13
3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Chlorella Chlorella merupakan salah satu mikroalga pertama yang diisolasi sebagai kultur murni oleh Beijerinck pada 1890 (Oh-Hama & Miyachi 1988). Chlorella adalah ganggang hijau bersel tunggal. Sel-sel Chlorella berbentuk bulat, berukuran 2-12 μm dan tidak mempunyai flagella sehingga tidak dapat bergerak aktif. Chlorella memiliki klorofil, menyimpan tepung cadangan makanannya dalam kantung makan atau pirenoid dan memiliki dinding sel yang kuat yang tersusun atas polisakarida selulosa dengan matrik dari hemiselulosa dan pektin. Chlorella hidup di air tawar, hanya sebagian kecil yang hidup di air payau dan laut. Klasifikasi Chlorella (Bold & Wynne 1985) adalah sebagai berikut : Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Chlorococcales Famili : Oocystaceae Genus : Chlorella Gambar 1 Chlorella Sumber : http://www.rbgsyd.nsw.gov.au.gif Perkembangan Chlorella terjadi secara vegetatif. Masing-masing sel induk membelah menghasilkan 4, 8, atau 16 autospora yang dibebaskan bersama dengan pecahnya sel induk. Chlorella melalui empat fase siklus hidup. Keempat fase tersebut (Bold & Wynne 1985) adalah : 1. Fase pertumbuhan (growth), periode perkembangan aktif sel massa yaitu autospora tumbuh menjadi besar.

3 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · sinar lampu TL ... mempunyai komposisi berbeda dengan sel yang tumbuh pada fase logaritmik ... sel. Bahan pelarut yang mengalir ke dalam

  • Upload
    lethien

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Chlorella

Chlorella merupakan salah satu mikroalga pertama yang diisolasi sebagai

kultur murni oleh Beijerinck pada 1890 (Oh-Hama & Miyachi 1988). Chlorella

adalah ganggang hijau bersel tunggal. Sel-sel Chlorella berbentuk bulat,

berukuran 2-12 µm dan tidak mempunyai flagella sehingga tidak dapat bergerak

aktif. Chlorella memiliki klorofil, menyimpan tepung cadangan makanannya

dalam kantung makan atau pirenoid dan memiliki dinding sel yang kuat yang

tersusun atas polisakarida selulosa dengan matrik dari hemiselulosa dan pektin.

Chlorella hidup di air tawar, hanya sebagian kecil yang hidup di air payau dan

laut. Klasifikasi Chlorella (Bold & Wynne 1985) adalah sebagai berikut :

Filum : Chlorophyta

Kelas : Chlorophyceae

Ordo : Chlorococcales

Famili : Oocystaceae

Genus : Chlorella

Gambar 1 Chlorella Sumber : http://www.rbgsyd.nsw.gov.au.gif

Perkembangan Chlorella terjadi secara vegetatif. Masing-masing sel

induk membelah menghasilkan 4, 8, atau 16 autospora yang dibebaskan bersama

dengan pecahnya sel induk. Chlorella melalui empat fase siklus hidup. Keempat

fase tersebut (Bold & Wynne 1985) adalah :

1. Fase pertumbuhan (growth), periode perkembangan aktif sel massa yaitu

autospora tumbuh menjadi besar.

4

2. Fase pematangan awal (early ripening), autospora yang telah tumbuh menjadi

besar mengadakan persiapan untuk membagi selnya menjadi sel-sel baru.

3. Fase pematangan akhir (late ripening), sel-sel yang baru tersebut mengadakan

pembelahan menjadi dua.

4. Fase autospora (autospora liberation), pada fase ini sel induk akan pecah dan

akhirnya terlepas menjadi sel-sel baru.

