Upload
haquynh
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
51
5 PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian
5.1.1 Alat penangkapan ikan
Pada dasarnya dalam suatu operasi penangkapan ikan penggunaan
bermacam-macam jenis alat penangkapan ikan sesuai dengan target ikan yang
akan ditangkap itu dibolehkan. Dalam rangka mewujudkan tujuan pengelolaan
perikanan seperti yang diamanatkan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan yaitu agar SDI tetap lestari serta pemanfaatannya dapat optimal dan
berkelanjutan maka perlu dilakukan beberapa langkah yang berkaitan dengan
penggunaan Alat Penangkapan Ikan di antaranya ([email protected]
Blog : http://mukhtar-api.blogspot.com) :
1. Pembuatan ketentuan-ketentuan/peraturan-peraturan yang mengatur tentang
penggunaan Alat Penangkapan Ikan.
2. Pencantuman jenis dan dimensi utama Alat Penangkapan Ikan yang digunakan
dalam SIPI.
3. Pengawasan penggunaan Alat Penangkapan Ikan di lapangan.
Alat penangkapan ikan utama yang digunakan oleh nelayan Kecamatan
Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara adalah pancing ulur dan jaring hanyut
(gillnet). Sebagian besar teknologi penangkapan ikan yang dipergunakan nelayan
setempat masih sederhana. Armada penangkapan ikan didominasi oleh perahu
dayung dan perahu motor tempel (ketinting) dengan ukuran dibawah 2 GT. Jenis
teknologi penangkapan yang masih sederhana dan armada skala kecil
menyebabkan daerah penangkapan ikan terbatas di perairan pantai sekitar 2-3 mil.
Berdasarkan waktu kerja dari nelayan di Desa Pediwang, Bori, dan Desa
Doro Kecamatan Kao Utara, mereka tergolong sebagai nelayan sambilan utama
dan nelayan sambilan tambahan. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang
sebagian besar waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi
penangkapan ikan. Sedangkan Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang
sebagian kecil dari waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi
penangkapan (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005).
52
Keterbatasan alat tangkap yang dimiliki nelayan di Desa Pediwang, Desa
Doro, dan Desa Bori merupakan salah satu faktor yang cukup dominan yang
menyebabkan produktifitas hasil tangkapan nelayan menjadi rendah. Daya jelajah
perahu yang digunakan umumnya terbatas, dan berimplikasi pada jumlah dan
jenis tangkapan ikan yang makin lama makin berkurang. Rata-rata penghasilan
yang diperoleh nelayan miskin relatif kecil sehingga hanya untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, bahkan bagi nelayan yang memiliki tanggungan keluarga
yang lebih besar, terpaksa hidup kekurangan. Disamping mengandalkan hasil laut
sebagai penopang kebutuhan keluarga, sebagian besar dari masyarakat nelayan di
ketiga desa tersebut juga mengandalkan hasil-hasil perkebunan. Rata-rata
masyarakat nelayan di tiga desa memiliki kebun yang menghasilkan kelapa
(kopra) yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
5.1.2 Sosial budaya masyarakat nelayan
Masyarakat nelayan di Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara
yang bergerak di sektor perikanan rata-rata kualitas sumberdaya manusianya
masih rendah. Umumnya mereka mengelola usaha perikanan bersifat turun
temurun dan hanya mengandalkan kemampuan fisik. Tingkat pendidikan bukan
merupakan keharusan untuk menjadi nelayan, namun terpenting bagi mereka
memiliki kemauan dan motivasi kerja. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap
adopsi teknologi dan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang ramah
lingkungan. Akibatnya nelayan di Kabupaten Halmahera Utara masih tetap
menggunakan bom ikan sesuai dengan kebiasaan yang turun-temurun dari
generasi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Boeke (1983, bahwa
aktivitas ekonomi masyarakat nelayan senantiasa ditundukkan pada dan dicampur
dengan berbagai macam motif yaitu, motif sosial, keagamaan, etis dan tradisional.
Dari sisi konsumsi, kehidupan ekonomi desa tradisional dibangun atas dasar
“prinsip swasembada”, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup kesehariannya
diproduksi/dipenuhi oleh desa tradisional sendiri. Kemampuan desa tradisional
membangun struktur ekonomi demikian, karena didukung penuh oleh adanya
ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan-
kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian semata-
53
mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk
memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu berorientasi kepada laba (non profit
oriented).
Selanjutnya, Boeke (1983) menyatakan bahwa kehidupan sosial
masyarakat desa yang tradisional sulit diklasifikasikan menurut pekerjaan mereka,
tidak seperti struktur kehidupan sosial pada masyarakat perkotaan dalam
klasifikasi yang jelas dan terstruktur. Masyarakat desa tradisional yang hidup di
daerah-daerah pertanian pedalaman hidup dalam komunitas-komunitas yang
cenderung bersikap “tertutup”, serta dengan semangat kelompok yang kuat,
karena mereka menganggap bahwa eksistensi individu terletak di dalam
kehidupan berkelompok atau bermasyarakat.
