Upload
ahmad-faqih
View
96
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KEDUDUKAN JAMINAN DALAM PEMBIAYAANPADA PERBANKAN SYARI’AH DITINJAU
DARI KONSEP DLĀMAN
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
SYAHRINA PRIHATINIMahasiswa Fakultas Syari’ah
Jurusan Muamalah Wal IqtishadNIM: 120707440
FAKULTAS SYARI’AHINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH2012 M/1433 H
KEDUDUKAN JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN MUDLĀRABAH PADA
PERBANKAN SYARI’AH DITINJAU DARI KONSEP DLĀMAN
Nama : Syahrina Prihatini Nim : 1207070440Fakultas/Jurusan : Syari’ah/Syari’ah Muamalah Wal IqtishadTanggal Munaqasyah : Lulus Dengan Nilai : Tebal Skripsi : 64 HalamanPembimbing I : Hasnul Arifin Melayu, M.APembimbing II : Saifuddin, S.Ag, M.Ag
ABSTRAK
Jaminan pembiayaan pada perbankan Syari’ah merupakan bagian dari prosedural yang harus dipatuhi oleh setiap nasabah yang akan mengambil pembiayaan produk tersebut. Adakalanya barang jaminan yang diserahkan oleh pihak nasabah bukan merupakan milik pribadi, melainkan milik orang lain yang dipinjamkan kepada nasabah, dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh bank. Landasan hukum barang jaminan pada perbankan syari’ah ini, diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah, dan dalam fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000. Walaupun demikian, pengaturan tentang jaminan milik pihak ketiga pada perbankan syari’ah tetap mengacu kepada hukum positif yang mengatur hal serupa dalam permasalahan kredit pada perbankan konvensional. Masalah utama penelitian ini adalah bagaimana kedudukan barang jaminan dalam konsep dlamān, ketetapan perbankan syari’ah tentang pemberlakuan pengadaan barang jaminan dan analisis hukum Islam terhadap ketetapan pemberlakuan pengadaan barang jaminan pada perbankkan syari’ah. Metode penelitian skripsi ini deskriptif analisis yaitu suatu metode yang bertujuan membuat gambaran sistematis tentang kedudukan jaminan dalam pembiayaan pada perbankan syari’ah dan ketetapan hukum yang menjadi landasan pemberlakuan tersebut dalam tinjauan konsep dlamān. Hasil penelitian meunjukkan bahwa ketetapan tentang mekanisme jaminan pada perbankan syari’ah merujuk kepada perundang-undangan hukum positif yang telah ada, namun sebahagian dari ketetapan hukum tersebut tidak sesuai dengan konsep hukum Islam sebagaimana yang seharusnya menjadi rujukan oleh perbankkan syari’ah. Dapat disimpulkan bahwa prosedural barang jaminan, terutama milik pihak ketiga, yang merujuk kepada ketetapan hukum positif Indonesia, terdapat ketentuan yang merugikan pihak pemilik barang jaminan dalam posisinya sebagai penanggung pada perjanjian pembiayaan tersebut.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, sehingga
penulis telah dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam atas junjungan
umat, Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam dari alam
kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penulisan karya ilmiah merupakan salah satu tugas mahasiswa dalam
menyelesaikan studi di suatu lembaga pendidikan. Dalam memenuhi hal tersebut
penulis memilih judul “Kedudukan Barang Jaminan Dalam Pembiayaan Pada
Perbankan Syari’ah Ditinjau Dari Konsep Dlamān”. Penulisan skripsi ini bertujuan
untuk melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan studi di Fakultas Syariah Institut
Agama Islam Negri Ar-Raniry Banda Aceh.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada Bapak Hasnul Arifin Melayu, M.A sebagai pembimbing I
dan Bapak Saifuddin Sa’dan, S.Ag, M.Ag sebagai pembimbing II yang dalam
kesibukannya menyempatkan diri untuk memberi bimbingan dan pengarahan
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penghargaan yang tak terhingga penulis
sampaikan kepada pihak Pimpinan Fakultas Syariah, Ketua jurusan SMI dan stafnya,
Penasehat Akademik beserta staf Akademik Fakults Syariah IAIN Ar-Raniry yang
telah banyak memberi bantuan dalam pengurusan dokumen pelengkap yang
berhubungan dengan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebanyak-
banyaknya kepada semua dosen-dosen beserta asisten-asisten dosen di Fakultas
Syariah yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dan
banyak kekurangan, dengan demikian kritik dan saran dari semua pihak sangat
diharapkan demi memperbaiki tulisan ini agar bisa bermanfaat bagi penulis sendiri
serta masyarakat umum.
Banda Aceh, 18 Januari 2012
Penulis
PEDOMAN TRANSLETERASI ARAB LATIN
ا = a ز = z ق = q
ب = b س = s ك = k
ت = t ش = sy ل = l
ث = ts ص = sh م = m
ج = j ض = dl ن = n
ح = h =ط th و = w
خ = kh =ظ zh = ׳ ‘
د = d ع = ‘a ه = h
ذ = dz غ = gh ى = y
ر = r =ف f
Untuk Madd dan Diftong
ā = a mad (panjang) وأ = aw
ī = i mad (panjang) او = uw
ū = u mad (panjang) ىأ = ay
ىا = iy
Tā marbūthahة) ) ditransliterasikan kepada “h” tidak dengan “t” seperti ياالس
.ditulis al-siyāsah, bukan al-siyāsat سة
Kata yang diawali dengan alif lam “al” ditulis dengan diawali “al” seperti
السيا سة ditulis al-siyāsah, bukan as-siyāsah.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I: Surat Keputusan Pembimbing Skripsi
DAFTAR ISI
LEMBARAN JUDULPENGESAHAN PEMBIBIMBING...................................................................
iiPENGESAHAN SIDANG...................................................................................
iiiABSTRAK............................................................................................................
ivKATA PENGANTAR.........................................................................................
vTRANSLITERASI..............................................................................................
viiDAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................
viiiDAFTAR ISI .......................................................................................................
ixBAB SATU : PENDAHULUAN.........................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah............................................................1
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................7
1.3. Tujuan Penelitian......................................................................7
1.4. Kajian Pustaka...........................................................................8
1.5. Metodologi Penelitian...............................................................9
1.6. Sistematika Pembahasan...........................................................12
BAB DUA :KONSEPSI PERTANGGUNGAN DALAM KAJIA TEORI DLAMĀN.........................................................................................14
2.1. Pengertian Pertanggungan dalam Kajian Dlamān....................14
2.1.1. Pengertian Dlamān..........................................................14
2.1.2. Landasan Hukum Dlamān...............................................16
2.2. Rukun dan Syarat Dlamān........................................................19
2.2.1. Rukun Dlamān................................................................19
2.2.2. Syarat Dlamān.................................................................22
2.3. Mekanisme Pertanggungan dalam Konsep Dlamān ................28
2.3.1. Pendapat Ulama tentang Mekanisme Dlamān................28
2.3.2. Konsekuensi Hukum dalam Mekanisme Dlamān...........31
BAB TIGA : ANALISIS KEDUDUKAN BARANG JAMINAN DALAM PEMBIYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH...................34
3.1. Landasan Hukum tentang Keberadaaan Jaminan dalam Perbankan Syari’ah.................................................................34
3.2. Ketetapan tentang Kebolehan Penggunaan Barang Jaminan Milik Pihak Ketiga dalam Perundang – undangan.................48
3.3. Analisis Keberadaan Barang Jaminan Milik Pihak Ketiga pada Pembiyaan Perbankan Syari’ah dalam Tinjauan Pertanggungan Konsep Dlamān.............................................52
BAB EMPAT : PENUTUP.................................................................................
61
4.1. KESIMPULAN.........................................................................61
4.2. SARAN.....................................................................................63
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................65
LAMPIRAN – LAMPIRAN ..............................................................................68
DAFTAR RIWAYAT HIDUP............................................................................69
BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Penyertaan barang jaminan merupakan salah satu syarat dari sistem prosedural
pengambilan pembiayaan pada perbankan syari’ah yang diberlakukan hampir pada
seluruh produk pembiayaan yang mereka tawarkan. Meskipun dalam konsep
dasarnya pembiayaan-pembiayaan tersebut tidak dibebani adanya barang jaminan
bagi pihak yang mengambil pembiayaan, namun oleh pihak perbankan ketentuan itu
merupakan pertimbangan atas risiko buruk yang mungkin terjadi dalam masa
peminjaman dana untuk nasabah. Di samping sebagai barang bukti kepastian bahwa
nasabah debitur benar-benar menjalankan segala ketentuan yang telah disepakati
bersama.1
Terkait dengan barang jaminan, adakalanya barang jaminan yang diserahkan
oleh nasabah dalam suatu pembiayaan kepada pihak perbankan syari’ah bukan
merupakan barang milik pribadi, namun barang milik orang lain yang dipinjamkan
kepada nasabah untuk digunakan sebagai jaminan. Dalam hal ini dapat dicontohkan
saja dengan pembiayaan murābahah sebagai berikut; Seorang pembeli (A)
mengambil pembiayaan murābahah dengan meminjam sejumlah uang kepada sebuah
bank (B) yang akan dipergunakan untuk membeli barang tertentu. Mengikuti syarat
prosedural yang berlaku, B meminta A memberikan jaminan dalam bentuk barang,
maka A memberikan jaminan tersebut yang merupakan milik C dengan ketentuan-
ketentuan yang harus dipatuhi oleh A dan C.
1 Adimarwan Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 103.
Dalam perbankan syari’ah, sebagai kreditur, menerapkan kebijakan-kebijakan
mengenai penyertaan jaminan milik pihak ketiga. Pihak perbankan harus mengetahui
pemilik barang tersebut, melihat langsung bukti kepemilikan barang, mendapatkan
persetujuan pemilik barang, dan mendapatkan persetujuan eksekusi barang berkenaan
dengan wanprestasi oleh nasabah debitur yang mungkin akan terjadi. Namun, meski
adanya kebijakan tersebut, secara operasionalnya tetap saja perbankan syari’ah
mengacu kepada peraturan perudang-undangan yang telah ada, dan hal tersebut
belum tentu sesuai dengan konsep hukum Islam.
Adapun jaminan dalam bentuk seperti yang disebutkan di atas termasuk
bagian dari jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan sendiri merupakan jaminan yang
dapat diadakan antara kreditur dengan debitur, tetapi juga dapat diadakan antara
kreditur dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban
debitur.2
Keberadaan jaminan dalam pembiayaan pada perbankan syari’ah ini telah
dilegalkan hukum positif Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat
(23) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan juncto pasal 1 ayat (26) Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah menyatakan bahwa:
“Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda yang
tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada BankSyari’ah dan/atau
2 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional, (Jakarta: Kecana Prenada Media Group, 2005), hlm. 74.
Unit Usaha Syari’ah, guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima
fasilitas”.3 Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa agunan atau barang
jaminan diberikan oleh nasabah debitur kepada pihak perbankan syari’ah untuk
menjamin pihak debitur menjalankan kewajibannya dalam hal pelunasan hutang atau
pemenuhan perjanjian yang telah disepakati.
Di samping itu, terdapat beberapa pasal lain yang memiliki pembahasan
berkaitan dengan jaminan, antara lain Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda Lain yang Berkaitan dengan Tanah,
dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, serta beberapa
peraturan lainnya yang tercantum dalam KUH Perdata dan KUH Dagang.4
Keseluruhan ketetapan hukum mengenai barang jaminan ini menjadi landasan teoritis
tentang legalitas pemberlakuan penyertaan barang jaminan dalam pembiayaan pada
perbankan syari’ah.
Praktik pemberian jaminan yang merupakan milik pihak lain, telah diatur pula
dalam KUH Perdata Pasal 1831: “Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur
kecuali debitur lalai membayar utangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitur
harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya.”5 Merujuk pada
3 Bank Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan syari’ah, Juli 2008. Diakses pada tanggal 5 September 2011 dari situs: http://www.bi.go.id/
4 Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 2005), hlm. 12. Hukum Islam bukan merupakan hukum positif di Indonesia, maka hubungan hukum antara perbankan syari’ah dengan nasabah tunduk ada hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata (Sutan Remy Sjahdeini, Perbakan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT. Utama Grafiti, 2005), hlm. 134.)
5 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm. 454.
Pasal 1831 KUH Perdata di atas menjelaskan bahwa meskipun seorang debitur telah
memiliki pihak yang akan menanggung hutangnya pada kreditur, namun harta atas
milik debitur tetap harus disita terlebih dahulu sebelum jaminan milik penanggung
dieksekusi.
Pembahasan barang jaminan dijelaskan dengan pengertian lebih khusus pada
pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia:
“Hak Jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya”.6
Berdasarkan Undang-undang tersebut, dapat dilihat bahwa barang jaminan
atas nama pihak lain yang diberikan oleh debitur kepada pihak bank memiliki
landasan hukum yang jelas. Di samping itu, adanya kejelasan bahwa barang jaminan
fidusia tetap berada dalam penguasaan pemilik barang meskipun barang tersebut
digunakan oleh pihak lain sebagai jaminan dalam pelunasan utang terhadap pihak
kreditur.
Jaminan atau penjaminan dalam fiqh muamalah lebih dikenal dengan istilah
dlamān, yang sesungguhnya merupakan usaha pertanggungan yang dilakukan
terhadap hutang atau beban yang berkenaan dengan permasalahan harta orang lain.
Dlamān merupakan bagian dari kafālah, karena pengertian kafālah menurut bahasa
6 Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, hlm. 56.
berarti ad-dlamān (jaminan), hamalah (beban) dan zama’ah (tanggungan), oleh
sebab itu segala sesuatu tentang rukun dan syarat dlamān menyerupai rukun dan
syarat kafālah. Landasan hukum tentang dlamān ini sebagaimana yang terkandung
dalam Al-Qur’an, surat Yusuf ayat 72:
زعيم . به وأنا بعير حمل به جاء لمن و الملك ع صوا نفقد لوا قا
Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa
yang dapat mengembalikannya memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,
dan aku yang menjamin terhadapnya”.
