Upload
fauziah-rusli
View
350
Download
2
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
Referat
ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
Disusun oleh:
FAUZIAH RUSLI
ISNA OKTAVIANI
ROSSELINI TRIANA
OLLYA OCTAVINA
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome
-ARDS) merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis,
trauma, dan infeksi paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea,
hipoksemia, fungsi paru-paru yang menurun, dan infiltrat difus bilateral pada
radiografi dada. Oksigenasi yang adekuat, pengistirahatan paru-paru, dan
perawatan suportif adalah dasar-dasar terapi. Pengelolaan sindrom gangguan
pernapasan akut sering membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik.
Pemberian volume tidal yang rendah dan tekanan ventilator yang rendah
dianjurkan untuk menghindari cedera akibat ventilator. Koreksi tepat waktu dari
kondisi klinis sangat penting untuk mencegah cedera lebih lanjut. Percobaan
eksperimental menunjukkan penggunaan berbagai obat-obatan yang diberikan
sesuai patofisiologi belum berkhasiat secara klinis. Komplikasi seperti
pneumotoraks, efusi pleura, dan pneumonia fokal harus diidentifikasi dan segera
diobati. Selama dekade terakhir, angka kematian telah menurun dari lebih dari
50% menjadi 32-45%. Kematian biasanya terjadi akibat kegagalan organ
multisystem daripada kegagalan pernapasan saja.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Defenisi
Sebelum tahun 1992, singkatan ARDS mewakili sindrom gangguan
pernapasan dewasa. Komite Konsensus ARDS Amerika-Eropa pada tahun 1994
menamainya sindrom gangguan pernapasan akut daripada sindrom gangguan
pernapasan dewasa karena terjadi pada segala usia. Istilah cedera paru akut
(Acute Lung Injury -ALI) juga diperkenalkan pada waktu itu. Komite
merekomendasikan bahwa ALI didefinisikan sebagai “sindrom inflamasi dan
peningkatan permeabilitas yang berhubungan dengan gambaran klinis, radiologis,
dan kelainan fisiologis yang tidak dapat dijelaskan oleh, tetapi dapat terjadi
bersamaan dengan, hipertensi kapiler paru atau atrium kiri”. Pengecualian
hipertensi atrium kiri sebagai penyebab utama hipoksemia sangat penting untuk
definisi ini. Perbedaan antara ALI dan ARDS adalah derajat hipoksemia, yang
digambarkan oleh rasio tekanan oksigen arteri terhadap konsentrasi oksigen
inspirasi fraksional (PaO2/FIO2), seperti ditunjukkan pada Tabel 1.1. ALI
didefinisikan dengan rasio yang kurang dari 300 mm Hg dan kurang 200 mm Hg
untuk ARDS.1,2
Sindrom distres respiratorik akut merupakan bentuk edema pulmoner
yang menyebabkan gagal respiratorik akut dan disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas membran alveolokapiler. Cairan terakumulasi dalam interstisium
paru-paru dan ruang alveolar. ARDS parah bisa menyebabkan hipoksemia yang
sulit disembuhkan dan fatal, tetapi pasien yang sembuh mungkin hanya
mengalami sedikit kerusakan paru-paru atau tidak sama sekali.3
Tabel 1.1 Kriteria ALI dan ARDS1
Kriteria ALI Kriteria ARDSOnset akut Onset akutOksigenasi: rasio tekanan oksigen arteri terhadap konsentrasi oksigen inspirasi fraksional <300 mm per Hg (terlepas dari PEEP)
Oksigenasi: rasio tekanan oksigen arteri terhadap konsentrasi oksigen inspirasi fraksional <200 mm per Hg (terlepas dari PEEP)
Infiltrat paru bilateral pada radiografi dada Infiltrat paru bilateral pada radiografi dada
2
Tekanan arteri paru-paru <18 mm per Hg atau tidak ada bukti klinis hipertensi atrium kiri
Tekanan arteri paru-paru <18 mm per Hg atau tidak ada bukti klinis hipertensi atrium kiri
2. Penyebab
Beberapa penyebab terjadinya akut respiratori distres sindrom ialah:1,2,4
Syok sepsis , hemoragis, kardiogenik dan analfilatik
Trauma ; kontusio pulmonal dan non pulmonal
Infeksi : pneumonia dan tuberculosis
Koagulasi intravaskuler diseminata
Emboli lemak
Aspirasi kandungan lambung yang sangat asam
Menghirup agen beracun, asap dan nitrogen oksida dan atau bahan korosif
Pankreatitis
Toksisitas oksigen
Penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika
3. Epidemiologi
Estimasi yang akurat tentang insiden ARDS terhalang oleh kurangnya
definisi yang seragam dan heterogenitas penyebab dan manifestasi klinis.
