Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org
Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah | 207
AKULTURASI POLITIK DALAM DUNIA DAKWAH
Andri Nirwana. AN
Universitas Serambi Mekkah, Aceh Besar
Email: [email protected]
Diterima tgl, 05-09-2016, disetujui tgl 30-09-2016
Abstract: Despite many differences, da'wah and politics are intersecting. Da'wah activities often
touch politics, while political activities often become a media propaganda. However, some people
disagree to consolidate da'wah with politics considering that both have different intentions. Politics
aims for the power. The da'wah, on the other hand, is a call to all people to follow the path of God
through the promotion of good deeds and prohibition of bad deeds. It has a realistic objective,
conveying religious messages to the mankind. In contrast to the statements, this article asserted that
da'wah and politics can be combined by treating the politics as a means to convey the da'wah.
Da'wah, in its administration, can use a variety of media, including the power. Yet, the power
should not be the purpose of da'wah. Da'wah is closely associated with politics. When rules of a
country are hostile to Islam, the policy can suppress the Muslims. The relation between politics or
power and da'wah will help accelerate the objective attainment of the da'wah. It is true that da'wah
can progress without the support from powerful organizations or the state, but its success is
different when compared to the results of the da'wah supported by a strong organization or the
state.
Abstrak: Dunia dakwah dan politik adalah dua dunia yang saling bersinggungan, meskipun
memiliki banyak perbedaan. Aktivitas dakwah sering berbau politik, demikian pula sebaliknya,
aktivitas politik sering menjadi media dakwah. Namun, bagi sebagian orang antara dakwah dan
politik tidak setuju digabungkan karena keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Politik
berorientasi pada kekuasaan. Adapun dakwah sebagai seruan kepada segenap manusia untuk
mengikuti jalan Allah lewat amar ma'ruf nahi munkar memiliki orientasi yang sangat nyata, yaitu
sampainya pesan-pesan agama kepada semua manusia. Berbeda dengan pernyataan tersebut tulisan
ini menyatakan bahwa antara dakwah dan politik dapat digabungkan dengan menjadikan politik
sebagai alat untuk menyampaikan dakwah. Dakwah dalam operasionalnya bisa menggunakan
berbagai media, termasuk kekuasaan, tapi sekali-kali, kekuasaan bukan merupakan tujuan dakwah.
Dakwah berkaitan erat dengan politik. Ketika yang menguasai perpolitikan suatu negara memusuhi
Islam, maka kebijakan yang disampaikan dapat menekan umat Islam. Maka, hubungan politik atau
kekuasaan dengan dakwah akan membantu mempercepat tercapainya tujuan dakwah. Dakwah
dapat berjalan tanpa dibacking oleh organisasi kuat atau perangkat negara, tetapi keberhasilannya
sangat berbeda bila dibandingkan dengan hasil yang dicapai oleh dakwah yang dibantu oleh
organisasi kuat atau perangkat negara.
Keywords: Politik, Dakwah, Sosiologi
Pendahuluan
Banyak kaum muslimin yang berpendapat bahwa politik tidak boleh dicampuradukan
dengan dakwah. Politik oleh sebagian kalangan diartikan sebagai kemahiran untuk menghimpun
Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org
208 | Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah
kekuatan, meningkatkan kualitas dan kuantitasnya, mengawasi dan mengendalikan, dan
menggunakannya untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara dan lembaga-lembaga lainnya.
Dari pengertian di atas telah nampak jelas bahwa orientasi politik adalah kekuasaan dan dalam
prakteknya politik sering sekali menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Adapun dakwah adalah seruan kepada segenap manusia untuk mengikuti jalan Allah lewat amar
ma'ruf nahi munkar. Orientasi dakwah sangat nyata, yaitu sampainya pesan-pesan agama kepada
semua manusia. Dakwah adalah seruan kepada Islam secara kaafah. Seruan masuk ke dalam Islam
yang sempurna, tapi sekali-kali, kekuasaan bukan merupakan tujuannya. Sehingga bagi mereka
politik adalah kotor sedangkan dakwah netral dan bersih.
Namun tulisan ini melihat sebaliknya, bahwa politik dapat digabungkan dengan dakwah
karena dalam operasionalnya dakwah yang menggunakan media akan lebih efektif dan
mempercepat untuk mencapai tujuannya, termasuk kekuasaan atau politik.
Wawasan Pemahaman Tentang Misi Dakwah
Dakwah baik sebagai konsep maupun sebagai aktifitas telah memasuki seluruh
wilayah dan ruang lingkup kehidupan manusia. Seluruh aspek kehidupan manusia tidak
dapat dilepaskan dari sudut pandang dakwah. Ketika seseorang berlaku disiplin di jalan
raya dengan mematuhi rambu-rambu lalu lintas atau tidak merokok di tempat yang
dilarang, sebenarnya mereka telah melakukan dakwah, karena ia telah memberikan suatu
pengertian dan contoh perilaku yang baik kepada orang lain dengan menampilkan sosok
pribadi yang disiplin. Sikap disiplin ini secara konsisten ia lakukan di mana pun ia berada
tanpa memandang ruang dan waktu.1
Dakwah, baik sebagai gagasan maupun sebagai kegiatan sangat terkait dengan
ajaran amar ma’ruf nahi mungkar (menyuruh untuk mengerjakan kebaikan dan melarang
dari mengerjakan kemungkaran). Dua hal yaitu keburukan dan kebaikan selalu ada dalam
kehidupan kita dan tampil sebagai kekuatan yang berlawanan. Pada tataran teoritik-
konseptualistik, dakwah dibedakan menjadi dakwah bi al-lisan dan dakwah bi a- hal. Yang
pertama lebih menekankan pada kegiatan yang bersifat kata-kata (lisan) yang berupa
ceramah, pidato dan peyampaian pesan-pesan keagamaan secara lisan. Sedang yang kedua
lebih menekankan pada upaya kegiatan yang berbentuk aksi dan tindakan nyata barupa
kegiatan kerja, amal-amal sosial kemasyarakatan dan pelaksanaan program kerja.2.