Ayat di atas menjelaskan tentang seseorang yang menyatakan dirinya sebagai
penjamin terpenuhinya janji untuk memberikan sejumlah bahan makan kepada
seseorang yang mampu menemukan piala raja.7
Adapun di dalam konsep dlamān bahwa orang yang bersedia menanggung
hutang atau beban orang lain, lebih dikenal dengan sebutan dlāmin, merupakan pihak
ketiga yang terlibat dalam permasalahan antara si penghutang dan si pemberi hutang.
Selain itu, permasalahan dlamān juga meliputi sahnya memberi jaminan akan
keselamatan benda yang dijual, yaitu dengan menjamin pembayaran ketika barang
tersebut menjadi milik selain penjual, dan sebernarnya permasalahan ini telah
memasuki lingkup jual beli.8
7 Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, cet. ke 1 (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 420.8
Ibid
Selain itu, terdapat beberapa syarat dan rukun-rukun tertentu dalam konsep
dlamān ini, salah satunya adalah bahwa dlāmin wajib mengetahui jumlah hutang
yang menjadi beban orang yang ditanggungnya. Apabila dhāmin tidak
mengetahuinya maka dalam hal ini dlamān dianggap tidak sah karena dapat
memungkinkan timbulnya gharār.9
Pemberian jaminan ini merupakan akad yang berdasarkan sikap belas kasihan,
yang bertujuan untuk memberikan jasa dan menolong penerima jaminan (madlmūn
‘anhu). Dengan demikian, tidak boleh meminta bayaran atas hal itu. Disamping itu,
bayaran terhadap pemberian jaminan bagaikan piutang yang mendatangkan
keuntungan, karena penjamin harus menunaikan utang penerima jaminan ketika
diminta untuk melunasinya. Maka jika membayarkan utang orang yang ia jamin, ia
akan menagihnya dari orang yang ia jamin tersebut sebagai utang.
Dengan demikian, jika ia meminta bayaran atas jaminan yang ia berikan,
maka itu adalah piutang yang mendatangkan keuntungan yang wajib dijauhi. Di
samping itu, pemberian jaminan untuk orang yang berutang adalah bentuk tolong
mrenolong dan berangkat dari sikap belas kasihan, bukannya memanfaatkan dan
menyulitkan orang yang membutuhkan bantuan.10
Di antara permasalahan pemberian jaminan ini adalah tanggung jawab
pemberi jaminan (dlāmin) tidak gugur kecuali dengan gugurnya tanggung jawab
9 Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib Jilid I, (Kudus: Menara Kudus), hlm. 263. Gharar adalah suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan.
10 Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, hlm. 421.
penerima jaminan (madlmūn ‘anhu) terhadap utangnya, baik dengan digugurkan oleh
pemberi utang maupun ia melunasinya. Karena, tanggung jawab pemberi jaminan
adalah cabang dan mengikuti tanggung jawab penerima jaminan. Di samping itu
karena jaminan adalah sekedar penguat, ketika permasalahan pokoknya hilang, maka
penguatnya pun akan hilang.11
Yang menjadi permasalahan skripsi ini dibutuhkannya analisis tentang
kedudukan jaminan pada perbankan syari’ah dengan tinjuan konsep dlamān. Dengan
demikian, berdasarkan uraian di atas, maka penulis dalam skripsi ini melakukan
penelitian tentang “Keberadaan Jaminan dalam Pembiayaan pada Perbankan Syari’ah
ditinjau dari Konsep Dlamān”.
1.2. Rumusan Masalah
Berangkat dari permasalahan yang ada berdasarkan latar belakang dan uraian
di atas, maka penulis melakukan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan barang jaminan dalam konsep dlamān?
2. Bagaimana ketetapan perbankan syari’ah tentang pemberlakuan pengadaan
barang jaminan?
3. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap ketetapan pemberlakuan pengadaan
barang jaminan pada perbankan syari’ah?
1.3 Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk memahami kedudukan barang jaminan dalam tinjauan konsep dlamān.11 Ibid. hlm. 422.
2. Untuk membahas ketetapan perbannkan sari’ah tentang pemberlakuan
pengadaan barang jaminan.
3. Untuk mengkaji tinjauan konsep dlamān terhadap ketetapan pengadaan
barang jaminan pada perbankan syari’ah..
1.4. Kajian Pustaka
Pembahasan mengenai jaminan pada pembiayaan pernbankan syariah, telah
sering dibahas dalam bentuk karya tulis, demikian pula dalam hal barang jaminan
tersebut milik pihak ketiga. Namun dari sekian banyak karya tulis yang membahas
tentang jaminan, tidak banyak yang menganalisisnya dengan konsep dlamān.
Terlebih lagi barang jaminan tersebut merupakan kepemilikan pihak ketiga.
Terdapat beberapa karya tulis yang berkenaan dengan jaminan, meskipun
tidak membahas tentang jaminan pihak ketiga dalam konsep dlamān. Beberapa karya
tulis tersebut misalnya karya tulis yang dipaparkan oleh A. Nila Rezannia, tentang
Analisis Pelelangan Benda Jaminan Gadai pada Pegadaian Syari’ah Cabang Melati,
Sleman, Jogjakarta.12 Dalam penulisan judul tersebut penulis lebih menjelaskan
kedudukan barang jaminan sebagai bagian dari sistem gadai, yang karena sebab-
sebab tertentu barang gadaian tersebut harus dilelang dengan syarat dan ketentuan
yang berlaku.
12 A. Nila Rezannia, “Analisis Pelelangan Benda Jaminan Gadai pada Pegadaian Syari’ah Cabang Melati, Sleman, Jogjakarta” (Tesis yang tidak dipublikasi), Jurusan Ekonomi Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Surakarta, 2006, hlm. 1.
Kemudian hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmiati, tentang Eksekusi
Agunan Produk Pembiayaan Murābahah Bermasalah secara Langsung oleh Bank
Aceh Syari’ah Cabang Banda Aceh.13 Di dalam penulisannya tersebut dijelaskan
bahwa dalam menghadapi pembiayaan murābahah yang bermasalah, Bank Aceh
Syari’ah dapat mengeksekusi barang jaminan milik nasabah dengan melalui tahapan-
tahapan tertentu.
Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Burhanuddin Harahap di
dalam karya ilmiahnya, tentang Status Hukum Jaminan dalam Perjanjian
Pembiayaan Mudlārabah Pada Perbankan Syariah.14 Hasil penelitian ini membahas
tentang bagaimana status hukum jaminan dalam pembiayaan mudlārabah baik
ditinjau menurut hukum positif dan hukum Islam.
Berdasarkan telaah dari beberapa karya tulis di atas karya tulis yang
disebutkan terakhir yang lebih mendekati pembahasan dalam skripsi ini. Meski
demikian terdapat perbedaan yang sangat signifikan yaitu, pembahasan dalam karya
tulis tersebut adalah penjelasan tentang status hukum yang mengatur barang jaminan
dalam pembiayaan mudlārabah pada perbankan syari’ah dengan menggunakan
tinjauan hukum positif dan hukum Islam. Sedangkan dalam karya tulis ini, penulis
13 Darmiati, “Eksekusi Agunan Produk Pembiayaan Murabahah Bermasalah Secara Langsung oleh Bank Aceh Syari’ah Cabang Banda Aceh” (Skripsi yang tidak dipublikasi). Fakultas Syari’ah, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2011, hlm. 1.
14 Burhanuddin Harahap, “Status Hukum Jaminan dalam Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Pada Perbankan Syariah” (Tesis yang tidak dipublikasi). Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 1.
mengangakat konsep dlamān sebagai tinjauan hukum Islam terhadap keberadaan
barang jaminan pada perbankan syari’ah.
1.5. Metodologi Penelitian
Pada prinsipnya dalam penulisan karya ilmiah membutuhkan data yang
lengkap dan objektif serta memiliki metode tertentu sesuai dengan permasalahan
yang hendak dibahas, adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penulisan karya
ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.5.1. Pendekatan Penelitian
Penelitian karya ilmiah ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu
proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi untuk
menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia.15 Di samping itu, karya
ilmiah ini juga menggunakan metode pembahasan deskriptif, yaitu pembahasan
materi dengan cara menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa
adanya.
Pembahasan dengan metode deskriptif ini dimaksudkan untuk mendapatkan
paparan kejelasan permasalahan yang dapat ditemukan dengan adanya ketimpangan
antara teori dan fakta yang terjadi seputar permasalahan jaminan pada perbankan
syari’ah dalam tinjauan hukum Islam. Selain itu juga untuk mendapatkan gambaran
dari penyelesaian masalah itu sendiri. Metode pembahasan deskriptif dilakukan
dengan cara mengumpulkan teori dan fakta yang menjadi fokus permasalahan,
15
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. Ke 8 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 45.
kemudian menganalisis keduanya, dan pada akhirnya disimpulkan dalam bentuk
suatu penyelesaian. Analisis sendiri merupakan proses penguraian pokok
permasalahan atas bagian-bagian, penelaahan bagian-again tersebut dan hubungan
antar bagian untuk mendapatkan pengertian yang tepat dengan pemahaman secara
keseluruhan.16
1.5.2. Jenis Penelitian
Dilihat dari tujuan penelitian dan metode analisis data, yaitu mencari data awal
tentang ketetapan hukum Islam dalam permasalahan jaminan (khususnya konsep
dlamān), dan fakta tentang ketentuan jaminan dalam perbankan syari’ah, kemudian
menganalisa keduanya sehingga muncul kesimpulan ada atau tidaknya kecocokan
antara keduanya dan konsep mana yang lebih layak diterapkan dalam pembiayaan
pada perbankan syari’ah, maka dengan itu penulis menggunakan jenis penelitian
deskriptif analisis.
1.5.3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan data primer berupa
ketetapan perundang-undangan dan ketetapan fiqh, serta data sekunder berupa buku-
buku, artikel-artikel, jurnal ilmiah dan bahan-bahan yang diambil melalui data online
atau media elektronik (internet) yang berhubungan dengan jaminan.
16
Univesitas Sumatra Utara, Objek application. Diakses pada 5 Desember 2011 dari situs: http://repository.usu.ac.id.
1.5.4. Langkah Analisis Data
Adapun langkah analisis data merupakan sebuah kegiatan untuk mengatur,
mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya
sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab.
Melalui serangkaian aktivitas tersebut, data kualitatif yang biasanya berserakan dan
bisa disederhanakan untuk akhirnya bisa dipahami dengan mudah, dan mampu
memberi jawaban atas permasalahan yang dibahas. Langkah analisis data ini dimulai
sejak pengumpulan bahan-bahan kepustakaan, literature, artikel-artikel, jurnal ilmiah
dan data online yang berhubungan dengan pembahasan tentang konsep jaminan
dalam persepektif hukum Islam dan dalam ketetapan perbankan syari’ah. Di samping
itu juga diperoleh keterangan-keterangan dari dialog dengan karyawan perbankan
syari’ah, yang dapat dijadikan sumber penunjang dalam penulisan karya ilmiah ini.
Untuk penyusunan dan penulisan, penulis berpedoman kepada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa dan Pedoman Transliterasi Arab Latin, yang
diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun
2010. Sedangkan untuk terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an dikutip dari Al-Qur’an dan
Terjemahnya yang diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemahan Al-Qur’an
Departemen Agama RI Tahun 2002.
1.6. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan dalam memahami isi pembahasan karya tulis ini, penulis
membagi pembahasannya dalam empat bab yang terdiri dari beberapa sub bab dan
secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
Bab satu merupakan pendahuluan, yang berisi tentang uraian latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kajia pustaka, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab dua merupakan pembahasan teori tentang konsep dlamān, yaitu
pengertian dlamān, syarat dan rukun pertanggungan dalam konsep dlamān, dan
ketentuan-ketentuan yang melengkapi konsepsi dasar dlamān.
Bab tiga merupakan penjelasan kedudukan jaminan dalam perspektif
perbankan syari’ah, yaitu landasan hukum keberadaan jaminan dalam pembiayaan
pada perbankan syari’ah, ketetapan kebolehan penyertaan jaminan milik pihak ketiga,
dan Analisis keberadaan jaminan pihak ketiga pada perbankan syari’ah dalam
tinjauan pertanggungan pada konsep dlamān.
Bab empat merupakan penutup dari pembahasan skripsi ini yang berisi
kesimpulan dari pemaparan skripsi dan saran-saran dari penulis yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas.
BAB DUA
KONSEPSI PERTANGGUNGAN DALAM KAJIAN TEORI DLAMĀN
2.1. Pengertian dan Landasan Hukum Dlamān
2.1.1. Pengertian Dlamān
Kata Dlamān ضمان berasal dari kata - –ضمن ضمنا يضمن yang
memiliki arti ungkapan untuk pertanggungjawabankan sesuatu dengan sesuatu yang
memiliki nilai yang sama dengan yang ditanggung.17 Secara terminologi dlamān
adalah komitmen dari orang yang sah melakukan kerja sosial secara agama yang
wajib atau akan wajib pada orang lain, disertai masih adanya hak penjaminan
tersebut, yaitu pada sesuatu yang wajib dan akan menjadi wajib atas orang yang
dijamin. Dengan demikian hak ini tidak gugur dari orang yang diberikan jaminan
dengan adanya jaminan itu sendiri.18
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa dalam konsepsi dlamān
terdapat sebuah komitmen untuk menjamin kewajiban orang lain yang dilakukan oleh
seseorang yang secara agama dianggap telah sah melakukan pekerjaan sosial. Di
samping itu, dari pengertian tersebut juga dapat dipahami bahwa segala kewajiban
yang berkenaan dengan permasalahan penjaminan orang yang dijamin, menjadi
kewajiban atas orang yang menjamin pula.
Dlamān dalam posisi yang sebenarnya merupakan bagian dari kafālah, namun
terkhususkan pada permasalahan harta. Kafālah sendiri merupakan usaha
pertanggungan kewajiban seseorang yang dilakukan oleh orang lain dalam hal
17 Louis Ma’luf, Munjid, cet. ke 42 (Beirut: Dārul Musyriq, 2007), hlm. 455
18 Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulugh Al-Maram (terj. Thahirin Suparta, dkk), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 551.
tuntutan dan hutang.19 Oleh sebab itu, dalam beberapa sumber menyebutkan bahwa
penjelasan mengenai dlamān tidak selalu sama dengan pembahasan konsep kafālah,
karena konsep kafālah sendiri juga melingkupi pertanggungan jiwa.
Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat ulama dalam hal pembedaan
dlamān dan kafālah. Mayoritas fuqaha dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah
menggunakan kata dlamān dan kafālah sebagai sinonim. Sedangkan Hanafiyyah
menggunakan kata kafālah pada sesuatu yang padanya berlaku dlamān dengan
transaksi dan mencakup kafālah jiwa, harta dan kafālah dengan serah terima. Mereka
sepakat dengan mayoritas fuqaha bahwa dlamān berlaku pada objek yang lebih
umum daripada kafālah. Di antara fuqaha ada yang mengkhususkan dlamān pada
harta, dan kafālah maksudnya adalah jaminan jiwa.20
Di samping itu, prinsip dlamān juga hampir menyerupai prinsip hiwālah yang
merupakan perpindahan hak akan suatu hutang kepada hutang lainnya.21 Meski
dlamān dan hiwālah sama-sama merupakan bentuk pengalihan kewajiban seseorang
kepada orang lain, namun terdapat perbedaan antara keduanya. Dlamān menanggung
kewajiban pembayaran hutang seseorang dengan sukarela tanpa ada keterikatan
19 Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah Jilid 12 (ter. Kamaluddin A. Marzuki), cet. ke 15 (Bandung: PT. Alma’arif, 1987), hlm. 174.
20 Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk, Al-Fiqh al Muyassar Qism al-Muamalat, Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu Ahkam al-Fiqh al- Islami bi Uslub Wadhih li al-Mukhtashshin wa Ghairihim, (terj. Miftahul Khairi) cet. ke 1, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009), hlm. 184.
21 Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-
Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (terj. Imam Ghazali Said, Achmad Zaidun), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 263.
hutang terhadap orang yang ditanggung, sedangkan hiwālah merupakan usaha
mengalihkan pembayaran hutang kepada pihak lain yang juga terlibat dalam hutang
piutang yang terjadi bersama pihak yang terlibat.
Untuk lebih jelas, permasalahan hiwālah dapat diilustrasikan sebagai berikut:
A berhutang kepada B, dan B berhutang kepada C dengan besaran yang sama dengan
hutang A kepada B. Kemudian B mengatakan kepada A untuk membayarkan
hutangnya kepada C saja. Dengan demikian, kewajiban B untuk membayar hutang
kepada C telah dipindahkan kepada A, dan A berkewajiban untuk membayarkan
hutangnya kepada C.
Dari ilustrasi di atas dapat dengan jelas terlihat perbedaan antar dlamān dan
hiwālah. Meski keduanya sama-sama terlibat dalam permasalahan pertanggungan
yang berkenaan dengan harta, namun terdapat perbedaan dari sumber terjadinya
kewajiban penanggungan terhadap pihak yang menanggung.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa meskipun kafālah, dlamān dan
hiwālah berada dalam naungan suatu konsep pertanggungan yang luas, namun
masing-masing materi tersebut memiliki konsep dan aturan yang mengikat. Oleh
sebab itu dapat dipahami lebih jelas tentang pertanggungan dalam konsep dlamān
secara khusus.
2.1.2. Landasan Hukum Dlamān
Jaminan (dlamān) ini sendiri diperbolehkan dalam hukum Islam, bahkan
terkadang dibutuhkan karena tuntutan kemashlahatan umat. Penjaminan merupakan
salah satu bentuk tolong menolong dalam berbuat baik dan ketakwaan, karena dapat
memenuhi kebutuhan seorang muslim dan menghilangkan kesulitannya.22
Dasar hukum tentang jaminan (dlamān) ini, tercantum dalam Al-Qur’an,
sunnah dan Ijma’, serta keberadaan qiyas yang sesuai. Landasan hukum jaminan yang
terkandung dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Yusuf ayat 72:
و بعير حمل به جاء ولمن الملك صواع نفقد زعيم أقالوا به نا .
Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa
yang dapat mengembalikannya memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,
dan aku menjamin terhadapnya”.
Ayat di atas, sekali menggunakan bentuk jamak, dan di lain kali menggunakan
bentuk tunggal. Misalnya kata زعيم, yang artinya penjamin adalah bentuk tunggal,
tetapi sebelumnya, misalnya kata قالوا yang artinya mereka menjawab adalah bentuk
jamak. Hal ini mengisyaratkan bahwa yang berbicara hanya seorang, yaitu pimpinan
pengejar itu, sedang sisanya menyetujui dan mengiyakan.23 Dengan demikian dapat
diketahui bahwa penjaminan tersebut dilakukan oleh satu orang.
Kata-kata زعيم أو به نا pada ayat di atas itu sendiri, memiliki arti “dan aku
penjamin terhadapnya”, menjelaskan tentang seseorang yang menjamin terpenuhinya
janji untuk memberikan sejumlah bahan makanan kepada siapa saja yang mampu
22 Syaikh Muhammadd bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil (terj. Achmad Munir Badjeber, dkk), (Jakarta: Daru as-Sunnah Press, 2007), hlm. 902.
23 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 488.
mengembalikan piala raja yang hilang. Maka kata-kata tersebut yang menyatakan
tentang jaminan (dlamān) dan tanggung jawab (kafālah).24
Selain ayat di atas, juga terdapat hadits yang dijadikan sumber hukum dlamān, yaitu:
و حنطناه و فغسلناه منا رجل توفي: قال عنه الله رضى جابر وعن عليه؟" تصلي ": فقلنا سلم، و عليه الله رسول الى به اتينا ثم كفناه": قال ثم خطا، فخطا ": فقلنا دين؟" اعليه " فانصرف، ديناران
": قتادة ابو فقال فاتيناه، قتادة، ابو فتحملهما ،" الديناران علي منهما وبريء الغريم، حق ": وسلم عليه الله صلى الله رسول فقال
": قال الميت؟" " ، . فصلى نعم و) داود ابو و احمد رواه عليهالحاكم و حبان ابن صححه و .(25النساءي،
Artinya: “Dari Jabir ra, ia berkata bahwa: seorang laki-laki dari (keluarga) kami meninggal duni lalu kami memandikan dan member kafur serta mengkafaninya lalu kami mendatangi dengan membawa jenazah tersebut kepada Rasulullah saw. lalu kami katakana, “shalatkanlah jenazah ini?” Rasulullah saw. lalu melangkahkan kakinya lalu beliau bertanya, “Apakah Ia memiliki hutang?” Kami menjawab, “Dia memiliki hutang dua dinar.” Lalu Nabi berpaling. Maka Abu Qatadah menanggung hutang tersebut, lalu kami mendatangi Rasulullah saw. kembali. Abu Qatadah berkata, “Dua dinar tanggung jawab saya.” Rasulullah bersabda, “Apakah engkau menjaminnya dan membebaskan dua dinar dari si mayit?” Abu Qatadah menjawab, “Ya”, lalu Rasulullah saw menshalatinya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasa’i) dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim.
Hadits di atas menceritakan tentang Rasulullah yang berpaling dari pada
menshalatkan jenazah seseorang, karena orang tersebut diketahui memiliki hutang
sebesar dua dinar. Kemudian Abu Qatadah bersedia menanggung hutang jenazah
tersebut dengan berkata “Dua dinar tanggung jawab saya”, dan Rasulullah bersedia
menshalatkan jenazah yang telah ditanggung hutangnya itu. Maka dengan adanya
24 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Syeikh, Lubaabu at- Tafsir Min Ibni Katsiir (terj. M. Abdul Ghoffar), (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003), hlm. 442.
25 Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram, hlm. 552.
sighat yang diucapkan oleh Abu Qatadah tersebut, menunjukkan bahwa proses
penanggungan hutang orang lain telah sah, dan secara otomatis pelunasan hutang
sebesar dua dinar tersebut menjadi kewajiban atas Abu Qatadah.
Surat Yusuf ayat 72 dan hadits yang disebutkan di atas, menjadi landasan
hukum terhadap permasalahan pertanggungan dan jaminan. Dengan demikian, maka
dapat diketahui bahwa jaminan atau pertanggungan memiliki keabsahan dalam
hukum Islam. Namun perlu ditegaskan kembali bahwa dlamān hanya mencakup
dalam lingkup pertanggungan harta saja.
2.2. Rukun dan Syarat dalam Konsep Dlamān
Dalam konsep dasarnya, terdapat rukun dan syarat-syarat yang terkandung
dalam dlamān. Sehingga sebagai sebuah konsep, dlamān memiliki aturan-aturan yang
jelas dan kuat.
2.2.1 Rukun Dlamān
Adapun rukun dlamān sebagaimana yang dijelaskan oleh jumhur ulama, yaitu
sebagai berikut:
a. Penjamin (dlāmin)
Adanya seorang penjamin atau yang disebut dlāmin menjadi salah satu
rukun, karena permasalahan dlamān ini melibatkan pihak ketiga yang berlaku
sebagai dlāmin itu sendiri. Namun para ulama berbeda pendapat terhadap
keberadaan dlāmin sebagai bagian dari rukun dlamān. Sebagaimana halnya
pendapat sebahagian ulama yang mengkatagorikan dlāmin sebagai syarat
dlamān.26 Demikian pula pendapat Imam Hanafi yang tidak memasukkan
dlāmin kedalam rukun dlamān. Akan tetapi jumhur ulama tetap
mencantumkan dlāmin sebagai salah satu rukun dlamān.27
b. Orang yang dijamin hutangnya (madlmūn ‘anhu)
Permasalahan dlamān ini muncul karena adanya permasalahan hutang
piutang antara dua pihak, oleh sebab itu si penghutang atau orang yang
dijamin hutangnya (madlmūn ‘anhu) merupakan salah satu sebab pokok
terjadinya dlamān, maka keberadaan pihak ini pun menjadi bagian dari rukun
dlamān. Namun, senada dengan kedudukan dlāmin sebagai bagian dari rukun,
Imam Hanafi juga tidak mencantumkan madlmūn ‘anhu sebagai salah satu
dari rukun dlamān, sedangkan bagi jumhur ulama madlmūn ‘anhu termasuk
bagian dari rukun dlamān.28
c. Penagih yang mendapat jaminan (madlmūn lahu)
Madlmūn lahu merupakan orang yang menerima jaminan dari pihak
madlmūn ‘anhu dan dlāmin, maka dapat diketahui bahwa madlmūn lahu juga
merupakan si pemberi hutang. Oleh sebab itu, sesuai dengan penjelasan
madlmūn ‘anhu, madlmūn lahu juga bagian dari rukun dlamān. Ketentuan 26 Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk, Al-Fiqh al Muyassar Qism al-Muamalat,
Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu Ahkam al-Fiqh al- Islami bi Uslub Wadhih li al-Mukhtashshin wa Ghairihim, hlm. 184.
27 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis (terj. Syed Ahmad Syed Hussain), (Malaysia: Dewan Bahsa dan Pustaka, 1996), hlm. 118.
28 Ibid.
tentang madlmūn lahu ini termasuk ke dalam rukun dlamān merupakan
kesepakatan dari jumhur ulama, sedangkan Imam Hanafi juga tidak
menetapkan madlmūn lahu sebagai rukun dlamān sebagaimana madlmūn
‘anhu dan dlāmin.29
d. Hutang yang dijamin
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hutang yang menjadi objek
transaksi antara penghutang dan pemberi hutang termasuk rukun dlamān.
Namun Imam hanafi juga tidak menyertakan hutang yang menjadi inti
permasalahan dalam rukun dlamān.30
e. Lafadz
Dlamān sendiri merupakan perjanjian pertanggungan kewajiban orang
lain, oleh sebab itu dibutuhkan adanya kejelasan aqad yang harus diucapkan
oleh dlāmin. Dlamān akan sah dan terlaksana dengan dengan ungkapan; “saya
adalah orang yang menjamin”, “saya adalah orang yang menanggung”, atau
ungkapan senada lainnya yang menunjukkna hal tersebut.31 Di samping itu,
Syaikh Taqiyudinn berkata bahwa qiyas dari mazhab Ahmad bin Hambal
29 Ibid.
30 Ibid.
31 Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram, hlm.551.
menjelaskan bahwa jaminan sah dengan segala yang dapat dipahami sebagai
lafadz jaminan menurut adat.32
Dengan demikian, meskipun jumhur ulama menentukan rukun-rukun dlamān,
namun terdapat khilaf pendapat ulama mengenai hal tersebut. Seperti yang telah
disinggung di atas tentang pendapat Abu Hanifah yang tidak mencantumkan beberapa
poin dari rukun dlamān, beserta Muhammad menyatakan bahwa rukun dlamān hanya
terdiri atas tawaran dari penjamin dan penerimaan si berhutang. Selain itu Abu Yusuf
juga mengemukakan pendapatnya bahwa rukun dlamān hanya terdiri atas tawaran
dari pihak penjamin.33
2.2.2. Syarat Dlamān
Di samping adanya ketetapan rukun-rukun tersebut, konsep dlamān juga
dilengkapi dengan ketetapan syarat-syarat yang terdiri atas:
a. Syarat bagi penjamin (dlāmin)
Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh penjamin (dlamin) sebagai
berikut:
1. Baligh
Seorang dlāmin disyaratkan harus telah dalam keadaan baligh, maka
apabila yang menjadi dlāmin adalah anak-anak, maka usaha dlamān dianggap
tidak memenuhi syarat. Keadaan baligh merupakan suatu keadaan yang
menunjukkan telah sampainya seseorang pada batasan cukupnya umur untuk
32 Ibid, hlm. 552.
33 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis, hlm. 118.
mulai dibebani tanggung jawab dalam urusan agama. Hal ini dapat diketahui
dengan salah satu tanda yang ada, yaitu: telah berumur 15 tahun, bagi laki-laki
keluar mani dan bermimpi jima’, sedangkan bagi perempuan keluar haidh dan
telah pantas untuk mengandung.34 Tanda-tanda baligh tersebut berdasarkan
pendapat ulama Syafi’iyyah, ulama Hanafiyyah, dan jumhur ulama. Namun
Imam Maliki mencantumkan beberapa perbedaan dalam kriteria baligh, yaitu
tumbuhnya bulu-bulu di beberapa tempat yang perlu untuk dicukur, dan
berubahnya suara baik pada laki-laki maupun pada perempuan.
