Upload
rama-al-muntazar
View
199
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sosiologi agama
Citation preview
AGAMA SEBAGAI KONSEP SOSIAL
TOWANI TOLOTANG DI KABUPATEN SIDRAP
RELION AS SOCIAL CONCEPT OF
TOWANI TOLOTANG IN SIDRAP DISTRICT
AHMAD FAISAL HAJJI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2004
PRAKATA
Syukur alhamdulillah, Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan tafik-Nya kepada Penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu
yang telah direncanakan. Tesis ini berjudul Agama Sebagai Konsep Sosial Towani
Tolotang di Kabupaten Sidrap.
Dalam penulisan tesis ini, Penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak
terutama Bapak Prof. Dr. H.M. Idrus Abustam dan Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang,
M.A. Masing-masing sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing yang dengan
penuh kesabaran dan ketulusan telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan,
saran, dorongan moril, sejak penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini. Oleh
kerenanya pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, Penulis menyampaikan
terima kasih.
Terima kasih juga disamapaikan kepada Bapak Rektor Universitad Negeri Makassar,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, Bapak/Ibu dosen serta
karyawan Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar.
Terima kasih juga disampaikan kepada Keluarga Ir. Hj. Rita Sahara Arifin Genda,
Pemerintah TK II Kabupaten Sidrap, Tokoh Agama, Tokoh Adat dan segenap lapisan
masyarakat Towani Tolotang dan Tolotang Benteng, semua rekan, sahabat yang telah
memberikan bantuan dalam penulisan Tesis ini.
Akhirnya, ucapan terima kasih pribadi Penulis samapaikan kepada kedua orang tua, ibu
dan bapak mertua, istri dan anak saya tercinta Rabiatun Adawiayah Bunga Eja atas doa
restu dan dorongannya sehingga tesis ini dapat diselesaiakan.
Harapan, Penulis semoga segala bantuan, petunjuk, dorongan dsan pengorbana dari
berbagai pihak yang memungkinkan selesainya tesis ini, bernilai ibadah dan
memperoleh imbalan yang berlipat ganda di sisi Allah SWT.
Makassar Penulis
24 April 2004 AHAMAD FAISAL HAJJI
ABSTRAK
AHMAD FAISAL HAJJI. Agama Sebagai Konsep Sosial Towani Tolotang di
Kabupaten Sidrap. ( Dibimbing oleh Idrus Abustam dan Ahmad M. Sewang ).
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati
menyertai manusia dalam ruang lingkup kehiduapan, agama memiliki nilai dan norma
yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan masyarakat. Agama
bagi masyarakat Towani Tolotang dijadiakan sebagai dasar etika sosisal di mana praksis
social digerakkan. Nuansa keberagamaan masyarakat Towani Tolotang yang titik sentral
kepemimpinannya dikendalikan oleh Uwa’dan Uwatta dengan pola pewarisan estapet
dari generasi ke generasi berikutnya samapai sekarang masih tetap di petahankan
sebagai sesuatu yang skaral.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriktif, tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui gamabaran pelaksanaan nilai-nilai keberagamaan dalam kehidupan
socialTowani Tolotang interaksi social Towani Tolotang sebagai aplikasi dari nilai-nilai
ajaran agama. Mamfaat yang diharapkan adalah sebagai bahan untuk menata sebuah
tatanan masyarakat global yang memiliki konsep social yang dapat meminimalkan
terjadinya konflik antar pemeluk agama dalam setiap lapisan masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep social yang dijadikan dasar dalam
menjalankan kehidupan social Towani Tolotang merupakan perwujudan dari konsep
agama yang selama ini mereka pahami, sehingga setiap kegiatan socialTowani
Tolotang tidak bias lepas dari nuansa keberagamaan.
ABSTRACT
AHMAD FAISAL HAJJI. Religion as a Social Concept of “Towani Tolotang” in sidrap
District (supervised by M. Idrus Abustam and Ahmad M. Sewang).
Religion as form of human belief in a supernatural thing compaying human beings in
their scope of life, religion has values and norms that regulate the life of human beings
in their relatin on community. Religion for “Towani Tolotang” community is made as
the basis of social ethics where social practices are activated. The religion nuance of
“Towani Tolotang” community, whose center of leadhership is controller “Uwa” and
“Uwatta” whit the pattern of relay inheritance from the one generation to the generation,
is still maintained up to now as a sacred matter.
This research made use of qualitative-descriptive approach and aimed at describing the
implementation of religious values in the social interaction of “Towani Tolotang” and
the social interactions of “Towani Tolotang” as the application of the religious
teachings. Another significance expected from this research is as materials to make a
global community order with a social concept that can minimalize conflicts among the
followers or adherents of the religion in every layer of the community.
The results of research indicate that the social concept is made as the basis values in the
social life of “Towani Tolotang” as the application of the religious concept their
understanding, whit the resoult that every social activity “Towani Tolotang” cant to be
lost religious nuance.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perilaku beragama dianggap sebagai gejala-gejala yang merupakan factor tidak
tetap, penjelasan perilaku keagamaan dalam masyarakat atau di atas posisi manusia
dalam struktur institusi keagamaan itu dapat ditemukan dari kritik terhadap agama pada
abad ke 19 oleh Karl Marx (1818-1883), manusia adalah mahluk yang memerlukn suatu
tatanan masyrakat, kemudian masyarakat itu memerlukan agama, yang merupakan suatu
kesadaran yang tidak masua akal.
Agama adalah teori umum tentang dunia, agama adalah realisasi fantastis dari
manusia, sebab agama tidak memiliki realitas yang benar. Agama adalah keluh kesah
mahluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tidak berkalbu, agama diperlukan manusia
untuk mengisi perasaan dan jiwa yang hampa serta untuk pelarian sehingga agama
merupakan roh dari kebudayaan sehingga menjadi candu bagi masyarakat (Ramli,
2000).
Penelitian tentang sosiologi agama telah berkembang sejak lama, tujuan
penelitian ini adalah untuk memperkaya pengalaman dalam mempelajari agama secara
ilmiah. Pada tahun 1950 di Amerika Serikat telah dibentuk suatu badan yang
bernama The Society the Sciintific Study of Religion pada lembaga inilah para sosiolog
dan sarjana agama terhimpun untuk melakukan penelitian (Abdullah, 1997).
Kebangkitan kembali kehidupan keberagamaan merupakan aplikasi dari
keterkaitan antara nilai-nilai agama dengan berbagai persoalan social masyarakat yang
tidak mampu dijawab oleh perkembangan ilmu pengetahuan, namun yang perlu
diketahui adalah bahwa yang menjadi sasaran sosiologi agama adalah masyarakat
beragama, bukan agama sebagai suatu system dogma, tetapi agama sebagai penomena
social, yang dapat dialami banyak orang.
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat
adikodrati ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang
luas, agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang per orang
maupun hubungannya dengan masyarakat. Selain itu agma juga memberikan dampak
bagi kehidupan sehari-hari, secara psikologis agama menimbulkan suatu kekuatan
keyakinan bagi penganutnya yang tidak dapat tertandingi dengan kenyakinan nn agama.
Jose Cassanova dalam (Effendi, 2001) mengatakan bahwa agama melalui
symbol-symbol atau nila-nilai yang dikandungnya ikut mempengaruhi, bahkan
membentuk tatanan social. Dengan cirri itu dapat dipahami bahwa di mana pun suatu
agama berada, diharapkan mampu memberi panduan nilai bagi seluruh proses interaksi
social.
Agama dalam kehidupan manusia sebagai individu berfungsi sebagai suatu
system nilai yang mengandung norma-norma tertentu. Norma tersebut menjadi acuan
dalam bertindak dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianut.
Norma sebagai proses dari system kemasyarakatan, memberikan batasan perilaku dalam
kehidupan social. Individu dilahirkan dalam suatu masyarakat dan disosialisasikan
dalam kehidupan untuk menerima aturan-aturan dari masyarakat yang sudah ada
sebelumnya, individu meneriama hal itu sebagai standar tingkah laku yang benar dan
yang salah.
Norma adalah produk dari interaksi social, produk masyarakat, dalam kehidupan
beragama terdapat aturan-aturan tertentu atau norma-norma tertentu yang mengwtur
kehiduapan masyarakat sehingga norma sebagai suatu system nilai memiliki arti khusus
bagi individu serta memberikan pengaruh dalam melakukan interaksi social dengan
manusia yang lainnya, karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang
keyakinan agama dinilai mempunyai unsure kesucian dan ketaatan, yang pada akhirnya
mewujudkan suatu perasaan damai, kemantapan batin, kebahagian dan rasa puas.
Norma-norma tertentu yang terkandung dalam setiap nilai memberikan makna
pada pola perilaku individu, sehingga tidak jarang orang mengorbankan dirinya hanya
untuk sebuah nilai. Nilai mempunyai dua segi ; intelektual dan emosional, dan
gabungan dari kedua aspek ini yang menentukan sesuatu nilai beserta fungsinya dalam
kehidupan.
Durkhaem dalam Ishomuddin (2002), mengatakan agama muncul karena
manusia hidup dalam masyarakat, serta dapat memenuhi fungsi-fungsi social penting
yang tidak dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, dalam kalangan masyarakat tertentu
pengaruh agama masih teramat kuat untuk dijadikan sebagai tameng atau landasan
berpijak dalam kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat Tolotang adalah sekelompok penduduk di kelurahan Amparita,
kecamatan Tellu Limpoe. Asal usul orangTolotang, berasal dari Kabuaten Wajo, yang
mengungsi dari daerah asalnya, pada awal abad ke-17 (1666), karena menolak di
Islamkan oleh raja Wajo Arung Matoa (Sangkuru Petta Mulajaji Sultan Abdurrahman).
Sedangkan penamaanTolotang karena kelompok masyarakat ini menetap di sebelah
selatan kota Pangkajenne kota Kabupaten Sidenreng Rappang, dalam bahasa Bugis arah
selatan disebut dengan istilah lotang.
Ritual dan seremoni adalah bagian yang penting dalam system kehidupan dan
interaksi social masyarakat Tolotang, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat
mengindikasikan perlunya individu untuk melakukan interaksi dan integrasi dengan
masyarakat lainnya.
Penelitian terhadap masyarakat Towani Tolotang pernah dilakukan oleh Muzhar
pada tahun 1997, yang penekananannya terletak pada factor-faktor yang mengakibatkan
konflik dan integrasi masyarakat Towani Tolotang dengan masyarakat Islam. Penelitian
tersebut berbeda dengan apa yang akan dibahas dalam penelitian ini, dimana
penekanannya terletak pada aspek social yang merupakan dampak dari proses dan
system beragama dari masyarakat Towani Tolotang. Setiap penelitian pasti memeliki
permasalahan-permasalahan tertentu yang menjadi bahan kajiannya.
Dalam penelitian ini akan menyoroti secara sosiologis tentang interaksi social
masyarakat Towani Tolotang sebagai aplikasi dari perilaku bergama. Pemusatan
penelitian pada system pengintegrasian nilai-nilai agama masyarakat Towani
Tolotang ke dalam pola interaksi sosialnya, factor-faktor apa yang dominan dalam
pelaksanaan system keberagamaan dan factor-faktor yang menjadi penghambat
terjadinya integrasi perilaku bergama kedalam system social masyarakat sebagai
aplikasi dari konsep ajaran agama yang diyakini oleh Towani Tolotang.
Menurut Nasikun (2001), bahwa faktor-faktor yang biasanya menjadi
penghambat terjadinya integrasi perilaku bergama ke dalam system social adalah karena
dalam setiap kesatuan-kesatuan (perilaku beragama), memiliki system nilai yang
berbeda-beda, dan setiap orang memiliki penafsiran yang berbeda terhadap nilai yang
ada.
