38
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS A. Lahir dan Putusnya Hubungan Kerja 1. Lahirnya Hubungan Kerja Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. 1 Di dalam Pasal 50 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja. 2 Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. 3 Hubungan kerja hanya ada jika salah satu pihak dalam perjanjian yang dinamakan pengusaha dan pihak lainnya dinamakan pekerja atau buruh. Digunakan hubungan perikatan sebagai hubungan kerja untuk menunjukan bahwa terjadi hubungan hukum antara pengusaha dengan pekerja/buruh mengenai kerja. 4 1 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1999, hal.88. 2 Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 50 3 UU No. 13 Tahun 2003, Pasal 1 diktum 15. 4 Jumiarti,Hukum ketenagakerjaan,Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacacana,2011,hlm.5.

A. Lahir dan Putusnya Hubungan Kerja 1. Lahirnya Hubungan Kerja · 2018. 4. 26. · bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja.2 Menurut

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

    A. Lahir dan Putusnya Hubungan Kerja

    1. Lahirnya Hubungan Kerja

    Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan

    pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di

    mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha

    menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar

    upah.1 Di dalam Pasal 50 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan

    bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha

    dengan pekerja.2 Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang

    dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan

    pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan,

    upah, dan perintah.3 Hubungan kerja hanya ada jika salah satu pihak dalam

    perjanjian yang dinamakan pengusaha dan pihak lainnya dinamakan pekerja atau

    buruh. Digunakan hubungan perikatan sebagai hubungan kerja untuk menunjukan

    bahwa terjadi hubungan hukum antara pengusaha dengan pekerja/buruh mengenai

    kerja.4

    1 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1999, hal.88.

    2 Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 50

    3 UU No. 13 Tahun 2003, Pasal 1 diktum 15.

    4 Jumiarti,Hukum ketenagakerjaan,Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya

    Wacacana,2011,hlm.5.

  • 2

    Atas pemahaman tersebut dapat dilihat bahwa hubungan kerja dapat terjadi

    akibat adanya perjanjian kerja baik perjanjian itu dibuat secara tertulis maupun

    secara lisan. Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No.13 tahun 2003, yang

    dimaksud dengan perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan

    pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat, hak, dan kewajiban

    para pihak. Perjanjian harus memenuhi syarat yang diatur secara khusus dalam

    Undang-Undang No.13 tahun 2003, pada Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang

    Ketenagakerjaan , yang menyebutkan 4 dasar perjanjian kerja, yaitu:

    1. Kesepakatan kedua belah pihak;

    2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

    3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

    4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

    kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Pada syarat nomor 1 dan 2 disebut sebagai syarat subjektif yang apabila tidak

    dipenuhi maka perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya

    kepada pihak yang berwenang. Sedangkan syarat 3 dan 4 apabila tidak terpenuhi

    maka perjanjian tersebut batal demi hukum, tidak sah sama sekali. Pentingnya

    perjanjian kerja sebagai dasar mengikatnya suatu hubungan hukum, yaitu

    hubungan kerja, maka landasannya adalah ada tidaknya perjanjian kerja.5

    Selain Perjanjian Kerja, yang menjadi instrumen dalam mengatur hak dan

    kewajiban daripada pekerja maupun pengusaha adalah Peraturan Perusahaan dan

    Perjanjian Kerja Bersama. Pengertian Peraturan Perusahaan berdasarkan Pasal 1

    angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah

    5 Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia,2010, hlm. 45.

  • 3

    peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat

    kerja dan tata tertib perusahaan. Menurut Pasal 111 UU Ketenegakerjaan,

    Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat:

    1. hak dan kewajiban pengusaha;

    2. hak dan kewajiban pekerja/buruh;

    3. syarat kerja;

    4. tata tertib perusahaan; dan

    5. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

    Sedangkan pengertian Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Dalam Pasal 1 angka 21

    Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dikatakan PKB

    adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara Serikat Pekerja/Buruh

    atau beberapa Serikat Pekerja/buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung

    jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau

    perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajban

    kedua belah pihak.

    Berkaitan mengenai kedudukan hukum PKB dalam hubungannya dengan

    keabsahan suatu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang didasarkan pada PKB,

    Pasal 127 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

    menyebutkan sebagai berikut ;

    1. Perjanjian kerja yang dibuat oleh Pengusaha dan Pekerja/Buruh tidak

    boleh bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama..

    2. Dalam hal ketentuan dalam Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud dalam

    Ayat (1) bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama, maka ketentuan

  • 4

    dalam Perjanjian Kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku

    adalah ketentuan dalam Perjanjian Kerja Bersama.

    Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini diatur dalam Pasal 124 (2)

    Undang-Undang No.13 tahun 2003. Ketentuan dalam Peraturan Perusahaan tidak

    boleh bertentangan, lebih rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan

    perundang-undangan yang berlaku.Apabila ternyata bertentangan, yang berlaku

    adalah ketentuan peraturan perundang-undangan (Asas Lex Superior Derogat Lex

    Inferior).6 Jika bertentangan maka pada pada Ayat berikutnya (Ayat 3) dituliskan

    bahwa dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan

    perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2), maka

    ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah

    ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

    2. Putusnya Hubungan Kerja

    a. Sebab Putusnya Hubungan Kerja

    Di tengah-tengah masa kerja kerap kali terjadi perselisihan hubungan

    industrial, baik perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan antar

    serikat pekerja/buruh maupun perselisihan pemutusan hubungan kerja

    (PHK). Oleh karena itu, PHK bisa timbul karena adanya hubungan kerja

    yang terjadi sebelumnya.7

    Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja menurut UU No.

    13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah pengakhiran hubungan kerja

    6 Drs.Mohd.syaufii Syamsuddin, SH, MH., Norma perlindungan dalam hubungan

    industrial,Jakarta;Sarana Bhakti Persada,2004,hlm 208. 7 Hartono Widodo, S.H. dan Judiantoro,S.H; Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan

    Perburuhan,Jakarta utara,CV.Rajawali,1989,hlm 23.

  • 5

    karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan

    kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

    Pemutusan hubungan kerja tidak boleh dilakukan secara sepihak dan

    sewenang-wenang, akan tetapi PHK hanya dapat dilakukan dengan alasan-

    alasan tertentu setelah diupayakan bahwa PHK tidak perlu terjadi. Dalam

    Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 dinyatakan sebagai berikut:

    1. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan

    pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan

    terjadi pemutusan hubungan kerja.

    2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan

    hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan

    hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat

    pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila

    pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat

    pekerja/serikat buruh.

    3. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2)

    benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya

    dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah

    memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan

    hubungan industrial.

    Berdasarkan ketentuan UU Ketengakerjaan tersebut, maka dapat dipahami

    bahwa PHK merupakan opsi terakhir dalam penyelamatan sebuah

    perusahaan.

