12

Click here to load reader

91592803 Hak Raja Atas Tanah Di Jawa

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 91592803 Hak Raja Atas Tanah Di Jawa

HAK RAJA ATAS TANAH DI JAWA

Latar Belakang

Jawa, dalam tulisan ini mengacu pada provinsi Jawa Tengah dan provinsi Jawa

Timur yang secara harafiah tanah orang-orang Jawa. Perdebatan tentang hak-hak atas

tanah di Jawa yang berjalan sekitar satu setengah abad telah mengungkapkan sejumlah

pendekatan dan pendapat yang berbeda-beda. Mataram, selaku penguasa tanah atas

Jawa yang pernah berkuasa sebelum kedatangan bangsa asing memiliki struktur

penguasaan tanah yang unik.

Pada abad ke-9 sampai 15, tanah mempunyai nilai dan peranan yang penting.

Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa tanah memberikan penghidupan dan

kesejahteraan rakyat. Tanah menghasilkan sumber makanan yang telah menjadi urat

nadi perekonomian rakyat dan negara. Melihat pentingnya peranan tanah dalam

perekonomian rakyat dan negara, maka pemerintah Majapahit memasukkan ketentuan

mengenai pemanfaatan tanah dalam perundang-undangan Majapahit. Dalam undang-

undang tersebut diungkapkan, bahwa pengelolaan tanah hendaknya diolah secara

intensif, sehingga memberikan keuntungan. Sebaliknya apabila tanah ditelantarkan,

maka akan dikenai denda oleh raja. Oleh sebab itu, tanah menjadi hal yang sangat

signifikan untuk dibicarakan dalam tulisan ini. Tetapi penulis akan membatasi

tulisannya hanya pada penguasaan tanah di jawa masa Mataram Islam dan sesudahnya.

Setelah kedatangan VOC ke Nusantara yang telah menggerogoti hak-hak

penguasaan tanah maupun ekonomi para raja Mataram II, kedudukan penerus kerajaan

Mataram II berubah. Kini mereka menjadi daerah istimewa yang disebut vorstenlanden.

Kerajaan-kerajaan itu adalah Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Praja

Mangkunegaran, dan Pakualaman.

Dalam kaitannya dengan hal ini, maka penulis ingin mengangkat masalah ini

dalam tulisan ini. Di sini akan dijelaskan bagaimana struktur pembagian tanah di jawa

dan hak-hak yang dimiliki oleh penguasa atas tanah tersebut dan fungsinya. Tujuan

penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami sejarah penguasaan

tanah di Jawa, dan mampu mempelajari sturktur kepemilikan tanah di Jawa, khususnya

pada masa Mataram II dan sesudahnya.

Page 2: 91592803 Hak Raja Atas Tanah Di Jawa

Hak Penguasaan Tanah di Jawa

Pada jaman raja-raja feodal pra-kolonial, sistem kebangsawanan, pembagian

wilayah dan birokrasi kerajaan sangat berkaitan erat dengan sistem pertanahan. Hal ini

bisa dimengerti karena pada hakekatnya pengertian feodalisme adalah sistem

pemerintahan yang dalam pendistribusian kekuasaan berjalan sejajar dengan

pembagian tanah kepada para aparat brokrasi dan bangsawan. Dengan demikian tanah

merupakan hal sangat penting dalam penyelenggaraan kekuasaan.

Terdapat dua kriteria untuk menentukan kedudukan seseorang dalam stratifikasi

masyarakat kerajaan Mataram tradisional. Yang pertama bahwa status atau kedudukan

bangsawan seseorang ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan pemegang

kekuasaan yaitu raja. Yang kedua ditentukan oleh posisi atau kedudukan seseorang

dalam hierarki birokrasi kerajaan. Dengan memiliki salah satu dari kriteria itu, maka

seseorang dianggap termasuk golongan elit dalam stratifikasi masyarakat tradisional

kerajaan mataram. Untuk kriteria yang disebutkan pertama hanya ditempati oleh para

bangsawan yaitu yang berdasarkan atas hubungan darah.dengan pemegang atau pemilik

kekuasaan yaitu raja. Sementara untuk yang disebutkan kedua bisa berasal dari

bangsawan atau non-bangsawan. Artinya bahwa seseorang, meskipun bukan

bangsawan, bisa diangkat dan menduduki strata tertentu dalam birokrasi kerajaan.

