20
HAMIDAH KPI/ II Antropologi Adat Budaya Perkawinan Suku Bugis A. Pendahuluan Kita sering diajarkan masalah kebudayaan yang diajarkan kepada kita ini telah membentuk suatu keyakinan bahwa budaya itu merupakan aktivitas rutin yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidup manusia, ia juga menjadi pedoman dalam tingkah laku, pandangan tentang adat budaya perkawinan suku bugis ini menyebabkan agar para peneliti merunut terus menggali adat istiadat yang ada didalamnya, karena itu semua berkelanjutan pada ekspresi simbolik baik antara individu dengan individu maupun pada kelompok. Terutama dan paling utama kita bisa melihat bagaimana proses pelaksanaan adat istiadat tersebut, dan kita bisa melihat bagaimana proses pelaksanaan adat istiadat tersebut ini juga merupakan historis dari dahulu yang dilakukan nenek moyang kita dan diwariskan kepada anak cucunya agar bisa melanjutkan adat-adat tersebut. 1

Adat+Budaya+Perkawinan+Suku+Bugis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Adat+Budaya+Perkawinan+Suku+Bugis

HAMIDAHKPI/ IIAntropologi

Adat Budaya Perkawinan Suku Bugis

A. Pendahuluan

Kita sering diajarkan masalah kebudayaan yang diajarkan kepada kita ini telah

membentuk suatu keyakinan bahwa budaya itu merupakan aktivitas rutin yang telah

menjadi kompas dalam perjalanan hidup manusia, ia juga menjadi pedoman dalam

tingkah laku, pandangan tentang adat budaya perkawinan suku bugis ini menyebabkan

agar para peneliti merunut terus menggali adat istiadat yang ada didalamnya, karena itu

semua berkelanjutan pada ekspresi simbolik baik antara individu dengan individu

maupun pada kelompok.

Terutama dan paling utama kita bisa melihat bagaimana proses pelaksanaan adat

istiadat tersebut, dan kita bisa melihat bagaimana proses pelaksanaan adat istiadat

tersebut ini juga merupakan historis dari dahulu yang dilakukan nenek moyang kita dan

diwariskan kepada anak cucunya agar bisa melanjutkan adat-adat tersebut.

Di indonesia banyak sekali adat-istiadatnya karena di indonesia banyak sekali

suku-suku. Sejak anak yang masih didalam kandungan saja sudah mempunyai upacara

adat sampailah kepada kematian, upacara perkawinan diceritakan dari sejak orang tua

pria meminang sampai dengan upacara mandi-mandi dengan banyaknya adat-istiadat ini,

kita dapat mengetahui adat-istiadat yang lain di dalam adat bugis sangat banyak ritual

yang harus kita lakukan.

Makna dalam hal ini dibangun dan bahkan diubah dalam suatu ruang dengan

serangkaian pilihan nilai, dan suatu kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing actor

1

Page 2: Adat+Budaya+Perkawinan+Suku+Bugis

dengan tingkat jenjang yang sangat berbeda-beda kebudayaan pada saat ini sudah jarang

dalam kehidupan masyarakat apalagi pada generasi muda dan bahkan jika ritual tidak

dilakukan maka akan mendapatkan bala’, istilahnya mereka melakukan ritual tersebut

untuk menghindar atau dijauhkan oleh bala’ yang tidak diinginkan.

Di dalam melakukan ritual ini memakan waku yang cukup lama karena ini sudah

aturannya dan tidak boleh dirubah lagi, disetiap komunitas pasti memiliki kebudayaan

yang berbeda-beda. Di desa teluk Pak Kedai memiliki adat-istiadat perkawinan suku

bugis yang sangat kental dan juga masih melakukan ritual dari nenek moyangnya, bahkan

ia sangat menjaga dan melestarikan hingga sekarang, karena di desa tersebut orang tua-

tua masih ada, di desa teluk Pak Kedai malah banyak melakukan perjodohan, tapi kalau

kita teliti lebih lanjut di kota sudah tidak lagi system perjodohan tapi menggunakan

system pacaran, karena remaja sekarang ini adalah remaja yang mempunyai keinginan

dan pilihan sendiri ia tidak mau diatur oleh orang tuanya.

