Upload
ngobao
View
247
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. ANALISIS ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA
1. Komponen spesifik pada asap cair
Analisis komponen spesifik pada asap cair dilakukan dengan GC-MS.
Campuran senyawa yang dilewatkan pada kromatografi gas akan terpisah
menjadi komponen-komponen individual. Tujuh senyawa dominan dari
masing-masing sampel dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Senyawa Dominan Asap Cair Tempurung Kelapa Hasil Deteksi GC-MS
Komponen Senyawa Spesifik Waktu Retensi (menit) Nilai Persen Area
(%) Fenol 10.53 21.55 2-methoxy fenol 12.48 4.44 furfural,2- furancarboxaldehid 8.04 3.98 2-methyl fenol 11.78 1.73 2-methoxy,4-methyl fenol 14.11 0.89 3-methyl fenol 12.10 0.72 2-methoxy benzeneethanol 15.41 0.43
Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa senyawa dominan pada
asap cair tempurung kelapa adalah fenol (C6H6O, BM = 94) dengan luas area
bervariasi dengan rata-rata 21,55 %. Hasil ini sesuai dengan penelitian
Luditama (2006), dimana senyawa asap cair tempurung kelapa paling
dominan yang dihasilkan adalah fenol, dengan luas area 31,93 % untuk suhu
pembakaran 500 ºC dan luas area 34,45 % untuk suhu pembakaran 300 ºC.
Demikian pula Tranggono, et al., (1996) dimana senyawa dominan dari asap
cair hasil penelitiannya adalah fenol dengan luas area sebesar 44,13 %.
Fenol dan turunannya menjadi senyawa paling dominan pada asap cair
tempurung kelapa. Hal ini, dikarenakan komponen paling dominan pada
komposisi kimia tempurung kelapa adalah lignin. Menurut Djatmiko et al.,
(1985) komposisi kimia paling dominan pada tempurung kelapa adalah lignin
dengan konsentrasi sebesar 33,30 %. Fenol dihasilkan dari dekomposisi lignin
18
yang terjadi pada suhu 300 ºC dan berakhir pada suhu 450 ºC (Girrard, 1992).
Kadar maksimum senyawa fenol tercapai pada suhu pirolisis 600 ºC (Hamm
dan Potthast, 1976 dalam Girrard, 1992). Pada lampiran 3 dapat dilihat hasil
lengkap senyawa penyusun dominan asap cair tempurung kelapa hasil deteksi
GC-MS.
Gambar 2. Histogram Senyawa Dominan Asap Cair Tempurung Kelapa
Darmadji (1995), menyebutkan bahwa senyawa fenol berperan sebagai
antimikrobial. Sifat bakteriosidal dari pengasapan adalah faktor nyata dalam
perlindungan nilai gizi produk yang diasap terhadap perusakan biologis
(Harris dan Karmas, 1989). Efek fungisidal dalam asap disebabkan oleh fenol
dan formaldehid (Daun, 1979; Toth dan Potthast, 1984). Fenol selain bersifat
bakteriosidal juga sebagai antioksidan. Sifat ini terutama pada senyawa fenol
dengan titik didih tinggi, seperti 2,6-dimethoksi fenol, 2,6-dimethoksi-4-metil-
fenol dan 2,6-dimethoksi-4-ethyl fenol (Pearson dan Tauber, 1973).
2. Nilai pH
Salah satu yang menjadi parameter bagus tidaknya kualitas asap cair
yang dihasilkan adalah nilai pH. Nilai pH juga menunjukkan tingkat proses
penguraian komponen kayu yang terjadi untuk menghasilkan asam organik
pada asap cair. Jika nilai pH asap cair rendah hal ini menunjukkan bahwa
kualitas asap cair yang digunakan tinggi, karena secara keseluruhan
berpengaruh terhadap nilai awet dan daya simpan produk asap maupun sifat
organoleptiknya. Nilai pH diukur dengan pH meter.
0
5
10
15
20
25
Nilai Persen (%)
19
Hasil pengukuran nilai pH pada asap cair tempurung kelapa adalah
3,29. Nilai pengukuran pH ini menunjukkan bahwa kualitas asap cair yang
digunakan sebagai pengawet memiliki kualitas yang tinggi. Hal ini karena
nilai pH yang dihasilkan memiliki nilai yang rendah. Selain itu nilai pH asap
cair yang digunakan sesuai dengan kualitas Wood Vinegar asal Jepang.
Menurut Japan Wood Vinegar Association (2001) nilai pH standar asap cair
berkisar antara 1,5 – 3,7.