Nelayan di Kecamatan Kao utara termasuk nelayan sambilan utama. Oleh
karena itu, karakteristik usaha nelayan di lokasi penelitian ini masih tergolong
skala kecil dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya. Kehidupan
masyarakat pada 3 desa ini masih bersifat tradisional dan memiliki budaya yang
lebih mengagungkan orang yang lebih tua, dan sistem kekerabatan yang masih
kuat berdasarkan adat istiadat setempat. Gaya hidup yang cenderung tradisional
masih terlihat di Desa Bori. Dalam menjalankan kehidupannya, rata-rata
masyarakat pada 3 desa ini memiliki lahan kebun yang ditanami berbagai
tanaman. Tanaman yang sangat dominan di areal kebun masyarakat adalah kelapa,
yang dipanen dan diolah menjadi kopra setiap 4 bulan sekali. Untuk kebutuhan
makan setiap harinya, masyarakat 3 desa ini disamping membeli beras, sebagian
juga mengusahakan dari hasil dari kebun seperti sagu, pisang, singkong, ubi, dan
padi ladang. Untuk kebutuhan konsumsi ikan, masyarakat 3 desa dapat membeli
dari anggota masyarakat desa yang menangkap ikan, atau melakukan
penangkapan ikan sendiri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Dalam
sehari, jumlah tangkapan yang dicari hanya sebatas untuk dikonsumsi harian, dan
apabila lebih, dapat dijual kepada anggota masyarakat lainnya atau ke pedagang
pengumpul.
Aspek sosial lainnya yang menggambarkan karektersitik masyarakat
nelayan Kecamatan Kao Utara, yaitu umur, pendidikan dan pendapatan. Sebagian
besar nelayan di ke-3 desa berkisar antara 40- 60 tahun. Tingkat umur responden
54
mayoritas antara 40-60 tahun, menunjukan profesi di sektor perikanan sebagai
nelayan tidak menarik bagi kaum muda. Usaha perikanan yang memerlukan
modal dan resiko tinggi menyebabkan kaum muda di tiga desa tersebut lebih
memilih pekerjaan sebagai buruh di perkebunan, pelabuhan dan tukang ojek.
Salah satu permasalahan mendasar bagi pembangunan kelautan dan
perikanan, khususnya yang bergerak dalam skala mikro dan kecil adalah sulitnya
akses permodalan dari lembaga keuangan/perbankan formal. Akibatnya nelayan
seringkali terjerat oleh renteneer yang menawarkan pinjaman dengan cepat dan
mudah, namun diimbangi dengan tingkat bunga yang tinggi. Keterbatasan
permodalan ini diperburuk dengan sistem penjualan yang cenderung dimonopoli
oleh para tengkulak (Purna, 2000). Akibatnya nelayan kaum muda menganggap
bahwa profesi sebagai nelayan tidak menantang dan tidak menarik. Realitas
lingkaran kemiskinan nelayan yang mereka amati kaum muda juga diduga
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sektor kelautan dan perikanan ini
menjadi tidak menarik.
Tingkat pendidikan tertinggi masyarakat nelayan (responden) adalah
tamatan SMA. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masih di tingkat
menengah ke bawah, bahkan banyak yang tidak sekolah. Kondisi ini
menggambarkan bahwa SDM di ketiga desa tersebut dapat digolongkan masih
rendah. Begitu banyaknya nelayan tidak sekolah, menunjukkan pendidikan bagi
ke tiga desa tersebut merupakan kebutuhan primer yang harus diperhatikan oleh
pemerintah. Pada kondisi dewasa ini, biaya yang dibutuhkan untuk bersekolah
pada tingkatan yang lebih tinggi memerlukan biaya cukup besar. Sehingga hal ini
bisa dipahami, mengingat rata-rata pendapatan responden di tiga desa lokasi
penelitian sangat rendah yaitu antara Rp.800.000.- hingga Rp.1.350.000.-
perbulan.
Secara sosial-ekonomi-budaya konsep pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan
penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan
untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan tersebut, terutama
mereka yang ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan
ekonomi wilayah itu sendiri. Untuk negara berkembang, seperti Indonesia, prinsip
55
ini sangat mendasar, karena banyak kerusakan lingkungan pesisir misalnya
penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan
dan tingkat pengetahuanyang rendah dari para pelakunya.
