Upload
lamngoc
View
239
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
4 Hasil dan Pembahasan
4.1 Sintesis Polistiren
Polistiren disintesis dari monomer stiren melalui reaksi polimerisasi adisi dengan inisiator
benzoil peroksida. Pada sintesis polistiren ini, terjadi tahap inisiasi dimana benzoil peroksida
bereaksi, dikarenakan adanya pemanasan, untuk menghasilkan dua buah radikal. Senyawa
radikal ini selanjutnya akan bereaksi dengan ikatan rangkap dari monomer stiren, sehingga
monomer menjadi bersifat radikal. Setalah itu, monomer radikal ini akan melakukan reaksi
propagasi dengan monomer lain melalui ikatan rangkapnya. Hal ini terjadi secara terus-
menerus sampai monomer habis. Reaksi diakhiri dengan tahap terminasi dimana dua
senyawa radikal saling bereaksi dan membentuk senyawa produk yang stabil. Reaksi
polimerisasi adisi pada sintesis polistiren ini dibantu oleh pemanasan, terutama pada tahap
inisiasinya. Oleh karena itu, pada proses polimerisasi dalam reaktor digunakan pemanasan
pada suhu 800C. Dalam penelitian ini, dilakukan dua kali sintesis polistiren yang
menghasilkan rendemen sebesar 69,31% dan 81,18%. Besarnya rendemen dipengaruhi oleh
proses polimerisasi dan pemurniannya. Polistiren yang didapat berwarna putih dan berbentuk
butiran atau serabut. Massa molekul polistiren hasil sintesis yang ditentukan dengan metoda
viskometri ini adalah 74,42 x 103 g/mol.
4.1.1 Analisis Gugus Fungsi
Analisis gugus fungsi bertujuan untuk meneliti gugus-gugus yang berada dalam polimer.
Spektrum FTIR polistiren dapat dilihat pada gambar 4.1. Pada spektrum tersebut terdapat
puncak serapan pada bilangan gelombang 3000cm-1 - 3100cm-1 yang menunjukkan adanya
gugus C-H aromatik dan pada bilangan gelombang 1400cm-1 - 1600cm-1 yang merupakan
puncak serapan yang khas untuk sistem aromatik. Selain itu, terdapat juga puncak serapan
pada bilangan gelombang sekitar 700cm-1 - 750cm-1 yang menunjukkan monosubstitusi
aromatik. Pada bilangan gelombang 3400cm-1 terdapat puncak yang diduga merupakan
puncak dari gugus O-H dari air. Adanya puncak ini menunjukkan masih adanya pengotor,
seperti pelarut dalam polistiren yang disintesis.
25
50075010001250150017502000250030003500400045001/cm
70
75
80
85
90
95
100
%T
3427
.51
3078
.39
3059
.10
3026
.31
2922
.16
2850
.79
1600
.92 14
90.9
714
48.5
4
1371
.39
1321
.24
1068
.56
1026
.13
906.
54
752.
2470
0.16
538.
14
Polistiren
Gambar 4.1 Spektrum FTIR polistiren
Tabel 4.1 menunjukkan data bilangan gelombang puncak-puncak yang muncul pada
spektrum FTIR polistiren hasil sintesis.
Tabel 4. 1 Puncak serapan FTIR polistiren
No Bilangan gelombang ( cm-1) Gugus fungsi
1 3026,31; 3059,10; dan 3078,39 =C-H aromatik
2 1448,54; 1490,97; dan 1600,92 Sistem aromatik
3 700,16 dan 752,24 Monosubsitusi aromatik
4.1.2 Analisis Termal
Analisis termal bertujuan untuk mengidentifikasi laju dekomposisi polimer. Analisis termal
dilakukan dengan metoda TGA/DTA dan hasilnya berupa termogram yang menunjukkan
kurva antara % massa yang tersisa terhadap suhu. Termogram untuk polistiren dapat dilihat
dari gambar 4.2.
