27
1 PENINGKATAN FUNGSI INTERMEDIASI KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN DI PERDESAAN Oleh: Tuti Karyani dan Burhan Arief Abstrak Petani dan UMKM merupakan pelaku ekonomi utama di perdesaan yang sangat potensial tetapi masih dihadapkan pada permasalahan kelangkaan modal (lack of capital) karena akses mereka terhadap lembaga keuangan formal rendah. Pada pihak lain diakui bahwa kredit terbukti dapat memutus lingkaran kemiskinan, oleh karena itu agar lebih berdampak secara luas, maka fungsi intermediasi lembaga keuangan harus ditingkatkan. Koperasi sebagai lembaga yang dekat dengan masyarakat perdesaan dapat diperkuat fungsinya sebagai lembaga keuangan mikro dengan mengacu pada strategi The Rural Finance Triangle (sustainability, impact, outreach) untuk memenangkan persaingan dengan para pemain baru. Kata Kunci: Kelangkaan modal (lack of capital), fungsi intermediasi, The Rural Finance Triangle. Pendahuluan Kegiatan perekonomian di perdesaan masih didominasi oleh usaha-usaha skala mikro dan kecil dengan pelaku utama para petani, buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil pertanian, pengolah hasil pertanian, pengrajin, buruh serta pengecer. Sektor ini sangat potensial dan terlalu berharga untuk diabaikan (Abdullah Burhanuddin, 2006), tetapi masih dihadapkan pada masalah klasik yaitu adanya keterbatasan modal (lack of capital). Pengembangan usaha tentunya memerlukan modal investasi maupun modal kerja yang cukup besar untuk meningkatkan produktivitasnya melalui penggunaan teknologi baru sehingga pada gilirannya mampu meningkatkan pendapatannya serta

Abstrak - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/09/Peningkatan-Fungsi... · Kelemahan dari metode ini adalah hanya menggunakan acuan satu harga komoditi dan

Embed Size (px)

Citation preview

1

PENINGKATAN FUNGSI INTERMEDIASI KOPERASI SEBAGAI

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM UPAYA PENGENTASAN

KEMISKINAN DI PERDESAAN

Oleh: Tuti Karyani dan Burhan Arief

Abstrak

Petani dan UMKM merupakan pelaku ekonomi utama di perdesaan yang

sangat potensial tetapi masih dihadapkan pada permasalahan kelangkaan modal (lack

of capital) karena akses mereka terhadap lembaga keuangan formal rendah. Pada

pihak lain diakui bahwa kredit terbukti dapat memutus lingkaran kemiskinan, oleh

karena itu agar lebih berdampak secara luas, maka fungsi intermediasi lembaga

keuangan harus ditingkatkan. Koperasi sebagai lembaga yang dekat dengan

masyarakat perdesaan dapat diperkuat fungsinya sebagai lembaga keuangan mikro

dengan mengacu pada strategi The Rural Finance Triangle (sustainability, impact,

outreach) untuk memenangkan persaingan dengan para pemain baru.

Kata Kunci:

Kelangkaan modal (lack of capital), fungsi intermediasi, The Rural Finance

Triangle.

Pendahuluan

Kegiatan perekonomian di perdesaan masih didominasi oleh usaha-usaha

skala mikro dan kecil dengan pelaku utama para petani, buruh tani, pedagang sarana

produksi dan hasil pertanian, pengolah hasil pertanian, pengrajin, buruh serta

pengecer. Sektor ini sangat potensial dan terlalu berharga untuk diabaikan (Abdullah

Burhanuddin, 2006), tetapi masih dihadapkan pada masalah klasik yaitu adanya

keterbatasan modal (lack of capital).

Pengembangan usaha tentunya memerlukan modal investasi maupun modal

kerja yang cukup besar untuk meningkatkan produktivitasnya melalui penggunaan

teknologi baru sehingga pada gilirannya mampu meningkatkan pendapatannya serta

2

melakukan pemupukan modal. Hal ini sejalan dengan pendapat DDee SSoottoo ((22000000))

bahwa investment is the engine for economic growth. Access to financial services can

provide access to the production means required to increase agricultural

productivity and scale that lead to higher incomes.

Oleh karena itu Hamid (1986) menyatakan bahwa keterbatasan modal dalam

mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat perdesaan dapat

membatasi ruang gerak aktivitas sektor pertanian dan perdesaan. Dalam jangka

panjang, kelangkaan modal bisa menjadi entry point terjadinya siklus rantai

kemiskinan pada masyarakat perdesaan yang sulit untuk diputus. Apalagi sebagian

besar jumlah penduduk miskin di Indonesia (36,61%) pada tahun 2009 berada di

perdesaan (BPS,2010). Oleh karena itu penting sekali peran kredit sebagai sumber

tambahan modal untuk memenuhi kurangnya permodalan tersebut.

Sebenarnya, pemerintah menyadari hal ini dan telah berupaya sedemikian

rupa melakukan penyaluran skim-skim kredit untuk memenuhi kebutuhan UMKM

seperti KUT, KIK, KMKP, KKP, KUR, namun karena peraturan lembaga keuangan

formal yang rigid menyebabkan UMKM kurang bahkan tidak mampu untuk

mengakses lembaga keuangan formal terutama perbankan. Oleh karena itu BI

kemudian mendorong peningkatan fungsi intermediasi yang memberikan aturan agar

LDR (Loan to Deposit Ratio) mencapai 90% - 100%, hasilnya cukup baik, yaitu di

Jawa Barat apabila dibandingkan dengan akhir tahun 2011, pada awal tahun 2012

kinerja intermediasi perbankan Jawa Barat sebenarnya meningkat dari 76,91%

menjadi 78,29%, akan tetapi perkembangan intermediasi perbankan Jawa Barat

tersebut ternyata masih lebih rendah dibandingkan nasional yang tumbuh dari

89,23% pada periode triwulan IV-2011 menjadi 90,23% (BI, 2012)

3

Saat ini tuntutan terhadap pemenuhan permodalan usaha (terutama usaha

kecil dan mikro) kembali menguat dan menjadi perhatian pemerintah, terlebih dalam

kondisi terpuruknya perekonomian global yang menjurus menjadi krisis

multidimensi ternyata UMKM lebih mampu bertahan menghadapinya. Syukur

(2002) berpendapat bahwa pengusaha UMKM sangat strategis untuk diberdayakan,

karena jika diberdayakan secara tepat usaha kecil akan berkembang menjadi usaha

menengah, sebaliknya apabila tidak diberdayakan menyebabkan kemiskinan makin

besar dan menjadi beban seluruh bangsa.