Komunitas Towani Tolotang ini menarik untuk diteliti karena komuitas ini
menganut system social dari konsep agama yang mereka pahami. Hal lainnya adalah
bahwa sebagian dari mereka yang menyatakan diri bergama Islam namun tetap nilai-
nilai Tolotangdalam kehidupan, demikian juga halnya mereka yang mengklaim dirinya
beragama Hindu Tolotang, komunitas inilah yang akan dijadikan sasaran penelitian dan
umumnya mereka dikenal dengan sebutan Towani dan menjadikan agama sebagai dasar
dari pola kehidupan social bermasyarakat, agama sebagai tolok ukur tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dalam kehidupan social.
Selama ini ada kesalah pahaman sebahagian masyarakat tentang
keberadaan Towani Tolotang, mereka beranggapan bahwa komunitas Towani
Tolotang adalah komunitas masyarakat tradisional yang cenderung tertutup dari arus
perubahan dan kemajuan tekhnologi, namun keyataan sehari-hari mereka tidak tertutup
terhadsp masyarakat yang berada di luar komunitas mereka.
Pluralisme keberagamaan di lokasi pemukiman Towani Tolotang sangan tampak,
hal ini yang membuat penulis merasa tertarik untuk meneliti, bagaimana agama menjadi
konsep socialTowani Tolotang, seperti system perkawinan, pelaksanaan penguburan
mayat, pertanian, dan lain-lainnya tetao berpatokan pada nilai-nilai agama yang mereka
anut.
System social masyarakat Towani Tolotang merupakan aplikasi dari tata cara
keagamaan yang membentuk suatau pranata dan iteraksi social antara masyarakat.
Upacara-upacara keagamaan seperti upacara pertanian, menaiki rumah baru, menyambut
kelahiran, perkawinan, Massempe’ (hari rayaTowani Tolotang) dan sebagainya, jelas
mempunyai arti dan tujuan, yaitu agar mereka selamat dan sejahtera dalam kehidupan.
Untuk mencapai tujuan itulah diperlukan adanya kebersamaan dan pada saat berkumpul
terjadi interaksi social antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat
yang lainnya.
Dalam setiap upacara keagamaa itu, semua segi kehidupan tentunya tidak dapat
terlaksana tanpa adanya kerjasama antara anggota masyarakat, pada saat pelaksanaan
upacara ini dapat dilihat nilai-nilai social yang ditimbulkannya, serta dapat disaksikan
secara nyata nilai-nilai agama sungguh memberi arti bagi perilaku social
masyarkat Tolotang.
Agama bagi masyarakat Towani Tolotang dijadikan sebagai dasar etika dimana
praksis social digerakkan, sebagai sesuatu yang mengusung nilai-nilai perilaku
keberagamaan sudah selayaknya untuk terus diekploitasi makna-maknanya secara
kontekstual untuk diperjuangkan dalam tata kehidupan.
Nuansa keberagamaan masyarakat Towani Tolotangsamapai sekarang ini masih
terus dipertahankan sebagai sesuatu yang sacral, sehingga interaksi social yang terjadi
antara anggota masyarakat merupakan perwujudan dari nilai-nilai religius dan
membentuk suatu tatanan social yang harmonis baik dikalangan
masyarakat Tolotang sendiri maupun dengan kalangan masyarakat lainnya.
Nilai-nilai agama diharapkan mampu menjadi kekuatan bagi perubahan yang
menuju pada tata kehidupan social bebas, kreatif dan dinamis, dan juga menjadi
peradaban yang universal, karena gama adalah merupakan bentuk kehidupan dan jalan
hidup bagi setiap mahluk yang ada di alam ini, dan tidak ada manusia modern yang
tidak agamis (Eliade, 2002).
Towani Tolotang merupakan salah satu kelompok social di Kelurahan Amparita.
Towani Tolotang juga merupakan sebutan bagi agama yang mereka anut,
kepercayaan Towani Tolotang bersumber dari kepercayaan tentang Sawerigading,
sebagai mana yang dipahami masyarakat Bugis pada umumnya.
Dalam masyarakat Towani Tolotang dikenal adanya pemimipin agama yang
mereka sebut Uwa dan Uwatta yang sekaligus sebagai semacam kepala suku.
Kelompok Uwa danUwatta menempati posisi tertinggi dalam system pelapisan social
dikalangan masyarakat Towani Tolotang. Sebagai pemimpin agama
para Uwa dan Uwatta dijadikan sebagai panutan dalam masyarakat, juga sebagai
perantara manusia dengan Dewata Sewwae.
Kehidupan social Towani Tolotang yang nampak dalam kesehariannya
merupakan cerminan dari ajaran agama yang ada. Pola perilaku terjadi tentu tidak
terlepas dari konsep-konsep agama yang ada, hal ini dapat disaksikan pada setiap sesi
kehidupan, dimana setiap akan memulai suatu pekerjaan diperlukan serangkaian acara
serimonial keagamaan.
Towani Tolotang meyakini bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan haruslah
dilakukan upacara atau ritual tertentu agar mendapat restu dari Dewata Sewwae, karena
tanpa restu dari Nya, sulit untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran pelaksanaan nilai-nilai keberagamaan
masyarakat Towani Tolotang ?.
2. Bagaimana gambaran interaksi social Towani Tolotang berdasarkan nilai-nilai
agama yang dianutnya ?.
3. Faktor-faktor apa yang menjadi pendukung dan penghambat integrasi nilai-
nilai keberagamaan terhadap interaksi social Towani Tolotang ?.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui :
1. Gambaran mengenai pelaksanaan nilai-nilai keberagamaan
masyarakat Towani Tolotang.
2. Gambaran mengenai interaksi social Towani Tolotangberdasarkan niali-nilai
agama yang dianutnya.
3. Faktor-faktor pendukung dan penghambat integrasi niali-nilai keberagamaan
terhadap interaksi social masyarakat Towani Tolotang.
D. Manfaat Penelitan
Penulis mengharapkan beberapa manfaat dari penelitian ini, sebagai berikut :
Manfaat akademis yakni; diharapakan dapat berguna sebagai bahan informasi
dan masukan, khususnya dikalangan akademis dalam usaha memperdalam sosiologi
agama, dan sebagai bahan bacaan yang bermanfaat bagi mereka yang berminat terhadap
masalah-masalah social serta sebagai bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya
yang relevan dengan penelitian ini.
Manfaat praktis yakni; penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi
penelitian selanjutnya, sebagai bahan referensi atau masukan kepada pemerintah dan
masyarakat Kabupaten Sidenreng Rappang pada umumnya dan dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam membina hubungan social beragama di Kabupaten Sidrap.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Agama
Kehidupan merupakan misteri terdalam dari dunia. Kehidupan berasal dari suatu
tempat yang bukan berasal dari dunia ini dan akhirnya pergi dari dunia ini ke dunia lain,
dan tetap berada dalam sebuah tempat asing yang tidak dapat dijangkau oleh mahluk
manusia.
Kehidupan manusia dimulai oleh pra kehidupan dan diteruskan pada post
kehidupan, hanya sedikit yang dapat diketahui dari pra kehidupan dan post kehidupan
dengan bantuan ilmu pengetahuan, namun hal itu tetap diakui adanya. Untuk
menjelaskan tentang konsep-konsep ini memerlukan pendekatan agama sebagai jalan
keluar yang tidak dapat dilalui dengan bantuan ilmu pengetahuan.
Misteri yang ada dalam kehidupan ini hanya dapat dijelaskan dengan pendekatan
iman atau agama, untuk mengetahui dengan jelas akan dikemukakan beberapa konsep
paa ahli tenteng pengertian agama. Hendri Bergson (dalam Muhni, 1994) agama adalah
gambaran tentang kehidupan yang abadi sesudah kematian. Agama diturunkan kepada
berakal berupa wahyu melalui nabi-nabi yang disebut oleh Bergson sebagai kaum
mistik, dan kekurangan dalam kehidupan.
Persepsi nilai beragama masyarakat sekarang ini telah berubah kea rah yang
lebih baik dan mendorong pada masyarakat maju, dalam masyarakat terdapat suatu
bentuk kepercayaan yang berfungsi sebagai motivator untuk berbuat. Motivasi
masyarakat untuk berbuat merupakan perwujudan dari rasa keberagamaan untuk meraih
kesejahteraan berdasarkan keyakinan agama yang dianut, perubahan tersebut terjadi
karena adanya kekecewaan terhadap ilmu pengetahuan yang dianggap gagal dalam
memenuhi kehidupan spiritual manusia, sehingga agama muncul kembali sebagai
sebuah jawaban.
Pengertian agama yang dikemukakan oleh Bergson pada awal pembahasan mengenai
pengertian agama, dapat dipahami bahwa agama diturunkan ke dunia ini untuk
menjawab berbagai persoalan yang berkaitan dengan hidup manusia sebagai mahluk
berakal, walaupun manusia mempunyai naluri dan kemampuan akal namun ada hal-hal
yang tidak dapat dijangkau dengan akal tersebut, kawasan inilah yang menjadi bagian
dari agama untuk menjelaskannya di samping berbagai masalah kemanusiaan yang
dapat dijangkau dengan akal dan naluri manusia.
Agama sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan, memainkan peran penting dalam
memberikan tirai melalui symbol-simbol yang melingkupi segala bidang kehidupan
manusia. Bermacam-macam makna, nilai dan kepercayaan yang ada dalam suatu
masyarakat, akhirnya dapat dipersatukan dalam sebuah penafsiran menyeluruh tentang
unsure realitas yang menghubungkan kehidupan manusia dengan dunia secara
keseluruhan, sehingga sacara sosiologis dan psikologis memungkinkan manusia untuk
merasa betah hidup dialam semesta, dan terhindar dari penyakit kesepian di tengah-
tengah keramaian.
Agama menurut Ibn Khaldun adalah kebenaran yang turun dari Allah Swt, dengan
perantaraan Rasul-Nya yang menumbuhkan kesadaran dalam diri manusia, kesadaran itu
tumbuh bukan karma hasil dari pendidikan yang sengaja diadakan atau pengajaran
ilmiah.
Kesadaran manusia yang timbul menyebabkan mereka mengadakan penilaian pada diri
sendiri dari berbagai macam kelakuan yang tidak sesuai dengan agama atau keyakinan
yang dianut. Kesadaran beragama menurun dikalangan manusia, dan agama merupakan
cabang dari ilmu pengatahuan, maka agama akan diperoleh melalui pendidikan, dan
kesadaran yang dating dari luar berupa hasil pendidikan tidak akan sekuat pengaruhnya
dengan kesadaran beragama yang dating dari dalam diri manusia.
Untuk menciptakan suatu perdaban yang besar, maka diperlukan suatu silidaritas social
yang kuat, soslidaritas ini sulit diciptakan hanya dengan bantuan ilmu pengetahuan atau
ikatan kekerabatan, namun untuk menciptakan solidaritas social yang kuat maka adanya
ikatan yang bersifat menyeluruh, dan agama adalah pengikat dalam membentuk
solidaritas social Ashabiyah(Khaldun, 2001).
Agama sebagai sesuatu yang mengusung nilai-nilai moral dan dapat mempererat
persatuan dikalangan ummat manusia, mengatur norma serta tatacara hubungan manusia
dengan Tuhan, manusia dengan manusia, pada akhirnya akan menciptakan suatu
interaksi social, dan etika hubungan antar individu dengan individu, individu dengan
kelompok, kelompok dengan kelompok.
Dalam ajaran Islam agama dikenal dengan nama din yang secara bahasa berarti
menguasai, patuh, menundukkan. Agama dalam artian syariat adalah ajaran yang
diturunkan oleh Allah Swt dengan perantaraan Rasul-Nya, sebagai aturan berupa hukum
yang mengatur hidup manusia, tentang cara berhubungan manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan manusia, manusia dengan mahluk ciptaan lainnya yang harus dipatuhi.
Aturan itu berupa wahyu, sebagai pedoman penganut ajaran Islam.
Agama mengandung arti ikatan yang harus diptuhi manusia, ikatan ini memberikan
pengaruh yang kuat terhadap pola perilaku manusia sehari-hari, ikatan itu berasal dari
luar diri manusia yang tidak dapat dijangkau dengan akal fikiran dan ilmu pengetahuan.