26
Gambar 4.2 Termogram polistiren
Kurva berwarna biru menunjukkan jumlah % massa polimer yang tersisa pada suhu tertentu.
Dari termogram polistiren dapat dilihat bahwa polistiren sudah mulai terdegradasi pada suhu
sekitar 147,50C. Pada suhu 268,70C - 3950C polistiren telah terdekomposisi sebesar 3,2%.
Setelah suhu 395,00C polistiren terdekomposisi secara drastis sampai suhu 411,40C. Massa
yang hilang terdekomposisi dimulai pada suhu 147,50C diduga merupakan massa dari
pengotor yang ada dalam polimer. Termogram polistiren murni seharusnya tidak
menunjukkan dekomposisi pada suhu di sekitar 1500C, melainkan langsung terdekomposisi
secara drastis pada suhu di sekitar 3900C - 4000C. Tabel 4.2 menunjukkan % massa polimer
tersisa pada suhu tertentu.
Tabel 4.2 Data TGA polistiren
No Suhu (0C) % massa polistiren
1 268,7 96,8
2 395,0 96,2
3 411,4 94,0
4 427,6 2,0
4.2 Sintesis Polistiren Tersulfonasi
Polistiren tersulfonasi disintesis dari reaksi antara polistiren dengan agen sulfonasi, yaitu
asetil sulfat. Asetil sulfat disintesis dengan mereaksikan anhidrida asetat dan H2SO4 pekat
27
dalam pelarut diklorometana. Pada reaksi sulfonasi ini, gugus sulfonat akan mensubstitusi
atom H yang berada pada posisi para rantai aromatik. Polistiren tersulfonasi disintesis
dengan empat variasi waktu, yaitu 15, 30, 45, dan 60 menit dengan tujuan untuk melihat
pengaruh waktu sulfonasi terhadap nilai derajat sulfonasi dan pengaruhnya pada polyblend
yang dibuat.
Pada sintesis asetil sulfat, diklorometana berfungsi sebagai pelarut, sedangkan anhidrida
asetat berfungsi untuk menyerap air agar tidak ikut bereaksi. Anhidrida asetat digunakan
pada sulfonasi karena sifatnya yang higroskopis. Reaksi pembentukan asetil sulfat ini harus
dilakukan dalam keadaan inert. Oleh karena itu, pada saat reaksi dialirkan gas N2. Suhu pada
saat pembuatan asetil sulfat ini adalah 00C yang bertujuan agar tidak terjadi bumping pada
saat penambahan H2SO4 pekat.
Proses sulfonasi polistiren juga dilakukan pada suasana inert dengan mengalirkan gas N2.
Sulfonasi dilakukan pada suhu 400C karena suhu tersebut merupakan suhu optimal untuk
proses sulfonasi. Hasil reaksi sulfonasi polistiren berupa larutan berwarna kuning pekat.
Setelah sulfonasi selesai, ditambahkan larutan 2-propanol dengan volume sepuluh kali lipat
dari pelarut diklorometana yang digunakan untuk melarutkan polistiren. Penambahan 2-
propanol berfungsi untuk menghentikan reaksi. Hasil sintesis polistiren tersulfonasi
dimurnikan kembali untuk menghindari kemungkinan adanya pengotor pada polimer hasil
sintesis. Pemurnian polistiren tersulfonasi dilakukan dengan perendaman dalam air
mendidih. Setelah proses pemurnian, polistiren tersulfonasi yang awalnya berwarna
kekuningan menjadi berwarna putih. Polistiren tersulfonai ini bersifat higroskopis, sehingga
harus dikeringkan dan disimpan dalam desikator sebelum ditimbang massanya. Dari empat
polistiren tersulfonasi yang disintesis dalam penelitian ini, didapatkan rendemen seperti
terlihat pada tabel 4.3 berikut.
