Upload
lethien
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Chlorella
Chlorella merupakan salah satu mikroalga pertama yang diisolasi sebagai
kultur murni oleh Beijerinck pada 1890 (Oh-Hama & Miyachi 1988). Chlorella
adalah ganggang hijau bersel tunggal. Sel-sel Chlorella berbentuk bulat,
berukuran 2-12 µm dan tidak mempunyai flagella sehingga tidak dapat bergerak
aktif. Chlorella memiliki klorofil, menyimpan tepung cadangan makanannya
dalam kantung makan atau pirenoid dan memiliki dinding sel yang kuat yang
tersusun atas polisakarida selulosa dengan matrik dari hemiselulosa dan pektin.
Chlorella hidup di air tawar, hanya sebagian kecil yang hidup di air payau dan
laut. Klasifikasi Chlorella (Bold & Wynne 1985) adalah sebagai berikut :
Filum : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Chlorococcales
Famili : Oocystaceae
Genus : Chlorella
Gambar 1 Chlorella Sumber : http://www.rbgsyd.nsw.gov.au.gif
Perkembangan Chlorella terjadi secara vegetatif. Masing-masing sel
induk membelah menghasilkan 4, 8, atau 16 autospora yang dibebaskan bersama
dengan pecahnya sel induk. Chlorella melalui empat fase siklus hidup. Keempat
fase tersebut (Bold & Wynne 1985) adalah :
1. Fase pertumbuhan (growth), periode perkembangan aktif sel massa yaitu
autospora tumbuh menjadi besar.
4
2. Fase pematangan awal (early ripening), autospora yang telah tumbuh menjadi
besar mengadakan persiapan untuk membagi selnya menjadi sel-sel baru.
3. Fase pematangan akhir (late ripening), sel-sel yang baru tersebut mengadakan
pembelahan menjadi dua.
4. Fase autospora (autospora liberation), pada fase ini sel induk akan pecah dan
akhirnya terlepas menjadi sel-sel baru.
Perbedaan spesies setiap Chlorella dipengaruhi oleh karakteristik fisiologi
dan biokimianya (Bold & Wynne 1985). Chlorella vulgaris hidup di air tawar
dan tumbuh optimum pada suhu 37 oC (Setlik et al. 1975 diacu dalam
Oh-Hama & Miyachi 1988). Chlorella mengandung nutrisi yang sangat memadai
dalam bentuk protein, asam amino, asam lemak tak jenuh, vitamin C, K,
B1, B6 dan B12, β-karoten dan CGF (Chlorella Growth Factor)
(Lee & Rosenbaum 2000). Kandungan nutrien pada Chlorella vulgaris dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan nutrien Chlorella vulgaris
Makro Nutrien Persentase (%)
Protein 16,5-49,9
Lemak 3,1-11,5
Karbohidrat 10,3-44,0
Hasil analisa dalam % berat kering. Sumber : Zhukova et al. 1969; Vladimirova et al. 1979 diacu dalam Oh-Hama & Miyachi 1988.
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroalga
Pertumbuhan mikroalga sangat erat kaitannya dengan ketersediaan hara
makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Sumber elemen
anorganik yang dibutuhkan pada pertumbuhan alga hijau adalah nitrogen (N),
fosfor (P), kalium (K), magnesium (Mg), kalsium (Ca), sulfat (S), besi (Fe),
tembaga (Cu), mangan (Mn), dan zinc (Zn) (Oh-Hama & Miyachi 1988).
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga,
antara lain cahaya, suhu, dan pH media ( Fogg 1975).
a. Intensitas cahaya
Mikroalga merupakan organisme autotrof yang mampu membentuk
senyawa organik dari senyawa anorganik melalui proses fotosintesis. Keberadaan
5
cahaya menentukan bentuk kurva pertumbuhan bagi mikroalga yang melakukan
fotosintesis. Mikroalga akan menyerap energi cahaya dan merubahnya menjadi
energi kimia melalui proses fotosintesis. Cahaya matahari dapat diganti dengan
sinar lampu TL (Tjahjo et al. 2002).
