37
KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009 OPINI PUBLIK TERHADAP PELAKSANAAN PILKADA LANGSUNG KABUPATEN BANYUWANGI Oleh : Irtanto 1 Abstract This research is an explorative research by qualitative descriptive approaching. It shows that politic partij doesn’t work maximum in doing politic communication, politic education, politic socialization and recruiting representative candidate. The preferences of voter because of leadership experience, educated, entrepreneur, and intellectuality. Regional election isn’t democratic yet because there is no independent candidate. Head of regional is choosen as the represent of society. Regional election assures the legitimation of local government and encourage the participation of society. Regional election has a good impact toward the enforcement of sovereignty, show up the qualified leader, able to encourage the accountability of government and service for public. Keywords : Regional Election, democration, politic partij, candidate Latar Belakang Masalah Perubahan politik lokal sangat luar biasa yang berdampak pada demokratisasi tingkat lokal. Perubahan politik lokal antara lain ditandai dengan hadirnya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi dari UU22/1999. Setelah “amandemen’ MK atas UU tersebut, pemerimtah mengeluarkan Perpu 3/2005 sebagai perubahan atas UU 32/2004. Seiring dengan itu pemerintah juga telah 1 Penulis adalah peneliti madya bidang politik dan pemerintahan pada Balitbang Propinsi Jawa Timur __________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

3-irtanto-komti-8

Embed Size (px)

Citation preview

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

OPINI PUBLIK TERHADAP PELAKSANAAN PILKADALANGSUNG KABUPATEN BANYUWANGI

Oleh : Irtanto1

Abstract

This research is an explorative research by qualitative descriptive approaching. It shows that politic partij doesn’t work maximum in doing politic communication, politic education, politic socialization and recruiting representative candidate. The preferences of voter because of leadership experience, educated, entrepreneur, and intellectuality. Regional election isn’t democratic yet because there is no independent candidate. Head of regional is choosen as the represent of society. Regional election assures the legitimation of local government and encourage the participation of society. Regional election has a good impact toward the enforcement of sovereignty, show up the qualified leader, able to encourage the accountability of government and service for public.

Keywords : Regional Election, democration, politic partij, candidate

Latar Belakang Masalah

Perubahan politik lokal sangat luar biasa yang berdampak pada demokratisasi tingkat lokal. Perubahan politik lokal antara lain ditandai dengan hadirnya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi dari UU22/1999. Setelah “amandemen’ MK atas UU tersebut, pemerimtah mengeluarkan Perpu 3/2005 sebagai perubahan atas UU 32/2004. Seiring dengan itu pemerintah juga telah mengeluarkan PP 17/2005 sebagai pengganti PP 6/2005 tentang Pemlihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala daerah dan wakil Kepala Daerah.

Instrumen politik yang mengatur tentang pilkada langsung tersebut masih saja mengundang banyak kritik dari berbagai pihak terutama beberapa pasal dalam UU 32/2004. Kritik tersebut, misalnya pasal 59 ayat (2) mengisyaratkan masih besarnya legitimasi dan peran yang diberikan kepada parpol didalam proses pilkada, sebagaimana pasal tersebut masih ada monopoli partai terutama rekruitmen colan yang mengharuskan melalui pintu partai. Walaupun

1 Penulis adalah peneliti madya bidang politik dan pemerintahan pada Balitbang Propinsi Jawa Timur

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

demikian system pilkada oleh rakyat memang disambut cukup positif, sebagai upaya dan harapan akan penguatan demokrasi lokal. Pilakda langsung diharapkan dapat menggeser proses keterwakilan politik dari yang sifatnya elitis ke populis. Pilkada langsung diharapkan pula bisa menghilangkan broker-broker politik dalam pilkada ketika prosesnya ditentukan oleh anggota DPRD, dan bisa memangkas kebiasaan money polititics yang lazim terjadi pada proses pilkada di masa lalu.

Penyelenggaraan pilakda langsung diproyeksikan sebagai pesta demokrasi di aras lokal, ternyata masih dinilai kurang demokratis, karena di beberapa daerah masih diwarnai oleh tindakan anarkisme massa dan perselisihan (konflik) yang tidak kunjung usai seperti di Banyuwangi yang dilaksanakan 11 Juli 2005 yang dimenangkan oleh Pasangan Ratna Ani Lestari -Yusuf Nuris yang dicalonkan oleh Koalisi Partai Non Parlemen. Namun, hasil Pilkada tersebut tidak diterima oleh berbagai kalangan terutama DPRD, Forum Banyuwangi Bersatu (FBB), dan dituntut Bupati hasil pemilu lokal tersebut mundur.

Jumlah dukungan langsung atas seorang kepala daerah agar legitimasinya lebih kuat sebaiknya minimal di atas 50%. Sementara sebagian besar kepala daerah terpilih tidak memperoleh jumlah dukungan langsung di atas 50% maka diperlukan sebuah strategi politik untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan sosial masyarakat baik yang mendukung ataupun yang tidak mendukung. Logika terpenting demokrasi adalah mengakomodasi kepentingan yang lebih banyak dari yang sedikit sekalipun yang sedikit itu yang menang(www.fajar.co.id).

Harapan banyak pihak terhadap Pilkada langsung dapat menumbuhkan partisipasi politik. Namun realitasnya dalam beberapa pelaksanaan pilkada langsung di Jatim juga masih saja rakyat banyak yang tidak antusias. Malahan fenomena golput sangat mencolok besarannya, seperti pilkada Kabupaten Gresik (30%), Kabupaten Ponorogo sebanyak 29%(Kompas,2 Juli 2005), bahkan yang golput dalam pemilihan Walikota Surabaya sebanyak 47,5%(Kompas, 29 Juli 2005), Banyuwangi yang tidak memilih dalam pilkada tahun 2005 sebanyak 35%( KPUD Banyuwangi, 2005). Bahkan tidak jarang pula memunculkan konflik politik seperti di Tuban dan Banyuwangi.

Perumusan Masalah

Yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah :

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

1) Bagaimana opini publik terhadap peran dan fungsi parpol dalam Pilkada ?

2) Bagaimana preferensi pemilih dalam Pilkada langsung tersebut ?. 3) Bagaimana pendapat publik terhadap nilai-nilai demokrasi

Pilkada langsung ? 4) Dari manakah sumber informasi yang diperoleh masyarakat

tentang Pilkada tersebut ? 5) Sejauhmana pendapat publik tentang pengaruh Pilkada langsung

terhadap akuntabilitas birokrasi pemerintahan ? 6) Apa saja harapan-harapan publik atas penyelenggaraan Pilkada

langsung ?7) Tema kampanye apa saja yang menarik ?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengetahui opini publik terhadap peran dan fungsi partai politik

dalam Pilkada; 2) Mengidentifikasi preferensi pemilih dalam Pilkada langsung; 3) Mengidentifikasi pendapat publik terhadap nilai-nilai demokrasi

dalam Pilkada langsung; 4) Mengidentifikasi media informasi yang diperoleh masyarakat

tentang Pilkada banyuwangi; 5) Mengetahui pendapat publik tentang pengaruh Pilkada langsung

terhadap akuntabilitas birokrasi pemerintahan; 6) Mengidentifikasi harapan-harapan publik atas penyelenggaraan

Pilkada langsung; 7) Menginventasir tema kampanye yang menarik.

Kerangka Teori

Opini dapat diartikan sebagai kepercayaan, nilai, dan pengharapan yang disuarakan melalui perilaku. Opini publik sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan, dan usul yang diungkapkan oleh warga negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas dicapainya ketertiban sosial dalam situasi yang mengandung konflik, perbantahan, dan perselisihan pendapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya (Nimmo, 1989:7).

Opini publik adalah penilaian sosial (social jugment) mengenai sesuatu hal yang penting dan berarti atas dasar pertukaran fikiran yang dilakukan individu-individu dengan sadar dan rasional(dalam Oemi Abdurachman, 2001:51). Demikian juga opini publik adalah hasil pengintegrasian pendapat berdasarkan diskusi

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

yang dilakukan didalam masyarakat demokratis. Opini publik bukan merupakan seluruh jumlah pendapat individu-individu yang dikumpulkan. Dengan demikian berarti bahwa a). opini publik itu bukan merupakan kata sepakat (senstemmig, unanimous). B). tidak merupakan jumlah pendapat yang dihitung secara “numerical” (numeriek, menurut jumlah) berapa jumlah orang terdapat di masing-masing pihak, sehingga mayoritas opini dapat disebut opini publik (ibid, 51-52).