  • 6

    Menurut Pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai

    Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat berakhir apabila :

    1. Pekerja meninggal dunia,

    2. Jangka waktu kontak kerja telah berakhir,

    3. Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian

    perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan

    hukum tetap,

    4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam

    perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

    bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

    Dalam literatur Hukum Ketenagakerjaan dikenal ada beberapa jenis

    PHK yaitu:

    1. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha

    Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap

    pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan

    berat sebagai berikut:

    a) Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang

    dan/atau uang milik perusahaan;

    b) Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga

    merugikan perusahaan;

    c) Mabuk, meminum-minuman keras yang memabukkan, memakai

    dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif

    lainnya di lingkungan kerja;

    d) Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

  • 7

    e) Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi

    teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

    f) Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan

    perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-

    undangan;

    g) Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam

    keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbukan

    kerugian bagi perusahaan;

    h) Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau

    pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

    i) Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang

    seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

    j) Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang

    diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 158

    Ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).

    Kesalahan berat yang dimaksud harus didukung dengan bukti yaitu:

    Pekerja/buruh tertangkap tangan; Ada pengakuan dari pekerja/buruh

    yang bersangkutan; Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat

    oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan

    didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

  • 8

    2. Pemutusan hubungan kerja oleh buruh/pekerja

    Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan

    hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

    industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

    a) Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam

    pekerja/buruh;

    b) Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan

    perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-

    undangan;

    c) Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan

    selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;

    d) Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada

    pekerja/buruh;

    e) Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksakan pekerjaan di

    luar yang diperjanjikan; atau

    f) Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,

    kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan

    tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja (Pasal 169

    Ayat 1).

    Pekerja /buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan

    melakukan pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu

    meminta penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

    industrial. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana

    dimaksud di atas harus memenuhi syarat:

  • 9

    - Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis

    selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai

    pengunduran diri;

    - Tidak terikat dalam ikatan dinas;

    - Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai

    pengunduran diri.

    3. Hubungan kerja putus demi hukum

    Selain pemutusan kerja oleh pengusaha, buruh/pekerja, hubungan

    kerja juga dapat putus/berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja

    tersebut harus putus dengan sendirinya dan kepada buruh/pekerja,

    pengusaha tidak perlu mendapatkan penetapan PHK dari lembaga

    yang berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 154 Undang-Undang

    No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut:

    a) Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bila mana

    telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;

    b) Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara

    tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya

    tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja

    sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama

    kali;

    c) Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan

    dalam peerjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja

    bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau

    d) Pekerja/buruh meninggal dunia.

  • 10

    4. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan

    Yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan

    ialah pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas

    permintaan yang bersangkutan (majikan/buruh) berdasarkan alasan

    penting. Alasan yang penting adalah disamping alasan mendesak juga

    karena perubahan keadaan pribadi atau kekayaan pemohon atau

    perubahan keadaan di mana pekerjaan yang dilakukan sedemikian

    rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan hubungan

    kerja.

    b. Prosedur PHK

    Berikut adalah prosedur PHK menurut Undang-Undang No 13 Tahun

    2003:

    1. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan

    pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan

    terjadi pemutusan hubungan kerja (Pasal 151 Ayat 1).

    2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan

    hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan

    hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat

    pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila

    pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat

    pekerja/serikat buruh. (Pasal 151 Ayat 1).

    3. Jika perundingan berhasil, membuat persetujuan bersama.

  • 11

    4. Jika tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan

    secara tertulis disertai dasar dan alasan- alasannya kepada

    pengadilan hubungan industrial (Pasal 151 Ayat 3 dan Pasal 152

    Ayat 1).

    5. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

    industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh

    harus tetap melaksanakan segala kewajibannya (Pasal 155 Ayat 2).

    6. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan

    sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) berupa tindakan skorsing

    kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan

    hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-

    hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh (Pasal 155 Ayat 3).

    c. Hak-hak PHK

    Dalam hal terjadi PHK, maka terdapat hak-hak yang harus dibayar

    oleh pengusaha kepada pekerja ter-PHK. Hal ini diatur dalam Pasal 156

    Ayat (1) Undang-Undang No.13 tahun 2003, yang berbunyi:

    “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan

    membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang

    penggantian hak yang seharusnya diterima.”

    Ketentuan mengenai besaran uang upah yang harus dibayar oleh

    pengusaha, diatur dalam Pasal 156 Ayat (2), yaitu:

    Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) paling

    sedikit sebagai berikut:

  • 12

    a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua)

    tahun, 2 (dua) bulan upah;

    c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

    d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

    e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

    f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

    g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.

    h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

    i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

    Bagi pekerja yang telah bekerja selama tiga tahun atau lebih, berhak

    mendapatkan uang penghargaan masa kerja, adapun besaran uang

    penghargaan masa kerja ditetapkan dalam Pasal 156 Ayat (3), yaitu:

    Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam

    Ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :

    a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;

    b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

    c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

    d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

    e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

    f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

    g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

    h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.

    Pekerja yang terkena PHK juga berhak memperoleh uang penggantian

    hak, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 156 Ayat (4), yang berbunyi:

  • 13

    Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud

    dalam Ayat (1) meliputi :

    a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya

    ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;

    c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang

    penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;

    d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

    Hak lain yang dapat diterima oleh pekerja yang terkena PHK adalah

    uang pisah. Uang pisah diberikan kepada pekerja bila hal tersebut telah

    diatur dalam perjanjian kerja, PP dan PKB baik jumlah maupun

    pelaksanaannya. Pekerja yang berhak mendapatkan uang pisah yaitu:8

    a. Pekerja yang mengundurkan diri dan tugas serta fungsinya tidak

    mewakili kepetingan pengusaha secara langsung.

    b. Pekerja yang melakukan kesalahan berat.

    c. Pekerja yang mangkir selama lima hari secara berturut-turut tanpa

    pemberitahuan tertulis dengan bukti yang sah.

    Menurut UU No. 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan, pihak

    perusahaan dapat saja melakukan PHK dalam berbagai kondisi sebagai

    berikut:

    1. Pengunduran diri secara baik-baik atas kemauan sendiri.

    Bagi pekerja yang mengundurkan diri secara baik-baik tidak

    berhak mendapat uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat

    2. Yang bersangkutan juga tidak berhak mendapatkan uang

    penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat 3 tetapi

    8 Libertus Jehani, Hak-hak Pekerja Bila di-PHK, Tangerang, Agromedia Pustaka 2006, hlm 39

  • 14

    berhak mendapatkan uang penggantian hak mendapatkan 1 kali

    ketentuan Pasal 156 Ayat 4.

    Apabila pekerja tersebut mengundurkan diri secara mendadak

    tanpa mengikuti prosedur sesuai ketentuan yang berlaku (diajukan

    30 hari sebelum tanggal pengunduran diri) maka pekerja tersebut

    hanya mendapatkan uang penggantian hak. Tetapi kalau

    mengikuti prosedur maka pekerja tersebut mendapatkan uang

    pisah yang besar nilainya berdasarkan kesepakatan antara

    pengusaha dan pekerja yang tertuang dalam Perjanjian Kerja

    Bersama (PKB) atau peraturan perusahaan.

