Upload
hadat
View
228
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Isolasi Kitin dan Kitosan
Isolasi kitin dan kitosan yang dilakukan pada penelitian ini mengikuti metode isolasi kitin
dan kitosan dari kulit udang yaitu meliputi tahap deproteinasi, demineralisasi, dan
deasetilasi. Pada isolasi kitin dari tulang dan duri bandeng ini, sampel yang digunakan harus
dalam keadaan segar untuk meminimalkan terjadinya biodegradasi. Hasil yang diperoleh dari
tiap tahapan isolasi diberikan pada Tabel 4. 1.
Tabel 4. 1. Reduksi massa sampel selama proses isolasi
Sumber sampel m0 (massa awal sampel)
m1 (massa setelah deproteinasi)
m2 (massa setelah demineralisasi)
Tulang ikan bandeng 600 g 449,35 g 13,1013 g
Duri ikan bandeng 275,7 g 77,19 g 9,9112 g
Dari hasil yang terdapat pada Tabel 4. 1, dapat dilihat bahwa reduksi massa terbesar terjadi
setelah proses demineralisasi. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa kandungan terbesar dalam
tulang dan duri ikan adalah mineral. Mineral-mineral tersebut dapat dihilangkan dari tulang
dan duri bandeng dengan menggunakan asam klorida karena akan membentuk senyawa ionik
dengan klorida. Senyawa ionik yang terbentuk ini akan larut dalam air sehingga dapat
dipisahkan dari residu melalui penyaringan. Salah satu mineral yang terdapat dalam tulang
dan duri ikan bandeng adalah kalsium karbonat dan proses yang terjadi pada proses
penghilangan kalsium disebut dekalsifikasi. Reaksi dekalsifikasi diberikan oleh persamaan
(4.1) berikut:
CaCO3(s) + HCl(aq) → CaCl2(aq) + H2O(l) + CO2(g) (4.1)
Proses pencucian produk yang diperoleh dari tiap tahapan isolasi hingga tercapai pH netral
merupakan prosedur kerja yang juga sangat penting untuk menghindari terjadinya degradasi
lebih lanjut oleh senyawa kimia seperti asam. Setelah proses demineralisasi dan penentuan
derajat deasetilasi (bab Hasil dan Pembahasan, sub bab Penentuan Derajat Deasetilasi),
produk yang diperoleh dari tulang ikan bandeng sudah merupakan kitosan dengan persen
rendemen sebesar 5,18%, sedangkan dari duri ikan bandeng diperoleh produk yang masih
merupakan kitin dengan persen rendemen 3,59%. Kitin dan kitosan yang diperoleh dari duri
dan tulang bandeng ini dapat dilihat pada Gambar 4. 1. Bila dibandingkan dengan kulit
udang dan kepiting (bab Tinjauan Pustaka, sub bab Kitin), kadar kitin/ kitosan dari limbah
bandeng ini memiliki kadar yang lebih kecil. Hal ini disebabkan karena tulang maupun duri
yang terdapat pada bagian dalam tubuh ikan tidak berfungsi sebagai pertahanan tubuh dari
lingkungan luar sehingga tidak dibutuhkan sifat fisik yang terlalu keras seperti halnya kulit
udang maupun cangkang kepiting.
Gambar 4. 1. (a) Kitosan tulang bandeng; (b) Kitin duri bandeng
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, hasil isolasi yang diperoleh dari tulang ikan
bandeng langsung berupa kitosan sedangkan dari duri ikan bandeng masih berupa kitin. Hal
ini kemungkinan disebabkan karena kitin yang terdapat pada duri ikan bandeng lebih
terlindungi oleh senyawa-senyawa lainnya, sedangkan kitin pada tulang ikan lebih tidak
terlindungi sehingga lebih mudah terisolasi. Selain itu, melalui hasil ini juga dapat diketahui
bahwa melalui proses deproteinasi dengan NaOH telah terjadi deasetilasi kitin tulang
bandeng sehingga apabila diinginkan kitin dari tulang bandeng proses deproteinasi dapat
dilakukan dengan menggunakan kondisi basa yang lebih ’lembut’.
Reaksi deasetilasi kitin merupakan reaksi hidrolisis amida dalam larutan basa. Hidrolisis
basa suatu amida memiliki mekanisme yang serupa dengan reaksi penyabunan ester. Ion OH-
dari basa menyerang karbon karbonil yang bersifat elektropositif sehingga oksigen yang
terikat pada karbon karbonil bermuatan negatif. Untuk menstabilkan muatan negatif oksigen
tersebut, maka terjadi eliminasi amina. Dalam proses deasetilasi kitin, amina yang
tereliminasi merupakan amina primer yaitu kitosan.
