12
Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah | 207 AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH Andri Nirwana. AN Universitas Serambi Mekkah, Aceh Besar Email: [email protected] Diterima tgl, 05-09-2016, disetujui tgl 30-09-2016 Abstract: Despite many differences, da'wah and politics are intersecting. Da'wah activities often touch politics, while political activities often become a media propaganda. However, some people disagree to consolidate da'wah with politics considering that both have different intentions. Politics aims for the power. The da'wah, on the other hand, is a call to all people to follow the path of God through the promotion of good deeds and prohibition of bad deeds. It has a realistic objective, conveying religious messages to the mankind. In contrast to the statements, this article asserted that da'wah and politics can be combined by treating the politics as a means to convey the da'wah. Da'wah, in its administration, can use a variety of media, including the power. Yet, the power should not be the purpose of da'wah. Da'wah is closely associated with politics. When rules of a country are hostile to Islam, the policy can suppress the Muslims. The relation between politics or power and da'wah will help accelerate the objective attainment of the da'wah. It is true that da'wah can progress without the support from powerful organizations or the state, but its success is different when compared to the results of the da'wah supported by a strong organization or the state. Abstrak: Dunia dakwah dan politik adalah dua dunia yang saling bersinggungan, meskipun memiliki banyak perbedaan. Aktivitas dakwah sering berbau politik, demikian pula sebaliknya, aktivitas politik sering menjadi media dakwah. Namun, bagi sebagian orang antara dakwah dan politik tidak setuju digabungkan karena keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Politik berorientasi pada kekuasaan. Adapun dakwah sebagai seruan kepada segenap manusia untuk mengikuti jalan Allah lewat amar ma'ruf nahi munkar memiliki orientasi yang sangat nyata, yaitu sampainya pesan-pesan agama kepada semua manusia. Berbeda dengan pernyataan tersebut tulisan ini menyatakan bahwa antara dakwah dan politik dapat digabungkan dengan menjadikan politik sebagai alat untuk menyampaikan dakwah. Dakwah dalam operasionalnya bisa menggunakan berbagai media, termasuk kekuasaan, tapi sekali-kali, kekuasaan bukan merupakan tujuan dakwah. Dakwah berkaitan erat dengan politik. Ketika yang menguasai perpolitikan suatu negara memusuhi Islam, maka kebijakan yang disampaikan dapat menekan umat Islam. Maka, hubungan politik atau kekuasaan dengan dakwah akan membantu mempercepat tercapainya tujuan dakwah. Dakwah dapat berjalan tanpa dibacking oleh organisasi kuat atau perangkat negara, tetapi keberhasilannya sangat berbeda bila dibandingkan dengan hasil yang dicapai oleh dakwah yang dibantu oleh organisasi kuat atau perangkat negara. Keywords: Politik, Dakwah, Sosiologi Pendahuluan Banyak kaum muslimin yang berpendapat bahwa politik tidak boleh dicampuradukan dengan dakwah. Politik oleh sebagian kalangan diartikan sebagai kemahiran untuk menghimpun

AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH Andri Nirwana. AN

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH Andri Nirwana. AN

Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org

Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah | 207

AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH

Andri Nirwana. AN

Universitas Serambi Mekkah, Aceh Besar

Email: [email protected]

Diterima tgl, 05-09-2016, disetujui tgl 30-09-2016

Abstract: Despite many differences, da'wah and politics are intersecting. Da'wah activities often

touch politics, while political activities often become a media propaganda. However, some people

disagree to consolidate da'wah with politics considering that both have different intentions. Politics

aims for the power. The da'wah, on the other hand, is a call to all people to follow the path of God

through the promotion of good deeds and prohibition of bad deeds. It has a realistic objective,

conveying religious messages to the mankind. In contrast to the statements, this article asserted that

da'wah and politics can be combined by treating the politics as a means to convey the da'wah.

Da'wah, in its administration, can use a variety of media, including the power. Yet, the power

should not be the purpose of da'wah. Da'wah is closely associated with politics. When rules of a

country are hostile to Islam, the policy can suppress the Muslims. The relation between politics or

power and da'wah will help accelerate the objective attainment of the da'wah. It is true that da'wah

can progress without the support from powerful organizations or the state, but its success is

different when compared to the results of the da'wah supported by a strong organization or the

state.

Abstrak: Dunia dakwah dan politik adalah dua dunia yang saling bersinggungan, meskipun

memiliki banyak perbedaan. Aktivitas dakwah sering berbau politik, demikian pula sebaliknya,

aktivitas politik sering menjadi media dakwah. Namun, bagi sebagian orang antara dakwah dan

politik tidak setuju digabungkan karena keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Politik

berorientasi pada kekuasaan. Adapun dakwah sebagai seruan kepada segenap manusia untuk

mengikuti jalan Allah lewat amar ma'ruf nahi munkar memiliki orientasi yang sangat nyata, yaitu

sampainya pesan-pesan agama kepada semua manusia. Berbeda dengan pernyataan tersebut tulisan

ini menyatakan bahwa antara dakwah dan politik dapat digabungkan dengan menjadikan politik

sebagai alat untuk menyampaikan dakwah. Dakwah dalam operasionalnya bisa menggunakan

berbagai media, termasuk kekuasaan, tapi sekali-kali, kekuasaan bukan merupakan tujuan dakwah.

Dakwah berkaitan erat dengan politik. Ketika yang menguasai perpolitikan suatu negara memusuhi

Islam, maka kebijakan yang disampaikan dapat menekan umat Islam. Maka, hubungan politik atau

kekuasaan dengan dakwah akan membantu mempercepat tercapainya tujuan dakwah. Dakwah

dapat berjalan tanpa dibacking oleh organisasi kuat atau perangkat negara, tetapi keberhasilannya

sangat berbeda bila dibandingkan dengan hasil yang dicapai oleh dakwah yang dibantu oleh

organisasi kuat atau perangkat negara.