Selanjutnya Reckless mendefinisikan bahwa opini publik adalah suatu pendapat hasil pertimbangan seseorang tentang sesuatu hal yang telah diterima sebagai fikiran publik(ibid). Senada dengan Kruger Albig mengartikan bahwa opini publik adalah opinion is any expression on a controversial topic (opini itu adalah suatu pernyataan mengenai sesuatu yang sifatnya bertentangan). Opini merupakan “expressed statement” yang bisa diucapkan dengan kata-kata, juga bisa dinyatakan dengan isyarat atau cara-cara lain yang mengandung arti dan segera dapat difahami maksudnya (ibid, 54). Background seseorang (pendidikan, kebudayaan, agama, ekonomi, pengalaman, dan sebagainya) besar pengaruhnya iadterhadap jalan fikirannya (way of thinking) dan opini yang dinyatakannya tidak akan lepas dari backgroundnya.

David Truman (1951) merumuskan bahwa opini publik terdiri dari opini-opini agregat dari individu-individu yang menyebabkan publik melakukan diskusi(Ida, 2001:74). Sedangkan Mc Quail merumuskan bahwa opini publik adalah kumpulan pandangan-pandangan dari mereka yang menjadi bagian dari publik. Elemen-elemen yang ada dalam konsep opini publik terdiri, (ibid, 76) (1) adanya ekspresi verbal, pikiran, sikap atau pendapat; (2) adanya isu atau situasi yang dapat menimbulkan alternatif polar atau bersifat kontroversial yakni menimbulkan pandangan pro dan kontra; (3) adanya kumpulan orang atau significant number of persons yang terlibat; (4) adanya diskusi sosial diantara anggota publik yang merasa mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama; (5) diskusi sosial ini biasanya diantarai oleh media massa (Quail, 2000:502).

Ada beberapa faktor opini publik dianggap bernilai oleh seseorang yang terlibat dalam interaksi sosial, yakni (Panuju, 2000:4-6) :1) Opini publik mewakili citra superioritas, sehingga ada keyakinan

bahwa barang siapa menguasai opini publik, maka ia akan bisa mengendalikan orang lain.

2) Opini publik mewakili realitas faktual, sehingga individu merasa harus merespon sebagai cara menunjukkan eksistensi diri.

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

Melalui proses keterlibatan dalam opini publik dirinya ingin menunjukkan bagian atau anggota dari komunitas tertentu.

3) Opini publik berhubungan dengan citra, rencana, dan operasi (action). Citra, rencana, dan operasi merupakan matriks dari tahap-tahap kegiatan dalam situasi yang selalu berubah(op.cit, 5). Opini publik sebenarnya memberi inspirasi bagaimana individu dalam kelompok bertindak agar tidak terhindar dari pencitraan yang buruk (tigmatisasi).

4) Opini publik merefleksikan apa yang menjadi kemauan banyak orang. Karena itu, orang berlomba-lomba memanfaatkan opini publik sebagai argumentasi atas alasan memutuskan sesuatu.

5) Opini publik identik dengan hegemoni ideologi. Apalagi suatu kelompok atau pemerintahan ingin tetap terus berkuasa, maka ia harus mampu menjadikan ideologi kekuasaannya menjadi dominan dalam opini publik. Konteks opini publik bekerja (melaksanakan tugasnya), 1) dalam membentuk citra baru. 2) mempertahankan citra yang sudah terbangun. 3) memperbaiki citra yang terpuruk. 4) menguatkan citra karena kekuatan pesaing. 5) mengatakan atau mempertahankan citra ketika berada dipuncak (ibid, 15-20).

Pelaksanaan pilkada langsung merupakan suatu proses politik untuk memilih para kepala daerah secara langsung yang diamanatkan oleh UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Beberapa hal penting yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pilkada langsung antara lain :1) Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah

pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan memperoleh sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota legislatif daerah yang bersangkutan.

2) Penyelenggara pilkada adalah KPUD yang bertanggung jawab kepada publik, sedangkan kepada DPRD hanya menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya. Tiga pasangan calon wajib menyampaikan visi, misi, dan program secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat.

Secara teoritis dengan sistem langsung, pilkada dipersepsikan akan memberikan jaminan sejumlah keuntungan (Mubarok, 2005:7-9). Pertama, kongkritisi demokrasi. Proses pilkada akan memenuhi kaidah proses demokratisasi di dua level: struktural dan kultural. Di level struktural, lebih beradab karena melibatkan partisipasi publik yang makin meluas. Kaidah 50 persen plus, adalah angka riil dan mutlak yang merupakan cermin dan representasi suara rakyat. Di level kultural, proses Pilkada ditengarai akan memberi

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

keleluasaan bagi merembesnya nilai-nilai transparansi, indepedensi, kejujuran. Kedua, ada kemungkinan kekerasan terhadap proses dan kekerasan terhadap data terkurangi. Ketiga, terkuranginya premanisme politik uang. Dampak positif lainnya dari Pilkada langsung adalah lahirnya pemimpin yang mengenal konteks lokal dan bertanggung langsung pada rakyat (Afiti, 2005:V).

Pilkada langsung dianggap lebih demokratis, dengan dua pertimbangan. Pertama, Pilkada langsung memberi kesempatan yang lebih luas untuk tampilnya/terpilihnya kepala darah yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat. Kedua, dengan Pilkada langsung maka stabilitas pemerintahan lebih terjaga berhubung kepala daerah tidak mudah dijatuhkan oleh DPRD (Sapto, 2005:84).

Dalam ranah analisis, pelaksanaan Pilkada langsung mengandung setidaknya empat asumsi normatif. Pertama, terjadinya penarikan kedaulatan rakyat yang sebelumnya dititipkan kepada DPRD. Jika sebelumnya para anggota DPRD memiliki fungsi memilih kepala daerah, kini fungsi tersebut dihapus. Anggota DPRD hasil Pemilu 2004 tinggal menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Kedua, sumber kekuasaan adalah rakyat. Penilai terakhir dari segala tingkah laku, program kerja, dan kinerja kepala daerah adalah rakyat. Ketiga, rakyat adalah subyek demokrasi. Maksudnya, rakyat dapat memainkan peran dan posisi sebagai pelaku demokrasi melalui saluran-saluran yang tersedia, baik dalam proses pembuatan kebijakan publik maupun rekrutmen pemimpin politik. Keempat, demokrasi merupaka system terbaik dari yang ada. Demokrasi menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan mendayagunakannya melalui saluran-saluran yang tersedia (ibid, 85).

Terkait dengan kedaulatan rakyat sebagai tema sentral dalam demokrasi, bahwa Pilkada langsung menawarkan nilai-nilai positif dalam hal-hal berikut. Pertama, rakyat dapat menggunakan hak-haknya secara langung dan utuh. Salah satu hak politik rakyat adalah memilih calon pemimpin. Kedua, Pilkada langsung merupakan wujud nyata asas pertanggung jawaban dan akuntabilitas (Prihatmoko, 2005:128-129). Melalui Pilkada langsung seorang kepala daerah dituntut dapat mempertanggung jawabkan kepemimpinannya kepada rakyat pemilih. Tingkat penerimaan rakyat terhadap kepala daerah merupakan jaminan bagi peningkatan partisipasi politik rakyat yang pada gilirannya akan menjaga kelestarian sebuah kepemimpinan. Ketiga, Pilkada langsung dapat menciptakan suasana kondusif bagi terciptanya hubungan sinergis antara pemerintah dan rakyat.

