Upload
fandy
View
73
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Agama Khonghucu, Confucian study as religion and philosophy,
Citation preview
1
MEMAHAMI RU JIAO SEBAGAI AGAMA DAN FILSAFAT
(Dq. Fandy Maramis)
I. Pendahuluan
Selama ini banyak orang dari luar Ru Jiao dan bahkan dari kalangan Ru Jiao sendiri yang
masih bingung dan salah paham mengenai status Ru Jiao sebagai agama atau sebagai filsafat.
Banyak diantara umat Ru yang kurang dapat menjelaskan status Ru Jiao ketika ditanya tentang
dasar Ru Jiao sebagai agama. Selain itu juga terdapat banyak umat Ru yang belum bersedia untuk
memahami Ru Jiao dari sisi bathin karena mayoritas memahami hanya dari sisi penalaran.
Tulisan-tulisan mengenai Ru Jiao yang banyak beredar di luar negeri karya pemikir Barat
cenderung menjelaskan Ru Jiao secara berat sebelah dan tidak adil. Pemikir Barat tersebut tidak
mengimani Ru Jiao dan beriman lain. Mereka selalu menggunakan terminologi iman mereka untuk
memahami terminologi iman Ru Jiao. Mayoritas para pemikir Barat memandang Ru Jiao hanya
sebagai suatu filsafat moral/etika, ada beberapa yang masih kebingungan untuk mendefinisikan Ru
Jiao sebagai suatu agama atau filsafat, dan ada sedikit yang memahami Ru Jiao sebagai agama.
Tulisan-tulisan tersebut ada yang beredar di Indonesia dalam bentuk buku yang kemudian banyak
digunakan oleh umat agama lain untuk mencari tahu soal Ru Jiao. Banyak di antara mereka yang
langsung mempercayai tulisan tersebut dan menganggap sudah tahu tentang agama Khonghucu
hanya dari buku tersebut.
Tulisan-tulisan mengenai Ru Jiao karya pemikir Timur modern meskipun lebih minim
dibandingkan para pemikir Barat tetapi masih lebih baik dalam menjelaskan Ru Jiao meskipun
sedikit jumlahnya yang dapat menjelaskan dan memahami Ru Jiao sebagai agama. Mayoritas para
pemikir Timur yang memahami Ru Jiao sebagai agama hanya memahami Ru Jiao dari sisi
penalaran. Berdasarkan hal tersebut hati penulis tergerak untuk menulis makalah untuk memahami
Ru Jiao sebagai filsafat dan sebagai agama.
Penulis sengaja membedakan sudut pandang untuk memahami Ru Jiao dari sisi nalar dan sisi
bathin untuk memperjelas perbedaannya. Hal ini diperlukan karena banyak umat Ru yang
memahami Ru Jiao dengan pendekatan nalar yang lebih dominan dibandingkan bathin, padahal
untuk memahami agama diperlukan pendekatan bathin yang lebih dominan daripada nalar. Dalam
penulisan makalah ini, penulis menggunakan suatu batasan pada sisi nalar agar pembahasan tidak
terlalu melebar. Penulis membatasi untuk banyak membahas Ru Jiao dari sisi nalar dengan pokok
bahasan tentang Ketuhanan karena hal tersebut merupakan dasar dari keberadaan agama.
2
II. Filsafat Ketuhanan [1]
Manusia memiliki kemampuan yang terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya
menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu di luar dirinya yang bersifat tidak terbatas. Sesuatu yang
tidak terbatas itu disebut oleh manusia secara bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusia
sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Tian, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya
saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll. Dalam makalah ini
penulis hanya akan menggunakan dua istilah, yang pertama adalah Tuhan dan yang kedua adalah
TIAN.
Dorongan untuk mengetahui tentang Tuhan ini semakin kuat ketika manusia dihadapkan pada
pengakuan akan keterbatasannya. Dari lubuk hati yang terdalam, manusia terdorong untuk
berhubungan dengan Tuhan. Pada perkembangan selanjutnya, terdapat dua macam pendekatan
untuk berhubungan dengan Tuhan. Yang pertama adalah pendekatan dengan nalar yang dominan
disebut filsafat Ketuhanan dan yang kedua adalah pendekatan dengan bathin yang dominan disebut
dengan agama.
Penulis perlu untuk membagi pembahasan dengan sudut pandang yang berbeda untuk
memahami Tuhan. Hal tersebut diperlukan karena setiap manusia mempunyai proses yang berbeda-
beda untuk memahami sesuatu hal. Pada mulanya penulis sendiri juga memahami akan keberadaan
Tuhan dengan nalar terlebih dahulu baru bisa memahami dengan bathin dan akhirnya bersedia
untuk beragama. Pada pemahaman selanjutnya, penulis mengalami keterbatasan dalam pemahaman
akan Tuhan dengan menggunakan nalar. Banyak sekali pertanyaan yang muncul di pikiran penulis
tentang Tuhan yang tidak terjawab. Berdasarkan itulah penulis mencoba untuk memahami Tuhan
dengan bathin. Proses pemahaman menjadi terintegrasi dengan lebih baik, pertanyaan-pertanyaan
tentang Tuhan yang sebelumnya tidak terjawab menjadi terjawab.
II.1. Filsafat Ketuhanan Barat [2], [3]
Filsafat Barat dan Timur memiliki warna yang berbeda dalam menjelaskan tentang
ketuhanan. Penulis akan membahas kedua macam filsafat tersebut secara singkat. Pada bagian yang
pertama ini, penulis akan membahas filsafat Ketuhanan Barat. Definisi kata filsafat menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia ada 4, yaitu :
1. Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yg ada, sebab,
asal, dan hukumnya.
2. Teori yg mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan.
3. Ilmu yg berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.
4. Falsafah
3
Dari ke-empat macam definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam filsafat, suatu
hal dijadikan subjek atau objek untuk dikaji secara mendalam menggunakan nalar. Yang akan
dibahas dengan filsafat untuk sub bab ini adalah Tuhan. Oleh karena itu sub bab ini dinamakan
filsafat Ketuhanan.
Hal paling penting yang perlu dibahas pertama-tama adalah tentang keberadaan segala
sesuatu di dunia. Dari dulu hingga sekarang manusia selalu bertanya tentang asal mulanya. Terdapat
bermacam-macam pendapat yang menjelaskan hal tersebut tetapi secara umum mempunyai suatu
kesimpulan yang hampir sama. Pada dasarnya ada sang pencipta yang menciptakan segala sesuatu
di dunia ini. Para pemikir yang tidak sependapat dengan konsep tersebut mengungkapkan ide bahwa
segala sesuatu di dunia ini tercipta sebagai suatu “kebetulan” (tidak ada yang mengadakan).
Kedua pendapat tersebut menggunakan nalar untuk menjelaskan tentang keberadaan segala
sesuatu di dunia. Secara logika, pendapat pertama lebih masuk akal daripada pendapat kedua. Hal
ini dapat dicontohkan dengan suatu kejadian nyata dalam kehidupan sehari-hari, nasi goreng bisa
ada karena ada yang membuat nasi, bumbu, dan memasaknya. Tidak bisa diterima dengan logika
bahwa nasi goreng ada karena suatu kebetulan (tidak ada yang mengadakan).
Dalam perkembangan berikutnya dua macam pemikiran tersebut semakin berkembang
dengan baik. Pemikiran yang menolak tentang keberadaan Sang Pencipta/Tuhan dan sistem yang
mengaturnya (agama) dengan nalarnya disebut dengan istilah Ateisme dan Agnostisisme. Ateisme
merupakan suatu paham yang tidak mengakui adanya Tuhan sedangkan Agnostisisme adalah suatu
paham yang mempertahankan pendirian bahwa manusia tidak mampu dengan nalarnya untuk
mengetahui tentang Tuhan.
Dalam menjelaskan filsafat ketuhanan Barat, penulis hanya mengambil beberapa teori yang
penulis anggap cukup baik dalam mewakili keperluan penjelasan yang dibutuhkan. Hal tersebut
untuk menghindari perluasan pembahasan. Penulis membatasi untuk membahas filsafat ketuhanan
Barat secara “singkat” pada bagian Ateisme, Agnostisisme, dan Jalan ke Tuhan.
Ateisme
Ateisme berkembang dengan berbagai macam sudut pandang yang beragam. Beragam sudut
pandang tersebut menyatakan bahwa :
1. Agama merupakan proyeksi hakikat manusia yang terasing (Feuerbach)
2. Agama merupakan khayalan manusia tertindas (Marx)
3. Agama merupakan pelarian manusia dari dirinya sendiri (Nietzsche)
4. Agama adalah neurosis kolektif, akibat kegagalan manusia dalam mengakomodasi dorongan-
dorongan batin dan realitas secara wajar (Freud)
5. Agama adalah ketakutan manusia terhadap kebebasannya (Sartre)
4
Semua sudut pandang para pemikir Ateis di atas gagal dalam membuktikan dengan
memberikan dasar objektif dan meyakinkan bahwa Tuhan tidak ada. Semua filsuf di atas tidak
menyinggung pertanyaan dasar tentang keberadaan Tuhan. Selain tentang Tuhan, Ateisme juga
gagal menjelaskan tentang keberadaan agama. Ateisme tidak dapat menjelaskan mengapa manusia
percaya pada Tuhan dan bersedia mengatur seluruh hidup sesuai dengan kepercayaan (agama) itu
kalau tidak ada Tuhan.