Tabel 4.3 Data rendemen polistiren tersulfonasi
Waktu sulfonasi Massa polistiren tersulfonasi Rendemen (%)
15 menit 2,2071 gram 110,09 %
30 menit 2,1059 gram 105,30 %
45 menit 1,9982 gram 99,91 %
60 menit 2,6000 gram 130,00 %
Rendemen polistiren tersulfonasi yang didapatkan berada pada sekitar 90%-130%. Nilai
rendemen ini bergantung pada proses sulfonasi, pemurnian, dan penyimpannya. Massa
molekul polistiren tersulfonasi hasil sintesis dengan menggunakan metoda viskometri adalah
40,95 x 103 g/mol. Jika dibandingkan dengan massa molekul polistiren hasil sintesis, nilai
28
massa molekul polistiren tersulfonasi lebih rendah. Hal ini menunjukkan terjadinya
penurunan massa molekul saat proses sulfonasi dikarenakan proses pemanasan.
Pembuatan polistiren tersulfonasi dengan berbagai variasi waktu diduga akan mempengaruhi
nilai derajat sulfonasi polistiren. Oleh karena itu, dilakukan perhitungan derajat sulfonasi
untuk meneliti hal tersebut. Penentuan derajat sulfonasi dilakukan dengan metoda titrasi
asam-basa dimana gugus sulfonat sebagai asamnya dititrasi dengan larutan NaOH sebagai
basanya. Polistiren tersulfonasi yang akan dititrasi dilarutkan terlebih dahulu dalam larutan
toluen:metanol (9:1). Penggunaan campuran pelarut ini dikarenakan sifat polistiren
tersulfonasi sedikit bersifat polar. Gugus sulfonat memberikan sifat polar, namun sifat polar
ini juga bergantung dari jumlah gugus sulfonat yang menempel pada polistiren. Oleh karena
itu, digunakan juga pelarut lain yang bersifat nonpolar untuk membantu proses pelarutan.
Larutan polistiren tersulfonasi dalam pelarut toluen:metanol (9:1) berwarna putih. Untuk
menyamakan suasana larutan, pembuatan dan pembakuan NaOH juga dilakukan dalam
pelarut metanol. Hasil analisis derajat sulfonasi dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini.
Tabel 4.4 Derajat sulfonasi polistiren tersulfonasi
No Polimer Waktu sulfonasi (menit) % sulfonasi
1 PSS 1 15 14,68
2 PSS 2 30 17,57
3 PSS 3 45 17,98
4 PSS 4 60 19,81
4.2.1 Analisis Gugus Fungsi
Spektrum FTIR polistiren tersulfonasi menunjukkan terdapatnya gugus-gugus yang juga
terdapat pada spektrum FTIR polistiren. Perbedaannya adalah adanya puncak baru yang
muncul pada bilangan gelombang 1100cm-1 - 1300cm-1 yang menunjukkan puncak serapan
untuk gugus SO2. Gambar 4.3 menunjukkan spektrum FTIR untuk polistiren yang
disulfonasi selama 60 menit (PSS 4).
29
50075010001250150017502000250030003500400045001/cm
65
70
75
80
85
90
95
100
%T
3448
.72
3078
.39
3026
.31
2922
.16
2850
.79
1600
.92
1490
.97
1448
.54
1371
.39
1321
.24
1224
.80
1182
.36
1064
.71
1026
.13
754.
17
698.
23
576.