Kalau adat-istiadat orang bugis ia tidak mau tidur dengan suaminya sebelum

mencapai tujuh hari, apabila acara ritual sudah dilakukan maka sudah sah suami-istri,

kalau orang bugis sangat banyak barang antaran dari pihak laki-laki kepada pihak

perempuan baik dari shalat hingga keperluan yang lainnya.

Masyarakat suku bugis sangat kental sifat kebersamaan dan rasa solidaritasnya

sangat kuat, apabila di suatu kampung ada yang melakukan acara perkawinan, maka

semua masyarakat turun ikut andil agar acara tersebut berjalan dengan lancar tanpa ada

halang rintangan. Didalam proses pelamaran hanya diwakili oleh orang-orang yang

dituakan bukan orang tuanya, dan bahasanya aga’ sindiran misalnya perempuan di

2

Page 3: Adat+Budaya+Perkawinan+Suku+Bugis

ibaratkan bunga yang mekar di taman dan laki-lakinya sabagai kumbang yang

menghampiri bunga tersebut.

Adat-istiadat didalam perkawinan ini sudah jarang dijumpai di perkotaan, karena

kita sering mendengar dipedesaan saja bahkan dikampung pun sudah meminimalisirkan

upacara-upacara yang dilakukan, adapun bila acaranya sudah selesai semua acara terakhir

adalah Al-Barzanji, apabila ini sudah dilakukan berarti acaranya sudah selesai semua,

istilahnya mengadakan acara keselamatan dan orang kampung pun ikut serta dalam acara

Al-Barzanji tersebut.

Di dalam suku bugis ada upacara kain sarung, yaitu mempelai cewek dan laki-laki

disatukan dalam satu sarung yaitu proses mempertemukan kedua mempelai untuk

pertama kali sebelum disanding dipelaminan.

Salah satu orang yang dituakan itulah yang memimpin acara tersebut. Adat-

istiadat yang khusus dan yang harus dilakukan ialah madduta (melamar) merola (Pulang

kerumah pihak laki-laki) disini yang menjadi propokator utama dalam mempersiapkan

acara-acara adalah pihak laki-laki, baik itu memanggil, perlengkapan dan yang lainnya

karena kalau di kampung itu tidak menggunakan undangan tetapi hanya menggunakan

memanggil ke rumah-rumah masyarakat atau biasa disebut dengan (maddupa).

B. Tradisi Bugis

Tradisi adat bugis sebelum proses perkawinan itu sangat banyak sekali adatnya,

salah satunya harus ada proses yang biasa disebut madduta (melamar) awal mulanya

sehabis shalat Isya sudah ramai tamu berkumpul dirumah fuang (kakek) ada Daeng side

iskandar dan lainnya, malam itu mereka akan berkunjung kerumah Ambo tentri atas dari

3

Page 4: Adat+Budaya+Perkawinan+Suku+Bugis

utusan fuang, untuk meminang putri beliau, lalu perwakilan dari pihak laki-laki berangkat

menuju kerumah mempelai.

Setelah rombongan tiba dirumah calon wanita, tuan rumah pun mempersilakan

untuk masuk dan duduk bersila diatas tikar permadani lalu Daeng side yang diutus oleh

fuang sebagai perwakilan dari pihak laki-laki untuk menanyakan apakah kembang

ditaman sudah ada yang memetiknya? Lalu ayah dari mempelai istri pun menjawab

“memang sudah banyak kembang yang kami tunjukkan pada anak kami, namun belumlah

ia berkenan untuk menggapainya” lalu Daeng side berkata” kalaulah Pak Ambo berkenan

putra fuang yang yang berkenaan untuk memetik kembang itu.

Keadaan hening sejenak, lalu Ambo tenri berkata sebenarnya kembang kami

belumlah ada yang memetik dan belum mekar masih perlu dipupuk dan disiram, tapi

kalau si penyiram orangnya bijaksana, Insya Allah kembang itu akan mekar mewangi,

jawab Ambo tentri, kalau begitu permintaan Pak Ambo, Insya Allah anak kami akan

berusaha segenap tenaga untuk merawatnya.