Menurut Luditama (2006), nilai pH asap cair tempurung kelapa
memiliki nilai pH yang lebih rendah dibandingkan asap cair yang berbahan
baku sabut kelapa. Hal ini dikarenakan tempurung kelapa memiliki komponen
hemiselulosa dan selulosa lebih besar daripada sabut kelapa sehingga jumlah
asam yang dihasilkan lebih besar. Hemiselulosa dan selulosa adalah
komponen kayu yang apabila terdekomposisi akan menghasilkan senyawa-
senyawa asam organik seperti asam asetat yang merupakan turunan dari asam
karboksilat. Menurut Grimwood (1975), tempurung kelapa mengandung
hemiselulosa 8,8 % dan selulosa sebesar 19,24 %, sedangkan sabut kelapa
memiliki kandungan hemiselulosa, yang merupakan penghasil asam organik
ketika dibakar, sebesar 7,69 % dan selulosa sebesar 18,24 %. Selain itu,
menurut Luditama (2006), tinggi rendahnya nilai pH pada asap cair
dipengaruhi oleh kadar fenol, suhu pirolisis dan sitem destilasi. Semakin
tinggi kadar fenol, suhu pirolisis dan suhu destilasi dari asap cair, semakin
rendah pula nilai pH dari asap cair tersebut.
3. Kadar asam
Kadar asam merupakan salah satu sifat kimia yang menentukan
kualitas dari asap cair yang diproduksi. Asam asetat merupakan senyawa asam
organik yang memiliki peranan tinggi dalam asap cair. Asam asetat
kemungkinan terbentuk sebagian dari lignin dan sebagian dari komponen
karbohidrat dari selulosa. Browning (1963) menggambarkan pembentukan
asam asetat sebagai berikut :
20
CH2OH CH2OH
CH2OH
HO O HOH
OH OH OH OH
CH2OH OH OH
CH2 CH2OH
HO HO
OH OH OH HO
-H2O -H2O HO OH
CH2OH CH2OH
CH2
HOH HOCH O
OH OH O
OH OH
-H2O
C6H10O5 Dedidration and Charring
Sumber : Browning (1963)
Gambar 3. Formulasi Produksi Asam Asetat
Lalu jika (C6H10O5)n dihidrolisis akan membentuk glukosa :
(C6H10O5) + nH2O (C6H12O6)
C6H12O6 CH3COOH
C6H12O6 CH3CH2CH2COOH + 2HCOOH
21
Sifat senyawa-senyawa asam pada asap cair bersifat antimikroba. Jika
asam organik berada bersama fenol maka sifat antimikroba senyawa-senyawa
asam semakin meningkat. Senyawa asam organik terbentuk dari pirolisis
komponen-komponen kayu seperri hemiselulosa dan selulosa. Penentuan
kadar asam ini dilakukan dengan GC-MS. Hasil lengkap penentuan kadar
asam disajikan di Lampiran 4.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa asap cair tempurung kelapa
memiliki kadar asam sebesar 37 %. Kadar asam yang diperoleh pada
penelitian ini sesuai dengan penelitian Luditama (2006) yaitu berkisar antara
berkisar antara 9,58 sampai 59,93 %. Menurut Luditama (2006), keasaman
dari asap cair dipengaruhi oleh kadar fenol pada asap cair tersebut. Semakin
tinggi kadar fenol, maka asap cair akan menjadi semakin asam. Selain itu
menurut Luditama (2006), kadar asam dari asap cair dipengaruhi oleh suhu
fraksi destilasi dan suhu pirolisis sebelum destilasi. Semakin tinggi suhu fraksi
destilasi, maka kadar asamnya semakin besar. Semakin rendah suhu pirolisis
maka kadar asamnya semakin besar. Perbedaan jumlah kadar asam ini
dikarenakan asam organik yang dihasilkan dari dekomposisi komponen
hemiselulosa dan selulosa mengalami proses pirolisis pada suhu pembakaran
dibawah 300 ºC. Asap cair pada suhu pembakaran 500 ºC memiliki kadar
asam yang lebih rendah karena menurut Maga (1988) pada suhu pembakaran
diatas 300 ºC senyawa-senyawa fenol, guaikol, dan siringol telah
terdekomposisi dari lignin sehingga mempengaruhi kadar asam asap cair.
4. Kadar fenol
Kadar fenol merupakan zat aktif yang memiliki sifat antimikroba dan
efek antibakteri pada asap cair. Selain itu, fenol juga dapat memberikan efek
antioksidan kepada bahan makanan yang diawetkan. Identifikasi fenol
terhadap kualitas asap cair yang dihasilkan, diharapkan dapat mewakili
kriteria dari mutu asap cair tersebut, sehingga dapat dinyatakan bahwa asap
cair yang digunakan sangat sesuai dengan aplikasi produk yang diawetkan.
Pengukuran kadar fenol pada asap cair dilakukan dengan GC-MS.
Hasil lengkap penentuan kadar fenol disajikan di Lampiran 4. Kadar fenol
yang dihasilkan sebesar 38 %. Hasil ini sangat berbeda dengan hasil penelitian
22
Luditama (2006) yang berkisar antara 0,44 – 0,78 % dan hasil penelitian Maga
(1988) yaitu antara 0,2 – 2,9 %. Menurut Luditama (2006), suhu pirolisis atau
pembakaran 300 ºC dan 500 ºC dari suatu bahan tidak mempengaruhi kadar
fenol dari asap cair. Akan tetapi, perbedaan kadar fenol pada asap cair
dipengaruhi oleh perbedaan kandungan lignin pada bahan pengasap. Lignin
merupakan komponen kayu yang apabila terdekomposis akan menghasilkan
senyawa fenol. Menurut Djatmiko, et al. (1985), tempurung kelapa memiliki
lignin sebesar 33,30 %, sedangkan menurut Joseph dan Kindagen (1993),
sabut kelapa mengandung lignin sebesar 29,23 %.