Dalam agama terdapat unsure-unsur penting seperti kepercayaan tentang adanya
kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia dan diakhirat
tergantung pada adanya hubungan baik antara manusia dengan penciptanya serta dengan
ciptaan lainnya (Nasution, 1985).
Ualam Islam membagi agama yang ada menjadi dua kelompok, yaitu agama yaitu
pengakuan kepada Allah Swt yang tunggal dan tidak ada Tuhan selain Allah. Tidak ada
perubahan dalam agama wahyu menganai aqidah, namun dalam hal muamalat dan
syariat terdapat perubahan sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan aqidah.
Agama bukan wahyu, yakni agama-agama yang timbul sebagai hasil kebudayaan dan
perenungan yang mendalam dari fikiran manusia, namun hal yang bertentangan dengan
tauhidlah yang dimasukkan dalam kategori agama bukan wahyu. Agama adalah suatu
cirri kehiduapan social yang bersifat universal dalam arti bahwa semua lapisan
masyarakat manusia mempunyai cara berfikir, pola perilaku yang bias memenuhi syarat
disebut sebagai agama.
Roland Robertson, ada dua jenis utama definisi tentang agama dalam sosiologi
yaitu inklusif dan eksklusif. Definisi inklusifmerumuskan agama dalam arti yang luas
sebagai system kepercayaan dan ritual yang diresapi kesucian, agama bukan saja sebagai
suatu ajaran yang percaya pada adanya kekuatan supernatural tetapi juga berbagai
kepercayaan yang berupa paham seperti komunisme, nasionalisme, humanisme.
Sebaliknya, penganut paham eksklusif membatasi pengertian agama pada system
kepercayaan pada eksistensi mahluk, atau kekuatan di luar mahluk.
Agama ialah suatu system kepercayaan yang disatukan oleh praktek yang berhubungan
dangan hal-hal suci, berisi perintah dan larangan bersifat menyatukan suatu komunitas
moral dan terpaut antara yang satu dengan yang lainnya (Ishomuddin, 2002).
Inti dari beberapa pengertian agama yangv dikemukakan di atas, mengandung empat
unsure penting, yaitu :
1. Pengakuan bahwa ada kekuatan gaib yang menguasai atau mempengaruhi
kehidupan manusia.
2. Keselamatan manusia tergantung adanya hubungan baik antara manusia dengan
kekuatan gaib itu.
3. Sikap emosiaonal pada hari manusia terhadap kekuatan gaib, seperti sikap takut,
hormat, cinta, pasrah dan lain-lain.
4. terdapat tingkah laku tertentu yang dapat diamati, seperti tatacara beribadah
(Nasution, 1985).
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Nasution, apa yang pernah dipaparkan oleh
E. Durkhaim bahwa setiap religi mempunyai empat komponen, yakni emosi keagamaan,
system kepercayaan, system upacara dan kelompok religius (komunitas). Berdasarkan
pada konsep ini maka penulis berani menarik sebuah kesimpulan bahwa Towani
Tolotangmerupakan sebuah agama meski secara hukum tidak diakui oleh Negara.
Agama Towani Tolotang yang selama ini dikenal identik dengan agama Hindu ternyata
mempunyai perbedaan yang mendasar dengan agama Hindu, baik dalam system
peribadatan maupun dalam hal kepercayaan. Agama sebagai bentuk keyakinan manusia
berfungsi dalam membentuk system nilai, motivasi maupun pedoman hidup.
Fromm (2001), agama membentuk kata hati berupa panggilan kembali manusia pada
dirinya, kata hati adalah suatu moral dalam diri manusia berupa rasa benar dan rasa
salah, suatu reaksi emosional yang didasarkan atas fakta bahwa dalam diri manusia
terdapat suatu kekuatan yang dapat mengatur keharmonisan dirinya dengan tekanan
kosmik. Pengaruh agama dalam kehidupan individu memberikan kemantapan batin, rasa
bahagia, aman, perasaan positif, juga merupakan harapan akan masa depan kehidupan.
B. Interaksi Sosial
Manusia hidup dengan membawa sifat dasar, dengan bawaan dan pengalaman manusia
hidup menyendiri dan berkelompok, dengan tujuan yang ingin dicapainya. Pada
umumnya manusia menginginkan kehidupan yang harmonis secara pribadi maupun
antar pribadi, hal itu disebabkan karena manusia memang mahluk yang serasi antara
jasmani dan rohaninya. Dalam memenuhi keinginannya untuk mencapai kehidupan yang
harmonis maka diperlukan hubungan dengan manusia yang lainnya, keadaan ini
lazimnya kita kenal dengan istilah interaksi social.
S. Freud (dalam Soekanto, 1988), secara psikologis manusia dihayatkan pada tiga
asas, pertama, azas kenikmatan yang membuat manusia yang membuat manusia untuk
memiliki kecenderungan untuk mendapatkan kenikmatan sebanyak mungkin untuk
dirinya sendiri dan menghindari kesengsaraan.Kedua, azas realitas yang mengarahkan
manusia untuk menghadapi kehidupan di luar yang tidak mungkin dihindarinya.Ketiga,
azas keteguhan yang merupakan penyatuan dua azas sebelumnya yang mengarahkan
manusia untuk mencari kenikmatan dengan tetap memperhatikan lingkungan
masyarakat yang berada disekitarnya. Di sini tampak dengan jelas bagaimana
pentingnya hubungan dalam masyarakat.
Manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya kalau hanya sendirian saja,
mereka tentunya memerlukan bantuan manusia lainnya. Bergotong royong merupakan
salah satu bentuk untuk mencapai tujuan yang diinginkan, pada saat bergotong royong
akan terjadi interaksi social antara manusia (Khaldun, 2001).
Hubungan interaksi social merupakan suatu kemutlakan, hal ini disebabkan adanya nilai,
norma, aturan yang merupakan aturan bersama, dimana kesemuanya menjadi suatu
ikatan yang menyatukan manusia dalam suatu system kehidupan social.
Interaksi merupakan kunci dari proses kehidupan social, karena tanpa adanya interaksi
social tidak mungkin adanya kehidupan bersama yang harmonis. Kimball Young (dalam
Soemarjan, 1974). Interaksi social merupakan syarat utama dalam aktivitas kehidupan
manusia, dalam berinteraksi itulah akan dilihat peran dan kemampuan manusia untuk
menyesuaikan diri dengan manusia lainnya.
Dalam masyarakat akan terjadi intaraksi timbal balik antara individu dengan individu
lainnya sehingga memunculkan suatu tatanan social yang harmaonis. Simmel (dalam
Johnson, 1986), mengartikan hal ini sebagai sosiasi atau sosialisasi, namun hal ini
tidaklah sama artinya dengan sosialisasi sebagai sebuah bentuk pembelajaran terhadap
suatu kebudayaan atau masyarakat., namun sosialisasi di sini diartikan sebagai proses
dengan mana seorang individu itu menjadi bagian dari masyarakat melalui suatu
interaksi.
Interaksi diartikan sebagai alat untuk mencapai tujuan dan memenuhi pelbagai
kepentingan, dan dalam hal ini ada saling ketergantungan antara stuktur social dengan
yang lainnya, Marx (dalam Fromm, 2001), mengemukakan bahwa interaksi sosil adalah
adanya ketergantungan antara stuktur social yang dijembatani oleh struktur ekonomi,
proses social yang ditekankan oleh Marx adalah adanya konflik kelas. Sedangkan
Durkheim (dalam Johnson, 1986), memnekankan interaksi social terjadi karena adanya
kesadaran kolektif secara bersama-sama guna menciptakan suatu tatanan social serta
keteraturan social dalam masyarakat.
Interaksi social terdiri dari dua suku kata, yaitu interaksi dan social. Kedua kata ini
merupakan serapan dari bahasa Inggrisinteraction dan social, dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1996), kata interaksi
diartikan hubungan yang dinamis antara individu dengan individu, individu dengan
kelompok, kelompok dengan kelompok yang saling mempengaruhi. Sedangkan dalam
bahasa Inggris, interaction berarti pengaruh timbale balik, dan saling mempengaruhi
(Echols, 1996).
Social berarti segala sesuatu yang menyangkut masyarakat, kemasyarakatan. Secara
etimologi interaksi social adalah hubungan social yang bersifat interaktif,
interdependensi, dan interfelatif yang dinamis antara individu, individu dengan
kelompok, dan antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya dalam
masyarakat.
Soekanto (2001), mengemukakan defenisi interaksi social atau proses social sebagai
cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang perseorangan dan kelompok-
kelompok social bertemu dan menetukan system serta bentuk-bentuk tersebutatau apa
yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-
pola kehidupan yang telah ada. Interaksi social adalah pengaruh timbale balik antara
pelbagi segi kehidupan bersama, misalnya, pengaruh-mempengaruhi antara social dan
politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dan hukum.
Bonner dalam (Ahmadi,1999), mengungkapkan bahwa interaksi social adalah suatu
hubungan antara dua individu atau lebih, dimana salah satu diantaranya dapat
mempengaruhi yang lainnya. Hartini dan Kartasaputra (1992), mendefenisikan interaksi
social sebagai suatu proses social yang menyangkut hubungan timbal balik keseluruhan
individu, kelompok, masyarakat, hubungan interaksional ketiganya.
Soekanto (2001), memberikan definisi interaksi social sebagai peristiwa yang hadir
dalam bentuk pengaruh mempengaruhi atau saling mempengaruhi yang terjadi dalam
kehidupan social masyarakat, dimana proses tersebut menghasilkan hubungan tetap
dalam kehidupan masyarakat.
Proses terjadinya interaksi social dalam masyarakat tentu dipengaruhi beberapa factor,
antara lain factor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Factor-faktor tersebut dapat
berfungsi sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam bentuk menyatu dengan factor
yang lainnya, di samping beberapa factor yang menyebabkan terjadinya interaksi social
hal penting harus diperhatikan adalah syarat-syarat terjadinya interaksi social.
Hal pokok yang menunjang terjadinya interaksi social dalam
masyarakat yaitu : Pertama, adanya kontak social, terjadinya hubungan dengan pihak
lain, hubungan yang dimaksud tidak saja dalam bentuk pertemuan secara langsung antar
individu dengan individu, atau individu dengan kelompok, dan kelompok dengan
kelompok yang lainnya akan tetapi bias juga berarti kontak hanya melalui alat bantu
seperti telepon, surat dan lain-lain.
Kedua, adanya komunikasi, adalah bahwa adanya kemampuan dalam menafsirkan sikap,
perkataan dan perilaku orang lain, serta mampumemberikan reaksi terhadap perasaan
yang diinginkan dari orang lain tersebut, dengan demikian komunikasi memungkinkan
dapat menghasilkan kerjasama yang baik bahkan mungkin akan terjadi pertikaian dari
kesalah fahaman (Soekanto, 2001).
Proses interaksi yang terjadi dalam masyarakat tidak secara kebetulan, melainkan
tumbuh berdasarkan kepentingan antar individudengan anggota masyarakat lainnya,
karena setiap individu menganut dan mengikuti pengertian-pengertian yang sama
mengenai situasi tertentu dalam bentuk norma-norma social, maka tingkah laku anggota
masyarakat kemudian terjalin dalam bentuk suatu stuktur social tertentu (Nasikun,
2001).
C. Masyarakat
Konsep tentang masyarakat, telah banyak dibicarakan oleh para ahli, utamanya ahli
sosiologi. Emile Durkheim sosiolog Prancis mengatakan bahwa masyarakat adalah
keseluruhan organisme yang memiliki realitas tersendiri dan bersifat sistematik. Sebagai
organisme, keseluruhan aktifitas masyarakat sangat ditentukan adanya keteraturan
fungsional yang ada pada masing-masing sub system.
Keseluruhan organisme memiliki seperangkat kebutuhan yang harus dipenuhi oleh
bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar keadaan normal tetap berlangsung
(Taneko, 1986). Lebih lanjut Durkheim mengatakan bahwa masyarakat merupakan
sumber dan dasar segala-galanya yang di dalamnya individu sama sekali tidak
mempunyai arti dan arti dan kedudukan, masyarakat itu tidak tergantung pada anggota-
anggota, melainkan terdiri dari suatu struktur adapt istiadat, kepercayaan sebagai suatu
lingkungan hidup yang terorganisasi, masyarakat bukan suatu yang abstrak, melainkan
suatu yang nyata (Muhni, 1994).