2. Berakal
Dlāmin juga harus merupakan orang yang berakal, maka dlamān tidak
dapat dilakukan oleh seorang yang gila, karena orang gila merupakan salah
satu dari orang-orang yang terbebas dari pembebanan hukum syara’,
sebagaimana yang tercantum dalam hadits:
حتى : الصبي وعن ، يستيقظ حتى النائم عن ثالثة عن القلم رفع . ( والحاكم داود ابو رواه يعقل حتى المجنون وعن يحتلم،
(35الصاحيحه
Artinya: “Pena diangkat dari tiga orang: Dari orang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia bermimpi (baligh), dan dari irang gila hingga ia berakal.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim yang mensahihkannya).
Hadits di atas menyebutkan tentang orang-orang yang terlepas dari
tuntutan hukum syara’, dan salah satunya adalah orang gila yang tidak
34 Muhammad Firdaus, Ensiklopedia Asas Fardhu Ain, cet. Ke 2 (Malaysia: Crescent News (KL) SDN BHD, 2006), hlm. 173.
35 Abu Bakr Al-Juzairi, Minhaajul Muslim (ter. Fadhli Bahri), (Jakarta: Darul Falah, 2000), hlm. 301.
dibebankan kewajiban hingga ia sembuh dari gilanya. Hadits ini dapat pula
dijadikan sebagai penguat penjelasan baligh di atas.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa dlamān tidak sah apabila
dilakukan oleh orang gila. Namun orang tersebut akan kembali diperbolehkan
melaksanakan, dlamān ketika ia sembuh dari gilanya.
3. Atas kemauan sendiri
Dlāmin harus melakukan upaya pertanggungan hutang madlmūn ‘anhu
atas dasar kemauannya sendiri, bukan karena paksaan orang lain. Hal ini dapat
dilihat dari hadits yang tercantum sebagai landasan hukum dlamān di atas.
Pada hadits tersebut diceritakan bahwa Abu Qatadah menanggung hutang si
mayit dengan suka rela tanpa adanya paksaaan dari siapapun. Dengan
demikian dlamān menjadi tidak sah apabila dilakukan berdasarkan paksaan
orang lain.
4. Orang yang diperbolehkan membelanjakan harta
Seseorang yang menjadi dlāmin haruslah orang yang diperbolehkan
oleh syara’ untuk membelanjakan hartanya, bukan orang yang bodoh dan
bukan pula orang yang boros yang dapat memudlaratkan dirinya sendiri
ataupun orang lain. Karena dalam Islam terdapat orang-orang yang dicegah
untuk membelanjakan hartanya, yaitu anak kecil, orang gila, dan orang yang
menyia-nyiakan hartanya (pemboros), maka dlāmin disyaratkan tidak berasal
dari ketiga orang ini.36 Untuk pelarangan menjadikan anak-anak sebagai
dlāmin, juga diatur dalam syarat dlāmin haruslah seorang yang baligh.
5. Mengetahui jumlah atau kadar yang dijamin
Disyaratkan pula bagi dlāmin untuk mengetahui kadar hutang yang ia
tanggung, sehingga proses dlamān akan menjadi transparan dan menutup
kemungkinan terjadinya penipuan terhadap dlāmin. Hal ini dapat dicontohkan
melalui hadits yang menceritakan bahwa Abu Qatadah menanggung hutang
seseorang yang telah meninggal dunia. Sebelum Abu Qatadah memutuskan
untuk menanggung hutang tersebut, Abu Qatadah telah lebih dahulu
mengetahui kadar hutang yang akan ditanggungnya, yaitu sebesar dua dinar.
Dengan demikian syarat ini juga berguna untuk mengukur mampu atau
tidaknya dlāmin menanggung hutang yang ada. Hal ini dimaksudkan agar
kegiatan dlamān ini tidak merugikan siapapun, terlebih dlāmin yang bertujuan
meringankan beban orang lain.
Dalam penentuan syarat-syarat bagi dlāmin tersebut, terjadi perbedaan
pendapat ulama. Ketentuan syarat di atas merupakan kesepakatan jumhur ulama,
sedangkan Imam Hanafi hanya mensyaratkan seorang dlāmin haruslah berakal
waras, baligh dan merdeka (maka tidak boleh seorang dlāmin itu budak kecuali
mendapat izin dari tuannya).37
b. Syarat bagi orang yang dijamin (madlmūn ‘anhu)
36 Ibid.37 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis, hlm.123.
Terdapat syarat bagi orang yang dijamin (madlmūn ‘anhu), yaitu orang
tersebut merupakan orang yang diperbolehkan membelanjakan hartanya
dalam ketentuan hukum syara’, bukan seorang yang bodoh dan bukan pula
seorang yang boros sehingga dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang
lain. Namun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama, antaranya
Imam Hanafi memberlakukan syarat bagi madlmūn ‘anhu sebagi orang yang
dikenal baik oleh dlāmin, hal ini bertujuan agar penjaminan mengenai sasaran
yang tepat sesuai dengan orang yang dimaksud. Di samping itu Imam Hanafi
juga menambahkan syarat lain, yaitu madlmūn ‘anhu harus mampu
menyerahkan barang jaminan, baik jaminan itu diserahkan oleh dirinya sendiri
maupun melalui wakilnya. Oleh karena itu, berdasarkan pendapat demikian
berarti jaminan atas orang yang meninggal dan tidak memiliki harta,
hukumnya tidak sah, karena Ia tidak meninggalkan harta untuk membayar
hutang, dan karena hutang orang yang meninggal dianggap gugur.38
Sedangkan menurut ulama Syafi’i, berdasarkan pendapat yang ashah, bahwa
syarat harus mengenal orang yang dijamin itu tidak perlu. Hal ini diqiyaskan
kepada tidak disyaratkan adanya kerelaan dari orang yang dijamin.
c. Syarat bagi orang yang menerima jaminan (madlmūn lahu)
Adapun syarat yang ditentukan bagi orang yang menerima jaminan
(madlmūn lahu) atau orang yang memberikan hutang, adalah bahwa orang
38 Ibid, hlm. 124.
tersebut diketahui oleh dlāmin. Dengan demikian, apabila dlāmin menjamin
seseorang (madlmūn ‘anhu) dari orang lain (madlmūn lahu) yang merupakan
bagian dari orang banyak, tanpa menyebutkan nama dari madlmūn lahu
tersebut, maka dalam hal ini dlamān dianggap tidak sah. Ulama Syafi’i
sependapat dengan ketetapan tersebut. Namun ulama Maliki dan Hambali
tidak mensyaratkan dlāmin mengenal atau menyebut nama madlmūn lahu. 39
Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, terdapat syarat lain bagi madlmūn
lahu selain yang disebutkan di atas, yaitu madlmūn lahu hadir dalam majelis
aqad, dan juga harus merupakan orang yang berakal.40
d. Syarat bagi utang atau harta yang dijamin
Adapun syarat-syarat yang ditentukan bagi objek yang dijamin adalah
sebagai berikut:
1. Diketahui jumlahnya
2. Diketahui ukurannya
3. Diketahui kadarnya
4. Diketahui keadaannya
5. Diketahui waktu jatuh tempo pembayarannya.
39 Ibid, hlm. 125.
40 Ibid, hlm. 126.
Apabila dlāmin tidak mengetahui tentang objek yang ditanggungnya,
baik jumlahnya, ukurannya, kadarnya, maupun keadaannya, maka menurut
mazhab Asy Syafi’i dan Ibnu Hazm, dlamān tersebut tidak sah. Berbeda
halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abu Hanifah, Imam Malik,
dan Imam Ahmad, mereka berpendapat bahwa jaminan tentang sesuatu yang
tidak diketahui adalah sah.41 Dengan terpenuhi syarat terhadap objek yang
dijamin tersebut, maka jelaslah bagi dlāmin akan seberapa besar usaha yang
harus dilakukannya untuk menanggung utang orang lain. Sehingga dlāmin
dapat mengukur kemampuannya dalam menanggung pembayaran hutang
orang lain tersebut.
Adanya ketentuan-ketentuan yang menyertai konsep dlamān berupa rukun
dan syarat menjadi batas penegasan tentang komponen-komponen yang terkandung
dalam dlamān itu sendiri. Oleh sebab itu, pelaksanaan dlamān tidak dapat dilakukan
secara sembarangan melampaui aturan-aturan yang telah terkonsep sebelumnya.
2.3. Mekanisme Pertanggungan dalam Konsep Dlamān
Terikatnya dua pihak yang terlibat dalam permasalahan hutang piutang
terkadang dapat melibatkan pihak lain sebagai penjamin atau pemberi jaminan akan
pelunasan pihak yang berhutang. Jaminan itu sendiri dapat berupa barang yang
diberikan kepada pihak pemberi hutang, yang bertujuan sebagai pengikat janji upaya
pelunasan hutang yang dilakukan oleh pihak yang berhutang.
41 Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah Jilid 12 (ter. Kamaluddin A. Marzuki), hlm. 181.
Namun permasalahannya menjadi sedikit berbeda ketika penghutang meminta
kesediaan orang lain, atau orang lain tersebut menawarkan diri untuk menjamin
hutangnya. Terlibatnya pihak ketiga dalam penjaminan hutang inilah yang kemudian
memunculkan ketentuan-ketentuan yang terbentuk sebagai kesatuan konsep dlamān.
2.3.1. Pendapat Ulama tentang Mekanisme Dlamān
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa permasalahan dlamān
hanya terjadi pada seputaran permasalahan harta. Mengenai hal ini, fuqaha
sependapat bahwa apabila madlmūn ‘anhu meninggal atau bepergian, maka dlāmin
harus membayar denda.
Kemudian para ulama berselisih pendapat tentang apabila dlāmin dan
madlmūn ‘anhu sama-sama ada di tempat dan sama-sama kaya. Menurut Imam
Syafi’i, Abu Hanifah, para pengikut keduanya, ats-Tsauri dan al-Auza’i, mengenai
kondisi tersebut madlmūn lahu memiliki hak untuk meminta denda pada dlāmin atau
pada madlmūn ‘anhu. Sedangkan menurut Imam Malik, madlmūn lahu tidak boleh
mengambil denda dari dlāmin jika madlmūn ‘anhu itu ada.42
Mengenai masa wajib berlakunya dlamān, yaitu masa tuntutan kepada dlāmin,
ulama sependapat bahwa masa tersebut terjadi setelah tertetapnya hak atas madlmūn
‘anhu, baik berdasarkan pengakuan ataupun saksi.43 Sedangkan mengenai harta yang
dapat dijadikan barang jaminan adalah harta yang tetap dalam tanggungan (dzimmah),
42 Al-Faqih Abul Walid Muhammad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (terj. Imam Ghazali Said, & Achmad Zaidun), hlm. 255.
43 Ibid, hlm. 257.
kecuali kitabah (budak yang dijanjikan untuk merdeka) dan harta yang tidak boleh
mengalami penangguhan.44
Kemudian, setelah terjadinya penjaminan, keempat imam sepakat bahwa
dlāmin boleh meminta kembali kepada madlmūn ‘anhu sesuatu yang ia keluarkan
sebagai penjaminan, apabila penjaminan itu dilakukan atas permintaan madlmūn
‘anhu. Namun terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai hal tersebut, apabila
dlamān dilakukan dengan tanpa perintah dari madlmūn ‘anhu, melainkan karena
kesukarelaan dlāmin.
Menurut Asy Safi’i dan Abu Hanifah, dlāmin tidak punya hak untuk meminta
kembali kepada madlmūn ‘anhu. Namun menurut pendapat mazhab Maliki, dlāmin
berhak meminta kembali kepada madlmūn ‘anhu. Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat
bahwa tidak ada hak bagi dlāmin untuk meminta kembali kepada madlmūn ‘anhu,
baik dlamān itu dilakukan atas permintaan madlmūn ‘anhu maupun bukan, kecuali
madlmūn ‘anhu meminta diqiradkan.45 Selain itu, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syabramah,
Abu Tsaur dan Abu Sulaiman sependapat dengan Imam Maliki.46
Dalam peramasalahan jenis madlmūn ‘anhu, juga ditemukan adanya
perbedaan pendapat ulama berkenaan dengan pertanggungan terhadap orang yang
telah meninggal dan mempunyai hutang tanpa meninggalkan apapun yang dapat
44 Ibid, hlm. 260.
45 Qirad adalah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk modal usaha, sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perjanjian antara keduanya ketika aqad berlangsung. (H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. ke 36, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), hlm. 299.)
46 Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah 12 (ter. Kamaluddin A. Marzuki), hlm.182.
dijadikan pelunasan hutang-hutangnya. Imam Malik dan Imam Syafi’i membolehkan
pertanggungan terhadap hutang orang yang telah meninggal tersebut. Namun Abu
Hanifah tidak membolehkannya dengan alasan bahwa tanggungan itu tidak berkaitan
sama sekali dengan orang yang tidak ada, dalam hal ini telah meninggal.Sedangkan
fuqaha berpendapat bahwa tanggungan ,boleh dilakukan terhadap orang yang telah
meninggal, dengan merujuk kepada hadits yang telah dibahas sebelumnya.47
Berdasarkan pendapat jumhur ulama, objek yang dijamin harus dalam
kemampuan dlamin. Karena apabila objek yang dijamin diluar batas kemamp[uan
dlamin, maka pernjaminan tersebut tidak sah.48 Dengan demikian, meskipun
permasalahan penjaminan atau pertanggungan ini merupakan permasalahan sosial,
namun secara hukum, Islam tetap mempertimbangkan kemaslahatan dlāmin sebagai
orang yang yang mengemban tanggung jawab yang sejatinya bukan bagian dari
kewajibannya.
