Upload
deoalex
View
33
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tifoid
Citation preview
REFERAT
DEMAM TIFOID
ILMU PENYAKIT DALAM
Disusun oleh :
Fadila
1102008098
Pembimbing :
dr. Jusi Susilawati, Sp.PD
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD Pasar Rebo Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama
terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan
penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene
industri pengolahan makanan yang masih rendah. . Gambaran klinis demam tifoid seringkali
tidak spesifik sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan
laboratorium.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus
demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan
sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/
tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
BAB II
DEMAM TIFOID
A. Definisi Demam Tifoid
Demam tifoid ( enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, khususnya sore hingga malam
hari yang disebabkan oleh Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.1
B. Epidemiologi Demam Tifoid
Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini
termasuk penyakit menular. Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok
umur 5 – 30 tahun, laki – laki sama dengan wanita resikonya terinfeksi. Jarang pada umur
dibawah 2 tahun maupun diatas 60. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-
penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat
menimbulkan wabah. 2,3
Di Indones i a demam t i f o id j a r ang d i j umpa i s e ca r a ep idemik , t e t ap i
l eb ih s e r i ng bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang
menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularannya
biasanya tidak dapat ditemukan. 2,3
Ada dua sumber penularan S. Typhi yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang
lebih sering adalah pasien karier (pasien karier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid
dan masih terus mengekskresi S. typhi d a l a m t i n j a d a n a i r k e m i h s e l a m a l e b i h
d a r i s a t u t a h u n ) . Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. D i
d e r a h n o n e n d e m i k p e n y e b a r a n t e r j a d i m e l a l u i t i n j a . 2 , 3
C. Etiologi Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi,
atau jenis yang virulensinya lebih rendah yaitu Salmonella paratyphi. Salmonella adalah kuman
gram negatif yang berflagela, tidak membentuk spora, dan merupakan bakteri anaerob fakultatif
yang memfermentasikan glukosa dan mereduksi nitrat menjadi nitrit. S.typhi memiliki antigen H
yang terletak pada flagela, O yang terletak pada badan, dan K yang terletak pada envelope, serta
komponen endotoksin yang membentuk bagian luar dari dinding sel.2
Gambar 1. Bakteri Salmonella Typhi
Gambar 2. Daur hidup Salmonella Typhi dalam menginfeksi tubuh manusia4
D. Patogenesis Demam Tifoid
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.Typhi) dan Salmonella parathypi (S.Parathypi) ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui mekanisme makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman
akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina
propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak
Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.3
Gambar 2. Patogenesis Demam Tifoid
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat pada makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikulo endothelial tubuh terutama di hati dan limfa. Di organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi sehingga mengakibatkan bakterimia kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.3
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan
melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang
sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya
akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.3
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding
usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus,
dan dapat menghasilkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernafasan, dan gangguan organ lainnya.3
E. Diagnosis Demam Tifoid
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bias diberikan terapi yang tepat
dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk
membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan
tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis. 4,5
Diagnosis tifoid karier dapat ditegakkan berdasarkan ditemukannya kuman S.typhi pada
biakan feses ataupun urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseorang yang
telah satu tahun paska demam tifoid. Saat ini, kultur darah langsung yang diikuti
dengan identifikasi mikrobiologi adalah standar emas untuk mendiagnosa demam tifoid. 4,5
F. Manifestasi klinis Demam Tifoid
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas dengan komplikasi hingga kematian. 3,5
Secara umum gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama ditemukan keluhan dan
ge j a l a s e rupa dengan penyak i t i n f eks i aku t pada umumnya , ya i t u
demam, nye r i kepa l a , pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu
badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari
hingga malam hari. Dalam minggu kedua ge j a l a -ge j a l a men j ad i l eb ih j e l a s
be rupa demam, b r ad ika rd i a r e l a t i f ( b r ad ika rd i r e a l t i f ada l ah pen ingka t an
