51
BAB I PENDAHULUAN Fraktur adalah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yng meliputi tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula. Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. 1 Fraktur midfasial melibatkan banyak struktur yang terdiri dari fraktur zigomatikomaksilar (zygomaticomaxillary complex /ZMC) termasuk fraktur Le fort, dan fraktur nasoorbitoethmoid (nasoorbitalethmoid /NOE). Fraktur midfasial cenderung terjadi pada sisi benturan dan bagian yang lemah seperti sutura, foramen, dan aperture. Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur midfasial yang paling sering terjadi, umumnya sering terjadi pada trauma yang melibatkan 1/3 bagian tengah wajah, hal ini dikarenakan posisi zigoma agak lebih menonjol pada daerah sekitarnya. Fraktur ZMC biasanya melibatkan dinding bawah orbita tepat diatas nervus alveolaris inferior, sutura zigomatikofrontal, sepanjang arkus pada sutura zigomatikotemporal, dinding lateral zigomatikomaksila, dan sutura 1

55857501 Penanganan Fraktur Kompleks Zygomatik

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur adalah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.

Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yng

meliputi tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan

mandibula. Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor

yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja,

kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan.1

Fraktur midfasial melibatkan banyak struktur yang terdiri dari fraktur

zigomatikomaksilar (zygomaticomaxillary complex /ZMC) termasuk fraktur Le

fort, dan fraktur nasoorbitoethmoid (nasoorbitalethmoid /NOE). Fraktur midfasial

cenderung terjadi pada sisi benturan dan bagian yang lemah seperti sutura,

foramen, dan aperture. Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur midfasial

yang paling sering terjadi, umumnya sering terjadi pada trauma yang melibatkan

1/3 bagian tengah wajah, hal ini dikarenakan posisi zigoma agak lebih menonjol

pada daerah sekitarnya. Fraktur ZMC biasanya melibatkan dinding bawah orbita

tepat diatas nervus alveolaris inferior, sutura zigomatikofrontal, sepanjang arkus

pada sutura zigomatikotemporal, dinding lateral zigomatikomaksila, dan sutura

zigomatikosplenoid yang terletak di dinding lateral orbita, sedangkan dinding

medial orbita tetap utuh.2

Fraktur midfasial merupakan tantangan di bidang bedah karena struktur

anatomi yang kompleks dan padat Penanganan yang tepat dapat menghindari efek

samping baik anatomis, fungsi, dan kosmetik. Tujuan utama perawatan fraktur

fasial adalah rehabilitasi penderita secara maksimal yaitu penyembuhan tulang

yang cepat, pengembalian fungsi okuler, fungsi pengunyah, fungsi hidung,

perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi

estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakit akibat adanya

mobilitas segmen tulang.2

Zygoma berartikulasi dengan tulang frontal, sphenoid, temporal, dan

maksilar dan berkontribusi secara signifikan terhadap kekuatan dan stabilitas

wajah bagian tengah. Proyeksi kedepan zygoma menyebabkannya sering terkena

1

cedera. Zygoma dapat terpisah dari keempat artikulasi ini. Hal ini disebut fraktur

kompleks zygomatik atau sering disebut juga fraktur tetrapod karena melibatkan

empat struktur artikulasi tersebut.

Cedera zygomatik bervariasi dengan demografi pasien dan lokasi institusi

yang melaporkan. Matsunaga dan Simpson di Los Angeles County/University of

Southern California Medical Center menemukan bahwa mayoritas dari fraktur

zygomatik yang diteliti adalah hasil dari kecelakaan kendaraan bermotor/lalu

lintas. Sebaliknya, Ellis dan kolega menemukan bahwa 80% dari fraktur

zygomatik di Glasgow, Skotlandia, dihasilkan dari penyerangan, jatuh, atau

cedera olahraga. Hanya sekitar 13% dari fraktur terlibat dalam kecelakaan lalu

lintas.

2

BAB II

TINJAUAN ANATOMI TULANG ZYGOMA

Zygoma memiliki empat proyeksi yang menciptakan bentuk quadrangular

atau tetrapod yang meliputi: bidang frontal, temporal, maksilaris, dan infraorbital.

Zygoma berartikulasi dengan empat tulang: frontal, temporal, maksila, dan

sphenoid. Sebuah fraktur kompleks zygoma menyertakan gangguan pada keempat

sutura yang berartikulasi, yaitu: sutura zygomaticofrontal, zygomaticotemporal,

zygomaticomaksilaris, dan zygomaticosphenoid (Gambar 1A dan B).

Seluruh fraktur kompleks zygomatik melibatkan dasar orbita, dan oleh

karena itu sebuah pemahaman gambaran anatomis orbita adalah penting untuk

mereka yang merawat cedera ini. Orbit adalah piramid quadrilateral yang berbasis

anterior. Dasar orbita melandai kearah inferior dan yang paling pendek pada

dinding orbita, rata-rata 47 mm. Ia terdiri dari lingkaran orbita maksila,

permukaan orbita pada tulang zygomatik, dan prosesus orbital dari tulang

palatinus.

Dinding medial dan lateral berkonvergen di posterior pada apeks orbital.

Dinding medial terdiri dari prosesus frontal maksila, tulang lakrimal, lingkaran

orbital ethmoid, dan sebagian kecil dari badan sphenoid. Dinding orbital lateral

adalah yang tertebal dan terbentuk oleh zygoma dan gerater wing dari os

sphenoid.

A B

Gambar 1. Os zygoma, pandangan submental (A) dan Fronto-lateral (B)

3

Os Zygoma

Dasar orbital terdiri dari tulang frontal dan sayap yang lebih kecil dari

sphenoid. Arcus zygomatikus termasuk prosesus temporal zygoma dan prosesus

zygomatik dari tulang temporal. Fossa glenoid dan eminensia artikularis terlokasi

pada aspek posterior prosesus zygomatikus tulang temporal.

Saraf sensori yang berhubungan dengan zygoma adalah divisi kedua

nervus trigeminal. Cabang-cabang zygomatik, fasial, dan temporal keluar dari

foraminta pada tubuh zygoma dan memberikan sensasi pada pipi dan daerah

temporal anterior. Nervus infraorbital melewati dasar orbital dan keluar pada

foramen infraorbital. Hal ini memberikan sensasi pada pipi anterior, hidung

lateral, bibir atas, dan geligi anterior maksila. Otot-otot ekspresi wajah yang

berasal dari zygoma termasuk zygomaticus mayor dan labii superioris. Mereka

diinervasi oleh nervus kranialis VII. Otot masseter menginsersi sepanjang

permukaan temporal zygoma dan arcus dan diinervasi oleh sebuah cabang dari

nervus mandibularis.

Fascia temporalis berlekatan ke prosesus frontal dari zygoma dan arcus

zygomatik. Fascia ini menghasilkan resistensi pergeseran inferior dari sebuah

fragmen fraktur oleh penarikan kebawah dari otot masseter.

Posisi bola mata dalam hubungan dengan aksis dipertahankan oleh

ligamen suspensori Lockwood. Perlekatan ini lebih kearah medial hingga aspek

posterior dari tulang lakrimal dan lateral terhadap tuberkel orbital (Whitnall)

(yang adalah 1 cm dibawah sutura zygomaticofrontal pada aspek medial dari

prosesus frontal dari zygoma). Bentuk dan lokasi dari canthi medial dan lateral

kelopak mata dipertahankan oleh tendon canthal. Tendon canthal lateral

berlekatan dengan tuberkel Whitnall. Tendon canthal medial berlekatan dengan

krista lakrimal anterior dan posterior. Fraktur kompleks zygomatik seringkali

dibarengi dengan sebuah antimongoloid (kearah bawah) dari daerah canthal lateral

yang disebabkan oleh pergeseran zygoma.

