Upload
haminh
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ALTERNATIF PENGELOLAAN PERIKANAN UDANG
DI LAUT ARAFURA
AJI SULARSO
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Alternatif Pengelolaan
Perikanan Udang Di Laut Arafura adalah karya saya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2005
Aji Sularso
ABSTRAK
AJI SULARSO. Alternatif pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura.
Dibawah bimbingan DANIEL MONINTJA, AKHMAD FAUZI and
PURWANTO.
Laut Arafura merupakan salah satu dari 9 WPP (Wilayah Pengelolaan
Perikanan) dan satu-satunya yang diizinkan untuk penangkapan udang dengan
luas diperkirakan 150.000 Km2. Potensi ikan diperkirakan sebesar 1.076.890
ton/tahun dan potensi ikan demersalnya termasuk udang sebesar 145.830
ton/tahun. Tingkat produksi udang pada tahun 2003 diperkirakan sebesar 45.070
ton/tahun, melebihi JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan). Perikanan
udang di Laut Arafura diperkirakan telah mengalami overfishing dan overcapacity
disebabkan oleh tidak efektifnya pengelolaan saat ini, lemahnya kemampuan
penegakan hukum dan kurangnya kesadaran para pelaku akan prinsip kelestarian.
Tujuan utama penelitian adalah untuk menyusun alternatife pengelolaan
perikanan udang, sedangkan tujuan khusus adalah : (1) menganalisis bioekonomik
perikanan udang, (2) menganalisis kecenderungan produksi aktual versus produksi
lestari, (3) mengukur kapasitas dan efisiensi penangkapan, dan (4) merumuskan
rekomendasi pengelolaan perikanan udang ke depan.
Penelitian dilaksanakan di Laut Arafura pada bulan Maret 2003 sampai
dengan Februari 2004, melalui observasi di lokasi pendaratan (Benjina, Agats,
Dolak, Aru), pengumpulan data sekunder dan sampling 39 kapal pukat udang dari
355 jumlah populasi. Data runtun waktu tahun 1986 sampai dengan 2003
digunakan untuk analisis bioekonomi menggunakan model Gordon-Schaefer dan
model Clark, serta analisis efisiensi mengunakan Data Envelopment Analysis
(DEA).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perikanan udang di Laut Arafura saat ini
dalam kondisi overfishing secara ekonomi dan biologi, overcapacity dan
inefisiensi. Disertasi ini memperkenalkan tiga skenario pengelolaan perikanan
udang, yakni (1) pengurangan jumlah kapal maksimum 15% dari total GT, (2)
penerapan kuota dengan pengurangan total tangkapan 5%, dan (3) penutupan
musim penangkapan pada bulan Juni. Ketiga skenario merupakan kebijakan
incentive blocking instrument (IBI) yang cocok untuk kebijakan jangka menengah.
Kebijakan incentive adjusting instruments (IAI) seperti pengenaan pajak
diperkenalkan untuk jangka panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kebijakan pengendalian upaya dengan pengurangan kapal sampai titik optimum,
memberikan kontribusi bagi tercapainya strategi pembangunan nasional, yaitu
pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi.
Hasil penelitian merekomendasikan kombinasi kebijakan IAI dengan pengenaan
pajak dan pengelolaan dinamik menghasilkan hasil optimum jangka panjang dan
memberikan kontribusi pada pencapaian tiga strategi pembangunan nasional, yaitu
pengentasan kemiskinan, penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
melalui
Kata kunci: Perikanan udang, pengelolaan bioekonomik, Data Envelopment
Analysis, efisiensi, Laut Arafura.
ABSTRACT
AJI SULARSO. The shrimp fisheries management options of the Arafura Sea.
Under the direction of DANIEL MONINTJA, AKHMAD FAUZI and
PURWANTO.
Arafura Sea is the one of the 9 fishing grounds in Indonesia for shrimp fishing
which the total area is estimated 150.000 km2. The total fish stock is estimated to
be 1.076.890 tons/year and the demersal fish stock inlcuding shrimp is 145.830
tons/year. The shrimp fisheries condition at Arafura Sea is presumed to be over
fishing and overcapacity due to ineffective of current management, lack of law
enforcement capabilities, and lack of fishermen concern of the sustainable
principles.
The main objective of the dissertation is to formulate the shrimp fisheries
management options which include vessels number reduction, implementation of
quota and seasonal closure. The specific objectives of the dissertation are include:
(1) analyze the shrimp fisheries bioeconomic, (2) analyze the actual versus
sustainable production trend, (3) measure shrimp fishing capacity and efficiency,
(4) formulate the recommendation of the future management options.
The research of this dissertation was conducted at Arafura Sea from March
2003 to February 2004, through observation on the landing sites (Benjina, Agats,
Dolak, Aru), collecting secondary data and sampling of 39 shrimp trawl boats
from 355 boats of total population. The data were analyzed using bioeconomic
models including Gordon-Schaefer model and Clark model to obtain optimum
condition both static and dynamic. The data is also analyzed using Data
Envelopment Analysis (DEA) to measure fishing capacity and efficiency.
The Study found that the current condition of shrimp fisheries at Arafura Sea
is under economic overfishing and overcapacity or inefficiency. Therefore, the
shrimp fisheries management should be improved to maintain sustainability,
reduce overcapacity and improve efficiency. This dissertation introduces three
shrimp fisheries management scenarios including: (1) reduction of total vessels
number by 15% of the total GT (gross tonnage), (2) quota of total catch by 5%
reduction of annual catch, and (3) seasonal closure during June of each year.
Those scenarios are categorized as incentive blocking instruments which feasible
for medium period policy. Whereas the incentive adjusting instruments such as
tax is introduced for long-term period. The results show that the policy of effort
control by vessel’s number reduction to optimum level contribute to the
achievement of government development strategy of pro-poor and pro-growth.
The study also recommends that the combination of incentive adjusting
instruments by tax and dynamic optimum management will produce long-term
optimum result, which contribute to the achievement of government development
strategy of pro-poor, pro-job and pro-growth.
Keywords: Shrimp fisheries, management, bio-economic, Data Envelopment
Analysis, efficiency, Arafura Sea.
© Hak cipta milik Aji Sularso, tahun 2005
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut
Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
ALTERNATIF PENGELOLAAN PERIKANAN UDANG
DI LAUT ARAFURA
AJI SULARSO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005
Judul Disertasi : Alternatif Pengelolaan Perikanan Udang Di
Laut Arafura
Nama : Aji Sularso
NIM : C 561020074
Disetujui
Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja
Ketua
Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc
Anggota
Dr. Ir. Purwanto
Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan,
Prof. Dr. Ir. John Haluan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir.Sjafrida Manuwoto MSc
Tanggal Ujian : 22 Desember 2005
i
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian sejak bulan Maret 2003 adalah pengelolaan perikanan udang, dengan
judul Alternatif Pengelolaan Perikanan Udang di Laut Arafura.
Terimakasih dan penghargaan yang tinggi penulis haturkan kepada Bapak
Prof. Dr. Daniel Monintja selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr Akhmad Fauzi
dan Dr. Purwanto selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah mencurahkan
perhatian dan memberikan bimbingan sehingga penulisan disertasi berjalan
dengan lancar. Penulis juga ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu memberikan data dan memperlancar
penelitian antara lain Drs. Bambang Sumiyono, BRKP, Bapak Sukirdjo Ketua
Umum HPPI beserta staf, Direktur PUP Ditjen Perikanan Tangkap beserta staf
dan Kasubdit Statistik Ditjen Perikanan Tangkap. Ungkapan terimakasih juga
disampaikan kepada Ibunda tercinta yang selalu mendoakan, istri dan anak
tercinta yang telah memberikan dorongan moral serta kesabaran.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2005
Penulis,
Aji Sularso
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Randudongkal, Pemalang pada tanggal 2 Juli 1954
sebagai anak ke enam dari duabelas bersaudara dari pasangan Sutoro dan
Sumarni. Pendidikan akademi ditempuh di AKABRI Laut Surabaya jurusan
Teknik, lulus tahun 1976 sebagai Perwira TNI AL berpangkat Letnan Dua.
Pendidikan sarjana ditempuh di Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut, afiliasi
Institut Teknologi Bandung, jurusan Teknik Manajemen Industri pada program
studi Riset Operasi (operation research) atas beasiswa TNI AL, lulus pada tahun
1990. Penulis diberi kesempatan melanjutkan program studi Pascasarjana MMA
(magister manajemen agribisnis) IPB atas bea dinas TNI AL, lulus pada tahun
2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi
Teknologi Kelautan IPB diperoleh pada tahun 2002 atas biaya sendiri.
Penulis bekerja di TNI AL sejak tahun 1977 sampai dengan 2000,
selanjutnya bekerja di Departemen Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2000 dan
pindah status dari militer menjadi PNS (pegawai negeri sipil). Selama di DKP
pernah menjabat sebagai Direktur Wilayah Laut, Sesditjen Perikanan Tangkap
dan saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Data, Informasi dan Statistik
Departemen Kelautan dan Perikanan. Bidang tanggung jawab penulis dalam tugas
kedinasan saat ini adalah pengelolaan sistem informasi, statistik dan kehumasan
Departemen Kelautan dan Perikanan.
Selama mengikuti program S3, penulis merencanakan dan mengkoordinir
penelitian di perairan Arafura meliputi: obrservasi sumber daya ikan, studi
lingkungan dan studi zonasi penangkapan udang. Karya ilmiah berjudul
“Pengendalian kapasitas penangkapan udang di L. Arafura” telah disajikan pada
Seminar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB pada bulan September
2005 dan dalam proses pengajuan untuk diterbitkan dalam jurnal ilmiah.
ii
DAFTAR ISI
1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................... 4
1.3 Hipotesis Penelitian ..................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................... 6
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ 6
1.7 Kerangka Pemikiran ...................................................... ................. 7
2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 9
2.1 Dasar-dasar Pengelolaan Sumberdaya Perikanan .......................... 9
2.2 Pengembangan Model Bioekonomi untuk Pengelolaan Perikanan
Udang ................................................................................ 16
2.3 Pengelolaan Perikanan (Fisheries Management) .......................... 22
2.3.1 Input (effort) control (pengendalian input) ....................... 22
2.3.2 Output (cacth) control ...................................................... 24
2.3.3 Pengaturan teknis (technical measures) ............................ 25
2.3.4 Pengelolaan berbasis lingkungan (ecologicaly based
management) ................................................................... 25
2.3.5 Instrument ekonomi tidak langsung : pajak dan subsidi .... 26
2.4 Keragaan Perikanan ..................................................................... 26
3 METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 41
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 41
3.2 Kerangka Pendekatan Analisis ..................................................... 42
3.3 Analisis Bioekonomi Statik Gordon-Schaefer .............................. 44
3.4 Analisis Optimasi Dinamik Clark-Munro ..................................... 46
3.5 Analisis Efisiensi/kapasitas Perikanan .......................................... 47
3.6 Seasonal Closure Model .............................................................. 49
3.7 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data........................................ 50
3.8 Asumsi Dasar …………………………………………………... ... 53
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 54
4.1 Kondisi Perikanan Udang di Wilayah Studi ................................. 54
4.2 Analisis Penangkapan Lestari (Sustainable Yield) ........................ 57
4.3 Optimisasi Bioekonomi ................................................................ 60
4.4 Pengukuran Kapasitas Perikanan Udang di Laut Arafura dengan
DEA ................................................................................ 70
4.5 Fluktuasi Musiman Produksi Kapal Pukat Udang ......................... 78
4.6 Skenario Pengelolaan Perikanan Udang di L. Arafura ................... 80
4.7 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Udang ...................... 95
iii
5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........................................... 100
5.1 Kesimpulan ................................................................................ 100
5.2 Rekomendasi ............................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 106
LAMPIRAN ............................................................................................ 112
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Logical Framework Simulasi Peningkatan Effort (Chapman and Beare,
2001) … ........................................................................................ ….. 19
2. Instrumen pengelolaan: incentive blocking dan incentive adjusting ……. 31
3 Data dan penggunaannya ...................................................................... 52
4 Produksi aktual dan produksi lestari th 1986 s/d 2003 ........................... 58
5 Analisis perbandingan input dan output ................................................. 64
6 Perbandingan rente ekonomi pada tiga kondisi pengelolaan .................. 68
7 Rekapitulasi efisiensi tahunan ............................................................... 71
8 Data kapal-kapal pukat udang yang beroperasi di L. Arafura ................. 73
9 Proyeksi perbaikan efisiensi kapal Mina Raya 11................................... 78
10 Tangkapan rata-rata bulanan kapal pukat udang anggota HPPI............... 78
11 Dampak penerapan kuota terhadap produksi lestari dan rente ................ 82
12 Kapal-kapal pukat udang tidak termasuk yang berumur 30 th ke atas...... 85
13 Efisiensi tanpa kapal umur 30 th ke atas................................................. 86
14 Data efisiensi kapal pukat udang yang sudah dikurangi effort 8%........... 87
15 Produksi rata-rata bulanan dan sinusoida siklikal ................................... 89
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemecahan masalah analisis pengelolaan SDI Udang di
Laut Arafura ....................................................................................... 8
2 Fungsi Pertumbuhan Logistik (sumber: Fauzi, 2004) .......................... 10
3 Kurva yield-effort (Fauzi, 2004).......................................................... 11
4 Model Gordon-Schaefer (Fauzi, 2004) ................................................ 13
5 Overcapitalization dalam perikanan (Pascoe et al., 2004) .................. 30
6 Pembatasan produksi model CCR ...................................................... 35
7 Pembatasan produksi model BCC ...................................................... 35
8 Wilayah studi pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura ............... 41
9 Kerangka pendekatan analisis kebijakan pengelolaan perikanan udang
di Laut Arafura .................................................................................. 43
10 Daerah operasi armada kapal pair-trawl Taiwan periode 1972-1974 .. 54
11 Basis armada kapal trawl P.T. Darma Guna Samudera, anak
Perusahaan dari Djajanti Group, di Benjina, Kepulauan Aru ............... 55
12 Mobilitas kapal pukat udang di Laut Arafura berdasarkan pemantauan
VMS (Sumber: Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan) ................................................ 56
13 Fluktuasi produksi aktual dan produksi lestari Schaefer dari tahun
1986 s/d 2003 .................................................................................... 59
14 Kurva hasil tangkapan dna biomasa perikanan udang di L. Arafura .... 60
15 Kurva revenue, cost dan profit perikanan udang di L. Arafura ……… 61
16 Plot yield – effort dengan tangkap aktual ............................................ 63
vi
17 Copes Eye Ball untuk Perikanan udang di Laut Arafura ..................... 63
18 Tingkat effort optimum perikanan udang di Laut Arafura dalam
kondisi open access, MEY dan MSY dan tahun 2005 .......................... 65
19 Perbandingan tingkat produksi open access, optimal (MEY) dan
produksi lestari (MSY) dan kondisi tahun 2005................................. 66
20 Perbandingan input dan output pada berbagai kondisi pengelolaan
dan kondisi tahun 2005 ...................................................................... 66
21 Perbadingan rente ekonomi pada open access, MEY dan MSY dan
kondisi aktual tahun 2005 ................................................................... 67
22 Perbandingan produksi ketiga tipe pengelolaan .................................. 69
23 Perbandingan effort ketiga tipe pengelolaan ....................................... 69
24 Fluktuasi angka efisiensi .................................................................... 71
25 Analisis efisiensi antar kapal penangkap udang di Laut Arafura .......... 74
26 Analisis efisiensi antar kapal penangkap udang di Laut Arafura .......... 75
27 Distribusi efisiensi kapal pukat udang di Laut Arafura ........................ 75
28 Potensi perbaikan efisiensi ................................................................. 77
29 Grafik tangkapan bulanan kapal-kapal PU anggota HPPI .................... 79
30 Trajektori produksi lestari dengan dan tanpa kuota.............................. 83
31 Tren produksi bulanan dan tren siklikal............................................... 89
32 Kurva profit dan effort (jumlah kapal) .................................................. 92
33 Kurva revenue, profit dan cost perikanan udang di L. Arafura………. 93
34 Kurva bioekonomi sesudah pengenaan tax 10% ................................... 98
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Algoritma MAPLE bioekonomi perikanan udang di L. Arafura ....... ..... 112
2 Data kapal pukat udang di L. Arafura ..................................................... 116
3 Proses iterasi kapal DEA kapal-kapal pukat udang .............................. 119
4 Kerangka logis (logical framework) alternatif pengelolaan perikanan
udang ..................................................................................................... 130
PENGERTIAN ISTILAH
Biomass: jumlah berat tiap individu ikan pada suatu stok.
Bycatch: bagian hasil tangkapan yang diambil secara insidensiaal pada ikan target, dan
sebagian ikan tersebut dibuang.
Catchability coefficient (q): proporsi total stok yang ditangkap oleh satu unit upaya
penangkapan (fishing effort).
Closure: larangan penangkapan ikan selama waktu atau musim tertentu (penutupan
waktu), atau di daerah tertentu (penutupan tempat), atau kombinasi keduanya.
Input control: pembatasan jumlah upaya penangkapan (fishing effort), pembatasan pada
jumlah, ukuran dan tipe kapal atau alat tangkapnya, daerah penangkapan atau
waktu penangkapan.
Maximum Economic Yield (MEY): suatu tangkapan melebihi batas dimana pendapatan
yang dihasilkan oleh penambahan marjinal upaya lebih kecil dari pada biaya
untuk penambahan tersebut; titik dimana kelebihan laba yang didapat mencapai
masksimal dengan biaya yang dibutuhkan untuk menutup semua kebutuhan.
Maximum Sustainable Yield(MSY): tangkapan tahunan terbesar yang dapat diambil dari
stok secara terus menerus tanpa mempengaruh tangkapan mendatang, MSY
jangka panjang yang tetap tidak ada dalam sebagaian besar perikanan, ukuran stok
bervariasi sesuai dengan perubahan klas tiap tahun dalam stok.
Open access fishery: suatu perikanan tanpa pembatasan pada jumlah nelayan atau unit
penangkapan, perikanan yang tidak diatur.
Output control: pembatasan pada berat atau tangkapan (suatu kuota), atau kondisi
reproduksi individu ikan yang diizinkan meliputi ukuran, sex.
Overcapacity: situasi dimana output kapasitas lebih besar dari pada output target.
Overcapitalization: situasi dimana stok kapital aktual lebih besar dari stok kapital
optimum yang dibutuhkan untuk menghasilkan output target.
Overfishing (tangkap lebih): diartikan sebagai kondisi dimana jumlah ikan yang
ditangkap melebihi jumlah ikan yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok
ikan dalam suatu daerah tertentu (Fauzi, 2005).
Quota: suatu pembatasan pada berat ikan yang dapat ditangkap dalam suatu stok atau
daerah tertentu.
Stakeholder: suatu individu atau grup yang memiliki kepentingan dalam suatu sumber
daya dan pemanfaatannya.
Stok ikan: jumlah biomasa ikan yang dapat ditangkap dalam suatu kawasan perairan
tertentu dalam periode yang ditentukan agar terjaga kelestarian.
Total Allowable Catch (TAC): masksimum tangkapan yang diperbolehkan dari suatu
perikanan sesuai dengan rencana pengelolaan.
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pengelolaan perikanan (fisheries management) merupakan proses yang
kompleks, memerlukan integrasi sumberdaya biologi dan ekologi, dengan faktor-
faktor sosio-ekonomi dan kelembagaan berpengaruh terhadap perilaku nelayan
dan pengambil kebijakan. Tujuan pengelolaan adalah terwujudnya kelestarian
sumberdaya ikan agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Namun demikian
kelestarian merupakan hal yang sulit dicapai, populasi ikan makin terbatas, hasil
tangkapan dunia makin sedikit dan hampir 70% stok ikan diseluruh dunia
mengalami penurunan, dieksploitasi penuh atau dieksploitasi lebih (Garcia &
Newton, 1997). Pengaturan pengelolaan secara konvensional seperti pembatasan
ukuran penangkapan atau pembatasan effort, telah digunakan untuk
mengembalikan stok, mengurangi mortalitas ikan dan meningkatkan stok
pemijahan. Ketidak pastian dalam perkiraan stok, peningkatan kekuatan
penangkapan (fishing power) secara dramatis dan pilihan intertemporal berakibat
jatuhnya beberapa stok ikan, menjadi pertanyaan kenapa pengelolaan gagal.
Laut Arafura merupakan salah satu kawasan perairan Indonesia yang memiliki
sumberdaya ikan (SDI) yang potensial, khususnya udang, dan menjadi satu-
satunya kawasan yang diizinkan untuk penangkapan udang dengan trawl. Luas
Laut Arafura diperkirakan 150.000 km2 (Naamin, 1984), dengan estimasi total
Sumber Daya Ikan sebesar 1.076.890 ton/tahun. Potensi SDI demersal termasuk
udangnya diperkirakan sebesar 145.830 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan
pada tahun 2003 sebesar 145.070 ton/tahun. Dengan demikian tingkat
2
pemanfaatan telah melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB)
(Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2003).
Sejak diberlakukannya Keppres nomor 39/1980, hanya perairan di sebelah
timur garis 130°BT dan isobath 10 (garis batas kedalaman minimal 10 meter),
yang merupakan daerah operasi resmi untuk kapal-kapal pukat udang. Secara
umum, udang di pesisir barat Papua didominasi oleh jenis udang putih (Penaeus
merguensis), sedangkan udang di perairan sebelah timur Kepulauan Aru
didominasi oleh jenis udang windu (Penaeus monodon) (Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, 2004). Data terakhir (Februari 2005) di Ditjen Perikanan
Tangkap menunjukkan bahwa kapal pukat udang yang diberikan izin di L.
Arafura berjumlah 355 kapal yang berkisar besarnya antara 31 GT (gross
tonnage) sampai dengan 515 GT, sebagian besar didominasi kapal berukuran
antara 100 s/d 200 GT.
Sumberdaya udang di Laut Arafura pada tahun 2001 dilaporkan oleh
Direktorat Jenderal Perikanan (2001) dan hasil kajian (Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Tim Studi IPB, 2004) mengalami overfishing yang
ditunjukkan dengan indikasi makin lamanya rata-rata hari operasi melaut,
menurunnya jumlah tangkapan rata-rata, dan makin kecilnya ukuran udang yang
ditangkap. Terjadinya overfishing diduga disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain: (1) kurang efektifnya manajemen pengelolaan yang tertuang dalam peraturan
dan kebijakan pemerintah yang sepenuhnya berdasarkan pada input control; (2)
lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di laut terhadap kegiatan
penangkapan, sehingga peraturan atau regulasi kurang ditaati pelaku; (3)
3
kurangnya kesadaran para pelaku terhadap prinsip-prinsip pengelolaan dan
pemanfaatan yang lestari dan bertanggung jawab.
Untuk mengurangi terjadinya overfishing, maka diperlukan strategi
pengelolaan yang optimal. Dilihat dari perspektif pengelolaan perikanan (fisheries
management), sejauh ini Laut Arafura belum sepenuhnya dikelola berdasarkan
kepada pendekatan keilmuan (scientific based). Hal ini antara lain dapat dilihat
dari belum adanya model pengelolaan yang bisa dijadikan tolok ukur
pengendalian. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
mengevaluasi pengelolaan penangkapan saat ini berdasarkan bioekonomi,
pengukuran kapasitas (measuring fishing capacity) dan musim penangkapan.
Dengan pendekatan kebijakan yang tepat, berdasarkan pada permasalahan
yang ada dan ter-analisis dengan baik, diharapkan kita dapat memperoleh rente
yang sebesar-besarnya dari sumber daya ikan di laut Arafura, serta dapat
mengelola perikanan di kawasan ini dengan berkelanjutan. Untuk tujuan
pengelolaan tersebut, diperlukan suatu penelitian yang bertujuan untuk
menganalisis kondisi perikanan, terutama perikanan udang (kegiatan yang paling
menonjol di kawasan ini) pada saat ini. Penelitian diperlukan agar tidak hanya
menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi berdasarkan pengamatan sepintas,
namun memperoleh data yang akurat tentang kondisi stok dan bagaimana
fluktuasi produktivitas penangkapan aktual dan produksi lestarinya. Yang paling
penting adalah menyangkut analisis kapasitas perikanan yang seluruhnya
dilakukan dengan metode yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan secara
keilmuan, serta mengikuti perkembangan keilmuan terbaru. Beberapa teknik yang
dapat dilakukan dalam menganalisis perikanan udang di kawasan ini adalah
4
dengan menggunakan model bio-ekonomi statik maupun dinamis, kemudian
analisis kapasitas dengan menggunakan DEA.
1.2 Perumusan masalah
Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan perikanan udang di laut
Arafura meliputi: terjadinya overfishing, overcapacity atau inefisiensi usaha,
secara de facto terjadi open access meskipun diatur dalam berbagai peraturan,
serta terancamnya sumber daya udang sebagai akibat dari tidak ketatnya
pengelolaan yang menjamin kelestarian. Permasalahan tersebut disebabkan antara
lain oleh kurang efektifnya penegakan hukum, kurang kesadaran pelaku untuk
mentaati peraturan (seperti pelanggaran daerah penangkapan, penggunaan alat
tangkap) dan prinsip kelestarian, serta kurang efektifnya pengelolaan (fisheries
management). Dalam hal pengelolaan, secara prinsip, sejak diberlakukannya
Keputusan Presiden nomor 85 tahun 1982 tentang penggunaan pukat udang dan
berdasarkan Keputusan Presiden nomor 39 tahun 1980, banyak terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan tersebut sehingga ketentuan tersebut kurang
efektif.
1.3 Hipotesis Penelitian
Pada saat ini apabila dilihat secara kasat mata, maka dapat diidentifikasi
berbagai permasalahan pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura, yang
kemudian dijadikan sebagai hipothesis dalam penelitian ini, yaitu :
5
1. Terjadi overfishing perikanan udang di Laut Arafura pada saat ini, dilihat
dari penurunan produktivitas hasil tangkapan dan menurunnya ukuran udang
yang ditangkap, serta perubahan species dominan.
2. Usaha penangkapan udang semakin tidak efisien dilihat dari aspek ekonomi,
terutama rasio antara upaya (effort) dan produktivitas hasil tangkapan.
3. Terjadi berlebihnya kapasitas penangkapan oleh kapal-kapal pukat udang
serta belum diberlakukannya pembatasan yang efektif.
4. Kondisi perikanan yang tidak efisien akan berpengaruh terhadap
keberlanjutan baik stok sumber daya ikan.
1.4 Tujuan Penelitian
Dari beberapa hipothesis tadi maka dapat diuraikan tujuan utama penelitian
ini, yaitu: penyusunan alternatif kebijakan pengelolaan perikanan udang di laut
Arafura. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka ditetapkan beberapa tujuan
khusus sebagai berikut.
(1) Menganalisis bioeconomic perikanan udang di Laut Arafura.
(2) Menganalisis kecenderungan produksi penangkapan ditinjau dari produksi
aktual maupun produksi lestari.
(3) Mengukur kapasitas penangkapan (measuring fishing capacitty) perikanan
udang di Laut Arafura untuk mengetahui efiensi pengelolaan secara umum
dari tahun ke tahun dan efisiensi tiap kapal.
(4) Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan perikanan udang di laut
Arafura ke depan.
6
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dihasilkan dari penelitian adalah sebagai berikut:
(1) Masukan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pengelolaan
perikanan udang ke depan.
(2) Masukan bagi dunia usaha dalam pengambilan kebijakan dan strategi usaha
penangkapan udang di Laut Arafura.
(3) Acuan bagi akademisi atau peneliti untuk mengadakan penelitian lanjutan
yang lebih spesifik.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Agar penelitian ini dapat berdaya dan berhasil guna, maka berikut ini
diuraikan terlebih dahulu ruang lingkup penelitian ini, yaitu :
(1) Pengujian model bioekonomik Gordon-Schaefer dan menentukan model
yang optimal (analisis dinamik Clark-Munro) bagi pengelolaan perikanan
udang di laut Arafura.
(2) Pengukuran kapasitas penangkapan udang di laut Arafura baik secara
agregat dari tahun ke tahun, maupun kapasitas penangkapan per kapal untuk
mengetahui apakah usaha penangkapan udang sudah overcapacity atau
efisien.
(3) Analisis skenario pengelolaan perikanan udang dalam tiga alternatif, yaitu
pengurangan jumlah kapal, penerapan kuota, dan penutupan musim
penangkapan.
7
1.7 Kerangka Pemikiran
Untuk pemecahan permasalahan yang diuraikan di atas secara tepat, perlu
dianalisis kondisi perikanan udang di Laut Arafura dilakukan dengan pendekatan
bioeconomic model Gordon-Schaefer, analisis produksi aktual dan produksi
lestari, pengukuran kapasitas penangkapan (measuring fishing capacity) dengan
DEA dan analisis kecenderungan musim penangkapan. Hasil analisis bioeconomic
menghasilkan penilaian terhadap tiga acuan yaitu MSY, MEY (optimal static) dan
optimal dynamic (Model Clark-Munro). Analisis produksi menghasilkan model
hubungan antara produksi aktual dan effort serta fluktuasi efisiensi yang
menggambarkan secara umum kapasitas penangkapan dan tingkat efisiensi.
Pengukuran kapasitas dengan DEA menghasilkan gambaran efisiensi dari tahun ke
tahun serta efisiensi tiap kapal. Analisis musim penangkapan menghasilkan
kesimpulan waktu penangkapan yang paling kecil atau tidak efisien.
Apabila tiga analisis yaitu analisis bioekonomi, analisis efisiensi dan analisis
produksi (dilihat dari kelestarian) menunjukan hasil positif, dalam arti kondisi
perikanan udang saat ini optimal, efisien dan lestari, maka hanya diperlukan
penyempurnaan pengelolaan saat ini. Apabila tiga analisis tersebut menghasilkan
kesimpulan sebaliknya yaitu tidak optimal, tidak efisien dan tidak lestari maka
pengelolaan perikanan udang ke depan perlu disempurnakan. Berdasarkan analisis
tersebut, selanjutnya dirumuskan alternatif pengelolaan perikanan udang ke depan
dengan mengembangkan tiga skenario yaitu pengurangan jumlah kapal,
pembatasan musim penangkapan dan penerapan kuota hasil tangkapan. Tiap
skenario yang merupakan alternatif pengelolaan, dievaluasi berdasarkan rente
ekonomi, efisiensi dan kelestarian SDI. Dari hasil analisis skenario yang
8
menghasilkan alternatif pengelolaan, selanjutnya dirumuskan rekomendasi
pengelolaan perikanan udang ke depan yang paling optimal. Berikut ini adalah
skema kerangka pemikiran penelitian ini.