Faktor utama yang menentukan kadar fenol dalam asap cair adalah
banyaknya asap yang dihasilkan selama pembakaran. Hal ini terkait pada
faktor suhu dan bahan pengasap yang digunakan. Intensitas pirolisis
berhubungan langsung dengan suhu yang dicapai yang terdiri dari transfer
panas dan keberadan oksigen (reaksi oksidasi). Sedangkan bahan pengasap
berhubungan langsung dengan jenis bahan yang terdiri atas kayu keras
ataupun bahan yang dapat dibakar yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin,
persenyawaan protein dan mineral yang mempengaruhi keberadaan senyawa-
senyawa kimia asap (Djatmiko et al., 1985).
B. ANALISIS IKAN TERI NASI (Stolephorus commersonii, Lac.) SEGAR
Analisis pada ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.) segar berupa
analisa komponen gizi atau analisa proksimat. Hasil analisis komponen gizi ikan
teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.) dapat dilihat pada Tabel 5. Analisa yang
dilakukan yaitu analisa kadar abu, kadar air, kadar protein, dan kadar lemak.
Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Ikan Teri Nasi
Komposisi Gizi Ikan Teri Nasi Segar
Nilai Persen (%)
Kadar Air 80.39 Kadar Abu 3.25
Kadar Protein 13.74 Kadar Lemak 2.45
23
Tabel 6. Hasil Analisis Proksimat Menurut Hardinsyah dan Briawan (1990)
Komposisi Gizi Ikan Teri Nasi Segar
Nilai Persen (%)
Kadar Air 80 Kadar Abu ¯
Kadar Protein 16 Kadar Lemak 1
Bahan makanan tersusun dari empat komponen utama, yaitu air, protein,
karbohidrat, dan lemak. Selain empat hal tersebut, makanan memiliki komponen
lain berupa senyawa organik seperti mineral, vitamin atau pigmen-pigmen.
Abu merupakan residu organik dari pembakaran senyawa organik bila
bahan dibakar sempurna dalam tungku pengabuan. Kandungan abu total termasuk
kadar logam merupakan parameter nilai nutrisi dari makanan. Kadar air adalah
kandungan suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah dan berat
kering. Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, dan hal ini
merupakan salah satu sebab mengapa di dalam pengolahan pangan, air tersebut
sering dikurangi ataupun dikeluarkan dengan cara penguapan atau pengeringan.
Menurut Winarno et al. (1984), keawetan bahan pangan memiliki hubungan yang
erat dengan kadar air yang dikandungnya. Protein merupakan zat makanan yang
penting bagi tubuh karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam
tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno, 1997).
Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga tubuh
manusia. Selain itu, lemak dan minyak merupakan sumber energi yang lebih
efektif dibandingkan karbohidrat dan protein (Winarno, 1997).
Hasil uji proksimat atau kandungan gizi ikan teri nasi (Stolephorus
commersonii, Lac.) menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Hardinsyah dan Briawan (1990) pada ikan teri. Hasil uji kadar air
diperoleh sebesar 80,39 %, sedangkan hasil penelitian kadar air Hardinsyah dan
Briawan (1990) yaitu sebesar 80 %. Hasil uji kadar protein sebesar 13,74,
sedangkan hasil penelitian kadar protein Hardinsyah dan Briawan (1990) yaitu
sebesar 16 %. Pada hasil uji lemak diperoleh sebesar 2,45 %, sedangkan hasil
penelitian kadar lemak Hardinsyah dan Briawan (1990) yaitu sebesar 1 %.
24
Selain dilakukan uji proksimat, pada ikan teri nasi juga diuji jumlah total
mikroba melalui uji TPC dan uji kapang dan khamir. Data hasil uji total mikroba
awal dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Uji Jumlah Total Mikroba Awal Ikan Teri Nasi (Stolephorus commersonii, Lac.)
Analisa Jumlah (koloni/gram) TPC (Total Plate Count) 5.85 x 10³ Kapang dan Khamir 3.45 x 10³
Berdasarkan uji proksimat, ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.)
segar memiliki kandungan gizi yang sangat baik, yaitu kadar protein sebesar 13,74
% dan kadar lemak sebesar 2,45 %. Hal ini karena kandungan gizi yang dihasilkan
tidak jauh berbeda dengan kriteria kandungan gizi ikan teri (Stolephorus. Sp)
segar pada Direktorat Gizi Depkes (1981), yaitu kadar protein 16 % dan kadar
lemak 1 %. Hasil uji jumlah total mikroba pada Tabel 7, diperoleh uji TPC
sebesar 5.85 x 10³ koloni/gram dan uji kapang dan khamir sebesar 3.45 x 10³
koloni/gram. Hasil ini menunjukkan bahwa produk ikan teri nasi masih bisa
dinyatakan sebagai produk yang layak dikonsumsi dan bisa dipertahankan
keawetan atau kesegarannya. Hal ini karena hasil uji masih berada dibawah zona
aman konsumsi yakni 5 x 10 berdasarkan SNI 02-2725-1992 (BSN, 1992).