suhu 1 ◦C t i dak d i i ku t i pen ingka t an denyu t nad i 8 ka l i pe rmen i t ) ,
l i dah yang berselaput ( kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor ) , hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium,
atau psikosis. 3,5,6
Sekitar 10-15% pasien menjadi demam tifoid berat. Faktor yang mempengaruhi
keparahan meliputi durasi penyakit sebelum terapi, pilihan terapi antimikroba, tingkat
virulensi, ukuran inokulum, paparan sebelumnya atau vaksinasi, dan factor host
lain seperti jenis HLA, AIDS atau penekanan kekebalan lain, atau konsumsi antasida.7
Pada pengidap tifoid (karier) tidak menimbulkan gejala klinis dan 25% kasus menyangkal
bahwa pernah ada riwayat sakit demam tifoid. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa
tifoid karier disertai dengan infeksi kronik traktus urinarius serta terdapat peningkatan terjadinya
karsinoma kandung empedu, karsinoma kolorektal dan lain-lain. Sedangkan patofisiologi tifoid
karier belum sepenuhnya diketahui. 3
G. Pemeriksaan Labortorium
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah perifer; (2) pemeriksaan bakteriologis
dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara
molekuler.
(1) Pemeriksaan darah perifer
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan leukopenia, dapat
pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun
tanpa disertai infeksi s e k u n d e r . S e l a i n i t u p u l a d a p a t d i t e m u k a n a n e m i a
r i n g a n d a n t r o m b o s i t o p e n i a . P a d a pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat
terjadi aneosinofilia maupun limfepenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat
meningkat. Pemeriksaan SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi
normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.3
(2) Pemeriksaan bakteriologis
Kultur darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam
darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.3
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal
sebagai berikut : 3
Te lah mendapa t t e r ap i an t i b io t i k . B i l a pa s i en s ebe lum
d i l akukan ku l t u r da r ah t e l ah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman
dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif.
Volume darah yang kurang ( diperlukan kurang lebih 5 cc darah ), bila
darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang
diambil sebaiknya secara b e d s i d e l a n g s u n g d i m a s u k k a n
k e d a l a m m e d i a c a i r e m p e d u ( o x g a l l ) u n t u k pertumbuhan
kuman.
Riwaya t vaks ina s i . Vaks ina s i d imasa l ampau men imbu lkan
an t i body da l am da rah pasien. Antibodi ( agluinin ) ini dapat menekan
bakteremia hingga biakan darah dapat negatif. S a a t p e n g a m b i l a n d a r a h
s e t e l a h m i n g g u p e r t a m a , d i m a n a p a d a s a a t i t u a g g l u t i n i n
semakin meningkat.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,
volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.7
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah
dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang
lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai
sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. 7
(3) Uji serologi
UJI WIDAL
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. Pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin.Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid. Akibat infeksi oleh
S.typhi, pasien membuat antibodi( aglutinin ) yaitu: 3
Aglutinin O, yaitu dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman)
Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman )
Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dar i ke t i ga agg lu t i n in t e r s ebu t hanya ag lu t i n in O dan H yang
d igunakan un tuk d i agnos i s demam tifoid. Makin tinggi titernya makin besar
kemungkinan menderita demam tifoid. P e m b e n t u k a n a g g l u t i n i n m u l a i t e r j a d i
p a d a a k h i r m i n g g u p e r t a m a d e m a m k e m u d i a n meningkat secara cepat
dan mencapai puncak pada minggu ke empat dan tetap tinggi selama beberapa minggu.
Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin
H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-
6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji
widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit.3
Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal, yaitu:
Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid
Gangguan pemben tukan an t i bod i . S a a t p e n g a m b i l a n d a r a h
Daerah endemik a t au non -endemik
R i w a y a t v a k s i n a s i
Reaks i anamnes t i k , ya i t u pen ingka t an t i t e r ag lu t i n in pada i n f eks i
bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
Faktor teknik , a k i b a t a g l u t i n a s i s i l a n g , strain salmonella yang digunakan
untuk suspensi antigen
TES TUBEX ®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat
(kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar
spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.8
METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP (outer membrane protein) S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan
IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana
didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG
spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi.
Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah
dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan
memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.7,14
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu
diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji
Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid
akut yang cepat dan akurat.7,14
METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG,
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.2
PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. Pemeriksaan ini juga
sangat dipengaruhi hasilnya oleh penggunaan antibiotik. 7,9
(4) Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA
(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam
nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui
identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. 7
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu
dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk
melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan
sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.7
Tifoid Karier
Pemantauan bakteri di dalam feses adalah salah satu pilihan untuk mendeteksi adanya kuman
S.Typhi. Selanjutnya, pengambilan sampel tinja secara rutin pasti akan memakan biaya yang
besar, memakan waktu yang lama, walaupun perkembangan bakteri di dalam feses dapat menjadi
salah satu cara pemantauan pemulihan demam tifoid. Namun, salah studi mengatakan bahwa
pada tifoid karie akan menghasilakan antibody Vi yang lebih tinggi dalam waktu lama
dibandingkan pasien demam tifoid akut. 4
H. Diagnosis Banding Demam Tifoid
Paratifoid A, B, dan C, Infeksi virus dengue, malaria, influenza. 10,11
I. Komplikasi Demam tifoid
Komplikasi intestinal
perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat
terbentuk tukak / luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan.
Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi.
Selain karena faktor luka perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan
koagulasi darah (KID) a t au gabungan kedua f ak to r . Sek i t a r 25%
pende r i t a demam t i f o id dapa t menga l ami pe rda rahan mino r yang
t i dak membu tuhkan t r ans fu s i da r ah . Pe rda rahan heba t dapa t t e r j ad i
h ingga pa s i en menga l ami syok . 3 , 1 0
Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3 % dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul
padaminggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain
gejala umum demam t i fo id yang b i a sa t e r j ad i maka pende r i t a demam
t i f o id denga pe ro ra s i menge luh nye r i pe ru t yang heba t t e ru t ama d i
dae r ah kuad ran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut
dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bisingusus melemah pada 50 % penderita
dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karenaadanya udara bebas di abdomen.
Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan
dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiridapat menyokong adanya perforasi.3
Bi l a pada gamba ran f o to po lo s abdomen 3 pos i s i d i t emukan
uda ra pada r o n g g a p e r i t o n e u m , m a k a h a l i n i m e r u p a k a n
n i l a i y a n g c u k u p u n t u k m e n e n t u k a n terdapatnya perforasi usus pada
demam tifoid. Beberapa factor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur,
lama pengobatan, modalitas pengobatan, bertanya penyakit, dam mobilitas penderita.3
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.typhi
tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada f l o r a
u s u s . U m u m n y a d i b e r i k a n a n t i b i o t i k s p e k t r u m l u a s
d e n g a n k o m b i n a s i kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi
usus dapat diberikan gentamisin / metronidazol. Cairan harus diberikan dalam
jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube.
Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan
intestinal.3
ileus paralitik
pankreatitis
Komplikasi ekstra-intestinal
K a r d i o v a s k u l a r : m i o k a r d i t i s
Hepatitis tifosa: dapat terjadi pada pasien dengan system imun yang kuarang dan
malnutrisi. Biasanya pada demam tifoid kenaikanenzim tranaminasse tidak relevan
dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membandaingkan dengan hepatitis akibat virus)
T i f o i d t o k s i k
J. Tatalaksana Demam Tifoid Dan Tifoid Karier
Tatalakasana Demam Tifoid
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu : 3
Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyem
uhan.
D i e t d a n t e r a p i p e n u n j a n g ( s i m p t o m a t i k d a n s u p o r t i f )
d e n g a n t u j u a n mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara
optimal.
Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
I s t i r aha t d an p e r awa tan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring
dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buangair kecil, dan
buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.