Pada situasi seperti ini, program pembangunan sosial yang menjadi tanggung

jawab pemerintah serta dorongan kebutuhan pengembangan ekonomi keluarga

miskin, merupakan peluang bagi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) untuk aktif

mengambil peran sebagai institusi “alternatif” dalam penyediaan modal usaha bagi

kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan keluarga miskin yang tidak

terlayani oleh lembaga keuangan komersial (bank) karena lembaga ini menuntut

jaminan serta prasyarat lain yang tidak dapat dipenuhi oleh kelompok usaha kecil

dan mikro. Koperasi sebagai salah satu lembaga yang dapat mewadahi usaha

ekonomi perdesaan dapat memanfaatkan peluang ini dengan mengembangkan diri

menjadi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) terutama Koperasi Simpan Pinjam atau

Unit Simpan Pinjam yang merupakan salah satu unit bisnis koperasi.

LKM sebagai lembaga jasa dalam menjalankan usahanya harus

memberikan pelayanan yang baik agar masyarakat menjadi pelanggan setia dan

mendayagunakan LKM secara maksimal. Upaya ini tentunya akan berdampak

terhadap sustainabilitas (keberlanjutan) LKM itu sendiri.

4

Peranan Kredit Dalam Mendukung Usaha Petani dan UMKM (Usaha Mikro,

Kecil dan Menengah) di Perdesaan

Sumodiningrat (2003) menyatakan bahwa perekonomian perdesaan seringkali

ditandai oleh perekonomian rakyat kecil. Rakyat kecil diartikan sebagai pelaku

ekonomi dengan memiliki aset yang sedikit, skala usaha kecil, tingkat pendidikan

rendah, sehingga tidak mempunyai akses dalam kegiatan ekonomi yang sudah

berkembang. Kelompok ini disebut juga sektor nonformal dan pengusaha-pengusaha

mikro. Setelah mengamati keadaan ekonomi rakyat desa, maka terdapat kesan

bahwa kegiatan ekonomi sangat lambat untuk dikembangkan. Namun demikian

banyak pengalaman menunjukkan bahwa walaupun dalam kondisi yang lemah dan

pemilikan faktor produksi yang sedikit, apabila mendapat kesempatan, ekonomi

rakyat kecil ini dapat ditingkatkan produktivitasnya, sehingga mampu menciptakan

kegiatan produktif di perdesaan. Dengan demikian sangat beralasan kalau Abdulah

(2006) berpendapat bahwa sektor pertanian dan UMKM terlalu berharga untuk

diabaikan dan perlu ada keberpihakan terhadap mereka. Hal ini berkaitan dengan

terbatasnya sumber-sumber dana yang diperlukan oleh masyarakat perdesaan untuk

menjalankan usahanya sehingga masuknya peranan pelepas uang yaitu pengijon,

tengkulak dan rentenir yang memberikan pinjaman uang, bahan baku dan penolong

serta untuk keperluan biaya hidup, yang pada gilirannya produksi dan pemasaran

dikuasai oleh mereka.

Oleh karena itu menurut Pantoro (2008) kehadiran lembaga keuangan (LK)

di perdesaan dibutuhkan paling tidak karena dua hal, yaitu (1) sebagai salah satu

instrumen dalam rangka mengatasi kemiskinan. (2) LK dibutuhkan karena menjadi

salah satu instrumen pengembangan pasar keuangan di perdesaan. Secara pragmatis,

5

pasar keuangan perdesaan merupakan aspek keuangan dari semua proses ekonomi di

segmen usaha mikro, kecil dan menengah (termasuk petani) yang meliputi segala

sesuatu yang menyangkut tabungan dan kredit usaha. Pada pemahaman ini

dicantumkan kata tabungan dan kredit, guna menghindarkan pemahaman sempit

seolah-olah di segmen petani dan pelaku UMKM hanya membutuhkan kredit,

melupakan bahwa mereka mempunyai potensi menabung, dan/atau dapat

diberdayakan kemampuannya untuk menabung. Dengan kata lain, pada pasar

keuangan perdesaan terdapat potensi besar dalam hal penawaran dana (tabungan)

dan permintaan dana (kredit). Sebagai salah satu instrumen dalam mengatasi

kemiskinan maka terdapat kaitan antara kemiskinan dengan keberadan lembaga

keuangan sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi intermediasi.

Di Indonesia, garis kemiskinan BPS menggunakan dua macam pendekatan,

yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head

Count Index. Selain itu, terdapat garis kemiskinan lainnya, yaitu garis kemiskinan

Sajogyo dan garis kemiskinan Esmara. Sajogyo mendefinisikan batas garis

kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang setara beras.

Kelemahan dari metode ini adalah hanya menggunakan acuan satu harga komoditi

dan porsinya dalam anggaran keluarga, bahkan dalam keluarga miskin, menurun

secara cepat. Berdasarkan kelemahan tersebut Esmara mencoba untuk menetapkan

suatu garis kemiskinan pedesaan dan perkotaan yang dipandang dari sudut

pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial, seperti yang

diungkapkan secara berturut-turut dalam Susenas.

Konsekuensi dari kemiskinan adalah tidak adanya pilihan bagi penduduk

miskin (poverty giving most people no option) untuk mengakses kebutuhan-

6

kebutuhan dasar yaitu (1) kebutuhan pendidikan; (2) kesehatan; dan (3) kebutuhan

ekonomi-misalnya kepemilikan alat-alat produksi yang terbatas, penguasaan

teknologi dan kurangnya keterampilan. Kondisi demikian menimbulkan rangkaian

kekuatan yang saling mempengaruhi satu sama lain, sedemikian rupa sehingga

menimbulkan keadaan di mana suatu negara akan tetap miskin dan akan mengalami

kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Sebagaimana

Nurkse (dalam Soekirno, 1981:218) mengatakan bahwa suatu negara adalah miskin

karena memang miskin (a country is poor because it is poor). Nurkes menjelaskan

konsep lingkaran „setan‟ kemiskinan atau lebih dikenal sebagai vicious circles of

poverty.