Keywords: Politik, Dakwah, Sosiologi

Pendahuluan

Banyak kaum muslimin yang berpendapat bahwa politik tidak boleh dicampuradukan

dengan dakwah. Politik oleh sebagian kalangan diartikan sebagai kemahiran untuk menghimpun

Page 2: AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH Andri Nirwana. AN

Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org

208 | Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah

kekuatan, meningkatkan kualitas dan kuantitasnya, mengawasi dan mengendalikan, dan

menggunakannya untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara dan lembaga-lembaga lainnya.

Dari pengertian di atas telah nampak jelas bahwa orientasi politik adalah kekuasaan dan dalam

prakteknya politik sering sekali menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Adapun dakwah adalah seruan kepada segenap manusia untuk mengikuti jalan Allah lewat amar

ma'ruf nahi munkar. Orientasi dakwah sangat nyata, yaitu sampainya pesan-pesan agama kepada

semua manusia. Dakwah adalah seruan kepada Islam secara kaafah. Seruan masuk ke dalam Islam

yang sempurna, tapi sekali-kali, kekuasaan bukan merupakan tujuannya. Sehingga bagi mereka

politik adalah kotor sedangkan dakwah netral dan bersih.

Namun tulisan ini melihat sebaliknya, bahwa politik dapat digabungkan dengan dakwah

karena dalam operasionalnya dakwah yang menggunakan media akan lebih efektif dan

mempercepat untuk mencapai tujuannya, termasuk kekuasaan atau politik.

Wawasan Pemahaman Tentang Misi Dakwah

Dakwah baik sebagai konsep maupun sebagai aktifitas telah memasuki seluruh

wilayah dan ruang lingkup kehidupan manusia. Seluruh aspek kehidupan manusia tidak

dapat dilepaskan dari sudut pandang dakwah. Ketika seseorang berlaku disiplin di jalan

raya dengan mematuhi rambu-rambu lalu lintas atau tidak merokok di tempat yang

dilarang, sebenarnya mereka telah melakukan dakwah, karena ia telah memberikan suatu

pengertian dan contoh perilaku yang baik kepada orang lain dengan menampilkan sosok

pribadi yang disiplin. Sikap disiplin ini secara konsisten ia lakukan di mana pun ia berada

tanpa memandang ruang dan waktu.1

Dakwah, baik sebagai gagasan maupun sebagai kegiatan sangat terkait dengan

ajaran amar ma’ruf nahi mungkar (menyuruh untuk mengerjakan kebaikan dan melarang

dari mengerjakan kemungkaran). Dua hal yaitu keburukan dan kebaikan selalu ada dalam

kehidupan kita dan tampil sebagai kekuatan yang berlawanan. Pada tataran teoritik-

konseptualistik, dakwah dibedakan menjadi dakwah bi al-lisan dan dakwah bi a- hal. Yang

pertama lebih menekankan pada kegiatan yang bersifat kata-kata (lisan) yang berupa

ceramah, pidato dan peyampaian pesan-pesan keagamaan secara lisan. Sedang yang kedua

lebih menekankan pada upaya kegiatan yang berbentuk aksi dan tindakan nyata barupa

kegiatan kerja, amal-amal sosial kemasyarakatan dan pelaksanaan program kerja.2.

Dakwah sebagai ide dan gerakan yang menekankan prinsip amar ma’ruf nahi

mungkar dapat memasuki wilayah spektrum kegiatan manusia yang sangat luas dan

kompleks salah satunya bidang politik. Seperti sering diungkapkan ahli-ahli politik,

kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang selalu terdapat dalam proses politik. Kekuasaan

merupakan konsep yang berkaitan dengan perilaku, karena itu memahami konsep dan

perilaku kekuasaan yang telah membentuk realitas politik dan menjadi hambatan dakwah

sekarang ini merupakan hal yang penting bagi perjalanan dakwah.3

1 Hamdan Daulay, Dakwah di tengah persoalan budaya dan politik, (Jogjakarta: LESFI, 2001), hal.

v 2 Hamdan Daulay, Dakwah..., hal. vi 3 Adi Sasono et. al. Solusi Islam atas problematika umat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hal.

229

Page 3: AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH Andri Nirwana. AN

Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org

Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah | 209

Pada kenyataannya dakwah sekarang ini dihambat oleh kondisi sosial politik yang

merupakan produk dari sistem kekuasaan yang ditetapkan oleh para penguasa diktator

yang masyarakatnya harus tunduk dan patuh kepadanya.

Islam adalah agama yang mengatur seluruh dimensi kehidupan yang orisinalitas

dan otensitasnya selalu terjaga, sedangkan dakwah yang dilancarkan adalah Islam itu

sendiri, karena itu sifat dakwah haruslah islamiyah.4 Sasaran dakwah para Rasul adalah

terbentuknya pribadi-pribadi yang merdeka secara berkeyakinan dengan sistem yang pada

gilirannya pribadi-pribadi itu membentuk komunitas dan masyarakat yang merdeka, tidak

ada penindasan manusia sesama manusia.5

Dakwah dalam Bidang Politik

Dalam konteks modern politik adalah sebuah tata cara dalam mengatur kehidupan

masyarakat di dalam pemerintahan. Politik terkait dengan cara bagaimana mengelola

sumber kehidupan masyarakat banyak, seperti air, sumber daya alam dan sumber daya

hayati. Maka, memiliki anggapan bahwa Islam tidak memiliki aturan dalam tata cara

mengelola lingkungan sosial adalah cara berfikir pendek dan itu mustahil bagi Islam

sebagai sebuah agama yang meliki aturan yang kafah bagi manusia. Sehingga demikian

pula dengan politik, seperti halnya kehidupan ekonomi dan sosial budaya sudah memiliki

norma-norma Islam di dalamnya.

