Upload
truongtuong
View
270
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
AJARAN MISTIK WAHDAH AL-WUJÛD DALAM
TAFSIR ‘ABD AL-RAZZÂQ AL-QÂSYÂNȊ (STUDI
ANALITIS SURAT AL-HADȊD 1-6)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat-syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
M. Aristo Rahman
11130340000182
JURUSAN ILMU AL-QUR’ÂN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2018 M
AJARAN MISTIK WAHDAH AL― WUJUD DALAM
TAFSIR`ABD AL‐RAZZAQ AL口 QASYANI
(KAJIAN ATAS SURAT AL… HADID l¨ 6)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas UshuluddinUntuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh
Gelar Sarjana Ahli Agama (S.Ag)
Olch:
PI.Aristo Rahmall
ll130340000182
Di bawah Bimbingan:
PROGRAⅣ ISTUDIILPIU AL…QUR'AN DAN TAFSIRFAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITASISLAPI NEGERISYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1439H。/2018 ⅣI。
Moh. Anwar S
NIP.:19720518
PERSETUJUAII PARA PENGUJI
Skripsi berjudul "AJARAN MISTIK \|rAHDAH AL-WafdD DALAM
TAFSTR 'ABD Ar-RAZZAQ Ar,-qASVAM (STUDT ANALTTTS
SURAT AL-HADiD l-6)" telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Ushuluddin UN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 16 April2018.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Ahli Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilrnu al-Qur'an dan Tafsir.
Jak魏 16 Ap五 12018
Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
y
Dr.Lilik Ummi Kultsuln、 M.A.blIP.197110031999032100
Dr.Lilik Ummi Kultsum,M.A.NIP. 19711003 1999032100
Penguji I
Anggota,
Pembimbing,
Penguji II
Ahmad Rifqi Muchtar,MANIP: 19690821997031002
1999032001
■lIP.19720518998031003
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ili saya menyzrtakarr bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN
S yarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua surnber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatuliah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, ntaka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullair Jakarta.
Jakarta,FcbrLla五 2018
M. Aristo Rahman
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini
berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2015.
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j Je ج
h h dengan garis di bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
vi
ẕ zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap ‘ ع
kanan
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha ه
Apostrof ` ء
y Ye ي
2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah و
vii
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ي
au a dan u و
3. Vokal panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ا
î i dengan topi di atas ي
û u dengan topi di atas و
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti
huruf syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-syamsiyyah bukan
asy-syamsiyyah, al-rijāl bukan ar-rijāl.
5. Tasydîd
Huruf yang ber-tasydîd ditulis dengan dua huruf serupa secara
berturut-turut, seperti السنة = al-sunnah.
6. Ta marbûṯah
viii
Jika ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka
huruf tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti أبو هريرة = Abû
Hurairah.
7. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan
oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya, seperti البخاري = al-Bukhâri.
ix
ABSTRAK
M. Aristo Rahman
Ajaran Mistik Wahdah al-Wujûd Dalam Tafsir ‘Abd ar-Razzâq al-
Qâsyânî (Studi Analitis Surat al-Hadîd 1-6)
Penulisan ini dilatarbelakangi oleh pentingnya ilmu tasawuf, sebagai
ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang dapat
membersihkan diri untuk menuju kepada Allah. Banyak sekali muslim di
zaman sekarang yang cenderung mengabaikan ilmu ini, sehingga tidak
mengenal metode perjalanan ma’rifah seperti yang di ajarkan oleh Zûn Nûn
al-Misrî, kemudian metode perjalanan mahabbah yang diajarkan oleh
Rabî’ah ‘Adawiyyah, metode perjalanan fanâ wa al-baqa seperti yang
diajarkan oleh Abû Yazîd al-Bustâmi, metode perjalanan hulûl seperti yang
diajarkan oleh al-Hallâj, dan metode perjalanan wahdah al-wujûd seperti
yang diajarkan oleh Ibn ‘Arabî. Dalam penelitian ini penulis ingin meneliti
perjalanan ajaran wahdah al-wujûd dalam penafsiran yang dilakukan oleh
al-Qâsyânî dalam tafsir yang dinisbahkan kepada Ibn ‘Arabî. Tema ini tentu
sangatlah berguna untuk masyarakat modern seperti saat ini, dalam
mengawal dan memandu perjalanan hidup umat agar selamat dunia dan
akhirat. Mengkaji kembali ke dalam sumber utama Islam, yakni al-Qur’ân
untuk memperoleh kembali pemahaman tujuan hidup yang sesuai dengan
fitrah manusia, bagi penulis merupakan keharusan yang mendasar, demi
kesejatian manusia dan tercabutnya alienasi manusia. Al-Qur’ân
mengaktualisasi gagasan ideal kebahagian menjadi tindakan-tindakan
kongkrit menuju kebahagian itu sendiri.
Dalam paham wahdah al-wujûd, ada yang namanya khalq (makhluk)
dan lahut menjadi haq (Allah). Khalq dan haq adalah dua aspek bagi tiap
sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah
dalam disebut haq. Kata-kata khalq dan haq merupakan sinonim dari ‘ard
,الظاهر) dan dari al-zahir ,(substance ,الجوهر) dan al-jauhar (accident ,العرض)
lahir, luar) dan al-batin (الباطن, batin, dalam). Dengan kata lain dalam tiap-
tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat
kemakhlukan atau khalq.
Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, penulis menggunakan
metode deskriptif analitis, yakni data yang dikumpulkan pertama-tama
disusun, dijelaskan dan baru kemudian dianalisa. Dengan rincian bahwa
untuk menggali penafsiran al-Qâsyânî terhadap wahdah al-wujûd diperlukan
tafsir itu sendiri dan karya-karya al-Qâsyânî lainnya seperti Latâ`if al-‘Alâm
fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, Manâzil al-Sâ`irîn, dan lain-lain. Setelah data-data
terkumpul, lalu dijelaskan serta dianalisis secara mendalam, sehingga akan
tampak jelas jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok
permasalahannya. Kajian ini juga menggunakan pendekatan tahlili, metode
penelitian yang berangkat dari pemikiran ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî secara
umum, kemudian digunakan untuk mencari Konsep Ajaran Wahdah al-
Wujûd menurut ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî dalam QS. Al-Hadîd ayat 1-6,
lalu menganalisanya lewat ilmu-ilmu bantu yang relevan, untuk kemudian
melahirkan konsep wahdah al-wujûd yang utuh dalam perspektif al-
Qâsyânî.
x
Kata kunci: keotentikan tafsir, wahdah, wujûd, wahdah al-wujûd, al-
Qâsyânî.
xi
KATA PENGANTAR
الرحيمبسم هللا الر حمن
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah
mencurahkan kasih sayang, kesehatan dan ridho-Nya serta memberikan
istiqomah, keikhlasan dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul: Ajaran Mistik Wahdah al-Wujûd Dalam Tafsir
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî (Studi Analitis Surat al-Ḥadid 1-6) Shalawat
dan salam kepada nabi Muhammad Saw junjungan para umat yang berpikir,
di mana mencari sebuah kebenaran dalam sebuah konsep ketuhanan yang
telah dikonsep secara rapi dan sistematis untuk umatnya hingga akhir
zaman.
Penulis sangat bersyukur atas selesainya tugas akhir untuk jenjang
pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh. Penulis yakin di dalam
penulisan skripsi ini pasti banyak kekurangan di dalam menyelesaikannya.
Maka dari itu penulis menyadari dan mempunyai kewajiban untuk
menghaturkan permintaan maaf kepada pembaca atas ketidaksempurnaan
yang memang itu telah kodrat bagi manusia itu sendiri.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin
dapat tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari
itu sebagai ungkapan rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat:
1. Segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta: Bapak Prof. Dede Rosyada, MA. Selaku
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya dan
xii
Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin, Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA. Selaku Ketua
Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur`an
dan Tafsir.
2. Bapak Moh. Anwar Syarifuddin, M.A, selaku dosen
pembimbing penulis yang telah memberikan arahan, saran dan
dukungan kepada penulis, sehingga skripsi dapat terselesaikan.
Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama proses
bimbingan penulis banyak merepotkan. Semoga ibu selalu
sehat dan diberikan kelancaran dalam segala urusannya. Amin.
3. Bapak Muhammad Zuhdi Zaini, M.Ag., selaku dosen
pembimbing akademik yang telah membimbing penulis dari
semester satu hingga selesai.
4. Seluruh dosen pada Fakultas Ushuluddin khususnya di
Program Studi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir atas segala motivasi,
ilmu pengetahuan, bimbingan wawasan dan pengalaman yang
telah diberikan. Kepada seluruh staf dan karyawan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai dan
sayangi ayahanda Syamsuri M. Zien S. Pd.I dan ibunda
xiii
tercinta Maimunah S, Pd.I yang selalu memberikan masukan
kepada saya untuk selalu semangat dan sabar dalam
menyelesaikan skripsi ini dan tidak lupa mereka selalu
mendoakan saya agar selalu diberikan kesehatan dan waktu
luang agar dapat mengerjakan skripsi ini dengan baik dan
benar. Kedua orang tua adalah sumber inspirasi bagi penulis
dalam menjalankan hidup dan menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada saudara-saudara penulis yang tersayang Fikri Haidadi,
Fadilah Febriyanti, serta keluarga besar penulis yang selalu
memberikan semangat dan mendoakan penulis dalam
penyelesaian penulisan skripsi ini.
8. Kepada Kiyai Pondok Pesantren KH. Mahfudz Asirun an-
Nadawi yang telah membimbing saya serta guru yang selalu
mengingatkan santrinya dalam hal apa pun, semoga selalu
dipanjangkan umurnya dan bermanfaat ilmunya. Amiin.
9. Kepada Ustadz Siroji As’ad, S. AG. yang telah membimbing
penulis dan juga sekaligus mengoreksi penelitian ini dari awal
sampai akhir, semoga Allah selalu merahmati. Amiin.
10. Kepada sahabat perjalanan Sirru al-Asrar, Ahmad Mubarok,
Aizza Faqih, Bang Farid, Ahmad Sobri, Jamaluddin, Bang
Lail, Bang Asep, Haikal, Mujib, Asrul, Bang Iwan, Bang Adi,
yang telah menyemangatkan dan membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini. semoga kita menjadi pertemanan
yang tulus persahabatan yang ikhlas. Amiin.
xiv
11. Kepada Kaum Jenggot (Haikal, Feby, Fauzi, dan As’ad) yang
telah membantu serta menjadi penghibur disaat penulis sedang
pusing dalam penelitian ini semoga kalian selalu dirahmati
Allah. Amiin.
12. Dan kepada teman-teman yang penulis tidak dapat sebutkan
namanya satu persatu yang mana selalu memberikan semangat
dan motivasi penulis dalam menyelasaikan karya ilmiah ini.
Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah
SWT. Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka
dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Jakarta, Maret 2018
M. Aristo Rahman
xv
Daftar Isi
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................ ix
KATA PENGANTAR ........................................................................................ xi
Daftar Isi .............................................................................................................. xv
BAB I Pendahuluan ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................ 1
B. Batasan Masalah ......................................................................................... 11
C. Rumusan Masalah ....................................................................................... 11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................... 11
A. Tinjauan Kepustakaan ................................................................................. 12
B. Metodologi Penelitian ................................................................................. 14
C. Sistematika Penulisan Skripsi ..................................................................... 15
BAB II ANTARA ORTODOKSI DAN HETERODOKSI TAFSIR ................ 17
A. Pengertian Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir ............................................. 17
B. Sejarah Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir .................................................. 21
C. Legalitas dan Otoritas Tafsir Sufi ............................................................... 31
D. Prokontra Tafsir Sufi yang bercorak Isyari ................................................. 38
BAB III AKTIFITAS DAN PEMIKIRAN ‘ABD AL-RAZZÂQ
AL-QÂSYÂNÎ ....................................................................................................... 49
A. Perjalanan hidup ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî ............................................. 49
B. Guru-guru ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî ....................................................... 51
C. Profil Kitab Tafsir al-Qâsyânî yang dinisbahkan kepada Ibn ‘Arabi .......... 55
D. Pengertian Wahdah al-Wujûd ..................................................................... 65
BAB IV MAKNA AJARAN MISTIK WAHDAH AL-WUJÛD DALAM
TAFSIR ‘ABD AL-RAZZÂQ AL-QÂSYÂNÎ (STUDI ANALITIS SURAT
AL-HADÎD AYAT 1-6) ........................................................................................ 78
A. Makna Ajaran Mistik .................................................................................. 78
B. Makna Kata al-Hadîd .................................................................................. 90
C. Korelasi Makna Ayat Wahdah al-Wujûd dan Ayat Kauniyah dalam
Penafsiran ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî Surat al-Hadîd Ayat 1-6 ........................ 91
D. Nilai Sufistik dalam tafsir al-Qâsyânî dari ayat Waḥdah al-Wujûd dan
Kauniyyah pada surah al-Hadîd ayat 1-6 .......................................................... 103
BAB V .................................................................................................................. 111
xvi
PENUTUP ............................................................................................................ 111
A. Kesimpulan ............................................................................................... 111
B. Saran-saran ................................................................................................ 113
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 115
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara tradisional terdapat tiga cabang ilmu pengetahuan Islam, yaitu
kalam, fikih, dan tasawuf. Ketiganya lahir secara sendiri-sendiri, tetapi
saling mengait. Ilmu kalam lahir sebagai kelanjutan dari kontroversi sekitar
pembunuhan ‘Utsmân ibn ‘Affân. Kontroversi tersebut melahirkan teori
tentang prilaku dosa besar. Golongan Khawârij menyatakan bahwa orang
mukmin yang melakukan dosa besar adalah kâfir sehingga harus dibunuh.
Bagi Ahl al-Sunnah pelaku dosa besar tidaklah kâfir tetapi fâsiq. Orang
fâsiq harus bertobat. Selanjutnya jika tobatnya diterima ia menjadi ahli
surga, kalau tidak diterima ia mendapat hukuman di akhirat sesuai dengan
dosanya. Berbeda dengan dua kelompok di atas, Mu’tazilah berpendapat
bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin bukan kâfir. Kelompok ini
mengambil posisi di antara keduanya (al-manzilah baina al-manzilatain).1
Sedangkan, ilmu fikih menurut bahasa itu paham, artinya Allah
memberikan sebuah pemahaman, sedangkan menurut istilah adalah ilmu
yang mempelajari hukum-hukum syari’at melalui ijtihad yang dilakukan
oleh para ulama fikih yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw, dan perlu
diketahui ilmu fikih itu bersifat eksoteris (menekankan aspek lahir). Tidak
selalu memuaskan zauq (rasa) para pengamalnya, sehingga muncul dimensi
tasawuf yang memberikan alternatif pemenuhan kebutuhan rohani manusia.
Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang
1 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta:
UI Press, 1987).
2
muslim dapat membersihkan diri untuk menuju kepada Allah yang berwatak
esoteris (menekankan aspek batin), seperti menghilangkan kotoran-kotoran
yang ada dalam hati, agar apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan
nabiNya berjalan dengan stabil.
Tasawuf yang semula berorientasi pada prilaku praktis, seperti yang
dicontohkan oleh Rasulûllah dan para sahabatnya dengan al-Qur’ân dan
Sunnah sebagai landasannya, dalam perkembangan selanjutnya mengalami
perluasan. Hal tersebut karena tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu, analisis
teologis, dan filosofis kemudian mewarnai keberadaannya. Ketika tasawuf
masih berupa realitas tanpa nama, ia menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari kehidupan Rasulȗllah dan para sahabatnya. Ketaatan Rasulȗllah kepada
segala titah Allah, kedermawanan Abȗ Bakr al-Siddiq, kepedulian ‘Umar
ibn al-Khattâb, keistiqomahan ‘Utsmân ibn ‘Affân, dan ketawadhu’an ‘Alî
ibn Abî Talib adalah realitas tasawuf yang mewarnai kehidupan saat itu.
Realitas itu kemudian membentuk karakteristik dalam satu komunitas umat
Islam yang banyak mewarnai kesejukan dan kedamaian yang disebut
sebagai Zuhhâd, Nussâk, ‘Ubbâd, Faqîr.2
Kemudian tasawuf, merupakan salah satu khazanah intelektual Islam
yang kehadirannya saat ini, semakin dirasakan. Secara historis dan teologis
tasawuf mengawal dan memandu perjalanan hidup umat agar selamat dunia
dan akhirat. Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang
memusatkan perhatian pada pembersihan aspek kerohanian manusia yang
selanjutnya menimbulkan kebaikan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani
2 Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakrata: Pustaka Panjimas,
1984), h. 74.
3
manusia selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoterik dari diri manusia.
Melalui tasawuf seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan
pembersihan diri serta mengamalkannya, dan tampil sebagai manusia yang
dapat mengendalikan dirinya, dapat menjaga kejujuran hatinya, keikhlasan
dan tanggung jawab.3
Ketika Nabi Mûsa as. bermunajat ke hadirat Allah Swt, ia memohon
agar diberi kesempatan untuk melihat-Nya. Namun tatkala ber-tajalli pada
sebuah gunung, maka Mûsa melihat gunung itu menjadi hancur dan Musa
tersungkur tak sadarkan diri. Allah memang bukan untuk dilihat secara
indrawi sebab apa yang indrawi sering bias dan memberikan keputusan
salah kepada kita. Mendekati Allah dengan demikian selamanya tidak akan
pernah tercapai, karena indra yang serba terbatas, tetapi lebih dari itu karena
segala keputusan indrawi adalah merupakan hasil dari produk rasional yang
cendrung deskriptif empirik, sementara Allah adalah hakikat mutlak yang
tak terhingga. Dengan demikian mendekati Tuhan melalui indrawi berarti
telah membatasi ulûhiyah-Nya yang tak terhingga, mempersempit
rubûbiyah-Nya yang tak terbatas dan memperkecil huwiyah-Nya yang
bersifat mutlak. Namun demikian bukan berarti bahwa menghubungi Allah
ibarat berada dalam tabung kosong yang tak bisa didekati secara manusiawi,
karena ternyata banyak para ulama sufi yang mampu menceritakan
pengalaman rohaninya bersama keagungan dan kebesaran Allah melalui
mujâhadah, dan muqarâbah. Pengamalan rohani mereka yang berupa
3 Abduddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012).
4
kedamaian bersama keagungan-Nya disebut ḥulûl, ittiḥâd, wahdah al-
wujûd.4
Ajaran tasawuf terus berkembang seiring dengan lahirnya para tokoh
tasawuf pada setiap generasi. Pada abad pertama dan kedua, tasawuf identik
dengan paham asketisme (zuhd), pada abad ketiga tasawuf mulai
membicarakan latihan spiritual (riyâdoh) yang dapat membawa manusia
dekat dengan Tuhan, berbeda antara konsep yang satu dengan konsep yang
lainnya, ada yang sampai ke tingkat ma’rifah, seperti Zûn Nûn al-Misrî. Ia
juga dikenal dengan panggilan Tsauban bin Ibrâhîm. Ia dilahirkan di
Akhmim, Mesir Selatan pada tahun 156 H. dan meninggal dunia pada tahun
245 H. Abû al-Faydh Tsauban bin Ibrâhīm al-Mishrî sebagai sufi pertama
yang banyak menonjolkan konsep ma’rifah dalam ajaran tasawufnya.
Meskipun sebelumnya, paham ma’rifah sudah dikenal di kalangan para sufi,
Zûn Nûn al-Mishrî lah yang sebenarnya lebih menekankan paham ma’rifah
dalam tasawuf.5 Menurut Zûn Nûn al-Misrî ada tiga macam pengetahuan
tentang Tuhan:
1. Pengetahuan awam: Tuhan satu dengan perantaraan ucapan
syahadat.
2. Pengetahuan ulama: Tuhan satu menurut logika akal.
3. Pengetahuan sufi: Tuhan satu dengan me riyâdoh kan hati
sanubari.
4 M. Hasyim Syamhudi, “Hulûl, Ittihâd, dan Wahdah al-Wujûd dalam
Perbincangan Ulama Zahir dan Batin”, Al-Tahrîr Vol. 13, No. 1 Mei 2013: 107-126. 5 Bahdar, “Zûn Nûn al-Mishrî Riwayat Hidup dan Konsep Ma’rifahnya”, Hunafa
Vol. 3, No. 2, Juni 2006: 206-214.
5
Menurutnya dalam pengetahuan dalam arti satu dan dua belum
merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut ilmu
bukan ma’rifah. Pengetahuan dalam arti ketigalah yang merupakan
pengetahuan hakiki tentang Tuhan dan pengetahuan itu disebut ma’rifah.
Ma’rifah hanya terdapat pada kaum sufi, yang sanggup melihat Tuhan
dengan hati sanubari mereka. Ketika Zûn Nûn al-Misrî pernah ditanya,
bagaimana ia memperoleh ma’rifah tentang Tuhan, ia menjawab:
عرفت ربي بربي ولول ربي لما عرفت ربي
Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku dan jikalau bukan karena
Tuhanku sungguh aku tidak pernah kenal dengan Tuhanku.6
Ada yang sampai ke tingkat al-fanâ` wa al-baqâ` seperti Abû Yazîd
al-Bustâmi (200-261 H), al-Bustâmi adalah orang pertama yang memakai
istilah fanâ’sebagai kosakata sufistik. Dia mengadopsi teori monisme dari
gnostisisme hindu-budha. Konsep murâqabah (pendekatan spiritual) yang
dipahaminya disejajarkan dengan ajaran samadi (meditation) yang pada
puncaknya mencapai ekstasi (fanâ`) di mana terjadi penyatuan antara yang
mendekat (murâqib, yakni sufi) dan yang didekati (muraqab, yakni Allah).
Pada konteks ini diketahui bahwa Bustāmi memilah antara konsep ibadah
dan ma’rifah di mana ahli ibadah (ritual normatif) dipersepsikan sebagai
orang yang jauh untuk dapat meraih ma’rifah (tingkat spiritualitas hasil
pendakian sufistik). Ittihâd (yang menjadi teori sentral dari al-Bustâmi)
tampak sebagai suatu tingkatan dalam tasawuf di mana yang mencintai dan
yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu kepada yang lainnya
6 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 2008), h. 60.
6
dapat saling berkata: hai aku (ya Ana!).7 Konsep ittihâd ini merupakan
pengembangan dari konsep fanâ’ dan baqâ’ yang dicetuskannya.
Menurutnya, setelah mencapai ma’rifat, seseorang dapat melanjutkan
kepada maqam selanjutnya yaitu fanâ`, baqâ` dan akhirnya ittihâd. Fanâ’
adalah penyirnaan diri dari sifat keduniawian yang dilukiskan laksana
kematian jasad dan lepasnya ruh menuju kepada kekekalan (baqâ’) dan dari
sini dapat melangkah kepada penyatuan dengan Allah (ittihâd). Pada titik ini
kerap terjadi apa yang diistilahkan dalam dunia sufi sebagai syatahat atau
keadaan tidak sadar karena telah terjadi penyatuan dimana dia seolah
menjadi Allah itu sendiri. Konsep fanâ` sebenarnya memiliki beberapa
pemaknaan yang dapat diikhtisarkan menjadi tiga. Pertama, ungkapan
majazi bagi penyucian jiwa dari hasrat-hasrat keduniawian. Kedua,
pemusatan akal untuk berfikir tentang Allah semata dan bukan selainnya.
Ketiga, peniadaan secara total kesadaran atas eksistensi diri dengan
meleburkan kesadaran dalam eksistensi Allah semata. Inilah yang disebut
sebagai fi al-fanâ` fanâ` (peniadaan dalam peniadaan) atau baqâ` fi Allah
(menyatu dalam Allah). Salah satu perkataan beliau adalah:
أعرفه بي حتى فنيت ثم عرفته به فحييت
Aku kenal Tuhan dengan ku, hingga aku hancur, kemudian aku aku
mengenalNya melalui diriNya, maka aku pun hidup.8
Ada yang sampai ke tingkat hulûl seperti al-Hallâj (332-396 H).
Hulûl menurut keterangan Abû Nasr at-Tûsi dalam al-Luma ialah paham
yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu
7H.Sujeta, Sufisme Lokal Mencari Akar Tradisi Tasawuf Indonesia, (Cirebon:
Pangger Publishing 2015), h. 41. 8Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 64.
7
untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang
ada dalam tubuh itu dilenyapkan, di dalam teks arabnya:
بوبية وأزال عنها معاني البشرية ان هللا اصطفى اجساما حل فيها بمعاني الر
Sesungguhnya Allah memilih tubuh-tubuh manusia untuk bertempat
di dalamnya dengan makna rubûbiyyah dan menghilangkan darinya
tentang sifat-sifat basyariyyah (manusia).9
Al-Hallâj membuat syair tentang ajaran hulūlnya, sebagai berikut:
سر سنا ل هوته الثاقب
في صورة الكل والشارب
#
#
سبحان من اظهر ناسوته
ثم بدا لخلقه ظاهرا
Mahasuci zat yang sifat kemanusiaanNya, membukakan rahasia
cahaya ketuhananNya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi
makhlukNya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan
minum.10
Menurutnya, dalam diri manusia terdapat ketuhanan dan dalam diri
Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian persatuan antara Tuhan
dan manusia bisa terjadi, dan dari sinilah di dalam falsafat al-Hallâj disebut
dengan hulûl. Dan agar dapat bersatu itu, manusia harus terlebih dahulu
menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dengan fanâ`.11
Ada yang sampai ke tingkat wahdah al-wujûd seperti Ibn ‘Arabî 560-
638 H.12
Dalam paham wahdah al-wujûd, nasut yang ada dalam hulûl
diubah oleh Ibn ‘Arabî menjadi khalq, dan lahut mejadi haq yang sebelah
luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haq. Makhluk
dijadikan dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan, sebagai sebab dari
9 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 71.
10 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 72.
11 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 73.
12 Tafsir al-Qâsyânî, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, juz II, (Lebanon: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah 2011), h. 3-7.
8
segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan tak akan
mempunyai wujud. Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki.
Dengan demikian yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Tuhan
danwujud yang dijadikan ini pada hakikatnya bergantung kepada wujud
Tuhan.yang dijadikan sebenarnya tidak mempunyai wujud. Yang
mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Allah. Dengan demikian hanya ada
satu wujud, yaitu wujud Tuhan. Sebagaimana Ibn ‘Arabî berkata:
مكانه لنفسه فوجوده ان المحدث قد ثبت حدوثه وافتقاره الى محدث احدثه ل
من غيره ول بد ان يكون المسند اليه واجب الوجود لذاته غني ا في وجوده بنفسه
الحديث, الحديث واجب الوجود ولكن غير مفتقر, وهو الذي اعطى الوجود بذاته لهذا
وجوبه بغيره ل بنفسه
Sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan dan bahwa
ia berhajat kepada Khalik yang menjadikannya karena ia hanya
mempunyai sifat mumkin (mungkin ada dan mungkin tidak ada), dan
dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain, dan
sesuatu yang lain tempat ia bersandar ini haruslah sesuatu yang pada
esensinya mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan
tak berhajat kepada yang lain dalam wujudnya, bahkan ialah yang
dalam esensinya memberikan wujud bagi yang dijadikan, dengan
demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib, tetapi sifat wajib ini
bergantung pada suatu yang lain, dan tidak pada dirinya sendiri.13
Dengan demikian ilmu tasawuf adalah suatu ilmu agar seseorang
dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri melalui
zikir dan riyâdoh serta mengamalkannya, dan tampil sebagai manusia yang
dapat mengendalikan dirinya, dapat menjaga kejujuran hatinya, keikhlasan,
tanggung jawab, dan mengetahui esensi segala sesuatu.
Dalam konteks ini, dan berbagai macam konsep yang telah ditawarkan
oleh para tokoh sufi, penulis tertarik untuk membahas tema wahdah al-
13
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 77.
9
wujâd, karena banyak ayat-ayat al-Qur’ân yang mengindikasikan tentang
wahdah al-wujûd, dan ayat-ayat tersebut tak bisa dilepaskan dari penafsiran
para ulama sufi, karena kepedulian meraka terhadap sistem yang ada dalam
persada bumi ini. Para sufi mengadaikan bahwa eksistensi manusia dan
seluruh alam semuanya adalah hasil emanasi Tuhan, sehingga manusia
harus benar-benar memahami betul dari mana mereka berasal, untuk apa
mereka ada di persada bumi ini, dan hanya kepada Nya mereka di
kembalikan. Pengandaian tersebut agar manusia tahu tujuan hidup di bumi
ini, dengan berbagai macam cara latihan spiritual (riyâdoh) di antaranya,
mujâhadah, dan muqarâbah.14
Dalam membahas tema ini penulis memilih salah seorang ulama abad
ke-8 yaitu ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî .15
Penulis memilihnya karena beliau
adalah seorang tokoh ulama sufi yang berasal dari Iran yang di mana
pemikirannya telah terpengaruhi oleh Ibn ‘Arabî dan beliau juga sudah tidak
diragukan lagi kedalaman dan keluasan ilmunya. ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî
adalah seorang yang mulia, guru besar, beliau dianggap tokoh tasawuf yang
dipengaruhi pemikirannya oleh Ibn’Arabî dengan konsep wahdah al-wujûd.
Konsep wahdah al-wujûd nya telah banyak menjadi alat dalam menjelaskan
berbagai masalah. Sejak kecil al-Qâsyânî tidak pernah merasa puas dengan
ilmu yang dimilikinya, ia mencurahkan hidupnya untuk menuntut ilmu
bersama orang yang ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, sehingga
ia menjadi seorang yang ahli dalam berbagai hal. Beliau sempat
14
M. Hasyim Syamhudi, “Hulûl, Ittihâd, dan Wahdah al-Wujûd dalam
Perbincangan Ulama Zahir dan Batin”, al-Tahrîr Vol. 13, No. 1 Mei 2013: 107-126. 15
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, Latâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, jilid 1, cet 1,
(Kairo : Maktabah al-Saqâfah al-Dîniyyah, 2005), h. 8.