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

Demikian pula dari segi substansi Pilkada langsung merupakan instrumen untuk mendapatkan kepemimpinan politik yang lebih akuntabel dan responsive, mendekatkan pemerintah daerah dengan warga, yang akan mendorong peningkatan pelayanan dan kesejahteraan bagi masyarakat di daerah yang bersangkutan (op.cit, 75). Akuntabilitas dibutuhkan kontrol publik. Kontrol menjadi lebih mudah dilakukan kalau ada transparansi kebijakan dan akses luas ke informasi oleh masyarakat. Teknologi dapat membantu meningkatkan transparansi dan penyebaran informasi kepada publik. Konsep akuntabilitas melibatkan dua hal secara sekaligus, pertama penyediaan informasi. Perhitungan-perhitungan yang dilakukan perlu disajikan kepada publik dalam bentuk laporan ataupun publikasi. Kedua, sanksi. Kalau informasi-informasi yang disajikan sebagai hasil perhitungan-perhitungan yang dilakukan tidak memuaskan fihak yang berkepentingan (stake holders) pejabat yang bersangkutan kiranya akan terhukum oleh para stake holders itu sendiri. Untuk menjamin kebenaran dan kewajaran pelaporan yang dibuat, dilakukanlah audit .Peta situasi-situasi sulit dan kemudahan-kemudahan yang dihadapi ketika Pilkada langsung diselenggarakan dan menghasilkan kepala-kepala daerah baru di berbagai daerah (Santoso, 2005:5).

T Proses PERUBAHAN R Yang Diperlukan A MODEL NPEMILIHAN S TIDAK I MODEL PEMILIHAN LANGSUNGLANGSUNG S I

Skema : Perubahan Model Pemilihan Kepala Daerah dan Implikasinya bagi Akuntabiltas Pemerintah daerah.

Akuntabilitas (accountability) adalah ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesesungguhnya. Akuntabiltas berkaitan dengan falsafah yang menyatakan bahwa lembaga eksekutif pemerintah, yang tugas utamanya adalah melayani rakyat, harus bertanggung jawab secara langsung maupun tidak langsung kepada rakyat. Sementara itu akuntabilitas berbasis pasar mengutamakan adanya kompetisi dan mekanisme pasar (Kumorotomo, 2005:3-4). Sementara itu, Gafar memberi gambaran

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

Pemerintahan Daerah yang KURANG Akuntabel

Pemerintahan Daerah yang

LEBIH Akuntabel

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

bahwa dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuh (Gafar, 1999:7-8).

Ada lima fungsi dasar keberadaan partai politik, namun yang relevan dengan pilkada langsung adalah fungsi : 1) Fungsi sosialisasi politik merupakan suatu cara untuk

memperkenalkan nilai-nilai politik, sikap-sikap dan etika politik yang berlaku atau yang dianut oleh suatu negara. Pembentukan sikap-sikap politik atau untuk membentuk suatu sikap dan keyakinan politik dibutuhkan waktu yang panjang melalui proses yang berlangsung tanpa henti.

2) Fungsi rekrutmen politik. Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi atau rekrutmen anggota-anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan administratif maupun politik.

3) Fungsi komunikasi politik. Komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang dijalankan oleh parpol dengan segala struktur yang tersedia, mengadakan komunikasi, informasi, isu dan gagasan politik. Media massa banyak berperan sebagai alat komunikasi politik dan membentuk kebudayaan politik (Putra, 2003;9).

Berdasarkan dari berbagai teori tersebut diatas, maka penelitian ini dapat dianalisis dengan bantuan kerangka analisis seperti pada bagan sebagai berkut :

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat eksploratif dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Banyuwangi. Sedangkan populasi dalam penelitian ini adalah mereka yang sudah memiliki hak-hak politik dalam Pilkada

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

Faktor eksternal:Informasi politik, kampanye, sosialisasi, rekrutmen (elitisme), komunikasi politik

Faktor internal:Backgrounds: pendidikan, budaya, agama, ekonomi, pengalaman, pekerjaan, gender

Opini

Pilkada

Peran & fungsi parpolPreferensi pemilihNilai-nilai demokrasiPengaruh pilkada terhadap kinerja birokrasiKetertarikan terhadap kampanyeHarapan publik atas penyelenggaraan pilkada

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

yang sudah berlangsung di daerah penelitian tersebut. Dengan mempertimbangkan penelitian yang bersifat deskriptif dan eksploratif, maka pengambilan sample menggunakan stratified random sampling berdasarkan status pekerjaan, status pendidikan, keterlibatan dalam organisasi. Maka sampel penelitian diambil sebanyak 182 responden. Sedangkan pengumpulan data menggunakan teknik wawancara dengan instrumen daftar pertanyaan (kuesioner) tertutup dan terbuka.

Hasil dan Pembahasan

Peran dan Fungsi Parpol Dalam Pilkada

1. Komunikasi Politik

Dari pengakuan responden kebanyakan merasakan bahwa parpol belum melakukan komunikasi dengan baik dengan konstituennya (61,8%). Mereka yang menganggap partai politik belum melakukan komunikasi dengan baik kebanyakan berlatar belakang pendidikannya sarjana, dan pekerjaannya sebagai PNS, dosen, guru, mahasiswa, pengusaha, bekerja di BUMN/BUMD, dan wartawan. Sedangkan sebanyak 17,5% responden menyatakan sudah melakukan komunikasi politiknya. Mereka yang menyatakan parpol sudah melakukan komunikasi politik kebanyakan berpendidikan SLTA, pekerjaannya sebagai ibu-ibu rumah tangga, petani pemilik. Mereka sebagian lainnya menyatakan tidak tahu menahu yaitu sebanyak 20,8%. Mereka yang tidak tahu menahu tersebut pekerjaannya sebagai petani penggarap, karyawan swasta, sebagian petani pemilik lahan. Kalaupun parpol ada yang melakukan komunikasi politik kebanyakan dalam bentuk kampanye pawai (92,4%), mereka memandang masih minim untuk melakukan komunikasi politik dalam bentuk anjangsana dari rumah ke rumah (5,5%), kalaupun ada yang anjangsana bukan atas nama parpol tetapi atas nama tim sukses kandidat tertentu.

2. Pendidikan Politik

Parpol yang bertarung untuk memenangkan kandidatnya sebagai calon Bupati maupun Wakil Bupati menurut sebagian besar responden (60,5%) belum melakukan pendidikan politik kepada masyarakat pemilih. Artinya parpol belum secara perkala mengajak kepada masyarakat untuk memilih secara baik, baik lewat lembaga kursus-kursus atau lembaga lainnya. Mereka yang mengatakan demikian itu kebanyakan mempunyai back ground sebagai karyawan swasta, dosen, wiraswasta, pengusaha, mahasiswa, wartawan, pegawai BUMN/BUMD, PNS, dan pendidikannya kebanyakan SLTA

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

sampai dengan perguruan tinggi. Sedangkan mereka yang sebagian lainnya (23,1%) menyatakan parpol sudah melakukan pendidikan politik. Mereka yang berpandangan demikian itu berlatar belakang pekerjaannya sebagai petani penggarap, ibu-ibu rumah tangga. Namun ada pula mereka yang tidak tahu menahu soal apakah parpol sudah melakukan pendidikan politik atau belum hanya 3,3%.

3. Sosialisasi Pilkada

Menurut sebagian besar (60,5%) parpol dinilai belum melakukan sosialisasi politik kepada masyarakat dengan baik. Termasuk sosialisasi tentang masa depan demokrasi lokal era pilkada langsung, dampak poisitif terhadap kinerja pemerintah lokal, akuntabilitas pemerintah dan sebganya. Mereka yang berpendapat bahwa parpol belum melakukan sosialisasi dengan baik kebanyakan mempunyai back ground sebagai TNI/Polri, PNS, dosen, mahasiswa, guru, karyawan swasta, kebanyakan berpendidikan lulus SLTA dan perguruan tinggi. Sedangkan mereka yang menilai parpol sudah melakukan sosialisasi politik sebanyak 37,4% dan mempunyai back ground sebagai petani, ibu-ibu rumah tangga, pensiunan PNS, dan wiraswasta.

4. Fungsi Rekruitmen Politik

Parpol dalam pilkada di Banyuwangi dinilai oleh sebagian besar responden (54,4%) belum melakukan rekruitmen calon secara baik seperti melalui uji kelayakan publik. Mereka yang berpendapat seperti itu kebanyakan pekerjaannya sebagai dosen, PNS, mahasiswa, wartawan, TNI/Polri, guru dan sebagian karyawan swasta, mereka berpendidikan lulusan diploma dan perguruan tinggi. Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa parpol sudah melakukan fungsi rekrutmen politik sebanyak 40,6%. Mereka yang berpendapat seperti itu latar belakang pekerjaannya sebagai petani, ibu-ibu rumah tangga, wiraswasta, pekerja di BUMN/BUMD dan berpendidikan lulus SD, lulus SLTP dan SLTA. Namun mereka ada yang tidak tahu menahu soal proses rekruitmen kandidat kepala daerah (5,0%).

