122
KEDUDUKAN JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARI’AH DITINJAU DARI KONSEP DLĀMAN SKRIPSI Diajukan Oleh: SYAHRINA PRIHATINI Mahasiswa Fakultas Syari’ah Jurusan Muamalah Wal Iqtishad NIM: 120707440

79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

KEDUDUKAN JAMINAN DALAM PEMBIAYAANPADA PERBANKAN SYARI’AH DITINJAU

DARI KONSEP DLĀMAN

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

SYAHRINA PRIHATINIMahasiswa Fakultas Syari’ah

Jurusan Muamalah Wal IqtishadNIM: 120707440

FAKULTAS SYARI’AHINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM-BANDA ACEH2012 M/1433 H

Page 2: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

KEDUDUKAN JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN MUDLĀRABAH PADA

PERBANKAN SYARI’AH DITINJAU DARI KONSEP DLĀMAN

Nama : Syahrina Prihatini Nim : 1207070440Fakultas/Jurusan : Syari’ah/Syari’ah Muamalah Wal IqtishadTanggal Munaqasyah : Lulus Dengan Nilai : Tebal Skripsi : 64 HalamanPembimbing I : Hasnul Arifin Melayu, M.APembimbing II : Saifuddin, S.Ag, M.Ag

ABSTRAK

Jaminan pembiayaan pada perbankan Syari’ah merupakan bagian dari prosedural yang harus dipatuhi oleh setiap nasabah yang akan mengambil pembiayaan produk tersebut. Adakalanya barang jaminan yang diserahkan oleh pihak nasabah bukan merupakan milik pribadi, melainkan milik orang lain yang dipinjamkan kepada nasabah, dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh bank. Landasan hukum barang jaminan pada perbankan syari’ah ini, diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah, dan dalam fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000. Walaupun demikian, pengaturan tentang jaminan milik pihak ketiga pada perbankan syari’ah tetap mengacu kepada hukum positif yang mengatur hal serupa dalam permasalahan kredit pada perbankan konvensional. Masalah utama penelitian ini adalah bagaimana kedudukan barang jaminan dalam konsep dlamān, ketetapan perbankan syari’ah tentang pemberlakuan pengadaan barang jaminan dan analisis hukum Islam terhadap ketetapan pemberlakuan pengadaan barang jaminan pada perbankkan syari’ah. Metode penelitian skripsi ini deskriptif analisis yaitu suatu metode yang bertujuan membuat gambaran sistematis tentang kedudukan jaminan dalam pembiayaan pada perbankan syari’ah dan ketetapan hukum yang menjadi landasan pemberlakuan tersebut dalam tinjauan konsep dlamān. Hasil penelitian meunjukkan bahwa ketetapan tentang mekanisme jaminan pada perbankan syari’ah merujuk kepada perundang-undangan hukum positif yang telah ada, namun sebahagian dari ketetapan hukum tersebut tidak sesuai dengan konsep hukum Islam sebagaimana yang seharusnya menjadi rujukan oleh perbankkan syari’ah. Dapat disimpulkan bahwa prosedural barang jaminan, terutama milik pihak ketiga, yang merujuk kepada ketetapan hukum positif Indonesia, terdapat ketentuan yang merugikan pihak pemilik barang jaminan dalam posisinya sebagai penanggung pada perjanjian pembiayaan tersebut.

Page 3: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, sehingga

penulis telah dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam atas junjungan

umat, Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam dari alam

kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Penulisan karya ilmiah merupakan salah satu tugas mahasiswa dalam

menyelesaikan studi di suatu lembaga pendidikan. Dalam memenuhi hal tersebut

penulis memilih judul “Kedudukan Barang Jaminan Dalam Pembiayaan Pada

Perbankan Syari’ah Ditinjau Dari Konsep Dlamān”. Penulisan skripsi ini bertujuan

untuk melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan studi di Fakultas Syariah Institut

Agama Islam Negri Ar-Raniry Banda Aceh.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan dan bimbingan dari

berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

setinggi-tingginya kepada Bapak Hasnul Arifin Melayu, M.A sebagai pembimbing I

dan Bapak Saifuddin Sa’dan, S.Ag, M.Ag sebagai pembimbing II yang dalam

kesibukannya menyempatkan diri untuk memberi bimbingan dan pengarahan

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penghargaan yang tak terhingga penulis

sampaikan kepada pihak Pimpinan Fakultas Syariah, Ketua jurusan SMI dan stafnya,

Penasehat Akademik beserta staf Akademik Fakults Syariah IAIN Ar-Raniry yang

telah banyak memberi bantuan dalam pengurusan dokumen pelengkap yang

Page 4: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

berhubungan dengan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebanyak-

banyaknya kepada semua dosen-dosen beserta asisten-asisten dosen di Fakultas

Syariah yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dan

banyak kekurangan, dengan demikian kritik dan saran dari semua pihak sangat

diharapkan demi memperbaiki tulisan ini agar bisa bermanfaat bagi penulis sendiri

serta masyarakat umum.

Banda Aceh, 18 Januari 2012

Penulis

Page 5: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

PEDOMAN TRANSLETERASI ARAB LATIN

ا = a ز = z ق = q

ب = b س = s ك = k

ت = t ش = sy ل = l

ث = ts ص = sh م = m

ج = j ض = dl ن = n

ح = h =ط th و = w

خ = kh =ظ zh = ׳ ‘

د = d ع = ‘a ه = h

ذ = dz غ = gh ى = y

ر = r =ف f

Untuk Madd dan Diftong

ā = a mad (panjang) وأ = aw

ī = i mad (panjang) او = uw

ū = u mad (panjang) ىأ = ay

ىا = iy

Tā marbūthahة) ) ditransliterasikan kepada “h” tidak dengan “t” seperti ياالس

.ditulis al-siyāsah, bukan al-siyāsat سة

Kata yang diawali dengan alif lam “al” ditulis dengan diawali “al” seperti

السيا سة ditulis al-siyāsah, bukan as-siyāsah.

Page 6: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I: Surat Keputusan Pembimbing Skripsi

Page 7: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

DAFTAR ISI

LEMBARAN JUDULPENGESAHAN PEMBIBIMBING...................................................................

iiPENGESAHAN SIDANG...................................................................................

iiiABSTRAK............................................................................................................

ivKATA PENGANTAR.........................................................................................

vTRANSLITERASI..............................................................................................

viiDAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................

viiiDAFTAR ISI .......................................................................................................

ixBAB SATU : PENDAHULUAN.........................................................................

1

1.1. Latar Belakang Masalah............................................................1

1.2. Rumusan Masalah.....................................................................7

1.3. Tujuan Penelitian......................................................................7

1.4. Kajian Pustaka...........................................................................8

1.5. Metodologi Penelitian...............................................................9

1.6. Sistematika Pembahasan...........................................................12

BAB DUA :KONSEPSI PERTANGGUNGAN DALAM KAJIA TEORI DLAMĀN.........................................................................................14

2.1. Pengertian Pertanggungan dalam Kajian Dlamān....................14

Page 8: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

2.1.1. Pengertian Dlamān..........................................................14

2.1.2. Landasan Hukum Dlamān...............................................16

2.2. Rukun dan Syarat Dlamān........................................................19

2.2.1. Rukun Dlamān................................................................19

2.2.2. Syarat Dlamān.................................................................22

2.3. Mekanisme Pertanggungan dalam Konsep Dlamān ................28

2.3.1. Pendapat Ulama tentang Mekanisme Dlamān................28

2.3.2. Konsekuensi Hukum dalam Mekanisme Dlamān...........31

BAB TIGA : ANALISIS KEDUDUKAN BARANG JAMINAN DALAM PEMBIYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH...................34

3.1. Landasan Hukum tentang Keberadaaan Jaminan dalam Perbankan Syari’ah.................................................................34

3.2. Ketetapan tentang Kebolehan Penggunaan Barang Jaminan Milik Pihak Ketiga dalam Perundang – undangan.................48

3.3. Analisis Keberadaan Barang Jaminan Milik Pihak Ketiga pada Pembiyaan Perbankan Syari’ah dalam Tinjauan Pertanggungan Konsep Dlamān.............................................52

BAB EMPAT : PENUTUP.................................................................................

61

4.1. KESIMPULAN.........................................................................61

Page 9: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

4.2. SARAN.....................................................................................63

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................65

LAMPIRAN – LAMPIRAN ..............................................................................68

DAFTAR RIWAYAT HIDUP............................................................................69

BAB SATU

PENDAHULUAN

Page 10: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

1.1. Latar Belakang Masalah

Penyertaan barang jaminan merupakan salah satu syarat dari sistem prosedural

pengambilan pembiayaan pada perbankan syari’ah yang diberlakukan hampir pada

seluruh produk pembiayaan yang mereka tawarkan. Meskipun dalam konsep

dasarnya pembiayaan-pembiayaan tersebut tidak dibebani adanya barang jaminan

bagi pihak yang mengambil pembiayaan, namun oleh pihak perbankan ketentuan itu

merupakan pertimbangan atas risiko buruk yang mungkin terjadi dalam masa

peminjaman dana untuk nasabah. Di samping sebagai barang bukti kepastian bahwa

nasabah debitur benar-benar menjalankan segala ketentuan yang telah disepakati

bersama.1

Terkait dengan barang jaminan, adakalanya barang jaminan yang diserahkan

oleh nasabah dalam suatu pembiayaan kepada pihak perbankan syari’ah bukan

merupakan barang milik pribadi, namun barang milik orang lain yang dipinjamkan

kepada nasabah untuk digunakan sebagai jaminan. Dalam hal ini dapat dicontohkan

saja dengan pembiayaan murābahah sebagai berikut; Seorang pembeli (A)

mengambil pembiayaan murābahah dengan meminjam sejumlah uang kepada sebuah

bank (B) yang akan dipergunakan untuk membeli barang tertentu. Mengikuti syarat

prosedural yang berlaku, B meminta A memberikan jaminan dalam bentuk barang,

maka A memberikan jaminan tersebut yang merupakan milik C dengan ketentuan-

ketentuan yang harus dipatuhi oleh A dan C.

1 Adimarwan Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 103.

Page 11: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Dalam perbankan syari’ah, sebagai kreditur, menerapkan kebijakan-kebijakan

mengenai penyertaan jaminan milik pihak ketiga. Pihak perbankan harus mengetahui

pemilik barang tersebut, melihat langsung bukti kepemilikan barang, mendapatkan

persetujuan pemilik barang, dan mendapatkan persetujuan eksekusi barang berkenaan

dengan wanprestasi oleh nasabah debitur yang mungkin akan terjadi. Namun, meski

adanya kebijakan tersebut, secara operasionalnya tetap saja perbankan syari’ah

mengacu kepada peraturan perudang-undangan yang telah ada, dan hal tersebut

belum tentu sesuai dengan konsep hukum Islam.

Adapun jaminan dalam bentuk seperti yang disebutkan di atas termasuk

bagian dari jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan sendiri merupakan jaminan yang

dapat diadakan antara kreditur dengan debitur, tetapi juga dapat diadakan antara

kreditur dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban

debitur.2

Keberadaan jaminan dalam pembiayaan pada perbankan syari’ah ini telah

dilegalkan hukum positif Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat

(23) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan juncto pasal 1 ayat (26) Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah menyatakan bahwa:

“Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda yang

tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada BankSyari’ah dan/atau

2 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional, (Jakarta: Kecana Prenada Media Group, 2005), hlm. 74.

Page 12: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Unit Usaha Syari’ah, guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima

fasilitas”.3 Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa agunan atau barang

jaminan diberikan oleh nasabah debitur kepada pihak perbankan syari’ah untuk

menjamin pihak debitur menjalankan kewajibannya dalam hal pelunasan hutang atau

pemenuhan perjanjian yang telah disepakati.

Di samping itu, terdapat beberapa pasal lain yang memiliki pembahasan

berkaitan dengan jaminan, antara lain Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang

Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda Lain yang Berkaitan dengan Tanah,

dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, serta beberapa

peraturan lainnya yang tercantum dalam KUH Perdata dan KUH Dagang.4

Keseluruhan ketetapan hukum mengenai barang jaminan ini menjadi landasan teoritis

tentang legalitas pemberlakuan penyertaan barang jaminan dalam pembiayaan pada

perbankan syari’ah.

Praktik pemberian jaminan yang merupakan milik pihak lain, telah diatur pula

dalam KUH Perdata Pasal 1831: “Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur

kecuali debitur lalai membayar utangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitur

harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya.”5 Merujuk pada

3 Bank Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan syari’ah, Juli 2008. Diakses pada tanggal 5 September 2011 dari situs: http://www.bi.go.id/

4 Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 2005), hlm. 12. Hukum Islam bukan merupakan hukum positif di Indonesia, maka hubungan hukum antara perbankan syari’ah dengan nasabah tunduk ada hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata (Sutan Remy Sjahdeini, Perbakan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT. Utama Grafiti, 2005), hlm. 134.)

5 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm. 454.

Page 13: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Pasal 1831 KUH Perdata di atas menjelaskan bahwa meskipun seorang debitur telah

memiliki pihak yang akan menanggung hutangnya pada kreditur, namun harta atas

milik debitur tetap harus disita terlebih dahulu sebelum jaminan milik penanggung

dieksekusi.

Pembahasan barang jaminan dijelaskan dengan pengertian lebih khusus pada

pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia:

“Hak Jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya”.6

Berdasarkan Undang-undang tersebut, dapat dilihat bahwa barang jaminan

atas nama pihak lain yang diberikan oleh debitur kepada pihak bank memiliki

landasan hukum yang jelas. Di samping itu, adanya kejelasan bahwa barang jaminan

fidusia tetap berada dalam penguasaan pemilik barang meskipun barang tersebut

digunakan oleh pihak lain sebagai jaminan dalam pelunasan utang terhadap pihak

kreditur.

Jaminan atau penjaminan dalam fiqh muamalah lebih dikenal dengan istilah

dlamān, yang sesungguhnya merupakan usaha pertanggungan yang dilakukan

terhadap hutang atau beban yang berkenaan dengan permasalahan harta orang lain.

Dlamān merupakan bagian dari kafālah, karena pengertian kafālah menurut bahasa

6 Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, hlm. 56.