2.3.2. Konsekuensi Hukum dalam Mekanisme Dlamān
Ketetapan lainnya adalah bahwa meski tanggung jawab pelunasan hutang
madlmūn ‘anh telah dialihkan kepada dlāmin, namun bukan berarti tanggung jawab
bagi madlmūn ‘anhu hilang, karena kewajiban pelunasan hutang akan tetap ada
selama hutang tersebut belum dilunaskan. Maka demikian kewajiban tersebut sama-
sama dipikul oleh madlmūn ‘anh dan dlāmin. Oleh karena itu bagi dlāmin yang telah
47 Al-Faqih Abul Walid Muhammad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (terj. Imam Ghazali Said, & Achmad Zaidun), hlm. 260.
48 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis, hlm.128.
bersedia menanggung hutang madhmūn ‘anhu, sejak perjanjian tersebut disetujui
maka dlāmin telah sah terikat secara hukum syari’ah.
Dalam dlamān terdapat ketentuan bahwa apabila penjaminan dilakukan bukan
karena perintah daripada madlmūn ‘anhu, maka dlāmin tidak berhak meminta
madlmūn ‘anhu untuk menunaikan kewajibannya jika dituntut oleh madlmūn lahu.
Oleh sebab itu, dlāmin tidak dapat menghindar apabila madlmūn lahu telah menuntut
dlāmin untuk memenuhi kewajiban madlmūn ‘anhu kepada dlāmin, sebagaimana
yang telah disetujui oleh dlāmin sendiri.
Demikian pula dlāmin juga tidak bisa melarang madlmūn ‘anhu apabila
madlmūn ‘anhu hendak melunaskan hutangnya. Dalam hal yang demikian
memungkinkan dlāmin tidak melakukan kewajiban apapun karena tanggung jawab
pelunasan hutang tersebut telah diselesaikan oleh madlmūn ‘anhu sendiri.
Berdasarkan pendapat jumhur ulama, objek yang dijamin harus dalam
kemampuan dlamin. Karena apabila objek yang dijamin diluar batas kemampuan
dlāmin, maka penjaminan tersebut tidak sah.49 Dengan demikian, meskipun
permasalahan penjaminan atau pertanggungan ini merupakan permasalahan sosial,
namun secara hukum, Islam tetap mempertimbangkan kemaslahatan dlāmin sebagai
orang yang yang mengemban tanggung jawab yang sejatinya bukan bagian dari
kewajibannya.
49 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis, hlm.128.
Kemudian, setelah terselesaikannya tanggung jawab dlāmin dan madlmūn
‘anhu kepada madlmūn lahu, pihak dlāmin dibolehkan untuk menuntut bayaran
kembali kepada madlmūn ‘anhu secara keseluruhan apabila dlāmin terdiri dari satu
orang. Namun apabila dlāmin terdiri dari dua orang atau suatu kelompok, maka
masing-masing orang berhak menuntut kepada madlmūn ‘anhu sebesar porsi mereka
dalam proses pertanggungan hutang madlmūn ‘anhu.50 Hal ini membuktikan bahwa
hukum Islam tidak menghapus hak seseorang yang telah meringankan beban dan
berbuat baik kepada orang lain. Oleh sebab itu, bagi dlāmin tetap diberikan hak untuk
meminta madlmūn ‘anhu dapat membayar kembali harta dlāmin yang telah
dikeluarkan demi menanggung kewajiban madhmūn ‘anhu. Dengan demikian,
permasalahan yang selanjutnya muncul adalah bukan lagi permasalahan hutang
piutang antara madlmūn lahu dan madlmūn ‘anhu, akan tetapi antara mandlmūn
‘anhu dengan dlāmin, dan dalam hal ini dapat dibuat aqad baru antara keduanya.
Dengan demikian, walaupun permasalahan dlamān tetap mengundang
perbedaan pendapat dari para ulama ditinjau dari berbagai sisinya, akan tetapi yang
menjadi poin terpenting adalah bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk
meringankan beban dan mempermudah urusan orang lain sesuai dengan kemampuan
orang yang memberi pertolongan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dari
hubungan tolong-menolong tersebut. Ketetapan mengenai perintah ini sendiri telah
dicantumkan dalam Al-qur’an dan dijelaskan dalam hadits dengan berbagai
periwayatan.
50 Ibid, hlm. 130.
BAB TIGA
ANALISIS KEDUDUKAN BARANG JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARI’AH
3.1. Landasan Hukum tentang Keberadaan Jaminan dalam Perbankan Syari’ah
Perkembangan perbankan syari’ah yang terus meningkat, tidak selalu diringi
dengan perkembangan hukum yang mengatur tentang sistem operasional perbankan
syari’ah itu sendiri. Selama ini, sejak kemunculan perbankan syariah di Indonesia
yang dimulai dari tahun 1992 hingga sekarang, peraturan perbankan syari’ah masih
tertuang dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah,
yang merupakan perubahan dari Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.51
Di luar dari pada undang-undang tersebut, segala permasalahan perbankan
syari’ah yang berhubungan dengan peraturan hukum, masih mengacu kepada hukum
positif Indonesia yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi perbankan
syari’ah. Misalnya saja dalam permasalahan jaminan. Jaminan pada perbankan
konvensional diterapkan pada produk perkreditan, sedangkan pada perbankan
syari’ah jaminan diterapkan pada produk pembiayaan. Ketentuan permasalahan
jaminan ini diatur dalam hukum positif Indonesia dengan mengangkat produk kredit.
Padahal kredit dan pembiayaan memiliki perbedaan yang mendasar. Perbedaan yang
sangat jelas adalah bahwa kredit menerapkan perolehan keuntungan melalui bunga,
sedangkan pembiayaan menerapkan perolehan keuntungan melalui bagi hasil.52
Meskipun pada prinsipnya antara kredit dan pembiayaan terdapat perbedaan, namun
dikarenakan keterbatasan hukum yang mengatur tentang segala sesuatunya dalam
perbankan syari’ah, maka permasalahan jaminan yang terdapat pada produk
pembiayaan perbankan syari’ah pun ikut mengacu pada hukum jaminan yang telah
ada. Oleh sebab itu, secara tidak langsung pembiayaan pada perbankan syari’ah
disetarakan dengan kredit pada perbankan konvensional dalam pandangan hukum.
51 Andri Soemitra, Bank dan Kelembagaan Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), hlm. 64.
52 Kasmir, Manajemen Perbankan, cet. ke 5 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 73.
Jaminan ini sendiri dimaksudkan untuk mengurangi resiko kerugian bank
terhadap dana yang telah dikeluarkan oleh pihak bank tersebut, untuk pemberian
hutang dalam bentuk kredit atau jaminan kepada nasabah. Dengan demikian, jaminan
juga dimaksudkan untuk mengikat nasabah agar dapat melunasi kewajibannya
terhadap bank.
Dalam perbankan syariah sendiri, tidak semua pembiayaan dibebankan
adanya barang jaminan kepada nasabahnya. Salah satu pembiayaan yang dijalankan
dengan pembebanan barang jaminan adalah pembiayaan murābahah. Yaitu
pembiayaan yang diberikan oleh pihak perbankan kepada nasabah yang dipergunakan
untuk pembelian barang-barang tertentu, dengan adanya penambahan keuntungan
bagi bank dari harga jual pokok barang tersebut yang disepakati oleh kedua belah
pihak.53
Umumnya jenis barang jaminan yang diserahkan kepada pihak perbankan
syariah dapat berupa tanah, bangunan, kendaraan bermotor dan lain sebagainya54.
Untuk masing-masing jenis barang jaminan tersebut diberlakukan pula ketetapan
hukum yang berbeda yang sesuai dengan ketetapan perundang-undangan yang telah
ada.
Karena permasalahan jaminan pada perbankan didasarkan pada peraturan
hukum yang telah ada, maka jaminan pada perbankan syari’ah pun tetap merujuk
53 Wawancara dengan Muazzin (karyawan bagian pembiayaan BMI) tanggal 3 Januari 2011 di Bank Muamalat Indonesia cabang Banda Aceh.
54 Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 113.
kepada ketentuan hukum tersebut, sekalipun hal itu akan menyetarakan jaminan pada
perbankan syari’ah dengan jaminan pada perbankan konvensional, seperti penjelasan
yang telah disebutkan di atas. Adapun landasan-landasan hukum tentang keberadaan
jaminan dalam perbankan syari’ah adalah sebagai berikut:
3.1.1. Undang-Undang No.21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah
Pengaturan undang-undang perbankan syariah yang mencantumkan tentang
jaminan dalam produk pembiayaan yang ditawarkan oleh perbankan syari’ah itu
sendiri, hanya terdapat pada Pasal 1 ayat (23) Undang-Undang No.21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syari’ah yang berbunyi: “Agunan adalah jaminan tambahan, baik
berupa benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak yang diserahkan oleh
pemilik agunan kepada Bank Syari’ah dan/atau Unit Usaha Syari’ah, guna menjamin
pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas”.55 Dalam undang-undang tersebut
dijelaskan tentang jenis barang jaminan yang dapat diberikan oleh nasabah kepada
pihak perbankan syari’ah. Selain itu dijelaskan pula bahwa pengadaan barang
jaminan itu dimaksudkan untuk menjamin agar nasabah menjalankan kewajibannya
dalam mengembalikan dana yang telah dipinjamkan oleh pihak perbankan syari’ah,
juga memenuhi kewajiban-kewajiban lainnya sebagaimana yang telah disepakati.
Di samping itu, terdapat ketetapan undang-undang mengenai esekusi barang
jaminan yang tercantum dalam Pasal 12 A ayat (1) Undang -Undang No.10 Tahun
55 Bank Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan syari’ah, Juli 2008. Diakses pada tanggal 5 September 2011 dari situs: http://www.bi.go.id/
1998 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 1997 Tentang Perbankan
juncto Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008:
Bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
Peraturan hukum di atas menjelaskan bahwa barang agunan dapat dibeli oleh
bank dengan persetujuan nasabah dan dengan cara-cara tertentu yang sesuai dengan
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, dikarenakan nasabah debitur tidak
menjalankan kewajibannya terhadap pihak perbankan. Namun demikian, agunan
yang telah dibeli tersebut tidak dapat dimiliki oleh bank. Bank harus mencairkan
ataupun menjual agunan tersebut secepatnya, dalam kurun waktu paling lambat satu
tahun.56
Ketentuan di atas agak berbeda dengan azas yang terkandung dalam berbagai
peraturan perundang-undangan mengenai hukum jaminan yang melarang kreditur
meminta suatu janji untuk memiliki benda jaminan. Menurut ketentuan hukum
jaminan, yang dilarang adalah jika kreditur secara serta-merta memiliki benda
jaminan. Namun demikian, tentu saja tidak mudah untuk menjual barang jaminan
dalam waktu satu tahun. Jika benda dijual secara obral, maka pada akhirnya pihak
debitur dan bank akan mengalami kerugian.57
56 Suharnoko, Hukum perjanjian: Teori dan Analisis Kasus, cet. ke 4 (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hlm.30.
57 Ibid.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengertian jaminan dan aturan
eksekusi barang jaminan yang diletakkan pada perbankan syari’ah, sebagai fasilitas
pendukung pengambilan pembiayaan, secara garis besar telah ditetapkan dalam
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Akan tetapi,
ketetapan hukum tersebut hanya merupakan peraturan secara umum yang membahas
tentang permasalahan jaminan.
3.1.2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah
beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Untuk barang jaminan berupa tanah atau bangunan yang memiliki kaitan
dengan tanah, dipergunakan peraturan hukum yang tercantum pada Undang-Undang
No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah. Ketentuan hukum ini khusus menjelaskan tentang
permasalahan yang berkaitan derngan tanah atau benda-benda yang berada di atasnya
dan berkaitan langsung dengan tanah.
Undang-Undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah
beserta Benda–Benda yang Berkaitan Dengan Tanah ini, di dalamnya terkandung hak
tanggungan yang bersifat accessoir, yaitu hanya dapat diberikan apabila telah terjadi
hubungan hutang piutang yang pelunasannya akan dijamin olehnya. Hubungan
hutang piutang ini timbul dari perjanjian pokok yang dapat berupa perjanjian khusus
mengenai pemberian pinjaman (perjanjian pinjam meminjam, perjanjian kredit,
perjanjian hutang piutang, atau nama lain yang membuat janji salah satu pihak
meminjamkan uang kepada pihak lain yang bejanji untuk mengembalikan hutangnya
dikemudian hari), atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan hutang piutang
(keadaan salah satu pihak berkewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada
pihak lain), misalnya perjanjian jual beli.58 Dengan kata lain, hak tanggungan baru
akan ada apabila telah terjadi hutang piutang yang pelunasan hutang tersebut dijamin
dengan benda yang terkait hak tanggungan.
Ketentuan yang tercantum dalam undang-undang inilah yang kemudian
menjadi peraturan yang mengikat bagi nasabah maupun pihak perbankan dalam
menentukan keputusan berkenaan dengan barang jaminan berupa tanah atau benda-
benda lain yang berkaitan dengan tanah. Dengan demikian, adanya ketetapan hukum
ini menjadi peraturan baku terhadap barang jaminan berupa benda-benda yang
tercakup dalam peraturan hukum tersebut.
Sementara itu, masih dalam undang-undang yang sama, pada Pasal 3 ayat (1)
dan ayat (2):
(1) Hutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dapat berupa hutang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian hutang-piutang atau perjanjian lainyang menimbulkan hubungan hutang piutang yang bersangkutan.
(2) Hak tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu hutang yang berasal dari beberapa hubungan hukum.59
58 A. P. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Besarta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1996), hlm. 171.
59 Ibid, hlm. 41.
Pada ayat (1) dijelaskan bahwa Hak Tanggungan tersebut dapat berupa hutang
yang sudah ada, atau hutang yang telah diperjanjikan sebelumnya. Dengan adanya
jumlah tertentu, baik berdasarkan perjanjian tersebut, atau yang berdasarkan
perjanjian lain yang menimbulkan hutang piutang. Dan pada ayat (2) memperjelas
bahwa hak tanggungan dapat berasal dari suatu hubungan hukum seperti adanya suatu
barang jaminan, ataupun dari satu atau lebih hutang-piutang yang berasal dari
beberapa hubungan hukum sebelumnya.60
Demikian seterusnya apabila barang jaminan yang diserahkan
merupakan sebidang tanah atau bangunan yang berhubungan dengan tanah, maka
segala sesuatunya secara keseluruhan diatur dalam Undang-Undang no. 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah ini. Hingga yang termasuk dalam peraturan ini juga adalah tentang eksekusi
barang jaminan tersebut, apabila terbukti bahwa nasabah melakukan wanprestasi.