Bioeconomic Kapasitas
Penangkapan
Produksi Musim
Penangkapan
Sustainable
Peningkatan
Ya
Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Ya
Pengurangan jumlah kapal
Pembatasan Musim Penangkapan
Penerapan Kuota
Rekomendasi
Pengelolaan SDI
Analisis
Kondisi Saat Ini
Optimal
Efisien
Ya
Tidak Tidak Tidak
• Overfishing • Tidak efisien (overcapacity) • Kelestarian SDI terancam • De facto open access
PERMASALAHAN SAAT INI
Gambar 1. Kerangka pemikiran pengelolaan SDI udang di Laut Arafura
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar-dasar Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
Pendekatan analitis untuk pengelolaan sumber daya perikanan di dasarkan
pada pendekatan bioekonomi yang sudah dikembangkan sejak awal tahun 1950an.
Meskipun konsep biologinya sendiri sudah dikenalkan oleh Graham pada tahun
1935 (Graham., 1935) dalam bentuk model logistik, model ini kemudian
dikembangkan oleh M. Schaefer (1954) yang memandang populasi ikan sebagai
satu kesatuan keseluruhan. Selanjutnya Gordon (1954) mengembangkan model
ekonomi berdasarkan model Scahefer tersebut dan memperkenalkan konsep
economic overfishing dan perikanan open access. Model yang dikenal sebagai
model bioekonomi Gordon-Schaefer (Gordon, 1953; 1954), kemudian banyak
digunakan untuk menganalisis pola pengelolaan perikanan yang optimal dan
berkelanjutan (Seijo et al., 1998). Secara sederhana model pengelolaan
bioekonomi dimulai dengan mengasumsikan bahwa pertumbuhan populasi ikan
mengikuti fungsi logistik sebagaimana Gambar 2.a dan secara matematis dapat
ditulis dalam persamaan berikut.
( )
( )(1 )dx x t
rx tdt K
= − ………………………………….(2.1)
r adalah tingkat pertumbuhan populasi secara intrinsik, ( )x t adalah biomasa
dalam waktu t dan K adalah carrying capacity atau daya dukung lingkungan.
Perilaku populasi dalam suatu kurun waktu dijelaskan dengan kurva Sigmoid,
dimana biomasa yang tidak dieksploitasi bertambah sampai mencapai level
maksimum pada level K (lihat Gambar 2.b).
10
Gambar 2. Fungsi pertumbuhan logistik (sumber: Fauzi, 2004)
Produksi penangkapan ikan merupakan fungsi dari upaya (effort) dan stok
ikan (Schaefer, 1957), maka hubungan antara tangkap dan effort dapat ditulis
dalam bentuk:
h qxE= …………………………….......………………(2.2)
dimana h = produksi, q = koefisien kemampuan tangkap, x = stok ikan dan E =
upaya. Menurut Gulland, 1983), q didefinisikan sebagai pembagian populasi ikan
yang ditangkap oleh satu unit upaya. Persamaan tersebut dapat digunakan secara
sederhana untuk menggambarkan pengaruh penangkapan terhadap pertumbuhan
biologi stok ikan sebagaimana Gambar 3. Akibat adanya aktivitas penangkapan
atau produksi, persamaan (2.1) menjadi:
(1 )dx x
rx hdt K
= − −
= [1 ]x
rx qxEK
− − ………………..…………….(2.3)
x t
F(x)xt
K
K1
2K
1r
2r
0 0
(a)(b)
x t
F(x)xt
K
K1
2K
1r
2r
0 0
(a)(b)
11
h1
h2
h3
h = q x E2
h = q x E1
h = q x E3
Gambar 3. Kurva yield-effort (Fauzi, 2004)
Model pertumbuhan Schaefer ini dapat ditransformasi untuk menentukan
hubungan antara input (effort) dan output (produksi) dengan mengasumsikan
kondisi keseimbangan dimana 0dx
dt= , sehingga persamaan (2.3) berubah
menjadi:
[1 ]x
qxE rxK
= − ............................................................ (2.4)
Dari persamaan (2.4) tersebut, kita bisa mencari x sebagai berikut:
1qE
x Kr
= −
………………....…………….….………(2.5)
Selanjutnya dengan mensubstitusikan persamaan (2.5) tersebut ke dalam
persamaan (2.2) maka diperoleh kurva produksi lestari:
12
1qE
h qKEr
= −
……………………………………………(2.6)
Persamaan di atas merupakan bentuk lain dari persamaan yang berbentuk
kuadratik, dimana q, K dan r konstanta. Kurva produksi lestari tersebut
sebagaimana Gambar 3, dikenal dengan istilah “yield-effort curve”.
Menurut Fauzi (2004), model Gordon-Schaefer dapat menguraikan konsep
bioeconomic pada kondisi akses terbuka. Sebagaimana dalam model biologi,
Gordon (1954) mengasumsikan keseimbangan untuk mendapatkan fungsi
produksi perikanan. Dalam model tersebut pendapatan bersih π diperoleh dari
penangkapan dalam persamaan (2.7) berikut:
π = TR – TC .............................................................(2.7)
TR = Total Revenue dan TC = Total Cost.
Produksi keseimbangan dalam kondisi akses terbuka terjadi ketika penerimaan
total (TR) sama dengan biaya total (TC), berarti π = 0 dan tidak ada lagi stimulus
untuk masuk (entry) dan keluar (exit) dalam perikanan. Menurut Gordon (1954)
jika biomasa juga berada dalam keseimbangan, maka produksi yang dihasilkan
akan membentuk keseimbangan baik biologi maupun ekonomi, kondisi tersebut
dikenal dengan bioeconomic equilibrium (keseimbangan bioekonomi).
Penggambaran secara grafis dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.
13
Gambar 4. Model Gordon-Schaefer (Fauzi, 2004)
Dalam kondisi keseimbangan jangka panjang tersebut, persamaan (2.4) dapat
ditulis sebagai:
[1 ]x
h rxK
= − ……………………….………………...(2.8)
Jika p = harga, maka penerimaan total dapat ditulis sebagai fungsi dari biomasa,
atau:
( ) [1 ]x
TR x prxK
= − ……………..…...……………..(2.9)
Demikian pula fungsi biaya dapat ditulis sebagai fungsi biomas sebagai berikut
TC cE=
( )h cF x
cqx qx
= =
( ) 1c x
TC x rq K
= −
………………………………(2.10)
14
dimana c adalah biaya per unit upaya, dan E = effort. Stok atau biomasa pada
keseimbangan bioekonomi (TR = TC) diperoleh dengan substitusi persamaan (2.9)
dan (2.10) sehingga:
c
xqp
= …………………….......................................(2.11)
x selalu lebih besar dari 0, karena upaya penangkapan (fishing effort) akan
berkurang atau bahkan berhenti pada saat TC TR≥ , karena pada tingkat upaya
yang melebihi keseimbangan bioekonomi tersebut, tidak ada lagi stimulus untuk
masuk dan keluar perikanan. Model tersebut memprediksi kondisi
overexploitation, jika kurva TC memotong kurva TR pada tingkat upaya yang
lebih tinggi daripada yang seharusnya diperlukan untuk mencapai kondisi MSY
(Clark, 1985; Anderson, 1986).
Analisis matematis menurut Clark (1976, 1985) menyajikan hubungan
bioekonomi, sebagaimana diacu oleh Fauzi (2004), rente ekonomi lestari
(sustainable rent) didefinisikan sebagai fungsi dari biomas dalam bentuk:
( )
( ) ( )cF x
x pF xqx
ρ = −
( )c
p F xqx
= −
……………………....……………(2.12)
Dengan menggunakan pertumbuhan logistik, rente ekonomi lestari secara lebih
eksplisit dapat ditulis menjadi:
( ) 1c x
x p rxqx K
ρ
= − −
………………….….………….(2.13)
Maksimisasi keuntungan statik diperoleh dengan menurunkan persamaan di atas
terhadap x , sehingga diperoleh:
15
( ) 2
1 0d x x cr
prdx K qx
ρ = − + =
………………......……….…(2.14)
Persamaan (2.14) di atas dapat dipecahkan untuk menentukan tingkat biomas yang
optimal ( ox ):
12
oK c
xpqK
= +
…………………………..………...……(2.15)
Dengan diketahuinya nilai optimal biomas tersebut, kita dapat menentukan nilai
tangkap optimal dan nilai upaya optimal dengan cara substitusi rumus (2.15) ke
fungsi produksi sebagai berikut:
0 1 14
rK c ch
pqK pqK
= + −
……………...………………(2.16)
0 12
r cE
q pqK
= −
………………........…………………..(2.17)
Selanjutnya menurut Clark (1976, 1985) yang diacu oleh Fauzi (2004),
pendekatan dinamik dapat digunakan dalam menganalisis bioeconomic dengan
dimasukan faktor waktu, sedangkan pendekatan statik tidak memasukkan faktor
waktu. Menurut Purwanto (1987) masalah perikanan adalah bagaimana
memanfaatkan stok ikan sepanjang waktu secara efisien dengan
mempetimbangkan suku bunga dan laju pertumbuhan stok ikan. Demikian pula
menurut Seijo et al. (1998) pendekatan klasik bioeconomic adalah statik,
sedangkan kondisi perikanan yang open access akan mendorong terjadinya
overexploitation dan habisnya rente ekonomi. Pada pemahaman tersebut, tingkat
penangkapan pada titik MEY lebih rendah ketimbang MSY, model Gordon-
Schaefer tersebut mengabaikan dimensi waktu dalam mengestimasi tingkat
penangkapan dan upaya yang optimal. Tingkat exploitasi optimal suatu stok ikan
16
bisa lebih besar atau lebih kecil dari MEY dan MSY, tergantung dari pilihan
intertemporal dalam pemanfaatan sumber daya.
Menurut Clark (1976; 1985), dalam model dinamik nilai optimal untuk
biomas (x*) dan panen optimal (h*) mengikuti persamaan sebagai berikut:
2
* 81 1
4
K c c cx
pqK r pqK r pqKr
d d dé ùæ ö æ öê ú÷ ÷ç ç= + - + + - +÷ ÷ç çê ú÷ ÷÷ ÷ç çç çè ø è øê úë û
…............................(2.18)
1 2* ( ) 1
xh x pqx x r
c Kδ
= − − −
………..………………(2.19)
δ = discount rate atau interest rate. Model bioekonomi tersebut akan digunakan
untuk mengetahui kondisi perikanan udang di Laut Arafura berdasarkan data hasil
penelitian.
Menurut Purwanto (1984), kondisi perikanan lemuru di Selat Bali telah
dianalisis dengan model dinamik dan menghasilkan kesimpulan bahwa dengan
produksi lestari sebesar 80 ribu ton per tahun, tingkat rente ekonomi maksimum
dicapai pada tingkat produksi 74 ribu ton per tahun. Hal ini membuktikan bahwa
dengan model dinamik dapat diketahui tingkat produksi optimal yang
menghasilkan rente ekonomi tertinggi, namun masih berada di bawah tingkat
produksi lestari.
2.2 Pengembangan Model Bioekonomi untuk Pengelolaan Perikanan Udang
Model bioekonomi di atas adalah model bioekonomi generik yang sering
digunakan untuk menganalisis berbagai tipe perikanan baik demersal maupun
pelagis. Dalam kasus perikanan udang, ada beberapa penelitian yang
menggunakan bioekonomi dengan mengembangkan model sederhana di atas
17
melalui pengembangan model bioekonomi yang lebih kompleks. Griffin (1983)
misalnya, menggunakan General Bioeconomic Fishery Simulation Model
(GBFSM) untuk menganalisis enam alternatif pengelolaan udang di Texas. Model
bioekonomi yang dikembangkan adalah pengembangan model diskrit dari dasar
model bioekonomi di atas dengan penambahan struktur mortalitas dan struktur
biaya yang lebih kompleks. Model bioekonomi tersebut dianalisis untuk melihat
dampak enam alternatif pengelolaan yakni dampak terhadap produksi total,
jumlah yang terbuang (discard), biaya dan penerimaan, dan jumlah effort yang
digunakan. Model Griffin (1983) dikombinasikan dengan model simulasi untuk
mengetahui beberapa skenario perubahan parameter pengelolaan seperti biaya dan
penerimaan serta skenario penutupan (seasonal closure). Hasil model Griffin
(1983) menunjukkan bawah alternatif pengelolaan dengan menutup perairan
offshore dan secara simultan menutup perairan teritorial berakibat terhadap
penurunan hasil tangkapan pada tahun pertama, namun kemudian meningkat pada
tahun-tahun berikutnya. Demikian juga penutupan perairan pesisir pada musim
semi hanya berakibat sedikit terhadap keseimbangan bioekonomi. Dari model
Griffith (1983) dapat diketahui bahwa alternatif pengelolaan yang dapat
meningkatkan produksi udang adalah penutupan pada bulan Juni dan Juli serta
penghapusan batasan ukuran (size restriction).
Pendekatan bioekonomi untuk pengelolaan perikanan udang juga telah
digunakan untuk menganalisis alternatif pengelolaan udang di Teluk Meksiko
oleh Ward dan Sutinen (1994). Dalam kasus tersebut, model bioekonomi
digunakan untuk memprediksi perilaku masuk (entry) dan keluar (exit) dari para
pelaku perikanan udang yang heterogen, berdasarkan pola keuntungan yang
18
myopic (tidak jelas). Ward dan Sutinen (1994) menggunakan model kontinyu
dengan menggunakan pendekatan analitik dan ekonometrik. Ward dan Sutinen
(1994) menemukan bahwa perilaku keluar dan masuk tidak dipengaruhi oleh
keragaman stok. Namun demikian, ekternalitas yang ditimbulkan oleh kepadatan
(crowding out externality) menimbulkan dampak negatif terhadap kemungkinan
entry terlepas dari perubahan kelimpahan stok, harga dan biaya. Dari studi ini
juga dapat diketahui bahwa pengelolaan berdasarkan kuota (pembatasan
tangkapan total yang dibagi per kapal) cenderung akan meningkatkan harga dan
mengarah ke peningkatan armada dalam ukuran besar dan meningkatkan
kecenderungan entry ke perikanan.
Salah satu pengembangan terkini menyangkut model bioekonomi untuk
perikanan udang juga dilakukan oleh Chapman dan Beare (2001). Kedua peneliti
tersebut menganalisis efektivitas pengelolaan Individual Transferable Quota
(ITQ) dan pengendalian input (input control) dalam kerangka pendekatan biologi
dan ekonomi yang terintegrasi. Kerangka analisis yang digunakan adalah
optimisasi stokastik untuk mengakomodasai ketidakpastian biologi. Sedikit
berbeda dengan model konvensional, model persamaan biologi yang digunakan
oleh Chapman dan Beare (2001) adalah model Ricker. Hasil studi Chapman dan
Beare (2001) menunjukkan bahwa ITQ menjadi instrumen pengelolaan yang
efektif dalam kasus di Norther Prawn Fishery (NPF), terutama pada saat
terjadinya peningkatan upaya penangkapan secara kontinyu (effort creep). Namun
demikian, keuntungan dalam penerapan ke arah sistim ITQ sangat tergantung dari
keberhasilan dalam merasionalisasi struktur kapital. Lebih dari itu strategi
pengelolaan alternatif seperti pengaturan musim dan penutupan area tertentu akan
19
memperkuat pengelolaan berbasis ITQ dan menambah manfaat pengelolaan
perikanan udang itu sendiri.
Chapman dan Beare (2001) lebih jauh juga menyimpulkan bahwa pengelolaan
yang optimal untuk NPF dilakukan dengan kombinasi input control dan output
control. Hal ini ditarik dari simulasi yang dilakukan dengan tiga pilihan
pengelolaan yaitu: penutupan musim penangkapan; penerapan kuota dan
kombinasi kuota dengan penutupan setengah musim. Hasil simulasi ketiga
alternatif untuk kurun waktu 30 tahun dengan asumsi tidak terjadi peningkatan
effort secara signifikan ditampilkan dalam logical framework sebagai berikut.
Tabel 1. Logical Framework Simulasi Peningkatan Effort
(Chapman and Beare, 2001)
Struktur Kapital Penutupan
Musim Penerapan Kuota
Kombinasi
Kuota-Musim
Struktur kapital
tetap
Jumlah kapal 115 115 115
TAC - 3812 ton 7651 ton
Lama musim 26 minggu 23.8 minggu 28 minggu
Effort tahunan 8706 hari 10960 hari 9440 hari Tangkapan tahunan
2416 ton 2198 ton 2479 ton
Pendapatan bersih/th
$ 483 juta $ 426 $ 480 juta
Struktur kapital
flexible
Jumlah kapal 90 62 86
TAC - 4084 ton 5370 ton
Lama musim 31 minggu 39.1 minggu 32 minggu
Effort tahunan 8921 hari 8852 hari 8968 hari
Tangkapan tahunan
2408 ton 2334 ton 2419 ton
Pendapatan bersih/th
$ 489 juta $ 480 juta $ 489 juta
Sejarah pengelolaan udang di Laut Arafura dimulai sejak ditemukannya lokasi
penangkapan udang yang kaya pada tahun 1964 oleh kapal riset Baruna Jaya dan
20
diyakinkan dengan riset berikutnya tahun 1967. Sejak tahun 1969 mulai
beroperasi penangkapan udang oleh dua perusahaan patungan dengan 9
(sembilan) kapal pukat udang, terus meningkat pada tahun 1978 beroperasi 120
kapal pukat udang berukuran antara 90 GT sampai dengan 594 GT oleh 17
perusahaan patungan (Bailey et al., 1987). Gulland (1973) menilai pada saat itu
sumberdaya udang di Laut Arafura mengalami tekanan dan terjadi penurunan
tangkapan per unit upaya (catch per unit effort) dan merekomendasikan
penangkapan dibatasi 90 kapal pukat udang. Uktoselja (1978) mengestimasi MSY
udang di Laut Arafura adalah 5200 ton/tahun dan melaporkan pada tahun 1974
sumberdaya udang sudah overexploited. Naamin dan Noer (1980) mengestimasi
MSY udang di Laut Arafura antara 6000 sampai dengan 6170 ton per tahun.
Pada tahun 1970 kapal-kapal Taiwan mulai beroperasi dengan menggunakan
pair trawl, juga dalam usaha patungan dengan perusahaan Indonesia. Naamin
(1984) mengadakan penelitian untuk mengidentifikasi dinamika populasi udang
Jerbung di Laut Arafura, khusus aspek biologi antara lain umur, pertumbuhan
serta densitasnya. Hasil studi Naamin (1984) tersebut merekomendasikan
pengelolaan dengan instrumen kebijakan input control dengan mengatur jumlah
armada, penutupan musim penangkapan dan pengaturan ukuran mata jaring. Hasil
studi Naamin (1984) tersebut dijadikan dasar pengelolaan dengan tingkat effort
optimal berdasarkan biologi.
Sejak dibukanya Laut Arafura untuk penangkapan udang tahun 1969 sampai
sekarang, instrumen kebijakan yang diterapkan adalah input control, meliputi
pengaturan jumlah armada dan pembatasan alat tangkap (gear restriction).
Instrumen kebijakan tersebut dibarengi dengan pemberlakuan pungutan yang
21
disebut Pungutan Hasil Perikanan (PHP), yang merupakan resource fee (ongkos
sumber daya) karena pemanfaatan sumber daya ikan milik negara. PHP tersebut
merupakan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang dikembalikan lagi untuk
DKP dalam bentuk APBN (anggaran dan pendapata belanja negara) dalam
rangka pengelolaan perikanan. Dalam prakteknya, kelemahan pengelolaan
berdasarkan input control tersebut mendorong terjadinya peningkatan upaya untuk
meningkatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Hal ini dapat dilihat dari
kecenderungan peningkatan mesin (karena yang dibatasi dalam aturan GT nya)
dan peningkatan teknologi yang lebih canggih (satelit, fish finder dll).
Peningkatan kapasitas penangkapan tersebut secara perlahan berakibat kepada
terjadinya overcapacity.
Pada tahun 2001, Widodo et al. (2001) mulai memperkenalkan konsep
pengelolaan berdasarkan bioekonomi dengan instrumen kebijakan input control
dalam bentuk pengaturan jumlah kapal (effort) dan ukuran mata jaring (gear
restriction). Rekomendasi hasil penelitian tersebut adalah dikuranginya armada
penangkapan udang hingga tingkat upaya penangkapan tahun 1995. Studi tersebut
menghasilkan instrumen kebijakan dengan penentuan effort optimal berdasarkan
bioekonomi.
Dalam penelitian kali ini, penulis mengadakan pengkajian bioekonomi dan
kapasitas sekaligus, untuk menentukan status terkini perikanan udang di Laut
Arafura. Penulis tidak mengadakan pengkajian biologi, namun analisis pada
dinamika populasi secara total dengan pendekatan surplus produksi. Instrumen
kebijakan sebagai alternatif yang dikembangkan adalah pengurangan jumlah
kapal, penerapan kuota dan penutupan musim penangkapan.
22
2.3 Pengelolaan Perikanan (Fishery Management)
Menurut Charles (2001), pengaturan pengelolaan perikanan, secara garis besar
meliputi: pengendalian input/upaya (input/effort control), pengendalian
output/tangkapan (output/catch control), pengaturan teknis (technical measures),
pengaturan berbasis lingkungan (ecologically based measures) dan instrumen
ekonomi (economic instruments). Menurut King (1995), sejarahnya tujuan utama
pengelolaan perikanan adalah konservasi stok ikan. Dalam perikanan modern,
tujuan tersebut berkembang untuk kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan.
2.3.1 Input (Effort) control (pengendalian input)
Ide dasar dalam input control adalah mengatur upaya penangkapan (fishing
effort), dimana effort menentukan berapa besar penangkapan yang berdampak
kepada stok ikan. Ada empat elemen input control yaitu: jumlah kapal penangkap;
daya tangkap potensial rata-rata tiap kapal dalam armada (ukuran, alat tangkap,
peralatan elektronik dan input fisik lain termasuk crew); intensitas rata-rata
operasi kapal di laut per satuan waktu; rata-rata waktu melaut kapal dalam
armada. Dengan demikian total effort suatu armada kapal adalah sebagai berikut.
Fishing effort = (jumlah kapal) x (daya tangkap) x (intensitas) x (hari melaut)
Jika salah satu faktor tersebut tidak ada atau nol, maka tidak ada effort atau tidak
ada perikanan tangkap. Pembatasan-pembatasan yang masuk dalam kategori input
control (Charles 2001) meliputi:
2.3.1.1 Pembatasan jumlah peserta (limiting entry)
Merupakan salah satu cara yang paling banyak diterapkan, dimana jumlah
peserta dalam perikanan dibatasi, dengan pengaturan membatasi izin penangkapan
23
yang diberikan kepada sejumlah pemilik kapal. Cara ini memberikan hak akses
kepada pemilik kapal tersebut. Indonesia menganut cara ini dengan memberikan
izin penangkapan kepada perorangan, Koperasi dan perusahaan dalam bentuk
SIUP (Surat Izin Usaha Penangkapan). Dalam SIUP tersebut dicantumkan jumlah
kapal dan total GT (gross tonage), alat tangkap dan daerah penangkapan
(Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 2002).
2.3.1.2 Pembatasan kapasitas per kapal
Cara ini dilakukan dengan membatasi kemampuan kapal yang berdampak
langsung terhadap sumber daya ikan, antara lain: palka, ukuran kapal, jumlah alat
tangkap dll. Indonesia menerapkan pembatasan ukuran kapal dalam bentuk GT
dan kekuatan mesin (PK) kapal. Pengaturan tersebut ada di dalam dokumen izin
penangkapan.
2.3.1.3 Pembatasan Intensitas Operasi
Pengaturan intensitas penggunaan kapal dalam arti jumlah hari operasi di laut
dan pengaturan intensitas kerja ABK (anak buah kapal) merupakan hal yang lebih
sulit dibandingkan dengan pengaturan input yang lain. Indonesia tidak menganut
pengaturan ini.
2.3.1.4 Pembatasan waktu penangkapan
Pembatasan waktu penangkapan dilakukan dengan mengatur hari melaut, saat
ini masih dikaji sebagai salah satu alat dalam pengelolaan perikanan. Kapal dalam
armada meskipun memiliki faktor-faktor lain untuk menangkap seperti mesin, alat
tangkap, ABK, namun tidak akan menghasilkan ikan jika tidak ke laut. Konsep ini
belum diterapkan sebagai alat pengelolaan.
24
2.3.1.5 Pembatasan lokasi penangkapan
Salah satu input penting dalam proses penangkapan adalah lokasi dimana
terjadi kegiatan penangkapan ikan. Para penangkap ikan pada umumnya
merahasiakan lokasi penangkapan mereka dan yakin bahwa mereka mengetahui
lokasi terbaik untuk menebar jaring atau bubu. Cara ini merupakan salah satu
metode tradisional dalam pengelolaan perikanan, yaitu dengan memberikan area
penangkapan tertentu kepada pengguna. Indonesia menganut metode ini, dengan
cara pemegang izin diberikan area penangkapan dalam bentuk koordinat dan
dicantumkan dalam SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) tiap kapal.
2.3.2 Output (catch) control
Jika input control memfokuskan kepada pembatasan berbagai komponen
upaya penangkapan, output control memfokuskan seluruhnya kepada apa yang
diambil dari stok ikan, yaitu tangkapan.
2.3.2.1 Total Allowable Catch (TAC)
Output control yang paling banyak didiskusikan adalah mengatur jumlah
tangkapan masing-masing jenis stok ikan dalam perikanan. Pengaturan tangkapan
secara agregat disebut TAC, yaitu jumlah biomasa ikan yang boleh ditangkap.
TAC ini kemudian bisa dibagi ke dalam kuota dalam subbagian, misalnya TAC
untuk Uni Eropa dibagi ke dalam kuota tiap negara di Eropa. Indonesia
memberlakukan TAC sebesar 80% dari MSY (maximum sustainable yield) secara
nasional dalam arti total maksimum penangkapan dan tidak dibatasi kuota untuk
perusahaan atau kapal.
25
2.3.2.2 Kuota individu (individual quota)
Individual Quota (IQ) merupakan hak output kuantitatif yang menentukan
jumlah tiap nelayan boleh menangkap dalam periode waktu tertentu. Sebagai
contoh pengaturan trip yang membatasi berapa yang dapat ditangkap tiap trip
penangkapan, atau dibatasi tiap tahun. Ada dua pilihan prinsip kuota individu,
yaitu individual transfereble quota (ITQ) dan individual non-transferable quota
(INTQ).
2.3.2.3 Kuota masyarakat
Konsep dasarnya tidak ada perbedaan dengan kuota individu, perbedaannya
terletak pada pengelolaan berbasis masyarakat terhadap sumber daya ikan
tersebut. Faktor kuncinya adalah penyatuan kuota individu menjadi pengelolaan
berbasis masyarakat.
2.3 Pengendalian ikan yang dilepas (escapement controls)
Pengendalian cara ini difokuskan untuk meyakinkan bahwa cukup ikan yang
dibiarkan tidak ditangkap untuk pemijahan (spawning). Pengelolaan cara ini biasa
dilakukan untuk Salmon.
2.3.3 Pengaturan teknis (technical measures)
Pengaturan teknis merupakan pengaturan yang membatasi bagaimana, kapan
dan dimana ikan ditangkap. Pengaturan teknis ini meliputi: pembatasan alat
tangkap (gear restriction); pembatasan ukuran (size limit); penutupan area (closed
area) dan penutupan musim (closed season).
26
2.3.4 Pengelolaan berbasis lingkungan (ecologically based management)
Pengaturan tipe ini dilaksanakan dengan pengaturan pembatasan untuk multi
spesies yang berdampak mengurangi tekanan terhadap lingkungan. Sebagai
contoh pembatasan jumlah kapal dan alat tangkap dalam suatu periode tertentu
untuk stok ikan campuran (misalnya untuk semua jenis demersal dan pelagis).
Salah satu contoh adalah penetapan MPA (marine protected area) yang
membatasi kegiatan manusia di kawasan tersebut.
2.3.5 Instrumen ekonomi tidak langsung: pajak dan subsidi
Pengendalian dengan penerapan pajak dapat ditetapkan agar dapat mengerem
keinginan individu atau perusahaan dalam menangkap ikan. Semakin besar pajak
akan semakin berkurang minat menangkap ikan. Sedangkan subsidi biasanya
diterapkan pada faktor input secara selektif, misalnya subsidi BBM dalam rangka
memodernisasi perikanan tradisionil.
2.4 Keragaan Perikanan
Salah satu instrumen yang juga dapat digunakan untuk pengelolaan sumber
daya perikanan yang optimal adalah menyangkut bagaimana keragaan industri
perikanan tersebut dalam konteks input yang digunakan untuk ekstraksi sumber
daya dan produksi yang dihasilkannya. Dalam kaitan ini kebanyakan perikanan
memiliki permasalahan kelebihan kapasitas yang menyebabkan kurang baiknya
keragaan perikanan tersebut. Demikian juga dalam pengelolaan sumber daya
udang, dari studi Griffin (1983) dan juga Ward dan Sutinen (1994) kelebihan
kapasitas adalah satu penyebab kurang efisiennya pengeolaan perikanan udang
27
tersebut. Untuk itu adalah penting untuk membahas apa yang dimaksud dengan
keragaan perikanan yang salah satunya diukur berdasarkan kapasitas perikanan.