4

BAB III

PENEGAKKAN DIAGNOSA

Fraktur zygomatik tidak mengancam nyawa dan biasanya dirawat setelah

cedera yang lebih serius tertangani dan pembengkakan telah menghilang 4 hingga

5 hari setelah cedera.

Evaluasi awal dari pasien dengan fraktur zygomatik termasuk pencatatan

cedera tulang dan status jaringan lunak yang mengelilinginya (kelopak mata,

apparatus lakrimalis, tendon canthal, dan bola mata) dan nervus kranialis II hingga

VI. Ketajaman visual dan status bola mata dan retina harus dibuat; seorang

ophthalmologis harus dikonsultasikan untuk kemungkinan atau keraguan cedera

mata.

Riwayat

Sifat, daya, dan arah hantaman cedera harus dicari tahu dari pasien dan

saksi-saksi yang ada. Sebuah hantaman lateral langsung, seperti pada sebuah

penyerangan, seringkali menghasilkan arcus zygomatik yang terisolasi atau

sebuah fraktur kompleks zygomatik yang tergeser kearah inferomedial. Sebuah

cedera frontal seringkali menghasilkan fraktur yang bergeser kearah posterior dan

inferior.

Pasien dengan fraktur kompleks zygomatik mengeluh nyeri, odem

periorbital, dan ekimosis. Mungkin ada paresthesia atau anesthesia diatas pipi,

hidung lateral, bibir atas, dan gigi anterior maksila yang dihasilkan dari cedera

zygomaticotemporal atau nervus infraorbital. Hal ini terjadi pada 18 hingga 83%

dari seluruh pasien dengan trauma zygomatik. Ketika arcus bergeser kearah

medial, pasien mungkin mengeluh trismus. Epistaksis dan diplopia mungkin dapat

terjadi.

Pemeriksaan Fisik

Ekimosis dan odem adalah tanda-tanda klinis awal yang paling umum dan

terlihat pada 61% dari seluruh cedera zygomatik. Depresi eminensia malaris dan

lingkaran infraorbital menghasilkan penurunan pipi. Hemoragi subkonjungtiva

juga seringkali terlihat. Pergeseran kebawah dari zygoma menghasilkan sebuah

5

kemiringan terhadap canthus lateral, enophthtalmos, dan penekanan pada lipatan

supratarsal dari kelopak mata (Gambar 2). Laserasi pada daerah wajah akan

menuntun ahli bedah untuk menduga adanya fraktur dibawahnya.

Palpasi sutura zygomaticofrontal, keseluruhan 360° lingkaran orbita, dan

arcus zygomatik harus dilakukan dalam cara yang berurutan. Kelunakan, patahan,

atau pemisahan sutura adalah indikatif terhadap sebuah fraktur. Secara intraoral,

gangguan pada penopang zygomatico maksilaris dapat dipalpasi, dan ekimosis

pada daerah fossa kanina mungkin terlihat. Rentang pergerakan mandibula

dievaluasi untuk mengetahui terkenanya arcus zygomatik pada prosesus koronoid.

Gambar 2 A, A 22-year-old male who sustained a blow to the right cheek.Frontal photograph illustrates the typical signs of zygomatic complex fracture: periorbital ecchymosis,edema, antimongoloid slant, and subconjunctival hemorrhage. B, A 38-year-oldmale who sustained a blow to the left cheek 2 weeks prior to presentation. Frontal photograph demonstrates resolving periorbital ecchymosis and malar depression.

Pada fraktur arcus zygomatik yang terisolais, sebuah penurunan terlihat

dan terpalpasi di anterior dari tragus (Gambar 3). Nyeri dan penurunan pergerakan

mandibula seringkali terlihat pada cedera-cedera ini, sementara tanda-tanda orbital

biasanya tidak ada.

Evaluasi mata termasuk pencatatan ketajaman visual, respon pupil

terhadap cahaya, pemeriksaan funduskopi, pergerakan okuler, dan posisi bola

mata. Keterbatasan pergerakan otot-otot ekstraokuler, diplopia, dan enophthalmos

6

A B

dapat terlihat jika fraktur signifikan pada dasar orbita atau dinding medial atau

lateral terlihat. Kurangnya respon pupil dan ptosis terlihat jika nervus kranial III

Gambar 3. Pasien laki-laki 36 tahun, a. Fraktur zigoma , terlihat depresi di preauricular, b. Worm’s-eye view. C, Axial CT scan, terlihat gambaran depres fraktur arcus zigoma regio sinistra

cedera. Cedera pada nervus optik, hyphema, cedera pada bola mata, hemoragi

retro-orbita, lepasnya retina, dan gangguan duktus lakrimalis dapat terjadi.

Pemeriksaan neurologis termasuk pemeriksaan secara hati-hati pada

seluruh nervus kranialis, dengan perhatian khusus yang diarahkan pada nervus

kranial II, III, IV, V, dan VI.

Pemeriksaan Radiografis

Diagnosa fraktur zygomatik biasanya dibuat dengan pemeriksaan riwayat

dan fisik. Pemindaian CT pada tulang wajah, pada bidang aksial dan koronal,

adalah standar untuk seluruh pasien dengan dugaan (suspect) fraktur zygomatik.

Radiografi membantu untuk konfirmasi dan untuk dokumentasi medikolegal dan

untuk menentukan perluasan cedera tulang.

Tomografi Komputasi

CT adalah standar emas untuk evaluasi radiografi fraktur zygomatik.

Gambaran aksial dan koronal didapat untuk menentukan pola fraktur, derajat

pergeseran, dan serpihan dan untuk mengevaluasi jaringan lunak orbital. Secara

spesifik, pemindaian CT memberikan visualisasi dan dasar-dasar dari tengkorak

wajah tengah: dasar-dasar nasomaksilaris, zygomaticomaksilaris, infraorbital,

zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Pandangan

koronal khususnya membantu dalam evaluasi fraktur dasar orbita (Gambar 4A).

7

A B

Jendela jaringan lunak, pada dataran koronal, berguna untuk mengevaluasi otot-

otot ekstraokuler dan untuk mengevaluasi herniasi jaringan orbita kedalam sinus

maksilaris.

Radiograf Biasa

Pemindaian CT (CT scan) telah menggantikan film biasa untuk diagnosa

dan penanganan fraktur kompleks zygomatik. Meskipun demikian, sebuah

pengetahuan kerja fundamental pada teknik ini diperlukan. Pada banyak ruang

emergensi dan rumah sakit, pasien trauma akan masih menjalani evaluasi

radiografi film biasa. Kemampuan untuk membaca dan interpretasi film-film ini

menjadi diagnosa dan merawat pasien-pasien ini adalah penting.

GAMBAR 4. A, Coronal CT scan, terlihat gambaran zygomaticomaxillary buttress dekstra dan fraktur dasar orbital dengan herniation of orbital padamaxillary sinus. B, Waters’ view, terlihat gambaran fraktur kompleks zygomatic dekstra. C, Submentovertex view,terlihat gambaran displaced fraktur arkus zygomatikus sinistra.

Water’s View.

Radiograf tunggal terbaik untuk evaluasi fraktur kompleks zygomatik

adalah Water’s view. Ia adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan kepala

yang terposisi pada sudut 27° terhadap vertikal dan dagu berada pada kaset

(cassette). Hal ini memproyeksikan piramida petrosa jauh dari sinus maksilaris,

memberikan visualisasi sinus-sinus, orbita lateral, dan lingkaran infraorbita

(Gambar 4B). Ketika hal ini dikombinasikan dengan sebuah Water’s view yang

terangkat, sebuah pandangan stereografi dari fraktur dapat terlihat. Pada pasien

8

A B

C

yang tidak mampu mengira-ngira posisi wajah kebawah, proyeksi Water’s view

terbalik memberikan informasi yang sama.

