perspectives_on_Achieving_Global_Security_JA_Tickner; Internet. 207
Narain, Gender in International Relations: Feminist Perspectives of J. Ann Tickner, 187. 208
Tickner, Gender in International Relations, 10.
83
sosial, khusunya PRT di Malaysia. Hambatan ini tentu erat kaitannya dengan
produk hukum yang terbatas untuk PPMI di Malaysia. Ia menjelaska bahwa
kurangnya penegakkan hukum jika terjadi masalah dengan PRT, tidak adanya UU
yang mengatur tentang PRT secara spesifik membuat agen dan pemberi kerja
terkadang melakukan hal-hal yang melanggar hukum. Menurut pengalaman ia dan
beberapa temannya, mereka masih menghadapi majikan yang menahan dokumen,
tidak memberikan hari libur, tidak ada jam kerja jelas serta kurangnya kebebasan
untuk bersosialisasi yang sangat menghambat mereka untuk mengetahui jaminan
sosial.209
“Disini, pekerja rumah tangga ingin ada Undang-Undang yang mengakui bahwa
pekerja rumah tangga adalah pekerja karena selama ini pekerja rumah tangga
belum di akui. Jika pekerja rumah tangga sudah di akui seperti di Singapore dan
Hongkong kan kita bisa cuti. Nah kalau di Malaysia yang bisa cuti hanya sebagian.
Masih banyak teman-teman yang tidak boleh keluar di hari minggu. Karena kan
penting sekali ketemu, kenal teman-teman. Masih banyak teman-teman saya yang
tidak tahu kalau ada masalah harus lari kemana. Masih banyak dari mereka yang
tidak tahu hak-hak mereka.”210
Sumbangan feminis yang menggaris bawahi akan pentingnya pengalaman
perempuan untuk bagaimana perilaku negara bertindak juga dapat dilihat dalam
masalah ini. Kurang mengakomodirnya beberapa peraturan hukum untuk PPMI
dilihat oleh NGO Indonesia dan Malaysia yang ikut menangani permasalahan
terkait buruh migran. SBMI salah satunya, dalam wawancaranya pihak SBMI
mengemukakan sulitnya untuk memberikan masukan ke pihak pemerintah
Malaysia.
209
Wawancara dengan Ibu Castirah, PPMI. 210
Wawancara dengan Ibu Castirah, PPMI.
84
“SBMI sudah bekerja sama dengan beberapa NGO di Malaysia, dengan ILO, ada
juga perwakilan Migrant Care211
yang menjadi staf Perdana Menteri Malaysia
khusus untuk permasalahan buruh migran. Dengan adanya jaringan kita disana, kita
berharap mereka bisa meyakinkan kepada pemerintah bahwa „helper‟ atau
„servant‟ yang ada dalam UU mereka dapat diubah menjadi „employee‟. Jika
Pemerintah Malaysia dapat mengubah hal itu akan lebih mudah PPMI PRT kita
mendapat jaminan sosial. Pada praktiknya kan Pemerintah Malaysia belum
mengubah itu. Jadi pemerintah Indonesia yang harus bergerak dengan membuat
kerjasama antara badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) Indonesia dengan
badan asuransi di sana untuk PPMI.”212
Hambatan dalam hukum yang dialami oleh PPMI di Malaysia juga tidak
terkecuali karena adanya hierarki gender di Malaysia. Hierarki gender ini dapat
terlihat dari adanya pemahaman bahwa pekerja migran perempuan yang
didatangkan dari negara yang tingkat ekonomi lebih rendah dimasukan dalam
kategori pekerja domestik. Hal ini karena adanya kekurangan dalam pasar tenaga
kerja domestik yang diakibatkan oleh keiikutsertaan perempuan di Malaysia
dalam kegiatan ekonomi formal. Sektor-sektor domestik ini kemudian
dikomodifikasi oleh pemerintah Malaysia untuk diisi oleh pekerja migran
perempuan dari negara lain.213
Pengelompokkan ini yang selanjuntya membawa para perempuan pekerja
migran khususnya yang berada di sektor domestik dan informal sulit untuk
memenuhi hak-hak mereka. Pekerja perempuan dalam sektor domestik dianggap
sebagai pekerja informal karena bekerja dibawah tanggung jawab perorangan. Hal
ini membuat mereka harus berjuang dengan hak-hak mereka sendiri karena
211
Migrant Care adalah Organisasi yang bertujuan untuk membantu negara dalam rangka
penegakkan perlindungan dan hak-hak Buruh Migran [database on-line]; tersedia di
http://www.migrantcare.net/profil/sejarah/; di unduh pada 1 Juli 2019. 212
Wawancara dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). 213
Amarjit Kaur, “Asia, Gender and Migration,” The Encyclopedia of Global Human Migration,
ed. Immanuel Ness, Februari 2013 [jurnal online] tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/313998540; Internet; diunduh 20 Juni 2019.
85
mereka dikecualikan dalam beberapa produk hukum jaminan sosial di Malaysia,
seperti Employment Act, Workmen Compensation Act, Employees Provident Fund
Act, dan Trade Union Act.214
Pengalaman-pengalaman perempuan ini juga dilihat belum direalisasikan
dengan baik dalam instrumen kebijakan jaminan sosial. Feminis menginginkan
pengalaman-pengalaman perempuan untuk tertuang dalam kebijakan yang gender
responsif dimana kebijakan ini diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan
perempuan migran yang selama ini belum terpenuhi. “Suara-suara dan
pengalaman PPMI harus menjadi pusat pembuatan kebijakan. Kebijakan ini harus
bersifat inklusif bahwa perempuan itu berasal dari latar belakang yang berbeda
dan mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda.”215
Khusus untuk PPMI PRT di Malaysia, perlindungan khusus sebenarnya
sudah ada dalam MoU yang berlaku sampai 2016. Namun seperti yang sudah
dijabarkan pada paragraf sebelumnya, beberapa poin-poin dalam MoU masih
banyak yang tidak berpihak terhadap PPMI. Poin-poin tersebut seperti hak libur
mereka yang dapat diganti dengan uang lembur. Bahkan paspor mereka yang
merupakan identifikasi dasar mereka sebagai pekerja legal pun masih boleh
dipegang oleh majikan. Terlebih MoU ini juga belum mengakomodir mengenai
gaji minimum para PPMI PRT yang dalam UU Ketenagakerjaan di Malaysia juga
belum diatur. Permasalahan MoU ini selanjutnya dilihat sebagai kontrol negara
214
Kaur, Asia, gender and migration, 6. 215
Wawancara dengan UN Women Indonesia.
86
untuk mengatur siapa saja yang dapat masuk dan secara khusus menentukan
tenaga kerja dan hak-hak apa saja yang pekerja migran dapatkan. 216
Selain itu dalam hal kebutuhan reproduksi seksual untuk PPMI di Malaysia
belum ada pemberian instrumen jaminan sosial berupa manfaat atau tunjangan
kehamilan. “Di Malaysia belum ada kebijakan jaminan sosial yang gender
responsif. Pengalaman- pengalaman perempuan belum terakomodasikan dengan
baik. seperti contoh apakah kebutuhan reproduksi untuk PPMI sudah
tercukupi?”.217
Menjawab pertanyaan ini, faktanya di Malaysia memang pekerja
migran perempuan tidak terlindungi dengan manfaat kehamilan. Pekerja migran
harus menjalani medical check-up sebelum bekerja di Malaysia. Jika mereka
positif hamil atau terkena penyakit TBC dan HIV mereka harus dipulangkan ke
negara asal.218
Selain itu Employment Act juga mengecualikan manfaat kehamilan
untuk pekerja domestik. Walaupun ada skema arsuransi berupa Domestic Workers
Insurance namun asuransi ini pun tidak mengakomodir manfaat kehamilan untuk
pekerja domestik perempuan.219
B. Tata Kelola Migrasi Indonesia
Faktor penghambat terkait jaminan sosial yang selanjutnya adalah tata
kelola migrasi Indonesia. Menurut UN Women persoalan jaminan sosial sangat
erat kaitannya dengan tata kelola migrasi.220
Tata kelola migrasi harus diwujudkan
dengan mendorong dan mendesak pemerintah untuk menerapkan tata kelola
216
Kaur, Asia, gender and migration, 5. 217
Wawancara dengan UN Women Indonesia. 218
Hamidi, Indonesian Female Factory Workers, 659. 219
Chubb, Product Disclosure Sheet-Domestic Help Insurance. 220
Wawancara dengan UN Women Indonesia.
87
migrasi yang aman bagi buruh migran Indonesia.221
Menurut ILO Indonesia jika
ingin melihat pemenuhan jaminan sosial untuk PPMI, khususnya di sektor
informal dan pekerja domestik maka tantangan terbesar adalah tata kelola migrasi
yang aman dan baik dari sebelum bekerja, selama bekerja, dan ketika kembali
pulang ke negara asal.222
Terkait dengan tata kelola migrasi, pemerintah mempunyai peran untuk
hadir mendampingi pekerja migran selama proses migrasi berlangsung. Terkait
dengan pekerja migran tidak terkecuali PPMI, pendampingan harus dilakukan
dalam tiga tahapan yaitu pra-penempatan, masa penempatan dan purna
penempatan. Pada masa pra-penempatan, pemerintah harus memberikan prosedur
migrasi yang aman dan benar sehingga pekerja migran terhindar dari jalur-jalur
illegal atau non-prosedural. Pada masa penempatan, pemerintah harus bisa
memberikan jaminan pemenuhan hak-hak dan melindungi pekerja migran secara
utuh jika terjadi permasalahan di negara penempatan. Terkahir, pada masa purna
penempatan, pekerja migran layak untuk mendapatkan pendampingan agar bisa
membangun daerah tempat ia berasal dan agar mereka tidak kembali lagi bekerja
sebagai pekerja migran.223
Terkait dengan jaminan sosial untuk PPMI di Malaysia dapat difokuskan
pada tata kelola migrasi pada masa pra-penempatan dan masa penempatan. Tata
kelola migrasi pertama yaitu pada masa pra-penempatan. Pada tahap ini, harus ada
221
Migrant Care, Perwujudan Tata Kelola Migrasi Aman (safe Migration), tersedia di
http://www.migrantcare.net/program/perwujudan-tata-kelola-migrasi-aman-safe-migration/, di
akses pada 22 Mei. 222
Wawancara dengan ILO Indonesia. 223
Desi Lastati, “Migrasi Buruh Migran,” Pusat Sumber Daya Buruh Migran, 29 April
2019.[database on-line]; tersedia di https://buruhmigran.or.id/2019/04/29/migrasi-buruh-migran/,
di akses pada 1 Juni 2019.
88
prosedur migrasi yang benar dan aman. Tahapan pertama pada masa ini diawali
dengan pemberian informasi untuk bekerja di luar negeri. Namun, dari data
wawancara yang dilakukan dengan UN Women Indonesia mengatakan bahwa
mengenai informasi untuk bekerja di luar negeri dirasa belum cukup. Masih
banyak para calon pekerja yang bingung harus bekerja dengan cara seperti apa.
“Selama ini pekerja migran sendiri bingung ketika mereka hendak bekerja ke luar
negeri “Aku mau kerja ke luar negeri aku terlilit hutang. Darimana aku bisa dapat
informasi?” Sementara kepala desa nya saja tidak tahu dan akhirnya mereka-
mereka ini mendapatkan informasi dari broker-broker yang tidak sah dan illegal
yang informal dari Kemnaker, yang harusnya medical check up harus bayar segini
dia malah bayar segini atau mungkin lebih murah tetapi banyak elemen-elemen
yang tidak dicek tidak sesuai dengann standar yang ditetapkan Kemnaker.
Akhirnya setelah sampai di Malaysia malah dideportasi karena medical check-
upnya tidak sesuai standar.224
Pemberian informasi yang tidak benar di awal masa migrasi ini dialami oleh Sofi,
PPMI yang bekerja di industri manufaktur Malaysia.
“Awalnya dari sekolah ada penyaluran tenaga kerja ke luar negeri. Lalu direkrut
lah orang-orang yang mau bekerja di luar negeri. Saya direkrut untuk bekerja di
Malaysia. Awalnya sekolah saya menawarkan sekolah sambil kerja di Malaysia.
Kalau untuk bekerja memang iya tapi kalau untuk sekolah tidak. Jadi tidak sesuai
dengan apa yang di awal dikatakan.”225
Terkait dengan masa pra-penempatan, North South Initiatives selaku NGO dari
Malaysia melihat permasalahan jaminan sosial PPMI erat kaitannya dengan
proses rekruitmen dan kurangnya pelatihan yang diberikan. Ia mengatakan :
“If you look at recruitment process of migrant workers it is very precarious
because lots of problems or initial negotiations of terms of work or you have
the contract mobile or in in the paper. The problem is begin from the
recruitment stage so we don’t know how the Indonesian process is and in
Malaysian side the recruiters are very exploited. This domestic workers
cannot have a phone, there is no protection then and the agent can decide
also oh there is no holiday for the domestic workers. I don’t think there is
sufficient pre-daparture orientation and the post arrival orientation, I think
it is important to have post arrival training. The training is important for
224
Wawancara dengan UN Women Indonesia. 225
Wawancara dengan Sofi Gayuh, PPMI.
89
workers who don’t have enough knowledge or desire to seek their rights and
if they don’t understand enough their rights then the employers can get
angry and trying to exploit.” 226
Sejalan dengan apa yang dikemukakan dari North South Initiatives, Castirah
memberikan pengalaman mengenai bagaimana ia bekerja. Bekerja melalui jalur
prosedural, dengan adanya paspor dan masuk melalui agen, Ia mengalami
permasalahan pekerjaan karena ia di eksploitasi oleh agen. Ia mengatakan :
“Saya dapat pelatihan kerja sebelum berangkat. Namun ketika saya ada masalah
seperti waktu itu saya sakit, saya tidak tahu dimana saya harus memakai asuransi
saya. Itu karena kondisi kerja saya tertutup saya tidak boleh keluar juga
sebelumnya dari rumah jadi saya tidak tahu apa-apa. Permasalahan besarnya, saya
lari karena tidak digaji dengan agen. Gaji saya dipegang dengan alesan biar uang
tidak dikirimkan ke kampung biar gak habis jadi itu ditahan sama agen itu
alesannya. Sehabis itu agen juga mengatur untuk tidak boleh pegang handphone.
Tidak boleh berkomunikasi, berkomunikasi dengan keluarga pun dibawa ke agen
pun hanya 3 bulan sekali dan dikasih waktu telepon pun hanya 5 menit. 227
Tata kelola migrasi selanjutnya adalah pada masa penempatan. Pada masa
ini pemerintah harus bisa memberikan jaminan pemenuhan hak-hak pekerja
migran dan melindungi secara utuh ketika terjadi masalah.228
Terkait dengan
pemerintah dalam memberikan jaminan sosial ketika PPMI sudah ditempatkan di
negara tujuan, Pak Bobi selaku Sekretaris Jendral dari SBMI memberikan
penilaian terkait faktor penghambat pemenuhan jaminan sosial untuk PPMI dalam
kurun waktu 2016 – 2018.
226
“Jika melihat proses rekrutmen pekerja migran, ini sangat penting karena banyak masalah
dalam negosiasi awal tentang persyaratan kerja. Masalahnya dimulai dari tahap perekrutan
sehingga kami tidak tahu bagaimana proses di Indonesia dan di pihak Malaysia agen
rekruitmen sangat mengeksploitasi. Sebagai contoh, pekerja domestik tidak dapat memiliki
telepon, tidak ada perlindungan lain dan agen dapat memutuskan juga tidak ada hari libur
untuk pekerja rumah tangga. Permasalahan lain pada masa pra-penempatan yaitu karena tidak
cukupnya pelatihan yang diberikan. Pelatihan ini sangat penting untuk pekerja karena mereka
akan punya pengetahuan tentang hak-hak mereka yang membuat mereka dapat terhindar dari
eksploitasi,” dikutip dari wawancara yang dilakukan dengan North South Initiatives Malaysia. 227
Wawancara dengan Ibu Castirah, PPMI. 228
Desi Lastati, Migrasi Buruh Migran.
90
“Jaminan sosial untuk pekerja migran yang ada saat ini memang ada 3 jenis. Pra-
penempatan berlaku kurang lebih 6 bulan, masa kerja pada saat mereka bekerja
artinya ketika mereka di luar negeri itu 24 bulan atau sesuai dengan perjanjian
kontrak, yang ketiga setelah pulang 1 bulan. Hambatan untuk jaminan sosial PPMI
di Malaysia itu BPJS hanya berlaku di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang
No. 18 tahun 2017. Jadi untuk BPJS itu bisa berlaku di luar negeri harus ada
aturan hukum yang lain. Sehingga jaminan sosial ini bisa berlaku untuk buruh
migran dan dapat berlaku di luar negeri. Skema khusus pemberian jaminan sosial
untuk buruh migran belum ada dan seharusnya ada.”229
Menurutnya, jaminan sosial yang dibuat oleh pemerintah Indonesia tidak
dapat berjalan begitu saja tanpa ada kerjasama antar negara. Hal ini karena UU
Indonesia tidak bisa ditegakkan di negara tujuan. Maka dari itu penting untuk
dibuat kerjasama bilateral, khususnya untuk masalah jaminan sosial PPMI.
Menggarisbawahi apa yang feminis gambarkan sebagai keamanan individu
sebagai bentuk baru dari definisi keamanan. Tickner menarik perhatian bahwa
definisi keamanan yang selama ini masih state-centric membuat keamanan pada
level individu mengalami banyak hambatan untuk diperhatikan dalam ranah HI.
Keamanan seperti tempat bekerja yang aman dan keluar dari kekerasan struktural
adalah defini baru yang feminis ingin angkat.230
Dalam kaitannya dengan
hambatan pemenuhan jaminan sosial terlihat bahwa tata kelola migrasi yang
Indonesia berikan untuk PPMI masih belum baik untuk menjamin keselamatan
mereka bekerja.
“Hambatan tata kelola migrasi yang kurang baik dimana masih ada kesenjangan
informasi. Khusus di daerah terpencil seperti NTB dan NTT untuk mencari
informasi saja susah bahkan butuh waktu sehari. Bentuk perlindungan untuk PMI
harusnya lebih ditingkatkan lagi terlebih untuk infrastruktur pemberian informasi.
Walaupun BNP2TKI sudah memberikan sosialisasi yang kepada masyarakat
mengenai pentingnya migrasi yang aman. Namun hal ini dirasa belum cukup
ketika pada akhirnya pilihan jatuh kepada individu itu sendiri.”231
229
Wawancara dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). 230
Narain, Gender in International Relations: Feminist Perspectives of J. Ann Tickner,190-191. 231
Wawancara dengan UN Women Indonesia.
91
Oleh karena masih ada hambatan dalam permasalahan tata kelola migrasi
dari Indonesia, UN Women menyarankan agar jalur-jalur migrasi legal
dipermudah. Sejalan dengan apa yang feminis lihat dari definisi keamanan
individu dan kekerasan struktural, dalam tata kelola migrasi Indonesia secara
tidak langsung memberikan gambaran mengenai hal tersebut. Belum terlaksana
dengan baiknya sosialiasi mengenai bekerja migran yang aman dilihat sebagai
kurangnya pemerintah dalam menjamin keamanan pada tingkat individu dalam
hal ini pekerja migran perempuan.232
C. Kebijakan Imigrasi Malaysia
Faktor penghambat pemberian jaminan sosial terakhir PPMI ada dalam
kebijakan imigrasi Malaysia. Untuk melihat kebijakan ini, sebelumnya perlu
dilihat terlebih dahulu empat fase dalam tata kelola migrasi di Malaysia. Tata
kelola ini ditandai dengan adanya kebijakan imigrasi sejak tahun 1970.233
Pada
fase pertama, di awal Malaysia membuka pintu untuk masuknya pekerja migran
tahun 1970-1980 dimana pemerintah mengikuti kebijakan toleran terhadap
perekrutan pekerja asing. Fase kedua, 1981–1988, pemerintah Malaysia
melegalkan rekrutmen pekerja asing dan menandatangani perjanjian bilateral
dengan negara pengirim tenaga kerja migran. Fase ketiga 1989–1996, Malaysia
memulai program regulasi untuk membatasi kedatangan pekerja asing. Fase
keempat sebagai fase terakhir kebijakan imigrasi Malaysia yang bermula sejak
tahun 1997. Kebijakan migrasi pada fase ini akibat dari krisis keuangan dan
232
Wawancara dengan UN Women. 233
Amarjit Kaur, “International Migration and Governance in Malaysia: Policy and Performance,”
UNEAC Asia Paper No. 22, Januari 2008 [jurnal on-line]; tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/228545726; Internet, diunduh pada 22 Mei 2019.
92
ekonomi tahun 1997–1998 yang bertujuan untuk mengendalikan migrasi tidak
resmi.234
Dalam fase terakhir terdapat beberapa langkah-langkah yang dikeluarkan.
