454
MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN Editor : Haris Syahbuddin | Sudi Mardianto | Syahyuti | Wasito Nizwar Syafaat | Rachmat Hendayana enderasan inovasi teknologi dengan pendekatan Jarwo Super dan Model Pengembangan Pertanian melalui Inovasi (MP3MI) mampu meningkatkan adopsi hingga berdampak pada produktivitas yang dinikmati petani. Beragam inovasi yang diangkat kedua pendekatan diseminasi tersebut dan menyebar di berbagai lokasi telah menunjukkan bukti positif, menjadikan petani kian percaya dan menyakini dampak nyata sebuah inovasi. Sirat-sirat tantangan memang masih ada hingga adopsi inovasi terkadang juga masih belum optimal. Interkoneksi antar sub sistem inovasi mulai dari penyedia, penerima manfaat, kelembagaan, jejaring, dan sub pendukung lainnya perlu disentuh dan terus dibenahi. Kisah diseminasi Jarwo Super dan MP3MI telah memberi warna tersendiri bagi sejarah diseminasi Balitbangtan dan akan menjadi pijakan bagi program-program diseminasi di masa mendatang. MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN Editor : Haris Syahbuddin, dkk Sekretariat Badan Litbang Pertanian Jl. Ragunan No. 29 Pasar Minggu, Jakarta 12540 Telp. (021) 7806202, Fax. (021) 7800644 Website : www.litbang.pertanian.go.id email : [email protected] P ISBN : 978-602-344-253-9 Pertanian

bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

  • Upload
    others

  • View
    101

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Editor :

Haris Syahbuddin | Sudi Mardianto | Syahyuti | WasitoNizwar Syafaat | Rachmat Hendayana

enderasan inovasi teknologi dengan pendekatan Jarwo Super dan Model Pengembangan Pertanian melalui Inovasi (MP3MI) mampu meningkatkan adopsi hingga berdampak pada produktivitas yang dinikmati petani. Beragam inovasi yang diangkat kedua pendekatan

diseminasi tersebut dan menyebar di berbagai lokasi telah menunjukkan bukti positif, menjadikan petani kian percaya dan menyakini dampak nyata sebuah inovasi. Sirat-sirat tantangan memang masih ada hingga adopsi inovasi terkadang juga masih belum optimal. Interkoneksi antar sub sistem inovasi mulai dari penyedia, penerima manfaat, kelembagaan, jejaring, dan sub pendukung lainnya perlu disentuh dan terus dibenahi. Kisah diseminasi Jarwo Super dan MP3MI telah memberi warna tersendiri bagi sejarah diseminasi Balitbangtan dan akan menjadi pijakan bagi program-program diseminasi di masa mendatang.

MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

MO

DEL D

ISEMIN

ASI D

AN

POLA

A

DO

PSI TEKNO

LOG

I DA

LAM

PERSPEKTIF PEM

BAN

GU

NA

N PERTA

NIA

N PERD

ESAA

NEd

itor : Ha

ris Syahb

ud

din, d

kk

Sekretariat Badan Litbang PertanianJl. Ragunan No. 29 Pasar Minggu, Jakarta 12540Telp. (021) 7806202, Fax. (021) 7800644Website : www.litbang.pertanian.go.idemail : [email protected]

P

ISBN : 978-602-344-253-9

Pertanian

Page 2: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Page 3: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 4: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Editor:Haris Syahbuddin | Sudi Mardianto | Syahyuti Wasito | Nizwar Syafaat | Rachmat Hendayana

MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Page 5: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN Edisi I: 2018 Hak cipta dilindungi Undang-undang @IAARD PRESS. Katalog dalam terbitan (KDT)

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian

Perdesaan/Penelaah Haris Syahbuddin,....[dkk]—Jakarta: IAARD Press, 2018.

xxix, 422 hlm : 14,8 x 21 ISBN 978-602-344-253-9 632.152

1. Teknologi 2. Model diseminasi 3. Pola adopsi I. Syahbuddin, Haris

Editor :

Haris Syahbuddin Sudi Mardianto Syahyuti Wasito Nizwar Syafaat Rachmat Hendayana

Perancang cover

Maulana Tata letak :

Tim Kreatif IAARD Press

Penerbit IAARD PRESS Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian J1, Ragunan No 29, Pasar Minggu, Jakarta 12540 Email: [email protected] Anggota IKAPI No: 445/DKI/2012

Page 6: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

RALAT BUKU MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI

TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

No Halaman Semula Menjadi

(1) (2) (3) (4)

1 xi Model Pengembangan Pertanian Perdesaan pada Agroekosistem Lahan Kering Berbasis Kentang di Lumajang - Jawa Timur

Introduksi Perbenihan Kentang Bermutu Varietas Granola Kembang Dalam Perspektif Pengembangan Pertanian Perdesaan

2 315 Pemanfaatan Bioslurry dalam Mendukung Pertanian

Prospek Pemanfaatan Bioslurry dalam Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Integrasi Tanaman-Ternak

Page 7: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

SAMBUTAN

Inovasi mengisi celah-celah dan senjang dari potensi hasil sebuah komoditas yang diyakini dapat mendorong peningkatan produksi. Inovasi juga menjadi motor penggerak sangat krusial dalam pembangunan sektor pertanian karena tidak hanya berkontribusi pada peningkatan efisiensi, kualitas hasil, dan daya saing tetapi juga menyentuh perbaikan pendapatan dan kesejahteraan. Inovasi bahkan berkaitan dengan eskalasi daya saing yang berperan untuk mempercepat penetrasi pasar dengan jangkauan lebih luas.

Menengok kembali perjalanan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) selama lebih dari empat dasawarsa, tidak dapat dinafikkan kiprah dan perannya sebagai lembaga pencipta dan penghasil inovasi teknologi dan kelembagaan. Dengan diseminasi, inovasi tersebut kemudian disebarluaskan secara terencana, terarah, dan terkelola. Berbagai strategi kebijakan, program, dan kegiatan diseminasi juga telah diluncurkan dengan harapan inovasi menjadi produk tepat guna dan memberikan nilai kemanfaatan bagi penerima dan penggunaannya. Diseminasi Teknologi Jarwo Super dan Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (MP3MI) menjadi bukti nyata penerjemahan program-program diseminasi yang diusung Balitbangtan.

Keberhasilan diseminasi dicerminkan dari adopsi, karena adopsi melihat sejauhmana sebuah inovasi diterapkan dan diinternalisasi dalam kegiatan usahatani. Harapannya, adopsi inovasi yang tinggi akan meningkatkan kegiatan usahatani yang lebih berkualitas dan menjadi sandaran perekonomian yang dapat diandalkan petani. Namun, seringkali, adopsi tidak mudah dicapai meski berbagai akselerasi diseminasi dilakukan. Akibatnya, inovasi sering terdengar tidak bermakna dan memberikan arti positif bagi pengguna utamanya petani. Butuh strategi dan terobosan khusus agar adopsi dapat dengan mudah ditingkatkan.

Sudah banyak keberhasilan adopsi inovasi pertanian di banyak tempat dengan inovasi yang beragam dan mencakup bidang masalah yang bervariasi. Keberhasilan tersebut tentu perlu disebarluaskan antara lain melalui publikasi atau tulisan-tulisan yang mengangkat topik adopsi inovasi teknologi maupun adopsi inovasi kelembagaan

Page 8: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaanvi

dalam bentuk penguatan, pembinaan, dan pengembangan kelompok tani. Buku ini disusun agar dapat dinikmati lebih banyak pengguna dan menjadi bahan pembelajaran terhadap program dan kegiatan sejenis di masa yang akan datang.

Buku ini pada akhirnya diharapkan dapat memberikan nilai kemanfaatan bagi seluruh pembaca, tidak hanya para pengambil kebijakan, penghasil inovasi namun juga pengguna di berbagai tingkatan.

Bogor, Desember 2018Sekretaris Jenderal Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia,

Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA

Page 9: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

KATA PENGANTAR

Dari beberapa pendekatan diseminasi teknologi yang dijalankan Badan Litbang Pertanian, khususnya di bawah koordinasi Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP), dua yang utama adalah Paket Teknologi Budidaya Padi Jarwo Super empat di tahun 2016 dan Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI) yang mulai diperkenalkan semenjak tahun 2013. Pelaksana di lapangan adalah para peneliti dan penyuluh di BPTP bersama-sama dengan petani.

Buku Bunga Rampai “Diseminasi Inovasi Pertanian untuk Adopsi dan Pengembangan Pertanian Perdesaan” ini dapat dipandang sebagai catatan ilmiah penting tentang pembelajaran (lesson learn) yang diperoleh dari kegiatan tersebut yang tersebar pada hampir seluruh propinsi di Indonesia. Bahan penulisan dikumpulkan dari kegiatan pengkajian, catatan Demfarm, persepsi petani, serta keberhasilan diseminasi nya di lapangan.

Paket teknologi budidaya padi Jajar Legowo Super merupakan perluasan dari paket teknologi PTT yang sudah dikenal luas di Kementerian Pertanian. Pada Jarwo Super, badan Litbang memperkenalkan komponen teknologi baru yaitu jarak tanam 2:1, biodekomposer pada saat pengolahan tanah, pupuk hayati sebagai seed treatment, penggunaan alat dan mesin pertanian utamanya rice transplanter dan combine harvester. Keberhasilan kegiatan di lapangan cukup variatif, namun secara umum persepsi petani tergolong positif.

Sementara, Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI) merupakan suatu program pengembangan model pembangunan pertanian melalui inovasi dalam suatu kawasan berbasis sumberdaya lokal dengan pendekatan agribisnis. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat mendorong tercapainya percepatan penyebaran inovasi pertanian dan perluasan jangkauan penggunaan teknologi kepada pengguna di tingkat lapang. Pada model diseminasi dengan pendekatan MP3MI, diseminasi komponen atau paket teknologi didekati dengan melakukan identifikasi kebutuhan inovasi. Penggalian kebutuhan dilakukan dengan pendekatan partisipatif, melalui penggalian masalah dan peluang introduksi teknolologi yang

Page 10: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaanviii

disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya lokal. Oleh karena itu, kebutuhan inovasi yang ada di setiap lokasi berbeda-beda, tergantung masalah yang akan dipecahkan serta fokus pembangunan perdesaan yang akan dicapai.

Untuk menyatukan keseluruhan hasil-hasil pengkajian dan diseminasi dari dua program ini, dipilih bentuk buku Bunga Rampai. Buku bunga rampai pada hakekatnya merupakan kumpulan KTI dengan satu topik permasalahan dengan pendekatan dari beberapa aspek/sudut pandang keilmuan, dimana tiap-tiap bab dapat berdiri sendiri dengan susunan KTI yang lengkap, namun ada benang merah yang mengaitkan keseluruhan bab. Benang merah dari keseluruhan bab dalam buku ini adalah teknologi baru dan unggul, performanya di lapangan, persepsi petani kooperator, serta diseminasinya di tengah masyarakat. Fokus bahasan adalah pada diseminasi, sesuai dengan judul pada buku bunga rampai ini.

Penulis dan Tim Editor mempersembahkan buku ini kepada pembaca, dengan harapan dapat memberi pembelajaran baik untuk keilmuan maupun kegiatan pemberdayaan. Segala keberhasilan dan catatan kelemahan dalam pelaksanaan lapang merupakan pembelajaran untuk semua pihak, sehingga kegiatan serupa akan lebih efektif di masa mendatang.

Bogor, Desember 2018

Tim Editor

Page 11: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

DAFTAR ISI

SAMBUTAN ............................................................................................... v

KATA PENGANTAR ..............................................................................vii

DAFTAR ISI ............................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ...........................................................................................

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................

PROLOG: MENAKAR KEKUATAN INOVASI, DISEMINASI DAN ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PENGEMBANGAN PERTANIAN PERDESAANNizwar Syafaat dan Rachmat Hendayana .......................................... xiii

DISEMINASI DAN ADOPSI TEKNOLOGI UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAANHaris Syahbuddin dan Sudi Mardianto ..................................................1

POTENSI ADOPSI TEKNOLOGI JARWO SUPER DI SULAWESI SELATAN: ANTARA HARAPAN DAN KENYATAANEka Triana Yuniarsih, Idaryani, Sahardi, dan Abd.Wahid .................19

PENDERASAN INOVASI TEKNOLOGI JARWO SUPER DI JAWA TENGAHBudi Hartoyo, Joko Triastono danAgus Supriyo .................................33

STRATEGI MEMASIFKAN INOVASI TEKNOLOGI JARWO SUPER DI JAWA TIMURRohmad Budiono dan Tri Sudaryono ....................................................53

DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI JARWO SUPER: KASUS DI LAMPUNGBambang Wijayanto, Fauziah Y Adriyani, Kiswanto, dan Novilia Santri .....................................................................................77

Page 12: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaanx

PROSPEK PENGEMBANGAN JARWO SUPER DITINJAU DARI ASPEK INOVASI TEKNOLOGI DI KALIMANTAN SELATANFakhrina, Muslimin, M. Yasin, dan Sumanto .......................................97

PERCEPATAN ADOPSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI MELALUI TEKNOLOGI JARWO SUPER DI NUSA TENGGARA BARATPutu Cakra, S. Untung, Hiryana, dan M. Yasin..................................113

KESESUAIAN INOVASI JARWO SUPER DAN PELUANG DIFUSI TEKNOLOGINYA DI JAWA BARATIskandar Ishaq dan Liferdi ....................................................................129

AKSI KOLEKTIF SEBAGAI KUNCI PERCEPATAN ADOPSI INOVASI JAJAR LEGOWO SUPER: KASUS DI PROVINSI LAMPUNGFauziah Y Adriyani dan Kiswanto .......................................................149

KUNCI SUKSES PENERAPAN JARWO SUPER: PENTINGNYA SINERGI ANTAR KOMPONEN TEKNOLOGIMusfal, Khadijah. E. R, Akmal, Nazaruddin. H, Putri. N. S, dan Khasril ...............................................................................................163

HOMOFILI TEKNOLOGI EKSISTING DAN INTRODUKSI SEBAGAI TUMPUAN KEBERLANJUTAN ADOPSI TEKNOLOGI JARWO SUPER DI SUMATERA UTARAWasito dan Khadijah El Ramijah ..........................................................183

REKAYASA KELEMBAGAAN TANI MEMPERCEPAT DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI KAKAOYohanes G. Bulu ......................................................................................203

PROSPEK PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI TANAMAN PADI DENGAN TERNAK SAPI PADA PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN MELALUI INOVASI DI KABUPATEN BARRURepelita Kallo, Nely Lade dan M. Sariubang ......................................231

Page 13: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan xi

PROSPEK PENGEMBANGAN MEKANISASI (MESIN TANAM PINDAH BIBIT PADI DAN MESIN PEMANEN PADI) PADA USAHATANI PADI DI LAHAN SAWAH IRIGASITota Suhendrata dan Ekaningtyas Kushartanti .................................257

PENGEMBANGAN PRODUK ORGANIK DI WILAYAH M-P3MI SERDANG BEDAGAIKhairiah dan Wasito ...............................................................................283

PROSPEK PEMANFAATAN BIOSLURRY DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN BERBASIS INTEGRASI TANAMAN-TERNAKMeksy Dianawati ....................................................................................315

STRATEGI DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA KAKAO DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSISylvia Kusumaputri Utami, Ika Novita Sari, dan Yohanes G. Bulu ..............................................................................331

MODEL PENGEMBANGAN PERTANIAN PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS KENTANG DI LUMAJANG - JAWA TIMURP.E.R. Prahardini, dan T. Sudaryono ...................................................351

PROSPEK PENGEMBANGAN IMPLEMENTASI TEKNOLOGI INTEGRASI PADI-SAPI MENDUKUNG PENGEMBANGAN PERTANIAN PERDESAAN DI TABALONG KALIMANTAN SELATANYanuar Pribadi dan Retna Qomariah ...................................................361

PENYEDIAAN PAKAN LOKAL MENDUKUNG PENGEMBANGAN AYAM KUB DALAM PERSPEKTIF PENGEMBANGAN PERTANIAN PERDESAANErna Winarti dan Budi Setiyono ...........................................................377

Page 14: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaanxii

PENTINGNYA MEMBANGUN SUPPORTING SISTEM DISEMINASI INOVASI UNTUK KELANGSUNGAN ADOPSI TEKNOLOGIEnti Sirnawati, Sudi Mardianto, dan Haris Syahbuddin ..................389

EPILOG: LANGKAH STRATEGIS PENGEMBANGAN INOVASI, AKSELERASI DISEMINASI DAN MENINGKATKAN ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PENGEMBANGAN PERTANIAN PERDESAANEnti Sirnawati dan Rachmat Hendayana ............................................407

INDEKS ....................................................................................................413

SEKILAS TENTANG PENULIS ............................................................417

Page 15: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Variabel indikator dan parameter sosial ekonomi ...........11Tabel 2. Rata-rata jumlah gabah/malai, gabah hampa, bobot

gabah 1000 butir, dan produktivitas beberapa varietas pada Demfarm Jarwo Super di Desa Torawali, Kecamatan Ponrang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, 2016...........................................................22

Tabel 3. Hasil analisis usahatani pada Demfarm Jarwo Super di Desa Torawali, Kecamatan Ponrang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, 2016 .........................23

Tabel 4. Persepsi dan minat adopsi beberapa komponen pada paket teknologi Jarwo Super ......................................24

Tabel 5. Adopsi teknologi sebelum (pra) dan sesudah (post) Demfarm Jarwo Super ..........................................................59

Tabel 6. Teknologi eksisting dan Jarwo Super ..................................59Tabel 7. Produktivitas VUB dan pembanding .................................61Tabel 8. Analisis usaha tani .................................................................67Tabel 9. Hasil Participatory Rural Apraisal (PRA) ...........................102Tabel 10. Produktivitas padi kegiatan Jarwo Super di Kab. Hulu

Sungai Tengah, MK 2016 ....................................................103Tabel 11. Implementasi komponen Jarwo Super 2017

(BPTP Kalsel 2017) ...............................................................105Tabel 12. Produksi benih hasil Jarwo Super

di Kalimantan Selatan (BPTP Kalsel 2017) .......................106Tabel 13. Kegiatan diseminasi teknologi Jarwo Super

di Lape Sumbawa, serta frekuensi dan cakupan diseminasinya...............................................116

Tabel 14. Analisis usahatani teknologi Jarwo Super dan eksisting di Kecamatan Lape, NTB, tahun 2016 ......119

Tabel 15. Tingkat adopsi teknologi padi Jarwo Super Kecamatan Lape, NTB, 2016 ..............................................120

Tabel 16. Ciri-ciri adopsi teknologi padi Jarwo Super di lokasi Demfarm Kecamatan Lape, NTB, 2016 ............................121

Page 16: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaanxiv

Tabel 17. Karakteristik agronomis varietas unggul baru (VUB) pada budidaya teknologi Jarwo Super di Desa Sukasari, Kecamatan Sukasari, Kab. Subang. MK II 2016 ..............133

Tabel 18. Pengaruh komponen teknologi pupuk hayati terhadap hasil dan penerimaan usahatani petani di Kabupaten Ciamis, MK I 2017 ................................................................134

Tabel 19. Perbandingan tanam secara manual dengan penggunaan alat mesin pertanian (Indo Jarwo Transplanter) ....................................................136

Tabel 20. Realisasi implementasi komponen teknologi pada budidaya teknologi Jarwo Super di Provinsi Jawa Barat, tahun 2017 ...................................138

Tabel 21. Produksi dan produktivitas padi serta hasil benih padi dan pemanfaatannya pada Demfarm Jajar Legowo Super di Provinsi Jawa Barat 2017 ...........142

Tabel 22. Keragaan adopsi komponen teknologi Jarwo Super tahun 2016 .............................................................................151

Tabel 23. Sifat kimia tanah pada lokasi Demfarm sebelum perlakuan paket teknologi Jarwo Super, Desa Pasar Miring, MT Agustus 2016 ..............................166

Tabel 24. Perbandingan populasi tanaman pada kegiatan Demfarm Jarwo Super terhadap sistem tanam manual dan tegel, Desa Pasar Miring MT Agustus 2016 .............167

Tabel 25. Tinggi tanaman tiga varietas padi sawah unggul baru terhadap penerapan paket teknologi Jarwo Super, Desa Pasar Miring, MT Agustus 2016 ..............................168

Tabel 26. Jumlah anakan tiga varietas padi sawah unggul baru terhadap penerapan paket teknologi Jarwo Super, Desa Pasar Miring, MT Agustus 2016 ..............................169

Tabel 27. Serapan hara Nitrogen padi sawah unggul baru terhadap penerapan paket teknologi Jarwo Super, di Desa Pasar Miring MT Agustus 2016 ...........................170

Tabel 28. Komponen hasil dan hasil gabah beberapa varietas padi sawah unggul baru dengan menerapkan paket teknologi Jarwo Super di Desa Pasar Miring, MT Agustus 2016 .................................................................171

Page 17: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan xv

Tabel 29. Rata-rata hasil Demfarm kegiatan Jarwo Super dengan menerapkan beberapa komponen teknologi Jarwo Super MK 2017 di Sumatera Utara ........................172

Tabel 30. Hasil Demfarm kegiatan Jarwo Super di Kabupaten Batu Bara dengan menerapkan beberapa komponen teknologi Jarwo Super, Desa Medang Baru, MT Maret 2018 .....................................................................173

Tabel 31. Hasil Demfarm kegiatan Jarwo Super di Kabupaten Serdang Bedagai dengan menerapkan beberapa komponen teknologi Jarwo Super, Desa Melati, II MT Mei 2018 .....................................................................173

Tabel 32. Hasil demfarm kegiatan Jarwo Super di Kabupaten Serdang Bedagai terhadap penerapan beberapa komponen teknologi Jarwo Super, Desa Pematang Setrak MT April 2018 ..............................174

Tabel 33. Permintaan benih sumber padi unggul baru pada UPBS KP. Pasar Miring .............................................176

Tabel 34. Gerakan tanam Jajar Legowo di Kabupaten Langkat tahun 2017 .............................................................194

Tabel 35. Tingkat adopsi komponen teknologi usahatani kakao di Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara. .................................................219

Tabel 36. Perkembangan adopsi perbaikan teknologi kakao, jumlah adopter dan luas adopsi (org;ha) di Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Lombok Utara. .....................................................................220

Tabel 37. Rata-rata produktivitas kakao, penerimaan, biaya, dan pendapatan usahatani kakao berdasarkan jenis pemangkasan yang dilakukan petani di Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara. ............223

Tabel 38. Hasil identifikasi kondisi eksisting usahatani padi di Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru tahun 2014 .............................................235

Tabel 39. Hasil identifikasi kondisi eksisting usaha ternak sapi di Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru Tahun 2014 ............................................236

Page 18: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaanxvi

Tabel 40. Rata-rata konsumsi dan pertambahan bobot badan harian sapi ...............................................................241

Tabel 41. Analisis Pendapatan usahatani penggemukan sapi berbasis Zero Waste pada skala pemeliharaan 5 ekor di Kabupaten Barru Tahun 2014 .......................................242

Tabel 42. Analisis pendapatan usaha pembuatan kompos pada pemeliharaan sapi skala 20 ekor ..............................244

Tabel 43. Analisis pendapatan usaha pembuatan biourine skala pemeliharaan 5 ekor sapi..........................................245

Tabel 44. Komponen teknologi PTT padi sawah yang diterapkan pada kegiatan M-P3MI di Kabupaten Barru tahun 2014 .............................................................................247

Tabel 45. Rata-rata produksi padi dengan penerapan Teknologi PTT di Kabupaten Barru, MK 2015 ...................................247

Tabel 46. Analisis pendapatan usahatani padi sawah dengan penerapan komponen teknologi PTT ...............................248

Tabel 47. Analisis integrasi usaha tani padi-sapi potong berbasis zero waste di Kabupaten Barru ............................251

Tabel 48. Kinerja mesin tanam pindah bibit padi dan cara tanam konvensional ........................................................................261

Tabel 49. Kepemilikan lahan dan usaha lain petani Poktan Mawar Lubuk Bayas ...........................................................289

Tabel 50. Peringkat pilihan/masalah petani SIPT desa Lubuk Bayas, Perbaungan .........................................291

Tabel 51. Peran kelompok tani pada setiap kegiatan usahatani padi, usaha ternak .............................................291

Tabel 52. Hasil uji tanah secara cepat dengan PUTS di Lubuk Bayas ....................................................................293

Tabel 53. Komposisi kimia pupuk organik kotoran ternak ..........298Tabel 54. Jumlah Penjualan Beras Organik dan Harga Beras

Organik serta Non Organik ...............................................300Tabel 55. Matriks SWOT Pertanian Padi Organik ..........................302Tabel 56. Hasil analisis kimia tanah berbagai jenis pupuk

organik (Dianawati et al. 2014) ...........................................318

Page 19: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan xvii

Tabel 57. Rerata peubah panen dan hasil panen kentang pada berbagai jenis pupuk organik (Dianawati et al., 2014) ....321

Tabel 58. Rata-rata bobot segar kubis pada berbagai jenis pupuk organik (Yulyatin et al. 2016) .................................322

Tabel 59. Pengeluaran elpiji dalam rumah tangga (Dianawati dan Mulijanti 2015) .........................................323

Tabel 60. Biaya pembuatan digester biogas (Dianawati et al. 2014) .........................................................324

Tabel 61. Ukuran digester dan bioslurry yang dihasilkan untuk digunakan luasan lahan tertentu ...........................325

Tabel 62. Jenis komponen teknologi introduksi yang didiseminasikan di Laboratorium Lapang Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara .............336

Tabel 63. Rata-rata jumlah buah kakao berdasarkan perlakukan pemangkasan yang dilakukan petani di Desa Rempek, kecamatan Gangga, kabupaten Lombok Utara. ..............339

Tabel 64. Tingkat adopsi komponen teknologi petani di lokasi kegiatan MP3MI ...................................................................368

Tabel 65. Persepsi petani terhadap karakter inovasi pertanian yang diperkenalkan .............................................................372

Tabel 66. Dampak paket teknologi terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan ..........................................373

Tabel 67. Komponen teknologi yang didiseminasikan di lokasi kajian .....................................................................391

Tabel 68. Tingkat adopsi komponen teknologi ...............................392Tabel 69. Tingkat adopsi komponen teknologi MP3M ...................394

Page 20: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 21: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pengaruh karakteristik sosial, individu dan komunikasi terhadap keinofasian adopsi (Isdianto 2010). ...................................................................11

Gambar 2. Kinerja pertumbuhan tanaman dan delta produktivitas masing-masing varietas pada penerapan teknologi Jarwo Super dibandingkan teknologi eksisting .............37

Gambar 3. Persepsi petani terhadap keunggulan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat teknologi budidaya Jarwo Super .....................................................41

Gambar 4. Kinerja adopsi inovasi teknologi Jarwo Super ..............44Gambar 5. Keragaan produktivitas Kabupaten Mojokerto dan

Provinsi jawa Timur tahun 2013–2015 ...........................54Gambar 6. Respons petani adopter terhadap komponen

teknologi Jarwo Super (sumber: BBP2TP, 2018) ...........56Gambar 7. Rata-rata hasil varietas Inpari 30, 32 dan 33

pada lokasi Demfarm Jarwo Super .................................57Gambar 8. Keragaan bibit yang diperlakukan dengan Agrimeth

(kanan) dan yang tidak diperlakukan dengan Agrimeth (kiri). ..................................................................62

Gambar 9. Alat cetakan persemaian pengganti tray (1), terpal (2), mulsa karung plastik (3) ..................................................68

Gambar 10. Keragaan alat cetakan persemaian pengganti tray .......69Gambar 11. Cara menyebar benih dan pemasangan mulsa .............70Gambar 12. Keragaan pengambilan bibit untuk dipindah

ke lahan ...............................................................................70Gambar 13. Implementasi atajale di lahan ..........................................71Gambar 14. Salah satu contoh persemaian kolektif yang

dilakukan oleh pengurus Gapoktan ...............................72Gambar 15. Senjang hasil teknologi Jarwo Super di Jawa Timur ....73Gambar 16. Delta peningkatan JS dan non-JS di Kalsel

(BPTP Kalsel 2017) ...........................................................106

Page 22: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaanxx

Gambar 17. Adopsi komponen teknologi Jarwo Super ..................107Gambar 18. Keragaan tingkat adopsi teknologi Jarwo Super

di Lape Sumbawa ............................................................122Gambar 19. Dominasi Varietas Padi MT 2017-2018 di NTB ...........123Gambar 20. Data produksi, distribusi, dan stok benih padi

sampai bulan Oktober 2018 di NTB .............................125Gambar 21. Keragaan varietas unggul baru (VUB) pada lahan

petani tahun 2016 ............................................................131Gambar 22. Persemaian dalam tray ..................................................135Gambar 23. Penanaman dengan Indo Jarwo Transplanter .............137Gambar 24. Pemanfaatan combined harvester tray ............................138Gambar 25. Efisiensi pempukan N (Urea) dan NPK (Phonska)

pada teknologi budidaya padi Jarwo Super (JS) dan Non-Jarwo Super (Non-JS) .....................................139

Gambar 26. Hasil regresi produktivitas padi dengan menerapkan teknologi Jarwo Super di Jawa Barat tahun 2017 .......140

Gambar 27. Tingkat adopsi beberapa komponen teknologi Jarwo Super oleh petani Desa Pasar Miring, Kecamatan Pagar Marbau, Kabupaten Deli Serdang, 2018 ......................................175

Gambar 28. Saat Demfarm (A) = Irisan : homifili = Setelah Demfarm ...........................................................................185

Gambar 29. Demfarm Jarwo Super Langkat, Asahan, B. Bara, L. Batu, Tapsel (BPTP Sumut 2017) ..............................187

Gambar 30. Demfarm Jarwo Super di Kabupaten Batu Bara (Akmal 2018) ....................................................................188

Gambar 31. Demfarm Jarwo Super Desa Melati II, Serdang Bedagai (BB Padi 2018) ...................................188

Gambar 32. Demfarm Jarwo Super Desa Pematang Setrak, Serdang Bedagai (Musfal 2018) .....................................189

Gambar 33. Saat Demfarm = irisan : homofili = Sebelum & Setelah Demfarm .........................................................190

Gambar 34. Perkembangan benih di UPT Benih Dinas Pertanian Sumatera Utara ................................................................193

Page 23: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan xxi

Gambar 35. Model rekayasa kelembagaan tani dalam diseminasi inovasi teknologi kakao ..................................................217

Gambar 36. Histogram rata-rata konsumsi dan pertambahan bobot badan harian sapi potong ...................................241

Gambar 37. Diagram rata-rata produksi padi dengan penerapan teknologi PTT di Kabupaten Barru, MK 2015 .............248

Gambar 38. Inisiasi model m-P3MI Berbasis Integrasi Padi - Ternak ....................................................................286

Gambar 39. SIPT dan PTT padi terintegrasi usaha ikan nila (pupuk, keong emas), itik (petelur, pembesaran) (keong mas) ......................................................................287

Gambar 40. Interaksi antar kelembagaan petani SIPT dan PTT padi Desa Lubuk Bayas ...........................................................290

Gambar 41. Pengujian BWD di Desa Lubuk Bayas .........................293Gambar 42. Pola adopsi – difusi usaha ternak di Lubuk Bayas

dan sekitarnya ..................................................................295Gambar 43. Produk Pupuk Organik Padat dan Cair

Desa Lubuk Bayas ...........................................................297Gambar 44. Padi organik Poktan Tani Subur Desa Lubuk Bayas .299Gambar 45. Kerangka Pikir Proses Adopsi Teknologi

(diadaptasi dari Isdianto, 2010) .....................................395Gambar 46. Kerangka fikir sistem inovasi dalam adopsi

teknologi, diadaptasi dari sistem inovasi pertanian (WorldBank, 2012) dan proses adopsi (Rogers, 1995) ...................................................................398

Page 24: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 25: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

PROLOG: MENAKAR KEKUATAN INOVASI, DISEMINASI DAN ADOPSI TEKNOLOGI DALAM

PENGEMBANGAN PERTANIAN PERDESAAN

Nizwar Syafaat dan Rachmat Hendayana

Upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan terus dilakukan melalui berbagai program pembangunan, salah satunya dengan mengintroduksikan inovasi pertanian. Kegiatan introduksi tersebut diikuti dengan langkah diseminasi untuk mempercepat hilirisasi agar terjadi peningkatan adopsi yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tulisan dalam buku ini merangkum kegiatan yang dilakukan peneliti dan penyuluh di berbagai wilayah seluruh Indonesia dalam melakukan introduksi inovasi teknologi, rekayasa kelembagaan dan diseminasi dalam mempercepat akselerasi inovasi dari sumber teknologi kepada pengguna teknologi baik pelaku utama maupun pelaku usaha.

Uraian diawali dengan pengantar landasan teoritis yang melandasi kegiatan inovasi, diseminasi, dan adopsi teknologi, kemudian diikuti paparan tentang inovasi teknologi, diseminasi dan adopsi cara tanam padi jajar legowo super (Jarwo Super) dan diakhiri dengan penyajian introduksi inovasi, diseminasi dan adopsi tekologi dalam penerapan Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (MP3MI).

INOVASI, DISEMINASI, DAN ADOPSI TEKNOLOGITugas untuk penyediaan inovasi dan percepatan diseminasi

merupakan ranah Badan Litbang Pertanian sebagai institusi pemerintah yang memiliki tusi penelitian dan pengembangan pertanian. Peran Badan Litbang Pertanian diperkuat dengan unit pelaksana teknis yang ditugaskan melakukan pengkajian inovasi pertanian spesifik lokasi di seluruh provinsi seluruh Indonesia yaitu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Inovasi yang dihasilkan diklasifikasikan menjadi inovasi produk, inovasi pelayanan, dan inovasi proses.

Diseminasi adalah proses penyebaran inovasi yang direncanakan, diarahkan, dan dikelola. Diseminasi merupakan tindak inovasi yang disusun menurut perencanaan yang matang, melalui diskusi atau

Page 26: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaanxxiv

forum lainnnya yang sengaja diprogramkan, sehingga terdapat kesepakatan untuk melaksanakan inovasi. Pelaksanaannya benar-benar berdasarkan sebuah program yang terarah dan terencana secara matang.

Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya.

INOVASI, DISEMINASI, DAN ADOPSI CARA TANAM PADI JAJAR LEGOWO SUPER

Dalam konteks cara tanam padi jajar legowo super (Jarwo Super), buku ini akan mengulas beberapa hal yang terkait dengan persepsi petani, respons pemerintah daerah, testimoni keberhasilan penerapan teknologi Jarwo Super, dan fenomena lainnya yang terkait.

Persepsi petani di Sulawesi Selatan sangat positif, dan minat adopsi sangat tinggi. Setiap komponen paket teknologi diakui petani mampu mendongkrak produksi usahataninya. Di Jawa Tengah, menurut Hartoyo et al. (2018) Penerapan inovasi teknologi Jarwo Super meningkatkan produktivitas rata-rata 57,09% di atas teknologi eksisting. Preferensi inovasi teknologi jajar legowo super memberikan keunggulan relatif, tingkat kesesuaian tinggi, tingkat kerumitan rendah (mudah diterapkan), mudah dicoba/diterapkan dalam skala kecil, dan mudah diamati dalam waktu relatif cepat.

Respons pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) melalui Dinas Pertanian cukup baik. Prospek pengembangan inovasi teknologi jajar legowo super di Jawa Tengah cukup terbuka. Di Jawa Timur, inovasi teknologi Jarwo Super telah teruji keunggulannya melalui demarea di beberapa lokasi. Keberhasilan penerapan Teknologi Jarwo Super ditentukan oleh komponen teknologi dan teknik budidaya yang digunakan. Penerapan Teknologi Jarwo Super secara utuh diyakini mampu memberikan hasil ± 10 ton GKG/ha per musim.

Menurut Wijayanto et al. (2018), varietas unggul baru terbukti memiliki kompatibilitas yang baik pada teknologi Jarwo Super dalam keberhasilan diseminasi inovasi di Lampung. Penggunaan VUB akan

Page 27: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan xxv

menyebar luas selama benih VUB tersebut tersedia dan adanya uji adaptasi atau display dalam rangka memperkenalkan VUB tersebut.

Di Kalimantan Selatan, implementasi Jarwo Super juga menunjukkan pengembangan yang prospektif (Fakhrina et al. 2018), dengan penyediaan komponen Jarwo Super seperti agrimeth, MDec dan Bioprotektor. Walaupun tingkat adopsi komponen teknologi Jarwo Super hasilnya belum optimal, namun teknologi ini mulai direplikasi ke kabupaten lain, di antaranya ke Kabupaten Tapin, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Barito Kuala.

Dukungan kelembagaan dalam pengembangan teknologi Jarwo Super memegang peranan yang strategis. Fauziah dan Kiswanto (2018), mengemukakan bahwa tindakan kolektif yang merupakan salah satu ciri dari kelompok tani mampu berperan sebagai faktor penentu keberhsilan adopsi dan difusi komponen teknologi dalam Jarwo Super. Contohnya dapat dilihat pada UPJA sebagai salah satu bentuk kelembagaan pengelolaan alsintan oleh kelompok tani. Selain itu, kelompok tani juga menjadi penangkar benih, serta membantu petani dalam mensosialisasikan VUB yang adaptif dan benihnya tersedia, sehingga penerapan inovasi dapat berkelanjutan.

INOVASI, DISEMINASI, DAN ADOPSI MODEL PENGEMBANGAN PERTANIAN PERDESAAN

MELALUI INOVASI Inovasi yang diintroduksikan untuk mendukung pengembangan

pertanian perdesaan cukup beragam. Disamping berupa inovasi teknologi, inovasi yang diintroduksikan juga mencakup rekayasa kelembagaan. Jenis inovasi teknologi yang diintroduksikan meliputi: inovasi produk organik, integrasi tanaman padi dengan ternak sapi (Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan), pengembangan mekanisasi (mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi, pemanfaatan bioslurry, budidaya kakao, perbenihan kentang, dan pengembangan ayam KUB). Adapun inovasi kelembagaannya adalah rekayasa kelembagaan tani.

Inovasi produk organik yang diintroduksikan di wilayah Serdang Bedagai, Sumatera Utara merupakan pemanfaatan dari hasil usaha integrasi padi dan sapi melalui usaha tani terpadu (PTT padi dan SIPT). Produk organik yang diintroduksikan adalah padi organik dengan

Page 28: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaanxxvi

pupuk organik (pupuk kandang dan urine sapi). Namun dalam pengembangannya menurut Khairiah dan Wasito (2018) dihadapkan pada kekhawatiran pemerintah daerah, yang jika padi organik ini berkembang akan menurunkan produksi padi di luar organik sehingga akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pangan. Selain itu, belum adanya kebijakan khusus untuk pengembangan pertanian padi organik dan kurangnya dukungan infrastruktur serta kurangnya kesadaran terhadap pangan sehat.

Inovasi yang dikembangkan dalam MP3MI di Kalimantan Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan adalah integrasi tanaman padi dengan ternak sapi. Kallo et al. (2018) mengemukakan bahwa model integrasi padi dan ternak sapi berbasis zero waste di Sulawesi Selatan memiliki prospek untuk berkembang terkait kebijakan pemerintah yang menetapkan Kabupaten Barru sebagai daerah sentra pemurnian sapi bali dan salah satu wilayah pengembangan tanaman padi di Sulawesi Selatan.

Keberhasilan integrasi tanaman – ternak ini juga terjadi di Kalimantan Selatan khususnya di Kabupaten Tabalong seperti dilaporkan Pribadi dan Komariah (2018). Pengenalan teknologi budidaya padi dan peningkatan produksi ternak sapi serta teknologi integrasi keduanya pada kegiatan MP3MI di Kabupaten Tabalong telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan produktivitas dan peningkatan pendapatan petaninya. Beberapa komponen teknologi yang diadopsi baik sampai sekarang dan mempunyai prospek yang bagus untuk terus dikembangkan, seperti pemanfaatan limbah ternak sapi, berupa kotoran, dan bio urine. Introduksi varietas unggul baru (VUB) dan benih bermutu padi juga merupakan komponen teknologi yang direspons positif oleh petani dan mempunyai prospek pengembangan yang cukup bagus. Untuk itu, selanjutnya pengembangan mekanisasi (mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi. Menurut Suhendrata dan Ekaningtyas (2018), untuk akselerasi dalam pengembangan mesin tanam bibit padi (rice transplanter) dan mesin tanam pemanen padi (combine harvester) perlu dilakukan (i) sosialisasi dalam rangka penyebarluasan inovasi teknologi mesin tanam bibit padi dan mesin tanam pemanen padi (ii) memperkuat permodalan dan akses sumber modal atau skim kredit, (iii) pendampingan dan pengawalan dalam pengajuan permohonan bantuan mesin tanam bibit padi dan mesin tanam pemanen padi, dan (iv) meningkatkan kemampuan/keterampilan dan pengetahuan

Page 29: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan xxvii

petani dalam mengoperasikan, pengelolaan/manajemen, perawatan dan perbaikan mesin tanam bibit padi dan mesin tanam pemanen padi.

Dalam pengembangan penerapan mekanisasi di suatu wilayah, pemilihan suatu jenis mesin pertanian harus disesuaikan dengan kondisi lahan yang ada. Pemilihan yang tepat dan cara penggunaan dan manajemen yang baik akan dapat menunjang kelancaran dan efisiensi pekerjaan bila tidak akan terjadi sebaliknya. Selain itu, perlu diinisiasi dan dikembangkan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) baik UPJA yang berada dalam kelompok tani, Gapoktan atau UPJA yang berdiri sendiri.

Dampak positif dari penerapan mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi akan mempercepat pertumbuhan ekonomi perdesaan dan akan tumbuh usahatani pendukung atau penunjang seperti usahatani penyediaan media tanam (tanah dan pupuk organik) untuk persemaian menggunakan dapog, usahatani persemaian menggunakan dapog, dan jasa angkut sarana dan prasarana penunjang (mesin, media, bibit dan hasil panen).

Dampak negatif dari penerapan mesin tanam pindah bibit padi akan merebut dan menggeser peran regu tanam dan penerapan mesin pemanen padi akan menghilangkan peran regu panen dan orang-orang yang biasa mendapatkan tambahan pendapatan dari “mengasak” atau “tekmen” (mengambil padi yang tersisa sehabis panen). Orang-orang yang terkena dampak perlu diperhitungkan dalam penerapan mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi.

Pemanfaatan bioslurry, yang diperkenalkan pada petani di Jawa Barat sebagai pupuk organik. Bioslurry merupakan limbah biogas yang sangat berpotensi digunakan sebagai pupuk organik tanaman dan dapat mengurangi limbah peternakan. Satu peternak dengan ukuran digester biogas 4 m3 dan 4 ekor sapi dapat bekerja sama dengan petani yang memiliki lahan seluas 0,48–0,72 ha. Sementara limbah pertanian yang dihasilkan dari usaha pertanian dapat digunakan untuk campuran pakan bagi ternak dari peternak. Bioslurry yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara bergilir oleh petani dengan aturan yang disepakati, baik antar peternak maupun antara peternak dan petani (Dianawati 2018).

Page 30: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaanxxviii

Diseminasi inovasi teknologi budidaya kakao, dilakukan dengan memadukan beberapa metode diseminasi dapat meningkatkan kapasitas petani (pengetahuan dan keterampilan) dalam penerapan teknologi. Komponen teknologi secara tepat dapat diterapkan petani jika memahami secara baik mengenai unsur-unsur teknologi yang diterapkan. Kesalahan dalam penerapan unsur-unsur teknologi seperti unsur-unsur komponen teknologi sambung samping dapat mengalami kegagalan dalam penerapan.

Kreativitas petani dan kelompok tani untuk belajar dan sekaligus menerapkan komponen teknologi akan mempercepat kesadaran dan keyakinan petani terhadap keunggulan teknologi budidaya kakao. Para petani telah membuktikan bahwa penerapan teknologi budidaya kakao meningkatkan produktivitas kakao, pendapatan, dan nilai tambah yang diterima petani. Manfaat yang dirasakan petani dari aspek teknis penerapan teknologi mendorong sebagian besar petani kakao menerapkan teknologi yang telah diintroduksikan (Utami et al. 2018).

Perbenihan kentang difokuskan pada introduksi perbenihan bermutu, varietas Granola dikembangkan dalam perspektif pertanian perdesaan. Prahardini dan Sudaryono (2018) mengemukakan bahwa satu kawasan pertanian berbasis kentang memerlukan benih bermutu dari varietas Granola Kembang yang perlu disiapkan mulai dari benih sumber berupa plantlet, benih G0, dan benih G2.

Teknologi yang sudah diadopsi dan dikembangkan oleh petani dengan dukungan dinas terkait akan mampu menjadi wilayah mandiri benih kentang. Petani dalam kawasan berbasis kentang diharapkan akan terwujud misi: benih kentang berasal dari petani untuk petani dan dilakukan oleh petani. Bila hal ini bisa diwujudkan maka perputaran uang komoditas kentang akan dinikmati oleh petani kentang dalam perdesaan berbasis kentang

Pengembangan ayam KUB. Ayam KUB memiliki keunggulan kompetitif dibanding ayam kampung pada umumnya. Ayam KUB meskipun memiliki keunggulan, namun apabila tidak dipelihara sesuai dengan standar yang dibutuhkan maka keunggulan yang dimiliki ayam KUB tidak akan muncul.

Page 31: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan xxix

Petani sebagai ujung tombak dalam pengembangan ayam KUB perlu mendapatkan informasi yang memadai mengenai pakan ayam KUB. Informasi pakan alternatif yang lengkap memungkinkan peternak bisa memilih bahan pakan sesuai dengan kondisi yang ada. Hasil penelitian dari beberapa pakan alternatif, pada umumnya digunakan sebagai substitusi sebagian dari pakan konvensional. Hal ini dilakukan agar produksi tidak mengalami penurunan, namun biaya pakan dapat dikurangi (Winarti dan Budi 2018)

Inovasi kelembagaan, menurut Bulu (2018) dapat mempercepat proses penyebaran informasi inovasi dan peningkatan penerapan inovasi. Pelaksanaan diseminasi melalui komunikasi, pertemuan kelompok, penyuluhan, bimbingan, pendampingan dan praktik langsung oleh petani dan kelompok tani dapat meningkatkan kasapasitas petani mengenai pengetahuan inovasi dan keterampilan. Pengetahuan inovasi dan keterampilan dalam penerapan teknologi telah membuktikan terjadinya peningkatan penerapan inovasi. Keterpaduan dalam implementasi metode-metode diseminasi inovasi teknologi kakao mendorong terjadinya difusi dan perluasan penerapan teknologi. Model diseminasi inovasi teknologi kakao yang dilakukan secara terpadu dan terencana dari metode-metode diseminasi dengan menggunakan saluran-saluran komunikasi yang tersedia mampu meningkatkan keyakinan, kesadaran, dan motivasi petani untuk menerapkan teknologi.

Page 32: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 33: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

DISEMINASI DAN ADOPSI TEKNOLOGI UNTUKK PEMBANGUNAN

PERTANIAN PERDESAAN

Haris Syahbuddin dan Sudi Mardianto

Balitbangtan menghasilkan inovasi teknologi sebagai dukungan untuk menjawab tantangan pembangunan pertanian dalam hal pemenuhan target serta antisipasi terhadap potensi masalah produksi pangan di masa yang akan datang. Inovasi teknologi tersebut dihasilkan melalui kegiatan penciptaan inovasi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, sumberdaya lahan dan lingkungan, mekanisasi, dan pascapanen dalam bentuk varietas unggul baru, teknologi, serta model atau prototipe (Balitbangtan 2014). Agar hasil riset Balitbangtan diketahui oleh pengguna, maka perlu dikomunikasikan melalui kegiatan diseminasi. Salah satu keunggulan diseminasi inovasi Balitbangtan dilakukan secara spesifik lokasi melalui BPTP yang tersebar di 33 provinsi.

Apabila dicermati dengan seksama metode diseminasi teknologi Balitbangtan berkembang seiring dengan dinamika lingkungan strategis (baca: perubahan zaman). Pembaharuan metode diseminasi memang diperlukan agar tingkat adopsi teknologi oleh pengguna semakin meningkat dan berkelanjutan. Salah satu metode diseminasi yang pernah dirancang dan diimplementasikan adalah dengan mengintegrasikan sub sistem penyedia, pengganda, dan pengguna teknologi (Simatupang, 2005). Kunci utama keberhasilan diseminasi teknologi adalah kesesuaian kebutuhan teknologi di tingkat pengguna, mudah digunakan, dan tersedia pada saat dibutuhkan.

INOVASI TEKNOLOGIBerdasarkan bentuk pengaplikasiannya, inovasi dibedakan

menjadi tiga, yakni: inovasi produk (product innovation), inovasi dalam pelayanan (service innovation) dan inovasi proses (process innovation). Inovasi produk merupakan pemunculan produk baru. Sebagai contoh antara lain biodekomposer, agrimeth, dan sex feromon, paket teknologi Jarwo Super (Balitbangtan 2016). Inovasi jasa pelayanan adalah cara baru dalam memberikan pelayanan kepada para

Page 34: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan2

pelanggan. Sedangkan inovasi proses adalah sebuah cara baru untuk membuat proses dalam menghasilkan produk atau jasa menjadi lebih ekonomis. Sementara itu berdasarkan tingkat kebaharuannya, inovasi dibedakan menjadi empat macam, yakni: inovasi inkremental, inovasi arsitektular, inovasi modular dan inovasi radikal.

• Inovasi inkremental adalah suatu cara untuk meningkatkan komponen yang sudah ada. Dengan kata lain bahwa inovasi inkremental menekankan pada peningkatan performa/kualitas tertentu bukan perubahan. Contohnya: peningkatan kualitas pelayanan terhadap pelanggan.

• Inovasi radikal adalah inovasi dengan melakukan perubahan secara keseluruhan baik komponen maupun sistem yang ada. Inovasi secara radikal jarang ditemukan di lapangan.

• Inovasi modular adalah inovasi dengan melakukan perubahan pada komponen, namun sistem yang digunakan tetap.

• Inovasi arsitekstur adalah inovasi dengan melakukan perubahan pada sistem yang sudah ada dengan cara baru dan meningkatkan komponen yang ada di dalamnya tanpa harus merubahnya.

Difusi versus Diseminasi InovasiDalam komunikasi inovasi dikenal dua istilah, yaitu difusi dan

diseminasi. Teori difusi inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok petani dari sistem sosial. Rogers (1961) mengartikan difusi “as the process by which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system.” Difusi adalah proses komunikasi inovasi antara warga masyarakat (anggota sistem sosial), dengan menggunakan saluran tertentu dan dalam waktu tertentu. Komunikasi dalam definisi ini menekankan terjadinya saling tukar informasi (hubungan timbal-balik), antar beberapa individu baik secara memusat (konvergen) maupun memencar (divergen), yang berlangsung secara spontan; sedangkan diseminasi adalah proses penyebaran inovasi yang direncanakan, diarahkan dan dikelola. Jadi secara ringkas dapat dikatakan kalau difusi terjadi secara spontan, sementara diseminasi dengan perencanaan. Secara harfiah, diseminasi dapat diartikan sebagai cara dan proses

Page 35: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 3

penyebarluasan/penyampaian hasil-hasil penelitian/pengkajian/teknologi kepada masyarakat atau pengguna untuk diketahui atau dimanfaatkan (Djaffar 2017). Diseminasi merupakan tindak inovasi yang disusun menurut perencanaan yang matang, melalui diskusi atau forum lainnnya yang sengaja diprogramkan, sehingga terdapat kesepakatan untuk melaksanakan inovasi. Temu lapang dan demplot merupakan bentuk diseminasi, karena sebarannya berdasarkan sebuah perencanaan dengan pandangan jauh ke depan. Di dalam pelaksanaannya pun, tidak sembarang kegiatan dapat dilakukan, namun benar-benar berdasarkan sebuah program yang terarah dan terencana secara matang.

Elemen Pokok Difusi Inovasi dan Peranan WaktuRogers mengemukakan ada 4 elemen pokok difusi inovasi, yaitu:

(1) inovasi; (2) Komunikasi dengan Saluran Tertentu; (3) Waktu; dan (4) sistim sosial. Dari empat elemen tersebut, waktu adalah elemen yang penting dalam proses difusi, karena waktu merupakan aspek utama dalam proses komunikasi. Waktu tidak nyata berdiri sendiri terlepas dari suatu kejadian, tetapi waktu merupakan aspek dari suatu kegiatan.

Ada 3 peranan dimensi waktu dalam proses difusi, yaitu: (a) Proses keputusan inovasi ialah proses sejak seseorang mengetahui inovasi pertama kali sampai ia memutuskan untuk menerima atau menolak inovasi; (b) Kepekaan seseorang terhadap inovasi. Tidak semua orang dalam suatu sistem sosial (masyarakat) menerima inovasi dalam waktu yang sama. Kepekaan inovasi ditandai dengan lebih dahulunya seseorang menerima inovasi daripada yang lain, dalam suatu sistem sosial (masyarakat); (c) Dimensi waktu yaitu kecepatan penerimaan inovasi. Kecepatan penerimaan inovasi ialah kecepatan relatif diterimanya inovasi oleh warga masyarakat (anggota sistem sosial). Orang yang menerima inovasi dalam tiap periode waktu tertentu (misalnya tahun atau bulan), mereka itu adalah inovator. Kecepatan inovasi biasanya diukur berdasarkan lamanya waktu yang diperlukan untuk mencapai persentase tertentu dari jumlah warga masyarakat yang telah menerima inovasi.

Page 36: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan4

Berdasarkan kepekaan terhadap proses penerimaan inovasi (respons cepat atau lambat), ada 5 kategori penerimaan teknologi, yaitu: (a) inovator, (b) pemula, (c) mayoritas awal, (d) mayoritas akhir, dan (e) terlambat (tertinggal).

ADOPSIPengertian adopsi dalam proses penyuluhan dapat diartikan

sebagai proses perubahan perilaku baik berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan penyuluh. Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekadar “tahu”, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya (Rogers 1995; 2003). Pendapat lain menyatakan bahwa adopsi sendiri tidak semata-mata hanya terkait dengan penerimaan atau penolakan sebuah inovasi. Adopsi melihat sejauhmana sebuah inovasi dapat diintegrasikan dalam konteks yang tepat dan sesuai. Menurut Straub (2009) pembahasan adopsi justru dititikberatkan pada transfigurasi secara parsial bukan pada total perubahan yang timbul dari adanya inovasi.

Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya. Keputusan inovasi merupakan suatu tipe pengambilan keputusan yang khas (Suprapto dan Fahrianoor 2004). Diartikan oleh Mardikanto dan Sutarni (1982) adopsi sebagai penerapan atau penggunaan sesuatu ide, alat-alat atau teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi (lewat penyuluhan).

Manifestasi dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau diamati berupa tingkah laku, metode, maupun peralatan dan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan komunikasinya. Disebutkan oleh Samsudin (1982), adopsi adalah suatu proses yang dimulai dari keluarnya ide-ide dari satu pihak, disampaikan kepada pihak kedua, sampai diterimanya ide tersebut oleh masyarakat sebagai pihak kedua. Seseorang menerima suatu hal atau ide baru selalu melalui beberapa tahapan. Tahapan ini dikenal sebagai tahap proses adopsi.

Page 37: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 5

Rogers (1983) berpendapat, proses pengambilan keputusan inovasi adalah proses di mana seseorang berlalu dari pengetahuan pertama mengenai suatu inovasi dengan membentuk suatu sikap terhadap inovasi, sampai memutuskan untuk menolak atau menerima, melaksanakan ide-ide baru dan mengukuhkan terhadap keputusan inovasi. Jadi, adopsi merupakan suatu proses perubahan penerapan atau penggunaan ide-ide atau teknologi baru pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan oleh Penyuluh.

Dinyatakan oleh Rogers (1983) bahwa perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu yang baru, melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

• Tahap kesadaran (Awareness). Dalam hal ini Petani mulai sadar tentang adanya sesuatu yang baru, mulai terbuka akan perkembangan dunia luar, sadar apa yang sudah ada dan apa yang belum.

• Tahap minat (Interest). Tahap ini ditandai oleh adanya kegiatan mencari keterangan-keterangan tentang hal-hal yang baru diketahuinya.

• Tahap penilaian (Evaluation), Setelah keterangan yang diperlukan diperoleh, mulai timbul rasa menimbang-nimbang untuk kemungkinan melaksanakannya sendiri.

• Tahap mencoba (Trial). Jika keterangan sudah lengkap, minat untuk meniru dan jika ternyata hasil penilaiannya positif, maka dimulai usaha mencoba hal baru yang sudah diketahuinya.

• Tahap adopsi (Adoption). Petani sudah mulai mempraktikkan hal-hal baru dengan keyakinan akan berhasil. Dari tahapan yang telah disebutkan di atas tampaknya terdapat

kelemahan di mana proses adopsi tidak berhenti setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, Rogers (1983) teorinya tentang inovasi yaitu knowledge (pengetahuan), persuation (persuasi), decision (keputusan), implementation (pelaksanaan), dan confirmation (konfirmasi).

Pengetahuan. Seseorang mengetahui adanya inovasi dan memperoleh beberapa pengertian tentang bagaimana inovasi itu berfungsi. Ditambahkan oleh Mardikanto dan Sutarni (1982) bahwa pada tahap ini, komunikan menerima inovasi dari mendengar dari

Page 38: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan6

teman, beberapa media massa, atau dari agen pembaru (penyuluh) yang menumbuhkan minatnya untuk lebih mengetahui hal ikhwal inovasi tersebut. Menurut Rogers, ada tiga jenis pengetahuan (knowledge), yaitu:

• Pengetahuan akan keberadaan inovasi (Awareness-knowledge). Pengetahuan ini akan memotivasi individu untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Kurangnya informasi tersebut maka masyarakat tidak merasa memerlukan akan inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi;

• Pengetahuan tentang cara menggunakan inovasi (How-to-knowledge). Merupakan pengetahuan tentang cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan penggunaan inovasi ini.

• Pengetahuan tentang prinsip-prinsip mendasar bagaimana dan mengapa inovasi dapat bekerja (Principles-knowledge). Merupakan pengetahuan tentang prinsip-prinsip yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang mendasari penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan kampanye kesehatan. Persuasi. Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap

positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung menyebabkan individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi, maka tahap ini berlangsung setelah knowledge stage dalam proses keputusan inovasi. Rogers menyatakan bahwa knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut

Page 39: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 7

perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi.

Keputusan. Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Menurut Rogers, adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan digunakan secara penuh, sedangkan menolak berarti “not adopt an innovation”. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpanya pada keberadaan suatu individu, maka inovasi akan lebih cepat diterima karena biasanya individu tersebut pertama-tama ingin menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Rogers menyatakan ada dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan passive rejection. Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi dan berpikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak inovasi tersebut. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berpikir untuk mengadopsi.

Implementasi. Pada tahap implementasi sebuah inovasi dicoba untuk dipraktikkan, akan tetapi sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya akan terlibat dalam adopsi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Maka si Pengguna memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dari akibatnya.

Konfirmasi. Ketika keputusan inovasi sudah dibuat, maka si pengguna akan mencari dukungan atas keputusannya. Menurut Rogers keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si Pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi, kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung memperkuat keputusan tersebut. Tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih kursial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu. Ketidakberlanjutan adalah suatu keputusan menolak sebuah inovasi setelah sebelumnya mengadopsinya. Ketidakberlanjutan ini dapat terjadi selama tahap ini dan terjadi pada dua cara, yaitu: (a) Penolakan individu terhadap sebuah inovasi mencari inovasi lainnya yang akan menggantikannya. Keputusan jenis ini dinamakan replacement

Page 40: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan8

discontinuance.(b) Disenchanment discontinuance, dalam hal ini individu menolak inovasi tersebut disebabkan ia merasa tidak puas atas hasil dari inovasi tersebut.

Faktor-faktor yang mendukung kecepatan adopsi Dinyatakan oleh Mardikanto (1993) bahwa kecepatan adopsi

dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah:

(1) Sifat Inovasi. Sifat inovasinya sendiri, baik intrinsik (yang melekat pada inovasinya sendiri) maupun sifat ekstrinsik (menurut/dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya).Sifat-sifat instrinsik inovasi itu mencakup berikut ini:• Informasi ilmiah yang melekat/dilekatkan pada inovasinya, • Nilai-nilai atau keunggulan-keunggulan (teknis, ekonomis,

sosial budaya, dan politis) yang melekat pada inovasinya, • Tingkat kerumitan (kompleksitas) inovasi, • Mudah/tidaknya dikomunikasikan inovasi, • Mudah/tidaknya inovasi tersebut dicoba (trial-ability), • Mudah/tidaknya inovasi tersebut diamati (observability). Sedangkan sifat ekstrinsik inovasi meliputi sebagai berikut:• Kesesuaian (compatibilty) inovasi dengan lingkungan

setempat (baik lingkungan fisik, sosial budaya, politik, dan kemampuan ekonomi masyarakatnya).

• Tingkat keunggulan relatif dari inovasi yang ditawarkan, atau keunggulan lain yang dimiliki oleh inovasi dibanding dengan teknologi yang sudah ada yang akan diperbaharui/digantikannya, baik keunggulan teknis, ekonomis (besarnya biaya), manfaat non ekonomi, maupun dampak sosial budaya dan politis yang ditimbulkannya (relative advantage).

(2) Sifat sasarannya. Dilihat dari karakteristik sasarannya, dikemukakan oleh Rogers and Shoemaker (1971) bahwa dalam setiap kelompok masyarakat terbagi menjadi 5 (lima) kelompok individu berdasarkan tingkat kecepatannya mengadopsi, yaitu:• Kelompok perintis (innovator). Pelopor/orang-orang yang

pertama dalam suatu wilayah tertentu yang paling cepat mengadopsi suatu inovasi, memiliki rasa ingin tahu tinggi/curiousity, cenderung individualis.

Page 41: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 9

• Kelompok pelopor (early adopter). Orang yang cukup aktif dalam pembangunan desa, umur relatif muda, pendidikan cukup tinggi, status sosial agak tinggi dan disegani oleh anggota masyarakat.

• Kelompok penganut dini (early mayority). Golongan yang mudah terpengaruh bila hal baru telah disadari dan diyakini keunggulannya.

• Kelompok penganut lambat (late mayorty). Orang yang lambat menerima inovasi, kedudukan ekonominya rendah, dan kurang bersemangat dalam usahataninya.

• Kelompok orang-orang kolot/naluri (laggard). Kaum kolot/penolak, usia tua, statis dan pasif terhadap perubahan, dan kurang rasional.

(3) Cara pengambilan keputusan. Terlepas dari ragam karakteristik individu dan masyarakat, cara pengambilan keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi sesuatu inovasi juga akan mempengaruhi kecepatan adopsi. Tentang hal ini, jika keputusan adopsi dapat dilakukan secara pribadi relatif lebih cepat dibandingkan pengambilan keputusan berdasarkan keputusan bersama warga masyarakat yang lain, apalagi jika harus menunggu peraturan-peraturan tertentu seperti: rekomendasi pemerintah.

(4) Saluran komunikasi yang digunakan inovasi dapat dengan mudah dan jelas disampaikan lewat media massa, atau sebaliknya jika kelompok sasarannya dapat dengan mudah menerima inovasi yang disampaikan melalui media massa, maka proses adopsi akan berlangsung relatif lebih cepat dibandingkan dengan inovasi yang harus disampaikan lewat media antar pribadi.

(5) Keadaan penyuluh. Kecepatan adopsi ditentukan oleh aktivitas yang dilakukan oleh penyuluh, khususnya tentang upaya yang dilakukan penyuluh untuk “mempromosikan” inovasinya. Semakin rajin penyuluhnya menawarkan inovasi, proses adopsi semakin cepat pula.

(6) Ragam sumber informasi kecepatan adopsi inovasi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok sasaran penyuluhan pada tiap tahapan adopsi sangat dipengaruhi oleh ragam sumber informasi yang menyampaikannya. Dikemukakan oleh

Page 42: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan10

Lionberger dalam Mardikanto (1993), ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan mengadopsi inovasi ditinjau dari ragam golongan masyarakat yang meliputi: • luas usahatani, • tingkat pendapatan, • keberanian mengambil risiko, • umur, • tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar

lingkungannya sendiri, • aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru, dan• sumber informasi yang dimanfaatkan. Banyak aspek yang mempengaruhi adopsi inovasi. Musyafak

dan Ibrahim (2005) menyatakan prasyarat yang harus dipenuhi agar inovasi lebih cepat diadopsi petani, yaitu sesuai kebutuhan, memberikan keuntungan nyata, selaras dengan kondisi lokal spesifik, mengatasi faktor-faktor pembatas, mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia, terjangkau petani secara finansial, inovasinya mudah diterapkan, dan hasil penerapan inovasinya mudah dilihat. Peningkatan kekompakan dan keterbukaan informasi antar petani berkontribusi positif pada adopsi (Rangkuti 2009) dan juga peran penyuluh dalam meyakinkan keputusan adopsi (Indraningsih 2011). Aspek desiminasi, pembelajaran, sosial, dan insentif tercatat menjadi bagian penting terjadinya adopsi (Sambodo dan Nuthall 2010). Keuntungan relatif, kesesuaian inovasi, dan persepsi terhadap pengaruh media/informasi interpersonal menjadi faktor kunci petani dalam mengambil keputusan untuk mengadopsi inovasi (Indraningsih 2011).

Page 43: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 11

Gambar 1. Pengaruh karakteristik sosial, individu dan komunikasi terhadap keinofasian adopsi (Isdianto 2010).

Tabel 1. Variabel indikator dan parameter sosial ekonomiNo Variabel/Indikator ParameterA Karateristik Sosial-Ekonomi 1 Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan formal -

Jumlah tahun pendidikan formal- 2 Tingkat kepemimpinan Jabatan yang diduduki di masyarakat-

Kemampuan mempengaruhi orang lain - Kemampuan membuat keputusan-

3 Tingkat kekosmopolitan

Pergi ke luar desa- Menerima informasi dari luar desa- Berhubungan dengan orang penting di luar - desa

4 Kepemilikan alat tangkap

sewa - mandiri- jenis alat tangkap-

5 Kepemilikan modal Jumlah uang yang digunakan untuk usaha- cara mengakses modal-

Page 44: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan12

No Variabel/Indikator ParameterB Karakteristik Individu1 Tingkat empati toleransi terhadap orang lain-

memproyeksikan diri terhadap peran orang - lain

2 Kemampuan abstraksi kemampuan membayangkan suatu materi- kemampuan mencerna pesan-

3 Keberanian mengambil risiko

tanggung jawab dengan keputusan sendiri- mau mengatasi kesulitan- mau menerima kegagalan-

4 Tingkat futuristik berorientasi ke masa depan- tidak percaya pada nasib- tidak percaya pada ramalan-

C Karakteristik Komunikasi1 Tingkat partisipasi

sosialmenghargai pendapat orang lain- bersedia membantu orang lain- mengikuti kegiatan sosial-

2 Intensitas komunikasi dengan sesama nelayan, orang asing dan penyuluh

mau berdiskusi - mau bertanya dan menjawab pertanyaan- mau memberikan tanggapan -

3 Tingkat keterdedahan terhadap media massa

Informasi yang diakses- jenis media yang diakses- frekuensi mengakses informasi-

4 Keikutsertaan dalam penyuluhan

menjadi angggota kelompok tani- mengikuti kegiatan penyuluhan- mengikuti pelatihan -

D Tingkat keinovatifan (Berdasarkan pengkategorian Rogers dan Schoemaker)

1 Inovator gemar mencoba gagasan baru- akses terhadap media massa tinggi- selalu membutuhkan informasi- langsung mencoba inovasi- cepat memutuskan menerima inovasi- kemampuan finansial yang tinggi- berani mengambil risiko- tingkat kekosmopolitan tinggi-

Tabel 1. Variabel indikator dan parameter sosial ekonomi (lanjutan)

Page 45: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 13

No Variabel/Indikator Parameter2 Early adopter Tanggap terhadap media massa-

hati-hati terhadap pesan/informasi- meneliti informasi terlebih dahulu - mencari dukungan agen pembaharu- tepat dalam menentukan keputusan- hubungan dengan luar desa seimbang - dengan hubungan ke dalam komunitas desamenjadi panutan masyarakat-

3 Early majority mengadopsi inovasi lebih awal dari - masyarakat umummengadopsi dengan penuh pertimbangan- akses modal terbatas- memiliki hubungan yang baik dengan tokoh - panutankeputusan adopsi dimotivasi oleh panutan- bukan pemimpin masyarakat-

4 Late majority mengadopsi inovasi setelah kebanyakan - orang mengadopsitidak terlalu berani mengambil risiko- ikut-ikutan dalam mengadopsi inovasi- dipengaruhi oleh keseragaman lingkungan - masyarakat

5 Laggard skeptis terhadap inovasi- tingkat lokalit tinggi- berorientasi terhadap masa lalu- memgang teguh adat istiadat- percaya pada ramalan nasib- tidak menyukai perubahan-

Tabel 1. Variabel indikator dan parameter sosial ekonomi (lanjutan)

Page 46: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan14

Kajian tingkat adopsi yang tidak hanya terkait dengan pengukurannya sudah banyak dilakukan (2006) setidaknya membagi bahsan adopsi dalam tiga kriteria: a) pendekatan ekonometrik dan modelling digunakan untuk mengukur keputusan adopsi, b) adopsi dikaitkan dengan proses pembelajaran dan jaringan sosial, dan c) analisis adopsi dilakukan dalam bentuk studi skala mikro atau spesifik.

ADOPSI TEKNOLOGI DALAM TATARAN KONSEPTUAL VERSUS IMPLEMENTASI DI

LAPANGANKonsepsi adopsi sebagaimana diuraikan dalam subbab

sebelumnya menjelaskan secara ideal bagaimana tahapan adopsi terjadi (Rogers 1998; 2003), bagaimana setiap tahapan adopsi dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain karakteristik sosial, karakteristik responden, tingkat keinovatifan responden, serta karakteristik teknologi (Isdianto 2010). Namun dalam implementasinya, terkadang tahapan adopsi tidak harus melewati proses mengetahui-bersikap-implementasi-konfirmasi. Dengan intensitas media diseminasi yang tinggi serta kepercayaan terhadap pembawa pesan (Sasongko et al. 2014), keterjangkauan teknologi, serta pengaruh kelompok dan komunikasi interpersonal (Adawiyah et al. 2017), tahapan adopsi bisa langsung dari proses mengetahui kemudian

Page 47: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 15

mengimplementasikan teknologi. Hasil studi yang dilakukan oleh BB Pengkajian (BBP2TP, 2018) terhadap adopsi teknologi Jarwo Super menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi antara lain lingkungan sosial petani (keaktifan mengikuti pertemuan kelompok, penyuluhan/pelatihan/pendampingan); karakteristik inovasi; serta kemampuan ekonomi petani (sumber pembiayaan petani, akses ke sumber permodalan, luas lahan). Keterlibatan petani dalam aktivitas training mempengaruhi kapasitas pengetahuan dan adopsi teknologi (Sarkis et al. 2010) dan juga secara nyata mempengaruhi tingkat keinovativan petani. Demikian juga hal nya dengan faktor modal yang mempengaruhi seberapa besar petani berani mengambil resiko untuk menerapkan teknologi baru. Hasil studi di lapangan yang dikaitkan dengan konseptual adopsi sebagaimana pada Tabel 1 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa meskipun secara konsep terdapat banyak faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap adopsi, namun dalam tataran implementasi, tidak semua faktor yang terdapat dalam konsep tersebut nyata berpengaruh terhadap adopsi teknologi. Atau dengan kata lain, ada faktor dominan maupun faktor-faktor pembatas yang berpengaruh terhadap adopsi teknologi.

Dalam upaya mereduksi senjang adopsi tersebut, maka beberapa upaya dapat dilakukan baik itu dari aspek kebijakan, misalnya meningkatkan intensitas pendampingan, menderaskan arus informas, meyakinkan kemanfaatan dan keunggulan teknologi melalui uji coba secara bersama-sama dalam kelompok, serta mendekatkan teknologi kepada pengguna. Bentuk aktivitas pendampingan yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk demfarm teknologi padi, dimana secara berkala petani dan penyampai teknologi dapat belajar bersama-sama sesuai dengan tahapan-tahapan usahatani teknologi yang diintroduksikan. Aktivitas belajar bersama dalam bentuk pendampingan ini dapat meningkatkan keterampilan petani secara bersama-sama dalam kelompok (Syukur 2014). Merujuk pada hasil penelitian Ruhimat (2017) bahwa tugas pemerintah lah yang perlu memberikan jaminan bahwa pelaksanaan pelatihan dan pembinaan kelompok dapat berjalan maksimal.

Page 48: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan16

DAFTAR PUSTAKAAdawiyah, C.R., Sumardjo, E.S. Mulyani. 2017. Faktor-Faktor Yang

Memengaruhi Peran Komunikasi Kelompok Tani Dalam Adopsi Inovasi Teknologi Upaya Khusus (Padi, Jagung, Dan Kedelai) Di Jawa Timur. Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 35 No. 2, Oktober 2017:151-170 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/jae.v35n2.2017.151-17

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2014. “40 Inovasi Kelembagaan Balitbangtan”. Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Jakarta

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2016. Teknologi jarwo super mampu tingkatkan produksi padi di Indramayu. http://www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/2566/.

BBP2TP. 2018. Kajian Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Hasil Balitbangtan. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

Djaffar, R. 2017. “Diseminasi Teknologi Informasi Pada Masyarakat Nelayan di Kabupaten Takalar dan Barru”. dalam Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik, 20 (1): 73- 87

Doss, C.R. 2006. “Analyzing technology adoption using microstudies: limitations, challenges, and opportunities for improvement”. dalam Agricultural Economics, 34 (3): 207 – 219

Feder, G, R.E.Just, and D. Zilberman. 1985. “Adoption of agricultural innovation in developing countries: A Survey”. dalam Economic Development and Cultural Change, 33 (2): 255 – 298.

Herlina, C.N. 2015. “Laporan Hasil Pameran dan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian.BPTP Aceh. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian”. Kementerian Pertanian

Indraningsih, K.S. 2011. “Pengaruh penyuluhan terhadap keputusan petani dalam adopsi inovasi teknologi usahatani terpadu”. dalam Jurnal Agro Ekonomi, 29 (1): 1 – 24.

Isdianto, J. 2010. Kategori Adopter Dan Tingkat Keinovatifan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus Nelayan Desa Tanjung Satai Pulau Maya Karimata dan Desa Harapan Mulia Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat). Kalimantan Barat.

Page 49: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 17

Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press

Mardikanto, T. dan Sri Sutarni.1982. Pengantar Penyuluhan Pertanian Dalam Teori dan Praktek. Surakarta: Hapsara.

Musyafak, A. dan T.M. Ibrahim. 2005. “Strategi percepatan adopsi dan difusi inovasi pertanian mendukung PRIMA TANI”. dalam Analisis Kebijakan Pertanian, 3 (1): 20 – 37.

Rangkuti, P.A. 2009. “Analisis peran jaringan komunikasi petani dalam adopsi inovasi traktor tangan di Kabupate Cianjur, Provinsi Jawa Barat”. dalam Jurnal Agro Ekonomi, 27 (1): 45 – 60.

Rogers EM dan Shoemaker FF. 1971. Diffusion of Innovation. New York (US): The Free Press Collier MacMillan Publisher

Rogers EM. 1983. Diffusion of Innovation: A Cross-Cultural Aproach. London (UK): The Free Press Collier MacMillan Publisher.

_________. 1995. Diffusion of innovations. Third Edition. New York: Free Press.

_________. 1962. Diffusion of Innovations. New York: The FreePress of Glencoe. p. 13.

_________. Diffusion of innovations. Fifth Edition. New York: Free Press

Ruhimat, I.S. 2017. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani Dalam Pengembangan Usahatani Agroforestry: Studi Kasus Di Desa Cukangkawung, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1, 2017 : 1-17

Sarkis, J., P. Gonzales-Torre, and B. Adenso-Diaz. 2010. Stakeholder Pressure and The Adoption of Adoption in Practices: The Mediating Effect of Training. Journal of Operation Management, Vol.28 (2010): 163-176. Doi:10.1016/j.jom.2009.10.001.

Sasongko, W.A, R. Witjaksono, dan Harsoyo. 2014. Pengaruh Perilaku Komunikasi Terhadap Sikap Dan Adopsi Teknologi Budidaya Bawang Merah Di Lahan Pasir Pantai Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 24/No. 1 Juni 2014.

Page 50: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan18

Suprapto dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan Dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.

Samsudin. 1982. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian Cetakan Kedua. Bandung: Angkasa Offset.

Simatupang, P. 2005. “Kebijakan dan Strategi Program Peneitian (Prima Tani)”. Semiar Nasional Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Hortikultura dan Perkebunan dalam Sistem Usahatani Lahan Kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Straub, E.T. 2009. “Understanding technology adoption: theory and future directions for informal learning”. dalam Review of Educational Research, 79 (2): 625 – 649.

Syukur, A. 2014. Transformative Learning Dalam Kegiatan Pendampingan Kelompok Tani Rindu Sejahtera (KTRS) Di Kupang. Jurnal Pendidikan Humaniora, Hal 242-253.

Page 51: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

POTENSI ADOPSI TEKNOLOGI JARWO SUPER DI SULAWESI SELATAN:

ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Eka Triana Yuniarsih, Idaryani, Sahardi, dan Abd.Wahid

PENDAHULUANSulawesi Selatan merupakan lumbung pangan bagi Indonesia

Bagian Timur, yang tahun 2011 berkontribusi hampir dua pertiga (62,12%) dari total produksi beras di seluruh pulau Sulawesi. Salah satu unsur penting dalam memproduksi pangan adalah ketersediaan lahan. Namun demikian, lahan merupakan sumber daya ekonomi yang ketersediaannya relatif tetap meskipun kebutuhannya terus meningkat akibat gerak pembangunan. Di samping itu, lahan juga memiliki karakteristik yang spesifik (topografi, kemiringan, tekstur tanah, kandungan kimia, dan sebagainya), sehingga kesesuaian pemanfaatannya akan sangat tergantung pada kebutuhan kegiatan ekonomi yang dikembangkan. Oleh karena itu, pemanfaatan lahan perlu diarahkan pada kegiatan yang paling sesuai dengan sifat fisiknya serta dikelola agar mampu menampung kegiatan masyarakat yang terus berkembang (Dardak, 2005). Di Sulawesi Selatan terdapat lahan sawah seluas 653,95 ribu hektar atau 14,38% dari luas lahan di Sulawesi Selatan. Luas lahan pertanian bukan sawah seluas 2.968,81 ribu hektar atau 65,29% dari luas lahan di Sulawesi Selatan, sedangkan lahan bukan pertanian seluas 924,39 ribu hektar atau 20,33% dari luas lahan di Sulawesi Selatan (BPS SulSel, 2015).

Sebagaimana di provinsi-provinsi lain, di Sulwesi Selatan juga dilaksanakan pengkajian dan diseminasi teknologi Jarwo Super. Tulisan ini merupakan deskripsi dan analisis dari hasil kegiatan Demfarm Jarwo Super di Desa Torawali, Kecamatan Ponrang, Kabupaten Luwu tahun 2016. Meskipun persepsi petani cukup positif terhadap paket teknologi ini, namun kontinuitasnya terancam karena lemahnya ketersediaan sarana produksi di lapangan.

Page 52: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan20

KERAGAAN TEKNOLOGI JARWO SUPER HASIL DEMFARM

Peningkatan produksi pangan kedepannya akan semakin sulit dikarenakan banyak konversi lahan sawah untuk kegiatan non pertanian dan produktivitas padi sawah telah mengalami pelandaian. Salah satu strategi peningkatan produksi padi dapat dilakukan dengan peningkatan produktivitas melalui penerapan sistem tanam jajar legowo dapat mencapai 10-15%. Jajar legowo yang direkomendasikan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) adalah 2:1 untuk meningkatkan produktivitas padi (Balitbangtan, 2013). Penerapan sistem jajar legowo selain pertumbuhan tanaman menjadi optimal dan jumlah populasi tanaman meningkat, juga meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan petani 15-20 %, selain itu juga mempermudah pengendalian hama- penyakit, gulma dan pemeliharaan tanaman (Abdulrachman et al. 2013).

Mendukung peningkatan produksi dan produktivitas selain menggunakan Varietas Unggul Baru (VUB) juga perlu menerapkan komponen teknologi yang sinergi, salah satunya Teknologi Jajar Legowo Super. Berbeda dengan jajar legowo konvensional, teknologi jajar legowo super merupakan rekomendasi teknologi yang terdiri dari: 1) Penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB), potensi hasil tinggi (Spek-lok), 2) Biodekomposer saat pengolahan tanah, 3) Pupuk hayati, serta pemupukan berimbang berdasarkan status hara tanah, 4) Pengendalian OPT dengan pestisida nabati dan pestisida anorganik berdasarkan ambang kendali dan 6) Penggunaan alsintan (transplanter dan combine harvester) (Haryati dan Liferdi 2017).

Pengembangan sistem Jarwo Super di Sulawesi Selatan, menggunakan varietas hasil dari Balitbangtan yaitu VUB Inpari 30,32, dan 33. Pada tahun 2012 Balitbangtan telah melepas VUB dengan nama Inpari 30 dengan salah satu kelebihannya tahan terhadap rendaman, sehingga diharapkan dapat menunjang produksi yang tinggi dengan keadaan perubahan iklim yang ekstrim terutama risiko akibat banjir dan genangan. Inpari 30 cocok ditanam di lahan sawah dataran rendah sampai ketinggian 400 m dpl di daerah luapan sungai, cekungan dan rawan banjir lainnya dengan rendaman keseluruhan fase vegetatif selama 15 hari. Umur tanaman Inpari 30 111 hari setelah semai dengan potensi hasil 9,6 t/ha (Kementan 2017).

Page 53: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 21

Implementasi teknologi inovasi Jarwo Super di Sulawesi Selatan, dilaksanakan pada lahan seluas 10 ha. Aplikasi paket teknologi yang dilakukan (1) Pemilihan lokasi dilakukan untuk menetapkan lahan yang akan digunakan untuk produksi benih; (2) Pembuatan pesemaian yaitu dengan membuat bedengan setinggi 5-10 cm, lebar 110 cm dan panjang disesuaikan, pupuk yang digunakan untuk pesemaian adalah urea, SP 36, KCl, masing-masing 15 g/m2; (3) Penyiapan lahan dilakukan dengan cara olah tanah sempurna, digenangi dua hari, kemudian digaru untuk pelumpuran. Apabila lokasinya adalah bekas pertanaman padi, diupayakan sampai tidak ada sisa tanaman padi/butiran yang dapat tumbuh; (4) Penanaman dilakukan saat bibit umur 15-18 hari, jarak tanam dapat jajar legowo 2/1; (5) Dosis pupuk urea untuk padi adalah 200-250 kg /ha + Ponskha 300 kg/ha + Petroganik antara 1000 kg/ha; (6) Pengairan dilakukan pada phase bunting, berbunga, pengisian biji dengan ketinggian 3-5 cm; (7) Penyiangan dilakukan 2-3 kali (tergantung kondisi gulma); (8) Pengendalian hama dan penyakit tergantung kondisi pertanaman; (9) Roguing/seleksi yaitu membuang rumpun-rumpun tanaman yang ciri marfologisnya berbeda dengan tanaman yang benihnya diproduksi, dimulai dari stadia vegetatif awal dan akhir, serta generatif awal dan masak (Yasin 2016): Selama proses produksi dilakukan pemeriksaan awal, tengahan/vegetatif dan akhir/sebelum panen oleh petugas BPSB Provinsi Sulawesi Selatan untuk memperoleh sertifikat kelulusan benih tingkat lapang (10) Panen dan prosesing yang meliputi proses panen, pengeringan sampai kadar air mencapai 13%, kemudian pengujian benih di laboratorium yaitu dengan mengambil contoh benih oleh petugas BPSB. Pengujian meliputi kadar air, kemurnian, daya tumbuh, kotoran, dan campuran varietas lain. Pengujian dilakukan untuk mendapatkan sertifikat kelulusan benih tingkat laboratorium, kemudian dilakukan pelabelan dan pengemasan; dan (11). Tahap akhir dari pelaksanaan adalah penyimpanan dan atau distribusi ke pengguna (Yasin 2016).

KELAYAKAN USAHATANI INOVASI TEKNOLOGI JARWO SUPER

Varietas merupakan salah satu komponen penting yang berkontribusi dalam peningkatkan produksi dan produktivitas padi. Banyaknya varietas unggul yang dilepas, dapat dijadikan alternatif pilihan bagi petani memilih varietas yang sesuai dengan kondisi

Page 54: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan22

agroklimatnya (Minarsih et al. 2013). Sejak penelitian padi tahun 1943 hingga 2006 telah dilepas 189 varietas padi. Dalam periode 2000 – 2006, Badan Litbang Pertanian telah melepas 59 varietas unggul padi, 43 varietas untuk lahan sawah irigasi, 5 varietas padi gogo, dan 9 varietas padi pasang surut (Sembiring 2007).

Hasil gabah tertinggi diperoleh pada varietas Inpari 32 yaitu masing 8,833 t/ha GKP, 7,851 t/ha GKG, sedangkan hasil terendah diperoleh pada varietas Inpari 4 sebagai kontrol yaitu 6,125 t/ha GKP dan 5,035 t/ha GKG. Penggunaan varietas unggul dalam upaya peningkatan produksi, memegang peranan penting (Kaihatu dan Pesiroren 2011). Varietas padi yang cocok untuk ditanam di suatu daerah belum tentu menunjukkan keunggulan yang sama di daerah lain. Hal ini disebabkan adanya pengaruh interaksi antara genotipe dengan lingkungan tumbuh (Harsanti et al. 2003; Saraswati et al. 2006; Kasno et al. 2007; Satoto et al. 2007). Menurut Akmal et al. (2014), bahwa bila terjadi interaksi genotipe dan lingkungan secara nyata maka varietas tersebut sesuai dengan lingkungan tumbuhnya. Hal tersebut sejalan dengan Trustinah dan Iswanto (2013) (dalam Yasin 2016), bahwa keragaan tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan serta interaksi keduanya.

Tabel 2. Rata-rata jumlah gabah/malai, gabah hampa, bobot gabah 1000 butir, dan produktivitas beberapa varietas pada Demfarm Jarwo Super di Desa Torawali, Kecamatan Ponrang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, 2016

VarietasJumlah Gabah/Malai

Komponen hasil

Gabah Hampa (%)

Bobot Gabah 1000 butir

(g)

Produktivitas (t/ha) GKP

Produktivitas(t/ha) GKG

Inpari 30 201,13 5,23 28,17 8,035 7,037 Inpari 32 228,20 7,19 28,20 8,833 7,851Inpari 33 212,50 7,90 27,90 8,375 7,507Inpari 4 (kontrol) 176,60 7,67 27,48 6,125 5,035

Sumber : Yasin (2016)

Selama kurun waktu 30 tahun sejak 1970-an, kontribusi peningkatan produktivitas padi dengan penanaman varietas unggul terhadap produksi padi nasional mencapai 56,1%, lebih besar dibanding kontribusi perluasan areal lahan yang hanya 26,3% (Las et al. 2004). Penanaman varietas unggul berdaya hasil tinggi sangat

Page 55: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 23

diandalkan dalam peningkatan produktivitas. Varietas unggul padi memiliki sifat yaitu berdaya hasil tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, umur genjah, dan rasa pulen (Suprihatno et al. 2009).

Tabel 3. Hasil analisis usahatani pada Demfarm Jarwo Super di Desa Torawali, Kecamatan Ponrang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, 2016

Uraian Luar Demfarm DemfarmA. Penerimaan

1. Luas Tanam/Luas Panen (Ha)2. Produksi (Ton)3. Harga Output (Rp/Ton)

154.0304.100

107.8504.100

Total Penerimaan (Rp) 16.523.000 32.185.000B. Biaya Input Produksi 3.075.000 5.125.000C. Biaya Tenaga Kerja Dan Alsintan 2.400.000 3.600.000D. Biaya LainnyaE. Total Biaya Lainnya 5.475.000 8.725.000F. Keuntungan (A-E) 11.048.000 23.460.000

R/C Ratio (Penerimaan (A)/Biaya(E))B/C Ratio (Keuntungan (F)/Biaya(E))

1,502,02

3,692,69

Sumber : Yasi (2016)

Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa penerimaan usahatani lebih tinggi pada lokasi kegiatan demfarm jarwo super dibanding dengan pada lokasi bukan demfarm, yaitu Rp32.185.000 sedangkan pada lokasi non demfarm penerimaan yang diperoleh adalah Rp16.523.000. Rasio pendapatan total terhadap seluruh biaya yang dikeluarkan mencapai 3,69. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani padi dengan teknologi jarwo super layak dikembangkan karena kegiatan usahatani akan layak diusahakan jika nilai R/C ≥2 (Swastika 2004). Berdasarkan hasil analisis usahatani selanjutnya kedua lokasi tersebut (demfarm jarwo super dan non jarwo) memiliki B/C>1, sehingga memberikan nilai tambah serta memberikan keuntungan pada skala agribisnis (Harton 1982). Hasil panen rata-rata pada petak demonstrasi seluas 50 ha di Indramayu, Jawa Barat, mencapai 13 t/ha. Pendapatan bersih usaha tani padi dengan penerapan teknologi Jajar Legowo Super mencapai Rp42.487.222/ha. Dari sisi kelayakan usaha tani, teknologi Jajar Legowo Super memberikan B/C yang layak sebesar 2,66, lebih tinggi dibandingkan

Page 56: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan24

dencan cara tanam petani dengan B/C 1,48. Berdasarkan hasil analisis dan kelayakan usaha tani, teknologi Jajar Legowo Super layak secara finansial dan dapat dikembangkan secara luas oleh petani untuk mendongkrak produksi padi nasional (Ananda 2017).

PERSEPSI DAN MINAT ADOPSI TEKNOLOGI JARWO SUPER

Teknologi yang dihasilkan Balitbangtan cukup menjanjikan meningkatkan produksi padi di Sulawesi Selatan, sehingga banyak petani tertarik menerapkan teknologi ini. Survei yang dilakukan kepada petani kooperator dan petani sekitar demfarm menunjukkan bahwa dalam aplikasi komponen paket teknologi Jarwo Super, seperti penggunaan biodekomposer (M-Dec), pupuk hayati (Agrimeth) dan Pestisida nabati (Bioprotector) sangat mudah.

Tabel 4. Persepsi dan minat adopsi beberapa komponen pada paket teknologi Jarwo Super

Komponen Teknologi

Persepsi Kemudahan Aplikasi Minat mengadopsi Teknologi Jarwo Super

Mudah (%)

Tidak mudah (%)

Sudah Mengadopsi

(%)

Berminat Mengadopsi

(%)

Tidak Berminat

Mengadopsi (%)

Biodekomposer M-Dec 100 80 10 80 10

Pupuk hayati Agrimeth 100 100 0 100 0

Bioprotector 100 100 0 100 0

ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI JARWO SUPERAdopsi teknologi merupakan pengambilan keputusan dari petani

terkait teknologi yang didiseminasikan dan banyak faktor yang mempengaruhi dalam hal pengambilan keputusan apakah teknologi tersebut diadopsi atau tidak.

Inovasi teknologi Jarwo Super yang dilaksanakan pada demfarm seluas 10 ha dengan beberapa komponen teknologi yang diterapkan di SulSel, merupakan dukungan pemerintah dalam usaha meningkatkan produksi pangan khususnya padi di Sulsel. Objek dari kegiatan ini

Page 57: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 25

adalah petani sebagai pengguna teknologi jarwo super. Adopsi dari teknologi Jarwo Super di tingkat petani setelah dilaksanakannya diseminasi inovasi teknologi jarwo super di Sulsel diperoleh bahwa adopsi beberapa teknologi yang didiseminasikan rata-rata di bawah 50% kecuali penggunaan harvester.

Sumber : BP2TP (2018)

Adopsi komponen teknologi VUB padi pada teknologi Jarwo Super, hanya 40% petani mengadopsi VUB padi khususnya Inpari 30, sedangkan untuk Inpari 32 dan Inpari 33 tidak ada petani yang menggunakan varietas tersebut. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan varietas ketika musim tanam tiba, dan sebanyak 60% petani menggunakan varietas lain selain varietas yang direkomendasikan pada inovasi teknologi Jarwo Super. Saat ini petani dapat mengakses banyak varietas benih yang dihasilkan baik dari UPBS BPTP, balai benih di dinas pertanian sehingga petani dengan mudah memilih dan memperoleh varietas lainnya selain varietas Inpari 30, 32 dan 33.

Teknologi jajar legowo diadopsi sebanyak 10% oleh petani dan 90% petani mengguna masih menggunakan kebiasan sebelumnya dengan sistem tegel. Menurut sebagian petani, teknologi jajar legowo sangat berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi, akan tetapi dalam aplikasi di lapangan masih mengalami kendala karena jumlah tenaga kerja dan waktu yang digunakan cukup banyak. Dan kondisi sosial di lapangan, tenaga kerja yang digunakan lebih memilih menggunakan system tegel dibandingkan sistem jajar legowo dan yang menjadi pertimbangan pemilik lahan adalah penambahan biaya tanam jika menggunakan sistem jajar legowo. Biaya dan waktu menjadi pertimbangan bagi petani dalam menggunakan teknologi jajar legowo. Akan tetapi ada sebagian kecil petani yang mengadopsi

Page 58: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan26

teknologi ini, karena petani tersebut yakin bahwa dengan dengan teknologi jajar legowo telah mampu meningkatkan produksi padinya walaupun harus mengeluarkan tambahan biaya input tenaga kerja.

M-Dec dekomposer merupakan salah satu komponen teknologi dalam aplikasi jarwo super. Dekomposer ini memiliki keunggulan untuk mempercepat proses pengomposan jerami dan hanya memerlukan waktu 2 minggu untuk menghasilkan kompos yang matang, mengurangi imobilisasi hara, menekan perkembangan penyakit, larva inseks, biji gulma, bahan buangan, dan menanggulangi masalah lingkungan. Aplikasi M-Dec di tingkat petani masih sekitar 2,5%, selain M-Dec ini baru diaplikasi pada penerapan teknologi Jarwo Super, sehingga petani belum banyak yang mengetahui bahan dekomposer ini. Selain itu, cara memperoleh M-Dec dekomposer ini masih sangat sulit, karena diproduksi di pusat dan BPTP Sulsel belum bisa menyediakan dalam jumlah banyak karena penyediaan di BPTP sesuai dengan permintaan petani. Kelemahan M-Dec ini adalah tidak bisa disimpan lama karena M-Dec ini memiliki bakteri dekomposer yang aktif dalam jangka waktu tertentu. sehingga menjadi kendala bagi BPTP maupun toko tani yang berminat menjual dalam jumlah banyak.

Aplikasi pupuk hayati dalam hal ini Agrimeth merupakan pupuk hayati yang memiliki banyak keunggulan karena memiliki mikroba yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman, tidak mengandung mikroba patogen, ramah lingkungan, serta dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia. Agrimeth yang diformulasikan dari bakteri filosfer (Methylobacterrium sp.) untuk mengurangi penggunaan pupuk N dan P hingga 50%, sehingga menghemat biaya produksi, meningkatkan produksi tanaman 20-50%, memperbaiki pertumbuhan tanaman, meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan mikroba patogen, aman digunakan, serta bersahabat dengan lingkungan. Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki pada kenyataannya hanya 2,5% petani yang mengadopsi Agrimeth. Hampir sama dengan adopsi teknologi M-Dec, alasan 97,5% tidak mengadopsi Agrimeth adalah kembali lagi pada alasan ketersediaan Agrimeth pada saat dibutuhkan, dan belum tersebar luasnya produk Agrimeth di tingkat petani, selain itu kendala bagi distributor karena jangka waktu pemakaian yang terbatas, sehingga jika Agrimeth tidak habis terjual dan mendekati masa kadaluarsa maka distributor akan mengalami kerugian.

Page 59: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 27

Aplikasi komponen teknologi pestisida nabati pada teknologi Jarwo Super ini memiliki fungsi pengendali efektif untuk hama pengisap tanaman serta meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman dan produksi tanaman. Pestisida nabati yang digunakan adalah bioprotector dan hanya 2,5% yang mengadopsi pestisida nabati dan 97,5% petani lainnya menggunakan pestisida lainnya untuk mengendalikan hama. Selain sulit diperoleh, prilaku petani yang masih mengandalkan penanggulangan hama menggunakan pestisida kimiawi, dan masih cukup tinggi. Menurut mereka, proses penanganan hama pada pestisida kimiawi sangat cepat dibandingkan pestisida nabati.

Penggunaan alsintan di tingkat petani sudah lama diaplikasikan oleh petani di lokasi demfarm. Alsintan yang biasa digunakan adalah atabela yang merupakan alat yang dibuat oleh petani untuk mempermudah pembuatan jajar legowo di lahan pertanaman. Dalam komponen Jarwo Super, terdapat penggunaan alsintan yaitu penggunaan rice transplanter. Rice transplanter sudah tidak asing lagi di negara-negara maju, karena tenaga kerja sangat terbatas. Dalam paket teknologi jarwo super, mesin rice transplanter ini menjadi salah satu komponen dalam paket teknologi yang diharapkan diaplikasi oleh petani.

Survei yang dilakukan setelah diseminasi hanya 7,5% teknologi rice transplanter yang diadopsi oleh petani. Petani sepakat bahwa dengan mesin transplanter ini membantu dalam penanaman padi dilahan sawah, akan tetapi jumlah mesin transplater yang jumlahnya terbatas, sehingga petani lebih memilih untuk menggunakan alsintan yang murah dan mudah tanpa mengurangi komponen teknologi lainnya seperti jarwo 2:1.

Adopsi teknologi harvester di Sulawesi Selatan cukup tinggi, karena prospek bisnisnya cukup menjanjikan, ditambah lahan sawah yang berupa hamparan luas. Selain mempercepat proses pemanenan, biaya yang dikeluarkan cukup rendah. Alat ini cukup menjanjikan di Sulsel karena banyak pengusaha yang memiliki usaha sewa transplater sehingga dari segi bisnis cukup menjanjikan dan petani pun diuntungkan dengan adanya alat transplanter ini.

Peran kelembagaan petani di Sulawesi Selatan sangat penting sebagai wadah penyebaran informasi teknologi pertanian dalam pembangunan pertanian, di dalamnya terjadi banyak interaksi antara penyuluh, petani, pemerintah dan stakeholder. Salah satu fungsi

Page 60: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan28

organisasi dan lembaga petani menurut Suradisastra (2009) adalah membantu menjalin hubungan antara petani, penyuluh dan peneliti lapang dan meningkatkan akses petani ke sumber informasi, serta peran pemberdayaan petani (Suradisastra 2008).

Namun pada kenyataannya ada kecenderungan lemahnya kelembagaan petani di negara berkembang, termasuk Indonesia karena saat ini kelembagaan petani belum mampu membantu petani keluar dari persoalan kesenjangan ekonomi tingkat petani. Sedangkan pada sisi lain tingkat globalisasi dan liberalisasi ekonomi harus dihadapi (Anantanyu 2011). Oleh karena itu, pemerintah melalui program-program diseminasi teknologi dan penyuluhan sangat berperan aktif dalam menyebarkan inovasi teknologi ke tingkat petani agar petani mampu bersaing dan bertahan di tengah-tengah persaingan global.

Kebutuhan untuk mencari informasi baru dan kemauan berinteraksi secara sosial petani di luar komunitas cukup tinggi. Menurut Soekanto dan Soerjono (2006) salah satu penyebab terjadinya perubahan sosial adalah adanya kontak dengan budaya lain. Hal ini berarti bahwa pada konteks individu, dapat dinyatakan bahwa perubahan perilaku seseorang diakibatkan oleh adanya interaksi dengan pihak luar sistem sosialnya. Selain itu, kondisi saat ini tingkat penerapan petani terhadap inovasi pertanian relatif rendah, walaupun telah banyak inovasi pertanian yang dihasilkan lembaga penelitian. Hal ini selaras penelitian Indraningsih et al. (2014) bahwa inovasi pertanian yang dihasilkan lembaga penelitian pemerintah diharapkan sebagian besar dapat diterapkan petani, sehingga mampu mengungkit tingkat kesejahteraan petani. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam kegiatan adopsi inovasi dan umpan balik diharapkan akan mempercepat proses diseminasi inovasi pertanian, yang tentunya didukung oleh kebijakan pusat maupun daerah yang berpihak pada sektor pertanian.

PENUTUPPersepsi petani pada paket teknologi Jarwo Super sangat positif

dan minat adopsi sangat tinggi. Akan tetapi dalam aplikasi di lahan mengalami kendala ketersedian pada beberapa komponen paket teknologi seperti M-Dec, Agrimeth, Bioprotector, dan Rice Transplanter. Petani mengganti mesin rice transplanter dengan mesin alat tanam benih langsung (Atabela) yang lebih mudah dan murah.

Page 61: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 29

Dari pengalaman di Sulawesi Selatan ini, terlihat bahwa aplikasi paket teknologi Jarwo Super cukup menguntungkan bagi petani. Ke depan, agar adopsi lebih baik, maka dibutuhkan beberapa modifikasi pada alsintan introduksi serta akan lebih baik jika ada alternatif bahan pengganti yang mudah dan murah pada komponen teknologi yang saat ini sulit ketersediaannya.

UCAPAN TERIMA KASIHPenghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang sudah memberikan dana penelitian melalui anggaran SMARTD sehingga kajian ini berjalan hingga selesai, serta pihak-pihak lain yang sudah banyak membantu sehingga kegiatan kajian ini berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKAAnantanyu, S. 2011. “Kelembagaan Petani: Peran dan Strategi

Pengembangan Kapasitasnya”. dalam J. SEPA 7(2): 102 – 109.

Ananda A. 2017. “Jajar Legowo Super: Teknologi Terkini Budi Daya Padi Sawah Irigasi”. http://uptdbapusluhtan.distan.jabarprov.go.id. Diakses Tanggal 24 November 2018

Abdulrachman, S., J Mejaya, M. Agustiani, N. Gunawa, I. Sasmita, P. dan Guswara, A. 2013. “Sistem Tanam Legowo. Badan Litbang Pertanian”. Kementerian Pertanian.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2018. “Laporan Kajian Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Hasil Balitbangtan”. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Kementerian Pertanian

Badan Litbang Pertanian. 2013. “Panduan umum pelaksanaan penelitian dan pengkajian serta program informasi, komunikasi dan diseminasi di BPTP”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta

Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. 2015. “Survey Lahan 2014”. BPS Sulsel

Page 62: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan30

Dardak, H. 2005. “Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang sebagai Upaya Perwujudan Ruang Hidup yang Nyaman, Produktif, dan Berkelanjutan. Makalah Seminar Nasional “Save Our Land for Better Environment”. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor, 10 Desember 2005.

Harton, D. 1982. “Partial Budget Analysis for On-Farm Potato Research”. dalam Technical Information. Bul. Peneltian Hort. 16 : 9-11

Harsanti L, Hambali, Mugiono. 2003. “Analisis daya adaptasi 10 galur mutan padi sawah di 20 lokasi uji daya hasil pada dua musim”. Zuriat, 144(1): 1-7.

Haryati, Y., Liferdi. 2017. “Kajian Teknologi Jajar Legowo Super Dalam Mendukung Peningkatan Produksi Padi”. dalam Agrin 21(2), Oktober 2017.

Indraningsih, KS. 2014. “Pengaruh Penyuluhan Terhadap Keputusan Petani Dalam Adopsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu”. dalam Jurnal Agro Ekonomi, 29 (1), Mei 2011 : 1 – 24

Kasno A, Trustinah, Purnomo J, Swasono B. 2007. “Interaksi genotipe dengan lingkungan dan implikasinya dalam pemilihan galur harapan kacang tanah”. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 26(3): 167-173.

Kaihatu S.S dan Mariedjte P. 2011. “Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Sawah di Marokai”. dalam J. Agrivigor 11(2): 178-184, September – Desember 2011; ISSN 1412-2286

Kementan. 2017. “Budidaya Padi Jajar Legowo Super”. Kementerian Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2016.

Las, I., Widiarta, I.N., Suprihatno, B. 2004. “Perkembangan varietas dalam perpadian nasional”. Dalam: Makarim, A.K., editor. Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm 1-25.

Minarsih, A., Prayudi, B., Warsito. 2013. “Keragaan beberapa varietas unggul baru padi sawah irigasi dengan menerapkan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di Kabupaten Klaten”. Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura; 2013 Juni [tanggal tidak jelas]; Madura, Indonesia. Madura (ID). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. hlm 582-587.

Page 63: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 31

Swastika, D.K.S., 2004. “Beberapa Teknis Analisis dalam Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian”. dalam Jurnal Pengkajian dan pengembangan Teknolgi Pertanian. 7(1). Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Bogor.

Sembiring, H. 2007. Kebijakan penelitian dan rangkuman hasil penelitian BB Padi dalam mendukung peningkatan produksi beras nasional. Apresiasi Hasil Penelitian Padi [Internet]. [diunduh 2018 Nop 24]: 39-59. Tersedia pada: www.litbang.deptan.go.id /special/padi/bbpadi_2008_ p2bn1_03.pdf.

Suradisastra. 2008. “Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian”. dalam Forum Penelitian Agro Ekonomi. 26(2): 82-91. Desember 2008.

Suradisastra. 2009. “Revitalisasi Kelembagaan untuk Percepatan Pembangunan Sektor Pertanian dalam Otonomi Daerah”. dalam Analisis Kebijakan Pertanian. 4(4): 281-314. Desember 2006.

Suprihatno, B., Dradjat, A.A., Satoto, Baehaki, Widiarta, I.N., Setyono, A., Indrasari, S.D., Lesmana, O.S., Sembiring, H. 2009. Deskripsi Varietas Padi. Subang (ID). Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi.

Satoto, Rumanti IA, Diredja M, Suprihatno B. 2007. Yield stability of ten hybrid rice combinations derived from introduced cms and local restorer lines. dalam Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 26(3): 145-149.

Saraswati M, Oktafian AN, Kurniawan A, Ruswandi D. Interaksi genotype x lingkungan, stabilitas, danadaptasi jagung hibrida harapan Unpad di 10 lokasi di Pulau Jawa. dalam Zuriat 17 (1): 72-85.

Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Yasin, M. 2016. “Laporan Hasil Kegiatan Percepatan Diseminasi Teknologi Vub Padi Melalui Demfarm Teknologi Jarwo Super Di Sulawesi Selatan”. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian.

Page 64: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 65: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

PENDERASAN INOVASI TEKNOLOGI JARWO SUPER DI JAWA TENGAH

Budi Hartoyo, Joko Triastono, dan Agus Supriyo

PENDAHULUANPertanian Indonesia dihadapkan pada tantangan peningkatan

produktivitas dan ketahanan pangan, serta perbaikan kesejahteran petani di tengah ancaman perubahan iklim global. Terobosan inovasi teknologi padi dibutuhkan untuk menghadapi tantangan tersebut. Kebutuhan beras sebagai bahan pangan utama makin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Dengan laju pertambahan penduduk Indonesia sebesar 1,7% dan kebutuhan beras per kapita sebesar 134 kg, maka pada tahun 2025 Pemerintah harus menghasilkan padi sebanyak 78 juta ton GKG (Abdullah 2004). Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi beras melalui peningkatan produktivitas padi dan peningkatan pendapatan petani selalu dimasukkan dalam agenda kebijakan pemerintah di bidang pertanian.

Peluang peningkatan produktivitas masih terbuka lebar. Berdasarkan angka produktivitas tahun 2015 (ATAP BPS); senjang produktivitas riil di tingkat petani dibandingkan dengan potensi hasil masih sangat lebar. Demikian juga senjang hasil padi nasional 5,34 ton GKG/ha dengan Jawa (6,06 t/ha) dengan luar Jawa (4,739 t/ha). Variasi antar provinsi berkisar 2,28–6,21 ton GKG/ha. Kesenjangan ini harus diisi dengan teknologi dan inovasi (Sembiring 2017). Teknologi produksi padi terkini yang diyakini dapat meningkatkan produktivitas padi adalah adalah teknologi Jarwo Super, teknologi yang memadukan penggunaan varietas unggul baru (VUB) berdaya hasil tinggi, sistem tanam Jajar Legowo, biodekomposer yang mampu mempercepat pengomposan jerami, pupuk hayati dan pemupukan berimbang, pestisida hayati, dan alat mesin pertanian (Anonim 2016).

Varietas dan lingkungan tumbuh tanaman memegang peran penting dalam strategi pencapaian hasil optimal. Sifat fisiologis dan morfologis spesifik varietas akan memberikan pengaruh yang berbeda karena pengaruh dari faktor lingkungan dan teknik budi daya selama

Page 66: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan34

dalam pertanaman. Produksi maksimum dari suatu varietas akan dapat teraktualisasi, bilamana berbagai aspek yang terkait dengan pengelolaan budi daya varietas tersebut tersedia secara optimal. Pada prinsipnya varietas tanaman padi memiliki potensi hasil genetik, yaitu hasil tertinggi yang merupakan batas kemampuan suatu varietas padi dalam memproduksi gabah (produktivitas), yang dapat dicapai hanya pada kondisi iklim “terbaik” dan tanpa adanya faktor pembatas lingkungan tumbuh tanaman apapun (Kropff dan Lotz 1992; Makarim et al. 2009). Penggunaan varietas unggul baru merupakan salah satu komponen dalam peningkatan produksi (Hastini et al. 2014). Sedangkan Suprihatno dan Daradjat (2009) menyatakan bahwa penggunaan varietas unggul berperan penting dalam mengubah sistem pertanian subsisten menjadi usaha pertanian komersial karena produksinya dapat mencapai tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lokal.

Penggunaan varietas unggul baru merupakan salah satu komponen dalam peningkatan produksi (Hastini et al. 2014). Sedangkan Suprihatno dan Daradjat (2009) menyatakan bahwa penggunaan varietas unggul berperan penting dalam mengubah sistem pertanian subsistem menjadi usaha pertanian komersial karena produksinya dapat mencapai tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lokal.

Produksi padi ditentukan oleh berbagai aspek, termasuk jarak tanam yang menentukan populasi tanaman di lapangan. Jarak tanam dan orientasi tanaman di lapangan mempengaruhi enam proses penting sebagai berikut: (1) penangkapan radiasi surya oleh individu tanaman, terutama daun untuk fotosintesis, (2) efektivitas penyerapan hara oleh akar tanaman, (3) kebutuhan air tanaman, (4) sirkulasi udara terutama CO2 untuk fotosintesis dan O2 untuk hasil fotosintesis, (5) ketersediaan ruang yang menentukan populasi gulma, dan (6) iklim mikro (kelembapan dan suhu udara) di bawah kanopi, yang juga berpengaruh terhadap perkembangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Keenam faktor tersebut berpengaruh terhadap kualitas pertumbuhan individu rumpun tanaman padi (Makarim et al. 2005).

Inovasi teknologi pertanian merupakan salah satu pilar penting dalam peningkatan produktivitas padi dalam rangka mencapai tujuan swasembada padi. Saat ini berbagai metode budidaya telah dikembangkan untuk meningkatkan produksi padi. Balitbangtan

Page 67: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 35

juga telah menghasilkan berbagai inovasi teknologi mendukung peningkatan produksi padi seperti: varietas berdaya hasil tinggi, sistem budidaya termasuk di dalamnya perbaikan pola tanam, aplikasi pemupukan sesuai rekomendasi status hara lahan dan pengendalian hama penyakit, serta alat mesin pertanian untuk menekan kehilangan hasil.

Keberhasilan kegiatan pelaksanaan tugas Jarwo Super Jawa Tengah ditentukan oleh tingkat pemanfaatan dan penerapan inovasi yang dihasilkannya oleh masyarakat tani di wilayahnya. Agar hasil pengkajian Jarwo Super dapat dimanfaatkan oleh pengguna akhir (masyarakat tani/pelaku agribisnis lainnya) dan pengguna antara, maka diperlukan upaya penyebar luasan inovasi teknologi yang dimiliki BPTP melalui mekanisme dan metode yang tepat. Dalam pelaksanaannya di lapangan, kegiatan penyebarluasan inovasi teknologi Jarwo Super tidak terpisah atau berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program pengkajian.

IMPLEMENTASI INOVASI TEKNOLOGI JARWO SUPER

Saat ini berbagai metode budidaya telah dikembangkan untuk meningkatkan produksi padi. Balitbangtan juga telah menghasilkan berbagai inovasi teknologi mendukung peningkatan produksi padi seperti: varietas berdaya hasil tinggi, sistem budidaya termasuk di dalamnya perbaikan pola tanam, aplikasi pemupukan sesuai rekomendasi status hara lahan dan pengendalian hama penyakit, serta alat mesin pertanian untuk menekan kehilangan hasil. Inovasi teknologi tersebut belum dapat teraplikasikan secara terintegrasi sehingga belum memberikan dampak signifikasi terhadap peningkatan hasil padi. Melalui pengembangan model produksi padi sawah irigasi hasil tinggi berbasis inovasi Balitbangtan melalui perakitan secara terintegrasi diharapkan dapat menghasilkan model optimasi (rekomendasi) sistem produksi padi di lahan sawah irigasi yang dapat memberikan hasil padi secara maksimal. Teknologi tersebut antara lain varietas unggul baru (VUB), sistem tanam jajar legowo, biodekomposer yang mampu mempercepat pengomposan jerami, pupuk hayati dan pemupukan berimbang, pestisida hayati dan alat mesin pertanian.

Page 68: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan36

Implementasi inovasi teknologi Jarwo Super pada lahan sawah irigasi di Jawa Tengah dilaksanakan pada tahun 2016 di kabupaten Boyolali berupa Demfarm seluas 100 ha, menunjukkan adanya peningkatan performan pertumbuhan dan produktivitas padi. Peningkatan pertumbuhan dan produktivitas padi diduga sebagai dampak penerapan paket teknologi Jarwo Super secara lengkap. Pemberian inokulan Agrimeth (pupuk hayati yang mengandung bakteri dan fungi multistrain) dapat memperbaiki kualitas pertumbuhan bibit padi. Pupuk hayati berperan mempermudah penyediaan hara, dekomposisi bahan organik dan menyediakan lingkungan rhizosfer lebih baik yang pada akhirnya mendukung pertumbuhan dan peningkatan produksi tanaman (Vessey 2003). Pemberian pupuk hayati berpengaruh nyata dalam meningkatkan bobot kering tajuk, bobot kering akar dan bobot kering total tanaman padi (Hidayati 2009). Saraswati (2007) menyatakan bahwa perbaikan kualitas tanah dapat dilakukan dengan pemanfaatan pupuk hayati. Pupuk hayati merupakan inokulan berbahan aktif organisme hidup atau laten dalam bentuk cair atau padat yang memiliki kemampuan untuk memobilisasi, memfasilitasi dan meningkatkan ketersediaan hara tidak tersedia menjadi bentuk tersedia melalui proses biologis (Simarmata et al. 2013). Pemanfaatan pupuk hayati yang sesuai dengan kondisi tanah juga dapat meningkatkan efisiensi pemupukan anorganik, produktivitas tanah maupun tanaman, dan mengurangi bahaya pencemaran lingkungan serta merupakan alternatif yang murah untuk meningkatkan kesuburan tanah (Saraswati 2013). Dari sisi tanaman, penggunaan pupuk hayati dapat mendukung pertumbuhan, perkembangan dan hasil padi sawah menjadi relatif lebih baik (Oladele dan Awodun 2014; Aryanto et al. 2015).

