Upload
arini-pramodavardhani-puteri
View
35
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
DAKWAH ISLAM MELALUI PENDEKATAN SENI DAN BUDAYA
Prolog
Antoni Reid, dalam bukunya The Islamization of Southeast
Asia, pada abad ke Sebelas di wilayah Asia Tenggara, khususnya
di Indonesia telah terjadi konversi masal, yakni berpindahnya para
penganut agama Hindu dan Budha, serta seluruh aliran
kepercayaan pada ajaran agama Islam. Mereka tanpa intimidasi
dan paksaan, tanpa intrik-intrik politik licik, tetapi dengan tulus
hati dan kesadaran esoteric, berbondoong-bondong untuk
memeluk Islam.
Diantara faktor dominan, sebagai penyebab utama
terjadinya konversi massal tersebut, adalah munculnya Popular
Sufism yaitu para guru Sufi dan Wali yang sangat dekat di hati
rakyat kecil dan anggun bersahaja nan penuh wibawa di hadapan
para bangsawan. Mereka tampil melakukan Internalisasi,
Sosialisasi, Transformasi, Kulturisasi bahkan Idiologisasi Islam
dengan estetika atau seni budaya Islam sebagai mediasinya.
Tesis Anton Reid ini dibenarkan oleh Marshal Hodghosn,
dalam bukunya The Ventur Of Islam, Hodghosn menyebutkan,
bahwa pada abad ke Limabelas seluruh pulau Jawa menjadi sejuk
dengan cahaya dan panorama Islam. Hal ini sebagai konsekuensi
dari sentuhan tangan para Wali nan suci yang mendakwahkan
Islam dengan nuansa seni dan budaya Islam yang manusiawi.
1
Sebagai contoh, Sunan Giri melalui seni Theatrikal
Jemblongan, Gendi Ferit, Jamuran, Gula Ganti, Cublak-Cublak
Suweng dan seni Gambyang yang diiringi lirik Sufistik seperti
Ilir-ilir, Padang-Padang Bulan, telah berhasil menarik hati dan
menggugah seluruh penduduk dari mulai Madura, Bawean sampai
Ternate dan Tidore di Maluku.
Sunan Bonang melalui seni Wayang yang diiringi dengan
Gamelan Sekatan dengan tembang Durma sebagai nada
harmoninya, telah berhasil menarik simpati dan membangkitkan
spirit religi masyarakat pesisir Tuban di Jawa Timur.
Sunan Ampel memalui seni Arsitektural Saka Guru atau
tiang raksasa yang dipancang pada mesjid agung Demak, telah
berhasil menancapkan gelora keberagamaan pada jiwa penduduk
Demak yang kering kerontang untuk semarak mendakwahkan
Islam.
Sunan Muri melalui seni suara Sinom dan Kinanti, telah
berhasil menelisik bathin penduduk Gunung Muria untuk yakin
memilih Islam dan hidup penuh pesona dalam buaian ajarannya.
Sunan Kali Jaga melalui seni Wayang Purwa, seni suara,
seni ukir, seni pahat Gapura, seni sastra dan seni adi busana
dengan mengukir motif burung dalam kain batik, dimana burung
dalam bahasa Arab menjadi qu dan qila yang berarti “Peliharalah
ucapanmu sebaik-baiknya”, menjadi salah satu ajaran estetik
melalui corak batik yang telah membangkitkan dimensi teologik
dan citra keber-agamaan penduduk pulau Jawa.
2
Berkesenian menurut al-Qur’an
Dari sekelumit fakta sejarah ini, terbuktilah bahwa seni dan
budaya yang digenggam oleh tangan-tangan yang kuat
mengepalkan tauhid dan Ma’rifat telah berhasil mengangkat
harkat dan martabat kemanusiaan sejati dihadapan Allah
Rabbul’Ijjati. Dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 44 Allah
berfirman:
“Bertasbih memuji Alah langit yang tujuh. Dan bumi serta makhluk yang ada di atas keduanya. Dan tiada sesuatu yang tiada tasbih memuji-Nya, tapi kamu tiada mengerti pujiannya. Sungguh Ia Maha Penyantun Maha Pengampun”.
Jika dikaji secara teliti, ayat tadi, merupakan kalam
Khabari, yang menurut Imam al-Akhdari dalam magnum opus-
Nya Jauhar Maknun, memiliki tujuan untuk “memberi faedah
kepada yang mendengarkannya tentang makna dan hukum yang
dikandungnya”. Faedah yang dapat dipetik dari ayat tadi adalah
informasi estetik tentang alam raya yang bertasbih memuji Ilahi.