Pernyataan “a country is poor because it is poor”sungguh sangat

menyedihkan. Sebuah pernyataan yang tidak berujung pangkal bahwa ia miskin

karena tidak punya apa-apa, dan tidak punya apa-apa menyebabkan ia menderita

kemiskinan. Ada beberapa solusi yang ditawarkan untuk „memotong‟ lingkaran setan

kemiskinan di Indonesia, yaitu: 1) menggali potensi kekayaan alam. 2) meningkatkan

produktivitas kerja. 3) menggiatkan masyarakat untuk menabung. 4) memberikan

pinjaman untuk modal usaha.

Namun demikian, kajian ini fokus pada fungsi intermediasi lembaga

keuangan sehingga solusi yang ditawarkan ialah memberikan pinjaman yang akan

menguatkan permodalan dan mengakibatkan meningkatnya kemampuan untuk

menggunakan teknologi dan meningkatkan produktivitas serta pada gilirannya

berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan kemampuan untuk mengkapitalisasi

modalnya melalui investasi atau tabungan. Dengan perkataan lain maka masyarakat

akan keluar dari lingkaran kemiskinan diputus oleh keberadaan modal (Nurkes

7

,1957; Seibel, 2000; Ajai Nair dan Kloeppinger-Todd, 2007). Oleh karena itulah

maka sangat beralasan bila tingkat kemiskinan dipengaruhi dengan berjalannya

fungsi intermediasi yang diproksi dari jumlah kredit dan jumlah lembaga keuangan,

walaupun bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kemiskinan.

Dalam tataran konseptual, sejalan dengan pendapat Nurkes, Tampubolon

(2002) juga menyatakan bahwa kredit dianggap mampu memutuskan “lingkaran

setan” kemiskinan di perdesaan. Kondisi ini terbukti dengan pengalaman Grameen

Bank di Bangladesh yang saat ini mengembangkan bisnisnya tanpa meninggalkan

pemiliknya (kaum miskin) yang disebut sebagai Social Business. Pengenalan bisnis

kepada masyarakat kecil ini juga dikembangkan oleh De Soto (2000) di Peru yang

percaya bahwa untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat harus diberikan edukasi

mengenai ekonomi pasar, dan ini bisa dilakukan melalui pemberian property rights

dari pemerintah berupa sertifikasi lahan sehingga petani meningkat kemampuannya

untuk mengakses modal karena adanya asset yang bisa diagunkan. Namun demikian,

dalam implementasi peningkatan akses terhadap lembaga keuangan ini, memerlukan

upaya lain berupa pemberdayaaan (empowerment) dari masyarakat penerima

property rights, agar proses ini menggiring masyarakat untuk merubah orientasi

usahanya menjadi profit oriented (komersial) dan pada gilirannya keluar dari

kemiskinan. Peningkatan akses terhadap lembaga keuangan sekaligus juga dapat

dijadikan sebagai upaya pengenalan ekonomi pasar (uang) kemudian disebut sebagai

monetisasi.

Menurut Tuti Karyani (2012) karena kemiskinan merupakan permasalahan

yang cukup kompleks yang faktor yang mempengaruhinya juga sangat kompleks.

8

maka dalam analisis pengaruh kredit ini tidak berdiri sendiri melainkan juga dicoba

ditambahkan faktor lain seperti jumlah lembaga keuangan dan PDRB per kapita.

Dengan menggunakan data panel yaitu data gabungan data silang

kabupaten/kota dan data time series selama kurun waktu 2004-2009 untuk jumlah

penduduk miskin, jumlah kredit, jumlah lembaga keuangan, PDRB per kapita maka

dilakukan analisis regresi panel. Sebelum melakukan estimasi model terlebih dahulu

dilakukan uji spesifikasi model yang hasilnya Fixed Effect Model yang cocok .Tahap

berikutnya dilakukan uji asumsi klasik yaitu uji multikolineritas, heterokedastisitas

dan autokorelasi. Hasil uji menunjukkan adanya autokorelasi sehingga untuk

mengatasinya menggunakan model autoregresi. Hasil akhir dari analisis regresi panel

tersebut dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1 Hasil Estimasi Model Regresi Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan

Variabel Koefisien t statistik Probabilitas Keterangan

C 16,16 9.404791 0.0000 Nyata pada α = 5%

Kredit -0,20 -5.236164 0.0000 Nyata pada α = 5%

JLK -0,011 -0.307558 0.7591 Tidak signifikan

PDRB -0,067 -0.551058 0.5829 Tidak signifikan

AR (1) 0,523 10.22590 0.0000 Nyata pada α = 5%

R-squared 0,99

Prob(F-statistic) 0,0000 D-W 2,1

F-statistic 370,3678

Dari Tabel 1 terlihat bahwa pengaruh kredit, jumlah lembaga keuangan, dan

PDRB per kapita secara simultan dapat menjelaskan pengaruhnya terhadap

kemiskinan sebesar 99% sedangkan sisanya yaitu 1% dijelaskan oleh faktor-faktor

lain yang tidak dinsukkan dalam model.

Pengujian secara parsial dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing-

masing variabel independen terhadap variabel dependen. berarti jumlah kredit

berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan, yaitu semakin besar jumlah

9

kredit,maka kemiskinan akan berkurang. Untuk pengaruh jumlah lembaga keuangan,

PDRB per kapita terhadap tingkat kemiskinan tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap tingkat kemiskinan.