Perbedaan spesies setiap Chlorella dipengaruhi oleh karakteristik fisiologi

dan biokimianya (Bold & Wynne 1985). Chlorella vulgaris hidup di air tawar

dan tumbuh optimum pada suhu 37 oC (Setlik et al. 1975 diacu dalam

Oh-Hama & Miyachi 1988). Chlorella mengandung nutrisi yang sangat memadai

dalam bentuk protein, asam amino, asam lemak tak jenuh, vitamin C, K,

B1, B6 dan B12, β-karoten dan CGF (Chlorella Growth Factor)

(Lee & Rosenbaum 2000). Kandungan nutrien pada Chlorella vulgaris dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan nutrien Chlorella vulgaris

Makro Nutrien Persentase (%)

Protein 16,5-49,9

Lemak 3,1-11,5

Karbohidrat 10,3-44,0

Hasil analisa dalam % berat kering. Sumber : Zhukova et al. 1969; Vladimirova et al. 1979 diacu dalam Oh-Hama & Miyachi 1988.

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroalga

Pertumbuhan mikroalga sangat erat kaitannya dengan ketersediaan hara

makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Sumber elemen

anorganik yang dibutuhkan pada pertumbuhan alga hijau adalah nitrogen (N),

fosfor (P), kalium (K), magnesium (Mg), kalsium (Ca), sulfat (S), besi (Fe),

tembaga (Cu), mangan (Mn), dan zinc (Zn) (Oh-Hama & Miyachi 1988).

Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga,

antara lain cahaya, suhu, dan pH media ( Fogg 1975).

a. Intensitas cahaya

Mikroalga merupakan organisme autotrof yang mampu membentuk

senyawa organik dari senyawa anorganik melalui proses fotosintesis. Keberadaan

5

cahaya menentukan bentuk kurva pertumbuhan bagi mikroalga yang melakukan

fotosintesis. Mikroalga akan menyerap energi cahaya dan merubahnya menjadi

energi kimia melalui proses fotosintesis. Cahaya matahari dapat diganti dengan

sinar lampu TL (Tjahjo et al. 2002).

Pencahayaan merupakan faktor tumbuh utama pada mikroalga. Faktor

yang mempengaruhi pencahayaan yaitu lamanya pencahayaan dan intensitas

cahaya (Andersen 2005 diacu dalam Csavina 2008). Pencahayaan yang

berlebihan dapat menyebabkan fotoinhibition akibat dari stress fotooksidatif oleh

mikroalga (Leon & Galvan 1999 diacu dalam Csavina 2008). Kisaran intensitas

cahaya yang dapat diadaptasi bagi Chlorella antara 4000-30000 lux

(Oh-Hama & Miyachi 1988).

b. Karbon

Karbondioksida merupakan unsur yang penting dalam proses fotosintesis,

oleh karena itu tersedianya CO2 dalam jumlah yang cukup di dalam media akan

mendukung pertumbuhan kultur alga. Ketersediaan CO2 dapat dilakukan dengan

menggoyangkan media atau dengan aerasi. Karbondioksida tidak cukup disuplai

melalui difusi sederhana dari udara karena konsentrasinya sangat rendah (0,03 %),

sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan yang optimal dan produktivitas

yang tinggi (Becker 1994).

Senyawa HCO3- dapat ditambahkan untuk meningkatkan ketersedian CO2

di dalam media. Penambahan HCO3- ke dalam media telah dilakukan pada kultur

Chlorella vulgaris strain C-3, Chlorella sp. strain K dan Chlorella ellipsoidea

(Oh-Hama & Miyachi 1988). Mikroalga dapat menggunakan ion karbonat

(CO32-) dan ion bikarbonat (HCO3

-) sebagai sumber karbon.

c. Nitrogen

Nitrogen merupakan elemen yang sangat penting untuk kehidupan yaitu

sebagai penyusun protein dan bahan genetik. Senyawa nitrogen yang biasa

digunakan dalam kultur mikroalga adalah amonium, nitrat, dan urea. Alga

mengabsorbsi unsur nitrogen dalam bentuk amonium atau nitrat, meskipun

amonium dapat menjadi sumber nitrogen bagi tumbuhan pada pH tinggi, tetapi

kebanyakan alga tumbuh baik apabila mendapat sumber nitrogen dalam bentuk

nitrat. Peningkatan kandungan nitrogen menyebabkan peningkatan biomassa,

6

kandungan protein, dan klorofil (Becker 1994). Nitrogen yang dibutuhkan untuk

media kultur dapat diperoleh dari KNO3, NaNO3 dan NH4Cl (Tjahjo et al. 2002).