Dalam zaman kerajaan Mataram II, wilayah kerajaan tersebut dapat dibagi

menjadi tiga golongan: negara/ kuthanegara (ibukota), negaragung (daerah inti),

mancanegara (daerah pesisir) yang termasuk daerah luar, kemudian tanah sabrang

(tanah di seberang laut). Di luar wilayah Mancanegara dan yang letaknya paling jauh

dari pusat kerajaan terdapat apa yang disebut dengan istilah wilayah Pasisiran (pantai).

Wilayah ini juga d12/10/2012ibagi menjadi dua bagian yaitu Pasisiran Wetan (Timur),

meliputi daerah-daerah pantai dari Demak ke barat, dan Pasisiran Kulon (Barat) yaitu

wilayah dari daerah Jepara ke timur. Pada masa pemerintahan Paku Buwana II daerah-

daerah Pasisiran barat terdiri dari daerah-daerah: Brebes, Bentar, Labaksiyu, Tegal,

Pemalang, Batang, Kendal, Demak, dan Kaliwungu. Sementara wilayah Pasisiran timur

terdiri dari daerah-daerah: Jepara, Kudus, Cengkal, Pati, Juwana, Rembang,

Pajangkungan, Lasem, Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruhan,

Bangil, Banyuwangi, Blambangan dan Madura.

Page 3: 91592803 Hak Raja Atas Tanah Di Jawa

Pada saat kerajaan Mataram II menjadi penguasa terbesar tanah Jawa, sumber

penghasilan utama para penguasa Mataram dan pengikutnya berasal dari tanah-tanah

yang ditanami. Penguasa merupakan pemilik dari semua tanah daerah yang ditaklukan

dan dikuasaaiya. Penguasaan tanah ini sangat sesuai dengan konsep

Keagungbinatharaan yang mengatakan bahwa Kekuasaan raja-raja Mataram begitu

besar di mata rakyat, sehingga rakyat mengakui bahwa raja sebagai pemilik segala

sesuatu, baikharta benda maupun manusia. Karena itu terhadap keinginan raja, rakyat

hanya dapat menjawab ’ndherek ngarsa dalem’ (terserah kepada kehendak raja)

kekuasaan yang demikian besar itu dikatakan ”wenang wisesa ing sanagari” (berwenang

tertinggidi seluruh negeri)”. Oleh sebab itu, sebagai penguasa tunggal, mereka berhak

mengambil seluruh hasil bumi yang ditanam sekaligus orang yang bekerja di tanah ini.

Dalam konsep kekuasaan di Jawa, raja memiliki dua jenis hak atas tanah. Yang

pertama, dapat disebut hak politik atau hak publik, sebab hak ini menetapkan luasnya

yurisdiksi teritorialnya. Hak ini hanya menetapkan batas-batas derah yang boleh ia atur,

daerah tempat ia boleh menjalankan keadilan dan yang dipertahankannya dari serangan

musuh. Yang kedua dan hak raja yang lebih langsung berkenaan dengan tanah adalah

hak untuk mengatur hasil tanah sesuai dengan adat. dasar dari hak pengaturan ini

nampaknya terdapat dalam adat kampung yang telah lama (paron), yaitu hasil tanah

menjadi setengah untuk penggarap tanah dan setengah untuk orang yang mempunyai

hak memetik hasil, hak yang diterimanya dari desa yang menjadi pemilik tanah yang

sebenarnya, siti dusun (tanah dusun).

Tanah yang terletak di sekitar istana Mataram (Negaragung) dan penduduk yang

ada di atasnya digunakan untuk keperluan mereka sendiri. Pengurus yang mengelola

tanah-tanah itu mengatur pengerahan tenaga kerja dan penyerahan hasil bumi dengan

desa. Desa kemudian mengadakan perjanjian dengan masing-masing rumah tangga

petani. Pemberian hadiah berupa tanah untuk kerabat istana dan para pengikut diadakan

di luar kawasan Negaragung yang dikenal dengan wilayah Mancanegara. Hadiah

Apanase ini dimaksudkan sebagai penghasilan dan nafkah bagi mereka yang

sesungguhnya tinggal di istana tetapi memiliki pelayan yang mengurus semua tanahnya.