Sudut pandang para pemikir Ateis di atas lebih bersifat ideologis dibandingkan secara ilmiah.
Karena alasan ideologis, manusia tidak mau bahwa ada Tuhan, maka ia menciptakan teori untuk
membuktikannya. Ide pokok Ateisme tentang tidak ada Tuhan juga tidak dapat dibuktikan. Jika kita
menggunakan nalar kita maka keberadaan suatu hal hanya bisa dibuktikan jika dalam suatu ruang
lingkup yang terbatas (kita bisa mengetahui bahwa tidak ada uang di tangan saya, tetapi bagaimana
kita bisa tahu bahwa Tuhan tidak ada ?). Dalam hal ini, Ateisme menyangkal akan adanya hal-hal
yang bersifat metafisik.
Agnostisisme
Agnostisisme lebih toleran dibandingkan Ateisme. Agnostisisme tidak menolak adanya Tuhan,
tetapi juga tidak mau mengakui adanya Tuhan secara nalar (Tuhan dianggap berada di luar cakupan
filsafat). Bagi seorang Agnostis, kepercayaan tentang Tuhan hanya merupakan suatu pendapat yang
bersifat privasi semata. Sudut pandang pemikiran Agnostisisme yang paling terkenal adalah :
1. Epistemologi Kant yang menyangkal bahwa orang dapat mengetahui sesuatu tentang Tuhan
2. Positivisme Logis yang menyangkal makna wacana metafisik dan etika
3. Prinsip falsifikasi Popper pada hal ketuhanan (Antony Flew)
4. Penolakan kemungkinan sebuah pendasaran akhir (Hans Albert)
Agnostisisme membatasi nalar manusia untuk berkembang dalam memikirkan Tuhan. Dalam
kehidupan nyata, tidak ada manusia yang tidak pernah tidak menggunakan nalarnya untuk mencoba
memahami Tuhan. Dalam proses pemahaman tentang Tuhan, manusia pasti menggunakan nalarnya.
Yang perlu dipikirkan adalah sampai di manakah kapasitas nalar dalam menjelaskan tentang Tuhan
dan fenomena hal ketuhanan.
Jalan ke Tuhan
Dalam menanggapi Ateisme dan Agnostisisme, para pemikir Barat mengajukan teorinya
tentang pendekatan nalar untuk memahami Tuhan. Pendekatan tersebut antara lain :
1. Pembuktian Ontologis
Orang yang pertama kali mengemukakan pendapat ini adalah Anselmus dari Canterbury.
Argumentasinya berjalan seperti berikut :
5
Tuhan adalah “pengada yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya”.
Namun, “sesuatu yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya” tentu
bereksistensi dalam kenyataan dan bukan hanya dalam pikiran, karena kalau eksistensinya hanya
dalam pikiran orang yang memikirkannya, maka tentu ada sesuatu yang lebih besar yang dapat
dipikirkan daripadanya, yaitu “yang nyata-nyata ada di luar pikiran”.
Inti dari pemikiran Anselmus adalah bahwa kalau kita “memikirkan” Tuhan sebagai “sesuatu
yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya” maka Tuhan harus dipikirkan
sebagai bereksistensi dengan mutlak. Tetapi apakah memang ada “sesuatu yang tidak dapat
dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya”, sama sekali belum terjawab. Pertanyaan tentang
“apakah Tuhan ada” tidak dapat dijawab hanya dengan memikirkannya.
2. Dari Realitas Terbatas Menuju Realitas Mutlak
Orang yang mengemukakan pendapat ini adalah Henry de Lubac. Argumentasinya adalah
sebagai berikut :
Ditegaskan bahwa kalau ada sesuatu, maka harus ada “yang mutlak”. Diperlihatkan bahwa
segenap realitas yang berubah-ubah tidak mungkin mutlak. Ditarik kesimpulan bahwa selain realitas
yang berubah-ubah pasti ada yang lain lagi “yang mutlak”, yang tidak sama dengan realitas yang
berubah-ubah itu.
Inti dari argumentasi di atas adalah bahwa kalau ada realitas yang relatif, maka juga ada realitas
mutlak. Tetapi apakah realitas mutlak itu adalah Tuhan belum dapat dipastikan. Argumentasi di atas
dengan sangat tegas menolak konsep materialisme yang menyatakan bahwa yang ada hanyalah
sesuatu yang empiris.
3. Keterarahan Alam
Orang yang mengemukakan pendapat ini adalah Thomas Aquinas. Argumentasinya adalah
sebagai berikut :
Dalam alam semesta terdapat proses-proses yang terarah ke suatu tujuan. Keterarahan itu tidak
dapat dijelaskan sebagai kejadian kebetulan. Apabila proses-proses itu bukan kebetulan, proses-
proses itu merupakan suatu hasil pengarahan. Maka proses-proses terarah dalam alam semesta
menunjuk pada realitas yang mengarahkan. Realitas itu adalah apa yang kita sebut Tuhan.
Kita memang tidak dapat membuktikan secara tak terbantah adanya Tuhan dari proses
keterarahan alam semesta. Bagi orang yang percaya kepada Tuhan, keterarahan alam semesta
merupakan bukti kuat tentang adanya Tuhan, tetapi orang yang tidak percaya pada Tuhan,
meskipun tidak bersedia untuk mengakui hal tersebut, seharusnya menyetujui bahwa “kalau ada
Tuhan”, kenyataan di alam semesta jauh lebih masuk akal.
6
4. Manusia dan Tuntutan Mutlak dalam Kesadaran Moral
Pendapat ini dikemukakan oleh John Henry Newman, seorang teolog dan kardinal Inggris besar
yang menunjuk pada suara hati manusia sebagai tempat manusia bersentuhan dengan realitas Ilahi.
Pendapat Newman tersebut adalah :
Manusia adalah makhluk yang berkesadaran moral (mempunyai suara hati). Dalam kesadaran
moral manusia sadar bahwa ia mutlak wajib untuk memilih yang benar. Kesadaran itu berakar
dalam hati nurani. Kesadaran akan kewajiban mutlak ini tidak berasal dari dunia luar dan juga tidak
dari diri kita sendiri. Kesadaran itu kita sadari langsung sebagai jawaban terhadap suatu tuntutan
dari sebuah realitas yang kita hadapi, daripadanya kita tidak dapat lari, di mana sikap terhadapnya
menentukan kualitas kita sebagai manusia. Realitas itu bersifat mutlak, personal, dan suci dan itulah
yang kita sebut Tuhan.
Menurut Emmanuel Levinas moralitas adalah pengalaman paling dasar manusia. Dalam analisa
eksistensial-fenomologis paling dasariah, menunjukkan bahwa pengalaman moral adalah titik tolak
segala kesadaran, sikap dan dimensi penghayatan manusia. Pengalaman dasariah itu sekaligus
merupakan kesadaran akan adanya Yang Ilahi di belakangnya.
Pendekatan moralitas yang digunakan oleh kedua pemikir Barat di atas sudah memberikan
“sedikit petunjuk” tentang keberadaan Tuhan. Tetapi perlu diingat bahwa keberadaan Tuhan lebih
dari sekedar tuntutan pemenuhan hati nurani.
II.2. Filsafat Ketuhanan Timur [4]
Terdapat bermacam sudut pandang dalam filsafat ketuhanan Timur. Penulis juga akan
membatasi pokok bahasan agar tidak melebar. Masalah yang akan dibahas dalam filsafat Timur kali
ini adalah kemutlakan Tuhan sebagai keterjadian seperti yang terdapat pada pikiran Chou Tun Yi
dan Cu Hsi dan tentang kemutlakan Tuhan sebagai pikiran yang dinyatakan oleh Wang Yang Ming.
Perlu diingat bahwa dalam filsafat Timur tidak mengenal pemisahan yang tajam antara dunia dan
diri sendiri seperti epistemologi dalam filsafat Barat.
Dalam bahasa Indonesia dan Tiongkok tidak terdapat verb to be. Macam-macam bentuk
penggantinya dalam penerapan mengusulkan hubungan daripada identitas/ketidakbertentangan.
Seringkali, apa yang diusulkan lebih bersifat keterjadian daripada ada. Hal tersebut perlu
digarisbawahi saat kita mengkaji kemutlakan Tuhan dari sudut pandang filsafat Timur.
Para tokoh Ru Jiao telah memberi bermacam-macam nama pada kemutlakan Tuhan ini.
Mereka menamakannya Maha Besar (Tai Chi), Azas Ilahi (Tien li), atau Azas (li). Dari Chou Tun
Yi, Cu Hsi mendapat pengertian tentang Azas Pertama, sumber segala ada dan keterjadian. Istilah
yang digunakan untuk ini adalah, Tai Chi (Maha Besar) yang dilukiskan juga sebagai Wu Chi
(Tanpa Akhir/Tanpa Batas). Maha Besar menghasilkan “Yang” melalui gerak. Ketika gerak
7
mencapai batasnya, lalu menjadi henti. Melalui henti Maha Besar menghasilkan “Yin”. Gerak dan
henti silih berganti, yang satu menjadi akar yang lain.