Mereka sebagian besar (51,6%) berpendapat bahwa sebaiknya rekruitmen calon sebaiknya tidak hanya lewat parpol saja atau boleh juga diberi kesempatan calon independen. Mereka yang berpendapat demikian itu kebanyakan pekerjaannya sebagai dosen, mahasiswa, karyawan swasta, wiraswasta dan berpendidikan minimal lulus SLTA dan peruguran tinggi. Selain itu mereka yang menyatakan sebaiknya calon kepala daerah bisa melalui pintu independen kebanyakan mereka aktif di SLM, aktif diorganisasi baik

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

di kampus maupun organisasi kemasyarakatan. Namun mereka ada sebagian (33,0%) yang menghendaki pencalonan kepala daerah melalui parpol seperti sekarang ini sesuai UU 32/2004. Ada pula mereka sebagian kecil (3,3%) tidak tahu menahu.

Preferensi Pemilih dalam Pilkada

Preferensi pemilih dalam pilkada langsung di Banyuwangi bermacam-macam. Mereka menjatuhkan pilihan pada calon kepala daerah tertentu dengan berbagai pertimbangan latar belakang tertentu pula. Mereka memilih calon kepala daerah sebagian (31,8%) berlatar belakang karena kesamaan partai politik, ada pula sebagian lainnya tidak mempertimbangkan kesamaan latar belakang parpol (24,2%) dan ada pula mereka sebagian besar tidak tahu menahu soal latar belakang parpol (44,0%).

Tabel 1. Pertimbangan dalam memilih kepala daerah

No Preferensi PemilihPendapat (%)

Ya Tidak Tidak Tahu

Jumlah

1 Kesamaan latar belakang parpol 31,8 24,2 44,0 1002 Kesamaan latar belakang asal daerah 22,0 42,8 35,2 1003 Kesamaan latar belakang agama 31,8 26,4 41,8 1004 Kesamaan latar belakang jenis kelamin 38,5 50,6 11,0 1005 Berasal dari putra daerah 33,0 60,4 6,6 1006 Berasal dari keturunan pemimpin 8,8 30,8 60,5 1007 Berasal dari kalangan militer 8,8 32,9 63,7 1008 Berasal dari ulama/rohaniawan 13,2 27,5 59,4 1009 Berasal dari kalangan birokrat

pemerintahan 14,3 24,2 61,5 100

10 Berasal dari politisi 24,2 29,7 46,2 10011 Berpengalaman memimpin 61,5 5,5 33,0 10012 Memiliki tingkat pendidikan tinggi 46,1 8,8 45,1 10013 Memiliki tingkat ekonomi tinggi 30,8 17,6 51,6 100

Sumber : Data primer diolah

Mereka sebagian besar memilih calon kepala daerah bukan/tidak karena kesamaan latar belakang asal daerah (42,8%). Mereka memilih ada yang mempertimbangkan pula karena kesamaan latar belakang agama (31,8%), dan ada pula yang tidak mempertimbangkan latar belakang agama (26,4%), namun ada pula sebagian besar (41,8%) tidak tahu menahu persoalan kesamaan latar belakang agamanya. Mereka yang tidak mempersoalkan latar belakang agama calon kepala daerah tersebut kebanyakan berasal dari aktifis partai politik, aktifis organisasi kemasyarakan, dan aktifis kemahasiswaan maupun aktifis di berbagai LSM. Sedangkan latar belakang pendidikannya kebanyakan lulus SLTA dan perguruan tinggi.

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

Mereka memilih calon kepala daerah Banyuwangi kebanyakan bukan karena pertimbangan kesamaan jenis kelamin (50,6%). Preferensi politik yang memilih calon bukan berdasarkan bersamaan jender ini mereka kebanyakan berlatar belakang aktifis organisasi, baik organisasi keagamaan maupun non keagamaan seperti LSM, kemahasiswaan dan aktifis di partai politik. Dilihat dari pendidikannya kebanyakan lulus SLTA dan perguruan tinggi, serta pekerjaannya sebagai PNS, TNI/Polri, guru, mahasiswa, wartawan, karyawan swasta maupun BUMN/BUMD.

Mereka ada sebagian besar (60,4%) memilihnya dengan pertimbangan bukan berasal dari putra daerah. Pertimbangan mereka memilih calon kepala daerah tersebut bukan karena persoalan putra daerah yang penting calon kepala daerah tersebut mampu untuk memajukan daerahnya. Mereka yang mempunyai preferensi seperti itu kebanyakan berasal dari latar belakang aktifis organisasi terutama sebagai pengurus, berlatar belakang pendidikannya cukup memadahi yaitu minimal lulus SLTA sampai perguruan tinggi, serta berlatar belakang pekerjaannya sebagai pegawai negeri, guru, wartawan, TNI/Polri, dan karyawan.

Di sisi lain mereka memilih calon kepala daerah Banyuwangi berkecenderungan dengan pertimbangan karena berpengalaman memimpin (61,5%) baik diorganisasi kemasyarakatan maupun di organisasi politik. Mereka memilih calon kepala daerah dengan pertimbangan berpengalaman memimpin tersebut kebanyakan berlatar belakang aktifis di organisisasi baik organisasi keagamaan maupun non keagamaan seperti LSM, kemahasiswaan, dan partai politik. Sedangkan di lihat dari sisi pekerjaannya kebanyakan sebagai PNS, guru, karyawan swasta, karyawan/pegawai BUMN/BUMD, pengusaha, wiraswasta dan pendidikan mereka menengah ke atas. Demikian pula mereka memilih calon kepala daerah kebanyakan karena pertimbangan memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (46,1%). Mereka menghendaki berpendidikan tinggi dengan pertimbangan mempunyai wawasan yang cukup luas. Mereka yang mempunyai pertimbangan seperti itu kebanyakan berpendidikan minimal lulus SLTA, aktifis organisasi dan berlatar belakang pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil, wiraswasta, karywan swasta, pegawai/karyawan BUMN/BUMND, mahasiswa, pensiunan PN, dan wartawan.

Pendapat Publik Terhadap Nilai-nilai Demokrasi

1. Aspek Keterlibatan Rakyat

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

Pilkada langsung di Banyuwangi menurut pendapat sebagian besar responden (53,9%) dianggap belum demokratis, namun ada sebagian lainnya (42,9%) menganggap sudah demokratis. Sedangkan sebagian kecil (3,3%) tidak tahu menahu soal pilkada langsung di Banyuwangi tersebut. Mereka yang menganggap belum demokratis kebanyakan beralasan karena calon kepala daerah harus melalui parpol (57,2%) dan karena tidak membuka pintu dari calon independen. Mereka yang menganggap pilkada langsung Banyuwangi belum demokratis kebanyakan mempunyai back ground sebagai wartawan, karyawan swasta, wiraswasta, mahasiswa, dosen, mereka kebanyakan berpendidikan perguruan tinggi, aktifis organisasi, baik itu organisasi keagamaan maupun non keagamaan, organisasi kemasyarakatan dan parpol.

Mereka yang menganggap demokratis dikarenakan dalam proses pilkada telah melibatkan rakyat secara langsung (71,4%) dan alasan lainnya mereka memandang bahwa pilkada tersebut sesuai dengan keinginan rakyat (13,2%), ada yang menganggap tidak ada intervensi dari manapun (3,3%). Bahkan mereka ada yang memandang bahwa pilkada Banyuwangi selain melibatkan rakyat langsung dan sesuai dengan keinginan rakyat juga tidak ada intevensi dari pihak manapun (11,0%). Mereka yang memandang pilkada Banyuwangi sudah demokratis kebanyakan berlatar belakang pekerjaannya sebagai petani penggarap, petani pemilik, guru, pengusaha, pensiunan PNS, pegawai BUMN/BUMD, TNI/Polri, ibu-ibu rumah tangga, mereka kebanyakan lulus SD,SLTP, SLTA dan sebagian perguruan tinggi, mereka tidak aktif diorganisasi apapun.