PDRB yang tidak signifikan berpengaruh terhadap kemiskinan,

menunjukkan bahwa walaupun PDRB tinggi tetapi karena merupakan perhitungan

rata-rata, maka tidak menunjukkan adanya pemerataan pendapatan sehingga tidak

memberikan pengaruh terhadap kemiskinan. Adapun untuk jumlah lembaga

keuangan yang tidak signifikan memberikan indikasi bahwa masyarakat masih

belum memiliki akses yang tinggi terhadap pelayanan lembaga keuangan walaupun

jumlah bank sudah meningkat. Penelitian Pie Guo di China ( 2009 ) bahkan

menyebutkan bahwa lembaga-lembaga keuangan di Cina tampaknya justru telah

merampok uang kaum miskin untuk dipinjamkan kepada orang kaya di perkotaan,

sehingga akhirnya dilakukan reformasi kebijakan untuk merestrukturisasi keuangan

perdesaan yang ternyata hasilnya cukup baik, yaitu munculnya kompetisi pelayanan

dari lembaga keuangan terhadap masyarakat perdesaan. Oleh karena itu, fenomena

menyerbunya lembaga keuangan ke perdesaan perlu disikapi dengan baik dan

bijaksana yang disertai pengawasan yang proporsional.

Kaitan dengan peran kredit dalam mereduksi kemiskinan, memerlukan

pengawasan yang cermat dalam penggunaannya agar tidak terjadi fungibility. Selain

itu, pengaruh kredit juga dalam transmisinya memerlukan waktu dan proses yaitu

dengan adanya kredit akan menarik kegiatan ekonomi yang akan meningkatkan

permintaan terhadap tenaga kerja. Selanjutnya tenaga kerja akan mendapatkan upah

sebagai sumber pendapatan keluarganya dan pada gilirannnya akan meningkatkan

daya beli sehingga bisa mendorong keluarga keluar dari kelompok penduduk miskin.

10

Fenomena bahwa kredit investasi pengaruhnya terasa dalam jangka panjang juga

terjadi di Afrika Selatan dan di beberapa negara lainnya (ADB,2001; Allen dan

Ndikumana, 1998).

Fungsi Intermediasi Lembaga Keuangan

Salah satu fungsi dari Lembaga keuangan ialah menjalankan fungsi

intermediasi, yaitu menghubungkan antara masyarakat yang memiliki kelebihan dana

(surplus) dengan yang kekurangan dana (deficit). Dengan demikian lembaga

keuangan masuk dalam kategori lembaga jasa, yang kewajibannya memberikan

pelayanan sebaik-baiknya terhadap nasabahnya.

Seringkali lembaga keuangan di perdesaan kurang memperhatikan pelayanan

yang seharusnya diberikan oleh suatu lembaga jasa, bahkan menempatkan diri

sebagai orang yang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan masyarakat. Tentu saja

hal ini membuat hubungan antara masyarakat dengan lembaga tersebut menjadi

kurang baik. Lembaga keuangan sulit dijangkau, sehingga pada akhirnya masyarakat

lebih menyukai lembaga nonformal yang memberikan pelayanan dengan mudah,

ramah walaupun mahal.

Sebagai lembaga yang menawarkan jasa, lembaga keuangan dalam

menjalankan fungsinya harus memenuhi kaidah sebagai lembaga yang memberikan

pelayanan yang prima atau berkualitas. Dengan kata lain fungsi intermediasi akan

berjalan baik apabila pelayanan yang diberikan berkualitas, dengan asumsi bahwa

kualitas pelayanan yang baik akan meningkatkan respon masyarakat untuk menjadi

nasabah di lembaga keuangan tersebut. Pendapat mengenai fungsi intermediasi harus

dipandang dari sisi pelayanan lembaga keuangan diperkuat dengan Amended theory

11

yang menyatakan bahwa Financial intermediary is an entrepreneurial provider of

financial services (Scholtens, B and Van Wensveen, D.M.N, 2000).

Adapun untuk menilai kualitas pelayanan suatu Lembaga Jasa, maka menurut

Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1995,1998), terdapat lima dimensi yang harus

diperhatikan yaitu: tangible, empathy, reliability, responsiveness, assurance.

Tangibles merupakan bukti nyata dari kepedulian dan perhatian yang

diberikan oleh penyedia jasa kepada konsumen. Pentingnya dimensi tangibles ini

akan menumbuhkan image penyedia jasa terutama bagi konsumen baru dalam

mengevaluasi kualitas jasa. Lembaga keuangan yang tidak memperhatikan fasilitas

fisiknya akan merusak image perusahaan.

Empathy merupakan kemampuan lembaga jasa yang dilakukan langsung oleh

karyawan untuk memberikan perhatian kepada konsumen secara individu, termasuk

juga kepekaan akan kebutuhan konsumen. Jadi komponen dari dimensi ini

merupakan gabungan dari akses (acces) yaitu kemudahan untuk memanfaatkan jasa

yang ditawarkan oleh perusahaan dan komunikasi yaitu kemampuan untuk

menyampaikan informasi untuk mengurangi asimetri informasi kepada konsumen

untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan konsumen.

Reliability atau kehandalan merupakan kemampuan perusahaan untuk

memberikan jasa sesuai dengan apa yang telah dijanjikan secara tepat waktu.

Pentingnya dimensi ini adalah kepuasan konsumen akan menurun bila jasa yang

diberikan tidak sesuai dengan yang dijanjikan.

Responsiveness atau daya tanggap merupakan kemampuan perusahaan atau

yang dilakukan oleh langsung karyawan untuk memberikan pelayanan dengan cepat

dan tanggap. Daya tanggap dapat menumbuhkan persepsi yang positif terhadap

12

kualitas jasa yang diberikan. Termasuk di dalamnya jika terjadi kegagalan atau

keterlambatan dalam penyampaian jasa, pihak penyedia jasa berusaha memperbaiki

atau meminimalkan kerugian konsumen dengan segera.

Assurance atau jaminan merupakan pengetahuan dan perilaku employee untuk

membangun kepercayaan dan keyakinan pada diri konsumen dalam mengkonsumsi

jasa yang ditawarkan. Dimensi ini sangat penting karena melibatkan persepsi

konsumen terhadap risiko ketidakpastian yang tinggi terhadap kemampuan penyedia

jasa. Perusahaan membangun kepercayaan dan kesetiaan konsumen melalui

karyawan yang terlibat langsung menangani konsumen.