Chou Tun Yi tidak mengatakan dengan jelas, apakah Maha Besar hanya satu-satunya sumber
segala keterjadian dan apakah Maha Besar juga mengalami perubahan. Beliau hanya menerangkan
pergantian antara “Yin dan Yang” membangkitkan Lima Unsur, yang merupakan perantara
perubahan daripada hakikat kebendaan. Interaksi antara Lima Unsur menghasilkan segala sesuatu di
dunia ini. Beliau tidak menerangkan mengapa harus terdapat Maha Besar, melainkan hanya
mengulang-ulangi bahwa Maha Besar juga Tanpa Akhir.
Cu Hsi-lah yang menjelaskan beberapa masalah ini dengan menggunakan metode
penyangkalan yang telah menjadi ciri metafisika Tiongkok. Beliau menafsirkan gagasan Chou Tun
Yi dengan berkata : “Maha Besar tidak mempunyai batas ruang atau bentuk badaniah”. Tiada
tempat yang di dalamnya Maha Besar dapat ditempatkan. Bila Maha Besar dianggap berada di
dalam keadaan sebelum gerak, tiada sesuatu kecuali henti. Gerak adalah gerak Maha Besar dan
henti adalah HentiNya, walaupun gerak dan henti sendiri bukanlah Maha Besar. Karenanya Chou
berbicara tentang Maha Besar sebagai Tanpa Akhir/Tanpa Batas.”
Menurut Chou Tun Yi dan Cu Hsi, sumber dan azas, ada dan keterjadian, juga merupakan
sumber dan azas segala kebajikan susila. Bagi Cu Hsi khususnya, azas ini imanen dan transenden;
hadir di dalam keseluruhan semesta alam, dan juga berada dalam setiap makhluk. Pemikiran yang
berbeda datang dari seorang yang bernama Lu Chiu Yuan. Jika Cu Hsi mulai dengan dunia, dan
kemudian membincangkan Kemutlakan sebagai hadir di dalam kedua-duanya, dunia dan diri
sendiri, Liu Chiu Yuan mulai dengan diri sendiri, sampai pada kenyataan mutlak. Gagasan Cu Hsi
kemudian dikenal dengan Mazhab Azas sedangkan gagasan Liu Chiu Yuan dikenal dengan Mazhab
Pikiran.
Bagi Liu Chiu Yuan, konsep Azas (li) dalam gagasan Cu Hsi merupakan Pikiran itu sendiri.
Pewaris pemikiran Liu Chiu Yuan, Wang Yang Ming melanjutkan dan mendalami Azas Metafisika
ini. Beliau juga bicara tentang Pikiran sebagai yang menjelaskan kedua arti, alam semesta dan
manusia. Beliau menyamakan Pikiran tidak hanya dengan Azas (li), tetapi juga dengan Watak
(Hsing). Wang Yang Ming, mengambil langkah lebih jauh dari pendahulunya. Beliau memasuki
Pikiran lebih dalam dan menemukan di sana peringkat-peringkat kemendalaman arti dan kehadiran.
Zat asli Pikiran adalah Azas Ilahi. Sedianya itu tidak pernah berselisih dengan Azas. Inilah
diri sendiri sejati. Diri sendiri sejati ini adalah majikan tubuh jasmaniah. Dengannya, seseorang
hidup dan tanpa dia ia meninggal. Maka, demi kesehatan badan jasmaniah, seseorang harus
memelihara baik-baik diri sendiri sejati dan senantiasa memelihara keutuhan Zat Aslinya. Saat
seseorang melepaskan diri dari keakuannya dan menyingkirkan kepentingan diri sendiri, maka ia
akan menemukan inti terdalam adanya. Saat keadaan tersebut tercapai, wataknya akan berubah
8
menjadi jujur terhadap diri sendiri dan alam semesta tempat ia hidup. Ia mengikuti jalan alami yang
akan mengantar ke perwujudan kebajikan yang sempurna, yaitu perwujudan terbaik Kemutlakan di
dalam dirinya.
Dalam gagasan Wang Yang Ming, Kemutlakan hadir dalam Pikiran manusia. Beliau
berbicara tentang pemeliharaan bathin yang mungkin tertimbun menjadi pengalaman pencerahan
yang pada hakikatnya adalah penemuan diri sendiri sejati. Pemikiran Wang Yang Ming ini telah
mendahului gagasan pemikir Barat di era modern seperti Meister Eckhart, Schelling, dan Hegel.
Tanggapan
Filsafat Barat membedakan dengan tegas antara nalar dan bathin sedangkan filsafat Timur
tidak demikian. Dalam pemikiran barat, nalar dan bathin adalah sesuatu yang terpisah dan bertolak
belakang. Dalam pemikiran Timur, nalar dan bathin saling berkomplementer (Konsep Yin Yang)
sehingga mempunyai hubungan satu sama lain. Secara keseluruhan, filsafat Barat dan Timur gagal
dalam memberikan penjelasan yang memadai tentang Tuhan. Saat Tuhan dipahami dengan sisi
nalar lebih dominan dari bathin itulah dinamakan filsafat, sedangkan saat Tuhan dipahami dengan
sisi bathin yang lebih dominan dari nalar itulah dinamakan Agama.
Bagi penulis, nalar mempunyai batasan sedangkan bathin tidak terbatas. Untuk memahami
Tuhan yang tidak terbatas maka lebih baik jika digunakan bathin. Di sini penulis tidak bermaksud
untuk mengecilkan peran nalar. Bagi penulis, nalar hanya bisa menjelaskan sampai suatu titik dan
untuk dapat maju lebih lanjut maka harus digunakan bathin. Bagi penulis, nalar dan bathin bukanlah
suatu kesatuan tetapi merupakan dua hal yang memang berbeda.
Dalam pemahaman konsep Yin Yang dikatakan bahwa Yin Yang adalah suatu hal yang
berlawanan tetapi juga merupakan dialektika komplementer (saling melengkapi). Yin bukanlah
Yang dan Yang bukanlah Yin, tetapi Yin Yang saling membantu dalam mencapai keharmonisan.
Keharmonisan bukanlah suatu keadaan yang sama rata (50% : 50%). Analaogi Yin Yang dapat
membantu untuk menjelaskan tentang hal nalar dan bathin. Nalar dapat membantu bathin untuk
menjelaskan sampai suatu titik sedangkan bathin dapat digunakan untuk mendukung nalar dalam
kapasitas tertentu. Untuk memahami Tuhan, bathin harus lebih dominan dari nalar.
Bila manusia berpikir dengan nalar yang lebih dominan dari bathin apalagi yang hanya
menggunakan nalarnya, maka Tuhan akan nampak “sangat jauh”. Tetapi jika ia melihat melalui
gejala-gejala dan pengalaman beragama, maka Tuhan akan nampak “sangat dekat”. Penulis
mengambil kesimpulan akhir bahwa :
Tuhan/TIAN hanya bisa dilihat secara rohani oleh orang yang percaya bahwa
Tuhan/TIAN itu ada. Keberadaan Tuhan secara menyeluruh hanya bisa dipahami oleh orang
yang bersedia menerima dengan bathinnya secara ikhlas dan tulus. Hal tersebut tidak bisa
9
dipikirkan untuk dicari faktanya dan juga bukan untuk didebat melainkan untuk segera
dilaksanakan.
Untuk memahami Tuhan/TIAN secara rohani, maka manusia membutuhkan agama. Baik disadari
atau tidak, manusia selalu terdorong menuju ke arah agama. Manusia sampai sedalam-dalamnya
dikenai oleh agama. Dalam agama, manusia membuka seluruh dirinya dan terdapat penyerahan
menyeluruh tanpa pengecualian. Dalam iman Ru Jiao, hidup manusia merupakan keluhuran dan
cahaya ilahi Tuhan sedangkan agama merupakan pusat dan tujuan seluruh hidup. Oleh karena itu,
dengan beragama manusia telah memenuhi kodratnya.
III. Agama
Karena agama merupakan sesuatu yang sangat penting maka kita harus memahami terlebih
dahulu makna kata agama untuk dapat beragama dengan baik. Terdapat berbagai macam definisi
agama di dunia dan tidak semuanya memiliki kesamaan. Pada sub bab ini, penulis akan membahas
berbagai macam sudut pandang untuk mendefiniskan kata agama.
III.1. Definisi Agama Ditinjau dari Bahasa Ibu [1], [2]
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan
kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin, yaitu religio dan
berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi,
seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
sistem/ajaran yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadahan kepada Tuhan serta tata
kaidah yang berhubungan dengan hubungan manusia dan manusia serta manusia dengan
lingkungannya.
III.2. Definisi Agama Ditinjau dari Teodisi dan Teologi [4]
Teodisi (setelah di-Indonesiakan) berasal dari huruf Yunani, yaitu : Theo = Tuhan dan Dike
= pertimbangan, yang artinya adalah ilmu yang mempelajari Tuhan dari segi pertimbangan/nalar.