Varietas unggul merupakan teknologi yang dominan peranannya dalam peningkatan produksi padi dunia (Las 2004). Menurut Hasanuddin (2005), sumbangan peningkatan produktivitas varietas unggul baru terhadap produksi padi nasional cukup besar, sekitar 56%. Menurut Fagi et al. (2001), kontribusi interaksi antara air irigasi, varietas unggul baru, dan pemupukan terhadap laju kenaikan produksi padi mencapai 75%. Varietas unggul merupakan salah satu teknologi inovatif yang handal untuk meningkatkan varietas padi, baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil tanaman maupun atau tahan terhadap cekaman abiotik dan biotik (Suprihatno et al. 2011). Varietas unggul sebagai salah satu komponen produksi telah memberikan sumbangan sebesar 56% di dalam peningkatan produksi (Deptan 2007).

Page 69: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 37

Aplikasi dekomposer M-Dec dapat meningkatkan proses dekomposisi sisa jerami padi musim tanam sebelumnya sehingga terjadi perbaikan lingkungan rhizosfer dengan penambahan unsur hara melalui pemupukan menjadi lebih efektif dijerap oleh tanah dan ketersediaan unsur hara terutama N, P dan K lebih meningkat. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Marschner (1997) bahwa penggunaan “input” berupa pupuk khususnya fosfat yang tinggi didukung penambahan amelioran pupuk organik cenderung meningkatkan aktifitas jaringan (meristem) sel-sel muda terutama untuk pembentukan tunas.

Sistem tanam Jarwo Super berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi. Delta peningkatan produktivitas meningkat rata-rata 3,62 ton/ha (57%) dibandingkan teknologi eksisting (Gambar 2). Hal tersebut sejalan dengan hasil kajian Suhendrata dan Budiyanto (2012) yang menyampaikan bahwa perubahan penerapan sistem tanam dari tegel menjadi sistem tanam jajar legowo cukup berperan dalam peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Peningkatan produksi pada sistem tanam legowo selain karena bertambahnya jumlah populasi tanaman juga karena pengaruh pinggiran (border effect). Tanaman yang berada di pinggir menerima cahaya matahari yang lebih banyak sehingga proses fotosintesis tanaman berlangsung maksimal.

Gambar 2. Kinerja pertumbuhan tanaman dan delta produktivitas masing-masing varietas pada penerapan teknologi Jarwo Super dibandingkan teknologi eksisting

Tanam jajar legowo memberikan ruang terbuka seluas 25–50% sehingga tanaman dapat menerima sinar matahari secara optimal (Abdulrachman et al. 2012). Persentase peningkatan hasil gabah kering panen berkisar 19,90–22,00% dibandingkan dengan tegel (Hikmah

Page 70: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan38

dan Pratiwi 2017). Dengan sistem tanam jajar legowo semua rumpun menjadi tanaman pinggir, sehingga memperoleh sinar matahari yang lebih banyak dan sirkulasi udara yang baik, serta mempermudah pemeliharaan tanaman (Mujisihono dan Santosa 2001). Tanaman padi yang berada di pinggir memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang lebih baik dibanding tanaman padi yang berada di tengah, sehingga dapat memberikan hasil dan kualitas gabah yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan tanaman yang berada di pinggir akan memperoleh intensitas sinar matahari yang lebih banyak (efek tanaman pinggir) (Vaughan et al. 2008). Permadi et al. (2013) melaporkan bahwa penerapan sistem tanam legowo 2 meningkatkan produktivitas padi lebih tinggi 1,3 ton/ha dari sistem tanam tegel. Abdulrachman et al. (2012) melaporkan bahwa pada pertanaman Legowo 2 dengan jarak tanam (25 x 12,5 x 50) cm mampu meningkatkan hasil antara 9,63–15,44% dibandingkan model tegel akibat peningkatan jumlah anakan/rumpun dan jumlah malai/rumpun. Aribawa (2012) melaporkan bahwa legowo 2 dapat meningkatkan hasil gabah kering sebesar 14,36% dibandingkan sistem tegel. Sistem tanam legowo 2:1 memberikan hasil gabah kering panen dan gabah kering giling lebih tinggi 20,63% dan 19,7% dibandingkan sistem tanam tegel (Suratmini dan Suryawan 2016). Hanya saja Abdurrachman et al. (2013) menyarankan agar legowo 2 diterapkan pada lahan yang relatif subur, sehingga peningkatan populasi tanaman pada tanam jajar legowo tidak akan mengurangi potensi tumbuh tanaman. Menurut Hamzah dan Atman (2000) peningkatan hasil produksi dapat disebabkan oleh meningkatnya populasi tanaman padi, pengaruh populasi tanaman, dan meningkatnya nilai komponen hasil. Misran (2014) menyatakan bahwa ada kecenderungan bahwa semakin banyak populasi tanaman maka jumlah gabah juga semakin meningkat. Populasi tanaman erat hubungannya dengan kemampuan tanaman membentuk anakan. Pada ruangan yang semakin luas, tanaman mempunyai kemampuan membentuk anakan dan malai lebih banyak.

Penggunaan pupuk hayati Agrimeth sebagai salah satu komponen teknologi Jarwo Super diduga memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan pertumbuhan dan produktivitas padi. Hasil penelitian Ishaq et al. (2016) menegaskan peran penting pupuk hayati berpengaruh terhadap peningkatan hasil, peningkatan hasil panen padi varietas Inpari-19 akibat aplikasi pupuk hayati Agrimeth sebesar 1,17 t/ha GKG (29,62%) dibandingkan kontrol.

Page 71: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 39

KARAKTERISTIK TEKNOLOGI JARWO SUPERKeberhasilan suatu inovasi teknologi ditentukan oleh tingkat

pemanfaatan dan penerapan inovasi yang dihasilkannya oleh petani. Percepatan diseminasi inovasi teknologi yang diintroduksikan dapat diketahui tahapan adopsi inovasi dengan melihat persepsi petani dari indikator keunggulan relatif, tingkat kesesuaian, kemudahan untuk dapat dilihat, tingkat kerumitan, dan kemudahan untuk dicoba. Dengan demikian, apabila terdapat beberapa kelemahan dalam proses diseminasi inovasi dan/atau dalam implementasi di lapangan dapat segera diketahui untuk dicari solusinya agar dapat dijadikan bahan masukan untuk pelaksanaan implementasi tahun selanjutnya.

Suatu inovasi yang disukai oleh seseorang akan membentuk respons positif bagi seseorang tersebut. Respons positif sebagai penilaian dari persepsi pengguna, akan mengkristal sebagai potensi reaksi atau kecenderungan untuk bersikap positif, selanjutnya diharapkan berakhir dengan diadopsinya inovasi yang dijelaskan kepada prospek pengembangannya (Mardikanto 2010). Tingkat persepsi petani inilah yang akan menjadi variabel dalam menilai pemahaman dan ketertarikan pengguna terhadap teknologi rekomendasi.

Inovasi adalah segala sesuatu ide, cara ataupun objek yang dipersepsikan oleh seorang sebagai sesuatu yang baru. Pemahaman petani akan inovasi teknologi tentu membutuhkan kesiapan mental sampai mengambil keputusan untuk adopsi teknologi yang bermanfaat dan diterapkan melalui proses persepsi. Menurut Rogers (1983) dalam Mardikanto (2009), tingkat adopsi dari suatu inovasi bergantung pada persepsi adopter tentang karakteristik inovasi teknologi tersebut. Atribut yang mendukung penjelasan tingkat adopsi dari suatu inovasi meliputi: (1) keunggulan relatif, (2) tingkat kesesuaian, (3) tingkat kerumitan, (4) dapat dicoba, dan (5) dapat diamati (Gambar 2).

Keunggulan RelatifKeunggulan relatif (comparative advantage) suatu inovasi dilihat

dari suatu hal baru yang lebih baik dari yang pernah ada, dan memungkinkan bagi petani mencapai tujuan dengan lebih baik (Lestari et al. 2012). Persepsi responden terhadap keunggulan relatif

Page 72: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan40

teknologi budidaya Jarwo Super menunjukkan 90% responden (54 petani) menyatakan bahwa teknologi budidaya Jarwo Super memiliki keunggulan, yaitu dalam hal keuntungan yang diperoleh mengenai tingkat produktivitas yang lebih tinggi sehingga memiliki prospek yang lebih baik. Kesesuaian (compatibility) suatu inovasi berkaitan dengan sejauh mana suatu inovasi dianggap konsisten dan sesuai dengan lingkungan ataupun kondisi petani (Edwina et al. 2010).

Tingkat KesesuaianKesesuaian (compatibility) suatu inovasi berkaitan dengan sejauh

mana suatu inovasi dianggap konsisten dan sesuai dengan lingkungan ataupun kondisi petani (Edwina et al. 2010). Persepsi responden terhadap tingkat kesesuaian teknologi Jarwo Super menunjukkan 100% atau 60 petani menyatakan teknologi budidaya Jarwo Super memiliki tingkat kesesuaian ada kategori tinggi. Penilaian ini terkait dengan kesesuaian teknologi inovasi terhadap lingkungan atau kondisi wilayah serta kondisi petani. Petani menganggap komponen teknologi yang diintroduksikan sesuai dengan kondisi lingkungan sehingga dapat diterapkan dan sesuai dengan harapan yaitu produksi lebih tinggi dan memperoleh keuntungan lebih baik jika dibandingkan dengan cara petani.

Page 73: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 41

Gambar 3. Persepsi petani terhadap keunggulan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat teknologi budidaya Jarwo Super

Tingkat KerumitanKerumitan (complexity) suatu inovasi adalah tingkatan suatu

inovasi dianggap rumit untuk dimengerti dan diterapkan. Makin rumit suatu inovasi, maka akan sulit bagi petani menerima inovasi tersebut, sebaliknya apabila inovasi mudah diterapkan, makin mudah bagi teknologi tersebut dipraktikkan sehingga proses adopsi inovasi semakin cepat. Inovasi sering gagal karena tidak diterapkan secara benar (Lestari et al. 2012). Persepsi responden terhadap tingkat kerumitan teknologi budidaya bawang merah ramah lingkungan dapat dilihat pada Gambar 3. Sebagian besar petani responden 93% (56 petani) menyatakan tingkat kerumitan dalam penerapan teknologi budidaya jajar legowo super dan VUB padi adalah tidak rumit. Penilaian tingkat kerumitan ini berdasarkan pada kemudahan dalam penerapan komponen teknologi budidaya Jarwo Super dan VUB padi secara keseluruhan temasuk di dalamnya penggunaan dekomposer, pupuk hayati, dan penggunaan alsintan seperti Indo Jarwo Transplanter.

Page 74: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan42

Kemudahan untuk DicobaKemudahan sebuah inovasi untuk dapat dicoba (triability) oleh

petani berkaitan dengan keterbatasan sumberdaya yang ada. Inovasi yang dapat dicoba sedikit demi sedikit akan lebih cepat dipakai oleh petani dari pada inovasi yang tidak dapat dicoba. Semakin mudah suatu teknologi baru untuk dapat dipraktikkan, maka semakin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan oleh petani (Edwina et al. 2010).

Dengan demikian, kompleksitas suatu inovasi mempunyai pengaruh besar terhadap percepatan adopsi inovasi. Petani cenderung untuk mengadopsi inovasi jika telah dicoba dalam skala kecil di lahannya sendiri dan terbukti lebih baik dari pada cara lama, karena inovasi menyangkut banyak risiko. Kemudahan untuk dicoba ada hubungannya dengan kemudahan untuk memilah yang sesuai dengan kebutuhan petani. Menurut Gumbira dan Harizt (2001), penentuan jenis teknologi sangat terkait dengan skala usaha, jenis usaha, kemampuan biaya, kemampuan sumberdaya manusia dan kebutuhan. Persepsi responden terhadap kemudahan untuk dicoba pada teknologi Jarwo Super dapat dilihat pada Gambar 3. Sebagian besar responden yaitu 97% atau 58 petani menyatakan bahwa teknologi budidaya Jarwo Super dan VUB padi mudah untuk dapat dicoba. Penilaian ini berdasarkan pada hasil demplot teknologi budidaya Jarwo Super dan penggunaan VUB padi yang dicobakan di Desa Tanjungsari, Kecamatan Bayudono, Kabupaten Boyolali telah terbukti memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan cara petani dan mudah untuk diterapkan, sehingga sesuai dengan hasil wawancara, dalam musim tanam berikutnya responden ingin mencoba dalam penerapannya.

Kemudahan untuk Diamati/DilihatPengamatan petani terhadap inovasi yang dapat diamati

(observability) dan dilihat orang lain. Menurut Wulanjari et al. (2015) kemudahan untuk diamati adalah kemudahan suatu inovasi untuk dapat dilihat atau diamati hasilnya. Menurut Edwina et al. (2010), suatu inovasi dapat diamati dari beberapa hal: (1) produksi yang dihasilkan dengan menggunakan teknologi; (2) kualitas/mutu yang dihasilkan oleh teknologi; dan (3) pendapatan/pengurangan biaya

Page 75: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 43

yang digunakan melalui penerapan teknologi. Persepsi responden terhadap kemudahan untuk dilihat atau diamati pada teknologi Jarwo Super dapat dilihat pada Gambar 3. Sebagian besar responden yaitu 93% (56 petani) menyatakan bahwa teknologi budidaya Jarwo Super dan VUB padi mudah untuk dilihat atau diamati. Kemudahan untuk diamati berdasarkan pada keragaan tanaman (keseragaman dan warna daun) dan tingkat produktivitas tanaman padi.

ADOPSI TEKNOLOGI JARWO SUPERAdopsi adalah proses meniru atau menerapkan suatu inovasi

yang sudah dikenalkan sebelumnya, baik melalui kegiatan Demplot, Demfarm maupun kajian. Alasan petani mengadopsi suatu teknologi bervariasi antar lokasi, iklim, dan tipe agroekosistem. Faktor psikologis dan sosial tampaknya lebih mendominasi cara berpikir petani dalam membuat keputusan dibandingkan dengan faktor teknis dan ekonomi (Sayuti et al. 1998; Wahyuni et al. 2008). Introduksi paket inovasi teknologi Jarwo Super dilakukan pada tahun 2016 melalui kegiatan Demfarm. Dua tahun kemudian dilakukan studi untuk melihat sejauh mana petani mengadopsi inovasi teknologi. Studi dilakukan pada kawasan/lokasi tempat Demfarm teknologi diperkenalkan. Paket teknologi Jarwo Super meliputi beberapa komponen teknologi, di antaranya penggunaan varietas unggul baru berdaya hasil tinggi, sistem tanam jajar legowo 2:1, penggunaan biodekomposer insitu (M-Dec), penggunaan pupuk hayati (Agrimeth), Pemanfaatan pestisida nabati (Bio-protektor), penggunaan alat dan mesin pertanian (transplanter, harvester).

Hasil studi menunjukkan kinerja adopsi inovasi teknologi Jarwo Super masih jauh dari yang diharapkan. Capaian adopsi tertinggi hanya pada komponen teknologi varietas Inpari 32 dan Inpari 30, transplanter dan sistem tanam jajar legowo masing-masing sebesar 53,49%; 51,16% dan 41,86%. Sedangkan komponen teknologi lainnya seperti penggunaan M-Dec, pupuk hayati, dan combine harvester tingkat adopsinya relatif rendah (Gambar 4).

Page 76: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan44

Gambar 4. Kinerja adopsi inovasi teknologi Jarwo Super

VUB merupakan komponen yang banyak di adopsi oleh petani. Keunggulan VUB cepat dan nyata dilihat secara langsung oleh petani dari performan di lapangan, dari tiga (3) VUB yang dikenalkan petani cenderung memilih varietas Inpari 32 sebagai varietas untuk menggantikan varietas eksisting sebelumnya yang banyak ditanam (Mekongga, Ciherang, dan IR 64). Potensi produksi yang tinggi, dengan keragaan pertumbuhan yang sangat baik menyebabkan petani tertarik untuk melanjutkan dan menanam VUB tersebut. Inpari 30 juga masih menjadi pilihan petani untuk dikembangkan.

Kelangkaan tenaga kerja serta sudah berkembangnya usaha perbenihan dengan sistem dapog, diduga menjadi faktor pendorong alat tanam transplanter digunakan sampai sekarang. Munculnya usaha perbenihan dapog yang terintegrasi dengan jasa layanan tanam dengan transplanter di lokasi memudahkan petani untuk mengakses inovasi penyediaan benih. Benih dapog dirasakan lebih efisien karena dapat menekan biaya dan risiko di persemaian, petani tinggal pesan kepada UPJA untuk jasa pesan benih sampai dengan penanaman.

Sistem tanam jajar legowo akan memberikan empat keuntungan, yaitu (a) semua barisan berada di pinggiran dan akan memberikan hasil yang tinggi; (b) pengendalian hama, penyakit, dan gulma menjadi lebih mudah; (c) penggunaan pupuk lebih hemat; dan (d) ruang kosong yang tersedia lebih banyak sehingga petani merasa sangat cocok dengan sistem tanam tersebut.

Page 77: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 45

Komponen Jarwo Super seperti M-Dec, Agrimeth, bioprotector tidak banyak diadopsi petani, meskipun sebelumnya petani sudah melihat dan menilai bahwa penggunaan komponen tersebut dapat memperbaiki kualitas pertumbuhan dan produktivitas padi.

Penggunaan biodekomposer mampu mempercepat jerami secara insitu dari 2 bulan menjadi 3–4 minggu sehingga mempercepat residu organik menjadi bahan organik tanah dan membantu meningkatkan ketersediaan hara NPK di tanah, sehingga meningkatkan efisiensi pemupukan dan menekan perkembangan penyakit tular tanah. Penggunaan bioprotector sebagai pestisida hayati berbahan aktif senyawa eugenol, sitronelol, dan geraniol efektif mengendalikan hama padi seperti wereng batang cokelat, keoang mas, dan walang sangit. Eugeno juga bersifat fungisidal sehingga mampu menekan pertumbuhan penyakit yang disebabkan oleh jamur patogen.

Bahan aktif pestisida hayati yang diaplikasikan ke tanaman beberapa waktu akan terurai setelah terkena sinar/cahaya matahari dan akan berfungsi sebagai pupuk organik yang mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman padi. Dari hasil penelitian menyebutkan penggunaan bioprotector mampu meningkatkan produksi tanaman 10–15%. Pestisida hayati umumnya memiliki daya racun rendah sehingga aman untuk manusia dan hewan ternak juga dapat menjaga kelestarian serangga berguna seperti serangga penyerbuk dan musuh alami.

Rendahnya adopsi komponen teknologi oleh petani, karena di pasar bahan-bahan tersebut tidak tersedia. Faktor kedua rendahnya adopsi diduga karena ada korbanan biaya untuk membeli bahan-bahan tersebut. M-Dec dan pupuk hayati Agrimeth merupakan komponen yang paling sering dicari oleh petani. Beberapa penilaian ketertarikan kedua komponen teknologi oleh petani adalah benih yang di perlakukan dengan Agrimeth lebih sehat, tumbuh lebih cepat dan seragam. Sedangkan M.Dec yang diaplikasikan secara insitu nyata dapat menurunkan pH tanah sehingga tanaman padi tidak mengalami “asem-asemen” yaitu kondisi padi mengalami gejala kuning karena reaksi tanah lebih masam.

Page 78: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan46

PENDERASAN INOVASI TEKNOLOGI JARWO SUPER

Inovasi teknologi Jarwo Super sudah dikenal secara luas oleh masyarakat tani di Jawa Tengah, sejak diperkenalkan pada acara Demfarm teknologi Jarwo Super pada acara HPS di kabupaten Boyolali. Kinerja produktivitas penerapan inovasi teknologi Jarwo Super pada Demfarm meningkat cukup tinggi, rata-rata 9,96 ton/ha GKG dibandingkan rata-rata produktivitas padi Provinsi Jawa Tengah yang hanya sebesar 5,64 ton/ha GKG, membuat berbagai pihak merasa bahwa teknologi ini unggul dalam rang mengungkit produksi dan produktivitas padi di Jawa Tengah.

Untuk memperluas jangkauan adopsi teknologi, baik BPTP Jateng maupun dinas pertanian secara kelembagaan maupun secara mandiri petani di luar Kabupaten Boyolali sudah melakukan berbagai demplot dan Demfarm penerapan teknologi Jarwo Super. BPTP Jawa Tengah bekerja sama dengan Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten, di antaranya Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Semarang, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Karanganyar melakukan kegiatan demplot percontohan inovasi teknologi Jarwo Super.

Upaya agar inovasi teknologi Jarwo Super berkembang secara masif di Jawa Tengah juga sudah banyak dilakukan melalui kegiatan bimbingan teknis tentang teknologi Jarwo Super untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya penyuluh maupun petani, BPTP diminta untuk menjadi narasumber pada bimbingan teknis. Dinas Pertanian yang menyelenggarakan di antaranya adalah Kabupaten Kendal, Demak, Pati, Kudus, Sragen, Boyolali, Batang, Sukoharjo, Banyumas dan Magelang. Dari unsur Pemda kabupaten Banyumas, Bappedalitbang menyelenggarakan workshop untuk menyusun RJMD pencapaian target kabupaten Banyumas menjadi lumbung pangan melalui inovasi.

Prospek pengembangan inovasi teknologi Jarwo Super di Provinsi Jawa Tengah cukup terbuka, minimal dari komponen teknologi, sistem perbenihan dapog, transplanter, VUB, sistem tanam jajar legowo 2:1, dan combine harvester. Sedangkan komponen lainnya

Page 79: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 47

seperti pemanfaatan pupuk hayati dan pestisida nabati di beberapa lokasi sudah menggunakan dengan komponen kearifan lokal (PGPR, Trichoderma, Bouveria bassiana dan mikroorganisme lokal lainnya). Hal tersebut tejadi karena bahan-bahan seperti Biodekomposer (M.Dec), pupuk hayati (Agrimeth), dan pestisida nabati (bioprotector) tidak tersedia di pasar meskipun bahan-bahan tersebut sudah diproduksi secara komersial kecuali bioprotector.

PENUTUPPenerapan inovasi teknologi Jarwo Super meningkatkan

produktvitas rata-rata 57,09% di atas teknologi eksisting. Preferensi inovasi teknologi Jarwo Super memberikan keunggulan relatif, tingkat kesesuaian tinggi, tingkat kerumitan rendah (mudah diterapkan), mudah dicoba/diterapkan dalam skala kecil, dan mudah diamati dalam waktu relatif cepat. Petani mengadopsi komponen teknologi VUB Inpari 32 (53,49%), sistem tanam jajar legowo 2:1 (51,16%), dan alat tanam transplanter (41,86%) cukup baik. Respons pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) melalui dinas pertanian cukup baik dengan melakukan kegiatan demplot pelatihan bagi petugas maupun petani. Prospek pengembangan komponen teknologi Jarwo Super di Jawa Tengah cukup terbuka.

UCAPAN TERIMA KASIHPenghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang sudah memberikan dana penelitian melalui anggaran SMARTD sehingga kajian ini berjalan hingga selesai, serta pihak-pihak lain yang sudah banyak membantu sehingga kegiatan kajian ini berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKAAbdullah B. 2004. ”Pengenalan VUTB Fatmawati dan VUB lainnya.

Makalah disampaikan pada pelatihan pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan VUB lainnya”. 31 Maret – 3 April 2004. Balitpa Sukamandi.

Page 80: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan48

Abdulrachman, S., M. J. Mejaya, N. Agustiani, I. Gunawan, P. Sasmita, A. Guswara. 2013. “Sistem Tanam Legowo. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian”. Kementerian Pertanian

Abdulrachman, S., N. Agustini, I.Gunawan, M.J. Mejaya. 2012. “Sistem tanam legowo”. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian

Anonim 2016. “Petunjuk Teknis budidaya padi jajar legowo super. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian”. Kementan. Ps Minggu, Jakarta.

Aribawa, IB. 2012. “Pengaruh sistem tanam terhadap peningkatan produktivitas padi di lahan sawah dataran tinggi beriklim basah”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012. Fakultas Pertanian. Universitas Trunojoyo. Madura.

Aryanto, A., Triadiati, Sugiyanta. 2015. “Pertumbuhan dan produksi padi sawah dan gogo dengan pemberian pupuk hayati berbasis bakteri pemacu tumbuh di tanah masam”. dalam Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 20 (3): 229-235

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2018. “Laporan Kajian Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Hasil Balitbangtan”. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Kementerian Pertanian

Departemen Pertanian. 2007. “Pedoman umum produksi benih padi”. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Jakarta

Edwina. Susy., Evi Maharani. 2010. “Persepsi Petani Terhadap Teknologi Pengolahan Pakan di Kecamatan Kerinci Kanan, Kabupaten Siak”. dalam Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) 2(1), Desember 2010.

Fagi, A.M., B. Abdullah, dan S. Kartaatmadja. 2001. “Peranan padi Indonesia dalam pengembangan padi unggul”. Prosiding Budaya Padi. Surakarta, November 2001.

Gumbira SE dan A. Harizt Intan. 2001. Manajemen Agribisnis. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia,

Hamzah, Z. dan Atman. 2000. “Pemberian Pupuk SP36 dan Sistem Tanam Padi Sawah Varietas”.

Page 81: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 49

Hasanuddin, A. 2005. “Peranan proses sosialisasi terhadap adopsi varietas unggul padi tipe baru dan pengelolaannya”. Lokakarya Pemuliaan Partisipatif dan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB). Sukamandi 2005.

Hastini, T., Darmawan, dan I. Ishaq. 2014. “Penampilan agronomi 11 varietas unggul baru padi di Kabupaten Indramayu. Agrotrop”. dalam Journal of Agricultural sciences. 4 (1) Mei 2014. Faperta Universitas Udayana-Bali. P:71-79

Hidayati, N. 2009. “Efektivitas Pupuk Hayati pada berbagai Lama Simpan terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi (Oryza sativa) dan Jagung (Zea mays)”. Skripsi. Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Hikmah Z.M., dan Gagad R. Pratiwi. 2016. “Sistem tanam padi yang optimal untuk produksi padi maksimal”. Prosiding Seminar Nasional tahun 2015. Temu Teknologi Padi. Eds Sarlan A et al., Balai Besar Padi. Sukamandi.

Ishaq I, Maryati M, dan S Ramdhaniati. 2016. “Respons padi sawah Inpari 39 terhadap aplikasi pupuk hayati”. Prosiding Temu Teknologi Padi. Balai Besar Padi Sukamandi. Badan Litbang Pertanian, Kementan.

Kropff, M.J. and L.A.P. Lotz. 1992. “Systems Approaches to Quantity Crop-Weed. Interaction and Their Application”. In Weed Management. In P.S. Teng and F. Penning de Vries (Ed.), Systems Approaches for Agricultural Development. Elsevier Applied Science, London. 40: 265-282.

Las, I. 2004. “Perkembangan varietas dalam perpadian nasional”. Seminar Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Bogor, Agustus 2004

Lestari W., D Rabesdini, J Yusri. 2012. “Respons Petani Terhadap Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi Sawah di Kabupaten Kampar”. Fakultas Pertanian. Universitas Riau.

Makarim, A.K., I. Las, A.M. Djulin dan Sutoro. 2009. “Penentuan takaran pupuk untuk tanaman padi berdasarkan analisis sistem dan model simulasi”. Agronomika I(1):32-39.

Page 82: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan50

Makarim, A.K., D. Pasaribu, Z. Zaini dan I. Las. 2005. “Analisis dan sintesis pengembangan model pengelolaan tanaman terpadu padi sawah”. Balai Penelitian Tanaman Padi. 18 halaman. ISBN 979-540-023-1.

Mardikanto, T. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UNS Press. Surakarta.

Mardikanto, T. 2010. “Metoda Penelitian dan Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat”. Program Studi Penyuluhan Pembangunan/Pemberdayaan Masyarakat Program Pascasarjana UNS. Surakarta.

Marschner H. 1997. Mineral Nutrition of High Plants. London: Academic Press Limited.

Misran. 2014. “Studi Sistem Tanam Jajar Legowo terhadap Peningkatan Produktivitas Padi Sawah”. dalam Jurnal Penelitian Pertanian Terapan 14 (2): 106-110

Mujisihono, R. dan T. Santosa. 2001. “Sistem Budidaya Teknologi Tanam Benih Langsung (TABELA) dan Tanam Jajar Legowo (TAJARWO)”. Makalah Seminar Perekayasaan Sistem Produksi Komoditas Padi dan Palawija. Diperta Provinsi D.I. Yogyakarta.

Oladele, S., M. Awodun. 2014. “Response of lowland rice to biofertilizesr inoculation and their effects on growth and yield in Southwestern Nigeria”. dalam Journal of Agriculture and Environmental Sciences. 3(2): 371-390

Permadi, N., Sunandar, B., Nurnayetti. 2013. “Peningkatan Produktivitas Padi melalui Inovasi Teknologi Spesifi k Lokasi untuk Mencapai Swasembada Beras”. Dalam Prosiding Seminar Nasional Akselerasi Pemanfaatan Teknologi Pertanian Spesifi k Lokasi mendukung Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani Nelayan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian : 140-145.

Saraswati, R. 2013. “Teknologi pupuk hayati untuk efisiensi pemupukan dan keberlanjutan sistem produksi pertanian”. Dalam: I.G.P. Wigena et al. (Eds). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan Pemulihan Lahan Terdegradasi. Bogor, 29-30 Juni 2012

Page 83: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 51

Saraswati, R. 2007. “Peran pupuk hayati dalam meningkatkan efisiensi pemupukan menunjang keberlanjutan produktivitas tanah”. dalam Jurnal Sumberdaya Lahan. 1(4): 51-56

Sayuti, Djulin, A.M., Iqbal, M., 1998. “Analisis pendekatan penyuluhan, pembentukan persepsi petani serta pengaruhnya terhadap adopsi teknologi inovasi: Kasus introduksi teknologi baru program SUTPA di Provinsi Jawa Timur dan Lampung”. Prosiding Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian. Buku II. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian

Sembiring, H. 2017. “Sasaran produksi tanaman pangan dan strategi operasional. Prosiding seminar nasional Padi 2016“. Terobosan Inovasi Teknologi Padi Adaptif Perubahan Iklim Mendukung Kedaulatan Pangan. Balai Besar Padi.Sukamandi.

Simarmata, T., B. Joy, N Danapriatna. 2013. “Peranan penelitian dan pengembangan pertanian pada industri pupuk hayati (Biofertilizer)”. Dalam: I.G.P. Wigena et al. (Eds). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan Pemulihan Lahan Terdegradasi. Bogor, 29-30 Juni 2012

Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Suwarno, E.Lubis, Baehaki, Sudir, S.D.Indrasari, I P.Wardana, M.J.Mejaya. 2011. “Deskripsi Varietas Padi”. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 118 Hal.

Suprihatno, B., dan A.A. Daradjat. 2009. “Kemajuan dan ketersediaan varietas unggul padi”. www.litbang.deptan.go.id/special/padi/bbpadi_2009.

Suhendrata, T dan S. Budyanto. 2012. “Peningkatan produktivitas padi gogo dan pendapatan petani lahan kering melalui perubahan penerapan sistem tanam di Kabupaten Banjarnegara”. Seminar nasional kedaulatan pangan dan energi. Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura.

Page 84: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan52

Suratmini, P dan I.B.G. Suryawan. 2016. “Pengaruh system tanam terhadap pertumbuhan dan produksi Inpari 20 dan Inpari 24 di Subak Gantalan II, Karangasem Bali”. Prosiding seminar nasional Padi 2016“ Terobosan Inovasi Teknologi Padi Adaptif Perubahan Iklim Mendukung Kedaulatan Pangan. Balai Besar Padi.Sukamandi.

Vaughan, D.A., Lu, B.R. and Tomooka, N. 2008. “The evolving story of rice evolution”. dalam Plant Science 174 (4):394–408.

Vessey, J. K. 2003. “Plant growth promoting rhizobacteria as biofertilizer”. dalam Plant Soil 255: 571 - 586.

Wahyuni S., Ruskandar, A., Mulsanti, I.W., 2008. “Peran produsen benih dalam diseminasi varietas unggul padi di Jawa Barat”. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, pp:882-889.

Wulanjari, M. Eti. dan Acima. 2015. “Persepsi Peserta Model Kawasan Rumah Pangan Lestari terhadap Teknologi Pemanfaatan Pekarangan di Kabupaten Sragen”. BPTP Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Agribisnis 2015, Semarang 9 September 2015 Kerjasama Program Studi Agibsinis Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Diponegoro dengan Perhepi Komda Semarang.

Page 85: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

STRATEGI MEMASIFKAN INOVASI TEKNOLOGI JARWO SUPER DI JAWA TIMUR

Rohmad Budiono dan Tri Sudaryono

PENDAHULUANTarget surplus 10 juta ton beras dan swasembada pada tahun

2014 telah dicapai melalui beberapa strategi dan inovasi teknologi yang diterapkan oleh pemerintah, di antaranya melalui inovasi teknologi budidaya dan penggunaan varietas unggul baru (VUB). Tahun 2015–2017, pemerintah menginstruksikan untuk pencapaian swasembada padi melalui kegiatan Upaya Khusus (UPSUS) Pajale, di seluruh provinsi di Indonesia, untuk mencapai target yang cukup besar tersebut, upaya yang paling realistis adalah melalui peningkatan produktivitas, mengingat peningkatan areal panen sulit diharapkan karena pada musim kemarau rendahnya debit air irigasi menjadi pertimbangan penting. Apabila tumpuan peningkatan produksi adalah peningkatan produktivitas, maka penerapan teknologi rekomendasi menjadi keharusan. Dalam hubungan ini teknologi dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) diyakini mampu meningkatkan produktivitas secara nyata. Hal ini terbukti dari peningkatan produktivitas padi yang dihimpun dari kelompok tani seluruh Jawa Timur yang menerapkan inovasi teknologi Balitbangtan mampu meningkatkan produktivitas sampai dengan 15% pada akhir tahun 2014 (Diperta Provinsi Jawa Timur 2015).

Page 86: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan54

Gambar 5. Keragaan produktivitas Kabupaten Mojokerto dan Provinsi jawa Timur tahun 2013–2015

(Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur tahun 2015).

Mojokerto merupakan salah satu sentra produksi padi di Jawa Timur. Luas lahan baku sawah Kabupaten Mojokerto pada tahun 2013 sebesar 23,25% dari luas baku sawah seluruh Provinsi Jawa Timur. Hal ini menunjukkan potensi sumbangan produksi padi di Kabupaten Mojokerto sangat berpotensi meningkatkan produksi pada Provinsi Jawa Timur. Luas baku sawah yang relatif tidak meningkat, produksi yang relatif stabil dan cenderung menurun. Rata-rata produktivitas Kabupaten Mojokerto masih di bawah rata-rata produktivitas Provinsi Jawa Timur (Gambar 5). Hal ini merupakan peluang untuk ditingkatkan dengan cara mengintroduksikan teknologi baru yang dapat mendongkrak produksi total Kabupaten Mojokerto secara signifikan.

Salah satu teknologi yang paling cepat dapat diadopsi adalah varietas unggul. Penggunaan varietas unggul dapat memberikan beberapa efek positif di antaranya: penggantian strain virus dan meningkatkan ketahanan penyakit. Berdasarkan peta sebaran VUB padi Badan Litbang tahun 2012 diketahui bahwa sampai saat ini terdapat 68 varietas unggul padi Badan Litbang yang eksis di lapangan. Hal ini menunjukkan eksistensi varietas unggul padi pada wilayah tersebut sangat berkait dengan kesesuaian agroekosistem wilayah di mana VUB tersebut berkembang dan diterimanya VUB sesuai dengan adat dan budaya masyarakat setempat. Namun demikian hingga saat ini varietas Ciherang masih mendominasi dengan ketersediaan

Page 87: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 55

40–45%, disusul dengan Mekongga 12%, IR64 10%, dan sisanya merupakan varietas lain termasuk di dalamnya Inpari dan lainnya (BPSB Provinsi Jawa Timur 2014).

Sebagai komoditas strategis, padi tetap memerlukan prioritas yang tinggi dalam peningkatan produksinya dan akan tetap menjadi prioritas kebijakan pembangunan pertanian ke depan. Hal ini tercermin dari salah satu program pemerintah, yaitu pencapaian swasembada beras dan swasembada pangan berkelanjutan. Saat ini banyak varietas unggul baru padi yang telah dilepas oleh pemerintah, namun belum banyak diketahui oleh petani sehingga perlu didiseminasi pada agroekosistem yang beragam secara luas untuk diidentifikasi tingkat adaptasinya. Sejak 1967–2009 padi yang telah dilepas di Indonesia lebih dari 250 varietas dan 90 persen varietas yang beredar adalah produksi Badan Litbangtan (Puslitbangtan 2009).

Hasil riset World Bank menyimpulkan, Benih Varietas Unggul bersertifikat (VUB) merupakan penyumbang tunggal terbesar (16%) terhadap peningkatan produksi padi, diikuti irigasi (5%) dan pupuk (4%). Interaksi VUB, irigasi, dan pupuk dapat meningkatkan produktivitas mencapai 75%, sedangkan sumbangan dari perluasan areal tanam hanya 25%. Peranan benih padi VUB, tidak terlepas dari peranan produsen benih dan sistem perbenihan nasional. Data tahun 1970-an sampai 2000-an menunjukkan bahwa peningkatan jumlah benih bersertifikat VUB berbanding lurus dengan peningkatan produksi padi nasional.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah menghasilkan berbagai teknologi guna mewujudkan ketahanan pangan, khususnya program peningkatan produksi padi nasional. Teknologi tersebut antara lain VUB, sistem tanam jajar legowo, biodekomposer yang mampu mempercepat pengomposan jerami, pupuk hayati dan pemupukan berimbang, pestisida hayati dan alat mesin pertanian tepat guna. Terkait dengan upaya peningkatan produksi padi nasional, Balitbangtan pada tahun 2008 telah menghasilkan inovasi PTT padi sawah. Inovasi ini kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan diimplementasikan dalam bentuk Sekolah Lapang PTT (SL-PTT). Komponen teknologi penyusun PTT terus disempurnakan dari waktu ke waktu. Berbagai komponen teknologi yang dihasilkan dirakit menjadi paket teknologi yang disebut “Teknologi Padi Jarwo Super”. Keberhasilan penerapan teknologi Jarwo Super ditentukan

Page 88: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan56

oleh komponen teknologi dan teknik budidaya yang digunakan. Penerapan teknologi Jarwo Super secara utuh oleh petani diyakini mampu memberikan hasil minimal 10 ton GKG/ha per musim, sementara hasil padi yang diusahakan dengan sistem jajar legowo hanya 6 ton GKG/ha. Dengan demikian terdapat penambahan produktivitas padi sebesar 4 ton GKG/ ha per musim.

Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui tingkat adopsi terhadap inovasi teknologi budidaya padi Jarwo Super hasil Balitbangtan dan kiat-kiat yang dilakukan oleh petugas maupun petani dalam mengimplentasikan inovasi teknologi Jarwo Super.

ADOPSI TEKNOLOGI JARWO SUPERPetani kooperator Demfarm Jarwo Super tahun 2016 sebanyak 40

petani di Kelompok Tani Mardi Tani, Desa Sadar Tengah, Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.

Hasil survei yang dilakukan pada bulan Oktober 2018 terhadap tingkat adopsi petani kooperator Demfarm Jarwo Super tahun 2016, menunjukkan bahwa tingkat adopsi terhadap komponen-komponen Jarwo Super yang terdiri dari VUB (Inpari 30, 32 dan 33), sistem tanam jajar legowo 2-1, penerapan M-dec, penggunaan Agrimeth, penggunaan bioprotector, penggunaan transplanter dan mesin panen combine harvester bervariasi (Gambar 6).

Gambar 6. Respons petani adopter terhadap komponen teknologi Jarwo Super (sumber: BBP2TP, 2018)

Page 89: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 57

Penggunaan VUB padi di Kabupaten Mojokerto yang mendapatkan respons tertinggi dan diadopsi petani adalah Inpari 32. Hal ini disebabkan Inpari 32 mempunyai potensi produksi lebih tinggi dan memiliki tingkat adaptasi yang tinggi dibandingkan Inpari 30, Inpari 33 maupun Ciherang (Gambar 7).

Gambar 7. Rata-rata hasil varietas Inpari 30, 32 dan 33 pada lokasi Demfarm Jarwo Super

Sistem tanam Jajar legowo 2:1 mendapat respons yang tinggi dan diadopsi petani. Dari hasil survei menunjukkan bahwa 69,4% petani responden telah melaksanakan cara tanam jajar legowo 2:1 sampai saat ini. Hal ini disebabkan petani merasakan manfaat dari sistem tanam jajar legowo 2:1 antara lain kemudahan dalam pengendalian hama/penyakit, menghemat biaya penyiangan dan produktivitas meningkat dibandingkan sistem tanam sebelumnya (tegel).

Pupuk hayati selama ini kurang dikenal oleh petani. Hal tersebut terbukti adopsi setelah Demfarm hanya meningkat menjadi 25%. Hal tersebut dikarenakan pupuk hayati Agrimeth tidak tersedia di kios-kios terdekat, meskipun diakui selain mampu menyediakan unsur hara dalam tanah menjadi tersedia, dan meningkatkan kesuburan tanah, juga menjadi hormon alami pada awal pertumbuhan tanaman. Terbukti tanaman yang telah diberi pupuk hayati pada perlakuan awal benih, memiliki jumlah akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa perlakuan benih, sehingga lebih toleran terhadap kondisi yang kurang menguntungkan pada periode pertumbuhan.

Page 90: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan58

Pengendalian hayati masih belum mampu diterapkan oleh petani, karena efektivitas rendah, dan jenis OPT cukup tinggi. Adopsi pengendalian OPT secara hayati hanya 16,7% setelah Demfarm. Selain itu serangan OPT selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan juga teknik budidaya yang diterapkan. Jika penerapan teknologi budidaya sejak awal sudah komprehensif dan saling mendukung, maka serangan OPT juga dapat dikendalikan dengan input yang tidak terlalu tinggi. Keberhasilan adopsi pengendalian OPT secara hayati, tidak terlepas dengan pengamatan OPT secara intensif di lapang, kerja sama antara petugas dan petani sangat diperlukan.

Tingginya upah buruh di sektor pertanian, salah satunya dapat diatasi dengan mekanisasi pertanian. Selama ini kehilangan hasil saat panen masih menjadi salah satu faktor kurangnya produktivitas padi. Penggunaan alsintan sangat erat kaitannya dengan kondisi lahan, lahan yang berlumpur tidak dapat menerapkan alsin untuk kegiatan panen, sehingga panen dilakukan dengan menggunakan sabit dan perontokan menggunakan power thresser. Hasil survei menunjukkan bahwa penggunaan combine transplanter hanya 8,3% dari jumlah responden. Hal ini disebabkan sebagian besar lahan lapisan olahnya dalam, sehingga tidak memungkinkan panen menggunakan mesin panen (combine harvester).

PELUANG KEBERLANJUTAN TEKNOLOGI JARWO SUPER

Teknologi Jarwo Super Kegiatan diseminasi Jarwo Super berdampak pada peningkatan

adopsi komponen teknologi Jarwo Super. Komponen teknologi yang mendapat respons petani dan petugas lapang (PPL) antara lain: 1) penggunaan varietas unggul baru (VUB) terutama Inpari 32 karena produksi maupun ketahanan terhadap OPT lebih baik dibandingkan dengan varietas Ciherang; 2) sistem tanam jajar legowo 2:1, banyak diterapkan petani karena mudah dalam pemeliharaan dan produksi lebih tinggi dibandingkan cara tegel; 3) penggunaan PUTS yang dilakukan oleh petugas, 4) pengendalian OPT secara hayati/nabati. Hal ini didukung oleh kegiatan demplot-demplot yang dilakukan oleh petugas POPT dan dari laboratorium hama penyakit yang ada

Page 91: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 59

di Mojokerto, dan 5) penggunaan mesin panen masih rendah. Hal ini disebabkan sebagian besar lahan relatif dalam, sehingga mesin panen tidak dapat digunakan (Tabel 5).

Tabel 5. Adopsi teknologi sebelum (pra) dan sesudah (post) Demfarm Jarwo Super

No Komponen Teknologi Pra Demfarm (%) Post Demfarm (%)1 Penggunaan VUB 26,70 60,002 Jajar legowo 2:1 10,0 60,03 Penggunaan PUTS 10,00 70,004 Penggunaan pupuk hayati 6,70 6,705 Pengendalian OPT secara hayati 20,00 76,606 Penggunaan mesin panen 13,30 40,00

Tingginya upah buruh di sektor pertanian, salah satunya dapat diatasi dengan mekanisasi pertanian. Selama ini kehilangan hasil saat panen masih menjadi salah satu faktor kurangnya produktivitas padi. Penggunaan alsintan sangat erat kaitannya dengan kondisi lahan, lahan yang berlumpur tidak dapat menerapkan alsin untuk kegiatan panen, sehingga panen dilakukan dengan menggunakan sabit dan perontokan menggunakan power thresser, sebelum jarwo adopsi alsin untuk panen hanya 13,3% dan setelah Demfarm meningkat menjadi 40%. Spesifikasi alsintan untuk tiap kondisi lapang menjadi salah satu strategi agar adopsi alsintan meningkat. Perbandingan teknologi eksisting dan Jarwo Super disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Teknologi eksisting dan Jarwo SuperKegiatan Eksisting Jarwo SuperPola Tanam Padi-padi-bera

(pada awal MH)Padi-padi-padi

Produksi 63 ku/ha 80-90 ku/haOlah Tanah Ya Ya- Waktu olah tanah 2 minggu sebelum

tanam2 minggu sebelum tanam

- Alat olah tanah Traktor Traktor- pemanfaatan

jeramitidak ya

Jumlah benih / ha 60 kg 30 kg

Page 92: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan60

Kegiatan Eksisting Jarwo SuperVarietas Ciherang, Way Apo

BuruInpari 30, Inpari 32 dan Inpari 33

Klas benih SS SSUkuran persemaian 20 m2/bag 20 m2/bagSistem tanam (jarwo/tidak)

Tidak/jarwo Jarwo 2:1

Jarak tanam 25x25 / 35x20 x20 (20x10x40)Cara persemaian biasa biasaUmur pindah tanam 20-30 HSS 15-20 HSSPUTS/Analisis lab Tidak YaNPK Phonska (kg/ha)

300 300

Urea (kg/ha) 200 100ZA (kg/ha) - 100ZnSO4 Tidak Yapupuk organik (kg/ha)

500 500

Dosis pupuk 1 150 kg NPK 100 Kg Urea

200 kg NPK 50 kg Urea 50 kg ZA

Dosis pupuk 2 150 NPK 100 NPK 50 kg Urea 50 kg ZA Dosis pupuk 3 100 kg Urea Penyiangan 1 Manual Manual & OsrokPenyiangan 2 Manual Manual & OsrokPengairan (intermitten/tidak)

Tidak Tidak

Pestisida nabati Tidak yaPestisida anorganik ya ya jika serangan di atas ambang

ekonomiAlat panen Sabit-power threser Sabit-power threser

Ket : HSS : Hari Setelah Semai

Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa varietas exsisting Ciherang yang ditanam tanpa menggunakan teknologi Jarwo Super memiliki hasil terendah dibanding dengan varietas lain yang ditanam menggunakan teknologi Jarwo Super. Inpari 30

Tabel 6. Teknologi eksisting dan Jarwo Super (lanjutan)

Page 93: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 61

Ciherang Sub 1 meningkatkan produksi padi sebanyak 29,3%, Inpari 32 sebanyak 32,03% dan Inpari 33 sebanyak 12,26% (Tabel 7). Selain itu juga diproduksinya benih bersertifikat dari kegiatan Demfarm, sampai dengan November 2016 jumlah calon benih yang sudah diprosesing adalah 34.964 kg untuk varietas Inpari 30 Ciherang sub 1 dan Inpari 32.

Tabel 7. Produktivitas VUB dan pembanding

Varietas TT (cm) Jumlah anakan (batang)

Panjang malai (cm)

Jumlah gabah isi per malai

Jumlah gabah hampa

per malai

1000 butir (gram)

Provitas (ton)

Inpari 30 109, 20 a 20,90 a 19,40 b 106 ab 7,40 c 29,40 a 8,92 a

Inpari 32 109,50 a 20,60 a 20,94 b 108 a 11,70 bc 28,40 ab 9,27 a

Ciherang 1100,6 b 13 b 17,40 c 87,5 b 17,50 ab 23,90 c 6,30 c

Inpari 33 106,8 a 11,90 b 25,05 a 119 a 23,20 a 27,73 b 7,18 b

Ket : Angka-angka pada kolom sama dengan huruf sama : tidak berbeda nyata berdasar uji BNT 5%

Produktivitas VUB (Inpari 30, Inpari 32 dan Inpari 33) yang lebih tinggi dibandingkan varietas Ciherang, salah satunya disebabkan sejak fase bibit ketiga VUB tersebut mempunyai pertumbuhan yang lebih baik. Pertumbuhan bibit yang lebih baik tersebut dikarenakan adanya perlakuan benih dengan pupuk hayati Agrimeth. Benih yang diperlakukan dengan Agrimeth menunjukkan jumlah akar yang lebih banyak dibandingkan varietas Ciherang yang tidak diperlakukan dengan Agrimeth (Gambar 8).

Page 94: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan62

Gambar 8. Keragaan bibit yang diperlakukan dengan Agrimeth (kanan) dan yang tidak diperlakukan dengan Agrimeth (kiri).

Penggunaan varietas unggul padi di Kabupaten Mojokerto sampai saat ini paling banyak adalah Ciherang, Way Apoburu, Mekongga, dan IR 64. VUB Balitbangtan yang sudah mulai dibudidayakan di Kab. Mojokerto adalah Inpari 30 dan Inpari 19. Di lokasi Jarwo Super jumlah petani yang menerapkan penanaman VUB pada sebelum kegiatan adalah 26,7% setelah Demfarm meningkat menjadi 60%. Hal tersebut dikarenakan petani berperan aktif dalam kegiatan Demfarm dan skala luas, banyak petani yang terlibat, sehingga mereka saling berkomunikasi satu sama lain, dan jika terjadi perbedaan hasil VUB antar petani, mereka saling berdiskusi satu sama lain. Sebelum Demfarm tingkat adopsi penggunaan bahan organik (jerami) hanya 33,33% setelah Demfarm meningkat menjadi 86,67%. Hal tersebut dikarenakan penggunaan M-Dec dalam pengomposan jerami relatif lebih cepat dan membutuhkan tenaga sedikit (aplikasi dengan cara semprot). Menurut Purba dan Giametri (2017), penggunaan VUB berdaya hasil tinggi telah lama dipercaya sebagai upaya peningkatan produktivitas yang paling efektif dan efisien. Varietas unggul atau

Page 95: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 63

VUB padi membawa materi genetik yang berbeda antarvarietas, dan pada lingkungan yang sama, setiap varietas dapat menunjukkan penampilan yang berbeda. Menurut Hasanuddin (2005), VUB memberi sumbangan peningkatan produktivitas terhadap produksi padi nasional sekitar 56%. Kontribusi interaksi antara air irigasi, VUB, dan pemupukan terhadap laju kenaikan produksi padi mencapai 75% (Fagi et al. 2001). Menurut Suprihatno et al. (2011), varietas unggul merupakan salah satu teknologi inovatif yang andal untuk meningkatkan varietas padi, baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil tanaman maupun atau tahan terhadap cekaman abiotik dan biotik.

Jajar legowo sulit diterapkan selama ini karena biaya tanam yang tinggi, sehingga pemerintah memberikan bantuan alsintan baik ATAJALE maupun Jarwo transplanter. Alsintan tidak semua tempat dapat diterapkan, karena tanah yang gembur dan lapisan olah yang dalam membuat aplikasi alsintan tidak dapat dilaksanakan. Alat ATAJALE dapat diaplikasikan di lahan dengan kondisi tersebut, akan tetapi membutuhkan tenaga tanam yang banyak dan memerlukan waktu penanaman lebih tinggi. Dari hasil survei diperoleh penerapan adopsi tanam jarwo meningkat menjadi 60% dari sebelumnya hanya 6,7%. Hal tersebut dikarenakan dengan tanam jarwo kegiatan pemeliharaan menjadi lebih mudah (penggunaan benih, penyiangan, pemupukan). Menurut Abdulrachman et al. 2012) tanam jajar legowo memberikan ruang terbuka seluas 25–50% sehingga tanaman dapat menerima sinar matahari secara optimal. Selain itu, jajar legowo memberikan persentase peningkatan hasil gabah kering panen berkisar 19,90–22,00% dibandingkan dengan tegel (Hikmah dan Pratiwi 2017). Menurut Permadi et al. (2013) penerapan sistem tanam legowo 2:1 meningkatkan produktivitas padi lebih tinggi 1,3 ton/ha dari sistem tanam tegel. Legowo 2 : 1 dengan jarak tanam (25x12,5x50 cm) mampu meningkatkan hasil antara 9,63–15,44% dibandingkan model tegel (Abdulrachman et al. 2012). Menurut Aribawa (2012) atau Suratmini dan Suryawan (2016), legowo 2:1 dapat meningkatkan hasil gabah kering sebesar 14,36% atau memberikan hasil gabah kering panen dan gabah kering giling lebih tinggi 20,63% dan 19,7% dibandingkan sistem tanam tegel. Abdurrachman et al. (2013) menyarankan agar legowo 2:1 diterapkan pada lahan yang relatif subur, sehingga peningkatan populasi tanaman pada tanam jajar legowo tidak akan mengurangi potensi tumbuh tanaman.

Page 96: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan64

Alat PUTS sudah ada di masing-masing BPP, akan tetapi penggunaannya masih belum optimal. Hal tersebut dikarenakan ketersediaan tenaga untuk pengoperasian alat. Selama ini petani melaksanakan kegiatan pemupukan berdasarkan rekomendasi umum dari BPP 500 kg pupuk organik, 300 kg NPK (phonska), 200 kg Urea untuk luasan 1 ha. Sedangkan dalam praktiknya petani banyak menambah input pupuk berdasarkan preferensi mereka. Adopsi PUTS atau hasil analisis tanah sebelum Demfarm sebanyak 10%, setelah Demfarm meningkat menjadi 70%. Dukungan dari penyuluh sangat diperlukan untuk meningkatkan penggunaan PUTS atau analisis laboratorium dalam pemupukan, sehingga petani ada batasan dalam penggunaan pupuk anorganik. Aplikasi dekomposer M-Dec dapat meningkatkan proses dekomposisi sisa jerami padi musim tanam sebelumnya sehingga terjadi perbaikan lingkungan rhizosfer dengan penambahan unsur hara melalui pemupukan menjadi lebih efektif diserap oleh tanah dan ketersediaan unsur hara terutama N, P dan K lebih meningkat. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Marschner (1987) bahwa penggunaan “input” berupa pupuk khususnya fosfat yang tinggi didukung penambahan amelioran pupuk organik cenderung meningkatkan aktivitas jaringan (meristem) sel-sel muda terutama untuk pembentukan tunas.

Pupuk hayati selama ini kurang dikenal oleh petani. Hal tersebut terbukti adopsi sebelum Demfarm adalah 6,7% dan setelah Demfarm meningkat menjadi 66,7%. Hal tersebut dikarenakan pupuk hayati selain mampu menyediakan unsur hara dalam tanah menjadi tersedia, dan meningkatkan kesuburan tanah, juga menjadi hormon alami pada awal pertumbuhan tanaman. Terbukti tanaman yang telah diberi pupuk hayati pada perlakuan awal benih, memiliki jumlah akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa perlakuan benih, sehingga lebih toleran terhadap kondisi yang kurang menguntungkan pada periode pertumbuhan.

Pengendalian hayati masih belum mampu diterapkan oleh petani karena efektivitas rendah, dan jenis OPT cukup tinggi. Adopsi pengendalian OPT secara hayati sebelum Demfarm sebanyak 20% meningkat menjadi 76,6% setelah Demfarm. Hal tersebut dikarenakan petani mengetahui perbedaan biaya untuk pengendalian secara hayati dan non hayati. Selain itu, serangan OPT selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan juga teknik budidaya yang diterapkan. Jika penerapan teknologi budidaya sejak awal sudah komprehensif dan

Page 97: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 65

saling mendukung, maka serangan OPT juga dapat dikendalikan dengan input yang tidak terlalu tinggi. Keberhasilan adopsi pengandalian OPT secara hayati, tidak terlepas dengan pengamatan OPT secara intensif di lapang, kerja sama antara petugas dan petani sangat diperlukan.

Peluang peningkatan produktivitas padi masih terbuka lebar, dari angka produktivitas tahun 2015 (ATAP BPS): senjang produktivitas riil di tingkat petani dibandingkan dengan potensi hasil masih sangat lebar. Kesenjangan ini harus diisi dengan teknologi dan inovasi (Sembiring 2017), di antaranya teknologi Jarwo Super. Teknologi produksi padi terkini yang diyakini dapat meningkatkan produktivitas padi adalah teknologi Jarwo Super, teknologi yang memadukan penggunaan varietas unggul baru (VUB) berdaya hasil tinggi, sistem tanam Jajar Legowo, biodekomposer yang mampu mempercepat pengomposan jerami, pupuk hayati dan pemupukan berimbang, pestisida hayati dan alat mesin pertanian (Anonim 2016). Lebih lanjut menurut Sembiring (2017), senjang hasil padi nasional 5,34 ton GKG/ha dengan Jawa (6,06 t/ha) dengan luar Jawa (4,739 t/ha). Variasi antar provinsi berkisar 2,28–6,21 ton GKG/ha.

ProduktivitasPeningkatan pertumbuhan dan produktivitas padi diduga

sebagai dampak penerapan paket teknologi Jarwo Super secara lengkap. Pemberian inokulan Agrimeth (pupuk hayati yang mengandung bakteri dan fungi multistrain) dapat memperbaiki kualitas pertumbuhan bibit padi. Menurut Vessey (2003), pupuk hayati berperan mempermudah penyediaan hara, dekomposisi bahan organik dan menyediakan lingkungan rhizosfer lebih baik yang pada akhirnya mendukung pertumbuhan dan peningkatan produksi tanaman. Pemberian pupuk hayati berpengaruh nyata dalam meningkatkan bobot kering tajuk, bobot kering akar dan bobot kering total tanaman padi (Hidayati 2009). Menurut Saraswati (2007) perbaikan kualitas tanah dapat dilakukan dengan pemanfaatan pupuk hayati. Pupuk hayati merupakan inokulan berbahan aktif organisme hidup atau laten dalam bentuk cair atau padat yang memiliki kemampuan untuk memobilisasi, memfasilitasi dan meningkatkan ketersediaan hara tidak tersedia menjadi bentuk tersedia melalui proses biologis (Simarmata et al. 2013). Menurut Saraswati (2013)

Page 98: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan66

pemanfaatan pupuk hayati yang sesuai dengan kondisi tanah juga dapat meningkatkan efisiensi pemupukan anorganik, produktivitas tanah maupun tanaman, dan mengurangi bahaya pencemaran lingkungan serta merupakan alternatif yang murah untuk meningkatkan kesuburan tanah. Dari sisi tanaman, penggunaan pupuk hayati dapat mendukung pertumbuhan, perkembangan dan hasil padi sawah menjadi relatif lebih baik (Oladele dan Awodun 2014; Aryanto et al. 2015).

Varietas unggul merupakan teknologi yang dominan peranannya dalam peningkatan produksi padi dunia (Las 2004). Menurut Hasanuddin (2005), sumbangan peningkatan produktivitas varietas unggul baru terhadap produksi padi nasional cukup besar, sekitar 56%. Menurut Fagi et al. (2001), kontribusi interaksi antara air irigasi, varietas unggul baru, dan pemupukan terhadap laju kenaikan produksi padi mencapai 75%. Varietas unggul merupakan salah satu teknologi inovatif yang andal untuk meningkatkan varietas padi, baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil tanaman maupun atau tahan terhadap cekaman abiotik dan biotik (Suprihatno et al. 2011). Varietas unggul sebagai salah satu komponen produksi telah memberikan sumbangan sebesar 56% di dalam peningkatan produksi (Deptan 2007).

Sistem tanam Jarwo Super berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi. Delta peningkatan produktivitas meningkat sekitar 30–60% dibandingkan teknologi eksisting. Hal tersebut sejalan dengan hasil kajian Suhendrata dan Budiyanto (2012) yang menyampaikan bahwa perubahan penerapan sistem tanam dari tegel menjadi sistem tanam jajar legowo cukup berperan dalam peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Peningkatan produksi pada sistem tanam legowo selain karena bertambahnya jumlah populasi tanaman juga karena pengaruh pinggiran (border effect). Tanaman yang berada di pinggir menerima cahaya matahari yang lebih banyak sehingga proses fotosintesis tanaman berlangsung maksimal.

Pendapatan Teknologi Jarwo Super terbukti mampu meningkatkan

pendapatan petani meskipun biaya tanam jarwo meningkat 2 kali lipat daripada tanam tegel, akan tetapi biaya keseluruhan lebih rendah dari biaya non-jajar legowo super (Tabel 8). Pengurangan biaya terdapat

Page 99: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 67

pada kegiatan aplikasi pemupukan anorganik dan biaya penggunaan benih. B/C dengan teknologi Jarwo Super diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan kesuburan tanah, sehingga menekan biaya input produksi seperti pupuk anorganik.

Tabel 8. Analisis usaha taniKomponen Eksisting x (Rp.1.000) Jarwo Super x (Rp.1.000)

Pengeluarana. Saprodi

- Benih 660 240- Pupuk 1.500 1.650- Pestisida 1.950 1.150

Upah tenaga kerja (Olah tanah, tanam, pemupukan, penyiangan, pengendalian OPT, Panen)

7.860 7.780

Total Pengeluaran 11.970 10.820Penerimaan (6.300 kg x Rp. 4.800) (8.500 kg x Rp. 4.800) Rp. 30.240 Rp. 40.800R/C Ratio 2,53 3,78

Ket : Tidak termasuk sewa lahan

STRATEGI MEMASIFKAN JARWO SUPERInovasi teknologi Jarwo Super secara umum telah diadopsi

oleh petani bahkan telah berkembang ke beberapa daerah di luar Demfarm. Hal ini tidak terlepas dari upaya menyederhanakan dalam implementasi di lapang. Beberapa permasalahan yang dihadapi di lapang antara lain: 1) kesulitan persemaian dapog, 2) mesin tanam jarwo transplanter dan 3) keragaman yang tinggi dalam mengimplementasikan komponen-komponen Jarwo Super di lapang. Berdasarkan permasalahan di atas, BPTP Jawa Timur melakukan modifikasi dan strategi sehingga inovasi teknologi Jarwo Super dapat implementasi dengan benar, mudah dan murah.

Sistem Persemaian TertutupMembuat persemaian merupakan langkah awal bertanam padi

dalam mempersiapkan bibit yang siap tanam. Pembuatan persemaian memerlukan suatu persiapan yang sebaik-baiknya untuk pertanaman

Page 100: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan68

produksi benih, sebab benih di persemaian ini akan menentukan pertumbuhan padi di sawah. Oleh karena itu, persemaian harus benar-benar mendapat perhatian, agar harapan untuk mendapatkan bibit padi yang sehat dan subur dapat tercapai. Salah satu titik kritis tanam bibit menggunakan mesin (Rice Transplanter) adalah pembuatan persemaian karena memerlukan bibit khusus yaitu sistem dapog. Cara pembuatan persemaian berbeda dengan persemaian yang biasa dilakukan (konvensional).

Metode dapog yang dilakukan selama ini mempunyai beberapa kelemahan: (1) Harga tray relatif mahal bagi petani, (2) Ukuran lebar dan tinggi/tebal tray tidak sesuai dengan yang disyaratkan oleh mesin transplanter, (3) Pengisian media semai dan penaburan benih pada tray harus satu-satu sehingga tidak efektif, dan (4) Tray yang ada masih diproduksi oleh pabrikan tertentu dan masih belum diproduksi oleh pengrajin pedesaan.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, BPTP Jatim telah menemukan metode persemaian dapog yang lebih sederhana, murah, dapat diproduksi bengkel pedesaan, sesuai dengan kebutuhan mesin tanam yang digunakan, dan kualitas bibit yang dihasilkan lebih baik. Metode baru dikenal dengan sistem persemaian tertutup.

Gambar 9. Alat cetakan persemaian pengganti tray (1), terpal (2), mulsa karung plastik (3)

Page 101: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 69

Sistem persemaian tertutup terdiri dari cetakan persemaian terbuat dari besi plat ukuran tebal 1,5–2 mm lebar 20 mm, dibentuk kotak persegi empat dengan ukuran 18 cm x 40 cm, selanjutnya beberapa kotak dirangkai menjadi satu unit. Cetakan persemaian ini berfungsi sebagai pengganti tray. Idealnya setiap unit terdiri dari 25 kotak.

Terpal plastik, berfungsi ganda yaitu sebagai alas penampung air dan berfungsi sebagai pembatas antara akar dan lahan sehingga lahan bekas persemaian tidak rusak.

Gambar 10. Keragaan alat cetakan persemaian pengganti tray

Media semai, terdiri dari campuran tanah dan pupuk kandang (4:1), dicampur homogen dan disaring/diayak dengan ukuran mess 5 mm. Karung plastik, sebagai mulsa/penutup benih yang telah disebar. Fungsi mulsa adalah sbb: 1) untuk mempercepat pertumbuhan bibit. Hal ini disebabkan oleh kelembapan dipersemaian yang merata sehingga pertumbuhan bibit seragam, 2) adanya sifat etiolasi tanaman karena kekurangan sinar matahari sehingga pertumbuhan bibit lebih cepat tinggi, 3) menghindarkan hama yang selama ini menyerang dipersemaian contohnya hama wereng, penggerek/sundep, tikus dan burung), serta 4) menghindarkan kerusakan bibit akibat dari terpaan air hujan.

Page 102: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan70

Gambar 11. Cara menyebar benih dan pemasangan mulsa

Balok kayu/bambu dipasang di sekeliling persemaian sebagai penahan terpal bagian luar, tujuannya supaya air tidak langsung habis saat dilakukan penyiraman. Syarat ketinggian balok/bambu adalah 2–3 cm di atas persemaian sehingga air dapat menggenang.

Hasil kajian di lapang bibit yang dihasilkan umur 10 hari mencapai tinggi 25 cm, sedangkan cara konvensional dibutuhkan waktu 25 hari untuk mencapai tinggi bibit yang sama.

Gambar 12. Keragaan pengambilan bibit untuk dipindah ke lahan

Page 103: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 71

Alat Atajale sebagai Pengganti Jarwo TransplanterBeberapa alat yang sudah digunakan petani dalam menerapkan

jajar legowo adalah menggunakan garet/caplak dan ada yang menggunakan tali. Dari dua cara konvensional ini memiliki kelemahan antara lain: 1) tenaga kerja bertambah 2) ribet dan 3)garis yang terbentuk di lahan hanya jarak antar baris, sedangkan jarak dalam barisan perkiraan dari regu tanam. Hal ini berdampak pada jarak tanam tidak konsisten sehingga target tambahan populasi tidak tercapai. Mesin tanam (transplanter) yang ada di masyarakat saat ini jumlahnya terbatas, harganya mahal, mensyaratkan tenaga terampil untuk menyiapkan bibit dan operatornya, kondisi lahan harus datar tidak berteras, dan kedalaman tanah kurang dari 20 cm.

Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, dibuat alat sederhana yang disebut “Atajale 2:1” dapat diproduksi oleh petani sendiri dengan harga yang murah. Alat ini berfungsi membentuk garis jarak tanam yang diinginkan. Cara kerja alat ini dengan ditarik manusia, sekali jalan akan terbentuk garis perpotongan dua arah yaitu jarak antar barisan dan jarak tanam dalam barisan. Adanya garis-garis dua arah di lahan, memudahkan regu tanam untuk tanam jajar legowo dengan benar.

Gambar 13. Implementasi atajale di lahan

Page 104: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan72

Cooperative FarmingDalam upaya menghindari kesalahan dalam mengimplementasikan

inovasi teknologi Jarwo Super, strategi yang dilakukan adalah mengoptimalkan kelembagaan kelompok tani dengan metode “cooperative farming”. Kelompok tani sebagai pelaksana dan pengawasan langsung di lapang meliputi pengolahan tanah, pembuatan persemaian, tanam dan pengendalian hama penyakit dilakukan secara kolektif. Petani mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pengurus kelompok. Sebagai contoh biaya bibit per dapog sebesar Rp7.000 dan apabila bibit dan tanam dikenakan biaya Rp9.000. Demikian juga untuk pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara kolektif sehingga dalam satu hamparan mendapat perlakuan yang sama.

Gambar 14. Salah satu contoh persemaian kolektif yang dilakukan oleh pengurus Gapoktan

Hasil rata-rata dari 10 tertinggi petani kooperator sebesar 9,3 ton/ha sedangkan hasil rata-rata seluruh kooperator sebesar 7,4 ton/ha, diperoleh delta peningkatan produktivitas sebesar 25,3%. Sedangkan apabila dibandingkan antara rata-rata Jarwo Super dengan rata-rata provinsi diperoleh delta peningkatan produksi sebesar 19,84% (Gambar 15).

Page 105: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 73

Gambar 15. Senjang hasil teknologi Jarwo Super di Jawa Timur

PENUTUPInovasi teknologi Jarwo Super telah teruji keunggulannya melalui

Demfam di beberapa lokasi. Keberhasilan penerapan teknologi Jarwo Super ditentukan oleh komponen teknologi dan teknik budidaya yang digunakan. Penerapan teknologi Jarwo Super secara utuh diyakini mampu memberikan hasil ±10 ton GKG/ha per musim.

Perlu dipertimbangkan model cooperative farming diterapkan dalam pengembangan Jarwo Super ke depan, agar implementasi komponen-komponen teknologi yang menjadi ikutan Jarwo Super dapat diterapkan secara utuh dan lebih mudah diakses oleh petani.

UCAPAN TERIMA KASIHPenghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang sudah memberikan dana penelitian melalui anggaran SMARTD sehingga kajian ini berjalan hingga selesai, serta pihak-pihak lain yang sudah banyak membantu sehingga kegiatan kajian ini berjalan dengan baik.

Page 106: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan74

DAFTAR PUSTAKAAbdulrachman, S., M. J. Mejaya, N. Agustiani, I. Gunawan, P. Sasmita,

A. Guswara. 2013. “Sistem Tanam Legowo”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian

Abdulrachman, S., N. Agustini, I.Gunawan, M.J. Mejaya. 2012. “Sistem tanam legowo”. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian

Anonim. 2016. “Petunjuk teknis budidaya padi jajar legowo super”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementan. Ps Minggu, Jakarta.

Aribawa, IB. 2012. “Pengaruh sistem tanam terhadap peningkatan produktivitas padi di lahan sawah dataran tinggi beriklim basah”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012. Fakultas Pertanian. Universitas Trunojoyo. Madura.

Aryanto, A., Triadiati, Sugiyanta. 2015. “Pertumbuhan dan produksi padi sawah dan gogo dengan pemberian pupuk hayati berbasis bakteri pemacu tumbuh di tanah masam”. dalam Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 20 (3): 229-235

Badan Litbang Pertanian. 2007. “Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. Petunjuk Teknis Lapang”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta

Badan Litbang Pertanian. 2016. “Juknis Teknologi Jajar Legowo Super (draft)”.

Balai besar pengkajian dan pengembangan teknologi pertanian. 2018. “Laporan Kajian Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Hasil Balitbangtan”. Balai Besar Pengkajian dan Pegembangan Teknologi Pertanian. Kementerian Pertanian BPSB Propinsi Jawa Timur, 2014. Laporan Produksi Benih Beberapa Varietas Padi di Jawa Timur tahun 2013.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Timur. 2012. “Laporan Tahunan”. 2012. Surabaya.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Timur. 2015. “Laporan Tahunan”. 2015. Surabaya.

Page 107: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 75

Fagi, A.M., B. Abdullah, dan S. Kartaatmadja. 2001. “Peranan padi Indonesia dalam pengembangan padi unggul”. Prosiding Budaya Padi. Surakarta, November 2001.

Hasanuddin, A. 2005. “Peranan proses sosialisasi terhadap adopsi varietas unggul padi tipe baru dan pengelolaannya”. Lokakarya Pemuliaan Partisipatif dan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB). Sukamandi 2005.

Hikmah Z.M., dan Gagad R. Pratiwi. 2016. “Sistem tanam padi yang optimal untuk produksi padi maksimal”. Prosiding Seminar Nasional tahun 2015. Temu Teknologi Padi. Eds Sarlan A. et al., Balai Besar Padi. Sukamandi.

Hidayati, N. 2009. “Efektivitas Pupuk Hayati pada berbagai Lama Simpan terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi (Oryza sativa) dan Jagung (Zea mays)”. Skripsi. Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Marschner H. 1997. Mineral Nutrition of High Plants. London: Academic Press Limited.

Oladele, S., M. Awodun. 2014. “Response of lowland rice to biofertilizesr inoculation and their effects on growth and yield in Southwestern Nigeria”. dalam Journal of Agriculture and Environmental Sciences. 3(2): 371-390

Permadi, N., Sunandar, B., Nurnayetti. 2013. “Peningkatan Produktivitas Padi melalui Inovasi Teknologi Spesifi k Lokasi untuk Mencapai Swasembada Beras”. Prosiding Seminar Nasional Akselerasi Pemanfaatan Teknologi Pertanian Spesifi k Lokasi mendukung Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani Nelayan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian : 140-145.

Purba, R. dan Yuti Giametri. 2017. “Keragaan Hasil dan Keuntungan Usahatani Padi dengan Introduksi Varietas Unggul di Provinsi Banten”. dalam Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI) 22 (1): 13–19.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2009. “Deskripsi Varietas Unggul Palawija (1918-2009)”. Bogor.

Page 108: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan76

Saraswati, R. 2013. “Teknologi pupuk hayati untuk efisiensi pemupukan dan keberlanjutan sistem produksi pertanian”. Dalam: I.G.P. Wigena et al. (Eds). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan Pemulihan Lahan Terdegradasi. Bogor, 29-30 Juni 2012.

Saraswati, R. 2007. “Peran pupuk hayati dalam meningkatkan efisiensi pemupukan menunjang keberlanjutan produktivitas tanah”. dalam Jurnal Sumberdaya Lahan. 1(4): 51-56.

Sembiring, H. 2017. “Sasaran produksi tanaman pangan dan strategi operasional”. Prosiding seminar nasional Padi 2016“ Terobosan Inovasi Teknologi Padi Adaptif Perubahan Iklim Mendukung Kedaulatan Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.Sukamandi.

Simarmata, T., B. Joy, N Danapriatna. 2013. “Peranan penelitian dan pengembangan pertanian pada industri pupuk hayati (Biofertilizer)”. Dalam: I.G.P. Wigena et al., (Eds). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan Pemulihan Lahan Terdegradasi. Bogor, 29-30 Juni 2012

Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Suwarno, E. Lubis, Baehaki, Sudir, S. D. Indrasari, I P. Wardana, M.J. Mejaya. 2011. “Deskripsi Varietas Padi”. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 118 Hal.

Suratmini, P dan I.B.G. Suryawan. 2016. “Pengaruh system tanam terhadap pertumbuhan dan produksi Inpari 20 dan Inpari 24 di Subak Gantalan II, Karangasem Bali”. Prosiding seminar nasional Padi 2016“ Terobosan Inovasi Teknologi Padi Adaptif Perubahan Iklim Mendukung Kedaulatan Pangan. Balai Besar Padi.Sukamandi.

Vessey, J. K. 2003. “Plant growth promoting rhizobacteria as biofertilizer”. dalam Plant Soil 255: 571 - 586.

Page 109: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI JARWO SUPER: KASUS DI LAMPUNG

Bambang Wijayanto, Fauziah Y Adriyani, Kiswanto, dan Novilia Santri

PENDAHULUANPadi merupakan komoditas pangan utama dan komoditas

strategis yang pengelolaannya senantiasa menjadi prioritas utama dalam pembangunan pertanian. Permintaan beras akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat membaiknya pendapatan masyarakat. Namun, di sisi lain tantangan yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi beras saat ini semakin berat, seperti konversi lahan sawah subur yang masih berjalan, penyimpangan iklim (anomali iklim), gejala kelelahan teknologi (technology fatique), penurunan kualitas sumberdaya lahan (soil sickness) yang berdampak terhadap penurunan dan/atau pelandaian produktivitas (Pramono et al. 2005). Kebutuhan beras negara kita saat ini sekitar 34 juta ton beras atau setara dengan 54 juta ton GKG (Gabah Kering Giling). Dengan laju pertambahan penduduk sekitar 1–1,5%, maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 diproyeksikan akan mencapai 296 juta penduduk dengan kebutuhan beras sekitar 41,5 juta ton beras atau setara dengan 65,9 juta ton GKG (Deptan 2005).

Kondisi ini sudah barang tentu memerlukan berbagai upaya agar peningkatan produksi padi sawah dapat tercapai sehingga kebutuhan akan beras dapat tercukupi. Salah satu upaya dalam peningkatan produksi padi yaitu dengan penerapan inovasi teknologi spesifik lokasi. Berkenaan dengan hal tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) sudah cukup banyak menghasilkan inovasi teknologi, baik dalam bentuk inovasi secara parsial maupun dalam bentuk paket teknologi. Seperti halnya pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi, Jajar Legowo Super (Jarwo Super) yang merupakan inovasi beberapa komponen teknologi yang diterapkan secara terpadu dalam satu paket. Apabila semua komponen teknologi diterapkan dengan baik, akan memberikan hasil yang lebih baik akibat adanya efek sinergisme antarkomponen.

Page 110: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan78

Rekayasa teknologi di bidang tanaman pangan khususnya padi antara lain adalah inovasi teknologi budidaya mulai dari penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB), benih bermutu bersertifikat, pengaturan populasi tanaman secara optimum, pemupukan, penggunaan bibit muda, sampai panen yang terangkum dalam PTT padi. PTT mulai diperkenalkan Balitbangtan pada tahun 2002 di 14 provinsi, salah satunya adalah Provinsi Lampung. Lebih lanjut, dalam upaya penyempurnaan dan peningkatan adopsi dan difusi penerapan sistem tanam jajar legowo, pada tahun 2016 mulai diperkenalkan budidaya padi Jarwo Super. Baik PTT maupun Jarwo Super sudah diyakini dapat meningkatkan produktivitas padi dibanding dengan usahatani padi secara konvensional. Sebagai ilustrasi, Zaini dan Erythrina (2008) melaporkan bahwa penerapan PTT padi sawah di Lampung meningkatkan hasil padi 23% dibandingkan dengan tanpa penerapan PTT. Sementara Teknologi Jarwo Super telah diuji keunggulannya melalui Demfarm seluas 50 ha di lahan sawah irigasi di Kabupaten Indramayu. Varietas Inpari 30 Ciherang Sub-1 mempunyai potensi produksi 13,9 ton GKP/ha, varietas Inpari 32 HDB 14,4 ton GKP/ha, dan varietas Inpari 33 12,4 ton GKP/ha, sedangkan produktivitas varietas Ciherang yang diusahakan petani di luar Demfarm hanya 7,0 ton GKP/ha (Balitbangtan 2016). Oleh karena itu, kedua teknologi tersebut perlu segera didiseminasikan atau disebarluaskan kepada petani agar kebutuhan pemerintah terpenuhi dan di sisi lain pendapatan dan kesejahteraan petani meningkat. Namun kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa kedua teknologi tersebut belum sepenuhnya diterapkan oleh petani.

Beberapa penelitian mengenai hal tersebut sudah banyak dilakukan dan menghasilkan kesimpulan bahwa tidak semua komponen teknologi/inovasi dalam PTT dapat diterima dan diterapkan oleh petani. Selain itu, sebagian teknologi membutuhkan waktu yang lama untuk dapat diterima/diterapkan petani. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan, mengingat PTT mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan non-PTT. Telah disadari bahwa suatu inovasi tidak semua dapat diterima dengan mudah dan cepat oleh sasaran, beberapa inovasi membutuhkan proses dan waktu yang panjang untuk dapat diterima. Bahkan beberapa inovasi, ditolak tanpa melalui proses dan waktu yang panjang. Beberapa faktor mempengaruhi sasaran dalam menerima inovasi, baik karakteristik sasaran, sifat inovasi, dan metode komunikasi yang digunakan. Hal

Page 111: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 79

inilah yang mendasari penulisan makalah mengenai penerapan Jarwo Super di Provinsi Lampung. Tulisan ini merupakan makalah review dari hasil-hasil penelitian dan literatur terkait serta dilengkapi dengan data hasil wawancara dengan informan kunci (penyuluh dan petani) yang bertujuan untuk menganalisis sifat/karakteristik inovasi dari komponen teknologi dalam Jarwo Super.

KERAGAAN DEMFARM TEKNOLOGI JARWO SUPER

Kabupaten Tanggamus• Sistem MAJEK

Penerapan Jarwo Super di Provinsi Lampung, pertama kali diterapkan di Pekon Banjarmanis, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus pada tahun 2016. Pekon Banjarmanis merupakan salah satu sentra produksi padi di Kecamatan Gisting. Pekon ini mempunyai ketinggian tempat sekitar 400–430 m dpl. Air tersedia sepanjang tahun untuk lahan sawah. Lahan cukup subur, status hara P sedang sampai tinggi dan K tinggi dengan ukuran petakan relatif kecil sekitar 250–300 m2 per petak. Kegiatan Demfarm dilaksanakan di lahan petani seluas 10 ha dan bekerja sama dengan kelompok tani “MUFAKAT” yang tergabung dalam Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) “STAWITAN”. Varietas padi yang umumnya ditanam petani adalah varietas Ciherang dengan sistem tanam tegel. Sebagian besar petani telah mengenal jajar legowo 4:1 sebagai sistem pertanaman yang menghilangkan satu baris tanaman.

Dalam budidaya padi dikenal sistem “MAJEK”. Pada sistem ini, tenaga kerja penanaman tidak dibayar. Petani hanya membayar upah tenaga kerja pada kegiatan yang lain, seperti pengolahan lahan, penyulaman, pemupukan, pengendalian gulma, dan penyemprotan. Tenaga kerja tanam pada sistem ini otomatis akan menjadi tenaga kerja panen dengan upah panen (bawon) yang berlaku 5:1, artinya pembagian hasil panen adalah 1 bagian untuk upah pemanen dan 4 bagian untuk pemilik. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa upah tenaga kerja tanam adalah satu paket dengan tenaga kerja panen.

Page 112: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan80

Para petani di Pekon, Banjar Manis sebagian besar sudah menanam padi tiga kali dalam satu tahun. Jika padi akan ditanam tiga kali dalam satu tahun maka menurut pengalaman petani biasanya banyak faktor-faktor yang menghambat produksi atau hasil, faktor tersebut antara lain hama dan penyakit yang mengganggu tanaman. Untuk penanaman padi, pada MH lahan tersebut telah dibajak 1 kali dan selang 15 hari digaru satu kali, kemudian lahan siap ditanami. Selanjutnya seperti pertanaman pada MK I dan MK II, sisa sisa hasil panen sebagian dimanfaatkan atau dikembalikan ke tanah tanpa menggunakan dekomposer. Umumnya petani menanam padi dengan bibit berumur 18–30 hari, sedangkan varietas yang digunakan petani adalah varietas Ciherang dengan rata-rata produksi padi gabah kering panen pada MH 6,5 t/ha dengan kisaran 6,0 – 7,0 t/ha.

• Penerapan Jarwo SuperTingkat adopsi tanam padi Jajar Legowo Super di Pekon Banjar

Manis, Tanggamus berjalan sangat lambat. Berdasarkan wawancara dengan petani, diketahui bahwa dari beberapa komponen teknologi yang dianjurkan hanya 2 (dua) komponen yang banyak diterapkan oleh petani di pekon tersebut, yaitu penggunaan VUB Inpari 30 dan sistem tanam jajar legowo. Menurut petani, varietas Inpari 30 mempunyai produktivitas yang tinggi dan tekstur nasi pulen. Bahkan varietas Inpari 30 telah ditanam oleh petani di luar pekon, khususnya Pekon Kota Dalom. Sementara varietas Inpari 32 yang diperkenalkan kepada petani, tidak ditanam petani lagi karena teksturnya keras. Petani masih menerapkan sistem jajar legowo karena dengan sistem ini lebih mudah untuk melaksanakan pemeliharaan tanaman, seperti pemupukan, pengendalian hama dan penyakit. Akan tetapi, jajar legowo yang diterapkan petani tidak sesuai dengan anjuran Balitbangtan (legowo 2:1, yaitu 2 baris tanaman, diselingi 1 baris kosong dan rapat dalam barisan), melainkan legowo 3:1 atau legowo 4:1 tanpa sisipan (sama degan jejer tegel, hanya baris ke-4 atau ke-5 dihilangkan). Sistem tanam demikian akan mengurangi jumlah populasi tanaman, sehingga produksi tidak optimal. Alasan petani tidak menyisip tanaman dalam barisan karena pertumbuhan tanaman sisipan tidak normal (kerdil). Alasan petani tidak menggunakan legowo 2:1 karena menurut persepsi mereka sistem ini akan lebih banyak mengurangi luas lahan yang ditanami sehingga hasilnya sedikit. Di samping itu penanaman dengan sistem tersebut dapat meningkatkan produksi dan pendapatan. Produktivitas padi yang

Page 113: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 81

dapat dicapai dengan menggunakan sistem Jarwo Super ala petani sebesar 6,97–7,47 ton GKP/ha, sedangkan teknologi eksis petani hanya 6,07 ton GKP/ha. Demikian juga pendapatan petani meningkat dari Rp11.820.000 ha/musim menjadi Rp18.853.000 ha/musim (Wijayanto 2016).

Dalam penanaman padi petani tidak menggunakan alat tanam transplanter, tetapi masih melakukan secara manual. Hal ini antara lain disebabkan di Pekon Banjamanis telah lama berlaku sistem “Majek” (tenaga tanam tidak dibayar, tetapi sebagai kompensasinya hanya mereka yang berhak memanen hasilnya). Alasan mereka enggan menggunakan alat tanam transplanter karena akan mengubah sistem budaya yang telah berjalan (menggeser tenaga tanam tersebut). Hal ini sejalan dengan pendapat Widjono (2018), bahwa keputusan petani untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi (teknis atau kelembagaan) tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan aspek teknis dan finansial. Mereka juga mempertimbangkan aspek budaya, nilai-nilai pribadi dan sosial yang tidak selalu mudah dinalar. Pertimbangan petani lebih luas tidak hanya sekadar aspek teknis dan produksi, tetapi juga apakah secara keseluruhan adopsi suatu inovasi akan menguntungkan bagi dirinya. Menguntungkan di sini tidak hanya secara finansial, tetapi juga apakah inovasi tersebut layak/mudah diterapkan dan membuatnya tetap diterima oleh masyarakat sekitarnya. Di samping alasan di atas, hanya sebagian kecil petani yang menggunakan transplanter karena kondisi lahan sawah di pekon tersebut petakannya sempit dan berteras. Demikian juga dalam hal panen petani sedikit yang menggunakan combine harvester. Selain transplanter dan combine harvester petani kesulitan untuk menerapkan komponen teknologi lainnya, seperti pupuk hayati, dekomposer maupun biopestida karena selain kesulitan untuk mengaplikasikan, komponen tersebut juga kurang tersedia di lapangan.

Kabupaten Lampung TengahPengembangan teknologi padi Jarwo Super di Kecamatan Seputih

Raman Kabupaten Lampung Tengah dalam bentuk demonstrasi area dilaksanakan di Desa Rama Dewa, Rama Mukti dan Rejo Basuki seluas area 125 ha dengan melibatkan 5 kelompok tani atau 140 petani yang dilaksanakan pada MT III (Agustus 2017–Januari 2018). Berbeda dengan karakteristik wilayah di Tanggamus, Padi sawah di Lampung Tengah ditanam di areal yang relatif datar dan petakan sawah yang

Page 114: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan82

cukup lebar. Sebagai sawah irigasi teknis yang ketersediaan air untuk pertanaman padi sangat bergantung pada jadwal air irigasi masuk, indeks pertanaman (IP) di lokasi ini lebih rendah daripada di Tanggamus. Petani sudah mengenal dan meyakini keunggulan sistem tanam Jarwo 2:1 karena pengenalan sistem ini telah dilakukan sejak tahun 2002. Akan tetapi, tingkat adopsi masih rendah karena kurangnya TK tanam. Oleh sebab itu, pengenalan mesin tanam (transplanter) pada tahun 2014 memberikan dampak positif dalam meningkatkan kemauan petani untuk mengadopsi sistem tanam ini.

• Sistem Tanam Jajar LegowoKarakteristik inovasi sistem tanam jajar legowo yang mampu

meningkatkan pendapatan dibandingkan dengan sistem tanam konvensional atau dengan kata lain menguntungkan menyebabkan persepsi positif sebagian besar petani terhadap teknologi jajar legowo (Asaad et al. 2017). Lebih lanjut, berdasarkan hasil perhitungan analisis usahatani padi sawah, penerapan sistem tanam jajar legowo 2:1 dan 4:1 memiliki nilai RCR >1. Hal ini berarti usahatani padi sawah sistem tanam legowo layak dilaksanakan (Rauf dan Murtisari 2014). Sistem tanam padi jajar legowo 2:1 dan 4:1, telah diperkenalkan di Kabupaten Lampung Tengah sejak tahun 2000 dan terbukti dapat meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan 15–20% dibandingkan sitem tanam jajar tegel yang sudah terbiasa diterapkan oleh petani. Namun sampai sekarang perkembangan adopsi sistem tanam jajar legowo setiap tahunnya masih kurang dari 10% dari total luas tanam yang ada (Kiswanto 2017).

Selain memiliki kelebihan, terdapat kelemahan dari penerapan jarwo yang bisa menghambat adopsi dan difusi. Kelemahan yang paling banyak dirasakan petani dan menimbulkan keengganan untuk mengadopsi jarwo adalah kerumitan dalam penerapan. Penerapan sistem tanam jarwo menyebabkan tenaga tanam harus mengubah kebiasaan dalam teknik menanam (pindah tanam). Pada penanaman sistem jarwo, penanam harus mengubah gerakan menanam dengan menghilangkan satu baris dan merapatkan jarak tanam dalam barisan. Kemampuan tenaga tanam untuk dapat menyesuaikan perubahan dan kecepatan kerja dibutuhkan dalam penerapan sistem tanam ini. Dampak dari rumitnya penerapan sistem tanam ini adalah meningkatnya biaya tanam. Penerapan sistem tanam jajar legowo terkendala dengan biaya upah tanam lebih mahal 20–30%

Page 115: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 83

dibandingkan sistem tanam tegel yang sudah terbiasa dilakukan tenaga tanam, karena dapat menambah waktu penanaman (Kiswanto dan Fauziah 2016). Bahkan di beberapa daerah yang tenaga tanamnya kurang, meskipun petani mau membayar kelebihan biaya tanam, tenaga tanam lebih memilih mengerjakan sistem tegel karena waktu pengerjaannya yang lebih cepat.

Berdasarkan permasalahan yang ada, sistem tanam jarwo akan lebih sulit diadopsi pada daerah dengan jumlah tenaga kerja kurang atau kecepatan kerja petani/buruh tani rendah sehingga diperlukan introduksi mesin tanam (Ikhwani et al. 2013).

• Varietas Unggul BaruKeunggulan suatu varietas tidak hanya dinilai dari aspek

produktivitasnya saja. Sifat lain yang juga menentukan preferensi petani dalam memilih varietas yang akan ditanam adalah toleran hama/penyakit. Pada daerah endemik hama dan penyakit, penggunaan varietas tahan merupakan cara pengendalian yang murah, mudah, aman, dan efektif (Nuryanto 2018). Selain itu, daya adaptasi terhadap perubahan iklim juga menjadi alternatif pemilihan varietas unggul. Lebih lanjut, bentuk gabah dan mutu serta rasa nasi di sebagian daerah menjadi penentu diterima atau tidaknya varietas unggul tersebut. Kendala adopsi dan difusi VUB spesifik lokasi kemungkinan disebabkan oleh ketiadaan benih bersertifikat di lokasi pengembangan. Selain itu, perlu dilakukan demplot uji adaptasi atau display beberapa VUB dalam rangka memperkenalkan VUB tersebut ke pengguna. Metode demonstrasi memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi karena melalui metode ini, petani dapat melihat langsung hasil dan dampak penerapan teknologi (Adriyani dan Kiswanto 2016).

• Pengendalian Hama Terpadu Pestisida nabati mempunyai beberapa keunggulan, seperti (1)

relatif murah dan aman terhadap lingkungan, (2) tidak menyebabkan keracunan pada tanaman, (3) sulit menimbulkan kekebalan terhadap hama, (4) kompatibel dengan cara pengendalian yang lain, dan (5) menghasilkan produk pertanian yang sehat dan bebas residu pestisida kimia sedangkan kelemahan pestisida nabati antara lain mempunyai daya kerja relatif lambat, tidak membunuh langsung jasad sasaran, tidak tahan terhadap sinar matahari, dan kadang

Page 116: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan84

diperlukan penyemprotan yang berulang-ulang (Subyakto 2009). Kendala yang dihadapi dalam penggunaan ambang kendali berkaitan dengan kemauan dan keterampilan petani. Petani merasakan berat melakukan pengamatan OPT sesuai panduan, pengamatan dilakukan dengan cara melihat ertanaman padi di pematang melihat adanya gejala serangan. Selain itu, karena tingkat keterampilan petani dalam menentukan ambang kendali, tingkat ambang ekonomis tidak berdasarkan perhitungan populasi OPT tetapi hanya berdasarkan perkiraan sendiri.

• Alat Mesin PertanianSistem tanam jajar legowo merupakan salah satu rekayasa

teknogi telah menjadi program pemerintah untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan produkitivitas padi untuk mendukung Program P2BN. Dengan pertimbangan berbagai hal tersebut, Badan Litbang Pertanian telah mengintroduksikan mesin tanam padi jajar legowo 2:1 yang diberi nama Indo Jarwo Transplanter 2:1. Kelemahan mesin tanam antara lain harga mesin relatif mahal bila diaplikasikan di lahan sawah yang tidak lebar (sempit), hasil penanaman dengan mesin tidak sebaik penanaman secara manual (manusia) dan membutuhkan lebih banyak benih (Oktovianto et al. 2018). Penggunaan transplanter di Kabupaten Pasuruan dapat dilanjutkan karena dapat tidak bertentangan dengan kebiasaan dan tidak melanggar kepercayaan (Romadi dan Lusianto 2016).

Permasalahan lain dalam penggunaan transplanter adalah adanya kekosongan titik penanaman yang disebabkan semaian bibit padi yang ada kurang padat dan juga karena perakaran dari bibit sudah menyatu (bersilangan) sehingga tarikan dari garpu penanam agak berat dan terlepas dari garpu penanamannya (Umar dan Pangaribuan 2017). Tingginya kekosongan titik tanam juga disebabkan keterampilan operator masih kurang dalam menjalankan mesin (kecepatan jalan). Kekosongan ini menyebabkan petani harus melakukan penyulaman dan menyebabkan penambahan biaya, terutama tenaga kerja. Lebih lanjut, penerapan transplanter akan banyak menghadapi masalah bila diaplikasikan pada areal persawahan yang memiliki petakan sempit ataupun di wilayah pegunungan yang memiliki kontur lahan bergelombang atau terasering. Akan tetapi, masalah ini dapat diatasi dengan upaya modifikasi mesin tanam menjadi ukuran lebih kecil dan ringan sehingga mudah untuk dipindah.

Page 117: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 85

KOMPONEN TEKNOLOGI JARWO SUPER DAN PRODUKTIVITAS

Teknologi Jajar Legowo Super (Jarwo Super) adalah teknologi budidaya terpadu padi sawah irigasi berbasis tanam jajar legowo 2:1. Teknologi ini dihasilkan oleh Balitbangtan setelah melalui penelitian dan pengkajian pada berbagai lokasi di Indonesia. Selain menggunakan sistem tanam jajar legowo 2:1 terdapat 5 (lima) komponen penting lainnya, yaitu penggunaan VUB potensi hasil tinggi, biodekomposer yang diberikan bersamaan dengan pengolahan tanah (pembajakan kedua), pupuk hayati yang diaplikasikan pada benih (seed treatment) dan pemupukan berimbang berdasarkan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), penggunaan pestisida nabati dan anorganik berdasarkan ambang kendali untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT) menggunakan pestisida nabati dan pestisida anorganik berdasarkan ambang kendali, serta penggunaan alat dan mesin pertanian, khususnya untuk tanam dan panen (Balitbangtan 2016).

Sistem Tanam Jajar LegowoJajar Legowo merupakan salah satu cara tanam pindah padi

sawah yang mengatur setiap dua baris tanaman dan diselingi satu baris kosong (legowo) dengan penerapan jarak tanam, baik dalam barisan maupun antar barisan disesuaikan dengan kesuburan tanah dan ketinggian tempat. Terdapat 3 (tiga) keuntungan/keunggulan yang diperoleh dalam penerapan sistem tanam jajar legowo (jarwo) yaitu konsep tanaman pinggir, peningkatan populasi tanaman dan mempermudah pemeliharaan. Pada sistem tanam jarwo 2:1, semua tanaman seperti tanaman pinggir. Hal ini memungkinkan semua tanaman memperoleh lebih banyak sinar matahari, sirkulasi udara yang lebih baik, dan memperoleh unsur hara yang lebih banyak dibandingkan dengan cara tanam tegel (Mujisihono et al. dalam Yunizar et al. 2012). Banyaknya lorong yang cukup lebar di antara barisan tanaman yang memungkinkan tanaman lebih efisien memanfaatkan sumberdaya berdampak pada pembentukan jumlah anakan total yang tinggi pada tipe tanam jajar legowo 2:1 (Sari et al. 2014).

Page 118: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan86

Dalam penerapan, pertanyaan yang sering muncul adalah penurunan populasi akibat adanya baris kosong dan kerapatan tanaman dalam barisan. Meskipun terdapat baris kosong setiap 2–4 baris tanaman, tidak terjadi penurunan populasi tanaman pada sistem tanam jarwo karena jarak tanaman dalam barisan menjadi ½ jarak tanam biasa bahkan terjadi penambahan populasi. Peningkatan populasi yang lebih tinggi pada sistem tanam jajar legowo memberi peluang untuk mendapatkan hasil yang tinggi. Lebih lanjut, rapatnya jarak antar barisan juga menimbulkan keraguan saat beberapa penelitian menyimpulkan bahwa jarak tanam lebar akan menghasilkan jumlah malai yang lebih banyak daripada jarak tanam rapat (Suhartatik et al. 2011). Jarak tanam mempengaruhi panjang malai, jumlah bulir per malai, dan hasil per ha tanaman padi (Salahuddin et al. 2009). Akan tetapi, adanya lorong kosong pada sistem legowo mempermudah pemeliharaan tanaman, seperti pengendalian gulma dan pemupukan dapat dilakukan dengan lebih mudah.

Pertumbuhan tanaman yang lebih baik pada penerapan sistem tanam jarwo berdampak pada peningkatan produksi padi sawah menjadi 6,47 ton/ha (12,36%) bila dibandingkan sistem tanam tegel (Anggraini et al. 2013). Hal tersebut dapat dijelaskan dari ketiga keunggulan sistem tanam jarwo.

Varietas Unggul BaruPenggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi telah lama

dipercaya sebagai upaya peningkatan produktivitas yang paling efektif dan efisien. Varietas unggul membawa materi genetik yang berbeda antar varietas. Pada lingkungan yang sama, setiap varietas dapat menunjukkan penampilan yang berbeda (Purba dan Giametri 2017).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan VUB Inpari mampu meningkatkan produktivitas tanaman dibandingkan dengan varietas eksisting yang dalam hal ini adalah Ciherang dan Mekongga. Hasil penelitian di Provinsi Banten, Inpari 19 mampu meningkatkan produktivitas sebesar 0,48–0,68 t/ha dibandingkan dengan Ciherang (Purba dan Giametri 2017). Sedangkan di lahan kering, varietas Inpago 4 dan Inpago 8 dapat meningkatkan produktivitas 0,8–1,3 t/ha bila dibandingkan dengan varietas Situbagendit (Yuniarti 2015). Lebih lanjut, hasil penelitian di Provinsi Lampung diketahui

Page 119: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 87

produktivitas Inpari 10 mencapai 5,08 t/ha (Ernawati 2012) dan rata-rata produktivitas padi varietas Inpari 30 di Kabupaten Tanggamus dan Lampung Timur mencapai 7,5 t/ha (Kiswanto 2014).

DekomposerPada budidaya padi, penggunaan bahan organik diperlukan

untuk memperbaiki kesuburan lahan. Bahan organik yang digunakan sebaiknya sudah mengalami dekomposisi, karena suhu tinggi yang terbentuk selama proses pengomposan menyebabkan kondisi aerob dapat mencapai 60 oC (Nuryanto 2018). Pada dasarnya semua bahan organik secara alami akan mengalami dekomposisi dengan kecepatan yang bervariasi. Kecepatan dekomposisi bahan organik berhubungan dengan nisbah kadar hara yang terkandung di dalamnya (Krismawati dan Dini 2014).

Sebelum adanya imbauan untuk memanfaatkan jerami untuk dikembalikan ke lahan sawah, petani umumnya membakar jerami padi. Keengganan petani untuk mengembalikan jerami ke sawah karena dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu. Pemberian jerami segar pada lahan sawah menyebabkan unsur N tanah terserap ke dalam jaringan jerami sebelum dirombak oleh jasad renik di dalam tanah. Dengan kata lain proses ini menyebabkan kandungan hara dalam tanah turun sehingga berpotensi lahan kekurangan unsur N (Kadengkang et al. 2015). Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan organisme yang dapat mempercepat proses pengomposan yang umumnya disebut dekomposer (Krismawati dan Dini 2014).

Penggunaan dekomposer pada penerapan Jarwo Super bertujuan untuk mempercepat proses dekomposisi sisa jerami padi yang tertinggal di lahan sawah setelah panen. Dengan demikian, mempermudah petani untuk melakukan pembersihan lahan dari sisa pertanaman sekaligus menambah kesuburan lahan.

Pupuk Hayati dan Pemupukan BerimbangTanah merupakan tempat tumbuh tanaman dan tempat hidup

berbagai mikroorganisme. Dalam budidaya tanaman, kesediaan tanah sebagai tempat hidup tidak hanya sekadar kuantitas atau luasnya akan tetapi lebih luas lagi adalah kualitas tanah tersebut. Kualitas

Page 120: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan88

tanah berkaitan dengan fungsinya dalam batas-batas ekosistem untuk mempertahankan produktivitas biologi, memelihara kualitas lingkungan, dan meningkatkan kesehatan tanaman dan hewan (Doran dan Parkin 1994). Degradasi kualitas lahan antara lain disebabkan faktor erosi lahan, pembukaan lahan dengan cara pembakaran, penggunaan alat berat, penggunaan pestisida yang berlebihan, penggunaan pupuk kimia secara berlebihan dan pencemaran logam berat akibat aktivitas pertambangan (Kurniatmanto 2005).

Lahan yang terdegradasi berat terutama pada lahan pertanian akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu dan pada akhirnya berpengaruh pada penurunan produktivitas tanaman. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk mengembalikan kesuburan tanah antara lain penggunaan bahan organik. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknik budidaya padi organik dapat meningkatkan hasil gabah per rumpun 90,79% dibanding dengan budidaya konvensional (Usman et al. 2014) dan meningkatkan hasil panen mencapai 1–3,2 ton/ha (Makarim dan Ikhwani 2013). Penggunaan pupuk organik dan anorganik disertai pemanfaatan berbagai mikroba sebagai pupuk hayati memberikan peluang untuk memperbaiki kualitas lahan pertanian (Surono et al. 2012). Pupuk hayati merupakan bahan yang mengandung mikroorganisme bermanfaat untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil tanaman, melalui aktivitas biologi akhirnya dapat berinteraksi dengan sifat-sifat fisik dan kimia tanah (Rusdy 2010). Beberapa penelitian yang menunjukkan kemampuan pupuk hayati antara lain mempunyai kemampuan menambat N2, membantu pelarutan/penyediaan P dan K, penghasil zat tumbuh tanaman, membantu perombakan bahan organik melalui peningkatan biota tanah (Surono et al. 2012), dan pelindung tanaman padi terhadap serangan hama Nezara viridula (Rusdy 2010). Selain itu, juga dilaporkan bahwa populasi hama wereng cokelat pada cara budidaya padi organik lebih rendah dibandingkan cara budidaya padi semi organik dan budidaya padi cara petani (Usyati et al. 2018).

Penggunaan bahan organik yang cukup banyak pada System Riece Intensification (SRI) dapat memperbaiki kondisi fisik, kimia, dan mikroorganisme tanah, sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah dan hasil tanaman padi. Akan tetapi, kandungan hara pada pupuk organik termasuk lambat tersedia bila dibandingkan dengan hara yang berasal dari pupuk kimia (anorganik). Kesulitan dalam

Page 121: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 89

pengembangan SRI menurut Makarim dan Ikhwani (2013) antara lain sulitnya mengubah perilaku petani untuk beralih dari budidaya konvensional ke SRI dan terbatasnya ketersediaan bahan untuk kompos dan pupuk organik serta pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk organik membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya.

Pengendalian Hama Terpadu Penggunaan pestisida nabati dan penggunaan pestisida kimia di

atas ambang kendali, bertujuan utama untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan menjaga ekosistem. Penerapan teknik Pengendalian Hama Terpadu (PHT) tidak memberi pengaruh nyata pada aspek ekonomi. PHT lebih mendahulukan proses pengendalian alami yang mencakup teknik budidaya yang benar; pemanfaatan musuh alami seperti parasit, predator, dan patogen hama; memanfaatkan potensi alam di sekitar kebun seperti pupuk organik, dan pestisida nabati (Diratmaja dan Zakiah 2015).

Penelitian mengenai pestisida nabati yang telah dilakukan antara lain pengaruhnya terhadap intensitas penyakit busuk batang (Yuliani dan Sudir 2017). Aplikasi pestisida nabati dari ekstrak daun seperti mindi, sirsak dan mahoni tidak menimbulkan dampak negatif pada populasi musuh alami. Keberadaan musuh alami seperti laba-laba jenis Pardosa pseudoannulata dan Tetragnatha maxillosa berpotensi tinggi menekan populasi Nilaparvata lugens dan intensitas serangan pada tanaman padi (Pradhana et al. 2014). Lebih lanjut, meskipun tidak berpengaruh terhadap populasi penggerek batang padi namun ditemukan parasitoid telur yang mampu melakukan parasitasi dengan persentase yang cukup tinggi di pertanaman yang diberi pestisida nabati (Ratih et al. 2014).

Penggunaan pestisida nabati tidak secara langsung meningkatkan produktivitas. Tetapi, dengan memberikan lingkungan tumbuh yang baik maka tanaman dapat tumbuh dengan optimal dan pada akhirnya berdampak pada peningkatan produktivitas.

Alat Mesin PertanianTujuan utama penggunaan mesin tanam (transplanter) adalah

untuk mengantisipasi kelangkaan tenaga kerja. Hasil kajian yang dilakukan oleh BPTP Lampung 2014, menunjukkan bahwa motivasi

Page 122: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan90

petani cukup tinggi terhadap Jarwo Tranplanter untuk digunakan sebagai mesin tanam padi. Hal ini dikarenakan selain dapat mengatasi kelangkaan tenaga kerja tanam dan meningkatkan efisiensi usahatani juga dapat meningkatkan produktivitas 21,53%–33,69% dan pendapatan petani 40,96%–60,93% dibanding dengan cara tanam manual yang biasa dilakukan oleh petani. Selain itu, kinerja mesin tersebut secara teknis cukup efektif antara lain: mudah dioperasikan, jumlah tenaga kerja cukup 2–3 orang dengan waktu tanam 5–6 jam/ha, kualitas tanam seragam, rumpun yang kosong/tidak tertanam sekitar 2%, dan biaya jasa tanam Rp500.000 per hektar (Kiswanto 2014).

Penelitian lainnya menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan tenaga kerja dengan mesin transplanter jarwo di lahan pasang surut sebesar 73,63% dengan menekan biaya tanam sebesar Rp1.472.500 karena terjadi penghematan tenaga kerja manual sebesar 37 HOK/ha (Umar dan Pangaribuan 2017). Produktivitas padi dengan penggunaan transplanter lebih tinggi dibandingkan cara manual, yaitu 6,80 ton/ha dibandingkan 6,41 ton/ha karena jarak dan kedalaman tanam dengan menggunakan mesin transplanter bisa lebih seragam sehingga pertumbuhan tanaman dapat lebih optimal (Sahara et al. 2013).

Kompatibilitas Komponen Teknologi Jarwo SuperSecara khusus Musyafak dan Tatang (2005), menyebutkan bahwa

yang dimaksud kompatibilitas adalah kesesuaian/keselarasan antara inovasi yang diintroduksikan dengan (a) teknologi yang telah ada sebelumnya, (b) pola pertanian yang berlaku, (c) nilai sosial, budaya, kepercayaan petani, (d) gagasan yang dikenalkan sebelumnya, dan (e) keperluan yang dirasakan oleh petani. Dengan demikian, inovasi yang mempunyai kompatibilitas tinggi terhadap hal-hal tersebut, akan lebih cepat untuk diadopsi. Varietas merupakan salah satu komponen Jarwo Super yang paling mudah diadopsi oleh petani. Penggunaan varietas yang memiliki sifat-sifat unggul yang dibutuhkan petani (produktivitas tinggi, tahan hama dan penyakit, tekstur nasi sesuai selera) merupakan teknologi andalan yang secara luas digunakan oleh masyarakat, relatif murah dan memiliki kompatibilitas yang tinggi dengan teknologi lainnya. Sebagaimana contoh di Pekon Banjarmanis, varietas Inpari 30 lebih disukai petani karena selain produktivitas tinggi tekstur nasinya pun pulen.

Page 123: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 91

Berkenaan dengan fenomena ini, Nuraini (1977) menyebutkan bahwa suatu teknologi agar mudah diadopsi oleh petani harus memiliki beberapa sifat antara lain (1) secara teknis dapat dilaksanakan, (2) secara ekonomis menguntungkan, dan (3) secara sosial dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya Rogers dan Shoemaker (1971), menambahkan beberapa sifat inovasi yang menjadi pertimbangan petani dalam mengadopsi suatu inovasi. Sifat-sifat tersebut meliputi (1) keuntungan relatif, suatu inovasi dianggap mempunyai keunggulan lebih baik daripada sebelumnya dan seringkali dinyatakan dengan keuntungan ekonomi, (2) kompatibilitas, suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima, (3) kompleksitas, suatu inovasi dianggap relatif sulit atau mudah dimengerti dan digunakan, (4) triabilitas, suatu inovasi dapat dicoba dengan skala kecil, dan (5) observabilitas, hasil penerapan inovasi dapat dilihat. Semakin tinggi tingkat kepercayaan petani terhadap keberhasilan teknologi diduga semakin tinggi pula tingkat adopsi teknologi.

PENUTUPKomponen teknologi dalam Jarwo Super mampu meningkatkan

produktivitas, sehingga berpeluang peningkatan adopsi. Namun terdapat beberapa kendala yang terkait dengan karakteristik masing-masing inovasi yang dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan lokasi pengembangan. Penerapan Jarwo Super pada daerah dengan tenaga kerja kurang hanya dapat berhasil bila didukung oleh mesin tanam dan panen. Penerapan mesin tanam dilaksanakan di daerah dengan petakan sawah lebar, sedangkan pada petakan sawah sempit mesin tanam masih memungkinkan dengan memodifikasi alat menjadi ukuran yang lebih kecil dan ringan.

Penggunaan VUB akan menyebar luas selama benih VUB tersebut tersedia di lapangan. Penggunaan dekomposer, pestisida nabati, dan pupuk hayati dapat diatasi dengan meningkatkan ketersediaan teknologi tersebut di lapang. Penggunaan PUTS yang dibutuhkan sesuai ketersediaan PUTS dan keterampilan petugas/petani. Perlu pelatihan/bimtek penggunaan PUTS dan dukungan dari penyedia saprodi, pemanfaatan bahan in situ sebagai pestisida nabati.

Page 124: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan92

UCAPAN TERIMA KASIHPenghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang sudah memberikan dana penelitian melalui anggaran SMARTD sehingga kajian ini berjalan hingga selesai, serta pihak-pihak lain yang sudah banyak membantu sehingga kegiatan kajian ini berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKAAdriyani, FY. dan Kiswanto. 2016. “Kinerja Penyuluhan dalam

Pelaksanaan SLPTT Padi Sawah Irigasi di Provinsi Lampung”. Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik Lokasi Untuk Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hal. 360-365.

Anggraini, F., A. Suryanto, N. Aini. 2013. “Sistem Tanam dan Umur Bibit Pada Tanaman Padi Sawah (Oryza sativa L.) Varietas Inpari 13”. dalam Jurnal Produksi Tanaman 1(2), hal. 52-60

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2018. “Laporan Kajian Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Hasil Balitbangtan”. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Kementerian Pertanian

Balitbangtan. 2016. “Petunjuk Teknis Budidaya Padi Jajar Legowo Super”.

Deptan. 2005. “Prospek dan Arah Pengembangan Agribsisnis Padi”. Badan Penelitian dan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta

Diratmaja, IGD. A. , dan Zakiah. 2015. “Konsep Dasar dan Penerapan PHT Padi Sawah di Tingkat Petani”. dalam Agros 17(1)

Doran, J. W. and Parkin, T. B. “Defining and Assessing Soil Quality”. in J. W. Doran, D. C. Ademan, D. F. Bezdicek, B. A. Stewart (Eds). Defining Soil Quality for a Sustainable Environment. SSSA. Special Publ. No. 53. SSSA American Soc. of Agronomy. Madison. Wisc. USA, 1994.

Ernawati. 2012. “Keragaan Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Penangkaran Sebagai Benih Sumber”. Prosiding Inovasi Hasil Peneltian Dan Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Bandar Lampung.