    2. Pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri karena

    berakhirnya hubungan kerja.

    Bagi pekerja kontrak yang mengundurkan diri karena masa

    kontrak berakhir, maka pekerja tersebut tidak mendapatkan uang

    pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat 2 dan uang

    penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat 3 juga

    uang pisah tetapi berhak atas penggantian hak sesuai ketentuan

    Pasal 156 Ayat 4.

    3. Pengunduran diri karena mencapai usia pensiun.

    Mengenai batasan usia pensiun perlu disepakati antara pengusaha

    dan pekerja dan dituangkan dalam perjanjian kerja bersama atau

    peraturan perusahaan. Batasan usia pensiun yang dimaksud

    adalah penentuan usia berdasarkan usia kelahiran dan berdasarkan

    jumlah tahun masa kerja. Pekerja berhak mendapat uang

  • 15

    pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 Ayat 2 dan uang

    penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 156 Ayat 4 tetapi

    tidak berhak mendapat uang pisah.

    4. Pekerja melakukan kesalahan berat

    Diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003, yang

    dimaksud pekerja yang melakukan kesalhan berat adalah:

    - Pekerja telah melakukan penipuan, pencurian, penggelapan barang dan atau uang milik perusahan.

    - Pekerja memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahan.

    - Pekerja mabuk, minum - minuman keras, memakai atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat aktif lainnya,

    dilingkungan kerja.

    - Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja. - Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi,

    teman sekerja atau perusahaan dilingkungan kerja.

    - Membujuk teman sekerja atau perusahaan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang.

    - Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan

    kerugian bagi perusahaan.

    - Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau perusahaan dalam keadaan bahaya ditempat kerja.

    - Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara.

    - Melakukan perbuatan lainnya dilingkungan perusahaan yang diancam hukuman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

    Pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya berdasarkan

    kesalahan berat hanya dapat memperoleh uang pengganti hak sedang

    bagi pekerja yang tugas dan fungsi tidak mewakili kepentingan

    perusahaan secara langsung,selain memperoleh uang pengganti, juga

    diberikan uang pisah yang besarnya diatur dalam Perjanjian Kerja,

    Peraturan Perusahaan, dan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

    Akan tetapi, kemudian ada putusan Mahkamah Konstitusi (untuk

  • 16

    selanjutnya disingkat MK) yang membatalkan Pasal 158 Undang-

    Undang No. 13 tahun 2003 tersebut yaitu Putusan Mahkamah

    Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 Tahun 2009 karena dianggap

    telah bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, serta

    melanggar azas praduga tidak bersalah (presumtion of innocence) dan

    kesamaan di depan hukum sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.9

    Berdasarkan putusan MK tersebut Menteri Ketenagakerjaan dan

    Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran Menakertrans No. SE-

    13/MEN/SJ-HK/I/2005 tertanggal 7 Januari 2005 (SE

    MENAKERTRANS). SE Menakertrans ini menegaskan bahwa jika

    pengusaha hendak melakukan PHK karena pekerja melakukan

    kesalahan berat, harus ada putusan hakim pidana yang berkekuatan

    hukum tetap terlebih dahulu. Sehingga, harus dibuktikan terlebih dulu

    kesalahannya melalui mekanisme peradilan pidana. Pada poin ke-4

    tertulis Dalam hal terdapat " alasan mendesak " yang mengakibatkan

    tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha

    dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian

    perselisihan hubungan industrial.

    Pada Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 mengatur

    tentang ketentuan PHK karena kesalahan berat seperti yang sudah

    penulis paparkan di atas, namun hak PHK yang seharusnya diterima

    pada pekerja yang terkena PHK karena kesalahan berat diatur dalam

    9 Jaminan persamaan di depan hukum terdapat dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 ”Segala warga

    negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Juga dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

  • 17

    Pasal 158 Ayat (3 & 4) sebelum perubahan dari putusan MK dan SE

    MENEKETRANS, yaitu:

    Ayat 3: “Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan

    alasan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), dapat memperoleh

    uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 Ayat

    (4).”

    Ayat 4: “Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1)

    yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha

    secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan

    Pasal 156 Ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan

    pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,

    atau perjanjian kerja bersama.”

    5. Pekerja ditahan pihak yang berwajib.

    Perusahaan dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja

    terhadap pekerja setelah 6 (enam) bulan tidak melakukan

    pekerjaan yang disebabkan masih dalam proses pidana. Dalam

    ketentuan bahwa perusahaan wajib membayar kepada pekerja

    atau buruh uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali

    ditambah uang pengganti hak. Untuk Pemutusan Hubungan Kerja

    ini tanpa harus ada penetapan dari lembaga Penyelesaian

    Hubungan Industrial tetapi apabila Pengadilan memutuskan

    perkara pidana sebelum 6 (enam) bulan dan pekerja dinyatakan

    tidak bersalah, perusahaan wajib mempekerjakan kembali.

    6. Perusahaan/perusahaan mengalami kerugian.

    Apabila perusahaan bangkrut dan ditutup karena mengalami

    kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, perusahaan

    dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja.

    Syaratnya adalah harus membuktikan kerugian tersebut dengan

  • 18

    laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh

    akuntan publik. Dan perusahaan wajib memberikan uang

    pesangon 1 (satu) kali ketentuan dan uang pengganti hak.

    7. Pekerja mangkir terus menerus.

    Perusahaan dapat memutuskan hubungan kerja apabila pekerja

    tidak masuk selama 5 hari berturut-turut tanpa keterangan tertulis

    yang dilengkapi bukti-bukti yang sah meskipun telah dipanggil 2

    kali secara patut dan tertulis oleh perusahaan. Dalam situasi

    seperti ini, pekerja dianggap telah mengundurkandiri. Keterangan

    dan bukti yang sah yang menunjukkan alasan pekerja tidak

    masuk, harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja

    masuk kerja dan untuk panggilan patut diartikan bahwa panggilan

    dengan tenggang waktu paling lama 3 hari kerja dengan di

    alamatkan pada alamat pekerja yang bersangkutan atau alamat

    yang dicatatkan pada perusahaan.

    Pekerja yang di-PHK akibat mangkir, berhak menerima uang

    pengganti hak dan uang pisah yang besarnya dalam

    pelaksanaannya diatur dalam Perjanjian kerja, Peraturan

    Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama.

    8. Pekerja meninggal dunia

    Hubungan kerja otomatis akan berakhir ketika pekerja meninggal

    dunia. Perusahaan berkewajiban untuk memberikan uang yang

    besarnya 2 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa

    kerja, dan uang pengganti hak. Adapun sebagai ahli waris

  • 19

    janda/duda atau kalau tidak ada anak atau juga tidak ada

    keturunan garis lurus keatas/kebawah selam tidak diatur dalam

    perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama.