4.2 Analisis Gugus Fungsi
Produk hasil demineralisasi tulang (kitosan) dan duri ikan bandeng (kitin) dikarakterisasi
dengan spektroskopi inframerah untuk memastikan bahwa produk yang terbentuk merupakan
kitin/ kitosan dengan melihat gugus-gugus fungsi yang khas bagi kitin/ kitosan. Sebagaimana
24
yang telah dijelaskan pada bab Tinjauan Pustaka mengenai Spektroskopi Inframerah Kitin,
bilangan-bilangan gelombang utama yang harus diperhatikan adalah pada daerah 1650 cm-1
dan 3450 cm-1. Daerah bilangan gelombang 1650 cm-1 merupakan bilangan gelombang bagi
vibrasi ulur C=O amida sedangkan bilangan gelombang 3450 cm-1 merupakan daerah
bilangan gelombang bagi vibrasi ulur O–H hidroksil.
Dari spektrum inframerah produk demineralisasi duri dan tulang ikan bandeng (Gambar 4. 2
dan Gambar 4. 3), produk yang diperoleh dapat diduga sebagai kitin. Hal ini dibuktikan
dengan adanya puncak pada bilangan gelombang 1650 cm-1 dan 3450 cm-1. Namun jenis
kitin yang terdapat pada tulang dan duri ikan bandeng ( α- atau β-kitin) tidak dapat diketahui
dengan pasti. Secara kasad mata, puncak yang terdapat pada daerah bilangan gelombang
1650 cm-1 pada spektrum inframerah kitin dan kitosan dari duri dan tulang bandeng ini
memang bukan merupakan puncak tunggal. Namun, karena pembelahan yang terjadi juga
tidak terlihat jelas, maka kemungkinan terdapat campuran α- dan β-kitin yang lebih
didominasi oleh α-kitin.
Nilai-nilai serapan produk yang diperoleh dari tulang dan duri ikan bandeng dapat dilihat
pada Tabel 4. 2.
Tabel 4. 2. Nilai-nilai serapan inframerah produk deasetilasi tulang dan duri ikan bandeng
Bilangan gelombang (cm-1)
Produk demineralisasi tulang ikan bandeng
Produk demineralisasi duri ikan bandeng
Keterangan
1639,49 1629,85 Vibrasi ulur C=O amida
3446,79 3446,79 Vibrasi ulur O–H
25
Gambar 4. 2. Spektrum inframerah kitin duri bandeng
Gambar 4. 3. Spektrum inframerah kitosan tulang bandeng
26
4.3 Penentuan Derajat Deasetilasi
Derajat deasetilasi kitin dan kitosan yang diperoleh dari duri dan tulang ikan bandeng
ditentukan dengan menggunakan baseline (a) (Tinjauan Pustaka sub bab Penentuan Derajat
Deasetilasi) pada spektrum inframerahnya masing-masing (Gambar 4. 4 dan Gambar 4. 5).
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan persamaan (3) dan (4), absorbans pada
daerah bilangan gelombang 1650 cm-1 dan 3450 cm-1 pada duri ikan bandeng berturut-turut
adalah 0,63 dan 0,64. Sedangkan untuk tulang ikan bandeng diperoleh nilai absorbans 0,27
pada daerah bilangan gelombang 1650 cm-1 dan 0,84 pada daerah bilangan gelombang 3450
cm-1. Dengan membandingkan nilai absorbans pada daerah bilangan gelombang 1650 cm-1
terhadap absorbans pada daerah bilangan gelombang 3450 cm-1 sesuai dengan persamaan (1),
diperoleh nilai derajat deasetilasi sebesar 75,83% untuk tulang ikan bandeng dan 25,99%
untuk duri ikan bandeng.
Nilai-nilai absorbans pada daerah bilangan gelombang 1650 cm-1 dan 3450 cm-1 serta
besarnya derajat deasetilasi untuk tulang dan duri ikan bandeng terdapat pada Tabel 4. 3.
Gambar 4. 4. Baseline untuk penentuan DD kitosan tulang bandeng
27
Gambar 4. 5. Baseline untuk penentuan DD kitin duri bandeng
Tabel 4. 3. Nilai-nilai absorbans C=O amida dan O-H serta nilai derajat deasetilasi
Absorbans Sumber sampel
1650 cm-1 3450 cm-1 Derajat deasetilasi
Tulang ikan bandeng 0,27 0,84 75,83%
Duri ikan bandeng 0,63 0,64 25,99%
Dengan melihat nilai derajat deasetilasi, maka produk yang diperoleh dari tulang ikan
bandeng setelah proses demineralisasi sudah merupakan kitosan sedangkan dari duri ikan
bandeng masih berupa kitin. Namun, karena produk dari duri ikan bandeng yang diperoleh
sangat sedikit, maka proses deasetilasi terhadap kitin duri bandeng tidak dilakukan pada
penelitian ini.