Pencahayaan merupakan faktor tumbuh utama pada mikroalga. Faktor
yang mempengaruhi pencahayaan yaitu lamanya pencahayaan dan intensitas
cahaya (Andersen 2005 diacu dalam Csavina 2008). Pencahayaan yang
berlebihan dapat menyebabkan fotoinhibition akibat dari stress fotooksidatif oleh
mikroalga (Leon & Galvan 1999 diacu dalam Csavina 2008). Kisaran intensitas
cahaya yang dapat diadaptasi bagi Chlorella antara 4000-30000 lux
(Oh-Hama & Miyachi 1988).
b. Karbon
Karbondioksida merupakan unsur yang penting dalam proses fotosintesis,
oleh karena itu tersedianya CO2 dalam jumlah yang cukup di dalam media akan
mendukung pertumbuhan kultur alga. Ketersediaan CO2 dapat dilakukan dengan
menggoyangkan media atau dengan aerasi. Karbondioksida tidak cukup disuplai
melalui difusi sederhana dari udara karena konsentrasinya sangat rendah (0,03 %),
sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan yang optimal dan produktivitas
yang tinggi (Becker 1994).
Senyawa HCO3- dapat ditambahkan untuk meningkatkan ketersedian CO2
di dalam media. Penambahan HCO3- ke dalam media telah dilakukan pada kultur
Chlorella vulgaris strain C-3, Chlorella sp. strain K dan Chlorella ellipsoidea
(Oh-Hama & Miyachi 1988). Mikroalga dapat menggunakan ion karbonat
(CO32-) dan ion bikarbonat (HCO3
-) sebagai sumber karbon.
c. Nitrogen
Nitrogen merupakan elemen yang sangat penting untuk kehidupan yaitu
sebagai penyusun protein dan bahan genetik. Senyawa nitrogen yang biasa
digunakan dalam kultur mikroalga adalah amonium, nitrat, dan urea. Alga
mengabsorbsi unsur nitrogen dalam bentuk amonium atau nitrat, meskipun
amonium dapat menjadi sumber nitrogen bagi tumbuhan pada pH tinggi, tetapi
kebanyakan alga tumbuh baik apabila mendapat sumber nitrogen dalam bentuk
nitrat. Peningkatan kandungan nitrogen menyebabkan peningkatan biomassa,
6
kandungan protein, dan klorofil (Becker 1994). Nitrogen yang dibutuhkan untuk
media kultur dapat diperoleh dari KNO3, NaNO3 dan NH4Cl (Tjahjo et al. 2002).
d. Nutrien esensial lainnya
Pertumbuhan mikroalga akan optimum jika nutrien terdapat dalam jumlah
yang cukup dengan perbandingan antar nutrien yang tepat (Becker 1994). Fosfor
merupakan bahan dasar pembentuk asam nukleat, enzim, dan vitamin. Unsur
fosfor dapat diperoleh dari KH2PO4, NaH2PO4, Ca3PO4 (Tjahjo et al. 2002).
Keberadaan fosfor dapat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan
(Effendi 2000).
Unsur kalium berfungsi dalam metabolisme karbohidrat dan juga sebagai
kofaktor untuk beberapa koenzim. Unsur kalium dapat diperoleh dari KCl,
KNO3, KH2PO4. Unsur besi (Fe) berperan dalam pembentukan klorofil dan
sebagai komponen esensial dalam proses oksidasi. Unsur ini dapat diperoleh dari
FeCl3, FeSO4, FeCaH5O7 (Isnansetyo & Kurniastuty 1995).
Unsur hara mikro dibutuhkan untuk menjalankan berbagai fungsi dalam
pertumbuhan mikroalga, misalnya mangan (Mn), zinc (Zn) diperlukan untuk
fotosintesis, unsur molibdad (Mo) diperlukan untuk metabolisme nitrogen. Unsur
hara mikro dibutuhkan dalam jumlah kecil tetapi harus ada dan untuk
menstabilkan fungsi hara mikro biasanya ditambahkan EDTA sebagai pengkelat
logam (Isnansetyo & Kurniastuty 1995).
f. Suhu
Suhu optimum untuk pertumbuhan mikroalga berkisar 15-30 oC, setiap
spesies mikroalga mempunyai suhu optimum yang khas untuk pertumbuhannya
(De La Noue & De Pauw 1988). Suhu optimum dapat bervariasi sesuai dengan
intensitas cahaya dan konsentrasi nutrien tertentu serta adaptasi mikroorganisme
terhadap suhu yang lebih tinggi dan lebih rendah (Fogg 1975).