D a l a m p e r a w a t a n p e r l u s e k a l i d i j a g a k e b e r s i h a n t e m p a t t i d u r , p a k a
i a n , d a n perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah
dekubitus dan pneumon ia o r t o s t a t i k s e r t a h ig i ene pe ro rangan t e t ap pe r l u
d ipe rha t i kan dan dijaga.
D ie t dan t e r ap i penun j ang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demamtifoid,
karena makanan yang kurang akan menyebabkan menurunnya keadaan umumdan gizi penderita
akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.3
Pember i an an t im ik roba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah : 3,12
1 . K l o r a m f e n i k o l
Dosis diberikan 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena.
Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak di
anjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan
terasa nyeri.
2 . T i a m f e n i k o l
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol,akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.
Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demamrata-rata menurun pada hari ke 5
sampai hari ke 6.
3 . K o t r i m o k s a z o l
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang
dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan
80 mg trimetoprin ) diberikan selama 2 minggu.
4 . A m p i s i l i n d a n a m o k s i s i l i n
K e m a m p u a n o b a t i n i u n t u k m e n u r u n k a n d e m a m l e b i h r e n d a h
d i b a n d i n g k a n d e n g a n k lo r amfen iko l , dos i s yang d i an ju rkan an t a r a
50 -150 mg /KgBB dan d igunakan selama 2 minggu.
5 . S e f a l o s p o r i n g e n e r a s i k e t i g a
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke 3 yang tebukti efektif untuk demam
tifoida dalah seftriakson, dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
diberikanselama ½ jam per infus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
6 . G o l o n g a n f l u o r o k u i n o l o n
Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Of loksa s in dos i s 2 x 400 mg /ha r i s e l ama 7 ha r i
Pe f loksa s in dos i s 400 mg /ha r i s e l ama 7 ha r i
Fle roksa s in dos i s 400 mg /ha r i s e l ama 7 ha r i
Demam pada umumnya menga l ami l i s i s pada ha r i ke 3 a t au
men j e l ang ha r i ke 4 . Has i l p e n u r u n a n d e m a m s e d i k i t l a m b a t
p a d a p e n g g u n a a n n o r f l o k s a s i n y a n g m e r u p a k a n fluorokuinolon
pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang
dikembangkan kemudian.
7 . K o m b i n a s i o b a t a n t i m i k r o b a
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara
laintoksik tifoid, peritonitis atau perforasi, septik syok, dimana pernah
terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman salmonella.
8 . K o r t i k o s t e r o i d
P e n g g u n a a n s t e r o i d h a n y a d i i n d i k a s i k a n p a d a t o k s i k t i f o i d
a t a u d e m a m t i f o i d y a n g mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.
Pemberian antimikroba menurut sumber lain :
Tabel 1. Tatalaksana Demam tifoid 13
Tatalaksana Pengidap Tifoid (Karier)
Tabel 2. Terapi Antibiotik Tifoid Karier 3
Tidak Disertai dengan kasus kolelitiasis
Pilihan regimen terapi selama 3 bulan :
- Ampisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
- Amoksisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30mg/kgBB/hari
- Trimetoprin-sulfametoksazol 2 tablet/2 kali/hari
Disertai dengan kasus kolelitiasis
Kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari, kesembuhan 80% atau
kelosistektomi + salah satu regimen terapi di bawah ini:
- Siprofloksasin 750 mg/2 kali/hari
- Norfloksasin 400mg/2 kali/hari
Disertai infeksi Schistosoma Haematobium pada traktus urinarius
Lakukan eradikasi S. Haematobium
-Prazikuantel 40mg/kgBB dosis tunggal
-metrifonat 7,5 10mg/kgBB bila diberikan 3 dosis, interval 2 minggu.
K. Pencegahan Demam Tifoid
Preventif dan kontrol penularan
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid : 3
1. Iden t i f i ka s i dan e r ad ika s i Sa lmone l l a t yph i pada pa s i en
a s imp toma t ik , ka r i e a t upun aku t .