Dakwah sebagai ide dan gerakan yang menekankan prinsip amar ma’ruf nahi
mungkar dapat memasuki wilayah spektrum kegiatan manusia yang sangat luas dan
kompleks salah satunya bidang politik. Seperti sering diungkapkan ahli-ahli politik,
kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang selalu terdapat dalam proses politik. Kekuasaan
merupakan konsep yang berkaitan dengan perilaku, karena itu memahami konsep dan
perilaku kekuasaan yang telah membentuk realitas politik dan menjadi hambatan dakwah
sekarang ini merupakan hal yang penting bagi perjalanan dakwah.3
1 Hamdan Daulay, Dakwah di tengah persoalan budaya dan politik, (Jogjakarta: LESFI, 2001), hal.
v 2 Hamdan Daulay, Dakwah..., hal. vi 3 Adi Sasono et. al. Solusi Islam atas problematika umat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hal.
229
Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org
Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah | 209
Pada kenyataannya dakwah sekarang ini dihambat oleh kondisi sosial politik yang
merupakan produk dari sistem kekuasaan yang ditetapkan oleh para penguasa diktator
yang masyarakatnya harus tunduk dan patuh kepadanya.
Islam adalah agama yang mengatur seluruh dimensi kehidupan yang orisinalitas
dan otensitasnya selalu terjaga, sedangkan dakwah yang dilancarkan adalah Islam itu
sendiri, karena itu sifat dakwah haruslah islamiyah.4 Sasaran dakwah para Rasul adalah
terbentuknya pribadi-pribadi yang merdeka secara berkeyakinan dengan sistem yang pada
gilirannya pribadi-pribadi itu membentuk komunitas dan masyarakat yang merdeka, tidak
ada penindasan manusia sesama manusia.5
Dakwah dalam Bidang Politik
Dalam konteks modern politik adalah sebuah tata cara dalam mengatur kehidupan
masyarakat di dalam pemerintahan. Politik terkait dengan cara bagaimana mengelola
sumber kehidupan masyarakat banyak, seperti air, sumber daya alam dan sumber daya
hayati. Maka, memiliki anggapan bahwa Islam tidak memiliki aturan dalam tata cara
mengelola lingkungan sosial adalah cara berfikir pendek dan itu mustahil bagi Islam
sebagai sebuah agama yang meliki aturan yang kafah bagi manusia. Sehingga demikian
pula dengan politik, seperti halnya kehidupan ekonomi dan sosial budaya sudah memiliki
norma-norma Islam di dalamnya.
Menurut Saifuddin Zuhri, politik sebenarnya memiliki tujuan yang positif, antara
lain: Pertama, menata masyarakat dengan landasan akhlak al-karimah, Kedua, menggugah
mereka dengan hikmah yang mulia, ketiga, mempersatukan mereka dengan sikap
persaudaraan dan kasih sayang, keempat, menegakkan keadilan, kesejahteraan dan tolong
menolong, kelima, menegakkan kepemimpinan yang mengabdi kepada kepentingan umat,
mencitai dan dicintai umat, keenam, menata masyarakat dengan hukum yang tidak berat
sebelah, ketujuh, menegakkan martabat manusia yang mulia dalam rangka membina
peradamaian dan kemajuan yang bermanfaat.6
M. Natsir mewajibkan setiap umat Islam untuk berpolitik sebagai sarana dakwah
Islam, katanya, sebagai seorang muslim, kita tidak dapat melepaskan diri dari politik.
Sebagai orang politik, kita tidak dapat melepaskan diri dari ideologi kita, yakni ideologi
Islam. Bagi kita menegakkan Islam itu tidak dapat dilepaskan dari menegakkan
masyarakat, menegakkan negara dan menegakkan kemerdekaan.7 Perkataan lain dari M.
Natsir adalah ”kalau dulu kita berdakwah lewat politik, tetapi sekarang kita berpolitik
lewat dakwah.8
Dakwah di bidang politik adalah ajakan mengembalikan tata cara pengurusan
masyarakat ke dalam suasana yang teduh dan Islami. Inilah panggilan yang sesuai dengan
fitrah manusia di mana pun dia berada. Tidak ada manusia di dunia ini yang tidak
4 Hasan Al Banna, Majmu’ah Rasail, al Mu’assasah al Islamiyah, (Beirut: Tp, 1984), hal. 18 5 Adi Sasono et. al. Solusi Islam..., hal. 204 6 Saifuddin Zuhri, Unsur Politik dalam Dakwah, (Bandung: Al Ma’arif, 1982), hal. 11 7 M. Natsir, Agama dan Politik Capita Selecta II, (Jakarta: Pustaka Pendis, 1958), hal. 157 8 Pemimpin Pulang, Rekaman peristiwa Wafatnya M. Natsir, (Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu, 1993),
hal. 157
Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org
210 | Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah
diciptakan Allah SWT dan tidak satu pun mahluk manusia yang tidak akan kembali kepada
Allah SWT. Jadi wajarlah bahwa manusia yang berakal menghormati aturan pencipta-Nya
dan kepada siapa dia kembali.