10
mengajarkan kepada manusia ilmu tentang ushul fiqh, ilmu ushul kalam,
sampai suatu saat beliau merasa janggal di dalam mengajarkan ilmi-ilmu
tersebut, karena beliau mendapatkan sebuah kekeringan spiritual ajaran
Islam, sehingga beliau hijrah menuju kepada jalan hakikat untuk
menyeimbangi ilmu-ilmu yang beliau pelajari dan beliau ajarkan.16
Dalam visi sufistiknya, beliau banyak menuangkan pemikirannya
dalam sebuah karya intelektualnya, dan juga ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî
mempunyai sebuah kitab tafsir al-Qur’ân dengan nama Ta`wilât al-Qur’ân
yang kemudian dinisbahkan kepada Ibn ‘Arabi menjadi Tafsir Ibn ‘Arabî.
Mengkaji pandangan wahdah al-wujûd ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî
yang demikian tentu sangatlah berguna untuk masyarakat modern seperti
saat ini, karena mengawal dan memandu perjalanan hidup umat agar
selamat dunia dan akhirat.
Mengkaji kembali ke dalam sumber utama Islam, yakni al-Qur’ân
untuk memperoleh kembali pemahaman tujuan hidup yang sesuai dengan
fitrah manusia, bagi penulis merupakan keharusan yang mendasar. Demi
kesejatian manusia dan tercabutnya alienasi manusia, al-Qur’ân
mengaktualisasi gagasan ideal kebahagian menjadi tindakan-tindakan
kongkrit menuju kebahagian itu sendiri. Dari sini akhirnya penulis tertarik
untuk menulis skripsi dengan judul: “Ajaran Mistik Wahdah al-Wujûd
dalam Tafsir ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî (Studi Analitis Surat al-Hadîd 1-
6)”
16
‘Abdullah al-Ansâri, Manâzil al-Sâ`irin, (Lebanon: Mussasah al-Târikh al-‘Arabi
t. t.), hal. 19.
11
B. Batasan Masalah
Dari latar belakang Pembahasan yang berhubungan dengan tasawuf
kemudian menimbulkan konsep-konsep yang dicetuskan oleh para tokoh
sufi, penulis ingin membahas berbagai macam konsep yang ditawarkan oleh
para tokoh sufi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sehingga orang-
orang seperti itu mengetahui secara proporsional hakekat wujud, dan juga
penulis ingin membahas “Ajaran Mistik Wahdah al-Wujûd ‘Abd al-Razzâq
al-Qâsyânî dalam QS. Al-Hadîd ayat 1-6.”
C. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah di atas dan agar dalam pembahasan nantinya
lebih terarah dengan baik dalam menjelaskan objek yang dimaksud. Maka
peneliti perlu mengidentifikasi pokok masalah yang akan menjadi objek
pembahasan. Maka permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Bagaimana Penafsiran ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî Tentang Doktrin
Wahdah al-Wujûd dalam QS. Al-Hadîd ayat 1-6.”?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian atau kajian tentu mempunyai tujuan yang
mendasari tulisan ini, yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa itu Wahdah al-Wujûd dikalangan para ‘Ulama
Sufi.
2. Untuk mengetahui Konsep Ajaran Wahdah al-Wujûd menurut ‘Abd al-
Razzâq al-Qâsyânî dalam QS. Al- Hadîd ayat 1-6.
3. Untuk mengetahui kitab Tafsir yang dinisbhakan kepada Ibn ‘Arabî.
12
4. Untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menyelesaikan gelar sarjana
strata satu (SI) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
(UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sedangkan manfaatnya, yaitu sebagai berikut :
2. Dengan adanya kajian ini, dapat menambah wawasan keilmuan
khususnya dalam bidang tafsir.
3. Dengan adanya kajian ini, dapat memberikan kontribusi bagi pembaca
dalam memahami Wahdah al-Wujûd.
4. Dengan adanya kajian ini penulis berharap mudah-mudahan dapat
dijadikan sebagai literatur dan dorongan untuk mengkaji masalah
tersebut lebih lanjut.
A. Tinjauan Kepustakaan
Kajian tentang wahdah al-wujûd banyak dikaitkan dengan Ibn ‘Arabi,
dari sini lah kemudian dikenal beberapa yang mengkaji Ibn ‘Arabi, seperti
disertasi “Wahdah al-Wujûd Ibn ‘Arabi dan Panteisme” karya Kautsar
Azhari Noer, dalam disertasi tersebut membahas tentang pemikiran wahdah
al-wujûd Ibn ‘Arabi dan panteisme, apakah wahdah al-wujûd
dikategorikan sebagai panteisme atau tidak, kemudian disertasi berjudul
“Falsafat al-Ta’wil” karya Nasr Abu Zayd, dalam disertasi tersebut
menjelaskan pemikiran Ibn ‘Arabi dalam menafsirkan al-Qur’an yang di
kaji secara filsafat hermeuneutika, kemudian jurnal dengan judul “Wahdah
al-Wujûd dalam Pemikiran Ibn ‘Arabi”, karya Abd Halim Rofi’i, dalam
jurnal tersebut membahas tentang wahdah al-wujûd, wujud, dan martabat,
kemudian jurnal “Doktrin Teosofi Wahdah al-Wujûd “, Jurnal Hunafa,
13
Vol. 2 No. 1 April 2005, karya Sagir M. Amin, dalam jurnal tersebut
membahas tentang wahdah al-wujûd, mahiyah, sufisme, dan intelektual Ibn
‘Arabi, dari sini pula ketika ada satu kitab tafsir yang itu mengkaji atau
menggali banyak memuat ajaran-ajaran wahdah al-wujûd tafsir ini
dinisbahkan kepada Ibn ‘Arabi.
Dalam temuan filologi terbaru menegaskan bahwa tafsir itu bukan
dikarang oleh Ibn ‘Arabi sendiri tetapi oleh al-Qâsyânî, ini dibuktikan oleh
Jonathan dalam artikelnya yang berujudul “The Palm Tree of The Soul: The
Mystical-Philosophical Tafsir of ‘Abd al-Razzâq al-Kâsyânî”, artikel
tersebut menjelaskan tentang kecendrungan al-Qâsyânî dengan pemikiran
Ibn ‘Arabi dan menganalisis sebuah tafsir yang diberi nama tafsir Ibn
‘Arabi, kemudian tesis yang berjudul “Concept of Chivalry (Futuwwah)
According to ‘Abd al-Razzâq al-Kâsyânî: Analysis on His Tuhfah al-
Ikhwân fi Khasa`is al-Fityân” karya Fatemeh Tayefeh Aghakhan
Hashtroodi, dalam tesis tersebut menjelaskan tentang sebuah kesopanan
yang berasaskan wahdah al-wujûd menurut Abd al-Razzâq al-Qâsyânî
dengan menganalisis sebuah karyanya yang berjudul Tuhfah al-Ikhwân fi
Khasa`is al-Fityân, kemudian jurnal yang berjudul “Symbolism in Tafsir
Attributed to Ibn ‘Arabi” karya Beman Ali Mongabadi, Sara Naderi dan
Ahmad Zeinal, Journal of IslamicStudies and Culture, Juni 2016, Vol. 4,
No. 1, dalam jurnal tersebut menjelaskan tentang simbolik dalam tafsir yang
dinisbahkan atau dikaitkan oleh Ibn ‘Arabi.
Kajian penulis dalam skripsi ini berbeda, terutama dengan artikel yang
ditulis oleh Jonathan, saya tidak mengkaji persoalan jiwa tetapi penulis
14
mengkaji wahdah al-wujûd dari asma Allah yang bersifat tasybih dan tanzih
di dalam surah Al- Hadîd ayat 1-6, yang disitu disebutkan bahwa asma
Allah itu dimaknai sebagai kesatuan Tauhid, sehingga kemudian penulis
ingin mengkaji tentang konsep wahdah al-wujûd menurut al-Qâsyânî.
B. Metodologi Penelitian
Untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa
metode, diantaranya:
1. Jenis Penelitian
Dalam melakuan penelitian baik penelitian atau penelitian
kepustakaan dibutuhkan metode yang akurat, sehingga hasilnya bisa
diterima secara akademik dan ilmiah. Demikan halnya dalam penelitian ini,
penulis melakukan langkah-langkah ilmiah. Dalam penyusunan karya tulis
ini, jenis penelitian yang digunakan dilihat dari tempat aktivitasnya adalah
kepustakaan (library reseach).17
Metode ini dimulai dengan mengumpulkan
data primer untuk digunakan sebagai landasan dari penelitian ini yang
kemudian didukung dengan menggunakan data-data lain yang bersumber
dari data sekunder yang berkaitan dengan tema dari penelitian ini. Sumber
data primer adalah buku atau literatur yang menjadi rujukan dalam
penelitian ini adalah kitab Tafsir al-Syaikh al-Akbar Muhyi al-Dîn Ibn
‘Arabi atau disebut juga Tafsir Ibn ‘Arabî. al-Futûhât al-Makiyyah, Fusûs
al-Hikam, Latâif al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, Manâzil al-Sâi`rîn dan
data-data primer lainnya. Sedangkan sumber data sekunder adalah Akhlak
Tasawuf karya Abudin Nata, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya
17
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, cet. ke 9,(Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 173.
15
karya Buya Hamka, Merajut Tradisi Syari’ah Sufisme karya Muhammad
Abd Haq Anshâri, Disertasi Doktor, Waḥdat al-Wujûd Ibn ‘Arabî dan
Panteisme karya Noer Kautsar Azhari, al-Fiqh ‘Inda al-Syaikh al-Akbar
Muhyi al-Dîn Ibn ‘Arabî karya Mahmud Al-Gharîb, Îdâh al-Maqsûd min
Wahdah al-Wujûd karya ‘Abd al-Ghâni An-Nâbulisî, juga karya-karya
penulis lain yang membahas baik secara dekriptif atau pun dalam bentuk
kritik terhadap ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, serta bahan-bahan lain yang
mendukung.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan bersifat eksploratif dalam artian
menggali data yang berkaitan untuk kemudian menganalisis konsep dan
karakteristik pemikirannya dengan mengacu pada berbagai data dari
sumber-sumber yang diperoleh.
3. Metode Analisis Data
Metode yang dipakai oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini
nantinya adalah metode deduktif atau dalam metode tafsir disebut dengan
metode tahlili, yaitu metode penelitian yang berangkat dari pemikiran ‘Abd
al-Razzâq al-Qâsyânî secara umum, kemudian digunakan untuk mencari
Konsep Ajaran Wahdah al-Wujûd menurut ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî
dalam QS. Al-Hadîd ayat 1-6.
C. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memudahkan pembahasan dan lebih terarah kajian ini, perlu
dibuat sistematika penulisan sebagaimana di bawah ini:
16
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, biografi ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî yang memuat,
sejarah hidup dan keilmuan ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, guru, murid serta
karya-karya ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, analisa tafsir yang dinisbhakan Ibn
‘Arabî, corak penafsiran ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, prokontra para ‘Ulama
terhadap Tafsir Isyârî
Bab ketiga, tinjauan umum Waḥdah al-Wujūd, defenisi Wahdah al-
Wujûd, pemikiran ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî tentang Wahdah al-Wujûd,
definisi Wahdah, definisi Wujûd, dan definisi Wahdah al-Wujûd.
Bab keempat, makna kata al-Hadid menurut ‘Ulama Sufi, memuat
ajaran mistik Wahdah al-Wujûd dalam Tafsir ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî,
penafsiran Wahdah al-Wujûd ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî dalam surah Al-
Hadid ayat 1-6.
Bab kelima, merupakan bab penutup yang merupakan kesimpulan dan
saran-saran yang menjadi jawaban atas pokok permasalahan.
17
BAB II
ANTARA ORTODOKSI DAN HETERODOKSI TAFSIR
A. Pengertian Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir
Secara etimologis ortodoksi berarti ajaran yang benar, heterodoksi
berarti ajaran yang seperti benar padahal tidak.18
Secara terminologi
ortodoksi berarti ketaatan kepada ajaran resmi, sedangkan heterodoksi
penyimpangan kepada ajaran resmi. Dalam Islam dikenal misalnya sunnah
dan bid’ah dalam bidang teologi dan fiqh, mu’tabarah dan ghair
mu’tabarah dalam bidang tasawuf, mu‟tamad dan ghair mu‟tamad dalam
bidang fatwa dan lain-lain.19
Dalam definisi Arkoun ortodoksi adalah ajaran
yang menjadi kesadaran kelompok mayoritas yang dengannya kelompok itu
melihat berbagai kesadaran lain yang dikembangkan oleh kelompok
minoritas sebagai heterodoks.20
Secara etimologi tafsir bisa berarti: االيضاح والبيان (penjelasan), atau
.(pengungkapan) الكشف21
Sedangkan tafsir dalam pengertian istilah
sebagaimana disebutkan Abȗ Hayyan dalam pendahuluan tafsirnya yaitu
suatu ilmu yang membahas tentang al-Qur’an (menyangkut bacaan lafaz dan
maknanya), menjelaskan kaidah struktur kalimatnya, serta aspek lain dalam
18
Ortodoksi berasal dari bahasa Yunani orth yang berarti benar dan doxa yang
berarti ajaran.Jadi ortodoksi berarti ajaran yang benar. Sedangkan heterodoksi berasal dari
kata hetero yang berarti mirip dan doxa yang berarti ajaran. Jadi heteredoksi berarti ajaran
yang mirip namun tidak benar. William L. Reese, Dictionary of Philoshopy and Religion,
Eastern and Western Thought, (New York: Humanity Books, 1996), hal. 540. 19
Fazlur Rahman, Islam (London: The University of Chicago Press, 1979), hal. 236-
237. 20
Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan
Jalan Baru, (Jakarta: INIS, 1994), hal.264. 21
Muhammad Abu Salma, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Islam House,
2009).
18
‘ulȗm al-Qur’an, seperti naskh, asbâb al-nuzȗl, dan lain-lain.22
Tafsir
sebagai proses berarti menerangkan makna al-Qur’an dan seluk-beluknya,
juga kisah di dalamnya serta asbâb al-nuzȗl-nya.23
Ada juga yang
berpendapat bahwa tafsir adalah ilmu untuk memahami dan menjelaskan
makna al-Qur’an, juga untuk mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah-
hikmahnya.24
Berbicara mengenai tafsîr berarti membicarakan pula mengenai istilah
ta’wîl25
yang digunakan oleh para ulama untuk menjelaskan makna yang
terkandung dalam al-Qur’an. Karena dalam hipotesis yang dilakukan oleh
Nasr Hamid Abu Zaid peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks atau
ta’wîl (sisi lain dari teks).26
Istilah ta’wîl dalam pemikiran agama resmi telah
berubah menjadi istilah yang dibenci demi istilah tafsîr. Di balik perubahan
ini ada upaya memberangus semua orientasi pemikiran agama “oposisi”
baik pada tataran intelektual maupun tataran perdebatan kontemporer dalam
kebudayaan. Cap sebagai pemikiran ta’wîlî yang ditunjukan oleh pemikiran
yang dominan terhadap lawannya, bertujuan mengklasifikasikan para
22
Abȗ Hayyan, Al-Bahr al-Muhît fî al-Tafsîr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), juz 1, hal.
14. 23
‘Ali bin Muhammad Al-Jurjâni, Al-Ta’rifât (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), hal. 87. 24
Abȗ al-Faḍl ‘Abd al-Raḥmân Ibn Abî Bakr Ibn Muhammad Jalâl al-Dîn al-
Khudairî al-Suyȗtî, Al-Itqân fî ‘Ulȗm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1951), juz II, hal.
174. 25
Ta’wîl menurut bahasa berasal dari al-awl. Pengertian dari ungkapan: Mâ ta’wîlu
hâdza al-kalâm? maksud dari kalam ini berakibat (bertujuan) ke mana? ‘ala al-amru ilâ
kadzâ, artinya masalah tersebut menjadi demikian. Kata tersebut berasal dari kata al-ma’âl,
yaitu akibat dari kondisi akhir. Awwaltuhu fa’âla, artinya saya mengubahnya maka ia pun
berubah, sehingga kata ta’wîl berarti mengalihkan ayat ke makna yang dimungkinkannya.
Ada yang mengayakan asalnya dari iyâlah, yaitu mengatur, sehingga seolah-olah orang
yang men-ta’wîl ujaran, mengatur ujaran, dan meletakan ujaran pada tempatnya. Lihat. Abȗ
Abdillah Badr al-Dîn Muhammad Ibn Abdillah Ibn Bahâdur al-Zarkasyî, Al-Burhân fî
‘Ulȗm al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957), juz.II, hal. 148-149. 26
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an/
Mafhȗm al-Nash; Dirâsah fî ‘Ulȗm al-Qur’an, penerjemah. Khiron Nahdiyyin,
(Yogyakarta: LkiS, 2002), hal. 275.
19
penganjur pemikiran tersebut ke dalam wilayah mereka yang dalam hatinya
terdapat kebimbangan kemudian mereka mengikuti apa yang tidak jelas
untuk membuat fitnah. Klasifikasi semacam ini pararel dengan wacana
politik praktis yang mencap semua gerakan oposisi atau protes politik
menentang kebijakan eksekutif sebagai gerakan yang bertujuan
membangkitkan fitnah (kekacauan). Sebaliknya ta’wîl-ta’wîl dari pemikiran
resmi disebut sebagai tafsîr, bertujuan menyematkan “objektifitas” dan
“kebenaran” mutlak terhadap ta’wîlnya tersebut. Seolah-olah meresahkan
sikap ulama-ulama pemerintah.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maksud dari istilah ortodoksi
tafsir sejauh yang dipakai dalam tulisan ini berarti ketaatan karya-karya
tafsir terhadap ajaran resmi agama Islam. Sebaliknya heterodoksi tafsir
berarti penyimpangan suatu karya tafsir dari ajaran resmi agama Islam.
beberapa istilah lain telah digunakan untuk menyebut ortodoksi dan
heterodoksi tafsir ini. Muhammad Husain al-Dzahabi misalnya
menggunakan istilah al-tafsîr al-sahîh dan al-tafsîr al-munharifah untuk
menyebut ortodoksi dan heterodoksi tafsir ini.27
Berbicara mengenai ortodoksi dan heterodoksi berarti berbicara
mengenai apa yang disebut episteme oleh Michel Foucault, yaitu aturan-
aturan penyisihan yang diakui dan dipakai oleh suatu masyarakat. Aturan-
aturan itu meliputi: (1) pelarangan, (2) pembagian dan penolakan, (3)
27
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Ittijâhat al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur’an al-
Karîm Dawâfi’uha wa Dâfihâ (Kairo: Dâr al-I’tisâm, 1978), bab I dan II.
20
oposisi antara benar dan salah.28
Walaupun dapat dibedakan, namun dalam
kenyataan ketiga episteme ini saling berkaitan. Suatu ajaran yang dianggap
salah atau sesat misalnya, sudah barang tentu akan ditolak masyarakat, dan
dilarang untuk berkembang. Episteme menurut Michel Foucault adalah
semacam kacamata yang dipakai masyarakat untuk melihat dan memaknai
kenyataan. Bila struktur epistme ini berubah maka berubah pula
kenyataan.29
Dilihat dari pendekatan ini, maka ortodoksi dan heteredoksi tafsir
adalah semacam pembagian, yang diikuti oleh penolakan, bahkan
pelarangan terhadap tafsir yang dianggap heterodoks karena telah
menyimpang dari ajaran resmi agama Islam. Tentu saja apa yang disebut
ajaran resmi agama Islam itu mengalami perubahan dan perkembangan,
sehingga batas-batas ortodoksi dan heterodoksi tafsir pun mengalami
perubahan dan perkembangan. Apa yang dikelompokkan terhadap tafsir
yang heterodoks pada suatu masa, dapat berubah menjadi tafsir yang
ortodoks di masa yang lain. Sebaliknknya tafsir yang diangggap ortodoks
pada suatu masa, boleh jadi akan dianggap sebagai tafsir yang heterodoks di
kemudian masa. Misalnya tafsir al-kasysyâf yang membela pemikiran
mu’tazilah. Ketika Mu‟tazilah menjadi ajaran resmi dinasti Abbasiyyah,
tafsir al-kasysyâf dipandang sebagai bagian dari tafsir yang ortodoks.
28
Michael Foucault, Archeology of Knowlage and The Discaurse on Language
(New York: Pantheon Books, 1971), hal. 149-150. 29
F.R. Ankersmit, Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, terj. Dick
Hartoko, (Jakarta: PT Gramedia, 1987), hal. 310-311.
21
Namun ketika ajaran resmi dinasti tersebut berubah, tafsir semacam itu tiba-
tiba digolongkan ke dalam tafsir yang heterodoks.30
Dengan demikian, ortodoksi dan heterodoksi tafsir itu sesuatu yang
relative sifatnya, tergandung pada perkembangan ajaran resmi agama Islam
dalam alur sejarah. Untuk dapat memahami kenapa sebuah tafsir ditolak
oleh suatu masyarakat diperlukan pemahaman yang memadai tentang
pandangan dunia (Welthanschaung) masyarakat tersebut. Harus diselami
bagaimana masyarakat itu melihat kenyataan, dengan ukuran apa mereka
memilah kenyataan, lalu menyisihkan apa yang mereka anggap salah, tabu
atau gila dari kenyataan yang mereka hadapi. Hal ini karena kenyataan
bukanlah sekedar apa yang terjadi, tapi terutama adalah pemaknaan terhadap
apa yang terjadi. Foucault menyebut “proses yang bekerja” itu sebagai
wacana, yaitu sebuah area pembicaraan, diskusi, polemik di mana pihak-
pihak yang terlibat bertarung memerebutkan hegemoni kebenaran. Sekali
hegemoni kebenaran berubah, maka berubah pula batas-batas ortodoksi dan
heterodoksi.
B. Sejarah Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir
Islam adalah agama yang telah berusia 14 abad pernah mengalami
perubahan batas-batas ortodoksi dan heterodoksi. Pembicaraan mengenai
mana Islam yang sebenar-benarnya dan mana Islam yang menyimpang
adalah masalah klasik yang terus berlanjutan hingga saat ini. Karena itu
30
Dadang Darmawan, “Ortodoksi dan Heteredoksi Tafsir”, dalam Jurnal Refleksi,
V. 13, No. 2 (April 2012), hal. 181-182.
22
Islam sebagai sebuah ajaran agama dalam perjalanan sejarahnya niscaya
mengalami kontinuitas dan perubahan.
Telah menjadi konsensus bahwa ajaran Islam yang telah diwariskan
oleh Rasulullah sudah sempurna. Ia mewariskan dua hal yang merupakan
inti agama yaitu al-Qur’an dan Hadis. Perubahan dan perkembangan
apapun, akan kehilangan label Islamnya jika tidak mendasarkan diri pada al-
Qur’an dan Hadis ini.31
Keduanya adalah unsur yang secara
berkesinambungan menjiwai keseluruhan ajaran Islam.
Setiap ajaran agama yang dipahami dan dipraktikan pasti mengalami
perubahan dan perkembangan.32
Walaupun sumber ajaran agamanya tidak
mengalami perubahan, namun penafsiran dan implementasinya terus
berubah dari zaman ke zaman. Ada yang resmi ada pula yang tidak.
Pembagian resmi dan tidak resmi ini adalah instrument yang digunakan oleh
otoritas keagamaan untuk mengontrol perubahan dan perkembangan. Oleh
karena itu batasan resmi atau ridak resminya suatu ajaran agama sangat
tergantung pada siapa yang memegang otoritas. Bergantinya pemegang
otoritas biasanya diikuti pula dengan bergesernya batas-batas resmi ajaran
itu. Karena itu wacana keagamaan pada awalnya merupakan pertarungan elit
yang kemudian menyebar ke akar rumput lewat propaganda. Elit yang
berhasil membentuk hegemoni kebenaran di kalangan penguasa dan
31
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Ibtellectual
Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hal. 23. 32
Telah diketahui besama bahwa masyarakat dari zaman ke zaman mengalami
proses sosial menuju bentuk kehidupan yang lebih sempurna. Proses ini menimbulkan arus
perubahan yang tidak bisa dibendung. Agar dapat mempertahankan fungsinya sebagai
institusi sosial, agama dituntut agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan
perkembangan sosial ini. Agama yang tidak punya potensi dan energi untuk berubah akan
mati. Lihat. Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990), hal.
127-150.
23
masyarakat akan memperoleh otoritas untuk melempar ajaran yang berbeda
ke dalam wilayah heterodoksi, sementara ia sendiri dapat dengan leluasa
mengklaim bahwa ajarannya lah yang benar.33
Pemegang otoritas yang pertama dan utama dari suatu agama adalah
pendirinya. Ajaran resmi suatu agama adalah ajaran asli yang disampaikan
dan dibangu oleh pendiri agama itu. Dalam Islam, ajaran resmi agama
tersebut dibangun oleh Nabi Muhammad yang kemudian dikodifikasikan
dalam dua buah korpus: al-Qur’an dan Hadis. Rasulullah menegaskan
sendiri hal ini melalui sabdanya terkenal bahawa ia akan meninggalkan
untuk umatnya dua buah pusaka, mereka tidak akan tersesat selama
berpegang teguh pada keduanya, yakni Kitab Allah dan sunnah Nabi.34
Walaupun matan hadis tersebut diragukan keabsahannya oleh kalangan
Syiah,35
namun sudah menjadi keyakinan bersama seluruh umat bahwa al-
Qur’an dan Hadis adalah ajaran resmi Islam yang ditinggalkan Rasulullah.
Sepeninggal Rasulullah otoritas untuk menentukan ajaran resmi
agama diwarisi oleh al-Khulafâ’ al-Râsyidîn. Kata khâlifah sendiri berarti
pengganti yaitu pengganti Rasulullah baik secara politik, sosial, maupun
agama. Pada masa ini batas-batas ortodoksi masih berkutat pada al-Qur’an
33
Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan
Jalan Baru, hal. 265. 34
Mâlik bin Anas, Muwatta’ Mâlik, (Mesir: Dâr al-Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi, t.t),
vol.II, h. 899, hadis no.1594; Al-Hâkim, Al-Mustadrak ‘Ala al-Sâhihain (Beiut: Dâr al-
Kutȗb al-‘Ilmiyyah, 1441 H/1990 M), vol. I, hal. 172, hadits no. 319. 35
Menurut kaum Syi’ah matan hadis ini betentangan dengan matan hadits yang
lebih shahih yaitu hadits tsaqalain yang diriwayatkan oleh Muslim (w. 261H/874 M), Sahîh
Muslim (Beirut: Dâr al-Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi, t.t), vol. IV, hal. 1873, hadits no. 2408.
24
dan Hadis. Tidak ada pergeseran besar kecuali mengenai definisi Islam dan
kodifikasi al-Qur’an.36
Sejak saat itu, yakni pasca mepat khalifah, otoritas untuk menentukan
kebenaran agama tidak lagi terpusan di tangan khalifah, karena para
khalifah terbukti keliru. Otoritas itu mulai diklaim dan menyebar ke tangan
para elit intelektual. Para elit intelektual ini mulai merumuskan Islam yang
benar versi mereka sendiri sebagai oposisi terhadap pemahaman Islam yang
dianut para khalifah, dan mulai mempropagandakannya ke tengah
masyarakat. Sejak saat itu lahirlah berbagai madzhab yang saling berseteru
merebutkan batas-batas ortodoksi.37
Secara normatif, ortodoksi tafsir dapat dilacak akarnya pada hadis-
hadis anti tafsîr bi al-ra’y. Hadis-hadis itu berisi kecaman Rasulullah
terhadap orang-orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y (opini
pribadi). Rasulullah mengancam mereka dengan neraka, sebanding dengan
ancamannya terhadap para pemalsu hadis.38
Hampir satu abad lamanya
tafsîr bi al-ra’y dihindari dan baru muncul kemudian pada awal era dinasti
36
Lihat. Hamdani Anwar, “Masa al-Khulafa al-Rasyidin”, dalam Taufiq Abdullah,
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), juz.II,
hal.38-40. 37
Dadang Darmawan, “Ortodoksi dan Heteredoksi Tafsir”, dalam Jurnal Refleksi,
V. 13, No. 2 April 2012), hal. 190-191. 38
Contoh hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y
ثنا سويد بن عمرو الكلب ثنا سفيان بن وكيع قال: حد ثنا أبو عوانة, عن عبد األعلى, عن سعيد ب حد ن جبير, ي قال: حد
أ , عن الن بي صل ى هللا عليه وسل م, قال: اتقوا الحديث عن ي ال ما علمتم, فمن كذب علي متعم عن ابن عب اس دا فليتبو
أ مقعده من النار, )هذا حديث حسن( مقعده من الن ار, ومن قال في القران برأيه فليتبو
Hadis-hadis anti tafsir bi al-ra’y ini jumlahnya ada dua puluh lima. Tujuh belas
diriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs delapan dari Jundab Ibn Abdillah. Lihat. Abȗ ‘Îsâ
Muhammad bin ‘Îsâ al-Tumȗzi al-Silmî, Sunan al-Turmȗzi, (Kairo: Dâr al-Hadîs, 2010).