Page 125: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 93

Ikhwani, G. R. Pratiwi, E. Paturrohman dan A. K. Makarim. 2013. “Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Penerapan Jarak Tanam Jajar Legowo”. dalam Iptek Tanaman Pangan 8(2)

Kadengkang, I. , JM. Paulus, EF. 2015. “Lengkong. Kajian Pemanfaatan Kompos Jerami sebagai Substitusi Pupuk NPK pada Pertumbuhan dan Produksi Padi Sistem IPAT-BO”. dalam Jurnal Bioslogos 5(2): 69–78.

Kiswanto. 2014. “Pengawalan Inovasi Pertanian Pada Program Strategis Nasional/Daerah (Pendampingan PTT Padi)”. Laporan Akhir Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung.

Kiswanto. 2014. “Pemasyarakatan Inovasi Indo Jarwo Transplanter dalam Mendukung Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) di Kabupaten Lampung Tengah”. Laporan akhir Balai Pengkajian Teknlogi Pertanian Lampung.

Kiswanto. 2017. “Potensi Adopsi Inovasi Jarwo Transplanter Sebagai Mesin Tanam Padi Sawah Irigasi Di Lampung”. Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik Lokasi Untuk Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hal. 328-338.

Kiswanto dan Fauziah YA. 2017. “Analisis Adopsi Komponen Teknologi Sebelum dan Sesudah Dilaksanakannya Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah Irigasi di Lampung”. Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik Lokasi Untuk Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hal. 339-345.

Krismawati, A. dan D. Hardini. “Kajian Beberapa Dekomposer Terhadap Kecepatan Dekomposisi Sampah Rumah Tangga”. dalam Buana Sains 14(2): 79–89.

Kurniatmo. 2005. “Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Kerusakan Tanah Pertanian Akibat Penggunaan Teknologi (Uu No. 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup)”. Laporan Akhir Pusat Perencanaan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. 69 hlm.

Makarim, AK. dan Ikhwani. 2013. “System of Rice Intensification (SRI)dan Peluang Peningkatan Produksi Padi Nasional”. Disajikan pada seminar Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor 11 April 2013. 16 hlm.

Page 126: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan94

Musyafak, A dan Tatang M. Ibrahim. 2005. “Strategi Percepatan Adopsi Dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. ”dalam Analisis Kebijakan Pertanian 3(1), hal. 20-37. Pusat Analisis Kebijakan dan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

Nuraini. 1977. Penyuluhan Pertanian. Sekretariat Penataran Purna Sarjana Penyuluhan. Departemen Departemen Pertanian. Jakarta. Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Bogor.

Nuryanto, B. 2018. “Pengendalian Penyakit Tanaman Padi Berwawasan Lingkungan Melalui Pengelolaan Komponen Epidemik”. dalam Jurnal Litbang Pertian 37(1): 1–8

Oktovianto, KA. , Irham, S. Hardyastuti. 2018. “The Impact of Mechanization Under UPJA Program On Rice Farming Income In Prambanan Sub-District Sleman District”. dalam Agro Ekonomi 29(1): 132-145

Pradhana R. A. I. , Mudjiono G., dan Karindah S. 2014. “Keanekaragaman serangga dan laba-laba pada pertanaman padi organik dan konvensional”. dalam Jurnal HPT 2(2): 58–66.

Pramono J, Basuki S, dan Widarto. 2005. “Upaya Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanamn dan Sumberdaya Terpadu”. dalam Jurnal Agrosains 7 (1): 1-6

Purba, R. dan Y. Giametri. 2017. “Keragaan Hasil dan Keuntungan Usahatani Padi dengan Introduksi Varietas Unggul di Provinsi Banten”. dalam Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI) 22(1): 13–19.

Ratih S. I., S. Karindah, G. Mudjiono. 2014. “Pengaruh Sistem Pengendalian Hama Terpadu dan Konvensional Terhadap Intensitas Serangan Penggerek Batang Padi Dan Musuh Alami Pada Tanaman Padi”. dalam Jurnal HPT 2(3): 18-27.

Rauf dan A Murtisari. 2014. “Penerapan Sistem Tanam Legowo Usahatani Padi Sawah dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan dan Kelayakan Usaha di Kecamatan Dungaliyo Kabupaten Gorontalo”. dalam Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah2 (2): 71–76.

Rogers, E. M. and Shoemaker F. F. 1971. Communication of Inovation a Cross Cultural Appproach. New York: Free Press.

Page 127: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 95

Romadi, U. dan D. Lusianto. 2016. “Persepsi Petani Padi Terhadap Pemanfaatan Rice Transplanter Di Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan Provinsi Jawa Timur”. dalam Agrica Ekstensia. 10(2): 61–66.

Sahara, D., E Kushartanti dan T Suhendrata. 2013. “Kinerja Usahatani Padi Dengan Mesin Transplanter Dalam Rangka Efisiensi Tenaga Kerja”. dalam SEPA 10(1), hal. 55 – 62.

Sari, DN., Sumardi dan E. Suprijono. 2014. “Pengujian Berbagai Tipe Tanam Jajar Legowo terhadap Hasil Padi Sawah”. dalam Akta Agrosia 17(2): 115 – 124.

Rusdy, A. 2010. “Pemberian Pupuk Hayati dan Fosfor pada Padi Gogo Terhadap Serangan Kepik Hijau”. dalam Jurnal Floratek 5: 31 – 42.

Salahuddin, K. M., S. H. Chowhdury, S. Munira, M. M. Islam, & S. Parvin. 2009. “Response of nitrogen and plant spacing of transplanted Aman Rice”. dalam Bangladesh J. Agric. Res. 34(2): 279–285.

Slamet, M. 1978. “Kumpulan Bahan Bacaan Penyuluhan Pertaian”. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Subiyakto. 2009. “Ekstrak Biji Mimba Sebagai Pestisida Nabati: Potensi, Kendala, dan Strategi Pengembangannya”. dalam Perspektif 8(2): 108–116.

Suhartatik, E., A. K. Makarim, dan Ikhwani. 2011. “Respon lima varietas unggul baru terhadap perubahan jarak tanam. Inovasi Tekonologi Padi Mengantisipasi Cekaman Lingkungan Biotik dan Abiotik”. Prosiding seminar Nasional hasil penelitian Padi 2011. hal. 1259-1273.

Surono, E. Santosa dan E. Yuniarti. 2012. “Penggunaan Pupuk Hayati, Organik dan Anorganik Untuk Meningkatkan Efisiensi Pupuk dan Produktivitas Padi pada Tiga Sistem Budi Daya Padi Sawah”. dalam Widyariset 15(2): 301–312.

Umar, S. dan S. Pangaribuan. 2017. “Evaluasi Penggunaan Mesin Tanam Bibit Padi (Rice Transplanter) Sistem Jajar Legowo di Lahan Pasang Surut Evaluation of Rice Transplanter With Jajar Legowo System In Tidal Swampland”. dalam Jurnal Teknik Pertanian Lampung 6(2): 105–114.

Page 128: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan96

Usman, Z., Made, U. dan Adriaton. 2014. “Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Berbagai Umur Semai dengan Teknik Budidaya Sri (System of Rice Intensification). dalam J. Agrotekbis 2(1): 32–37, Februari2014. Diakses pada tanggal 3 Desember 2017 pukul 17. 00 WIB.

Usyati, N. Kurniawati, A. Ruskandar, dan O. Rumas. 2018. “Populasi Hama dan Musuh Alami pada Tiga Cara Budidaya Padi Sawah di Sukamandi”. dalam Jurnal Agrikultura 29(1): 35–42.

Widjono, A. 2018. “Aspek Budaya dalam Adopsi Inovasi: Antisipasi Kasus Pengembangan Padi di Meraukeile”.

Wijayanto, B. 2016. Laporan Akhir Percepatan Diseminasi VUB Padi Melalui Demfar Teknologi Jarwo Super di Lampung. BPTP Lampung. Bandarlampung.

Yuliani, D. dan Sudir. 2017. “Keragaan Hama, Penyakit, dan Musuh Alami pada Budidaya Padi Organik”. dalam Jurnal Agro IV(1) 1: 50-67.

Yuniarti, S. 2015. “Respons pertumbuhan dan hasil varietas unggul baru (VUB) padi gogo di Kabupaten Pandeglang, Banten”. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversity Indonesia. Volume 1 (4), hal. 848-851.

Yunizar dan A. Jamil. 2012. “Pengaruh Sistem Tanam dan Macam Bahan Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah di Daerah Kuala Cinaku Kabupaten Indragiri HuluRiau”. Prosiding Seminar Nasional Penelitian Padi 2012. Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Cekaman Lingkungan Biotik dan Abiotik. Badan Litbang Pertanian; 999-1008 hlm.

Zaini Z dan Erythryna. 2008. “Pengembangan penanaman padi hibrida dengan pendekatan PTT dan penanda padi”. dalam Iptek Tanaman Pangan. 3(2): 156–166

Page 129: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

PROSPEK PENGEMBANGAN JARWO SUPER DITINJAU DARI ASPEK INOVASI

TEKNOLOGI DI KALIMANTAN SELATAN

Fakhrina, Muslimin, M. Yasin, Sumanto

PENDAHULUANPembangunan pertanian di masa depan akan menghadapi

berbagai tantangan yang semakin komplek, baik dalam aspek teknis maupun ekonomi dan sosial, seperti fenomena perubahan iklim, keterbatasan dan degradasi sumberdaya dan lingkungan serta berbagai isu-isu dalam konteks perdagangan global. Inovasi teknologi pertanian merupakan salah satu pilar penting dalam peningkatan produktivitas padi dalam rangka mencapai tujuan swasembada padi. Peningkatan produktivitas padi memerlukan dukungan inovasi teknologi, yakni penggunaan varietas unggul baru (VUB) dan benih bermutu/bersertifikat, pemberian bahan organik, pemupukan berimbang, tanam teratur dengan cara tanam jajar legowo, bibit muda, perbaikan aerasi tanah serta penanganan panen dan pascapanen.

Kalimantan Selatan mempunyai potensi lahan yang masih cukup luas, namun belum sebanding dengan luas lahan pertanian yang sudah termanfaatkan. Kendala antar sektoral dalam peningkatan produksi tanaman pangan yang semakin kompleks karena berbagai perubahan dan perkembangan lingkungan strategis di luar sektor pertanian yang amat berpengaruh dalam peningkatan produksi pangan, antara lain dampak fenomena iklim (DFI), semakin berkurangnya ketersediaan lahan produksi untuk tanaman pangan akibat alih fungsi lahan, berkurangnya ketersediaan air irigasi karena sumber-sumber air yang semakin berkurang dan persaingan penggunaan air di luar sektor pertanian (industri dan pemukiman) serta laju pertumbuhan penduduk.

Produktivitas padi di Kalimantan Selatan rata-rata pada tahun 2010 sebesar 39,10 ku/ha, pada tahun 2014 sebesar 42,35 ku/ha, terjadi kenaikan produktivitas sebesar 8,31% sedangkan rata-rata produktivitas padi dari tahun 2010–2014 adalah sebesar 41,50 ku/ha (BPS Kalimantan Selatan 2015). Padahal potensi hasil beberapa

Page 130: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan98

varietas unggul dapat mencapai 7–10 t/ha (BB Padi 2010), sehingga masih berpeluang ditingkatkan. Salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas padi di Kalimantan Selatan adalah penerapan teknologi usahatani (budidaya) yang belum memadai, selain faktor sosial dan kondisi lahan pertanaman. Komponen teknologi budidaya yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman pangan adalah penggunaan benih varietas unggul yang bermutu.

Benih merupakan awal dari budidaya tanaman dan menjadi salah satu unsur teknologi yang memberikan kontribusi cukup penting dalam peningkatan produktivitas tanaman. Benih sering menjadi masalah utama dalam usahatani padi, yang disebabkan antara lain (1) belum semua varietas unggul yang dilepas dapat diadopsi petani atau pengguna benih, (2) belum terpenuhi ketersediaan benih sebar secara enam tepat (varietas, mutu, jumlah, lokasi, waktu, dan harga), (3) belum optimalnya kinerja lembaga produksi dan pengawasan mutu benih, dan (4) belum semua petani menggunakan benih unggul bermutu/bersertifikat (Balitbangtan 2007). Pada saat ini, masih banyak petani yang belum menggunakan benih padi bermutu/bersertifikat. Salah satu penyebabnya adalah tidak tersedianya benih bermutu secara tepat waktu dan jenis.

Penggunaan varietas unggul baru yang bermutu melalui benih bersertifikat di tingkat petani belum optimal karena lemahnya sistem diseminasi teknologi (Wahyuni et al. 2007), meskipun diketahui bahwa penggunaan benih padi varietas unggul dan benih bermutu memberikan kontribusi cukup besar terhadap peningkatan produktivitas padi dan pendapatan petani. Menurut Reano (2001), produktivitas padi dapat meningkat sampai 25% dengan penggunaan benih yang sehat, berkualitas, dan murni. Sebaliknya produktivitas padi dapat menurun sampai 20% apabila menggunakan benih yang kurang sehat (Shenoy et al. 1988).

Penggunaan benih bermutu dan bersertifikat di tingkat petani yang belum optimal diduga karena masih lemahnya sistem diseminasi teknologi. Hasil pengkajian menunjukkan kontribusi inovasi teknologi terhadap peningkatan produksi beras adalah sebesar 50%, perluasan areal 20% dan sisanya 18% merupakan akibat interaksi kedua unsur tersebut. Inovasi teknologi yang paling menonjol adalah penggunaan varietas unggul yang jika dikombinasikan dengan pemupukan dan irigasi memberikan kontribusi >75% (Balitbangtan 2000). Kontribusi

Page 131: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 99

nyata varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional antara lain dengan tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 dan 2007.

Teknologi produksi berupa teknologi budidaya sudah banyak dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) untuk memacu peningkatan produktivitas padi per satuan areal. Salah satu teknologi terkini yang diyakini bisa dengan cepat dapat meningkatkan produksi dan produktivitas padi adalah teknologi tanam Jajar Legowo (Jarwo) Super. Teknologi di dalamnya telah dikombinasikan teknologi unggul yang lebih ramah lingkungan dan dapat memanfaatkan sumberdaya secara bersama-sama untuk meningkatkan produksi per satuan luasnya. Teknologi Jarwo Super mempunyai potensi untuk dikembangkan di Provinsi Kalimantan Selatan, karena beberapa kabupaten (Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tanah Laut dan Takalar) sudah mulai melaksanakan Demfarm tahun 2016 dan 2017. Hasilnya sebagimana diuraikan pada artikel di bawah ini.

KERAGAAN DEMFARM TEKNOLOGI JARWO SUPER

Kegiatan percepatan diseminasi VUB padi melalui Demfarm teknologi Jarwo Super tahun 2016, dilaksanakan di Desa Pengambau Hulu, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), pada Kelompok Tani Bumbuhak. Jumlah petani peserta Demfarm sebanyak 39 orang. Lokasi kegiatan ini merupakan salah satu daerah sentra produksi padi. Status hara dengan pengukuran alat Perangkat Uji Tanah Lahan Sawah (PUTS) memperlihatkan hasil N dan P tanah rendah, serta K sedang. Pada pengolahan tanah kedua, diaplikasikan Biodekomposer (M-Dec) ke lahan sebanyak 2 kg/ha dengan cara disemprotkan ke lahan. Benih yang digunakan adalah varietas Inpari 30 Ciherang Sub 1, Inpari 32 HDB, dan Inpari 33 dengan kelas Benih Pokok/BP/Stock Seed. Sebelum penyemaian benih, dilakukan perlakuan benih dengan pupuk hayati (Agrimeth), sebanyak 500 gr/25 kg benih. Adapun dosis pupuk NPK sebanyak 400 kg/ha, Urea 250 kg/ha dan pupuk organik 2 t/ha. Pestisida yang digunakan adalah pestisida nabati (Bioprotector).

Page 132: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan100

Sebelumnya kegiatan Demfarm teknologi Jarwo Super dilaksanakan di Indramayu, dan diperoleh produktivitas Gabah Kering Panen (GKP) dari Demfarm seluas 50 ha sebagai berikut: varietas Inpari 30 Ciherang Sub-1 sebesar 13,9 t/ha; varietas Inpari 32 HDB sebesar 14,4 t/ha; dan varietas Inpari 33 sebesar 12,4 t/ha, sedangkan rata-rata produktivitas pertanaman petani di luar Demarea dengan varietas Ciherang adalah 7,0 t/ha. B/C penerapan teknologi Jajar Legowo Super adalah 4 sedangkan penerapan jajar legowo biasa sebesar 2,05. Berdasarkan hasil analisis usaha tani ini menunjukkan bahwa teknologi Jajar Legowo Super sangat layak untuk dikembangkan secara luas di masyarakat sehingga disebut sebagai “Teknologi Jajar Legowo Super” pendongkrak produksi padi (Balitbangtan 2016).

“Teknologi Jajar Legowo Super” sebagai pendongkrak produktivitas padi, jika paket diimplementasikan secara menyeluruh oleh petani, maka petani bisa mendapatkan produksi sekitar 10 ton GKG/ha per musim tanam dengan kata lain ada delta penambahan produksi sebesar 4 ton GKG/ha per musim tanam dibandingkan dengan rata-rata produksi Jajar Legowo di sawah irigasi sebesar 6 ton GKG/ha per musim. Bilamana teknologi jajar legowo super ini diimplementasikan oleh petani terhadap 20% saja dari luas lahan sawah irigasi yg ada di Indonesia sekitar 4,8 juta ha (BPS 2013) yaitu 960.000 ha, maka produksi nasional akan bertambah sekitar 3,84 juta ton GKG per musim tanam atau bertambah sekitar 7,68 juta ton GKG per tahun dua kali musim tanam setara dengan 4,76 juta ton beras (rendemen 62%) (Balitbangtan 2016).

Hasil pengujian pupuk hayati penambat N menunjukkan kemampuan memfiksasi N hingga sebesar 28% (Malik et al. 1997, dalam Husain et al. 2016). Hasil penelitian penggunaan dekomposer seperti Biodek (M-Dec) dapat mempercepat dekomposisi jerami dalam 2 minggu (Saraswati et al. 2006, dalam Husain et al. 2016). Brady dan Weil (2002) merangkum keuntungan mengomposkan bahan organik sebagai berikut: 1) aman disimpan, mengurangi bau menyengat, 2) handling menjadi mudah, setelah proses pengomposan bahan organik volumenya berkurang 30–50%, 3) menghindari kompetisi nitrogen dalam tanah untuk residu bahan organik dengan C/N tinggi proses penurunan N terjadi dalam bahan organik sehingga tidak

Page 133: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 101

mempengaruhi tanaman, 4) stabilisasi N, proses dekomposisi kompos dalam tanah berjalan sangat lambat tidak seperti bahan organik segar, 5) sterilisasi parsial, di mana dalam beberapa hari pengomposan suhu menjadi naik (40–50 oC) dan sudah mampu membunuh benih gulma dan mikroorganisme pathogen, 6) detoksifikasi, umumnya komponen kimia beracun dapat dihancurkan selama proses pengomposan, 7) menekan penyakit tular tanah, beberapa kompos dapat menekan penyakit tular tanah dengan antagonis mikroba.

Kegiatan DiseminasiKegiatan diseminasi dilaksanakan melalui koordinasi dengan

pemerintah daerah dan pemangku kepentingan yang terkait perbenihan padi di daerah, sosialisasi ke Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Balai Penyuluhan Kecamatan Haruyan, Petugas Lapang, Petani, serta petani penangkar. Selain itu jgua dilaksanakan bimbingan teknis dan temu lapang. Hasil Pelaksanaan PRA tersaji pada Tabel 9 di bawah ini.

Kondisi eksisting usahatani padi di Desa Penganbaru Hulu, Kecamatan Haruyan, HST (Tabel 9) sangat jauh berbeda dengan pelaksanaan Demfarmnya. Status hara pada lokasi Demfarm 2016 dengan PUTS memperlihatkan hasil N dan P tanah rendah, serta K sedang. Aplikasi Biodekomposer (MDec) (2 kg/ha) dengan cara disemprotkan ke lahan pada pengolahan tanah kedua. VUB yang digunakan adalah Inpari 30 Ciherang Sub 1, Inpari 32 HDB, dan Inpari 33 dengan kelas Benih Pokok/BP/Stock Seed. Benih sebelum penyemaian diperlakukan dengan pupuk hayati (Agrimeth) (500 gr/25 kg benih). Penggunaan pupuk NPK sebanyak 400 kg/ha, Urea 250 kg/ha, dan pupuk organik 2 t/ha (BPTP Kalsel 2016).

Page 134: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan102

Tabel 9. Hasil Participatory Rural Apraisal (PRA)Participatory Rural Apraisal/PRANo. Komponen Keterangan

1. Umur Petani 24–60 tahun2. Pendidikan Petani SD–S-13. Varietas yang

ditanam sebelumnyaCiherang, Mekongga, Inpari 9 Elo, Inpari 30 Ciherang Sub 1

4. Alasan memilih varietas

Produksi tinggi, tahan terhadap hama penyakit, tahan roboh, sesuai dengan permintaan pasar

5. Jumlah benih per hektar

30–35 kg

6. Perlakuan benih Tidak ada7. Persemaian Langsung di lahan 8. Umur bibit 25–30 hari9. Jumlah bibit per

lubang>3 batang

10. Sistem tanam Tegel 20 x 20 cm, 25 x 25 cm, jarwo 4 : 1

11. Pemupukan Urea : 150 – 250 kg/ha, NPK : 300 – 350 kg/ha

12. Hama Tikus, walang sangit, penggerek batang

13. Penyakit Blas14 Produktivitas 2,750 – 5,74 t/ha

Kinerja Kegiatan Jarwo Super1. Demfarm 2016

Ubinan yang dilaksanakan oleh BPS Kabupaten HST di lokasi kegiatan Demfarm pada Varietas Inpari 32 HDB adalah 5,75 kg (9,2 t/ha), Varietas Inpari 33 adalah 4,20 kg (6,72 t/ha) dan varietas Inpari 30 Ciherang Sub 1 adalah 4,60 (7,36 t/ha) (Tabel 10). Belum optimalnya produktivitas ketiga varietas tersebut disebabkan adanya serangan hama tikus yang sangat tinggi. Kegiatan pencegahan dan pengendalian telah dilaksanakan, baik dengan dilaksanakan pengendalian hama tikus secara Linear Trap Barrier System (LTBS), penangkapan/gropyokan, pemberian racun tikus, pengumpanan, memasang perangkap baik dengan bubu maupun dengan perangkap

Page 135: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 103

bambu, pengemposan dan lain sebagainya. Akan tetapi serangan tetap ada, di samping itu juga disebabkan curah hujan yang tinggi, sehingga lahan tidak bisa dikeringkan dan pagar plastik terbuka dengan adanya aliran curah hujan yang deras.

Tabel 10. Produktivitas padi kegiatan Jarwo Super di Kab. Hulu Sungai Tengah, MK 2016

No Varietas Panjang malai Gabah isi Gabah

hampa Gabah total

1. Inpari 30 24.4120 a 121.3680 a 23.7320 b 137.2320 a2. Inpari 32 24.5070 a 158.8010 b 15.7010 a 179.0670 b3. Inpari 33 28.1680 b 127.7330 a 15.1340 a 142.8680 a

Sumber: BPTP Kalsel (2016)Ket: a, b, berbeda nyata (signifikan)

Dari Tabel di atas diketahui bahwa malai padi terpanjang dihasilkan oleh varietas Inpari 33, yaitu 28,17 cm, sementara malai terpendek dihasilkan oleh varietas Inpari 30, yaitu 24,41 cm. Berdasarkan Jamil (2016) padi varietas Inpari 33 memiliki potensi hasil sebesar 9,8 t/ha GKG, paling tinggi dibanding dengan kedua varietas lainnya (Inpari 30 dan Inpari 32). Diduga, dengan potensi hasil yang tinggi maka juga akan memiki malai yang lebih panjang dari pada varietas yang lain. Jika dilihat dari jumlah gabah isi dan gabah total per malai, ternyata varietas padi dengan potensi hasil tertinggi dan menghasilkan malai terpanjang seperti varietas Inpari 33, tidak memberikan jaminan akan menghasilkan jumlah gabah isi dan gabah total tertinggi. Tabel di atas terlihat padi varietas Inpari 32 dengan panjang malai tidak terlalu panjang (24,51 cm) dan potensi hasil paling rendah (8,42 t/ha GKG) (Jamil 2016), namun mampu menghasilkan gabah isi dan gabah total tertinggi dibanding dengan varietas Inpari 30 dan Inpari 33. Hal ini diduga berkaitan dengan tingkat adaptasi varietas dan kesuburan lahan. Varietas Inpari 32 mampu beradaptasi lebih baik di Kabupaten HST dengan tingkat kesuburan tanah dari hasil analisis tanah sebelum tanam N sebesar 0,07%, P sebesar 51,86 mg/100g, K sebesar 9,73 mg/100g, sehingga varietas Inpari 32 mampu menghasilkan gabah isi 158,80/malai dan gabah total 179,07/malai. Sebaliknya, jika dilihat dari jumlah gabah hampa, padi varietas Inpari 32 juga menghasilkan jumlah gabah

Page 136: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan104

hampa tertinggi (15,70) dibanding dengan varietas yang lain. Hal ini diduga ada hubungannya dengan hasil fotosintesis dan adanya OPT. Dengan jumlah gabah yang tinggi maka pembagi hasil fotosintesis (gabah) juga banyak, sehingga ada gabah yang kurang mendapat suplai hasil fotosintesis dan mengakibatkan gabah menjadi hampa. Kemungkinan kedua, dengan adanya gangguan OPT seperti walang sangit juga dapat menyebabkan gabah menjadi hampa.

Stakeholder yang berkunjung ke lokasi Demfarm Jarwo Super di antaranya Dinas Pertanian Kabupaten HST, Dinas Pertanian Kabupaten Kapuas (Kalteng), Petani Kabupaten Tabalong, Petani Kecamatan Birayang Kabupaten HST, Petani TTP Kab. Tanah Laut. Selain stakeholder yang datang ke lokasi, Ketua Kelompok Tani Bp. Suparman diminta mensosialisasi manfaat M-Dec, salah satu pemecahan masalah dalam pembakaran lahan, pada pertemuan dengan Kapolda, Kapolres, DPRD, Bupati HST, TNI, Dinas Pertanian, Petani, dan Tim SAR.

Beberapa kabupaten telah mereplikasi kegiatan Demfarm Jarwo Super HST Tahun 2016 :

• Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura Kabupaten HST, pada TA. 2017, mereplikasikan kegiatan Jarwo Super di 11 kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah

• Kegiatan TTP Tapin BPTP Kalimantan Selatan• Kegiatan Pendampingan GP-PTT di Kabupaten Tapin

2. Demfarm 2017Kegiatan Jarwo Super tahun 2017 di Kalimantan Selatan

dilaksanakan di empat kabupaten yaitu Tanah Laut, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan dan Tabalong. Terdapat perubahan daftar CPCL di empat kebupaten. Di lokasi awal CPCL petani sudah melakukan pertanaman padi, karena saat itu bantuan pengadaan M-Dec, Agrimeth serta pestisida nabati terlambat, dan sarana produksi yang sudah diterima jumlahnya masih kurang dari rencana jumlah yang akan dikirimkan, bahkan sebagian besar tanaman tidak diaplikasi bioprotektor.

Page 137: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 105

Tabel 11. Implementasi komponen Jarwo Super 2017 (BPTP Kalsel 2017)

Pada tabel 11 terlihat varietas yang ditanam kelompok tani adalah varietas Inpari 30, Inpari 32 dan Inpari 33. Tidak semua lahan menggunakan mesin transplanter, sehingga penanaman masih dilakukan secara manual dengan caplak karena ketersediaan mesin tanam padi transplanter dan mesin panen combine harvester jumlahnya sangat terbatas. Penggunaan mesin transplenter sebatas untuk demo pengenalan cara tanam jajar legowo 2:1. Penggunaan M-Dec mencapai 91,6%, sedangkan Bioprotector tidak diaplikasikan.

Peningkatan Provitas Jarwo Super 2017Produktivitas Jarwo Super sebesar 4,8 t GKG/ha dengan provitas

top 10% mencapai 7,4 t GKG/ha sehingga ada senjang provitas antar petani Jarwo Super sebesar 2,6 t GKG/ha. Jika dibandingkan dengan produkvitas non-Jarwo Super dan produktivitas provinsi, terdapat senjang hasil masing-masing sebesar 0,5 dan 0,8 t GKG/ha. Peningkatan hasil dengan penerapan Jarwo Super belum maksimal, namun terdapat peluang untuk meningkatkan sebesar 2,6 t GKG/ha dengan penerapan Jarwo Super secara maksimal. Faktor keragaman teknik budidaya dari setiap petani CPCL berpengaruh besar terhadap bervariasinya produkvitas antar petani (BPTP Kalsel 2017).

Page 138: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan106

Gambar 16. Delta peningkatan JS dan non-JS di Kalsel (BPTP Kalsel 2017)

Benih Hasil Jarwo Super 2017Selain melibatkan PT Pertani, okupasi benih hasil JS juga

dilakukan oleh PT SHS walaupun dalam jumlah yang relatif sedikit dibandingkan okupasi oleh PT Pertani. Rekapitulasi okupasi benih hasil JS adalah sebagai berikut: telah diopkup oleh PT Pertani sebanyak 204,7 t, PT. SHS sebanyak 12,72 t, penangkar swasta sebanyak 10,525 t dan sisa benih dipakai petani untuk ditanam pada musim berikutnya dan didistribusi ke kelompok tani yang lain (Tabel 12).

Tabel 12. Produksi benih hasil Jarwo Super di Kalimantan Selatan (BPTP Kalsel 2017)

Penangkar Swasta Kelompok Tani

Page 139: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 107

Adopsi Komponen Teknologi Jarwo SuperKomponen teknologi Jarwo Super pada lokasi Demfarm 2016

(Kabupaten HST), meliputi dosis pupuk dengan PUTS (NPK : 400 kg/ha, Urea 250 kg/ha, dan pupuk organik 2 t/ha), aplikasi Biodekomposer (M.Dec) (2 kg/ha), VUB yang digunakan adalah Inpari 30 Ciherang Sub 1, Inpari 32 HDB, dan Inpari 33, serta penggunaan pupuk hayati (Agrimeth) (500 gr/25 kg benih) (BPTP Kalsel 2016).

Komponen teknologi Jarwo Super pada lokasi Demfarm 2017 (Kabupaten Tanah Laut, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan dan Tabalong), meliputi VUB Inpari 30 Ciherang Sub 1 (51,9%), Inpari 32 HDB (33,2%), Inpari 33 (14,9%), Biodekomposer MDec (91,6%), pupuk hayati (Agrimeth) (43,5%), dosis pupuk (NPK : 241 kg/ha, Urea 163 kg/ha). Penggunaan mesin transplenter sebatas untuk demo pengenalan cara tanam jajar legowo 2:1

Gambar 17. Adopsi komponen teknologi Jarwo Super

Gambar 17 memperlihatkan adopsi komponen teknologi Jarwo Super, hasil survei yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2018 (BBP2TP 2018). Terlihat bahwa adopsi varietas masih rendah, hal tersebut disebabkan setelah kegiatan Demfarm dilakukan perbaikan jaringan irigasi selama 9 bulan, sehingga petani tidak bisa tanam padi. Setelah itu petani mendapat program penanaman padi varietas Ciherang dan Mekongga dari Pemerintah Kabupaten HST. Petani masih berkeinginan untuk tanam Varietas Inpari 30 Ciherang Sub 1 atau Inpari 32 HDB atau Inpari 33. Ketiga varietas ini tersedia di UPBS BPTP Balitbangtan Kalimantan Selatan dan juga di beberapa balai benih.

Page 140: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan108

Menurut Purba dan Giametri (2017), penggunaan VUB berdaya hasil tinggi telah lama dipercaya sebagai upaya peningkatan produktivitas yang paling efektif dan efisien. Varietas unggul atau VUB padi membawa materi genetik yang berbeda antar varietas, dan pada lingkungan yang sama, setiap varietas dapat menunjukkan penampilan yang berbeda. Menurut Hasanuddin (2005), VUB memberi sumbangan peningkatan produktivitas terhadap produksi padi nasional sekitar 56%. Kontribusi interaksi antara air irigasi, VUB, dan pemupukan terhadap laju kenaikan produksi padi mencapai 75% (Fagi et al. 2001). Menurut Suprihatno et al. (2011), varietas unggul merupakan salah satu teknologi inovatif yang handal untuk meningkatkan varietas padi, baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil tanaman maupun atau tahan terhadap cekaman abiotik dan biotik.

Sistem tanam jajar legowo 2:1 masih memerlukan pendampingan baik dari petugas maupun petani pemilik lahan karena yang melaksanakan tanam adalah tenaga kerja upahan yang menginginkan waktu tanam yang lebih cepat dengan lebih luas. Jarak tanam dalam baris seringkali tidak sesuai dengan anjuran.

Menurut Abdulrachman et al. (2012) tanam jajar legowo memberikan ruang terbuka seluas 25–50% sehingga tanaman dapat menerima sinar matahari secara optimal. Selain itu, jajar legowo memberikan persentase peningkatan hasil gabah kering panen berkisar 19,90–22,00% dibandingkan dengan tegel (Hikmah dan Pratiwi 2017). Menurut Permadi et al. (2013) penerapan sistem tanam legowo 2:1 meningkatkan produktivitas padi lebih tinggi 1,3 ton/ha dari sistem tanam tegel. Legowo 2 : 1 dengan jarak tanam (25x12,5x50 cm) mampu meningkatkan hasil antara 9,63–15,44% dibandingkan model tegel (Abdulrachman et al. 2012). Menurut Aribawa (2012) atau Suratmini dan Suryawan (2016), legowo 2:1 dapat meningkatkan hasil gabah kering sebesar 14,36% atau memberikan hasil gabah kering panen dan gabah kering giling lebih tinggi 20,63% dan 19,7% dibandingkan sistem tanam tegel. Abdurrachman et al. (2013) menyarankan agar legowo 2:1 diterapkan pada lahan yang relatif subur, sehingga peningkatan populasi tanaman pada tanam jajar legowo tidak akan mengurangi potensi tumbuh tanaman.

Komponen teknologi Jarwo Super seperti pupuk hayati Agrimeth, biodecomposer M-Dec dan pestisida nabati Bioprotektor belum bisa dimanfaatkan oleh petani karena belum tersedia di

Page 141: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 109

tingkat lapang. Oleh karena itu, adopsinya 0%. Apabila ada pengguna memerlukannya, BPTP menghubungkan ke Balittanah, Balittro dan pihak penghasil M-Dec. Selain itu, komponen teknologi alat tanam Indo Jarwo 2:1, belum tersedia di lokasi, alat tanam yang di lokasi adalah alat tanam dengan sistem tanam tegel. Demikian juga dengan alat panen combine harvester juga belum tersedia di lokasi.

Walaupun tingkat adopsi komponen teknologi Jarwo Super di Haruyan memperlihatkan hasil yang rendah, teknologi ini mulai dilaksanakan di kecamatan yang berbeda di HST. Kabupaten lain yang berbeda di antaranya Kabupaten Tapin (TTP Tapin, GP-PTT Tapin), Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Barito Kuala.

PENUTUPKegiatan Demfarm teknologi Jajar Legowo Super telah mampu

mendiseminasi varietas unggul baru (VUB) dan sistem tanam jajar legowo 2:1 Balitbangtan, dapat lebih dipercepat. Tingkat adopsi komponen teknologi Jarwo Super telah direplikasi di TTP dan G-PTT Kabupaten Tapin. Teknologi ini mulai dilaksanakan di Kabupaten Banjar dan Kabupaten Barito Kuala.

UCAPAN TERIMA KASIHPenghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang sudah memberikan dana penelitian melalui anggaran SMARTD sehingga kajian ini berjalan hingga selesai, serta pihak-pihak lain yang sudah banyak membantu sehingga kegiatan kajian ini berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKAAbdulrachman, S., M. J. Mejaya, N. Agustiani, I. Gunawan, P. Sasmita,

A. Guswara. 2013. “Sistem Tanam Legowo”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian

Abdulrachman, S., N. Agustini, I.Gunawan, M.J. Mejaya. 2012. “Sistem tanam legowo”. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian

Page 142: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan110

Anonim. 2014. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 02/Permentan/SR.120/1/2014 tentang Peraturan perbenihan mengenai Produksi, Sertifikasi dan Peredaran Benih Bina.

Aribawa, IB. 2012. “Pengaruh sistem tanam terhadap peningkatan produktivitas padi di lahan sawah dataran tinggi beriklim basah”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012. Fakultas Pertanian. Universitas Trunojoyo. Madura.

---------. 2015. Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor : 726/Kpts/KB.020/12/2015 tentang Penugasan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam Rangka Perbanyakan benih/bibit Sebar Komoditas Strategis yang Bermutu Untuk Percepatan Diseminasi Varietas Unggul.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2018. “Laporan Kajian Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Hasil Balitbangtan”. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Kementerian Pertanian

Badan Litbang Pertanian. 2000. ”Pengelolaan air berbasis pulau untuk mengantisipasi kelangkaan air dan mencapai ketahan pangan”. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Badan Litbang Pertanian. 2007. ”Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Badan Litbang Pertanian. 2010. Produksi Benih Sumber Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2013. “Survey Lahan Pertanian”. BPS Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2015. “Kalimantan Selatan Dalam Angka”. Banjarmasin

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2018. “Laporan Kajian Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Hasil Balitbangtan”.

Balibangtan. 2016. “Teknologi Jajar Legowo Super Pendongkrak Produktivitas Padi”. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Page 143: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 111

Balai Penelitian Tanaman Padi. 2010. ”Deskripsi Varietas Padi. Badan Litbang Pertanian”. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. 2016. “Laporan Pelaksanaan Demfarm Jarwo Super di Kabupaten Hulu Sungai Tengah”. Tidak Dipublikasikan.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. 2017. “Laporan Pelaksanaan Demfarm Jarwo Super di Kabupaten Tanah Laut, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, dan Tabalong”.

Fagi, A.M., B. Abdullah, dan S. Kartaatmadja. 2001. “Peranan padi Indonesia dalam pengembangan padi unggul”. Prosiding Budaya Padi. Surakarta, November 2001.

Hasanuddin, A. 2005. “Peranan proses sosialisasi terhadap adopsi varietas unggul padi tipe baru dan pengelolaannya”. Lokakarya Pemuliaan Partisipatif dan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB). Sukamandi 2005.

Hikmah Z.M., dan Gagad R. Pratiwi. 2016. “Sistem tanam padi yang optimal untuk produksi padi maksimal”. Prosiding Seminar Nasional tahun 2015. Temu Teknologi Padi. Eds Sarlan A.et al., Balai Besar Padi. Sukamandi.

Jamil, A., Satoto, Priatna, S., Yuliantoro, B., Agus, G., dan Suharna, 2016. “Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Penelitian Padi. Sukamandi, hal 33-36.

Permadi, N., Sunandar, B., Nurnayetti. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi melalui Inovasi Teknologi Spesifi k Lokasi untuk Mencapai Swasembada Beras. Dalam Prosiding Seminar Nasional Akselerasi Pemanfaatan Teknologi Pertanian Spesifi k Lokasi mendukung Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani Nelayan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian : 140-145.

Purba, R. dan Yuti Giametri. 2017. “Keragaan Hasil dan Keuntungan Usahatani Padi dengan Introduksi Varietas Unggul di Provinsi Banten”. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI) 22 (1): 13–19.

Page 144: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan112

Reano, R,A. 2001. “How to Grow a Good Rice Seed Crop”. Paper Presented at “Rice Seed Health Training Centre, Hield at IRRI”, July – August 31, 2001

Sadjad, S. 1983. “Peningkatan mutu dan penyimpanan benih palawija”. Bahan kuliah Coaching Pimpinan Balai Benih Induk (BBI) 13 p.

Shenoy, Saudhya N, T,R Paris and B, Duff. 1988. Farm Level Harvest and Postharvest Seed Management Practicesof Farm Women in Rice Farmyng System Network Orientation and Planning Workshop, Hield at the IRRI Los Banos, Lagua, Philippines, May 2-11,1988.

Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Suwarno, E.Lubis, Baehaki, Sudir, S.D.Indrasari, I P.Wardana, M.J.Mejaya. 2011. “Deskripsi Varietas Padi”. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 118 Hal.

Suratmini, P dan I.B.G. Suryawan. 2016. “Pengaruh system tanam terhadap pertumbuhan dan produksi Inpari 20 dan Inpari 24 di Subak Gantalan II, Karangasem Bali”. Prosiding seminar nasional Padi 2016. Terobosan Inovasi Teknologi Padi Adaptif Perubahan Iklim Mendukung Kedaulatan Pangan. Balai Besar Padi. Sukamandi.

Wahyuni, S. dan U.S. Nugraha. 1998. “Evaluasi daya simpan benih 16 genotipe padi”. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Ekoregional Sumatera – Jawa. pp.: 154 – 161.

Wahyuni, M.S., M.Y. Samaullah, A.A. Daradjat, dan H. Sembiring. 2007. “Pembangunan Sistem dan Teknik Produksi Benih Padi Berbasis Manajemen”. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. 5 hal.

Page 145: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

PERCEPATAN ADOPSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI MELALUI TEKNOLOGI JARWO

SUPER DI NUSA TENGGARA BARAT

Putu Cakra, S. Untung, Hiryana, dan M. Yasin

PENDAHULUANIndonesia membutuhkan tambahan ketersediaan pangan

untuk mengimbangi laju pertambahan penduduk, dan tahun 2020 kebutuhan beras diproyeksikan sebesar 35,1 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut bila tidak ada penambahan lahan sawah baru, maka hasil padi rata-rata harus ditingkatkan menjadi 7,2 t/h GKG (Las et al. 2008). Upaya mewujudkan sasaran produksi selama ini menghadapi beberapa kendala yaitu perbedaan hasil antara di lahan petani dengan dengan hasil penelitian/pengkajian. Oleh karena itu, potensi sumberdaya lahan yang ada harus dirancang dengan baik pemanfaatannya untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani, misalnya melalui kegiatan peningkatan produktivitas (intensifikasi), percepatan tanam dan peningkatan luas tanam (ekstensifikasi).

Salah satu upaya untuk peningkatan produksi yang telah dilaksanakan antara lain melalui Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). PTT merupakan pendekatan dalam peningkatan produksi melalui pengelolaan tanaman, tanah, air, hara dan organisme pengganggu tanaman (OPT) secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dalam penerapannya, PTT bersifat partisipatif, dinamis, spesifik lokasi, terpadu dan sinergisme antarkomponen teknologi yang diterapkan.

Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu provinsi penyumbang beras nasional. Luas lahan baku sawah NTB sebesar 256.229 ha. Tahun 2014 jumlah penduduk NTB sebanyak 4.691.827 jiwa, dengan tingkat konsumsi beras 118,01 kg/kapita/th sehingga kebutuhan beras 553.683 ton/th. Produksi beras NTB tahun 2014 sebanyak 1.387.715 ton atau surplus 784.032 ton (BPS NTB 2015). Untuk meningkatkan kontribusi beras nasional, tahun 2016 NTB menargetkan produksi padi sebanyak 2.408.270 ton GKG dengan luas panen 453.192 ha. (Dinas Pertanian Prov NTB 2016). Salah satu kendala dalam upaya meningkatkan produksi padi di NTB selama ini adalah penggunaan

Page 146: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan114

varietas potensi tinggi (VPT) yang masih rendah yakni 51,8% (BPSB NTB 2016). Varietas dominan yang dikembangkan petani NTB justru varietas yang memiliki potensi hasil sedang. Varietas Ciliwung merupakan varietas berpotensi sedang (VPS) yang banyak ditanam petani NTB (Untung 2017). Adopsi varietas ini oleh petani terus meningkat semenjak dikenal petani tahun 2010. Makarim et al. (2004) melaporkan bahwa salah satu penyebab utama rendahnya produktivitas padi adalah karena varietas yang biasa ditanam petani tidak mampu lagi berproduksi lebih tinggi akibat kemampuan genetiknya yang terbatas. Peningkatan produktivitas dan kualitas hasil tanaman sangat dipengaruhi oleh varietas dan kualitas benih yang digunakan petani. Hasil riset World Bank menyimpulkan, benih merupakan unsur penting untuk peningkatan produksi yakni 16%, diikuti irigasi (5%) dan pupuk (4%). Interaksi VUB, irigasi, dan pupuk dapat meningkatkan produktivitas sampai 75%, sedangkan sumbangan dari perluasan areal tanam hanya 25% (Fagi et al. 2001).

Pada tahun 2016 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) memperkenalkan teknologi terbaru dalam budidaya tanaman padi dengan sistem tanam jajar legowo (Jarwo) Super. Salah satu penciri Jarwo Super adalah pendekatan PTT dengan penambahan komponen teknologi seperti penggunaan varietas unggul baru (VUB) potensi hasil tinggi, Bio dekomposer (M-Dec) pada saat pengolahan tanah, seed treatment (Agrimeth), penggunaan pestisida nabati (bioprotektor) dan menggunakan alsintan antara lain alat tanam (Indo Jarwo transplanter) dan alat panen (combine harvester).

Berdasarkan hasil penelitian dinyatakan bahwa penerapan teknologi Jarwo Super dapat memberikan hasil gabah ≥10 t/Ha, dengan menggunakan Inpari 30 Ciherang Sub 1, Inpari 32 HDB dan Inpari 33. Syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai produksi tersebut adalah lahan yang subur dengan status kadar P (Fosfat) dan K (Kalium) sedang sampai tinggi, serta mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) kategori sedang sampai tinggi (Balitbangtan 2016). Untuk mencapai hasil padi yang tinggi, penggunaan bahan dan pupuk organik yang dikombinasikan dengan pupuk kimia merupakan tindakan yang tepat (Suyamto 2017). Untuk mendapatkan manfaat yang lebih, bahan dan pupuk organik yang digunakan harus matang atau telah terdekomposisi dengan kandungan hara relatif tinggi. Tulisan ini memaparkan hasil Demfarm Jarwo Super di NTB tahun 2016, dengan mengedepankan keragaan agronomis dan persepsi petani terhadap hasil yang dicapai.

Page 147: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 115

DESKRIPSI HASIL DEMFARM TEKNOLOGI JARWO SUPER

Jarwo Super merupakan teknologi baru yang diperkenalkan ke petani. VUB potensi hasil tinggi merupakan salah satu komponen dasar yang harus terpenuhi. Menurut Chaidir (2008), kemampuan untuk meningkatkan produktivitas budidaya pertanian sangat ditentukan oleh keberhasilan para periset penghasil inovasi berupa benih unggul yang berproduktivitas tinggi, tahan penyakit, dan tahan kekeringan, serta cekaman lingkungan lainnya. Untuk mempercepat adopsi teknologi Jarwo Super diperlukan strategi yang paling sesuai dengan kondisi masyarakat. Adopsi adalah suatu proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut menerima, menerapkan, dan menggunakan hal baru tersebut. Menurut Hendayana (2016), adopsi merupakan proses penerimaan sesuatu yang baru (inovasi) yaitu menerima sesuatu yang baru yang ditawarkan dan diupayakan oleh pihak lain. Ibrahim et al. (2003) menyatakan bahwa keputusan untuk menerima inovasi ini merupakan proses mental yang terjadi sejak petani mengetahui adanya suatu inovasi sampai pada tahap menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya.

Peningkatan produktivitas padi membutuhkan pemanfaatan teknologi produksi secara benar, meluas, dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan upaya penyebarluasan teknologi secara terencana dan terorganisasi melalui pendampingan kelompok tani (Wirajaswadi 2013). Berdasarkan kajian yang dilakukan selama 2 tahun (2010 dan 2011) pada kelompok tani yang didampingi di 10 kabupaten/kota se-NTB, terlihat bahwa produktivitas padi yang menerapkan teknologi PTT jauh lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi non-PTT. Hasil produksi yang menerapkan teknologi PTT komponen lengkap mencapai 6,76 t/ha, PTT komponen parsial 6,08 t/ha, sedangkan non-PTT hanya 5,41 t/ha.

Untuk mempercepat adopsi teknologi Jarwo Super, pengkajian teknologi sistem tanam jajar legowo (Jarwo) Super di Nusa Tenggara Barat telah dilaksanakan oleh Kelompok Tani Bunga Eja Tiga di Desa Dete Kecamatan Lape Kabupaten Sumbawa. Kabupaten Sumbawa merupakan salah satu kabupaten yang memiliki lahan sawah terluas dari sepuluh kab/kota di NTB yaitu 56.151 ha. Pengkajian

Page 148: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan116

ini dilaksanakan pada bulan Juli–Oktober 2016. Luas lahan yang digunakan dalam penanaman padi dengan teknologi Jarwo Super seluas 10 ha dengan melibatkan 12 orang petani kooperator. Komponen teknologi sistem tanam Jarwo Super yang diterapkan antara lain penggunaan VUB potensi hasil tinggi (Inpari 30, Ciherang Sub 1, dan Inpari 32 HDB), aplikasi M-Dec dengan dosis 2 kg/ha saat pengolahan tanah, aplikasi Agrimeth 500 gr/ 25 kg benih sebagai seed treatment, aplikasi pestisida nabati (Bioprotektor) sesuai anjuran, dan cara tanam jajar legowo 2:1 dengan jarak tanam 50 cm x 25 cm x 12,5 cm menggunakan alsintan Indo Jarwo Transplanter atau menggunakan caplak dan combine harvester untuk panen.

Langkah-langkah strategi dalam upaya mempercepat adopsi teknologi Jarwo Super terus dilakukan. Bersamaan dengan pelaksanaan Demfarm teknologi Jarwo Super di Desa Dete Kecamatan Lape, Sumbawa telah dilakukan berbagai kegiatan diseminasi. Kegiatan diseminasi teknologi Jarwo Super dilakukan dari perencanaan sampai berakhirnya kegiatan dengan berbagai model diseminasi seperti yang tertera pada Tabel 13.

Tabel 13. Kegiatan diseminasi teknologi Jarwo Super di Lape Sumbawa, serta frekuensi dan cakupan diseminasinya

Kegiatan Penyelenggara/Pelaksana Volume (kali)

Jumlah Penerima (org)

1. Koordinasi 2. Sosialisasi kegiatan3. Pelatihan4. Bimtek Penyuluh5. Workshop6. Mandiri benih7. Open house 20168. Studi Banding9. Pekan Daerah

BPTP - NTBBPTP - NTBBPTP - NTBBP4K Loteng dan SumbawaBPTP/DIPERTABPTP - NTB BPTP - NTBUMM PurworejoPEMDA PROV NTB

334222111

1545100150200150500150150

Page 149: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 117

Kegiatan Penyelenggara/Pelaksana Volume (kali)

Jumlah Penerima (org)

10. Temu pelaku usaha11. UPSUS12. SIKODIM13. Temu Lapang14. Pameran15. Bahan bacaan (leaflet)

BAKORLU NTBBPTP - NTBBPTP - NTBBPTP - NTBBPTP - NTB BPTP - NTB

111013

250

100100750250450250

Jumlah Penerima 3.360

Teknologi Jarwo Super Lape 2016 telah didiseminasikan pada pengguna dengan berbagai model atau media dengan audiens mencapai 3.360 orang. Menurut Haryono (2011), agar suatu inovasi pertanian dapat diterapkan dan mencapai hasil yang ditargetkan, diperlukan berbagai prasyarat terkait dengan pihak yang membawa inovasi, jenis inovasi, saluran yang digunakan, kesiapan penerima dan proses dari diseminasi itu sendiri. Puspadi (2009) menyatakan penemuannya bahwa produktivitas padi di tingkat petani dapat mencapai 6–7 t/ha (meningkat 34,11%) hanya melalui penanaman VUB padi, tanpa mengubah manajemen petani.

Hasil pengamatan kegiatan berupa tinggi tanaman menunjukkan nilai rata-rata mencapai 91,07 cm dengan tinggi tanaman tertinggi 98,20 cm dan terendah 85,00 cm. Tinggi tanaman padi varietas Inpari 30, Ciherang Sub 1 mencapai 101 cm dan Inpari 32 HDB mencapai 97 cm berdasarkan deskripsi varietas unggul baru tanaman padi (Balitbangtan 2014). Dari hasil pengamatan diperoleh rata-rata tinggi tanaman Inpari 30 Ciherang Sub 1 mencapai 82,18 cm dan Inpari 32 HDB mencapai 87,70 cm. Data ini menunjukkan bahwa tinggi tanaman belum mencapai tinggi optimal.

Data pengamatan komponen hasil menunjukkan bahwa jumlah rata-rata anakan produktif mencapai 18,61 batang, panjang malai 22,03 cm dengan hasil biji mencapai 6,91 t/ha GKP, dengan peningkatan hasil 23,33% dari hasil panen sebelum penerapan teknologi sistem Jarwo Super.

Tabel 13. Kegiatan diseminasi teknologi Jarwo Super di Lape Sumbawa, serta frekuensi dan cakupan diseminasinya (lanjutan)

Page 150: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan118

Data pengamatan produktivitas tanaman berdasarkan penggunaan varietas unggul baru menunjukkan bahwa penerapan teknologi Jarwo Super dengan menggunakan padi varietas Inpari 30 Ciherang Sub 1 memiliki produktivitas rata-rata 6,71 t/ha GKP dan inpari 32 HDB sebesar 7,92 t/ha GKP. Namun, kedua varietas tersebut memiliki rata-rata produktivitas sebesar 6,91 t/ha GKP. Berdasarkan deskripsi tanaman padi varietas Inpari 30 Ciherang Sub 1 memiliki potensi hasil 9,6 t/ha GKG dan Inpari 32 HDB mencapai 8,42 t/ha GKG. Data ini menunjukkan bahwa peluang untuk peningkatan produktivitas masih dapat diupayakan terutama pada komponen pendukung seperti penggunaan seed treatment (perlakuan benih) yang tepat, penggunaan biodekomposer pada saat pengolahan tanah, pemberian pupuk berimbang sesuai dengan kebutuhan tanaman serta pengendalian hama penyakit pada batas ambang kendali yang ditetapkan.

Data Tabel 13 diperoleh informasi bahwa di antara petani kooperator memiliki hasil panen mendekati target panen teknologi Jarwo Super yaitu sebesar 9,66 t/ha dan 8,50 t/ha. Namun, hasil panen rata-rata yang dicapai petani masih jauh dari target produksi Jarwo Super yaitu 10 t/ha. Hal ini mungkin disebabkan tingkat penerapan komponen teknologi padi Jarwo Super masih belum sempurna dan diperlukan pendampingan intensif agar setiap komponen teknologi yang tersedia dapat diaplikasikan tepat waktu dan tepat sasaran.

Peningkatan jumlah anakan produktif tidak sesuai dengan hasil gabah yang dihasilkan per ha, karena kondisi pertanaman padi Jarwo Super pada beberapa petani (5 orang) memberikan hasil gabah per ha yang kurang optimal disebabkan adanya serangan hama penggerek batang.

Page 151: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 119

Tabel 14. Analisis usahatani teknologi Jarwo Super dan eksisting di Kecamatan Lape, NTB, tahun 2016

UraianTeknologi Jarwo Super Teknologi Eksisting

Produksi (kg) Produksi (kg)Produksi (ton)Harga (Rp/Kg)Nilai Produksi (Rp)

Biaya:- Variabel -TetapPendapatanR/C Ratio

6.912,434.700

32.488.424

10.708.003 2.053.66319.726.757

2.55

5.157,504700

24.240.250

8.550.3162.053.66313.636.271

2,29

Usahatani padi berbasis Jarwo Super per ha di musim kemarau mampu meningkatkan penerimaan dari Rp24,24 juta menjadi sebesar Rp32,48 juta atau meningkat sebesar 34,02%. Biaya produksi meningkat dari semula Rp10,60 juta menjadi sebesar Rp12,76 juta atau meningkat sebesar 20,34% sehingga keuntungan yang dicapai meningkat dari Rp13,63 juta menjadi Rp19,72 juta atau meningkat sebesar 44,66%. Peningkatan penerimaan ini disebabkan oleh peningkatan produksi dari 5,15 ton/ha GKP menjadi 6,91 ton/ha GKP atau sebesar 34,03%. Peningkatan produksi disebabkan penerapan beberapa komponen teknologi, mulai dari penggunaan VUB potensi hasil tinggi seperti Inpari 30 dan 32, pemberian biodekomposer bersamaan dengan pengolahan tanah (pembajakan kedua), pemberian pupuk hayati pada benih yang diaplikasikan melalui (seed treatment) dan pemupukan berimbang berdasarkan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) menggunakan pestisida nabati dan pestisida anorganik berdasarkan ambang kendali, alat dan mesin pertanian, khususnya untuk tanam (jarwo transplanter) dan panen (combine harvester), dan komponen teknologi Jarwo Super lainnya. Namun disadari bahwa hasil yang dicapai masih jauh dari target produksi Jarwo Super yaitu 10 t/ha atau hanya mencapai rata-rata 69,12%, karena tingkat penerapan komponen teknologi di padi Jarwo Super masih belum sempurna. Peningkatan biaya produksi ini disebabkan oleh peningkatan biaya tenaga kerja pada kegiatan tanam, penambahan biaya tenaga kerja untuk penyemprotan dengan biopestisida selain pestisida kimia, adanya tambahan biodekomposer, dan pupuk hayati. Untuk mengetahui tingkat penerapan teknologi

Page 152: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan120

Jarwo Super oleh petani kooperator telah dilakukan survei yang dilakukan setelah kegiatan berakhir. Tingkat adopsi petani koperator terhadap komponen teknologi Jarwo Super dipaparkan pada Tabel 15.

Tabel 15. Tingkat adopsi teknologi padi Jarwo Super Kecamatan Lape, NTB, 2016

No Pertanyaan Total1 Menanam varietas unggul (Inpari 30 Ciherang Sub 1, Inpari

32 HDB, dan Inpari 33) 3,00

2 Melakukan persemaian benih yang direndam dan diperam selama 24 jam dan mengaplikasikan pupuk hayati

3,00

3 Rencana aplikasi biodekomposer di MT berikutnya. 2,884 Rencana aplikasi pupuk hayati di musim tanam berikutnya. 2,755 Rencana aplikasi alat tanam Indo Jarwo Transplanter atau

alat caplak di musim tanam berikutnya 3,00

6 Rencana aplikasi jarwo 2:1 jarak 50 : 25 : 12.5 pada musim tanam berikutnya.

2,00

7 Rencana aplikasi bioprotektor pada musim tanam berikutnya.

3,00

8 Rencana aplikasi penyulaman 2 minggu setelah tanam atau sebelum pemupukan pertama

2,75

9 Aplikasi alat panen combine harvester atau mini combine harvester

1,63

Total Score 30,63

Tingkat Adopsi 85,07

Ket: 1. Tidak mengadopsi, 2. Ragu-ragu, 3 Mengadopsi

Adapun tingkat penerapan teknologi masing-masing komponen oleh petani kooperator berkisar antara 77,78% sampai 88,89% atau rata-rata 85,06%. Hal ini disebabkan oleh cara aplikasi dan pemberian dosis pupuk yang kurang tepat melalui PUTS, kegiatan penyiangan yang kurang intensif, pengairan di MK yang kurang tepat karena sangat bergantung pada ketersediaan air, serta petani belum melihat dan mencoba combine harvester. Untuk keberlanjutan penerapan teknologi padi dengan sistem Jarwo Super sangat dipengaruhi oleh ketersediaan saprodi yang berkualitas dengan jumlah dan aplikasi yang tepat serta waktu ketersediaannya, baik itu benih padi, pupuk, maupun obat-obatan herbisida, pestisida maupun biopestisida.

Page 153: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 121

Tabel 16. Ciri-ciri adopsi teknologi padi Jarwo Super di lokasi Demfarm Kecamatan Lape, NTB, 2016

Ciri-ciri adopsi Kesesuaian1) Kerumitan2) Mudah diamati3) Keuntungan 4) Kemampuan

mencoba5)

Menanam VUB 3,00 2,78 2,89 2,89 2,78

Seed treatment benih dengan Agrimeth

2,78 2,67 2,78 2,89 2,89

Mengaplikasikan biodekomposer 3,00 2,78 2,78 3,00 2,78

Mengaplikasikan pupuk hayati 2,56 2,56 2,56 2,56 2,56

Menanan dengan Indo Jarwo Transplanter atau caplak

3,00 3,00 3,00 3,00 3,00

Menggunakan jarwo 2:1 jarak 50 x 25 x 12.5

2,67 2,67 2,67 2,67 2,67

Mengaplikasikan bioprotektor 2,89 3,00 3,00 3,00 3,00

Penyiangan gulma pada umur 21 HST dan 42 HST

2,22 2,56 2,44 2,44 2,44

Dosis pupuk (NPK=300kg, urea=200kg), 1/3 bagian 7–10 HST, 1/3 bagian 25–30 HST, dan 1/3 bagian lagi 40–45 HST

2,33 2,44 2,44 2,44 2,44

Penyulaman 2 minggu setelah tanam

2,56 2,67 2,67 2,67 2,67

Pengairan saat pembentukan anakan, setinggi 3–5 cm selama 1 minggu sampai menjelang panen

2,33 2,67 2,56 2,44 2,33

Panen dengan combine harvester 1,11 1,22 1,22 1,22 1,22

Total 30,44 31,00 31,00 31,22 30,58

Persepsi petani 84,57 86,11 86,11 86,73 84,88

Ket: 1)Kesesuaian : 1= tidak sesuai; 2= Ragu; 3= sesuai 2)Kerumitan (waktu yang dibutuhkan): 1= tidak rumit; 2= Ragu; 3= mudah 3)Mudah diamati (dilihat): 1= tidak mampu diamati; 2= Ragu; 3= mampu diamati 4)Keuntungan: 1= tidak untung; 2= ragu-ragu; 3= untung 5)Kemampuan mencoba: 1= kurang mampu dicoba; 2= ragu-ragu; 3= mampu dicoba

Tabel 16 memperlihatkan bahwa penerapan teknologi padi Jarwo Super oleh petani dapat dipengaruhi kelima ciri-ciri adopsi teknologi terdiri dari ciri kesesuaian, kerumitan, mudah diamati, keuntungan dan mudah dicoba. Dilihat dari rata-rata skor 3 masing-masing ciri-ciri adopsi dapat diartikan peluang teknologi diadopsi oleh petani dapat berlanjut. Namun bila dilihat per komponen teknologi, maka

Page 154: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan122

petani masih ragu untuk menerapkannya seperti komponen dosis pemupukan karena sangat dipengaruhi ketersediaan pupuk dan batas pembelian pupuk sesuai RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) bersubsidi, dan pengairan pada saat pembentukan anakan bergantung ketersediaan air pada musim hujan serta aplikasi combine harvester saat temu lapang. Menurut petani tingkat kehilangan gabah GKP pada saat panen cukup tinggi bila menggunakan combine harvester dibandingkan manual/rampek dan tresher/power tresher, sehingga petani sulit menerima.

ADOPSI TEKNOLOGI JARWO SUPER PASCA KEGIATAN DEMFARM

Adopsi adalah proses yang terjadi sejak pertama kali sesorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsi (menerima, menerapkan, menggunakan) hal baru tersebut. Menurut Bulu (2013), tingkat adopsi sebagai kemampuan seorang petani dalam menerapkan inovasi teknologi. Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan pengetahuan inovasi, keterampilan dalam menerapkan, dan kemampuan ekonomi (pembiayaan). Tindak lanjut pengembangan teknologi Jarwo Super di NTB setelah Demfarm 10 ha di Lape, tahun 2017 di kembangkan menjadi 1.000 ha.

Gambar 18. Keragaan tingkat adopsi teknologi Jarwo Super di Lape Sumbawa

Page 155: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 123

Dari tujuh komponen dasar teknologi Jarwo Super tingkat adopsi petani NTB yang paling tinggi pada komponen varietas khususnya Inpari 32. Adopsi komponen yang paling rendah yaitu penerapan transplanter dan combine harvester. Rendahnya respons petani terhadap komponen Jarwo Super selain varietas, karena rata-rata komponen tersebut bersifat pabrikan dan belum tersedia di lapangan. Komponen lain seperti cara tanam jarwo 2:1 masih bersifat labil karena penerapan komponen teknologi tersebut sangat bergantung pada regu tanam. Dengan populasi yang meningkat 30% dari cara tanam biasa, tetapi penetapan biaya ongkos tanam borongan yang sama maka di lapangan komponen ini banyak ditolak oleh regu tanam sehingga dari tujuh komponen dasar Jarwo Super, varietas merupakan komponen yang paling mudah dan murah diadopsi petani. Wirajaswadi (2012) melaporkan dari 13 komponen teknologi pendampingan SL-PTT di NTB, hanya 2 komponen teknologi yang diadopsi meluas yaitu penggunaan varietas anjuran dan benih berlabel. Sejak diperkenalkan pada musim tanam MK II 2016 penggunaan varietas Inpari 32 oleh petani NTB terus meningkat. Pada akhir kegiatan Jarwo Super 2016, perkembangan varietas Inpari 32 terus meningkat. Hal ini karena varietas Inpari 32 mampu mengalahkan keunggulan dari varietas Ciliwung khususnya dari aspek produktivitas. Keragaan penggunaan dan dominasi varietas Inpari 32 di NTB tertera pada Gambar 19.

Gambar 19. Dominasi Varietas Padi MT 2017-2018 di NTB

Kecepatan adopsi varietas Inpari 32 oleh petani NTB sangat baik. Dari dikenal sampai diterapkan oleh petani tidak lebih dari 1 tahun (2 musim tanam), sementara hasil penelitian adopsi varietas unggul baru rata-rata di atas 4 tahun setelah diperkenalkan. Faktor

Page 156: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan124

penentu tingkat komersialisasi benih varietas unggul antara lain tingkat produktivitas, kesesuaian mutu produk dengan konsumen, ketersediaan benih, serta ketahanan terhadap hama dan penyakit dan lain-lain (Yahmin 2008). Sedangkan penyebab lambatnya berkembang varietas unggul baru di antaranya keunggulan varietas tersebut tidak sebanding dengan varietas yang sudah ada. Tingginya tingkat adopsi Inpari 32 diyakini adanya perbedaan produktivitas yang signifikan dengan varietas Ciliwung. Berdasarkan deskripsi varietas padi (Balitbangtan 2011) potensi hasil varietas Ciliwung 6,5 t/ha, dan varietas Inpari 32 (Balitbangtan 2016) memiliki potensi hasil 8,42 t/ha. Kedua varietas tersebut sama-sama memiliki ketahanan terhadap penyakit blast dan hawar daun bakteri. Sebagaimana kita ketahui cekaman utama pada usahatani padi di NTB adalah penyakit blast. Salah satu alasan petani memilih varietas Ciliwung selama ini karena ketahanan terhadap penyakit blast. Berangkat dari luasan nol pada tahun 2016, setelah diperkenalkan melalui Demfarm 10 ha MK II 2016 dan 1.000 ha 2017 melalui teknologi Jarwo Super penggunaan varietas Inpari 32 pada MT 2017/2018 mampu menyalip semua varietas yang ada di NTB. Kecepatan adopsi suatu varietas tidak lepas dari peran penangkar, pedagang pengumpul gabah, penyuluh dan stakeholder lainnya. Dari Musim Tanam (MT) 2017/2018 ke MT 2018 posisi Inpari 32 terus meningkat. Pada MT 2018 dominasi Inpari 32 meningkat menjadi 33,3% seperti yang tertera pada Gambar 21. Dalam usahatani tanaman pangan, sistem perbenihan formal dan non formal bersifat komplementer, saling melengkapi, dan sangat diperlukan oleh berbagai tingkatan pelaku (Paturohman et al. 2017). Ketahanan pangan nasional yang diperoleh dari peningkatan produksi tanaman pangan merupakan hasil dari penanaman benih varietas unggul bermutu yang diproduksi oleh sistem perbenihan formal.

Page 157: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 125

795.14 755.16

1,327.07

307.39 274.51136.78

272.29 278.91

124.79

2,695.02

Gambar 20. Data produksi, distribusi, dan stok benih padi sampai bulan Oktober 2018 di NTB

Adopsi varietas Inpari 32 oleh petani NTB merupakan pencapaian yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan program pengenalan varietas sebelumnya. Diprediksi dominasi Inpari 32 di NTB akan terus naik sejalan dengan bertambahnya petani yang mendapatkan informasi tentang Inpari 32. Dengan meningkatnya penggunaan Inpari 32 sampai dengan MT 2018/2019 diperkirakan kontribusi peningkatan produksi padi di NTB sebesar 134.751 ton. Hasil ini berasal dari produksi benih Inpari 32 oleh penangkar sampai dengan Bulan Oktober sebanyak 2.695.020 kg dengan asumsi ditanam petani dengan kebutuhan benih 30 kg/ha maka terdapat luas tanam Inpari 32 sebanyak 89.834 ha. Sementara selisih produktivitas Ciliwung dengan Inpari 32 di lapangan sebanyak 1.500 kg gabah kering panen/ha.

KESIMPULANPenerapan teknologi Jarwo Super dengan menggunakan padi

varietas Inpari 30 Ciherang Sub 1 memiliki produktivitas rata-rata 6,71 t/ha GKP dan Inpari 32 HDB sebesar 7,92 t/ha GKP. Namun, kedua varietas tersebut memiliki rata-rata produktivitas sebesar 6,91 t/ha

GKP. Usahatani padi berbasis Jarwo Super per ha di musim kemarau mampu meningkatkan penerimaan dari Rp24,24 juta menjadi sebesar Rp32,48 juta atau meningkat sebesar 34,02% dengan biaya produksi

Page 158: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan126

meningkat dari semula Rp10,60 juta menjadi sebesar Rp12,76 juta atau meningkat sebesar 20,34% sehingga keuntungan yang dicapai meningkat dari Rp 13,63 juta menjadi Rp19,72 juta atau meningkat sebesar 44,66%.

Adapun tingkat penerapan komponen teknologi masing-masing komponen oleh petani kooperator tingkat adopsi paling tinggi penggunaan varietas Inpari 32 yaitu 72,5%, dan yang terendah adopsi alat tanam dan panen masing-masing hanya 2,5%.

Berdasarkan ciri-ciri adopsi dapat diartikan peluang teknologi diadopsi oleh petani dapat berkelanjutan. Namun, bila dilihat per komponen teknologi maka petani masih ragu untuk menerapkannya seperti komponen dosis pemupukan, pengairan serta aplikasi combine harvester.

UCAPAN TERIMA KASIHPenghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang sudah memberikan dana penelitian melalui anggaran SMARTD sehingga kajian ini berjalan hingga selesai, serta pihak-pihak lain yang sudah banyak membantu sehingga kegiatan kajian ini berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA[BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2015. Nusa Tenggara Barat

Dalam Angka 2015

Bulu, G.Y, Prisdiminggo, Astiti Gde. L, Utami K. Sylvia. 2013. “Model Pengembangan Pertanian Pedesaan melalui Inovasi (m-P3MI) Berbasis Usaha Agribisnis di Nusa Tenggara Barat”. Laporan Akhir tahun. BPTP NTB.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2018. “Laporan Kajian Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Hasil Balitbangtan”. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Kementerian Pertanian

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2016. “Petunjuk Teknis Budidaya Padi Jajar Legowo Super”.

Page 159: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 127

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2016. “Diskripsi Varietas Unggul Baru Padi”.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. “Diskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi”.

Dinas Pertanian Provinsi NTB. 2016. “Laporan Produksi benih sumber Balai Benih Induk tanaman pangan BPSB Provinsi Nusa Tenggara Barat”.

Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2015. “Pengembangan desa mandiri benih dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional”. Disampaikan pada Raker Balitbangtan 8–10 Januari 2015.

Dinas Pertanian TPH Provinsi NTB. 2014. “Kebijakan Perbenihan Tanaman Pangan di Provinsi NTB. Mataram”.

Eman Paturohman, dan Sumarno 2017. “Sistem Perbenihan Formal dan Informal Tanaman Pangan.Iptek Tanaman Pangan”. Buletin Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

Fagi, A.M., B. Abdullah, dan S. Kartaatmaja. 2001. “Peranan padi Indonesia dalam pengembangan padi unggul.Prosiding Budidaya Padi”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor

Hendayana R. 2016. “Persepsi dan Adopsi Teknologi Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor”.

Haryono. 2014. Peran Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Mendukung kemandirian Pangan”. Proseding seminar nasional Hari Pangan Sedunia ke-33. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Irsal Las, H. Syahbuddin, Surmaini, dan M. Fagi. 2008. “Iklim dan Tanaman Padi Tantangan dan Peluang”. Proseding seminar Hasil Penelitian Padi Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan

Inding Chaidir. 2014. “Agenda Riset Nasional Untuk Mendukung Kemandirian Pangan Menyosong Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015”. Proseding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia ke-23

Ibrahim T.J, Sudiyono A, dan Harpowo. 2003. “Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian”. Banyumedia Publishing UMM Malang Jatim

Page 160: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan128

Puslitbangtan. 2007. ”Apresiasi Teknologi Perbenihan Menunjang Peningkatan Kapasitas UPBS”.

K. Puspadi, Hipi A., Hastuti S., Prisdiminggo, Untung S. 2009. “Pengembangan Model Perbenihan Padi Dalam Rangka Penyediaan Benih Padi FS dan SS mendukung Program P2BN di NTB”. Laporan Akhir Tahun BPTP NTB

M. Y. Samaullah. 2008. “Pengembangan Varietas Unggul dan Komersialisasi Benih Sumber Padi”. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Padi Menunjang P2BN Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi

Suyamto. 2017. “Manfaat bahan dan pupuk organik pada tanaman padi di lahan sawah irigasi”. Iptek Tanaman Pangan. Buletin Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

Sembiring H. 2009. “Panduan Temu Teknis Petugas dan Pelaku Pengembangan Perbenihan Padi”. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi

Untung.S, Feriman, Yunus M. 2016. “Pendayagunaan Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) mendukung Perbenihan Padi Di NTB”. Laporan Akhir tahun BPTP NTB

Wirajaswadi L. 2013. “Pendampingan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Komoditi Padi”. Laporan Akhir tahun BPTP NTB

Page 161: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

KESESUAIAN INOVASI JARWO SUPER DAN PELUANG DIFUSI TEKNOLOGINYA

DI JAWA BARAT

Iskandar Ishaq dan Liferdi

PENDAHULUANPermintaan beras terus meningkat seiring dengan laju

pertambahan penduduk, namun sehingga diperlukan berbagai terobosan peningkatan produksi dan produktivitas. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi di Indonesia dengan kontribusinya sebesar 17,6% dari total produksi padi di Indonesia (Ishaq 2011). Berdasarkan agroekosistem penyumbang produksi padi selama lima tahun terakhir dari total produksi padi, maka produksi padi yang berasal dari lahan sawah berkontribusi 96,09%, sedangkan produksi padi yang berasal dari lahan kering berkontribusi 3,91% (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2013 dalam Ishaq 2014; Ishaq 2015a). Dengan demikian, agroekosistem lahan sawah, baik tergolong lahan sawah irigasi teknis, irigasi sederhana/perdesaan, maupun lahan sawah tadah hujan sampai dengan saat ini di Jawa Barat masih memiliki peran strategis dalam rangka meningkatkan produksi padi.

Di samping itu, usahatani padi merupakan mata pencaharian pokok bagi 3.804.324 orang angkatan kerja pertanian, sehingga menjadi sedemikian penting perannya dalam perekonomian di wilayah Jawa Barat (Ishaq 2015b). Lebih jauh menurut Ishaq (2011), pencapaian produksi padi di Jawa Barat selain mampu memenuhi kebutuhan beras bagi hampir 43 juta penduduk Jawa Barat dengan tingkat konsumsi beras rata-rata 105,87 kg/kapita/tahun, juga mampu memenuhi kebutuhan beras bagi penduduk di luar Jawa Barat dengan nilai surplus beras selama lima tahun terakhir berkisar 0,6–1 juta ton, meskipun kebutuhan beras di Jawa Barat selama enam tahun terakhir, baik kebutuhan konsumsi rumah tangga maupun kebutuhan industri pangan 6,80 juta ton dan terjadi peningkatan konsumsi 572.520 ton dibandingkan tahun 2009.

Page 162: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan130

Salah satu terobosan yang ditempuh adalah menerapkan teknologi budidaya padi jajar legowo super (Jarwo Super) yang merupakan paket teknologi budidaya terpadu padi di lahan sawah irigasi berbasis sistem tanam jajar legowo 2:1 (Balitbangtan 2016; BB Padi 2016; Ditjen Tanaman Pangan 2017; Ishaq 2012). Selain untuk produksi gabah, paket teknologi ini juga dapat diaplikasikan untuk perbanyakan benih guna menghasilkan benih padi varietas unggul baru (Ishaq 2010), sebagaimana dijalankan di Jawa Barat.

IMPLEMENTASI KOMPONEN TEKNOLOGI JARWO SUPER

Dari enam komponen teknologi yang direkomendasikan pada budidaya padi Jarwo Super, komponen tertinggi yang paling banyak diadopsi petani adalah penggunaan benih dari varietas unggul baru (100%). Di Jawa Barat VUB yang didiseminasikan adalah varietas Inpari 30 (60,00%), Inpari 31 (2,50%) dan Inpari 32 (37,50%), diikuti berturut-turut oleh komponen teknologi penggunaan pupuk hayati Agrimeth 91,30%, biodekomposer M-Dec 87,56%, pestisida nabati Bio protector (BP) 49,53%, penggunaan combine harvester 10,47% dan terakhir adalah penggunaan komponen teknologi Indojarwo Transplanter 3,97%.

Implementasi komponen teknologi yang terintegrasi di dalam konsep pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) telah menunjukkan pengaruh dan kontribusi nyata terhadap peningkatan hasil (produktivitas) padi. Menurut Zaini (2012), kontribusi penerapan komponen teknologi terhadap hasil terbesar berturut-turut dipengaruhi oleh: (a) pemupukan hara spesifik lokasi (PHSL) 24,7%; (b) sistem tanam jajar legowo 18,7%; (c) benih bermutu dari varietas unggul baru (VUB) 15,1%; (d) menghindari tanaman kelebihan atau kekurangan air (pengaturan kebutuhan air tanaman) 14,6%; (e) pengelolaan hama dan penyakit terpadu (PHT) 11,2%; (f) pengelolaan persemaian bersama 7,5%; (g) perontokkan gabah sesegera mungkin dapat menekan kehilangan hasil 5,1%; dan (h) peninggian pematang sawah berpengaruh terhadap kehilangan hasil 3,1%.

Page 163: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 131

Penggunaan Benih dan Varietas Unggul BaruVarietas dan lingkungan tumbuh tanaman memegang peran

penting dalam strategi pencapaian hasil optimal. Sifat fisiologis dan morfologis spesifik varietas akan memberikan pengaruh yang berbeda karena pengaruh dari faktor lingkungan dan teknik budidaya selama pertumbuhan tanaman. Produksi maksimum dari suatu varietas akan dapat teraktualisasi apabila berbagai aspek yang terkait dengan pengelolaan budidaya varietas tersebut tersedia secara optimal. Pada prinsipnya varietas tanaman padi memiliki potensi hasil genetik, yaitu hasil tertinggi yang merupakan batas kemampuan suatu varietas padi dalam memproduksi gabah (produktivitas), yang dapat dicapai hanya pada kondisi iklim terbaik dan tanpa adanya faktor pembatas lingkungan tumbuh tanaman apapun (Penning de Vries et al. 1989; Kropff dan Lotz 1992; Makarim et al. 2009).

Gambar 21. Keragaan varietas unggul baru (VUB) pada lahan petani tahun 2016

Varietas Inpari 33 yang ditanam pada jarak tanam lebih renggang (60 x 30 x 30 cm) dan jarak tanam lebih rapat (60 x 30 x 15 cm), terlihat bahwa jumlah anakan per rumpun, jumlah malai per rumpun, panjang malai, bobot gabah per rumpun, jumlah gabah isi per malai, dan bobot gabah, dan performa yang ditanam lebih rapat lebih rendah (Tabel 21). Hal ini disebabkan, antara lain karena intensitas sinar

Page 164: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan132

matahari, input hara, serta suhu dan kelembapan udara. Tanaman padi tumbuh secara optimum bila mendapatkan intensitas sinar matahari yang mencukupi. Bila populasi tanaman terlalu rapat, maka terjadi persaingan antar individu tanaman padi (Mondai and Puteh 2013; Mohaddesi et al. 2011). Bila pertanaman padi ditanam dengan jarak tanam lebih rapat dan tidak diimbangi dengan pemberian input hara yang cukup, maka akan terjadi kahat hara tertentu terutama N, P dan K serta air. Hal ini mengakibatkan terjadinya persaingan dan penyerapan hara secara intensif sehingga terjadi pengurasan hara secara intensif pula (Baihaki dan Wicaksana 2005; Mohaddesi et al. 2011).

Pertanaman padi yang ditanam secara lebih rapat menyebabkan perubahan kondisi iklim mikro, suhu dan kelembapan udara cenderung lebih rendah. Kondisi ini memberikan kondisi yang lebih menguntungkan bagi perkembangan penyakit (hawar daun bakteri dan blas) (Balitbangtan 2009; Jumakir et al. 2012). Di samping itu kondisi pertanaman padi yang relatif rapat dapat memudahkan pergerakan dan perpindahan hama tikus di atas tajuk tanaman padi, sebab air yang menggenangi pertanaman padi biasanya sudah diberi aliran listrik oleh petani setempat. Lahan sawah di daerah pantura Jawa Barat umumnya relatif subur sehingga semakin subur tanah, maka jarak tanam yang diterapkan semakin lebar (Abdulrachman et al. 2012; Ishaq 2012). Apabila kendala-kendala yang ada dapat diatasi, maka produktivitas individu tanaman akan meningkat yang pada gilirannya akan menentukan produktivitas tanaman padi secara hamparan.

Page 165: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 133

Tabel 17. Karakteristik agronomis varietas unggul baru (VUB) pada budidaya teknologi Jarwo Super di Desa Sukasari, Kecamatan Sukasari, Kab. Subang. MK II 2016

Karakteristik Agronomis Tan.

Varietas dan Sistem Tanam Pembanding

Inpari 30 Inpari 32 Inpari 33Ciherang

600Ciherang

Jarwo 2:11)

Jarwo 2:11)

Jarwo 2:11)

Jarwo 2:12)

Jarwo 2:11) Jarwo 2:11)

Tinggi tanaman (cm) 124,20tn) 121,80tn) 120,60tn) 123,20*) 137,20*) 113,80

Jmlh anakan/rmpn 48,40 tn) 58,80 tn) 58,60 tn) 43,40**) 57,60 tn) 49,80

Jumlah malai/rmpn 38,00 tn) 51,80 tn) 50,00 tn) 35,80*) 51,40 tn) 43,80

Panjang malai (cm) 26,14 tn) 24,14 tn) 30,52 **) 27,44tn) 40,62**) 26,28

Bobot gabah/rmpn (g) 119,00 tn) 135,60**) 122,00 tn) 117,40 tn) 183,40**) 106,20

Bobot jerami/rmpn (g) 192,80tn) 277,80*) 158,40tn) 255,40*) 377,20**) 167,20

Jml Gabah isi/malai 176,80 tn) 160,60 tn) 180,60 tn) 177,20 tn) 552,20*) 173,40

Jml Gabah hampa/malai 16,20*) 14,80 tn) 14,40 tn) 16,00 tn) 24,80 *) 9,20

Jumlah gabah/malai 193,00 tn) 174,40 tn) 195,00 tn) 192,00 tn) 577,00**) 182,60

Bobot 1000 butir (g) 23,33 tn) 25,77 tn) 27,13*) 25,23 tn) 36,67*) 23,97

Jumlah pop. rumpun/ha 57.857 57.857 67.857 78.571 75.000 73.929

Produktivitas (t/ha) GKP 6,88 7,84 8,28 9,22 13,76 7,85

Produktivitas (t/ha) Benih 5,16 5,81 6,30 6,83 10,00 5,70

Rendemen Benih (GKS/GKP)

0,75 0,74 0,76 0,74 0,73 0,73

Keterangan : 1)= Sistem Tanam Jajar Legowo dengan Jarak Tanam 60 x 30 x 30 cm: 2)= Sistem Tanam Jajar Legowo dengan Jarak Tanam 60 x 30 x 15 cm; tn)=tidak nyata dibandingkan dengan Ciherang; *)=nyata dibandingkan dengan Ciherang; dan **)=sangat nyata dibandingkan dengan Ciherang berdasarkan Uji T berpasangan pada taraf kepercayaan 95%

Penggunaan Pupuk HayatiPenerapan komponen teknologi pupuk hayati Agrimeth oleh

petani pelaksana kegiatan berkisar dari 70,31% di Kabupaten Bandung sampai dengan 100% di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cianjur; sedangkan untuk Jawa Barat rata-rata 91,30%. Alasan petani yang tidak menerapkan karena belum diambil di ketua kelompok.

Aplikasi pupuk hayati memberikan peningkatan hasil panen padi rata-rata 1,74 t/ha (32%) atau meningkatkan penerimaan bersih usahatani rata-rata Rp7.259.300 per ha dibandingkan dengan lahan sawah yang hanya diaplikasikan pupuk anorganik saja (Tabel 18).

Page 166: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan134

Tabel 18. Pengaruh komponen teknologi pupuk hayati terhadap hasil dan penerimaan usahatani petani di Kabupaten Ciamis, MK I 2017

No Uraian Pupuk Hayati

Tanpa Pupuk Hayati

A B C D (Kontrol)1 Pupuk Urea (Rp) 150.000 150.000 150.000 200.0002 Pupuk NPK Phonska (Rp) 486.000 486.000 486.000 648.0003 Pupuk Hayati A (Rp) 200.000 - - -4 Pupuk Hayati B (Rp) - 300.000 - -5 Pupuk Hayati C (Rp) - - 240.000 -

Jumlah 836.000 936.000 876.000 848.0006 Tambahan Biaya (Rp) (12.000) 88.000 28.000 07 Hasil (t/ha GKP) 7,26 6,93 7,52 5,508 Penerimaan (Rp) 30.492.000 29.106.000 31.584.000 23.100.0009 Tambahan Penerimaan (Rp) 7.392.000 6.006.000 8.484.000 0

Tambahan Penerimaan Bersih (Rp)

7.404.000 5.918.000 8.456.000 0

Penggunaan Bio Dekomposer Penerapan komponen teknologi biodekomposer M-Dec oleh

petani pelaksana kegiatan bervariasi dari 71,88% di Kabupaten Bandung sampai dengan 100% di Kabupaten Indramayu dan Cianjur, sedangkan rata-rata di Jawa Barat adalah 87,56%. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan penerapan komponen teknologi pupuk hayati Agrimeth. Beberapa penyebab rendahnya penerapan biodekomposer M-Dec, antara lain karena petani merasa kesulitan dalam aplikasinya sebab bila dicampur dengan air dan langsung ditebarkan langsung pada tunggul jerami sisa panen membutuhkan tenaga kerja dan waktu kerja tambahan, tetapi bila campuran M-Dec diaplikasikan dengan menggunakan sprayer sering kali menyebabkan kemacetan pada nozzle sprayer-nya. Penggunaan biodekomposer pada residu bahan organik pertanian mampu mengubah lingkungan mikro tanah dan komunitas mikroba sehingga meningkatkan kualitas tanah dan produktivitas tanaman (Saraswati 2004).

Page 167: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 135

Penggunaan Alat Mesin Tanam (Indo Jarwo Transplanter)

Pengaturan jarak tanam terkait dengan populasi. Semakin rapat jarak tanam yang digunakan maka populasi tanaman akan semakin banyak. Demikian sebaliknya, semakin lebar jarak tanam maka akan semakin sedikit populasi tanamannya. Berdasarkan Petunjuk Teknis Penelitian Pengembangan Jarwo Super di lahan sawah irigasi (Puslitbang Tanaman Pangan 2017), dinyatakan bahwa Jarwo Super adalah teknologi budidaya terpadu padi sawah irigasi berbasis sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan populasi 213.000 atau minimum 200.000 rumpun per hektare serta menerapkan tujuh komponen teknologi super. Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa penerapan sistem tanam jajar legowo atau Jarwo terbukti mampu meningkatkan hasil panen. Pada kenyataannya petani kurang menyukai menerapkan sistem tanam Jarwo, baik tanam dengan menggunakan alat bantu tanam caplak maupun tanam dengan menggunakan alat mesin tanam Indo Jarwo Transplanter.

Gambar 22. Persemaian dalam tray

Page 168: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan136

Tabel 19. Perbandingan tanam secara manual dengan penggunaan alat mesin pertanian (Indo Jarwo Transplanter)

No Uraian Indo Jarwo Transplanter Manual (Tenaga Tanam)1 Waktu 8-12 jam Setara 42 OH

tenaga tanam wanita 2 Biaya Jasa operator Rp169.0501)

Konsumsi Rp105.0002)

Bensin Rp173.500Upah merapihkan Rp280.000Total Rp727.500

Jasa tenaga tanam wanita 42 OH x Rp40.000

=

Rp1.680.000

3 Penghematan biaya Rp952.500 -

Meskipun petani sudah merasakan kesulitan memperoleh tenaga tanam, tetapi Indo Jarwo Transplanter belum dapat memenuhi harapan petani sepenuhnya. Komponen teknologi Indo Jarwo Transplanter merupakan komponen teknologi yang penerapannya paling rendah di antara komponen teknologi budidaya jajar legowo super yang dilaksanakan di Jawa Barat, yakni berkisar 1,55% di Kabupaten Bandung sampai dengan 6,22% di Kabupaten Indramayu (rataan 3,97%). Hal itu antara lain disebabkan: (a) belum semua kelompok tani peserta dan pelaksana kegiatan mendapatkan bantuan dan memilikinya, (b) bagi kelompok tani yang telah memiliki di wilayah pantai utara Jawa Barat, seperti di Kabupaten Subang, Karawang, dan Indramayu pilihan pengaturan jarak tanam masih kurang lebar, sebab bila jarak tanam terlalu rapat akan menyebabkan peningkatan serangan hama tikus, (c) pada beberapa tipe lahan sawah dengan sifat pelumpuran dalam, maka alat tidak dapat berjalan dengan baik, sehingga akan menyebabkan waktu kerja menjadi lebih lama dan akibatknya biaya akan meningkat), (d) kebutuhan benih akan meningkat 40–60%, dan (e) pada beberapa wilayah perlu pendekatan sosial-budaya terhadap tenaga tanam “ceblokan”.

Penggunaan Pestisida Nabati Pestisida nabati Bio Protektor (BP) merupakan salah satu sarana

produksi yang diberikan sebagai bantuan kepada petani pelaksana kegiatan, meskipun tidak semua petani mendapatkan dengan dosis sesuai dengan yang direkomendasikan. Oleh karena itu, terlihat bahwa penerapan komponen teknologi ini lebih rendah dibandingkan

Page 169: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 137

dengan komponen teknologi lain yang diberikan sebagai bantuan, seperti benih, pupuk hayati dan biodekomposer. Aplikasi pestisida nabati BP pada petani pelaksana berkisar 25,50% di Kabupaten Indramayu sampai dengan 87,50% di Kabupaten Cianjur, sedangkan rataan penerapan BP di Jawa Barat adalah 49,53%. Penyebab rendahnya penerapan di Kabupaten Indramayu antara lain karena serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), seperti wereng batang cokelat (WBC), virus kerdil rumput (VKR), virus kerdil hampa (VKH), penggerek batang padi (PBP), hawar daun bakteri (HDB) atau kresek dan blast yang relatif tinggi intensitasnya dibandingkan lokasi kegiatan di kabupaten lain.

Gambar 23. Penanaman dengan Indo Jarwo Transplanter

Penggunaan Alat Mesin PanenKomponen teknologi rekomendasi terakhir yang

direkomendasikan pada budidaya padi melalui penerapan sistem jajar legowo super adalah penggunaan alat mesin panen (combine harvester). Penggunaan combine harvester oleh petani pelaksana kegiatan berkisar dari terendah 1,15% (Kabupaten Karawang) sampai dengan tertinggi 20,00% (Kabupaten Cianjur) dengan rataan di Jawa Barat 10,47%. Beberapa alasan rendahnya implementasi combine harvester, antara lain karena belum semua kelompok tani pelaksana kegiatan mendapatkan bantuan alat ini. Bagi kelompok tani yang telah mendapatkan bantuan dan memiliki, tetapi hanya sebagian lahan sawahnya yang memanfaatkan alat ini, sebab kesulitan dalam pengoperasiannya, terutama pada lahan sawah yang letaknya jauh dari jalan desa (ketiadaan farm road).

Page 170: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan138

Gambar 24. Pemanfaatan combined harvester tray

Tabel 20. Realisasi implementasi komponen teknologi pada budidaya teknologi Jarwo Super di Provinsi Jawa Barat, tahun 2017

KabupatenSarana Produksi dan Komponen Teknologi (%)

Benih Transplanter Agrimeth M-Dec Bio Protektor Combined

Karawang 100,00 4,65 94,40 88.90 27,80 1,15

Subang 100,00 4,69 91,80 77,00 45,90 12,50

Indramayu 100,00 6,29 100,00 100,00 25,50 17,50

Cianjur 100,00 2,66 100,00 100,00 87,50 20,00

Bandung 100,00 1,55 70,31 71,88 60,94 1,20

Jawa Barat 100,00 3,97 91,30 87,56 49,53 10,47

Efisiensi Pemupukan Urea dan NPK Nilai efisiensi pemupukan N (Urea) dan NPK (NPK Phonska)

terhadap hasil gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG) pada teknologi budidaya Jarwo Super menunjukkan hasil yang lebih efisien dibandingkan dengan teknologi budidaya petani. Pada teknologi budidaya Jarwo Super, pemupukan 1 kg Urea berturut-turut akan menghasilkan 40 kg GKP dan 33 GKG; sedangkan pemupukan

Page 171: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 139

1 kg NPK Phonska berturut-turut akan menghasilkan 33 kg GKP dan 29 kg GKG. Pada teknologi budidaya padi petani sekitarnya (tanpa menerapkan Jarwo Super) diketahui, bahwa pemberian 1 kg Urea berturut-turut akan menghasilkan 36 kg GKP dan 29 kg GKG, sedangkan pemupukan 1 kg NPK Phonska berturut-turut akan menghasilkan 29 kg GKP dan 26 kg GKG.

Nilai efisiensi pemupukan N dan NPK pada petani pelaksana kegiatan Jarwo Super dalam menghasilkan gabah kering giling (GKG) berturut-turut adalah 13,8% dan 11,5% lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menerapkan teknologi budidaya padi biasa. Efisiensi pemupukan N (Urea) lebih tinggi dibandingkan dengan pemupukan NPK (Phonska), baik dalam bentuk gabah kering panen (GKP) maupun gabah kering giling (GKG) dan ditemui baik pada petani pelaksana kegiatan (kooperator) maupun pada petani bukan pelaksana kegiatan (non kooperator) di Jawa Barat. Nilai efisiensi pemupukan selengkapnya disajikan pada Gambar 25 dan Gambar 26.

Gambar 25. Efisiensi pempukan N (Urea) dan NPK (Phonska) pada teknologi budidaya padi Jarwo Super (JS) dan Non-Jarwo Super (Non-JS)

Page 172: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan140

Gambar 26. Hasil regresi produktivitas padi dengan menerapkan teknologi Jarwo Super di Jawa Barat tahun 2017

PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS BENIH PADI SERTA PEMANFAATANNYA

Dari seluruh wilayah pengkajian teknologi budidaya padi Jarwo Super pada tahun 2017 di Jawa Barat pada lahan sawah (1.000 ha), diperoleh hasil panen 6.639 ton gabah kering panen (GKP). Hasil panen tertinggi diperoleh di Kabupaten Subang, yaitu 1.545 ton dengan produktivitas rata-rata 7,46 t/ha. Sedangkan, hasil panen terendah di Kabupaten Karawang, yaitu 1.198,50 ton dengan produktivitas rata-rata 5,95 t/ha.

Produktivitas padi yang relatif rendah (<7,0 t/ha) di Jawa Barat, di antaranya di Kabupaten Karawang (5,95 t/ha), Kabupaten Indramayu (6,01 t/ha), dan Kabupaten Bandung (6,66 t/ha); disebabkan karena pada saat waktu tanam di Kabupaten Karawang dan Indramayu, yaitu antara akhir bulan Maret sampai dengan pertengahan bulan Mei 2017, terjadi serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dengan intensitas tinggi, seperti serangan wereng batang cokelat (WBC), penggerek batang padi (PBP) serta serangan penyakit virus kerdil rumput (VKR) dan virus kerdil hampa (VKH). Penyebabnya diduga karena faktor suhu, sebab ekspresi gejala beberapa penyakit

Page 173: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 141

karena virus ditentukan oleh suhu (Wiyono 2007). Kondisi suhu tinggi dapat merangsang perkembangbiakan hama. Suhu tinggi disertai kelembapan tinggi berpengaruh terhadap peningkatan intensitas serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan cendawan (Salisbury dan Ross 1995; Gardner et al. 1991). Sedangkan, selama waktu tanam di Kabupaten Bandung (Juni sampai dengan Agustus 2017) terjadi kekurangan air irigasi sehingga pertumbuhan tanaman tidak optimal.

Menurut Chandra (2010), pada kondisi kekurangan air, akar akan memunculkan naluri untuk bertahan hidup dengan cara memperkuat akar yang sudah ada dari pada membentuk akar baru sehingga akar pada kondisi kekurangan air akan tampak menjadi pendek. Terhambatnya pertumbuhan akar berdampak pada terhambatnya pertumbuhan tanaman (berat tanaman dan akar). Kekurangan air berpengaruh pada setiap aspek pertumbuhan akar tanaman yang memiliki fungsi utama sebagai penyerap unsur hara dari tanah.

Dari seluruh hasil panen, tidak seluruhnya dijadikan benih, meskipun hampir semua pertanaman didaftarkan untuk disertifikasi ke Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) di masing-masing kabupaten. Hal itu disebabkan beberapa alasan, antara lain: (a) kualitas gabah tidak layak dijadikan benih akibat terserang hama dan/atau penyakit, (b) harga gabah konsumsi pada saat panen lebih tinggi dari harga pembelian gabah calon benih oleh PT Pertani, dan (c) hasil panen dijadikan benih tanpa disertifikasi oleh petani dan/atau kelompok tani. Dari 5.886,112 ton gabah kering simpan, sebanyak 715,56 ton (12,16%) dibeli untuk dijadikan benih sebar (BR) oleh PT Pertani, sebanyak 1.576 ton (26,78%) dibeli oleh penangkar benih/produsen benih swasta untuk dijadikan benih, sebanyak 761,176 ton (12,93%) dimanfaatkan oleh anggota kelompok tani sebagai benih tanpa label, dan selebihnya 2.833,376 ton (48,14%) dimanfaatkan sendiri dan dijual petani sebagai gabah konsumsi (Tabel 21).

Page 174: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan142

Tabel 21. Produksi dan produktivitas padi serta hasil benih padi dan pemanfaatannya pada Demfarm Jajar Legowo Super di Provinsi Jawa Barat 2017

Kabupaten Produksi (t GKP)

Produktivitas (t/ha GKG)

Pemanfaatan Benih (t)

PT Pertani

Penangkar swasta

Kel. tani

Dimanfaatkan sendiri atau dijual Petani

Jumlah

Karawang 1.198,50 5,95 209,36 - - 791,312 1.000,672

Subang 1.545,00 7,46 360,00 1.032,00 - 122,400 1.514,400

Indramayu 1.202,00 6,01 46,20 - 208,00 758,240 1.012,440

Cianjur 1.361,50 7,78 100,00 544,00 42,00 540,400 1.226,400

Bandung 1.332,00 6,66 - - 511,176 621,024 1.132,200

Jawa Barat 6.639,00 6,77 715,56 1.576,00 761,176 2.833,376 5.886,112

PELUANG DIFUSI TEKNOLOGI JARWO SUPERVarietas Ciherang 600 dan Inpari 33 merupakan varietas yang

berdaya hasil tinggi. Komponen hasil padi dipengaruhi oleh varietas dan kerapatan populasi (jarak tanam). Komponen hasil seperti jumlah anakan per rumpun, jumlah malai per rumpun, panjang malai, bobot gabah per rumpun, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah per malai dan bobot gabah per butir (bobot 1.000 butir) pada kondisi pertanaman padi yang ditanam lebih rapat (jarak tanam 60 x 30 x 15 cm) akan menurun dibandingkan dengan tanaman padi yang ditanam kurang rapat (jarak tanam 60 x 30 x 30 cm).

Produktivitas hasil tanaman padi varietas Ciherang 600 lebih tinggi (13,76 t/ha) meskipun ditanam dengan populasi lebih rendah (75.000 rumpun/ha) dibandingkan dengan produktivitas varietas Inpari 33 (9,22 t/ha) dengan populasi lebih banyak (78.571 rumpun/ha). Rendemen produksi benih tertinggi (0,76) diperoleh dari varietas Inpari 33 yang ditanam pada populasi 67.857 rumpun/ha.

Jarwo Super lebih efisien dalam penggunaan pupuk N sebesar 11% dan pupuk NPK 14%. Inovasi teknologi budidaya jajar legowo super dengan varietas unggul mampu meningkatkan hasil panen dalam bentuk gabah konsumsi rata-rata 2,4 t/ha (34%) atau meningkatkan hasil panen dalam bentuk benih rata-rata 0,93 t/ha (16,32%) dibandingkan dengan teknologi non-Jarwo Super.

Page 175: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 143

Dari 6 komponen utama inovasi teknologi Jarwo Super, maka preferensi petani di Jawa Barat cenderung menyukai berturut-turut (a) teknologi benih dan varietas (100%), (b) teknologi pupuk hayati Agrimeth (91,30%), (c) teknologi decomposer M-Dec (87,56%), (d) teknologi pestisida nabati Bio Protektor (BP) (49,53%), (e) teknologi alat mesin pertanian untuk panen (combined harvester) (10,47%), dan (f) teknologi alat mesin pertanian untuk tanam Indo Jarwo Transplanter (3,97%).

PENUTUPInovasi teknologi padi Jarwo Super dirancang dalam bentuk

paket teknologi yang terpadu dan merupakan penyempurnaan dari pendekatan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi. Secara teknis, inovasi teknologi Jarwo Super telah terbukti mampu meningkatkan efisiensi produksi, baik efisiensi dalam penggunaan pupuk anorganik, tenaga kerja akibat penerapan alat mesin pertanian maupun efisiensi biaya produksi usahatani sekaligus peningkatan produktivitas hasil sebagai dampak penerapan varietas unggul baru (VUB) dan efek sinergisme dari penerapan berbagai komponen teknologi.

Inovasi teknologi Jarwo Super untuk hasil berupa gabah konsumsi secara maksimum dapat dilakukan melalui penerapan varietas unggul, baik unggul baru maupun unggul lokal setempat dengan menerapkan jarak tanam lebih rapat (populasi tinggi) disertai peningkatan dosis pemupukan seiring dengan peningkatan populasi tanaman, sedangkan untuk hasil gabah calon benih, maka jarak tanam diatur lebih renggang agar varietas tanaman padi dapat berekspresi menghasilkan malai lebih panjang, jumlah gabah isi lebih banyak (maksimum), dan ukuran gabah lebih besar.

Agar komponen teknologi Jarwo Super cepat diadopsi dan terdiseminasi (difusi) lebih cepat pada tingkat lapangan, beberapa hal yang dirasakan perlu dilakukan, yaitu: (a) penyediaan benih sumber VUB (kelas benih dasar dan/atau benih pokok) pada Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) BB Padi dan BPTP Jawa Barat yang dapat dengan mudah diakses oleh penangkar benih, (b) pupuk hayati (Agrimeth), biodekomposer (M-Dec) dan pestisida nabati (Bio-Protektor) dapat disuplai oleh masing-masing distributor dan tersedia, baik pada kelompak tani, gabungan kelompok tani maupun kios tani setempat,

Page 176: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan144

dan (c) dilakukan bimbingan, pembinaan, dan pendampingan teknis kepada petani yang diarahkan menjadi operator dan tim jasa tanam Jarwo Transplanter serta pendampingan sosial terkait dengan sistem, pembagian tugas dan peran terintegrasi dengan jasa tanam.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih dan apreasi yang sebesar-

besarnya kepada semua pihak yang telah terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung sejak persiapan hingga berakhirnya kegiatan pengkajian. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Kepala Badan Litbang Pertanian melalui Proyek SMARTD dan Direktur Jenderal Tanaman Pangan melalui kegiatan kerjasamanya serta Kepala BPTP Jawa Barat atas dukungan dana hingga pengkajian ini dapat terlaksana dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA Abdulrachman, S., I. Gunawan dan N. Agustiani. 2012. “Prinsip dan

konsep sistem tanam jajar legowo. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi”. Materi disajikan tanggal 12 Februari 2012 di Sukamandi. 26h

Bachrein, S., I. Ishaq, Muhamad dan A. Dimyati. 1997. “Perakitan Teknologi Sistem Usaha Tani Pisang pada Lahan Kering Kecamatan Cibinong, Cianjur”. h 1-32 dalam Bachrein et al. 1997 (Eds.) : Monograf No. 001 Sistem Usaha Tani Berbasis Pisang Pada Lahan Kering di Jawa Barat, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lembang, Badan Litbang Pertanian. 116h.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2018. “Laporan Kajian Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Hasil Balitbangtan”. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Kementerian Pertanian

Badan Litbang Pertanian. 2016. “Petunjuk teknis budidaya padi Jajar Legowo Super”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 44h.

Badan Litbang Pertanian. 2009. PTT Padi Sawah. Jakarta (ID): Badan Litbang Pertanian.

Page 177: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 145

Baihaki, A dan N. Wicaksana. 2005. “Interaksi genotip × lingkungan, adaptabilitas dan stabilitas hasil dalam pengembangan tanaman varietas unggul di Indonesia (Genotype × Environment interaction, adaptability, and stability of yield in development of new high yielding plant varieties in Indonesia)”. dalam Zuriat 16 (1) : 1-8.

BB Padi. 2016. “Konsep dan implementasi Jajar Legowo Super (Teknologi, Tantangan dan Kendala)”. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Makalah disajikan dalam Sosialisasi Teknologi Jarwo Super, tanggal 25 April 2016 di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Lembang. 29h.

Chandra, K.S. 2010. “Pengaruh Konsentrasi Pupuk Organik Cair diperkaya Rhizobacteri Osmotoleran Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi pada Kondisi Cekaman Kekeringan”. (http://www.google.co.id.), diakses pada 31 desember 2012Ditjen Tanaman Pangan, 2017. Petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan percepatan Perbanyakan benih padi melalui implementasi teknologi budidaya padi Jajar Legowo (JARWO) Super, Kerjasama Swakelola dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tahun 2017.

Gardner, F.P., R.B. Pearce, and R.L. Mitchell. 1991. “Fisiologi tanaman budidaya. Terjemahan Herawati Susilo. Universitas Indonesia, Jakarta.

Gomez, K.A., and A.A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. 2nd ed. An International Rice Research Institute Book. John Wiley & Sons. New York-Chichester-Brisbane-Toronto-Singapore. p130-187

Ishaq. 2015a. “Potential and constraints of rice farming in sub-optimal land of West Java”. p.193-210 in Zulkifli Zaini, Indrastuti A. Rumanti, Diah Wurjandari Soegondo and Yoichiro Kato (Eds.) : International proceedings of Unfavorable Rice Land Securing National Rice Production in Indonesia. Held in Jakarta and Sukamandi, Indonesia, 16-17 February 2015. Indonesiaan Center for Food Crops Research and Development. 252pp.

Ishaq. 2015b. Rainfed rice farming in West Java. Paper presented on In-country meeting for Climate Change Adaptation through Decision Support in Rainfed Rice Areas (CCADS-RR) At ICRR, Sukamandi, September 9-10, 2015. 18pp.

Page 178: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan146

Ishaq, I. 2010. Potensi Pengembangan Perbenihan Padi di Jawa Barat Berdasarkan Analisis SWOT. Hal 1149-1172 dalam Agus Setyono, S.D. Indrasari dan Agus S.Y (eds.) Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2009: Inovasi Teknologi Padi untuk Mempertahankan Swasembada dan Mendorong Ekspor Beras Buku 3. Balai Besar Penelitian Padi, Sukamandi Subang.

Ishaq, I. 2011. “Konsumsi dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Beras pada 2015 di Jawa Barat”. h.217-229 dalam Sumarno et al. (Eds.): IPTEK Tanaman Pangan 6(2):2011. 274h

Ishaq, I. 2012. “Inovasi Teknologi Tanaman Padi dan Durian: Jajar Legowo (Jarwo) Komponen Teknologi Penciri PTT Penunjang Peningkatan Hasil Padi Sawah”. Tabloid Sinar Tani Edisi 19-25 Desember 2012 No. 3487 Tahun XLIII.

Ishaq, I., S. Ramdhaniati, dan F. Perdhana. 2014. “Kajian penggunaan benih dan bibit pada pelaksanaan PTT Padi Sawah di Jawa Barat”. h.1349-1368 dalam S. Abdulrachman et al., (Eds.) Prosiding Seminar Nasional 2013 : Inovasi Teknologi Padi Adaptif Perubahan Iklim Global Mendukung Surplus 10 juta ton Beras Tahun 2014. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. 1644h.

Jumakir, Waluyo dan Suparwoto. 2012. “Peningkatan produktivitas padi dan pendapatan petani melalui sistem tanam jajar legowo di lahan sawah irigasi”. dalam Jurnal Pembangunan Manusia, 6(2), pp. 151–160.

Katam Terpadu Kabupaten Subang MK. 2016. “Kalender Tanam Terpadu Musim Kemarau (MK) 2016 Kabupaten Subang versi 2.4”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 54h.

Mohaddesi, A. et al. 2011. “Effect of different level of nitrogen and plant spacing on yield, yield components and physiological indices in high yield rice”. dalam Amer-Eur. J. Agric. Environ. 10: 893–900.

Mondal, M. M. A. and Puteh, A. B. 2013. “Optimizing plant spacing for modern rice varieties”. dalam Int’, J. Agric. Biol, 15, pp. 175–178.

Page 179: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 147

Puslitbang Tanaman Panga. 2017. “Petunjuk teknis penelitian pengembangan Jarwo Super di Lahan Sawah Irigasi”. Disajikan pada Rapat Koordinasi tanggal 5 Juli 2017 di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 32h.

Salisbury, F.B., and C.W. Ross. 1995. Plant physiology. 4th ed. Wadsworth Publishing Company, Belmont. CA.681p.

Wiyono, S. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman. IPB, Bogor. (http://www.google.co.id.), diakses pada 13 November 2018.

Page 180: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 181: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

AKSI KOLEKTIF SEBAGAI KUNCI PERCEPATAN ADOPSI INOVASI JAJAR LEGOWO SUPER:

KASUS DI PROVINSI LAMPUNG

Fauziah Y Adriyani dan Kiswanto

PENDAHULUANKelompok merupakan wadah untuk berlangsungnya aksi

kolektif (collective action). Keberadaan kelompok tani diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam berusahatani. Melalui kelompok, petani dapat mentransfer pengalaman mereka ke petani lain dengan menciptakan mekanisme komunikasi tertentu sehingga meningkatkan pemahaman terhadap pesan (Ingram dan Simon 2002), serta memfasilitasi komunikasi teknologi atau informasi (Faysse at al. 2014). Peran fasilitasi tersebut membuat kelompok tani memiliki posisi kunci untuk meningkatkan jaringan lokal dalam mengkomunikasikan pengetahuan dan juga adopsi inovasi. Kelompok tani berperan sebagai tempat bagi petani untuk berbagi pengetahuan dan informasi mereka, sebagai fasilitator untuk mengatur prosedur pendanaan eksternal, dan penghubung dan partisipan dalam kegiatan penelitian dan organisasi penyuluhan (Mercoiret et al. 2006, Faysse et al. 2014).

Secara teoritis, kelompok merupakan kumpulan dua atau lebih orang atas dasar adanya kesamaan tujuan, kebutuhan, minat, dan jenis; yang saling berinteraksi melalui pola dan struktur tertentu guna mencapai tujuan bersama dalam kurun waktu yang relatif panjang (Slamet dan Sumardjo 2003). Dalam kelompok, individu berinteraksi dan bertindak secara kolektif. Tindakan kolektif dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: (i) kooperasi yang bersifat bottom-up yang banyak ditemukan pada petani dan (ii) koordinasi yang berbentuk top-down, suatu tindakan kolektif dari lembaga pemerintahan (Davies et al. 2004). Lebih lanjut, Marshall (1998) mendefinisikan tindakan kolektif sebagai tindakan yang diambil oleh suatu kelompok dalam mencapai kepentingan bersama. Lebih spesifik tindakan kolektif berkaitan dengan keterlibatan sekelompok orang, tindakan saling berbagi secara sukarela untuk mengejar kepentingan yang sama (Meinzen-Dick et al. 2004).

Page 182: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan150

Pelaksanaan program oleh Kementerian Pertanian (Kementan) hampir semuanya memanfaatkan kelompok, baik dalam bentuk kelompok tani (Poktan), Gabungan kelompok Tani (Gapoktan) maupun kelompok usaha lainnya. Pembentukan Poktan dan Gapoktan sebagai kelembagaan pertanian pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi petani dalam berusahatani. Selain itu, dengan adanya Poktan dan Gapoktan maka petani dapat lebih mudah memperoleh informasi yang akurat mengenai segala hal yang bermanfaat bagi kemajuan usahanya, mulai dari persiapan tanam sampai dengan budidaya, cocok tanam dan bahkan pemasaran produk. Penyampaian informasi dalam kegiatan penyuluhan pertanian akan lebih berhasil dengan seringnya suatu informasi baru dibicarakan sehingga menjadi mudah diingat.

Demikian halnya kendala yang dihadapi dalam penyebarluasan penerapan dan peningkatan adopsi Jarwo Super yaitu beberapa inovasi tidak mampu berjalan dengan baik tanpa adanya tindakan kolektif dari petani. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini disusun dengan menggunakan studi literatur dan pengalaman di lokasi Jarwo Super Provinsi Lampung yang bertujuan untuk menganalisis beberapa tindakan kolektif yang diperlukan untuk mendorong percepatan diseminasi dan peningkatan adopsi inovasi Jarwo Super.

HAMBATAN ADOPSI INOVASI Jarwo SuperTeknologi Jajar Legowo Super (Jarwo Super) adalah teknologi

budidaya terpadu padi sawah irigasi berbasis tanam jajar legowo 2:1 yang dilengkapi dengan 5 (lima) komponen penting lainnya yaitu: penggunaan varietas unggul baru (VUB) potensi hasil tinggi, biodekomposer, pupuk hayati dan pemupukan berimbang berdasarkan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), penggunaan pestisida nabati dan anorganik berdasarkan ambang kendali untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT) menggunakan pestisida nabati dan pestisida anorganik berdasarkan ambang kendali, serta penggunaan alat dan mesin pertanian, khususnya untuk tanam dan panen (Balitbangtan 2017).