Kebijakan pertama adalah penerapan sistem izin kerja. Namun kebijakan ini
hanya untuk rekrutmen pekerja migran lepas pantai. Kebijakan selanjutnya adalah
penandatangan MoU atau nota kesepahaman dengan negara pengirim pekerja
migran. Penandatanganan MoU ini dimaksudkan untuk mengatur pekerja migran
yang kurang terampil. Ketiga adalah pengenalan UU baru yang memformalkan
kebijakan rekrutmen yang beragam. Kebijakan ini dirancang untuk mengurangi
ketergantungan pada satu kelompok ras tertentu. Kebijakan ini juga membuat
pemerintah menunjuk sektor tertentu untuk kelompok ras tertentu.235
Dalam kaitan dengan PPMI yang bekerja selama periode 2016–2018, dua
kebijakan dalam fase keempat peraturan Imigrasi Malaysia dapat menjadi faktor
penghambat untuk PPMI mendapat jaminan sosial terutama dalam sub-bab ini
yaitu kebijakan yang mengarahkan pada kelompok pekerja tertentu dengan
kelompok ras tertentu. Hal tersebut seperti ada pada tabel di bawah ini.
234
Kaur, International Migration and Governance in Malaysia, 9. 235
Kaur, International Migration and Governance in Malaysia, 9.
93
Tabel IV.C.1 Rekrutmen Pekerja Migran berdasarkan
Negara Asal dan Sektor
Sumber : Departemen Imigrasi Malaysia dalam Mashitah Hamidi, “Indonesian Female Factory
Workers: The Gendered Migration Policy in Malaysia” PEOPLE: International Journal of Social
Science, 648.
Kebijakan terbaru pemerintah Malaysia menghasilkan pengelompokkan
pekerja berdasarkan ras atau negara asal tertentu. Seperti apa yang ada pada tabel
di atas. PPMI terhimpun dalam sektor pekerjaan diantaranya manufaktur, jasa dan
tenaga kerja domestik. Kebijakan ini secara tidak langsung mengarahkan pekerja
perempuan pada sektor pekerjaan tertentu yang juga mengarah pada feminisasi
pekerja migran di Malaysia. Lebih lanjut, kebijakan ini juga mengarah pada
hubungan migrasi tenaga kerja perempuan tertentu antara Indonesia dan Malaysia,
dimana PPMI di Malaysia secara khusus dikelompokkan untuk sektor domestik
94
dan manufaktur.236
North south Initiatives juga memberikan penjelasan mengenai
kategori gender untuk pekerja migran. Mr. Adrian mengatakan “for domestic
workers it surely women workers sector by category and also for some work like
electroniscs which need nimble fingers for tiny assembly, the industry prefer women
worker. I was told by human resource officer.”237
Dimulai dengan keikutsertaan wanita di Malaysia untuk bekerja di sektor
formal berdampak pada kosongnya pekerjaan pada sektor domestik dan perawat,
membuat Malaysia mengeluarkan kebijakan untuk mengkomodifikasi sektor
domestik dan perawat dari tenaga kerja perempuan negara tetangga.238 Analisa
gender tentang bentuk-bentuk pengaturan tata kelola negara menunjuk pada
munculnya ide-ide dalam perencanaan kebijakan negara mengenai rumah tangga
sebagai ruang yang dapat dipasarkan dan digunakan sebagai bagian dari proyek
negara yang lebih luas yang berfokus pada daya saing dan pembangunan pasar.239
Dalam hal pembuatan kebijakan luar negeri, dapat dilihat bahwa pemerintah
Malaysia tidak berkomitmen untuk mewujudkan kesetaraan gender dimana masih
memposisikan pekerja migran perempuan ke dalam beberapa kelompok kerja
khusus seperti sektor domestik. Hal ini berdampak pada, salah satunya,
dikecualikanya PPMI sektor domestik untuk berperan dan aktif dalam kegiatan
236
Hamidi, Indonesian Female Factory Workers, 648. 237
“Untuk pembantu rumah tangga itu memang pekerja perempuan dari kategori. Lalu, untuk beberapa pekerjaan di sector elektronik yang mana membutuhkan tangan yang gesit untuk penggabungan, industry lebih memilih tenaga kerja perempuan.” Dikutip dari wawancara dengan
North South Initiatives Malaysia. 238
Kaur, Asia, gender and migration, 6. 239
Elias, Foreign Policy and The Domestic Worker, 18.
95
politik. Mereka dikecualikan untuk ikut dalam serikat buruh yang membuat suara-
suara mereka absen dalam agenda pembuatan kebijakan luar negeri.240
Dalam kaitannya dengan perumusan kebijakan luar negeri dapat dilihat
gender dan nasionalisme ekonomi yang bekerja karena ada pemahaman berupa
peran perempuan dalam mendukung pengejaran ekonomi nasional. Perumusan
kebijakan imigrasi Malaysia yang sadar akan kepentingan nasional sebagai negara
berpenghasilan menengah-atas di Asia untuk keluar dari “middle income trap”
melahirkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan akan tenaga kerja murah.
Malaysia melihat tenaga kerja migran perempuan, khususnya pembantu rumah
tangga, memiliki peranan penting bagi kebutuhan reproduksi sosial kelas
menengah warganegaranya.241
Namun, kemajuan pertumbuhan di Malaysia yang didukung oleh buruh
migran berkeahlian rendah dan umumnya perempuan tidak diimbangi dengan
perlindungan negara akan pekerja migran termasuk PPMI. Mr. Adrian dari North
South Initiatives melihat bahwa di Malaysia terjadi pertumbuhan ekonomi agresif.
“I think the Malaysia develop very fast middle income GDP because
exploiting migrant workers. We cannot continue to deny social protection
just because we need profit because we want develop faster. Because when
you have aggressive development. so you make more pressure on the
migrant workers, you make them work overtime with no holidays. So this is
just the result of the development aggressive.” 242
240
Elias, Foreign Policy and The Domestic Worker, 17. 241
Elias, Foreign Policy and The Domestic Worker, 9. 242
“Saya dapat menyimpulkan bahwa pertumbuhan pemasukan dari GDP berkembang begitu
pesat di Malaysia. Hal ini terjadi karena adanya eksploitasi tenaga kerja migran. Kita tidak dapat
untuk menyangkal terus menerus mengenai jaminan sosial untuk tenaga kerja migran hanya
karena kita ingin meraih keuntungan dari pertumbuhan ekonomi yang cepat. Karena ketika kita
melakukan perkembangan yang agresif maka akan membuat tekanan terhadap pekerja migran.
Dengan kata lain negara membuat tenaga kerja migran bekerja melibihi batas jam kerja dan tidak
ada hari libur,” Dikutip dari wawancara dengan North South Initiatives Malaysia.
96
Mr. Adrian juga menyimpulkan bahwa terdapat rencana untuk mendisain
tekanan terhadap pekerja migran seperti itu. Ia juga mengungkapkan bahwa
banyak sekali pekerja migran, khususnya PPMI yang tidak tahu akan hak-hak
mereka. Hal ini karena Malaysia ingin sekali GDP mereka tumbuh dengan
cepat.243
Konsep keamanan individu yang dalam hal ini belum dianggap serius
oleh Malaysia dilihat oleh perspektif feminis sebagai alasan mengapa kebijakan
imigrasi Malaysia ini masih berdasarkan konsep kepentingan nasional berupa
pengejaran pertumbuhan ekonomi.244
Sejalan dengan kepentingan itu, perspektif
feminis sosialis melihat hal tersebut sebagai keinginan dari kapitalisme yang
secara langsung maupun tidak langsung akan membentuk siapa yang menjadi
pekerja di sektor pekerjaan utama atau sebagai pekerja sekunder. Hal ini karena
cadangan besar tenaga kerja yang menganggur diperlukan untuk menjaga upah
mereka tetap rendah dan untuk memenuhi permintaan yang tidak terduga akan
meningkatnya persediaan barang dan jasa.245
Pengelompokkan pekerjaan tertentu berdasarkan negara asal pekerja migran
mengarah pada sistem kapitalis dan patriarki yang bekerja sama untuk menekan
perempuan atau Interactive-system explanation of Women’s opression dari Iris
Marion Young. Kapitalisme dan patriarki sebagai tekanan terhadap perempuan
dapat digambarkan oleh Young sebagai pembagian kerja sesuai jenis kelamin.
“Gender bias kapitalisme” yaitu marginalisasi perempuan yang menghasilkan
243
Wawancara dengan North South Initiatives Malaysia. 244
Elias, Foreign Policy and The Domestic Worker, 18. 245
Narain, Gender in International Relations: Feminist Perspectives of J. Ann Tickner, 190.
97
perempuan sebagai angkatan kerja penting kedua dan mendasar dalam sistem
kapitalisme.246
Tekanan kapitalis dan patriarki untuk PPMI di Malaysia dapat tergambarkan
dengan “sexual division of labour”. Pengelompokkan PPMI pada sektor tertentu
seperti hanya di sektor manufaktur, jasa, dan domestik dapat dianalisa dengan
adanya kelas dalam pembagian kerja antara pekerja migran laki-laki dan
perempuan. Analisis pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin memperhatikan
karakteristik individu yang melakukan kegiatan produksi dan siapa yang
melakukan reproduksi di masyarakat. Analisis ini melihat siapa yang memberi
perintah siapa yang mengerjakan perintah, siapa yang bekerja lebih lama dan
siapa yang lebih sedikit, siapa yang dibayar dengan upah relatif tinggi dan siapa
yang dibayar dengan upah relatif rendah.247
246
Rosemarie Tong, Feminist Thought [buku on-line] (Colorado: Westview Press, 2009, di unduh
pada 12 Maret 2019); tersedia di
https://excoradfeminisms.files.wordpress.com/2010/07/feminist_thought_a_more_comprehensive_
intro.pdf; Internet. 247
Tong, Feminist Thought, 116.
98
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebutuhan akan tenaga kerja di Malaysia dan kurangnya penyerapan tenaga
kerja di Indonesia menjadi titik temu antara lapangan pekerjaan dan tenaga kerja.
Dengan latar belakang sosial serta perkembangan kemajuan negara yang berbeda,
pekerja Indonesia melihat peluang untuk bekerja di Malaysia lebih baik dari di
Indonesia. Migrasi tenaga kerja migran menjadi pola baru hubungan Indonesia
dan Malaysia. Namun pengiriman tenaga kerja migran ini tidak sedikit juga
memunculkan permasalahan sosial. Salah satu permasalahan tersebut adalah
jaminan sosia pada Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) di Malaysia.
Sebagian negara tujuan, Malaysia, adalah negara dengan tingkat pendapatan
tinggi, memperketat akses terhadap jaminan sosial adalah salah satu kebijakan
untuk mencegah tingkat imigrasi semakin tinggi.
Jaminan sosial sendiri merupakan cara dari negara untuk melindungi
warganegaranya, tak terkecuali pekerja migran yang ada di negara lain. satunya
dalam hal pemenuhan jaminan sosial. Merujuk pada Konvensi ILO No.102
terdapat 9 kategori jaminan sosial diantaranya adalah jaminan kesehatan, jaminan
keselamatan kerja. Jaminan sosial ini diberikan dengan prinsip non-diskriminasi,
portability, dan kemudahan akses administrasi. Di Malaysia jaminan sosial untuk
pekerja migran diberikan dalam beberapa skema asuransi. Skema itu yang
pertama adalah Foreign Workers Insurance Guarantee (FWIG), Foreign Workers
Hospitalization & Surgical Scheme (FWHS), Foreign Workers Compensation
99
Scheme (FWCS), dan Maid Insurance/Domestic Workers Insurance. Namun pada
pelaksanaannya pemberian jaminan sosial ini juga belum merujuk pada prinsip
pemberian jaminan sosial.
Lebih lanjut pada pelaksanaannya PPMI menghadapi masalah untuk
memenuhi jaminan sosial mereka. Permasalahan itu adalah tidaktahuan mereka
mengenai hak-hak mereka, kontrak kerja, masalah terkait dokumen, dan kondisi
bekerja. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi PPMI sebagai akibat karena
adanya hambatan dalam pelaksanaan jaminan sosial di Malaysia. Hambatan
tersebut ada dalam kerangka hukum, tata kelola migrasi Indonesia, dan kebijakan
imigrasi Malaysia.
Hambatan hukum terdiri dari pengecualian beberapa kategori pekerja
migran dari Undang-Undang yang mengatur tentang jaminan sosial di Malaysia,
permasalahan Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dan
Malaysia, serta minimnya penegakkan hukum terkait jaminan sosial untuk PPMI
di Malaysia. Selanjutnya mengenai tata kelola migrasi Indonesia yaitu pemberian
informasi dan pelatihan kerja yang belum cukup diberikan secara maksimal.
Terakhir kebijakan imigrasi Malaysia yang mengkelompokkan pekerja migran
perempuan dalam kelompok pekerja tertentu sehingga mereka dikecualikan dalam
beberapa produk jaminan sosial.
Ketiga hambatan tersebut dianalisis melalui teori feminis, khusunya sosialis
feminis dan konsep kebijakan luar negeri dalam perspektif feminis. Hambatan
hukum dianalisis dengan sumbangan feminis dalam metodologi hubungan
internasional. Dengan memasukan pengalaman perempuan yang selama ini
100
terasingkan dalam dunia internasional. Terkait tata kelola migrasi Indonesia,
feminis melihat negara masih belum mementingkan keamanan individu.
Selanjutnya kebijakan imigrasi Malaysia yang mengkelompokkan pekerja migran
dalam kelompok-kelompok tertentu. Kebijakan ini sendiri dirumuskan
berdasarkan kepentingan nasional berupa pengerjaran ekonomi yang lebih
ditekankan oleh Malaysia ketimbang untuk masalah perlindungan pekerja migran.
Kebijakan imigrasi Malaysia ini dianalisa dengan konsep kebijakan luar negeri
menurut feminis serta analisa feminis sosialis yang melihat adanya sistem
kapitalis dan patriarki yang berpadu untuk menekan perempuan.
B. Saran
Dalam penelitian ini terhimpun beberapa saran yang berasal dari wawancara
yang dilakukan dengan pemangku-pemangku kepentingan dan dari proses
penelitian ini sendiri. Masukan tersebut menjadi saran positif untuk perbaikan
pemberian jaminan sosial terhadap PPMI. Saran-saran tersebut adalah:
1. Perlunya adanya peraturan yang lebih gender responsif antara Indonesia
dan Malaysia khusunya terlepas dari sektor mana saja mereka bekerja.
2. Pelaksanaan tata kelola migrasi yang aman dari negara tujuan sampai
negara penempatan.
3. Penting untuk adanya kerjasama bilateral, regional, dan internasional dan
kerjasama dengan kedutaan besar di negara tujuan, agen rekrutmen,
pemberi kerja serta serikat buruh dan NGO terkait.
101
Daftar Pustaka
Buku
Bhatnagar, Deepak. Labour Welfare and Social Security Legislation in India.
1984. New Delhi: Deep & Deep Publications. Diunduh 17 September 2018
(http://shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603/95236/7/07_chapter%20
2.pdf).
Kaur, Amarjit. Migration and Integration in Europe, Southeast Asia, and
Australia. 2015. Amsterdam: Amsterdam University Press. Diunduh pada
22 Oktober 2018
(https://www.oapen.org/download?type=document&docid=644208).
King, Gary,Robert Keohane,dan Sidney Verba. Designing Social Inquiry:
Scientific Inference in Qualitative Research. 1994. New Jersey: Princeton
University Press. Diunduh pada 12 Oktober 2018
(https://epdf.tips/download/designing-social-inquiry-scientific-inference-in-
qualitative-research5641ccc634d837fe8c8a238f07db3d5b14575.html).
Lerner, Greda. The Creation of Feminist consciusness. From The Middle Ages to
Eighteen-Seventy. 1993. New York: Oxford University Press. Diunduh
pada 20 Oktober 2018( https://doi.org/10.1086/ahr/98.4.1193).
Neumann, Lawrence. W. Social Research Method:qualitative and quantitative
approaches, 3rd ed. 1997. USA: Allyn and Bacon. Diunduh pada 22
September 2018 (http://letrunghieutvu.yolasite.com/resources/w-lawrence-
neuman-social-research-methods_-qualitative-and-quantitative-approaches-
pearson-education-limited-2013.pdf).
Tickner, J. Ann. Gender in International Relations: Feminist Perspectives on
Achieving Global Security. 1992 . New York: Columbia University Press.
Diunduh pada 22 Mei 2019
(https://www.researchgate.net/publication/31737856_Gender_in_Internatio
nal_Relations_Feminist_Perspectives_on_Achieving_Global_Security_JA_
Tickner).
Tong, Rosemarie. Feminist Thought. 2009. Colorado: Westview Press. Diunduh
pada 12 Maret 2019
(https://excoradfeminisms.files.wordpress.com/2010/07/feminist_thought_a
_more_comprehensive_intro.pdf).
Artikel Jurnal
Aggestam, Karin, Annika Bergman Rosamond, dan Annica Kronsell. “Theorising
Feminist Foreign Policy.” International Relations Vol. 33(I) 23-39.
Diunduh 26 Juli 2019 (https://doi.org/10.1177%2F0047117818811892).
102
Alwan, Christine dan S. Laurel Weldon. 2018. “What is Feminist Foreign Policy?
An Exploratory of Feoreign Policy in OECD Countries.” European
Conference on Politics and Gender. Diunduh 29 Juli 2019
(https://ecpr.eu/Filestore/PaperProposal/05def9c8-34c6-4415-8df1-
55144d2fd016.pdf).
Barrietos, Armando dan David Hulme. 2005. “Chronic Poverty and Social
Protection.” European Journal of Development Research. Diunduh 1 April
2019
(https://www.researchgate.net/publication/233136267_Chronic_Poverty_an
d_Social_Protection_Introduction/references).
Elias, Juanita. 2013. “Foreign Policy and The Domestic Worker: The Malaysia-
Indonesia Domestic Worker Dispute.” International Feminist Journal of
Politic Vol. 15, Issue 3. Diunduh 19 April 2019
(https://www.academia.edu/2239194/Foreign_Policy_and_the_Domestic_
Worker_The_Malaysia-Indonesia_Domestic_Worker_Dispute).
Ginneken, Wouter van. 2013. “Social Protection for Migrant Workers: National
and International Policy Challanges.” European Journal of Social Security,
Vol. 15, No. 2:210.
Hamid, Zuraini Ab et. Al. 2018. “Rights of Migrant Workers under Malaysian
Employment Law.” Journal of East Asia and International Law. Diunduh
12 Februari 2019
(https://www.researchgate.net/publication/329325161_Rights_of_Migrant_
Workers_under_Malaysian_Employment_Law).
Hamidi, Mashitah. 2016. ”Indonesian Female Factory Workers: The Gendered
Migration Policy in Malaysia.” People: International Journal of Social
Science. Diunduh 22 September 2018
(https://www.researchgate.net/publication/311662779_INDONESIAN_FE
MALE_FACTORY_WORKERS_THE_GENDERED_MIGRATION_POL
ICY_IN_MALAYSIA).
Kaur, Amarjit. 2008. “International Migration and Governance in Malaysia:
Policy and Performance.” UNEAC Asia Paper No. 22. Diunduh 22 Mei
2019. (https://www.researchgate.net/publication/228545726).
Kaur, Amarjit. 2013. “Asia, Gender and Migration.” The Encyclopedia of Global
Human Migration, edited. Oleh Immanuel Nesa. Diunduh 20 Juni 2019
(https://www.researchgate.net/publication/313998540).
Narain, Seema. 2014. “Gender in International Relations: Feminist Perspectives of
J. Ann Tickner.” Indian Journal of Gender Studies. Diunduh 2 November
2018 (https://doi.org/10.1177/0971521514525085).
103
Rahatrto, Aswatini dan Mita Noveria. 2012. “Advocacy Group for Indonesian
Women Migrant Workers.” Jurnal Kependudukan Indonesia Vol. VII,
No.1. Diunduh 18 September 2018
(http://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id/index.php/jki/article/download/80/7
2).
Rahayu, Devi dan Ahmad Agus Ramdhany. 2016. “Responsibility of Protection
Indonesian Female Migrant Workers” International Journal of Business,
Economics and Law, Vol. 10, Issue 4. Diunduh 20 Oktober 2018.
(https://www.ijbel.com/wp-content/uploads/2016/09/K10_42.pdf).
Rivera, Mauricio M. 1992. “Social Security Protection of Migrant Workers.”
Asian And Pacific Migration Joirnal Vo. 1 No. 3-4. Diunduh 20 April 2019
(https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/011719689200100305).
Whelan, Jennifer et al. 2016. “Abused and Alone :Legal Redress For Migrant
Domestic Workers In Malaysia.” Indonesia Law Review. Diunduh 22 April
2019 (http://ilrev.ui.ac.id/index.php/home/article/view/171).
Wiratri, Amorisa. 2016. “Is Working an Empowerment Tool for Women? Case
Study Indonesian Migrant Workers in Malaysia.” Journal Masyarakat
Indonesia Vol. 39, Issue. Diunduh 20 Oktober 2018
(http://jmi.ipsk.lipi.go.id/index.php/jmiipsk/article/view/292).
Laporan, Working Paper, Database, etc.
“A Very Short Summary of Socialist Feminist Theory and Practice Socialist
Feminist.” 2012. Diunduh pada 22 Oktober 2018
(https://www.oakton.edu/user/4/ghamill/Socialist_Feminism.pdf).
“Facts on Social Security”. Internasional Labour Organization (ILO). Diunduh
12 Oktober 2018 (https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/--
-dcomm/documents/publication/wcms_067588.pdf).
“Foreign Workers Insurance Guarantee (FWIG).” MSIG Insurance (Malaysia).
Diunduh 3 Maret 2019
(https://www.msig.com.my/pdf/pds/fwig_pds_2015.pdf).
“Informal Economy.” International Labour Organization (ILO). Diunduh 18 Juni
2019 (https://www.ilo.org/ilostat-
files/Documents/description_IFL_EN.pdf).