Teologi (setelah di-Indonesiakan) berasal dari huruf Yunani, yaitu : Theo = Tuhan dan Logos =
ilmu, yang artinya adalah ilmu ketuhanan (Tuhan ditinjau dari sudut Kitab Suci). Beda antara
Teodisi dan Teologi terletak pada sudut peninjauan hakikat.
Proses membedakan suatu ilmu pengetahuan dari ilmu pengetahuan yang lain melalui
pembedaan sudut peninjauan (objek formil) dari hakikat yang ditinjau (objek materiil) yang hingga
sampai saat ini masih diterapkan adalah hasil karya Santo Thomas Aquino (1225-1274).
Berdasarkan metodologi ini, dua ilmu pengetahuan bisa mempunyai objek materill yang sama
10
(Tuhan) tetapi objek formilnya berbeda sehingga dihasilkan dua ilmu pengetahuan yang berbeda
(Teodisi dan Teologi).
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dasar pemikiran Barat adalah penalaran yang
pengejawantahannya adalah analisa/pemilahan. Sedangkan pemikiran Timur adalah intuisi yang
pengejawantahannya adalah pertautan/konkatenasi (pada sederetan perkaitan).
Jika kita menggunakan sudut pandang pemikiran Timur maka didapatkan bahwa filsafat
adalah agama, agama adalah filsafat. Tetapi jika kita menggunakan pemikiran Barat dengan
menggunakan metodologi di atas untuk memisahkan “Filsafat Timur dari Agama Timur” agar
berdiri sendiri - sendiri maka juga dapat dijelaskan. Prof.Dr. Wing-tsit Chan menulis dua buku
mengenai hal ini : A Source Book in Chinese Philosophy dan The Great Asian Religions.
Prof.Dr. Wing-tsit Chan meninjau kitab-kitab Konfusian (objek materiil sama) dari sudut
pandang yang berbeda (yang satu filsafat dan yang satu agama). Karya beliau di atas sudah
menyediakan penyelesaian atas masalah ini. Jadi kalau ditanya sekali lagi apakah Khonghucu itu
agama atau filsafat, jawabannya adalah semuanya. Tergantung sudut pandang yang digunakan.
Khonghucu sebagai agama bahkan lebih mewujud dan nyata dari agama yang lain karena telah
menjadi “The Way of Life” umatnya yang dilakukan secara spontan walaupun dengan tidak sadar.
Tanggapan
Penulis tidak sependapat dengan pendapat bahwa filsafat adalah agama, agama adalah
filsafat. Lebih tepat dikatakan bahwa filsafat didasari oleh agama dan dalam agama terkandung
unsur filsafat (Kita tidak dapat mengatakan bahwa Yin adalah Yang dan Yang adalah Yin). Jadi
penulis ingin mengajak para pembaca untuk memikirkan kembali persoalan ini karena interpretasi
kita tentang agama akan mempengaruhi bagaimana kita akan beragama.
III.3. Definisi Agama Ditinjau Sebagai Syarat Umum Suatu Agama [4]
Secara umum masyarakat memandang bahwa suatu agama pantas disebut sebagai suatu
agama bila mempunyai hal - hal sebagai berikut :
a. Mengenal Tuhan
b. Mempunyai Nabi, Kitab Suci dan Wahyu Tuhan
c. Mempunyai tata ibadah dan umat
d. Menjelaskan tentang hal-hal yang bersifat metafisik
Dalam sejarah perkembangan Ru Jiao dimulai dari Nabi Fu Xi sampai Nabi Kong Zi hingga
sekarang selalu menegaskan tentang adanya TIAN (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam percakapan
sehari-hari Nabi-Nabi tersebut ditemukan banyak sebutan tentang TIAN yang tercatat dalam Kitab
Si Shu dan Wu Jing. Sebagian Nabi juga menerima wahyu dari TIAN yang akhirnya disempurnakan
11
oleh Nabi Kong Zi sehingga Ru Jiao menjadi Agama yang utuh dan lengkap. Dari jaman Nabi-Nabi
sebelum Nabi Kong Zi sudah ditetapkan tentang tata ibadah yang sampai sekarang masih banyak
dilakukan oleh umat Ru Jiao dan bahkan oleh umat yang bukan umat Ru.
Banyak orang yang salah kaprah mengatakan bahwa Nabi Kong Zi hanya mengajarkan
tentang kemanusiaan tetapi tidak terhadap agama karena beliau jarang membicarakan nasib, hakikat
rohaniah, jalan suci TIAN dan menyingkiri pertanyaan-pertanyaan tentang pengabdian terhadap
badan halus dan tentang kematian. Tetapi jangan dilupakan bahwa Nabi Kong Zi mengagungkan
TIAN, percaya akan firman TIAN, yakin bahwa karyaNya dan perkembangan kebudayaan
tergantung pada TIAN.
Tidak terdapat pertentangan dalam diri Nabi Kong Zi. Percakapan Beliau terutama
menyangkut watak manusia dan hubungan masyarakat, tetapi Beliau tidak pernah lupa bahwa
segala perbincangan harus berakarkan pada TIAN. Pada hakikatnya, Beliau adalah seorang yang
sangat beragama. Lebih dari itu, Beliau telah menumbuhkan gagasan agama dan kepercayaan akan
peringkat yang jauh lebih tinggi dari manusia.
Dengan adanya Nabi Kong Zi, kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Esa mengalami
perubahan besar. Tuhan YME tidak lagi berbentuk manusia, karenanya Beliau tidak berbicara
dalam Sabda Suci istilah - istilah : “Ti” dan “Shang Ti” yang arti asalnya adalah “Raja” dan “Raja
Yang Maha Tinggi” yang bersifat manusia. Sebaliknya, istilah TIAN yang berwatak lebih tinggi
daripada segala sesuatu diterapkan.
Tentang ming (nasib, takdir, firman atau Titah TIAN) banyak orang mengatakan bahwa Nabi
Kong Zi jarang membicarakannya, tetapi sesungguhnya Beliau malah berkali-kali membicarkannya.
Bagi Nabi Kong Zi hidup dan mati diluar kuasa manusia, sebab hidup dan mati merupakan takdir
dan nasib. Tetapi Firman TIAN bukanlah perintah yang tidak dapat dipahami, yang berasal dari
kekuatan yang tidak dapat diperkirakan. Firman TIAN adalah hukum susila yang bernalar dan jelas.
Oleh karena itu beliau bersabda bahwa “Usia 50 tahun telah mengerti akan Firman TIAN” dan
bahwa “Seorang Jun Zi takut dan patuh terhadap Firman TIAN”. Maksud beliau adalah seorang Jun
Zi mengetahui apa tuntutan dan tatanan susila serta bertindak sesuai dengan tuntutan dan tatanan
tersebut.
Tentang roh-roh halus, penjelasan Nabi Kong Zi sangat berbeda dibandingkan dengan
pendapat angkatan sebelumNya. Beliau tidak menolak adanya roh-roh halus, tetapi Beliau
cenderung untuk tidak membicarakannya sebab Beliau tidak menghendaki banyak orang
bergantung pada roh-roh halus dalam menyelesaikan masalah. Nenek moyang harus dihormati
selama hidup, tetapi sesudah meninggal hormat merupakan pengutaraan laku bakti yang sempurna,
bukannya merupakan sarana dalam memperoleh berkah. Hal inilah yang sering dibingungkan
banyak orang “… menghormati roh - roh tetapi dari jauh (tidak mengikatkan diri)”.
12
III.4. Definisi Agama Ditinjau dari Definisi Huruf Han Zi [5], [6]
Di Tiongkok, padanan kata yang mendekati kata agama adalah : Jiao
教 孝 +文 Jiao Xiao Wen
(Agama) (Bakti) (Sastra / Pendidikan)
Semua agama di Tiongkok disebut dengan Jiao (Ru Jiao, Tao Jiao, Hue Jiao, Ci Tu Jiao,
dll). Huruf Jiao terdiri dari dua huruf yaitu : Xiao yang artinya bakti dan Wen yang artinya
sastra/pendidikan. Jika diartikan secara bebas menjadi pendidikan tentang berbakti.
Dari kitab Xiao Jing BAB 1 Ayat 4 dikatakan bahwa laku bakti adalah pokok kebajikan dan
daripadanya ajaran Agama berkembang. Berikutnya dari Kitab Xiao Jing BAB 7 Ayat 2 dikatakan :
Nabi bersabda, “Sesungguhnya, laku bakti itu ialah hukum suci TIAN, kebenaran daripada bumi,
dan yang (wajib) menjadi perilaku rakyat”. Hukum suci TIAN dan bumi itulah yang menjadi suri
tauladan rakyat.
Secara bahasa kitab Jiao didefinisikan sebagai pendidikan laku bakti yang mencakup
hubungan timbal balik antara manusia dengan TIAN, manusia dengan bumi (alam), dan manusia
dengan sesamanya.
儒 亻-人 + 需 Ru Ren Xu
Sedangkan huruf Ru terdiri dari dua huruf yaitu : Ren (manusia) dan Xu (perlu). Jadi Agama
Khonghucu atau Ru Jiao jika diartikan secara huruf Han Zi berarti : Ajaran yang diperlukan
manusia untuk berlaku bakti yang mencakup hubungan timbal balik antara manusia dengan TIAN,
manusia dengan bumi (alam), dan manusia dengan sesamanya.