7253
8.14
PSS3
Gambar 4.3 Spektrum FTIR PSS 4
4.3 Sintesis Kitosan
Kitosan disintesis dari reaksi deasetilasi kitin. Kitin diisolasi dari kulit udang. Isolasi kitin
meliputi tahap deproteinasi dan demineralisasi. Proses deproteinasi dilakukan dengan
mereaksikan kulit udang yang telah dihaluskan dengan larutan NaOH 3,5% (b/v) dengan
perbandingan 1:10. Proses demineralisasi dilakukan dengan mereaksikan kulit udang yang
telah dideproteinasi dengan larutan HCl 1M. Pada proses deproteinasi dan demineralisasi
terjadi reaksi pelarutan protein dan mineral yang terdapat dalam kulit udang. Proses
deasetilasi dilakukan dengan mereaksikan kitin dengan larutan NaOH 50% (b/v) pada suhu
1000C. Reaksi dilakukan pada suhu tinggi agar reaksi hidrolisis dapat berlangsung dengan
maksimal. Untuk menunjukkan bahwa hasil deasetilasi merupakan kitosan, dapat dilakukan
uji kualitatif dengan proses pelarutan kitosan hasil deasetilasi dalam larutan asam asetat 2%
(v/v). Pada penelitian ini, kitosan dideasetilasi sampai tiga kali karena setelah deasetilasi
yang pertama dan kedua, kitosan yang didapatkan belum larut sempurna dalam asam asetat
2% dan diasumsikan belum dapat disebut sebagai kitosan. Pelarutan sempurna baru
didapatkan dari kitosan hasil deasetilasi ketiga. Oleh karena itu, setelah uji kelarutan
menghasilkan hasil positif, barulah kemudian dilakukan analisis lebih lanjut, yaitu analisis
gugus fungsi dan derajat deasetilasi. Tabel 4.5 menunjukkan data rendemen kitin hasil isolasi
dan kitosan setelah proses deasetilasi.
30
Tabel 4.5 Rendemen proses pembuatan kitosan
Proses Massa rendemen Rendemen (%w/w)
Deproteinasi 28,7151 gram 57,28 %
Demineralisasi 16,2222 gram 32,36 %
Deasetilasi (1) 15,1538 gram 30,23 %
Deasetilasi (2) 13,8326 gram 27,59 %
Deasetilasi (3) 12,3943 gram 24,72 %
Dari hasil analisis massa molekul kitosan yang ditentukan dengan metode viskometri
didapatkan bahwa massa molekul kitosan yang telah disintesis adalah 1,07 x 106 g/mol.
4.3.1 Analisis Gugus Fungsi
Dari hasil analisis gugus fungsi menggunakan FTIR didapatkan bahwa spektrum FTIR untuk
kitin dan kitosan (gambar 4.4 dan 4.5) hampir mirip, yaitu terdapat puncak khas pada
bilangan gelombang 3450 cm-1 yang merupakan bilangan gelombang gugus hidroksil dan
1655 cm-1 yang merupakan bilangan gelombang gugus asetamida. Perbedaan antara
spektrum FTIR kitin dan kitosan terletak pada intensitasnya. Pada spektrum FTIR kitosan,
terjadi kenaikan % transmitan puncak asetamida. Hal ini dikarenakan setelah proses
deasetilasi gugus asetamida pada kitin berubah menjadi gugus amina. Dari spektrum FTIR
kitosan dapat dihitung nilai derajat deasetilasi kitosan. Dari hasil penelitian, didapatkan
bahwa derajat deasetilasi kitosan adalah 62,41%.
31
Gambar 4.4 Spektrum FTIR kitin
Gambar 4.5 Spektrum FTIR kitosan
32
4.4 Pembuatan Membran Polyblend
Membran polyblend dibuat dengan metoda pelelahan dengan alat hot-pressed. Latar
belakang digunakannya metoda ini adalah karena tidak ditemukannya pelarut yang cocok
untuk mencampurkan polimer polistiren tersulfonasi dan kitosan. Membran polyblend yang
didapatkan bersifat tidak homogen. Hal ini dikarenakan kitosan tidak dapat meleleh,
sehingga kitosan dalam membran tersebut terlihat seolah-olah terjebak dalam campuran
polistiren dan kitosan. Data massa masing-masing polimer yang digunakan untuk pembuatan
polyblend dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut ini.