Pelaksanaan Jarwo Super di Provinsi Lampung pertama kali dilakukan di Kabupaten Tanggamus pada MT II Tahun 2016. Pertimbangan dalam pemilihan lokasi tersebut adalah karena ketersediaan air cukup dan masih tersedia lahan untuk ditanami.

Page 183: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 151

Berdasarkan hasil analisis tingkat adopsi komponen teknologi Jarwo Super yang dilakukan oleh tim BBP2TP diketahui bahwa penggunaan VUB terutama Inpari 30 memiliki tingkat adopsi tertinggi, sedangkan penggunaan alsintan memiliki tingkat adopsi terendah. Keragaan tingkat adopsi masing-masing komponen teknologi Jarwo Super menunjukkan bahwa selain faktor pendorong, juga terdapat faktor penghambat yang menghalangi kemampuan petani dalam menerapkan suatu inovasi.

Tabel 22. Keragaan adopsi komponen teknologi Jarwo Super tahun 2016

No Komponen Teknologi Tingkat adopsi (%)1. Penggunaan VUB:

Inpari 30 43,90Inpari 32 24,39Inpari 33 2,44

2. Sistem jarwo 2:1 36,593. Penggunaan bio dekomposer M-dec 29,274. Penggunaan pupuk hayati Agrimeth 26,835. Penggunaan bio pestisida 19,516. Penggunaan transplanter 17,077. Penggunaan harvester 12,20

Sumber: BBP2TP (2018)

Berdasarkan hasil tabulasi data primer yang dilakukan oleh tim BBP2TP tahun 2018 dan wawancara mendalam yang dilakukan tim BPTP Lampung, diketahui bahwa dari beberapa komponen teknologi yang dianjurkan hanya dua komponen yang paling tinggi diadopsi oleh petani tersebut, yaitu penggunaan VUB (varietas unggul baru) Inpari 30 dan sistim tanam Jajar Legowo. Menurut petani, varietas Inpari 30 mempunyai tekstur pulen. Bahkan varietas Inpari 30 telah ditanam oleh petani di luar pekon, khususnya Pekon Kota Dalom.

Penggunaan benih bermutu berperan langsung terhadap efisiensi dan mutu hasil, sedangkan varietas unggul berkontribusi positif terhadap peningkatan produktivitas (Budhianto 2014). Benih unggul dan bermutu merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian.

Page 184: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan152

Penggunaan VUB dan benih bermutu bersertifikat merupakan komponen teknologi yang dapat diterima baik oleh petani dan tidak membutuhkan waktu yang lama dalam penyebarannya.

Lebih lanjut, masalah yang menghambat perkembangan industri benih bukan hanya kemampuan dalam memproduksi benih tetapi juga karena adopsi varietas unggul oleh petani yang masih rendah. Varietas unggul yang tersedia kurang sesuai dengan preferensi konsumen, atau konsumen belum mengetahui keunggulan varietas baru tersebut. Rendahnya adopsi VUB menyebabkan pihak swasta penyedia benih enggan untuk memproduksi VUB yang hanya sesuai pada daerah tertentu.

Di lain pihak, kendala adopsi dan difusi VUB spesifik lokasi kemungkinan disebabkan oleh ketiadaan benih bersertifikat di lokasi pengembangan. Oleh karena itu, untuk mempercepat diseminasi VUB, perlu dilakukan demplot uji adaptasi atau display beberapa VUB dalam rangka memperkenalkan VUB tersebut ke pengguna. Metode demonstrasi memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi karena melalui metode ini petani dapat melihat secara langsung hasil dan dampak penerapan teknologi (Adriyani dan Kiswanto 2017).

Kendala yang dihadapi dalam penggunaan ambang kendali berkaitan dengan kemauan dan keterampilan petani. Petani merasa berat melakukan pengamatan OPT sesuai panduan, sehingga pengamatan hanya dilakukan dengan cara melihat pertanaman padi dari pematang untuk memantau gejala serangan. Selain itu, karena tingkat keterampilan petani dalam menentukan ambang kendali, tingkat ambang ekonomis tidak berdasarkan perhitungan populasi OPT, tetapi hanya berdasarkan perkiraan sendiri.

KELEMBAGAAN PENDUKUNG ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI

Salah satu strategi mencapai program swasembada pangan (padi, jagung dan kedelai) untuk mengantisipasi kelangkaan dan mahalnya upah tenaga kerja adalah memberikan bantuan alsintan kepada kelompok tani (Sukmana et al. 2017). Keberadaan kelembagaan petani menjadi keharusan dalam upaya memperbaiki taraf hidup petani (Anantanyu 2011). Akan tetapi, pembentukan suatu kelembagaan harus dimulai dari kesadaran individu karena akan berdampak

Page 185: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 153

pada partisipasi individu/anggota dalam semua kegiatan. Menurut Effendi (2007), partisipasi masyarakat merupakan tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan, swadaya masyarakat, pelaksanaan pembangunan, pengawasan dan evaluasi serta pemanfaatan hasil pembangunan. Lebih lanjut, Mardikanto (2013) mengemukakan bahwa kemampuan masyarakat dan perjuangan mereka untuk bangkit dan menopang pertumbuhan kolektif akan semakin kuat jika melalui proses partisipasi.

Kegiatan atau tindakan kolektif yang dilakukan oleh Poktan maupun Gapoktan bukanlah sesuatu yang tetap dan tidak bisa berubah. Perubahan dalam kelompok atau dinamika kelompok tani yang tinggi, terlihat dari kuatnya faktor-faktor atau kekuatan yang mampu menggerakkan perilaku kelompok dan anggota-anggota untuk mencapai tujuannya secara efektif (Suswadi dan Sutarno 2017). Perubahan tindakan kolektif yang dilakukan kelompok tani harus disesuaikan dengan kebutuhan. Fungsi yang dilakukan oleh kelompok umumnya beragam. Salah satu kegiatan yang lebih efektif dilakukan secara berkelompok antara lain adalah penyedia kredit untuk anggota sehingga anggota mendapatkan manfaat untuk biaya tanam dan berdagang bagi unit usaha kecil (Indrawati 2016). Fungsi lainnya adalah sebagai wahana kerjasama bagi kelompok agar dapat memperkuat kerjasama di antara sesama petani dalam kelompok tani dan antarkelompok tani atau pihak lain secara berkelanjutan dan sesuai kebutuhan (Rustandi dan Rahmat 2017).

Lebih lanjut, upaya pengembangan kapasitas kelompok tani diarahkan pada peningkatan kesadaran tentang pentingnya tindakan kolektif anggota dalam pelaksanaan setiap kegiatan kelompok (Subekti et al. 2015).

Unit Pengelola Jasa Alsintan (UPJA)Penggunaan alsintan sepertinya tidak bisa dihindari dalam

budidaya tanaman, terutama untuk mempercepat waktu pada kegiatan budidaya. Alat tanam (transplanter) misalnya pada budidaya Jarwo Super hanya membutuhkan tenaga kerja 2 - 3 orang dengan waktu tanam 5 – 6 jam/ha (Kiswanto 2014). Penggunaan tenaga kerja seperti ini jauh lebih efisien dari sisi waktu dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pada pertanaman konvensional. Meskipun

Page 186: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan154

demikian, dengan harga alsintan seperti transplanter dan alat panen (combine harvester) yang cukup mahal (>Rp. 50 juta per unit) dan rata-rata kepemilikan lahan yang hanya <1 ha/petani maka kepemilikan alsintan secara individu kurang menguntungkan. Berdasarkan alasan tersebut, pengelolaan alsintan sebaiknya dilakukan secara berkelompok melalui unit Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA).

Pengelolaan UPJA berbasiskan kepada Permentan No. 25/ Permentan/PL.130/5/2008 tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian. Dalam Permentan tersebut, UPJA merupakan lembaga ekonomi perdesaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian untuk mendapatkan keuntungan usaha di dalam maupun di luar wilayah Poktan/Gapoktan pelaksana UPJA (Hanggana. 2017). Berdasarkan hal tersebut, UPJA tidaklah berdiri sendiri tetapi dikelola oleh Poktan/Gapoktan.

Pemanfaatan UPJA dalam rangka mempercepat penggunaan inovasi dan teknologi mekanisasi pertanian berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain keterbatasan kemampuan dan kepemilikan lahan petani (rata-rata hanya 0,5 ha/MT), sehingga pengelolaan secara perorangan kurang efisien. Tidak semua petani mampu menggunakan alsintan dengan baik karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan. Sementara itu, kemampuan membeli alsintan juga rendah dan pengelolaan usaha tani belum efisien (Hanggana 2017).

Melalui UPJA diharapkan petani dalam satu kelompok dapat menggunakan alsintan seperti transplanter dan combine harvester secara lebih efisien. Bahkan usaha tersebut dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan alsintan di luar wilayah kelompok. Selain membantu petani dalam menerapkan inovasi teknologi, keberadaan UPJA juga dapat memberi keuntungan ekonomi bagi kelompok dan anggotanya dari jasa penggunaan alsintan.

Unit Penangkar BenihPenggunaan Varietas Unggul Baru (VUB) spesifik lokasi dan

penggunaan benih unggul merupakan komponen teknologi pada Jarwo Super yang tidak bisa dipisahkan. Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan) sudah menghasilkan cukup banyak VUB yang

Page 187: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 155

dapat dipilih oleh petani berdasarkan keunggulan VUB tersebut di suatu lokasi. Masing-masing VUB memiliki keragaan baik dalam pertumbuhan vegetatif maupun hasil (Kiswanto dan Adriyani 2013) yang membuat tidak semua daerah sesuai untuk ditanami oleh satu jenis VUB. Benih unggul bermutu merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produksi pertanian. Sekitar 43% petani melaporkan bahwa ketersediaan benih bermutu merupakan salah satu faktor pembatas dalam produksi padi (Salam et al. 2012). Meskipun petani menyadari pentingnya penggunaan benih varietas unggul yang bermutu dan bersertifikat dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi padi, permasalahan yang sering dihadapi adalah penyediaan benih yang bermutu/berkualitas sering tidak tersedia di lapangan. Keengganan pihak swasta untuk memproduksi benih VUB spesifik lokasi menyebabkan petani kesulitan memperoleh benih VUB tersebut. Salah satu cara mengantisipasi hal tersebut adalah dengan membina kelompok penangkar.

Akan tetapi, perbenihan bukanlah tugas yang mudah karena membutuhkan banyak dukungan dana dan teknis sejak awal (Guei et al. 2011).Lebih lanjut Jumakir et al. (2016) berpendapat bahwa pelatihan dan penyuluhan tentang teknologi produksi benih padi, membina calon penangkar dengan mengadakan pertemuan dan pendampingan di lapangan pada pelaksanaan model pengembangan mandiri benih padi dapat membantu penangkar agar bisa melaksanakan produksi benih walaupun sudah tidak didampingi lagi. Kebijakan pertanian harus mendukung strategi perbenihan yang menjamin ketersediaan varietas spesifik lokasi yang diinginkan dengan tepat waktu (Bèye dan Wopereis. 2014).

Pemanfaatan kelompok tani sebagai unit penangkar benih VUB memiliki prospek yang baik ke depan. Selain meningkatkan usaha ekonomi kelompok, strategi ini juga meningkatkan peluang penyebarluasan informasi dan penggunaan VUB spesifik lokasi. Penangkaran yang dilakukan di lahan kelompok, berfungsi sebagai demplot atau display VUB. Seperti yang dilakukan di Sumatera Selatan, display varietas dan penangkaran benih mampu mempercepat diseminasi VUB padi yang dihasilkan oleh Balitbangtan (Hutapea et al. 2018).

Page 188: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan156

Unit Penyedia SaprodiRendahnya tingkat adopsi pada komponen teknologi bukan

semata disebabkan oleh rendahnya pengetahuan, sikap dan keterampilan petani tetapi juga karena ketersediaan input yang terbatas di lapangan. Pupuk yang terbatas dan langka pada saat dibutuhkan, telah menyebabkan jenis, dosis dan waktu pemupukan tidak sesuai dengan rekomendasi spesifik lokasi/setempat. Kebijakan pemerintah yang mengatur penyaluran pupuk berdasarkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) menyebabkan keberadaan kelompok menjadi penting untuk mempermudah petani mendapatkan saprodi (Adriyani et al. 2011) yang dibutuhkan dalam penerapan inovasi.

Adopsi dan difusi suatu inovasi sangat dipengaruhi ketersediaan sarana produksi. Bagaimana petani mampu menerapkan inovasi apabila mereka tidak mendapatkan produk inovasi tersebut. Inovasi dalam Jarwo Super menggunaan penggunaan pupuk hayati dan pemupukan berimbang, dekomposer dan bio pestisida. Sebagai suatu inovasi, komponen jarwo tersebut merupakan produk baru yang belum tersedia di lokasi. Berkaitan dengan penerapan komponen Jarwo Super, unit penyedia saprodi diperlukan untuk menjamin keberlanjutan penerapan inovasi.

Unit PelatihanUnit kegiatan pelatihan penting dalam penyebarluasan inovasi

baru. Beberapa inovasi mungkin tidak memerlukan pelatihan yang mendetail, tetapi beberapa inovasi lainnya seperti yang terdapat dalam komponen Jarwo Super (Jarwo 2:1, penggunaan Transplanter, PHT, dan pemupukan berimbang) memiliki tingkat kerumitan yang memerlukan bimbingan dan pelatihan dalam penerapannya. Melalui kegiatan pelatihan, petani mendapatkan cukup pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk menggunakan teknologi baru atau inovasi. Pelatihan mampu meningkatkan pengetahuan petani sebesar 74,24% (Wulanjari et al. 2009).

Kelompok tani dan Gapoktan dibentuk dengan tujuan menjadi wadah belajar mengajar bagi anggotanya, sebagai tempat untuk memperkuat kerjasama di antara sesama petani, serta menjadikan usaha petani mencapai skala ekonomis sehingga diharapkan usaha

Page 189: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 157

taninya akan lebih efisien (Hanggana 2017). Pemanfaatan kelompok dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap (PKS) petani dalam penerapan teknologi dinilai sangat baik. Dengan berkelompok, penyediaan demplot untuk pembelajaran petani di lapang lebih memungkinkan.

Keberadaan demplot juga penting dalam membangun persepsi positif petani terhadap teknologi yang pada akhirnya dapat mempengaruhi perilaku petani dalam menerapkan teknologi. Demontrasi penerapan PTT di lapang mampu membangun persepsi positif petani terhadap teknologi (Wijayanto dan Kiswanto 2008).

PENUTUPTindakan kolektif yang merupakan salah satu ciri dari kelompok

tani pada kenyataannya telah mampu berperan sebagai faktor penentu keberhasilan adopsi dan difusi komponen teknologi dalam Jarwo Super. Peran organisasi petani juga penting dalam mengoordinasikan dan mengefisienkan kegiatan. Kehadiran UPJA misalnya terbukti efektif. Dalam pengelolaan alsintan secara kolektif, utamanya untuk transplanter dan combine harvester. Selain itu, kelompok tani juga dapat menjadi penangkar benih, serta membantu petani dalam mengetahui VUB yang paling sesuai dengan kondisi wilayahnya dan menjamin ketersediaan benihnya sehingga penerapan inovasi dapat berkelanjutan.

Inovasi Jarwo Super berupa produk seperti pupuk hayati, biodekomposer dan biopestisida dapat diterapkan secara berkelanjutan karena keberadaan fungsi kelompok tani sebagai penyedia saprodi. Lebih lanjut, unit pelatihan yang dilaksanakan dalam kelompok tani mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap petani dalam melaksanakan Jarwo Super.

UCAPAN TERIMA KASIHPenghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang sudah memberikan dana penelitian melalui anggaran SMARTD sehingga kajian ini berjalan hingga selesai, serta pihak-pihak lain yang sudah banyak membantu sehingga kegiatan kajian ini berjalan dengan baik.

Page 190: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan158

DAFTAR PUSTAKAAdriyani, FY., A.V. Hubeis dan R. Lumintang. 2011. “Kinerja

Gabungan Kelompok Tani: Kasus Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung”. dalam Jurnal Penyuluhan. 7 (2): 17-26.

Adriyani, FY. dan Kiswanto. 2016. “Kinerja Penyuluhan dalam Pelaksanaan SL PTT Padi Sawah Irigasi di Provinsi Lampung”. Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik Lokasi Untuk Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hal. 360-365.

Anantanyu, S. 2011. “Kelembagaan Petani: Peran dan Strategi Pengembangan Kapasitasnya”. dalam SEPA. 7 (2): 102 – 109.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2018. “Laporan Kajian Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Hasil Balitbangtan”. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Kementerian Pertanian

Balitbangtan. 2017. Petunjuk Teknis Jajar Legowo Super.

Bèye, A.M. and Marco C. S. Wopereis. 2014. “Cultivating knowledge on seed systems and seed strategies: Case of the rice crop”. dalam Net Journal of Agricultural Science 2(1): 11-29.

Davies B., Blackstock K., Brown K., Shannon P. 2004. “Challenges in creating local agrienvironmentalcooperation action amongst farmers and other stakeholders”. The MacaulayInstitute, Aberdeen.

Faysse, N, Srairi, M Taher dan E Mostafa. 2014. “Local Farmers’ Organisations: A Space for Peer-to-Peer Learning? The Case of Milk Collection Cooperatives in Marocco”. dalam Agricultural Education and Extension 18 (3): 285-299. doi:10.1080/1389224X.2012.670053.

Guei, R.G., A Barra and D Silue. 2011. “Promoting smallholder seed enterprises: quality seed production of rice, maize, sorghum and millet in northern Cameroon”. dalam International Journal of Agricultural Sustainability 9 (1): 91–99, doi:10.3763/ijas.2010.0573.

Hanggana, S. 2017. “Analisis Kelemahan Regulasi Poktan, Gapoktan, UPJA, dan LKM-A Dalam Peningkatan Pendapatan Petani”. dalam Analisis Kebijakan Pertanian, 15 (2): 137-149.

Page 191: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 159

Hutapea, Y., Suparwoto dan Waluyo. 2018. “Analisis Perbandingan Pendapatan Penangkaran Benih Padi pada Tiga Agroekosistem di Sumatera Selatan”. dalam Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 21(1): 49-61

Indrawati, NN. 2016. “Fungsi Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Bagi Petani Desa Pojokkulon Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang”. Antro Unair dot Net, V (2): 336-348.

Ingram, P. dan Simons, T. “The Transfer of Experience in Groups of Organizations: Implications for Performance and Competition”. dalam Management Science 48 (12): 1517-1533

Jumakir, M. Takdir Mulyadi dan Julistia Bobihoe. 2016. “Keragaan dan Produksi Benih Padi melalui Calon Penangkar Mendukung Mandiri Benih di Lahan Rawa Pasang Surut Provinsi Jambi”. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, Palembang 20-21 Oktober 2016. Hlm. 709-718.

Kiswanto. 2014. “Pemasyarakatan Inovasi Indo Jarwo Transplanter dalam Mendukung Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) di Kabupaten Lampung Tengah”. Laporan akhir. Balai Pengkajian Teknlogi Pertanian Lampung.

Kiswanto dan FY. Adriyani. 2013. “The Growth and Yield of New Varieties of Rice with the Implementation of Integrated Crop Management in Central Lampung”. Proceeding International Seminar “Technology Innovation for Increasing Rice Production and Conserving Environment under Global Climate Change”. Hlm 997-1001.

Kiswanto dan FY. Adriyani. 2017. “Analisis Adopsi Komponen Teknologi Sebelum dan Sesudah Dilaksanakannya Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah Irigasi di Lampung”. Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik Lokasi Untuk Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hal. 339-345.

Makarim, AK. dan Ikhwani. 2013. “System of Rice Intensification (SRI) dan Peluang Peningkatan Produksi Padi Nasional”. Disajikan pada seminar Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor 11 April 2013. 16 hlm.Marshall G (1998) A dictionary of sociology. Oxford University Press, NewYork

Page 192: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan160

Meinzen-Dick R, Di Gregorio M, McCarthy N. 2004. “Methods for studying collective action inrural development”. dalam Agric Syst 82(3): 197–214.

Oliver,PE. dan G Marwell. 1988. “The Paradox of Group Size in Collective Action:A Theory of The Critical Mass. II”. dalam American Sociological Review. 53: 1-8

Rustandi,Y. dan R. Suhadji. 2017. “Keragaan Evaluasi Fungsi Kelembagaan Kelompok Tani di Kecamatan Papar Kabupaten Kediri Jawa Timur”. dalam Agrica Ekstensia. 11 (2): 55-60.

Salam, M. A., M. A. B. Siddique dan J. Parvin. 2012. “Assessment of Technical Efficiency of Inbred HYV And Hybrid Rice Cultivation At Farm Level”. dalam Bangladesh J. Agril. Res. 37 (2): 235-250.

Saptana, N.P. dan H. Arianto. 2000. “Eksistensi kelompok tani dan responden petani terhadap inovasi teknologi”. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Halaman 340-350.

Sari, DN., Sumardi dan E Suprijono. 2014. “Pengujian Berbagai Tipe Tanam Jajar Legowo terhadap Hasil Padi Sawah”. dalam Akta Agrosia 17 (2): 115 – 124.

Subekti, S., Sudarko dan Sofia. 2015. “Penguatan Kelompok Tani Melalui Optimalisasi dan Sinergi Lingkungan Sosial”. dalam JSEP 8 (3): 50-56.

Sukmana, RI., Suminah, dan Ihsaniyati, H. 2017. “Kinerja Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) Menuju Pertanian Modern di Kabupaten Sukoharjo”. dalam Jurnal Agritexts 41 (1): 70-78.

Sustiyah, Sulistiyanto, Y. dan Adji, F.Y. 2012. “Peningkatan Pengetahuan Petani tentang Bahaya Pirit (Fes 2) dan Upaya Penanggulangannya pada Usaha Pertanian Pasang Surut di Daerah Mentaren Kalimantan Tengah”. https://jurnalagriepat.wordpress.com/2012/03/11/peningkatan-pengetahuan-petani-tentang-bahaya-pirit-fes2-sustiyah/. Diakses pada tanggal 11 November 2017 pukul 12.00 WIB.

Page 193: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 161

Suswadi dan Sutarno. 2017. “Analisa Dinamika dan Kemandirian Kelembagaan Ekonomi Petani dengan Penerapan Pertanian Organik Bersertifikasi di Kabupaten Boyolali”. Prosiding Seminar Nasional Progam Studi Bimbingan Konseling. Hlm 220-240.

Triwidarti, T., Suyadi, B. dan Sukidin. 2015. “Peran Kelompok Tani Sampurna dalam Meningkatkan Pengetahuan Petani dan Hasil Produksi Padi di Desa Jenggawah Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember”. dalam Artikel Ilmiah Mahasiswa I (1): 1-6.

Wijayanto, B. dan Kiswanto. 2008. “Model Laboratorium Lapang dalam SL-PTT sebagai Upaya untuk Membangun Persepsi Petani terhadap PTT”. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Hlm 216-221.

Wulanjari, ME., Paryono, TJ., dan Nasriati. 2009. “Kajian Peningkatan Pengetahuan Petani Melalui Pelatihan Pengembangan Agribisnis Peternakan”. Prosiding Seminar Teknologi

Page 194: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 195: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

KUNCI SUKSES PENERAPAN JARWO SUPER : PENTINGNYA SINERGI ANTAR

KOMPONEN TEKNOLOGI

Musfal, Khadijah. E. R, Akmal, Nazaruddin. H, Putri. N. S, dan Khasril

PENDAHULUANTeknologi jajar legowo super atau Jarwo Super merupakan

teknologi budidaya padi terpadu padi sawah irigasi berbasis sistem tanam jajar legowo 2:1. Teknologi ini merupakan penyempurnaan dari teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah yang sudah dikembangkan sejak tahun 2008. Ada dua komponen teknologi dalam PTT yaitu komponen dasar dan pilihan (Zaini et al. 2009). Komponen dasar terdiri atas varietas padi unggul baru, benih berlabel, pemupukan berimbang, penggunaan bahan organik, sistem tanam jajar legowo, dan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu. Sedangkan komponen pilihan bersifat spesifik lokasi bergantung pada kondisi daerah setempat seperti pengolahan tanah disesuaikan dengan musim dan pola tanam, penggunaan benih muda, tanam 1–3 batang/rumpun, pengairan secara efektif dan efisien (intermiten), penyiangan dengan alat landak dan panen tepat waktu. Keberhasilan teknologi PTT sudah teruji di berbagai daerah yang lalu diadopsi dan dimassalkan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan diimplementasikan dalam bentuk Sekolah Lapang PTT (SL-PTT).

Komponen teknologi penyusun PTT dari waktu ke waktu terus disempurnakan, sehingga tahun 2016 lahirlah inovasi teknologi Jarwo Super yang berbasis sistem tanam Jajar Legowo (Jarwo) 2:1 (Balitbangtan 2016). Kunci keberhasilan dalam menerapkan teknologi Jarwo Super sangat bergantung pada sinergi dari beberapa komponen teknologi sekaligus. Sistem tanam Jarwo pada hakikatnya merupakan upaya pengaturan populasi tanaman yang menurut penelitian Nguu dan de Datta (1979) bahwa peningkatan populasi tanaman membentuk kurva kuadratik dengan peningkatan hasil gabah. Erythrina (2001) dan Bachrein (2005) melaporkan bahwa sistem tanam jarwo 2:1 dan 4:1

Page 196: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan164

secara nyata mampu meningkatkan hasil gabah dibandingkan sistem tanam tegel. Penggunaan varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi seperti varietas Inpari 30, 32 dan 33 di Kabupaten Indramayu Jawa Barat memberikan hasil sebanyak 13,9 t/ha, 14,4 t/ha dan 12,4 t/ha GKP (Balitbangtan 2016).

Hasil padi di Sumatera Utara menurut laporan BPS (2015) rata-rata 5,17 t/ha, sedikit di bawah rata-rata nasional yaitu 5,28 t/ha. Melalui penerapan paket teknologi Jarwo Super, diharapkan produksi padi di Sumatera Utara dapat meningkat secara nyata. Tulisan ini merupakan review dari beberapa hasil penelitian penerapan paket teknologi Jarwo Super di Sumatera Utara, yang menunjukkan bahwa penerapan beberapa komponen teknologi sekaligus memberikan aspek sinergitas dalam meningkatkan produksi.

KERAGAAN AGRONOMIS JARWO SUPER Pengenalan teknologi Jarwo Super untuk pertama kalinya

di Sumatera Utara dilaksanakan pada lahan sawah irigasi milik petani Desa Pasar Miring, Kecamatan Pagar Marbau, Kabupaten Deli Serdang. Penelitian melibatkan sebanyak 29 petani koperator pada lahan seluas 10 ha pada MH tahun 2016, tepatnya dari bulan Agustus hingga Desember.

Komponen teknologi yang diterapkan antara lain menggunakan padi varietas Inpari 30, 32 dan 33, biodekomposer M-Dec dengan dosis 2 kg/ha, pupuk hayati Agrimeth 500g/25 kg benih, pupuk kandang sapi sebanyak 2 t/ha, pupuk Urea 200 kg/ha yang diberikan pada 15 dan 30 HST dan pupuk NPK Phonska sebanyak 300 kg/ha diberikan pada saat tanam sesuai dosis anjuran. Untuk pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida nabati Bioprotector. Tanam padi menggunakan alat tanam Jarwo Transplanter dan manual serta panen menggunakan alat panen Combine harvester.

Hasil pengamatan sifat kimia tanah dan beberapa parameter pengamatan agronomis terhadap penerapan paket teknologi Jarwo Super adalah dengan bahasan sebagai berikut.

Page 197: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 165

Sifat Kimia Tanah Sebelum PerlakuanAnalisis sifat kimia tanah menggunakan perangkat uji tanah

PUTS dan uji laboratorium (Tabel 23). Hasil analisis contoh tanah menggunakan perangkat uji tanah PUTS menunjukkan kadar Nitrogen yang tinggi, Phosfat dan Kalium digolongkan sedang (Setyorini et al. 2006). Sedangkan dari hasil analisis contoh tanah di laboratorium memperlihatkan kandungan C-organik tanah digolongkan rendah, serta nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) digolongkan sedang, pH digolongkan asam (Cottenie 1980) dan tekstur tanah masuk ke dalam kelompok lempung berpasir (Soil Survey Staff 1994). Rendahnya kadar C-organik tanah dimungkinkan karena pada lokasi kegiatan kebanyakan petani jarang memberikan bahan organik atau pupuk kandang. Di samping itu, sebagian petani sering melakukan pembakaran jerami, sehingga menyebabkan bahan organik tanah menurun dan pengaruhnya juga berdampak terhadap penurunan populasi mikroba tanah. Menurut Alexander (1977), mikroba pada lahan sawah berfungsi sebagai penambat N, pelarut P dan pengurai bahan organik, kalau populasinya berkurang menyebabkan kesuburan lahan juga akan menurun. Di samping itu, dengan berkurangnya kadar bahan organik tanah menurut Buckman dan Brady (1969) tanah dengan kadar bahan organik rendah menyebabkan penyerapan unsur hara oleh tanaman akan menjadi lebih rendah dan sebaliknya fiksasi Phosfat di tanah akan tinggi. Dari segi nilai KTK tanah persyaratan untuk penerapkan teknologi Jarwo Super sudah memenuhi syarat yaitu dengan nilai KTK tanah minimal sedang. Sementara dari segi nilai C-organik tanah belum memenuhi persyaratan, nilai C organik yang dipersyaratkan dengan kadar minimal sedang. Karena itu, perlu penambahan bahan organik tanah atau pupuk kandang sebanyak 2–3 ton/ha.

Page 198: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan166

Tabel 23. Sifat kimia tanah pada lokasi Demfarm sebelum perlakuan paket teknologi Jarwo Super, Desa Pasar Miring, MT Agustus 2016

No Sifat Kimia Nilai Kriteria Metode Uji1 C-organik (%) 1,10 Rendah Walkley and Balck2 KTK (me/100g) 22,27 Sedang Amm asetat 1 N pH 73 Nitrogen - Tinggi PUTS4 Phosfat - Sedang PUTS5 Kalium - Sedang PUTS6 pH (H2O) 5,43 asam Electrometry7 Tekstur :

Pasir (%)Debu (%)Liat (%)

70,2015,6514,15

Lempung berpasir

Hydrometer

Pemberian pupuk berimbang melalui uji tanah saat ini penting dilakukan karena selama ini kebanyakan petani belum optimal memberikan pupuk. Menurut Dobermann dan Fairthurts (2000), untuk mendapatkan hasil yang optimal perlu dilakukan pemberian pupuk yang cukup sesuai dengan kebutuhan tanaman melalui uji tanah atau tanaman. Hasil uji tanah menggunakan perangkat PUTS bertujuan untuk menentukan dosis pupuk. Dari hasil pengujian contoh tanah pada lokasi Demfarm diketahui dosis pupuk yang direkomendasikan adalah aplikasi pupuk Urea sebanyak 200 kg/ha, SP-36 75 kg/ha dan pupuk KCl 50 kg/ha dengan target produksi antara 5–6 t/ha. Karena target produksi dalam penerapan teknologi Jarwo Super diatas 8 t/ha, maka diperlukan penambahan pupuk yang lebih banyak dari dosis anjuran. Dosis anjuran dalam paket teknologi Jarwo Super yaitu menggunakan pupuk Urea antara 200 sampai 250 kg/ha dan pupuk NPK Phonska antara 300 sampai 350 kg/ha.

Populasi TanamanKerapatan tanaman merupakan salah satu komponen penting

dalam teknologi budidaya untuk mengoptimalkan produksi. Hasil penelitian Nguu dan de Datta (1979) menunjukkan bahwa peningkatan populasi tanaman membentuk kurva kuadratik dengan peningkatan hasil gabah. Sistem tanam jajar legowo 2:1 merupakan sistem tanam pindah antara dua baris tanaman di mana terdapat lorong kosong memanjang sejajar dengan baris tanaman dan dalam barisan menjadi

Page 199: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 167

setengah jarak tanam antar baris. Sistem tanam jajar legowo bertujuan untuk meningkatkan populasi tanaman per satuan luas, sementara adanya lorong kosong akan mempermudah dalam pemeliharaan tanaman. Penerapan sistem jajar legowo 2:1 dengan jarak tanam 25 x 12.5 x 50 cm secara matematis akan meningkatkan populasi tanaman menjadi 213.333 rumpun/ha atau 33,3% lebih banyak dibandingkan sistem tanam tegel dengan jarak tanam (25 x 25cm) dengan populasi tanaman 160.000 rumpun/ha. Penelitian Bachrein (2005) melaporkan bahwa dengan bertambahnya populasi tanaman hasil padi juga akan meningkat. Sistem tanam jajar legowo 2:1 memberikan peningkatan hasil sebanyak 1,4 t/ha GKP dibandingkan cara tegel.

Pengamatan populasi tanaman menggunakan alat tanam Jarwo Transplanter mendapatkan populasi yang lebih rendah dibandingkan cara tanam manual. Hal ini diduga karena lahan yang akan ditanam tidak rata sehingga tidak semua benih tertanam, selain karena masalah teknis dari alat yang digunakan (Tabel 24). Namun, satu minggu setelah penyisipan, terlihat sistem tanam menggunakan alat Jarwo Transplanter memberikan jumlah rumpun yang terbanyak, selanjutnya diikuti oleh cara tanam manual dan jumlah yang nyata terkecil adalah menurut cara tanam tegel yang dilakukan oleh petani.

Tabel 24. Perbandingan populasi tanaman pada kegiatan Demfarm Jarwo Super terhadap sistem tanam manual dan tegel, Desa Pasar Miring MT Agustus 2016

No Sistem TanamKondisi

Sebelum disisip Setelah disisip1 Jarwo Transplanter 2:1 176.667 a 204.678 a2 Manual 2:1 192.307 a 201.545 a3 Tegel (25x25 cm) 147.356 b 152.267 b

CV (%) 13,26 15,79Ket : Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut

DMRT pada taraf uji 5%

Menurut Makarim dan Ikhwani (2012) terdapat enam keuntungan bila kita menerapkan sistem tanam jajar legowo, yaitu: (1) penangkapan radiasi surya oleh individu tanaman terutama daun untuk fotosintesis, (2) efektivitas penyerapan unsur hara oleh akar tanaman, (3) kebutuhan air tanaman, (4) sirkulasi udara terutama CO2 untuk fotosintesis dan O2 untuk hasil fotosintat, (5) ketersediaan

Page 200: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan168

ruang yang menentukan populasi gulma dan (6) iklim mikro (suhu dan kelembapan) di bawah kanopi yang berpengaruh terhadap perkembangan organisme pengganggu tanaman seperti hama dan penyakit.

Tinggi Tanaman Tinggi tanaman untuk masing-masing varietas yang diuji

memperlihatkan penampilan yang nyata berbeda terhadap penerapan paket teknologi Jarwo Super (Tabel 25). Varietas Inpari 30 memberikan pertumbuhan yang tertinggi pada pengamatan 30 dan 90 HST, sedangkan varietas Inpari 32 dan 33 pada pengamatan yang sama nyata lebih rendah.

Lebih baiknya pertumbuhan tanaman padi varietas Inpari 30 dibandingkan varietas lainnya diduga karena pengaruh adaptasi pertumbuhan dan sifat genetik dari tanaman itu sendiri terhadap penerapan paket teknologi Jarwo Super. Menurut Rauf et al. (2005), perbedaan penampilan masing-masing varietas padi terhadap pertumbuhan tinggi tanaman disebabkan oleh adanya kandungan senyawa fenolat yang bersifat alelopati dalam jerami dan akar tanaman. Pada pertanaman yang semakin rapat senyawa fenolat akan cenderung meningkat sehingga pertumbuhan tanaman akan terhambat. Di samping itu, kemampuan masing-masing varietas dalam mengambil unsur hara dan fotosintesis sangat berbeda. Menurut Dobermann dan Fairthurts (2000), penyerapan unsur hara oleh tanaman dapat dipengaruhi oleh jenis dan umur tanaman, di samping oleh lingkungan tumbuhnya seperti kadar air tanah, suhu dan kelembapan.

Tabel 25. Tinggi tanaman tiga varietas padi sawah unggul baru terhadap penerapan paket teknologi Jarwo Super, Desa Pasar Miring, MT Agustus 2016

No VarietasPengamatan (cm)

30 HST 60 HST 90 HST1 Inpari.30 65,90 a 90,45 a 121,34 a2 Inpari.32 55,34 b 87,65 b 117,52 b3 Inpari.33 59,02 b 91,46 a 115,86 b

CV (%) 8,92 12,20 12,38Ket: Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf uji 5%

Page 201: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 169

Jumlah AnakanRata-rata jumlah anakan yang dihasilkan oleh tiga varietas padi

yang diuji memberikan pengaruh yang berbeda. Inpari 32 dan 33 memberikan jumlah anakan yang nyata lebih banyak dibandingkan padi varietas Inpari 30 pada pengamatan 30, 60 dan 90 HST (Tabel 26). Jumlah anakan terbanyak pada pengamatan 30 HST diperoleh dari varietas Inpari 32, selanjutnya pada pengamatan 60 dan 90 HST jumlah anakan terbanyak oleh varietas Inpari 33.

Tabel 26. Jumlah anakan tiga varietas padi sawah unggul baru terhadap penerapan paket teknologi Jarwo Super, Desa Pasar Miring, MT Agustus 2016

No VarietasPengamatan

30 HST 60 HST 90 HST1 Inpari.30 24,49 b 28,45 b 15,43 b2 Inpari.32 31,44 a 33,15 a 19,76 a3 Inpari.33 30,89 a 35,18 a 22,12 a

CV (%) 13,35 10,70 17,76Ket : Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut

DMRT pada taraf uji 5%

Lebih banyaknya jumlah anakan padi varietas Inpari 33 baik pada pengamatan 60 dan 90 HST diduga sangat berkaitan dengan banyaknya serapan hara Nitrogen (Tabel 31). Dari data Tabel 31 terlihat bahwa dengan meningkatnya serapan hara Nitrogen oleh tanaman, maka jumlah anakan juga semakin meningkat. Hasil penelitian Las et al. (2002) melaporkan bahwa tanaman padi jenis varietas unggul baru lebih respons dengan pemberian pupuk Nitrogen yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.

Serapan Hara NitrogenTanggap beberapa varietas yang diuji terhadap serapan hara

Nitrogen memberikan respons yang nyata berbeda. Varietas Inpari 33 memberikan serapan hara Nitrogen yang tertinggi dibandingkan varietas Inpari 30 dan 32. Sedangkan antara varietas Inpari 30 dan 32 tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata, namun ada kecenderungan varietas Inpari 32 memberikan serapan yang lebih baik

Page 202: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan170

dibandingkan varietas Inpari 30 (Tabel 27). Lebih tingginya serapan hara Nitrogen oleh varietas Inpari 33 diduga karena pengaruh dari proses penangkapan radiasi surya mata hari terutama tipe daun dalam proses fotosintesis, selain kemungkinan ketersediaan hara Nitrogen di tanah cukup tersedia. Menurut Yoshida (1981) penyerapan unsur hara oleh tanaman dipengaruhi oleh proses fotosintesis dan tingkat ketersediaan hara di tanah. Menurut De Datta (1981), terjadinya perbedaan penyerapan unsur hara oleh tanaman dapat disebabkan oleh waktu pemberian pupuk yang tidak tepat, salah dalam penempatan pupuk, atau berubahnya hara pupuk menjadi tidak tersedia dan karena proses respirasi dan transpirasi dari tanaman.

Tabel 27. Serapan hara Nitrogen padi sawah unggul baru terhadap penerapan paket teknologi Jarwo Super, di Desa Pasar Miring MT Agustus 2016

No VarietasPengamatan 60 HST

BKT* (g/rpn) % N Serapan N (g/rpn)1 Inpari.30 30,45 b 1,40 b 0,43 b2 Inpari.32 35,23 a 1,35 b 0,48 b3 Inpari.33 38,18 a 1,50 a 0,57 a

CV (%) 8,74 5,04 12,04Ket: Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf uji 5%; BKT* = bobot kering tanaman

Terjadinya perbedaan serapan hara oleh tanaman dari hasil pengkajian ini kemungkinan dapat juga disebabkan oleh kandungan hara atau bahan organik dari lahan yang digunakan. Hasil penelitian Nuryani et al. (2010) melaporkan bahwa serapan hara Nitrogen oleh tanaman padi sawah juga dipengaruhi oleh sistem pengelolaan lahan. Lahan semi organik (organik dan pupuk buatan) memberikan serapan hara Nitrogen yang lebih tinggi dibandingkan dengan jika lahan hanya menggunakan pupuk organik atau lahan yang hanya dipupuk dengan pupuk anorganik saja.

KERAGAAN HASIL DEMFARM JARWO SUPERKeragaan hasil dan komponen hasil gabah kering panen pada

kegiatan Demfarm Jarwo Super tahun 2016 di Desa Pasar Miring memperlihatkan tanggap yang berbeda diantara tiga varietas yang

Page 203: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 171

diuji (Tabel 28). Jumlah malai terbanyak ditampilkan oleh varietas Inpari 33 yaitu 19,1 batang/rumpun, selanjutnya oleh Inpari 32 sebanyak 16,1 batang/rumpun, cara petani sebanyak 14,2 batang/rumpun dan selanjutnya yang terkecil oleh varietas Inpari 30 sebanyak 13,4 batang/rumpun. Jumlah gabah isi terbanyak oleh varietas Inpari 30 namun memberikan bobot gabah yang terendah serta persen gabah hampa yang lebih tinggi dibandingkan varietas Inpari 33. Bobot 1000 butir gabah terberat diperoleh dari varietas Inpari 33 seberat 32,37 g dan selanjutnya 31,45 g oleh varietas Inpari 32 seberat 31,45 g, dan bobot terkecil oleh varietas Inpari 30. Komponen hasil yang diberikan akan mempengaruhi hasil gabah yang disumbangkan.

Hasil gabah kering panen tertinggi diperoleh dari varietas Inpari 33 (7,89 t/ha) hasil selanjutnya seberat 7,18 t/ha oleh varietas Inpari 32, kemudian varietas Inpari 30 seberat 5,98 t/ha: dan yang terkecil sebanyak 5,12 t/ha oleh varietas Inpari 32 menurut cara petani (non-Jarwo Super). Dibandingkan dengan cara petani (non-Jarwo Super) varietas Inpari 33 mampu meningkatkan hasil hingga 2,77 t/ha atau meningkat hingga 54,10%, varietas Inpari 32 meningkat sebesar 2,06 t/ha atau 40,23% dan varietas Inpari 30 meningkat sebanyak 0,86 t/ha atau meningkat 16,79%.

Tabel 28. Komponen hasil dan hasil gabah beberapa varietas padi sawah unggul baru dengan menerapkan paket teknologi Jarwo Super di Desa Pasar Miring, MT Agustus 2016

Varietas Jumlah Malai (btg/rpn)

Gabah isi(btr/malai)

Gabah hampa (%)

Bobot 1000 btr (g)

Hasil (t/ha) GKP

Inpari 30 (Jarwo Super) 13,4 c 114,06 a 27,92 ab 29,95 b 5,98 bc

Inpari 32 (Jarwo Super) 16,1 b 98,75 a 28,54 a 31,45 a 7,18 ab

Inpari 33 (Jarwo Super) 19,1 a 82,03 b 26,45 c 32,37 a 7,89 a

Inpari 32 (Cara Petani) 14,2 bc 81,20 b 27,56 b 30,20 b 5,12 c

CV (%) 16,14 16,62 3,18 3,64 18,85

Ket : Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada taraf uji 5%

Lebih banyaknya hasil gabah kering panen yang disumbangkan oleh varietas Inpari 33, 32 dan 30 diduga sangat berkaitan dengan banyaknya unsur hara Nitrogen yang diserap oleh masing-masing varietas tersebut. Musfal (2014) melaporkan hasil yang sama bahwa serapan hara NPK oleh tanaman padi berkorelasi positif dengan peningkatan hasil gabah.

Page 204: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan172

Demfarm kegiatan Jarwo Super di Sumatera Utara berlanjut hingga tahun 2017 bekerja sama dengan Puslitbangtan Bogor. Demfarm dilaksanakan di lima Kabupaten dengan total luas lahan mencapai 1.000 ha. Hasil yang diperoleh rata-rata dari beberapa lokasi kegiatan Demfarm adalah seperti Tabel 29.

Tabel 29. Rata-rata hasil Demfarm kegiatan Jarwo Super dengan menerapkan beberapa komponen teknologi Jarwo Super MK 2017 di Sumatera Utara

Lokasi Varietas M-Dec(%)

Agrimeth(%)

Bioprotector(%)

Urea(kg/ha)

NPK(kg/ha)

Hasil(t/ha)

Asahan Inpari 30 68 68 - 150 200 6,26Batu Bara Inpari 32 100 - - 190 260 5,40L.Batu Inpari 32 100 100 - 177 229 5,60Langkat Inpari 32 85 82 10 188 254 7,00Tapsel Inpari 30 100 100 68 260 222 5,60

Sumber : BPTP Sumatera Utara (2017)

Penerapan komponen teknologi Jarwo Super tidak sama di setiap Kabupaten. Petani yang menerapkan 100% bio dekomposer M-dec hanya di Kabupaten Batu Bara, Labuhan Batu dan Tapanuli Selatan, pupuk hayati Agrimeth 100% di Kabupaten Labuhan Batu, sedangkan komponen bio protector hanya digunakan oleh petani Kabupaten Langkat sebesar 10% dan Kabupaten Tapanuli Selatan sebesar 68%. Dosis pupuk yang digunakan juga tidak sama. Penerapan komponen teknologi yang variatif di setiap kabupaten menyebabkan hasil yang beragam. Rata-rata hasil gabah terbanyak diperoleh dari Kabupaten Langkat sebesar 7,00 t/ha menggunakan varietas Inpari 32, hasil selanjutnya oleh Kabupaten Asahan sebesar 6,26 t/ha menggunakan varietas Inpari 30 dan hasil terkecil oleh Kabupaten Batu Bara sebanyak 5,40 t/ha menggunakan varietas Inpari 32. Rendahnya hasil gabah yang diperoleh pada lokasi Kabupaten Batu Bara diduga karena tidak menerapkan komponen teknologi secara lengkap. Sebaliknya hasil terbanyak dari lokasi Kabupaten Langkat diduga karena lokasi ini menerapkan semua komponen teknologi Jarwo Super walaupun tidak oleh semua petani.

Keberlanjutan kegiatan pengkajian Demfarm Jarwo Super pada tahun anggaran 2018 dilaksanakan di Kabupaten Batu Bara dan Serdang Bedagai. Hasil tertinggi di Kabupaten Batu Bara menggunakan komponen Jarwo Super lengkap kecuali bio protector

Page 205: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 173

diganti dengan pestisida anorganik diperoleh dari varietas Inpari 32 sebanyak 8,56 t/ha, hasil selanjutnya oleh varietas Inpari 40 sebanyak 8,10 t/ha dan terrendah 7,50 t/ha oleh varietas Inpari 30 (Tabel 30). Bila dibandingkan dengan cara petani setempat tanpa menggunakan komponen Jarwo Super, terjadi peningkatan hasil antara 25% hingga 42,67%.

Tabel 30. Hasil Demfarm kegiatan Jarwo Super di Kabupaten Batu Bara dengan menerapkan beberapa komponen teknologi Jarwo Super, Desa Medang Baru, MT Maret 2018

Varietas M-Dec(kg/ha)

Agrimeth(g/25kg benih) Bioprotector Petro-Ganik

(kg/ha)Urea

(kg/ha)NPK

(kg/ha)Hasil(t/ha)

Inpari 30 2 500 - 500 200 200 7,50Inpari 32 2 500 - 500 200 200 8,56Inpari 33 2 500 - 500 200 200 7,88Inpari 40 2 500 - 500 200 200 8,10Inpari 41 2 500 - 500 200 200 7,90Inpari 42 2 500 - 500 200 200 7,90Inpari 43 2 500 - 500 200 200 7,92Petani - - - - 200 200 6,00

Sumber : Akmal (2018)

Demfarm di Kabupaten Serdang Bedagai baik di Desa Pematang Setrak dan Desa Melati II menerapkan komponen teknologi Jarwo Super lengkap kecuali untuk bio protector yang diganti dengan pestisida anorganik. Hasil gabah tertinggi untuk lokasi Desa Melati II sebanyak 9,70 t/ha diperoleh dari varietas Inpari 33 (Tabel 31).

Tabel 31. Hasil Demfarm kegiatan Jarwo Super di Kabupaten Serdang Bedagai dengan menerapkan beberapa komponen teknologi Jarwo Super, Desa Melati, II MT Mei 2018

Varietas M-Dec(kg/ha)

Agrimeth(g/25kg benih)

Biopro-tector

Urea(kg/ha)

NPK(kg/ha)

Hasil(t/ha)

Inpari 32 2 500 - 200 300 8,30Inpari 33 2 500 - 200 300 9,70Ciherang 2 500 - 200 300 7,90Mekongga 2 500 - 200 300 7,70

Sumber : BB Padi (2018)

Page 206: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan174

Namun bila penggunaan M-Dec ditingkatkan dari 2 kg/ha menjadi 3 kg/ha dan pupuk kandang sapi sebanyak 1 t/ha, maka hasil varietas Inpari 33 mampu meningkatkan hasil hingga 10,50 t/ha dari sebelumnya 9,70 t/ha atau meningkat sebesar 800 kg/ha (Tabel 32).

Tabel 32. Hasil demfarm kegiatan Jarwo Super di Kabupaten Serdang Bedagai terhadap penerapan beberapa komponen teknologi Jarwo Super, Desa Pematang Setrak MT April 2018

Varietas M-Dec(kg/ha)

Agrimeth(g/25kg benih)

Biopro-tector

Pukan Sapi (t/ha)

Urea(kg/ha)

NPK(kg/ha)

Hasil(t/ha)

Inpari 30 3 500 - 1 200 300 8,50

Inpari 32 3 500 - 1 200 300 9,25

Inpari 33 3 500 - 1 200 300 10,50

Sumber : Musfal (2018)

Meningkatnya hasil gabah dengan bertambahnya pemberian bahan dekomposer serta pupuk kandang sapi, diduga sangat berkaitan dengan meningkatnya kadar bahan organik tanah. Menurut Las et al. (2009), dengan meningkatnya kadar bahan organik tanah penyerapan unsur hara oleh tanaman akan menjadi lebih baik. Meningkatnya serapan unsur hara oleh tanaman akan menyebabkan hasil gabah yang diperoleh juga akan meningkat.

ADOPSI DI TINGKAT PETANITingkat adopsi petani terhadap penerapan beberapa komponen

teknologi Jarwo Super disurvei setelah dua tahun penerapan Demfarm di Desa Pasar Miring, Kecamatan Pagar Marbau, Kabupaten Deli Serdang (seperti uraian pada Gambar 27). Dari 40 responden yang diwawancarai, 40% menyatakan suka dengan Inpari 32, selanjutnya 37,5% Inpari 30 dan 12,5% suka dengan Inpari 33. Sedangkan terhadap komponen lainnya seperti penerapan sistem tanam jarwo 2:1, pupuk hayati Agrimeth, pestisida nabati bio protector dan alat panen combine harvester; rata-rata hanya disukai sebanyak 2,5%. Respons petani terhadap M-Dec dan penggunaan alat tanam jarwo transplanter dalam hal ini tidak terlihat atau kurang disukai.

Page 207: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 175

Gambar 27. Tingkat adopsi beberapa komponen teknologi Jarwo Super oleh petani Desa Pasar Miring, Kecamatan Pagar Marbau, Kabupaten Deli Serdang, 2018

Tingginya minat petani terhadap penggunaan varietas padi unggul baru seperti Inpari 30, 32 dan 33 dibandingkan komponen Jarwo Super lainnya, sangat dimungkinkan karena petani sudah melihat keragaan pertumbuhan tanaman dan hasil terhadap ketiga varietas tersebut, disamping karena ketersediaan benih mudah diperoleh dan tersedia. Menurut Subowo et al. (2013), kunci sukses peningkatan hasil padi yang disukai dan mudah diterapkan petani adalah penggunaan varietas padi unggul baru yang toleran terhadap perubahan bio fisik lahan dan memiliki daya hasil yang tinggi.

Sesuai data UPBS KP. Pasar Miring tahun 2016, permintaan petani terhadap benih sumber masih didominasi oleh varietas padi unggul lama seperti Situbagendit, Ciherang dan Mekongga. Tingginya minat petani pada saat itu karena Ciherang dan Mekongga memiliki potensi hasil yang tinggi. Pengenalan varietas Inpari 30, 32 dan 33 melalui Demfarm Jarwo Super dimulai pada tahun 2016. Melihat keragaan hasil yang ditampilkan oleh varietas Inpari 32 minat petani mulai terlihat dan selanjutnya pada tahun 2017 minat petani memperlihatkan permintaan yang terbanyak, begitu juga permintaan yang sama pada tahun 2018. Karena keragaan hasil yang diperlihatkan oleh Inpari 32 lebih baik, minat petani mulai terbentuk tahun 2016 dan terus meningkat ke tahun-tahun setelahnya.

Page 208: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan176

Tabel 33. Permintaan benih sumber padi unggul baru pada UPBS KP. Pasar Miring

No VarietasPermintaan (kg)

2016 2017 2018*1 Ciherang 6746 5185 -2 Mekongga 4815 4518 -3 Situbagendit 7758 - -4 Cibogo - 4632 7905 Inpari 4 3001 - -6 Inpari 32 2671 7867 25457 Inpari 33 - 3585 -8 Inpari 36 - - 13889 Inpari 42 - - 110110 Inpari 43 - - 1665

Sumber : UPBS KP. Pasar Miring (2018) *)kondisi hingga November 2018

Data di atas memperlihatkan bahwa permintaan benih sumber pada tahun 2018 sudah didominasi oleh varietas unggul baru seperti Inpari 32, 36, 42 dan 43. Permintaan petani terhadap varietas Ciherang, Mekongga dan Situbagendit tidak terlihat atau kurang diminati. Kurangnya minat petani saat ini terutama terhadap varietas Ciherang, disebabkan karena banyak laporan dari beberapa daerah di Sumatera Utara bahwa varietas tersebut tidak tahan terhadap penyakit hawar daun dan daya hasilnya sudah mulai menurun.

Adopsi petani terhadap penerapan sistem tanam jarwo 2:1 terlihat masih rendah, dimana kebanyakan petani pada umumnya di Sumatera Utara lebih menyukai sistem tanam jajar legowo 4:1 dengan jarak tanam yang tidak terlalu rapat. Erythrina dan Zaini (2014) melaporkan bahwa petani lebih menyukai sistem tanam legowo yang tidak terlalu rapat dengan alasan kebutuhan benih lebih sedikit dan biaya tanam lebih murah.

Minat petani terhadap penggunaan alat tanam Jarwo Transplanter kurang terlihat, yang kemungkinan disebabkan pada lokasi survei tenaga kerja tanam masih cukup tersedia. Masalah lain adalah proses penyiapan persemaian dan pemakaian alat yang dirasakan agak rumit, memerlukan keahlian khusus agar pertanaman terlihat lurus, serta perlu dilakukan penyisipan ulang. Lahan yang tidak rata atau dalam menyebabkan benih tidak semuanya tertanam. Sementara

Page 209: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 177

cara tanam manual seperti legowo 4:1 menurut petani lebih mudah dalam pelaksanaannya, terlihat lurus baris tanamannya, tidak perlu penyisipan ulang, kebutuhan benih lebih sedikit, dan biaya tanam lebih murah.

Komponen lain seperti penggunaan bio dekomposer M-Dec, pupuk hayati Agrimeth dan pestisida nabati bio protector terlihat masih rendah. Hal ini disebabkan karena ketersediaannya masih sulit untuk didapatkan oleh petani. Sedangkan terhadap pemakaian alat panen Combine harvester saat ini sebetulnya sudah banyak diterapkan oleh petani, keuntungannya di samping harga jual gabah lebih mahal (berkisar antara Rp200–400) dibandingkan penggunaan alat thresher, waktu panenpun lebih cepat. Pada lokasi Demfarm Desa Pasar Miring masih rendahnya tingkat adopsi alat panen combine harvester karena keberadaannya masih relatif sedikit dibandingkan alat thresher, di samping karena alat tersebut kurang sesuai untuk lahan yang dalam atau tergenang.

KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKANSecara umum sifat agronomis tanaman varietas Inpari 32 dan

33 dengan menerapkan komponen teknologi Jarwo Super terlihat lebih baik dibandingkan varietas Inpari 30. Keragaan hasil padi pada Demfarm Jarwo Super yang dilakukan sejak tahun 2016–2018 di Sumatera Utara, hasil tertinggi di Kabupaten Deli Serdang diperoleh dari varietas Inpari 33 sebanyak 7,89 t/ha, di Kabupaten Langkat sebanyak 7,00 t/ha oleh varietas Inpari 32, di Kabupaten Batu Bara sebanyak 8,56 t/ha oleh varietas Inpari 32 dan di Kabupaten Serdang Bedagai sebanyak 9,70 t/ha dan 10,50 t/ha oleh varietas Inpari 33. Hasil ini bersesuaian dengan tingkat adopsi petani. Adopsi terlihat tertinggi pada varietas Inpari 32, 30 dan 33, sedangkan terhadap komponen produksi lainnya masih rendah (< 2,5%).

Kunci keberhasilan penerapan paket teknologi Jarwo Super sangat terkait dengan penerapan masing-masing komponen teknologi. Penerapan paket yang tidak lengkap memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan menerapkan paket lengkap. Paket lengkap dimaksud adalah penggunaan bio dekomposer M-Dec 2 kg/ha, pupuk hayati Agrimeth 500g/25kg benih, Inpari 32 atau 33, Urea 200 kg/ha, NPK Phonska 300 kg/ha, sistem tanam legowo 2:1 (12.5 x 25 x 50 cm) dan pengendalian OPT dengan pestisida anorganik sesuai

Page 210: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan178

ambang kendali. Namun bila paket lengkap tersebut ditingkatkan, yakni pemakaian bio dekomposer M-Dec menjadi hingga 3 kg/ha dan ditambah pupuk kandang sapi sebanyak 1 t/ha, terjadi peningkatan hasil hingga 10,5 t/ha. Secara umum, Demfarm Jarwo Super memberikan rata-rata hasil yang lebih tinggi dibandingkan cara petani (non-Jarwo Super).

Dari hasil pengkajian ini disarankan penggunaan alat tanam Jarwo Transplanter dimodifikasi seefisien mungkin sehingga dapat diterapkan dengan mudah oleh petani dan sesuai pada berbagai kondisi lahan. Modifikasi ini memungkinkan semua benih dapat tertanam dengan sempurna.

UCAPAN TERIMA KASIHPenulis mengucapkan terima kasih kepada pihak SMARTD

yang telah mendanai kegiatan pengkajian Jarwo Super tahun 2016 di Provinsi Sumatera Utara, serta kepada tim pelaksana pengkajian Jarwo Super BPTP Sumatera Utara. Selain itu, juga disampaikan penghargaan dan terima kasih atas bimbingan tim redaksi pelaksana buku ini yang dikoordinasikan oleh BBP2TP Bogor, sehingga buku ini dapat terbit.

DAFTAR PUSTAKAAdiningsih, J.S. 1992. “Peranan efisiensi penggunaan pupuk untuk

melestarikan swasembada pangan”. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. 34 hlm.

Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Mycrobiology. 2nd Ed. New York: John Wiley and Sons. 467 p.

Akmal. 2018. “Laporan hasil penelitian demfarm Jarwo Super di Kabupaten Batu Bara. Laporan hasil pengkajian TA”. 2018 BPTP Sumatera Utara, Medan.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2018. “Laporan Kajian Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Hasil Balitbangtan”. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Kementerian Pertanian.

Page 211: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 179

Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. 2015. “Angka tetap luas lahan baku sawah di Sumatera Utara”.

Badan Litbang Pertanian. 2016. “Petunjuk Teknis Budidaya Padi Jajar Legowo Super”. Jakarta, April 2016. 25 hal.

Badan Litbang Pertanian. 2016b. “Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi”. BB Padi Sukamandi Februari 2016: 82 hal

Bachrein, S. 2005. “Keragaan dan pengembangan sistem tanam legowo-2 pada padi sawah di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten garut Jawa Barat”. dalam Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 8(1): 29-38

BPTP Sumatera Utara 2017. “Laporan hasil demfarm Jarwo Super TA”. 2017 kerjasama dengan Puslitbangtan Bogor.

BB Padi. 2018. Laporan hasil demfarm Jarwo Super di Kabupaten Serdang Bedagai TA. 2018. Sukamandi

Buckman, H. C and N. C.Brady. 1969. “The Nature and properties of soil”. the Mc Millan Co. N.York. p 599

Cottenie, A. 1980. “Soil and Plant Testing as a Basis of Fertilyzer Recommendations”. Soil Bulletin No.38/2 FAO, Rome

De Datta, S.K. 1981. Principles and practices of rice production. New York: John Willey and Sons. 618 p.

Dobermann, A., and T. H. Fairthurts. 2000. “Rice Nutrient Disorders and Nutrient Management. International Rice Research Institute (IRRI)”. Los Banos. Philipinnes.192p

Erythrina. 2001. “Teknologi tanam legowo 4:1 pada padi sawah”. Laporan hasil penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. Medan ;13 hal

Erythrina dan Z. Zaini. 2014. “Budidaya padi sawah sistem tanam jajar legowo: Tinjauan metodologi untuk mendapatkan hasil optimal”. dalam Jurnal Litbang Pertanian. 33: (2): 79-86

Las, I., A.K.Makarim., H.M.Toha., A.Gani., H.Pane dan S. Abdurrahman. 2002. “Panduan teknis pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu padi sawah irigasi”. Departemen Pertanian. Jakarta. 37p.

Page 212: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan180

Las, I., K. Subagyono, dan A.P. Setiyanto. 2006. “Isu dan pengelolaan lingkungan dalam revitalisasi pertanian”. Prosiding Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries, Japan, Jakarta, 27-28 Juni 2006.

Las, I., S. Rochayati, D. Setyorini, A. Mulyani, dan D. Subardja. 2009. “Peta potensi penghematan pupuk anorganik dan peningkatan penggunaan pupuk organik”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Makarim, A.K dan Ikhwani. 2012. “Teknik ubinan, pendugaan produktivitas padi menurut jarak tanam”. Puslitbang Tanaman Pangan Bogor, 44 hal

Musfal. 2014. “Efektivitas dan effisiensi pemupukan padi sawah menurut rekomendasi PUTS dan PHSL”. Prosiding Seminar Nasional dan Agro expo 2014 Fakultas Pertanian UISU. Medan 12-13 Nopember 2014. Hal 153- 168;ISBN 978-602-72871-0-5

Musfal. 2018. “Laporan hasil penelitian kaji terap inovasi pertanian khusus padi inovasi teknologi Jarwo Super di Sumatera Utara”. Laporan hasil pengkajian BPTP Sumatera Utara TA.2018, Medan

Nguu, N.V and S.K. de Datta. 1979. “Increasing efficiency of fertilizer nitrogen in wetland rice by manipulation of plant density and plant geometry”. dalam Field Crops Res 2:19-34

Nuryani, S.H.U., M. Haji dan N.Widya. Y. 2010. “Serapan hara N, P, K pada tanaman padi dengan berbagai lama penggunaan pupuk organik pada vertisol Sragen”. dalam Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan UGM, 10 (1): 1-13

Rauf, A.W., Tohari, P. Yudono, dan S. Kabirun. 2005. “Pengaruh alelopati padi terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai pada sistem taanam berurutan padi kedelai”. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Bogor 24(2): 76-84.

Setyorini. D., L.R.Widowati dan A.Kasno. 2006. “Petunjuk penggunaan perangkat uji tanah sawah versi 1:1”. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 37 hal

Sing, R.B. 2000. “Environmental consequences of agricultutal development: A case study from the green revolution state of Haryana, India”. dalam Agric., Ecosyst. Environ., 82: 97-103.

Page 213: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 181

Soil Survey Staff. 1994. Keys to Soil Taxonomy. Seventh Edition. Natural Resources Conservation Service. UD Departement of Agricultural, Washington DC

Subowo.N.P., S. Ratmini., Purnamayani dan Yustisia. 2013. “Pengaruh ameliorasi tanah rawa pasang surut untuk meningkatkan produksi padi sawah dan kandungan besi dalam beras”. dalam Jurnal Tanah dan Iklim 37(1)2013: 19-24

UPBS KP. Pasar Miring. 2018. “Laporan permintaan benih sumber tahun 2016, 2017 dan 2018”. Pasar Miring

Yoshida. 1981. “Fundamental of Rice Crop Science”. International Rice Research Institute (IRRI) Los Banos. Laguna Philippines

Zaini, Z., S. Abdurrahman., N. Widiarta., P.Wardana., D.Setyorini., S. Kartaatmadja dan M. Yamin. 2009. “Pedoman Umum PTT Padi Sawah”. Departemen Pertanian, Badan Litbang Pertanian. 20 hal

Page 214: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 215: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

HOMOFILI TEKNOLOGI EKSISTING DAN INTRODUKSI SEBAGAI TUMPUAN KEBERLANJUTAN ADOPSI TEKNOLOGI

JARWO SUPER DI SUMATERA UTARA

Wasito dan Khadijah El Ramijah

PENDAHULUANRata-rata produktivitas padi di Indonesia dengan berbagai jenis

sumber pengairan termasuk sawah tadah hujan dan padi gogo sebesar 5,135 t/ha gabah kering giling. Angka ini sudah tergolong tinggi, melebihi produktivitas padi di Brasil, India, Thailand, Filipina dan Myanmar, meskipun masih di bawah Vietnam dan China (BPS 2015). Oleh karena itu, produktivitas padi lahan sawah yang sudah dicapai perlu terus ditingkatkan agar mencapai kapasitas optimal.

Perkembangan teknologi budidaya padi mulai serius dikembangkan di Indonesia dari tahun 1969 dengan nama programnya BIMAS, yang kemudian disempurnakan lagi sampai pada tahun 1974. Dalam perjalanannya, berbagai program yang mengusung paket-paket teknologi tersebut mulai dari Program Pengendalian Hama Terpadu (PHT), Insus, dan Inmas sampai tahun 1984. Dari tahun 1984 sampai dengan tahun 1994, program lalu berubah menjadi Supra Insus. Selanjutnya, pada tahun 1994 sampai dengan 2000 berubah nama menjadi GEMA PALAGUNG.

Terakhir, Badan Litbang Pertanian telah merakit berbagai komponen teknologi terbaru yang dihasilkan menjadi paket teknologi yang disebut “Teknologi Padi Jarwo Super”. Keberhasilan penerapan Teknologi Jarwo Super ditentukan oleh komponen teknologi dan teknik budidaya yang digunakan.

Teknologi Jajar Legowo Super telah diuji keunggulannya oleh Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi Subang, melalui Demfarm seluas 50 ha pada lahan sawah irigasi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, musim tanam 2016. Pengujian dengan melibatkan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) setempat. Berdasarkan panen ubinan Tim Terpadu BPS Indramayu, Peneliti Balitbangtan, Badan Ketahahan

Page 216: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan184

Pangan dan Penyuluhan Pertanian Indramayu, UPTD Kecamatan Bangodua, dan Gapoktan peserta, varietas Inpari 30 Ciherang Sub 1 ternyata mempunyai potensi produksi >12 ton sementara produktivitas varietas Ciherang yang diusahakan petani di luar Demfarm hanya 7,0 ton GKP/ha (BB Padi/Balitbangtan 2016). Khusus di Sumatera Utara, kegiatan DemfarmJarwo Super dilaksanakan di Kabupaten Langkat, Serdang Bedagai, Deli Serdang,Tapanuli Selatan, Labuhan Batu, Batubara, dan Asahan mulai tahun 2016.

Dalam kegiatan introduksi teknologi Jarwo Super, dapat diasumsikan bahwa efektivitas kegiatan akan dipengaruhi oleh tingkat homofili antara teknologi petani yang telah beradaptasi dengan teknologi Jarwo Super yang diintroduksi. Tingkat homofili teknologi petani dan introduksi terbagi atas dua, yaitu homofili objektif dan homofili subjektif. Homofili objektif merupakan tingkat kesamaan karakteristik antara petani dengan penyuluh yang terdiri dari: karakteristik umur, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman, etnis/suku, status sosial dan ekonomi dalam masyarakat, kepercayaan, dan sikap (Rogersdan Shoemaker 1995).

Homofili teknologi eksisting/adaptif dan teknologi introduksi sebagai tumpuan agar keberlanjutan adopsi komponen teknologi Jarwo Super terjadi di Sumatera Utara, terfokus pada komponen teknologi varietas unggul baru (VUB) padi dan legowo 4:1.

Kerangka KonseptualKegiatan adopsi komponen teknologi Jarwo Super dapat

dikatakan efektif apabila teknologi diadopsi sehingga mampu meningkatkan produk padi dan pendapatan petani. Efektivitas dari kegiatan inovasi Jarwo Super, di antaranya dapat dipengaruhi oleh efektivitas introduksi teknologi dengan teknologi eksisting yang berlangsung dalam kegiatan tersebut. Salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas adalah tingkat homofili introduksi komponen teknologi Jarwo Super dengan teknologi usahatani padi kondisi eksisting, searah penelitian Yuda (2012). Gambaran efektivitas kegiatan Jarwo Super berdasarkan teori probabilitas (Hasan 2003) yang mengadaptasi teori himpunan yaitu operasi irisan (interseksi) dari introduksi komponen teknologi Jarwo Super dengan teknologi usahatani padi eksisting yang berlangsung dalam kegiatan tersebut. Terjadi operasi irisan (interseksi), di mana irisan dari himpunan

Page 217: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 185

A (introduksi komponen teknologi Jarwo Super) dan himpunan B (teknologi usahatani padi eksisting) = A п B = (X : x є A dan x є B), A dan B tidak saling lepas, peristiwa bersamaan, interseksi dan operasi irisan besar (homofili) atau kecil (heterofili) (Gambar 28). Kenyataan di lapangan, setelah pelaksanaan program introduksi inovasi teknologi Jarwo Super sebagai kegiatan pembelajaran tersebut sebagian komponen teknologi Jarwo Super tidak berkelanjutan lagi. Adopsi komponen teknologi Jarwo Super tidak secara dominan lagi di wilayah demfarm Jarwo Super.

Gambar 28. Saat Demfarm (A) = Irisan : homifili = Setelah Demfarm

Rogers dan Shoemaker (1995) menyatakan bahwa jaringan komunikasi akan efektif dan ideal dalam menyebarkan inovasi, jika status sosial ekonomi anggota jaringannya homofili, serta heterofili dalam penguasaan inovasinya. Keberhasilan suatu difusi inovasi dapat dilihat dari proksimitas hubungan homofili-heterofili baik antar individu maupun antara pemuka pendapat dengan individu lain dalam sistem. Teori Strengh of Weakness yang dicetuskan oleh Rogers dan Shoemaker (1971) dapat digunakan dalam pengukuran ini. Penjelasan dari Teori Strength of Weakness yaitu individu yang memiliki kesamaan cenderung bergabung dalam satu kelompok, hidup berdampingan dan mengembangkan minat yang sama. Dengan demikian, komunikasi dengan latar belakang yang sama berupa kepercayaan, nilai-nilai, pendidikan, status sosial atau homofili lebih sering terjadi. Investigasi Rogers dan Bhowmik (1971) sebelumnya menunjukkan bahwa pada umumnya: (1) derajat homofili subjektif berkorelasi positif dengan tingkat homofili objektif, meskipun tidak dengan sempurna; (2) tingkat homofili subjektif dianggap lebih tinggi daripada derajat homofili objektif; dan (3) homofili subjektif lebih erat terkait dari homofili objektif dengan peubah lain seperti daya tarik interpersonal dan frekuensi interaksi.

Page 218: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan186

INTRODUKSI TEKNOLOGI JARWO SUPERPengenalan inovasi teknologi Jarwo Super untuk pertama kalinya

di Sumatera Utara dilaksanakan pada lahan sawah irigasi milik petani Desa Pasar Miring, Kecamatan Pagar Marbau, Kabupaten Deli Serdang. Komponen teknologi Jarwo Super yang diintroduksikan meliputi padi varietas Inpari 30, 32 dan 33, biodecomposer M-Dec dengan dosis 2 kg/ha, pupuk hayati Agrimeth 500g/25 kg benih, pupuk kandang sapi sebanyak 2 t/ha, pupuk Urea 200 kg/ha yang diberikan pada 15 dan 30 HST dan pupuk NPK Phonska sebanyak 300 kg/ha diberikan pada saat tanam sesuai dosis anjuran. Untuk pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida nabati Bio protector.

Tanam padi menggunakan alat tanam Jarwo Transplanter dan manual serta panen menggunakan alat panen Combine harvester. Hasil gabah kering panen (GKP) terberat pada varietas Inpari 33 (7,89 t/ha), selanjutnya Inpari 32 (7,18 t/ha), Inpari 30 (5,98 t/ha), dan yang terkecil Inpari 32 (5,12 t/ha) cara petani (non-Jarwo Super). Apabila dibandingkan dengan cara petani, Inpari 33 mampu meningkatkan hasil 2,77 t/ha (54,10%), Inpari 32 (2,06 t/ha atau 40,23%) dan varietas Inpari 30 (0,86 t/ha atau 16,79%) (Musfal et al. 2016).

Demfarm kegiatan Jarwo Super berlanjut tahun 2017 bekerja sama dengan Puslitbangtan Bogor. Demfarm dilaksanakan di lima Kabupaten (Langkat, Batubara, Asahan, Labuhan batu, Tapanuli Selatan) dengan total luas lahan mencapai 1.000 ha. Penerapan komponen teknologi Jarwo Super tidak sama di setiap kabupaten, petani yang menerapkan 100% bio dekomposer M-dec hanya di Kabupaten Batu Bara, Labuhan Batu dan Tapanuli Selatan, pupuk hayati Agrimeth hanya 100% diterapkan oleh petani Kabupaten Labuhan Batu, komponen bio protector hanya digunakan oleh petani Kabupaten Langkat sebesar 10% dan Kabupaten Tapanuli Selatan sebesar 68%. Sedangkan dosis pupuk yang digunakan juga tidak sama (Gambar 29).

Page 219: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 187

Gambar 29. Demfarm Jarwo Super Langkat, Asahan, B. Bara, L. Batu, Tapsel (BPTP Sumut 2017)

Tidak sama penerapan komponen teknologi di setiap kabupaten dan memberikan hasil yang beragam. Rataan hasil gabah terbanyak di Kabupaten Langkat (7,00 t/ha) menggunakan Inpari 32, selanjutnya Kabupaten Asahan (6,26 t/ha) (Inpari 30) dan hasil terkecil di Kabupaten Batu Bara (5,40 t/ha) (Inpari 32). Rendahnya hasil gabah di Kabupaten Batu Bara diduga pada lokasi ini tidak menerapkan komponen teknologi secara lengkap. Sebaliknya hasil terbanyak dari lokasi Kabupaten Langkat diduga karena lokasi ini menerapkan semua komponen teknologi Jarwo Super walaupun tidak 100% oleh semua petani.

Demfarm kegiatan Jarwo Super di Sumatera Utara berlanjut tahun 2018 dilaksanakan di Kabupaten Batu Bara dan Serdang Bedagai. Hasil tertinggi di Desa Medang Baru, Kabupaten Batu Bara menggunakan komponen Jarwo Super lengkap kecuali bio protector diganti dengan pestisida anorganik. Hasil yang diperoleh dari varietas Inpari 32 (8,56 t/ha), selanjutnya Inpari 40 (8,10 t/ha) dan terendah (7,50 t/ha) varietas Inpari 30 (Gambar 30). Apabila dibandingkan dengan cara petani setempat tanpa menggunakan komponen Jarwo Super, terjadi peningkatan hasil antara 25% –42,67%.

Page 220: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan188

Gambar 30. Demfarm Jarwo Super di Kabupaten Batu Bara (Akmal 2018)

Demfarm Jarwo Super di lokasi Desa Pematang Setrak (Kecamatan Sei Rampah) dan Desa Melati II (Kecamatan Perbaungan), Kabupaten Serdang Bedagai menerapkan komponen teknologi Jarwo Super lengkap kecuali untuk bio protector diganti dengan pestisida anorganik. Hasil gabah tertinggi untuk lokasi Desa Melati II sebanyak 9,70 t/ha dari varietas Inpari 33 (Gambar 31).

Gambar 31. Demfarm Jarwo Super Desa Melati II, Serdang Bedagai (BB Padi 2018)

Page 221: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 189

Apabila perolehan hasil tertinggi 9,70 t/ha di Desa Melati II oleh varietas Inpari 33 ditingkatkan penggunaan M-dec dari 2 kg/ha menjadi 3 kg/ha dan ditambah pemakaian pupuk kandang sapi sebanyak 1 t/ha, hasil varietas Inpari 33 mampu meningkatkan hasil hingga 10,50 t/ha atau meningkat sebesar 800 kg/ha pada lokasi Desa Pematang Setrak (Gambar 32).

Gambar 32. Demfarm Jarwo Super Desa Pematang Setrak, Serdang Bedagai (Musfal 2018)

Meningkatnya hasil gabah dengan bertambahnya pemberian bahan dekomposer serta pupuk kandang sapi, diduga sangat berkaitan dengan meningkatnya kadar bahan organik tanah. Menurut Las et al. (2009) dengan meningkatnya kadar bahan organik tanah penyerapan unsur hara oleh tanaman akan menjadi lebih baik dan sejalan dengan meningkatnya serapan unsur hara oleh tanaman hasil gabah yang diperoleh juga akan meningkat.

HOMOFILI TEKNOLOGI TUMPUAN KEBERLANJUTAN ADOPSI TEKNOLOGI

Senjang Implementasi dan Adopsi Teknologi Jarwo Super

Saat Demfarm penerapan komponen teknologi Jarwo Super tidak sama di setiap kabupaten, atau petani yang menerapkan, terutama komponen teknologi biodecomposer M-Dec (2 kg/ha), pupuk hayati Agrimeth 500g/25 kg benih, dan pestisida nabati bioprotector. Namun

Page 222: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan190

setelah pelaksanaan program kegiatan demfarm Jarwo Super, adopsi komponen teknologi biodecomposer M-Dec (2 kg/ha), pupuk hayati Agrimeth 500g/25 kg benih, pestisida nabati Bio protector pada lokasi Demfarm atau unit pengkajian khusus (UPK), unit hamparan pengkajian (UHP) tidak teradopsi secara berkelanjutan lagi (Gambar 33). Apalagi difusi inovasinya tidak berjalan sesuai yang diharapkan, baik terhadap petani di luar unit hamparan pengkajian (LUHP)., artinya terjadi senjang adopsi teknologi Jarwo Super yang merupakan perbedaan antara proses penentuan dan penerapan (adopsi) teknologi oleh petani dibandingkan dengan proses penentuan dan penerapan teknologi yang ditawarkan (Paket Teknologi Jarwo Super).

Gambar 33. Saat Demfarm = irisan : homofili = Sebelum & Setelah Demfarm

Homofili Teknologi Introduksi dan Eksisting serta Adopsi Inovasi

Hasil analisis terhadap tingkat homofili introduksi komponen teknologi Jarwo Super dengan teknologi usahatani padi kondisi eksisting terjadi pada komponen teknologi VUB dan Jarwo 4 : 1. Komponen teknologi tersebut diibaratkan proses komunikasi atau selaras dengan Rogers dan Bhowmik (1971) yang menyebutkan bahwa komunikasi antara individu akan lebih efektif ketika sumber dan penerimanya homophilous. Ketika sumber dan penerima memiliki kesamaan makna, sikap, dan keyakinan, dan kode bersama, komunikasi di antara keduanya adalah lebih efektif. Kebanyakan

Page 223: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 191

individu menikmati kenyamanan dari berinteraksi dengan orang lain yang serupa dalam status sosial, pendidikan, keyakinan, dan lainnya. Homofili dan komunikasi yang efektif berkembang satu sama lain, dan keduanya memiliki pengaruh saling tergantung dalam peningkatan kecil di salah satu pihak akan mengarahkan peningkatan kecil di sisi lain, dan lain-lain.

Sebuah pasangan sumber dan penerima yang homofili akan berinteraksi lebih banyak. Ada berapa proporsi yang dapat terjadi dari pasangan sumber dan penerima yang homofili, yaitu: (1) Komunikasi yang terjadi relatif lebih efektif, dan (2) Konsensus dan kesamaan di antara keduanya akan lebih besar. Hal tersebut sangat bermanfaat sehingga akan menyebabkan keduanya berinteraksi ke tingkat yang lebih tinggi. Selain kondisi homofili subjektif dan homofili objektif, Rogers dan Bhowmik (1971) yang menyebutkan juga mengungkapkan bahwa rasa empati maupun simpati mempengaruhi efektivitas komunikasi. Jika sumber dapat melihat dengan baik perasaan dari penerima pesannya dan mereka berbagi perasaan, sangat mungkin makna pesan yang disampaikan oleh sumber akan sama dengan makna yang dipahami oleh penerima. Ketika sumber memiliki empati yang tinggi dengan penerima walaupun keadaan keduanya adalah heterofili secara karakteristik, maka mereka benar-benar homofili dalam arti sosial-psikologis.

VUB Inpari 32Berdasarkan hasil analisis, minat petani menggunakan varietas

padi unggul baru Inpari 30, 32 dan 33 cukup tinggi dibandingkan komponen Jarwo Super lainnya. Hal ini sangat dimungkinkan karena petani sudah melihat keragaan pertumbuhan tanaman dan hasil terhadap ketiga varietas tersebut pada lokasi-lokasi Demfarm Jarwo Super atau uji varietas di wilayah Sumatera Utara. Di samping itu, ketersediaan benih tersebut mudah untuk diperoleh dan tersedia setiap waktu baik pada UPBS Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara, Balai Benih Dinas Pertanian, atau penangkar padi bersertifikat. Menurut Subowo et al. (2013) kunci sukses peningkatan hasil padi yang disukai dan mudah diterapkan petani adalah penggunaan varietas padi unggul baru yang toleran terhadap perubahan bio fisik lahan dan memiliki daya hasil tinggi.

Page 224: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan192

Analisis data UPBS KP. Pasar Miring BPTP Sumatera tahun 2016 – 2017 menunjukkan permintaan petani terhadap benih sumber masih didominasi oleh varietas padi unggul lama Situbagendit (2016 : 7758 kg), Ciherang (2016 : 6746 kg; 2017 : 5185 kg), dan Mekongga (2016 : 4815 kg; 2017 : 4518 kg). Cukup tingginya minat petani pada saat itu (2016 – 2017) karena VUB Ciherang dan Mekongga memiliki potensi hasil dan produktivitas di lapangan yang tinggi. Pengenalan varietas Inpari 30, 32 dan 33 melalui Demfarm Jarwo Super di KP. Pasar Miring BPTP Sumatera pada tahun 2016 muncul minat terhadap VUB Inpari 32 (2671 kg).

Melihat keragaan hasil yang ditampilkan oleh varietas Inpari 32 minat petani mulai terlihat dan selanjutnya pada tahun 2017 (7867 kg) minat petani terhadap varietas Inpari 32 memperlihatkan permintaan yang terbanyak, begitu juga permintaan yang sama pada tahun 2018 (2.545 kg) dibandingkan VUB padi yang lain. Permintaan benih sumber pada tahun 2018 sudah didominasi oleh varietas unggul baru Inpari 32 (2545 kg), Inpari 36 (1388 kg), Inpari 42 (1101 kg), dan Inpari 43 (1665 kg). Permintaan petani terhadap varietas Ciherang tidak terlihat atau kurang diminati. Faktor kurangnya minat petani saat ini terutama terhadap varietas Ciherang, karena banyak laporan yang menyampaikan pada beberapa daerah di Sumatera Utara varietas tersebut tidak tahan terhadap penyakit hawar daun dan daya hasilnya sudah mulai menurun. Sedangkan permintaan terhadap Inpari 32 dan Mekonga meningkat tajam berdasarkan data UPT Benih Dinas Pertanian Sumatera Utara di Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang (skor 4–5 : tinggi, skor sedang : 2–3, skor 0–1 : rendah)

Page 225: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 193

Gambar 34. Perkembangan benih di UPT Benih Dinas Pertanian Sumatera Utara

Varietas unggul padi merupakan teknologi yang dominan peranannya dalam peningkatan produksi padi dunia (Las 2004). Sumbangan peningkatan produktivitas varietas unggul baru terhadap produksi padi nasional cukup besar, sekitar 56% (Hasanuddin 2005). Fagi et al. (2001), berpendapat kontribusi interaksi antara air irigasi, varietas unggul baru, dan pemupukan terhadap laju kenaikan produksi padi mencapai 75%. Varietas unggul merupakan salah satu teknologi inovatif yang andal untuk meningkatkan varietas padi, baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil tanaman maupun atau tahan terhadap cekaman abiotik dan biotik (Suprihatno et al. 2011). Menurut Deptan (2007), varietas unggul sebagai salah satu komponen produksi telah memberikan sumbangan sebesar 56% di dalam peningkatan produksi.

Sistem Tanam Jajar LegowoAdopsi petani terhadap sistem tanam Jajar Legowo (Jarwo)

2:1 terlihat masih rendah, kecuali pada saat pelaksanaan kegiatan Demfarm Jarwo Super di Sumatera Utara pada tahun 2016, 2017, dan 2018, walaupun tidak menggunakan rice transpanter. Hal ini sangat

Page 226: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan194

berbeda dengan sistem Jarwo 4:1, kebanyakan petani pada umumnya di UPK, UHP, LUHP setelah Demfarm Jarwo Super di Kabupaten Langkat dan Serdang Bedagai, diduga di Sumatera Utara. Selaras program Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara tentang kegiatan gerakan penerapan sistem tanam jajar legowo sumber dana APBD Provinsi Sumatera Utara sekitar 5 tahun terakhir. Pada tahun 2018 kegiatan gerakan penerapan sistem tanam jajar legowo sumber dana APBD mencapai 2.019 ha, meliputi Kabupaten Langkat (200 ha), Serdang Bedagai (200 ha), Labuhan Batu (150 ha), Simalungun (200 ha), Padang Lawas (100 ha), Mandailing Natal (200 ha), Tapanuli Utara (200 ha), Tapanuli Tengah (250 ha), serta terluas di Tapanuli Selatan (Tapsel) 519 ha (Bidang Produksi Tanaman Pangan 2018). Petani lebih menyukai sistem tanam jajar legowo 4:1 dengan jarak tanam yang tidak terlalu rapat. Erythrina dan Zaini (2014) melaporkan bahwa petani lebih menyukai sistem tanam legowo yang tidak terlalu rapat dengan alasan kebutuhan benih lebih sedikit dan biaya tanam lebih murah.

Tabel 34. Gerakan tanam Jajar Legowo di Kabupaten Langkat tahun 2017

No Kecamatan Luas Jumlah Benih VarietasI GerTam Jajar Legowo Super 200 5.000

1 Sirapit 100 2.500 Inpari 322 Kuala 50 1.250 Inpari 323 Selesai 50 1.250 Inpari 32II GerTam Jajar Legowo 3.000 75.000

1 Sirapit 600 15.000 Inpari 322 Salapian 165 4.125 Mekongga3 Kuala 635 15.875 Inpari 324 Selesai 400 10.000 Inpari 325 Secanggang 600 15.000 Inpari 326 Pangkalan Susu 600 15.000 Inpari 32 3.200 80.000

Sumber : Distan Kab. Langkat (2018)

Minat petani terhadap penggunaan alat tanam jarwo transplanter atau combine hansverter saat demfarm Jarwo Super tahun 2017 dan 2018 kurang terlihat, hal ini kemungkinan disebabkan pada lokasi tersebut tenaga kerja tanam atau kelompok sistem tanam Jarwo atau

Page 227: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 195

pemanen masih cukup tersedia. Kelompok regu tanam atau panen ini telah mengakar di masyarakat sehingga sulit untuk menggesernya. Masalah lain adalah penyiapan persemaiannya dan pemakaian alat yang dirasakan petani agak rumit, memerlukan keahlian khusus agar pertanaman terlihat lurus di samping itu perlu dilakukan penyisipan ulang karena tidak semua benih tertanam karena tergantung dengan kondisi lahan. Lahan yang tidak rata atau dalam menyebabkan benih tidak semuanya tertanam.

Sementara kelompok regu tanam cara tanam manual untuk legowo 4:1 menurut petani lebih mudah dalam pelaksanaannya, terlihat lurus baris tanamannya, tidak perlu penyisipan ulang, kebutuhan benih lebih sedikit dan biaya tanam relatif murah. Tanam jajar legowo memberikan ruang terbuka seluas 25–50% sehingga tanaman dapat menerima sinar matahari secara optimal (Abdulrachman et al. 2012). Selain itu, menurut Hikmah dan Pratiwi (2017), jajar legowo memberikan persentase peningkatan hasil gabah kering panen berkisar 19,90–22,00% dibandingkan dengan tegel. Penerapan sistem tanam legowo 2:1 meningkatkan produktivitas padi lebih tinggi 1,3 ton/ha dari sistem tanam tegel (Permadi et al. 2013). Legowo 2:1 dengan jarak tanam (25 x 12,5 x 50) cm mampu meningkatkan hasil antara 9,63–15,44% dibandingkan model tegel (Abdulrachman et al. 2012). Aribawa (2012); Suratmini dan Suryawan (2016), berpendapat legowo 2:1 dapat meningkatkan hasil gabah kering sebesar 14,36% atau memberikan hasil gabah kering panen dan gabah kering giling lebih tinggi 20,63% dan 19,7% dibandingkan sistem tanam tegel. Saran dari Abdurrachman et al. (2013) agar legowo 2:1 diterapkan pada lahan yang relatif subur, sehingga peningkatan populasi tanaman pada tanam jajar legowo tidak akan mengurangi potensi tumbuh tanaman.

Tingkat homofili introduksi komponen teknologi Jarwo Super dengan teknologi usahatani padi kondisi eksisting ada senjang adopsi teknologi dan berbeda sangat nyata (p <0,01) dengan setelah pelaksanaan program kegiatan Jarwo Super, atau belum terjadi tingkat keberlanjutan secara seksama istilah lain “habis proyek habislah”. Selaras World Bank (2002) melalui berbagai evaluasi pada proyek-proyek penyuluhan mengindikasikan bahwa penyuluhan belum memenuhi orientasi dan kepentingan client, kapasitas sumberdaya manusia lemah, dan tingkat komitmen pemerintah masih lemah. Beberapa pelajaran dan pengalaman dari berbagai World Bank Extension Projects selama 1977–1991 yang dirangkum oleh Antholt

Page 228: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan196

(Eicher dan Staatz 1999) menyimpulkan beberapa hal antara lain: (1) 70 persen dari berbagai proyek penyuluhan yang didukung World Bank memiliki tingkat sustainability yang rendah; (2) banyak muncul masalah insufficiency teknologi yang relevan, (3) keterkaitan dengan lembaga riset lemah; dan (4) banyak kelemahan pada pendekatan Training and Visit. Selaras Nurasa dan Supriadi (2012) pada SL-PTT konsepsi dan implementasi SL-PTT atau Jarwo Super yang cenderung bersifat sentralistik menghambat penciptaan dan penerapan SL-PTT atau Jarwo Super spesifik lokasi. Adanya variasi pendampingan dan pengawalan serta lemahnya dukungan lintas institusi/sektoral, secara keseluruhan diduga akan berdampak terhadap pencapaian peningkatan produksi dan keberlanjutan swasembada beras nasional. Lebih lanjut dikatakan, dalam konteks implemen tasi program SL-PTT atau Jarwo Super padi beberapa aspek yang dinilai menjadi permasalahan, di antaranya (a) penyeragaman alokasi jumlah bantuan berimplikasi negatif terhadap perakitan/paket teknologi spesifik lokasi; (b) pengadaan bantuan yang sentralistik, berpotensi negatif terhadap kelembagaan informal/formal petani, (c) variasi intensitas di luar pendampingan dan pengawalan diduga akan berdampak terhadap kinerja dan pencapaian target peningkatan produksi padi. Kajian konsepsi dan implementasi kegiatan Jarwo Super yang memadukan pola bottom up dan top down, atau memadukan sentralistik dan desentralistik yang diperkuat dukungan lintas institusi/sektoral (pusat) dan dinas/badan (daerah) masih perlu dilakukan sebagai bahan perbaikan.

Selain kondisi homofili subjektif dan homofili objektif, Rogers dan Bhowmik (1971) juga mengungkapkan bahwa rasa empati maupun simpati mempengaruhi efektivitas komunikasi. Jika sumber dapat melihat dengan baik perasaan dari penerima pesannya dan mereka berbagi perasaan makna pesan yang disampaikan oleh sumber dimungkinkan akan sama dengan makna yang dipahami oleh penerima. Ketika sumber memiliki empati yang tinggi dengan penerima walaupun keadaan keduanya heterofili secara karakteristik, maka mereka benar-benar homofili dalam arti sosial-psikologis. Selain itu Strong dan Israel (2009) pernah meneliti mengenai pengaruh kehomofilian penyuluh dengan kliennya terhadap persepsi orang dewasa. Strong dan Israel (2009) menguraikan bahwa penyuluhan harus memastikan kepuasan peserta penyuluhan dengan pelayanan yang diberikan oleh media penyuluhan. Dalam akuntabilitas lingkungan yang meningkat menjadi penting bahwa

Page 229: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 197

peserta penyuluhan merasa puas dengan pelayanan penyuluhan yang diberikan. Mereka melihat bahwa kehomofilian antara agen dan klien mempengaruhi kepuasan pelayanan penyuluhan. Melalui penelitiannya terhadap klien penyuluhan di Florida, dan digabung dengan data survei dari klien penyuluhan yang menyelesaikan survei kepuasan pelayanan penyuluhan dengan data tentang karakteristik agen, maka temuan yang didapat menyatakan bahwa ketika klien dan ras agen berbeda, terjadi penurunan kecil tetapi signifikan dari skor kepuasan pelayanan dari pada klien dan agen yang memiliki ras sama. Demikian pula, ketika perbedaan pendidikan meningkat, klien cenderung akan puas dengan layanan penyuluhan yang disediakan. Temuan menunjukkan perlunya strategi untuk mengatasi “masalah heterofili”. Salah satu strategi adalah meningkatkan upaya merekrut agen minoritas. Strategi lain adalah untuk meningkatkan perhatian dalam seminar pengembangan profesional untuk membangun keterampilan dalam mengajar klien yang berbeda dalam satu cara atau lebih.

Homofili Teknologi dan Dukungan Kebijakan Kegiatan gerakan penerapan sistem tanam jajar legowo dengan

sumber dana APBD telah terprogram di Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, yang diikuti juga oleh dinas-dinas kabupaten, selain dana DAU APBN dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Dari kegiatan ini ditemukan tingginya minat petani untuk menggunakan varietas unggul baru (VUB) khususnya, misalnya Inpari 30, 32 dan 33. Informasi Deptan (2007), varietas unggul sebagai salah satu komponen produksi yang mampu memberikan sumbangan sebesar 56% di dalam peningkatan produksi.

Homofili introduksi komponen teknologi Jarwo Super dengan teknologi usahatani padi kondisi eksisting pada program Jarwo Super padi harus didukung kebijakan yang memihak kepada mereka, termasuk rekayasa sosial dan kelembagaan petani, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Agar program Jarwo Super yang telah baik dalam konsepsi dan implementasinya perlu adanya jaminan dari pemerintah terhadap aksesibilitas yang kontinu terhadap permodalan, ketersediaan dan distribusi input produksi, dan informasi. Areal program Jarwo Super atau areal pengembangan harus sinergis dan terintegrasi dengan pembiayaan JITUT, JIDES, optimasi lahan, dan biaya rehabilitasi jaringan, atau bantuan alat dan

Page 230: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan198

sarana produksi pertanian. Konsepsi dan tahapan implementasi harus sesuai tahapan, tahapan perencanaan yang diikuti tahapan pelatihan melalui TOT, selanjutnya tahapan implementasi pelaksanaan Jarwo Super.

PENUTUPInovasi teknologi Jarwo Super sudah dikenal secara luas

oleh masyarakat tani di Sumatera Utara. Umumnya petani baru mengadopsi komponen teknologi VUB (Inpari 32), sistem tanam jajar legowo. Dinas Pertanian telah melakukan gerakan penerapan sistem tanam jajar legowo sumber dana APBD dan APBN, dan tingginya minat petani menggunakan VUB, misalnya Inpari 30, dan 32 juga telah menjadi program perbanyakan benih Dinas Pertanian.

Tingkat kehomofilian teknologi introduksi komponen teknologi Jarwo Super dengan teknologi usahatani padi kondisi eksisting berpengaruh yang kuat dan nyata dengan tingkat adopsi VUB dan sistem tanam jajar legowo setelah Demfarm Jarwo Super. Tingkat homofili teknologi inovasi harus dipertahankan secara berkelanjutan serta harus didukung kebijakan yang memihak.

UCAPAN TERIMA KASIHPenghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang sudah memberikan dana penelitian melalui anggaran SMARTD sehingga kajian ini berjalan hingga selesai, serta pihak-pihak lain yang sudah banyak membantu sehingga kegiatan kajian ini berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKAAbdulrachman, S., M. J. Mejaya, N. Agustiani, I. Gunawan, P. Sasmita,

A. Guswara. 2013. “Sistem Tanam Legowo”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian

Abdulrachman, S., N. Agustini, I.Gunawan, M.J. Mejaya. 2012. “Sistem tanam legowo”. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian

Page 231: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 199

Akmal 2018. “Laporan hasil penelitian demfarm Jarwo Super di Kabupaten Batu Bara”. Laporan hasil pengkajian MT 2018 BPTP Sumatera Utara, Medan

Aribawa, IB. 2012. “Pengaruh sistem tanam terhadap peningkatan produktivitas padi di lahan sawah dataran tinggi beriklim basah”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012. Fakultas Pertanian. Universitas Trunojoyo. Madura.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. “Produktivitas Padi di Indonesia”. BPS Jakarta

Balai Benih Padi Dinas Pertanian 2018. “Data Benih Padi 2015–2018”. Distan Provinsi Sumatera Utara.

[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara 2017. Laporan hasil Demfarm Jarwo Super di Sumatera Utara, MT 2017 kerjasama dengan Puslitbangtan Bogor”.

[BB Padi] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2018. “Laporan hasil demfarm Jarwo Super di Kabupaten Serdang Bedagai TA.2018”. BB Padi Sukamandi

[BB Padi] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2016. “Laporan hasil demfarm Jarwo Super di Kabupaten Indramayu TA. 2016”. BB Padi Sukamandi

Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara 2018. “Alokasi sistem tanam Jajar Legowo di Sumatera Utara”.

Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Langkat 2018. “Alokasi sistem tanam Jajar Legowo di Kabupaten Langkat”.

Departemen Pertanian. 2007. “Pedoman umum produksi benih padi”. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Jakarta

Erythrina dan Z. Zaini. 2014. “Budidaya padi sawah sistem tanam jajar legowo: Tinjauan metodologi untuk mendapatkan hasil optimal”. dalam Jurnal Litbang Pertanian. 33(2): 79-86

Fagi, A.M., B. Abdullah, dan S. Kartaatmadja. 2001. “Peranan padi Indonesia dalam pengembangan padi unggul”. Prosiding Budaya Padi. Surakarta, November 2001.

Page 232: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan200

Hasanuddin, A. 2005. “Peranan proses sosialisasi terhadap adopsi varietas unggul padi tipe baru dan pengelolaannya. Lokakarya Pemuliaan Partisipatif dan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB)”. Sukamandi 2005.

Hasan, M.I. 2003. Pokok-pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensif). Bumi Aksara. Jakarta. p. 1 – 35.

Hikmah Z.M., dan Gagad R. Pratiwi. 2016. “Sistem tanam padi yang optimal untuk produksi padi maksimal”. Prosiding Seminar Nasional tahun 2015. Temu Teknologi Padi. Eds Sarlan A et al., Balai Besar Padi. Sukamandi.

Las I, Rochayati S, Setyorini D, Mulyani A, Subardja D. 2009. “Peta potensi penghematan pupuk anorganik dan peningkatan penggunaan pupuk organik”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Las, I. 2004. “Perkembangan varietas dalam perpadian nasional”. Seminar Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Bogor, Agustus 2004

Musfal. 2018. “Laporan hasil penelitian kaji terap inovasi pertanian khusus padi inovasi teknologi Jarwo Super di Sumatera Utara”. Laporan hasil pengkajian BPTP Sumatera Utara TA.2018, Medan

Nurasa, T. dan H. Supriadi. 2012. “Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi : Kinerja dan Antisipasi Kebijakan Mendukung Swasembada Pangan Berkelanjutan”. Analisis Kebijakan Pertanian vol. 10 nomor 4, Desember 2012. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. p. 313 – 329.

Permadi, N., Sunandar, B., Nurnayetti. 2013. “Peningkatan Produktivitas Padi melalui Inovasi Teknologi Spesifi k Lokasi untuk Mencapai Swasembada Beras”. Prosiding Seminar Nasional Akselerasi Pemanfaatan Teknologi Pertanian Spesifi k Lokasi mendukung Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani Nelayan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian : 140-145.

Rolling N, van de Fliert E. 1994. ”Transforming extension for sustainable agriculture: the case of integrated pest management in rice in Indonesia.” Agriculture and Human Value 11 (2/3): 96-108.

Page 233: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 201

Rogers EM. 1995. Diffusion of Innovation 4th Edition. New York: The Free Press

Rogers EM, DK Bhowmix. 1971. “Homofili-Heterofili: Relational Concept for Communication Research”. dalam The Public Opinion Quarterly 34(4) (Winter, 1970-1971): 523-538. Oxford University Press on behalf of the American Association for Public Opinion Research

Rogers EM, Shoemaker FF. 1971. Communication of innovations: A cross-cultural approach (2nd ed. of Diffusion of innovations). New York (US): Free Press.

Strong R, Israel GD. 2009. “The Influence of Agent/Client Homofili On Adult Perception About Extension’s Quality of Service”. dalam Journal of Southern Agricultural Education Research. 59.

Subowo.N.P., S.Ratmini., Purnamayani dan Yustisia. 2013. “Pengaruh ameliorasi tanah rawa pasang surut untuk meningkatkan produksi padi sawah dan kandungan besi dalam beras”. dalam Jurnal Tanah dan Iklim 37(1)2013: 19–24

Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Suwarno, E.Lubis, Baehaki, Sudir, S.D.Indrasari, I P.Wardana, M.J.Mejaya. 2011. “Deskripsi Varietas Padi”. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 118 Hal.

Suratmini P, Suryawan IBG. 2016. “Pengaruh sistem tanam terhadap pertumbuhan dan produksi Inpari 20 dan Inpari 24 di Subak Gantalan II, Karangasem Bali. Prosiding seminar nasional Padi 2016“ Terobosan Inovasi Teknologi Padi Adaptif Perubahan Iklim Mendukung Kedaulatan Pangan. Balai Besar Padi.Sukamandi.

The World Bank. 2002. World Bank Development Report 2002:Building Institutions forMarket. Oxford University Press.

Yuda R M. 2012. ”Homofili Petani dan Penyuluh serta Pengaruhnya Terhadap Penerapan Inovasi (Kasus pada Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi di Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi)”. Tesis Pascasarjana IPB. Tidak publikasi.

Page 234: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 235: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

REKAYASA KELEMBAGAAN TANI MEMPERCEPAT DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI KAKAO

Yohanes G. Bulu

PENDAHULUANModel Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi

(m-P3MI) Berbasis Teknologi Usahatani Kakao, merupakan kegiatan diseminasi yang dibiayai SMARTD (Sustainable Management of Agricultural Research and Technology Dissemination). Peranan SMARTD adalah meningkatkan kapasitas dan kinerja Badan Litbang Pertanian dalam mengembangkan dan menyebarluaskan teknologi inovatif yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan produsen dan agrifood system. Kegiatan m-P3MI telah dilaksanakan dari tahun 2013–2015. Selain kegiatan-kegiatan diseminasi teknologi dalam peningkatan produktivitas kakao juga dilakukan rekayasa kelembagaan tani dalam upaya percepatan diseminasi. Rekayasa kelembagaan dalam percepatan diseminasi teknologi didasarkan atas permasalahan dan kebutuhan teknologi dari pengguna dalam pengembangan tanaman kakao.

Uphoff (1986) mendefinisikan kelembagaan adalah petani-petani yang tergabung dalam kelompok kerja sama. Robbins (1996) mendefinisikan kelembagaan atau organisasi adalah kumpulan beberapa orang yang secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan. Untuk percepatan proses diseminasi inovasi teknologi diperlukan rekayasa kelembagaan tani. Dalam kaitannya dengan diseminasi inovasi dapat diartikan sebagai upaya untuk melakukan perubahan perilaku kelembagaan dalam meningkatkan kapasitas (pengetahuan inovasi dan keterampilan). Hermanto (2007) menginterpretasikan rekayasa kelembagaan sebagai pengetahuan mengenai kelembagaan yang ditujukan untuk memecahkan masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Menurut Johnson dalam Pakpahan (1989), rekayasa kelembagaan merupakan upaya melakukan perubahan kinerja dan struktur kelembagaan untuk mengatur alokasi sumberdaya dan distribusinya dalam rangka mencapai pada keragaan yang diinginkan.

Page 236: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan204

Pengembangan tanaman kakao di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dimulai tahun 1983/1984 melalui program Bantuan Presiden atau yang umum dikenal oleh masyarakat kakao Banpres. Perluasan dengan pengembangan tanaman kakao terus dilakukan oleh pemerintah daerah hingga tahun 1992 melalui alokasi pembiayaan oleh pemerintah pusat. Umur tanaman kakao di NTB terutama di Kabupaten Lombok Utara dan Lombok Timur sudah lebih dari 30 tahun.

Luas panen kakao di NTB tahun 2017 mencapai 8.086,59 ha dengan total produksi 1.965,37 ton. Luas tanaman kakao terluas terdapat di beberapa kabupaten, meliputi Kabupaten Lombok Utara seluas 3.613,35 ha dengan total produksi 1.304 ton; Kabupaten Lombok Timur seluas 2.305,13 ha dengan total produksi 308 ton; Kabupaten Lombok Tengah seluas 965,88 ha, dan Kabupaten Lombok Barat seluas 657,61 ha (BPS NTB 2017). Beberapa tahun terakhir telah dilakukan perluasan tanam kakao terutama di Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Lombok Timur. Khusus di Kabupaten Lombok Timur bahwa sebagian besar luas tanaman kakao belum berproduksi sehingga tingkat produksi kakao di Kabupaten Lombok Timur belum seimbang dengan luas tanam. Perluasan tanaman kakao dilakukan sendiri oleh masyarakat tanpa melalui program pemerintah, sehingga di sejumlah kecamatan dan desa di Kabupaten Lombok Utara menanam tanaman kakao di kawasan hutan dengan sistem kontrak. Luasan tanaman kakao yang ditanam di kawasan hutan tidak tercatat oleh BPS, sehingga diperkirakan luas panen kakao di Kabupaten Lombok Utara lebih dari 7.000 ha.

Perkebunan kakao di Nusa Tenggara Barat umumnya perkebunan rakyat dengan luasan garapan bervariasi yang berkisar antara 0,5 ha–2,5 ha per petani. Luas milik maupun luas garapan tanaman kakao tidak bersifat parmanen. Ketika keluarga akan mewariskan atau menjual kepada pihak lain maka tingkat pemilikan atau luas garapan semakin kecil. Jenis kakao yang dikembangkan di NTB umumnya adalah kakao lindak (bulk cacao) dengan penerapan teknologi dan pemeliharaan kurang intensif. Varietas unggul kakao atau klon-klon unggul kakao dengan tingkat produktivitas lebih tinggi dari kakao lindak belum dikembangkan di NTB.

Pengembangan tanaman kakao di beberapa kabupaten Provinsi Nusa Tenggara Barat tidak didukung oleh bimbingan dan pendampingan teknologi budidaya. Akibatnya sebagian besar

Page 237: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 205

petani kakao belum memahami secara baik mengenai teknologi budidaya kakao. Komponen teknologi utama kakao yang tidak dan jarang diterapkan petani adalah pemupukan, pemangkasan, dan pengendalian hama penyakit tanaman kakao (Bulu et al. 2013). Penerapan (adopsi) teknologi budidaya kakao yang rendah menyebabkan tingkat produktivitas kakao relatif rendah. Tingkat produktivitas kakao yang dialami petani dari tahun 1990 hingga tahun 2008, yaitu berkisar antara 0,75 ton–1,00 ton per hektare biji kering. Petani mengalami penurunan produktivitas kakao yang sangat drastis yaitu terjadi dari tahun 2009–2013 yaitu berkisar antara 0,30–0,35 ton/ha (Bulu et al. 2014). Basuki et al. (2007) menjelaskan bahwa penurunan produktivitas tanaman kakao terutama di Kabupaten Lombok Utara disebabkan oleh tingkat penerapan inovasi teknologi yang sangat rendah. “Adopsi” mempunyai pengertian yang berbeda dengan “tingkat adopsi”. Menurut Rogers (1995) adopsi adalah proses mental, dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide-ide baru. Mardikanto (2009) menjelaskan bahwa adopsi dalam penyuluhan pertanian dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan penyuluh kepada sasarannya. Bulu (2011), mengartikan tingkat adopsi sebagai kemampuan sesorang petani dalam menerapkan inovasi teknologi. Kemampuan yang dimaksudkan adalah kemampuan pengetahuan inovasi, keterampilan dalam menerapkan, dan kemampuan ekonomi (pembiayaan). Basuno (2003) menjelaskan, bahwa diseminasi teknologi dipengaruhi oleh kapasitas dan tingkat efektivitas kelembagaan pendukung diseminasi itu sendiri. Kelembagaan pendukung yang dimaksudkan adalah kelembagan penelitian, kelembagaan penyuluhan, kelembagaan tani dan kelembagaan terkait lainnya. Tingkat penerapan inovasi teknologi kakao yang rendah disebabkan oleh terbatasnya kegiatan diseminasi. Diseminasi adalah suatu sistem atau kegiatan yang ditujukan kepada sekelompok orang agar memperoleh informasi yang bermanfaat yang dapat menimbulkan kesadaran untuk menerima dan memanfaatkan informasi tersebut. Diseminasi inovasi adalah proses penyebaran inovasi yang telah direncanakan untuk penerima informasi melalui saluran-saluran komunikasi.

Tingkat penerapan (adopsi) komponen teknologi budidaya kakao yang rendah disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) implementasi diseminasi inovasi teknologi budidaya kakao jarang dan bahkan

Page 238: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan206

tidak pernah dilakukan dari tahun 1984–2012; 2) bimbingan teknis mengenai teknologi budidaya kakao bagi petani sangat jarang dilakukan, kecuali Sekolah Lapang Pengendalian Hama dan penyakit kakao; 3) tidak tersedianya informasi inovasi teknologi kakao yang dapat dan muda diakses petani; 4) pengetahuan petani mengenai inovasi teknologi kakao sangat rendah; dan 5) motivasi dan kreativitas petani dalam mencari informasi inovasi teknologi budidaya kakao relatif sangat rendah.

REKAYASA KELEMBAGAAN TANI DALAM KEGIATAN DISEMINASI INOVASI

TEKNOLOGI KAKAOImplementasi diseminasi inovasi teknologi pertanian

mempunyai tujuan utama yaitu meningkatkan difusi dan adopsi inovasi teknologi hasil penelitian dan pengkajian. Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai inovasi teknologi, namun perlu disebarluaskan kepada pengguna melalui berbagai media komunikasi, kegiatan promosi dan komersialisasi inovasi teknologi. Penyebaran inovasi teknologi kakao yang lebih unggul dan sesuai dengan kebutuhan petani serta dapat memberikan manfaat ekonomi berupa peningkatan nilai tambah maka luas adopsi semakin cepat. Kecepatan adopsi inovasi teknologi dapat terjadi jika inovasi yang digunakan petani memberikan peningkatan produksi dan pendapatan bagi petani pengguna.

Diseminasi adalah proses penyebaran inovasi pertanian yang telah direncanakan dengan menggunakan berbagai pendekatan dan metode-metode tertentu. BBP2TP (2018) mendefinisikan diseminasi adalah penyebarluasan inovasi pertanian hasil penelitian dan pengkajian dari sumber teknologi melalui berbagai metode dan media kepada pengguna untuk diketahui dan dimanfaatkan. Penyebarluasan informasi inovasi teknologi menggunakan saluran-saluran komunikasi dan media komunikasi. Penggunaan media komunikasi dalam penyebarluasan inovasi teknologi budidaya kakao harus disesuaikan dengan kemampuan komunikasi dan kemampuan dalam menerima materi inovasi dari pengguna dari berbagai tingkat pendidikan yang beragam.

Page 239: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 207

Implementasi diseminasi inovasi teknologi kakao yang telah direncanakan tentu saja selalu disesuaikan dengan kondisi pengguna atau sasaran diseminasi inovasi. Kondisi sarana diseminasi inovasi merupakan salah satu faktor penentu penggunaan media komunikasi inovasi dan metode-metode diseminasi. Diseminasi inovasi dengan metode ceramah kepada pengguna (petani) tidak lagi efektif jika dilakukan secara parsial. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas penerimaan informasi inovasi teknologi oleh pengguna (petani) maka harus dipadukan dengan metode praktik. Pemaduan beberapa metode dalam implementasi inovasi teknologi akan mempercepat peningkatan pemahaman, pengetahuan inovasi, dan keterampilan penerapan inovasi. Kemampuan pengetahuan inovasi yang tinggi tidak cukup menjamin untuk meningkatkan penerapan inovasi teknologi jika tidak diimbangi dengan tingkat keterampilan penerapan inovasi. Keterampilan memangkas tanaman kakao misalnya tidak mudah dilakukan oleh setiap orang petani. Petani dengan tingkat keterampilan memangkas rendah maka petani yang bersangkutan mengupah tenaga sesama petani yang dinilainya terampil untuk melakukan pemangkasan.

Diseminasi inovasi teknologi kakao dengan menggunakan media tercetak seperti brosur dan leaflet umumnya respons petani relatif sangat rendah. Respons petani yang rendah terhadap informasi inovasi teknologi yang didiseminasikan melalui media tercetak seperti leaflet disebabkan oleh kemampuan penerimaan dan komunikasi intrapersonal petani terhadap informasi inovasi teknologi pada media komunikasi tercetak sangat rendah. Hal ini telah dibuktikan bahwa leaflet teknologi budidaya kakao yang dibagikan pada saat pertemuan kelompok tani, hanya 50% yang membawa pulang sedangkan sebagian lainnya tidak membawa pulang. Artinya diseminasi inovasi teknologi melalui media tercetak kurang menarik bagi pengguna (petani) yang memiliki kemampuan pemahaman rendah dan masalah komunikasi intrapersonal yang rendah terhadap informasi inovasi pada media tercetak.