Hidup bermasyarakat sangat penting bagi manusia, ia tidak sempurna dan tidak dapat
hidup sendiri secara berkelanjutan tanpa mengadakan hubungan dengan masyarakat
lainnya. Adham Nasution (dalam Abdulsyani, 1994), menjelaskan bahwa hidup
bermasyarakat mutlak bagi manusia agar ia dapat menjadi manusia dalam arti yang
sesungguhnya, yakni sebagaihuman being, bukan dalam arti biologis, tetapi benar-benar
ia dapat berfungsi sebagai manusia yang mampu bermasyarakat dan berbudaya.
Shadily (1983), menyatakan bahwa masyarakat adalah golongan besar atau kecil yang
terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya berkaitan dengan
segolongan dan mempengaruhi satu sama lain. Masyarakat ada bukannya hanya dengan
menjumlahkan orang-orang saja, akan tetapi diantara mereka ada interaksi antara satu
dengan yang lainya, setiap anggotanya harus sadar akan adanya orang atau kelompok
lain. Shadily juga memandang masyarakat sebagai satu kesatuan yang selalu berubah,
yang hidup karena proses manusia yang menyebabkan perubahan itu.
Masyarakat dalam pandangan Islam (Kaelany, 1992), adalah alat atau sarana untuk
melakukan dakwa yang menyangkut kehidupan bersama. Karena itu masyarakat harus
menjadi dasar kerangka kehidupan dunia bagi kesatuan kerja sama ummat menuju
adanya suatu pertumbuhan manusia yang mewujudkan persamaan dalam keadilan.
Pembinaan masyarakat haruslah dimulai dari individu-individu.
Isalam mengajarkan bahwa kualitas manusia dari satu segi bias dipandang dari
mamfaatnya bagi manusia lainnya, dengan pandangan dan fungsi individu inilah Islam
memberikan aturan moral bagi manusia, aturan moral didasarkan pada suatu system
nilai berdasar nilai keagamaan, seperti ketakwaan, penyerahan diri, hikma kasih sayang,
keadilan, kebenaran dan sebagainya.
Menurut Abdulsyani (1994), bahwa perkataan masyarakat berasal dari bahasa Arab
yakni musyarak, yang berarti bersama-sama, kemudian menjadi masyarakat yang berarti
berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling
mempengaruhi. Sementara dalam bahsa Inggris kata masyarakat diartikan dalam dua
pengertian yaitu Society danCommunity.
Abdulsyani (1997), juga menambahkan bahwa masyarakat sebagai community dapat
dilihat dari dua sudut pandang : Pertama, memandang community sebagai sesuatu yang
statis, artinya community terbentuk dalam suatu wadah dengan batas-batas tertentu,
maka ia menunjukkan bagian dari kesatuan-kesatuan masyarakat sehingga ia dapat pula
disebut masyarakat setempat. Misalnya kampong, dusun atau kota-kota kecil.
Masyarakat setempat adalah suatu wadah dan wilayah dari kehidupan sekelompok orang
yang ditandai oleh adanya hubungan social, disamping itu dilengkapi pula oleh adanya
peradapan social, nilai-nilai dan yang timbul akibat dari adanya pergaulan hidup atau
hidup bersama. Kedua, communitydipandang sebagai unsure yang dinamis, dalam artian
menyangkut suatu proses yang terbentuk melalui factor psikologis dan hubungan antar
manusia, maka di dalamnya terkandung unsur-unsur kepentingan, keinginan atau tujuan-
tujuan yang sifatnya fungsional.
Pandangan ini bertolak dari teori Tonnis (1983), tentang masyarakat yang membaginya
dalam dua kelompok yaknigemeinschaft dan gesellschalf dimana gemeinschaft berupa
persekutuan hidup dimana orang-orang memelihara hubungan berdasarkan keturunan,
keluarga dan famili dalam arti yangseluas-luasnya. Pertalian yang erat dalam golongan
ini menyebabkan perasaan satu, sehingga persekutuan itu hanya dapat bergerak sebagai
satu badan yang hidup bersatu jiwa, yang menghasilkan kebiasaan bersama, yang bila
mana dipelihara cukup lama akan mengukuhkan menjadi adat dan tradisi.
Gesellchaft berbeda dengan Gemeinschaft, yang berarti perkongsian hidup, dimana
orang-orang hidup dalam kelompok berdasarkan kepentingan dan kebutuhan terhadap
anggota masyarakat yang lainnya dantidakan yang dilakukannya berdasarkan di
belakangnya. Mereka menjadi anggota kelompok untuk memenuhi tujuan hidupnya
melalui kelompok masyarakat yang ada dan bila mana kelompok tersebut tidak lagi
mampu untuk memenuhi kepentingan mereka akan melepaskan diri dari kelompok yang
bersangkutan.
Dari kedua cirri yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa apabila suatu
masyarakat tidak memenuhi syarata tersebut, maka ia dapat disebut masyarakat dalam
artiansociety. Masyarakat dalam pengertian society terdapat interaksi social, perubahan-
perubahan social, perhitungan-perhitungan rasional, serta hubungan-hubungan menjadi
pamrih dan ekonomis.
Menurut Soerjono Soekanto dalam (Abdulsyani, 1994), masyarakat adalah suatu
pergaulan hidup atau suatu bentuk kehidupan manusia secara bersama-sama, maka
masyarakat itu mempunyai cirri-ciri pokok, manusia yang hidup bersama. Di dalam
ilmu social tidak ada ukuran yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan
berapa jumlah manusia yang harus ada, akan tetapi secara teoritis angka minimumnya
ada dua orang yang hidup bersama.
Bercampur dalam waktu yang lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan
kumpulan benda-benda mati seperti kursi, meja dan sebagainya. Oleh kerena
berkumpuknya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru, yang dapat
bercakap-cakap, merasa dan mengerti, mempunyai keinginan untuk menaympaikan
kesan dan perasaannya. Sebagai akibat dari hidup bersama itu, timbullah system
komunikasidan timbullah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia
dalam kelompok tersebut, mereka sadar bahwa mereka satu kesatuan. Mereka
merupakan satu system hidup bersama. System hidup bersama menimbulkan
kebudayaan, oleh karena setiap amggota kelompok merasa dirinya terikat dengan yang
lainnya.
Cirri-ciri masyarakat sejalan dengan apa yang pernah diungkapkan oleh J.L. Gilin dan
J.P. Gillin (Soemarjan, 1974), bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang
tersebar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama.
Sementara Aguste Comte (dalam Abdulsyani, 1995), memberi penekanan bahwa
masyarakat adalah merupakan kelmpok-kelompok mahluk hidup dengan realitas-realitas
baru yang berkembang menurut hukum-hukumnya sendiridan berkembang menurut pola
perkembangannya sendiri. Masyarakat dapat memberi yang bagi manusia, sehingga
tanpa adanya kelompok, manusia tidak akan mampu untuk berbuat banyak dalam
hidupnya.
Menurut Darmawansyah (1986), masyarakat adalah kelompok manusia yang saling
berinteraksi, yang memiliki prasarana untuk kegiatan tersebut dan adanya saling
keterikatan untuk mencapai tujuan bersama. Masyarakat adalah tempat kita bias
menyaksikan individu sebagai input dari keluarga, keluarga sebagai tempat berproses,
dan masyarakat sebagai, output dari proyeksi tersebut, yang pada akhirnya akan
membentuk suatu system social.
Penganut teori fungsional memandang masyarakatsebagai suatu system social yang
terdiri dari bagian-bagian tertentu saling menunjang antara bagian yang satu dengan
bagian yang lainnya, dan saling menyatu dalam menjaga keseimbangan, apabila terjadi
perubahan dalam satu bagian tertentu dalam masyarakat akan mengakibatkan pula
perubahan pada bagian yang lainnya. Semua struktur dalam masyarakat memberikan
sumbangan terhadap yang lainnya dan sangat diperlukan dalam menjaga keseimbangan,
dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat terjadi secara perlahan.
Teori fungsional memandang masyarakat selalu berada dalam keadaan statis dan
berimbang, maka lain halnya dengan penganut teori konflik, penganut teori ini
memandang bahwa keseimbangan dalam masyarakat terjadi karena adanya tekanan dari
penguasa terhadap pihak yang dikuasai, dan setiap elemen yang ada dalam masyarakat
memberikan sumbangan dalam mendisintegrasikan masyarakat, sehingga berakibat pada
terjadinya konflik antara golongan dalam masyarakat (Ritzer, 2000).
Stuktur masyarakat Indinesia ditandai oleh dua cirri khas yang bersifat unik. Secara
horizontal, masyarakat Indonesia terdiri atas kesatuan-kesatuan yang berbeda antar suku
bangsa, perbedaan agama, adapt istiadat serta system kedaerahan pada masing-masing
kelompok social, perbedaan latar belakang inilah yang mengakibatkan adanya pelapisan
social.
Secara vertical, antara lapisan atas dalam hal ini kaum bangsawan dengan lapisan bawah
atau masyarakat biasa. Perbedaan ini cukup menyolok dikalangan masyarakat, yang
masih tinggal di daerah kota dan pedalaman, sehingga keadaan ini sering disebut
sebagai cirri masyarakat Indonesia yang majemuk (Nasikun, 2001).
Suatu system social adalah consensus diantara para anggota masyarakat mengenai nilai-
nilai kemasyarakatan tertentu, terdapat tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dasar tertentu
trhadap mana sebagian anggota masyarakat menganggap serta menerimanya sebagai
suatu hal yang mutlak dan benar. System ini berfungsi untuk menstabilir system nilai
yang ada dalam masyarakat itu sendiri.
System social pada dasarnya, tidak lain adalah suatu tindakan, yang terbentuk dari
interaksi social yang terjadi antar individu, dan tumbuh berkembang tidak secara
kebetulan, melainkan tumbuh dan berkembang di atas kesadaran dan standar tertentu
yang telah disepakati bersama oleh anggota masyarakat. Perubahan system social pada
umumnya terjadi secara gradual, melalui berbagai proses dan penyesuaian, dan tidak
secara revolusioner.
Perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat terhadap suatu system social hanyalah
terjadi pada bentuk luarnya saja, namun secara sutansial tidaklah terjadi suatu perubahan
secara mendasar. Dalam setiap system social itu terdapat apa yang kita kenal dengan
istilah noma-norma social, hal inilah yang membentuk suatu stuktur social.
D. Towani Tolotang
Towani Tolotang merupakan salah satu kelompok social yang mendiami kelurahan
Amparita. Tolotang juga merupakan sebutan bagi aliran kepercayaan yang mereka anut,
namun kelompok ini menurut asal usulnya bukanlah penduduk asli Amparita. Menurut
asal usulnya, nenek moyanh Tolotang, berasal dari desa Wani sebuah desa di kabupaten
Wajo.
Ketika Arung Matoa Wajo (La Sungkuru), memeluk agama Islam pada abad ke XVII,
beliau mengajak rakyatnya agar menerima ajaran baru itu, dan besar penduduk Wajo
menerima Islam sebagai agama mereka, akan tetapi sebagaian masyarakat desa Wani
menolak ajaran tersebut, mereka tetap memegang ajaran yang diterima dari leluhur.
Komunitas yang tetap mempertahankan ajaran tersebut merasa terdesak dengan
perkembangan agama baru yakni Islam, kemudian mengungsi ke daerah Sidenreng
Rappang.
Istilah Tolotang semula dipakai oleh raja Sidenreng sebagai panggilan kepada pengungsi
yang baru dating di negerinya. To(tau) dalam bahasa Bugis berarti orang,
sedangkan lotang dari kata lautang yang berarti arah selatan, maksudnya adalah sebelah
selatan Amparita, terdapat pemukiman pendatang, jadiTolotang artinya orang-orang
yang tinggal di sebelah selatan kelurahan Amparita, sekaligus menjadi nama bagi aliran
kepercayaan mereka.