III.5. Pemahaman Ru Jiao dari Pemikir Timur [7]
Penulis sengaja menampilkan sebuah makalah yang ditulis oleh pemikir Timur yang
beriman bukan Ru yang memahami Ru Jiao sebagai agama untuk pembanding. Penulis hanya
mengambil beberapa bagian dari makalah pemikir tersebut yang penulis anggap penting untuk
pemahaman Ru Jiao sebagai agama.
China mempunyai sejarah yang panjang dan mulia tiada tandingannya. Ketika sejarah
mereka dimulai, watak, sifat, dan lembaga-lembaga di China telah mapan. Mereka telah berbudaya,
dan telah mempunyai agama yang terorganisir, tetapi tak seorang pun yang dapat menceritakannya.
Petikan-petikan kuno yang terdapat dalam Shi Ching (Buku Sajak Pujian) dan Shu Ching (Buku
13
Sejarah) memberi kesan bahwa orang China purba adalah monoteis. Nama-nama yang diberikan
mereka kepada Tuhan Yang Esa adalah Shangti (Yang Maha Kuasa) dan Tien (Langit). Mereka
tidak mempunyai berhala.
Sekitar abad keenam sebelum Masehi tampak ada keadaan tanpa hukum yang besar
pengaruhnya di China. Baik kehidupan politik, maupun keagamaan menjadi rusak dan merosot dari
kemuliannya yang semula. Peradaban besar yang ditegakkan di China oleh penguasa dinasti Chou
hanya tinggal bayangan saja. Dalam keadaan semacam inilah, dua agama China yang besar, yakni
Khonghucu dan Tao lahir. Dari segenap agama-agama di China, maka Khonghucu telah
meninggalkan kesan yang kuat dalam kehidupan dan kebudayaan China.
Agama Khonghucu dan Tao saling melengkapi satu sama lainnya. Keduanya menekankan
dua segi agama yang berbeda, namun sama-sama penting. Khonghucu menekankan segi
kemasyarakatan, dan kepentingan utamanya adalah menegakkan suatu tata sosial yang adil di mana
tidak ada kejahatan dan penindasan serta setiap orang melaksanakan kewajibannya dalam
keserasian dengan rencana Tuhan. Di pihak lain, Lao Tzu menekankan aspek perseorangan dan
bersangkut paut dengan penemuan dan penguraian Jalan Tuhan serta cara-cara jiwa pribadi yang
akan membimbingnya agar dapat menemukan kedamaian abadi dalam bersatu dengan Tuhannya.
Jika Khonghucu manusia praktis, maka Lao Tzu seorang mistis.
Khonghucu percaya bahwa dunia ini dibangun berdasarkan landasan moral. Bilamana
manusia dan negara menjadi rusak akhlaknya, maka tata-susunan alam akan terganggu. Akan ada
bencana peperangan, banjir, gempa bumi, paceklik yang panjang, dan wabah penyakit. “Jadi”, tulis
Alfred Doeblin, “berlawanan dengan arus pemikiran kita yang materialistis dan menjadikan manusia
itu objek tak berdaya dalam mengadapi arus peristiwa yang bebas serta tanpa arti, maka tingkah
laku kita itu dapat mempengaruhi dan sesungguhnya telah mempengaruhi peristiwa-peristiwa dunia,
karena kita ini memiliki kekuatan rohani yang mempengaruhi kekuatan rohani dunia, dan suatu
pilihan nasib manusia yang tidak tergantung kepada Langit itu tidak mungkin, seperti tidak
mungkinnya alur peristiwa di dunia ini tidak tergantung kepada manusia. Kesengsaraan, kegagalan
peristiwa-peristiwa yang mengerikan adalah jeritan peringatan dunia yang menderita, yang menjerit
menyeru manusia untuk mengembalikan tata susunan dan kembali ke jalan yang benar. Jadi
Khonghucu dan ajaran orthodoksnya meningkatkan pengertian kita. Kita mengembangkan suatu
kewajiban yang mendalam agar bertindak wajar dan tidak ditujukan untuk takut hukuman.
Khonghucu mendakwahkan “ Pada usia 50 tahun saya menerima risalah Tuhan”. Maka pada
tahun 497 sM dengan segera ia mengikuti panggilan Ilahi, dan selama empat belas tahun bersama
sekelompok kecil muridnya yang berbakti, dia pergi dari satu tempat ke tempat lain, seringkali
dalam ancaman bahaya maut, diremehkan, dan kesengsaraan.
14
Khonghucu menghindarkan diskusi mengenai hal-hal yang metafisik dan abstrak. Seorang
muridnya, Chung Yun, suatu kali bertanya kepada Tuannya tentang roh. Khonghucu menjawab:
“Bilamana engkau tidak dapat mengenal manusia, bagaimana engkau dapat mengenal roh?” Ketika
beliau ditanya mengenai kematian, jawabnya: “Bilamana engkau tidak mengenal kehidupan,
bagaimana engkau bisa mengetahui kematian?” Juga dikatakan tentang beliau: “Tuan tidak pernah
berbicara tentang hal-hal yang menyimpang dari hukum, adu kekuatan, pemberontakan, atau pun
dewa-dewa”. Meskipun demikian, tidak dapat disangsikan lagi akan kenyataan bahwa Khonghucu
percaya kepada Tuhan dan seorang yang ketat bertauhid. Beliau mendakwahkan bahwa Kehendak
Tuhan telah diwahyukan kepadanya adalah missinya agar kehendak Nya itu unggul di muka bumi.
Di sini ada beberapa kata ucapannya: “Dia yang menyakitkan Tuhan, maka tiada satu pun yang
dapat menerima doanya” (Analects, 3:13). “Ada tiga perkara yang harus ditakuti oleh seorang yang
mulia: perintah-perintah Tuhan, alim ulama, dan kata-kata hikmah orang dahulu. Orang picik
adalah orang yang tidak tahu menahu akan perintah Tuhan, tidak merasa takut pada Nya, tidak
menghormati alim-ulama, mengejek kata-kata hikmah orang dahulu. “ (Analects, 16:8)
“Tuhan telah menugaskan kepada saya suatu risalah Ketuhanan. Apa yang dapat dilakukan
oleh Huan T’uei kepadaku?” (Analects, 7:23) “Bila sudah menjadi Kehendak Tuhan, bahwa sistem
Ilahi diabaikan, maka anak cucu kita tidak akan mendapat lagi bagian dari ilmu keimanan ini.
Tetapi dengan Kehendak Tuhan, sistem ini tidak tersia-sia, apakah yang dapat dilakukan orang-
orang Kuang terhadapku.” (Analects, 9:5)
Khonghucu menaruh penghargaan yang tinggi kepada umat manusia, percaya bahwa
manusia itu dianugrahi suatu Cahaya Ilahi. Beliau berkata: “Manusia yang membuat tata susunan ini
besar, dan bukan sistemnya yang membuat manusia itu besar.” (Analects, 15:29). Dia percaya
bahwa manusia itu fitrahnya baik dan akan kembali kepada kemuliaan bila suatu contoh teladan
ditegakkan oleh atasan atau golongan penguasa. Khonghucu membela manusia, bahkan seekor
binatang ataupun makhluk hina dianggap baik dalam fitrahnya, dan sangat cemas kalau mereka
dibinasakan. Beliau percaya bahwa manusia itu tidak memerlukan juru selamat yang secara
mukjizat akan menghapus dosa.
Ajaran Khonghucu berkembang dan menyebar tidak lama setelah wafatnya. Sehabis berduka
cita atas kematian Tuannya, maka para murid itu mulai memencar dan berkelana sendiri-sendiri
untuk membawakan karya-karya serta mengembangkan risalah-risalah Nya. Meskipun para murid
itu semuanya menghormati kata-kata Tuan mereka, adalah wajar bila masing-masing menekankan
aspek-aspek tertentu dari ajaran Khonghucu tersebut. Dengan berlalunya waktu, perbedaan-
perbeaan itu semakin melebar segera setelah mereka mengembangkan sistem berfikir masing-
masing untuk menyelaraskan dengan kepentingan dan keyakinan mereka masing-masing.
15
Akibatnya, menurut sebuah sumber tidak kurang dari delapan aliran yang berbeda dari agama
Khonghucu telah timbul.