Dari koperasi yang diteliti oleh Tuti Karyani (2012) yang mengambil kasus

di Garut (KPGS dan KUD Cisurupan) sebagai representasi agroekosistem dataran

tinggi, dan di Indramayu yaitu KPL Mina Sumitra dan Koperasi Bina Hasil Tani

menunjukkan bahwa secara umum untuk koperasi yang anggotanya memiliki

keterkaitan dengan kepentingan sarana produksi dan pemasaran hasil yang dilakukan

melalui koperasi, kualitas pelayanannya sudah baik yaitu KPGS, KUD Cisurupan

(koperasi peternak sapi)) dan KPL Mina Sumitra (koperasi nelayan), tetapi untuk

koperasi Bina Hasil Tani yang anggotanya petani padi masih menunjukkan

pelayanan yang kurang baik, selain juga karena petani banyak pilihan menjual hasil

padinya (sementara sistim resi gudang belum berjalan dengan baik), demikian juga

untuk keperluan sarana produksi, petani padi memilih membeli di toko sarana

produksi yang dekat lokasinya.

Bila dilihat dari masing-masing aspek pelayanan, maka dari tangible (fisik)

Bina Hasil Tani di Haur Geulis pun walaupun ada di bawah bimbingan PT Pertani,

kenyataannya koperasi masih jauh dari harapan sebuah koperasi yang ideal. Kantor

13

koperasi bersatu dengan toko foto copy dan waserda yang sama sekali tidak lengkap.

Ketimpangan ini juga dirasakan karena bersanding dengan Top Sindo milik Pertani

yang menyediakan sarana produksi pertanian.

Untuk reliability (kehandalan), petugas koperasi Bina Hasil Tani dinilai

tidak baik karena karyawan yang melayani dinilai kurang faham dan kurang santun

dalam memberikan penjelasan, sehingga kesannya koperasi seperti tidak

membutuhkan anggota untuk berpartisipasi. Kesan dan penilaian seperti ini datang

dari anggota yang bukan karyawan Pertani tetapi petani sekitar yang menjadi anggota

koperasi. Kemudian untuk daya tanggap (responsiveness) karyawan koperasi masih

ada yang menilainya kurang baik, bahkan tidak baik disebabkan masih ada

perlakuan yang berbeda antara yang kenal dan yang masih belum kenal dengan

karyawan. Kemudian bila ada masalah/keluhan, masih ada anggota yang merasa

masalahnya tidak segera ditanggapi. Petugas lembaga koperasi masih punya sikap

menunggu, tidak ada petugas lapangan seperti mantri yang ada di BRI. Selanjutnya

dalam penilaian terhadap assurance (keterjaminan) koperasi, ada yang menilai

masih kurang terjamin bahkan tidak terjamin, karena seringkali petugas belum

mampu menjawab bila ditanya anggota mengenai permasalahan, atau bahkan data

mengenai jumlah tabungan secara cepat dan akurat karena kurangnya fasilitas

pendukung sistem informasi. Berdasarkan penilaian anggota mengenai empathy,

(pemahaman secara individual) anggota merasa bahwa karyawan secara khusus

tidak pernah memberikan bimbingan, penyuluhan atau pembinaan secara khusus

sesuai dengan permasalahan.

Merancangbangun Koperasi sebagai Lembaga Keuangan Mikro

Perdesaan Berkelanjutan

14

Berdasarkan permasalahan dan paradigma LKM yang sudah ada, maka ada

bebarapa hal yang harus diperhatikan dalam merancangbangun kelembagaan LKM.

Langkah tersebut ialah: (1). Memahami karakteristik bisnis (usaha) calon nasabah

yang akan dilayani (2) Memahami paradigma kelembagaan yang sudah ada (3)

Merancangbangun lembaga yang baru.

Tabel 2. Karakteristik dari Bisnis Calon Nasabah di Perdesaan

Karakteristik Keterangan

Keunikan Produk

Pertanian dan UMKM

berbasis pertanian

Gestatition period: Bervariasi untuk setiap jenis

komoditas (musiman, tahunan, dsb)

Teknologi: bervariasi

Supply produk: berfluktuasi baik jumlah maupun kualitas

Lokasi Tersebar, sehingga secara fisik tidak terjangkau

Skala Usaha: kecil-kecil

Biaya transaksi menjadi mahal

Risiko Risiko fisik: karena hama penyakit tanaman,

penanganan pasca panen

Risiko harga

Jaminan Sebagian besar tidak punya jaminan sebagai

agunan

SDM Sebagian besar berpendidikan rendah, tidak bisa mempromosikan produknya sehingga tidak

bankable.

Kapasitas Kelembagaan Masih lemah

Dengan karakteristik seperti ini lembaga keuangan bank yang merupakan

lembaga profit oriented, tentunya akan berfikir ulang untuk terjun membiayai sektor

ini, sehingga yang terjadi adalah munculnya urban bias atau lebih cenderung

membiayai sektor perkotaan seperti perumahan, perdagangan, industri, jasa dan lain-

lain, missal di Jawa Barat kredit untuk sektor pertanian hanya 1% - 3% dari total

kredit.

15

Walaupun saat ini sepertinya terdapat fenomena bank mulai melirik

perdesaan, namun perlu didorong agar niatnya lebih tulus, bukan hanya bertujuan

mengeksploitasi melalui penarikan uang dari desa ke kota dengan akal-akalan

pembatasan jumlah pinjaman padahal simpanan yang dihimpun masih lebih besar

(dilihat dari LDR yang masih rendah). Cara lainnya ialah bank tetap meminta

agunan sekali pun atas kredit yang oleh pemerintah dijamin seperti KUR.

Oleh karena itu, dalam merancangbangun Lembaga Keuangan Mikro di

Perdesaan perlu diperhatikan bahwa terdapat paradigma baru mengenai keuangan

perdesaan yang menganjurkan pendekatan sistem keuangan yang menekankan pada 3

strategi prioritas dalam mengembangkan pasar keuangan perdesaan (Gonzalez

Claudio -and Vega. 2003; Zeller, 2003; Nagarajan and Meyer, 2005), yaitu:

ADVANCES (Institutions,

Products, Services,

Processes)

Impact

Outreach Sustainability

Enabling Environment

Gambar 1. The Rural Finance Triangle

Sumber: Gonzales Claudio and Vega, 2003; Zeller, 2003; Nagarajan and Meyer,

2005)

16

(i) Menciptakan lingkungan kebijakan yang menguntungkan, termasuk stabilitas

ekonomi makro serta penurunan kebijakan yang bias terhadap sektor

perdesaan;

(ii) Penguatan kerangka hukum dan peraturan kerja, termasuk meningkatkan

dasar hukum untuk transaksi yang terjamin yang dapat memberikan berbagai

pelayanan jasa keuangan, tidak hanya sekedar kredit.