Page 14: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

berarti ad-dlamān (jaminan), hamalah (beban) dan zama’ah (tanggungan), oleh

sebab itu segala sesuatu tentang rukun dan syarat dlamān menyerupai rukun dan

syarat kafālah. Landasan hukum tentang dlamān ini sebagaimana yang terkandung

dalam Al-Qur’an, surat Yusuf ayat 72:

زعيم . به وأنا بعير حمل به جاء لمن و الملك ع صوا نفقد لوا قا

Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa

yang dapat mengembalikannya memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,

dan aku yang menjamin terhadapnya”.

Ayat di atas menjelaskan tentang seseorang yang menyatakan dirinya sebagai

penjamin terpenuhinya janji untuk memberikan sejumlah bahan makan kepada

seseorang yang mampu menemukan piala raja.7

Adapun di dalam konsep dlamān bahwa orang yang bersedia menanggung

hutang atau beban orang lain, lebih dikenal dengan sebutan dlāmin, merupakan pihak

ketiga yang terlibat dalam permasalahan antara si penghutang dan si pemberi hutang.

Selain itu, permasalahan dlamān juga meliputi sahnya memberi jaminan akan

keselamatan benda yang dijual, yaitu dengan menjamin pembayaran ketika barang

tersebut menjadi milik selain penjual, dan sebernarnya permasalahan ini telah

memasuki lingkup jual beli.8

7 Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, cet. ke 1 (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 420.8

Ibid

Page 15: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Selain itu, terdapat beberapa syarat dan rukun-rukun tertentu dalam konsep

dlamān ini, salah satunya adalah bahwa dlāmin wajib mengetahui jumlah hutang

yang menjadi beban orang yang ditanggungnya. Apabila dhāmin tidak

mengetahuinya maka dalam hal ini dlamān dianggap tidak sah karena dapat

memungkinkan timbulnya gharār.9

Pemberian jaminan ini merupakan akad yang berdasarkan sikap belas kasihan,

yang bertujuan untuk memberikan jasa dan menolong penerima jaminan (madlmūn

‘anhu). Dengan demikian, tidak boleh meminta bayaran atas hal itu. Disamping itu,

bayaran terhadap pemberian jaminan bagaikan piutang yang mendatangkan

keuntungan, karena penjamin harus menunaikan utang penerima jaminan ketika

diminta untuk melunasinya. Maka jika membayarkan utang orang yang ia jamin, ia

akan menagihnya dari orang yang ia jamin tersebut sebagai utang.

Dengan demikian, jika ia meminta bayaran atas jaminan yang ia berikan,

maka itu adalah piutang yang mendatangkan keuntungan yang wajib dijauhi. Di

samping itu, pemberian jaminan untuk orang yang berutang adalah bentuk tolong

mrenolong dan berangkat dari sikap belas kasihan, bukannya memanfaatkan dan

menyulitkan orang yang membutuhkan bantuan.10

Di antara permasalahan pemberian jaminan ini adalah tanggung jawab

pemberi jaminan (dlāmin) tidak gugur kecuali dengan gugurnya tanggung jawab

9 Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib Jilid I, (Kudus: Menara Kudus), hlm. 263. Gharar adalah suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan.

10 Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, hlm. 421.

Page 16: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

penerima jaminan (madlmūn ‘anhu) terhadap utangnya, baik dengan digugurkan oleh

pemberi utang maupun ia melunasinya. Karena, tanggung jawab pemberi jaminan

adalah cabang dan mengikuti tanggung jawab penerima jaminan. Di samping itu

karena jaminan adalah sekedar penguat, ketika permasalahan pokoknya hilang, maka

penguatnya pun akan hilang.11

Yang menjadi permasalahan skripsi ini dibutuhkannya analisis tentang

kedudukan jaminan pada perbankan syari’ah dengan tinjuan konsep dlamān. Dengan

demikian, berdasarkan uraian di atas, maka penulis dalam skripsi ini melakukan

penelitian tentang “Keberadaan Jaminan dalam Pembiayaan pada Perbankan Syari’ah

ditinjau dari Konsep Dlamān”.

1.2. Rumusan Masalah

Berangkat dari permasalahan yang ada berdasarkan latar belakang dan uraian

di atas, maka penulis melakukan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan barang jaminan dalam konsep dlamān?

2. Bagaimana ketetapan perbankan syari’ah tentang pemberlakuan pengadaan

barang jaminan?

3. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap ketetapan pemberlakuan pengadaan

barang jaminan pada perbankan syari’ah?

1.3 Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk memahami kedudukan barang jaminan dalam tinjauan konsep dlamān.11 Ibid. hlm. 422.

Page 17: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

2. Untuk membahas ketetapan perbannkan sari’ah tentang pemberlakuan

pengadaan barang jaminan.

3. Untuk mengkaji tinjauan konsep dlamān terhadap ketetapan pengadaan

barang jaminan pada perbankan syari’ah..

1.4. Kajian Pustaka

Pembahasan mengenai jaminan pada pembiayaan pernbankan syariah, telah

sering dibahas dalam bentuk karya tulis, demikian pula dalam hal barang jaminan

tersebut milik pihak ketiga. Namun dari sekian banyak karya tulis yang membahas

tentang jaminan, tidak banyak yang menganalisisnya dengan konsep dlamān.

Terlebih lagi barang jaminan tersebut merupakan kepemilikan pihak ketiga.

Terdapat beberapa karya tulis yang berkenaan dengan jaminan, meskipun

tidak membahas tentang jaminan pihak ketiga dalam konsep dlamān. Beberapa karya

tulis tersebut misalnya karya tulis yang dipaparkan oleh A. Nila Rezannia, tentang

Analisis Pelelangan Benda Jaminan Gadai pada Pegadaian Syari’ah Cabang Melati,

Sleman, Jogjakarta.12 Dalam penulisan judul tersebut penulis lebih menjelaskan

kedudukan barang jaminan sebagai bagian dari sistem gadai, yang karena sebab-

sebab tertentu barang gadaian tersebut harus dilelang dengan syarat dan ketentuan

yang berlaku.

12 A. Nila Rezannia, “Analisis Pelelangan Benda Jaminan Gadai pada Pegadaian Syari’ah Cabang Melati, Sleman, Jogjakarta” (Tesis yang tidak dipublikasi), Jurusan Ekonomi Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Surakarta, 2006, hlm. 1.

Page 18: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Kemudian hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmiati, tentang Eksekusi

Agunan Produk Pembiayaan Murābahah Bermasalah secara Langsung oleh Bank

Aceh Syari’ah Cabang Banda Aceh.13 Di dalam penulisannya tersebut dijelaskan

bahwa dalam menghadapi pembiayaan murābahah yang bermasalah, Bank Aceh

Syari’ah dapat mengeksekusi barang jaminan milik nasabah dengan melalui tahapan-

tahapan tertentu.

Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Burhanuddin Harahap di

dalam karya ilmiahnya, tentang Status Hukum Jaminan dalam Perjanjian

Pembiayaan Mudlārabah Pada Perbankan Syariah.14 Hasil penelitian ini membahas

tentang bagaimana status hukum jaminan dalam pembiayaan mudlārabah baik

ditinjau menurut hukum positif dan hukum Islam.

Berdasarkan telaah dari beberapa karya tulis di atas karya tulis yang

disebutkan terakhir yang lebih mendekati pembahasan dalam skripsi ini. Meski

demikian terdapat perbedaan yang sangat signifikan yaitu, pembahasan dalam karya

tulis tersebut adalah penjelasan tentang status hukum yang mengatur barang jaminan

dalam pembiayaan mudlārabah pada perbankan syari’ah dengan menggunakan

tinjauan hukum positif dan hukum Islam. Sedangkan dalam karya tulis ini, penulis

13 Darmiati, “Eksekusi Agunan Produk Pembiayaan Murabahah Bermasalah Secara Langsung oleh Bank Aceh Syari’ah Cabang Banda Aceh” (Skripsi yang tidak dipublikasi). Fakultas Syari’ah, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2011, hlm. 1.

14 Burhanuddin Harahap, “Status Hukum Jaminan dalam Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Pada Perbankan Syariah” (Tesis yang tidak dipublikasi). Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 1.

Page 19: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

mengangakat konsep dlamān sebagai tinjauan hukum Islam terhadap keberadaan

barang jaminan pada perbankan syari’ah.

1.5. Metodologi Penelitian

Pada prinsipnya dalam penulisan karya ilmiah membutuhkan data yang

lengkap dan objektif serta memiliki metode tertentu sesuai dengan permasalahan

yang hendak dibahas, adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penulisan karya

ilmiah ini adalah sebagai berikut:

1.5.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian karya ilmiah ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu

proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi untuk

menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia.15 Di samping itu, karya

ilmiah ini juga menggunakan metode pembahasan deskriptif, yaitu pembahasan

materi dengan cara menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa

adanya.

Pembahasan dengan metode deskriptif ini dimaksudkan untuk mendapatkan

paparan kejelasan permasalahan yang dapat ditemukan dengan adanya ketimpangan

antara teori dan fakta yang terjadi seputar permasalahan jaminan pada perbankan

syari’ah dalam tinjauan hukum Islam. Selain itu juga untuk mendapatkan gambaran

dari penyelesaian masalah itu sendiri. Metode pembahasan deskriptif dilakukan

dengan cara mengumpulkan teori dan fakta yang menjadi fokus permasalahan,

15

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. Ke 8 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 45.

Page 20: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

kemudian menganalisis keduanya, dan pada akhirnya disimpulkan dalam bentuk

suatu penyelesaian. Analisis sendiri merupakan proses penguraian pokok

permasalahan atas bagian-bagian, penelaahan bagian-again tersebut dan hubungan

antar bagian untuk mendapatkan pengertian yang tepat dengan pemahaman secara

keseluruhan.16

1.5.2. Jenis Penelitian

Dilihat dari tujuan penelitian dan metode analisis data, yaitu mencari data awal

tentang ketetapan hukum Islam dalam permasalahan jaminan (khususnya konsep

dlamān), dan fakta tentang ketentuan jaminan dalam perbankan syari’ah, kemudian

menganalisa keduanya sehingga muncul kesimpulan ada atau tidaknya kecocokan

antara keduanya dan konsep mana yang lebih layak diterapkan dalam pembiayaan

pada perbankan syari’ah, maka dengan itu penulis menggunakan jenis penelitian

deskriptif analisis.

1.5.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan data primer berupa

ketetapan perundang-undangan dan ketetapan fiqh, serta data sekunder berupa buku-

buku, artikel-artikel, jurnal ilmiah dan bahan-bahan yang diambil melalui data online

atau media elektronik (internet) yang berhubungan dengan jaminan.

16

Univesitas Sumatra Utara, Objek application. Diakses pada 5 Desember 2011 dari situs: http://repository.usu.ac.id.

Page 21: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

1.5.4. Langkah Analisis Data

Adapun langkah analisis data merupakan sebuah kegiatan untuk mengatur,

mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya

sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab.

Melalui serangkaian aktivitas tersebut, data kualitatif yang biasanya berserakan dan

bisa disederhanakan untuk akhirnya bisa  dipahami dengan mudah, dan mampu

memberi jawaban atas permasalahan yang dibahas. Langkah analisis data ini dimulai

sejak pengumpulan bahan-bahan kepustakaan, literature, artikel-artikel, jurnal ilmiah

dan data online yang berhubungan dengan pembahasan tentang konsep jaminan

dalam persepektif hukum Islam dan dalam ketetapan perbankan syari’ah. Di samping

itu juga diperoleh keterangan-keterangan dari dialog dengan karyawan perbankan

syari’ah, yang dapat dijadikan sumber penunjang dalam penulisan karya ilmiah ini.

Untuk penyusunan dan penulisan, penulis berpedoman kepada buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa dan Pedoman Transliterasi Arab Latin, yang

diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun

2010. Sedangkan untuk terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an dikutip dari Al-Qur’an dan

Terjemahnya yang diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemahan Al-Qur’an

Departemen Agama RI Tahun 2002.

1.6. Sistematika Pembahasan

Page 22: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Untuk memudahkan dalam memahami isi pembahasan karya tulis ini, penulis

membagi pembahasannya dalam empat bab yang terdiri dari beberapa sub bab dan

secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:

Bab satu merupakan pendahuluan, yang berisi tentang uraian latar belakang,

rumusan masalah, tujuan penelitian, kajia pustaka, metode penelitian, dan sistematika

pembahasan.

Bab dua merupakan pembahasan teori tentang konsep dlamān, yaitu

pengertian dlamān, syarat dan rukun pertanggungan dalam konsep dlamān, dan

ketentuan-ketentuan yang melengkapi konsepsi dasar dlamān.

Bab tiga merupakan penjelasan kedudukan jaminan dalam perspektif

perbankan syari’ah, yaitu landasan hukum keberadaan jaminan dalam pembiayaan

pada perbankan syari’ah, ketetapan kebolehan penyertaan jaminan milik pihak ketiga,

dan Analisis keberadaan jaminan pihak ketiga pada perbankan syari’ah dalam

tinjauan pertanggungan pada konsep dlamān.

Bab empat merupakan penutup dari pembahasan skripsi ini yang berisi

kesimpulan dari pemaparan skripsi dan saran-saran dari penulis yang berkaitan

dengan permasalahan yang dibahas.

BAB DUA

KONSEPSI PERTANGGUNGAN DALAM KAJIAN TEORI DLAMĀN

Page 23: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

2.1. Pengertian dan Landasan Hukum Dlamān

2.1.1. Pengertian Dlamān

Kata Dlamān ضمان berasal dari kata - –ضمن ضمنا يضمن yang

memiliki arti ungkapan untuk pertanggungjawabankan sesuatu dengan sesuatu yang

memiliki nilai yang sama dengan yang ditanggung.17 Secara terminologi dlamān

adalah komitmen dari orang yang sah melakukan kerja sosial secara agama yang

wajib atau akan wajib pada orang lain, disertai masih adanya hak penjaminan

tersebut, yaitu pada sesuatu yang wajib dan akan menjadi wajib atas orang yang

dijamin. Dengan demikian hak ini tidak gugur dari orang yang diberikan jaminan

dengan adanya jaminan itu sendiri.18

Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa dalam konsepsi dlamān

terdapat sebuah komitmen untuk menjamin kewajiban orang lain yang dilakukan oleh

seseorang yang secara agama dianggap telah sah melakukan pekerjaan sosial. Di

samping itu, dari pengertian tersebut juga dapat dipahami bahwa segala kewajiban

yang berkenaan dengan permasalahan penjaminan orang yang dijamin, menjadi

kewajiban atas orang yang menjamin pula.