25
Abbasiyyah.39
Namun ada beberapa sahabat yang menafsirkan al-Qur‟an
dengan ijtihad. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Muâdz berikut:
ووا أراد أن يبعووث معوواا الووى الوويمن قووال: كيوو أن رسووول هللا صوول ى هللا عليووه وسوول م لم
ا عرض لك قضاء؟ قال: أقضوي بكتواب هللا, قوال: فوان ود فوي كتواب هللا؟ تقضي ا لوم ي
ود فوي سونة رسوول هللا قال: فبسون ة رسوول هللا صول ى هللا عليوه وسولم, قوال: فوان لوم ت
هللا صل ى هللا عليه وسلم, ول في كتاب هللا؟ قال: أجتهد رأيي, ول آلو فضرب رسوو ل
وي رسوول صل ى هللا عليه وسلم صدره, وقال: الحمد لل الذي وفق رسول هللا لموا ير
هللا40
“Bahwasanya Rasulullah Saw ketika mengutus Mu’adz ke Yaman
bersabda: “Bagaimana engkau berhukum apabila datang kepadamu
suatu perkara? Ia menjawab: Saya akan berhukum dengan kitab Allah.
beliau bersabda: Bagaimana tidak engkau temukan dalam kitab
Allah?. Ia menjawab: Maka saya berhukum dengan sunnah Rasulullah
Saw. Beliau bersabda: Bagaiman bila tidak engkau temukan dalam
sunnah Rasulullah Saw dan tidak pula dalam kitab Allah? Ia
menjawab: Saya akan berijtihad dengan pikiran saya dan tidak akan
mundur. Maka Rasulullah saw memukul dadanya dan bersabda:
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada
utusannya, utusan Allah yang diridahi oleh Rasulullah.”
Indikasi penafsiran al-Qur’an dengan ra’y memang telah ada pada
awal abad pertama hijriyah seperti yang terdapat dalam hadis di atas, namun
tafsîr bi al-ma’tsûr lebih banyak digandrungi dan merupakan mainstream
ulama pada saat itu. Kecuali hanya beberapa sahabat saja yang menafsirkan
al-Quran dengan ra’y, seperti ‘Abdullah bin Mas’ûd dan Ibnu ‘Abbâs.
Merka berdua dipandang ahli dalam tafsir, bahkan Ibn Abbas diberi gelar
Turjumân al-Qur’an (Penafsir al-Qur’an). Hal ini berdasarkan barokah doa
Nabi Saw:
ين وعل مه التأويل اللهم فق هه في الد
39 Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah
Wahbah, 2000), juz I, hal.146. 40
Sulaimân bin al-Asy’ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâud, (Kairo: Dâr al-Hadîs,
2010), juz III, hal.303.
26
“Semoga Allah menganugrahinya kecerdasan dalam agama, dan
pengetahuan tentang ta’wîl.”
Ijitihad yang dilakukan oleh para sahabat tersebut telah menyebabkan
perbedaan pendapat dalam menafsirkan lafadz dan ayat.Adab-adab jahîly
(kesusasteraan Arab), baik sya’ir maupun natsar, sebab nuzûl dan adat-adat
kebiasaan orang Arab dalam mempergunakan tutur kata, menjadi sumber
tafsir bagi golongan tafsîr bil ra’y. Selain itu, para sahabat ini menjadikan
kisah-kisah isra’iliyyat dan penjelasan-penjelasannya sebagai dasar bagi
tafsir. Ibn Abbas banyak bertanya kepada Ka’ab al-Ahbar (orang Yahudi
yang telah masuk Islam).41
Setelah tafsîr bi al-ra’y mengukuhkan diri sebagai bagian dari tafsir
yang ortodoks pada abad ke-III H, masuklah kemudian ke dalam batas
ortodoksi corak tafsîr bi al-isyârî, yaitu pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an
yang berbeda dengan makna lahirnya untuk menunjukkan makna yang
tersembunyi sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima seorang sufi.42
Al-Dzahabi menggunakan kata sufi (وفي dalam menyebut tafsir sufi. Ia (الص
mengungkapkan bahwa tafsir sufi ( تفسير صوفي ) adalah:
ا ف عملي كان له أثره في تفسير القرآن الكريم مم ف نظري وتصو وكل من تصو
وفي جعل التفسير الص
“Tasawuf terbagi menjadi dua bagian yaitu nazarî dan ‘amalî, masing-
masing mempunyai pengaruh dalam penafsiran ayat al-Qur’an
sehingga membentuk penafsiran sufistik.”43
41
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2011), hal. 179. 42
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, hal. 261. 43
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, hal. 251.
27
Tafsir semacam ini telah ada semenjak abad ke III hijriah, ulama sufi
yang menempuh jalan tasawuf berupaya menafsirkan makna ayat secara
sufistik dan menulis dalam kitab tafsir. Abȗ Muhammad Sahl bin Abdullah
bin Yunus bin ‘Isa bin Abdullah al-Tustarî telah mengarang kitab tafsir yang
berjudul Tafsîr al-Qur’an al-Azîm atau Tafsîr al-Tustarî. Ia lahir pada tahun
200 H di daerah Ahwaz dan wafat di Basrah tahun 283 H. Ia termasuk orang
‘ârifîn terkenal dengan sikap wara’ dan mendapat anugrah karamah. Dalam
hidupnya, Tustarî (w. 283 H) pernah bertemu dengan sufi besar yaitu
Dzunnûn al-Misrî.44
Sufi lain yang menyusun kitab tafsir adalah al-Sulamî dengan nama
kitabnya Hâqaiq al-Tafsîr. Al-Sulami merupakan seorang tokoh sufi
Khurasan yang lahir pada tahun 330 H dan wafat tahun 412 H, termasuk
sufi periode abad IV H. Menurut al-Dzahabi, kitab tafsir al-Sulamî ini
polanya sama dengan tafsir al-Tustarî yaitu tidak setiap ayat yang diberikan
penafsiran. al-Sulamî menyusun kitab tafsir berdasarkan kumpulan
penafsiran dari ahli hakikat/ para sufi kemudian disusun menurut tertib surat
dalam al-Qur’an. Nama kitabnya Hâqaiq al-Tafsîr terbatas pada
penggunaan pola isyârî dan tidak berlandaskan makna zahir.45
Tafsir al-
Sulamî ini lebih lengkap ketimbang tafsir sebelumnya yakni Tafsîr al-
Tustarî, karena merangkum penafsiran para sufi sebelumnya yang bercorak
isyârî termasuk Tafsîr al-Tustarî.
44
Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, hal. 281. Dzunnûn al-Misrî (w.
860 M) dikenal peletak ajaran ma’rifah. Pengetahuan sufi tentang tuhan itu Esa, melalui
perantaraan hati sanubari. Inilah pengetahuan hakiki tentang tuhan yang disebut dengan
ma’rifah. Lihat. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), hal. 76. 45
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, hal. 284.
28
Kemudian abad abad ke V hijriah, ‘Abd al-Karîm bin Hawazin al-
Qusyairî (w. 465 H) mengarang kitab tafsir yang berjudul Latâif al-Isyârat.
Tafsirnya ini mencerminkan tafsir sufistik yang menyingkapkan tentang
zauq dan memunculkan perasaan yang diperoleh dalam mujâhadah. Di
dalamnya mengandung makna halus al-Qur’an dari penjelasan para sufi.46
Disebutkan oleh Iyazi bahwa al-Qusyairi juga pernah belajar pada al-Sulamî
(w. 412 H).47
Tafsir Sufistik yang muncul pada perkembangan berikutnya yaitu
pada abad VI hijriah yang disusun oleh Ibnu ‘Arabi dengan nama Tafsîr al-
Qur’an al-Azîm. Ibn ‘Arabi lahir di Murcia, Andalus pada tahun 560 H/
1165 M dan lama tinggal di Isybili yaitu sekitar 30 tahun. Di sini ia banyak
menimba ilmu dari beberapa guru di antaranya Abȗ Muhammad ‘Abd al-
Haq bin ‘Abd al-Rahmân al-Isybillî dan al-Qâdî Abȗ Muhammad Abdullah
al-Bazillî sehingga Ibn ‘Arabi dikenal dengan ketinggian ilmunya.39 Dari
perjalanan hidupnya di wilayah timur dan di saat itu pulalah ia
memperdalam pengetahuan tasawufnya maka daerah terakhir yang menjadi
ujung perjalanan hidupnya adalah di Damaskus. Ia wafat dan dikuburkan di
kota itu pada tahun 638 H/1240 M.48
Ibn ‘Arabi adalaah seorang yang
menguasai bermacam ilmu pengetahuan di samping tasawuf. Ia juga dikenal
mengarang kitab hukum, sejarah, sastera, dan yang mengesankan karangan
46
Disebutkan juga di belakang namanya denhan Naisyaburi dimana ia memang
berasal dari daerah Naisyabur (376-465 H). Dalam madzhab fiqh, ia pengikut ajaaran
Syafi’i dan dalam madzhab kalam ia masuk aliran Asy’ari. Lihat. Muhammad ‘Ali ‘Iyâzi,
Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Taheran: Wizârah Thaqâfah Islamiyah, 1414
H/ 1994 M), hal. 603-605. 47
Nama al-Qusyairi sangat terkenal dengan kitab risalahnya yaitu Risalah al-
Qusyairi. Lihat. ‘Iyâzi, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, hal. 604. 48
Mustafa bin Sulaiman, Syarh Fusȗs al-Hikâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2007), h. 9. Lihat juga. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 92.
29
tasawufnya yang bercorak filsafat yaitu al-Futȗhat al-Makkiyyah, Fusȗs al-
Hikâm serta kitab tafsir yang bercorak sufistik. Karena itu ia dikenal dengan
filsuf sufi.49
Pada abad ke V H penafsiran para sufi masih dianggap heterodoks.
Abû al-Hasan al-Wahidî (w. 468 H./1075 M.) ketika mengomnetari Haqâiq
al-Tafsîr mengatakan bahwa siapapun yang meyakini kitab itu adalah tafsir
maka sungguh ia telah kafir. Komentar yang lebih baik terhadap tafsîr bi al-
isyâri baru muncul pada abad ke-7. Ibn al-Salâh (w. 645 H./ 1247 M.)
berkata bahwa berdasarkan prasangka baiknya terhadap orang-orang
terpercaya di kalangan sufi, ia menganggap perkataan para sufi itu sebagai
sisi lain dari isi kandungan al-Qur’an. Hanya saja para sufi tidak boleh
mengklaim pendapat mereka sebagai tafsir, atau berupaya menafsirkan kata-
kata al-Qur’an secara sewenang-wenang seperti yang dilakukan kaum
Bâtiniyyah.50
Al-Qurtubî (w. 671H) menuduh tafsir kaum Bâtiniyyah
sebagai tafsir heterodoks, karena kaum Bâtiniyyah ini terlebih dahulu
meyakini suatu ra’y, baru kemudian mencari dalilnya dalam al-Qur’an.
Selain itu mereka tidak memedulikan konteks ayat, sehingga mereka
menafsirkan ayat semata-mata berdasarkan keumuman lafaznya, tanpa
memerhatikan berbagai atsar yang mungkin membawa informasi penting
tentang makna ayat yang sesungguhnya.51
49
‘Abd al-A’lâ ‘Afifî, Ta’liq Fusȗs al-Hikâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi,
1980), hal. 9. 50
Badruddin Abȗ Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Bahadur bin Abdullah al-
Mihaji al-Zarkasyi, Al-Burhân fi ‘Ulȗm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), hal. 187. 51
Abȗ Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansarî al-Qurtubî,Ta’liq. Muhammad
Ibrahim al-Hifnawi, Takhrij. Mahmud Hamid Utsmân, Tafsîr al-Qurtubî, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), vol 1, hal. 34.
30
Pada abad ke VIII H, tafsir kaum sufi ini telah diakui secara penuh
sebagai bagian dari ortodoksi. Hal ini besar kemungkinan disebabkan usaha
al-Ghâzali (w. 505 H) dua abad sebelumnya yang membela habis-habisan
tafsir kaum sufi ini dalam karyanya, Ihyâ ‘Ulȗm al-Dîn.52
Selain itu setelah
abad ke VI H, ajaran-ajaran sufi telah diterima dan dipraktikan secara luas
oleh masyarakat muslim. Akibatnya, resistensi terhadap tafsir kaum sufi ini
semakin lama semakin memudar, sedang dukungan terhadapnya terus
bermunculan.
Ibn ‘Atâillah al-Sakandarî (w.709 H./ 1309 M.). seorang sufi
masyhur dari Mesir, menyatakan bahwa al-Qur’an selain mengandung
makna eksoterik juga mengandung makna esoterik. Disebutkan dalam hadis
bahwa setiap ayat itu memiliki makna zâhir dan bâtin. Karena itu, kita
hendaknya tidak mengabaikan adanya tafsir esoterik hanya karena hasutan
orang yang menentangnya.
Menurut al-Sakandarî, tafsir kaum sufi ini tidak bermaksud memutar
balikkan isi al-Qur’an. Kecuali tafsir tersebut mengklaim bahwa hanya
makna esoterik yang benar sedang makna eksoteriknya keliru. Ia juga
berpendapat bahwa tafsir kaumini sufi ini tidak bermaksud menggantikan
tafsir eksoterik. Pernyataan ini disebut lebih jauh oleh al-Taftâzanî (w. 791
H./1388 M.). Menurutnya, menafsirkan al-Qur’an dengan makasud
menghilangkan syariat seperti yang dilakukan kaum Bâtiniyyah. Apa yang
dilakukan para sufi tidak demikian. Mereka meyakini bahwa al-Qur’an
pertama-tama harus ditafsirkan berdasarkan makna-makna eksoteriknya
52
Al-Ghâzali, Ihya ‘Ulȗm al-Dîn, (Kairo: Dâr al-Hadîs), juz 1, hal. 290-297.
31
terlebih dahulu, baru sejalan dengan itu dikemukakan pula makna-makna
esoteriknya. Menurut al-Taftâzanî, yang demikian itu tidak termasuk tafsir
yang heterodoks, justru merupakan ciri kesempurnaan iman dan kejernihan
pengetahuan.53
C. Legalitas dan Otoritas Tafsir Sufi
Salah satu perspektif yang lahir dari usaha untuk memahami al-Qur’an
adalah tafsir dengan corak sufistik. Sebuah tafsir yang mencoba membedah
noktah-noktah al-Qur’an berdasarkan sudut pandang mistis.54
Kehadiran
tafsir dengan corak ini tidak terlepas dari perkembangan ajaran tasawuf
yang menekankan seseorang untuk mengolah sisi spritualitas dirinya degan
berbagai latihan ruhani, dalam istilah para sufi biasa disebut dengan
mujâhadah dan riyâdah.55
Selain itu, kegelisahan para sufi melihat adanya
segolongan umat Islam yang merasa puas dengan pendekatan diri kepada
Tuhan melalui ibadah lahiriyah semata dan mengabaikan esensi batin dari
ibadah.56
Seperti shalat misalnya, bagi para sufi tidak dapat dipandang
hanya sebagai aktifitas gerak badan semata melainkan juga sebagai media
perjumpaan hamba dengan Allah (liqâ ila Allah), dengan khusu’ dan
kesungguhan. Bahkan lebih dari itu, shalat seorang hamba Allah akan
53
‘Abdurrahman ibn Abî Bakr Jalâl al-Dîn al-Suyȗtî, al-Itqân fi ‘Ulȗm al-Qur’an,
(Mesir: al-Haiah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1974 M), juz II, hal. 184-185. 54
Moh. Azwar Hairul, Mengkaji Tafsir Sufi Ibn ‘Ajîbah: Kitâb al-Bahr al-Madîd fî
Tafsîr al-Qur’an al-Majîd, (Tangerang Selatan: Young Progressive Muslim, 2017), hal. 27. 55
Sebagaimana disebutkan bahwa tasawuf merupakan representasi dari dimensi
mistisisme Islam. Tujuan utama dari ajarannya adalah agar menjadikan seorang hamba
dapat berhubungan langsung dengan Tuhan. Harun Nasution mengunggkapkan bahwa
intisari dari dari mistisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh
manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Harun Nasution,
Falsafah dan Mistisme dalam Islam (Jakarta:Bulang Bintang, 2014), hal.43 56
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press,
1986), juz II, hal. 9.
32
mengantarnya menyaksikan Allah (musyâhadah ila Allah) dengan
penglihatan spritual.57
Ada beberapa istilah yang dipakai ulama untuk menyebut tafsir sufi
dan sejenisnya. Secara umum seluruh istilah ini dipakai untuk penafsiran
yang menekankan dimensi esoterik ayat, termasuk diantaranya penafsiran
para filosof dan mu’tazilah. Istilah-istilah tersebut adalah Tafsîr al-Bâtinî
atau Bâtiniyah, Tafsîr Isyârî, al- Tafsîr al-Faidî, al- Tafsîr al-Ramzî, al-
Tafsîr bi Bâtini al-Qur’an, al-Manhâj al-Ramzî, al- Tafsîr al-Sȗfi, dan al-
Manhâj al-Tamtsîlî, dan Tafsîr al-Irsyâdî. Perbedaan istilah ini disebabkan
masing-masing memiliki karakteristik yang digunakan dalam menakwilkan
al-Qur’an. Namun secara teknis, semua jenis tafsir ini memiliki persamaan,
yaitu berusaha menggali makna esoterik yang tersembunyi dibalik makna
lahir ayat.58
Muhammad Husain al-Dzahabi membagi corak tafsir sufi
berdasarkan kategori tasawuf yang dikemukakannya menjadi tasawuf ‘amali
dan nazâri. Kedua aliran tasawuf ini membentuk jenis tafsir sufi isyârî dan
tafsir sufi nazârî.59
Tafsir sufi isyârî merupakan pengungkapan makna isyârî
ayat oleh para sufi. Secara definitif dinyatakan bahwa:
57
Tamrin, Tasawuf Irfâni: Tutup Nasut Buka Lahut, (Malang: UIN Maliki Press,
2010), hal. 100. 58
Berbagai istilah di atas dikemukakan oleh beberapa ulama dan sarjana: seperti
tafsir al-Batini di populerkan oleh ‘Alî al-Sabuni, Tafsîr Isyârî yang disebutkan Subhi al-
Shalih dan oleh Manna al-Qattân yang diidentikkannya sebagai tafsir Faidi. Untuk istilah
tafsir al-Ramzi dipakai oleh al-Dzahabi dan al-Shirazi. Adapun al-Alûsi menyebut dengan
istilah Tafsîr al-Irsyâdi. Ketiga istilah terakhir dipopulerkan oleh Ahmad Khalil, Manhaj al-
Ramzi, Tafsîr al-Sûfî, dan al-Manhaj al-Tamtsili. Lihat. Habibi Al-Amin, Emosi Sufistik
Dalam Tafsir Isyari: Melacak Kejiwaan Mufassir, (Ponorogo: SPIP Press, 2015), hal. 23. 59
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, hal. 251.
33
هو تأويل ايات القرآن الكريم على خلف مايظهر منها بمقتضي اشارة خفية تظهر
لوك ويمكن التطبيق منها بينها و بين الظواهر المرادة ألرباب الس
“Menakwilkan ayat al-Qur’an di luar makna zahirnya melalui isyarat
tersembunyi yang nyata bagi suluk (pelaku tasawuf), dan
dimungkinkan menguatkan makna isyârî dan makna zahir yang
dimaksud ayat.”60
Definisi di atas dapat dipahami bahwa tafsir sufi isyârî adalah
menjelaskan ayat al-Qur’an dengan jalan menakwilkan ayat di luar makna
zahirnya yang dipahami oleh pelaku tasawuf (sulȗk) melalui isyarat yang
terkandung (terselubung) di dalam susunan ayatnya. Disamping itu selain
mengambil ayat secara isyârî diambil juga makna zahirnya. Proses
menafsirkan ayat baginya berangkat dari hati dengan latihan rohani dan
memperoleh pengetahuan rabbanî, sehingga ia mampu menangkap isyarat
suci dari ayat.61
Bila dicermati penggunaan makna zahir dalam tafsir sufi,
tidak sama dalam implementasinya. Ada yang menggunakan makna zahir
serta makna isyârî nya, ada yang dominan pendekatan makna zahirnya
bahkan ada yang mengabaikan makna zahirnya.62
Sedangkan tafsir sufi nazârî adalah:
فه علوى مباحوث نظريوة وتعوالم فلسوفية فكوان مون البودهي أن ينظور هو مون بنوى تصوو
فة الى القرآن نظرة تتمشى مع نظا ري اتهم وتعاليمهم هؤلء المتصو
Ahli sufi yang membangun ajaran tasawufnya berdasarkan pada
pemahaman teoritis dan ajaran filsafat sehingga mereka para ahli
tasawuf itu memandang ayat al-Qur’an dengan pandangan yang
cenderung larut dalam teori dan ajaran filsafatnya.
60
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, hal. 261. 61
Al-Alȗsi, Rȗh al-Ma’âni fi Tafsîr al-Qur’an al-‘Azîm wa Sab‟i al-Matsâni
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), juz I, hal. 6. 62
Septiawadi, Tafsir Sufistik Said al-Hawwa dalam al-Asâs fi al-Tafîr, (Jakarta:
Lectura Press, 2004), hal. 101.
34
Para sufi nazârî menjelaskan makna sufistik al-Qur’an berdasarkan
pada kajian teoritis dan ajaran filsafat. Proses memahami ayat baginya
beranjak dari pikiran dan pengetahuan teoritisnya yang kemudian
diwujudkan dalam menjelaskan ayat.
Dalam diskursus ilmu al-Qur’an, tafsir sufi sering dicurigai secara
berlebihan oleh para penolaknya. Sehingga dalam ketegorisasi dalam
memilah antara tafsir yang dinilai telah memenuhi syarat (mahmȗd/
ortodoks) dan penafsiran yang dinilai tercela (mazmȗm/ heterodoks), tasir
sufi ada yang mengatakan termasuk dalam kategori kedua, yaitu tafsir yang
tercela dinilai telah menyimpang dan terkadang disebut sebagai bid’ah. Hal
ini disebabkan penafsiran sufi berusaha menguak makna batin al-Qur’an
yang terkadang dalam beberapa kasus tafsir sufi tidak terikat dengan
ketentuan makna literal atau lahiriah teks. Dari sinilah kemudian
mengilhami beberapa sarjana seperti Ignaz Goldziher yang secara simplistik
menyamakan tafsir sufi dan tafsir Bâtiniyah.63
Paling tidak penolakan terhadap tafsir sufi berlandaskan beberapa
alasan: pertama, adanya kekhawatiran tafsir jenis sufi hanya berpijak pada
makna batin (esoterik) saja dan mengabaikan makna zahirnya (eksoterik)
akibatnya dimensi syari’at dilecehkan. Kedua, makna yang diproduksi para
mufassir, dalam hal ini para sufi terkadang mengabaikan kaidah bahasa
Arab. Makna denotatif ditundukkan dengan oleh makna konotatif yang
diperoleh oleh sufi berdasarkan pengalaman spritualnya. Walhasil, makna
63 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern, Terj. M.
Alaika Salamullah dkk, (Yogyakarta: el-Saq, 2006), hal. 306.
35
yang dihasilkan sangat bersifat subjektif dan irasional dan sangat sulit
dipahami. Terlebih lagi para sufi mengklaim makna tersebut merupakan
limpahan langsung dari Tuhan (given/mauhubah). Ketiga, tafsir jenis ini
juga kerap dicurigai bagian dari tasawuf, sementara tasawuf sendiri masih
sering dianggap sebagai ajaran menyimpang dari al-Qur’an dan Hadits.
Bahkan lebih dari itu, tasawuf dianggap sebagai ajaran kaum musyrikin
yang dimasukkan dalam ajaran Islam.64
Keempat, bagi sebagian kelompok
menilai tafsir sufi merupakan produk paham syiah, yang dalam doktrinnya
meyakini para imam mereka memiliki otoritas mutlak dalam penafsiran al-
Quran. Bagi mereka, para imam tidak lain adalah mata rantai pewaris ilmu
batin al-Qur’an dari Rasulullah. Sedangkan kelompok yang menolak tafsir
sufi ini mengatakan bahwa yang memiliki otoritas menjelaskan kandungan
ayat al-Qur’an hanyalah Rasulullah dan para sahabatnya.65
Agaknya untuk
alasan yang keempat ini tidak terlepas dari problem sentimen sektarian
dalam Islam, khususnya antara mazhab sunni dan syiah.
Adapun kalangan yang mengakui tafsir sufi menyatakan bahwa upaya
penyingkapan makna batin al-Qur’an yang dilakukan oleh penafsir sufi
sejatinya berpedoman langsung dari ayat-ayat al-Qur’an, salah satunya pada
QS. Muhammad ayat 24:
64 M. Ulinnuha Khusman, “Tafsir Esoterik: Sebuah Metode Penafsiran Elit yang
Terlupakan,” Suhuf : Jurnal Kajian al-Quran dan Kebudayaan, Vol, 3, No 2, 2012, hal.20. 65 Salman Fadlullah, “Tafsir Ishari: Menguak Aspek yang Terabaikan dari al-
Qur’an. Mulla Shadra,” Jurnal Filsafat Islam dan Mistisisme, Vol. I, No. 4, 2011, hal. 175 .
36
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati
mereka terkunci?
Bagi para sufi ayat ini mengisyaratkan bahwa al-Qur’an memiliki
makna lahir dan batin. Ayat ini dianggap sebagai dorongan untuk menyibak
makna terdalam al-Qur’an hingga mencapai puncak pemahaman yang
tertinggi tentang Tuhan (ma’rifatullah). Bagi para sufi membaca (tilâwah al-
Qur’an) saja tidak cukup, tetapi juga diperlukan tadabbur al-Qur‟an yang
dalam pengertiannya; mengkaji, mempelajari, dan melihat secara mendalam
dengan kalbu.66
Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh al-
Qusyairi dalam tafsirnya bahwa dengan tadabbur al-Qur’an akan membuka
jalan menuju hakikat pengetahuan tentang Tuhan (irfân).67
Di samping itu, para sufi juga menjustifikasi pemikiran mereka
berlandaskan pada salah satu riwayat yang berbunyi:
مطلع ما أنزل هللا اية ال لها ظاهر و باطن وكل حرف حد ولكل حد
Allah tidak menurunkan satu pun, setiap ayat memiliki makna lahir
dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap
batasan memiliki tempat untuk melihatnya.68
66 Kautsar Azhari Noer, “Hermenutik Sufi: Sebuah Kajian atas Pandangan Ibnu
‘Arabi tentang Takwil al-Qur’an”, Jurnal Kanzphilosophia: a journal for Islamic
philosophy and Mysticism, Vol 2, No. 2, December, 2012, hal. 319. 67 Abȗ Qâsim al-Qusyairî, Latâif al-Isyârât (Beirut: Dâr al-Kutȗb al-‘Ilmiyyah,
1971), juz III, hal. 204. 68 Dari riwayat ini kemudian menginspirasi seorang mufassir sufi klasik Sahl al-
Tustari untuk membagi makna ayat al-Qur’an menjadi empat: zâhir, bâtin hadd, dan matla’. Makna lahir zahir berarti makna yang dihasilkan sesuai dengan bacaan. Makna batin lebih
mengarah kepada pemahaman yang dihasilkan dari makna lahir oleh kerenaya Tustari
menyebutnya sebagai fahm. Adapun makna hadd adalah makna yang menunjukkan hukum
dari suatu ayat, seperti halal dan haram dari suatu ayat al-Qur’an, dan matla’ adalah makna
yang diperoleh dari bimbingan hati (isyârât al-Qalbi) untuk mencapai makna yang
dimaksud oleh Allah swt. Lihat Muhammad Ḥusain al-Dzahabi, Tafsir wa Al-Mufassirun,
(Kairo: Maktabah Wahbah 2000), juz II, hal. 282.
37
Dalam riwayat lain juga mengindikasikan adanya contoh penafsiran
dengan pemgambilan makna isyarat yang terkandung di balik kandungan
tekstual al-Qur’an, berdasarkan Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang
dikisahkan dapat memahami secara langsung makna tersirat dari Qur’an
surah al-Nasr: ayat 1-3. Yang menurut Ibnu ‘Abbas mengisyaratkan tanda-
tanda kedatangan ajal nabi Muhammad. Menurut beberapa ulama’, riwayat
tersebut mengindikasikan adanya pemahaman yang tersirat di balik zahir
ayat. Sekalipun penafsiran yang dilakukan oleh Ibn Abbas tersebut secara
metodologis tidak sama persis seperti penafsiran yang dilakukan oleh para
sufi, namun beberapa ulama sepakat riwayat tesebut sebagai bukti adanya
peluang untuk menggali makna-makna al-Qur’an atau isyarat yang
tersembunyi dibalik makna tekstualnya.69
Kendati argumen para sufi dibangun berdasarkan al-Qur’an dan
Hadits, keberadaan tafsir sufi tetap saja dicurigai, dengan kekhawatiran
adanya berbagai penafsiran yang melenceng. Oleh sebab itu, agar menjaga
tidak terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir ini, maka para
ulama memperketat persyaratan-persyaratan agar dapat diterima dikalangan
umum. Husain al-Dzahabi misalnya mengemukakan syarat-syarat tersebut
antara lain: Pertama, tidak menafikan makna zahir ayat (kandungan
tekstualnya). Kedua, penafsiran itu diperkuat oleh dalil syara’. Ketiga,
penafsiran itu tidak bertentangan dengan dalil ‘aqli atau rasio. Keempat,
para sufi yang menafsirkan al-Qur’an tidak mengklaim bahwa hanya
69 Manna al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulȗm al-Qur’an, (al-Qâhirah: Maktabah Wahbah),
h. 347; Muhammad ‘Ali Al-Sabunî, al-Tibyân fi ‘Ulȗm al-Qur’an, (Pakistan: Maktabah al-
Busra, 2011), hal.121; Nur al-Din, ‘Ulȗm al-Quran al-Karîm, (Damaskus : Matba’ah al-
Sibl, 1993), hal. 97-98.
38
penafsiran batinlah yang dikehendaki Allah, sementara kandungan
tekstualnya tidak.70
Adapun ‘Ali al-Sabunî menambahkan tiga persayaratan
lagi, yaitu: (1) makna zahirnya tidak bertentangan dengan makna batinya,
(2) penakwilannya tidak melampaui konteks kata, (3) tidak mengacaukan
pemahaman orang awam.71
Berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan di atas akan memunculkan
kerumitan dalam menilai kebenaran tafsir isyârî, hal ini disebabkan oleh
cara pandang tafsir sufi berbeda dengan yang lainnya. Pasalnya,
karakteristik utama tafsir sufi bersifat wijdanî, sehingga amat sulit
diidentifikasi dengan akal semata. Bahkan jika ditinjau dalam beberapa
kasus tafsir sufi sama sekali tidak terikat dengan kaidah kebahasaan ataupun
kaidah-kaidah lain yang biasa digunakan oleh mufassir pada umumnya.