Muzhar (dalam Mukhlis, 1985), addtuang Sidenreng sebelum menerima kelompok
pendatang dari desa Wani, terlebih dahulu menyepakati perjanjian yang dikenal
dengan Ade’ Mappura OnroE yang pokok isinya adalah ;
1. Ade’ Mappura OnroE
2. Wari Riaritutui
3. Janci Ripaaseri
4. Rapang Ripannennungeng
5. Agamae Ritwnrei Mabbere
Artinya :
1. Adat Sidenreng tetap utuh dan harus ditaati
2. Keputusan harus dipelihara dengan baik
3. Janji harus ditepati
4. Suatu keputusan yang berlaku harus dilesterikan
5. Agama Islam harus diagungkan dan dilaksanakan
Empat dari lima dari perjanjian tersebut diterima secara utuh, kecuali isi perjanjian yang
terakhir, hanya diterima dalam dua yakni pelaksanaan pernikahan dan pengurusan
jenazah, itu pun tidak menyeluruh sebagai mana yang ada dalam ajaran Islam.
Komunitas Tolotang terbagi atas dua kelompok besar atau sekte, yakni Towani
Tolotang dan Tolotang Benteng, walau pun Tolotang terbagi dalam dua kelompok besar,
namun dalam system keprcayaan tidak terdapat perbedaan yang mendasar, hanya saja
kelompok Tolotang Benteng pada kartu identitas tertulis agama Islam, sedang
kelompok Towani Tolotangtertulis Hindu.
Praktek pelaksanaan tatacara peribadatan dan system kepercayaan berbeda dengan
system yang dianut dalam jaran Hindu bahkan lebih cenderung ke ajaran Islam, jadi
penganutan terhadap suatu agama mereka akui tetapi dalam hati paham agama yang asli
tetap dipertahankan , oleh Bosch disebut dengan istilah local genius (Ishomuddin,
2002).
Kepercayaan Tolotang bersumber dari kepercayaan tentangSawerigading, sebagai mana
mana yang dipahami masyarakat Bugis pada umumnya. Meskipun orang-
orang Tolotangbukanlah penduduk asli Amparita, tetapi mereka termasuk suku Bugis
yang memiliki sejarah, budaya, adapt istiadat dan bahasa yang sama dengan suku bugis
kebanyakan.
Setiap masyarakat mempunya system pelapisan social yang berbeda antara satu
golongan dengan golongan yang lainnya, pada komunitas Tolotang pelapisan
masyarakat didasarkan pada system pertalian dara dan keturunan, namun dalam gelar
bangsawan Tolotang tidaklah sama dengan yang dipakai dikalangan masyarakat Bugis,
ukuran ini tidak lepas dari sejarahTolotang itu sendiri. Golongan Uwa menempati posisi
tertinggi, pada tingkatan ini terbagi pada dua gologan yakniUwatta sebagai toko sentral
dan Uwa yang berada satu tingkat di bawahnya, kemudian golongan To Sama, yang
terdiri dari masyarakat biasa.
E. Kerangka Pikir
Dari beberapa landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya pada
prinsipnya bahwa terjadinya interaksi social dikalangan masyarakat Towani
Tolotang merupakan aplikasi dari konsep agama yang mereka pahami sebaga suatu
ajaran yang harus diamalkan dalam proses kehidupan bermasyarakat, baik dengan
masyarakat Tolotang maupun masyarakat yang tidak termasuk Tolotang, kerena apapun
yang mereka lakukan dianggap mempunyai nilai ibadah dan akan mendapat pahala
sesuai dengan amal perbuatan yang telah dilakukan.
Esensi ajaran agama bagi Towani Tolotang sangat penting untuk diketahui dan
diamalkan dalam kehidupan social tanpa harus memandang dengan golongan mana kita
melakukan interaksi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada rumusan kerangka pikir
agama sebagai konsep social masyarakatTowani Tolotang, serta nilai-nilai luhur dan
yang menyebabkan terjadinya interaksi social sebagai aplikasi dar rasa keberagamaan
masyarakat Towani Tolotang.
Secara sederhana dapat dilihat pada skema kerangka pikir gambar 1 :
Gambar 1 : Kerangka Pikir
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif. Peneliti terjun secara langsung ke lapangan mengamati proses social yang
terjadi pada masyarakat Towani Tolotang. Penelitian kualitatif lebih mengutamakan
proses dari pada produk. Penekanan utama penelitian kualitatif terletak pada proses
(Zamroni, 1992).
Penelitian ini menggunakan pendekatan penomenologis, suatu pendekatan dalam
penelitian dalam penelitian kualitatif yang bertujuan memahami makna setiap peristiwa
dan relevansinya terhadap orang-orang yang menjadi bagian dari peristiwa tersebut
(Moleong, 2001). Hal-hal yang ditemukan di lapangan diinterpretasi tanapa adanya
maksud untuk memanipulasi, merekayasa, mengintervensi, dan mengontrol data sedikit
mungkin. Aplikasi metode dan pendekatan ini dimaksudkan untuk akurasi data dan lebih
mempropesionalkan pendeskripsian hasil penelitian. Penelitian ini mengambil lokasi di
Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidrap, sebuah daerah yang
mayoritas penduduknya suku bugis.
Tellu Limpoe merupakan salah satu Kecamatan di antara delapan Kecamatan yang ada
di Kabupaten Sidrap, Panca Lautang, Tellu Limpoe, Watang Pulu, Panca Rijang,
Maritenggae, Dua Pitue, Pitu Riase (pemekaran dari Kec. Dua Pitue).
Di Kelurahan Amparita, peneliti mengamati secara lansung kehidupan dan interaksi
social masyarakat Towani Tolotangsebagai aplikasi dari system keberagamaan.
B. Definisi Konsep (Pengrtian Konsep)
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas mengenai masalah yang diteliti
maka dipanang perlu memberikan definisi operasional variable sebagai berikut :
1. Agama adalah, system, prinsip kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa atau
Dewa dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan
kepercayaan itu.
2. Konsep adalah gambaran mental dari objek, atau pengertian yang diabtrakkan
dari peristiwa kongkrit untuk memahami hal-hal lain.
3. Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh
kebudayaan yang dianggap sama
4. Towani Tolotang adalah komunitas masyarakat yang berasal dari desa Wani di
Kabupaten Wajo yang menetap di sebelah selatan Amparita, sekaligus menjadi
nama untuk aliran atau agama yang mereka anut.
5. Integrasi dalam hal ini dipahami sebagai prosespenyesuaian antara unsur agama
dala kehidupan social sehingga mencapai satu keserasian fungsi dalam
masyarakat.
C. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Teknik observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung secara intensif terhadap
perilaku beragama serta kerjasama yang terjadi pada masyarakat Towani
Tolotang.
2. Teknik wawancara, pengumpulan data di lapangan menyangkut perilaku
beragama dan proses interaksi social masyarakat Towani Tolotang, dilakukan
dengan cara wawancara atas dasar daftar pertayaan yang telah dibuat untuk
kemudian didiskripsikan. Informan kunci, dipilih secara pupossive dengan
pertimbangan pengetahuan agama, status social dan golongan dalam masyarakat
yang memahami nilai-nilai agama Towani Tolotang. Untuk menentukan
informan kunci lebih dahulu didapat informan pangkal yang dapat memeberikan
keterangan kepada peneliti petunjuk-petunjuk lain tentang adanya individu lain
dalam masyarakat yang dapat memberikan berbagai keterangan lebih lanjut yang
diperlukan peneliti, informan inilah yang menjadi informan kunci atau key
informan. Orang yang ahli secara mendalam tentang unsure-unsur tertentu dalam
masyarakat yang sedang menjadi objek penelitian seperti tokoh agama, tokoh
pemuda, pemka masyarakat, guru dan kepala adapt (Koencaraningrat, 1973).
3. Data sekunder, yakni data data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dan
lembaga atau instansi yang berkaitan dengan permasalahan, data ini
dimaksudkan untuk melengkapi data primer.
D. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses pengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam satu pola,
kategori, dan satu uraian dasar. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka analisis
berlangsung sejak pertama kali ke lapangan samapai pengumpulan data telah menjawab
permasalahan yang ada, Patton dalam (Moleong,2001).
Sejumlah fakta yang diperoleh di lapangan dikumpulkan dengan cara menuliskan atau
mengadopsi, mengedit, mengklasifikasi, meredksi untuk kemudian disajikan.
Sebagai penelitian yang mengutamakan proses, maka system di atas dilakukan secara
berkesinambungan dengan memulai pengumpulan data yang diperoleh di lapangan yang
telah disesuaikan dengan focus atau masalah penelitin. Mengedit, mengklsifikasi data
yang diperoleh dari informan kunci sesuai dengan focus penelitian. Hasil wawancara
bebas dan observasi lapangan yang merupakan data kualitatif itu diolah sesuai dengan
mekanisme yang telah diterangkan di atas, kemudian hasilnya disesuaikan dengan
masalah penelitian yang ada.
BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
A. Letak Geografis dan Ekologis
Kelurahan Amparita yang dibicarakan dalam kajian ini terletak disebelah selatan kota
Kabupaten Sidrap, dengan jarak 9 km2dari pusat kota Kabupaten Sidrapserta, 221 km
dari ibukota Propensi. Kelurahan Amparita berada dalam wilayah Kecamatan Tellu
Limpoe. Batas-batas wilayah sebagai berikut. Sebelah utara berbatasan dengan
Kelurahan Aratang, sebelah timur berbatasan dengan Desa Teteaji, Sebelah selatan
berbatasan dengan Kelurahan Pajalele, dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan
Toddang Pulu dan Kelurahan Baula, dua kelurahan terakhir secara administrative
merupakan wilayah Kelurahan Amparita sebelum adanya pemekaran wilayah, dengan
luas wilayah 364,74 km2.
Wilayah Kelurahan Amparita yang terdiri atas daratan yang memiliki curah hujan yang
cukup tinggi sehingga penduduk sekitarnya kebanyakakan adalah petani. Kelurahan
Amparita merupakan suatu tempat yang pertama kalinya dihuni oleh pendatang dari
Desa Wani, kemudian dalam perkembangannya telah bercampur dengan penduduk suku
Bugis yang lainnya.
Lembaga pemerintahan di Amparita dipimpin oleh seorang lurah, dalam menjalankan
tugasnya sehari-hari ia dibantu oleh seorang sekertaris, seorang kepala urusan, dua
orang kepala dusun, yaitu kepala Dusun Pakkawarue dan Kepala Dusun Sudatu, masing-
masing kepala dusun membahi dua orang rukun kampong, serta seorang kepala
perswahan.
B. Keadaan Penduduk
Sebelum dimekarkan wilayah Amparita meliputi ; Baula, Toddang Pulu, Aratang serta
Amparita dengan jumlah penduduk yang sangat padat. Dengan adanya pemekaran maka
dengan sendirinya penduduk Kelurahan Amparita ikut berkurang. Menurut hasil
SENSUS yang dilakukan yang dilakukan oleh BKKBN Kabupaten Sidrap bulan Juni
2003 jumlah penduduk kelurahan Amparita sebanyak 3. 723 jiwa, dengan perincian
1.720 laki-laki, dan 2.603 jiwa perempuan (Kantor Lurah Amprita, 2003).
Penyebaran penduduk terkonsentrasi pada tempat yang berada di dekat jalan raya dan
pasar Amparita. Tingkat pendidikan di Kelurahan Amparita bias dikatakan berpariasi
hal itu dapat dilihat pada table berikut ini.
Table 1 : Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1. Sekolah Dasar 1. 419 orang
2. SLTP/MTs 1. 497 orang
3. SMU 429 orang
4. D1/D3 13 orang
5. S1 13 orang
6. S2 2 orang
Total 3. 373 orang
Sumber data : Kantor Lurah Amparita 2003
Dalam lapangan pekerjaan masyarakat Amparita lebih banyak yang berprofesi sebagai
petani hal ini disebabkan oleh kondisi alam yang memang berada di daerah agraris,
selain petani ada juga yang berprofesi sebagai PNS, TNI/POLRI dan sisanya adalah
pekerja swasta dan tukang.