Caldwell’s View.

Caldwell’s view adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan wajah

pada sudut 15o terhadap cassette. Penelitian ini membantu dalam evaluasi rotasi

(disekitar aksis horisontal).

Submentovertex View.

Submentovertex (jug-handle) view diarahkan dari daerah submandibula

ke vertex tengkorak. Ia membantu dalam evaluasi arcus zygomatik dan proyeksi

malar (Gambar 4C).

KLASIFIKASI FRAKTUR

Secara historis, klasifikasi fraktur zygomatik digunakan untuk

memprediksi fraktur-fraktur apa yang tetap stabil setelah reduksi. Secara klinis,

hal ini akan membiarkan ahli bedah untuk mengidentifikasi fraktur-fraktur

tersebut yang memerlukan reduksi terbuka dan beberapa metode fiksasi.

Pada 1961 Knight dan North mengklasifikasikan fraktur zygomatik

dengan arah pergeseran pada radiografi Water’s view.

Dengan kemajuan CT scan dan peningkatan penggunaan fiksasi internal

yang rigid, skema klasifikasi yang lebih modern bertujuan untuk mengidentifikasi

fraktur-fraktur tersebut yang memerlukan pendekatan bedah agresif.

Pada 1990, Manson et.al mengajukan sebuah metode klasifikasi yang

didasarkan pada pola segmentasi dan pergeseran:

- Fraktur yang memperlihatkan sedikit atau tidak ada pergeseran

diklasifikasikan sebagai cedera energi-rendah. Fraktur incomplete (tidak

lengkap) pada satu atau lebih artikulasi dapat terlihat.

- Fraktur energi-menengah memperlihatkan fraktur lengkap (complete) pada

seluruh artikulasi dengan pergeseran ringan hingga moderat. Serpihan

mungkin dapat timbul (Gambar 5).

9

- Fraktur energi-tinggi ditandai dengan serpihan pada orbit lateral dan

pergeseran lateral dengan segmentasi pada arcus zygomatik (Gambar 6).

Gruss dan kolega mengajukan sebuah sistem yang menekankan

kepentingan pada pengenalan dan perawatan fraktur arcus zygomatik dalam

hubungannya dengan badan zygomatik. Seperti Manson dan kolega, Gruss

menekankan kepentingan mengidentifikasi dan perawatan segmentasi, serpihan,

dan busur lateral dari arcus zygomatik.

Zingg dan kolega, dalam sebuah tinjauan pada 1.025 fraktur zygomatik,

mengklasifikasikan cedera-cedera ini kedalam tiga kategori. Fraktur-fraktur tipe A

adalah fraktur energi rendah tidak lengkap dengan fraktur hanya pada satu pilar

zygomatik: arcus zygomatik, dinding orbita lateral, atau lingkaran infraorbita.

Fraktur tipe B mengacu pada fraktur “monofragmen” lengkap dengan fraktur dan

pergeseran disepanjang keempat artikulasi. Fraktur “multifragmen” tipe C

termasuk fragmentasi badan zygomatik.

Gambar 5 Middle-energy fracture. A, Axial CT scan, terlihat gambaran displacement pada lateral orbital wall. B, Coronal CT scan terlihat gambaran fraktur dan minimal displacement pada infraorbital rim. C, Coronal CT scan terlihat gambaran mild displacement pada zygomaticomaxillary buttress.

10

A B C

A B

Gambar 6 High-energy fracture. A, Axial CT scan terlihat gambaran pada lateral bowing and segmentation pada arkus zygomatikus. B, Coronal CT reconstruction terlihat gambaran comminution pada zygomaticomaxillary buttress, infraorbital rim dan dasar orbita.

BAB IV

PENATALAKSANAAN

Perawatan fraktur zygomatik harus didasarkan pada sebuah evaluasi

preoperasi lengkap. Hal ini termasuk CT scan dengan gambar aksial dan koronal

untuk secara penuh mengapresiasi sifat cedera. Teknik-teknik klasifikasi, jika

mereka diterima, akan membantu untuk menstandarisasi terminologi, untuk

merencanakan perawatan, dan untuk memprediksi prognosis. Meskipun demikian,

ahli bedah harus mengindividualisasi perawatan berdasarkan pemeriksaan fisik,

gambaran radiografi, dan keputusan klinis yang sehat.

Penanganan fraktur kompleks zygomatik dan arcus zygomatik bergantung

pada tingkat pergeseran dan resultan estetik dan defisit fungsional. Perawatan oleh

karena itu merentang dari observasi sederhana untuk penyembuhan bengkak,

disfungsi otot ekstraokuler, dan paresthesi untuk reduksi terbuka dan fiksasi

internal fraktur multipel.

Fraktur Arcus Zygomatik

Fraktur arcus zygomatik yang tidak bergeser dan tergeser minimal

mungkin tidak memerlukan koreksi bedah. Karena cedera-cedera ini biasanya

tidak menghasilkan defisit fungsional signifikan, mungkin akan tepat hanya

dengan mengobservasi pasien.

Duverney adalah ahli bedah pertama yang menjelaskan arcus zygomatik

yang fraktur. Ia menggunakan tekanan jari intraoral untuk mengangkat dan

menurunkan arcus. Alternatif untuk teknik ini, pasien diinstruksikan untuk

menggigit balok kayu, yang menghasilkan tensi otot dan tendon temporalis. Daya

ini, bersamaan dengan tekanan jari kedalam dan keluar, mereduksi fraktur.

Goldthwaite pada 1924 adalah yang pertama menjelaskan pendekatan

intraoral pada arcus zygomatik melalui sebuah luka tusukan apda sulkus bukalis.

Sebuah elevator tajam dilewatkan superior melalui vestibulum dan dibelakang

tuberositas maksilaris, dan tekanan kedepan diaplikasikan untuk mereduksi arcus.

11

Quinn memodifikasi teknik ini dengan membuat insisi pada mukosa pada

tingkat alveolus maksila dan meluas inferior disepanjang batas anterior dari

ramus. Pemotongan ini berlanjut disepanjang aspek lateral dari prosesus koronoid,

berakhir pada tingkat alveolus maksilaris dan meluas inferior hingga batasan

ramus. Pemotongan ini berlanjut disepanjang aspek prosesus koronoid, berakhir

pada tingkat arcus zygomatik pada situs fraktur. Sebuah elevator ditempatkan

diantara prosesus koronoid dan arcus zygomatik, dan fraktur tereduksi.

Teknik standar untuk perawatan fraktur arcus zygomatik, pertama-tama

dijelaskan oleh Gillies, Kilner, dan Stone pada 1927, dapat juga digunakan untuk

mereduksi fraktur kompleks zygomatik. Sebuah insisi temporal (panjang 2 cm)

dibuat dibelakang garis rambut. Pemotongan berlanjut melewati subkutaneus dan

fasia temporal supefisial kebawah hingga fasia temporal dalam yang berwarna

putih mengkilap (Gambar 7). Fasia temporal diinsisi horisontal untuk

memaparkan otot temporalis. Sebuah elevator kuat, seperti elevator uretral sehat

atau zygomatik Rowe, diinsersi kedalam hingga fasia, dibawah permukaan

temporal dari zygoma. Elevator harus melewati diantara fasia temporal dalam dan

otot temporalis atau ia akan terletak lateral terhadap arcus. Tulang harus terangkat

keluar dan kearah depan, dengan hati-hati untuk tidak mengaplikasikan daya pada

tulang temporal. Arcus harus dipalpasi selama bekerja sebagai panduan untuk

reduksi yang baik. Luka tertutup lapis demi lapis.