Faktor-faktor sosial budaya masyarakat nelayan yang berpengaruh
terhadap pelestarian kemampuan sumber daya perikanan laut antara lain adalah
sikap menyatu dengan alam atau pasrah, hal ini menyebabkan perkembangan
sumber daya perikanan tidak seimbang dengan pemanfaatan perikanan oleh
nelayan yang sebagian besar masih menggunakan alat tangkap bom ikan.
Sedangkan apabila menggunakan alat tangkap moderen dan sikap ingin
memanfaatkan sumber daya perikanan semaksimal mungkin, hal ini mungkin
akan menurunkan kemampuan sumber daya perikanan yang ada. Tindakan atau
kebijakan Pemerintah Daerah yang dibutuhkan oleh nelayan dan petani kecil guna
meningkatkan taraf hidup mereka tanpa merusak kemampuan dan kelestarian
sumber daya perikanan dan sumber daya alam lainnya di wilayah pantai adalah
melalui izin usaha perikanan yang diberikan kepada para pengusaha. Langkah
operasional Pemerintah Daerah untuk meningkatkan taraf hidup dan kualitas
sumber daya manusia dan untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup
serta pemahaman nelayan dalam bidang usahanya adalah dilakukan dengan
penyuluhan-penyuluhan melalui tenaga lapangan yang ada (PPL Perikanan). Di
samping hal tersebut juga para nelayan disarankan untuk masuk menjadi anggota
Koperasi Unit Desa Perikanan. Keuntungannya adalah demi kelancaran
pemasaran dan stabilnya harga serta yang tak kalah pentingnya adalah para
nelayan dapat menikmati SHU (sisa hasil usaha) dalam bentuk uang yaitu pada
masa nelayan dalam keadaan paceklik.
5.1.3 Ekonomi masyarakat nelayan
Pendapatan masyarakat nelayan pada tiga desa lokasi penelitian tergantung
pada sistem perekonomian yang ada di Kecamatan Kao Utara. Keberadaan pasar
yang masih tradisional dan hanya dibuka 2 kali dalam satu minggu, menyebabkan
aktivitas jual beli masyarakat nelayan untuk menjual hasil tangkapan terbatas, dan
paling banyak terjual pada pedagang pengumpul (dibo-dibo) dengan harga yang
rendah. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada responden nelayan di 3 desa,
56
diperoleh gambaran bahwa pendapatan nelayan responden mayoritas Rp.300.000.-
sampai dengan Rp.600.000.- per bulan, yang diperoleh dari hasil penangkapan
ikan. Pendapatan ini juga ditunjang dengan pendapatan yang berasal dari hasil-
hasil perkebunan yang berkisar Rp.500.000.- sampai Rp.750.000.- per bulan. Jika
dijumlahkan, maka pendapatan masyarakat nelayan yang ada di ketiga desa
penelitian adalah sekitar Rp.800.000 - Rp.1.350.000.- per bulan. Besar
penghasilan masyarakat nelayan ini tergolong cukup apabila dihitung jumlah
pengeluaran nelayan per hari yaitu rata-rata sebanyak Rp.40.000.-. Sehingga total
pengeluaran masyarakat nelayan dapat berkisar Rp.1.200.000.-. Menghitung
pendapatan nelayan dan pengeluaran yang dilakukan oleh seorang nelayan,
terdapat selisih sebesar Rp.150.000.- per bulan. Jumlah kelebihan tersebut tidak
digunakan untuk ditabung, namun digunakan untuk membeli kebutuhan alat
tangkap (pancing ulur), seperti senar atau kait, dan kebutuhan keluarga lainnya,
serta biaya transportasi ke toko peralatan tangkap yang ada di ibukota kabupaten.
Lembaga-lembaga keuangan seperti bank yang belum ada di Kecamatan
Kao Utara, menyebabkan perputaran ekonomi di kecamatan ini lambat.
Rangsangan lembaga keuangan seperti koperasi-koperasi simpan pinjam, hanya
dilakukan untuk mencari keuntungan semata, tanpa keberpihakan kepada
masyarakat kecil, dengan menetapkan suku bunga pinjaman yang besar dan
memberatkan masyarakat nelayan, menyebabkan pendapatan masyarakat nelayan
tidak cukup untuk membiayai kebutuhan yang ada. Hal ini merupakan tanggung
jawab pemerintah yang harus diperhatikan sehingga kesejahteraan masyarakat
nelayan akan terpenuhi.