Dlamān dalam posisi yang sebenarnya merupakan bagian dari kafālah, namun

terkhususkan pada permasalahan harta. Kafālah sendiri merupakan usaha

pertanggungan kewajiban seseorang yang dilakukan oleh orang lain dalam hal

17 Louis Ma’luf, Munjid, cet. ke 42 (Beirut: Dārul Musyriq, 2007), hlm. 455

18 Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulugh Al-Maram (terj. Thahirin Suparta, dkk), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 551.

Page 24: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

tuntutan dan hutang.19 Oleh sebab itu, dalam beberapa sumber menyebutkan bahwa

penjelasan mengenai dlamān tidak selalu sama dengan pembahasan konsep kafālah,

karena konsep kafālah sendiri juga melingkupi pertanggungan jiwa.

Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat ulama dalam hal pembedaan

dlamān dan kafālah. Mayoritas fuqaha dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah

menggunakan kata dlamān dan kafālah sebagai sinonim. Sedangkan Hanafiyyah

menggunakan kata kafālah pada sesuatu yang padanya berlaku dlamān dengan

transaksi dan mencakup kafālah jiwa, harta dan kafālah dengan serah terima. Mereka

sepakat dengan mayoritas fuqaha bahwa dlamān berlaku pada objek yang lebih

umum daripada kafālah. Di antara fuqaha ada yang mengkhususkan dlamān pada

harta, dan kafālah maksudnya adalah jaminan jiwa.20

Di samping itu, prinsip dlamān juga hampir menyerupai prinsip hiwālah yang

merupakan perpindahan hak akan suatu hutang kepada hutang lainnya.21 Meski

dlamān dan hiwālah sama-sama merupakan bentuk pengalihan kewajiban seseorang

kepada orang lain, namun terdapat perbedaan antara keduanya. Dlamān menanggung

kewajiban pembayaran hutang seseorang dengan sukarela tanpa ada keterikatan

19 Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah Jilid 12 (ter. Kamaluddin A. Marzuki), cet. ke 15 (Bandung: PT. Alma’arif, 1987), hlm. 174.

20 Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk, Al-Fiqh al Muyassar Qism al-Muamalat, Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu Ahkam al-Fiqh al- Islami bi Uslub Wadhih li al-Mukhtashshin wa Ghairihim, (terj. Miftahul Khairi) cet. ke 1, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009), hlm. 184.

21 Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-

Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (terj. Imam Ghazali Said, Achmad Zaidun), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 263.

Page 25: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

hutang terhadap orang yang ditanggung, sedangkan hiwālah merupakan usaha

mengalihkan pembayaran hutang kepada pihak lain yang juga terlibat dalam hutang

piutang yang terjadi bersama pihak yang terlibat.

Untuk lebih jelas, permasalahan hiwālah dapat diilustrasikan sebagai berikut:

A berhutang kepada B, dan B berhutang kepada C dengan besaran yang sama dengan

hutang A kepada B. Kemudian B mengatakan kepada A untuk membayarkan

hutangnya kepada C saja. Dengan demikian, kewajiban B untuk membayar hutang

kepada C telah dipindahkan kepada A, dan A berkewajiban untuk membayarkan

hutangnya kepada C.

Dari ilustrasi di atas dapat dengan jelas terlihat perbedaan antar dlamān dan

hiwālah. Meski keduanya sama-sama terlibat dalam permasalahan pertanggungan

yang berkenaan dengan harta, namun terdapat perbedaan dari sumber terjadinya

kewajiban penanggungan terhadap pihak yang menanggung.

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa meskipun kafālah, dlamān dan

hiwālah berada dalam naungan suatu konsep pertanggungan yang luas, namun

masing-masing materi tersebut memiliki konsep dan aturan yang mengikat. Oleh

sebab itu dapat dipahami lebih jelas tentang pertanggungan dalam konsep dlamān

secara khusus.

2.1.2. Landasan Hukum Dlamān

Jaminan (dlamān) ini sendiri diperbolehkan dalam hukum Islam, bahkan

terkadang dibutuhkan karena tuntutan kemashlahatan umat. Penjaminan merupakan

Page 26: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

salah satu bentuk tolong menolong dalam berbuat baik dan ketakwaan, karena dapat

memenuhi kebutuhan seorang muslim dan menghilangkan kesulitannya.22

Dasar hukum tentang jaminan (dlamān) ini, tercantum dalam Al-Qur’an,

sunnah dan Ijma’, serta keberadaan qiyas yang sesuai. Landasan hukum jaminan yang

terkandung dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Yusuf ayat 72:

و بعير حمل به جاء ولمن الملك صواع نفقد زعيم أقالوا به نا .

Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa

yang dapat mengembalikannya memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,

dan aku menjamin terhadapnya”.

Ayat di atas, sekali menggunakan bentuk jamak, dan di lain kali menggunakan

bentuk tunggal. Misalnya kata زعيم, yang artinya penjamin adalah bentuk tunggal,

tetapi sebelumnya, misalnya kata قالوا yang artinya mereka menjawab adalah bentuk

jamak. Hal ini mengisyaratkan bahwa yang berbicara hanya seorang, yaitu pimpinan

pengejar itu, sedang sisanya menyetujui dan mengiyakan.23 Dengan demikian dapat

diketahui bahwa penjaminan tersebut dilakukan oleh satu orang.

Kata-kata زعيم أو به نا pada ayat di atas itu sendiri, memiliki arti “dan aku

penjamin terhadapnya”, menjelaskan tentang seseorang yang menjamin terpenuhinya

janji untuk memberikan sejumlah bahan makanan kepada siapa saja yang mampu

22 Syaikh Muhammadd bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil (terj. Achmad Munir Badjeber, dkk), (Jakarta: Daru as-Sunnah Press, 2007), hlm. 902.

23 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 488.

Page 27: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

mengembalikan piala raja yang hilang. Maka kata-kata tersebut yang menyatakan

tentang jaminan (dlamān) dan tanggung jawab (kafālah).24

Selain ayat di atas, juga terdapat hadits yang dijadikan sumber hukum dlamān, yaitu:

و حنطناه و فغسلناه منا رجل توفي: قال عنه الله رضى جابر وعن عليه؟" تصلي ": فقلنا سلم، و عليه الله رسول الى به اتينا ثم كفناه": قال ثم خطا، فخطا ": فقلنا دين؟" اعليه " فانصرف، ديناران

": قتادة ابو فقال فاتيناه، قتادة، ابو فتحملهما ،" الديناران علي منهما وبريء الغريم، حق ": وسلم عليه الله صلى الله رسول فقال

": قال الميت؟" " ، . فصلى نعم و) داود ابو و احمد رواه عليهالحاكم و حبان ابن صححه و .(25النساءي،

Artinya: “Dari Jabir ra, ia berkata bahwa: seorang laki-laki dari (keluarga) kami meninggal duni lalu kami memandikan dan member kafur serta mengkafaninya lalu kami mendatangi dengan membawa jenazah tersebut kepada Rasulullah saw. lalu kami katakana, “shalatkanlah jenazah ini?” Rasulullah saw. lalu melangkahkan kakinya lalu beliau bertanya, “Apakah Ia memiliki hutang?” Kami menjawab, “Dia memiliki hutang dua dinar.” Lalu Nabi berpaling. Maka Abu Qatadah menanggung hutang tersebut, lalu kami mendatangi Rasulullah saw. kembali. Abu Qatadah berkata, “Dua dinar tanggung jawab saya.” Rasulullah bersabda, “Apakah engkau menjaminnya dan membebaskan dua dinar dari si mayit?” Abu Qatadah menjawab, “Ya”, lalu Rasulullah saw menshalatinya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasa’i) dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim.

Hadits di atas menceritakan tentang Rasulullah yang berpaling dari pada

menshalatkan jenazah seseorang, karena orang tersebut diketahui memiliki hutang

sebesar dua dinar. Kemudian Abu Qatadah bersedia menanggung hutang jenazah

tersebut dengan berkata “Dua dinar tanggung jawab saya”, dan Rasulullah bersedia

menshalatkan jenazah yang telah ditanggung hutangnya itu. Maka dengan adanya

24 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Syeikh, Lubaabu at- Tafsir Min Ibni Katsiir (terj. M. Abdul Ghoffar), (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003), hlm. 442.

25 Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram, hlm. 552.

Page 28: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

sighat yang diucapkan oleh Abu Qatadah tersebut, menunjukkan bahwa proses

penanggungan hutang orang lain telah sah, dan secara otomatis pelunasan hutang

sebesar dua dinar tersebut menjadi kewajiban atas Abu Qatadah.

Surat Yusuf ayat 72 dan hadits yang disebutkan di atas, menjadi landasan

hukum terhadap permasalahan pertanggungan dan jaminan. Dengan demikian, maka

dapat diketahui bahwa jaminan atau pertanggungan memiliki keabsahan dalam

hukum Islam. Namun perlu ditegaskan kembali bahwa dlamān hanya mencakup

dalam lingkup pertanggungan harta saja.

2.2. Rukun dan Syarat dalam Konsep Dlamān

Dalam konsep dasarnya, terdapat rukun dan syarat-syarat yang terkandung

dalam dlamān. Sehingga sebagai sebuah konsep, dlamān memiliki aturan-aturan yang

jelas dan kuat.

2.2.1 Rukun Dlamān

Adapun rukun dlamān sebagaimana yang dijelaskan oleh jumhur ulama, yaitu

sebagai berikut:

a. Penjamin (dlāmin)

Adanya seorang penjamin atau yang disebut dlāmin menjadi salah satu

rukun, karena permasalahan dlamān ini melibatkan pihak ketiga yang berlaku

sebagai dlāmin itu sendiri. Namun para ulama berbeda pendapat terhadap

keberadaan dlāmin sebagai bagian dari rukun dlamān. Sebagaimana halnya

Page 29: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

pendapat sebahagian ulama yang mengkatagorikan dlāmin sebagai syarat

dlamān.26 Demikian pula pendapat Imam Hanafi yang tidak memasukkan

dlāmin kedalam rukun dlamān. Akan tetapi jumhur ulama tetap

mencantumkan dlāmin sebagai salah satu rukun dlamān.27

b. Orang yang dijamin hutangnya (madlmūn ‘anhu)

Permasalahan dlamān ini muncul karena adanya permasalahan hutang

piutang antara dua pihak, oleh sebab itu si penghutang atau orang yang

dijamin hutangnya (madlmūn ‘anhu) merupakan salah satu sebab pokok

terjadinya dlamān, maka keberadaan pihak ini pun menjadi bagian dari rukun

dlamān. Namun, senada dengan kedudukan dlāmin sebagai bagian dari rukun,

Imam Hanafi juga tidak mencantumkan madlmūn ‘anhu sebagai salah satu

dari rukun dlamān, sedangkan bagi jumhur ulama madlmūn ‘anhu termasuk

bagian dari rukun dlamān.28

c. Penagih yang mendapat jaminan (madlmūn lahu)

Madlmūn lahu merupakan orang yang menerima jaminan dari pihak

madlmūn ‘anhu dan dlāmin, maka dapat diketahui bahwa madlmūn lahu juga

merupakan si pemberi hutang. Oleh sebab itu, sesuai dengan penjelasan

madlmūn ‘anhu, madlmūn lahu juga bagian dari rukun dlamān. Ketentuan 26 Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk, Al-Fiqh al Muyassar Qism al-Muamalat,

Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu Ahkam al-Fiqh al- Islami bi Uslub Wadhih li al-Mukhtashshin wa Ghairihim, hlm. 184.

27 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis (terj. Syed Ahmad Syed Hussain), (Malaysia: Dewan Bahsa dan Pustaka, 1996), hlm. 118.

28 Ibid.

Page 30: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

tentang madlmūn lahu ini termasuk ke dalam rukun dlamān merupakan

kesepakatan dari jumhur ulama, sedangkan Imam Hanafi juga tidak

menetapkan madlmūn lahu sebagai rukun dlamān sebagaimana madlmūn

‘anhu dan dlāmin.29

d. Hutang yang dijamin

Jumhur Ulama berpendapat bahwa hutang yang menjadi objek

transaksi antara penghutang dan pemberi hutang termasuk rukun dlamān.

Namun Imam hanafi juga tidak menyertakan hutang yang menjadi inti

permasalahan dalam rukun dlamān.30

e. Lafadz

Dlamān sendiri merupakan perjanjian pertanggungan kewajiban orang

lain, oleh sebab itu dibutuhkan adanya kejelasan aqad yang harus diucapkan

oleh dlāmin. Dlamān akan sah dan terlaksana dengan dengan ungkapan; “saya

adalah orang yang menjamin”, “saya adalah orang yang menanggung”, atau

ungkapan senada lainnya yang menunjukkna hal tersebut.31 Di samping itu,

Syaikh Taqiyudinn berkata bahwa qiyas dari mazhab Ahmad bin Hambal

29 Ibid.

30 Ibid.

31 Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram, hlm.551.

Page 31: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

menjelaskan bahwa jaminan sah dengan segala yang dapat dipahami sebagai

lafadz jaminan menurut adat.32

Dengan demikian, meskipun jumhur ulama menentukan rukun-rukun dlamān,

namun terdapat khilaf pendapat ulama mengenai hal tersebut. Seperti yang telah

disinggung di atas tentang pendapat Abu Hanifah yang tidak mencantumkan beberapa

poin dari rukun dlamān, beserta Muhammad menyatakan bahwa rukun dlamān hanya

terdiri atas tawaran dari penjamin dan penerimaan si berhutang. Selain itu Abu Yusuf

juga mengemukakan pendapatnya bahwa rukun dlamān hanya terdiri atas tawaran

dari pihak penjamin.33

2.2.2. Syarat Dlamān

Di samping adanya ketetapan rukun-rukun tersebut, konsep dlamān juga

dilengkapi dengan ketetapan syarat-syarat yang terdiri atas:

a. Syarat bagi penjamin (dlāmin)

Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh penjamin (dlamin) sebagai

berikut:

1. Baligh

Seorang dlāmin disyaratkan harus telah dalam keadaan baligh, maka

apabila yang menjadi dlāmin adalah anak-anak, maka usaha dlamān dianggap

tidak memenuhi syarat. Keadaan baligh merupakan suatu keadaan yang

menunjukkan telah sampainya seseorang pada batasan cukupnya umur untuk

32 Ibid, hlm. 552.

33 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis, hlm. 118.