Tabel 4.6 Komposisi polimer penyusun polyblend
Campuran polimer Massa polistiren Massa polistiren tersulfonasi Massa kitosan
PS:Kit (8:2) 0,8006 gram - 0,2007 gram
PS:PSS1:Kit (8:1:1) 0,8000 gram 0,1047 gram 0,1014 gram
PS:PSS2:Kit (8:1:1) 0,8007 gram 0,1113 gram 0,1008 gram
PS:PSS3:Kit (8:1:1) 0,8011 gram 0,1009 gram 0,1012 gram
PS:PSS4:Kit (8:1:1) 0,8014 gram 0,1025 gram 0,1029 gram
4.5 Karakterisasi Polyblend
4.5.1 Analisis Gugus Fungsi
Analisis gugus fungsi dilakukan dengan metoda FTIR. Gambar 4.6 sampai 4.8 menunjukkan
berturut-turur spektrum FTIR untuk polyblend PS:Kitosan (8:2), PS:PSS1:Kitosan (8:1:1),
dan PS:PSS4:Kitosan (8:1:1). Dari hasil spektrum FTIR polyblend terlihat puncak-puncak
serapan gugus fungsi polimer penyusun polyblend. Pada spektrum FTIR polyblend yang
mengandung polistiren tersulfonasi seharusnya terdapat puncak pada bilangan gelombang
800cm-1 - 860cm-1. Namun, dari kedua spektrum FTIR yang dianalisis, puncak pada bilangan
gelombang tersebut tidak terlalu tajam. Hal ini diduga karena derajat sulfonasi yang hanya
sekitar 14% - 20%. Tabel 4.7 menunjukkan data puncak serapan dalam spektrum FTIR
polyblend.
Tabel 4.7 Puncak serapan FTIR polyblend
Polyblend Bilangan gelombang (cm-1) Gugus fungsi
PS:Kitosan (8:2)
3448, 72 O-H
3078,39 =C-H aromatik
1656,85 C=O asetamida
33
1448,54; 1490,97; dan 1600,92 Sistem aromatik
752,24 Monosubstitusi
aromatik
PS:PSS1:Kitosan
(8:1:1)
3448,72 O-H
2924,09 =C-H aromatik
1656,85 C=O asetamida
1379,10 -SO2
1448,54; 1490,97; dan 1600,92 Sistem aromatik
746,45 Monosubstitusi
aromatik
PS:PSS4:Kitosan
(8:1:1)
3448,72 O-H
3076,46 =C-H aromatik
1600,92 C=O asetamida
1373,32 -SO2
1448,54; 1490,97; dan 1600,92 Sistem aromatik
752,24 Monosubstitusi
aromatik
50075010001250150017502000250030003500400045001/cm
70
75
80
85
90
95
100
%T
4037
.01
3448
.72
3078
.39
2922
.16
2850
.79
1944
.25
1874
.81
1803
.44
1656
.85
1600
.92
1490
.97
1448
.54
1375
.25 13
25.1
0
1066
.64
1024
.20
906.
54
752.
2469
8.23
623.
01
536.
21
PS:Kit Gambar 4.6 Spektrum FTIR PS:Kitosan (8:2)
34
Gambar 4.7 Spektrum FTIR PS:PSS1:Kitosan (8:1:1)
Gambar 4.8 Spektrum FTIR PS:PSS4:Kitosan (8:1:1)
35
4.5.2 Analisis Swelling, Ion Exchange Capacity (IEC), dan Konduktivitas
Pengukuran analisis swelling, Ion Exchange Capacity (IEC), dan konduktivitas dilakukan
pada membran polistiren, polistiren tersulfonasi, dan kitosan, serta membran polyblend-nya.
Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh ketiga polimer tersebut terhadap sifat-sifat
polyblend yang dibuat. Swelling berkaitan dengan kemampuan rantai polimer untuk
merenggang, sehingga pergerakan molekul-molekul di dalamnya menjadi lebih mudah. Hal
ini berkaitan dengan IEC dan konduktivitas membran untuk diaplikasikan dalam PEMFC.