d. Nutrien esensial lainnya

Pertumbuhan mikroalga akan optimum jika nutrien terdapat dalam jumlah

yang cukup dengan perbandingan antar nutrien yang tepat (Becker 1994). Fosfor

merupakan bahan dasar pembentuk asam nukleat, enzim, dan vitamin. Unsur

fosfor dapat diperoleh dari KH2PO4, NaH2PO4, Ca3PO4 (Tjahjo et al. 2002).

Keberadaan fosfor dapat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan

(Effendi 2000).

Unsur kalium berfungsi dalam metabolisme karbohidrat dan juga sebagai

kofaktor untuk beberapa koenzim. Unsur kalium dapat diperoleh dari KCl,

KNO3, KH2PO4. Unsur besi (Fe) berperan dalam pembentukan klorofil dan

sebagai komponen esensial dalam proses oksidasi. Unsur ini dapat diperoleh dari

FeCl3, FeSO4, FeCaH5O7 (Isnansetyo & Kurniastuty 1995).

Unsur hara mikro dibutuhkan untuk menjalankan berbagai fungsi dalam

pertumbuhan mikroalga, misalnya mangan (Mn), zinc (Zn) diperlukan untuk

fotosintesis, unsur molibdad (Mo) diperlukan untuk metabolisme nitrogen. Unsur

hara mikro dibutuhkan dalam jumlah kecil tetapi harus ada dan untuk

menstabilkan fungsi hara mikro biasanya ditambahkan EDTA sebagai pengkelat

logam (Isnansetyo & Kurniastuty 1995).

f. Suhu

Suhu optimum untuk pertumbuhan mikroalga berkisar 15-30 oC, setiap

spesies mikroalga mempunyai suhu optimum yang khas untuk pertumbuhannya

(De La Noue & De Pauw 1988). Suhu optimum dapat bervariasi sesuai dengan

intensitas cahaya dan konsentrasi nutrien tertentu serta adaptasi mikroorganisme

terhadap suhu yang lebih tinggi dan lebih rendah (Fogg 1975).

Suhu yang umum untuk pertumbuhan Chlorella sp. yaitu berkisar antara

26-43 oC (Semenenko et al. 1969 diacu dalam Oh-Hama & Miyachi 1988). Suhu

15-30 oC merupakan suhu optimum pertumbuhan Chlorella ellipidea dan pada

suhu 25 oC menghasilkan kurva pertumbuhan tertinggi (Cho et al. 2007

diacu dalam Csavina 2008).

7

g. Derajat keasaman (pH)

Derajat keasaman adalah parameter yang menunjukan banyaknya ion

hidrogen yang terkandung dalam air. Nilai pH medium kultur merupakan faktor

pengontrol yang menentukan kemampuan biologis mikroalga dalam

memanfaatkan unsur hara (De La Noue & De Pauw 1988).

Batas toleransi mikroorganisme air terhadap pH bervariasi dan

dipengaruhi antara lain oleh suhu, oksigen terlarut, alkalinitas maupun jenis dan

stadia organisme. Chlorella sangat tahan terhadap kondisi lingkungan yang asam

dan masih dapat tumbuh pada pH 2, sedangkan medium yang optimum adalah

medium yang memiliki pH 6,6-7,3 (Fogg 1975). Kebanyakan mikroalga dapat

hidup pada pH antara 6,8-9,6 (Chapman & Chapman 1973).

h. Agitasi

Agitasi atau pengadukan mutlak dilakukan pada pengkulturan dengan

sistem batch, salah satunya dengan cara memberikan pasokan udara (aerasi) ke

dalam media. Aerasi merupakan cara pengadukan yang termudah dan efektif

(Becker 1994). Proses pengadukan dalam kultur mikroalga sangat penting dan

dilakukan secara terus menerus untuk mencegah pengendapan sel dan mencegah

perbedaan suhu dalam kultur (Oswald 1970).