Diseminasi inovasi teknologi kakao melalui pemberdayaan petani/kelembagaan tani untuk meningkatkan kapasitas (kemampuan pengetahuan dan keterampilan penerapan inovasi) merupakan suatu model pembelajaran dalam meningkatkan penyebarluasan inovasi. Sapja (2011), menjelaskan bahwa pengembangan kapasitas kelembagaan merupakan suatu proses perubahan sosial berencana

Page 240: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan208

yang dimaksudkan sebagai sarana pendorong proses perubahan dan inovasi. Implementasi diseminasi inovasi teknologi seyogianya terintegrasi dengan program pembangunan pertanian di daerah, sehingga menjadi pilihan strategi dan pendekatan yang dapat mempercepat proses difusi dan penerapan inovasi. Diseminasi teknologi ditinjau dari aspek penyuluhan dengan menumbuhkan kreativitas petani/kelompok tani akan membangun sistem sosial yang memiliki ikatan sosial, proses dan komunikasi inovasi secara timbal balik antara pengguna dalam meningkatkan pengetahuan inovasi. Proses-proses komunikasi dalam pertukaran informasi inovasi teknologi akan membentuk fungsi diseminasi yang sekaligus menjadi model pembelajaran.

Tingkat adopsi inovasi teknologi yang rendah tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi atau keterbatasan permodalan melainkan juga disebabkan oleh kapasitas petani dan kelembagaan tani yang rendah. Kapasitas petani dan kelembagaan tani yang rendah juga disebabkan oleh keterbatasan terhadap akses informasi inovasi. Untuk meningkatkan kapasitas petani dan kelembagan diperlukan rekayasa kelembagaan. Rekayasa kelembagaan merupakan suatu proses perubahan sosial terutama perubahan perilaku menuju kemandirian dalam penerapan inovasi. Pengertian kapasitas sebagai kemampuan, keterampilan, pemahaman/pengetahuan, sikap, perilaku atau peningkatan kesadaran (motivasi, pola pikir, pola tindak, dan pola interaksi), nilai-nilai, hubungan/relasi dan sumber daya yang memungkinkan setiap individu untuk melaksanakan fungsi-fungsinya. Menurut Sapja (2009), kapasitas kelembagaan dapat diartikan sebagai kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan. Melalui peningkatan kapasitas akan terjadi interaksi yang dibangun antara individu petani dalam pertukaran informasi inovasi dalam kelompok sehingga terjadi proses pembelajaran dalam menerapkan inovasi teknologi. Voeronice et al. (2018), menjelaskan bahwa kapasitas petani yang rendah disebabkan oleh kemampuan manajerial, teknis, sosial, daya tawar petani yang rendah, akses informasi yang terbatas dan pendidikan yang rendah. Pelaksanaan diseminasi inovasi teknologi pertanian di tingkat petani, kelembagaan kelompok tani dan kelembagaan penyuluhan selain untuk meningkatkan kapasitas bagi pelaku dan pengguna, melainkan juga untuk mempecepat proses difusi dan adopsi.

Page 241: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 209

Kapasitas petani dan kelembagaan tani dalam pelaksanaan kegiatan diseminasi inovasi teknologi pertanian mempunyai hubungan yang sangat erat terhadap kecepatan diseminasi dan adopsi. Melalui proses-proses komunikasi mengenai inovasi antara pelaku dan pengguna inovasi akan mempercepat proses penerapan inovasi. Implementasi diseminasi inovasi teknologi pertanian dengan memanfaatkan berbagai saluran komunikasi dapat memperkuat ikatan sosial dalam penyebarluasan informasi dan penerapan inovasi. Ikatan sosial yang terjadi antara petani dalam pengelolaan usahatani telah menciptakan hubungan-hubungan sosial atau relasi-relasi dalam kaitan dengan penerapan inovasi teknologi. Dalam kehidupan bersama telah terjadi sejumlah hubungan atau relasi-relasi seperti: hubungan persaudaraan, hubungan kekeluargaan, hubungan kekarabatan, hubungan pertemanan dengan menggunakan berbagai media komunikasi yang tersedia. Hubungan atau relasi dapat dimanfaatkan untuk mempercepat proses diseminasi inovasi teknologi.

Di bidang pertanian terdapat sejumlah relasi terkait dengan pengelolaan usahatani yang menimbulkan ikatan-ikatan emosional, baik yang bersifat parmanen maupun yang tidak parmanen. Misalanya, relasi antara petani dan kelompok dalam kerja sama pengolaan usahatani, relasi antara petani dalam memperoleh/memberi informasi inovasi, relasi antara petani dalam hal saling meminjam modal, saling meminjam benih/bibit, relasi antara petani/kelompok dengan sumber informasi inovasi (penyuluh), relasi antara petani dengan sumber inovasi (peneliti/lembaga penelitian), relasi antara petani dengan pedagang input dan pedagang output, relasi antara penyuluh dengan peneliti, antara peneliti dengan dinas teknis. Ikatan sosial dapat terjadi jika pengguna inovasi (petani) mampu mengakses informasi inovasi yang dibutuhkan melalui saluran komunikasi yang ada antara lain komunikasi personal antara sesama petani, kontak tani maupun dengan kelompok tani yang dijadikan media untuk memperoleh informasi inovasi.

Implementasi diseminasi inovasi teknologi pertanian seperti teknologi budidaya tanaman kakao dengan pendekatan model Spectrum Diseminasi Multi Channel (SDMC) dapat mempercepat penyebaran informasi inovasi teknologi. SDMC merupakan suatu

Page 242: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan210

terobosan yang dikembangkan Badan Litbang Pertanian mempercepat dan memperluas jangkauan diseminasi dengan memanfaatkan berbagai saluran komunikasi dan pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait secara optimal melalui berbagai media secara simultan dan terkoordinasi (Badan Litang Pertanian 2011). SDMC bertujuan untuk meningkatkan adopsi inovasi pertanian oleh pelaku utama dan pelaku usaha melalui percepatan arus dan perluasan jangkauan diseminasi inovasi teknologi pertanian diseminasi yang dilakukan melalui pendekatan SDMC dengan memanfaatkan berbagai saluran komunikasi dan pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait seperti kelembagaan petani (kelompok tani, Gapoktan, kontak tani, petani yang berhasil dalam usahatani), kelembagaan penyuluhan (Balai penyuluhan pertanian, PPL, tenaga teknis, Dinas Pertanian dan Perkebunan, pedagang hasil dan perusahaan. Penyebaran teknologi tidak lagi dilakukan hanya pada satu pola diseminasi, tetapi dilakukan secara multi channel. Diharapkan seluruh inovasi teknologi pertanian hasil penelitian dan pengkajian di lingkup Badan Litbang Pertanian dapat didistribusikan secara cepat kepada pengguna (Gapoktan/Poktan/petani, Pemda, BUMN, pengambil keputusan pembangunan daerah, penyuluh, pengusaha/swasta/ industri, peneliti/ilmuwan) melalui berbagai media secara simultan dan terkoordinasi. Sejalan dengan hasil penelitian Hasan et al. (2012), bahwa implementasi model Diseminasi multi channel dapat meningkatkan adopsi inovasi teknologi. Mardiana et al. (2012), menjelaskan bahwa sosialisasi dan koordinasi dengan stakeholder yang dilakukan dalam proses proses pelaksanaan diseminasi inovasi teknologi pertanian dapat mempercepat diseminasi. Hal ini, menunjukan bahwa pendekatan SDMC dapat mempercepat proses dan memperkuat sistem diseminasi inovasi pertanian dan sekaligus mendukung kelembagaan penyuluhan serta berkembangnya usaha agribisnis dan ekonomi wilayah perdesaan.

Inovasi teknologi dan kelembagaan (inovasi pertanian) yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian baru 50 % yang diadopsi oleh petani. Menurut Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan (1989) kelembagaan ditinjau dari sudut organisasi merupakan sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya. Dipandang dari sudut individu, kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya.

Page 243: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 211

Inovasi yang dihasilkan dan sampai kepada petani memerlukan waktu yang relatif cukup lama (4–5 tahun) (BBP2TP 2010). Teknologi yang mengarah pada peningkatan produksi dan produktivitas cukup banyak tersedia namun belum banyak diterapkan. Menurut Budianto (1999) disebabkan oleh arus penyampaian teknologi dari Balai Penelitian ke Balai Pengkajian hingga penyuluh di tingkat kabupaten dan BPP belum lancar; b) rakitan teknologi belum sepenuhnya teruji di agroekologi spesifik; c) belum terbangunnya sistem komunikasi yang efisien antara peneliti dan penyuluh; d) jarak psikologis antara peneliti, penyuluh dan petani masih cukup besar.

Permasalahan utama pada kelembagaan disebabkan oleh koordinasi dan cara komunikasi yang lemah antar para aktor dengan mitra yang terkait, dan perencanaan sumber daya yang tidak berlanjut dalam implementasi program pembangunan. Struktur komunikasi yang kurang sesuai, metodologi dan alat identifikasi, prioritas petani miskin, program-program riset yang kurang sesuai, informasi penyuluhan teknologi yang kurang relevan dan, rendahnya pemanfaatan inovasi teknologi oleh petani, merupakan faktor yang mendorong berkurangnya riset dan penyuluhan pertanian. Ini bukan merupakan permasalahan baru, tetapi perlu untuk menunjukkan pandangan dari sudut pengembangan media dan teknologi komunikasi serta dukungan strategi baru di perdesaan melalui pengembangan model kelembagaan agribisnis.

Pengembangan diseminasi melalui strategi komunikasi adalah usaha-usaha yang mencakup pemilihan media-media dan kombinasi media, pengembangan pesan-pesan dan pemilihan pendekatan yang tepat untuk menumbuhkan partisipasi pelaku strategis dalam upaya pencapaian program (Adhikarya 1996). Diseminasi ditinjau dari penyuluhan, merupakan gambaran sistem sosial yang nampak sebagai kecenderungan keterlibatan untuk membentuk fungsi diseminasi. Indikator yang nyata ditunjukkan peneliti membutuhkan penerjemah kepada petani sebelum petani mengerti. Untuk ini dibutuhkan keahlian khusus dan disini seorang penyuluh spesialis harus mengerjakan. Memperhatikan kondisi hal-hal seperti seperti tersebut di atas maka dalam hal ini memerlukan penyikapan oleh sumber teknologi dengan suatu terobosan dalam upaya mempertajam fungsi dan efektivitas

Page 244: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan212

diseminasi dengan selalu pengembangan metodologi diseminasi itu sendiri baik itu sistemnya, materi, sumberdaya informasi, dan faktor lainnya yang berkaitan.

Di dalam proses riset, komunikasi dan diseminasi informasi adalah komponen-komponen kunci. Ini memerlukan dorongan untuk mempertinggi kesadaran yang lebih baik pada struktur-struktur komunikasi dan strategi diseminasi dari hasil riset untuk pemakai antara dan pemakai akhir. Komunikasi adalah tidak lagi dilihat sebagai top-down alir informasi melalui/sampai media massa nasional untuk mengerahkan massa tentang program acara pengembangan.

Diseminasi informasi dalam suatu sistem dengan menggunakan saluran atau media digunakan untuk sejumlah tujuan yang berbeda, misalnya menjual produk, propaganda politik dan di antaranya adalah mempengaruhi pengguna untuk merubah pengetahuan (Hedebro 1982). Tujuan terakhir inilah yang diadaptasikan dan diaplikasikan untuk kegiatan diseminasi hasil kajian di bidang pertanian. Diseminasi adalah proses komunikasi informasi baru, ide atau praktik (Lionberger 1982). Diseminasi juga merupakan sisi dari sistem penyebaran informasi (Spread of Information System). Ini artinya diseminasi memerlukan pengembangan sistem informasi. Pengembangan sistem ini dan diseminasi informasi berbasis ilmiah merupakan penemuan sosial baru, di mana sistem ini sendiri dapat mendiseminasikan terhadap kondisi sosial baru. Pengembangan model ini telah diadopsi di kalangan bisnis dan industri, pendidikan, dan pertanian di berbagai negara (Lionberger 1982).

Sebelum pengembangan sistem dan diseminasi, informasi baru tersedia bagi manusia tergantung pada penemuan baru oleh individu. Penemuan baru bisa berasal dari sumber teknologi hasil penelitian dan pengkajian. Diseminasi termasuk di dalamnya adalah model distribusi informasi pertanian hasil penelitian dan pengkajian. Ini artinya diseminasi merupakan fungsi yang ada dalam model sistem distribusi informasi pertanian. Di dalam terminologi diseminasi menggunakan aplikasi pencarian informasi dan petani dapat menggunakannya. Artinya proses di mana petani memperoleh informasi pada aspek ide atau praktik baru sehingga mereka dapat memutuskan apakah mencobanya dan menolak ide baru atau praktik baru.

Page 245: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 213

Kedudukan diseminasi dalam hal ini merupakan fungsi untuk memperolah informasi tentang ide atau praktik baru atau inovasi baru yang dikomunikasikan dari sumber teknologi kepada pengguna. Sub sistem ini (diseminasi) harus dapat mengklarifikasi informasi baru dan sesuai untuk pengguna potensial (Van den Baan 2000). Diseminasi merupakan keterkaitan dua arah antara litkaji dan penyuluhan dalam informasi dan organisasi. Luaran informasi tersebut menjadi sangat serius manakala ditinjau dari sistem dukungan teknis penyediaan hasil litkaji sebagai bahan informasi untuk petani. Penyediaan dukungan teknis dapat berupa teknis tulisan, siaran radio, produksi audi visual termasuk pengembangan metode penggunaanya. Kekuatan ini dapat memberikan pengaruh ganda dari hasil penelitian dan pengkajian sampai pada pengguna (Van den Bahn dan Hawkins 2000).

Metode diseminasi yang digambarkan oleh Van den Ban memiliki proses penerapan yang cukup lama. Untuk mempecepat proses diseminasi dan adopsi inovasi teknologi kakao dengan memadukan beberapa metode diseminasi dari aspek kelembagaan petani. Diyakini bahwa pemaduan metode dalam implementasi diseminasi inovasi teknologi kakao akan memberikan perubahan dalam adopsi. Beberapa komponen teknologi utama budidaya kakao yang didiseminasikan di Nusa Tenggara Barat antara lain, pemupukan, pengendalian hama penyakit, pemangkasan dan rehabilitasi tanaman (sambung samping). Pelaksanaan diseminasi melalui pendekatan kelembagaan petani dengan memadukan antara metode penyuluhan (peningkatan kapasitas) kelompok tani mengenai pengetahuan inovasi teknologi kakao, media cetak inovasi teknologi kakao, media audio visual (video penerapan teknologi kakao) dan praktik langsung.

Implementasi diseminasi inovasi teknologi kakao dilakukan secara bertahap di seluruh kelompok tani dalam satu desa serta melibatkan anggota kelompok tani dari desa lain. Berdasarkan analisis bersama bahwa berkembangnya hama penyakit kakao disebabkan oleh tingkat kelembapan yang tinggi. Dari hasil analisis tersebut maka pilihan komponen teknologi pertama yang diimplementasikan adalah teknologi pemangkasan (pemangkasan produksi, pemangkasan bentuk dan pemangkasan pemeliharaan). Setelah kegiatan pemangkasan dilanjutkan dengan diseminasi sambung samping dan pemupukan. Kegiatan pemupukan selain

Page 246: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan214

menggunakan pupuk kimia (urea dan NPK) juga menggunakan pupuk organik yang tersedia di sekitar kebun kakao dengan cara membuat rorak untuk membenamkan bahan organik yang ada (daun kakao, gulma dan kulit buah kakao).

Implementasi diseminasi inovasi teknologi kakao dilakukan melalui beberapa cara, yaitu; Pertama, melakukan penyuluhan dan pendampingan kelompok tani dalam upaya meningkatkan kapasitas kelompok dan anggota kelompok mengenai komponen teknologi yang didiseminasikan dan diterapkan. Pendampingan kelompok dilakukan melalui pertemuan dan diskusi menggunakan pendekatan dialogis untuk mengidentifikasi permasalahan dan pemecahan masalah serta untuk memperoleh informasi mengenai teknologi yang dibutuhkan kelompok tani. Pendekatan dialogis merupakan salah satu model penyuluhan yang jarang diterapkan. Menurut Bulu (2011), model penyuluhan dialogis diartikan sebagai model penyuluhan melalui komunikasi dua arah di mana penyuluh belajar memahami kebutuhan petani sebagai mitra sehingga penyuluh berfungsi sebagai fasilitator dan petani akan mengalami proses belajar untuk memperbaiki diri sendiri. Pendekatan dialogis merupakan proses komunikasi dua arah antara pemberi pesan dan penerima pesan informasi. Komunikasi dialogis dapat diartikan sebagai proses penyampaian pesan antar personal (antara satu orang dengan orang lain atau antara satu orang dengan sekelompok orang) yang menunjukkan adanya interaksi timbal balik antara pemberi pesan dengan penerima pesan. Komunikasi yang berlangsung secara dialogis dapat memahami permasalahan yang dialami oleh penerima pesan sehingga dapat menentukan titik ungkit untuk pemecahannya. Peneliti dan penyuluh sebagai pemberi pesan dan kelompok tani sebagai penerima pesan terlibat dalam komunikasi dialogis dan di antara keduanya berfungsi ganda, artinya ada yang menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian sehingga teknik yang digunakan adalah teknik dialogis. Pendampingan dan penyampaian materi inovasi teknologi kakao melalui komunikasi dialogis antara kelompok tani dilakukan secara bersama penyuluh pertanian lapangan, peneliti dan penyuluh BPTP NTB, petani ahli dari dalam desa maupun dari luar desa untuk memperoleh umpan balik mengenai pemahaman dan penerapan inovasi teknologi kakao. Kedua, komunikasi dialogis dalam pelaksanaan diseminasi inovasi teknologi kakao antara pemberi materi dengan petani ahli dengan kelompok tani dan anggota kelompok tani didasarkan atas kesetaraan sebagai bentuk saling menghormati dan menghargai dalam penyampaian informasi. Ketiga, implementasi diseminasi dengan

Page 247: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 215

melakukan praktik penerapan inovasi teknologi kakao terutama komponen teknologi pemupukan, pemangkasan, sambung samping kakao dan pengendalian hama penyakit kakao dengan melibatkan secara aktif seluruh anggota kelompok tani. Praktik penerapan inovasi sebagai bentuk pembelajaran bagi petani dan kelompok tani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Keempat, membangun komunikasi dengan dinas/instansi terkait untuk perluasan diseminasi inovasi teknologi kakao melalui sosialisasi, koordinasi dan integrasi program. Kelima, memperluas jangkauan akses petani dan kelompok tani terhadap informasi inovasi teknologi kakao dengan memperbanyak gelar teknologi, Demfarm, dan demplot sehingga menjadi media belajar bagi anggota kelompok tani.

Komunikasi inovasi yang intensif dalam implementasi diseminasi inovasi teknologi kakao yang dilakukan di lahan petani pada masing-masing kelompok tani mendorong semua anggota kelompok untuk mencoba dan menerapkan. Bahkan komunikasi lintas kelompok maupun lintas desa mengenai inovasi teknologi kakao yang didiseminasikan mempercepat perluasan dan penyebaran informasi inovasi. Respons petani terhadap diseminasi inovasi teknologi kakao yang dilakukan dalam bentuk Demfarm dan Demplot di lahan petani disebabkan oleh dua alasan utama. Pertama, para petani yang mencontohi atau menerapkan inovasi teknologi kakao karena selama ini belum pernah dilakukan dan ingin membuktikan keunggulan teknologi. Kedua, para petani meyakini bahwa melalui perbaikan teknologi kakao tersebut akan memberikan manfaat teknis dan ekonomi yaitu akan terjadi perubahan produktivitas dan pendapatan petani.

Strategi dalam mempercepat proses implementasi diseminasi inovasi teknologi kakao dilakukan melalui dua pendekatan utama. Pertama, membangun komunikasi antara petani ahli (petani inovator) dengan anggota kelompok tani; Dua, melakukan penyuluhan dan pendampingan penerapan teknologi pada setiap kelompok tani dengan menggunakan petani ahli dan kelompok lain dari desa lain sebagai narasumber dalam penyampaian materi inovasi maupun dalam memberikan praktik untuk meningkatkan keterampilan seperti praktik pemupukan, pemangkasan dan sambung samping.

Percepatan penyebaran informasi inovasi teknologi kakao juga terjadi ketika ada kunjungan petani, kelompok tani, stakeholder serta mahasiswa yang melakukan praktik lapangan di lokasi pelaksanaan

Page 248: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan216

diseminasi. Frekuensi kunjungan petani dan stakeholder dari luar desa pada lokasi pelaksanaan diseminasi berpotensi dalam mempercepat penyebaran informasi dan penerapan inovasi teknologi kakao. Komunikasi-komunikasi yang terjadi mengenai inovasi teknologi kakao antara petani baik dalam kelompok maupun antara petani dengan masyarakat petani dari luar desa akan memperkuat keyakinan petani untuk menerapkan teknologi. Penyebaran informasi teknologi antara petani yang satu dengan petani lain lebih dominan terjadi melalui interaksi dan komunikasi serta kunjungan langsung pada lokasi diseminasi. Demfarm maupun demplot teknologi merupakan laboratorium lapang yang menjadi media pembelajaran bagi petani. Laboratorium lapang penerapan teknologi kakao berpotensi menjadi media interkasi dan komunikasi antara petani kooperator dengan petani pengunjung dan stakeholder lain yang ingin mengetahui dampak dan manfaat dari penerapan teknologi tersebut. Laboratorium-laboratorium lapang penerapan inovasi teknologi pertanian yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian sebagai model diseminasi relatif jarang bertahan dan tidak berkelanjutan yang disebabkan oleh struktur pembiayaan yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan strategi dalam upaya peningkatan penerapan teknologi.

Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan penerapan teknologi kakao bagi semua anggota kelompok petani maka dilakukan diseminasi inovasi teknologi secara terpadu dengan melibatkan stakeholder dari berbagai pihak sebagai narasumber. Diseminasi inovasi melalui kegiatan penyuluhan dilakukan secara integrasi dengan kegiatan praktik langsung penerapan teknologi dengan melibatkan semua anggota kelompok tani untuk masing-masing kelompok tani. Dinas Pertanian dan Perkebunan, lembaga penyuluhan serta perusahan yang bergerak di bidang tanaman perkebunan sebagai narasumber dalam kegiatan penyuluhan dan praktik berpotensi untuk memperkuat keyakinan petani dalam menerapkan teknologi.

Kegiatan penyuluhan dan praktik-praktik yang dilakukan secara intensif membawa dampak terhadap perubahan dalam penerapan teknologi budidaya kakao. Para petani menyadari bahwa melalui perbaikan penerapan teknologi budidaya kakao membuktikan dapat meningkatkan produktivitas (Bulu et al. 2015). Penerapan teknologi budidaya kakao terutama komponen teknologi pemangkasan telah dirasakan manfaatnya oleh petani terhadap peningkatan produktivitas

Page 249: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 217

kakao. Diseminasi dan penerapan komponen teknologi pemangkasan produksi tanaman kakao yang dilakukan pada semua kelompok tani dalam satu desa bahkan dilakukan di luar desa pengembangan model diseminasi bertujuan untuk mempercepat proses difusi dan penerapan teknologi. Demplot penerapan komponen teknologi pemangkasan produksi kakao yang dilakukan pada semua kelompok tani terbukti mempercepat penerapan teknologi.

Rekayasa kelembagaan tani (kelompok tani) dalam diseminasi inovasi teknologi merupakan suatu model yang dapat direplikasi oleh pemerintah daerah (Gambar 35). Replikasi model rekayasa kelembagaan tani dalam diseminasi belum dilakukan secara optimal oleh pemerintah daerah dalam penyebaran inovasi teknologi kakao.

Gambar 35. Model rekayasa kelembagaan tani dalam diseminasi inovasi teknologi kakao

ADOPSI INOVASIAdopsi inovasi teknologi kakao dipengaruhi oleh berbagai

faktor, meliputi faktor ketersediaan teknologi sesuai yang dibutuhkan pengguna, jangkauan perolehan informasi inovasi, pengetahuan inovasi, keterampilan dan faktor ekonomi (pembiayaan). Sejalan dengan yang diuraikan Basuno (2003), bahwa dalam proses adopsi

Page 250: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan218

teknologi, petani mengalami berbagai kendala seperti ketersediaan sarana dan prasarana, pengetahuan dan keterampilan serta berbagai kendala sosial ekonomi dan budaya.

Tingkat penerapan komponen teknologi budidaya kakao yang diintroduksikan rata-rata mencapai 64,90% (Bulu et al. 2015). Komponen teknologi kakao yang dominan diterapkan oleh petani adalah pemangkasan produksi yaitu mencapai 93,16%. Peningkatan penerapan pada komponen teknologi pemangkasan produksi kakao disebabkan oleh sebagian besar petani telah membuktikan bahwa penerapan komponen teknologi tersebut secara nyata meningkatkan produktivitas kakao. Komponen teknologi yang diterapkan cukup tinggi oleh petani adalah komponen teknologi manajemen kebersihan kebun yaitu 84,50% dan komponen teknologi pemangkasan pemeliharaan 73,83% (Tabel 35). Peningkatan penerapan komponen teknologi introduksi pada tanaman kakao sangat ditentukan oleh frekuensi sosialisasi teknologi, komunikasi inovasi yang intensif melalui kegiatan kunjungan secara periodik, pertemuan kelompok, penyuluhan dan praktik serta hasil nyata yang dibuktikan sendiri oleh petani pada lokasi-lokasi diseminasi teknologi. Kunjungan dan pertemuan kelompok tani yang dilakukan secara periodik akan memperkuat ikatan emosional antara sumber teknologi (peneliti) dengan sumber informasi inovasi (penyuluh) dan petani sebagai pengguna teknologi. Ikatan emosional yang terjadi pada anggota kelompok dan kelompok tani mendorong terjadinya perubahan perilaku (persepsi, sikap dan motivasi) petani relatif dalam menerapkan inovasi teknologi yang ditawarkan. Keputusan petani untuk menerapkan atau menolak inovasi teknologi yang ditawarkan atau yang didiseminasikan adalah melalui proses-proses psikologis. Keputusan petani untuk menerima inovasi teknologi melalui proses psikologis kemudian mencoba mengomunikasikan dengan sesama petani dan penyuluh untuk memperoleh informasi lebih rinci mengenai kunggulan inovasi. Proses komunikasi inovasi yang dilakukan petani untuk memperoleh informasi teknologi yang dibutuhkan yang dapat memperkuat keyakinan merupakan proses sosiologis sebelum mengambil keputusan untuk menerapkan.

Page 251: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 219

Tabel 35. Tingkat adopsi komponen teknologi usahatani kakao di Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara.

No Komponen teknologi kakao Jumlah Skor maksimum

Rata-rata pencapaian skor

Tingkat adopsi (%)

1 Mananjemen kebersihan kebun 6 5,07 84,502 Pemupupukan 6 2,21 36,833 Pembuatan rorak 5 2,70 54,004 Pemangkasan produksi 6 5,59 93,165 Pemangkasan pemeliharaan 6 4,37 73,836 Pemangkasan bentuk 5 3,01 60,207 Sambung samping 6 3,04 50,67

Jumlah 40 25,96 64,90Sumber: Bulu et al. (2015)

Diseminasi inovasi sebagai suatu sistem dalam proses komunikasi berdampak pada perluasan diseminasi inovasi teknologi. Jumlah orang yang menerima informasi inovasi yang diyakini dapat meningkatkan produksi berpotensi untuk meningkatkan jumlah orang yang menerapkan komponen teknologi sesuai yang dibutuhkan. Kuantitas penerapan inovasi teknologi sangat ditentukan oleh kemampuan ekonomi (pembiayaan) yang dimiliki. Misalnya, jika pembiayaan untuk menerapkan inovasi teknologi hanya 0,5 ha dari total garapan seluas 1,0 ha, sehingga luas penerapan inovasi teknologi hanya 0,5 ha. Luas penerapan (luas adopsi) adalah jumlah atau luas lahan atau jumlah tanaman yang digunakan untuk menerapkan komponen dan unsur-unsur teknologi sesuai yang dibutuhkan. Kecepatan penyebarluasan informasi inovasi teknologi atau semakin luas pengembangan lokasi diseminasi maka semakin banyak jumlah orang yang menerapkan teknologi.

Page 252: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan220

Tabel 36. Perkembangan adopsi perbaikan teknologi kakao, jumlah adopter dan luas adopsi (org;ha) di Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Lombok Utara.

Komponen teknologi kakaoJumlah adopter (Orang) Luas adopsi (ha)

2013 2014 2015 2013 2014 20151) Sambung samping kakao 18 20 156 3,85 5,35 1762) Pemangkasan 20 154 456 18 123 5543) Pemupukan 14 20 96 16 87 112 4) Pengendalian HP 4 2 254 2 123 176 5) Tumpangsari kakao

dengan kopi dan pisang 356 437 623 453 524 526

Sumber: Bulu et al. (2015)

Faktor utama yang mendorong petani untuk menerapkan inovasi teknologi budidaya kakao disebabkan oleh tanaman kakao yang berproduksi rendah dan berumur tua, tingkat kelembapan tanaman kakao sangat tinggi yang mengakibatkan berkembangnya serangan hama dan penyakit jamur pada buah kakao. Produktivitas kakao yang rendah disebabkan oleh tidak dilakukan pemangkasan, penjarangan dan pemupukan serta rehabilitasi tanaman yang sudah tua. Reabilitasi tanaman yang sudah tua sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas adalah melalui teknik sambung samping.

Untuk meningkatkan kapasitas kelompok tani maka setiap bulan dilakukan pertemuan kelompok dan praktik pemupukan, pemangkasan, pembuatan kompos, pembuatan rorak, pembuatan teras, dan praktik sambung samping kakao. Kegiatan pendampingan teknologi dan kelembagaan belum pernah diperoleh petani sejak penanaman kakao tahun 1982 hingga tahun 2012. Kondisi ini menyebabkan petani kakao mempunyai keterbatasan pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan usahatani kakao. Peningkatan kapasitas bagi petani dan kelompok tani kakao bertujuan agar petani secara mandiri mampu menerapkan inovasi teknologi. Jika petani telah memiliki pengetahuan inovasi yang cukup dengan tingkat keterampilan yang memadai dalam pengelolaan usahatani akan memperkuat kesadaran dalam memanfaatkan inovasi.

Page 253: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 221

DAMPAK DISEMINASI TERHADAP PENDAPATAN PETANI

Pelaksanaan diseminasi inovasi teknologi tanaman kakao terutama pada penerapan teknologi pemangkasan dan pemupukan memberikan dampak terhadap perubahan produksi kakao. Diseminasi inovasi teknologi kakao yang dilaksanakan selama 3 tahun (dari tahun 2013–2015) memberikan bukti nyata terhadap peningkatan produksi. Sebelum pelaksanaan diseminasi inovasi teknologi kakao, rata-rata produksi kakao di Kabupaten Lombok Utara hanya mencapai 0,3 t/ha. Kegiatan diseminasi yang dimulai pada tahun 2013 bahwa kondisi pertanaman kakao di Kabupaten Lombok Utara tidak dilakukan pemangkasan, sehingga menyebabkan serangan hama dan penyakit jamur pada buah kakao. Setelah dilakukan pemangkasan dan pemupukan tanaman kakao kemudian terjadi peningkatan produksi tahun 2013 dari 0,3 t/ha meningkat menjadi 0,320 t/ha. Pada tahun 2014 mengalami peningkatan produksi hingga mencapai 0,624 t/ha. Ketika petani merasakan manfaat dari inovasi teknologi yang diintroduksikan, kemudian petani meningkatkan penerapan teknolgi terutama pemangkasan, sehingga pada tahun 2015 produksi kakao yang dicapai petani dari penerapan teknologi sebesar 0,98 t/ha (Bulu et al. 2015).

Peningkatan produksi dan pendapatan usahatani kakao merupakan salah satu indikator yang dapat diukur untuk menilai kinerja keberhasilan pelaksanaan diseminasi inovasi teknologi. Manfaat ekonomi yang dirasakan petani dalam penerapan inovasi teknologi kakao, mendorong sebagian besar petani untuk meningkatkan kualitas penerapan inovasi teknologi guna menjaga ketahanan dan keberlanjutan produksi dan pendapatan yang telah dicapai. Peningkatan produksi usahatani merupakan dampak dari penerapan komponen teknologi yang didiseminasikan kepada seluruh kelembagaan petani.

Upaya-upaya yang dilakukan petani untuk meningkatan kualitas penerapan inovasi teknologi kakao bertujuan untuk meningkatkan kualitas produksi buah kakao atau biji kakao. Pengalaman petani selama ini atau sebelum dilakukan pemangkasan, bahwa buah kakao yang dominan dipanen adalah dari ranting. Buah yang panen dari

Page 254: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan222

ranting memiliki kualitas biji yang sangat rendah, sehingga di pasaran hanya ditawar dengan harga yang sangat rendah. Pemangkasan produksi (pemangkasan berat) pada tanaman kakao memberikan perubahan peningkatan jumlah buah kakao terutama pada batang utama dan cabang utama dengan kualitas biji kering yang dihasilkan sangat baik. Penerapan teknologi pemangkasan pada tanaman kakao menunjukkan bahwa petani lebih dominan memanen buah kakao pada batang utama dan cabang utama. Buah kakao yang dipanen pada batang utama dan cabang utama memiliki kualitas biji lebih baik, sehingga mempunyai daya tawar lebih tinggi. Kualitas biji kakao di Kabupaten Lombok Utara yang semakin baik mendorong terjadinya peningkatan harga biji kakao kering, misalnya tahun 2014/2015 terjadi peningkatan harga biji kakao menjadi Rp35.000–Rp37.000/kg (Bulu et al. 2014). Perluasan dan peningkatan diseminasi inovasi teknologi kakao mendorong terjadinya perluasan dan peningkatan adopsi. Para petani dan kelembagaan petani tidak hanya sekadar meningkatkan adopsi inovasi teknologi kakao melaikan juga meningkatan kualitas adopsi. Peningkatan kualitas adopsi inovasi teknologi kakao secara ekonomi memberikan peningkatan pendapatan dan nilai tambah bagi petani.

Teknologi pemangkasan telah meningkatkan kesadaran petani mengenai pentingnya teknologi untuk meningkatkan produksi. Sebenarnya ketika petani menerapkan teknologi pemangkasan maka secara bersamaan untuk menerapkan teknologi pemupukan. Namun, sehubungan tidak tersedianya pupuk bersubsidi untuk tanaman perkebunan sehingga petani tidak lagi mengadopsi teknologi pemupukan yang disebabkan oleh harga pupuk yang relatif mahal. Kondisi tersebut, petani lebih fokus pada penerapan teknologi pemangkasan, baik pemangkasan produksi, pemangkasan bentuk maupun pemangkasan pemeliharaan.

Bulu et al. (2015) melaporkan bahwa sebagian besar petani telah menerapkan teknologi pemangkasan pada tanaman kakao (pemangkasan produksi, pemangkasan bentuk dan pemangkasan pemeliharaan). Petani yang melakukan pemangkasan produksi atau pemangkasan berat pada awal dan akhir musim hujan. Para petani yang masih ragu-ragu untuk melakukan pemangkasan produksi, setelah melihat bukti kepada sesama petani bahwa terjadi peningkatan produksi dan pendapatan baru meyakini keunggulan teknologi tersebut (Bulu et al. 2016)

Page 255: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 223

Sejumlah petani yang telah menerapkan komponen teknologi pemangkasan produksi dan memberikan bukti nyata terjadi peningkatan pendapatan petani antara Rp9.480.909/ha–Rp27.212.500/ha. Andana et al. (2017) melaporkan bahwa penerapan inovasi teknologi budidaya kakao meningkatan pendapatan petani antara 30%–50% bila dibandingkan dengan pendapatan petani yang tidak menerapkan teknologi. Lebih lanjut Ardana et al. (2017) menjelaskan bahwa potensi dampak ekonomi tersebut masih mungkin ditingkatkan melalui optimasi pengelolaan faktor internal usahatani dengan pendekatan: (1) mendorong peningkatan areal penerapan teknologi, dan (2) mendorong petani menerapkan teknologi secara luas. Untuk itu, diperlukan upaya akselerasi adopsi inovasi secara berkesinambungan melalui pendampingan dan pengawalan penerapan teknologi.

Hasil survei menunjukkan bahwa petani yang melakukan pemangkasan terjadi peningkatan produktivitas kakao dibandingkan sebelum pelaksanaan kegiatan M-P3MI di mana petani tidak melakukan pemangkasan.

Tabel 37. Rata-rata produktivitas kakao, penerimaan, biaya, dan pendapatan usahatani kakao berdasarkan jenis pemangkasan yang dilakukan petani di Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara.

Jenis pemangkasanRata-rata

produktivitas (Kg/ha)

Rata-rata penerimaan

(Rp/ha)

Rata-rata biaya (Rp/ha)

Rata-rata pendapatan

(Rp/ha)

1. Pemangkasan berat 1.022,53 28.193.250 980.750 27.212.5002. Pemangkasan ringan 350,45 10.125.909 645.000 9.480.9093. Tidak dipangkas 150,29 4.197.203 378.632 3.818.571

Sumber: Bulu et al. (2015)

Implementasi diseminasi inovasi teknologi kakao melalui kelembagaan petani yang dilakukan secara kontinu mendorong peningkatan penerapan yang lebih luas. Peningkatan pendapatan petani dari usahatani kakao merupakan dampak dari diseminasi inovasi teknologi yang telah diterapkan secara meluas oleh semua anggota kelompok tani. Penerapan inovasi teknologi budidaya kakao telah dirasakan manfaatnya oleh petani terhadap peningkatan

Page 256: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan224

produksi dan pendapatan, merupakan salah satu faktor yang mendorong petani untuk meningkatkan penerapan teknologi tersebut. Bahkan sejumlah petani yang telah menerapkan komponen teknologi pemangkasan produksi dan pemupukan pada tanaman kakao menyatakan:

“Bahwa salah satu solusi untuk meningkatkan produktivitas tanaman kakao adalah melakukan pemangkasan produksi (pemangkasan berat) pada tanaman yang telah berumur lebih dari 25 tahun yang dilakukan pada setiap awal musim hujan dan pemangkasan pemeliharaan pada setiap bulan. Tanaman kakao tidak akan menghasilkan jika tidak dilakukan pemangkasan”(Bulu et al. 2016).

Pernyataan petani tersebut menunjukkan bahwa respons petani terhadap inovasi teknologi kakao yang diintroduksikan memberikan manfaat terhadap perubahan produksi dan pendapatan. Respons petani dalam meningkatkan penerapan inovasi teknologi kakao yang mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani dapat dijadikan preferensi bagi kelompok tani lain dalam pelaksanaan diseminasi atau penyebarluasan informasi inovasi teknologi kakao.

PENUTUPImplementasi diseminasi inovasi teknologi kakao dari aspek

kelembagaan petani dapat mempercepat proses penyebaran informasi inovasi dan peningkatan penerapan inovasi. Pelaksanaan diseminasi melalui komunikasi, pertemuan kelompok, penyuluhan, bimbingan, pendampingan dan praktik langsung oleh petani dan kelompok tani dapat meningkatkan kapasitas petani mengenai pengetahuan inovasi dan keterampilan. Pengetahuan inovasi dan keterampilan dalam penerapan teknologi telah membuktikan terjadinya peningkatan penerapan inovasi. Keterpaduan dalam implementasi metode-metode diseminasi inovasi teknologi kakao mendorong terjadinya difusi dan perluasan penerapan teknologi. Model diseminasi inovasi teknologi kakao yang dilakukan secara terpadu dan terencana dari metode-metode diseminasi dengan menggunakan saluran-saluran komunikasi yang tersedia mampu meningkatkan keyakinan, kesadaran dan motivasi petani untuk menerapkan teknologi.

Page 257: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 225

Implementasi dan pengembangan model diseminasi inovasi teknologi kakao melalui kerja sama atau kemitraan dengan lembaga penyuluhan, Dinas Pertanian dan Perkebunan dan perusahaan swasta dalam pelaksanaan kegiatan diseminasi dan peningkatan frekuensi pendampingan teknologi pada kelembagaan petani mampu meningkatkan produktivitas kakao.

Peningkatan produktivitas kakao di atas 50% sebagai akibat dari penerapan teknologi pemupukan dan pemangkasan produksi tanaman kakao merupakan bukti nyata yang memperkuat keyakinan petani terhadap komponen teknologi tersebut. Keyakinan petani terhadap komponen teknologi kakao yang telah memberikan manfaat secara teknis dan ekonomi, sehingga mendorong petani dan kelompok tani yang telah menerapkan teknologi untuk menyebarluaskan kepada petani dan kelompok tani di desa lain melalui komunikasi dan hubungan kekeluargaan, pertemanan serta kekerabatan.

Pelibatan penyuluh dan petani-petani terampil dalam pelaksanaan diseminasi inovasi teknologi kakao serta praktik-praktik langsung yang dilakukan mampu memperkuat sikap dan motivasi petani mengenai teknologi budidaya kakao yang diintroduksikan. Kondisi tersebut telah dibuktikan bahwa jumlah petani yang menerapkan teknologi semakin meningkat setiap tahun. Peningkatan jumlah petani yang menerapkan teknologi budidaya kakao tidak hanya terjadi di lokasi desa pelaksanaan diseminasi melainkan meluas ke desa-desa lain dan kecamatan lain di Kabupaten Lombok Utara.

Diseminasi inovasi teknologi kakao terutama penerapan dari beberapa komponen teknologi kakao telah meningkatkan pendapatan dan nilai tambah bagi petani. Peningkatan nilai tambah yang diterima petani sebagai akibat dari penerapan teknologi mendorong petani kakao untuk menerapkan teknologi secara berkelanjutan. Keberlanjutan dalam penerapan teknologi merupakan salah satu upaya yang dilakukan petani untuk mempertahankan tingkat produksi kakao dan pendapatan yang pernah dicapai.

Kerja sama, koordinasi, sosialisasi serta peran pemerintah daerah dalam melakukan replikasi model diseminasi inovasi teknologi kakao melalui pendekatan kelembagaan petani masih sangat perlu ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas penerapan komponen dan unsur-unsur teknologi. Sinkronisasi program pengembangan tanaman perkebunan terutama tanaman kakao serta pengembangan

Page 258: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan226

model diseminasi inovasi teknologi akan meningkatkan produksi kakao, meningkatkan pendapatan dan nilai tambah bagi petani serta dapat meningkatkan PAD dalam produksi dan pemasaran kakao di Nusa Tenggara Barat.

UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih disampaikan pada SMARTD yang telah

membiayai kegiatan pelaksanaan diseminai teknologi. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada Badan Litbang Pertanian yang telah berupaya mengalokasikan anggaran SMARTD, melakukan pendampingan untuk meningkatkan SDM peneliti/penyuluh melalui kegiatan penelitian dan diseminasi.

DAFTAR PUSTAKAAdhikarya, R. 1996. “Strategic Extension Campaign: Increasing Cost-

effevtiveness and farmers particpation in Applying Agricultural Technologies”. FAO.

Ardana, I.K., M. Syakir, Ernakarnawati, dan Siswanto. 2017. “Potensi Dampak Ekonomi Penerapan Teknologi Pemupukan dan Polikultur Lada di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah”. dalam Jurnal Litri. 23(2). Desember 2017: 112 -122.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. “Pedoman Umum Spectrum Diseminasi Multi Channel (SDMC)”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 29 hal.

Basuki Irianto, Sri Hastuti, I. M. Wisnu W., dan Dwi Praptomo S. 2005. “Keuntungan Usahatani Komoditas Utama di NTB”.

Basuno, E,. 2003. “Kebijakan Sistem Diseminasi Teknologi Pertanian: Belajar dari BPTP NTB”. dalam Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, 1(3) September 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. 238–254p.

BBP2TP. 2010. “Petunjuk Pelaksanaan Pengkajian Kompetitif Lingkup BBP2TP Tahun 2011-2014”. Badan Litbang Pertanian. Kemeterian Pertanian. Bogor.

Page 259: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 227

BBP2TP. 2010. “Pedoman Pelaksanaan Peningkatan Kapasitas Penyuluh dan Diseminasi Inovasi Pertanian”

BPS NTB. 2017. “Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam Angka”. Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat. Mataram.

Bulu Yohanes G. 2011. “Kajian Pengaruh Modal Sosial dan Keterdedahan Infromasi Inovasi Terhadap Tingkat Adopsi Inovasi Jagung di Lahan Sawah dan Lahan Kering di Kabupaten Lombok Timur”. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Bulu, Yohanes G., Sudarto, S. K. Utami, I. Novitasari, dan Adnan. 2013. “Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI) Berbasis Teknologi Usahatani Kakao di Lahan Kering Nusa Tenggara Barat”. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat.

Bulu, Yohanes G., Sudarto, S. K. Utami, I. Novitasari, dan Adnan. 2014. “Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI) Berbasis Teknologi Usahatani Kakao di Lahan Kering Nusa Tenggara Barat”. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat.

Bulu, Yohanes G., Sudarto, S. K. Utami, I. Novitasari, dan Adnan. 2015. “Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI) Berbasis Teknologi Usahatani Kakao di Lahan Kering Nusa Tenggara Barat”. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat.

Bulu Yohanes G., Sudarto, I. Novitasari, dan S. K. Utami. 2016. “Dampak Diseminasi Teknologi Pemangkasan Kakao terhadap Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Petani di Lahan Kering Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat”. Prosiding Seminar Nasional Lahan Kering. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. P. 593 - 599.

Budianto, J. 1999. “Akseptabilitas Teknologi Pertanian Bagi Konsumen”. Paper disampaikan pada Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV di Bogor, 23 Nopember 1999.

Page 260: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan228

Hasan Nusyirwan, Rifda Roswita, Syafril, dan Zulrasdi. 2012. “Kajian Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pasca Panen Kakao Melalui Diseminasi Multi Channel Mendukung Gernas kakao di Sumatera Barat”. Prosiding InSiNas 2012. Halaman 110–116.

Hedebro, G. 1982. Communication and Social Change in Developing Nation, A critical viev. USA: The IOWA State University Press.

Hermanto, R. 2007. “Rancangan kelembagaan Tani dalam Implementasi Primatani di Sumatera Selatan”. dalam Analisis Kebijakan Pertanian, 5(2), Juni 2007: 110–125.

Lionberger. F. and Gwin P.H. 1982. “Communication Strategies: A Guide for Agricultural Change Agents”. The Interstate. Danville,Illinois.

Mardiana, Yohanes G. Bulu, dan Irianto Basuki. 2012. “Peranan Kelembagaan Pertanian dalam Penyebaran Inovasi Teknologi Produksi Kedelai di Nusa Tenggara Barat”. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Mardikanto. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Penerbit UNS Press. Surakarta.

Pakpahan, A. 1989. “Kerangka Analitik untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi”. Dalam: Effendi Pasandaran et al., (eds) Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor. Hal. 1- 18.

Rogers, E. M. 1995. Difusion of Innovations. (Four Editions). New York: London: The Free Press.

Robbin S.P. 1996. Organizational behavior : controversies, aplications. Edisi ketujuh. New Jersey: Prentice-Hall International.

Sapja, A. 2011. “Kelembagaan Petani: Peran dan Strategi Pengembangan Kapasitasnya”. dalam Jurnal SEPA, 7(2) Pebruari 2011: 102 - 109. Fakultas Pertanian UNS. Solo.

Page 261: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 229

Sapja, A. 2009. “Partisipasi Petani dalam Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani (Kasus di Provinsi Jawah Tengah)”. Disertasi Program Ilmu Penyuluhan Pertanian. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian. Bogor

Uphoff, Norman Thomas. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press.

Van den Bahn, A.W. dan Hawkins. 2000. Penyuluhan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.

Veronice, Helmi, Hermaidi, dan Ernita Arif. 2018. “Pengembangan Kapasitas dan Kelembagaan Petani Kecil di Kawasan Pertanian Melalui Manajemen Pengetahuan”. dalam Jurnal of Appleid Agricultural and Technology. Program Pasca Sarjana Universitas Andalas. 2(2) 1 - 10 (2018).

Page 262: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 263: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

PROSPEK PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI TANAMAN PADI DENGAN TERNAK

SAPI PADA PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN MELALUI

INOVASI DI KABUPATEN BARRU

Repelita Kallo, Nely Lade dan M.Sariubang

PENDAHULUANSistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT) adalah intensifikasi

sistem usahatani melalui pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara terpadu dengan komponen ternak sebagai bagian kegiatan usaha. Tujuan pengembangan SITT adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat sebagai bagian untuk mewujudkan suksesnya revitalisasi pembangunan pertanian. Faktor penting dalam mendukung keberhasilan pengembangan SITT antara lain tersedianya inovasi teknologi yang bersifat tepat guna, kualitas sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan kelompok tani. Lambatnya perkembangan SITT di masyarakat terletak pada kurangnya intensitas sosialisasi, keterbatasan permodalan, keterbatasan fungsi kelembagaan inter dan/atau intra pelaku SITT yang berkaitan dengan aspek teknis, pemasaran dan kebijakan (Hardianto 2008). Komponen usahatani dengan sistem integrasi padi dan ternak sapi pada kegiatan ini meliputi usaha ternak sapi, tanaman pangan (padi), teknologi Inseminasi Buatan (IB) untuk meningkatkan kualitas Sapi Bali, pengolahan limbah berbasis zero waste di mana limbah ternak (kotoran sapi) diproses menjadi kompos dan pupuk organik cair/biourine serta biogas sebagai sumber bahan bakar rumah tangga. Limbah pertanian (jerami padi) diproses menjadi pakan ternak sapi potong dan biourine dimanfaatkan menjadi pupuk cair untuk tanaman. Keberhasilan pembangunan subsektor peternakan dalam peningkatan produksi tidak terlepas dari peran dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) (Kusnadi 2007).

Populasi sapi potong di Kabupaten Barru sekitar 60.782 ekor (Anonim 2013). Jumlah tersebut menunjukkan bahwa sapi potong memiliki nilai prospektif dan merupakan salah satu komoditas

Page 264: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan232

andalan sektor peternakan di daerah ini. Selain potensi tersebut, terdapat pula potensi lahan pertanian yang merupakan daya dukung untuk menjamin tersedianya biomas/limbah pertanian sebagai pakan ternak. Luas lahan pertanian di Kabupaten Barru mencapai 33.617 ha, pemanfaatannya terdiri atas: lahan sawah 11.533 ha, lahan tanaman pangan 12.614 ha, lahan perkebunan 8.206 ha dan padang rumput 1.264 ha. Lahan sawah terdiri dari lahan sawah beririgasi semiteknis 1.525 ha, pengairan sederhana 1.592, dan sawah tadah hujan 8.416 ha, dengan tingkat produktivitas 5,47 t/ha (Anonim 2014). Satu hektar lahan sawah menghasilkan 12–15 ton jerami padi. Potensi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak sapi jika ketersediaan hijauan rumput terbatas di musim kemarau. Namun potensi ini belum terkelola dengan baik di mana terlihat masih banyak petani yang melakukan pembakaran jerami di lahan sawahnya. Begitu pula dengan usaha peternakan, umumnya usaha peternakan di Kabupaten Barru adalah 80% merupakan usaha sambilan, 10% merupakan cabang usaha dan 10% lainnya adalah usaha pokok. Besarnya persentase kategori usaha sambilan tersebut menunjukkan bahwa usaha peternakan belum memberikan keuntungan yang baik bagi petani.

Ketersediaan lahan sawah dan keberadaan ternak sapi di Kabupaten Barru adalah dua hal penting yang secara ekonomi dapat mendongkrak peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini tentunya harus didukung oleh penerapan inovasi teknologi yang dapat dimanfaatkan petani dalam mengelola usahataninya. Salah satu faktor penyebab sulitnya pencapaian ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah karena teknologi belum berkontribusi secara efektif dalam proses produksi, terutama di off-farm (Irawan 2004). Kenyataan di lapang bahwa tingkat adopsi maupun penerapan inovasi teknologi relatif rendah. Sebagian petani hanya menerapkan sebagian komponen teknologi atau menerapkan teknologi pada kualitas di bawah rekomendasi. Salah satu indikator bahwa teknologi tidak diterapkan secara tuntas adalah produktivitas komoditas yang belum mencapai potensinya. Rata-rata produktivitas padi pada 7 kecamatan di Kabupaten Barru adalah 5,7 ton/ha sedangkan jagung berkisar 4 ton/ha (Anonim 2014).

Untuk mengatasi rendahnya produktivitas tersebut maka diperlukan upaya percepatan transfer inovasi teknologi dengan pendekatan yang mengintegrasikan aspek teknis, sosial, ekonomi dan

Page 265: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 233

kelembagaan yang dilakukan secara terpadu dalam satu program agar hasil-hasil penelitian yang telah dihasilkan oleh Litbang Pertanian dapat dimanfaatkan oleh petani secara holistik di masing-masing daerah. Salah satunya adalah Program “Model Pengembangan Pertanian Perdesaan melalui Inovasi (M-P3MI)”. M-P3MI merupakan salah satu program pemerintah yang mengupayakan aktivitas memperkenalkan dan memasyarakatkan hasil inovasi pertanian kepada pengguna dalam rangka memacu adopsi inovasi teknologi di tingkat petani. Program M-P3MI diharapkan dapat menjadi wadah yang mampu mensinergikan antar komponen-komponen terkait penyebarluasan inovasi teknologi mulai dari lembaga pemasok inovasi teknologi melalui lembaga perantara sampai ke pengguna dapat berjalan baik.

Kajian ini dilaksanakan selama lebih kurang dua tahun (2014–2015), dengan lokasi pengambilan data di Kabupaten Barru. Data-data sekunder yang berhubungan dengan tujuan kajian ini diperoleh dari hasil-hasil penelitian sebelumnya terkait dengan angka konversi produksi limbah tanaman pangan seperti jerami padi. Selain itu diperoleh pula data dari instansi terkait yaitu Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Barru tentang data populasi ternak sapi, dan data luas areal panen tanaman pangan. Data tentang kondisi wilayah diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Barru, sedangkan data tentang keragaan usahatani padi maupun ternak sapi diperoleh langsung dari petani yang dilakukan dengan metode FGD sebagai dasar untuk menentukan jenis inovasi teknologi yang diterapkan.

GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN KERAGAAN USAHATANI

Gambaran Umum WilayahKabupaten Barru merupakan salah satu kabupaten yang berada

di pesisir Barat Sulawesi Selatan, dengan Ibu Kota Sumpang Binangae, terletak antara koordinat 4o0 5 ’ 4 9 ” - 4 o47’ 35” Lintang Selatan dan 119o 49’ 16” Bujur Timur. Luas wilayah daratan kurang lebih1.174,72 km2 ( 117.427 Ha) dan perairan 56.160 Ha. Pada awalnya terdiri dari 5 kecamatan dengan 24 desa, kemudian terjadi pemekaran desa menjadi 36 desa. Pada tahun 2001 dilakukan pemekaran kecamatan dan desa

Page 266: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan234

menjadi 7 kecamatan yakni Kecamatan Tanete Rilau, Kecamatan Pujananting, Kecamatan Tanete Riaja, Kecamatan Barru, Kecamatan Balusu, Kecamatan Soppeng Riaja dan Kecamatan Mallusetasi yang meliputi 40 Desa dan 14 Kelurahan (BPS Kab. Barru 2014).

Batas wilayah Kabupaten Barru secara administratif adalah: Sebelah Utara : Kota Pare-Pare dan Kabupaten Sidrap, Sebelah Timur: Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Bone, Sebelah Selatan: Kabupaten Pangkajene Kepualauan, Sebelah Barat: Makassar. Pada umumnya kondisi topografi Kabupaten Barru berupa dataran tinggi dan perbukitan yang berada pada ketinggian 100–500 meter dari permukaan laut (m dpl). Berdasarkan kondisi geografis jika dikaitkan dengan pengembangan wilayah, maka Kabupaten Barru memiliki potensi geografis yang strategis yaitu : 1) berada pada derah lintasan perekonomian Utara–Selatan Sulawesi Selatan, 2) merupakan wilayah Trans Sulawesi, 3) Pintu perekonomian yang menghubungkan Sulawesi Selatan dengan Kalimantan Timur dan daerah lainnya. Kondisi geografis seperti ini memungkinkan untuk pengembangan berbagai potensi yang dimiliki baik sosial budaya maupun ekonomi (BPS Kab. Barru 2014).

Kondisi topografi wilayah Kecamatan Tanete Rilau adalah pesisir pantai datar dan berbukit sehingga sangat strategis untuk pengembangan usaha pertanian. Karakteristik tanah dengan tingkat keasaman (pH) antara 5,4–5,9, kemiringan tanah mencapai 8–11%, bukit dan pegunungan 20% serta ketinggian 5–10 m dari permukaan laut (dpl). Curah hujan rata-rata bulan basah November s/d Maret (5 bulan), bulan lembap April–Juni (3 bulan), bulan kering Juli–Oktober (4 bulan). Curah hujan pada tahun 2013 mencapai 3.587 mm/tahun (BPS Kab. Barru 2014).

Keragaan Usahatani Padi Sawah dan Ternak SapiIdentifikasi kondisi eksisting usahatani padi dan ternak sapi

dilakukan dengan metode FGD melibatkan petani kooperator, nonkooperator, perangkat desa dan Pemda setempat. Hasil identifikasi kondisi eksisting usahatani padi dan ternak sapi di Desa Lipukasi, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten disajikan pada Tabel 38 dan Tabel 39.

Page 267: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 235

Tabel 38. Hasil identifikasi kondisi eksisting usahatani padi di Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru tahun 2014

Kondisi Eksisting Dampak Solusi/Intervensi TeknologiI. Input UsahataniBenih : Masih terdapat 40% petani menggunakan benih asalan

- Produksi/produktivitas usahatani rendah

- Penggunaan benih berlabel

Pupuk : 90 % petani menggunakan pupuk kimia dan 10% petani mengombinasikan pupuk kimia dan komposTakaran rekomendasi :Urea : 250–400 kg/haPonska : 300–350 kg/ha

- Degradasi lahan menyebabkan produksi dan produktivitas usahatani rendah

- Biaya usahatani relatif tinggi menyebabkan rendahnya nilai keuntungan yang diperoleh

- Teknologi pemupukan berimbang(pemupukan P & K berdasarkan analisis tanah menggunakan PUTS dan pemupukan N

- Penggunaan pupuk organik atau kompos

Obat-Obatan- Penggunaan obat-obatan

melebihi anjuran- Pencemaran lingkungan - Resistensi hama

terhadap pestisida- Residu pestisida pada

hasil panen

- Teknologi pembuatan biopestisida/pestisida nabati

II. Sistem BudidayaPesemaian : Umur bibit 15

– 20 hariTidak ada masalah

Penanaman : - 90% petani

menggunakan sistem tanam tegel dan 10% sisanya menerapkan sistem tanam legowo

- 100 % petani menanam 3-5 tanaman/rumpun

- Produksi relatif rendah

- Jumlah anakan kurang menyebabkan rendahnya produksi

- Penerapan sistem tanam legowo

- Sistem tanam 1-2 tanaman/rumpun

Pengendalian hama & penyakit

- Hama tikus belum dikendalikan

- Produksi menurun disebabkan serangan tikus

- Penerapan teknologi LTBS /Pengendalian hama secara terpadu (tanam serempak)

Panen & pascapanen- 90% petani melakukan

panen secara manual- 100% petani belum

mengolah limbah jerami padi

- Susut hasil relatif tinggi

- Pembakaran jerami menimbulkan polusi lingkungan

- Teknologi alsintan/penggunaan Combine harvester

- Inovasi Teknologi jerami fermentasi untuk pakan ternak

Page 268: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan236

Kondisi Eksisting Dampak Solusi/Intervensi TeknologiIII. KelembagaanInput & output - Kios saprodi belum ada

di setiap desa sehingga petani kesulitan jika membeli obat-obatan

- Koperasi tani difungsikan sebagai wadah penyedia saprodi

Kredit (permodalan) - Petani kesulitan memperoleh modal usaha (akses ke perbankan sulit)

- Mengelola koperasi sebagai lembaga permodalan kelompok

PenyuluhanPetani seringkali kesulitan mengakses informasi teknologi

- Keterbatasan tenaga penyuluh pertanian (7 orang melayani 10 Desa)

- Memaksimalkan kerja penyuluh THL-TB

Kelompok Tani/Gapoktan - Usahatani kelompok masih bersifat subsisten dan belum bersifat komersial

- Penerapan inovasi teknologi pengolahan hasil yang berorientasi agribisnis

Tabel 39. Hasil identifikasi kondisi eksisting usaha ternak sapi di Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru Tahun 2014

Kondisi Eksisting Dampak Solusi/Interfensi TeknologiBibit/bakalan- Bibit diproduksi sendiri

- Kualitas sapi bali kecil- Tingkat kelahiran

rendah- Terjadi seleksi negatif - Tingkat kematian pedet

tinggi (30 %)

- Perkawinan dengan sapi pejantan unggul

- Teknologi IB

Pakan- 80% peternak

menggunakan rumput gajah sebagai pakan (seluruh peternak dalam kelompok Doajeng II tidak menggunakan konsentrat)

- Kekurangan hijauan di musim kemarau

- Bobot badan sapi rendah- Nilai jual rendah

- Teknologi pakan konsentrat dari limbah pertanian (kandungan protein 14%)

- Teknologi penggemukan- Teknologi fermentasi

jerami padi/ silase dari

Tabel 38. Hasil identifikasi kondisi eksisting usahatani padi di Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru tahun 2014 (lanjutan)

Page 269: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 237

Kondisi Eksisting Dampak Solusi/Interfensi TeknologiKandang- 40% peternak

mengandangkan ternaknya selebihnya dilepas

- Sanitasi kandang kurang terjaga (penumpukan sisa makanan dan kotoran ternak)

- Pencemaran lingkungan - Penerapan teknologi pembuatan biogas dan pengolahan bioslurry

- Teknologi pengolahan limbah ternak berbasis zero waste

Obat-obatanPenyakit yang umum dialami : cacing, mencret, brusella, sura dll skabies,rabies, pincang (demam 3 hari)

- Bobot badan sapi menurun

- Kualitas pedet rendah/kurus

- Teknologi pengendalian penyakit pada ternak sapi

Sumber : Data Primer hasil FGD (2014)

PENERAPAN INOVASI TEKNOLOGI DAN ANALISIS USAHATANI

Model dan Komponen TeknologiRancangan model usahatani integrasi tanaman padi dan

ternak sapi disusun/dirumuskan berdasarkan analisis rangkaian kegiatan ekonomi pertanian dalam sistem agribisnis. Kegiatan ekonomi yang dimaksud adalah bisnis berbasis usaha pertanian atau bidang lain yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir. Dalam kerangka berpikir model ini, pengelolaan tempat usaha mulai dari sektor hulu (pembibitan, penyediaan input produksi, dan sarana produksi) sampai pada sektor hilir (kegiatan pascapanen seperti; distribusi, pengolahan, dan pemasaran). Sedangkan budidaya dan pengumpulan hasil merupakan bagian dari aspek proses produksi.

Tabel 39. Hasil identifikasi kondisi eksisting usaha ternak sapi di Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru Tahun 2014 (lanjutan)

Page 270: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan238 1

TERNAK SAPI

PEMBENTUKAN KLINIK AGRIBISNIS

Unit Pengolahan Limbah ternak

(kompos & Biourine)

Biogas

GAPOKTAN

PADI SAWAH

DINAS KOPERIND

AG

DINAS PERTANIAN/

BP3K

DINAS PETERNAKAN

PERBANKAN/ BRI

MODEL INTEGRASI TERNAK SAPI DAN PADI BERBASIS ZERO WASTE

Penjualan Hasil Usahatani (kompos, Biourine, pakan konsentrat, Beras, Ternak sapi)

TERNAK SAPI

KLINIK AGRIBISNIS

- Jerami - Dedak/bekatul

untuk Pakan konsentrat

- Abu sekam untuk bahan kompos

Unit Biogas Unit

pengolahan pakan

konsentrat

GAPOKTAN

Rumah tangga

PADI SAWAH

DINAS KOPERIND

AG

PENDAPATAN PETANI MENINGKAT

MEMBENTUK KELEMBAGAAN KOPERASI SEBAGAI

UNIT PRODUKSI, PEMASARAN & PENGELOLA ALSINTAN

DINAS PERTANIAN

/BP3K

DINAS PETERNAKAN

PERBANKAN/ BRI

Koperasi tani merupakan komponen yang paling berpengaruh dalam kelembagaan usahatani karena memudahkan petani dalam penyediaan sarana produksi dan permodalan usahatani yang dikelola oleh Gapoktan. Gapoktan sebagai organisasi yang menjembatani (Bridging Organization) jaringan pemasaran antar kelompok tani baik dari dalam maupun luar desa. Koentjaraningrat (1990) mengatakan bahwa semakin banyak karakter sosial budaya masyarakat yang mengarah pada bridging social capital (modal sosial menjembatani) kondisi sosial budaya masyarakat dimaksud semakin mendukung keberhasilan suatu pembangunan dan sebaliknya.

Page 271: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 239

Peran kelembagaan pendukung seperti lembaga ekonomi sebagai penyedia modal baik dari instansi pemerintah (al. BRI, BPD) maupun dari pihak swasta (pengusaha, LSM) dan koperasi. Lembaga tersebut sangat menentukan peranannya dalam membantu petani, karena permasalahan yang sangat menonjol di tingkat usahatani adalah modal usaha dan pemasaran hasil. Petani belum mencapai produksi maksimal karena keterbatasan modal dalam membeli sarana produksi.

Model ini sesuai dengan kondisi spesifik karena seluruh komponen dalam model sudah terbentuk dan terdukung oleh sumberdaya yang ada (koperasi, gapoktan, klinik agribisnis, unit usaha pengolahan limbah berbasis zero waste, unit pengelola mekanisasi). Namun perlu intervensi pemerintah dalam pengelolaannya dan pengembangannya ke depan. Bentuk campur tangan pemerintah tidak bersifat koersif (pemaksaan), namun lebih bersifat memfasilitasi sehingga mampu merangsang pertumbuhan kelembagaan yang bersifat kohesif.

Kondisi riil di lapangan (tahun 2015), model ini belum diadopsi disebabkan terdapat beberapa kendala antara lain: (a) Kesenjangan antara kelembagaan petani dengan Penyuluhan Pertanian maupun Pemerintah Daerah, (b) Unit usaha komersial yang dapat dikelola Gapoktan sebagai sumber dana (POC biourine dan kompos) belum mempunyai izin edar produk sehingga terkendala dalam pemasaran, (c) SDM pengelola unit mekanisasi dalam memproduksi pakan konsentrat belum mampu memilah elemen-elemen penting yang perlu dilakukan dalam memproduksi pakan konsentrat yang dapat dijadikan unit usaha kelompok dan memenuhi kebutuhan anggota, d) Skala usaha kecil, unit produksi tidak ekonomis dan berorientasi subsistem, e) Tidak adanya trust atau kepercayaan yang bersifat timbal-balik antara Pengurus Gapoktan dan Kelompok tani untuk menumbuhkan partisipasi, kerja sama, bahkan kemitraan stakeholders. Hal ini sangat membutuhkan intervensi Pemerintah Daerah dalam penerapan model usahatani terintegrasi.

Teknologi Penggemukan Sapi PotongPendapatan peternak dipengaruhi oleh jumlah ternak yang

dipelihara, semakin banyak ternak yang dipelihara, semakin banyak keuntungan yang akan diterima oleh peternak, (Hadi dan Ilham 2002) dalam (Supardi Rusdiana et al. 2016). Kondisi usaha peternakan

Page 272: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan240

di Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru, peternak sapi potong dalam melakukan usahanya masih bersifat tradisional dengan sekala rata-rata 4–5 ekor/rumah tangga, bila melakukan usaha dengan skala besar peternak tidak mampu, karena biaya yang dikeluarkan cukup tinggi terutama pada aktivitas penyediaan pakan. Salah satu inovasi teknologi yang belum berkembang di tingkat petani/peternak di Kabupaten Barru adalah teknologi pakan. Khusus ternak sapi dan kerbau, petani masih menggantungkan sumber pakan 80% pada hijauan (Basir Nappu et al. 2013).

Kendala utama yang sering dikeluhkan oleh peternak adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian pakan. Sedangkan industri pakan ternak dan ikan masih bergantung pada bahan baku impor. Sementara dari sisi lain, sebagian bahan baku potensial untuk campuran pakan ternak/ikan tersebut tersedia secara lokal (Lakitan 2009).

Hampir semua peternak kecil Desa Lipukasi pada saat musim kering atau paceklik, menjual sebagian ternaknya untuk kebutuhan hidup dan kebutuhan pertanian dalam artian masih berorientasi subsistem, sehingga sangat diperlukan suatu tindakan yang dapat mengubah pola pikir petani dalam memelihara ternak yang berorientasi bisnis untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Salah satunya adalah inovasi teknologi penggemukan sapi.

Pada pelaksanaan kegiatan M-P3MI di Kabupaten Barru implementasi teknologi penggemukan sapi dilakukan dengan melibatkan beberapa peternak dengan mengintroduksikan pakan konsentrat yang dapat dibuat dengan memanfaatkan limbah pertanian yang ada. Penggemukan sapi dilakukan pada skala 10 ekor jantan dengan berat badan antara 175–200 kg masing-masing 5 ekor diberikan perlakuan dan 5 ekor sebagai kontrol dan dipelihara selama 4 bulan. Data Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) sapi dapat dilihat pada Tabel 40.

Page 273: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 241

Tabel 40. Rata-rata konsumsi dan pertambahan bobot badan harian sapi

NoCara Introduksi Cara Petani

Konsumsi pakan dry matter (gram/ekor/ hari)

PBBH (gram/ekor/ hari)

Konsumsi pakan dry matter/ekor/ hari

PBBH gram/ekor/ hari

1 5900 750 4300 210

2 5350 705 4800 245

3 6015 766 4500 215

4 5700 740 4750 230

5 4950 685 4650 230

Rata-rata 5583 729,2 4600 226

Gambar 36. Histogram rata-rata konsumsi dan pertambahan bobot badan harian sapi potong

Tabel 40 menunjukkan bahwa dengan pemberian konsentrat 3 kg/ekor/hari ditambah fermentasi jerami secara adlibitum pada sapi jantan dengan berat awal rata-rata 190,3 kg dapat meningkatkan berat badan sapi potong penggemukan rata-rata 729,2 gram/ekor/hari berbeda sangat nyata berdasarkan uji T dengan penggemukan yang dilakukan petani dengan pemberian rumput secara adlibitum pada sapi potong dengan berat badan awal rata-rata 187 kg dengan rata-rata pertambahan berat badan harian 226 kg/ekor/hari. Hal ini dapat dipahami karena konsumsi kualitas pakan yang berbeda. Demikian juga dengan konsumsi pakan pada sapi potong yang diberikan konsentrat dan fermentasi jerami rata-rata 5.583 gram/ekor/hari berbeda nyata dengan cara petani menggemukan sapi dengan konsumsi pakan rata-rata 4600 gram/ekor/hari. Perbedaan ini

Page 274: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan242

disebabkan palabilitas konsentrat dan jerami fermentasi lebih tinggi dibandingkan sapi penggemukan yang makan rumput seadanya. Adapun analisis finansial usaha penggemukan sapi diuraikan pada Tabel 41:

Tabel 41. Analisis Pendapatan usahatani penggemukan sapi berbasis Zero Waste pada skala pemeliharaan 5 ekor di Kabupaten Barru Tahun 2014

No. UraianTeknologi Introduksi

Volume Harga Satuan (Rp) Nilai (Rp)

A Biaya Investasi

Pembuatan Kandang 30m2 400.000 12.000.000

Peralatan kandang 5 bh ember pakan

30.000 120.000

B Biaya Tetap 2.606.000

Tenaga Kerja 1 orang 2.000.000 2.000.000

Penyusutan kandang (5%) 1 periode 600.000 600.000

Penyusutan alat (5%) 1 periode 6.000 6.000

Total Modal TetapC Biaya variabel 38.334.000

Sapi Bakalan 5 ekor 7.000.000 35.000.000Pakan Hijauan Jerami/R.Gajah 4500 kg 200 720.000 Pakan Konsentrat

Dedak Padi 450 kg 3.000 1.350.000 Tepung Ikan 54 kg 5.000 270.000

Tongkol jagung 252 kg 500

126.000

Bungkil Kelapa 135 kg 2800 378.000

Pikuten 9 kg 35.000 315.000 Obat-Obatan 1 paket 35.000 175.000

Biaya Tetap +Variabel 40.940.000

Biaya pembuatan Biourine 53.055.000

Biaya Pembuatan Kompos 14.600 2.037.500

Total Biaya Produksi 96.032.500

Page 275: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 243

No. UraianTeknologi Introduksi

Volume Harga Satuan (Rp) Nilai (Rp)

D Pendapatan - Sapi potong 5 12.000.000 60.000.000

Pupuk Padat (kg) 2400 800 1.920.000

Pupuk Organik Cair/POC 4.867(liter) 20.000 97.340.000

E Total Pendapatan 159.260.000

F Keuntungan 63.227.500

R/C Ratio 1,6

Sumber :Data Primer setelah diolah tahun (2015)

Tabel 41 menunjukkan bahwa total biaya produksi dalam usaha penggemukan sapi berbasis zero waste pada skala pemeliharaan 5 ekor sebesar Rp96.032.500. Sedangkan pendapatan diperoleh sebesar Rp159.260.000/periode penggemukan di mana nilai keuntungan yang diperoleh adalah Rp63.227.500/periode penggemukan atau Rp5.268.958/bulan. Besarnya pendapatan dipengaruhi oleh pertambahan berat badan dan harga jual sapi serta nilai produk pupuk yang dihasilkan dari pengolahan limbah ternak dan keuntungan yang diperoleh belum termasuk biaya promosi POC.

Teknologi Pembuatan Kompos Seekor ternak sapi dewasa dapat menghasilkan feses sekitar 4

ton per tahun yang dapat diolah menjadi 2 ton pupuk organik padat (Putranto 2003), dimana kompos tersebut cukup untuk pemupukan lahan sawah seluas 1 hektare. Adapun analisis usaha pembuatan pupuk kompos secara detail dituangkan pada Tabel 42.

Tabel 41. Analisis Pendapatan usahatani penggemukan sapi berbasis Zero Waste pada skala pemeliharaan 5 ekor di Kabupaten Barru Tahun 2014 (lanjutan)

Page 276: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan244

Tabel 42. Analisis pendapatan usaha pembuatan kompos pada pemeliharaan sapi skala 20 ekor

No Uraian Volume Harga satuan Jumlah (Rp)

A Biaya Investasi Bangunan

Rumah Kompos 1 unit 10.000.000 10.000.000

Alat Jahit Karung 1 unit 2.000.000 2.000.000

Appo (alat pengolah kompos) 1 unit 35.000.000 35.000.000

B Biaya Tidak Tetap (Variable cost) 5.400.000

Tenaga Kerja 5 orang 400.000 2.000.000

Terpal 6 bh 100,000 600,000

Karung kemasan 50 kg 800 lbr 2000 1.600.000

Bioaktivator 1 paket 1.000.000 1.000.000

Benang Jahit 10 rol 20.000 200.000

C Biaya Tetap (fixed cost) 2.750.000

Penyusutan Bangunan(20%/th) 2.000.000

Biaya penyusutan alat jahit karung (masa pakai 5 tahun)

400.000

Biaya penyusutan Alat kompos pengolah(masa pakai 10 tahun)

350.000

D Total Biaya 8.150.000

E Pendapatan 40.000 kg 800 32.000.000

F Keuntungan 23.850.000

R/C-ratio 3,9

Sumber: Hasil olahan data primer (2014)

Tabel 42 menunjukkan bahwa dengan mengelola limbah padat ternak sapi menjadi kompos pada skala pemeliharaan 20 ekor dapat memberikan keuntungan sebesar Rp 23.850.000/tahun atau Rp1.987.500/bulan. Usaha ini berpeluang untuk dikembangkan karena menguntungkan bagi petani dan dapat digunakan pada lahan usahataninya. Penggunaan pupuk organik di samping mampu menghemat penggunaan pupuk anorganik, juga mampu memperbaiki struktur serta ketersediaan unsur hara tanah (Adnyana 2003).

Page 277: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 245

Teknologi Pembuatan Pupuk Organik Cair/Bio UrineTernak sapi dewasa menghasilkan urine 7–8 liter per hari atau

2.555–2.920 liter per tahun. Jika diolah menjadi pupuk organik cair maka dapat digunakan sebagai pupuk pada tanaman padi maupun tanaman hortikultura lainnya. Pupuk organik mempunyai efek jangka panjang yang baik bagi tanah, yaitu dapat memperbaiki struktur kandungan organik tanah dan selain itu juga menghasilkan produk pertanian yang aman bagi kesehatan. Oleh karena itu, penggunaan pupuk organik saat ini digalakkan pemakaiannya di kalangan petani. Selain itu jika dikelola dengan baik (diproduksi secara kontinu dan memiliki izin edar) lalu dijual, dapat meningkatkan pendapatan petani. Adapun hasil analisis pendapatan usaha pembuatan biourine diuraikan pada Tabel 43.

Tabel 43. Analisis pendapatan usaha pembuatan biourine skala pemeliharaan 5 ekor sapi

No Uraian Volume Harga Satuan (Rp)

Jumlah (Rp)

A Biaya Investasi

Tower Kapasitas 1000 liter 13 unit 1.250.000 16.250.000

Drum Plastik 450 liter 2 unit 400.000 800.000

Aerator 4 buah 2.500.000 10.000.000

Izin Edar (masa pakai 5 tahun) 1 tahun 25.000.000 25.000.000

A Biaya variabel (Variabble Cost) 149.460.000

Urine sapi dewasa 7-8 liter/hari)

8 x 5 x 365 liter 500 7.300.000

Botol Kemasan 14.600 botol 6.500 94.900.000

MOL 30 liter 2.000 60.000

Biaya Tenaga Kerja 3 x 12 org 500.000 18.000.000

Label Pupuk 14.600 lbr 2.000 29.200.000

B Biaya Tetap 9.705.000

Penyusutan alat Tower (masa pakai 10 tahun)

1.625.000

Penyusutan alat Drum plastik(masa pakai 10 tahun)

80.000

Penyusutan alat aerator (masa pakai 5 tahun

3.000.000

Biaya Penyusutan izin edar 5.000.000

Page 278: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan246

No Uraian Volume Harga Satuan (Rp)

Jumlah (Rp)

C Total Biaya 159.165.000

D Pendapatan

POC 14.600 liter 20.000 292.000.000

E Keuntungan 132.835.000

R/C Ratio 1,8

Sumber : Data Primer Tahun (2014)

Tabel 43 menunjukkan bahwa skala pemeliharaan 5 ekor ternak sapi dewasa dapat menghasilkan urine sebanyak 14.600 liter urine/tahun artinya jika dikelola dengan baik maka dapat memberi nilai keuntungan sebesar Rp132.835.000/tahun (keuntungan ini belum termasuk biaya promosi produk).

Teknologi PTT Padi SawahPTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah adalah suatu

pendekatan inovatif dalam upaya peningkatan efisiensi usaha tani padi sawah dengan menggabungkan berbagai komponen teknologi yang saling menunjang dan dengan memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara bijak agar memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Litbang Pertanian 2014). PTT padi sawah bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dari segi hasil dan kualitas melalui penerapan teknologi yang cocok dengan kondisi setempat (spesifik lokasi) serta menjaga kelestarian lingkungan. Dengan meningkatnya hasil produksi diharapkan pendapatan petani akan meningkat. Beberapa komponen teknologi yang diterapkan pada pelaksanaan kegiatan M-P3MI di Kabupaten Barru seperti tertera pada Tabel 44.

Tabel 43. Analisis pendapatan usaha pembuatan biourine skala pemeliharaan 5 ekor sapi (lanjutan)

Page 279: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 247

Tabel 44. Komponen teknologi PTT padi sawah yang diterapkan pada kegiatan M-P3MI di Kabupaten Barru tahun 2014

No Komponen Teknologi PTT Padi Sawah Keterangan

1 Penggunaan benih bermutu/bersertifikat

Benih 25 – 30 Kg/ha,

Penggunaan varietas padi unggul berpotensi hasil tinggi

Varietas Inpari 4, Inpari 23 dan Ciliwung

2 Penerapan sistem tanam Jajar Legowo 2 : 1 jarak tanam 25 x 12,5 x 50 cm

3 Penggunaan bibit muda Umur <21 hari setelah semai4 Tanam dengan jumlah bibit terbatas 1-3 tanaman per rumpun5 Penggunaan pupuk organik Menggunakan kompos 1 ton/ha

dan Biourine 5 liter/ha6 Pemupukan berimbang Penggunaan Pupuk P dan

K berdasarkan hasil analisis tanah menggunakan PUTS dan Pemupukan N berdasarkan BWD

7 Pengendalian hama terpadu Penanaman serempak dan pengendalian hama tikus menggunakan LTBS

Perpaduan komponen teknologi ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan produktivitas padi dengan didasarkan pada pendekatan yang partisipatif. Varietas padi yang akan ditanam dipilih varietas unggul yang mampu beradaptasi dengan lingkungan untuk menjamin pertumbuhan tanaman yang baik, tahan serangan penyakit, berdaya hasil dan bernilai jual tinggi serta memiliki kualitas rasa yang dapat diterima pasar. Adapun hasil yang dicapai pada pelaksanaan Demontrasi Farming PTT padi sawah pada kegiatan M-P3MI di Kabupaten Barru tertera pada Tabel 45.

Tabel 45. Rata-rata produksi padi dengan penerapan Teknologi PTT di Kabupaten Barru, MK 2015

No Varietas UnggulProduksi (ton/ha)

Pola Introduksi Pola Petani1 Inpari 4 6,85 4,982 Inpari 23 7,04 5,013 Ciliwung 7,60 5,20

Sumber : Data Primer (2015)

Page 280: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan248

Gambar 37. Diagram rata-rata produksi padi dengan penerapan teknologi PTT di Kabupaten Barru, MK 2015

Diagram di atas menunjukkan bahwa hasil gabah kering panen (GKP) yang diperoleh petani yang menerapkan teknologi PTT padi sawah lebih tinggi dibanding petani yang tidak menerapkan. Dengan penerapan teknologi PTT padi sawah terjadi peningkatan produksi padi sebesar 27,29–31,50 %. Pembelajaran penting dalam penerapan teknologi PTT adalah hasil dapat dicapai secara maksimal jika penerapan komponen teknologi dilakukan secara terpadu dengan mengintegrasikan antar komponen teknologi, karena penerapan satu atau dua jenis komponen saja tidak bisa memaksimalkan hasil yang dicapai. Adapun analisis pendapatan usahatani padi sawah dengan penerapan komponen teknologi PTT diuraikan pada Tabel 46.

Tabel 46. Analisis pendapatan usahatani padi sawah dengan penerapan komponen teknologi PTT

No Uraian Volume Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)

BIAYA PRODUKSIA Biaya tetap 2.300.000

Sewa Pompa 1 MT 2.250.000 2.250.000PBB 1 ha 50.000 50.000

B Biaya Variabel 10.300.000 Benih 25 kg 9000 225.000Pengolahan tanah 1 ha 1.200.000 1.200.000Urea 150 kg 1.800 270.000Biourine 7 liter 20.000 140.000

Page 281: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 249

No Uraian Volume Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)

kompos 1000 kg 800 800.000NPK Ponska 200 kg 2.400 480.000Biaya analisis Tanah (PUTS)

1 kali 50.000 50.000

BWD 1 buah 30.000 30.000Obat-Obatan 1 paket 225.000 225.000

Tenaga kerja 24 OH 30.000 720.000

Upah Angkut 76 karung 10.000 760.000

Upah Panen (sistem bawon 6 keluar 1)

12 kwt 450.000 5.400.000

C Total Biaya A + B 12.600.000D Produksi rata-rata

(kg)7.100

E Penjualan GKP (Rp/kg)

4.500

F Penjualan Jerami (Rp/ha)

300.000

G Pendapatan 31.950.000

F Keuntungan 19.350.000

R/C Ratio 2,5Sumber : Data Primer setelah diolah (2015)

Tabel 46 menunjukkan bahwa total biaya yang dikeluarkan petani yaitu Rp12.600.000/MTmenghasilkan pendapatan sebesar Rp31.950.000 dengan nilai keuntungan sebesar Rp19.350.000. Menurut Bastian dan Suhardjono (2006) Net Profit Margin adalah perbandingan antara laba bersih dengan penjualan. Rasio ini sangat penting karena mencerminkan strategi penetapan harga penjualan dan kemampuannya untuk mengendalikan beban usaha. Semakin besar Net Profit Margin berarti semakin efisien perusahaan tersebut dalam mengeluarkan biaya-biaya sehubungan dengan kegiatan operasinya (Weston dan Copeland 1995).

Tabel 46. Analisis pendapatan usahatani padi sawah dengan penerapan komponen teknologi PTT (lanjutan)

Page 282: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan250

Suatu teknologi baru dengan penerimaan yang tinggi biasanya memerlukan penambahan penggunaan input dan pencurahan tenaga kerja yang mungkin akan mempengaruhi keuntungan. Untuk itu dapat dilakukan pengujian lebih lanjut dengan menggunakan tolok ukur rasio marginal penerimaan kotor dan biaya. Alat ini juga digunakan untuk mengevaluasi teknologi pilihan yang mungkin dapat menggantikan teknologi yang lama yang diuraikan di bawah ini.

MBCR =Penerimaan Kotor (I) – Penerimaan Kotor (P)

Total Biaya (I) – Total Biaya (P)

MBCR =31.950.000– 23.700.00012.600.000– 11.220.000

MBCR =8.250.0001.380.000

MBCR = 5,9

Dari hasil MBCR yang diperoleh sebesar 5,9 menunjukkan bahwa dengan menerapkan teknologi PTT padi, penambahan biaya input sebesar Rp1,-.akan memberikan penambahan pendapatan sebesar Rp5,9,-. Dengan angka ini juga memberikan keyakinan kepada petani bahwa dengan teknologi ini akan memberikan peningkatan pendapatan dan keuntungan. Selanjutnya apabila suatu usaha akan dikembangkan dalam skala yang lebih luas sangat layak dengan referensi MBCR tersebut.

Sistem Integrasi Usahatani Padi - Sapi Potong Berbasis Zero Waste

Ciri utama integrasi tanaman ternak adalah adanya sinergisme atau keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dan ternak. Petani memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik untuk tanamannya, kemudian memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak, (Sudiarto 2008). Pengembangan sistem usahatani tanaman-ternak perlu diimbangi dengan peningkatan manajemen sebagai upaya pemanfaatan semua produk tanaman, sehingga tercapai pola zero waste atau tidak ada bagian yang terbuang dan tersedianya sumber pakan dengan biaya murah (zero cost) (Winarso dan Basuno 2013). Hasil kajian menunjukkan bahwa biaya

Page 283: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 251

produksi, penerimaan dan keuntungan pada sistem integrasi usaha tani padi-sapi pada pelaksanaan kegiatan- MP3MI di Kabupaten Barru Tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 47.

Tabel 47. Analisis integrasi usaha tani padi-sapi potong berbasis zero waste di Kabupaten Barru

No Uraian Usahatani Padi/ha

Usahatani sapi (skala 5 ekor)

Usahatani padi + Usahatani Sapi

1 Biaya (Rp) 12.600.000 96.032.500 108.632.5002 Pendapatan (Rp) 31.950.000 159.260.000 191.210.0003 Keuntungan (Rp) 19.350.000 63.227.500 82.577.500

R/C= 1,8Sumber : Data Primer setelah diolah (2015)

Tabel 47 menunjukkan bahwa sistem integrasi usahatani padi-sapi memberikan keuntungan bagi petani dengan nilai R/C 1,8 yang berarti usaha tersebut layak untuk dilakukan. Secara sosial ekonomi sistem integrasi tanaman dan ternak memberikan beberapa kegunaan bagi petani di antaranya: 1) sumber pendanaan dan pendapatan usahatani lebih beragam (hasil penjualan ternak, kompos, POC, dan padi), 2) tabungan dan modal usaha lebih terjamin, 3) konsumsi rumah tangga dapat terpenuhi (beras, biogas, kompos), 4) dukungan terhadap budidaya tanaman (kompos digunakan pada tanaman) (Powell 1986; Thorne dan Tannel 2002).

Ciri utama dari pengintegrasian tanaman dengan ternak adalah terdapatnya keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dengan ternak. Keterkaitan tersebut terlihat dari pembagian lahan yang saling terpadu dan pemanfaatan limbah dari masing masing komponen. Saling keterkaitan berbagai komponen sistem integrasi merupakan faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan (Pasandaran et al. 2005). Dengan kata lain, sistem integrasi tanaman ternak mengemban tiga fungsi pokok yaitu memperbaiki kesejahteraan dan mendorong pertumbuhan ekonomi, memperkuat ketahanan pangan, dan memelihara keberlanjutan lingkungan.

Page 284: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan252

Menurut Priyanti et al. (2001), usaha tani tanaman-ternak skala kecil pada sawah irigasi dengan pengelolaan lahan 0,30–0,64 hektare dan rata-rata jumlah sapi 2 ekor/rumah tangga dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga rata-rata Rp852.170,00/bulan dengan kontribusi usaha peternakan terhadap total pendapatan rumah tangga mencapai 40%.

KEBUTUHAN KELEMBAGAAN DAN DUKUNGAN PEMERINTAH

Model kelembagaan petani yang dapat mendukung kegiatan usahatani mulai dari hulu hingga hilir adalah model yang menggambarkan rangkaian kegiatan ekonomi pertanian dalam sistem agribisnis. Inovasi kelembagaan ini dapat digambarkan melalui beberapa konsep antara lain: 1) Perlunya kelompok tani membentuk kegiatan ekonomi berbasis usaha pertanian atau bidang lain yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir seperti halnya usaha pembibitan, penyediaan input produksi, dan sarana produksi, distribusi, pengolahan, dan pemasaran hasil sedangkan budidaya dan pengumpulan hasil merupakan bagian dari aspek proses produksi, 2) Gapoktan adalah lembaga formal yang dapat difungsikan sebagai organisasi kerja sama antar petani/kelompok tani yang menjembatani (Bridging Organization) jaringan pemasaran antar kelompok tani baik dari dalam maupun luar desa, 3) Perlunya intervensi Pemerintah Daerah dalam penerapan model usahatani terintegrasi.

Dukungan Pemerintah Kabupaten Barru dalam kelanjutan penerapan model integrasi padi dan ternak sapi berbasis zero waste yakni menggerakkan kelompok tani melalui program Unit Pengelola Pupuk Organik (UPPO) oleh Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian. Pengembangannya dalam bentuk melakukan pelatihan pengolahan limbah ternak menjadi kompos bagi penyuluh dan petani. Selain itu pengembangan unit-unit biogas bagi rumah tangga tani. Namun dukungan ini belum maksimal untuk menggerakkan petani dalam melakukan usaha produksi kompos secara menyeluruh disebabkan salah satunya adalah karakter usahatani skala kecil, unit produksi tidak ekonomis dan berorientasi subsisten.

Page 285: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 253

KESIMPULAN1. Model integrasi padi dan ternak sapi berbasis zero waste memiliki

prospek untuk berkembang terkait kebijakan pemerintah yang menetapkan Kabupaten Barru sebagai daerah sentra pemurnian sapi bali dan salah satu wilayah pengembangan tanaman padi di Sulawesi Selatan.

2. Model integrasi padi dan ternak sapi berbasis zero waste meningkatkan pendapatan petani sebesar 20,25% dengan nilai R/C Ratio 1,8 yang berarti usaha ini layak untuk dikembangkan.

3. Penerapan komponen Teknologi PTT padi secara terpadu meningkatkan produksi sebesar 27,29%–31,57%/MT.

4. Kondisi riil di lapangan (tahun 2015) model integrasi padi dan ternak sapi berbasis zero waste belum diadopsi karena : (a) adanya kesenjangan antara kelembagaan petani dengan Penyuluhan Pertanian maupun Pemerintah Daerah, (b) unit usaha komersial yang dapat dikelola Gapoktan sebagai sumber dana (POC Biourine dan kompos) belum mempunyai izin edar produk sehingga terkendala dalam pemasaran, (c) SDM pengelola unit mekanisasi belum memadai, d) skala usaha kecil, unit produksi tidak ekonomis dan berorientasi subsisten. Hal ini sangat membutuhkan intervensi Pemerintah Daerah dalam penerapan model usahatani terintegrasi.

UCAPAN TERIMA KASIHTerima kasih kami ucapkan kepada Dinas Pertanian, Provinsi

Sulawesi Selatan, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Barru, para anggota tim pelaksana kegiatan dan pihak lain yang telah mendukung pelaksanaan kegiatan M-P3MI hingga terbitnya tulisan ini. Semoga inovasi teknologi sistem integrasi padi-sapi potong yang telah diterapkan di tingkat lapang dan termuat pada makalah ini dapat menambah hasanah pengetahuan dan dijadikan rujukan bagi pengembangan usaha peternakan dan tanaman pangan sehingga proses adopsi inovasi teknologi yang dihasilkan oleh Litbang Pertanian yang menjadi tujuan utamanya dapat tercapai.

Page 286: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan254

DAFTAR PUSTAKAAdnyana. 2003. “Pengkajian dan Sintesis Kebijakan Pengembangan

Peningkatan Produktivitas Padi dan Ternak (P3T) ke Depan”. Laporan Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Litbang Pertanian. Bogor.

Anonim. 2013. “Laporan Tahunan, Dinas Pertanian Tanaman pangan dan Hortikul, Kabupaten Barru”.

Anonim. 2013. “Statistik Peternakan. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar”.

Anonim. 2014. “Programa Penyuluhan Pertanian Kecamatan Tanete Rilau”. Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K), Kabupaten Barru

Anonim. 2014. “Profil Kecamatan Tanete Rilau”. Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K), Kabupaten Barru

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Barru. 2014. “Kabupaten Barru Dalam Angka”. BPS Kabupaten Barru

Basir Nappu. 2013. “Laporan Hasil Identifikasi Komoditas Unggulan Sulawesi Selatan”. BPTP Sulawesi Selatan

Bastian, Indra & Suhardjono. 2006. Akuntansi Perbankan. Buku 2. Jakarta: Salemba Empat.

Hardianto, Rully. 2008. “Pengembangan Teknologi Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Model Zero Waste”. http://porotani.wordpress.com. Diakses pada 18 November 2018 pukul 12.10 WIB.

Irawan, B. 2004. “Kelembagaan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani)”. Makalah (yang telah disempurnakan) disampaikan pada Workshop Prima Tani, yang diselenggarakan oleh Badan Litbang pertanian di Ciawi, 2004. Pusat Penelitian dan pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Koentjaraningrat. 1990. Metode-Metode Penelitian Kemasyarakatan. Jakarta: Gramedia Pustaka

Komar, A. 1984. Teknologi Pengolahan Jerami Sebagai Makanan Ternak. Bandung: Yayasan Dian Grahita

Page 287: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 255

Kusnadi, U. 2007. “Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak (SITT) untuk menunjang swasembada daging sapi tahun 2010”. Orasi pengukuhan profesor riset bidang sosial ekonomi peternakan . Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Lakitan, B. 2009. “Kontribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan 1”. Makalah Utama pada Seminar Hari Pangan Sedunia, Jakarta 12 Oktober 2009.Kementerian Negara Riset dan Teknologi.http://benyaminlakitan.files.wordpress.com/2012 /04/20091012-makalah-hari-pangan-sedunia.pdf

Litbang Pertanian. 2014. “Pedoman Umum PTT Padi Sawah”. Kementerian Pertanian, Jakarta.

Manwan. 1989. “Farming sistems research in Indonesia: its evolution and future out look”. In: Sukmana et al. (eds). Development in Procedures for farming System Research: Proceeding of an international Workshop. Agency for Agricultural Research and Development, Indonesia

Pasandaran E., Djajanegara A., Kariyasa K., dan Kasryno F. 2005. “Kerangka Konseptual Integrasi Tanaman-Ternak Di Indonesia. Integrasi Tanaman-Ternak Di Indonesia”. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.

Putranto A. 2003. “Pemanfaatan urin sapi Bali untukpembuatan pupuk organik cair di Dusun Ngandong, Desa Girikerto, Kec. Turi, Kab. Sleman DIY”. Tesis Yogyakarta (Indonesia)]: Universitas Gadjah Mada

Powell,JM. 1986. “Manure for cropping : A Case study from central Nigeria”. dalam Exp.Agric. 22:15-24

Priyanti A, Kostaman T, Haryanto B, Diwyanto K. 2001. “Kajian nilai ekonomi usaha ternak sapi melalui pemanfaatan jerami padi”. dalam Wartazoa 11(1): 28-35.

Sudiarto, Bambang. 2008. “Pengelolaan Limbah Peternakan Terpadu dan Agribisnis yang Berwawasan Lingkungan”. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bandung.

Supardi Rusdiana, Umi Adiati & Rijanto Hutasoit. 2016. “Analisis ekonomi usaha ternak sapi potong berbasis agroekosistem di Indonesia”. dalam Jurnal Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian 5 (2) tahun 2016

Page 288: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan256

www.gerbangpertanian.com/2010/07/amoniasi-jerami-padi-sebagai-pakan.html diakses November 201

Weston, J. Fred & Copeland, Thomas E. 1995. Managerial Finance. 9th ed. A. Jaka Wasana MSM & Kibrandoko MSM. (Penerjemah). Manajemen Keuangan Edisi Kesembilan Jilid 1. Binarupa Aksara. Jakarta Barat. Indonesia

Winarso B dan E Basuno. 2013. “Pengembangan pola integrasi tanaman-ternak merupakan bagian upaya mendukung usaha pembibitan sapi potong dalam negeri”. dalam Forum Penelitian Agroekonomi 31(2) Desember 2013 : 151-169

Page 289: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

PROSPEK PENGEMBANGAN MEKANISASI (MESIN TANAM PINDAH BIBIT PADI DAN

MESIN PEMANEN PADI) PADA USAHATANI PADI DI LAHAN SAWAH IRIGASI

Tota Suhendrata dan Ekaningtyas Kushartanti

PENDAHULUANProvinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi penyangga

pangan (padi) Nasional yaitu berada di posisi ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Barat dalam penyediaan beras dengan kontribusi rata-rata 15,59%. Kendala yang dihadapi di beberapa sentra produksi padi di Jawa Tengah antara lain (1) keterbatasan tenaga kerja di bidang pertanian khususnya tenaga kerja tanam pindah bibit padi sehingga sering terjadi tanam tidak serempak/serentak. Kegiatan tanam bibit padi memerlukan tenaga kerja sekitar 25% dari seluruh kebutuhan tenaga kerja budidaya padi dan tenaga panen padi sehingga sering terjadi keterlambatan panen yang berakibat pada kuantitas dan kualitas gabah, (2) masih tingginya susut panen padi sekitar 10,56%, (3) alih fungsi lahan sawah ke nonpertanian 376 ha/tahun, dan (4) menurunnya minat generasi muda pada usaha sektor pertanian. Kendala tersebut dapat mengancam keseragaman waktu tanam, peningkatan produktivitas dan susut panen tanaman padi di suatu hamparan atau wilayah yang pada akhirnya akan mengganggu tercapainya target swasembada beras nasional. Salah satu strategi untuk mengatasi ancaman tersebut adalah dengan penerapan/pemanfaatan teknologi mekanisasi padi yaitu mesin tanam pindah bibit padi (rice transplanter), dan mesin pemanen padi (combine harvester). Penerapan mesin-mesin tersebut diharapkan dapat (i) meningkatkan produktivitas lahan dan produktivitas tenaga kerja, (ii) mempercepat dan mengefisiensikan proses tanam dan panen, dan (iii) menekan biaya produksi (Badan Litbang Pertanian 2013).

Tambunan dan Sembiring (2007) menyatakan bahwa pembangunan pertanian dewasa ini tidak lagi dapat dilepaskan dari perkembangan teknologi alat dan mesin pertanian (Alsintan). Berbagai

Page 290: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan258

kajian menyimpulkan bahwa alat dan mesin pertanian merupakan kebutuhan utama sektor pertanian sebagai akibat dari kelangkaan tenaga kerja di pedesaan. Alat dan mesin pertanian berfungsi antara lain untuk mengisi kekurangan tenaga kerja manusia dan ternak yang semakin langka dengan tingkat upah semakin mahal, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, meningkatkan efisiensi usaha tani melalui penghematan tenaga, waktu dan biaya produksi serta menyelamatkan hasil dan meningkatkan mutu produk pertanian (Unadi dan Suparlan 2011).

Pada saat ini, mekanisasi pertanian pada usahatani padi sawah masih terbatas pada penggunaan alat dan mesin olah tanah (hand tractor), pengairan pada musim kemarau (pompa air), penyemprotan (sprayer), dan perontok (power/pedal thresher), sedangkan untuk alat dan mesin persemaian (tray dan seeder), tanam (rice transplanter), penyiang (weeder), penyemprotan (battery sprayer), dan panen (combine harvaster) belum banyak digunakan.

Penggunaan alat dan mesin pertanian pada proses produksi dan pascaproduksi atau pascapanen dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, produksi, kualitas hasil, dan mengurangi beban kerja petani. Penanganan pascapanen ditujukan untuk menyelamatkan hasil padi dari kehilangan pada saat panen hingga disimpan di tempat penyimpanan. Kehilangan hasil tertinggi pada umumnya terjadi pada tahapan pemanenan dan perontokan. Di tingkat petani, panen dilakukan dengan sistem keroyokan yang menyebabkan banyaknya kehilangan hasil panen. Titik kritis kehilangan hasil terjadi pada tahap pemanenan dan perontokan dengan kontribusi maing-masing sebesar 9,19 % dan 4,95 % (Nugraha et al. 1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa panen yang dilakukan terlambat dari kondisi gabah masak optimal akan meningkatkan kehilangan hasil. Menurut Ruiz dalam Ananto et al. (2003) kehilangan hasil bisa mencapai 5,63%; 8,64 %; 40,70 % dan 60,45% masing-masing untuk keterlambatan pemanenan 1, 2, 3 dan 4 minggu. Tertundanya panen/ perontokan merupakan awal penurunan mutu gabah dan beras. Tingginya kadar butir kuning merupakan salah satu bukti adanya penundaan perontokan dan penumpukan (Ananto et al. 2000). Kehilangan hasil akibat penundaan panen selama sehari saja pada varietas Cisadane panen pada musim hujan mencapai 10,8% bahkan penundaan selama 3 hari mencapai 22,9% (Damardjati et al. 1989).

Page 291: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 259

Pengembangan teknologi pertanian seperti mesin tanam pindah bibit padi, dan mesin pemanen padi di suatu wilayah harus mempertimbangkan kelayakan teknis, ekonomi (finansial), dan sosial budaya masyarakat. Dalam hal ini selain teknologi tersebut mudah diterapkan, juga harus memberikan dampak yang positif dalam peningkatan perekonomian masyarakat dan memperhatikan kondisi sosial-budaya masyarakat untuk menghindari adanya proses penggusuran tenaga kerja petani. Diharapkan dengan penerapan teknologi ini dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi, kuantitas dan kualitas hasil panen (gabah) dibandingkan dengan penggunaan teknologi eksisting.

TAHAPAN DISEMINASIDalam mempercepat proses adopsi teknologi mekanisasi pada

usahatani padi melalui Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI) Berbasis Mekanisasi di Lahan Sawah Irigasi Kabupaten Sragen dilakukan melalui strategi (i) Sosialisasi dan implementasi inovasi teknologi mesin tanam bibit padi (rice transplanter), dan mesin panen padi (combine harvester) melalui uji adaptasi dan percontohan, (ii) Diseminasi teknologi mekanisasi melalui sistem diseminasi multi channel menggunakan metode/media: pertemuan, tatap muka, unit percontohan, temu lapang, media cetak (brosur, leaflet, poster) dan media elektronik (VCD), dan (iii) Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia melalui kursus/pelatihan, studi banding dan pemberdayaan sumberdaya manusia melalui bimbingan baik dalam kemampuan teknis produksi maupun kemampuan dalam manajemen usaha.

Diseminasi mekanisasi melalui metode pelatihan teori dan praktik, demplot/percontohan, dan temu lapang cukup efektif untuk meningkatkan pengetahuan penyuluh, pengurus gapoktan dan poktan serta petani (Kushartanti dan Suhendrata 2015; Chanifah et al. 2015; Kushartanti et al. 2015). Dalam pelaksanaan sosialisasi, implementasi dan peningkatan kapasitas sumberdaya manuasi (petani/pelaku) tidak berdiri sendiri melainkan merupakan bagian atau rangkaian yang tak terpisahkan dari suatu kegiatan.

Page 292: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan260

SosialisasiKegiatan sosialisasi bertujuan untuk memperkenalkan mesin

tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi kepada petani dan penyuluh pertanian. Dalam sosialisasi disampaikan tentang (i) pentingnya penerapan mekanisasi pada usahatani padi, (ii) inovasi teknologi mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi, dan (iii) persemaian bibit padi menggunakan dapog/(tray).

a. Sosialisasi mesin tanam bibit padi (rice transplanter)Mesin tanam pindah bibit padi (rice transplanter) adalah jenis

mesin penanam padi yang dipergunakan untuk menanam bibit padi yang telah disemaikan pada areal khusus dengan umur tertentu, dan dioperasikan pada areal tanah sawah kondisi siap tanam. Berdasarkan sistem tanam terdapat dua tipe mesin tanam pindah bibit padi yaitu sistem tanam tegel dan mesin tanam pindah bibit padi sistem tanam jajar legowo 2:1 (jarwo transplanter). Manfaat penerapan mesin tanam pindah bibit padi antara lain untuk (i) meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga kerja tanam, (ii) mempercepat dan mengefisiensikan proses tanam, (iii) menekan biaya tanam dan (iv) meningkatkan kualitas hasil tanam.

Dalam implementasi mesin tanam bibit pindah padi ada beberapan persyaratan, yaitu persyaratan bibit padi dan lahan sawah. Persyaratan bibit padi siap tanam antara lain jumlah daun 3–4 helai, tinggi 12–18 cm, umur bibit 12–18 hari setelah sebar (HSS), kerapatan merata 2–3 bibit/cm2, pertumbuhan bibit merata dan seragam, ketebalan tanah 2,0–2,5 cm, akar warna putih dan saling berkait sehingga dapat digulung seperti menggulung karpet. Kriteria lahan sawah siap tanam menggunakan mesin tanam pindah bibit padi antara lain: lahan datar, terolah sempurna, level ketinggian di satu petak kurang dari 40 cm, ketinggian genangan air 1–3 cm (air macak-macak), kedalaman lumpur kurang dari 40 cm. Untuk tanah lempungan perlu pengendapan sekitar 1–2 hari sedangkan untuk tanah pasiran tidak diperlukan pengendapan.

Secara teknis, pengoperasian mesin tanam pindah bibit padi, baik sistem tanam tegel maupun sistem tanam jajar legowo 2:1 mudah dioperasikan di lahan sawah dangkal dengan kedalaman lumpur kurang dari 40 cm, wilayah operasi cukup luas (Suhendrata dan Prasetyo 2018). Jumlah tenaga yang terlibat secara langsung hanya 3

Page 293: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 261

orang terdiri dari satu orang operator atau yang mengoperasikan mesin tanam bibit padi, satu orang penyedia/pengangkut bibit dan satu orang penyulam rumpun yang kosong. Kapasitas kerja mesin tanam pindah bibit padi dipengaruhi oleh kondisi lahan antara lain luas petakan, kedalaman lumpur, dan keterampilan operator. Ditinjau dari aspek tenaga kerja, produktivitas, dan kualitas tanam menunjukkan bahwa kinerja mesin tanam bibit padi lebih baik dibandingkan dengan cara tanam konvensional (Tabel 48). Penggunaan mesin tanam bibit padi lebih efisien dibandingkan dengan cara konvensional (Dinpertan TPH Provinsi Jawa Tengah 2012).

Tabel 48. Kinerja mesin tanam pindah bibit padi dan cara tanam konvensional

Parameter Mesin tanam bibit padi KonvensionalJumlah tenaga kerja 3 orang 10–15 orangProduktivitas 6–7 jam/ha 8–10 jam/haKualitas tanam konsisten kurang konsistenKontrol tenaga kerja mudah sulit

Sumber: Kushartanti dan Suhendrata (2014)

Beberapa keunggulan mesin tanam pindah bibit padi sistem tanam tegel antara lain (1) produktivitas tanam cukup tinggi 6–7 jam/ha, (2) jarak tanam dalam barisan dapat diatur misal ukuran 12, 14, 16, 18, dan 21 cm (bergantung merek mesin), (3) penanaman yang presisi (akurat), (4) tingkat kedalaman tanam dapat diatur dari 0,7–3,7 cm (5 level kedalaman), (5) jumlah tanaman dalam satu lubang berkisar 2–4 tanaman dan (6) jarak dan kedalaman tanam seragam sehingga pertumbuhan dapat optimal dan seragam. Sedangkan keunggulan mesin tanam pindah bibit padi sistem tanam jajar legowo 2:1 relatif sama dengan mesin tanam pindah bibit padi sistem tanam tegel, perbedaan terdapat pada jarak tanam yaitu 20 x 10/13/15 x 40 cm untuk mesin tanam pindah bibit padi sistem tanam jajar legowo 2:1 dan 30 x 12/14/16/18/21 cm untuk mesin tanam pindah bibit padi sistem tanam tegel. Di samping keunggulan, mesin tanam pindah bibit padi mempunyai beberapa kelemahan antara lain (1) jarak tanam antar barisan 30 cm untuk mesin tanam pindah bibit padi sistem tanam tegel dan jarak antar barisan 20 cm dan legowo 40 cm untuk mesin tanam pindah bibit padi sistem tanam jajar legowo 2:1 tidak dapat diubah, (2) tidak bisa dioperasionalkan pada kedalaman sawah lebih

Page 294: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan262

dari 40 cm, (3) untuk membawa mesin ke sawah atau ke tempat lain diperlukan alat angkut, (4) perlu bibit dengan persyaratan khusus, dan (5) harga masih relatif mahal sehingga belum terjangkau petani.

b. Sosialisasi mesin pemanen padi (combine harvester)Panen padi di Jawa Tengah pada umumnya dilakukan dengan 3

cara, yaitu (1) Secara manual atau konvensional: batang padi dipotong dengan sabit kemudian dirontok menggunakan cara gebot atau pedal thresher, (2) Secara mekanik: batang padi dipotong dengan mesin reaper atau mower paddy selanjutnya dirontok menggunakan power thresher, dan (3) Campuran manual dan mekanik: batang padi dipotong dengan sabit kemudian dirontok secara mekanis menggunakan power thresher. Panen secara manual selain menyebabkan kehilangan hasil panen cukup tinggi juga memerlukan waktu cukup lama dan tenaga kerja yang banyak yaitu memerlukan waktu satu hari dengan tenaga 20–25 orang/ha, di samping itu apabila sabit yang digunakan kurang tajam dapat menimbulkan kontraksi yang akan memperbesar susut hasil karena tercecer/rontok di lahan (Suhendrata dan Prasetyo 2018). Menurut Nugraha et al. (1993), titik kritis kehilangan hasil terjadi pada tahap pemanenan dan perontokan padi dengan kontribusi masing-masing sebesar 9,19 % dan 4,95 %. Apabila kehilangan ini dapat ditekan terutama pada proses panen dan perontokan maka produksi padi (beras) dapat ditingkatkan.

Salah satu strategi peningkatan produksi padi antara lain melalui pengamanan produksi yaitu mengurangi kehilangan atau susut (losses) hasil pada saat penanganan panen dan pascapanen. Pemanenan padi berhubungan erat dengan proses peningkatan produksi, karena salah satu aspek untuk meningkatkan produksi adalah pengurangan kehilangan hasil/produksi pada waktu panen dan perontokan. Pada tahun 2013 telah diintroduksikan panen padi secara mekanis menggunakan mesin pemanen padi yang menyatukan kegiatan pemotongan, perontokan dan pembersihan padi (gabah) dari kotoran serta pengarungan gabah dilakukan oleh mesin dalam sekali proses kerja di lapangan atau lebih dikenal dengan sebutan combine harvester. Diharapkan penggunaan mesin pemanen padi ini, selain dapat menekan kehilangan hasil, meningkatkan efisiensi waktu dan menekan biaya panen, juga merupakan salah satu alternatif mengantisipasi kelangkaan tenaga kerja panen padi sehingga tidak terjadi keterlambatan atau penundaan panen padi.

Page 295: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 263

Panen menggunakan mesin pemanen padi (combine harvester) dapat menghemat tenaga, waktu, dan biaya panen. Regu panen (tenaga panen dan perontokan menggunakan power thresher) memerlukan tenaga 15–25 orang dan waktu satu hari untuk memanen padi seluas ±1 ha. Sedangkan menggunakan mesin pemanen padi ukuran besar hanya memerlukan tenaga kerja 5–6 orang (1 orang operator, 2 orang pengisian gabah ke dalam karung dan 2–3 orang pengangkut gabah dari sawah ke pinggir jalan) dan waktu 2,5–3 jam/ha. Kecepatan panen sangat tegantung pada luas petakan dan keterampilan operator. Selain hemat dalam tenaga kerja, waktu dan biaya panen, hasil (gabah) lebih bersih dibandingkan dengan hasil mesin perontok padi (power thresher). Hasil wawancara dengan penebas padi mengatakan bahwa panen menggunakan mesin pemanen padi dapat meningkatkan hasil rata-rata 1–2,5% dan gabah lebih bersih sehingga harga gabah lebih tinggi Rp150–Rp 200 per kg.

Berdasarkan ukuran, mesin pemanen padi dapat dibedakan menjadi 3 ukuran yaitu ukuran kecil (mini), sedang dan besar.