“Jumlah Pekerja Asing (PLKS Aktif) Mengikuti Jantina dan Negara Sumber. ”
2017. Data Terbuka Malaysia. Diunduh 8 Maret
2019http://www.data.gov.my/data/ms_MY/dataset/jumlah-pekerja-asing-
plks-aktif-mengikut-jantina-dan-negara-sumber.
104
“Laporan Survei Guna Tenaga Sektor Informal, Malaysia.” 2017. Diunduh 18
Juni 2019
(https://www.dosm.gov.my/v1/index.php?r=column/pdfPrev&id=UWJYY1
pWSVdkaHk0aXZzdmxtZkJZUT09).
“Social Security and Maternity Protection for Female Workers: Laws and
Practices in ASEAN.” 14 April 2019 (https://www.asean.org/wp-
content/uploads/images/2015/August/ASEAN-Labour-Ministerial-Meeting-
document/maternity%2012_3_2014.pdf).
Anderson, Bridget. 2016. Worker, helper, auntie, maid? Working conditions and
attitudes exprienced by migrant domestik workers in Thailand and Malaysia
. Bangkok: ILO. Diunduh 23 Januari 2019
(https://www.ilo.org/asia/publications/WCMS_537808/lang--en/index.htm).
Arisman dan Ratnawati Kusumajaya 2018. Protection of Human Rights and
Labour Migration for Employment Purposes Across ASEAN. Jakarta:
CSEAS.
ASEAN Declaration and Consensus on the Protection and Promoting of the
Rights of Migrant Workers. Diunduh 1 Maret 2019
(https://asean.org/storage/2012/05/16-ASEAN-Declaration-on-the-
Protection-and-Promotion-of-the-Rights-of-Mi....pdf).
ASEAN Declaration on Strengthening Social Protection. Diunduh 1 Maret 2019
(https://asean.org/?static_post=asean-declaration-strengthening-social-
protection-regional framework-action-plan-implement-asean-declaration-
strengthening-social-protection).
Azmy, Ana Sabhana. 2012. Negara dan Buruh Migran Perempuan: Kebijakan
Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia Masa Pemerintahan
Susilo bambang Yudhoyono 2004-2010. UI: Departemen Ilmu Politik,
Program Pasca Sarjana. Diunduh pada 2 April 2019
(https://buruhmigran.or.id/wp-content/uploads/RUUTKI/digital_20271494-
T29287-Negara%20dan%20buruh.pdf).
BNP2TKI. 2016. “Data Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
tahun 2016.” Diunduh 28 Agustus 2018
(http://portal.bnp2tki.go.id/read/12024/Data-Penempatan-dan-Perlindungan-
TKI-Periode-Tahun-2016.html).
BNP2TKI. 2018. “Data Penempatan dan Perlindungan PMI periode bulan
September 2018.” Diunduh 28 Agustus 2018
(http://portal.bnp2tki.go.id/read/14133/Data-Penempatan-dan-Perlindungan-
TKI-Periode-Tahun-2018.html).
105
Chubb. “Product Disclosure Sheet-Domestic Help Insurance.” Diunduh 4 April
2019 (https://www.chubb.com/my-en/_assets/documents/domestic-
help_eng.pdf).
Employment Act 1955. Diunduh 1 Maret 2019
(https://www.ilo.org/dyn/travail/docs/1496/Employment%20Act%201955.p
df).
Foreign Workers Insurance Guarantee (MSIG Insurance). Diunduh 7 Maret 2019
(http://apmigration.ilo.org/resources/mou-between-government-of-the-
republic-of-indonesia-and-the-government-of-malaysia-on-the-recruitment-
and-placement-of-indonesian-domestic-workers/at_download/file1).
Harkins, Benjamin. 2016. Review of Labour Migration Policy in Malaysia.
Bangkok: International Labour Organization (ILO). Diunduh 18 Februari
2019 (http://apmigration.ilo.org/resources/review-of-labour-migration-
policy-in-malaysia/at_download/file1).
Harkins, Benjamin, Daniel Lindgren, dan Tarinee Suravoranon. 2017. Risk and
rewards: Outcomes of Labour Migration in South-East Asia. Thailand:
International Labour Organization and International Organization for
Migration.
Hauff, Michael von. The Relevance of Social Security for Economic
Development Social Protection in Southeast and East Asia. Diunduh 20
April 2019 (http://library.fes.de/pdf-files/iez/01443002.pdf).
Humblet, Martine t dan Rosinda Silva. 2002. Standards fot the XXIst Century:
Social Security. Austria: International Labour Organization (ILO). Diunduh
4 Maret 2019 (https://www.ilo.org/global/standards/information-resources-
and-publications/publications/WCMS_088019/lang--en/index.htm).
Hutagalung, Stella Aleida dan Veto Tyas Indrio. 2018. “Laporan Tematik Studi
Midline Tema 3: Akses Perempuan Buruh Migran Luar Negeri terhadap
Layanan Perlindungan.” Smeru Research Institute.Diunduh 18 April 2019 (
http://smeru.or.id/id/content/laporan-tematik-studi-midline-tema-3-akses-
perempuan-buruh-migran-luar-negeri-terhadap).
Industrial Relation Act 1967. Diunduh 1 Maret 2019
(https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/48066/99440/F184112
3767/MYS48066.pdf).
Konvensi ILO No. 019 tentang Perlakuan yang Sama bagi Pekerja Nasional dan
Asing. Diunduh 1 Maret 2019 ( https://www.ilo.org/wcmsp5/.../---
ilo.../wcms_145810.pdf, diakses pada 20 April 2019).
106
Konvensi ILO No.118 tentang Persamaan Perlakuan (Jamninan Sosial). Diunduh
1 Maret 2019
(https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P
12100_ILO_CODE:C118),
Konvensi ILO No. 157 tentang Pemeliharaan Jaminan Sosial. Diunduh 1 Maret
2019
(https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P
12100_ILO_CODE:C157).
Labour Migration from Indonesia: An Overview of Indonesian Migration to
Selected Destinations in Asia and The Middle East. 2010. Jakarta:
Internasional Organization for Migration (IOM). Diunduh 28 Mei 2018
(https://www.iom.int/jahia/webdav/shared/shared/mainsite/published_docs/
Final-LM-Report-English.pdf).
Lastati, Desi. “Migrasi Buruh Migran.” 2019. Pusat Sumber Daya Buruh Migran.
Diakses 1 Juni 2019. (https://buruhmigran.or.id/2019/04/29/migrasi-buruh-
migran/).
Malaysia Federal Constitution. Diunduh 1 Maret 2019
(http://www.agc.gov.my/agcportal/uploads/files/Publications/FC/Federal%2
0Consti%20(BI%20text).pdf).
Oliver, Marius. 2017. Social Protection for Migrant Workers Abroad: Addressing
the Deficit via Country-of-origin Unilateral Measures?. Geneva:
International Organizatioon for Migration (IOM). Diunduh 28 September
2018 (https://publications.iom.int/system/files/pdf/social_protection.pdf).
Oliver, Marius. 2018. Social Protection for Migrant Workers in ASEAN:
Development, Challanges, and Prospects. Thailand: International Labour
Organization (ILO).
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7 tahun 2010 tentang
Asuransi Tenaga Kerja Indonesia. Diunduh 1 Maret 2019
(http://www.mitraPekerja migran indonesia.com/MitraPEKERJA MIGRAN
INDONESIA/attachment/PERATURAN%20MENTERI%20TENAGA%20
KERJA%20DAN%20TRANSMIGRASI%0REPUBLIK%20INDONESIA
%20NOMOR%20PER.07_MEN_V_2010.pdf).
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 7 tahun 2017 tentang Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia. Diunduh pada 1 Maret 2019
(https://jdih.kemnaker.go.id/data_puu/KEPMENAKER%20NO%20206%20
TAHUN%202017.pdf).
Protokol Perubahan terhadap Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Malaysia mengenai Perekrutan dan Penempatan
107
Pekerja Domestik Indonesia tahun 2011. Diunduh 1 Maret 2019
(http://apmigration.ilo.org/resources/mou-between-government-of-the-
republic-of-indonesia-and-the-government-of-malaysia-on-the-recruitment-
and-placement-of-indonesian-domestic-workers/at_download/file1).
Social Security for All. 2009. Geneva: International Labour Organization (ILO).
Diunduh 3 Maret 2019 (https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---
dgreports/---nylo/documents/genericdocument/wcms_226903.pdf).
Statistik Pekerja Asing Terkini Mengikut Negeri dan Sektor. Diunduh 3 Maret
2019 (http://www.data.gov.my/data/ms_MY/dataset/statistik-pekerja-asing-
terkini-mengikut-negeri-dan-sektor).
Tamagno, Edward. 2008. “Strengthening Social Protection for ASEAN Migrant
Workers through Social Security Agreements” ILO Asian Regional
Programme on Governance of Labour Migration Working Paper No. 10.
Diunduh 8 Oktober 2018(
https://www.ilo.org/asia/publications/WCMS_160332/lang--en/index.htm).
Undang- Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Pasal 1. Diunduh 1 Maret 2019
(https://pih.kemlu.go.id/files/uu%20No%2039%20Tahun%202004%20Tent
ang%20Penempatan%20dan%20Perlindungan%20TKI.pdf).
Undang- Undang No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia, Pasal 1, ayat 5. Diunduh 1 Maret 2019
(https://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/175351/UU%20Nomor%2018%20Tahu
n%202017.pdf).
Women Migrant Workers in the ASEAN Economic Community. 2017. Thailand:
UN Women Asia Pacific. Diunduh 14 Februari 2019
(https://asean.org/storage/2012/05/AEC-Women-migration-study.pdf).
Workmen Compensation Act 1952. Diunduh 1 Maret 2019
(https://asean.org/storage/2016/06/MA4_Workmes-Compensation-Act-
1952-Act-273.pdf).
Website
“Four Type Foreign Worker Insurance in Malaysia.” Foreign Workers Insurance.
Diakses 22 April 2019 (https://onlineinsurance2u.com/blog/4-type-foreign-
worker-insurance-in-malaysia/).
“Kaedah Pelaksanaan Skim Perlindungan Insurans Kesihatan Pekerja Asing.”
2011. Kementerian Kesihatan Malaysia. Diakses pada 2 Maret 2019
(http://www.moh.gov.my/index.php/pages/view/369).
108
“Konvensi ILO No. 102 tentang Jaminan Sosial (Standard Minimum) 1952.”
Diakses pada 10 April 2019
(https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P
12100_INSTRUMENT_ID:312247).
“Pembantu Rumah Asing.” Jabatan Imigresen. Diakses 8 April 2019
(http://www.imi.gov.my/index.php/ms/pembantu-rumah-asing.html#).
“Peraturan Perundangan.” Direktorat Jendral PHI & Jamsos Kemnaker Republik
Indonesia. Diakses 4 Maret 2019
(http://phijsk.kemnaker.go.id/page/peraturan_perundangan).
“Perwujudan Tata Kelola Migrasi Aman (safe Migration).” Migrant Care
Diakses 22 Mei 2019. http://www.migrantcare.net/program/perwujudan-
tata-kelola-migrasi-aman-safe-migration/).
“SBMI Tangani 1500 Kasus BMI Periode 2015 – 2017.” 2018. DPN SBMI.
Diakses 25 April 2019 (http://sbmi.or.id/2018/12/sbmi-tangani-1500-kasus-
bmi-periode-2015-2017/).
Bonasir, Rohmatin. “Malaysia Razia Tenaga Kerja Ilegal, sebagian TKI
bermalam di hutan dan kontainer.” 2018. Diakses 8 Mei 2019
(https://www.bbc.com/indonesia/dunia-44742422).
Maulana, Hadi. “Malaysia Tahan 4.000 TKI Illegal.” 2018. Di akses 8 Mei
2019(https://regional.kompas.com/read/2018/03/21/22015791/malaysia-
tahan-4000-tki-ilegal).
Migrant Care adalah Organisasi yang bertujuan untuk membantu negara dalam
rangka penegakkan perlindungan dan hak-hak Buruh Migran. Diakses 1
Juli 2019 (http://www.migrantcare.net/profil/sejarah/).
Sarah, Nasrikah. “Mengenal Asuransi bagi Buruh Migran di Malaysia.” 2016.
Pusat Sumber daya Buruh Migran. Diakses 2 Maret 2019
(https://buruhmigran.or.id/2016/06/28/mengenal-asuransi-bagi-buruh-
migran-di-malaysia/).
Widianto, Satrio. “Masih Minim, Pekerja Migran yang Dilindungi Jaminan
Sosial.” 2018. Diakses 5 Juli 2019 (https://www.pikiran-
rakyat.com/nasional/2018/12/23/masih-minim-pekerja-migran-yang-
dilindungi-jaminan-sosial).
Wawancara
Wawancara dengan Ibu Nunik Nurjanah dan Ibu Temmy, National Programme
Officer, EVAW, and Migration, pada 28 Maret 2019 di UN Women
Jakarta.
109
Wawancara dengan Ibu Shintia Harkrisnowo, Indonesia Programme Coordinator
for Safe and Fair Labour Migration in ASEAN, pada 5 April 2019, di
Kantor ILO Jakarta.
Wawancara dengan Bapak Bobi Anwar, Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran
Indonesia (SBMI), pada 2 Mei 2019 di Jakarta
Wawancara dengan Mr. Adrian Pereira, Executive Director of North South
Initaitves Malaysia pada 3 Mei 2019.
Wawancara dengan PPMI, Sofi Gayuh yang bekerja sebagai Pekerja Pabrik
(Manufaktur) yang bergerak di bidang pembuatan harddisk di Malaysia dari
tahun 2014-2019.
Wawancara dengan PPMI, Ibu Castirah yang bekerja sebagai Pekerja Rumah
Tangga di Malaysia dari tahun 2016 sampai saat ini.
110
Lampiran – Lampiran :
1. Wawancara dengan UN Women
Ibu Nunik : Berkaitan dengan riset mengenai jaminan sosial untuk tenaga
kerja wanita Indonesia di Malaysia, UN Women dapat
memberikan penjelasan tapi dalam sudut pandang gender,
baik kesetaraan gender atau feminisnya. Terkait dengan
Jaminan Sosial untuk buruh migran Indonesia di Malaysia,
terkait dengan jaminan sosial untuk pekerja migran berarti
kita membahas mengenai buruh migran yang terdokumentasi.
Karena mereka yang memperoleh jaminan sosial itu harus
mempunyai identifikasi yang benar dan tercatat dalam
website, kementerian tenaga kerja atau kemenlu atau
rekrutmen agensi. Dapat diasumsikan bahwa dia yang
mempunyai jaminan sosial ia yang tercatat. Walaupun
memang pada kenyataannya, menurut data tidak semua
pekerja migran Indonesia mempunyai jaminan sosial. Dari
sekitar 9jutaan tenaga kerja kita di luar negeri, hanya kurang
dari sama dengan 10% yang mempunyai jaminan sosial. Dan
itu pun kita belum tahu apakah perempuan atau bukan karena
data itu pun tiga terdisaingregasi, kita tidak tahu
perempuannya berapa persen. Dari data tsb kita juga tidak
mengetahui apakah jaminan sosial dimiliki PRT atau untuk
pekerjaan- pekerjaan yang dianggap low-skilled seperti buruh
bangunan, buruh pabrik, prt, atau pelayan toko, pelayan cafe.
Jadi dari yang dibawah 10% itu kita bagi bagi lagi dan kita
melihat dari perspektif perempuan atau dari UN Women
sendiri bahwa pada akhirnya perempuan yang bekerja di area-
area low-skilled juga perempuan yang otomatis tidak
terdokumentasi maksunyda para pekerja migran perempuan
yang melalui jalur- jalur informal, mereka sudah pasti tidak
masuk dalam kategori peraih jaminan sosial. Jadi, untuk
melihat secara luas akses jaminan sosial terhadap pekerja
migran perempuan Indonesia itu memang banyak layernya
dan oleh karena itu masih menjadi persoalan pekerja migran
perempuan Indonesia, khusunya mereka yang berada di
tataran low-skilled labour.
Halida : Untuk pelaksanaan jaminan sosial yang sudah diberikan
untuk PMI apakah sudah baik?
Ibu Nunik : Iya selama ini yang saya tahu, ya pelaksanaannya belum
sempurna. Walaupun memang, ada beberapa perusahaan-
perusahaan, misalnya perusahaan-perusahaan rekrutmen atau
agensi penempatan kerja di Malaysia misalnya yang sudah
memberikan asuransi kerja, apakah itu kesehatan memang
dibayar oleh employeer. Tapi itu biasanya perusahaan-
perusahaan penempatan yang memang sudah punya
kredibilitas yang baik dan mereka sudah menyediakan
asuransi untuk para pekerjanya dan mereka yang membayar
preminya biasanya ada tapi itupun tidak banyak. Selain itu,
pemerintah Indonesia sendiri yang saya tahu memang baru
belakangan ini, awal Maret kemarin, baru meluncurkan
kerjasama bilateral antara Indonesia dan Malaysia untuk BPJS
Ketenagakerjaan antara Indonesia dan Malaysia, kalau di
Malaysia itu namanya Socso. Sebelumnya memang,
pemerintah Malaysia sendiri tidak punya UU atau kebijakan
jaminan sosial untuk pekerja migran Indonesia dan itu
memang yang menjadi hambatan kita selama ini. Banyak
negara-negara penerima pekerja migran perempuan Indonesia
tidak mempunyai jaminan sosial, sebelumnya. Tahun 2018,
Malaysia jika memiliki akses terhadap jaminan sosial itu
biasanya hanya perusahaan- perusahaan swasta dan bukan
kebijakan dari pemerintah. Sebuah kemajuan, dimana
pemerintah Malaysia tahun lalu sudah mulai menjadikan
Date/place of interview : 28 mar 2019, UN Women Office in Jakarta
Name of institution: UN Women in Jakarta
Name of interviewee : Ibu Nunik Nurjanah dan Ibu Temmy
Name of interviewer : Halida
111
jaminan sosial bagi pekerja migran sebagai kebijakan nasional
mereka. Jadi, mereka sendiri tidak mendiskriminasi antara
pekerja lokal dan pekerja asing. Dengan adanya kebijakan itu,
pekerja migran perempuan Indonesia ataupun yang dari luar
dengan pekerja lokal itu memiliki hak yang sama untuk bisa
mengakses jaminan sosial. Untuk pekerja migran perempuan
Indonesia bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan.
Programnya itu kalau tidak salah, program kematian,
tunjangan kesehatan, tunjangan hari tua, dan kecelakaan kerja.
Itu adalah kerjasama pertama dari kebijakan mengenai
jaminan sosial yang Malaysia kerjakan itu kerjasama pertama
dengan Indonesia. Dari BPJS Ketenagakerjaan sendiri, hal ini
merupakan suatu langkah yang baik untuk memperbaiki
perlindungan terhadap PMI Indonesia
Halida : Untuk implementasi Jaminan Sosial sampai saat ini
bagaimana bu?
Ibu Nunik : Sebenarnya, untuk kebijakan BPJS Ketenagakerjaan itu
sendiri belum bisa dilihat karena baru saja diluncurkan, baru
ditandatangani nota kesepahamannya, dan memang yang kita
harapkan adalah monitoring dan pengawasan karena selama
ini memang banyak sekali kasus-kasus yang menunjukkan
bahwa pekerja migran Indonesia sama sekali tidak terlindungi
dan tidak dapat mengakses jaminan sosial yang ada. Apalagi
yang pekerja migran perempuan Indonesia yang bekerja di
ranah- ranah domestik seperti PRT. Itu merupakan
permasalahan besar. Waktu itu juga sempat beberapa kali kita
(UN Women) minta bantuan kalau ada jenazah tenaga kerja
yang harus dipulangkan ke Indonesia tapi tidak punya biaya.
Nah itu juga bisa menjadi masalah, ini siapa yang harus
bertanggung jawab sementara tidak mungkin kita meminta
bantuan ke keluarga tenaga kerja karena mereka sendiri hidup
dalam kekurangan. Hal-hal yang seperti itu sebenarnya
menjadi PR yang kaitannya dengan PMI ini dari tata kelola.
Jaminan sosial itu mungkin hanya menjadi bagian dari
manajeman atau pengelolaan migrasi yang memang perlu
dinaikkan dan ditingkaitkan lagi ya memang tata kelola
migrasi Indonesia yang memang masih belom baik. Dimana
masih menjadi tumpang tidih koordinasi antara departemen
pemerintahan, itu dari perspektif migrasi. Namun jika dalam
perspektif perempuan itu banyak sekali pengalaman-
pengelaman perempuan yang tidak diakomodasi dalam
kebijakan- kebijakan itu. nah untungnya memang dari project
ini (Safe and Fair Migration) kita juga ingin kebijakan yang
baru Indonesia nomor 17- 18 itu punya perspektif gender dan
itu yang memang ingin ILO dan UN Women lakukan yang
ingin melihat atau untuk memberikan kontribusi bahwa nanti
UU turunan dari UU nomor 17- 18 lebih bersperspektif
gender.
Ibu Temmy : Jadi ada turunan UU No. 17 dan 18 berkaitan dengan BPJS,
mungkin yang sudah disahkan baru BPJS untuk tenaga kerja
migran. Jadi para tenaga kerja migran diwajibkan untuk
memiliki BPJS sebelum mereka berangkat.