Perkiraan awal oleh Institut Kesehatan Nasional (NIH) di Amerika Serikat adalah
75 per 100.000 populasi. Studi terbaru melaporkan insiden lebih rendah 1,5-8,3
per 100,000.27-29 Namun, studi epidemiologi pertama yang menggunakan
definisi konsensus tahun 1994 melaporkan kejadian jauh lebih tinggi di
Skandinavia: 17,9 per 100.000 untuk ALI dan 13,5 per 100.000 untuk ARDS.4
4. Faktor Resiko
Faktor risiko untuk terjadinya ARDS telah diidentifikasi (Tabel 1.2).
Sindrom sepsis tampaknya menjadi faktor resiko paling umum, tetapi secara
keseluruhan risiko akan meningkat secara multifaktor. Transfusi darah
merupakan risiko independen faktor. Usia lanjut dan rokok berhubungan dengan
peningkatan risiko ARDS, sementara konsumsi alkohol tampaknya tidak
memiliki pengaruh. Sebuah studi menunjukkan bahwa kematian akibat ARDS
3
pertahun mengalami penurunan, tetapi pria dan orang kulit hitam memiliki angka
kematian lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dan groups. ras lainnya.1
Tabel 1.2 Kondisi Klinis yang berkaitan dengan kejadian ARDS1
Cedera paru-paru langsung Cedera paru-paru tidak langsung
Pneumonia
Aspirasi gaster
Trauma inhalasi
Tenggelam
Kontusi paru
Emboli lemak
Reperfusi edema paru pasca
transplantasi paru-paru atau
embolectomy paru
Sepsis
Trauma berat
Pankreatitis Akut
Bypass kardiopulmonal
Tranfusi massif
Overdosis obat
5. Patofisiologi
Ketika kapiler paru dan epitel alveoli mengalami kerusakan, plasma dan
darah akan bocor menuju ke interstisial dan ruang-ruang intraalveolar. Hasilnya,
terjadi penumpukan cairan dan atelektasis pada alveolus. Atelektasis merupakan
mekanisme yang mengikuti upaya paru untuk mengurangi aktivitas surfaktan.
Kerusakan ini tidak bersifat homogen dan hanya mempengaruhi daerah paru yang
terkena. Dalam dua sampai tiga hari, terjadi inflamasi interstisial dan
bronkoalveolar serta proliferasi sel-sel interstisial. Kemudian akan terjadi
akumulasi kolagen secara cepat sehingga berakibat fibrosis interstisial dua hingga
tiga minggu kemudian. Perubahan patologis ini mengakibatkan penurunan
komplians paru, menurunkan kapasitas residual fungsional, ketidakseimbangan
ventilasi/perfusi, hipoksemia hebat, serta hipertensi pulmonal.1
Dalam ARDS, paru-paru akan melalui tiga fase: eksudatif, proliferasi, dan
fibrosis, tetapi tentu saja masing-masing fase dan perkembangan penyakit secara
keseluruhan bervariasi. Pada tahap eksudatif, kerusakan pada epitel alveolar dan
endotelium vaskular mengakibatkankan kebocoran cairan, protein, sel inflamasi
dan sel darah merah ke lumen alveolus dan interstitium. Perubahan ini
4
disebabkan oleh interaksi kompleks dari mediator pro-inflamasi dan anti-
inflamasi.1
Sel alveolar tipe I mengalami kerusakan ireversibel dan ruang yang rusak
diisi oleh protein, fibrin, dan debris sel, dan memproduksi membran hialin,
sementara cedera pada sel-sel penghasil surfaktan tipe II mengakibatkan kolaps
alveolar. Pada fase proliferatif, sel tipe II berproliferasi dengan beberapa
regenerasi, reaksi fibroblastik, dan remodeling sel epitel. Pada beberapa pasien,
ini berkembang menjadi fase fibrosis ireversibel melibatkan deposisi kolagen
pada alveolar, vaskular, dan interstisial dengan pengembangan microcysts.1
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami
trauma fisik, meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat
segera sebelum awitan, misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya
terdapat periode laten sekitar 18- 24 jam dari waktu cedera paru. Durasi sindrom
dapat dapat beragam dari beberapa hari sampai beberapa minggu.3
Pada ARDS dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam
kemudian yang berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang
teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel endotel yang kemudian
menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan mediator inflamasi
seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks ini dapat diinisiasi
oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dan hasilnya adalah kerusakan
endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli
menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak mengandung
neutrofil dan sel inflamasi sehingga terbentuk membran hialin.3
6. Gambaran Klinis
ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan
awal pada paru. Setelah 72 jam 80% pasienn menunjukkan gejala klinis ARDS
yang jelas. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti
dengan pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan
perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis
meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui
ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing. 1,3
5
Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea,
sebagai gejala pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan analisa gas darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya
menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2 sangat rendah, PaCO2 normal atau
rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya memperlihatkan infiltrat
alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-batas jantung,
namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan pada
foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis
yang terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik
perubahan fungsi yang sudah lebih dahulu terjadi.1,4
PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun
konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan
indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit
paru yang tidak terjadi ventilasi. Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru
pasien sudah mengalami bocor di sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta
perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.3
Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya
ditegakkan dengan bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal
jantung dapat dipasang kateter Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa
pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan terukur rendah (<18 mmHg)
pada ARDS serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung. Jika terdapat
emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga pasien
stabil sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien,
misalnya dari DVT. Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut
dijadikan diagnosis diferensial, terutama pada pasien-pasien
imunokompromais.1,3
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Selain hipoksemia, gas darah arteri sering awalnya menunjukkan alkalosis
pernapasan. Namun, dalam ARDS terjadi dalam konteks sepsis, asidosis
metabolik yang dengan atau tanpa kompensasi respirasi dapat terjadi.5
6
Bersamaan dengan penyakit yang berlangsung dan pernapasan meningkat,
tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) mulai meningkat. Pasien dengan
ventilasi mekanik untuk ARDS dapat dikondisikan untuk tetap hiperkapnia
(hiperkapnia permisif) untuk mencapai tujuan volume tidal yang rendah yang
bertujuan menghindari cedera paru-paru terkait ventilator.5
Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada penyebab yang
mendasarinya atau komplikasi yang terkait dan mungkin termasuk yang
berikut:5
- Hematologi. Pada pasien sepsis, leukopenia atau leukositosis dapat
dicatat. Trombositopenia dapat diamati pada pasien sepsis dengan adanya
koagulasi intravaskular diseminata (DIC). Faktor von Willebrand (vWF)
dapat meningkat pada pasien beresiko untuk ARDS dan dapat menjadi
penanda cedera endotel.
- Ginjal. Nekrosis tubular akut (ATN) sering terjadi kemudian dalam
perjalanan ARDS, mungkin dari iskemia ke ginjal. Fungsi ginjal harus
diawasi secara ketat.
- Hepatik. Kelainan fungsi hati dapat dicatat baik dalam pola cedera
hepatoseluler atau kolestasis.
- Sitokin. Beberapa sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8, yang
meningkat dalam serum pasien pada risiko ARDS.