1. Mesin pemanen padi ukuran kecil (mini combine harvester) Prinsip kerja mesin pemanen padi ukuran kecil adalah memotong

batang padi, membawa potongan batang padi ke perontok, merontok, memisah dan membersihkan gabah dan sekaligus pengarungan gabah. Seluruh rangkaian/tahapan kegiatan ini dilakukan oleh mesin dalam sekali proses kerja di lapangan. Pada mesin pemanen padi ukuran kecil tidak dilengkapi penampung (tangki) gabah. Jumlah jalur pemotongan mesin pemanen ukuran kecil adalah berkisar dari 2–5 jalur tanaman padi. Mesin pemanen padi ukuran kecil pada umumnya digerakkan dengan tenaga motor berkekuatan antara 10–20 HP. Kecepatan panen 0,5–0,7 ha/hari, hasil gabah lebih bersih dibandingkan hasil gabah panen secara konvensional dengan perontokan padi menggunakan power thresher. Mesin pemanen padi ukuran kecil dioperasikan oleh 1 orang operator dan 2–3 orang pembantu untuk pengisian gabah ke dalam karung dan pengangkutan ke pinggir jalan. Walaupun kapasitas kerjanya rendah tetapi dapat digunakan untuk pemanenan padi hampir di semua lahan sawah karena ukuran yang relatif kecil dan lebih ringan sehingga bersifat lebih mudah dipindahkan (mobil) dan dapat dioperasionalkan di lahan sawah kondisi basah dan kering.

Page 296: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan264

Mesin pemanen padi ukuran kecil dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu tipe operator dorong/jalan (walking) dan tipe operator duduk menyetir (riding) (Suhendrata 2015; Suhendrata 2016).

Keunggulan mesin pemanen padi ukuran kecil (mico harvester) rakitan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dibandingkan mesin pemanen padi lainnya terletak pada daya tekan (ground pressure), yaitu tekanan micro harvester ke tanah hanya 0,11 kg/cm2, daya tekan mesin pemanen padi lainnya umumnya 0,2 kg/cm2 dan daya tekan kaki manusia 0,25 kg/cm2. Keunggulan ini menjadikan micro harvester cocok dengan kondisi lapangan yang dihadapi petani. Micro harvester dapat dioperasionalkan pada musim tanam pertama (MT-1) dan kedua (MT-2) pada kondisi lahan sawah becek dan MT-3 pada kondisi lahan sawah kering. Di samping itu, dengan ukuran mungil dan daya tekan rendah, mico harvester dapat leluasa bermanuver di jalan sempit dan becek tanpa ambles (Astu dalam Anugrah 2015).

2. Mesin pemanen padi ukuran sedang Prinsip kerja mesin pemanen padi ukuran sedang sama

seperti mesin pemanen padi ukuran kecil, yaitu bekerja mulai dari proses pemotongan, pengumpanan, perontokan, pemisahan dan pembersihan, sekaligus melakukan penampungan gabah bersih dalam tangki gabah, yang dapat menampung 74-130 kg gabah bersih. Pada mesin pemanen padi ukuran sedang pada umumnya dilengkapi blower dan ayakan untuk pembersihan gabah. Mesin pemanen padi ukuran sedang digerakkan dengan tenaga motor berkekuatan 20–40 HP. Kecepatan panen 0,6–1,5 ha/hari dan hasil gabah lebih bersih dibandingkan hasil gabah mesin pemanen padi ukuran kecil. Mesin pemanen padi ukuran sedang efektif dan efisien dioperasikan di lahan sawah sempit pada kondisi lahan sawah agak basah atau pada MT-2 dan kondisi lahan sawah kering atau pada MT-3. Jumlah pekerja yang berada di atas mesin pemanen padi ukuran sedang 2 orang (1 orang operator/pengemudi dan 1 orang pengisian gabah ke dalam karung) dan 1–2 orang tenaga pengangkut gabah dari lahan sawah ke pinggir jalan (Suhendrata 2015). Salah satu mesin pemanen padi ukuran sedang (indo combine harvester) hasil rakitan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dirancang untuk mendukung pencapaian program swasembada beras nasional melalui usaha penurunan susut hasil panen. Kemampuan kerja mesin

Page 297: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 265

tersebut mampu menggabungkan kegiatan potong – angkut – rontok – pembersihan – sortasi –pengantongan dalam satu proses kegiatan yang terkontrol. Adanya proses kegiatan panen yang tergabung dan terkontrol menyebabkan susut hasil yang terjadi hanya sebesar 1,87 % atau berada di bawah rata-rata susut hasil metode “gropyokan” (sekitar 10%). Sedangkan tingkat kebersihan gabah panen yang dihasilkan oleh mesin tersebut mencapai 99,5%. Mesin pemanen padi ukuran sedang indo combine harvester dioperasikan oleh 1 orang operator dan 2 pembantu yang mampu menggantikan tenaga kerja panen sekitar 50 HOK/ha. Kapasitas kerja mesin mencapai 5 jam per hektare (Balitbangtan 2013; Suhendrata 2016).

3. Mesin pemanen padi ukuran besar Mesin pemanen ukuran besar bekerja mulai dari proses

pemotongan, pengumpanan, perontokan, pemisahan dan pembersihan, juga sekaligus melakukan penampungan gabah bersih dalam tangki gabah. Kapasitas tangki gabah dapat menampung 250–300 kg gabah bersih. Kecepatan panen 0,3–0,5 ha/jam. Mesin pemanen padi ukuran besar digerakkan dengan tenaga motor berkekuatan di atas 40 HP.

Mesin pemanen padi ukuran besar efektif dan efisien dioperasikan di lahan sawah datar dan lebar/luas pada musim kemarau atau MT-3 pada kondisi lahan sawah kering. Jumlah pekerja yang berada di atas mesin pemanen padi 3 orang (1 orang operator/pengemudi dan 2 orang pengisian gabah ke dalam karung) dan 2–3 orang tenaga pengangkut gabah dari lahan sawah ke pinggir jalan. Kecepatan panen 2–3 jam/ha jauh lebih cepat dari mesin pemanen padi ukuran kecil dan sedang, kehilangan hasil kurang dari 2% dan hasil panen lebih bersih dari mesin pemanen padi ukuran kecil dan sedang (Suhendrata 2015; Suhendrata 2016).

Pelatihan Pelatihan adalah suatu kegiatan pembelajaran yang terprogram

dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan peserta (Bosker 1997). Menurut Mondy dan Noe (1996), pelatihan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan keahlian, pengetahuan, dan sikap dalam rangka meningkatkan kinerja saat ini

Page 298: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan266

dan masa yang akan datang. Dengan demikian, pelatihan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan peserta sehingga kinerjanya dapat meningkat sesuai kebutuhan.

Dalam kegiatan pelatihan metode dan materi pelatihan disesuaikan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan zaman (perkembangan/dinamika di lapang). Pelatihan merupakan upaya meningkatkan diri, baik dalam aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Kushartanti dan Suhendrata 2015a). Di sisi lain, mengikuti kegiatan pelatihan tidak hanya mendapatkan ilmu pengetahuan saja, akan tetapi peserta sangat dimungkinkan untuk mendapatkan aspek lain yang berguna untuk meningkatkan kemampuannya. Aspek lain tersebut di antaranya: berinteraksi dengan narasumber (instruktur) pelatihan, berbagi (sharing) pengalaman dengan sesama peserta, memperoleh energi baru (motivasi) untuk belajar, serta informasi terbaru lainnya yang diperlukan dalam penyuluhan (Anwas 2013).

Tujuan pelaksanaan pelatihan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan peserta tentang tanam bibit padi menggunakan mesin tanam bibit padi (rice transplanter) dan mesin pemanen padi (combine harvester). Kegiatan pelatihan petani tentang tanam bibit padi menggunakan mesin tanam bibit padi dan mesin pemanen padi dinilai efektif apabila petani/peserta (i) paham tentang materi pelatihan (pengetahuan petani meningkat tentang mesin tanam bibit padi dan mesin pemanen padi), dan (ii) petani mempunyai sikap/persepsi positif terhadap materi pelatihan dan (iii) materi pelatihan bermanfaat dalam penerapan mesin tanam bibit padi dan mesin pemanen padi dalam usahatani padi (Kushartanti dan Suhendrata 2015).

a. Pelatihan pembuatan kotak tempat persemaian (dapog/tray)Dapog adalah kotak persemaian dibuat dari plastik, besi atau

kayu dengan ukuran tergantung dari jenis/tipe mesin tanam bibit padi, yaitu ukuran panjang 58 x lebar 28 x tinggi 3 cm untuk sistem tanam tegel dan 58 x 18 x 3 cm untuk sistem tanam jajar legowo 2:1, perbedaan ukuran hanya terletak pada ukuran lebar dapog. Untuk luas tanam satu hektare memerlukan 200 buah dapog (tray) ukuran 58 x 28 x 3 cm untuk mesin tanam pindah bibit padi sistem tanam

Page 299: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 267

tegel dan 300 dapog ukuran 58 x 18 x 3 cm untuk mesin tanam pindah bibit padi sistem tanam jajar legowo 2:1, sedangkan dapog bawaan mesin (pabrikan) hanya 100 buah/mesin dan harganya relatif mahal.

Tujuan dari pelatihan ini adalah agar petani dapat membuat dapog sebagai alternatif pengganti dapog pabrikan dalam mengisi kekurangan dapog. Dapog alternatif dibuat ada 2 macam yaitu dapog tanpa alas (dapog tetap/fix/tidak dapat dipindah) dan dapog dengan alas (fleksibel/dapat dipindah). Bahan dapog alternatif terbuat dari bahan kayu reng ukuran lebar 2 cm dan tinggi 3 cm untuk frame dapog dan alas atau dasar dapog terbuat dari fiberglas yang diberi lubang dengan jarak antar lubang ±5 cm.

b. Pelatihan pembuatan persemaian menggunakan dapogPersemaian merupakan salah satu titik kritis dalam tanam bibit

padi menggunakan mesin tanam bibit padi. Keberhasilan tanam menggunakan mesin tanam bibit padi sangat bergantung pada keberhasilan pembutan peresemaian. Persemaian untuk mesin tanam bibit padi dilakukan menggunakan dapog (tray).

Tanam pindah bibit padi menggunakan mesin tanam bibit padi memerlukan persyaratan bibit padi siap tanam antara lain jumlah daun 3–4 helai, tinggi 12–18 cm, umur bibit 12–18 hari setelah sebar (HSS), kerapatan merata 2–3 bibit/cm2, pertumbuhan bibit merata dan seragam, ketebalan tanah 2,0–2,5 cm, akar warna putih saling berkait sehingga dapat digulung seperti menggulung karpet. Untuk mendapatkan bibit tersebut diperlukan persemaian khusus yaitu persemaian sistem dapog. Dengan demikian, pengguna/pengelola mesin tanam pindah bibit padi perlu beradaptasi terhadap penyiapan bibit padi (persemaian) tersebut karena caranya berbeda dengan metode persemaian saat ini.

Sistem persemaian padi menggunakan dapog dapat dilaksanakan dengan 3 cara yaitu (1) persemaian sistem kering di luar lahan sawah, biasa dilakukan di pekarangan rumah, (2) persemaian sistem basah di lahan sawah, dan (3) campuran yaitu persemaian sistem kering dan basah (Suhendrata 2015a). Pemilihan sistem persemaian dipengaruhi beberapa faktor antara lain ketersediaan lahan persemaian dan dapog, contoh persemaian menggunakan dapog di Desa Jetak (lokasi MP3MI)

Page 300: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan268

menerapkan sistem campuran, yaitu sistem kering di pekarangan rumah selama 4 hari kemudian dipindah ke lahan sawah sampai bibit siap tanam menggunakan dapag fleksibel, Desa Ngarum (lokasi pengembangan) menerapkan sistem kering di pekarangan rumah menggunakan dapog fleksibel dan dapog fix, dan Desa Sidowayah Klaten menerapkan sistem basah menggunakan dapog fleksibel dan dapog fix.

c. Pelatihan pengoperasian mesin tanam pindah bibit padiSalah satu faktor penentu keberhasilan tanam menggunakan

mesin tanam pindah bibit padi adalah keterampilan operator atau orang yang mengemudikan mesin tersebut. Semakin terampil operator, hasil tanam lebih baik dan waktu tanam lebih cepat.

Secara teknis, pengoperasian mesin tanam pindah bibit padi baik sistem tanam tegel maupun sistem tanam jajar legowo 2:1 relatif mudah dan sederhana. Jumlah tenaga yang terlibat secara langsung hanya 3 orang terdiri dari satu orang operator atau pengemudi mesin tanam bibit padi, satu orang penyedia/pengangkut bibit dan satu orang penyulam rumpun yang kosong. Pengoperasian mesin tanam pindah bibit padi relatif sama dengan mengoperasikan traktor roda dua (hand tractor), apabila sudah terampil mengoperasikan traktor roda dua, maka akan lebih mudah menyesuaikan dengan pengoperasian mesin tanam pindah bibit padi.

Tuas-tuas operasional mesin tanam pindah bibit padi terdiri dari saklar on/off, choke engine, gas, tanam, pengaturan kedalaman tanam, pengaturan jumlah bibit per tancap, kopling utama, kopling belok kiri dan kanan, maju dan mundur.

Sebelum mesin tanam pindah bibit padi digunakan perlu dilakukan persiapan dan pengaturan yaitu (1) Pengecekan reguler terdiri dari BBM (bensin), sistem transmisi, tuas pengoperasian, gerakan dari masing komponen, periksa kekencangan baut, periksa apakah ada kebocoron minyak, dan (2). Pengaturan sebelum tanam terdiri dari pengaturan jarak tanam dalam barisan, kedalaman tanam bibit padi, jumlah pengambilan bibit padi per rumpun dan kedalaman roda penggerak disesuaikan dengan kedalaman lumpur (dangkal, medium dan dalam). Adapun cara operasional mesin tanam pindah bibit padi sebagai berikut: (1) Siapkan bibit padi usia siap tanam

Page 301: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 269

(12–18 hari), (2) Taruh bibit pada meja bibit, (3) putar roda bintang kearah bawah agar bibit benar-benar terletak pada ujung meja bagian bawah, (4) Pasang handel utama pada posisi netral, (5) Hidupkan mesin dan atur putaran mesin sesuai kebutuhan, (6) Pasang handel tanam pada posisi on, (7) Pasang handel kecepatan jalan pada posisi tanam, (8) Pasang handel utama pada posisi on, (9) Apabila akan belok pasang handel tanam pada posisi off, dan (10) Gunakan kopling belok sesuai arah belok (belok ke kiri tekan kopling belok sebelah kiri dan sebaliknya).

IMPLEMENTASI DISEMINASIUntuk memperkenalkan dan memasyarakatkan penerapan

mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi kepada petani, dilaksanakan kegiatan diseminasi teknologi dengan metode Demonstrasi Plot (Demplot) dan Temu Lapang. Demplot penerapan mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi merupakan peragaan kegiatan budidaya padi dari mulai persemaian bibit padi dalam dapog, tanam padi menggunakan mesin tanam pindah bibit padi sampai pelaksanaan panen padi menggunakan mesin pemanen padi.

Implementasi penerapan mesin tanam bibit padi dilakukan dalam bentuk uji adaptasi dan percontohan (demplot) bertujuan untuk menunjukan daya penyesuaian dengan kondisi setempat dan keunggulan dari teknologi yang diterapkan. Dalam praktik implementasi digunakan 2 mesin tanam bibit padi yaitu mesin tanam sistem tanam tegel 4 baris dengan jarak tanam 30 x 18 cm dan mesin tanam sistem tanam jajar legowo 2:1 4 baris dengan jarak tanam 20 x 15 x 40 cm dibandingkan dengan tanam cara manual menggunakan alat bantu blak bambu. Percontohan selain untuk menunjukkan keunggulan dari teknologi yang diterapkan juga merupakan wahana belajar bagi petugas pertanian dan petani dalam penerapan mesin tanam bibit padi mulai dari pembuatan kotak persemaian (dapog), pembuatan persemaian menggunakan dapog, pengolahan lahan, pengoperasian mesin tanam pindah bibit dan pemanen padi. Kinerja mesin tanam pindah bibit padi sangat bergantung pada (1) kondisi lahan sawah yaitu kedalaman lahan dan luasan petakan. Lahan sawah yang dangkal dan petakan luas kinerja mesin semakin cepat, dan (2) keterampilan operator.

Page 302: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan270

Pada waktu panen dilakukan penerapan 3 ukuran mesin pemanen padi, yaitu ukuran kecil model Micro Harvester (Balitbangtan), sedang model Hornet (Crown) dan besar model CCH 2000 Star (Crown).

Pada awal (waktu tanam) dan akhir (panen) dari kegiatan percontohan dilakukan temu lapang. Temu Lapang merupakan media pertemuan antara petani, penyuluh dan peneliti untuk saling tukar-menukar informasi. Peneliti menyampaikan substansi teknologi yang didiseminasikan/diperkenalkan, dan petani/penyuluh menyampaikan umpan balik. Tujuan temu lapang pada kegiatan penerapan mesin tanam bibit padi dan mesin pemanen padi adalah untuk (i) Mendiseminasikan/memperkenalkan teknologi mesin tanam bibit padi dan mesin pemanen padi di kalangan petani dan penyuluh, (ii) Membuka kesempatan bagi petani dan penyuluh, untuk mendapatkan informasi mengenai penerapan mesin tanam bibit padi dan mesin pemanen padi dari peneliti, (iii) Membuka kesempatan bagi para peneliti untuk mendapatkan respons dan umpan balik dari hasil penerapan mesin tanam bibit padi dan mesin pemanen padi dari petani dan penyuluh, dan (iv) Menjalin hubungan antara peneliti, penyuluh dan petani (Kushartanti et al. 2015). Selanjutnya, dikatakan bahwa metode demplot dan temu lapang efektif digunakan untuk pemasyarakatan penerapan mesin tanam pindah bibit padi.

Penerapan mesin tanam bibit padi dan mesin pemanen padi mendapat respon positif dari petani. Petani tertarik dengan kinerja dan keragaan mesin tanam pindah bibit padi. Mesin tanam bibit padi ini merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi kelangkaan tenaga tanam, mampu mengurangi waktu kerja, jumlah tenaga kerja persatuan luas lahan, dan mampu menekan biaya tanam. Secara finansial penerapan mesin tanam bibit padi menguntungkan, baik bagi pengelola jasa (perorangan, poktan, gapoktan atau UPJA) maupun pengguna jasa (petani) sehingga layak dan mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan terutama di wilayah yang mengalami kelangkaan tenaga kerja tanam (Kushartanti dan Suhendrata 2013; Kushartanti dan Suhendrata 2013). Petani tertarik dengan kinerja yang ditunjukkan mesin pemanen padi dalam hal kemampuannya menghasilkan gabah kering panen (GKP) yang lebih bersih, waktu panen cepat dan menggunakan tenaga kerja yang sedikit dibandingkan dengan panen secara konvensional. Kehadiran mesin pemanen padi diharapkan menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah dalam mengantisipasi kelangkaan tenaga panen

Page 303: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 271

dan penekanan susut hasil yang masih tinggi yaitu sekitar 10,56%. Petani lebih tertarik terhadap mesin pemanen padi ukuran besar. Hal ini dikarenakan kinerjanya lebih baik dibandingkan dengan ukuran kecil dan sedang terutama dalam hal kecepatan panen, kehilangan hasil dan kebersihan gabah (Suhendrata 2015).

TINGKAT ADOPSIModel usahatani padi berbasis mekanisasi seperti yang

diintroduksikan di Desa Jetak (lokasi MP3MI) Kecamatan Sidoharjo Kabupaten Sragen telah diadopsi dan berkembang di 3 desa, yaitu (1) Kelompok tani Tani Maju Desa Ngarum Kecamatan Ngrampal, (2) Kelompok tani Gemah Ripah Loh Jinawi Desa Pilang Kecamatan Masaran, dan (3) Kelompok tani Rukun Tani Sulur Desa Blimbing Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen. Kelompok tani Tani Maju dan Gemah Ripah Loh Jinawi masing-masing mendapat bantuan dari Bank Indonesia Cabang Solo berupa 1 unit mesin tanam bibit padi beserta tempat persemaian seluas ±500 m2 dan 1 unit mesin pemanen padi ukuran sedang/medium. Kementerian Pertanian, sebagai bagian dari pelaksanaan Upaya Khusus (UPSUS) untuk pencapaian swasembada padi berkelanjutan telah memberikan bantuan mesin tanam bibit padi sebanyak 473 unit di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2014 (Balai Alsin dan Pengujian Mutu Hasil Pertanian Jawa Tengah 2015). Pada tahun 2018, Provinsi Jawa Tengah mendapat bantuan mesin pemanen padi sebanyak 59 unit terdiri dari ukuran kecil 8 unit, sedang 12 unit dan besar 39 unit. Kabupaten Sragen mendapat jatah mesin pemanen padi 1 unit ukuran kecil, 2 unit ukuran sedang dan 6 unit ukuran besar. Bantuan tersebut diberikan kepada kelompok tani, Gapoktan dan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) dan bribage Alsintan. Rekapitulasi mesin pemanen padi di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2017 terdapat 764 unit ukuran kecil, 363 unit ukuran sedang dan 83 unit ukuran besar, sedangkan di Kabupaten Sragen terdapat 1 unit ukuran kecil, 2 unit ukuran sedang dan 6 unit ukuran besar (Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah 2018).

Pada saat ini (2018) kelompok tani Tani Maju Desa Ngarum memiliki mesin tanam pindah bibit padi 2 unit dengan kapasitas tanam 30 ha per musim tanam, dan mesin pemenen padi 1 unit. Pada musim tanam (MT) 1 panen menggunakan mesin pemanen padi

Page 304: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan272

seluas ±20 ha, MT-2 seluas ± 50 ha dan MT-3 hampir seluruh lahan. Kelompok tani Rukun Tani Sulur Desa Blimbing memiliki mesin tanam pindah bibit padi sebanyak 2 unit, luas tanam menggunakan mesin tanam pindah bibit padi rata-rata 20 ha/musim/2 unit dan panen menggunakan mesin pemanen padi milik Gapoktan rata-rata 75 ha/musim tanam. Sementara di Desa Jetak (lokasi MP3MI) terdapat 1 unit mesin tanam pindah bibit padi milik UPJA dan 1 unit mesin pemanen padi ukuran besar milik perorangan (swasta). Di Desa Jetak berkembang tanam padi sistem tanam jajar legowo 2:1 secara manual dikarenakan tidak memiliki jarwo transplanter. Luas tanam jajar legowo 2:1 pada MT-1 sekitar 40 ha, varietas yang ditanam Mekongga 30%, Ciherang 30%, Inpari 30, 31, 32 dan 33 sekitar 40%. Pada MT-2: sekitar 35 ha dengan varietas Mekongga 25%, Ciherang 20%, Inpari 30 10%, 32 30%, 33 40%, 42 & 43 2%. Pada MT-3: 35 ha, dengan varietas logawa 10%, Ciherang 30%, Inpari 32 35%, dan Inpari 43 30%. Panen menggunakan mesin pemanen padi ukuran besar pada MT-1 sekitar 10%, MT-2: 60% dan MT-3 : hampir 100% dari total luas lahan sawah ±245 ha menggunakan mesin pemenen padi dari luar desa. Pada awal introduksi, panen menggunakan mesin pemanen padi ukuran besar telah diadopsi oleh 30 orang petani (±10 ha) Desa Jetak pada panen MT-3 2013.

PROSPEK DAN KENDALA PENGEMBANGANa. Prospek pengembangan

Secara teknis penerapan mesin tanam pindah bibit padi mudah dilaksanakan dan kinerjanya dapat meningkatkan efisiensi terutama dalam penggunaan tenaga kerja, waktu dan biaya dibandingkan tanam secara manual. Secara finansial penerapan mesin tanam pindah bibit padi dapat meningkatkan hasil gabah dan pendapatan petani. Penggunaan mesin tanam pindah bibit padi dapat menguntungkan kedua belah pihak yaitu pemberi jasa (pemilik rice transplanter) dan pengguna jasa (Suhendrata 2013). Penggunaan mesin tanam pindah bibit padi selain dapat meningkatkan hasil padi juga dapat menghemat biaya tanam Rp110.00–340.000 atau 6,91–21,38%, waktu tanam (6 jam/ha) dan tenaga kerja (3 orang) dibandingkan dengan cara tanam konvensional (Kushartanti dan Suhendrata 2013). Menurut Suhendrata (2013) penerapan rice transplanter pada kondisi lahan

Page 305: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 273

sawah datar, petakan cukup luas dan kedalaman lumpur kurang dari 40 cm dapat membantu memecahkan masalah kekurangan tenaga tanam pindah bibit padi.

Secara finasial investasi mesin tanam bibit padi sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan tingkat bunga (discount rate) 12% diperoleh kriteria investasi: IRR = 44,3%, NPV=Rp 52.557.637, B/C 1,13, dan akan kembali modal selama 2,3 tahun (PP = 2,3 tahun). Dari kriteria tersebut investasi mesin tanam bibit padi sistem tanam jajar legowo 2:1 layak diterapkan karena akan mendatangkan keuntungan sebesar 44,3%/tahun. Ini berarti bahwa investasi mesin tanam bibit padi sistem tanam jajar legowo 2:1 lebih menguntungkan daripada investasi deposito yang tingkat keuntungannya hanya sebesar 7–12 % per tahun. Tingkat keuntungan tersebut apabila dihitung dengan penilaian ke depan (NPV), maka saat ini diperoleh keuntungan sebesar Rp52.557.637. NPV bernilai positif dan cukup tinggi menunjukkan bahwa pilihan untuk investasi mesin tanam bibit padi sistem tanam jajar legowo 2:1 adalah layak untuk diterapkan dan dikembangkan. Sedangkan kelayakan finansial investasi mesin tanam pindah bibit padi sistem tanam tegel menunjukkan layak dijalankan dan dikembangkan dengan NPV selama 5 tahun pada tingkat bunga modal 12% adalah Rp22.400.000, IRR = 59,59%, gross B/C = 1,26 dan PP = 2,42 tahun (Suhendrata 2013). Ahmad dan Harjono (2007) mengatakan bahwa pengoparasian mesin tanam pindah bibit padi secara finansial menguntungkan dengan IRR = 129% dan B/C = 1,29.

Secara sosial kehadiran mesin tanam bibit padi diterima masyarakat petani terutama pada daerah yang mengalami kelangkaan tenaga tanam dan lahan sawah yang dangkal. Dengan demikian, mesin tanam bibit padi sangat layak untuk diterapkan dan dikembangkan terutama pada kondisi lahan sawah datar, petakan luas dan kedalaman lumpur kurang dari 40 cm dan daerah yang kekurangan tenaga tanam pindah bibit padi. Dampak dari pengembangan mesin tanam bibit padi akan berkembang usaha-usaha pendukungnya antara lain (1) usaha dalam penyediaan media tanam (tanah dan pupuk organik) untuk pembuatan persemaian, (2) usaha persemaian menggunakan dapog, dan (3) alat angkut bibit padi dan mesin tanam pindah bibit padi.

Page 306: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan274

Mesin pemanen padi (combine harvester) berpeluang dikembangkan dilihat dari aspek teknis, finansial dan sosial. Secara teknis mesin pemanen padi (combine harvester) dapat meningkatkan efisiensi waktu, tenaga kerja, dan biaya jasa panen, menekan kehilangan hasil, dan meningkatkan hasil (gabah) baik kuantitas maupun kualitas, serta dapat beroperasi di lahan sawah kondisi tertentu (luas dan bentuk petakan, kedalaman dan lapis kedap) sesuai dengan persyaratan kerja mesin,

Secara finansial penggunaan mesin pemanen padi dapat meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani pengguna jasa dan juga menguntungkan bagi pemilik atau penjual jasa mesin tersebut. Sebagai gambaran investasi mesin pemanen padi ukuran besar tipe Maxxi J Padi diperoleh kriteria investasi IRR 37,73%, NPV Rp 80.591.176 dengan PP = 2,47 tahun. Dari kriteria tersebut investasi mesin pemanen layak dijalankan karena akan mendatangkan keuntungan sebesar 37,73%/tahun. Ini berarti bahwa investasi mesin pemanen tipe Maxxi J Padi lebih menguntungkan daripada investasi deposito yang tingkat keuntungannya hanya sebesar 6–10%/tahun. Dalam pengoperasiannya mesin pemanen Maxxi J Padi relatif mudah dan sederhana. Jumlah pekerja yang terlibat langsung dengan mesin pemanen hanya 3 orang dan tenaga pembantu angkut GKP sebanyak 3 orang. Berdasarkan biaya operasional dan keuntungan yang diperoleh, investor berani menjual jasa pemanenan dengan harga Rp1.500.000/ha. Bagi petani harga jual tersebut masih lebih murah sekitar Rp300.000-500.000/ha dibandingkan panen secara konvensional dengan perontok padi (power thresher). Mahalnya biaya pemanenan secara konvensional disebabkan oleh biaya konsumsi untuk regu panen yang jumlahnya mencapai 20–25 orang per unit mesin (Basuki dan Haryanto 2012). Investasi mesin panen padi ukuran sedang diperoleh: NPV = Rp 59.298.569, B/C = 1,14 dan modal akan kembali selama 3,9 tahun (PP = 3,9 tahun). Kelayakan finansial investasi tersebut di atas menunjukkan bahwa usaha jasa mesin pemanen padi ukuran besar dan sedang layak diterapkan dan dikembangkan. Panen secara konvensional dengan perontok padi power thresher memerlukan waktu 1 hari dengan tenaga 20–25 orang dan biaya Rp1.250.000 per ha, sedangkan menggunakam combine harvester hanya membutuhkan waktu 2 jam, tenaga 3 orang dan biaya Rp.650.000 per ha (Dinas Pertanian TPH Provinsi Jawa Tengah 2013).

Page 307: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 275

Secara sosial kehadiran mesin pemanen padi diterima petani karena keberadaan mesin pemanen padi tersebut (i) dapat diterapkan pada lahan sawah dan sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi yaitu kekurangan tenaga kerja panen, (ii) memberikan nilai tambah, (iii) gabah lebih bersih dan hasil gabah meningkat, dan (iv) menguntungkan dan meningkatkan pendapatan (Suhendrata 2015).

Dengan demikian, pengembangan mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi pada usahatani padi di lahan sawah irigasi mempunyai peluang cukup baik untuk dikembangkan. Hal ini didukung oleh (i) kebutuhan Alsintan belum terpenuhi, (ii) kondisi tenaga kerja di bidang pertanian semakin sulit dan semakin mahal, (iii) baik secara teknis maupun ekonomis layak dikembangkan pada kondisi lahan yang sesuai dengan persyaratan teknis mesin tersebut, (iv) secara sosial diterima petani, dan (v) adanya dukungan kebijakan pemerintah.

Dalam pengembangan mesin tanam bibit padi dan mesin pemanen padi perlu dilakukan pemetaan lahan-lahan yang dapat menggunakan kedua mesin tersebut, agar jumlah alat yang dibutuhkan di suatu wilayah usahatani dapat teridentifikasi dengan tepat sehingga dalam penyaluran bantuan Alsintan tepat sasaran. Untuk pengembangan Alsintan seperti mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi, perlu diinisiasi dan dikembangkan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) baik UPJA yang berada dalam kelompok tani, gapoktan atau UPJA yang berdiri sendiri (Suhendrata, 2016b). Di samping itu, penerapan mesin tanam pindah bibit padi akan merebut dan menggeser peran regu tanam dan penerapan mesin pemanen padi akan menghilangkan peran regu panen dan orang-orang yang biasa mendapatkan tambahan pendapatan dari “mengasak” atau “tekmen” (mengambil padi yang tersisa sehabis panen). Orang-orang yang terkena dampak perlu diperhitungkan dalam penerapan mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi (Setiani dan Prasetyo 2015; Prasetyo dan Setiani 2015).

b. Kendala pengembangan Pengembangan penerapan mesin tanam pindah bibit padi

dan mesin pemanen padi di lahan sawah irigasi terdapat beberapa kendala antara lain (1) mesin tanam pindah bibit padi dan mesin

Page 308: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan276

pemanen padi dinilai masih menjadi pesaing tenaga kerja manusia, (2) harga mesin tanam bibit dan mesin pemanen padi cukup mahal dan tidak terjangkau oleh kelompok tani/gapoktan/UPJA, (3) perlu sarana penunjang/alat angkut (pickup/truk) untuk mengangkut dapog, mesin tanam bibit padi dan mesin pemanen padi, (4) tidak semua lahan sawah dan tidak setiap musim tanam dapat menerapkan mesin tanam pindah bibit padi dan pemanen padi, (5) belum semua hamparan sawah mempunyai jalan usahatani yang memadai untuk mengangkut mesin tanam bibit padi dan mesin pemanen padi dan hasil panen (gabah), dan (6) belum tersedianya perbengkelan (jasa service), dan (7) produsen tidak dapat menjamin ketersediaan suku cadang dan dukungan perawatan (Suhendrata 2015; Prasetyo dan Setiani 2015).

Di dalam penerapan mesin tanam bibit padi dan mesin pemanen padi lapangan terdapat beberapa masalah antara lain:

Kekurangan dapog (tray) untuk persemaian. Untuk luas tanam satu hektare memerlukan 200 buah dapog (tray) ukuran 58 x 28 x 3 cm untuk mesin tanam pindah bibit padi sistem tanam tegel dan 300 dapog ukuran 58 x 18 x 3 cm untuk mesin tanam pindah bibit padi sistem tanam jajar legowo 2:1 sedangkan dapog bawaan mesin hanya 100 buah/mesin.

1. Jika mesin tanam pindah bibit dan pemanen padi rusak maka sulit dalam pengadaan suku cadang dan perbaikannya, kondisi tersebut mengganggu operasional mesin dan menyebabkan keterlambatan tanam dan panen

2. Mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi hanya efektif beroperasi pada kedalaman lumpur kurang dari 40 cm.

PENUTUPUntuk akselerasi dalam pengembangan mesin tanam bibit padi

(rice transplanter) dan mesin tanam pemanen padi (combine harvester) perlu dilakukan (i) sosialisasi dalam rangka penyebarluasan inovasi teknologi mesin tanam bibit padi dan mesin tanam pemanen padi (ii) memperkuat permodalan dan akses sumber modal atau skim kredit, (iii) pendampingan dan pengawalan dalam pengajuan permohonan bantuan mesin tanam bibit padi dan mesin tanam pemanen padi, dan (iv) meningkatkan kemampuan/keterampilan dan pengetahuan

Page 309: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 277

petani dalam mengoperasikan, pengelolaan/manajemen, perawatan dan perbaikan mesin tanam bibit padi dan mesin tanam pemanen padi.

Dalam pengembangan penerapan mekanisasi di suatu wilayah, pemilihan suatu jenis mesin pertanian harus disesuaikan dengan kondisi lahan yang ada. Pemilihan yang tepat dan cara penggunaan dan manajemen yang baik akan dapat menunjang kelancaran dan efisiensi pekerjaan bila tidak akan terjadi sebaliknya. Selain itu, perlu diinisiasi dan dikembangkan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) baik UPJA yang berada dalam kelompok tani, gapoktan atau UPJA yang berdiri sendiri.

Perlu dilakukan pemetaan lahan yang dapat menggunakan mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi, agar jumlah alat yang dibutuhkan di suatu wilayah dapat teridentifikasi dengan tepat sehingga penyaluran bantuan sesuai kebutuhan dan tepat sasaran.

Dampak positif dari penerapan mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi akan mempercepat pertumbuhan ekonomi pedesaan dan akan tumbuh usahatani pendukung atau penunjang seperti usahatani penyediaan media tanam (tanah dan pupuk organik) untuk persemaian menggunakan dapog, usahatani persemaian menggunakan dapog, dan jasa angkut sarana dan prasarana penunjang (mesin, media, bibit dan hasil panen).

Dampak negatif dari penerapan mesin tanam pindah bibit padi akan merebut dan menggeser peran regu tanam dan penerapan mesin pemanen padi akan menghilangkan peran regu panen dan orang-orang yang biasa mendapatkan tambahan pendapatan dari “mengasak” atau “tekmen” (mengambil padi yang tersisa sehabis panen). Orang-orang yang terkena dampak perlu diperhitungkan dalam penerapan mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi.

UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih disampaikan kepada SMARTD atas dana

melalui Surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan Nomor: 346.2/PL.220/I.1/4/2014.K tanggal 21 April 2014 dan Surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan Nomor: 38.78/PL.040/I.1/02/2015.K tanggal 25 Februari 2015.

Page 310: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan278

DAFTAR PUSTAKAAnanto, E.E, A. Setyono dan Sutrisno. 2003. “Panduan Teknis :

Penanganan Panen dan Pasca Panen Padi dalam Sistem Usahatani Tanaman-Ternak”. Departemen Pertanian. Jakarta. 26 p.

Ananto, E.E, Sutrisno, Astano dan Soentoro. 2000. “Pengembangan alat dan mesin pertanian menunjang system usahatani dan perbaikan pasca panen di lahan pasang surut Sumatera Selatan” . Badan Litbang Pertanian. Jakarta. 96 p.

Anugrah P. R., 2015. “Mico harvester: Tekan susut hasil panen hingga 2%”. dalam Agrotek. Majalah Sains Indonesia Edisi 37 Januari 2015.

Anwas, O. M. 2013. “Pengaruh Pendidikan Formal, Pelatihan dan Intensitas Pertemuan terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian”. dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 19(1): Maret 2013.

Badan Litbang Pertanian. 2013a. “Indo jarwo transplanter dan Indo combine harvester mendukung swasembada beras berkelanjutan”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta

Balai Alsin dan Pengujian Mutu Hasil Pertanian Jawa Tengah. 2015. “Kebijakan Mekanisasi Pertanian Jawa Tengah”. Balai Alsin dan Pengujian Mutu Hasil Pertanian Jawa Tengah.

Bosker, J. 1997. Training Effectiveness. New York: Pergamon

Chanifah, E. Kushartanti dan D. U. Nurhadi. 2015. Perubahan Pengetahuan Petani Pada Pelatihan Pengelolaan Usaha Perbibitan Padi Dalam Dapog Dan Jasa Tanam Indo Jarwo Transplanter. Bagian dari Buku Inovasi Mekanisasi Pertanian Untuk Swasembada Beras: Implementasi dan Diseminasi. Penerbit IAARD Press.

Damardjati, D.S., E. E. Ananto, R. Thahir dan A. Setyono. 1989. “Post harvest losses assessment of paddy in Indonesia : Case study in West Java”. Paper presented at Workshon on Appropriate Technologies on Farm and Village Level. Postharvest Grain Handling. Asean-Australia Economic Cooperation Program. Yogjakarta, Indonesia, 31 July-4 August 1989.

Dinas Pertanian TPH Provinsi Jawa Tengah. 2012. “Pembangunan pertanian tanaman pangan dan hortikultura di Jawa Tengah”. Dinas Pertanian dan TPH Provinsi Jawa Tengah. 86 pp.

Page 311: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 279

Dinas Pertanian TPH Provinsi Jawa Tengah. 2018. “Optimalisasi Pemanfaatan Alsintan Provinsi Jawa Tengah“. Makalah disampaikan dalam Rakor Monitoring dan Optimalisasi Pemanfaatan Alsintan Provinsi Jawa Tengah, Magelang 15 Mei 2018. Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah.

Kushartanti E., D. Sahara dan T. Suhendrata. 2015. Keefektifan Metode Demplot dan Temu Lapang Dalam Pemasyarakatan Penerapan Rice Transplanter serta Hasil Implementasi Demplot. Bagian dari Buku Inovasi Mekanisasi Pertanian Untuk Swasembada Beras: Implementasi dan Diseminasi. Penerbit IAARD Press.

Kushartanti E., dan T. Suhendrata. 2015. “Rice Transplanter Solusi Mengatasi Kelangkaan Tenaga Kerja Tanam”. dalam Warta Inovasi 8(2): Tahun 2015. Penerbit Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah.

Kushartanti E., dan T. Suhendrata. 2015a. Dampak Pelatihan Terhadap Peningkatan Pengetahuan Penyuluh Pertanian Jawa Tengah : Studi Kasus Pelatihan Mesin Tanam Bibit Padi (Rice Transplanter). Bagian dari Buku Inovasi Mekanisasi Pertanian Untuk Swasembada Beras: Implementasi dan Diseminasi. Penerbit IAARD Press.

Kushartanti, E., D. Dahara dan T. Suhendrata. 2015. Keefektifan Metode Demplot Dan Temu Lapang Dalam Pemasyarakatan Penerapan Rice Transplanter Serta Hasil Implementasi Demplot. Bagian dari Buku Inovasi Mekanisasi Pertanian Untuk Swasembada Beras: Implementasi dan Diseminasi. Penerbit IAARD Press.

Kushartanti, E., dan Suhendrata. 2014. “Keragaan hasil, persepsi dan respon petani terhadap penerapan mesin tanam bibit padi (rice transplanter) di Desa Jetak Kabupaten Sragen”. Prosiding Seminar Nasional dan Lokakarya: Peran Inovasi Teknologi Pertanian dalam Pengembangan Bioindustri Berkelanjutan untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan. Salatiga, 12 Agustus 2014. dalam AGRIC Jurnal Ilmu Pertanian 26(3) Edisi Khusus 1. ISSN 0845-9028. Fakultas Pertanian dan Bisnis UKSW Salatiga.

Kushartanti, E., dan T. Suhendrata. 2013. ”Prospek penggunaan mesin tanam pindah bibit padi (rice transplanter) untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja tanam padi di Jawa Tengah”. hlm.53-59. Dalam D. Purnomo, M. Harisudin, D. Praseptiangga, A. Magna,

Page 312: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan280

Rahayu, Widiyanto, R. Indreswari, Y. Yanti dan B.S. Hertanto (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Akselerasi Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Menuju Kemandirian Pangan dan Energi, Solo, 17 April 2013. Fakultas Pertanian UNS.

Mondy, R. Wayne, dan Robert M. Noe. 1996. Human Resource Management. Upper Saddle River, NJ : Prentice-Hall.

Nugraha, S. A. Setyono dan R. Thahir. 1993. “Perbaikan sistem panen dalam menekan kehilangan hasil padi”. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor , 23-25 Agustus 1993. p 863-872.

Prasetyo T., dan C. Setiani. 2015. Inovasi mekanisasi pertanian untuk mendukung peningkatan produksi padi di Jawa Tengah. Bagian dari Buku Inovasi Mekanisasi Pertanian Untuk Swasembada Beras: Implementasi dan Diseminasi. Penerbit IAARD Press

Sahara D., Chanifah, E. Kushartanti dan T. Suhendrata. 2015. Kinerja dan Peluang Usaha Jasa Sewa Rice Transplanter. Bagian dari Buku Inovasi Mekanisasi Pertanian Untuk Swasembada Beras: Implementasi dan Diseminasi. Penerbit IAARD Press.

Setiani C., D. Sahara dan T. Prasetyo. 2015. Penerapan Mekanisasi Pertanian Menuju Sistem Pertanian Modern di Lahan Sawah, Jawa Tengah. Bagian dari Buku Inovasi Mekanisasi Pertanian Untuk Swasembada Beras: Implementasi dan Diseminasi. Penerbit IAARD Press.

Suhendrata T. 2015. Penerapan Mesin Tanam Bibit Padi dalam Mendukung Swasembada Padi Berkelanjutan. Bagian dari Buku Inovasi Mekanisasi Pertanian Untuk Swasembada Beras: Implementasi dan Diseminasi. Penerbit IAARD Press.

Suhendrata T. 2015a. ”Persemaian Menggunakan Dapog”. dalam Warta Inovasi 8 (2) Tahun 2015. Penerbit Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah.

Suhendrata T. 2015b. Peluang Pengembangan Usaha Jasa Pemanenan Padi Secara Mekanik (Combine Harsvester) dalam Mendukung Swasembada Beras. Bagian dari Buku Inovasi Mekanisasi Pertanian Untuk Swasembada Beras: Implementasi dan Diseminasi. Penerbit IAARD Press.

Page 313: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 281

Suhendrata T., 2016. Buku Teknologi Mekanisasi Untuk Pertanian Bebas Limbah Pada Sistem Integrasi Tanaman Padi dan Ternak Sapi Potong. Penerbit IAARD Press.

Suhendrata T. 2016b. ”Pengembangan Penerapan Mekanisasi pada Usaha Tani Padi Sawah melalui Pemberdayaan Kelembagaan Petani: Studi Kasus di Desa Ngarum, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah”. Prosiding Seminar Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional dan Peningkatan Kesejahteraan Petani. Bogor, 10 November 2015. Penerbit IAARD Press.

Suhendrata T., dan F. Rudi Prasetyo H. 2018. Mekanisasi untuk Peningkatan Efisiensi Sistem Usaha Pertanian Padi Sawah. Bagian dari Buku Inovasi Teknologi Spesifik Lokasi untuk Meningkatkan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai. Penerbit IAARD Press.

Suhendrata, T. 2013. ”Prospek pengembangan mesin tanam pindah bibit padi (rice transplanter) dalam rangka mengatasi kelangkaan tenaga kerja tanam bibit padi”. Jurnal Sosia Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (SEPA) Fakultas Pertanian UNS Surakarata 10 (1): 97 - 102.

Tambunan, A. H. dan E. N. Sembiring. 2007. ”Kajian kebijakan alat dan mesin pertanian”. Jurnal Keteknikan Pertanian. 21 (4).

Unadi, A. dan Suparlan. 2011. ”Dukungan teknologi pertanian untuk industrialisasi agribisnis pedesaan”. Makalah Seminar Nasional Penyuluhan Pertanian pada kegiatan Soropadan Agro Expo tanggal 2 Juli 2011. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian.

Page 314: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 315: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

PENGEMBANGAN PRODUK ORGANIK DI WILAYAH M-P3MI SERDANG BEDAGAI

Khairiah dan Wasito

PENDAHULUAN Model Pengembangan Pertanian Pedesaan Melalui Inovasi

(M-P3MI) Kabupaten Serdang Bedagai di Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, pembiayaan SMARTD hanya diberikan tahun 2013. Rencana kegiatan M-P3MI di Desa Lubuk Bayas tetap mengacu Badan Litbang Pertanian (2011), yang harus dilakukan secara sistematis ke dalam 4 (empat) fase sejak 2013, dan masing-masing fase terdiri dari beberapa tahapan. Lokasi M-P3MI Desa Lubuk Bayas merupakan salah satu sentra produksi padi, atau kawasan prioritas pengembangan padi dan ternak oleh Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai. Selain itu, Desa Lubuk Bayas telah diintroduksi program P3T {Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T)}, meliputi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) tahun 2002, Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) tahun 2003, Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT) dan Kredit Usaha Mandiri (KUM) tahun 2003. Perkembangan kegiatan PTT dan SIPT membuka peluang bagi proses pengelolaan partisipatif, atau sistem pemberdayaan kelompok dan keluarga, sedangkan KUAT dan KUM tidak berkembang.

Badan Litbang Pertanian sejak tahun 2011 mencanangkan Model Pengembangan Pertanian Pedesaan Melalui Inovasi (M-P3MI). Sebagai program pembangunan pertanian melalui Spektrum Diseminasi Multi Chanel (SDMC) (Badan Litbang Pertanian 2011). Program ini dalam rangka mendukung program Kementerian Pertanian menuju terwujudnya pertanian unggulan berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor dan kesejahteraan petani. Dengan kehadiran program M-P3MI di Desa Lubuk Bayas diharapkan akan dapat mendorong pengembangan wilayah dan sekaligus pengembangan ekonomi masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai. Program M-P3MI Desa Lubuk Bayas mengimplementasikan model usahatani terpadu, antara lain introduksi inovasi teknologi PTT padi sawah dengan SITT, petani penangkar, usaha ternak itik, usahatani ganyong, serta usaha ikan.

Page 316: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan284

Salah satu komponen teknologi PTT padi sawah adalah pengelolaan tanah dengan manajemen kesuburan tanah yang diupayakan dengan cara penggunaan bahan organik (kompos) sebagai pupuk, diharapkan dapat mengurangi emisi CH4 dan CO2, dan tumbuhnya usaha pupuk limbah ternak. Usahatani terpadu integrasi tanaman dan ternak (SITT) dengan pemanfaatan hasil samping (by product), dan pengintegrasian beberapa subsistem untuk meningkatkan nilai tambah by product menjadi pupuk organik dan usahatani padi organik. Dampak ekonomi model tersebut, terjadi peningkatan efisiensi input produksi, sumberdaya dan lingkungan, serta kemitraan kelembagaan, guna mengoptimalkan produktivitas dan pendapatan. Pada sistem pertanian terpadu ini tidak akan ada yang terbuang, karena terjadi integrasi seluruh komponen usaha baik secara horizontal maupun vertikal.

Penerapan teknologi pupuk organik berasal dari kotoran dan urine ternak pada usahatani padi organik dapat menurunkan penggunaan pupuk anorganik, sehingga terjadi efisiensi input produksi. Pupuk organik memiliki peran sangat penting dalam memperbaiki struktur tanah. Pengelolaan pertanian terpadu ini, ditinjau dari aspek teknologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat memiliki peranan sebagai nominal; keunggulan kemampuan komputasi (model); alat (produktivitas, informasi, pembangun hubungan sosial); pengganti (persepsi, difusi, modal), dan kelompok yang bekerja bersama (pembangunan, jaringan produksi, embeded system, struktur).

Minimal terdapat lima permasalahan yang dihadapi dalam integrasi PTT padi sawah dan SITT di Desa Lubuk Bayas, yaitu (1) belum optimalnya peran kelembagaan PTT dan SITT, (2) rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan masyarakat Desa Lubuk Bayas dari tingkat pendidikan, (3) terbatasnya alternatif lapangan kerja yang berkualitas, (4) rendahnya akses terhadap permodalan; (5) masih rendahnya ketersediaan dan akses terhadap sarana dan prasarana usaha tani padi organik. Permasalahan tersebut antara lain, lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi, baik secara sektoral maupun spasial, yang tercermin dari kurangnya keterkaitan antar sektor pertanian (primer), sektor industri pengolahan (sekunder), dan jasa penunjangnya (tersier). Terbatasnya alternatif lapangan pekerjaan berkualitas, yang ditandai dengan terbatasnya kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian. Apakah itu pada industri kecil yang mengolah hasil pertanian, maupun pada industri dan jasa penunjang

Page 317: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 285

lainnya. Masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia sehingga memperlemah kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat, serta lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan.

Pembangunan sektor pertanian Kecamatan Perbaungan, dan Kabupaten Serdang Bedagai tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan Desa Lubuk Bayas karena pembangunan adalah prasyarat bagi upaya peningkatan pendapatan masyarakat petani melalui optimalisasi penggunaan sumberdaya pertanian. Dengan optimalisasi diharapkan tercapai kondisi sosial ekonomi yang lebih baik, peningkatan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi tercapainya kesejahteraan petani. Spirit pengembangan produk organik secara berkelanjutan yang diawali di wilayah M-P3MI Lubuk Bayas, Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai yang didasari oleh keberhasilan P3T yang telah terbuka, dan mampu menjadi pendorong utama pertumbuhan dan perkembangan usaha produk organik dalam sistem agribisnis pedesaan. Model ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengelolaan sumber daya alam/hayati secara efisien yang berkelanjutan.

M-P3MI DAN POTENSI WILAYAH PRODUK ORGANIK

M-P3MIModel Pengembangan Pertanian Pedesaan Melalui Inovasi

(M-P3MI) di Desa Lubuk Bayas (Serdang Bedagai) mendapat pembiayaan SMARTD hanya pada tahun 2013. Perancangan model didasarkan pada hasil identifikasi potensi, masalah dan peluang pengembangan pertanian. Orientasi perancangan model berbasis komoditas unggulan, diversifikasi usaha (vertikal dan horizontal). Desain atau rancangan M-P3MI yang telah mendapat dukungan berbagai pihak selanjutnya diimplementasikan di lapangan dalam bentuk Unit Percontohan yang berskala pengembangan dan berwawasan agribisnis.

Inisiasi model m-P3MI Berbasis Integrasi Padi - Ternak melalui usahatani terpadu {introduksi inovasi teknologi pada PTT padi, usaha ternak (SITT), usaha ternak itik, usaha ikan nila/gurame di sekitar lahan sawah, usahatani ganyong, petani penangkar} berbasis kemitraan berkelanjutan, yang selanjutnya akan diimplementasikan.

Page 318: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan286

Indikator kinerja dengan pengukuran: (a) keragaan usahatani terpadu, (b) tingkat penerapan paket atau komponen teknologi, serta adopsi teknologi; (c) elaborasi interaksi usahatani padi (PTT), usaha ternak (SITT), usaha ternak itik, usaha ikan nila/gurame, dan lainya, serta peningkatan kapasitas petani dan kelembagaan, serta kemitraan (Gambar 38). Harapan, akan terjadi peningkatan produktivitas (±5–10%), pendapatan (±2–5%), kapasitas petani, kelompok tani, Gapoktan, dan kemitraan berkelanjutan.

Gambar 38. Inisiasi model m-P3MI Berbasis Integrasi Padi - Ternak

Gambaran sederhana peran SIPT dan PTT padi sawah menuju peningkatan ketahanan pangan, yaitu adanya SIPT dan PTT terjadi peningkatan usaha produksi dan produksi pertanian, sehingga terjadi peningkatan pendapatan petani, modal dasar dalam manajemen keluarga, Kelompok Tani Mawar untuk memenuhi kebutuhan pokok menuju peningkatan ketahanan pangan. Pengkayaan bahan organik tanah dengan pupuk kandang akan meningkatkan produksi padi, jagung, sayuran, dan efisiensi pupuk sehingga meningkatkan pendapatan. Peningkatan pola dan areal padi–padi-jagung (PPJ), padi–padi–sayuran (PPS) dan terjadi penurunan sangat signifikan areal pola padi–padi–bera (PPB). Perubahan pola tanaman tersebut akan meningkatkan produksi padi, jagung, dan sayuran sehingga meningkatkan pendapatan. Jumlah petani pemilik dan populasi sapi dan ternak lain meningkat sangat nyata (signifikan, p <0,01), sehingga meningkatkan pendapatan petani. Peningkatan kualitas sumberdaya

Page 319: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 287

keluarga petani P3T diindikasikan dari sejak ada PTT, SIPT Lubuk Bayas terhadap waktu kerja, modal dasar dalam manajemen keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup, karena terjadi perubahan peran keluarga (bapak, ibu dan anak) dalam usahatani lahan sawah dan ternak meningkat secara nyata (Wasito 2011, Wasito et al. 2009).

Tingkat pendapatan dan pengeluaran keluarga, Kel. Tani Mawar (SIPT, PTT, P3T Lubuk Bayas) dapat menjadi indikator penting untuk mengetahui tingkat hidup sebuah keluarga karena dari kedua indikator ini akan diketahui mampu tidaknya keluarga memenuhi kebutuhan hidup anggotanya (Wasito 2011, Wasito et al. 2009). Hipotesis lain, keluarga akan tahan terhadap perubahan tingkat konsumsinya yang terus dihadapkan pada perubahan tingkat pendapatannya. Ada kecenderungan secara proporsional hubungan negatif antara besarnya pendapatan dengan besarnya pengeluaran untuk makanan, selaras kurva Engel di mana persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun bila pendapatan semakin tinggi atau pengeluaran pangan proporsinya akan menurun sebanding dengan naiknya pendapatan. Hal ini dipengaruhi tempat tinggal keluarga. Konsumsi pangan merupakan entry point untuk mengevaluasi kinerja ketahanan pangan keluarga petani Kel. Tani Mawar dari sisi outcomes, kemiskinan dan ketahanan pangan memiliki keterkaitan yang kuat. Ketahanan pangan keluarga petani, Kel. Tani Mawar cenderung belum sinergis dengan komponen manajemen kebijakan, terutama fasilitasi pemerintah daerah dalam ketersediaan (subsidi, produksi, cadangan, perdagangan); dan distribusi (akses dan sosial ekonomi).

Gambar 39. SIPT dan PTT padi terintegrasi usaha ikan nila (pupuk, keong emas), itik (petelur, pembesaran) (keong mas)

Page 320: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan288

Pemerintah daerah belum mampu membantu atau memfasilitasi kelompok tani, misalnya dalam hal kelangkaan pupuk bersubsidi, atau harga mahal di saat musim tanam. Harga gabah kering giling (GKG) atau gabah kering panen (GKP) umumnya di bawah harga dasar penetapan pemerintah saat musim panen serempak. Modal yang dimiliki kelompok belum tersentuh bank-bank pemerintah untuk keberlanjutan program, misalnya untuk SIPT, PTT, sedangkan KUM dan KUAT belum berjalan optimal. Lumbung desa modern (LDM) di Lubuk Bayas yang berada di Kel. Tani Mawar sejak selesai dibangun sampai sekarang belum pernah difungsikan. Belum ada manajer g ahli pengelola LDM, alat pengering gabah telah diuji coba untuk dioprasikan, tetapi kurang efisien/efektif, saat ini sudah karatan, serta banyak faktor-faktor lain, yang masih belum diungkapkan pada kajian ini.

Potensi Wilayah Produk OrganikKabupaten Serdang Bedagai mempunyai luas lahan sawah lebih

kurang 41.000 hektare dan merupakan salah satu daerah penghasil atau lumbung beras di Sumatera Utara dengan surplus beras rata-rata pertahun 125.000 sampai 130.000 ton. Untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani dalam rangka meningkatkan swasembada beras dan penyediaan protein hewani di Kabupaten Serdang Bedagai, secara berkelanjutan dengan tidak merusak lingkungan maka Sistem Integrasi Padi dan Ternak dapat menjadi salah satu pilihan sistem pembangunan pertanian di Kabupaten Serdang Bedagai. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk mengadakan studi analisis Sistem Integrasi Padi Ternak dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.

Pengamatan Stasiun Sampali menunjukkan rata-rata kelembapan udara per bulan sekitar 84%, curah hujan berkisar antara 30 sampai dengan 340 mm per bulan dengan periodik tertinggi pada bulan Agustus–September, hari hujan per bulan berkisar 8–26 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan Agutus–September. Rata-rata kecepatan udara berkisar 1,9 m/dt dengan tingkat penguapan sekitar 3,47 mm/hari. Temperature udara per bulan minimum 23,7°C dan maksimum 32,2°C.

Page 321: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 289

Kecamatan Perbaungan dengan curah hujan 217 mm/bulan, suhu udara ±26,7–27,4 oC, kelembapan udara ±83%. Ada tiga tipe lahan yaitu sawah, lahan kering dan perkebunan. Desa ini berpotensi untuk kegiatan PTT dan SITT karena memiliki luas sawah irigasi ½ teknis cukup dominan, bersumber dari air Sungai Ular, dengan ketinggian 4 m dari permukaan laut. Daya dukung sawah irigasi ½ teknis dengan luas lahan lebih dari 1.000 ha sebagai penghasil jerami, dan lahan sawit dengan rumput cukup potensial untuk pelaksanaan SITT.

Tabel 49. Kepemilikan lahan dan usaha lain petani Poktan Mawar Lubuk Bayas

Kepemilikan lahanUsaha lain %

Sawah (ha) % Pekarangan (ha) %< 0,2 21,65 < 0,04 21,65 Buruh tani 47,50,2 – 0,5 56,19 0,04 – 0,08 56,19 Dagang 22,50,5 < x < 1,0 16,49 0,08 < x < 0,2 16,49 Tanam sayuran 12,51,0 – 1,5 2,58 0,2 – 0,4 5,67 Pekerja bangunan 7,5> 1,5 3,09 Jasa Alsintan 6,25

PNS 3,75

Sumber : Data primer hasil kajian (Wasito et al. 2014)

Usahatani padi di Desa Lubuk Bayas berlangsung dari Mei–Agustus (MK) dan September–Januari (MH). Kepemilikan lahan sawah rata-rata kecil di Kelompok Tani Mawar (Tabel 1), mayoritas 0,2–0,5 ha, dengan usaha sambilan umumnya buruh tani, dagang kecil-kecilan. Pekerjaan sambilan tidak kontinu sepanjang minggu/bulan. Rata-rata jumlah anggota setiap keluarga 4 – 5 orang.

Page 322: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan290

Gambar 40. Interaksi antar kelembagaan petani SIPT dan PTT padi Desa Lubuk Bayas

Banyak kelembagaan/pihak luar di Lubuk Bayas (Poktan Mawar) yang masih terkait memberikan dukungan dalam SIPT/usahatani lain. Kelembagaan/pihak luar yang erat kaitannya dalam menyukseskan SIPT, yaitu : BPTP Sumatera Utara, BUMN/PTPN/Perkebunan, Kelompok Tani lain, Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Serdang Bedagai, BPP/PPL, Poultry Shop, lumbung desa, kilang padi (Gambar 40), juga LKMD, LMD, PKK, BANK, Karang Taruna, Puskesmas, dan lain – lain.

Metode peringkat pilihan/masalah digunakan secara tepat untuk mengidentifikasi usaha yang dihadapi, dengan memberikan skor pilihan pada permasalahan yang timbul dalam usaha ternak sapi, seperti tercantum pada Tabel 50 di bawah ini.

Page 323: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 291

Tabel 50. Peringkat pilihan/masalah petani SIPT desa Lubuk Bayas, Perbaungan

No MasalahSub Kelompok

Nilai Kode PeringkatA B C D E F

1. Pencurian ternak 5 5 5 3 5 3 26 T1 I2. Modal 4 4 5 4 4 4 25 T2 II3. Penyakit 3 2 4 3 3 2 17 T3 III4. Pakan tambahan 2 3 3 2 2 4 16 T4 IV5. Bibit 1 1 2 1 1 1 7 T5 V

Ket : Score masalah : 1 = Sangat Rendah, 2 = Rendah , 3 = Sedang, 4 = Tinggi, 5 = Sangat tinggi (Wasito et.al 2014)

Pilihan masalah berdasarkan prioritas, pencurian ternak (Sc = 26, I) selaras profil sejarah, ternak dijual. Modal, rataan skala kepemilikan sawah petani kecil, usaha sambilan tidak kontinu. Penyakit dapat menimbulkan kerugian karena kematian. Pakan tambahan harus dapat meramu sendiri, walau tidak langsung berdampak, juga bibit sapi unggul dapat ditanggulangi dengan IB. Diperoleh tiga masalah utama yang perlu diatasi untuk meningkatkan skala usaha secara optimal, yaitu masalah sosial (keamanan) dengan sistem kandang kelompok, masalah ekonomi (modal) perlu bantuan dana, dan masalah teknologi (penyakit melalui vaksinasi dan pengobatan, pakan alternatif dan IB). Kegiatan SIPT diintegrasikan PTT dengan memanfaatkan dana BLM sebagai solusinya.

Tabel 51. Peran kelompok tani pada setiap kegiatan usahatani padi, usaha ternak

Kegiatan Individu(± %)

Kelompok(± %)

Kegiatan Individu(± %)

Kelompok(± %)Usatatani padi Usaha ternak sapi

Olah lahan 57 43 Perkandangan 50 50Penamanan 82 18 Pengadaan pakan 50 50Pemupukan 100 0 Olah kompos 86 14Pengendalian HPT 100 0 Kendalikan Penyakit 86 14Panen/pasca panen 57 43 Pasarkan hasil 79 21Pemasaran hasil 57 43Pengolahan jerami 64 36

Sumber : Wasito et al. (2014)

Page 324: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan292

Aktivitas atau kegiatan dalam usaha tani padi, ternak sapi mayoritas dilakukan oleh petani secara individual (Tabel 51). Namun demikian, dinamika kelompok tergolong dinamis, sangat mendukung kegiatan SL-PTT padi, pengembangan agribisnis usaha tani padi atau ternak sapi. Paradigma pembangunan pertanian ke depan harus dilaksanakan oleh petani dan untuk keuntungan petani sendiri (partisipatif), instansi terkait harus lebih berperan sebagai regulator, fasilitator, motivator, dinamisator dan katalisator. Partisipasi masyarakat menjadi elemen penting dalam pemberdayaan atau pengembangan kelompok SIPT. Proses pemberdayaan individu atau kelompok sebagai suatu proses yang relatif terus berjalan sepanjang usia yang diperoleh dari pengalaman dan bukannya suatu proses yang berhenti pada suatu masa saja (Hogan 2000). Ada perbedaan peran dan metode pendekatan instansi terkait pada kegiatan SIPT dan Non SIPT SKK.

Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) terdiri atas satu set alat dan bahan kimia untuk menganalisis kadar hara tanah sawah, serta dapat digunakan di lapangan dengan relatif cepat, mudah, murah, dan cukup akurat. PUTS ini dirancang untuk mengukur kadar N, P, K, dan pH tanah. Hasil pengukuran kadar hara N, P, dan K tanah dengan PUTS dikategorikan menjadi tiga kelas status hara mengacu pada hasil penelitian uji tanah, yaitu rendah (R), sedang (S), dan tinggi (T). PUTS merupakan penyederhanaan dari pekerjaan analisis tanah di laboratorium yang didasarkan pada hasil penelitian uji tanah.

Satu paket kemasan PUTS terdiri atas: (a) satu set larutan ekstraksi untuk menetapkan N, P, K dan pH, (b) peralatan pendukung, (c) bagan warna N, P, K, dan pH, (d) bagan warna daun (BWD), serta (e) buku petunjuk penggunaan. PUTS dapat digunakan untuk menganalisis 50 contoh tanah. Jika dirawat dan ditutup rapat segera setelah digunakan maka masa kedaluwarsa bahan kimia yang ada dalam PUTS ini berkisar 1–1,5 tahun dari pertama kali kemasan dibuka. Manfaat khusus adalah pemberian rekomendasi pupuk N, P, dan K untuk padi sawah dapat lebih tepat dan efisien sehingga menghemat pemakaian pupuk. Jumlah pupuk yang diberikan untuk masing-masing kelas status hara tanah berbeda sesuai kebutuhan tanaman.

Page 325: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 293

Gambar 41. Pengujian BWD di Desa Lubuk Bayas

Hasil pengujian tanah lahan sawah secara cepat dengan PUTS di Desa Lubuk Bayas pada 30 unit atau titik utama (Tabel 57) unsur N tanah sebagian besar rendah 14 (46,67) dan sangat tinggi 11 (36,67). Unsur P tanah sebagian besar sedang 14 (46,67%), tinggi 8 (26,67), dan rendah 8 (26,67). Sedangkan unsur K tanah sebagian besar tinggi 23 (76,67). Rekomendasi pupuk (kg/ha) yang harus diberikan : Urea, SP-36, KCL adalah 200, 0, 0 (sangat tinggi); 200, 50, 50 (tinggi); 200-250, 75, 50 (sedang), dan 250-300, 100, 100 (rendah).

Tabel 52. Hasil uji tanah secara cepat dengan PUTS di Lubuk Bayas

No Kriteriapemeriksaan

Hasil pemeriksaan (%) Rekomendasi (kg/ha) : Urea, SP-36, KCLN P K

1 Sangat tinggi 11 (36,67) 0 (00,00) 0 (00,00) 200, 0, 02 Tinggi 0 (00,00) 8 (26,67) 23 (76,67) 200, 50, 503 Sedang 5 (16,67) 14 (46,67) 6 (20,00) 200-250, 75, 504 Rendah 14 (46,67) 8 (26,67) 1 (33,33) 250-300, 100, 100

Sumber : Wasito et al. (2014)

Tingkat kesesuaian PUTS untuk N termasuk rendah (55%) dibandingkan unsur lain. Hal ini disebabkan unsur N mudah bergerak dan berubah bentuk menjadi gas dan unsur lain serta hilang melalui penguapan (volatilisasi) dan pencucian. Oleh karena itu, dalam aplikasinya di lapangan, efisiensi pupuk N hanya sekitar 30–40% dari jumlah pupuk yang diberikan. Untuk meningkatkan ketelitian rekomendasi N dengan PUTS dapat digunakan bagan warna daun (BWD) yang dikembangkan oleh International Rice Research Institute (IRRI) dan Balai Penelitian Tanaman Padi. BWD digunakan untuk

Page 326: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan294

memantau kebutuhan N tanaman padi secara periodik selama masa pertumbuhannya (Setyorini dan Ladiyani 2012). Fosfor di dalam tanah tidak mudah bergerak (immobile) dan sebagian besar terikat atau terfiksasi oleh oksida, mineral liat, dan bahan organik. Karena tidak mudah bergerak, keberadaan hara P mudah dideteksi di dalam tanah. Hal ini sesuai dengan hasil pengujian nilai kesesuaian pengekstrak P dengan PUTS yaitu 90%. Pada kondisi tanah sawah, pH tanah yang semula masam atau alkalin akan berubah menuju pH netral (6–7). Pada pH netral, bentuk P tanah terdapat dalam kondisi yang paling mudah diserap tanaman (Setyorini dan Ladiyani 2012).

Tanah sawah di Desa Lubuk Bayas pada umumnya mempunyai pH sekitar 5–6 (93,33%) dan sebagian kecil netral (6–7) (6,67%). Kemasaman atau pH tanah menunjukkan kadar H+ dan OH- dalam larutan tanah. Ketersediaan hara esensial bagi tanaman bergantung pada pH, di mana hara tanaman optimum pada kisaran pH 6–7. Tanah sawah pada umumnya mempunyai pH sekitar netral (6–7). Pada kondisi ini, ketersediaan semua unsur hara dalam kondisi optimal. Informasi tentang pH tanah sawah berguna dalam pemilihan jenis pupuk, pengelolaan tata air, dan mendeteksi peluang terjadinya keracunan suatu unsur mikro seperti Fe dan Mn pada tanah masam dan Na pada tanah alkalin.

Dampak yang lain, sejak ada SIPT, jumlah petani pemilik sapi di luar Lubuk Bayas meningkat signifikan (Gambar 42), terutama di dusun Tanjung Sari (300%) dan Tanah Merah (200%). Pola adopsi – difusi teknologi usaha ternak terkait dengan karakteristik dinamika kelompok tani, dan karakteristik wilayah di daerah kajian tampaknya sangat mendukung untuk pengembangan agribisnis ternak, perlu kajian lebih lanjut (Wasito 2011, Wasito et al. 2009).

Page 327: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 295

Gambar 42. Pola adopsi – difusi usaha ternak di Lubuk Bayas dan sekitarnya

Pemilik kambing, domba, kerbau, dan itik juga meningkat tajam karena pemahaman dampak pemberian pupuk kandang pada tanaman. Filosofi M-P3MI sejalan dengan filosofi pembangunan wilayah memiliki arti sebagai suatu proses perubahan terencana ke arah semakin tersedianya alternatif-alternatif bagi setiap orang untuk memenuhi tujuan-tujuan yang paling humanistik sesuai dengan perkembangan tata nilai dan norma-norma yang dijunjung tinggi di dalam masyarakat. Jadi pembangunan di suatu wilayah/daerah harus lebih didasarkan pada pencapaian tujuan-tujuan pembangunan secara optimal (sesuai dengan harapan dan kebutuhan stakeholder dan tolok ukur pembangunan menjadi penting dalam penentuan tingkat keberhasilan/perkembangan proses pembangunan.

Kelompok tani, Gapoktan di Desa Lubuk Bayas sebagai salah satu organisasi petani mempunyai hubungan timbal balik dengan kegiatan penyuluhan pertanian. Sistem penyuluhan yang dilakukan sangat terkait dengan percepatan alih teknologi inovasi M-P3MI yang pada gilirannya memacu pembangunan pertanian pedesaan. Jika sistem penyuluhannya tidak benar maka proses alih teknologi akan terganggu (Tjitropranoto 1989). Menurut Kasyrino (1995), kegiatan penyuluhan masih tetap dibutuhkan karena kualitas sumber daya manusia (SDM) petani di Lubuk Bayas masih relatif rendah, sehingga perlu dibina secara berkesinambungan dalam hal pengetahuan, keterampilan, dan sikap ke arah yang lebih maju. Jika kegiatan penyuluhan di Lubuk Bayas relatif rendah menyebabkan penurunan

Page 328: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan296

produksi dan produktivitas, serta banyak masalah petani yang tidak terjawab/teratasi dengan cepat, sehingga petani menjadi pesimis akibat kehilangan pemandu dan pembimbing. Selain itu, pengetahuan dan teknologi inovasi M-P3MI senantiasa berkembang, seyogianya perlu disampaikan kepada petani agar dapat berusahatani sesuai dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), lebih efisien dan efektif sehingga menghasilkan produk berkualitas yang diminta oleh pasar (Zachri 2000). Berkaitan dengan hal tersebut, dengan terlaksananya program M-P3MI di Desa Lubuk Bayas, Kabupaten Serdang Bedagai, maka permasalahan penyampaian teknologi inovasi dapat terpecahkan dan program penelitian dan penyuluhan akan berjalan sejajar menuju satu titik yaitu pemberdayaan petani untuk peningkatan produktivitas dan pendapatannya.

PRODUK ORGANIKPupuk Organik

Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan menyuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Artinya pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau bahan organik yang berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah daripada kadar haranya. Kadar C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik (Suriadikarta dan Simanungkalit 2006). Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah. Pupuk hijau merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Pupuk kandang merupakan kompos dari kotoran ternak. Di sisi lain “pupuk organik” harus memenuhi persyaratan sesuai Permentan Nomor 70/Permentan/SR.14010/2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah (Kementerian Pertanian 2011), artinya jelas kualitas/kandungan haranya dan biasanya diproduksi di pabrik dan diperdagangkan secara resmi.

Page 329: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 297

Gambar 43. Produk Pupuk Organik Padat dan Cair Desa Lubuk Bayas

Pemberian pupuk kandang pada lokasi SIPT + PTT (A), atau PTT (B) pada tanaman jagung, padi dan sayuran telah dilakukan petani. Dengan kegiatan SIPT, meningkatkan jumlah pengguna pupuk kandang, terutama di lokasi SIPT + PTT (A), karena pupuk kandang cukup tersedia (intensif). Per hari dapat menghasilkan (5 x 1) kg = 5 kg pupuk kandang per ekor sapi. Pemberian pupuk kandang saat SIPT + PTT di daerah A mencapai 60–80%, B (13,3–26,7%), dan C (6,7–13,3%) (Wasito 2011; Wasito et al. 2009). Menurut Sumarno dan Suyamto (2008) sejumlah komponen teknologi budidaya padi ramah lingkungan dan berkelanjutan, satu di antaranya bahan organik yang diberikan sampai batas optimal. Hal lain menurut Susanti et al. (2013) pemberian pupuk organik C. juncea hingga 6 t/ha dan S. rostrata hingga 5,25 t/ha yang masing-masing dikombinasikan dengan pupuk kandang dari kotoran sapi hingga 7,2 t/ha tidak meningkatkan hasil padi pada lahan sawah. Hasil padi pada perlakuan bahan organik tersebut cukup rendah, berkisar antara 4,45–5,27 t/ha, sedangkan hasil padi dengan pemupukan 250 kg urea + 60 kg SP-36 + 50kg KCl/ha mencapai 6,14 t/ha, perlu kajian lebih lanjut.

Menurut Suyamto (2017), satu-satunya manfaat pemberian bahan dan pupuk organik pada lahan sawah adalah penyediaan hara bagi tanaman mengingat bahan organik mengandung hara esensial yang dibutuhkan tanaman, baik hara makro maupun mikro, walaupun kadarnya relatif rendah. Manfaat bahan dan pupuk organik terlihat jelas perbedaan manfaatnya pada lahan kering dan lahan sawah irigasi. Komposisi kimia pupuk organik kotoran ternak sapi potong, sapi perah, domba, dan kambing memiliki komponen unsur hara berbeda (Tabel 53).

Page 330: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan298

Tabel 53. Komposisi kimia pupuk organik kotoran ternak

Komponen Sapi Sapi FH Domba Kambing

P (%) 0,57 0,87 0,91 0,96K (%) 0,79 2,62 2,01 1,69Na (%) 0,08 0,16 0,17 0,21Ca (%) 1,4 0,75 1,39 1,27Mg (%) 0,32 0,52 0,69 0,65S (%) 0,55 0,27 0,32 0,30Fe (ppm) 2.400 2.104 2.602 3.371Mn (ppm) 303 955 270 265Cu (ppm) 13 14 18 16Zn (ppm) 160 218 470 463B (ppm) 31 18 35 22Nitrogen (%) 1,73 1,55 1,72 1,40Carbon (%) 13,50 17,90 19,03 13,68N organik (%) 1,07 1,19 1,32 1,0KCl (%) 7,48 7,15 8,02 7,73KTK pH 7 22,56 28,46 21,54 24,36C/N 12,62 15,04 14,42 13,68

Sumber : Balitnak Bogor (2004) dalam Wasito (2015)

Sebagian besar petani saat ini jarang menggunakan pupuk organik dengan alasan yang masuk akal, di antaranya karena sulit mendapatkan serta biaya transportasi dan aplikasinya mahal. Selain itu, dampak penggunaan pupuk organik terhadap peningkatan hasil padi tidak cepat terlihat dan tidak signifikan dibandingkan dengan pupuk kimia. Secara umum telah dipahami bahwa peran dan manfaat bahan organik tanah sangat penting bagi kesuburan kimia, fisika, dan biologi tanah. Penggunaan pupuk organik di lahan sawah selalu dianjurkan dan bahkan pemerintah telah memberikan subsidi harga pupuk organik. Namun dalam perkembangannya masih minim petani yang menggunakan pupuk organik, antara lain ditandai oleh serapan penggunaan pupuk organik bersubsidi oleh petani masih rendah.

Page 331: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 299

Padi Organika. Padi Organik Lubuk Bayas

Kelompok Tani (Poktan) Tani Subur merupakan satu-satunya kelompok pertanian padi organik di Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Kelompok ini menerapkan pertanian padi organik dengan memanfaatkan kotoran, air seni ternak yang ada di Desa Lubuk Bayas, atau tumbuh-tumbuhan yang dikeringkan dan diolah sendiri menjadi kompos. Pencegahan hama penyakit tanaman (HPT) digunakan insektisida hayati yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan, yaitu daun sirih, tembakau, akar pinang muda, dan lainnya. Persepsi petani terhadap pertanian organik jauh lebih rumit pengerjaannya dibandingkan pertanian anorganik, baik dalam hal pengelolaan lahan dan pemeliharaannya. Namun jika dilihat dari input yang dikeluarkan, petani anorganik lebih banyak mengeluarkan input produksi dibandingkan pertanian organik. Sama seperti produk organik pada umumnya, pengurangan penggunaan input kimia menyebabkan produksi yang relatif rendah, diharapkan pasar memberikan harga yang lebih tinggi.

Gambar 44. Padi organik Poktan Tani Subur Desa Lubuk Bayas

Data dari Poktan Tani Subur, bahwa dari tahun 2008–2013 terjadi peningkatan jumlah penjualan beras organik dan harga beras organik (Tabel 54). Tujuan pasar penjualan beras organik dari tahun ke tahun berkembang mulai dari koperasi JAPSA hingga ke mitra-mitra penjualan yang ada di dalam dan di luar Provinsi Sumatera Utara. Poktan Tani Subur sampai saat ini melakukan kerja sama dalam penjualan beras organik dengan Koperasi JAPSA dan mitra-mitra penjualan beras organik.

Page 332: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan300

Tabel 54. Jumlah Penjualan Beras Organik dan Harga Beras Organik serta Non Organik

No TahunBeras Organik Beras non Organik

Penjualan (kg) Harga (kg/rupiah) Harga (kg/rupiah)1 2008 1.500 7.500 7.2002 2009 3.000 8.000 7.5003 2010 8.000 8.500 8.0004 2011 15.000 9.500 8.2005 2012 13.000 10.200 8.2006 2013 14.000 12.500 8.700

Sumber : Poktan Tani Subur (2014) dalam Wasito (2015)

b. Padi Organik Pematang SetrakGabungan kelompok tani (Gapoktan) Sri Karya binaan Bank

Indonesia (BI) sukses hasilkan budidaya padi organik di Desa Pematang Setrak, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai). Produk beras yang dihasilkan telah mendapat sertifikat pangan organik dan diberi merek Sri Murni. Beras organiknya telah menembus jaringan salah satu ritel modern di Medan, Yuki Supermarket. BI sendiri dalam menjalankan misinya terus mendampingi petani mulai dari proses pembenihan hingga pascapanen. Bentuk pendampingan yang diberikan berupa pelatihan untuk meningkatkan kualitas SDM, pemilihan bibit yang tepat, menyediakan fasilitas untuk kelompok tani hingga memberikan bantuan alat-alat pertanian. Selain itu, pendampingan dari BI dan Pemkab Sergai mulai dari pelatihan-pelatihan, bantuan alsintan, bantuan gedung pertemuan dan rumah singgah, lantai jemur, gudang kompos serta alat pemisah beras sekaligus vacuum machine dan kemasan. Inovasi terhadap produk beras organik semakin baik, yaitu dengan adanya kemasan kedap udara untuk produksi beras organik Sri Wangi.

Desa Pematang Setrak dijadikan BI sebagai salah satu pilot project pembudidayaan padi organik dalam lima tahun terakhir (2013–2018), produktivitas 6–7 ton/ha, petani di sana semakin antusias mengembangkan usaha itu dan berkeinginan merambah ke sektor wisata pertanian organik. Penelitian Putri (2015), pemanfaatan

Page 333: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 301

kompos jerami memberikan pengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman 98,1 cm; jumlah anakan/rumpun 57,1 batang dan anakan produktif 33,4 batang, jumlah bulir/malai 165 biji, bobot 1000 biji 26 g dan produksi 5 ton padi. Selain itu, potensi desa menjadi daerah wisata pertanian memang cukup besar. Selain berkunjung ke sentra pertanian organik, wisatawan juga bisa melihat-lihat peternakan dan pertunjukan tradisional yang berkembang di desa tersebut. Selain pada Gapoktan Sri Karya Desa Pematang Setrak, BI juga melaksanakan pendampingan di 2 klaster desa pesisir yaitu Desa Sei Nagalawan Kec. Perbaungan dan Desa Bogak Besar Kecamatan Teluk Mengkudu yang bergerak di bidang pertanian dan perikanan sesuai dengan potensi lokal yang ada.

PROSPEK PENGEMBANGAN Salah satu landasan prinsip usahatani padi organik selaras

pendapat Las (2005), di mana sistem pertanian modern (good agricultural practices) mengutamakan produktivitas tinggi, efisiensi produksi (peningkatan pendapatan), ketahanan pangan, kelestarian lingkungan dan sumber daya. Selain itu, usahatani padi organik ini adalah sistem pertanian yang menggunakan bahan organik sebagai salah satu input untuk pembenah tanah dan suplemen pupuk, namun tetap menggunakan input kimia berupa pupuk buatan dan pestisida secara selektif. Mereka sepakat untuk mengurangi penggunaan input kimia dan pengurangan tersebut dikompensasi oleh bahan organik. Menurut Wasito dan Miskiyah (2014), Wasito dan Khairiah (2013), yang menjadi landasan Wasito (2015) dengan matriks SWOT untuk mengklasifikasikan alternatif strategi menjadi empat strategi umum yakni, strategi SO, ST, WO, dan WT. Berdasarkan analisis matriks SWOT ke-4 strategi umum ini menghasilkan delapan alternatif strategi yang terdiri dari dua strategi SO, satu strategi ST, tiga strategi WO, dan dua strategi WT (Tabel 55).

Page 334: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan302

Kekuatan (Strengths, S)a. Ketua kelompok tani

aktif dan dinamis.b. Peralatan pertanian

yang dimiliki mendukung.

c. Lokasi usaha padi organik strategis.

d. Pelatihan budidaya pertanian ramah lingkungan telah diikuti

e. Pelatihan budidaya padi yang baik telah diikuti

Kelemahan (Weakness, W)a. Mayoritas lahan petani sempitb. Modal kerja terbatas.c. Petani kurang mampu

mengimplementasikan PTT padi 100% guna budidaya padi organik.

d. Pemasaran yang belum efisien.e. Kurang konsistennya anggota

organisasi terhadap tugasnya.f. Sebagian SDM petani kurang

kompeten.

Peluang (Opportunities, O)a. Memiliki hubungan baik

dengan dinas pertanian setempat.

b. Sarana produksi padi organik seperti pupuk, bibit, dan pestisida organik yang sudah bersertifikat tersedia

c. Adanya lembaga BITRA Indonesia yang perduli pada pertanian padi organik di Sergei.

d. Konsultan pertanian ada, yang memahami pertanian organik dan mau membina petani.

e. Peluang pasar yang masih luas baik domestik, mancanegara.

f. Pendidikan & kesadaran masyarakat meningkat, akan pentingnya gizi untuk hidup sehat.

g. Potensi sumberdaya alam yang mendukung.

h. Adanya Program pemerintah Go Organic 2010.

Strategi S-O1. Mengembangkan

produk padi organik dengan optimalisasi sumberdaya (alam & manusia) yang ada. (Sa, Sb, Sc, Sd, Se, Oa, Ob, Oc, Od, Og)

2. Mengembangkan pasar dengan mempertahankan hubungan yang baik dengan Dinas Pertanian & Peternakan, dan menjalin kerja sama dengan BITRA Indonesia (Sb, Sd, Se, Oa, Oc, Oe)

Strategi W-O3. Mengembangkan produk dengan

meningkatkan permodalan melalui kerja sama dengan BITRA Indonesia (Wa, Wb, Wd, Ob, Oc)

4. Mengembangkan produk dengan meningkatkan keahlian budidaya padi organik melalui kerja sama yang baik dengan distan dan konsultan pertanian (Wc, Wf, Oa, Ob, Od)

5. Penguatan kelembagaan kelompok tani. (We, Wf, Oa, Od, Oe)

Ancaman (Treats, T)a. Perubahan iklim/cuaca yang

tidak menentu.b. Banyaknya peredaran produk

padi organik palsu.c. Konversi lahan pertanian

tetap dan banyak terjadi.

Strategi S-T6. Mengembangkan

produk dengan adanya jaminan sertifikasi organik.

(Sc, Sd, Se, Tb)

Strategi W-T7. Mengembangkan produk dengan

adanya pemahaman pentingnya sektor pertanian dalam menyangga ekonomi keluarga. (We, Wf, Tb)

8. Menjalin kerja sama dengan para ahli teknologi baik dari institusi penelitian, pendidikan maupun instansi terkait untuk mendapatkan teknologi yang sehat, cepat, dan tepat guna untuk mengembangkan produk organik. (Wa, Ta)

Internal

Eksternal

Tabel 55. Matriks SWOT Pertanian Padi Organik

Page 335: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 303

Alternatif strategi pengembangan padi organik yang dapat dilakukan Poktan Tani Subur Lubuk Bayas dan Gapoktan Sri Karya Desa Pematang Setrak terdiri dari delapan strategi, yaitu: (1) pengembangan produk padi organik dengan optimalisasi sumber daya (alam, manusia) yang ada, (2) pengembangan pasar padi organik dengan mempertahankan hubungan yang baik dengan Dinas Pertanian dan menjalin kerja sama dengan BITRA Indonesia, (3) pengembangan padi organik dengan meningkatkan permodalan melalui menjalin kerja sama dengan BITRA Indonesia, (4) pengembangan produk dengan cara meningkatkan keahlian budidaya padi organik melalui menjalin kerja sama baik dengan dinas pertanian dan konsultan pertanian, (5) penguatan kelembagaan kelompok tani, (6) pengembangan produk dengan adanya sertifikasi organik, (7) pengembangan produk dengan adanya pemahaman pentingnya sektor pertanian untuk menyangga ekonomi keluarga, (8) menjalin kerja sama dengan para ahli teknologi baik dari institusi penelitian, pendidikan maupun instansi terkait untuk mendapatkan teknologi yang sehat, cepat, dan tepat guna, selaras dengan Siahaan (2009).

Rancangan arsitektur strategik dilakukan dengan memperjelas visi, misi, sasaran poktan, dan mengidentifikasi tantangan dalam pengembangan padi organik. Alternatif strategi yang dihasilkan dalam matriks SWOT adalah rekomendasi program kerja, dengan dua kegiatan, yaitu: kegiatan yang dilakukan terus-menerus dan kegiatan yang dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu enam tahun (2015–2020). Selain itu, sistem pertanian organik yang tidak mentoleransi penggunaan input kimia, perlu pemahaman yang lebih bijaksana. Karena secara teknis, sistem ini tidak mampu mendorong laju peningkatan produktivitas padi, dan bahkan cenderung menurun dari waktu ke waktu. Hal ini tentu tidak relevan dengan keberlanjutan ketahanan pangan. Selain itu, kekurangan produksi padi berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Penerapan Internal Control System (ICS), bagian dari SNI 01-6729-2010 untuk memperoleh sertifikasi organik dari lembaga sertifikasi. Pengorganisasi petani dalam inovasi PTT padi, ICS harus kuat, tanpa solidnya kelompok dan mekanisme kelompok yang baik, maka kerja inovasi PTT padi, ICS tidak akan dapat dilakukan secara maksimal.

Page 336: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan304

Padi organik di Poktan Tani Subur Desa Lubuk Bayas dan Gapoktan Sri Karya Desa Pematang Setrak tidak hanya berperan penting sebagai makanan pokok, tetapi juga merupakan sumber perekonomian. Salah satu landasan prinsip kajian usahatani padi organik selaras pendapat Las (2005), di mana sistem pertanian modern (good agricultural practices) mengutamakan produktivitas tinggi, efisiensi produksi (peningkatan pendapatan), ketahanan pangan, kelestarian lingkungan dan sumber daya. Selain itu, usahatani padi organik ini adalah sistem pertanian yang menggunakan bahan organik sebagai salah satu input untuk pembenah tanah dan suplemen pupuk, namun tetap menggunakan input kimia berupa pupuk buatan dan pestisida secara selektif. Mereka sepakat untuk mengurangi penggunaan input kimia dan pengurangan tersebut dikompensasi oleh bahan organik.

Sistem pertanian organik yang tidak mentoleransi penggunaan input kimia, perlu pemahaman yang lebih bijaksana. Karena secara teknis, sistem ini tidak mampu mendorong laju peningkatan produktivitas padi, dan bahkan cenderung menurun dari waktu ke waktu. Hal ini tentu tidak relevan dengan keberlanjutan ketahanan pangan. Selain itu, kekurangan produksi padi berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Penerapan ICS, bagian dari SNI 01-6729-2010 untuk memperoleh sertifikasi organik dari lembaga sertifikasi. Pengorganisasi petani dalam inovasi PTT padi, ICS harus kuat, tanpa solidnya kelompok dan mekanisme kelompok yang baik, maka kerja inovasi PTT padi, ICS tidak akan dapat dilakukan secara maksimal. Menurut FAO (2002), pertanian organik sebagai sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan ekosistem, termasuk siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Keuntungannya adalah terjaganya kondisi lingkungan dan terjaminnya keberlanjutan usahatani. Dari segi keamanan pangan, produk organik tidak menggunakan bahan pembasmi sintetis untuk hama dan penyakit, sehingga manusia terbebas dari dampak negatif akumulasi residu bahan sintetis tersebut dalam tubuhnya. Posisi padi organik, sektor pertanian dalam perekonomian regional, nasional secara umum mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi: (1) ekonomi sebagai penyedia pangan, kesempatan kerja, dan pendapatan; (2) sosial berkaitan dengan pemeliharaan masyarakat pedesaan

Page 337: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 305

sebagai penyangga budaya bangsa; dan (3) ekologi sebagai perlindungan lingkungan hidup, konservasi lahan dan cadangan sumber air (Hafsah 2009).

Beras organik yang dihasilkan oleh Kelompok Tani Subur meliputi: 1) beras sehat Sintanur organik 2) beras sehat Ciherang organik 3) beras hitam organik 4) beras merah organik. Beras organik lainnya yang berasal dari produksi Kelompok Tani Fajar, Desa Pematang Setrak, Kecamatan Teluk Mengkudu, Serdang Bedagai berhasil masuk ke supermarket dikemas dengan merek Sriwangi. Selain itu beras organik dari Lubuk Bayas sudah dipromosikan ke Korea Selatan, bahkan Presiden IFOAM Asia Prof Zhiau Chang memberikan tanggapan positif terhadap perkembangan pertanian organik di Kabupaten Serdang Bedagai (Metro 2018). Hasil pengkajian Sitorus (2014) di Desa Lubuk Bayas pada Kelompok tani Subur menunjukkan bahwa penerapan sistem pertanian organik pada padi sawah yang dilakukan dapat meningkatkan produksi padi, pendapatan petani, mengurangi biaya produksi pertanian dan meningkatkan kesuburan biologis lahan pertanian. Romauli (2014) juga mengatakan bahwa di Kabupaten Serdang Bedagai ada hubungan antara pengalaman bertani dengan tingkat adopsi petani terhadap pertanian terpadu usaha padi organik. Tingkat adopsi petani terhadap teknologi pertanian terpadu usahatani padi organik tergolong kategori tinggi. Selain itu, terjadi perkembangan penerapan usahatani padi organik dari penjualan beras organik yang berkembang dari tahun 2008–2012 sebesar 566,67%. Karakteristik sosial ekonomi yang berhubungan secara nyata dengan tingkat partisipasi petani adalah pengalaman bertani, umur dan frekuensi mengikuti penyuluhan (Sitepu 2014). Dalam rangka pengembangan beras organik strategi yang dilakukan adalah strategi turn around yaitu dengan mengatasi kelemahan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada (Safitri 2013). Hal lain, dalam rangka pengembangan padi organik Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai selain penandatanganan MOU antara Bupati Serdang Bedagai dengan walikota Tebing Tinggi, juga mengikuti pameran Agrimarket & pameran flora fauna TAM-PFF ke-5 tahun 2018 di lapangan Srimersing paling diminati padi organik putih, merah dan hitam, direktur bahan kebutuhan pokok dan barang kementerian perdagangan sangat bangga dengan hasil pertanian organik yang dihasilkan (Sumut.com 2018). Pengembangan padi

Page 338: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan306

organik di Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2012, meliputi Kecamatan Perbaungan yaitu 120 ha, Teluk mengkudu 40 ha, Tebing Tinggi 20 ha, Pantai Cermin 40 ha, Serba Jadi 20 ha, Sei Rampah 20 ha dan Pegajahan 40 ha, dan pada tahun 2013 seluas 1.400 ha (Distanak 2013).

Kendala Pengembangan Kendala utama dalam struktur sistem pertanian padi organik

yang menyebabkan pertanian padi organik belum berkembang, selaras Ristianingrum (2016) adalah kurangnya komitmen pemerintah dalam pengembangan pertanian padi organik. Pemerintah khawatir pertanian padi organik akan menurunkan produksi padi yang akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pangan. Selain itu, belum adanya kebijakan khusus untuk pengembangan pertanian padi organik dan kurangnya dukungan infrastruktur. Kendala utama lain adalah terbatasnya kualitas sumberdaya manusia petani, kurangnya kesadaran terhadap kelestarian. Keterbatasan lahan menyebabkan petani takut menanggung risiko karena adanya masa peralihan pertanian padi organik seiring dengan pemulihan lahan. Selain itu, lemahnya manajemen dalam pemasaran, atau adanya keterbatasan modal menyebabkan posisi tawar petani menjadi rendah sehingga harga padi/beras organik dikuasai oleh tengkulak. Belum terjaminnya pasar dan harga beras organik menyebabkan banyak petani belum bersedia menerapkan pertanian padi organik. Faktor sumberdaya manusia petani sebagai elemen kunci dalam struktur sistem pertanian padi organik yang menjadi pendorong menyebabkan kendala-kendala lainnya dalam pengembangan pertanian padi organik.

Kendala lain dalam penerapan pertanian padi organik adalah keterbatasan permodalan, dan lembaga keuangan belum mendukung. Modal sangat dibutuhkan untuk biaya pupuk organik yang relatif banyak, perawatan yang lebih intensif, pemasaran (biaya pengolahan dan pengangkutan) ke kota besar (konsumen beras organik masih terbatas pada masyarakat golongan menengah ke atas). Artinya perbankan merupakan elemen kunci sehingga peran dari lembaga perbankan akan mempengaruhi peran lembaga-lembaga lainnya dalam pengembangan pertanian padi organik. Dukungan perbankan diperlukan dengan memberikan bantuan permodalan dengan persyaratan yang ringan dan bunga yang murah. Pemberian

Page 339: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 307

bantuan modal dapat melalui pembentukan koperasi yang bertujuan melakukan pemasaran bersama sehingga dapat meningkatkan posisi tawar dan memperluas pemasaran.

Peningkatan frekuesi penyuluhan dan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran petani terhadap kelestarian lingkungan dan keterampilan budidaya padi organik. Selain itu, perlu pendampingan dan monitoring lapangan agar program pengembangan pertanian padi organik tetap berlanjut dan tercapai sesuai tujuan. Untuk itu diperlukan peningkatan jumlah dan kualitas PPL (elemen kunci) yang menguasai teknologi pertanian padi organik. Artinya faktor utama untuk pengembangan pertanian padi organik diperlukan komitmen pemerintah, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, jaminan pasar dan bantuan permodalan. Menurut Ristianingrum (2016), hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam penerapan pertanian padi organik yang signifikan adalah keikutsertaan pelatihan, harga padi dan kebijakan pemerintah. Artinya masih rendahnya harga padi organik saat ini akibat lemahnya manajemen pemasaran karena keterbatasan sumberdaya manusia petani dan keterbatasan modal sehingga posisi tawar petani menjadi rendah. Saat ini sebagian besar petani belum menerapkan pertanian padi organik dikarenakan kurangnya dukungan dan bantuan dari pemerintah. Kurangnya komitmen pemerintah merupakan elemen kunci kendala utama dalam struktur sistem pertanian padi organik. Hasil di atas selaras Sutrisno (2011) bahwa pertanian padi organik belum menjadi program prioritas di Kabupaten Pati. Menurut Kusmuljono (2007) kebijakan yang tidak jelas karena kurangnya koordinasi antar kementerian terkait, kurangnya dukungan pemerintah, tidak ada penyuluhan dan pendampingan. Selain itu, menurut Suwantoro (2008) bahwa pengembangan pertanian padi organik menghadapi berbagai kendala yaitu pertanian padi organik dipandang sebagai sistem pertanian yang merepotkan, keterampilan petani masih kurang, persepsi yang berbeda mengenai hasil dan dukungan pemerintah yang masih kurang.

Faktor Penentu Keberlanjutan Padi Organik Keberlanjutan pertanian padi organik akan diketahui dengan

meningkat setelah dilakukan pengembangan berdasarkan elemen-elemen kunci yang menjadi pendorong bagi pengembangan pertanian padi organik sangat efektif, di antaranya adanya pencegah terjadinya

Page 340: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan308

konversi lahan pertanian, dan upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pangan sehat. Keberlanjutan pertanian padi organik pada kondisi saat ini, selaras Ristianingrum (2016) dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor yaitu sumberdaya manusia, kelembagaan, dan pasar beras organik. Faktor sumberdaya manusia petani yang berkaitan dengan kemampuan petani menerapkan teknologi budidaya padi organik. Misalnya kurangnya kesadaran petani terhadap kelestarian lingkungan, kurangnya pengetahuan, sikap petani yang menganggap budidaya padi organik sulit (perawatan intensif), menjadi kendala dalam penerapan pertanian padi organik. Luasan lahan yang sempit menyebabkan sikap petani tidak bersedia menanggung risiko penurunan produktivitas padi pada masa peralihan. Selain itu, sikap petani yang mudah tergiur oleh harga tanah yang tinggi untuk pembangunan industri dan perumahan menyebabkan banyak terjadi konversi lahan pertanian. Keterbatasan modal dan lemahnya manajemen petani juga menyebabkan posisi tawar petani menjadi rendah sehingga pemasaran padi/beras organik dikuasai oleh tengkulak.

Faktor kelembagaan yaitu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pertanian padi organik dan dukungan infrastruktur, antara lain belum adanya kebijakan tentang land reform serta tidak adanya ketegasan terhadap alih fungsi lahan dan UU perlindungan tanah abadi. Hal lain, status penguasaan lahan hak sakap mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian padi organik serta banyak terjadi konversi lahan. Selain itu, kekhawatiran pemerintah akan terjadinya penurunan produksi padi pada pertanian padi organik.

Faktor pasar beras organik karena konsumen beras organik yang masih relatif terbatas pada masyarakat golongan menengah ke atas dan memiliki kesadaran terhadap pangan sehat, umumnya berada di kota-kota besar. Selain itu, belum adanya kemitraan dalam pemasaran, dan harga padi/beras organik yang relatif rendah menyebabkan pasar beras organik belum terjamin sehingga petani belum bersedia menerapkan pertanian padi organik.

Page 341: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 309

PENUTUPInisiasi model m-P3MI di Desa Lubuk Bayas Berbasis Integrasi

Padi-Ternak melalui usahatani terpadu (PTT padi dan SIPT). Produk organik yang memiliki peluang pengembangan di Serdang Bedagai adalah padi organik dengan pupuk organik (pupuk kandang dan urine sapi). Kendala utama sistem pertanian padi organik adalah pemerintah khawatir pertanian padi organik akan menurunkan produksi padi yang akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pangan. Selain itu, belum adanya kebijakan khusus untuk pengembangan pertanian padi organik dan kurangnya dukungan infrastruktur serta kurangnya kesadaran terhadap pangan sehat.

UCAPAN TERIMA KASIHPenghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang sudah memberikan dana penelitian melalui anggaran SMARTD sehingga kajian ini berjalan hingga selesai, serta pihak-pihak lain yang sudah banyak membantu sehingga kegiatan kajian ini berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKABadan Litbang Pertanian. 2011. ”Panduan Umum Model

Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (M-P3MI)”. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian.

Distannak (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Serdang Bedagai. 2013. “Serdang Bedagai Menuju Pertanian Organik”. http///google.co.id diakses 16 November 2018

Hafsah, M.J. 2009. Membangun Pertanian Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Khairiah. 2008. “Dampak Sistem Integrasi Padi dan Ternak Sapi di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara”. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 21 – 22 Agustus 2007. Puslitbang Peternakan. 2008.

Page 342: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan310

Khairiah, Catur Hermanto dan Wasito. 2015. “Sistem Integrasi Padi dan Ternak Sapi di Desa Lubuk Bayas Titik Tumpuan Pertanian Bioindustri di Perbaungan Sumatera Utara”. Prosiding Seminar Nasional 2014 : Inovasi Teknologi Padi Mendukung Pertanian Bioindustri. BB Penelitian Tanaman Padi. Buku 2 : 825 - 836. ISBN: 978-979-540-100-1.

Khairiah dan Wasito. 2008. “Dampak Sistem Integrasi Padi dan Ternak Sapi di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara”. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 21–22 Agustus 2007. Puslitbang Peternakan. 2008.

Kasryno, F. 1995. “Reorientasi Penelitian dan Penyuluhan Pertanian pada PJP II”. Prosiding Lokakarya Dinamika dan Perspektif Penyuluhan Pertanian pada -Pembangunan Jangka Panjang Tahap ke- II. Badan Litbang Jakarta.

Kusmuljono BS. 2007. “Sistem pengembangan usaha berbasis lingkungan didukung lembaga keuangan mikro”. dalam Forum Pascasarjana. 30 (1):49-59.

Las, Irsal. 2005. “Sudah Perlukah Padi Organik ?”. Balai Penelitian Tanaman Padi.

Metro. 2018. “Sukses Promosikan ke Luar Negeri, Serdang Bedagai terus Galakkan Tanaman Padi Organik”. http//newsmetro24jam.com/rev diakses 16 November 2018

Putri Arwina. 2015. “Pemanfaatan Kompos Jerami untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi padi Sawah (Oryza sativa L.) di Desa Pematang Setrak, Sumatera Utara”. Laporan Tugas Akhir, Program studi Budidaya Tanaman Pangan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Tidak publikasi

Romauli Melfrianti Fauzia Lily. S Roem M. 2014. ”Tingkat adopsi petani terhadap teknologi pertanian terpadu usahatani padi organik”. diakses 16 November 2018.

Ristianingrum A. 2016. “Model Agribisnis Padi Organik di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat”. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak publikasi.

Setyorini, D dan Ladiyani. 2012. “Cara Cepat Menguji Status Hara dan Kemasaman Tanah”. Balai Penelitian Tanah. BBSDL Bogor

Page 343: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 311

Suriadikarta R.D.A dan R.D.M. Simanungkalit. 2006. “Pupuk Organik dan Pupuk Hayati”. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Siahaan, L. 2009. “Strategi Pengembangan Padi Organik Kelompok Tani Sisandi, Desa Baruara, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara”. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. p. 126

Safitri A Sri, Chalil Diana, Emalisa. 2013. “Strategi Pengembangan Sistem Agribisnis Beras Organik(Studi Kasus Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kab. Serdang Bedagai)”. dalam Journal on sosial economic of agriculture and agribusiness 2 (10) 2013. http//jurnal.usu.ac.id/index.php diakses 17 November 2018.

Safaruddin. 2011. “Analisis Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) Terhadap Peningkatan Pendapatan Petani dan Dampaknya Terhadap Pengembangan Wilayah di Kab. Serdang Bedagai”. Tesis pada Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. http//m-id.123dok.com/dokumendiakses 16 November 2018

Sitorus P. 2014. “Pertanian Padi Sawah Organik di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kab. Serdang Bedagai”. digilib.unimed.ac.id diakses 16 November 2018

Sitopu Reslila, Fauzia Lily. Jufri. 2014. ”Partisipasi Petani dalam Penerapan Usaha tani Organik (Kasus Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kab Serdang Bedagai)”. diakses 16 November 2018

Soekirman. 2018. “Serdang Bedagai Salah satu Lumbung Beras”. Galakkan Pertanian Organik http//m.gosumut.com/berita diakses 16 November 2018

Sumut.com. 2018. “Kementerian Perdagangan Puji Pertanian Organik Serdang Bedagai”. www.gosumut.com diakses 18 November 2018

Suyamto. 2017. “Manfaat Bahan dan Pupuk Organik pada Tanaman Padi di Lahan Sawah Irigasi”. dalam Iptek Tanaman Pangan 12 (2) 2017.

Sumarno dan Suyamto. 2008. “Budidaya padi ramah lingkungan dan berkelanjutan”. Hal. 360-387. Dalam. Suyamto, I.N. Widiarta dan Satoto (Penyunting). Padi (Buku 1): Inovasi teknologi dan ketahanan pangan.Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Page 344: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan312

Susanti, R.A., T. Sumarni dan E. Widaryanto. 2013. “Pengaruh bahan organik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi varietas Inpari 13 sistem tanam jajar legowo”. dalam Jurnal Produksi Tanaman 1(5): 456-463.

Sutrisno. 2011. “Mengelola sistem pertanian organik pada tanaman padi, Kabupaten Pati”. http://www.litbang.patikab.go.id (2011 Jun 14).

Suwantoro AA. 2008. “Analisis pengembangan pertanian organik di Kabupaten Magelang (studi kasus di Kecamatan Sawangan)”. Tesis Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Tjitropranoto, P. 1989. :Pemantapan Sistem Komunikasi: Meningkatkan Keterkaitan Penelitian Penyuluhan:. Prosiding Temu Tugas Penelitian Penyuluhan Pertanian Halaman 20 – 23. Badan Litbang Pertanian.

Wasito. 2015. “Senjang Adopsi Standar Nasional Indonesia(SNI) 01-6729-2010 pada Usahatani Padi Organik Poktan Tani subur di Serdang Bedagai”. Gap of Indonesian National Standard (SNI)01-6729-2010 Adoption in Organic Rice Farming In Serdang Bedagai Farmer’s Group. Jurnal Standarisasi vol. 17 no. 3 Nopember 2015 p 213 – 222.

Wasito dan Miskiyah. 2014. “Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) Pada Usahatani Padi Organik Desa Lubuk Bayas Sebagai Model Pertanian Bioindustri di Kabupaten Serdang Bedagai”. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi, BSN Jakarta 13 Nopember 2014. p. 271 – 284.

Wasito, Andriati, dan I Gusti Putu Wigena. 2014. ”Analisis PTT Padi dengan SIPT Sebagai Model Pertanian Bioindustri di Perbaungan Sumatera Utara”. Prosiding Forum Tahunan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Inovasi Ke-4 2014. Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. p. 218 – 227. ISSN : 2088 – 2645.

Wasito dan Khairiah. 2013. ”Senjang Penerapan Standar Nasional Indonesia Sistem Pangan Organik Pada Usaha Tani Padi Organik Gapoktan Simpatik (Tasikmalaya) dan Sri Rejeki (Serdang Bedagai)”. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi. BSN - Universitas Sumatera Utara. p 74 - 91. ISSN : 0853-9677

Page 345: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 313

Wasito. 2011. ”Sistem Integrasi Padi dan Ternak Sapi Kelompok Tani Mawar di Perbaungan (Kab. Serdang Bedagai) Menuju Peningkatan Ketahanan Pangan”. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 3 – 4 Agustus 2010. Puslitbangnak 2011.

Wasito, D. Dwi Handoko, dan Hasil Sembiring. 2009. “Ketahanan Pangan Keluarga Petani Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) (Kasus P3T Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Sumatera Utara)”. Prosiding Seminar Nasional Padi 2008 : Inovasi Teknologi Padi Mengantipasi Perubahan Iklim Global Mendukung Ketahanan Pangan (Buku 4). Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. p. 1691 – 1704.

Zachri, Zahir. 2000. “Penyuluh Pertanian di era Otonomi Daerah”. Prosiding Lokarkaya Nasional Penyebaran Inovasi Pertanian Era Otonomi Daerah. Pusat Perpustakaandan Penyebaran Teknologi Pertanian. Pusat Penyuluhan Pertanian. 1995. Pedoman Pemilihan Metode Penyuluhan Pertanian. 91 halaman

Page 346: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 347: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

PEMANFAATAN BIOSLURRY DALAM MENDUKUNG PERTANIAN

Meksy Dianawati

PENDAHULUANPeternakan intensif dapat meningkatkan pembangunan

perdesaan, namun di sisi lain dapat mencemari lingkungan melalui pembuangan limbah kotoran ternak ke tanah, air permukaan, serta emisi ke atmosfer (Flotats et al. 2009). Limbah ternak antara lain adalah kotoran padat dan urine, serta limbah lain yang ditimbulkan berupa gas yang berbau tidak sedap. Menurut Hanif (2010), sapi dengan bobot sebesar 450 kg per ekor dapat menghasilkan kotoran sebanyak 25 kg per hari. Jika dalam satu kelompok ternak sapi terdapat 100 ekor, maka terdapat 2,5 ton kotoran sapi per hari. Alzamakhsyari (2018) melaporkan potensi pencemaran dari kotoran padat sapi perah di Lembang, Bandung Barat sebesar 59% dari total ketersediaan atau setara dengan 81.152,4 kg N per tahun. Sementara itu menurut Widodo et al. (2009), gas tidak sedap berupa gas metan dapat menimbulkan efek rumah kaca yang menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan global karena memiliki dampak panas 21 kali lebih tinggi daripada gas karbondioksida.

Limbah kotoran ternak terutama sapi tidak banyak dimanfaatkan oleh peternak karena kesibukan peternak dalam mencari pakan (Mulijanti et al. 2015). Handayanta et al. (2015) menyatakan peternak mencari hijauan sampai keluar daerahnya sehingga memerlukan tenaga dan biaya yang tidak sedikit, terutama di saat musim kemarau. Kesulitan mencari pakan ini menyebabkan peternak tidak memiliki waktu untuk mengolah limbah ternak dan membuangnya ke selokan agar kandangnya tetap bersih (Mulijanti et al. 2016). Kondisi demikian menyebabkan petani sekitarnya yang semestinya dapat memanfaatkan limbah ternak cenderung memilih menggunakan pupuk kandang (pukan) ayam yang sudah matang dan lebih ringan sehingga biaya angkut lebih murah daripada menggunakan pukan sapi yang sulit didapat karena limbah sapi tidak diolah menjadi pupuk organik (Mulijanti et al. 2015).

Page 348: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan316

Sistem integrasi ternak dan tanaman merupakan salah satu upaya efisiensi usaha untuk meningkatkan pendapatan petani dengan usaha multikomoditas (ternak dan tanaman) dengan memanfaatkan limbah dari masing-masing komoditas. Integrasi ini mampu menekan input produksi dengan prinsip mengurangi risiko usaha melalui diversifikasi sehingga kelestarian sumber daya lahan lebih terjaga (Diwyanto dan Handiwirawan 2004). Dalam konsep integrasi, diintroduksikan inovasi teknologi pakan lengkap yang dapat menyediakan pakan berkualitas dan mengurangi ketersediaan waktu untuk mencari pakan, sehingga peternak memiliki waktu untuk mengolah kotoran ternak menjadi pupuk organik yang kemudian dimanfaatkan petani (Mulijanti et al. 2016; Karnawan et al. 2017). Pengembangan integrasi tanaman ternak mendukung model pembangunan pertanian berkelanjutan berbasis inovasi (m-P2BBI) dengan memanfaatkan petani dan peternak dalam lingkup perdesaan. Dianawati et al. (2014) melaporkan bahwa titik temu m-P2BBI pada integrasi tanaman ternak di dataran tinggi Pangalengan Jawa Barat terletak pada pemanfaatan limbah kotoran ternak untuk usahatani sayuran, sedangkan limbah sayuran dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi perah.

Selain dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik ataupun media cacing menjadi kascing, limbah sapi dapat digunakan sebagai bahan bakar biogas (Dianawati dan Mulijanti 2015). Pengembangan biogas di Indonesia sebagai sumber energi alternatif mulai digalakkan pada awal tahun 1970-an (Haryati 2006). Sebagian besar pemanfaatan biogas di Indonesia terbatas untuk memasak dan memanaskan, padahal biogas mengandung bahan utama CH4 yang dapat dipergunakan sebagai bahan bakar dalam pembangkit energi listrik. Oleh karena itu, Dianawati dan Mulijanti (2015) menyarankan perbaikan teknologi biogas, integrasi sistem biogas dengan produksi pupuk organik, dan sosialisasi serta bimbingan teknis biogas untuk memperluas pengembangan biogas di tingkat masyarakat. Hal ini karena biogas memiliki banyak manfaat sebagai sumber energi alternatif, pupuk organik baik padat maupun cair, pakan ternak, dan perbaikan sanitasi lingkungan (Elizabeth dan Rosdiana 2011). Selain itu limbah biogas adalah produk organik yang telah terfermentasi secara anaerob sehingga dapat digunakan sebagai pupuk karena kandungan senyawa makro, mikro maupun mikrobia yang terdapat dalam limbah yang biasa disebut dengan bioslurry (Biru 2010; Saflan et al. 2015). Guo et al. (2005) menyatakan pupuk organik dari limbah biogas memiliki beberapa manfaat antara lain sebagai pupuk dan

Page 349: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 317

anti stres pada tanaman karena mengandung hormon, asam nukleat, monosakarida, asam amino bebas, vitamin, asam lemak bebas, proline, asam linoleat, dan asam fulvic. Namun disisi lain bioslurry belum banyak dimanfaatkan (Alzamakhsyari 2018).

Makalah ini bertujuan untuk membahas prospek pemanfaatan bioslurry dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan berbasis integrasi tanaman-ternak.

POTENSI PEMANFAATAN BIOSLURRY SEBAGAI PUPUK

Proses fermentasi pada proses pengomposan kotoran ternak umumnya dapat dilakukan secara aerobik ataupun anaerobik. Bioslurry adalah produk akhir pengolahan limbah biogas berbahan kotoran ternak dalam bentuk padat dan cair melalui proses tanpa oksigen (anaerobik) di dalam ruangan tertutup digester (Yafizham 2016). Abderezzak et al. (2012) menyatakan keuntungan fermentasi anaerobik pada biogas dibandingkan aerobik adalah pengurangan bahan organik yang cukup tinggi, sehingga sesuai sebagai salah satu metode pengolahan limbah yang efektif.