Ibu Nunik : UU turunan mungkin selesai November 2019. Memang
masih banyak yang harus dilakukan. BPJS merupakan UU
turunan yang sudah disahkan oleh pemerintah. Tinggal
beberapa turunan yang memang harus disahkan dan
Kemnaker sendiri meminta ILO dan UN Women untuk
membuat penelitian tentang bagaimana perspektif gender itu
bisa diintegrasikan ke dalam UU turunan, agar dapat
mengakomodasi kebutuhan- kebutuhan perempuan khususnya
perempuan yang bekerja migran. Karena selama ini yang kita
tahu, jaminan sosial seperti BPJS ini kalau mau dilihat dari
perspektif gender. Sebagai contoh dari jaminan kesehatan
apakah sudah mencakup kebutuhan-kebutuhan reproduksi
perempuan misalnya. Apakah juga misalnya mengcover
klaim-klaim misalnya kalau perempuan ingin cek kehamilan
112
itu apakah dicover atau misalnya melahirkan, karena banyak
pekerja migran perempuan Indonesia yang melahirkan disana
nah apakah itu dicover? Atau cek HIV/AIDS untuk
perempuan? Karena banyak kasus yang kita dapati baik
tenaga kerja migran perempuan dan laki-laki setelah kembali
dari negara mereka bekerja itu mereka terkena AIDS, apakah
cek HIV/AIDS sudah dicover untuk tenaga kerja migran kita
disana oleh BPJS Ketenagakerjaan atau oleh Secso di
Malaysia? itu dari perspektif-perspektif perempuan ini yang
sebetulnya juga banyak pertanyaan dan memang UN Women
sendiri belum menemukan apakah hal-hal tersebut juga sudah
dicover oleh jaminan sosial disana
Halida : Menurut UN Women, apakah Indonesia dan Malaysia sudah
cukup bagus untuk pemenuhan jaminan sosial bagi pekerja
migran perempuan Indonesia? Indikator jaminan sosial.
Ibu Nunik : Jika dilihat dari banyak kasus, ya dapat disimpulkan masih
belum bagus karena kebijakan saja baru disahkan, nota
kesepahamamannya baru ditandatangani awal bulan ini
(Maret 2019) ya dari UN Women sama sekali belum bisa
mengatakan bahwa pelaksanaan jaminan sosial itu sudah
bagus. Apalagi dengan banyaknya kasus Malaysia sebagai
negara terbesar dan pertama yang menerima tenaga kerja
Indonesia. Kami akan mengatakan sama sekali belum bagus.
Kalau dari indikator ada tidaknya jaminan sosial, masih bisa
dikatakan masih sangat minim apalagi penerima jaminan
sosial masih dibawah 10%. Lalu bagaimana dengan mereka
yang tidak terdokumentasi? Untuk tenaga kerja illegal itu juga
masih menjadi masalah karena jumlahnya yang sangat banyak
dan tidak tercatat. Nah yang seperti itu sebetulnya perlu untuk
dipikirkan untuk memberikan misalnya jaminan-jaminan
sosial untuk yang undocumented workers ini karena kasus
yang selama ini ada bahwa mereka bukan pekerja migran
yang ketika ada kasus mereka PRT tetepi mereka tidak legal.
Hal itu mekanismenya seperti apa? Siapa yang akan
bertanggung jawab untuk itu? memang UU 17 dan 18 sudah
membuat kemajuan yang sangat baik bahwa disana dalam
pasal-pasalnya sudah ada mekanisme seperti pembagiaan
peran antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan desa.
Bagaimana desa itu sekarang harus menjadi corong bagi para
pekerja migran Indonesia yang akan berangkat. Mereka harus
punya data yang jelas, mereka mencatat dan memberikan
informasi langsung yang benar mengenai pekerja migran
Indonesia. Selama ini mereka (pekerja migran) sendiri
bingung kan. “Aku mau kerja ke luar negeri aku terlilit
hutang. Darimana aku bisa dapat informasi?” Sementara
kepala desa nya saja tidak tahu dan akhirnya mereka-mereka
ini mendapatkan informasi dari broker-broker yang tidak sah
dan illegal yang formal dari Disnaker, yang harusnya medical
check up harus bayar segini dia malah bayar segini atau
mungkin lebih murah tetapi banyak elemen-elemen yang tidak
dicek tidak sesuai dengann standar yang ditetepkan
Kemnaker. Akhirnya setelah sampai di Malaysia malah
dideportasi karena medical check-upnya tidak sesuai standar.
Nah itu kan banyak, kasus- kasus begitu. Itu karena
kesenjangan informasi yang ada di desa. Mereka (tenaga kerja
migran) tidak mendapatkan informasi yang benar mengenai
prosedur keberangkatan. Jadi sebetulnya persoalan jaminan
sosial sangat terkait dengan banyak hal seperti tata kelola
migrasi di Indonesia, mekanisme koordinasi, data pencatatan
yang tidak sinkron, mungkin di desa tercatat tetapi tidak
tercatat di provinsi atau Kemenlu mungkin. Sekarang kemenlu
sudah berinovasi mempunya “portal peduli” dimana pekerja
migran yang bekerja di luar negeri harus melaporkan melalui
portal peduli itu dan sebenarnya itu innovasi yang baik, itu
juga bukan hanya yang legal namun yang illegal juga harus
didorong untuk melapor tanpa ada sanksi. Namun, mereka
yang illegal kan terkadang takut secara psikologis. Hal ini
yang terkadang menjadi hambatan juga kenapa para pekerja
113
migran illegal ini tidak melapor. Itu menjadi masalah ketika
PMI kita ada masalah di negara tujuan. Data untuk cek dari
mana? Di Kemlu tidak ada, dia kan tidak melapor. Jika
terlapor di data Kemenlu, paling tidak koordinasi bisa
dilakukan antar-pemerintah namun kan kenyataannya tidak.
Jika data itu terlapor kan memang ada kontribusi juga dari
PMI nya sendiri mengenai kesadaran untuk melapor sangat
rendah yang dipengaruhi oleh hal-hal psikologis tersebut.
Permasalahan ini memang sangat kompleks dan jika diurai
banyak elemen yang harus diperbaiki, tidak hanya di aspek
jaminan sosial tapi aspek aspek lain yang mendukung yang
harus diperbaiki dan ditingkatkan.
Halida : Hambatan riil untuk pelaksanaan jaminan sosial untuk
pekerja perempuan?
Ibu Nunik : Hambatan terkait tata kelola yang belum baik, tumpang
tindih antar pemerintah, informasi data. Selain juga memang
kalau dulu kan memang ada persoalan dimana jaminan sosial
dulu kan tanggung jawab employer dan UU pemerintah belum
ada. Dulu sempat terhambat karena employer harus
mengeluarkan uang lebih untuk membayar premi jaminan
sosial, itu terkadang terhenti disana. Dari pihak Indonesia
sendiri terkadang kita yang menuntut pemerintah di Malaysia
untuk memberikan jaminan sosial kepada PMI kita ya disana
tidak mau melakukan itu ya karena mereka tidak mau rugi
karena harus membayar lebih. Tapi sekarang, sudah keluar
kebijakan pemerintah nah kita lihat apakah ini cukup
memberikan atau mendorong atau law-enforcementnya sudah
baik. Ketika pemerintah mendorong employer atau rekrutmen
agensi melakukan kewajibannya untuk memberikan jaminan
sosial kepada para pekerjanya harusnya kan di black list atau
ditutup. Nah ini kita harus melihat law-enforcementnya dalam
perjalanannya. Dan itu pentingnya dierapkan monitoring dan
evaluasi dari kebijakan ini dan tentunya penting adanya law-
enforcement ketika memang employer dan rekrutmen agensi
tidak memberikan jaminan sosial kepada pekerja harusnya
mendapatkan sanksi, atau di blacklist. Selama ini kan
rekrutmen agensi, masih banyak yang bodong yang tidak
terdaftar, yang kemudian malah melakukan perdagangan
orang, di eksploitasi dsb. Sampai saat ini pun, masih banyak
agen-agen rekrutmen bodong yang belum dikasi tindakan
tegas dan hal itu jadi salah satu hambatan bagi perlindungan
pekerja migran kita. Untuk masalah informasi, khusunya
daerah- daerah terpencil seperti NTT NTB mereka untuk
mencari informasi saja harus jalan sehari dulu baru dapat
informasi. Nah yang seperti ini di daerah terpencil bagaimana
perlindungan PMI itu lebih ditingkatkan terlebih yang secara
infrastruktur belum baik. Apalagi informasi- informasi rinci
seperti medical check-up, pelatihan harus diterangi tempatnya
dimana, siapa yang bayar. Nah melalui UU 17 & 18 sudah ada
hal-hal mengenai itu dimana medical check-up ditanggung
sendiri namun pelatihan- pelatihan ditanggung pemerintah.
Nah kalau yang tidak tahu informasi itu, misalnya rekrutmen
agensi kan “ini kamu harus ini itu ini itu kamu bayarnya
segini, nanti dipotong dari gaji kamu selama 12 bulan”
padahal kan biayanya tidak segitu. Hambatan terbesar
memang adalah kesenjangan informasi walaupun diakui
bahwa BNP2TKI sebagai lembaga perlindungan PMI
mengakui bahwa “kami itu sudah berbusa memberikan
sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya
bermigrasi legal” tetapi ketika sampai di bawah kadang
pilihan itu ada individu “saya mau ikut jalur legal atau
illegal. Jalur legal memang aman tapi akses sulit atau
mungkin prosesnya lama. Sementara keluargaku butuh dana
cepat untuk bayar hutang atau ibu saya sakit butuh
pengobatan” sementara tiba- tiba ada broker yang datang
untuk menawarkan kerja di luar negeri. Nah hambatan-
hambatan seperti ini lah yang ada di ranah grassroot atau
paling bawah. Strateginya memang harus ada pendidikan dan
114
sosialiasai kepada masyarakat dan memang untuk mengubah
itu tidak cepat karena kita mengubah perilaku orang dan
memang butuh waktu yang lama dan harus terus menerus
untuk menyadarkan mereka tentang migrasi yang aman.
Selain itu, alternatif lain bahwa jalur- jalur legal ini
dipermudah, dipercepat tidak membutuhkan waktu lama untuk
mengurus dokumen-dokumen. Jangan sampai sebelum-
sebelumnya kan proses migrasi secara legal itu membutuhkan
waktu lama, berbelit belit dan dengan kondisi uang yang
seperti ini tidak cukup untuk mengurusi proses migrasi yang
panjang. Pemerintah harus menyediakan prosedur yang cepat,
accessable, layanan-layanan yang memang langsung
dijangkau oleh masyarakat bawah. Mungkin itu solusinya.
Halida : untuk pelaksanaan jaminan sosial TKW Indonesia di
Malaysia sendiri saat ini bagaimana? Apa hambatan dalam
memenuhi jamsos untuk para TKW?
Ibu Nunik : di Malaysia sendiri sebenarnya hambatannya adalah para
pekerja migran itu tidak boleh berserikat. Sebenarnya trade
union inilah adalah tempat yang paling bagus bagi para tenaga
kerja migran untuk mereka bersosialisasi untuk mengakses
informasi-informasi, jaminan sosial, dan mengubah cara
pandang. Sayangnya, di Malaysia itu tidak membolehkan para
pekerja migran itu berserikat atau berorganisasi. Menurut
saya, ketika tidak adanya organisasi- organisasi ini akhirnya
para pekerja migran sendiri-sendiri, mereka tidak berserikat,
mereka tidak tercerahkan dan kadang- kadang juga mereka
tidak tau hak-hak mereka apa, terkait jam kerja, hari libur, jam
istirahat. Terkadang, hal-hal seperti itu yang membuat mereka
tidak tersadar oleh pekerja yang kebanyakan perempuan yang
hanya lulusan SD. Mereka menganggap ini sudah takdir
mereka dan mereka tidak tahu hak- hak mereka apa. Ketika
ada ada trade union, mereka jadi lebih punya kemampuan dan
keberanian untuk mengungkapkan hak-hak mereka. Jadi
ketika mereka dilecehkan oleh majikannya atau di abuse
mereka sudah minimal punya tempat kembali. Atau mereka
punya pengetahuan lah mengenai jaminan sosial apa yang
mereka harus miliki seperti jaminan kesehatan. Jika tidak ada
serikat buruh tidak ada kelompok, mereka tidak akan
terinformasi. Harusnya, jika di negara tujuan bekerja mereka
dapat berorganisasi, mereka pasti akan mendapatkan
informasi itu. atau jika di Malaysia sudah ada, mungkin
serikat buruh belum terlalu mapan seperti di Hongkong,
Taiwan dan Singapura. Kedua, terkait dengan kontrak kerja,
kenapa mereka tidak mendapat jaminan sosial. Rekrutmen
agensi seharusnya juga membuat kontrak kerja yang berpihak
kepada tenaga kerja migran. Selama ini kontrak kerja berpihak
kepada employer. Rekrutmen agensi kan sebenarnya
perusahaan- perusahaan yang ingin mencari untung, semakin
dia membahagiakan employer mungkin dia akan banyak order
dari employer- employer ini. Dengan kebijakan 17 dan 18 itu,
sebenarnya itu memberi ketegasan kepada para employer
untuk memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja migran
bahwa kebijakan yang diambil oleh perusahaan harus
memihak kepada pekerja migran. Hal itu berkaitan juga
dengan kontrak bahwa kontrak betul betul. Ada isu juga
bahwa kontrak yang ada di Indonesia, memakai bahasa
Indonesia yang dibaca oleh PMI sesampainya di negara orang
kontraknya dengan bahasa lain dan terkadang juga sudah
diubah beberapa itemnya yang tidak kepada tenaga kerja
migran. Seharusnya memang harus ada standarisasi dari
pemerintah terkait dengan kontrak. Kontrak yang betul-betul
memihak kepada PMI. Di dalam kontrak itu harus jelas,
bahwa PMI itu harus punya cuti, harus ada hari libur tidak
boleh overload kerjanya, makan harus 3x sehari. Harus
dispesifikan dan harus mendapatkan jaminan sosial yang
preminya dibayar oleh employer. Kontrak harus dipertegas
dan dicantumkan item- item, dan semua pekerja harus
mendapatkan kontrak seperti ini yang disahkan oleh Disnaker
115
dan BNP2TKI dan kontrak kerja seperti ini juga yang harus
dipakai di negara tujuan jadi tidak boleh berubah. Nah yang
seperti ini, sudah ada kontrak di Indonesia dan di negara
tujuan masih bisa berubah. Ada item- item yang dihapus
sementara PMI tidak bisa berbahasa di negara bekerja. Jadi
kalaupun itu kontrak, itu juga harus kontrak yang dipahami
dan dimengerti oleh PMInya sendiri.
Halida : Saran dari UN Women untuk Indonesia dan Malaysia dalam
pemenuhan jaminan sosial TKW Indonesia di Malaysia?
Ibu Nunik : Kebijakan yang gender responsif terkait pekerja migran ya
seharusnya kebijakan yang bisa mengakomodasi kebutuhan –
kebutuhan perempuan pekerja migran Indonesia. Bagaimana
cara mengetahuinya? Ya itu dengan mendengarkan suara-
suara atau keluhan mereka mengenai kebutuhan mereka.
Mereka sendiri yang mengungkapkan kebutuhan mereka di
lapangan, hambatan pemenuhannya apa saja, keinginan
mereka apa pengalaman mereka apa. Jadi pengalaman-
pengalaman dan suara suara buruh migran perempuan
Indonesia menjadi pusat untuk kebijakan yang responsif
gender. Jadi jangan berbicara mengenai kebutuhan perempuan
jika tidak mendengarkan mereka. itu tidak masuk akal.
Sementara perempuan sendiri itu kan beragam, kita sendiri
tidak bisa mengatakan bahwa semua kebtuhan perempuan
sama. Namun, paling tidak kebijakan- kebijakan yang
responsif gender itu harus bersifat inklusif bahwa perempuan
juga berasal dari etnik- etnik yang berbeda mempunyai
kebutuhan yang berbeda mungkin terkait dengan pekerjaan
mereka apakah high-skilled atau low-skilled. Nah perbedaan
inilah yang harus diakomodasi oleh kebijakan-kebijakan
terkait apalahi untuk perempuan yang berada di kondisi
rentan. Dengan mengajak perempuan berpartisipasi langsung
dalam pembuatan kebijakan itu adalah hal yang paling baik
untuk dilakukan.
Ibu Temmy: hambatan lainnya adalah akses peran rekrutmen atau majikan
untuk pemenuhan akses jaminan sosial. Seperti membantu
mereka jika sakit untuk ke rumah sakit. Untuk isu- isu
jaminan sosial, terutama tahun 2016 – 2018 belum ada
kerjasama antara Indonesia dan Malaysia. Jadi semua aktor
yang terlibat bekerja untuk PMI kita itu harus terlibat ikut
bertanggung jawab untuk mengetahui jaminan sosial dan
menyediakan fasilitas jaminan sosial itu untuk mereka (PMI).
Ibu Nunik: Ya memang hambatan lain untuk pemenuhan jaminan sosial
tersebut adalah akses. Salah satunya adalah transportasi,
waktu, uang. Terkadang mereka tidak punya uang, nah ketika
mereka sakit dan tidak punya uang untuk ongkos ke rumah
sakit yang menjadi rekanan dengan asuransi sementara
majikan tidak mau bantu. Terkadang hal sesederhana itu yang
terkadang memang menghambat untuk mengakses jaminan
sosial.
Ibu Temmy : Dan jaminan sosial itu harus terlaksana diseluruh Malaysia,
bukan hanya di Kuala Lumpur tapi juga di Sabah , Serawak.
Karena kan sebagian pekerja mmigran perempuan Indoensia
tidak hanya bekerja sebagai PRT ada juga yang bekerja
sebagai buruh pabrik dan itu kan ada di pedalaman.
2. Wawancara dengan ILO Indonesia
Date/place of interview : 5 April 2019, ILO Office in Jakarta
Name of institution: ILO in Jakarta
Name of interviewee : Ibu Shintia Dewi , Indonesia Programme Coordinator for Safe and Fair Labour Migration in ASEAN
Name of interviewer: Halida
116
Ibu Shintia : Tantangan ILO untuk jamsos PPMI saat ini. jadi di UU no.
18 tahun 2017 itu sudah tidak lagi digunakan TKI tapi PMI.
Kalau Internasional Labour Standard ILO mewajibkan aturan
yang ada baik itu aturan tentang force labour, freedom of
association atau social security. Untuk Indonesia sendiri sudah
baik bahwa sudah ada BPJS untuk Pekerja Migran. BPJS juga
harusnya melindungi baik itu di negara asal atau negara tujuan
(Malaysia). Tantangan secara umum, jika pekerja adalah
sektor informal maka UU di negara asal atau negara tujuan
belum mengatur secara spesifik bahkan belum mengakui
bahwa prt adalah pekerjadan merupakan suatu tantangan
untuk menerapkan social security.
Jika bicara standar pelaksanaan jaminan sosial itu yang harus
ditanyakan secara spesifikin ditanyakan adalah produk khusus
atau program khusus untuk pekerja migran itu sendiri. Nanti
bisa dilihat ada peraturan turunan, peraturan menteri No. 18
tahun 2018 mengatur tentang BPJS khusu PMI.
Terdapat jaminan kecelakaan kerja, PHK, jaminan hari tua.
Yang dibutuhkan adalah bagaimana mereka mengklaim
asuransi di negara tujuan. Seharusnya social protection di
kedua negara harus ada. Nah rasanya kalau BPJS sekarang
belum sampai kesana. Yang harus diatur juga itu klaim, apa
syarat- syarat klaim, BPJS memungkinkan tidak untuk di
klaim ke negara tujuan. Social protection itu harus ada
sebelum, selama, dan sesudah mereka bekerja. Nah ketika
selama bekerja, keselamatan kecelakaan bekerja akan
dipulangkan oleh majikan ke pekerja. Tapi kan pertanyaannya
apakah dipulangkan? Ketika mereka bekerja ini menjadi
concern banyak pihak karena apa yang mereka lakukan
disana. Selama mereka bekerja berarti tidak ditanggung ya?
UU No. 18 tahun 2017.
Pertama tadi itu, mekanisme klaim seperti dokumen apa yang
harus dilengkapi karena mereka ada dokumennya ditahan
dengan majikan. Harusnya prosedur itu mempertimbangkan
hal- hal seperti itu. jadi instrumen apa yang harus dipakai.
BPJS Indonesia secara umum dapat dikatakan sangat baik,
nah kalau bicara PMI nah ini kan termasuk baru. Nah ketika
mau klaim, klaim mereka juga harus dipermudah, jangan
klaim seperti pekerja yang formal. Nah prosedurnya harus
disesuaikan dengan kebutuhan PMI.
Konvensi 189 mengatur tentang domestik workers secara
khusus. Termasuk memberikan pengakuan bahwa PRT adalah
pekerja. Jadi pekerjaannya jelas, untuk upah jam kerja dan
istirahat. Walaupun tidak mengatur upah sampai seperti
karyawan pabrik, tapi tetap mengurangi risiko bekerja karena
kan para PRT bekerja di rumah yang tertutup dan itu banyak
tindakan abusive. Ada posisi tawar yang tidak seimbang
antara majikan dan pekerja. Kenapa kita berfosuk pada PRT
karena kerentanan tinggi dan risiko kerja yang cukup
membahayakan karena dirumah. Di beberapa negara seperti di
Arab Saudi, ketika mereka sudah dirumah mereka jadi
tanggungan majikan mereka negara tidak bisa ikut campur
atau intervensi urusan mereka. untuk itulah konvensi ini
diperjuangkan untuk diratifikasi, nah Indonesia belum
meratifikasi konvensi ini. tapi jika ingin menkhususkan
mengambil tema migrant workers, Malaysia itu memang yang
banyak kasus.