Peran lembaga perbankan dalam penyaluran kredit komersial untuk
membantu pemgembangan perikanan tangkap di Kecamatan Kao Utara mutlak
diperlukan. Namun demikian, akses nelayan terhadap perbankan di lokasi
penelitian ini masih terbatas karena mereka pada umumnya belum mengetahui
proses untuk memperoleh pinjaman, di samping agunan yang tidak ada sesuai
dengan yang disyaratkan oleh lembaga keuangan. Saleh (2004) mengemukakan
bahwa kecenderungan bank-bank umum mendanai sektor-sektor usaha yang
bergerak dalam bidang industri pengolahan hasil laut, serta pedagang besar hasil
laut, dan belum menyentuh pada nelayan secara individu. Hal ini disebabkan oleh
57
kebijakan prudential banking serta persyaratan pada pemberian kredit yang
ditetapkan oleh otoritas moneter, yang memberikan batasan gerak bagi perbankan
umum, untuk dapat menjangkau masyarakat miskin, khususnya masyarakat
miskin yang ada di daerah pesisir (Saleh, 2004).
Pembangunan wilayah pesisir pada umumnya dikaitkan dengan upaya
pengentasan kemiskinan nelayan yang kehidupannya tergantung pada usaha
perikanan. Sektor perikanan pada hakekatnya dapat dikembangkan sebagai
alternatif bagi perbaikan ekonomi masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan
merupakan salah satu dari sekian banyak golongan ekonomi lemah. Persoalan
tersebut harus diatasi dengan mendayagunakan segala potensi atau sumberdaya
yang tersedia yang ditunjang dengan penerapan strategi yang efektif. Strategi
yang efektif dapat dicapai melalui penggunaan teknologi, tenaga kerja intensif,
modal dan keterampilan serta pemberdayaan kelembagaan untuk
meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat miskin. Peraturan pemerintah
berisi tentang ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan kawasan konservasi laut
daerah yang dilakukan secara terpadu, termasuk hal yang bersifat dilarang dan
diperbolehkan untuk dilakukan sanksi/denda, serta hal-hal khusus yang
menyangkut kawasan konservasi laut daerah.
5.2 Penggunaan bom dalam penangkapan ikan
Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan pemboman ikan
merupakan praktek yang umum dilakukan serta dapat memberikan dampak
negatif bagi ekosistem terumbu karang. Nelayan selama ini selalu dianggap oleh
berbagai pihak lain sebagai perusak lingkungan, khususnya terumbu karang.
Beberapa jenis teknologi yang mereka gunakan untuk menangkap ikan tidak
ramah lingkungan atau merusak lingkungan (unfriendly technology), contohnya
adalah bom ikan, potassium sianida (Baker, 2004). Fenomena yang banyak
menarik perhatian banyak pihak adalah nelayan pengguna bom ikan karena dua
alasan. Pertama, tingkat kerusakan yang ditimbulkan teknologi ini terhadap
terumbu karang sangat signifikan, dan kedua adalah meningkatnya jumlah
nelayan pengguna bom ikan ini bersamaan dengan masa krisis ekonomi Indonesia.
58
Kegiatan pengeboman ikan di perairan Kecamatan Kao Utara akan
berpengaruh terhadap degradasi ekosistem. Namun demikian, degradasi akibat
penggunaan bom ini perlu dikaji secara mendetail lagi. Menurut Indrapramana
(2010), degradasi ekosistim terumbu karang secara umum disebabkan oleh 2
faktor yaitu: faktor alami (antogenic causes) seperti bencana alam dan aktivitas
manusia (antrophogenic causes) baik secara langsung maupun tidak langsung.
Aktivitas manusia lainnya merusak terumbu karang dan ekosistim lainnya secara
langsung adalah penangkapan ikan tidak ramah lingkungan dengan menggunakan
bahan berbahaya seperti cyanida dan bahan peledak (bom) dapat menyebabkan
kematian hewan-hewan karang serta kerusakan secara fisik terumbu karang.
Penggunaan bahan peledak dan racun dalam penangkapan ikan menimbulkan
efek sampingan yang sangat besar. Selain rusaknya koloni karang yang ada
disekitar lokasi peledakan juga dapat menyebabkan kematian organisme lain
yang bukan merupakan target penangkapan.
Tingkat kerusakan karang bervariasi dan sangat tergantung pada jarak titik
ledakan (pusat ledakan) dari karang tersebut, bobot bahan peledak serta struktur
karang itu sendiri. Dalam hal ini jenis karang yang mempunyai struktur yang lebih
kuat, seperti golongan karang batu (stone coral) dan karang otak (brain coral)
mengalami tingkat kerusakan yang lebih ringan, seebaliknya karang yang
strukturnya rapuh seperti golongan karang cabang (branching coral) mengalami
tingkat kerusakan yang lebih parah (Subandi 2004).