Menurut Saifuddin Zuhri, politik sebenarnya memiliki tujuan yang positif, antara

lain: Pertama, menata masyarakat dengan landasan akhlak al-karimah, Kedua, menggugah

mereka dengan hikmah yang mulia, ketiga, mempersatukan mereka dengan sikap

persaudaraan dan kasih sayang, keempat, menegakkan keadilan, kesejahteraan dan tolong

menolong, kelima, menegakkan kepemimpinan yang mengabdi kepada kepentingan umat,

mencitai dan dicintai umat, keenam, menata masyarakat dengan hukum yang tidak berat

sebelah, ketujuh, menegakkan martabat manusia yang mulia dalam rangka membina

peradamaian dan kemajuan yang bermanfaat.6

M. Natsir mewajibkan setiap umat Islam untuk berpolitik sebagai sarana dakwah

Islam, katanya, sebagai seorang muslim, kita tidak dapat melepaskan diri dari politik.

Sebagai orang politik, kita tidak dapat melepaskan diri dari ideologi kita, yakni ideologi

Islam. Bagi kita menegakkan Islam itu tidak dapat dilepaskan dari menegakkan

masyarakat, menegakkan negara dan menegakkan kemerdekaan.7 Perkataan lain dari M.

Natsir adalah ”kalau dulu kita berdakwah lewat politik, tetapi sekarang kita berpolitik

lewat dakwah.8

Dakwah di bidang politik adalah ajakan mengembalikan tata cara pengurusan

masyarakat ke dalam suasana yang teduh dan Islami. Inilah panggilan yang sesuai dengan

fitrah manusia di mana pun dia berada. Tidak ada manusia di dunia ini yang tidak

4 Hasan Al Banna, Majmu’ah Rasail, al Mu’assasah al Islamiyah, (Beirut: Tp, 1984), hal. 18 5 Adi Sasono et. al. Solusi Islam..., hal. 204 6 Saifuddin Zuhri, Unsur Politik dalam Dakwah, (Bandung: Al Ma’arif, 1982), hal. 11 7 M. Natsir, Agama dan Politik Capita Selecta II, (Jakarta: Pustaka Pendis, 1958), hal. 157 8 Pemimpin Pulang, Rekaman peristiwa Wafatnya M. Natsir, (Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu, 1993),

hal. 157

Page 4: AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH Andri Nirwana. AN

Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org

210 | Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah

diciptakan Allah SWT dan tidak satu pun mahluk manusia yang tidak akan kembali kepada

Allah SWT. Jadi wajarlah bahwa manusia yang berakal menghormati aturan pencipta-Nya

dan kepada siapa dia kembali.

Dakwah dalam politik mungkin masih asing terdengar, itu disebabkan manusia

sudah jauh dari nilai-nilai Islami dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka lebih puas

dengan aturan misalnya tatanan demokrasi.9

Perbedaan Politikus dan Da’i

Suatu kali datang kepada Rasulullah para pembesar Quraisy. Mereka

menyampaikan tawaran kepada Nabi tiga hal, yaitu wanita, harta, dan jabatan. Jika

bersedia, Nabi bisa mendapatkan salah satu atau ketiga-tiganya. Rasulullah menolak

tawaran mereka. Beliau ingin tetap menjadi da'i yang siap menyiarkan agama.

Peristiwa ini menegaskan kepada kita bahwa Nabi bukan seorang politikus an-sich.

Anda’i saja Nabi itu seorang politikus, maka tawaran itu diterimanya. Atau dengan

menerima tawaran jabatan atau kekuasaan, setidak-tidaknya Nabi bisa mendapatkan

wanita, juga harta. Dengan kekuasaan itu pula beliau masih tetap bisa berdakwah. Tapi

sekali lagi, Muhammad adalah Rasulullah. Beliau bukan sedang bermain politik praktis.

Sebagai penyampai risalah Tuhan, beliau tidak pernah berhitung soal jabatan atau

kekuasaan. Ada atau tidak adanya jabatan, dakwah akan jalan terus. Dalam berdakwah,

beliau tetap menyampaikan apa saja yang datang dari Allah, baik yang mendukung

kekuasaan atau yang menentang. Beliau sampaikan apa adanya, tanpa ditutup-tutupi,

biarpun hal itu menyinggung perasaan sang penguasa.

Itulah bedanya politikus dengan da'i. Seorang da'i yang benar tidak akan pernah

berhenti memberikan peringatan kepada siapa saja yang melanggar ketentuan Tuhan.

Biarpun silih berganti kekuasaan berpindah tangan, mereka tetap konsisten. Bahkan

seandainya kekuasaan itu telah beralih pada diri mereka sendiri atau orang-orang yang

didukung, tetap saja mereka tak pernah berkompromi dalam hal-hal yang bertentangan

dengan syari'at Allah. Itulah karakter da'i sejati. Itu pula salah satu garis pembeda da'i

dengan politikus murni. Seorang da'i hanya menargetkan agar kebenaran itu sampai, jika

mungkin diterima masyarakat. Sedangkan para politikus menargetkan kekuatan atau

kekuasaan. Untuk mendapatkannya mereka tak segan-segan menjual kebenaran.

Berbeda halnya dengan politikus. Semua hal yang akan disampaikannya selalu

dikalkulasi untung ruginya. Bagi mereka ukuran untung rugi itu jelas, yaitu seberapa besar

dukungan yang bisa diperoleh untuk menggapai kursi. Tak segan-segan mereka memakai

ayat Alquran, jika perlu. Pada kesempatan yang lain mereka relakan diri mereka berjoget

ria di atas panggung, jika berhadapan dengan pendukungnya yang punya hoby seperti itu.