Kapasitas perikanan secara umum didefinisikan oleh Pascoe et al. (2003)
sebagai berikut: “Kapasitas perikanan adalah kemampuan suatu kapal atau armada
kapal untuk menangkap ikan. Kapasitas perikanan dapat dinyatakan lebih spesifik
sebagai sejumlah maksimum ikan selama kurun waktu tertentu (tahun atau
musim) yang dapat dihasilkan oleh armada kapal jika digunakan penuh,
berdasarkan biomasa dan struktur umur yang ada serta kondisi teknologi yang
diterapkan”. Definisi menurut FAO (1998) secara umum, kapasitas perikanan
berdasarkan target (target capacity) adalah ”maksimum jumlah ikan dalam
periode tertentu yang dapat diproduksi oleh satu armada perikanan jika
dimanfaatkan penuh, bersamaan dengan itu memenuhi tujuan pengelolaan yang
dirancang untuk memastikan kelestarian perikanan”.
Kedua definisi tersebut memberikan dasar pemikiran bahwa faktor yang
menentukan kapasitas perikanan adalah kemampuan kapal atau armada dalam
menangkap atau memproduksi ikan, faktor waktu yang ditetapkan dan tujuan yang
ditetapkan. Untuk mengukur kapasitas tentu saja harus diketahui faktor-faktor
kapal atau armada yang mempengaruhi kemampuan menangkap, berapa produksi
hasil tangkapan dan tujuan yang direfleksikan dalam target, serta waktu yang
ditetapkan untuk mengukur (misalnya dalam satu tahun atau lima tahun).
Menurut Smith dan Hanna (1990), kapasitas suatu armada kapal ikan meliputi
empat komponen, yaitu.
(1) Jumlah kapal
(2) Ukuran tiap kapal
28
(3) Efisiensi teknis operasional kapal
(4) Kemampuan waktu penangkapan tiap kapal pada tiap periode waktu (tahun
atau musim).
Dari keempat komponen tersebut bisa diketahui kapasitas sebuah kapal atau
armada kapal ikan dalam kurun waktu tertentu di suatu wilayah penangkapan.
Pada tahun 1995, CCRF (Code of Conduct for Responsible Fisheries) diadopsi
oleh FAO, salah satu isyu adalah bahwa kelebihan kapasitas (excess capcity)
merupakan salah satu faktor yang mengganggu kelestarian perikanan (FAO,
1995). Menurut Pascoe et al. (2003), konsep excess capacity berkaitan dengan
perbedaan antara kapasitas penangkapan potensial jika semua kapal dimanfaatkan
penuh dengan penangkapan saat ini. Konsep ini merupakan konsep jangka
pendek, karena berkaitan dengan kondisi stok ikan saat ini. Tujuan dari
pengelolaan perikanan lebih kepada yang bersifat jangka panjang. Sebagai contoh,
jika yang menjadi tujuan adalah tercapainya MSY, excess capacity
memberitahukan kepada kita berapa kapasitas penangkapan yang harus
diturunkan agar tercapai MSY tersebut. Dalam pengelolaan perikanan untuk tujuan
jangka panjang, konsep over capacity lebih tepat dan merupakan excess capacity
jangka panjang. Overcapacity berkaitan dengan perbedaan antara kapasitas saat
ini (baik dalam hal effort, jumlah kapal, maupun tingkat penangkapan yang
diharapkan) dan level kapasitas yang ditargetkan.
Excess capacity merupakan problema jangka pendek yang dapat terkoreksi
dengan sendirinya, misalnya terjadi karena perubahan supply dan demand dalam
pasar sehingga pengusaha menyesuaikan dengan tingkat produksi maupun harga.
Overcapacity merupakan problema jangka panjang, biasanya terjadi karena pasar
29
gagal untuk mengalokasikan input dan output secara efisien. Pengusaha tidak
dapat saling menjaga ada pihak lain yang menangkap ikan (misalnya illegal
fishing), dan tidak ada insentif untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan.
Overcapacity pada umumnya terjadi sebagai akibat dari penangkapan berlebih
sumber daya ikan (overexploitation of resource) dan pemanfaatan sumber daya
yang tidak efisien (modal dan faktor-faktor produksi penangkapan). Istilah jangka
pendek dapat diartikan dalam satu musim penangkapan atau satu tahun,
sedangkan jangka panjang dapat diartikan suatu periode dimana stok ikan
mencapai target yang ditetapkan dan level input untuk jangka pendek dapat diatur.
Isyu overcapacity atau excess capacity dalam perikanan biasanya berkaitan
dengan problema open access (Greboval, 1999). Menurut Wilen (1985), sebagai
langkah awal diperlukan pemahaman untuk membedakan kondisi ”murni” open
access dan ”regulated” open acces. Dalam kondisi open access murni, tidak ada
kejelasan tentang hak kepemilikan (property right) dan tidak adanya pengaturan
dalam eksploitasi sumber daya. Suatu perikanan yang ”regulated” open acces
didefinisikan sebagai suatu perikanan yang hak kepemilikannya (property right)
tidak jelas, pemerintah mengontrol penangkapan dalam suatu regulasi yang ketat
dalam rangka konservasi sumber daya, namun tidak mampu mengontrol secara
efektif kapal-kapal yang beroperasi menangkap di laut.
Menurut Pascoe et al. (2004), overcapacity dapat didefinisikan sebagai
overcapitalization manakala ukuran jangka panjangnya berdasarkan output yang
dikaitkan dengan jumlah armada saat ini untuk mencapai stok yang ditargetkan,
pada saat yang sama ukuran input nya didasarkan kepada tingkat investasi saat ini
(dalam hal jumlah kapal, GT dan satuan lain) pada tingkat investasi yang
30
ditargetkan. Konsep overcapitalization dapat digambarkan secara sederhana
menggunakan model Schaefer sebagaimana Gambar 5. Dalam gambar tersebut,
jumlah armada kapal F menghasilkan output O, sedangkan hasil yang lebih besar
pada OMSY dapat dicapai dengan jumlah armada kapal lebih sedikit FMSY .
Perbedaan antara jumlah armada kapal saat ini dan jumlah kapal yang ditargetkan
adalah excess capital yang merupakan ukuran tingkat overcapitalization dalam
perikanan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kapasitas (capacity) dan
pemanfaatan kapasitas (capacity utilization) merupakan konsep jangka pendek
yang berkaitan dengan kemampuan armada kapal saat ini untuk menambah output
dalam kondisi yang ada. Overcapacity dan overcapitalization merupakan konsep
jangka panjang yang menunjukkan kondisi dimana armada saat ini perlu dikurangi
untuk mencapai output jangka panjang yang ditargetkan.
Omsy
Fmsy F
O
Fleet unit
Output
Excess capital
}
Gambar 5. Overcapitalization dalam perikanan (Pascoe et al., 2004).
Menurut Ward et al. (2004), overcapacity terjadi sebagai suatu konsekuensi
mekanisme pasar yang tidak sempurna. Dalam kasus perikanan, ketidak
31
sempurnaan pasar pada umumnya adalah tidak adanya kejelasan hak kepemilikian
(property right) dan insentifnya. Overcapacity dalam perikanan mendorong
terjadinya berbagai problema antara lain: (1) over investasi dalam kapital dan
tenaga kerja yang berlebihan baik di perusahaan penangkapan atau pengolahan;
(2) menurunnya kelimpahan baik perikanan langsung maupun stok, (3)
menurunnya tingkat keuntungan bagi modal dan tenaga kerja, menurunnya
kualitas hidup nelayan dan keluarga mereka, (4) meningkatnya konflik dalam
proses manajemen.
Untuk mengatasi overcapacity, diperlukan instrumen pengelolaan
(management instrumenst) yang disebut “incentive blocking” atau “incentive
adjusting” (Ward et al., 2004). Pengaturan dalam incentive blocking mencoba
untuk membatasi tingkat kegiatan dalam berbagai bentuk, sedangkan incentive
adjusting mencoba untuk melibatkan masalah hak kepemilikan (property right)
dan membiarkan pasar untuk mengurangi overcapacity. Kedua instrumen
pengelolaan tersebut disajikan dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Instrumen pengelolaan: incentive blocking dan incentive adjusting
Incentive blocking insruments Incentive adjusting instruments
• Limited entry
• Buy back programmes
• Gear and vessels restrictions
• Aggregate quotas
• Non transferable vessel ctach
limits
• Individual Effort Quotas (IEQs)
• Individual transferable quotas
(ITQs)
• Taxes and royalties
• Group fishing rights (CDQs,
etc)
• Territorial use rights (TURFs)
Menurut Ward et al. (2004), incentive blocking instruments merupakan solusi
jangka pendek, sedangkan incentive adjusting instruments merupakan solusi
jangka panjang dalam mengatasi overcapacity.
32
Menurut Pascoe et al. (2003), ada empat metodologi untuk mengukur
kapasitas perikanan sebagai berikut.
2.4.1 Rapid Apraisal Techniques (RA)
RA merupakan pengumpulan data secara informal dari pakar dan pelaku
(stakeholders) secara luas. Tekniknya dilaksanakan dengan interview informal
kepada peserta kunci dalam perikanan yang memiliki input dalam proses
produksi. Pertanyaan diarahkan kepada level penangkapan waktu lampau dan
masa kini, termasuk level kegiatan dan level kegiatan yang potensial. Informasi
dikumpulkan di lapangan dan dikuantifikasi semaksimal mungkin dan dilengkapi
data kuantitatif lain (misalnya jumlah ikan dijual di pasar induk sebagai patokan).
Peserta sebagai sumber data diinterview ulang dan informasi yang terkumpul di
sajikan untuk cross check dan validasi. Proses ini memerlukan pengulangan
beberapa kali yang memungkinkan diadakannya penghalusan data (fine-tuning)
estimasi untuk mendapatkan nilai yang bisa dipercaya oleh peserta di perikanan.
Model RA ini memerlukan jumlah tenaga kerja yang besar karena melibatkan
sumber informasi pelaku perikanan dalam jumlah besar.
2.4.2 Survei dan opini ahli
Survei dilaksanakan untuk mengumpulkan perkiraan subyektif tetapi
kuantitatif tentang kapasitas. Seperti RA, cara ini bermanfaat jika data terbatas
atau tidak tersedia. Pelaku perikanan dapat disurvei untuk menentukan
penangkapan dan kegiatan yang sedang berjalan, termasuk pendapat subyektifnya.
Survei bisa memerlukan tenaga yang lebih sedikit dibandingkan dengan metode
RA, tetapi memberikan umpan balik dan klarifikasi yang lebih sedikit dari hasil
analisis kepada industri. Keandalan (reliability) dari survei tergantung dari jumlah
33
wakil dari sampel yang didata. Survei para ahli (biologist dan wakil industri)
dapat juga dilaksanakan untuk melengkapi perkiraan kapasitas output dan
pemanfaatannya. Jika opini ahli bervariasi, diperlukan pembobotan secara
subyektif untuk masing masing opini untuk menghasilkan perkiraan komprihensif.
2.4.3 Analisis peak-to-peak
Analisis peak-to-peak mengasumsikan adanya hubungan langsung antara level
input dan level output. Sebuah index tangkapan per unit input (misalnya
tangkapan per hari atau tangkapan per kapal) diperoleh dari data. Asumsi dibuat
bahwa level puncak (peak level) dari tangkapan per unit input sebanding dengan
kapasitas pemanfaatan. Kondisi puncak diasumsikan mewakili tahun-tahun
dimana perikanan mencapai kondisi output maksimum dalam jangka pendek,
dalam kondisi teknologi penangkapan dan stok yang ada. Analisis ini pernah
diterapkan oleh Ballard and Roberts (1977), Ballard and Blomo (1978) dan Hsu
(2003).
2.4.4 Stochastic production frontier (SPF)
SPF menunjukkan output maksimum yang diharapkan terhadap sekumpulan
input yang diketahui. Hal tersebut didapatkan dari teori produksi dan berdasarkan
kepada asumsi bahwa output adalah fungsi dari tingkat input dan efisiensi
produsen dalam menggunakan input.
2.4.5 Data Envelopment Analysis (DEA)
DEA menggunakan teknik seperti program matematis yang dapat menangani
variable dan kendala dalam jumlah besar, juga memudahkan kebutuhan yang
34
sering timbul disebabkan keterbatasan data, sehingga bisa dipilih hanya beberapa
variable input dan output. Model terpenting dari DEA adalah CCR (Charnes,
Cooper and Rhodes 1978) (Fauzi dan Anna, 2005). Menurut Cooper et al. (2004),
ada dua model DEA yang berkembang yaitu CCR dan BCC (Banker-Charnes-
Cooper). Model BCC merupakan pengembangan dari CCR, diimplementasikan di
dunia perbankan untuk kasus yang return of scale nya berubah. CCR
diimplementasikan pada kasus-kasus yang return of scale nya tetap. Perbedaan
secara grafis CCR dan BCC terletak pada acuan yang digunakan untuk menetukan
batas titik-titik efisiensi DMU (decision making unit) dalam suatu frontier. Garis
batas terluar efisiensi dalam CCR ditarik dari satu titik efisiensi terluar berupa
garis lurus, sedangkan dalam model BCC batas efsiensi ditarik oleh garis yang
menghubungkan titik-titik terluar efisensi (Gambar 6 dan Gambar 7). Baik model
CCR maupun BCC dibagi menjadi dua tipe, yaitu input-oriented dan output-
oriented dengan notasi CCR-I; CCR-O; BCC-I; BCC-O. Tipe input-oriented
digunakan untuk meminimalkan input, sedangkan output oriented digunakan
untuk memaksimalkan output, perhitungan kedua tipe akan menghasilkan angka
efisiensi yang sama (Cooper et al. 2004).
Gambar 6. Pembatasan Produksi Model CCR
35
Gambar 7. Pembatasan Produksi Model BCC
Berdasarkan data yang ada, dapat dihitung efisiensi suatu DMU menggunakan
data input dan output. Jumlah variabel input dan output bisa satu atau lebih.
Apabila ada n DMU: DMU1, DMU2,….., dan DMUn dimana j = 1, …., n,
sedangkan ada sejumlah m input dan s output, maka input data untuk DMUj
menjadi (X1j, X2j,…,Xmj) dan output datanya adalah (Y1j, Y2j,…, Ysj). Matriks
input data X dan output data Y dapat ditulis sebagai berikut.
11 12 1
21 22 2
1 2
...
...
. . .
n
n
m m mn
x x x
X x x x
x x x
=
…..…….………………….(2.20)
11 12 1
21 22 2
1 2
...
...
. . .
n
n
s s sn
y y y
Y y y y
y y y
=
……………………..……...(2.21)
36
Salah satu cara untuk menganalisa kapasitas perikanan adalah dengan DEA,
dimana pendekatannya berdasarkan input dan output. Seperti dirujuk oleh Fauzi
dan Anna (2005), konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Charles, Cooper,
dan Rhodes atau dikenal sebagai CCR. Di Indonesia konsep ini telah diterapkan
oleh Fauzi dan Anna pada tahun 2002 untuk mengukur efisiensi kapasitas
perikanan di DKI Jakarta (Fauzi dan Anna, 2005).
Pengukuran efisiensi pada dasarnya merupakan rasio antara output dan input,
atau:
Input
OutputEfisiensi = ......................................................(2.22)
Pengukuran efisiensi yang menyangkut multiple input dan output dapat
dilaksanakan dengan menggunakan pengukuran efisiensi relatif yang dibobot
sebagaimana tertulis berikut:
dibobotsudahyanginputJumlah
dibobotsudahyangoutputJumlahEfisiensi =
Atau dapat ditulis :
...
...
2211
2211
++
++=
jj
jj
xvxv
ywywjunitdariEfisiensi .........................(2.23)
Keterangan :
w1 = Pembobotan untuk output i
y1j = Jumlah output 1 dari unit j
v1 = Pembobotan untuk input 1
x1j = Jumlah dari input 1 ke unit j
Namun demikian, pengukuran tersebut tetap memiliki keterbatasan berupa
sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output. Keterbatasan
37
tersebut kemudian dijembatani dengan konsep DEA, efisiensi tidak semata-mata
diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan
dari setiap output dan input yang digunakan. Pada pembahasan DEA, efisiensi
diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum dengan kendala
relatif efisiensi dan seluruh unit yang tidak boleh melebihi 100%. Secara
matematis, efisiensi dalam DEA merupakan solusi dan persamaan berikut 1:
i ijm
mm
k kjm
k
w y
Max Ev x
=∑
∑
Dengan kendala :
1i ijm
i
k kjm
k
w y
v x≤
∑
∑ untuk setiap unit ke j ........................................(2.24)
ε≥ki vw ,
Pemecahan masalah pemrograman matematis di atas akan menghasilkan nilai
Em yang maksimum sekaligus nilai bobot (w dan v) yang mengarah ke efisiensi.
Jadi jika nilai Em =1, maka unit ke m tersebut dikatakan efisien relatif terhadap
unit lainnya. Sebaliknya jika nilai Em lebih kecil dari 1, maka unit yang lain
dikatakan lebih efisien relatif terhadap unit m, meskipun pembobotan dipilih
untuk memaksimisasi unit m.
Salah satu kendala dan pemecahan persamaan (2.24) adalah persamaan
tersebut berbentuk fractional sehingga sulit untuk dipecahkan melakukan
pemograman linear. Namun demikian, dengan melakukan linearisasi, persamaan
(2.24) dapat diubah menjadi persamaan linear sehingga pemecahan melalui
1 Merupakan pengukuran dari efisiensi relatif dari Farrell dan Fieldhouse (1962), dimana terdapat
kemungkinan input dan output tidak terhitung (multiple). Terfokus pada konstruksi unit hipotetik efisien sebagai rata-rata bobot dari unit efisien, berfungsi sebagai pembanding bagi unit yang tidak efisien.
38
pemograman linear (linear programming) dapat dilakukan. Linearisasi persamaan
(2.24) di atas menghasilkan persamaan sebagai berikut:
∑=i
ijmim ywEMax
dengan kendala:
1
0
k kjm
k
i ijm k kjm
i k
v x
w y v x
=
− ≤
∑
∑ ∑.
................................................................. (2.25)
Salah satu manfaat dilakukannya linearisasi, kita dapat melakukan pemecahan
pemrograman linear di atas dengan melakukan pemecahan dual dari persamaan
(2.25). Sebagaimana ciri yang dimiliki oleh pemograman linear, pemecahan baik
primal maupun dual akan menghasilkan solusi yang sama, namun demikian
sering pemecahan dengan dual lebih sederhana karena berkurangnya dimensi
kendala. Primal dan dual variable dari persamaan (2.25) di atas dapat ditulis
kembali sebagai sebagai:
Model Primal Variabel Dual
∑=i
ijmiyw EmMax Z
Dengan kendala
1k kjm
k
v x =∑ oλ
i k
- 0, 1,2 ... i ijm k kjmwy v x j n≤ =∑ ∑
mkvk ... 1,2 - =≤− ε −kS
εω , ≥ki v
………………(2.26)
39
...t 1,2, =−≤− ii εω +kS
Dengan demikian, dual dari persamaan (2.29) dapat ditulis sebagai;
Z min m ∑∑ −+ −k
ki
i SS- εεϖ
dengan kendala:
∑ ==j
jkj ... 1 0 X - S - mkx -kkj λ ..............................................(2.27)
∑ ==++
j
jm jiji tiyi y ... 1 S λ
0 ,, ≥−+ki SSjλ
Hasil analisis DEA dapat dijabarkan dalam bentuk grafik melalui apa yang
disebut sebagai efficiency frontier. Untuk mengolah data variabel input dan output
menjadi skor efisiensi dan pembobotan optimalnya, digunakan software DEA-
Solver dengan cara menabelkan data-data tersebut ke dalam worksheet Excel
Window dan kemudian di run. Hasil run software DEA-Solver menunjukkan
angka skor efisiensi, grafik dan pembobotan optimal. Sedangkan untuk
menggambarkan efisiensi frontier digunakan software GAMS atau Frontier
Analyst.
Dari ke lima model tersebut diatas, dipilih model DEA dalam pengukuran
kapasitas perikanan udang di Laut Arafura yang akan dibahas dalam bab
selanjutnya.
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Wilayah studi untuk kegiatan penelitian adalah Laut Arafura di daerah operasi
penangkapan udang, posisi berada di antara antara 1300 Bujur Timur (B.T.) dan
1390 B.T. di perairan teritorial dan ZEE (zona ekonomi eksklusif) Indonesia
(Gambar 8). Lokasi pendaratan kapal-kapal pukat udang pada wilayah studi
sebagai basis pengumpulan data adalah Tual, Benjina, Agats, Dolak. Penelitian
dilaksanakan selama satu tahun, mulai bulan Mei 2003 sampai dengan April 2004
terhadap 39 kapal pukat udang sebagai sampel.
Gambar 8. Wilayah studi pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura
42
3.2 Kerangka Pendekatan Analisis
Berikut ini akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai alur pikir kerangka
pendekatan analisis dari penelitian ini dalam usaha mencapai tujuan penelitian
seperti yang telah dijelaskan pada Bab 1.
Proses metodologi analisis model pengelolaan udang di Laut Arafura, dimulai
dengan pengumpulan data yang berkaitan dengan industri perikanan tangkap
udang (meliputi data primer dan data statistika/data sekunder), dan data penelitian
sebelumnya (data tertier) (lihat Gambar 9). Data industri tersebut meliputi data
urut waktu (series) berupa data produksi aktual dan effort dari tahun 1986 sampai
dengan 2003, data cross section berupa data input dan output penangkapan
kapal-kapal pukat udang tahun 2003, sedangkan data tertier merupakan data hasil
penelitian Fauzi (2001).
Data primer yang merupakan data 39 kapal pukat udang pada tahun 2003,
digunakan untuk melihat keragaan industri, atau analisis efisiensi dengan
menggunakan metode Data Envelopement Analysis (DEA). Hasil DEA ini adalah
efisiensi dan potential improvement yang menggambarkan bagaimana kondisi
kapasitas perikanan udang di perairan Laut Arafura. Data sekunder yang
merupakan data statistik (data series) diperoleh dari beberapa lembaga dan
instansi seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, data produksi dari Pemerintah Daerah Propinsi Irian Jaya, dan lain-
lain, digunakan untuk analisis efeisiensi dan bioekonomi.
43
Gambar 9. Kerangka pendekatan analisis kebijakan pengelolaan perikanan
udang di Laut Arafura
Dengan menggunakan analisis statistik Ordinary Least Square (OLS) maka
akan diperoleh angka-angka parameter yield-effort, untuk selanjutnya digunakan
dalam analisis bio-ekonomi dan optimisasi statik Gordon-Schaefer, serta
optimisasi dinamik Clark-Munro. Data penelitian sebelumnya yang diambil dari
data Fauzi (2001) ditambah data series dari statistik, dimanfaatkan untuk
menghasilkan parameter parameter biofisik dan ekonomi untuk perikanan
udang di kawasan Laut Arafura meliputi q, K dan r. Selanjutnya parameter
Data Industri
Data Penelitian
Sebelumnya
(tertier)
Primer (Cross section)
Sekunder (Statistik)
Keragaan Industri
(Efisiensi)
Produksi Upaya
Analisis OLS
Yield-Effort
Analisis DEA
Optimasi bioekonomi
Statik & Dinamik
Alternatif Skenario
Pengelolaan
Seasonal Kuota
Efisiensi Potential
(Improvement)
Parameter biofisik dan ekonomi
Alternatif Kebijakan Pengelolaan Perikanan Udang
44
tersebut digunakan dalam model untuk analisis yield-effort dan optimisasi
bioekonomi statik dan dinamis. Hasil analisis bioekonomi dan hasil analisis
kapasitas perikanan udang, digunakan sebagai basis dalam merumuskan alternatif
skenario pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura, yang terdiri dari
pengurangan jumlah kapal, sistem pengelolaan seasonal (berbasiskan musim) dan
sistem kuota.
3.3 Analisis Bioekonomi Statik Gordon-Schaefer
Analisis bioekonomi statik dalam penelitian ini menggunakan model Gordon
Schaefer untuk mencari tingkat optimal pengelolaan. Persamaan yang digunakan
adalah rumus produksi lestari yang dihitung dengan menggunakan fungsi logistik
(2.6). Parameter q, K dan r merupakan parameter biofisik berturut-turut adalah
kemampuan daya tangkap, kapasitas daya dukung dan pertumbuhan intrinsik yang
diperoleh melalui teknik Ordinary Least Square dan Algoritma Fox (Fauzi, 2001).
Persamaan (2.6) dapat ditulis secara sederhana menjadi :
2h E Eα β= − …………………………………………(3.1)
dimana qkα = dan 2 /q k rβ = .
Dalam analisis seperti ini akan terjadi suatu kondisi yang disebut sebagai
”curse of dimensionality”, yaitu kondisi dimana ada tiga paramter yang dicari
nilainya dengan hanya dua koefisien yang diketahui. Oleh karena itu maka salah
satu koefisien yakni q harus diketahui terlebih dahulu. Koefisien q ini dihitung
melalui teknik Algoritma Fox (Fauzi, 2001) yang biasa digunakan untuk
memecahkan model Schaefer di atas. Algoritma ini berbentuk:
45
1 1
1
1 1ln / /( )t t tq zU zU z
β β− −
+
= + +
........................(3.2)
dimana ( / )z Eα β= − − , U adalah catch per unit effort. Oleh karena α , β ,
sudah diketahui dari hasil OLS, E dan U didapat dari rata-rata geometrik dari data
series, maka selanjutnya nilai q, K dan r dapat dicari. Hasil pendugaan parameter
ini kemudian digunakan untuk menghitung produksi lestari Gordon-Schaefer, dan
menghasilkan kurva produksi aktual dan produksi lestari yang digunakan untuk
perbandingan fluktuasi keduanya.
Untuk menganalisis bioeconomic model perikanan udang di Laut Arafura,
diperlukan variabel-variabel produksi penangkapan, effort (hari melaut) biaya dan
pendapatan secara agregat. Untuk mengukur pengelolaan yang optimal secara
ekonomi (MEY = maximum economic yield ) maka digunakan fungsi rente
ekonomi lestari dalam bentuk:
1 tst t t
qEp qkE cE
rπ
= − −
........................................(3.3)
Dimana stπ adalah rente sustainable, p adalah harga dan c adalah biaya per
satuan input. Sementara untuk Input optimal dapat ditentukan melalui persamaan
berikut ini:
( )
2
*
2
20
2
stt
t
pq KpqK E c
E r
rE pqK c
pq K
π∂= − − =
∂
= −
.....................................(3.4)
46
Untuk perhitungan pembatasan kuota penangkapan, digunakan data effort dan
produksi aktual tahun 1986 sampai dengan tahun 2003. Dalam skenario kuota
maka jumlah effort yang ditujukan untuk pengelolaan perikanan menjadi:
q
QE
N x q= , ..............................................................(3.5)
dimana Q adalah kuota yang besarnya ditetapkan berdasarkan pengurangan
prosentase produksi aktual (dalam konteks ini jika kuota 5% berarti Q = 0.95 x
produksi aktual), N adalah jumlah armada dan q adalah koefisien daya tangkap
sebagaimana ditentukan di atas. Manfaat ekonomi yang diperoleh dari
pengelolaan perikanan menjadi:
q qpqxE cEπ = − .............................................................(3.6)
3.4 Analisis Optimisasi Dinamik Clark-Munro
Analisis optimisasi dinamik Clark Munro digunakan untuk mengetahui tingkat
pengelolaan dinamis dari perikanan udang di laut Arafura. Menurut Clark (1976;
1985), dalam model dinamik, nilai optimal untuk biomas (x*) dan panen optimal
(h*) mengikuti persamaan (2.18) dan (2.19). Formula yang digunakan dalam
analisis bioekonomi tersebut selanjutnya di run dengan algoritma MAPLE 9 dan
menghasilkan kurva yield-effort untuk pengelolaan dinamis. Kurva hasil
perhitungan tersebut dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kondisi perikanan
udang saat ini, apakah dalam kondisi overfishing dan membandingkan titik mana
yang menghasilkan rente ekonomi optimal.
47
3.5 Analisis Efisiensi/ kapasitas Perikanan
Selanjutnya untuk analisis efisiensi/kapasitas perikanan tangkap udang,
digunakan data effort dalam fishing days dan produksi aktual dalam ton. Data ini
dioleh dengan menggunakan metode Data Envelopement Analysis seperti telah
diuraikan pada Bab sebelumnya. Dalam perhitungan DEA tersebut, variabel
inputnya hanya satu yaitu effort dan variable outputnya juga satu yaitu produksi
aktual. Tipe DEA yang dipilih adalah CCR-I dengan orientasi pada input yang
dikendalikan. Perhitungan DEA menghasilkan skor efisiensi tahunan selama 18
tahun, dimana tahun merupakan DMU. Hasil tersebut selanjutnya dapat digunakan
untuk membandingkan efisiensi tiap tahun, dimana efisiensi tertinggi akan
dijadikan acuan. Fluktuasi angka efisiensi tiap tahun menggambarkan kondisi
perikanan udang secara umum apakah dalam kondisi overcapacity atau
inefisiensi.
Seperti metode yang digunakan Anna (2003), Jika output dari variabel x
untuk tahun ke t dengan jenis output j dimisalkan sebagaitj
x dan variable input y
tahun ke t dimisalkan t
y , maka efisiensi relatif dari variable x terhadap variabel y
dapat ditulis sebagai:
* 100tj
t
x
y
æ ö÷ç ÷ç ÷ç ÷÷çè ø.....................................................................(3.7)
Sehingga untuk meningkatkan efisiensi dari varibel tj
x dapat dilakukan dengan
melakukan maksimalisasi efisiensi yakni:
48
max
dengan kendala:
/
0 1
0
tj
ttj tj tj tj
tj
tj
x
x aw x bw y
x
w
=
£ £
³
å ............................................ .(3.8)
dimana:
koefisien output data
b koefisien input data
faktor pembobottj
a
w
=
=
=
Hasil DEA ini digambarkan dalam bentuk grafik fluktuasi yang menunjukan
perbandingan kondisi efisensi penangkapan dari tahun ke tahun.