4.4 Uji Kelarutan Kitosan
Uji kelarutan kitosan dilakukan untuk memperoleh pelarut bagi kitosan agar kitosan hasil
isolasi dapat dikarakterisasi lebih lanjut dan diaplikasikan dalam bidang kehidupan yang
lebih luas. Pada umumnya, kitosan dapat dilarutkan dalam asam asetat 1%. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini uji kelarutan kitosan pertama kali dilakukan dalam asam asetat 1%.
Namun, karena dalam pelarut tersebut kitosan tulang bandeng tidak larut, maka digunakan
28
asam asetat p.a dengan konsentrasi 98%. Dalam pelarut inipun kitosan hasil isolasi tidak
dapat larut.
Kitosan kemudian diuji kelarutannya dalam pelarut kitin yaitu larutan 5% LiCl dalam
DMAC, namun tidak larut juga. Uji kelarutan kitosan kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan pelarut asam format, HCl, dan n-heksan. Pengujian dengan asam format
dilatarbelakangi oleh literatur yang menyatakan bahwa kitosan dapat larut dalam asam-asam
organik (Tinjauan Pustaka, sub bab Kelarutan Kitosan). Diantara ketiga pelarut terakhir yang
digunakan (asam format, HCl, dan n-heksan), kitosan hasil isolasi dapat larut dalam asam
format. Hasil-hasil uji kelarutan kitosan dalam berbagai pelarut yang telah disebutkan di
atas, dapat dilihat pada Gambar 4. 6.
Gambar 4. 6. Hasil uji kelarutan kitosan dalam (a) asam asetat 98%, (b) asam asetat 1%, (c) 5% LiCl/ DMAC, (d) n-heksan, (e) HCl
Seperti yang telah dijelaskan pada bab Tinjauan Pustaka, sub bab Kelarutan Kitosan,
kelarutan kitosan tidak hanya bergantung pada derajat deasetilasi melainkan juga pada
distribusi gugus –NH2 sepanjang rantai. Kitosan akan larut dalam suatu pelarut karena
terjadinya protonasi gugus –NH2 oleh H+ dari pelarut.
Setelah memperoleh pelarut yang dapat melarutkan kitosan, dilakukan sintesis membran
dengan melarutkan kitosan dalam asam format sehingga diperoleh larutan kitosan dengan
konsentrasi 1% b/v. Larutan kitosan kemudian dicetak sebagai membran dalam cawan petri.
Setelah pelarutnya diuapkan, ternyata tidak diperoleh membran, melainkan kitosan kembali
menjadi padatannya (Gambar 4. 7).
29
Gambar 4. 7. Padatan kitosan pada cawan petri setelah asam format diuapkan
4.5 Penentuan waktu kontak optimum penyerapan logam Cu
Waktu kontak optimum merupakan waktu kontak kitosan dengan logam yang dibutuhkan
agar terjadi penyerapan logam oleh kitosan secara optimum. Penyerapan logam oleh kitosan
dipengaruhi oleh luas permukaan kitosan. Semakin besar luas permukaan, maka penyerapan
logam akan semakin baik dan cepat. Dalam penentuan waktu kontak optimum penyerapan
logam Cu oleh kitosan, digunakan larutan dengan konsentrasi logam Cu sebesar 200 ppm.
Dari hasil yang diperoleh dengan mengalurkan absorbans logam yang tersisa setelah
direaksikan dengan kitosan pada variasi waktu tertentu. Pada awalnya, variasi waktu yang
digunakan adalah 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 1 jam. Namun, karena data absorbans
yang diperoleh belum memberikan nilai yang konstan, maka waktu kontak diperpanjang,
yaitu selama 12 jam dan 24 jam. Dengan menggabungkan seluruh hasil uji waktu kontak,
diketahui bahwa waktu kontak optimum tercapai pada 12 jam karena setelah waktu tersebut
nilai absorbans sampel relatif konstan. Hasil uji waktu kontak optimum dapat dilihat pada
Gambar 4. 8.
Gambar 4. 8. Kurva penentuan waktu kontak optimum
30
4.6 Penentuan Kadar Penyerapan Logam Cu
Penentuan kadar penyerapan logam Cu oleh kitin dan kitosan dilakukan dengan meraksikan
kitin dan kitosan dengan larutan logam Cu selama waktu kontak optimumnya. Konsentrasi
Cu dalam larutan setelah dilakukan penyerapan oleh kitin/ kitosan ditentukan dengan
menggunakan kurva kalibrasi. Larutan standar yang digunakan adalah larutan Cu2+ dengan
konsentrasi 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm, dan 5 ppm. Kurva kalibrasi yang diperoleh dapat
dilihat pada Gambar 4. 9, sedangkan nilai absorbans dari tiap larutan standar dapat dilihat
pada Tabel 4. 4.