b. Radiologi
Pada pasien dengan onset pada paru langsung, perubahan fokal dapat
terlihat sejak dini pada radiograf dada. Pada paien dengan onset tidak
langsung pada paru, radiograf awal mungkin tidak spesifik atau mirip dengan
gagal jantung kongestif dengan efusi ringan. Setelah itu, edema paru
interstisial berkembang dengan infiltrat difus (Gambar 1). Seiring dengan
perjalanan penyakit, karakteristik kalsifikasi alveolar dan retikuler bilateral
difus menjadi jelas (Gambar 2). Komplikasi seperti pneumotoraks dan
pneumomediastinum mungkin tidak jelas dan sulit ditemuakn, terutama pada
radiografi portabel dan dalam menghadapi kalsifikasi paru difus. Gambaran
7
klinis pasien mungkin tidak parallel dengan temuan radiografi. Dengan
resolusi penyakit, gambaran radiografi akhirnya kembali normal.1
Gambar 1.Awal fase ARDS menunjukkan perubahan interstisial dan
bercak infiltrat1
Gambar 2. Akhir tahap ARDS menunjukkan kalsifikasi alveolar dan
retikuler bilateral dan difus.1
Gambaran dominan ARDS pada scan tomografi (CT) dada adalah
konsolidasi difus dengan air bronchograms (Gambar 3), bula, efusi pleura,
pneumomediastinum, dan pneumotoraks. Selanjutnya pada penyakit ini,
timbul kista paru-paru dengan jumlah dan ukuran yang bervariasi. CT scan
dada harus dipertimbangkan pada pasien gagal pernapasan untuk membantu
koreksi klinis. CT scan dapat mendeteksi komplikasi ARDS dan yang terkait
dengan penempatan kateter dan tabung seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum, pneumonia fokal, malposisi kateter, dan infark paru.1
8
Gambar 3. CT-scan dada menunjukkan infiltrat difus, ground glass
appearance, dan air bronchograms.1
c. Invasif hemodinamik monitoring
Karena diagnosis diferensial ARDS meliputi edema paru kardiogenik,
pemantauan hemodinamik dengan kateter arteri pulmonalis (Swan-Ganz)
dapat membantu dalam membedakan edema paru kardiogenik dari
noncardiogenic.5
Kateter arteri pulmonal melalui introducer yang ditempatkan dalam vena
sentral, biasanya vena jugularis atau subklavia kanan internal. Hal ini
memungkinkan pengukuran tekanan atrium kanan, tekanan ventrikel kanan,
tekanan arteri pulmonalis, dan tekanan oklusi arteri paru (PAOP).5
Dengan posisi kateter yang tepat, PAOP mencerminkan tekanan pengisian
pada kiri jantung dan, secara tidak langsung, volume intravaskular. PAOP
rendah dari 18 mmHg biasanya konsisten dengan edema paru noncardiogenic,
meskipun faktor-faktor lain, seperti tekanan onkotik plasma rendah,
memungkinkan terjadi edema paru kardiogenik.5
Kateter arteri paru-paru juga menyediakan informasi lain yang mungkin
dapat membantu dalam diagnosis diferensial baik dan pengobatan pasien.
Sebagai contoh, perhitungan resistensi vaskular sistemik berdasarkan output
thermodilution jantung, tekanan atrium kanan, dan tekanan arteri rata-rata
dapat memberikan dukungan bagi kecurigaan klinis dari sepsis.5
Karena menghindari overload cairan bermanfaat dalam pengelolaan
ARDS, penggunaan kateter vena sentral atau kateter arteri paru dapat
memfasilitasi manajemen cairan yang tepat. Hal ini sangat membantu pada
pasien dengan hipotensi atau gagal ginjal. Meskipun kateter arteri paru-paru
9
memberikan informasi yang cukup, penggunaannya masih kontroversi.