Analisis selanjutnya adalah memanfaatkan data 39 kapal sampel tahun 2003
untuk menghitung efisiensi tiap kapal dengan DEA menggunakan multiple input
variable dan multiple output variable. Variabel input terdiri dari biaya, effort
(upaya) dalam satuan hari melaut (fishing days), ukuran kapal (GT) dan umur
kapal. Variabel output terdiri dari hasil tangkapan (yang dibagi dalam tiga
kelompok yaitu udang windu, udang putih dan udang lain), serta variabel
pendapatan. Data-data tersebut dimasukan ke dalam rumus DEA sebagaimana
formula (2.27).
Menurut Cooper et al. (2004), sebagaimana dalam statistik atau metodologi
yang berorientasi kepada data empiris, DEA juga ada masalah dengan derajat
kebebasan (degrees of freedom = d.o.f.). Dalam DEA, angka d.o.f. akan
bertambah dengan bertambahnya DMU dan akan berkurang dengan bertambahnya
input dan output. Acuan yang digunakan (rule of thumb) adalah
{ }max ,3( )n m s m s≥ × + , dimana n = jumlah DMU, m = jumlah input dan s =
49
jumlah output. DEA biasa disebut juga sebagai Frontier Analysis suatu teknik
mathematical programming, yang merupakan pendekatan non-parametrik. DEA
dapat digunakan untuk mengukur relatif efisiensi pada kasus entitas yang
memiliki multiple inputs atau multiple outputs (Cooper et al., 2004). Perhitungan
DEA tersebut yang dijalankan dengan software DEA Solver, menghasilkan angka
efisiensi relatif 39 kapal (kapal sebagai DMU) dan proyeksi perbaikan angka
efisiensi. Hasil angka efisiensi ke 39 kapal menggambarkan kondisi perikanan
udang tahun 2003, apakah dalam kondisi overcapacity atau overcapitalization
dan inefisiensi.
3.6 Seasonal Closure Model
Analisis seasonal closure model atau penutupan musim penangkapan
dilakukan dengan menghitung rata-rata tangkapan bulanan kapal-kapal pukat
udang anggota HPPI (Himpunan Pengusaha Pukat Udang Indonesia), yang
kemudian dicocokan dengan model difference equation dan model siklikal.
Model difference equation merupakan persamaan linier, dapat digunakan
untuk mengetahui apakah kecenderungan musim penangkapan mengikuti pola
keseimbangan yang linier. Rumus yang digunakan untuk model tersebut adalah
dapat ditulis dalam persamaan: 1t th ah b+ = + . Solusi persamaan tersebut akan
menghasilkan:
*
(1 ) 1
tt t
a bh a h
a a
= − +
− − , ........................................(3.9)
50
dimana1
b
a− adalah nilai keseimbangan karena pada saat
lim
1t t t
bh h
a→ ∞ → =
−. Berdasarkan data rata-rata hasil tangkapan bulanan mulai
Januari sampai dengan Desember, koefisien a dan b dapat diduga dengan teknik
OLS (Ordinary Least Square).
Menurut Purwanto (1997) suatu usaha tambak udang dapat ditentukan bulan
panen yang paling optimal dalam satu tahun berdasarkan perolehan pendapatan
tertinggi, karena sifatnya yang siklikal. Musim penangkapan udang di L. Arafura
dapat pula diduga dengan model siklikal tersebut dengan persamaan:
(2 /12)t th a bSin Mπ= + ……………………………………………..(3.10)
Mt = 1, ..,12 (Januari=1, …, Desember=12) , a dan b dapat diperoleh dari regresi
ruas kiri dan ruas kanan persamaan tersebut. Dengan membandingkan kedua
model yaitu linier dan siklikal, dapat ditentukan yang paling cocok dan
selanjutnya dijadikan pertimbangan pengambilan keputusan waktu penutupan jika
diperlukan. Dampak dari penutupan tersebut akan diperhitungkan dalam salah
satu skenario pengelolaan, dilihat dari efisiensi dan pengurangan effortnya.
3.7 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan pada dasarnya dibagi menjadi data sekunder dan data
primer meliputi:
(1) Data sekunder yang merupakan data kuantitatif diperoleh dari data mutakhir
tentang stok SDI udang di Laut Arafura, diperoleh dari sumber statistik
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, data hasil tangkapan berdasarkan hasil
penelitian Fauzi (2001), dan data hasil penelitian yang lalu.
51
(2) Data primer diperoleh dari hasil penelitian di lapangan dan sumber dari
beberapa perusahaan dan anggota HPPI (Himpunan Perusahaan Pukat Udang
Indonesia).
Data yang diperlukan dari sumber data dan lokasi penelitian dikumpulkan
melalui dua cara, yaitu: (1) permintaan langsung dengan surat resmi kepada
otoritas sumber data, (2) melalui sampling data langsung di lapangan. Untuk
mengukur kapasitas penangkapan udang digunakan data tangkapan total dari th
1986 s/d 2003, merupakan gabungan data hasil penelitian Fauzi (2001) dan data
statistik Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Untuk mengukur efisiensi kapal
pukat udang dalam rangka membandingkan kelompok GT dan umur digunakan
sampling data terkini tahun 2003 pada 46 kapal dari total populasi 355 kapal
pukat udang yang berukuran di atas 30 GT dan izinnya dari pusat. Dari 46 kapal
dipilih 39 kapal yang datanya lengkap untuk menghitung efisiensi dengan DEA.
Sampling data untuk 46 kapal dilakukan secara purposive (penunjukan
langsung) dengan cara memilih kapal-kapal yang memiliki keragaman GT dan
umur mewakili populasi. Jumlah tersebut dianggap cukup karena lebih dari 10%
total populasi. Data 46 kapal selanjutnya dipilih yang memenuhi kelengkapan data
(eligible), diperoleh 39 kapal yang memenuhi kelengkapan data sesuai kebutuhan.
Analisis data dilakukan dengan pendekatan permodelan untuk mengetahui
faktor-faktor bioekonomi yang menyebabkan terjadinya overcapacity dan
overfishing. Analisis ini memerlukan data urut waktu yang intensif, maka data
sekunder dan tertier dari hasil penelitian Fauzi (2001) dan data dari Direktorat
Jenderal Perikanan Tangkap dijadikan sebagai basis untuk menganalisis kondisi
perikanan di wilayah studi. Data yang diperoleh kemudian diverifikasi dan
52
dikalibrasi untuk selanjutnya dianalisis dengan berbagai perangkat lunak seperti
DEA-Solver, Frontier Analyst, Minitab, Exell dan MAPLE 9.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian baik data primer maupun sekunder
diolah dengan menggunakan rumus-rumus dan model-model seperti diuraikan
sebelumnya untuk kepentingan analisis bioekonomik, analisis efisiensi dan
analisis kecenderungan. Pengelompokan data untuk keperluan analisis dapat
dilihat pada Tabel 3. Analisis data dimulai dengan pengolahan data series tahun
1986 sampai dengan 2003 difitkan kedalam model bioekonomi.
Tabel 3. Data dan penggunaannya
Jenis Data Untuk analisis Model Hasil
Data series produksi dan effort th 1986-2003.
1. Produksi aktual VS Produksi lestari
2. Mengukur Efisiensi
3. Penerapan kuota
produksi
penangkapan
4. Optimisasi dinamik
1. a. Algoritma Fox
b.Gordon-Schaefer
c. Algoritma Maple
2. DEA, CCR-I
3. Gordon-Schaefer dengan pengurangan produksi penangkapan
4. Clark-Munro
a. K, q, r
b.Grafik fluktuasi Produksi aktual VS lestari.
c.Kurva Yield-Effort
2. Skor efisiensi, tahun sebagai DMU
3. Fluktuasi produksi lestari dengan kuota dan perhitungan rente ekonomi
4. Produksi dan stok,effort optimal
Data cross sectional 39 kapal P.U. tahun 2003
Pengukuran kapasitas dan efisiensi
DEA, CCR-I Skor efisiensi relatif 39 kapal dan proyeksi perbaikan efisiensi
Rata-rata tangkapan bulanan kapal P.U. HPPI.
Kecenderungan musim penangkapan bulanan
1.Difference equation
linier.
2. Sinusoida siklikal
1. Grafik trend linier
2. Grafik siklikal sinusoida
53
3.8 Asumsi Dasar
Model-model bioekonomi baik statik maupun dinamik serta model DEA
untuk pengukuran kapsitas penangkapan dalam penelitian ini dapat diterapkan
dalam pengelolaan ke depan jika dipenuhi beberapa asumsi dasar sebagai berikut:
(1) Kegiatan illegal fishing di daerah operasi kapal-kapal pukat udang tidak
berpengaruh signifikan terhadap produktivitas.
(2) Variasi dalam distribusi spasial stok sumber daya udang di Laut Arafura
diabaikan, terutama dalam perhitungan produksi penangkapan.
(3) Kondisi lingkungan Laut Arafura relatif stabil dalam jangka sedang dan tidak
mengakibatkan perubahan K (carrying capacity) dan r (pertumbuhan
instrinsik).
(4) Parameter-parameter ekonomi menyangkut harga dan biaya diasumsikan
tidak berubah selama periode analisis.
(5) Interaksi antar spesies seperti predator-prey tidak diperhitungkan dalam
model ini (votka-voltera effect).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Perikanan Udang di Wilayah Studi
Laut Arafura termasuk paparan Sahul yang memiliki kedalaman perairan
berkisar antara 5-60m atau rata-rata 30m dengan lapisan tebal berupa lumpur dan
sedikit pasir yang mencakup hampir 70 persen dari luas wilayah perairannya. Di
daerah pantai Irian Jaya banyak terdapat hutan mangrove yang merupakan faktor
utama dalam produktivitas primer dan juga sebagai daerah penyangga potensi
sumberdaya ikan khususnya sumberdaya udang. Wilayah perairan ini pernah
menjadi daerah operasi armada kapal pair-trawl Taiwan yang mencari ikan dasar
(Hsia-Chiang, 1976); wilayah ini terletak mulai dari 132°BT hingga 139°BT yang
mencakup wilayah perairan Nusantara, ZEE Indonesia, perairan teritorial dan ZEE
Australia dengan total luas sebesar 434.011 km2 (Gambar 10). Dalam periode
1972-1974, jenis ikan yang paling umum atau paling tinggi persentase
tertangkapnya adalah golden thread fin (Nemipterus spp.).
Gambar 10. Daerah operasi armada kapal pair-trawl Taiwan periode
1972- 1974
55
Beberapa wilayah perairan yang merupakan basis armada trawl yang
beroperasi di Laut Arafura adalah Benjina, Wannam, Agats, Avona (Maparpe)
dan Merauke. Beberapa basis penangkapan tersebut diantaranya dibangun oleh
perusahaan penangkapan udang, seperti PT Daya Guna Samudera, anak
perusahaan dari PT. Djajanti Group (Gambar 11).
Gambar 11. Basis Armada Kapal Trawl Pt Darma Guna Samudera, Anak
Perusahaan dari Djajanti Group, di Benjina, Kepulauan Aru
Daerah penangkapan pukat udang di L. Arafura bisa juga dipantau dari layar
monitor Vessel Monitoring System (VMS) yang baru dioperasikan oleh DKP mulai
tahun 2004, dimana kapal-kapal yang dipasang transmitter VMS dapat dipantau
gerakannya selama 24 jam. Data terakhir (Februari 2005) di Ditjen Perikanan
Tangkap menunjukkan bahwa kapal pukat udang yang diberikan izin di L.
Arafura berjumlah 355 kapal yang berkisar besarnya antara 31 GT sampai dengan
515 GT, sebagian besar didominasi kapal antara 100 s/d 200 GT. Gambar 12
56
berikut menunjukkan daerah penangkapan (fishing ground) yang merupakan
daerah operasi penangkapan kapal pukat udang, berarti daerah yang potensial.
Gambar 12. Mobilitas kapal pukat udang di Laut Arafura berdasarkan
pemantauan VMS (Sumber: Direktorat Jenderal Pengendalian
dan Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan)
Menurut Sumiono (2003), hasil penelitian pada tahun 2000 menunjukan
bahwa komposisi rata-rata hasil tangkapan trawl di Laut Arafura terdiri dari ikan
demersal sebanyak 38,45% (87,07 kg/jam) dari total hasil tangkapan, ikan rucah
(trash fishes) sebanyak 31,53% (71,40 kg/jam), ikan pelagis 8,63% (19,54
kg/jam), udang 8,11% (18,36 kg/jam), cumi-cumi 2,06% (2,96 kg/jam), rajungan
4,59% (10,39 kg/jam) dan lainnya 6,63%. Kontribusi ikan demersal yang cukup
menonjol adalah famili Synodontidae (beloso) sebesar 30,20 kg/jam,
Leiognathidae (petek) 20,88 kg/jam dan Nemipteridae (kurisi) 5,53 kg/jam.
Menurut Sumiono (2003), penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh
Iskandar pada tahun 1993 menghasilkan prediksi bahwa prosentase produksi
57
udang ukuran besar yang berasal dari Laut Arafura sejak tahun 1985 sampai 1990
cenderung menurun. Sebaliknya udang yang berukuran kecil cenderung
meningkat. Hal ini mirip dengan hasil penelitian Sumiono sebelumnya pada tahun
1998 di perairan Kaimana, bahwa laju tangkap udang berukuran kecil lebih
banyak daripada udang berukuran besar.
Hasil penelitian Naamin (1984) menunjukkan bahwa tingkat pengusahaan
udang jerbung di perairan Arafura sudah melampui MSY (over-exploited). Lebih
lanjut Naamin berpendapat bahwa dalam rangka menjamin keuntungan
perusahaan dan kelestarian sumberdaya, maka alternatif pengelolaan yang dapat
dikembangakan adalah: (1) penutupan musim dan daerah penangkapan; (2)
penentuan ukuran udang terkecil yang boleh ditangkap; (3) pengaturan jumlah
upaya penangkapan.
4.2 Analisis Penangkapan Lestari (Sustainable Yield)
Untuk menghitung produksi lestari perikanan udang di Laut Arafura,
digunakan fungsi produksi surplus sebagaimana diuraikan pada Bab 3.
Penggunaan model ini dimaksudkan untuk membandingkan produksi lestari
dengan produksi aktual, sehingga dapat diketahui apakah produksi aktual tersebut
masih dalam batas kelesatrian atau sudah melampui produksi lestari. Untuk
keperluan analisis produksi lestari (sustainable yield) tersebut, digunakan data
urut waktu selama 18 tahun (1986 s/d 2003) berdasarkan publikasi Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Perhitungan berdasarkan algoritma Fox oleh Fauzi (2001) dan menghasilkan q
= 0.0000075, r=1.478 dan K=27072. Berdasarkan angka-angka r, K dan q
58
tersebut, dihitung produksi lestari perikanan udang di Laut Arafura dan disajikan
pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Produksi aktual dan produksi lestari th 1986 s/d 2003
Tahun Produksi Aktual (ton) Effort (hari) Produksi Lestari (ton)
1986 4981 52560 7826
1987 4113 39420 6403
1988 8368 89670 9925
1989 8683 77250 9538
1990 11562 101580 9997
1991 10703 101430 9998
1992 9076 81270 9698
1993 6443 83310 9766
1994 6551 84150 9792
1995 9114 87630 9883
1996 8155 100380 10002
1997 10914 113138 9787
1998 10367 113677 9771
1999 10169 65267 8864
2000 10235 47565 7327
2001 9046 56203 8158
2002 14097 66508 8948
2003 12374 73670 9368
Tabel 4 tersebut selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik untuk
membandingkan fluktuasi produksi aktual dan produksi lestari sebagaimana
Gambar 13 berikut.
59
Gambar 13. Fluktuasi produksi aktual dan produksi lestari Schaefer dari
tahun 1986 s/d 2003
Gambar 13 memberikan kontras yang nyata antara model dan produksi aktual,
dimana pada awal-awal periode produksi aktual berada di bawah produksi lestari
dan kemudian terjadi sebaliknya setelah tahun 1990-an. Hal ini menunjukan
bahwa memang pada awal-awal periode dimana tingkat effort masih relatif
rendah, produksi aktual masih menunjukkan tingkat di bawah lestari, namun
sejalan dengan peningkatan effort yang tajam di awal tahun 1990an, produksi
aktual pun meningkat tajam sehingga berada di atas produksi lestarinya.
Fenomena ini sesuai dengan kondisi perikanan udang di Laut Arafura yang
menunjukkan kecenderungan terjadinya penurunan produksi per unit effort pada
tahun-tahun setelah 1990an.
Penambahan effort pada awalnya akan menambah produksi dan sekaligus
mengurangi stok. Peningkatan effort akan mengurangi biomasa secara linier,
sedangkan peningkatan produksi tidak linier. Jika effort ditingkatkan terus maka
-
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
1985 1990 1995 2000 2005
Tahun
Pro
du
ks
i
Prod. Aktual
Prod. Lestari
Pro
du
ks
i (T
on
)
60
produksi akan mencapai titik maksimal dan kemudian menurun sebagaimana
disajikan pada gambar berikut.
0
5
10
15
20
25
30
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
EFFORT (1000 hari)
BIO
MA
SS
(1
000 t
on
)
0
2
4
6
8
10
12
CA
TC
H (
10
00 t
on
)
Biomass
Catch
Gambar 14. Kurva hasil tangkapan dan biomasa perikanan udang di L.
Arafura
Gambar 14 di atas menunjukan bahwa produksi penangkapan berada pada
tingkat yang maksimal (MSY) sebesar sekitar 10,000 (sepuluh ribu) ton/tahun
pada saat effort berada pada sekitar 100,000 (seratus ribu) hari operasi (day-
fished) dan stok atau biomasa pada posisi sekitar 13,000 ton.
4.3 Optimisasi Bioekonomi
4.3.1 Optimisasi bioekonomi statik
Untuk melihat sejauh mana pengelolaan sumber daya udang di Laut Arafura
ditinjau dari sisi pendekatan bioekonomi, maka hasil dari model keseimbangan
Schaefer digabungkan dengan parameter ekonomi untuk optimisasi bioekonomi.
Parameter ekonomi tersebut menyangkut harga rata-rata udang per ton (p) = Rp
61
43.5 juta dan biaya operasi per hari tangkap sebesar (c) = Rp 2.17 juta. Analisis
tahap pertama dengan menggunakan pendekatan statik diperoleh nilai optimal
keseimbangan ekonomi (MEY) dan keseimbangan open access. Perhitungan
rincian melalui algoritma Maple dapat dilihat pada Lampiran 1.
Hasil perhitungan bioekonomi menunjukan bahwa nilai effort pada kondisi
open access sebesar 144694 dayfish dengan produksi sebesar 8072 ton. Tingkat
effort pada kondisi ini dua kali lebih besar jika effort perikanan udang di Laut
Arafura dikendalikan pada tingkat produksi yang menghasilkan tingkat
keuntungan ekonomi maksimum (Mximum Economic Yield = MEY). Pada MEY,
tingkat effort yang dibutuhkan hanya 74347 dayfish yang menghasilkan panen
sekitar 9402 ton. Pada kondisi ini diperoleh surplus ekonomi yang terbesar (rent
MEY) dengan nilai lebih dari Rp 210 milyar per tahun. Secara grafis
keseimbangan bioekonomi perikanan udang di Laut Arafura dapat dilihat pada
Gambar 15 berikut.
-100
0
100
200
300
400
500
0 25 50 75 100 125 150 175
EFFORT (ribu hari)
NIL
AI (R
p. M
ILIA
R)
Revenue
Cost
Prof it
Gambar 15. Kurva revenue, cost dan profit perikanan udang di L. Arafura
62
Hasil pengamatan kondisi aktual perikanan udang di Arafura, menunjukkan
bahwa tingkat effort pada kurun waktu 18 tahun memang mengalami fluktuasi
yang sangat bervariasi . Pada periode awal tahun 1990 an, tingkat effort berada di
atas 100.000 day- fish yang mendekati tingkat effort pada kondisi open access.
Situasi yang sama terulang lagi pada periode 1996-1998.
Kedua periode ini menandai situasi dimana perikanan udang sudah dikatakan
sebagai over fishing. Demikian pula jika diambil rata-rata tingkat effort selama
kurun waktu 18 tahun tersebut, levelnya mendekati 80.000 day-fish yang juga
sudah di atas tingkat optimal sekitar 74.000. Kondisi saat ini (tahun 2005) dengan
jumlah kapal pukat udang sebanyak 355 unit dengan rata-rata hari operasi melaut
sekitar 300 day-fish per tahun, maka total effort adalah 106.500 day-fish, berarti
melewati MSY. Tingkat produksi udang dan keuntungan ekonomi yang diperoleh
masing-masing adalah 9.950 ton/tahun dan Rp 203 Milyar/tahun. Secara
keseluruhan kondisi effort di Laut Arafura telah melebihi tingkat yang diperlukan
untuk menghasilkan MSY dan MEY, maka secara biologis dan ekonomis sudah
lebih tangkap (economically and biologically overexploited), sehingga dapat
dikatakan bahwa pengelolaan perikanan di kawasan ini masih di bawah tingkat
optimal atau berada dalam kondisi sub optimal.
63
effort
Y-Data
200000150000100000500000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
Variable
Regress
Yield Lowess
catch Lowess
Fits
Yield Regress
catch
32
1
0
99
989796959493929190
8988
87
86
3
2
1
0 99 9897
96
95
9493
92
91
90
8988
87
86
Scatterplot of Yield, catch vs effort
Gambar 16. Plot Yield – Effort dengan tangkap aktual
Gambar 17. Copes Eye Ball untuk perikanan udang di Laut Arafura
64
Gambar 16 dan Gambar 17 di atas memperlihatkan pergerakan dinamis dari
ekstraksi sumber daya udang di Laut Arafura dengan mem-plot kurva yield- effort
dengan kondisi aktual penangkapan. Gambar 17 adalah Copes Eye Ball yang
merupakan turunan Gambar 16 dan menggambarkan kontraksi dan ekspansi
selama periode 18 tahun. Dari Gambar 17 dapat dilihat bahwa pada awal-awal
periode, perikanan udang di Laut Arafura masih dieksploitasi di bawah
keseimbangan, kemudian terus mengalami ekspansi yang ditunjukkan oleh loop
yang berada di atas grafik yield-effort curve. Pada akhir tahun 1990an, akibat
dampak kumulatif, keseimbangan sudah berada di sebelah kanan titik MSY dan
menunjukkan adanya pola konstraksi. Sejak awal tahun 2000 kembali terjadi
ekspansi yang dintunjukkan pola loop di atas keseimbangan dan sistim berusaha
untuk stabil pada tingkat antara MEY dan Open Access.
Untuk melihat tingkat input (effort) dan produksi yang optimal pada kondisi
perikanan yang berbeda yaitu: open access, MEY dan MSY, dapat dilihat pada
Gambar 18 dan Gambar 19 berikut ini. Tabel di bawah ini memperlihatkan
perbandingan input dan output kondisi pengelolaan dan kondisi aktual perikanan
udang di Laut Arafura.
Tabel 5. Analisis Perbandingan Input dan Output
Kondisi Produksi (ton) Effort (hari) Profit (Milyar
Rp)
MEY
MSY
Open Access
Aktual (tahun
2005)
9402
10000
8072
9950
74347
98563
144694
106500
248
221
0
203
65
Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa jika perikanan udang di laut
Arafura dikendalikan pada tingkat effort yang menghasilkan MEY, dari kondisi
aktual tahun 2005, maka tingkat effort dikurangi sebesar 32100 day-fish. Untuk
perbandingan effort dari berbagai kondisi pengelolaan dan juga kondisi aktual
2005, dapat dilihat pada Gambar 18 berikut.
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
Effort
(hari)
MEY MSY Open
Access
Aktual
(tahun
2005)
Input (Effort)
Gambar 18. Tingkat effort optimum perikanan udang di Laut Arafura dalam
kondisi open access, MEY dan MSY dan aktual tahun 2005
Sementara itu, tingkat produksi pada kondisi open acces, optimal MEY dan
MSY serta kondisi tahun 2005 dapat dilihat dari Gambar 18 berikut.
66
0100020003000400050006000700080009000
10000
Produksi
(ton)
MEY MSY Open
Access
Aktual
(tahun
2005)
Output (Produksi)
Gambar 19. Perbandingan tingkat produksi open access, optimal (MEY)
dan produksi lestari (MSY) dan kondisi tahun 2005
Kondisi secara grafikal dari effort dan produksi bila dibandingkan akan
menghasilkan kondisi seperti nampak pada Gambar 20 berikut :
74347
98563
144694
106500
940210000
8072
9950
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000
MEY MSY Open Access Aktual (tahun 2005)
Eff
ort
(H
ari
)
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
Pro
du
ksi
(To
n)
Effort (hari) Produksi (ton)
Gambar 20. Perbandingan input dan output pada berbagai kondisi
pengelolaan dan kondisi tahun 2005
67
Selanjutnya hasil analisis mengenai perbandingan rente ekonomi pada
berbagai kondisi pengelolaan dan kondisi tahun 2005 dapat dilihat pada Gambar
21 berikut ini. Dari Gambar 21 dapat dinyatakan bahwa sebagaimana diprediksi
secara teori, kondisi pengelolaan dengan MEY akan menghasilkan rente ekonomi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan rezim pengelolaan MSY maupun kondisi
tahun 2005. Kondisi open access tidak menghasilkan rente ekonomi (=0).
0
50
100
150
200
250
300
MEY MSY Aktual (tahun 2005)
Rezim
Ren
te E
ko
no
mi (R
p M
ilyar)
Gambar 21. Perbadingan rente ekonomi pada MEY dan MSY dan kondisi
aktual tahun 2005
4.3.2 Optimisasi bioekonomi dinamik
Optimisasi bioekonomi dinamik untuk analisis strategi/alternatif
mempertimbangkan dinamika karena faktor waktu atau keputusan yang bersifat
intertemporal. Artinya dengan kondisi sumber daya udang dan faktor ekonomi
yang bersifat dinamis, maka diperlukan juga indikator-indikator pengelolaan
sumber daya udang yang bersifat dinamis. Untuk mengetahui bagaimana variabel
input dan output dalam perikanan udang di Laut Arafura dalam kondisi dinamik,
68
maka paramater parameter dalam bioekonomi statik diolah kembali melalui
algoritma dinamik berdasarkan persamaan (2.18 dan 2.19). Tingkat input dalam
kondisi dinamik dapat ditentukan berdasarkan formula * * */E h qx= . Pada
tingkat discount rate sebesar 8%, hasil perhitungan variabel input dan output
dalam kondisi pengelolaan yang dinamik, serta kaitannya dengan pengelolaan
statik (open access dan MEY ) disajikan pada Tabel 6. Discount rate 8%
menggunakan tingkat suku bunga Bank Indonesia (SBI) pada tahun 2003, nilai
kini (present value) rente ekonomi (π ) dihitung untuk jangka 5 (lima) tahun dan
untuk jangka panjang (infinite).
Tabel 6. Perbandingan rente ekonomi pada tiga kondisi pengelolaan
Open Access MEY Optimal Dinamik
x (ton)/tahun 6,651 16,862 16,426
h (ton)/tahun 7,417 9,402 9,550
E (trip)/tahun 14,4694 74,347 77,518
π (Rp juta)/tahun 0.000 247,651
363,217
(5 th)
3,089,998
(jangka panjang)
Data hasil perhitungan dalam Tabel 6 menunjukkan bahwa dengan
pengelolaan dinamik, surplus ekonomi dari pengelolaan sumber daya udang di
Laut Arafura dapat lebih ditingkatkan sampai Rp 3.1 Trilyun (untuk jangka
panjang) dan Rp 363.2 Milyar (untuk jangka sedang), serta terjadi peningkatan
produksi dan effort sedikit lebih banyak dari kondisi MEY. Perbandingan ketiga
tipe pengelolaan dilihat dari produksi dan effort sebagaimana Gambar 22 dan 23
berikut.
69
0,000
2000,000
4000,000
6000,000
8000,000
10000,000
12000,000
14000,000
16000,000
18000,000
Open Access MEY Optimal Dinamik
Tipe pengelolaan
Pro
du
ks
i (t
on
)
x (ton)
h (ton)
Gambar 22. Perbandingan produksi ketiga tipe pengelolaan
Effort
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
Open Access MEY Optimal Dinamik
Tipe pengelolaan
Eff
ort
(h
ari
)
Gambar 23. Perbandingan effort ketiga tipe pengelolaan
Melihat perbandingan ketiga skenario pengelolaan di atas untuk kondisi
perikanan udang di Laut Arafura, pengelolaan dalam kerangka dinamik lebih
dapat diterima (make sense) karena memberikan manfaat ekonomi yang tinggi
dengan sedikit memberikan ruang untuk meningkatkan effort, namun tetap masih
70
dibawah tingkat effort pada kondisi open access. Pengendalian effort tetap dapat
dilakukan degan tingkat produksi dan surplus ekonomi yang lebih besar dari
kondisi statik MEY.
4.4 Pengukuran Kapasitas Perikanan Udang di L. Arafura dengan DEA
Pengukuran kapasitas perikanan udang di Laut Arafura dilakukan dua kali,
yaitu yang bersifat long run (jangka panjang) dan short run (jangka pendek).
Untuk pengolahan DEA yang bersifat long run menggunakan data series tahunan,
maka tahun dijadikan DMU (decision making unit), variabel input adalah effort
dan variabel output adalah produktivitas tangkapan aktual. Mengingat DMU nya
adalah tahun 1986 sampai dengan 2003 (18 DMU) dan hanya ada 1 (satu) input
dan 1 (satu) output, maka sesuai dengan persyaratan d.o.f. sebagaimana rule of
thumb, telah memenuhi syarat untuk proses DEA, yaitu 18 ≥ max{1,6}.
Untuk mengukur kapasitas perikanan yang bersifat short run, dilakukan
dengan membandingkan efisiensi tiap kapal, maka DMU nya adalah 39 kapal
dengan data tahun 2003, variabel input nya ada 4 (empat) terdiri dari hari trip
(effort), biaya, GT kapal dan umur, variabel output nya juga 4 (empat) meliputi
pendapatan, hasil tangkapan udang windu, hasil tangkapan udang putih dan hasil
tangkapan udang lainnya. Berdasarkan persyaratan d.o.f. sesuai dengan rule of
thumb, telah dipenuhi syarat jumlah DMU, input dan output nya, yaitu 39 ≥ max
{16,24}, sehingga proses DEA dapat dilanjutkan. Selanjutnya hasil analisis akan
di bahas berikut ini.