2. Proses Demokratisasi

Dalam pilkada langsung dipandang oleh sebagian besar rakyat (46,2%) kepala daerah terpilih akan memposisikan sebagai representasi masyarakat. Namun mereka ada yang tidak tahu menahu (40,6%) apakah kepala daerah akan memposisikan sebagai representasi masyarakat ataukah tidak. Mereka yang berpendapat kepala daerah akan memposisikan sebagai representasi rakyat mempunyai back ground sebagai petani pemilik maupun penggarap, karyawan swasta, sebagai ibu-ibu rumah tangga, wiraswasta, pengusaha, TNI/Polri, PNS, mereka tidak aktif di oraganisasi, kalaupun mereka aktif diorganisasi hanya sebatas sebagai anggota.

Mereka juga berpendapat bahwa dari sisi positif pilkada

langsung antara lain mengurangi arogansi DPRD (56,0%), tidak lagi seperti peran DPRD masa berlakunya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang pada waktu itu DPRD dapat menjatuhkan kepala daerah seenaknya dan berbuat apa saja yang

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

seolah-olah tidak ada yang menghalangi-halanginya. Walaupun demikian mereka ada pula yang berpendapat sebaliknya bahwa dengan pilkada langsung tidak akan mengurangi arogansi DPRD (35,2%). Mereka yang berpendapat seperti ini melihat proses pilkada Banyuwangi yang telah menghasilkan kepala daerah masih saja DPRD bersikap arogan. DRPD berusaha terus menerus menjatuhkan bupati terpilih dengan menggerakkan berbagai demo besar-besaran. Mereka yang berpendapat bahwa pilkada langsung tidak mengurangi arogansi DPRD dan berusaha menjatuhkan bupati terpilih kebanyakan berlatar belakang pekerjaannya sebagai dosen, mahasiswa, wartawan, wiraswasta, berpendidikan rata-rata perguruan tinggi, mereka lebih aktif di organisasi sebagai pengurus dan ada pula sebagai anggota.

Pada pilkada langsung tersebut mempunyai pengaruh terhadap konfigurasi politik, terutaman dapat membatasi pengaruh konfigurasi politik DPRD kepada kepala daerah karena akuntabiltas publik kepada daerah tidak semata-mata ditentukan oleh DPRD, tetapi oleh rakyat (57,1%). Mereka yang berpendapat seperti itu kebanyakan mempunyai back ground berpendidikan tinggi, profesinya sebagai dosen, mahasiswa, PNS, wiraswasta, karyawan swasta, wartawan dan aktif di organisasi seperti LSM, keagamaan dan non keagamaan, parpol. Posisi mereka di organisasi mayoritas sebagai pengurus dan ada pula sebagai anggota.

Tabel 2. Kekuatan & Kelemahan Pilkada

No Memperkuat atau memperlemah proses demokrasi

Pendapat (%)

Ya Tidak Tidak Tahu

Jumlah

1 Kepala daerah memposisikan sebagai representasi masyarakat

46,2 13,2 40,6 100

2 Mengurangi arogansi DPRD 56,0 35,2 8,8 1000

3 Membatasi pengaruh konfigurasi politk DPRD dengan Kepala daerah, karena akuntabiltas publik kepada daerah tidak semata-mata ditentukan oleh DPRD, tetapi oleh masyarakat

57,1 38,5 4,4100

4 Lebih menjamin terciptanya legitimasi pemerintahan daerah, sehingga pemerintahan menjadi lebih efektif

46,2 7,7 46,1 100

5 Mengurangi praktek politik uang dalam proses pilkada dan proses laporan bertanggung jawaban kepala daerah

40,7 25,3 34,1 1000

6 Partisipasi politik akan meningkat, keterlibatan rakyat secara langsung akan meningkatkan demokratisasi di tingkat lokal.

51,6 3,3 45,1 100

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

7 Pilkada langsung, rakyat akan dapat menentukan siapa calon pemimpinnya yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan di daerah.

68,7 20,3 11,0 1000

8 Dalam Pilkada langsung akan memakan banyak biaya

92,3 3,3 4,4 100

Sumber : Data primer diolah

Dengan adanya pilkada langsung akan menjamin terciptanya legitimasi pemerintahan daerah, sehingga pemerintahan menjadi lebih efektif (46,2%). Mereka berpandangan seperti itu dikarenakan kepala daerah terpilih akan sulit dijatuhkan oleh DPRD seperti kasus demo besar-besaran yang berujung rekomendasi DPRD agar bupati terpilih Ratna dicopot dari jabatannya. Oleh karena sulitnya DPRD menjatuhkan bupati terpilih dapat berdampak positif bagi posisi bupati terpilih sehingga dapat berkonsentrasi terhadap persoalan-persoalan pembangunan di daerahnya. Mereka yang berpendapat seperti itu kebanyakan profesinya sebagai wartwan, pengusaha, PNS, wiraswasta, mahasiswa, karyawan swasta, berpendidikan perguruan tinggi serta aktifis organisasi. Selain itu mereka kebanyakan berpendapat bahwa dengan adanya pilkada langsung akan berdampak positip terhadap praktek-praktek politik uang, yaitu paling tidak mengurangi praktek politik uang dalam proses pilkada dan proses laporan bertanggung jawaban kepala daerah (40,7%). Mereka yang berpendapat demikian itu profesinya sebagai wartawan, dosen, PNS, TNI, Polri, wiraswasta, guru dan kebanyakan berpendidikan tinggi serta aktifis organisasi.

Tidak itu saja, Pilkada langsung selain akan mengurangi praktek-praktek politik uang akan meningkatkan partisipasi politik, dengan keterlibatan rakyat secara langsung akan berdampak pada peningkatan demokratisasi di tingkat lokal(51,6%). Mereka yang mempunyai pandangan seperti itu kebanyakan berpendidikan menengah ke atas, profesinya sebagai wartawan, guru, dosen, wiraswasta, TNI/Polri, PNS, karyawan swasta dan aktifis organisasi baik sebagai pengurus maupun anggota. Walaupun demikian merea ada yang tidak tahu-menahu akan persoalan partisipasi politik rakyat di daerahnya (45,1%). Mereka yang tidak tahu menahu atau memang tifdak mengerti persoalan itu kebanyakan profesi yang digeluti sehari-hari sebagai petani pemilik, petani penggarap, ibu-ibu rumah tangga, karyawan swasta, berpendidikan menengah ke bawah dan tidak aktif diorganisasi.

Mereka rupanya sebagian besar sepakat bahwa dengan Pilkada langsung, rakyat akan dapat menentukan siapa calon pemimpinnya yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan di

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

daerah (68,7%). Mereka yang berpendapat demikian itu profesinya sebagai dosen, mahasiswa, guru, PNS, TNI/Polri, pengusaha, wiraswasta, wartawan, karyawan swasta, kebanyakan berpendidikan menengah ke atas dan aktifis organisasi baik organisasi kemasyarakatan, keagamaan, LSM maupun partai politik. Namun mereka ada yang tidak sependapat kalau pilkada langsung dipandang bahwa rakyat akan dapat menentukan pemimpin yang mampu menyelesaikan persoalan di daerah. Walaupun demikian pilkada langsung memakan banyak biaya dari persiapan hingga pelaksanaannya (92,3%), oleh karenanya APBD akan banyak terseraf untuk pelaksanaan pilkada.

3. Keyakinan Terhadap Pilkada

Mereka cenderung mempunyai keyakinan bahwa pilkada langsung berdampak positip terhadap menegakkan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah (63,7%). Mereka yang berpendapat seperti itu kebanyakan profesinya sebagai mahasiswa, dosen, guru, wiraswasta, TNI, Polri, PNS, wartawan dan berpendidikan peguruan tinggi serta mereka kebanyakan aktif di organisasi.