Page 32: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

mulai dibebani tanggung jawab dalam urusan agama. Hal ini dapat diketahui

dengan salah satu tanda yang ada, yaitu: telah berumur 15 tahun, bagi laki-laki

keluar mani dan bermimpi jima’, sedangkan bagi perempuan keluar haidh dan

telah pantas untuk mengandung.34 Tanda-tanda baligh tersebut berdasarkan

pendapat ulama Syafi’iyyah, ulama Hanafiyyah, dan jumhur ulama. Namun

Imam Maliki mencantumkan beberapa perbedaan dalam kriteria baligh, yaitu

tumbuhnya bulu-bulu di beberapa tempat yang perlu untuk dicukur, dan

berubahnya suara baik pada laki-laki maupun pada perempuan.

2. Berakal

Dlāmin juga harus merupakan orang yang berakal, maka dlamān tidak

dapat dilakukan oleh seorang yang gila, karena orang gila merupakan salah

satu dari orang-orang yang terbebas dari pembebanan hukum syara’,

sebagaimana yang tercantum dalam hadits:

حتى : الصبي وعن ، يستيقظ حتى النائم عن ثالثة عن القلم رفع . ( والحاكم داود ابو رواه يعقل حتى المجنون وعن يحتلم،

(35الصاحيحه

Artinya: “Pena diangkat dari tiga orang: Dari orang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia bermimpi (baligh), dan dari irang gila hingga ia berakal.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim yang mensahihkannya).

Hadits di atas menyebutkan tentang orang-orang yang terlepas dari

tuntutan hukum syara’, dan salah satunya adalah orang gila yang tidak

34 Muhammad Firdaus, Ensiklopedia Asas Fardhu Ain, cet. Ke 2 (Malaysia: Crescent News (KL) SDN BHD, 2006), hlm. 173.

35 Abu Bakr Al-Juzairi, Minhaajul Muslim (ter. Fadhli Bahri), (Jakarta: Darul Falah, 2000), hlm. 301.

Page 33: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

dibebankan kewajiban hingga ia sembuh dari gilanya. Hadits ini dapat pula

dijadikan sebagai penguat penjelasan baligh di atas.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa dlamān tidak sah apabila

dilakukan oleh orang gila. Namun orang tersebut akan kembali diperbolehkan

melaksanakan, dlamān ketika ia sembuh dari gilanya.

3. Atas kemauan sendiri

Dlāmin harus melakukan upaya pertanggungan hutang madlmūn ‘anhu

atas dasar kemauannya sendiri, bukan karena paksaan orang lain. Hal ini dapat

dilihat dari hadits yang tercantum sebagai landasan hukum dlamān di atas.

Pada hadits tersebut diceritakan bahwa Abu Qatadah menanggung hutang si

mayit dengan suka rela tanpa adanya paksaaan dari siapapun. Dengan

demikian dlamān menjadi tidak sah apabila dilakukan berdasarkan paksaan

orang lain.

4. Orang yang diperbolehkan membelanjakan harta

Seseorang yang menjadi dlāmin haruslah orang yang diperbolehkan

oleh syara’ untuk membelanjakan hartanya, bukan orang yang bodoh dan

bukan pula orang yang boros yang dapat memudlaratkan dirinya sendiri

ataupun orang lain. Karena dalam Islam terdapat orang-orang yang dicegah

untuk membelanjakan hartanya, yaitu anak kecil, orang gila, dan orang yang

menyia-nyiakan hartanya (pemboros), maka dlāmin disyaratkan tidak berasal

Page 34: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

dari ketiga orang ini.36 Untuk pelarangan menjadikan anak-anak sebagai

dlāmin, juga diatur dalam syarat dlāmin haruslah seorang yang baligh.

5. Mengetahui jumlah atau kadar yang dijamin

Disyaratkan pula bagi dlāmin untuk mengetahui kadar hutang yang ia

tanggung, sehingga proses dlamān akan menjadi transparan dan menutup

kemungkinan terjadinya penipuan terhadap dlāmin. Hal ini dapat dicontohkan

melalui hadits yang menceritakan bahwa Abu Qatadah menanggung hutang

seseorang yang telah meninggal dunia. Sebelum Abu Qatadah memutuskan

untuk menanggung hutang tersebut, Abu Qatadah telah lebih dahulu

mengetahui kadar hutang yang akan ditanggungnya, yaitu sebesar dua dinar.

Dengan demikian syarat ini juga berguna untuk mengukur mampu atau

tidaknya dlāmin menanggung hutang yang ada. Hal ini dimaksudkan agar

kegiatan dlamān ini tidak merugikan siapapun, terlebih dlāmin yang bertujuan

meringankan beban orang lain.

Dalam penentuan syarat-syarat bagi dlāmin tersebut, terjadi perbedaan

pendapat ulama. Ketentuan syarat di atas merupakan kesepakatan jumhur ulama,

sedangkan Imam Hanafi hanya mensyaratkan seorang dlāmin haruslah berakal

waras, baligh dan merdeka (maka tidak boleh seorang dlāmin itu budak kecuali

mendapat izin dari tuannya).37

b. Syarat bagi orang yang dijamin (madlmūn ‘anhu)

36 Ibid.37 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis, hlm.123.

Page 35: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Terdapat syarat bagi orang yang dijamin (madlmūn ‘anhu), yaitu orang

tersebut merupakan orang yang diperbolehkan membelanjakan hartanya

dalam ketentuan hukum syara’, bukan seorang yang bodoh dan bukan pula

seorang yang boros sehingga dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang

lain. Namun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama, antaranya

Imam Hanafi memberlakukan syarat bagi madlmūn ‘anhu sebagi orang yang

dikenal baik oleh dlāmin, hal ini bertujuan agar penjaminan mengenai sasaran

yang tepat sesuai dengan orang yang dimaksud. Di samping itu Imam Hanafi

juga menambahkan syarat lain, yaitu madlmūn ‘anhu harus mampu

menyerahkan barang jaminan, baik jaminan itu diserahkan oleh dirinya sendiri

maupun melalui wakilnya. Oleh karena itu, berdasarkan pendapat demikian

berarti jaminan atas orang yang meninggal dan tidak memiliki harta,

hukumnya tidak sah, karena Ia tidak meninggalkan harta untuk membayar

hutang, dan karena hutang orang yang meninggal dianggap gugur.38

Sedangkan menurut ulama Syafi’i, berdasarkan pendapat yang ashah, bahwa

syarat harus mengenal orang yang dijamin itu tidak perlu. Hal ini diqiyaskan

kepada tidak disyaratkan adanya kerelaan dari orang yang dijamin.

c. Syarat bagi orang yang menerima jaminan (madlmūn lahu)

Adapun syarat yang ditentukan bagi orang yang menerima jaminan

(madlmūn lahu) atau orang yang memberikan hutang, adalah bahwa orang

38 Ibid, hlm. 124.

Page 36: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

tersebut diketahui oleh dlāmin. Dengan demikian, apabila dlāmin menjamin

seseorang (madlmūn ‘anhu) dari orang lain (madlmūn lahu) yang merupakan

bagian dari orang banyak, tanpa menyebutkan nama dari madlmūn lahu

tersebut, maka dalam hal ini dlamān dianggap tidak sah. Ulama Syafi’i

sependapat dengan ketetapan tersebut. Namun ulama Maliki dan Hambali

tidak mensyaratkan dlāmin mengenal atau menyebut nama madlmūn lahu. 39

Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, terdapat syarat lain bagi madlmūn

lahu selain yang disebutkan di atas, yaitu madlmūn lahu hadir dalam majelis

aqad, dan juga harus merupakan orang yang berakal.40

d. Syarat bagi utang atau harta yang dijamin

Adapun syarat-syarat yang ditentukan bagi objek yang dijamin adalah

sebagai berikut:

1. Diketahui jumlahnya

2. Diketahui ukurannya

3. Diketahui kadarnya

4. Diketahui keadaannya

5. Diketahui waktu jatuh tempo pembayarannya.

39 Ibid, hlm. 125.

40 Ibid, hlm. 126.

Page 37: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Apabila dlāmin tidak mengetahui tentang objek yang ditanggungnya,

baik jumlahnya, ukurannya, kadarnya, maupun keadaannya, maka menurut

mazhab Asy Syafi’i dan Ibnu Hazm, dlamān tersebut tidak sah. Berbeda

halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abu Hanifah, Imam Malik,

dan Imam Ahmad, mereka berpendapat bahwa jaminan tentang sesuatu yang

tidak diketahui adalah sah.41 Dengan terpenuhi syarat terhadap objek yang

dijamin tersebut, maka jelaslah bagi dlāmin akan seberapa besar usaha yang

harus dilakukannya untuk menanggung utang orang lain. Sehingga dlāmin

dapat mengukur kemampuannya dalam menanggung pembayaran hutang

orang lain tersebut.

Adanya ketentuan-ketentuan yang menyertai konsep dlamān berupa rukun

dan syarat menjadi batas penegasan tentang komponen-komponen yang terkandung

dalam dlamān itu sendiri. Oleh sebab itu, pelaksanaan dlamān tidak dapat dilakukan

secara sembarangan melampaui aturan-aturan yang telah terkonsep sebelumnya.

2.3. Mekanisme Pertanggungan dalam Konsep Dlamān

Terikatnya dua pihak yang terlibat dalam permasalahan hutang piutang

terkadang dapat melibatkan pihak lain sebagai penjamin atau pemberi jaminan akan

pelunasan pihak yang berhutang. Jaminan itu sendiri dapat berupa barang yang

diberikan kepada pihak pemberi hutang, yang bertujuan sebagai pengikat janji upaya

pelunasan hutang yang dilakukan oleh pihak yang berhutang.

41 Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah Jilid 12 (ter. Kamaluddin A. Marzuki), hlm. 181.

Page 38: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Namun permasalahannya menjadi sedikit berbeda ketika penghutang meminta

kesediaan orang lain, atau orang lain tersebut menawarkan diri untuk menjamin

hutangnya. Terlibatnya pihak ketiga dalam penjaminan hutang inilah yang kemudian

memunculkan ketentuan-ketentuan yang terbentuk sebagai kesatuan konsep dlamān.

2.3.1. Pendapat Ulama tentang Mekanisme Dlamān

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa permasalahan dlamān

hanya terjadi pada seputaran permasalahan harta. Mengenai hal ini, fuqaha

sependapat bahwa apabila madlmūn ‘anhu meninggal atau bepergian, maka dlāmin

harus membayar denda.

Kemudian para ulama berselisih pendapat tentang apabila dlāmin dan

madlmūn ‘anhu sama-sama ada di tempat dan sama-sama kaya. Menurut Imam

Syafi’i, Abu Hanifah, para pengikut keduanya, ats-Tsauri dan al-Auza’i, mengenai

kondisi tersebut madlmūn lahu memiliki hak untuk meminta denda pada dlāmin atau

pada madlmūn ‘anhu. Sedangkan menurut Imam Malik, madlmūn lahu tidak boleh

mengambil denda dari dlāmin jika madlmūn ‘anhu itu ada.42

Mengenai masa wajib berlakunya dlamān, yaitu masa tuntutan kepada dlāmin,

ulama sependapat bahwa masa tersebut terjadi setelah tertetapnya hak atas madlmūn

‘anhu, baik berdasarkan pengakuan ataupun saksi.43 Sedangkan mengenai harta yang

dapat dijadikan barang jaminan adalah harta yang tetap dalam tanggungan (dzimmah),

42 Al-Faqih Abul Walid Muhammad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (terj. Imam Ghazali Said, & Achmad Zaidun), hlm. 255.

43 Ibid, hlm. 257.

Page 39: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

kecuali kitabah (budak yang dijanjikan untuk merdeka) dan harta yang tidak boleh

mengalami penangguhan.44

Kemudian, setelah terjadinya penjaminan, keempat imam sepakat bahwa

dlāmin boleh meminta kembali kepada madlmūn ‘anhu sesuatu yang ia keluarkan

sebagai penjaminan, apabila penjaminan itu dilakukan atas permintaan madlmūn

‘anhu. Namun terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai hal tersebut, apabila

dlamān dilakukan dengan tanpa perintah dari madlmūn ‘anhu, melainkan karena

kesukarelaan dlāmin.

Menurut Asy Safi’i dan Abu Hanifah, dlāmin tidak punya hak untuk meminta

kembali kepada madlmūn ‘anhu. Namun menurut pendapat mazhab Maliki, dlāmin

berhak meminta kembali kepada madlmūn ‘anhu. Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat

bahwa tidak ada hak bagi dlāmin untuk meminta kembali kepada madlmūn ‘anhu,

baik dlamān itu dilakukan atas permintaan madlmūn ‘anhu maupun bukan, kecuali

madlmūn ‘anhu meminta diqiradkan.45 Selain itu, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syabramah,

Abu Tsaur dan Abu Sulaiman sependapat dengan Imam Maliki.46

Dalam peramasalahan jenis madlmūn ‘anhu, juga ditemukan adanya

perbedaan pendapat ulama berkenaan dengan pertanggungan terhadap orang yang

telah meninggal dan mempunyai hutang tanpa meninggalkan apapun yang dapat

44 Ibid, hlm. 260.

45 Qirad adalah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk modal usaha, sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perjanjian antara keduanya ketika aqad berlangsung. (H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. ke 36, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), hlm. 299.)

46 Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah 12 (ter. Kamaluddin A. Marzuki), hlm.182.

Page 40: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

dijadikan pelunasan hutang-hutangnya. Imam Malik dan Imam Syafi’i membolehkan

pertanggungan terhadap hutang orang yang telah meninggal tersebut. Namun Abu

Hanifah tidak membolehkannya dengan alasan bahwa tanggungan itu tidak berkaitan

sama sekali dengan orang yang tidak ada, dalam hal ini telah meninggal.Sedangkan

fuqaha berpendapat bahwa tanggungan ,boleh dilakukan terhadap orang yang telah

meninggal, dengan merujuk kepada hadits yang telah dibahas sebelumnya.47

Berdasarkan pendapat jumhur ulama, objek yang dijamin harus dalam

kemampuan dlamin. Karena apabila objek yang dijamin diluar batas kemamp[uan

dlamin, maka pernjaminan tersebut tidak sah.48 Dengan demikian, meskipun

permasalahan penjaminan atau pertanggungan ini merupakan permasalahan sosial,

namun secara hukum, Islam tetap mempertimbangkan kemaslahatan dlāmin sebagai

orang yang yang mengemban tanggung jawab yang sejatinya bukan bagian dari

kewajibannya.

