Upload
ibeng
View
223
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
MELEWATI lebih dari satu kuartal pada tahun ini, kondisi perekonomian dunia yang masih karut-marut kianmenegaskan betapa kapitalisme, utamanya kapitalisme neoliberal yang rakus mencaplok sektor publikseperti pendidikan dan kesehatan sebagai ajang perburuan laba, sebagai paham mondial mengalamikebangkrutan sempurna.
Citation preview
Agama dan Sosialisme Jum'at, 20 Juni 2014 04:45 WIB
Satrio Wahono
Magister Filsafat UI dan Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pancasila
MELEWATI lebih dari satu kuartal pada tahun ini, kondisi perekonomian dunia yang masih karut-marut kian
menegaskan betapa kapitalisme, utamanya kapitalisme neoliberal yang rakus mencaplok sektor publik
seperti pendidikan dan kesehatan sebagai ajang perburuan laba, sebagai paham mondial mengalami
kebangkrutan sempurna.
Bukti nyata adalah masih tersaruk-saruknya perekonomian Amerika Serikat (AS)—meski sudah mulai
menunjukkan indikasi pemulihan—dan negara anggota Uni Eropa (UE) saat ini. Lebih parah lagi, negara-
negara bumper yang diharapkan jadi motor ekonomi alternatif seperti Tiongkok dan India sama lesunya.
Indonesia pun terkena dampaknya dengan nilai tukar rupiah yang masih berkisar pada tingkat Rp11.500 dan
buruknya kinerja pertumbuhan ekonomi kita yang hanya mencapai 5,21% pada kuartal I 2014, merosot dari
5,7% pada periode sama tahun lalu. Benar kata Karl Marx berabad silam bahwa dunia sedang dicengkeram
hantu kapitalisme (specter of capitalism). Maka itu, mesti ada solusi terobosan, salah satunya menggali
antitesis kapitalisme, yaitu sosialisme. Relevansi sosialisme kian terasa jika kita mendapati bahwa sosialisme
begitu sarat nilai-nilai spiritual.
Empat Agama
Setidaknya, ada empat agama besar yang sarat nilai-nilai sosialisme. Pertama, Kristen Katolik, khususnya
Teologi Pembebasan. Menurut Francis Wahono dalam Teologi Pembebasan (LKIS, Yogyakarta, 2000), teologi
ini adalah persenyawaan antara ajaran Katolik dan doktrin Marxisme yang bersendikan empat pilar.
Pertama, kemandirian rakyat (independency) sebagai ciptaan Allah yang tertinggi. Kedua, solidaritas
(solidarity) yang mengutamakan rasa hormat kepada pribadi lain dengan segala keunikannya. Ketiga, keadilan
sosial (social justice) yang menekankan pemenuhan sarana kehidupan dasar bagi seluruh warga negara.
Keempat, kerakyatan (populist) yang mengutamakan cinta kepada kemanusiaan, terlebih mereka yang
termarginalkan.
Konsekuensi logis paham Katolik ini adalah negara harus menerapkan prinsip-prinsip sosialisme yang
mengedepankan jaminan sosial bagi seluruh warganya, pemerataan pendapatan, dan penguasaan negara
terhadap sektor-sektor yang menjadi hajat hidup orang banyak.
Kedua, Islam. Ekonom terkemuka Dawam Rahardjo dalam Etika Ekonomi dan Manajemen (1990)
mengemukakan Islam memiliki satu varian bernama teologi Islam kritis. Menurut pandangan teologi kritis ini,
Allah adalah satu-satunya entitas yang patut disembah sehingga di luar Allah hanya ada makhluk.
Dampaknya, Islam menganut pandangan egalitarian bahwa semua orang sama di mata Allah. Oleh karena itu,
umat manusia harus melepaskan segala belenggu yang memperbudak dirinya.