C. PROSES PERENDAMAN (ANALISIS KADAR FENOL)
Pada proses perlakuan ini ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.)
direndam di dalam asap cair dengan konsentrasi yang berbeda dan lama waktu
perendaman yang berbeda. Setelah proses perendaman dilakukan proses
pengukuran kadar fenol. Hasil analisis terhadap kadar fenol dapat dilihat pada
Tabel 8.
25
Tabel 8. Nilai Rata-Rata Kadar Fenol Ikan Teri Nasi (Stolephorus commersonii, Lac.) setelah Direndam dalam Asap Cair
Lama Perendaman (menit) Konsentrasi asap Cair (%)
20% 30%
15 menit 0.37 0.53
30 menit 0.45 0.67
45 menit 0.46 0.68
Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa perlakuan konsentrasi asap cair dan lama
perendaman dapat mempengaruhi kadar fenol dari ikan teri nasi (Stolephorus
commersonii, Lac.) asap cair. Semakin besar konsentrasi asap cair semakin
meningkat kadar fenol ikan teri nasi, semakin lama perendaman dalam asap cair
semakin meningkat kadar fenol dari ikan teri nasi. Hal ini diduga disebabkan
karena pada konsentrasi asap cair lebih tinggi terdapat kandungan fenol yang lebih
tinggi pula dan semakin lama perendaman mempengaruhi pencapaian titik
keseimbangan antara permukaan luar ikan dengan titik pusat dalam ikan terhadap
konsentrasi fenol. Hasil ini sesuai dengan penelitian Haras (2004) yang
menyatakan bahwa semakin besar konsentrasi asap cair dan semakin lama
perendaman dalam asap cair, maka semakin meningkat kadar fenol dari ikan teri
nasi.
Menurut Reinhold (1993), sebagai antiseptik banyaknya fenol dalam
makanan mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Selain itu, sebagai antioksidan
banyaknya fenol dalam makanan mempengaruhi proses oksidasi sehingga dapat
mempengaruhi mutu bahan makanan tersebut (Girrard, 1992 ; Pszczola, 1995).
Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa penggunaan asap cair dengan
konsentrasi 30 % dan lama perendaman 45 menit memiliki kadar fenol tertinggi
yaitu 0,68 % dan masih dalam batas aman fenol untuk dikonsumsi yaitu 0,02 –
1,00 % (Davidson and Branen, 1981).
Berdasarkan uji Anova didapatkan perbedaan nyata pada perlakuan
konsentrasi asap cair, perlakuan lama perendaman dalam asap cair, dan interaksi
26
kedua perlakuan tersebut dengan nilai F hitung masing-masing sebesar 7200,
1158, dan 72 dan sangat layak untuk dilakukan uji lanjut. (Lampiran 5).
Berdasarkan uji lanjut Beda Nyata Jujur didapatkan perbedaan nyata
terhadap kadar fenol pada perlakuan lama perendaman yang digunakan,
perbedaan tertinggi terdapat pada perlakuan lama perendaman 45 menit dan 15
menit yaitu sebesar 0,125. Pada perlakuan konsentrasi tidak perlu dilakukan uji
lanjut karena perlakuan konsentrasi hanya terdapat dua taraf yaitu 20 % dan 30 %,
sedangkan uji Anova menunjukkan bahwa kedua konsentrasi sudah memberikan
perbedaan nyata. Berdasarkan Tabel 8 jika dihitung nilai rata-rata kadar fenol
pada tiap perlakuan konsentrasi diperoleh bahwa pada perlakuan konsentrasi 30 %
memiliki nilai rata-rata tertinggi yaitu 0,62 % daripada perlakuan konsentrasi 20
% yaitu 0,43 %. Hal ini dikarenakan kandungan fenol lebih banyak pada
konsentrasi asap cair yang tinggi berdasarkan data spesifikasi liquid smoke dari
International Flavor and Fragrances.