Selain itu mereka mempunyai keyakinan pula bahwa siapapun yang terpilih legitimasinya akan kuat (45,1%). Mereka yang berpendapat seperti itu profesinya sebagai dosen, guru, PNS, mahasiswa, pengusaha, BUMN/BUMD, wartawan, kebanyakan berpendidikan menengah ke atas, dan aktif di berbagai organisasi. Namun mereka ada yang berkeyakinan sebaliknya, walaupun kepala daerah terpilih belum tentu legitimasinya akan kuat (16,5%), tergantung berapa besar yang memilihnya, kalau mereka yang memilih calon tertentu di bawah 51% masih rawan posisinya, legitimasinya belum kuat. Mereka berpandangan legitimasi kuat kalau calon dipilih minimal 51% dan tidak banyak yang golput. Kalau mereka masih banyak yang golput berarti legitimasinya belum kuat. Apalagi pilkada Banyuwangi ini yang terpilih hanya 39% dari total suara yang sah. Mereka yang berpendapat demikian itu kebanyakan profesinya sebagai dosen, mahasiswa, wiraswasta, pengusaha dan kebanyakan berpendidikan perguruan tinggi dan aktifis di organisasi baik di parpol, ada pula di organisasi keagamaan maupun non keagamaan seperti LSM.

Mereka ada sebagian yang mempunyai keyakinan bahwa pilkada langsung akan memunculnya kepada daerah yang lebih berkualitas (41,8%). Mereka yang berpendapat demikian ini kebanyakan profesinya sebagai dosen, mahasiswa, wiraswasta, PNS, TNI/Polri dan pegawai BUMN/BUMD, mereka berpendidikan

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

menengah ke atas dan mereka aktif di organisasi bahkan banyak pula posisinya sebagai pengurus.

Namun tidak semuanya mereka mempunyai keyakinan yang sama soal kualitas tidaknya seorang memimpin yang dipilih dalam pilkada langsung Banyuwangi. Tidak semua berkeyakinan akan muncul kepada daerah yang terpilih nantinya lebih berkualitas, masih perlu bukti (16,5%), mereka beralasan bahwa tidak ada calon yang independen. Mereka yang berpendapat seperti itu kebanyakan berpendidikan akademi, sarjana, mahasiswa, profesinya sebagai PNS, Polri, TNI, wiraswasta, pengusaha dan aktifis organisasi baik di parpol, RT, RW, LSM, maupun PKK. Bahkan ada sebagian responden yang tidak tahu menahu soal apakah dalam pilkada tersebut akan memunculkan kepala daerah yang berkualitas atau tidak (41,7%). Mereka yang tidak tahu menahu ini kebanyakan profesinya sebagai petani pemilik, petani penggarap, ibu-ibu rumah tangga, karyawan dan berpendidikan SD, SLTP maupun sebagian besar SLTA serta mereka bukan aktifis organisasi.

Tabel 3. Keyakinan Pilkada Langsung

No Keyakinan akan Pilkada langsung

Pendapat (%)

Ya Tidak Tidak Tahu

Jumlah

1 Lebih menegakkan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah

63,7 6,6 29,7 100

2 Dengan pemilihan kepala daerah secara langsung maka yang terpilih akan kuat legitimasinya.

45,1 16,5 38,5 100

3 Akan memunculnya kepada daerah yang lebih berkualitas

41,8 16,5 41,7 100

4 Pilkada langsung akan mampu meningkatkan pelayanan pemerintah daerah kepada rakyat

69,2 17,0 12,6 100

5 Pilkada langsung yang terpilih akan lebih responsif dan peka terhadap tuntutan/aspirasi masyarakat

46,2 13,1 40,7 100

6 Akuntabilitas calon yang terpilih akan lebih tinggi, karena apa yang mereka perbuat akan terbukti/ dipertanggungjawabkan pada pemilihan berikutnya

46,2 17,6 36,2 100

7 Kontrol menjadi lebih mudah dilakukan oleh publik (rakyat)

45,1 16,5 38,1 100

8 Pemerintah lokal (daerah) akan lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat, transparan dan mampu mengelola sumber daya

41,9 16,5 41,6 100

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

9 Melalui pemilihan langsung akan muncul pimpinan lokal.

45,1 17,6 36,2 100

10 Pilkada langsung akan dapat menciptakan stabilitas politik dan pemerintahan di tingkat lokal.

31,949,4 18,7 100

Sumber : Data primer diolah

Pilkada langsung akan berdampak positip terhadap pelayanan publik. Mereka sebagian besar berkeyakinan akan mampu meningkatkan pelayanan pemerintah daerah kepada rakyatnya (69,2%), demikian juga dengan adanya pilkada pemimpin yang terpilih akan lebih responsif terhadap berbagai aspirasi masyarakat (46,2%). Tidak itu saja, dengan adanya pilkada akuntabilitas calon yang terpilih akan lebih tinggi, karena apa yang mereka perbuat akan dipertanggungjawabkan pada pemilihan berikutnya (46,2%). Mereka yang berkeyakinan seperti ini kebanyakan profesinya sebagai dosen, mahasiswa, PNS, TNI, Polri, guru, wiraswasta, berpendidikan minimal lulus SLTA, bahkan ada yang pascasarjana, kebanyakan aktifis organisasi serta berjenis kelamin laki-laki dan sebagian perempuan.

Mereka kebanyakan mempunyai keyakinan bahwa rakyat akan lebih mudah melakukan kontrol (45,1%). Mereka melihat masih ada kelemahannya yaitu tidak adanya lembaga independen untuk mengontrol kekuasaannya, disamping itu civil society masih belum berkembang dan masih minimnya NGO di Banyuwangi yang mempunyai komitmen kuat terhadap demokrasi dan menegakkan hukum. Mereka yang berpendapat sperti ini berpendidikan akademi sampai pascasarjana, profesinya sebagai dosen, guru, mahasiswa, wiraswasta, PNS, TNI, Polri dan mereka kebanyakan aktif di organisasi kemahasiswaan, parpol, LSM serta organisasi maupun non keagamaan.

Tidak semua mempunyai keyakinan bahwa Pilkada langsung mempunyai dampak positip terhadap pemerintah lokal. Mereka melihat bahwa salah satu dampak pilkada terhadap kepekaan pemerintah lokal akan kebutuhan masyarakat, transparan dan mampu mengelola sumber daya hanya sebagian saja (41,9%). Selain itu, mereka sebagian besar berkeyakinan bahwa melalui pemilihan langsung akan muncul pimpinan lokal (45,1%). Dalam arti bahwa sumber daya manusia lokal akan lebih berkembang, tidak lagi SDMnya tergantung pada pemerintah pusat seperti pada masa orde baru. Mereka yang ada di daerah akan dapat bersaing untuk tampil populis, menarik dihadapan rakyat. Mereka yang mempunyai keyakinan seperti itu kebanyakan profesinya sebagai dosen, guru, PNS, TNI, Polri, pengusaha, wiraswasta, berpendidikan minimal lulus SLTA dan aktifis di organisasi.

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

Tidak selamanya Pilkada langsung seperti di Banyuwangi akan menciptkan stabilitas politik dan memerintahan lokal. Justru yang terjadi pasca pemilihan bupati terpilih muncul instabilitas politik dan instabilitas pemerintahan di Banyuwangi, walaupun instibiltas tersebut sifatnya hanya sementara saja (49,4%). Mereka yang mempunyai pendapat seperti itu kebanyakan berpendidikan lulus SLTA sampai pascasarjana, profesinya sebagai mahasiswa, dosen, TNI/Polri, pengusaha, karyawan swasta, pegawai BUMN/BUMD.

4. Aspek Pembelajaran Politik

Mereka sebagian besar berpendapat bahwa pilkada meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal (72,5%). Mereka yang berpendapat demikian itu kebanyakan berprofesi sebagai dosen, PNS, TNI, Polri, guru, mahasiswa dan wiraswasta, berpendidikan minimal lulus akademi, dan aktif di organisasi baik kapasitasnya sebagai pengurus maupun anggota.

Tabel 4. Aspek Pembelajaran Politik

No Aspek PembelajaranPendapat (%)Ya Tidak Tidak

TahuJumlah

1 Meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal 72,5 23,1 27,4 100

2 Mengorganisir masyarakat ke dalam suatu aktivitas politik yang memberi peluang lebih besar pada setiap orang untuk berpartisipasi

52,7 4,4 42,9 100

3 Memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat lokal

49,5 8,8 41,7 100

Sumber : Data primer diolah

Aspek yang lain dari pilkada langsung yaitu mengorganisir masyarakat ke dalam suatu aktivitas politik yang memberi peluang lebih besar pada setiap orang untuk berpartisipasi (52,7%). Mereka beralasan dengan adanya pilkada langsung akan tumbuh NGO atau LSM baru yang memberi peluang terhadap aktivitas politk rakyat yang dapat melakukan kontrol terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Mereka yang mempunyai pendapat seperti itu kebanyakan profesinya sebagai dosen, mahasiswa, guru, wiraswasta, karyawan swasta, pegawai BUMN/BUMD, Polri, TNI dan berpendidikan minimal lulus SLTA.