Semua bisa dilakukan asal tercapai tujuan. Dalam batas-batas tertentu, mereka bisa sampai

pada taraf menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Jika mengeritik sesuatu, tujuannya tidak beranjak dari keinginannya untuk

memperbesar pengaruh. Dicari-carinya celah yang memungkinkan bagi mereka untuk

9 http://www.oasetarbiyah.com/?p=52

Page 5: AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH Andri Nirwana. AN

Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org

Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah | 211

melontarkan kritikan yang bisa menjatuhkan lawan-lawannya. Sulit diharapkan dari

mereka suatu perjuangan yang tulus.

Ketika Islam masih belum bercampur dengan daya tarik akan jabatan dan

kekuasaan sebagaimana pada jaman Rasulullah, agama itu nampak indah sekali.

Masyarakat yang bersuku-suku dan berfirqah-firqah, yang satu dengan yang lain saling

bermusuhan, bisa disatukan dengan Islam. Mereka hidup dalam suasana ukhuwah yang

penuh barakah dan rahmah. Akan tetapi, setelah daya tarik akan kekuasaan itu mulai

menonjol, ukhuwwah Islamiyah sekedar menjadi slogan. Antara yang satu dengan yang

lain saling adu mulut, bahkan adu kekuatan.10

Perjalanan Dakwah Tanpa Bantuan Sarana Politik (Dakwah Murni)

Rasulullah pernah mendapat teguran dari Allah karena aktivitasnya sudah

memasuki wilayah politik. Ketika itu ia sedang berbincang serius dengan para tokoh

Quraisy. Dengan matematika politik Nabi menghitung, jika segelintir kaum elite ini masuk

Islam maka pengaruhnya akan sangat besar. Bisa jadi rakyat kecil tinggal mengikut di

belakangnya saja.

Kalkulasi politik seperti inilah yang menjadikan Rasulullah sangat serius

menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam kepada para tokoh Quraisy ini. Sangking

seriusnya, ketika salah seorang sahabat yang cacat bergabung dan ikut bertanya tentang

sesuatu, Rasulullah masam mukanya dan memalingkan wajahnya. Rasulullah seakan

merasa tidak senang direcoki oleh sahabat yang tidak punya akses politik sedikitpun ini.

Ternyata perhitungan seperti itu tidak tepat, setidak-tidaknya bagi Rasulullah atau

orang yang sedang mengemban risalah Islam. Itulah sebabnya Allah menegur Nabi dengan

wahyu-Nya yang tercantum dalam al-Qur'an surah 'Abasa.

Dalam jangka pendek mungkin saja pendekatan politik ini sangat menguntungkan

tetapi, jika perbuatan Nabi tersebut tidak mendapat teguran dari Allah, maka dalam jangka

panjang akan merusak misi yang diemban. Para pengikutnya akan lebih berkonsentrasi

berdakwah hanya di kalangan elite, sementara masyarakat bawah, yang justru lebih

membutuhkan, tidak terlayani. Apa kata ummatnya nanti jika sekiranya Rasulnya hanya

memihak kepada para pembesar? Wajar jika Rasulullah mendapat teguran atas kekhilafan

yang belum sampai terlalu jauh ini.

Ternyata teguran Allah yang ditujukan kepada Rasulullah itu disampaikan kepada

umatnya tanpa disembunyikan sedikit pun juga. Biasanya para pemimpin jika melakukan

kesalahan, apalagi mendapat teguran keras dari atasan, maka sebisa mungkin hal itu

dirahasiakan. Tujuannya supaya kredibitas mereka di hadapan ummatnya tidak berkurang.

Mereka ingin tetap berwibawa meskipun belepotan dengan dosa.

Nabi Muhammad bukan seorang pemimpin duniawi semata. Ia adalah pemimpin

gerakan dakwah yang menyampaikan risalah Islam apa adanya, walaupun risalah itu

kadang kurang menguntungkan posisinya. Ia tidak membangun pengaruh untuk

10 http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg08888.html

Page 6: AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH Andri Nirwana. AN

Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org

212 | Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah

mengokohkan kepemimpinannya di dunia, tapi lebih jauh dari itu ia adalah pemimpin

ukhrawi, yang targetnya melampaui batas-batas ruang dan waktu.

Di bawah tekanan dan ancaman musuh, Rasulullah tetap menyampaikan risalah

dakwah kepada semua manusia. Seakan Rasul tidak mempedulikan resiko yang bakal

menghadangnya, juga tak memperhitungkan kekuatan lawan-lawannya. Ia tak segera

berfikir, kapan kekuasaan itu bisa direbut. Ia hanya berpikir, kapan kebenaran Islam

sampai kepada mereka.

Jika aktor politik targetnya adalah kekuasaan, maka aktor dakwah mempunyai

target yang lebih mulia dari itu, yaitu diterimanya kebenaran Islam oleh seluruh lapisan

ummat. Kekuasaan itu bukan tujuan, tapi semata-mata alat. Berdakwah dengan

menggunakan alat itu jelas lebih efektif, tapi jika alat itu belum dimiliki, bukan berarti

dakwah tidak bisa dimulai. Seperti petani, asal masih punya tangan, ia tak punya alasan

untuk tidak mengolah tanah persawahannya. Ia harus tetap bekerja walau dengan alat apa

adanya, bahkan tanpa alat sama sekali.

Berdakwah tidak boleh menunggu saat berkuasa. Dalam keadaan tidak punya

kekuasaan atau otoritas sedikitpun juga, seseorang tetap bisa dan harus melakukan dakwah.

Tak ada halangan bagi bawahan mendakwahi atasan, sebab posisi atasan dan bawahan itu

tidak ada dalam dunia dakwah. Atasan bawahan itu hanya ada pada strata sosial, ekonomi,

dan politik. Panggung dakwah tak mengenalnya.