Pada table 2 akan digambarkan jumlah penduduk Kelurahan Amparita berdasarkan Janis
pekerjaan.
Table 2 : Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Jumlah
1. PegawaiNegeri Sipil 53 orang
2. TNI / POLRI 10 orang
3. Swasta 5 orang
4. Tukang 9 orang
5. Petani 2.549 orang
Total 2.629 orang
Sumber data : Kantor Lurah Amparita 2003
C. Stratifikasi Sosial
Setiap anggota masyarakat di mana pun mempunyai pelapisan social, hal demikian ini
terjadi karena adanya system penghargaan dalam masyarakat terhadap suatu golongan
masyarakat dengan golongan masyarakat yang lainnya. Penghargaan yang diberikan
biasanya terjadi karena beberapa hal yang menunjang seperti tingkat ekonomi,
kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam bidang agama dan pertalian darah.
Sorikin dalam (Soemarjan, 2001), mengatakan bahwa system pelapisan dalam
masyarakat merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup
teratur, bentuk lapisan masyarakat berbeda sesuai dengan kondisi masyarakat yang
bersangkutan. Lapisan masyarakat itu mulai ada sejak manusia mengenal kehidupan
bersama di dalam suatu organisasi social.
Masyarakat Tolotang juga mengenal system pelapisan social, ukuran yang paling
menonjol adalah factor turunan, factor ini sangat menetukan dalam pemberian
penghargaan di samping factor yang lainnya. Ukuran ini tidak lepas dari
sejarahTolotang itu sendiri yang menganggap pemimpi-pemimpin mereka adalah
keturunan dari Sawerigading (nenek moyang orang Bugis) atau La Panaungi, yang
bergelar Uwa atauUwatta beserta keturunannya yang menduduki lapisan atas sebagai
mana kedudukan dalam bangawan Bugis kebanyakan.
Lapisan social masyarakat yang lainnya adalah Tosama atau golongan masyarakat biasa,
sedangkan system perbudakan yang dalam masyarakat Bugis dikenal dengan
sebutan Atasudah tidak lagi dipraktekkan oleh masyarakat Tolotangsebagaimana yang
terjadi pada masyarakat Bugis dengan terjadinya perubahan nilai dari masyarakat feodal
ke modern.
Pelapisan social masyarakat yang sudah terpola dalam masyarakat Towani
Tolotang sampai saat ini tetap dipertahankan kecuali golongan ketiga.
Dikalangan Uwa masih terdapat lapisan yang menempati kedudukan tertinggi dalam
masyarakat, hal ini diukur berdasarkan tiwi bunga untuk kalangan ini memakai
gelar Uwatta Battoae, dan hal ini berpindah berdasarkan garis keturunan.
Karena yang dijadiakan ukuran dalam system pelapisan socialTowani
Tolotang berdasarkan pertalian darah, maka pelapisan itu bersifat tertutup. Mobilitas
horizontal dari strata bawah ke strata atas sulit sekali terjadi, hal yang sering terjadi
adalah mobilitas vertical dalam lingkup masing-masing lapisan, misalnya
seorang Uwa yang tadinya tidak Tiwi Bunga, namun setelah Tiwi Bunga dipercayakan
padanya dengan sendirinya posisinya menjadi terangkat.
Ukuran lain dari stratifikasi social pada masyarakat Towani Tolotang adalah tingkat
pendidikan, dikalangan pemimpin mereka ditetapkan criteria khusus yang harus
dipenuhi untuk mendapatkan gelar Uwatta Battoae, yang saat ini dipercayakan
kepada Uwa Temmbong, adapun keriteria tersebut adalah. (1) memahami dengan baik
adat istiadat Towani Tolotang(makkiade), (2) cerdas dan memiliki kemampuan untuk
berkomunikasi, cerdas dalam hal ini tidak mesti memiliki tingkat pendidikan yang
tinggi(macca atau panrita), (3) memiliki kepekaan dan solidaritas social yang tinggi
(mapesse), (4) memiliki keperibadian sebagai laki-laki pemberani (tau warani).
Tingkat pendidikan dan kemapanan dalam bidang ekonomi dalam masyarakat Towani
Tolotang bukan merupakan factor yang dapat mengangkat status social dari
golongan Tosamamenjadi golongan Uwa atau Uwatta karena system pelapisan social
dikalangan Towani Tolotang bersifat tertutup, dan tidak pernah terjadi pelapisan social
secara vertical.
Mengacu pada otoritas yang dijadikan Towani Tolotangsebagai syarat untuk jadi
seorang pemimpin tertinggi, maka hai ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Weber sebagai pola kepemimpinan otoritas kharismatik (Johson, 1986).
Ukuran lain seperti pewnguasaan ilmu pengetahuan, kedudukan formal serta kekayaan
yang dapat memberikan pengaruh serta menentukan posisi dalam masyarakat yang
menganut system pelapisan terbuka, hampir tidak memberikan pengaruh dalam system
pelapisan social Towani Tolotang sepanjang mereka bukan dari
golongan Uwa, sekalipun menduduki posisi tertinggi dalam dalam strata Tosama.
Sebaliknya seseorang tidak pernah mengikuti pendidikan formal atau hanya
bekerjasebagai petani biasa tetapi mereka berasal dari golongan Uwa yang memiliki
kategori Tiwi Bunga tetap dipandang memiliki kedudukan yang tinggi dalam
masyarakat Towani Tolotang.
Golongan Uwa senantiasa untuk tetap mempertahnkan kemurnian keturunan dalam
rangka kontinuitasnya, mereka menyadari bahwa latar belakang timbulnya penghargaan
dan penilaian berpangkal pada sejarah keberadaan Tolotang, yang meletakkan nilai
tertinggi pada keturunan La Panaungi atauSawerigading yang menurutnya dapat
berkomunikasi denganDewata Sewae merupakan factor yang sangat diperhatikan.
Symbol-simbol budaya yang mencerminkan system berlapis tetap tampak pada
pelaksanaan upacara-upacara yang berkaitan dengan adat dan tradisi mereka, seperti
pada upacara perkawinan, kelahiran anak dan kematian.
Di samping itu symbol ini juga nampak arsitektur bangunan tempat tinggal atau rumah,
di mana rumah yang terdiri atas rumah panggung dengan tiang-tiang bulat atau persegi
delapan bagi golongan Uwa, dan persegi empat bagi golongan Tosama.
Rumah Uwa pada umumnya lebih besar dari rumah masyarakat biasa, dengan
lantai salima yang berlantai dua artinya sebagian lantai lebih rendah dari lantai yang
lain, pada umumnya disebutnya tamping , dan lantai yang lebih tinggi disebut ale bola,
symbol ini juga dapat dilihat pada komunikasi sehari-hari.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Beragama Towani Tolotang
Kehidupan manusia yang terbentang sepanjang sejarah selalu dibayangi oleh agama.
Bahkan, dalam kehidupan yang sekarangpun dengan keajuan teknologi serba modern
manusia tidak bias lepas dari apa yang disebut agama. Agama sebagai suatau kebutuhan
dasar manusia, karena agama sebagai sarana pembelaan diri terhadap segala bentuk
kekacauan yang mengancam kehidupan manusia.
Dalam masyarakat sederhana ciri religious bersama hampir berhimpitan sepenuhnya
dengan kebudayaan. System kepercayaan beragama memasuki seluruh kehidupan
individu maupun kolektif, dalam masyarakat modern agama barangkali dianggap
sebagai suatu hal yang tidak terlalu menentukan. Namun hal ini tidaklah seperti yang
terjadi dikalangan masyarakat Towani Tolotang. Agama sebagai wujud sosial dari rasa
keimanan manusia, dapat memberikan interaksi yang positif pada perkembangan
masyarakat.
Agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku yang diusahakan
oleh suatu masyarakat untuk menangani maslah penting yang tidak dapat dipecahakan
oleh ilmu pengetahuan teknoligi dan manajemen modern. Agama memberikan makna
pada kehiduoan individu dan kelompok, juga member harapan tentang kelanggengan
hidup sesudah mati. Agama dapat dijadikan sarana untuk mengangkat diri dari
kehidupan duniawi, guna mencapai kemandirian spiritual. Agama memperkuat norma-
norma kelompok, sanksi moral untuk perbuatan perorangan, dan menjadi dasar
persamaan tujuan serta nilai-nilai yang menjadi landasan keseimbangan kehidupan
masyarakat.
Iman dan agama sebagai suatu kenyataan yang harus diterima manusia agar dapat
mengusahakan suatu teologi trasformatif bersama, keyakinan iman dan agama yang
diwahyukan Tuhan kepada manusia sebagai suatu konsep untuk sebuah tatanan
kehidupan bersama.
Setiap agama yang ada di muka bumi ini tentunya mempunyai konsep masing-
masing, baik untuk kehidupan duniawi maupun dalam kerangka kehidupan akhirat.
MasyarakatTowani Tolotang yang menganut ajaran agama Tolotangmempercayai
bahwa agama yang mereka unut berasal dariSawerigadign yang
menerima Sadda dari Dewata Sewwae.
Menurut pengikut Towani Tolotang bahwa dunia yang ditempati ini, sesungguhnya
diciptakan oleh Dewata Sewwae, yang pada waktu itu tidak terdapat sesuatu apapun atau
kosong. Pada suatu ketika PatotoE (Pencita alam semesta) bangun dari tempat tidurNya
lalu menayakan keberadaan pesuruhNya Rukkelleng Mpoba, Runa
Makkopong, danSanggiang Pajung. Namun dari laporan pembantuNya yang lain tidak
mengetahui keberadaan mereka. Pada suatu ketika tampaklah Rukkelleng
Mpoba menuju ketempat PatotoEsetelah sampai dia melaporkan adanya tempat yang
masih kosong, sekaligus mengusulakn kepada PatotoE untuk mengutus salah seorang
putraNya diturunkan untuk mengisi bumi yang kosong sebagai mula tau, untuk mejadi
pemimpin di bumi.
Berikut ini penggalan dari dialog pembukaan Surag Galigo;Maddaung wali
Rukkelleng Mpoba, …temmaga Puang muloq seua rijajiammu, tabareq-bareq Puang,
rekkua masuaq tau ri awa lagi, le ri menegna paretiwie mattampa Puang le ri
Batara. Bersimpuh Rukkelleng Mpoba, . . . alangkah baik Tuanku menurunkan seorang
keturunan untuk menjelma di muka bumi agar dunia tidak lagi kosong, dan terang
benderang paras dunia, Engkau bukanlah Dewata selama tak satu manusiapun di kolong
langit, di permukaan bumi, yang menegaskan Paduka sebagai Batara(Arsuka, 2002).
Usulan yang disampaikan oleh Rukkelleng Mpobakemudian dimusyawarahkan
dengan Dewa-dewa yang lainnya, dan menunujuk Batara Guru untuk dijelmakan
sebagai tunas manusia di bumi. Batara Guru sebagai To Manurungge dan sebagai
manusia pertama diturunkan dari langit dengan perantaraan pelangi, dan ditetaskan
lewat sebatabg bamboo betung.
Untuk meneruskan kepemimpinan di muka bumi PattoEjuga menurunkan pasangan
bagi Batara Guru yaitu I Nyili Timo yang kemudian melahirkan putra yang diberi
namaBatara Lattu. Setelah empat generasi dari orang yang pertama diturunkan
oleh PatotoE, maka terjadilah kekacauan dan peperangan antar kelompok di muka bumi
yang membuatPatotoE murka dan menghancurkan dunia samapai kosong kembali
dalam istilah lontaraq disebut Taggilinna Sinapatie.
Setelah beberapa lamanya dunia kosong, maka PattoEmengisi dunia kembali dengan
manusia, pada saat itu menurut kepercayaan pengikut agama Towani
Tolotang diturunkannyaLa Panaungi yang kemudian merumuskan
kepercayaanSawerigading, setelah menerima wahyu dari Dewata Sewwesebagai dasar
keyakinan bagi Towani Tolotang, kepercayaan ini kemudian disebarkan kepada
pengikutnya sampai sekarang.