Pada uji lanjut interaksi perlakuan antara konsentrasi asap cair dan lama
perendaman asap cair perbedaan tertinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi
asap cair 20 % lama perendaman 15 menit (kode perlakuan 101) dengan
perlakuan konsentrasi asap cair 30 % lama perendaman 45 menit (kode perlakuan
106) sebesar 0,315. Hal ini menunjukkan kuatnya interaksi antara perlakuan
konsentrasi asap cair dan lama perendaman asap cair terhadap kadar fenol pada
ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.). Hasil ini sesuai dengan penelitian
Haras (2004), yang menunjukkan bahwa perbedaan nyata tertingi terdapat pada
kombinasi antara konsentrasi asap cair paling tinggi dengan waktu perendaman
paling lama (konsentrasi asap cair 2,0 % dan lama perendaman 15 menit) dan
konsentrasi asap cair terendah dengan waktu lama perendaman terendah
(konsentrasi asap cair 0,5 % dan lama perendaman 5 menit). Adapun kombinasi
yang tidak menunjukkan perbedaan nyata antara lain : pada kode perlakuan 103
(konsentrasi 20% 30 menit) dengan 105 (konsentrasi 20% 45 menit) dan 104
(konsentrasi 30% 30 menit) dengan 106 (konsentrasi 30% 45 menit).
27
D. ANALISIS SELAMA PENYIMPANAN SUHU RUANG
Berdasarkan uji kadar fenol pada proses perendaman didapatkan perlakuan
terbaik yaitu konsentrasi asap cair 30 % lama perendaman 45 menit. Analisa yang
dilakukan selama penyimpanan adalah kadar air, kadar TPC dan kapang khamir,
dan uji protein.
1. Analisis kadar air
Kadar air bahan pangan merupakan jumlah air yang dikandung
tersebut dan sangat berpengaruh pada mutu dan keawetan pangan (Martinez et
al, 2007). Analisis kadar air bertujuan untuk mengetahui pengaruh
perendaman asap cair terhadap perubahan kadar air ikan teri nasi (Stolephorus
commersonii, Lac.) segar. Hasil pengukuran kadar air selama penyimpanan
disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 6.
Tabel 9. Nilai Rata-Rata Kadar Air Selama Penyimpanan
Pengamatan Rata-rata (%)
Hari 1 79.24
Hari 3 81.63
Hari 5 81.59
Hari 7 81.28
Hari 9 79.03
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air
dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Selain itu,
air merupakan sumber utama yang menjadi pemicu kecepatan mikrobiologi
untuk merusak sumber pangan.
Istilah umum yang sering dipakai untuk air yang terdapat dalam bahan
pangan adalah “air terikat” (bound water). Menurut derajat keterikatan air,
Winarno (1992) menyatakan bahwa air terikat dibagi atas empat tipe. Tipe I,
adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu ikan
hidrogen yang berenergi besar. Molekul air membentuk hidrat dengan
28
molekul-molekul lain yang mengandung atom-atom O dan N seperti
karbohidrat, protein, atau garam. Air tipe ini tidak dapat membeku pada proses
pembekuan, tetapi sebagian air ini dapat dihilangkan dengan cara pengeringan
biasa. Air tipe ini terikat kuat dan sering kali disebut air terikat dalam arti
sebenarnya. Derajat pengikatan air sedemikian rupa sehingga reaksi-reaksi
yang terjadi sangat lambat dan tidak terukur.
Tipe II, yaitu molekul-molekul air membentuk ikatan hidrogen dengan
molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda dari
air murni. Air jenis ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II
akan mengakibatkan penurunan aw (water activity). Bila sebagian air tipe II
dihilangkan, pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat
merusak bahan makanan seperti browning, hidrolisis, atau oksidasi lemak
akan dikurangi. Tipe III, adalah air yang secara spesifik terikat dalam jaringan
matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah
yang sering kali disebut air bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat
dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi
kimiawi. Tipe IV, adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan
atau air murni, dengan sifat-sifat air biasa dan keaktifan penuh.
Selain itu, Winarno (1992) membagi tipe-tipe air dibagi menjadi dua,
yaitu air imbibisi dan air kristal. Air imbibisi merupakan air yang masuk ke
dalam bahan pangan dan akan menyebabkan pengembangan volume, tetapi air
ini tidak merupakan komponen penyusun bahan tersebut. Misalnya air dengan
beras bila dipanaskan akan membentuk nasi, atau pembentukan gel dari bahan
pati. Air kristal adalah air terikat dalam semua bahan, baik pangan maupun
nonpangan yang berbentuk kristal, seperti gula, garam, CuSO4 dan lain-lain.