Suhu yang umum untuk pertumbuhan Chlorella sp. yaitu berkisar antara
26-43 oC (Semenenko et al. 1969 diacu dalam Oh-Hama & Miyachi 1988). Suhu
15-30 oC merupakan suhu optimum pertumbuhan Chlorella ellipidea dan pada
suhu 25 oC menghasilkan kurva pertumbuhan tertinggi (Cho et al. 2007
diacu dalam Csavina 2008).
7
g. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman adalah parameter yang menunjukan banyaknya ion
hidrogen yang terkandung dalam air. Nilai pH medium kultur merupakan faktor
pengontrol yang menentukan kemampuan biologis mikroalga dalam
memanfaatkan unsur hara (De La Noue & De Pauw 1988).
Batas toleransi mikroorganisme air terhadap pH bervariasi dan
dipengaruhi antara lain oleh suhu, oksigen terlarut, alkalinitas maupun jenis dan
stadia organisme. Chlorella sangat tahan terhadap kondisi lingkungan yang asam
dan masih dapat tumbuh pada pH 2, sedangkan medium yang optimum adalah
medium yang memiliki pH 6,6-7,3 (Fogg 1975). Kebanyakan mikroalga dapat
hidup pada pH antara 6,8-9,6 (Chapman & Chapman 1973).
h. Agitasi
Agitasi atau pengadukan mutlak dilakukan pada pengkulturan dengan
sistem batch, salah satunya dengan cara memberikan pasokan udara (aerasi) ke
dalam media. Aerasi merupakan cara pengadukan yang termudah dan efektif
(Becker 1994). Proses pengadukan dalam kultur mikroalga sangat penting dan
dilakukan secara terus menerus untuk mencegah pengendapan sel dan mencegah
perbedaan suhu dalam kultur (Oswald 1970).
2.3 Pola Pertumbuhan Mikroalga
Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan teratur semua
komponen di dalam sel hidup (Fardiaz 1989). Pertumbuhan mikroalga dibagi
dalam lima fase pertumbuhan, yaitu: fase lag, fase logaritmik atau eksponensial,
fase penurunan laju pertumbuhan, fase stationer, dan fase kematian (Fogg 1975).
1. Fase lag
Fase ini ditandai dengan tidak adanya peningkatan populasi. Fase ini
disebut juga sebagai fase adaptasi karena sel mikroalga sedang beradaptasi
terhadap media tumbuhnya. Lamanya fase lag tergantung dari media dan kondisi
lingkungan pertumbuhan serta umur dan jumlah inokulum (Fardiaz 1989).
Ukuran sel pada fase lag ini umumnya meningkat. Organisme mengalami
metabolisme, tetapi belum terjadi pembelahan sel sehingga kepadatan sel belum
meningkat.
8
2. Fase logaritmik atau eksponensial
Fase ini diawali dengan pembelahan sel dengan cepat dan konstan, dimana
pertambahan jumlah sel mengikuti kurva logaritmik. Sel membutuhkan energi
lebih banyak dibandingkan dengan fase lainnya, selain itu sel paling sensitif
terhadap keadaan lingkungan (Fardiaz 1989). Meningkatnya laju pertumbuhan
didukung oleh ketersediaan nutrien dan lingkungan yang baik sehingga
pertumbuhannya cukup optimal. Peningkatan kepadatan populasi pada fase log
terjadi karena peningkatan aktivitas fotosintesis yang tinggi untuk pembentukkan
protein dan komponen-komponen penyusun plasma sel yang dibutuhkan dalam
pertumbuhan (Fogg 1975).
3. Fase penurunan laju pertumbuhan
Penurunan laju pertumbuhan disebabkan karena tidak ada penambahan
nutrien sedangkan pemanfaatan nutrien oleh mikroalga terus berlanjut, sehingga
terjadi persaingan antar sel untuk mendapatkan nutrien yang semakin berkurang.
Intensitas cahaya yang diterima sel semakin berkurang akibat jumlah sel yang
semakin tinggi sehingga terjadi pembentukan bayangan dari sel itu sendiri juga
dapat menyebabkan penurunan laju pertumbuhan. Faktor lain yang dapat
menyebabkan penurunan laju pertumbuhan adalah menurunnya konsentrasi CO2
dan O2, dan terjadinya proses autoinhibition, yaitu proses menghasilkan senyawa
penghambatan pertumbuhan oleh sel itu sendiri (Fogg 1975).