71
4.4.1 Efisiensi perikanan udang di L. Arafura (long run)
Data pada Tabel 4 sebagaimana dibahas pada awal Bab ini, digunakan untuk
mengukur efeisiensi dengan menggunakan DEA. Variabel input adalah effort dan
variabel output adalah produksi aktual, hasilnya didapatkan angka efisiensi dari
tahun 1986 sampai dengan 2003 sebagaimana Tabel 7 berikut.
Tabel 7. Rekapitulasi efisiensi tahunan
No. DMU Score Rank
1 1986 0,440411 13
2 1987 0,484885 10
3 1988 0,433682 14
4 1989 0,522358 7
5 1990 0,528959 6
6 1991 0,490384 9
7 1992 0,518993 8
8 1993 0,359408 18
9 1994 0,361785 17
10 1995 0,48334 11
11 1996 0,377549 16
12 1997 0,448302 12
13 1998 0,423815 15
14 1999 0,72407 5
15 2000 1 1
16 2001 0,747984 4
17 2002 0,985023 2
18 2003 0,78058 3
Tabel 6 menunjukkan bahwa tahun yang dapat dijadikan acuan adalah tahun
2000 dengan skor efisiensi = 1, sedangkan tahun terjelek adalah tahun 1993
dengan skor efisiensi = 0.359. Grafik fluktuasi angka efisiensi sejak tahun 1986
sampai dengan 2003 dapat dilihat pada Gambar 24 berikut. Tahun 2000 dijadikan
acuan karena efisiensinya = 1, sedangkan tahun lainnya diperbandingkan secara
relatif terhadap tahun 2000. Tabel dan Gambar tersebut memperlihatkan bahwa
perikanan udang di laut Arafura sebagian besar tidak efisien dengan angka
efisiensi sebagian besar di bawah 0.6 dan hanya beberapa tahun yang di atas 0.6.
72
Hal ini menunjukan bahwa pengelolaan perikanan udang di L. Arafura tidak
efisien atau over capacity.
Index
Efisiensi
18161412108642
1,0
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
Time Series Plot of Efisiensi
Gambar 24. Fluktuasi angka efisiensi
4.4.2 Efisiensi kapal pukat udang (short run)
Selain menganalisis efisiensi DEA dengan variabel tahun sebagai DMU
seperti di atas, pada penelitian ini juga dilakukan analisis efisiensi antar kapal
pukat udang di Laut Arafura. Jumlah keseluruhan kapal pukat udang yang
diizinkan beroperasi dan mendapatkan SPI (surat penangkapan ikan) dari DKP
adalah 355 kapal (sumber Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2005). Data
kapal-kapal untuk pengolahan DEA diambil dari sample sebanyak 39 kapal,
dengan pertimbangan dapat diperolehnya data yang lengkap (eligible), sesuai
kebutuhan variable yang diperlukan dalam perhitungan efisiensi. Untuk
73
melaksanakan perhitungan tersebut, disusun Tabel 8 berikut berdasarkan data-data
yang dikumpulkan sebagaimana Lampiran 2.
Tabel 8. Data kapal-kapal pukat udang yang beroperasi di L. Arafura
NAMA
KAPAL
HARI
TRIP GT UMUR
BIAYA
(Rp)
PEND
(Rp) PUTIH WINDU LAIN
Binama no. 15 171 104 9 445.667 2.302.333 5.454 15.207 22.248
Binama no. 12 228 105 10 438.154 2.290.999 6.662 5.161 20.936
Binama no. 1 281 137 29 892.731 3.426.516 5.080 20.054 38.575
Binama no. 10 222 137 24 756.413 3.078.653 1.368 19.611 36.102
Binama no. 2 181 137 29 534.623 2.296.237 2.162 16.929 23.540
Binama no. 3 225 137 27 726.347 2.804.890 2.612 17.953 31.508
Binama no. 5 286 137 29 920.880 3.559.718 4.776 21.353 40.031
Binama no. 6 180 137 29 557.120 2.656.957 2.462 15.034 31.830
Binama no. 7 180 137 28 570.146 2.287.035 3.030 15.993 23.481
Binama no. 8 227 137 27 535.050 2.860.979 3.908 17.917 31.352
khamsin A 289 118 2 3.474.777 3.718.565 3.270 9.550 11.582
Minaraya no. 16 196 142 31 505.150 1.502.274 3.606 7.739 16.969
Mina raya no, 11 156 143 32 368.190 1.460.259 910 5.897 14.478
Mina raya no, 14 112 146 32 427.708 929.698 3.864 3.447 7.982
Mina raya no. 21 90 149 26 463.642 916.146 3.512 14.417 25.044
Nusantara maju 339 156 31 2.722.000 3.067.524 4190 25741 26875
Nusantara utama 277 156 31 2.120.000 2.839.752 5696 23279 23613
nusa aman 1 323 157 10 2.663.000 3.557.250 13406 28187 24282
nusa aman 2 332 157 10 2.766.000 3.356.424 9976 26290 25890
Nusantara bina 258 163 27 2.224.000 3.260.304 3928 31973 24475
Nusantara megah 260 163 27 2.138.000 2.458.512 7564 18435 19529
nusa asri 340 166 5 2.851.000 4.080.456 9062 35583 30919
nusa ayu 351 166 5 2.859.000 3.582.522 5476 34982 25885
Merbah 217 170 24 925.203 1.881.399 7445,5 12001,5 15766
Mina raya no. 18 152 198 31 1.263.394 1.788.804 4448 10184 16204
Mina raya no. 20 105 198 30 904.538 1.156.412 4136 5132 10598
Minaraya no. 17 188 198 31 849.369 1.168.464 5924 12211 20224
Binama no. 16 264 204 5 1.497.489 3.913.499 11046 28809,5 33169
merawal II 251 229 22 1.372.471 2.195.435 11376 17264 12585
Nusantara agung 289 233 33 2.458.000 2.988.468 6202 26020 23120
Merbuk II 258 240 22 1.447.864 6.509.525 80425 20854 23289
mentilau II 245 243 22 1.718.250 2.971.281 10785,5 24024,5 20753
Binama no. 11 267 246 17 1.109.685 4.007.578 3652 30740,5 40004,5
Nusantara jaya 2 214 260 8 2.344.000 2.209.302 5242 19670 16001
Mina raya no. 25 235 235 16 980.211 2.753.230 6536 15792 27100
Nusantara elok 248 450 5 3.906.000 2.529.954 7886 20837 18128
Merpati II 263 532 22 3.396.231 3.514.841 22347 22106,5 21753,5
Mina raya no. 22 126 352 26 1.684.117 1.807.476 4470 10408 16404
Mina raya no. 24 93 417 25 974.029 882.108 2472 4703 8188
74
Data dalam Tabel 8 di atas selanjutnya diolah untuk mencari angka efisiensi.
Data yang dijadikan variabel input adalah effort (hari trip), umur kapal (tahun),
kapasitas kapal (GT) dan biaya (Rupiah). Data yang dijadikan variabel output
adalah pendapatan (Rupiah), hasil tangkapan udang windu, hasil tangkapan udang
putih dan tangkapan lainnya. DEA menghasilkan angka efisiensi tiap kapal
sebagaimana Gambar 25 dan Gambar 26.
KAPAL (CCR)
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
binama no. 15
binama no. 2
binama no. 7
Mina raya no, 11
nusantara
nusantara
Mina raya no. 18
merawal II
binama no. 11
merpati II
DMU
Efficiency
Gambar 25. Analisis efisiensi antar kapal penangkap udang di Laut Arafura
75
KAPAL (CCR)
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
binama no. 11
binama no. 10
binama no. 6
Mina raya no. 21
nusa aman 1
mentilau II
Mina raya no. 25
Mina raya no, 11
minaraya no. 16
merbah
DMU
Efficiency
Gambar 26. Analisis efisiensi antar kapal penangkap udang di Laut Arafura
Proses iterasi DEA dan skor untuk ke 39 kapal lengkap dengan laporan dan
proyeksi perbaikan tiap kapal dapat dilihat pada Lampiran 3. Selanjutnya
didapatkan distribusi angka efisiensi dan potensi perbaikan efisiensi sebagaimana
terlihat pada Gambar 27.
Gambar 27. Distribusi efisiensi kapal pukat udang di Laut Arafura
Jum
lah K
apal
76
Grafik distribusi menunjukkan bahwa dari 39 kapal, 13 diantaranya efisien
dan yang lain kurang efisien. Berdasarkan grafik tersebut dapat ditetapkan angka
yang dianggap efisien misalnya di atas 0.7, selanjutnya kapal-kapal dengan angka
efisiensi di bawah 0.7 memerlukan perbaikan. Hal ini tentu sangat tergantung dari
kebijakan dalam pengelolaan perikanan udang sesuai dengan sasaran yang ingin
dicapai. Kapal-kapal yang efisiensinya sangat rendah (di bawah 0.5) dapat
dipertimbangkan untuk izinnya tidak diperpanjang (dihapuskan), dengan
pemikiran kapal-kapal tersebut tidak menguntungkan. Dalam konteks ini angka
efisiensi dapat dijadikan acuan untuk menentukan kebijakan pembatasan jumlah
kapal. Hal ini menunjukan bahwa pengoperasian kapal-kapal pukat udang dalam
jangka pendek (selama tahun 2003) mengalami excess capacity, yang apabila
dibiarkan dalam kondisi tahun-tahun berikutnya menjadi overcapacity.
DEA dapat pula digunakan untuk menghitung perbaikan angka efisiensi,
secara prinsip adalah dengan mengurangi input atau menambah output (Cooper et
al., 2004), baik secara total maupun individu per kapal. DEA menghasilkan suatu
resume potensi perbaikan angka efisiensi secara total maupun tiap kapal dalam
bentuk besaran prosentase pengurangan input atau penambahan output tiap
variabel. Tampilan resume total potensi perbaikan angka efisiensi ditunjukkan
dalam pie chart sebagaimana Gambar 28. Gambar tersebut memperlihatkan
bahwa efisiensi secara umum bisa ditingkatkan dengan cara mengurangi effort
(hari trip) sebesar 11.17%, pengurangan GT sebesar 15.45%, penurunan umur
sebesar 17.74%, penurunan biaya sebesar 16.34%. Khusus berkaitan dengan
biaya, mengandung arti bahwa saat ini biaya penangkapan udang terlalu tinggi
(high cost). Effort, GT dan umur merupakan variabel yang dapat dijadikan
77
instrumen pengendalian kapasitas. Gambar 28 juga dapat menjelaskan bahwa
kondisi faktual penangkapan udang sebagian besar sudah melebihi kapasitas (over
capacity) dilihat dari berlebihnya pemanfaatan (utility) faktor input seperti effort,
GT, umur dan biaya. Dalam kenyataan, variabel biaya sulit dikendalikan karena
merupakan hasil manajemen dari pengoperasian kapal.
Gambar 28. Potensi perbaikan efisiensi
Proyeksi perbaikan efisiensi untuk tiap kapal dapat dilakukan sebagaimana
Lampiran 3. Sebagai contoh kapal dengan efisiensi terendah adalah kapal Mina
Raya 14 dengan nilai 0,47 (47%). Untuk meningkatkan efisiensi kapal tersebut
dilakukan dengan cara mengurangi input berupa hari trip sebesar 53,21%, GT
kapal sebesar 77,88% dan biaya sebesar 53,21%, melakukan
peremajaan/perbaikan kapal sebesar 77,12%. Peningkatan efisiensi dapat pula
dilakukan dengan meningkatkan output, antara lain peningkatan produksi udang
putih sebesar 34,11% dan udang windu sebesar 26,06% dari produksi sekarang.
78
Di bawah ini (Tabel 9) adalah proyeksi perbaikan efisiensi untuk kapal Mina Raya
14.
Tabel 9. Proyeksi perbaikan efisiensi kapal Mina Raya 11
HARI TRIP 112 52.40064 -59.5994 -53.21%
GT 146 42.51979 -103.48 -70.88%
UMUR 32 7.32183 -24.6782 -77.12%
BIAYA 427708 200108.7 -227599 -53.21%
PENDAPATAN 929698 929698 0 0.00%
PUTIH 3864 5182.118 1318.118 34.11%
WINDU 3447 4345.298 898.2979 26.06%
LAIN 7982 7982 0 0.00%
4.5 Fluktuasi musiman produktivitas kapal pukat udang
Data hasil tangkapan kapal-kapal anggota HPPI mulai tahun 1999 sampai
dengan 2004, sebagaimana Tabel berikut.
Tabel 10. Tangkapan rata-rata bulanan kapal pukat udang anggota HPPI
1999 2000 2001 2002 2003 2004 Jumlah
Rata-
rata
1 Januari 458,3 324,7 300,8 404,3 400,8 424,5 2.313,4 385,6
2 Februari 328,0 220,4 252,2 384,5 458,2 443,3 2.086,6 347,8
3 Maret 323,6 287,9 296,1 379,0 427,0 529,6 2.243,2 373,9
4 April 222,9 237,0 216,0 284,3 341,4 459,8 1.761,4 293,6
5 Mei 271,1 228,2 296,6 362,6 353,6 389,7 1.901,8 317,0
6 Juni 272,1 266,3 240,1 264,0 303,7 312,5 1.658,7 276,5
7 Juli 323,7 255,2 236,0 324,1 309,9 323,2 1.772,1 295,4
8 Agustus 289,7 449,7 486,5 481,4 473,6 512,9 2.693,8 449,0
9 September 399,0 432,5 644,8 629,0 507,8 584,8 3.197,9 533,0
10 Oktober 497,4 475,2 504,5 603,6 456,3 535,5 3.072,5 512,1
11 Nopember 424,3 331,3 358,1 474,4 320,1 448,2 2.356,4 392,7
12 Desember 286,9 379,6 312,8 415,0 320,5 386,2 2.101,0 350,2
Ratas 341,4 324,0 345,4 417,2 389,4 445,9 2.263,2
(Sumber HPPI 2005)
Dari Tabel tersebut dapat ditampilkan grafik rata-rata tangkapan bulanan
sebagaimana Gambar 29 berikut.
79
KECENDERUNGAN MUSIM TANGKAPAN HPPI
-
100,0
200,0
300,0
400,0
500,0
600,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
BULAN PENANGKAPAN
TO
TA
L T
AN
GK
AP
AN
(TO
N)
Gambar 29. Grafik tangkapan bulanan kapal-kapal PU anggota HPPI
Grafik di atas memperlihatkan bahwa titik terendah tangkapan rata-rata terjadi
pada bulan Juni dengan angka di bawah 300 ton dan tertinggi terjadi pada bulan
September sebesar 600 ton. Sementara itu hasil tangkapan pada bulan Juli naik
sedikit dan melonjak pada bulan Agustus, September dan Oktober. Dengan
melihat grafik tersebut dapat dikatakan bahwa musim panen yang baik adalah
pada Agustus, September dan Oktober. Demikian pula dapat dikatakan bahwa
musim penangkapan terjelek terjadi pada bulan April sampai dengan Juli. Apabila
akan diadakan pengurangan kapasitas penangkapan, maka yang terbaik dilakukan
penutupan musim adalah antara bulan April sampai dengan Juli. Namun demikian
penutupan musim selama waktu tersebut tentu akan berdampak kurang baik
dilihat dari produksi udang nasional maupun pendapatan perusahaan. Berkaitan
dengan hal tersebut, penutupan pada bulan Juni selama satu bulan saja akan lebih
dapat diterima, dengan pertimbangan mengurangi kapasitas penangkapan sebesar
80
6.6% (berdasarkan perbandingan tangkapan bulan Juni terhadap tangkapan satu
tahun) atau 8% (atau 1/12, jika tiap bulan diasumsikan sama dalam satu tahun).
Penutupan pada bulan Juni memungkinkan terjadinya pertumbuhan yang cukup
untuk dipanen pada bulan Juli dan selanjutnya. Disamping itu penutupan musim
satu bulan adalah berarti mengurangi effort dalam fishing days maksimal sebesar
8%.
4.6 Skenario Pengelolaan Perikanan Udang di L. Arafura
Berdasarkan pembahasan kondisi perikanan udang di Laut Arafura
sebagaimana dijelaskan diatas, skenario pengelolaan ke depan dianalisis dalam
tiga alternatif, yaitu pengaturan kuota penangkapan, pengurangan jumlah kapal
dan pengaturan musim penangkapan. Pengaturan jumlah kapal berdasarkan
pertimbangan GT dan umur kapal serta pengaturan musim penangkapan masuk
dalam kategori pengendalian input. Sasaran yang diharapkan dari tiga alternatif
tersebut adalah pengurangan overcapacity dan diperolehnya rente ekonomi yang
optimal.
4.6.1 Incentive blocking instruments (IBI) v.s. Incentive adjusting
instruments (IAI)
Model bioekonomi yang digunakan dalam penelitian ini memungkinkan
dilakukan evaluasi terhadap instrumen pengelolaan yang tergolong dalam IBI
maupun IAI sebagaimana Tabel 2. Beberapa introduksi kebijakan pengelolaan
yang dilakukan DKP terkait dengan pengenaan pungutan (masuk dalam IAI)
dalam bentuk PHP (pungutan hasil perikanan), menimbulkan dampak resistensi
yang tinggi dan ditunjukan dengan unjuk rasa di berbagai tempat untuk meminta
keringanan dan pembebasan, meskipun pada akhirnya kebijakan tersebut berjalan.
Pengenaan PHP yang merupakan IAI dengan besaran relatif kecil yaitu 2.5% dari
81
produktivitas tangkapan berdampak positif bagi pemasukan kepada negara dan
mampu mengerem sedikit laju peningkatan effort.
Sementara itu, kebijakan pengelolaan perikanan dengan IBI, antara lain
pembatasan alat tangkap, telah mendorong nelayan melakukan
terobosan/modifikasi terhadap alat tangkap dan cara pengoperasiannya. Sebagai
contoh adalah larangan penggunaan trawl dimodifikasi dengan lampara dasar dan
cantrang. Hal ini berarti bahwa pada jangka menengah dan panjang IBI tidak akan
efektif, namun tetap efektif untuk jangka pendek sampai menengah (maksimum
lima tahun).
Membandingkan pengelolaan perikanan udang di Indonesia menggunakan IBI
dan IAI, dapat disimpulkan bahwa dalam jangka pendek sampai menengah (lima
tahun) dapat diterapkan instrumen kebijakan dengan IBI dan pada jangka panjang
diterapkan instrumen kebijakan IAI. Oleh sebab itu, untuk kepentingan jangka
pendek sampai dengan lima tahun dengan sasaran untk mengurangi overcapacity
dan inefisiensi, skenario pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura mencakup
pengaturan kuota penangkapan secara agregat (agregate quotas), pengurangan
jumlah kapal dan pengaturan musim penangkapan.
4.6.2 Pengaturan kuota penangkapan secara agregat
Skenario pengelolaan perikanan secara agregat dilakukan dengan menetapkan
TAC (total allowbale catch) atau kuota. Secara teoritis, kuota akan mengurangi
terjadinya race for fish sehingga effort akan dialokasikan secara lebih efisien.
Apablia digunakan kurva yield effort dan variabel stok sebagaimana telah
dihitung sebelumnya, maka kurva produksi lestari dengan kuota (PLK) dan
produksi lestari tanpa kuota (PLTK) terlihat dalam Tabel 11 dan Gambar 30.
82
Dalam perhitungan tersebut, besarnya N diasumsikan = 250 kapal (jumlah rata-
rata kapal dari data series tahunan), x = 16861,67 (merupakan x optimal pada
kondisi MEY), sedangkan parameter lainnya (q,K,r,c,p) tetap sama dengan
pembahasan sebelumnya.
Tabel 11 menunjukan perbandingan antara tiga kondisi, yaitu PLTK, PLK 5%
dan PLK 10%. Untuk mengetahui seberapa prosentase penerapan kuota agar
diperoleh manfaat paling besar, maka diperbandingkan penerapan kuota 5% dan
10% terhadap kondisi tanpa kuota (produksi aktual).
Tabel 11. Dampak penerapan kuota terhadap produksi lestari dan rente Tanpa Kuota Kuota 5 % Kuota 10 %
Tahun Prod
aktual
Prod.
Lestari Rente Prod. Lestari Rente Prod. Lestari Rente
1986
4.981 7826,352 226.391,12 11934,31617 391563,2586 11306,33844 370960,9376
1987
4.113 6403,282 193.001,38 6272,58829 205810,4594 5942,49188 194980,0621
1988
8.368 9924,667 237.139,10 12760,05484 418653,3425 12088,63782 396626,1258
1989
8.683 9538,251 247.281,40 13240,25761 434407,2626 12543,57941 411551,4421
1990
11.562 9996,752 214.430,11 17628,72445 578374,2082 16701,21150 547947,1478
1991
10.703 9997,661 214.795,15 16319,43053 535422,7153 15460,78277 507254,3016
1992
9.076 9698,104 245.511,60 13839,35461 454061,582 13111,16141 430172,0383
1993
6.443 9766,490 244.059,60 9825,27877 322370,5318 9308,25654 305407,9121
1994
6.551 9792,157 243.353,32 9989,94040 327772,7755 9464,25508 310525,971
1995
9.114 9883,008 239.753,74 13897,28179 455961,9661 13166,04142 431972,4729
1996
8.155 10002,726 217.294,00 12435,34099 408000,4609 11781,00589 386533,5617
1997
10.914 9787,315 180.237,95 16641,04469 545973,3628 15765,48060 517250,1189
1998
10.367 9770,832 178.351,28 15807,27798 518621,3069 14975,56896 491336,453
1999
10.169 8864,244 243.965,00 15505,46881 508720,2598 14689,63491 481956,0973
2000
10.235 7327,264 215.520,58 15606,07228 512020,6267 14784,94663 485082,8986
2001
9.046 8157,934 232.909,19 13793,62253 452561,2747 13067,83500 428750,6388
2002
14.097 8947,804 244.906,02 21492,18334 705110,9459 20361,48355 668020,191
2003
12.374 9367,860 247.638,43 18866,31658 618972,833 17873,71295 586410,993
Rata-
rata 9169,595 225918,832 14214,142 466354,398 13466,246 441818,854
83
Pada saat produksi aktual dikurangi 5% (artinya kapasitas produksi penangkapan
dibatasi dengan dikurangi 5%), terjadi peningkatan produksi lestari sebesar 55%
dan tambahan rente sebesar 106,4 %. Apabila produksi aktual dikurangi 10%,
terjadi penambahan produksi lestari sebesar 46,85 % dan tambahan rente sebesar
95,56%.
Perbandingan penerapan kuota sebesar 5% dan 10% dapat divisualisasikan ke
dalam Gambar 30 berikut.
0,00000
5000,00000
10000,00000
15000,00000
20000,00000
25000,00000
1985 1990 1995 2000 2005
Tahun
Pro
du
ksi
Lesta
ri (
ton
)
PLK5
PLK10
Plaktual
Poly. (PLK5)
Gambar 30. Trajektori produksi lestari dengan dan tanpa kuota
Sebagaimana terlihat pada Gambar di atas, secara agregat penerapan kuota
dapat meningkatkan produksi lestari udang di L. Arafura. Terjadi fluktuasi
produksi lestari dalam kondisi penerapan kuota, disebabkan karena teradinya
fluktuasi pada tingkat input (effort). Oleh karena adanya hubungan linear antara
effort yang digunakan dengan kuota yang diterapkan, maka fluktuasi kuota juga
akan mengikuti fluktuasi effort tersebut. Namun demikinan dari tren yang terlihat
84
pada kurva diatas menunjukan adanya kecenderungan produksi lestari yang
meningkat manakala kuota diterapkan. Gambar dan perhitungan di atas
menunjukan bahwa pembatasan kuota paling optimal adalah mengurangi produksi
penangkapan sebesar 5%.
4.6.3 Pengurangan jumlah kapal
Sebagaimana dijelaskan dalam 4.3.2 bahwa pengelolaan paling optimal adalah
pada kondisi dinamik dengan tingkat effort sebesar 77518 day-fish atau jumlah
kapal dipertahankan sebanyak 258 unit. Oleh karena itu, jumlah kapal yang ada
saat ini sebanyak 355 unit perlu dikurangi sebanyak 97 kapal atau sekitar 27%.
Timbul permasalahan kapal-kapal mana saja yang harus dikurangi agar tidak
menimbulkan masalah. Pertimbangan yang digunakan dalam pemilihan kapal
yang dikurangi adalah hasil DEA menggunakan data kapal-kapal pukat udang
tahun 2003, yaitu berdasarkan efisiensi. DEA menghasilkan kesimpulan bahwa
untuk meningkatkan efisiensi secara keseluruhan, salah satunya adalah dengan
pengurangan jumlah kapal sebanyak 15%. Dengan menggabungkan hasil analisis
bioekonomi dinamik dan DEA, maka pengurangan jumlah kapal sebanyak 27%
akan menghasilkan dua sasaran pengelolaan sekaligus yaitu optimal secara
bioekonomi dan efisien atau overcapacity teratasi.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa penetapan kebijakan selalu
mendatangkan reaksi dan resistensi, maka penerapan kebijakan dengan
pengurangan jumlah kapal juga perlu mempertimbangkan prinsip kehati-hatian
dengan cara dilakukan secara bertahap. Salah satu prioritas pengurangan jumlah
kapal adalah penghapusan (decomissioning) kapal-kapal yang berusia di atas 30
tahun. Batas umur 30 tahun bagi kapal perikanan ditetapkan, dengan
85
pertimbangan mengikuti standard kapal-kapal lain seperti kapal perang TNI AL
dan kapal kargo dan penumpang, pada umumnya usia kapal di atas 30 tahun tidak
efisien dilihat dari biaya operasional dan pemeliharaan.
Daftar kapal yang tidak termasuk kapal yang berumur di atas 30 tahun
sebagaimana Tabel 12 berikut.
Tabel 12. Kapal-kapal pukat udang tidak termasuk yg berumur 30 th ke
atas.
KAPAL HR
TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN
Binama no. 15 171 104 9 445.667 2.302.333 5.454 15.207 22.248
Binama no. 12 228 105 10 438.154 2.290.999 6.662 15.161 20.936
Binama no. 1 281 137 29 892.731 3.426.516 5.080 20.054 38.575
Binama no. 10 222 137 24 756.413 3.078.653 1.368 19.611 36.102
Binama no. 2 181 137 29 534.623 2.296.237 2.162 16.929 23.540
Binama no. 3 225 137 27 726.347 2.804.890 2.612 17.953 31.508
Binama no. 5 286 137 29 920.880 3.559.718 4.776 21.353 40.031
Binama no. 6 180 137 29 557.120 2.656.957 2.462 15.034 31.830
Binama no. 7 180 137 28 570.146 2.287.035 3.030 15.993 23.481
Binama no. 8 227 137 27 535.050 2.860.979 3.908 17.917 31.352
khamsin A 289 118 2 3.474.777 3.718.565 3.270 9.550 11.582
Mina raya no. 21 90 149 26 463.642 916.146 3.708 16.796 28.290
nusa aman 1 323 157 10 2.663.000 3.557.250 13406 28187 24282
nusa aman 2 332 157 10 2.766.000 3.356.424 9976 26290 25890
nusantara bina 258 163 27 2.224.000 3.260.304 3928 31973 24475
nusantara megah 260 163 27 2.138.000 2.458.512 7564 18435 19529
nusa asri 340 166 5 2.851.000 4.080.456 9062 35583 30919
nusa ayu 351 166 5 2.859.000 3.582.522 5476 34982 25885
Merbah 217 170 24 925.203 1.881.399 7445,5 12001,5 15766
Mina raya no. 20 105 198 30 904.538 1.156.412 4136 5132 10598
Binama no. 16 264 204 5 1.497.489 3.913.499 11046 28809,5 33169
merawal II 251 229 22 1.372.471 2.195.435 11376 17264 12585
Merbuk II 258 240 22 1.447.864 6.509.525 80425 20854 23289
mentilau II 245 243 22 1.718.250 2.971.281 10785,5 24024,5 20753
Binama no. 11 267 246 17 1.109.685 4.007.578 3652 30740,5 40004,5
toyo 56 328,02 253 17 2.803.707 9338 21265,5 26972,5
nusantara jaya 2 214 260 8 2.344.000 2.209.302 5242 19670 16001
toyo 51 378 280 17 2.858.723 10992 18496,5 22766
Mina raya no. 25 235 235 16 980.211 2.753.230 6536 15792 27100
toyo 23 427,5 306 7 3.574.723 16400 24098,5 28601,5
nusantara elok 248 450 5 3.906.000 2.529.954 7886 20837 18128
toyo 57 332,4 490 12 2.577.011 12892 19160,5 22473,52
Merpati II 263 532 22 3.396.231 3.514.841 22347 22106,5 21753,5
Mina raya no. 22 126 352 26 1.684.117 1.807.476 4470 10408 16404
Mina raya no. 24 93 417 25 974.029 882.108 2472 4703 8188
86
Selanjutnya diadakan perhitungan DEA, hasilnya adalah sebagaimana Tabel
13 berikut.
Tabel 13. Efisiensi tanpa kapal umur 30 th ke atas
In Rank order
Rank DMU Score
1 Toyo 57 1
1 binama no. 15 1
1 binama no. 12 1
1 Toyo 23 1
1 binama no. 10 1
1 Toyo 56 1
1 binama no. 11 1
1 binama no. 5 1
1 binama no. 6 1
1 merbuk II 1
1 binama no. 8 1
1 khamsin A 1
1 Mina raya no. 21 1
1 binama no. 16 1
1 Nusa asri 1
1 nusantara bina 1
17 binama no. 1 0,985674
18 Nusa ayu 0,98311
19 binama no. 2 0,942698
20 Nusa aman 1 0,912921
21 binama no. 3 0,908425
22 binama no. 7 0,895892
23 Toyo 51 0,895501
24 Nusa aman 2 0,855143
25 nusantara jaya 2 0,803307
26 Mentilau II 0,798325
27 Mina raya no. 25 0,778254
28 nusantara elok 0,767464
29 merpati II 0,754944
30 Mina raya no. 22 0,73785
31 nusantara megah 0,67051
32 merawal II 0,586994
33 Mina raya no. 20 0,568589
34 Merbah 0,547984
35 Mina raya no. 24 0,492079
Jika dibandingkan dengan efisiensi setelah pengurangan kapal berumur di atas 30
tahun dengan sebelumnya, terjadi kenaikan angka efisiensi total 5.7% dan jumlah
87
kapal yang efisiensinya sama dengan 1 semula hanya 13 kapal menjadi 16 kapal.