Yang paling penting dari aliran-aliran ini berasal dari penuturan ajaran Khonghucu dari
Tseng Ts’an, cabang mata tombak yang paling tulus dalam menekankan pemupukan akhlak dari
pada ketelitian upacara agama sebagai dasar dan cita-cita manusia. Dia adalah pengarang beberapa
buku yang terkenal, termasuk Classic of Filial Piety dan Great Learning. Cendikiawan besar
lainnya dari aliran ini adalah cucu Khonghucu, Tzu-ssu (Kung Chieh). Dia adalah penulis salah satu
dari kitab suci Khonghucu, the Doctrine of the Mean. Ini terdiri dari kumpulan kata-kata
Khonghucu bersama-sama dengan penafsiran Tzu-ssu tentang hal yang sama. Tafsir itu menjadi
sangat indah pada akhir karyanya, yakni ketika dia memperbincangkan tentang realitas Tuhan
(cheng) dan kesejatian manusia: “Adalah jalan Tuhan yang merupakan kenyataan itu. Adalah jalan
manusia untuk mencapai kenyataan itu. Mengikuti kenyataan berarti memikul pengertian tanpa
usaha, memilikinya tanpa melatih fikiran, dan memusatkan diri pada jalan dengan kebahagian yang
wajar, ini adalah kisah zaman dahulu. Untuk mencapai realitas Tuhan haruslah memiliki kebajikan
dan berpegang teguh padanya. Ini melibatkan pengkajian mendalam mengenai apa yang benar,
bertanya-tanya secara luas tentang hal itu, merenungkan hal itu dengan hati-hati, membuatnya
terang melalui tantangan, dan dengan tekun menjalankannya melalui praktik.” Khususnya buku itu
menekankan „kesejatian umat manusia dan ketulusan dalam bertindak‟, dan kemampuan untuk
merombak serta menyerahkan perkembangan sepenuhnya pada fitrah manusia.
III.6. Keberadaan Surga dan Neraka Dalam Ru Jiao [8], [9], [10], [11]
Keberadaan Surga dan Neraka merupakan permasalahan klasik yang sampai sekarang masih
tidak jelas bagi kebanyakan orang. Dalam makalah ini penulis merasa perlu untuk menjelaskan
permasalahan Surga dan Neraka ini. Bagi mayoritas umat Ru, hal tentang Surga dan Neraka
merupakan sesuatu yang tabu untuk dibahas. Banyak umat Ru dari semua kalangan yang
enggan/belum bersedia/menghindari untuk membahas masalah ini.
Bagi kalangan umat agama lain yang mempercayai bahwa Surga dan Neraka itu ada,
seringkali mereka mengatakan bahwa Ru Jiao bukan agama karena tidak membahas Surga dan
Neraka. Mereka seringkali mengatakan bahwa Ru Jiao hanya sebuah filsafat moral yang membahas
kehidupan saja. Hal tersebut mereka dasarkan dari tidak ditemukannya kalimat Surga dan Neraka
dari Kitab Suci Ru Jiao (hal ini juga terjadi di kalangan Ru sendiri). Dalam menanggapi hal
tersebut, penulis perlu untuk mengubah sudut pandang mereka dalam mengambil kesimpulan :
1. Keberadaan Surga dan Neraka tidak bisa dijadikan syarat untuk memvalidasi bahwa suatu
agama adalah agama.
16
2. Tidak adanya kalimat Surga dan Neraka dalam Kitab Suci Ru Jiao bukan berarti memang
Surga dan Neraka tidak ada. Kita tidak bisa mengatakan bahwa karena di Kitab Suci Ru Jiao
tidak ada kalimat mengenai Nabi agama lain maka Nabi agama lain tidak ada.
3. Untuk memahami keberadaan Surga dan Neraka ini tidak bisa digunakan proses pembuktian
dengan menggunakan nalar/logika seperti pada ilmu empiris. Untuk memahami keberadaan
Surga dan Neraka dibutuhkan kematangan rohani/spiritual.
Prof. Dr. Lee T. Oei (seorang cendekiawan Ru Jiao dari Indonesia) dalam bukunya yang
berjudul “Perihal Dosa dan Neraka Menurut Iman dan Fikiran Konfuciani” menjelaskan
keberadaan Surga dan Neraka dengan bantuan Kitab dari luar Ru Jiao. Penulis juga pernah
mengikuti jejak beliau untuk mencari informasi tentang Surga dan Neraka dari Kitab dari luar Ru
Jiao. Hasil yang diperoleh tetaplah tidak memuaskan karena masih banyak hal yang tidak terjawab
dengan nalar/logika penulis. Penulis juga berusaha untuk mencari informasi tentang keberadaan
surga dan neraka dengan bertanya pada berbagai kalangan, memahami makna ayat-ayat dalam
Kitab Suci Ru Jiao secara bathin, dan melakukan Cing Coo. Akhirnya penulis mendapatkan
kesimpulan bahwa :
1. Untuk mengetahui keberadaan Surga dan Neraka “tidak harus” manusia mengalami pergi ke
tempat tersebut terlebih dahulu.
2. Surga dan Neraka benar-benar ADA.
3. Surga dan Neraka dalam iman Ru ada dua macam yaitu :
a) Saat manusia masih hidup di dunia dimana Surga adalah keadaan di dunia saat manusia
hidup mengikuti Watak Sejati sedangkan neraka adalah keadaan di dunia saat manusia hidup
mengikuti Xi, Nu, Ay, Luo.
b) Saat manusia meninggal dimana Surga adalah tempat yang disediakan TIAN untuk manusia
yang Watak Sejatinya lebih dominan daripada Xi, Nu, Ay, Luo saat hidup di dunia. Neraka
adalah tempat yang disediakan TIAN untuk manusia yang Xi, Nu, Ay, Luo-nya lebih
dominan daripada Watak Sejatinya saat hidup di dunia.
Untuk memahami tentang Surga dan Neraka marilah kita membahas tentang Qi, Shen, Gui, dan Po
terlebih dahulu. Dari Kitab Li Ji dikatakan bahwa :
Qi (Semangat) itulah wujud berkembangnya Shen (Roh), Po (Jasad) itulah wujud berkembangnya
Gui. Berpadu harmonisnya Gui dan Shen itulah tujuan tertinggi agama. Semua yang dilahirkan pasti
mengalami kematian. Yang mati, pasti pulang ke tanah; Inilah yang berkaitan dengan Gui. Tulang
dan daging melapuk di bawah. Yang bersifat Yin (-) itu raib menjadi tanah dipadang belantara.
Tetapi Qi berkembang memancar di atas, cerah gemilang; Inilah sari daripada beratus zat
perwujudan daripada Shen.
(LI JI XXI Ji Yi II. 1)
17
Dari ayat kitab Li Ji di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa saat manusia berakhir hidupnya :
1. Qi yang berunsur [++] naik ke atas mengikuti asap dupa menuju ke haribaan kebajikan TIAN.
Qi merupakan warisan sifat TIAN yang Yuan, Heng, Li, Zhen kepada manusia berupa Ren, Yi,
Li, Zhi.
2. Po yang berunsur [--] bersatu dengan tanah/bumi.
3. Gui [+-] dan Shen [-+] terdiri dari dua unsur, yaitu :
a) Ren, Yi, Li, Zhi yang merupakan unsur (+)
b) Xi, Nu, Ay, Luo yang merupakan sifat (–)
Gui mempunyai bobot unsur (+) sama besar dengan unsur (–) sedangkan Shen mempunyai
bobot unsur (+) lebih besar daripada unsur (-).
4. Shen yang berunsur [-+] ikut Qi naik menuju keharibaan kebajikan TIAN.
5. Gui yang berunsur [+-] mengembara di dunia karena tidak diterima di dalam kebajikan TIAN.
Gui inilah arwah yang menampakkan diri di depan orang yang masih hidup. Setelah selesai
mengembara, maka Gui akan bersatu dengan Shen untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya di neraka. Setelah selesai mempertanggungjawabkan perilaku negatifnya, mereka
dilahirkan kembali ke dunia secara terpisah untuk belajar hidup benar di dunia.
6. Tujuan agama adalah untuk membantu manusia mencapai keharmonisan antara Gui dan Shen
agar dapat tercapai “Puncak Baik” sehingga dapat diterima dalam kebajikan TIAN.
Dengan menengadah memeriksa kecemerlangan tanda-tanda di langit; menunduk memeriksa
hukum-hukum dan hal-hal yang berkaitan dengan Bumi; maka Nabi memahami sebab daripada
gelap dan terang, melacak asal-muasal dan akhir-pulangnya. Maka, dipahami tentang mati dan
hidup; betapa sari dan semangat menjadikan benda/makhluk dan bagaimana mengembaranya arwah
(Gui) menjadikan perubahan. Demikianlah diketahui bagaimana sifat-hakikat daripada Nyawa dan
Rokh.
(Yi Jing BABARAN AGUNG (A) IV : 21)
III.7. Definisi Agama Ditinjau dari Kitab Suci Agama Khonghucu [9], [10], [11], [12], [13]
Firman TIAN (Tuhan Yang Maha Esa) itulah dinamai Watak Sejati. Hidup mengikuti Watak
Sejati itulah dinamai menempuh Jalan Suci. Bimbingan menempuh Jalan Suci itulah dinamai
Agama.
Jalan Suci itu tidak boleh terpisah biar sekejappun. Yang boleh terpisah, itu bukan Jalan
Suci.
18
Gembira, marah, sedih, senang sebelum timbul, dinamai Tengah; setelah timbul tetapi masih
tetap di dalam batas Tengah, dinamai Harmonis. Tengah itulah pokok besar daripada dunia
dan keharmonisan itulah cara menempuh Jalan Suci di dunia.
(Zhong Yong BAB UTAMA: 1,2,4)
Makna tafsir :
Manusia diciptakan oleh TIAN (Tuhan Yang Maha Esa) di dunia ini adalah oleh Firman TIAN.