Adat yang kedua yaitu mempenre doi’ (mengantar uang) setelah proses pelamaran

acara selanjutnya ialah mengantar uang. Adapun barang antaran itu terdiri dari

seperangkat perhiasan Emas yang terdiri dari kalung, gelang, cincin dan uang tunai dan

jumlahnya biasanya ganjil-ganjil misalnya Rp: 5.175.325,- tergantung dari bulan, tahun,

dan tanggal pernikahan. Pakaiannya biasanya kain tenun selendang dan bahan baju,

semua barang-barang ini dipersembahkan untuk calon istri dari calon suami.

Calon mempelai laki-laki kedua orang tuanya tidak ikut serta “Ia hanya

diwakilkan kepada seorang juru bicaranya” Assalamualaikum kata Daeng side, lalu

dijawab oleh tuan rumah waalaikum salam dengan serempak.

4

Page 5: Adat+Budaya+Perkawinan+Suku+Bugis

Barang-barang antaran diletakkan berjejer diruang tengah tamu undangan duduk

bersandar pada kedua belah dinding, ruang sambil berbincang-bincang menunggu

penyerahan dimulai.

Daeng side kemudian mulai membuka pembicaraan setelah tamu-tamu telah

duduk. Lalu Daeng side memulai untuk bicara “terlebih dahulu marilah kita panjatkan

puji syukur kehadirat Allah Swt atas Nikmatnya dan karunianya terutama nikmat Islam

dan Nikmat Iman. Salam takzim dikirimkaan fuang lalu pada Bapak Ambo tentri

keluarga beliau berhalangan hadir maka dalam acara penyerahan antaran ini diserahkan

kepada saya.

Barang antaran itu dapat kita saksikan bersama yang ada dihadapan kita, nanti

akan kami serahkan daftarnya saja. Antaran yang kami serahkan ini tidaklah seberapa

nilainya, namun itu merupakan satu tanda ikatan kasih sayang antara anak dengan calon

istrinya anak kami Fatima, dengan harapan semoga dapat diterima dengan senang hati

sebagai tanda ikatan kasih sayang.

Barang antaran kemudian di bawa masuk ke dalam hidangan berupa sup kentang

dihidangkan oleh pelanggan, sirih pinang biasanya dibagikan untuk perempuan dengan

harapan semoga mendapat berkah bagi yang punya anak gadis semoga dapat jodoh.

Ceper yang tadi berisi barang biasanya dibalas dengan di isi kue-kue bugis untuk

calon mempelai laki-laki di berikan seperangkat pakaian seperti jas, kain sarung dan peci

disebut Faduppa “Setelah selesai mengantar uang asap kesibukan semakin nampak di

kedua belah pihak, pihak laki-laki mempersiapkan tukang arak pengantin yang terdiri dari

6 sampai 7 orang yang ahli dalam menabur beras.

5

Page 6: Adat+Budaya+Perkawinan+Suku+Bugis

Bunga telur dibuat dari kertas warna yang terdiri dari berbagai macam warna, ada

hijau, kuning, dan merah, bunga diukir berbentuk empat pesegi atau motif lainnya. Telur

direbus dan diberi warna merah atau kuning, kemudian ditusuk dengan belahan kecil dari

bambu dan diujungnya diberi putik pinang dan untuk menjaga agar bunga dan telur tidak

terlepas dari tusukan tadi.

Setelah siap segalanya, mempelai laki-laki pada malam hari maka keesokan

harinya datang malam ke tempat mempelai wanita kedatangannya untuk memasang pacar

dikuku atau menre’ meppaci-pacci. Sebelum menggunakan pacar kuku keduanya

disuapkan ketam yang sudah dimasak dan empat warna.

Ada warna hitam, merah, kuning dan putih, istilahnya manre dewata setelah

selesai acara selanjutnya kedua mempelai masuk ke dalam kain tenun diletakkan,

kemudian berlomba keluar dari sarung tadi, biasanya dilakukan sampai tiga kali.