    9. Pekerja melakukan pelanggaran.

    Di dalam hubungan kerja ada suatu ikatan antara pekerja dengan

    perusahaan yang berupa perjanjian kerja , peraturan

    perusahaan,dan Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat oleh

    perusahaan atau secara bersama-sama antara pekerja/serikat

    pekerja dengan perusahaan, yang isinya minimal hak dan

    kewajiban masing-msing pihak dan syarat-syarat kerja, dengan

    perjanjian yang telah disetujui oleh masing-masing pihak

    diharapkan didalam implementasinya tidak dilanggar oleh salah

    satu pihak.

    Pelanggaran terhadap perjanjian yang ada tentunya ada sangsi

    yang berupa teguran lisan atau surat tertulis, sampai ada juga yang

    berupa surat peringatan. Sedang untuk surat peringatan tertulis

    dapat dibuat surat peringatan ke I, ke II, sampai ke III. masing-

    masing berlakunya surat peringatan selam 6 bulan sehingga

    apabila pekerja sudah diberi peringatan sampai 3 kali berturut-

    turut dalam 6 bulan terhadap pelanggaran yang sama maka

    berdasarkan peraturan yang ada kecuali ditentukan lain yang

    ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan

    ,Perjanjian kerja Bersama, maka perusahaan dapat melakukan

    pemutusan hubungan kerja. Perusahaan Berkewajiban

  • 20

    memberikan uang pesangon 1 dari ketentuan, uang penghargaan

    masa kerja 1 kali ketentuan dan uang pengganti hak yang

    besarnya ditentukan dalam peraturan yang ada.

    10. Perubahan status, penggabungan, pelemburan atau perubahan

    kepemilikan.

    Bagi pekerja yang diakhiri hubungan kerjanya karena alasan

    tersebut di atas maka :

    - Pekerja yang tidak bersedia melanjutkan hubungan kerjanya,

    pekerja tersebut berhak atas uang pesangon 1 kali sesuai

    ketentuan Pasal 156 Ayat 2 dan uang penghargaan masa kerja

    1 kali sesuai Pasal 156 Ayat 3 dan uang penggantian hak

    sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat 4 dan tidak berhak

    mendapatkan uang pisah.

    - Perusahaan tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya

    maka bagi pekerja tersebut berhak atas uang pesangon 2 kali

    ketentuan Pasal 156 Ayat 2 dan uang penghargaan masa kerja

    Pasal 156 Ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai ketentuan

    Pasal 156 Ayat 4 dan tidak berhak mendapat uang pisah.

    11. Pemutusan Hubungan Kerja karena alasan Efisiensi.

    Bagi pekerja yang mengakhiri hubungan kerjanya karena efisiensi

    maka pekerja tersebut berhak atas uang pesangon 2 kali ketentuan

    Pasal 156 Ayat 3 dan uang penggantian hak sesuai ketentuan

    Pasal 156 Ayat 3 dan uang penghargaan masa kerja 1 kali

  • 21

    ketentuan Pasal 156 Ayat 4 tetapi tidak berhak mendapatkan uang

    pisah.

    Mengenai pengertian “alasan mendesak” dalam yang terdapat

    dalam ketentuan PHK karena kesalahan berat, tidak dijelaskan secara

    rinci mengenai apa yang dimaksud dalam keadaan dimana dapat

    digunakan alasan mendesak. Jika mengacu pada alasan mendesak

    yang diatur dalam Pasal 1603 huruf o Kitab Undang-Undang Hukum

    Perdata, maka diatur demikian:

    Bagi majikan, yang dipandang sebagai alasan-alasan mendesak dalam

    arti Pasal yang lalu adalah perbuatan-perbuatan, sifat-sifat atau sikap

    buruh yang sedemikian rupa, sehingga mengakibatkan, bahwa tidak

    pantaslah majikan diharapkan untuk meneruskan hubungan kerja.

    Alasan-alasan mendesak dapat dianggap ada, antara lain;

    1. jika buruh, waktu mengadakan perjanjian, mengelabui

    majikan dengan memperlihatkan surat-surat yang palsu atau

    dipalsukan, atau sengaja memberikan penjelasan-penjelasan

    palsu kepada majikan mengenai cara berakhirnya hubungan

    kerja yang lama;

    2. jika ia ternyata tidak mempunyai kemampuan atau

    kesanggupan sedikit pun untuk pekerjaan yang telah

    dijanjikannya;

    3. jika ia, meskipun telah diperingatkan, masih mengikuti

    kesukaannya minum sampai mabuk, mengisap madat di luar

    atau suka melakukan perbuatan buruk lain;

  • 22

    4. jika ia melakukan pencurian, penggelapan, penipuan atau

    kejahatan lainnya yang mengakibatkan ia tidak lagi mendapat

    kepercayaan dari majikan;

    5. jika ia menganiaya, menghina secara kasar atau melakukan

    ancaman yang membahayakan majikan, anggota keluarga

    atau anggota rumah tangga majikan atau teman sekerjanya;

    6. jika ia membujuk atau mencoba membujuk majikan, anggota

    keluarga atau anggota rumah tangga majikan, atau teman

    sekerjanya, untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang

    bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan;

    7. jika ia dengan sengaja atau meskipun telah diperingatkan,

    dengan sembrono merusak milik majikan atau menimbulkan

    bahaya yang sungguh-sungguh mengancam milik majikan

    itu;

    8. jika ia dengan sengaja atau meskipun telah diperingatkan

    dengan sembrono menempatkan dirinya sendiri atau orang

    lain dalam keadaan terancam bahaya besar;

    9. jika mengumumkan seluk beluk rumah tangga atau

    perusahaan majikan, yang seharusnya Ia rahasiakan;

    10. jika ia bersikeras menolak memenuhi perintah-perintah wajar

    yang diberikan oleh atau atas nama majikan;

    11. jika ia dengan cara lain terlalu melalaikan kewajiban-

    kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh perjanjian;

  • 23

    12. jika ia karena sengaja atau sembrono menjadi tidak mampu

    melakukan pekerjaan yang dijanjikan. Janji-janji yang

    menyerahkan keputusan ke tangan majikan mengenai adanya

    alasan memaksa dalam arti Pasal 1603 n, adalah batal.

    B. HASIL PENELITIAN

    1. Posisi Kasus

    Heri Purnomo adalah pekerja dari PT. Mayora Indah TBK, bekerja pada

    bagian Prod.Biscuit-Technical, kebangsaan Indonesia, bertempat tinggal di Perum

    Hasta Graha Blok 14/4, RT.002/RW.039,Kelurahan Wanasari, Kecamatan

    Cibitung, Kabupaten Bekasi.