3.1.3. Undang–Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Ketentuan hukum lainnya yang mengatur tentang jaminan pada perbankan
adalah Undang–Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.61 Definisi
tetang jaminan fidusia ini secara khusus dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang–
Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia:
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan
60 Ibid
61 Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 12.
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.62
Kutipan undang-undang di atas, merupakan definisi fidusia dalam konteks
hukum positif Indonesia. Melalui ketetapan hukum tersebut, dijelaskan bahwa fidusia
merupakan hak jaminan atas benda-benda bergerak, dan dapat berlaku pula pada
benda-benda yang tidak bergerak yang bukan merupakan bagian dari Undang-
Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-
Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Kemudian, disebutkan pula bahwa barang jaminan fidusia tetap berada
dalam penguasaan pemiliknya, meskipun barang tersebut digunakan sebagai agunan
untuk pelunasan hutang tertentu, serta penerima barang jaminan fidusia merupakan
pihak yang mendapatkan kedudukan utama atas barang tersebut dibandingkan dengan
kreditor lainnya. Apabila seorang debitur terikat hutang-piutang, maka kreditur yang
menerima jaminan fidusia tersebut adalah kreditur yang harus didahulukan haknya
oleh debitur.
Selain itu, dijelaskan pula tentang hapusnya jaminan fidusia yang
dicantumkan pada Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia: “Jaminan fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut: (a)
Hapusnya hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia. (b) Pelepasan hak atas
62 Universitas Sam Ratulangi, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Diakses pada tanggal 1 Januari 2012 dari situs:http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_42_99.htm
jaminan fidusia oleh penerima fidusia. (c) Musnahnya benda yang menjadi objek
jaminan fidusia.”63 Ketentuan hukum yang tercantum dalam pasal 25 tersebut
mengatur tentang hapusnya pemberlakuan jaminan fidusia dengan adanya sebab-
sebab berikut:
1. Karena berakhirnya hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia, sehingga
berakhirnya tanggung jawab debitur, maka berakhir pula hak kreditur atas
barang jaminan fidusia tersebut.
2. Karena adanya pelepasan hak yang dilakukan oleh penerima fidusia, sehingga
barang jaminan fidusia tersebut tidak lagi terikat kepemilikan atau penguasaan
dari selain pemilik aslinya.
3. Karena barang fidusia telah musnah, maka hilanglah peraturan yang mengikat
jaminan fidusia tersebut, namun debitur tetap bertanggung jawab dalam
pelunasan hutangnya dengan cara-cara yang ditentukan oleh kreditur yang
tetap berlandaskan kepada huum positif.
Sebagaimana halnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang
mengatur segala peraturan hukum tentang hak tanggungan atas tanah dan benda-
benda yang berkaitan dengan tanah, maka segala hal yang berhubungan dengan
jaminan fidusia juga diatur dalam Undang–Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia. Dengan demikian maasing-masing peraturan hukum tersebut
mengatur dengan lengkap objek jaminan berdasarkan jenisnya tersendiri.
63 Ibid.
3.1.4. Pasal-pasal yang Terdapat dalam KUH Perdata
Dalam ketentuan tentang jaminan yang terdapat dalam KUH Perdata, adanya
peraturan yang menjelaskan tentang jaminan yang berupa hipotek. Pengertian tentang
hipotek tersebut dijelaskan dalam Pasal 1162 KUH Perdata: “Hipotek adalah suatu
hak kebendaan atas barang yang tak begerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan
suatu perikatan”.64 Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa hipotek hanya
terdiri dari barang tidak bergerak yang dijadikan sebagai jaminan terhadap suatu
pelunasan dalam perjanijian yang melibatkannya.
Sebagaimana hak tanggungan atas tanah dan fidusia, hipotek juga merupakan
hak yang bersifat accessoir. Berdasarkan pengertian tersebut ditegaskan bahwa
hipotek hanya dapat dibebankan pada benda tidak bergerak, dan peraturan ini
diperkuat dengan Pasal 1167 KUH Perdata: “Barang bergerak tidak dapat dibebani
hipotek”.65 Karena pengaturan tentang benda bergerak sendiri merupakan bagian dari
jaminan fidusia.66
Namun, dikarenakan telah adanya pembagian antara hak tanggungan atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, dan benda tidak bergerak
yang diluar peraturan hak tanggungan tersebut masuk ke dalam pengaturan tentang
fidusia, maka praktis mengenai penggunaan pranata hipotek sudah tidak ada lagi.
64 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm. 293.
65 Ibid, hlm. 294.
66 Kartini Muljadi, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek, cet. Ke 2 (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hlm. 201.
Meskipun penggunaan pranata hipotek sudah hampir tidak ada lagi, akan tetapi
pranata hipotek masih berlaku dalam hal jaminan kapal laut dan pesawat terbang.67
Menurut sifatnya, hipotek sendiri bersifat individualiteit yaitu azas yang
menjelaskan bahwa yang dapat dimiliki sebagai kebendan adalah segala sesuatu yang
menurut hukum dapat ditentukan terpisah. Dalam konteks ini berarti hipotek tidak
akan hapus hanya karena pembayaran sebagian yang telah dilakukan oleh debitur,
melainkan hanya hapus dalam hal terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
dalam Pasal 1209 KUH Perdata: “Hipotek hapus: 1. Karena hapusnya perikatan
pokok, 2. Karena pelepasan hipoteknya oleh krditur, 3. Karena penetapan tingkat oleh
hakim.”68 Dengan demikian jelaslah bahwa meskipun hutangnya telah dilunasi
sebahagian besar, namun selama belum dilunasi semuanya maka penghapusan
hipotek belum dapat dilakukan.69 Selain itu, hapusnya hipotek pada poin dua dan tiga,
berdasarkan kerelaan dari kreditur untuk melepaskan hipoteknya, juga hapusnya
hipotek juga dapat terjadi berdasarkan putusan hakim.
Selain peraturan tentag jaminan hipotek tersebut, pada KUH Perdata juga
terdapat pasal-pasal lain yang menjelaskan secara langsung tentang ketentuan
jaminan, seperti ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata: “Segala barang-barang bergerak
dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang aka nada, menjadi
67 Ibid.
68 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 305.
69 Kartini Muljadi, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek, hlm. 214.
jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.”70 Maka dari pasal tersebut
dapat disimpulkan bahwa, semua barang debitur yang sudah ada (artinya telah ada
saat perjanjian dibuat), dan semua barang yang akan ada (artinya ketika perjanjian
tersebut dibuat, barang tersebut belum ada atau belum menjadi kepunyaan debitur,
tetapi akan menjadi milik debitur), baik itu barang bergerak maupun tidak bergerak.
Atas semua barang tersebut kreditur boleh mengambil setiap bagiannya untuk
pelunasan hutang debitur, dan hak tagihan kreditur hanya dijamin dengan harta benda
debitur saja, bukan dengan diri debitur tersebut.71
Di samping ketetapan-ketepan hukum tersebut, perbankan syari’ah
mengangkat surat Al-Baqarah ayat 283 sebagai landasan pembolehan pembebanan
barang jaminan secara hukum Islam.72 Adapun bunyi Surat Al-Baqarah ayat 283:
بعضكم امن فان مقبوضة فرهن كاتبا تجدوا ولم سفر على كنتم وانومن الشهادة تكتموا وال ربه الله وليتق امانته اؤتمن الذى فليؤد بعضا
. عليم تعملون بما والله قلبه اثم فانه يكتمها
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhan-nya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
70 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 284.
71 Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, (Yoyakarta: Penerbit ANDI, 2005),hlm. 55.72
Helmi Haris, “La_Riba”. Jurnal Ekonomi Islam, Vol. I, No. I, Juli 2007, hlm. 124.
Ayat di atas menjelaskan tentang orang-orang yang sedang dalam perjalanan
kemudian mereka melakukan transaksi, dalam ayat ini secara maknawi dapat dilihat
bahwa transaksi yang dilakukan adalah transaksi non-tunai, artinya dalam bentuk
utang. Apabila dalam kondisi tersebut tidak terdapat seorang penulis yang dapat
mencatat transaksi yang terjadi, maka diperbolehkan adanya barang jaminan yang
diserahkan oleh si berhutang kepada si pemiutang, dengan maksud bahwa barang
jaminan tersebut sebagai pengganti penulisan dan barang tersebut merupakan sesuatu
yang dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat Imam Syafi’i dan jumhur
ulama. Sebagian ulama Salaf menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa jaminan itu
hanya disyari’atkan dalam transaksi perjalanan saja.73
Kemudian, potongan ayat yang berbunyi:
اؤتمن أفان الذى فليؤد بعضا بعضكم منته...أمن
Artinya: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (hutangnya)...”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dengan isnad jayid, dari Abu Sa’id al-Khuduri, ia
telah mengatakan bahwa ayat ini telah dinasakh oleh ayat sebelumnya. Di samping itu
Imam asy-Sya’bi mengatakan: “Jika kalian saling mempercayai, maka tidak ada dosa
bagi kalian untuk tidak menulis dan tidak mengambil kesaksian.74
73 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Syeikh, Lubaabu at- Tafsir Min Ibni Katsiir, hlm. 571.74
Ibid, hlm. 572.
Selain itu, dalam ayat tersebut juga menjeaskan bahwa para saksi yang
menyaksikan transaksi yang terjadi, tidak boleh menyembunyikan atau memalsukan
kesaksiannya apabila sewaktu-waktu kesaksiannya dibutuhkan oleh pihak-pihak yang
telah terikat perjanjian tersebut. Ibnu ‘Abbas dan ulama lainnya mengatakan:
“Kesaksian palsu merupakan salah satu dosa besar yang paling besar, demikian juga
menyembunyikannya.”75
Dengan adanya ayat ini menjadi bukti bahwa adanya jaminan diperbolehkan
dalam hukum Islam untuk menjamin kewajiban-kewajiban para pihak yang terlibat
dalam permasalahan hutang. Ayat ini juga menjadi salah satu landasan hukum bagi
perbankan syari’ah dalam menjalankan pembiayaan dengan menghadirkan barang
jaminan.
Keberadaan jaminan pada perbankan syari’ah ini juga didukung dengan
adanya Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000 yang menyebutkan “Pada prinsipnya
dalam pembiayaan (mudlārabah/musyārakah) tidak ada jaminan, namun agar
nasabah debitur (mudlarib) tidak melakukan penyimpangan, maka pihak perbankan
syariah atau LKS (Lembaga Keuangan Syariah) dapat meminta jaminan dari
mudlarib atau pihak ketiga”.76
Berdasarkan ketetapan-ketetapan hukum inilah jaminan pada pembiayaan dan
kredit di perbankan dijalankan. Dengan merujuk kepada peraturan perundangan yang
75
Ibid.
76 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN-MUI BI, 2001), hlm. 44.
mencantumkan tentang peraturan jaminan dalam jenisnya masing-masing. Untuk
jaminan pada perbankan syari’ah juga mengacu pada perundang-undangan yang
sama, karena belum adanya ketetapan hukum khusus yang dapat mengatur tentang
jaminan dalam konteks perbankan syari’ah.
3.2. Ketetapan Tentang Kebolehan Penggunaan Barang Jamian Milik Pihak Ketiga Dalam Perundang-Undangan
Pengambilan pembiayaan pada perbankan syari’ah, atau kredit pada
perbankan konvensional¸ membutuhkan sebuah benda yang dapat dijadikan barang
jaminan bagi pelunasan hutang nasabah pada bank. Namun barang jaminan yang
diserahkan oleh pihak nasabah debitur tersebut tidak selalu milik pribadi, adakalanya
barang jaminan merupakan milik orang lain yang dipinjamkan kepada nasabah
debitur.
Jaminan pihak ketiga merupakan jaminan perorangan, yaitu jaminan seorang
pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajibab si
debitur. Jaminan ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitur. Menurut Prof.
Soebekti, oleh karena tuntutan kreditur terhadap seorang penjamin tidak diberikan
suatu kedudukan istimewa dibandingkan atas tuntutan-tuntutan kreditur lainnya,
maka jaminan perorangan ini tidak banyak dipraktekkan dalam dunia perbankan.77
Namun sesungguhnya, saat ini jaminan perorangan seperti ini menjadi suatu keadaan
77 Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, hlm. 58.
yang marak terjadi dalam pengambilan pembiayaan pada perbankan syari’ah, atau
kredit pada perbankan konvensional.
Dalam pemberian barang jaminan atas kepemilikan orang lain ini, si pemilik
barang disebut penanggung hutang. Mengenai hal ini, undang-undang hukum positif
telah mengatur mekanismenya dalam Pasal 1820-1850 KUH Perdata.78 Pengertian
penanggungan sendiri tercantum dalam Pasal 1820 KUH Perdata: “Penanggungan
ialah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur mengikatkan
diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi
perikatannya.”79 Dari Pasal 1820 tersebut dapat dimengerti bahwa penanggungan
merupakan perjanjian yang dilakukan pihak ketiga untuk memenuhi perikatan debitur
demi kepentingan kreditur, dalam hal ini debitur tidak mampu memenuhi perikatan
yang telah ia buat dengan kreditur.
Hak jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut dapat diberikan oleh
debitur sendiri maupun oleh pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau
penanggung. Penanggungan diberikan baik dengan sepengetahuan atau tanpa
sepengetahuan debitur yang bersangkutan. Hak jaminan yang diberikan kepada
kreditur dimaksudkan untuk keamanan dan kepentingan kreditur, maka diharuskan
untuk diadakan suatu perikatan lain, dan perikatan ini bersifat accesoir dari perjanjian
kredit atau pengakuan hutang yang diadakan antara debitur dengan kreditur.80 Hak ini
78 Ibid, hlm. 57.
79 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 453.80
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, hlm. 57.
meyebabkan penanggungan baru dapat dilakukan ketika adanya suatu perjanjian
pokok, yaitu hutang piutang antara kreditur dan debitur, yang kemudian pemenuhan
kewajiban debitur dialihkan kepada penanggung.