Biasanya para penguasa tanah melimpahkan tanah yang telah ditanami kepada anggota-

anggota keluarga dan pengikut mereka, tetapi kadang-kadang menghadiahkan tanah

yang belum digarap disertai perintah untuk segera membudidayakannya. Pemegang

Page 4: 91592803 Hak Raja Atas Tanah Di Jawa

tanah apanase wajib menyerahkan hasil bumi dan tenaga kerja kepada penguasa sebagai

tanda patuh dan dukungan. Hasil panen dari tanah-tanah yang dikerjakan rakyat di

pedesaan, upeti atau penyerahan wajib lainya diserahkan oleh para kepala desa (petingi

atau bekel) kepada para atasanya yaitu para Demang. Para demang ini kemudian

menyerahkan lagi kepada para atasanya yaitu para Panji, yang biasanya bergelar

Tumenggung. Kepala dari para panji adalah Wedana yang selanjutnya bertangung jawab

secara langsung kepada Patih. Tanah apanase dikembalikan kepada penguasa jika si

pemegang meninggal dunia atau si pemilik menelantarkannya, tetapi selama di tangan

pemegangnya, tanah dan segala isinya tetap berada di bawah kekuasaanya dan dapat

berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya.

Agar bisa mengontrol tanah-tanahnya yang dikerjakan oleh rakyat di pedesaan,

raja mengangkat petugas-petugas khusus, yaitu apa yang disebut dengan istilah bekel,

petinggi dan sebagainya, yang sekaligus berfungsi sebagai pemungut pajak. Mereka ini

tentu saja juga diberi imbalan jasa atau semacam gajih, yaitu bagian dari hasil tanah

desa di wilayah kerja mereka masing-masing. Untuk para bekel ini raja memberikan

tanah bebas pajak yang luasnya seperlima dari tanah sawah yang ada di wilayah kerja

mereka masing-masing. Kemudian separoh dari sisanya, yaitu sebesar 2/5 bagian

menjadi hak para petani penggarap yang mereka nikmati pada setiap panen. Sisanya lagi

yang tinggal 2/5 bagian, harus dipotong lagi 1/5 bagian untuk bupati sebagai kepala

daerah dan 1/5 lagi menjadi bagian para kepala distrik seperti Demang dan Ngabehi.

Dengan demikian raja tinggal memperoleh bagian 2/5 x 100 % - 2/5 x 40 % = 40 % - 16

% = 24 % dari seluruh hasil panen di suatu kabupaten. Sistem tanah bebas pajak atau

hak guna tanah yang seluas 1/5 bagian dari seluruh tanah sawah yang ada di wilayah

kerja bekel atau petinggi (atau jabatan setingkat) itu dinamakan sistem perlimaan.

Dua jenis tanah penguasaan tidak dikenakan jenis pajak yang sama, yaitu

narawita (daerah kuasa raja) dan tanah perdikan. Daerah kuasa raja lengsung berada di

bawah kepengurusan raja melalui seorang wedana khusus (wedana miji, miji

menunjukkan tugas dan kedudukannya yang khusus). Tanah-tanah itu sebenarnya tidak

bebas dari pajak, tetapi seluruhnya dicadangkan untuk keperluan raja dan harus

menyediakan barang-barang dagangan seperti beras, minyak, bunga dan daun sirih untk

pemakaian khusus rumah tangga raja. Demikian pula para kepala daerah luar (bupati),

mereka mencadangkan sebagian daerah kekuasaannya untnk pemakaian mereka sendiri.

Page 5: 91592803 Hak Raja Atas Tanah Di Jawa

Mengenai hak atas tanah yang diberikan oleh raja atau penguasa setempat

kepada para pejabatnya sebagai pembayaran upah dan uga sarana bagi pembiayaan

tugas mereka, kita harus membedakan antara lungguh (appanage) dan bengkok atau

catu (tanah untuk gaji). Lungguh adalah daerah yang telah diserahkan dan yang

menerima penyerahan mempunyai hak atas keuntungan dari tanah itu dan dari

penduduk, dari sini raja dapat menarik keuntungan-keuntungan, (pajak, jasa-jasa,

penghasilan dari daerah milik mereka sendiri), tetapi raja tidak memiliki hak atas tanah

itu sendiri. Tanah bengkok atau tanah gaji adalah sebidang tanah garapan dari sebagian

tanah raja yang diserahkan kepada seorang pejabat, keluarga atau seorang yang

disenangi. Tanah itu dikerjakan dengan kerja rodi (corvée/ kerja wajib) untuk

kepentingan orang yang diberi hadiah. Dulu, luasnya sebuah lungguh sama dengan hak

atas wilayah yang diterima oleh pemegang lungguh karena jabatan dan pangkatnya,

tetapi kemudian lungguh itu menjadi lebih sempit dan makin lama makin sama luasnya

dengan tanah gaji. Jadi sistem lungguh hanya berlaku di Negaragung, sebab semua

pejabat kraton dari yang tertinggi sampai dengan terendah dan juga beberapa kepala

daerah dari provinsi lain hidup dari lungguh, sedangkan sistem tanah gaji berlaku di

kawasan Mancanegara.