IEC berhubungan dengan kemampuan gugus-gugus dalam polimer untuk mengikat proton
yang ada dalam larutan, sedangkan konduktivitas berhubungan dengan kemampuan
membran untuk menghantarkan proton dari satu sisi ke sisi lainnya seiring dengan
mengalirnya elektron di sirkuit listrik. Proses transfer proton ini juga melibatkan gugus-
gugus fungsi yang dapat menukarkan kation. Pada polyblend yang dibuat, gugus yang
diharapkan dapat mendukung aktivitas penukar ion dan konduktivitas adalah gugus sulfonat
pada polistiren tersulfonasi dan gugus amina pada kitosan. Tabel 4.8 menunjukkan hasil
ketiga analisis tersebut.
Tabel 4.8 Data swelling, Ion Exchange Capacity (IEC), dan konduktvitas
Membran Swelling (%) IEC (meq/g) Konduktivitas (x10-5 S/cm)
PS 1,98 0,00 0,6810
Kitosan 40,44 1,37 51,4706
PSS 1 15,66 2,55 0,0283
PSS 2 13,49 6,18 0,0667
PSS 3 6,23 6,64 0,0950
PSS 4 11,53 4,98 0,0530
PS:Kit (8:2) 3,04 0,76 1,7435
PS:PSS 1: Kit (8:1:1) 2,18 2,82 0,8801
PS:PSS 2:Kit (8:1:1) 2,21 0,75 0,6428
PS:PSS 3:Kit (8:1:1) 3,88 4,75 0,9480
PS:PSS 4:Kit (8:1:1) 2,56 6,02 0,4053
Dari tabel 4.8 dapat dilihat bahwa jika dibandingkan antara polistiren, polistiren tersulfonasi,
dan kitosan, nilai terbesar untuk analisis swelling dan konduktivitas didapatkan dari
membran kitosan. Hal ini dikarenakan sifatnya yang lebih elastis jika dibandingkan dengan
PS dan PSS. Polimer yang elastis biasanya mudah melakukan pergerakan molekul-
molekulnya, sehingga cenderung lebih mudah untuk mengalami penggembungan atau
36
membuka rantai polimernya. Hal ini mempermudah juga kemampuan membran untuk
mengalirkan proton. Oleh karena itu, nilai konduktivitas yang tinggi juga didapatkan dari
membran kitosan. Di sisi lain, untuk analisis IEC didapatkan nilai yang tinggi pada PSS. Hal
ini diduga karena gugus fungsi yang terdapat dalam PSS lebih banyak daripada dalam
kitosan. Hal ini berkaitan dengan nilai derajat deasetilasi kitosan yang hanya bernilai
62,41%. Jika dibandingkan antara empat jenis PSS yang disintesis, dapat dilihat bahwa
semakin tinggi derajat sulfonasi, maka nilai IEC juga semakin tinggi. Namun, terjadi
penurunan nilai IEC pada PSS 4. Hal ini diduga karena pada jumlah gugus sulfonat yang
lebih banyak dapat terjadi ikatan silang antar rantai polimer.
Jika dibandingkan antara kelima jenis polyblend yang dibuat, tidak didapatkan keteraturan
seiring dengan meningkatnya waktu sulfonasi, namun jika dilihat secara umum, didapatkan
nilai optimal untuk analisis swelling dan konduktivitas adalah pada polyblend yang
menggunakan PSS 3, sedangkan nilai optimal untuk analisis IEC adalah pada polyblend yang
mengandung PSS 4.
4.5.3 Analisis Kekuatan Mekanik
Analisis kekuatan mekanik dilakukan pada membran PS, dan 5 jenis membran polyblend
dengan komposisi tertentu. Hasil analisis kekuatan mekanik dapat dilihat pada tabel 4.9.