Kritik sosial Islam ini pada hakikatnya ditujukan pada masyarakat Mekah yang memiliki corak kapitalistis
yang kental. Menurut Alquran, masyarakat Mekah gemar melakukan akumulasi kapital. Maka itu, hijrahnya
Nabi Muhammad ke Madinah dapat diartikan sebagai keinginan Islam membangun masyarakat baru yang
bukan kapitalistis.
Memang, berbeda dengan Mekah, di Madinah tidak ada pedagang kaya dan tanah saat itu milik kolektif marga
atau suku. Lembaga pemilikan perorangan pada umumnya tak dikenal. Dengan kata lain, struktur sosial
Madinah kala itu memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai egalitarian (persaudaraan dan persamaan) Islam.
Tugas manusialah untuk membongkar segala bangunan infrastruktur ekonomi dan suprastruktur ideologi
yang menghambat realisasi masyarakat egaliter itu. Singkat kata, Islam lebih bercorak sosialistis dan
mengutamakan masyarakat egaliter. Yang kaya membantu yang papa serta negara punya kendali kuat
melakukan redistribusi pendapatan dan kesejahteraan.
Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim pun demikian terinspirasi oleh ajaran sosialis sehingga salah
satu founding father kita, Bung Hatta, menyebutkan ekonomi Indonesia sejatinya berhaluan sosialisme
religius, yaitu paham ekonomi yang mengedepankan semangat kebersamaan (kolektivisme/pemerataan)
berbingkai nilai-nilai ketuhanan (Bung Hatta, Krisis Dunia dan Nasib Rakyat Indonesia, dalam Sosialisme
Religius, Kreasi Wacana, 2000).
Ketiga, Hindu. Menengok Mahatma Gandhi yang sederhana dan mementingkan pemenuhan mandiri
kebutuhan diri (swadesi) sebagai personifikasi ajaran Hindu modern, doktrin Hindu selaras dengan
sosialisme. Jai Singh Yadav (Agama, Demokrasi, dan Keadilan, Gramedia, 1993) menjelaskan kitab Weda
memerinci bahwa negara-negara tak terkalahkan pada masa Hindu kuno adalah negara republik yang
menegakkan keadilan sosial dan menjunjung kesamarataan warganya.
Lebih jauh lagi, industri perbankan India saat ini sedang mengamalkan perbankan Gandhian. Itulah praktik
bercorak sosialis dari industri perbankan India yang mengutamakan pengucuran kredit murah kepada
masyarakat miskin guna mengangkat derajat hidup mereka. Jauh berbeda dari perbankan kapitalistis yang
hanya mementingkan akumulasi laba lewat bunga mencekik leher.
Keempat, Buddha. Sebagai agama yang tidak mengutamakan kehidupan materi, Buddha lebih kental warna
sosialisnya. Menurut Niels Mulder dalam Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (SH, 1981),
Buddhisme mewajibkan individu bertanggung jawab bagi kesejahteraannya sendiri dan keluarganya. Dengan
memenuhi tanggung jawab itu lewat kerja keras, penganut Buddhisme akan mendapat bun (pahala). Singkat
kata, Buddhisme menekankan tanggung jawab bagi masyarakat.
Jelas, etika ini selaras dengan sosialisme yang berasumsi manusia itu homo faber alias makhluk pekerja (Franz
Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, Gramedia, 1995), yaitu makhluk yang menjadikan kerja sebagai
wahana aktualisasi diri juga makhluk yang harus menghimpun diri dengan sesama pekerja guna mewujudkan
masyarakat egaliter sejahtera. Karena itulah, Buddhisme lebih memuliakan kaum petani dan pekerja—dua
pahlawan sosialisme—ketimbang pendeta yang tidak bekerja.
Akhir kata, fakta bahwa sosialisme sarat dengan nilai luhur agama membuat kita meyakini satu hal: kinilah
saatnya menggantikan paham kapitalisme bobrok dengan sosialisme yang berdimensi religius-ketuhanan.
Niscaya, energi ilahiah sosialisme akan mendorong dunia keluar dari belitan krisis yang mendera. n