117
Kenapa Malaysia banyak sekali kasus ya, pertama dari negara
Malaysia sendiri mereka belum mengatur, dan Indonesia dan
Malaysia belum memperbarui MoU. MoU yang 2006 dan
diperpaibiki tahaun 2011 itu sudah kadaluarsa kalau tidak
salah di tahun 2016. Nah itu belum ada kesepakatan dari 2
negara. Kedua, border. Sangat mudah walaupun tidak
semudah yang kita bayangkan namun jika kita bandingkan
dengan ke Singapore dan Taiwan itu Malaysia lebih gampang.
Khususnya perempuan. Biasanya PPMI itu kan pergi ke Saudi
Arabia, Hongkong, Taiwan dan Singapore. Malaysia cukup
accessable tapi disana sendiri law enforcementnya bahwa
pengawasan terhadap pendatang atau PPMI Indonesia yang
berada di rumah tangga belum ada karena kan mereka saja
belum mengakui bahwa PRT itu pekerja. Jika mereka bekerja,
mekanisme pengawasan ketenagakerjaan. Dulu ketika ada
masalah pekerja anak, pemberi kerja dapat dimintai
pertanggungjaban. Tapi karena sektor informal ini belum
diakui sehingga mekanisme untuk mengkriminalisasi majikan
itu belum ada, belum ada pengawasan yang reguler. Kalau
bisa dilaporkan itu juga jatuhnya pidana. Jika ada majikan
yang memperkerjakan non-prosedural workers pun tidak ada
tindakan tegas jadi tidak adil. Majikan atau pemberi kerja pun
memanfaatkan kerentanan mereka, kan kalau misal gaji tidak
dibayar “sudah kamu terima gaji saja segini” kalaupun dikasih
jadi lebih rendah dong. Jadi majikan atau pemberi kerja
terkadang memanfaatkan pekerja undocumented ini, kadang
juga yang berdokumen suka dimanfaatkan.
Halida : Dari ILO sendiri untuk menilai jaminan sosial yang
diberikan untuk PPMI di Malaysia bagaimana?
Shintia : Untuk di Malaysia, jujur syaa belum tahu BPJS kita
bagaimana bekerja disana karena kan kita kalau negara
mungkin bisa di googleling untuk social security di Malaysia.
tapi untuk di Indonesia sudah ada BPJS Ketenagakerjaan. Jadi
untuk BPJS ini adalah instrumen social protection di
Indonesia. Kalau di Malaysia sendiri, BPJS seharusnya
bekerja dengan klinik- klinik yang ada di Malaysia tapi
seharusnya mengcover. Kan gini cara kerja BPJS kan iuran,
nah iuran PPMI Indonesia kan masuknya ke Indonesia jadi
kalau jaminan sosial di Malaysia saya belum bisa kasih
penilaian.
Untuk di Indonesia sendiri kan jaminan sosialnya sudah bagus
ya kan BPJS ada Ketenagakerjaan dan Kesehatan itu
mekanismenya sudah baik dan bagus. Hanya sekarang ini,
untuk pekerja migran punya program khusus jadi bukannya
jelek atau tidak namun karena ini produk baru, UU nya baru
jadi belum kelihatan juga. Jadi kita belum bisa menilai karena
belum berjalan. Tapi concern kita tadi untuk mempermudah
akses mempermudah klaim pekerja migran itu hak mereka.
kedua concern kami adalah produk BPJS Ketenagakerjaan
unutk PMI berfokus untuk memberikan pelayanan kesehatan
di negara Malaysia.
Ada ILO Convention C. 157 tentang maintenance of social
security rights
Konvensi ILO tahun 1997 Migration for Employment,
Konvensi ini bertujuan untuk menghindari diskriminasi dan
ekploitasi ketika mereka bekerja di negara yang bukan
negaranya. Mereka bicara soal social security equality of
118
treatment dihadapan hukum dan praktik-praktik. Dan untuk
standar ILO jika diterapin disana harusnya sama antara di
Malaysia dan Indonesia, untuk memberikan layanan.
Untuk di ASEAN sendiri kondisi umumnya masih ada
diskriminasi antara pekerja lokal dan migran. Mereka yang
bekerja sebagai tenaga migran harusnya tidak dapat social
security. PRT juga masih seperti itu, ya PRT itu kalau di
ASEAN baru Filipina yang meratifikasi C.189. Malaysia itu
belum secara umum mengadopsi C. 197
Halida : selama tahun 2016 -2018 peraturan mengenai social secuirty
belum ditegakkan. Bagaimana hambatan pelaksanaan jaminan
sosial selama 2 tahun tersebut?
Shintia : sebenarnya kalau BPJS itu sebenarnya ada komponen
formal. Jadi formal itu mereka yang bekerja di sektor formal
dipotong gaji untuk membayar iuran, misalnya potong gaji 6%
dari perusahaan dan 2% dari pekerja itu sudah ada. Nah
sebelum ada UU ini pun produk formal BPJS sudah ada, tapi
tidak dikhususkan untuk PMI. Jadi mereka bilangnya hanya
informal. Tapi tahun ini, negara membuatnya lebih fokus
bagus ini bahwa sekarang ikut jamsos itu wajib dulu tidak
wajib. Tapi ada biaya yang namanya biaya untuk asuransi.
Sebelumnya mereka punya suransi tapi asuransi ini dulu
adalah swasta yang lebih tidak jelas lagi bagaimana
pengaturan dan pengawasannya. Jadi sebenarnya transformasi
ini lebih memberikan perlindungan dan transparansi. Dari
dulu kewajiban untuk punya asuransi dari dulu diwajibkan
tapi baru ada UU dan tahun ini mulai dipegang oleh negara.
Itu yang sekarang jauh lebih terlihat keberpihakannya kepada
PMI. Tapi kalau dulu asuransi kesehatan saja yang
diselenggarakan oleh pihak swasta.
Nah sekarang tahun 2017 itu BPJS Ketenagakerjaan ambil
ahli asuransi PMI nah iurannya itu jadi lebih murah. Nah ini
mulai ada secara khusus asuransi mitra TKI. Tapi apada
umummnya isi dari UU No. 18 tahun 2017 itu mereka
menginginkan, kalau yang 39 tahun 2004 itu semua proses
migrasi dari sebelum sampai mereka kembali itu semua diatur
oleh perusahaan itu namanya PJTKI. Di UU yang baru No. 18
tahun 2017, PJTKI itu hanya sebagai agen. Dalam UU ini
Indonesia mencoba memotong proses yang begitu banyak
dilakukan oleh swasta begitu juga dengan klaim asuransi TKI.
Jadi dari dulu sudah ada asuransi TKI Cuma yang mengelola
swasta tapi bukan hanya terkait dengan asuransi. Tapi UU
sebelumnya juga mengatur bahwa semua proses dari
rekrutmen sampai proses penempatan, pemulangan dan
asuransi itu semua dikelola oleh swasta. Kalau UU yang baru
sekarang, swasta itu tidak boleh ada yang rekrutmen, kenapa?
Karena pola-pola rekrutmen ini yang sangat rentan terhadap
TPPO.
Standard pelaksanaan jamsos baik dari Indonesia maupun dari
Malaysia. standar pelaksanaan jaminan sosial pada dasarnya
itu diatur untuk PMI dari Konvensi 197. Pada prinsipnya jika
negara ingin mengatur mengenai tenaga kerja migran harus
mengacu pada labour standard salah satunya padaConvention
dan harus diratifikasi, tapi jika tidak diratifikasi maka mereka
tidak punya kekuatan hukum yang tetap, mereka tidak legally
binding nah itu yang saya tidak tahu apakah Malaysia sudah
meratifikasi Konvensi yang sama.
119
Pada dasarnya BPJS Ketenagakerjaan atau social security
yang kita punya sekarang memang hanya lokal workers
(citizen of Malaysia/ citizen of Indonesia). Di negara-negara
ASEAN ini pada umumnya, karena informal sektor belum ada
legal statusnya sehingga mereka juga sulit untuk dilindungi.
Leaving migrant workers working in irregular situation and
working informal economy unprotected.
Halida : Jadi untuk informal sektor belum tercover dengan baik?
Shintia : Iya, jadi belum. Kalau Indonesia sih sudah punya Peraturan
Menteri yang mengatur pekerja rumah tangga tapi sifatnya
peraturan menteri, maksudnya kekuatan hukumnya tidak
terlalu kuat. Nah disini yang tadi saya bilang lack of
coordination between countries can prevent migrant workers
for obtaining the coverage of social security scheme. Jadi
koordinasi antarnegara karenakan setelah lama dia bekerja itu
bagaimana. Dalam proses migrasi sebenarnya aktor- aktornya
banyak, pemangku kepentingannya banyak ada pemerintah,
employers, serikat pekerja, ada standar internasional, ada
faktor politik. Rata-rata kita punya ini Interational Labour
Standards mengharuskan blablabla........., political factors
dengan increase cost doing business adalah pada umumnya
jadi di semua sektor, mereka harus bilang bahwa “Oh kalau
saya harus bayar gaji segitu dan sebagainya maka costnya
akan menjadi besar” sedangkan negara-negara berkembang
tidak punya cost yang banyak.
Jadi kita bisa lihat, kebutuhannya adalah perlindungan disana
tetapi kita masih lihat bahwa masih sulit untuk negara tujuan
memenuhu itu.
Halida : Jadi dapat disimpulkan hambatannya itu lebih ke formal
sector, ada perbedaan pemenuhan jamsos antara pekerja lokal
dan pekerja migran,
Shintia : Iya benar ada perbedaan antara pekerja lokal dan migran di
negara tujuan. Yang menjadi akarnya juga itu karena informal
sector tidak diakui sebagai pekerjaan. Yang kedua karena
tidak diakui sebagai pekerjaan mereka dibilangnya helper
sehingga produk-produk hukum, mekanisme peraturan atau
perlindungan apapun di negara tujuan itu tidak bisa
menjangkau ke negara tujuan.
Kita tidak bisa melakukan pengawasan ketenagakerjaan
karena pekerjaan mereka belum diakui jadi tidak ada
tanggung jawab. Kala pengawasan ada tapi mereka tidak
ditugasi untuk mengawasi PRT maka mereka tidak lakukan
itu karena tidak ada dalam prosedur pekerjaan mereka. Hal-
hal itu yang menjadi dasar permasalahan. Disebebkan mereka
informal jadi banyak sistem ketenagakerjaan negara tujuan
yang tidak memberikan perlindungan.
Halida : Apakah sulit untuk memenuhi jaminan sosial mereka terkait
dengan kondisi kerja mereka? Karena para PPMI ini kan
sebagian bekerja di dalam rumah yang sulit untuk keluar
Shintia : Untuk kondisi kerja bukan menjadi faktor penghambat
mereka sulit mengakses jaminan sosial, karena PMI kita juga
ada yang di sektor pertambangan tapi, itu formal sama halnya
dengan kelapa sawit. Jadi sebenarnya bukan masalah dimana
mereka bekerja tapi pekerjaan ini itu harus diakui bahwa
berkontribusi terhadap perekonomian negara tujuan. Karena
kalau tidak ada PRT, warganegara sana tidak bisa bekerja.
120
Jadi sebenarnya pengakuan itu ya tadi. Mereka juga belum
mengakui karen abelum ada good will saja. Pun di luar negeri
pekerja informal malah jauh lebih mahal kan. Kedua, pada
prinsipnya ILO punya satu prinsip dalam mengembangkan
Konvensi, karakteristik namanya yaitu flexibility. Apa sih
flexibility? Itu adalah kami menyadari bahwa negara-negara
anggota ILO mempunyai perbedaan context (budaya, sejarah,
sistem hukum, level ekonomi) jadi cukup fleksibel untuk
negara anggota. Seperti contah upah minimum, tidak mungkin
setiap negara sama, jadi itu salah satu karekteristik Konvensi
ILO. “bagaimana nanti PRT kita gaji dengan 3jt, UMR
Jakarta” sebetulnya tujuan besar mereka adalah PRT itu jelas
pekerjaannya “pekerjaan kamu apasih, jam kerja jelas, dan
gaji dibayarkan”. Oh majikan mampunya seberapa gaji
mereka tapi jangan seperti “oh diakan saya sekolahin”. Nah
salah satu faktor yang membuat mereka rentan itu adalah PRT
ini mempunyai hutang budi.
Kemarin kita riset ada PRT yang tidak dibayar selama 10
tahun, bayangkan lamanya berati kan mereka secara
emosional, psikologis membuat mereka entah tidak berani
atau mereka berhutang budi. Jadi ILO menyarankan ketika
pra-bekerja atau persiapan para PPMI ini dikasih tahu hak
mereka jadi mereka punya kemampuan untuk menuntuk hak
mereka. sehingga, ILO berharap dengan kontribusi besar yang
PRT buat itu jelas jam kerjanya karena banyak yang tidak
sesuai. Seperti yang seharusnya bekerja di 1 rumah jadi kerja
di 5 rumah, awalnya jadi PRT terus jadi urus orang tua.
Ada permasalahan sebenarnya dari akar rumputnya, dimana
sebagian besar PMI yang dikirim bekerja ke luar negeri
berpendidikan rendah, terkadang mereka tidak bisa menulis
dan membaca dan hal itu membuat merka tidak mengerti
dengan kontrak kerja mereka belum dengan pemotongan gaji,
dsb. Semua itu ada di kontrak kerja kan apalagi mereka
bekerja di luar ngeri dan dirumah orang asing. Ada kasus
dimana PRT dibunuh dan tidak diketahui karena mereka kerja
di rumah orang, apalagi jika mereka bekerja secara ilegal
bagaimana mereka harus dipulangkan. Nah tenaga kerja
informal ini harusnya menjadi fokus karena kondisi kerja
mereka sangat rentan dan produk- produk atau mekanisme
hukum itu belum ada untuk informal. Di Malaysia sendiri
belum ada khusus untuk informal.
Hambatan dan tantangan terbesar untuk pemenuhan jamsos.
Jika menyasar pada migrant domestik workers, sektor
informal maka tantangan terbesar adalah terkait dengan tata
kelola migrasi yang aman baik dari sebelum bekerja, selama
bekerja, dan ketika kembali pulang ke negara asal. Hambatan
terbesar adalah para PMI ini pendidikannya rendah dan
Malaysia tidak mensyaratkan level pendidikan tertentu.
kenapa ini penting? Karena mereka mau bekerja di luar negeri
dan kalau mereka tidak bisa baca lalu bagaimana mereka
mengerti dokumen mereka, mereka mau baca kontrak mereka.
Banyak pengetahuan- pengetahuan teknis yang setidaknya
mereka harus tahu harus mereka pahami untuk tinggal dan
bekerja di luar negeri. Penting juga terkait dengan mengetahui
hak-hak mereka nah kenapa tidak paham yang menjadi hak
mereka karena perusahaan-perusahaan PJTKI, itu ya mereka
itu kan punya kepentingan, orang- orang ini kan berangkat
jangan sampai tidak berangkat. Nah tadi yang lebih banyak
dikedepankan adalah kewajibannya. Termasuk jika ia bisa
121
baca kontrak, mereka tahu kenapa mereka di potong gaji.
Kemarin kami melakukan FGD, dan terkadang dari mereka
tidak tahu kalau potong gaji itu masalah. Pekerjaan migran
kita tidak tahu hal itu masalah, seperti pelanggaran kontrak
kerja pelanggaran hak. Jadi intinya adalah, ketika mereka
berangkat mereka harus cukup usia mereka harus punya
pemahaman, ketika mereka mau bermigrasi dokumen apa
yang harus mereka bawa. Terkadang dari mereka saja tidak
punya KTP dan Paspor untuk mengurus saja dibutuhkan
waktu lama. Dan bayangkan jika mereka langsung kerja di
luar negeri dengan orang asing, ada perbedaan budaya seperti
di Malaysia mereka lebih canggih dari kita dan bahasa mereka
juga bahasa inggris. Kedua, walaupun pekerjaan mereka
informal, mereka tetap harus dibekali dengan training. Karena
berbeda teknologi yang dipakai seperti vacuum cleaner.
Jadi tata kelola itu ada di setiap tahapan migrasi. Jadi
bagaimana pengawasan untuk Badan Latihan Kerja Luar
Negeri (BLKLN) terkait dengan standarisasi modul, orang
yang kasih training. Untuk para PMI harus ada kesiapan lah.
Jadi sebelum mereka berangkat jika kita membaguskan PPMI
kita kerentanan yang mungkin akan dihadapi mereka juga
berkurang.
Permasalahan sering terjadi ketika ada perubahan kontrak,
dimana kontrak disini yang sudah ditandatangani PMI benar
tapi di negara tujuan diubah. Kadang-kadang karena mereka
tidak tahu mereka punya hak mereka tidak bisa bela diri, nah
yasudah. Kalau di pulangin, yasudah.
Kedua, jangankan mereka ada yang tertipu sudah bayar 80jt
ke calo atau sponsor dia tidak melapor. Mereka takut untuk
melapor. Jadi kasus-kasus yang bisa kita cegah dari PMI atau
yang bisa dikurangin ya mungkin tadi dari mereka berangkat
disiapin. Mereka mungkin harus tahu, misalnya mereka lulus
SMA sudah mulai itu PT PT sosialisasi kerja di Malaysia atau
kerja di Hongkong, gaji 20tj tapi kan ada risiko lain. trus
kondisi bekerja disana bagaimana. Jadi kita itu sebenarnya
kerja di Taiwan, Malaysia kita kerja di Apartmen, tempatnya
tidak besar juga, mereka juga terbatas geraknya mungkin
majikannya juga berpikir terlalu mahal sekali bayar gaji untuk
PRT yang hanya bekerja di ruang kecil gini. Namun, tidak
bisa kaya begitu karena mereka bekerja untuk kalian. Jadi
tidak bisa ini ada yang “aduh majikan saya suster, dia
kerjanya kayaknya stress banget ini makanya saya
digebukin”.
Tantangannya mereka berangkat bahwa mereka sadar, tahu,
dan siap untuk berangkat kerja ke luar negeri bukan karena
keluarga mereka punya hutang budi ke calo. Jadi mereka
karena pengetahuannya salah kan gini calo mereka kan
sebenarnya kasih uang saku tapi sebenarnya uang mereka
nanti dipotong dari gaji. Nah seperti itu kan pengetahuan yang
salah ya. Sedangkan UU yang baru itu memotong semua
rantai yang namanya calo. Iya itu kan mereka kan sedikit dikit
dimanipulasi kan oleh “uang jajan” itu kan dipotong juga dari
gaji mereka, dan lebih besar dari uang jajan itu. Pernah ada
PRT dari Singapore atau Taiwan yang gaji bulannya 100rb
karena selebihnya dipotong. Mereka juga tidak merasa itu
masalah. Bayangkan jika mereka lapar, maksudnya gini
disana kan orang kan kebiasaan makan 1 roti dan 1 susu
122
misalnya, kita kan tidak bisa budaya seperti itu kan. Nah kalau
misalnya mereka gaji cuma 100rb coba cukup tidak untuk beli
nasi sebulan. Jangankan untuk kasih keluarga sehingga
mereka akan berulang berangkat lagi. Kita berharap mereka
jika sudah berangkat migrasi tidak berangkat lagi. Tapi ya tadi
PT itu ya kalo memang aturannya dipotong 9 atau 6 bulan itu
tidak apa-apa tapi kan ini aturannya dipotong 6 bulan tapi di
potong 9 bulan. Ya itu tadi mereka hanya menghasilkan 1,2 jt
pertahun. Tapi jika mereka tahu gaji mereka sebulan 3jt,
100rb itu kurang. Kalau mereka tahu kan tidak perlu orang
pintar banget tahu kalau ada yang salah. Itu saja, saya pikir
perlu ada metode yang jauh lebih mudah dijangkau, dipahami
oleh PMI. Jadi buat sosialisai tentang migrasi yang aman,
proses dokumen yang mereka mudah mengakses khususnya
untuk perempuan yang mudah dipahami.