Kateter arteri paru-paru memberikan komplikasi terkait kateter dua kali lebih
banyak, terutama aritmia.5
d. Bronkoskopi
Bronkoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi kemungkinan
infeksi pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral. sampel dapat
diperoleh dengan bronkoskop bronkus subsegmental dalam dan
mengumpulkan cairan yang dihisap setelah meberikan cairan garam
nonbacteriostatic (bronchoalveolar lavage; UUPA). Cairan dianalisis
untuk diferensial sel, sitologi, perak noda, dan Gram stain dan
pemeriksaan kuantitatif. 5
e. Pemeriksaan histology
Perubahan histologis dalam ARDS adalah kerusakan alveolar difus. Fase
eksudatif terjadi dalam beberapa hari pertama dan ditandai oleh edema
interstisial, perdarahan dan edema alveolar, kolaps alveolar, kongesti
kapiler paru, dan pembentukan membran hialin (Gambar 4). Perubahan-
perubahan histologis tidak spesifik dan tidak memberikan informasi yang
akan memungkinkan ahli patologi untuk menentukan penyebab ARDS. 5
Gambar 4. Photomicrograph dari pasien ARDS. Gambar menunjukkan
ARDS dalam tahap eksudatif5
8. PenatalaksanaanPenatalaksanaan ARDS terdiri atas penatalaksanaan terhadap penyakit dasar yang dikombinasi dengan penatalaksanaan suportif
terutama mempertahankan oksigenasi yang adekuat dan optimalisasi fungsi hemodinamik sehingga diharapkan mekanisme kompensasi
tubuh akan bekerja dengan baik bila terjadi gagal multiorgan. Penatalaksanaan penyakit dasar sangat penting, misalnya penatalaksanaan
hipotensi dan eradikasi sumber infeksi pada sepsis. Khas pada ARDS, hipoksemia yang terjadi refrakter terhadap terapi oksigen dan hal ini
10
kemungkinan diakibatkan adanya shunting (pirau) darah melalui daerah paru yang tidak terventilasi yang disebabkan alveoli terisi eksudat
protein dan terjadi atelektasis.4
Prinsip Manajemen ARDS4
Lakukan penentuan klinis dini kesulitan pernapasan.
Lakukan penilaian obyektif dengan gas darah arteri dan radiografi dada.
Menyediakan oksigen, saturasi memantau, dan menyelidiki faktor-faktor risiko untuk
ARDS.
Tentukan kebutuhan untuk intubasi dan ventilasi mekanik.
Gunakan volume tidal yang rendah, tekanan dataran rendah, paru-pelindung strategi
ventilator.
Optimalkan status cairan, nutrisi, dan toilet paru, dan mengobati komplikasi.
Pertimbangkan transfer ke pusat-pusat tersier untuk uji klinis dan teknik canggih.
Optimalisasi fungsi hemodinamik dilakukan dengan berbagai cara.
Dengan menurunkan tekanan arteri pulmonal berarti dapat membantu
mengurangi kebocoran kapiler paru. Caranya ialah dengan restriksi cairan,
penggunaan diuretik dan obat vasodilator pulmonar (nitric oxide/NO). Pada
prinsipnya penatalaksanaan hemodinamik yang penting yaitu mempertahankan
keseimbangan yang optimal antara tekanan pulmoner yang rendah untuk
mengurangi kebocoran ke dalam alveoli, tekanan darah yang adekuat untuk
mempertahankan perfusi jaringan dan transport O2 yang optimaI. Kebanyakan
obat vasodilator arteri pulmonal seperti nitrat dan antagonis kalsium juga dapat
menyebabkan vasodilatasi sistemik sehingga dapat sekaligus menyebabkan
hipotensi dan perfusi organ yang terganggu. Obat-obat inotropik dan vasopresor
seperti dobutamin dan noradrenalin mungkin diperlukan untuk mempertahankan
tekanan darah sistemik dan curah jantung yang cukup terutama pada pasien
dengan sepsis (vasodilatasi sistemik). Inhalasi NO telah digunakan sebagai
vasodilator arteri pulmonal yang selektif. Karena diberikan secara inhalasi
sehingga terdistribusi pada daerah di paru-paru yang menyebabkan vasodilatasi.
Vasodilatasi yang terjadi pada alveoli yang terventilasi akan memperbaiki
disfungsi ventilasi/perfusi sehingga dengan demikian fungsi pertukaran gas
11
membaik. NO secara cepat diinaktivasi oleh hemoglobin mencegah reaksi
sistemik.3,4
ARDS seringkali menyebabkan deplesi volum intravaskular akibat terapi
diuresis, inisiasi PPV yang mengurangi aliran balik vena, atau mungkin akibat
sepsis. Pada keadaan ini, yang paling penting ialah monitoring volume vaskular,
jangan sampai dehidrasi atau hipervolemia. Pada keadaan ARDS, meskipun
terdapat edema alveolar, infus tetap diberikan jika diperlukan untuk
mengembalikan perfusi perifer, keluaran urin, serta menstabilkan tekanan darah.