Disamping itu mereka sebagian besar (49,5%) sependapat kalau dikatakan bahwa pilkada langsung mempunyai aspek

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

pembelajaran politik terutama memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat lokal. Mereka yang mempunyai pendapat seperti itu profesinya sebagai dosen, mahasiswa, guru, PNS, TNI, Polri, karyawan swasta, berpendidikan minimal lulus SLTA serta aktif di organisasi yang kapasitasnya sebagai pengurus maupun sebagai anggota. Walaupun demikian mereka ada yang tidak tahu menahu soal itu (41,7%).

Sumber Informasi

Sumber informasi tentang pilkada di Banyuwangi yang mereka peroleh kebanyakan dari media massa baik elektronika maupun media massa cetak terutama dalam hal ini surat kabar harian. Mereka yang mengakui sumber informasi yang mereka peroleh dari elektronika terutama radio sebanyak 89,0%, dari televisi sebanyak 78,0%, surat kabar harian (85,7%). Mereka yang memperoleh informasi dari akses media massa tersebut kebanyakan profesinya sebagai dosen, guru, pengusaha, wirawasta, karyawan swasta, PNS, TNI/Polri, mahasiswa, pegawai BUMN/BUMD, pendidikan mereka kebanyakan lulus SLTA, akademi, sarjana/pascasarjana serta mereka aktif di berbagai organisasi yang kapasitasnya sebagai pengurus dan ada pula sebagai anggota.

Tidak ketinggalan juga mereka memperoleh informasi berasal dari komunikasi tatap muka terutama teman sekerja (86,8%). Mereka yang mengandalkan sumber informasi selain media massa juga berasal dari teman sekerja, diakui oleh mereka hampir semua kalangan pekerjaan, pendidikan maupun mereka yang aktif di organisasi maupun yang tidak aktif.

Pengaruh Pilkada Terhadap Kinerja Birokrasi

Mereka berpendapat bahwa pilkada akan meningkatkan kinerja pemerintah daerah (52,2%), mereka yang berpendapat seperti itu kebanyakan profesinya sebagai guru, dosen, karyawan swasta, pegawai BUMN/BUMD, PNS, TNI, Polri, wiraswasta, dan berpendidikan minimal lulus SLTA serta mereka aktif maupun tidak aktif di organisasi. Selain itu juga dipandang oleh sebagian besar responden (49,5%) kesejahteraan rakyat akan lebih diperhatikan. Mereka beralasan seperti itu dikarenakan dengan adanya pilkada langsung kepala daerah yang terpilih akan lebih konsisten. Selain itu mereka juga berargumen bahwa kepala daerah terpilih akan lebih loyal kepada pemilihnya daripada kepada DPRD. Mereka yang berpendapat seperti itu profesinya sebagai guru, PNS, karyawan swasta, pengusaha/wiraswasta, TNI, Polri, mahasiswa, wartawan

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

dan mereka berpendidikan lulus SLTA, akademi, sarjana/pascasarjana serta mereka kebanyakan akitf di organisasi baik RT, RW, parpol, LSM yang kapasitasnya sebagai pengurus maupun ada yang hanya sebagai anggota.

Tidak semuanya berpendapat bahwa pilkada langsung akan berdampak pada meningkatkan kinerja pemerintah daerah, maupun kesejahteraan rakyat (48,9) serta meningkatkan akuntabilitas pemerintah (48,9%). Mereka yang berpendapat seperti itu beralasan bahwa ada faktor-faktor yang ikut berpengaruh seperti peran DPRD. Untuk mencapai itu harus ada good will dari kedua belah pihak yaitu DPRD dan kepala daerah terpilih, tidak bisa hanya mengandalkan kepala daerah saja. Seperti kasus di Banyuwangi DPRD tidak berpikir untuk kepentingan rakyat, tidak lebih hanya untuk kepentingan kelompok atau pribadinya. Kalau DPRD konsisten dengan demokrasi harus mengakui hasil pemilihan rakyat. Justru yang terjadi DPRD Kabupaten Banyuwangi menghambat pembangunan daerah. Mereka yang mempunyai pandangan seperti itu kebanyakan berpendidikan minimal lulus SLTA, dan profesinya sebagai dosen, wiraswasta, pegawai BUMN/BUMD, PNS, TNI, Polri serta mereka kebanyakan aktifis organisasi yang kapasitasnya sebagai pengurus maupun ada sebagian yang menjadi anggota.

Harapan-Harapan Publik Atas Pilkada

1. Sistem Pemilihan Kepala Daerah

Mereka sebagian besar responden (96,7%) menyetujui dan mengharapkan dipertahankan sistem pilkada langsung dipilih oleh rakyat. Mereka beralasan dengan adanya pilkada langsung mengharuskan seorang calon harus dikenal dan dekat dengan rakyatnya. Selain itu akan meminimalkan terjadinya KKN, dan politik uang. Mereka yang berpendapat seperti itu profesinya sebagai dosen, guru, pengusaha, PNS, TNI, Polri, petani pemilik, petani penggarap, ibu-ibu rumah tangga, karyawan swasta, pegawai BUMN/BUMD, mahasiswa, pensiunan PNS, maupun wiraswasta. Demikian juga mereka berpendidikan rendah, menengah tinggi, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang sudah kawin maupun belum kawin/janda/duda, baik itu yang aktif maupun tidak aktif di organisasi cenderung menghendaki pemilihan langsung tetap dipertahankan.

Mereka sebagian besar cenderung tidak setuju kalau kepala daerah dikembalikan seperti UU 22/1999 yaitu kepala daerah dipilih oleh DPRD (89,6%), apalagi kepala daerah ditunjuk oleh pemerintah pusat (83,4%). Mereka yang tidak setuju kepala daerah dipilih oleh DPRD kebanyakan beralasan bahwa esensi kedaulatan rakyat akan

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

hilang, justru dengan pilkada langsung oleh rakyat esensi kedaulatan rakyat dihargai dan dihormati. Mereka yang berpendapat seperti itu hampir semua lapisan pendidikan, baik yang lulus pendidikan SD, SLTP, SLTA maupun yang lulus dari perguruan tinggi, berprofesi sebagai mahasiswa, dosen, guru, PNS, TNI, Polri, pengusaha, wiraswasta, pegawai BUMN/BUMD, ibu-ibu rumah tangga, karyawan swasta, baik yang aktif di organisasi maupun tidak aktif di organisasi, baik uisa muda maupun usia golongan tua, baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan.

Mereka sebagian besar tidak menyetujui kalau calon kepala daerah harus melalui parpol saja (49,5%). Mereka kebanyakan menghendaki atau menyarankan calon kepala daerah tidak harus melalui parpol, agar bisa membuka calon independen (74,7%). Mereka yang menghendaki demikian itu kebanyakan profesinya sebagai dosen, guru, karyawan swasta, pegawai negeri sipil, pegawai BUMN/BUMD, wiraswasta, dan berpendidikan menengah ke atas, serta mereka yang aktif maupun tidak aktif di organisasi.

2. Kandidat Kepala Daerah

Soal calon kepala daerah mereka sebagian besar berpendapat sebaiknya tidak berasal dari pemuka agama (56,6%). Mereka mempunyai argumen, pemuka agama sebaiknya mengurusi soal agama. Mereka kawatir kalau pemuka agama terjun ke dunia politik akan mempolitisasi agama dan pilihan-pilihan politiknyapun tidak akan netral dan tidak rasional serta terjadi premordialisme.

Mereka ada sebagian besar menghendaki sebaiknya asal calon kepala daerah berasal dari putra daerah (60,4%). Mereka yang berpendapat demikian itu beralasan bahwa kepala daerah berasal dari putra daerah akan lebih mengerti persoalan-persoalan daerah. Mereka yang berpendapat demikian itu kebanyakan profesinya sebagai petani penggarap, petani pemilik, ibu-ibu rumah tangga, karyawan, dan sebagian sebagai wiraswasta, perpendidikan SD, SLTP, SLTA dan mereka kebanyakan tidak aktif diorganisasi.