2.3 Pola Pertumbuhan Mikroalga

Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan teratur semua

komponen di dalam sel hidup (Fardiaz 1989). Pertumbuhan mikroalga dibagi

dalam lima fase pertumbuhan, yaitu: fase lag, fase logaritmik atau eksponensial,

fase penurunan laju pertumbuhan, fase stationer, dan fase kematian (Fogg 1975).

1. Fase lag

Fase ini ditandai dengan tidak adanya peningkatan populasi. Fase ini

disebut juga sebagai fase adaptasi karena sel mikroalga sedang beradaptasi

terhadap media tumbuhnya. Lamanya fase lag tergantung dari media dan kondisi

lingkungan pertumbuhan serta umur dan jumlah inokulum (Fardiaz 1989).

Ukuran sel pada fase lag ini umumnya meningkat. Organisme mengalami

metabolisme, tetapi belum terjadi pembelahan sel sehingga kepadatan sel belum

meningkat.

8

2. Fase logaritmik atau eksponensial

Fase ini diawali dengan pembelahan sel dengan cepat dan konstan, dimana

pertambahan jumlah sel mengikuti kurva logaritmik. Sel membutuhkan energi

lebih banyak dibandingkan dengan fase lainnya, selain itu sel paling sensitif

terhadap keadaan lingkungan (Fardiaz 1989). Meningkatnya laju pertumbuhan

didukung oleh ketersediaan nutrien dan lingkungan yang baik sehingga

pertumbuhannya cukup optimal. Peningkatan kepadatan populasi pada fase log

terjadi karena peningkatan aktivitas fotosintesis yang tinggi untuk pembentukkan

protein dan komponen-komponen penyusun plasma sel yang dibutuhkan dalam

pertumbuhan (Fogg 1975).

3. Fase penurunan laju pertumbuhan

Penurunan laju pertumbuhan disebabkan karena tidak ada penambahan

nutrien sedangkan pemanfaatan nutrien oleh mikroalga terus berlanjut, sehingga

terjadi persaingan antar sel untuk mendapatkan nutrien yang semakin berkurang.

Intensitas cahaya yang diterima sel semakin berkurang akibat jumlah sel yang

semakin tinggi sehingga terjadi pembentukan bayangan dari sel itu sendiri juga

dapat menyebabkan penurunan laju pertumbuhan. Faktor lain yang dapat

menyebabkan penurunan laju pertumbuhan adalah menurunnya konsentrasi CO2

dan O2, dan terjadinya proses autoinhibition, yaitu proses menghasilkan senyawa

penghambatan pertumbuhan oleh sel itu sendiri (Fogg 1975).

4. Fase stationer

Peningkatan ukuran populasi tidak terjadi, jumlah sel terlihat cenderung

konstan, karena laju pertumbuhan seimbang dengan laju kematian pada fase

stasioner (Fogg 1975). Ukuran sel pada fase stasioner menjadi lebih kecil, karena

sel tetap membelah meskipun zat nutrisi sudah mulai habis. Sel dimungkinkan

mempunyai komposisi berbeda dengan sel yang tumbuh pada fase logaritmik

karena kekurangan nutrisi, sehingga sel menjadi lebih tahan dalam keadaan

ekstrim seperti panas, dingin, radiasi dan bahan kimia. Sel memiliki cadangan

energi sehingga masih dapat menggunakan komponen tersebut untuk melakukan

pertumbuhan dan mempertahankannya walaupun kecepatannya sangat rendah

(Fardiaz 1989).