Menurut Mann (2000), dampak aktivitas manusia yang penting terhadap
terumbu karang yaitu eurotrofikasi, potensi minyak, penambangan karang, serta
praktek perikanan yang merusak lingkungan. Selain itu pula ditambahkan oleh
Murdiyanto (2003), beberapa metode penangkapan ikan yang memberikan
dampak fisik terhadap terumbu karang seperti penggunaan pukat pantai, dan
penggunaan bahan peledak. Selain itu penangkapan ikan dengan bahan peledak
(dynamite) dan cyanide membuat ikan menjadi pingsan di koloni karang. Hal ini
mempunyai dampak yang sangat serius pada terumbu karang serta keduanya
merusak secara fisik terumbu karang dan mempengaruhi kesehatan karang dan
organisme lain yang berasosiasi dengan terumbu karang (Rosenberg, et al. 2004).
59
Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom di kawasan
perairan Kecamatan Kao Utara telah berlangsung cukup lama. Menurut informasi
yang diperoleh dari masyarakat bahwa aktivitas pengeboman dimulai kurang lebih
pada awal tahun 1980-an dan masih berlangsung sampai sekarang. Pengetahuan
tentang cara membuat dan menggunakan bom ikan diturunkan dari teman/orang
desa dan dari nelayan lain diluar desa. Kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan bom telah menjadi kebiasaan nelayan di ke tiga desa tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa
aktivitas nelayan dalam mendapatkan hasil tangkapan dengan menggunakan bom
ikan di perairan Teluk Kao masih berlangsung sampai saat ini. Dari 60 responden
yang dipilih dalam penelitian ini menunjukkan bahwa 18,3 % aktivitas
penggunaan bom dalam penangkapan ikan di perairan Teluk Kao masih
berlangsung sampai saat ini. Penggunaan bom ini hanya merupakan kelengkapan
alat tangkap sampingan yang dimiliki oleh nelayan, karena alat tangkap lain yang
utama adalah pancing ulur. Pengoperasian alat penangkapan yang dapat merusak
lingkungan ini, menurut nelayan responden yang menggunakan, hanya dilakukan
sewaktu-waktu, disaat terdapat gerombolan ikan di atas terumbu karang, ataupun
di perairan dalam. Bom ini diperoleh dengan cara merakit sendiri, atau membeli
dari nelayan lain di desa setempat atau desa tetangga yang mempunyai keahlian
dalam membuat/merakit bom ikan. Bahan baku pembuatan bom terdiri dari
botol/pipa bekas, diisi dengan mesiu yang diperoleh dengan mudah dari dasar
perairan Teluk Kao dimana masih banyak terdapat bom bekas peninggalan perang
dunia kedua yang dibuang ke dasar laut. Bom-bom bekas perang tersebut dicari
oleh beberapa nelayan yang melakukan penyelaman ke dasar perairan Teluk Kao
menggunakan air compressor, kemudian dibuka di tempat-tempat yang
tersembunyi dan diambil isinya (mesiu). Mesiu yang telah ditemukan, kemudian
dirakit menjadi bom ikan, atau dijual kepada nelayan lain yang juga merakit bom
sendiri. Harga per kilogram mesiu yang dijual Rp.50.000 – Rp.100.000.- dapat
digunakan untuk membuat bom ikan 3 – 4 buah. Satu buah bom apabila
dioperasikan dapat memberikan hasil tangkapan sebesar 10 kali lipat dari hasil
dengan pancing ulur.
60
Pengoperasian bom ikan dalam penangkapan ikan, dilakukan secara
tersembunyi, atau dilakukan pada saat menemukan gerombolan ikan. Walaupun
terdapat nelayan lain yang ada di sekitarnya, pengoperasiannya tetap dapat
dilakukan, karena nelayan lain juga akan turut terlibat dalam pengumpulan hasil
tangkapan. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar nelayan yang
melakukan pengeboman sadar dan tahu bahwa pengoperasian alat tangkap ini
adalah tindak pidana yang dapat menyeret pelaku ke penjara. Namun tidak adanya
pengawasan dari pihak instansi terkait menyebabkan praktek ini leluasa digunakan
oleh nelayan setempat. Pengalaman yang cukup lama menggunakan bom dalam
penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan, menyebabkan nelayan dapat
meminimalisir resiko yang mungkin timbul seperti cacat dan kematian.
Menghentikan kebiasaan penangkapan ikan menggunakan bom ini, sangat
sulit. Kebijakan yang ditempuh aparat keamanan (Polsek Kao) untuk mengawasi
perairan telah dilakukan dengan membangun 1 pos polisi di Desa Daru (Ibukota
Kecamatan Kao Utara), namun personil yang ditempatkan hanya 1 orang. Hal ini
tentunya sangat sulit untuk melakukan pengawasan terhadap perairan yang luas
dan perdagangan hasil tangkapan nelayan sangat terbatas. Kebijakan instansi-
instansi pemerintah seperti DKP, Kantor Kecamatan dan Kantor Kepala Desa
belum terkoordinasi dengan baik menyebabkan pengawasan terhadap praktek-
praktek penggunaan bom yang merusak ini dapat dilakukan dengan leluasa.