Daun pacar yang sudah ditumbuk halus disodorkan pada ibu tadi dengan cetakan

jari-jari tangan kedua mempelai dibalut dengan pacar sehingga tidak kelihatan lagi kuku

tangan dan kuku kaki setelah selesai berinai atau meppaci-pacci, malam itu tidak ada lagi

acara. Rombongan mempelai kembali ke rumahnya, karena besok harus hadir lagi

sebagai puncak acara atau hari maka dalam bahasa bugis essa matang, setelah melakukan

megattung-gattung atau menggantung alat-alat.

Kamar mempelai seperti biasa dihiasi sedemikian rupa agar menyenangkan baik

dekorasi maupun cat, Adat bugis tempat tidur bukan seprti kebanyakan dikota, tapi dibuat

seperti pentas namanya pundai, pundai ini diukir sedemikian indah oleh pemahat yang

terampil dengan hiasan kaca yang beraneka warna.

6

Page 7: Adat+Budaya+Perkawinan+Suku+Bugis

Adapun kelambu yang digunakan berukuran empat persegi panjang ditepinya

dipasangkan reng empat buah dan pada waktu yang akan dipasang diadakan lagi acara

adat-istiadat yang disebut maggattung lalu dimasukkan tali dan dikerek keatas.

Kue-kue terbuat dari beras ketan dicampur parut kelapa dan gula-gula merah siap

dipiring kue tersebut dinamakan dalam bahasa bugis ialah lana-lana, sebelum kelambu

dipasang kue lana-lana disuapkan kepada calon istri, sebagai tanda mulainya, dengan

sempurna kelambu dipasang, kemudian diikat dengan kokoh beras ketan pun

dilambangkan sebagai kelengketan antara mempelai. Jangan sampai keduanya berpisah

(bercerai) gula sebagai pemain kata sejoli dan kelapa pelambang kesuburan agar kelak

hidup berkecukupan, selesai acara tersebut Ambo tenri membaca doa selamat.

Setelah selesai acara selanjutnya adalah mendirikan tarub (memasang tenda)

pelaksanaan pernikahan tinggal beberapa hari lagi. Keluarga kedua belah pihak telah

berkumpul untuk membantu-bantu. Ayo tancapkan lagi tiang yang satu itu tinggal lima

tiang lagi yang belum ditancap, baiklah kata warga setempat.

Memang kebiasaan masyarakat kampung, kalau ada acara pasti semua ikut

membantu selalu bergotong-royong dalam mendirikan tarub setelah acara selesai tarub

atau tenda itu di bongkar kembali.

Ibu-ibu sibuk untuk menyiapkan makan siang bagi para pekerja dan keluarga

yang telah beberapa hari datang menginap di rumah Ambo Tenri, calon mempelai wanita

tidak boleh lagi keluar ia harus dibuatkan kamar khusus, makanan semua diantarkan,

kalau mau kebelakang harus tunggu malam hari jika orang sudah sepi karena itu sudah

merupakan adat-adatnya malam harinya biasanya calon mempelai bertangas untuk

mencegah bau keringat.

7

Page 8: Adat+Budaya+Perkawinan+Suku+Bugis

Pekerjaan pun tak henti-hentinya dan terus bersemangat, Imran sambil beranjak

mengambil daun nipah yang tersusun dipinggir parit, karena kerjanya bersifat gotong

royong hanya dalam waktu singkat telah berdiri sebuah tarub atau sebuah tenda.

Ambo tenri bisa saja menyewa tenda, tapi karena sudah adat yang telah

membudaya, mereka tetap mempergunakan tarub, yang terbuat dari batang pinang dan

beratap daun nipah yang didirikan secara gotong royong penuh persahabatan dan

kekeluargaan karena sudah menjadi tradisi warga setempat.

Esso matang (atau hari besarnya) perkawinan suku bugis yang mengantar

mempelai laki-laki terdiri dari kaum laki-laki dan kaum remaja orang tua mempelai laki-

laki biasanya tidak ikut serta cukup diwakilkan saja, ia akan berkunjung kerumah

besannya nanti malam yang disebut mappemeco atau jamu baisan.