Jika kita bicara pemenuhan jamsos ini kan bukan sesuatu yang
mudah dipahami. Kalau memang targetnya mereka (PMI) kita
harus buat sesuatu yang mudah. Misalnya cara buat paspor,
kenapa kita harus punya paspor karena paspor adalah identitas
kita karena di luar negeri KTP tidak berlaku. Hal- hal seperti
ini harusnya mereka paham ya sebelum mereka berangkat
sebelum mereka masuk ke PT. Jadi kalau mereka ke PT pun,
mereka punya bayangan atau punya pilihan. Peluang itu
identik dengan pilihankan maksudnya mereka itu mereka juga
kesempatan untuk bilang “oh saya tidak mau bekerja di luar,
saya mau bekerja di dalam negeri saja” tapi mereka tahu
alasan mengapa mereka mau bekerja di dalam negeri. “oh iya
di Malaysia gajinya sama kok kaya di Jakarta, kalau di
Jakarta mungkin saya lebih gampang untuk pulang. Jadi saya
bisa memilih dong.” Jadi para calon PMI ini bisa memilih
begitu, tidak dipaksa. Kan dipaksa kebanyakan karena
lingkungan yang memaksa mereka kan “ayo dong kerja di
Malaysia, kerja di Malaysia”. tapi kalau mereka punya
pengetahuan seperti di Jakarta kan tidak terlalu jauh, mungkin
kalian lebih bisa ya sama lah budayanya daripada tiba-tiba
kamu kerja ke luar negeri, butuh paspor. Mereka saja tidak
paham mereka butuh paspor. Termasuk pemahaman mereka
itu kan butuh paspor, salah satu syarat untuk punya paspor kan
akte lahir ya itu tadi mungkin KTP saja mereka belum punya,
akte lahir apalagi. Mungkin pemerintah sekarang membuatnya
lebih sederhana ya dengan adanya Layanan Terpadu Satu
Atap di UU kita. Jadi sebenarnya seperti itu, mereka kan
kesana harus bikin paspor yang harus sesuai nama dan usia
karena ketika saya pulang. Risiko yang terjadi kan misal
ketika mereka meninggal di negara tujuan, KTP nya Jawa
Timur ternyata dia orang Flores. Jadi ada manipulasi kan
disitu, jadi itu sudah TPPO.
Untuk pemenuhan jaminan sosial ya mungkin tadi asistensi,
memastikan bahwa mekanisme klaim pastikan bahwa proses
klaim itu memberikan prioritas dan akses terhadap PPMI. Jangan
sampai itu dipegang oleh suami atau keluarga. Perempuan itu
juga jangan yang kerja capek-capek tidak punya hak. Jadi harus
ada mekanisme memberikan perlindungan, dia yang bayar para
PPMI ini juga harusnya dipastikan bahwa dialah yang menerima
klaim itu. Kedua, pengakuan terhadap informal sektor masuk ke
dalam peraturan, UU, legislasi nah itu semua baru bisa dipenuhi
berarti kan harus diakui dulu bahwa mereka adalah pekerja dan
informal sektor itu kan juga harus diberikan perlindungan yang
sama. Pekerja informal seperti agrikultur, daya resillence mereka
juga lebih rendah. Misalnya kalau dipertanian lahan dibakar kan
123
sudah habis ya mereka tidak punya modal lagi. Nah itu tadi
makanya sekarang mulai dibuatkan informal jamsos karena kalau
mereka sudah habis satu habis semua harta mereka kan jadi di
informal sendiri harus diberikan perlindungan. Jadi ketika
informal sektor dilindungi, diberikan perlindungan untuk
pemenuhan hak-haknya tenaga kerja yang bekerja kepadanya.
Maka semua pihak itu juga akan menjadi diuntungkan. Jadi kalau
banyak lahan terbakar, petani menggangur kan makin banyak
pengangguran juga. Kemudian kalau mereka tidak punya
kemampuan untuk bertani lagi, itu loh prinsip jamsos untuk
membantu mereka karena nanti negara kan akan food insecurity
ketahanan pangan mahal. Kita selalu bilang bahwa di infromal
sektor harus dapat perlindungan walaupun prinsip flexibilitynya
harus disesuaikan.
3. Wawancara dengan Serikat Buruh Migran Indonesia
(SBMI)
Halida :Penelitian ini mengenai pemberian jaminan sosial untuk
perempuan pekerja migran Indonesia (PPMI) di Malaysia.
Untuk itu saya ingin bertanya lebih dalam mengenai skema
pemberian jaminan sosial untuk PPMI di sana
Pak Bobi : Tidak ada skema khusus untuk jaminan sosial PPMI di sana,
semua sama dan masih ada hambatan. Hambatannya ini BPJS
hanya berlaku di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang
(UU)No. 18 tahun 2017. Jadi untuk BPJS itu bisa berlaku di
luar negeri harus ada aturan hukum yang lain. Misal,
Kementerian teaga Kerja sudah pernah mengajukan program
legislasi tentang RPP Perubahan tentang Peraturan Pemerintah
tentang manfaat jaminan sosial. Sehingga jaminan sosial ini
bisa berlaku untuk buruh migran dan dapat berlaku di luar
negeri. Tapi saya melihat adanya terobosan-terobosan yang
dilakukan oleh BPJS. Misalnya kerja sama dengan Perkeso di
Malaysia di awal 2019. Tapi kita belum melihat bagaimana
implementasinya. Saya kira itu yang pertama skema khusus
itu tidak ada. Seharusnya sih ada ya.
SBMI itu sendiri lembaga yang mengorganisir mantan-mantan
buruh migran, terutama mantan buruh migran yang
bermasalah. Karena penanganan kasus itu untuk kita jadi
sebagai salah satu strategi untuk pengembangan advokasi atau
pengorganisasian. Jadi dengan program itu, dengan merekrut
mantan buruh migran yang mengalami persoalan menjadi
anggota organisasi kemudian kita juga bisa melakukan
pembedayaan dengan cara satu kita bisa bantu penanganan
kasusnya, kedua kita bisa bantu peningkatan keterampilan
untuk wirausaha sehingga mereka diharapkan tidak lagi
bekerja ke luar negeri ulang.
Halida : ada pemanfaatan remitansi mereka ya ketika sudah balik ke
negara asal
Pak Bobi : ya bisa remitansi bisa dimanfaatkan, karena ada lembaga
IOM yang bisa memberikan bantuan berupa modal kepada
pekerja migran tapi harus di edukasi dahulu. Asumsinya
remitansi itu pasti akan dikonsumsi. Jadi di edukasi dahulu
apa itu tentang wirausaha atau keterampilannya.
Halida : Ok baik, lalu apakah ada kendala khusus dalam mengatur
jaminan sosial untuk PPMI?
Date/place of interview :
2 Mei 2019, Jakarta
Name of institution:
Serikat Buruh Migran
Indonesia (SBMI)
Name of interviewee :
Bobi Anwar Ma‟arif, Sekretaris Jendral
Name of interviewer :
Halida
124
Pak Bobi : jadi jaminan sosial untuk pekerja migran yang ada saat ini
memang ada 3 jenis. Pra-penempatan berlaku kurang lebih 6
bulan, masa kerja pada saat mereka bekerja artinya ketika
mereka di luar negeri itu 24 bulan atau sesuai dengan
perjanjian kontrak, yang ketiga setelah pulang 1 bulan. Nah
yang pada saat bekerja itu tidak bisa karena tidak berlaku
karena rata-rata negara tujuan penempatan sudah
memberlakukan asuransi. Di Malaysia juga ada asuransi tapi
masalahnya asuransi di Malaysia itu PRT tidak masuk karena
PRT itu bukan dianggap sebagai pekerja. Mereka
menganggap PRT itu pelayan “servant”. Nah hal itu juga
yang sekarang diperjuangkan agar kata-kata servant atau
helper itu dia menjadi employee. Dengan begitu jaminan
sosial untuk pekerja migran domestik dapat diakses.
Kita sudah bekerja sama dengan beberapa NGO di Malaysia
juga dengan ILO. Ada juga perwakilan dari Migrant Care
yang menjadi staff Perdana Menteri Malaysia khusus untuk
permasalahan buruh migran. Ini yang kita harapkan dapat
membantu menaikkan posisi PRT.
Halida : Jadi untuk pelaksanaan jaminan sosial dapat dikatakan masih
ada celah ya karena belum meliputi pekerja domestik?
Pak Bobi : Iya masih ada celah. Celah itu di pertarungan apakah kita
bisa atau jaringan kita di sana itu bisa meyakinkan kepada
pemerintah bahwa helper itu di dalam UU nya diubah menjadi
employee. kalau itu dapat diubah artinya peluang pekerja
domestik mendapatkan jaminan sosial di sana itu tinggi. Tapi
kalau misalnya ternyata pemerintah Malaysia tidak dapat
mengubah helper atau servant menjadi employee maka balik
lagi ke pendekatan yang dilakukan BPJS mereka harus
melakukan kerjasama dengan badan asuransi di sana agar
PPMI di sana dapat mengakses jaminan sosial. Tapi sulit
banget asuransi di Malaysia itu sulit sekali. Kita sebenarnya
ada kerja sama dengan pengacara di sana. Misalnya SUMITA
namanya, itu kita sudah ada kerjasama. Namun masalahnya
buruh migran yang pulang kemudian seharusnya mereka
mendapatkan jaminan sosial itu tidak memiliki kelengkapan
dokumen. Misalnya dokumen itu ya kepesertaan dia
bergabung dengan asuransi di Malaysia, perjanjian kerja, visa,
paspor. Terkadang dokumen seperti itu hilang atau ada yang
rampas.
Halida : Lalu bagaimana jika kehilangan dokumen? Karena melihat
peraturan hukum dari kedua negara, pekerja migran yang
mendapatkan asuransi haruslah yang terdaftar atau
berdokumen. Jika ada hal seperti tadi apakah PPMI bisa
disalahkan?
Pak Bobi : Menurut kami buruh migran itu tidak ada yang salah
walaupun dari awal mereka bekerja mereka lewat jalur
unprosedural. Itu kan harus dipertanyakan mengapa ada
warganegara Indonesia pergi ke luar negeri tanpa prosedur.
Ada kerja- kerja pemerintah yang tidak dilakukan. Misal di
perbatasan, di imigrasi, di embarkasi untuk meneliti dokumen-
dokumen warganegara Indonesia yang akan berangkat ke luar
negeri. Berangkatnya sebagai apa itu mereka, pelajar kah,
melancongkah, atau kuliah atau kerja yang skilled. Nah kita
kan tidak tahu, harusnya pemerintah yang tahu. Kalau di level
itu ya buruh migran tidak ada yang salah, kalau menurut kami.
Hal itu karena pemerintah yang punya kewenangan.
Halida : Lalu bagaimana Anda melihat pemerintah mengatur regulasi
jaminan sosial di Malaysia?
Pak Bobi : Ya pemerintah tidak dapat mengatur regulasi di Malaysia
karena pasti tidak akan mau diintervensi oleh Indonesia
Halida : Lalu bagaimana dengan adanya MoU?
125
Pak Bobi : Iya MoU itu kan dalam rangka perlindungan untuk WNI kita
di Malaysia konteksnya begitu. Jadi di Malaysia pemerintah
Indonesia melakukan sesuatu. Misalkan inovasi BPJS bekerja
sama dengan Perkeso. Jadi MoU itu bagian dari aspek
perlindungan hukum. Pertama di UU kita kan negara yang
menjadi penempatan tenaga kerja kita kan harus memiliki
perjanjian tertulis, bilateral antara Indonesia dan negara tujuan
atau mereka memiliki UU tenaga kerja asing atau mereka
memiliki UU jaminan sosial yang khusus. Masalahnya ini di
pasal itu, ada yang mengatakan tiga persyarata itu wajib ada
yang mengatakan salah satu saja. Nah hal itu kita belum dapat
tafsir resmi dari pemerintah yang mana yang berlaku. Apakah
tiga-tiganya harus terpenuhi atau pilih salah satu saja.
Halida : Untuk PPMI di Malaysia, apakah mereka sudah
mendapatkan yang namanya jam kerja sesuai, hari libur, cuti,
dan mengikuti serikat buruh?
Pak Bobi : di Malaysia karena PRT belum diakui sebagai pekerja maka
konsekuensi hukumnya tidak boleh berserikat. Walaupun ada
serikat buruh disana itu harus seuai Malaysia Trade Union
Congress (MTUC). Kemudian belum juga diatur mengenai
kondisi kerja. Jadi belum ada dari mereka yang menerima itu
bahkan agen itu bisa membuat aturan sendiri. Misalnya
handphone selama 1 tahun tidak boleh dipegang. Untuk
komunikasi saja mereka tidak bisa, lalu bagaimana untuk
libur, keluar izin, berorganisasi aduh itu akan susah sekali.
Kita berharap betul, kata-kata helper servant dapat diubah
menjadi employee.
Halida : lalu ada permasalahan khusus kah untuk PPMI di Malaysia?
Pak Bobi : masalah yang terbanyak ini, misalkan menurut data World
Bank ada 9 juta buruh migran Indonesia di luar negeri kurang
lebih setengah ada di Malaysia.Di Malaysia yang terdata oleh
pemerintah itu sekitar 2jutaan, 2 juta lainnya tidak terdaftar.
Jadi ada banyak buruh migran Indonesia yang ada di Malaysia
itu tidak terdata dan tidak tercatat. Nah dugaannya kemana
mereka, pertama ke perkebunan sawit, kedua di sektor
bangunan/konstruksi, dan yang ketiga PRT. Jadi kalau dia
tidak terdaftar.., jadi satu kebijakan negaranya ya misal
Malaysia memberlakukan direct hiring, Indonesia tidak bisa
semua harus pakai PJTKI. Ini menjadi celah bagi kelompok-
kelompok tertentu yang usaha di perekrutan untuk bisa masuk
ke Malaysia. kedua, masalah kebijakannya Indonesia dan
Malaysia sudah habis masa berlaku MoU dan sampai
sekarang belum pernah deal apa yang diperjanjikan
antarnegara itu. kalau perjanjian antarnegaranya saja belum
deal lalu bagaimana misalnya nanti ada perjanjian perusahaan
perekrut atau agen lalu kemudian baru ada perjanjian-
perjanjian lainnya. Lalu kalau di perjanjian antarnegaranya
saja belum deal lalu nanti ini berdampak pada perjanjian
antarperusahaan.
Belum deal itu maksudnya belum ditandatangani atau belum
disahkan oleh keduanya. Nah kalau itu belum disahkan kan
lama sekali sementara penempatan buruh migran terus
berlanjut baik yang prosedural maupun unprosedural. Artinya
mengacu lagi pada MoU yang lama. Nah kalau masih
mengacu pada MoU yang lama berarti tidak ada batasan
waktu dong. Padahal disitu ada batasan waktu. Terus
kemudian praktik dilapangan karena ada perbedaan antar itu
lalu kemudian banyak orang yang melihat orang pergi ke
Malaysia itu tidak melalui PJTKI karena satu PJTKI itu
mahal. Nah kalau melalui jalur perseorangan itu lebih murah
tapi masalahnya tidak ada jaminan apakah nanti buruh migran
akan diurus permitnya, visanya, misalkan kaya begitu. Itu
jaminannya begitu susah dan korbannya ribuan. Satu orang itu
bisa rugi RM 1.000 – RM 2.000. Bayangkan jika RM10.000
buruh migran mau beli visa atau permit. Jadi banyak di sana
itu masalah permit, permit saja dibisnisin laku. Ada yang
126
menjual permit dan laku. Dan teman-teman (PPMI) kita
disana juga mudah percaya tidak me re-check lagi. Terus
permasalahannya lagi untuk sektor domestik karena mereka di
dalam rumah itu susah untuk pengaduan terlebih agen dapat
mengintervensi misalkan tidak boleh pegang hp selama 1
tahun. biasanya bagi buruh migran yang berani biasanya
mereka kabur tapi konsekuensinya apa gaji, dokumen itu tidak
diterima. Ini menjadi masalah baru karena biasanya yang
mudah merekrut itu kedai, mereka yang kabur kerja di kedai-
kedai tapi rasa kenyamanannya hilang karena tidak
berdokumen. Bagi warganegara Malaysia, mereka (PPMI)
yang tidak berdokumen dan visa yaudah itu jadi bisa
ditangkap dan dimanfaatkan oleh polisi untuk cari uang. Jadi
polisi- polisi di Malaysia itu terlatih banget itu siapa pekerja
migran yang berdokumen dan berdokumen. Jadi kalau mau
selamat tidak dipenjara, tidak di provokator bayar RM100,
lumayan kan. Kemarin jamannya Mahatir Mohammad
melakukan kebijakan PATI (Pekerja Asing Tanpa Izin) tanpa
ampun itu bayar, jadi itu meningkatkan pemasukan juga bagi
para polisi. Begitu diragukan itu ancaman, gara-gara dokumen
tidak terlindungi hak-haknya gajinya itu saja untuk bayar
polisi.
Memang kita dekat dengan pemerintah disana tapi terkadang
mereka tidak melindungi tenaga kerja kita. Jadi masalahnya
terstruktur di birokrat pemerintah juga ada, kemudian
organisasi sipil masyarakat yang pro seperti itu juga ada.
Halida : Dalam pandangan SBMI sebagai NGO, apakah pemerintah
Indonesia dan Malaysia sudah baik dalam pemberian jaminan
sosial untuk PPMI?
Pak Bobi : untuk jaminan sosial dalam hal ini BPJS, SBMI belum
melihat baik program itu karena satu tidak sesuai dengan
target awal. Target awal itu risiko 13%, terus tata cara
klaimnya seharusnya dipermudah, ketiga pelakunya diganti
BPJS. Ternyata pelakunya diganti BPJS, risiko dikurangi terus
klaimnya juga ada yang susah. Terus tidak berlaku di luar
negeri. Lalu muncul kawan-kawan SBMI di daerah bahwa
BPJS itu jadi Badan Penampung Jaminan Sosial itu
ngumpulin duit sajaa tapi untuk klaim agak susah.
Dana asuransi itu ada sekitar kurang lebih Rp 113 Milyar tapi
yang bisa di klaim hanya 1,5% dibandingkan swasta dulu
yang kita sebut “celengan smart” bisa di klaim 12% - 20%.
Kalau fakta seperti ini lebih baik balik lagi ke sawasta. Target
kita memang ingin dengan badan pemerintah dengan target
karena pemerintah tidak cari keuntungan sehingga semua
jaminan sosial, risiko- risiko bekerja di luar negeri bisa di
klaim ternyata tidak.
Halida : Ok baik, jadi hambatan itu pertama dari segi regulasi,
penegakkan hukum masih sangat minim masih kurang
meningkat dan masih kurang merangkul PPMI itu sendiri.
Lalu BPJS juga belum berlaku di negara tujuan
Pak Bobi : Contohnya kalau dulu ada asuransi PHK, permen yang
sekarang itu ada PHK lalu ketika revisi ada tapi risiko PHK
ini di bawah BPJS itu JHT (Jaminan Hari Tua). Jadi kaya
orang tabung, ya kalau kaya orang nabung lalu bagaimana
cara nabungnya? Bagaimana ngumpulin dana dari mereka?
iya ini kan masih menjadi pertanyaan mau dikumpulin
bagaimana. Terus kedua di PHK, bagaimana mereka bisa
mengdapatkan dana untuk JHT. Ini kan jadinya PPMI yang
kena kasus PHK mereka tidak bisa mendapatkan manfaat
untuk JHT. Ada program tapi tidak bisa kerjanya bagaimana?
Halida : jadi dari regulasi, tata cara klaim, dan adanya permasalahan
terstruktur dari pemerintah juga. Lalu pemerintah Malaysia
juga belum melihat PRT itu sebagai pekerja. Jadi mereka
banyak dikecualikan dari produk- prduk hukum.
127
Pak Bobi : Iya di Malaysia itu diskriminasi dilihat sebagai sesuatu yang
umum. Harusnya ada kerjasama lebih kuat dengan Malaysia
apalagi Malaysia ganti Presiden. Cari juga jalan politik untuk
lebih mengedepankan perlindungan untuk WNI disana.
4. Wawancara dengan North South Initiatives Malaysia
Halida : Is there any special scheme of the protection for Indonesia
female migrant workers in Malaysia?
Mr. Adrian : The MoU which Malaysia signed with other countries is
normally secret so we don‟t have access to that. So the MoU
of Indonesia and Malaysia about the Protection of Domestic
Migrant Workers is already expired.
Halida : Yes, It was expired in 2016
Mr. Adrian : Correct. In Malaysia, the government don‟t share the MoU
with Civil Society (in regard with this CSO/Civil Society
organization). So we don‟t know about what inside the MoU.
So if you just mention female migrant workers is not just
about domestic workers, so we have also in plantation and in
manufacturing sectors and also in the service sectors. So there
are so many sectors for Indonesia female migrant workers. So
since we don‟t know what inside the MoU is very difficult to
promote their rights according to the MoU. Number 1 because
we don‟t know and actually it has already expired.
Halida : Actually, the MoU is similar with Employment Act of
Malaysia which regulates wages, minimum working hours per
day and a week, rest hour.
Mr. Adrian : Ok, so the domestic workers the government of Malaysia
mention it on the Employment Act but excluded them for few
chapters. So almost no protection though for them. They
excluded because first of all they called “domestic helper” and
then they are excluded for many chapters in Employment Act.
For example for the minimum working hours and wages don‟t
applied for them.
Halida : Is there any special obstacles to protect Indonesia female
migrant workers?
Mr. Adrian : I think the government together with ILO produce “Garis
Panduan” untuk majikan Pengkhidmat Domestik Asing. So it
just the guidelines not really enforceable and that also
guidelines for High Minimum Domestic workers. So it just
guidelines not the law so they still lack of agreement for
domestic workers. So the sectors of Indonesia female migrant
workers in domestic, plantation and manufacturing need more
protection but domestic worker is more precarious situation
because it cannot enforce, even Labor Inspection cannot be
done inside the house of the employer of domestic workers. It
mixes what happened in domestic workers so there is no
really guarantee of their safety, their rights which guarantee
their salary and break time. So nobody checking and if you
look at recruitment process of migrant workers it is so very
precarious because lots of problems or initial negotiations of
terms of work or you have the contract mobile or in in the
paper. The problem is begin from the recruitment stage so we
don‟t know how the Indonesian process is and in Malaysian
side the recruiters are very exploited. This domestic workers
cannot have a phone, there is no protection then and the agent
Date/place of interview :
3 May 2019, via whatsapp call
Name of institution:
North South Initatives,
Malaysia
Name of interviewee :
Mr. Adrian Pereira
Name of interviewer :
Halida
128
can decide also oh there is no holiday for the domestic
workers. So the Sunday (day off) is often don‟t applied to the
domestic workers. So the employers called it rest day so you
can rest but cannot go out of the house. So that means the
problem with the law, the law very reduces the protection of
the workers.
Halida : So domestic workers who mostly form Indonesia have
restricted from the Law and hence it makes them excluded
from attaining their social security?
Mr. Adrian : Yes, if you compare… the workers don‟t even have contract,
they don‟t even some cannot even read, they have low literacy
level so they cannot attain their rights and their bargaining
powers is very low, they very afraid to negotiate. Even there is
no clear guidelines for the workers on how to ask for medical
treatment. So all of this is the gap of laws. The guidelines
basically represent what the government cannot guarantee to
the workers. There was a low that said female workers cannot
work at night because of the security but if the company want
the night shift for the women the company must provide
transport, safety for the women workers. So the Malaysian
law have some discriminate of law which prevent the
movement of working at night.
Halida : How about joining the trade unions for migrant workers? Is
it only for formal sector or informal are encouraging for join
the trade union?
Mr. Adrian : So in Malaysia because domestic workers are excluded from
the laws so they don‟t have rights to join or to form the union.
But for other sectors they can joining the trade union. There
was success story when Indonesia female migrant workers
they joined the trade union but the cannot leave the trade
union. So they have very positive stories like success in terms
of they have better protection, they have more salary, they
have day-off.
Halida : So if the Indonesia female migrant workers can join the trade
union and hence they can also promote their rights to the
social protection?
Mr. Adrian : Yes, Now the Malaysian government has removed the
Compensation Act and removed it with the SOCSO but it still
not 100% save as what the Malaysian experience yah the
Malaysian have more coverage. So they still submit
recruitment for data. It applies d on 1st January 2019 but not
fully covered Malaysian. So in the past, if the migrant workers
die or have accident the compensation is very low but now
with the SOCSO the compensation is higher.
Halida : Is SOCSO improve Malaysia government to better protect
migrant workers?
Mr. Adrian : Yes, yeah we can said so but still can improve
Halida : Ok, and what is the biggest problems faced by Indonesia
female migrant workers in Malaysia and how the best solution
for them?
Mr. Adrian : Yeah I mean lot of workers they don‟t have knowledge of
their rights. So it is easy for the employer to manipulate or
exploit them. Also there is no real proper orientation for the
workers and the workers also they escape from fight. There is
no protection, they not confident to access to justice. They
don‟t have enough knowledge to fight, don‟t have enough
knowledge of the contract because the contract Is the
protection mechanism between employers and employees to
protect two parties. However, the workers don‟t understand
the contract so the workers could be exploited. I don‟t think
there is sufficient pre-daparture orientation and the pot arrival
129
orientation, I think it is important to have post arrival training.
I know before the Indonesia female migrant workers coming
to work in Malaysia they must signed they decent work, they
have done the minimum training but they not have enough
sub-skills. So if they don‟t understand enough their rights they
just enough sub-skills then the employers can get angry and
trying to exploit. Also the training is important for workers
who don‟t have enough knowledge or desire to seek their
rights. They just accepted anything from the agent, so the
agent said what the employees just following them and when
everything happened it was just too late. So we must look for
very strong preventive recommendations how to fix the
system before coming to Malaysia. I think the regulations
before depart to the receiving country is very important to
solve the chunk of problems. I don‟t know why the both
government cannot come up with the post arrival and pre
departure training because it can really give workers the
confident and knowledge and one thing I found out about
Indonesia female migrant workers sometimes they feel the
documentation is not important. So ok they follow the tekong
or the agent without document and then the go to Batam and
come to Malaysia. It means they have to take so many high
risks and it is very shocking, they also have simple thinking is
ok to come to Malaysia without proper document, I have to
send money to my family but they don‟t think about the high
risk, they can be abuse by the police, by the immigration, by
agent, they can be traffic, and abuse by the employers. I think
the workers mindset have to be changed because if they
allowed themselves to be exploited then how we can solve the
problems. That was almost the willingness to be exploited. I
work a lot with Indonesia female migrant workers but they
don‟t take serious with this matter. For Indonesia female
migrant workers livelihood is more important, their families
getting the remittances is important and also from the history
they can think that come to Malaysia is very easy they can
come and leave anytime they want. Those are not the
problems for them and if something bad happened to them,
they think they just can run away from the employers. So it is
very easy from the employers to exploit the workers. So even
if they come they don‟t know about one day off, they don‟t
learn from the training, they cannot participate in the union.
So it is difficult for them to empower themselves from their
sides. So if we have proper orientation before working we can
solve the problems.
Halida : So your suggestion is to provide pre and post training in
sending and receiving countries?
Mr. Adrian : yes, it is very clearly defined for them the risks and the
protection that they deserved as rights. But there is a problem
in Malaysia called the problem to access the justice. So if we
cannot guarantee the workers justice through the institutions
so the workers don‟t really care about the rights we could say
the system cannot allowed them to have justice. They don‟t
want fight for their rights so that motivation is influence from
the actual reality in Malaysia that the access to justice for
migrant workers in Malaysia is very minimal. The law is good
but the enforcement is not really good. Of course the law have
some gap so then the workers fell don‟t protected so they can
decide what can they do next.
Halida : Regarding about Indonesia female migrant workers how you
see the social security works so far?
Mr. Adrian : I mean if they join the union, they have better knowledge of
their rights, better compensation, the overtime work is
monitored but many unions in Malaysia is very small so still
not covered under unions. So now we have SOCSO it should
be good, so we have more confident. It have compensation for
accident occurred at the work. Besides SOCSO, the another
130
one is Accident happened outside like accident and surgery
but limited.
Halida : Ok from that problems start from the law until the practical
scheme applied in Malaysia, can you explain me more about
the problems and barriers regarding the social protection for
Indonesia female migrant workers in Malaysia?
Mr. Adrian : in Malaysia, the workers they don‟t know about their rights
hence they just silence if something went wrong to them. So
many undocumented workers and they are not protected by
social security and the employers manipulated them with
saying that “they are not our workers” or “they are not
working for me” so they can deny the compensation or they
obligation.
Halida : Besides to those problems, what about the working
conditions?
Mr. Adrian : Ya, if the migrant workers working at home they have lower
safety, because there is no monitoring committee can come to
the private house. Sometimes the workers don‟t even know
they have holiday. So they very high risk.
Halida : From the perspectives of your institution as the NGO who
work closely with the government for the labor migrant, How
is your opinion about Indonesia and Malaysia for providing
the social protection for Indonesia female migrant workers in
Malaysia?
Mr. Adrian : I don‟t think is good enough, it is very bad though
Halida : And what are the indicators that make you said so?
Mr. Adrian : Yeah, when there is problem I mean there is trafficking
sometimes. And when the trafficking happened there is no
clear response from the embassy, I mean not so efficient the
response. In other hand on Malaysian side the Labor
Department is not very efficient as well so they don‟t respect
the factories, the don‟t conduct the inspector and they don‟t
protect the safety which leads to the high risks. So the
institutions, I cannot say totally fail but not fairly improve
here.
Halida : so the institutions themselves not take serious of this issue?
Mr. Adrian : Yes, you know that the embassy have shelter for the migrant
workers but still there is the case and the response still late
sometimes. And sometimes if they are victims of trafficking
there is special law of Anti Trafficking in Person so that is the
different side of protection in trafficking. So if the migrant
workers is played or have a rule in trafficking and smuggling
the migrant workers also will lose their job and deported from
Malaysia and the process take long time to investigate though.
So I as the lead of NS Initiatives NGO is sometimes join the
consultations with the government and bring the issues to the
Malaysia government and talked with other related
Department. We also talked to the union and we try to
develop the whole culture not just legal protection but also the
protection for migrant protections. I have talked with
Indonesian embassy for 3 years, they said yes the MoU is still
enforcing but the number of migrant workers died also
increased. So I don‟t understand why they don‟t gave full
protection. So we can see the delayed regulations from the
both country. So my suggestion we have to improve, both
countries have to elaborate more government to government
to protect workers so it can be the effective mechanism to
protect migrant workers. And also involved with the ASEAN
Migrant Labor to improve the better policies for migrant
workers protection across borders.
131
I think the term of serious or no cannot be apply of this
occasion but the both government not aware and not
responding as they should because the workers are contributed
to the both countries economics and they are support for the
grow of economy so as the actor who is involving for the
developing of the both countries economic and the region they
must be providing with best protection. They must be given
the proper protection for social security regardless they
documented or undocumented because they actually exploited
from the industries and the mission. I think the embassy told
me, every month 5.000 migrant workers migrant detected, so
we must guarantee that the workers have proper to justice and
legal representation. So if they go the the court they can
understand they right to say they are not guilty. Currently if
the migrant workers go to the court they prosecutor said they
guilty.
One thing is good for Indonesian government, if the migrant
workers in undocumented in Malaysia the Indonesian
government can still give Indonesian ID like passport. But the
should tell the Malaysian government to give the work permit
and try and give the rehiring process. Rehiring process,
conducted from 2017 – 2018, it gives the opportunity for
undocumented workers to get the document. Just like legalize
their presence in Malaysia, but the process if failed. The
private sector is the leadership, and so many workers cheated.
And from Sabah, there were pressure to legalize all the
migrant workers it comes from the Palm oil sectors so they
legalize the undocumented migrant workers otherwise the
Malaysia government and the palm oil will be accuse for force
labor because you hire workers through illegal channel like
trafficking and smuggling.
Halida : So I can conclude from this interview session that the
barriers to protect Indonesia female migrant workers star from
the lack of legal system or law including migrant workers and
some of the laws excluded domestic migrant workers.
Mr. Adrian : My conclusion is I think the Malaysia develop very fast
middle income GDP because exploiting migrant workers. We
cannot continue to deny social protection just because we
need profit because we want develop faster. Because when
you have aggressive development, let‟s say you want more
production, you want more building you want more palm oil
you want more output so you make more pressure on the
workers you make them work overtime with no holidays. So
this is just the result of the development aggressive, so I think
there is a plan designing like that. You see the workers don‟t
knowing their rights like very designing scheme. You know
Malaysia is really want to develop their GDP. That is my
conclusion.
5. Wawancara dengan PPMI, Ibu Sofi Gayuh
Halida : Apakah ibu bisa bercerita bagaimana awalnya ibu bisa
bekerja di Malaysia?
Ibu Gayuh : Saya kerja di Malaysia dari tahun 2014 – 2019. Awalnya sih
ikut, jadi dari sekolah itu ada penyaluran tenaga kerja ke luar
negeri. Terus direkrut lah orang- orang yang ingin kerja di luar
negeri. Terus saya direkrut lah untuk bekerja di Malaysia dan
saya keerja di Malaysia.
Date/place of interview : 15 Mei 2019, via whatsapp
Name of institution: Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), Sektor pabrik
Name of interviewee : Ibu Sofi Gayuh
Name of interviewer : Halida
132
Halida : Jadi sebelum bekerja di Malaysia sudah ada penyuluhan
untuk bekerja di Malaysia ya?
Ibu Gayuh : iya sudah ada cuma kayaknya kalau untuk kuliah sambil
kerja tidak ada, tidak sesuai begitu. Jadi awalnya itu sekolah
saya itu menawarkan sekolah sambil kerja di Malaysia. Nah
tapi kalau untuk bekerja memang betulah kerja tapi kalau
untuk sekolah melanjutkan kuliah itu tidak ada, jadi tidak
sesuai. Ujung-ujungnya kita yang cari sendiri. Dulu awalnya
begitu.
Halida : Lulus SMA ya dari sekolah ditawari kerja di Malaysia?
Ibu Gayuh : Iya ditawari.
Halida : Lalu ibu memilih untuk ambil kerja di Malaysia?
Ibu Gayuh : Iya, karena kan saya ditawari untuk sekolah juga jadi saya
memilih untuk ambil jadi saya pergi ke sana.
Halida : Berarti bekerja disana dengan jalur legal?
Ibu Gayuh : Jadi untuk bekerja disana itu ada prantara lagi, namanya PT
yang memberangkatkan ke Malaysia.
Halida : Untuk bekerja ke Malaysia sudah menerima visa kerja ya
mba?
Ibu Gayuh : Iya sudah ada visa. Jadi pas sudah sampai sana sudah
lengkap semua dari asuransi, tempat tinggal semua. Dari
paspor sendiri itu kita yang pegang di Malaysia dan untungnya
saya dapat pabrik yang bagus, pabrik produksi harddisk (PT.
Western Digital Malaysia).
Halida : Kontrak bekerja memang 5 tahun ya dari tahun 2014 – 2019?
Ibu Gayuh : Tidak sih, kalau kontrak maksimal 10 tahun pekerja asing
cuma karena kebetulan pabrik yang saya bekerja itu tutup
pindah ke Thailand jadi ya terpaksa semua operatornya yang
di Western itu harus dipulangkan ke Indonesia semua.
Halida : Apakah itu bisa dikatakan PHK (Pemutus Hubungan Kerja)
Ibu Gayuh : Iya bisa sih bisa dikatakan begitu.
Halida : Dari awal dengan dokumen lengkap dan tempat kerja di
Pabrik, untuk asuransi ibu menerima asuransi apa saja ya?
Ibu Gayuh : Asuransi ya saya terima. Asuransinya asuransi jiwa, jadi ada
yang namanya kartu AIA dan jga kartu MyCare. Jadi itu kartu
asuransi buat kita disana. Jadi dalam setahun itu isinya ada
RM 40.000/ orang. Jadi kalau misalkan kita mau berobat
kemana- mana, kita tinggal tunjukkin kartu itu kita bisa
berobat kemana- mana.
Halida : Sudah pernah menggunakan kartu ini?
Ibu Gayuh : Pernah, sering malah. Kaya kita ambil obat saja pakai kartu
itu gratis jadi dipotong dari premi tersebut.
Halida : Dari beberapa info yang saya baca disana pekerja migran
dikasih asuransi semacam FWIG, SKHPPA, FWCS. Apakah
mba dapat slah satu dari itu?
Ibu Gayuh : itu MyCare sudah termasuk itu. Jadi waktu saya terakhir
sebelum pulang, ditanyain oleh klinik “kapan saya last kerja”
saya bilang tanggal segiini- segini jadi sebelumnya dia tanyain
dulu begitu. Jadi MyCare sudah ngerangkup semua asuransi.
Di Malaysia itu ada kartu khusus kaya AIA dan MyCare. Jadi
di setiap klinik disitu yang ada tulisan MyCare dan AIA boleh
digunakan.
Halida : Menurut bacaan saya dan beberapa masukan dari orang yang
saya wawancara, jaminan sosial untuk pekerja migran
133
khususnya PPMI di Malaysia itu masih sangat minim. Kalau
ibu sendiri ada masalah untuk menggunakan asuransi tidak?
Ibu Gayuh : Alhamdulillah saya dapat pabrik yang bagus yang sangat
bertanggung jawab dengan operatornya jadi kalau mengalam
kesulitan segala macam tidak ada. Jadi kalau dari MyCare
kalau kita mengalami kesulitan atau sakit lebih parah
sekalipun itu memang kita ditanggung dari asuransi tersebut.
Kebetulan pabrik ditempat saya bekerja itu bertanggung jawab
dengan pekerja- pekerjanya.
Halida : Untuk akomodasi sendiri apakah disediakan dalam keadaan
baik?
Ibu Gayuh : Untuk akomodasi sendiri kita, pekerja Western, disediakan
sebuah komplek, ruma teras begitu. Rumah teras yang besarm
nah dalam satu rumah itu bisa ada 70-100 orang dan dalam
rumah ini fasilitasnya sudah ditanggung sama perusahaan
juga, dari kasur, lemari, kulkas sampai biaya listrik pun
memang perusahaan yang tanggung.
Halida : Jadi sudah cukup baik untuk asuransi dan akomodasi. Untuk
mengikuti serikat buruh apakah diperbolehkan?
Ibu Gayuh : Kebetulan saya ikut komunitas Serantau Malaysia saya jadi
anggota dan sekretaris dalam organisasi ini.
Halida : Kegiatan dalam organisasi ini apa saja ya?
Ibu Gayuh : Kadang Serantau juga ngadain re-hiring sudah begitu
kumpul- kumpul sama teman buruh yang ada di Malaysia, atau
ngadain kerjasama dengan KBRI kaya begitu.
Halida : Hubungan serikat pekerja ini dengan KBRI bagaimana?
Ibu Gayuh : Ya kalau menurut saya sih deket tapi tidak terlalu. Kadang
kan kita ada perbedaan pendapat.
Halida : Dengan adanya serikat buruh tersebut membuat mba makin
tahu tugas dan kewajiban ibu tidak sebagai pekerja migran?
Ibu Gayuh : Iya, saya lebih pertama lebih ngerasa bersyukur karena
banyak teman- teman yang di Malaysia itu tidak seberuntung
dengan pabrik yang saya dapatin. Terus dari hal keil yang
seperti cara kita membuat paspor yang awalnya saya tidak tahu
lalu saya tanya dengan teman- teman serikat jadi saya lebih
tahu begitu, mereka kasih solusi cara seperti apa seperti apa
begitu. Pokoknya kalau ada masalah tanya ke Serantau ini
mereka kasih solusi, jadi serikat ini berfungsi banget sebagai
tempat bertukar infromasi.
Halida : Di serikat itu apa ada yang kena masalah?
Ibu Gayuh : Banyak. Banyak banget malah. Ada yang gajinya tidak
dibayar lalu lari ke Serantau pun itu banyak. Biasanya mereka
yang banyak masalah bekerja di bidang rumah tangga begitu
PRT. Soalnya kan mereka ada yang dapet majikan baik dan
kurang baik.
Halida : Lalu kalau ada pekerja migran yang bermasalah, serikat
buruh Serantrau biasanya akan melakukan apa?
Ibu Gayuh : Biasanya kalau setau saya, Serantrau kasih perlindungan dan
mengarahkan untuk ke KBRI dan segala macamnya. Dikasih
saran tapi memang tidak sepenuhnya tapi dikasih solusi, kalau
masih bisa ditolong ya ditolong begitu.
Halida : Selama menggunakan asuransi, ibu pernah merasakan ada
masalah?
Ibu Gayuh : Iya ada kadang. Kaya misalkan ke klinik, jadi di Western
pabrik saya itu mayoritas pekerjanya orang Indonesia nah
kalau misalkan ke klinik jadi kalo orang Indonesia ini
diperiksa agak cepat kalau orang tempatan agak lama
periksanya. Kalau orang Indonesia itu misal ditanya kan
134
“kamu sakit apa?” “sakit panas” terus sudah dicek pakai
stateskop doang sudah langsung suruh keluar, kaya begitu
semua. Pemeriksaannya kurang begitu. Terus dari kalau ke
supermarket, kasirnya kan orang Melayu mereka tahu kita
orang Indonesia karena logat kita jadi dia itu sinis ke kita.
Yang ngalamin ini bukan saya saja, ada orang lain juga seperti
itu.
Halida : Untuk asuransi sendiri, ada masalah tidak dalam pemenuhan
asuransi?
Ibu Gayuh : Untuk di pabrk saya baik orang lokal maupun pekerja migran
sama dapat asuransinya MyCare dan tidak sulit dalam
menggunakan asuransinya.
Halida : Untuk kontrak kerja sendiri kan awalnya 2 tahun, nanti bisa
ditambah lagi ya?
Ibu Gayuh : Iya kan kontrak kerja kita awalnya 2 tahun nanti kalau mau
tambah kerja lagi kita bisa perbaharui kontrak kerja lagi kayak
ngisi formulir begitu untuk penamatan dan penambahan tahun.
Kalau kita tambah kerja asuransi dan akomodasi sudah
langsung otomomatis dari asuransi sampai tempat tinggal tetap
berjalan. Itu sudah memperbaharui sendiri kita tinggal terima
jadi sama halnya kalau kita mau selesai kerja nanti ada briefing
slesai kerja.
Permasalahan terkait pelatihan PPMI ini juga hadir dari PPMI
itu sendiri. Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur
mengatakan bahwa pada saat para pekerja migran diberikan
pelatihan oleh mereka dan pemahaman akan hak- hak mereka,
mereka tidak terlalu menganggap serius pelatihan itu.248
Pola
pikir PPMI juga menjadi salah satu faktor yang menghambat
pengetahuan mereka akan hak- hak mereka.
248
Arisman dan Ratnawati, 77
“Satu hal yang saya temukan dari pekerja perempuan
Indonesia adalah mereka tidak menganggap dokumen sebagai
hal yang penting. Mereka juga mempunyai pemahaman yang
sederhana seperti tidak apa-apa saya bekerja di Malaysia tanpa
dokumen yang lengkap karena saya butuh uang untuk keluarga.
Namun mereka tidak memikirkan tingginya risiko akan hal itu.
Mereka tidak berpikir jika mereka dapat disalahgunakan oleh
polisi, oleh Keimigrasian, oleh agen rekruitmen, bahkan mereka
dapat dijadikan korban perdagangan orang.”249
6. Wawancara dengan PPMI, Ibu Castirah
Halida : Bisakah Ibu menjelaskan kepada saya awal mula ibu bekerja
di Malaysia?
Ibu Castirah : Biasa saya masuk melalui sponsor (agen)
Halida : Untuk dokumennya lengkap disiapkan?