2.3.2. Konsekuensi Hukum dalam Mekanisme Dlamān

Ketetapan lainnya adalah bahwa meski tanggung jawab pelunasan hutang

madlmūn ‘anh telah dialihkan kepada dlāmin, namun bukan berarti tanggung jawab

bagi madlmūn ‘anhu hilang, karena kewajiban pelunasan hutang akan tetap ada

selama hutang tersebut belum dilunaskan. Maka demikian kewajiban tersebut sama-

sama dipikul oleh madlmūn ‘anh dan dlāmin. Oleh karena itu bagi dlāmin yang telah

47 Al-Faqih Abul Walid Muhammad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (terj. Imam Ghazali Said, & Achmad Zaidun), hlm. 260.

48 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis, hlm.128.

Page 41: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

bersedia menanggung hutang madhmūn ‘anhu, sejak perjanjian tersebut disetujui

maka dlāmin telah sah terikat secara hukum syari’ah.

Dalam dlamān terdapat ketentuan bahwa apabila penjaminan dilakukan bukan

karena perintah daripada madlmūn ‘anhu, maka dlāmin tidak berhak meminta

madlmūn ‘anhu untuk menunaikan kewajibannya jika dituntut oleh madlmūn lahu.

Oleh sebab itu, dlāmin tidak dapat menghindar apabila madlmūn lahu telah menuntut

dlāmin untuk memenuhi kewajiban madlmūn ‘anhu kepada dlāmin, sebagaimana

yang telah disetujui oleh dlāmin sendiri.

Demikian pula dlāmin juga tidak bisa melarang madlmūn ‘anhu apabila

madlmūn ‘anhu hendak melunaskan hutangnya. Dalam hal yang demikian

memungkinkan dlāmin tidak melakukan kewajiban apapun karena tanggung jawab

pelunasan hutang tersebut telah diselesaikan oleh madlmūn ‘anhu sendiri.

Berdasarkan pendapat jumhur ulama, objek yang dijamin harus dalam

kemampuan dlamin. Karena apabila objek yang dijamin diluar batas kemampuan

dlāmin, maka penjaminan tersebut tidak sah.49 Dengan demikian, meskipun

permasalahan penjaminan atau pertanggungan ini merupakan permasalahan sosial,

namun secara hukum, Islam tetap mempertimbangkan kemaslahatan dlāmin sebagai

orang yang yang mengemban tanggung jawab yang sejatinya bukan bagian dari

kewajibannya.

49 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis, hlm.128.

Page 42: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Kemudian, setelah terselesaikannya tanggung jawab dlāmin dan madlmūn

‘anhu kepada madlmūn lahu, pihak dlāmin dibolehkan untuk menuntut bayaran

kembali kepada madlmūn ‘anhu secara keseluruhan apabila dlāmin terdiri dari satu

orang. Namun apabila dlāmin terdiri dari dua orang atau suatu kelompok, maka

masing-masing orang berhak menuntut kepada madlmūn ‘anhu sebesar porsi mereka

dalam proses pertanggungan hutang madlmūn ‘anhu.50 Hal ini membuktikan bahwa

hukum Islam tidak menghapus hak seseorang yang telah meringankan beban dan

berbuat baik kepada orang lain. Oleh sebab itu, bagi dlāmin tetap diberikan hak untuk

meminta madlmūn ‘anhu dapat membayar kembali harta dlāmin yang telah

dikeluarkan demi menanggung kewajiban madhmūn ‘anhu. Dengan demikian,

permasalahan yang selanjutnya muncul adalah bukan lagi permasalahan hutang

piutang antara madlmūn lahu dan madlmūn ‘anhu, akan tetapi antara mandlmūn

‘anhu dengan dlāmin, dan dalam hal ini dapat dibuat aqad baru antara keduanya.

Dengan demikian, walaupun permasalahan dlamān tetap mengundang

perbedaan pendapat dari para ulama ditinjau dari berbagai sisinya, akan tetapi yang

menjadi poin terpenting adalah bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk

meringankan beban dan mempermudah urusan orang lain sesuai dengan kemampuan

orang yang memberi pertolongan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dari

hubungan tolong-menolong tersebut. Ketetapan mengenai perintah ini sendiri telah

dicantumkan dalam Al-qur’an dan dijelaskan dalam hadits dengan berbagai

periwayatan.

50 Ibid, hlm. 130.

Page 43: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

BAB TIGA

ANALISIS KEDUDUKAN BARANG JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARI’AH

3.1. Landasan Hukum tentang Keberadaan Jaminan dalam Perbankan Syari’ah

Perkembangan perbankan syari’ah yang terus meningkat, tidak selalu diringi

dengan perkembangan hukum yang mengatur tentang sistem operasional perbankan

syari’ah itu sendiri. Selama ini, sejak kemunculan perbankan syariah di Indonesia

yang dimulai dari tahun 1992 hingga sekarang, peraturan perbankan syari’ah masih

tertuang dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah,

Page 44: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

yang merupakan perubahan dari Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.51

Di luar dari pada undang-undang tersebut, segala permasalahan perbankan

syari’ah yang berhubungan dengan peraturan hukum, masih mengacu kepada hukum

positif Indonesia yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi perbankan

syari’ah. Misalnya saja dalam permasalahan jaminan. Jaminan pada perbankan

konvensional diterapkan pada produk perkreditan, sedangkan pada perbankan

syari’ah jaminan diterapkan pada produk pembiayaan. Ketentuan permasalahan

jaminan ini diatur dalam hukum positif Indonesia dengan mengangkat produk kredit.

Padahal kredit dan pembiayaan memiliki perbedaan yang mendasar. Perbedaan yang

sangat jelas adalah bahwa kredit menerapkan perolehan keuntungan melalui bunga,

sedangkan pembiayaan menerapkan perolehan keuntungan melalui bagi hasil.52

Meskipun pada prinsipnya antara kredit dan pembiayaan terdapat perbedaan, namun

dikarenakan keterbatasan hukum yang mengatur tentang segala sesuatunya dalam

perbankan syari’ah, maka permasalahan jaminan yang terdapat pada produk

pembiayaan perbankan syari’ah pun ikut mengacu pada hukum jaminan yang telah

ada. Oleh sebab itu, secara tidak langsung pembiayaan pada perbankan syari’ah

disetarakan dengan kredit pada perbankan konvensional dalam pandangan hukum.

51 Andri Soemitra, Bank dan Kelembagaan Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), hlm. 64.

52 Kasmir, Manajemen Perbankan, cet. ke 5 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 73.

Page 45: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Jaminan ini sendiri dimaksudkan untuk mengurangi resiko kerugian bank

terhadap dana yang telah dikeluarkan oleh pihak bank tersebut, untuk pemberian

hutang dalam bentuk kredit atau jaminan kepada nasabah. Dengan demikian, jaminan

juga dimaksudkan untuk mengikat nasabah agar dapat melunasi kewajibannya

terhadap bank.

Dalam perbankan syariah sendiri, tidak semua pembiayaan dibebankan

adanya barang jaminan kepada nasabahnya. Salah satu pembiayaan yang dijalankan

dengan pembebanan barang jaminan adalah pembiayaan murābahah. Yaitu

pembiayaan yang diberikan oleh pihak perbankan kepada nasabah yang dipergunakan

untuk pembelian barang-barang tertentu, dengan adanya penambahan keuntungan

bagi bank dari harga jual pokok barang tersebut yang disepakati oleh kedua belah

pihak.53

Umumnya jenis barang jaminan yang diserahkan kepada pihak perbankan

syariah dapat berupa tanah, bangunan, kendaraan bermotor dan lain sebagainya54.

Untuk masing-masing jenis barang jaminan tersebut diberlakukan pula ketetapan

hukum yang berbeda yang sesuai dengan ketetapan perundang-undangan yang telah

ada.

Karena permasalahan jaminan pada perbankan didasarkan pada peraturan

hukum yang telah ada, maka jaminan pada perbankan syari’ah pun tetap merujuk

53 Wawancara dengan Muazzin (karyawan bagian pembiayaan BMI) tanggal 3 Januari 2011 di Bank Muamalat Indonesia cabang Banda Aceh.

54 Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 113.

Page 46: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

kepada ketentuan hukum tersebut, sekalipun hal itu akan menyetarakan jaminan pada

perbankan syari’ah dengan jaminan pada perbankan konvensional, seperti penjelasan

yang telah disebutkan di atas. Adapun landasan-landasan hukum tentang keberadaan

jaminan dalam perbankan syari’ah adalah sebagai berikut:

3.1.1. Undang-Undang No.21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah

Pengaturan undang-undang perbankan syariah yang mencantumkan tentang

jaminan dalam produk pembiayaan yang ditawarkan oleh perbankan syari’ah itu

sendiri, hanya terdapat pada Pasal 1 ayat (23) Undang-Undang No.21 Tahun 2008

Tentang Perbankan Syari’ah yang berbunyi: “Agunan adalah jaminan tambahan, baik

berupa benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak yang diserahkan oleh

pemilik agunan kepada Bank Syari’ah dan/atau Unit Usaha Syari’ah, guna menjamin

pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas”.55 Dalam undang-undang tersebut

dijelaskan tentang jenis barang jaminan yang dapat diberikan oleh nasabah kepada

pihak perbankan syari’ah. Selain itu dijelaskan pula bahwa pengadaan barang

jaminan itu dimaksudkan untuk menjamin agar nasabah menjalankan kewajibannya

dalam mengembalikan dana yang telah dipinjamkan oleh pihak perbankan syari’ah,

juga memenuhi kewajiban-kewajiban lainnya sebagaimana yang telah disepakati.

Di samping itu, terdapat ketetapan undang-undang mengenai esekusi barang

jaminan yang tercantum dalam Pasal 12 A ayat (1) Undang -Undang No.10 Tahun

55 Bank Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan syari’ah, Juli 2008. Diakses pada tanggal 5 September 2011 dari situs: http://www.bi.go.id/

Page 47: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

1998 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 1997 Tentang Perbankan

juncto Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008:

Bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.

Peraturan hukum di atas menjelaskan bahwa barang agunan dapat dibeli oleh

bank dengan persetujuan nasabah dan dengan cara-cara tertentu yang sesuai dengan

peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, dikarenakan nasabah debitur tidak

menjalankan kewajibannya terhadap pihak perbankan. Namun demikian, agunan

yang telah dibeli tersebut tidak dapat dimiliki oleh bank. Bank harus mencairkan

ataupun menjual agunan tersebut secepatnya, dalam kurun waktu paling lambat satu

tahun.56

Ketentuan di atas agak berbeda dengan azas yang terkandung dalam berbagai

peraturan perundang-undangan mengenai hukum jaminan yang melarang kreditur

meminta suatu janji untuk memiliki benda jaminan. Menurut ketentuan hukum

jaminan, yang dilarang adalah jika kreditur secara serta-merta memiliki benda

jaminan. Namun demikian, tentu saja tidak mudah untuk menjual barang jaminan

dalam waktu satu tahun. Jika benda dijual secara obral, maka pada akhirnya pihak

debitur dan bank akan mengalami kerugian.57

56 Suharnoko, Hukum perjanjian: Teori dan Analisis Kasus, cet. ke 4 (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hlm.30.

57 Ibid.

Page 48: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengertian jaminan dan aturan

eksekusi barang jaminan yang diletakkan pada perbankan syari’ah, sebagai fasilitas

pendukung pengambilan pembiayaan, secara garis besar telah ditetapkan dalam

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Akan tetapi,

ketetapan hukum tersebut hanya merupakan peraturan secara umum yang membahas

tentang permasalahan jaminan.

3.1.2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah

beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Untuk barang jaminan berupa tanah atau bangunan yang memiliki kaitan

dengan tanah, dipergunakan peraturan hukum yang tercantum pada Undang-Undang

No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang

Berkaitan dengan Tanah. Ketentuan hukum ini khusus menjelaskan tentang

permasalahan yang berkaitan derngan tanah atau benda-benda yang berada di atasnya

dan berkaitan langsung dengan tanah.

Undang-Undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah

beserta Benda–Benda yang Berkaitan Dengan Tanah ini, di dalamnya terkandung hak

tanggungan yang bersifat accessoir, yaitu hanya dapat diberikan apabila telah terjadi

hubungan hutang piutang yang pelunasannya akan dijamin olehnya. Hubungan

hutang piutang ini timbul dari perjanjian pokok yang dapat berupa perjanjian khusus

mengenai pemberian pinjaman (perjanjian pinjam meminjam, perjanjian kredit,

perjanjian hutang piutang, atau nama lain yang membuat janji salah satu pihak

meminjamkan uang kepada pihak lain yang bejanji untuk mengembalikan hutangnya

Page 49: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

dikemudian hari), atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan hutang piutang

(keadaan salah satu pihak berkewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada

pihak lain), misalnya perjanjian jual beli.58 Dengan kata lain, hak tanggungan baru

akan ada apabila telah terjadi hutang piutang yang pelunasan hutang tersebut dijamin

dengan benda yang terkait hak tanggungan.

Ketentuan yang tercantum dalam undang-undang inilah yang kemudian

menjadi peraturan yang mengikat bagi nasabah maupun pihak perbankan dalam

menentukan keputusan berkenaan dengan barang jaminan berupa tanah atau benda-

benda lain yang berkaitan dengan tanah. Dengan demikian, adanya ketetapan hukum

ini menjadi peraturan baku terhadap barang jaminan berupa benda-benda yang

tercakup dalam peraturan hukum tersebut.

Sementara itu, masih dalam undang-undang yang sama, pada Pasal 3 ayat (1)

dan ayat (2):

(1) Hutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dapat berupa hutang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian hutang-piutang atau perjanjian lainyang menimbulkan hubungan hutang piutang yang bersangkutan.

(2) Hak tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu hutang yang berasal dari beberapa hubungan hukum.59

58 A. P. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Besarta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1996), hlm. 171.