4. Fase stationer
Peningkatan ukuran populasi tidak terjadi, jumlah sel terlihat cenderung
konstan, karena laju pertumbuhan seimbang dengan laju kematian pada fase
stasioner (Fogg 1975). Ukuran sel pada fase stasioner menjadi lebih kecil, karena
sel tetap membelah meskipun zat nutrisi sudah mulai habis. Sel dimungkinkan
mempunyai komposisi berbeda dengan sel yang tumbuh pada fase logaritmik
karena kekurangan nutrisi, sehingga sel menjadi lebih tahan dalam keadaan
ekstrim seperti panas, dingin, radiasi dan bahan kimia. Sel memiliki cadangan
energi sehingga masih dapat menggunakan komponen tersebut untuk melakukan
pertumbuhan dan mempertahankannya walaupun kecepatannya sangat rendah
(Fardiaz 1989).
9
5. Fase kematian
Fase kematian ditandai dengan kepadatan populasi sel yang terus
berkurang. Kematian sel disebabkan oleh kehabisan nutrien dan akumulasi sisa
metabolisme atau bahan toksik spesifik. Laju pertumbuhan menurun sampai
akhirnya tidak ada lagi pertumbuhan dan sel mengalami lisis karena tidak
mendapat suplai nutrien lagi. Kurva pertumbuhan mikroalga disajikan pada
Gambar 2.
Keterangan:
Jumlah sel 1. Fase lag
(sel/ml) 2. Fase logaritmik
3. Fase penurunan laju pertumbuhan
4. Fase stasioner
5. Fase kematian
Umur kultur (hari)
Gambar 2 Kurva pertumbuhan Sumber : Fogg 1975
2.4 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses yang secara selektif mengambil zat
terlarut dari campuran dengan bantuan pelarut. Teknik ekstraksi didasarkan pada
kenyataan bahwa jika suatu zat dapat larut dalam dua fase yang tidak tercampur,
maka zat itu dapat dialihkan dari fase yang satu ke fase yang lain dengan
mengocoknya secara bersamaan. Pemilihan pelarut yang digunakan tergantung
pada sifat zat yang dilarutkan, karena setiap zat memiliki kelarutan yang berbeda
dalam pelarut yang berlainan (Achmadi 1992).
Gaya yang bekerja dalam proses ekstraksi adalah akibat adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan ekstraksi yang berada di luar
sel. Bahan pelarut yang mengalir ke dalam ruang sel akan menyebabkan
protoplasma membengkak dan bahan kandungan sel akan terlarut sesuai
kelarutannya (Voight 1994). Metode ekstraksi berdasarkan jenis pelarutnya dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu aqueous phase dan organic phase. Cara aqueous
phase dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan cara organic phase
dilakukan dengan pelarut organik. Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut pada
10
waktu tertentu kemudian diikuti dengan pemisahan bahan yang diekstrak. Hal-hal
yang harus dipertimbangkan saat memilih pelarut (Achmadi 1992) antara lain:
1. Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, sedangkan pelarut non polar
akan melarutkan senyawa non-polar.
2. Pelarut organik cenderung melarutkan senyawa organik.
3. Air cenderung melarutkan senyawa organik dan garam dari asam maupun
basa organik.
4. Asam-asam organik yang larut dalam pelarut organik dapat diekstraksi
dengan menggunakan basa (NaOH, Na2CO3, dan NaHCO3).
Metode ekstraksi juga dikelompokkan berdasarkan tingkat kesulitannya,
yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus (Harborne 1987). Ekstraksi
sederhana terdiri atas:
1. Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam
pelarut dengan atau tanpa pengadukan.
2. Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan.
3. Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk
melarutkan sampel di dalam perkolator sampai senyawa kimianya
terlarut.
4. Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.
Ekstraksi khusus terdiri atas:
1. Soxhletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk
melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi.
2. Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana
sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang
berlawanan.
3. Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan alat yang menghasilkan
frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz.