9

5. Fase kematian

Fase kematian ditandai dengan kepadatan populasi sel yang terus

berkurang. Kematian sel disebabkan oleh kehabisan nutrien dan akumulasi sisa

metabolisme atau bahan toksik spesifik. Laju pertumbuhan menurun sampai

akhirnya tidak ada lagi pertumbuhan dan sel mengalami lisis karena tidak

mendapat suplai nutrien lagi. Kurva pertumbuhan mikroalga disajikan pada

Gambar 2.

Keterangan:

Jumlah sel 1. Fase lag

(sel/ml) 2. Fase logaritmik

3. Fase penurunan laju pertumbuhan

4. Fase stasioner

5. Fase kematian

Umur kultur (hari)

Gambar 2 Kurva pertumbuhan Sumber : Fogg 1975

2.4 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu proses yang secara selektif mengambil zat

terlarut dari campuran dengan bantuan pelarut. Teknik ekstraksi didasarkan pada

kenyataan bahwa jika suatu zat dapat larut dalam dua fase yang tidak tercampur,

maka zat itu dapat dialihkan dari fase yang satu ke fase yang lain dengan

mengocoknya secara bersamaan. Pemilihan pelarut yang digunakan tergantung

pada sifat zat yang dilarutkan, karena setiap zat memiliki kelarutan yang berbeda

dalam pelarut yang berlainan (Achmadi 1992).

Gaya yang bekerja dalam proses ekstraksi adalah akibat adanya perbedaan

konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan ekstraksi yang berada di luar

sel. Bahan pelarut yang mengalir ke dalam ruang sel akan menyebabkan

protoplasma membengkak dan bahan kandungan sel akan terlarut sesuai

kelarutannya (Voight 1994). Metode ekstraksi berdasarkan jenis pelarutnya dapat

dilakukan dengan dua cara yaitu aqueous phase dan organic phase. Cara aqueous

phase dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan cara organic phase

dilakukan dengan pelarut organik. Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut pada

10

waktu tertentu kemudian diikuti dengan pemisahan bahan yang diekstrak. Hal-hal

yang harus dipertimbangkan saat memilih pelarut (Achmadi 1992) antara lain:

1. Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, sedangkan pelarut non polar

akan melarutkan senyawa non-polar.

2. Pelarut organik cenderung melarutkan senyawa organik.

3. Air cenderung melarutkan senyawa organik dan garam dari asam maupun

basa organik.

4. Asam-asam organik yang larut dalam pelarut organik dapat diekstraksi

dengan menggunakan basa (NaOH, Na2CO3, dan NaHCO3).

Metode ekstraksi juga dikelompokkan berdasarkan tingkat kesulitannya,

yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus (Harborne 1987). Ekstraksi

sederhana terdiri atas:

1. Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam

pelarut dengan atau tanpa pengadukan.

2. Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan.

3. Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk

melarutkan sampel di dalam perkolator sampai senyawa kimianya

terlarut.

4. Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.

Ekstraksi khusus terdiri atas:

1. Soxhletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk

melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi.

2. Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana

sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang

berlawanan.

3. Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan alat yang menghasilkan

frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz.

Pelarut nonpolar merupakan salah satu pelarut yang terkenal efektif

mengekstrak senyawa kimia seperti lilin, lemak, dan minyak yang mudah

menguap. Pelarut semipolar mampu mengekstrak senyawa fenol, terpenoid,

alkaloid, aglikon dan glikosida. Pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak

11

senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam

amino, dan glikosida (Harborne 1987).

Proses ekstraksi terdiri dari beberapa tahap yaitu penghancuran bahan,

penimbangan, perendaman dengan pelarut, penyaringan, dan pemisahan.

Penghancuran bertujuan untuk mempermudah pengadukan dan kontak bahan

dengan pelarutnya. Bahan ditimbang untuk mengetahui berat awal bahan

sehingga dapat ditentukan rendemen yang dihasilkan. Bahan yang telah

ditimbang kemudian direndam dalam pelarut yang sesuai. Tahap selanjutnya

adalah tahap pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Penyaringan

dilakukan untuk memisahkan residu bahan dan pelarut yang telah mengandung

senyawa bioaktif. Pemisahaan pelarut dengan senyawa bioaktif yang terikat

dilakukan evaporasi sehingga pelarut akan menguap dan diperoleh senyawa hasil

ekstraksi. Hasil ekstraksi yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor

antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan,

ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi,

dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995).