Seseseorang dapat menjadi penanggung berdasarkan permintaan debitur, atau
juga dapat dilakukan meski dengan tanpa permintaan debitur itu sendiri. Penjelasan
tersebut berdasarkan isi Pasal 1823 KUH Perdata: “Orang dapat mengangkat diri
sebagai penanggung tanpa diminta oleh orang yang mengikatkan diri untuk suatu
utang, bahkan juga dapat tanpa sepengetahuan orang itu.” 81
Di samping itu, apabila penanggung terdiri dari banyak orang, maka mereka
dapat membagi hutang tersebut untuk ditanggung secara bersama-sama. Dalam hal ini
kreditur boleh membagi hutang yang harus ditanggung untuk masing-masing
penanggung, dan keputusan tersebut tidak dapat ditarik kembali sekalipun kreditur
mengetahui bahwa penanggung tersebut tidak mampu menanggung hutang sejak
sebelum pembagian dilakukan. Hal ini menjadi konsekuensi hukum bagi penanggung
itu sendiri. Penjelasan tersebut berlandaskan pada Pasal 1838 KUH Perdata: “Jika
kreditur sendiri secara sukarela telah membagi-bagi tuntutannya, maka ia tidak boleh
menarik kembali pemisahan hutang itu, biarpun beberapa di antara para penanggung
berada dalam keadaaan tidak mampu sebelum ia membagi-bagi hutang itu.”82
81
Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 453.
82 Ibid, hlm. 456.
Meskipun demikian, dalam aplikasi yang tertera pada Pasal 1831 KUH
Perdata: “Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai
membayar hutangnya, dalam hal itupun barang kepunyaan debitur harus disita dan
dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya.”83 Pasal ini menjelaskan bahwa
meskipun penanggung telah terikat perjanjian dengan kreditur untuk menanggung
hutang debitur, namun bagi penanggung terdapat hak istimewa untuk tidak
menanggung hutang debitur terlebih dahulu sebelum barang-barang milik debitur
disita oleh kreditur.
Kemudian disebutkan pada Pasal 1839 KUH Perdata:
“Penanggung yang telah membayar dapat menuntut apa yang telah dibayarnya itu dari debitur utama, tanpa memperhatikan apakah penanggungan itu diadakan dengan atau tanpa setahu debitur utama itu. Penuntutan kembali ini dapat dilakukan baik mengenai uang pokok maupun mengenai bunga serta biaya-biaya. Mengenai biaya-biaya tersebut, penanggung hanya dapat menuntutnyakembali sekedar dalam waktu yang dianggap patut ia telah menyampaikanpemberitahuan kepada debitur utama tentang tuntutan-tuntutan yang ditujukan kepadanya. Penanggung juga berhak menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga bila alasan untuk itu memang ada.”84
Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa penanggung boleh menuntut kepada
debitur untuk mengembalikan sejumlah tanggungan yang telah penanggung
keluarkan, guna menyelesaikan hutang debitur. Dan hal ini juga menjadi bagian dari
hak istimewa yang didapatkan oleh penanggung. Ketika penanggung menuntut
dikembalikannya bayaran hutang oleh debitur, maka debitur harus mengembalikan
83 Ibid, hlm. 453.
84 Ibid, hlm. 456.
tuntutan tersebut. Dan tuntutan ini menjadi ikatan hutang baru yang tejadi antara
debitur dan penanggung.
Karena usaha penanggungan ini merupakan suatu perikatan yang bersifat
accesoir, maka penanggungan ini pun akan hilang ketika terselesaikannya perikatan
pokok. Dalam hal ini, perikatan pokok yang terjadi adalah adanya perikatan hutang
piutang antara kreditur dengan debitur. Atau, penanggungan juga akan hapus apabila
kreditur menerima suatu barang sebagai bayaran utang pokok, sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 1849 KUH Perdata: “Bila kreditur secara sukarela menerima
suatu barang tak bergerak atau barang lain sebagai pembayaran hutang pokok, maka
penanggung dibebaskan dari tanggungannya, sekalipun barang itu kemudian harus
diserahkan oleh kreditur kepada orang lain berdasarkan putusan hakim untuk
kepentingan pembayaran hutang tersebut.”85
Dengan demikian, permasalahan penanggungan hutang pada pembiayaan atau
perkreditan dalam dunia perbankan merupakan sesuatu yang telah pasti aturan
hukumnya. Maka pihak pemilik barang jaminan dalam permasalahan tersebut dapat
diumpamakan sebagai penanggung dalam ketetapan hukum positif yang telah ada.
Oleh sebab itu, meski dalam perbankan syari’ah permasalahan jaminan pihak ketiga
belum diatur dalam ketetapan hukum tersendiri secara terperinci, maka segala
persoalan yang terjadi yang berkaitan dengan jaminan pihak ketiga, kembali mengacu
85
Ibid, hlm. 458.
kepada ketetapan hukum positif yang telah ada. Sekalipun ketetapan hukum tersebut
mengatur tentang penanggungan pihak ketiga terhadap perkara kredit.
3.3. Analisis Keberadaan Barang Jaminan Milik Pihak Ketiga Pada Pembiayaan Perbankan Syari’ah Dalam Tinjauan Pertanggungan Konsep Dlamān
Pembiayaan pada perbankan syari’ah merupakan suatu produk yang menjadi
cara bagi bank untuk dapat menyalurkan dana kepada masyarakat. Terdapat beragam
produk pembiayaan yang ditawarkan oleh perbankan syari’ah, dan pembiayaan-
pembiayaan tersebut diakui oleh pihak perbankan syari’ah telah disesuaikan dengan
landasan syari’ah Islam. Hal ini dapat dilihat dari jenis produk yang mereka
tawarkan, seperti mudlārabah, murābahah, musyārakah, dan lain sebagainya.
Secara teoritis pihak perbankan telah mengakui bahwa produk pembiayaan
yang mereka tawarkan telah berazaskan syari’ah yang sesungguhnya, namun dalam
aplikasinya terdapat hal-hal yang dilakukan atau ditetapkan oleh pihak perbankan
syari’ah yang berbeda dari konsep dasar produk-produk tersebut. Jaminan sendiri
menjadi bagian tambahan yang tidak terdapat dalam konsep dasar produk-produk
tersebut.
Misalnya saja pada produk murābahah, yang merupakan suatu akad jual beli
di mana harga penjualan barang yang dijual sebesar harga pokok barang tersebut
ditambah dengan keuntungan yang disepakati.86 Pembayaran dalam jual beli
murābahah ini dapat dilakukan baik secara tunai maupun cicilan, dan tidak
disyaratkan adanya barang jaminan adalam jual beli ini selama pembeli belum
86 Adimarwan Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan , hlm. 113.
menyelesaikan pembayarannya. Namun dalam aplikasinya pada perbankan syari’ah,
pihak bank menetapkan adanya barang jaminan yang disediakan oleh nasabah untuk
kemudian diserahkan kepada bank sebagai jaminan bagi bank selama nasabah belum
menyelesaikan pembayarannya.
Penggunaan jaminan pada pembiaayan ini dimaksudkan sebagai langkah
antisipasi resiko buruk yang mungkin akan dihadapi pihak bank. Bank bisa saja
meminta jaminan tambahan sebelum memasuki transaksi murābahah. Dalam
beberapa kasus, subjek yang menjadi garapan murābahah itu sendiri dapat diterima
sebagai jaminan.87 Hal ini berarti barang yang diperjualbelikan dalam murābahah ini
yang dijadikan barang jaminan. Akan tetapi terdapat pula praktik bahwa nasabah
memberi jaminan lain berupa barang milik pribadinya maupun milik orang lain.
Dalam hal barang jaminan tersebut milik orang lain, maka pemilik barang menjadi
terlibat dalam perjanjian yang dilakukan oleh nasabah dan pihak bank, dan secara
tidak langsung pemilik barang jaminan menjadi penanggung bagi hutang nasabah
terhadap bank. Mengenai hal ini, perbankan syari’ah menjalankan prosedur
berkenaan dengan barang jaminan milik orang lain, berlandaskan kepada hukum
positif Indonesia yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
Walaupun peraturan perundangan-undangan tersebut belum tentu sesuai
dengan ketetapan hukum Islam, namun dikarenakan terbatasnya ketetapan hukum
yang mengatur terperinci berkaitan dengan perbankan syariah ini, maka tak ada
87 Zamir Iqbal, & Abbas Mirakhor, Pengantar keuangan Islam: Teori dan Praktik, (Jakarta:Prenada Media Group, 2008), hlm. 291.
pilihan lain untuk tak mengacu kepada hukum positif. Sedangkan keputusan DSN
(Dewan Syari’ah Nasional) yang berkaitan dengan permasalahan jaminan pihak
ketiga ini belum ditetapkan secara terperinci pula. Hal ini terbukti dari belum
ditemukannya kajian yang menyebutkan tentang keputusan DSN yang mengatur
permasalahan jaminan pihak ketiga.
Permasalahan barang jaminan yang diatur dalam Keputusan Dewan Syari’ah
Nasional (DSN) tercantun dalam butir ke empat Fatwa DSN MUI No.
04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murābahah:
“1. Jaminan dalam murābahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan
pesanannya.
2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat
dipegang.”88
Berdasarkan fatwa DSN tersebut dapat dilihat bahwa DSN membolehkan
adanya jaminan dalam pembiayaan murābaah dengan tujuan agar nasabah serius
dalam menjalankan kewajibannya terhadap bank, dan pihak perbankan pun dapat
meminta jaminan tersebut kepada nasabah. Namun demikian, fatwa DSN dalam hal
ini tidak mengatur secara khusus apabila barang jaminan tersebut bukan milik
nasabah pribadi, melainkan milik pihak ketiga, dan juga tidak ada aturan secara
88 Majelis Ulama Indonesia, Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang
Murābahah, Maret 2010. Diakses pada tanggal 1 Januari 2012 dari situs:
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=151:fatwa-dsn-mui-no-04dsn-
muiiv2000-tentang-murabahah&catid=57:fatwa-dsn-mui
terperinci dalam fatwa DSN ini tentang mekanisme barang jaminan pada perbankan
tersebut. Oleh sebab itu segala mekanisme tentang peraturan yang berkenaan dengan
barang jaminan itu sendiri kembali kepada perundang-undangan hukum positif yang
telah ada.
Terdapat beberapa ketentuan perundang-undangan tentang pertanggungan
yang sesuai dengan pertanggungan dalam konsep dlamān. Seperti, hak accesoir
pada pertanggungan pihak ketiga yang ditentukan dalam perundang-undangan, yaitu
tentang adanya perikatan pokok yang menjadi sebab terjadinya perikatan
pertanggungan. Hak accesoir ini sesuai dengan ketetapan salah satu rukun dlamān,
yaitu terdapatnya objek yang ditanggung oleh dlāmin baik berupa hutang ataupun
barang. Disamping itu hak accesoir ini menjadi terhapus dengan terhapusnya masalah
pokok, yaitu terlunasinya hutang debitur, maka demikian pula yang terjadi dalam
konsep pertanggungan dlamān, bahwa perkara dlamān dianggap selesai dengan
terselesaikannya hutang madlmūn ‘anhu terhadap madlmūn lahu.
Dalam hukum positif yang mengatur tentang penanggungan, terdapat
ketetapan hukum yang menjelaskan bahwa penanggungan tetap dapat dilakukan
dengan sepengetahuan atau tanpa sepengetahuan orang antg ditanggung. Hal ini
senada dengan konsep dlamān yang juga dapat dilakukan dengan atau tanpa
sepengetahuan madlmūn ‘anhu.
Selain itu, penanggungan yang dilakukan oleh beberapa orang, selain
diperbolehkan oleh hukum positif, juga diperbolehkan dalam konsep dlamān.
Pembolehan tersebut dengan ketentuan pembagian pertanggungan sesuai dengan
yang disepakati dan dianggap adil, dan masing-masing orang yang tergabung dalam
dlāmin tersebut harus menjalani kewajibannya atas tanggungan yang telah
dibebankan sebagai bagian untuknya.89
Akan tetapi, ketetapan hukum yang tercantum dalam Pasal 1838 KUH
Perdata: “Jika kreditur sendiri secara sukarela telah membagi-bagi tuntutannya, maka
ia tidak boleh menarik kembali pemisahan hutang itu, biarpun beberapa di antara para
penanggung berada dalam keadaaan tidak mampu sebelum ia membagi-bagi hutang
itu.”90 Menjelaskan bahwa penanggung yang telah menerima bagian tanggungannya
dari kreditur, tidak dapat dibatalkan sekalipun penanggung tersebut dalam keadaan
tidak mampu bahkan sebelum kreditur membagi bagian tanggungan untuk para
penanggung. Ketetapan ini bertentangan dengan tinjauan konsep dlamān, karena
dalam permasalahan dlamān sesuatu yang dijamin harus berada dalam kemampuan
dlāmin, dan apabila sesuatu yang dijamin tersebut diluar batas kemampuan dlāmin,
maka menurut pendapat jumhur ulama, aqad dlamān tidak sah.91
Hal ini dikarenakan, apabila dlāmin tetap harus menanggung objek
tanggungan yang lebih besar dari kemampuan yang dimilikinya, dikhawatirkan hal ini
akan menyulitkan dlāmin dan akan mendatangkan kemudlaratan baginya sendiri.
Padahal tujuan awal dari dlamān ini adalah untuk meringankan beban yang
89 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis (terj. Syed Ahmad Syed Hussain), hlm. 139.
90 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 456.
91 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis, hlm. 128.
ditanggung oleh seseorang, namun menjadi tidak adil jika dalam proses
pertanggungan tersebut ada pihak yang justru menjadi kesulitan karenanya.