Pelarut nonpolar merupakan salah satu pelarut yang terkenal efektif
mengekstrak senyawa kimia seperti lilin, lemak, dan minyak yang mudah
menguap. Pelarut semipolar mampu mengekstrak senyawa fenol, terpenoid,
alkaloid, aglikon dan glikosida. Pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak
11
senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam
amino, dan glikosida (Harborne 1987).
Proses ekstraksi terdiri dari beberapa tahap yaitu penghancuran bahan,
penimbangan, perendaman dengan pelarut, penyaringan, dan pemisahan.
Penghancuran bertujuan untuk mempermudah pengadukan dan kontak bahan
dengan pelarutnya. Bahan ditimbang untuk mengetahui berat awal bahan
sehingga dapat ditentukan rendemen yang dihasilkan. Bahan yang telah
ditimbang kemudian direndam dalam pelarut yang sesuai. Tahap selanjutnya
adalah tahap pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Penyaringan
dilakukan untuk memisahkan residu bahan dan pelarut yang telah mengandung
senyawa bioaktif. Pemisahaan pelarut dengan senyawa bioaktif yang terikat
dilakukan evaporasi sehingga pelarut akan menguap dan diperoleh senyawa hasil
ekstraksi. Hasil ekstraksi yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor
antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan,
ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi,
dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995).
Tidak ada satu pun sistem pelarut yang cocok dan memuaskan untuk dapat
mengisolasi seluruh senyawa antioksidan fenolik dari semua golongan, bahkan
untuk satu golongan fenolik spesifikpun. Hal ini disebabkan karena struktur
kimia senyawa fenolik alami adalah sangat bervariasi baik dari yang sederhana
sampai yang kompleks dan senyawa fenolik dalam pangan sangat beragam
sehingga akan semakin kompleks dengan memperhatikan kemungkinan interaksi
senyawa fenolik tersebut dengan komponen-komponen lain dalam sistem pangan.
Oleh karena itu, dalam suatu ekstrak tumbuhan akan selalu mengandung suatu
campuran senyawa fenolik dari beberapa golongan yang larut dalam satu sistem
pelarut yang dipilih (Shahidi & Naczk 1995).
2.5 Antioksidan
Antioksidan dalam pengertian kimia adalah senyawa pemberi elektron,
namun dalam arti biokimia adalah senyawa yang dapat menunda atau mencegah
proses oksidasi makromolekul dengan cara menghambat tahap inisiasi dan
propagasi pada reaksi rantai oksidatif sehingga dapat meredam dampak negatif
oksidasi. Dua kelompok antioksidan dalam mencegah dampak negatif oksidasi
12
yaitu antioksidan pencegah (prevention antioxidant) dan antioksidan pemutus
rantai (chain-breaking antioxidant) (Suryohudoyo 2000).
Antioksidan pencegah (prevention antioxidant) yaitu antioksidan yang
mencegah pembentukan radikal hidroksi (OH-) yaitu bekerja pada tahap inisiasi.
Contoh antioksidan pencegah adalah enzim katalase, superoksida dismutase
(SOD), dan glutation peroksidase. Antoksidan pemutus rantai (chain-breaking
antioxidant) adalah antioksidan yang bekerja mencegah reaksi rantai berlanjut dan
bekerja pada tahap propagasi. Contoh antioksidan pemutus rantai adalah
β- karoten, vitamin E, vitamin C, glutation dan sistein (Suryohudoyo 2000).
Antioksidan dapat berbentuk gizi seperti vitamin E dan C, non gizi
(pigmen karoten, likopen, flavonoid, dan klorofil), dan enzim (glutation
peroksidase, koenzim Q10, atau ubiquinon). Antioksidan dapat dibagi menjadi
tiga golongan, yaitu antioksidan preventif (enzim superoksidadismutase, katalase,
dan glutation peroksidase), antioksidan primer (vitamin A, fenolat, flavonoid,
katekin, kuersetin), dan antioksidan komplementer (vitamin C, β- karoten, retinol)
(Tamat et al. 2007).
2.6 Radikal Bebas
Radikal bebas didefinisikan sebagai suatu senyawa kimia yang memiliki
atom atau molekul dengan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan.
Adanya elektron yang tidak berpasangan membuat molekul menjadi tidak stabil
dan bersifat reaktif karena berusaha untuk mendapatkan pasangan elektron
(Simanjuntak et al. 2004).