    Pada tanggal 12 Juni 2014, Heri Purnomo tidak berada di tempat kerja tanpa

    seijin atasan yang berwenang, hingga pihak perusahaan memanggil Heri Purnomo

    untuk membicarakan permasalahan tersebut. Heri Purnomo menyatakan tidak

    berada berada di tempat kerja, namun di tempat lain yang masih dalam lingkungan

    perusahaan, dalam hal ini Heri Purnomo menyatakan masuk kerja. Atas

    perbuatannya tersebut Heri Purnomo dilarang masuk oleh pihak perusahaan secara

    lisan yang setelahnya Heri Purnomo juga dikenai pembebasan tugas (skorsing)

    melalui surat Nomor: 325/MYR/HRDA/1/2014.

    Setelah sanksi dipenuhi, Heri Purnomo kembali bekerja. Namun dari pihak

    perusahaan tidak mengijinkan Heri Purnomo untuk masuk dan dikirimkanlah

    surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menyatakan bahwa Heri Purnomo

    telah melakukan pelanggaran berat sesuai dengan PKB Pasal 62 huruf b, yaitu

  • 24

    memberikan keterangan palsu yang dipalsukan sehingga merugikan

    Perusahaan/kepentingan Negara.

    Heri Purnomo tidak mau menerima keputusan PHK tersebut, karena

    seharusnya jika tidak berada di tempat kerja tanpa seijin atasan yang berwenang

    hanya diberikan sanksi teguran lisan berdasarkan PKB PT. Mayora Indah Tbk

    Pasal 62 huruf b yaitu “memberikan keterangan palsu yang dipalsukan sehingga

    merugikan perusahaan/kepentingan Negara” . Namun perusahaan memiliki alasan

    melakukan PHK atas dasar pelanggaran berat, yaitu keterangan saksi pegawai lain

    yang mengetahui bahwa Heri Purnomo ternyata datang melakukan absen masuk

    lalu pergi dengan alasan yang disampaikan kepada rekan kerjanya akan mengantar

    isteri, dan hingga jam pulang kerja Heri Purnomo baru kembali untuk melakukan

    absen pulang. Hal tersebut diperkuat dengan adanya rekaman CCTV, beserta data

    absen yang memang benar Heri Purnomo melakukan absen masuk dan pulang.

    Heri Purnomo menyatakan bahwa sesuai dengan Putusan MK yang menguji

    Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 beserta Surat Edaran Menteri

    Tenaga Kerja dan Transmigrasi (MENAKERTRANS), bahwa seharusnya PHK

    karena kesalahan berat harus ada penetapan terlebih dahulu mengenai kesalahan

    pidananya oleh Hakim Pidana.

    Heri Purnomo telah mengajukan proses Mediasi kepada Dinas Tenaga Kerja

    Bekasi. Namun pihak perusaaan tidak mengindahkan proses mediasi beserta

    anjuran dari mediator. Atas dasar tersebut Heri Purnomo akhirnya mengajukan

    gugatan kepada Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang

    kemudian akan di-paparkan isi gugatan, putusan tingkat I dan Kasasi, serta

    pertimbangan Hakim.

  • 25

    2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Tingkat I No.

    43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG

    Pada Tingkat I Heri Purnomo selaku penggugat dan PT. Mayora Indah Tbk

    sebagai tergugat. Isi gugatan pada tingkat pertama yaitu sebagai berikut:

    1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;

    2. Menyatakan Tergugat dalam memutuskan hubungan kerja terhadap

    Penggugat tanpa terlebih dahulu memperoleh Penetapan dari Lembaga

    Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;

    3. Menyatakan Surat Pemutusan Hubungan Kerja No. 022/MYR-CBT/HRD-

    PHK/ VII/2014, tanggal 7 Juli 2014 adalah TIDAK SAH DAN BATAL

    DEMI HUKUM;

    4. Alasan Tergugat yang menyatakan Penggugat melakukan kesalahan berat

    adalah tidak sah dikarenakan Tergugat tidak mempunyai putusan Hakim

    Pidana terhadap kesalahan berat tersebut;

    5. Mewajibkan Tergugat untuk memberikan Teguran Lisan terhadap

    Penggugat;

    6. Menyatakan Hubungan Kerja antara Penggugat dan Tergugat tidak

    Terputus;

    7. Mewajibkan Tergugat untuk mempekerjakan kembali Penggugat pada

    bagian, jabatan dan posisi semula;

    8. Menghukum Tergugat untuk membayar upah proses kepada Penggugat

    sejak periode upah bulan Juli 2014 sampai dengan adanya putusan yang

    telah mempunyai berkekuatan hukum tetap dan rnengikat sebesar Rp.

  • 26

    2.922.017,- (dua juta sembilan ratus dua puluh dua ribu tujuh belas rupiah)

    untuk setiap bulannya;

    9. Menghukum Tergugat untuk membayar keterlambatan upah kepada

    Penggugat sebesar Rp. 11.688.068 ( Sebelas juta enam ratus delapan puluh

    delepan ribu enam puluh delepan rupiah )

    10. Membebankan biaya perkara kepada Tergugat.

    Dari isi gugatan tersebut, dalam putusan Tingkat I hakim memutuskan

    sebagai berikut:

    1. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya;

    2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat HERI PURNOMO

    dengan Tergugat PT. MAYORA INDAH Tbk didasarkan pada Pasal 62

    huruf b Perjanjian Kerja Bersama PT. MAYORA INDAH Tbk periode

    2011-2013 terhitung tanggal 7 Juli 2014;

    3. Menghukum Tergugat membayar Upah Pisah 2(dua) bulan upah dan upah

    proses selama 3 bulan (bulan April, Mei, Juni 20110) seluruhnya

    berjumlahRp.8.449.000,- (delapan juta empat ratus empat puluh sembilan

    ribu rupiah);

    4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;

    5. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar Rp. 619.000,- (enam

    ratus sembilan belas ribu rupiah);

    Dasar pertimbangan Hakim dari hasil putusan yang menyatakan PHK serta

    menentukan hak penggantian hak tersebut di atas adalah bahwa Perjanjian Kerja

    Bersama antara PT. Mayora Indah, Tbk dan PB GSPB dan PUK GSPMII periode

  • 27

    2011-2013 dibuat telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1320 KUH-Perdata Jo

    1338 KUH-Perdata ”karena semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

    sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”,dengan demikian

    Perjanjian Kerja Bersama kedudukannya sama dengan Undang-Undang sehingga

    wajib ditaati.

    Dan telah terbukti Penggugat melanggar melakukan kesalahan berat yaitu

    Pasal 62 huruf b Perjanjian Kerja Bersama periode 2011-2013 dengan demikian

    terhadap kesalahan Penggugat tidak berpedoman pada putusan Mahkamah

    Konstitusi perkara No. 012/PUU-I/2013 tanggal 28 Oktober 2004 (bukti P-5) Jo

    Surat Edaran MENAKERTRANS RI. Nomor : SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005

    Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia yaitu pemutusan

    hubungan kerja karena kesalahan berat harus ada putusan dari Hakim Pidana

    karena tentang kesalahan berat telah diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama yang

    merupakan undang-undang bagi Kedua belah pihak.