Alternatif kebijakan yang perlu ditempuh adalah dengan mengadakan koordinasi
secara bersama-sama antara instansi pemerintah, masyarakat, kepolisian untuk
menentukan solusi yang tepat sehingga kegiatan pengeboman yang dilakukan
masyarakat akan semakin berkurang. Selain itu penyuluhan yang terkait dengan
dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan pengeboman ikan ini juga perlu
disosialisasikan kepada nelayan.
5.3 Faktor Determinan Penggunaan Bom Ikan
Hasil analisis regresi linier berganda pada setiap variabel bebas pada taraf
< 5%, menunjukkan bahwa, variabel tunggal yang memberikan sumbangan
nyata/signifikan di ke-3 desa lokasi penelitian terhadap perubahan Y adalah
variabel pendidikan. Artinya bahwa, semakin tinggi pendidikan, semakin
berkurang aktivitas penangkapan dengan bom, sedangkan untuk umur dan
61
pendapatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini bisa dipahami,
tingkat pendidikan akan membuka wawasan dalam berpikir dan menganalisis
resiko tinggi dari penggunaan bom. Sedangkan umur yang lebih tua memberikan
kemampuan bagi seorang nelayan untuk lebih berpengalaman menggunakan bom
dalam kegiatan penangkapan yang dilakukan, dan tingkat pendapatan yang rendah
untuk memenuhi kebutuhan hidup, dapat menyebabkan seorang nelayan
menggunakan bom dalam penangkapan ikan. Program lain yang berhubungan
dengan konservasi dan rehabilitasi lingkungan hidup adalah pembuatan karang
buatan, penanaman kembali bakau, konservasi kawasan laut dengan jenis ikan
tertentu serta penegakan hukum terhadap kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan bom, racun, dan alat tangkap lainnya yang bersifat destruktif adalah
program-program pembangunan yang secara tidak langsung akan mempengaruhi
kesejahteraan nelayan.
Faktor yang dapat mempengaruhi tingkat aktivitas penggunaan bom ikan
pada penelitian ini adalah tingkat pendidikan. Dalam arti bahwa tingkat
pendidikan yang semakin tinggi ternyata dapat mengurangi kegiatan pengeboman
ikan. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah perlu menggalakkan wajib belajar 9
tahun, bahkan mendorong agar masyarakat nelayan khususnya dapat memperoleh
tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini tidak hanya dimaksudkan untuk
meningkatkan kesadaran dan menambah wawasan masyarakat terhadap bahaya
yang ditimbulkan pengeboman ikan dan praktek-praktek penangkapan ikan yang
destruktif lainnya. Namun, dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, maka
mereka dapat turut serta berperan aktif dalam pengelolaan potensi sumberdaya
lokal, termasuk perikanan.
5.4 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
Praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yang menggunakan
bahan peledak (bom) dan racun (bius) makin marak dilakukan di perairan
Indonesia. Praktek semacam ini selain menimbulkan dampak kerugian ekologi,
juga menimbulkan dampak social ekonomi yang memprihatinkan terutama akibat
menurunnya produktifitas terumbu karang. Jika hal ini berlangsung lama maka
akan berpengaruh terhadap biota laut.
62
Agar keberlanjutan sumberdaya dapat dipertahankan, maka aktivitas
manusia (antrophogenic causes) yang baik secara langsung maupun tidak
langsung berpotensi merusak keberlanjutan sumberdaya ekosistem terumbu
karang mestinya diminimalisasi, salah satunya adalah penanggulangan
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak.
Penggunaan bom dalam kegiatan penangkapan ikan di Kecamatan Kao
Utara adalah kegiatan yang destruktif dan dapat merusak lingkungan perairan
yang ada. Keberadaan potensi sumberdaya ikan yang menjadi aset Kabupaten
Halmahera Utara dapat hancur dan punah. Oleh karena itu, penggunaan bom
dalam kegiatan penangkapan ikan di perairan Kecamatan Kao utara harus perlu
untuk ditangani secara serius, agar potensi potensi sumberdaya ikan yang ada
dapat lestari dan dapat dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya. Dalam upaya
meminimalisasi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dengan
menggunakan bahan peledak (bom) dan racun (sianida) khususnya adalah
(Indrapramana, 2010):
(1) Pengembangan mata pencaharian
Masyarakat pesisir (nelayan) dikategorikan masih miskin memiliki tingkat
pendidikan yang sangat rendah. Perilaku masyarakat yang cenderung
destruktif sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi (kemiskinan) dalam
memenuhi kebutuhannya dan diperparah dengan sifat keserakahan dalam
mendapatkan hasil yang maksimal walaupun ditempuh dengan cara-cara
yang merugikan karena bukan saja merusak lingkungan, akan tetapi
memutuskan rantai mata pencaharian anak cucu. Faktor rendahnya tingkat
pendidikan juga mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut. Dengan
adanya alternatif mata pencaharian tambahan diharapkan dapat
memberikan nilai tambah sehingga masyarakat nelayan destruktif akan
berkurang.