Adanya kandungan air yang lebih tinggi akan menunjang
meningkatnya pertumbuhan bakteri serta aktivitas bakteri tersebut dalam
merombak senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa-senyawa sederhana
yang disebut pembusukan. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa pada hari ke-1
proses perendaman dalam asap cair memberikan perubahan terhadap nilai
kadar air pada ikan teri nasi segar yaitu dari 80,39 % (analisa proksimat Tabel
5) menjadi 79,24 %. Hal ini menunjukkan berdifusinya asap cair ke dalam
29
ikan teri nasi memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap
perubahan konsentrasi nilai kadar air pada ikan teri nasi (Stolephorus
commersonii, Lac.). Pada pengamatan hari ke-3 nilai kadar air menjadi
bertambah tinggi yaitu 81,63 %, hal ini diduga pada ikan teri nasi sudah mulai
terjadi perombakan senyawa-senyawa kimia dalam bahan pangan, sehingga air
yang terikat pada jaringan bahan pangan memisahkan diri dan meningkatkan
nilai kadar air. Penurunan nilai kadar air secara terus menerus terjadi hari ke-3
sampai hari ke-9, yaitu dari 81,63 % menurun menjadi 81,59 % (hari ke-5),
menjadi 81,28 % (hari ke-7), dan menjadi 79,03 % (hari ke-9). Dilihat dari
nilai dari Tabel 9, nilai penurunan kadar air ini sebenarnya tidak sangat
signifikan. Akan tetapi nilai penurunan kadar air ini bisa disebabkan dua hal,
yaitu pengaruh pemanasan suhu dari sinar matahari pada ruang penyimpanan
dan keasaman dari asap cair. Hal ini karena posisi lemari penyimpanan berada
pada posisi masuknya sinar matahari pada ruangan. Suhu panas dari sinar
matahari akan menyebabkan air yang ada dipermukaan daging (tubuh) ikan
akan menguap terlebih dahulu. Hal ini akan menyebabkan pengkerutan
jaringan daging sehingga mempersempit rongga-rongga antar sel dan pipa-
pipa kapiler. Akibatnya air dibagian dalam daging ikan akan lambat menguap
(Van Arsdel and Coplay, 1963). Penguapan air selama penyimpanan erat
kaitannya dengan keadaan keseimbangan antara kelembaban relatif, suhu, dan
kadar air. Aliran udara dapat menyebabkan tekanan parsial uap air di atas
permukaan daging ikan menurun. Hal ini menyebabkan penguapan air dari
daging ikan (Van Arsdel and Copley, 1963). Sedangkan pengaruh tingkat
keasaman asap cair menurut Gomez-Guillen at al. (2003) dapat menyebabkan
ketidaklarutan protein daging, sehingga berakibat pada keluarnya air dari
daging ikan.
2. Analisis mikrobiologi (TPC, Kapang dan Khamir)
Kandungan bakteri dalam suatu produk merupakan salah satu
parameter mikrobiologis dalam menentukan layak tidaknya produk tersebut
dikonsumsi (Kristinsson et al., 2007). Kontaminasi mikroba pada produk
perikanan dapat terjadi saat panen, penanganan, distribusi maupun
penyimpanan, dan proses pengolahan. Analisis terhadap jumlah bakteri
30
bertujuan untuk mengetahui jumlah total bakteri dalam suatu produk dan
mengetahui tingkat pertumbuhannya selama penyimpanan. Hasil analisis TPC
terhadap ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.) selama penyimpanan
dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Nilai Rata-Rata TPC Ikan Teri Nasi Selama Penyimpanan
Pengamatan Jumlah (koloni/gram)
Hari 1 1 x 10²
Hari 3 6.5 x 10²
Hari 5 7.5 x 10²
Hari 7 5 x 10²
Hari 9 7 x 10²
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa hasil analisis pada hari ke-1
jumlah mikroba mengalami penurunan dari keadaan awal 5,85 x 10³
koloni/gram (Tabel 7) menjadi 1 x 10² koloni/gram (Tabel 10). Hasil ini
menggambarkan bahwa fenol dalam asap cair dapat bekerja sebagai antiseptik,
dimana mikroba tidak dapat tumbuh secara maksimal. Menurut Daun (1979),
cara kerja fenol dalam menghambat pertumbuhan mikroba adalah dengan cara
mengganggu metabolisme dari mikroba dengan menghambat pembentukan
spora dari mikroba tersebut dan memperpanjang fase lag.
Pada hari ke3 terjadi kenaikan jumlah mikroba pada sampel ikan teri
nasi (Stolephorus commersonii, Lac.) dari 1 x 10² koloni/gram (hari ke-1)
menjadi 6.5 x 10² koloni/gram (hari ke-3). Demikian pula pada hari ke-5
terjadi kenaikan jumlah mikroba dari 6.5 x 10² koloni/gram (hari ke-3)
menjadi 7.5 x 10² koloni/gram (hari ke-5). Peningkatan jumlah mikroba pada
hari ke-3 dan hari ke-5 dikarenakan oleh sudah mulai menurunnya aktivitas
dari fenol dari asap cair yang terdifusi ke dalam ikan teri nasi (Stolephorus
commersonii, Lac.). Selain itu, terjadinya kenaikan ini menunjukkan bahwa
mikroba sudah melewati zona adaptasi dimana mikroba sudah menyesuaikan
31
diri dengan kondisi lingkungan yang ada. Salah satu faktor yang menjadi alat
atau media yang mendukung proses adaptasi pada mikroba adalah adanya
penggunaan suhu penyimpanan yang sesuai untuk pertumbuhan mikroba yaitu
pada suhu kamar (37 ºC), sehingga akan semakin mempercepat pertumbuhan
mikroba. Hal lain yang menjadi nilai positif bagi mikroba untuk mengalami
kenaikan jumlah mikroba adalah terjadinya kenaikan kadar air dari hari ke-1
sampai hari ke-5 (Tabel 9). Semakin tinggi kadar air dalam suatu bahan
pangan maka nilai aw makin meningkat, sehingga kemampuan aktivitas
mikroba untuk tumbuh semakin meningkat. Menurut Winarno (1992) bakteri
dapat tumbuh dengan baik pada aw minimum 0,9. Akan tetapi, kenaikan
jumlah mikroba yang terjadi pada hari ke-3 dan hari ke-5 jumlah kenaikannya
tidak terlalu signifikan karena masih berada pada jumlah pangkat 10².
