2
EPUTAR INDONESIA o Selasa o Rabu o Kamis o Jumat Sabtu o Minggu 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 19 20 21 22 23 @ 25 26 27 28 29 30 31 o Mar OApr OMei OJun aJul OAgs OSep OOkt ONov ODes Hak Konstitusional W: rga Negara dalam Perkara Pidana S udah lama diakui oleh ahli hukum pidana di negara penganut paham sistem hukum civil law di daratan Eropa, khususnya Belanda, bahwa hu- kum pidana itu ibarat "pisau ber- mata dua". Di satu sisi ia berfungi mencegah seseorang melakukan kejahatan dan di sisi lain agar orang lain terlindungi dari ke- jahatan. Namun, untuk tujuan ter- sebut, hukum pidana telah memo batasi kemerdekaan bergerak se- seorang dengan penangkapan dan penahanan. Penegakanhukum pidana yang rentan penyalahgunaan wewenang tersebut kini telah dibatasi oleh ketentuanmengenaihak dasar ma- nusia atau hak asasi manusia yang di banyak negara telah dicanrum- kan dalam konstitusinya termasuk di Indonesia dengan Perubahan Keempat UUD 1945. Di dalam sis- tern peradilan pidana terintegrasi (criminal justice system) proses pe- nanganan perkara pidana merupa- kan sistem "input-processes-out- put". jika input·nya bahan mentah apalagi tidak benar atau direka- yasa, output akan menghasilkan putusan yang tidak benar, tidak adil, dan bahkan sangatmerugikan kepen tingan tersangka/terdakwa dalam mencapai keadilan. Praktik penanganan perkara seperti ini sudah sering terjadi dan saat ini yang mencolok terjadi re- kayasa danmanipulasi bukti dalam perkara sisminbakum. Tim pe- nyidik telah menyatakanada duga- an kuat pemalsuan surat perjanji- an koperasi DepartemenKehakim· an dan Direktorat jenderal AHU Departemen Kehakiman pada 25 Juli 2001 dan telah menetapkan tersangkanya. Bukti dugaan kuat pemalsuan surat perjanjian ter- sebut yang telah dijadikan dasar penahanan mantan Dirjen AHU 2000·2001; dasar surat dakwaan dan tuntutan JPU serta salah satu pertimbangan majelis hakim PN Jakarta Selatan sehingga ter- dakwatelahdijatuhihukuman oleh pengadilan. Rekayasa tersebut mengingatkan kasus Jean Callas pada masa ancient regime yang dipidana mati de- ngan bukti rekayasa. amun, dia kemudian terbukti bu- kan pelaku pembunuhan, melainkan orang lain. Masih terjadinya reka- yasa bukti dan manipulasi keterangan saksi-saksi pada era reformasi abad ke- 21 ini menunjukkan bahwa praktik peradilan di Indonesia te- lah mencapai titik nadir dan sarat dengan pelanggaran hak asasi ter- f sangka/terdakwa. jika tudingan Yusril Ihza Mahendra terhadap status hukum seorang JaksaAgung itu benar dan diperkuat Mahka- Kliping HUma5 Unpad 2010 mah Konstitusi RI, lengkap sudah bukti bahwa penanganan perkara sisminbakum bukan hanya me- langgar prinsip due process of law dan praduga tak bersalah. Pena- ngananitubisarnerupakantindak- an sewenang-wenang baik dalam penyidikan maupun dalam pena- hanan (arbritrary investigation and detention) dari aparatur penegak hukum ipso facto pelanggaran terhadap hak konstitusional setiap warga negara sebagaimana ter- cantum dalam UUD 1945. *** Persoalan hukum dari fakta terse but adalah langkah hukum mana yang sepatutnya didahulu- kan? Pertanyaanini merujuk ke- pada pemikiran Hans Kelsen de- ngan Stufenbau Theorie yang me- nempatkan konstitusi (UUD 1945) sebagai hukum dasar (grundnorm) yangmenjadirujukan seluruh per- aturan perundang-undangan yang berada di bawahnya.Merujukpada teori tersebut, perlindungan atas hak konstitusional warga negara seharusnya lebih diutamakan dari hak negara untuk menuntut atau menghukum warga negaranya se- kalipun langkah tersebut dibenar- kan menurut undang-undang. jika pelanggaran atas hak konstitusio- nal warga negara dinomorduakan sedangkan hak negara untuk me-

3 10 11 12 13 14 15 19 20 21 22 23 25 26 27 28 29 30 31 Hak Konstpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/seputarindonesia... · 511ARY PRA5ETYO nuntut danmenghukum dinomor-satukan,praktikpenegakanhukum

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 3 10 11 12 13 14 15 19 20 21 22 23 25 26 27 28 29 30 31 Hak Konstpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/seputarindonesia... · 511ARY PRA5ETYO nuntut danmenghukum dinomor-satukan,praktikpenegakanhukum

EPUTAR INDONESIAo Selasa o Rabu o Kamis o Jumat • Sabtu o Minggu

3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1519 20 21 22 23 @ 25 26 27 28 29 30 31

oMar OApr OMei OJun aJul OAgs OSep OOkt ONov ODes

Hak Konstitusional W: rgaNegara dalam

Perkara Pidana

S udah lama diakui oleh ahlihukum pidana di negarapenganut paham sistem

hukum civil law di daratan Eropa,khususnya Belanda, bahwa hu-kum pidana itu ibarat "pisau ber-mata dua". Di satu sisi ia berfungimencegah seseorang melakukankejahatan dan di sisi lain agarorang lain terlindungi dari ke-jahatan. Namun, untuk tujuan ter-sebut, hukum pidana telah memobatasi kemerdekaan bergerak se-seorang dengan penangkapan danpenahanan.