Karena pengobatan yang terpenting ialah menjaga volum intravaskular,
pemantauan pasien difokuskan pada perfusi kulit, status mental, keluaran urin,
hipoksemia, serta tekanan vena sentral secara intensif. Dalam mengukur volum
infus, digunakan kateter Swan-Ganz terutama jika terdapat ventilasi buatan
dengan PEEP. Dalam penanganan emergensi yang intensif ini sebaiknya pasien
dijaga dalam keadaan 'kering', yakni dalam kondisi diuresis dan restriksi cairan.6
Jika terjadi sepsis akibat ARDS, terapi empirik antibiotik mesti dimulai
selagi kultur dikerjakan. Kultur yang dipakai bisa berasal dari sputum atau
aspirasi trakea. Kultur ini membantu mendeteksi superinfeksi paru secara dini
serta memantau terapi antibiotik. Untuk memperkuat imunitas pencernaan,
sebaiknya dalam 48 hingga 72 jam pasien sudah harus dibiasakan makan dengan
saluran pencernaan normal alias jalur enteral.4,6
Tidak ada bukti kortikosteroid bisa memberi keuntungan dalam
menangani ARDS akut. Malah kortikosteroid membuka peluang terjadi infeksi
paru. Sedangkan sampai sekarang belum ditemukan terapi yang benar-benar
efektif dalam melawan ARDS, semisal antibodi monoklonal terhadap endotoksin,
antibodi monoklonal terhadap tumor necrosis factor, antagonis reseptor
interleukin-1, profilaksis PEEP, oksigenasi membran ekstrakorporeal serta
mengurangi CO2 ekstrakorporeal, IV albumin, obat-obatan untuk ekspansi volum
dan kardiotonik untuk oksigenasi, kortikosteroid untk ARDS akut, ibuprofen
parenteral untuk menghambat siklooksigenase, prostaglandin E1, serta
pentoxifylline.1,4,6
Demi menjaga efektivitas pernapasan ARDS, telah terbukti bahwa posisi
pasien yang dibaringkan secara tengkurap akan mengalami perbaikan yang
12
berarti. Kemungkinan posisi ini memperbesar perfusi dan pertukaran gas seperti
pada keadaan normal. Meski menelungkupkan pasien juga tidak mudah
dikerjakan, namun posisi seperti ini telah lama diaplikasikan dan membawa hasil
yang tidak buruk bagi pasien. Ketokonazol terbukti bermanfaat untuk pasien
ARDS karena bisa mensupresi makrofag dalam pelepasan tumor necrosis factor.
Pemberian surfaktan sintetik tidak memberi hasil yang memuaskan, sementara
surfaktan alami terbukti memberi efek yang sangat baik meskipun tergolong
jarang digunakan.1,4
Kebanyakan pasien memerlukan intubasi endotrakea dan ventilasi buatan
dengan ventilator mekanis. Intubasi endotrakea dan PPV face mask mesti
dikerjakan jika frekuensi napas lebih dari 30 kpm atau jika FiO2 lebih besar dari
60%. Tindakan ini dapat menjaga PO2 arteri tetap berada sekitar 70 mmHg
selama lebih dari beberapa jam. Sebagai alternatif intubasi, continous positive
airway pressure (CPAP) dapat memberikan PEEP pasien ARDS sedang atau
berat secara efektif. Pemasangan masker napas ini mesti dipertimbangkan pada
pasien yang mengalami penurunan kesadaran karena berisiko aspirasi dan mesti
digantikan dengan ventilator jika pasien mengalami perburukan gejala ARDS.1,4
Pengaturan ventilator secara konvensional pada ARDS ialah kisaran
volum tidal 10 hingga 15 mL/kg, PEEP 5-10 cm H2O, FiO2 ≤60%, dengan mode
pengontrolan yang dipicu oleh pasien (patient-triggered assisted-control mode).