Sebuah teknik alternatif menggunakan elevator hook lengkung berbentuk

J. Alat ini diinsersi sedikit dibawah arcus zygomatik anterior terhadap eminensia

artikularis melewati insisi tusukan preaurikuler. Ujung hook diarahkan dibawah

fragmen yang tergeser, dan reduksi dicapai dengan traksi lateral yang terkendali.

12

GAMBAR 7 Gillies’s approach to reduce zygomatic arch fracture. A, Temporal incision through subcutaneous and superficial fascia down to the deep temporal fascia. B, Reduction of fracture with elevator.

Meskipun bukanlah teknik pendukung, sebuah finger splint yang berlapis

karet busa digunakan untuk mencegah pasien menerapkan daya yang tidak

diperlukan pada arcus. Splint dibentuk menjadi berbentuk U, diikat ke wajah, dan

dipertahankan selama 3 hingga 5 hari.

Reduksi terbuka dengan fiksasi internal jarang diperlukan untuk perawatan

fraktur arcus zygomatik terisolasi. Fiksasi internal dengan pelat kecil mungkin

diperlukan sebagai bagian penanganan fraktur kompleks zygomatik atau panfasial

terpecah energi-tinggi.

Fraktur Kompleks Zygomatik Energi-Rendah.

Energi rendah, fraktur kompleks zygomatik tidak tergeser atau tergeser

minimal mungkin tidak memerlukan koreksi. Pasien harus diobservasi secara

longitudinal untuk tanda-tanda pergeseran, disfungsi otot ekstraokuler, dan

enophthalmos setelah pembengkakan sembuh. Fraktur kompleks zygomatik yang

tergeser minimal dan stabil tanpa penemuan klinis signifikan mungkin tidak

memerlukan perawatan. Pasien harus diberikan pengetahuan resiko asimetri pipi,

13

orbita dan kelopak mata jika fraktur tidak direduksi. Dokumentasi, termasuk

fotografi, direkomendasikan.

Fraktur Kompleks Zygomatik Energi-Menengah.

Fraktur energi menengah, kompleks zygomatik yang tergeser memerlukan

reduksi dan fiksasi internal. Selama 20 tahun terakhir telah ada peningkatan pada

penggunaan reduksi terbuka dan fiksasi internal. Pada 1984, Zachariadis dan

kolega menangani 45% dari seluruh fraktur zygoma dengan teknik Gillies. Pada

institusi yang sama, pada 1995, hanya 2,5% dari fraktur-fraktur ini dirawat dengan

metode yang sama ini.

Pada 1996, Ellis dan Kittidumkerng mengajukan sebuah algoritma

perawatan untuk fraktur kompleks zygomatik energi menengah yang terisolasi

bahwa mereka tidak memerlukan rekonstruksi orbital (Gambar 8). Tahap awal

pada algoritma ini adalah reduksi fraktur. Ellis dan lainnya merekomendasikan

penggunaan sekrup Carroll-Girard, yang diinsersi transkutaneus kedalam

eminensia malar (Gambar 9). Sekrup Carroll-Girard memberikan kendali tiga

dimensi yang sempurna untuk mereduksi fraktur.

GAMBAR 8 Algoritm for Zygomatic complex fracture without need for internal orbit reconstruction.

14

Jika reduksi tidak stabil, atau jika ada pertanyaan mengenai akurasi

reduksi, penulis merekomendasikan untuk meneruskan ke reduksi terbuka dan

fiksasi internal. Dasar zygomaticomaksilaris distabilisasi dengan sebuah pelat jika

diperlukan.

Gambar 9. Carroll-Girard screw placed Transcutaneously untuk fraktur komplek zygomaticus

Dasar zygomaticofrontal yang terbuka kemudian juga distabilisasi dengan

pelat jika diperlukan. Metode ini memerlukan seleksi pasien yang tepat,

pengalaman, dan teknik yang teliti untuk memastikan akurasi reduksi dan

stabilisasi.

Penulis lain merekomendasikan pembukaan rutin pada dua atau lebih dari

ketiga dasar anterior untuk cedera energi menengah: dasar zygomaticomaksilaris,

dasar zygomaticofrontal, dan lingkaran infraorbital (Gambar 10 – 12). Pada pria

ini, dasar (buttress) multipel terlihat dan akurasi tiga dimensi reduksi dapat

dikonfirmasi.

Fraktur Kompleks Zygomatik Energi-Tinggi.

Sebuah pendekatan bedah yang lebih agresif direncanakan untuk merawat

fraktur energi-tinggi (Gambar 13). Seringkali ada serpihan/pecah pada buttress

anterior, membuat reduksi anatomis menjadi sulit. Dengan segmentasi pada arcus

zygomatik, adalah tidak mungkin untuk mengendalikan buttress posterior ini.

Sebagai tambahan, fraktur ini seringkali memerlukan rekonstruksi orbita.

15

Gambar 10 Gambar 11

Gambar 10 Intraoral exposure dan fiksasi pada fraktur zygomaticomaxillary buttress

Gambar 11. Fiksasi pada fraktur zygomaticofrontal buttress dengan insisi supratarsal fold.

Untuk mengembalikan proyeksi yang baik, lebar wajah, dan volume

orbita, pemaparan arcus zygomatik dan dasar orbita seringkali diperlukan sebagai

tambahan terhadap pemaparan/eksposur pada buttress anterior. Sebuah flap

koronal digunakan untuk mendapatkan akses kedalam arcus zygomatik. Sebuah

insisi transkutaneus atau transkonjungtiva digunakan untuk mengeksplorasi dan

merekonstruksi orbit interna. Dengan pemaparan intraorbita yang lebar, sutura

sphenozygomatik yang lebar juga mungkin dapat diperlihatkan untuk membantu

reduksi anatomis.

Gambar 12. Fiksasi pada fraktur infraorbital rim dengan insisi subciliary incision.

16

Pendekatan Bedah untuk Buttress Zygomaticomaksilaris.

Setelah penutup tenggorokan ditempatkan dan anestesi lokal diinfiltrasi,

sebuah insisi dibuat pada vestibulum maksilaris 3 hingga 5 mm diatas perlekatan

mukogingiva. Insisi meluas dari area kaninus hingga daerah molar pertama atau

kedua. Penggunaan elektrokauter dapat mengurangi perdarahan. Insisi periosteal

dibuat, dan flap mukoperiosteal diangkat untuk memaparkan nervus infraorbital,

lempeng piriformis, dan buttress zygomaticomaksilaris (Gambar 10). Potongan

superior tambahan digunakan untuk memvisualisasi lingkaran infraorbital.

Pendekatan Bedah untuk Buttress Zygomaticofrontal.

Akses dan pemaparan untuk reduksi terbuka dari buttress

zygomaticofrontal dapat dicapai dengan lipatan supratarsal atau insisi alis mata

lateral (Gambar 14A dan B). Jika ada, laserasi sebelumnya dapat digunakan untuk

eksposur daerah ini.

Pada 1996, Kung dan Kaban menjelaskan penggunaan insisi lipatan

supratarsal untuk pendekatan ke orbit lateral (Gambar 11 dan 14B). Insisi

diletakkan pada lipatan kulit paralel dengan sulkus palpebra superior diatas

lempeng tarsal. Ia diletakkan sekitar 10 hingga 14 mm diatas margin kelopak mata

atas. Sebuah insisi 2,0 cm biasanya mencukupi tetapi dapat meluas lateral

kedalam lipatan mata untuk peningkatan paparan. Potongan paralel tumpul hingga

serat-serat otot orbicularis oris memisahkan mereka dan memaparkan lingkaran

orbital lateral. Potongan ini berlanjut, superfisial hingga septum orbita dan diatas

lingkaran orbita lateral. Sebuah insisi periosteal vertikal dibuat, dan potongan

subperiosteal akan memaparkan fraktur. Insisi memberikan akses ke sutura

frontozygomatik dan menghasilkan bekas luka yang tidak terlalu jelas.