Kotoran ternak yang sudah dicampur air dimasukkan ke dalam digester dan kemudian dibiarkan sampai gas yang dihasilkan stabil. Ginting et al. (2018) menyatakan bahwa digester plastik yang paling menguntungkan di Indonesia karena menghasilkan banyak biogas dan bioslurry. Untuk meningkatkan proses fermentasi, bakteri anaerob pada pengisian pertama perlu ditambahkan starter sebanyak 1 liter dan isi rumen segar dari rumah potong hewan sebanyak 5 karung untuk kapasitas digester 3,5–5,0 m3 (Haryati 2006). Gas yang dihasilkan pertama kali harus dibuang karena didominasi CO2. Selanjutnya akan terbentuk gas CH4 yang semakin meningkat dan CO2 semakin menurun. Pada saat komposisi CH4 sebesar 54% dan CO2 sebesar 27%, biogas akan menyala (Rustijarno 2009). Bioslurry telah mengalami proses dekomposisi dalam digester, sehingga limbahnya telah matang dan dapat langsung digunakan sebagai pupuk organik (Biru 2010).

Komposisi bioslurry setelah fermentasi adalah air 70–80% dan zat kering 20–30%, jika diuraikan lagi zat kering tersebut mengandung bahan organic 18–27%. Insam et al. (2015) menyatakan bahwa

Page 350: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan318

bioslurry memiliki kandungan N total, amonium, dan pH yang lebih tinggi daripada limbah yang dikomposkan, sedangkan CN rasio menurun dari 10,7 menjadi 7, sehingga memiliki kualitas yang baik. Nkoa et al. (2014) menyatakan bahwa limbah biogas merupakan sumber N dengan risiko kehilangan N-nya rendah. Kandungan lain yang terdapat dalam bioslurry yaitu asam amino, asam lemak, asam organik, asam humat, vitamin B-12, hormon auksin, sitokinin, antibiotik, dan nutrisi mikro yaitu besi (Fe), tembaga (Cu), zink (Zn), mangan (Mn), dan molibdenum (Mo) (Witariadi dan Asih 2010). Kandungan asam humat di dalam bioslurry berkisar 8,81–21,61%, yang bermanfaat bagi keremahan tanah, menjaga nutrisi tidak mudah tercuci atau hilang (Biru 2010). Bioslurry mengandung lebih sedikit bakteri pathogen sehingga aman untuk digunakan sebagai pupuk (Citra et al. 2012).

Hasil analisis bioslurry yang dibandingkan dengan pupuk organik disajikan pada Tabel 56. Bioslurry kering memiliki CN rasio paling rendah dengan kandungan air yang rendah pula. Goyal et al. (2005) menyatakan bahwa rasio CN di bawah 20 menunjukkan kematangan pupuk organik. Ketika limbah organik dikomposkan, umumnya akan terjadi penurunan CN rasio karena kehilangan karbon sebagai CO2 dan akan menstabil pada kisaran 15–20. Sutanto (2002) menyatakan bahwa kandungan air pupuk organik seharusnya tidak melebih 15–25%. Semakin rendah kandungan air pupuk organik, maka semakin baik kualitas pupuk organik tersebut. Dengan demikian limbah biogas kering memiliki kualitas sebagai pupuk organik terbaik (Dianawati et al. 2014).

Tabel 56. Hasil analisis kimia tanah berbagai jenis pupuk organik (Dianawati et al. 2014)

Jenis pupuk organik

pH H2O (%)

Kadar Air(%)

C-Organik (%)

N-Total (%)

C/N (%)

P2O5 (%)

K2O (%)

Pukan Sapi 8,5 72,9 10,9 0,7 16 0,5 0,8

Pukan Ayam 8,1 84,6 6,8 0,5 14 0,2 0,4

Kascing 6,6 32,5 26,1 1,3 21 0,3 0,7

Biogas Basah 7,7 71,7 9,7 0,6 16 0,3 0,5

Biogas Kering 7,8 14,9 19,7 1,7 12 3,6 2,3

Page 351: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 319

Sunaryo (2014) menyatakan digester biogas 4 m2 memerlukan kotoran hewan sebanyak 20–40 kg dengan kepemilikan ternak 3–4 ekor sapi. Substrat kotoran ternak diencerkan dengan air 1 : (1–2) bergantung kondisi kotoran ternak dan dimasukkan ke dalam digester sampai menutup saluran pemasukan dan pengeluaran dan kemudian dibiarkan sampai gas yang dihasilkan stabil. Waktu untuk membentuk gas yang stabil adalah 20–40 hari (Schievano et al. 2011). Setelah itu pengisian dilakukan setiap hari atau 2 hari sekali tergantung pada kondisi lingkungan dan jenis bahan bakunya dan menghasilkan limbah biogas yang disebut bioslurry.

Bioslurry basah umumnya memiliki pH yang basa dengan kisaran 7,5–8. Bioslurry kering memiliki tampilan lengket, liat, dan tidak mengkilat. Bioslurry biasanya berwarna lebih gelap jika dibandingkan warna kotoran segar dan berukuran tidak seragam. Bioslurry yang terfermentasi anaerobik sempurna dan berkualitas baik memiliki ciri-ciri: tidak berbau seperti kotoran segarnya, tidak atau sedikit mengeluarkan gelembung gas, berwarna lebih gelap bila dibandingkan kotoran segar, dan tidak menarik lalat atau serangga di udara terbuka. Kualitas bioslurry bergantung pada pengelolaannya pada saat di lubang penampung dan penggunaannya di lapang. Bila tidak dikelola dengan benar, kandungan nutrisi dalam bioslurry bisa hilang akibat penguapan, pelindian (larut dalam air tanah), atau larut dalam air limpahan air hujan (Biru 2010).

Inovasi teknologi bioslurry dapat dilakukan dengan memberikan bahan aditif untuk memperkaya kualitas bioslurry atau perbaikan cara penanganan bioslurry dan aplikasinya. Nurjannah et al. (2018) melaporkan bahwa kualitas bioslurry meningkat dengan penambahan kotoran kambing dan arang tempurung kelapa berupa peningkatan hara N, P, dan K. Beberapa petani di Pangalengan menambahkan dekomposer pada bioslurry cair sebagai pupuk organik yang diberikan dengan cara dicor pada tanaman (Dianawati et al. 2014).

Pembuatan pupuk dari bioslurry sangat mudah yaitu dengan memisahkan antara padatan dan cairan dari bioslurry biogas dengan penyaringan. Bioslurry padat kemudian dijemur dan atau diangin-anginkan hingga kering untuk mendapatkan pupuk organik padat. Insam et al. (2015) menyatakan selama proses pencernaan lumpur biogas dalam bentuk ammonia dan menguap, maka limbah biogas sebaiknya dilindungi dari matahari langsung agar terjaga kualitas

Page 352: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan320

pupuknya. Sedangkan untuk menghasilkan pupuk cair, cairan bioslurry dikontakkan dengan udara menggunakan pompa udara seperti yang digunakan dalam aquarium selama 24 jam untuk menghilangkan gas dan menstabilkan cairan (Biru 2010). Dianawati et al. (2014) melaporkan bahwa bioslurry kering memiliki kualitas pupuk organik lebih baik daripada bioslurry basah.

Pada teknik aplikasinya, bioslurry cair digunakan dengan menyiramkan ke pot/polybag atau tanah. Bioslurry padat digunakan dengan cara disebar saat pengolahan tanah dan atau pertengahan musim tanam. Hal yang sama dapat dilakukan di kebun dengan menggunakan bio-slurry cair atau padat atau kombinasi keduanya saat olah lahan, dengan cara disiramkan per lubang bila menggunakan mulsa atau disiramkan di antara tanaman. Yulyatin et al. (2018) melaporkan bioslurry cair dengan frekuensi pengecoran 10 kali dapat meningkatkan produksi tomat dibandingkan frekuensi 8 dan 6 kali.

PENGARUH BIOSLURRY TERHADAP TANAMAN DAN TERNAK

Pengaruh bioslurry terhadap produksi tanaman beragam bergantung pada jenis dan kondisi tanah, kualitas benih, iklim, dan faktor-faktor lain. Namun, pada dasarnya pemakaian bioslurry memberi manfaat dalam memperbaiki struktur fisik tanah sehingga tanah menjadi lebih gembur, meningkatkan kemampuan tanah mengikat atau menahan air lebih lama yang bermanfaat saat musim kemarau, meningkatkan kesuburan tanah dengan menjadikan tanah lebih bernutrisi dan lengkap kandungannya, dan meningkatkan aktivitas cacing dan mikroorganisme probiotik tanah yang bermanfaat untuk tanah dan tanaman (Biru 2010).

Bioslurry telah banyak dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman, baik tanaman pangan, hortikultura, maupun perkebunan. Penggunaan bioslurry kering pada jagung di lahan kering tanah masam memberikan dampak positif baik dari segi teknis dan ekonomis (Soelaeman et al. 2014). Bioslurry dengan konsentrasi 25 ml/L air/petak meningkatkan jumlah tongkol, diameter tongkol, berat tongkol, dan produksi jagung (Maruapey 2015). Yahizman (2016) melaporkan produksi jagung

Page 353: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 321

manis meningkat dengan pemberian bioslurry 100% dengan dosis 2 t/ha. Hal ini karena kandungan bioslurry yang tinggi dengan hara P dan K dengan CN rasio yang rendah sebesar 10,2. Dianawati et al. (2017) melaporkan produksi tongkol jagung manis dengan bioslurry lebih tinggi daripada pukan ayam.

Dianawati et al. (2014) melaporkan produksi kentang tertinggi dengan menggunakan bioslurry kering daripada bioslurry basah karena CN rasio dan kandungan airnya lebih rendah daripada biogas kering, pukan ayam, pukan sapi, dan kascing (Tabel 57). Dianawati (2014) melaporkan media dengan komponen limbah biogas nyata memiliki produksi benih kentang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa komponen limbah biogas lainnya. Hasil bobot segar kubis bioslurry nyata paling tinggi dibandingkan perlakuan pupuk organik lainnya (Tabel 58) (Yulyatin et al. 2016).

Tabel 62. Rerata peubah panen dan hasil panen kentang pada berbagai jenis pupuk organik (Dianawati et al., 2014)

PerlakuanJumlah (buah)

Bobot umbi per tanaman (kg)

Bobot per umbi (g)Umbi

sedangUmbi besar

Total Umbi

Pukan sapi 6b 5b 11a 0,9bc 5,5cd

Pukan Ayam 6b 5bc 12a 1,1b 6,6b

Kascing 3c 3d 7b 0,6d 3,6e

Pukan Sapi 50% + pukan ayam 50%

4c 4c 10b 0,8c 4,7d

Bioslurry basah 7b 6a 12a 1,0b 6,1bc

Bioslurry kering 9a 7a 12a 1,4a 8,3a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.

Citra et al. (2012) melaporkan pemberian bioslurry 100 ml dan 200 ml/7 hari, tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap jumlah tunas, tinggi tanaman, lebar daun dan panjang daun dibandingkan dengan pemberian pupuk yang biasa dilakukan oleh PTPN, bahkan untuk parameter jumlah daun dan jumlah ranting nyata lebih banyak dibandingkan kontrol. Hal ini berarti bahwa pemberian bioslurry tersebut dapat menggantikan pupuk yang biasa digunakan oleh PTPN

Page 354: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan322

IX, sehingga dapat mengurangi biaya pemupukan. Alzamakhsyari (2018) melaporkan pemberian bioslurry sebagai tambahan unsur hara pada tanaman rumput gajah lebih mudah diserap oleh tanaman dibandingkan dengan kotoran padat sapi, sehingga pertumbuhan pada tanaman yang diberikan pupuk organik bioslurry menjadi lebih cepat.

Tabel 58. Rata-rata bobot segar kubis pada berbagai jenis pupuk organik (Yulyatin et al. 2016)

Jenis pupuk organikBobot segar

Per tanaman (gr) Per plot (kg)Ayam 369,90b 6,10b50% pukan Ayam+50% pukan sapi 745,00a 11,03abMol Kohe Sapi 708,80ab 10,45abMol Sayuran 755,30a 11,00ab

Mol EM4 690,50ab 10,25abBiogas 859,20a 12,25a

Ket: Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.

Bioslurry mengandung vitamin B12, sehingga berpotensi digunakan sebagai pakan ternak. Vitamin B12 banyak ditemukan pada bioslurry mencapai 3.000 mikro gram per kg limbah biogas kering. Sebagai perbandingan, tepung ikan dalam ransum makan ternak hanya mengandung 200 mikro gram per kg, sedangkan tepung tulang sekitar 100 mikro gram per kg (Elizabeth dan Rosdiana 2011).

PERMASALAHAN DAN TANTANGAN PEMANFAATAN BIOSLURRY

Manfaat bioslurry terhadap pertanian menyebabkan terjadi peningkatan permintaan bioslurry (Dianawati et al. 2014). Rismayanti et al. (2016) melaporkan 54% responden memilih bioslurry sebagai pupuk organik dibandingkan pupuk organik lain. Dianawati et al. (2014) melaporkan tingginya permintaan bioslurry menyebabkan limbah biogas tidak pernah dibuang lagi dan selalu habis dipesan petani kepada keluarga peternak untuk dimanfaatkan. Dengan

Page 355: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 323

demikian diperlukan tambahan pengembangan instalasi biogas, terutama di sentra peternakan. Biaya investasi awal digester biogas cukup tinggi, namun apabila dihitung dengan pengeluaran bulanan pembelian tabung gas, investasi digester biogas cukup menguntungkan. Dianawati dan Mulijanti (2015) menyarankan agar subsidi elpiji di sentra peternakan dapat diubah menjadi subsidi digester biogas. Di tengah kebutuhan energi yang terus meningkat dan langka, maka kebutuhan biogas menjadi penting. Sejalan dengan pembangunan mandiri energi pada sentra peternakan, maka dukungan pembangunan instalasi biogas perlu ditingkatkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap kebutuhan energi. Pembangunan tersebut juga harus diikuti dengan arahan pemanfaatan bioslurry menjadi pupuk organik.

Biogas perlu terus dikembangkan baik secara perorangan maupun kelompok. Dianawati dan Mulijanti (2015) menyarankan peternak lebih baik berinvestasi membangun digester biogas swadaya dibandingkan pengeluaran elpiji bulanan. Pemerintah mengeluarkan dana subsidi untuk pembelian tabung gas 3 kg sebesar Rp7.950 per kg. Apabila dibandingkan antara mengeluarkan dana subsidi tabung gas 3 kg dan bantuan digester kepada peternak, maka Pemerintah dapat memberikan bantuan digester maksimum 6 m3 kepada pengguna 3 tabung gas per bulan, sedangkan bantuan digester maksimum 10 m3 diberikan kepada pengguna 4 tabung per bulan, dan seterusnya (Tabel 59 dan 60). Pertimbangan ini diberikan karena akan lebih baik memberikan bantuan digester kepada peternak di sentra peternakan daripada Pemerintah memberikan subsidi gas secara terus-menerus.

Tabel 59. Pengeluaran elpiji dalam rumah tangga (Dianawati dan Mulijanti 2015)

Jumlah tabung Subsidi Pemerintah (Rp) Pengeluaran elpiji dalam RT (Rp)3 71.550 66.0004 95.400 88.0005 119.250 110.0006 143.100 132.000

Catatan : Harga tabung gas 3 kg tahun 2015 sebesar Rp22.000

Page 356: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan324

Tabel 60. Biaya pembuatan digester biogas (Dianawati et al. 2014)

Ukuran digester (m3) Kepemilikan sapi (minimal ekor)

Total biaya investasi biogas (Rp)

Pengeluaran biogas per bulan (Rp)

4 2 Ekor 10.094.000 56.078

6 3 Ekor 12.645.000 70.417

8 6 Ekor 16.842.000 93.567

10 8 Ekor 18.157.000 100.872

12 10 Ekor 22.491.000 124.950

Pengadaan biogas secara individual dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Sugiyono (2012) menyatakan bahwa secara umum, terdapat dua kemungkinan pendanaan yaitu pemberian jaminan kredit dan fasilitas pinjaman lunak. Kredit instalasi biogas, baik dengan pemda (misalnya berupa subsidi 50%) maupun swasta berupa kredit bunga rendah. Kredit instalasi biogas dapat dilakukan dengan kerja sama antara peternak, koperasi susu, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan perusahaan pembangun instalasi biogas. Pengembangan biogas secara berkelompok dapat dilakukan berdasarkan tingginya biaya investasi digester, sehingga dengan berkelompok, biaya tersebut dapat ditanggung bersama (Orskov et al. 2014).

STRATEGI PENGEMBANGAN PEMANFAATAN BIOSLURRY

Integrasi tanaman ternak merupakan konsep zero waste yang baik untuk kelestarian lingkungan. Dalam konsep integrasi tanaman ternak, peternak diharapkan mampu memanfaatkan limbah pertanian sebagai bahan baku pakan ternak yang murah dan mudah diperoleh di lokasi sehingga menekan biaya produksi usaha ternak. Sebaliknya, kompos dari kotoran ternak dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman untuk menekan biaya produksi tanaman. Pola ini telah banyak dikembangkan dan sangat potensial dalam pemanfaatan limbah pertanian (Priyanto 2011).

Digester biogas telah banyak berkembang di beberapa sentra peternakan baik melalui bantuan pemerintah maupun swadaya. Insam et al. (2014) menyatakan bioslurry padat yang dihasilkan dari biogas adalah 20–30% dari substrat yang diberikan. Dengan demikian kotoran ternak sebanyak 40 kg pada digester 4 m3 (Sunaryo 2014) menghasilkan 8–12 kg bioslurry per hari atau 0,72–1,08 ton

Page 357: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 325

bioslurry padat per musim tanam (satu musim tanam selama 3 bulan). Dianawati et al. (2014) melaporkan bahwa dosis bioslurry padat terbaik untuk petsai dan kentang adalah 15 t/ha. Dengan dosis 15 t/ha tersebut, bioslurry padat yang dihasilkan dari satu digester 4 m3 dalam satu musim tanam dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk lahan pertanian seluas 0,48–0,72 ha (Tabel 61). Melihat potensi ini, maka satu peternak dengan ukuran digester biogas 4 m3 dan 4 ekor sapi dapat bekerjasama dengan petani yang memiliki lahan seluas 0,48–0,72 ha. Sementara limbah pertanian yang dihasilkan dari usaha pertanian dapat digunakan untuk campuran pakan bagi ternak dari peternak.

Tabel 61. Ukuran digester dan bioslurry yang dihasilkan untuk digunakan luasan lahan tertentu

Kapasitas pengolahan

(m3)

Produksi gas per hari

(m3)

Kotoran hewan yangdibutuhkan per

hari (kg)

Jumlah ternak yang dibutuhkan

(ekor)

Bioslurry padat yang dihasilkan Lahan yang mendapat

bioslurry per musim tanam (ha)Per hari

(kg)Per musim tanam (ton)

4 0,8–1,6 40 4 8–12 0,72–1,08 0,48–0,72

6 1,6–2,4 60 6 12–18 1,08–1,62 0,72–1,08

8 2,4–3,2 80 8 18–24 1,62–2,16 1,08–1,44

Sumber: Diolah berdasarkan data Sunaryo (2014)

Dalam skala pedesaan, konsep integrasi tanaman ternak dapat diterapkan dengan memanfaatkan kandang kelompok untuk digester biogas kelompok. Pengembangan biogas secara berkelompok dapat dilakukan berdasarkan tingginya biaya investasi digester, sehingga dengan berkelompok, biaya tersebut dapat ditanggung bersama (Orskov et al. 2014). Rosyidi et al. (2014) melaporkan pengembangan biogas secara berkelompok di Yogyakarta di mana digester dibangun dengan bahan material yang disediakan secara bergotong-royong. Bioslurry yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara bergilir oleh petani dengan aturan yang disepakati, baik antar peternak maupun antara peternak dan petani. Kesepakatan ini menjadi penting karena menurut Chadwick et al. (2014), hambatan biogas kelompok antara lain adalah sulitnya pembagian kerja perawatan rutin biogas dan pengolahan limbah.

Page 358: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan326

PENUTUPBioslurry sebagai limbah biogas, teridentifikasi mengandung

unsur hara berupa C organik NP2O5 dan K2O yang relatif tinggi dari pada pukan sapi, pukan ayam dan kascing dan sudah matang yang ditunjukkan dengan CN rasio yang rendah. Indikator ini sangat bermanfaat untuk mendorong peningkatan produktivitas tanaman. penggunaan bioslurry pada tanaman kentang terbukti menghasilkan bobot umbi per tanaman dan bobot per umbi relatif lebih tinggi dan nyata bedanya dari pada kentang yang menggunakan pukan sapi/ayam dan kascing. Bioslurry juga telah dimanfaatkan untuk tanaman lain, baik untuk tanaman pangan, hortikultura, serta ternak.

Di sisi lain potensi bioslurry di perdesaan relatif banyak dan tersebar luas pada peternak sapi, cara pembuatannya juga dapat dilakukan petani tanpa keterampilan khusus. Pemanfaatan bioslurry sebagai pupuk tanaman dapat mengkompensasi pembelian pupuk anorganik yang berarti menghemat pengeluaran dan pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan pendapatan rumah tangga petani. Dengan demikian pemanfaatan bioslurry dapat menjadi titik ungkit pengembangan pertanian di perdesaan.

UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih disampaikan kepada SMARTD atas

dukungan dana melalui proyek 345.8/PL.220/I.1/4/2014.

DAFTAR PUSTAKAAbderezzak, B., B. Khelidy, A. Kellaci, M.T. Abbes. 2012. “The smart

use of biogas : Decision support tool”. dalam AASRI Proc 2:156-62.

Alzamakhsyari, L.A. 2018. “Potensi pemanfaatan kotoran sapi perah dan bioslurry sebagai pupuk organik di Kecamatan Lembang”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor

Biru. 2010. “Pedoman Pengawas: Pengelolaan dan Pemanfaatan Ampas Biogas”. Kerjasama Indonesia-Belanda. Hivos-SNV

Page 359: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 327

Chadwick, D., J. Wei, T. Yan’an, Y. Guanghui, S. Qirong, C. Qing. 2015. “Improving manure nutrient management towards sustainable agricultural intensification in China”. Agric Ecosyst Environ. http://dx.doi.org/10.1016/j.agee.2015.03.025. [20 April 2015]

Citra, A.K, Muryanto, P. Sudrajad. 2012. “Pengkajian pemanfaatan limbah biogas (Slurry dan Sludge) pada bibit tanaman kopi”. Seminar Nasional Pangan UPN ”Veteran” Yogyakarta, 13 November 2012. 6p

Dianawati, M. 2014. “Penggunaan limbah organik biogas sebagai media tanam pada produksi benih kentang (Solanum tuberosum L.) G1”. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan dan Pemanfaatan IPTEKS untuk Kedaulatan Pangan. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.

------------- et al. 2014. “Laporan akhir m-P3MI pada agroekosistem lahan kering dataran tinggi Kabupaten Bandung”. BPTP Jabar. Bandung

--------------, S.L. Mulijanti. 2015. “Peluang pengembangan biogas di sentra sapi perah”. dalam J Litbang Pert. 34 (3): 125-134

--------------, A. Yulyatin, Liferdi. 2017. “Pengaruh berbagai jenis pupuk organik terhadap produksi jagung manis di Pangalengan, Kabupaten Bandung Jawa Barat”. Prosiding Seminar Nasional Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung.

Diwyanto, K., E. Handiwirawan. 2004. “Peran litbang dalam mendukung usaha agribisnis pola integrasi tanaman-ternak”. Prosiding Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bekerja sama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dan Crop-Animal Systems Research Network (CASREN).

Elizabeth, R., S. Rosdiana. 2011. “Efektivitas pemanfaatan biogas sebagai sumber bahan bakar dalam mengatasi biaya ekonomi rumah tangga di pedesaan”. Prosiding Seminar Nasional Era Baru Pembangunan Pertanian : Strategi Mengatasi Masalah Pangan, Bioenergi dan Perubahan Iklim : 220-234. http://pse.litbang.pertanian.go.id [20 April 2015]

Flotats, X., A. Bonmati, B. Fernandez, A. Magri. 2009. “Manure treatment technologies : onfarm versus centralized strategies, NE Spain as case study”. dalam Bioresour Technol 100:5519-26

Page 360: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan328

Ginting., N, F. Zuhri, Hasnudi, E. Mirwandhono, I. Sembiring, A. H. Daulay. 2018. “Financial analysis of biogas utilization : input cattle, pig feces and coffee waste in Karo, Indonesia”. Int. Conference on Agriculture, Environment, and Food Security. 122 :1-5

Goyal, S., S.K. Dhull., K.K. Kapoor. 2005. “Chemical and biological changes during composting of different organic wastes and assessment of compost maturity”. dalam Biores Tech. 96 : 1584–1591.

Guo, Q., Niu, D.J., and Cheng, H.J. 2005. “Comprehensive use of biogas residue”. dalam China Resources Comprehensive Utilization 23(12):11–15.

Handayanta, E., E. T. Rahayu, M. A. Wibowo. 2015. “Aksesibilitas sumber pakan ternak ruminansia pada musim kemarau di daerah pertanian lahan kering”. dalam Sains Peternakan. 13 (2) : 105-112

Hanif A. 2010. “Studi pemanfaatan biogas sebagai pembangkit listrik 10 KW kelompok tani Mekarsari Desa Dander Bojonegoro menuju desa mandiri energi”. Skripsi. ITS Surabaya. Surabaya.

Haryati T. 2006. “Biogas: Limbah peternakan yang menjadi sumber energi alternatif”. dalam Wartazoa 16(3):160-9

Insam, H., M. Gomez-Brandon, J. Ascher. 2015. “Manure-based biogas fermentation residues : Friend or foe of soil fertility?”. dalam Soil Bio. & Biochem. 84:1-14.

Karnawan, I.P.J., W. Sudarta, I.D.P.O. Suardi. 2017. “Perilaku petani terhadap teknologi pengolahan pakan ternak fermentasi jerami padi. (Kasus pada Simantri 222 Gapoktan Sriasih di Desa Pohsanten, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana).” dalam E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata. 6(2)

Maruapey, A. 2015. “Pengaruh pupuk organik limbah biogas cair kotoran sapi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt).)”. dalam J. Agroforestri. 10. (3)

Mulijanti, S. L., A. Yulyatin, M. Dianawati. 2015. “Persepsi petani terhadap pupuk organik sapi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat”. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Sinergi dan Inovasi Teknologi untuk Kedaulatan Pangan. Faperta UGM. Yogyakarta

Page 361: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 329

-----------, S. Tedy. M. Dianawati. 2016. “Upaya Pemenuhan Kebutuhan Pakan Secara Berkelompok”. Prosiding Seminar Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian dalam rangka pencapaian kemandirian pangan nasional dan Peningkatan kesejahteraan petani. Bogor, 10 November 2010.

Nkoa, R. 2014. “Agricultural benefits and environmental risks of soil fertilization with anaerobic digestates: A review”. dalam Agron Sust Dev. 34:473-92.

Nurjannah, N., M.A. Jais, H. Mochammad, L. Ifa, F. Jaya. 2018. “Pembuatan pupuk organik padat dari limbah biogas”. dalam J. Chem. Proc. Eng. 3 (1) : 6-10

Orskov, E.R, K.Y. Anchang, M. Subedi, J. Smith. 2014. “Overview of holistic application of biogas for small scale farmers in Sub-Saharan Africa”. Biomass & Bioenergy 70:4-16

Priyanto, D. 2011. “Strategi pengembangan usaha ternak sapi potong dalam mendukung program swasembada daging sapi dan kerbau tahun 2014”. J. Litbang Pertanian, 30(3): 109.116

Rismayanti, Y., S.L. Mulijanti, S. Tedy, M. Dianawati. 2016. “Respon petani terhadap teknologi integrasi tanaman ternak di Kecamatan Pangalengan”. Prosiding Seminar Nasional Fakultas Pertanian Membangun Good Governance Menuju Desa Mandiri Pangan dan Energi Pada Era MEA. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, 27-28 April 2016: 652-661

Rosyidi, S.A.P, T Bole-Rentel, S.B. Lesmana, J. Ikhsan. 2014. “Lessons learnt from the energy needs assessment carried out for the biogas program for rural development in Yogyakarta, Indonesia”. dalam Proc Env Scie 20:20-9

Rustijarno, S. 2009. “Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi alternatif terbarukan di lokasi Prima Tani Kabupaten Kulon Progo”. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner: 831-5

Schievano, A., D. Imporzano G., Salati S., Adani F. 2011. “On-field study of anaerobic digestion full-scale plants (Part I): an on-field methodology to determine mass, carbon and nutrients balance”. dalam Bioresour Technol 102(18):7737-44.

Page 362: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan330

Sugiyono A. 2012. “Pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pengembangan desa mandiri energi di Kabupaten Lampung Selatan”. dalam J Quality 2(8):50-8.

Sunaryo. 2014. “Rancang bangun reaktor biogas untuk pemanfaatan limbah kotoran ternak sapi di Desa Limbangan Kabupaten Banjarnegara”. J PPKM UNSIQ I:21-30

Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta. Syaflan, M., Ngatirah, N. L. Muhammad. 2015. “Analisis keberlanjutan

program pengembangan biogas Indonesia, studi kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015

Widodo TW, A Nurhasanah, A Asari, Elita R. 2009. “Pemanfaatan limbah industri pertanian untuk energi biogas”. BB Pengembangan Mekanisasi Pertanian Serpong Tangerang. Tangerang. 12p

Witariadi, N.M., N.N. C. Asih 2010. “Pertumbuhan dan produktivitas tanaman leguminosa (Centrocema pubescen dan Clitoria ternatea) yang dipupuk dengan pupuk bioslurry”.

Yafizham. 2016. “Pemanfaatan bio-slury dan pupuk anorganik untuk meningkatkan pertumbuhan jagung manis (Zea mays saccharata sturt) di tanah ultisol”. Prosiding Seminar Nasional Fakultas Pertanian Membangun Good Governance Menuju Desa Mandiri Pangan dan Energi Pada Era MEA. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, 27-28 April 2016: 13-23

Yulyatin, A., M. Dianawati. 2018. “Pengaruh frekuensi pengecoran pupuk organik limbah biogas pada produksi tomat di Pangalengan, Kabupaten Bandung”. Prosiding Seminar BPTP Sulawesi Utara

-------------, S.L. Mulijanti, M. Dianawati. 2016. “Pengaruh berbagai jenis pupuk organik terhadap produksi kubis di Pangalengan, Bandung, West Java”. Prosiding Seminar Nasional Fakultas Pertanian Membangun Good Governance Menuju Desa Mandiri Pangan dan Energi Pada Era MEA. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, 27-28 April 2016: 825-833.

Page 363: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

STRATEGI DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA KAKAO DALAM

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI

Sylvia Kusumaputri Utami, Ika Novita Sari dan Yohanes G. Bulu

PENDAHULUANDiseminasi inovasi teknologi budidaya kakao dilaksanakan dari

tahun 2013–2015, dengan fokus utama adalah perbaikan teknologi budidaya. Kegiatan diseminasi inovasi teknologi kakao yang dirancang melalui model pengembangan pertanian perdesaan melalui inovasi (m-P3MI) bertujuan untuk mempercepat adopsi. Kegiatan m-P3MI ini dibiayai oleh biayai SMARTD (Sustainable Management of Agricultural Research and Technology Dissemination).

Strategi diseminasi inovasi teknologi pertanian merupakan suatu penyusunan rencana untuk penyebarluasan teknologi pertanian spesifik lokasi yang bertujuan meningkatkan adopsi dan inovasi pertanian hasil penelitian dan pengkajian. Dalam hal ini, strategi diseminasi inovasi pertanian harus memperhatikan pengguna inovasi dan kebutuhan atau preferensi pengguna inovasi pertanian sehingga dapat ditentukan strategi diseminasi yang diperlukan, baik di tingkat pusat maupun daerah (Indraningsih 2017).

Pembangunan subsektor perkebunan masih terbilang relatif rendah bila dibandingkan dengan pengembangan komoditas pada subsektor tanaman pangan. Padahal, Indonesia memiliki komoditas perkebunan yang berperan cukup penting bagi perekonomian nasional seperti kelapa sawit, karet, dan kakao. Ketiga komoditas ini merupakan komoditas ekspor yang memberi sumbangan devisa terbesar pada subsektor perkebunan. Potensi pengembangan ini selayaknya diimbangi dengan inovasi teknologi untuk mencapai peningkatan produksi, khususnya komoditas kakao. Salah satu faktor strategis yang mempengaruhi pengembangan dan keberlanjutan perkebunan kakao yakni ketersediaan teknologi (Damanik dan Herman 2000).

Page 364: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan332

Tanaman kakao ditanam petani melalui program pengembangan tanaman perkebunan tahun 1980-an. Umur tanaman kakao di Nusa Tenggara Barat sampai dengan saat ini sudah lebih dari 30 tahun. Tanaman kakao yang dibudidayakan oleh petani di Nusa Tenggara Barat dilakukan secara tradisional tanpa penerapan teknologi secara optimal. Setelah petani menerima bantuan tanaman kakao yang merupakan komoditas bantuan presiden (Banpres) langsung ditanam petani dengan jarak tanam yang telah ditentukan oleh Dinas Perkebunan. Bantuan tanaman kakao setelah ditanam petani tidak lagi dilakukan pendampingan teknologi kepada petani, meskipun beberapa tahun terakhir ada Gernas kakao.

Perkebunan tanaman kakao di Kabupaten Lombok Utara maupun maupun di sejumlah kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang menjadi lokasi pengembangan kakao merupakan perkebunan rakyat. Sebagian besar jenis kakao yang di tanam petani di Nusa Tenggara Barat adalah jenis lindak (bulk cacao) dengan pemeliharaan kurang intensif. Klon-klon unggul kakao dengan tingkat produktivitas lebih tinggi dari kakao lindak belum dikembangkan di NTB. Klon-klon unggul yang dapat mencapai produksi di atas satu ton, seperti ICS 60 (1.500 kg/ha) dan hibrida (2.000 kg/ha) belum dikenal oleh sebagian besar petani kakao di NTB.

Luas areal tanaman Kakao di provinsi Nusa Tenggara Barat 7.896 ha yang terdiri dari 3.948 ha tanaman muda yang belum menghasilkan, 1.026 ha tanaman yang baru di tanam, 2.538 ha sudah berproduksi atau menghasilkan dan tanaman sudah tua serta 384 ha tanaman yang tidak berproduksi lagi (jarang berbuah) (BPS NTB 2016). Luas pertanaman kakao terluas terdapat di Kabupaten Lombok Utara yaitu seluas 2.928 ha (BPS NTB 2013). Produksi kakao di NTB masih tergolong rendah, data statistik menunjukkan bahwa produksi Kakao hanya 1667,75 ton biji kering per tahun.

Perkebunan kakao di NTB sebagian besar merupakan perkebunan rakyat. Potensi perkebunan rakyat ini pada kenyataannya masih belum dikelola secara optimal sehingga mutu kakao rakyat masih cukup rendah (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 2004). Rendahnya pengetahuan petani terhadap inovasi teknologi kakao menyebabkan pengembangan komoditas kakao di NTB belum ditangani secara optimal terutama penggunaan teknologi produksi dan pasca panen sehingga nilai tambah yang diperoleh petani relatif kecil.

Page 365: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 333

Pengelolaan komoditas kakao yang dilakukan petani di kabupaten Lombok Utara masih bersifat sangat sederhana. Hal ini terlihat dari sistem pemeliharaan tanaman kakao oleh petani yang dibiarkan tinggi dan tidak dilakukan pemangkasan, sehingga menyebabkan serangan hama penyakit di atas ambang ekonomi. Kondisi ini menyebabkan produktivitas kakao sangat rendah (Bulu et al. 2013). Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan tanaman kakao yang dilakukan pada pertengahan tahun 2012 oleh Tim peneliti dan penyuluh BPTP kemudian menetapkan Kabupaten Lombok Utara untuk melakukan diseminasi teknologi budidaya kakao. Diseminasi inovasi teknologi kakao mulai dilakukan di Kabupaten Lombok Utara dari tahun 2013–2015. Jenis komponen teknologi kakao yang diintroduksi dalam implementasi teknologi meliputi; menajemen kebersihan kebun (pembuatan teras, pembuatan rorak, dan kebersihan), pemupukan, pemangkasan, pengendalian hama dan penyakit serta, rehabilitasi tanaman melalui sambung samping.

Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi strategi diseminasi inovasi teknologi pertanian khususnya komoditas kakao sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tanaman kakao.

EKSISTENSI PENERAPAN INOVASI KAKAOPengalaman dapat diartikan sebagai pengalaman keberhasilan

dan kegagalan dalam pengelolaan usahatani dan penerapan teknologi. Pengalaman petani kakao di Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam mengelola usahatani kakao sudah lebih dari 30 tahun. Dalam pengolaan usahatani kakao petani telah mengalami keberhasilan dan kegagalan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Antara dan Effendy (2009), mengartikan pengalaman adalah lamanya seorang berkecimpung secara intensif dalam melaksanakan kegiatan sebagai petani kakao.

Pengalaman petani yang berbeda dari manfaat yang diperoleh selama mengelolaan usahatani kakao akan memiliki perbedaan dalam mengadopsi inovasi teknologi. Petani yang mengalami keberhasilan dalam pengolaan usahatani kakao akan lebih aktif dalam mempelajari dan mencoba inovasi teknologi. Petani yang terbatas memperoleh informasi teknologi cenderung menerapkan teknologi budidaya tanaman secara sederhana. Penerapan teknologi kakao sejak awal penanaman hanya pembersihan lahan dan pemangkasan tunas

Page 366: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan334

(wiwilan) tanpa melakukan pemangkasan bentuk, pemangkasan, pemupukan dan pemberantasan hama penyakit. Akibat tidak dilakukan pemangkasan bentuk dan produksi sehingga tanaman kakao dibiarkan tinggi hingga mencapai 7–9 meter. Jenis kakao yang dominan ditanam di wilayah ini adalah kakao lindak. Jarak tanam kakao yaitu 3 x 3 meter dan pada umur 20 tahun sekarang ini sudah sangat rimbun sehingga penyinaran kurang optimal. Selama pengelolaan tanaman kakao oleh petani di wilayah ini belum pernah dilakukan pemupukan dan pengendalian hama penyakit kakao.

Produksi kakao di Kabupaten Lombok Utara selama lima tahun terakhir sebelum dilakukan diseminasi teknologi pada tahun 2013 relatif sangat rendah yaitu 300–350 kg/ha/tahun atau 0,3 kg/pohon/tahun. Produksi kakao yang rendah dialami petani selama ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor iklim, ketersediaan teknologi baru, rendahnya penerapan teknologi dan serangan hama penyakit pada tanaman kakao. Menurut Rubiyo (2013), peningkatan produktivitas dan mutu kakao di Indonesia dapat dilakukan dengan penyediaan teknologi unggul berupa bahan tanam klonal. Produksi kakao yang sangat rendah tersebut berdampak terhadap rendahnya pendapatan petani kakao. Produksi kakao yang rendah disebabkan oleh tanaman kakao yang sudah tua, penerapan teknologi yang rendah serta serangan hama PBK (penggerek buah kakao) terutama pada musim hujan. Serangan hama PBK pada tanaman kakao disebabkan oleh jamur Phytophtora (Bulu et al. 2013). Menurut Rubiyo (2013), patogen busuk buah kakao disebabkan oleh Phytophthora palmivora dan VSD (Oncobasidium theobromae), berpotensi terhadap penurunan produktivitas kakao serta kualitas biji yang dihasilkan relatif sangat rendah.

Kegiatan usahatani kakao yang dikerjakan petani saat ini terbatas hanya pada kegiatan penyiangan yang dilakukan pada akhir musim penghujan. Tanaman kakao relatif sangat jarang dilakukan pemangkasan ringan maupun pemangkasan berat. Selain tidak dilakukan pemangkasan juga tidak pernah dilakukan pemangkasan produksi dan pangkasan pemeliharaan/lepas panen sehingga cabang tua dibiarkan tetap tumbuh.

Selama ini petani belum pernah menerapkan teknologi pascapanen kakao. Biji kakao hasil panen tidak difermentasi melainkan dijemur sehingga kualitas biji kakao yang diproduksi petani relatif rendah. Meskipun program dari Dinas Perkebunan untuk mengembangkan

Page 367: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 335

teknologi pascapanen dengan membagikan alat pengering biji kakao pada kelompok tani, namun tidak digunakan petani. Petani tidak menerapkan teknologi pascapanen kakao karena beberapa alasan: 1) biji kakao yang diproduksi petani kualitas rendah karena serangan penyakit PBK; 2) pembelian biji kakao oleh pedagang tidak membedakan kualitas baik dengan kualitas rendah; 3) semua biji kakao yang dihasilkan petani baik yang berkualitas baik maupun kualitas jelek dibeli oleh pedagang; dan 4) harga biji kakao ditentukan oleh pedagang.

Pemasaran biji kakao tidak bermasalah karena banyak pedagang pengumpul desa yang membeli dan selanjutnya dijual ke pedagang kecamatan dan pedagang antar pulau. Harga biji kakao kering antara bulan Januari–April berkisar Rp12.000/kg–Rp14.000/kg. Produksi kakao antar bulan Januari sampai April relatif rendah dengan kualitas biji kakao rendah yang disebabkan oleh PBK. Harga biji kakao kering antara bukan Agustus–Nopember relatif tinggi yaitu antara Rp20.000/kg–Rp22.000/kg. Produksi kakao antara bulan Agustus–November relatif sedikit lebih tinggi dibandingkan produksi kakao antara bulan Januari sampai April serta kualitas biji kakao yang dihasilkan relatif lebih baik.

DISEMINASI ASPEK TEKNISSebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa permasalahan

yang dihadapi petani adalah rendahnya produksi dicapai petani, selain tanaman sudah berumur tua juga disebabkan oleh penerapan teknologi yang sangat rendah. Penerapan teknologi budidaya kakao yang sangat rendah menyebabkan tanaman kakao tidak maksimal dalam berproduksi.

Permasalahan penurunan produksi kakao telah dialami petani setiap tahun. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan produksi kakao. Komponen teknologi yang sangat menonjol tidak atau belum diterapkan petani adalah komponen teknologi pemangkasan, menyebabkan tanaman menjadi rimbun dan menimbulkan kelembapan tinggi sehingga memudahkan tanaman terserang hama dan penyakit jamur pada buah kakao. Untuk meningkatkan produktivitas, tanaman kakao yang berumur tua maupun yang tidak produktif perlu dilakukan pemangkasan dan rehabilitasi tanaman dengan menggunakan klon unggul melalui

Page 368: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan336

teknik sambung samping. Beberapa komponen teknologi produksi kakao yang didiseminasikan sebagai upaya peningkatan produksi kakao sebagaimana diuraikan pada Tabel 62.

Tabel 62. Jenis komponen teknologi introduksi yang didiseminasikan di Laboratorium Lapang Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara

Komponen teknologi kakao Sistem penyebaran informasi teknologi kakaoPemupukan

Pemangkasan

Manajemen Kebun

Sambung sampingPengendalian hama penyakit

Kegiatan sambung samping dan pemangkasan kakao di pandu oleh petani ahli yang berasal dari beberapa kelompok taniMelalui interaksi dan komunikasi antara anggota kelompok taniMelalui interaksi dan komunikasi antara anggota kelompok taniMelihat secara langsung pada demplot teknologiMelalui interaksi dan komunikasi antara anggota kelompok tani

Sumber: Bulu et al. (2013)

a. PemupukanPemupukan merupakan salah satu kegiatan pemeliharaan

tanaman yang dilakukan secara rutin setiap tahun. Diseminasi komponen teknologi pemupukan merupakan salah satu komponen teknologi penting untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas buah kakao. Salah satu aspek penting dalam pertumbuhan tanaman adalah kondisi tanahnya dengan ketersediaan unsur hara yang cukup bagi tanaman. Upaya yang dilakukan adalah peningkatan kesuburan tanah dengan cara pemupukan menggunakan urea dan NPK. Hasil diseminasi menunjukkan bahwa pemupukan memberikan hasil nyata terhadap peningkatan produksi dan kualitas buah kakao. Azri (2015), melaporkan bahwa pemupukan yang dilakukan pada tanaman kakao mendorong pertumbuhan tanaman lebih sehat dan meningkatkan produksi buah.

Pemupukan umumnya dilaksanakan setelah kegiatan penyiangan selesai dilakukan dengan cara membuat parit di sekitar tanaman kemudian pupuk ditaburkan secara merata dan parit ditutup kembali dengan tanah, ada sebagian kecil petani yang melakukan pemupukan

Page 369: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 337

dengan kotoran sapi dan hal ini biasanya dilakukan bagi mereka yang memiliki ternak sapi. Pembuatan rorak hanya sebagian kecil petani yang melaksanakannya.

Dalam kegiatan pemupukan, penting untuk melihat ketepatan dalam penerapan unsur-unsur komponen teknologi pemupukan. Di samping itu, pendampingan pemupukan bertujuan untuk menanamkan pemahaman kepada petani tentang pentingnya perbaikan kualitas tanah. Selain pupuk anorganik, diberikan juga pupuk kandang dan bahan organik sisa tanaman yang dibenamkan ke dalam rorak yang dibuat. Hasil penelitian Azri (2015), menjelaskan bahwa pemberian bahan organik secara nyata meningkatkan serapan hara tanaman kakao walaupun besarnya berbeda untuk setiap bahan organik yang digunakan dan hara yang diserap. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan penambahan unsur-unsur hara yang penting untuk tanaman berupa bahan organik. Pemberian bahan organik dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas tanah sebab pemberian bahan organik akan meningkatkan c-organik tanah yang tersedia.

Pemupukan tanaman kakao menggunakan pupuk umumnya diberikan pada sekeliling tanaman dengan cara meletakkan pupuk pada parit atau alur yang dibuat melingkari tanaman (sebatas kanopi tanaman) dan kemudian ditutup kembali dengan tanah. Penutupan dimaksudkan untuk mengurangi penguapan dan erosi.

Ketika berlangsungnya kegiatan diseminasi, petani ikut menerapkan teknologi pemupukan sesuai anjuran. Namun saat berakhirnya kegiatan, petani tidak melanjutkan pemupukan karena kesulitan pupuk bersubsidi untuk tanaman perkebunan. Hal ini disebabkan pupuk bersubsidi lebih difokuskan pada komoditas tanaman pangan untuk mendukung swasembada.

b. PemangkasanKomponen teknologi pemangkasan kakao merupakan salah satu

komponen teknologi penting yang didiseminasikan. Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan bahwa tanaman kakao di Nusa Tenggara Barat terutama di Kabupaten Lombok Utara belum pernah dilakukan pemangkasan produksi. Salah satu usaha yang dilakukan petani kakao adalah hanya melakukan pemangkasan pemeliharaan. Pemangkasan adalah suatu usaha meningkatkan produksi dan mempertahankan umur ekonomis tanaman. Tujuan pemangkasan

Page 370: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan338

antara lain untuk mendapatkan pertumbuhan tajuk yang seimbang dan kokoh, mengurangi kelembapan sehingga meminimalisir serangan hama dan penyakit, memudahkan pemeliharaan, serta mendapatkan produksi yang tinggi. Hasil penelitian Bulu, et al. (2016), melaporkan bahwa pemangkasan produksi yang dilakukan pada tanaman kakao yang sudah berumur tua dapat meningkatkan produktivitas buah kakao. Pemangkasan kakao yang sangat rimbun dapat mengurangi kelembapan kebun sehingga dapat mengurangi serangan penggerek buah kakao (PBK). Kelembapan kebun akibat dari tidak dilakukan pemangkasan dapat akan meningkatkan serangan hama penggerek buah kakao dan dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 80 % (Danial, et al. 2015).

Diseminasi komponen teknologi pemangkasan kakao memerlukan pengetahuan mengenai bagian-bagian tanaman yang akan dipangkas serta memerlukan keterampilan dalam membentukan tanaman. Tanaman kakao yang tingginya antara 5–7 meter tentu saja membutukan peralatan pangkas yang memadai dengan teknik pemangkasan agar kulit cabang pohon kakao tidak terkelupas. Jika kulit cabang pohon terkelupas maka akan mengurangi tumbuhnya calon bunga dan buah. Menurut Soedarsono (1996), kulit cabang yang terkelupas dan luka akan memerlukan waktu lama dalam pemulihannya bahkan dapat menimbulkan risiko masuknya jamur patogen melalui luka potongan. Tanaman kakao yang tidak di pangkas meskipun tumbuh bantalan bunga maka tidak semuanya menghasilkan bunga. Menurut Angela dan Effendy (2015), bantalan bunga pada tanaman kakao tidak semua yang menghasilkan bunga pada saat yang sama dan diharapkan setelah pemangkasan dapat merangsang pertumbuhan bunga.

Pemangkasan dibagi menjadi tiga, yakni pemangkasan produksi, pemangkasan pemeliharaan, dan pemangkasan bentuk. Pemangkasan bertujuan untuk mengurangi kelembapan kebun dan meminimalisasi perkembangan hama penggerek buah kakao (Cacao moth sp.). Kegiatan pemangkasan pemeliharaan dilaksanakan setiap saat, sedangkan pemangkasan produksi dilakukan pada akhir musim hujan. Diseminasi komponen teknologi pemangkasan tanaman kakao dilakukan di Desa Rempek dan Genggelang sebagai laboratorium lapang dalam pengembangan model diseminasi.

Page 371: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 339

Komponen teknologi pemangkasan merupakan salah satu komponen yang dominan diterapkan petani. Petani telah menyadari bahwa tanpa pemangkasan maka pembuahan kakao pada batang utama dan cabang utama tidak maksimal. Selama ini petani hanya memahami bahwa buah kakao hanya dihasilkan dari ranting. Para petani tidak mengetahui bahwa kakao berbuah pada batang utama dan cabang utama. Buah kakao yang dipanen dari batang utama dan cabang utama memiliki kualitas lebih baik dibandingkan biji kakao yang dipanen dari buah di ranting kakao. Hasil penelitian Bulu et al. (2015) dan Bulu et al. (2016), melaporkan bahwa pemangkasan produksi yang dilakukan pada tanaman kakao meningkatkan produktivitas buah kakao terutama pada batang utama dan cabang utama. Jumlah buah kakao per pohon meningkat setelah dilakukan pemangkasan, yaitu berkisar antara 135–155 buah per pohon. Biji kering kakao yang dihasilkan dari tanaman kakao yang dipangkas memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan biji kakao dari tanaman yang tidak dilakukan pemangkasan. Kualitas biji kakao yang dihasilkan dari batang utama dan cabang utama lebih tinggi dibandingkan kualitas biji kakao yang dihasilkan dari buah yang dipanen pada ranting kakao.

Tabel 63. Rata-rata jumlah buah kakao berdasarkan perlakukan pemangkasan yang dilakukan petani di Desa Rempek, kecamatan Gangga, kabupaten Lombok Utara.

Urian

Rata-rata jumlah buah kakao berdasarkan kriteria pemangkasan (buah/phn)

Pemangkasan berat (N=10)*

Pemangkasan ringan (N=10)*

Tidak di pangkas (N=10)*

Batang utama 80,21 28,30 16,00Cabang utama 42,32 19,22 11,21Ranting 25,00 13,90 23,40

Jumlah 147,53 61,42 50,61Sumber: Bulu et al. (2015)

Selain pemangkasan produksi, pemangkasan pemeliharaan, pemangkasan bentuk yang dilakukan untuk peningkatan produksi juga dilakukan diseminasi rehabilitasi tanaman melalui teknik sambung samping.

Page 372: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan340

c. Sambung SampingKegiatan sambung samping dilakukan pada tanaman kakao

yang sudah berumur tua atau yang tidak produktif lagi. Pelaksanaan diseminasi teknologi sambung samping diawali dengan penentuan pohon induk yang akan dijadikan sumber entries. Pohon induk yang dijadikan sumber entres adalah dari klon yang sama (kakao lindak) yang telah diindentifikasi memiliki produktivitas biji kering 1,5 kg/pohon. Pohon induk yang telah diidentifikasi dijadikan sumber entres. Pohon induk yang menjadi sumber entres diperoleh dari Desa Genggelang yang telah diindentifikasi memiliki produktivitas tinggi serta terbebas dari serangan jamur Phytophtora.

Teknik sambung samping adalah teknik perbaikan tanaman tua tanpa harus membongkar tanaman. Pada prinsipnya teknik sambung samping menggabungkan atau menyambung batang bawah dengan klon yang dikehendaki. Teknologi ini semula dikembangkan di Malaysia dan setelah banyak penyempurnaan kini sudah luas diterapkan para petani di Indonesia. Penggunaan teknologi ini petani tidak mengalami kehilangan hasil dari batang bawah utama. Tanaman hasil sambung samping mulai dapat dipetik buahnya pada umur 18 bulan setelah disambung, dan setelah berumur 3 tahun hasil buah sebanyak 15–22 buah per pohon (Riset Perkebunan Nusantara 2011).

Sambung samping kakao lebih difokuskan untuk melakukan rehabilitasi tanaman kakao yang sudah berumur tua dan yang tidak produktif lagi. Potensi produksi dari hasil sambung samping menunjukkan angka yang cukup tinggi. Produktivitas kakao hasil sambung samping bisa mencapai 2.500 kg/ha/tahun (Salim dan Drajat 2008).

Kegiatan sambung samping kakao sudah dikembangkan oleh petani yang sudah terampil melakukan sambung samping kakao. Praktik yang dilakukan terutama sambung samping kakao telah meningkatkan keterampilan petani dalam melakukan sambung samping kakao. Namun tidak semua petani berhasil dalam melakukan sambung samping yang disebabkan oleh kualitas entres, cara pengemasan dan penyimpanan entres yang belum memadai. Menurut Larekeng et al. (2017), cara pengemasan dan penyimpanan entres yang kurang baik atau tidak memenuhi syarat akan mengalami kekagagalan dalam melakukan sambung samping. Bagi anggota

Page 373: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 341

yang belum terampil secara langsung dibimbing oleh anggota kelompok (petani ahli) yang sudah mahir sebanyak 20 orang dari Desa Rempek dan 6 orang dari Desa Genggelang. Melibatkan petani ahli dalam pengembangan diseminasi teknologi sambung samping kakao dapat mempercepat proses adopsi teknologi usahatani kakao teknologi. Namun, petani mempunyai pemahaman dan persepsi yang berbeda terhadap sambung samping kakao. Hasil sambung samping haru menunggu antara 9–18 bulan baru bisa panen. Bagi petani yang kurang kreatif belum tertarik dengan kegiatan sambung samping kakao, karena petani mempunyai persepsi bahwa tanaman yang sudah tua masih mampu menghasilkan buah kakao. Menurut Cora et al. (2018), bahwa persepsi petani terhadap teknologi sambung samping kakao sangat dipengaruhi dari umur petani, pengalaman berusaha, pendidikan formal dan aksesibilitas terhadap informasi inovasi. Namun, perlu juga dipertimbangkan bahwa persepsi petani dipengaruhi oleh sosial ekonomi dan belum tersedianya teknologi hasil sambung samping kakao yang memperkuat keyakinan petani dalam adopsi teknologi sambung samping. Oleh karena itu, diperlukan bimbingan, pendampingan dan pengawalan penerapan komponen teknologi secara terus-menerus hingga teknologi yang didiseminasikan memberikan manfaat, baik dari aspek teknis maupun aspek ekonomi.

PENDAMPINGAN DAN PENGAWALAN PENERAPAN KOMPONEN TEKNOLOGI

Pendampingan teknologi merupakan kegiatan diseminasi inovasi teknologi yang dikawal secara ketat dan benar agar dilakukan oleh petani secara benar sebagai media belajar bagi petani/kelompok tani. Pendampingan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh fasilitator atau pendamping masyarakat dalam berbagai kegiatan program. Pendampingan dan pengawalan penerapan teknologi kakao adalah kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dan penyuluh pertanian dalam rangka mendukung kegiatan diseminasi inovasi teknologi kakao. Pemberdayaan petani selalu ditempatkan menjadi subjek pembangunan sehingga menjadi modal manusia (human capital) yang permanen dalam pembangunan pertanian. Oleh karena itu, diperlukan kegiatan pendampingan. Padmowihardjo (2006) mengartikan pendampingan teknologi sebagai bentuk penyuluhan

Page 374: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan342

partisipatif. Melalui penyuluhan pertanian partisipatif petani tidak dibiarkan sendirian dalam mengakses informasi, menganalisis situasi yang sedang mereka hadapi, menggalang dana secara swadaya, melakukan monitoring dan evaluasi, dan melakukan pertukaran informasi.

Pendampingan dan pengawalan penerapan komponen teknologi kakao merupakan metode diseminasi yang dilakukan secara terpadu. Pendampingan penerapan teknologi kakao meliputi kegiatan pemupukan, pengendalian hama penyakit, pemangkasan, rehabilitas tanaman kakao melalui sambung samping dan manajemen pemeliharaan kebun kakao.

Pendampingan dan pengawalan dalam penerapan komponen teknologi bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam menerapkan teknologi. Pendampingan dan pengawalan penerapan teknologi yang sebelumnya dilakukan praktik-praktik secara langsung dalam penerapan komponen teknologi.

Praktik-praktik secara langsung dalam penerapan komponen teknologi pemupukan adalah memberikan pemahaman mengenai penerapan unsur-unsur teknologi seperti jenis pupuk yang digunakan, jumlah atau dosis pupuk, cara pemberian pupuk dan waktu pemberian pupuk untuk tanaman perkebunan. Jumlah atau dosis pupuk yang diberikan pada tanaman kakao yaitu 300 gram urea/pohon, dan 300 gram NPK/pohon. Waktu pemberian pupuk pada tanaman kakao dilakukan dua kali dalam setahun yaitu pada awal musim hujan dan akhir musim hujan (Bulu et al. 2014). Hasil pengamatan petani bahwa dengan melakukan pemupukan pada tanaman kakao menunjukkan bahwa tanaman kakao lebih sehat hasil biji kakao berkualitas lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang tidak dilakukan pemupukan.

Pendampingan dan pengawalan penerapan teknologi kakao dapat meningkatkan pengetahuan petani mengenai inovasi teknologi kakao. Pengawalan penerapan teknologi yang dikombinasikan dengan praktik membuktikan bahwa petani lebih terampil dalam penerapan teknologi seperti teknologi sambung samping untuk tanaman kakao dan sambung pucuk untuk tanaman kopi. Hasil sambung samping meskipun belum memberikan hasil yang maksimal, namun petani sudah mampu melakukan perubahan-perubahan dalam perbaikan teknologi kakao secara bertahap.

Page 375: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 343

Dalam rangka memenuhi kebutuhan petani teknologi untuk meningkatkan produktivitas tanaman kakao maka dapat digunakan berbagai upaya perbaikan teknologi budidaya kakao melalui upaya-upaya penyadaran kembali kepada petani dalam perbaikan teknologi. Penyadaran petani dalam perbaikan teknologi budidaya salah satunya melakukan pendampingan dan pengawalan teknologi. BPTP NTB telah menerapkan beberapa komponen teknologi untuk perbaikan teknologi budidaya kakao, antara lain: melakukan percontohan pemupukan, manajemen pemeliharaan kebun, pemangkasan, pengendalian hama dan penyakit serta sambung samping kakao yang ditempatkan di masing-masing kelompok tani. Percontohan-percontohan penerapan teknologi tersebut merupakan proses dan pelaksanaan diseminasi sebagai upaya dalam percepatan penyebaran informasi teknologi.

Perbaikan komponen teknologi kakao ini mendapat respons yang sangat baik dari masyarakat petani kakao di Kabupaten Lombok Utara, khususnya Desa Rempek dan Genggelang. Hal ini terlihat dari antusiasme para petani dalam mencari entres untuk teknologi sambung samping kakao serta melakukan pemangkasan kakao, bahkan sebagian kecil petani melakukan penjarangan tanaman kakao dari jarak tanam 3 x 3 meter menjadi 6 x 6 meter. Meskipun teknologi sambung samping ini masih baru bagi petani, namun keinginan belajar para petani sangat tinggi. Khusus untuk tanaman kopi para petani sudah sangat mahir dalam melakukan sambung pucuk yang bertujuan untuk peningkatan produksi dan kualitas. Beberapa petani bahkan berlatih sendiri untuk menyambung tanaman mereka agar semakin terampil dalam melakukan sambung samping sehingga persentase keberhasilannya dapat meningkat. Saat ini hasil tunas dari teknik sambung samping sudah berbuah. Diharapkan kesadaran petani akan teknologi unggul kakao terus menyebar hingga ke desa-desa lain di Kabupaten Lombok Utara.

Proses diseminasi teknologi sambung samping kakao dan perbaikan teknologi budidaya secara cepat diikuti oleh sejumlah petani non kooperator dari 13 kelompok tani kakao di Desa Rempek dan Genggelang. Respons petani terhadap demonstrasi teknologi yang dilakukan di laboratorium lapang (lahan petani) disebabkan oleh dua alasan utama. Pertama, para petani yang mencontoh penerapan teknologi/perbaikan teknologi kakao karena selama ini belum pernah dilakukan. Kedua, para petani meyakini bahwa melalui

Page 376: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan344

perbaikan teknologi kakao tersebut akan memberikan manfaat terhadap perubahan produksi dan pendapatan petani (Bulu et al. 2014). Masing-masing kelompok tani yang terlibat terdapat lokasi diseminasi inovas teknologi sebagai media belajar bagi anggota kelompok, merupakan suatu strategi dalam percepatan diseminasi dan mampu meningkatkan adopsi inovasi teknologi.

Untuk mempercepat proses diseminasi teknologi sambung samping kakao maka dilakukan sosialisasi (workshop) pelaksanaan model m-P3MI Berbasis Teknologi Usahatani Kakao. Kegiatan workshop dihadiri oleh Bapak Bupati Lombok Utara, Dinas instansi terkait di kabupaten Lombok Utara dan provinsi NTB. Diharapkan melalui workshop ini pada tahun berikutnya ada sinergisme program pembangunan daerah dengan kegiatan m-P3MI. Kegiatan workshop merupakan bagian dari metode diseminasi dalam mempercepat proses dan penyebaran inovasi teknologi kakao. Stakeholder yang sebagian besar dari instansi terkait diyakini akan mampu untuk menyebarluaskan informasi inovasi kepada kelompok tani dan petani kakao.

Kunjungan pada laboratorium lapang yang merupakan lokasi-lokasi pelaksanaan diseminasi inovasi teknologi kakao berpotensi mempercepat penyebaran informasi inovasi teknologi. Jumlah petani dan stakeholder yang berkunjung di laboratorium lapang berpotensi dalam mempercepat penyebaran informasi dan adopsi inovasi teknologi. Petani yang berkunjung di laboratorium lapang adalah para petani kakao dari lima kelompok tani yang ada di Desa Rempek. Frekuensi kunjungan petani pada laboratorium lapang antara 2–3 kali dalam seminggu. Jumlah petani yang berkunjung antara 2–4 orang ketika melewati lokasi laboratorium lapang. Topik yang dibicarakan yaitu teknologi pemangkasan produksi, sambung samping, kebersihan kebun serta pemangkasan yang dilakukan di laboratorium lapang yang belum pernah dilakukan petani.

Ketika petani melihat keunggulan teknologi serta merasakan manfaat teknis dan ekonomis baru petani mulai menyadari akan pentingnya perbaikan teknologi budidaya kakao. Bulu et al. (2015) melaporkan bahwa sebagian besar petani baru akan menerapkan teknologi yang diintroduksikan jika sudah melihat hasil dan manfaatnya pada sesama petani di sekitarnya. Perilaku ini dipengaruhi oleh faktor individu itu sendiri dan faktor luar. Faktor luar disebabkan oleh keterbatasan tenaga kerja dan biaya serta pendekatan dan metode

Page 377: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 345

diseminasi yang digunakan mungkin belum efektif. Namun, menurut Hasan et al. (2012) menjelaskan bahwa kunjungan stakeholder pada lokasi diseminasi dapat meningkatkan adopsi. Peningkatan adopsi terjadi setelah petani melihat langsung dan merasakan keuntungan dari penerapan teknologi pada saat penelitian dilakukan. Suatu teknologi diadopsi oleh pengguna dalam hal ini petani, bila teknologi tersebut dapat memberikan dampak positif yaitu keuntungan bagi pengguna.

STRATEGI PENYEBARLUASAN INOVASI Pengembangan agribisnis kakao ke depan lebih diprioritaskan pada

upaya intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan untuk meningkatkan produktivitas kebun kakao, di samping terus melakukan perluasan (Rubiyo dan Siswanto 2012). Penyebarluasan inovasi teknologi kakao diperlukan membangun jaringan komunikasi dan kerja sama dalam pelaksanaan diseminasi. Koordinasi, sosialisasi inovasi baru serta sinkronisasi program berpotensi menjadi salah satu strategi dalam pelaksanaan diseminasi inovasi teknologi kakao.

Perluasan diseminasi inovasi teknologi kakao dapat dilakukan dengan memperbanyak demplot dan demfarm komponen teknologi di setiap kolompok tani untuk masing-masing desa. Demplot dan demfarm diseminasi teknologi tersebut dirancang dan dikelola secara baik dengan pengawalan secara kontinu sehingga menjadi laboratorium lapang. Laboratorium lapang diseminasi inovasi teknologi kakao dapat menjadi media belajar bagi petani dalam menerapkan komponen teknologi. Namun, permasalahan yang dihadapi bahwa dalam membangun laboratorium lapang membutuhkan biaya dan curahan tenaga yang lebih ekstra. Indraningsih (2017), menjelaskan strategi diseminasi dalam percepatan adopsi perlu memaksimalkan sumber inovasi pertanian di tingkat daerah adalah BPTP dengan Penyuluh Pertanian Lapangan sebagai pengguna antara dan petani sebagai pengguna akhir. Peran penyuluh dan tokoh masyarakat sebagai motivator masih dominan di tingkat petani. Dengan demikian, saluran diseminasi yang digunakan dapat didominasi melalui media interpersonal seperti demplot, gelar teknologi, temu lapang, ataupun pertemuan kelompok. Di tingkat daerah dukungan kelembagaan petani yang dinamis sangat diperlukan.

Page 378: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan346

Komponen teknologi yang dominan diterapkan petani sampai saat ini dan berkelanjutan adalah teknologi pemangkasan. Penerapan komponen teknologi pemangkasan telah dirasakan manfaatnya oleh petani, baik dari aspek teknis maupun dari aspek ekonomi. Pemangkasan produksi yang dilakukan petani meningkatkan produksi kakao dan pendapatan petani di atas 50 % sebelum dilakukan diseminasi inovasi teknologi kakao. Sedangkan untuk komponen teknologi pemupukan, masih sulit untuk diadopsi petani karena belum tersedianya pupuk bersubsidi untuk tanaman perkebunan.

Solusi lain yang dapat dilakukan yaitu tidak melakukan peremajaan kakao dan penjarangan, melainkan dengan cara ditebang secara bertahap. Penebangan dilakukan pada musim hujan sehingga pohon yang ditebang diharapkan tumbuh tunas yang selanjutnya dibentuk menjadi tanaman baru yang dalam waktu 9 bulan dapat menghasilkan buah. Namun, teknologi ini masih perlu dilakukan penelitian dan pengujian tingkat keberhasilan dan tingkat produktivitas buah kakao. Untuk meningkatkan adopsi komponen teknologi, hanya bisa dilakukan melalui perluasan diseminasi, komunikasi, dan pendampingan secara kontinu dan berkelanjutan.

PENUTUPImplementasi diseminasi inovasi teknologi kakao dari aspek

teknis yang dilakukan dengan memadukan beberapa metode diseminasi dapat meningkatkan kapasitas petani (pengetahuan dan keterampilan) dalam penerapan teknologi. Komponen teknologi secara tepat dapat diterapkan petani jika memahami secara baik mengenai unsur-unsur teknologi yang diterapkan. Kesalahan dalam penerapan unsur-unsur teknologi seperti unsur-unsur komponen teknologi sambung samping dapat mengalami kegagalan dalam penerapan.

Strategi percepatan diseminasi teknologi berbasis kelompok tani mempercepat proses diseminasi dan meningkatkan adopsi inovasi teknologi. Keterlibatan dinas instansi terkait, kelembagaan penyuluhan pertanian (PPL), kontak tani, dan perusahaan dalam kegiatan diseminasi mampu meningkatkan diseminasi inovasi teknologi dan percepatan adopsi.

Page 379: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 347

Kreativitas petani dan kelompok tani untuk belajar dan sekaligus menerapkan komponen teknologi akan mempercepat kesadaran dan keyakinan petani terhadap keunggulan teknologi budidaya kakao. Para petani telah membuktikan bahwa penerapan teknologi budidaya kakao meningkatkan produktivitas kakao, pendapatan dan nilai tambah yang diterima petani. Manfaat yang dirasakan petani dari aspek teknis penerapan teknologi mendorong sebagian besar petani kakao menerapkan teknologi yang telah diintroduksikan.

UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih disampaikan pada SMARTD yang telah

membiayai kegiatan pelaksanaan diseminai teknologi. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada Badan Litbang Pertanian yang telah berupaya mengalokasikan anggaran SMARTD, melakukan pendampingan untuk meningkatkan SDM peneliti/penyuluh melalui kegiatan penelitian dan diseminasi.

DAFTAR PUSTAKAAngela dan Darda Efendi. 2015. “Pengelolaan Pemangkasan Tanaman

Kakao (Theobroma cacao L.) Di Cilacap, Jawa Tengah”. dalam Bul. Agrohorti 3 (3) : 285 – 293 (2015).

Antara, M., dan Effendy. 2009. “Karakteristik Petani Kakao dan Produksinya di Kabupaten Parigi Moutong”. adalam Jurnal Agrisain 10 (1), April 2009.

Azri. 2015. “Pengaruh Pemupukan Terhadap Pertumbuhan dan Buah Tanaman Kakao”. Jurnal Agros 17 (2), Juli 2015: 222-227.

BPS NTB. 2013. “Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat”. Mataram BPS NTB. 2016. Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat. Mataram.

BPS NTB. 2013. “Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam Angka”. Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat. Mataram BPS NTB. 2016. Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat. Mataram

Page 380: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan348

Bulu Y G. 2011. “Kajian Pengaruh Modal Sosial dan Keterdedahan Infromasi Inovasi Terhadap Tingkat Adopsi Inovasi Jagung di Lahan Sawah dan Lahan Kering di Kabupaten Lombok Timur”. Disertasi Sekolah Pascasarjana. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Bulu, Yohanes G., Sudarto, Sylvia Kusumaputri Utami, Ika Novitasari, dan Adnan. 2013. “Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI) Berbasis Teknologi Usahatani Kakao di Lahan Kering Nusa Tenggara Barat”. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat.

Bulu, Yohanes G., Sudarto, Sylvia Kusumaputri Utami, Ika Novitasari, dan Adnan. 2014. “Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI) Berbasis Teknologi Usahatani Kakao di Lahan Kering Nusa Tenggara Barat”. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat.

Bulu Yohanes G., Sudarto, Ika Novitasari, dan Sylvia Kusumaputri Utami. 2016. “Dampak Diseminasi Teknologi Pemangkasan Kakao terhadap Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Petani di Lahan Kering Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat”. Prosiding Seminar Nasional Lahan Kering. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. P. 593 - 599.

Cora, G. S., Didi Rukmana, A. Amrullah. 2018. “Persepsi Petani kako Terhadap Teknik Sambung Samping di desa Batu Lappa, Sulawesi Selatan.” dalam Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian (JSEP), 1(1), Februari 2018. Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makasar.: Halaman 15 - 30.

Damanik, S. dan Herman. 2010. “Prospek dan Strategi Pengembangan Perkebunan Kakao Berkelanjutan di Sumatera Barat”. http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index. Diakses pada 29 November 2018.

Danial, D., Yossita Fiana, Fitri Handayani, dan M. Hidayanto. 2015. “Peningkatan produksi dan mutu kakao melalui kegiatan Gernas di Kalimantan Timur”. Pros Sem Nas Masy. Biodiv Indon. Volume 1 No. 5, Agustus 2015: 1203 - 1210p.

Page 381: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 349

Indraningsih, Kurnia Suci. 2017. “Strategi Diseminasi Inovasi Pertanian dalam Mendukung Pembangunan Pertanian”. dalam Forum Penelitian Agro Ekonomi, 35 (2), Desember 2017: 107-123.

Larekeng, Y., S. Samudin dan H. Barus. 2017. “Kajian Berbagai Lama Penyimpanan Entres terhadap Hasil Sambung Samping Kakao (Theobroma cacao L.) Klon Sulawesi”. dalam e-Jurnal Mitra Sains, 5(1), Januari 2017 hlm 89-97

Hasan Nusyirwan, Rifda Roswita, Syafril, dan Zulrasdi. 2012. “Kajian Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pasca Panen Kakao Melalui Diseminasi Multi Channel Mendukung Gernas kakao di Sumatera Barat”. Prosiding InSiNas 2012. Halaman 110 - 116.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2004. Panduan Lengkap Budi Daya Kakao. Tangerang: PT AgroMedia Pustaka.

Rubiyo dan Siswanto. 2012. “Peningkatan Produksi Dan Pengembangan Kakao (Theobroma Cacao L.) di Indonesia”. http://repository.pertanian.go.id/ . Diakses pada 29 November 2018.

Rubiyo. 2013. “Inovasi Teknologi Perbaikan Bahan Tanam kakao di Indonesia”. dalam Buletin Ristri 4 (3) November 2013. Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar: 199 - 214p

Salim, A dan Bambang Drajat. 2008. “Teknologi Sambung Samping Tanaman Kakao, Kisah Sukses Prima Tani di Sulawesi Tenggara”. http://pustaka.setjen.pertanian.go.id/ publikasi/. Diakses pada 30 November 2018.

Padmowihardjo, S. 2006. “Penyuluhan Pendampingan Partisipatif”. dalam Jurnal Penyuluhan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Soedarsono. 1996. “Cara pemangkasan pada tanaman kakao”. dalam Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 12(3):178-186.

Page 382: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 383: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

INTRODUKSI PERBENIHAN KENTANG BERMUTU VARIETAS GRANOLA KEMBANG

DALAM PERSPEKTIF PENGEMBANGAN PERTANIAN PERDESAAN

P.E.R. Prahardini dan T. Sudaryono

PENDAHULUANKentang merupakan salah satu komoditas hortikultura potensial

sebagai pengganti karbohidrat. Saat ini varietas unggul kentang yang telah dihasilkan Badan Litbang sekitar 32 lebih varietas dengan potensi hasil antara 20–40 t/ha dan tahan/toleran terhadap hama dan patogen tertentu. Varietas kentang tersebut dapat dibedakan menjadi kentang untuk sayur dan kentang untuk olahan. Kriteria varietas kentang yang dipilih petani adalah varietas yang berpotensi produksi tinggi dan disukai pasar. Dari varietas yang saat ini sudah dilepas oleh Menteri Pertanian ternyata perkembangannya di tingkat petani masih terkendala oleh penyediaan benih yang bermutu. Varietas kentang Granola Kembang merupakan varietas unggul Nasional yang dilepas tahun 2005 yang berasal dari Jawa Timur. Salah satu keunggulan Varietas Granola kembang adalah mempunyai potensi produksi 30–50 ton per ha yang lebih tinggi potensinya dibandingkan Varietas Granola Lembang.

Petani kentang pada umumnya masih menggunakan benih sisa hasil panen dan yang dijadikan benih adalah ubi yang berukuran kecil dengan tidak mengetahui generasi ke berapa. Hal ini menyebabkan produktivitas kentang lebih rendah dari potensi produksi varietasnya. Ubi kentang yang ditanam berulang-ulang dan dijadikan benih menyebabkan terjadi peningkatan akumulasi penyakit.

Perkembangan varietas unggul perlu didukung oleh penyediaan benih kentang bermutu yang diawali dengan ketersediaan plantlet sebagai benih sumber dan bisa diperbanyak secara cepat menjadi stek dan ditanam menghasilkan ubi. Teknologi perbenihan kentang telah banyak dihasilkan dimulai dari teknologi kultur meristem, perbanyakan G0, Gi dan G2. Seperti yang telah dikemukakan oleh Dirjen Perbenihan Hortikultura (2014) bahwa sumber benih berupa plantlet dari varietas unggul dan benih turunannya berupa ubi G0 maupun stek.

Page 384: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan352

Salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang merupakan wilayah pengembangan produksi kentang adalah Kabupaten Lumajang. Produktivitas kentang di Kabupaten Lumajang tahun 2013 sebesar 12,5 ton/ha, total produksi 8.812 ton dan luas panen 705 ha. Data tersebut menunjukkan bahwa produktivitas kentang di Kabupaten Lumajang lebih rendah bila dibandingkan dengan produktivitas kentang di sentra produksi lainnya di Provinsi Jawa Timur. Rendahnya produktivitas disebabkan petani di Kabupaten Lumajang masih menggunakan bibit dari hasil panen pertanaman sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan petani umumnya menggunakan benih kurang bermutu. Benih kentang bermutu diawali dengan penggunaan benih sumber yang bebas 4 macam virus (Zamora 1994) dengan menggunakan teknik kultur meristem (Gunawan 1995) berupa plantlet steril atau disebut benih Inti (Karyadi 1990; Baharudin et al. 2008 dan Prahardini 2011). Perbanyakan benih kentang dengan kultur meristem tersebut diawali dengan pemilihan varietas Unggul (Prahardini dan Krismawati 2010; Direktorat Perbenihan Hortikultura 2014). Lebih lanjut, Prahardini et al. (2015) menyebutkan salah satu Varietas unggul kentang adalah varietas Granola Kembang yang sudah dikenal di Jawa Timur dan propinsi yang lain seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Jambi, NTB dan Sulawesi Utara. Desa Argosari dan Ranu Pani adalah desa yang berpotensi dalam pengembangan usahatani kentang di Kabupaten Lumajang.

Sejumlah teknologi pertanian yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian di antaranya telah digunakan secara luas dan terbukti menjadi tenaga pendorong utama pertumbuhan dan perkembangan usaha dan sistem agribisnis berbagai komoditas pertanian (Badan Libang Pertanian 2011). Namun demikian dari evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian cenderung melambat, bahkan menurun (Simatupang 2004). Hal ini juga tidak terlepas dari sikap mental masyarakat dan tingkat pendidikan masyarakat yang belum memandanglahan pertanian sebagai salah satu sarana mata pencaharian yang utama (Mangowal 2012).

Menurut Mundy (1992 dan 2002), disadari bahwa hasil penelitian Badan Litbang Pertanian sangat lambat sampai ke pengguna akhir. Untuk dapat diketahui sekitar 50% penyuluh spesialis pertanian saja, perlu waktu hampir dua tahun sejak hasil penelitian itu dimasyarakatkan. Berdasarkan kenyataan ini Badan Litbang Pertanian melakukan analisis dan diketahui bahwa sub-sistem penyampaian (delivery sub-system) dan subsistem penerima (receiving sub-system)

Page 385: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 353

merupakan bottleneck yang menyebabkan informasi teknologi lambat sampai ke pengguna. Makalah ini bertujuan mendiskusikan introduksi perbenihan kentang varietas Granola Kembang dalam perspektif pengembangan pertanian perdesaan.

TEKNIS PERBANYAKAN BENIH KENTANG Pola perbanyakan benih kentang bermutu sesuai dengan

Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 20/Kpts/SR.130/IV/2014 (Direktorat Perbenihan Hortikultura 2014) menyebutkan bahwa penggunaan teknologi inovatif terapan dalam produksi benih maupun reformasi regulasi yang memberikan kemudahan dan peluang seluas-luasnya bagi setiap pelaku perbenihan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pola perbanyakan benih kentang bermutu mengikuti pola perbanyakan satu generasi dengan perbanyakan secara vegetatif menggunakan ubi atau stek sebagai benih, sebagaimana penjelasan berikut:

Benih kentang bermutu diawali dari kelas Benih Penjenis (BS), 1. Benih Dasar (BD/G0), Benih Pokok (BP/G1) dan Benih Sebar (BR/G2). Dengan klasifikasi Benih Penjenis berupa plantlet, stek dari plantlet dan ubi mikro yang terjamin kebenaran varietasnya berdasarkan rekomendasi dari pemilik varietas dan bebas dari patogen.Benih Dasar atau G0 merupakan hasil perbanyakan dari kelas 2. BS. Perbanyakan G0 harus dilaksanakan di rumah kasa kedap serangga dan harus memenuhi standar mutu atau PTM.Benih Pokok atau G1 merupakan hasil perbanyakan dari G0 atau 3. diperbanyak dari kelas benih yang lebih tinggi. Perbanyakan G1 dilaksanakan di dalam rumah kasa kedap serangga dan harus memenuhi standar mutu atau PTM.Benih Sebar atau G2 merupakan hasil perbanyakan dari G1 atau 4. diperbanyak dari kelas benih yang lebih tinggi. Perbanyakan G2 dilaksanakan di lapangan dan harus memenuhi standar mutu atau PTM (Persyaratan Teknis Minimal)Terkait dengan mutu dan aspek kesehatan benih, Karjadi (2016)

mengemukakan bahwa kesehatan benih awal akan menentukan kesehatan hasil panen berikutnya. Benih kentang yang sehat mempunyai karakter: (a) ubi benih kentang tidak terinfeksi oleh penyakit terbawa ubi, (b) kemampuan bertunas baik, (c) varietas

Page 386: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan354

benar yang tidak tercampur varietas lain dan (d) ukuran ubi 20–30 ubi per kilogram. Hasil penelitian Mulyono et al. (2017) menyimpulkan bahwa kelas benih yang lebih tinggi G0 dan G1 sesuai untuk benih sumber karena mampu meningkatkan produksi dan menghasilkan ubi kelas C (ukuran 50–100 g/ubi) dan D (ukuran di bawah 50 g/ubi) yang lebih banyak. Ubi kentang yang berukuran kecil sesuai untuk benih, sedangkan yang ukuran besar sesuai untuk konsumsi. Hal inilah yang memacu petani untuk menggunakan ubi ukuran kecil sebagai benih dengan tanpa memperhitungkan generasi dan benih sumbernya yang sangat berhubungan erat dengan kesehatan benih atau akumulasi penyakit yang terbawa benih.

Peran Perbenihan Dalam Pengembangan DesaDalam studi kasus di Kecamatan Argosari Kabupaten Lumajang

terletak pada ketinggian antara 1000–1850 mdpl dengan luas pertanaman kentang sekitar 700 ha. Retnaningtyas et al. (2013) hampir semua petani adalah petani hortikultura utamanya kentang yang mempunyai lahan atau sewa lahan dengan tipe lahan kering dataran tinggi dan umumnya belum mengenal teknologi perbenihan kentang bermutu (Retnaningtyas et al. 2013). Pola tanam eksisting yang dilakukan oleh petani umumnya menanam kentang 3 kali setahun dengan sistem: Kentang – Bawang Pre – Kubis; Kentang – Sawi putih – Wortel dan Kentang – Kubis – Wortel. Sedangkan tanaman lain seperti ercis, jagung, bentul, buncis, benguk ditanam di pinggir galengan atau di pekarangan.

Lahan tegalan yang dimiliki petani umumnya mempunyai kelerengan berkisar 30–50% dan digunakan sebagai tempat usahatani tanaman sayuran semusim yang didominasi kentang serta bawang prei (bawang daun). Varietas kentang yang ditanam petani merupakan vartietas lokal yang sudah ditanam turun-temurun dengan potensi hasil 10–12 ton/ha. Adanya demplot perbenihan kentang yang dilakukan oleh petani kooperator pertama mulai mengenal varietas Unggul Kentang yaitu Granola Kembang yang mempunyai potensi hasil 30–50 ton/ha ubi konsumsi yang merupakan kentang sayur dengan daging berwarna kuning dan umur panen 120 hari setelah tanam (Susyati dan Prahardini 2004). Saat ini kentang Granola Kembang telah dikenal dan disukai oleh petani tidak hanya di Jawa Timur, tetapi juga petani Jawa Tengah, Jawa Barat serta Propinsi lain (Prahardini et al. 2015)

Page 387: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 355

Potensi suatu desa dengan lahan yang memungkinkan untuk mengembangkan komoditas kentang perlu dipersiapkan benih yang mencukupi secara kuantitas dan terjamin mutu benihnya. Kebutuhan benih untuk luasan 1 ha memerlukan 1,5 ton benih G2. Seperti dikemukakan oleh Suliansyah et al. (2017) petani mampu memenuhi kebutuhan benih untuk lahan yang tersedia yang didahului dari ketersediaan benih berupa plantlet. Lebih lanjut ketersediaan benih G0, G1 dan G2 tentunya untuk meningkatkan kemampuan petani tersebut dilakukan pendampingan dan pemenuhan sarana dan prasarana yang diperlukan.

Dukungan Inovasi PerbenihanKeberhasilan usahatani komoditas sangat bergantung pada

penggunaan benihnya. Penggunaan benih bermutu dan varietas unggul akan menjamin keberhasilan usahatani yang dilakukan oleh petani. Berkembangnya teknologi perbenihan komoditas hortikultura akan memberikan dampak tidak hanya dihasilkannya benih bermutu tetapi juga efisiensi input usahatani yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani. Saat ini telah diperoleh rakitan teknologi perbenihan kentang G2 Varietas Granola Kembang (Retnaningtyas et al. 2013) yang menunjukkan hasil bahwa penggunaan rakitan teknologi jarak tanam rapat, penggunaan pupuk organik, penggunaan tanaman border dan pengendalian hama/penyakit ternyata mampu meningkatkan pendapatan petani dengan R/C ratio 0,97. Sedangkan teknologi petani menggunakan varietas lokal menghasilkan R/C ratio 0,45. Petani mulai tertarik dengan rakitan teknologi yang diintroduksi yaitu Varietas Granola Kembang dan kelas benih G0. Di lokasi pengkajian belum diinisiasi screen house untuk menghasilkan benih sumber kelas G0 (benih penjenis). Untuk itu diperkenalkan teknologi memproduksi benih G0 yang ditanam menggunakan benih berupa plantlet dan ditanam di dalam screen house dengan media yang steril (Retnaningtyas et al. 2017). Penyediaan benih atau ubi G0 tidak hanya dilakukan secara konvensional dengan cara stek tunas kentang (Cole dan Wreight 1967) tetapi dapat juga dilakukan dengan teknologi aeroponik dan hidroponik bergantung kemampuan petani di wilayah masing masing dengan menggunakan modifikasi media tanam (Suryani et al. 2017). Dalam perbenihan kentang yang menjadi benih sumber tidak hanya benih G0 ubi tetapi juga stek yang berasal

Page 388: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan356

dari perbanyakan cepat plantlet yang bebas virus. Penggunaan stek dapat dilakukan dengan menggunakan stek 1–2 ruas dari plantlet yang telah ditumbuhkan berumur 1,5–2 bulan setelah aklimatisasi.

Penanaman plentlet di dalam screen house merupakan teknologi baru bagi petani benih plantlet merupakan Benih Penjenis yang steril dengan media tanam steril dan screen house yang steril (Karjadi 2016). Cara pemeliharaan dan prospek keberlanjutan perbenihan kentang produksi benih G0 ternyata mampu mengubah pola pikir petani dalam pemeliharaan tanaman yang harus dilakukan dengan tekun dan teliti. Produksi stek berakar dapat dihasilkan dari perbanyakan plantlet tersebut dan merupakan benih sumber untuk menghasilkan benih bermutu kelas di bawahnya, asal benih stek tersebut jika ditanam di dalam screen house maka akan menghasilkan benih ubi G0 tetapi kalau ditanam di lahan akan menghasilkan kelas benih G2 (Direktorat Perbenihan Hortikultura 2014).

Bahan tanam berupa stek berakar untuk tanaman kentang merupakan hal baru bagi petani kentang di Argosari Lumajang. Kriteria stek berakar yang siap ditanam di lahan antara lain: sudah terbentuk daun minimal 3 daun dengan akar sejumlah 6 dan panjang akar 5 cm. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Prahardini et al. 2014).

Perspektif Pengembangan Pertanian PerdesaanPendampingan dalam satu kawasan berbasis kentang dengan

mengenalkan varietas Granola kembang untuk penyediaan benih telah mampu mengubah pola pikir petani untuk tetap menggunakan benih bermutu mulai kelas Benih Penjenis (plantlet) maupun stek, Benih Dasar (G0) dan Benih Sebar (G2) perlu tetap dijaga keberlanjutannya. Hal ini perlu dukungan stakeholder terkait dalam menyediakan sarana, prasarana dan pemasaran.

Respons Pemerintah Daerah yang positif dan terus melanjutkan pendampingan mempunyai peranan untuk meningkatkan ekonomi di wilayah Argosari Lumajang. Komponen teknologi yang berupa varietas unggul Granola Kembang diterima oleh masyarakat dan pasar, penggunaan pupuk kandang dan pupuk anorganik tidak menjadi masalah bagi petani. Asal benih G0 dan stek berakar telah mampu dihasilkan oleh kelompok tani di Argosari. Perbanyakan massal stek mempunyai beberapa keuntungan antara lain benih lebih

Page 389: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 357

cepat tersedia dan mudah dilakukan namun perlu ketelitian dan sarana yang mendukung yaitu screen house dan air. Stek berakar jika ditanam di dalam screen house menghasilkan benih klas G0, sedangkan jika ditanam di lapang mampu menghasilkan benih kelas G2.

Penggunaan jarak tanam untuk menghasilkan ubi benih perlu jarak tanam rapat, semakin rapat jarak tanam ubi yang berukuran kecil dihasilkan lebih banyak, sedangkan semakin lebar jarak tanam ukuran ubi yang dihasilkan juga semakin besar. Dengan tersedianya benih bermutu mulai plantlet sampai benih sebar (G2) maka petani tidak akan kesulitan memperoleh benih bermutu dengan perkiraan kebutuhan benih sebar sebanyak dengan perkiraan kebutuhan 1,5 ton/ha maka memerlukan 1.000 ton benih sebar (G2) untuk luas 705 ha. Tentunya petani masih perlu pendampingan dan dukungan dari Pemda Lumajang. Jika dinilai dengan taksasi 1 kg benih sebar Rp25.000 maka 1.000 ton benih sebar senilai Rp25 M.

Seperti halnya yang dikemukakan oleh petani penangkar di Pangalengan (Asep Sutisna 2017) adopsi teknologi stek berakar di Pangalengan menjual benih G2 dari inovasi teknologi Stek dengan total penjualan 80 ton G2 dengan harga benih Rp25.000/kg maka mampu menghasilkan uang sebanyak Rp2 M. Penjualan benih Varietas Granola Kembang sudah punya preferensi pasar di Jawa Timur, Jawa Barat (Pangalengan), Wonosobo -Jawa Tengah, Kerinci-Jambi, NTB dan NTT.

PENUTUPPerbenihan kentang bermutu memiliki peran strategis dalam

pengembangan kentang varietas Granola Kembang. Satu kawasan pertanian berbasis kentang memerlukan benih bermutu dari varietas Granola kembang yang perlu disiapkan mulai dari benih sumber berupa plantlet, benih G0 dan benih G2. Ketersediaan sarana dan benih inti kentang berupa plantlet dan benih G0 varietas Granola Kembang sangat diperlukan oleh petani kentang. Untuk keberlanjutan usahatani dari penyediaan benih sampai ubi konsumsi, petani masih memerlukan pendampingan dan perhatian dari dinas terkait. Penyediaan logistik berupa plantlet bebas virus varietas Granola Kembang untuk petani telah tersedia dalam jumlah cukup. Teknologi yang sudah diadopsi dan dikembangkan oleh petani dengan dukungan dinas terkait akan mampu menjadi wilayah mandiri benih kentang.

Page 390: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan358

Petani dalam kawasan berbasis kentang merupakan refleksi dari misi benih kentang berasal dari petani untuk petani dan dilakukan oleh petani. Bila hal ini bisa diwujudkan maka perputaran uang komoditas kentang akan dinikmati oleh petani kentang di perdesaan.

UCAPAN TERIMA KASIHUcapan terima kasih kepada SMARD yang telah memberikan

dana penelitian MP3MI di Kabupaten Lumajang selama 2 tahun mulai 2013–2014 dan juga memfasilitasi penyusunan bunga rampai ini mulai penyusunan sampai penerbitan buku. Tak lupa pula ucapan terima kasih kepada Penjab MP3MI Jatim yang saat ini sudah memasuki purna tugas.

DAFTAR PUSTAKABadan Pusat Statistik Kabupaten Lumajang. 2015. “Kecamatan

Senduro Dalam Angka 2011-2015”. Lumajang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lumajang.

Badan Litbang Pertanian. 2011. “Panduan Umum Spektrum Diseminasi Multi Channel (SDMC)”. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Baharudin,T. Kuswinanti, A. Syafiudin, N. Rosida dan Badawi. 2008. “Optimalisasi Sistem Produksi Benih kentang Berbasis Bioteknologi Ramah Lingkungan”. Abstrak Seminar Pekan Kentang Nasional dan Tanaman sayuran. 2008. Lembang. P 11.

Biro Pusat Statistik. 2013. “Luas tanam dan produksi tanaman di Indonesia tahun 2009–2013”.

Cole E. F. and NS Wright. 1967. “Propagation of potato by stem cuttings”. dalam American Potato Journal. 44: 301 – 304

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Timur. 2012. “Laporan Tahunan. 2011”. Surabaya.

Direktorat Perbenihan Hortikultura. 2014. “Teknis Perbanyakan dan Sertifikasi Benih Kentang”. Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian. 1129 halaman

Page 391: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 359

Gunadi, N, Karjadi A, Sirajuddin. 2014. “Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Klon kentang Unggul asal Internasional Potato Center di Dataran Tinggi Malino, Sulawesi Selatan”. dalam Jurnal Hortikultura (2014) 24 (2): 102–113.

Gunawan, L.W,. 1995. Teknik Kultur In Vitro Dalam Hortikultura. Penebar Swadaya, 114 pp.

Suliansyah, I dan H.B. Santosa. 2017. “Pengembangan Sentra Produksi Bibit (Penangkaran) Kentang Bermutu Melalui Aplikasi Teknologi Bioseluler Di Kabupaten Solok”. dalam Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat Logista 1(2) Tahun 2017. ISSN: 2579-6283

Karjadi,A.K. 1990. “Pengaruh Jumlah dan Kerapatan Ubi Mini Kentang Terhadap Produksi Ubi Bibit”. dalam Bul. Penel. Horti. XX (3):90 – 97.

Karjadi, A, dan Moekasan T. 2016. “Teknik Peningkatan Kualitas Dan Kuantitas Benih Kentang (Solanum tuberosum L. )”. dalam Journal Article Iptek (2016) 010 p. 1-11

Karjadi, A.K. 2016. “Produksi Benih Kentang”. Iptek Tanaman Sayuran Balai Penelitian Sayuran Lembang. 12 halamam.

Suryani, L. E.T.S. Putra dan M Dianawati. 2017. “Pengaruh Komposisi Media Tanam Hidroponik Agregat terhadap Produksi Benih G0 Tiga Kultivar Kentang (Solanum tuberosum L.). The Effect of Growth Medium of Aggregate Hydroponic on G0 Production of Three Potatoes Cultivar (Solanum tuberosum L.). dalam Vegetalika. 2017. 6(2): 1-13

Mangowal J. 2012. “Pemberdayaan Masyarakat Petani dalam Meningkatkan Pengembangan Ekonomi Pedesaan di Desa Tumani Kecamatan Maesaan Kabupaten Minahasa Selatan”. dalam Journal of Non-Formal Education and Communityurnal Ilmiah Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unsrat (2012) 5(1) 90-97

Mulyono, D, M. Jawal Anwarudin Syah, Apri Laila Sayekti dan Yusdar Hilman. 2017. “Kelas Benih Kentang (Solanum tuberosum L) Berdasarkan pertumbuhan, Produksi dan Mutu Produk”. J. Hort. 27(2) Desember 2017: 209 – 2016

Mundi, P. 1999. “Information Sources of Agriculture Extention Specialist in Indonesia”. PhD Thesis. University of Wisconsin-Madison, USA.

Page 392: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan360

----------. 2002. “Investasi untuk Komunikasi di Badan Litbang Pertanian”. Bahan dari Project PAATP3. Badan Litbang Pertanian. Desember 2002.

Prahardini, P.E.R dan Amik Krismawati. 2010. “Penyediaan Benih Kentang di Jawa Timur. Warta Plasma Nutfah Indonesia”. Media Komunikasi Komisi Nasional dan Sumber Daya Genetik. Nomor 22 Tahun 2010. ISSN 1410-2021

Prahardini, P.E.R. 2011. “Teknologi Produksi Benih Penjenis Kentang (G0) Varietas Granola Kembang. 100 Inovasi Pertanian spesifik Lokasi”. Badan Litbang Pertanian. Kementrian Pertanian

Prahardini, PER; T. Sudaryono dan K. B. Andri. 2015. “Pengembangan Kentang Varietas Granola Kembang di Jawa Timur. Inovasi Hortikultura Pengungkit Peningkatan Pendapatan Rakyat”. Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian Kementrian Pertanian. Jakarta. Hal. 65 – 77

Retnaningtyas, E., T. Sudaryono; Irianto, B., P.E.R. Prahardini dan Z. Arifin. 2013. “Laporan Hasil Pengkajian Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi Berbasis Usahatani Benih Kentang di Argosari-Senduro, Lumajang”. 27 halaman

_________. 2014. “Laporan Hasil Pengkajian Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi Berbasis Usahatani Benih Kentang di Argosari-Senduro, Lumajang”. 20 halaman

Rogers E.M. 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition. New York: The Free Press

Santoso, B. 2008. Pendugaan Heritabilitas Ketahanan Beberapa Varietas Kentang (Solanum Tuberosum L) Terhadap Lalat Pengorok Daun (Liriomyza huidobrensis). dalam J.Agroland 15 (4) : 251- 256, Desember 2008. ISSN 0854 – 641 X

Susiyati dan P.E.R. Prahardini, 2004. “Usulan dan Pelepasan Varietas Unggul Granola Kembang”. Diperta Provinsi Jatim. 15 halaman

Suwarno, W.B. 2008. “Sistem Perbenihan kentang di Indonesia”. http://www.situshijau co.id. 15 Maret 2008. 21 halaman

Zamora, A.B; C.N. Paet and E.C. Altoveros. 1994. “Micropropagation and virus elimination, procedures in potato for conservation, dissimonation and production in the humid tropic”. IPB –Univ of the Phill- Los Banos. SAPPRAD 103 pp.

Page 393: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

PROSPEK PENGEMBANGAN IMPLEMENTASI TEKNOLOGI INTEGRASI PADI-SAPI

MENDUKUNG PENGEMBANGAN PERTANIAN PERDESAAN DI TABALONG

KALIMANTAN SELATAN

Yanuar Pribadi dan Retna Qomariah

PENDAHULUANIndonesia yang dikenal sebagai negara agraris memiliki banyak

ragam sumber pangan, namun ironisnya hampir sembilan puluh persen kebutuhan pangan yang dikonsumsi penduduk Indonesia masih bergantung pada beras, sehingga pengembangan pertanian di perdesaan berbasis usahatani padi masih menjadi andalan utama. Komoditas beras pun tetap menjadi sektor strategis secara ekonomi, sosial dan politis (Budianto 2002).

Berkenaan dengan keinginan untuk mendorong peningkatan rumah tangga petani di Kabupaten Tabalong, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan melakukan pengkajian untuk mengintroduksikan pola usahatani integrasi usahatani padi dengan usaha ternak sapi. Dalam hal ini usahatani padi tetap menjadi kegiatan utama, dan usaha ternak sapi sebagai komplemen. Integrasi tanaman ternak dapat menjadi sumber tambahan pendapatan karena adanya kompensasi biaya pengeluaran untuk pembelian pupuk dan pakan. Pada integrasi tanaman ternak terjadi efisiensi usaha melalui pemanfaatan limbah ternak sebagai pupuk dan limbah padi sebagai pakan. Usaha integrasi tanaman-ternak ini menjadi sumber energi alternatif yang potensial untuk dikembangkan (Haryanto 2009).

Melakukan usahatani padi dan berusaha ternak sapi bagi masyarakat tani di Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan bukan merupakan hal baru. Kedua jenis usaha tersebut sudah menjadi bagian dari budaya dalam kehidupan petani. Penerapan usahatani yang dilakukan dengan cara mengintegrasikan kedua usaha tersebut masih belum biasa. Namun dari hasil pengkajian BPTP Kalimantan Selatan, terbukti para petani bisa melakukan cara bertani dengan pola integrasi tanaman dengan ternak seperti yang diinginkan.

Page 394: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan362

Persoalannya, bagaimanakah prospek implementasi teknologi integrasi padi-sapi dalam upaya mendukung pengembangan pertanian perdesaan di Tabalong Kalimantan Selatan?. Tulisan ini akan membahas Prospek Pengembangan Implementasi Teknologi Integrasi Padi-Sapi Mendukung Pengembangan Pertanian Perdesaan. Pembahasan selain didasarkan materi yang diperoleh melalui penelusuran pustaka dan searching internet, juga didasarkan pada hasil laporan pengkajian integrasi tanaman–ternak yang melibatkan penulis sebagai pelaku di dalamnya.

EKSISTENSI USAHA TANI PADI DAN USAHA TERNAK SAPI

Laju peningkatan produktivitas padi sawah dalam beberapa tahun terakhir cenderung melandai. Sistem intensifikasi tidak lagi mampu sepenuhnya meningkatkan produksi dan produktivitas padi secara nyata. Penggunaan input yang makin tinggi untuk mempertahankan produktivitas tetap tinggi ternyata telah menurunkan efisiensi sistem produksi padi.

Penurunan produktivitas tersebut tidak diikuti dengan menurunnya biaya produksi sehingga daya saingnya juga menurun, dan pada akhirnya harga produk pertanian dalam negeri belum mampu bersaing dengan produk pertanian luar negeri (Kasijadi et al. 2000).

Pelandaian produktivitas padi sawah disebabkan oleh eksploitasi lahan sawah secara intensif dan terus-menerus selama bertahun-tahun, mengakibatkan tingkat kesuburan dan sifat fisik tanah menurun. Di sisi lain, terabaikannya pemberian bahan organik dan intensifnya pemberian pupuk kimia untuk mengejar hasil tinggi telah menurunkan kandungan bahan organik di tanah. Akibat lebih lanjut dari kondisi ini adalah menurunnya kemampuan tanah menyimpan dan melepaskan hara dan air bagi tanaman, sehingga mengurangi efisiensi penggunaan pupuk dan air irigasi (Zaini et al. 2003).

Sementara itu dari sektor peternakan, keberhasilan suatu usaha peternakan ditentukan oleh beberapa faktor pendukung di antaranya adalah bangsa, pakan, tata laksana pemeliharaan dan lingkungan. Dari beberapa faktor pendukung tersebut, pakan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan suatu usaha peternakan.

Page 395: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 363

Penggunaan bibit dan tata laksana yang baik tanpa ditunjang oleh pemberian pakan yang berkualitas tidak akan memberikan hasil yang optimal.

Salah satu penyebab rendahnya produksi ternak ruminansia adalah hijauan pakan yang diberikan peternak masih kurang, baik secara kuantitas maupun kualitas. Kuantitas produksi hijauan pakan ternak mempunyai hubungan negatif dengan kualitas nutrisi sejalan dengan umur tanaman. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya kandungan komponen poliaksarida struktural serta menurunnya kandungan protein (Haryanto 2009).

Perkembangan permukiman, perluasan areal tanaman pangan dan areal perkebunan merupakan pesaing utama dalam penggunaan lahan yang tersedia, sehingga semakin sulit memperoleh lahan untuk pertanaman rumput/hijauan. Sedangkan makanan pokok ternak rumansia adalah rumput dan hijauan (serat). Dengan beralihnya fungsi lahan tersebut, menimbulkan kesulitan bagi peternak untuk memperoleh rumput bagi ternak peliharaannya terutama pada musim kemarau.

Penerapan teknologi pakan di lapangan ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan peternak. Kebiasaan peternak dalam pemberian pakan yang dilakukan secara turun-temurun menyebabkan lambatnya penyerapan teknologi baru yang dianjurkan. Mengandalkan pakan dari kegiatan mencari rumput setiap hari, menjadi salah satu penyebab rendahnya skala pemilikan ternak. Kebiasaan stok pakan belum menjadi budaya bagi peternak.

INTEGRASI TANAMAN TERNAKSalah satu bentuk usaha tani yang dapat mendukung

pembangunan pertanian di wilayah perdesaan adalah integrasi tanaman ternak. Ciri utama dari pengintegrasian tanaman dengan ternak adalah terdapatnya keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dengan ternak. Keterkaitan tersebut terlihat dari pembagian lahan yang saling terpadu dan pemanfaatan limbah dari masing-masing komponen.

Saling keterkaitan berbagai komponen integrasi merupakan faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan (Pasandaran,

Page 396: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan364

Djajanegara, Kariyasa dan Kasryno 2005). Dikatakan bahwa integrasi tanaman ternak mengemban tiga fungsi pokok yaitu memperbaiki kesejahteraan dan mendorong pertumbuhan ekonomi, memperkuat ketahanan pangan, dan memelihara keberlanjutan lingkungan.

Pemanfaatan limbah ternak sebagai pupuk organik dapat mengembalikan kesuburan tanah sehingga produktivitas pertanian meningkat, dan pemanfaatan limbah tanaman sebagai pakan ternak dapat menjamin ketersediaan pakan ternak. Integrasi dapat berjalan dengan baik dan mampu meningkatkan produktivitas pertanian apabila petani menguasai dan menerapkan inovasi teknologi. Hal ini sesuai dengan pendapat Pasandaran et al. (2005) yang mengatakan bahwa salah satu kunci keberhasilan integrasi adalah kemampuan mengelola informasi yang diperlukan termasuk informasi mengenai teknologi integrasi tanaman ternak.

Potensi pengembangan integrasi ini cukup besar dilakukan di Kalimantan Selatan. Beberapa kabupaten di antaranya telah melakukannya secara baik di subsektor pertanian dan subsektor peternakan, salah satunya adalah di Kabupaten Tabalong.

TINGKAT ADOPSI KOMPONEN TEKNOLOGIMenurut Rogers (1983), inovasi adalah suatu gagasan, tindakan

atau objek yang dianggap baru oleh seseorang atau oleh satuan adopsi lain. Sedangkan teknologi didefinisikan sebagai suatu rancangan tindakan instrumental untuk mengurangi ketidakpastian dalam hubungan sebab-akibat yang terdapat dalam upaya memperoleh suatu hasil tertentu. Lebih tegas Taryoto (1991), mengatakan bahwa hanya teknologi barulah yang dapat dikatakan sebagai inovasi. Dalam penggunaan sehari-hari istilah inovasi disetarakan dengan istilah teknologi.

Rogers (1983), mendefinisikan proses adopsi sebagai suatu proses mental seseorang, sejak dari mendengar tentang suatu inovasi sampai dengan mengadopsinya. Proses adopsi ini dapat dibedakan atas individual adoption (farm level) dan aggregate adoption. Adopsi individual menyatakan sejauhmana seorang individu menggunakan teknologi baru dalam jangka panjang setelah mengetahui informasi yang lengkap tentang teknologi tersebut, sedangkan adopsi secara aggregat didefinisikan sebagai proses penyebarluasan teknologi baru dalam suatu daerah tertentu.

Page 397: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 365

Menurut Feder, Just dan Zilberman (1985), adopsi aggregat (aggregate adoption overtime) sangat mempengaruhi adopsi suatu teknologi. Hal ini berhubungan dengan pengalaman petani dalam membuat keputusan tentang teknologi baru. Beberapa studi empirik menunjukkan bahwa tahap pengenalan dan periode eksperimentasi waktunya lebih singkat bagi para penerap dini (early adopter) dibandingkan petani yang bersikap hanya sebagai pengikut (follower). Selain itu, laju adopsi teknologi juga ditentukan oleh perbedaan profitabilitas teknologi baru. Hal ini memperkuat pernyataan Rogers (1983), bahwa keuntungan relatif (relative advantage) merupakan faktor penting yang diperhitungkan oleh seseorang untuk mengadopsi suatu teknologi baru.

Menurut Feder et al. (1985) serta Leathers dan Smale (1991), dalam banyak kasus, teknologi pertanian berupa paket yang terdiri dari beberapa komponen, misalnya varietas unggul, pupuk dan teknologi pengolahan lahan. Beberapa dari komponen tersebut dapat diadopsi satu per satu, tanpa bergantung pada komponen yang lain, sehingga petani mempunyai pilihan komponen mana yang harus diadopsi lebih dahulu. Umumnya petani mengadopsi teknologi hanya beberapa komponen dan bertahap, tidak sekaligus seluruh komponen, meskipun keuntungan yang diperoleh akan lebih besar jika petani mengadopsinya sebagai suatu paket. Adopsi teknologi yang dilakukan secara bertahap ini akan melahirkan suatu pola/tahapan adopsi oleh petani.

Tingkat adopsi komponen teknologi yang diintroduksikan pada kegiatan M-P3MI di Desa Muang Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan berupa peningkatan produktivitas hasil padi sawah yang berlandaskan penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada hamparan lahan kelompok tani dengan memanfaatkan sumberdaya petani secara optimal secara umum cukup bagus, mengingat beberapa komponen teknologi yang saat itu diperkenalkan sampai saat ini masih diimplementasikan oleh kelompok tani. Kegiatan peternakan sapi setiap hari menghasilkan kotoran yang merupakan substrat utama pembuatan kompos atau bokashi sebagai pupuk organik, dan urin untuk diolah menjadi biourin yang berfungsi sebagai pupuk cair dan pencegah OPT. Sementara dari kegiatan pertanian tanaman pangan dan hortikultura memberikan pula sisa-sisa kegiatan usahatani yang dapat digunakan kembali sebagai pakan ternak, disamping adanya hijauan makanan

Page 398: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan366

ternak yang ditanam sebagai sumber pakan. Dengan demikian kebutuhan makanan ternak dapat terpenuhi sehingga pertumbuhan berat badan ternak dapat terus meningkat. Hal ini menunjukkan siklus atau rangkaian kedua kegiatan ini memberikan nilai efisiensi yang tinggi dimana tidak adanya limbah dari kegiatan produksi yang terbuang atau termanfaatkan oleh kedua sektor usaha.

Kelompok tani yang menerapkan komponen teknologi PTT tidak hanya terbatas oleh petani yng berada di lokasi kegiatan (Desa Muang dan Desa Jaro), melainkan juga terdifusi ke desa-desa tetangga, seperti Desa Nalui, Desa Teratau, dan Desa Garagata, sedangkan kelompok tani yang menerapkan teknologi pengolahan limbah ternak, baru di dua lokasi kegiatan (Desa Muang dan Desa Jaro).

Varietas Unggul Baru (VUB) merupakan komponen teknologi yang cukup tinggi tingkat adopsinya. Saat ini hampir semua petani di lokasi kegiatan MP3MI telah menanam padi varietas unggul. Pada saat kegiatan MP3MI dilakukan tahun 2014, BPTP Kalimantan Selatan memperkenalkan varietas Inpari 11 dan Inpari 17 dalam bentuk Demplot. Saat ini umumnya mereka tidak lagi menanam varietas Inpari 11 dan Inpari 17, melainkan menanam varietas Inpari 8, Inpari 9, Inpari 30 dan varietas Ciherang yang mereka nilai lebih menguntungkan. Pemilihan jenis varietas-varietas ini dilakukan petani dengan pertimbangan varietas-varietas ini mudah dijual di pasaran dan rasa nasinya sesuai dengan selera masyarakat setempat.

Peluang untuk meningkatkan produksi padi masih ada dengan menggunakan benih yang bermutu dan kelas benih yang lebih baik. Wahyuni (2005) melaporkan bahwa dengan penggunaan kelas benih yang lebih tinggi, maka hasil dan kualitas gabah akan lebih baik lagi. Produktivitas usahatani dapat ditingkatkan melalui penerapan inovasi teknologi (Swastika 2011), sedangkan varietas unggul merupakan salah satu inovasi teknologi yang memegang peranan penting dalam peningkatan produktivitas padi (Hasanudin et al. 1999).

Komponen teknologi jajar legowo 2;1 dan 4:1 yang diperkenalkan pada tahun yang sama, tampak adopsinya tidak sebagus VUB dan cara tanam jajar legowonya telah mengalami modifikasi. Hanya sekitar 25% petani yang menerapkan jajar legowo 2:1 dan sisa petani lainnya menerapkan jajar legowo 4:1 dan 5:1. Cara tanam jajar legowo yang dilakukan pun bergeser pemahamannya dari yang telah disampaikan, di mana mereka melakukan cara tanam jajar legowonya

Page 399: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 367

asal terdapat ruang/baris kosong setiap 2 baris, 4 baris atau 5 baris, tanpa memperhatikan jarak tanam dalam barisan yang semestinya lebih rapat. Singkatnya, mereka melakukan cara tanam jajar legowo tanpa ada sisipan. Bagi mereka, yang penting sudah mengosongkan sebaris tanaman setiap 2 baris, 4 baris atau 5 baris tanaman padi, dengan tujuan untuk memudahkan memupuk, menyiang dan menyemprot.

Cara tanam jajar legowo versi mereka ini dilakukan karena cara tanam jajar legowo yang seharusnya dinilai merepotkan, lebih lambat dan lebih banyak memerlukan tenaga kerja. Selain itu, aplikasi cara tanam jajar legowo ini sangat bergantung pada kesediaan tenaga upahan. Banyak tenaga upahan enggan melakukan pekerjaan tanam jarwo super 2:1, karena lebih repot mengerjakannya sementara upah yang diterima sama saja. Hasil penelitian Wahyunindyawati et al. (2010), inovasi teknologi usahatani padi yang berpengaruh terhadap produksi padi adalah pemilihan varietas dan sistem tanam jajar legowo.

Penggunaan benih bermutu di lokasi kegiatan nampaknya sudah menjadi keharusan, mengingat semua petani telah menggunakannya. Hal ini dikarenakan pemahaman yang cukup baik dari petani setempat tentang kelebihan penggunaan benih bermutu. Selain itu benih bermutu di lokasi tersedia cukup baik karena terdapat penangkar setempat.

Penggunaan bahan organik di lahan usahatani merupakan hal yang dianjurkan untuk menambah kesuburan tanah. Di lokasi kegiatan MP3MI, penggunaan bahan organik ini sebagian besar hanya berupa pengembalian jerami dari panen sebelumnya. Sementara itu, penambahan pupuk kandang ke lahan, hanya sekitar 10 % petani yang melakukannya, karena tidak semua petani mempunyai pupuk kandang, hanya sejumlah kotoran ternak yang tersedia di kandang saja yang ditebar ke lahan sawahnya.