(2) Penegakkan hukum
Beberapa kasus penggunaan bom dalam penangkapan ikan yang tidak
dapat diselesaikan dengan baik, tuntas, dan transparan memicu perobahan
perilaku masyarakat (nelayan). Ketidakpuasan masyarakat akibat
63
penanganan pelanggaran tersebut semestinya diperbaiki dimulai dari
aparat penegak hukum yang terkait dalam masalah ini.
(3) Pendidikan dan penyadaran tentang lingkungan
Masyarakat (nelayan) yang terindikasi sebagai pelaku penangkapan ikan
dengan merusak lingkungan memiliki tingkat pendidikan yang rendah
sehingga pengetahuan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang
terbatas. Dengan pendidikan dan penyadaran tentang lingkungan tersebut
dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, workshop, studi banding
dapat lebih ditingkatkan sehingga masyarakat dapat memahami pentingnya
ekosistim lingkungan bagi kesejahteraan manusia.
(4) Pengaturan waktu, jumlah ukuran, dan wilayah tangkap
Dibeberapa daerah lokasi pengaturan waktu, jumlah, ukuran, dan wilayah
tangkap sudah dikembangkan. Namun, di beberapa daerah lain mengalami
kesulitan. Hal ini disebabkan karena terbatasnya penelitian/kajian aspek
dari terumbu karang dan komunitas masyarakat pesisir (nelayan) serta
sumberdaya manusia pelaksana maupun pelaku kebijakan yang masih
terbatas.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Willkinson dan
Buddemeier, diacu dalam Hartati 2005, besarnya kerusakkan terumbu karang
berdampak buruk terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya dari orang-
orang yang hidup secara harmonis dan bergantung pada ekosistem tersebut untuk
kebutuhan rekreasi, pengamanan, material dan pendapatan. Hal ini menunjukkan
bahwa, kegiatan-kegiatan yang sifatnya merusak lingkungan perairan seperti
penggunaan bom akan mengancam kelestarian sumberdaya ikan.
Penggunaan bom ikan melanggar undang-undang khususnya pasal 84 UU
No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Faktor undang-undang bersifat mendukung
(dengan adanya UU No. 311 tahun 2004). Faktor sarana dan prasarana bersifat
menghambat karena terbatasnya sarana dan prasarana yang ada. Faktor penegak
hukum menjadi penghambat karena adanya laporan mengenai keterlibatan
anggota dalam menampung ikan hasil dari tangkapan dengan menggunakan bom
ikan. Faktor masyarakat bersifat menghambat karena masih menempuh jalan
pintas yang melanggar hukum, sedangkan masyarakat non pelaku kurang
64
diberdayakan oleh jajaran kepolisian Faktor budaya menjadi pendukung karena
tidak membenarkan adanya upaya pengrusakan lingkungan yang diakibatkan
penggunaan bom ikan. http://125.161.190.253/lontar//file?file=digital/skripsi/47-
07-142.pdf
Sangat ironis, bahwa sebagian besar nelayan kita masih hidup dalam
kemiskinan. Sementara itu stok ikan semakin menipis, penangkapan ikan dengan
cara-cara destruktif seperti penggunaan bom dan racun sianida masih banyak
terjadi dimana-mana, ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove
telah banyak yang mengalami kerusakan, dan pencemaran telah melanda perairan
pesisir yang mengancam keberlanjutan usaha perikanan. Perikanan liar atau
pencurian ikan oleh nelayan asing juga belum dapat dikendalikan secukupnya.
Selain itu, aspek hukum dan penegakan hukum di laut juga masih menghadapi
berbagai kendala. Kesemua ini mengindikasikan diperlukannya pola perikanan
yang kuat. (Marhaeni.R.S, 2010).
Aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom)
dan racun (cyanida) sangat jarang dilaporkan oleh masyarakat kepada instansi
terkait mengingat kegiatan tersebut dilakukan di area laut yang jarang dilalui oleh
transportasi laut, sedangkan nelayan sendiri sangat kecil kemungkinannya untuk
melaporkan kepada sesama nelayan. Luasnya area laut yang harus diawasi dan
terbatasnya sarana dan prasarana dalam pengelolaan penanggulangan penggunaan
bom ikan. Oleh sebab itu dalam penanggulangan masalah ini, penyidik sebagai
salah satu garda terdepan harus bertindak proaktif dengan tidak hanya menunggu
laporan dari masyarakat atau hanya melakukan patroli secara terbatas tetapi
dengan menerapkan teknik-teknik penyelidikan yang efektif dan murah. Langkah-
langkah efektif dimaksud meliputi:
(1) Melakukan identifikasi terhadap karakteristik (ciri khas) perahu/kapal
yang digunakan dalam pengeboman ikan. Kapal yang digunakan untuk
kegiatan ini umumnya mempunyai wadah tertutup yang kedap air dan diisi
dengan es dalam jumlah banyak yang fungsinya untuk mengawetkan ikan
hasil tangkapan;
(2) Melakukan identifikasi terhadap alat-alat pendukung yang biasa dibawa
oleh kapal/perahu pelaku pengeboman ikan. Selain menggunakan
65
kapal/perahu dengan rancangan khusus, para pelaku juga membawa
peralatan tambahan seperti: jarring, pancing dan lain-lain untuk
penyamaran. Kapal ini juga dilengkapi dengan kompresor tabung udara
yang natinya digunakan untuk penyelaman untuk mengumpulkan hasil
tangkapan;
(3) Melakukan pemeriksaan/sampling berkala trehadap hasil tangkapan
Sampling ikan mati dapat dilakukan di perahu/kapal nelayan yang
sementara menangkap atau membawa ikan pada tempat-tempat ikan
didaratkan seperti tempat pendaratan ikan (TPI), atau pelabuhan
pendaratan ikan (PPI);
(4) Menelusuri jaringan pelaku pengeboman ikan dan jaringan pengedar
bahan berbahaya. Apabila terbukti ikan-ikan yang disampling tersebut
terbukti ditangkap dengan menggunakan bom ikan maka penyidik dapat
menelusuri jaringan pelaku dengan melakukan pengusutan secara berantai
mulai dari pemilik terakhir ikan yang disita oleh penyidik (ikan yang
disampling).
Mengembangkan mata pencaharian alternatif di Kecamatan Kao Utara
merupakan hal yang perlu dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa sumberdaya
pesisir secara umum dan sumberdaya perikanan tangkap secara khusus telah
banyak mengalami tekanan dan degradasi. Namun salah satu alasan yang
mendasar dan perlu dikaji yaitu status sumberdaya perikanan yang bersifat akses
terbuka. Menanggapi hal ini maka pengembangan mata pencaharian alternatif
bagi nelayan merupakan suatu keharusan yang perlu dilakukan. Pengembangan
mata pencaharian bukan saja dalam bidang perikanan seperti pengolahan,
pemasaran, budidaya perikanan tetapi patut diarahkan ke bidang non perikanan
(Nikijuluw V.P.H, 2007). Selanjutnya ditambahkan oleh Smith (1983)
beragumentasi bahwa bila kondisi akses terbuka masih terjadi maka apapun
kesejahteraan yang dilakukan baik pada kegiatan penangkapan ikan maupun pada
kegiatan yang berkaitan seperti pengolahan dan pemasaran ikan tidak akan
memberikan hasil peningkatan kesejahteraan nelayan
Degradasi terumbu karang di perairan pesisir disebabkan oleh berbagai
aktivitas manusia, di antaranya pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai
66
sumber pangan (ikan-ikan karang), sumber bahan bangunan (galian karang),
komoditas perdagangan (ikan hias), dan obyek wisata (keindahan dan
keanekaragaman hayati). Degradasi terumbu karang akibat pemanfaatannya
sebagai sumber pangan maupun ikan hias sebagian besar dikarenakan oleh
penggunaan bahan peledak, tablet potas dan sianida. Kenyataan ini dapat dijumpai
di banyak lokasi terumbu karang, berupa karang-karang yang rusak secara fisik
dalam formasi berbentuk cekungan. Selain itu degradasi terumbu karang terjadi
sebagai akibat kegiatan penambangan/penggalian karang untuk kepentingan
konstruksi jalan atau bangunan
Selanjutnya ditambahkan oleh Monintja (2001) bahwa pengelolaan
perikanan tangkap yang sukses haruslah menunjukkan karakteristik usaha
penangkapan yang berkelanjutan :
(1) Proses penangkapan ramah lingkungan, yaitu : hasil tangkapan sampingan
(by catch minimum), hasil tangkapan terbuang minim, tidak membahayakan
keanekaragaman hayati, tidak menangkap jenis ikan yang dilindungi, tidak
membahayakan habitat, tidak membahayakan kelestarian sumberdaya ikan
target, tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan nelayan, dan
memenuhi ketentuan Code of Conduct for Responsible Fisheries
(2) Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (suplai tetap)
(3) Pasar (buyers) tetap/terjamin
(4) Usaha penangkapan masih menguntungkan
(5) Tidak menimbulkan friksi sosial
(6) Memenuhi persyaratan legal.