Namun paling tidak dengan syarat-syarat demikian, dapat ditarik
kesimpulan bahwa tafsir sufi pada hakikatnya adalah tafsir yang sangat
eksklusif. Hanyalah orang-orang tertentu yang telah mencapai kematangan
ilmu hakikat (tasawuf) yang dapat melakukannya. Ini sejalan dengan esensi
tasawuf sebagai hubungan antara Allah dan hambanya. Selain, itu yang
tidak kalah penting dalam tujuan tasawuf adalah kebersihan hati dan
kesucian jiwa.
D. Prokontra Tafsir Sufi yang bercorak Isyari
Dalam penelitian ini, penulis ingin memaparkan prokontra para Ulama
terhadap tafsîr isyârî. Sebelum membahas lebih lanjut tentang tafsîr isyârî,
70 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz II, hal.279. 71
‘Ali Al-Sabunî, al-Tibyân fi ‘Ulȗm al-Qur’an, hal. 121.
39
Penulis akan memaparkan latar belakang timbulnya tafsîr isyârî.
Perkembangan sufisme yang kian marak di dunia Islam, di tandai oleh
praktik-praktik asketisme dan askapisme dan dilakukan oleh generasi awal
Islam, hal ini dimulai sejak munculnya konflik politis peninggal Nabi
Muhammad SAW, praktik seperti ini berkembang pada masa berikutnya.
Seiring berkembangnya aliran sufi merekapun menafsirkan al-Qur’an
sesuai dengan paham sufi yang mereka anut. Pada umumnya kaum sufi
memahami ayat-ayat al-Qur’an bukan sekedar dari lahir yang tersurat saja,
namun mereka memahami secara batin atau secara tersurat.
Para sufi pada umumnya berpedoman pada hadis Rasulullah SAW:
حد ولكل حد مطلع لكل أية ظهر وبطن ولكل حرف
Setiap ayat itu mempunyai makna zahir dan batin dan setiap huruf itu
mempunyai batasan dan setiap batasan ada tempat melihatnya.
Hadis di atas adalah merupakan dalil yang digunakan oleh para sufi
untuk menjustifikasi tafsir mereka yang eksentrik menurut mereka di balik
makna zahir dalam redaksi teks al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka
menganggap penting makna batin ini, mereka mengklaim bahwa penfasiran
seperti itu bukan lah unsure asing (ghaib) melainkan sesuatu yang indra
dengan al-Qur’an.72
Tafsir jenis ini telah dikenal sejak awal turunnya al-Qur’an kepada
Rasulullah SAW sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini
umumnya juga mengacu pada penafsiran al-Qur’an melalui hirarki sumber-
72
Nana Mahrani, “Tafsir al-Isyari”, Jurnal Hikmah, Vol. 14, No. 1 Januari, Juni
2017, hal. 58.
40
sumber Islam tradisional yang disandarkan kepada nabi, para sahabat dan
kalangan tabi’in.
Di samping itu, selain penafsiran yang disandarkan melalui jalan
periwayatan secara tradisional, ada sebuah doktrin yang cukup kuat yang
dipegangi kalangan sufi, yaitu bahwa para wali merupakan pewaris
kenabian. Mereka mengaku memiliki tugas yang serupa, meski berbeda
secara subtansial. Jika para rasul mengemban tugas untuk menyampaikan
risalah ilahiyah kepada umat manusia dalam bentuk ajaran-ajaran agama,
maka para sufi memikul tugas guna menyebarkan risalah akhlaqiyah, ajaran-
ajaran moral yang mengacu kepada keluhuran budi pekerti.
Klaim sebagai pengemban risalah akhlaqiyah memberi peluang bagi
kemungkinan bahwa para sufi mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat
kebersihan hati mereka ketika mencapai tahap ma’rifat dalam tahap-tahap
muroqobah kepada Allah SWT. Wal hasil, dalam penafsiran sufi
mufassirnya tidak menyajikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an melalui jalan
I’tibari dengan menela’ah makna harfiyah ayat secara zahir. Tapi lebih pada
menyuarakan signifikansi moral yang tersirat melalui penafsiran secara
simbolik atau dikenal dengan penafsiran isyari.
Ketika ilmu-ilmu agama dan sains mengalami kemajuan pesat serta
kebudayaan Islam menyebar keseluruh pelosok dunia dan mengalami
kebangkitan dalam segala seginya, maka berkembanglah ilmu tasawuf.
1. Pengertian Tafsîr al-Isyârî
Isyârah adalah merupakan masdar dari kalimat asyâra yusyîru
isyâratan yang berarti penunjukan, memberi isyarat. Sedangkan tafsîr isyârî
41
adalah menakwilkan (menafsirkan) ayat al-Qur’an al-Karim tidak seperti
zahirnya, tapi berdasarkan isyarat yang samar yang bisa diketahui oleh
orang yang berilmu dan bertakwa, yang pentakwilan itu selaras dengan
makna zahir ayat–ayat Al-Qur’an dari beberapa sisi.73
Adapun isyârah menurut istilah adalah apa yang ditetapkan (sesuatu
yang bisa ditetapkan/dipahami, diambil) dari suatu perkataan hanya dari
mengira-ngira tanpa harus meletakkannya dalam konteksnya74
(sesuatu yang
ditetapkan hanya dari bentuk kalimat tanpa dalam konteksnya. Menurut al-
Jahizh bahwa ’isyarat dan lafal adalah dua hal yang saling bergandeng,
isyarat banyak menolong lafal (dalam memahaminya), dan tafsiran
(terjemahan) lafal yang bagus bila mengindahkan isyaratnya, banyak isyarat
yang menggantikan lafal, dan tidak perlu untuk dituliskan.75
Tafsîr al-isyârî menurut Imam Ghazâlî adalah usaha mentakwilkan
ayat-ayat al-Qur’an bukan dengan makna zahirnya melainkan dengan suara
hati nurani, setelah sebelumnya menafsirkan makna zahir dari ayat yang
dimaksud.76
Penafsiran al-Qur’an yang berlainan menurut zahir ayat karena
adanya petunjukpetunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian
ulama, atau hanya diketahui oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang
yang berpribadi luhur dan telah terlatih jiwanya (mujahadah).77
73
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus
2001), hal. 97. 74
Muslih Maruzi, Wahyu Al-Qur’an, Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir.
(Jakarta: Pustaka Amani 1987), hal. 78. 75
Syeikh Khalid ‘Abd al-Rahman, Usul Tafsîr wa Qawâ’iduhu, ( Damaskus: Dâr al-
Nafâis. 1994), hal. 207. 76
Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir, Berinteraksi dengan Al-Qur’an versi Imam Al-
Ghazali, (Bandung: Citapusaka Media 2007), hal. 190. 77
Muhammad Ali al-Sabunî, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia 1999),
hal. 142.
42
2. Pandangan ‘Ulama terhadap Tafsîr al-Isyârî
Hukum tafsîr bi al-isyârah: Para ‘ulama berselisih pendapat dalam
menghukumi tafsîr al-isyârî, sebagian mereka ada yang memperbolehkan
(dengan syarat), dan sebagian lainnya melarangnya.78
Tafsîr al-isyârî dapat dibenarkan selama:
1. Maknanya lurus, tidak bertentangan dengan hakikat-hakikat
keagamaan, tidak juga dengan lafaz ayat.
2. Tidak menyatakan bahwa itulah satu-satunya makna untuk ayat
yang ditafsirkan.
3. Ada korelasi antara makna yang ditarik itu dengan ayat.
Sementara ‘ulama menambah syarat keempat bahwa ada dukungan
dari sumber ajaran agama yang mendukung makna isyari yang ditarik.
Badruddin Muhammad Ibn Abdullâh al-Zarkasyi adalah termasuk golongan
orang yang tidak mendukung tafsîr al-isyârî (menolak tafsîr al-isyârî),
hingga beliau mengatakan: “Adapun perkataan golongan sufi dalam
menfasirkan al-Qur’an itu bukan tafsir, melainkan hanya makna penemuan
yang mereka peroleh ketika membaca”. Seperti kata sebagian mereka
tentang firman Allah QS. Al-Taubah ayat 123:
78
Syaikh Muhammad ‘Abd al-Azîm al-Zarqâni, Manâhil al ‘Irfân fi ‘Ulum Al-
Qur’an, (Beirut: Dâr Ihya al-Turats al-Arabi) cet.II, juz I. hal. 546.
43
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di
sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan
daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang
yang bertaqwa.”
Yang dimaksudkan di sini adalah ”nafsu”. Alasannya: Illat perintah
memerangi orang yang disekeliling kita itu adalah karena ”dekat”. Padahal
tidak ada satu yang lebih dekat kepada manusia daripada nafsunya sendiri.
Demikian juga al-Nasâfi mengatakan, sebagaimana dijelaskan al-
Zarqânî dan al-Suyûti bahwa: ”Nas-nas itu harus berdasarkan zahirnya,
memutarkan pada arti lain yang dilakukan oleh orang kebatinan adalah
merupakan bentuk penyelewangan”.79
3. Contoh-contoh Sampel Tafsir al-Isyari
1. Contoh bentuk penafsiran secara isyârî antara lain adalah pada
QS. al-Baqarah ayat 67:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi
betina.
Beberapa karya tafsîr al-isyârî yang terkenal antara lain: tafsîr al-
Naisabûrî, tafsîr al-‘Alûsi, tafsîr al-Tustarî, tafsir Ibn ‘Arabi.
2. Contoh bentuk penfasiran secara isyari antara lain adalah QS. al-
Nasr ayat 1:
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan
79
Ahmad Musthofa Hadnan, Problematika Menafsirkan Al-Qur’an, (Semarang:
Toha Putra 1993), hal. 46.
44
Tetapi dalam tafsîr al-isyârî diberi makna bahwa ayat tersebut
menunjukkan isyarat dekatnya ajal nabi SAW.
3. Contoh bentuk penfasiran secara isyârî antara lain adalah QS.
Thaha ayat 24:
Pergilah kepada Fir'aun; Sesungguhnya ia telah melampaui batas.
Dalam hal ini para sufi menta’wilkan Fir’aun dengan hati. Maksudnya
bahwa Fir’aun itu sebenarnya hati setiap manusia yang mempunyai sifat
melampaui batas.
4. Contoh bentuk penfasiran secara isyârî antara lain adalah QS. al-
Qasas ayat 31:
Dan lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular
dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah Dia seekor ular
yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Kemudian
Musa diseru): "Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu
takut. Sesungguhnya kamu Termasuk orang-orang yang aman.
Para sufi meta’wilkan bahwa tongkat itu dilemparkan kepada siapapun
yang ada dimuka bumi dan orang yang bergantung kepada selain Allah.80
4. Kelebihan Tafsîr al-Isyârî
80
Jadi para sufi dalam menafsirkan al-Qur’an melalui makna zahir dan di bawa
kepada makna batin, karena makna zahir dan batin itu senantiasa bergandengan laksana dua
rel kereta api. Lihat jurnal Nana Mahrani, “Tafsir al-Isyari”, Jurnal Hikmah, Vol. 14, No. 1.
45
Mempelajari beberapa pokok bahasan di atas terutama terhadap ulama
yang mendukung dan memperbolehkan penafsiran secara isyârî terlihat
beberapa kelebihan yang dimiliki tafsîr al-isyârî, yaitu:81
1. Tafsîr al-isyârî mempunyai kekuatan hukum dari Syara`
sebagaimana telah dijelaskan mengenai beberapa contoh penafsiran
secara Isyari, seperti penafsiran Ibn `Abbâs terhadap firman Allah
QS. al-Nasr ayat 1. Sehingga hamper semua sahabat dalam kasus
tersebut tidak ada yang memahami maknanya melainkan makna
secara zahir atau tekstual.
2. Apabila tafsîr isyârî ini, memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana
yang telah disepakati para ulama tafsir, maka akan bertambah
wawasan dan pengetahuan terhadap isi kandungan Al-Qur’an dan
Hadits.
3. Penafsiran secara isyârî tidaklah menjadi aneh kalau Allah
melimpahkan ilmu pengetahuan kepada orang yang ia kehendaki
serta memberikan pemahaman kepada orang-orang pilihan, seperti
Abû Bakr, ‘Umar, Ibn `Abbâs dan Nabi Khidir AS.
4. Penafsiran isyârî mempunyai pengertian-pengertian yang tidak
mudah dijangkau sembarangan ahli tafsir kecuali bagi mereka yang
memiliki sifat kesempurnaan Iman dan kemurnian ma`rifat.
Tafsîr Isyârî atau tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas
telah memahami makna tekstual atau makna lahir dari al-Qur’an, sebelum
menuju kepada makna secara isyarat. Hal ini mereka memiliki dua
81
Abu Wahid, “Tafsir Isyari dalam Pandangan Imam Ghazali”, Jurnal Ushuluddin,
Vol. XVI No. 2, Juli 2010.
46
kelebihan, yaitu: Pertama, menguasai makna lahir ayat atau hadits. Kedua,
memahami makna isyaratnya.
Menelaah kembali perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap tafsîr
al-isyârî terutama pendapat yang menganggap tafsîr al-isyârî tergolong ke
dalam tafsir mardud atau tertolak penuh dengan rekayasa dan khayalan para
penafsir. Disini terlihat beberapa kelemahan yang dimiliki tafsîr al-isyârî,
yaitu sebagai berikut :
1. Apabila tafsîr al-isyârî ini, tidak memenuhi syarat-syarat
sebagaimana telah disebutkan di atas, maka tafsir ini dapat dikatakan
tafsir dengan hawa nafsu atau rasio bertentangan dengan lahir ayat
yang dilarang oleh Allah.
2. Tafsîr al-isyârî yang telah kemasukan pena`wilan yang rusak
sebagaimana dipergunakan oleh aliran kebatinan. Tidak
memperhatikan beberapa persyaratan yang telah ditetapkan Ulama
sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang akhirnya orang
yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut
bisikan hawa nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang
tersebut menduga bahwa hal itu termasuk tafsîr al-isyârî akibat
kebodohan dan kesesatan mereka karena telah menyelewengkan
kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan dan ateis.
Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan
terhadap arti.
3. Penafsiran secara isyârî, kadang-kadang maknanya sangat jauh dari
ketentuan-ketentuan agama yang sudah qath`i atau pasti
47
keharamannya. Seperti anggapan Ibn `Arabi terhadap orang-orang
musyrik yang menyembah patung.
Menurutnya mereka pada hakikatnya menyembah Allah bukan
menyembah patung dan patung adalah sebagai pengganti Allah. Penafsiran
secara isyârî tidak dapat dijangkau atau sulit dipahami oleh kaum awam
yang berakibat pada rusaknya agama orang-orang awam. Sebagaimana
ungkapan Ibn Mas`ûd ra, “Seseorang yang mengatakan kata-kata dihadapan
orang lain tidak dimengerti hal itu akan menjadi fitnah buat mereka.”
Dari penjelasan di atas jelas, bahwa tafsîr al-isyârî adalah salah satu
jenis tafsir yang dalam memberikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an kental
dengan takwil, aspek-aspek esoterik dan isyarat-isyarat yang terkandung
dalam teks ayat-ayat al-Qur’an. Terlepas dari kontroversi yang terjadi dalam
mengomentari jenis tafsir ini, yang jelas tafsîr al-isyârî adalah merupakan
bentuk dari kontribusi dari ulama dalam memperkaya pembendaharaan
literatur tafsir yang sekaligus juga memperluas pemahaman tentang makna
al-Qur’an. Tafsîr al-isyârî telah memberi warna yang khas dalam diskursus
tafsir dari masa ke masa. Sebagaimana aliran tafsir lainnya yang berpaling
untuk dikembangkan, tafsîr al-isyârî pun berkemungkinan bagi upaya
pengembangannya untuk masa kini dan masa mendatang.
Tentu saja perhatikan terhadap rambu-rambu penafsiran supaya
termasuk tafsir isyâri al-maqbûl bukan tafsir isyâri al-mardûd. Berbeda
dengan tafsîr bi al-ma’sûr dan tafsîr bi al-ra’yi yang kebenaran (termasuk
pengembangannya) relatif mudah untuk diukur penerapan kriteria kebenaran
tafsîr al-isyârî sangatlah sulit. Ini terjadi karena sumbernya lebih
48
mengandalkan hati atau intuisi yang juga sangat sulit untuk dibedakan dari
kemungkinan terkontaminasi dengan hawa nafsu yang keliru.
49
BAB III
AKTIFITAS DAN PEMIKIRAN ‘ABD AL-RAZZÂQ AL-QÂSYÂNÎ
A. Perjalan hidup ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî
Kamâluddîn ‘Abd al-Razzâq bin Abî Fadî`il Jamâl al-Dîn Muhammad
al-Qâsyânî atau al-Kâsyânî, dia adalah pembesar-pembesar dari ulama
tasawuf di negeri Iran di abad ke-8 H. Dijuluki al-Qâsyânî karena dia
berasal dari kota Kāsyān atau Qâsyân, kota tersebut berdekatan dengan kota
Isfahâni. Qâsyân atau Kâsyân adalah sebuah kota yang di kenal dengan
kemuliaan jumlah para ulama dan ahli fiqh. Di antaranya adalah: Abû Ja’far
bin Muhammad al-Qâsyânî al-Râzî, ‘Izzu al-Dîn Mahmûd al-Qâsyânî.82
Secara spesifikasi tidak diketahui sejarah tentang kelahiran al-
Qâsyânî, dan akan tetapi menurut ahlu al-Ikhtisâs (para ulama sufi) bahwa
dia dilahirkan di pertengahan kedua dari abad ke-7 H, dan diwafatkan pada
tanggal 3 di bulan Muharram tahun 736 H. Al-Qâsyânî menceritakan
tentang dirinya, sesungguhnya dia belajar ilmu-ilmu tentang syari’at dan
filsafat, dan akan tetapi dia tidak mendapatkan di dalam dirinya
ketentraman yang terus-menerus di dalam ilmu-ilmu tersebut, dan kemudian
dia memutuskan untuk memasuki jalan tasawuf dan dia menulis surat untuk
menceritakan kejadian yang dia alami kepada Syaikh ‘Alâ al-Daulah al
Simnânî (659-736 H) beliau adalah salah satu ulama sufi di kota Simnân,
Khurasan sebuah kota di Selatan Persia.83
Isi suratnya adalah:
82
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, Latâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, jilid 1, cet 1,
(Kairo : Maktabah as-Saqâfah al-Dîniyyah, 2005), hal. 8. 83
Azyumardi Azra, dkk., Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2008),
hal. 212.
50
“Aku menyatakan sesuatu, kekhawatiran menghampiri kepadaku
semoga terhasil bagiku kemantapan hati dalam ma’rifah dari ilmu tentang
filsafat dan ketuhanan.”84
Kemudian beliau memulai perjalanan spiritualnya untuk bersahabat
kepada para sufi dan orang-orang yang senantiasa melakukan perjalanan
spiritual menuju kepada Allah dan kepada orang-orang yang senantiasa
bermujahadah, dan orang-orang yang menuntun kepada Taufiq yang Haq.
Dalam perjalanannya untuk mengetahui esensi wujud, beliau pertama-
tama berguru kepada: Maulânâ Nûr al-Dîn ‘Abd Al-Shamad al-Natnazî
(Qaddasallahu Ta’ala Rûhah), ‘Abd al-Razzâq belajar kepada nya tentang
tauhid yakni (Wahdah al-Wujûd),85 dan setelah beliau belajar kepada
Maulânâ Nûr al-Dîn ‘Abd Al-Samad al-Natnazî, beliau belajar kepada
Syamsu al-Dîn Al-Kisyi, yang di mana guru pertama beliau yakni Maulânâ
Nûr al-Dîn ‘Abd Al-Samad al-Natnazî pernah berkata tentang Al-Kisyi:
“Tidak ada orang yang lebih ma’rifah pada zaman ini kecuali Syamsu al-
Dîn Al-Kisyi, dan beliau belajar kepadanya tentang waḥdah al-wujûd pula,
guna untuk mempertajam perjalanannya menuju kepada Allah, dan dia
berkata: Sungguh telah terbuka bagiku tentang waḥdah al-wujûd setelah
aku melakukan ibadah selama 40 hari.86
Kemudian beliau menekuni atau mempelajari kitab-kitabnya Ibn
‘Arabî kepada Syaikh Nûr al-Dîn, salah satunya adalah Fusûs al-Hikam, dan
84
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, Latâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, hal. 8. 85
‘Abdullah Al-Ansâri, Manâzil al-Sâ`irîn, (Lebanon: Mussasah at-Târikh al-‘Arabi
t.t.), hal. 19. 86
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, Latâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, hal. 9.
51
beliau merasa haus dalam mempelajari ilmu tentang wahdah al-wujûd, dan
tatkala beliau dalam proses mempelajari kitab-kitab syaikh sufi al-akbar
yakni Ibn ‘Arabî gurunya meninggal dunia.87
Kemudian beliau hijrah ke Baghdad untuk berguru kepada Syaikh
‘Abd al-Rahmân al-Jâmi’ (817-898 H)88 qaddasa sirrah, dan Allah telah
memberikan al-Qâsyânî ilmu tentang kejadian-kejadian yang terjadi dan
tentang ungkapan-ungkapan mimpi,89 dan Aku tidaklah mencapai maqam
yang paling tinggi kecuali setelah mengamalkan ilmu tentang wahdah al-
wujûd, dan dia tidak mungkin meniadakan makna ini (wahdah al-wujûd)
yang beliau hasilkan dengan penyaksian, dengan pembahasan-pembahasan
yang tidak ada di dalamnya itu perjalanan aqal.90
B. Guru-guru ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî banyak berguru kepada para ulama di
masanya, baik itu dari kalangan ahli fiqh, dan tasawuf, diantaranya:
1. Syaikh Najm al-Dîn Mahmûd al-Isfahânî
2. Syaikh ‘Izzu al-Dîn Muhammad al-Qâsyânî
3. Syaikh ‘Alâ al-Daulah al-Simnânî
4. Syaikh Ẕâhir al-Dîn ‘Abd al-Rahmân
5. Syaikh Sa’îd al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Farghânî
6. Al-Wazîr Muhammad bin Abî al-Khair, dan lain sebagainya.
87
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, Latâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, hal. 9. 88
Azyumardi Azra, dkk., Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2008),
h. 28. 89
‘Abdullah Al-Ansâri, Manâzil al-Sâ`irîn, hal. 20-21. 90
‘Abdullah Al-Ansâri, Manâzil al-Sâ`irîn, hal. 21.
52
Al-Qâsyânî belajar, dan mengambil tariqoh kepada dua ulama sufi di
kota Kâsyân, di antaranya:
1. Syaikh Maulânâ Nûr al-Dîn ‘Abd al-Samad al-Natnazî.
2. Syaikh Ẕâhir al-Dîn ‘Abd al-Rahmân bin Burghus, beliau senantiasa
mengajar, mengarang kitab, dan meriwayatkan hadis, ayah beliau
adalah syaikh Najîb al-Dîn ‘Alî bin Burghus beliau adalah guru
Tariqoh Suhrawardiyyah,91 di hubungkan kepada syaikh Shihâb al-
Dîn Suhrawardi.92 Al-Qâsyânî belajar kepada Najîb al-Dîn ‘Alî bin
Burghus dan mengambil Tariqoh yang diajarkan kepadanya dan
kemudian al-Qâsyânî mendapatkan ijazah dengan dipakaikan sebuah
kain, dan begitu seterusnya bagi orang-orang yang hendak
mengambil ijazah tariqoh tersebut.93 Kemudian al-Qâsyânî kembali
ke kampung halamannya dan berguru lagi kepada Syaikh Nûr al-Dîn
‘Abd al-Samad al-Natnazî dengan membawa ijazah yang beliau
dapatkan dari syaikh Najîb al-Dîn ‘Alî bin Burghus, setelah maha
91
Tariqoh ini di dirikan oleh Syihâb al-Dîn ahyâ Ibn Habasy Ibn Amira’
Suhrawardi al-Maqtûl istilah al-Maqtûl untuk membedakannya dengan dua tokoh
Suhrawardi yang lain lahir di desa Suhraward, sebuah desa kecil dekat Zinjan di Timur
Laut Iran, tahun 545 H/ 1153 M. Tokoh lain yang sama-sama bernama Suhrawardi adalah
(1) `Abd Qâdir Abû Najîb Suhrawardi (w. 564 H/1168 M), pendiri tarekat Suhrawardiyah.
Ia murid Ahmad al-Ghazâlî, adik kandung Imam Ghazâlî. (2) Syihâb al-Dîn Abû Hafs
`Umar Suhrawardi (1145-1234 M), keponakan sekaligus murid Suhrawardi pertama. Ia
lebih berpengaruh di banding pamannya dan menjadi maha-guru (syaikh al-syuyûkh) ajaran
sufi resmi di Baghdad pada masa khalifah al-Nasir. Tokoh ini adalah pengarang kitab
Awârif al-Ma`ârif yang terkenal dalam sufisme. (3) Syihâb al-Dîn Yahyâ ibn Habasy, tokoh
yang dikaji dalam bahasan ini adalah yang digelari al-Maqtȗl atau al-Syahîd karena
dihukum mati oleh Mâlik al-Zâhir, penguasa Aleppo, atas perintah Shalâh al-Dîn al-
Ayyûbi. Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, (Chapel Hill, The University
of North Carolina Press, 1975), 244-5; Abû al-Wafâ` al-Ghanimi, Sufi Dari Zaman ke
Zaman, terj. Ahmad Rafi`, (Bandung, Pustaka, 1985), hlm. 193. Di kutip dari Jurnalnya
Ahmad Khudari Sholeh “Filsafat Isyraqi Suhrawardi”, Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim, (Malang: Esensia Vol XII No. 1 Januari 2011). 92
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, Latâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, hal. 10. 93
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, Latâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, hal. 10.
53
guru tariqoh Suhrawardiyyah meninggal, beliau memberikan ijazah
tersebut kepada syaikh Nûr al-Dîn ‘Abd al-Samad.94
Tatkala guru beliau yang bernama Nûr al-Dîn al-Natnazī meninggal,
ijazah tariqoh tersebut di kembalikan lagi kepada beliau, untuk memimpin
tariqoh tersebut di kampung halamannya.95 Banyak para ulama yang banyak
berguru kepada beliau, untuk belajar ilmu tentang tasawuf, di antaranya
yang termasyhur adalah:
i. Syaikh Dâud Muhammad al-Qaysarî, beliau menjelaskan pemikiran
gurunya yang telah dipengaruhi pemikirannya oleh Ibn ‘Arabî, yang
di mana al-Qâsyânî mensyarahkan kitab Fusûs al-Hikam milik Ibn
‘Arabî. Al-Qaysarî mengatakan bahwa ada jeda al-Qâsyânî di dalam
mensyarahkan kitab-kitab Ibn ‘Arabî, sebagaimana tertera di dalam
sebagian kitabnya yang diberi judul, Tamhîd Muqaddimât al-
Tasawwuf, beliau menjelaskan hal tersebut tatkala beliau bersama
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî Karya-karya ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî.
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî mengarang 25 kitab di dalam perbedaan
sisi pemikiran orang-orang sufi, di antaranya ada yang berbentuk karangan
dan ada yang bentuknya syarahan, menampakkan sebuah pemikiran seorang
ahli tasawuf di masanya tatkala mereka berhidmah kepada mereka dengan
keilmuan mereka dan ritual-ritual mereka.96
Di antara karya ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, adalah:
94
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, Latâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, hal. 11. 95
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, Latâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, hal. 11. 96
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, Latâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, hal. 11.
54
1. Istilâhât al-Sûfiyyah. Di dalam kitab tersebut beliau menjelaskan
istilah-istilah sufi yang ada di dalam kitab Syarah Fusûs al-Hikam,
Syarah Manâzil al-Sâ`irin, dan Ta’wilât al-Qur’ân al-Hakîm. Dari
masing-masing kitab tersebut beliau membagi kepada dua bagian,
bagian pertama tentang istilah-istilah, dan bagian kedua tentang
cabang-cabang maqam yang disebutkan di dalam kitab Manâzil al-
Sâ`irin.
2. Ta’wilât al-Qur’ân al-Hakîm. Kitab ini adalah karya al-Qâsyânî
dengan tanpa ada sanggahan, dan kitab tersebut berkali-kali dicetak,
di India, Mesir, dan Libanon yang dinisbahkan kepada Ibn ‘Arabî.
3. Tuhfah al-Ikhwân fi Adâb al-Fityân. Kitab ini dikarang dengan
Bahasa Arab, kemudian beliau menerjemahkan ke dalam Bahasa
Paris.