59 Ibid, hlm. 41.

Page 50: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Pada ayat (1) dijelaskan bahwa Hak Tanggungan tersebut dapat berupa hutang

yang sudah ada, atau hutang yang telah diperjanjikan sebelumnya. Dengan adanya

jumlah tertentu, baik berdasarkan perjanjian tersebut, atau yang berdasarkan

perjanjian lain yang menimbulkan hutang piutang. Dan pada ayat (2) memperjelas

bahwa hak tanggungan dapat berasal dari suatu hubungan hukum seperti adanya suatu

barang jaminan, ataupun dari satu atau lebih hutang-piutang yang berasal dari

beberapa hubungan hukum sebelumnya.60

Demikian seterusnya apabila barang jaminan yang diserahkan

merupakan sebidang tanah atau bangunan yang berhubungan dengan tanah, maka

segala sesuatunya secara keseluruhan diatur dalam Undang-Undang no. 4 Tahun 1996

Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan

Tanah ini. Hingga yang termasuk dalam peraturan ini juga adalah tentang eksekusi

barang jaminan tersebut, apabila terbukti bahwa nasabah melakukan wanprestasi.

3.1.3. Undang–Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

Ketentuan hukum lainnya yang mengatur tentang jaminan pada perbankan

adalah Undang–Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.61 Definisi

tetang jaminan fidusia ini secara khusus dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang–

Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia:

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan

60 Ibid

61 Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 12.

Page 51: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.62

Kutipan undang-undang di atas, merupakan definisi fidusia dalam konteks

hukum positif Indonesia. Melalui ketetapan hukum tersebut, dijelaskan bahwa fidusia

merupakan hak jaminan atas benda-benda bergerak, dan dapat berlaku pula pada

benda-benda yang tidak bergerak yang bukan merupakan bagian dari Undang-

Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-

Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Kemudian, disebutkan pula bahwa barang jaminan fidusia tetap berada

dalam penguasaan pemiliknya, meskipun barang tersebut digunakan sebagai agunan

untuk pelunasan hutang tertentu, serta penerima barang jaminan fidusia merupakan

pihak yang mendapatkan kedudukan utama atas barang tersebut dibandingkan dengan

kreditor lainnya. Apabila seorang debitur terikat hutang-piutang, maka kreditur yang

menerima jaminan fidusia tersebut adalah kreditur yang harus didahulukan haknya

oleh debitur.

Selain itu, dijelaskan pula tentang hapusnya jaminan fidusia yang

dicantumkan pada Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang

Jaminan Fidusia: “Jaminan fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut: (a)

Hapusnya hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia. (b) Pelepasan hak atas

62 Universitas Sam Ratulangi, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Diakses pada tanggal 1 Januari 2012 dari situs:http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_42_99.htm

Page 52: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

jaminan fidusia oleh penerima fidusia. (c) Musnahnya benda yang menjadi objek

jaminan fidusia.”63 Ketentuan hukum yang tercantum dalam pasal 25 tersebut

mengatur tentang hapusnya pemberlakuan jaminan fidusia dengan adanya sebab-

sebab berikut:

1. Karena berakhirnya hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia, sehingga

berakhirnya tanggung jawab debitur, maka berakhir pula hak kreditur atas

barang jaminan fidusia tersebut.

2. Karena adanya pelepasan hak yang dilakukan oleh penerima fidusia, sehingga

barang jaminan fidusia tersebut tidak lagi terikat kepemilikan atau penguasaan

dari selain pemilik aslinya.

3. Karena barang fidusia telah musnah, maka hilanglah peraturan yang mengikat

jaminan fidusia tersebut, namun debitur tetap bertanggung jawab dalam

pelunasan hutangnya dengan cara-cara yang ditentukan oleh kreditur yang

tetap berlandaskan kepada huum positif.

Sebagaimana halnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang

mengatur segala peraturan hukum tentang hak tanggungan atas tanah dan benda-

benda yang berkaitan dengan tanah, maka segala hal yang berhubungan dengan

jaminan fidusia juga diatur dalam Undang–Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang

Jaminan Fidusia. Dengan demikian maasing-masing peraturan hukum tersebut

mengatur dengan lengkap objek jaminan berdasarkan jenisnya tersendiri.

63 Ibid.

Page 53: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

3.1.4. Pasal-pasal yang Terdapat dalam KUH Perdata

Dalam ketentuan tentang jaminan yang terdapat dalam KUH Perdata, adanya

peraturan yang menjelaskan tentang jaminan yang berupa hipotek. Pengertian tentang

hipotek tersebut dijelaskan dalam Pasal 1162 KUH Perdata: “Hipotek adalah suatu

hak kebendaan atas barang yang tak begerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan

suatu perikatan”.64 Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa hipotek hanya

terdiri dari barang tidak bergerak yang dijadikan sebagai jaminan terhadap suatu

pelunasan dalam perjanijian yang melibatkannya.

Sebagaimana hak tanggungan atas tanah dan fidusia, hipotek juga merupakan

hak yang bersifat accessoir. Berdasarkan pengertian tersebut ditegaskan bahwa

hipotek hanya dapat dibebankan pada benda tidak bergerak, dan peraturan ini

diperkuat dengan Pasal 1167 KUH Perdata: “Barang bergerak tidak dapat dibebani

hipotek”.65 Karena pengaturan tentang benda bergerak sendiri merupakan bagian dari

jaminan fidusia.66

Namun, dikarenakan telah adanya pembagian antara hak tanggungan atas

tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, dan benda tidak bergerak

yang diluar peraturan hak tanggungan tersebut masuk ke dalam pengaturan tentang

fidusia, maka praktis mengenai penggunaan pranata hipotek sudah tidak ada lagi.

64 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm. 293.

65 Ibid, hlm. 294.

66 Kartini Muljadi, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek, cet. Ke 2 (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hlm. 201.

Page 54: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Meskipun penggunaan pranata hipotek sudah hampir tidak ada lagi, akan tetapi

pranata hipotek masih berlaku dalam hal jaminan kapal laut dan pesawat terbang.67

Menurut sifatnya, hipotek sendiri bersifat individualiteit yaitu azas yang

menjelaskan bahwa yang dapat dimiliki sebagai kebendan adalah segala sesuatu yang

menurut hukum dapat ditentukan terpisah. Dalam konteks ini berarti hipotek tidak

akan hapus hanya karena pembayaran sebagian yang telah dilakukan oleh debitur,

melainkan hanya hapus dalam hal terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang ditetapkan

dalam Pasal 1209 KUH Perdata: “Hipotek hapus: 1. Karena hapusnya perikatan

pokok, 2. Karena pelepasan hipoteknya oleh krditur, 3. Karena penetapan tingkat oleh

hakim.”68 Dengan demikian jelaslah bahwa meskipun hutangnya telah dilunasi

sebahagian besar, namun selama belum dilunasi semuanya maka penghapusan

hipotek belum dapat dilakukan.69 Selain itu, hapusnya hipotek pada poin dua dan tiga,

berdasarkan kerelaan dari kreditur untuk melepaskan hipoteknya, juga hapusnya

hipotek juga dapat terjadi berdasarkan putusan hakim.

Selain peraturan tentag jaminan hipotek tersebut, pada KUH Perdata juga

terdapat pasal-pasal lain yang menjelaskan secara langsung tentang ketentuan

jaminan, seperti ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata: “Segala barang-barang bergerak

dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang aka nada, menjadi

67 Ibid.

68 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 305.

69 Kartini Muljadi, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek, hlm. 214.

Page 55: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.”70 Maka dari pasal tersebut

dapat disimpulkan bahwa, semua barang debitur yang sudah ada (artinya telah ada

saat perjanjian dibuat), dan semua barang yang akan ada (artinya ketika perjanjian

tersebut dibuat, barang tersebut belum ada atau belum menjadi kepunyaan debitur,

tetapi akan menjadi milik debitur), baik itu barang bergerak maupun tidak bergerak.

Atas semua barang tersebut kreditur boleh mengambil setiap bagiannya untuk

pelunasan hutang debitur, dan hak tagihan kreditur hanya dijamin dengan harta benda

debitur saja, bukan dengan diri debitur tersebut.71

Di samping ketetapan-ketepan hukum tersebut, perbankan syari’ah

mengangkat surat Al-Baqarah ayat 283 sebagai landasan pembolehan pembebanan

barang jaminan secara hukum Islam.72 Adapun bunyi Surat Al-Baqarah ayat 283:

بعضكم امن فان مقبوضة فرهن كاتبا تجدوا ولم سفر على كنتم وانومن الشهادة تكتموا وال ربه الله وليتق امانته اؤتمن الذى فليؤد بعضا

. عليم تعملون بما والله قلبه اثم فانه يكتمها

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhan-nya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

70 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 284.

71 Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, (Yoyakarta: Penerbit ANDI, 2005),hlm. 55.72

Helmi Haris, “La_Riba”. Jurnal Ekonomi Islam, Vol. I, No. I, Juli 2007, hlm. 124.

Page 56: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Ayat di atas menjelaskan tentang orang-orang yang sedang dalam perjalanan

kemudian mereka melakukan transaksi, dalam ayat ini secara maknawi dapat dilihat

bahwa transaksi yang dilakukan adalah transaksi non-tunai, artinya dalam bentuk

utang. Apabila dalam kondisi tersebut tidak terdapat seorang penulis yang dapat

mencatat transaksi yang terjadi, maka diperbolehkan adanya barang jaminan yang

diserahkan oleh si berhutang kepada si pemiutang, dengan maksud bahwa barang

jaminan tersebut sebagai pengganti penulisan dan barang tersebut merupakan sesuatu

yang dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat Imam Syafi’i dan jumhur

ulama. Sebagian ulama Salaf menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa jaminan itu

hanya disyari’atkan dalam transaksi perjalanan saja.73

Kemudian, potongan ayat yang berbunyi:

اؤتمن أفان الذى فليؤد بعضا بعضكم منته...أمن

Artinya: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka

hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (hutangnya)...”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dengan isnad jayid, dari Abu Sa’id al-Khuduri, ia

telah mengatakan bahwa ayat ini telah dinasakh oleh ayat sebelumnya. Di samping itu

Imam asy-Sya’bi mengatakan: “Jika kalian saling mempercayai, maka tidak ada dosa

bagi kalian untuk tidak menulis dan tidak mengambil kesaksian.74

73 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Syeikh, Lubaabu at- Tafsir Min Ibni Katsiir, hlm. 571.74

Ibid, hlm. 572.

Page 57: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Selain itu, dalam ayat tersebut juga menjeaskan bahwa para saksi yang

menyaksikan transaksi yang terjadi, tidak boleh menyembunyikan atau memalsukan

kesaksiannya apabila sewaktu-waktu kesaksiannya dibutuhkan oleh pihak-pihak yang

telah terikat perjanjian tersebut. Ibnu ‘Abbas dan ulama lainnya mengatakan:

“Kesaksian palsu merupakan salah satu dosa besar yang paling besar, demikian juga

menyembunyikannya.”75

Dengan adanya ayat ini menjadi bukti bahwa adanya jaminan diperbolehkan

dalam hukum Islam untuk menjamin kewajiban-kewajiban para pihak yang terlibat

dalam permasalahan hutang. Ayat ini juga menjadi salah satu landasan hukum bagi

perbankan syari’ah dalam menjalankan pembiayaan dengan menghadirkan barang

jaminan.

Keberadaan jaminan pada perbankan syari’ah ini juga didukung dengan

adanya Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000 yang menyebutkan “Pada prinsipnya

dalam pembiayaan (mudlārabah/musyārakah) tidak ada jaminan, namun agar

nasabah debitur (mudlarib) tidak melakukan penyimpangan, maka pihak perbankan

syariah atau LKS (Lembaga Keuangan Syariah) dapat meminta jaminan dari

mudlarib atau pihak ketiga”.76

Berdasarkan ketetapan-ketetapan hukum inilah jaminan pada pembiayaan dan

kredit di perbankan dijalankan. Dengan merujuk kepada peraturan perundangan yang

75

Ibid.

76 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN-MUI BI, 2001), hlm. 44.

Page 58: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

mencantumkan tentang peraturan jaminan dalam jenisnya masing-masing. Untuk

jaminan pada perbankan syari’ah juga mengacu pada perundang-undangan yang

sama, karena belum adanya ketetapan hukum khusus yang dapat mengatur tentang

jaminan dalam konteks perbankan syari’ah.

3.2. Ketetapan Tentang Kebolehan Penggunaan Barang Jamian Milik Pihak Ketiga Dalam Perundang-Undangan

Pengambilan pembiayaan pada perbankan syari’ah, atau kredit pada

perbankan konvensional¸ membutuhkan sebuah benda yang dapat dijadikan barang

jaminan bagi pelunasan hutang nasabah pada bank. Namun barang jaminan yang

diserahkan oleh pihak nasabah debitur tersebut tidak selalu milik pribadi, adakalanya

barang jaminan merupakan milik orang lain yang dipinjamkan kepada nasabah

debitur.

Jaminan pihak ketiga merupakan jaminan perorangan, yaitu jaminan seorang

pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajibab si

debitur. Jaminan ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitur. Menurut Prof.

Soebekti, oleh karena tuntutan kreditur terhadap seorang penjamin tidak diberikan

suatu kedudukan istimewa dibandingkan atas tuntutan-tuntutan kreditur lainnya,

maka jaminan perorangan ini tidak banyak dipraktekkan dalam dunia perbankan.77

Namun sesungguhnya, saat ini jaminan perorangan seperti ini menjadi suatu keadaan

77 Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, hlm. 58.

Page 59: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

yang marak terjadi dalam pengambilan pembiayaan pada perbankan syari’ah, atau

kredit pada perbankan konvensional.

Dalam pemberian barang jaminan atas kepemilikan orang lain ini, si pemilik

barang disebut penanggung hutang. Mengenai hal ini, undang-undang hukum positif

telah mengatur mekanismenya dalam Pasal 1820-1850 KUH Perdata.78 Pengertian

penanggungan sendiri tercantum dalam Pasal 1820 KUH Perdata: “Penanggungan

ialah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur mengikatkan

diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi

perikatannya.”79 Dari Pasal 1820 tersebut dapat dimengerti bahwa penanggungan

merupakan perjanjian yang dilakukan pihak ketiga untuk memenuhi perikatan debitur

demi kepentingan kreditur, dalam hal ini debitur tidak mampu memenuhi perikatan

yang telah ia buat dengan kreditur.

Hak jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut dapat diberikan oleh

debitur sendiri maupun oleh pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau

penanggung. Penanggungan diberikan baik dengan sepengetahuan atau tanpa

sepengetahuan debitur yang bersangkutan. Hak jaminan yang diberikan kepada

kreditur dimaksudkan untuk keamanan dan kepentingan kreditur, maka diharuskan

untuk diadakan suatu perikatan lain, dan perikatan ini bersifat accesoir dari perjanjian

kredit atau pengakuan hutang yang diadakan antara debitur dengan kreditur.80 Hak ini

78 Ibid, hlm. 57.

79 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 453.80

Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, hlm. 57.