Tabel 4.9 Data uji tarik
Membran Stress at break
(kgf/mm2)
Strain at break
(%)
Modulus Elastisitas
PS 2,6432 1,24 212,61
PS : Kitosan 0,6630 0,85 88,79
PS : PSS 1 : Kitosan 1,1468 1,03 123,24
PS : PSS 2 : Kitosan 1,5131 1,10 137,20
PS : PSS 3 : Kitosan 1,1293 0,87 134,59
PS : PSS 4 : Kitosan 1,4671 1,12 131,16
Hasil uji tarik menunjukkan bahwa membran yang memiliki nilai stress dan strain at break,
serta Modulus Elastisitas yang tertinggi adalah membran PS. Hal ini menunjukkan bahwa PS
memberikan peran dalam meningkatkan kekuatan mekanik pada polyblend. Kekuatan
mekanik PS diberikan oleh ikatan rantainya yang mengandung gugus aromatik. Gugus
aromatik cenderung stabil, sehingga atom-atom antar molekulnya sulit untuk bergerak jika
diberikan gaya. Berbeda halnya dengan polimer yang bersifat elastis. Polimer elastis
biasanya memiliki nilai perpanjangan (elongation) yang besar karena pergerakan atom dalam
37
molekulnya cenderung mudah. Jika dibandingkan antara kelima membran polyblend yang
dibuat, tidak didapatkan keteraturan kekuatan mekanik antara polyblend yang satu dengan
yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh tidak homogennya membran yang dibuat. Akan tetapi,
secara umum nilai stress at break, strain at break, dan Modulus Elastisitasnya berada pada
rentang nilai yang tidak berbeda terlalu jauh. Nilai Modulus Elastisitas tertinggi didapatkan
oleh polyblend PS : PSS 2 : Kitosan.
4.5.4 Analisis Termal
Analisis termal polyblend dilakukan terhadap membran polyblend dengan komposisi
PS:Kitosan (8:2), PS:PSS1:Kitosan (8:1:1), dan PS:PSS4:Kitosan (8:1:1). Pada analisis ini
diidentifikasi kestabilan termal polyblend dari suhu dekomposisinya. Gambar 4.9 sampai
4.11 menunjukkan berturut-turut termogram TGA/DTA untuk ketiga polyblend tersebut.
Dari gambar 4.2 dapat dilihat bahwa polistiren mulai terdekomposisi pada suhu 147,50C
yang merupakan dekomposisi dari pengotor. Pada suhu 226,70C, massa polyblend telah
mulai berkurang sekitar 2,8%, kemudian berlanjut dengan dekomposisi yang cukup tinggi
sampai pada suhu 398,80C. Pada rentang suhu 226,70C-398,80C terjadi penurunan massa
sebesar 13,1% yang diakibatkan dekomposisi kitosan. Setelah itu, terjadi dekomposisi yang
cukup drastis sampai suhu 413,80C.
Gambar 4.9 Termogram PS:Kitosan (8:2)
38
Gambar 4.10 Termogram PS:PSS1:Kitosan (8:1:1)
Gambar 4.11 Termogram PS:PSS4:Kitosan (8:1:1)
Dari gambar 4.10 dan 4.11 dapat dilihat termogram TGA/DTA polyblend yang mengandung
PSS 1 dan PSS 4. Secara kasat mata, pola kurva dari kedua termogram tersebut hampir sama.
Kedua termogram menunjukkan bahwa sampai sekitar suhu 147,50C terjadi dekomposisi
sekitar 2% - 4%. Setelah itu, dilanjutkan dengan dekomposisi sekitar 5% - 9% pada rentang
suhu 147,50C - 409,60C dan dekomposisi secara drastis sampai suhu ±4200C. Data %massa
polyblend terhadap suhu ditunjukkan pada tabel 4.10 berikut ini. Dari data ini dapat
disimpulkan bahwa semakin bertambah komponen penyusun polyblend dalam penelitian ini,
maka kestabilan termalnya cenderung menurun.
Tabel 4.10 Data TGA polyblend
No Polyblend Suhu (0C) %massa polistiren
1 PS:Kitosan (8:2)
226,7 97,2
398,8 84,1
413,8 74,1
428,3 9,1
499,0 8,2
2 PS:PSS1:Kitosan
(8:1:1)
226,7 97,5
409,6 91,9
39
424,7 87,4
439,9 4,1
499,0 3,8
3 PS:PSS4:Kitosan
(8:1:1)
226,6 96,4
410,8 87,7
425,4 46,8
439,8 6,3
496,9 5,8