Sebuah insisi alis lateral dilakukan dengan pertama-tama mempalpasi

sutura frontozygomatik. Sebuah insisi 2,0 cm dibuat didalam batas-batas alis mata

lateral paralel dengan lingkaran orbital lateral superior (Gambar 14A). Potongan

dilanjutkan melewati orbicularis oris dan periosteum hingga ke situs fraktur.

17

GAMBAR 14 Frontal view illustrating periorbital incision sites. A, Four different incisions for repair of zygoma fractures. B, Upper eyelid incision within the lateral supratarsal fold. C, Transconjuctival incision below the lower border of the tarsus.

Pendekatan Bedah untuk Lingkaran Infraorbita dan Orbit.

Akses dan pemaparan untuk reduksi terbuka pada lingkaran infraorbita

dan dasar orbita dapat dicapai dengan subsiliari transkutaneus atau insisi

transkonjungtiva. Perlindungan bola mata dengan selubung sklera atau

tarsorrhaphy direkomendasikan.

Sebuah insisi subsilia dibuat 1 hingga 2 mm dibawah dan paralel terhadap

margin bulu mata bawah (Gambar 13 dan 14A). Ia harus meluas dari lateral

hingga punctum pada lipatan kulit alami. Serat-serat dari otot orbicularis

dipisahkan secara horisontal pada tingkat yang sama seperti insisi kulit, dan

sebuah flap otot kulit komposit diangkat anterior terhadap septum orbita. Sebuah

insisi periosteal dibuat pada permukaan anterior lingkaran infraorbital. Potongan

subperiosteal kemudian dilengkapi untuk memaparkan lingkaran orbita dan dasar

orbita. Variasi multipel dari teknik ini telah dijelaskan termasuk flap hanya kulit,

flap otot-kulit bertahap, dan pendekatan subtarsal. Hal-hal berikut telah

dibandingkan satu sama lain dan terhadap insisi transkonjungtiva. Tanpa

menghiraukan tekniknya, pendekatan transkutaneus berhubungan dengan

insidensi ektropion yang lebih tinggi, peningkatan penampakan sklera, dan

pencacatan kutaneus.

Untuk menghindari masalah yang berhubungan dengan insisi kutaneus,

banyak penulis merekomendasikan pendekatan transkonjungtiva. Tessier

menjelaskan pendekatan ini pada 1973 (Gambar 14C dan 15). Kelopak mata

bawah diretraksi, dan sebuah insisi dibuat dibawah batasan bawah dari tarsus.

18

Potongan meluas kearah inferior, dan sebuah potongan preseptal (superfisial

terhadap septum orbital) diguanakan untuk memaparkan lingkaran infraorbital.

Variasi teknik ini termasuk potongan retroseptal. Pendekatan ini mempertahankan

integritas kelopak mata bawah tetapi memerlukan retraksi lemak orbital selama

reduksi fraktur dan fiksasi (Gambar 16).

Sebuah canthotomi lateral dapat digunakan untuk meningkatkan paparan.

Perbaikan yang teliti pada canthotomi lateral diperlukan untuk mencegah asimetri.

Manson dan kolega menjelaskan sebuah metode untuk memaparkan

keseluruhan daerah orbit lateral, lingkaran infraorbita, dan dasar orbita melalui

sebuah insisi tunggal. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan subsilia atau

transkonjungtiva dan memerlukan pemotongan meluas subperiosteal dengan

mobilisasi tendon canthal lateral.

Gambar 15 insisi Transconjunctival pada infraorbital rim.

GAMBAR 16 Sagittal view of eye illustrating relation ofconjunctiva, orbital septum and fat, and orbicularis muscleto the eye and infraorbital rim.

19

Kesulitan-kesulitan pada Pendekatan Bedah pada Lingkaran Infraorbital

dan Orbita.

Seluruh pendekatan pada lingkaran infraorbita dapat menghasilkan

komplikasi. Insisi subsilia dan transkonjungtiva dapat menghasilkan ektropion,

entropion, dan peningkatan paparan sklera. Dukungan pada pendekatan

transkonjungtiva menyebutkan peningkatan tingkat ektropion dan paparan sklera

dengan insisi transkutaneus (lihat Gambar 13). Pada 1993, Appling menemukan

12% ektropion dan 28% paparan sklera dengan pendekatan subsilia. Sebagai

perbandingan, pendekatan trankonjungtiva tidak memiliki ektropion yang jelas

dan 3% paparan sklera permanen.

Multipel faktor telah disebutkan sebagai penyebab peningkatan paparan

sklera dan ektropion. Selama pemotongan lingkaran orbita, perhatian harus

diberikan untuk memastikan bahwa penempatan insisi periosteal berada pada

permukaan anterior maksila. Sebuah insisi ditempatkan pada lingkaran superior

atau posterior hingga lingkaran orbita dapat merusak septum orbita. Pembekasan

luka kemudian dan kontraktur septum dapat menghasilkan peningkatan paparan

sklera atau ektropion.

Penutupan luka yang tidak sempurna dapat juga berkontribusi pada

komplikasi kelopak bawah. Setelah pemaparan subperiosteal luas, yang seringkali

diperlukan untuk perbaikan fraktur kompleks, jaringan lunak wajah dapat

menurun kearah kaudal, menghasilkan kehilangan proyeksi anterior, penekanan

pada lipatan nasolabial, meningkatkan paparan sklera, dan ektropion. Phillips dan

kolega merekomendasikan resuspensi periosteum, otot, dan jaringan subkutaneus.

Lubang multipel di-bur pada lingkaran orbita inferolateral. Ujung jaringan

periosteum, otot, dan subkutaneus dijahit dengan lingkaran orbita. Hal ini dapat

meminimalisir traksi pada jaringan infraorbita dan ektropion kemudian atau

peningkatan pemaparan sklera.

Akhirnya, dukungan postoperatif untuk kelopak bawah dengan jahitan

beku diajukan sebagai sebuah teknik untuk mencegah ektropion. Hal ini dapat

mendorong penutupan kembali jaringan kelopak mata bagian bawah.

20

Pendekatan Bedah untuk Arcus Zygomatik.

Pada fraktur kompleks zygomatik energi tinggi atau koreksi sekunder

deformitas zygomatik, akses terbatas dengan insisi konvensional. Untuk

mendapatkan paparan yang mencukupi, sebuah insisi koronal yang

dikombinasikan dengan pendekatan kelopak mata bawah direkomendasikan

(Gambar 13F).

Insisi awal melalui kulit, jaringan subkutaneus, dan galea kulit kepala

(scalp). Elevasi flap koronal berlanjut pada jaringan ikat areolar longgar subgalea

superfisial terhadap perikranium. Dataran temporal dan preaurikuler pada

pemotongan disepanjang fasia temporal, yang dapat diidentifikasikan dengan

karakteristik putih berkilau. Sebuah insisi periosteal horisontal dibuat 2 hingga 3

cm diatas lingkaran supraorbita, dan dataran subperiosteal dari potongan

dikembangkan hinga orbit superior dan lateral. Sebuah insisi dibuat pada lapisan

superfisial dari fasia temporal dari arcus zygomatik posterior hingga daerah

supraorbita yang terpapar sebelumnya. Bantalan lemak temporal harus

diidentifikasi (lihat Gambar 13F). Potongan meluas secara inferior pada

kedalaman ini hingga arcus zygomatik dan anterior terhadap lingkaran orbita

lateral. Nervus fasial terlindungi didalam flap ini.

Fiksasi internal.