Komponen teknologi pemupukan berimbang diadopsi cukup baik, meskipun masih bergantung pada ketersediaan pupuk dan ketersediaan dananya saat itu. Penggunaan pupuk yang sesuai kebutuhan tanaman sangat dipahami dan disadari secara baik oleh petani, sehingga bagaimanapun petani selalu berusaha memenuhi untuk kebutuhan tanamannya.

Page 400: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan368

Serupa dengan kesadaran pentingnya pemberian pupuk yang sesuai, pengendalian hama penyakit terpadu pun telah dipahami dan disadari secara baik oleh petani setempat. Petani sudah mengerti pengendalian hama dan penyakit perlu dilakukan sedini mungin dan sesuai dengan cara yang dianjurkan oleh para petugas.

Tabel 64. Tingkat adopsi komponen teknologi petani di lokasi kegiatan MP3MI

No Komponen Teknologi Tingkat Adopsi AlasanI PTT Padi sawah

1 VUB (Inpari 11 dan 17)

100 Mudah dijual dan sesuai selera

2 Jajar Legowo (2:1 atau 4:1)

2:1 (25%), 4:1, 5:1 (75%) tapi tidak ada sisipan.

Dinilai merepotkan dan memerlukan banyak tenaga kerja

3 Benih Bermutu 100 Benih tersedia/penangkar, produksi lebih tinggi

4 Bahan organik/pupuk kandang

Jerami 100%, kotoran ternak 10%, seadanya di kandang

Pupuk organik tidak selalu tersedia di kandang

5 Pemupukan berimbang

90% Bergantung ketersediaan dana

6 Pengendalian HPT 90% Bergantung ketersediaan danaII Ternak Sapi

1 Fermentasi Jerami 5 peternak Rumput masih tersedia, proses fermentasi agak merepotkan.

2 Jamu Ternak Sedikit/rendah Bahan/rempah sulit dicari, sapi dinilai sehat saja tanpa jamu.

3 UMMB/permen ternak Sedikit/rendah Bahan kadang tidak tersedia ditempat

4 Kompos Produksi 500 zak/bln Menguntungkan, bahan tersedia, teknologi dikuasai petani, mudah melakukan, permintaan tinggi Kalsel,Kaltim)

5 Bio-urine Produksi 1.200 liter/bln. Yang bikin produksi 1 kelompok, yang memanfaatkan 5 kelompok.

Menguntungkan, bahan tersedia, teknologi dikuasai petani, mudah melakukan, permintaan tinggi.

Page 401: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 369

Tingkat adopsi konponen teknologi ternak di lokasi kegiatan MP3MI juga cukup baik. Beberapa komponen teknologi yang diperkenalkan saat itu saat ini masih ada yang diterapkan dengan baik, meskipun ada beberapa komponen teknologi yang lain tampaknya kurang disambut baik oleh petani, sehingga tingkat adopsi berhenti setelah beberapa kali melakukan implementasinya. Komponen teknologi yang kurang baik adopsinya oleh petani terjadi pada teknologi fermentasi jerami tanaman sebagai pakan ternak. Teknologi ini diperkenalkan sebagai salah satu alternatif bagi petani dalam penyediaan pakan ternak di saat terjadi kelangkaan rumput pada musim-musim tertentu (kemarau). Dengan tersedianya pakan fermentasi jerami, diharapkan merupakan solusi jika terjadi masalah tersebut, karena pakan fementasi jerami ini dapat disimpan dan bertahan mutunya selama beberapa bulan. Namun tampaknya pembuatan pakan dari jerami tanaman ini dinilai cukup merepotkan bagi petani, selain itu jika terjadi kelangkaan rumput di desa mereka, petani akan mencarinya keluar desa, sehingga kebutuhan rumput masih dapat diatasi. Akibatnya rekomendasi teknologi untuk membuat pakan ternak dari hasil fermentasi jerami/limbah tanaman lambat laun mulai ditinggalkan. Hanya beberapa petani yang masih melakukan fermentasi jerami ini untuk pakan ternaknya, yaitu sebagai pakan cadangan di saat petaninya ada hajatan misalnya ada acara perkawinan keluarganya.

Komponen teknologi di bidang ternak lainnya yang kurang mendapat respons positif sampai saat ini dari petani adalah pembuatan jamu ternak dan UMMB/permen ternak. Jamu ternak berfungsi untuk meningkatkan nafsu makan ternak sehingga ternaknya cepat gemuk, selain itu juga dapat befungsi untuk meningkatkan kesehatan ternak. Pengalaman petani di beberapa tempat menunjukkan bahwa pemberian jamu ternak dapat mengurangi bau pada kotoran ternak. Namun karena pembuatan jamu ternak ini menuntut penyediaan beberapa jenis rempah-rempah (12 macam) dan bahan lain seperti tetes tebu, hal ini dinilai merepotkan petani mengingat bahan-bahan tersebut tidak selalu tersedia dengan mudah di lokasi, akibatnya implementasi pembuatan jamu ternak ini lama-kelamaan mulai ditinggalkan petani. Serupa dengan jamu ternak, teknologi pembuatan UMMB yang telah diperkenalkan pada saat yang sama juga lambat laun ditinggalkan karena bahan-bahan yang diperlukan untuk pembuatannya tidak selalu tersedia dengan mudah.

Page 402: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan370

Hal yang berbeda terjadi pada teknologi pemanfaatan limbah ternak sapi, yaitu pembuatan kompos dari kotoran sapi dan pemanfaatan urinenya. Kedua komponen teknologi ini telah diadopsi dengan baik dan telah berkembang pesat bahkan telah dipasarkan sampai ke luar provinsi yaitu ke Kalimantan Timur.

Produksi pupuk kandang ini setiap bulannya mencapai 500 zak @ 25 kg, yang dilakukan oleh 2 kelompok tani. Jumlah produksi ini masih mengalami kekurangan untuk memenuhi permintaan pasar, sehingga banyak pembeli harus antri menunggu gilirannya mengingat jumlah produksi yang tidak seimbang dengan jumlah permintaan. Dari hasil penjualan pupuk kandang ini saja kelompok tani dapat meraih 150 juta dalam setahun.

Teknologi pembuatan urine juga diadopsi dengan baik. Setiap bulannya tidak kurang dari 1.200 liter urine yang diproduksi oleh kelompok tani. Hasil fermentasi urine ini telah dimanfaatkan dan dipasarkan kepada 5 kelompok tani setempat, dengan harga 25.000/liter dengan kemasan dan 10.000/liter untuk petani yang membawa wadahnya sendiri. Bio urine ini dimanfaatkan petani terutama untuk tanaman sayuran dan palawija. Menurut petani banyak keunggulan penggunaan biourine ini di antaranya tanaman lebih subur dan lebih tahan terhadap gangguan hama dan penyakit. Dengan asumsi penjualan hanya seharga 10.000/liter, dari hasil penjualan bio urine ini, kelompok tani dapat meraih pendapatan Rp144.000.000 setahun. Semua hasil penjualan ini dibagikan kepada anggota dan pengurus kelompok sesuai kesepakatan yang ditetapkan bersama.

Kedua jenis teknologi ini, pembuatan kompos dan biourine ini dapat berkembang baik di antaranya karena teknologinya sederhana, mudah dilakukan petani, tidak rumit, dapat diujicobakan hasilnya, bahan bakunya tersedia, pengetahuan dan keterampilan dan teknologinya dikusai oleh petani setempat. Dengan demikian kedua teknologi mempunyai prospek yang sangat baik untuk terus dikembangkan dan ditingkatkan skala usahanya untuk memenuhi permintaan konsumen.

Keberhasilan ini juga tidak terlepas dari dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Tabalong dan pihak swasta, yaitu PT. Adaro (Batubara) yang telah memberikan sumbangan dana saat itu sebesar Rp150 juta yang dialokasikan oleh petani untuk membuat kandang kelompok. Selain itu juga diberikan 24 ekor ternak sapi dan instalasi

Page 403: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 371

biourine. Bersamaan saat itu BPTP Kalimatan Selatan masuk dengan kegiatan MP3MI-nya dan memperkenalkan beberapa teknologi peternakannya, di antaranya pemanfaatan limbah kotoran dan urine ternak sapi. Jadi teknologi Badan Litbang Pertanian telah digunakan oleh Pemerindah Daerah dan pihak swasta dalam pengembangan peternakan di daerah setempat.

PERSEPSI PETANI TERHADAP KARAKTERISTIK INOVASI

Rogers (1983), menyatakan bahwa untuk menilai sejauhmana suatu inovasi dapat diadopsi oleh penggunanya, maka perlu diperhatikan karakter dari inovasi tersebut yang meliputi:

1. Relative adventage, yaitu sejauhmana inovasi dianggap lebih menguntungkan atau lebih baik secara ekonomi dan sosial daripada hal-hal yang telah ada dan digunakan selama ini.

2. Compatability, yaitu kesesuaian inovasi dengan norma yang ada, serta dengan kebutuhan pengguna.

3. Complexity, merupakan tingkat kerumitan penerapan inovasi tersebut oleh pengguna.

4. Triability, yaitu sejauhmana inovasi dapat dicoba oleh pengguna dengan sumber daya yang ada.

5. Observability, yaitu sejauh mana manfaat penerapan inovasi dapat segera diketahui oleh penggunanya.Bagaimana persepsi petani terhadap karakteristik inovasi yang

diperkenalkan pada kegiatan MP3MI beberapa tahun lalu? Pada umumnya petani menilai bahwa semua komponen teknologi yang diperkenalkan memberikan keuntungan secara ekonomi (relative advantage), baik teknologi budidaya padi maupun teknologi produksi ternak sapi. Hal ini wajar mengingat teknologi baru diharapkan dapat meningkatkan produksi dan memberikan keuntungan yang lebih besar daripada teknologi sebelumnya.

Secara umum pula petani menilai bahwa teknologi-teknologi tersebut sesuai (Compatability) dengan kebutuhan mereka, kecuali fermentasi jerami mereka menilainya agak sesuai. Barangkali mereka beranggapan bahwa ketersediaan rumput sebagai pakan ternak

Page 404: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan372

di sana masih cukup ketersediaanya saat ini, sehingga teknologi alternatif penyediaan pakan ternak selain rumput dinilai agak rendah kesesuaiannya.

Tabel 65. Persepsi petani terhadap karakter inovasi pertanian yang diperkenalkan

No Komponen Teknologi Meningkatkan keuntungan Kesesuaian Kerumitan Mudah

diujicobaDapat

diamati

I PTT Padi sawah

1 VUB 3 3 4 3 3

2 Jajar Legowo 3 2-3 2-3 2-3 3

3 Benih Bermutu 3 3-4 3-4 3 3

4 Bahan Organik 3 3 3 3 3-4

5 Pemupukan berimbang

3 3 3-4 3 3-4

6 Pengendalian HPT 3 3 3-4 3 3

II Ternak Sapi

1 Fermentasi Jerami 2 2 2 1-2 3

2 Jamu Ternak 3 3 3 2-3 3

3 UMMB/permen ternak 3 3 2 2 3

4 Kompos 3 3 3 3 3

5 Bio-urine 3 3-4 3-4 3 3-4

Dalam hal kerumitan (Complexity), komponen teknologi jajar legowo, fermentasi jerami dan pembuatan UMMB dinilai mereka agak rumit. Hal ini wajar karena teknologi-teknologi tersebut merupakan hal baru bagi mereka sehingga dinilai rumit, padahal hanya belum terbiasa. Misalnya cara tanam jajar legowo, jika mereka sudah terbiasa melakukannya, maka teknologi akan dinilai biasa saja, tidak rumit.

Dalam hal kemudahan diujicobakan (Triability), petani menilai komponen teknologi jajar legowo, fermentasi jerami dan pembuatan UMMB agak mudah dujicobakan, sementara komponen yang lain dinilai mudah. Alasan yang sama dengan kerumitan, bisa jadi hanya karena belum terbiasa melakukan teknologi tersebut. Untuk kategori Observability, petani menilai semua komponen teknologi mudah diamati.

Page 405: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 373

DAMPAK PAKET TEKNOLOGI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS

DAN PENDAPATANBerdasarkan data, setelah petani menerapkan teknologi dalam

kegiatan MP3MI, terjadi peningkatan (produktivitas dan pendapatan) petani. Sebagian besar petani mengalami peningkatan lebih dari 20% dari sebelumnya, baik peningkatan produktivitas (44%) maupun peningkatan pendapatan (42%). Artinya adopsi teknologi yang diperkenalkan pada kegiatan MP3MI memberikan peningkatan yang berarti bagi petani, baik produkivitas maupun pendapatan keluarganya.

Tabel 66. Dampak paket teknologi terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan

No Peningkatan Produktivitas

Persentase Petani

Peningkatan Pendapatan Persentase Petani

1 5 – 10% 25 5 – 10% 322 >10 – 20% 31 >10 – 20% 263 >20% 44 >20% 42

UCAPAN TERIMAKASIHPenulis menyampaikan terima kasih kepada manajemen

SMARTD yang telah memfasilitasi kegiatan pengkajian ini di Kalimantan Selatan.

DAFTAR PUSTAKAAnonim. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah

Irigasi. Balitbangtan. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Basuni, R., Muladno, C. Kusmana dan Surhayadi. 2010. Sistem Integrasi Padi-Sapi Potong di Lahan Sawah. Buletin IPTEK Tanaman Pangan 5(1).

Budianto, J. 2002. Tantangan dan peluang penelitian dan pengembangan padi dalam perspektif agribisnis. Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi (Buku 1).

Page 406: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan374

Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Dwiyanto, K. 2001. Model Perencanaan Terpadu: Proyek Integrasi Tanaman Ternak (Crop Livestock System). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Dwiyanto, K., dan B. Haryanto. 2003. Integrasi Ternak dengan Usaha Tanaman Pangan. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi di BPTP Kalimantan Selatan. Banjarbaru, 8-9 Desember 2003.

Dwiyanto, K. dan E. Handiwirawan. 2004. Peran Litbang dalam Mendukung Usaha Agribisnis Pola Integrasi Tanaman-Ternak. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, 20-22 Juli 2004. Puslibang Peternakan, BPTP Bali dan Casren. p. 63-80.

Feder, G., R. E. Just and D. Zilberman. 1985. Adoption of Agricultural Innovations in Developing Countries: A Survey. Economic Development and Cultural Change 33(2):255–298.

Haryanto, B., I. Inounu, I.G.M. Budi Arsana, dan K. Dwiyanto. 2002. Panduan Teknis Sistem Integrasi Padi-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. Jakarta.

Hasanuddin, A. Baihaki, SJ. Munarso, S. Noor. 1999. Teknologi Unggulan Peningkatan Produksi Padi Menuju Revolusi Hijau Generasi Kedua. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Bogor. 22- 24 November 1999. Puslitbang Tanaman Pangan. 145 – 155.

Kariyasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak dalam Perpektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian 3(1):68-80.

Kasijadi F, Suyamto, M. Sugiharto. 2000. Rakitan Teknologi Budidaya Padi, Jagung, dan Kedelai. Spesifik Lokasi Mendukung Gema Palangung di Jawa Timur. BPTP Jawa Timur. Karangploso.

Leathers, H. D. and M. Smale. 1991. A Baysien Approach to Explaining Sequential Adoption of Component of A Technological Package. American Journal of Agricultural Economics 73(3):734–742.

Page 407: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 375

Makka, D. 2004. Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Peternakan yang Berdaya Saing. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, 20- 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan, BPTP Bali dan Casren. p.18-31.

Mukhlis, Noer, M., Nofialdi dan Mahdi. 2015. Analisis Usahatani Integrasi Padi-Sapi Potong. Jurnal Penelitian Lumbung 14(1).

Muslim, C. 2006. Peranan Kelompok Peternak Sapi Potong dengan Pendekatan Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT) di Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Muslim, C. 2006a. Pengembangan Sistem Integrasi Padi – Ternak dalam Upaya Pencapaian Swasembada Daging di Indonesia: Suatu Tinajauan Evaluasi. Analisis Kebijakan Pertanian 4(3): 226-239.

Nurawan, A., H. Hadiana, D. Sugandi dan S. Bachren. 2004. Sistem Usahatani Integrasi Tanaman-Ternak di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20-22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan, BPTP Bali dan Casren. p. 93-103.

Pasandaran, Effendi. Djayanegara, Andi. Kariyasa, Ketut. Kasryno. Faisal.2005. Integrasi Tanaman Ternak di Indonesia. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Pribadi, Y., R. Qomariah, Khairuddin, S. Lesmayati, H. Kurniawan, Mukardji. 2014. Laporan Akhir Hasil Kegiatan Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (MP3MI) Berbasis Integrasi Padi – Sapi di Kabupaten Tabalong. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Banjarbaru.

Rogers, E. M. 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition. The Free Press., A Division of Macmillan Publishing Co. Inc., New York.

Sariubang, M. 2010. Sistem Usahatani Integrasi Pembibitan Sapi Bali dengan Tanaman Padi pada Lahan Sawah. Jurnal Agrisistem 6(1):36-41.

Sankarto, BS, S.Mansjur, Rusmini. 2006. Umpan Balik Penyebaran Informasi Hasil Penelitian dan Teknologi Pertanian. Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 15, Nomor 1, 2006

Page 408: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan376

Sutardi, A. Musofie dan Soeharsono. 2004. Optimalisasi Produksi Padi dengan Pemanfaatan Pupuk Organik dan Sistem Usahatani Agroekosistem Lahan Sawah.

Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20-22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan, BPTP Bali dan Casren. p. 1224-233.

Swastika, D.K.S. 2011. Membangun Kemandirian dan Kedaulatan Pangan Untuk Mengentaskan Petani Miskin. Pengembangan Inovasi Pertanian 4. 103 – 107.

Tarmizi, H. B. dan Safaruddin. 2012. Pengaruh Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap Peningkatan Pendapatan Petani dan Dampaknya terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Jurnal Ekonom 15(4).

Taryoto, A. H. 1991. Konsep Difusi dan Adopsi Teknologi. Bahan Kuliah Latihan Metoda Penelitian Agroekonomi Angkatan VIII. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Yuliani, D. 2014. Sistem Integrasi Padi Ternak untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan. Jurnal Agroteknologi 4(2):15 – 26.

Wahyuni, S. 2005. Dasar Teknologi Benih. Makalah disampaikan dalam Loka Karya Pengembangan Jaringan Alih Teknologi Produksi dan Distribusi Benih Sumber di Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. 21-22 November 2005.

Wahyunindyawati, F.Kasijadi, Heriyanto. 2010. Kajian Inovasi Teknologi Usahatani Padi Sawah di Wilayah Prima Tani Nganjuk. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi. BB Padi. Hal 1401 – 1409.

Zaini, Z, I. Las, Suwarno, B. Arrianito, Suntoro, E. Ananto. 2003. Pedoman Umum Kegiatan Percontohan ProduktivitasPadi Terpadu. Departemen Pertanian. Jakarta.

Zaini, Z., S. Abdulrachman, I.N. Widiarta, P. Wardana, D. Setyorini, S. Kartaatmadja dan M. Yamin. 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.

Page 409: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

PENYEDIAAN PAKAN LOKAL MENDUKUNG PENGEMBANGAN AYAM KUB DALAM

PERSPEKTIF PENGEMBANGAN PERTANIAN PERDESAAN

Erna Winarti dan Budi Setiyono

PENDAHULUANPakan merupakan salah satu faktor penting dalam budidaya

ternak. Pakan sebagai input produksi dengan persentase biaya terbesar sangat berperan dalam pengembangan ayam KUB. Dalam menyusun ransum ayam, diperlukan bahan pakan sumber kalori, sumber protein, sumber mineral dan vitamin. Sumber kalori yang banyak digunakan adalah bekatul dan jagung. Sedangkan sumber protein adalah bungkil kedelai dan tepung ikan. Sumber mineral pada umumnya menggunakan tepung kerang dan tepung tulang. Di dalam penyusunan ransum ayam, kebutuhan bahan pakan sumber kalori dan sumber protein diperlukan jauh lebih banyak dibanding sumber mineral dan vitamin.

Keunggulan ayam KUB dapat muncul sesuai dengan karakteristiknya apabila didukung dengan pakan yang cukup, baik nilai nutrisi maupun jumlah pakan yang diberikan. Pakan ayam KUB pada prinsipnya sama dengan pakan ayam pada umumnya. Sumber-sumber bahan pakan yang biasa digunakan untuk pakan ayam bisa digunakan untuk pakan ayam KUB.

Ayam KUB, sebutan populer untuk Ayam Kampung Unggul Badan Litbang Pertanian, merupakan salah satu inovasi dalam bidang peternakan yang terbukti adaptif pengembangannya di berbagai tempat perdesaan seluruh Indonesia. Daya adaptasi ayam KUB tinggi karena merupakan galur ayam hasil pemuliaan ayam kampung (Gallus-gallus domesticus) yang berasal dari daerah Cianjur, Depok, Majalengka, dan Bogor Provinsi Jawa Barat. Dengan demikian, ayam KUB merupakan aset bangsa yang layak dikembangkan. Ayam KUB memiliki keunggulan kompetitif dibanding ayam kampung pada umumnya. Karakteristik ayam KUB dicirikan oleh warna

Page 410: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan378

bulu beragam seperti ayam kampung pada umumnya, bobot badan dewasa 1.200 – 1.600 gram, umur pertama bertelur 20–22 minggu, produktivitas 160–180 butir/ekor/tahun, produksi telur 50%, produksi telur puncak 65%, bobot telur 35–45 gr serta lebih tahan penyakit.

Karena keunggulannya itulah, ayam KUB menjadi aset bangsa yang harus terus dikembangkan untuk memberikan kontribusinya dalam pengembangan pertanian di perdesaan. Persoalannya, untuk mengembangkan ayam KUB diperlukan faktor pendukung berupa pakan yang tidak hanya cukup secara kuantitatif tetapi juga secara kualitas memenuhi syarat kesehatan ayam KUB. Persoalannya, bagaimanakah penyediaan pakan dalam rangka introduksi pemeliharaan ayam KUB mendukung pengembangan pertanian perdesaan? Berkenaan dengan hal itu, tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan masalah penyediaan pakan dalam rangka introduksi pemeliharaan ayam KUB mendukung pengembangan pertanian perdesaan.

BUDAYA MEMELIHARA AYAMMemelihara ayam bagi masyarakat petani di perdesaan bukan

merupakan hal baru. Setiap rumah tangga di perdesaan umumnya memiliki peliharaan ayam kampung atau biasa juga disebut ayam buras (bukan ras), karena ayam kampung ini merupakan sumberdaya domestik yang dimiliki masyarakat Indonesia (Rosmijati 2002). Ditinjau dari sisi pemasaran, permintaan pasar terhadap ayam kampung ini terbuka luas karena preferensi masyarakat terhadap daging dan telur ayam kampung cukup tinggi.

Di sisi lain, budidaya ayam oleh petani di perdesaan umumnya tidak optimal karena petani memelihara ayam hanya dijadikan sebagai kegiatan sampingan, bukan sebagai sumber pendapatan rumah tangga. Tujuan pemeliharaan ayam oleh masyarakat tani di perdesaan belum spesifik, sebagai penghasil telur atau daging. Cara pemeliharaan dan pemberian pakannya masih dilakukan secara tradisional, sehingga produktivitas ayam yang dihasilkan dalam bentuk daging dan telur relatif rendah.

Munculnya inovasi Ayam KUB, akan menjadi dorongan bagi petani mendapatkan sumber pendapatan baru dari hasil usaha budidaya ternak ayam ini. Ayam KUB merupakan hasil seleksi dari ayam kampung dari beberapa daerah di Jawa Barat yang

Page 411: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 379

banyak dipelihara secara ekstensif. Ayam mencari pakan di kebun, di pekarangan dengan beragam jenis pakan yang dikonsumsi. Hal ini memungkinkan ayam KUB lebih adaptif dalam memanfaatkan berbagai jenis pakan yang ada. Ayam kampung yang dipelihara secara ekstensif/semi intensif, ayam mencari pakan tambahan berupa hijauan dan serangga sesuai dengan kebiasaan yang ayam lakukan sehingga ayam tumbuh optimal (Suprijatna et al. 2008).

RAGAM SUMBER PAKANAyam Kampung memperoleh sumber protein dari lingkungan

sekitar antara lain serangga dan cacing (Lestari 2000). Pakan dengan kandungan nutrisi yang cukup serta harga relatif murah sangat diperlukan dalam pegembangan ayam KUB agar petani mendapat keuntungan yang layak. Sumber mineral pada umumnya menggunakan tepung kerang dan tepung tulang. Di dalam penyusunan ransum ayam, kebutuhan bahan pakan sumber kalori dan sumber protein diperlukan jauh lebih banyak dibanding sumber mineral dan vitamin.

Bahan Pakan Sumber Energi Bahan pakan sumber energi biasanya lebih mudah didapatkan

serta dengan harga yang lebih murah dibanding bahan pakan sumber protein. Namun demikian, sumber energi dibutuhkan relatif banyak dalam menyusun ransum ayam, sehingga berpengaruh besar dalam menentukan harga ransum.

Ampas KelapaAmpas kelapa merupakan limbah rumah tangga yang berpotensi

sebagai bahan pakan karena masih memiliki nutrisi yang cukup tinggi. Ampas kelapa mengandung protein kasar 5,38±0,51%, lemak kasar 53,49±0,94% dan serat kasar 7,24±1,53% (Kurniawan et al. 2015) sedangkan menurut Putri (2010) ampas kelapa mengandung protein 5,78%, lemak 38,24% dan serat kasar 15,07%. Kandungan lemak yang tinggi merupakan sumber kalori bagi ternak. Hasil penelitian (Kestaria et al. 2016) menunjukkan bahwa substitusi ransum komersial dengan tepung ampas kelapa pada ayam kampung dapat dilakukan sampai tingkat 30 % tanpa mengurangi performa ayam.

Page 412: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan380

Roti AfkirRoti afkir adalah roti yang telah lewat batas waktu konsumsi,

sehingga tidak layak dikonsumsi manusia. Kandungan nutrisi roti afkir cukup tinggi, yaitu protein kasar 10,25%, serat kasar 12,04%, lemak kasar 13,42%, kalsium 0,07%, phospor 0,019%, air 6,91% dan abu 0,80% serta energi bruto 4.217 kkal/kg (Widjastuti dan Endang 2007). Sedangkan menurut Winarti et al. (2014) kandungan protein kasar roti afkir 6,1%, lemak kasar 7,5%, serat kasar 4,7% dan energi 3.687 kal/kg. Roti afkir memiliki kecernaan lebih baik dibanding dedak padi (Chalimi et al. 2010). Penggunaan tepung limbah roti sampai taraf 30% dalam ransum ayam broiler menghasilkan efisiensi ransum 60% yang artinya dapat menyumbangkan energi metabolisme dan menghasilkan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi dengan peningkatan taraf limbah roti (Widjastuti dan Endang 2007).

Limbah padat biogas (Sludge)Sludge adalah hasil samping dari pengoperasian biodigester.

Selain dihasilkan biogas, biodigester menghasilkan sludge sebagai hasil samping. Biodigester banyak dibangun di lokasi peternakan sapi. Sludge mengandung protein, serta makro mineral dan mikro mineral, memungkinkan sludge dimanfaatakan sebagai bahan pakan ayam. Sludge biogas kaya unsur makro yaitu N, P dan K serta unsur mikro seperti Ca, Mg, Fe, Mn, Cu dan Zn (Kongkaew et al. 2004). Kandungan protein kasar sludge adalah 11,3%, sedangkan kandungan mineral Fospor 20033 ppm, kalium 8150 ppm, sulfur 13,6 ppm, kalsium 66,9 ppm dan magnesium 21,95 ppm (Winarti et al. 2016). Selanjutnya dikatakan pula bahwa Penggunaan sludge sebagai pengganti bekatul sebanyak 20% dalam ransum ayam KUB tidak menurunkan pertambahan bobot badan ayam.

Sludge biasanya dimanfaatkan untuk pupuk organik tanaman dengan harga 700 rupiah/kg. Apabila sludge dimanfaatkan sebagai pengganti bekatul dalam ransum ayam, maka akan menghemat biaya pakan, karena harga bekatul jauh di atas harga sludge. Harga bekatul berkisar antara 1.500 rupiah hingga 2.500 rupiah bergantung musim.

Page 413: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 381

Bahan Pakan Sumber ProteinSumber protein pada umumnya lebih sulit didapat dan mahal

harganya. Sumber protein harus ada dalam susunan ransum, untuk menjamin produktivitas ayam baik dalam bentuk telur atau daging. Sumber protein bisa berasal dari hewan atau tumbuhan. Sumber protein dari hewan ada umumnya memiliki kandungan asam amino yang lebih lengkap dibanding protein asal tumbuhan.

Ampas TahuAmpas tahu merupakan limbah dari proses pembuatan tahu.

Ampas tahu mengandung protein kasar 27,55%, lemak 4,93 %, serat kasar 7,11%, BETN 44,50% (Nuraini 2009). Sedangkan menurut Tarmidi (2010), ampas tahu mengandung protein kasar 21%, serat kasar 23,58%, lemak kasar 10,49%, NDF 51,93%, ADF 25,63%, abu 2,96%, kalsium 0,53%, phosfor 0,24% dan energi bruto 4.730 kkal/kg. Penelitian dengan penggunaan ampas tahu sebagai substitusi bungkil kelapa pada ransum ayam kampung periode grower telah dilakukan oleh Masruhah (2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa substitusi hingga 20% mampu memperbaiki konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan.

Daun LeguminosaGamal (Gliricidea sepium) memiliki kandungan protein 19,48%

(Mayasari et al. 2012), sedangkan hasil penelitian Munier (2010) menyebutkan, kandungan protein gamal 18,3%, serat kasar 38,2% dan lemak kasar 2,8%. Kandungan protein daun turi (Sesbania grandiflora) sangat tinggi yaitu 20–25%. (Gomase et al. 2012). Sedangkan menurut Orwa et al. (2009) daun turi mengandung protein 36% dan Vitamin A 9600 IU/100g.

Lamtoro (Leucaena leucocephala) adalah salah pakan ternak berkualitas tinggi yang di daerah tropis sering digambarkan sebagai ‘alfalfa tropis’, dengan kandungan protein kasar 20–25%. Kualitas daun lebih baik dibandingkan dengan alfalfa yaitu dalam nilai pakan kecuali untuk kandungan tanin yang lebih tinggi dan toksisitas mimosin untuk non-ruminansia (Orwa et al. 2009). Namun lamtoro mengandung zat antinutrisi yaitu mimosin sebesar 6,77% ( Laconia

Page 414: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan382

dan Widiyastuti 2010). Sedangkan daun kelor (Moringa oleifera, lam) mengandung protein kasar 25,1% (Moyo et al. 2011) dan lemak 2,11 % (Ogbe et al. 2012)

Sulasmi et al. (2013) telah melakukan penelitian terhadap ayam broiler dengan mengganti pakan komersial dengan beberapa jenis daun legume. Penggantian daun gamal sebanyak 5 % maupun daun lamtoro 5% tidak berpengaruh negatif terhadap kenaikan bobot badan dan konversi pakan, bahkan penggantian dengan daun kelor sebanyak 5% mampu memperbaiki konversi pakan dan meningkatkan kenaikan bobot ayam dibanding penggunaan 100% pakan komersial.

AzollaPotensi sumber daya pakan dari air seperti tumbuh-tumbuhan

air seperti rumput laut, azolla, ganggang ataupun hewan air dan limbahnya, seperti limbah udang, limbah ikan, kerang, ketam dan lain-lain. Tumbuh-tumbuhan air adalah sumber protein tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk mengganti bungkil kedelai (Widodo 2009)

Azolla adalah paku air mini ukuran 3-4 cm yang bersimbiosis dengan Cyanobacteria pemfiksasi N2 (Hidayat et al. 2011). Keunggulan Azolla dibanding pakan alternatif lain adalah kandungan protein yang tinggi, namun untuk pakan unggas azolla memiliki faktor pembatas yaitu kandungan serat kasar yang tinggi. Kandungan protein kasar tepung azolla 26,18%, lemak kasar 2,08%, serat kasar 23,16%, Ca 1,63%, P 0,56% (Raras et al. 2017). Percobaan pada ayam kampung persilangan menunjukkan bahwa penggunaan azolla fermentasi hingga 15% meningkatkan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan dan tidak berpengaruh terhadap konversi pakan (Raras 2017). Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa konsumsi protein dan bobot badan terbaik pada ayam kampung persilangan adalah pada penggunaan tepung Azolla microphylla terfermentasi sebesar 10% (Melita et al. 2018)

Pakan AditifSebagaimana Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011)

melaporkan produksi rumput laut Indonesia mencapai 4.305.027 ton/tahun. Luas indikatif dan efektif potensial untuk komoditas rumput laut di Indonesia berturut turut 769.452 ha dan 384.733 ha (Direktorat

Page 415: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 383

Jenderal Perikanan Budidaya 2013). Becker (2004) menyatakan bahwa 30% rumput laut yang diproduksi di dunia dijual untuk digunakan sebagai pakan ternak.

Penelitian penggunaan rumput laut telah dilakukan dalam ransum ayam petelur. Suplementasi rumput laut Fucus serratus dan Fucus vesiculosus sebesar 15% menghasilkan karoten kuning telur 12-15 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Starnd 1998). Penggunaan rumput laut Macrocystis pyrifera 10% dalam ransum, efektif meningkatkan warna kuning telur (Carrillo et al. 2008). Hasil penelitian Rombe (2012) memperlihatkan bahwa pemberian ransum rumput laut untuk makanan broiler lebih efisien dan lebih menguntungkan karena nilai komersial dari jenis rumput laut yang digunakan harganya lebih murah.

PERSPEKTIF PENGEMBANGAN PERTANIAN PERDESAAN

Keunggulan kompetitif Ayam KUB telah dijadikan landasan menjadikan ayam KUB sebagai salah satu input inovasi untuk mengentaskan kemiskinan yang dikemas dalam kebijakan Program “Bekerja”, singkatan dari Bedah Kemiskinan Rakyat Sejahtera (Puslitbangnak 2018).

Program Bedah Kemiskinan Rakyat Sejahtera (BEKERJA) berbasis pertanian yang diluncurkan oleh Kementerian Pertanian melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 20/PERMENTAN/RC.120/5/2018 yang selanjutnya diubah melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 27/PERMENTAN/ RC.120/5/2018 adalah upaya untuk pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat miskin guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan melalui kegiatan pertanian yang terintegrasi. Bantuan Pemerintah yang dilaksanakan dalam kaitan dengan Program BEKERJA oleh Badan Litbang Pertanian adalah dalam rangka pemasyarakatan inovasi hasil penelitian pertanian. Salah satunya adalah inovasi budidaya ternak ayam KUB ini.

Penyebarluasan Ayam KUB tersebut diharapkan dapat membantu meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin (RTM) melalui hasil ternak yang diperjualbelikan. Tambahan pendapatan dari hasil Ayam KUB diharapkan dapat meningkatkan pendapatan RTM.

Page 416: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan384

PENUTUPPakan merupakan faktor kunci dalam mendukung keberhasilan

ayam KUB. Tanpa dukungan pakan yang cukup dan bermutu, keunggulan kompetitif budidaya ayam KUB dibanding ayam kampung tidak akan muncul. Pakan sebagai input produksi dengan persentase biaya terbesar sangat berperan dalam pengembangan ayam KUB. Pakan konvensional yang sudah biasa digunakan peternak harganya cukup mahal, sehingga perlu diupayakan penggunaan pakan alternatif. Petani sebagai ujung tombak dalam pengembangan ayam KUB perlu mendapatkan informasi yang memadai mengenai pakan ayam KUB. Informasi pakan alternatif yang lengkap memungkinkan peternak bisa memilih bahan pakan sesuai dengan kondisi yang ada.

Hasil penelitian dari beberapa pakan alternatif, pada umumnya digunakan sebagai substitusi sebagian dari pakan konvensional. Hal ini dilakukan agar produksi tidak mengalami penurunan, namun biaya pakan dapat dikurangi. Pakan dengan kandungan nutrisi yang cukup serta harga relatif murah sangat diperlukan dalam pengembangan ayam KUB agar mendapat keuntungan yang layak. Tanpa keuntungan yang layak, ayam KUB tidak akan berkembang sesuai dengan yang diharapkan.

Keberhasilan ayam KUB karena dukungan pakan yang memadai, akan dapat dijadikan sebagai titik ungkit pemberdayaan petani di perdesaan. Langkah pemerintah mengakomodasi budidaya ayam KUB dalam Program BEKERJA merupakan tindakan yang tepat. Pemeliharaan ayam KUB oleh petani akan menjadi sumber pendapatan rumah tangga petani di perdesaan.

UCAPAN TERIMAKASIHUcapan terima kasih disampaikan kepada SMARTD Satker Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberikan kesempatan, dana dan kerja sama sehingga penulis bisa melaksanakan kegiatan penelitian serta menulis buku ini.

Page 417: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 385

DAFTAR PUSTAKAAedah, S., M.H. B. Djoefrie , dan G. Suprayitno. 2016. “Faktor-Faktor

yang Memengaruhi Daya Saing Industri Unggas Ayam Kampung (Studi Kasus PT Dwi dan Rachmat Farm, Bogor)”. dalam Jurnal manajemen Pengembangan Industri Kecil Menengah. 11(2): 173-182

Becker, W. 2004. “Microalgae in human and animal nutrition”. In: A. Richmond (ed.) Handbook of microalgal culture. Blackwell Publ., Oxford, UK pp. 312- 351.

Chalimi K, A. Rochim, Purbowati, E. Soedarsono, E. Rianto, A. Purnomoadi. 2010. “Kelayakan roti sisa pasar sebagai pakan alternative berdasar pemanfaatan kecernaan energy dan parameter darah pada sapi Peranakan Ongole”. Dalam : Sani Y, L.Natalia, B. Bramantyo, W. Puastuti, T. Sartika, Nurhayati, A. Anggraeni, Matondang RH, E. Martindah, S.E. Estuningsih, penyunting. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 13 -14 Agustus 2009. Bogor. Puslitbangnak. Hlm 100-106.

Carrillo, S., E. López, M.M. Casas, E. Avila, R.M. Castillo, M.E. Carranco, C. Calvo and F. Pérez-Gil. 2008. “Potential use of seaweeds in the laying hen ration to improve the quality of n-3 fatty acid enriched eggs.” dalam J Appl Phycol 20: 721– 728

Hidayat, C., A. Faninidi., S. Sopiyana dan Komarudin. 2011. “Peluang pemanfaatan tepung azolla sebagai bahan pakan sumber protein untuk ternak ayam”. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 678 – 683.

Kestaria, H. Nur, dan B. Malik. 2016. “Pengaruh Substitusi Pakan Komersil Dengan Tepung Ampas Kelapa Terhadap Performa Ayam Kampung”. dalam Jurnal Peternakan Nusantara 2 (1): 43 – 48

Kongkaew, K., Kanajareonpong A., and Kongkaew T. 2004. “Using of Slurry and Sludge from Biogas Digestion Poolas Bio-fertilizer”. The Joint International Conference on Sustainable Energy and Environment (SEE) 1-3 December 2004, Hua Hin, Thailand.

Kurniawan, H., R. Utomo, L.M. Yusiati. 2015. “Kualitas nutrisi amapas kelapa (Cocos nucifera) fermentasi menggunakan Aspergillus niger”. dalam Buletin Peternakan 40 (1) : 26-33

Page 418: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan386

Laconia, E. B dan T. Widiyastuti. 2010. “Kandungan Xantofil Daun Lamtoro (Leucaena leucocephala) Hasil Detoksikasi Mimosin Secara Fisik dan Kimia”. dalam Media Peternakan, 33 (1): 50-54

Masruhah, L. 2008. “Pengaruh penggunaan limbah padat tahu dalam ransum terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan pada ayam kampong (Gallus domesticus) periode grower”. Skripsi Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Malang.

Melita, S.N., R. Muryani, I. Mangisah. 2018. “Pengaruh Tepung Azolla microphylla Terfermentasi dalam Pakan terhadap Penggunaan Protein pada Ayam Kampung Persilangan”. dalam Jurnal Peternakan Indonesia, 20 (1): 8-14

Moyo, B., S. Oyedemi, P. J., Masika and V. Muchenje. 2011. “Polyphenolic Content and Antioxidant Properties of Moringa oleifera Leaf Meal Extracts and Enzymatic Activity of Liver from Goats Supplemented with Moringa oleifera/Sunflower cake”. dalam Meat Sci., 02: 29.

Munier. F.F. 2010. “Bobot hidup kambing betina Peranakan Etawah (PE) yang diberikan pakan tambahan daun gamal (Gliricidia sepium) dan kultur buah kakao (Theobroma cocoa L.)”. Prosiding Semnas Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor. Hal. 586-592

Nuraini, S.A.Latif, dan Sabrina. 2009. “Potensi Monascus purpureus untuk membuat pakan kaya karotenoid monakolin dan aplikasinya untuk memproduksi telur unggas rendah kolesterol”. Working Paper. Fakultas Peternakan.

Ogbe, A. O and J. P. Affiku. 2012.”Effect of Polyherbal Aqueous Extract (Moringa oleifera, Arabic Gum, and wild Ganoderma lucidum) in Comparison with Antibiotic on Growth Performance and Haematological Parameters of Broilers Chickens”. dalam Res. J. Recent Sci., 1(7):10-18.[online article at:www.isca.in]

Orwa C., A. Mutua, Kindt R. , Jamnadass R., S. Anthony. 2009. “Agroforestree Database : a tree reference and selection guide version 4.0”. (http://www.worldagroforestry.org/sites/treedbs/treedatabases.asp)

Putri, M. F. 2010. “Tepung ampas kelapa pada umur panen 11- 12 bulan sebagai bahan pangan sumber kesehatan”. dalam Jurnal Kompetensi Teknik 1: 97 – 105

Page 419: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 387

Raras, A., R. Muryani dan W. Sarengat. 2017. “Pengaruh Pemberian Tepung Azolla Fermentasi (Azolla microphylla) Terhadap Performa Ayam Kampung Persilangan”. dalam Jurnal Peternakan Indonesia. 19 (1): 30-36

Rombe, M.B. 2012. “Kajian efisiensi biaya penggunaan makanan pada ayam broiler yang diberi ransum rumput laut”. JITP 2 (2): 138-143

Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2017. “Dirjen PKH Kementerian Pertanian”.

Strand, A., O. Herstad and S. LiaaenJensen1998. “Fucoxanthin metabolites in egg yolks of laying hens”. dalam Comparative Biochemistry and Physiology Part A 119: 963±974.

Sulasmi, Y. Sapsuha dan E. Saelan. 2013. “Pengaruh Penambahan Jenis Tepung Daun Leguminosa Yang Berbeda Terhadap Konsumsi, Pertambahan Bobot Badan dan Konversi Ransum Ayam Broiler”. dalam Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) 6 (1): 10-16

Tarmidi, A.R. 2010. “Penggunaan Ampas Tahu dan Pengaruhnya pada Pakan Ruminansia”. Layanan dan Produk Umban Sari Farm.

Widjastuti, T. dan Endang S. 2007. “Pemanfaatan Tepung Limbah Roti Dalam Ransum Ayam Broiler dan Implikasinya Terhadap Efisiensi Ransum”. Prosiding Seminar Nasional Fakultas Perternakan UNPAD. ISBN : 978- 602-95808-0-8. (http://www. Google cindekia. com)

Widodo, W. 2009. “Ketahanan Pakan Unggas Di Tengah Krisis Pangan”. 12(1): 107 – 128

Winarti, E., Gunawan, T.F. Djaafar, A. Widyastuti, Supriadi, Sutardi, K.T. Widyastuti, H.B. Raharjo, N. Cahyaningrum, Harsanto. 2016. “Laporan Tahunan Model Pengembangan Pertanian Bioindustri Berbasis Integrasi Padi-Sapi Di Yogyakarta”. BPTP Yogyakarta.

Winarti, E. dan Supriadi 2014. “Pengaruh penggantian jagung dengan roti afkir dalam pakan komplit terhadap pertambahan bobot badan sapi Peranakan Ongole”. Prosiding Semnas Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor. Hal 178 - 183

Page 420: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 421: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

PENTINGNYA MEMBANGUN SUPPORTING SISTEM DISEMINASI INOVASI UNTUK

KELANGSUNGAN ADOPSI TEKNOLOGI

Enti Sirnawati, Sudi Mardianto, dan Haris Syahbuddin

PENDAHULUANDiseminasi teknologi merupakan salah satu kegiatan yang

penting dalam sistem inovasi pertanian; karena melalui kegiatan tersebut, teknologi yang dihasilkan oleh lembaga riset dikenalkan secara luas ke (potensi) pengguna. Kegiatan diseminasi akan dinilai berhasil apabila teknologi yang dikenalkan tersebut dalam perkembangannya diadopsi oleh pengguna. Proses diseminasi menjadi adopsi terkesan sederhana, namun fakta di lapangan menunjukkan tidak semua teknologi yang didiseminasikan akan berlanjut ke adopsi. Keberhasilan dan ketidakberhasilan inilah yang menarik dan banyak dikaji penyebabnya. Ada banyak faktor yang menentukan keberhasilan kegiatan diseminasi menjadi adopsi, seperti keunggulan teknologi yang dikenalkan, kemampuan dan kapasitas petugas diseminasi (selaku penyampai teknologi) dan pengguna (selaku penerima teknologi), kelembagaan penyedia teknologi, dan permodalan.

Keberagaman kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kemapanan kelembagaan pendukung menjadi penjelas utama mengapa metode diseminasi dapat berbeda antardaerah, antarwilayah, dan bahkan antarnegara. Dengan demikian, walaupun proses dan tahapan dalam kegiatan diseminasi dapat distandarisasi (dibakukan), namun keberhasilan kegiatan diseminasi menjadi adopsi seringkali ditentukan oleh kepiawaian petugas diseminasi dan kesiapan pengguna untuk menerima teknologi baru. Selain itu, faktor ketepatan waktu dalam melakukan kegiatan diseminasi juga dapat menentukan keberhasilan dalam proses adopsi. Benar bahwa secara teori proses adopsi akan melalui tahapan mengetahui, mengambil sikap, mencoba, dan berlanjut menggunakan inovasi yang dikenalkan (Rogers 2003). Namun tidak jarang dijumpai di lapangan bahwa proses diseminasi menjadi adopsi dapat terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat

Page 422: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan390

(pendek). Sebagai contoh, pada suatu daerah yang pola tanamnya padi-padi-jagung, proses diseminasi menjadi adopsi akan relatif cepat terjadi apabila kita mengenalkan teknologi baru (misalnya varietas jagung hibrida) pada saat musim tanam padi kedua. Mengapa? Karena pada saat varietas tersebut dikenalkan (baca: diseminasi) dan petani tertarik untuk menanam, sudah sesuai dengan musimnya (dapat segera menanam). Kondisi yang (dapat) berbeda apabila pengenalan varietas jagung hibrida tersebut dilakukan pada saat musim padi yang pertama.

Berdasarkan uraian ringkas di atas, tulisan akan mengulas hasil kajian terhadap metode diseminasi teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) yang sudah dilakukan beberapa tahun terakhir. Kajian yang dilakukan adalah menelaah sejauh mana teknologi yang telah didiseminasikan tersebut dapat berlanjut menjadi adopsi secara berkelanjutan. Keberhasilan maupun ketidakberhasilan dalam proses diseminasi menjadi adopsi merupakan pembelajaran yang baik untuk merumuskan alternatif strategi diseminasi teknologi Balitbangtan ke depan.

STUDI EMPIRIS ADOPSI INOVASI PERTANIANPenilaian tingkat adopsi komponen teknologi Balitbangtan

dilakukan terhadap aktivitas diseminasi teknologi Jarwo Super dan Model Pengembangan Pembangunan Pertanian berbasis Inovasi (MP3MI). Pengambilan sampel lokasi dilaksanakan di delapan provinsi dengan komponen teknologi yang dikaji sebagaimana Tabel 1. Studi adopsi inovasi komponen teknologi ini dilakukan di delapan lokasi terpilih yaitu Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta (hanya MP3MI). Komponen teknologi yang dikaji untuk setiap kegiatan diseminasi, sebagaimana pada tabel berikut:

Page 423: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 391

Tabel 67. Komponen teknologi yang didiseminasikan di lokasi kajianNo Diseminasi Teknologi Komponen Teknologi 1 Jarwo Super Inpari 30, Inpari 32, Inpari 33, Sistem

Tanam Jarwo 2:1, Biodekomposer/M-Dec, Agrimeth, Bioprotektor, Jarwo Transplanter, Combine harvester (9)

2 MP3MI Sumut Integrasi padi-sapi VUB, pesnab, BWD, Biourin, PHT, kompos (6)

3 MP3MI Lampung Pertanian organik Kompos, silase, pesnab (3)4 MP3MI Kalsel Integrasi padi-sapi VUB, Jarwo, benih bermutu, pesnab,

PHT (5)5 MP3MI Sulsel Integrasi padi-sapi Kompos, biourin, biogas, pakan

suplemen, pakan konsentrat, pengemukan, VUB, jarwo, jamu ternak (9)

6 MP3MI NTB Budidaya kakao Pemangkasan, pemupukan, sambung samping, PHT (4)

7 MP3MI Jateng Mekanisasi Transplanter, harvester mini, sedang, besar, dapog, sprayer, power weeder (7)

8 MP3MI Jatim Perbenihan kentang Var granola, jarak tanam, planter G0, perbenihan, kompos, border jagung (6)

9 MP3MI DIY KUB Pemeliharaan, pakan, perkandangan, pembibitan, penetasan (5)

Studi menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan petani kooperator untuk komponen teknologi Jarwo Super berkisar antara 60-94%.Adapun untuk petani non kooperator, tingkat pengetahuannya antara 34-80%. Tingkat pengetahuan petani tertinggi ada pada inpari 30, 32 dan Sistem Jarwo 2:1 (Tabel 68). Jika pengetahuan pada petani kooperator diintroduksi melalui pembuatan denfarm seluas 10 hektar, maka petani non kooperator dominan memperoleh pengetahuan secara mandiri melalui melalui sumber informasi informal yaitu dari ketua kelompok atau dengan sesama petani. Diduga bahwa denfarm seluas 10 hektar hanya diketahui oleh responden non kooperator yang saat itu pernah ikut pelatihan.

Dari tingkat pengetahuan yang kemudian menarik minat untuk mencoba, maka tahap adopsi selanjutnya adalah tahap implementasi. Tahap ini dicirikan dengan dicobanya teknologi oleh petani, atau fase dimana petani kooperator atau petani program menerapkan

Page 424: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan392

teknologi saat program masih berlangsung dan mereka menerima full support. Adapun tahap konfirmasi adalah kondisi adopsi ‘saat ini’ atau kondisi adopsi saat program bantuan sudah tidak diberikan. Studi menunjukkan bahwa secara agregat, persentase penurunan tingkat adopsi dari implementasi ke konfirmasi pada petani kooperator hampir 50%. Menariknya, persentase penurunan tingkat implementasi ke konfirmasi pada petani non kooperator berkisar 10%. Diduga bahwa potensi adopsi berlanjut pada petani non kooperator lebih tinggi keberhasilannya jika dibandingkan dengan petani kooperator. Hal ini dimungkan terjadi karena petani koperator mendapatkan bantuan penuh untuk implementasi komponen teknologi yang diperkenalkan di kegiatan diseminasi. Sehingga pada saat bantuan atau pendampingannya selesai, tidak serta merta mereka langsung mengadopsi berlanjut karena beberapa pertimbangan baik secara ekonomi maupun secara teknis (Prabayanti, 2010; Khasanah 2008).

Tabel 68. Tingkat adopsi komponen teknologi

Sumber: BBP2TP, 2018

Gambaran tingkat adopsi (Tabel 68) menunjukkan bahwa ada penurunan tingkat adopsi mulai dari pengetahuan, implementasi, konfirmasi. Dari aspek pengetahuan, secara umum responden sudah mengetahui komponen teknologi yang diperkenalkan melalui kegiatan diseminasi jarwo super. Namun tahapan implementasi dan konfirmasi memerlukan upaya yang lebih dari Balitbangtan agar inovasi yang dintroduksi dapat diterapkan oleh petani. Upaya yang saat ini telah dilakukan oleh Balitbangtan antara lain dengan melakukan kerjasama diseminasi teknologi dengan berbagai pihak antara lain melalui Sosialisasi dan kerjasama dengan Perguruan Tinggi, serta kerjasama komersialisasi teknologi dengan pihak Swasta.

Page 425: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 393

Pada model diseminasi dengan pendekatan MP3MI, diseminasi komponen atau paket teknologi didekati dengan melakukan identifikasi kebutuhan inovasi. Penggalian kebutuhan dilakukan dengan pendekatan partisipatif, melalui penggalian masalah dan peluang introduksi teknolologi yang disesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya lokal. Oleh karena itu, kebutuhan inovasi yang ada di setiap lokasi berbeda-beda, tergantung masalah yang akan dipecahkan serta fokus pembangunan perdesaan yang akan dicapai. Identifikasi kebutuhan inovasi melalui penggalian kebutuhan masyarakat ini diharapkan akan meningkatkan adopsi komponen atau paket teknologi yang diperkenalkan. Adapun basis pengembangan inovasi teknologi pada suatu hamparan wilayah atau desa dimaksudkan untuk lebih mengefisienkan alokasi sumberdaya pelaksanaan kegiatan serta meningkatkan dampak kemanfaatan implementasi komponen atau paket teknologi secara ekonomi.

Data pada Tabel 69 menunjukkan bahwa persentase tingkat pengetahuan petani kooperator antara 76-100%; sedangkan pada petani non kooperator antara 49-87%. Diduga bahwa informasi yang disampaikan pada petani kooperator belum menyebar secara luas di kelompok petani non kooperator. Data ini juga menunjukkan bahwa diduga aktivitas introduksi komponen teknologi yang dilakukan pada kelompok petani kooperator belum menarik minat petani di sekitarnya untuk ‘mencari tahu’ atau mengetahui lebih lanjut karena mungkin belum ada sesuatu yang menarik perhatian mereka.

Page 426: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan394

Tabel 69. Tingkat adopsi komponen teknologi MP3MI

Sumber: BBP2TP, 2018

TANTANGAN DISEMINASI INOVASI: MELIHAT PADA KERANGKA BERFIKIR ADOPSI

Studi menunjukkan bahwa tahapan pengetahuan dan implementasi (uji coba) merupakan tahapan yang krusial dari proses adopsi. Merujuk pada Kerangka fikir proses adopsi, tahapan pengetahuan petani akan dipengaruhi selain dari karakteristik petani dan karakteristik sosialnya, juga dipengaruhi oleh metode diseminasi yang digunakan. Dari pengetahuan tersebut, keminatan petani untuk berlanjut mencoba teknologi, dipengaruhi oleh karakteristik inovasi dan sifat keinovatifan petani. Adapun tahap implementasi dipengaruhi oleh kemampuan eknomi petani dan karakteristik usahanya. Tahap implementasi ini selanjutnya akan mempengaruhi tahap konfirmasi, yaitu keputusan untuk keberlanjutan atau tidak berlanjutnya adopsi (Gambar 45).

Page 427: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 395

Gambar 45. Kerangka Pikir Proses Adopsi Teknologi (diadaptasi dari Isdianto, 2010)

Dari aspek karakteristik responden, pemilihan petani sasaran dari atribut sosial dan kemampuannya secara finansial, memiliki jiwa kepemimpinan, menjadi krusial dalam proses adopsi. Tingkat kosmopolitan responden yang tinggi menunjukkan terjadinya jaringan sosial komunikasi yang baik antar petani dengan lingkungan sekitar. Sedangkan dari aspek karakteristik ekonomi, teknologi yang diintroduksikan harus mempunyai produktivitas yang tinggi serta memberikan manfaat nyata secara ekonomi. Penguasaan lahan yang lebih luas dimungkinkan akan mendorong keinginan atau keberanian petani untuk mencoba suatu teknologi baru karena petani dapat mencoba di sebagian kecil lahannya dan masih memiliki sisa lahan untuk dikerjakan sesuai dengan teknologi kebiasaan atau eksisting. Faktor ketidakyakinan petani karena unsur kegagalan ataupun rumitnya suatu teknologi turut berkontribusi pada keputusan petani untuk menerapkan lebih lanjut.

Beberapa upaya yang dilakukan untuk mempercepat diseminasi dan meningkatkan adopsi selain melakukan modifikasi komponen teknologi seperti introduksi persemaian tertutup yang dibuat dengan menggunakan sumberdaya lokal yang lebih murah, dilakukan juga melalui aksi kolektif dan implementasi komponen teknologi melalui corporate farming (Budiono dan Sudaryanto, 2018),

Page 428: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan396

dukungan Pemerintah Daerah setempat, serta menjadi narasumber pelatihan peningkatan kapasitas petani (Hartoyo et al, 2018). Kendala implementasi komponen teknologi juga diadaptasi antara lain dengan menerapkan kearifan atau sumberdaya lokal, yaitu modifikasi komponen teknologi pada tahap implementasi atau ujicoba komponen teknologi. Hasil temuan lapang menunjukkan bahwa secara rata-rata, sekitar 45% responden melakukan modifikasi dari komponen teknologi yang dujicobanya (tidak termasuk modifikasi VUB). Modifikasi ini dilakukan oleh responden untuk memudahkan uji coba dan menyesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi responden. Sebagai contoh, modifikasi jarwo 2:1 dengan mengubah jarak tanam, menggunakan legowo 3:1, 4:1, 5:1, 3:2, 4:2, serta menggunakan system tegel. Modifikasi penggunaan agrimeth dengan menggunakan petroganik, penggunaan kotoran kambing dan daun tembakau untuk mengganti bioprotektor. Demikian juga dengan modifikasi jarwo transplanter dengan menggunakan tegel transplanter, serta modifikasi alat transplanter dari 4:1 ke 2:1. Modifikasi juga dilakukan sebagai substitusi penyediaan biodekomposer, pestisida nabati, dan bioprotektor. Kasus di Jawa Tengah, penggunaan pestisida nabati diganti dengan pemberian Trichoderma, Bouveria Bassiana, dan Mikroorganisme lokal lainnya. Modifikasi yang dilakukan ini menunjukkan bahwa meskipun komponen teknologi anjuran tidak diterapkan secara utuh, namun beberapa modifikasi dilakukan juga dengan menggunakan varian teknologi Litbang sejenis.

Kembali kepada kerangka berfikir proses adopsi sebagaimana pada gambar 45, tercermin bahwa terdapat faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi adopsi teknologi. Karakteristik petani, tingkat keinovatifan, dan kemampuan ekonomi petani merupakan faktor internal yang ada dalam diri petani, yang mempengaruhi petani untuk melakukan adopsi. Sementara faktor eksternal untuk terjadinya adopsi adalah karakteristik inovasi, lingkungan sosial, dan dukungan kebijakan untuk terjadinya adopsi. Faktor ketersediaan komponen teknologi menjadi penyebab utama tidak diadopsinya teknologi. Dari aspek keungulan teknologi, kendala keberlanjutan adopsi antara lain tingkat keunggulan relative yang lebih rendah dibandingkan dengan teknologi eksisting, adanya biaya tambahan untuk tenaga kerja, kurang sesuainya teknologi dengan budaya setempat, serta aspek dukungan pelayanan pemanfaatan teknologi (misalnya bengkel Jasa Alsintan).

Page 429: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 397

SUPPORTING SISTEM DISEMINASI INOVASI UNTUK KELANGSUNGAN ADOPSI

Diseminasi tidak bisa hanya berhenti pada aspek ‘pengenalan’ atau penderasan informasi komponen atau paket teknologi semata. Dari kacamata adopsi, penderasan informasi memainkan peran pada tahap pengetahuan pengguna. Sedangkan pada tataran implementasi atau tahap adopsi inovasi, banyak aspek yang perlu menjadi perhatian penyedia inovasi agar diseminasi yang dilakukan akan berlanjut menjadi penerapan inovasi untuk pembangunan perdesaan. Gambaran hasil kajian adopsi menunjukkan bahwa adopsi inovasi yang terjadi masih dapat ditingatkan jika faktor-faktor pembatasnya dapat dieliminir. Pertama adalah keunggulan teknologi, kedua adalah kebijakan penyediaan logistik, ketiga masalah kapasitas dan lingkungan sosial petani, dan keempat masalah kemampuan ekonomi petani.

Permasalahan adopsi teknologi yang dihadapi oleh petani lebih kompleks dan tidak bisa hanya diatasi dengan introduksi teknologi semata, sehingga inovasi tidak hanya tentang introduksi teknologi, namun meliputi perubahan sosial, dan melalui proses reinovasi dan berlangsung secara sistemik (Biggs 1990, Leeuwis 2004, Spielman et al. 2009). Inovasi merupakan kombinasi antara aspek teknologi (hardware), interaksi dan partisipasi antar para pihak yang bekerjasama (software), serta kondisi soscial dan institutional yang mempengaruhi inovasi (orgware) (Smits, 2002). Pernyataan Leeuwis (2004), Hall et al. (2006), Röling (2009) mengandung makna bahwa inovasi terjadi melalui interaksi antara para pihak yang bekerja sama yaitu petani, peneliti, penyuluh, pedagang, penyedia layanan. Inovasi juga dipengaruhi oleh aspek teknologi, sarana pendukung, pasar, kebijakan, dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Selain itu, konsep Sistem Inovasi melihat bahwa inovasi memerlukan penanganan secara menyeluruh dari keseluruhan input dan output usahatani, termasuk aspek pemasarannya, kebijakan pendukung, insentif secara fiansial, dan akses terhadap permodalan (Vellema and Boselie 2003, Vermeulen et al. 2008, Mendoza and Thelen 2008, Ekboir 2003a, Hall and Clark 2009, Spielman et al. 2009, Tedjaningsih et al. 2018). Implikasi dari pendekatan sistem inovasi ini mengandung makna adopsi memerlukan keterlibatan atau interkoneksi antarpihak, sesuai dengan kebutuhan inovasi yang akan digunakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi (Sirnawati dan Syahyuti, 2018).

Page 430: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan398

Kerangka fikir pada Gambar berikut menunjukkan bahwa bottleneck subsistem penyampaian dan subsistem penerima lambannya tingkat adopsi Badan Litbang tidak hanya dipengaruhi oleh bagaimana informasi inovasi Balitbangtan disampaikan, namun juga bagaimana subsistem penyiapan dain penggandaan inovasi teknologi serta kelembagaan pendukung perlu disiapkan untuk mendukung proses adopsi.

Gambar 46. Kerangka fikir sistem inovasi dalam adopsi teknologi, diadaptasi dari sistem inovasi pertanian (WorldBank, 2012) dan proses adopsi (Rogers, 1995)

Pertama, keunggulan teknologi. Penyempurnaan teknologi berdasarkan 5 sifat inovasi dan penyiapan layanan ‘after sales service’ sistem yang harus ada untuk mendukung kelangsungan adopsi inovasi. Merujuk kembali tentang karakteristik inovasi yang mudah dicoba, mudah diamati, menguntungkan, dan sesuai (Sumberg, 2005). Karakteristik sifat inovasi yang mudah dioba dan mudah diamati berkaitan erat dengan strategi pendekatan metode diseminasi yang perlu dilakukan bagaimana agar inovasi teknolgo yang diperkenalkan tersebut pada akhirnya menjadi dianggap ‘mudah dicoba’ dan ‘mudah diamati’ oleh petani. Tentunya, metode diseminasi melalui pendampingan yang dilakukan bertahap dan berulang, akan meyakinkan petani untuk menerapkan teknologi yang diintroduksikan. Lingkungan sosial seperti frekuensi pelatihan, pendampingan, dan aktivitas kelompok, mendukung adopsi komponen teknologi, terutama dalam meningkatkan kepercayaan diri petani dalam menerapkan teknologi baik secara perseorangan maupun kelompok.

Page 431: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 399

Kedua, kebijakan penyediaan logistic. Aspek penyediaan inovasi dapat dibangun antara lain melalui kerjasama dengan institusi lain menjadi bermakna untuk lebih menderaskan inovasi Balitbangtan melalui orchestra kerjasama dengan berbagai pihak, terutama swasta dalam penggandaan teknologi. Penggandaan teknologi dilakukan baik itu melalui pihak swasta maupun melalui kelembagaan masyarakat lokal seperti misalnya pembentukan UPBS dan desa mandiri benih. Penggandaan dan komersialisasi produk di tingkat daerah dapat memanfaatkan BPTP melalui UKT (Unit Komersialisasi Teknologi). Adapun bentuk aktivitasnya meliputi Kerjasama pengkajian/pengembangan teknologi dalam lingkup yang dapat mendorong percepatan pembangunan pertanian daerah dan atau penelitian berorientasikan pada HKI dengan berbagai mitra kerja seperti: Instansi Pemerintah Daerah, Pihak Swasta, Petani Kooperator, BUMN, Perguruan Tinggi (Negeri dan Swasta), dan Lembaga Penelitiannya (Rachman, 2006). Penyediaan logistic yang tepat sasaran dan tepat waktu – saat dibutuhkan, akan memuluskan proses adopsi1. Penyediaan logistic yang tepat ‘waktu’ juga meningkatkan peluang diadopsinya teknologi. Sebagai contoh: pengenalan biodekomposer bertepatan dengan saat olah tanah, akan meningkatkan peluang diadopsinya teknologi tersebut. Penyediaan logistic juga hendaknya berada dalam jangkauan petani. Sehingga distribusi teknologi melalui kios pertanian atau toko tani, menjadi opsi yang dapat ditempuh untuk mendekatkan inovasi dengan pengguna.

Ketiga, peningkatan kapasitas dan peranan lingkungan sosial petani. Teknologi juga terkait dengan kapasitas responden dalam menerapkan inovasi (Syakir, 2016). Peningkatan kapsitas ditangani melalui keterlibatan penyuluh maupun fasilitator inovasi (Sumarjo, 2012: Indraningsih, 2018). pendampingan dalam bentuk kerjasama dengan penyuluh lapangan menjadi sangat penting. Upaya menjaga keberlanjutan adopsi juga perlu dibarengi dengan peningkatan kapasitas petani sendiri, melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan (Sumarjo, 2012). Keberlanjutan kegiatan-kegiatan training dapat membantu dalam meningkatkan kapasitas petani karena akan terjadi knowledge transfer yang lebih kontinu, selain materi yang diberikan dapat terus diingat dan dikuasai oleh peserta pelatihan (Sarkis et al. 2010). Peningkatan kapasitas petani juga dapat secara efektif dilakukan melalui pendekatan kelompok (Maryowarni, 2013; Nuryanti dan Swastika, 2011). 1 Pendapat Dr. Sudi Mardianto yang disampaikan dalam komunikasi langsung dengan penulis

pada 10 Desember 2018

Page 432: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan400

Karena adopsi memerlukan suatu proses iterative, maka adopsi merupakan suatu proses yang memerlukan tahapan yang panjang. Oleh karena itu maka perubahan pengetahuan dan sikap selayaknya juga menjadi bagian dari indikator proses, sejauh mana adopsi ini akan berjalan dengan baik. Di level mikro proses adopsi juga membutuhkan ‘perantara’ atau peghubung tentang ‘siapa membutuhkan apa dan darimana diperolehnya’. Penghubung, atau dalam bahasa sistem inovasi disebut ‘intermediary’ (Kristjanson et al. 2009, Devaux et al. 2010, Hosaain, 2018, Clayton et al. 2018), adalah orang atau lembaga yang dapat mensupport terjadinya inovasi, termasuk insentif untuk bekerja sama (Hall 2006). Sebagai contoh: broker atau penghubung yang dapat mengidentifikasi kebutuhan para pihak untuk terjadinya inovasi terhadap kebutuhan lembaga perbankan, akses pasar, teknologi, advokasi. Pelibatan penyuluh selama proses adopsi juga diarahkan untuk melakukan pendekatan penyuluhan dari aspek metode dan media diseminasi juga diharapkan sesuai dengan kebutuhan pengguna (musyafak dan Ibrahim, 2005).

Keempat, masalah kemampuan ekonomi petani. Selain kelembagaan permodalan, dukungan dalam bentuk pendampingan kelembagaan juga penting. Sebagai contoh kasus di Taiwan (Kesa, dan Lee, 2013), Pemerintah membantu asosiasi petani lokal ‘untuk membangun merek mereka sendiri dan mengadopsi strategi pemasaran dengan diversifikasi. Badan ini juga menjalankan program pendidikan memperkenalkan budaya tradisional dan sejarah terkait dengan industri beras kepada masyarakat dalam rangka untuk mempromosikan konsumsi beras lokal. Kelembagaan permodalan akan melindungi petani dari resiko yang mungkin timbul saat adopsi teknologi, misalnya penambahan biaya untuk mencoba teknologi baru.

Selain empat aspek diatas, aspek yang tidak kalah penting dalam penerapan sistem inovasi untuk adopsi adalah pemanfaatan sumber daya lokal. Pada kasus studi ini, petani-petani kooperator diharapkan menjadi petani yang turut menyebarluaskan teknologi melalui transfer pengetahuan dan ketrampilan kepada petani non kooperator. Petani non kooperator bisa jadi melihat atau belajar langsung dari petani kooperator, sehingga memungkinkan adanya adopsi teknologi yang lebih luas dalam suatu wilayah target program. Petani kooperator dapat difungsikan/dipogramkan memerankan fungsi sebagai agen penyebarluasan informasi ke petani sekitar (PPL atau penyuluh swadaya). Oleh karena itu pemilihan petani kooperator

Page 433: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 401

sedari awal hendaknya dipilih yang memiliki karakteristik innovator, dan sumberdaya yang memadai, serta berjiwa cosmopolitan. Pemberdayaan petani kooperator menjadi petani swadaya ini sejalan dengan pemikiran Basuno (2003). Menurut Basuno (2003), sistem diseminasi teknologi pertanian, memerlukan pergeseran, dari bergantung pada penyuluh lapangan semata, menjadi bergantung juga pada petani, sebab pada hakekatnya pertanian progresif selalu berubah.

Selain itu, dukungan kebijakan. Merefer pada tulisan Basuno (2003), membatasi teknologi yang digunakan adalah penting. Dengan jumlah teknologi yang terbatas, petani dapat mempelajari secara mendalam dan berulangkali, mencoba, meyakini manfaat dan kemampuan dalam adopsi, serta kadang-kadang bahkan memperbaiki berbagai kekurangan yang ada. Petani perlu memperoleh cukup pengalaman dan keyakinan terhadap penguasaan inovasi teknologi tersebut, sehingga akhirnya merasa mampu untuk mengajarkan kepada petani lain. Maknanya bahwa terkadang massalisasi inovasi kontradiksi dengan tujuan adopsi yang diharapkan. Sehingga adopsi inovasi membutuhkan spesifik lokasi tenologi, sasaran penerima, dan metode atau pendekatan diseminasi.

PENUTUPAdopsi inovasi tidak hanya ditentukan oleh faktor internal

petani namun juga faktor eksternal seperti penyediaan inovasi yang kontinyu dan mudah dijangkau. Teknologi hanya merupakan salah satu aktor yang berperan dalam proses inovasi (Hall et al. 2003; 2004). Idetifikasi kebutuhan atau dukungan yang tepat kepada potensial adopter, akan mendorong diadopsinya teknologi Balitbangtan. Faktor karakeristik petani, kebutuhan inovasi, dukungan lingkungan social, sifat keinovatifan, serta karakteristik teknologi yang unggul, sangat mempengaruhi adopsi teknologi. Jika teknologi sudah unggul dari segi karakteristiknya, maka aspek kebijakan berupa ketersediaan teknologi yang mudah didapat, kontinyu, dan pendampingan yang intensif memainkan peran yang tidak kalah pentingnya untuk keberlanjutan adopsi teknologi. Syarat kecukupan dan keharusan kelembagaan pendukung untuk mendiseminasikan inovasi merupakan keharusan untuk terciptanya adopsi. Hal ini perlu didukung oleh kelembagaan yang baik, terintegrasi antar sistem, serta berjalan secara operasional.

Page 434: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan402

UCAPAN TERIMA KASIHPenulis menyampaikan terima kasih kepada SMARTD atas

dukungan dana penelitian Adopsi. Terima kasih juga disampaikan kepada kontributor naskah atas kesediaannya untuk memberikan masukan dan rujukan yang relevan.

DAFTAR PUSTAKABalai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

2018. Laporan Kajian Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Hasil Balitbangtan. Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Basuno E. 2003. Kebijakan Sistem Diseminasi Teknologi Pertanian: Belajar Dari Bptp NTB. Analisis Kebijakan Pert. 1(3):238-254.

Biggs SD. 1990. A multiple source of innovation model of agricultural research and technology promotion. World Development 18: 1481–1499.

Budiono dan Sudaryanto, 2018. Strategi Memasifkan Inovasi Teknologi Jarwo Super di Jawa Timur. Bunga Rampai Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan. (In press)

Clayton P, Feldman M, Lowe N. 2018. Behind the scene: intermediary organisations that facilitate science commercialization through entrepreneurship. Academy of Management Perspectives. Vol 32(1): https://doi.org/10.5465/amp.2016.0133.

Devaux A, Andrade-Piedra J, Horton D, Ordinola M, Thiele G, Thomann A, Velasco C. 2010. Brokering innovation for sustainable development: The Papa Andina case. Institutional Leaning and Change (ILAC) Working Paper12

Ekboir JM. 2003. Research and technology policies in innovation systems: zero tillage in Brazil. Res. Policy 32:573–586

Hall A, Clark N. 2009. What do complex adaptive systems look like and what are the implications for innovation policy? UNU-MERIT Working Paper 2009: 046.

Page 435: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 403

Hall, A. J., and B. Yoganand. 2004. New institutional arrangements in agriculturalresearch and development in Africa: Concepts and case studies. In A. J. Hall, B.Yoganand, R. V. Sulaiman, R. S. Raina, C. S. Prasad, G. C. Naik, and N. G. Clark (Eds.), Innovations in Innovation:

Hall, A., 2006. Embedding agricultural research in a system of innovation. In: Report of the Science Forum on CGIAR Priorities: Science for the Poor. Science Council Secretariat, Rome

Hall, A., R. Sulaiman, N. Clark, and B. Yoganand. 2003. From measuring impact tolearning institutional lessons: An innovation systems perspective on improvingthe management of international agricultural research. Agricultural Systems. 78:213–241.

Hartoyo, B. Triastono, J, dan Suprio, A. 2018. Penderasan Inovasi Teknologi Jarwo Super di Jawa Timur. Bunga Rampai Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan. (In press)

Indraningsih K.S. 2011. Pengaruh Penyuluhan Terhadap Keputusan Petani Dalam Adopsi Inovasi Teknologi Usaha Tani Terpadu. J Agro Ekon. 29(1):1-24.

Isdianto, J. 2010. Kategori Adopter Dan Tingkat Keinovatifan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus Nelayan Desa Tanjung Satai Pulau Maya Karimata dan Desa Harapan Mulia Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat). Kalimantan Barat.

Kesa, D. dan C.W. Lee. 2013. Kebijakan Sektor Pertanian Sebagai Awal Kebangkitan Ekonomi (Studi Kasus Taiwan Dalam Mengelola Komoditas Padi) Volume 1, Nomor 1, Pp 44-73. Jurnal Vokasi Indonesia, Universitas Indonesia. Vol 1 No 1 Jan-Juni 2013

Khasanah, W. 2008. Hubungan Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Petani Dengan Tingkat Adopsi Inovsi Teknologi Budidaya Tanaman Jarak Pagar Di Kecamatan Lendah Kabupaten Kulon Progo. Skripsi. Universitas Sebelas Maret.

Kristjanson P, Reid R, Dickson N, Clark W, Romney D, Puskur R, MacMillan S, Grace D. 2009. Linking international agricultural research knowledge with action for sustainable development. PNAS. 106(13):5047-5052.

Page 436: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan404

Leeuwis C. 2004. Communication for rural innovation: rethinking agricultural extension (with Contributions of Anne van den Ban). Blackwell Science.

Mendoza RU, Thelen N. 2008.Innovations to make markets more inclusive for the poor. Development Policy Review. 26(4):427-458.

Musyafak, A Dan Ibrahim, T. 2005. Strategi Percepatan Adopsi Dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 1, Maret 2005 : 20-37. Pusat Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian.

Nuryanti, S dan Swastika, DS. 2011. Peran Kelompok Tani dalam Penerapan Teknologi Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol.29 No.2, Desember 2011: 115-128. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Pertanian.

Prabayanti, H. 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Biopestisida Oleh Petani Di Kecamatan Mojogedang Kabupaten Karanganyar. Skripsi. Universitas Sebelas Maret.

Rachman, H. 2006. Konsepsi Pengembangan Komersialisasi Teknologi Dalam Mendukung Peningkatan Eksistensi Bptp Hermanto. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 2, Juni 2006 : 87-95

Rogers, E.M. 2003. Diffusion of innovations. Fifth Edition. New York: Free Press

Röling N. 2009. Pathways for impact: scientists’ different perspectives on agricultural innovation. International Journal of Agricltural Sustainability. 7(2):83–94.

Ruhimat, IS. 2017. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Tani dalam Pengembangan Usahatani Agroforestry: Studi Kasus di Desa Cukangkawung, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol.14 No.1, 2017: 1-17.

Sarkis, J, Gonzalez-Torre, P and Adenso-Diaz, B. 2010. Stakeholder Pressure and the Adoption of Environmental Practices: The Mediating Effect of Training. Journal of Operation Management 28(2):163-17

Page 437: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 405

Sirnawati, E dan Syahyuti. 2018. Evolusi Dseminasi Inovasi di Balitbangtan: Dari Transfer Teknologi ke Inovasi Sistem. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian Vol. No. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Pertanian. Kementerian Pertanian.

Smits R. 2002. Innovation studies in the 21st century: questionsfrom a user’s perspective. Technological Forecasting and Social Change. 69:861-883.

Spielman DJ, Ekboir J, Davis K. 2009. The art and science of innovation systems inquiry: Applications to Sub-Saharan African Agriculture. Technology in Society 31(4):399- 405

Sumardjo. 2012. Review Dan Refleksi Model Penyuluhan Dan Inovasi Penyuluhan Masa Depan. Seminar Nasional Membangun Penyuluhan Masa Depan Yang Berkeadilan Dan Menyejahterakan. 22 Februari 2012. Bogor (Id): Institut Pertanian Bogor.

Sumberg, J. 2005. Constraints to the Adopstion of Agricultural Innovations: Is time for rethink?. Outlook on Agriculture. Sage Journals.

Syakir M. 2016. Pemantapan Inovasi Dan Diseminasi Teknologi Dalam Memberdayakan Petani. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Jakarta [Internet]. [Diunduh 2018 Feb 5]. Tersedia Dari:. Http://Pse.Litbang.Pertanian.Go.Id/Ind/Pdffiles/Prosiding_2016/0_1.Pdf

Tedjaningsih T, Suyudi H, Nuryaman. 2018. Peran kelembagaan dalam pengembangan agribisnis. J. Pemikiran Masyarakat Ilmiah Berwawasan Agribis. 4(2):210-226

Vellema S, Boselie D. 2003. Cooperation and competence in global food chains: perspectives on food quality and safety.Maastricht (NL): Shaker Publishing,

Vermeulen S, Woodhill J, Proctor F, Delnoye R. 2008. Chain-wide learning for inclusive agrifood market development: a guide to multi-stakeholder processes for linking small-scale producers to modern markets. Wageningen (NL): the International Institute for Environment and Development (IIED), UK and the Capacity Development and Institutional Change Programme (CD&IC).

World Bank. 2012. Agricultural Innovation Systems: An Investment Sourcebook.

Page 438: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN
Page 439: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

EPILOG:LANGKAH STRATEGIS PENGEMBANGAN INOVASI, AKSELERASI DISEMINASI DAN

MENINGKATKAN ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PENGEMBANGAN PERTANIAN PERDESAAN

Enti Sirnawati dan Rachmat Hendayana

Introduksi inovasi produk Badan Litbang Pertanian berupa teknologi dan juga kelembagaan yang diadopsi petani di beberapa daerah terbukti berhasil mendorong peningkatan produksi pertanian. Kontribusi Badan Litbang Pertanian menyediakan inovasi, dan melakukan akselerasi diseminasi dapat diaplikasikan oleh pengguna utama dan pengguna usaha di lapangan.

Disadari bahwa upaya yang ditempuh dalam mengintroduksikan inovasi dan mendiseminasikan hasil kajian belum optimal dan masih berpeluang untuk ditingkatkan. Hal itu tidak bergantung pada kualitas inovasi teknologi, akan tetapi juga dipengaruhi karakteristik calon pengguna inovasi. Proses adopsi tidak berhenti setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi.

Inovasi, Diseminasi dan Adopsi Jarwo SuperDiseminasi inovasi teknologi Jajar Legowo Super (Jarwo Super)

dan Model Pengembangan Pertanian melalui Inovasi (MP3MI), merupakan salah satu cara untuk mendiseminasikan inovasi teknologi yang dihasilkan oleh Balitbangtan. Pada kegiatan diseminasi melalui Jarwo Super, satu paket budidaya padi secara terpadu berbasis cara tanam legowo, diimplementasikan di beberapa provinsi pada skala Demfarm untuk memasifkan potensi diadopsinya inovasi yang dimaksud. Dalam implementasinya di lapangan, teknologi padi Jarwo Super menggunakan: (1) benih bermutu varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi, (2) biodekomposer pada saat pengolahan tanah, (3) pupuk hayati sebagai seed treatment dan pemupukan berimbang, (4) teknik pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu, dan (5) alat mesin pertanian terutama untuk tanam dan panen.

Page 440: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan408

Pembelajaran diseminasi dengan pendekatan Jarwo Super secara umum telah berhasil menderaskan komponen teknologi yang digunakan pada kegiatan tersebut, khususnya varietas yang berdaya hasil tinggi, yaitu Inpari 30, Inpari 32, dan Inpari 33. Respons masyarakat terhadap varietas ini secara umum positif sesuai dengan preferensi di masing-masing lokasi. Demikian juga dengan penggunaan bahan pendukung seperti bahan organik, pupuk hayati, serta biopestisida, mendapatkan respons yang sangat baik dari masyarakat. Penggunaan bahan pendukung tersebut dapat mempercepat proses pembenahan lahan, serta mengurangi kerentanan terhadap penyakit. Demikian juga halnya dengan introduksi penggunaan jarwo transplanter dan combine harvester. Pengaruh positif dari penggunaan mekanisasi pertanian ini adalah mempercepat proses tanam dan panen serta menghemat biaya tenaga kerja.

Penggunaan komponen teknologi yang ada di kegiatan diseminasi Jarwo Super terbukti dapat meningkatkan produksi sebesar 12–14 t/ha (Balitbangtan 2016). Sangatlah nyata bahwa masyarakat akan bersikap positif terhadap komponen teknologi tersebut. Sikap positif ini dipengaruhi oleh karakteristik teknologi tersebut antara lain kemudahan untuk menerapkan, serta kemanfaatannya secara ekonomi yang dapat dilihat dari potensi hasilnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan komponen teknologi eksisting yang digunakan oleh petani.

Petani baru mengadopsi teknologi jajar legowo super pada komponen teknologi VUB (Inpari 32 dan Inpari 30), sistem tanam jajar legowo 2:1 dan alat tanam transplanter sedangkan komponen lainnya belum diadopsi karena belum tersedia di pasaran. Untuk memasifkan inovasi Jarwo Super ini diusulkan perlunya mempertimbangkan model cooperative farming dalam penerapannya ke depan, agar implementasi komponen-komponen teknologi yang menjadi ikutan Jarwo Super dapat diterapkan secara utuh dan lebih mudah diakses oleh petani (Budiono dan Sudaryono 2018). Tindakan kolektif yang merupakan salah satu ciri dari kelompok tani mampu berperan sebagai faktor penentu keberhasilan adopsi dan difusi komponen teknologi dalam Jarwo Super. Pada intinya inovasi Jarwo Super dapat diterapkan secara berkelanjutan karena keberadaan fungsi kelompok tani sebagai penyedia saprodi. Unit pelatihan yang dilaksanakan dalam kelompok tani juga terbukti mendorong peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petani dalam melaksanakan Jarwo Super.

Page 441: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 409

Kunci sukses penerapan Jarwo Super sangat terkait dengan penerapan masing-masing komponen teknologi. Penerapan paket yang tidak lengkap memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan menerapkan paket lengkap. Paket lengkap dimaksud adalah penggunaan bio dekomposer M-Dec 2 kg/ha, pupuk hayati Agrimeth 500g/25kg benih, Inpari 32 atau 33, Urea 200 kg/ha, NPK Phonska 300 kg/ha, sistem tanam legowo 2:1 (12.5 x 25x 50cm), dan pengendalian OPT dengan pestisida anorganik sesuai ambang kendali. Namun bila paket lengkap tersebut ditingkatkan, yakni pemakaian bio dekomposer M-dec menjadi hingga 3 kg/ha dan ditambah pupuk kandang sapi sebanyak 1 t/ha; terjadi peningkatan hasil hingga 10,5 t/ha. Secara umum, Demfarm Jarwo Super memberikan rata-rata hasil yang lebih tinggi dibandingkan cara petani (non-Jarwo Super).

Penerapan jarwo akan lebih berhasil pada daerah dengan ketersediaan tenaga kerja (TK) melimpah dan memiliki keterampilan memadai. Penerapan pada daerah dengan TK kurang hanya dapat berhasil bila didukung oleh mesin tanam. Adopsi dan difusi inovasi mesin tanam akan meningkat bila dilaksanakan di daerah dengan petakan sawah lebar, sedangkan pada petakan sawah sempit penggunaan mesin tanam masih memungkinkan dengan memodifikasi alat menjadi ukuran yang lebih kecil dan ringan. Adopsi penggunaan mesin tanam juga akan berjalan baik bila tidak bertentangan dengan kebiasaan usahatani petani setempat. Penggunaan alat tanam jarwo transplanter dimodifikasi seefisien mungkin sehingga dapat diterapkan dengan mudah oleh petani dan sesuai pada berbagai kondisi lahan.

Keberlanjutan penerapan teknologi Jarwo Super perlu mendapat perhatian dengan beberapa modifikasi dan adanya alternatif bahan pengganti yang mudah dan murah pada komponen teknologi yang sulit ketersediaannya sehingga memudahkan petani dalam aplikasi teknologi Jarwo Super di lahannya (Yuniarsih et al. 2018). Lebih lanjut, permasalahan dalam peningkatan adopsi dan difusi penggunaan dekomposer dan pupuk hayati dapat diatasi dengan meningkatkan ketersediaan inovasi tersebut di lapang. Hal yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan adopsi dan difusi penggunaan PUTS untuk menentukan dosis pupuk yang dibutuhkan adalah ketersediaan PUTS dan keterampilan petugas/petani menganalisis tanah serta ketersediaan pupuk anorganik sesuai kebutuhan dan ketepatan waktu. Untuk itu, diperlukan pelatihan/bimtek penggunaan PUTS dan dukungan dari penyedia saprodi. Rendahnya penggunaan

Page 442: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan410

pestisida nabati akibat tidak tersedianya bahan tersebut di lapang, dapat diatasi dengan peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petani dalam pemanfaatan bahan in-situ sebagai pestisida nabati.

Agar komponen teknologi Jarwo Super cepat diadopsi dan terdiseminasi (difusi) lebih cepat pada tingkat lapangan, Ishaq dan Liferdi (2018) menyarankan beberapa hal, sebagai berikut: (a) Penyediaan benih sumber VUB (kelas benih dasar dan/atau benih pokok) pada Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) BB Padi dan BPTP Jawa Barat yang dapat dengan mudah diakses oleh penangkar benih, (b) Aplikasi pupuk hayati (Agrimeth), biodekomposer (M-Dec) dan pestisida nabati (Bio-Protektor) dapat disuplai oleh masing-masing distributor dan tersedia, baik pada kelompak tani, gabungan kelompok tani maupun kios tani setempat, dan (c) Bimbingan, pembinaan, dan pendampingan teknis kepada petani yang diarahkan menjadi operator dan tim jasa tanam jarwo transplanter serta pendampingan terkait dengan sistem, pembagian tugas dan peran terintegrasi dengan jasa tanam.

Inovasi, Diseminasi dan Adopsi MP3IPada model diseminasi dengan pendekatan MP3MI, diseminasi

komponen atau paket teknologi didekati dengan melakukan identifikasi kebutuhan inovasi. Penggalian kebutuhan dilakukan dengan pendekatan partisipatif, melalui penggalian masalah dan peluang introduksi teknologi yang disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya lokal. Oleh karena itu, kebutuhan inovasi yang ada di setiap lokasi berbeda-beda, bergantung pada masalah yang akan dipecahkan serta fokus pembangunan perdesaan yang akan dicapai. Identifikasi kebutuhan inovasi melalui penggalian kebutuhan masyarakat ini diharapkan akan meningkatkan adopsi komponen atau paket teknologi yang diperkenalkan. Adapun basis pengembangan inovasi teknologi pada suatu hamparan wilayah atau desa dimaksudkan untuk lebih mengefisienkan alokasi sumberdaya pelaksanaan kegiatan serta meningkatkan dampak kemanfaatan implementasi komponen atau paket teknologi secara ekonomi.

Pengetahuan inovasi dan keterampilan dalam penerapan teknologi telah membuktikan terjadinya peningkatan penerapan inovasi. Keterpaduan dalam implementasi metode-metode diseminasi inovasi teknologi kakao mendorong terjadinya difusi dan perluasan

Page 443: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 411

penerapan teknologi. Model diseminasi inovasi teknologi kakao yang dilakukan secara terpadu dan terencana dari metode-metode diseminasi dengan menggunakan saluran-saluran komunikasi yang tersedia mampu meningkatkan keyakinan, kesadaran dan motivasi petani untuk menerapkan teknologi.

Dalam skala perdesaan, konsep integrasi tanaman ternak dapat diterapkan dengan memanfaatkan kandang kelompok untuk digester biogas kelompok. Strategi percepatan diseminasi teknologi berbasis kelompok tani mempercepat proses diseminasi dan meningkatkan adopsi inovasi teknologi. Keterlibatan dinas instansi terkait, kelembagaan penyuluhan pertanian (PPL), kontak tani, dan perusahaan dalam kegiatan diseminasi mampu meningkatkan diseminasi inovasi teknologi dan percepatan adopsi.

Implementasi model integrasi padi dan ternak sapi berbasis zero waste terbukti meningkatkan pendapatan petani sebesar 20,25% dengan nilai R/C 1,8 yang berarti usaha ini layak untuk dikembangkan. Diharapkan kepada pemerintah daerah setempat dapat melanjutkan pembinaan dan memberikan dukungan agar kegiatan-kegiatan yang prospektif dapat terus ditingkatkan (scalling up) sehingga tujuan akselerasi pembangunan pertanian di daerah dapat terwujud. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara petani dan peternak dalam meningkatkan efisiensi usaha dengan pemanfaatan limbahnya melalui konsep integrasi tanaman ternak di perdesaan.

Sementara itu, pakan sebagai input produksi dengan prosentase biaya terbesar sangat berperan dalam pengembangan ayam KUB. Pakan konvensional yang sudah biasa digunakan peternak harganya cukup mahal, sehingga perlu diupayakan penggunaan pakan alternatif. Pakan dengan kandungan nutrisi yang cukup serta harga relatif murah sangat diperlukan dalam pegembangan ayam KUB agar mendapat keuntungan yang layak. Tanpa keuntungan yang layak, ayam KUB tidak akan berkembang sesuai dengan yang diharapkan.

Ketersediaan sarana dan benih inti kentang berupa plantlet dan benih G0 varietas Granola Kembang sangat diperlukan oleh petani kentang. Untuk keberlanjutan usahatani dari penyediaan benih sampai ubi konsumsi, petani masih memerlukan pendampingan dan perhatian dari dinas terkait. Penyediaan logistik berupa plantlet bebas virus varietas Granola Kembang untuk petani telah tersedia dalam jumlah cukup.

Page 444: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan412

Akselerasi dalam pengembangan mesin tanam bibit padi (rice transplanter) dan mesin tanam pemanen padi (combine harvester) perlu dilakukan (i) sosialisasi dalam rangka penyebarluasan inovasi teknologi mesin tanam bibit padi dan mesin tanam pemanen padi (ii) memperkuat permodalan dan akses sumber modal atau skim kredit, (iii) pendampingan dan pengawalan dalam pengajuan permohonan bantuan mesin tanam bibit padi dan mesin tanam pemanen padi, dan (iv) meningkatkan kemampuan/keterampilan dan pengetahuan petani dalam mengoperasikan, pengelolaan/manajemen, perawatan dan perbaikan mesin tanam bibit padi dan mesin tanam pemanen padi. Pemilihan yang tepat dan cara penggunaan dan manajemen yang baik akan dapat menunjang kelancaran dan efisiensi pekerjaan bila tidak akan terjadi sebaliknya. Selain itu, perlu diinisiasi dan dikembangkan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) baik UPJA yang berada dalam kelompok tani, Gapoktan atau UPJA yang berdiri sendiri. Perlu dilakukan pemetaan lahan yang dapat menggunakan mesin tanam pindah bibit padi dan mesin pemanen padi, agar jumlah alat yang dibutuhkan di suatu wilayah dapat teridentifikasi dengan tepat sehingga penyaluran bantuan sesuai kebutuhan dan tepat sasaran.

Aspek krusial dalam implementasi atau adopsi komponen teknologi atau paket teknologi pada kegiatan MP3MI berada pada aspek pemasaran hasil. Faktor penyediaan komponen teknologi pada diseminasi melalui MP3MI tidak terlalu menjadi masalah utama karena pengembangan inovasi dilaksanakan berbasis sumberdaya lokal. Pemasaran atau pemanfaatan komoditas hasil dari pelaksanaan kegiatan diseminasi inovasi ini menjadi kunci keberlanjutan implementasi inovasi. Sehingga dari pendekatan diseminasi melalui MP3MI, kunci utama keberhasilan diseminasi terletak pada seberapa mahir penghantar diseminasi dapat berperan sebagai perantara yang dapat membawa produk atau hasil dari pemanfaatan komponen atau paket teknologi, menjadi bernilai tambah dan bernilai jual secara ekonomi.

Page 445: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

INDEX

AAdopsi 1, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 24, 25, 26, 28, 29, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 46,

49, 51, 56, 57, 58, 59, 62, 63, 64, 65, 75, 78, 80, 81, 82, 83, 91, 108, 109, 110, 112, 115, 116, 120, 121, 122, 123, 124, 126, 149, 150, 151, 152, 156, 157, 174, 175, 177, 184, 190, 195, 198, 200, 205, 206, 208, 209, 210, 213, 217, 219, 220, 222, 223, 232, 233, 254, 259, 286, 294, 295, 305, 311, 331, 341, 344, 345, 346, 357, 364, 365, 368, 369, 373, 389, 390, 391, 392, 393, 394, 395, 396, 397, 398, 399, 400, 401, 402

Agrimeth 24, 26, 28, 36, 38, 43, 45, 47, 56, 57, 61, 62, 65, 99, 101, 104, 107, 109, 114, 116, 121, 130, 133, 134, 138, 143, 151, 164, 172, 173, 174, 177, 186, 190, 391

Akurat 150, 261, 275, 277, 292Alsintan 23, 27, 63, 153, 154, 160, 257, 271, 275, 277, 279, 289, 396Alternative 262, 385

BBiaya 8, 23, 25, 26, 27, 42, 44, 45, 57, 63, 64, 66, 67, 72, 82, 83, 84, 89, 90, 119, 123, 126,

136, 143, 153, 176, 177, 194, 195, 197, 223, 240, 243, 246, 249, 250, 251, 257, 258, 260, 262, 263, 270, 272, 274, 298, 305, 307, 315, 322, 324, 325, 327, 344, 345, 361, 362, 377, 380, 384, 387, 396, 400

Biodekomposer 1, 24, 33, 35, 43, 45, 55, 65, 85, 118, 119, 120, 121, 130, 134, 137, 143, 150, 157, 164, 396, 399

Blower 264

CCombine harvester 164, 177, 186, 235, 391

DDifusi 2, 3, 94, 376, 403Diseminasi 2, 3, 16, 31, 96, 101, 111, 205, 209, 210, 211, 212, 213, 216, 219, 225, 226, 227,

228, 259, 219, 208, 207, 212, 209, 206, 283, 217, 221, 225, 226, 227, 228, 259, 278, 279, 280, 283, 331, 333, 336, 338, 348, 349, 358, 389, 391, 397, 402, 404

EEfektif 6, 27, 37, 45, 62, 64, 68, 83, 86, 90, 108, 153, 157, 163, 184, 185, 190, 191, 207, 232,

259, 264, 265, 266, 270, 276, 288, 296, 308, 317, 345, 382, 383, 399Efisien 44, 62, 85, 86, 108, 138, 142, 153, 154, 157, 163, 211, 250, 261, 264, 265, 285, 288,

292, 296, 302, 383Efisiensi 36, 45, 50, 51, 66, 76, 90, 138, 139, 143, 149, 150, 151, 178, 246, 258, 259, 260, 262,

272, 274, 277, 284, 286, 288, 293, 301, 304, 316, 355, 361, 362, 366, 380, 387

GGabah 22, 34, 37, 38, 61, 63, 80, 83, 88, 103, 104, 109, 114, 118, 122, 124, 125, 130, 131,

133, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 163, 164, 166, 170, 171, 172, 173, 174, 177, 183, 186, 187, 188, 189, 195, 248, 257, 258, 259, 262, 263, 264, 265, 270, 271, 272, 274, 275, 276, 288, 366

Page 446: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan414

Gebot 262Gropyokan 102, 265

HHarvester 20, 25, 27, 43, 47, 56, 58, 81, 105, 109, 114, 116, 119, 120, 121, 122, 123, 126,

130, 137, 138, 143, 151, 154, 157, 164, 174, 177, 186, 235, 257, 259, 262, 263, 264, 265, 266, 274, 276, 278, 391

Hektar 19, 90, 102, 232, 265, 391

IIndo combine harvester 264, 265Inovasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 21, 25, 28, 33, 35, 36, 39, 40, 41, 42, 43,

44, 46, 47, 51, 53, 55, 56, 65, 67, 72, 77, 78, 79, 81, 82, 90, 91, 97, 98, 115, 117, 122, 143, 149, 150, 151, 154, 156, 157, 160, 163, 180, 184, 185, 186, 198, 200, 203, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 231, 232, 233, 236, 240, 253, 254, 259, 260, 276, 283, 285, 295, 296, 304, 305, 316, 331, 332, 333, 341, 342, 344, 345, 346, 352, 357, 364, 366, 367, 371, 372, 377, 378, 383, 389, 390, 392, 393, 394, 396, 397, 398, 399, 400, 401

JJarwo super 16, 23, 25, 26, 27, 367, 392Jasa sewa 274

KKapasitas 15, 46, 114, 153, 183, 195, 203, 205, 207, 208, 213, 214, 220, 224, 259, 263, 271,

284, 286, 317, 346, 389, 396, 397, 399Kualitas 2, 34, 36, 38, 42, 45, 65, 68, 77, 87, 88, 89, 90, 114, 134, 141, 151, 155, 221, 222,

225, 231, 232, 241, 246, 247, 257, 258, 259, 260, 261, 274, 285, 286, 295, 296, 300, 306, 307, 318, 319, 320, 334, 335, 336, 337, 339, 340, 343, 363, 366, 378

Kuantitas 87, 88, 151, 155, 257, 259, 274, 355, 363

LLahan 1, 15, 19, 20, 21, 22, 25, 27, 28, 35, 36, 38, 48, 51, 54, 58, 59, 63, 67, 69, 71, 72, 74,

77, 78, 79, 80, 81, 84, 86, 87, 88, 90, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 109, 110, 113, 114, 115, 116, 128, 129, 130, 131, 133, 135, 136, 137, 140, 146, 150, 154, 155, 164, 165, 167, 170, 172, 175, 177, 178, 179, 183, 186, 192, 195, 197, 199, 215, 219, 232, 235, 243, 244, 251, 252, 257, 260, 261, 262, 263, 264, 265, 267, 268, 269, 270, 272, 273, 274, 275, 276, 277, 278, 285, 287, 288, 289, 291, 293, 297, 298, 299, 302, 303, 305, 306, 308, 309, 316, 320, 325, 327, 328, 333, 343, 354, 355, 356, 362, 363, 365, 367, 395

Losses 262, 278

MManual 81, 84, 90, 105, 122, 136, 164, 167, 177, 186, 195, 235, 262, 269, 272Mekanisasi 1, 58, 59, 154, 239, 253, 257, 258, 259, 260, 271, 277, 280Metode 68, 83, 152, 166, 213, 255, 279, 290, 313Micro harvester 264

Page 447: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 415

Mobil 263Mower 262

OOperator 84, 136, 144, 261, 263, 264, 265, 268, 269

PPascapanen 1, 97, 235, 237, 258, 262, 300, 334, 335Pendampingan 15, 108, 115, 118, 123, 144, 155, 196, 204, 214, 215, 220, 223, 224, 225,

226, 276, 300, 301, 307, 308, 332, 337, 341, 343, 346, 347, 355, 356, 357, 398, 399, 400, 401

Penyuluh 5, 116, 201, 227, 278, 279, 313, 345Pestisida nabati 20, 27, 43, 47, 83, 85, 89, 91, 99, 104, 109, 114, 116, 119, 130, 137, 143,

150, 164, 174, 177, 186, 190, 235, 396Positif 5, 6, 10, 19, 28, 39, 54, 82, 151, 157, 172, 185, 259, 266, 270, 273, 277, 305, 320, 345,

356, 369Produksi 1, 16, 19, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 40, 42, 44, 46, 48, 49,

50, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 58, 61, 63, 65, 66, 67, 68, 72, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 86, 97, 98, 99, 100, 104, 108, 113, 114, 115, 118, 119, 124, 125, 126, 129, 130, 136, 142, 143, 155, 156, 164, 166, 177, 181, 184, 193, 196, 197, 198, 199, 200, 45, 112, 204, 201, 206, 211, 213, 217, 218, 219, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 231, 232, 233, 235, 237, 238, 239, 243, 246, 247, 248, 251, 252, 253, 257, 258, 259, 262, 280, 283, 284, 286, 287, 296, 299, 300, 301, 302, 304, 305, 306, 309, 316, 320, 321, 324, 327, 328, 330, 331, 332, 334, 335, 336, 337, 338, 339, 340, 343, 344, 346, 348, 351, 352, 353, 354, 356, 358, 362, 363, 366, 367, 368, 370, 371, 377, 378, 382, 384

Produktivitas 20, 21, 22, 23, 33, 34, 36, 37, 38, 40, 43, 45, 46, 48, 51, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 62, 63, 65, 66, 72, 74, 76, 77, 78, 80, 82, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 97, 98, 99, 100, 102, 105, 108, 109, 110, 113, 114, 115, 117, 118, 123, 124, 125, 129, 130, 131, 132, 134, 140, 142, 143, 146, 151, 180, 183, 184, 192, 193, 195, 199, 203, 204, 205, 211, 215, 216, 218, 220, 223, 224, 225, 231, 232, 235, 246, 247, 257, 258, 261, 284, 286, 288, 296, 301, 304, 308, 326, 330, 332, 333, 334, 335, 336, 338, 339, 340, 343, 345, 346, 347, 351, 352, 362, 364, 365, 366, 373, 378, 381, 395

RReaper 262Regu tanam 71, 123, 195, 275, 277Respon 270, 279Riding 264

SSabit 58, 59, 262Sarana produksi 302Sawah 19, 20, 22, 27, 30, 35, 36, 48, 49, 50, 54, 55, 66, 68, 74, 77, 78, 79, 81, 82, 84, 85, 86,

87, 91, 100, 110, 113, 115, 128, 129, 130, 132, 133, 135, 136, 137, 140, 146, 150, 163, 164, 165, 168, 169, 170, 171, 179, 180, 181, 183, 186, 199, 201, 232, 243, 246, 247,

Page 448: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan416

248, 249, 252, 257, 258, 260, 261, 262, 263, 264, 265, 267, 268, 269, 272, 273, 274, 275, 276, 283, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 291, 292, 293, 294, 297, 298, 305, 362, 365, 368, 372

Swasembada 34, 53, 55, 97, 99, 152, 178, 196, 255, 257, 264, 271, 278, 288, 329, 337

TTeknis 7, 8, 43, 46, 74, 81, 82, 90, 91, 97, 101, 129, 143, 144, 145, 147, 155, 167, 179, 206,

208, 209, 210, 213, 215, 225, 231, 232, 259, 260, 268, 272, 274, 275, 289, 304, 316, 320, 341, 344, 346, 347, 392

Teknologi 1, 3, 4, 5, 8, 14, 15, 16, 19, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 51, 53, 54, 55, 56, 58, 59, 61, 63, 64, 65, 66, 67, 72, 73, 74, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 85, 90, 91, 97, 98, 99, 100, 107, 108, 109, 110, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 130, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 142, 143, 145, 149, 150, 151, 152, 154, 155, 156, 157, 160, 163, 164, 165, 166, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 177, 180, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 193, 195, 196, 197, 198, 200, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 231, 232, 233, 235, 236, 237, 240, 246, 247, 248, 249, 250, 253, 254, 255, 257, 259, 260, 269, 270, 276, 281, 283, 284, 285, 286, 291, 294, 295, 296, 297, 302, 303, 305, 307, 308, 311, 312, 316, 319, 328, 329, 331, 332, 333, 334, 335, 336, 337, 338, 339, 340, 341, 342, 343, 344, 345, 346, 347, 351, 352, 353, 354, 355, 356, 357, 362, 363, 364, 365, 366, 367, 368, 369, 370, 371, 372, 373, 389, 390, 391, 392, 393, 394, 395, 396, 397, 398, 399, 400, 401

Tenaga kerja 25, 26, 27, 44, 67, 71, 79, 83, 84, 89, 90, 91, 109, 119, 134, 143, 152, 153, 176, 194, 250, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263, 265, 270, 272, 274, 275, 276, 279, 281, 344, 367, 368, 396

Thresher 177, 258, 262, 263, 274Transplanter 20, 27, 28, 43, 44, 47, 56, 58, 63, 67, 68, 71, 81, 82, 84, 89, 90, 105, 114, 119,

123, 151, 153, 154, 157, 174, 194, 257, 258, 259, 260, 266, 272, 276, 277, 278, 279, 281, 396

Tray 68, 69, 135, 138, 258, 260, 266, 267, 276

U

Usahatani 10, 15, 16, 23, 78, 82, 90, 98, 101, 119, 124, 129, 133, 134, 143, 184, 185, 190, 195, 197, 198, 209, 210, 219, 220, 221, 223, 231, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 242, 243, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 258, 259, 260, 266, 271, 275, 276, 277, 278, 283, 284, 285, 286, 287, 290, 291, 301, 304, 305, 309, 311, 316, 333, 334, 341, 352, 354, 355, 357, 361, 365, 366, 367, 397

V

Varietas 1, 20, 21, 22, 25, 30, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 43, 44, 49, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 58, 60, 61, 62, 63, 65, 66, 75, 78, 79, 80, 83, 86, 87, 90, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 102, 103, 104, 105, 108, 110, 112, 114, 117, 118, 120, 123, 124, 125, 126, 130, 131, 133, 142, 143, 145, 150, 151, 152, 155, 163, 164, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 184, 186, 187, 188, 189, 191, 192, 193, 197, 200, 247, 258, 272, 312, 351, 352, 353, 354, 355, 356, 357, 365, 366, 367, 390

Varietas unggul baru 1, 30, 33, 34, 35, 36, 43, 49, 53, 55, 58, 65, 66, 95, 96, 97, 98, 110, 114, 117, 118, 124, 130, 131, 133, 143, 150, 151, 164, 169, 176, 184, 192, 193, 197

Page 449: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

DAFTAR PENULIS

EDITORHaris Syahbuddin. Peneliti Muda bidang Agroklimat dan Hidrologi. Sejak Tahun 1993 menjadi staf peneliti pada kelompok Peneliti Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Pangan (Balittan) Bogor. Pada tahun 1995 pindah ke Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslittanak), pada kelompok peneliti Agroklimat dan Hidrologi. Pendidikan S-3 diselesaikan di Kobe University Jepang pada Departemen for Science and Technology, Planetary and Earth Science pada tahun 2006. Email: [email protected]

Sudi Mardianto. Peneliti Muda Bidang Ekonomi Pertanian pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten, Badan Litbang Pertanian. Email: [email protected]

Wasito. Gelar Doktor dalam bidang Gizi Masyarakat Sumberdaya Keluarga (GMSK) diperoleh dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2012. Saat ini, jenjang fungsional yang dicapai adalah Peneliti Ahli Utama (IVe) di Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Fokus bidang pengkajian yang ditekuni adalah Sistem Usaha Pertanian (SUP), khususnya SUP Terintegrasi Tanaman Pangan dan Ternak, serta Perkebunan dalam Menghasilkan Pangan Sehat. Email: [email protected], wasito @pertanian.go.id.

Syahyuti. Peneliti Madya Bidang Sosiologi Pertanian. Sejak tahun 1992 bekerja sebagai peneliti bidang sosiologi pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian di Bogor. Pendidikan terakhir adalah S-3 doktor sosiologi di Universitas Indonesia, selesai tahun 2013. Selain menerbitkan puluhan paper di berbagai jurnal ilmiah, juga aktif menulis buku terutama tentang kelembagaan. Email: [email protected] atau [email protected].

Nizwar Syafaat. Berlatar belakang ekonom Bidang Ekonomi Wilayah dari Institut Pertanian Bogor. Pernah sebagai Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Direksi BUMN. Sekarang sebagai penulis lepas. Publikasi yang diterbitkan adalah Peran Sektor Pertanian dalam Perekonomian Nasional. Penerbit Lappera. Yogyakarta. Email: [email protected]

Page 450: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan418

Rachmat Hendayana. Peneliti Utama Bidang Kepakaran Ekonomi Pertanian dari Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian-Purnatugas. Anggota Tim Penilai Peneliti Instansi Kementerian Pertanian dan Tim Penilai Peneliti Riset Perkebunan Nusantara (RPN). Saat ini sebagai penyunting dan menulis buku seta mengelola jasa penerbitan buku: Global Media Publikasi. Email: [email protected]; [email protected].

KONTRIBUTORAbdul Wahid. Peneliti Madya Bidang Budidaya dan Produksi Tanaman pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Badan Litbang Pertanian. [email protected].

Agus Supriyo. Peneliti Utama Bidang Ilmu Tanah, Agroklimatologi dan Hidrologi Tanaman pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Akmal. Peneliti Madya Bidang Budidaya Produksi Tanaman pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Bambang Wijayanto. Penyuluh Pertanian Madya pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung, Badan Litbang Pertanian. [email protected].

Budi Hartoyo, Peneliti Muda Bidang Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Budi Setyono. Peneliti Madya Bidang Sosial Ekonomi Pertanian pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Eka Triana Yuniarsih. Peneliti Muda Bidang Sistem Usaha Pertanian pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Badan Litbang Pertanian. [email protected].

Erna Winarti. Peneliti Madya Bidang Nutrisi Ternak pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Page 451: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 419

Ekaningtyas Kushartanti. Penyuluh Pertanian Utama pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Fakhrina. Penyuluh Pertanian Muda Bidang Tanaman Pangan pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Fauziah Yulia Adriyani. Penyuluh Pertanian Muda pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung, Badan Litbang Pertanian. [email protected].

Hiryana Windiyani. Peneliti Pertama Bidang Budidaya Tanaman Pangan, Hortikultura & Perkebunan pada BPTP NTB. Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Idaryani. Peneliti Muda Bidang Budidaya dan Produksi Tanaman pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Badan Litbang Pertanian. [email protected].

Ika Novita Sari. Peneliti Muda Bidang Sistem Usaha Tani pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

I Putu Cakra A. Peneliti Muda Bidang Ekonomi Pertanian pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Iskandar Ishaq. Peneliti Madya Bidang Budidaya Tanaman, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Joko Triastono. Peneliti Madya Bidang Ekonomi Pertanian pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Badan Litbang Pertanian. [email protected].

Khairiah. Peneliti Madya Bidang Sistem Usaha Pertanian pada BPTP Sumatra Utara, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Khadijah El Ramija. Peneliti Madya Bidang Ilmu Lingkungan dan Pencemaran Sumberdaya Alam pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Page 452: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan420

Khasnil. Penyuluh Pertama pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Kiswanto. Penyuluh Pertanian Madya pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung, Badan Litbang Pertanian. [email protected].

Liferdi Lukman. Peneliti Madya Bidang Budidaya Tanaman pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Matheus Sariubang. Peneliti Utama Bidang Keahlian Fisiologi Reproduksi pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Meksy Dianawati. Peneliti Madya, Bidang Budidaya Tanaman Pangan, Hortikultura Dan Perkebunan, pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. [email protected]

M. Yasin. Calon Peneliti Bidang Sosial Ekonomi Pertanian pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Muhammad Yasin. Peneliti Utama Bidang Pertanian pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Badan Litbang Pertanian. yasin311962.yahoo.com

Muslimin. Peneliti Muda Bidang Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Musfal. Peneliti Madya Bidang Budidaya dan Produksi Tanaman pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Nazaruddin Hutapea. Penyuluh Madya pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Nely Lade. Peneliti Pertama Bidang Budidaya Tanaman pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Paulina Evy Retnaning Prahardini. Peneliti Madya, Bidang Pemuliaan Tanaman pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Page 453: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN

Model Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian PerdesaanModel Diseminasi dan Pola Adopsi Teknologi dalam Perspektif Pembangunan Pertanian Perdesaan 421

Putri Nirwana Sari. Penyuluh Pertama pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Repelita Kallo. Penyuluh Muda Bidang Pasca Panen pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Retna Qomariah. Peneliti Madya Bidang Sistem Usaha Pertanian pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Badan Litbang Pertanianan. [email protected]

Rohmad Budiono. Peneliti Muda Bidang Agronomi pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Sabar Untung. Penyuluh Pertanian Pertama Bidang Budidaya Pertanian pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Sumanto. Peneliti Madya Bidang Budidaya Tanaman pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Sylvia Kusumaputri Utami. Peneliti Muda Bidang Sosial Ekonomi Pertanian pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Tota Suhendrata. Peneliti Utama Bidang Sistem Usaha Pertanian pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Tri Sudaryono. Peneliti Utama, Bidang Pemuliaan Tanaman pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Yanuar Pribadi. Penyuluh Pertanian Madya bidang Sosial Ekonomi Pertanian pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Yohanes Geli Bulu. Peneliti Madya Bidang Sosiologi Pedesaan pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, Badan Litbang Pertanian. [email protected]

Page 454: bbpengkajian.litbang.pertanian.go.idbbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/images/Download/buku...MODEL DISEMINASI DAN POLA ADOPSI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN PERTANIAN PERDESAAN