4. Tafsîr Ayat al-Kursî
5. Khulâshah al-Tadbîr fi Riâ`satu al-Wazîr
6. Risâlah fi al-Sunnah al-Sarmadiyyah
7. Rasyhu al-Zilal fi Syarh al-Alfâz Mutadawilah baina Arbâb al-
Adzwâq wa al-Ahwâl
8. Syarh Hadîs Kâmil
9. Syarh Hadîs Nabawî
10. Syarh al-Fushûs al-Hikam karya Ibn ‘Arabî
11. Syarh Manâzil al-Sâ`irin
12. Fawâidu ‘Irfaniyyah
55
13. Al-Qadâ` wa al-Qadar.97
14. Ta’wilât Bismillah al-Rahmân al-Rahīm
15. Tahqîq al-Zât al-Ahadiyyah
16. Tazkiyyah al-Arwâh ‘an Mawâni’ al-Iflâh
17. Risâlah ila ‘Alâ al-Daulah
18. Risâlah fi Bayân al-Haqîqah
19. Risâlah fi al-Mahabbah
20. Haqâiq al-Qur’ân
21. Lathâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, dan lain-lain.98
C. Profil Kitab Tafsir al-Qâsyânî yang dinisbahkan kepada Ibn
‘Arabi
1. Analisa Tafsir yang dinisbahkan kepada Ibn ‘Arabî
Tafsir ini dicetak secara sendiri-sendiri terdiri dari 2 jilid, tafsir ini
dicetak berdasarkan pinggiran halaman kitab ‘Arâ`is al-Bayân fi Haqâiq al-
Qur’ân karya Abî Muhammad bin Abî al-Nasr al-Syairâzî al-Sûfî yang di
mana beliau mengutip pendapatnya al-Qâsyânî di dalam menafsirkan surah
al-Nâzi’ât ayat 5,99 tafsir tersebut dinisbhakan kepada Ibn ‘Arabî, ada
97
Abdullah Al-Ansâri, Manâzil al-Sâ`irîn, hal. 28. 98
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, Latâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, hal. 12. 99
Abî Muhammad bin Abî al-Nasr as-Syairâzî al-Sûfî, ‘Arâ`is al-Bayân fi Haqâiq
al-Qur’ân , (Lebanon: Dar al-Kutub ‘Ilmiyyah, 2008), Juz 3, hal. 481. Diedit oleh Ahmad
Farîd al-Mazîdi, bunyi teksnya sebagai berikut:
أقسم بالنفوس المشتاقة التي غلب عليها النزوع الى جناب الحق, غريقة فوي بحور الشووا والمحبوة
خور مون قيوود صوفاتها وعول بوق البودن كقوولهم : التي تنشط من مقر النفس وأسور الطبيعوة أي : ت
ثور ناشط اا خر من بلد الى البلد, أو من قولهم : نشط من عقاله. والتي تسبح في بحار الصوفات
فتسبق الى عين الذات ومقام الفناء في الواحودة فتودبر بوالرجوع الوى الكثورة أمور الودعوة الوى الحوق
بعد المع. والهداية وأمر النظام في مقام التفصيل Penulis menemukan di Tafsir al-Qâsyânî, “Tafsir al-Qur’ân al-Karîm”, dan
ternyata ada di dalam surah an-Nâzi’ât juz II, hal. 380. Maka daripada itu tafsir yang
selama ini dianggap sebagai tafsir Ibn ‘Arabî adalah karya salah satu ulama sufi dari Iran
yakni al-Qâsyânî bukan karyanya Ibn ‘Arabî.
56
sebagaian ulama yang mengira atau berkeyakinan bahwa tafsir tersebut
adalah karyanya Ibn ‘Arabî, ada juga sebagian ulama yang mengira atau
berkeyakinan bahwa Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm karya Ibn ‘Arabî itu semata-
mata hanya dinisbahkan kepada Ibn ‘Arabî, bahkan ada yang berpendapat
bahwa tafsir tersebut adalah karya ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, dan tafsir
karangannya tersebut itu dinisbahkan kepada Ibn ‘Arabi untuk menyebarkan
paham wahdah al-wujûd yang diusung Ibn ‘Arabî kepada manusia, dan
untuk memashurkan dirinya dengan kemashuran Ibn ‘Arabî. Muhammad
‘Abduh berpendapat bahwa itu adalah tafsir karyanya al-Qâsyânî, dan
kemudian pendapatnya di cantumkan oleh Rasyid Ridho dalam
Muqaddimah Tafsîr al-Manâr sesuai apa yang Muhammad ‘Abduh katakan,
dan Rasyîd Ridho berpendapat bahwa “Telah samar di kalangan manusia
perkataan batiniyyah dan sufiyyah”, dan Rasyīd Ridho berpendapat bahwa
al-Qâsyânî adalah kalangan orang-orang batiniyyah, dan ada juga sebagian
ulama yang mengatakan bahwa al-Qâsyânî terbebas dari tuduhan tersebut.100
Di sini penulis, menemukan bantahan orang-orang yang mengatakan
bahwa tafsir itu adalah milik Ibn ‘Arabî dan juga menemukan bantahan
orang-orang yang menganggap al-Qâsyânî adalah golongan batiniyyah, di
antaranya: Pertama, semua teks yang sudah ditulis itu dinisbahkan kepada
Ibn ‘Arabî, berpegangan kepada teks yang ditulis itu lebih kuat daripada
teks yang sudah dicetak, Kedua, di dalam kitab Kasyf al-Ẕunûn karyanya
100
Muhammad Ḥusain al-Dzahabi, Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah
Wahbah 2000), juz II, hal. 295.
57
Haji Khalîfah (1609-1657) beliau adalah salah satu sejarawan dari Turki101:
kitab Ta’wilât al-Qur’ân yang dikenal dengan Ta’wilât al-Qâsyânî,
penafsiran al-Qâsyânî dalam kitab tersebut berdasarkan istilah ahli tasawuf
sampai surah Shad dengan teks sebagai berikut:
حمد لل ال ذين جعل مناظم كلمه مظاهر حسن صفاته ال 102
Segala puji hanya milik Allah Dzat yang menjadikan susunan
perkataan, dan Dia lah Dzat yang menampakkan keelokan sifat-
sifatNya.
Ketiga, dalam tafsir al-Qâsyânî surah al-Qasas ayat 32,
Dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke dada) mu bila ketakutan.103
Nûr al-Dîn ini adalah anak dari Alî al-Natnazî al-Isfahânî, Nûr al-Dîn
ini adalah gurunya al-Qâsyânî, sedangkan Alî al-Natnazî al-Isfahânî adalah
gurunya Ibn ‘Arabî (w. 638).104 Dari ketiga alasan yang dipaparkan, bisa
ditarik kesimpulan bahwa tafsir Ibn ‘Arabî ini adalah karyanya al-Qâsyânî
al-sûfî bukan karyanya Ibn ‘Arabî, dan juga al-Qâsyânî bukan lah golongan
batiniyyah akan tetapi beliau adalah golongan orang-orang sufi.
2. Metode dan Corak Tafsir al-Qâsyânî
101
Artikel di akses pada hari Senin 25 Desember 2017 dari
http://www.gateofturkey.com/section/en663/7/culture-and-art-masters-of-our-culture-katip-
celebi, 102
Teks tersebut tertera dalam tafsir al-Qâsyânî atau tafsir yang dinisbahkan kepada
Ibn ‘Arabî di bagian muqaddimahnya, hal 23. 103
Penafsiran al-Qâsyânî ada di tafsir Ibn ‘Arabî atau tafsir yang dinisbahkan
kepada Ibn ‘Arabî di dalam surah al-Qasas ayat 32 di halaman 115, sebagai berikut:
ومد قودس روحوه العزيوز فوي شوهود الوحودة ومقوام الفنواوقد ين عبد الص ء عون سمعت شيخنا نور الد
أبيه ... الخ104
Muhammad Ḥusain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, juz II, hal. 296.
58
Corak tafsir al-Qâsyânî adalah dan isyâri105, dan beliau tidak
menyinggung di dalam penafsirannya makna zahir, akan tetapi makna zahir
yang dilakukan al-Qâsyânî adalah untuk menghantarkan beliau kepada
makna batin.106
Adapun orang-orang yang menafsirkan al-Qur’ân dengan corak tafsir
sȗfî nazarî mayoritas pemikirannya di bangun dengan paham wahdah al-
wujûd, yang di mana orang-orang tersebut dianggap salah di dalam
menafsirkan al-Qur’ân.107 Adapun corak Isyari di dalam penafsiran al-
Qâsyânî sulit untuk di pahami dan al-Qâsyânî tidak mena’wilkan ayat
menurut zahirnya, namun disertai dengan usaha menggabungkan antara
yang zahir dan yang tersembunyi.
Di sini penulis, mendapatkan beberapa sampel yang menjadi corak al-
Qâsyânî dalam menafsirkan al-Qur’an, di antaranya:
a) Sampel-sampel teks tafsir Isyari di dalam tafsir ‘Abd al-Razzâq
al- Qâsyânî
Di sini penulis akan memaparkan sampel-sampel teks penafsiran al-
Qâsyânî yang bercorak Isyari, di antaranya:
- Surah al-Baqarah ayat 126
105
Menurut Subhi al-Salih sebagaimana di kutip dalam buku Pengantar Ilmu al-
Qur’ân dan Tafsir mendefinisikan tafsir Isyari adalah: “Tafsir Isyari adalah tafsir yang
menta’wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara
yang zahir dan yang tersembunyi. Lihat bukunya Muhammad Sofyan, Tafsir al-
Mufaasirun, yang telah di edit oleh Syamsul Amri Siregar, cet 1, h. 68. 106
Muhammad Ḥusain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, hal. 296 107
Muhammad Ḥusain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, hal. 296
59
“(Ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri
ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan
kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan
hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun
aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani
siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali".
Al-Qâsyânî mena’wilkan ayat tersebut bahwa jadikanlah hati ini
bersih, supaya senantiasa hati ini aman dari sifat-sifat diri yang menguasai,
dan kekejaman musuh yang dilaknat, dan angkatlah penutup-penutup atau
hijab-hijab diri bagi orang-orang yang melakukan jalan menuju kepada
Allah. Dan limpahkanlah kepadanya dari buah-buah kema’rifatan ruh atau
hikmah-hikmah dan cahaya-cahaya yang ada di dalam ruh tersebut kepada
orang yang mengesakan Allah dan mengetahui hari akhir, dan bagi orang-
orang yang hatinya tenang-tenang saja dan tidak mau naik kepada sebuah
maqam yang tidak dapat di sentuh oleh siapapun, karena terhijabnya mereka
dengan sebuah ilmu yang mereka pegang teguh dalam hatinya baik itu yang
bersifat rasio ataupun ilmu-ilmu yang lainnya, maka hal tersebut hanya
merupakan kesenangan yang sifat nya sementara, kemudian Allah
memberikan efek jera kepada mereka menuju api siksaan dan hijab-hijab
yang ada di dalam dirinya, itulah seburuk-buruk tempat kembali mereka.108
108
Muhammad Ḥusain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, hal. 298-299.
60
- Surah al-An’âm ayat 95:
Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji
buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (yang memiliki sifat-sifat)
demikian ialah Allah, Maka mengapa kamu masih berpaling?
Al-Qâsyânî mena’wilkan ayat tersebut, bahwa sesungguhnya Allah
menumbuhkan di dalam hati manusia dengan sebuah ilmu untuk mengenal
Allah, dan Allah mengeluarkan hati yang hidup dari kematian, dan
mengeluarkan yang mati dari kehidupan, begitulah Allah membolak balikan
keadaan kalian. Maka mengapa kalian berpaling kepada selainnya.109
b) Sampel-sampel teks tafsir Wahdah al-Wujûd di dalam tafsir
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî
- Di dalam surah Ali Imran ayat 191
"Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
Al-Qâsyânî mena’wilkan “ lafaz, yakni sesuatu ربنا ما خلقت هذا با طل
selainmu (Allah), maka sesungguhnya selain Haq itu adalah batil/salah,
akan tetapi engkau menjadikannya itu dengan nama-namamu, penampakan
sifat-sifatmu, Mahasuci engkau: “Kami mensucikan engkau dari sesuatu
109
Muhammad Ḥusain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, hal. 299.
61
selain engkau, yakni kesesuaian sesuatu dengan keMaha Esaanmu atau
berdua sesuatu dengan sifat WahdahMu.110
- Di dalam surah al-Wâqi’ah ayat 57
“Kami telah menciptakan kamu, Maka mengapa kamu tidak
membenarkan?”
Al-Qâsyânî mena’wilkan bahwa kami menciptakan kalian dan
menampakkan kalian dengan wujud kami, dan penampakan kami berada di
dalam bentuk-bentuk kalian.111
- Di dalam surah al-Hadîd ayat 4
“Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada.
Al-Qâsyânî mena’wilkan bahwa Dia bersama kamu, di mana saja
kalian berada, kalian bersama denganNya, dan penampakkanNya di dalam
penampakkan kalian.112
- Di dalam surah al-Mujâdalah ayat 7
110
Muhammad Ḥusain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, hal. 299. 111
Muhammad Ḥusain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, hal. 299. 112
Muhammad Ḥusain al-Dzahabi, Tafsir wa Al-Mufassirun, hal. 299.
62
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui
apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara
tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan
antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula)
pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak,
melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada.
kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat
apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
Al-Qâsyânî mena’wilkan bahwa tidak ada bilangan dan perbandingan,
bahkan hak paten kalian dariNya dengan segala ketentuan-ketentuanNya,
dan hijab mereka dengan hakikat mereka dan niat mereka itu dariNya, dan
penyambung mereka dengan ketetapan yang lazim bagi hakekat mereka dan
identitas mereka itu adalah dariNya, dan hakikat mereka berada di dalam
ZatNya dengan kewajibaNya yang pasti, dan ketersambungan mereka
dengan identitasNya yang masuk di dalam identitas mereka, dan
penampakkanNya di dalam penampakkan mereka, dan penabiranNya
dengan hakikat mereka dan wujud-wujud mereka yang di khususkan, dan
tegaknya Wujûdat al-Syakhsiyyah (wujud-wujud perorangan) di dalam Zat
WujudNya dan kewajiban mereka berada dibawah kewajibanNya, maka
dengan ibarat-ibarat ini yaitu Dialah yang keempatnya berada bersama
mereka, dan jikalau diibaratkan dengan hakikat maka adalah Dia itu Zat
63
mereka, dan karena ini di katakan: Jikalau tidak ada ibarat-ibarat maka tidak
terangakat/tersingkep Hikmah.113
- Di dalam surah al-Muzammil ayat 8-9
“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan
penuh ketekunan. (Dia-lah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia, Maka ambillah Dia sebagai
Pelindung.”
Al-Qâsyânî mena’wilkan bahwa ingatlah nama Tuhanmu yang Dia itu
adalah Engkau yakni kenalilah olehmu akan dirimu, dan ingatlah olehmu
kepadaNya, dan jangan sekali-kali kau melupakanNya, niscaya Allah akan
melupakanmu, dan bersungguh lah olehmu untuk menghasilkan kepada sifat
kesempurnaanNya setelah mengenal hakikat kepadaNya, Dia lah Tuhan
masriq dan magrib yakni Dia lah Zat yang nampak padamu dengan
cahayaNya, maka Dia lah yang muncul dari setiap cakrawala wujudmu
dengan keberadaanmu, atau dari magrib Dia lah Zat yang tersembunyi
dengan wujudmu, dan cahayaNya tersebut tersembunyi di dalam wujudmu
dan terhijablah kamu.114
Inilah adalah sebagian sampel-sampel yang dijelaskan atau
diklarifikasikan tentang intisari tafsir ini, dan jikalau kita membuka atau
menela’ah tafsir tersebut maka akan menemukan atau mendapatkan bahwa
al-Qâsyânî itu adalah termasuk golongan-golongan yang berpaham wahdah
113
Muhammad Ḥusain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, hal. 299. 114
Muhammad Ḥusain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, hal. 300.
64
al-wujûd yang terpengaruhi paham wahdah al-wujûd nya itu oleh wahdah
al-wujûd Ibn ‘Arabî, dan sebagian sampel ini adalah merupakan rahasia
yang karenanya tafsir tersebut dinisbahkan kepada Ibn ‘Arabi, maka
sesungguhnya Ibn ‘Arabî di dalam pemikirannya terdapat perkataannya
yang mengindikasikan paham wahdah al-wujûd, dan Ibn ‘Arabî
membangun pemikirannyan di dalam menafsirkan sebagian ayat-ayat al-
Qur’ân berdasarkan paham wahdah al-wujûd, maka karena penyatuan
mazhab-mazhab tersebut maka terjadilah keserupaan tafsir bisa terjadi
kerancuan atau sebuah kebingungan, maka tafsir tersebut dinisbahkan
kepada Ibn ‘Arabî atau bermaksud untuk menyebarkan paham wahdah al-
wujûd yang telah mempengaruhi pemikirannya al-Qâsyânî.115
3. Sistematika Penulisan Tafsir al-Qâsyânî
Adapun sistematikan tafsir ini yaitu: Judulnya Ta’wilât al-Qur’an
dengan tafsir yang dinisbahkan kepada Ibn ‘Arabi. Pengarang kitab ini
adalah Kamâluddīn ‘Abd al-Razzâq bin Abî Fadî`il Jamâl al-Dîn
Muhammad. Editor, Syaikh ‘Abd al-Wârits Muhammad ‘Ali. Kitab ini
diterbitkan oleh Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, Beirut pada tahun 2011
menggunakan hard cover bewarna merah dan memakai kertas warna putih
tulang. Berjumlah 2 jilid. Jilid 1 dari surat al-Fâtihah sampai dengan surat
al-Kahfi, jilid 2 dari surat maryam sampai dengan surat al-Ikhlas,
Tafsir ini ditulis dengan urutan mushafi yakni dimulai dari surat al-
Fâtihah dan diakhiri dengan surat al-Nâs. Pada setiap surat selalu diawali
dengan basmalah dan setelahnya diteruskan dengan mencantumkan
115
Muhammad Ḥusain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, hal. 300.
65
beberapa surat dan di bawahnya dicantumkan penafsiran ayat tersebut yang
dianggap penting oleh ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî.
D. Pengertian Wahdah al-Wujûd
Dunia tasawuf dikenal banyak memiliki konsep tentang al-Wahdah
(kesatuan), seperti Wahdah al-Wujûd, Wahdah al-Adyân, Wahdah al-
Syuhûd, Wahdah al-Ummah. Konsep ini diperkirakan berawal dari
penjabaran formulasi kalimat tauḥid : Lâ Ilâha Illallâ, yang mempunyai
implikasi sangat dalam bagi kehidupan umat Islam, sebab kalimat ini
merangkum secara universal bagaimana seharusnya manusia hidup
memandang diri, manusia dan alam dalam kaitannya dengan Yang Mutlak
(Tuhan). Segala sesuatu dipandang sebagai wujud dari karya Tuhan dan
fenomena kebesaranNya. Bagi seorang sufi tidak apa-apa dan tidak
mencintai apapun kecuali Dia. Para sufi bahkan memandang dirinya dan
manusia pada umumnya hanya semata-mata sebagai hamba Allah.116
Berbicara tentang konsep Yang Satu (al-wahîd) dan yang banyak (al-
katsîr), kalangan sufi memulainya dari konsep Wahdah al-Wujûd (kesatuan
wujud), dasar filosofis dalam memahami Tuhan dalam hubunganya dengan
alam, karena Tuhan tidak bisa dipahami kecuali dengan memadukan dua
sifat yang berlawanan padaNya. Bahwa wujud hakiki hanyalah satu, yakni
Tuhan al-Haq. Meski wujudNya hanya satu, Tuhan menampakkan diriNya
(tajallâ) dalam banyak bentuk yang tidak terbatas pada alam.
116
Uswatun Hasanah, “Konsep Waḥdah al-Wujūd Ibn ‘Arabi dan Manunggaling
Kawulo Lan Gusti Ranggawarsita”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo
Semarang, 2015), hal. 25.
66
Wahdah al-Wujûd adalah pendekatan sufi dalam mengekspresikan
tauhid, bagi para penganutnya, istilah ini adalah sinonim dengan tauhid
yang paling tinggi.117
1. Makna Wahdah al-Wujûd
Secara etimologi (bahasa), kata waḥdah al-wujûd adalah ungkapan
yang terdiri dari dua kata yakni waḥdah dan al-wujûd. Waḥdah berasal dari
kata wahada yahidu wahdah wahdatan, waḥdah adalah merupakan bentuk
masdar marrah yang berarti untuk menunjukkan berlakunya perbuatan itu
sekali, maknanya adalah Allah sekali Esa tetap lah Esa dalam setiap diri
manusia dengan kemahasucianNya, yaitu perhimpunan tanzih atau asli
seperti laut dengan ombak, Allah dengan Muhammad, zat dengan sifat,
sedangkan al-Wujûd secara etimologi (bahasa) berasal dari kata wajada
yajidu wajidan wajidatan wujudan artinya ada,118
keberadaan atau
eksistensi. Semua alam itu tidak ada dengan ketiadaannya yang asli, dan
semua alam diadakan dengan keberadaan dan eksistensiNya, dan Dia Allah
Zat Yang Maha Ada, dan semua alam tidak ada sama sekali, dahulu semua
alam itu tidak ada dan kemudian diadakan oleh Allah dan dinamakan
dengan wujûd hadîs, yang di mana wujûd hadîs ini bersifat ‘Adam (tiada)
artinya ada awal dan akhir, sedangkan Allah adalah wujûd yang qadîm
artinya Allah senantiasa ada tanpa ada pengawalan dan pengakhiran
117
Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabî Waḥdah al-Wujûd Dalam Perdebatan, (Jakarta:
Paramadina, 1995), hal. 40. Dikutip dari Usawatun Hasanah dalam skripsinya yang
berjudul: “Konsep Waḥdah al-Wujûd Ibn ‘Arabi dan Manunggaling Kawulo Lan Gusti
Ranggawarsita”, hal. 26. 118
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Penerbit Pustaka
Progressif, 1984), hal. 1542.
67
bagiNya.119
Secara terminologi (istilah) waḥdah al-wujûd berarti keEsaan
eksistensi. Tema sentral pembicaraan wahdah al-wujûd adalah mengenai
keEsaan Tuhan dengan alam atau dengan kata lain sifat, af’al dan asma
Allah meliputi sekalian alam, dengan demikian pengertian secara benar,
kata wahdah al-wujûd berarti paham yang cenderung mengesakan Tuhan
dari segi sifatNya, af’alNya dan asmaNya dengan alam semesta, paham ini
mengakui bahwa antara Tuhan dengan makhluk tidak sama, karenaa hanya
ada keyakinan bahwa Tuhan itu adalah totalitas, sedangkan makhluk adalah
obyek dari totalitas tersebut, dan Tuhan menampakkan Diri pada apa saja
yang ada di dalam semesta, semuanya adalah penjelamaanNya, tidak ada
sesuatu apapun di alam ini kecuali Dia.120
Pada tingkatan tertinggi wujud adalah realitas Tuhan yang absolute
dan tak terbatas yakni wâjib al-wujûd. Dalam pengertian ini wujud
menandakan esensi Tuhan atau hakikat satu-satunya realitas yang nyata
disetiap sisi. Sedangkan pada tingkatan terbawah, wujud merupakan
subtansi yang meliputi segala sesuatu selain Tuhan, dalam pengertian ini
wujud menunjuk pada keseluruhan kosmos, kepada segala sesuatu yang
eksis, karena wujud juga dapat digunakan untuk merujuk pada eksistensi
setiap dan segala sesuatu yang ditemukan dalam jagat raya ini.
2. Pandangan Para ‘Ulama Tentang Wahdah al-Wujûd
Beberapa pengalaman rohani, sebagai hasil nalar intuitif para sufi
yang disimbolkan dengan kata-kata dan karenanya kemudian di anggap
ganjil adalah hulûl, ittihâd, dan wahdah al-wujûd.
119
‘Abd al-Ghânî al-Nûbulisi, Îdāh al-Maqsûd min Waḥdah al-Wujûd, (Damaskus:
al-‘Ilm, 1969), hal. 8 120
‘Abd al-Ghânî al-Nûbulisi, Îdāh al-Maqsûd min Waḥdah al-Wujûd, hal. 10.
68
Hulûl adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-
tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-
sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.121 Pemahaman
ini dikembangkan oleh al-Hallâj yang mengatakan bahwa ketika Tuhan
berdialog terhadap dirinya sendiri dalam suatu dialog yang di dalamnya tak
terdapat kata-kata dan huruf. Ketika itu Tuhan sebenarnya cinta kepada
DzatNya sendiri dan dari cinta inilah, adanya wujud yang banyak ini. Tuhan
lalu mengeluarkan dari yang tiada, tiruan dari diriNya yang mempunyai
segala sifat dan namaNya. Bentuk salinan itulah Adam, dan dari Adam itulah
Tuhan muncul dalam bentukNya.122 Di samping kata-kata di atas, ia juga
mengatakan bahwa telah bercampur roh-Mu dengan rohku laksana
bercampurnya khamr dan air yang jernih. Bila sesuatu menyentuh-Mu,
tersentuhlah aku. Oleh sebab itu, engkau adalah aku dalam segala hal.123
Masih banyak lagi ungkapannya yang dianggap ganjil ulama zâhir dan tak
sedikit yang menuduhnya sebagai zindiq, mulhid, dan sebagainya.
Ittihâd adalah satu keadaan dalam tasawuf ketika seorang sufi
merasa bersatu dengan Tuhannya. Ittihâd merupakan tingkatan tatkala
pihak yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.124 Pemahaman
ini dikembangkan oleh Abû Yazîd al-Bustâmi dalam ucapannya,
“Konsentrasi terputus. Kata telah menjadi satu, bahkan seluruhnya telah
121 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Bandung: Bulan Bintang,
1983), hal. 88. 122
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, hal. 88. 123 Hamka, Tasawuf, Perkembangan, dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1984), hal. 121. 124
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, hal. 83.
69
menjadi satu.125 ”Persatuan yang dimaksudkan adalah bersatunya Abû
Yazîd al-Bustâmi bersama Tuhannya. Karenanya, ketika dikunjungi oleh
seseorang ia berkata bahwa Abû Yazîd al-Bustâmi tidak ada, yang ada
adalah Allah.126 Perbedaan antara hulûl dan ittihâd adalah bahwa hulûl al-
Hallâj merupakan dua wujud yang menyatu dalam satu tubuh, sedangkan
ittihâd Abû Yazîd al-Bustâmi adalah satu wujud. Baik hulûl maupun ittihâd
adalah sama-sama merupakan suatu keganjilan bahkan ada yang
memandangnya sebagai suatu kekufuran.
Wahdah al-wujûd adalah kesatuan yang wujud. Paham ini
dikembangkan oleh Ibnu ‘Arabi. Menurutnya, setiap sesuatu mem punyai
dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut al-khalq dan aspek dalam yang
disebut al-Haq.127 Seperti dalam hulûl, paham ini mengatakan bahwa
Tuhan ingin melihat diriNya di luar diriNya dan karenanya diciptakanlah
alam ini. Jadi, alam ini tak lebih dari cermin bagi Tuhan, sehingga ketika
Tuhan ingin melihat DzatNya, Ia melihat alam yang di dalamnya terdapat
sifat-sifat ketuhanan. Dalam cermin itu diriNya kelihatan banyak tetapi
sebenarnya Ia adalah satu adanya.128 Wujûd al-khalq banyak bergantung
kepada wujûd al-Haq, sehingga sebenarnya yang punya wujud hanyalah
satu (Tuhan), sedangkan yang lain adalah wujud bayangan.
Seperti dijelaskan pada bagian awal bahwa kesejukan dalam tasawuf
bergeser kepada kekeruhan, serta kedamaian bergeser kepada
pertentangan setelah analisis teologis dan filosofis yang banyak
125
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, hal. 85. 126
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, hal. 86. 127
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, hal. 92. 128
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, hal. 93.
70
berorientasikan nalar rasional mempengaruhi keadaan tasawuf yang
berorientasikan nalar intuitif. Pemikiran filsafat yang banyak dipergunakan
dalam analisis tasawuf adalah paham emanasi Neo Platonisme dalam semua
variasinya.129 Untuk itu, hulûl, ittihâd, maupun wahdah al-wujûd dianggap
sesat, zindiq, mulhid, dan bahkan ada yang dihukumi kufur. Hal tersebut
sangat wajar karena para ulama zâhir menyatakan bahwa Tuhan tidak
mungkin mengambil tempat (hulûl), apalagi bersatu (ittihâd) dengan
manusia. Demikian juga, tidak mungkin alam semesta ini adalah merupakan
wujud Tuhan (wahdah al-wujûd) sebab alam semesta adalah ciptaan atau
makhlukNya. Kalau hal itu terjadi, maka akan mengurangi kesempurnaan
Tuhan karena Tuhan akan tercemari oleh kekotoran makhlukNya. Karena
itu, ulama zâhir menentangnya sebab hal tersebut tidak bisa diterima baik
secara aqli maupun naqli. Para ulama yang menentang hulûl, ittihâd, dan
wahdah al-wujûd adalah Ibn Taymiyah, Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, Ibn
Khaldun, Ibrâhim al-Biqâ’i, dan lain-lain.130 Pertanyaannya, benarkah
beberapa pandangan tasawuf yang menggunakan analisis filosofis tersebut
berŧentangan dengan teks dasar keislaman sehingga mereka pantas diŧuduh
zindiq, mulhid, dan bahkan kufur.
Al-Ghazâlî mengatakan bahwa wujud itu terbagi menjadi dua,
yang wujud pada dirinya sendiri dan yang wujud dari sesuatu selainnya.
Adapun yang wujud dari sesuatu selainnya, maka perwujudannya itu
adalah pinjaman yang tidak bernilai dengan sendirinya. Apabila
129 HA. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 143. 130
Hamka, Tasawuf, Perkembangan, dan Pemurniannya, hal. 159.
71
perwujudannya itu ditinjau dari dirinya sendiri, maka sesungguhnya ia
adalah ketiadaan yang murni. Perwujudannya adalah nisbi belaka, bukan
wujud yang sebenarnya. Artinya, sesuatu yang ada dengan sebenar-
benarnya adalah Allah.131
Di samping itu, setiap sesuatu memiliki dua wajah, yaitu wajah ke
arah dirinya sendiri dan wajah ke arah Tuhannya. Maka dari itu, ditinjau
dari arah dirinya sendiri sesuatu itu adalah ‘adam (ketidaadaan), dan
ditinjau dari arah Allah, sesuatu itu adalah wujud (keberadaan). Jadi, tidak
ada maujud, kecuali Allah dan wajahNya. Dengan itu pula, segala sesuatu
binasa, kecuali wajahNya secara azali dan abadi.132 Menurut al-Ghazâlî,
ketika para sufi mi’raj ke langit hakikat, mereka tidak pernah melihat
dalam wujud ini kecuali yang Maha Tunggal dan Maha Benar. Namun
demikian, mereka berbeda dalam hal religious experience (pengalaman
ruhani) bersama Allah. Ada yang mengalami secara ma’rifah dan ilmu,
sedangkan yang lain mendapatkannya dengan dhawq (cinta batiniah) dan hal
(suatu keadaan luar biasa yang meliputi diri seseorang). Pada saat yang
demikian, kemajemukan lenyap sama sekali dari mereka dan tenggelamlah
mereka dalam ketunggalan yang murni (al-fardiyah al-mahdah), terpesona
dalam keindahannya, kehilangan kesadaran diri sehingga tidak lagi
tertinggal pada diri mereka kemampuan untuk mengingat sesuatu selain
Allah, bahkan tidak pula untuk diri mereka sendiri. Mereka menjadi
mabuk kepayang sehingga di antara mereka pada saat seperti ini berkata,
“Aku al-Haq”, sedangkan yang lain berkata, “Maha suci aku, alangkah
131 Al-Ghazâlî, Miskât al-Anwâr, terj. Moh Bagir (Bandung: Mizan, 1984), hal. 38. 132
Al-Ghazâlî, Miskât al-Anwâr, hal. 39.