Pengurangan kapal yang berumur di atas 30 tahun (berjumlah 4 kapal) sekaligus
mengurangi effort sebesar 10.25 %.
4.6.4 Pengaturan musim tangkapan
Pembahasan pada 4.6 menunjukan bahwa rata-rata hasil tangkapan pada bulan
April sampai dengan Juli pada kondisi lebih rendah dibandingkan dengan bulan-
bulan yang lain. Untuk mengetahui dampak penutupan satu bulan saja pada bulan
terjelek yaitu Juni, maka bisa dilakukan dengan cara simulasi perbaikan angka
efisiensi dimana salah satu variabel input nya berupa effort (hari operasi)
dikurangi 8% pada 8 kapal yang urutan efisiensinya terjelek dengan angka di
bawah 0.7. Perubahan angka effort untuk ke 8 kapal ditampilkan pada Tabel 14.
Hasil perhitungan efisiensi DEA menunjukan bahwa pengurangan effort rata-rata
sebesar 8% dengan cara menutup musim penangkapan selama satu bulan,
menghasilkan kenaikan efisiensi sebesar 5.75%. Kenaikan ini memang tidak
proporsional karena input variabel penentu efisiensi lebih dari satu dan bukan
hanya effort. Dapat disimpulkan bahwa penutupan musim penangkapan
merupakan salah satu instrumen pengendalian input yang efektif.
Menurut Purwanto (1997) suatu usaha tambak udang dapat ditentukan bulan
panen yang paling optimal dalam satu tahun berdasarkan perolehan pendapatan
tertinggi, karena sifatnya yang siklikal. Berdasarkan kenyataan penangkapan
udang di L. Arafura (Gambar 31) yang menunjukan kecenderungan siklikal, maka
produksi tangkapan rata-rata bulanan dapat juga diduga dengan persamaan
(2 /12)t th a bSin Mπ= + , Mt = 1, ..,12 (Januari=1, …, Desember=12), a dan b
dapat diperoleh dari regresi ruas kiri dan ruas kanan persamaan tersebut.
88
Tabel 14. Data efisiensi kapal pukat udang yang sudah dikurangi effort 8%
KAPAL HARI
TRIP GT UMUR BIAYA
PENDA-
PATAN PUTIH WINDU LAIN
Score
Lama
Score
Baru
NAIk
(%)
binama no. 15 171 104 9 445,667 2,302,333 5,454 15,207 22,248 1.0000 1.0000
binama no. 12 228 105 10 438,154 2,290,999 6,662 15,161 20,936 1.0000 1.0000
binama no. 1 281 137 29 892,731 3,426,516 5,080 20,054 38,575 0.9857 0.9857
binama no. 10 222 137 24 756,413 3,078,653 1,368 19,611 36,102 1.0000 1.0000
binama no. 2 181 137 29 534,623 2,296,237 2,162 16,929 23,540 0.9585 0.9585
binama no. 3 225 137 27 726,347 2,804,890 2,612 17,953 31,508 0.9084 0.9084
binama no. 5 286 137 29 920,880 3,559,718 4,776 21,353 40,031 1.0000 1.0000
binama no. 6 180 137 29 557,120 2,656,957 2,462 15,034 31,830 1.0000 1.0000
binama no. 7 180 137 28 570,146 2,287,035 3,030 15,993 23,481 0.9091 0.9091
binama no. 8 227 137 27 535,050 2,860,979 3,908 17,917 31,352 1.0000 1.0000
khamsin A 289 118 2 3,474,777 3,718,565 3,270
9,550 11,582 1.0000 1.0000
minaraya no. 16 180 142 31 505,150 1,502,274 3,606
7,739 16,969 0.6159 0.6244 1.3902
Mina raya no, 11 156 143 32 368,190 1,460,259 910
5,897 14,478 0.7420 0.7420
Mina raya no, 14 103 146 32 427,708 929,698 3,864
3,447 7,982 0.4679 0.4999 6.8403
Mina raya no. 21 90 149 26 463,642 916,146 3,512 14,417 25,044 1.0000 1.0000
nusantara maju 339 156 31 2,722,000 3,067,524 4190 25741 26875 0.8201 0.8201
nusantara utama 277 156 31 2,120,000 2,839,752 5696 23279 23613 0.7959 0.7959
nusa aman 1 323 157 10 2,663,000 3,557,250 13406 28187 24282 0.9129 0.9129
nusa aman 2 332 157 10 2,766,000 3,356,424 9976 26290 25890 0.8551 0.8551
nusantara bina 258 163 27 2,224,000 3,260,304 3928 31973 24475 1.0000 1.0000
nusantara megah 239 163 27 2,138,000 2,458,512 7564 18435 19529 0.6705 0.7061 5.3025
nusa asri 340 166 5 2,851,000 4,080,456 9062 35583 30919 1.0000 1.0000
nusa ayu 351 166 5 2,859,000 3,582,522 5476 34982 25885 0.9831 0.9831
Merbah 200 170 24 925,203 1,881,399 7445.5 12001.5 15766 0.5480 0.5724 4.4584
Mina raya no. 18 140 198 31 1,263,394 1,788,804 4448 10184 16204 0.6255 0.6799 8.6957
Mina raya no. 20 97 198 30 904,538 1,156,412 4136 5132 10598 0.5883 0.6394 8.6957
minaraya no. 17 173 198 31 849,369 1,168,464 5924 12211 20224 0.5571 0.5750 3.2016
binama no. 16 264 204 5 1,497,489 3,913,499 11046 28809.5 33169 1.0000 1.0000
merawal II 231 229 22 1,372,471 2,195,435 11376 17264 12585 0.6078 0.6348 4.4493
nusantara agung 289 233 33 2,458,000 2,988,468 6202 26020 23120 0.7388 0.7388
Merbuk II 258 240 22 1,447,864 6,509,525 80425 20854 23289 1.0000 1.0000
mentilau II 245 243 22 1,718,250 2,971,281 10785.5 24024.5 20753 0.8252 0.8252
binama no. 11 267 246 17 1,109,685 4,007,578 3652 30740.5 40004.5 1.0000 1.0000
nusantara jaya 2 214 260 8 2,344,000 2,209,302 5242 19670 16001 0.8162 0.8162
Mina raya no. 25 235 235 16 980,211 2,753,230 6536 15792 27100 0.7859 0.7859
nusantara elok 248 450 5 3,906,000 2,529,954 7886 20837 18128 0.7683 0.7683
Merpati II 263 532 22 3,396,231 3,514,841 22347 22106.5 21753.5 0.7718 0.7718
Mina raya no. 22 126 352 26 1,684,117 1,807,476 4470 10408 16404 0.7631 0.7631
Mina raya no. 24 86 417 25 974,029 882,108 2472 4703 8188 0.5094 0.5537 8.6957
RATA-
RATA 5.7477
Data tangkapan bulanan dan hasil sinusoida siklikal sebagaimana Tabel
berikut.
89
Tabel 15. Produksi rata-rata bulanan dan sinusoida siklikal
Bulan Produksi t Mt sin(2Pi*Mt/12)
Januari 385.6 1 0,259
Februari 347.8 2 0,500
Maret 373.9 3 0,707
April 293.6 4 0,866
Mei 317 5 0,966
Juni 276.5 6 1,000
Juli 295.4 7 0,966
Agustus 449 8 0,866
September 533 9 0,706
Oktober 512.1 10 0,499
Nopember 392.7 11 0,258
Desember 350.2 12 -0,001
Produksi rata-rata per bulan dan kecenderungan siklikal dapat dibandingkan
dengan Gambar berikut.
0
100
200
300
400
500
600
0 5 10 15
Series1
Series2
Poly. (Series1)
Gambar 31. Tren produksi bulanan dan tren siklikal
Gambar di atas menunjukkan bahwa produksi tangkapan bulanan mengikuti
tren yang siklikal. Pada model siklikal tersebut, tangkapan pada bulan Juni atau
90
Juli merupakan terjelek karena berada jauh dari garis tren. Apabila diadakan
penutupan musim, maka yang terbaik adalah bulan Juni karena pada bulan Juli
akan terjadi pemulihan stok yang berdampak kepada tangkapan bulan Juli
meningkat dan mengembalikannya kepada garis tren.
4.6.5 Strategi pengendalian secara bertahap
Kebijakan pengelolaan perikanan termasuk perikanan udang di Laut Arafura
saat ini merupakan kombinasi dari IBI dan IAI. Bentuk instrumen kebijakan IBI
antara lain pembatasan jumlah kapal (effort control), pembatasan alat tangkap,
pembatasan jalur penangkapan atau fishing ground. Sedangkan penerapan
instrumen kebijakan IAI dilaksanakan dengan pengenaan PHP sebesar 2.5%.
Dengan mempertimbangkan kondisi perikanan secara umum saat ini belum
kondusif sebagai akibat kenaikan harga BBM, resistensi pengusaha dan nelayan
serta rendahnya kesadaran para pelaku atas prinsip-prinsip kelestarian dan
keberlanjutan ekonomi, maka strategi pengendalian dilakukan secara bertahap
dengan prinsip kehati-hatian (secara adaptif).
Tahapan dalam penerapan instrumen kebijakan pengelolaan dilaksanakan
sebagai berikut:
(1) Penerapan IBI dan IAI untuk jangka pendek-menengah selama lima tahun
meliputi:
1) Penutupan musim penangkapan pada bulan Juni.
2) Pengurangan jumlah kapal dengan prioritas kapal-kapal yang berumur
di atas 30 tahun.
3) Pambatasan kuota agregat dengan pengurangan produksi penangkapan
sebesar 5% dari produksi pada level MSY.
91
4) Tetap memberlakukan PHP sebesar 2.5%.
(2) Penerapan IAI untuk kepentingan jangka panjang dengan pengenaan tax
sebesar 10% sebagai pengganti PHP.
4.6.6 Keterkaitan skenario pengelolaan dengan orientasi pembangunan
Kabinet Indonesia Bersatu
Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu dalam perumusuan strategi
pembangunan nasionalnya bertumpu kepada tiga pilar strategi, yaitu:
(1) pengentasan kemiskinan (pro-poor)
(2) penyerapan tenaga kerja (pro-job)
(3) pertumbuhan ekonomi (pro-growth)
Sektor kelautan dan perikanan yang diharapkan menjadi salah satu penggerak
utama perekonomian, pembangunannya diarahkan untuk: (1) meningkatkan
pendapatan nelayan dan pembudidaya dalam rangka mengentaskan kemiskinan
(pro-poor); (2) meningkatkan kesempatan kerja bagi masyarakat baik di bidang
usaha produksi, pengolahan maupun jasa (pro-job); serta (3) meningkatkan
kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap perekonomian nasional (pro-
growth) baik melalui peningkatan produktivitas, efisiensi maupun peningkatan
devisa ekspor.
Khusus kegiatan produksi bidang perikanan mencakup kegiatan penangkapan
dan budidaya ikan. Kegiatan usaha penangkapan ikan pada dasarnya merupakan
panen (harvest) dari hasil proses produksi alami sumber daya ikan. Kontribusi
atau peran dari usaha penangkapan terhadap pembangunan ekonomi nasional
ditentukan oleh skenario pengelolaan yang diterapkan. Hasil penelitian ini dapat
menunjukan dampak skenario pengelolaan terhadap keberhasilan pemerintah
dalam mencapai sasaran pembangunan sesuai dengan pilar strategi yang
92
ditetapkan. Strategi pembangunan yang memungkinkan dievaluasi di sini adalah
”pro-poor” dan ”pro-growth”. Skenario pengelolaan yang dihasilkan dari
penelitian ini secara umum adalah pengendalian intensitas penangkapan untuk
mengoptimalkan produksi perikanan udang di Laut Arafura. Pengendalian
intensitas penangkapan tersebut diarahkan untuk mengurangi upaya penangkapan
dari tingkat aktual (tahun 2005) yaitu 106500 day-fish, menjadi tingkat upaya
penangkapan yang secara ekonomi optimum yaitu 77518 day-fish.
Dampak dari pengurangan upaya penangkapan tersebut terhadap tingkat
perolehan per unit usaha, yang diukur dengan tingkat keuntungan ekonomi per
kapal, ditunjukan secara grafis pada Gambar berikut.
-10
0
10
20
30
40
50
60
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
EFFORT ( JUMLAH KAPAL)
PR
OF
IT (
100 J
UT
A R
UP
IAH
) .
Profit/kapal
Gambar 32. Kurva profit dan effort (jumlah kapal)
Gambar 32 tersebut menunjukan bahwa untuk peningkatan perolehan pendapatan
nelayan dari usaa penangkapan dimungkinkan bila dilakukan pengurangan
intensitas (upaya) penangkapan atau jumlah kapal. Dengan demikian rekomendasi
untuk pengurangan jumlah kapal dari penelitian ini sejalan dengan strategi
93
-100
0
100
200
300
400
500
0 25 50 75 100 125 150 175
EFFORT (ribu hari)
NIL
AI (R
p.
MIL
IAR
)
Revenue
Cost
Prof it
2005 (Eaktual,
haktual
)MSY
Open access MEY
pembangunan nasional yang pro-poor. Pertanyaan selanjutnya adalah berapa
banyak intensitas (upaya) penangkapan atau jumlah kapal yang dikurangi.
Hasil penelitian ini menunjukan hubungan antara intensitas atau tingkat upaya
atau jumlah kapal penangkapan dengan total keuntungan ekonomi yang diperoleh
bagi seluruh pelaku usaha penangkapan udang di Laut Arafura (Gambar 33).
Gambar 33. Kurva revenue, profit dan cost perikanan udang di L. Arafura
Tingkat keuntungan ekonomi tersebut mencerminkan kontribusi perikanan udang
di Laut Arafura terhadap perekonomian nasional. Oleh karena itu kontribusi
optimum dicapai pada intensitas penangkapan yang menghasilkan keuntungan
optimum.
94
Skenario yang dihasilkan dari penelitian ini adalah pengendalian effort dengan
sasaran tercapainya rente ekonomi optimum yang akan menjamin kontribusi
optimum perikanan udang di Laut Arafura bagi perekonomian nasional. Dengan
demikian rekomendasi untuk pengurangan jumlah kapal dalam penelitian ini
mendukung atau sejalan dengan strategi pembangunan nasional yang pro-growth.
Karena sumber daya udang di Laut Arafura pada tahun 2005 secara ekonomis dan
biologis sudah pada tingkat berlebih, maka skenario pengelolaan perikanan udang
di Laut Arafura yang pro-poor dan pro-growth adalah pengurangan jumlah kapal
hingga mencapai tingkat optimumnya.
Apabila kebijakan pemerintah di bidang perikanan dalam bentuk
industrialisasi dalam negeri dan penghentian izin kapal asing pada tahun 2007
dilaksanakan secara konsisten, dalam jangka pendek dan menengah akan terjadi
penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar, karena terjadi peningkatan industri
pengolahan. Rekomendasi kebijakan hasil penelitian untuk mengendalikan effort
agar nilai ekonomi usaha penangkapan optimum, sekaligus juga menjamin
kelestarian pasok bahan baku industri, adalah sejalan dengan kebijakan
industrialisasi dalam negeri. Oleh karenanya, apabila kedua kebijakan dijalankan
dalam periode waktu yang sama (jangka pendek sampai menengah) sekaligus,
yaitu industrialisasi dalam negeri dan pengendalian penangkapan, maka
pengelolaan perikanan udang dapat memberikan kontribusi dicapainya tiga pilar
strategi yaitu pro-poor, pro-job dan pro-growth.
95
4.7 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Udang
Pemilihan alternatif pengelolaan perikanan udang di L. Arafura berdasarkan
tiga skenario yaitu pengendalian input, penerapan kuota dan penutupan musim,
memiliki implikasi dan konsekuensi biaya bagi pemerintah. Faktor-faktor yang
mempengaruhi berhasil tidaknya alternatif pengelolaan meliputi: kemampuan
pemerintah melakukan pemantauan (monitoring) dan penegakan hukum,
kesadaran para pelaku (dalam hal ini pengusaha dan pemilik kapal) dalam
mentaati aturan serta rente ekonomi yang dihasilkan dari alternatif tersebut. Faktor
eksternal berpengaruh pula terhadap tiap alternatif, misalnya kenaikan harga BBM
yang melebihi 100%, sangat mempengaruhi strategi pengusaha dalam
mengoperasikan kapal-kapalnya. Dalam kalkulasi biaya operasi kapal pukat
udang, komponen BBM mengambil porsi antara 20% sampai dengan 40% dari
biaya total. Dilihat dari sisi pemerintah, faktor yang dipertimbangkan dalam
menentukan alternatif adalah kemampuan monitoring dan penegakan hukum agar
alternatif pengelolaan berhasil dilaksanakan. Dari sisi pengusaha, alternatif yang
dipilih tentu saja yang menghasilkan rente ekonomi paling tinggi. Oleh karena itu
pemilihan alternatif yang baik harus dapat mengakomodasikan kepentingan
kedua belah pihak, atau merupakan trade off manfaat atau rente ekonomi dan
biaya atau resiko.
Pengendalian input melalui pengurangan kapasitas penangkapan dengan cara
mengurangi jumlah kapal sedemikian rupa sehingga total GT berkurang 15%,
secara praktis mudah dilakukan oleh pemerintah karena tinggal mengurangi
jumlah izin. Namun demikian dari sisi pengusaha hal tersebut akan menjadi
masalah besar karena tentu saja mereka tidak mau dikurangi izin jumlah kapalnya.
96
Pengalaman yang terjadi justru sebaliknya, para pengusaha kalau bisa menambah
izin. Kebijakan tersebut bisa berdampak negatif dilihat dari aspek sosial, karena
akan terjadi pengurangan kapal yang beroperasi berarti terjadi PHK bagi ABK
yang bekerja di kapal. Bagi pemerintah, dicabutnya izin dan tidak beroperasinya
kapal-kapal akan mendatangkan dilema, karena akan diapakan kapal-kapal
tersebut dan apakah ada kompensasi bagi pemilik kapal. Di berbagai negara,
kebijakan rasionalisasi armada dibarengi dengan kebijakan pembelian kapal bekas
yang diberhentikan operasionalnya (buy back policy). Bagi pemerintah Indonesia,
kemungkinan kecil dapat menerapkan buy back policy karena keterbatasan APBN.
Pengendalian input terbukti telah berhasil dilaksanakan sejak tahun 2000 dengan
adanya pendaftaran ulang dan tidak ditambahnya izin baru. Hal ini dapat terlihat
dari angka efisiensi selama tahun 2000 sampai dengan 2004 berada di atas 0.7,
padahal tahun-tahun sebelumnya di bawah 0.6. Dapat disimpulkan bahwa
pengendalian input merupakan hal yang efektif tapi dilematis dan mengandung
resiko.
Penerapan kuota dengan mengurangi jumlah yang boleh ditangkap sebesar 5%
dari MSY merupakan kebijakan yang lebih dapat diterima oleh pengusaha,
terutama jika dapat meyakinkan mereka bahwa kebijakan tersebut akan
mendatangkan surplus rente ekonomi. Dilihat dari sisi pemerintah, kebijakan ini
memerlukan biaya yang tidak sedikit karena harus melakukan pengawasan yang
ketat terhadap jumlah udang yang ditangkap oleh semua kapal. Untuk dapat
melaksanakan sistem pemantauan dan pengawasan diperlukan petugas yang
bekerja terus menerus di pusat pendaratan atau diperlukan petugas di atas kapal
(observer). Kebijakan ini juga merupakan hal yang baru dan secara teknis lebih
97
sulit dibandingkan dengan pengendalian input, sehingga tingkat keberhasilan
kebijakan ini diragukan dan mengandung resiko kegagalan tinggi.
Penutupan musim selama satu bulan akan berdampak langsung kepada
pengurangan tekanan terhadap sumber daya, karena penutupan musim berarti
pengurangan effort secara langsung. Bagi pemerintah, penutupan musim secara
teknis mudah dilakukan karena hanya mengumumkan kepada semua kapal
pemegang izin, memberikan catatan dalam SPI dan melakukan penjagaan
kawasan dan pengawasan yang ketat selama satu bulan. Dilihat dari aspek biaya
tidak terlalu besar karena peningkatan pengawasan selama satu bulan lebih ringan.
Daerah penangkapan udang sebagian besar dekat pantai dan tertentu, sehingga
kemungkinan terjadinya illegal entry kecil. Dilihat dari sisi pengusaha, penutupan
satu bulan lebih mudah diterima dibandingkan alternatif lain, karena tidak
berdampak kepada pengurangan produksi secara signifikan, tidak ada
pengurangan jumlah kapal dan PHK. Satu bulan tidak beroperasi bagi perusahaan
dapat dijadikan waktu untuk pemeliharaan kapal (docking, overhaul mesin), cuti
ABK, karena sebenarnya hampir semua kapal tidak penuh beroperasi satu tahun
terus menerus. Secara matriks dapat ditampilkan perbandingan ketiga alternatif
kebijakan dengan implikasinya dalam suatu kerangka logis (logical framework)
sebagaimana Lampiran 4.
Ketiga alternatif kebijakan yang telah diuraikan di atas, yaitu penerapan kuota,
pengurangan jumlah kapal dan penutupan musim penangkapan merupakan
instrumen pengelolaan incentive blocking, merupakan kebijakan jangka menengah
dalam upaya mengurangi overcapacity. Untuk kepentingan jangka panjang,
diperlukan kebijakan dengan instrumen incentive adjusting, salah satunya dalam
98
bentuk pengenaan tax. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perikanan saat
ini adalah pengendalian effort dana pengenaan tax dalam bentuk PHP (pungutan
hasil perikanan). Secara bioekonomi dampak kebijakan pengenaan tax sebesar
10% dapat disajikan dalam Gambar 34 berikut.
Gambar 34. Kurva bioekonomi sesudah pengenaan tax 10%
Gambar 34 menunjukan bahwa pengenaan tax atau fishing fee akan
mempengaruhi kurva biaya dengan slope yang lebih tinggi dan berdampak kepada
penurunan kurva profit dan menggeser titik effort optimal ke kiri. Dalam jangka
panjang, pengenaan tax sebesar 10% berdampak terkendalinya upaya
penangkapan secara alami, karena meningkatnya biaya akan dengan sendirinya
mendorong pelaku atau jumlah kapal keluar dari perikanan sampai titik
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
500
0 50 100 150
effort (ribu hari)
reven
ue
(m
ily
ar
rup
iah
)
Revenue
Cost
Fishing Fee
Profit
25 75 125 175
99
keseimbangan. Sebagaimana disajikan dalam Gambar 33, tingkat effort optimal
sebelum pengenaan tax adalah 74347 day-fish (pada level MEY) dengan profit
sebesar Rp 247.6 Milyar dan 77518 day-fish pada level pengelolaan dinamik
dengan profit sebesar Rp 363.2 Milyar. Sesudah pengenaan tax 10%, tingkat effort
optimalnya sekitar 70000 day-fish dan profit maksimal yang dapat diraih sebesar
Rp 207 Milyar, di bawah profit pada level MEY sebesar Rp 247.6 Milyar.
Apabila instrumen kebijakan IAI dengan pengenaan tax 10% dikombinasikan
dengan pengelolaan perikanan secara dinamik, mempertimbangkan faktor
discount rate, maka untuk jangka lima tahun akan menghasilkan profit sebesar Rp
340 Milyar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan dengan
instrumen incentive adjusting, dengan cara pengenaan tax, akan efektif
diberlakukan pada jangka menengah-panjang jika dikombinasikan dengan
pengelolaan dinamik.
5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan yang akan menjawab
berbagai pertanyaan dan tujuan penelitian ini dan juga rekomendasi berupa
implikasi kebijakan serta saran penelitian lanjutan. Untuk kesimpulan penelitian,
dapat diuraikan sebagai berikut :
(1) Penangkapan udang di Laut Arafura secara umum saat ini pada kondisi
“economomic overfishing” atau tangkap lebih secara ekonomis.
(2) Secara keseluruhan kondisi effort di Laut Arafura telah melebihi dari
tingkat yang seharusnya, sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan
perikanan di kawasan ini masih di bawah tingkat optimal atau berada
dalam kondisi sub optimal. Hal ini dapat dilihat dari kondisi terakhir tahun
2005 tingkat effort nya sebesar 106500 day- fish yang sudah di atas
tingkat optimal sekitar 74.000 day –fish.
(3) Kondisi economic overfishing juga dapat dilihat dari fluktuasi produksi
aktual yang melebihi produksi lestari dan rente ekonomi yang menurun
pada saat pengelolaan perikanan tersebut dipaksakan ke kondisi maximum
sustainable yield, yaitu dalam kondisi biaya per unit effort lebih besar dari
penerimaan.
(4) Sebagaimana diprediksi secara teori, rezim pengelolaan dengan MEY akan
menghasilkan rente ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rezim
pengelolaan MSY dan Open Access. Jika perikanan udang di laut Arafura
dikendalikan dengan effort pada level MEY, produksi dapat ditingkatkan
101
dari kondisi aktual dengan mengurangi effort sekitar 32500 day-fish dari
kondisi saat ini.
(5) Apabila pengelolaan perikanan untuk jangka menengah dilaksanakan
dengan pendekatan bioekonomi optimal dinamik dengan memasukan
faktor suku bunga bank, surplus ekonomi dari pengelolaan sumber daya
udang di Laut Arafura dapat lebih ditingkatkan sampai Rp 363.2 Milyar
per tahun dan terjadi peningkatan produksi dan effort sedikit lebih banyak
dari kondisi MEY.
(6) Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari perbandingan ketiga rezim
pengelolaan, maka untuk kondisi perikanan udang di Laut Arafura,
pengelolaan dalam kerangka dinamik lebih dapat diterima (make sense)
karena memberikan manfaat ekonomi yang tinggi dengan sedikit
memberikan ruang untuk meningkatkan effort, namun tetap masih
dibawah tingkat effort pada kondisi open access.
(7) Analisis juga menunjukkan adanya kondisi inefisiensi atau overcapacity,
yang dapat terlihat dari fluktuasi angka efisiensi dari tahun 1986 sampai
dengan 2003, dimana sebagian besar angka efisiensi rendah (di bawah 0.7)
dan hanya pada tahun 2000 sampai 2003 mengalami kondisi baik.
Inefisiensi dapat dilihat pula dari data tiap kapal (short run), dimana hanya
30% dari jumlah kapal yang efisien dan selebihnya kurang efisien. Hal ini
menunjukan bahwa kondisi perikanan udang di L. Arafura pada tahun
2003 mengalami excess capacity. Kondisi tersebut menjadi overcapacity
mengingat sejak tahun 2003 sampai tahun 2005 tidak ada kebijakan
pengurangan jumlah kapal.
102
(8) Efisiensi secara umum bisa ditingkatkan dengan cara mengurangi effort
(hari trip) sebesar 11.17%, pengurangan GT sebesar 15.45%, penurunan
umur sebesar 17.74%, penurunan biaya sebesar 16.34%. Khusus berkaitan
dengan biaya, mengandung arti bahwa saat ini biaya penangkapan udang
terlalu tinggi (high cost). Effort, GT dan umur merupakan variabel yang
dapat dijadikan instrumen pengendalian kapasitas.
(9) Hasil analisis seasonal closure menunjukkan bahwa musim panen yang
baik adalah pada Agustus, September dan Oktober. Demikian pula dapat
dikatakan bahwa musim penangkapan terjelek terjadi pada bulan April
sampai dengan Juli. Apabila akan diadakan pengurangan kapasitas
penangkapan, maka yang terbaik dilakukan penutupan musim adalah
antara bulan April sampai dengan Juli. Penutupan pada bulan Juni
memungkinkan terjadinya pertumbuhan yang cukup untuk dipanen pada
bulan Juli dan selanjutnya. Disamping itu penutupan musim satu bulan
adalah berarti mengurangi effort dalam fishing days maksimal sebesar 8%.
(10) Ketiga alternatif kebijakan meliputi pengurangan jumlah kapal
dengan prioritas kapal berusia di atas 30 th, penerapan kuota (pengurangan
produksi penangkapan dari MSY sebesar 5%) dan penutupan musim
penangkapan pada bulan Juni, merupakan kebijakan dengan instrumen
incentive blocking. Kebijakan tersebut terbukti efektif sebagai upaya
pengurangan overcapacity dan berdampak positif secara ekonomis dilihat
dari sasaran kebijakan pemerintah dalam pro poor dan pro growth.
Kebijakan tersebut efektif untuk jangka menengah, sedangkan untuk
jangka panjang perlu diterapkan instrumen kebijakan incentive adjusting
103
dalam bentuk pengenaan pajak yang lebih besar dibandingkan pengenaan
PHP yang berlaku saat ini.
5.2 Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian dapat direkomendasikan beberapa hal penting
sebagai berikut.
(1) Untuk menangani permasalahan overfishing dan overcapacity di wilayah
Arafura, maka diperlukan langkah penerapan incentive blocking
instruments untuk mengatasi problema jangka menengah (lima tahun ke
depan dari saat ini) dan incentive adjusting instruments untuk jangka
panjang. Langkah-langkah penerapan incentive blocking instruments yang
merupakan upaya pengendalian dilaksanakan melalui tiga alternatif
pengelolaan yaitu: (1) pengurangan jumlah kapal; (2) penerapan kuota dan
(3) penutupan musim penangkapan. Incentive adjusting isntruments dalam
bentuk pajak hasil tangkapan dan ITQ dapat dilaksanakan setelah lima
tahun pelaksanaan incentive blocking instruments berhasil.