2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun
karier yang dapat dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S.Typhi
3 . P ro t eks i pada o r ang yang be re s iko t i ngg i t e r i n f eks i dengan ca r a
vaks ina s i
Vaksinasi
Indikasi vaksinasi : 3
Hendak mengunjungi daerah endemik, resiko terserang demam tifoid semakin
tinggiuntuk daerah berkembang ( amerika latin, asia, afrika )
Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid
Petugas laboratorium / mikrobiologi kesehatan
Jenis vaksin :
Vaksin oral Ty21a ( vivotif Berna ), belum beredar di Indonesia
Vaksin parenteral VICPS ( Typhim Vi / Pasteur Merieux ), vaksin kapsul
polisakarida
Kontraindikasi :
Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran alergi atau reaksi
efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena sedikitnya data). Bila diberikan
bersamaan dengan obat antimalarial dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru
dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat
sulfonamide atau antimikroba lainnya.
Efeksamping :
Pada vaksin oral Ty21a : demam dan sakit kepala. Pada vaksin parenteral ViCPS :
demam, malaise, sakit kepala, rush , nyeri lokal. Efek samping terbesar pada parenteral
adalah heatphenol inactivated, yaitu demam, nyeri kepala, dan reaksi local nyeri dan edema
bahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok.
Efektivitas :
Serokonversi ( peningkatan titer antibodi 4 kali ) setelah vaksinasi dengan ViCPS t e r j ad i s eca r a c epa t ya i t u s ek i t a r 15 ha r i – 3 m inggu dan 90 % be r t ahan s e l ama 3 t ahun . Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik ( Nepal ) dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik.
L. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian
pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.
BAB III
KESIMPULAN
Demam tifoid ( enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, khususnya sore hingga malam
hari yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penularan penyakit ini dapat melalui pasien
dengan demam tifoid dan yang lebih sering adalah melalui pasien karier. Karena gejala
klinis demam tifoid kurang spesifik maka dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi
pemeriksaan laboratorium.
Terdapat trilogi tatalaksana terhadap demam tifoid, yaitu : Istirahat dan perawatan, diet dan
terapi penunjang, serta pemberian antimikroba. Pencegahan dari demam tifoid yang perlu
diperhatikan adalah menghindari transmisi, higienis lingkungan,sanitasi yang sesuai, dan
proteksi berupa vaksinasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &
Penyakit Tropis, edisi 1. 2002. Jakarta : BP FKUI.
2. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002 ; 347(22): 1770-82
3. Widodo, Djoko. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jilid III.
2006. Jakarta : IPD FKUI
4. Baker et al. Searching For The Elusive Typhoid Diagnostic. BMC Infectious Diseases
2010, 10:45
5. Lifshitz, Edward I. Travel trouble: Typhoid fever--a case presentation and review.
Journal of American College Health, 07448481, Vol. 45, Issue 3
6. Antony S.Fauci t al. Harrison’s Manual of Medicine 17th Edition. 2008. McGraw Hill
7. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment
and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18
8. Frankie, et al. The TUBEX test detects not only typhoid-specific antibodies but also
soluble antigens and whole bacteria. Journal of Medical Microbiology (2008), 57, 316–
323
9. Gasem MH, Smits HL, Goris MGA, Dolmans WMV. Evaluation of a simple and rapid
dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol
2002;51:173-7
10. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. 2000. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI
11. Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit
Dalam RSCM. 2007 . Jakarta : RSUP.Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo
12. Setiabudy, R dkk. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. 2007. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
13. MK Bhan,et al. Typhoid and paratyphoid fever . All India Institute of Medical Sciences,
New Delhi 110029, India. Lancet 2005; 366: 749–62
14. Begum Zohra, et al. Evaluation of Typhidot (IgM) for Early Diagnosis of Typhoid Fever.
Bangladesh J Med Microbiol 2009; 03 (01): 10-13