72
agungnya keadaanku” atau “Tiada sesuatu di balik jubah ini, selain Allah”.
Keadaan seperti ini dalam bahasa majaz, menurut al-Ghazâlî dinamakan
ittihâd, sedangkan dalam bahasa haqiqah dinamakan tauhid.133
Secara filosofis, pertemuan Tuhan dengan mahluk (hulûl, ittihâd, dan
wahdah al-wujûd) tidak akan mengurangi kesucian dan kesempurnaanNya.
Terlalu naif kalau dikatakan bahwa Tuhan dapat terpengaruh oleh perilaku
hambaNya. Sifat baqâ’ dan kesempurnaan Tuhan tidak akan pernah
berkurang hanya karena kekotoran dan kekurangan mahlukNya. Ibarat
cahaya matahari yang masuk ke tempat manapun tanpa harus ada yang
menghalangi, seperti dalam masjid, sekolah, rumah, dan bahkan tempat
perjudian, pelacuran, kandang babi atau anjing, dan lain-lainnya.134 Semua
secara adil dan sempurna sama-sama mendapatkan cahayanya. Kondisi
seperti ini tidak akan ada orang yang berkata bahwa cahaya matahari
menjadi kotor dan terhina karena masuk ke dalam kandang babi dan tempat
pelacuran. Demikian sebaliknya, tidak akan ada orang yang berkata bahwa
cahaya matahari menjadi semakin bagus dan sempurna karena dapat
menyinari masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya. Kalau cahaya
matahari saja tidak pernah kotor dan terhina, apalagi cahaya di atas segala
cahaya, yang dalam hal ini, adalah Allah. Tentu kesucian Allah tidak akan
pernah berkurang hanya karena kehinaan perilaku makhlukNya. Sebaliknya,
tentu kebesaranNya tidak akan menjadi semakin berjaya hanya karena
semua makhluk bersembah sujud kepadaNya. Sungguhpun demikian,
133
Al-Ghazâlî, Miskât al-Anwâr, hal. 43. 134 M. Hasyim Syamhudi, “Hulûl, Ittihâd, dan Wahdah al-Wujûd dalam
Perbincangan ‘Ulama Zâhir dan Bâtin”, Al-Tahrir, Vol. 13, No. 1 Mei 2013, hal. 11.
73
cahaya matahari akan terus menyertai apa dan siapa saja yang ada di
kolong bumi ini secara adil dan seksama tanpa harus memandang siapa
yang pantas diberi cahaya dan siapa yang tidak. Demikianlah Allah dengan
rahmân dan rahîmNya akan terus menyertai makhlukNya, memberikan
kehidupan dengan segala fasilitas dan kelengkapan yang telah
dipersiapkan. Allah menjelaskan dalam firmanNya:
Ingatlah bahwa Sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang
Pertemuan dengan Tuhan mereka. ingatlah bahwa Sesungguhnya Dia
Maha meliputi segala sesuatu.
Dalam hadis Qudsi disebutkan:135
ي هللا قال رسوول هللا صول ى هللا عليوه وسولم قوال مون عواد عن أبي هريرة ر
وت عليو وا فر ب الوي عبودي بشويء أحوب الوي مم نته باالحرب وماتقر ه لي ولي ا فقد آ
ا أحببته ب الي بالنوافل حتى أحب فا كنت سمعه الذي يسومع بوه وما يزال عبدي يتقر
نوه وبصره الذي يبصر به ويده التي يبطش ورجله التي يمش بها ولئن سوألني ألعطي
ني ألعيذنه )رواه البخاري( ولئن استعا
Dari sahabat Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda,Barang siapa
memusuhi waliku, maka aku umumkan perang kepadanya.Senantiasa
hambaku mendekatkan diri kepadaku dengan amal-amal yang aku
fardukan dan yang aku sunahkan, sehingga aku cintai dia. Maka
apabila aku telah cinta kepadanya, jadilah aku pendengarannya yang
dengan dia mereka mendengar, jadilah aku matanya,yang dengan dia
mereka melihat, jadilah aku lidahnya yang dengan dia mereka berkata,
jadilah aku tangannya yang dengan dia mereka memukul, jadilah aku
kakinya yang dengan dia mereka berjalan,dan jika ia meminta
kepadaku, maka aku berikan dan jika ia minta dilindungi dari segala
kerusakan,aku lindungi.
135 Muhyi al-Dîn Abû Zakaria al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn (Surabaya: Salim
Nabhan, 1966), hal. 47.
74
Dengan demikian, anggapan bahwa Allah akan terkotori oleh perilaku
makhluk yang mengaku telah menyatu dengan-Nya dalam religious
experience yang ditekuni melalui ibadah dan amal shalih, tidak dapat
diterima. R.A. Nicholson mengatakan: “Keliru untuk menganggap bahwa
ucapan subhani (maha suci aku) dari al-Bustami,ana al-haq (aku adalah
Tuhan) dari al-Hallâj, dan ana hiya (aku adalah dia) dari Ibn ‘Arabi
merupakan panteisme”. Demikian juga pengakuan al-Hallâj dalam al-
Tawasin yang mengungkapkan transendensi Tuhan dan immanenNya dalam
hati manusia.136
Dari uraian Nicholson dipahami bahwa Tuhan tidak identic dengan
manusia atau makhluk yang lain sehingga apa yang dikatakan al-Hallâj, al-
Bustami, dan Ibn ‘Arabi tidak bisa dikatakan sebagai panteisme. Dalam
panteisme segala yang ada (makhluk) diyakini sebagai Tuhan dan karenanya
mereka disembah. Adapun dalam tasawuf, Tuhan tetap transenden tetapi
Dia immanen dalam hati manusia, sehingga pada tasawuf bersifat
isnayniyah atau dualisme. Artinya, ada dua wujud yang berbeda sehingga
hal ini tidak bisa dikatakan satu wujud atau monisme. Mahluk bukan Tuhan.
Tuhan juga bukan mahluk, dan mahluk tidak bisa menyerupai Tuhan.137
Allah menjelaskan dalam Qs. al-Hadîd ayat 4:
Dia bersama kamu di mama saja kamu berada, dan Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan.
136
Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2003), hal. 18. 137
M. Hasyim Syamhudi, “Hulûl, Ittihâd, dan Wahdah al-Wujûd dalam
Perbincangan ‘Ulama Zâhir dan Bâtin”, hal. 12.
75
Allah menjelasakan juga dalam Qs. al-Baqarah ayat 115:
Kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.
Dari beberapa penjelasan di atas dipahami bahwa selama perbedaan
antara Tuhan dan mahluk masih diakui dan hubungan yang ada masih
bersifat transenden, maka tuduhan bahwa para sufi meyakini serba Tuhan,
panteisme ataupun monisme tidak dapat dibenarkan. Bahkan dari sini
semakin jelas tapal batas antara sufi dan mulhid, zindiq, maupun kafir yang
panteistis dan monistis.138
Analisis filosofis, terhadap pemahaman al-Hallâj, Abû Yazîd dan Ibn
‘Arabi yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam karena pahamnya yang
mengembangkan wahdah al-wujûd, ittihâd dan hulûl ternyata bila
dikembalikan kepada sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan hadis,
mendapatkan kejelasan bahwa yang mereka ucapkan sebenarnya telah
berjalan di atas konsep keislaman. Hanya saja, apa yang mereka ucapkan itu
berada di luar kemampuan orang awam. Hal tersebut bisa dipahami oleh
karena pengalaman kerohanian sufistik yang banyak dihasilkan dari produk
nalar intuitif dikembangkan secara bersama dengan pemikiran filosofis yang
merupakan hasil dari produk nalar rasionalis. Untuk itu, Hamka mengakui
138
M. Hasyim Syamhudi, “Hulûl, Ittihâd, dan Wahdah al-Wujûd dalam
Perbincangan ‘Ulama Zâhir dan Bâtin”, hal. 13.
76
bahwa keberadaan orang-orang yang merasa dirinya bersatu dengan Tuhan,
hidupnya berada di luar garis yang dilalui oleh manusia biasa, mabuk
kepayang dan hangus.139
Kondisi seperti inilah yang menjadikan al-Ghazâlî bersikap hati-hati
menyikapi pemikiran wahdah al-wujûd, ittihâd dan hulûl. Ia tidak langsung
menuduh mulhid, zindiq, maupun kafir. Sebagai seorang sufi besar dan
sebagai orang yang memiliki keluasan filsafat, al-Ghazâlî tidak mau
memberikan hukuman kepada mereka dan ia tidak mencela al-Hallâj,
bahkan ia memberikan maafnya. Hal itu karena mereka sangat cinta.
Bukankah cinta itu buta.140 Sikap hati-hati al-Ghazâlî ini nampaknya
merupakan kelanjutan dari sikap al-Junayd yang hidup pada generasi
sebelumnya.
Al-Junayd mengakui bahwa ketika nalar intuitif seorang sufi mulai
meningkat naik, kadang-kadang sangat berbahaya jika dinyatakan kepada
orang umum. Untuk itu, al-Junaid mulai mengendalikan dengan tidak
mengumumkan isi pengajian dan tidak menyiarkan kepada orang yang tidak
sanggup menerimanya, dan ia menjelaskan kepada mereka sesuai dengan
ukuran kecerdasannya dengan tidak melepaskan tali hubungan dengan yang
mereka cintai, yaitu Allah.141 Sungguhpun paham wahdah al-wujûd, ittihâd
dan hulûl banyak yang menentang tetapi banyak juga yang mendukungnya
seperti, Majd al-Dîn al Firûz al-Zabadi, Qutb al-Dîn al-Humawi, Sâlih al-
Dîn al-Safadi, Syihâb al Dîn ‘Umar al-Suhrawardi (bukan Suhrawardi
139
Hamka, Tasawuf, Perkembangan, dan Pemurniannya, hal. 151. 140
Hamka, Tasawuf, Perkembangan, dan Pemurniannya, hal. 151. 141
Hamka, Tasawuf, Perkembangan, dan Pemurniannya, hal.108.
77
pembangun hikmat al-Ishrâq), Fakhr al-Dîn al-Râzi, Jalâl al-Dîn al-Suyûti,
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, dan ‘Abd al-Ghâni al-Nâbulisi.142
142
Hamka, Tasawuf, Perkembangan, dan Pemurniannya, hal. 159.
78
BAB IV
MAKNA AJARAN MISTIK WAHDAH AL-WUJÛD DALAM
TAFSIR ‘ABD AL-RAZZÂQ AL-QÂSYÂNÎ (STUDI ANALITIS
SURAT AL-HADÎD AYAT 1-6)
A. Makna Ajaran Mistik
Mistis adalah pengetahuan yang tidak rasional, yaitu pengetahuan
(ajaran atau keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh melalui latihan
meditasi atau latihan spiritual, bebas dari ketergantungan indera atau rasio.
Pengetahuan mistis ialah pengetahuan yang tidak dapat dipahami rasio.
Dalam Islam yang termasuk pengetahuan mistis ialah pengetahuan yang
diperoleh melalui jalan tasawuf. Pengetahuan mistis ialah pengetahuan yang
supra rasional tetapi kadang-kadang mempunyai bukti empiris.143
Pengetahuan mistis ialah pengetahuan yang diperoleh tidak melalui
indera dan bukan melalui rasio. Pengetahuan ini diperoleh melalui rasa dan
hati. Yang menjadi objek pengetahuan mistis ialah objek yang abstrak-
supra-rasional, seperti alam gaib, Tuhan, malaikat, surga, neraka dan jin.
Pada umumnya cara memperoleh pengetahuan mistis adalah latihan yang
disebut dengan riyadhah (latihan), dari situlah manusia dapat memperoleh
pencerahan, memperoleh pengetahuan. Kebenaran pengetahuan mistis
diukur dengan berbagai ukuran. Ada kalanya ukuran kebenaran pengetahuan
mistis itu kepercayaan. Jadi, sesuatu dianggap benar jika kita
mempercayainya. Ada kalanya juga kebenaran suatu teori diukur dengan
143
Hambali, “Pengetahuan Mistis dalam Konteks Islam dan Filsafat Ilmu
Pengetahuan”, Jurnal Substantia, Vol. 13, No. 2, Oktober 2011.
79
bukti empiris, yaitu ukuran kebenaran. Sulit memahami jika sesuatu teori
dalam pengetahuan mistis bila pengetahuan itu tidak punya bukti empirik,
sulit diterima karena secara rasional tidak terbukti dan bukti empiris pun
tidak ada. Pengetahuan mistis itu amat subjektif, yang paling tahu
penggunaannya ialah pemiliknya. Di kalangan sufi kegunaannya yaitu dapat
menentramkan jiwa mereka, mereka menggunakan pengetahuannya untuk
kebaikan. Mistis magis hitam dikatakan hitam karena penggunaannya untuk
kejahatan. Cara pengetahuan mistis menyelesaikan masalah tidak melalui
proses inderawi dan tidak juga melalui proses rasio. Ada dua macam mistis
yaitu mistis yang biasa dan mistis magis. Mistis magis adalah kegiatan
mistis yang mengandung tujuan-tujuan untuk memperoleh sesuatu yang di
inginkan penggunanya. Dunia mistis magis dalam dunia Islam yaitu ’ulum
al-hikmah yang berisi antara lain rahasia-rahasia huruf al-Qur’an yang
mengandung kekuatan magis, rahasia wafaq dan rahasia Asma Ilahiyah.
Pada kenyataannya tokoh-tokoh mistis-magis itu kebanyakan para
sufi. Kekuatan alam akhirnya tunduk di bawah sinar Ilahi dan dukungan-
Nya melalui huruf-huruf dan nama indah-Nya. Melalui kalam Ilahi inilah
jiwa-jiwa Ilahiyah yang aktif dapat digunakan manusia untuk tujuan yang
dikehendakinya. Pada perkembangannya dunia mistis-magis Islam terbagi
dua kelompok, yaitu mistis-magis dalam bentuk wirid-wirid dan mistis-
magis dalam bentuk benda-benda yang telah di formulasikan sedemikian
rupa biasanya berupa wafaq-wafaq atau isim-isim.
80
Ada dua aliran yang terdapat pada pengetahuan Mistis Magis yaitu
Mistis Magis Putih dan Mistis Magis Hitam. Adapun cara kerja dari masing-
masing aliran tersebut adalah:144
1. Cara kerja Mistis-Magis-Putih
Para ahli hikmah menyadari bahwa kekuatan Tuhan baik yang ada
dalam diri-Nya atau yang ada dalam firman-Nya dapat digunakan oleh
manusia. Ayat-ayat al-Qur’an atau kitab langit lainnya sering digunakan
sebagai perantara untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya,
bahkan Asma-asma Tuhan sering digunakan untuk meminta sesuatu. Jika
seseorang dapat atau sanggup mempraktekkan wirid atau do’a sesuai dengan
rumusan maka kekuatan Ilahiyah (khadam atau malaikat) akan dapat
dimanfaatkan untuk mencapai tujuan yang kehendaki terlebih jika diikuti
oleh jiwa yang bersih. Cara kedua ialah dengan cara memindahkan jiwa-
jiwa Ilahiyah atau khadam yang ada dalam huruf-huruf al-Qur’an atau di
dalam asma-asma Allah, cara ini disebut wafaq atau isim dimana ditulis
dengan menggunakan tinta tertentu dan pada kondisi tertentu. Pada dasarnya
mereka menggunakan supra natural yang ada pada khadam dalam wirid atau
doa, wafaq atau isim untuk tujuan tertentu.145
2. Cara kerja Mistis-Magis-Hitam
Mereka membuat simbol-simbol atau nama atau atribut-atribut, lalu ia
bacakan mantra. Selama mengucapkan kata-kata buruk itu, ia
144
Hambali, “Pengetahuan Mistis dalam Konteks Islam dan Filsafat Ilmu
Pengetahuan”, hal. 3. 145
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 5-6.
81
mengumpulkan ludahnya untuk disemburkan pada gambar itu. Lalu ia
ikatkan buhul pada simbol menurut sasaran yang telah disiapkan tadi. Ia
menganggap ikatan buhul itu memiliki kekuatan dan efektif dalam praktik
sihir. Ia meminta jin-jin kafir untuk berpartisipasi, ia memunculkan lebih
banyak roh jahat sehingga segala sesuatu yang dituju benar-benar terjadi.146
Kata mistis, menurut De Jong, seperti juga kata "misteri" berasal dari
kata kerja Yunani mu-ein yang mempunyai dua arti. Arti pertama adalah
menutup mata dan mulut, dan arti kedua adalah mengantarkan seseorang ke
dalam suatu rahasia lewat upacara. Pada awal penggunaannya di Barat pada
abad ke-5 kata mystical menunjukkan suatu corak teologi yang hanya
mengindahkan pendekatan yang melampaui akal dan pengalaman manusia.
Pada pendekatan etimologis ini tampak bahwa mistis tidak akrab dengan
corak berpikir analitis akali yang menjadi watak ilmu pengetahuan.147
Sebagai sebuah kenyataan dalam cakrawala hidup, keberadaan daya-daya
gaib dengan atau tanpa mistis magis tidak bisa ditampik. Namun itu tidak
berarti harus melupakan dampak-dampak yang muncul dari penggunaannya
secara sosial. Persoalannya pun lebih dari sekedar menyangkut etika
maupun ketepatgunaan mistis magis bagi masa kini. Sehingga jika mencoba
berikhtiar untuk mengelola daya-daya gaib untuk kepentingan yang sesuai
dengan tema zaman.
Ada pakar kebudayaan yang memandang mistis magis sebagai benih-
benih aktivitas teoritis dan ilmiah yang muncul dari rasa heran manusia.
Namun pada magis, rasa heran tersebut tidak mampu menyingkap sebab-
146
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hal. 5-6. 147
Hambali, “Pengetahuan Mistis dalam Konteks Islam dan Filsafat Ilmu
Pengetahuan”, hal. 4.
82
musabab yang sesungguhnya, bahkan menjebak orang untuk puas dengan
sebab-musabab khayali. Pengetahuan dalam arti yang di pahami zaman
sekarang, tidak mampu dicapai lewat magis. Kalaupun belakangan terdapat
upaya-upaya yang sukses dalam memberikan secara ilmiah fenomena daya-
daya gaib maka pada saat bersamaan hal tersebut telah menjadi kenyataan
ilmiah di luar magis.148
Sampai langkah ini saja sudah dapat teraba potensi
konfrontasi antara watak penalaran mistis magis dengan trend zaman
sekarang yang berpihak pada corak berpikir analitis akali. Terlebih lagi
karena ternyata telah terjadi pembalikan teori Malinowski yang
menyebutkan bahwa magis hanya beraksi kalau pengetahuan gagal, menjadi
bahwa berkembangnya magis telah menghambat perkembangan ilmu
pengetahuan.
Kepercayaan dan praktek-praktek mistis magis secara luas
menghindarkan orang dari telaah akali, yang menjadi salah satu corak
kebudayaan umat manusia kini dan esok. Persoalannya bukan terletak pada
bagaimana kebudayaan kita bisa beriringan dengan trend kebudayaan dunia
belaka. Melainkan bahwa sampai saat ini terbukti ilmu pengetahuan masih
sanggup memberikan konstribusinya yang besar kepada kebudayaan dan
peradaban umat manusia. Watak berpikir akali dalam ilmu pengetahuan
telah memungkinkan manusia untuk melakukan petualangan dan
penjelajahan dalam semesta kehidupan sambil terus menerus membuka
wawasan baru pengalamannya. Cahaya akal mempunyai watak kritis,
evaluatif dan selalu disertai dengan semangat menisbikan batas-batas
148
Hambali, “Pengetahuan Mistis dalam Konteks Islam dan Filsafat Ilmu
Pengetahuan”, hal. 4.
83
kemampuan manusia sehingga sejarah kebudayaan dan peradaban manusia
selalu ditandai dengan terbukanya hubungan-hubungan baru. Watak ilmu
pengetahuan adalah memahami dan mengelola fakta-fakta lama maupun
fakta-fakta baru yang ditemukan, karena cahaya akal menolak setiap
kekuatan yang mencoba meresap diri manusia ke dalam alam semesta. Jarak
antara manusia dan alam semesta tersebut sama sekali tidak dapat
ditemukan pada watak penalaran mistis magis.
Dalam mistis magis, manusia lebur ke dalam alam semesta.
Tinggallah dua kemungkinan dalam hal ini, yakni manusia menyerap atau
diserap oleh daya-daya alam. Dengan demikian kebudayaan kemudian
digiring kepada etika yang mengunggulkan sikap dan tindakan menguasai.
Konsep kekuasaan dalam mistis magis memiliki corak yang berbeda dengan
pemahamannya dalam ilmu pengetahuan. Ignas Kleden melihat magis
sebagai bersifat estetis, namun kiranya lebih tepat memahaminya -termasuk
soal kekuasaan- sebagai bersifat emotif. Hal ini tampak pada persepsi dan
praktek-prakteknya, seperti ditulis Cassirer, "Hanya jika mengalami
ketegangan emosional yang luar biasa, maka manusia mencari bantuan pada
upacara magis". Barangkali memang harus dicatat bahwa kepercayaan dan
praktek mistis magis secara hakiki bercorak sosial. Sangat jarang atau
bahkan tidak ada mistis magis yang sejak awal keberangkatannya bercorak
individual atau personal, dan justru pada coraknya itulah muncul beberapa
kerepotan sosial. Kerepotan ini muncul, pertama-tama, dengan asumsi
bahwa masyarakat saat ini semakin heterogen dalam berbagai hal. Sehingga
dalam komunikasi sosial perlu suatu kesamaan bahasa yang mengatasi
84
segala macam perbedaan, sebuah epistemologi sosial untuk merumuskan
kenyataan obyektif.
Dalam masyarakat modern hal tersebut di tunjukkan lewat kenyataan
obyektif yang empirik dan akali. Kepercayaan dan praktek mistis magis tak
bisa memenuhinya, karena watak penalarannya yang mengatasi akal dan
pengalaman sehingga realitas pun nisbi secara subyektif. Dunia mistis masih
cukup kental dengan sebagian masyarakat tanah air kita. Keyakinan
terhadap penguasa yang mampu mendatangkan keberuntungan dan
menyingkirkan marabahaya selain Allah SWT tetap mengakar pada mereka
ini. Guna melancarkan roda kehidupan, hajatan, atau urusan mereka, mereka
menghidupkan ritual-ritual persembahan tumbal dan sesaji. Persembahan
tumbal biasanya dalam bentuk binatang ternak, baik disembelih terlebih
dahulu maupun dipersembahkan dalam keadaan hidup-hidup. Sementara
persembahan sesaji dilakukan dengan selain hewan bernyawa.149
Mistisisme dapat ditemukan dalam Islam melalui jalan tasawuf dan
oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah
orientalis Barat khususnya dipakai untuk mistisme Islam. Sufisme tidak
dipakai untuk mistisme yang terdapat dalam agama-agama lain.150
Tasawuf adalah istilah yang berkembang di dunia Arab. Sementara sufisme
lebih populer di Barat, yang dinisbahkan kepada seorang pelaku tasawuf,
sufi. Tujuannya pun satu, dan sama dengan tujuan syari’at, yaitu kesalehan
batin dan perilaku dengan berbagai maqamnya, yang menjadikan sufisme
149
Hambali, “Pengetahuan Mistis dalam Konteks Islam dan Filsafat Ilmu
Pengetahuan”, hal. 5. 150
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992, hal. 47
85
menyimpang adalah ketika salah satu maqamnya, wihdatul wujud,
berkembang ke arah ittihad atau hulul, yang kemudian lebih sering berkaitan
dengan sinkrestisme. Ini, yang menyalahi tauhid.151
Ontologi membicarakan Hakikat pengetahuan mistis serta struktur
dari pengetahuan mistis itu sendiri. Mistis adalah pengetahuan yang tidak
rasional, ini pengertian yang umum. Adapun pengertian mistis bila dikaitkan
dengan agama adalah pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang Tuhan
yang diperoleh melalui meditasi atau latihan spiritual, bebas dari
kebergantungan pada indera dan rasio.152
Pengetahuan mistis adalah
pengetahuan yang tidak dapat dipahami rasio, maksudnya, hubungan sebab-
akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio. Pengetahuan ini kadang-
kadang memiliki bukti empiris tetapi kebanyakan tidak dapat dibuktikan
secara empiris. Dilihat dari segi sifatnya mistis terbagi menjadi dua, mistis
biasa dan mistis magis. Mistis biasa adalah mistis tanpa kekuatan tertentu.
Contohnya dalam Islam adalah tasawuf. Mistis magis adalah mistis yang
mengandung kekuatan. Mistis magis ini dapat dibagi dua, mistis-magis-
putih dan mistis-magis-hitam. Mistis magis putih dalam Islam contohnya
mukjizat, karamah, ilmu hikmah, sedangkan mistis-magis-hitam contohnya
adalah santet dan sejenisnya yang mengarah ke sihir, bahkan boleh jadi
merupakan sihir. Mistis-magis-putih dalam segi filsafatnya selalu dekat
dengan Tuhan, sehingga dukungan Ilahi sangat menentukan. Hal ini berjalan
sejak kenabian disebut mukjizat dan selain nabi disebut karamah, sedangkan
151
‘Abd Qâdir Îsâ, Hakekat Tasawuf, (Jakarta Timur: Qisthi Press, 2005), hal. 2. 152
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hal. 112.
86
mistis magis hitam bersandar dan bergantung pada kekuatan setan dan roh
jahat.
Jiwa-jiwa yang memiliki kemampuan magis dapat digolongkan
menjadi tiga. Pertama, mereka yang memiliki kekuatan mental atau hikmah.
Itu disebabkan jiwa mereka telah menyatu dengan jiwa setan atau roh jahat.
Para filosof menyebut mereka ini sebagai ahli sihir dan kekuatan mereka
luar biasa. Kedua, mereka yang melakukan pengaruh magisnya dengan
menggunakan watak benda-benda atau elemen-elemen yang ada di
dalamnya, baik benda angkasa atau benda yang ada di bumi. Inilah yang
disebut jimat-jimat yang biasa disimbolkan dalam bentuk benda-benda
material atau rajah. Ketiga, mereka yang melakukan pengaruh magisnya
melalui kekuatan imajinasi sehingga menimbulkan berbagai fantasi pada
orang yang dipengaruhi. Kelompok ini disebut kelompok pesulap.153
Bagaimana pengetahuan mistis diperoleh. Objek empiris dapat
diketahui sains, objek abstrak rasional dapat diketahui filsafat, sisanya, yaitu
yang abstrak-supra-rasional diketahui dengan apa. Mistis di sini bukan lagi
kata sifat tetapi nama, sejajar dengan sains dan filsafat.154
Pengetahuan
mistis ialah pengetahuan yang diperoleh tidak melalui indera dan bukan
melalui rasio. Pengetahuan ini diperoleh melalui rasa, melalui hati sebagai
alat merasa. Sehingga hal-hal yang tidak dapat dipahami oleh indera dapat
diterima oleh hati dan rasa.155
Adapun objek dari pengetahuan mistis adalah
objek yang abstrak-supra-rasional, seperti alam ghaib termasuk Tuhan,
malaikat, surga, neraka dan jin. Termasuk objek-objek yang hanya dapat
153
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hal. 116. 154
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hal. 112. 155
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hal. 118.
87
diketahui melalui pengetahuan mistis ialah objek-objek yang tidak dapat
dipahami oleh rasio, yaitu objek-objek supra-natural seperti kebal, debus,
pelet, penggunaan jin dan santet. Pada umumnya cara memperoleh
pengetahuan magis adalah latihan yang disebut riyadhah. Dari riyadhah itu
manusia memperoleh pencerahan, mem-peroleh pengetahuan yang dalam
tasawuf disebut ma’rifah.
Mustahil pengetahuan mistis mendapat pengikut yang begitu banyak
dan berkembang sedemikian pesat bila tidak ada gunanya. Uraian tentang
kegunaan pengetahuan mistis seharusnya menyangkut mistis biasa, mistis
putih, dan mistis hitam. Kegunaannya mencakup area yang sangat luas.
Pengetahuan mistis itu amat subjektif, yang paling tahu penggunaannya
ialah pemiliknya. Secara kasar kita dapat mengetahui bahwa mistis yang
biasa digunakan untuk memperkuat keimanan, mistis-magis-putih di
gunakan untuk kebaikan, sedangkan mistis-magis-hitam digunakan untuk
tujuan yang jahat. Pengetahuan mistis menyelesaikan masalah tidak melalui
proses indrawi dan tidak juga melalui proses rasio. Itu berlaku untuk mistis
magis putih dan mistis magis hitam. Hampir seluruh masyarakat beragama
di dunia mengakui adanya kehidupan mistis, termasuk jenis-jenis mistis
yang mengandung magis.