Ketika agama Islam berkembang di daerah Wajo kelompok ini terdesak, mereka
kemudian mengungsi kedarah Sidenrengdibawah pimpinan I Pabbere dan menetap di
daerah Amparitadan dikuburkan di lokasi yang sekarang dikenal dengan namaPerri
nyameng. Sebelum meninggal I Pabbere berpesan kepada pengikutnya agar tiap
tahunnya menziarahi kuburannya, pesan itulah yang dijalankan orang-orang Towani
Tolotangi diPerri nyameng untuk mengadakan ritus Sipulung.
Perlu dijelaskan bahwa ritus Sipulung yang dilakukan olehTowani
Tolotang bukanlah bentuk penyembahan kepada berhala melainkan sebagai
penghormatan kepada I Pabberesebagai mana yang dikemukakan oleh Uwa La Satti,
(wawancara, 6-10-2003).
Ajaran Towani Tolotang didasarkan pada lima hal yaitu
1. Percaya akan adanya Dewata Sewwae
2. Percaya adanya penerima wahyu
3. Percaya akan adanya kitab suci
4. Percaya akan adanya hari kiamat
5. Percaya akan adanya hari akhirat.
Melihat konsep dasar ajaran Towani Tolotang tidak jauh berbeda dengan Rukun
Iman yang dijadikan dasar dalam ajaran Islam, hanya saja dalam ajaran Towani
Tolotang tidak ada kepercayaan terhadap ketentuan nasib baik dan buruk secara
tersendiri.
Konsep ke Tuhanan dalam kepercayaan Towani Tolotang adalah apa yang
mereka sebut dengan Dewata Sewwae. Dewata berarti Dewa atau Tuhan
sedangkan Sewwaeartinya satu atau Esa. Dewata Sewwae sebagai Zat yang disembah
mempunyai sifat antara lain, Maha Pemberi, Maha Pengampun, Maha Kuasa.
Penganut Towani Tolotang dalam kehidupannya sehari-hari dipengaruhi oleh
keyakinan terhadap Dewata Sewwaeyang kemudian membentuk suatu sikap hidup
tertyentu dalam diri pengikut Towani Tolotang; mengakui bahwa tiada yang
patut disembah kecua;I Dewata Sewwae, melakukan kewajiban bagi masyarakat
Towani Tolotang yang mereka sebut dengan istilah molalaleng, member bakti social
terhadap sesame, marellau atau berdoa; mappala wali ri paratiwie marellau ri botting
langi, serta meyakini bahwa Dewata Sewwae; mampancaji tenri pancaji,makkole tenri
kelori, makkita mata, tennaita mata Iyamaneng makkelori, serta semua yang tampak dan
yang gaib adalah kekuasanNya.
Dalam keyakinan Towani Tolotang dikenal pula adanyaSadda atau wahyu dan
orang yang menerima wahyu, orang yang pertama menerima wahyu
adalah Sawerigading, beliaulah yang menyebarkan ajaran-ajaran dari Dewata
Sewwae yang diperoleh melaui Sadda. Sepeniggal Sewarigading dan setelah
pengikutnya musnah karena telah banyak berbuat kerusakan, maka Dewata
Sewwae mengutus La Panaungi yang juga menerima sadda untuk melanjukan ajaran
serta meluruskan penyimpangan yang terjadi.
Ada satu keyakinan yang masih dipercayai Towani Tolotang bahwa La
Panaungi belum meninggal tetapi diamallang (diangkat ke langit). Sebelum pergi La
Panaungiberpesan kepada kaumnya agar ajaran ini dipertahankan sampai Dia turun
kembali ke bumi, pesan ini dipindahkan turun temurun secara lisan dan diperpegangi
oleh Towani Toltang.
Setiap agama tentunya mempunyai kitab suci yang dijadikan sebagai pedoman
dalam beribadat dan kontak social dengan anggota masyarakat yang lainnya. Kitab suci
yang dijadikan pegangan oleh Towani Tolotang adalah kitab Lontara yang lazimnya
disebut Sure Galigo yang berisi empat uraian pokok yaitu ; Mula ulona Batara Guru,
Taggilinna Sinapatie, Itebbanna Walanrange, Appongenna Towanie.Lontara ini berisi
petunjuk-petunjuk dan ajaran tentang kehidupan sebelum adanya dunia ini sampai
setelah berakhirnya kehidupan di bumi.
Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan mengenai kisahMula Ulona Batara
Guru yang berisi tentang asal usul manusia di bumi begitu juga dengan Taggilinna
Sinapatiedimana menerangkan tentang pengisian kembali bumi setelah pengosongan
akibat kekacauan yang terjadi. Sedangkan apa yang dipahami Towani
Tolotang tentang Ritebbanna Walanrangge, adalah kisah ditebangnya sebuah pohon
ajaib untuk dijadikan perahu oleh La Galigo yang dijadikan kapal berlayar ke negeri
Cina, tiga konsep ini mirip dengan kisah dalam epos La Galigo.
Bagian terakhir dari keyakinan Towani Tolotang adalahAppongenna
Towanie, adalah riwayat ketika La Panaungimenerima Sadda dari Dewata Sewwae,
sebagai petunjuk kehidupan di dunia dan di akhrat nanti. Disamping kitab lontara yang
menjadi pedoman Towani Tolotang juga terdapat apa yang mereka
sebut paseng dan pemmali sebagai salah satu sumber ajaran tentang nilai dan norma.
Penganut Towani Tolotang juga meyakini adanya kehidupan sesudah mati, atau
hari kemudian, yang mereka sebut lino paimeng, sebagai hari pembalasan, mereka yang
salama hidup di dunia taat pada aturan agama dan Uwa akan ditempatkan di Lipu
Bonga, semacam syurga bagi ummat Islam. Untuk mendapatkan keselamatan hidup di
akhirat maka manusia harus mengtahui tujuan hidupnya.
Pengabdian kepada Dewata Sewwae melalui wakil mereka yaitu Uwa yang
disebut molalaleng berupa kewajiban yang harus dijalankan. Kewajiban ini berupa ritual
seperti;mappenrei nanre sebagai bekal dihari akhirat, kewajiban semacam ini juga
dilaksanakan pada saat melaksanakan pernikahan, acara kematian dan kelahiran bayi,
disamping itu ada juga ritual tudang sipulung biasanya hal ini dilakukan ketika akan
memulai sebuah pekerjaan. Pada umumnya kegiatan tersebut dikenal dengan
istilah makkasiwiang (beribadah).
Upacara mappenrei nanre adalah sebuah bentuk peribadatan kepada Tuhan
dengan melalui perantara Uwa atauUwatta, secara harfiah mappenrai nanre adalah
menaikkan nasi atau membawa nasi kerumah Uwa atau Uwatta, maksudnya suatu
bentuk peribadatan dengan menyarahkan nasi lengkap dengan lauknya yang terdiri dari
lima macam; Salonde, Tumpi-tumpi, bajabu bale, dan manuk mallibu (ayam yang
dimasak dalam keadaan utuh). Penyerahan ini dilakukan di
rumah Uwa atau Uwatta, dengan posisi saling berhadapan, kalau dulunya persembahan
diletakkan dalam bakul-bakul khusus yang dibuat dari daun lontar dianyam segi empat,
atasnya berbentuk bundar lengkap dengan penutupnya.
Malinoswski berpendapat bahwa upacara merupakan sarana untuk
mengungkapkan perasaan pribadi secara kolektif dengan cara yang direstui masyarakat,
dan upacara upacara seperti ini sering dilaksanakan pada masyarakat yang hidup dari
pertanian. Upacara tersebut menunjukkan sikap hormat pada sang pencipta dan
keseburan di dalam alam di mana manusia hidup dan bergantung (Haviland, 1993).
Seiring dengan perkembangan jaman dalam hal tempat yang dipakai
untuk mappenrei nanre bukan lagi bakul yang terbuat dari daun lontar melainkan panic
kembang berukuran besar. Dalam hal jumlah berapa banyak yang harus diserahkan tidak
ada ketentuan khusus, hal ini tergantung pada kemampuan serta keihklasan seseorang,
yang pasti semakin banyak jumlah yang dipersembahkan semakin besar pula pahala
yang akan diterima dihari kemudian.
Persembahan yang dilakukan oleh Towani Tolotangbeumlah dianggap sempurna
bila tidak disertai rekko ota (daun sirih yang dibentuk dengan lipatan khusus), hal ini
merupakan lambang pemberitahuan kepada Dewata Sewwae bahwa seseorang akan
menyarahkan nasi sebagai sajian untuk pengabdian, demikian juga sebaliknya daun sirih
tanpa nasi tidak dapat diterima. Sesajen yang diserahkan
kepada Uwa atauUwatta setelah dibacakan doa keselamatan dalam bahasa bugis
sebagian akan dikembalikan kepada orang yang member sesajen itu untuk dimakan
secara bersama-sama dan sisanya ditinggal untuk Uwa atau Uwatta, sementara daun
sirih diserahkan kepada orang yang memberikan sesajen untuk kemudian dijadikan
sebagai penagkal kesialan atau jimat-jimat untuk keselamatan, daun sirih itu dipercayai
sangat ampuh sebagai mana yang diceritakan I Mase’ kepada penulis (9-9-2003).
Bentuk kegiatan social dalam kehidupan Towani Tolotang juga merupakan
peribadatan kepada Dewata, besar kecilnya partisipasi anggota masyarakat terhadap
suatu kegiatan akan mempengaruhi kehidupan mereka kelak dikemudian hari.
Penganut Towani Tolotang juga mempercayai adanya hari kiamat yang
disebut asolangeng lino, kehancuran alam, dimana semua manusia akan mati kemudian
dibangkitkan kembali untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatannya pada masa
hidup di dunia.
Dalam system kepercayaan Towani Tolotang terdapat ritual yang harus
dijalankan sebagai bentuk kepercayaan manusia kepada Tuhan. System upacara ini
sendiri tidak lain merupakan tingkah laku yang berkaitan dengan kemampuan di luar
kekuatan manusia, dan system pewarisan keyakinan ini diturunkan dari generasi ke
generasi berikutnya.
Malinowski berpendapat bahwa upacara atau ritual yang dilakukan merupakan
sarana untuk secara kolektif mengungkapkan perasaan pribadi dengan cara yang direstui
oleh masyarakat, sambil menjaga persatuan dan menghindari terjadinya perpecahan
dalam masyarakat. Ritual yang dilakukan tiap tahunnya dimaksudkan untuk
menghormati kekuatan Pencipta dan kesuburan di dalam alam sebagai tempat
bergantungnya kehidupan manusia.
Keikut sertaan dalam kegiatan ritual yang memperkuat keterlibatan kelompok,
keikutsertaan juga merupakan latihan untuk menghadapi situasi yang kritis serta
memperkuat sikap penyadaran diri pada kekuatan supernatural, yang dengan mudah
dapat digerakkan dalam keadaan tegang yang menuntut agar orang tidak mudah
menyarah pada kegelisahan dan ketakutan (Haviland, 1983).
B. Konsep Sosial Towani Tolotang
Dalam kehidupan bermasyarakat tentunya ada beberapa hal yang menjamin
terjalinnya kehidupan yang harmonis sehingga tidak terjadi kekacauan dalam
masyarakat tersebut. Untuk menertibkan kontak social dalam masyarakat diperlukan
norma-norma yang bersiafat mengikat setiap anggota masyarakat secara keseluruhan.
Norma yang berlaku dalam setiap masyarakat tentunya berbeda antar satu
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya hal ini ditentukan oleh kondisi
lingkungan setempat, bahkan dalam sutu suku kadang ada perbedaan yang mendasar
tentang ajaran norma atau konsep terhap system social yang diterapkan.
Suatu system nilai atau norma merupakan suatu rangkaian konsepsi abstrak yang
hidup dalam alam pikiran masyarakat yang tidak hanya menilai tentang apa yang
dianggap penting dan berharga namun juga menilai tentang hal-hal yang dianggap
remeh dan tidak berharga dalam hidup.