Tidak ada satu pun sistem pelarut yang cocok dan memuaskan untuk dapat

mengisolasi seluruh senyawa antioksidan fenolik dari semua golongan, bahkan

untuk satu golongan fenolik spesifikpun. Hal ini disebabkan karena struktur

kimia senyawa fenolik alami adalah sangat bervariasi baik dari yang sederhana

sampai yang kompleks dan senyawa fenolik dalam pangan sangat beragam

sehingga akan semakin kompleks dengan memperhatikan kemungkinan interaksi

senyawa fenolik tersebut dengan komponen-komponen lain dalam sistem pangan.

Oleh karena itu, dalam suatu ekstrak tumbuhan akan selalu mengandung suatu

campuran senyawa fenolik dari beberapa golongan yang larut dalam satu sistem

pelarut yang dipilih (Shahidi & Naczk 1995).

2.5 Antioksidan

Antioksidan dalam pengertian kimia adalah senyawa pemberi elektron,

namun dalam arti biokimia adalah senyawa yang dapat menunda atau mencegah

proses oksidasi makromolekul dengan cara menghambat tahap inisiasi dan

propagasi pada reaksi rantai oksidatif sehingga dapat meredam dampak negatif

oksidasi. Dua kelompok antioksidan dalam mencegah dampak negatif oksidasi

12

yaitu antioksidan pencegah (prevention antioxidant) dan antioksidan pemutus

rantai (chain-breaking antioxidant) (Suryohudoyo 2000).

Antioksidan pencegah (prevention antioxidant) yaitu antioksidan yang

mencegah pembentukan radikal hidroksi (OH-) yaitu bekerja pada tahap inisiasi.

Contoh antioksidan pencegah adalah enzim katalase, superoksida dismutase

(SOD), dan glutation peroksidase. Antoksidan pemutus rantai (chain-breaking

antioxidant) adalah antioksidan yang bekerja mencegah reaksi rantai berlanjut dan

bekerja pada tahap propagasi. Contoh antioksidan pemutus rantai adalah

β- karoten, vitamin E, vitamin C, glutation dan sistein (Suryohudoyo 2000).

Antioksidan dapat berbentuk gizi seperti vitamin E dan C, non gizi

(pigmen karoten, likopen, flavonoid, dan klorofil), dan enzim (glutation

peroksidase, koenzim Q10, atau ubiquinon). Antioksidan dapat dibagi menjadi

tiga golongan, yaitu antioksidan preventif (enzim superoksidadismutase, katalase,

dan glutation peroksidase), antioksidan primer (vitamin A, fenolat, flavonoid,

katekin, kuersetin), dan antioksidan komplementer (vitamin C, β- karoten, retinol)

(Tamat et al. 2007).

2.6 Radikal Bebas

Radikal bebas didefinisikan sebagai suatu senyawa kimia yang memiliki

atom atau molekul dengan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan.

Adanya elektron yang tidak berpasangan membuat molekul menjadi tidak stabil

dan bersifat reaktif karena berusaha untuk mendapatkan pasangan elektron

(Simanjuntak et al. 2004).

Senyawa radikal bebas terbentuk dari dua macam sumber yaitu endogenus

dan eksogenus. Pembentukan radikal secara endogenus dapat melalui reaksi

autooksidasi, transpor elektron di mitokondria dan oksidasi ion-ion logam transisi

dalam tubuh. Pembentukan radikal bebas secara eksogenus akibat bahan kimia

yang bersifat karsinogenik, radiasi sinar UV, sinar X, dan sinar gamma

(Sausari 2006).