Penegakanhukum pidana yangrentan penyalahgunaan wewenangtersebut kini telah dibatasi olehketentuanmengenaihak dasar ma-nusia atau hak asasi manusia yangdi banyak negara telah dicanrum-kan dalam konstitusinya termasukdi Indonesia dengan PerubahanKeempat UUD 1945. Di dalam sis-tern peradilan pidana terintegrasi(criminal justice system) proses pe-nanganan perkara pidana merupa-kan sistem "input-processes-out-put". jika input·nya bahan mentahapalagi tidak benar atau direka-yasa, output akan menghasilkanputusan yang tidak benar, tidakadil, dan bahkan sangatmerugikankepen tingan tersangka/terdakwadalam mencapai keadilan.

Praktik penanganan perkaraseperti ini sudah sering terjadi dansaat ini yang mencolok terjadi re-kayasa danmanipulasi bukti dalamperkara sisminbakum. Tim pe-nyidik telah menyatakanada duga-an kuat pemalsuan surat perjanji-an koperasi DepartemenKehakim·an dan Direktorat jenderal AHUDepartemen Kehakiman pada 25Juli 2001 dan telah menetapkantersangkanya. Bukti dugaan kuatpemalsuan surat perjanjian ter-sebut yang telah dijadikan dasarpenahanan mantan Dirjen AHU2000·2001; dasar surat dakwaandan tuntutan JPU serta salah satupertimbangan majelis hakim PN

Jakarta Selatan sehingga ter-dakwatelahdijatuhihukumanoleh pengadilan. Rekayasatersebut mengingatkan kasusJean Callas pada masa ancientregime yang dipidana mati de-ngan bukti rekayasa. amun,dia kemudian terbukti bu-kan pelaku pembunuhan,melainkan orang lain.

Masih terjadinya reka-yasa bukti dan manipulasiketerangan saksi-saksipada era reformasi abad ke-21 ini menunjukkan bahwapraktik peradilan di Indonesia te-lah mencapai titik nadir dan saratdengan pelanggaran hak asasi ter- fsangka/terdakwa. jika tudinganYusril Ihza Mahendra terhadapstatus hukum seorang JaksaAgungitu benar dan diperkuat Mahka-

Kliping HUma5 Unpad 2010

mah Konstitusi RI, lengkap sudahbukti bahwa penanganan perkarasisminbakum bukan hanya me-langgar prinsip due process of lawdan praduga tak bersalah. Pena-ngananitubisarnerupakantindak-an sewenang-wenang baik dalampenyidikan maupun dalam pena-hanan (arbritrary investigation anddetention) dari aparatur penegakhukum ipso facto pelanggaranterhadap hak konstitusional setiapwarga negara sebagaimana ter-cantum dalam UUD 1945.

***Persoalan hukum dari fakta

terse but adalah langkah hukummana yang sepatutnya didahulu-kan? Pertanyaanini merujuk ke-pada pemikiran Hans Kelsen de-ngan Stufenbau Theorie yang me-nempatkan konstitusi (UUD 1945)sebagai hukum dasar (grundnorm)yangmenjadirujukan seluruh per-aturan perundang-undangan yangberada di bawahnya.Merujukpadateori tersebut, perlindungan atashak konstitusional warga negaraseharusnya lebih diutamakan darihak negara untuk menuntut ataumenghukum warga negaranya se-kalipun langkah tersebut dibenar-kan menurut undang-undang. jikapelanggaran atas hak konstitusio-nal warga negara dinomorduakansedangkan hak negara untuk me-

Page 2: 3 10 11 12 13 14 15 19 20 21 22 23 25 26 27 28 29 30 31 Hak Konstpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/seputarindonesia... · 511ARY PRA5ETYO nuntut danmenghukum dinomor-satukan,praktikpenegakanhukum

511 ARY PRA5ETYO

nuntut dan menghukum dinomor-satukan,praktikpenegakanhukumseperti itu tidak berbeda denganpola pikir kolonialisme dan oto-ritarianisme atau masa ancientregimemasa Revolusi Prancis.