Page 60: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

meyebabkan penanggungan baru dapat dilakukan ketika adanya suatu perjanjian

pokok, yaitu hutang piutang antara kreditur dan debitur, yang kemudian pemenuhan

kewajiban debitur dialihkan kepada penanggung.

Seseseorang dapat menjadi penanggung berdasarkan permintaan debitur, atau

juga dapat dilakukan meski dengan tanpa permintaan debitur itu sendiri. Penjelasan

tersebut berdasarkan isi Pasal 1823 KUH Perdata: “Orang dapat mengangkat diri

sebagai penanggung tanpa diminta oleh orang yang mengikatkan diri untuk suatu

utang, bahkan juga dapat tanpa sepengetahuan orang itu.” 81

Di samping itu, apabila penanggung terdiri dari banyak orang, maka mereka

dapat membagi hutang tersebut untuk ditanggung secara bersama-sama. Dalam hal ini

kreditur boleh membagi hutang yang harus ditanggung untuk masing-masing

penanggung, dan keputusan tersebut tidak dapat ditarik kembali sekalipun kreditur

mengetahui bahwa penanggung tersebut tidak mampu menanggung hutang sejak

sebelum pembagian dilakukan. Hal ini menjadi konsekuensi hukum bagi penanggung

itu sendiri. Penjelasan tersebut berlandaskan pada Pasal 1838 KUH Perdata: “Jika

kreditur sendiri secara sukarela telah membagi-bagi tuntutannya, maka ia tidak boleh

menarik kembali pemisahan hutang itu, biarpun beberapa di antara para penanggung

berada dalam keadaaan tidak mampu sebelum ia membagi-bagi hutang itu.”82

81

Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 453.

82 Ibid, hlm. 456.

Page 61: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Meskipun demikian, dalam aplikasi yang tertera pada Pasal 1831 KUH

Perdata: “Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai

membayar hutangnya, dalam hal itupun barang kepunyaan debitur harus disita dan

dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya.”83 Pasal ini menjelaskan bahwa

meskipun penanggung telah terikat perjanjian dengan kreditur untuk menanggung

hutang debitur, namun bagi penanggung terdapat hak istimewa untuk tidak

menanggung hutang debitur terlebih dahulu sebelum barang-barang milik debitur

disita oleh kreditur.

Kemudian disebutkan pada Pasal 1839 KUH Perdata:

“Penanggung yang telah membayar dapat menuntut apa yang telah dibayarnya itu dari debitur utama, tanpa memperhatikan apakah penanggungan itu diadakan dengan atau tanpa setahu debitur utama itu. Penuntutan kembali ini dapat dilakukan baik mengenai uang pokok maupun mengenai bunga serta biaya-biaya. Mengenai biaya-biaya tersebut, penanggung hanya dapat menuntutnyakembali sekedar dalam waktu yang dianggap patut ia telah menyampaikanpemberitahuan kepada debitur utama tentang tuntutan-tuntutan yang ditujukan kepadanya. Penanggung juga berhak menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga bila alasan untuk itu memang ada.”84

Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa penanggung boleh menuntut kepada

debitur untuk mengembalikan sejumlah tanggungan yang telah penanggung

keluarkan, guna menyelesaikan hutang debitur. Dan hal ini juga menjadi bagian dari

hak istimewa yang didapatkan oleh penanggung. Ketika penanggung menuntut

dikembalikannya bayaran hutang oleh debitur, maka debitur harus mengembalikan

83 Ibid, hlm. 453.

84 Ibid, hlm. 456.

Page 62: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

tuntutan tersebut. Dan tuntutan ini menjadi ikatan hutang baru yang tejadi antara

debitur dan penanggung.

Karena usaha penanggungan ini merupakan suatu perikatan yang bersifat

accesoir, maka penanggungan ini pun akan hilang ketika terselesaikannya perikatan

pokok. Dalam hal ini, perikatan pokok yang terjadi adalah adanya perikatan hutang

piutang antara kreditur dengan debitur. Atau, penanggungan juga akan hapus apabila

kreditur menerima suatu barang sebagai bayaran utang pokok, sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 1849 KUH Perdata: “Bila kreditur secara sukarela menerima

suatu barang tak bergerak atau barang lain sebagai pembayaran hutang pokok, maka

penanggung dibebaskan dari tanggungannya, sekalipun barang itu kemudian harus

diserahkan oleh kreditur kepada orang lain berdasarkan putusan hakim untuk

kepentingan pembayaran hutang tersebut.”85

Dengan demikian, permasalahan penanggungan hutang pada pembiayaan atau

perkreditan dalam dunia perbankan merupakan sesuatu yang telah pasti aturan

hukumnya. Maka pihak pemilik barang jaminan dalam permasalahan tersebut dapat

diumpamakan sebagai penanggung dalam ketetapan hukum positif yang telah ada.

Oleh sebab itu, meski dalam perbankan syari’ah permasalahan jaminan pihak ketiga

belum diatur dalam ketetapan hukum tersendiri secara terperinci, maka segala

persoalan yang terjadi yang berkaitan dengan jaminan pihak ketiga, kembali mengacu

85

Ibid, hlm. 458.

Page 63: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

kepada ketetapan hukum positif yang telah ada. Sekalipun ketetapan hukum tersebut

mengatur tentang penanggungan pihak ketiga terhadap perkara kredit.

3.3. Analisis Keberadaan Barang Jaminan Milik Pihak Ketiga Pada Pembiayaan Perbankan Syari’ah Dalam Tinjauan Pertanggungan Konsep Dlamān

Pembiayaan pada perbankan syari’ah merupakan suatu produk yang menjadi

cara bagi bank untuk dapat menyalurkan dana kepada masyarakat. Terdapat beragam

produk pembiayaan yang ditawarkan oleh perbankan syari’ah, dan pembiayaan-

pembiayaan tersebut diakui oleh pihak perbankan syari’ah telah disesuaikan dengan

landasan syari’ah Islam. Hal ini dapat dilihat dari jenis produk yang mereka

tawarkan, seperti mudlārabah, murābahah, musyārakah, dan lain sebagainya.

Secara teoritis pihak perbankan telah mengakui bahwa produk pembiayaan

yang mereka tawarkan telah berazaskan syari’ah yang sesungguhnya, namun dalam

aplikasinya terdapat hal-hal yang dilakukan atau ditetapkan oleh pihak perbankan

syari’ah yang berbeda dari konsep dasar produk-produk tersebut. Jaminan sendiri

menjadi bagian tambahan yang tidak terdapat dalam konsep dasar produk-produk

tersebut.

Misalnya saja pada produk murābahah, yang merupakan suatu akad jual beli

di mana harga penjualan barang yang dijual sebesar harga pokok barang tersebut

ditambah dengan keuntungan yang disepakati.86 Pembayaran dalam jual beli

murābahah ini dapat dilakukan baik secara tunai maupun cicilan, dan tidak

disyaratkan adanya barang jaminan adalam jual beli ini selama pembeli belum

86 Adimarwan Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan , hlm. 113.

Page 64: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

menyelesaikan pembayarannya. Namun dalam aplikasinya pada perbankan syari’ah,

pihak bank menetapkan adanya barang jaminan yang disediakan oleh nasabah untuk

kemudian diserahkan kepada bank sebagai jaminan bagi bank selama nasabah belum

menyelesaikan pembayarannya.

Penggunaan jaminan pada pembiaayan ini dimaksudkan sebagai langkah

antisipasi resiko buruk yang mungkin akan dihadapi pihak bank. Bank bisa saja

meminta jaminan tambahan sebelum memasuki transaksi murābahah. Dalam

beberapa kasus, subjek yang menjadi garapan murābahah itu sendiri dapat diterima

sebagai jaminan.87 Hal ini berarti barang yang diperjualbelikan dalam murābahah ini

yang dijadikan barang jaminan. Akan tetapi terdapat pula praktik bahwa nasabah

memberi jaminan lain berupa barang milik pribadinya maupun milik orang lain.

Dalam hal barang jaminan tersebut milik orang lain, maka pemilik barang menjadi

terlibat dalam perjanjian yang dilakukan oleh nasabah dan pihak bank, dan secara

tidak langsung pemilik barang jaminan menjadi penanggung bagi hutang nasabah

terhadap bank. Mengenai hal ini, perbankan syari’ah menjalankan prosedur

berkenaan dengan barang jaminan milik orang lain, berlandaskan kepada hukum

positif Indonesia yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

Walaupun peraturan perundangan-undangan tersebut belum tentu sesuai

dengan ketetapan hukum Islam, namun dikarenakan terbatasnya ketetapan hukum

yang mengatur terperinci berkaitan dengan perbankan syariah ini, maka tak ada

87 Zamir Iqbal, & Abbas Mirakhor, Pengantar keuangan Islam: Teori dan Praktik, (Jakarta:Prenada Media Group, 2008), hlm. 291.

Page 65: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

pilihan lain untuk tak mengacu kepada hukum positif. Sedangkan keputusan DSN

(Dewan Syari’ah Nasional) yang berkaitan dengan permasalahan jaminan pihak

ketiga ini belum ditetapkan secara terperinci pula. Hal ini terbukti dari belum

ditemukannya kajian yang menyebutkan tentang keputusan DSN yang mengatur

permasalahan jaminan pihak ketiga.

Permasalahan barang jaminan yang diatur dalam Keputusan Dewan Syari’ah

Nasional (DSN) tercantun dalam butir ke empat Fatwa DSN MUI No.

04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murābahah:

“1. Jaminan dalam murābahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan

pesanannya.

2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat

dipegang.”88

Berdasarkan fatwa DSN tersebut dapat dilihat bahwa DSN membolehkan

adanya jaminan dalam pembiayaan murābaah dengan tujuan agar nasabah serius

dalam menjalankan kewajibannya terhadap bank, dan pihak perbankan pun dapat

meminta jaminan tersebut kepada nasabah. Namun demikian, fatwa DSN dalam hal

ini tidak mengatur secara khusus apabila barang jaminan tersebut bukan milik

nasabah pribadi, melainkan milik pihak ketiga, dan juga tidak ada aturan secara

88 Majelis Ulama Indonesia, Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang

Murābahah, Maret 2010. Diakses pada tanggal 1 Januari 2012 dari situs:

http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=151:fatwa-dsn-mui-no-04dsn-

muiiv2000-tentang-murabahah&catid=57:fatwa-dsn-mui

Page 66: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

terperinci dalam fatwa DSN ini tentang mekanisme barang jaminan pada perbankan

tersebut. Oleh sebab itu segala mekanisme tentang peraturan yang berkenaan dengan

barang jaminan itu sendiri kembali kepada perundang-undangan hukum positif yang

telah ada.

Terdapat beberapa ketentuan perundang-undangan tentang pertanggungan

yang sesuai dengan pertanggungan dalam konsep dlamān. Seperti, hak accesoir

pada pertanggungan pihak ketiga yang ditentukan dalam perundang-undangan, yaitu

tentang adanya perikatan pokok yang menjadi sebab terjadinya perikatan

pertanggungan. Hak accesoir ini sesuai dengan ketetapan salah satu rukun dlamān,

yaitu terdapatnya objek yang ditanggung oleh dlāmin baik berupa hutang ataupun

barang. Disamping itu hak accesoir ini menjadi terhapus dengan terhapusnya masalah

pokok, yaitu terlunasinya hutang debitur, maka demikian pula yang terjadi dalam

konsep pertanggungan dlamān, bahwa perkara dlamān dianggap selesai dengan

terselesaikannya hutang madlmūn ‘anhu terhadap madlmūn lahu.

Dalam hukum positif yang mengatur tentang penanggungan, terdapat

ketetapan hukum yang menjelaskan bahwa penanggungan tetap dapat dilakukan

dengan sepengetahuan atau tanpa sepengetahuan orang antg ditanggung. Hal ini

senada dengan konsep dlamān yang juga dapat dilakukan dengan atau tanpa

sepengetahuan madlmūn ‘anhu.

Selain itu, penanggungan yang dilakukan oleh beberapa orang, selain

diperbolehkan oleh hukum positif, juga diperbolehkan dalam konsep dlamān.

Pembolehan tersebut dengan ketentuan pembagian pertanggungan sesuai dengan

Page 67: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

yang disepakati dan dianggap adil, dan masing-masing orang yang tergabung dalam

dlāmin tersebut harus menjalani kewajibannya atas tanggungan yang telah

dibebankan sebagai bagian untuknya.89

Akan tetapi, ketetapan hukum yang tercantum dalam Pasal 1838 KUH

Perdata: “Jika kreditur sendiri secara sukarela telah membagi-bagi tuntutannya, maka

ia tidak boleh menarik kembali pemisahan hutang itu, biarpun beberapa di antara para

penanggung berada dalam keadaaan tidak mampu sebelum ia membagi-bagi hutang

itu.”90 Menjelaskan bahwa penanggung yang telah menerima bagian tanggungannya

dari kreditur, tidak dapat dibatalkan sekalipun penanggung tersebut dalam keadaan

tidak mampu bahkan sebelum kreditur membagi bagian tanggungan untuk para

penanggung. Ketetapan ini bertentangan dengan tinjauan konsep dlamān, karena

dalam permasalahan dlamān sesuatu yang dijamin harus berada dalam kemampuan

dlāmin, dan apabila sesuatu yang dijamin tersebut diluar batas kemampuan dlāmin,

maka menurut pendapat jumhur ulama, aqad dlamān tidak sah.91

Hal ini dikarenakan, apabila dlāmin tetap harus menanggung objek

tanggungan yang lebih besar dari kemampuan yang dimilikinya, dikhawatirkan hal ini

akan menyulitkan dlāmin dan akan mendatangkan kemudlaratan baginya sendiri.

Padahal tujuan awal dari dlamān ini adalah untuk meringankan beban yang

89 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis (terj. Syed Ahmad Syed Hussain), hlm. 139.

90 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 456.

91 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis, hlm. 128.

Page 68: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

ditanggung oleh seseorang, namun menjadi tidak adil jika dalam proses

pertanggungan tersebut ada pihak yang justru menjadi kesulitan karenanya.