Banyak metode telah digunakan untuk stabilisasi fraktur kompleks zygomatik.

Hal-hal ini termasuk penutupan antral, fiksasi kawat perkutaneus, dan

osteosintesis kawat. Sekarang diterima bahwa pelat mini atau fiksasi pelat mikro

memberikan hasil yang terbaik dan komplikasi minimal.

Kontroversi terjadi mengenai lokasi terbaik untuk fiksasi internal dan

jumlah dan tipe pelat yang diperlukan. Berbagai penelitian telah mencoba untuk

menandakan daya-daya yang ditempatkan pada kompleks zygomatik dan jumlah

fiksasi yang diperlukan untuk mencapai “stabilitas”. Daya-daya ini termausk otot-

otot masseter dan temporalis dan kontraktur fasia dan jaringan lunak, yang

menyebabkan pergerakan rotasi pada aksis multipel disekitar buttress zygomatik.

21

Fiksasi internal harus memberikan kekuatan yang cukup untuk menahan daya-

daya ini.

Untuk fraktur energi rendah dan menengah, fiksasi stabil dapat dicapai

pada satu atau lebih buttress anterior. Lokasi fiksasi dan jumlah situs fiksasi

tergantung pada pola fraktur, lokasi, vektor pergeseran, dan derajat

ketidakstabilan. Adakalanya, fiksasi satu titik dapat mencukupi. Stabilisasi dua

atau tiga titik lebih umum diperlukan.

Untuk cedera-cedera energi tinggi, titik keempat fiksasi diperlukan. Arcus

zygomatik biasanya terpecah dan tergeser lateral. Reduksi terbuka dan fiksasi

internal diperlukan untuk mengembalikan lebar wajah yang tepat dan proyeksi.

Fiksasi Internal dari Buttress Zygomaticomaksilaris.

Buttress zygomaticomaksilaris memberikan sebuah lokasi ideal untuk

fiksasi internal untuk fraktur-fraktur energi menengah dan tinggi. Reduksi

anatomis dari fraktur ini membantu dalam mengembalikan proyeksi malar, tetapi

sulit jika buttress terpecah. Jaringan lunak yang berada diatasnya tebal, dan

palpabilitas lempeng bukanlah sebuah perhatian. Oleh karena itu, fraktur ini harus

distabilisasi dengan pelat 1,5 atau 2,0.

Fiksasi Internal dari Buttress Zygomaticofrontal.

Buttress zygomaticofrontal mengandung tulang yang baik untuk fiksasi

dan dapat mengakomodasi lempeng 2,0. Reduksi dan fiksasi fraktur ini akan

membentuk kembali tinggi vertikal dari kompleks zygomatik. Meskipun

demikian, karena tampilannya yang sempit, buttress ini tidak membantu dalam

mengevaluasi reduksi fraktur yang terotasi. Ketebalan jaringan lunak yang berada

diatas daerah ini bervariasi. Pada beberapa contoh ia mungkin cukup tipis dan

pelat yang besar mungkin dapat dipalpasi. Jika fiksasi yang stabil dapat dicapai

pada situs lainnya, pelat yang lebih kecil dapat digunakan.

Fiksasi Internal pada Lingkaran Infraorbita.

Tidak seperti buttress zygomaticofrontal, lingkaran infraorbita memiliki

kualitas tulang yang rendah untuk fiksasi internal. Sebagai tambahan, kulit

22

kelopak mata bawah cukup tipis, dan pelat yang besar sangat mudah terpalpasi.

Disamping perhatian-perhatian ini, fiksasi situs ini diperlukan untuk menentukan

volume orbital dan lebar wajah. Lingkaran infraorbital biasanya tergeser posterior

dan inferior. Fraktur harus dimobilisasi secara anterior dan superior dan

distabilisasi. Biasanya pelat mikro 1,0 atau 1,5 digunakan untuk menstabilisasi

lingkaran infraorbital. Sebuah kesalahan potensial dalam reduksi ini adalah fraktur

heminasoethmoid yang tidak baik (Gambar 13D). Jika lingkaran infraorbital

diamankan terhadap segmen yang bergeser dan belum terdiagnosa ini, pelebaran

wajah pascaoperatif dapat terjadi.

Fiksasi Internal Arcus Zygomatik.

Fiksasi internal arcus zygomatik diperlukan untuk fraktur energi tinggi

yang memperlihatkan pecahan dan pergeseran lateral. Restorasi buttress sagital

membantu dalam pengembalian proyeksi wajah dan lebar wajah. Ketika terpapar,

arcus zygomatik seringkali direduksi dan distabilisasi pertama kali dari rangkaian

perbaikan cedera energi tinggi. Perhatian harus diberikan dalam mengembalikan

sebuah arcus “lurus” dan bukan arcus “lekuk”, yang akan menurunkan proyeksi

wajah. Fraktur ini biasanya memerlukan lempeng yang besar untuk menahan

daya-daya deformasional.

Seperti pada perawatan fraktur-fraktur panfasial, sebuah pendekatan

sistemik sangat membantu untuk memastikan restorasi tinggi wajah, lebar, dan

proyeksi wajah. Untuk cedera energi menengah dengan paparan pada ketiga

buttress anteiror, fraktur zygomaticofrontal dapat distabilisasi sementara dengan

kawat interosseus. Hal ini diikuti dengan fiksasi fraktur zygomaticomaksilaris dan

lingkaran infraorbital. Kawat sementara pada fraktur zygomaticofrontal

digantikan dengan sebuah pelat. Dasar orbita direkonstruksi setelah zygoma telah

direstorasi ke posisi tiga dimensi yang sebenarnya.

Pada fraktur energi tinggi, arcus zygomatik harus direkonstruksi terlebih

dahulu.

23

Penanganan Dasar Orbital

Pasien-pasien dengan cedera kompleks zygomatik energi menengah dan

tanpa ada bukti klinis atau radiologis gangguan orbital tidak memerlukan

pemeriksaan. Cedera energi menengah dengan pergeseran pada lingkaran atau

dasar orbital atau herniasi jaringan lunak kedalam sinus harus diperiksa (Gambar

4A). Indikasi klinis untuk pemeriksaan orbital termasuk enophthalmos,

pembatasan fungsi otot ekstraokuler dengan uji forced duction positif, dan

diplopia persisten. Fraktur energi tinggi memerlukan pendekatan yang lebih

agresif, dan lingkaran orbita dan dasar orbita harus dieksplorasi dan

direkonstruksi.

Fujino dan Makino mengklasifikasikan cedera dasar orbita (Gambar 17).

Sebuah fraktur linier ketika lingkaran infraorbita tersumbat, menggeser isi dan

dasar orbital di posterior. Septum orbital tersobek, jaringan lunak yang herniasi

kedalam sinus maksilaris. Ketika daya dihilangkan, dasar orbita kembali ke posisi

awalnya dan jaringan lunak terjebak didalam situs fraktur. Pecahan dasar orbita

dihasilkan oleh sebuah daya sepuluh kali lipat lebih besar daripada yang

diperlukan untuk sebuah fraktur linier. Fragmen terdorong inferior kedalam sinus,

menghasilkan diskontinuitas tulang.

Gambar 17. Isolated blow-out fracture with herniation of orbital contents into the maxillary sinus.

24

Indikasi untuk pemeriksaan fraktur orbita yang terisolasi termasuk bukti

CT scan dari fraktur dan herniasi jaringan orbita, enophthalmos, dystopia,

gambaran kerusakan yang tidak mengalami perbaikan hingga 7 sampai 14 hari,

dan forced duction test positif.

Perawatan.