Menurut penyair Muhammad Iqbal, bertasbihnya alam
raya, adalah sebuah realitas estetik yang berperan memberikan
pembuktian kepada kita tentang wujud Jamaliyah Allah. Karena
itu menurut Iqbal, jika kita mengabaikan sisi-sisi estetika yang
terdapat dalam proses bertasbihnya alam raya, berarti kita telah
mengabaikan salah satu dari wujud Jamaliyah Allah. Sebaliknya,
ketika kita mengekspresikan dimensi estetika yang terdapat dalam
proses bertasbihnya alam raya, melalui sejumlah karya seni dan
3
budaya, adalah suatu tafakkuh untuk membuktikan wujud
Jamaliyah Allah.
Immanuel Kant yang dikuatkan oleh mantan pimpinan
tertinggi Al-Azhar Syaikh Abdul Halim Mahmud, mengatakan,
“bukti terkuat tentang kemaujudan jamaliyah Allah adalah
terdapat dalam dimensi estetika manusia bukan pada dimensi
logikanya. Kita tidak perlu bertepuk tangan kepada logika yang
berhasil membuktikan kemaujudan jamaliyah Allah, karena
logika pula telah berhasil membuktikan sebaliknya”.
Berdasarkan makna yang tersirat dalam ayat tadi, bahwa
berkesenian dan berkebudayaan dalam Islam, merupakan Fitrah
manusia. Ia merupakan ekspresi ruh dan karsa manusia yang
mengandung dan mengungkapkan estetika atau keindahan. Ia
lahir dari sisi esoteric yang didorong oleh kecenderungan seniman
dan budayawan yang bergumul dengan eksotika dan estetik-nya
alam raya ciptaan sang Penguasa. Dorongan estetika tersebut,
sekali lagi merupakan naluri dan fitrah yang dianugerahkan oleh
Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Karena itu, Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddinnya
mengatakan:
“Siapa yang tidak terkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.”
4
Fungsi Seni dan Budaya dalam Islam
Selanjutnya bagaimanakah fungsi seni dan budaya Islam itu ?
dalam QS: An-Nahl ayat 125 Allah menjelaskan sebagai berikat:
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan peringatan yang baik dan bantahlah mereka dengan bantahan yang lebih baik. Sungguh Tuhanmu ialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat di jalan-Nya. Dan ialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Kata Ud’u dalam ayat tadi ini merupakan instruksi dari Ilahi
untuk kita taati. Sebagaimana kaidah Ushul Fiqh mengatakan:
“al-Ashlu fil amri lil wujub” pada dasarnya suatu perintah adalah
wajib. Secara semantik menurut tafsir Tanwir al-Miqbas min
Tafsir Ibn Abbas, bahwa “ba huruf jar” pada kata “bi al-hikmah”
menurut Imam As-Sakaki dan Husen Muhammad Musa adalah
“Ilshaq”, “Istianah”, “Tausil” dan “Wasilah”, yang berarti
menyambungkan, mendekatkan atau menyampaikan, dan
pelantara kata-kata sebagai makna “bi” juga bersinonim dengan
kata “uslub” dan “thariqah”, yang berarti cara mengerjakan
sesuatu. Dari pendekatan semantik ini dapat difahami, bahwa
hikmah, mauidhah hasanah dan mujadalah yang terangkai dalam
ayat tadi, merupakan metode yang harus diterapkan dalam
melaksanakan dakwah Islam.
Selanjutnya kata “hikmah” itu sendiri, menurut Sayyed
Housen Nasr, dalam bukunya “Spiritual dan Seni Islam”
memiliki arti Filsafat. Sementara intisari hikmah sebagai filsafat
itu sendiri, menurut Prof. DR. Musa As’ari dalam bukunya
5
“Filsafat Islam sunah Nabi dalam Berfikir” memiliki tiga esensi.
Pertama esensi hikmah atau filsafat sebagai logika, Kedua esensi
hikmah atau filsafat sebagai ajaran etika, dan Ketiga esensi
hikmah atau filsafat sebagai estetika yang didalamnya terdiri dari
seni atau budaya.
Dengan demikian, berdasarkan ayat yang tadi, seni dan
budaya dalam Islam, merupakan salah satu sarana atau metode
untuk menyebarkan dakwah Islam. Hal ini, sejalan dan sejalin
dengan pendapat Muhammad Imarah, dalam bukunya Mua’llim
al-Manhaj al-Islam, mengatakan, bahwa fungsi seni dan budaya
dalam Islam adalah sebagai salah satu sarana atau metode dalam
berdakwah.