(2) Perlunya menurunkan kapasitas perikanan pada tingkat yang bisa ditolelir
sumberdaya yakni pada kisaran 74300 sampai 77500 day-fished untuk
tingkat effort (antara titik referensi MEY dan MSY). Dengan perhitungan
fishing days = 300/kapal/tahun, jumlah kapal pukat udang dikendalikan
antara 248 kapal sampai 258 kapal. Secara operasional untuk
mengimplementasikan rekomendasi tersebut perlu ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, sesuai dengan ketentuan
104
Undang-Undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan pasal 7
(Sekretariat Negara, 2004).
(3) Pengelolaan perikanan udang seyogyanya dilaksanakan dengan
mekanisme yang adaptif dengan mengikuti perkembangan dinamika dari
sumber daya udang dan komponen input yang digunakan. Untuk itu
diperlukan alternatif pengelolaan yang ditentukan secara bertahap dengan
urutan mulai dari penutupan musim penangkapan, pengurangan jumlah
kapal dan penerapan kuota. Penutupan musim dilakukan pada bulan Juni.
Apabila penutupan musim tidak efektif, maka diberlakukan pengurangan
jumlah kapal. Jumlah kapal pukat udang yang saat ini diberikan izin
sejumlah 355 kapal dikurangi secara bertahapa dengan prioritas mulai dari
yang berumur di atas 30. Penerapan kuota dapat saja dilaksanakan dengan
mengurangi jumlah produksi aktual (jumlah penangkapan) sebesar 5% dari
total produksi.
(4) Instrumen kebijakan incentive adjusting dapat diberlakukan dalam jangka
panjang, terutama penerapan tax sebesar 10%, sejalan dengan kebijakan
pemerintah yang sedang digulirkan saat ini dengan strategi industrialisasi
perikanan dalam negeri, yang dibarengi dengan penghentian izin kapal
asing pada tahun 2007 dan joint investment. Dengan kebijakan tersebut,
maka sasaran tiga pilar strategi pemerintah di sektor perikanan yaitu pro
job, pro poor dan pro growth dapat tercapai.
(5) Perlu dilakukan penelitian lanjutan atau penelitian sejenis untuk
melengkapi hasil penelitian penulis, terutama pengujian tiap alternatif
sehingga diperoleh kesimpulan kebijakan yang paling baik (feasible) dan
105
penelitian berkaitan dengan permodelan biologi udang di L. Arafura agar
dampak dari tiap alternatif kebijakan dapat diprediksi pemulihan stoknya.
106
DAFTAR PUSTAKA
[AFMA] Australia Fisheries Management Authority. 2003. Northern Prawn
Fishery, by Catcth Action Plan. Canberra: The Northern Prawn Fishery
Management Advisory Committee.
Anderson LG. 1977. The Economics of Fisheries Management. London: The
John Hopkins University Press, Baltimore.
___________. 1981. Economic Analysis For Fisheries Management Plans.
London: Ann Abror Science, Publishers Inc, Butterworth.
Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan-
Pencemaran [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Bailey C, Dwiponggo A, Marahudin F. 1987. Indonesia Marine Capture
Fisheries. International Center for Living Aquatic Resources Management.
Manila.
Ballard K and Blomo V. 1978. Estimating The Structure of Capacity Utilization
in The Fsihing Industry. Washington DC: Mar. Fish. Rev., 40(8): 29-34.
Ballard K and Roberts J. 1977. Empirical Estimation of The Capacity Utilization
Rates of Fishing Vessels in 10 Major Pacific Fisheries. Washington DC:
National Marine Fisheries Service.
Banxia. 2003. Efficiency Analysis Software. New York: Banxia Software Ltd,
UK.
Chapman L and Beare S. 2001. Optimal Fisheries Management Instruments
under Biological Uncertainty. Canberra: ABARE Conference Paper.
Charles A. 2001. Sustainable Fishery System. New York: Blackwell Science,
UK.
Clark CW. 1976. Mathematical Bioeconomics: The Optimal Management of
Renewable Resources. New York: John Wiley and Son.
_________. 1985. Bioeconomics Modelling and Fisheries Management. New
York: John Willey and Sons.
Commonwealth of Australia. 1989. New Directions for Commonwealth Fisheries
Management in The 1990s. A Government Policy Statement December 1989.
Canberra: Australian Government Publishing Service.
107
Cooper WC, Seiford, LM, Tone, Kaoru. 2004. Data Envelopment Analysis.
Massachusets: Kluwer Academic Publisher.
Dann T and Sean, Pascoe S. 1994. A Bioeconomic Model of The Northern Prawn
Fishery. Canberra: ABARE Research Report 94.13.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Statistik Perikanan Tangkap tahun
2003. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan
dan Perikanan.
__________________________________. 2004. Kajian Penetapan Isobath 10
Meter di Laut Arafura untuk Menuju Perikanan Tangkap Berkelanjutan.
Laporan Akhir Kegiatan Penyelenggaraan Fisheries Management. Jakarta:
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan
Perikanan.
Die D and Bishop J. 1999. Status of Tiger Prawn Stocks at The End of 1998.
Queensland: NPFAG working paper 99/1.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 1995. Code of
Conduct for Responsible Fisheries. Rome: FAO.
____________________________________________________. 1997. Fisheries
Management. Rome: FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries
(4).
____________________________________________________. 1998. Report
of the Technical Working Group on the Mangement of Fishing Capacity.
Rome: FAO Fisheries Report No. 586.
____________________________________________________. 2003.
Fisheries Management: The Ecosystem Approach to Fisheries. Rome: FAO
Technical Guidelines for Responsible Fisheries (4, Suppl. 2).
____________________________________________________. 2001.
Internasional Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Ilegal,
Unreported and Unregulated Fishing. Rome: FAO.
Fauzi A. 2001. Model Pengelolaan Sumber Daya Ikan di Laut Arafura melalui
Hamon dan Wheelen. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
_______. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan
Aplikasi. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.
_______. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Isu, Sintesis dan Gagasan.
Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.
108
Fauzi A dan Suzy Anna. 2005. Permodelan Sumber Daya Perikanan dan
Kelautan: untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: P.T. Gramedia Pustakan
Utama.
Fisher S. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak.
Jakarta: The British Council.
Garcia, S.M. & C. Newton. 1994. Current sitiuation, trends and prospects in
world captures fisheries. In: Pikitch, E.K., D.D. Huppert & M.P. Sissenwine
(ed), Global trends in fisheries management. American Fisheries Society
Symposium, 20, Bethesda, Maryland: 3-27.
Goodey P and Galeano D. 2003. A Fremework for Assessing Economic
Performance Fisheries Management. Canberra: ABARE Report 03.7, hal
15-16.
Gordon HS. 1953. An Economic Approach to The Optimum Utilization of
Fishery Resources. Journal Fishery Resources. Canada.
_________. 1954. The Economics of A Common Property Resource: The
Fishery. Journal Political Economy. Canada.
Graham M. 1935. Modern Theory Of Exploiting A Fishery And Application To
North Sea Trawling. Journal Cons. Int. Explor. Canada.
Greboval D. 1999. Managing Fishing Capacity. Rome: FAO Fisheries Technical
Papers 386.
Griffin W. 1983. The Texas Shrimp Fishery: Analysis of Six Management
Alternatives Using The General Bioeconomic Fishery Simulation Model
(GBFSM). Texas: Texas A&M University.
Gulland J.A. 1973. Some notes on the assessment and management of Indonesian
fisheries. FAO. Rome.
[HPPI] Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia. 2004. Data-data
Tangkapan Anggota HPPI. Jakarta: HPPI.
Hsia-Chiang L. 1976. The demersal fish stocks of the waters of north and
northwest Australia. Acta Oceanographica Taiwanica 6:128-134.
Hsu T. 2003. Simple Capacity Indicators for Peak to Peak and Data
Envelopment Analysis of Fishing Capacity. Rome: FAO fisheries technical
report, No 443.
109
[IPB] Institut Pertanian Bogor. 2004. Studi Lingkungan Wilayah Laut Banda,
Aru dan Arafura. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap,
Departemen Kelautan dan Perikanan.
King M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. London:
Fishing News Book.
Naamin N, Noer S. 1980. The status of shrimp fishery in the Arafura Sea. In
report of the Workshops on the Biology and Resources of Penaid Shrimps in
the South China Sea Area. South China Sea Fisheries Development and
Coordinating Programme, Manila.
Naamin N. 1984. Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis de
Man) di Perairan Arafura dan Alternatif Pengelolaannya [disertasi].
Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, 281 hal.
Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta:
Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dan PT Pustaka
Cidesindo, Jakarta.
Pascoe S, Kirkley JE, Greboval D, Morrison-Paul CJ. 2003. Measuring and
Assessing Fishing Capacilty in Fisheries. Rome: FAO Fisheries Technical
Paper 433/2.
Pascoe S, Greboval D. 2003. Measuring Fishing Capacity in Fisheries. Rome:
FAO Technical Paper 445.
Pascoe S, Greboval D, Kirkley J, Lindebo E. 2004. Measuring and Appraising
Capacity in Fisheries: Framework, Analytical Tools and Data Aggregation.
Rome: FAO Fisheries Circular No. 994.
Pitcher, Tony J. 1998. Reinventing Fisheries Management. London: Kluwer
Academic Publisher.
Purwanto. 1987. Bio-ekonomi Penangkapan Ikan: Model Dinamik. Jurnal
Oseana, Volume XIV, Nomor 3: 93-100.
________. 1984. Rente Ekonomi dan Pengusahaan Sumberdaya Perikanan
Lemuru di Selat Bali. Jurnal Ekonomi Lingkungan I (3). 28-39.
________. 1997. Economic Optimisation in Prawn Fisheries. [Ph.D Thesis].
Queensland: Departement of Economics, James Cook University of North
Queensland.
Schaefer MB. 1954. Some Aspects of The Dynamics of The Populations
Important to The Management of Comercial Marine Fisheries. Bull. Inter-
Amer. Trop. Tunna Comm.
110
___________. 1957. Some Considerations of Population Dynamics and
Economics in Relation to The Management of Marine Fisheries. J. Fish.
Res. Board. Can.
Seijo JC, Defeo O, Salas S. 1998. Fisheries Bioeconomics: Theory, Modelling
and Management. Rome: FAO Fisheries Technical Paper 368.
[Setneg] Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1980. Keputusan Presiden R.I.
tentang Penghapusan Jaring Trawl Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia.
_______________________________________. 1982. Keputusan Presiden R.I.
tentang Penggunaan Pukat Udang. Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia.
_______________________________________. 2002. Peraturan Pemerintah
Nomor 54 tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. Jakarta: Sekretariat
Negara Republik Indonesia.
_______________________________________. 2004. Undang-undang Nomor
31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia.
Smith CL and Hanna SS. 1990. Measuring Fleet Capacity and Capacity
Utilization. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science, Vol 47.
Sumiono B. 2003. Evaluasi Sumberdaya Perikanan Demersal dan Udang di
Laut Arafura. Jakarta: Balai Riset Perikanan Laut.
Taylor B and Die D. 1999. Northern Prawn Fishery:1997and 1998 Fisheries
Assessment Report. Canberra: AFMA.
Uktolseja R. 1978. Perkembangan catch dan effort penangkapan udang (Windu,
Putih, Dogol) di perairan Irian Jaya 1974-1976. Simposium modernisasi
perikanan rakyat. Jakarta.
Wang YG and Die D. 1996. Stock-Recruitment Relationships of The Tiger
Prawns (Penaeus esculatus and Penaeus semisulcatus) in The Australian
Northern Prawn Fishery. Australian Journal of Marine and Freshwater
Research, vol. 47, pp. 87-95.
Ward JM and Sutinen JG. 1994. Vessel Entry-Exit Behavior in the Gulf of
Mexico Shrimp Fishery. Amer. J. Agr. Econ. 76(November 1994): 916-923.
Ward, J.M., Kirkley, J.E., Metzner, R, Pascoe, S. 2004. Measuring and assessing
capacity in fisheries, basic concept and management options. FAO Fisheries
Technical Paper. No.4331/1. Rome.
111
Widodo J, Purwanto, Nurhakim S. 2001. Evaluasi Penangkapan Ikan di Perairan
ZEEI Arafura: Pengkajian Sumberdaya Ikan Demersal. Direktorat Jenderal
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Wilen JE. 1985. Toward A Theory of Regulated Fishery. Journal of Marine
Resource Economics, Vol 1, no 4, pp. 369-388.
112
Lampiran 1. Algoritma Maple bioekonomi perikanan udang di L. Arafura
> restart;
> r:=1.478446602; K:=27072; q:=0.0000075;p:=43.5;
c:=2.17;delta:=0.08; := r 1.478446602
:= K 27072
:= q .75 10-5
:= p 43.5
:= c 2.17
:= δ .08
> hs:=q*K*E*(1-(q*E)/r);
:= hs .2030400 E ( ) − 1 .5072892041 10-5 E
> Emax:=diff(hs,E);
:= Emax − .2030400 .2060000000 10-5 E
> Esus:=solve(Emax=0,E); := Esus 98563.10680
> hsus:=q*K*Esus*(1-(q*Esus)/r); := hsus 10006.12660
> pisus:=p*hsus-c*Esus; := pisus 221384.5653
> pi:=p*hs-c*E;
:= π − 8.83224000 E ( ) − 1 .5072892041 10-5 E 2.17 E
> Eoa:=solve(pi=0,E); := Eoa ,0. 148694.1190
> Eoa:=55233.19350; := Eoa 55233.19350
> hoa:=q*K*Eoa*(1-(q*Eoa)/r); := hoa 8072.320775
> Eopt:=diff(pi,E); := Eopt − 6.66224000 .00008960999998 E
> Efopt:=solve(Eopt=0,E); := Efopt 74347.05950
> TR:=p*hs;
:= TR 8.83224000 E ( ) − 1 .5072892041 10-5 E
113
Lampiran 1. Lanjutan
> TC:=c*E; := TC 2.17 E
> plot({TC,TR},E=0..200000);
� plot(hs,E=0..200000);
114
Lampiran 1. Lanjutan
> h:=q*K*Efopt*(1-(q*Efopt)/r);
:= h 9402.117146
> Xopt:=K/2*(1+c/(p*q*K)); := Xopt 16861.67050
> phi:=c/(p*q*K); := φ .2456907874
> rho:=(r*K)/4*(p-(2*c)/(q*K*(1+phi)))*(1-phi)*(1+phi); := ρ 247658.9766
> alpha:=delta/r; := α .05411084843
> xdin:=K/4*(1+phi-alpha+sqrt(((1+phi-
alpha)^2)+(8*phi*alpha))); := xdin 16425.81636
115
Lampiran 1. Lanjutan
� hdin:=(1/c)*xdin*(p*q*xdin-xdin)*(delta-r*(1-2*xdin/K));
� := hdin -.4917535395 108
Lampiran 2. Data kapal pukat udang di L. Arafura
No. Nama KapalJml
hari/tripJml Trip GT Tahun Umur
alat
tangkapKondisi Harga jumlah Tahun harga atbankap jumlah penerimaan solar (kl) oli
GT 100-150 52,16 4 134
1 binama no. 15 57 3 104 1995 9 PU bekas 537.613 3 1995 115.000 trawl winch 1 2.302.333 301 4.200
2 binama no. 12 57 4 105 1994 10 PU bekas 542.782 3 1994 115.000 trawl winch 1 2.290.999 299 5.200
3 binama no. 1 56 5 137 1975 29 PU baru 5.975.807 3 1975 115.417 trawl winch 1 3.426.516 500 5.400
4 binama no. 10 56 4 137 1980 24 PU baru 5.468.390 3 1980 118.000 trawl winch 1 3.078.653 398 4.800
5 binama no. 2 60 3 137 1975 29 PU baru 5.975.807 3 1975 115.417 trawl winch 1 2.296.237 326 3.600
6 binama no. 3 56 4 137 1977 27 PU baru 5.883.898 3 1977 115.000 trawl winch 1 2.804.890 424 5.600
7 binama no. 5 57 5 137 1975 29 PU baru 5.885.898 3 1975 117.000 trawl winch 1 3.559.718 499 4.200
8 binama no. 6 60 3 137 1975 29 PU baru 5.768.898 3 1975 117.000 trawl winch 1 2.656.957 299 4.600
9 binama no. 7 60 3 137 1976 28 PU baru 5.819.688 3 1976 117.000 trawl winch 1 2.287.035 300 3.800
10 binama no. 8 57 4 137 1977 27 PU baru 5.819.688 3 1977 118.000 trawl winch 1 2.860.979 300 3.000
11 khamsin A 32 9 118 2002 2 PU bekas 1.027.995 6 2002 trawl winch 2 3.718.565 995 3.200
12 minaraya no. 16 49 4 142 1973 31 PU baru 10.009.686 6 1973 370.000 Trawl winch 1 1.502.274 190 3.135
13 Mina raya no, 11 52 3 143 1972 32 PU baru 2.708.800 6 1972 370.000 Trawl winch 1 1.460.259 115 3.768
14 Mina raya no, 14 28 4 146 1972 32 PU baru 1.946.950 6 1966 370.000 Trawl winch 1 929.698 190 4.598
15 Mina raya no. 21 45 2 149 1978 26 PU baru 1.200.000 6 1978 370.000 Trawl winch 1 916.146 90 4.389
Rata-rata 52 4 134 24 348 4.233
GT 151-200 53 6 165
1 arafura pearl 30 9 151 2000 4 PU bekas 1.513.324 6 2000 trawl winch 2 2.887.565 911 3.200
2 aru pearl 40 7 151 2000 4 PU bekas 1.513.324 6 2000 Trawl winch 2 3.522.835 964 2.800
3 banda pearl 39 7 151 2000 4 PU bekas 1.513.324 6 2000 trawl winch 2 4.270.479 846 2.800
4 seram pearl 31 9 151 2000 4 PU bekas 1.513.324 6 2000 trawl winch 1 3.352.015 1.017 3.200
5 Toyo 15 62 5 152 1974 30 PU baru 4.590.000 2 1974 trawl winch 2 3.124.512
6 Toyo 16 68 5 152 1974 30 PU baru 4.590.000 2 1974 trawl winch 2 2.444.729
7 Toyo 17 60 5 152 1974 30 PU baru 4.590.000 2 1974 trawl winch 2 3.311.795
8 nusantara maju 68 5 156 1973 31 PU baru 442.912 6 1973 Trawl winch 2 3.067.524 613 5.500
9 nusantara utama 69 4 156 1973 31 PU baru 770.987 6 1973 Trawl winch 2 2.839.752 459 4.400
10 nusa aman 1 65 5 157 1994 10 PU baru 204.820 6 1994 Trawl winch 2 3.557.250 646 6.000
11 nusa aman 2 66 5 157 1994 10 PU bekas 204.820 6 1994 Trawl winch 2 3.356.424 664 6.000
12 nusantara bina 65 4 163 1977 27 PU baru 641.543 6 1977 Trawl winch 1 3.260.304 565 4.800
13 nusantara megah 65 4 163 1977 27 PU bekas 566.266 6 1977 Trawl winch 2 2.458.512 546 4.800
14 evia pearl 32 8 166 2000 4 PU bekas 1.513.324 6 2000 Trawl winch 2 3.559.866 954 3.000
15 napier pearl 29 9 166 2000 4 PU bekas 1.513.324 6 2000 Trawl winch 2 3.359.378 887 3.200
16 nusa asri 68 5 166 1999 5 PU bekas 310.850 6 1999 Trawl winch 2 4.080.456 680 6.000
17 nusa ayu 70 5 166 1999 5 PU bekas 310.850 6 1999 Trawl winch 2 3.582.522 702 6.000
18 merbah 54 4 170 1980 24 PU bekas 3 1980 1.881.399 309 10.100
19 nusantara guna 171 1982 22 PU baru 1.189.196 6 1982 Trawl winch 2
20 nusantara perdana 171 1982 22 PU baru 1.261.907 6 1982 Trawl winch 2
21 toyo 21 65 5 177 1996 8 PU bekas 210.000 2 1996 trawl winch 2 2.879.410
22 Mina raya no. 18 38 4 198 1973 31 PU baru 188.000 6 1973 370.000 Trawl winch 1 1.788.804 642 7.518
23 Mina raya no. 20 35 3 198 1974 30 PU baru 12.199.305 6 1974 370.000 Trawl winch 1 1.156.412 465 6.479
24 minaraya no. 17 47 4 198 1973 31 PU baru 188.000 6 1973 370.000 Trawl winch 1 1.168.464 411 7.524
53 6 165 1986,167 18 1.806.061 5 1986,167 370.000 2 2.950.473 682 5.185
110
No. Nama KapalJml
hari/tripJml Trip GT Tahun Umur
alat
tangkapKondisi Harga jumlah Tahun harga atbankap jumlah penerimaan solar (kl) oli
GT 200-300 61 5 239
1 binama no. 16 66 4 204 1999 5 PU bekas 11.524.310 3 1999 120.000 trawl winch 1 3.913.499 697 5.200
2 toyo 53 60 6 206 1987 17 PU bekas 90.000 2 1987 trawl winch 2 2.559.254
3 merawal II 63 4 229 1982 22 PU bekas 3 1982 2.195.435 1 7.200
4 nusantara agung 72 4 233 1971 33 PU bekas 243.098 6 1971 Trawl winch 2 2.988.468 665 5.600
5 merbuk II 65 4 240 1982 22 PU bekas 3 1982 6.509.525 1 8.000
6 mentilau II 61 4 243 1982 22 PU bekas 3 1982 2.971.281 1 8.000
7 binama no. 11 67 4 246 1987 17 PU bekas 9.877.980 3 1987 120.000 trawl winch 1 4.007.578 398 4.800
8 toyo 56 55 6 253 1987 17 PU bekas 50.000 2 1987 trawl winch 2 2.803.707
9 nusantara jaya 2 54 4 260 1996 8 PU bekas 444.874 6 1996 Trawl winch 2 2.209.302 601 6.400
10 toyo 51 63 6 280 1987 17 PU bekas 110.000 2 1987 trawl winch 2 2.858.723
11 Mina raya no. 25 47 5 235 1988 16 PU baru 4.600.000 6 1988 370.000 Trawl winch 1 2.753.230 617 4.598
61 5 239 1986,182 18 3.367.533 4 1986,182 203.333 2 3.251.818 372 6.225
GT >300 46 5 425
1 toyo 23 71 6 306 1997 7 PU bekas 1.152.431 2 1997 trawl winch 2 3.574.723
2 nusantara elok 50 5 450 1999 5 PU bekas 1.322.607 6 1999 Trawl winch 2 2.529.954 944 8.000
3 toyo 57 55 6 490 1992 12 PU bekas 198.000 2 1992 trawl winch 2 2.577.011
4 merpati II 53 5 532 1982 22 PU bekas 3 1982 3.514.841 2 14.800
5 Mina raya no. 22 18 7 352 1978 26 PU baru 112.500 6 1978 370.000 Trawl winch 1 1.807.476 906 6.897
6 Mina raya no. 24 31 3 417 1979 25 PU baru 2.900.000 6 1979 370.000 Trawl winch 1 882.108 481 6.270
rata-rata 46 5 425 1987,833 16 1.137.108 4 1987,833 370.000 2 2.481.019 583 8.992
111
Biaya Pemeliharaan ABK TEBAR/
HARI
operasi/
trip solar(rb) oli(rb) bekal(rb) SIB(rb)
retribusi
(rb)
bongkar
(rb)
tambat
(rb)
pungutan
(rb) upah(rb)
udang
putih
udang
windu
udang
lain
ikan
lainnya cumi
445.667 11.200 15 8 1.284 526.750 42.168 32.000 400 4.000 100 59.592 102.599 5.454 15.207 22.248
438.154 9.200 15 8 1.284 523.250 52.208 32.000 400 4.000 300 60.165 85.046 6.662 15.161 20.936
892.731 19.000 16 8 1.236 875.000 54.216 50.000 1.000 7.500 500 67.614 119.015 5.080 20.054 38.575
756.413 10.600 8 1.188 695.625 48.000 40.000 800 6.000 400 78.501 132.813 1.368 19.611 36.102
534.623 11.400 17 8 1.452 570.500 36.144 30.000 600 4.500 300 78.501 66.779 2.162 16.929 23.540
726.347 15.200 16 8 1.164 741.300 56.000 60.000 800 6.000 400 78.501 55.285 2.612 17.953 31.508
920.880 16.250 25 8 1.212 872.375 42.000 55.000 1.000 7.500 500 78.501 162.130 4.776 21.353 40.031
557.120 7.800 18 8 1.260 523.250 46.184 33.000 600 4.500 300 78.501 76.186 2.462 15.034 31.830
570.146 13.500 18 8 1.260 525.000 36.000 30.000 550 4.500 300 78.501 102.496 3.030 15.993 23.481
535.050 9.000 17 8 1.260 525.000 30.000 30.000 450 4.500 300 78.501 73.500 3.908 17.917 31.352
3.474.777 1.350 9 8 576 1.928.026 76.323 82.319 13.500 3.943 10.800 1.800 78.501 1.358.066 78.146
505.150 12 8 190.000 3.135 3.270 9.550 11.582
368.190 16 7 1.248 281.800 37.800 45.586 2.550 454 3.606 7.739 16.969
427.708 15 8 334.900 46.000 43.797 2.550 462 910 5.897 14.478
463.642 21 378.450 44.100 38.854 1.700 538 3.864 3.447 7.982
774.440 16 8 1.202 632.748 43.352 43.040 1.921 3.943 5.800 475 74.125 212.174 8.487 14.417 25.044
2.437.566 1.350 9 6 360 1.636.652 66.783 73.114 13.500 2.558 10.800 1.800 86.523 632.359 60.282
3.361.601 875 9 6 576 1.909.429 66.783 82.845 10.500 3.596 8.400 1.400 86.523 1.278.648 73.192
3.511.525 1.050 9 6 576 1.314.281 66.783 67.591 10.500 4.588 8.400 1.400 86.523 2.037.982 70.248
2.967.166 1.350 9 6 360 1.866.031 76.323 82.845 13.500 3.269 10.800 1.800 86.523 912.597 88.356
18 7 1.680 87.096 7.252 22.416 26.666 44.740 7.570
18 7 11 87.096 9.588 16.814 18.621 18.240 2.920
18 7 48 87.096 8.728 22.450 28.138 55.700 3.140
2.722.000 495.000 17 8 1.632 1.013.000 99.000 200.000 25.000 50.000 25.000 10.000 89.388 600.000 4.190 25.741 26.875
2.120.000 410.000 17 8 1.560 760.000 72.000 160.000 20.000 32.000 28.000 8.000 89.388 480.000 5.696 23.279 23.613
2.663.000 390.000 18 8 1.536 1.067.000 90.000 176.000 25.000 20.000 25.000 15.000 89.961 600.000 13.406 28.187 24.282
2.766.000 400.000 18 7 1.512 1.096.000 90.000 200.000 25.000 20.000 25.000 15.000 89.961 600.000 9.976 26.290 25.890
2.224.000 320.000 18 8 1.560 932.000 72.000 152.000 20.000 16.000 20.000 12.000 93.399 480.000 3.928 31.973 24.475
2.138.000 320.000 18 9 1.536 902.000 72.000 152.000 16.000 12.000 12.000 12.000 93.399 460.000 7.564 18.435 19.529