Dengan menghamburkan beras kuning, mempelai yang berpakaian berkebesaran

yaitu igal dan jubah panjang berdiri mendatangi kedua orang tuanya sambil bersimpuh

mencium tangannya, calon suami pun sujud keharibaan orang tuanya.

Setelah siap segala sesuatunya dengan membentuk barisan panjang di barisan

depan mempelai yang didampingi tukang payung, kemudian yang membawa mahar,

kembang telur dan manggar, barulah kaum ibu disebut “fada” barulah kemudian bapak-

bapak dan pengiring lainnya memukul tar. Dengan membacakan shalawat atas junjungan

Nabi besar Muhammad Saw sebanyak tiga kali, rombongan bergerak perlahan-lahan.

Sesampai rombongan tidak langsung naik tetapi berdiri sebentar dimuka tangga

dua orang nenek menghamburkan beras kuning kepada mempelai, sementara pemukul

tak berhenti mengumandangkan pujiannya kepada Allah.

8

Page 9: Adat+Budaya+Perkawinan+Suku+Bugis

Dirumah wanita, rombongan disambut dengan musik tanjidor ada enam orang sebagai

penyambut tamu, terdiri dari tiga laki-laki dan tiga perempuan setengah baya. Kembang

manggar di tancapkan dikiri, kanan tangga sedangkan kembang telur dibawa masuk ke

ruang tengah.

Assalamualaikum jawab Tuan Rumah dengan serempak, penyambut tamu

mempelai menuju ke ruang tengah dan duduk disamping pelaminan yang masuk ke ruang

utama adalah pihak laki-laki dan beberapa orang tua dari pihak mempelai perempuan ,

bagi ibu-ibu atau “fada” tempatnya terpisah, mereka khusus menempati ruang bagian

utama dalam.

Sementara menunggu acara ijab kabul tanjidorpun tak henti-hentinya

mengumandangkan lagu, melayu arab, dan yang utamanya lagu bugis acaranya pun

dimulai, Pak Ambo, siapa Tanya petugas KUA dari pihak kami Bapak H. Agani kata

Ambo tentri, lalu dari pihak laki-laki Pak Bakran, kata Daeng side, setelah itu kedua saksi

mendatangi kedua lembar kertas tersebut, setelah selesai menandatangani, petugas minta

agar mempelai maju mendekat karena acara ijab kabul segera dimulai.

Semua kegiatan berhenti sejenak tanjidor pun tidak lagi terdengar demikian juga

suara hiruk lainnya. Acara yang di laksanakan adalah acara yang sakral, yang bertindak

untuk menjadi wali calon istri ayahnya Ambo tentri.

Lalu Ambo tentri memegang tangannya seperti orang bersalaman kemudian

dengan suara lantang ia berkata “Ya anaknda kunikahkan engkau dengan anak

kandungku bernama Fatima dengan mas kawin sebentuk cincin mas, tunai, jawab calon

suami tersebut kedua saksipun manggut-manggut menandakan akad nikahnya sudah

selesai tidak perlu diulangi lagi.

9

Page 10: Adat+Budaya+Perkawinan+Suku+Bugis

C. Tradisi Perkawinan

Banyak terjadi dalam masyarakat orang Bugis peristiwa bunuh-membunuh

dengan Jallo atau brontak dengan latar belakang “siri” atau, secara lahir sering tampak

seolah-olah orang Bugis makassar itu merasa “siri” sehingga rela membunuh atau

dibunuh karena alasan-alasan yang sangat sepele atau biasa terjadi apabila ada

pelanggaran adat perkawinan, dalam perkawinan Bugis, perkawinan merupakan pala’

saling mengambil satu sama lainnya, jadi perkawinan adalah ikatan timbal balik.

Walaupun keduanya dari status dan kalangan yang berbeda setelah menjadi suami

istri mereka merupakan mitra, hanya saja perkawinan bukan sekedar penyatuan dan

persekutuan dari dua keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya,

dengan maksud saling mempereratkan (mappasideppe mebela-e).

Perkawinan adalah cara terbaik membuat orang lain menjadi bukan orang lain

(tennia tau laeng). Hal ini juga sering ditempuh dua sahabat atau mitra usaha yang

bersepakat menikahkan turunan mereka atau menjodohkan anak mereka sejak kecil.