Ventilasi dilakukan secara intermiten dengan irama awal sebesar 10 hingga 12
napas permenit tentunya dengan PEEP.1,4
Terdapat beberapa pendapat yang menyakan bahwa ventilator dengan
tekanan dan volum yang tinggi dapat memperburuk keadaan paru pasien ARDS,
namun sampai sekarang pendapat ini belum bisa dibuktikan dengan baik. Justru
PEEP yang terlalu rendah yang dapat merusak paru karena menyebabkan bagian
distal paru yang tidak stabil dipaksa untuk terbuka dan tertutup berulang-ulang.4
Masalah ini dapat diatasi dengan penyetelan volum tidal yang rendah
(hanya 6 sampai 8 mL/kg) namun PEEP yang lebih tinggi (antara 10 hingga 18
cm H2O). Tujuan penyetelan volum tidal yang kecil ialah mencegah pernapasan
berlebih yang dipaksa oleh ventilator akibat titik infleksi (defleksi) yang melebihi
batas kurva tekanan napas pasien tersebut, keadaan ini bisa juga menyebabkan
13
overdistensi paru. Akibatnya, paru-paru tetap akan bertambah kaku, serta terjadi
peningkatan tekanan plateau ventilator karena tekanan yang diperlukan untuk
menjaga paru dan inflasi dinding dada telah habis terpakai. Untuk alasan teknis,
titik infleksi atas paru sering tidak dihitung secara langsung. Taktiknya, dengan
menyetel tekanan plateau ventilator tidak lebih dari 25 hingga 30 cm H2O, insya
Allah pasien tidak akan tersiksa akibat ventilator ini. Apalagi dengan penurunan
volum tidal paru, frekuensi napas dari ventilaor dapat ditingkatkan untuk
mengatur pH dan PCO2 yang cukup. Jika pH arteri turun di bawah 7.20, akan
terjadi infusi bikarbonat secara perlahan-lahan. Beberapa pasien mungkin akan
menunjukkan hiperkapina dan asidosis respiratorik, namun biasanya keadaan ini
dapat terkompensasi dengan baik. Daripada ambil risiko menyetel pernapasan
pasien terlalu tinggi dengan paksa, lebih baik menurunkan setelan namun tetap
dijaga dengan pemantauan yang intensif.4
Secara teoretis, PEEP yang dipilih mesti beberapa cm H2O di atas titik
infleksi bawah kurva tekanan napas pasien. Tindakan ini bertujuan agar makin
banyak alveolus yang bisa berfungsi lagi serta mencegah inflasi yang berlebihan.
Jika titik bawah infleksi masih tidak bisa ditentukan secara langsung, dibutuhkan
PEEP dengan nilai 10 hingga 15 cm H2O. Jika telah ditentukan nilai PEEP yang
tepat, FiO2 ventilator biasanya akan turun hingga ke batas yang normal <50 atau
60%. Artinya, akan tercapai PaO2 yang memuaskan, yakni ≥60% atau saturasi O2
≥90%. Untuk perfusi O2 yang adekuat ke jaringan, indeks kardiak mesti ≥3
L/min/m2, bahkan kadang-kadang infusi volum atau obat-obatan kardiotonik
parenteral dibutuhkan.4
Ventilator dapat dilepas jika fungsi paru sudah membaik (misalnya
kebutuhan O2 dan PEEP sudah berkurang), hasil röntgen sudah menunjukkan
perbaikan, serta sudah tidak ada takipnea. Biasanya, pasien yang memang tidak
memiliki riwayat penyakit paru yang parah sebelumnya, akan lebih mudah
dilepas. Kesulitan pelepasan alat bantu napas biasanya akibat adanya infeksi yang
baru atau infeksi lama yang tidak diterapi dengan baik, overhidrasi,
bronkospasme, anemia, gangguan elektrolit, disfungsi kardiak, atau status gizi
yang sangat jelek yang menyebabkan kelemahan otot. Jika penyulit-penyulit
tersebut berhasil diperbaiki, ventilator dapat dilepas perlahan-lahan dengan
14
penyetelan ventilator intermiten, frekuensi napas yang diturunkan, sering pula
dengan ventilasi yang didukung oleh pengaturan tekanan napas, atau dilepas
begitu saja dengan meletakkan pipa T pada pipa endotrakeal. Pada proses ini
disetel PEEP yang rendah (sekitar 5 cm H2O) agar nantinya pasien bisa bernapas
kembali dengan normal. Untuk penanganan lebih detail serta rawat jalan yang
baik, setelah fase emergensi selesai, terapi difokuskan pada etiologi yang