(iii) Membangun kapasitas LKM yang berorientasi tidak hanya pada kredit

tetapi juga berorientasi pada pelayanan demand-driven ,misalnya variasi

tabungan, dan jasa keuangan lainnya.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa segi tiga paradigma baru LKP bersandar pada

pemikiran dan ide berikut:

a. Bahwa masyarakat perdesaan dapat bankable melalui lembaga yang tepat dan

dengan produk dan jasa yang dirancang cocok untuk kondisi perdesaan .

b. Kredit adalah hanya salah satu pelayanan keuangan yang diminta oleh nasabah

perdesaan.

c. Tujuan yang diinginkan untuk lembaga keuangan perdesaan mencakup

memaksimalkan jangkauan dan mencapai kesinambungan dalam rangka

membuat dampak terbesar pada kehidupan masyarakat perdesaan.

d. Kemajuan pada lembaga, produk dan jasa serta pelayanan keuangan sehingga

tidak menghambat transaksi keuangan di daerah perdesaan. Kemajuan tersebut

didukung oleh lingkungan berupa dukungan kebijakan ekonomi makro.

Masih mengacu pada paradigma baru LKM , maka langkah berikutnya ialah

merancangbangun monetisasi perdesaan antara lain melalui penguatan koperasi

17

sebagai lembaga kuangan mikro yang melaksanakan fungsi intermediasi. Hal ini

disebabkan karena koperasi merupakan salah satu lembaga ekonomi yang juga bisa

dijadikan lembaga keuangan yang diharapkan menjadi salah satu ujung tombak

untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.

Usaha simpan pinjam merupakan salah satu usaha koperasi yang telah

berakar dan dikenal secara luas oleh anggota koperasi dan masyarakat di Indonesia.

Berdasarkan PP No 9 Tahun 1995, kegiatan usaha simpan pinjam adalah kegiatan

yang dilakukan untuk menghimpun dan menyalurkan dana melalui kegiatan usaha

simpan dari dan untuk anggota koperasi, calon anggota, koperasi lain dan atau

anggotanya. Dengan demikian koperasi simpan pinjam merupakan salah satu usaha

lembaga keuangan non bank yang tumbuh sebagai lembaga keuangan alternatif

karena sulitnya masyarakat terutama UMKM untuk mengakses sumber permodalan

dari perbankan.

Selama ini sebenarnya terdapat hubungan antara koperasi dengan perbankan

sebagai lembaga intermediasi. Paradigma yang muncul dalam hubungan

kelembagaan bila mengadaptasi konsep intermediasi dari Van der Meuleun et al

(2005) yang mengacu pada teori agensi dapat digambarkan sebagaimana dapat

dilihat pada Gambar 2

Paradigma lama hubungan Koperasi dengan Bank

18

ANGGOTABANK

ANGGOTABANK

KOPERASI

ANGGOTABANK KOPERASI

KOPERASIPrincipal Agent 1

3

2

Principal Agent

Principal Agent

manajemen

Manajemen

Manajemen

Gambar 2. Paradigma Lama Keterkaitan Bank (Intermediaries Institutions),

Koperasi dan Anggotanya (dimodifikasi dari Van der Meulen,

et.al, 2005)

Skema 1, koperasi bertindak sebagai mediator antara anggota dengan bank. Pada

skema ini terdapat kerjasama bank dengan koperasi yang memfasilitasi pemanfaatan

jasa pelayanan perbankan bagi anggota koperasi, misalnya gaji, dana pensiun, dana

asuransi jiwa, dan simpanan anggota. Anggota memiliki otoritas individu dalam

memanfaatkan jasa layanan perbankan dan memperoleh nilai tambah lebih jika

berstatus pula sebagai anggota koperasi. Koperasi mendapatkan manfaat dari ikatan

kerjasama dengan bank dan manfaat kepercayaan layanan operasional terhadap

anggota, sehingga meningkatkan rasa memiliki, meningkatkan motivasi anggota

untuk menyimpan uangnya di koperasi, memanfaatkan unit usaha layanan koperasi

(waserda, sarana produksi, pembayaran listrik simpan-pinjaman, perumahan, dan

lain lain). Skema ini menunjukkan terdapat hubungan simbiosis mutualistik antara

bank dengan koperasi dan antara koperasi dengan anggotanya.

19

Skema 2, menunjukkan belum adanya keterpaduan hubungan antara bank dengan

koperasi dan koperasi dengan anggotanya. Pada skema ke-2, koperasi melakukan

hubungan yang erat dengan bank dan hanya menempatkan anggota sebagai pihak

konsumen. Pada kondisi ini, koperasi juga berposisi sebagai kepanjangan tangan dan

kaki tangan pihak perbankan, koperasi menjadi “broker” antara bank dengan

anggota, sehingga koperasi cenderung bertindak sebagai koperasi papan nama.

Selain itu yang lebih parah lagi bila didalamnya juga sarat dengan kepentingan

politik dan koperasi mencari keuntungan dari anggotanya.

Skema 3, koperasi memiliki hubungan yang kuat dengan anggota tetapi koperasi

tidak memiliki akses ke perbankan. Pada kondisi ini koperasi kurang atau bahkan

tidak mendapat kepercayaan dari perbankan walaupun koperasi berinteraksi kuat

dengan anggota. Bank hanya berkenan berhubungan dengan koperasi bila adanya

jaminan dari pengurus koperasi, pada kondisi ini prudential bank dibebankan atas

koperasi. Oleh karena itu bila tidak ada lembaga lain yang muncul sebagai penjamin

(Perum Pengembangan Keuangan Koperasi) misalnya maka koperasi tidak diberi

kepercayaan untuk menyalurkan kredit perbankan.