Kemudian, terdapat Pasal 1831 KUH Perdata: “Penanggung tidak wajib

membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar hutangnya, dalam hal

itupun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk

melunasi hutangnya.”92 Pasal tersebut menjelaskan bahwa, meskipun seseorang telah

menyanggupi dirinya sebagai seorang penanggung terhadap hutang orang lain, namun

dalam hal penyitaan barang kepemilikan berkaitan dengan tidak terpenuhinya

kewajiban debitur, justru barang milik debitur yang terlebih dahulu disita. Padahal

penanggung telah menyanggupi untuk menanggung hutang tersebut.

Sedangkan dalam konsep dlamān, apabila seseorang telah menyanggupi

dirinya untuk menanggung hutang orang lain, maka dalam hal penyelesasian

kewajiban madlmūn ‘anhu segalanya menjadi tanggung jawab dlāmin. Sebagaimana

yang tercantum dalam hadits:

( والترمذي ( ماجه ابن اخرجه غارم الزعيم

Artinya: “Penanggung itu menanggung kerugian.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)93

Yang dimaksud kerugian di sini adalah beban hutang madlmūn ‘anhu terhadap

madlmūn lahu yang harus ditanggung oleh dlāmin.

Kemudian pada Pasal 1839 KUH Perdata:

92 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 458.

93 Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (terj. Imam Ghazali Said, Achmad Zaidun), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 252.

Page 69: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

“Penanggung yang telah membayar dapat menuntut apa yang telah dibayarnya itu dari debitur utama, tanpa memperhatikan apakah penanggungan itu diadakan dengan atau tanpa setahu debitur utama itu. Penuntutan kembali ini dapat dilakukan baik mengenai uang pokok maupun mengenai bunga serta biaya-biaya.Mengenai biaya-biaya tersebut, penanggung hanya dapat menuntutnyakembali sekedar dalam waktu yang dianggap patut ia telah menyampaikan pemberitahuan kepada debitur utama tentang tuntutan-tuntutan yang ditujukan kepadanya. Penanggung juga berhak menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga bila alasan untuk itu memang ada.”94

Ketetapan hukum positif di atas tegas menyebutkan bahwa penanggung boleh

meminta kembali bayaran yang telah ia keluarkan untuk melunasi hutang debitur,

terlepas dari apakah kesediannya dalam penanggungan itu berdasarkan permintaan

debitur atau tidak. Dengan demikian, dalam hal ini penanggung memiliki hak mutla

untuk menagih kembali harta yang telah dikeluarkannya kepada debitur berkaitan

dengan masalah penyelesaian hutang debitur.

Namun hal tersebut tidak sesuai dengan beberapa pendapat ulama. Menurut

Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, dlāmin boleh meminta kembali apa yang telah ia

keluarkan untuk menanggung hutang madlmūn ‘anhu apabila dlāmin melakukan hal

tersebut berdasarkan permintaan madlmūn ‘anhu. Namun apabila dlāmin

melakukannya dengan inisiatif pribadi, maka ia tidak punya hak untuk menuntut

kembali kepada madlmūn ‘anhu. Sedangkan Imam Maliki membolehkan meminta

kembali bayaran tersebut kepada madlmūn ‘anhu, dengan berdasarkan kedua

keadaaan tersebut. Sedangkan menurut Ibnu Hizam, dlāmin tidak boleh meminta

pengembalian apapun kepada madlmūn ‘anhu dalam keadaan apapun dilakukan

94 Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 456.

Page 70: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

dlaman tersebut, baik atas kerelaan dlāmin sendiri, maupun atas permintaan madlmūn

‘anhu.95

Dengan demikian, keberadaan barang jaminan sebagai bentuk ketetapan

prosedural dalam perbanan syari’ah, tetap mengacu kepada perundang-undangan

hukum positif yang telah ada, sekalipun DSN sebagai lembaga yang berwenang

mengawasi kinerja perbankan syari’ah telah mengeluarkan fatwa, akan tetapi fatwa

tersebut berisi pengaturan tentang jaminan yang masih bersifat umum. Padahal

sebahagian dari perundang-undangan hukum positif yang diangkat sebagai landasan

hukum dalam permasalahan jaminan ini oleh perbankan syari’ah, tidak sesuai dengan

ketetapan hukum Islam sebagaimana yang seharusnya mengatur tentang hal tersebut

dalam tinjauannya dari berbagai hal. Seperti peraturan-peraturan yang dapat

merugikan satu pihak, dalam hal ini tidak diperkenankan dalam hukum Islam.

Meskipun demikian, hukum positif tetap dipakai sebagai acuan hukum karena masih

terbatasnya hukum Islam yang diangkat sebagai landasan hukum yang tegas bagi

perbankan syari’ah itu sendiri.

95

Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah 12 (ter. Kamaluddin A. Marzuki), cet. ke 15 (Bandung: PT. Alma’arif, 1987), hlm. 182.

Page 71: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

BAB EMPAT

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Pembiayaan pada perbankan syari’ah saat ini mengalami perkembangan yang

pesat. Oleh sebab itu resiko akan kerugian yang mungkin dialami oleh pihak

perbankan sendiri pun menjadi lebih besar. Untuk meminimalisir kemungkinan

tersebut, perbankan syari’ah membebankan adanya barang jaminan yang harus

disediakan oleh pihak nasabah dalam rangka pengambilan pembiayaan. Akan tetapi,

tidak selamanya jaminan yang diberikan tersebut merupakan milik pribadi nasabah,

melainkan jaminan yang diserahkan merupakan milik pihak ketiga.

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari karya tulis ini:

1. Praktek dlamān secara prinsip diperbolehkan dalam Islam, hal ini didukung

dengan keberadaan nash baik ayat Al-Qur’an maupun hadits yang dapat

menjadi landasan hukum dlamān itu sendiri. Pada dasarnya konsep dlamān

merupakan konsep pertanggungan yang berkenaan dengan permasalahan

Page 72: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

harta, maka dalam hal ini hampir menyerupai kafālah, bedanya dalam konsep

kafālah termasuk juga pertanggungan jiwa.

Barang jaminan dalam konsep dlamān, merupakan instrument penting sebagai

bentuk tanggungan dlāmin terhadap hutang madlmūn ‘anhu yang telah

diambil alih pelunasannya oleh dlāmin itu sendiri. Ketika dlāmin memutuskan

untuk melunasi hutang madlmūn ‘anhu melalui barang jaminan tersebut, maka

madlmūn lahu dapat menjualnya demi pelunasan piutang yang telah diberikan

kepada madlmūn ‘anhu. Meskipun demikian, mekanisme dlamān tetap

dibatasi oleh syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Syarat dan rukun itu

sendiri melingkupi hingga dalam komponen-komponen yang terkandung

dalam dlamān, seperti syarat bagi dlāmin, madlmūn ‘anhu, madlmūn lahu,

dan objek yang ditanggung (dalam hal ini berupa hutang). Dengan demikian,

kelengkapan pengaturan dalam dlāman menjadikannya sebagai satu

mekanisme pertanggungan yang tidak merugikan pihak manapun yang terlibat

di dalamnya.

2. Permasalahan jaminan pada perbankan syari’ah memiliki landasan hukum

Islam yang berupa nash Al-Qur’an, sehingga dalam kajian hukum Islam

pemberlakuan jaminan pada perbankan syari’ah ini diperbolehkan. Selain itu,

prosedural yang berlangsung pada perbankan syari’ah berkaitan dengan

jaminan, telah diatur dalam hukum perbankan syari’ah yang tercantum dalam

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah dan fatwa

DSN. Namun pengaturan yang terkandung dalam undang-undang dan fatwa

Page 73: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

DSN tersebut masih menjelaskan jaminan dalam konteksnya secara umum.

Dengan demikian, untuk melengkapi landasan hukum tentang permasalahan

jaminan ini, perbankan syari’ah tetap mengacu kepada hukum positif

Indonesia yang mengatur secara detail tentang aplikasi jaminan dalam dunia

perbankan. Dalam hal ini, pembiayaan pada perbankan syari’ah disetarakan

dengan kredit pada perbankan konvensional. Hal ini dilakukan karena masih

terbatasnya ketetapan hukum yang mengatur tentang jaminan dalam

kedudukannya pada perbankan syari’ah itu sendiri.

3. Permasalahan jaminan yang berlaku pada perbankan syari’ah di satu sisi

sesuai dengan konsep hukum Islam, namun di sisi lain ketika landasan hukum

jaminan yang merujuk kepada hukum positif mengandung bagian yang tidak

sesuai dengan hukum Islam, maka mekanisme pemberlakuan jaminan pada

perbankan syari’ah pun kurang sesuai dengan tatanan syari’at yang telah

ditetapkan. Hal ini dapat terlihat dari beberapa peraturan perundang-undangan

yang ketika dikaji kembali berdasarkan hukum Islam, hal tersebut dapat

menzalimi pihak-pihak yang terlibat dalam permasalahan jaminan tersebut.

Sehingga hal ini menjadi suatu bagian yang membuat mekanisme pada

perbankan syari’ah hamper menyerupai perbankan konvensional.

4.2. Saran

Page 74: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Melalui karya tulis ini, penulis mencoba memberikan saran-saran yang

sekiranya dapat berguna bagi instansi terkain, terutama perbankan syari’ah. Adapun

saran-saran yang ingin penulis sampaikan:

1. Kepada legislator selaku pelaku yang berwenang dalam perancangan hukum,

terutama yang langsung berkaitan dengan dunia perbankan, agar dapat

menentukan hukum yang jelas berkaitan dengan keberadaan jaminan pada

perbankan syari’ah, terutama tentang jaminan milik pihak ketiga. Hal ini

dapat dilakukan dengan adanya pengkajian oleh DSN atau instansi lain

berkaitan dengan hal ini, yang kemudian dapat mengeluarkan fatwa sehingga

mampu dijadikan rujukan hukum oleh pihak perbankan syari’ah sendiri dan

tidak menyalahi hukum Islam.

2. Kepada pihak perbankan syari’ah, perlu mengkaji kembali tentang

pembiayaan bagaimana yang dapat dibebankan barang jaminan, dan

pembiayaan bagaimana yang tidak dapat dibebankan barang jaminan. Hal ini

diharapkan agar tidak adanya penyimpangan dari prinsip dasar yang

terkandung dalam konsep produk-produk pembiayaan tersebut.

Page 75: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Semarang: PT. Toha Putra, 1995.

Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulugh Al-Maram (terj. Thahirin Suparta, dkk), Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk, Al-Fiqh al Muyassar Qism al-Muamalat, Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu Ahkam al-Fiqh al- Islami bi Uslub Wadhih li al-Mukhtashshin wa Ghairihim, (terj. Miftahul Khairi) cet. ke 1, Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009.

Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Syeikh, Lubaabu at- Tafsir Min Ibni Katsiir (terj. M. Abdul Ghoffar), Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003.

Abu Bakr Al-Juzairi, Minhaajul Muslim (ter. Fadhli Bahri), Jakarta: Darul Falah, 2000.

Adimarwan A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2008.

Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (terj. Imam Ghazali Said, Achmad Zaidun), Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

Page 76: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Andri Soemitra, Bank dan Kelembagaan Keuangan Syari’ah, Jakarta: Prenada Media Group, 2009.

A. P. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Besarta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, Bandung: CV. Mandar Maju, 1996.

Bank Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan syari’ah, Juli 2008. Diakses pada tanggal 5 September 2011 dari situs: http://www.bi.go.id/

Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Yoyakarta: Penerbit ANDI, 2005.

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke 8, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta: DSN-MUI BI, 2001.

Helmi Haris, “La_Riba”. Jurnal Ekonomi Islam, Vol. I, No. I, Juli 2007.

Hermansyah, Hukum Perbankan nasional, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2005.

Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib Jilid I, Kudus: Menara Kudus.

Kartini Muljadi, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek, cet. ke 2, Jakarta: Prenada Media Group, 2007.

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Kasmir, Manajemen Perbankan, cet. ke 5, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Louis Ma’luf, Munjid, cet. ke 42, Beirut: Dārul Musyriq, 2007.

Muhammad Firdaus, Ensiklopedia Asas Fardhu Ain, cet. Ke 2, Malaysia: Crescent News (KL) SDN BHD, 2006.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 6, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.

Page 77: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, cet. ke 1, Jakarta: Gema Insani, 2006.

Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 2005.

Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah Jilid 12 (ter. Kamaluddin A. Marzuki), cet. ke 15, Bandung: PT. Alma’arif, 1987.

Suharnoko, Hukum perjanjian: Teori dan Analisis Kasus, cet. ke 4, Jakarta: Prenada Media Group, 2007.

Sutan Remy Sjahdeini, Perbakan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: PT. Utama Grafiti, 2005.

Syaikh Muhammadd bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil (terj. Achmad Munir Badjeber, dkk), Jakarta: Daru as-Sunnah Press, 2007.

Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz’ al-Khamis (terj. Syed Ahmad Syed Hussain), Malaysia: Dewan Bahsa dan Pustaka, 1996.

Zamir Iqbal, & Abbas Mirakhor, Pengantar keuangan Islam: Teori dan Praktik, Jakarta:Prenada Media Group, 2008.

Page 78: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Syahrina Prihatini

2. Tempat / Tanggal Lahir : Banda Aceh / 07 Februari 1989

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Pekerjaan : Mahasiswi

5. Agama : Islam

6. Kebangsaan / Suku : Indonesia / Jawa

7. Status Perkawinan : Belum Kawin

8. Alamat : Jl. Ir. M. Thahir, Desa Lamcot, Kec. Darul Imarah,

Aceh Besar

9. Orangtua / Wali

a. Ayah : Suyono Anas

b. Ibu : Rukyah

c. Pekerjaan : Wiraswasta

10. Alamat : Jl. Ir. M. Thahir, Desa Lamcot, Kec. Darul Imarah

Aceh Besar

11. Jenjang Pendidikan

a. MIN : SD Negeri 42 Banda Aceh Berijazah Tahun 2001

b. MTsN : MTsN I Banda Aceh Berijazah Tahun 2004

Page 79: 79297130 Kedudukan Jaminan Dalam Pembiayaan

c. MAN : MAN I Banda Aceh Berijazah Tahun 2007

d. Perguruan Tinggi : Syariah Muamalah Wal-Iqtishad

Fakultas Syariah

IAIN Ar-Raniry masuk tahun 2007

Demikian daftar riwayat hidup singkat, saya buat dengan sebenarnya untuk

dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Aceh Besar, 18 Januari 2012 (Syahrina Prihatini)