Kemudian, terdapat Pasal 1831 KUH Perdata: “Penanggung tidak wajib
membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar hutangnya, dalam hal
itupun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk
melunasi hutangnya.”92 Pasal tersebut menjelaskan bahwa, meskipun seseorang telah
menyanggupi dirinya sebagai seorang penanggung terhadap hutang orang lain, namun
dalam hal penyitaan barang kepemilikan berkaitan dengan tidak terpenuhinya
kewajiban debitur, justru barang milik debitur yang terlebih dahulu disita. Padahal
penanggung telah menyanggupi untuk menanggung hutang tersebut.
Sedangkan dalam konsep dlamān, apabila seseorang telah menyanggupi
dirinya untuk menanggung hutang orang lain, maka dalam hal penyelesasian
kewajiban madlmūn ‘anhu segalanya menjadi tanggung jawab dlāmin. Sebagaimana
yang tercantum dalam hadits:
( والترمذي ( ماجه ابن اخرجه غارم الزعيم
Artinya: “Penanggung itu menanggung kerugian.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)93
Yang dimaksud kerugian di sini adalah beban hutang madlmūn ‘anhu terhadap
madlmūn lahu yang harus ditanggung oleh dlāmin.
Kemudian pada Pasal 1839 KUH Perdata:
92 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 458.
93 Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (terj. Imam Ghazali Said, Achmad Zaidun), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 252.
“Penanggung yang telah membayar dapat menuntut apa yang telah dibayarnya itu dari debitur utama, tanpa memperhatikan apakah penanggungan itu diadakan dengan atau tanpa setahu debitur utama itu. Penuntutan kembali ini dapat dilakukan baik mengenai uang pokok maupun mengenai bunga serta biaya-biaya.Mengenai biaya-biaya tersebut, penanggung hanya dapat menuntutnyakembali sekedar dalam waktu yang dianggap patut ia telah menyampaikan pemberitahuan kepada debitur utama tentang tuntutan-tuntutan yang ditujukan kepadanya. Penanggung juga berhak menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga bila alasan untuk itu memang ada.”94
Ketetapan hukum positif di atas tegas menyebutkan bahwa penanggung boleh
meminta kembali bayaran yang telah ia keluarkan untuk melunasi hutang debitur,
terlepas dari apakah kesediannya dalam penanggungan itu berdasarkan permintaan
debitur atau tidak. Dengan demikian, dalam hal ini penanggung memiliki hak mutla
untuk menagih kembali harta yang telah dikeluarkannya kepada debitur berkaitan
dengan masalah penyelesaian hutang debitur.
Namun hal tersebut tidak sesuai dengan beberapa pendapat ulama. Menurut
Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, dlāmin boleh meminta kembali apa yang telah ia
keluarkan untuk menanggung hutang madlmūn ‘anhu apabila dlāmin melakukan hal
tersebut berdasarkan permintaan madlmūn ‘anhu. Namun apabila dlāmin
melakukannya dengan inisiatif pribadi, maka ia tidak punya hak untuk menuntut
kembali kepada madlmūn ‘anhu. Sedangkan Imam Maliki membolehkan meminta
kembali bayaran tersebut kepada madlmūn ‘anhu, dengan berdasarkan kedua
keadaaan tersebut. Sedangkan menurut Ibnu Hizam, dlāmin tidak boleh meminta
pengembalian apapun kepada madlmūn ‘anhu dalam keadaan apapun dilakukan
94 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 456.
dlaman tersebut, baik atas kerelaan dlāmin sendiri, maupun atas permintaan madlmūn
‘anhu.95
Dengan demikian, keberadaan barang jaminan sebagai bentuk ketetapan
prosedural dalam perbanan syari’ah, tetap mengacu kepada perundang-undangan
hukum positif yang telah ada, sekalipun DSN sebagai lembaga yang berwenang
mengawasi kinerja perbankan syari’ah telah mengeluarkan fatwa, akan tetapi fatwa
tersebut berisi pengaturan tentang jaminan yang masih bersifat umum. Padahal
sebahagian dari perundang-undangan hukum positif yang diangkat sebagai landasan
hukum dalam permasalahan jaminan ini oleh perbankan syari’ah, tidak sesuai dengan
ketetapan hukum Islam sebagaimana yang seharusnya mengatur tentang hal tersebut
dalam tinjauannya dari berbagai hal. Seperti peraturan-peraturan yang dapat
merugikan satu pihak, dalam hal ini tidak diperkenankan dalam hukum Islam.
Meskipun demikian, hukum positif tetap dipakai sebagai acuan hukum karena masih
terbatasnya hukum Islam yang diangkat sebagai landasan hukum yang tegas bagi
perbankan syari’ah itu sendiri.
95
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah 12 (ter. Kamaluddin A. Marzuki), cet. ke 15 (Bandung: PT. Alma’arif, 1987), hlm. 182.
BAB EMPAT
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Pembiayaan pada perbankan syari’ah saat ini mengalami perkembangan yang
pesat. Oleh sebab itu resiko akan kerugian yang mungkin dialami oleh pihak
perbankan sendiri pun menjadi lebih besar. Untuk meminimalisir kemungkinan
tersebut, perbankan syari’ah membebankan adanya barang jaminan yang harus
disediakan oleh pihak nasabah dalam rangka pengambilan pembiayaan. Akan tetapi,
tidak selamanya jaminan yang diberikan tersebut merupakan milik pribadi nasabah,
melainkan jaminan yang diserahkan merupakan milik pihak ketiga.
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari karya tulis ini:
1. Praktek dlamān secara prinsip diperbolehkan dalam Islam, hal ini didukung
dengan keberadaan nash baik ayat Al-Qur’an maupun hadits yang dapat
menjadi landasan hukum dlamān itu sendiri. Pada dasarnya konsep dlamān
merupakan konsep pertanggungan yang berkenaan dengan permasalahan
harta, maka dalam hal ini hampir menyerupai kafālah, bedanya dalam konsep
kafālah termasuk juga pertanggungan jiwa.
Barang jaminan dalam konsep dlamān, merupakan instrument penting sebagai
bentuk tanggungan dlāmin terhadap hutang madlmūn ‘anhu yang telah
diambil alih pelunasannya oleh dlāmin itu sendiri. Ketika dlāmin memutuskan
untuk melunasi hutang madlmūn ‘anhu melalui barang jaminan tersebut, maka
madlmūn lahu dapat menjualnya demi pelunasan piutang yang telah diberikan
kepada madlmūn ‘anhu. Meskipun demikian, mekanisme dlamān tetap
dibatasi oleh syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Syarat dan rukun itu
sendiri melingkupi hingga dalam komponen-komponen yang terkandung
dalam dlamān, seperti syarat bagi dlāmin, madlmūn ‘anhu, madlmūn lahu,
dan objek yang ditanggung (dalam hal ini berupa hutang). Dengan demikian,
kelengkapan pengaturan dalam dlāman menjadikannya sebagai satu
mekanisme pertanggungan yang tidak merugikan pihak manapun yang terlibat
di dalamnya.
2. Permasalahan jaminan pada perbankan syari’ah memiliki landasan hukum
Islam yang berupa nash Al-Qur’an, sehingga dalam kajian hukum Islam
pemberlakuan jaminan pada perbankan syari’ah ini diperbolehkan. Selain itu,
prosedural yang berlangsung pada perbankan syari’ah berkaitan dengan
jaminan, telah diatur dalam hukum perbankan syari’ah yang tercantum dalam
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah dan fatwa
DSN. Namun pengaturan yang terkandung dalam undang-undang dan fatwa
DSN tersebut masih menjelaskan jaminan dalam konteksnya secara umum.
Dengan demikian, untuk melengkapi landasan hukum tentang permasalahan
jaminan ini, perbankan syari’ah tetap mengacu kepada hukum positif
Indonesia yang mengatur secara detail tentang aplikasi jaminan dalam dunia
perbankan. Dalam hal ini, pembiayaan pada perbankan syari’ah disetarakan
dengan kredit pada perbankan konvensional. Hal ini dilakukan karena masih
terbatasnya ketetapan hukum yang mengatur tentang jaminan dalam
kedudukannya pada perbankan syari’ah itu sendiri.
3. Permasalahan jaminan yang berlaku pada perbankan syari’ah di satu sisi
sesuai dengan konsep hukum Islam, namun di sisi lain ketika landasan hukum
jaminan yang merujuk kepada hukum positif mengandung bagian yang tidak
sesuai dengan hukum Islam, maka mekanisme pemberlakuan jaminan pada
perbankan syari’ah pun kurang sesuai dengan tatanan syari’at yang telah
ditetapkan. Hal ini dapat terlihat dari beberapa peraturan perundang-undangan
yang ketika dikaji kembali berdasarkan hukum Islam, hal tersebut dapat
menzalimi pihak-pihak yang terlibat dalam permasalahan jaminan tersebut.
Sehingga hal ini menjadi suatu bagian yang membuat mekanisme pada
perbankan syari’ah hamper menyerupai perbankan konvensional.
4.2. Saran
Melalui karya tulis ini, penulis mencoba memberikan saran-saran yang
sekiranya dapat berguna bagi instansi terkain, terutama perbankan syari’ah. Adapun
saran-saran yang ingin penulis sampaikan:
1. Kepada legislator selaku pelaku yang berwenang dalam perancangan hukum,
terutama yang langsung berkaitan dengan dunia perbankan, agar dapat
menentukan hukum yang jelas berkaitan dengan keberadaan jaminan pada
perbankan syari’ah, terutama tentang jaminan milik pihak ketiga. Hal ini
dapat dilakukan dengan adanya pengkajian oleh DSN atau instansi lain
berkaitan dengan hal ini, yang kemudian dapat mengeluarkan fatwa sehingga
mampu dijadikan rujukan hukum oleh pihak perbankan syari’ah sendiri dan
tidak menyalahi hukum Islam.
2. Kepada pihak perbankan syari’ah, perlu mengkaji kembali tentang
pembiayaan bagaimana yang dapat dibebankan barang jaminan, dan
pembiayaan bagaimana yang tidak dapat dibebankan barang jaminan. Hal ini
diharapkan agar tidak adanya penyimpangan dari prinsip dasar yang
terkandung dalam konsep produk-produk pembiayaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Semarang: PT. Toha Putra, 1995.
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulugh Al-Maram (terj. Thahirin Suparta, dkk), Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk, Al-Fiqh al Muyassar Qism al-Muamalat, Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu Ahkam al-Fiqh al- Islami bi Uslub Wadhih li al-Mukhtashshin wa Ghairihim, (terj. Miftahul Khairi) cet. ke 1, Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009.
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Syeikh, Lubaabu at- Tafsir Min Ibni Katsiir (terj. M. Abdul Ghoffar), Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003.
Abu Bakr Al-Juzairi, Minhaajul Muslim (ter. Fadhli Bahri), Jakarta: Darul Falah, 2000.
Adimarwan A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2008.
Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (terj. Imam Ghazali Said, Achmad Zaidun), Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Andri Soemitra, Bank dan Kelembagaan Keuangan Syari’ah, Jakarta: Prenada Media Group, 2009.
A. P. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Besarta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, Bandung: CV. Mandar Maju, 1996.
Bank Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan syari’ah, Juli 2008. Diakses pada tanggal 5 September 2011 dari situs: http://www.bi.go.id/
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Yoyakarta: Penerbit ANDI, 2005.
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke 8, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta: DSN-MUI BI, 2001.
Helmi Haris, “La_Riba”. Jurnal Ekonomi Islam, Vol. I, No. I, Juli 2007.
Hermansyah, Hukum Perbankan nasional, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005.
Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib Jilid I, Kudus: Menara Kudus.
Kartini Muljadi, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek, cet. ke 2, Jakarta: Prenada Media Group, 2007.
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Kasmir, Manajemen Perbankan, cet. ke 5, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Louis Ma’luf, Munjid, cet. ke 42, Beirut: Dārul Musyriq, 2007.
Muhammad Firdaus, Ensiklopedia Asas Fardhu Ain, cet. Ke 2, Malaysia: Crescent News (KL) SDN BHD, 2006.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 6, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, cet. ke 1, Jakarta: Gema Insani, 2006.
Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 2005.
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah Jilid 12 (ter. Kamaluddin A. Marzuki), cet. ke 15, Bandung: PT. Alma’arif, 1987.
Suharnoko, Hukum perjanjian: Teori dan Analisis Kasus, cet. ke 4, Jakarta: Prenada Media Group, 2007.
Sutan Remy Sjahdeini, Perbakan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: PT. Utama Grafiti, 2005.
Syaikh Muhammadd bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil (terj. Achmad Munir Badjeber, dkk), Jakarta: Daru as-Sunnah Press, 2007.
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis (terj. Syed Ahmad Syed Hussain), Malaysia: Dewan Bahsa dan Pustaka, 1996.
Zamir Iqbal, & Abbas Mirakhor, Pengantar keuangan Islam: Teori dan Praktik, Jakarta:Prenada Media Group, 2008.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Syahrina Prihatini
2. Tempat / Tanggal Lahir : Banda Aceh / 07 Februari 1989
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : Mahasiswi
5. Agama : Islam
6. Kebangsaan / Suku : Indonesia / Jawa
7. Status Perkawinan : Belum Kawin
8. Alamat : Jl. Ir. M. Thahir, Desa Lamcot, Kec. Darul Imarah,
Aceh Besar
9. Orangtua / Wali
a. Ayah : Suyono Anas
b. Ibu : Rukyah
c. Pekerjaan : Wiraswasta
10. Alamat : Jl. Ir. M. Thahir, Desa Lamcot, Kec. Darul Imarah
Aceh Besar
11. Jenjang Pendidikan
a. MIN : SD Negeri 42 Banda Aceh Berijazah Tahun 2001
b. MTsN : MTsN I Banda Aceh Berijazah Tahun 2004
c. MAN : MAN I Banda Aceh Berijazah Tahun 2007
d. Perguruan Tinggi : Syariah Muamalah Wal-Iqtishad
Fakultas Syariah
IAIN Ar-Raniry masuk tahun 2007
Demikian daftar riwayat hidup singkat, saya buat dengan sebenarnya untuk
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Aceh Besar, 18 Januari 2012 (Syahrina Prihatini)