Ketika memulai dakwah, Rasulullah tidak memiliki alat yang cukup. Bahkan

materi dakwahnya masih sangat terbatas, karena wahyu saat itu baru turun beberapa ayat.

Justru dalam kondisi seperti ini beliau sangat bersemangat untuk menyebarkannya. Beliau

tak kecut manakala mendapati penganutnya sebagian besar kaum lemah. Dalam pandangan

dakwah, kaum lemah ini memiliki potensi yang luar biasa.

Betapa gigihnya dakwah Rasulullah, dapat dibaca dalam sejarah. Ketika dakwah

masih harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, beliau tak pernah meluangkan waktu

sedikitpun tanpa kegiatan dakwah. Beliau undang sanak-saudaranya makan-makan di

rumah, kemudian sedikit disampaikan tentang ajaran yang dibawanya. Sekali ditolak, lain

kali diulangi lagi. Begitu seterusnya.

Kadang-kadang Nabi menghadang orang yang lewat untuk sekadar diajak mampir

atau berbincang-bincang sejenak. Bagi Nabi satu kalimat saja yang diterima oleh mereka

sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Pada saat ini tidak ada target- target politik.

Yang penting adalah dakwah tersampaikan.

Kekuatan dan kekuasaan bagi sebuah gerakan dakwah bukan merupakan tujuan.

Keduanya bisa jadi alat, tapi keduanya juga bisa memperalat. Tergantung pada siapa yang

memegangnya. Ketika Nabi diusir oleh penduduk Thaif, diejek dan dilempari batu sampai

luka-luka wajah dan anggota tubuhnya, datang kepadanya malaikat Jibril menawarkan

bantuan berupa kekuatan untuk menghancurkan seluruh lawan- lawannya. Bahkan gunung

yang besar itu bisa saja ditimpakan kepada mereka.

Sekali lagi Nabi bukanlah pemimpin dunia semata. Ia tidak haus kekuatan dan

kekuasaan. Ia ingin menawarkan kedamaian dan keselamatan dengan menyodorkan Islam.

Ketika tawaran itu datang, justru ia berdo'a kepada Allah, Allahummahdi qaumi fainnahum

laa ya'lamuun. Ya Allah, berilah petunjuk mereka, karena mereka belum tahu.

Page 7: AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH Andri Nirwana. AN

Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org

Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah | 213

Andaikata Nabi seorang politikus murni, tawaran itu akan diterimanya dengan

senang hati. Dengan begitu jumlah musuh berkurang, sementara musuh-musuh yang lain

akan berkecil hati manakala hendak mengganggu Nabi. Wibawa dan kharisma Nabi, baik

di mata ummatnya sendiri maupun musuh-musuhnya bertambah besar. Dengan begitu

target-target politik dengan mudah terpenuhi.

Perhitungan yang tidak seperti biasanya, ternyata justru sangat menguntungkan

perjalanan Nabi sendiri. Meskipun bapak-bapak mereka memusuhi, ternyata anak-anaknya

penduduk Thaif menjadi pengawal setia perjuangan Islam.

Banyak sekali peristiwa yang dialami Rasulullah yang membuktikan bahwa beliau

bukan seorang politikus, walaupun hasil-hasil yang diperolehnya jauh melebihi para

politikus manapun. Ketika Ibrahim, putranya dari ibu Maria al-Qibthiyah meninggal dunia,

Nabi sangat bersedih. Lebih sedih lagi bahwa ternyata beredar suatu berita bahwa gerhana

matahari yang terjadi bersamaan dengan kematian Ibrahim ini disebabkan karena kematian

anaknya.

Berita ini secara politis sebenarnya sangat menguntungkan. Ummat bertambah

yakin pada kharisma dan kehebatan Nabi, sehingga anaknya meninggal saja membawa

pengaruh yang sangat besar, yaitu gerhana matahari. Betapa sulitnya para politikus

mencari dukungan, berebut pengaruh dengan pihak-pihak lain. Berita, bahkan pada

sebagian malah sudah menjadi keyakinan tersebut boleh dianggap sebagai propaganda

gratis.

Lagi-lagi Nabi Muhammad tidak ingin memanfaatkan situasi ini. Beliau segera

menuju masjid kemudian berpidato di muka para jamaah, meluruskan keyakinan yang

bengkok itu. Beliau menyampaikan bahwa gerhana matahari dan bulan itu merupakan

tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, tidak ada hubungannya dengan kematian

siapapun juga, termasuk kamatian anaknya, Ibrahim.

Andaikata Nabi membiarkan hal ini demi kepentingan politik praktisnya, tentu

Nabi Muhammad akan menjadi bahan tertawaan saat ini, ketika para ilmuwan menemukan

banyak bukti bahwa gerhana bulan dan matahari itu merupakan gejala alam biasa. Target

dakwah memang beda, bahkan kadang bertolak belakang dengan target politik.

Seorang da'i kadang harus mengabaikan opini umum. Kebenaran harus

disampaikan sebagai yang benar walaupun bertentangan dengan pandangan masyarakat. Di

sini yang diperlukan adalah keberanian di samping kebijaksanaan. Rasulullah pernah

mengambil langkah berani ketika menikahi Zainab al-Jahsy. Wanita itu adalah mantan istri

Zaid, putra angkat Nabi sendiri yang sebelumnya adalah seorang budak. Sedang wanita

tersebut tergolong punya hubungan sangat dekat dengan Nabi. Dalam pandangan umum,

pernikahan ini menimbulkan berbagai dugaan bahkan gunjingan. Akan tetapi bagi

Rasulullah pernikahan ini sangat strategis.

Pertama, Nabi hendak memutus mitos bahwa wanita mulia tidak bisa dinikahi oleh

bekas budak, terlepas apakah mantan budak itu akhirnya menjadi anak angkatnya atau

bukan.