Firman TIAN ini mewujud dalam aspek material dan spiritual. Aspek material meliputi jasmani
sedangkan aspek spiritual meliputi rohani. Firman TIAN yang mewujud sebagai rohani berupa
Watak Sejati yang merupakan warisan sifat-sifat TIAN kepada manusia. Manusia mempunyai sifat-
sifat TIAN, tetapi manusia itu sendiri bukan TIAN.
Dari Kitab Yi Jing diketahui bahwa sifat-sifat TIAN adalah Yuan, Heng, Li, Zhen diwariskan
pada manusia berupa sifat Ren, Yi, Li, Zhi. Semua manusia pasti mempunyai ke-empat sifat
tersebut yang akan menjadi daya hidup rohani manusia. Selain daya hidup rohani, manusia juga
mempunyai daya hidup jasmani berupa perasaan gembira, marah, sedih, dan senang. Jika tidak
dikendalikan, maka daya hidup jasmani dapat membuat manusia lupa akan Watak Sejatinya. Untuk
itulah diperlukan suatu bimbingan agar kita sebagai manusia dapat selalu di dalam Jalan Suci/hidup
mengikuti Watak Sejati.
Daya hidup jasmani yang berupa perasaan gembira, marah, sedih, dan senang haruslah
dikendalikan dengan daya hidup rohani/Watak Sejati berupa sifat Ren, Yi, Li, Zhi. Jika manusia
dapat mengendalikan daya hidup jasmani dengan daya hidup rohani maka akan tercapai
keharmonisan. Keharmonisan inilah yang merupakan jalan suci manusia (Ren Dao).
Adapun Jalan Suci yang dibawakan Ajaran Besar (Da Xue) ini, ialah: menggemilangkan
Kebajikan Yang Bercahaya (Ming De), mengasihi rakyat, dan berhenti pada Puncak
Kebaikan.
(Da Xue BAB UTAMA: 1)
Makna tafsir :
Jika di dalam kehidupannya, manusia senantiasa sungguh-sungguh berprilaku sabar, ikhlas, dan
banyak bersyukur atas rahmat TIAN maka dia telah menggemilangkan kebajikan yang bercahaya.
Oleh karena manusia dengan kesungguhan hati menjalani kehidupannya sesuai dengan watak sejati
maka dia sudah bersatu di dalam kebajikan TIAN. Saat manusia telah berhasil “bersatu” dengan
TIAN, disinilah manusia telah mencapai “puncak baik”. Pencapaian “puncak baik” ini adalah
19
Firman (TIAN MING). Saat manusia di dalam penghidupannya selalu mengikuti Watak Sejati maka
sudah berada di Jalan Sucinya (Ren Dao)
Nabi bersabda, Adapun sebabnya Jalan Suci itu tidak terlaksana, Aku sudah mengetahui:
Yang pandai melampaui, sedang yang bodoh tidak dapat mencapai. Adapun sebabnya Jalan
Suci itu tidak dapat disadari jelas - jelas, Aku sudah mengetahuinya: Yang bijaksana
melampaui, sedang yang tidak tahu tidak dapat mencapai.
(Zhong Yong BAB III: 1)
Makna tafsir :
Saat Nabi Kongzi ditanya oleh seseorang mengenai dua muridnya tentang tindakan mereka yang
kurang dan lebih, Nabi menjawab bahwa yang kurang dan yang lebih belum mencukupi syarat. Di
dalam menempuh Jalan Suci harus selalu di dalam batas tengah sehingga tercapai keadaan harmonis
tidak melanda. Orang pandai sering menganggap hal-hal yang mengarah ke Jalan Suci tidak patut
untuk dikaji, dipikirkan dan direnungkan sedangkan yang bodoh tidak berani untuk mengkaji dan
memikirkannya lebih lanjut atau bahkan memang tidak mampu.
Jalan Suci seorang Junzi dasarnya terdapat dalam hati tiap pria dan wanita, dan pada
puncaknya meliputi segenap Kenyataan yang dapat diteliti di manapun di antara langit dan
bumi.
Di dalam Kitab Sanjak tertulis, „Elang terbang meninggi langit, ikan menyelam menyusup
air‟, Kata - kata ini menunjukkan Kenyataan (Jalan Suci) itu dapat diteliti di atas maupun di
bawah.
(Zhong Yong BAB XI: 3,4)
Makna tafsir :
Setiap manusia mempunyai benih-benih Watak Sejati di dalam hatinya. Tugas kita sebagai manusia
adalah mengembangkan Watak Sejati. Untuk dapat mengembangkan Watak Sejati, maka manusia
harus mencukupkan pengetahuan dengan meneliti hakikat tiap perkara. Untuk meneliti hakikat tiap
perkara itu diperlukan kesadaran bathin. Jika manusia sudah dapat menggunakan bathinnya
sehingga tidak ada sesuatu yang tidak terang maka dia sudah dapat menyelami hati untuk mengenal
Watak Sejatinya. Jika manusia sudah bisa mengenal Watak Sejatinya barulah bisa
mengembangkanNya.
“Carilah maka engkau akan mendapatkan, sia-siakanlah maka engkau akan kehilangan. Carilah itu
di dalam dirimu.”
20
Nabi bersabda, Jalan Suci itu tidak jauh dari manusia. Bila orang memaksudkan Jalan Suci
itu ialah hal yang menjauhi manusia, itu bukan Jalan Suci.
Di dalam Kitab Sanjak tertulis, „Buatlah tangkai kapak dengan kapak, contohnya tidak
jauh.‟ Dengan kapak mengapak tangkai kapak; bila dipandang selintas, nampak jauh juga.
Maka seorang Junzi dengan Kemanusiaan mengatur manusia, dan berhenti hanya setelah
dapat memperbaiki kesalahannya.
(Zhong Yong BAB XII: 1,2)
Makna tafsir:
Pada hakikatnya manusia membutuhkan manusia lain untuk dapat hidup. Manusia akan menyadari
keberadaannya jika ada keberadaan manusia lain. Kata “aku” akan menjadi berarti jika ada kata
“kamu”. Jalan Suci manusia itu akan menyempurnakan pemerintahan yang di dalamnya akan
mengatur manusia dengan kemanusiaan. Untuk dapat mengatur manusia maka manusia haruslah
dapat “mengenal manusia”. Untuk mengenal manusia maka manusia harus mengenal TIAN terlebih
dahulu.
Iman itulah Jalan Suci Tuhan YME; berusaha beroleh Iman, itulah Jalan Suci manusia.
Yang sudah di dalam Iman itu, dengan tanpa memaksakan diri, telah dapat berlaku Tengah;
dengan tanpa berpikir - pikir, telah berhasil dan dengan wajar selaras dengan Jalan Suci,
Dialah seorang Nabi. Yang beroleh Iman itu ialah orang yang setelah memilih kepada yang
baik, lalu didekap sekokoh - kokohnya.
(Zhong Yong BAB XIX: 18)
Orang yang oleh Iman lalu sadar, dinamai hasil perbuatan Watak Sejati; dan orang yang
karena sadar lalu beroleh Iman, dinamai hasil mengikuti agama. Demikianlah Iman itu
menjadikan orang sadar dan Kesadaran itu menjadikan orang beroleh Iman.
(Zhong Yong BAB XX)
Makna tafsir:
Di dalam memahami agama diperlukan iman. Iman itu bisa dikatakan berlawanan dengan logika.
Dalam logika dituntut suatu bukti-bukti yang mendukung agar tercipta suatu kondisi kebenaran.
Bukti-bukti itu diuji oleh panca indra manusia yang kemudian di pertimbangkan kembali oleh
nalar/pikiran manusia. Dalam proses pengujian itu digunakan suatu syarat yang akan membatasi
banyak kemungkinan sehingga hasil kebenaran yang diperoleh bisa tidak valid. Hal ini dapat
dijelaskan dari adanya paham Ateis yang tidak mengenal Tuhan.
21
Dalam iman “tidak harus” ada bukti-bukti untuk memperoleh kebenaran. Yang diperlukan
untuk memperoleh iman adalah suatu sikap kesadaran bathin untuk tulus dan ikhlas menerima serta
meyakini akan suatu keberadaan. Saat manusia sudah bisa menerima dan meyakini akan suatu
keberadaan maka akan diperoleh kebenaran. Di sinilah Agama berperan bagi manusia, yaitu sebagai
kompas untuk membantu manusia agar manusia dapat “sadar” sehingga beroleh Iman.
Ada saatnya menggunakan nalar terlebih dahulu dan ada saatnya menggunakan bathin
terlebih dahulu. Pada dasarnya manusia dilahirkan dengan bathin yang sangat peka. Saat masih
bayi, manusia tidak bisa berpikir dengan nalarnya. Bayi yang baru lahir akan mengandalkan
bathinnya untuk mempercayai orang-orang di sekitarnya. Bukan dengan mempertimbangkan
dengan nalarnya baru mempercayai orang-orang disekitarnya.
Iman itu harus disempurnakan sendiri dan Jalan Suci itu harus dijalani sendiri pula.