Idealnya perkawinan dilangsungkan dengan keluarga sendiri, perkawinan antar

sepupu, sepupu parallel keduanya melalalui sisi Ibu atau melalui sisi Bapak) ataupun

sepupu silang yaitu dari sisi Ibu dan dari Ayah dan dianggap sebagai perjodohan yang

terbaik.

Ada juga yang mengatakan bahwa, jika perkawinan pada sepupu sekali maka

akan terasa “terlalu panas” (siala merola), sehingga perkawinan seperti ini jarang terjadi

kecuali bagi kaum bangsawan, dan yang lebih disukai bagi masyarakat Bugis perkawinan

antara sepupu dua kali dan sepupu tiga kali.

10

Page 11: Adat+Budaya+Perkawinan+Suku+Bugis

Dengan syarat, pasangan yang hendak menikah tidak boleh berasal dari generasi

atau angkatan yang berbeda pasangan yang hendak menikah, sebaiknya berasal dari

generasi atau angkatan yang sama dalam proses perkawinan pihak laki-laki harus

memberikan mas kawin kepada perempuan yang pertama sumpa (persembahan) yang

kedua dui menepe’ atau uang antaran.

D. Pandangan Masyarakat Terhadap Budaya tersebut

Bagi masyakat dipedesaan ritual seperti ini sudah lumrah bahkan saat sekarang ini

tradisi di dalam perkawinan masih juga dilakukan, dan sangat membingungkan bagi

masyarakat dikota, karena dikota hal seperti ini jarang sekali kita jumpai, hal itu ada jika

ada orang pedesaaan yang urbanisasi ke kota, jadi tradisi kampung masih dilakukannya.

Ritual-ritual seperti ini ada yang beranggapan bahwa seperti itu tidak dilakukan,

karena ada kalangan masyarakat yang telah memahami kebudayaan yang lebih dalam ia

tidak mau melakukan hal-hal seperti itu.

Kebudayaan dapat terjadi, dikarenakan adanya masyarakat tanpa masyarakat

kebudayaan pun tidak bisa terjadi dizaman sekarang in sudah banyak kebudayan versi

barat yang masuk

E. Penutup

Kesimpulan:

Tradisi budaya perkawinan suku bugis mengangkat beberapa hal seperti: Madduta

(melamar) mendirikan tarub (memasang tenda) magattung-gattung (menggantung-

gantung) mempenre doi sumpa (mengantar uang ) mepacci-paci (memakai pacar kuku/

inai) merolah (pulang kerumah mempelai laki-laki) esso matang (puncak acara) ini semua

dilakukan pada saat perkawinan orang-orang suku bugis.

11

Page 12: Adat+Budaya+Perkawinan+Suku+Bugis

Didalam upacara-upacara yang dilakukan kita dapat menyimpulkan bahwa sifat

solidaritas masyarakat sangat tinggi ia saling bahu-membahu dalam bekerja dan saling

bergotong-royong dalam membangun hal apapun.

Dikampung sifat kekeluargaan sangat erat sekali, bila dibandingkan dengan

masyarakat kota, dikota sudah minim sekali sifat kekeluargaannya, ini dipengaruhi oleh

masyarakatnya sendiri tidak bisa membangun dan menggoyangkan hati penduduknya.

Saran:

Bagi para pembaca sudihlah kiranya untuk mengkritik tulisan-tulisan kritik-kritik

yang membangun, agar untuk kedepan bisa menjadi penulis yang baik, akurat dan

terpercaya. Bagi kaum remaja sebaiknya melestarikan budaya leluhur kita, jangan sampai

diabaikan karena budaya asing selalu menggoyang hati kita yang tak menentu.

12

Page 13: Adat+Budaya+Perkawinan+Suku+Bugis

DAFTAR PUSTAKA

Abdussatar, (2003), Adat Budaya Perkawinan Suku Bugis, Pontianak: CV. Kami.

Christian Pelras, (2006), Manusia Bugis, Jakarta: Nalar.

Koentjaraningrat, (1999), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan.

13