Kedua, Nabi bahkan ingin memperkuat pandangan Islam ini dengan cara

mengawini mantan istri seorang budak, setelah suami istri itu bercerai.

Page 8: AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH Andri Nirwana. AN

Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org

214 | Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah

Ketiga, Nabi ingin menepis pandangan bahwa menikahi sepupu sendiri itu

terlarang. Karena kuatnya pandangan tersebut, barangkali tidak cukup hanya dengan fatwa,

tapi diperlukan contoh kongkret. Nabi sendiri mengambil langkah berani dengan

melakukan itu semua.

Betul, ternyata di masyarakat beredar isu yang macam-macam. Bahkan sampai

sekarang tuduhan keji kaum orientalis tetap dialamatkan kepada Nabi. Mereka menuduh

bahwa Nabi itu mata keranjang, suka main perempuan, setidak-tidaknya suka kawin.

Mereka membuat kisah-kisah tambahan yang dibumbui dengan romantisme, sehingga yang

membacanya bisa membenarkan.

Inilah resiko seorang da'i. Andai saja Nabi itu seorang politikus murni, beliau tak

akan berani mengambil tindakan ini. Sebab jelas-jelas akan memperkecil pengaruhnya dan

mengurangi kredibilitasnya. Akan tetapi Nabi tidak peduli dengan semua itu. Beliau lebih

berkonsentrasi pada dakwah, di mana kebenaran harus bisa diterima dan dinyatakan.11

Perjalanan Dakwah dengan Bantuan Politik

Dalam ilmu Politik disebutkan, setidak-tidaknya terdapat 4 konsep yang

berhubungan erat dengan kekuasaan (power) (1) Influence ”pengaruh” yaitu kemampuan

untuk mempengaruhi orang lain agar mengubah sikap dan perilakunya secara suka rela (2)

Persuasi yaitu kemampuan untuk meyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk

melakukan sesuatu (3) Manipulasi yaitu penggunaan pengaruh di mana yang dipengaruhi

tidak menyadari bahwa tingkah lakunya sebenarnya mematuhi keinginan pemegang

kekuasaan dan (4) Coercion ”kewenangan” yaitu perasaan kekuasaan disertai dengan

ancaman dan paksaan agar orang lain bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak

pihak yang berkuasa.12

Apabila kita melihat sejarah Nabi, maka kita akan melihat juga aktifitas dakwah

Nabi dalam perpolitikan, yang tentunya politik yang digunakan untuk kepentingan dakwah,

bukan politik semata. Sebagai manusia yang menyatakan dirinya da’i atau ulama harus

dapat menempatkan diri sebagai da’i yang menjadikan dakwah sebagai tujuan utama

berpolitik, bukan sebaliknya.

Nabi Muhammad SAW merupakan penyeru pada kebenaran sekaligus kepala

pemerintahan di zamannya. Ulama atau da’i sudah saatnya memasuki seluruh wilayah

kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik ekonomi, sosial, budaya, akademik maupun

politik. Karena pada hakekatnya Islam itu universal, luas, serta lengkap.

Politik yang digunakan para da’i atau para ulama tentunya bukanlah politik yang

menghalalkan semua cara, di mana kekuasaan sebagai tujuan. Hal ini tentunya akan

mengakibatkan kekacauan politik, bahkan dakwah itu sendiri. Dalam berpolitik, sudah

semestinya kita dapat menggunakan dakwah sebagai tujuan utama. Politik hanyalah salah

satu media dalam berdakwah. Hingga para da’i atau aktivis dakwah yang memasuki ranah

politik harus dapat menjadi wakil rakyat sekaligus da’i yang menyampaikan kebenaran

untuk dijadikan acuan bagi anak bangsa.

11 http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg08885.html 12 Adi Sasono et. al. Solusi Islam…, hal. 229

Page 9: AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH Andri Nirwana. AN

Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org

Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah | 215

Gerakan dakwah ataupun para da’i yang memasuki ranah politik hendaknya harus

tetap berorientasi pada pembangunan masyarakat muslim, bukan berorientasi pada

golongan atau kelompok tertentu. Gerakan dakwah sepanjang sejarahnya tidak boleh

melalaikan setiap aspirasi dari masyarakat, bahkan harus selalu aspiratif terhadap cara

pembangunan masyarakat muslim, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad

SAW.

Para da’i atau gerakan dakwah saat ini memiliki peran dan tanggung jawab dalam

membangun peradaban, yaitu peradaban yang menyeimbangkan bumi dan langit,

peradaban yang bersumberkan dari intisari kehidupan hakiki yaitu Islam itu sendiri. Segala

sesuatu yang berasal dari langit merupakan pekerjaan para da’i untuk dapat

mentrasformasikan serta membumikannya pada seluruh masyarakat.

Al-Mawardi memberikan syarat untuk tercapainya cita-cita sosial dan politik

peradaban manusia. Yang pertama, berkaitan dengan pengaturan masalah publik.

Mengenai pengaturan masalah publik, tentunya bukanlah pengaturan an sich semata,

namun pengaturan publik yang berlandaskan pada tatanan nilai yang baik tidak

menyesatkan. Syarat kedua berkaitan dengan mewujudkan keshalihan setiap warga, yang

menyangkut masalah nilai-nilai yang dapat membentuk individu-individu yang shalih.13

Akan tetapi keshalihan pribadi yang dimiliki para da’i maupun gerakan dakwah harus

dapat diimplementasikan menjadi keshalihan kolektif bagi masyarakat dunia.

Pada umumnya, mewujudkan manusia yang memiliki kepribadian yang shalih,

dimaksudkan agar manusia-manusia tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup serta

berperan serta dalam membangun gerakan peradaban (amal hadhari). Sedangkan politik

merupakan salah satu bagian dari gerakan peradaban. Bagi setiap muslim, peran peradaban

identik dengan misi otentik sebagai pemimpin di muka bumi ini, yang perannya lebih besar

dibandingkan memimpin sebuah provinsi atau Negara.

Keikutsertaan para ulama, da’i atau gerakan dakwah dalam ranah politik

merupakan haknya, akan tetapi gerakan atau organisasi dakwah juga harus menyadari serta

mewaspadai terhadap orang atau oknum yang hendak memperalat dakwah sebagai

kendaraan politik dunia. Gerakan dakwah atau pun para da’i harus dapat mengunakan

berbagai instrument kehidupan yang ada saat ini untuk kepentingan dakwah. Ulama

maupun para da’i yang bergabung dalam gerakan organisasi atau gerakan dakwah, harus

menyadari bahwasanya dirinya merupakan bagian dari mata rantai perjuangan umat. Dan

sudah saatnya para da’i ataupun ulama dapat memproklamirkan diri dari belenggu masa

lalu yang mengebiri kehidupan politik para ulama.

Sebagai seorang manusia sudah seyogyanya menanamkan dirinya sebagai seorang

da’i dengan memproklamirkan nahnu du’at qobla kulli sai’in, (kami adalah da’i sebelum

menjadi apapun). Apabila tertanam dalam diri kita pernyataan tersebut maka, apapun peran

yang kita miliki, politisi, pendidik, birokrat atau pedagang dan lain sebagainya pada

hakikatnya kita adalah da’i, yang selalu menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar.

Menyampaikan kebaikan dan mencegah kemungkaran tidaklah hanya berada di mimbar-

13 Abu Ridha, Saat Dakwah Memasuki Wilayah Politik, (Bandung: Syamil Cipta Media, 2003), hal.

27

Page 10: AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH Andri Nirwana. AN

Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org

216 | Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah

mimbar masjid, namun harus dilakukan di seluruh penjuru tempat, baik di kelas, kampus,

pasar, bahkan di parlemen sekali pun. Karena menyampaikan kebaikan adalah hak

sekaligus kewajiban bagi kita semua. Ladang dakwah bukanlah milik sekelompok

golongan atau gerakan dakwah tertentu, namun ladang dakwah adalah milik gerakan

dakwah manapun, tentunya dengan bingkai amar ma’ruf nahi mungkar.14

Dakwah dan politik pun jika hanya menampilkan kulit luarnya saja, maka

pengembangan masyarakat sangat mustahil dapat dicapai dengan gemilang. Padahal

banyak para ahli dan pakar menyatakan bahwa dakwah dan politik itu adalah seni, di sini

penulis memahami bahwa “seni itu sangat indah” dan setiap orang senang dengan

keindahan, karena keindahan tersebut begitu syahdu, romantis teduh, anggun sangat

menawan, akankah hidup berkembangnya dakwah dan politik ini telah memberikan penuh

kesyahduan, keteduhan keanggunan dalam pengembangan masyarakat. Oleh karena itu

sepatutnya strategis yang dibangun dalam dakwah dan politik, yang dimaksudkan adalah

harus merupakan usaha memecahkan atau menyelesaikan persoalan kehidupan ummat dan

masyarakat di bidang sosial-budaya, ekonomi dan politik dalam kerangka masyarakat

modern. Aktifitas dakwah dan politik itu ibarat kita sedang mengarungi samudra luas,

kadang diterpa riak-riak ombak yang menari-nari, sungguh sangat mengasikkan, sehingga

hanyut oleh nyanyian riak-riak ombak tersebut.15

Maka adalah merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam melaksanakan

dakwah dan terutama dalam rangka bekerja sama dengan pihak manapun untuk

mensukseskan dakwah dan senantiasa berpedoman kepada ajaran agamanya, tidak menjadi

soal apakah di dalamnya termasuk apa yang disebut politik atau pun bukan, karena tiap

tindakan kita sebagai manusia haruslah berdasarkan ajaran agama kita; apalagi tiap

tindakan dalam berdakwah. Hanya dengan pedoman yang sama ini dakwah akan dapat

merupakan sambungan yang berharga untuk masa depan Islam yang cerah di bahagian

mana pun di dunia ini. Dengan demikian struktur-apakah bebas apa tidak dari luar-

merupakan masalah kedua bagi keberhasilan dakwah. Tetapi dengan demikian tiap sisi

hidup, termasuk politik, tunduk pada dakwah dan merupakan alat bagi dakwah dan bukan

sebaliknya dakwah menjadi alat bagi politik.16

Mengemban dakwah ke seluruh dunia serta mengusir musuh dari negeri-negeri

Islam, kini tidak mungkin terlaksana melainkan dengan memahami hakekat politik

international dan mengetahui secara rinci peta politik international secara sempurna.

Sebab, tidak mungkin bisa sempurna memahaminya melainkan dengan mengetahui secara

rinci, demikian pula tidak mampu mengemban dakwah dan mengusir musuh saat ini,

kecuali dengan mengikuti secara terus menerus perkembangan politik internasional, serta

memahami negara-negara yang memiliki pengaruh secara ril dalam peta perpolitikan

dunia, termasuk negara-negara yang akan berpengaruh (di masa yang akan datang). Ini

dilakukan dengan mengamati secara terus menerus kondisi negara-negara tetangga secara

rinci. Untuk menghasilkan semua itu, maka harus mengikuti perkembangan internasional.

14 http://arifiani.blogspot.com/2007/05/ulama-dalam-bingkai-dakwah-politik.html 15 http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=24470 16 Deliar Noer, Islam & Politik, (Jakarta: Yayasan Risalah, 2003), hal. 204

Page 11: AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH Andri Nirwana. AN

Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org

Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah | 217

Dengan demikian, mengikuti perkembangan dunia dan berpolitik adalah fardhu bagi kaum

muslimin. 17 Alasannya karena umat muslim hidup di bawah musuh-musuhnya secara

politik, kultural dan ekonomi, militer dan pemikiran nyaris berada dalam dominasi Barat.

Akibatnya posisi kaum muslimin menjadi hina.18

Hubungan politik atau kekuasaan dengan dakwah akan sangat membantu

mempercepat tercapainya tujuan dakwah. Hal inilah yang dirasakan oleh umat Islam, baik

pada zaman Rasulullah, sahabat, maupun pada masa kejayaan Islam di Indonesia. Hal ini

membuktikan bahwa berdakwah tanpa kekuatan dan kemauan politik (kekuasaan) akan

terasa sulit bagi penyebaran dakwah Islam, karena dakwah Islam seperti ini sudah pasti

berhadapan dengan kekuatan politik di luar Islam sebagai penentangnya, seperti pernah

dialami oleh Rasulullah saw ketika berdakwah di Makkah dalam kungkungan kekuasaan

kaum Quraisy. Demikian juga halnya yang dialami oleh para da’i di Indonesia dalam

kunkungan kekuasaan penjajah. Oleh karenanya antara kekuasaan (politik) dan dakwah

sebenarnya mempunyai hubungan yang menyatu dan keduanya tidak dapat dipisahkan

dalam aktifitas dakwah.19

Menurut Harun Nasution, hubungan kekuasaan dan dakwah cukup jelas. Pada

periode Makkah Muhammad saw sulit mengembangkan dakwah, karena di Makkah

terdapat kekuasaan kaum Quraisy yang kuat menentangnya. Di Madinah kekuasaan seperti

itu tidak ada, bahkan kemudian tampak kekuasaan di Madinah dipegang oleh Muhammad

saw. Dengan kekuasaan di tangannya, ia lebih mudah menyebarluaskan ajaran Islam.20

Oleh karena itu betapa erat hubungan antara kekuasaan dan politik.

Kesimpulan

Pada bagian penutup ini, penulis akan menjawab permasalahan yang terdapat pada

rumusan masalah dalam bentuk kesimpulan.

Antara dakwah dan politik bagi sebagian orang tidak setuju untuk digabungkan,

dengan alasan tujuan dari politik adalah kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara,

sedangkan tujuan dari dakwah adalah diterimanya seruan-seruan yang mengajak kepada

kebaikan. Bagi mereka politik adalah kotor dan dakwah adalah sesuatu yang netral

(bersih).

Menurut penulis antara dakwah dan politik itu bisa digabungkan, dengan alasan

politik digunakan sebagai alat untuk menyampaikan dakwah. Berdakwah dengan

menggunakan alat itu jelas lebih efektif, tapi jika alat itu belum dimiliki, bukan berarti

dakwah tidak bisa dimulai. Dakwah ada kaitan erat dengan politik. Ketika yang menguasai

perpolitikan suatu negara yang memusuhi Islam, maka kebijakan yang disampaikan pun

menekan umat Islam. Oleh karena itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam

melaksanakan dakwah dan terutama dalam rangka bekerja sama dengan pihak manapun

17 Anonim, Islam, Dakwah dan Politik, (Bogor: Pustaka Tariqah ’Izzah, 2002), hal. 210 18 Adi Sasono et. al. Solusi Islam ..., hal. 228 19 Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Cet I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999),

hal. 89 20 Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Cet V, Jilid I, (Jakarta: UI Pers, 1985),

hal. 56

Page 12: AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH Andri Nirwana. AN

Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org

218 | Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah

untuk mensukseskan dakwah dan senantiasa berpedoman kepada ajaran agamanya, tidak

menjadi soal apakah di dalamnya termasuk apa yang disebut politik atau pun bukan. Oleh

karenanya hubungan politik atau kekuasaan dengan dakwah akan sangat membantu

mempercepat tercapainya tujuan dakwah

Dakwah bisa juga berjalan tanpa dibacking oleh organisasi kuat atau pun perangkat

negara, akan tetapi keberhasilannya sangat berbeda bila dibandingkan dengan hasil yang

dicapai oleh dakwah yang dibantu oleh organisasi kuat atau pun perangkat negara.

Walaupun Kekuatan dan kekuasaan bagi sebuah gerakan dakwah bukan merupakan tujuan,

akan tetapi kebutuhan akan alat mutlak diperlukan demi suksesnya sebuah perjuangan

dakwah. Hingga para da’i atau aktivis dakwah yang memasuki ranah politik harus dapat

menjadi wakil rakyat sekaligus da’i yang menyampaikan kebenaran untuk dijadikan acuan

bagi anak bangsa.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu Ridha, Saat Dakwah Memasuki Wilayah Politik, Bandung: Syamil Cipta Media, 2003

Adi Sasono et. al. Solusi Islam atas problematika umat, Jakarta: Gema Insani Press, 1998

Anonim, Islam, Dakwah dan Politik, Bogor: Pustaka Tariqah ’Izzah, 2002

Deliar Noer, Islam & Politik, Jakarta: Yayasan Risalah, 2003

Hamdan Daulay, Dakwah di tengah persoalan budaya dan politik, Jogjakarta: LESFI,

2001

Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Cet V, Jilid I, Jakarta: UI Pers,

1985

Hasan Al Banna, Majmu’ah Rasail, al Mu’assasah al Islamiyah, Beirut: Tp, 1984

M. Natsir, Agama dan Politik Capita Selecta II, Jakarta: Pustaka Pendis, 1958

Pemimpin Pulang, Rekaman peristiwa Wafatnya M. Natsir, Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu,

1993

Saifuddin Zuhri, Unsur Politik dalam Dakwah, Bandung: Al Ma’arif, 1982

Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Cet I, Jakarta: Gema Insani Press,

1999

http://www.oasetarbiyah.com/?p=52

http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg08888.html

http://arifiani.blogspot.com/2007/05/ulama-dalam-bingkai-dakwah-politik.html

http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=24470