Skema 4. Paradigma baru merancangbangun LKM (yang disarankan)

Hubungan koperasi dengan bank ialah bahwa bank merupakan unit usaha yang

dimiliki oleh koperasi, dengan kata lain terdapat bank koperasi.

20

Bank KoperasiAnggota Manajemen

masyarakat

Gambar 3. Pemanfaatan Koperasi sebagai Pemilik Bank (LKM)

Model LKM ini mirip dengan Rabbo Bank di Belanda yang dimiliki oleh

koperasi, BAAC (Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives) yaitu Bank

Pembangunan Pertanian yang dimiliki Pemerintah Thailand. Pemilik adalah

anggota, dan bank dengan petugasnya sebagai agen yang memiliki fungsi

intermediasi terutama dalam penguatan modal anggota yang kemudian memperluas

jangkauannya baik secara fisik untuk calon-calon anggota dan masyarakat secara

umum.

Anggota merupakan pemilik sekaligus penggunanya, namun selain anggota

LKM lebih memperluas pelayanan kepada masyarakat umum, tanpa melupakan

anggota. Ada beberapa hal yang perlu perhatian, pengawasan dan pembenahan yang

terjadi di lapangan, bahwa banyak pemilik BPR yang menamakan diri koperasi,

tetapi sesungguhnya menodai prinsip-prinsip koperasi. Koperasi hanya milik 20

orang anggota yang sebenarnya hanya keluarga saja, dan mereka menjual jasa

keuangan ke masyarakat dengan biaya transaksi dan bunga yang tinggi. Masyarakat

tidak diberi kesempatan untuk ikut sebagai anggota pemilik, bahkan terkesan

menjadi bahan eksploitasi.

21

Koperasi sebagai lembaga jasa, seharusnya memberikan pelayanan secara

maksimal kepada anggota baik sebagai pemilik dan pengguna tanpa dibebani biaya

transaksi. Koperasi hanya akan mendapat fee dari pelayanan yang diberikan kepada

anggota, adapun biaya transaksi hanya dibebankan kepada bukan anggota. Pada

koperasi sebagai pemilik bank atau yang mempunyai unit simpan pinjam, selain

koperasi memberi pelayanan kredit juga bisa memberikan fasilitas sistem

pembayaran melalui bank koperasi, sehingga memudahkan transaksi serta lebih

aman dibandingkan dengan transaksi yang sifatnya tunai.

Untuk menguatkan permodalan LKM milik koperasi, maka diperlukan modal

penyertaan dari pemerintah dengan memanfaatkan dana padanan (MAP). Sumber

lain yang memungkinkan untuk pengembangan modal koperasi diusulkan agar

kredit-kredit program yang disediakan pemerintah seperti program KUR, KKP, KCR

dan kredit program lainnya hendaknya disalurkan melalui LKM milik koperasi baik

langsung atau melalui linkage program dengan perbankan lain. LKM juga dapat

dijadikan sebagai penampung dana kredit Bansos (Bantuan Sosial) yang bersumber

dari APBN maupun APBD. LKM yang sifatnya unit system, akan lebih mengenal

nasabahnya karena para petugasnya diangkat dari masyarakat sekitarnya.

Untuk keamanan kredit, maka diperlukan lembaga penjamin kredit baik yang

selama ini secara khusus ada untuk koperasi yaitu Perum Pengembangan Keuangan

Koperasi (PPKK) maupun berupa Lembaga Penjamin Kredit Daerah (LPKD) yang

merupakan bentukan pemerintah daerah. Namun demikian, sekecil apa pun risiko

yang akan ditanggung, maka tetap harus diantisipasi agar tidak terjadi, yaitu dengan

cara melakukan pembinaan dan sekaligus pengawasan kredit agar sesuai dengan

tujuan kreditnya.

22

Simpulan

1. Fungsi intermediasi LK yang ditunjukkan dari jumlah kredit yang disalurkan,

berpengaruh negatif terhadap kemiskinan, yaitu semakin besar nilai kredit yang

disalurkan maka kemiskinan akan berkurang. Hal ini menunjukkan relevansi yang

kuat dengan teori Nurkes yaitu investasi (dalam hal ini melalui kredit) dapat

memutus rantai kemiskinan.

2. Berdasarkan penilaian dari nasabah, fungsi intermediasi koperasi secara

keseluruhan sudah baik, namun sebenarnya apabila dianalisis lebih dalam dengan

menilai pelayanan masing-masing koperasi maka nampak bahwa koperasi pada

hasil usahtani padi yang kurang baik, adapun untuk koperasi yang berkaitan dengan

pelayan kebutuhan produksi dan pemasaran tergolong sudah baik.

3. Rancangbangun lembaga keuangan di perdesaan yang terbaik ialah LKM yang

dimiliki koperasi, karena sifatnya unit system sehingga lebih mengenal nasabahnya

dengan baik, terhindar dari leakages (kebocoran) sumber dana ke luar desa, serta

lebih mudah dalam pembinaan dan pengawasan. Walaupun demikian untuk

keterjaminan, masih tetap memerlukan Lembaga Penjamin Kredit seperti Perum

PKK ataupun LPKD.

Saran

1. Untuk memelihara eksistensi koperasi menjadi LKM yang berkelanjutan,

maka LKM harus terus meningkatkan kualitas pelayanan untuk memenangkan

persaingan dengan para pemain baru. Oleh karena itu peran agen seperti Mantri (di

BRI Unit) perlu disediakan koperasi, sebagai upaya jemput bola yang ternyata peran

mantri ini sebagai ujung tombak kesuksesan BRI Unit. Selain upaya mengenal

23

anggota dan usahanya sekaligus juga dapat dijadikan upaya pengawasan kredit agar

tidak terjadi fungibility..

2. Untuk meningkatkan aksesibilitas dan outreach dunia usaha ke pelosok

diperlukan penyediaan infrastrukur yang memadai seperti sarana transportasi dan

jaringan komunikasi dan jaminan keamanan. Kualitas birokrasi daerah juga perlu

ditingkatkan sedemikian rupa sehingga memiliki paradigma melayani bisnis.