Selanjutnya sebagai media dalam dakwah Islamiyah, maka
seni dan budaya dalam Islam, setidaknya mengemban tiga misi
profetik. Pertama, seni dan budaya mengemban missi Amar
Ma’ruf, misi ini pada hakekatnya adalah humanisasi atau
emansipasi manusia. Melalui misi Amar Ma’ruf, manusia akan
dikenalkan pada nilai-nilai karya seni budaya adiluhung dari
Allah yang akan mengajak mereka menuju jalan keselamatan.
Melalui misi Amar Ma’ruf pula, manusia akan diajak dan
dipertemukan pada nilai-nilai seni dan budaya yang akan
membuat manusia layak disebut sebagai manusia sejati.
Kedua, seni dan budaya dalam Islam mengemban misi
Nahyi Munkar. Misi ini pada hakikatnya adalah liberasi. Artinya,
seni dan budaya dalam Islam memiliki peran untuk membebaskan
6
manusia dari hal-hal yang akan membuat mereka tidak selamat di
hadapan Allah. Bahasa lainnya dari Nahyi Munkar atau Liberasi
adalah melalui seni budaya manusia dihindarkan dari anasir-
anasir Hayawaniyah Subuiyyah dan Syaithoniyyah yang telah
menggelincirkan manusia pada kobaran api neraka jahannam.
Misi ini secara strategik, berperan untuk meng-counter effeck
paradigma “seni untuk seni” yang telah menjebak manusi pada
logika materialisme-positiristik, dimana dengan dalih karya seni,
berfoto seronok, berbikini super-super sexy, bahkan telanjang
bulat seperti binatang, adalah sesuatu yang dianggap wajar.
Misi ketiga dari seni dan budaya Islam adalah Tu’minuuna
billah. Misi ini diterjemahkan Muhammad Iqbal sebagai proses
transendensi, yaitu melalui seni budaya Islami manusia di
satupadukan dengan sistem Tuhan, yaitu Dinul Islam. Missi
Transendensi ini, pada hakekatnya mengajak manusia untuk
menyelami kedalam hakikat filosofi Innalillaahi wa Inna Ilaihi
Raajiuun. Melalui seni budaya Islami, manusia akan diajak
berkelana siklikal yaitu berjalan dari A menuju A, asal kita dari
Allah dan harus kembali kepada Allah. Karena itu, misi inipun
sekaligus merupakan counter effeck atas paradigma seni untuk
seni, yang telah membawa manusia berjalan linear dari A menuju
B. Manusia yang asalnya dari Allah tetapi ditatih tergelincir oleh
seni positivistik untuk berjalan menuju Iblis la’natullah.
Epilog
7
Jika seni dan budaya telah difungsikan dan dikonfigurasikan
secara totalitas sebagai sarana dakwah Islamiyah seperti telah
dilakukan oleh para wali, dengan komitmen membawa missi
profetik Amal Shaleh dalam wujud Humanisasi, Liberasi dan
Transendensi, maka seni dan budaya sebagai fitrah nan indah
yang Allah anugerahkan kepada kita, akan membangun identitas
dan citra idealitas kita sebagai insan yang berserah diri secara
totalitas kepada Allah. Hal ini, sebagaimana disyariatkan Allah
dalam Al-Qur’an surat Fushshilat ayat 33:
“Dan siapakah yang lebih indah perkataannya dari orang yang menyeru ke jalan Allah mengerjakan amal kebaikan dan berkata: Sungguh aku adalah orang-orang yang berserah diri.”
Sebagai kesimpulan sementara, seni dan budaya Islami
merupakan manifesto dari jamaliyah Allah yang dianugerahkan
sebagai fitrah pada manusia. Dalam eksistensinya seni dan budaya
berfungsi sebagai sarana dakwah yang mengemban tiga misi
profetik, Pertama, Amar Ma’ruf (humanisasi), yakni
memanusiakan manusia, Kedua, Nahyi Munkar (liberasi) yakni
membebaskan manusia dari cengkraman anasir-anasir
syaithaniyyah, dan yang ketiga seni dan budaya membawa misi
tu’minuuna billah (transendensi), yakni sarana untuk menyatukan
manusia dengan sistem Allah yaitu Dinul Islam.
8