Norma berfungsi sebagai pedoman dan pendorong manusia dalam melakukan
interaksi social, system norma yang sudah berakar dalam masyarakat biasanya akan
bersifat mengikat anggotanya dengan berbagai aturan dan sangsi terhadap sebuah
pelanggaran, meskipun peraturan ini tidak tertulis sebagai mana hokum formal akan
tetapi mampu menjadi filter dalam mengontrol pola pergaulan masyarakat.
System nilai walaupun merupakan suatu konsepsi yang abstrak, namun mampu
mempengaruhi tindakan manusia secara langsung, hal ini dikarenakan kebutuhan
manusia terhadap sesamanya dalam artian bahwa tidak ada manusia yang mampu untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan orang lain, sehingga membantuk suatu
pola pikir untuk tetap mempertimbangkan kepentingan orang lain.
Sajogyo (1999), mengtakan bahwa norma adalah tata kelakuan dan pedoman
yang sesungguhnya untuk sebagian besar dari tindakan manusia dalam masyarakat.
Bentuk nyata dari norma tersebut bermacam-macam, ada yang berbentuk aturan adat,
aturan tentang sopan santun pergaulan dan lain sebagainya, dan berlaku sesuai fungsinya
masing-masing guna mengatur kehidupan masyarakat yang kompleks.
Towani Tolotang sebagai sebuah komunitas agama mempunyai norma tersendiri
dalam melakukan interaksi social, dan norma yang berlaku dikalangan mereka bersifat
mengikat anggota masyarakat dengan berbagai aturan yang harus ditaati serta berbagai
ganjaran yang harus diterima oleh orang-orang yang lalai dalam menjalankan norma
yang ada.
Interkasi social yang terjadi di kelaurahan Amparita yang dihuni oleh tiga
kelompok masyarakat yang mempunyai cirri dan konsep social sendiri yakni : Towani
Tolotang, Tolotang Benteng, dan Islam. Ketiga kelompok ini tidak menempati koloni
tertentu di kelurahan Amparita, tetapi mendirikan rumah secara bercampur, sehingga
interaksi social yang terjadi tidak saja terjadi antara golongan sendiri akan tetapi juga
terjadi interaksi dengan kelompok lain, dan setiap golongan mempunyai konsep
tersendiri tentang kehidupan social.
Setiap konsep yang berlaku dalam suatu masyarakat bukanlah meruapakan
model-model pemikiran yang dipaksakan dari luar, tetapi harus berkaitan dengan
kondisi yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Konsep social adalah
penafsiran denga mengeluarkan makna tertentu supaya lebih jelas dan
menhubungkannya dengan makna lain dan berbagai system makna yang ada dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Towani Tolotang berpegang teguh
pada paseng dan pemmali yang secara turun-temurun diwariskan dalam keluarga
masing-masing. Pewarisan nilai-nilai luhur dalam keluarga merupakan kwajiban oleh
penganut agama Towani Tolotang hal ini diungkapkan dengan istilah tomatoanna
jellokangngi laleng anakna artinya orang tua seharusnya memberikan petunjuk kepada
anaknya, paseng dan pemmali inilah yang dianggap penganut agama Towani
Tolotang konsep social yang harus diperpegangi oleh setiap masyarakat yang lainnya.
Wawancara dengan Uwa’ La Ondo (24-09-2003).
Dalam pembetukan sikap peribadi dan sikap hidup bermasyarakat tiap anggota
masyarakat Towani Tolotang wajib berpegang pada sifat-sifat utama sebagai konsep
social masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Uwatta Battoae Uwa Tembong (06-
10-2003).
1. Lempu atau kejujuran
2. Getteng atau sikap tegas
3. Tettong atau ketetapan hati konsekwen
4. Tongeng atau benar
5. Temmapasilaingeng atau bersikap adil.
Kelima konsep social yang disebutkan tentunya mempunyai makna yang dalam
bagi setiap penganut Towani Tolotang. Untuk mengatahui makna dari konsep social
yang dikemukana di atas akan dibahas satu persatu, dalam pembahasan ini secara
terinci.
Kelima konsep yang dikemukakan meskipun sama dengan konsep social yang
dijadikan dasar oleh orang Bugis, namun hal itu merupakan konsep asli Towani
Tolotang, hal ini juga tidak terlepas dari sejarah Towani Tolotang sendiri yang memang
merupakan keturunan orang-orang Bugis. Konsep social ini dikuatkan dengan adanya
pernyataan Towani Tolotang yang mengaku tidak lagi mengikuti ajaranSawerigading,
melainkan hanya mengikuti ajaran La Panaungi.
1. Lempu atau kejujuran
Memelihara sifat-sifat utama dalam kehidupan ini bagiTowani
Tolotang, merupakan suatu keharusan, hal ini dikarenkan untuk dapat tetap hidup
berdampingan dengan anggota masyarakat yang lainnya dibutuhkan sifat-sifat utama,
seseorang yangtidak mampu mempertahankan sifat-sifat utama akan dikucilkan dalam
kehidupan bermasyarakat.
Menurut masyarakat Towani Tolotang, yang menentukan kemanusian seorang
manusia ialah berfungsinya sifat-sifat kemanusiaan, sehingga orang menjadi manusia
adalah yang mampu menjaga sifat-sifat utama. Sifat-sifat utama harus ditampilkan
peranannya dalam tiap kegiatan, baik dikalangan individu maupun institusi
kemasyarakatan, nilai-nilai inilah yang dilestarikan masyarakat Towani Tolotang dari
generasi kegenerasi secara turun temurun dalam membina pranata social yang ada.
Salah satu sifat utama masyarakat Towani Tolotangadalah lempu yang secara
bahasa dalam bahasa Bugis berarti jujur atau berlaku adil namun secara makna
kata lempu atau jujur dalam hal ini tidak diartikan secara sempit, namun harus diartikan
secara luas.
Kata jujur dalam konsep ini adalah kemampuan seseorang berlaku jujur terhadap
sesama manusia dan ciptaan Tuhan. Seseorang tidak hanya dituntut untuk jujur kepada
orang lain akan tetapi kejujuran ini harus diterapkan pada diri sendiri, termasuk
kepada Dewata Sewwae, walaupun pada dasarnya Dewata Sewwae menegetahui segala
bentuk kegiatan manusia di bumi ini.
Lempu juga berarti kesalehan hati yang dimiliki seseorang dari perbuatan-
perbuatan yang dilarang agama, serta menepati janji, baik yang terlahir dalam bentuk
perbuatan maupun dalam masalah niat. Kejujuran juga merupakan patokan dalam
pergaulan sehari-hari baik itu dengan masyarakat Towani Tolotang sendiri maupun
masyarakat yang berada di luarTowani Tolotang.
Menurut Uwa Sandi Tonang (wawancara, 6-10-2003), sesorang yang dalam
pergaulan sehari-hari tidak mampu untuk berlaku jujur, akan dikucilkan dari pergaulan
masyarakat, ada empat macam perbuatan jujur; yaitu memaafkan orang yang berbuat
salah kepada kita, tidak menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan, tidak serakah
terhadap barang-barang yang bukan miliknya atau milik orang lain, dan tidak
memandang sebuah kebaikan jika dinikmati sendiri, akan tetapi kebaikan itu adalah hal
yang dinikmati bersama oleh anggota masyarakat.
Sikap jujur terhadap sesema mahluk akan menciptakan suatu tatanan kehidupan
social yang harmonis, karena sifat tersebut bisa membuat masyarakat yang lainnya
terpengaruh pada sisfat-sifat yang tidak meruak system social yang telah tertata rapi
dalam lingkungan masyarakat Towani Tolotang.Dalam ajaran agama Towani
Tolotang seseorang yang tidak berlaku jujur akan dosa serta ganjaran yang setimpal
dariDewata Sewwae.
Lempu juga di sini mengandung empat unsure yakni ; jujur kepada Dewata
Sewwae, jujur terhadap diri sendiri, jujur tehadap sesama manusia dan jujur tehadap
sesame ciptaanDewata Sewwae. Ke empat unsur kejujuran ini oleh setiap
penganut Towani Tolotang sangat dijunjung tinggi karena merupakan manifestasi dari
tingkah laku yang akan memberikan ketentraman lahir dan batin.
2. Getteng atau Tegas
Dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungan Towani Tolotang diperlukan
suatu sikap kemandirian yang mantap, dalam artian bahwa setiap anggota masyarakat
harus mempunyai sikap getteng yang secara bahasa berarti tegas. Sikap tegas diperlukan
dalam rangka pengambilan suatu keputusan dalam masalah-masalah yang timbul dalam
proses social, setiap individu dituntut berani dalam mengambil suatu keputusan
sehingga nanti tidak terjadi pnyesalan.
Menurut Uwa Sandi Tonang (wawancara, 6-10-2003) sikap getteng, merupakan
factor penting dalam membina masyarakat karena getteng merupakan cerminan jiwa
kemanusiaan yang tinggi jiwa dedikasinya, dan selalu berorientasi kemasa depan dan
pembaharuan. Sikap gettengharus dimiliki oleh setiap pemimpin sebagai panutan dalam
masyarakat, getteng harus ditanamkan kepada seluruh lapisan masyarakat mulai dari
tingkat yang terendah samapai pada tingkat yang tetinggi.
Lapisan yang pertama wajib memberikan teladan yang baik pada masyarakat,
tetapi manakala pada lapisan pertama tidak dapat memberikan contoh yang baik maka
akan sulit untuk menerapkan pada lapisan masyarakat umum, lebih lanjutUwa Sandi
Tonang menagatakan bahwa, sikap getteng dari seorang pemimpin menentukan sikap
dan tingkah lakunya dalam masyarakat. Intelektual dan tingkat pendidikan suatu
masyarakat bukan jaminan akan kemajuan dan tingginya peradaban yang dimilikinya,
akan tetapi hal itu akan ditentukan oleh sikap tegas dan keberanian pemimpin dalam
mengambil keputusan.
3. Tettong atau konsekuen
Konsep social ketiga yang dimiliki Towani Tolotang adalahtettong dalam bahasa
bugis tettong diartikan berdiri, namun dalam hal ini kata tettong berarti konsekuen atau
teguh dalam pendiriannya, sebagai sebuah bentuk sikap yang tidak mudah terkena
pengaruh dan godaan, terutama dalam mengamalka ajaran Towani Tolotang, tettong di
sini juga diartikan sebagai bentuk pertanggung jawaban dari apa yang telah dilakukan
manusia.
Sulit membedakan antara konsep-konsep social yang diperkenalkan Towani
Tolotang karena memiliki pengertian yang hampir sama, namun apa bila dicermati maka
akan didapati celah atau perbedaan tetapi masih saling terkait antara konsep yang satu
dengan konsep yang lainnya.
Konsep tettong sebagai salah satu sifat utama yang harus dimiliki Towani
Tolotang, dipahami sebagai kemampuan anggota masyarakat dalam menepati apa yang
pernah diungkapkannya, satunya kata dengan perbuatan, dikalanganTowani
Tolotang seseorang akan disebut tau apabila ia mampu untuk memproses diri atau
pemutuan diri yang berawal dari sadda, bunyi atau suara dari Dewata Sewwae, sebagai
tahap alamiah, lalu proses ini berlanjut pada tingkatan ada atau perkataan, pada
tingkatan ini proses manusia mulai pada jenjang social budaya.
Perkataan manusia merupakan pegangan yang akan dijadikan dasar bagi individu yang
lain dalam menilai individu yang bersangkutan, apabila individu mampu untik tetap
menjaga adayang pernah dikeluarkannya, seterusnya manusia akan masuk dalam
tingkatan pembuktian berupa gau, rangkaian tindakan yang dilakukan dalam proses
berinteraksi dengan individu lainnya.
Dari proses yang telah dikemukakan dapat dipahami bahwa untuk mencapai individu
menjadi tau atau manusia paripurna, eksis meng-ada, harus melalui beberapa tahapan.
Kemampuan individu menjadi tau adalah subtansi dari sifat tettong yang menempatkan
individu dalam martabat dan harga diri.