3. LKM perlu menerapkan lebih fleksibel cara pembayaran kembali kredit

perdesaan disesuaikan dengan tipe usaha anggota. Penerapan teknik pembayaran

kredit „yarnen‟ pada usahatani perlu dikembangkan terus dengan penyesuaian bunga

sesuai lama pinjaman.

4. Mobilisasi tabungan sebagai sumber permodalan sekaligus merupakan

edukasi bagi masyarakat untuk hidup hemat dan meningkatkan pemupukan modal.

Upaya jumput bola tabungan juga perlu dilakukan oleh petugas lapangan, selain

menagih angsuran kredit.

5. Pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap LKM yang pemiliknya

mengaku sebagai koperasi tetapi tidak menerapkan prinsip koperasi, karena hal ini

akan merusak citra koperasi.

6. Untuk meminimalisir risiko tidak kembalinya kredit, maka diperlukan Tim

Teknis yang memberikan pembinaan dan pendampingan kepada petani dan UMKM

yang mendapat kredit. Tim Teknis ini yang sudah ada misalnya BDS (Business

Development Service). Khusus untuk keberhasilan usahatani secara teknis, maka

peran PPL lebih ditingkatkan lagi dengan senantiasa mengikuti perkembangan

teknologi dan informasi melalui upaya capacity building.

24

25

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Burhanudin , 2006. Jalan Menuju Stabilitas. Mencapai Pembangunan

Ekonomi Berkelanjutan. Jakarta: LP3ES.

ADB. 2001. Finance for the Poor: Microfinance Development Strategy. Manila.

Asian Development Bank.

Ajai Nair, Renate Kloeppinger-Todd, 2007. Reaching Rural Areas with Financial

Services:Lessons from Financial Cooperatives (FCs) in Brazil, Burkina Faso,

Kenya, and Sri Lanka

Allens, Donald S dan Leonce Ndikumana .1998. Financial Intermediation and

Economic Growth in Southern Africa. Working Paper 1998-004B. Melalui:

http://research.stlouisfed.org/wp/1998/98-004.pdf federal reserve bank of st.

Louis

Bank Indonesia, 2012. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Jawa Barat Triwulan I

V,2011. Kantor Bank Indonesia. Jawa Barat.

______, 2010. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks

Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)

Menurut Provinsi, Maret 2009. Jakarta

De Soto, Hernando. 2000. The Mystery of Capital. New York: Basic Books

Gonzalez Claudio -and Vega. 2003. Stages In The Evolution Of Thought On Rural

Finance. Economics and Sociology. Occasional Paper No. 2134.

Hamid E.S. 1986. Dalam Seminar. Kredit Perdesaan di Indonesia. Mubyarto dan

Edy Suandi Hamid (Eds.). Yogyakarta: BPFE .

Nagarajan, Geetha and Richard L. Meyer. 2005. Rural Finance: Recent Advances and

Emerging Lessons, Debates and Opportunities. Reformatted version of Working

Paper No. (AEDE-WP-0041-05), Department of Agriculture, Environmental, and

Development Economics, The Ohio State University (Columbus, Ohio, USA)

Nurkse, Ragnar. 1957. Problem of Capital Formation in Underdeveloped Countries,

Oxford : Oxford University Press

Pantoro, Setyo. 2008. Pendekatan Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM)

dan Implikasinya. Koran-rakyat-online.

Parasuraman, A. Valarie, A. Zeithaml, & L. Berry, 1998. Communication and

Control Processes in the Delivery of Service Quality, Journal of Marketing,

Vol. 52,pp.35-48.

26

Pei Guo, 2009. The structure and reform of rural Finance in China. China

Agricultural Economic Review, Vol. 1 No. 2, 2009, Emerald Group

Publishing Limited. Center for Chinese Agricultural Policy, China Academy

of Sciences,Beijing, People‟s Republic of China. Beijing.

Scholtens, B., and van Wensveen, D.M.N. (2000). A Critique on The Theory of

Financial Intermediation, Journal of Banking and Finance 24, 1243-1251

Seibel Hans Dieter, 2000. Poverty reduction and Rural Finance: From

unsustainable programs to sustainable institutions with growing outreach to

the poor.

Sumodiningrat, Gunawan. 2003. Peranan Lembaga Keuangan Mikro dalam

Menanggulangi Kemiskinan Terkait dengan Kebijakan Otonomi Daerah.

Artikel Tahun II no. 1 Jurnal Ekonomi Pertanian.

Soekirno, S., 1981, Pengantar Teori Makroekonomi, Jakarta: Penerbit FE UI.

Syukur , M. 2002. Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit

Rumah Tangga Miskin. Disertasi. Program Pasca Sarjana. IPB.

Tampubolon, S.M.H. 2002. Kredit Untuk Petani. Dalam Suara dari Bogor: Sistem &

Usaha Agribisnis: Kacamata Sang Pemikir. Harianto R Pambudy. Tungkot S

dan Burhanudin (Eds). Bogor. Pusat Studi Pembangunan IPB dan USESE

Foundation.

Tuti Karyani, 2011. Fungsi Intermediasi Lembaga Keuangan Perdesaan Dalam

Mendukung Pembiayaan Sektor Pertanian di Jawa Barat.Disertasi. Unpad.

Bandung.

Van der Meuleun B, Maria Nedeva, Dietmar Braun. 2005. Intermediaries

Organisation and Processes: theory and research issues. Position Paper for

PRIME Workshop, 6-7 October 2005, The Netherlands

Zeithaml, Valerie A, Leonard L., Berry and A,Parasuraman (1996), The Behavioral

Consequences of Service Quality, Journal of Marketing, Vol. 60, pp.31-46.

Zeller, Manfred. 2003. “Models of Rural Finance Institutions.” Paving the

Way Forward for Rural Finance: An International Conference on Best

Practices, June 2003

27

PENINGKATAN FUNGSI INTERMEDIASI KOPERASI SEBAGAI

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DI PERDESAAN DALAM UPAYA

PENGENTASAN KEMISKINAN

ARTIKEL ILMIAH

Oleh :

Burhan Arief

Tuti Karyani

Disajikan dalam Rangka Dies Natalis IKOPIN

2012