3.335.745 1.200 9 6 360 1.680.048 81.093 71.273 13.500 4.087 10.800 1.800 95.118 1.456.262 73.757
2.909.975 1.350 9 6 384 1.698.647 76.322 82.319 13.500 3.361 10.800 1.800 95.118 1.023.226 70.847
2.851.000 520.000 18 8 1.536 1.122.000 108.000 225.000 25.000 40.000 56.000 10.000 95.118 600.000 9.062 35.583 30.919
2.859.000 525.000 18 7 1.584 1.156.000 90.000 225.000 25.000 18.000 10.000 10.000 95.118 600.000 5.476 34.982 25.885
925.203 7 559.168 112.150 89.807 97.410 164.078 7.446 12.002 15.766
97.983
97.983
22 7 2.040 101.421
1.263.394 17 1.106.494 75.000 76.283 4.250 1.367 4.448 10.184 16.204
904.538 17 774.930 63.350 61.810 3.400 1.049 4.136 5.132 10.598
849.369 705.974 73.028 65.744 3.400 1.224 5.924 12.211 20.224
2.378.282 241.941 15 7 1.047 1.183.314 80.590 124.646 15.709 16.390 18.643 6.214 91.816 795.010 25.881 21.712 22.512 39.560 4.543
112
Biaya Pemeliharaan ABK TEBAR/
HARI
operasi/
trip solar(rb) oli(rb) bekal(rb) SIB(rb)
retribusi
(rb)
bongkar
(rb)
tambat
(rb)
pungutan
(rb) upah(rb)
udang
putih
udang
windu
udang
lain
ikan
lainnya cumi
Solar Oli Bekal SIB
Retribu
Bongka Tambat Php
1.497.489 11.200 19 8 1.460 1.219.750 52.000 40.000 400 6.000 400 116.892 198.289 11.046 28.810 33.169
25 7 792 118.038 9.074 18.956 20.659 27.360 2.300
1.372.471 7 1.363.450 63.930 151.674 131.217 182.001 11.376 17.264 12.585
2.458.000 370.000 23 8 1.584 1.098.000 84.000 160.000 20.000 24.000 24.000 8.000 133.509 500.000 6.202 26.020 23.120
1.447.864 7 1.094.459 81.000 85.843 137.520 186.562 80.425 20.854 23.289
1.718.250 7 1.390.419 82.709 94.834 139.239 150.288 10.786 24.025 20.753
1.109.685 16.800 19 8 1.508 695.625 66.000 60.000 800 6.000 800 140.958 94.347 3.652 30.741 40.005
23 7 936 144.969 9.338 21.266 26.973 28.090 4.020
2.344.000 320.000 22 8 840 992.000 96.000 142.000 20.000 16.000 20.000 8.000 148.980 500.000 5.242 19.670 16.001
25 7 1.464 160.440 10.992 18.497 22.766 34.260 1.940
980.211 19 839.532 44.328 91.360 4.250 741 6.536 15.792 27.100
1.615.996 179.500 22 7 1.226 1.086.654 71.246 103.214 9.090 20.000 14.000 3.588 137.176 258.784 14.970 21.990 24.220 29.903 2.753
26 7 48 175.338 16.400 24.099 28.602 31.690 8.490
3.906.000 350.000 24 8 1.008 1.554.000 96.000 225.000 25.000 30.000 30.000 257.850 476.000 7.886 20.837 18.128
31 7 288 280.770 12.892 19.161 22.474 55.938 7.240
3.396.231 27 7 2.872.853 149.760 167.851 304.836 205.768 22.347 22.107 21.754
1.684.117 18 1.545.252 66.476 66.890 4.150 1.349 4.470 10.408 16.404
974.029 14 853.662 62.000 55.047 2.550 770 2.472 4.703 8.188
2.490.094 350.000 23 7 448 1.706.442 93.559 128.697 3.350 25.000 30.000 10.706 254.699 340.884 11.078 16.886 19.258 43.814 7.865
113
lobster udang putih
(rb)
udang
windu (rb)
udang lain
(rb)
ikan
lainnya
(rb)
cumi (rb) lobster
(rb) kasko mesin
alat
tangkap
alat
bantu
279.790 821.151 1.201.392 4.000 6.000 800 400
341.761 818.694 1.130.544 4.000 4.000 800 400
260.604 1.082.889 2.083.023 7.500 8.000 2.500 1.000
70.178 1.058.967 1.949.508 4.500 4.800 1.500 600
110.911 914.166 1.271.160 4.500 4.800 1.500 600
133.996 969.462 1.701.432 6.000 6.400 2.000 800
245.009 1.153.035 2.161.674 5.000 7.500 2.500 1.250
126.301 811.836 1.718.820 3.000 3.000 1.200 600
155.439 863.622 1.267.974 4.500 7.500 900 600
200.480 967.491 1.693.008 3.000 4.500 900 600
3.718.565 450 450 225 225
374.088 924.343 203.843
412.526 749.087 298.646
104.104 570.781 254.813
442.042 333.621 140.483
465.053 859.939 1.219.737 4.223 5.177 1.348 643
2.887.565 450 450 225 225
3.522.835 350 175 175 175
3.352.015 350 350 175 175
4.270.479 450 450 225 225
372.028 1.210.464 1.439.937 84.013 18.070
491.864 907.929 1.005.507 32.659 6.770
447.746 1.212.300 1.519.452 122.414 9.883
226.260 1.390.014 1.451.250 330.000 140.000 25.000
307.584 1.257.066 1.275.102 280.000 110.000 20.000
723.924 1.522.098 1.311.228 240.000 125.000 25.000
538.704 1.419.660 1.398.060 250.000 125.000 25.000
212.112 1.726.542 1.321.650 200.000 100.000 20.000
408.456 995.490 1.054.566 200.000 100.000 20.000
3.559.866 400 400 200 200
3.359.378 450 450 225 225
489.348 1.921.482 1.669.626 350.000 125.000 45.000
295.704 1.889.028 1.397.790 350.000 125.000 50.000
381.954 648.081 851.364
508.851 994.763 285.190
473.158 496.729 186.525
669.698 367.646 131.120
1.309.501 1.197.286 1.086.558 79.696 11.574 408 157.305 67.945 16.516
114
lobster udang putih
(rb)
udang
windu (rb)
udang lain
(rb)
ikan
lainnya
(rb)
cumi (rb) lobster
(rb) kasko mesin
alat
tangkap
alat
bantu
566.660 1.555.713 1.791.126 6.000 4.000 400 800
465.496 958.365 1.080.918 47.815 6.660
583.589 932.256 679.590
334.908 1.405.080 1.248.480 250.000 100.000 20.000
4.125.803 1.126.116 1.257.606
553.296 1.297.323 1.120.662
187.348 1.659.987 2.160.243 6.500 7.500 2.000 800
89.507 475.756 981.963 1.273.455 59.263 13.270 283.068 1.062.180 864.054 200.000 100.000 20.000
563.890 998.811 1.229.364 60.328 6.330
747.718 1.528.569 476.942
89.507 807.957 1.227.851 1.198.404 55.802 8.753 6.250 115.375 50.600 10.400
819.979 1.200.231 1.458.189 70.406 25.918
425.844 1.125.198 978.912 225.000 75.000 50.000
661.257 877.986 914.788 100.450 22.531
1.146.401 1.193.751 1.174.689
511.368 1.007.398 288.710
282.797 455.202 144.109
641.274 976.628 826.566 85.428 24.224 225.000 75.000 50.000
115
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang
119
Model Name = CCR-I In Rank order
No. DMU Score Rank Rank DMU Score
1 binama no. 15 1 1 1 binama no. 11 1
2 binama no. 12 1 1 1 binama no. 15 1
3 binama no. 1 0,985674 14 1 binama no. 12 1
4 binama no. 10 1 1 1 merbuk II 1
5 binama no. 2 0,95848 16 1 binama no. 10 1
6 binama no. 3 0,908425 19 1 binama no. 16 1
7 binama no. 5 1 1 1 nusa asri 1
8 binama no. 6 1 1 1 binama no. 5 1
9 binama no. 7 0,909066 18 1 binama no. 6 1
10 binama no. 8 1 1 1 nusantara bina 1
11 khamsin A 1 1 1 binama no. 8 1
12 minaraya no. 16 0,615854 33 1 khamsin A 1
13 Mina raya no, 11 0,741987 29 1 Mina raya no. 21 1
14 Mina raya no, 14 0,467863 39 14 binama no. 1 0,985674
15 Mina raya no. 21 1 1 15 nusa ayu 0,98311
16 nusantara maju 0,820084 22 16 binama no. 2 0,95848
17 nusantara utama 0,795926 24 17 nusa aman 1 0,912921
18 nusa aman 1 0,912921 17 18 binama no. 7 0,909066
19 nusa aman 2 0,855143 20 19 binama no. 3 0,908425
20 nusantara bina 1 1 20 nusa aman 2 0,855143
21 nusantara megah 0,67051 31 21 mentilau II 0,82521
22 nusa asri 1 1 22 nusantara maju 0,820084
23 nusa ayu 0,98311 15 23 nusantara jaya 2 0,81619
24 merbah 0,548004 37 24 nusantara utama 0,795926
25 Mina raya no. 18 0,625536 32 25 Mina raya no. 25 0,785877
26 Mina raya no. 20 0,588284 35 26 merpati II 0,771825
27 minaraya no. 17 0,557114 36 27 nusantara elok 0,768303
28 binama no. 16 1 1 28 Mina raya no. 22 0,763095
29 merawal II 0,607788 34 29 Mina raya no, 11 0,741987
30 nusantara agung 0,738761 30 30 nusantara agung 0,738761
31 merbuk II 1 1 31 nusantara megah 0,67051
32 mentilau II 0,82521 21 32 Mina raya no. 18 0,625536
33 binama no. 11 1 1 33 minaraya no. 16 0,615854
34 nusantara jaya 2 0,81619 23 34 merawal II 0,607788
35 Mina raya no. 25 0,785877 25 35 Mina raya no. 20 0,588284
36 nusantara elok 0,768303 27 36 minaraya no. 17 0,557114
37 merpati II 0,771825 26 37 merbah 0,548004
38 Mina raya no. 22 0,763095 28 38 Mina raya no. 24 0,509398
39 Mina raya no. 24 0,509398 38 39 Mina raya no, 14 0,467863
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang
120
No. of DMUs = 39
No. of Input items = 4
Input(1) = HARI TRIP
Input(2) = GT
Input(3) = UMUR
Input(4) = BIAYA
No. of Output items = 4
Output(1) = PENDAPATAN
Output(2) = PUTIH
Output(3) = WINDU
Output(4) = LAIN
Returns to Scale = Constant (0 =< Sum of Lambda < Infinity)
Statistics on Input/Output Data
HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN
Max 351,000 532,000 33,000 3906000,000 6509524,500 80425,000 35583,000 40031,000
Min 90,000 104,000 2,000 368190,000 882107,600 910,000 3447,000 7982,000
Average 228,692 197,231 21,769 1507447,455 2681327,632 7855,557 18499,675 23087,495
SD 68,731 93,003 9,585 993808,189 1088039,704 12402,181 8150,653 8210,960
Correlation
HARI TRIP GT UMUR BIAYA PENDAPATAN PUTIH WINDU LAIN
HARI TRIP 1,000 -0,100 -0,437 0,647 0,747 0,197 0,814 0,480
GT -0,100 1,000 -0,109 0,436 -0,004 0,225 -0,002 -0,265
UMUR -0,437 -0,109 1,000 -0,509 -0,396 -0,107 -0,418 -0,060
BIAYA 0,647 0,436 -0,509 1,000 0,427 0,155 0,537 -0,080 PENDA PATAN 0,747 -0,004 -0,396 0,427 1,000 0,636 0,703 0,558
PUTIH 0,197 0,225 -0,107 0,155 0,636 1,000 0,165 -0,003
WINDU 0,814 -0,002 -0,418 0,537 0,703 0,165 1,000 0,628
LAIN 0,480 -0,265 -0,060 -0,080 0,558 -0,003 0,628 1,000
DMUs with inappropriate Data with respect to the chosen Model
No. DMU
None
No. of DMUs 39
Average 0,834113
SD 0,167876
Maximum 1
Minimum 0,467863
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang
121
Frequency in Reference Set
Peer set Frequency to other DMUs
binama no. 15 6
binama no. 12 0
binama no. 10 5
binama no. 5 4
binama no. 6 1
binama no. 8 3
khamsin A 1 Mina raya no. 21 17
nusantara bina 6
nusa asri 8
binama no. 16 7
merbuk II 21
binama no. 11 8
No. of DMUs in Data = 39
No. of DMUs with inappropriate Data = 0
No. of evaluated DMUs = 39
Average of scores = 0,8341135
No. of efficient DMUs = 13
No. of inefficient DMUs = 26
No. of over iteration DMUs = 0
[CCR-I] LP started at 05-24-2005 11:58:32 and completed at 05-24-2005 11:58:32
Elapsed time = 0 seconds
Total number of simplex iterations = 356
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang
122
No. DMU Score
I/O Data Projection Difference %
1 binama no. 15 1
HARI TRIP 171 171 0 0,00%
GT 104 104 0 0,00%
UMUR 9 9 0 0,00%
BIAYA 445666,6 445666,6 0 0,00%
PENDAPATAN 2302333 2302333 0 0,00%
PUTIH 5454 5454 0 0,00%
WINDU 15206,5 15206,5 0 0,00%
LAIN 22248 22248 0 0,00%
2 binama no. 12 1
HARI TRIP 228 228 0 0,00%
GT 105 105 0 0,00%
UMUR 10 10 0 0,00%
BIAYA 438154,4 438154,4 0 0,00%
PENDAPATAN 2290999 2290999 0 0,00%
PUTIH 6662 6662 0 0,00%
WINDU 15161 15161 0 0,00%
LAIN 20936 20936 0 0,00%
3 binama no. 1 0,985674
HARI TRIP 281 276,3526 -4,64741 -1,65%
GT 137 135,0373 -1,96271 -1,43%
UMUR 29 28,27293 -0,72707 -2,51%
BIAYA 892730,9 879941,4 -12789,5 -1,43%
PENDAPATAN 3426516 3461912 35395,56 1,03%
PUTIH 5080 5080 0 0,00%
WINDU 20053,5 20708,97 655,4733 3,27%
LAIN 38574,5 38574,5 0 0,00%
4 binama no. 10 1
HARI TRIP 222 222 0 0,00%
GT 137 137 0 0,00%
UMUR 24 24 0 0,00%
BIAYA 756412,9 756412,9 0 0,00%
PENDAPATAN 3078653 3078653 0 0,00%
PUTIH 1368 1368 0 0,00%
WINDU 19610,5 19610,5 0 0,00%
LAIN 36102 36102 0 0,00%
5 binama no. 2 0,95848
HARI TRIP 180,99 173,4753 -7,51474 -4,15%
GT 137 126,806 -10,194 -7,44%
UMUR 29 13,28963 -15,7104 -54,17%
BIAYA 534623,2 512425,6 -22197,7 -4,15%
PENDAPATAN 2296237 2296237 0 0,00%
PUTIH 2162 5457,487 3295,487 152,43%
WINDU 16929 16929 0 0,00%
LAIN 23540 25317,05 1777,054 7,55%
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang
123
6 Binama no. 3 0,908425
HARI TRIP 225 204,3957 -20,6043 -9,16%
GT 137 124,4543 -12,5457 -9,16%
UMUR 27 19,48085 -7,51915 -27,85%
BIAYA 726346,7 659831,9 -66514,8 -9,16%
PENDAPATAN 2804890 2804890 0 0,00%
PUTIH 2612 2612 0 0,00%
WINDU 17953 17953 0 0,00%
LAIN 31508 31508 0 0,00%
7 binama no. 5 1
HARI TRIP 286 286 0 0,00%
GT 137 137 0 0,00%
UMUR 29 29 0 0,00%
BIAYA 920880,5 920880,5 0 0,00%
PENDAPATAN 3559718 3559718 0 0,00%
PUTIH 4776 4776 0 0,00%
WINDU 21352,5 21352,5 0 0,00%
LAIN 40031 40031 0 0,00%
8 binama no. 6 1
HARI TRIP 180 180 0 0,00%
GT 137 137 0 0,00%
UMUR 29 29 0 0,00%
BIAYA 557120,4 557120,4 0 0,00%
PENDAPATAN 2656957 2656957 0 0,00%
PUTIH 2462 2462 0 0,00%
WINDU 15034 15034 0 0,00%
LAIN 31830 31830 0 0,00%
9 binama no. 7 0,909066
HARI TRIP 180 163,6318 -16,3682 -9,09%
GT 137 123,4568 -13,5432 -9,89%
UMUR 28 12,62533 -15,3747 -54,91%
BIAYA 570146,3 518300,4 -51845,9 -9,09%
PENDAPATAN 2287035 2287035 0 0,00%
PUTIH 3030 7541,867 4511,867 148,91%
WINDU 15993 15993 0 0,00%
LAIN 23481 23481 0 0,00%
10 binama no. 8 1
HARI TRIP 227 227 0 0,00%
GT 137 137 0 0,00%
UMUR 27 27 0 0,00%
BIAYA 535050,4 535050,4 0 0,00%
PENDAPATAN 2860979 2860979 0 0,00%
PUTIH 3908 3908 0 0,00%
WINDU 17916,5 17916,5 0 0,00%
LAIN 31352 31352 0 0,00%
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang
124
11 khamsin A 1
HARI TRIP 288,99 288,99 0 0,00%
GT 118 118 0 0,00%
UMUR 2 2 0 0,00%
BIAYA 3474777 3474777 0 0,00%
PENDAPATAN 3718565 3718565 0 0,00%
PUTIH 3270 3270 0 0,00%
WINDU 9550 9550 0 0,00%
LAIN 11582 11582 0 0,00%
12 minaraya no. 16
0,615854
HARI TRIP 196 120,7074 -75,2926 -38,41%
GT 142 78,44886 -63,5511 -44,75%
UMUR 31 14,83755 -16,1624 -52,14%
BIAYA 505150 311098,7 -194051 -38,41%
PENDAPATAN 1502274 1574080 71805,98 4,78%
PUTIH 3606 3606 0 0,00%
WINDU 7739 9845,113 2106,113 27,21%
LAIN 16969 16969 0 0,00%
13 Mina raya no, 11
0,741987
HARI TRIP 156 115,75 -40,25 -25,80%
GT 143 69,89446 -73,1055 -51,12%
UMUR 32 13,76386 -18,2361 -56,99%
BIAYA 368190 273192,3 -94997,7 -25,80%
PENDAPATAN 1460259 1460259 0 0,00%
PUTIH 910 2025,643 1115,643 122,60%
WINDU 5897 9136,052 3239,052 54,93%
LAIN 14478 15981,42 1503,417 10,38%
14 Mina raya no, 14
0,467863
HARI TRIP 112 52,40064 -59,5994 -53,21%
GT 146 42,51979 -103,48 -70,88%
UMUR 32 7,32183 -24,6782 -77,12%
BIAYA 427708 200108,7 -227599 -53,21%
PENDAPATAN 929698 929698 0 0,00%
PUTIH 3864 5182,118 1318,118 34,11%
WINDU 3447 4345,298 898,2979 26,06%
LAIN 7982 7982 0 0,00%
15 Mina raya no. 21
1
HARI TRIP 90 90 0 0,00%
GT 149 149 0 0,00%
UMUR 26 26 0 0,00%
BIAYA 463642 463642 0 0,00%
PENDAPATAN 916146 916146 0 0,00%
PUTIH 3511,714 3511,714 0 0,00%
WINDU 14417,32 14417,32 0 0,00%
LAIN 25043,82 25043,82 0 0,00%
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang
125
16 Nusantara maju
0,820084
HARI TRIP 339 263,1645 -75,8355 -22,37%
GT 156 127,933 -28,067 -17,99%
UMUR 31 9,07423 -21,9258 -70,73%
BIAYA 2722000 1896630 -825370 -30,32%
PENDAPATAN 3067524 3185053 117529,2 3,83%
PUTIH 4190 6416,589 2226,589 53,14%
WINDU 25741 25741 0 0,00%
LAIN 26875 26875 0 0,00%
17
Nusantara
utama
0,795926
HARI TRIP 277 220,4715 -56,5285 -20,41%
GT 156 124,1645 -31,8355 -20,41%
UMUR 31 13,08303 -17,917 -57,80%
BIAYA 2120000 1614992 -505008 -23,82%
PENDAPATAN 2839752 2839752 0 0,00%
PUTIH 5696 5793,599 97,59948 1,71%
WINDU 23279 23279 0 0,00%
LAIN 23613 23613 0 0,00%
18 Nusa aman 1 0,912921
HARI TRIP 323 274,2001 -48,7999 -15,11%
GT 157 143,3286 -13,6714 -8,71%
UMUR 10 5,541767 -4,45823 -44,58%
BIAYA 2663000 2239924 -423076 -15,89%
PENDAPATAN 3557250 3573749 16498,68 0,46%
PUTIH 13406 13406 0 0,00%
WINDU 28187 28187 0 0,00%
LAIN 24282 24920,92 638,9248 2,63%
19 Nusa aman 2 0,855143
HARI TRIP 332 265,4561 -66,5439 -20,04%
GT 157 134,2574 -22,7426 -14,49%
UMUR 10 7,939376 -2,06062 -20,61%
BIAYA 2766000 2006360 -759640 -27,46%
PENDAPATAN 3356424 3356424 0 0,00%
PUTIH 9976 9976 0 0,00%
WINDU 26290 26290 0 0,00%
LAIN 25890 25890 0 0,00%
20 Nusantara bina 1
HARI TRIP 258 258 0 0,00%
GT 163 163 0 0,00%
UMUR 27 27 0 0,00%
BIAYA 2224000 2224000 0 0,00%
PENDAPATAN 3260304 3260304 0 0,00%
PUTIH 3928 3928 0 0,00%
WINDU 31973 31973 0 0,00%
LAIN 24475 24475 0 0,00%
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang
126
21 Nusantara megah
0,67051
HARI TRIP 260 174,3326 -85,6674 -32,95%
GT 163 109,2931 -53,7069 -32,95%
UMUR 27 14,6947 -12,3053 -45,58%
BIAYA 2138000 1193561 -944439 -44,17%
PENDAPATAN 2458512 2458512 0 0,00%
PUTIH 7564 7851,97 287,9703 3,81%
WINDU 18435 18435 0 0,00%
LAIN 19529 19529 0 0,00%
22 Nusa asri 1
HARI TRIP 340 340 0 0,00%
GT 166 166 0 0,00%
UMUR 5 5 0 0,00%
BIAYA 2851000 2851000 0 0,00%
PENDAPATAN 4080456 4080456 0 0,00%
PUTIH 9062 9062 0 0,00%
WINDU 35583 35583 0 0,00%
LAIN 30919 30919 0 0,00%
23 Nusa ayu 0,98311
HARI TRIP 351 334,2574 -16,7426 -4,77%
GT 166 163,1962 -2,80375 -1,69%
UMUR 5 4,91555 -8,45E-02 -1,69%
BIAYA 2859000 2802846 -56153,6 -1,96%
PENDAPATAN 3582522 4011537 429014,7 11,98%
PUTIH 5476 8908,942 3432,942 62,69%
WINDU 34982 34982 0 0,00%
LAIN 25885 30396,78 4511,775 17,43%
24 Merbah 0,548004
HARI TRIP 217 118,9168 -98,0832 -45,20%
GT 170 93,16065 -76,8393 -45,20%
UMUR 24 8,61921 -15,3808 -64,09%
BIAYA 925202,7 507014,6 -418188 -45,20%
PENDAPATAN 1881399 1881399 0 0,00%
PUTIH 7445,5 7445,5 0 0,00%
WINDU 12001,5 12001,5 0 0,00%
LAIN 15766 15766 0 0,00%
25
Mina raya no.
18
0,625536
HARI TRIP 152 95,0814 -56,9186 -37,45%
GT 198 117,8518 -80,1482 -40,48%
UMUR 31 16,3622 -14,6378 -47,22%
BIAYA 1263394 514924,8 -748469 -59,24%
PENDAPATAN 1788804 1788804 0 0,00%
PUTIH 4448 18583,98 14135,98 317,81%
WINDU 10184 10902,69 718,6853 7,06%
LAIN 16204 16204 0 0,00%
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang
127
26 Mina raya no. 20
0,588284
HARI TRIP 105 61,76981 -43,2302 -41,17%
GT 198 76,83672 -121,163 -61,19%
UMUR 30 10,70668 -19,2933 -64,31%
BIAYA 904538 334347,9 -570190 -63,04%
PENDAPATAN 1156412 1156412 0 0,00%
PUTIH 4136 11970,06 7834,062 189,41%
WINDU 5132 7112,94 1980,94 38,60%
LAIN 10598 10598 0 0,00%
27
Minaraya no.
17
0,557114
HARI TRIP 188 104,7374 -83,2626 -44,29%
GT 198 110,3085 -87,6915 -44,29%
UMUR 31 17,27052 -13,7295 -44,29%
BIAYA 849369 473195,1 -376174 -44,29%
PENDAPATAN 1168464 1429252 260788,1 22,32%
PUTIH 5924 5924 0 0,00%
WINDU 12211 12211 0 0,00%
LAIN 20224 20224 0 0,00%
28 Binama no. 16 1
HARI TRIP 264 264 0 0,00%
GT 204 204 0 0,00%
UMUR 5 5 0 0,00%
BIAYA 1497489 1497489 0 0,00%
PENDAPATAN 3913499 3913499 0 0,00%
PUTIH 11046 11046 0 0,00%
WINDU 28809,5 28809,5 0 0,00%
LAIN 33169 33169 0 0,00%
29 Merawal II 0,607788
HARI TRIP 251 152,5547 -98,4453 -39,22%
GT 229 139,1834 -89,8166 -39,22%
UMUR 22 13,37133 -8,62867 -39,22%
BIAYA 1372471 834171,2 -538300 -39,22%
PENDAPATAN 2195435 2455076 259641,5 11,83%
PUTIH 11376 11376 0 0,00%
WINDU 17264 17264 0 0,00%
LAIN 12585 20793,47 8208,472 65,22%
30
Nusantara
agung
0,738761
HARI TRIP 289 213,5019 -75,4981 -26,12%
GT 233 172,1313 -60,8687 -26,12%
UMUR 33 24,37911 -8,62089 -26,12%
BIAYA 2458000 1554929 -903071 -36,74%
PENDAPATAN 2988468 2988468 0 0,00%
PUTIH 6202 9841,273 3639,273 58,68%
WINDU 26020 26020 0 0,00%
LAIN 23120 25826,26 2706,259 11,71%
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang
128
31 Merbuk II 1
HARI TRIP 258 258 0 0,00%
GT 240 240 0 0,00%
UMUR 22 22 0 0,00%
BIAYA 1447864 1447864 0 0,00%
PENDAPATAN 6509525 6509525 0 0,00%
PUTIH 80425 80425 0 0,00%
WINDU 20854 20854 0 0,00%
LAIN 23289 23289 0 0,00%
32 Mentilau II 0,82521
HARI TRIP 245 202,1765 -42,8235 -17,48%
GT 243 200,5261 -42,4739 -17,48%
UMUR 22 18,15463 -3,84537 -17,48%
BIAYA 1718250 1057502 -660748 -38,45%
PENDAPATAN 2971281 2971281 0 0,00%
PUTIH 10785,5 10785,5 0 0,00%
WINDU 24024,5 24024,5 0 0,00%
LAIN 20753 32014,91 11261,91 54,27%
33 Binama no. 11 1
HARI TRIP 267 267 0 0,00%
GT 246 246 0 0,00%
UMUR 17 17 0 0,00%
BIAYA 1109685 1109685 0 0,00%
PENDAPATAN 4007578 4007578 0 0,00%
PUTIH 3652 3652 0 0,00%
WINDU 30740,5 30740,5 0 0,00%
LAIN 40004,5 40004,5 0 0,00%
34
Nusantara jaya
2
0,81619
HARI TRIP 214 174,6646 -39,3354 -18,38%
GT 260 145,5034 -114,497 -44,04%
UMUR 8 6,529517 -1,47048 -18,38%
BIAYA 2344000 984536,7 -1359463 -58,00%
PENDAPATAN 2209302 2533778 324475,8 14,69%
PUTIH 5242 7274,45 2032,45 38,77%
WINDU 19670 19670 0 0,00%
LAIN 16001 23766,25 7765,248 48,53%
35
Mina raya no.
25
0,785877
HARI TRIP 235 184,681 -50,319 -21,41%
GT 235 162,5018 -72,4982 -30,85%
UMUR 16 12,57403 -3,42597 -21,41%
BIAYA 980211 770325,1 -209886 -21,41%
PENDAPATAN 2753230 2753230 0 0,00%
PUTIH 6536 6536 0 0,00%
WINDU 15792 20333,02 4541,016 28,76%
LAIN 27100 27100 0 0,00%
Lampiran 3. Proses Iterasi DEA kapal-kapal pukat udang
129
36 Nusantara elok 0,768303
HARI TRIP 248 190,5393 -57,4607 -23,17%
GT 450 147,9963 -302,004 -67,11%
UMUR 5 3,841517 -1,15848 -23,17%
BIAYA 3906000 1080348 -2825652 -72,34%
PENDAPATAN 2529954 2820522 290567,6 11,49%
PUTIH 7886 7969,902 83,90237 1,06%
WINDU 20837 20837 0 0,00%
LAIN 18128 24071,01 5943,014 32,78%
37 Merpati II 0,771825
HARI TRIP 263 202,9899 -60,0101 -22,82%
GT 532 196,5053 -335,495 -63,06%
UMUR 22 16,98015 -5,01985 -22,82%
BIAYA 3396231 1039954 -2356278 -69,38%
PENDAPATAN 3514841 3514841 0 0,00%
PUTIH 22347 22347 0 0,00%
WINDU 22106,5 22106,5 0 0,00%
LAIN 21753,5 28622,97 6869,469 31,58%
38 Mina raya no. 22
0,763095
HARI TRIP 126 96,14999 -29,85 -23,69%
GT 352 119,2453 -232,755 -66,12%
UMUR 26 16,56546 -9,43454 -36,29%
BIAYA 1684117 520668,1 -1163449 -69,08%
PENDAPATAN 1807476 1807476 0 0,00%
PUTIH 4470 18766,89 14296,89 319,84%
WINDU 10408 11032,77 624,7686 6,00%
LAIN 16404 16404 0 0,00%
39 Mina raya no. 24
0,509398
HARI TRIP 93 47,37404 -45,626 -49,06%
GT 417 59,1607 -357,839 -85,81%
UMUR 25 8,276326 -16,7237 -66,89%
BIAYA 974029 256279,8 -717749 -73,69%
PENDAPATAN 882107,6 882107,6 0 0,00%
PUTIH 2472 9093,464 6621,464 267,86%
WINDU 4703 5480,527 777,5274 16,53%
LAIN 8188 8188 0 0,00%
130
Lampiran 4. Kerangka logis (logical framework) alternatif Pengelolaan Perikanan Udang
Policy objective
(sasaran kebijakan)
Outcome
(keluaran)
Indikator Cara verifikasi Resiko dan asumsi
Penerapan kuota 5%
a.Manfaat ekonomi lebih
baik
b.Produksi lestari meningkat
a.Rente ekonomi mening
kat hampir 2 kali lipat.
b.Kurva produksi lestari
lebih baik
Produksi penangkapan
dikurangi 5% dari yg ada
saat ini.
a.Biaya monitoring dan penegakan
hukum mahal.
b.Resistensi pengusaha/pemilik
kapal.
Pengurangan jumlah
Kapal maximum 15%
a.Terhindarnya overfishing
dan overcapacity.
b.Meningkatkan efisiensi
a.Effort menurun
b.Efisiensi meningkat
Pengurangan jumlah ka
pal berdasarkan usia yg
di atas 30 th.
a.Resistensi pemilik kapal tinggi
b.Penurunan produksi udang nasi-
onal.
c.Biaya sosial tinggi (PHK)
Penutupan musim
Penangkapan bln Juni
a.Produksi tangkapan tahunan
stabil
b.Meningkatnya efisiensi, ter-
hindarnya overcapacity
a.Siklus tangkapan membaik
b.Rasio produksi dan effort
membaik
Selama bulan Juni tidak
ada kapal menangkap
Mudah diterima pemilik kapal dan
resiko resistensi dan kegagalan kecil,
serta biaya tidak terlalu mahal.
Tidak ada kebijakan
baru (tetap spt biasa)
Terjadi penuruanan rente eko-
nomi dan produktivitas
Usaha penangkapan udang
semakin tidak menguntung
kan, biaya operasional ma-
kin tinggi.
Evaluasi hasil kegiatan
penangkapan dari aspek
produksi dan ekonomi
Sumberdaya ikan makin degradasi,
terjadi overcapitalisasi dan inefisi-
ensi usaha, makin tidak mengun-
tungkan.