Radikal bebas yang terbentuk secara endogenus dapat berasal dari

metabolisme normal tubuh. Salah satu contohnya yaitu proses reduksi molekul

oksigen dalam rangkaian transpor elektron pada rantai respirasi mitokondria.

Oksigen dimetabolisme menjadi H2O dengan penambahan 4 elektron melalui

13

beberapa tahapan reaksi. Reaksi molekul oksigen dengan elektron pertama akan

membentuk anion radikal superoksida (O2-), kemudian anion radikal superoksida

direaksikan dengan elektron kedua dan dua atom hidrogen menghasilkan hidrogen

peroksida (H2O2). Penambahan elektron ketiga pada molekul hidrogen peroksida

akan memicu pembentukan radikal hidroksil (OH.). Molekul H2O akan terbentuk

melalui reaksi radikal hidroksil dengan elektron keempat dan sebuah atom

hidrogen (Sausari 2006). Proses reduksi molekul oksigen dalam rangkaian

transpor elektron pada rantai respirasi mitokondria dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Proses reduksi molekul oksigen dalam rangkaian transpor elektron pada rantai respirasi mitokondria

Reaksi Hasil reaksi O2 + e- O2

- O2 + e- + 2H+ H2O2 H2O2 + e- OH. + OH- OH+ + e- + H+ H2O OH- + H+ H2O O2 + 4 e- + 4 H+ 2H2O

Radikal bebas juga dapat dihasilkan dari berbagai proses kimia atau

enzimatik dalam metabolisme tubuh yang melibatkan senyawa organik maupun

inorganik seperti Fe. Radikal hidroksil (OH.) dapat terbentuk melalui reaksi non

enzimatik dari senyawa hidroperoksida (H2O2) yang dikatalis oleh ion Fe2+

kemudian Fe2+ akan dioksidasi menjadi Fe3+. Reaksi ini dikenal sebagai reaksi

Fenton. Radikal bebas juga dapat terbentuk melalui reaksi Habeer-Weiss dengan

menggunakan radikal superoksida (O2-) dan hidroperoksida (H2O2) sebagai

substrat yang dikatalisis oleh besi, sesuai dengan reaksi sebagai berikut :

H2O2 + Fe2+ Fe3+ + OH- + OH. H2O2 + O2

- O2 + OH- + OH.

Reaksi ini terjadi secara berantai dan terus menerus sampai ada molekul yang

memberikan elektron yang dibutuhkan radikal bebas. Reaksi ini dapat berakhir

bila dua gugus radikal bebas saling berinteraksi membentuk ikatan non radikal

atau adanya antioksidan (Suryohudoyo 2000).

Jenis radikal yang berperan dalam berbagai reaksi-reaksi dekstruktif pada

tubuh manusia adalah spesies oksigen reaktif (ROS). Reactive Oxygen Species

(ROS) terbentuk dari reaksi pembentukan energi yang tidak sempurna pada

mitokondria. Molekul oksigen dan glukosa yang masuk ke dalam mitokondria

14

diubah menjadi energi dan ROS. Jumlah ROS dalam tubuh yang terlalu banyak

sangat berbahaya karena molekul ini dapat memulai terjadinya oksidasi

biomolekuler sehingga menyebabkan kerusakan seluler dan jaringan yang dapat

menimbulkan peradangan seluler dan jaringan, serta mengakibatkan stress

oksidatif yang memicu terjadinya beberapa penyakit degeneratif seperti kanker,

stroke, penuaan dini dan penyakit Parkinson. Stress oksidatif juga dapat

menyebabkan terganggunya aktivitas enzim dan kerusakan oksidatif pada sistem

sel (Wiseman & Halliwell 1996 diacu dalam Simanjuntak et al. 2004).