Mulai dari hari ke-5 sampai hari ke-9 terjadi perubahan jumlah
mikroba yang bersifat fluktuatif atau tidak terjadi kecenderungan naik atau
turun. Jumlah mikroba dari 7.5 x 10² koloni/gram (hari ke-5) berubah atau
menurun menjadi 5 x 10² koloni/gram (hari ke-7), sedangkan dari hari ke-7
terjadi kenaikan dari jumlah 5 x 10² koloni/gram menjadi 7 x 10² koloni/gram
(hari ke-9). Terjadinya penurunan jumlah mikroba pada hari ke-7 dari hari ke-
5 disebabkan oleh penurunan jumlah kadar air pada ikan teri nasi (Stolephorus
commersonii, Lac.) dari 81,59 % (hari ke-5) menjadi 81,28 %. (hari ke-7)
(Tabel 9). Penurunan jumlah kadar air ini menyebabkan nilai aw mengalami
penurunan, sehingga hal ini menyebabkan terhambatnya proses pertumbuhan
mikroba. Sedangkan penyebab terjadinya kenaikan jumlah mikroba pada hari
ke-9 disebabkan oleh mulai menurunnya pengaruh keasaman dari asap cair,
sehingga nilai pH-nya menjadi naik dan berada pada nilai pH optimum
pertumbuhan bakteri. Bakteri tumbuh pada pH antara 4,0 – 8,0. Pada hari
pengamatan terakhir (hari ke-9) jumlah mikroba sebesar 7 x 10² koloni/gram.
Jumlah ini menunjukkan bahwa jumlah mikroba pada hari ke-9 masih berada
pada di bawah zona aman konsumsi yaitu 5 x 10 koloni/gram berdasarkan
SNI 02-2725-1992 (BSN, 1992).
Mengenai hasil analisis jumlah kapang dan khamir ikan teri nasi
(Stolephorus commersonii, Lac.) bisa dilihat pada Tabel 11.
32
Tabel 11. Nilai Rata-Rata Jumlah Kapang dan Khamir Ikan Teri Nasi (Stolephorus commersonii, Lac.) Selama Penyimpanan.
Pengamatan Jumlah (koloni/gram)
Hari 1 1 x 10²
Hari 3 6 x 10²
Hari 5 6.5 x 10²
Hari 7 2 x 10²
Hari 9 2 x 10²
Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa pada hari ke-1 jumlah total kapang
dan khamir mengalami penurunan dari kondisi analisis awal sebesar 3.45 x 10³
koloni/gram (Tabel 7) menjadi 1 x 10² koloni/gram. Nilai penurunan ini sama
dengan penurunan pada hari ke-1 pada analisis jumlah total bakteri. Hal ini
menunjukkan bahwa sifat antimikroba pada asap cair oleh fenol pada kapang
dan khamir juga bekerja secara maksimal. Hal ini sesuai dengan pendapat
Reinhold (1993) yang menyatakan bahwa fenol merupakan senyawa antiseptik
dan desinfektan terhadap berbagai mikroba.
Kemudian pada hari ke-1 sampai hari ke-5 terjadi kenaikan jumlah
total kapang dan khamir menjadi 6,5 x 10² koloni/gram. Faktor yang paling
berkaitan dengan naiknya jumlah total kapang dan khamir adalah terjadinya
kenaikan jumlah kadar air dari hari ke1 sampai hari ke-5 (Tabel 9). Hal ini
menyebabkan naiknya nilai aw, sehingga meningkatkan aktivitas pertumbuhan
mikroorganisme kapang dan khamir. Menurut Winarno (1992) kapang dapat
tumbuh pada aw minimum 0,6 – 0,7 dan khamir dapat tumbuh pada aw
minimum 0,8 – 0,9. Selanjutnya hasil analisis dari hari ke-5 sampai hari ke-7
jumlah total kapang dan khamir menurun menjadi 2 x 10² koloni/gram, dan
dari hari ke-7 sampai hari ke-9 jumlah total kapang dan khamir bersifat
konstan sebesar 2 x 10² koloni/gram. Nilai penurunan ini disebabkan oleh
33
menurunnya nilai kadar air pada pengamatan hari ke-7, sehingga hal ini akan
menyebabkan menurunnya nilai aw dan secara simultan akan menghambat
pertumbuhan kapang dan khamir. Sedangkan dari hari ke-7 sampai hari ke-9
nilai penurunan air tidak mempengaruhi jumlah penurunan total kapang dan
khamir. Hal ini dikarenakan kapang dan khamir sudah mengalami titik jenuh
dan berada pada fase lag optimum pertumbuhan atau berada dalam fase
pertumbuhan tetap (statis). Hal ini bisa dilihat dari jumlah total kapang dan
khamir dari hari ke-7 sampai hari ke-9 jumlahnya konstan yaitu 2 x 10²
koloni/gram. Jumlah total kapang dan khamir pada hari pengamatan terakhir
(hari ke-9) sebesar 2 x 10² koloni/gram, dan masih berada di bawah batas
aman konsumsi yaitu 1 x 10 koloni/gram.