Akses hingga ke bagian dasar dilakukan dengan subciliary atau insisi

transconjunctival. Fraktur liniear sederhana hanya memerlukan pembuangan

jaringan yang tersisa. Kerusakan yang lebih besar membutuhkan pengurangan

jaringan lunak dan serpihan-serpihan tulang yang berasal dari sinus serta

membutuhkan pula rekonstruksi bagian dasar dengan mengunakan bone graft atau

implant. Eksplorasi bagian dasar dilakukan terlebih dahulu untuk mengurangi

fraktur. Rekonstruksi bagian dasar dilakukan setelah pengurangan dan stabilisasi

lingkar orbita dilakukan.

Bagian dasar orbita mungkin bisa direkonstruksi dengan menggunakan

autograft, allograft, atau dengan menggunakan implan prostetik. Sumber autograft

termasuk itu calvaria, iliac crest, atau kartilago nasal septal. Sumber allograft

termasuk itu lyophilized dura dan kartilago. Bahan alloplastic seperti titanium

merupakan material dengan karakteristik yang kuat, lentur sehingga dapat

diadaptasikan dengan akurat untuk menjangkau bagian orbital yang rusak. Implan

porous polyethylene dan resorbable polydioxanone juga telah digunakan untuk

melakukan rekonstruksi infraorbita.

Tanpa menghiraukan teknik, restorasi anatomis volume orbita dibutuhkan

untuk mencegah terjadinya enophthalmos pada saat postoperasi. Pada fraktur yang

kompleks, bagian dasar orbital dalam jumlah yang signifikan bisa saja hancur atau

hilang. Kerusakan harus dapat dikenali secara pasti, dan graft ataupun implant

harus diletakan tepat pada bagian posterior dari lingkar orbita.

Test forced duction sebaiknya dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan

eksplorasi pada bagian dasar orbita dan rekontruksi.

25

Peran Bone Grafting.

Bone grfting awal diindikasikan untuk kerusakan yang parah dimana

ditemukan adanya hilangnya tulang atau kehancuran tulang yang meluas.

Kerusakan pada bagian dasar orbita dan bagian penopang zygomatic umum terjadi

pada kerusakan karena trauma yang besar. Fraktur kompleks pada zygomatic

seringkali dikaitkan dengan fraktur pada bagian tengah wajah lainnya yang

membutuhkan perawatan. Graft dapat membantu pengurangan secara anatomis

dan membantu untuk menstabilkannya serta mencegah terjadinya kontraksi

jaringan lunak.

Perawatan postoperasi. Fraktur kompleks pada zygomatic merusak sinus

maksilaris. Oleh karena alas an inilah, direkomendasikan pemakaian antibiotik

dan dekongestan. Ampicilin, amoxicillin, clindamycin, aau cephalosporin juga

mungkin untuk digunakan. Dekongestan seperti pseudoephedrine juga digunakan

untuk membebaskan aliran udara pernafasan.

Insisi diobservasi secara cermat untuk melihat adanya tanda-tanda infeksi,

dan mata diperiksa untuk mendapatkan data visual dan mengsampingkan

komplikasi-komplikasi seperti abrasi kornea. Gambaran radiografis (Water’s view

dan submentovertex) dilakukan untuk mendapatkan data mengenai pengurangan

banyaknya fraktur. CT scan dapat dilakukan pada kasus fraktur comminuted

untuk memeriksa pengurangan zygomatic yang kompleks dan rekontruksi orbital.

26

BAB V

KOMPLIKASI

Walaupun komplikasi pada fraktur kompleks zygomatic dan lengkung

zygomatic tidak umum terjadi, ahli bedah harus mengenali tanda-tanda dan gejala

untuk dapat memberikan perawatan yang tepat. Komplikasi bisa saja terjadi pada

masa awal periode postoperasi atau hanya menjadi manifestasi dikemudian hari.

Paresthesia Infraorbita

Insidensi perubahan sensoris saraf infraorbita yang menyertai trauma

zygomatic berkisar 18 hingga 83%. Penelitian oleh Vriens bersama mahasiswanya

dan Taicher bersama mahasiswanya, telah menemukan bahwa pemulihan sensasi

infraorbita yang lebih baik yang menyertai reduksi yang terbuka dan fiksasi

internal pada sutura zygomaticofrontal dibandingkan dengan reduksi yang tanpa

disertai dengan fiksasi. Sepertinya, reduksi anatomis pada fraktur dapat

meminimalisir tekanan saraf dan dibiarkan untuk pulih. Namun, pada penelian

Vrien, tidak didapat tingkat kesembuhan yang sama pada pasien yang

membutuhkan eksplorasi bagian dasar dan rekonstruksi orbita.

Malunion dan asimetris

Reduksi dan stabilisasi fraktur zygomatic yang kurang memadai dapat

mengakibatkan malunion aatu asimetris. Proyeksi malar yang buruk merupakan

akibta dari rotasi inferior dan posterior yang tidak terkoreksi. Pertambahan lebar

wajah, untuk mengurangi proyeksi malar, merupakan akibat dari reduksi lengung

zygomatic yang kurang baik, dimana reduksi tersebut dikarenakan oleh trauma

yang besar pada orbitozygomatic.

Malunion yang dikenali hingga 6 minggu setelah terjadinya kerusakan

dapat dikoreksi dengan teknik reduksi zygomatic secara rutin. Koreksi deformitas

yang sedikit terlambat melibatkan onlay graft autogen atau penempatan implant

aloplastisseperti porous polyethylene. Deformitas parah posttraumatic mungkin

saja membutuhkan osteotomi dan reposisi zygomatic. Carnial bone grafting juga

diperlukan. Scarring dan kontraksi jaringan lunak periorbital juga mungkin

27

terjadi. Lid retraction, entropion, ectropion, dan canthal repositioning juga

mungkin perlu direncanakan untuk melakukan rekonstruksi tulang.

Enophtahlmos

Enophtahlmos merupakan satu dari beverapa komplikasi yang paling

mengganggu yang menyertai fraktur-fraktur zygomatic. Peningkatan volume

orbita merupakan etiologi yang paling umum.

Grant bersama mahasiswa menjelaskan permasalahan klinis ini secara

jelas dengan membandingkan bentuk orbit dan bentuk kerucut. Volume kerucut

adalah ½ (πr2)h. Posisi lengkung orbita menentukan radius kerucut dan dimensi

panjang anteroposterior orbita adalah tinggi dari kerucut. Pada rumus ini, radius

dikwadratkan dan sedikit penambahan pada radiusnya menghasilkan pertambahan

volume yang drastic. Secara klinis, kesejajaran yang buruk dari lingkar orbita

dapat menambah volume orbita secara signifikan dan menimbulkan

enophthalmos.

Fraktur pada bagian dasar orbita juga merupakan akibat dari enophthalmos

dengan pertambahan volume orbita (gambar 18). Dengan teknologi CT-scan yang

lebih baik, kalkulasi volume orbita dan implikasinya terkait dengan fraktur pada

bagian dasar orbita, mungkin saja untuk dilakukan.

Raskin bersama mahasiswa menunjukan bahwa pertambahan sebesar 13%

pada volume orbita, pada 4 minggu, mengakibatkan enophthalmos yang

siginifikan (>2mm). Ukuran pada kerusakan orbita dan tonjolan abnormal pada

jaringan orbita juga telah diteliti. Pada tahun 2002, Ploder bersama mahasiswa

menjelaskan bahwa nilai rata-rata area fraktur sebesar 4,08 cm atau rata-rata nilai

jaringan yang bergeser sebesar 1,89 mL, dikaitkan dengan enophtahlmos dengan

ukuran lebih besar dari 2 mm. Pada umumnya, kira-kira 1 cm3 jaringan yang

bergeser sebanding dengan 1 mm enophthalmos.

Perawatan enophthalmos yang telat bisa dikatakan cukup menantang.