Pro kontra soal asal kepala daerah terjadi pula apakah berasal dari parpol atau bukan. Mereka sebagian besar tidak mempersoalkannya (50,5%) yang penting mereka mampu memimpin daerahnya kearah yang lebih baik. Banyak orang-orang di luar partai kemampuannya jauh lebih baik, profesional dan berwawasan kedepan daripada orang partai. Mereka yang berpandangan seperti itu kebanyakan profesinya sebagai dosen, guru, pengusaha, mahasiswa, PNS, wartawan dan TNI, Polri, berpendidikan minimal

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

lulus SLTA dan mereka kebanyakan aktif di organisasi baik di organisasi kemasyarakatan maupun non kemasyarakatan.

Tabel 5. Asal Calon Kepala DaerahNo Asal calon Pendapat (%)

Ya Tidak Tidak Tahu

Jumlah

1 Pemuka agama 32,4 56,6 11,0 1002 Putra daerah 60,4 8,8 30,8 1003 Partai politik (politisi) 36,3 50,5 13,2 1004 Kalangan pengusaha 66,9 14,3 19,8 1005 Kalangan professional 60,4 5,5 34,1 1006 Kaum intelektual 58,3 6,6 35,2 100

Sumber : Data primer diolah

Mereka ada kecenderungan asal calon sebaiknya berasal dari kalangan pengusaha (66,9%), kalangan profesional (60,4%) dan kaum intelektual (58,3%). Mereka yang memilih pengusaha berpendapat bahwa kalau kepala daerah berasal dari pengusaha akan dapat mendatangkan investor di daerahnya dan akan lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi di daerahnya, dengan demikian akan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru dan dapat mengatasi pengangguran. Demikian pula kalau kepala daerah berasal dari kalangan profesional akan lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat di daerah, dan akan mampu memilih prioritas pembangunan. Demikian pula kaum intelektual juga direkomendasikan oleh sebagian besar responden (58,3%). Mereka berpendapat bahwa kepala daerah berasal dari kalangan intelektual selain mengenal masyarakat secara sosiologis, antropolgis juga mampu untuk memilih priortias pembangunan daerah.

Ketertarikan Kampanye Pilkada

Sebagian besar responden (81,3%) tema kampanye yang menarik adalah yang menyangkut pendidikan, kesehatan (79,1%), lapangan pekerjaan (63,7%), dan kemiskinan (68,1%). Mereka yang tertarik pada tema kampanye pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, kemiskinan kebanyakan profesinya sebagai mahasiswa, guru, dosen, karyawan, PNS dan ibu-ibu rumah tangga, mereka yang belum bekerja. Mereka lebih tertarik pada tema-tema kampanye tersebut dikarenakan realitasnya Kabupaten Banyuwangi menghadapi berbagai problem seperti itu.

Kabupaten Banyuwangi merupakan daerah pertanian yang subur, namun sebagian kecil responden tidak tertarik kampanye pertanian (8,8%) dan sebagian besar responden tidak tahu menahu soal tema kampanye pertanian (53,9%). Mereka kebanyakan berpendapat bahwa tema kampanye tersebut tidak begitu menarik

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

karena di Banyuwangi seperti pertanian sudah ditangai dengan bagus dan menghasilkan pertanian terutama padi sangat baik dan surplus. Demikian juga sebagian besar responden tidak tahu menahu soal tema kampanye lalu lintas (62,6%).

Kesimpulan

Mereka kebanyakan berpendapat bahwa parpol dalam pilkada belum berperan dan berfungsi dengan baik. Sedangkan preferensi pemilih kebanyakan karena tingkat pendidikan kandidat dipandang cukup memadahi. Ada pula preferensi politiknya ideologis yaitu pemuka agama, karena putra daerah, karena pengusaha, dan intelektual.

Pendapat publik terhadap nilai-nilai demokrasi pada pilkada langsung di Banyuwangi belum demokratis dan yang lainnya menganggap demokratis. Mereka yang menganggap demokratis beralasan karena pilihan tersebut melibatkan rakyat secara langsung. Sedangkan mereka yang beranggapan belum demokratis dikarenakan tidak ada calon dari independen. Pilkada dipandang oleh mereka kebanyakan kepala daerah terpilih memposisikan sebagai representasi masyarakat, membatasi pengaruh konfigurasi politik DPD dengan kepala daerah, menjamin legitimasi pemerintah daerah, partisipasi politik akan meningkat, dan rakyat dapat menentukan siapa calon pemimpinnya yang diangap mampu menyelesaikan persoalan di daerah.

Selain itu mereka berkeyakinan bahwa pilkada langsung berdampak positif terhadap penegakan kedaultan rakyat dalam menyelenggaraan pemerintahan di daerah, memunculkan pemimpin yang berkualitas, mampu meningkatkan pelayanan pemerintah daerah kepada rakyat, kepala daerah terpilih lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat, akuntabilitas akan lebih baik, akan meningktkan kinerja pemerintah daerah, kesejahteraan rakata akan lebih diperhatikan, kontrol akan mudah dilakukan oleh rakyat, dan akan muncul pemimpin lokal yang lebih baik. Sedangkan sumber informasi tentang pilkada yang mereka dapatkan kebanyakan berasal dari media massa elektronika radio, televisi dan media interpersonal tatap muka yang kebanyakan dari teman kerja. Mereka mengharapkan bahwa pilkada tetap dipilih oleh rakyat secara langsung dan dibuka kesempatan calon independen.

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

Daftar Pustaka

Afiti, Subhan dkk, 2005, Pilkada Langsung dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah; Fisip UPN”Veteran”, Yogyakarta.

Abdurrachman , Oemi, 2001, Dasar-Dasar Public Relation; Citra Aditya Bakti, Bandung.

Bambang Ilkobar, Saptopo, 2005, Pemilihan Kepala daerah Langsung, Hubungan Kepala daerah dengan DPRD, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah, dalam Subhan Afiti (Editor), Pilkada Langsung dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah; FISIP UPUN “Veteran’, Yogyakarta.

Gafar, Afan, 1999, Politik Indonesia,, Transisi Menuju Demokasi; Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Gayatri, Gati, Kendala Pembentukan Opini Publik Mengenai Penerapan Darurat Militer di Aceh Pada Era Reformasi, Makalah disajikan dalam Temu Ilmiah II Peneliti Bidang Informasi dan Komunikasi yang diselenggarakan oleh Lembaga Informasi Nasional, tanggal 16-17 Juli 2003 di Hotel Kusuma Agrowisata, Batu Jawa Timur.

Ida, Rachmah, 2001, “Opini Publik, Demokrasi, Dan Analisis Spiral Kebisuan” dalam Jurnal Penelitian Media Massa, Vol. 4 No. 8. Balai Pengkajian dan Informasi Surabaya.

Kumorotomo, Wahyudi, 2005, Akuntabilitas Birokrasi Publik, Skestsa pada masa Transisi; Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Mc Quail, Dennis, 1996, Teori Komunikasi Massa; Erlangga, Jakarta.

Mubarok, M. Mufti, 2005, Suksesi Pilkada; Java Pustaka, Surabaya.

Nimmo, Dan, 1989, Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek; Rosdakarya, Bandung.

----------------, 1993, Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan Media; Rosdakarya, Bandung.

Panuju, Redi, 2002, “Opini Publik, Karakteristik dan Proses”, dalam Jurnal Peneitian Media Massa, Vol. 4 No. 8, Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Surabaya.

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi – Volume : 3, No. : 8 / Agustus 2009

Prihatmoko, Joko J, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filsafat, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Putra, Fadillah, 2003, Partai Politik dan Kebijakan Publik; Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Santoso, Purwo, 2005, Peta Jalan Untuk Pengembangan Akuntabilitas Pemerintahan daerah Pasca PIlkada Langsung, dalam Subhan Afit (Editor), Pilkada langsung dan akuntabiltas Pemerintah Daerah, Yogyakarta, FISIP UPN “Veteran”.

Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

http:///www.fajar.co.id, Otoritas dan Semantik Politik Pascapilkada.

__________________________________________________________________________Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya