Upload
laode-m-hidayatullah
View
31
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bab II skripsi dengan judul anemia pada lansia
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anemia
2.1.1 Definisi Anemia
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah
merah, konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. Menurut
kriteria WHO anemia kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada wanita. Berdasarkan
kriteria WHO yang direvisi/ kriteria National Cancer Institute, anemia adalah kadar
hemoglobin di bawah 14 g% pada pria dan dibawah 12 g% pada wanita. Kriteria ini
digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita dengan keganasan. Anemia
merupakan tanda adanya penyakit. Anemia selalu merupakan keadaan tidak normal
dan harus dicari penyebabnya. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium sederhana berguna dalam evaluasi penderita anemia (Schrier, 2011).
Pendapat lain mengatakan, anemia didefinisikan sebagai kondisi rendahnya
kadar hematocrit atau hemoglobin (Bhatta dkk, 2011). Menurut Depkes RI (2008),
anemia merupakan kondisi kurang darah yang umumnya terjadi ketika jumlah
eritrosit kurang dari normal atau akibat konsentrasi hemoglobin yang rendah dalam
darah. Menurut (Hoffbrand, Petit dan Moss, 2005), anemia didefinisikan sebagai
berkurangnya kadar hemoglobin darah.
2.1.2 Insiden Anemia
Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia mengalami anemia. Insiden lebih
tinggi pada Negara yang sedang berkembang, dikarenakan defisiensi nutrisi atau
kehilangan darah akibat infkesi parasite (EJ Parker, 2004). Menurut Mc Lean dkk
(2009), sekitar 1.62 miliar atau 24,8% penduduk dunia mengalami anemia.
4
5
Menurut WHO, pada tahun 1993 sampai 2005 terdapat sekitar 2 miliar
penduduk dunia mengalami anemia dengan gejala yang meliputi kulit pucat, rasa
lelah, napas pendek, kuku mudah pecah, kurang selera makan, dan sakit kepala
sebelah depan. Sedangkan di Indonesia, prevalensi anemia pada tahun 2003 sampai
2010 masih di atas 40%, dengan prevalensi tertinggi berupa anemia defisiensi besi
pada ibu hamil, anak prasekolah, wanita tidak hamil dan lansia (Depkes, 2003).
2.1.3 Etiologi Anemia
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: (Bakta, 2009)
1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang
2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolysis)
2.1.4 Kriteria Anemia
Kriteria Anemia menurut WHO
Laki-laki dewasa : Hb < 13 gr/dL
Wanita dewasa tidak hamil : Hb < 12 gr/dL
Wanita hamil : Hb < 11gr/dL
2.1.5 Klasifikasi Anemia
Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis: (Bakta, 2009)
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
6
1. Kekurangan bahan esensial pembentukan eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastic
b. Anemia mieloplastik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
B. Anemia akibat perdarahan
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalasemia
- Hemoglobinopati structural : HbS, HbE, dll
2. Anemia heolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang
kompleks
7
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi: (Bakta, 2009)
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastic
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologic
III. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodiplastik
2.1.6 Gejala Anemia
8
Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia,
apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah harga tertentu. Gejala
umum anemia ini timbul karena (Bakta, 2009):
a. Anoksia organ
b.Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen
Sementara menurut (Kaushansky et al, 2010):
• Affinitas oksigen yang berkurang
Untuk peningkatan pengangkutan oksigen ke jaringan yang efisien, dilakukan
dengan cara mengurangi affinitas hemoglobin untuk oksigen. Aksi ini
meningkatkan ekstraksi oksigen dengan jumlah hemoglobin yang sama.
• Peningkatan perfusi jaringan
Efek dari kapasitas pengangkutan oksigen yang berkurang pada jaringan dapat
dikompensasi dengan meningkatkan perfusi jaringan dengan mengubah aktivitas
vasomotor dan angiogenesis.
• Peningkatan cardiac output
Dilakukan dengan mengurangi fraksi oksigen yang harus diekstraksi selama
setiap sirkulasi, untuk menjaga tekanan oksigen yang lebih tinggi. Karena
viskositas darah pada anemia berkurang dan dilatasi vaskular selektif
mengurangi resistensi perifer, cardiac output yang tinggi bisa dijaga tanpa
peningkatan tekanan darah.
• Peningkatan fungsi paru
Anemia yang signifikan menyebabkan peningkatan frekuensi pernafasan yang
mengurangi gradien oksigen dari udara di lingkungan ke udara di alveolar, dan
meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia lebih banyak daripada cardiac
output yang normal.
• Peningkatan produksi sel darah merah
9
Produksi sel darah merah meningkat 2-3 kali lipat pada kondisi yang akut, 4-6
kali lipat pada kondisi yang kronis, dan kadang-kadang sebanyak 10 kali lipat
pada kasus tahap akhir. Peningkatan produksi ini dimediasi oleh peningkatan
produksi eritropoietin. Produksi eritropoietin dihubungkan dengan konsentrasi
hemoglobin. Konsentrasi eritropoietin dapat meningkat dari 10 mU/mL pada
konsentrasi hemoglobin yang normal sampai 10.000 mU/mL pada anemia yang
berat.
Perubahan kadar eritropoietin menyebabkan produksi dan penghancuran sel
darah merah seimbang.
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar
hemoglobin telah turun dibawah 7 gr/dL. Berat ringannya gejala umum anemia
tergantung pada (Bakta, 2009):
a. Derajat penurunan hemoglobin
b. Kecepatan penurun hemoglobin
c. Usia
d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya
Sindroma anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging
(tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia.
Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva,
mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku.
2.Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:
- Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan
kuku sendok (koilonychias)
- Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin
B12
- Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
10
- Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3.Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi
cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena atritis rheumatoid.
2.1.7 Diagnosis Anemia
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease
entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal
ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Tahap-tahap dalam diagnosis
anemia adalah (Bakta, 2009):
1. Menentukan adanya anemia
2. Menentukan jenis anemia
3. Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
4.Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi
hasil pengobatan.
2.2 Anemia pada Lansia
2.2.1 Epidemiologi Anemia pada Lansia
Sebanyak 11,0% pria dan 10,2% wanita berusia diatas 65 tahun memenuhi
kriteria anemia menurut World Health Organization (WHO), yaitu konsentrasi
hemoglobin <12g/dl pada wanita dan <13g/dl pada pria. Akan tetapi, prevalensi
tersebut meningkat signifikan pada usia diatas 75 tahun. Anemia merupakan kondisi
yang umum dialami oleh populasi lansia berumur lebih dari 65 tahun, dengan angka
11
kejadian mencapai 3 juta di Amerika Serikat (Guralnik dkk, 2005). Prevalensi
tertinggi didapatkan pada pasien lansia yang dirawat rumah sakit dan pasien berusia
sangat tua (>85 tahun) (Smieja dkk, 1996). Berbeda dengan orang muda, pada lansia
anemia lebih sering diderita oleh laki-laki daripada perempuan (Guralnik et al, 2005).
2.2.2 Etiologi Anemia pada Lansia
Anemia pada lanjut usia dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara
lain genetik, defisiensi vitamin, defisiensi besi, dan penyakit lain. Penyebab anemia
yang paling umum pada lanjut usia adalah penyakit kronik, termasuk inflamasi
kronik, keganasan, dan infeksi kronik. Sedangkan Menurut hasil studi NHANES III
(National Health and Nutrition Examination Study), terdapat 3 penyebab utama
anemia pada usia lanjut, yaitu (Sudoyo, 2006) :
1. Defisiensi nutrisi / kehilangan darah
2. Inflamasi / penyakit kronik
3. Anemia yang tidak dapat dijelaskan (unexplained)
Proses menua akan berjalan searah dengan menurunnya kapasitas fungsional,
baik pada tingkat seluler maupun tingkat organ. Menurunnya kapasitas untuk
berespon terhadap lingkungan internal yang berubah cenderung membuat orang usia
lanjut sulit untuk memelihara kestabilan status fisik. Lansia secara progresif akan
kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan makin banyaknya distorsi metabolik
dan struktural yang disebut sebagai “penyakit degeneratif“. Dengan banyaknya
distorsi dan penurunan cadangan sistem fisiologis akan terjadi pula gangguan
terhadap system hematopoiesis (Sudoyo et al, 2009).
Menurut The Baltimore Longitudinal Study of Aging, proses menua dibedakan
atas 2 bagian yaitu proses menua normal (primary aging) dan proses menua patologis
(secondary aging). Proses menua normal merupakan suatu proses yang ringan
12
(benign), ditandai dengan turunnya fungsi secara bertahap tetapi tidak ada penyakit
sama sekali sehingga kesehatan tetap terjaga baik. Sedangkan proses menua patologis
ditandai dengan kemunduran fungsi organ sejalan dengan umur tetapi bukan akibat
umur bertambah tua, melainkan akibat penyakit yang muncul pada umur tua
(Balducci, 2007).
Menurut Lodovico Balducci, khususnya pada kasus keganasan, anemia pada
pasien0 lanjut usia dapat menyebabkan turunnya mobilitas, mengurangi kemampuan
respon pasien lanjut usia untuk menerima pengobatan, dan bahkan dapat
menimbulkan delirium dam demensia (Smith, 2000).
Perbedaan derajat anemia yang timbul dari penyakit kronik tidak hanya
disebabkan oleh kronisitas penyakit itu sendiri. Hal-hal yang dapat menurunkan nilai
hemoglobin secara cepat antara lain adalah adanya perdarahan organ, gejala penyerta
yang timbul (melena, hematemesis) serta tindakan medis seperti post operasi, post
amputasi, dan lain-lain.
2.2.3 Patofisiologi Anemia pada Lansia
Kondisi fisik dan psikososial lansia yang mulai menurun menimbulkan
berbagai masalah kesehatan. Permasalahan yang biasanya muncul adalah penyakit
degeneratif dan masalah kesehatan yang berkaitan dengan gizi.
Kebutuhan zat gizi lansia lansia yang tergolong aktif tidak jauh berbeda,
bahkan cenderung sama dengan orang dewasa sehat. Lansia yang tergolong sehat
masih mampu untuk mengurus diri mereka sendiri, sedangkan sebagian lain sudah
sangat terbatas kemampuannya bahkan bergantung pada orang lain (Sudoyo, 2006).
Anemia pada lansia merupakan satu dari berbagai masalah kesehatan yang
berkaitan dengan gizi. Penyebab anemia paling umum pada usia lanjut adalah
penyakit kronis (35%) dan defisiensi besi (15%). Namun pada sejumlah besar kasus,
mekanisme yang mendasari terjadinya anemia masih belum dapat dijelaskan
(Balducci, 2007).
13
Pada umumnya lansia sudah tidak memiliki gigi yang sempurna lagi. Oleh
karenanya, lansia memiliki keterbatasan untuk mengkonsumsi sumber zat besi
hewani (besi heme). Padahal ketersediaan biologik besi heme pada sumber hewani
lebih tinggi dari sumber nabati. Kurangnya konsumsi dari sumber pangan hewani
juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi.
Sementara itu, lapisan lambung lansia yang menipis mengakibatkan sekresi
HCl dan pepsin berkurang. Sehingga berdampak terhadap menurunnya penyerapan
vitamin B12 dan zat besi.
Di lain sisi, anemia akibat penyakit kronik merupakan penyebab anemia
terbanyak bagi lansia. Anemia ini terjadi karena gangguan homeostasis besi yang
akan menimbulkan hipoferemia. Hipoferemia adalah bagian respon tubuh terhadap
infeksi, keganasan, dan inflamasi. Rendahnya kadar besi serum pada penyakit kronik
mengurangi zat-zat gizi esensial bagi se-sel ganas yang sedang melakukan invasi.
Sehingga sebenarnya hipoferemia merupakan respon tubuh terhadap infeksi,
keganasan, dan inflamasi (Sudoyo et al, 2009).
Penuaan dan perkembangan komorbiditas terkait usia telah dikaitkan dengan
peningkatan kronis kadar sitokin proinflamasi seperti TNF, IL-6, IL-1ß, migrasi
makrofag faktor penghambat (MIF), dan protein fase akut. Peningkatan kronis kadar
sitokin proinflamasi seperti IL-6, TNFα, IL-1ß, dan MIF telah dikaitkan dengan
pengembangan sejumlah penyakit penyerta yang berkaitan dengan usia. MIF adalah
sitokin yang disekresikan oleh makrofag dan sel T, dan meningkatan sejumlah
gangguan inflamasi (Vanasse, 2010).
Patofisiologi unexplained anemia pada pasien usia lanjut yang kurang
dipahami. Meskipun myelodysplasia dan penyebab umum lain dari anemia berpotensi
menjelaskan sebagian dari unexplained anemia, kontribusi gabungan mereka relatif
rendah. Dampak dari kekurangan vitamin, di luar zat besi, vitamin B12, dan folat,
atau dampak potensial dari penyakit ginjal subklinis pada pengembangan unexplained
anemia masih kurang dipelajari. Terdapat pendapat bahwa kelebihan dari sitokin
14
proinflamasi merupakan faktor penentu penting unexplained anemia pada pasien usia
lanjut, dan bahwa mereka menginduksi anemia dengan menekan pembentukan koloni
erythroid (MIF / TNF? / IL-1ß) di satu sisi dan penurunan pemanfaatan besi (IL
-6/hepcidin) di sisi lain (Vanasse, 2010).
Ferrucci et al melakukan pengumpulan data dari sampel yang representatif
dari orang lanjut usia terdaftar dalam studi InCHIANTI untuk meneliti hubungan
antara mediator proinflamasi dan subyek lansia dengan unexplained anemia. Dalam
studi ini, 42 dari 124 orang anemia memenuhi kriteria untuk unexplained anemia
(Vanasse, 2010).
2.2.4 Diagnosis Anemia pada Lansia
Anemia sering memiliki onset berbahaya pada orang tua. Meskipun
penurunan akut pada hemoglobin akan menyebabkan gejala deplesi volume, seperti
pusing dan jatuh, onset lambat anemia lebih baik ditoleransi, dengan gejala
berkembang sebagai mekanisme kompensasi yang gagal. Orang tua tidak dapat
meningkatkan denyut jantung dan cardiac output seperti halnya orang muda, dengan
dyspnea, kelelahan, dan kebingungan menjadi lebih umum sebagai gejala anemia
yang memburuk. Ada beberapa tanda-tanda pada pemeriksaan fisik yang spesifik
untuk anemia ringan atau sedang. Konjungtiva pucat biasanya dicatat ketika tingkat
hemoglobin turun di bawah 9 g per dL (90 g per L) . Pada orang dengan beberapa
penyakit kronis, dokter mungkin mengabaikan gejala anemia atau atribut terhadap
proses penyakit yang mendasarinya. Dengan demikian, adalah penting untuk
memiliki indeks kecurigaan yang tinggi ketika orang tua hadir bahkan dengan gejala
penurunan yang tidak kelihatan. Hitung darah lengkap atau pengukuran hematokrit
akan cepat mengkonfirmasi diagnosis anemia (Bross, 2010).
15
Tiga algoritma berikut disajikan untuk membantu mengidentifikasi penyebab
yang mendasari atau etiologi untuk anemia. Algoritma didasarkan pada probabilitas,
dengan pengertian bahwa kebanyakan anemia adalah multifaktorial, dan itu sulit
untuk mengidentifikasi penyebab yang mendasari.
Gambar 1. Algorithm for the diagnosis of microcytic anemiaSumber: (Bross, 2010)
16
Gambar 2. Algorithm for the diagnosis of normocytic anemiaSumber: (Bross, 2010)
17
Gambar 3. Algorithm for the diagnosis of marcrocytic anemiaSumber: (Bross, 2010)
18
2.2.5 Penatalaksana Anemia pada Lansia
Hampir semua orang tua dengan anemia gizi harus diobati, karena pengobatan
biasanya sederhana dan costeffective. Satu-satunya pengecualian mungkin pasien
yang sangat sakit di akhir hidup dan mereka yang menolak intervensi. Untuk anemia
defisiensi besi, dosis biasa adalah pengganti besi sulfat, 325 mg (65 mg besi
elemental) per hari, atau glukonat besi, 325 mg (38 mg besi elemental) per hari.
Terapi besi dosis rendah, dengan 15 mg besi elemental per hari sebagai glukonat besi
cair, efektif mengoreksi hemoglobin dan konsentrasi feritin dengan efek samping
gastrointestinal kurang dari besi yang lebih tinggi dosisnya. Bagi orang-orang yang
gagal untuk merespon terapi besi oral, pengobatan parenteral dengan dekstran besi
atau sukrosa besi biasanya dilakuakan. Terapi oral dosis tinggi (cyanocobalamin, 1
sampai 2 mg per hari) untuk mengobati kekurangan vitamin B12 efektif dan
ditoleransi dengan baik. Kekurangan folat harus diperlakukan dengan asam folat, 1
mg per hari (Bross, 2010).
Pengobatan anemia penyakit kronis, anemia penyakit ginjal kronis, dan
anemia dijelaskan lebih sulit. Pengobatan awal dan lebih disukai adalah untuk
memperbaiki gangguan yang mendasarinya. Optimalnya pengelolaan penyakit kronis
akan meminimalkan peradangan dan mengurangi penekanan sumsum tulang. Dua
pilihan untuk mengobati anemia berat adalah transfusi darah dan agen erythropoiesis
stimulating, keduanya memiliki keterbatasan yang signifikan. Transfusi darah
memberikan bantuan langsung dari gejala umum, termasuk dyspnea, kelelahan, dan
pusing. Risiko transfusi meliputi volume overload, kelebihan zat besi, infeksi, dan
reaksi akut. Agen eritropoiesis-merangsang telah disetujui untuk pengobatan anemia
penyakit kronis dalam situasi terbatas, tetapi penggunaannya masih kontroversial
(Bross, 2010).
19
Tabel 1. Guidelines for Use of Erythropoiesis Stimulating Agents in Patients with
Anemia
Sumber: (Bross, 2010)
20
2.3 Anemia Penyakit Kronik pada Lansia
Anemia penyakit kronik merupakan penyebab lebih dari sepertiga kasus
anemia pada lansia. Anemia penyakit kronik adalah anemia yang terjadi setelah
proses infeksi atau inflamasi kronik. Biasanya anemia akan terjadi setelah penderita
mengalami penyakit tersebut selama 1-2 bulan (Eisenstaedt, Penninx & Woodman,
2006).
2.3.1 Defenisi anemia penyakit kronik
Anemia penyakit kronik adalah anemia yang timbul setelah terjadinya proses
infeksi atau inflamasi kronik. Biasanya anemia akan muncul setelah penderita
mengalami penyakit tersebut selama 1–2 bulan (Fitzsimons, 2001).
Tumor dulunya memang merupakan salah satu penyebab anemia penyakit
kronik, namun dari hasil studi yang terakhir tumor tidak lagi dimasukkan sebagai
penyebab anemia penyakit kronik (Linch DC, 1996).
2.3.2 Etiologi anemia penyakit kronik
Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit/kondisi
seperti infeksi kronik misalnya infeksi paru, endokarditis bakterial; inflamasi kronik
misalnya artritis reumatoid, demam reumatik; lain–lain misalnya penyakit hati
alkaholik, gagal jantung kongestif dan idiopatik (Tabel 1) (Bunch, 2000) :
21
Tabel 2. Etiologi anemia penyakit kronik
No Infeksi Kronik Inflamasi Kronik Lain-lain
1 Infeksi paru: abses, emfisema,
tuberculosis, bronkiektasis
Arthritis
rheumatoid
Penyakit hati
alkoholik
2 Endokarditis bacterial Demam reumatik Gagal jantung
kongestif
3 Infeksi saluran kemih kronik Lupus eritematosus
sistemik (LSE)
Tromboplebitis
4 Infeksi jamur kronik Trauma berat Penyakit jantung
iskemik
5 Human immunodeficiency virus
(HIV)
Abses steril
6 Meningitis Vaskulitis
7 Osteomielitis Luka Bakar
8 Infeksi system reproduksi wanita Osteoartritis (OA)
9 Penyakit inflamasi pelvik (PID:
pelvic inflammatory disease)
Penyakit vascular
kolagen (Collagen
vascular disease)
10 Polimialgia
11 Trauma panas
12 Ulkus decubitus
13 Penyakit Crohn
Sumber: (Bunch, 2000)
2.3.3 Patogenesis anemia penyakit kronik
22
Mekanisme bagaimana terjadinya anemia pada penyakit kronik sampai
dengan sekarang masih banyak yang belum bisa dijelaskan walaupun telah dilakukan
banyak penelitian.Ada pendapat yang mengatakan bahwa sitokin–sitokin proses
inflamasi seperti tumor nekrosis faktor alfa (TNF α), interleukin 1 dan interferon
gama (ɣ) yang diproduksi oleh sumsum tulang penderita anemia penyakit kronik akan
menghambat terjadinya proses eritropoesis. 23, 37 Pada pasien artritis reumatoid
interleukin 6 juga meningkat tetapi sitokin ini bukan menghambat proses eritropoesis
melainkan meningkatkan volume plasma. Pada pasien anemia penyakit kronik
eritropoetin memang lebih rendah dari pasien anemia defisiensi besi, tetapi tetap lebih
tinggi dari orang – orang bukan penderita anemia. Dari sejumlah penelitian
disampaikan beberapa faktor yang kemungkinan memainkan peranan penting
terjadinya anemia pada penyakit kronik, antara lain (Ersley, 2001) :
1. Menurunnya umur hidup sel darah merah (eritrosit) sekitar 20–30% atau
menjadi sekitar 80 hari. Hal ini dibuktikan oleh Karl tahun 1969 pada percobaan
binatang yang menemukan pemendekan masa hidup eritrosit segera setelah timbul
panas. Juga pada pasien artritis reumatoid dijumpai hal yang sama.
2. Tidak adanya reaksi sumsum tulang terhadap adanya anemia pada penyakit
kronik. Reaksi ini merupakan penyebab utama terjadinya anemia pada penyakit
kronik. Kejadian ini telah dibuktikan pada binatang percobaan yang menderita infeksi
kronik, dimana proses eritropoesisnya dapat ditingkatkan dengan merangsang
binatang tersebut dengan pemberian eritropoetin.
3. Sering ditemukannya sideroblast berkurang dalam sumsum tulang disertai
deposit besi bertambah dalam retikuloendotelial sistem, yang mana ini menunjukkan
terjadinya gangguan pembebasan besi dari sel retikuloendotelial yang mengakibatkan
berkurangnya penyedian untuk eritroblast.
23
4. Terjadinya metabolisme besi yang abnormal. Gambaran ini terlihat dari
adanya hipoferemia yang disebabkan oleh iron binding protein lactoferin yang berasal
dari makrofag dan mediator leukosit endogen yang berasal dari leukosit dan
makrofag. Hipoferemia dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang berespons
terhadap pemendekan masa hidup eritrosit dan juga menyebabkan berkurangnya
produksi eritropoetin yang aktif secara biologis.
5. Adanya hambatan terhadap proliferasi sel progenitor eritroid yang
dilakukan oleh suatu faktor dalam serum atau suatu hasil dari makrofag sumsum
tulang.
6. Kegagalan produksi transferin.
2.3.4 Gambaran klinis anemia penyakit kronik
Anemia pada penyakit kronik biasanya ringan sampai dengan sedang dan
munculnya setelah 1–2 bulan menderita sakit. Biasanya anemianya tidak bertambah
progresif atau stabil dan mengenai berat ringannya anemia pada seorang penderita
tergantung kepada berat dan lamanya menderita penyakit tersebut. Gambaran klinis
dari anemianya sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari
(asimptomatik) (Mansjoer, 2001). Tetapi pada pasien–pasien dengan gangguan paru
yang berat, demam, atau fisik dalam keadaan lemah akan menimbulkan berkurangnya
kapasitas daya angkut oksigen dalam jumlah sedang, yang mana ini nantinya akan
mencetuskan gejala. Pada pasien–pasien lansia, oleh karena adanya penyakit vaskular
degeneratif kemungkinan akan ditemukan gejala–gejala kelelahan, lemah, klaudikasio
intermiten, muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi dan
angina pektoris serta dapat terjadi gangguan serebral (Hughes et al, 1994).
24
2.3.5 Diagnosa anemia penyakit kronik
Diagnosis anemia penyakit kronik dapat ditegakkan melalui beberapa
pemeriksaan, antara lain (Fitzsimons, 2001) :
1. Tanda dan gejala klinis anemia yang mungkin dapat dijumpai, misalnya muka
pucat, konjungtiva pucat, cepat lelah, lemah, dan lain–lain.
2. Pemeriksaan laboratorium, antara lain:
a. Anemianya ringan sampai dengan sedang, dimana hemoglobinnya
sekitar 7–11 gr/dL.
b. Gambaran morfologi darah tepi: biasanya normositik-normokromik atau
mikrositik ringan. Gambaran mikrositik ringan dapat dijumpai pada sepertiga
pasien anemia penyakit kronik.
c. Volume korpuskuler rata–rata (MCV: Mean Corpuscular Volume):
normal atau menurun sedikit (= 80 fl).
d. Besi serum (Serum Iron): menurun (< 60 mug / dL).
e. Mampu ikat besi (MIB = TIBC: Total Iron Binding Capacity): menurun
(< 250 mug / dL).
f. Jenuh transferin (Saturasi transferin): menurun (< 20%).
g. Feritin serum: normal atau meninggi (> 100 ng/mL).
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sumsum tulang dan
konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas (FEP: Free Erytrocyte Protophorphyrin),
namun pemeriksaannya jarang dilakukan. Menginterpretasi hasil pemeriksaan
25
sumsum tulang kemungkinannya sulit, oleh karena bentuk dan struktur sel–sel
sumsum tulang dipengaruhi oleh penyakit dasarnya. Sedangkan konsentrasi
protoporfirin eritrosit bebas memang cenderung meninggi pada pasien anemia
penyakit kronik tetapi peninggiannya berjalan lambat dan tidak setinggi pada pasien
anemia defisiensi besi. Peninggiannya juga sejalan dengan bertambah beratnya
anemia. Oleh karena itu pemeriksaan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas lebih
sering dilakukan pada pasien – pasien anemia defisiensi besi (Mansjoer, 2001).
2.3.6 Penatalaksanaan anemia penyakit kronik
Tidak ada terapi spesifik yang dapat kita berikan untuk anemia penyakit
kronik, kecuali pemberian terapi untuk penyakit yang mendasarinya. Biasanya
apabila penyakit yang mendasarinya telah diberikan pengobatan dengan baik, maka
anemianya juga akan membaik. Pemberian obat–obat hematinik seperti besi, asam
folat, atau vitamin B12 pada pasien anemia penyakit kronik, tidak ada manfaatnya.
Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang mungkin
dapat membantu pasien anemia penyakit kronik, antara lain (Fitzsimons, 2001) :
1. Rekombinan eritropoetin (Epo), dapat diberikan pada pasien–pasien anemia
penyakit kronik yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS), dan inflamatory bowel disease. Dosisnya dapat
dimulai dari 50–100 Unit/Kg, 3x seminggu, pemberiannya secara intra venous (IV)
atau subcutan (SC). Bila dalam 2–3 minggu konsentrasi hemoglobin meningkat
dan/atau feritin serum menurun, maka kita boleh menduga bahwa eritroit respons.
Bila dengan dosis rendah responsnya belum adekuat, maka dosisnya dapat
ditingkatkan sampai 150 Unit/Kg, 3x seminggu. Bila juga tidak ada respons, maka
pemberian eritropoetin dihentikan dan dicari kemungkinan penyebab yang lain,
26
seperti anemia defisiensi besi (Ersley, 2001). Namun ada pula yang menganjurkan
dosis eritropoetin dapat diberikan hingga 10.000–20.000 Unit, 3x seminggu.
2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC) dapat diberikan, bila
anemianya telah memberikan keluhan atau gejala. Tetapi ini jarang diberikan oleh
karena anemianya jarang sampai berat.
3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang. Diberikan
pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit dasarnya artritis temporal,
reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali normal demikian juga
dengan gejala–gejala polimialgia akan segera hilang dengan cepat. Tetapi bila dalam
beberapa hari tidak ada perbaikan, maka pemberian kortikosteroid tersebut segera
dihentikan.
4. Kobalt klorida, juga bermanfaat untuk memperbaiki anemia pada penyakit
kronik dengan cara kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi oleh
karena efek toksiknya obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan.
2.4 Lansia
2.4.1 Pengertian Lansia
Lansia merupakan tahap akhir dari proses penuaan. Menurut pasal 1 ayat (2),
(3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut usia
adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).
Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia apabila usianya 65
tahun keatas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu
proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi terhadap stress lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh
27
kegagalan seseorang mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress
fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup
serta peningkatan kepekaan secara individual (Effendi, 2009 dalam Marliyani Lubis,
2011)
2.4.2 Klasifikasi Lansia
Menurut World Health Organization (WHO) (Nugroho, 2000) lansia dibagi
menjadi empat kelompok, yaitu:
Kelompok Usia Pertengahan (middle age) : 45-49 tahun
Kelompok Lanjut Usia (elderly) : 60-74 tahum
Kelompok Lanjut Usia Tua (Old Age) : 75-90 tahun
Usia sangat tua (very old) : diatas 90 tahun
Pada saat ini, ilmuan social yang mengkhususkan diri mempelajari penuaan
merujuk kepada kelompok lansia : “lansia-muda” (young old), “lansia-tua” (old-old),
dan lansia tertua (oldest old). Secara kronologis, young old ditujukan kepada
kelompok usia 65 sampai 74 tahun, yang biasanya aktif, vital dan bugar. Old-old
berusia antara 75 sampai 84 tahun, dan oldest old berusia 85 tahun ke atas (Papalia,
Olds & Feldman, 2005)
2.4.3 Karakteristik Lansia
Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui
keberadaan masalah kesehatan lansia adalah (Bustan, 2000):
1. Jenis kelamin
28
Jumlah lansia lebih didominasi oleh kaum perempuan. Selain itu, terdapat
perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang dihadapi antara lansia laki-laki
dan perempuan. Misalnya, lansia laki-laki banyak menderita hipertropi prostat,
sementara lansia wanita menderita osteoporosis.
2. Status perkawinan
Status masih berpasangan lengkap atau sudah hidup sendiri (duda/janda) sangat
mempengaruhi kondisi kesehatan fisik maupun psikologis lansia.
3. Living arrangement
Keadaan pasangan, tanggungan keluarga, missal harus masih menanggung anak
atau keluarga, tempat tinggal, rumah sendiri, tinggal bersama anak, atau tinggal
sendiri. Dewasa ini kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian keluarganya,
baik lansia sebagai kepala keluarga atau bagian dari keluarga anaknya. Namun,
akan cenderung bahwa lansia akan ditinggalkan oleh keturunannya dalam rumah
yang berbeda.
4. Kondisi kesehatan
a. Kondisi umum: kemampuan umum untuk tidak tergantung kepada orang lain
dalam kegiatan sehari-hari, seperti mandi, buang air kecil dan besar.
b. Frekuensi sakit: frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan menjadi tidak
produktif lagi bahkan mulai tergantung kepada orang lain, bahkan ada yang
karena penyakit kroniknya sudah memerlukan perawatan khusus.
5. Keadaan ekonomi
a. Sumber pendapatan resmi
b. Sumber pendapatan keluarga
c. Kemampuan pendapatan
2.4.4 Status Kesehatan pada Lanjut Usia
Kesehatan dan status fungsional seorang lansia ditentukan oleh resultante dari
factor-faktor fisik, psikologik dan sosio-eekonomi. Faktor-faktor tersebut tidak selalu
sam besar perannya sehingga selalu harus diperbaiki bersamaan dengan perawatan
29
pasien secara menyeluruh. Di Negara-negara sedang berkembang factor sosio-
ekonomi / finansial hamper selalu merupakan kendala yang penting. Untuk
mengetahui tentang status kesehatan para lansia ini, kita harus mengetahui beberapa
hal penting tentang penyakit lansia, antara lain (Darmojo, 2011) :
1. Perjalanan penyakit pada orang lanjut usia
Pada umumnya perjalanan penyakit lansia adalah kronik (menahun), diselingi
dengan eksaserbasi akut. Selain dari pada itu penyakitnya bersifat progresif dan
sering menyebabkan kecacatan (invalide) yang lama sebelim akhirnya penderita
meninggal dunia. Penyakit yang progresif ini berbeda dengan penyakit pada usia
remaja / dewasa yaitu tidak memberikan proteksi atau imunitas tetapi justru
menjadikan orang lansia rentan terhadap penyakit lain karena daya tahan tubuh
yang makin menurun.
2. Sifat penyakit pada orang lanjut usia
Sifat penyakit pada lansia perlu sekali untuk dikenali supaya kita tidak salah
ataupun terlambat menegakkan diagnosis, sehingga terapi dan tindakan lain yang
mengikutinya dengan segera dapat dilaksanakan. Penyakit pada lansia umumnya
lebih bersifat endogen daripada eksogen. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
menurunnya fungsi berbagai alat tubuh karena proses menjadi tua. Selain itu
produksi zat-zat untuk daya tahan tubuh akan mengalami kemunduran.
Dampaknya adalah factor penyebab eksogen (infeksi) akan lebih mudah
menyerang tubuh. Seringkali juga terjadi penyakit pada lansia tersembunyi
(occult), sehingga perlu dicarai secara aktif. Keluhan –keluhan pasien lansia
sering tidak khas, atipik dan asimptomatik. Oleh karena sifat-sifat atipik,
asimptomatik atau tidak khas tadi, akan mengakibatkan variasi individual
munculnya gejala dan tanda penyakit meskipun penyakitnya sama.
3. Diagnosis penyakit pada orang lanjut usia
Pada orang-orang lanjut usia penyakitnya seringkali bersifat ganda (multiple)
dan kumulatif, terlepas satu sama lain ataupun saling mempengaruhi timbulnya.
30
Untuk menegakkan diagnosis pasien lansia kita perlu melakukan observasi
penderita lebih lama, sambil mengamati dengan cermat tanda-tanda dan gejala-
gejala penyakitnya. Selain itu allo-anamnese dari pihak keluarga sangat
membantu kita.
2.4.5 Kelainan Hematologi pada Usia Lanjut
Berbagai kelainan hematologi dapat terjadi pada usia lanjut, namun dalam
beberapa hal ada perbedaan dengan usia muda, misalnya dalam hal penyebab,
pengelolaan, maupun prognosis. Pada lansia terdapat penurunan fungsi organ
gastrointestinal dan sumsum tulang. Selain itu, lansia mengalami penurunan aktifitas
fisik, peningkatan frekuensi terjadinya proses inflamasi dan perubahan pola diet.
Factor-faktor tersebut membuat lansia lebih rentan untuk mengalami anemia
(Olivares, 2000).
Penyakit keganasan hematologi yang sering diderita golongan usia lanjut
adalah leukemia limfositik kronik, myeloma multiple dan sindroma mielodisplasia.
Sembilan puluh persen penderita leukemia limfositik kronik berumur lebih dari 50
tahun (Williams, 2004).
31
2.5 Kerangka Teori
Proses Menua
Penyakit Kronis
Hambatan eritropoiesis dan disregulasi
homeostasis besi
Penurunan atau kelainan pembentukan sel darah
merah (SDM)
Jumlah SDM dan kadar hemoglobin berkurang hingga dibawah normal
Anemia