Islam sebagai agama yang memiliki nilai-nilai universal bagi
kehidupan manusia sebenarnya telah memberi jalan cukup jelas tentang
keberadaan mistis yang gaib itu. Masyarakat Islam ketika berhadapan
dengan tradisi-tradisi lokal seperti Yunani, Persia, India, Warisan Arab
Kuno yang kaya dengan praktik mistis-magis terdorong dan terilhami untuk
88
memformulasikan kembali kegiatan ini dalam bentuk-bentuk yang selaras
dengan nilai-nilai Islam. Dari sinilah agaknya muncul dan berkembangnya
tradisi mistis-magis dalam Islam.156
Ada beberapa cara untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan di
antaranya melalui akal, empiris, wahyu, intuisi, karamah, mukjizat, ilham
maupun sihir. Dalam hal pengetahuan mistis jarang menggunakan akal tapi
lebih menitik beratkan pada perasaan yang mendalam. Adakalanya setiap
fenomena yang mistis tidak semua dapat dirasiokan, sebab itulah peradaban
Barat tidak menjadikan perasaan sebagai landasan suatu ilmu hanya sebatas
pengetahuan yang belum ilmiah keberadaannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan mistis ini terbagi dalam
berbagai kubu, di antara percaya atau tidaknya suatu hal yang terjadi. Tapi
tak terbantahkan jika ada orang-orang yang berpegang teguh pada mistisme
ini contohnya orang-orang sufi. Yang mereka merasa tentram untuk hidup
yang mereka pilih. Perbuatan-perbuatan mistis yang dipraktekkan dalam
kehidupan sosial terkadang melenceng dari aturan, yang mengajarkan
mistisme hitam misalnya. Ini sangat berdampak buruk bagi masyarakat
sosial, dimana yang harusnya pengetahuan mistis ini membantu kehidupan
manusia bukan sebaliknya.
Sufi adalah orang-orang yang selalu menjaga hubungannya dengan
sang Pencipta. Sudah barang tentu jika seseorang yang dekat dengan
Tuhannya, maka Tuhan akan lebih dekat padanya. Tidak mengherankan jika
156
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hal. 122-126.
89
Allah memberikan keistimewaan pada orang-orang yang mengistimewakan
Allah dalam hati mereka, biasanya keistimewaan ini berupa karamah.
Dalil karamah dalam al-Qur’an pertama cerita mengenai Ashabul
Kahfi yang tertidur panjang selama 309 tahun dalam gua. Kedua kisah
Maryam yang menggoyangkan pohon kurma yang kering dan berjatuhanlah
kurma yang masak di luar musimnya. Ketiga, nabi Zakaria As mendapati
makanan dalam mihrabnya Maryam. Dan yang keempat, masa Nabi
Sulaiman As memerintah jin untuk membawakan singgasana Ratu Bilqis
hanya dengan sekejap mata berkedip.
Pengetahuan mistis ialah pengetahuan yang diperoleh tidak melalui
indera dan bukan melalui rasio. Pengetahuan ini diperoleh melalui rasa dan
hati. Yang menjadi objek pengetahuan mistis ialah objek yang abstrak-
supra-rasional, seperti alam gaib, Tuhan, malaikat, surga, neraka dan jin.
Pada umumnya cara memperoleh pengetahuan mistis adalah latihan yang
disebut dengan riyadhah (latihan), dari situlah manusia dapat memperoleh
pencerahan, memperoleh pengetahuan.
Kebenaran pengetahuan mistis diukur dengan berbagai ukuran. Ada
kalanya ukuran kebenaran pengetahuan mistis itu kepercayaan. Jadi, sesuatu
dianggap benar jika kita mempercayainya. Ada kalanya juga kebenaran
suatu teori diukur dengan bukti empiris, yaitu ukuran kebenaran. Sulit
memahami jika sesuatu teori dalam pengetahuan mistis bila pengetahuan itu
tidak punya bukti empirik, sulit diterima karena secara rasional tidak
terbukti dan bukti empirik pun tidak ada.
90
Pengetahuan mistis itu amat subjektif, yang paling tahu
penggunaannya ialah pemiliknya. Di kalangan sufi kegunaannya yaitu dapat
menentramkan jiwa mereka, mereka menggunakan pengetahuannya untuk
kebaikan. Mistis magis hitam dikatakan hitam karena penggunaannya untuk
kejahatan. Cara pengetahuan mistis menyelesaikan masalah tidak melalui
proses inderawi dan tidak juga melalui proses rasio.
B. Makna Kata al-Hadîd
Berbicara tentang hakikat keEsaan Allah tidak dapat disembunyikan
di alam jagat raya ini, dan selalu terbuka dengan limpahan sifat
SamadiyyahNya (keabadian dan tempat ketergantungan makhlukNya)
keluasan sifat MamlakahNya (kerajaan yang merajai semua makhlukNya),
dan penguasa kerajaan dari segala raja bahwa seluruh sesuatu yang zahir
dan yang batin merupakan suatu yang gaib dan suatu persaksian yaitu
keadaan-keadaanNya yang Dzatiyyah, dan semua penampakkan-
penampakkanNya yang bersifat JamaliyyahNya dan JalaliyyahNya yang
tersusun di atas semua nama-namaNya dan sifat-sifatNya yang yang berupa
Dzatiyyah dan Fi’liyyah.157
Oleh karena itu, bagi seorang hamba harus mentamengkan dirinya
layaknya besi yang kokoh dengan sebuah ketauhidan, agar senantiasa
terbuka sifat limpahan sifat SamdiyyahNya (keabadian dan tempat
ketergantungan makhlukNya) dan keluasan sifat MamlakahNya (kerajaan
yang merajai semua makhlukNya).
157
‘Abd al-Qâdir al-Jilâni, Tafsir al-Jilâni, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2014), Juz 5, hal. 135.
91
C. Korelasi Makna Ayat Wahdah al-Wujûd dan Ayat Kauniyah
dalam Penafsiran ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî Surat al-Hadîd
Ayat 1-6
Disini penulis, ingin menguraikan penafsiran ‘Abd al-Razzâq al-
Qîsyânî dalam surah al-Hadîd ayat 1-6, bagi penulis ayat 1 yang dipaparkan
oleh beliau berisikan ayat waḥdah al-wujûd, dan ayat 2-6 itu berisikan ayat
kauniyyah. ayat wahdah al-wujûd dengan ayat-ayat kauniyyah mempunyai
hubungan yang sangat erat, ayat wahdah al-wujûd itu adalah aspek
testimonial (batin) dan ayat kauniyyah adalah aspek serimonial (lahir) atau
realita alam. Jikalau al-Qur’an hanya ditafsirkan dari aspek lahiriah saja
maka akan ada kekeringan spiritual ajaran Islam. Dan jikalau hanya dari
aspek batiniyah saja akan mengakibatkan ketimpangan dalam syari’ah.
Selanjutnya penulis akan memaparkan penafsiran beliau dari ayat 1-6,
sebagai berikut:
Maha suci bagi Allah sesuatu yang ada di dalam langit dan bumi, dan
Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Al-Qâsyânî dalam melihat Tuhan tidaklah hanya sebagai Tuhan yang
Satu, akan tetapi Tuhan adalah hakekat dari segala yang ada, Ia merupakan
wujud mutlak, sumber segala maujud. Segala yang ada bersifat baharu,
binasa atau ‘adam, dan semuanya akan kekal kepada-Nya.158
Tidak ada
baginya wujud yang abadi kecuali ‘ain (esensi) zat-Nya yang tunggal. Ia lah
158
Tafsir al-Qâsyânî, Tafsîr al-Qur’an al-Karîm, juz II, (Lebanon: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah 2011), h. 298.
92
‘ain (esensi) dari segala yang ada. Hal itu dinyatakan Ibn ‘Arabi dalam satu
ungkapan:
سبحان الذي خلق االشياء وهو عينها
Maha suci Allah yang telah menjadikan segala sesuatu sedangkan Dia
adalah hakekatnya.159
Wujud Hakiki atau Wujud Dzat merupakan Wujud mutlak atau Wujud
al-Kulli, Ia adalah pangkal dan akhir dari segala yang ada. Segala sesuatu
adalah makhluk yang wujudnya bergantung pada Wujud Hakiki. Wujud
selain Wujud Hakiki adanya adalah karena di luar dirinya, dan adanya
adalah bergantung pada wujud yang mengadakannya. Karenanya tidak ada
yang mempunyai wujud yang sebenarnya kecuali Wujud Hakiki yang
merupakan wujud Tuhan. Segala sesuatu yang dijadikan dan bersumber dari
hakikat wujud pada esensinya tidak berwujud. Yang mempunyai wujud
sebenarnya sebagai hakikat dari segala yang maujud hanyalah Allah. 160
Allah adalah Zat yang menguasai segala yang maujud, Dia yang
menghidupkan Dia pula yang mematikan, Dia lah yang mempunyai sifat
jaiz kepada semua sesuatu, karena Dia yang mempunyai kuasa terhadap
sesuatu. Dan tidak ada yang punya kuasa kecuali Allah.161 Sebagaimana
Allah berfirman dalam surah al-Hadid ayat 2:
159
Ahmad Daudi, Allah dan Manusia dalam Konsep Syaikh Nūr ad-Dīn ar-Raniri,
(Jakarta: Rajawali Pers 1983), hal. 76. 160
Afandi, “Pemikiran Ibn ‘Arabi Tentang Hakekat Wujud”, hal. 33. 161
Tafsir al-Qâsyânî, Tafsîr al-Qur’an al-Karîm, juz II, hal. 298.
93
Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan
dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Bagi al-Qâsyânî, bahwa kita harus mengetahui dari mana kita
berasal, sehingga kita mengetahui untuk apa kita diadakan di dalam bumi
ini.162
Dan agar tercipta sebuah kehidupan moral dan esensi dari kehidupan.
Sebagaimana Allah berfirman dalam surah al-Hadîd 3:
Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin, dan
Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Bagi al-Qâsyânî, bahwa Allah lah yang memulai segala sesuatu
dengan Wujûd Idafî yakni dengan menampakkan dirinya di mazhar
(penampakan) yang ada di alam ini. Artinya bahwa Allah menyandarkan
dirinya kepada ciptaan yang ada. Kenapa Allah menyandarkan dirinya
kepada makhluk. Karena satu tujuan nya, yakni supaya Ia di kenal dan
diesakan bahwa alam semesta ini pada esensinya adalah wujud Allah. Dan
Allah pula yang mengakhiri alam ini, karena semua yang ada itu berada di
bawah kekuasannya, Allah lah sang penguasa dari semua penguasa yang
ada. Maka dari pada itu semuanya Dialah yang mengawali dia pula yang
mengakhiri.”163
Bagi al-Qâsyânî, inilah yang menjadi dasar yang terpenting dalam
kehidupan individu seseorang, agar mengetahui identitas diri yang
sesungguhnya dan terciptanya esensi kehidupan yang ada di dalam muka
162
Tafsir al-Qâsyânî, Tafsîr al-Qur’an al-Karîm, juz II, hal. 298. 163
Tafsir al-Qâsyânî, Tafsîr al-Qur’an al-Karîm, juz II, hal. 298.
94
bumi ini, yang dimaksud dengan dzahir dan bathin menurut al-Qāsyāni,
adalah Allah menampakkan ciptaan yang ada dengan sifat-sifatNya dan
perbuatan-perbuatanNya. Dan bahwasannya wujud ini merupakan
perwujudan dari Allah, bagi orang yang telah mengetahui esensi wujud ini.
Jika tidak maka mereka terhijab (tertutup) dengan wujud yang ada, maka
timbul lah pengakuan diri ini adalah wujud nya bukan wujud Allah.164
Dalam pandangan sufi, yang dimaksud dengan zahir adalah sifat-
sifat Allah yang tampak, sedangkan yang batin adalah dzatNya. Manusia
dianggap mempunyai tersebut karena manusia berasal dari emanasi Allah,
sehingga antara manusia dengan Allah pada hakikatnya satu wujud.
Perbedaannya hanya rupa dan ragam.
Sebagaimana yang tertera didalam surah al-Hadîd ayat 4
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:
kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang
masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa
yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia
bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.
Bagi al-Qâsyânî, beliau mena’wilkan ayat diatas Allah menciptakan
langit dan bumi dalam jangka enam hari, yang dimaksud hari disini adalah
164
Tafsir al-Qâsyânî, Tafsîr al-Qur’an al-Karîm, juz II, hal. 298.
95
hari-hari ketuhanan, yakni alam yang enam adalah dari zaman Adam sampai
Muhammad Saw, semuanya mempunyai batasan yang disembunyikan,
yakni hijab (penutup) dengan batasan tersebut. Dalam artian bahwa makhluk
yang telah Ia ciptakan tidak mempunyai kemampuan apapun kecuali
kemampuanNya.165
Allah adalah sesuatu dan satu, dia merupakan wujud yang mutlak,
maka nur (cahaya) Allah merupakan bagian dari dirinya. Itulah hakikat
Muhammadiyah. Perlu diketahui disini, pertama-tama Allah menciptakan
Ruh Muhammad dari cahaya JamâlNya, sebagaimana Allah berfirman
dalam hadis qudsi:166
د صلى هللا عليه وسلم من نور و جهي خلقت روح محم
Aku menciptakan ruh Muhammad dari cahaya Dzatku.
Dan Nabi bersabda:
ل ل موا خلوق هللا القلوم و أو ل موا خلوق هللا نووري وأو ل ماخلق هللا روحوي وأو أو
ماخلق هللا العقل
Syaikh ‘Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan dalam kitabnya bahwa
Ruh, Nur, Qalam, dan Aqal adalah kesatuan yang satu, dan hakikat
Muhammadiyah dinamai dengan (Nur), karena keadaannya itu bersih, suci
dari kegelapan JalâlNya, sebagaimana Allah berfirman dalam surah al-
Mâidah ayat 15:
165
Tafsir al-Qâsyânî, Tafsîr al-Qur’an al-Karîm, juz II, hal. 298. 166
‘Abdul Qâdir al-Jîlânî, Sirru al-Asrâr wa Mathar al-Anwâr, (Mesir: al-Azhar,
t.t), hal. 6.
96
Sungguh telah datang kepada kalian dari Allah cahaya dan kitab
yang menerangkan.
Kata Nur disini adalah cahaya yang nampak pada diri Muhammad
bin ‘Abdillah yang dimana beliau adalah orang kecintaanNya Allah sebagai
hamba sekaligus NabiNya yang diberikan syari’at oleh Allah Tuhan semesta
alam, kemudian beliau sampaikan kepada para ummatnya agar mengikuti
ajarannya baik itu yang berupa ketauhidan ataupun pekerjaan syari’at.
Disini penulis menemukan di dalam kitab Tafsîr al-Jîlânî karya
Syaikh ‘Abdul Qâdir al-Jîlânî, bahwa kata Nur disini adalah cahaya
kema’rifatan dengan tanpa perantara dan tanpa dibuat-buat. Orang-orang
yang sudah melakukan perjalanan ketauhidan dengan sebenar-benarnya,
selalu bermujahadah dalam membersihkan kekotoran diri, senantiasa
berzikir kepada Allah baik itu ibadah yang sifatnya formal ataupun yang
non formal, sehingga selalu menyaksikan Allah dalam realita yang ada di
alam ini, dan juga menghadapkan dirinya kepada Allah dengan segenap jiwa
dan raga. Maka Nur Muhammadiyyah mengalir bagi orang-orang
tersebut.167
Dinamai (Akal), karena keadaannya itu meliputi segala sesuatu, dan
dinamai (Qalam) karena keadaanya yang menjadi kunci dalam segala
sesuatu, maka Nur Muhammadiyyah itu adalah intisari ciptaan dan awal
ciptaan,168
sebagaimana Nabi bersabda:
أنا من هللا والمؤمنون مني
Aku dari Allah dan orang-orang mu’min dari ku
167
‘Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî, (Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1970), hal. 435. 168
‘Abdul Qâdir al-Jîlânî, Sirru al-Asrār wa Mathar al-Anwār, hal. 6-7.
97
Dari hakikat Muhammadiyah itulah memenuhi tubuh Adam dan
Muhammad. Dan apabila Muhammad telah mati sebagai tubuh, namun
nur Muhammadiyah itu tetap ada ia merupakan bagian dari Tuhan. Jadi
Allah, Adam, Muhammad adalah satu.
Hadis qudsi yang dikutip al-Jîlânî di atas tidak penulis temukan di
dalam kamus takhrij hadis al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fāz al-Hadīs al-
Nabawi melalui lafaz khalaqa169
dan Mausû’ah Atrâf al-Hadîs al-Nabawi
al-Syarîf melalui awal matan170
dan Tuhfah al-Asrâf bi Ma’rifah al-Athrâf
melalui perawi pertama.171
Hadis qudsi tersebut juga dikutip oleh Nizâm al-
Dīn al-Hasan al-Naisâbûrî (850 H) dalam Gharâib al-Qur’an wa Raghâibal-
Furqân dan Ismâ’îl Haqqî bin Mustafâ (1127 H) dalam Rûh al-Bayân.
Namun dalam tafsir-tafsir tersebut juga tidak dicantumkan sanad yang
bersambung hingga Rasulullah, sehingga kehujjahan hadis itu diragukan
bahkan ditolak.172
Memang secara keseluruhan di dalam Kutub at-Tis’ah,
penulis tidak menemukan hadis tentang Nur Muhammadiyyah. Menurut
penulis, Syaikh ‘Abdul Qâdir al-Jîlânî adalah bukanlah seorang yang tidak
mengerti hadis, sehingga beliau tidak sembarangan mencantumkan sebuah
hadis qudsi dalam karyanya yakni Sirru al-Asrâr wa Mathar al-Anwâr.
Akan tetapi disini penulis menemukan, di dalam kitab Kasyf al-
Khafâ` wa Mazîl al-Ilbâs ‘Ammâ Istahara min al-Ahâdis ‘ala Alsinah al-
169
A.J.wensinck, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâz al-Hadîs al-Nabawi (Leiden:
EJ.Brill,1943), hal. 71. 170
Muhammad Said Zaghul, Mausû’ah Atrâf al-Hadîs al-Nabawi al-Syarîf (Beirut:
Dâr al-Fikr,1994), jilid. II, hal. 358; jilid. III, hal. 133, 333; jilid. IV, hal. 304, 388; jilid. V,
hal. 60, 105, 206. 171
Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Yusûf al-Mizzî, Tuhfah al-Asrâf bi Ma’rifah al-Athrâf
(Beirut: Dâr al-Gharab al-Islâmî, 1999), hal. 209. 172
Riswan Sulaeman, “Tafsir Isyari tentang Surga Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir al-
Jailani”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Jakarta, 2017),
hal. 85.
98
Nâs karya al-Imam Ismā’īl bin Muhammad al-‘Ajlūnī (807-1162 H)173
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Jâbir bin ‘Abdullah al-Ansâri tentang
awal mula ciptaan, kemudian diriwayatkan oleh ‘Abd al-Razzâq di dalam
musannafnya, dengan redaksi:
ل ما خلق هللا نور نبيك ياجابر أو
Awal mula yang Allah ciptakanadalah Nur Nabimu wahai Jābir
Saat Nabi bersama kedua orang tuanya Jâbir, kemudian Jâbir meminta
penjelasan tentang awal mula sesuatu yang Allah ciptakan sebelum segala
sesuatu, kemudian Nabi menjawab, wahai Jâbir sesungguhnya Allah
menciptakan sebelum segala sesuatu itu Nur Nabimu dari Nur cahayaNya.
Kemudian Allah menjadikan Nur tersebut berputar atau beredar dengan
kekuasaanNya sekira Ia menghendaki, dan saat itu belum ada yang namanya
Lauh, Qalam, Surga, Neraka, Malaikat, Langit, Bumi, Matahari, Bulan, Jin,
dan Manusia. Maka tatkala Allah menghendaki untuk menciptakan sesuatu
dari Nur Muhammad tersebut maka tercipta lah Qalam, Lauh, ‘Arsy,
Hamlah al-‘Arsy, Kursi, Malaikat, Jin, Langit, Bumi, Surga, Neraka,
kemudian Allah menciptakan Nur Basyirah orang-orang Mu’min, Nur hati-
hati mereka yaitu Ma’rifah kepada Allah, dan Nur kejinakan yaitu Tauhid,
yakni ال اله اال هللا محمد رسول هللا.174
Dalam kitab Imam al-Sya’râwî (1329 H-1419 H)175
yang berjudul
Anta Tas’alu wa al-Islâm Yujîbu li al-Syaikh al-Sya’râwi, penulis
173
Ismâ’îl bin Muhammad al-‘Ajlûnî, Kasyf al-Khafâ’ wa Mazîl al-Ilbâs ‘Ammâ
Istahara min al-Ahâdis ‘ala Alsinah al-Nâs, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah), hal. 2-6. 174
Ismâ’îl bin Muhammad al-‘Ajlûnî, Kasyf al-Khafâ`’ wa Mazîl al-Ilbâs ‘Ammâ
Istahara min al-Ahâdîs ‘ala Alsinah al-Nâs, hal. 265. 175
Sa’id Abu al-‘Ainan, al-Sya’râwî Ana min Sulâlat ahl al-Bait, (Kairo: Akhbar al-
Yawn, 1995), hal. 6.
99
menemukan sebuah hadis tentang Nur Muhammadiyyah dan awal mula
ciptaan, dengan redaksi sebagai berikut:176
ي هللا عنه سوأل رسوول هللا صول ى هللا عليوه وسولم : موا أن جابر بن عبد هللا ر
ل ما خلق هللا ؟ فقال : ) نور نبيك ياجابر(أو177
Bahwa Jabir bin Abdillah pernah bertanya kepada Rasulullah: apa
yang awal-awal Allah ciptakan? Lalu Rasullullah pun menjawab: Nur
Nabimu wahai Jâbir.
Kemudian bagaimana dapat disesuaikan hadis ini dengan bahwa
seawal makhluk itu Adam dan dia daripada tanah? Disini penulis
menemukan jawaban Imam al-Sya’râwî:
Daripada kesempurnaan yang mutlak dan dari segi tabi’inya, bahwa
Allah memulakan penciptaan dengan menciptakan makhluk yang tinggi,
kemudian diambil daripadanya yang rendah. Tidaklah masuk akal, bahwa
diciptakan bahan baku materi unsur tanah (al-Mâdah al-Tiniyyah) dahulu
kemudian baru Dia menciptakan daripadanya Muhammad, karena
sesungguhnya insan yang paling tertinggi adalah para rasul, danyang
tertinggi daripada mereka adalah Muhammad bin ‘Abdillah. Oleh karena
itu, tidak sah dikatakan bahwa diciptakan unsur materi kemudia diciptakan
daripadanya Muhammad. Tak dapat tiada bahwajadilah Nur Muhammad
176
Al-Sya’râwî, Anta Tas’alu wa al-Islâm Yujîbu li al-Syaikh al-Sya’râwî, (Kairo:
Dar al-Qudsi, 2003), hal. 38. 177
Hadis ini banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama hadis di dalam
mengingkari hadis tersebut, mereka mengatakan bahwa hadis tersebut tidak ada atau tidak
tercantum di dalam musannafnya ‘Abd al-Razzâq, dan sebagian para guru sufi dan sebagian
ulama hadis mengakui keberadaan hadis tersebut di dalam musannafnya ‘Abd al-Razzâq
dibagian sebelah kanan, al-Ghazâli memasukan naskah asli hadis tersebut, kemudian beliau
menjelaskan hadis tersebut di dalam kitabnya yang berjudul Syajarah al-Yaqîn fi Nûr
Sayyid al-Mursalîn wa Bayân al-Haq Yaum al-Dîn, dan sebagian ulama-ulama
kontemporer berpendapat bahwa masalah ini tidak di jelaskan secara mendasar dengan
sanad yang lengkap.
100
itulah yang wujud dahulu, dan daripada Nur Muhammadiyyah timbulnya
segala sesuatu,danjadilah hadis jabir itu benar adanya.178
Jelas daripada jawaban tersebut Syaikh Mutawalli al-Sya’râwî
Termasuk ulama yang menerima kebenaran hadis Jâbir tersebut. Sebenarnya
sandaran untuk konsep Nur Muhammad ini bukanlah hanya pada hadis Jabir
ini saja, tetapi ada lagi hadis yang telah di sebutkan diatas yang dijadikan
sandaran. Jika ada yang menolak tsabitnya hadis Jâbir, maka tidak ada
maknanya mereka menolak konsep Nur Muhammad. Oleh karena itu
selayaknya kita menghormati perbedaan pendapat dengan lapang dada tanpa
saling tuduh-menuduh, karena jari yang kita tuding itu mungkin mencucuk
mata para ulama yang kita disuruh memuliakan mereka.
Al-Qâsyânî mena’wilkan kalimat وهو معكم أين ما كنتم , bahwa wujud
kalian adalah wujud Allah dan mazhar (penampakan) yang ada adalah
mazhar (penampakan wujudNya).179
Konsep kesatuan wujud sendiri sangat kompleks dan sulit ditangkap.
Ibn ‘Arabî memberikan ilustrasi tentang bagaimana hubungan antara tuhan
dan alam dalam konsep wujudnya.” Wajah sebenarnya satu, tapi jika engkau
perbanyak cermin, maka ia akan menjadi banyak.” Segala macam benda dan
makhluk yang terdapat di alam semesta sebagai manfestasi (tajalliyyat)
Allah.180
Kalau khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya mengapa terlihat
dua. Menurut Ibn ‘Arabî tidak memandangnya dari sisi satu, tetapi
178
Al-Sya’râwî, Anta Tas’alu wa al-Islâm Yujîbu li al-Syaikh al-Sya’râwî, hal. 38. 179
Tafsir al-Qîsyânî, Tafsîr al-Qur’an al-Karîm, juz II, hal. 707. 180
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 76.
101
memandang keduanya bahwa khalik dari sisi satu dan makhluk dari sisi
yang lain. Jika mereka memandang dari sisi lain mereka pasti mengetahui
hakikat keduanya yakni dzatnya satu yang tak terbilang dan terpisah.181
Wujud tuhan juga wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam
yang dalam istilah barat disebut panteisme, yang di definisikan oleh Henry
C.Theissen, panteisme adalah teori yang menyatakan bahwa segala sesuatu
yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian dari satu wujud yang
kekal dan ada dengan sendirinya.182
Menurut Ibn ‘Arabi:
Khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq (Allah). Khalq dan haq
adalah dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq
dan aspek yang sebelah dalam disebut haq.183
Kata-kata khalq dan haq
merupakan sinonim dari ‘ard (العرض, accident) dan al-jauhar (الجوهر,
substance), dan dari al-ẓahir (الظاهر, lahir, luar) dan al-baṭin (الباطن, batin,
dalam).
Dalam paham waḥdah al-wujûd tiap-tiap yang mempunyai dua aspek.
Aspek luar, yang merupakan ‘ard dan khalq yang mempunyai sifat
kemakhlukan dan aspek dalam yang merupakan jauhar dan haq yang
mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang
berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau
khalq.184
181
Muhammad Mustafa, Al-Hayât ar-Ruhiyyah fi al-Islâm, (Mesir: Dâr al-Kitab,
1984), hal. 182. 182
Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabi Waḥdah al-Wujûd dalam Perdebatan, (Jakarta:
Paramadina, 1995), hal. 162. 183
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 75. 184
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 75.
102
Dengan kata lain, makhluk atau yang dijadikan, wujudnya tergantung
pada wujud tuhan yang bersifat wajib. Tegasnya yang sebenarnya
mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud selain dari Tuhan
adalah wujûd Idofî (bayangan).185
Sebagaimana Allah berfirman pada ayat berikutnya:
KepunyaanNya-lah kerajaan langit dan bumi. dan kepada Allah-lah
dikembalikan segala urusan.
Bagi al-Qâsyânî bahwa apa yang tercipta adalah bersumber dariNya,
Dialah sang raja yang penguasaanNya tidak ada batasnya, dan kita sebagai
makhluk harus menyadari bahwa kita hidup tidak hanya sebatas lahiriyyah
saja, kita sebagai makhluk harus menyadari juga bahwa di dalam hidup kita
ini ada aspek batiniyyahnya, agar kita mengetahui esensi segala sesuatu, dan
hanya kepadaNya kita menyembah dan kembali.186
Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan
siang ke dalam malam. Dan Dia Maha mengetahui segala isi hati.
Al-Qâsyânî mena’wilkan ayat tersebut bahwa Dialah yang
memasukkan malam kelalaian ke dalam kehadiran siang, dan Dia pulalah
185
Tafsir al-Qâsyânî, Tafsir al-Qur’an al-Karîm, juz II, hal. 298. 186
Tafsir al-Qâsyânî, Tafsîr al-Qur’an al-Karîm, juz II, hal. 299.
103
yang memasukkan kehadiran siang ke dalam malam kelalaian, dan Dia juga
menutupi sifat jamâlNya ke dalam sifat jalâlNya dan Dia juga lah yang
menutupi sifat jalâlNya ke dalam sifat jamâlNya. Dia lah yang Maha
Mengetahui dengan sesuatu yang Dia pancarkan ke dalam jiwa-jiwa yang
tenang dari rahasia-rahasiaNya dan kelembutan-kelembutan kelalaian dan
kehadiran dan hikmah dari keduanya, dan kelembutan-kelembutan
penutupNya dan penampakkan-penampakkanNya dan dari kejadian seperti
itu ada faedahnya, tidak ada yang mengetahui kecuali Dia.187
Dari penjelasan al- Qâsyânî di atas, penulis menyakini bahwa Tuhan,
Alam dan Manusia itu mempunyai hubungan yang sangat erat, begitu juga
sama halnya dengan ayat-ayat waḥdah al-wujūd dengan ayat-ayat
kauniyyah.
D. Nilai Sufistik dalam tafsir al-Qâsyânî dari ayat Waḥdah al-
Wujûd dan Kauniyyah pada surah al-Hadîd ayat 1-6
Pada sub judul ini, penulis akan menjelaskan nilai sufistik yang
dianalisis dari ayat wahdah al-wujûd dan kauniyyah pada surah al-Hadîd
ayat 1-6. Adapun nilai sufistik yang dijadikan kajian adalah konsep tasawuf
sunni al-Qâsyânî. Di jadikannya konsep tasawuf falsafi al-Qâsyânî sebagai
objek kajian, dengan alasan untuk menemukan nilai sufistik yang
terkandung dalam ayat wahdah al-wujûd dan kauniyyah pada surah al-Hadîd
ayat 1-6 yang dijadikan objek penelitian.
1. Tauhîd
187
Tafsir al-Qâsyânî, Tafsîr al-Qur’an al-Karîm, juz II, hal. 299.
104
Secara etimologi, kata tauhîd berasal dari kata wahhada yuwahhidu
tauhidan mengikuti wazan fa’ala yufa’ilu taf’ilan artinya mengesakan,
mengimankan bahwa “Tiada Tuhan selain Allah”,188
sedangkan secara
terminologi tauhîd adalah mengesakan Dzat Allah dari setiap yang
tergambar baik dari sebuah pemahaman, atau khayalan yang ada di dalam
sangkaan,189
dan juga tauhid adalah menjauhkan langkah dari kebaruan
(ḥudûts), berpaling dari makhluk (hâdîth) dan menghadap kepada yang
qadim, hingga hamba tidak menyaksikan dirinya sendiri atau yang
lainnya.190
Al-Hujwirî (w. 465/469)191
mengatakan bahwa tauhid adalah
menyatakan keesaan sesuatudan memiliki pengetahuan yang sempurna
tentang keesaannya. Karena tuhan itu esa, tanpa ada sekutu, zat dan sifat
sifatnya, tanpa ada yang menyamainya dan tanpa ada sekutunya dalam
tindakan-tindakannya. Pengetahuan tentang keesaan Allah adalah tauhid.192
Disini al-Qâsyânî membagi tauhid kepada 3 bagian,193
Pertama,
tauhid ‘am adalah mentauhidkan Allah hanya sekedar mengucapkan lafaz
,Kedua, tauhid khas adalah mentauhidkan Allah .أن تشهد أن ال اله اال هللا“
melihat Allah dengan melihat sesuatu lainnya, dalam tauhid khas ini,
188
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, hal. 1542. 189
‘Alî bin Muhammad al-Syarîf al-Jurjânî, al-Ta’rifât, (Lebanon: Beirut, 1985),
hal. 72. 190
Suliyono, Tesis: “Penafsiran Ayat-ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak: Studi
Analisis Tafsir Laṭâ`if al-Isyârât Karya Al-Qusayrî”, (Jakarta, 03 Januari 2017), hal. 93. 191
Muhsin Ruslan, “Ilmu Tasaswuf dan Manfaatnya: Menelusuri Pandangan al-
Junayd al-Baghdâdî dan Pedoman Tasawuf Masa Kini”, (Fakultas Ushuluddin IAIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Media Akademik, Vol. 26, No. 3, Juli 2011), hal. 8. 192
Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, Penerjemaah Abdul Hadi WM (Bandung: Mizan,
2015), hal. 265. Dikutip oleh Suliyono, hal. 93. 193
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, Latâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, jilid 1, hal.
299.
105
menurut Ibn ‘Arabi menuntut dengan “tasybih”, karena Allah bertajalli
lewat asma dan sifatNya. Ketiga, tauhîd khash al-khash adalah
mentauhidkan Allah atau melihat selain Allah itu adalah Dia dengan
kemahasucianNya, karena Allah Maha Luas keEsaanNya dari setiap sesuatu
yang berdiri tegak tanpa ada sesuatu yang menyerupaiNya. Sebagaimana
Ibn ‘Arabi mengatakan:
سبحان الذي خلق األشياء وهو عينها
Maha suci Allah Dzat yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia
adalah sesuatunya itu.194
2. Mujâhadah
Secara etimologi, kata mujâhadah berasal dari kata jâhad yujâhidu
mujâhadatan mengikuti wazan fâ’ala yufâ’ilu mufâ’alatan artinya
bersungguh-sungguh, berjuang, sedangkan secara terminologi mujâhadah
adalah membawa diri untuk membakar kekotoran yang ada di dalam hati,
seperti pelit harus dibakar dan di rubah menjadi lapang dada, takabbur
menjadi tawaddu’, dan pengakuan diri dirubah menjadi penyerahan diri
kepada Allah.195
Kecenderungan para ahli tasawwuf ialah kepada ilmu-ilmu
ilhami bukannya pada ilmu ta’limiah (yang dipelajari). Mereka tidak
berselera mempelajari ilmu dan mengkaji kitab-kitab yang disusun para
pengarangnya, dan membahas pendapat-pendapat mereka beserta dalil-dalil
yang disebutkannya. Mereka mendahulukan mujâhadah dengan
menghapuskan segala sifat yang tercela, dan melepaskan segala kaitan hati
194
Ahmad Daudi, Allah dan Manusia dalam Konsep Syaikh Nûr al-Dīn ar-Raniri,
hal. 76 195
‘Alî Maimun bin Abî Bakr, Risâlah al-Maimuniyyah, (Indonesia Jaya: Haramain,
2005), cet 1, hal. 14.
106
dengan dunia secara keseluruhan, dan menghadapkan sepenuh hati hanya
pada Allah. Mereka, menurut al-Ghazâlî, tidak tertarik untuk mempelajari
ilmu dari mempelajarai buku-buku, dan membahas pendapat-pendapat
mereka beserta dalil-dalilnya.
Hasrat mereka mengutamakan mujâhadah dan menghilangkan sifat-
sifat tercela, menghindari segala hal-hal duniawiah, dan menghadapkan
muka hanya kepada Allah (tawajjuh). Bila berhasil demikian, maka Allah
sendiri yang akan menguasai hati hambaNya, dan menganugerahkan nur
keilmuan dalam jiwanya. Jika Allah berkenan melimpahkan rahmanNya,
akan memancar cahaya ke jiwanya, mengenal hakikat segala sesuatu yang
bersifat keilahian. Maka, tidak lain tugas hamba hanyalah mempersiapkan
diri dengan penyucian hati, dan menghadapkan mukanya dengan sepenuh
hatinya, dengan kerinduan yang membara, dan dengan penuh kesabaran
menanti rahmat yang akan dibukakan Allah.196
Imam al-Junayd al-Baghdâdî menegaskan, “kami tidak mengambil
tasawwuf sebagai jalan hidup dari sumber ilmu pengetahuan, akan tetapi
kami mengambilnya dari kebiasaan hidup lapar, meninggalkan dunia,
memutuskan segala kesenangan duniawi, dan hal-hal yang digandrungi oleh
nafsu”. Mujâhadah dan riyâdoh adalah metode para sufi atau calon sufi
yang dijalani atas petunjuk dari al-Sunnah dengan penekanan kesesuaian
antara amaliah lahiriah dan amaliah batiniah.197
196
H.Sujeta, Kepribadian Sang Wali Allah, (Cirebon: Pangger Publishing 2016), cet
2, hal. 157. 197
H.Sujeta, Kepribadian Sang Wali Allah, hal. 158.
107
3. Dzikrullah
Secara etimologi, kata dzikr adalah merupakan masdar dari kata
dzakar yadzkuru dzikran artinya mengingat atau mensucikan Allah.198
Sedangkan secara terminologi sebuah media untuk meninggalkan segala
sesuatu yang sifatnya melalaikan diri kepada Allah dan diisi dengan dzikr
dāim (setiap saat) baik sifatnya formal ataupun non formal, dan diiringi
dengan mujāhadah.199
Sebagaimana Allah berfirman dalam surah al-
Muzammil ayat 8:
Ingatlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepadaNya dengan penuh
ketekunan.
4. Musyâhadah
Secara etimologi, kata musyâhadah berasal dari kata syâhada
yusyâhidu musyâhadatan mengikuti wazan fâ’ala yufâ’ilu mufâ’alatan
artinya penyaksian. Menurut al-Qâsyânî musyâhadah adalah melihat Allah
tanpa beban, tersingkapnya hijab dalam melihat segala sesuatu dengan dalil-
dalil tauhid tanpa keraguan yang ada dalam diri, dan dengan pakaian tauhid
disitu lah wujud yang Haq berada bersama ketiadaan diri.200
Menurut al-Qusyayrî, ma’rifat adalah sifat bagi orang yang mengenal
Allah dengan segala sifat dan nama-Nya, kemudian dia membuktikan dalam
segala mu’amalatnya, membersihkan diri dari akhlak yang tercela dan
penyakit-penyakitnya. Dia berusaha melanggengkan beribadah dan
198
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, hal. 448. 199
‘Alî Maimun bin Abî Bakr, Risâlah al-Maimuniyyah, hal. 11. 200
‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî, Latâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm, jilid 11, hal.
645-646.
108
senantiasa berdzikir dengan hatinya.201
Dengan demikian untuk sampai
kepada ma’rifat harus dilalui jalan mujâhadah, yaitu perang melawan hawa
nafsu, membersihkan diri dari segala akhlak yang hina dan menghiasinya
denganakhlak terpuji.202
Musyâhadah berawal dari mukâsyafah, yakni terbukanya hijab atau
penghalang antara hamba dan Allah. Mula-mula ia tumbuh dari keyakinan
terhadap kehadiran dzat Allah dalam setiap ciptaan-Nya. Pada akhirnya
seorang sufi benar-benar merasakan terbuka (inkisyâf) dapat menyaksikan
dzat Allah dengan mata hatinya (basûrah) ketika ia berada dalam keadaan
fanâ`.203
Tahap penyaksian, Musyāhadah atau syuhūd, menurut al-Banjari,
menunjuk pada peringkat terakhir dari peringkat tauhid yang berhasil
dicapai seorang sufi yang telah mencapai ma’rifat, yakni tauhid dzat. Dalam
keadaan demikian seorang hamba benar-benar menyaksikan bahwa yang
benar-benar ada hanyalah Allah. Ketika itu, perasaan hamba segera fana‘
(sirna) dalam ketuhanan, yang segera diganti dengan perasaan baqâ` (kekal)
bersama-Nya. Dengan demikian pada diri hamba akan terjelma sifat jamâl
dan jalâl Allah.204
Dalam keadaan demikian seseorang merasakan benar-
benar terbuka (inkisyâf) dan merasa benar-benar dekat dengan Allah.
Tingkat keimanan atau tawhidnya sudah benar-benar puncak yaitu tingkat
iman Haqîqatul Yaqin, yang dalam term al-Banjari disebut tauhîd Dzat.
201
Syata, Abû Bakr ibn Muhammad, Menapak Jejak Kaum Sufi, terj. (Surabaya:
Dunia Ilmu, 1997), h. 344. Dikutip oleh H. Suteja, Kepribadian Sang Wali Allah, hal. 199. 202
H. Suteja, Kepribadian Sang Wali Allah, hal. 199. 203
H. Suteja, Kepribadian Sang Wali Allah, hal. 200. 204
Muhammad Nafis al-Banjari, Durr al-Nafi, (Singapura : Haramain, t.t.), hal. 23-
24. Dikutip oleh H. Suteja, Kepribadian Sang Wali Allah”, hal. 201.
109
Ibn ‘Arabî memandang maqam fanâ` dan baqâ`adalah maqam terakhir
setelah seorang sufi melalui berbagai maqam sebelumnya.205
Dalam
keadaan demikian manusia kembali kepada wujud aslinya, yakni Wujud
Mutlak. Fanâ`dan baqâ` adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala
alam fenomena, dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan
(fanâ` Sifat al-Haqq), sehingga yang betul-betul ada secara hakiki dan abadi
(baqa`) di dalam kesadarannya ialah wujud Yang Mutlak.206
Ketika seorang
sufi sudah mencapai peringkat fana` yang sepenuhnya, yang dirasakannya
ada hanya Dzat Allah. Dalam proses kembali ke asal, fana` dan baqa`,
dalam pandangan Ibn ‘Arabi, seorang sufi harus memulai dengan
perjalanannya menuju tajalli perbuatan-perbuatan (tajalli al-Af’al) dengan
memandang bahwa, kodrat Allah berlaku atas segala sesuatu. Dengan
demikian, segala perbuatannya senantiasa terkendali di bawah kodrat
Allah.207
Setelah itu, ia pun melintasi tajalli nama-nama dimana ia mendapat
sinar dari asma Allah. Dalam taraf ini sufi memandang Dzat Allah sebagai
pemilik nama-nama yang hakiki adalah Dzat Yang Maha Suci. Dengan
demikian, satu demi satu dari nama-nama Allah itu memberikan pengaruh
kepadanya.
205
Ibn ‘Arabî, Fusûs al-Hikam, ed. Abû al-‘Ala al-‘Afifi, (Beirût: Dâr al-Kitab al-
‘Arabi, 1980), vol. l, hal. 366-367. Dikutip oleh H. Suteja, Kepribadian Sang Wali Allah,
hal. 201. 206
Nichlosn, R.A, Fi al-Tasawwuf al-Islâmi wa Tarikhih, ed. Afifi, (Kairo: Lajnah
Ta’lif wa al-Nasyr, 1969), hal. 23-25. Dikutip oleh H. Suteja, Kepribadian Sang Wali
Allah, hal. 201. 207
R.A. Nichlosn, Fi al-Tasawwuf al-Islâmi wa Tarikhih, hal. 173. Dikutip oleh H.
Suteja, “Kepribadian Sang Wali Allah”, hal. 201.
110
5. Tawâjuh
Tawâjuh adalah manisnya bermu’amalah dengan menghadapkan
wajahnya selalu kepada Allah bukan yang lainnya, dan seorang murid akan
merasakan di dalam perjalanannya dengan kegembiraan dan kemabukan
dalam pengenalan kepada Allah.208
6. Muwâjahah
Muwâjahah adalah cahaya penyaksian yang diberikan Allah kepada
seorang murid dengan rahasia-rahasia DzatNya, kemudian Allah
melenyapkan diri seorang murid dalam melihat selain Dia, yang dia lihat
semuanya adalah Allah Dzat yang penuh dengan KesucianNya.209
Dari penjelasan diatas, al-Qâsyânî mengajarkan kepada manusia agar
mengesakan Allah dari segala sektor, dengan diiringi kesungguhan yang
kuat, dengan selalu berzikir kepada Allah baik itu ibadah yang formal
ataupun yang non formal, agar selalu menyaksikan Allah dalam realita
(kaun) yang ada, agar selalu mengahadapkan diri ini dengan segenap jiwa
kepada Allah, sehingga diri ini mengetahui untuk apa diciptakan di alam
ini, dan dari mana berasal, dan juga siapa sebenarnya diri ini.
208
‘Alî Maimun bin Abî Bakr, Risâlah al-Maimuniyyah, hal. 21. 209
‘Alî Maimun bin Abî Bakr, Risâlah al-Maimuniyyah, hal. 21-22.
111
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, tafsir tentang wahdah
al-wujûd dalam pemikiran al-Qâsyânî dalam al-Hadîd ayat 1-6, dapat
diselesaikan dengan metode deskriptif analisis. Penulis menarik kesimpulan
bahwa ayat pertama al-Qâsyânî menjelaskan tentang hakekat segala sesuatu
yakni Dia lah Allah Zat yang Esa dengan sesuatu yang ada, dan semua
yang adam, baharu atau binasa semuanya akan kekal kepadaNya, kemudian
ayat keduanya beliau menjelaskan bahwa manusia harus mengetahui untuk
apa diciptakan di alam semesta ini, karena kita semuanya merupakan
hamba yang di mana Tuhan adalah Maha Raja dari para raja yang
menguasai kita semua, kemudian ayat ketiganya beliau menjelaskan makna
asma Allah yang ada pada makhluknya di dalam kesatuan Tauhid yang
berawal dari pentanzihan kemudian kepada pentasybihan, kemudian ayat
keempatnya beliau menjelaskan tentang awal mula penciptaan selama enam
hari, berawal dari langit yaitu terdapat 3 alam yakni alam Jabarut, Malakut,
dan Mulki dan dari ketiga alam tersebut terhimpun di dalam subtansiNya,
kemudian dari bumi juga terdapat 3 alam pula, yakni alam bayangan,
kwantitas, bentuk, dan semuanya terhimpun di dalam alam penampakkan
yang nyata, dari keenam alam tersebut mengalir rahasia-rahasiaNya.
Sebagaimana dijelaskan oleh al-Qâsyânî dalam Fuṣûṣ al-Ḥikam:
و ما الوجه ال واحد غير أنه اا أنت أعددت المرايا تعدد
112
Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia
menjadi banyak.
Penjelasan al-Qâsyânî di atas serupa dengan perkataan
parmenides,beliau adalah salah satu filosof Yunani yang mencetuskan
filsafat “yang ada”:
Yang ada itu satu, yang banyak itu tidak ada, yang kelihatan banyak
dengan pancaindra adalah ilusi.
Kemudian ayat kelimanya beliau menjelaskan bahwa manusia di
suruh kembali ke negri asal, kemudian ayat keenamnya beliau menjelaskan
bahwa selama 24 jam siang dan malam harus senantiasa di isi dengan
kesatuan Tauhid dengan berbagai macam aktifitas. Dari penafsiran al-
Qâsyânî surah al-Hadîd ayat 1-6 ini, beliau mengajarkan ajaran mistik
waḥdah al-wujûd dengan mengkolaborasikan dengan ayat kauniyyah.
Kemudian di sini penulis menemukan bahwa al-Qâsyânî dalam
menafsirkan al-Qur’ân menggunakan pendekatan ta’wil yakni mengalihkan
ayat-ayat al-Qur’ân dari makna lahir ke makna batin karena ada qarinah-
qarinah yang samar yang hanya dapat ditangkap oleh para sufi. Makna lahir
dipahami al-Qâsyânî sebagai syari’ah, sedangkan batin adalah makna
hakikat yang melahirkan mistisisme Islam, dengan pendekatan ta’wil ini, al-
Qâsyânî menghasilkan tafsir yang bercorak tasawuf. Bagi al-Qâsyânî, secara
konseptual tasawuf adalah pindah dari alam lahir ke alam batin. Dalam
bahasan lain ia menjelaskan tasawuf adalah at-Takhalluq bi Akhlāqillah
(berakhlak dengan akhlak Allah).
Dari cara al-Qâsyânî mena’wilkan al-Qur’ân , penulis bisa tarik
kesimpulan bahwa tafsir al-Qâsyânî lebih menekankan pada aspek batin
113
ketimbang aspek lahir tetapi dengan tidak mengabaikan terhadap aspek
lahir. Aspek lahir harus dipahami untuk bisa masuk ke pemahaman makna
batin, dan di sini penulis juga melakukan penelitian sebuah analisa tafsir,
penulis menemukan sebuah rahasia, yang di mana tafsir yang selama ini
beredar dengan judul Tafsir Ibn ‘Arabî adalah bukan karya Ibn ‘Arabî akan
tetapi karyanya Al-Qâsyânî. Tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa
tafsir tersebut adalah karya Ibn ‘Arabi, karena banyak ulama yang mengakui
bahwa karya tersebut adalah bukan karya Ibn ‘Arabi, akan tetapi karya al-
Qâsyânî, seperti Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyid Ridho yang
dicantumkan di dalam muqaddimah Tafsir al-Manār, dan juga penulis
menarik kesimpulan bahwa Al-Qâsyânî adalah seorang ulama sufi bukan
batini.
Bagi penulis, ajaran yang ditawarkan oleh al-Qâsyânî sangatlah
penting, untuk menuntun kita dalam melihat wujud Tuhan dari realita-realita
yang nampak, untuk mengajarkan manusia dalam mengetahui esensi dari
segala sesuatu dengan kemahasuciaNya, agar selamat dunia dan akhirat,
karena adanya realitas alam seluruhnya tidaklah terlepas dari keberadaan
diriNya Yang Mutlak sebagai sumber dari segala yang ada.
B. Saran-saran
Ajaran mistik wahdah al-wujûd yang ditawarkan ‘Abd al-Razzâq al-
Qâsyânî dalam surah al-Hadîd ayat 1-6, mengajarkan kita untuk melihat
lebih jauh lagi esensisegala yang punya wujud di dalam kauniyyah ini, agar
hidup ini terhindar dari segala kemusyrikan, baik dalam diri ataupun di luar
diri kita, dengan menjaga visi keIlahianNya.
114
Bagi peneliti selanjutnya, kajian tentang ajaran mistik wahdah al
wujûd yang ditawarkan ‘Abd al-Razzâq Al-Qâsyânî dalam surah al-Hadîd
ayat 1-6 belum dikatakan sempurna, karena keterbatasan waktu, metode
serta pengetahuan dan ketajaman analisis yang penulis miliki, untuk itu
besar harapan penulis, akan ada banyak penulis-penulis baru yang berkenan
mengangkat judul tentang ajaran mistik wahdah al-wujâd yang ditawarkan
oleh ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî.
115
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Alûsi, Syihâbuddin Mahmûd, Rûh al-Ma’âni fi Tafsîr al-Qur’ân
al’Azîm wa al-Sab’i al-Matsâni, Lebanon: Daral-Fikr, 1987.
Al-‘Ajlûnî, Ismâ’âl bin Muhammad, Kasyf al-Khafâ` wa Mazîl al-Ilbâs
‘Ammā Istahara min al-Ahâdîs ‘ala Alsinah al-Nâs, Kairo: Dâr al-
Kutub al-Misriyyah, 1351 H.
Al-Ansâri, Abdullah, ‘Manâzil al-Sâ`irin, Lebanon: Muassah Al-Târikh Al-
‘Arabi, t.t.
‘Abd Haq Anshari, Muhammad. Merajut Tradisi Syari’ah Sufisme. Jakarta:
Grafindo Persada. 1997.
Afandi, “Pemikiran Ibn ‘Arabi Tentang Hakekat Wujud”, Perpustakaan
Digital UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Alba, Cecep, “Corak Tafsir Al-Qur’ân Ibn ‘Arabi”, Sosioteknologi, Edisi
21, 9 Desember 2010.
‘Arabi, Ibnu, Fushūsh al-Hikām. Bairût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1980.
-------- ‘Arabi, Ibnu, al-Futûhât al-Makiyyah fi al-Ma’rifah al-Asrâr al-
Makiyyah wa al-Mulukiyyah, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah,
1946.
--------- ‘Arabi, Ibnu, Tafsir al-Qur’ân al-Kabîr, Lebanon: Dâr Al-Kutub
Al-‘Ilmiyah, 2011.
----------- ‘Arabi, Ibnu, “al-Anwar”, Mesir: Al-Jamaliyah: Bihara al-Rumi,
1914.
Atjeh, Abu Bakar, Ibn ‘Arabi Tokoh Tasawuf dan Filsafat Agama, Jakarta:
Tinta Mas, t.t.
Azyumardi Azra, dkk., Ensiklopedi Tasawuf, Bandung: Penerbit Angkasa,
2008. Badawi, ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Arabi Hayatuhu wa Madzhabuhu, Kairo:
Maktabah al-Anjalu al-Mishriyah, 1965.
Beman Ali, Mongabadi, Sara Naderi, Ahmad Zeinal “Symbolism in Tafsir
Attributed to Ibn ‘Arabi”, Journal of IslamicStudies and Culture, Juni
2016, Vol. 4, No. 1.
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’ân , Yogyakarta :
Metodologi Penafsiran al-Qur’ân , 1997.
Daudi, Ahmad, Allah dan Manusia dalam Konsep Syaikh Nūr ad-Dīn ar-
Raniri, Rajawali Pers, Jakarta, 1983.
Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Tafsir wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah
Wahbah 2000.
Farmawi, ‘Abdul Hay, al-Bidâyah fi at-Tafsîr al-Maudû’i, Dirâsah
Manhajiyyah Maudû’iyyah, Mesir : Dar al-Kitab, t.t.
Al-Gharîb, Mahmûd, al-Fiqh ‘Inda al-Syaikh al-Akbar Muhyi al-Dîn Ibn
‘Arabî, Damsiq: Nadhar, 1993.
Al-Ghazâlî, Miskât al-Anwâr, terj. Moh Bagir (Bandung: Mizan, 1984.
Hamka, Tasawuf Pekembangannya dan Pemurniannya, Jakarta: Yasasan
Nurul Islam, 1976.
116
Hambali, “Pengetahuan Mistis dalam Konteks Islam dan Filsafat Ilmu
Pengetahuan”, Jurnal Substantia, Vol. 13, No. 2, Oktober 2011. Hasanah,Uswatun “Konsep Waḥdah al-Wujūd Ibn ‘Arabi dan Manunggaling
Kawulo Lan Gusti Ranggawarsita”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN
Walisongo Semarang, 2015. Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian
Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.
Îsâ, ‘Abd Qâdir, Hakekat Tasawuf, (Jakarta Timur: Qisthi Press, 2005.
Al-Hujwirî, Kasyful Mahjub, Penerjemaah Abdul Hadi WM, Bandung:
Mizan, 2015.
Al-Jurjânî, ‘Ali bin Muhammad al-Syarîf, “al-Ta’rifât”, Lebanon: Beirût,
1985.
Al-Jilâni, ‘Abd al-Qâdir, Tafsir al-Jilâni, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2014.
Labib, Muhsin, Mengurai Tasawuf ‘Irfan dan Kebatinan, Jakarta: Lentera
Basritama. 2004.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Surabaya: Penerbit
Pustaka Progressif, 1984.
Muhammad Solihin dan Rosihan Anwar, “Ilmu Tasawuf”, Bandung:
Pustaka Setia, 2008.
Mahmud, Abdullah, “Filsafat Mistik Ibn ‘Arabi tentang Kesatuan Wujud”,
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyyah Surakarta, Suhuf,
Vol 24, No 2, November 2012.
Munji, Ahmad, “Tauhid dan Etika Lingkungan Tela’ah atas Pemikiran Ibn
‘Arabi”, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Walisongo Semarang, Teologia, Volume 25, Nomor 2, Juli Desember
2014.
Mutawalli, “Pemikiran Teologi Sufistik Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi”,
Ulumuna Studi Keislaman, Volume XIV. Nomor 2. Desember 2010.
Maimun, ‘Ali, Risâlah al-Maimuniyyah, Indonesia Jaya: Haramain, 2005.
Musthafa, Muhammad, Al-Hayât ar-Ruhiyyah fi al-Islâm, Mesir: Dar al-
Kitab, 1984.
Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Nichlosn, R.A, Fi al-Tasawwuf al-Islâmi wa Târîkhih, ed. Afifi, Kairo:
Lajnah Ta’lif wa al-Nasyr, 1969.
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam.cet. ke 9, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1973.
--------- Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah, Jakarta: UI Press, 1987.
117
Nasr, Seyyed Hossein, Islam dan Nestapa Manusia Modern. Terjemahan,
Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1983.
Abu Zayd, Nasr, Disertasi Doktor : “Falsafat al-Ta’wil”, Lebanon : Beirut,
1983.
Noer, Kautsar Azhari. Ibnu Arabi, Waḥdah al-Wujûd dalam Perdebatan,
Jakarta: Paramadina,1995.
---------- Noer, Kautsar Azhari, Disertasi Doktor : “Waḥdah al-Wujūd Ibn
‘Arabi dan Panteisme“, Ciputat : IAIN Jakarta, 1993.
---------- Noer, Kautsar Azhari, Tuhan yang Diciptakan dan Tuhan yang
Sebenarnya, Jurnal Paramadina, Vol. I, No. 1, 1998.
Nilyati, Jurnal: Konsep Dasar Filosofis Pemikiran Ibn ‘Arabi, Tajdid Vol.
XI, NO.2, 2012.
Al-Nâbulisi, ‘Abd al-Ghânî, Îdâh al-Maqsûd min Waḥdah al-Wujûd,
Damaskus: al-‘Ilm, 1969.
Al-Qâsyânî, ‘Abd al-Razzâq, “Latâ`if al-‘Alâm fi Isyârâti Ahl al-Ilhâm”,
Kairo : Maktabah al-Saqâfah al-Dîniyyah, 2005.
Riyadi, Abdul Kadir, Antrapologi Tasawuf, (Jakarta: LP3ES, anggota Ikapi,
2014).
Ruslan, Muhsin, “Ilmu Tasaswuf dan Manfaatnya Menelusuri Pandangan
al-Junaid al-Baghdādi dan Pedoman Tasawuf Masa Kini”, Fakultas
Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Media Akademik,
Vol. 26, No. 3, Juli 2011.
Shihab, Quraish, Membumikan al-Qur’ân , Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat”, Bandung : Mizan, 1992. Siregar, HA. Rivay Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1999. Syamhudi, M. Hasyim, “Ḥulūl, Ittiḥād, dan Waḥdah al-Wujūd dalam
Perbincangan Ulama Zahir dan Batin”, at-Tahrir Pascasarjana IAIN Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Vol. 13, No. 1 Mei 2013: 107-126.
Sulaeman, Riswan, “Tafsir Isyari tentang Surga Menurut Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jailâni”, Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Jakarta, 2017.
Suliyono, “Penafsiran Ayat-ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak: Studi
Analisis Tafsir Laṭâ`if Al-Isyârât Karya Al-Qushayrî”, (Tesis S2
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta, 2017.
Sujeta, Kepribadian Sang Wali Allah, Cirebon: Pangger Publishing 2016.
Syata, Abu Bakr ibn Muhammad, Menapak Jejak Kaum Sufi, terj, Surabaya:
Dunia Ilmu, 1997.
Al-Sya’râwî, Mutawalli, Anta Tas’alu wa al-Islâm Yujîbu li al-Syaikh al-
Sya’râwî, Kairo: Dar al-Qudsi, 2003.
Al-Sirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir al-Qur’ân , penyunting Amak Maljum,
Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991.
Takeshita, Masataka, Insan Kamil Pandangan Ibnu ‘Arabi, terj. Harir
Muzakki, Surabaya: Risalah Gusti, 2005.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Wensinck, A.J., Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâz al-Hadîs al-Nabawi
(Leiden: EJ.Brill,1943.
118
Zaghul, Muhammad Said, Mausû’ah Atrâf al-Hadîs al-Nabawi al-Syarîf (Beirut:
Dâr-al-Fikr,1994.