Akses yang luas dengan oetotomy zygoma, reposisi, dan grafting bisanya

diperlukan. Re-draping dari jaringan lunak periorbital termasuk itu canthopexy

juga diperlukan.

28

Gambar 18 A, pasien perempuan 27dengan enophthalmos dan diplopia dengan diagnosa fraktur dasar orbital dengan vertical dystopia and prominent supratarsal fold B, Coronal CT scan demonstrating displacement of the orbital floor. C, One-year postoperativefrontal photograph after transconjunctival reconstruction of the orbital floor with titanium mesh. Note the symmetry of the vertical globe position and the supratarsal fold. D, Postoperativecoronal CT scan demonstrating titanium mesh reconstruction of the orbital floor.

Diplopia

Diplopia merupakan kondisi abnormal (sequel) pada fraktur bagian tengah

wajah. Insidensinya bervariasi anatar 17 dan 83% dan tergantung dari waktu

timbulnya yang menyertai kerusakan dan pola serta tingkat keparahan dari

kerusakan. Pada pengamatan 2067 kasus fraktur kompleks zgomatic, Ellis

bersama mahasiswa mencatat sebanyak 5,4 hingga 74,5 % insidensi diplopia.

Fraktir kompleks zygomatik non-displaced dan fraktur lengkung zygomatic yang

terisolir memiliki insidensi diplopia terendah, sedangkan fraktur murni memiliki

insidensi yang tinggi.

Penyebab-penyebab utama diplopia antara lain adalah edema dan

hematoma, terjepitnya otot-otot ekstraokular dan jaringan orbita, dan kerusakan

29

saraf III, IV, atau VI cranial. Penelitian histologist oleh Iliff bersama

mahasiswanya telah menunjukan fibrosis post-traumatik pada otot-otot

extraocular sebagai akibat kerusakan yang ditimbulkan. Mereka mengajukan

hipotesis bahwa hal ini bisa saja merusak contractility dan mengurangi terjadinya

penyimpangan otot-otot. CT scan pada bagian axial dan coronal serta konsultasi

dengan ahli mata perlu dilakukan untuk membantu pelaksanaan evaluasi. Diplopia

yang berhubungan dengan edema, hematoma, atau neurogenic bisa saja diatasi

tanpa adanya intervensi. Diplopia yang ditimbulkan oleh entrapment

membutuhkan eksplrasi dan reduksi tonjolan abnormal pada jaringan orbita

(gambar 19).

Diplopia yang menetap membutuhkan perawatan oleh ahli mata. Kondisi

tersebut membutuhkan perhatian khusus atau pembedahan.

Gambar 19. A,pasien laki-laki 4 5tahun suffered a fall and presented with right orbital floor blow-out fracture and significant restrictionof the inferior rectus and diplopia. B, Coronal CT scan demonstrating large orbital floor blow-out fracture with herniation of the orbital contents into the maxillary sinus. C, Postoperative view after transconjunctival reconstruction of the orbital floor with titanium mesh and return of normal extraocular muscle function. Note projection of the globes without evidence of enophthalmos.

Hyphema Traumatik

Trauma pada mata bisa mengakibatkan perdarahan di dalam ruang

anterior-area di antara kornea dan iris yang berwarna (gambar 20). Konsultasi

dengan ahli mata diperlukan. Hasil akhir perawatan termasuk pula pencegahan

terhadap perdarahan, yang bisa saja terjadi pada 5-30% pasien, dan

mempertahankan keadaan ocular normal.

Penatalaksanaan hyphema terdiri atas terapi suportif termasuk itu

mengatur kemiringan bagian kepala tempat tidur dan mengobati bagian mata yang

30

rusak. Penatalaksanaan medis dengan menggunakan cycloplegic topikal, dan beta-

blocker. Antifibrinolitik sistemik, carbonic anhydrase inhibitor, dan osmotic agent

juga diperlukan. Intervensi pembedahan oleh ahli mata jarang dibutuhkan.

Perawatan fraktur dapat ditunda.

Trauma Neuropathy Optik

Trauma neuropathy optik dapat saja bermanifstasi sebagai kondisi yang

meluas dari gambaran deficit yang ringan hingga gambaran kehilangan secara

keseluruhan. Konsultasi dengan ahli mata harus dilakukan. Perawatannya

bervariasi tergantung dari penyebabnya tapi bisa saja melibatkan penggunaan

steroid secara sistemik atau pembedahan dengan dekompresi saraf orbital atau

optik. Perawatan pada fraktur wajah dapat ditunda.

Sindrom Superior Orbital Fissure

Sindrom orbital fissure merupakan komplikasi yang tidak umum yang

menyertai trauma wajah. Keadaannya bisa saja berupa ptosis, ophthalmoplegia,

forehead anesthesia, dan fixed dilated pupil. Proptosis juga mungkin terlihat

Perawatannya bisa berupa reduksi fraktur, steroid, eksplorasi apeks orbital dan

aspirasi hematoma retrobular, apabila ada.

Perdarahan retrobulbar

Perdarahan pada retrobular jarang terjadi namun merupakan komplikasi

yang parah yang dapat mengakibatkan kerusakan awal atau koreksi operatif.

Gangguan pada sirkulasi retina dapat mengakibatkan iskemi yang ireversibel dan

kebutaan permanen. Pengamatan pada 1405 kasus fraktur orbita, Ord melaporkan

insidensi sebanyak 0,03% pada perdarahan retrobular posoperatif disertai dengan

kehilangan penglihatan. Konsultasi sesegera mungkin dengan ahli mata

diperlukan, namun dekompresi dengan canthotomy lateral dan cantholysis

sebaiknya tidak ditunda ( gambar 20).

31

Gambar 20. A. Retrobulbar hemorrhage. A, pasien dengan keluhan sakit pada periorbital,fiksasi dan dilatasi pupil, proptosis, dan akut progressiveloss of vision dengan hyphema. B, Immediate lateralcanthotomy and cantholysis were performed.

Trismus

Pasien dengan fraktur zygomatik biasanya mengeluhkan adanya trismus

yang akut. Namun, hanya ada sedikit kasus pengurangan pergerakan mandibula

yang menyertai fraktur kompleks zygomatik yang dilaporkan pada literatur

tersebut. Penyebab yang paling umum adalah pergeseran badan zygomatik pada

prosesus koronoid mandibula. Trismus juga terjadi sekunder terhadap ankilosis

fibrosa atau fibro-osseus dari koronoid lengkung zygomatik. CT scan sebaiknya

dilakukan untuk memperjelas diagnosa. Koronoidektomi merupakan perawatan

yang paling umum. Apabila zygoma tidak direduksi secara tepat, osteotomi

zygomatik dan reposisi mungkin perlu dilakukan untuk mengembalikan gerakan

mandibula yang terbatas.

32

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. Fonseca, R.J., et. All. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. Third Ed.

WB Saunders Co. Philadelphia.

2. Tucker MR, Ochs MW. Management of facial fractures. Dalam : Peterson

et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis: mosby co.

2003

3. Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus.

Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1

tahun IX hal 41-50.

4. Ellis E. fractures of the zygomatic complex and arch. Dalam : fonseca rj et

al. oral and maxillofacial trauma. St. louis : Elsevier. 2005

5. Bailey JS, Goldwasser MS. Management of Zygomatic Complex

Fractures. Dalam : Miloro M et al. Peterson’s principles of Oral and

Maxillofacial Surgery 2nd. Hamilton, London : BC Decker Inc. 2004

33

FRAKTUR KOMPLEKS ZYGOMA

MAKALAH IBM 3

OLEH:

HERI HERLIANA

160121090007

PEMBIMBING:

ENDANG SAMSUDIN, drg. SpBM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2009

34