Ibu Castirah : Lengkap
Halida : Sebelum bekerja, apakah ada kontrak kerja?
Ibu Castirah : Ada
Halida : Dari awal bekerja di Malaysia memang di sektor domestik
(pelayan rumah tangga)?
Ibu Castirah : Iya
Halida : Selama bekerja di Malaysia dari awal, apakah ibu
mendapatkan jaminan sosial? Seperti asuransi bu?
249
Wawancara dengan NS Initiatives
Date/place of interview : 15 Mei 2019, via whatsapp
Name of institution: Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), sektor rumah tangga
Name of interviewee : Ibu Castirah
Name of interviewer : Halida
135
Ibu Castirah : Awalnya dapat waktu melalui agen itu dapat tapi sekarang
tidak lanjut karena saya sudah lari dari agen jadinya tidak
lanjut lagi menggunakan asuransi.
Halida : Apa masalah yang membuat ibu lari dari majikan ibu
sebelumnya?
Ibu Castirah : Saya lari karena tidak digaji dengan agen. Gaji saya
dipegang agen jadi saya memang tidak menerima gaji dalam
14 bulan, sampai 9 majikan juga tidak menerima gaji.
Makanya dari Malaka itu saya lari ke Kuala Lumpur.
Halida : Apakah di kontrak kerja tertulis jika gaji dipegang agen
dulu?
Ibu Castirah : tidak, seharusnya gaji memang gaji itu dimasukkan ke dalam
rekening kita yang dibuat majikan. Jadi gaji dari majikan itu
langsung masuk ke rekening tapikan waktu itu gaji dari
majikan pertama selama 2 bulan dikembalikan ke agen. Saya
lari karena gaji saya ditahan sama agen. Semua majikan
memberi gaji tapi gaji saya ditahan.
Halida : Apakah ada biaya-biaya yang ditanggung oleh ibu sehingga
agen memotong gaji ibu?
Ibu Castirah : Tidak itu waktu sebelum saya perpisahan dan dapat uang itu
dipotong Rp 4.000.000,- tapi itu kan sudah dipotong 2 bulan
gaji pertama. Setelah potongan itu semua, gaji itu hak saya
tapi alesan agen biar uang tidak dikirimkan ke kampung biar
gak habis jadi itu ditahan sama agen itu alesannya.
Halida : Jadi sekarang ibu sudah ganti agen?
Ibu Castirah : Sekarang sudah tidak melalui agen lagi
Halida : Selama bekerja di Malaysia, asuransi yang ibu terima apa
saja bu?
Ibu Castirah : Dapat asuransi kesehatan waktu itu tapi tidak masuk karena
kan asuransi itu kan waktu melalui agen masih dapat asuransi
setelah keluar dari agen gak tahu tidak diurus lagi asuransi.
Halida : Majikan ibu bantu urus asuransi?
Ibu Castirah : tidak
Halida : Tapi majikan ibu sempet suruh ibu ikut asuransi atau buat
asuransi?
Ibu Castirah : tidak sih, tidak ngomong- ngomong
Halida : lalu selama ibu bekerja di Malaysia pernah sakit atau pernah
ada kecelakaan saat bekerja bu?
Ibu Castirah : Ya kalau cuma sakit pilek, sakit kepala sih pernah saja tapi
sembuh dengan minum obat rumahan saja. Kalau sampe ke
rumah sakit dan ke klinik belum pernah.
Halida : Ok baik, Sekarang kan sudah tidak pakai agen lagi apakah
ibu sebeleum bekerja ada kontrak kerja?
Ibu Castirah : sekarang gaada, gaada kontrak kerja lagi
Halida : Ok, lalu bu bisa dijabarkan bedanya bekerja dengan agen
dan tanpa agen bagaimana bu?
Ibu Castirah : Ya kalau melalui agen kan kontrak kerja kan 2 tahun. Kalau
belum habis kontrak kerja kan belum boleh balik kan.
Sekarang sudah tidak melalui agen sudah tidak ada kontrak
kerja ya gitulah kapan kita mau balik mungkin bisa, jadi
majikan kasih pulang setahun sekali.
Halida : Jadi kalau tanpa agen itu memang dilain sisi boleh pulang
tergantung dari majikan tapi di lain sisi jadi tidak dapat
asuransi dan kontrak kerja ya bu. Lalu ibu bekerja sehari
berapa jam bu?
Ibu Castirah : Tidak nentu ya tidak terhitung. Kalau sudah ya sudah begitu
saja kadang kalau lagi banyak kerja ya sampai malem kalau
136
kerjanya sedikit masih sore pun sudah santai begitu. Jadi tidak
pasti.
Halida : Ada hari libur yang dikasih majikan bu?
Ibu Castirah : Ada, kalau hari minggu ada.
Halida : Liburnya di dalam rumah apa bisa ke luar rumah bu?
Ibu Castirah : Saya bisa keluar rumah. Kadang keluar saya ikut organisasi
Serantau250
kalau ada acara kemana-mana begitu.
Halida : Kegiatan di Serantau apa saja bu?
Ibu Castirah : Pelatihan, menangani kasus kalau ada kawan-kawan yang
bermasalah. Nanti dikasih tahu kita harus begini begini,
seperti itu.
Halida : Ok baik. dengan ikut organisasi itu apakah ibu jadi tahu hak-
hak ibu?
Ibu Castirah : Iya tahu
Halida : Kalau pas kerja di Melaka kemarin kan ada permasalahan
gaji tidak dikasih ke ibu itu kan termasuk pelanggaran
terhadap hak ibu. Apakah ibu tahu itu salah dan apa yang ibu
lakukan untuk menyelesaikan kesalahan itu?
Ibu Castirah : itu saya lapor ke Serantau, gaji paspor saya diperjuangkan
untuk dikembalikan lagi ke saya dan saya akhirnya dapat
semua hak saya. Sebelumnya paspor saya juga ditahan sama
agen. Sekarang saya jadi aktif di organisasi ini. Saya kabur
gaada apa apa. Gaada duit, paspor gaada semua.
Halida : Kalau untuk pekerjaan yang sekarang dokumen dipegang
sendiri?
Ibu Castirah : Tidak, sekarang sudah sendiri
Halida : Balik lagi ke asuransi, sekarang masih belum diurus ya bu?
Ibu Castirah : Iya belum saya urus lagi
Halida : Oh ok, untuk visa kerja ibu sekarang masih dapat?
250
Trade Union/Organisasi Buruh di Malaysia
Ibu Castirah : Masih, baru diperpanjang. Jadi sekarang permit saya sampai
bulan februari lah, satu tahun.
Halida : Khusus asuransi yang ibu dapat ketika masih kerja di bawah
agen. Ibu kan dapat izin kerja, dapat kontrak, dan ibu juga
lewat jalur legal. Nah asuransi yang ibu dapat itu apa saja bu?
kesehatan saja apa yang lain juga ada ?
Ibu Castirah : dapat asuransi kesehatan saja. Itupun dikasihnya hanya
fotokopinya saja kartunya entah dimana dipegang di PT atau
di agen. Saya pun tidak tahu hanya pegang fotocopynya saja.
Saya belum pernah menggunakan asuransi itu juga.
Halida : Lalu bu kalau boleh dijelaskan untuk akses mengklaim atau
menggunakan asuransi itu cukup mudahkah?
Ibu Castirah : saya sebenarnya kurang paham masalah asuransi itu karena
saya jadi saya belum pernah gunain jadi saya tidak tahu
prosesnya.
Halida : lalu untuk kondisi bekerja selama di Malaysia itu bagaimana
bu?
Ibu Castirah: Ya bagus, semua majikan ok. Cuma masalahnya di agen gak
ngasih gaji
Halida : Kalau dari majikan yang terdahulu sampai sekarang boleh
ikut organisasi semacam serikat buruh bu?
Ibu Castirah : Engga engga. Dari majikan yang dulu itu yang 9 itu gak
boleh bahkan cuti pun tidak dikasih. Tidak boleh keluar.
Halida : Jam kerja tetap serabutan juga?
Ibu Castirah : Iya jam kerja serabutan kadang sampai malam. Termasuk
handphone pun tidak boleh pegang dengan majikan yang
dulu. Tidak boleh berkomunikasih, berkomunikasi dengan
keluarga pun dibawa ke agen pun hanya 3 bulan sekali dan
dikasih waktu telepon pun hanya 5 menit.
137
Halida : Lalu dengan kondisi bekerja yang cukup sulit untuk
berkomunikasi dan keluar rumah, bagaimana ibu bisa tahu
organisasi seperti serantau?
Ibu Castirah : tahu dari kawan saya sesama pekerja migran. Setelah kabur
baru saya tahu tentang Serantau itu. sudah 3 bulan lari dari
Melaka itu baru aku kenal Serantau. Selepas itu baru aku buat
laporan ke Serantau lalu Serantau membantu lapor ke
Tenaga Nita251
lalu Tenaga Nita telepon agen terus Tenaga
Nita yang memperjuangkan gaji dan aspor saya. Setelah
masalah saya selesai, alhamdulillah tidak ada masalah lagi.
Semua hak-hak saya saya dapatkan beda dengan majikan saya
yang dahulu.
Halida : Perbedaannya dimana bu?
Ibu Castirah : Saya tidak punya kawan sama sekali, tidak boleh pegang
handphone, termasuk gak boleh keluar rumah. Lalu
bagaimana mau bergaul dengan kawan- kawan. Sangat
terkurung.
Halida : Kalau sama majikan yang dahulu, kalau ibu sakit apakah ibu
dibantu untuk berobat?
Ibu Castirah : Makanya saya lari itu karena sama majikan saya yang ke-9,
saya sakit kaki sampai bengkak urat karena mungkin
kecapean harus diurut tapi gak diurut sampai urat- urat terasa
kaku sampai bengkak terus saya minta obat sama majikan
tidak dikasih. Dia kata, kan aku bilang “tolong dibelikan obat
nanti boleh lah potong gaji saya” dia bilang “macam mana
hendak potong gaji kamu, sebelum kamu bekerja saya sudah
bayar ke agen. Jadi sudah tidak ada duit kamu lagi”. Dan
saya sudah ngomong ke agen untuk beli obat pun agen tidak
beliin. Sampai akhirnya saya kabur karena tidak tahan dan
251
NGO untuk buruh migran
saya tidak mendapatkan hak- hak saya sebagai pekerja. Saya
kerja siang dan malam tidak boleh istirahat, tidak boleh
pegang handphone sampai kaki saya sakit bengkak pun tidak
ada yang peduli kasih obat tidak majikan tidak agen. Jadi
akhirnya saya lari kabur.
Halida : Ibu tidak terpikir untuk menggunakan asuransi ibu? Karena
kan ibu dapat asuransi kesehatan?
Ibu Castirah : Iya tapi saya tidak tahu kemana harus lari menggunakan
asuransi itu karena tidak ada, apa ya namanya, karena tidak
berhubung dengan pihak siapa- siapa. Ada juga hanya pegang
fotokopinya saja itupun saya tidak tahu klinik ada dimana.
Tidak tahu apa- apa selama 14 bulan itu. Sekarang boleh tahu
kemana- mana karena minggu libur dulu mah tidak tahu, beku
saya saja tidak tahu apa tidak tahu kemana mana. Pas mau lari
ke klinik pun tidak punya duit untuk ongkos bis dan grab mau
apa- apaun tidak pegang duit. Entahlah beku banget tidak tahu
apa-apa. Jadi saya kurang tahu cara menggunakan asuransi itu
bagaimana.
Halida : Ok baik, lalu bagaimana ibu melihat jaminan sosial atau
asuransi untuk pekerja migran bu. apakah sangat penting atau
bagaimana?
Ibu Castirah : Iya sbetulnya penting sih asuransi itu cuma apa ya dengan
majikan yang sekarang juga tidak ada saran buat asuransi.
Halida : Sebelum ibu berangkat bekerja ke Malaysia, ibu ada
pelatihan tidak bu? pelatihan kerja terutama pelatihan agar ibu
tahu hak dan kewajiban ibu.
Ibu Castirah : Ada
Halida : Ok ibu sudah dapat dan ibu sudah tahu lah apa yang ibu
harus dapatkan dan ibu harus jalankan. Lalu apakah ibu bisa
jelaskan mengapa masih bisa terjadi kejadian seperti yang ibu
138
alami, kaya misal hambatan aa yang bikin ibu tidak tahu cara
menggunakan asuransi itu?
Ibu Castirah : Karena jadi waktu itu kan tidak tahu saya harus pergi
kemana walaupun pegang ausransi itu. tidak tahu dimana ada
klikink, dimana ada rumah sakit begitu pun tidak tahu. Saya
mau hubungi siapa saya tidak pegang handphone.
Halida : Jadi besar kaitannya ya dengan kondisi bekerja ibu yang
cukup terisolasi untuk ibu susah mengakses jaminan sosial
ibu?
Ibu Castirah : Iya betul. Waktu di Malaka itu gak pernah keluar kemana-
mana tidak punya kawan
Halida : Lalu dengan 9 majikan ibu dahulu, semuanya ada kontrak
kerja ya bu?
Ibu Castirah : Iya dapat tapi paspor tetap ditahan di agen.
Halida : Dari pengalaman ibu bekerja di luar negeri, ada tidak bu
saran agar pekerja migran lebih enak kerja di negara tujuan?
Ibu Castirah : Harapan saya disini, pekerja rumah tangga kepengennya sih
ada undang-undang diakui sebagai pekerja karena selama ini
kan pekerja rumah tangga itu belum seperti di Hongkong dan
Singapura. Di Hongkong dan Singapura juga kan pekerja
rumah sudah dianggap sebagai pekerja. Pekerja rumah tiap
minggu dia bisa cuti nah kalau di Malaysia kan tidak
semuanya bisa cuti, hanya sebagian. Masih banyak teman-
teman yang tidak boleh keluar. Karena kan penting banget
ketemu kenal sama teman- teman teman saya ada saja yang 10
bulan tidak digaji habis itu mau lari kasian paspor semua
dipegang agen. Sama seperti saya dulu, masih banyak teman-
teman saya yang seperti itu. Mereka seperti itu karena mereka
tidak tahu apa- apa tidak tahu hak- hak mereka sebagai
pekerja.
Halida : Jadi menurut ibu, dari pengalaman kawan-kawan dan
pengalaman ibu sendiri kondisi kerja yang seperti itu,
tertutup, sangat mempengaruhi ibu untuk mengetahui hak-hak
ibu?
Ibu Castirah : Iya, jadi sekarang kalau bisa keluar hari minggu bisa
berorganisasi kita tahu hak-hak kita sebagai pekerja. Kita
harus begini kita harus begit. Kalau orang- orang yang tidak
bisa keluar rumah, tidak kenal sama orang- orang, tidak bisa
sosialisasi jadi tidak tahu apa-apa. Seolah-olah tidak tahu
kalau diperlakukan tidak manusiawi oleh majikannya, mereka
pun hanya bisa diam saja tidak tahu harus melapor kemana.
Masih banyak yang seperti itu.
Halida : Dengan adanya hari libur yang digunakan untuk
bersosialisasi dan mengikuti kegiatan berorganisasi sangat
membantu ibu untuk mengetahui hak- hak ibu ya?
Ibu Castirah : Iya sangat membantu banget, penting.
Halida : Ok baik bu. terkait dengan jaminan sosial bu, dulu kan ibu
hanya bergantung dengan agen dan majikan. Adakah dari
mereka yang membantu ibu untuk mendapatkan jaminan
sosial?
Ibu Castirah : Tidak ada, tidak ada sama sekali. Tidak ada respon jika saya
minta dibelikan obat cuma direspon “iya besok saya belikan”
saya balik lagi tetap ngomong “iya besok saya belikan”
sampai akhirnya saya pergi lagi kerumah majikan. Tidak ada
respon apa-apa. Saya kan punya kartu asuransi, ini saya
harusnya diantar ke klinik atau ke rumah sakit ini mah tidak
ada.
Halida : Untuk permasalahan terbesar terkait pemenuhan jaminan
sosial ibu itu bisa dijelaskan bu?
139
Ibu Castirah : Ya karena kondisi kerja yang tertutup jadi tidak sesuai
dengan kontrak kerja yang telah kita tandatangani, tidak dapat
gaji, tidak boleh pegang handphone, tidak boleh gabung
organisasi, tidak dapat cuti.
Halida : Lalu bu, saya ingin tanya selama bekerja di Malaysia kan ibu
sebagai pekerja migran. Bagaimana bu pekerja migran
dipandang oleh warga Malaysia sendiri?
Ibu Castirah : Menurut saya, pandagan orang Malaysia terhadap pekerja
migran itu kalau pekerja yang berdokumen ok lah ada harga
kalau pekerja yang tidak berdokumen atau kosongan macam
tidak ada harga, dilecehkan orang-orang ini. Ini dalam hal
bekerja, kadang dalam gaji pun dikasih murah tidak sesuai.
Bahkan yang berdokumen itu gaji itu 12 kalau yang tidak
berdokumen hanya 700 atau 800. Jadi direndahkan banget.
Halida : Kalau saya boleh tanya, terdapat perbedaan ya untuk bekerja
di sektor rumah tangga dan pabrik, seperti akomodasi, kontrak
kerja dan jam kerja. Itu bagaimana ibu melihatnya?
Ibu Castirah : Kalau di pabrik kan kalau saya hanya kerja rumahan. Dari
prosesnya pun lain kerja di pabrik dan rumah. Kerja dipabrik
kan otomatis mereka ambil orang- orang yang sekolah
minimal SMA kalau pekerja rumah kan kadang-kadang hanya
lulusan SD mungkin SMP. Kalau saya kan hanya lulusan SD
yang penting bisa baca bisa tulis. Dari pendidikan juga
pekerja rumah tidak terlalu tinggi, kan beda kaya orang-orang
yang kerja di pabrik. Kalau kerja di pabrik kan mana boleh
orang-orang yang lulus SD.
Halida : Ok baik ada perbedaan dari prosedur dan kriteria pekerjanya
ya bu, ada minimal pendidikan untuk bekerja di pabrik. Untuk
pengalaman kerja yang kemarin apakah ibu pernah
mendapatkan majikan yang kurang baik?
Ibu Castirah : Kurang baik untuk kekerasan fisik sih tidak pernah tapi yang
menggangu mental saya pernah. Saya mengalami penderaan
mental. Saya dapat majikan Melayu baru yang sekarang dan
yang awal bekerja, sisanya 8 majikan itu Cina semua dan non-
muslim. Majikan itu seolah-olah memandang pembantu itu
sebaga orang yang kotor. Buka pintu, pegang kunci itu tidak
boleh pakai telapak tangan pakai sikut dia kata kotor. Tangan
itu pegang sapu, pegang kain pel jadi nanti kuman- kuman
berjangkit. Itu pertama, selepas itu kan majikan ada punya
cucu umur 1 tahun, kalau dipegang saya tidak boleh lah itu
kena saya harus dijauhkan dari badan saya, tangan
mengangkang kedepan, tidak boleh nanti kuman itu
berjangkit. Disitu saya hanya kuat 2 minggu, sama agen saya
dijual 1 bulan saya lari dan sebelum malemnya saya lari itu
saya melawan dulu. Saya ngomong sama majikan saya
“ma’am kalau kamu memandang saya sebagai pembantu ini
kotor, menjijikan, banyak kuman kamu tidak usah ambil
pembantu. Semua kerjaan kamu kamu kerjakan sendiri, kamu
tidak usah keluar duit bayar pembantu” saking marahnya
saya dipandang seperti itu. Jadi penderaan mental lah saya
hari-hari seperti itu. 2 minggu saja saya sudah sakit kepala
sudah sakit, macam kerja semua serba salah. Pegang kursi
saja lagi nyapu, ngepel, kursi saja itu dialihkan mau nyapu
yang dibawah kursi itu dia kata tangan saya banyak kuman
nanti berjangkit ke saya nanti menular jangan pegang kursi.
Saya bingung saya mau pindahkan kursi juga untuk
dibersihkan nanti kalau tidak bersih saya kena omel. Kerja
serba salah. Memang kekerasa fisik kaya di pukul tidak ada
tapi kalau saya kuat-kuatin kerja disana berbulan- bulan,
bertahun-tahun stress lah saya. Makanya saya lari karena
140
sudah tidak dapat gaji, duit dipegang agen, ini itu, dapat
majikan seperti itu jadi tidak tahan. Makan pun dikasih tapi
dijatah, tidak sekenyangnya perut. Jam 12 jam 1 baru dikasih
minum kopi atau teh nanti jam 3 baru dikasih makan. Jadi
bangun dari pukul 5 baru makan pukul 3, setengah hari baru
makan jadi selama itu hanya minum air putih, air putih saja.
Sedangkan dari pukul 10 sampai 11 perut sudah lapar sampai
minta kopi saja majikan bilang tunggu nanti.
Halida : Jadi ibu memilih kabur dan lari lalu ketemu organisasi
Serantau ya bu? tadi ibu bilang untuk melaporkan masalah ke
organisasi ini ibu menunggu 3 bulan. Apakah ibu sempat
melaporkan ke KJRI atau ke KBRI?
Ibu Castirah : Tidak sih, walaupun dapat bantuin hukum sih dapat tapi
jadinya lambat karena kan mereka banyak yang diurus.
Beratus- ratus masalah yang dikerjakan jadinya lambat jadi
saya lebih memlilih untuk ke Serikat Buru ya Serantau itu.