Iman itulah pangkal dan ujung segenap wujud. Tanpa Iman, suatupun tiada. Maka, seorang
Junzi memuliakan Iman.
Iman itu bukan dimaksudkan selesai dengan menyempurnakan diri sendiri, melainkan
menyempurnakan segenap wujud. Cinta Kasih itu menyempurnakan diri dan Bijaksana itu
menyempurnakan segenap wujud. Inilah Kebajikan watak Sejati dan inilah Keesaan Luar
Dalam daripada Jalan Suci. Maka setiap saat jangan dilalaikan.
(Zhong Yong BAB XXIV)
Makna tafsir:
Iman itu hanya dapat dicari dengan perjuangan diri sendiri. Nabi Kong Zi dan para Suci yang lain
serta orang lain hanya bisa menunjukkan jalannya. Sedangkan untuk melewati jalan itu hanya diri
sendiri yang bisa. Dalam Ru Jiao, iman bukan dicapai dengan menyempurnakan diri sendiri dengan
menjadi pertapa. Iman itu harus menyempurnakan wujud yang lain juga. Dengan kata lain hidup
menyendiri menjadi pertapa untuk mendapatkan iman tidak disetujui oleh Nabi Kong Zi. Nabi Kong
Zi memilih jalan untuk hidup bersama manusia yang lain untuk membantu menyempurnakan
segenap wujud.
Nabi membukukan Yi Jing dengan mematuhi pola Hukum yang merupakan perwujudan
Watak Sejati dan Firman. Demikianlah maka menegakkan Jalan Suci Tuhan Yang Maha
Esa, yang dinamai Yin dan Yang; menegakkan Jalan Suci Bumi yang dinamai Lemah dan
Kuat; dan menegakkan Jalan Suci Manusia yang dinamai Cinta Kasih dan Kebenaran.
(Yi Jing Pembahasan BAB II: 4)
22
Nabi Bersabda, “Cham, ketahuilah, Jalan SuciKu itu satu tetapi menembusi semuanya.”
Cingcu menjawab, “Ya, Guru.”
Setelah Nabi pergi, murid - murid lain bertanya, “Apakah maksud kata - kata tadi?”
Cingcu menjawab, “Jalan Suci Guru, tidak lebih tidak kurang ialah Satya dan Tepaserira”
(Lun Yu Jilid IV : 15)
Makna tafsir:
Dalam lambang Yin Yang, pada area hitam ada sedikit titik putih dan pada area putih ada sedikit
titik hitam.
Pada area hitam ada sedikit titik putih artinya di dalam kebenaran ada sedikit cinta kasih. Pada area
putih ada sedikit titik hitam artinya di dalam cinta kasih ada sedikit kebenaran. Cinta kasih tanpa
dasar kebenaran bukanlah cinta kasih sedangkan kebenaran tanpa dasar cinta kasih bukanlah
kebenaran.
Secara sederhana, Jalan Suci Manusia (Ren Dao) dapat dikatakan dengan kalimat :
Cinta Kasih yang berdasarkan Kebenaran dan Kebenaran yang berdasarkan Cinta Kasih
Dalam Kitab Lun Yu, Jalan Suci Nabi Kong Zi diartikan oleh Zheng Zi sebagai satya (Zhong) dan
tepaserira (Shu).
Di dalam Zhong terdapat sifat Li dan Heng. Sifat ini diwariskan kepada manusia berupa sifat
satya yaitu satya kepada Firman TIAN serta satya menjaga berkah yang difirmankan TIAN
agar tetap baik.
Di dalam Shu terdapat sifat Yuan dan Zhen, sifat ini diwariskan kepada manusia berupa sifat
bijaksana dan susila. Berprilaku bijaksana kepada mana yang pantas dan tidak pantas diberi
cinta kasih dan susila adalah sesuatu hal (prilaku) yang abadi yang harus dipegang teguh
oleh manusia selama hidupnya.
23
Tersurat di dalam Yi Jing, „Bila hati gundah - gulana pergi - datang, hanya kawan (sejati)
menyertaimu berfikir.‟ Nabi bersabda,”Akan isi bawah langit ini, apa yang harus difikirkan
? Apa yang harus diresahkan ? isi bawah langit ini semua pulang kepada yang sama meski
berbeda jalan ditempuh; hanya satu tujuan meski ada beratus pemikiran”
(Yi Jing BABARAN AGUNG (B) BAB V: 31)
Nabi bersabda, “Kalau berlainan Jalan Suci, tidak usah saling berdebat. ”
(Lun Yu Jilid XV : 40)
Makna tafsir:
Ayat di atas dapat diartikan dalam dua sudut pandang, yaitu :
1. Ada Jalan Suci lain selain Ru Jiao
Nabi Kong Zi menyadari bahwa untuk hidup sesuai dengan Firman TIAN ada banyak jalan atau
cara. TIAN memberikan bimbingan kepada umatnya tidak hanya untuk satu bangsa, tetapi
banyak bangsa. Untuk apa berdebat soal perbedaan Jalan Suci kalau pulang kepada tujuan yang
sama (TIAN)?
Ada suatu contoh konkrit yang dapat menjelaskan. Jika kita memandang sebuah gelas yang
berkapasitas 1000 mL, kemudian diisi air 500 mL. Kita dapat mengatakan tiga pendapat yang
pada intinya sama tetapi beda pemikiran.
a) Terisi air setengah penuh
b) Terisi air setengah volume gelas
c) Terisi air setengah kosong
2. Di dalam menempuh Jalan Suci Ru Jiao pasti ada perbedaan pendirian, pikiran, dan pemahaman
Di dalam memahami suatu Agama, tidak mungkin seluruh umatnya memiliki pendirian, pikiran,
pemahaman yang sama persis. Perbedaan ini selama masih dalam batas kebenaran tidak perlu
untuk diperdebatkan. Seorang Jun Zi masih dapat akrab meskipun tidak dapat sama, tetapi
seorang Xiao Ren tidak dapat akrab meski dapat sama.
IV. Penutup
Demikianlah penjelasan tentang pemahaman Ru Jiao sebagai agama dan filsafat. Semoga
makalah ini dapat memberikan kejelasan kepada umat Ru yang masih ragu dalam mengimani Ru
Jiao dan juga dapat memberi masukan yang berarti bagi umat agama lain yang ingin mengetahui
tentang Ru Jiao. Penulis ingin mengajak umat Ru yang telah selesai membaca makalah ini untuk
merenungkan kembali Ru Jiao dari sisi bathin dan akhirnya untuk menentukan apakah Ru Jiao itu
agama atau filsafat atau kedua-duanya ?.
24
Penulis menyadari bahwa apa yang disampaikan dalam makalah ini tidak bisa memberikan
kepuasan secara utuh bagi pembaca. Semoga maksud hati penulis yang ingin penulis sampaikan
dapat pembaca tangkap melalui makalah ini. Sebelum mengakhiri makalah ini, penulis akan
memberikan beberapa kata untuk melengkapi makalah ini.
Nabi bersabda, “Tulisan itu tidak dapat sepenuhnya mengungkapkan apa yang
terkandung dalam pembicaraan. Pembicaraan tidak dapat mengungkapkan sepenuhnya apa
yang terkandung dalam maksud hati,….”
(Yi Jing BABARAN AGUNG (A) XII : 76)
“Jalan Suci itu seperti aliran air dari satu sumber yang mengarah ke banyak arah dan
akhirnya kembali lagi ke satu titik”
“Segala Agama kembali kepada tujuan pokok”
Huang Yi Shang Di
Wei TIAN You De
Shanzai
25
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama. diakses tanggal 20 Juli 2011.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Ver 1.2
[3] Franz Magnis-Suseno, 2006, “menalar tuhan”, KANISIUS : Yogyakarta.
[4] Prof. Dr. Lee T. Oei, 1993, “KESAKSIAN ADANYA TUHAN YANG MAHA ESA di
dalam AGAMA KONFUCIANI”, SGSK 13, MATAKIN.
[5] Kamus bahasa Mandarin (NJ Star Chinese WP).
[6] Tim MATAKIN, 1984, “Kitab Suci Hau King”, MATAKIN : Solo.
[7] Azis-us-Samad, Ulfat, 1990, “The Great Religion of the World 2nd
Ed”, Peshawar,
www.aaiil.org, diakses tanggal 20 Juli 2011.
[8] Prof. Dr. Lee T. Oei, 1994, “PERIHAL DOSA DAN NERAKA MENURUT IMAN DAN
FIKIRAN KONFUCIANI”, SGSK 15, MATAKIN.
[9] Lisa Kuntjoro, Mei 2009, “STUDY RU JIAO DITINJAU DARI ASPEK XIN XUE”.
[10] Team Penerjemah Ci Hua Thang, Oktober 2005, “Kitab Melawat Ke Alam Neraka”,
Yayasan Dharma Abadi : Semarang.
[11] Tim MATAKIN, 2005, “Kitab Suci LI JI (Catatan Kesusilaan)”, Pelita Kebajikan : Jakarta.
[12] Tim MATAKIN, 1970, “Su Si (Kitab Yang Empat)”, MATAKIN : Solo.
[13] Tim MATAKIN, 1984, “Kitab Suci Yak King”, MATAKIN : Solo.