Sistem kesatuan tanah di Jawa pada jaman raja-raja Mataram Islam pra kolonial

adalah “jung” yang arti harafiah atau yang sesungguhnya adalah kaki, yang kira-kira

sama dengan 50 x 50 cengkal = 2.500 roede persegi. Jumlah satuan untuk menentukan

luas bidang tanah yang dikenal sebagai jung berbeda-beda, tergantung tingkat

kesuburan dan jarak tanah ini dari kota-kota besar atau desa. Pada umumnya disebutkan,

bahwa satu jung di vorstenlanden mengandung empat cacah, dan dua cacah di daerah

pesisir. Satu jung masih bisa dibagi lagi menjadi 5 bau (bau = lengan). Pengertian

harafiah bau atau lengan adalah lengan pekerja seperti petani atau peladang, yang

kemudian juga disebut dengan istilah karya, yang berarti tugas kerja. Satu bahu luasnya

kira-kira sama dengan 500 roede persegi. Akan tetapi dalam administrasi pertanahan

Jawa yang masih sederhana tanah, tanah bebas pajak dari para bekel tidak pernah

diperhitungkan dalam menentukan luas tanah desa. Oleh karena itu dalam daftar pajak

yang resmi hanya diperhitungkan 1 jung sama dengan 4 bau atau karya (G.P. Ruffaer,

XXXIV, 1931: 72). Artinya untuk ukuran satu jung yang sesungguhnya masih harus

ditambah bagian bekel sebesar 1 bau, sehingga menjadi 5 bau.

Page 6: 91592803 Hak Raja Atas Tanah Di Jawa

Kesimpulan

Dalam konsep kekuasaan Jawa, raja adalah pemilik tanah dengan kekuasaanya

yang mutlak. Penguasaan tanah ini sangat sesuai dengan konsep Keagungbinatharaan

yang mengatakan bahwa Kekuasaan raja-raja Mataram begitu besar di mata rakyat,

sehingga rakyat mengakui bahwa raja sebagai pemilik segala sesuatu, baikharta benda

maupun manusia. Karena itu terhadap keinginan raja, rakyat hanya dapat menjawab

’ndherek ngarsa dalem’ (terserah kepada kehendak raja) kekuasaan yang demikian besar

itu dikatakan ”wenang wisesa ing sanagari” (berwenang tertinggidi seluruh negeri)”.

Tanah itu dibagi-bagikan kepada para pejabat birokrasi dan para bangsawan sebagai

tanah apanage, dan kemudian diserahkan kepada rakyat untuk dikerjakan.

Mengenai hak atas tanah yang diberikan oleh raja atau penguasa setempat

kepada para pejabatnya sebagai pembayaran upah dan juga sarana bagi pembiayaan

tugas mereka, kita harus membedakan antara lungguh (appanage) dan bengkok atau

catu (tanah untuk gaji). Lungguh adalah daerah yang telah diserahkan dan yang

menerima penyerahan mempunyai hak atas keuntungan dari tanah itu dan dari

penduduk, dari sini raja dapat menarik keuntungan-keuntungan, (pajak, jasa-jasa,

penghasilan dari daerah milik mereka sendiri), tetapi raja tidak memiliki hak atas tanah

itu sendiri. Tanah bengkok atau tanah gaji adalah sebidang tanah garapan dari sebagian

tanah raja yang diserahkan kepada seorang pejabat, keluarga atau seorang yang

disenangi. Sistem lungguh hanya berlaku di Negaragung, sebab semua pejabat kraton

dari yang tertinggi sampai dengan terendah dan juga beberapa kepala daerah dari

provinsi lain hidup dari lungguh, sedangkan sistem tanah gaji berlaku di kawasan

Mancanegara.

Daftar Pustaka

Page 7: 91592803 Hak Raja Atas Tanah Di Jawa

Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau.

Jakarta: 1985.

Niel, Robert van. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: Pustaka LP3ES

Indonesia.

Supriyono, Agust. Sistem Pertanahan Jaman Kerajaan Mataram Islam. Makalah.

Diunduh pada 9 April 2011.