    Majelis Hakim berpendapat karena Penggugat karena telah terbukti

    melakukan kesalahan berat sehingga haruslah diputuskan hubungan kerjanya

    dengan alasan mendesak” Jo 1603 huruf O 1o KUH-Pdt menyebutkan : “bagi

    majikan dianggap sebagai alasan-alasan mendesak dalam arti Pasal lalu

    perbuatan-perbuatan sifat atau tingkah laku si buruh yang demikian hingga

    karenanya dari pihak majikan tidak sepatutnya dapat diminta untuk meneruskan

    perhubungan kerjanya yaitu : “ apabila si buruh pada waktu menutup persetujuan

    telah menyesatkan si majikan dengan memperlihatkan surat-suarat pernyataan

    yang palsu atau dipalsukan , atau kepada si majikan ini dengan sengaja telah

  • 28

    memberikan keterangan palsu tentang tata cara bagaimana perhubungan kerja

    yang lama telah berakhir ”, dengan demikian Surat

    Dalam hal penggantian hak, Majelis Hakim menimbang karena dalam PKB

    tidak mengatur tentang hak-hak penggugat yang di PHK karena kesalahan berat,

    maka didasarkan pada keadilan dan kepatutan dengan penggugat telah lama

    bekerja dan sudah banyak memberikan kontribusi tenaga dalam pekerjaannya

    maka Majelis Hakim memutuskan untuk diberikan uang pisah kepada penggugat

    sebesar 2 bulan upah dan upah proses selama 3 bulan yang dihitung 5 x Rp.

    1.689.800,- = Rp. 8.449.000,-

    3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Tingkat Kasasi No.

    656 K/Pdt.Sus-PHI/2015

    Heri Purnomo melalui kuasa hukumnya untuk selanjutnya mengajukan

    Kasasi atas keberatan-keberatannya. Dalam tingkat Kasasi, isi keberatan-

    keberatan Heri Purnomo adalah:

    1. Hakim telah salah menerapkan hukum karena telah memberikan

    pertimbangan hukum secara tidak seksama mengenai tanggal, bulan, tahun

    berakhirnya hubungan kerja, sehingga membingungkan pemohon Kasasi,

    sehingga memohon dilakukan pembatalan putusan.

    2. Majelis Hakim salah menerapkan Hukum yang membingungkan pemohon

    Kasasi, yaitu dalam halaman 27 paragraf ke – 2 Majelis Hakim

    berpendapat bahwa penggugat terbukti melakukan kesalahan berat

    sehingga harus diputus hubungan kerjanya dengan alasan mendesak “Jo

    1603 Huruf O 1o KUH-Pdt....Dst”. Namun dalam halaman 28 paragraf ke-

  • 29

    3 Majelis Hakim menggunakan dasar PHK dengan alasan karena terbukti

    melanggar Pasal 62 huruf f PKB.

    3. Hakim telah salah menerapkan Hukum, karena dalam 64 Ayat 2 PKB PT.

    Mayora Indah Tbk berbunyi:

    “setiap pemutusan hubungan kerja harus mendapatkan ijin dari PHI atau

    instansi yang berwenang untuk Pemutusan Hubungan Kerja, kecuali:

    a. Pekerja dalam masa percobaan,

    b. Pekerja mengundurkan diri,

    c. Pekerja meninggal dunia,

    d. Pekerja telah mencapai usia pensiun.

    Putusan Hakim juga melanggar ketentuan Pasal 151 Ayat (3) jo Pasal 155

    Ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

    4. Majelis Hakim telah salah menerapkan hukum karena telah memberikan

    pertimbangan hukum yang tidak seksama/cermat: mengenai Upah

    Penggugat, sungguh sangat membingungkan Pemohon Kasasi. Semula

    Penggugat.Sebagaimana tertulis di dalam dalil gugatan Penggugat nomor

    1: Upah Penggugat Heri Purnomo pada bulan Juni 2014 sebesar

    Rp2.922.017,00 Bukti P -1 Photo Copy Slip gaji Heri Purnomo Bulan Juni

    2014. Dalam Pertimbangan Hukumnya di halaman 28 Paragraf ke 2,

    yakni: “…Uang pisah sebesar 2 bulan upah dan upah proses selama 3

    bulan (bulan April, Mei, Juni 2011 yang dihitung 5 x Rp1.689.800,00 =

    Rp8.449.000,00 (delapan juta empat ratus empat puluh Sembilan ribu

    delapan ratus rupiah)…Dst;

  • 30

    Dalam Tingkat Kasasi Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan

    gugatan penggugat untuk sebagian. Putusan tersebut adalah sebagai berikut:

    1. Menyatakan hubugan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus

    karena PHK;

    2. MenghukumTergugat untuk membayar uang konpensasi PHK secara tunai

    dan sekaligus sebesar Rp. 56.687.129,8 (lima puluh enam juta enam ratus

    delapan puluh tujuh ribu seratus dua puluh sembilan koma delapan

    rupiah);

    3. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;

    4. Membebankan biaya perkara kepada Negara;

    Adapun yang menjadi dasar pertimbangan Hakim yang menjadi dasar

    lahirnya putusan tersebut adalah bahwa Pemohon Kasasi/Pengugat telah

    melakukan pelanggaran disiplin karena mengisi absen masuk dan juga mengisi

    absen pulang pada tanggal 12 Juni 2014 padahal sebenarnya Pemohon

    Kasasi/Pengugat tidak hadir kerja, hal ini merupakan pelanggaran berat

    sebagaimana ditentukan dalam Pasal 60 Ayat (1) dan Pasal 62 Ayat (2) huruf b,

    PKB PT Mayora Indah Tbk. yang dapat mengakibatkan pemutusan hubungan

    kerja; Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut Termohon Kasasi/Tergugat

    dapat melakukan PHK kepada Pemohon Kasasi/Penggugat dengan kewajiban

    kepada Termohon Kasasi/Tergugat untuk memberikan konpensasi sebagaimana

    diatur dalam Pasal 161 Ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

    Ketenagakerjaan.

  • 31

    Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut cukup beralasan menghukum

    Termohon Kasasi/Tergugat untuk membayar pesangon dengan perincian sebagai

    berikut:

    Uang pesangon 1 x 9 x Rp2.922.017,00 = Rp26.298.153,00

    Uang Penghargaan Masas Kerja 7 x Rp2.922.017,00 = Rp20.454.119,00

    Uang Peneggantian Hak, dll

    (15% (Rp26.298.153,00 + Rp20.454.119,00) = Rp7.012.840.8

    Upah Skorsing bulan Juli 2014 Rp2.922.017,00 = Rp2.922.017,00

    Total = Rp56.687.129.8

    (lima puluh enam juta enam ratus delapan puluh tujuh ribu seratus dua puluh

    sembilan koma delapan rupiah);

    Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung

    berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan Kasasi dari

    Pemohon Kasasi Heri Purnomo tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan

    Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 43/Pdt.Sus-

    PHI/2015/PN Bdg., tanggal 9 Juni 2015 selanjutnya Mahkamah Agung akan

    mengadili sendiri.