Mengedepankan hak negarauntuk menuntut dan menghukumdaripada melindungi hak konstitu-sional warganegarasejalandenganprinsip "tujuanmenghalalkan cara"dimana tersangka/terdakwa hanyadijadikan "objek" perlakuan ne-gara, bukan sebagai subjek hukumyang seharusnya dilindungi sekali-pun dalam status tersangka. Sudahbukanrahasia umumlagi jika prak-tikpenegakanhukumsaatinilebihsering menempatkan tersangka/terdakwa kasus korupsi serta-merta dan apriori dianggap "sam-pah masyarakat" yang layak di-musnahkan dari lingkungan so-sialnya melalui proses stigmatisasioleh negara yang diikuti oleh dam-paknegatif seumur hidupyang ber-sangkutan.

Apakah dapat dibenarkan dantidak dipandang melanggar HAM .jika memberantas korupsi dilak-sanakan sambil menginjak-injakhak asasi tersangka/terdakwa?Lembaga mana yang dapat mem-persoalkan masalah pelanggaranhak konstitusional warga negara?Tentunya hanya Mahkamah Kon-stitusi RI yang memiliki prosedurhukum acara tersendiri untuk me-mastikan bahwa seseorang pe-

mohon uji materiil memiliki "legalstanding" atau tidak, bukan se-orang Jaksa Agung atau seorangMenteri Hukum dan HAM.

Bagaimana Mahkamah Kon-stitusi RI bekerja, sedangkan

penyidikan atau persi-dangan terus dilaksana-kan? Dalamkonteksinilah

harus dikembalikan kepadamasalah, apakah sistem hukum pi-dana Indonesia dan sistem ketata-

negaraan Indonesia masihsetia kepada Hans Kelsen

dengan StufenbauTheorie? Tentunya harus dipilih

mekanisme yang harus didahulu-kan, baik kepentingan hak konsti-tusional tersangkaatauhaknegarayang harus didahulukan. Ketikadua kepentingan tersebut ber-hadapan satu sama lain, sudahtentu di dalam suatu negara demo-krasi yang bertumpu pada ke-daulatanrakyatbukankedaulatanpenguasa negara, hak konstitusio-nal warga negara yan~ harus di-dahulukan.

Ketika Mahkamah KonstitusiRI telah menetapkan bahwa pe-mohon memiliki "legal standing"dan dapat diterima permohonanpengajuan hak uji materiil, prosespenyidikan dan pemeriksaan disidang pengadilan harus dihenti-kan terlebih dahulu, dan Mahka-mah Konstitusi RI harus segeramengambil putusan atas permo-honan pengajuan hak uji materiilsang bersangkutan. Dalam sistembirokrasi yang masih korup ter-masuk dalam penegakanhukum diIndonesia, pola di atas lebih elegandan sesuai prinsip lebih baik men-cegah daripada menghukum sese-orang yang tidak bersalah.

***Pola pikir yang tidak mengede-

pankan perlindungan hak konsti-tusional warga negaranya cermindari praktik pemerintah kolonialBelanda dan Iepang di Indonesiapada 1940-an. Praktik terse but je-las merupakan pelanggaran ter-hadap VVD 1945 dan perubahan-nya khusus Bab XA, Pasal28 D, G,dan H, serta bertentangan denganInternational Covenant on Civil

and Political Rights (Kovenan HaSipil dan Hak Politik) pada 1966yang telah diratifikasi dengan VNomor 12Tahun 2005. Selain itu,pola perilaku kolonial terse butjuga bertentangan dengan VConvention AgainstTorture (1984)yang telah diratifikasi dengan VUNomor 5Tahun 1998.

Setiap tindakan negara yangmelanggar hak -hak dasar manusiasebagaimana tercantum dalamkovenan internasional di atas me-rupakan ancaman dan bahaya sekaligus tantangan bagi kepemim-pinan nasional bangsa ini di masayang akan datang. Siapa pun akanmenolak keras aparatur penegakhukum yang memiliki mental psi-kopatik dan agresif tanpa didasar-kan rambu-rambu hukum. Jikatidak segera dicegah, akan men-jadi kenyataan yang tidak terban-tahkan bahwa penegakan hukumdi Indonesia akan melahirkan ge-nerasi seperti yang dikhawatirkanoleh Hobbes yaitu "manusia merupakan serigala terhadap ma-nusia lainnya" (homo homini lupusbellum omnium contra omnes). Da-lam bahasa (aim) Satjipto Rahar-djo,pendapat Hobbes diterjemah-kan: hukum harus dijalankan de-ngan nurani; seharusnya hukumitu untuk manusia, bukan sebalik-nya.

Abad kini merupakan abadhumanisme internasional bukanlagi humanisme lokal atau na-sional. Seluruh tindakan manusiatermasuk penguasa negara harusdiukur bukan dari sisi keberhasil-anmembangunnegaranya,melain-kan juga harus diukur dari se-berapa tinggi penghormatan danpenegakan HAM di dalam men-capai keberhasilan pembangunannasional baik aspek hak politik,hak sosial, hak ekonomi maupunhak budaya. jika salah satu aspeksaja dari hak dasar manusia itu di-langgar, sekalipun hak dasar lain-nya tidak dilanggar, seluruh prosesdan keberhasilan pembangunantersebut adalah cacat moral, cacatsosial, dan cacat hukum. Denganbegitu, keberhasilan tersebuttidak layak untuk diapresiasi dandihormati.(*)