2.7 Mekanisme Reaksi Radikal Bebas

Autooksidasi merupakan reaksi spontan antara oksigen atmosfir dengan

senyawa organik. Mekanisme reaksi ini umumnya merupakan mekanisme reaksi

rantai radikal bebas secara autokatalitik. Ion logam dan cahaya merupakan

prooksidan, sedangkan senyawa-senyawa alami dan sintetik dapat bekerja sebagai

antioksidan. Secara umum reaksi rantai ini adalah penambahan oksigen terhadap

senyawa organik. Ada 3 tahap yang berbeda dalam reaksi rantai radikal bebas,

yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi (Fessenden & Fessenden 1986) sebagai

berikut:

Inisiasi : X-+ RH R- + XH

Propagasi : R- + O2 ROO-

ROO- + RH ROOH + R-

Terminasi : ROO- + -ROO ROOR + O2

ROO- + R ROOR

Keterangan : X- = spesies radikal bebas RH = asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) ROOH = asam lemak hidroperoksid R- = radikal alkil RO- = radikal alkoksil ROO- = radikal peroksid

Peroksida lipid adalah reaksi yang terjadi antara radikal bebas dengan

asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) pada membran sel yang sedikitnya

mengandung tiga ikatan rangkap. Reaksi peroksida lipid dimulai dengan tahap

inisiasi yaitu pemisahan sebuah atom hidrogen oleh radikal bebas dari suatu grup

metilena (-CH2-) PUFA. Reaksi ini menghasilkan pembentukan suatu radikal

15

karbon (-CH.-) pada PUFA. Radikal karbon distabilkan melalui suatu pengaturan

ulang ikatan rangkap yang menghasilkan diena terkonjugasi. Radikal peroksida

lipid dapat juga menghilangkan sebuah atom hidrogen dari molekul lipid lainnya

yang berdekatan untuk membentuk hidroperoksida lipid dan juga membentuk

radikal karbon lain sehingga reaksi peroksida lipid akan terjadi secara terus

menerus pada tahap propagasi. Tahap terminasi akan terjadi bila ada reaksi antara

radikal bebas sendiri atau adanya senyawa antioksidan. Reaksi peroksidasi secara

enzimatik dan nonenzimatik dikatalis oleh ion logam transisi seperti Fe2+

(Fessenden & Fessenden 1986).

Inisiasi adalah pembentukan awal radikal-radikal bebas. Energi untuk

reaksi ini diberikan oleh cahaya ultraviolet atau oleh pemanasan campuran ke

temperatur yang sangat tinggi. Propagasi adalah reaksi terbentuknya radikal

bebas yang baru. Daur propagasi terputus oleh reaksi-reaksi pengakhiran

(terminasi) yaitu reaksi apa saja yang memusnahkan radikal bebas atau mengubah

radikal bebas menjadi radikal bebas yang stabil dan tidak reaktif sehingga dapat

mengakhiri daur propagasi (Fessenden & Fessenden 1986).

2.8 Fraksinasi Ekstrak Antioksidan

Hasil ekstraksi suatu jaringan tumbuhan dengan satu sistem pelarut akan

menghasilkan ekstrak yang merupakan campuran dari beberapa senyawa aktif.

Sebelum mengisolasi senyawa aktif yang diinginkan, maka perlu dilakukan

fraksinasi ekstrak tumbuhan tersebut untuk memisahkan golongan satu dari

golongan yang lain. Teknik pemisahan dan pemurnian komponen dari

campurannya yang umum digunakan adalah teknik kromatografi (Harborne 1987).

Ada beberapa macam teknik kromatografi seperti kromatografi lapis tipis (KLT),

kromatografi kolom, kromatografi gas, dan kromatografi kinerja tinggi.

Beberapa kelebihan penggunaan KLT adalah waktu proses fraksinasi dan

pemisahan lanjut relatif cepat (20-40 menit), sensitif dengan limit deteksi

mencapai 9-10 g, relatif dapat diaplikasikan pada sistem kromatografi kolom

dengan kondisi yang relatif sama, peralatan yang diperlukan cukup sederhana dan

parameter-parameter percobaan mudah divariasikan untuk mendapatkan hasil

pemisahan yang maksimal (Pomeranz & Meloan 1994 diacu dalam

Prangdimurti et al. 2006).