2
Am I Happy? Dalam benak masa kecilku, gulali adalah suatu kemewahan sehingga aku tidak berani meminta pada orang tua (selain karena lebih sering ditolak). Ketika suatu hari aku mendapatkannya, aku sangat bahagia sampai merasa tidak butuh apa-apa lagi. “Kriteria” kebahagiaan yang begitu sederhana. Membandingkan masa kecil dengan sekarang, aku melihat betapa “kriteriaku” bertumbuh dan bertambah. Semakin dewasa, aku merasa semakin butuh banyak hal agar hidup “bahagia”. Aku mengira bisa bahagia dengan memiliki pasangan hidup, karier, kesejahteraan finansial, seks, pengetahuan, status sosial, dsb. Tenaga dan waktu kukorbankan supaya “kriteria-kriteria” tersebut tercapai. Malah, aku sampai mengorbankan keluarga dan orang-orang yang disayangi. Sampai akhirnya, aku jenuh dan menoleh ke belakang. Aku teringat betapa “kriteria” kebahagiaanku dulu sangat simpel. Di tengah kejemuan tersebut, terlintas kata-kata St. Agustinus, Uskup Hippo (354-430 AD) : “Engkau telah menciptakan kami untuk Diri-Mu, dan tidak tenanglah hati kami sampai kami beristirahat dalam Engkau” – St. Agustinus dari Hippo St. Agustinus menyadarkanku bahwa “kriteria” kebahagiaan yang sejati adalah Allah. Beliau mengingatkan bahwa Allah adalah kebutuhanku yang sebenarnya, sekalipun terkadang “kriteria” ini kadang terdengar teoritis

Am I Happy

  • Upload
    fonny

  • View
    213

  • Download
    1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Renungan bersama

Citation preview

Am I Happy?Dalam benak masa kecilku, gulali adalah suatu kemewahan sehingga aku tidak berani meminta pada orang tua (selain karena lebih sering ditolak). Ketika suatu hari aku mendapatkannya, aku sangat bahagia sampai merasa tidak butuh apa-apa lagi. Kriteria kebahagiaan yang begitu sederhana.Membandingkan masa kecil dengan sekarang, aku melihat betapa kriteriaku bertumbuh dan bertambah. Semakin dewasa, aku merasa semakin butuh banyak hal agar hidup bahagia. Aku mengira bisa bahagia dengan memiliki pasangan hidup, karier, kesejahteraan finansial, seks, pengetahuan, status sosial, dsb. Tenaga dan waktu kukorbankan supaya kriteria-kriteria tersebut tercapai. Malah, aku sampai mengorbankan keluarga dan orang-orang yang disayangi. Sampai akhirnya, aku jenuh dan menoleh ke belakang. Aku teringat betapa kriteria kebahagiaanku dulu sangat simpel. Di tengah kejemuan tersebut, terlintas kata-kata St. Agustinus, Uskup Hippo (354-430 AD) :Engkau telah menciptakan kami untuk Diri-Mu, dan tidak tenanglah hati kami sampai kami beristirahat dalam Engkau St. Agustinus dari HippoSt. Agustinus menyadarkanku bahwa kriteria kebahagiaan yang sejati adalah Allah. Beliau mengingatkan bahwa Allah adalah kebutuhanku yang sebenarnya, sekalipun terkadang kriteria ini kadang terdengar teoritis dan kurang nyata. Manusia membutuhkan Allah dalam hidup, sekalipun manusia menyangkal atau meremehkan Allah. Ibaratnya, orang-orang yang sedang diet ketat pun tetap membutuhkan makanan agar tetap sehat.Mungkin, kriteria-kriteria kebahagiaanku yang lain baru muncul setelah aku membandingkan hidupku dengan orang tua, artis, tokoh masyarakat, atau orang-orang lain. Kriteria-kriteria itu muncul karena keinginan, namun bukan kebutuhanku.Kehidupan masyarakat juga seakan mempertegas kenyataan ini. Banyak orang kaya dengan hidup yang tersiksa atau kalangan selebriti yang gelisah karena tidak menemukan ketenangan. Di sisi lain, aku melihat tukang becak yang tertawa-tawa dengan keluarganya walau lauk makan malam mereka hanya ikan teri. Banyak orang cacat yang berhasil menjadi inspirasi bagi orang lain. Banyak biarawan-biarawati yang melayani dengan bahagia.Aku ingin agar bisa bahagia walau hanya dengan hal-hal kecil. Aku ingin agar kebahagiaanku hanya ada pada gulali, sebuah gulali yang aku akan bawa ke kandang domba untuk kupersembahkan pada Bayi Yesus di hari kelahiranNya.-Ioannes Wirawan-