Senyawa radikal bebas terbentuk dari dua macam sumber yaitu endogenus
dan eksogenus. Pembentukan radikal secara endogenus dapat melalui reaksi
autooksidasi, transpor elektron di mitokondria dan oksidasi ion-ion logam transisi
dalam tubuh. Pembentukan radikal bebas secara eksogenus akibat bahan kimia
yang bersifat karsinogenik, radiasi sinar UV, sinar X, dan sinar gamma
(Sausari 2006).
Radikal bebas yang terbentuk secara endogenus dapat berasal dari
metabolisme normal tubuh. Salah satu contohnya yaitu proses reduksi molekul
oksigen dalam rangkaian transpor elektron pada rantai respirasi mitokondria.
Oksigen dimetabolisme menjadi H2O dengan penambahan 4 elektron melalui
13
beberapa tahapan reaksi. Reaksi molekul oksigen dengan elektron pertama akan
membentuk anion radikal superoksida (O2-), kemudian anion radikal superoksida
direaksikan dengan elektron kedua dan dua atom hidrogen menghasilkan hidrogen
peroksida (H2O2). Penambahan elektron ketiga pada molekul hidrogen peroksida
akan memicu pembentukan radikal hidroksil (OH.). Molekul H2O akan terbentuk
melalui reaksi radikal hidroksil dengan elektron keempat dan sebuah atom
hidrogen (Sausari 2006). Proses reduksi molekul oksigen dalam rangkaian
transpor elektron pada rantai respirasi mitokondria dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Proses reduksi molekul oksigen dalam rangkaian transpor elektron pada rantai respirasi mitokondria
Reaksi Hasil reaksi O2 + e- O2
- O2 + e- + 2H+ H2O2 H2O2 + e- OH. + OH- OH+ + e- + H+ H2O OH- + H+ H2O O2 + 4 e- + 4 H+ 2H2O
Radikal bebas juga dapat dihasilkan dari berbagai proses kimia atau
enzimatik dalam metabolisme tubuh yang melibatkan senyawa organik maupun
inorganik seperti Fe. Radikal hidroksil (OH.) dapat terbentuk melalui reaksi non
enzimatik dari senyawa hidroperoksida (H2O2) yang dikatalis oleh ion Fe2+
kemudian Fe2+ akan dioksidasi menjadi Fe3+. Reaksi ini dikenal sebagai reaksi
Fenton. Radikal bebas juga dapat terbentuk melalui reaksi Habeer-Weiss dengan
menggunakan radikal superoksida (O2-) dan hidroperoksida (H2O2) sebagai
substrat yang dikatalisis oleh besi, sesuai dengan reaksi sebagai berikut :
H2O2 + Fe2+ Fe3+ + OH- + OH. H2O2 + O2
- O2 + OH- + OH.
Reaksi ini terjadi secara berantai dan terus menerus sampai ada molekul yang
memberikan elektron yang dibutuhkan radikal bebas. Reaksi ini dapat berakhir
bila dua gugus radikal bebas saling berinteraksi membentuk ikatan non radikal
atau adanya antioksidan (Suryohudoyo 2000).
Jenis radikal yang berperan dalam berbagai reaksi-reaksi dekstruktif pada
tubuh manusia adalah spesies oksigen reaktif (ROS). Reactive Oxygen Species
(ROS) terbentuk dari reaksi pembentukan energi yang tidak sempurna pada
mitokondria. Molekul oksigen dan glukosa yang masuk ke dalam mitokondria
14
diubah menjadi energi dan ROS. Jumlah ROS dalam tubuh yang terlalu banyak
sangat berbahaya karena molekul ini dapat memulai terjadinya oksidasi
biomolekuler sehingga menyebabkan kerusakan seluler dan jaringan yang dapat
menimbulkan peradangan seluler dan jaringan, serta mengakibatkan stress
oksidatif yang memicu terjadinya beberapa penyakit degeneratif seperti kanker,
stroke, penuaan dini dan penyakit Parkinson. Stress oksidatif juga dapat
menyebabkan terganggunya aktivitas enzim dan kerusakan oksidatif pada sistem
sel (Wiseman & Halliwell 1996 diacu dalam Simanjuntak et al. 2004).