3. Analisis kadar protein
Kadar protein merupakan salah satu komponen komposisi gizi
terpenting dalam sebuah produk pangan, terutama pada ikan teri nasi
(Stolephorus commersonii, Lac.). Analisis kadar protein bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pengaruh perendaman asap cair terhadap perbahan
kadar protein ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.) segar selama
penyimpanan. Hasil analisis kadar protein terhadap ikan teri nasi (Stolephorus
commersonii, Lac.) selama penyimpanan 9 hari dapat dilihat pada Tabel 12
dan Gambar 8 di bawah ini :
Tabel 12. Nilai Rata-Rata Kadar Protein Selama Penyimpanan
Pengamatan Kadar Protein (%)
Hari 0
13.74
Hari 1 12.35
Hari 3 11.69
Hari 5 11.36
Hari 7 12.63
Hari 9 13.17
34
Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-
unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Protein
mempunyai bermacam-macam fungsi bagi tubuh, yaitu sebagai enzim, zat
pengatur pergerakan, pertahanan tubuh, alat pengangkut dan lain-lain
(Winarno, 1992). Molekul protein mengandung pula fosfor, belerang, dan ada
jenis protein yang mengandung unsur-unsur logam, seperti besi dan tembaga.
Protein dalam bahan makanan yang dikonsumsi manusia diserap oleh usus
dalam bentuk asam amino. Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali,
atau enzim, akan dihasilkan campuran asam-asam amino.
Protein yang terdapat di dalam ikan dengan bantuan bakteri pembusuk
akan terurai menjadi amoniak, amines yang lazim disebut basa-basa volatil
(Buckle et al., 1985). Senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dalam proses
pembusukan yaitu senyawa-senyawa yang berbau busuk, seperti indol, skatol,
merkaptan, putresin, dan asam sulfida atau H2S.
Pada Tabel 12 dan Gambar 8 dapat dilihat, bahwa pada hari ke1
jumlah kadar protein pada ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.)
mengalami penurunan dari keadaan awal 13,74 % (Tabel 5) mnjadi 12,35%.
Penurunan ini disebabkan mikroorganisme pembusuk pengurai protein mulai
memecah protein atau mendegradasi protein menjadi asam amino. Nilai
penurunan kadar protein yang terjadi tidak terlalu signifikan, hal ini
dikarenakan jumlah mikroorganisme yang ada pada hari ke-1 masih terlalu
sedikit, sehingga tingkat penguraian protein menjadi asam amino jumlahnya
tidak terlalu maksimal.
Pada hari ke-3 sampai hari ke-5 jumlah kadar protein menurun dari
12,35 % (hari ke-1) menjadi 11,69 % (hari ke-3) dan 11,36 % (hari ke-5).
Penurunan ini terjadi karena mikroorganisme yang ada pada hari ke-3 dan hari
ke-5 mulai tumbuh dan bertambah meningkat (Tabel 10 dan Tabel 11). Hal itu
ditandai dengan meningkatnya jumlah kadar air yang menunjang atau
mempercepat pertumbuhan mikroorganisme serta aktivitas pembusuk pada
pangan. Pengamatan dari hari ke-5 sampai hari ke-9 menunjukkan terjadinya
kenaikan nilai kadar protein menjadi 12,63 % (hari ke-7) dan 13,17 % (hari
35
ke-9). Terjadinya kecenderungan kenaikan nilai dari kadar protein ini
disebabkan oleh menurunnya jumlah mikroorganisme dari hari ke-5 sampai
hari ke-9 (Tabel 10 dan Tabel 11) yang ditandai dengan menurunnya kadar air
pada periode waktu yang sama. Hal ini menyebabkan asam amino yang
terbentuk berubah lagi menjadi protein. Menurut Winarno (1992) kumpulan
asam amino (> 100 buah) dapat membentuk ikatan peptida dan membentuk
rantai polipeptida yang tidak bercabang. Nilai kadar protein pada hari ke-9
yaitu 13,17 % tidak jauh berbeda dengan nilai kadar protein awal yaitu 13,74
% (Tabel 5), sehingga produk ikan teri nasi segar yang diawetkan melalui
proses perendaman dalam asap cair masih layak untuk dikonsumsi. Hal ini
sesuai dengan penelitian Febriani (2006) dimana ikan belut yang direndam
asap cair tempurung kelapa dapat awet pada suhu kamar sampai hari ke-9.