Gambar 4. 9. Kurva kalibrasi Cu2+
Tabel 4. 4. Nilai absorbans larutan standar
Konsentrasi Cu2+ (ppm) A1 A2 A3 A rata-rata 1 0,1159 0,1190 0,1191 0,1180 2 0,2355 0,2359 0,2409 0,2374 3 0,3601 0,3669 0,3761 0,3677 4 0,4942 0,5033 0,5097 0,5024 5 0,6044 0,6137 0,6214 0,6132
Pada kurva kalibrasi dapat dilihat bahwa nilai intercept garis regresi linier tidak memberikan
nilai sama dengan nol, melainkan -0,0088, yang berarti bahwa pada saat konsentrasi Cu2+
sama dengan nol, alat SSA memberikan absorbans -0,0088 yang kemungkinan berasal dari
matriks. Selanjutnya karena nilai absorbans ini relatif sangat kecil dibandingkan dengan 10%
nilai absorbans konsentrasi larutan standar terkecil, maka diasumsikan bahwa matriks yang
terdapat dalam larutan tidak memberikan nilai absorbans yang berarti sehingga kurva
kalibrasi tersebut dapat digunakan untuk penentuan konsentrasi logam Cu dalam larutan
sampel.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab Metodologi Penelitian sub bab Penentuan Kadar
Penyerapan Logam Cu, kadar penyerapan logam oleh kitin dan kitosan dilakukan dengan
31
menggunakan larutan Cu2+ dengan konsentrasi 3 ppm. Larutan Cu2+ 3 ppm digunakan
sebagai larutan sampel logam yang diserap karena diharapkan kadar logam yang terdapat
dalam filtrat setelah proses penyerapan oleh kitosan memberikan absorbans yang berada
pada daerah linier kurva kalibrasi. Setelah dilakukan penyerapan selama waktu kontak
optimumnya, diketahui kadar penyerapan logam Cu2+ 3 ppm oleh kitin dan kitosan mencapai
nilai 100% karena konsentrasi logam dalam filtrat larutan yang sudah diserap tidak dapat
terdeteksi oleh SSA.
4.7 Penentuan Efektivitas Penyerapan Logam Cu Oleh Kitosan
Untuk uji efektivitas penyerapan logam oleh kitosan, digunakan larutan Cu2+ dengan orde
yang meningkat yaitu satuan, puluhan, dan ratusan. Larutan Cu2+ yang digunakan adalah 3
ppm, 10 ppm, dan 200 ppm. Pemilihan konsentrasi logam di setiap orde dilakukan secara
acak. Berdasarkan hasil uji efektivitas penyerapan logam oleh kitosan, diketahui bahwa
kitosan tulang bandeng masih memberikan penyerapan logam yang baik hingga konsentrasi
larutan sampel Cu2+ 200 ppm dengan kadar penyerapan logam 99,70%. Kurva efektivitas
penyerapan logam oleh kitosan dapat dilihat pada Gambar 4. 10.
Gambar 4. 10. Kurva efektivitas penyerapan logam oleh kitosan
4.8 Analisis Pembentukan Senyawa Kompleks Cu-Kitosan
Mekanisme penyerapan logam oleh kitin ataupun kitosan terjadi melalui pembentukan
senyawa kompleks antara Cu dengan kitin/ kitosan. Senyawa kompleks yang terbentuk ini
dapat dideteksi dengan menggunakan spektrum inframerah residu hasil penyerapan logam
oleh kitin/ kitosan. Apabila terbentuk kompleks antara kitosan dengan logam Cu, maka akan
terjadi pergeseran puncak O–H pada bilangan gelombang 3450 cm-1 dan puncak N–H pada
bilangan gelombang 3365 cm-1 sebesar 8 atau 20 satuan ke arah bilangan gelombang yang
32
lebih kecil[15]. Namun, karena puncak pada bilangan gelombang 3365 cm-1 tidak dapat
teramati pada spektrum inframerah yang diperoleh, maka puncak yang diamati hanya pada
bilangan gelombang 3450 cm-1. Dari spektrum yang diperoleh (Gambar 4. 11 dan Gambar 4.
12), memang terbukti bahwa terbentuk kompleks antara kitosan dengan logam Cu dengan
terjadinya pergeseran sebesar 20 satuan pada bilangan gelombang vibrasi ulur O-H dari
3446,79 cm-1 ke bilangan gelombang 3423,65 cm-1.
Gambar 4. 11. Spektrum inframerah kitosan sebelum penyerapan logam Cu
Gambar 4. 12. Spektrum inframerah kitosan setelah penyerapan logam Cu
33