2.7 Mekanisme Reaksi Radikal Bebas
Autooksidasi merupakan reaksi spontan antara oksigen atmosfir dengan
senyawa organik. Mekanisme reaksi ini umumnya merupakan mekanisme reaksi
rantai radikal bebas secara autokatalitik. Ion logam dan cahaya merupakan
prooksidan, sedangkan senyawa-senyawa alami dan sintetik dapat bekerja sebagai
antioksidan. Secara umum reaksi rantai ini adalah penambahan oksigen terhadap
senyawa organik. Ada 3 tahap yang berbeda dalam reaksi rantai radikal bebas,
yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi (Fessenden & Fessenden 1986) sebagai
berikut:
Inisiasi : X-+ RH R- + XH
Propagasi : R- + O2 ROO-
ROO- + RH ROOH + R-
Terminasi : ROO- + -ROO ROOR + O2
ROO- + R ROOR
Keterangan : X- = spesies radikal bebas RH = asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) ROOH = asam lemak hidroperoksid R- = radikal alkil RO- = radikal alkoksil ROO- = radikal peroksid
Peroksida lipid adalah reaksi yang terjadi antara radikal bebas dengan
asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) pada membran sel yang sedikitnya
mengandung tiga ikatan rangkap. Reaksi peroksida lipid dimulai dengan tahap
inisiasi yaitu pemisahan sebuah atom hidrogen oleh radikal bebas dari suatu grup
metilena (-CH2-) PUFA. Reaksi ini menghasilkan pembentukan suatu radikal
15
karbon (-CH.-) pada PUFA. Radikal karbon distabilkan melalui suatu pengaturan
ulang ikatan rangkap yang menghasilkan diena terkonjugasi. Radikal peroksida
lipid dapat juga menghilangkan sebuah atom hidrogen dari molekul lipid lainnya
yang berdekatan untuk membentuk hidroperoksida lipid dan juga membentuk
radikal karbon lain sehingga reaksi peroksida lipid akan terjadi secara terus
menerus pada tahap propagasi. Tahap terminasi akan terjadi bila ada reaksi antara
radikal bebas sendiri atau adanya senyawa antioksidan. Reaksi peroksidasi secara
enzimatik dan nonenzimatik dikatalis oleh ion logam transisi seperti Fe2+
(Fessenden & Fessenden 1986).
Inisiasi adalah pembentukan awal radikal-radikal bebas. Energi untuk
reaksi ini diberikan oleh cahaya ultraviolet atau oleh pemanasan campuran ke
temperatur yang sangat tinggi. Propagasi adalah reaksi terbentuknya radikal
bebas yang baru. Daur propagasi terputus oleh reaksi-reaksi pengakhiran
(terminasi) yaitu reaksi apa saja yang memusnahkan radikal bebas atau mengubah
radikal bebas menjadi radikal bebas yang stabil dan tidak reaktif sehingga dapat
mengakhiri daur propagasi (Fessenden & Fessenden 1986).
2.8 Fraksinasi Ekstrak Antioksidan
Hasil ekstraksi suatu jaringan tumbuhan dengan satu sistem pelarut akan
menghasilkan ekstrak yang merupakan campuran dari beberapa senyawa aktif.
Sebelum mengisolasi senyawa aktif yang diinginkan, maka perlu dilakukan
fraksinasi ekstrak tumbuhan tersebut untuk memisahkan golongan satu dari
golongan yang lain. Teknik pemisahan dan pemurnian komponen dari
campurannya yang umum digunakan adalah teknik kromatografi (Harborne 1987).
Ada beberapa macam teknik kromatografi seperti kromatografi lapis tipis (KLT),
kromatografi kolom, kromatografi gas, dan kromatografi kinerja tinggi.
Beberapa kelebihan penggunaan KLT adalah waktu proses fraksinasi dan
pemisahan lanjut relatif cepat (20-40 menit), sensitif dengan limit deteksi
mencapai 9-10 g, relatif dapat diaplikasikan pada sistem kromatografi kolom
dengan kondisi yang relatif sama, peralatan yang diperlukan cukup sederhana dan
parameter-parameter percobaan mudah divariasikan untuk mendapatkan hasil
pemisahan yang maksimal (Pomeranz & Meloan 1994 diacu dalam
Prangdimurti et al. 2006).