Dakwah dalam politik mungkin masih asing terdengar, itu disebabkan manusia
sudah jauh dari nilai-nilai Islami dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka lebih puas
dengan aturan misalnya tatanan demokrasi.9
Perbedaan Politikus dan Da’i
Suatu kali datang kepada Rasulullah para pembesar Quraisy. Mereka
menyampaikan tawaran kepada Nabi tiga hal, yaitu wanita, harta, dan jabatan. Jika
bersedia, Nabi bisa mendapatkan salah satu atau ketiga-tiganya. Rasulullah menolak
tawaran mereka. Beliau ingin tetap menjadi da'i yang siap menyiarkan agama.
Peristiwa ini menegaskan kepada kita bahwa Nabi bukan seorang politikus an-sich.
Anda’i saja Nabi itu seorang politikus, maka tawaran itu diterimanya. Atau dengan
menerima tawaran jabatan atau kekuasaan, setidak-tidaknya Nabi bisa mendapatkan
wanita, juga harta. Dengan kekuasaan itu pula beliau masih tetap bisa berdakwah. Tapi
sekali lagi, Muhammad adalah Rasulullah. Beliau bukan sedang bermain politik praktis.
Sebagai penyampai risalah Tuhan, beliau tidak pernah berhitung soal jabatan atau
kekuasaan. Ada atau tidak adanya jabatan, dakwah akan jalan terus. Dalam berdakwah,
beliau tetap menyampaikan apa saja yang datang dari Allah, baik yang mendukung
kekuasaan atau yang menentang. Beliau sampaikan apa adanya, tanpa ditutup-tutupi,
biarpun hal itu menyinggung perasaan sang penguasa.
Itulah bedanya politikus dengan da'i. Seorang da'i yang benar tidak akan pernah
berhenti memberikan peringatan kepada siapa saja yang melanggar ketentuan Tuhan.
Biarpun silih berganti kekuasaan berpindah tangan, mereka tetap konsisten. Bahkan
seandainya kekuasaan itu telah beralih pada diri mereka sendiri atau orang-orang yang
didukung, tetap saja mereka tak pernah berkompromi dalam hal-hal yang bertentangan
dengan syari'at Allah. Itulah karakter da'i sejati. Itu pula salah satu garis pembeda da'i
dengan politikus murni. Seorang da'i hanya menargetkan agar kebenaran itu sampai, jika
mungkin diterima masyarakat. Sedangkan para politikus menargetkan kekuatan atau
kekuasaan. Untuk mendapatkannya mereka tak segan-segan menjual kebenaran.
Berbeda halnya dengan politikus. Semua hal yang akan disampaikannya selalu
dikalkulasi untung ruginya. Bagi mereka ukuran untung rugi itu jelas, yaitu seberapa besar
dukungan yang bisa diperoleh untuk menggapai kursi. Tak segan-segan mereka memakai
ayat Alquran, jika perlu. Pada kesempatan yang lain mereka relakan diri mereka berjoget
ria di atas panggung, jika berhadapan dengan pendukungnya yang punya hoby seperti itu.
Semua bisa dilakukan asal tercapai tujuan. Dalam batas-batas tertentu, mereka bisa sampai
pada taraf menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Jika mengeritik sesuatu, tujuannya tidak beranjak dari keinginannya untuk
memperbesar pengaruh. Dicari-carinya celah yang memungkinkan bagi mereka untuk
9 http://www.oasetarbiyah.com/?p=52
Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org
Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah | 211
melontarkan kritikan yang bisa menjatuhkan lawan-lawannya. Sulit diharapkan dari
mereka suatu perjuangan yang tulus.
Ketika Islam masih belum bercampur dengan daya tarik akan jabatan dan
kekuasaan sebagaimana pada jaman Rasulullah, agama itu nampak indah sekali.
Masyarakat yang bersuku-suku dan berfirqah-firqah, yang satu dengan yang lain saling
bermusuhan, bisa disatukan dengan Islam. Mereka hidup dalam suasana ukhuwah yang
penuh barakah dan rahmah. Akan tetapi, setelah daya tarik akan kekuasaan itu mulai
menonjol, ukhuwwah Islamiyah sekedar menjadi slogan. Antara yang satu dengan yang
lain saling adu mulut, bahkan adu kekuatan.10
Perjalanan Dakwah Tanpa Bantuan Sarana Politik (Dakwah Murni)
Rasulullah pernah mendapat teguran dari Allah karena aktivitasnya sudah
memasuki wilayah politik. Ketika itu ia sedang berbincang serius dengan para tokoh
Quraisy. Dengan matematika politik Nabi menghitung, jika segelintir kaum elite ini masuk
Islam maka pengaruhnya akan sangat besar. Bisa jadi rakyat kecil tinggal mengikut di
belakangnya saja.
Kalkulasi politik seperti inilah yang menjadikan Rasulullah sangat serius
menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam kepada para tokoh Quraisy ini. Sangking
seriusnya, ketika salah seorang sahabat yang cacat bergabung dan ikut bertanya tentang
sesuatu, Rasulullah masam mukanya dan memalingkan wajahnya. Rasulullah seakan
merasa tidak senang direcoki oleh sahabat yang tidak punya akses politik sedikitpun ini.
Ternyata perhitungan seperti itu tidak tepat, setidak-tidaknya bagi Rasulullah atau
orang yang sedang mengemban risalah Islam. Itulah sebabnya Allah menegur Nabi dengan
wahyu-Nya yang tercantum dalam al-Qur'an surah 'Abasa.
Dalam jangka pendek mungkin saja pendekatan politik ini sangat menguntungkan
tetapi, jika perbuatan Nabi tersebut tidak mendapat teguran dari Allah, maka dalam jangka
panjang akan merusak misi yang diemban. Para pengikutnya akan lebih berkonsentrasi
berdakwah hanya di kalangan elite, sementara masyarakat bawah, yang justru lebih
membutuhkan, tidak terlayani. Apa kata ummatnya nanti jika sekiranya Rasulnya hanya
memihak kepada para pembesar? Wajar jika Rasulullah mendapat teguran atas kekhilafan
yang belum sampai terlalu jauh ini.
Ternyata teguran Allah yang ditujukan kepada Rasulullah itu disampaikan kepada
umatnya tanpa disembunyikan sedikit pun juga. Biasanya para pemimpin jika melakukan
kesalahan, apalagi mendapat teguran keras dari atasan, maka sebisa mungkin hal itu
dirahasiakan. Tujuannya supaya kredibitas mereka di hadapan ummatnya tidak berkurang.
Mereka ingin tetap berwibawa meskipun belepotan dengan dosa.
Nabi Muhammad bukan seorang pemimpin duniawi semata. Ia adalah pemimpin
gerakan dakwah yang menyampaikan risalah Islam apa adanya, walaupun risalah itu
kadang kurang menguntungkan posisinya. Ia tidak membangun pengaruh untuk
10 http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg08888.html
Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org
212 | Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah
mengokohkan kepemimpinannya di dunia, tapi lebih jauh dari itu ia adalah pemimpin
ukhrawi, yang targetnya melampaui batas-batas ruang dan waktu.
Di bawah tekanan dan ancaman musuh, Rasulullah tetap menyampaikan risalah
dakwah kepada semua manusia. Seakan Rasul tidak mempedulikan resiko yang bakal
menghadangnya, juga tak memperhitungkan kekuatan lawan-lawannya. Ia tak segera
berfikir, kapan kekuasaan itu bisa direbut. Ia hanya berpikir, kapan kebenaran Islam
sampai kepada mereka.
Jika aktor politik targetnya adalah kekuasaan, maka aktor dakwah mempunyai
target yang lebih mulia dari itu, yaitu diterimanya kebenaran Islam oleh seluruh lapisan
ummat. Kekuasaan itu bukan tujuan, tapi semata-mata alat. Berdakwah dengan
menggunakan alat itu jelas lebih efektif, tapi jika alat itu belum dimiliki, bukan berarti
dakwah tidak bisa dimulai. Seperti petani, asal masih punya tangan, ia tak punya alasan
untuk tidak mengolah tanah persawahannya. Ia harus tetap bekerja walau dengan alat apa
adanya, bahkan tanpa alat sama sekali.
Berdakwah tidak boleh menunggu saat berkuasa. Dalam keadaan tidak punya
kekuasaan atau otoritas sedikitpun juga, seseorang tetap bisa dan harus melakukan dakwah.
Tak ada halangan bagi bawahan mendakwahi atasan, sebab posisi atasan dan bawahan itu
tidak ada dalam dunia dakwah. Atasan bawahan itu hanya ada pada strata sosial, ekonomi,
dan politik. Panggung dakwah tak mengenalnya.
Ketika memulai dakwah, Rasulullah tidak memiliki alat yang cukup. Bahkan
materi dakwahnya masih sangat terbatas, karena wahyu saat itu baru turun beberapa ayat.
Justru dalam kondisi seperti ini beliau sangat bersemangat untuk menyebarkannya. Beliau
tak kecut manakala mendapati penganutnya sebagian besar kaum lemah. Dalam pandangan
dakwah, kaum lemah ini memiliki potensi yang luar biasa.
Betapa gigihnya dakwah Rasulullah, dapat dibaca dalam sejarah. Ketika dakwah
masih harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, beliau tak pernah meluangkan waktu
sedikitpun tanpa kegiatan dakwah. Beliau undang sanak-saudaranya makan-makan di
rumah, kemudian sedikit disampaikan tentang ajaran yang dibawanya. Sekali ditolak, lain
kali diulangi lagi. Begitu seterusnya.
Kadang-kadang Nabi menghadang orang yang lewat untuk sekadar diajak mampir
atau berbincang-bincang sejenak. Bagi Nabi satu kalimat saja yang diterima oleh mereka
sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Pada saat ini tidak ada target- target politik.
Yang penting adalah dakwah tersampaikan.
Kekuatan dan kekuasaan bagi sebuah gerakan dakwah bukan merupakan tujuan.
Keduanya bisa jadi alat, tapi keduanya juga bisa memperalat. Tergantung pada siapa yang
memegangnya. Ketika Nabi diusir oleh penduduk Thaif, diejek dan dilempari batu sampai
luka-luka wajah dan anggota tubuhnya, datang kepadanya malaikat Jibril menawarkan
bantuan berupa kekuatan untuk menghancurkan seluruh lawan- lawannya. Bahkan gunung
yang besar itu bisa saja ditimpakan kepada mereka.
Sekali lagi Nabi bukanlah pemimpin dunia semata. Ia tidak haus kekuatan dan
kekuasaan. Ia ingin menawarkan kedamaian dan keselamatan dengan menyodorkan Islam.
Ketika tawaran itu datang, justru ia berdo'a kepada Allah, Allahummahdi qaumi fainnahum
laa ya'lamuun. Ya Allah, berilah petunjuk mereka, karena mereka belum tahu.
Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org
Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah | 213
Andaikata Nabi seorang politikus murni, tawaran itu akan diterimanya dengan
senang hati. Dengan begitu jumlah musuh berkurang, sementara musuh-musuh yang lain
akan berkecil hati manakala hendak mengganggu Nabi. Wibawa dan kharisma Nabi, baik
di mata ummatnya sendiri maupun musuh-musuhnya bertambah besar. Dengan begitu
target-target politik dengan mudah terpenuhi.
Perhitungan yang tidak seperti biasanya, ternyata justru sangat menguntungkan
perjalanan Nabi sendiri. Meskipun bapak-bapak mereka memusuhi, ternyata anak-anaknya
penduduk Thaif menjadi pengawal setia perjuangan Islam.
Banyak sekali peristiwa yang dialami Rasulullah yang membuktikan bahwa beliau
bukan seorang politikus, walaupun hasil-hasil yang diperolehnya jauh melebihi para
politikus manapun. Ketika Ibrahim, putranya dari ibu Maria al-Qibthiyah meninggal dunia,
Nabi sangat bersedih. Lebih sedih lagi bahwa ternyata beredar suatu berita bahwa gerhana
matahari yang terjadi bersamaan dengan kematian Ibrahim ini disebabkan karena kematian
anaknya.
Berita ini secara politis sebenarnya sangat menguntungkan. Ummat bertambah
yakin pada kharisma dan kehebatan Nabi, sehingga anaknya meninggal saja membawa
pengaruh yang sangat besar, yaitu gerhana matahari. Betapa sulitnya para politikus
mencari dukungan, berebut pengaruh dengan pihak-pihak lain. Berita, bahkan pada
sebagian malah sudah menjadi keyakinan tersebut boleh dianggap sebagai propaganda
gratis.
Lagi-lagi Nabi Muhammad tidak ingin memanfaatkan situasi ini. Beliau segera
menuju masjid kemudian berpidato di muka para jamaah, meluruskan keyakinan yang
bengkok itu. Beliau menyampaikan bahwa gerhana matahari dan bulan itu merupakan
tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, tidak ada hubungannya dengan kematian
siapapun juga, termasuk kamatian anaknya, Ibrahim.
Andaikata Nabi membiarkan hal ini demi kepentingan politik praktisnya, tentu
Nabi Muhammad akan menjadi bahan tertawaan saat ini, ketika para ilmuwan menemukan
banyak bukti bahwa gerhana bulan dan matahari itu merupakan gejala alam biasa. Target
dakwah memang beda, bahkan kadang bertolak belakang dengan target politik.
Seorang da'i kadang harus mengabaikan opini umum. Kebenaran harus
disampaikan sebagai yang benar walaupun bertentangan dengan pandangan masyarakat. Di
sini yang diperlukan adalah keberanian di samping kebijaksanaan. Rasulullah pernah
mengambil langkah berani ketika menikahi Zainab al-Jahsy. Wanita itu adalah mantan istri
Zaid, putra angkat Nabi sendiri yang sebelumnya adalah seorang budak. Sedang wanita
tersebut tergolong punya hubungan sangat dekat dengan Nabi. Dalam pandangan umum,
pernikahan ini menimbulkan berbagai dugaan bahkan gunjingan. Akan tetapi bagi
Rasulullah pernikahan ini sangat strategis.
Pertama, Nabi hendak memutus mitos bahwa wanita mulia tidak bisa dinikahi oleh
bekas budak, terlepas apakah mantan budak itu akhirnya menjadi anak angkatnya atau
bukan.
Kedua, Nabi bahkan ingin memperkuat pandangan Islam ini dengan cara
mengawini mantan istri seorang budak, setelah suami istri itu bercerai.
Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org
214 | Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah
Ketiga, Nabi ingin menepis pandangan bahwa menikahi sepupu sendiri itu
terlarang. Karena kuatnya pandangan tersebut, barangkali tidak cukup hanya dengan fatwa,
tapi diperlukan contoh kongkret. Nabi sendiri mengambil langkah berani dengan
melakukan itu semua.
Betul, ternyata di masyarakat beredar isu yang macam-macam. Bahkan sampai
sekarang tuduhan keji kaum orientalis tetap dialamatkan kepada Nabi. Mereka menuduh
bahwa Nabi itu mata keranjang, suka main perempuan, setidak-tidaknya suka kawin.
Mereka membuat kisah-kisah tambahan yang dibumbui dengan romantisme, sehingga yang
membacanya bisa membenarkan.
Inilah resiko seorang da'i. Andai saja Nabi itu seorang politikus murni, beliau tak
akan berani mengambil tindakan ini. Sebab jelas-jelas akan memperkecil pengaruhnya dan
mengurangi kredibilitasnya. Akan tetapi Nabi tidak peduli dengan semua itu. Beliau lebih
berkonsentrasi pada dakwah, di mana kebenaran harus bisa diterima dan dinyatakan.11
Perjalanan Dakwah dengan Bantuan Politik
Dalam ilmu Politik disebutkan, setidak-tidaknya terdapat 4 konsep yang
berhubungan erat dengan kekuasaan (power) (1) Influence ”pengaruh” yaitu kemampuan
untuk mempengaruhi orang lain agar mengubah sikap dan perilakunya secara suka rela (2)
Persuasi yaitu kemampuan untuk meyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk
melakukan sesuatu (3) Manipulasi yaitu penggunaan pengaruh di mana yang dipengaruhi
tidak menyadari bahwa tingkah lakunya sebenarnya mematuhi keinginan pemegang
kekuasaan dan (4) Coercion ”kewenangan” yaitu perasaan kekuasaan disertai dengan
ancaman dan paksaan agar orang lain bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak
pihak yang berkuasa.12
Apabila kita melihat sejarah Nabi, maka kita akan melihat juga aktifitas dakwah
Nabi dalam perpolitikan, yang tentunya politik yang digunakan untuk kepentingan dakwah,
bukan politik semata. Sebagai manusia yang menyatakan dirinya da’i atau ulama harus
dapat menempatkan diri sebagai da’i yang menjadikan dakwah sebagai tujuan utama
berpolitik, bukan sebaliknya.
Nabi Muhammad SAW merupakan penyeru pada kebenaran sekaligus kepala
pemerintahan di zamannya. Ulama atau da’i sudah saatnya memasuki seluruh wilayah
kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik ekonomi, sosial, budaya, akademik maupun
politik. Karena pada hakekatnya Islam itu universal, luas, serta lengkap.
Politik yang digunakan para da’i atau para ulama tentunya bukanlah politik yang
menghalalkan semua cara, di mana kekuasaan sebagai tujuan. Hal ini tentunya akan
mengakibatkan kekacauan politik, bahkan dakwah itu sendiri. Dalam berpolitik, sudah
semestinya kita dapat menggunakan dakwah sebagai tujuan utama. Politik hanyalah salah
satu media dalam berdakwah. Hingga para da’i atau aktivis dakwah yang memasuki ranah
politik harus dapat menjadi wakil rakyat sekaligus da’i yang menyampaikan kebenaran
untuk dijadikan acuan bagi anak bangsa.
11 http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg08885.html 12 Adi Sasono et. al. Solusi Islam…, hal. 229
Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org
Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah | 215
Gerakan dakwah ataupun para da’i yang memasuki ranah politik hendaknya harus
tetap berorientasi pada pembangunan masyarakat muslim, bukan berorientasi pada
golongan atau kelompok tertentu. Gerakan dakwah sepanjang sejarahnya tidak boleh
melalaikan setiap aspirasi dari masyarakat, bahkan harus selalu aspiratif terhadap cara
pembangunan masyarakat muslim, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad
SAW.
Para da’i atau gerakan dakwah saat ini memiliki peran dan tanggung jawab dalam
membangun peradaban, yaitu peradaban yang menyeimbangkan bumi dan langit,
peradaban yang bersumberkan dari intisari kehidupan hakiki yaitu Islam itu sendiri. Segala
sesuatu yang berasal dari langit merupakan pekerjaan para da’i untuk dapat
mentrasformasikan serta membumikannya pada seluruh masyarakat.
Al-Mawardi memberikan syarat untuk tercapainya cita-cita sosial dan politik
peradaban manusia. Yang pertama, berkaitan dengan pengaturan masalah publik.
Mengenai pengaturan masalah publik, tentunya bukanlah pengaturan an sich semata,
namun pengaturan publik yang berlandaskan pada tatanan nilai yang baik tidak
menyesatkan. Syarat kedua berkaitan dengan mewujudkan keshalihan setiap warga, yang
menyangkut masalah nilai-nilai yang dapat membentuk individu-individu yang shalih.13
Akan tetapi keshalihan pribadi yang dimiliki para da’i maupun gerakan dakwah harus
dapat diimplementasikan menjadi keshalihan kolektif bagi masyarakat dunia.
Pada umumnya, mewujudkan manusia yang memiliki kepribadian yang shalih,
dimaksudkan agar manusia-manusia tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup serta
berperan serta dalam membangun gerakan peradaban (amal hadhari). Sedangkan politik
merupakan salah satu bagian dari gerakan peradaban. Bagi setiap muslim, peran peradaban
identik dengan misi otentik sebagai pemimpin di muka bumi ini, yang perannya lebih besar
dibandingkan memimpin sebuah provinsi atau Negara.
Keikutsertaan para ulama, da’i atau gerakan dakwah dalam ranah politik
merupakan haknya, akan tetapi gerakan atau organisasi dakwah juga harus menyadari serta
mewaspadai terhadap orang atau oknum yang hendak memperalat dakwah sebagai
kendaraan politik dunia. Gerakan dakwah atau pun para da’i harus dapat mengunakan
berbagai instrument kehidupan yang ada saat ini untuk kepentingan dakwah. Ulama
maupun para da’i yang bergabung dalam gerakan organisasi atau gerakan dakwah, harus
menyadari bahwasanya dirinya merupakan bagian dari mata rantai perjuangan umat. Dan
sudah saatnya para da’i ataupun ulama dapat memproklamirkan diri dari belenggu masa
lalu yang mengebiri kehidupan politik para ulama.
Sebagai seorang manusia sudah seyogyanya menanamkan dirinya sebagai seorang
da’i dengan memproklamirkan nahnu du’at qobla kulli sai’in, (kami adalah da’i sebelum
menjadi apapun). Apabila tertanam dalam diri kita pernyataan tersebut maka, apapun peran
yang kita miliki, politisi, pendidik, birokrat atau pedagang dan lain sebagainya pada
hakikatnya kita adalah da’i, yang selalu menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar.
Menyampaikan kebaikan dan mencegah kemungkaran tidaklah hanya berada di mimbar-
13 Abu Ridha, Saat Dakwah Memasuki Wilayah Politik, (Bandung: Syamil Cipta Media, 2003), hal.
27
Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org
216 | Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah
mimbar masjid, namun harus dilakukan di seluruh penjuru tempat, baik di kelas, kampus,
pasar, bahkan di parlemen sekali pun. Karena menyampaikan kebaikan adalah hak
sekaligus kewajiban bagi kita semua. Ladang dakwah bukanlah milik sekelompok
golongan atau gerakan dakwah tertentu, namun ladang dakwah adalah milik gerakan
dakwah manapun, tentunya dengan bingkai amar ma’ruf nahi mungkar.14
Dakwah dan politik pun jika hanya menampilkan kulit luarnya saja, maka
pengembangan masyarakat sangat mustahil dapat dicapai dengan gemilang. Padahal
banyak para ahli dan pakar menyatakan bahwa dakwah dan politik itu adalah seni, di sini
penulis memahami bahwa “seni itu sangat indah” dan setiap orang senang dengan
keindahan, karena keindahan tersebut begitu syahdu, romantis teduh, anggun sangat
menawan, akankah hidup berkembangnya dakwah dan politik ini telah memberikan penuh
kesyahduan, keteduhan keanggunan dalam pengembangan masyarakat. Oleh karena itu
sepatutnya strategis yang dibangun dalam dakwah dan politik, yang dimaksudkan adalah
harus merupakan usaha memecahkan atau menyelesaikan persoalan kehidupan ummat dan
masyarakat di bidang sosial-budaya, ekonomi dan politik dalam kerangka masyarakat
modern. Aktifitas dakwah dan politik itu ibarat kita sedang mengarungi samudra luas,
kadang diterpa riak-riak ombak yang menari-nari, sungguh sangat mengasikkan, sehingga
hanyut oleh nyanyian riak-riak ombak tersebut.15
Maka adalah merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam melaksanakan
dakwah dan terutama dalam rangka bekerja sama dengan pihak manapun untuk
mensukseskan dakwah dan senantiasa berpedoman kepada ajaran agamanya, tidak menjadi
soal apakah di dalamnya termasuk apa yang disebut politik atau pun bukan, karena tiap
tindakan kita sebagai manusia haruslah berdasarkan ajaran agama kita; apalagi tiap
tindakan dalam berdakwah. Hanya dengan pedoman yang sama ini dakwah akan dapat
merupakan sambungan yang berharga untuk masa depan Islam yang cerah di bahagian
mana pun di dunia ini. Dengan demikian struktur-apakah bebas apa tidak dari luar-
merupakan masalah kedua bagi keberhasilan dakwah. Tetapi dengan demikian tiap sisi
hidup, termasuk politik, tunduk pada dakwah dan merupakan alat bagi dakwah dan bukan
sebaliknya dakwah menjadi alat bagi politik.16
Mengemban dakwah ke seluruh dunia serta mengusir musuh dari negeri-negeri
Islam, kini tidak mungkin terlaksana melainkan dengan memahami hakekat politik
international dan mengetahui secara rinci peta politik international secara sempurna.
Sebab, tidak mungkin bisa sempurna memahaminya melainkan dengan mengetahui secara
rinci, demikian pula tidak mampu mengemban dakwah dan mengusir musuh saat ini,
kecuali dengan mengikuti secara terus menerus perkembangan politik internasional, serta
memahami negara-negara yang memiliki pengaruh secara ril dalam peta perpolitikan
dunia, termasuk negara-negara yang akan berpengaruh (di masa yang akan datang). Ini
dilakukan dengan mengamati secara terus menerus kondisi negara-negara tetangga secara
rinci. Untuk menghasilkan semua itu, maka harus mengikuti perkembangan internasional.
14 http://arifiani.blogspot.com/2007/05/ulama-dalam-bingkai-dakwah-politik.html 15 http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=24470 16 Deliar Noer, Islam & Politik, (Jakarta: Yayasan Risalah, 2003), hal. 204
Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org
Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah | 217
Dengan demikian, mengikuti perkembangan dunia dan berpolitik adalah fardhu bagi kaum
muslimin. 17 Alasannya karena umat muslim hidup di bawah musuh-musuhnya secara
politik, kultural dan ekonomi, militer dan pemikiran nyaris berada dalam dominasi Barat.
Akibatnya posisi kaum muslimin menjadi hina.18
Hubungan politik atau kekuasaan dengan dakwah akan sangat membantu
mempercepat tercapainya tujuan dakwah. Hal inilah yang dirasakan oleh umat Islam, baik
pada zaman Rasulullah, sahabat, maupun pada masa kejayaan Islam di Indonesia. Hal ini
membuktikan bahwa berdakwah tanpa kekuatan dan kemauan politik (kekuasaan) akan
terasa sulit bagi penyebaran dakwah Islam, karena dakwah Islam seperti ini sudah pasti
berhadapan dengan kekuatan politik di luar Islam sebagai penentangnya, seperti pernah
dialami oleh Rasulullah saw ketika berdakwah di Makkah dalam kungkungan kekuasaan
kaum Quraisy. Demikian juga halnya yang dialami oleh para da’i di Indonesia dalam
kunkungan kekuasaan penjajah. Oleh karenanya antara kekuasaan (politik) dan dakwah
sebenarnya mempunyai hubungan yang menyatu dan keduanya tidak dapat dipisahkan
dalam aktifitas dakwah.19
Menurut Harun Nasution, hubungan kekuasaan dan dakwah cukup jelas. Pada
periode Makkah Muhammad saw sulit mengembangkan dakwah, karena di Makkah
terdapat kekuasaan kaum Quraisy yang kuat menentangnya. Di Madinah kekuasaan seperti
itu tidak ada, bahkan kemudian tampak kekuasaan di Madinah dipegang oleh Muhammad
saw. Dengan kekuasaan di tangannya, ia lebih mudah menyebarluaskan ajaran Islam.20
Oleh karena itu betapa erat hubungan antara kekuasaan dan politik.
Kesimpulan
Pada bagian penutup ini, penulis akan menjawab permasalahan yang terdapat pada
rumusan masalah dalam bentuk kesimpulan.
Antara dakwah dan politik bagi sebagian orang tidak setuju untuk digabungkan,
dengan alasan tujuan dari politik adalah kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara,
sedangkan tujuan dari dakwah adalah diterimanya seruan-seruan yang mengajak kepada
kebaikan. Bagi mereka politik adalah kotor dan dakwah adalah sesuatu yang netral
(bersih).
Menurut penulis antara dakwah dan politik itu bisa digabungkan, dengan alasan
politik digunakan sebagai alat untuk menyampaikan dakwah. Berdakwah dengan
menggunakan alat itu jelas lebih efektif, tapi jika alat itu belum dimiliki, bukan berarti
dakwah tidak bisa dimulai. Dakwah ada kaitan erat dengan politik. Ketika yang menguasai
perpolitikan suatu negara yang memusuhi Islam, maka kebijakan yang disampaikan pun
menekan umat Islam. Oleh karena itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam
melaksanakan dakwah dan terutama dalam rangka bekerja sama dengan pihak manapun
17 Anonim, Islam, Dakwah dan Politik, (Bogor: Pustaka Tariqah ’Izzah, 2002), hal. 210 18 Adi Sasono et. al. Solusi Islam ..., hal. 228 19 Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Cet I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999),
hal. 89 20 Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Cet V, Jilid I, (Jakarta: UI Pers, 1985),
hal. 56
Substantia, Volume 18 Nomor 2, Oktober 2016 http://substantiajurnal.org
218 | Andri Nirwana. AN: Akulturasi Politik dalam Dunia Dakwah
untuk mensukseskan dakwah dan senantiasa berpedoman kepada ajaran agamanya, tidak
menjadi soal apakah di dalamnya termasuk apa yang disebut politik atau pun bukan. Oleh
karenanya hubungan politik atau kekuasaan dengan dakwah akan sangat membantu
mempercepat tercapainya tujuan dakwah
Dakwah bisa juga berjalan tanpa dibacking oleh organisasi kuat atau pun perangkat
negara, akan tetapi keberhasilannya sangat berbeda bila dibandingkan dengan hasil yang
dicapai oleh dakwah yang dibantu oleh organisasi kuat atau pun perangkat negara.
Walaupun Kekuatan dan kekuasaan bagi sebuah gerakan dakwah bukan merupakan tujuan,
akan tetapi kebutuhan akan alat mutlak diperlukan demi suksesnya sebuah perjuangan
dakwah. Hingga para da’i atau aktivis dakwah yang memasuki ranah politik harus dapat
menjadi wakil rakyat sekaligus da’i yang menyampaikan kebenaran untuk dijadikan acuan
bagi anak bangsa.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Ridha, Saat Dakwah Memasuki Wilayah Politik, Bandung: Syamil Cipta Media, 2003
Adi Sasono et. al. Solusi Islam atas problematika umat, Jakarta: Gema Insani Press, 1998
Anonim, Islam, Dakwah dan Politik, Bogor: Pustaka Tariqah ’Izzah, 2002
Deliar Noer, Islam & Politik, Jakarta: Yayasan Risalah, 2003
Hamdan Daulay, Dakwah di tengah persoalan budaya dan politik, Jogjakarta: LESFI,
2001
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Cet V, Jilid I, Jakarta: UI Pers,
1985
Hasan Al Banna, Majmu’ah Rasail, al Mu’assasah al Islamiyah, Beirut: Tp, 1984
M. Natsir, Agama dan Politik Capita Selecta II, Jakarta: Pustaka Pendis, 1958
Pemimpin Pulang, Rekaman peristiwa Wafatnya M. Natsir, Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu,
1993
Saifuddin Zuhri, Unsur Politik dalam Dakwah, Bandung: Al Ma’arif, 1982
Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Cet I, Jakarta: Gema Insani Press,
1999
http://www.oasetarbiyah.com/?p=52
http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg08888.html
http://arifiani.blogspot.com/2007/05/ulama-dalam-bingkai-dakwah-politik.html
http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=24470