    C. ANALISIS

    1. Putusan Tingkat I No. 43/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG

    Heri Purnomo yang tidak masuk kerja namun mengatakan masuk, dan telah

    melakukan absen masuk dan pulang kerja, padahal tidak ada bentuk kegiatan kerja

    yang dilakukannya dimana hal tersebut menjadi tanggungjawabnya sebagai

    pekerja. Jika PT. Mayora Indah Tbk melakukan PHK terhadap Heri Purnomo,

  • 32

    dapat dilihat pada Pasal 158 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 yang

    menyatakan bahwa, Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap

    pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat, yang

    pada huruf b dikatakan: “memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan

    sehingga merugikan perusahaan”. Dari pengaturan tersebut jelas apa yang

    dilakukan Heri Purnomo dapat dikatakan melakukan kesalahan berat.

    Dalam posisi kasus, pihak perusahaan melakukan PHK berdasarkan

    pelanggaran berat yang diatur dalam PKB PT. Mayora Indah Tbk Pasal 62 huruf

    b, yang jika dilihat isinya sama dengan ketentuan pada Pasal 158 Undang-Undang

    No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Hal ini tentu dapat menjadi dasar

    dilakukannya PHK, karena sesuai yang diatur dalam Pasal 61 Undang-Undang

    No. 13 tahun 2003 yang mengatur tentang ketentuan yang dapat mengakibatkan

    perjajian kerja dapat berakhir, pada poin ke-4 dikatakan: “Adanya keadaan atau

    kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,

    atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan

    kerja.” Namun perlu diperhatikan kembali pada Pasal 124 (2) Undang-Undang

    No.13 tahun 2003 dikatakan bahwa “Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama

    tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

    Jika bertentangan maka pada pada Ayat berikutnya (Ayat 3) dituliskan bahwa

    dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-

    undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2), maka ketentuan

    yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan

    dalam peraturan perundang-undangan.

  • 33

    Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa Pasal 158 Undang-

    Undang No. 13 tahun 2003 telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam

    putusan No. 012/PPU-1/2003 perihal Pengusaha yang melakukan PHK terhadap

    pekerja yang melakukan kesalahan berat dianggap melanggar asas praduga tak

    bersalah. Kemudian berdasarkan Putusan MK tersebut, Menteri Tenaga Kerja dan

    Transmigrasi (MENAKERTRANS) menertbitkan Surat Edaran

    MENAKERTRANS No. 13/Men/SJ-HK/I/2005, yang menyatakan bahwa jika

    pengusaha akan melakukan PHK dengan dasar kesalahan berat maka dapat

    dilakukan setelah ada putusan pidana yang memiliki hukum tetap.

    Pada putusan pertama Majelis Hakim juga menggunakan dasar bahwa Pasal

    1320 Jo 1338 KUH Perdata yang menjadi dasar untuk menyatakan bahwa

    perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak berlaku sebagai Undang-

    Undang dan mengikat. Jika dengan dasar Pasal tersebut maka memang dapat

    dikatakan PKB PT Mayora Indah Tbk memiliki kekuatan untuk menjatuhkan

    hukuman PHK pada Heri Purnomo. Namun perlu diingat bahwa dengan asas Lex

    Specialist Derogat Lex Generalist,maka Udang-Undang No.13 Tahun 2013

    tentang ketenagakerjaan lebih memiliki kekuatan dibanding ketentuan dalam

    Pasal 1320 Jo 1338 KUH Perdata, karena peraturan yang dibuat khusus

    mengesampingkan peraturan umum. Maka hal ini kembali membuktikan

    ketentuan dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 pada ketentuan kesalahan

    berat yang digantikan dengan keputusan MK dalam kasus ini yang sebenarnya

    tepat diterapkan, yaitu dengan membuktikan kesalahan Pidananya terlebih dahulu.

    Jika melihat dasar PHK pengusaha menggunakan PKB, maka perlu dilihat

    bahwa ketentuan dalam PHK perihal PHK karena kesalahan berat adalah

  • 34

    bertentangan dengan Putusan MK No. 012/PPU-1/2003. Bahwa dalam PKB

    perusahaan berhak melakukan PHK atas kesalahan berat tanpa melakukan

    pembuktian kesalahan pidana dengan keputusan berkekuatan hukum tetap, namun

    dalam Putusan MK menyatakan harus terlebih dahulu membuktikannya dengan

    keputusan Hakim Pidana. Maka sesuai dengan Pasal 124 Ayat (2 & 3) Undang-

    Undang No. 13 tahun 2003, seharusnya ketentuan dalam PKB PT. Mayora Indah

    Tbk yang mengatur hal tersebut adalah batal demi Hukum dan perusahaan tidak

    dapat langsung melakukan PHK terhadap Pekerja. Bilamana ingin tetap

    melakukan PHK maka Putusan MK-lah yang berlaku, yaitu pengusaha harus

    melalui proses pembuktian kesalahan pidana daripada pekerja dengan keputusan

    pidana yang berkekuatan Hukum tetap.

    PKB daripada PT. Mayora Indah Tbk yang digunakan tersebut adalah PKB

    periode yang berlaku untuk 2011-2013, dimana perubahan pada Pasal 158 sudah

    terjadi, sehingga seharusnya PKB menyesuaikan dengan Peraturan Perundang-

    Undangan yang ada atau yang bersifat menggantinya. Jika ada peraturan seperti

    yang ada dalam PKB yang melakukan PHK tanpa terlebih dahulu membuktikan

    kesalahan Pidananya, maka hal tersebut adalah suatu bentuk kesewenang-

    wenangan daripada pengusaha. Kembali lagi melalui dasar MK menguji Pasal 158

    adalah karena adanya pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah jika

    pengusaha melakukakan PHK atas dasar kesalahan berat tanpa membuktikan

    kesalahan pidananya melalui keputusan Hakim Pidana yang berkekuatan Hukum

    tetap. Sehingga menurut penulis tidaklah sah jika Heri Purnomo di PHK karena

    kesalahan berat berdasarkan PKB PT Mayora Tbk.

  • 35

    Besaran hak-hak dalam Putusan Tingkat I terdapat kesalahan pertimbangan

    oleh Majelis Hakim. Dalam penulisan nominal gaji pokok per-bulan daripada

    penggugat yang seharusnya benar dicantumkan pada awal penulisan duduk

    perkara sebesar Rp. 2.922.017,-, namun pada pertimbangan Hakim dituliskan

    sebesar Rp. 1.689.800,-. Sehingga hal tersebut sudahlah salah jika dilanjut dalam

    perhitungan hak-hak PHK, dan merugikan penggugat.

    Majelis Hakim meberikan hak-hak dengan uang pisah. Penulis tidak setuju

    dengan pertimbangan keputusan Hakim. Menurut pendapat penulis sesuai yang

    telah disampaikan juga bahwa Pasal 158 sudah tidak digunakan sebagai acuan

    lagi. Namun perlu diperhatikan berkaitan dengan tidak ada diaturnya dalam

    perubahan yang baru mengenai hak-hak PHK karena kesalahan berat, maka

    peraturan dalam 158 Ayat (3) dan (4) dapat diterapkan hingga ada peraturan

    Hukum yang lebih jelas mengaturnya. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi

    kekosongan peraturan Peundang-Undangan. Hal ini berkaitan agar Putusan Hakim

    mengenai PHK karena kesalahan berat agar tidak ada perbedaan pertimbangan

    Hukum perihal hak-hak dan menimbulkan ketidakadilan antara kasus satu dengan

    yang lainnya. Maka penulis berpendapat bahwa hak hak-hak PHK yang layak

    diterima bagi pekerja yang melakukan kesalahan berat adalah:

    - Uang penggantian meliputi:

    a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

    b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat

    dimana pekerja/buruh diterima bekerja

    - Serta uang pisah.

  • 36

    2. Putusan Tingkat Kasasi No. 656 K/Pdt.Sus-PHI/2015

    Pada Tingkat Kasasi Majelis Hakim juga menghukum Penggugat dengan

    PHK, dengan dasar pertimbangan yang sama yaitu telah melakukan kesalahan

    berat dan melanggar ketentuan dalam PKB. Namun yang menjadi beda dengan

    Tingkat I adalah pada hak-hak PHK-nya. Kembali lagi seperti pada Tingkat I,

    penulis berpendapat bahwa Penggugat tidak seharusnya dapat di-PHK karena

    peraturan dalam PKB, karena PKB bertentangan dengn peraturan perUndang-

    Undangan seperti yang dituliskan sebelumnya.

    Mengenai hak-hak PHK pada tingkat kasasi, penulis juga tidak setuju. Pada

    tingkat kasasi Majelis Hakim menggunakan ketentuan dalam Pasal 161, yang

    dimana diatur mengenai hak-hak terhadap pekerja yang di-PHK karena melanggar

    ketentuan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja

    Bersama. Penulis tidak setuju, dapat dilihat yang pertama seperti yang penulis

    jelaskan, bahwa ketentuan yang diatur dalam PKB adalah bertentangan dengan

    peraturan perUndang-Undangan, sehingga batal demi Hukum dan dianggap tidak

    ada. Dapat dilihat pula adanya unsur yang tidak dipenuhi dalam Pasal 161, yaitu

    adanya surat peringatan yang harusnya telah diberikan terlebih dahulu secara

    berurutan dari surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga.

    Dalam kasus ini pengusaha dapat menggunakan alasan mendesak seperti

    yang dituliskan juga dalam SE MENAKERTRANS. Pada poin ke 4 seperti yang

    sudah penulis sampaikan sebelumnya bahwa dalam hal terdapat " alasan

    mendesak " yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja

    dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui

    lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Perbuatan yang dilakukan

  • 37

    Heri Purnomo jika dilihat dalam keadaan alasan mendesak yang diatur dalam

    KUH Perdata Pasal 1603 huruf O, maka memang yang dilakukan Heri Purnomo

    bisa saja masuk ke dalam alasan mendesak, yaitu pada poin ke-4 penipuan (karena

    absen tapi tidak melakukan kerjaan atau masuk kerja) atau pada poin ke-11 bahwa

    dengan cara lain terlalu melalaikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan

    kepadanya oleh perjanjian.

    Mengenai ketentuan dalam perihal alasan mendesak ini memang tidak jelas

    pengaturannya. Jika memang benar dapat digunakan kapan saja asal ada kriteria

    tindakan pekerja yang melanggar Pasal 1603 huruf O dalam KUH Perdata, maka

    ini sama saja menjadi bertentangan dengan Putusan MK yang kemudian tertulis

    dalam SE MENAKERTRANS, dimana seharusnya dalam kesalahan berat harus

    dibuktikan terlebih dahulu dengan memperoleh keputusan Hakim Pidana yang

    memiliki kekuatan Hukum tetap, namun dengan adanya alasan medesak dan dapat

    dikondisikan pengusaha langsung mengajukan gugatan kepada Pengadilan

    Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang bersifat Perdata. Jika penulis

    berpendapat, maka seakan alasan medesak ini menjadi jalan pintas bagi pengusaha

    untuk tetap saja melanggar asas praduga tak bersalah.

    Mengenai kesalahan berat yang kemudian oleh pengusaha diatur dalam

    PKB perusahaan, seperti halnya dalam kasus yang menjadi bahan penulisan

    penulis ini, sangatlah tidak seharusnya dapat dilakukan. Hal ini menjadi cara

    pengusaha untuk kembali menjadi celah dapat melanggar ketentuan yang

    sebagaimana diatur dalam SE MENAKERTRANS. Kesalahan yang bersifat

    Pidana dan seharusnya telah dirancang dalam SE MENAKERTRANS untuk

    diselesaikan terlebih dahulu perkara pidananya agar dapat melanjutkan kepada

  • 38

    proses PHK, namun seolah-olah hal tersebut dijadikan menjadi perdata saat hal

    tersebut dituangkan dalam perjanjian, dalam hal ini PKB, PP, ataupun PK.

    3. Identifikasi Kesalahan Berat

    Dalam kasus Heri Purnomo dengan PT. Mayora Indah Tbk, unsur kesalahan

    berat yang dilakukan oleh Heri Purnomo adalah adanya keterangan palsu yang

    dibuat oleh Heri Purnomo kepada PT. Mayora Indah Tbk terkait tidak hadir dalam

    jam kerja. Dalam pasal 158 Pasal 1 UU No 13 Tahun 2003 tentang

    Ketenagakerjaan dituliskan jenis kesalahan yang termasuk kesalahan berat yang

    memiliki unsusr kesalahan Pidana, dan tindakan Heri Purnomo dalam kasus ini

    termasuk dalam kesalahan berat dengan unsur kesalahan Pidana.

    Kesalahan berat bisa saja tidak memiliki unsur pidana. Misal diatur dalam

    PKB tentang suatu perbuatan yang dikategorikan kesalahan berat yang dapat

    menyebabkan PHK. Hal tersebut misalnya adalah kelalaian menjaga mesin

    produksi yang menyebabkan jumlah produksi yang tidak sesuai dengan target

    produksi. Jika dilihat maka sebenarnya hal tersebut merupakan kesalahan Perdata,

    maka tidak perlu melalui proses pengadilan pidana, walaupun dituliskan sebagai

    kesalahan berat dalam PKB.