menyebabkan pasien menjadi ARDS. Dengan demikian dapat mencegah
kemungkinan timbulnya episode ARDS serupa di kemudian hari.4
9. Komplikasi
Superinfeksi bakteri paru berupa bakteri gram negatif (Klebsiella,
Pseudomonas, dan Proteus spp) serta bakteri gram positif Staphylococcus aureus
yang resisten merupakan penyebab utama meningkatnya mortalitas dan
morbiditas akibat ARDS. Tension pneumothorax juga bisa terjadi akibat
pemasangan kateter vena sentral dengan positive pressure ventilation (PPV) serta
positive end-expiratory pressure (PEEP). Pasien ARDS yang dirawat dengan
bantuan ventilasi mekanis akan mengalami penurunan volume intravaskular serta
penekanan curah jantung hingga berakibat penurunan transpor O2 dan kegagalan
organ. Lemah, lesu, tak bergairah, seakan di ambang kematian, merupakan gejala
umum yang dirasakan pasien ARDS.3
10. Pencegahan
Meskipun faktor risiko untuk ARDS telah banyak diketahui, namun tidak
ada tindakan pencegahan yang ditemukan. Manajemen cairan yang tepat pada
pasien dengan risiko tinggi dapat membantu mencegah terjadinya ARDS karena
pneumonitis aspirasi merupakan faktor risiko untuk ARDS. Tindakan yang tepat
untuk mencegah aspirasi (misalnya, mengangkat kepala tempat tidur) juga dapat
mencegah beberapa kasus ARDS.4
11. Prognosis
Survival rate pasien dengan ARDS parah yang mendapatkan perawatan
ialah 60%. Sedangkan jika ARDS dengan hipoksemia hebat tidak dikenali dan
ditangani dengan cepat, hampir 90% pasien akan mengalami cardiac arrest.
15
Pasien yang mendapatkan pengobatan efektif biasanya tidak mengalami disfungsi
kapasitas residual paru, meskipun pasien yang memerlukan ventilator dalam
waktu lama dengan FiO2>50% cenderung akan mengalami fibrosis paru.
Sedangkan pasien-pasien ARDS lainnya lama-kelamaan juga akan mengalami
fibrosis paru.3
Biasanya, pasien mulai pulih dalam waktu dua minggu sejak onset ARDS.
Angka kematian keseluruhan di ARDS sekarang sekitar 32 sampai 45 persen,
dibandingkan dengan 53-68 persen pada tahun 1980. Ada kemungkinan bahwa
cedera yang disebabkan ventilator bisa telah menyumbang angka kematian yang
tinggi. Pengelolaan agresif terhadap kedaan klinis, infeksi yang timbul dan
dukungan nutrisi juga memainkan peran dalam menurunkan angka kematian.1
Populasi yang dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi
adalah orang tua, pasien dengan imunosupresi dan pasien dengan penyakit kronis.
Umur kurang dari 55 tahun dan etiologi trauma diprediksi memberikan outcome
lebih menguntungkan. Pada ARDS, kematian biasanya disebabkan oleh
kegagalan organ multisystem yang progresif daripada kegagalan pernapasan.
Kebanyakan pasien yang membaik dapat menjalani kehidupan yang cukup
normal. Obstruksi ringan sampai moderat, difusi, dan kelainan restriktif dapat
bertahan, dan follow up diperlukan. Uji neuropsychologic dapat menunjukkan
defisit yang signifikan pada pasien yang mengalami hypoxemia. parah dan
berlarut-larut.1
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Udobi KF, Touijer K. Acute Respiratory Distress Syndrome. Am Fam
Physician. 2003 Januari 15; 67 (2) :315-322.
2. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome Overview. Updated:
Juli 2011. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/165139-
overview
3. Farid. Acute Respiratory Distress Syndrome. Maj Farm 2006;4: 12
4. Ware LB, Matthay MA. The Acute Respiratory Distress Syndrome. N
Engl J Med 2000; 342:1334-1349
5. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome Work Up. Updated:
Juli 2011. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/165139-
workup
6. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome Treatment &
Management. Updated: Juli 2011. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/165139-treatment
17